Anda di halaman 1dari 31

Ho-ling di Jawa

Tema Diskusi: Melacak Jejak Ho-ling di Jawa Tengah

Agus Aris Munandar


Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI)
Disampaikan dalam Seri Diskusi Gedung SI #6
Komunitas Pegiat Sejarah Semarang (KPS),
Rumah Popo, Jl.Branjangan 10, Kawasan Kota Lama
Semarang, 6 Juni 2023
SINO-ASIATIC

INDIC-DRAVIDIAN

Di antara dua
peradaban dunia
SEKITAR HO-LING
 Dalam uraian berita Cina disebutkan bahwa di Jawa pada sekitar abad yang sama dengan
berdirinya Tarumanagara terdapat kerajaan lain, yang disebut dengan Ho-ling. Ho-ling
seringkali disamakan penyebutannya dengan She-po (Cho-po) atau Jawa.
 Berita Cina pertama kali menyebut Jawa dengan She-po dalam catatan dinasti Sung Awal
(antara tahun 420—470 M), mungkin di antara tahun-tahun itu telah datang orang-orang dari
Jawa.
 Berita Cina dari zaman dinasti T’ang (618—906 M) menyebut Jawa dengan sebutan Ho-ling,
untuk kemudian di awal abad ke-9 Jawa disebut She-po kembali. Dalam berita Cina masa
dinasti T’ang itulah dinyatakan bahwa Ho-ling disebut juga dengan She-po terletak di Lautan
Selatan, di sebelah timurnya terletak P’o-li (Bali), di sebelah baratnya terletak To-p’o-teng
(suatu tempat di Sumatra), di selatannya terdapat lautan dan arah utaranya Chen-la.
 Apabila Tarumanagara berkembang di wilayah Jawa bagian barat, terutama di pantai
utaranya, maka Ho-ling diduga berlokasi di wilayah Jawa bagian tengah, diperkirakan di
sekitar Pekalongan-Semarang-Jepara-situs Plawangan (Munoz 2009: Gb.23, 139).
Empat hipotesis lokasi Ho-ling
• 1. Paul Michel Munoz memperkirakan wilayah Ho-ling meliputi Pekalongan-Semarang-
Jepara, dan wilayah barat Gunung Muria.
• 2. Orsoy de Flines, menempatkan Ho-ling di sekitar Rembang, Bledug Kuwu di Grobogan,
dan Lang-pi-ya di perbukitan Lasem. Pendapat ini didukung oleh Bennet Bronson, Boechari,
dan R.Soekmono.
• 3.Edhie Wuryantoro, berpendapat bahwa Ho-ling berasal dari kata Jawa Kuno walaing,
dalam hal ini ia setuju dengan pendapat L.Ch.Damais. Wuryantoro menempatkan Ho-ling di
dataran Walaing menurut Prasasti Pereng (tahun 863 M) yang tidak lain adalah dataran tinggi
Ratu Baka, sebagai tempat kedudukan Rakai Walaing pu Kumbhayoni.
• 4.W.J.van der Meulen SJ. berpendapat bahwa Ho-ling berasal dari kata Bhagahalin yang
dalam masa belakangan disebut dengan Bagelen. Lokasi keraton Ho-ling berada di sisi selatan
dataran tinggi Dieng-Gunung Prahu, terletak di wilayah Garung, Wonosobo. Dalam hal ini Ho-
ling disamakan dengan Mataram Kuno yang memang berawal dari Galuh zaman Sanjaya
• Keempat hipotesis yang dikemukakan tentang letak Kerajaan Ho-ling yang disebut-sebut
dalam berita Cina, namun keempatnya memiliki kesimpulan yang sama bahwa Cho-po yang
berhubungan dengan Ho-ling adalah Pulau Jawa, khususnya Jawa bagian tengah.
Hipotetis jalur pelayaran para Pelaut India & Cina
di pantai utara P.Jawa

G.Meru (Muria)
PERTEMUAN KAUM AGAMAWAN
INDIA DENGAN PENDUDUK
PRIBUMI DI WILAYAH ASIA TENGGARA

PENERIMAAN
AKSARA, AGAMA,
TAHUN SAKA
TRILOKA dan Permukiman
Puncak Gunung sebagai
Mahameru

SWARLOKA

Keraton (istana)
dan permukiman

BHURWARLOKA

BHURLOKA
Ho-ling adalah “kerajaan bandar” di tepi pantai
 Berdasarkan berita Cina jelas disebutkan
lokasi Ho-ling yang dikunjungi oleh para
niagawan berada di tepi pantai.

 Utusan Ho-ling datang beberapa kali ke


Cina membawa barang persembahan.
Sintesa tentang lokasi Ho-ling
• She-po yang kemudian disebut Ho-ling telah dikenal oleh orang-
orang Cina sejak awal abad ke-5, jadi jauh sebelum Sanjaya
mengeluarkan Prasasti Canggal tahun 732 (Munoz 2009: 141).

• Tahun 424 M, datanglah bhiksu Gunawarman ke Ho-ling, dia


sebenarnya seorang pangeran Kashmir. Berita itu disebutkan dalam
kitab Kao-Seng-Shuan (Biografi para pendeta malang) yang ditulis
tahun 519 M, jadi dalam abad ke-5 Ho-ling telah dikenal sebagai
negeri yang mendukung agama Buddha (Munoz 2009: 141, Coedes
2010: 89).
• Ho-ling mendukung perkembangan agama
Buddha Therawada (Hinayana), sebagaimana
yang uraikan dalam berita Cina perihal
kedatangan bhiksu Hwui-ning yang berguru
kepada Mahabhiksu Jnanabhadra yang
bermukim di Ho-ling. Berita musafir I-tsing
juga menyatakan bahwa Ho-ling sebagai negeri
tempat berkembangnya agama Buddha
Therawada.
• Ratu Shi-mo yang tegas dalam
pemerintahannya (sekitar 674 M), dapat
ditafsirkan menjalankan ajaran agama Buddha,
sehingga di kerajaannya barang-barang yang
terjatuh di jalan tidak akan ada yang
mengambilnya.
• Menurut kajian dan data geografi kesejarahan
sampai abad ke-15--16 Gunung Muria masih
terpisah oleh rawa-rawa yang lebar dengan daratan
Jawa Tengah. Demak dibuka di daerah rawa-rawa
yang banyak ditumbuhi tanaman gelagah wangi,
pada masa itu Demak terletak di tepi laut Jawa,
sekarang Demak berjarak sekitar 30 km dari pantai
(Daldjoeni 1984: Gambar 19B, 104--105).

• Apabila dalam abad ke-15—16 saja dataran Jawa


Tengah belum menyatu dengan Gunung Muria,
tentunya jauh lebih ke masa silam Gunung Muria
(1.602 m dpl) masih merupakan pulau tersendiri.
Para pelayar yang berada di Laut Jawa tentunya akan
melihat kehadiran Gunung Muria terlebih dahulu
daripada dataran Jawa Tengah. Dalam masa Ho-ling
(Haling) berkembang (abad 4—8 M) tentu terdapat
selat yang relatif luas dan dalam yang memisahkan
antara daratan Jawa dan ”Pulau Muria”, ”pulau” itu
sebenarnya Gunung Muria yang masih terpisah dari
daratan Jawa.
Sintesa

• Kerajaan Ho-ling tentunya terletak di tepi pantai, berdasarkan berbagai


pertimbangan dapat dipastikan berlokasi di pantai utara Jawa Tengah (Munoz
2009: 140—141). Ho-ling tidak terletak di pedalaman Jawa Tengah, atau bahkan
di perbukitan selatan (dataran tinggi Ratu Baka).
• Sebenarnya kata Ho-ling dapat saja dicari langsung artinya dalam Bahasa Jawa
Kuno, namun kata Ho-ling sejauh ini tidak dikenal dalam Bahasa Jawa Kuno.
Secara fonetis kata Ho-ling dapat diucapkan Ha-ling (Haling atau aling).
Sintesa
• Para pelayar lalu mendekati bandar Ho-ling, singgah di pantai sisi utara
Gunung Muria, terbukti dengan ditemukannya jejak perkampungan kuno
masyarakat sederhana (Proto-sejarah) yang berada di kaki Muria sisi utara
menghadap ke Laut Jawa, dinamakan situs Plawangan. Kekunoan proto-
sejarah ditemukan di sisi barat dan selatan Muria yang menghadap ke tanah
Jawa.
• Pulau itulah pada masanya mungkin disebut (Pulau) Ho-ling (haling, aling-
aling (Jawa) = pelindung, penyekat), sebab ibu kota kerajaannya sendiri
bukan berada di Pulau Ho-ling (Gunung Muria).
• Menurut berita Cina ibu kotanya berada di daratan Jawa. Diberitakan bahwa
raja tinggal di Kota She-po/Cho-po/Ja-va, dalam catatan Cinanya kota itu
disebut She-p’o-tch’eng ’kota Jawa’ [Javapura] (Sumadio 1984: 95; Van der
Meulen 1988: 60; Groeneveldt 2009: 20).
Kata Jawa Kuno

• Ternyata haling dalam Bahasa Jawa Kuno dikenal dalam bentuk


(m)ahalingan, ahaling-halingan, alingan, aling-alingan yang artinya
bersembunyi di belakang, dan kata kalingan berarti tersembunyi di
belakang (Zoetmulder 1995, 1: 330). Jadi harta Haling sebenarnya
berarti sembunyi, orang Cina kemudian mengucapkannya menjadi Ho-
ling.
• Dengan demikian dapat ditafsirkan dari namanya bahwa Kerajaan Ho-
ling/Haling adalah sebutan bagi kerajaan yang tersembunyi dari
sesuatu atau terhalang, atau berada di balik sesuatu. Sesuatu tersebut
tentunya yang sangat mengesankan pada masanya.
Kota She-po (Javapura)
 Berita Cina menyebutkan bahwa raja bertempat tinggal di ’Kota Jawa’ yang berlokasi di daratan Jawa
Tengah bukan di Pulau Ho-ling (Gunung Muria).
 ’Kota Jawa (She-po)’ itu tersembunyi di balik Gunung Muria, di tepi pantai utara Jawa yang menghadap
Selat Muria, penduduk masa itu tentunya menyebut lokasi ’Kota Jawa’ itu sebagai Kalingan
(tersembunyi/terhalang), sebab berada di tanah Jawa Tengah, di tepian Selat Muria.
 Apabila para pelaut dengan kapal layarnya datang dari arah Laut Jawa, ’Kota She-po’ itu tersembunyi
atau terlindung oleh Gunung Muria.
 Jadi dapat dinyatakan bahwa Ho-ling itu bukan berasal dari kata Ka-ling(ga), tidak ada hubungannya
dengan Kerajaan Kalingga di India selatan, Ho-ling tentunya berasal dari kata Jawa Kuno Haling, aling-
aling, kerajaan itu disebut juga Kalingan, karena tersembunyi dibalik Gunung Murio. Orang-orang Cina
dengan mudah menyebut Kalinganhaling menjadi Ho-ling.
 ’Kota She-po’ dapat ditafsirkan di tepi Selat Muria, dataran rendah yang membentang di wilayah
Demak-Kudus-Pati-Juwana zaman Kerajaan Kalingan masih merupakan selat yang dapat dilalui kapal-
kapal layar.
 Mungkin berita tradisi yang menyatakan bahwa terdapat kota yang namanya Medang Kamulan dapat
dihubungkan dengan Kerajaan Kalingan, mungkin saja Medang Kamulan adalah ”Kota She-po” yang
dimaksudkan dalam berita Cina.
Lang-pi-ya (Lang-bi-ya) (Groeneveldt 2009: 20)
• Dalam berita Cina dinyatakan adanya
Lang-pi-ya, yaitu pegunungan tempat raja
dapat melihat laut.
• Tanpa perlu susah mencari-cari di dataran
tinggi Dieng atau di pegunungan Krapyak
sebelah timur Lasem yang terlalu dekat
laut, di daerah Grobogan sendiri terdapat
perbukitan Prawoto/Prawata, perbukitan
itu berada di utara Purwodadi dan di
tenggara Demak sekarang. Prawoto
tentunya berasal dari kata Sansekerta
pawitra yang artinya bersih, bebas dari
bahaya/kutukan, suci, dan keramat
(Zoetmulder 1995, 2: 799). Perbukitan Prawoto
Agama di Ho-ling (Ha-ling)
• Berita-berita Cina menyatakan bahwa di Ho-ling berkembang agama Buddha Hinayana yang
berbeda dengan ajaran agama Buddha Mahayana. Ratu Shi-mo adalah pemeluk Buddha Hinayana,
sehingga terdapat aturan dilarang menyentuh barang yang bukan miliknya. Aturan itu dilanggar
oleh sang putra mahkota.
• Perbedaan prinsipil sebenarnya terletak pada 2 hal, yaitu: (a) dalam Buddha Hinayana tidak dikenal
adanya pantheon yang dikenal hanyalah Siddharta Gautama, dalam Mahayana dikenal adanya
masyarakat dewa, dan (b) tujuan akhir Buddha Therawada adalah untuk memasuki alam nirwana
dan tidak lagi berputar dalam lingkaran hidup samsara, sedangkan dalam Buddha Mahayana tujuan
akhirnya adalah menjadi Buddha untuk menolong orang lain menjalankan Buddhadharma.
• Dalam tahun 424 M, datanglah ke Cho-po pendeta Gunawarman, Ketika musuh menyerang
kerajaan, raja meminta nasehat Gunawarman apakah tindakannya melawan musuh bertentangan
dengan hukum suci Buddhadharma. Jawab Gunawarman: ”adalah suatu kewajiban untuk
menumpas para pengacau”. Sang raja maju berperang dan akhirnya meraih kemenangan. Setelah
peristiwa itu ajaran agama Buddha menyebar dan diterima di seluruh kerajaan (Munoz 2009: 141—
142).
PERBEDAAN PENTING
BUDDHA HINAYANA DAN MAHAYANA
MAHAYANA HINAYANA
• Arti “kendaraan besar” • Arti “kendaraan kecil”
• Manusia terlibat dengan • Manusia sebagai pribadi
sesamanya. • Tujuan akhir mencapai
• Tujuan akhir menjadi Nirvana Arhat (Sunyata)
Bhoddhisattva • Hanya mengenal Siddharta
• Mengenal pantheon Gautama
(masyarakat dewa) • Sangha: adalah para Bhiksu
• Sangha: seluruh pemeluk (Biku) dan Bhiksuni (Bikuni)
(bhiksu/ni + umat biasa) saja.
• Menyertakan doa dan • Membatasi doa dalam meditasi
permohonan dalam meditasi • Konservatif
• Liberal
Pergeseran Buddha Hinayana Mahayana

• Sejatinya Bhiksu Gunawarman yang membawa angin perubahan dalam


penyebaran agama Buddha. Semula agama Buddha Therawada yang lembut
berkembang di Cho-po, namun secara pragmatis dan adanya keperluan
mendesak untuk berkembang lebih dinamis dalam upaya menghadapi
perkembangan Hindu Trimurti, disambutlah ajaran agama Buddha Mahayana
yang dianggap lebih sesuai dalam menjalankan pemerintahan kerajaan.
• Agama Buddha Mahayana kemudian berkembang secara pesat di Jawa,
dipeluk meluas dan bertahan hingga abad ke-10 di Jawa bagian tengah.
Kerajaan Kalingan tidak diketahui lagi beritanya, mungkin keluarga raja
Kalingan kemudian bersatu dengan Sailendrawangsa yang juga
mengembangkan Buddha Mahayana, malah mungkin saja Sailendrawangsa
itu sebenarnya penerus dari Kerajaan Ho-ling/Ha-ling/Ka-ling.
Candi Bototumpang, Desa Karangsari, Kecamatan
Rowosari, Kabupaten Kendal

• Pertama kali dilaporkan 2018, survey permukaan 2019, penggalian


arkeologi tahun 2022
• Bahan bata, berukuran besar disusun teratur.
• Ukuran bangunan tersisa 13 x 13 m, atau 14 x 14 m, celah pintu di sisi
timur, struktur di tengah candi 3,6 x 3,6 m.
• Kronologi relatif abad ke-7 M, mungkin sezaman dengan percandian
Batujaya di Karawang (era Tarumanagara).
• Diduga kompleks percandian Bauddha lengkap dengan bangunan
vihara dan dharmmasalanya.
Ekskavasi Candi Bototumpang
Hasil penggalian Candi
Bototumpang, Kendal
Ornamen bergerigi di
Candi Blandongan, Batujaya

Ornamen bergerigi di
Candi Bototumpang
Gugusan candi Batujaya: Jejak awal Buddha di Jawa
Candi Jiwa: Stupa utama di Batujaya
Sekedar Perbandingan

BATUJAYA BOTOTUMPANG
• Kawasan pantai Jawa bagian barat • Kawasan pantai Jawa bagian tengah
• Bahan dari bata • Bahan dari bata
• Kronologi relatif: Abad ke-5—7 M • Kronologi relatif: Abad ke-5—7 M
• Terdapat ornamen bergerigi • Terdapat ornamen bergerigi
• Dihubungkan dengan Kerajaan • Dapat dihubungkan dengan Kerajaan
Tarumanagara (dari prasastinya
Ho-ling (Berita Cina senantiasa
berkembang Veda-brahmana, berita Cina
menyebutkan adanya masyarakat menyatakan masyarakat Ho-ling
Bauddha pemeluk agama Buddha)
• Candi Jiwa adalah bagian dasar Stupa • Candi Bototumpang runtuhan Stupa
REKONSTRUKSI yasthi
BENTUK C.JIWA
harmika

anda

medhi (lapik)
Rekonstruksi bentuk C.Bototumpang

yasthi
dharmmasala

harmika

anda

medhi (lapik)
Kawasan percandian yang
relatif luas
epilog
• Data tentang Kerajaan Ho-ling sangat terbatas.
• Kerajaan Ho-ling masih tergolong kerajaan proto-sejarah, karena data
yang terbatas tersebut.
• Kajian tentang Ho-ling masih sangat terbuka dan dapat diteruskan,
terutama menelisik peninggalan arkeologisnya.
• Para peminat sejarah/arkeologi yang memperhatikan Ho-ling dapat
membuat catatan dan dokumentasi terhadap apapun yang
diasumsikan dihubungkan dengan Ho-ling.
• Kata akhir: Ho-ling pernah berkembang di wilayah Jawa tengah bagian
utara antara abad ke-5—awal abad ke-8.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai