Anda di halaman 1dari 170

Catatan Usang Seorang Juru Tulis

Oleh : Trides

Maryam Chilvalry

1 | Maryam Chilvalry

Pengantar Redaksi
Trides, anak dari seorang Legiun Veteran RI, lahir di Lasi, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat tahun 1965. Trides seorang sarjana pendidikan, mantan Kepala Sekolah Dasar, dan peminat sejarah. Di Bukittinggi dia juga dikenal sebagai budayawan dan wartawan setempat yang produktif menulis. Maryam Chilvaldry, sebuah nama yang pemberian orangtuanya empat puluh tahun lalu, merupakan satu bagian Trilogi Catatan Usang Sang Juru Tulis. Cerita tentang Perang Kamang tahun 1926, menentang pemberlakuan Belasting oleh Pemerintah Belanda 1908 Novel sejarah ini terdiri dari 25 bab. Guna meringankan pembaca dari pembukaan halaman blog, Redaksi (Cantigi) akan membagi-baginya lagi secara porposional dengan tidak mengurangi isinya. Novel karangan Trides ini akan dimuat secara bersambung. Redaksi merasa perlu memuat Pengantar oleh Trides, sebab musabab dia mengarang novel ini dan usaha usaha yang ia lakukan merangkai sejarah dalam bentuk fiksi.

Selamat membaca,

2 | Maryam Chilvalry

Pengantar dari Penulis

Wahai Ananda! Simaklah apa yang telah diperbuat leluhurmu. Berbuatlah kini & nanti untuk dunia & akhiratmu Dan Muliakanlah Ibumu ! Karena sorgamu atas keikhlasannya.

[Ttd, Ayahanda]

Sumber : http://rizalbustami.blogspot.com/search/label/NOVEL

3 | Maryam Chilvalry

Pengantar
Bukan sekedar bertanam tebu di bibir saja atas ungkapan Sang Proklamator RI, Ir. Soekarno yang dikutipnya dari ucapan funding father Amerika Serikat, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya . Pertanyaan kita, bagaimana kita dapat menghargai sejarah perjuangan bangsa pada masa lalu ? Dalam hal menghargai makna sejarah tentang masa lalu perjalanan bangsa ini adalah melalui pengkonstruksian kembali pilar-pilar sejarah pada setiap periodenya. Merekonstruksi kembali fakta-fakta sejarah masa lalu itu tidak hanya saja diaktualisasikan dalam bentuk penulisan sejarah secara ilmiah, malainkan dalam bentuk pengkisahan yang dikemas dalam penulisan non fiksi. Karena non fiksi adalah fakta-fakta dan data-data yang dirangkai dalam bentuk sajian sastra. Maka pada buku yang terkembang di tangan anda ini adalah bahagian pertama dari Catatan Usang Sang Juru Tulis. Tema ini tidak lain adalah berangkat dari cerita rakyat Sumatera Barat yang telah menjadi bahan kajian para sejarawan dan sebahagian besar telah diaktualisasikan dalam bentuk karya ilmiah dengan berbagai judul dan periodesasi tentang sejarah perlawanan rakyat Sumatera Barat dalam menentang kolonialisme Belanda dari berbagai dimensi, sudut pandang penelitiannya. Diantaranya adalah Perlawanan Rakyat Menentang Pemberlakuan Belasting 1908, Pemberontakan Kamang 1926 dan Revolusi Fisik Pasca Proklamasi. Setelah kita telusuri mata rantai sejarah perlawanan rakyat terhadap kolonialis di Sumatera Barat tersebut akan terlihatlah seutas benang merah yang ditandai dengan setiap akhir periodesasi perlawanan rakyat tersebut selalu menyisakan benih perlawanan untuk periode berikutnya, meskipun hal itu bukanlah suatu kesengajaan dan dipersiapkan pada masa-masa sebelumnya. Namun, waktulah sesunggunhnya yang telah berperan dan rangkaian fakta lah yang berkisah dan menyambung mata rantai sejarah perlawanan rakyat tersebut. Kedua, atas pemikiran di atas maka fakta fakta sejarah Perang Kamang 1908 yang dirangkai dalam novel sejarah Maryam Chivalry yang sedang terkapar di tangan pembaca ini yang dikenal juga dengan Perang Belasting 1908 itu ditulis bukan dalam bentuk penulisan sejarah (ilmiah). Tujuan dari penyajian dalam bentuk novel sejarah ini adalah untuk memikat minat membacanya sehingga fakta dan pesan sejarah itu sampai dan menjadi lebih bermakna kepada yang bukan sejarawan semata. Umumnya rakyat di Sumatera Barat pada waktu itu (1908), terutama di Kamang dan Mangopoh tidak bersedia menerima perlakuan sepihak oleh pemerintah Belanda, yang secara sewenang-wenang melanggar rasa keadilan rakyat. Rakyat

4 | Maryam Chilvalry

tidak bersedia untuk terus menerus dimelaratkan oleh keadaan perekonomianya dengan suatu stelsel peraturan, perpajakan yang berat dan tak beralasan. Walaupun Peristiwa Kamang dan Mangopoh tahun 1908 bersifat lokal dan daerah, tetapi hal itu adalah sekedar ukuran geografis saja, karena jiwa yang mendukungnya adalah jiwa nasionalis karena ia dengan perlawanan duhulu itu menunjukkan watak anti kolonialismenya anti imperealismenya. Malah dapat dikatakan merupakan bentuk perlawanan pertama kalinya oleh rakyat terhadap bentuk eksplotasi dan belasting, setidaknya untuk ukuran Minangkabau (Sumatera Barat) saat itu. Watak anti kolonialisme ini, setidaknya untuk pertama kali tertuang secara tertulis dalam kesepakatan tokoh-tokoh masyarakat (pimpinan adat, ulama dan pemerintahan nagari) di Solok dengan Gubernur Thomas Stanfort Raffles pada 20 Juli 1818. Pernyataan politik yang berisikan anti kolonialisme Belanda itu sengaja untuk disampaikan kepada Raja Inggris guna ditindak lanjuti, sehubungan dengan penyerahan kembali Hindia-Belanda oleh Inggris kepada Belanda pada tahun 1916. Karena permintaan orang Minangkabau kepada Inggris tidak digubris, maka dua tahun kemudian (1820) meletuslah Perang Paderi yang pada masa akhirnya dapat kita artikan sebagai Perang Minangkabau melawan pemerintahan Belanda. Perang Kamang 1908 adalah mata rantai dari perang Paderi. Dalam anggapan penduduk Minangkabau perlawanan Paderi terhadap pemerintah Belanda belumlah selesai, karena penangkapan Tuanku Imam Bonjol (Peto Syarif) sebagai pimpinan Paderi waktu itu adalah karena kecurangan Belanda akibat tidak kuatnya lagi menanggung beban perang untuk memusnahkan perlawanan rakyat Minangkabau tersebut, dan bahkan beberapa perlawanan rakyat di nusantara ini. Malahan, kalau kita melihat di seluruh panggung sejarah Asia, maka permulaan abad ke-20 itu dan khususnya tahun 1908, adalah abad pergolakan rakyat di Turky, Afganistan, India, Mesir dan Rakyat Tiongkok yang mulai menentang penjajahan Eropa Barat. Maka peristiwa Kamang dan Mangopoh 1908 itu, dan lain peristiwa lagi di seluruh Indonesia pada waktu bersamaan menunjukkan bahwa rakyat Indonesia tidak mau kalah dalam pergolakannya melawan penajajahan itu. Hal ini adalah bukti senyata-nyatanya rakyat sedang mengalami zaman rebirth of the Indonesia nation, zaman renaissance atau zaman kebangunan kembali. Dari berbagai literatur sejarah Perang Kamang pada 15 Juni 1908 itu, yang kita baca dikemudian hari, ternyata ditemui data sejarah tentang keterlibatan kaum Siti Hawa secara totalitas sebagaimana layaknya kaum Adam dalam peperangan itu. Sehingga semakin memperkuat ide penulisan kembali tentang Sejarah Perang Kamang 1908 sebagai sejarah lokal yang tidak kalah momentumnya terhadap kebijakan pemerintah Belanda, dan kemudian keinginan untuk mengungkapkannya

5 | Maryam Chilvalry

dalam bentuk novel sejarah ini semakin mencuat obsesi.

menjadi sebuah gagasan dan

Agaknya, selama ini para pengarang dan peneliti sejarah hanya terfokus kepada pengkajian pada sosok peperangan tersebut dalam momen semangat dan jiwa patriotis orang Luhak Agam dan Minangkabau secara umum, namun penggalian akan emansipasi kaum perempuan dalam semangat patriotik itu kuranglah dikisahkan. Kalaulah hal ini sebagai pesan moral dalam semaraknya pergunjingan akan issu global emansipasi dan gender apakah tidak sebaiknya juga dipaparkan tentang karakter orang Minangkabau yang telah lebih awal memperkecil jurang tentang peran laki-laki dan perempuan dalam berbagai kesempatan, dan bahkan dalam segala bentuk perjuangan hidup. Dalam alur cerita, novel sejarah ini, kaum Hawa dalam pengertiannya bukanlah semata sebagai wanita (pemuas nafsu), tetapi lebih memberi makna sebagai seorang perempuan, seorang ibu (pertiwi) dan Bundo di Minangkabau. Cerita novel sejarah - ini bisa menepis keengganan generasi muda, baik siswa maupun mahasiswa akan daya pikatnya untuk mengetahui makna historis tentang masa lalu zaman leluhurnya sendiri dalam semangat nasionalis. Maka, dalam kisah ini peran kaum perempuan dari nagari Kamang ini ditokohkan oleh Siti Maryam, Siti Aisyah dan Siti Anisyah. Nama-nama itu adalah fakta. Ya, karena itulah nama-nama srikandi yang sangat berperan semenjak jauh hari sebelum dan pada saat meletusnya Perang Kamang 1908 menjadi perhatian tersendiri untuk dikisahkan dalam buku ini. Mereka adalah Sirkandi-srikandi dari Tanah Kamang disamping pejuang perempuan lainya yang kita temukan di pelosok Minangkabau. Siti Maryam, gadis perawan yang sedang berangkat dewasa, yang berasal dari Kampung Hanguih Kumpulan-Bonjol. Pada mulanya Siti Maryam hanya ingin belajar agama dan ilmu ilmu lainya kepada Haji Abdul Manan di Kamang. Namun dalam perjalannan hidupnya ternyata dia turut menceburkan diri ke kancah konflik dan peperangan, turut menyinsingkan lengan bajunya pada malam pembantaian 15 Juni 1908 di Kamang itu. Akan tetapi sebelumnya dia juga telah berperan aktif sebagai tenaga propaganda yang memprovokasi masyarakat bersama Siti Aisyah dan Siti Anisyah. Bahkan dia sering menjalankan misi dakwah anti Belasting dan anti Belanda ke seantero daerah, seperti ke Pasaman, Lubuk Basung, Mangopoh dan Pariaman. Cuma saja setelah Perang Mangopoh tanggal 16 Juli 1908 namanya tidak terngiang lagi, sehingga kita pun kehilangan jejak akan dirinya dan perjuangannya. Dan dari selentingan kisah perang Kamang dan Mangopoh tahun 1908 itu, ternyata si 6 | Maryam Chilvalry

perawan, Siti Maryam turut gugur dalam pertempuran di Mangopoh pada malam 16 Juni 1908. Pada waktu-waktu melintasi kampung dan pedusunan dalam kunjungannya ke beberapa daerah tujuan guna menjalankan misi propagandanya, Siti Maryam selalu menyempatkan pula untuk membantu pekerjaan-pekerjaan penduduk kampung di sepanjang perjalanannya, seperti manggaro, mangisai dan ma-angin padi atau pekerjaan wanita lainnya yang mungkin di kerjakan. Kesemua bantuannya itu dilakukannya dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih, tandanya berat sepikul ringan sejinjing sebagaimana yang terkandung dalam nilai-nilai budaya leluhurnya. Yang menariknya lagi perjalanan jauhnya itu ditempuhnya dengan duduk berayun di atas pelana yang bertengger di punggung seekor kuda betina. Meskipun plot cerita tentang kemahirannya menunggangi kuda, dan berbagai bantuan fisik dan mental yang dia sumbangkan untuk rakyat yang membutuhkan tidak ditampilkan dalam kisah ini, namun setidaknya telah menempatkannya bagaikan seorang Chivalry yang tegar dalam setiap medan dan situasi. Chivalry, bukanlah sebuah gelaran di akhir nama, adalah sebuah kata yang mengandung pengertian setara dengan satria atau srikandi sejati; berani, kuat dan seorang pejuang yang tangguh yang murah hati kepada sesama dan selalu melindungi yang lemah, setia kepada majikannya serta selalu berbakti kepada Tuhan. Penempatan kata Chivalry pada karya ini tidak lebih memperlihatkan kesetaraan posisi wanita Minangkabau, adalah juga memiliki sifat dan karakter yang sama dan bukan saja bangsa Eropa yang memiliki superioritas dalam semangat patriotrisme untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sehingga disandingkanlah kata Perancis kuno itu dengan nama-nama seorang pejuang wanita Minangkabau yang keberadaannya cukup unik, setidaknya di negeri Kamang, sehingga menjadi Maryam Chivalry, sebagai lokus pengkisahan dari serangkain Catatan Usang Sang Juru Tulis ini. Lain halnya dengan Siti Aisyah dan Siti Anisyah. Siti Aisyah, perempuan muda nan molek bersuamikan M. Saleh Dt. Rajo Pangulu berasal dari Kamang Hilir sekarang, tapi belum mempunyai anak. Dan Siti Anisyah yang masih muda sudah punya anak satu orang, Ramaya namanya dari hasil perkawinannya dengan St. Nan Basikek. Siti Aisyah dan Siti Anisyah adalah dua orang sosok perempuan (Bundo) yang turut berkuah darah dalam sebuah pertempuran rakyat Kamang Luhak Agam dalam menentang stelsel Penjajahan Belanda, terutama sekali setelah Belanda melancarkan peraturan tentang pembayaran Balasting (pajak langsung) dan rodi pada tahun 1908, pengganti peraturan Tanaman Paksa (jenis kopi) yang telah dilancarkan Belanda semenjak zaman Paderi. 7 | Maryam Chilvalry

Namun dalam lembaran sejarah perjuangan rakyat Sumatera Barat menentang penjajahan, nama Siti Aisyah dan Siti Anisyah tidak obahnya dengan nasib yang bersua pada diri Siti Maryam, hanyalah sebaris kalimat dalam mengisi halaman sejarah itu. Akan tetapi apabila kita coba mencari sebuah makna dan nilai tiadalah dapat disetarakan dengan siapa pun karena pada zaman kegelapan dunia pendidikan sekuler, pada zaman yang masih berlampu damar tondeh sebag ai penerang malam di rumah gadang dan pada saat kekangan adat istiadat Minangkabau masih kental dari pada zaman sekarang, ternyata tampillah beberapa orang anak cucu Siti Hawa memegang sebuah kalewang (rudus) di malam buta menyibakkan kabut mesiu, menghadang timah panas dan mentulikan pendengaran akan gonggongan senjata Belanda yang tergolong amat modern pada waktu itu. Memang, Tigo Sejoli (Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam) ini serupa tapi tak sama dengan Siti Mangopoh, walau pun tidak memimpin sebuah pasukan yang oleh Belanda dikatakan sebagai pemberontak itu, namun peran yang mereka mainkan sangatlah besar dan sangat berarti. Hal ini tidak saja sebagai Bundo yang turut kemedan laga namun jauh hari sebelumnya telah giat sebagai badan propaganda dari rumah ke rumah, bahkan di sumur tepian mandi pun agitasi dalam menanamkan semangat juang terhadap penjajah Belanda mereka lakoni, dan sekaligus mempersipakan diri secara matang pun mereka lakukan seperti memperdalam ilmu silat, ilmu kebatinan berupa ilmu kebal dan peringan tubuh dan termasuk nantinya ilmu tasauf yang sering juga disebut dengan ilmu akhirat. Kenyataannya, tidak sedikit darah Belanda yang mengalir di pedangnya sebagai bukti seorang srikandi yang benar -benar tangkas, berpencak dengan ilmu persilatan yang dia kuasai sambil meneriakkan kalimat takbir dan tahlil dalam kecamuk pedang disela-sela desingan peluru senjata serdadu L.C. Wetenenck. Mereka bukan sekedar berteriak Demi Agama akan tetapi lebih bermakna pula Demi Nusa dan Bangsa-nya kelak. Mereka benar-benar maju ke medan laga yang tak kalah semangatnya dari suami suaminya yang tercinta, meskipun timah panas serdadu marsose menembus dada dan kepalanya beberapa kali untuk mengakhiri perlawanannya. Siti Aisyah meninggal tersungkur di atas pematang sawah yang disusul oleh suaminya M. Saleh Dt. Rajo Pangulu, semenatara Siti Anisyah terbunuh saat berupaya menebus darah Siti Aisyah. Tak terpikirkan olehnya dengan siapa anaknya kelak diasuh dan dibesarkan. Bukankah anak semata wayang Ramaya adalah sebagai pengobat hati pelerai demam ?. Akhirnya suaminya, St. Sikek pun tersungkur di sisi tubuh istrinya yang dia cinta itu.

8 | Maryam Chilvalry

Itulah akhir sebuah episode dalam kecamuk masa disebuah hamparan sawah di Kampung Tangah-Kamang sampai menjelang subuh 16 Juni 1908. Catatan usang yang dimaksudkan disini adalah berupa pengaktualisasian, meskipun tidak dikatakan sebuah rekonstruksi dari fakta fakta sejarah yang berserakan dan belum menjadi kajian sejarah murni yang utuh dalam episode Perang Kamang 1908 tersebut, dan bahkan termasuk beberpa fakta yang belum mencuat dalam karyakarya sejarawan sebelumnya. Maka, pengungkapannya pun di perankan oleh seorang jurutulis yang larek, berangkat ke negeri orang. Dalam misi penyelamatan diri itulah kisah ini ditulis kembali. Sosok si Juru Tulis dalam novel ini adalah tidak lebih dari kamuflase dari sebuah icon akan upaya-upaya seorang pecinta sejarah untuk pengaktualisasian kembali dari sejarah yang tercecer yang mungkin saja luput dari kajian dan penelitian para ahli sebelumnya, dan atau sebagai pelengkap dari kisah-kisah yang telah ada sebelumnya. Sedangkan larek dapat pula diartikan disini tidak lain adalah sekedar gambaran akan jaraknya data faktual (kejadian) Perang Kamang 1908 itu dengan masa penulis merangkainya dalam pengkisahan ini, pada saat ini. Ibarat sebuah lokomotif, maka jalan cerita ini hanyalah sekedar pembawa gerbong gorbong fakta sejarah tentang kisah heroik di sebuah sudut negeri di Minangkabau ini pada tengah malam buta, semangat patriotis yang dilandasi oleh nasionalisme yang dalam dari para pejuang kita itu tidak menghiraukan darahnya telah kering membasahi pertiwi demi nusa dan agama. Tinggal lagi bagaimana kita menghargai darah (leluhur) pejuang yang taserak dalam kenikmatan kemerdekaan kita pada saat sekarang ini, setidaknya sebagai kearifan lokal dalam khasanah perjuangan anak bangsa untuk menengakkan harga diri dan gagasan kemandiriannya serta martabat bangsa dan kebangsaan. Bahkan melalui novel ini pula kita akan menemukan pula sederetan nilai-nilai dan dakwah Islam yang bersumberkan dari firman firman Allah, Swt dan sabda Rasulullah sebagaimana yang dikutipkan dari al-Quran kitabullah dan para perawi hadist (shahih) yang berhubungan dengan cinta, arti dan makna kebangsaan dan perjuangan untuk mencapai kedaulatan, kemerdekaan yang terkendali oleh nilainilai yang islami dan budaya ketimuran, khususnya dalam persepektif keMinangkabau-an. Ide itu semakin lama semakin mengkristalisasi, dan menemukan kerangkanya dan memulai menorehkan fakta dan khayal untuk novel yang berada di tangan pembaca saat ini, setelah dikejutkan oleh sepotong kalimat seorang pujangga Sir Philip Sidney yang dinukilkan kembali oleh Richard E. Rubenstein. Katanya Wahai tolol ! kata suara batin kepadaku, lihatlah ke dalam hatimu dan menulislah. Adalah patut pula penulis menyampaikan terimakasih kepada kedua tokoh kawakan dunia tersebut.

9 | Maryam Chilvalry

Terimakasih, penulis

10 | Maryam Chilvalry

Ucapan Terimakasih
Dalam kesempatan ini, untuk pertama sekali penulis mengaturkan rasa terimakasih yang sangat dalam kepada Bapak. H. Ibrahim Kesah Angku (I.K.A) Payuang Ameh dan Bapak Drs. H. Djazuli Dt. Gampo Marajo (keduanya sesepuh Kamang yang berdomisili di kota Bukittinggi). Karena berkat kedua orang tua inilah beberapa literatur dan diskusi seputar Perang Kamang 1908 itu penulis dapatkan dan dikembangkan. Dan pada suatu ketika hasil diskusi dan wawancara yang diramu dengan berbagai literatur penulis menemukan ide untuk merekonstruksikan kembali sejarah yang terpendam itu dalam bentuk novel sejarah. Terimakasih yang tidak terhingga pun penulis sampaikan kepada mantan Gubernur Sumatera Barat terpilih (Periode 2005-2010) H. Gamawan Fauzi (Mendagri), SH, MM Dt. Rajo Nan Sati, karena perhatian beliau terhadap para penulis lokal dan terutama karena bersama beliau mendapat kesempatan mengunjungi makam Pahlawan Perang Kamang 1908 tersebut pada saat Kampanye Pilkada Gubernur Sumatera Barat tahun 2005 lalu di Kamang Hilir sekarang. Terimakasih penulis pun dilayangkan buat Drs. Cecep Trisnaldi, staf Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatera Barat di Padang, yang telah menyumbangkan foto-foto kuno bermuatan historis di Sumatera Barat dari dalam hardisk komputernya. Dan terkhusus pula rasa terimakasih penulis disampaikan kepada seorang sahabat Asra Fery Sabri, yang telah turut mempreteli draft novel ini dan memberikan beberapa literatur, saran dan kritiknya sebagai pertimbangan lebih lanjut demi kematangan penulisan novel ini. Salam maaf dan terimakasih penulis kepada seluruh nara sumber dan kepada pihak keluarga pejuang perang Kamang 1908 itu yang tidak dapat disebutkan nama dan dipanggilkan gelarnya satu persatu, karena mungkin saja banyak hal yang kurang berkenan untuk menerima jalan cerita ini, tetapi bukanlah itu yang penulis maksudkan namun adalah sekedar penyampai fakta sejarah dalam bentuk kisah novel. Akhirnya terimaksih penulis kepada istri dan anak-anak yang tercinta, karena kearifannya dengan selalu menyiapkan kopi panggang pada saat-saat penulis sedang berkonsentrasi dalam mengemas naskah ini. Dan semoga arwah Ayah-Bunda pun ditempatkan oleh Allah, Swt pada tempat yang mulia.-

Wassalam, Penulis !

11 | Maryam Chilvalry

1. Larek

DALAM perjalananku ke rantau Tanah Semenanjung, tepatnya aku mensunyikan diri di Saremban, namun sebelumnya saya coba untuk bersembunyi di Sungai Ujong jua adanya, sebagaimana yang disarankan sang inspiratorku Haji Abdul Manan guna melengkapi tarikh yang aku susun setelah kemelut Kamang Berdarah 1908 itu. Pada larekku, kepergian meninggalkan kampung ke negeri orang karena sesuatu hal yang tidak memungkinkan lagi hidup dikampung halaman. Di rantau inilah semua kisah Perang Kamang 1908 aku lengkapi dengan berbagai kejadian, termasuk beberapa kebijakan pemerintah Belanda dan pengaruhnya di Minangkabau, baik sebelum dan sesudah perang Kamang tersebut. Dan sedikit pengetahuanku tentang kolonialisasi, imperealisasi ataupun imperium bangsa Barat di tanah leluhur kita telah turut pula mengisi relung-relung larek-ku. Larek dari kampung halaman bermula seusai Kamang Berdarah pada tengah malam 15 Juni 1908 dan 16 Juni 1908 di Mangopoh yang telah menamatkan riwayat perjuangan para Srikandi. Seusai Kamang dan Mangopoh berkuah darah, selama lima hari aku bersembunyi di hutan Bukit Batu Bajak dipinggir kampungku dan bertepian dengan negeri Suliki dan Suayan Sungai Balantiak di Luhak Limo Puluah Koto. Dari persembunyianku di hutan Bukit Batu Bajak itu, komunikasi kami ke perkampungan masih tetap ada dengan bantuan seorang petani peladang dan bahkan dari dia aku mencoba menaksir kembali berapa jumlah korban perang ditengah malam itu. Tapi setelah Mak Kari Mudo menyampaikan pesan Mak Garang Datuak Palindih, seorang Laras di Kamang Hilir yang berpihak kepada perjuangan rakyat dan

12 | Maryam Chilvalry

memberiku uang sekedarnya untuk bekalku melarikan diri barulah aku menyeberang melintasi Bukit Barisan itu. Kata Mak Datuak Garang kepadaku, Mak Kari Mudo menirukan pesan Mak Datuak Garang kamu harus secepatnya larek melarikan diri dari kampung ini, upayakan kamu selamat untuk menyeberang ke Malaya. Dan ini sedikit uang bekalmu dalam perjalanan menuju rantaumu. Uang ini juga diberikan oleh Mak Dt. Garang, katanya padaku. Dalam masalah perang ini dan apapun yang terjadi pada kami biarlah kami yang mempertanggung jawabkannya di meja hijau Ulando nanti. Dan mengenai pejuang-pejuang kita yang selamat jangan pulalah kamu hiraukan. Tapi yang perlu kamu risaukan adalah risalah perang ini supaya sampai kepada anak cucu kita nantinya, terutama pada zaman orang tidak lagi peduli atau memperdulikan hakikat perang Kamang ini dalam mengusir penjajah dan pengkafiran oleh bangsa asing di negeri yang berbudaya serumpun Melayu ini, sambung Mak Kari Mudo untuk terakhir kalinya kepadaku. Apakah mamak dan mak Datuak akan menyerahkan diri ?, tanyaku kepada beliau. Agaknya, seperti itu. Dari pada dunsanak, anak-kemenakan terutama yang perempuan diancam pihak Ulando terus-menerus, mungkin lebih baik kami menyerah saja, awab beliau. Sejak itu aku pun mulai menapak perjalanan rantauku dengan berbagai penyamaran yang aku lakukan. Pada sore harinya mulailah akau mendaki Bukit Barisan untuk turun di seberangnya menuju kampung Talang Anau dan Pandan Gadang di Suliki. Dari Suliki aku menyisir ke arah Mahat dan seterusnya mengikuti aliran Batang Mahat yang bermuara di Batang Kampar Kanan. Dengan biduk yang dipergunakan rakyat di kampung itu aku menelusuri Batang Kampar menuju Sungai Siak sebagai seorang pedagang yang membawa hasil bumi dan sedikit candu, meskipun haram tapi adalah untuk berjaga-jaga kalau ada pemeriksaan maka dengan memberikan secumut candu kepada petugas sudah dapat melepaskan diri dari sederetan pertanyaan. Karena kala itu pemeriksaan terhadap siapa saja keluar masuk sungai Siak sudah mulai diperketat sebagai akibat dari perlawanan anti belasting itu. Selat Malaka aku lintasi dengan menaiki sebuah tongkang, sejenis perahu kayu ukuran agak besar yang didorong oleh angin guna membawa barang-barang dagangan. Di atas sebuah Tongkang yang berbentuk agak persegi panjang itu dan di sela-sela tumpukan kulit manis dan gambir aku duduk dibawah sapaan angin laut di Selat Malaka yang bertiup lembut, yang membuat mataku lemas dan rasa mengantuk pun menimpa kedua pelupuk mataku. Rasa mengantukku berperang antara khayal dan fakta yang aku hadapi di negeri orang nantinya. 13 | Maryam Chilvalry

Tapi itu tak berlangsung lama, persis menjelang pertengahan laut, awan hitam menggulung seakan menyapu kami yang terapung-apung di laut itu. Tapi si Tekong yang sudah berpengalaman, malah memberikan obat penawar atas kecemasan kami yang berjumlah tujuh orang menumpang tongkangnya itu. Tekong mencoba memberikan penjelasan tentang bentuk-bentuk awan, arah angin dan tipe hembusan angin mana yang berbahaya dan sebagainya. Setelah angin agak reda, badai sesaat sudah surut maka kami pun sudah mulai tenang kembali. Pada saat itu aku pun mencari posisi yang agak aman, duduk menyendiri menatap matahari yang sudah hampir memperlihatkan jingga di ufuk Barat. Lama-lama dalam lamunanku muncul segala pengetahuanku tentang peranan Selat Melaka itu semenjak zaman purba dahulu kala, dan lamunan itu terus menjalari benak yang berada di bawah ubun-ubunku ke masa-masa berikutnya. Apalagi pada saat Selat Malaka pernah menjdi rebutan antara Peranggi di Timur (Malaka), Aceh di Barat dan Demak di Selatan. Meskipun akhirnya Demak dan Aceh beserta daerah Melayu lainnya termasuk Bugis bergabung untuk menghantam Peranggi di Melaka, namun gonggongan meriam-meriam Peranggi itu masih kuat menyalak untuk mendesak pasukan Barat dan Selatan yang dibantu oleh pasukan Bugis-Makasar, surut kembali ke keratonnya masing-masing guna menghitung hutang perangnya kepada rakyatnya masing-masing. Perang itu tentu terjadi di laut ini. Di Laut Selat Malaka ini. Kebencian dan kekesalanku semakin memuncak pada saat aku menyaksikan langsung di negeri Malaka bahwa perairan Selat Malaka semakin menjadi rebutan bangsa asing yang silih berganti antara imperium Peranggi, Ulando dan Anggarih. Mereka adalah bangsa yang rakus yang tidak mengenal peri kebangsaan orang lain, dan seenaknya menghujat bangsa pribumi bahwa sejengkal tanah yang telah didudukinya itu adalah tanah kerajaannya untuk kejayaan dan kemegahan gerejanya dalam prinsip kolonialis dan imperealisnya yang terkenal dengan 3-G (Gold, Glory dan Gospel) itu. Meskipun hanya sejengkal tali kailku tentang sejarah masa lalu nusantaraku ini lantaran aku tidak berkesempatan untuk melanjutkan perbekalanku di sekolah yang sedianya untuk anak-raja-raja itu, akan tetapi seteguk pengetahuanku telah membuat mataku terbuka tentang kedahsyatan penjajah di negeriku. Misalnya saja sesudah perang Kamang dan Mangopoh 1908, maka pada tahun 1915 pemerintah Ulando mengeluarkan peraturan agraria yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak ditempati jatuh pada hukum pemerintah (Red: baca tanah negara), dengan sendirinya konsep tanah adat (ulayat) tidak diakui lagi. Begitulah sekelumit lamunanku sewaktu mengharungi Selat Malaka kebanggaan nusantara.

14 | Maryam Chilvalry

Sampailah aku di negeri yang dituju. Tidak lama berada di negeri jiran melalui sahabat dan karib kerabat Inyiak Manan di Sungai Ujong, dimana tempat aku ditampung aku dapatkan sebuah dokumen baru berupa laporan kontrolir Oud Agam kepada atasannya. Laporan L.C. Westenenck kepada Gubernur Jendral Ven Heutsz di Batavia melalui telegram tanggal 17 Juni 1908, kemudian disusul laporan Gubernur Sumatera Barat Heckler No. 1012 tanggal 25 Juni 1908. Adalah tidak mengurangi arti apabila aku kutipkan pada bahagian ini. Westenenck dan Heckler memberikan sebuah gambaran bahwa ... suasana malam pada saat terjadi pertempuran di Kamang 15 Juni 1908, seumpama satu malam dimana jurang antara ras manusia dengan segala kekuasaannya sudah tidak ada lagi, yang ada cuma kelompok kemarahan yang saling bertentangan di dalam diri manusia-manusia yang bertatapan dengan buasnya melalui kerlipan bintang bintang di langit. Siap untuk saling membunuh diantara kelompok yang bertentangan itu. Laporan L.C. Westenenck dan Gubernur Sumatera Barat Heckler tersebut terkesan meminta pembenaran atas tindakan yang diambilnya untuk menjalankan rodi dan belasting, meskipun banyak menelan korban dipihak prajuritnya pada malam 15 Juni 1908 dalam Pemberontakan Kamang 1908 yang lebih dikenal rakyat umum dengan sebutan Perang Kamang 1908 itu. Barangkali ini pulalah sebabnya pertimbangan Haji Abdul Manan mempercayai aku sebagai juru tulis yang kadang kala sebagai juru bicaranya. Apakah faktor ini pula yang membuat Siti Maryam, terpaut hatinya dan tergantung angan fikirannya padaku? Pertanyaan itu akhir -akhir ini sering pula menghisasi kegalauanku. Sering sosok Maryam membayangi kesendirianku, sering pula aku bertanya dalam hati, menyurat dalam bathin dalam kehanyutan khayalku pada orang yang aku cintai itu. Pada suatu petang, sewaktu aku telah bermukim di Bandar Saremban Negeri Sembilan kembali anganku melayang kepada gadisku, Siti Maryam. Maryam, dimana kau berada sekarang? Di hutan manakah mayatmu terkapar, atau di penjara manakah tubuhmu diusai dan diurai para pembesar atau sapir-sapir Ulando itu. Sehingga aku tidak lagi mendengar kabar berita darimu sampai saat ini ? Tahukah engkau, Maryam! Beginilah nasibku sebagai petualang kalam, sebagai seorang juru tulis, pada saatnya kini aku kehilangan jejakmu di belantara kegalauan. Untuk kamu ketahui, Maryam. Kini petualanganku telah berakhir. Kalamku telah patah, dawatku telah kering, dan lenteraku pun telah padam dalam penjelajahanku. Aku telah kehilangan jejak tentang kamu dan srikandi srikandi lainnya dari Tanah Kamang. Aku tak dapat lagi melanjutkan penjelajahanku dalam 15 | Maryam Chilvalry

pencaharian khayalku tentang dirimu, Maryam ! Cuma satu hal yang harus kamu ketahui, Maryam. Semoga saja catatan sebagai seorang juru tulis, tentang Perang Kamang 1908 yang aku kisahkan di atas kertas-kertas ini, dari tempat pengasinganku di tanah Semenanjung Malaya ini dapat sebagai petunjuk bagi orang orang sesudahku dalam pencahariannya, dihutan mana dan disungai apakah terbaringnya jasadmu wahai... gadisku, Siti Maryam. Wahai, gadisku!. Kamu bagaikan bintang yang datang di malam hari. Keganti damar salatin akan sejarah di negeri ini. Wahai, gadis Bonjol-ku !, dengan segala keterpaksaan aku jelang rantauku, larek dari kampung demi menjalan amanah terakhir untuk anak cucu kita. Sekali lagi untuk kamu ketahui Maryam, dilihat kepada untung dan perasaianku, maka tidak obahnya seperti tongkang yang aku tumpangi sewaktu menyeberangi Selat Malaka duhulu. Tongkang kecil muatan penuh serat muatan kulit lokan. Dagang miskin merantau jauh yang meratap sepanjang jalan. Wahai...!, srikandiku,! songsonglah aku si Juru Tulis di pintu sorgamu... ! Sorga yang telah dijanjikan Allah, Swt kepada orang-orang yang ikhlas berjuang. Berjuang di jalan-Nya ! Bamulo hati mako kaibo, badan di rantau bilo kapulangnyo. Walau kakariang aia di talago, rindu ka adik batambah dalam juo. Hari paneh cando kariak, mahampehnyo ka tapi juo. Lah putuih hati dek taragak, denai bajalan batambah jauah juo. Mandaki jalan ka Canduang, mamutuih jalan nan ka Lasi. Saketek sasa ka nan kanduang, denai digantuang indak batali. Bermula hati maka akan hiba, badan di rantau bila akan pulangnya. Walau akan kering air di telaga Rindu ke adik bertambah dalam jua. Hari panas seperti akan riak menghempas ke tepi juga. Lah putih hati karena teragak (rindu), awak berjalan bertambah jauh jua. Mendaki jalan ke Canduang, memutus jalan yang ke Lasi. Sedikit sesal kepada nan kandung, awak digantung tidak bertali.

16 | Maryam Chilvalry

2. Gadis Berkerudung

SURAU di Kamang dewasa itu tidak obahnya seperti suaru-surau lainnya di Minangkabau, sebagai centra pengalohan keagamaan, pemikiran dan sosial. Potensi perguruan di surau terletak pada hubungan organisasinya yang luas, melampaui batas-batas nagari, dan tidak terikat pada struktur pemerintahan nagari, laras dan pemerintah penjajahan. Murid muridnya memiliki mobilitas yang tinggi dan banyak berteman dengan anggota-anggota tarekat di seluruh daratan Minangkabau. Bagi Inyiak Manan dan suraunya di kampung Budi, keberlangsungan dan merupakan keberlanjutan dari siarnya tarekat Stariyyah dari pendahulunya yang bersuarau di kampung Bansa, yaitu Tuangku Nan Renceh. Tuanku Nan Renceh adalah jembatan untuk bangkitnya semangat anti penjajah yang dikhawatirkan ketika itu, karena sifat penjajah Belanda yang terkenal seperti Belanda meminta tanah. Kalau kekuasaannya semakin mengakar, maka persoalan pemurtadaan orang Minangkabau dengan upaya pengkristenannya akan berlangsung pula. Inilah akar kebangsaan yang berbasis agama.

17 | Maryam Chilvalry

Uniknya Surau Haji Abdul Manan itu termasyur bukan saja karena pendidikan Islam yang diajarkannya, melainkan juga karena di surau itu para murid dibekali dengan berbagai kepandaian duniawi, seperti keterampilan ilmu persilatan, permainan pedang, berkuda, ilmu meringankan tubuh, ilmu menghilang dan kebal senjata tajam pun ada. Jauh hari sebelum kepulangan Haji Abdul Manan dari rantaunya di Sungai Ujong Malaya, Haji Musa kakak Haji Abdul Manan merupakan ulama yang berpengaruh pula di Kamang. Dengan keberadaan Haji Abdul manan maka Haji Musa pun berperan aktif mendukung segala aktifitas adiknya itu. Pada suatu hari datanglah seorang perempuan muda yang elok rupa, cerdas pembawaannya dan fasih bicaranya serta sopan tutur katanya ke surau di kampung Budi menemui H. Abdul Manan. Gadis itu datang dari kampung Hanguih Bonjol. Assalamualaikum...! Salam pembuka meluncur dari mulut Siti Maryam yang jauh jauh datang dari kampungnya sewaktu menapakkan kakinya di Surau H. Abdul Manan. Waalaikum Salam Warahmatulllahi Wabarakatuh!. Serentak dan tanpa komando orang yang berada di atas surau. Surau kecil berada diantara pinggir ladang dan sawah. Untuk ke surau, melalui pematang sawah. Kiri kanan terdapat kolan ikan. Sebuah pelataran berbatu yang terdapat kolan kecil untuk membasuh kaki sebelum naik ke surau. Di sebelah kiri surau, terdapat gubuk kecil. Di gubuk itulah orang berudhu dan membuang hajat. Surau itu menghadap daratan sawah yang aman luas. Jauh dilayangkan pandangan, tampak gususan Bukit Barisan sbagai benteng alami yang melindungi kawasan itu. Di belakang surau, Gunung Marapi seakan mengawal perkampungan disitu. Uniknya surau itu dimasuki dari belakang belakang, melewati dapur. Setelah melewati lorong pendek, barulah berada di muka surau. Ruangan yang cukup lapang di surau itu untuk sholat dan mengaji. Disinilah ruangan inilah pengajian dan perilmuan dilaksanakan. Di samping ruangan ini, terdapat sebuah semacam rumah kecil, paviliun. Disinilah Tuanku Guru tempat istirahatnya. Setelah beberapa saat lamanya beristirahat melepaskan engahnya di tempat berkumpulnya kaum perempuan yang berada di belakang tabir pembatas saf lakilaki, Siti Maryam mencoba memberanikan diri maju ke arah mirab untuk menemui seseorang yang sedang bertelekan di atas sajadah dengan kaki yang menyimpuh ke arah kiri, sebagaimana duduk tawadu orang orang suluak. Namun, tiba-tiba dara manis ini mendapatkan semacam isyarat dari seorang pemuda yang sedikit lebih tua darinya yang duduk di deretan belakang mirab mencegah Maryam untuk maju ke tempat yang ditujunya. 18 | Maryam Chilvalry

Ssst...! Sambil menegakkan jari telunjuk kanan di depan bibirnya dan secepat itu pula kedua tangannya mengisyaratkan untuk duduk kembali, kemudian dengan suara berbisik pria ini berucap pelan. Jangan dulu menemui Tuangku. Nanti sajalah selesai shalat Isya menemui beliau. Sekarang Tuangku lagi beritiqaf . Melihat reflek dan mendengar ucapan pemuda yang berperawakan agak sempurna itu Siti Maryam tersurut, dan kembali berlalu ke tempatnya semula. Maryam berfikir sejenak, barangkali pemuda itu adalah tangan kanannya Inyiak Manan. Kalau tidak, kenapa dia berani memperingatkan saya sedangkan masih banyak pula pria lain dibarisan syaf itu. Bahkan saya sudah melewati dua saf tidak satupun yang menegor. Dialah yang aktif untuk menjaga adab adab di surau ini dalam hatinya. Tak lama antaranya terdengarlah suara tabuah (beduk) bertalu -talu menandakan waktu Magrib telah masuk. Orang-orang yang berada di atas suaru mulai turun untuk mengambil wuduk, Maryam pun tidak berdiam diri. Selesai shalat Magrib berjamaah para murid H. Abdul Manan duduk mengelompok di atas surau. Mereka duduk mengelompok sesuai dengan tingkatan kaji dan kitab yang dipelajarinya. Masing-masing kelompok didampingi dan dipandu oleh seorang Guru Tuo. Namun Maryam kebingungan, ke kelompok mana dia harus bergabung karena belum menjadi murid Tuangku. Maryam gelisah, gusar dan mau bertanya, apa yang mau ditanyakan dan kepada siapa seharusnya bertanya karena orangorang di suaru itu telah mengambil posisinya masing masing. Tak tahu apa yang harus ia lakukan. Seorang ibu yang masih muda mencoba menghampiri Maryam. Ibu muda berbisik kepada Maryam menyampaikan perintah Tuangku. Maryam, kamu dipanggil Tuangku ke kamarnya. Baliau ingin menanyakan maksud kedatangan kamu ke sini. Ya, baiklah Tek !, jawab Maryam. (tek atau etek = tante). Ayo!, Kamu tak usah gugup, saya akan menemanimu !, sambung si ibu itu lagi . Ya, Tek. Terimakasih, Tek !, jawab Maryam lagi. Pelan - pelan mereka menuju kamar Tuangku, sementara Maryam berjalan menundukkan kepala sambil membetulkan kerudungnya yang jatuh ke bahunya. Di paviliun itu terdapat ruang tamu. Di depan pintu kamar Tuangku, si ibu muda itu batuk-batuk kecil dan kemudian mengucapkan salam. Selepas itu terdengar jawaban salam dari dalam kamar. 19 | Maryam Chilvalry

Kamukah itu Anisyah ? Silahkan masuk ! Sesaat sel-sel dalam syaraf otak Maryam mengerayap, bahwa nama ibu muda itu adalah Anisyah. Anisyah rupanya nama ibu ini percikan memori otak Maryam. Anisyah dan Maryam masuk ke kamar Tuangku, sambil membuka pintu dan melangkahkan kaki kanannya, mereka kembali mengucapkan salam. Waalaikum Salam Warahmatulllahi Wabarakatuh ! Jawab orang -orang yang berada di dalam kamar serentak. Duduklah !, Kata Tuangku Ya! Terimakasih Nyiak !, Jawab Anisyah dan Maryam. Mereka pun duduk bersimpuh sebagaimana layaknya duduk kaum perempuan Minang, di hadapan Tuangku Haji Abdul Manan yang didamping Datuak Rajo Pangulu, Haji Musa dan Haji Ahmad, Kari Mudo dan aku sendiri. Di ruangan tersebut sudah berada para ikhwan yang duduk mengelompok memandang kearahnya dengan heran karena ada seorang dara asing yang boneh (elok), dan dari balik kerudungnya terpancar jirus mukanya yang molek sedang didampingi Siti Anisyah menuju kamar Tuangku. Para ikhwan saling bertanya dengan berbisik-bisik. Siapakah gerangan gadis itu ? Apakah dia seorang mata-mata Ulando yang ditangkap Etek Anisyah ? Namun, semua pertanyaan mereka itu tak satupun dapat memberikan jawaban. Dalam keheranan itu maka Guru Tuo, sebagai pembantu guru utama dalam pengajian itu cepat arif dan mengambil alih suasana. Khmmm..!, tertengar dehem, batuk kecil si Guru Tuo. Dehem Guru Tuo mensontakkan khayalan para santri pria yang sedang berkecamuk fikirannya antara membayangkan kedatangan seorang bidadari untuk menggairahkan malam pengajiannya di surau dengan kekhawatirannya kepada dara jelita itu sebagai musuh dalam selimut. Dikemudian hari Maryam mengetahui bahwa Haji Musa kakak sepupu dalam pertalian adat dengan Haji Abdul Manan, Datauk Rajo Pangulu tokoh ninik mamak dari Kamang Hilir, sedangkan Wahid Kari Mudo kemenakan dari Garang Datuak Palindih, Laras Kamang Hilir adalah juga dari Kamang Hilir, dan Haji Ahmad anak Haji Abdul Manan dengan istrinya dari Bukik Batabuah, antara Lasi dan Kubang Putiah Banuhampu. Tak lama berselang Datuak Rajo Pangulu, memecahkan kebekuan suasana dengan bertanya kepada Siti Anisyah. Siapa gerangan gadis di samping Kak Anisyah ini ?

20 | Maryam Chilvalry

Gadis ini, Anisyah sambil menyentuh lengan kanan Siti Maryam adalah anak kita juga..., yang datang dari jauh, yaitu dari Kampuang Hanguih di Bonjol dan namanya Siti Maryam. Sebelum Anisyah melanjutkan keterangannya, Inyiak Manan memintasnya lebih awal dengan memperkenalkan satu persatu. Selesai Inyiak Manan memperkenalkan pada Maryam, maka Mak Datuak Rajo Pangulu langsung bertanya untuk memastikan namanya sekali lagi. Benarkah Siti Maryam namumu, kemenakan ?, kata Mak Dt. Rajo Pa ngulu pada Maryam. Inilah cara orang Minang menyapa seseorang di bawah umurnya yang baru dikenalnya, dipanggil saja kemenakan atau keponakan. Tepatnya dimana kampungmu itu ?, tanya Mak Datuak lagi. Iya, Mak Datuak !, nama ambo Siti Maryam. Dan kampung ambo seperti yang telah dikatakan etek Anisyah tadi, Mak Datuak !, jawab Maryam. Di Kampuang Hanguih ? timpal Mak Kari Mudo. Betul, Mak Kari !, kata Maryam. Sementara itu, pemuka masyarakat yang sejamba itu saling berpandangan, namun tidak mempersoalkan dan memperbincangkannya. Dalam sebuah perhelatan orang Minang makanannya di atas sebuah dulang yang terbuat dari kuningan atau piring porselen besar seperti talam. Piring porselen besar ini dilihat dari motifnya sudah dapat dipastikan bahwa benda itu diproduksi China. Semakin tua dinasti yang membuatnya maka semakin mahal dan bernilai harga. Sewaktu makan di sekeliling piring besar itu, dinamakan dengan makan sejamba. Jumlah orang yang makan sejamba atau dalam satu dulang itu sebanyak enam orang. Tamu berempat orang, tetua jamba satu orang dan anak muda yang melayani lauk pauk dan nasi. Agaknya, nama Kampuang Hanguih mempunyai kisah tersendiri yang mengingatkan suatu cerita yang diwarisi dari perawinya. Bagi Maryam, melihat gelagat apalagi terlihat sekilas perobahan sinar wajah pemuka dia temui itu juga menjadi tanda tanya pula, kecuali Inyiak Manan yang terlihat tenang dan kalem. Apakah Inyaik dan mamak-mamak mengenal kampuang ambo tersebut ?, tanya Maryam. Ya !, kami sangat mengenalnya. Tapi tak u sahlah kita teruskan tentang kampung asalmu itu, nanti pada kesempatan lain akan kami ceritakan perihal kampuang Hanguih tersebut, sejauh yang kami ketahui pula !, pintas Tuangku Haji Abdul Manan. Lalu apa gerangan maksud ananda datang ke sini ?, tanya Haji Abdul Manan. 21 | Maryam Chilvalry

Ambo datang ke surau ini membawa hasrat yang sangat besar Nyiak!, jawab Maryam. Kalau boleh kami tau, apakah gerangan maksud ananda itu ?, tanya Tuangku lagi. Ambo berniat untuk belajar di sini, yaitu kepada Inyiak, jawab Maryam sa mbil mengangkat wajahnya ke arah Haji Abdul Manan. Mau belajar apakah gerangan kamu dengan saya ? Saya ingin memperdalam ilmu agama dan ilmu beladiri serta ilmu -ilmu lainnya yang dianggap perlu dan penting untuk saya, Nyiak !, jawab Maryam. Tuangku Haji Abdul Manan termangu sejenak memikirkan maksud gadis ini, tapi yang membebani pikirannya adalah mengenai niat Maryam untuk belajar bela diri yang tentu nantinya bukan semata belajar silat, sudah pasti anak ini juga menuntut untuk diajarkan bermain pedang, menunggang kuda dan sebagainya, karena kilek baliuang lah ka kaki, kilek camin lah ka muko. Kilek bayan kato sampai (Kilat beliung/cangkul telah ke kaki, kilat cermin telah ke muka/wajah). Kata kiasan telah dipahami dari ujung perkataan Siti Maryam itu. Haji Abdul Manan tidak menggubris niat Maryam tersebut, malahan Tuangku meloncat kepertanyaan berikutnya, Tapi, kepergian ananda ke sini apakah sudah seizin kedua orangtua ananda ?. Sudah. Nyiak ! Dari mamaknya ?, tanya Haji Abdul Manan lagi. (Mamak / mak = paman) Sudah, Nyiak ! Bahkan dari dunsanak ambo dan keluarga lainnya sudah ambo sampaikan maksud ini, dan mereka mengizinkannya, Nyiak!, jelas Maryam. (dunsanak = saudara) Kalau begitu kenapa kamu datang sendirian saja, tidak diantar oleh s alah seorang keluargamu, apalagi yang laki-laki, tanya Kari Mudo. Ya, apa salahnya jalan sendiri saja, Mak ?, balas Maryam. Kamu ini kan seorang gadis, tidak baik bepergian sendirian, apalagi berjalan jauh menuju kampung orang lain. Mana tau ditengah jalan kamu diganggu, dianiaya, dirampok, dirampas dan dinodai orang, timpal Datuak Rajo Pangulu. Apalagi, kalau bertemu dengan opas Ulando (Belanda) yang kebetulan sedang kontrole, atau oleh pembantu pembantu si kapia (kafir) itu, seperti dubalangnya tuangku lareh dan dubalang angku palo, kan bisa celaka kamu jadinya !, belalak Kari Mudo sambil mengericutkan gerhamnnya.

22 | Maryam Chilvalry

Siti Maryam hanya menekurkan wajah dan tidak mau menantang batang hidung Kari Mudo yang agak geram itu. Kalau sempat si Ulando itu menodai kamu, maka kami-kami ini pun merasa ternodai pula. Ulama-ulama dan niniak-mamak se Mianagkabau ini juga diberi malu. Dan telah sekian lama dan berapa banyak perbuatan si kapia itu nan mancorengkan arang di kening ulama dan niniak mamak kita di Minangkabau ini ! Tidak kah kamu fikirkan itu ?, gertak kari Mudo lagi dengan matanya yang tajam dan suaranya sedikit ditekannya, supaya jangan sampai terdengar ke luar kamar itu. Namun Siti Maryam tidak menampik amarah Kari Mudo itu dan malah mencoba mengikuti aliran emosi Kari Mudo dengan perkataan. Justru karena arang sudah tercoreng di kening kita itulah makanya ambo ingin membekali diri di surau ini, di bawah bimbingan Inyiak dan mamak-mamak ambo serta etek dan dunsanak ambo di Kamang ini, Mak ! Dan karena itu pula, maka pihak keluarga kami merestui rantau ambo ini. Tak terbendung argumen Maryam, bagaikan air pancuran yang mengucur tiada henti Bukankah pepatah Mak Datuak mengatakan, Tak akan mungkin sumpik (karung) kosong bisa ditagakkan, artinya tanpa ilmu ambo tak akan dapat melakukan sesuatu, sesuatu yang membawa manfaat dan kemaslahatan bersama, kata Maryam. Inilah baru aku berjumpa dengan seorang gadis cantik yang tak gentar akan gertakan pemuka masyarakat itu. Fikiranku juga berkecamuk tentang siapa sebetulnya gadis ini, terlalu berani dia, tegar mentalnya. Tapi karena kami harus mengorek informasi sebanyak-banyaknya, ya... terpaksalah untuk bersembunyi di balik keragu-raguan itu. Tentu perkenalan pertama kami ini adalah sebuah catatan pinggir pula bagiku sebagai juru tulis Inyiak Manan. Apakah kamu tak merasa cemas, tak merasa takut sejauh itu ke sini sendirian saja ?, tanya Siti Anisyah pula. Tidak, Tek. Bak kata pepatah juga Tek ! Tak akan mungkin perang dilakukan tanpa keberanian, Tek...! Bijak kali anak ini !, gerutuku dalam hati. Tanpa terputus Maryam melanjutkan keterangannya, ...Mengenai kesendirian ambo melakukan perjalanan panjang ini adalah sesuatu yang terbaik menurut keluarga kami, sebab kalau kami datang berombongan tentu kami melewati jalan umum yang agak ramai, sehingga akan banyak bertemu dengan orang-orang, termasuk pihak Ulando sendiri, tapi kalau hanya sendirian tentu upaya penyamaran mudah dilakukan guna menghindari kecurigaan orang orang itu. 23 | Maryam Chilvalry

Mendengar ucapan gadih jolong gadang (gadis baru besar/remaja) nan berkerudung itu, pemimpin adat dan agama di bilik itu geleng geleng kepala saja sambil menundukkan wajahnya. Lalu, bagaimana cara kamu bisa sampai di sini ?, tanya Anisyah lagi. Ambo melakukan penyamaran, Tek! Kamu terlalu berani, Maryam! Dan bagaimana caramu menyamar itu ?, desak Anisyah lagi. Begini Tek! Sesampai di perbatasan Batang Palupuah dengan Kamang ambo diantar oleh ayah dan ibuku dengan cara berpura-pura sebagai orang mau pergi ke ladang dan waktu telah lewat lohor kami pun seperti orang pulang dari ladang namun arah kami tetap menuju ke Kamang ini. Sesampai di perbatasan kami telah ditunggu oleh Mak Etek dan saudaraku yang laki-laki. Setelah mendapat petunjuk untuk bisa sampai di surau ini dan menceritakan hasil pemeriksaannya sampai ke sini tadi siang, ternyata perjalanan ke sini aman. Walaupun ambo berjalan sendirian saja, tak masalah. Sehingga ayah, ibu, mamak dan saudara ambo kembali pulang. Kami pun bertolak punggung. Lalu dari perbatasan untuk sampai ke sini apa upayamu, lanjut Siti Anisyah lagi. Sewaktu ambo lewat ladang orang, sekiranya ada orang di sekitar ladang itu, maka ambo mambebek, seolah-olah ambo mencari kambing yang lepas. Dan sewaktu ambo melewati persawahan, dan pada saat ada sesuatu yang mencurigakan, maka kadang-kadang ambo berpura-pura menyiangi padi yang baru ditanam atau berpura-pura mangaro, mengusir burung di padi yang masak. Bahkan ambo seperti orang mengahalau itik, Tek ! Jadi kau kah itu..., di sawah sana... tadi seperti orang mencari itik itu ?, ta nya Anisyah lagi dengan antusiasnya. Iya, Tek!, sehingga ambo sampai di halaman Surau ini, Tek, jawab Maryam. Luar biasa kamu Maryam, komentar Haji Abdul Manan. Tipuanmu hanya sederhana, tapi sangat memukau !, tukas Datuak Rajo Pangulu. Kari Mudo mangangguk angguk saja dengan ketersimaannya. Haji Abdul Manan tak putus-putusnya menatap Siti Maryam, seolah sedang melepaskan pandangan bathinya terhadap nyali dan kecemerlangan Siti Maryam. Di wajah Siti Anisyah pun terbayang suatu kegembiraan bahwa seolah dia telah mendapatkan kader atau relawati baru dalam menjalankan misinya sebagai tenaga propaganda menentang kekuasaan tirani penjajah asing yang bersuara ke hidung, sengau itu.

24 | Maryam Chilvalry

Di surau para murid muda gundah antara mengahapl kaji, dan rasa ingin tahu tentang tamu yang elok ruapanya itu. Meninggalkan pelajaran, kawatir dihukum oleh guru, tapi rasa ingin tau lebih kuat dorongannya.

Namanaya manusia, apalagi anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang penuh dengan segala ingin tau apalagi ada sesuatu yang asing dilihatnya. Untuk mencari tau sering pula anak-anak melakukan sesuatu yang usil. Tidak terkecuali anak-anak di surau. Si Magek (mungkin Megat) yang suka usil diantara mereka, tak bisa menahan hasrat hatinya. Dia bangkit dari duduknya, singsingkan kain sarungnya. Ia ajak tiga orang sebayanya. Mereka berpura-pura turun ke halaman untuk buang hajat. Ruang tamu pavliun itu, berdinding papan. Pada salah satu dinding papan, berlobang oleh mata kayu. Lobang itu pas berada di ruang tamu. Megat telah memperbesar lobang itu, dan menutupnya dengan tanah. Sudah agak beberpa lama mereka tidak kembali ke atas surau untuk melanjutkan pelajarannya, kepala guru tuonya bagaikan kepala capung, lihat ke kiri dan lihat ke kanan tapi pasukan si Magek tidak juga kembali. Setelah ditanya kepada ikhwan yang lain, semuanya menjawab tidak tau. Pikiran si guru tuo mulai melilit akalnya. Pasti ada sesuatu, tapi kenapa perasaanku tidak cemas, ya ! Antara pikiran dan perasaan mulai melilit akalnya. Tapi, dia tau, si Megat banyak akalnya, dan merupakan murid yang paling cerdas diantara yang lainnya. Untunglah sang guru tau dengan tabiat, prilaku anak-anak asuhnya, maka dengan pura-pura ingin buang hajat pula si guru tuo turun ke halaman. Dengan mengintipintip si guru tuo memeriksa sekitar jamban, kakus. Ternyata pasukan Magek tidak ada, si guru tuo kembali ke tepi surau. Guru tuo melanjutkan pemeriksaan ke sekeliling surau, semakin dekat ke arah mighrab surau terbayang sosok berkelabat di dinding. Setelah didekati ternyata benar. Pasukan si Magek sedang bergelantung di dinding, merayap mengintip-intip di celah lobang kayu yang sudah dilobangi. Pusing juga si guru tuo, bagaimana menyuruh mereka turun. Kalau langsung di tegor sudah pasti anak-anak ini terkejut, jatuh dan celaka. Si guru tuo menurutkan langkahnya, dan menunggu mereka. Si guru tuo mendehem dan batuk-batuk kecil, namun dia tetap mengawasi ke tempat anak-anak itu dari balik rumpun kopi. Tak hayal lagi pasukan si Magek melompat dan lari, langsung naik ke atas surau. Setelah mengambil udhuk guru tuo menyusul mereka ke atas surau. Pelajaran anak-anak dilanjutkan kembali. Si guru tuo benar-benar pura-pura tidak tau atau darimana dan apa yang dikerjakan oleh si Magek bersama kawan25 | Maryam Chilvalry

kawannya. Karena si guru tuo tidak mau proses pembelajaran waktu itu terganggu dan sekaligus tidak mempermalukan pasukan agresif ini di depan teman-temannya yang lain. Apalagi nanti akan dihujani oleh cemooh dan celaan kakak seperguruannya saat itu. Maryam...!, tadi kamu mengatakan bahwa datang ke sini ingin memperdalam ilmu agama, ilmu bela diri atau silat dan ilmu-ilmu lainnya yang bermanfaat, bukan ?, Haji Abdul Manan yang mencoba kembali ke pokok persoalan kedatangan Siti Maryam. Betul adanya, Nyiak !, jawab Maryam. Maryam...?, panggil H. Abdul Manan lagi. Kalau kamu ingin memperdalam pengetahuan agama, itu sangat saya setujui. Tetapi kalau ingin memperdalam ilmu selain ilmu agama adalah sangat mengherankan kami. Baru sekali ini kami mendengar permintaan seorang gadis di luar kampung ini jauh-jauh untuk mendalami ilmu persilatan, kata Haji Abdul Manan yang mencoba mematahkan niat Siti Maryam. Mendengar pernyataan Tuangku itu Siti Maryam seakan berada diatas titian antara perasaan malu karena dia merupakan pengecualian sebagaimana yang dijelaskan Haji Abdul Manan dengan perasaan sedikit tersinggung, seakan niat hatinya telah ditolak. Maryam mencoba menampik kedua perasaannya itu. Maafkan ambo Nyiak ! Kalau ambo ingin memperdalam ilmu persilatan apa salahnya Nyiak ? Apakah kurang kecakapan saya dari seorang laki laki ? Apakah ilmu persilatan itu hanya miliknya kaum laki-laki ? Apakah Inyiak dan mamanda, (sambil menoleh kepada Dt. Rajo pangulu dan Kari Mudo) keberatan untuk mengajar saya tentang ilmu persilatan itu ? Bertubi-tubilah pertanyaan Siti Maryam jadinya. Orang yang hadir dalam kamar Tuangku Haji Abdul Manan itu terpaku saja, termakan buah simalakama jadinya. Justru semangat semacam inilah yang diharapkan, namun bagaimanapun dia adalah seorang gadis perempuan yang harus dilindungi oleh kaum laki-laki, bukannya dididik dan diasuh sebagai pejuang yang pemberani. Kalau begitu..., baiklah ! Cobalah kamu pikirkan lagi masak-masak. Telungkup-telentangkanlah kembali tentang niatmu itu agak sehari-dua ini !, pintas Haji Abdul Manan. Dan bagi kami, biarlah kami coba pula untuk merenung-renungkannya, sambung Haji Abdul Manan lagi.

26 | Maryam Chilvalry

Kalau begitu kata Inyiak, baiklah ! Bagi ambo sulit kiranya merobah niat ambo semula, sehingga dari jauh ambo datang kesini hanya untuk mewujudkan niat ambo itu, Nyiak !, tukas Siti Maryam. Insyaallah, anakku ! Tapi fikir itu kan pelita hati. Tidak baik melangsungkan sesuatu itu dengan cara terburu-buru, jawab Haji Abdul Manan pula. Kalau begitu kami mohon diri dulu Nyiak, Mak Datuak, Mak Kari dan Tuan Haji, pamit Siti Maryam kepada semua orang berada dalam kamar itu. Tetapi kepadaku sikapnya agak berbeda, sewaktu akan beranjak untuk berdiri sambil menekur dia melayangkan sudut matanya sambil sedikit menganggukkan kepalanya sebagai isyarat kepamitannya dari ruangan itu kepadaku. Serasa akan putus tali jantungku memandang seulas senyum dan selayang pandang gadis berkerudung itu, sehingga aku agak risih dan resah juga jadinya. Dengan serta merta saya mengangguk kecil pula untuk menjawab salam pamitnya dan cepat-cepat memandang ke arah tokoh-tokoh pergerakan di sekitar aku itu. Kalaukalau mereka memperhatikan pula perobahan tingkah pada diriku karena keterpesonaanku pada gadis yang bernama Siti Maryam itu. Siti Anisyah berdiri diiringi pula oleh Siti Maryam dan berlalu dari kamar yang berukuran kira-kira tiga kali empat setengah meter itu. Siti Anisyah membawa Siti Maryam ke rumahnya. Megat dan kawan-kawan menghamparkan lapiak (tikar) masing-masing. Tapi tiga diantaranya, tidak bisa memejamkan matanya. Megat bengkit, duduk mancakung. Pikirannya menarawang ke ruang tamu di pavaliun. Wanita cantik didalamnya. Melihat Megat bangun, dua temannya yang menyertainya, bangun pula. Ketiga membicarakannya, disertai yang lainnya turut mendengarkannya. Terdenagr langkah langkah kaki mendakat. Makin lama makin jelas, berderakderik menginjak lantai papan. Belum tidur kalian, bentak guru tuo. Ruangan itu menjadi sunyi. Guru tua berlalu, menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.

27 | Maryam Chilvalry

3. Kancia, Bukan Pelanduk

Selesai belajar dan mengaji murid di surau sudah mencari posisi tidur. Anak-anak perempuan sudah memisahkan diri dari anak laki-laki ke balik tabir sekram tinggi. Tapi diantaranya masih ada juga yang bermain catur harimau, catur raja, dan catur sembilan, disamping berteka-teki dan mendongeng sebelum tertidur. Magek, kesinilah !, ajak si Guru Tuo. Magek menghampiri Guru Tuo, dan Guru Tuo berbalik dan melangkah menuju sebuah bilik, kamar yang bersebelahan dengan ruang Inyiak Manan. Sesampai di kamar yang agak sempit itu si Guru Tuo menanyakan teman-teman Magek yang serombongan permisi buang hajat sewaktu masih berlangsungnya pembelajaran mengaji tadi. Magek mulai terkaget, dengan terbata-bata menyebutkan kawan-kawannya tadi. Ayo, panggillah kawan-kawan kamu itu !, perintah Guru Tuo. Magek pusing, cemas apa gerangan yang akan terjadi, apakah Guru Tuo sudah tau kelakuannya tadi, lalu bagaimana caranya mengatakan kepada kawan-kawan karena dia sendirilah yang punya ide. Hukumannya pasti berat. Kalau kawan dapat lecutan rotan satu kali, paling tidak dia menerima dua atau tiga kali. Magek menemui temannya satu persatu dan berbisik ...Engku guru menyuruh kita kekamarnya sekarang !,. Kawannya merungut rungut ketakutan. Kamu sajalah menemui beliau Magek, kan kamu yang mengajak kita -kita semua, kata kawan kawannya. Iya, tapi kalian kan juga bersemangat untuk ikut !, jawab Magek. Iya, kami kan terpaksa olehmu Magek. Kalau tidak kami ikuti nanti kamu mengancam kami, kata seorang lagi. Ha, tadi kan saya tidak memaksa kalian !. 28 | Maryam Chilvalry

Iya, Magek, kalau tidak kami ikuti, nanti kamu pasti mengancam kami, kan kebiasaan kamu seperti itu, Magek !, timpal seorang lagi. Magek tadi kamu rayu kami, bahwa ada uni cantik di kamar Inyiak. Kami kan juga ingin melihatnya, Magek !, Akh !, kalian sekarang semuanya berdalih. Biarlah nanti saya bilang saja kepada engku guru bahwa kalian membangkang akan perintah beliau. Baru nanti kalian rasakan !, bentak Magek sambil berdiri. Itu, kan. Kamu mulai mengancam, ciloteh seorang lagi, ayolah kawan kita temui saja engku guru itu bersama-sama, apa boleh buat, mana tau engku guru bukan menanyakan pekerjaan kita tadi, kan engku guru tidak tau ! Ayo...!, ajak Magek, tapi hati Magek sudah berkata-kata, sudah pasti tentang perbuatannya tadi, karena guru sudah menanyakan mana kawan -kawanmu tadi, kepadaku. Sudah pasti !, sudah pasti ! Bisik hati Magek saat menuju ruang an engku guru bersama pasukannya itu. Assalamualaikum...!, serentak mereka mengucap salam sewaktu mau masuk kamar Guru Tuo. Berselang sesaat dari dalam terdengar suara engku guru. Masuk ! Sambil mengaduk-aduk dua cawan kopi panas si Guru Tuo menyuruh anak-anak duduk. Anak-anak, sambil membetulkan kain sarung yang disandangnya duduk berderet melengkung dengan tertib dan kemudian membetulkan letak kopiah, pecinya. Guru Tuo melempar sebuah granat untuk Magek. Magek kamu pindah duduk ke tengah ! Darah Magek meledak ke otak, syaraf-syarafnya terasa kesentrum. Sudah pasti guru tau bahwa aku yang mengajak kawan-kawan tadi, hukumanku pasti berat. Kegundahan Magek menyeruak sambil beranjak ke posisi yang diperintahkan guru. Sekarang kalian tau apa alasan kalian dipanggil ke sini ?, tanya guru kepada segerombolan tentara semut itu. Tidak, engku !, jawab mereka serentak. O, tidak, ya ?, balas si Guru Tuo dengan kelam, kemudian menghirup kopi panasnya sedikit-sedikit dengan hirupan panjang sambil menyeringaikan bibirnya karena kopi masih panas. Air kopi yang dihirupnya berkejaran manyisir sela-sela gigi engku guru sehingga terdengar bunyi suara mendering di lingkaran cangkir. ...kalau saya kasih tau bagaimana ? kata si Guru Tuo lagi.

29 | Maryam Chilvalry

Tapi sebelum saya kasih tau kamu harus menjawab pertanyaan saya dulu. Apakah kalian mau menjawabnya ? Mau, Engku, jawab mereka lagi serentak. Dengan jujur ?, kata guru lagi. Iya, Engku ! Tidak akan berdusta ? Tidak, Engku ! Semua pertanyaan Guru Tuo dijawab mereka secara serentak. Tanpa dikomandokan oleh siapapun. Tadi sewaktu permisi, kamu kemana sebenarnya Magek ? Pertanyaan awal diarahkan kepada Magek. Tidak kemana-mana, Engku, Magek menjawab dengan suara tegas, tapi wajahnya ditundukkan. Kenapa kamu lama sekali baru balik ke atas surau ? Tidak lama-lama, Engku, Magek menjawab lagi dengan gaya yang sama. O, begitu ! Guru Tuo dengan sabar dan tidak terburu -buru menghadapi kilah si Magek, namun Guru Tuo tetap membelitkan persolan kepada Magek. Tadi kamu hanya pergi terkencing atau pergi buang air besar, Magek ?, pancingan Guru Tuo lagi. Dengan keluguan yang penuh kepura puraan Magek menjawab pertanyaan si Guru Tuo. Dua pertanyaan sekaligus, juga di jawab sekaligus oleh Magek. Tidak, Engku. Tidak bagaimana. Semuanya kamu jawab dengan tidak. Jelaskan ! Guru Tuo mulai menghunjamkan sebuah tusukan dengan suara agak meninggi, dengan hardikan kecil. Perut Megek mulai merasa nyeri. Ya, tidak kedua-duanya, Engku, jawab Magek dengan gagap. O, maksudmu. Tidak pergi terkencing dan juga tidak pergi buang air besar ? Begitu ! kembali Guru Tuo dengan suara lembut menjinakkan anak yang licin bak belut itu. Iya, Engku, jawab Magek lagi yang tidak berobah sikap setiap menjawab pertanyaan engku gurunya. Menunduk dengan kelam dan intonasinya yang tidak menantang.

30 | Maryam Chilvalry

Angkat wajahmu, Magek ! Bentak sang guru. Dan dalam waktu bersamaan engsel pintu kamar berbunyi, diringi oleh ucapan salam. Rupanya ada seseorang sosok yang datang ke kamar itu. Itu kopi sudah saya buatkan untukmu, sudah dingin barangkali, kata Guru Tuo menyilakan mencicipi kopinya kepada juru tulis yang baru masuk itu. Ya, terimakasih, Engku, jawab juru tulis didepan bocah -bocah yang lagi diinterograsi si Guru Tuo. Ada apa ini, kenapa ramai-ramai di kamarku ?, tanya juru tulis pura -pura tidak tau persoalan. Siapa lagi yang bikin ulah ? Kamu lagi Magek ?, kata jurut tulis lagi. Itulah ! Dia bawa teman-temannya tadi ke halaman. Alasannya permisi buang air. Tau taunya entah apa saja yang dia kerjakan, lama sekali baru dia balik ke atas suarau, terang Guru Tuo kepada juru tulis. Guru Tuo kembali menginterograsi bocah-bocah lesu tadi. Juru tulis duduk ditempatnya, mengambil sebuah buku dan kalam dan memulai kebiasaannya untuk menulis catatan hariannya. Sekarang giliran yang lain menjawab ! kata engku guru. Kemana kalian tadi dan apa yang kalaian lakukan ? Ayo...!, siapa yang akan menjawab, guru Tuo mengajukan pertanyaan, sambil menoleh kepada masing masing anak asuhnya. Anak-anak saling pandang, bermain sikut-sikutan untuk menjawab pertanyaan engku guru. Magek hanya diam dengan menopangkan kedua belah pipinya dengan kedua tanggannya dengan ujung siku bertumpu pada kedua pangkal lututnya. =============================== Tidak ada yang mau jujur? kata gurunya lagi sambil berdiri dan berjalan ke arah dinding yang terbuat dari serpihan bambu yang dianyam. Rupanya si Guru Tuo mencabut sebilah rotan yang terselip di sela-sela anyaman dinding itu. Melihat sang guru telah mengambil sebilah rotan seorang diantaranya mulai sangat ketakutan dan mengisak tangis. Awak disuruh si Magek, Engku... jawab seorang anak dengan tergagap -gagap, menggigil yang diringi isak tangis. Apa yang disuruh Magek ? Mamanjek, Engku... (Mamanjat) Apa yang kamu panjat ? Bentak engku guru lagi 31 | Maryam Chilvalry

Dinding, Engku. Dinding yang mana ? Dinding Mihrab, Engku... Kalian Memanjat dinding mihrap ? Iya, Engku, jawab anak-anak lainnya serentak, kecuali Magek. Kamu Magek? tanya engku guru berbalik kepada Magek. Awak tidak, tidak sangat meyakinkan. mamanjek, Engku, cepat-cepat Magek menjawab dengan

Apa maksud kalian memanjat dinding mihrap itu ? Kami disuruh si Magek manciliang (mengintip), Engku, jawab yang lain pula dengan tergagap gagap pula, tetapi tidak menangis. Mengintip apa kalian di suruh si Magek ? tanya Guru Tuo lagi Kata si Magek di dalam kamar Inyiak ada uni rancak, Engku. Uni rancak, cantik ? tegas Guru Tuo lagi. Ehak...! Si Juru Tulis tersedak, air kopi di dalam rongga mulutnya menyemp rot keluar karena tersedak dan batuk-batuk sewaktu si bocah itu menyebut ada perempuan cantik di kamar Inyiak Manan. Guru Tuo menoleh kepada Juru Tulis, Ada apa Juru Tulis ? Tidak, tidak apa. Aku cuma tersedak sedikit, jawab Juru Tulis. Memang cantik dia itu ? tanya Guru Tuo lagi kepada anak -anak Iya, Engku.Uni itu memang rancak, Engku, jawab anak-anak kembali serentak, kecuali Magek. Kamu Magek, apakah kamu melihatnya juga ? Tidak, Engku, awak tidak melihatnya, Engku, jawab Magek. Kamu dari tadi setiap ditanya selalu menjawab tidak, tidak engku, tidak engku. Pembohong kamu ! Bentak engku guru. Awak tidak berbohong, Engku. Sumpah Engku, tantang Magek kepada gurunya. Tidak lagi kan, jawabmu, bentak sang guru yang mulai naik pitam kepada Magek.

32 | Maryam Chilvalry

Dia benar Engku. Si Magek tidak berbohong, Engku, sanggah kawan -kawan Magek kepada gurunya. O, kalian kompak ya. Berani-beraninya membela si pendusta. Apakah kalian takut sama dia, sehingga dia dibela-bela ? belalak sang guru sambil menunjuk-nunjuk Magek yang sedang dieksekusi sang guru. Sungguh, Engku. Magek tidak bohong, Engku ! jawab mereka lagi serentak. Baik,baik ! Sekarang apa buktinya, kenapa si Magek kalian katakan tidak berbohong. Dia memang tidak ikut manciliang, Engku. Kenapa tidak, kan dia yang mengajak kalian semua ? Salah seorang anak lagi menjawab, Si Magek tidak ikut manciliang, Engku. Kan dia tidak ikut mamanjek, Engku. Jadi kalian saja yang bergelantungan di dinding itu ? Iya, Engku, jawab mereka serentak lagi. Lalu si Magek. Si Magek tidak ikut mamanjek, Engku. Karena dia takut jatuh, dia tidak bisa mamanjek, Engku ! Si juru tulis hanya manggut-manggut saja memperhatikan pasukan si Magek sedang melakukan pledoi saat diadili gurunya. Jadi kamu tidak ikut memanjat dinding itu, Magek ? Tidak, Engku. Aaaakh! Sambil mengibaskan tangannya dan mengertakkan gerahamnya sang guru penasaran akan jawaban Magek. Tidak lagi, tidak lagi ! Setiap ditanya jawabmu hanya tidak terus. Apakah tidak ada jawaban lain, selain kata tidak itu, Magek ? Sambungnya lagi Ya, tidak, Engku. jawab Magek lagi dengan polosnya. Kan awak tidak pandai mamanjek, Engku. terang si Magek kepada gurunya. Kawan-kawan si Magek mulai menggigil badannya, bukan karena takut dan dingin, tapi karena melihat kekecewaan gurunya terhadap Magek. Sama saja dengan si juru tulis, dia terpaksa menyurukkan wajahnya sambil menahan suaranya karena tidak tahan geli akibat ulah anak-anak, pasukan si Magek tersebut.

33 | Maryam Chilvalry

Ya, sudah ! Sekarang taukah kalian bahwa perbuatan kalian itu adalah salah, juga mengandung resiko ? Semua anak-anak terdiam, meraka serba salah, mau dijawab iya atau tidak. Mereka bingung. Kalian harus diberi hukuman atas perbuatan kalian tersebut. Tapi sebelumnya coba kamu dengar baik-baik. Mau mendengarnya ? Mau Engku, jawab mereka serentak, kali ini Magek telah turut menjawabnya. Apa hukumannya atas kesalahan kalian ? si Guru Tuo secara demokratis menyikapi persoalan itu sebelum manjatuhkan hukuman. Dirotani, Engku, jawab mereka serenta k pula. Magek juga ikut menjawab Kalian dilecuti pakai rotan ? Sebelum bocah-bocah lucu ini menjawab si guru menyambung pertanyaannya. Berapa kali, Magek ? Karena kamu ketuanya ! Ciek, Engku. Satu kali..!, berarti kawan -kawanmu ini tidak dihukum. Kalian sudah jelas bersalah semuanya, Belalak Guru Tuo kepada Magek dan yang lainnya. Kamu ini benar-benar galia, licik seperti kancil. (Cerdik) Ya, Magek Kancia, sela Juru Tulis. kancia saja namamu, ya ! Kalau dipanjangkan menjadi Magek Kancia nama mu tegas si Juru Tulis lagi memecah suasana, sehingga mengundang derai tawa anak -nak. Kalian mau berapa kali dilecut dengan rotan ini ? Sang guru berbalik kepada yang lainnya. Ciek, Engku. Baiklah, kalian masing-masing dilecut satu kali dan si Kancia ini harus lebih. Kamu menerima lecutan rotan dua kali Magek ! Kenapa dua, Engku ? Ya..., karena berita propagandamu mengakibatkan kawan-kawanmu ini meninggalkan pelajaran dengan alasan permisi buang air, dan karena komandomu pula mereka ini melalukan perbutan yang salah itu. Mengerti! Ya, tapi Engku ! Tidak ada tapi-tapian, Magek!

34 | Maryam Chilvalry

Kamu harus menerima hukuman yang setimpal. Jelas ! Jelas, Engku Ayo, semua berdiri ! Anak, anak semuanya bediri sambil menyandang kain sarungnya masing masing. Ada yang mengantungkan kain sarung di lehernya sehingga kain itu terkulai di punggungnya, ada yang mengikatkan di pinggangnya dan ada pula yang melipatkan di sebelah kiri dan kanan bahunya. Sang guru memegang sebilah rotan sambil memukul mukul pelan ke telapak tangan kirinya untuk mempertakuti anak-anak. Tapi Magek agak berbeda dengan kawan-kawannya. Magek pura-pura alim, dia memakai kain sarung seperti orang akan shalat dan malah agak dirindihkannya, melorot hingga tertutup semua kakinya dan ujung kain itu menyentuh lantai, seperti sarung yang dikenakan perempuan mau shalat. Guru mulai mengambil ancang-ancang dan rotanpun melayang ke kaki anak yang berada paling kanan guru. Pip ! bunyi rotan satu kali di kaki kiri sebelah luar anak pertama. Kamu ke sana, pindah ! Perintah guru kepada anak tersebut untuk mengambil jarak dari barisan kawan-kawannya yang belum kena lecut. Pip ! Begiti pula bagi anak ke dua. Setelah merapat dengan kawannya yang pertama si Guru Tuo melanjutkan hukuman kepada anak yang ketiga. Poh ! Bunyi rotan di kain sarung si Kancia. Sang guru mengulanginnya lagi, ternyata masih berbunyi poh...! rotan tersebut, bukan pip !. Guru Tuo mulai curiga, kenapa berbeda bunyi rotan di kaki si Magek. Dengan mendadak sang guru menyinsingkan kaki Magek. Magek buru-buru mengembalikan posisi kakinya, tetapi kalah cepat dengan tangan guru menyinsingkan kodek -nya itu. Maka ketahuanlah rahasia ilmunya si Magek. O, begitu ya! Pintar kamu menipu saya, ya ! Rupanya Magek telah mencurangi gurunya untuk kesekian kalinya. Sewaktu rotan melayang mendera kakinya maka dia mengangkat kaki kirinya itu. Tentu saja bunyi rotan itu balapoh melecut kain sarung yang berongga itu. Sekarang buka kain sarungmu ! perintah sang guru. Magek pun menuruti per intah engku gurunya itu. Kawan-kawan Magek mulai miris karena dia telah mengecoh semua orang dalam kamar. Juru Tulis serba salah, mau ketawa tidak mungkin karena akan 35 | Maryam Chilvalry

menghilangkan wibawa temannya si Guru Tuo itu, tetapi perutnya sudah mulai sakit melihat tingkah si Magek menipu gurunya itu. Benar -benar seperti kancil anak ini, gerutunya dalam hati. Sesaat otak Magek mulai pula mengerayang lagi mencari akal, karena dia sudah pernah merasakan sakit bercampur perih dilecut dengan rotan. Sang guru mulai pula mengambil ancang-ancang untuk melecut kaki Magek. Pip ! bunyi rotan satu kali di kaki kiri yang diringi oleh suara rauangan kawan di sebelah kanan Magek. Aduh! . Tanpa disangka rotan yang ditujukan untuk Megek singgah di kaki kawannya di sebelah kanannya. Rupanya si Magek bikin ulah lagi. Pada saat rotan melayang ke arah kakinya secepat itu pula dia melompat kecil. Tentu saja rotan itu melesat kek kaki kawan di sebelahnya. Untuk kedua kalinya, Magek mengambil langkah mundur, tapi toh masih kawannya yang menanggungnya. Kawannya mulai meraung raung menangis. Awak lah duo kali kanai, engku....? raungnya menghiba karena sudah dua kali deraan rotan yang diayunkan gurunya mengenai kakinya. Akhirnya, sang guru naik pitam lagi dia membentak Magek dan menyuruh Magek duduk. Magek. Duduk ! Mana telapak tanganmu, perintah guru kepada Magek. Keduanya ! perintah guru lagi supaya Magek menjulurkan kedua telapak tangannya ke depan. Pada saat guru mengayunkan rotan ke telapak tangan Magek, Magek menarik telapak tangannya itu, sehingga rotan tidak mengenai sasaran. Siapa yang tidak akan naik darah, naik pitam karena bengalnya anak ini. Tanpa ayal lagi si gurupun kehilangan kesabarannya, dengan serta merta si guru membuka ikat pingangnya yang terbuat dari kulit. Melihat sang guru sangat marah dengan ikat pinggang kulit di tangannya, Magek ketakutan. Pada saat sang guru mengayunkan ikat pinggang itu yang diiringi ucapan kekesalan sang guru, Ini yang kamu minta ! kata gurunya dengan bengisnya. Pada saat itu pula Magek berguling ke kiri, sehingga di tidak kena ikat pinggang, gurunya terjerembab ke depan karena dengkulnya menghimpit kain sarungnya, sehingga terbukalah kodek sang guru. Untunglah sang guru mengenakan celana pendek yang panjangnya hingga di atas lutut dan longgar itu, semacam celana hawaii sekarang. Baik Juru Tulis maupun anak-anak riuh ketawa melihat kodek sang guru tangga, lepas dari lilitan di pinggangnya.

36 | Maryam Chilvalry

Guru Tuo terperangah, kemudian menjamba cangkir kopinya untuk mengalihkan rasa kekecewaannya karena telah masuk ke dalam lobang perangkap si Megat Kancil itu. Kancia atau kancil yang satu ini bukanlah pelanduk yang sering memperolok buaya dan harimau bagaikan dalam dongeng-dongeng yang kesukaannnya mencuri ketimun di ladang pak tani. Sambil menyandar ke diding Guru Tuo meneguk kopinya yng telah dingin. Juru Tulis hanya memperhatikan gelagat si Guru Tuo. Mereka tidak mengomentari sebuah episode yang baru saja berlangsung. Daripada salah tanggap, maka Juru Tulis buru-buru menghabiskan kopinya dan kemudian membetulkan tikar alas tidurnya yang terbuat dari daun pandan. Anak-anak disuruh bubar dan tidur ditempatnya masing-masing di ruang besar bersama para ikhwan lainnya.

37 | Maryam Chilvalry

4. Lamunan

Keesokan harinya, si Juru Tulis mendapat informasi yang mengejutkan dari Siti Anisyah. Sepulang dari surau malam kemaren kebetulan Siti Maryam dibawa menginap oleh Siti Anisyah di rumahnya. Rupanya menjelang tidur fikiran Siti Maryam juga dibuncahkan oleh ketampanan seorang pemuda yang bertubuh ideal di surau tadi yang bercampur dengan kesan indahnya terhadap alam negeri Kamang. Siapa gerangan nama pemuda itu, ya?, bisik hatinya. Sementara Inyiak Haji Abdul Manan hanya memperkenalkan tugas dan tanggung jawab si pemuda itu saja, tetapi tidak menyebutkan nama pemuda yang sedikit pendiam itu. Etek, kalau boleh ambo tau, siapa gerangan nama pemuda yang menjadi juru tulis Inyiak Manan tadi itu, Tek ?, Siti Maryam memberanikan diri untuk menanyakan nama pria itu kepada Siti Anisyah. Hmm !, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan nama anak muda itu Maryam ? Apakah dia telah menyudutkan pandangannya padamu tadi, sehingga membuat perasaanmu tersinggung ?, Pancingan Siti Anisyah pada Maryam. Tidak, Tek ! Tadi itu Inyiak Manan kan hanya memperkenalkan tugas-tugas pria itu saja dan tidak menyebutkan nama orangnya. Padahal pada waktu-waktu mendatang saya kira pasti akan banyak berhubungan dengannya, apalagi kalau saya masih dianggap anak oleh orang Kamang ini, Tek !, jawab Maryam, yang mencoba bersilat lidah dengan Siti Anisyah.

O, begitu ! Nanti kamu juga akan tau dengan sendirinya, Maryam. Sekarang cukup dipanggil saja dengan si-Juru Tulis, sesuai dengan tugasnya itu. Tidak masalah 38 | Maryam Chilvalry

bukan ? Yang jelas tidurlah kamu dulu karena tadi siang kamu sudah menempuh perjalanan jauh. Tentu tubuhmu saat ini membutuhkan istirahat dan kami telah mempersiapkan tempat dan selimut untukmu, Nak ? Tidurlah dulu !, kilah Siti Anisyah pada Maryam. Maryam merebah diri. Tidur tertelentang memandang langit-langit yang hampir tak teraba oleh matanya. Ia pejamkan matanya, berkelebatlah bayangan perjalanan yang ditempuhnya sejak dari kampung halamannya. Dirinya kini terhempas di negeri orang, jauh dari orangtua dan sanak saudarany a. Sudah sejauh ini perjelananku, bisik hatinya. Tapi, ia telah menetapkan hatinya, dan telah melangkahkan kakinya. Inikah yang aku pilih, ia kembali mempertanyakan tujuan hidupnya. Mengapa aku tidak sebagaimana gadis-gadis lainnya di kampung ku ?

Pemandangan sore tadi yang ditangkap oleh inderanya kembali menghiasai khayalnya. Pada saat itu Maryam berdiri sejenak di tanggo, pembatas (antara) anak tangga dengan lantai rumah dan sekaligus sebagai tumpuan batang anak tangga di surau itu Maryam mencoba melapas pandang jauh ke sisi kiri dan sisi kanan surau. Terlihatlah hamparan sawah sepuas mata memandang yang diterpa sinar kuning keemasan, seakan persawahan di Kamang bagaikan hamparan permadani. Ditengedahkan kepalanya menantap langit yang dihiasi sapuan awan sirus diantara kelompok cumulus, kalong kalong mulai keluar dari sarangnya mengukir cakrawala untuk memangsa di malam buta. Maryam hanyut dalam lamunan pesona Lembah Kamang, karena alam Kamang ini sangat berbeda dengan kampungnya yang persis berada di pinggung deretan Bukit Barisan yang bersebelahan dengan nagari Kamang Mudiak itu. Sambil membetulkan lampaian tubuhnya di tikar daun pandan dengan tangan kiri menjadi bantal dan tangan kanan ditaroknya di atas hulu hati Maryam melanjutkan lamunan.

Indah nian nagari Kamang ini. Daerahnya datar, persawahan luas, di tengah tengahnya diselingi oleh beberapa gundukan bukit yang bagaikan pulau-pulau di tengah bahari lepas, luas. Kampung yang benar-benar berada di sebuah lembah yang subur. Nun di Selatan terpampang pula dengan seonggok Gunung Merapi dan Singgalang, sementara di Utara, Timur dan Barat didindingi oleh Bukit Barisan, bisik Maryam dalam hatinya. Tapi..., siapa yang menyangka kalau di negeri yang nyaman, bumi yang subur, alamnya yang ramah ini melahirkan anak manusia yang berwatak kesatria, taat menjalankan perintah Islam dan adat leluhurnya. Membatu semangatnya untuk mengusir kaum kafir yang mencoba menjajah dan menjarah negerinya sampai berpengaruh di seluruh alam Minangkabau ini ! 39 | Maryam Chilvalry

Bukankah pula leluhurku Inyiak Peto Syarif yang bergelar Tuangku Imam Bonjol berperang dengan Ulando pada tahun 1825-1837 dalam Perang Pidari dahulu, juga dibesarkan dan dimatangkan oleh Guru Tuonya yang bergelar Tuangku Nan Renceh dari kampuang Bansa. Kamang ini pula ! urai hatinya. Kamu belum tidur, Maryam ? Maryam kaget, rupanya Siti Anisyah telah mencuri pandang terhadap Maryam. Belum, Tek. Aku lelah sehingga mata susah tertidur. Tidurlah, Nak, sudah malam, seru Anisyah kepadanya. Ya, Tek. Terimakasih, Tek, sahut maryam. Terputus lagi pemutaran hasil bidikan kedua lensa mata yang telah disimpan dalam memori di otaknya itu. Satu lagi yang membuat ia hatinya bergolak-golak, bagai kacang direbus satu, yaitu bisakah ia diterima sebagai murid ? Keberadaannya di surau ini masih sebagai tanda tanya. Kapan ia mendapat jawaban, diterima atau tidak ? Kalo ia diterima sebagai murid, tentu sesuai dengan harapannya. Jika ia ditolak, apa yang harus ia lakukan ? Ia tersentak oleh tidurnya ketika mendengar derak derik lantai. Ia tajamkan telinganya, langkah makin banyak menginjak lantai papan itu. Ia pun bangun, dan duduk. Marayam, bangunlah. Waktunya sholat subuh, panggil Siti Anisyah. Ya, Tek. Saya sudah bangun, jawab Maryam. Siti Anisyah berlalu. Dalam hati ia berguman, Gadis yang baik !.

40 | Maryam Chilvalry

5. Pembekalan
Haji Abdul Manan menatap Siti Anisyah dengan pandangan yang teduh sambil menghela napas panjang. Masalahnya Siti Anisyah didesak oleh Siti Maryam untuk mendapatkan kepastian dari Haji Abdul Manan tentang janjinya terhadap Maryam. Maryam mendesak ambo untuk mendapatkan jawaban dari Inyiak, kapan dia diperbolehkan belajar ilmu beladiri. Tuangku Haji Abdul Manan tak dapat lagi mengelak akan kemauan keras Siti Maryam untuk memperoleh ilmu dunia, tentang persilatan dan tentunya ilmu kebal peluru dan ilmu meringankan tubuh, sekaligus cara menunggang kuda, meskipun ilmu tentang ajaran agama sudah dia dapatkan semenjak awal kedatangannya berguru kepada Haji Abdul Manan di ke Surau Kampuang Budi Kamang. Selain kemauan keras dari Siti Maryam, toh aku juga menerima amanah dari Ayah semasa di tanah suci Mekah dulu juga demiakian. ...kaum wanita dilahirkan tidak hanya menjadi tukang memasak di dapur, dan mengembangkan keturunan sebagai ibu yang baik, tetapi juga harus dididik menjadi pendekar bangsa. Tidakkah kamu mengetahui anakku bahwa keselamatan dunia dan akhirat nantinya juga terletak di tangan kaum ibu sendiri..., pesan Ayahndanya itu yang masih terngiang ditelinganya, dan sekarang sedang bergelut dalam pikirannya untuk menjawab tuntutan Siti Maryam. Ini adalah amanah dan tidak ada pilih kasih. Bukankah pula kamu Anisyah, Aisyah dan kawan perempuanmu yang lain juga telah aku beri pelajaran apa yang dituntut Maryam sekarang ini, katanya lagi dalam hati. Betul, Anisyah. Tentu Maryam kembali menagihnya karena sudah sampai bilangan janji yang saya ujarkan beberapa waktu lalu, ujar Haji Abdul Manan kepada Siti Anisyah. Lalau bagaimana Nyiak. Apakah dia sudah dibolehkan belajar silat ?, desak Anisyah. Kalau hatinya sudah kuat, keyakinannya sudah bulat tidak apalah. Tapi, siapa yang akan melatihnya, dia seorang gadis, jawab Haji Abdul Manan. Kalau Aisyah, bagaimana Nyiak, pintas Siti Anisyah. Aisyah.... Tidakkah dia terlalu jauh dari Rumah Tinggi d atang ke sini untuk melatih Maryam. Tentu Dt. Rajo Pangulu, suaminya juga akan repot mengantar dan menjemputnya nanti, meskipun waktunya hanya dua kali seminggu. Bukankah dahulu yang memperlancar jurus-jurus silatnya Aisyah juga kamu, Anisyah !

41 | Maryam Chilvalry

Kalau boleh aku bermohon kepada Inyiak, sebaiknya Aisyah saja yang melatih Maryam. Baiknya disepakatilah terlebih dahulu siapa yang akan melatih Maryam. Apakah kamu atau Aisyah. Mintalah dulu pertimbangan dan izin dari masingmasing suami kalian. Baiklah, Nyiak. Tapi, Nyiak. Tentu tetap Inyiak yang membaiat Maryam untuk pertama kali, supaya ada berkat ilmu silat itu padanya. Insyaallah..., tapi kamu jangan lupa menyampaikan kepada Maryam akan syarat syarat yang harus disediakannya sebelum memulai belajar silat dan atau ilmu kebatinan lainnya. Begitulah biasanya, Anisyah. Nanti saya sampaikan dan saya bantu untuk mendapatkan rumuan dan syarat sayarat itu, Nyiak. Apa saja yang harus disediakan Maryam, Nyiak ? Akhirnya Tuangku memberikan kata pasti supaya Maryam melengkapi terlebih dahulu syarat-syarat berguru ilmu. Secara lahiriahnya berupa : Sirih/pinang langkok (lengkap), terdiri dari daun sirih, pinang muda, gambir, kapur sirih; beras satu liter ulang-aling (ekor dan kepala liter takaran diisi beras); cabe bulat; garam; sakin (pisau); jarum tangan; peniti; cermin kecil; selembar sapu tangan; dan kain putih satu kabung (satu hesta). Dan secara batinnya adalah keikhlasan dan kepasrahannya kepada Allah Subhanallahitaala, semata ! Sebagaimana biasanya, pada petang Kamis, malam Jumaat, yaitu selesai mengaji al-Quran, tafsir, muzaqarah tentang kandungan kitab kuning berhuruf arab gundul, para murid Tungku Haji Abdul Manan secara berangsur angsur menuju Ngalau Batu Biaro yang berjarak lima ratus meter melalui jalan pintas dari Surau tempat mereka ditempa. Sedangkan Maryam bersama murid perempuan lain dan beberapa tetua kampung tetap memakukan duduknya di surau. Terlihat Siti Maryam mengenengahkan kehadapan Haji Abdul Manan syarat-syarat yang telah disediakan sebelumnya. Setelah memeriksa kelengkapan persyaratan yang diketengahkan Siti Maryam, lalu Haji Abdul Manan segera menurunkan ilmuilmunya kepada Siti Maryam. Majulah, Nak !, kata Haji Abdul Manan kepada Maryam. Maryam beringsut ke hadapan gurunya itu merekapun berjawat salam. Pembaiatan Maryam untuk memperoleh ilmu silat yang berbarengan nantinya dengan ilmu ilmu lainnya pun berlangsung. Semua hadirin mengunci mulut, mempererat sila dan simpuhnya dengan tertib.

42 | Maryam Chilvalry

6. Latihan di Malam Hari


Malam Jumat itu, di arena, tempat latihan silat di belakang Surau di Kampung Budi Kamang ramai dikunjungi orang. Baik orang tua-tua, pemuda, laki-laki ataupun perempuan. Bangku-bangku yang terbuat dari bambu di sekeliling sasaran silat tersebut tidak termuat lagi oleh penonton. Pada saat itu murid-murid yang sudah mahir berhenti latihan di Ngalau Batu Biaro untuk memberikan spirit kepada kawan baru dalam persilatan dan sekaligus syukuran karena kawan baru itu telah dibao tagak, sebuah lanjutan dalam dunia persilatan Mina ng yang sebelumnya latihan diberikan guru barulah untuk meringankan gerakan tangan dan melenturkan pinggang dalam duduk bersila, bersimpuh dengan jalan menukarnukar posisi kaki, duduk jongkok dan berputur ditempat kedudukan sendiri. Pada saat mambao tagak latihan silat tidak lagi dengan duduk di surau, melainkan dengan gerakan silat yang sebenarnya. Tuangku Haji Abdul Manan mempersilahkan Maryam maju ke tengah arena latihan. Dengan perasaan sedikit malu, Siti Maryam yang mengenakan pakaian hitam, baju dan celana gunting Aceh berwarna hitam dengan sutera kuning sebagai ikat pinggang, dan kain penutup kepala dari sutera hitam yang diikatkan dibelakang maju ke arena latihan. Mula-mula Siti Maryam berjongkok memberi salam kepada gurunya, kepada sekalian orang tua-tua dan kepada orang banyak sekelilingnya. Ketika melayangkan pandangan sekeliling, mata Maryam terpaku kepada wajah si Juru Tulis yang tengah berdiri dibelakang penonton, seolah olah ia hadir dengan bayangbayangnya. Maryam kembali memfokuskan pikirannya akan pelajaran pertama yang akan ia terima, setelah seketika darahnya berdesir oleh tatapan Sang Juru Tulis. Selesai memberi salam kepada orang banyak, masih dalam keadaan jongkok Maryam menundukkan wajahnya ke bumi dan menghunjamkan ujung-ujung jarinya ke tanah, sesuai dengan kebiasaan para juru silat di Minangkabau. Begitu pula dengan Siti Aisyah, istri Datuak Rajo Pangulu dari Kamang Hilir turut melaksanakan tata krama persilatan, berjongkok sambil menjunjung salam diatas kepalanya meminta restu dari suaminya Datuak Rajo Pangulu. Siti Aisyah telah dipercayai sebagai guru tuo, guru pembantu dari guru utama untuk mengajarkan sesuatu kepada murid yang baru atau kepada murid yang belum fasih sebelum dikhatam oleh guru utama. Setelah keduanya selesai memberi salam dan siap ditempat masing-masing maka Haji Abdul Manan tampil ke depan memasuki gelanggang untuk memberikan kata sambutan dan petuah tentang kandungan filsafat silat Minang dan beberapa nasehat yang berguna bagi kedua pemain, terutama bagi Siti Maryam.

43 | Maryam Chilvalry

Selesai ulama yang kharismatik itu berbicara, maka ia memberikan isyarat bahwa permainan silat sudah dapat dimulai, maka Siti Maryam segera mendatangi Siti Aisyah Si Guru Tuo. Sebelum permainan silat di mulai, maka Si Guru Tuo, Siti Aisyah mengucapakan sepatah kata pula yang isinya mengatakan kegembiraan dan rasa terimakasihnya atas kepercayaan yang diberikan sebagai orang yang akan mengajarkan ilmu silat kepada Siti Maryam oleh Inyiak Manan dan ucapan terimakasih dan mohon bimbingan selanjutnya disampaikannya kepada suaminya Datuak Rajo Pangulu beserta tetua kampung lainnya. Kedua perempuan itu berjabat salam dan memulai membuka langkah yang dikomandokan oleh Siti Aisyah dengan suara Eep...! Serentak dengan suaranya, Siti Aisyah menarik kakinya selangkah ke belakang, dengan posisi tumit kiri dan kanan bagaikan membentuk huruf v namun kedua tumit agak direnggangkan. Sedangkan tangan kiri mengepit rusuk kanannya, sementara tangan kanannya agak terbuka ke atas dengan siku agak ditekukkan. Keempat jarinya tersusun rapat dan ibu jarinya terpisah dari keempat jari lainnya di depan dahi dengan telapak tangannya menghadap ke arah lawan. Ayunan tangan dan langkah itu disertai pula dengan tubuh yang agak membungkuk namun matanya menyudut ke sisi kanan, mewaspadai gerak lawan. Sesaat Siti Aisyah bagaikan patung dengan posisi seperti di atas, yang memberikan kesempatan kepada Siti Maryam untuk menirukan gerakan yang dioeragakannya. Setelah Siti Maryam mengambil posisi yang sama dengan Siti Aisyah, maka mulailah Siti Aisyah bersuara lagi. Ep...!, lalu menukar gerak dengan kaki kanan yang disilangkan ke depan dan merunduk ke tanah, sedangkan tangan kanannya telah beralih ke belakang. Sehingga posisinya seakan duduk dipersilangan kaki bagaikan elang akan terbang. Kemudian mematung lagi beberapa saat, hingga Siti Maryam menirukan pula gerakan tersebut. Sehingga posisi mereka sekarang sudah berdampingan dan tidak berhadapan hadapan lagi, dan masing-masing bahu kiri mereka lah yang berhadapan, namun mata masing-masing secara reflek waspada. Dengan aba-aba Ep...!, lagi, Siti Aisyah memutar tubuhnya sambil berdiri sehingga posisinya seperti gerakan awal tadi, namun arahnya telah bertukar seratus delapan puluh derajat. Maka tak ayal lagi, Siti Maryam pun menirukan gerakan itu. Begitulah pola latihan yang didapatkan Siti Maryam pada malam itu berulang-ulang sehingga mahir dalam jurus tersebut. Pada malam berikutnya, jurus-jurus baru ditambah lagi oleh Siti Aisyah. Namun sebelumnya terlebih dahulu diawali dengan gerakan jurus yang telah dipelajari pada malam malam sebelumnya.

44 | Maryam Chilvalry

Dengan posisi jurus terakhir yang telah dikuasi, Siti Aisyah mengajarkan bermacam cara meninju dan menangkap jaro (tinju), cara pakuak dan tabang (retas) dan kemudian memerintahkan Siti Maryam untuk menyerangnya. Jaro...!, Kata Siti Aisyah kepada Siti Maryam. Maka Siti Maryam dengan setengah berlari menghujamkan tinjunya ke arah perut Siti Aisyah. Dan secepat itu pula Siti Aisyah mengelak, menghindarkan tubuhnya ke kanan sehingga tinju Siti Maryam tersorong ke depan dan bersamaan dengan itu Siti Aisyah menangkap pergelangan tangan kanan Siti Maryam dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menangkap pergelangan siku Siti Maryam. Ternyata pula pangkal betis kaki kiri Siti Aisyah pun telah mengganjal lutut kanan Siti Maryam. Maka terkuncilah kedua persendian tangan gadis belia itu oleh kecekatan Siti Aisyah. Sehingga badan Maryam terhuyung, seakan mau jatuh ke tanah. Pada saat posisi Siti Maryam sedang terkunci dan kehilangan keseimbangan, Siti Aisyah memberikan penjelasan tentang gerakan tersebut. Setelah Siti Maryam memahaminya, maka Siti Aisyah memerintahkan Siti Maryam untuk mencobakannya, dengan bergantian menyerang. Mereka kembali keposisi sebelumnya, maka mulailah Siti Maryam diserang dengan jaro oleh Siti Aisyah. Dasar anak cerdas dan perhatiannya yang sungguh-sungguh, maka Siti Maryam cekatan menangkap tangan Siti Aisyah seperti yang dijarkan tadi. Namun ada kejanggalannya, kaki kiri Siti Maryam bukannya menyilang di lututnya Siti Aisyah, melainkan tumit kanannya diangkat seperti akan menghantam rusuk kanan Siti Aisyah. Siti Aisyah perempuan yang telah mahir bersilat, matanya menangkap gerakan tumit yang akan mengenai rusuknya, maka tangan kirinya yang menempel di rusuk kanannya saat menjaro tadi langsung menangkap pergelangan kaki Siti Maryam. Sehingga terkangkanglah kaki Siti Maryam. Maka langsung pula Siti Aisyah memberikan penjelasan tentang langkah sumbang Siti Maryam yang tersebut. Tanpa disadari, pada saat kaki Siti Maryam terkangkang itu diiringi pula oleh suara menderut, ternyata jahit celana yang dikenakannya putus, para hadirin yang menyaksikan persilatan kedua perempuan itu terkesima sesaat. Sutan Parmato mengigau, matanya melotot sekan mau melompat keluar. Bukan karena apa-apa..., sekejap dia melihat bahagian tertentu paha Siti Maryam yang putih bagaikan warna bulan purnama pada tengah malam itu disela jahitan celana Siti Maryam yang terkoyak, putus jahitannya dari atas lutut. Gelagat si Parmato yang memang agak suka jahil itu, terlihat oleh Datuak Rajo Pangulu dan Kari Mudo, maka dengan arif Datuak Rajo Pangulu menepukkan tangannya sambil menyuruh kedua orang putri itu untuk beristirahat duhulu sembari melemparkan kain sarung bugis makasar yang disandangnya kepada Siti Maryam untuk kodek nya sementara. Datuak Rajo Pangulu menyuruh Siti Maryam berganti pakaian ke atas surau dengan ditemani Siti Aisyah. 45 | Maryam Chilvalry

Ikhwan lainnya susah menahan tawanya. Kalau ketawa takut akan dimarahi guru, tetapi perut semakin sakit menahan, karena melihat si Parmato yang sedang serba salah di hadapan guru dan orang tua-tua sekeliling sasaran silat itu. Sedangkan Si Juru Tulis melihat kejadian itu dengan acuh tak acuh ! Supaya jangan terlalu tersurut pula si Parmato, maka tampillah Kari Mudo ke tengah gelanggang berseru supaya latihan persilatan dilanjutkan oleh pesilat lakilaki yang berikutnya latihan bermain pedang dan debus. Setelah latihan silat oleh pemuda - pemuda di kampung tersebut, mereka berangkat ke Ngalau Batu Biarountuk melakukan latihan intensif menghadapi peparangan.

Kari Mudo pun menyusul ke atas Surau, setelah menunggu beberapa saat Siti Aisyah menemani Siti Maryam menukar pakaiannya. Kari Mudo berkata kepada Siti Aisyah, Kamu tadi terlalu cepat menyambar dan te rlalu tinggi mengangkat tumit Maryam, sehingga celananya robek. Malu juga kita jadinya karena terlihat auratnya oleh kita semua yang hadir itu. Bukan itu masalahnya, Tuan Kari ! Jawab Siti Aisyah. Tetapi, kebetulan celana yang dikenakan Maryam itu adalah celana bekas dari saya yang dipinjamkan kepadanya. Memang kainnya sudah agak usang dan benangnya pun barangkali sudah rapuh. Dan ambo pun tak memperkirakannya pula sebelumnya, Tuan ! Dia bersemangat sekali untuk menguasai persilatan ini dan keliha tannya, Maryam termasuk anak yang cerdas dan lincah. Saya yakin dia bekal cepat menguasainya, kata Kari Mudo lagi. Berarti kekuatan kita akan bertambah, Tuan ! kata Aisyah. 46 | Maryam Chilvalry

Ya !, tepat sekali !, berarti kamu dan Kak Siti Anisyah akan mendapatkan tambahan kawan dalam mempersiapkan atau pun dalam perlawanan dengan Ulando itu nantinya. Tapi Aisyah, hal ini tetap dalam genggaman rahasiamu, agar kamu pegang erat-erat, kau kunci dalam batinmu bahwa Siti Maryam adalah dapat dihandalkan dalam perlawanan kita nanti ! kata Kari Mudo sambil melangkah untuk turun kembali ke tempat sasaran persilatan. Baiklah Tuan ! jawab Aisyah sambil mengiringi Kari Mudo ke tanggo. Pelajaran silat untuk Siti Maryam dilanjutkan. Namun di gelanggang sudah tidak seramai tadi. Paara pesilat pria sudah kembali ke Ngalau Kamang untuk melajutkan pelatiahan perang mereka. Siti Maryam menyapu setiap orang masih tersisa mencari seseorang, namun pria muda tersebut sudah berangkat pula ke Ngalau Kamang. Hatinya berharap Sang Juru Tulis berada di gelanggang latihan tersebut, meskipun dalam bayang-bayang kegelapan. Kari mudo rupanya melihat gelagat Siti Maryam, yuang sedikit terganggu pikirannya. Ayo..., bentak Kari Mudo. Siti Anisyah yang duduk berjuntai kaki, membuang mukanya melihat kejadian sesaat itu. Ia tahu apa yang mengganggu pikiran anak gadis itu. Kemudian, ia tatap wajah Siti Maryam. Pandangan mereka bertemu. Siti Anisyah mempertajam matanya, sebagai isyarat sebuah tegoran. Siti Maryam menundukkan kepalanya.

47 | Maryam Chilvalry

7. Menguji Ketangkasan
Agar lebih cepat menguasai segala tetek bengek dalam ilmu persilatan, maka tidak henti - hentinya Siti Maryam berlatih silat dengan Siti Aisyah. Kali ini Siti Aisyah mengajarkan Siti Maryam mempergunakan senjata tajam dan sekaligus mengelakkan serangan musuh yang mempergunakan senjata seperti pisau, rudus (klewang) dan sejenisnya. Menurut pengamatan Siti Aisyah, penguasaan Siti Maryam akan materi latihan sebelumnya sudah cukup. Latihan silat dengan mempergunakan senjata tajam ini adalah sebagai kelanjutan latihanlatihan sebelumnya. Maryam !, malam ini kita akan latihan silat dengan mempergunakan senjata tajam. Kamu harus menguasai dan mahir mempergunakan pisau dan kelewang, yang sekaligus menangkis dan mengelakkan serangan musuh dengan mempergunakan senjata-senjata itu, bahkan tombak sekalipun, kata Siti Aisyah. Baiklah, Bundo ! Bahkan ini pulalah saat yang saya tunggu -tunggu. Saya tidak sabar menunggu pelajaran ini dari Bundo, timpal Siti Maryam. Sekarang mulailah permainanmu Maryam, saya akan mengikuti permainanmu, kata Siti Aisyah, yang berpakaian serba hitam dengan ikat pinggang dari sutera putih berjumbai kiri dan kanannya dan ikat kepala dari beludru kuning. Siti Maryam memulai ilmu pencak, diawali dengan kaki kanan, dan kemudian ditarik - diganti dengan kaki kiri yang berdiri di atas tumitnya serta tangannya menari seperti elang yang hendak menyambar mangsanya. Kadang-kadang ia berputar dengan tangan kiri di pinggang, melangkah cepat keliling gelanggang dan kembali ketempat semula mengambil langkah langkah baru. Sementara itu Siti Aisyah masih berdiri di tempatnya semula, mengagumi permainan pencak yang begitu lincah Maryam dan Siti Aisyah berkata. Mari kita bermain Maryam, saya akan mengikuti permainanmu. Kedua perempuan itu mulai bermain, mula-mula secara lambat-lambat, makin lama makin cepat dan mulailah dengan sepak - menyepak yang cepat bagaikan kilat menyambar mendung. Siti Maryam berada dipihak menyerang dan Siti Aisyah dipihak yang bertahan dengan mengelit ke kiri dan ke kanan sambil mengintai terbukanya kesempatan untuk membalas serangan Siti Maryam. Pada saat kesempatan terbuka, Siti Aisyah menyapu kaki kanan Siti Maryam dengan secepatnya, sehingga Siti Maryam terpelanting ke belakang beberapa langkah. Tetapi Siti Maryam berputar dengan cepat dan kemudian berbalik menjaro Siti Aisyah dengan tinju tangan kanannya yang hampir saja mengenai lambung sebelah kiri Siti Aisyah. Sebaliknya dengan cepatnya Siti Aisyah, sambil berkelit langsung menangkap pinggang Siti Maryam dan melemparkannya ke depan. 48 | Maryam Chilvalry

Sungguhpun Siti Maryam telah terpental sepuluh langkah ke depan, namun yang menyentuh tanah adalah tetap ujung kakinya yang tidak mengeluarkan bunyi sedekit pun bagaikan kucing melompat dari dahan pohon dan menghadap kembali kearah gurunya. Maryam, keluarkan pisaumu ! perintah Siti Aisyah. Dengan serta merta Maryam mencabut pisau sirauik-nya, pisau bengkok bertangkai kayu bulat yang panjangnya satu setengah jengkal, dan mengangkatnya kemuka pelan-pelan sambil menciumnya dan kemudian mencorengkan ujung pisaunya ke tanah dan memberikan tanda silang serta mempermainkan pisau dengan tarian yang sangat indah. Kemudian Siti Maryam berpaling sambil mengucapkan, Bundo sudah siap untuk menyambutnya ? Ya !, sudah siap, Maryam ! Jawab Siti Aisyah Sesampai jawaban si Guru Tuo itu, Maryam menujamkan pisaunya ke arah lambung kanan Siti Aisyah dengan sangat kencang dan kuatnya. Tetapi, dengan santai Aisyah yang cekatan ini menyambut pergelangan tangan Siti Maryam dan mempelintirnya, sesaat pula Siti Maryam dengan cepat memutar badannya searah dengan putaran tangannya yang dipelintir Aisyah, serta segera berkelit ke belakang, pelintiran Aisyah lepas dan pada saat itu Maryam langsung menikam lambung kiri Aisyah, dan Aisyah segera pula berkelit sedikit ke kanan, sedangkan kaki kanannya cepat menyepak pangkal siku Maryam dan kemudian mengepit tangan Siti Maryam ke tanah hingga pisau terlepas dari tangan Siti Maryam. Pisau itu oleh Siti Aisyah, sementara Siti Maryam dengan cepat pula berbalik ke belakang. Waaah....! bisik penonton dibalik kain sarung yang disandangnya, karena melihat ketenangan Aisyah mematikan serangan Siti Maryam dan sekaligus melihat lincahnya gadis itu berkelit sambil waspada akan serangan balik Siti Aisyah. Iyo, bebar-benar alot !, komentar penonton lainnya, karena permainan kedua merpati itu tidak terputus putus. Saling mengunci dan melepaskan kemudian meyerang kembali, seolah mereka memiliki cadangan gerakan dalam geliat permainan itu. Sekarang giliranku Maryam, karena pisaumu berada dalam genggamanku, kata Siti Aisyah. Sudah siapkah kau, Maryam ? Sudah, Bundo, Majulah Bundo ! jawab Siti Maryam. Siti Aisyah maju menjuruskan pisau ditangannya itu ke arah lambung kanan Siti Maryam, sambil memberikan aba-aba. Awas...!, teriak Aisyah.

49 | Maryam Chilvalry

Sesaat itu pula Siti Maryam dapat berkelit, cuma saja dia tidak dapat menangkap pergelangan tangan Aisyah. Sehingga Aisyah pun terlaju beberapa langkah ke depan, secepat itu pula Aisyah berbalik dan menghela napas sejenak untuk mengumpulkan tenaga dan kembali menyerang Maryam. Kali ini Maryam tidak berupaya untuk menangkap dan mengunci persendian Guru Tuo-nya itu, melainkan hanya mengelak dan mengelak saja dengan lincahnya. Akhirnya Siti Aisyah kehabisan tenaganya sendiri, terkuras staminanya karena tubuhnya terseruk kesana kemari, kearah dia menyerang sementara sasaran serangnya berupaya tidak tersentuh sama sekali. Siti Aisyah merasa letih dan segera merangkul pinggang Siti Maryam sambil berkata Sudah cukup Maryam, ambo sudah letih. Baiklah, Bundo ! Terimakasih, Bundo !, jawab Siti Maryam yang kemudian mencium kedua pipi gurunya. Selesai memberi salam kepada Haji Abdul Manan dan kepada yang tua-tua dan sekalian penonton yang masih terkesima dan terganga yang seakan di bumikan di tempat duduknya masing-masing Keduanya duduk pada tempat yang sudah disediakan, dan Haji Abdul Manan bertepuk tangan dengan rasa puas mempersaksikan kepintaran Siti Maryam dan sosok Siti Aisyah sebagai Guru Tuo yang penuh kearifan dan bijaksana memandu dan melatih Gadis dari kampuang Hanguih, Bonjol itu. Setelah Datuak Rajo Pangulu dan Kari Mudo bertepuk tangan mengiringi tepuk tangan Haji Abdul Manan, barulah penonton sadar bahwa permaian Siti Aisyah membimbing Siti Maryam sudah selesai. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Dengan sudut matanya, Siti Maryam mencari-cari diantara penonton. Tetangkaplah olehnya seseoramg yang berdiri diremang-remang. Sebuah bibir tertarik tipis, Siti Maryam merasa senyuman kecil itu ditujukan untuknya. Darah paling dalam Siti Maryam berdesir, mendapatkan sebuah senyuman itu daro Si Juru Tulis yang mana beberapa saat menghilang.

50 | Maryam Chilvalry

8. Muslihat

Pasar Malam, pesta rakyat ciptaan Belanda

HAJI Abdul Manan, putra Haji Ibrahim bekas pejuang dan asuhan Tuangku Nan Renceh cukup berpengalaman juga dalam perlawanan dan peperangan, seperti terlibat sebagai pasukan relawan perang Aceh melawan Belanda. Ia lebih awal melakukan siasat propaganda, konsilidasi dan pengkristalisasian pemikiran akan semangat anti penjajahan Belanda dengan semangat jihat anti kaum kafir-nya di Kamang dan melebar ke beberapa daerah lainnya. Issu kafir merupakan propaganda terbilang ampuh bagi masyarakat Minangkabau yang tidak waktu itu, kecuali bagi Belanda Hitam si Melayu yang kebelanda-belandaan. Untuk melaksanakan kegiatan propaganda, lobby ini tidak semua orang yang mampu, karena dituntut suatu kecerdasan, kelincahan, kefasihan berbicara dan lihai meyakinkan banyak orang, serta mempunyai keberanian yang besar. Pada sisi lain, dengan adanya tantangan dalam masyarakat terhadap rodi dan belasting, maka Belanda merasa khawatir kalau suatu waktu akan bermuara pada pemberontakan rakyat, seandainya kegiatan agitasi yang dimotori oleh para ulama dan dibantu oleh penghulu adat tidak dihentikan. Sehingga Haji Abdul Manan ditangkap dan ditawan di kota Benteng Fort de Kock, Bukittinggi. Mitra Haji Abdul Manan waktu itu Tuangku Laras Sungai Pua juga ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Meskipun demikian, ternyata beberapa tokoh masyarakat ada yang tidak bergeming akan bujuk rayuan yang disertai ancaman oleh pemerintah Belanda tersebut. Dipenghujung tahun 1901, Belanda mulai melancarkan siasat pecah belah -nya dengan membujuk para laras dengan suatu perjanjian yang sekaligus bernada ancaman, bahwa : 1) Para Laras yang menyatakan setia kepada pemerintah Ulando dan Ratu Wihelmina akan diberi pangkat yang tinggi dan bintang jasa Oranje van Nassau (bintang penghargaan tertinggi); 2) Para alim ulama dan pemangku adat 51 | Maryam Chilvalry

(Penghulu) yang membantu pemerintah Belanda juga akan diberi bintang jasa dan besluid (inilah cikal-bakal pangulu nan bapisuluik), dan mereka akan mendapatkan sebahagian dari hasil pungutan pajak; 3) Laras dan Penghulu Kepala yang tidak menyokong program pemerintah (Belanda) tentang memberlakukan belasting akan dipecat dari jabatannya dan akan diasingkan dari masyarakatnya. Setelah satu tahun dalam tahanan, Haji Abdul Manan dan Laras Sungai Puar dibebaskan dari hukuman, dipulangkan ke kampungnya masing-masing. Sepulangnya kedua tokoh ini dari pembuangannya, ternyata disambut rakyat dengan antusias sebagai pertanda bahwa masyarakat pendukungnya tidak takut akan ancaman-ancaman Belanda tersebut. Melihat reaksi masyarakat dan intensitas kegitan agitasi kedua tokoh ini, maka pemerintah Belanda menukar siasatnya. Tuangku Laras Sungai Pua kembali ditangkap dan diasingkan ke Betawi, sedangkan Haji Abdul Manan dibiarkan saja (tidak ditangkap), namun secara terus menerus diawasi. Dengan cara seperti itu Belanda berharap pengaruh Laras Sungai Pua dapat dipadamkan, yang sekaligus menyurutkan nyali para laras yang lainnya supaya tunduk kepada pemerintah Belanda. Sedangkan ruang gerak Haji Abdul Manan semakin dapat dilokalisir dan pada suatu w aktu nantinya dapat dipressure dan dilenyapkan. Upaya ini masih belum ampuh, langkah berikutnya Controleur LC. Westenenk yang ringan dalam lidah rakyat di Agamtuo dengan sebutan Tuan Siteneng, mengumpulkan seluruh Kepala Laras se Agamtuo, yaitu Tuanku Laras Baso, Tuanku Laras Kamang, Tuanku Laras Tilatang, Tuanku Laras Magek, Tuanku Laras Salo, Tuanku Laras Canduang, Tuanku Laras Ampek Angkek, Tuanku Laras Kapau, Tuanku Laras Sungai Pua, Tuanku Laras Banuhampu, Tuanku Laras Ampek Koto di kantornya di For de Kock, dengan tujuan untuk mempengaruhi pemimpin-pemimpin rakyat itu untuk menerima saja peraturan gubernemen (pemerintah) dan memaksakan kepada rakyat melalui Kepala Nagari-nya masingmasing. Berkhotbahlah Tuan Siteneng, katanya dengan sangat hati-hati dalam kefasihannya berdialek Minang, Tuangku-tuangku Laras ! Gubernemen Belanda tidak mau menyusahkan lagi anak nagari di sini. Tidak lagi disuruh menannam kopi dan menjualnya hanya kepada gubernemen. Anak nagari boleh menanam kopi sesuka hatinya saja. Kini gubernemen bikin peraturan baru. Anak nagari harus membayar beberapa rupiah kepada gubernemen untuk segala macam kekayaan. Namanya belasting. Kemudian ucapan itu ditindaskannya kepada Tuanku Laras Kamang yang sudah tua itu. Tuanku Laras Kamang melegakan, memperiyakan (musyawarah ala Minangkabau) kepada Tuanku Laras Sungai Pua. 52 | Maryam Chilvalry

Tabek, Tuan...! Kami setuju belasting dan rodi itu dijalankan di negeri kami, jawab oleh Tuanku Laras Sungai Pua. Akan tetapi dagang harus bertolak dari rantaunya. Dari negeri kami ini!, sambungnya lagi dengan kata bulat bersanding itu. Artinya belasting dan rodi mau dijalankan, tetapi Belanda sebagai pedagang harus meninggalkan Hindia Belanda. Dengan bijak Tuan Siteneng menanggapi, Kalau begitu, kita tunda da hulu. Saya mengerti, bahwa rakyat belum mampu, kata Tuan Komendur itu. Dan rapat selesai. Bubar. Sindiran halus, tajam yang lebih tajam dari pisau silet dari pemimpin rakyat yang bertanggung jawab untuk membela rakyatnya sendiri itu sangat menyayat-nyayat hati dan pikiran LC. Westenenk. Dengan apa lagi dilumpuhkan, mata pancing tidak mengena meskipun telah diberi umpan yang empuk dengan membebaskan rakyat dari coffeestellsel. Tidak beberapa lama muncul pula ide, muslihat yang agak ampuh namun memerlukan sedikit tambahan coss, biaya. Laras-laras cendikiawan dan berpengaruh itu dikirim ke Batavia untuk berjumpa dengan orang nomor wahid di Hindia Belanda, Tuan Gubernur Genderal. Namun sebelumnya, ada acara semacam kompetisi para Laras - untuk menguji kepandaian dan kepintarannya. Tidak obahnya kompetisi walinagari / lurah pada masa sekarang. Laras yang akan dikirim ke Batavia hanya sebanyak lima orang. Memang benar, mendengar akan ada Kepala Laras yang akan pergi examen ke Batavia dan bertemu pula dengan Tuan Ge-Ge, sedikit agak terlonjak pasak Tuanku Laras, agak berbesar hati para Laras di Agamtuo. Dalam seleksi, terpilihlah lima besar dari dua belas Laras se Agamtuo, yaitu Tuanku Laras Ampek Koto (Koto Gadang), Tuanku Laras Sungai Pua, Tuanku Laras Banuhampu, Tuanku Laras Kamang, Tuanku Laras Tilatang (Agus Warido). Berangkatlah kelima Laras terbaik itu dengan kapal api dari Teluk Bayur. Sesampai di Batavia kelima laras tersebut dites lagi, ternyata Tuanku Laras Sungai Pua dinyatakan peringkat pertama dan Tuanku Laras Kamang peringkat kedua. Lolos penjahit, lolos kulindan kata pepatah Minangkabau. Sepulang dari Batavia dengan congkak dan semakin bijaknya para Tuangku Laras ini menjilat air ludahnya sendiri. Para laras tersebut merasa tersanjung, setelah mendapatkan pelayanan terbaik di Batavia bagai raja kecil. Inilah hasil yang dibawa pulang oleh laras tersebut. Penaksiran kepada pemilikan penduduk mulai dijalankan, ada yang kena 1 gulden, ada yang ditaksir 1,20 gulden dan malah ada yang dibebani belasting hingga 2 gulden.

53 | Maryam Chilvalry

Pada bulan Mei 1908, Tuanku Laras Sungai Pua tidak terdengar lagi suaranya. Sedangkan Tuangku Laras Kamang sengaja melaksanakan ibadah Jumat ditempat Haji Abdul Manan. Dari mimbar selesai shalat jumat Tuangku Laras meneriakkan seruannya, Oi...! orang yang dalam sidang Jumat ini, bayarlah belasting supaya aman hidup kita ini ! Mendengar seruan Tungku Laras Kamang itu tanpa berpikir panjang Haji Abdul Manan menjawab. Kami tidak akan membayar ! katanya. Lalu pinjaik, lalu kulindan. Anak cucu kami juga yang akan menanggungnya !, sambungnya lagi dengan lantang. Kalau begitu, Haji engkar !, bentak Tuanku Laras. Iko pamarentah, sambungnya dengan menepuk dada. Tabujua lalu, tabalintang patah (terbujur lalu, terbelintang patah), hentaknya lagi memperlihatkan tangan besinya. Lalu merentak keluar mesjid, meninggalkan jamaah. Dengan demikian pelajaran kedua pun kita dapatkan, bahwa untuk kesekian kalinya Belanda berupaya dan membawa hasil untuk menciptakan image bahwa penguasa itu harus dihormati, rakyat harus membungkuk bungkuk terhadapnya. Sebaliknya, kita harus mengakui hasil penyelidikan Nahuys van Burgst sewaktu pertama kali menginjakkan kakinya di Minangkabau tiga tahun berlangsungnya Perang Paderi dan laporan hasil penyelidikannya itu disampaikan kepada pemerintahan Hindia Belanda tiga tahun kemudian, yaitu tahun 1827. Tapi, jauh hari sebelum dia menginjak kakinya di bumi Minangkabau, Nehuys van Burgst yang ahli hukum itu, datang ke Hindia Belanda sebagai penasehat negara dan keuangan dalam sebuah panitia dikirim khusus oleh Raja Louis Napoleon tahun 1805, semasa Kerajaran Belanda menjadi taklukan Perancis. Empat tahun kemudian dikirim lagi ke Hindia Belanda sebagai penasehat agung Daendels. Pada waktu itu ia sempat sebagai pengacara yang menyelamatkan Pangeran Paku Alam dan seorang lagi pangeran keraton Surakarta (di Jawa) dari tiang gantungan karena dihukum Daendels. Selama perang Diponegoro, Nehuys banyak berjasa bagi pemerintah kolonial karena hubunganya sangat dekat dengan raja-raja Jawa, bahkan dia pulalah yang berhasil membujuk raja-raja Jawa untuk menyerahkan sebahagian daerah kekuasaannya kepada Belanda. Setelah beberapa tahun menetap di Eropa, Nahuys van Burgst yang sudah berpangkat Mayor Jenderal tituler dan anggota Dewan Hindia dikirim kembali ke Hindia Belanda. Kali ini untuk mengunjungi Pagaruyung, pusat Kerajaan Minangkabau versi Belanda dan membuat laporan kepada pemerintahnya.

54 | Maryam Chilvalry

Secara sosio-kultur orang Melayu (Minangkabau), katanya, Kepala (raja) dari semua rakyat Minangkabau yang oleh penulis-penulis tua dikatakan lebih dihormati lagi daripada Paus di Roma, ternyata adalah seorang tanpa pengaruh dan tidak mengesankan sama sekali. Penghormatan yang didapatnya, jauh lebih kecil dari yang diberikan kepada wedana-wedana di Pulau Jawa, dan orang-orang di Jawa merasa takut pada kepala desa daripada orang-orang di sini (Minangkabau) terhadap raja mereka. Pendapatannya kurang dari 100 gulden setiap bulan, tidak cukup untuk hidup mewah dan tidak mempunyai tanah kecuali yang didapat dari perkawinan. Maka tidak mengherankan jika dia lebih merupakan opas kepala daripada kepala rakyat. ...Dan saya melihat bahwa orang-orang pribumi yang rendahan sekalipun, semuanya hilir mudik saja, meskipun dalam jarak yang dekat sekali dari Raja Minangkabau itu, dan tanpa memperlihatkan rasa takut (sungkan) sama sekali ! Berlainan dengan raja-raja di Jawa, karena tidak kelihatan iringan tersendiri membawa bermacam-macam tempat sirih, tempat rokok, talempong, tempat air, payung emas, alat-alat tulis, dll. Sebaliknya dia hanya mempunyai satu pengiring yang membawa payung China warna coklat yang di Jawa semua orang bisa memakainya.... ...Selain itu, orang-orang Melayu (Minangkabau) berlainan dengan orang-orang di Jawa, mereka tidak begitu menghormati kepala-kepala mereka.... Di sini (Minangkabau) jarang saya lihat, penghormatan diberikan kepada Tuanku (Raja) dan tidak pernah kepada kepala-kepala yang lebih rendah.... Pernah saya alami sendiri bersama asisten residen dan raja Minangkabau berkunjung pada sebuah kota di pinggir danau (mungkin Danau Singkarak) yang cukup padat penduduknya. Di sana kami diterima oleh kepala kepala kampung yang acuh tidak acuh saja, mereka mengenali rajanya pun tidak..., dan sewaktu saya tanya bagaimana keadaan kalau orang-orang Belanda meninggalkan mereka begitu saja tanpa perlindungan ? Dengan tegas kepala di sana itu menjawab, Kalau kita bisa hidup damai saja dengan orang-orang Pidari..., kami tidak lagi membutuhkan orangorang Belanda di sini. Lalu, apa simpulan dan saran oleh Nuhuys kepada pemerintahnya ? Mengingat semangat merdeka rakyat di sini, saya takut pemerintah akan mendapat banyak sekali kesulitan kalau di sini dijalankan pajak, pajak tanah umpamanya.... Kita akan tersesat jika kita bandingkan orang-orang Melayu begitu saja dengan orang-orang Jawa. Suatu kenyataan pula bahwa dengan menjalankan pajak-pajak (sebagaimana dalam Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 18 tanggal 4 November 1823) itu, kita akan menghadapi banyak bahaya dan kesulitan nantinya. Dalam laporannya itu Nuhuys van Burgst menceritakan kemuakannya atas kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda. Nuhuys van Burgst menceritakan 55 | Maryam Chilvalry

tentang pembantaian-pembantaian terhadap tua, muda, anak-anak maupun jompo dan wanita, disemblih tanpa ampun jika suatu desa jatuh ke tangan tentara Belanda, tanpa dapat dicegah oleh para aperwira-perwiranya.

*** Semenjak kejadian dengan Haji Abdul Manan di Mesjid pada hari Jumat itu, maka apar-apar besi atau bengkel pandai besi mulai berdentang. Gemerincing besi panas ditenpa untuk dijadikan kelewang, rudus dan pedang. Dan yang agak lebih dirahasiakan adalah sewaktu membuat badia balansa, sejenis senjata api tradisionil yang pelurunya terbuat dari beling, sepihan besi. Sementara itu, Muhammad Amin Pamuncak Sutan Bagindo Penghulu Kepala dari Koto Tuo Ampek Angkek, aktif pula mengumpulkan dana yang akan dikirim kepada saudaranya di Singapura untuk ditukar dengan mesiu standard Eropa nantinya diselundupkan dalam perlawanan rakyat menentang belasting. Berbarengan dengan tekanan untuk membayar belasting, Belanda mengeluarkan kebijakan berikutnya, yaitu mencoba mengalihkan perhatian masyarakat (umum) dengan adanya keramaian-keramaian (alek). Maka pada tahun 1908 Pemerintah Belanda membuka pasar malam dan alek pacu kuda serta mempergiat pesta anak nagari di kampung kampung, seperti pesta panjek batang pinang (panjat pinang) yang dimeriahkan pula dengan berbagai atraksi rakyat. Dan yang tidak kalah pentingnya pada setiap keramaian itu rakyat diperbolehkan menggelar perjudian, terutama barambuang, dadu kuncang, dadu putar, menyabung ayam dengan tujuan bukan saja membinasakan moral anak nagari, tetapi juga untuk mengalihkan perhatian rakyat akan persoalan belasting tersebut. Dari beberapa kebijakan Belanda tersebut maka Haji Abdul Manan tidak tinggal diam, meskipun sedikit telah mulai kecewa akibat melemahnya iman para laras dan para pemangku adat akan siasat Belanda itu.

56 | Maryam Chilvalry

9. Alek Pacu Kuda

PERTEMUAN pertemuan pemimpin - pemimpin masyarakat dengan Haji Abdul Manan, maka aku sebagai juru tulis dalam gerakan ini diperintahkan mengundang tokoh-tokoh masyarakat seperti Muhammad Saleh Datuak Rajo Pangulu, Abdul Wahid Kari Mudo, Datuak Parpatiah (di Magek) dari Kamang Ilia, Angku Jangguik yang dikenal pula dengan panggilan Inyiak Jabang, Datuak Parpatiah di Pauah, Haji Samad, Tuangku Pincuran, Datuak Rajo Pangulu dari Babukik Limau Kambiang dan Datuak Marajo beserta pemimpin lainnya yang dirasa patut untuk membicarakan tindakan yang akan diambil terhadap upaya-upaya pemerasan oleh Ulando itu. Dalam pertemuan rahasia di rumah Haji Abdul Manan di Kampuang Tangah Pakan Sinayan Babukik tersebut didapat kata sepakat, bahwa, agar dilakukan peninjauan (menyelidiki) pendapat dari semua pengikut Haji Abdul Manan dan Tuangku Laras Sungai Pua sehubungan dengan apakah akan menuruti kehendak penjajah Ulando atau tetap mengadakan perlawanan untuk menolak pelaksanaan belasting yang akan dipaksakan juga oleh Ulando kepada rakayat. Kedua, jika menerima atau menolak agar memberi kabar atau laporan kepada Haji Abdul Manan sebagai pemimpin dalam gerakan perlawanan rakyat Minangkabau, khususnya dalam menentang belasting. Keempat, untuk melaksanakan upaya-upaya pengkristalisasian pandangan tersebut kepada masyarakat yang lebih luas, maka propaganda memegang peranan yang teramat penting. Keempat, kepada tenaga yang dipercaya sebagai pemimpin delegasi agar menyebar mengadakan hubungan koordinasi dan kristalisasi misi perlawanan ke beberapa daerah, dan misi ini harus selesai dalam tiga bulan, terhitung mulai bulan Januari hingga Maret 1908.

57 | Maryam Chilvalry

Inyiak Haji Abdul Manan ditetapkan sebagai utusan ke Padang Panjang, Pariaman, Lubuak Aluang, Padang, Pauah IX dan sekitarnya. Sedangkan Solok dan Sawah Lunto diserahkan kepada rombongan dari Padang Panjang. Datuak Parpatiah (di Magek) dan Datuak Rajo Pangulu, keduanya dari Kamang Ilia menuju Limo Puluah Koto dan Tanah Data. Inyiak Jabang dan Tuangku Pincuran ke Suliki, Suayan, Koto Tinggi, Pua Gadih, Palupuah, Bonjo dan Sipisang. Sedangkan Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam kaum perempuan pilihan untuk memegang peran sebagai propagandis, selain beberapa tokoh laki-laki yang dianggap mapan untuk peran tersebut. Siti Aisyah karena terpaut dengan pertalian syara, yaitu telah bersuami maka hanya mengambil peran di sekitar Tilatang Kamang. Sedangkan Siti Maryam yang masih perawan, sebelumnya telah dimatangkan berbagai keterampilan dirinya oleh Inyiak Manan, termasuk menunggang kuda, mendapat amanah ke beberapa daerah matahari terbenam dan Utara Kamang, seperti ke Tiku, Mangopoh, Lubuk Basung dan Simpang Empat (Pasaman). Beberapa tokoh-tokoh lainnya cukup mematangkan semangat perlawanan di daerah Agam Tuo dan sekitarnya. Sementara itu para angkatan muda dengan pimpinan Haji Ahmad dan Kari Mudo giat berlatih mempergunakan dan menangkis senjata tajam serta memperdalam ilmu batin, terutama ilmu kebal guna dapat dipergunakan pada waktunya nanti. Pada awal bulan April 1908, bertepatan dengan digelarnya alek pacu kuda oleh pemerintah Belanda di Bukit Ambacang, sengaja dikondisikan agar semua utusan daerah mempergunakan moment itu untuk berkumpul guna mematangkan gerakan dan pemberontakan melawan tirani Hindia Belanda dengan issu anti belasting sebagai kelanjutan revolusi Minangkabau setelah perang Paderi dapat dipadamkan. Bagai masyarakat Minangkabau sebelum kedaulatannya dikembalikan secara bulat ketangannya oleh pemerintah Hindia Belanda, maka bara api sisa-sisa api revolusi 58 | Maryam Chilvalry

Pederi itu tetap dinyalakan. Untuk mengkonkritkan perlawanan, maka moment alek (pesta) pacu kuda di Bukit Ambacang itu tidak disia-siakan sama sekali. Kali ini pertemuan dari berbagai utusan daerah yang menjadi motor pengerak gerakan anti belasting itu berkumpul di Bukittinggi dengan alasan untuk menghadiri alek pacu kuda di Bukik Ambacang. Tepatnya pertemuan rahasia itu dilaksanakan di Bukik Apik, suatu perkampungan di pinggir jurang Ngarai Sianok. Sebelum pertemuan dilaksanakan, Siti Aisyah telah melakukan propaganda pengkondisian yang intensif secara rahasia kebeberapa tokoh perempuan di sekitar Tilatang Kamang. Sehubungan berkumpul itu, Siti Aisyah mengkondisikan beberapa orang penjual masakan di Nagari Kapau (Tilatang). Karena para kaum perempuan Kapau selain bertani banyak juga yang berjualan makanan, seperti penjual nasi kapau - yang banyak ditemukan pakan-pakan (pasar pasar) nagari dan di pasar Bukittinggi sendiri di bawah payung-payung kaki lima. Kepada beberapa penjual nasi kapau itu dikondisikan untuk berjualan nasi di Bukit Ambacang pada saat alek pacu kuda dilaksankan yang tujuannya selain berdagang adalah juga sebagai arena pusat informasi tentang pelaksanaan dan hasil pertemuan rahasia di Bukik Apit tersebut. Menjelang alek digelar telah disebar informasi secar berantai ke daerah-daerah di Minangkabau bahwa tempat Rabiatun Kapau berjualan nasi kapau dengan ciricirinya yang sudah dikondisikan di atas Bukit Gulai Bancah sebagai pusat informasi. Siti Aisyah dan Siti Maryam berperan sebagai pembantu Rabiatun Kapau untuk meladeni orang yang singgah makan. Hari yang telah dinantikan tiba. Berduyun-duyunlah masyarakat disekitar Agamtuo dan dari beberapa daerah menghadiri pesta rakyat menonton kuda kuda yang dijagokan dalam berpacu. Pemerintah Belanda pun tidak mencurigai siapapun, karena sudah biasa di gelanggang manapun pacu kuda dilaksankan di berbagai tempat dan daerah di Sumatera. Apalagi kalau di Gulai Bancah Bukittinggi karena arenanya cantik dan bagus yang dikelilingi oleh bukit. Penonton dengan leluasa memandang bundaran oval tempat kuda menguji ketangkasannya. Rakyat, penonton tidak sabar lagi menunggu kuda - kuda berpacu untuk dimulai. Bagi orang-orang terhormat menurut Belanda, duduk berjejar di tribune yang telah disediakan di kiri kanan dan dibelakang para pembesar Belanda. Sedangkan orang biasa yang tidak berpangkat namun sedikit berada dapat menyewa tribune beratap rumbia bertiang bambu, duduk dibangku bangku yang terbuat dari bambu yang dibelah dua yang disediakan di sepanjang pinggir lapangan oleh penduduk yang punya tanah tersebut. Sedangkan rakyat biasa, orang-orang yang hanya mampu berjalan kaki ke gelanggang pacuan dengan bermodalkan nasi berbungkus daun pisang batu atau pisang abu yang dipersiapkan sejak subuh hari, menonton dengan 59 | Maryam Chilvalry

sebebas-bebasnya di atas bukit berpayung langit, berjemur matahari berselimut angin. Setelah panitia pacuan mengumumkan bahwa pacuan segera dimulai, maka penonton semakin antusias, berdesakan ke pinggir gelanggang, sehingga mendapat deraan rotan dan pentungan petugas keamanan untuk mengusirnya kembali guna menjauhi arena kuda berlari. Sedangkan yang berada di atas bukit riuh rendah mencari posisi yang paling menguntungkan untuk menonton kuda-kuda yang akan berpacu. Acara dimulai setelah adanya pidato singkat dari ketua panitia dan pembesar Belanda di kota Fort de Cock. Dalam kata sambutannya L.C. Westenenck (Controleer Out Agam, kemudian sebagai Assistent Resident Sumateras Westkuust) : ...bahwa pergelaran alek pacu kuda dan menampilkan acara kesenian dan kebiasaan - kebiasaan lama daerah ini, termasuk dibebaskan untuk menggelar berbagai bentuk perjudian dan sabung ayam adalah suatu bentuk kepedulian pemerintah terhadap budaya Minangkabau asli sebelum kedatangan Islam yang harus dipupuk dan dipelihara. Kami pihak pemerintah tidak akan mengikis kebudayaan-kebudayaan lama tersebut, karena hal itu adalah miliknya masyarakat Minangkabau yang diwarisinya dari para leluhurnya sejak dahalu kala..... Padahal perjudian, menghisap candu dan sabung ayam telah dilarang De Stuers berdasarkan desakan melalui surat yang ditandai tangani oleh Tuangku Lintau, Tuangku Guguak, Tuangku Nan Saleh dan Tuangku Nan Renceh pada April 1826. Karena sebetulnya yang memperkenalkan candu dan khamar tersebut kepada pemuka-pemuka adat di Minangkabau adalah Belanda sendiri, karena kedua benda itu adalah komoditi dagang yang paling menguntungkan semenjak zaman VOC dahulu - yang ditukarnya dengan hasil bumi, seperti kapur barus, merica, emas, dll. Marilah kita untuk selalu menjunjung tinggi kebiasaan -kebiasaan lama leluhur orang Minangkabau ini, sedangkan pemerintah tidak sedikit pun berniat untuk campur tangan terhadap kedaulatan rakyat Minangkabau. Namun supaya tetap berjalannya pemerintahan dan hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintah, maka diperlukan pula kerjasama yang baik dalam berbagai bidang untuk lebih memperelok nagari-nagari, terutama nagari-nagari di Agamtuo ini. Sedangkan untuk memperelok nagari, memperbagus jalan-jalan dan jembatan, serta guna membiayai pemerintah, termasuk gaji para pegawai dan opas maka diperlukan biaya yang besar sekali. Karena biaya yang banyak itulah diperlukan pungutan belasting, sambung Westenenck lagi. Kemudian dia mengajak seluruh masyarakat supaya membantu pemerintah dalam membangun dan membayar belasting.

60 | Maryam Chilvalry

Pidato-pidato Contreleur Agamtuo itu disanjung-sanjung oleh barisan Belanda Hitam dengan mengangguk-anggukkan kepala dan memperlihatkan keseriusan, kesungguhan dan mengelu-elukan bujuk rayuan, ajakan L.C. Westenenck yang telah fasih berbahasa Minang itu. Akan tetapi bagi rakayat badarai, rakyat banyak yang berada di tribune yang beratap rumbia dan yang berada di atas bukit tersebut tidak memperdulikannya, karena tidak sampai ke telinga mereka, dan lagi maksud kedatangan mereka ke Bukit Ambacang semata untuk menonton kuda-kuda berpacu. Kapan kudanya berpacu ? Kalau pidato berpidato juga !, diantara mereka berciloteh Habih hari dek pidato sen kasudahano, ciloteh yang lain lagi. Maksudnya, habis waktu karena pidato-pidato. Tatkala terompet pertama dibunyikan oleh seorang opsir Belanda di rumah orkes di samping kiri tribun utama, diumumkanlah nama-nama kuda yang akan berpacu beserta joki dan warna pakaiannya. Berselang pengumuman itu disusul dengan abaaba ...joki segera ditimbang...! Maka sorak-sorai pengunjung sudah mulai membahana. Terompet kedua dibunyikan, kuda-kuda yang sudah ditenggeri para jokinya memasuki garis star, di depan tribune bulat yang lebih dikenal dengan dengan sebutan rumah bulat. Terompet ketiga dibunyikan, tukang bendera yang melepas kuda sudah mulai bersiap-siap dan bendera pun segera dikibarkan, kuda-kuda berhamburan dari garis start. Bersamaan lepasnya kuda-kuda tersebut penontonpun bersorak. Kudo lapeh...!, kudo lapeh....! Maksudnya kuda lepas, yaitu kuda sudah mulai berpacu. Sesaat kemudian sorak-sorai beralih dengan terikan Agam...!, Agam...!, Agam...! Maksudnya kuda orang Agam dengan jokinya berpakain warna merah yang menggambarkan Luhak Agam berwarna merah sedang berada di depan dan sekaligus memberi semangat kepada joki untuk merambah kudanya dengan rotan di tangannya supaya kudanya melesar, melejit kencang. Meskipun kuda dari Lima Puluh Kota yang ditandai pakaian jokinya berwarna hijau yang duluan sampai di garis finish dan disusul kuda berjoki warna kuning, dari Tanah Datar, namun teriakan Agam...!, Agam...!, Agam...! terus berkumandang. Semenjak pagi kedai nasi di bawah payung bundar dengan tonggak dan kaso kasonya terbuat dari buluh, bambu dan atapnya dari kertas semen porland yang dijahitkan, dan kedai nasi itu berdindingkan kain berwarna putih belum disinggahi pengunjung. Setelah rece, putaran pertama barulah pengunjung berangsur angsur mencari tempat makan dan minum. Dan Siti Aisyah, Siti Maryam mulai melayani pengunjung yang masuk ke kedainya itu, Rabiatun Kapau berlagak sebagi 61 | Maryam Chilvalry

induk semang yang hanya menerima dan mengembalikan uang kembali pengunjung setelah selesai menikmati masakan khas Kapau-nya. Pada saat putaran kedua digelar dan para pengunjung Bukit Ambacang kembali hiruk pikuk karena kuda-kuda telah dilepas lagi untuk berpacu. Pada saat itu masuklah ke kedai Rabiatun Kapau dua orang laki-laki dewasa dari sisi kedai yang berbeda, sepertinya kedua orang ini tidak saling mengenal karena dinisbatkan hanya sebagai pengunjung alek pacu kuda. Akan tetapi Siti Aisyah telah mengenal wajah kedua pria itu, namun tetap berpurapura tidak mengenalinya dan langsung meladeni pengunjungnya itu. Siti Aisyah menanyakan lauk nasi yang diingini. Uni ambo ka makan, sambanyo jo tambunsu, yo Ni..! (Uni saya mau makan, lauknya adalah usus, ya Uni), kata salah seorang laki-laki itu kepada sang pelayan. O, ya !, jawab Siti Aisyah. Tuan sambanyo jo apo ?, tanya Aisyah pula kepada yang seorang lagi. Untuak ambo sambanyo randang itiak, Ni, (untuk saya lauknya rendang itik, Uni) jawab orang tersebut. Meskipun Aisyah lebih muda usianya dari kedua laki-laki tersebut, tetapi laki-laki ini memanggil uni kepada pelayan itu sebagi basa basi dalam bertutur kata kepada orang yang belum dikenal. Kalaupun ada orang yang menguping di luar maka orang tidak akan curiga karena sepertinya adalah pengunjung biasa saja. Selesai kedua orang itu menikmati makanan dari nagari Kapau itu, seorang diantaranya bertanya, Dimana dapur tempat memasaknya, Uni ? Di sebuah Rumah Gadang di Bukit Apik, jawab Aisyah dengan suara berbisik sambil menunjuk ke arah Barat Daya dari tempatnya itu, kemudian menderaskan kembali suaranya menyambung bisikannya itu, Agak jauh juga dari sini, Kapau nama negerinya, sambung Aisyah. Rupanya pertanyaan seseorang itu merupakan sebuah isyarat yang maksudnya adalah tempat pertemuan rahasia itu. Maka jawaban Siti Aisyah dengan suara lunak itu langsung mengatakan tempat pertemuan tersebut yang kemudian ditimpali dengan kalimat berikutnya tentang Negeri Kapau, sebagai pengelabuan kalimat pertamanya, kalau-kalau ada pihak lain yang mendengar dari luar tabir kedainya itu. Menimpali jawaban Aisyah itu, seorang lagi bertanya pula. Dengan apa kita ke sana, Ni ? Apa saja kampung yang kita lewati menjelang sampai di sana ?

62 | Maryam Chilvalry

Ke sana cukup berjalan kaki, kalau mau nai k bendi pun bisa. Maka naikilah bendi di luar gelanggang ini dan kusir bendi pasti tau akan kampung itu !, jawab Aisyah pula. Terimakasih, Uni, jawab pria itu lagi sambil merogo kantongnya dan berdiri untuk membayar hutangnya. Kemudian diringi pula oleh yang seorang lagi. Kali ini bukan Rabiatun Kapau lagi yang menerima dan memberikan uang kembali, melainkan langsung diterima oleh Siti Aisyah. Pada saat memberikan uang kembali, maka Siti Aisyah menyelipkan selembar kertas kecil dalam sela uang kertas kembalian tersebut. Kedua orang itu berlalu dari kedai Rabiatun Kapau secara terpisah dan langsung masuk ke dalam keramaian penonton. Dalam jarak sepuluh meter dari kedai Rabiatun Kapau, kedua orang ini bertemu kembali sambil berjalan menuju parkiran bendi, sembari mencuri pandang ke kirikanan dalam kewaspadaan mereka membuka kertas kecil yang diselipkan Siti Aisyah tadi guna mempelajari rute dan ciri rumah rahasia yang akan ditujunya. Sepeninggal kedua orang pria itu Rabiatun Kapau bertanya dengan berbisik tentang siapa dan darimana kedua orang tersebut. Pria yang berjenggot hitam dan duduk di sebalah kanan tadi utusan yang datang dari Padang Panjang. Sedangkan yang duduk di bangku sebelah kiri utusan yang datang dari Selayo (Solok), Tek !, jawab Siti Aisyah kepada Rabiatun Kapau. Begitulah siasat yang dijalankan untuk beberapa kali oleh tamu-tamu rahasia yang berdatangan ke kedai Rabiatun Kapau dalam mencari petunjuk dan informasi pada saat-saat orang sedang dilengahkan oleh deru telapak kuda, dihiasi gumpalan kabut mengepul di belakang kuda sedang bertarung mengejar garis finish. Utusan - utusan itu bermacam gaya dan corak pakaian yang dikenakannya. Ada yang berlagak seperti parewa, ada seperti orang intelek dan ada pula berlagak seperti orang kampung totok. Rata-rata diantara mereka tidak memperlihat ciriciri sebagai ulama dan ninik mamak atau cerdik pandai (cendikiawan). Tentu saja cara-cara seperti ini adalah untuk menghindari kecurigaan para opsir dan spion melayu Belanda. Kalau dintara mereka seorang ulama dan berpakaian ulama, tentulah akan mencurigakan pihak Ulando. Karena tidaklah mungkin seorang ulama mau datang ke gelanggang pacu kuda yang dimeriahkan dengan berbagai bentuk perjudian tanpa ada maksud-maksud yang terselubung. Begitu pula bagi para ninik mamak dan cerdik-pandai, ninik-mamak dan cerdik pandai yang pro-Belanda sudah disediakan tempatnya di tribune. Dan tentu saja ninik mamak dan cerdik pandai yang membangkang pada Belanda tidak akan mau menghadiri acara yang dibuat oleh Belanda tersebut.

63 | Maryam Chilvalry

Dalam pertemuan rahasia pada sebuah Rumah Gadang di Bukit Apit itu, dengan suara bulat diambil beberapa butir kesepakatan sebagai keputasan rapat. Dan rapat tersebut berjalan dengan aman dan tertib, sama sekali tanpa adanya gangguan dan kecurigaan pemerintah Belanda. Kondisi ini tercipta adalah berkat bantuan dan fasilitator yang sungguh sungguh dari Tuanku Laras Kurai yang berperan dari belakang layar. Bersimpatiknya Tuanku Laras Kurai ini adalah berkad pendekatan yang dilakukan oleh Pakiah Muncak, seorang pemuda Kurai (Pakiah Mucak gugur sebagai suhada dalam perang 1908 di Kamang dalam usia tiga puluh tahun). Menjelang tengah hari di tengah lapangan arah Utara Nagari Gadut, disitu digelar beberapa hiburan, termasuk perjudian. Ada yang menyabung ayam, dadu kuncang dan sebagainya. Kesemuanya itu berada dalam perlindungan dan pengawasan polisi-polisi Ulando. Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih. Ternyata di gelanggang perjudian itu, persisnya pada tempat dadu kuncang diputar, t erjadi perkelahian antara petaruh dan bandarnya. Perkelahian itu dipicu karena bandar judi ketahuan berlaku curang, semenatara petaruh yang berkumis tebal itu sedang kalah banyak. Si kumis naik pitam dan merampas uang yang sedang menumpuk di depan bandar judi. Dan pada saat Si Kumis sedang merunduk merangkul uang-uang tersebut, sang bandar judi terkaget, secara reflek tumit kakinya yang sebalah kanan langsung melayang kearah rumpun telinga sebelah kiri Si Kumis. Pada saat itu juga Si Kumis membalas dengan mengarahkan tinju ke mulut sang bandar, tetapi dapat dielakkan oleh sang bandar. Terjadilah perseteruan dengan memperlihatkan kebolehannya masing-masing, yang akhirnya berobah menjadi cakak banyak, perkelahian masal. Pada saat Si Kumis menyentakkan pisau yang terselip di pinggang sebelah kirinya, mengacungkan pisaunya itu dan kemudian mengejankan tuahnya. Rasokan dek waang makan pisau kamanakan lareh sungai pua ko ! (Rasakan olehmu pisau kemenakan Tunagku Laras Sungai Pua ini !) Dijawab oleh si bandar judi yang telah mengambil ancang-ancang, pasang kudakuda. Buliah ! Supayo nak tau pulo waang jo aden nan dubalang lareh kurai ko ! (Boleh ! Supaya tau pula kamu dengan saya sebagai dubalang Tuangku Laras Kurai ini !) Si Kumis yang mengaku sebagai kemenakan Tuanku Laras Sungai Pua itu pun menikamkan pisaunya yang mirip kuku elang yang panjangnya hampir sehesta itu ke arah lambung si bandar judi yang katanya dubalang Tuangku Laras Kurai tersebut. Rupanya kedua parewa ini sama-sama lihai dalam bersilat, meskipun dubalang menyentakkan pisaunya pula tetapi keduanya tidak sempat terluka oleh masing64 | Maryam Chilvalry

masing tikamannya. Agak lama juga mereka itu berkelahi dengan mempergunakan pisau. Sehingga terpaksalah seorang opas Belanda menembakkan senapannya ke udara untuk melerai perkelahian yang sengit ini. Pada saat kedua orang yang sedang bermain pisau itu tertegun, barulah opas-opas yang lain menangkap masing-masingnya dan langsung tangan kedua orang itu dirantai dan digiring ke pos keamanan. Sebentar mereka ditawan di pos keamanan itu, kemudian komandan polisi Belanda memerintahakan untuk secepatnya diangkut langsung bersama anak buahnya masing-masing yang terlibat dalam cakak banyak itu dengan bendi dalam pengawalan opas menuju Pos Polisi dekat kantor kontroler di jantung kota, demi keamanan alek dan juga supaya tidak terlalu tersiar beritanya tentang keonaran itu. Tidak lama diproses di Pos Pilisi dekat kantor kontroler, disamping Jam Gadang itu, para perusuh itu pun dibawa ke penjara sebagai titipan sementara. Di Bukit Apit, yang terkenal dengan rendang kopinya itu rapat pun berakhir bersamaan dengan berakhirnya alek pacu kuda, sehingga peserta rapat kembali pulang ke daerahnya masing-masing untuk melakukan persiapan yang matang guna melaksanakan keputusan yang telah disepakati. Seorang pemuda sambil berjalan pulang, mampir dulu ke kedai Rabiatun Kapau yang sedang berkemas-kemas pula untuk pulang. Pemuda itu mampir pura-pura menanyakan sudah habisnya julan Rabiatun Kapau. Sudah habis dagangannya, Tek ? Adakah laris dagangannya ?, tanyanya kepada Rabiatun Kapau. Alhamdulillah, berkad pertolongan Allah, habis semua dagangan kami, jawab Rabiatun Kapau. Kemudian dengan suara berbisik dan gaya yang sangat hati-hati pemuda itu bertanya kepada Rabiatun Kapau. Mana, Kak Aisyah dan Maryam, Tek ? Mereka sedang mengantarkan barang barang ke pedati, jawab Rabiatun Kapau. Kalau begitu tolong saja etek berikan surat ini kepada Maryam nanti, dan saya duluan pulang. Permisi, Tek, kata pemuda itu lagi, sambil mengunjukkan surat tersebut. Sekembalinya Maryam membantu Aisyah mengantarkan barang-barang ke pedati, Rabiatun Kapau menyerahkan surat itu dengan sembunyi kepada Siti Maryam. Surat tersebut yang bertulisan Arab-Melayu itu dibuka dan dibaca Maryam. Ternyata isinya sebuah perintah kepada Siti Maryam supaya berangkat segera ke Mangopoh untuk menemui Yahya Taungku Sutan, Rahman Saidi Rajo, Sutan Syarif, Kana Angku Padang dan Majo Ali guna menjalankan misi khusus. Tapi sebelum menemui tokoh gerakan bawah tanah di Mangopoh itu terlebih dahulu berkonsultasi dengan Siti (Siti Mangopoh). 65 | Maryam Chilvalry

Sambil berkemas-kemas, mereka mendiskusikan persoalan keberangkatannya ke Mangopoh. Meskipun Siti Maryam keras hatinya untuk langsung berangkat ke Mangopoh sore itu juga, Rabiatun Kapau menyarankan sebaiknya Siti Maryam pulang dulu ke Kamang untuk beristirahat karena sudah kecapaian seharian sebagai pelayan, tukang cuci piring di kedainya itu dan penjaja makanan yang berkeliling di tengah lapangan pacu kuda. ... dan sampai sekarang kita belum tau pesan ap a yang akan dibawa kepada Ibu Siti Mangopoh. Jadi, sambil beristirahat nanti malam, kamu bisa meminta penjelasan dan pertimbangan lebih lanjut dari pimpinan gerakan kita, terutama kepada Inyiak Manan atau kepada Tuan Datuak Rajo Pangulu dan pemimpin lainnya !, Kata Siti Aisyah yang diamini pula oleh Rabiatun Kapau. Besok harinya Contreleur memanggil Tuanku Laras Kurai untuk menghadap di kantornya, dekat Jam Gadang. Pagi-pagi Laras Kurai telah naik bendi kebesarannya menghadap ke kantor kontroler. Sesampai disana Tuangku Laras dipersilakan masuk. Contreleur J.C. Westenenk langsung bertanya setelah Tuanku Laras di persilakan duduk dalam jarak tertentu dengannya dengan dibatas sebuah meja batu oval. Tuanku Laras, tahukah tuan laras sebab dipanggil ke sini ?, tanya Westenenk. Tau, tuan komendur !, jawab Laras Kurai. Kira-kira apa itu persoalan, Tuan Laras ?, tanya Westenenk lagi. Barangkali..., mengenai persoalan cakak banyak di gelanggang kapatang, Tuan !, jawab Tuanku Laras. Bukan barangkali...!, Tuan Laras...!, belalak Westenenk. Memang itu persolannya. Dan malah kenapa yang kedua belah pihak sebagai dalang perkelahian tersebut adalah di bawah dagu tuan-tuan laras sendiri ?, tukas Westenenk lagi dengan nada agak meninggi, kesal. Maafkan hamba, Tuan Komendur. Sama sekali itu hal adalah di luar sepengetahuan saya, Tuan ! Kan tuan mengetahui sekali bahwa saya sama-sama duduk dengan laras-laras dan penghulu kepala lainnya di belakang para pembesar pemerintah, Tuan Kumendur, jawab Tuangku Laras Kurai. Ik... tidak menuduh tuan Laras mengetahui persis persolannya. Untuk mengetahui sebab-sebab perkelahian itu, Ik sudah cukup punya informasi dan saksi mata, Tuan Laras !, bentak kontroler yang tidak simpatik itu. Lalu..., kenapa Tuan mempersoalkan itu kepada hamba, Tuan komendur ?, tanya Laras Kurai sambil memperbaiki posisi duduknya dengan sedikit memperlihatkan wajah menantang.

66 | Maryam Chilvalry

Maksud Ik, adalah itu orang mau diapakan Tuan Laras ? Karena mereka itu sama-sama dibawah lenggang ketiaknya Tuanku-tuanku laras ! Kalau itu orangorang biasa yang bikin onar seperti itu, maka Ik tak ambil peduli. Pasti akan dihukum berat. Ini adalah timbang rasa kami kepada laras berdua !, kata Westenenk membujuk Laras itu. Kalau begitu, berarti kita sependapat Tuan !, dan bukan alasannya seperti penuturan Tuan Komendur itu saja. Tetapi yang lebih celaka lagi adalah apa kata masyarakat banyak nanti, bahwa dengan perjudian yang telah pemerintah bebaskan itu ternyata menyebabkan sebuah perkelahian banyak. Tuan pun sangat tau bahwa perjudian adalah sesuatu yang dilarang keras oleh agama kami. Apakah hal ini akan menjadi alat propaganda oleh kelompoknya Haji Abdul Manan yang sedang giat-giatnya menentang pelaksanaan rodi dan belasting, Tuan !, kata Tuanku Laras Kuarai yang sedang bermuka dua. Westenenk terdiam sejenak, keningnya semakin berkilat-kilat dan urat-urat darah semakin mengelembung dibalik kulit dahinya yang lebar itu. Terimakasih tuan Laras, bagus juga analisa Yey tersebut. Dan itulah yang menggundahkan Ik semalam. Tentu Dul Manan dengan tenaga propagandanya semakin bertambah bahannya untuk mendapatkan dukungan simpatik rakyat. Tapi menurut tuan Laras siapa kira-kira yang berperan dibalik kejadian ini ? Tuan Komendur jangan menanyakan hal -hal diluar kemampuan hamba seperti itu, tetapi kalau untuk menyelidikinya adalah termasuk tugas hamba, Tuan Komendur !, pintas Tuanku Laras. Tapi yang penting menurut hamba sekarang, Tuan Komendur janganlah berlama lama menawan mereka itu di sel penjara, Tuan Komendur ! Lebih baik kita berpura-pura tidak ada masalah terhadap kejadian itu, sehingga masyarakat pun tidak bertanya-tanya pula kiri kanan. Dan dipihak kelompok Haji Abdul Manan kehabisan bahan propaganda pula jadinya, Tuan Komendur. Maafkan saya kalau saya terlalu lancang dalam persoalan ini, Tuan Komendur !, kilah Tuanku Laras pula. Tuan komendur yang ongeh (congkak) itu tidak menanggapi pernyataan Tuanku Laras Kurai itu, dia hanya diam dalam wajah yang mengkal. Setelah dia berfikir sejenak maka dia memanggil ajudannya. Ajudan !, sampaikan kepala lapas penjara agar tawanan yang berkelahi di gelanggang kemarin itu dilepaskan saja tanpa proses. Lepaskan saja seperti melepaskan anak ayam dari kandangnya !, perintah Westenenck. Kemenakan Laras sungai Pua dan dubalang Laras Kurai berserta pengikutnya yang ditawan karena terlibat perkelahian di gelanggang Bukit Ambacang sejak kemarin itu dibebaskan. Sedangkan kedok Tuanku Laras Kurai tidak terbongkar sebagai 67 | Maryam Chilvalry

dalang keonaran guna mengalihkan perhatian opas untuk meraziai kampungkampung di sekitar Bukit Ambacang, karena di Bukit Apit sedang berlangsung pertemuan rahasia kaum gerakan. Sewaktu angku sipir penjara akan melepaskan para tahanan itu, lama juga dia memperhatikan tingkah kedua orang tahanan yang sengaja di satukan kamarnya. Angku sipir melihat Si Kumis dan Si Dubalang berganti-gantian pijit-pijitan sambil bercakap-cakap yang terlihat sangat akrab. Sejenak dia mengurungkan niatnya untuk membuka kunci pintu jeruji besi dan berupaya menyelinap untuk menguping pembicaraan mereka. Secara seksama angku sapir menangkap pembicaraan kedua tokoh yang membuat kacau di gelanggang tempo hari. Sang Sipir merogo kantongnya dan mengeluarkan notes kecil untuk mencatat atas pembicaraan mereka. Rupanya kedua orang itu adalah teman seperguruan silat dahulunya. Sewaktu masih belia, mereka sama-sama belajar silat kepada Nan Batapo di Lasi dalam Kelarasan Canduang. Tentu saja tidak ada diantara mereka itu yang terluka karena mereka bukan berniat untuk saling membunuh, tidak lain mereka sedang beratraksi kepintarannya di depan umum, sambil mefasihkan kembali pelangkahan, jurusjurus silat yang sudah lama tidak diulang. Rupanya, Si Dubalang disuruh Laras Kurai untuk membuka perjudian dadu kuncang dan kemudian dia harus bermain curang yang nantinya dia pura-pura dirampas dan diserang oleh seseorang yang berbadan tegap berkumis tebal yang memakai topi trabus, sejenis topi morris. Si Kumis mengakui pula kepada Dubalang bahwa dia menerima pesan dari Tuan Laras Kurai yang disampaikan oleh Siti Maryam, bahwa dia harus datang memasang taruhan dadu kuncang dan nantinya berpura-pura menyerang, dengan menggunakan pisau. Tetapi sesampai di tengah gelanggang, ambo bingung, di lapiak (tikar) dadu mana rencana ini harus dilaksankan, karena ambo dapati ada lima tempat yang menggelar dadu kuncang tersebut. Lama juga ambo memperhatiakan ke lapiak mana yang akan dituju, kata Si Kumis sambil memijit pundak dan punggung Si Dubalang. Lalu kenapa awak sampai juga di lapaiak dadu ambo tuk ?, t anya Si Dubalang kepada Si Kumis. Nah, sewaktu ambo mematut-matut itu, menyerempetlah seseorang dari arah rusuk kiri ambo, ambo terkejut dan ambo lihat rupanya anak gadis yang sadang bajojo lapek (jajakan lemper), bika dan sarikayo katan dalam niru yang dijujungnya. Kemudian tukang kue itu langsung bolak-balik di depan lapiak dadu awak tu sambia (sambil) berpura-pura bajojo lapek, cerita Si Kumis. 68 | Maryam Chilvalry

Maksud awak gadih nan bajojo lapek jo bika tu si Maryam ?, tanya Dubalang pada Si Kumis. Iya, siapa lagi dia kalau bukan Siti Maryam !, jawab Si Kumis. Itulah yang membuat mereka ketawa terkekeh-kekeh di kamar yang sempit dan lembab itu. Mendengar itu semua, sipir penjara mengangguk-angguk saja dan selesai mencatat dalam notes kecilnya tentang semua perbincangan parewa di balik jeruji itu, lalu memasukkan catatannya ke kantong bajunya yang sebelah kanan dan pulpen di kantong kirinya. Bagus, bagus...! Sudah berbaikankah kalian ?, tanya sipir memutus pembicaraan mereka. Sudah, Tuan. Kami tidak bermusuhan lagi, kami telah sadar tuan, jawab mereka berdua serentak. Tapi, karena perintah Kontroleur segera untuk membebaskan tawanan itu maka sapir pun tak dapat berbuat banyak, kecuali menyuruh orang-orang dalam kurungan itu segera keluar sambil membuka kunci jeruji besi tersebut.

69 | Maryam Chilvalry

10.

Misi Khusus

Sampai jualan Siti Mariam di kediaman Siti Mangopoh. Setelah napas Siti Maryam lega, mulailah dia mengutarakan maksud kedatangannya kepada Mande Siti Mangopoh dan suami Siti Mangopoh, Rasyid Bagindo Magek. Hadir pula saat itu Majo Ali, Dullah Sutan Marajo yang saban hari berjualan sate dan sebagai tepatan Siti Maryam di Mangopoh untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi dari dan ke Kamang pusat, gerakan anti belasting di Minangkabau sebelum dia melanjutkan perjalanan ke Talu dan Pariman. Secara khusus Siti Maryam menyampaikan hasil pertemuan rahasia yang difasilitasi oleh Tuanku Laras Kurai pada sebuah Rumah Gadang di Bukit Apit Bukittinggi tempo hari. Mande, dari hasil pertemuan itu telah disepakati bahwa, pertama kita tetap menolak pembayaran belasting; kedua, andaikan masih dipaksakan juga oleh pihak Ulando maka tetap akan dilawan; ketiga, jika Ulando memaksakan dengan kekerasan akan dihadapi pula dengan kekerasan; keempat, haram hukumnya bagi orang muslim membayar pajak (upeti) kepada pemerintah yang zhalim dan atau pemerintah kafir; kelima, apabila pada suatu daerah terjadi sesuatu hal, perlawanan atau peperangan dalam menentang belasting tersebut maka daerah lain harus segera memberikan bantuan, jelas Siti Maryam. Kalau begitu sudah saatnya kita lebih mepersiapkan tenaga dan segala perlengkapan perang yang diperlukan, pintas Majo Ali. Tentu saja, kita juga memerlukan tempat yang lebih aman untuk memusatkan kegiatan pembekalan para pejuang kita, tukas Siti Mangopoh. Wajah Siti Mangopoh seketika mengkerut. Bibirnya memagtup. Nampaknya dia berpikir keras. Para pendampingnya menunggu, melihat gelagat itu. Suasana terasa tegang. Barangkali tempat yang paling aman adalah di Padang Pusaro atau di Padang Mardani Lubuak Basung, karena agak kepedalaman dan jauh dari penciuman Ulando, sambung Siti Mangopoh lagi. 70 | Maryam Chilvalry

Sepertinya Padang Mardani sangat cocok, Mandeh, dan saya sangat setuju disitu dijadikan sebagi pusat latihan. Karena selain pertimbangan keamanan saya juga lebih terbantu untuk melakukan perjalanan yang bolak-balik ke Kinali dan Air Bangis di Pasaman dan ke Kamang sendiri. Bahkan saya juga harus mengunjungi Pariaman, jawab Siti Maryam Pula memberikan pertimbangan kepada Siti Mangopoh. Tapi, biarlah kita rundingkan dulu dengan tokoh-tokoh kita yang lain, seperti dengan Dullah, Tuangku Padang dan sebagainya, saran Bagindo Magek. O, ya! Tentu pula Tuangku Padang akan bertemu dulu dengan Inyiak Manan di Pariman sebelum beliau datang kesini, Mandeh ? tanya Maryam Pula. Memangnya Inyiak Manan akan berkunjung ke Pariaman, Maryam ?, Siti Mangopoh balik bertanya kepada Siti Maryam. Iya, Mandeh ! Setelah alek pacu kuda itu pada malam harinya dilanjutkan pertemuan di rumah Inyiak Manan di Kampung Tangah, diantara perkara yang diputuskan adalah kita harus berbagi tenaga untuk menyampaikan hasil pertemuan di Bukik Apik dan langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya. Inyiak Manan ditetapkan sebagai utusan ke Padang Panjang, Pariaman, Lubuak Aluang, Padang, Pauah IX dan sekitarnya, jelas Siti Maryam. Kalau begitu, ya... harus kita tunggu terlebih dahulu apa hasil pembicaraan orang berdua tersebut, baru kita tentukan pula apa langkah kita selanjutnya, saran Rasyid Bagindo Magek, suami Siti Mangopoh yang tidak tergopoh-gopoh untuk mengambil sikap dan itupun dianggukkan pula oleh Majo Ali. Hal lain yang perlu juga kita ketahui bersama, Mande! Bahwa dalam acara alek pacu kuda di Bukit Ambacang tempo hari itu juga telah terjadi cakak banyak yang diawali oleh kemenakan Tuanku Laras Sungai Pua dan si Dubalang Tuanku Laras Kurai, kata Siti Maryam Lagi. Apa penyebabnya?, tanya Bagindo Magek pula. Karena perjudian, jawab Maryam. Kalau begitu judi membuat orang lebih sengsara, itulah buktinya pada kejadian tersebut, kata Majo Ali. Persis begitu Tuan. Justru itu kejadian kita jadikan sebagai propaganda kita kepada masyarakat guna menyulut kebenciannya kepada Ulando, jawab Siti Maryam Lagi. Tapi, kenapa hal itu bisa terjadi ?, tanya Siti Mangopoh pula. Sebetulnya kejadian itu telah direncanakan sebelumnya, Mandeh ! Ini adalah siasat yang telah direncanakan sebelumnya oleh Tuanku Laras Kurai untuk 71 | Maryam Chilvalry

mengalihkan perhatian Ulando, kalau-kalau Ulando mencium dan mencurigai pertemuan kita di Bukit Apit itu. Disamping itu, dapat pula sebagai pembuktian kepada masyarakat akibat perbuatan Ulando membebaskan perjudian pada saat alek pacu kuda itu, jelas Siti Maryam. Ooo...!, Siti Mangopoh sedikit terperajat mendengarkan sebuah skenario yang telah dimainkan bak kucing dan tikus itu. Sebanyak akal kucing sebanyak itu pula akal tikus. Berapa hari kamu direncanakan menemani kami di sini, Maryam ? Andaikan bisa, bantulah kami dulu di sini untuk melatih tenaga-tenga perempuan kita guna lebih menguasai ilmu persilatannya!, kata Siti Ma ngopoh kemudian. Sebetulnya kehendak Mande itu telah direncakan. Tapi sebelumnya saya harus ke Pasaman dulu untuk mengabarkan berita yang sama dan juga untuk mengobarkan semangat anti rodi dan belasteng di sana. Sepulang dari Pasaman nanti barulah saya akan tinggal beberapa hari di sini, Mandeh !,jawab Siti Maryam. Makanya tadi saya lebih setuju kalau kegiatan kita dipusatkan di Padang Mardani itu, Mandeh. Kan saya dari Pasaman tidak terlalu jauh menuju Padang Mardani itu nantinya, tukas Siti Maryam lagi. Kalau persoalan tempat dimana akan dipusatkan latihan dan menyusun siasat perang nanti akan kami kabari kamu, Maryam. Meskipun kamu masih berada di Pasaman !, jawab Siti Mangopoh pula.

INTENSITAS latihan perang dengan mempermahir gerakan mempergunakan rudus, pedang terhunus buatan Apar, pandai besi di Palembayan, Salo dan Salimpaung semakin meningkat. Tempat latihan dilaksankan tidak saja di goa batu, Ngalau Batu Biaro tetapi telah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, guna menghindari pemantauan kaki tangan, intel-intel Belanda. Kali ini latihan silat yang boleh dikatakan latihan berkelahi dengan mempergunakan senjata tajam dilaksankan di halaman belakang Surau Taluak, arah Utara dari Simpang Pintu Koto sekitar lima kilometer di Timur Kampuang Budi. 72 | Maryam Chilvalry

Semua pasukan harakiri, pasukan berani mati Haji Abdul Manan tidak pernah absen mempersiapkan dirinya untuk perang basosoh (serentak) dengan pasukan Belanda nantinya, termasuk ketiga orang srikandi Kamang, Siti Anisyah, Siti Aisyah dan Siti Maryam. Perang frontal dengan menyerbu sedekat mungkin dengan musuh adalah salah satu jalan untuk melawan dan melumpuhkan musuh. Tidak biasanya malam itu Siti Anisyah membawa putranya yang semata wayang ke arena latihan. Tetapi karena Ramaya yang tidak mau tinggal bersama neneknya malam itu, terpaksa Sutan Nan Basikek, suami Anisyah menyuruh istrinya untuk membawa serta Ramaya ke arena latihan malam itu. Pada saat Anisyah maju ke tengah arena latihan, Ramaya dipeluk oleh Siti Maryam yang bergantian dengan Siti Aisyah. Tetapi pada saat Anisyah sedang latihan dengan Aisyah dan Maryam barulah Ramaya berpeluk dengan bapaknya, Sutan Nan Basikek yang sering kami panggil dengan Mak Sikek. Malam telah larut, kelopak mata Ramaya bertaut karena mengantuk dia ditiurkan di dalam surau dengan berselimut kaian sarung bapaknya. Sesuatu yang penuh haru mengundahkan Siti Anisyah, Maryam, Siti Aisyah. Dalam lelapnya di atas surau, terdengar isak tangis Ramaya yang tersentak tidur, dia memangil-manggil ayah dan ibunya. Sehingga ibunya segera naik ke atas surau memungut dan memeluk anaknya itu sambil membujuknya untuk berhenti menangis. ...ma... apak mak...?, dalam isak tangis yang menghiba Ramaya menanyakan mana bapaknya meskipun dia telah dipeluk ibunya. Apak sedang latihan bersilat di luar nak. Apakah kamu mau melihat apak bersilat?, jawab Anisyah menenangkan hati anaknya. Iyo, Mak, kata Ramaya. Kalau begitu, ayao kita lihat bapak, tapi jangan nangis lagi, ya...! Ramaya memang tidak menangis lagi, dia menerawang menatap ayahnya yang lagi asyik berlatih dengan sebilah rudus di tangannya menghadapi tiga orang lawan yang di tangannya masing-masing juga memegang rudus dan pedang. Mak..., mak...!, kata Ramaya mengalihkan perhatian ibunya yang sedang asyi k menonton kelincahan gerakan suaminya kalau amak dan apak pai baparang nanti jo sia awak amak tinggakan. Maksudnya Kalau Ibu dan Bapak pergi berperang nanti dengan siapa dia (Ramaya) ditinggalkan. Rupanya desas-desus akan terjadi perlawanan rakyat terhadap kompeni sudah santer di Kamang, tua, muda, besar dan kecil bahkan anak-anak dibawah umur seperti Ramaya sendiri sduah mengetahuinya. Kan ada nenek dan etek, jawab Anisyah

73 | Maryam Chilvalry

Kalau amak jo apak pai baparang nanti, dan mati amak jo apak. Jo sia awak ama k tinggakan, Mak...?!, sambung Ramaya lagi. Maksdunya andaikan ibu dan bapak pergi berperang nanti, dan meninggal ibu dan bapak, dengan siapa saya ibu tinggalkan ? Mendengar pertanyaan anaknya yang polos, lugu dalam usia tidak lebih lima tahun itu kerongkongan Siti Anisyah terasah tercekik, namun dia berupaya untuk tidak memperlihat wajahnya yang berubah pilu itu. Anisyah menekurkan wajahnya memandang tubuhnya yang masih belum kering dari keringatnya sehabis latihan tadi, sekejap memandang ke arah suaminya yang sedang berlatih di tengah gelanggang sambil mendekap dan mengelus-elus kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. Kepalanya berdenyut bagaikan tersengat listrik tegangan tinggi, diiringi deraian air mata yang satu demi satu mulai menimpa tubuh Ramaya dalam pelukannya itu. Terbayang akan kegelapan masa depan si buyung yang tidak berkakak dan beradik itu nantinya. Anak semata wayang yang tidak akan disinari oleh kasih sayang ayah dan ibunya sepeninggalnya kelak kalau nasib tidak berpihak kepadanya dalam peperangan. Sebaliknya perang melawan tirani Belanda adalah sebuah perjuangan suci yang berpegang kepada tali agama dan untuk negeri, anak cucu dikemudian hari. Ramaya bingung melihat pandangan ibunya yang nanar yang diiringi deraian air mata itu. Cepat-cepat Siti Anisyah mendekap anaknya lagi. Anisyah takut akan timbul kegalauan dan pertentangan dalam bathin anaknya. Namun tanpa disadarinya kristal-kristal mutiara kasih sayang ibu semakin tidak terbendung, mulai menganak sungai menelusuri lekukan batang hidung Anisyah hingga ke dagunya dan jatuh satu-satu membasahi dahi Ramaya yang sedang mentengedah dalam pelukannya ibunya. Pada saat itu Maryam yang duduk agak terpisah dari Anisyah, tetapi masih dalam balutan pandangannya melihat sebuah gelagat yang tidak biasanya pada diri Anisyah. Maryam pun memberi isyarat kepadaku untuk menghampiri Anisyah. Aku coba mendekati Anisyah, sekilas aku menangkap ada sesuatu yang berkecamuk dalam dirinya. Hal itu terlihat jelas dari urat-urat yang menegak di dahi, matanya basah pada bandar hidungnya terlihat lendir bening yang meleleh, sedangkan sikap dan bawaannya sedikit gelisah, tidak tenang. Dengan suara setengah berbisik aku berusaha membuka tabir rahasia sesaat yang telah mencurigakan pandangan Maryam tadi. Apa gerangan yang terjadi, Tek. Sakitkah Ramaya atau... etek yang kurang sehat ?

74 | Maryam Chilvalry

Tidak, jurutulis. Tidak apa-apa. Tapi..., dimana Maryam tadi, adakah kamu melihatnya ? Aku tahu persis, bahwa jawaban dan sikap Anisyah seperti itu adalah caranya mengalihkan perhatianku dan sekaligus mengalihkan perasaannya yang sedang galau. Tapi aku belum tau apa sesungguhnya yang terjadi. Akupun tidak mau pula mendesaknya. Ada, Tek. Tadi Maryam berdiri di sebelah sana, dekat Kak Aisyah. Apakah perlu aku panggilkan dia, Tek ? Kalau kamu tidak keberatan, suruhlah Maryam ke sini ! Baik, Tek. Aku berjalan membungkuk-bungkuk, menyelinap-nyelinap disela-sela penonton yang sedang menunggu giliran untuk latihan akupun sampai juga didekat Kak Siti Aisyah dan Maryam. Kak, Kak Aisyah, sepertinya etek Anisyah ada masalah, beliau menanyakan Maryam. Bagaimana kalau Maryam menemui dia dulu ke sana, ketempat dia beristirahat itu dan mana tau Maryam bisa mencari tau masalah yang dihadapi Etek Anisyah, kataku pelan. Bagaimana baiknya, Tek ?, kata Maryam pula kepada Aisyah. Karena Maryam tidak enak juga meninggalkan kakak Aisyah begitu saja sendirian. Sebaiknya kita ke sana saja, Maryam !, jawab Siti Aisyah. Kami bertiga pun telah mengelompok bersama Anisyah dan Ramaya dalam keramian itu. Apa gerangan yang terjadi Kak ?, Aisyah. Ayolah, Tek ! Apa gerangan yang telah menimpa diri etek, bujuk Maryam pula menimpali pertanyaan Siti Aisyah dalam posisi jongkok dan memegang lutut Anisyah dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya membelai-belai kepala Ramaya. Kak, kenapa hanya diam saja, cobalah kakak berbagi sedikit dengan kami, timpal Aisyah kembali kepada Anisyah. Tidak ada apa-apa Aisyah, tidak perlu pula kalian turut gelisah, karena tidak ada kejadian apa apa. Kalau tidak kenapa mata etek memerah dan pipi Etek basah oleh air mata, dan wajah Ttek kusam pula, sela Maryam secara beruntun. Hanya mengenai Ramaya, namun biarlah perasaan ini aku rasakan sendiri, karena kalian pun tidak akan dapat memahaminya, jawab Anisyah 75 | Maryam Chilvalry

Meskipun kami belum mempunyai anak, tapi bukankah kejadian kita dari nur kasih sayangNya Allah, Tek ! Maka secuil perasaan untuk turut merasakan yang dialami orang lain pasti ada disetiap kita. Ini adalah sebuah keyakinan, Tek ! Tanpa aku sadari ternyata aku telah mendakwahi orang yang hampir sepataran ibuku itu dan malah selama ini beliau telah turut membesarkanku dalam pandangan hidup dan bersikap. Biarlah aku yang memeluk Ramaya mejelang latihan ini selesai, Tek. Kelihatnnya dia sudah tertidur, kata Maryam. Maukah kakak berbagi dengan kami ?, pnita Aisyah lagi. Setidaknya, supaya kami tidak mendustai jiwa dan nurani kasih sayang itu, Tek, tegasku pula kepada Anisyah yang sedang mengepal kedua tinjunya dan mendekapkan ke dadanya sambil menggoyang goyangkan tubuhnya ke arah dengkulnya menahan pilunya. Tak obahnya seperti orang sedang didepan bara api dalam kedinginan.Sambil menegakkan tubuhnya dalam posisi duduk itu, dia tidak dapat menyembunyikan kisah yang baru saja memilukan hatinya. Tadi Ramaya bilang kepada saya kalau amak jo apak pai baparang nanti, dan mati amak jo apak. Jo sia awak amak tinggakan, Mak...? Ibu manakah yang tidak akan luluh hatinya mendengarkan ucapan anak yang tidak lebih tiga setengah tahun lalu melepaskan mulut dari punting susuku jika dia haus, lapar, buang hajat atau karena rasa mengantuk sedang merajam matanya tatkala berucap seperti itu dengan lidah yang belum fasih itu, rintih Anisyah lagi kepada kami. Akh, celakalah aku. Tepat juga rupanya alasan etek Siti Anisyah, sehingga berat hati untuk berbagi dengan kami. Sekarang tiba giliran kami, leherku kaku, uraturat darah terasa meregang di dahiku. Maryam memalingkan muka dan menutup wajahnya dengan ujung kain panjang penyelimut Ramaya. Kak Aisyah seakan menatap replika keabadian pohon beringin sunsung di bulan yang hampir ditutup awan itu, deraian air mata pun menjelajahi pipinya menuju muaranya di dagu yang runcing itu milik mamak Datuak Rajo Pangulu itu. Pertanyaannya itulah yang melemaskan tulang-tulang dan menggoyahkan persendianku ini, sambung Anisyah dengan suara memelas meceh kebekuan kami. Kamipun tidak menduga, kalau pada saat itu juga Siti Anisyah tetap memberikan semangat hidup kepada Ramaya Ramaya, anakku. Semua orang akan menjadi ayah dan ibumu, nak ! Selagi oran g orang itu tetap membenci perangai Ulando yang ingin menguasai negeri ini, dan ingin merubah cara hidup kita ini, Nak !, ujar istri Mak Sikek itu.

76 | Maryam Chilvalry

Rupanya, betapapun tegarnya hati seorang ibu, tetapi karena sayang kepada anak sepanjang jalan luluh juga perasaan singa betina dari kaki Bukit Barisan itu. Dalam diam, senyap yang hanya ditingkah bunyi telapak kaki dalam perjalanan pulang dari Surau Taluak menuju Kampung Tangah pikiranku pun melayang kepada kejadian yang menimpa pejuang kita, Tuangku Nan Cerdik di Naras Pariman tempo dulu dengan kepiliuan yang menimpa Etek Anisyah tadi. Taungku Nan Cerdik nama lain dari Bagindo Maraganti atau disebut orang juga dengan Bagindo Nan Cerdik atau Tuangku Ketek (Kecil), adalah pewaris tahta raja di hulu yang berkedudukan di Mangguang, Naras Pariman menggantikan mamak (paman)-nya, Rajo Nando. Tuangku Nan Cerdik tidak mengacuhkan larangan Belanda untuk berdagang dengan Aceh dan membuat garam sendiri yang pada waktu itu Belanda telah memonopoli perdagangan dengan memasok garam dari Madura - dan rakyat di pesisir dilarang membuat garam sendiri. Pada bulan Desember 1930 Komandan Militer Sumatera Barat De Rochemont membawa pasukan satu detasemen dari Padang ke Pariman dengan invantri, berjalan kaki selama sebelas jam, dan secara diam-diam dapat menguasai Pariaman. Kemudian Resident Mac Gillavry menugaskan Asisten Residen Padang untuk mengambil alih pemerintahan di Pariman tersebut guna menghancurkan Tuangku Nan Cerdik itu. Penyerangan ke Mangguang dimulai pada 12 Desember 1930, dengan memberangkatkan pasukan sebelum subuh yang terdiri dari 1.000 orang invantri, 50 orang marinir dan pelaut-pelaut dari korvet Pollux bersama sejumlah besar pasukan pribumi dengan membawa 3 buah meriam kecil dan 1 buah meriam besar. Perjalanan dari pusat pemerintahannya di Pariaman dilakukan dengan menyisir pantai menuju utara dan dua buah kapal perang pun dikerahkan ke Naras (Mangguang). Sesampai di Manguang ternyata kota itu telah dikosongkan Bagindo Nan Cerdik. Akhirnya Belanda tetap melanjutkan perjalanan ke Naras dengan meninggalkan sepasukan di Mangguang untuk berjaga-jaga. Saat memasuki Naras pasukan Belanda mulai dibuat kucar-kacir oleh tembakan senjata dan meriam pasukan Tuangku Nan Cerdik. Belanda kewalahan, meriam-meriam belanda berbalik pulang ke Pariman. Adalah kekecawaan pertama pasukan Belanda, meskipun meriammeriam perang dari dua buah kapal yang telah sampai di laut muka Naras, turut menggonggong mengahantam kubu pertahanan Tuangku Nan Cerdik tersebut. Pada 21 Desember diatur lagi strategi berikutnya dan dimulailah penyerangan balasan oleh Belanda. Kalau taktis ini kita namakan dengan rencana B, maka rencana B juga tidak berhasil. Ternyata Tuangku Nan Cerdik selama gencatan senjata telah menebar banyak ranjau dan semakin memperkuat benteng pertahanannya di Naras. Hal hasil Komandan Militer Belanda De Rochemont 77 | Maryam Chilvalry

sebelum bertempur telah ketakutan dan menyuruh saja pasukannya untuk mundur. Komandan Militer Belanda, De Rochemont sebagai bekas pasukan Napoleon itu terpaksa meracik otaknya membuat rencana C. Dalam bulan Mei 1831 rencana itu pun dilaksankan. Dibawah pimpinan Michiels dengan sebuah ekspedidi kuat berhasrat kembali untuk menghancurkan Naras, tentu saja yang dicari adalah sang raja pesisir itu. Tanggal 7 Juni 1831 Naras dan VII Koto digempur habis-habisan oleh Belanda, sehingga lokasi untuk menempati meriam-meriamnya menghadap ke Naras dan VII Koto dinamakan orang dengan dusun Meriam. Meskipun Naras telah rata dengan tanah, namun dengan sebuah tipu muslihat Tuangku Nan Cerdik dengan pasukannya dapat meloloskan diri ke Bonjol. Belanda kesal, sakit hati, marah. Karena entah kemana rasa sakit hati akan dilepaskan akhirnya rencana D perlu dipikirkan untuk membalas sakit hati karena telah dipermalukan oleh Tuangku Nan Cerdik lantaran yang dihancurkankan adalah kampung yang telah tidak berpenghuni itu. Belanda mengambil cara yang licik. Akhirnya ibu, istri dan kedua putri Tuangku Nan Cerdik ditangkap. Istri dan ibu Tuangku Nan Cerdik dipenggal kepalanya oleh Belanda dan dibawa ke Pariman untuk dipertontonkan dikhalayak ramai, sedangkan seorang putrinya di bawa Ellout ke Padang untuk dididik -nya. Wallahu alam bissawab. Putri yang seorang lagi ditawan di rumah komandan militer di Pariaman. Sejalan dengan penghinaan Belanda yang tidak berprikemanusiaan itu rencana E pun dilancarkan. Ellout mengeluarkan sebuah sayembara, bahwa barang siapa yang dapat menangkap Tuangku Nan Cerdik hidup-hidup akan mendapat hadiah 1.000 gulden; dan siapa yang hannya dapat menyerahkan kepala Tuangku Nan Cerdik akan memperoleh uang 500 gulden. Tapi, toh sayembara itu tidak laku, tidak membuahkan hasil. Sekarang Gubernur Militer Sumatera Westkust mendapat giliran, hidup seperti kue bika, ditasnya bara di bawahnya api. Jabatan harus dipertaruhkan kembali kepada Gubernur Jenderal di Batavia seandainya Tuangku Nan Cerdik masih belum dapat dilumpuhkan. Alasan petinggi di Batavia sederhana saja, karena sudah banyak biaya yang dikeluarkan pemerintahan kerajaan gara-gara seorang itu saja, belum lagi menghadapi pasukan Paderi yang dipimpin Tuangku Imam. Dalam bulan Maret 1832 kedudukan Belanda di Utara mulai gawat. Momen ini dipergunakan oleh Tuangku Imam Bonjol yang dibantu Tuangku Muda membawa 4.000 orang pasukan bergerak menuju Tiku. Sedangkan Tuangku Nan Cerdik memimpin 3.000 pasukan. Pasukan Paderi yang bergerak dari Bonjol itu membuat pertahanan di Mangopoh. Pihak Belanda harus mematangkan Rencana E dan dilaksankan. Belanda mulai memerlukan kapten intel, yang terkenal dengan spion-spion melayu-nya. 78 | Maryam Chilvalry

Sekali lagi Petinggi Belanda di Padang memasukkan benaknya ke kilangan akal untuk mendapatkan setetes harapan lagi untuk melumpuhkan Tuangku Cerdik kalau tidak, tuan Gubernur Militer di Sumatera Barat itu akan memperoleh seuntai kalimat penghargaan, yaitu Selamat Jalan menuju tanah kelahiran. Holland masih setia menunggu kepulangannya. Rencana E belum hasilnya, target belum tercapai. Terpaksalah rencana E dikembangkan menjadi Rencana F. Sewaktu Tuangku Nan Cerdik memasuki VII Koto, Elout menyeret anak gadis kecil Tuangku Nan Cerdik ke hadapannya untuk dipampangkan kehadapan bapaknya sendiri yang telah siap menyerbu pasukan Belanda yang sedikit dalam keadaan nervous itu. Dengan tiba-tiba pasukan Taungku Nan Cerdik langsung mengundurkan diri dan lari meninggalkan medan pertempuran. Tentu saja psywar yang diciptakan Kolonel Elout ini telah membawa hasil gemilang di pihak Belanda. Dengan berhasilnya rencana F' inilah lumpuhnya perjuangan petak umpet Tuangku Nan Cerdik terhadap Belanda. Adalah karena si pengobat rindu-pelerai deman - si buah hati limpa berkurung telah menjadi pampasan perang. Demi anak tidak kayu jenjang pun di keping, demi anak apun diperbuat. Zonderlinge overwinning, suatu kemenangan aneh buat Belanda. Akhirnya Tuangku Nan Cerdik pada bulan Agustus 1832 itu menyerahkan diri, karena tidak kuat menahan rindu kepada anak yang masih hidup dan ditawan orang lanun dari negeri asing di seberang lautan luas itu. Beliau menyerahkan diri dan memohon untuk dapat berjumpa dengan anaknya yang sedang ditawan dan berjanji akan hidup bersama anaknya itu di Padang, tidak kembali lagi ke Mangguang dan Naras. Sehingga dikemudian hari borderline, garis batas, antara daerah pesisir dan darek mulai terbuka bagi Belanda untuk mendesak jantung gerakan Paderi di pedalaman Luhak Agam terus ke utaranya, yaitu Bonjol. Dalam keasyikanku melayang jauh ke masa lalu itu, yaitu setelah kami berpisah dengan Aisyah dan suaminya Datuak Rajo Pangulu di Simpang Pintu Koto . Kami berbelok ke kanan, ke arah Joho menuju Surau Koto Samiak. Dan persis selepas jembatan di Joho tiba-tiba Mak Sutan Nan Basikek, suaminya Etek Siti Anisyah memegang lenganku, seakan mengisyaratkan berhenti sejenak. Ambo ingin bertanya sesuatu padamu, apakah boleh ? Boleh, Mak. Apa gerangan, Mak, aku masih terkaket karena baru saja disentakkannya dari lamunanku barusan. Begini, sepertinya ada terjadi sesuatu diantara kalian tadi itu. Tetapi karena saya khawatir membuyarkan semangat kawan-kawan yang sedang latihan makanya saya tidak mendekati kalian, jelas Mak Sikek kepadaku sambil kembali melangkah kembali melanjutkan perjalanan pulang. 79 | Maryam Chilvalry

O, rupanya mamak, memperhatikan kami juga tadi itu ?, jawabku mereda. Aku raba dan akau usap-usap kepala Ramaya yang terkulai lelap dalam gendongan ayahnya itu. Nanti lah Mak, nanti akan saya ceritakan apa yang terjadi tadi itu kepada mamak, ulasku lagi. Apakah kamu juga akan tidur di rumah kami malam ini ? Tidaklah, Mak ! Bagaimana pula saya akan bertandang di rumah mamak, sedangkan Maryam juga ada di sana. Tidak bagus dilihat orang, tentu akan menjadi fitnah pula nantinya, Mak. O, ya!, Lalu...?, tanya Mak Sikek lagi Ya, saya tetap tidur di Surau Inyiak, Mak, jawabku. Kemudian kami hanyut lagi dalam keheningan malam dalam perjalanan pulang. Maklumlah beralas kakipun tidak sehingga yang terdengar adalah bunyi telapak kaki pada saat menginjak jalan tanah dan becek yang ditingkah oleh suara kodok, caciang gilo yaitu cacaing berukuran besar di semak-semak di sepanjang sawah. Sudah separo jalan kami berlalu, kemudian Mak Sikek memulai angkat bicara lagi. Kalau malam ini aku tidur bersamamu di surau bagaimana, ya ?, sehingga sebelum tidur kamu dapat menceritakan kejadian itu padaku. Kalau begitu tidak apalah, Mak. Jadi sekarang kita antar mereka ini dulu bersama-sama ke rumah, setelah itu kita berbalik menuju suaru di Budi. Di Surau Inyiak Manan di kampung Budi cerita tentang Ramaya pun aku paparkan kembali, sebagai laporan kepada orang yang punya anak dan istri.

80 | Maryam Chilvalry

11.

Rahasia sebuah Surat Rahasia

Pasar di Minangkabau pada abad ke 18

BELANDA secara berangsur-angsur bagaikan tikus mengerek telapak kaki orang yang sedang tidur, dengan cara mulai merombak sistem pemerintahan dan sistem moneternya di Minangkabau. Untuk kesekian kalinya pasca perang Paderi 1837, perjanjian Pelakat Panjang disetujui tahun 1833 dilanggarnya. Sebagai kelanjutan atas Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 18 tanggal 4 November 1823, yang berisikan selain bentuk-bentuk pemerintahan untuk Minangkabau, diantarnya menyangkut bidang kepolisian, pajak, cukai pengadilan dan lain-lain. Dipicu pula oleh kebutuhan akan biaya yang semakin sangat besar karena Kerajaan Belanda mengalamai resesi moneter dan terkurasnya dana untuk membiaya peperangan pada awal abad ke-20, maka dipaksakanlah diberlakukannya pajak langsung yang dikenal dengan belasting dalam bentuk penyerahan langsung berupa uang yang dipaksakan kepada rakyat Minangkabau sebagai pengganti Coffeestelstel - buah tangan Deandels dengan Nederlandshe Handels Maatshappij sebagai agen tunggalnya selama ini. Besarnya pajak langsung itu didasarkan kepada harta kekayaan, sawah -ladang dan termasuk luasnya pekarangan rumah. Dan, tidak ada pengecualiannya, sekalipun tanah ulayat, harta milik kaum. Peraturan untuk membayar Balasting itu adalah berarti membayar uang takut atau upeti kepada Belanda padahal kita hidup di atas tanah kita sendiri. Selama ini hasil tani kita telah disitanya dengan sistem monopoli dagangnya. 81 | Maryam Chilvalry

Dengar ya, Maryam ! Bahwa di tanah yang di taruko (dipaculi), hasil cencang retas ninik moyang kita - yang dahulunya hanyalah hutan rimba, rawa, semak belukar sekarang harus pula kita membayar kepada sihudung anggang tersebut, ketus si Juru Tulis dalam perbincangannya dengan Maryam di rumah istri Sutan Nan Basikek. Kalau begitu bisa hilang juga tanah milik ulayat kita nantinya, Kanda, sela Maryam. Ya, tepat sekali ! Memang itu sasaran akhir dari sifat monopoli kekuasaannya, yang katanya, mereka sebagai penguasa negeri ini. Seb agai pemerintah, katanya, jawab si Juru Tulis lebih meyakinkan Maryam. Maryam pun manggut-manggut seperti orang yang sedang menganalisa sebuah sebab dan akibat kejadian, Darimanakah, Kanda tau tentang itu ? Dari tindakan Ulando hari demi hari saja telah menjelaskan kepada kita. Hukum adat Minangkabau dipandang Belanda sebagai kendala atau penghalang dalam pengambilalihan tanah oleh pemerintah. Karena tanah yang tidak bertuan sebetulnya tidak terdapat di Minangkabau ini. Posisi hak ulayat atas tanah sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Tanah ulayat merupakan persoalan hidup dan mati bagi setiap kaum dan tanah ulayat nagari adalah lambang kebesaran dan aset anak nagari di Minangkabau. Akibatnya, upaya penyediaan tanah garapan menjadi terkendala bagi Belanda. Terkendala bagi kaum kapitalis yang berfikiran materialistis. Berdasarkan hal tersebutlah, akhirnya memaksa pemerintahan Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria 1875, Nomor 199a yang berisikan domeinverklaring itu, berupa pernyataan pemerintah bahwa tanah ulayat nagari dicaplok menjadi milik negara. Di atas tanah -tanah itulah perkebunan liberal dilangsungkan di Minangkabau. Munculnya Undang-Undang Agraria 1875 dengan domeinverklaring-nya, berarti penghapusan segala bentuk hak ulayat di Minangkabau, sama artinya menghapuskan hukum kewarisan dalam hukum adat , karena tanah ulayat melambangkan persekutuan hukum dalam masyarakat. Kondisi ini diperparah lagi oleh kebijaksanaan Belanda di Minangkabau dengan banyaknya penghulu yang diangkat dan diberi besluid oleh pemerintah Belanda. Kenapa tidak, orang-orang yang dikatagorikan sebagai urang nan malakok (pendatang baru), tidak mempunyai hubungan genologis dalam status adatnya di dalam kaum di nagari itu oleh Belanda dibuka peluang untuk mengangkat penghulunya sendiri. Sehingga, mereka duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan orang yang memayunginya secara hukum adat dan sekaligus - yang telah memberinya tumpangan hidup. Malah statusnya pun di back-up oleh pemerintah 82 | Maryam Chilvalry

(Belanda) asalkan dia patuh sebagai - pesuruh - Belanda, seperti para Angku Suku, Angku Palo, Laras, Demang dan paling tidak sebagai Penghulu Nan Bapisuluik, yang telah dilegalkan oleh pemerintah Ulando dengan berbagai pengkondisian dan perekayasaannya, kesemuanya mendapat tunjangan dan gaji dari pemerintah. Meskipun tidak semua yang diberi pangkat dan jabatan masih ada orang yang asli, tapi Ulando tetap mendasarinya kepada kepatuhan seseorang. Tujuannya adalah kukuhnya kekuasaan, pengerukan kekayaan rakyat, menghancurkan pola musyawarah dan munfakat rakyat, hidup timbang rasa dan kikis sistem hukum adat Minangkabau. Artinya, Bareh diserakkan, pinggalan diacungkan (beras ditebar, pentungan diacungkan), fasilitas pembangunan dilengkapi, tapi kedaulatan rakyat dikerdilkan, sehingga masyarakat tidak bisa melawan kesewenang - wenangan ninik mamak boneka Belanda semacam itu. Sebaliknya, meskipun dalam ranji ninik mamak di setiap nagari tetap terberai, tetapi karena takut dengan ancaman pemerintah maka terpaksa didiamkan. Kesemuanya akan dinilai atas kekayaan dan keberadaan seseorang dan bukan lagi karena luasnya ilmu seseorang dan bukan pula atas ketawaqalan nya terhadap Tuhan. Kebijakan ini bagaikan pedang bermata dua, tidak ujung pangkal pun mengena, karena secara berangsur-angsur akan menipis dan hilangnya nilai-nilai - raso jo pareso - sesama anak nagari nantinya, berkuah darah antara anggota satu kaum kelak pun bisa terjadi. Peluang konflik telah diciptakan dalam kerangka devide ed impera, karena ninik mamak akan berbuat semau-maunya disebabkan di dalam dirinya sudah tertanam paham sebagai penguasa dan bukan lagi sebagai seorang pemimpin. Seseorang diukur dari sudut materialisme. Penghulu itu adalah pemimpinn, bukan penguasa. Karena itu sifat seorang penghulu di Minangkabau harus merujuk kepada sifat-sifat Rasulullah, Saw. Begitulah upaya-upaya yang dilakukan oleh Belanda untuk menghilangkan status adat Minangkabau, tahap demi tahap, pelan tapi pasti. Maryam, benar juga apa yang disampaikan oleh guruku dahulu bahwa jerat tidak akan lupa dengan burung balam, jerat serupa dengan jerami. Memang penjajahlah yang pertama sekali menjerat kita untuk meluluhlantahkan aturan dan kehidupan banagari, kata Si Juru Tulis. Kemudian, pada tahun 1901, permulaan abad ke-20 pemerintah Belanda membutuhkan anggaran belanja yang tidak sedikit untuk memperkuat kedudukannya di Minangkabau, apalagi untuk menutupi biaya yang telah cukup besar dikeluarkan selama berlangsungnya Perang Minangkabau. Bayangkan saja, satu-satunya daerah yang didatangi langsung oleh seorang Gubernur General yang lebih dikenal oleh masyarakat kita dengan sebutan Tuan GeGe ke wilayah 83 | Maryam Chilvalry

jajahannya di Nusantra ini dalam menumpas pemberontakan rakyat pada masa itu, hanyalah Minangkabau. Toh, meskipun pada akhirnya peperangan itu hanya dapat dihentikan Belanda dengan siasat, tipu muslihat pula, karena Belanda sendiri mengakui bahwa orangorang kita tangguh, deden van ongelooflijken med, sebuah tindakan berani yang luar biasa dengan penuh perhitungan (strategi). Dengan jalan berpura-pura ingin melakukan perundingan, Peto Syarif Tuangku Imam Bonjol disandera. Dan untuk kesekian kalinya pula hasil perundingan Pelakat Panjang itu pun mereka ingkari. Ulando itu kan memerintah di negeri kita ini, Kanda, te ntu ada yang mendasari hingga sejauh itu tindakannya, baik terhadap kehidupan maupun terhadap adat dan agama kita ? sela Maryam pula. Mendengar pancingan Siti Maryam itu semakin timbul semangat si Juru Tulis dan semakin terungkap segala pengetahuan dan analisisnya selama ini. Maryam, semua tindak-tanduk, kebijakan Ulando di Minangkabau pada prinsipnya didasari oleh surat rahasia Tuan GeGe kepada Tuan Resident di Padang, tegas Juru Tulis. Surat rahasia yang mana, Kanda ?, Maryam sedikit terkaget. Maryam, pada tahun 1839, Tuan GeGe yang bernama Van den Bosch, menulis sebuah surat rahasia kepada Resident di Padang. Dan salinan surat rahasia itu telah berada di Inyiak Manan. Kemudian Inyiak Manan membahasnya bersama Mak Garang Datuak Palindih, Tuan Kari Mudo, Mak Datuak Rajo Pangulu, Inyiak Haji Musa, Inyiak Jabang. Kemudian hasil pembahsan itu kami kembangkan pula kepada beberapa ninik mamak dan cerdik pandai yang patut serta mungkin lainnya. Sejak kapan Inyiak Manan menyimpan surat yang amat penting itu, Kanda ? Itu tidak perlu kita bahas. Siapa yang berbaik hati untuk membocorkan rahasia itu, Kanda ? Itu tidak Penting. Tapi sudah pasti melalui tangan seseorang yang dipercayai Inyiak Manan sendiri, Juru Tulis seperti merahasiakannya kepada Maryam siapa yang berperan sebagai penghubung antara mata air dan saluran air ke sawah. Sementara itu Maryam sedikit tersentak hatinya, agak curiga. Adakah sesuatu yang Kanda sembunyikan kepadaku ? lentuh Maryam kepada Juru Tulis. Tidak, Maryam. Untuk apa saya sembunyikan kepadamu. Saya sungguh tidak tau kapan dan siapa yang telah membawa surat rahasia itu kepada Inyiak Manan.

84 | Maryam Chilvalry

Ada apa, kenapa kamu memikirkankan dan gigih tentang sumber surat itu, Maryam ? Tidak apa-apa, Kanda. Saya hanya sekedar tau saj a. Tapi, Maryam, yang pasti... salinan surat itu dari Pandeka Mukmin. Apa ? Pandeka Mukmin ? Berarti belum lama ini ?, Maryam terperanjat sambil menempelkan jari tangan kananya dibibir dalam keheranan. Ya ! Pandeka Mukmin, prajurid Ulando di Gaduang , di Bukittinggi. Memangnya kenapa, Maryam ?, Si Juru Tulis pun heran dan ingin tau sebaliknya dari Maryam. Ya, karena dalam kurun waktu ini hanyalah saya yang pernah bertemu dengan Pandeka Mukmin. Disuruh Inyiak Manan, Kanda. Juru Tulis mengerinyitkan dahinya sebagai ekspresi dari berkecamuk pikirannya dalam kebisuan kata-kata. Jangan-jangan Maryamlah yang telah menjadi tukang pos antara Pandeka Mukmin dengan Inyiak Manan. Kalau memang begitu, kenapa aku tidak tau atau dikasih tau oleh Maryam atau Inyiak Manan sendiri ? Tapi, Kanda. Pandeka Mukmin tidak ada memberikan surat apapun, kecuali hanya sepotong ranting buluh bambu. Bagaimana ceritanya pertemuan kamu dengan Pandeka Mukmin, Maryam ? Beberapa waktu lalau saya disuruh Inyiak Manan menemui P andeka Mukmin ke Gaduang. Dan pandeka mukmin pura-pura membeli kue talam saya lalu menyelipkan sebuah ranting buluh bambu ke bawah daun di dalam talam kue saya itu. Jadi kamu yang membawa benda keramat itu !, Juru Tulis lebih memastikannya kepada Maryam. Juru Tulis mulai menggerutu dalam hatinya ...rupanya memang dialah yang menjadi tali bandar, sebagai saluran tersier antara Pandeka Mukmin dan Inyiak Manan. Aku terkecoh ! Benda Keramat bagaimana, Kanda ?, Maryam agak kaget pula. Si Juru Tulis tidak menjawabnya malah balik bertanya. Apakah kamu tidak tau isi dari ranting bambu kecil itu, Maryam ? Tidak, Kanda. O, begitu !, Juru Tulis merespon dengan dingin, tapi hatinya merasa geli. Kenapa begitu, Kanda. Saya tidak berani mebuka benda itu, Kanda ! Karena saya kira benda itu adalah penangkal sesuatu atau semacam ajimat anti peluru, dan lagi 85 | Maryam Chilvalry

amanah yang saya terima hanya menerima sesuatu dari Pandeka Mukmin dan memberikan kepada Inyiak Manan. Itu dalam penuh kerahasiaan dan tidak boleh jatuh ketangan orang lain. Tepat sekali, Maryam, benda itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Tetapi ternyata Ulando itu dapat juga dikecoh oleh Pandeka Mukmin. Memangnya, ada apa dengan benda itu. Apa hubungannya dengan Pandeka Mukmin dan Ulando, Kanda ? Untuk mengelabui Belanda apabila terjadi pemeriksaan dan kertas itu ditemukan maka disiasatilah oleh si punya ide. Surat itu dilipat kecil dan dimasukkan ke dalam sepotong ranting buluh bambu sepanjang tiga sentimeter. Ranting bambu itu dililit dengan benang tujuh rupa dan ditempeli dengan kemenyan pada kedua ujungnya, sehingga menyerupai sebuah azimjat. Sudah pasti Belanda tidak akan memperdulikan benda yang berhubungan dengan magic. Benar, Maryam. Benda itu tidak ada hubungannya dengan ilmu kebatinan, tetapi isinya lebih berbahaya daripada sihir apapun. Kenapa seperti itu, Kanda. Betul kamu tidak membukanya, Maryam, sekali lagi Juru Tulis mencari kepastian dari Siti Maryam, si buah hati yang lugu itu. Benar, Kanda. Bukankah sudah saya jelaskan tadi. Saya hanya memegang amanah sebagaimana yang diperintahkan saja Kanda. Apakah kanda tau isi benda itu ? Untuk kamu ketahui, Maryam ! Bahwa benda yang kamu serahkan Kepada Inyiak Manan tersebut di dalamnya adalah sebuah surat rahasia yang ditulis prajurit Belanda si Hendrick itu. Surat itu dia dimasukkan ke dalam ranting bambu itu. Kamu sediri yang membawanya menyangka pula benda itu adalah sebuah azimat, bukan ? Surat rahasia apa, Kanda ? Ya ! Itu..., adalah surat rahasia dari si hidung anggang yang berkulit pasi putih pucat itu. Tentu saja surat rahasia dari tuan GeGe Van den Bosch di Jawa kepada tuan resident di Padang yang saya maksudkan tadi." Saya tidak ada bertemu dengan prajurit Ulando yang bernama Hendrick, Kanda. Sungguh, saya berani bersumpah, Kanda ! Yang menyerahkan benda itu adalah Pandeka Mudo. Bukan Hendrick, Kanda ! Maryam sedikit cemas seakan dia telah menjalin hubungan gelap atau bermuka dua dengan pihak Belanda. Ya, begitulah tabiat seorang yang lugu. Ha, ha, ha...!, maksudmu Pandeka Mukmin ? 86 | Maryam Chilvalry

Iya, Kanda ! Ha, ha, ha...!, Pandeka Mudo, Pandeka Mukmin atau dipanggil orang juga dengan Pandeka Ulando..., adalah si Hendrick itu, Maryam! Hendrick Scouten nama lengkapnya. Jadi..., yang menyerahkan benda berkemenyan itu adalah Hendrick. Hendrick adalah Pandeka Mukmin atau Pendeka Mudo, Pandeka Mudo adalah Hendrick, begitu Kanda ?, Maryam bingung. Bukankah dia orang Kamang ini, Kanda ? Tanya Maryam pula. Iya, dia sejak kecil sudah menjadi orang Kamang ini, Maryam. Lalu, kenapa dia mau menjadi tentara Ulando, Kanda. Akh..., itu panjang ceritanya, Maryam. Lain waktu akan saya kisahkan kepadamu siapa si Hendrick itu sesungguhnya. Biarlah menjadi bahan cerita menjelang tidur di malam pengantin kita nanti, Maryam. Ha..., ha..., ha...! Ah, Kanda... Maryam merungut mesra, menekurkan wajahnya tapi tidak mencubit atau menepuk si abangnya itu, seperti anak gadis sekarang ...ambo bersungguh sungguh, tapi kanda bergurau pula !

Tangsi di Padang Masih dalam wajah menunduk Maryam memoles kata dalam hati yang berbungabunga itu. Adalah pula sebuah kehangatan dan kemesraan yang tidak terhingga oleh si Juru Tulis melihat rungut sang kekasihnya itu. Tapi yang pasti, Maryam.... Hendrick itu adalah anak dari Mayor Scouten yang telah pensiun dari tentara Ulando semenjak Hendrik masih berumur delapan tahun, Juru Tulis menambah sedikit penjelasan untuk menormalisasikan suana mereka.

87 | Maryam Chilvalry

Apakah Kanda juga ikut dalam membahas isi surat rahasia yang disalin Pandeka Mukmin itu ? Tentu saja iya !, kan saya juru tulis Inyiak Manan, saya dilibatkan dalam pertemuan tersebut, Maryam. Dan malah saya disuruh menyalinnya kembali dalam buku catatan penting saya ini. Kapan Kanda memperlihatkan salinan surat rahasia itu kepada saya ? Sekarang pun bisa, Maryam. Aku pun membuka buku catatan itu. Akupun berani membukanya karena telah dapat izin sebelumnya oleh Inyiak Manan. Maryam perlu tau isi surat itu, karena dia adalah salah sat u kekuatan kita dalam mengkampanyekan tentang perang melawan kekuasaan Ulando ini, kata Inyiak Manan kepadaku setelah rapat membahas surat rahasia ini, begitu peserta musyawarah membubarkan diri. Sekarang kamu dengarkan baik-baik, ya ! Biar saya bacakan surat rahasia dari Tuan Ge-Ge yang bersemayam di Batawi itu kepada Gubernur Militer Sumatera Barat di Padang. Batavia, Tanggal 17 April 1839 No. La A5-1839. SRHS. Tunggu dulu, Kanda. Apa artinya SRHS itu, Kanda?, sela Maryam. SRHS adalah singkatan dari Sangat Rahasia Sekali. Dengarkan baik-baik, ya. Prinsip campur tangan dalam urusan rakyat dalam nagari harus tunduk pada tujuan akhir kita di Minangkabau, yakni mengukuhkan kedudukan kita di sana. Walaupun untuk mencapai tujuan tersebut lebih baik kita tidak campuri pemerintahan sehari hari dalam nagari, namun baik sekali jika para penghulu di berbagai daerah makin lama makin mendapat pengaruh lebih besar dari kita dan dengan demikian mereka bisa bekerja untuk kepentingan kita selanjutnya. Rakyat harus terbiasa dengan pemerintahan yang teratur dan disamping itu pemerintahan berpemimpin satu, dan harus didirikan pula sebuah aristokrasi yang terkait pada kita untuk mengganti demokrasi-nya. Sambil menyimpan buku itu kembali, aku memberi tambahan semangat, mendorong semangat Maryam, kenapa harus diadakan perlawanan terhadap Belanda dengan alasan perang anti belasting ini. Sebetulnya, tanaman kopi adalah sesuatu komoditi yang teramat istimewa di Minangkabau dan membawa suatu drama mengerikan yang tidak kalah hebatnya dengan apa yang dialami di Pulau Jawa. Lain halnya sewaktu perbandingan kekuatan Belanda melawan kaum Paderi masih seimbang, penanaman kopi berupa anjuran saja oleh pemerintah Belanda, dan petani bebas menjual kepada siapa pun walaupun pemerintah Belanda menjamin 88 | Maryam Chilvalry

harga minimum, sesuai dengan bunyi pasal dalam Palakat Panjang Van den Bosch Tahun 1833. Dari fakta sejarah dapat disimak bahwa kekuatan yang menyebabkan Belanda kewalahan menghadapi perlawanan rakyat atau perang Minangkabau itu tidak lain adalah karena pertama, adanya semangat ukhuwah yang sama-sama merasakan penderitaan dari penindasan yang dilakukan oleh kaum penjajah. Semangat ini semakin dibakar, didorong oleh kabar gembira yang tertera dalam al-Quran, Kitabnya kaum Muslimin. Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: Kamu pasti akan dikalahkan, di dunia ini dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah tempat yang seburuk- buruknya." Kedua, Karena kesadaran bersama akan filosofi Syara Mangato, Adat Mamakai (Syara' mengatakan, adat memakai) apa saja yang ditentukan dan dilaksanakan menurut adat adalah didasarkan kepada hukum hukum yang ada dalam syara, sebagai pembuktian akan pandangan hidup Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah. Apatah yang menjadi penguat akat fondasi adat ini ?, si Juru Tulis memunculkan sebuah pertanyaan. Kemudian dia langsung menambah penjelasannya ,Terutama adalah akan peringatan Allah Swt dalam al-Quran. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang orang yang di luar kalanganmu (kaum kafir), karena mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayatayat (Kami), jika kamu memahaminya. Ketiga, sistem perang gerilya sangat berperan pula dalam menghadapi serdadu Belanda yang sudah terlatih dengan senjata lengkap dan modern. Keempat, yang tidak kalah penting juga adalah alam Minangkabau sangat menyulitkan untuk ditembus Belanda dalam perang secara frontal. Kelima, perlawanan-perlawanan yang dilakukan rakyat Minangkabau, umumnya digerakkan oleh alim ulama sebagai inspirator dan kekuatan moral, spiritual yang sarat dengan persoalan religius bagi rakyat untuk berjihad, karena persoalan keregeliusan di Minangkabau adalah persoalan hidup dan mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Keenam, Seperti yang diakui Letnan Boelhouwer, salah seorang militer yang mengikuti Kolonel Elout memasuki Bonjol 1833. ...orang Pederi berbeda mengenai pakain, kelakuan maupun kebiasaannya dengan orang Melayu lainnya. (Red: terutama yang berpihak kepada Belanda). Orang Paderi jijik melihat candu, sementara yang lain asyik mengisap candu; orang Paderi tidak mau mengerjakan judi, sedangkan yang lain sibuk berjudi dan berteriak-teriak. Pongah; orang orang Paderi bertubuh kekar dan berotot jika dibandingkan dengan pasukan-pasukan pembantu kita (Red: orang Jawa, Bone, 89 | Maryam Chilvalry

Madura dan Melayu lainnya). Tulis Boelhouwer lagi. ... Suatu bukti nyata betapa cara hidup dapat mempengaruhi pertumbuhan tubuh manusia. Seorang Paderi seakan-akan seorang raksasa ketimbang orang Melayu yang telah dicelakakan oleh candu... Kemudian Boelhouwer melanjutkan komentarnya bahwa, ... Seseorang tidak usah tinggal lama di Hindia Belanda untuk mengenal pengisap candu dengan mudah mengenalnya bahwa matanya tidak bercahaya, putih matanya menjadi kuning dan gerak badannya yang loyo. Semua dikerjakannya tanpa tenaga, dengan kesal dan tidur adalah suatu kenikmatannya. Orang Paderi hidup penuh bergairah, kuat dan berotot, satu kepala lebih tinggi dari orang Melayu.... Terang saja tentara bayaran Belanda dari bangsa pribumi (Melayu ) ini sangat gampang dibabat tentara Paderi. Sebaliknya tentara Belanda Hitam itu sangat bringas membumihanguskan, memporak porandakan guna mengharapkan harta rampasan sebanyak banyaknya yang dibumbui pula dengan santapan pemerkosaannya terhadap perempuan yang tercecer dari tindakan penyelamatan diri, sela Maryam merespon kutipan si Juru Tulis itu. Sedangkan Verkerk Pistorius dalam tahun 1868 menyampaikan hasil penelitiannya, We (the Ductch) are standing on Vulcanic soil, because of the great influence of the Ulama among the people, hence blocked [by] our willingness that. Guna memperkuat kedudukannya itu, maka pemerintah Belanda berupaya untuk mengepung surau dari berbagai sisi, katakanlah dari sisi ideologis, politis, ekonomi, pendidikan, sistem pemerintahan maupun dalam tata aturan kehidupan sosial sehingga pada suatu waktu kelak eksistensi dan bahkan secara fisik surau kehilangan tempatnya ditengah masyarakat Minangkabau sendiri kelak dikemudian hari, lanjut si Juru Tulis. Pada suatu waktu tertentu Belanda sangat perlu membangun jalan raya dan jembatan guna memperlancar hubungan lalu lintas dan ekonomi. Membangun pasar-pasar guna mempermudah urusan perniagaan yang sekaligus dengan tameng untuk mengatasi keterisolasian dan kemajuan ekonomi penduduk. Tiap-tiap nagari dianjurkan membangun pasar-pasar dengan tenaga rodi dan pasar itu menjadi milik nagari-nagari yang mengirim tenaga rodinya, imbuh si Juru Tulis pula. Memang demikian kenyataannya belakangan hari. Bahwa, tanah yang dipergunakan sebagai pasar tersebut dibebaskan dari kaum yang mempunyainya dengan iyuran nagari yang bersangkutan dan atau iyuran beberapa nagari yang berekatan dalam satu kelarasan. Dan pasar-pasar semacam itu dinamakan dengan passerfond. Pasar serikat itu diklasifikasikan pula atas tiga golongan atau tingkatan, yaitu Pasar Serikat A bagi daerah luhak seperti Pasar Bukittinggi. Pasar Serikat B untuk pasar di kewedanaan. Pasar Serikat C pada tingkat

90 | Maryam Chilvalry

kenagarian, sehingga masyarakat mulai dibiasakan dalam kehidupan untuk hidup berorientasi pasar dalam paham materialisme-kapitalisme ekonomi. Kalaulah dengan cara sukarela atau secara gotong royong ala budaya Minangkabau pemerintah Belanda tidaklah akan mendapatkan sumber tenaga manusia yang banyak untuk membangun jalan, jembatan dan pasar-pasar tersebut. Sehingga dikeluarkanlah peraturan semua pekerjaan berat tersebut secara paksa yang lebih dikenal dengan rodi. Pelaksanaan kerja paksa tersebut ditentukan dengan perhitungan besarnya jumlah pemuda dan orang dewasa yang diwajibkan melaksankan pekerjaan membangun jalan dan pasar sebanyak empat hari dalam satu kwartal atau enam belas hari dalam satu tahun. Secara tidak langsung, dengan berdirinya pasar-pasar serikat tersebut terbuka peluang pada masyarakat untuk terjadinya kegaduhan, bentrokan atau perselisihan antar nagari-nagrai yang memiliki saham - iyuran - dan tenaga rodi yang membangun pasar tersebut atas hasil dan rasa memiliki pasar tersebut. Inilah jarum devide et impera pemerintah Belanda untuk meruntuhkan tat anan budaya yang berhubungan dengan masalah raso jo pareso atau salang tenggang antar nagari dalam satu kelarasan adat Koto Piliang atau Bodi Caniago, sebagai percampuran dari keduanya sistem adat tersebut, dalam konteks ekonomi. Juru Tulis belum mengakhiri pembicaraannya kepada Maryam yang masih didampingi oleh Sutan Basikek dan istrinya Siti Anisyah itu. Pada tahap berikutnya, untuk mendapatkan sumber dana yang banyak maka dilancarkanlah pemungutan pajak langsung yang lebih dikenal dengan belasting, sementara sitem jual beli dan harga pasaran kopi dan hasil bumi lainnya tetap dalam kendali pemerintah Belanda. Upaya Belanda ini tidak kalah hebatnya mendapat tantangan dari rakyat, termasuk beberapa Laras yang dibentuk pemerintah Belanda sendiri. Sebetulnya, sesudah Bonjol jatuh direbut Belanda, maka semenjak 1847 kopi dijadikan tanaman paksa di Minangkabau, dan harus dijual pada pemerintah dengan harga yang dipaksakan. Coba mamak bayangkan, kata si Juru Tulis pula kepada Sutan Basikek, harga yang ditetapkan pemerintah Belanda 7 gulden/pikul, sedangkan harga jual pemerintah hampir dua kali lebih tinggi. Sepuluh tahun kemudian, harga beli pemerintah menjadi sepertiga harga jualnya (10,50 gulden : 34 gulden). Perbandingan harga tersebut terus memburuk hingga akhir abad ke-18. Pemerintah memaksakan harga beli dari rakyat hanya 15 gulden sewaktu harga pasaran telah mencapai 75 gulden. Harga beli yang dipaksakan ini tidak pernah diubah hingga tanaman paksa kopi dihapuskan pada tahun 1908, yang diganti dengan pembayaran balasting oleh rakyat sebagai sumber pemasukan pemerintah Belanda.

91 | Maryam Chilvalry

Dengan sendirinya penetapan harga dan monopoli Belanda atas produksi kopi rakyat adalah merupakan pajak tidak langsung pemerintah Belanda terhadap rakyat. Sebetulnya, coffeestelsel yang dipaksakan Belanda sebelumnya telah menyebabkan penggunaan jenis tanah adat yang berfariasi sifatnya. Awal pemberlakuannya tanah pekarangan yang berada di sekitar pemukiman penduduk dimanfaatkan untuk memproduksi kopi. Kebijakan ini secara tidak sengaja telah menaburkan benih kebencian rakayat Minangkabau terhadap Belanda. Sehingga pada masa ini banyak kendala yang dihadapi pemerintah Belanda, terutama masalah status tanah di Minangkabau yang terdiri dari nagari-nagari yang bersifat otonom dan memiliki banyak pengusaha yang menguasai untuk penggarapannya, serta tidak mengenal adanya tanah-tanah yang tidak bertuan. Meskipun demikian, rakyat tetap tidak setuju dengan diterapkannya pajak langsung berupa balasting dan pekerjaan rodi. Dalam arti kata cultuurstelsel untuk Minangkabau lebih dikenal juga dengan coffeestelsel jauh lebih merugikan dari pada balasting, namun bagi Belanda belasting adalah iyuran rakyat yang teratur dan terukur setiap tahunnya, sementara pemerintah tidak dibebani pula dengan modal awal. Sedangkan dalam coffeestelsel pemerintah harus pula memodali untuk pembelian dari rakyat, menggaji para pegawai untuk menjaga mutu kopi, dan keuntungan tidak tetap karena pengaruh spekulasi pasar, dalam keamanan pengiriman barang semenjak dari produsen hingga kota tujuan turut menjadi beban ekstra bagi pemerintah. Alaaa..., untuk apa pula kamu ceramahi kami tentang tetek bengek kerja si Ulando itu. Mana pula kami mengerti, kami orang buta huruf, kami tidak sekolah di gubernemen. Kalau kamu ada sekolah diguvernemen !, sela Siti Anisyah. Kepada Maryam sajalah kamu bercerita, sambung Anisyah lagi. Aha...ha, ha !, Si Juru Tulis tertawa lepas karena tersandung. Tak apalah, kan bertambah juga pengetahuan kami yang bodoh ini, sela suami Siti Anisyah pula. Etek kamu itu ada-ada saja ulahnya, orang lagi bersemangat dia patahkan pula. Lanjutkan saja ceritamu itu, sambung Sutan Basikek lagi. Tek, saya khawatir ! Kalau -kalau setelah ini tidak ada lagi waktu untuk kita mengurai benang kusut yang menimpa negeri dan orang kita di Minangkabau ini. Mudah-mudahan kelak diantara kita ini dapat mewariskan cerita ini. Pangkal bala yang sesungguhnya ini, Juru Tulis merespon kembali selaan Siti Anisyah tadi. Nah, berkali-kali L.C. Westenenck selaku Komendur mendatangi rakyat Kamang yang sering difasilitasi oleh Laras Magek-Salo Agus Warido seorang keturunan Jawa, bekas mantri kopi kelas.

92 | Maryam Chilvalry

Dalam pertemuan itu L.C. Westenenck tetap membujuk rakyat bahwa sebetulnya dalam kalkulasi dan spekulasi dagang, dengan coffestelsel Belanda mendapat untung sebanyak 0,50 gulden 0,16 gulden = 0,34 gulden/kg. Andaikan seorang rakyat minimal menghasilkan 30 kg kopi dalam satu kali panen, maka dari seorang penduduk, Ulando akan mendapat keuntungan 30 kg x 0,34 gulden = 10,20 gulden/panen. Sedangkan iyuran balasting yang ditetapkan Belanda hanya 1,20 gulden/tahun. Jangankan terjadi gagal panen pada tahun 1856, harga beli pemerintah di pedalaman, seperti di sini adalah 7 gulden, sedangkan harga jualnya di Padang 30 gulden. Ya, untuk apa lagi kopi ditanam ?, toh semakin mensengsarakan rakyat juga, sela Maryam. Sebetulnya, tanaman kopi tidak bernilai lagi Maryam. Akan tetapi pembayaran belasting adalah.... Akh, saya tidak bisa menjelaskan apa akibatnya bagi masyarakat kita Maryam. Nah, setelah 1847-1862, timbul rasa benci rakyat terhadap budidaya kopi karena harga bayar pemerintah yang tidak manusiawi. Seperti pada tahun 1856, harga beli pemerintah di pedalaman adalah 7 gulden, sedangkan harga jualnya di Padang 30 gulden. Ada sebuah lagi, Maryam ! Bahwa 14 Oktober 1831 Van den Bosch menuangkan kekecewaan dan patah hatinya yang teramat dalam kepada Kolonel Elout sebelum Ulando menyerang Katiagan untuk merebut Bonjol dulu. Juga melalui sebuah surat rahasia, Maryam. Maryam kelihatan sangat bersemangat dan pelupuk matanya semakin tegak menunggu kelanjutan cerita si Juru Tulis. Juru Tulis kembali membalik catatannya itu. ...'Sampai sekarang saya masih saja menunggu laporan Tuan (maksudnya Elout) mengenai cara-cara bagaimana dan apa-apa yang harus dikerjakan untuk mendatangkan keuntungan bagi kita di Minangkabau. Mengadakan peperangan dan menaklukkan rakyat dan sesudah tujuan ini tercapai, baru memikirkan apa yang harus diperbuat. Ini tidak cocok dengan kepentingan kita dan bertentangan dengan cara-cara kita bekerja..., Kata Van den Bosch dengan tajam kepada Elout, Maryam. Kemudian surat itu dilanjutkan dengan pengakuannya bahwa, ...pemerintahan terbaik dan penggunaan yang tepat dari segala yang dapat kita kerjakan, ialah mengetahui kekayaan alam dari suatu daerah dan mengalirkan semua kekayaan itu kepada kita ! Oleh karena itulah saya berulang-ulang menekankan kepada Tuan untuk memusatkan perhatian pada soal ini ! Demikian antara lain Van den Bosch menulis. Selanjutnya dia menyatakan tidak bersedia lagi mengirim tambahan tentara bantuan, jika Elout tidak dapat menjalankan yang dikehendakinya. 93 | Maryam Chilvalry

Terang saja, Kanda. Sampai sekarang Ulando itu semakin menjadi -jadi dengan berbagai upaya memeras kita untuk memperoleh kekayaan sebesar-besarnya !, respon Maryam Tepat sekali, Maryam ! Kalau begitu, sudah tepat, Kanda. Kita harus berputih tulang pula menentang upaya upaya Ulando ini. Kita harus tegakkan kedaulatan kita. Kita harus lindungi urang awak ini, Kanda. Kita tidak perlu lagi berbasa basi, menyegani Ulando itu. Kita tidak boleh takut melawan kesewenang-wenagan ini, Kanda ! Aku benar-benar ikhlas untuk berkalang tanah dalam hal ini, Kanda !, menyerocos dari mulut yang tipis dan mungil itu. Tapi, malah si Juru Tulis nyeleneh lagi dengan kalimat guyonnya. Kalau kamu meninggal nanti, nasib saya bagaiman ? Ah..., Kanda. Seperti itu lagi. I...h !, Maryam geregetan, merungut sambil memukul mukulkan kedua kepalan jarinya ke kedua pahanya. Kalulah bukan abangnya ?, mungkin saja batang leher si Juru Tulis yang humoris itu sudah dicekiknya. Menurut anggapan rakyat pajak tidak langsung dalam sistem coffeestelsel masih dapat diterima, karena sifatnya adalah jual beli dalam sistem perdagangan. Rakyat sebagai penjual dan pemerintah sebagai pembeli, maka sistem dagang seperti ini di dalam ajaran Islam diperbolehkan, meskipun tidak membenarkan mendapatkan keuntungan yang berkesangatan seperti yang diterapkan kaum kapitalis materialistis, seperti Belanda itu. Sedangkan balasting yang merupakan pajak langsung, sepertinya sebuah upeti kepada kaum kafir berupa pemberian yang diwajibkan atau sewa tanah dari rakyat yang hidup di buminya sendiri. Pada sisi lain, dengan dipaksakannya untuk memberlakukan belasting terhadap rakyat Sumatera Barat, maka secara terang terangan Belanda telah mengkhianati isi Plakat Panjang 1833, yang didalamnya termaktub akan hak milik harta berpunya menurut hukum adat Minangkabau. Terbukti sudah apa yang dikatakan Allah Swt dalam Al-Quran, bahwa orang orang kafir itu akan selalu melakukan tipu daya (pengkhianatan). Ketersinggungan atas kearifan lokal inilah yang lebih mengukuhkan kembali semangat perlawanan mengakar semenjak dari leluhurnya antara kaum adat dan kaum agama menantang akan keberadaan kaum kafir di ranahnya sendiri. Pungutan pajak sama artinya memeras susu dari sapi mandul. Dan yang lebih berbahaya lagi adalah dengan adanya pemikiran oleh rakyat yang sisa-sisa kaum Paderi bahwa haram hukumnya membayar upeti kepada kaun kafir.

94 | Maryam Chilvalry

Perlawanan rakyat dalam menentang balasting 1908 tersebut merupakan antiklimaks dari suatu proses pergerakan bawah tanah rakyat Minangkabau untuk mengenyahkan kekuasaan Belanda di daerah ini, sebagai kelanjutan dari perjuangan Paderi yang kekalahannya tidaklah feir dan sportif, melainkan melalui sebuah tipu muslihat Belanda. Pada sisi lain, dari kejujuran Kolonel de Stuers yang membuat saran dalam sebuah laporannya menuliskan bahwa supaya Gubernemen mendapat penghasilan yang melimpah maka perdagangan candu dan tuak yang telah berlangsung semenjak VOC agar semakin dikembangkan. Opsir-opsir dan pegawai-pegawai Gubernemen Belanda harus berlomba-lomba menjual candu dan tuak (miras), kepada masyarakat, terutama kaum bangsawan Minang untuk membelinya. Demikianlah kekotoran sisat Gubernemen Belanda pada waktu itu di Minangkabau, kata Kolonel itu. Dan upaya itu bukan saja untuk mendapatkan keuntungan yang besar tetapi adalah juga untuk menghancurkan generasi Minangkabau nantinya, tulisnya lagi. Dari advisory, dari laporan-laporan perangai pihak Belanda inilah menjadi alasan menentang atau memberontaknya rakyat Minangkabau yang pada umumnya dipelopori oleh kaum ulama, baik semasa Perang Paderi maupun Perang Kamang 1908. Perang terhadap penyebaran candu dan miras.

95 | Maryam Chilvalry

12.

Belasting adalah pemicu belaka.

LC. Westenenck, Ketelan Putik Durian

GERAKAN anti Belanda oleh rakyat mengkristalisasi dalam bentuk gerakan anti belasting. Fenomena anti belasting itu pada awalnya diperlihatkan dalam bentuk demonstrasi spontan masyarakat Oud Agam (Agam Tuo) ke kantor kontroleur di Bukittinggi pada 22 Maret 1908, yang dimotori oleh Haji Saidi Mangkuto, dan Datuak Makhudum. Haji Saidi Mangkuto adalah seorang pedagang batik asal Pahambatan IV Koto, Agam Tuo yang merantau di Solok. Pada pertengahan Maret 1908 dia pulang ke IV Koto melalui dusun Layang-layang. Di kampungnya, dia secara diam-diam seringkali mengadakan rapat dengan para penghulu andiko dan para ninik mamak lainnya. Pada pertemuan yang kesekian kalinya akhirnya didapatkan persesuaian paham untuk menolak membayar belasting dan tidak akan memberi keterangan pada petugas pemerintah (Belanda) supaya pemerintah tidak mempunyai data-data untuk menentukan besarnya pembayaran pajak. Hasil kesepakatan ini segera pula disebarkan kenegeri-negeri terdekat dan menjalar keseluruh pelosok Minangkabau, meskipun beberapa daerah persoalan ini hanya seperti kiambang diatas air saja, hanyut tidak terendam pun tidak. Menyikapi hasil kesepakatan yang telah menyebar seantero Minangkabau itu, maka meraka melakukan demonstrasi tertib tanpa diiringi perbuatan anarkhis, malah membawa senjata tidak diizinkan untuk ikut berdemonstrasi. Tanggal 12 Juni 1908 Rakyat Kamang kembali berunjuk rasa di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi, tetap dibawah pimpinan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo. L.C. Westenenck yang bertindak sebagai wakil pemerintah menerima utusan para demonstran di ruang kerja dalam kantornya. Wakil 96 | Maryam Chilvalry

demonstran menyatakan bahwa rakyat tetap menolak iyuran belasting dalam bentuk apapun. Dan mendesak agar Belanda menarik kembali pengumumannya tanggal 1 Maret 1908 tentang pemberlakuan pemungutan belasting itu. Dalam hal ini Belanda menjalankan kecurangan untuk kesekian kalinya. Rakyat disuruh bubar dan pulang kembali ke kampungnya masing-masing, sedangkan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo ditahan oleh Westenenck untuk penyelesaian selanjutnya. Ternyata ketiga pemimpin itu dijebloskan ke dalam penjara. Demonstrasi terbesar ini adalah merupakan mata rantai dari demonstrasi sebelumnya, yaitu pada tahun 1895 rakyat Magek dan Salo menuju rumah Assisten Residen di Bukittinggi. Mereka datang dengan tenang tanpa banyak bicara. Mereka sama sekali tidak memperlihatkan rasa permusuhan, namun begitu mereka tidak mau disuruh pulang, tetap saja duduk dengan diam seakan orang yang pasrah menerima nasib. Akhirnya terpaksa dipanggil serdadu untuk mengusir mereka. Tak obahnya seperti mereka datang, sebelum diusir mereka diam-diam meninggal tempat tanpa bicara, tanpa teriak dan tanpa yel-yel. Meskipun pada waktu itu masyarakat belum mengenal akan kata demonstrasi, tetapi mereka pada waktu itu tidak lebih dari unjuk perasaan untuk memperlihatkan sikap mereka yang saciok bak ayam, sadanciang nan bak basi (secicit bak ayam, sedenting bak besi) dan tandanya penghulu nan saundiko. Adatnya laki-laki samalu, adat parampuan nan sarasan. Mereka mengajukan tuntutan melalui perwakilan yang dipercayanya saat itu untuk berorasi, menyampaikan maksud kedatanagan mereka. Sebagai dasar tuntutan mereka adalah: Pertama, Agar pemerintah membebaskan Penghulu Andiko dari IV Koto yang telah ditawan Belanda. Penghulu andiko itu ditahan karena menghajar salah seorang penghulu yang berkhianat, yang telah melaporkan ke Taungku Laras Koto Gadang bahwa adanya kegiatan rapat yang dilaksanakan oleh penghulu-penghulu suku IV Koto dalam menentang rencana pemberlakukan belasting pada 1 Maret 1908 nanti, sehingga rapat itu dibubarkan oleh dubalang Laras Koto Gadang. Dan karena dihajar bebak belur oleh tiga orang penghulu (yang sedang ditawan) itu, maka penghulu pengkhianat itu terpakasa dirawat di rumah sakit. Kedua, menanyakan apa alasannya tiga orang penghulu itu ditawan, kalau hanya karena alasan mengadakan rapat-rapat kenapa tidak semuanya saja dipenjarakan. Ketiga, rakyat tidak bersedia membayar pajak (belasting) yang akan diberlakukan pada 1 Maret 1908 itu nantinya.

97 | Maryam Chilvalry

Tetapi karena pada hari itu kantor tutup (hari Minggu), maka Kontroler L.C. Westenenck menanggapi aspirasi rakyat itu melalui Jaksa Kepala Jusuf Datuak Sati, yang berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut pada tanggal 26 berikutnya. Agaknya, inilah perwujudan bentuk demokrasi Minangkabau dalam menyikapi suatu kebijakan yang akan menimpa negerinya dan yang akan mensengsarakan rakyatnya. Dan demonstarasi tertib semacam ini adalah produk asli rakyat sejati, agaknya pula adalah yang pertama dilakukan sebelum mengenal jauh tentang demonstrasi sebagaimana yang berkembang dikemudian hari. Kejadian (demonstrasi) di Bukittinggi pada 1895, 22 Maret 1908 dan 12 Juni 1908 merupakan awal dari kerusuhan-kerusuhan yang akan segera meletus dimanamana, terutama di Kamang - Agam Tuo. Meskipun sebelum tanggal 26 Maret 1908 dan sesduah 12 Juni 1908, tokoh-tokoh demonstran tersebut ditangkap Belanda dan dibawa dengan kereta api ke Padang untuk ditangsikan di sana, namun semangat anti belasting pun tidak dapat dipadamkan pemerintah. Karena dalam pandangan rakyat, kecurangan demi kecurangan yang telah dilakukan pemerintahan Belanda itu menempatkan penguasa Belanda sebagai orang orang kafir yang menjadi musuh besar Islam. Selanjutnya pusat gerakan semakin membumi di Kamang, sebuah negeri di Utara Bukittinggi yang berada di kaki Bukit Barisan. Gerakan anti Belanda dengan nota bene anti belasting itu sangat pesat pertumbuhan dan penyebarannya di Kamang hingga ke daerah-daerah lain di Minangkabau. Agaknya, karena Kamang sudah mewarisi tradisi revolusioner semenjak Gerakan Harimau Nan Salapan hingga Perang Minangkabau (Perang Paderi). Meskipun telah berkali-kalai dan bahkan tidak terhitung lagi L.C. Westenenck mendatangi Kamang guna mensosialisasasikan pemberlakuan belasting, namun lebih menambah kebencian dan semakin memperkukuh semangat aksi rakyat terhadap Belanda. Kewalahan pihak Belanda dalam mensosialisasikan kebijakan barunya ini adalah karena tokoh-tokoh masyarakat, terutama ahli propaganda di Kamang menjalankan taktik tikam jajak. Setiap kali kedatangan L.C. Westenenck menceramahi rakyat, maka sepeninggalnya tokoh-tokoh propaganda langsung - menghapus jejak - pembesar Belanda di Bukittinggi itu, dengan jalan membuat fakta terbalik dari yang disampaikan pihak Belanda. Rakyat dihasut untuk tidak mengiyakan apa yang disampaikan oleh syaithan -syaithan penjajah itu dan mengembalikan kemurnian fikiran dan semangat persatuan menentang pelaksanaan pembayaran belasting.

98 | Maryam Chilvalry

Dalam pada itu, di Kamang sendiri kesibukan terlihat dimana-mana. Siang dan malam mereka terus memasang telinga atas setiap perkembangan yang terjadi. Setiap informasi baru selalu dibahas dan dibicarakan pada setiap kesempatan yang ada, sebelum tiba pada kesimpulan akhir. Para pandai besi, seperti di Koto Baru Salo sebagai penerus kecanggihan apar besi di Salimpauang (Batu Sangkar) pada zaman Paderi dahulu, telah riuh-rendah bernyanyi dengan dencingan besi yang sedang ditempanya, menjadikan golok dan pedang yang keampuhannya dapat memutus besi sekali pun. Dan seluruh dusun seakan dipenuhi bunyi desau klewang (golok) yang sedang diasah dan menguji ketajaman hasil perbuatan si pandai besi yang dikerjakan secara tradisional itu. Sementara kaum ibu saling berbisik dan memandang bangga ke arah suami dan anak anak mereka yang bermandikan keringat dalam mempersiapkan diri untuk berperang, dan mencibir ke arah keluarga lain yang tidak memperlihat rasa simpatiknya atas semangat jihat yang sedang menggelora itu. Pada Jumat bulan Maret Abdul Wahid Kari Mudo mengadakan sebuah lobby di rumahnya terhadap Laras Kamang, Penghulu Kepala Tangah yang masih paman baginya beserta saudaranya yang lain. Hasilnya mereka semua sepakat untuk tidak membayar pajak. Keesokan harinya Abdul Wahid Kari Mudo bersama Muhammad Saleh Datuak Rajo Pangulu dan beberapa orang lagi sengaja pula mengunjungi Laras Kamang itu dan Penghulu Kepala ke kantornya masing-masing guna menerangkan maksudnya untuk melakukan semacam gerakan menentang pembayaran pajak. Sebagai pegawai pemerintah, Laras Kamang itu dan Penghulu Kepala, tidak setuju maksud menentang pajak tersebut, tetapi secara pribadi mereka sangat setuju dan akan membantu gerakan itu secara diam-diam. Dalam sebuah skenario mereka ditetapkanlah bahwa pada tanggal 20 April sebagai hari mengadakan rapat umum di rumah Laras Kamang untuk memberikan penjelasan kepada rakyat tentang pajak, yang dipimpin langsung oleh Kontroliur L.C. Westenenck. Nantinya niat pemerintah ini akan digagalkan oleh Abdul Wahid Kari Mudo dengan para pengikutnya. Memang demikian kejadiannya. Setelah rakyat berkumpul, kepala Kontroliur L.C. Westenenck , dipermalukan oleh Abdul Wahid Kari Mudo dengan pidatonya rakyat tidak dibolehkan membayar belasting. Barang siapa yang membayar pajak pada Belanda adalah kafir ! Kemudian diikuti pula oleh Datuak Adua dari Pauah dan Datuak Makhudum dari Ilalang. Sementara itu Tuangku Laras dan Penghulu Kepala tidak membuat reaksi apa-apa atas tindakan Kari Mudo dan kawan-kawannya itu. Kejadian pada 20 April itu dan apalagi melihat sikap Laras Garang Datuak Palindih, Penghulu Kepala Datuak Sari Marajo yang seperti katak diludahi itu, apa yang 99 | Maryam Chilvalry

dikatakan dalam fatwa politik Melayu Sebanyak akal kucing, sebayak itu pula akal tikus memang telah terjadi. Kerongkongan L.C. Westenenck bagaikan ketelan putik durian, tersekat di kerongkongan yang sengatan durinya terus terasa, tetapi Belanda belum siap untuk mengambil tindakan.

100 | Maryam Chilvalry

13.

Hari-Hari Terakhir

KEGALAUAN dari suasana di Kampung Kamang makin hari semakin tak menentu. Rakyat tidak konsentrasi lagi untuk menjalankan mata pencahariannya. Hati rakyat makin berkecamuk antara cemas, benci, takut dan kecut. Karena tanda-tanda akan terjadinya sesuatu yang maha dahsyat sudah mulai kelihatan, gonjang-ganjing seputar perang melawan Belanda semakin memanas dan kegiatan berlatih diri di Ngalau (Goa) Batu Biaro lebih intensif. Rapat-rapat yang digelar para pemuka masyarakat semakin sering, baik di Surau Koto Samiak (Kamang Ilia), apalagi di Aua Parumahan (Kamang Mudiak). Kaum laki-laki yang membenci Belanda pada siang hari menjadi-jadi dan tidak menampakkan dirinya, sedangkan yang pro pada Belanda juga mengendap-endap takut akan terlihat oleh mata-mata Barisan fi-Sabilillah yang militansi berani mati dan siap berputih tulang demi mempertahankan harga diri dan agama. Sedangkan di sumur tepian mandi kaum ibu-ibu sambil mencuci dan mandi tidak luput pula dari gunjing-gunjing mereka terhadap kegagahan suami dan anakanaknya dalam berlatih diri guna menghadapi pasukan Belanda kelak. Namun pada sisi lain, hal-hal yang tidak terduga oleh umum dan yang tidak luput dari pendengaran si Juru Tulis apa yang terjadi pula. Kebetulan pula, sewaktu aku kembali dari Padang Panjang akan melaporkan hasil perjalananku kepada Inyiak Manan, waktu itu mendapat suruhan menggantikan tugasnya Inyiak Manan sendiri. Aku mampir dahulu di rumah Kak Siti Aisyah, istri Mak Datuak Rajo Pangulu. Sepulang dari Rumah Kak Siti Aisyah - menuju Surau Inyiak Manan, aku melewati rumah Etek Siti Anisyah, istrinya Mak Sikek. Sesampai di depan kaporo (gerbang) rumah Etek Anisyah, kebetulan bertemu dengan Etek Anisyah sendiri dan beliau menyuruh saya mampir, tapi saya tetap berbasabasi. Etek Anisyah tetap memaksa dan mengingatkan janji saya dengan suaminya Mak Sikek, bahwa aku akan mampir ke rumahnya sepulang dari Padang Panjang,

101 | Maryam Chilvalry

maka terpaksa jugalah aku untuk naik, singgah dahulu ke rumahnya, sesuai dengan janji yang telah terkatakan. Assalamualaikum !, sewaktu memasuki rumah, tetapi yang menjawab salamku masih Siti Anisyah yang mengiringiku sejak dari halaman rumahnya itu. Mana Mak Sikek, Tek?, tanyaku kepada Siti Anisyah. Tadi siang dia ke Salo, menjemput rudus yang sudah dipesan itu!, jawabnya. Kalau begitu, nanti sajalah saya kembali ke sini, Tek ! Tunggu sajalah beliau sebentar disini. Tadi beliau juga berpesan, seandainya kamu datang sebelum beliau kembali dari Salo maka kamu disuruhnya menunggu dulu di sini. Dan tidak lama lagi beliau akan datang !, kata Siti Anisyah menyampaikan pesan suaminya itu. Sambil menunggu suaminya itu, aku duduk duduk saja. Suasana rumah sangat berbeda dengan rumah Siti Aisyah. Bunyi telapak kaki Ramaya yang berlari-lari hilir mudik, sebentar-sebentar dia berlari, sebentar sebentar dia berpeluk dengan ibunya, Siti Anisyah. Buyung Ramaya lah yang menjadi pusat perhatian dan hiburan bagi ibu dan ayahnya. Bahkan aku yang sedang bertamu saja saat itu juga turut terhibur melihat anak yang sedang lincah lincahnya itu. Sesaat terbayang pula bagiku bagaimana nasib anak ini nantinya, kalau-kalau benar menjadi kenyataan apa yang telah menjadi kehawatirannya dan telah terlontar di mulutnya sendiri sewaktu kami latihan gabungan di belakang Surau Taluak beberpa waktu lalu. Kalau memang ibu dan ayahnya gugur sebagai Srikandi dan Arjuna dalam pertempuran kelak. Sambil menunggu Mak Sikek pulang dari Salo, saya coba juga menyelami hati dan fikiran Etek Anisyah. Jadi juga Etek turut berjuang menghadang Ulando itu nanti ?, pelan kepada Siti Anisyah. tanyaku dengan

Menurut kamu ambo tidak sunguh - sungguh. Untuk apo ambo turut bermandi peluh berlatih, mempersiapkan diri dan menjalankan amanah bersama-sama Siti Aisyah dan Siti Maryam itu!, sanggah Etek Anisyah. Aku dan Aisyah bertugas sebagai tukang propaganda bagi kaum perempuan di kampung ini dan berupaya pula untuk terkumpulnya beberapa sumbangan guna membantu perjuangan ini dari masyarakat kita. Sedangkan Siti Maryam lebih sering mendapat tugas ke Mangopoh, Pariaman dan Pasaman. Walau bagaimanapun karena kami, Aisyah dan ambo sudah bersuami, tentu kami tidak sebebas Maryam lagi untuk bepergian, jelas Siti Anisyah lagi kepadaku. Berarti nanti, kalau waktunya telah tiba dan peperangan tidak terelakkan lagi, tentunya Ramaya Etek tinggalakan ? Tidak ibakah Etek meninggalkan Ramaya nan 102 | Maryam Chilvalry

sedang lincah - lincah ini dan sedang membutuhkan kasih sayang ayah dan ibunya ? Kalau-kalau dalam perang kita itu nanti Etek dan Mak Sikek selamat tidak apaapalah, tapi kalau Allah, Swt mentakdirkan lain, bagaimana jadinya Ramaya sepeninggal ibunya, tidak terfikirkankah oleh Etek tentang itu ?, tanyaku pula, mencoba memancingnya. Kamu jangan lagi membuncahkan pikiranku, Juru Tulis !, bentak Anisyah. Kamu ini dubilih, setan atau jiin, yang mencoba menggoyahkan keimananku untuk melawan Ulando, si kapia itu!, bentaknya lagi. Tersimama (merah muka) juga mukaku jadinya. Nasib manusia, telah ditentukan oleh Allah, Buyuang. Hutang kita hanya menepati saja. Harta, benda, anak, istri, suami hanyalah perhiasan dunia. Dan yang saya harapkan adalah perhiasan Allah di akhirat nanti. Kamu harus ingat bahwa kunci bathin itu adalah Illahi anta makshudi, waredhakamatlubi, kepada Allah semata, tukasnya lagi. Kamu jangan lagi membuai-buai perasaan etekmu ini Juru Tulis, meskipun seorang perempuan. Tapi hatiku telah beku untuk fi...sabilillah demi agamaku dan negeriku ini, serapah etek Anisyah semakin menjadi jadi kepadaku. Surut juga nyaliku dilantiak ayam batino (ayam betina) itu. Ya..., terpaksalah aku mengurut dada saja. Terperangah juga saya jadinya. Dalam keadaan terengah setelah dibentak Etek Anisyah terdengarlah suara di batu tapak-an. Assalamualaikum ! Mendengar suara itu sudah dapat dipastikan bahwa yang datang itu adalah Mak Sikek, suaminya Etek Siti Anisyah. Waalaikum Salam !, jawab kami dari atas rumah. Sudah kembali kamu dari Padang Panjang ?, tanya Mak Sikek langsung padaku sambil mengulurkan tangannya padaku untuk berjabat tangan. Sudah, Mak !, jawabku. Terbawakah yang Mamak jemput ke Salo itu ?, tanyaku pula. Kemudian aku menjamba (mengambil) kain sarungku yang sengaja tadi saya letakkan diatas bandur jendela rumah itu. Kebiasaan menyangkutkan kain sarung kita di kusen jendela rumah tempat kita bertamu seperti itu, meskipun rumah saudara sendiri adalah suatau tanda kepada orang lewat di depan rumah bahwa kita sebagai tamu yang baik. Alhamdulillah, ada !, kelewang itu sudah saya surukkan di dalam kandang sebentar ini !, jawab Mak Sikek.

103 | Maryam Chilvalry

Kalau begitu, berarti tadi itu terdengar pula oleh Mamak saya dihardik da n marahi Etek Anisyah sebentar ini, Mak ?, tanyaku lagi sambil tertawa geli kepada Mak Sikek. Akalku menjalar untuk mengembalikan nyaliku akibat tamparan kalimat istrinya yang seakan-akan saya mengadunya untuk berantam. Kenapa kamu dihardik oleh etekmu ? Tadi saya menanyakan prihal, Ramaya ! Bagaimana dengan Ramaya nanti kalau etek turut pula berjuang bersama kita !, jelasku kepada Mak Sikek. Jelas dia marah kepadamu, kalau itu yang kamu tanyakan. Karena pertanyaanmu itu akan mengacaukan fikirannya, sedangkan hati dan fikirannya sudah kuat untuk meninggalkan dunia ini, demi memperjuangkan yang hak di jalan Allah, Swt, kata Mak Sikek pula padaku. Rupanya aku tidak mendapat pembelaan dari Mak Sikek. Akhirnya suasana itu kami lerai saja dengan tawa canda ria. Kalau begitu, Mak ! Saya tidak akan menguji mentalnya Etek lagi, nanti bisa melayang pula induk jari kakinya ke pangkal ketiakku. Dibelah pula katiak ambo nanti. Ha... ha... ha...!, selorohku untuk menghilangkan ketegangan suasana itu. Akhirnya saya, Mak Sikek dan juga Etek Anisyah sama-sama ketawa jadinya. Anisyah! Seru Mak Sikek pada istrinya inilah perangai anak yang satu ini, pemudamu yang kamu bangga-banggakan itu, sambil dia menunjuk kepadaku dia pintar memancing amarah kita dan pintar pula membuat kita terpingkal-pingkal. Wajar saja tidak ada orang yang dendam padanya !, kata Mak Sikek kepada istrinya itu. Betul, begitu perangainya, Tuan. Kadang kadang ulahnya menyengkelkan kita, karena dia pintar mencongkel rahasia kita, tapi kita tidak bisa benci sama dia, kita tetap sayang saja padanya. Wajar saja si Maryam terpedaya kepadanya ! Hop...!, jangan! Jangan pula Etek bongkar rahasiaku kepada Mak Sikek. Nanti bertambah lawan perang saya disore ini. Ha... ha... ha...!, pintasku memoton g komentar Etek Anisyah itu. Dalam suasana senda gurau itu Mak Sikek bertanya kembali kepadaku. Sudahkah kau laporkan hasil perjalananmu ke Padang Panjang dan sekitarnya tadi itu kepada Inyiak Manan atau kepada yang lain ? Belum, Mak!, tapi tadi saya sudah singgah ke rumah Mak Datuak Rajo Pangulu, ternyata beliau tidak ada. Saya hanya ketemu dengan Kak Siti Aisyah. Lama juga saya di rumahnya itu karena ingin menunggu Mak Datuak. Dan kebetulan pula Kak Aisyah bercerita tentang suatu hal yang sangat rahasia tetapi ceritanya itu

104 | Maryam Chilvalry

membuat jantungku mendengarnya.

gedebak-gedebur

dan

napasku

agak

sesak

juga

Tentang masalah apa itu?!, Mak Sikek dan Etek Anisyah minta penjelasan lebih lanjut. Apakah Mamak dan Etek siap mendengarkannya?, tanyaku pula. Memangnya ada kejadian apa dengan Aisyah?!, desak mereka dengan cemas. Yaitu tentang kisahnya semalam penuh yang dia nikmati sepuas -puasnya dengan Mak Datuak, suaminya, jawabku. Akh!, kamu ini ada-ada saja. Mana ada orang yang mau membuka aibnya sendiri!, kata Mak Sikek kalau mamak tidak percaya, ya sudah, jawabku ketus Kalau begitu, pandai betul kamu memancing hasrat orang untuk terbawa arus olehmu, pancing Tek Anisyah pula. Tapi, kenapa Aisyah sendiri mau menceritakannya kepadamu, ya?, tanyanya pula. Barangkali karena dia sangat merasa dekat dengan saya, Mak ! Saya sendiri juga sering mengeluhkan tentang nasibku sendiri padanya, Mak. Sama halnya bagaimana saya dengan Etek Anisyah ini!, jawabku Atau... Aisyah ini sedangmeninggal - ninggalkan perangai, gerutu Mak sikek lagi sambil membuka peci hitam dan menggaruk-garuk kepalanya. Maksudnya, dia sedang mendekati ajalnya, begitu maksud Mamak?!, desakku Bisa jadi begitu!, karena biasanya orang orang yang sedang dalam hitungan empat puluh hari atau tujuh hari sebelum dia meninggal dunia sering dia bertingkah yang tidak biasa dia lakukan sebelumnya atau bercerita tentang hal hal diluar dugaan, aneh-aneh!, jelas Mak Sikek Berarti Kak Aisyah akan gugur nantinya dalam pertempuran pada saat mengahadapi Ulando itu ? Tapi, Mamak jangan berprasangka seperti itulah, Mak ! Saya tidak mau kehilangan Kak Aisyah dan bahkan pejuang lainnya, termasuk Etek saya ini, Etek Anisyah, Mak ! kataku dalam kecemasan. Iya !, kita memang tidak berprasangka dan bahkan saya pun berharap sama seperti harapanmu itu, tidak mau semua itu terjadi ! Tapi, ya!, begitulah pada galibnya !, jawab Mak Sikek lagi. Hei !, kalau mengenai apa yang dia lakukan dengan suaminya itu untuk apa kamu ceritakan kepada kami. Toh kami pun punya kisah pula !, tapi nasibmu sendiri 105 | Maryam Chilvalry

bagaimana dengan Maryam ?, tukas Etek Anisyah memotong pembicaraan kami dan sekaligus meledekku. Mati kau !, kena batunya lagi kan ?, timpal Mak Sikek lagi kepadaku. Tapi, kadang-kadang kamu lucu juga, pandai membangkitkan suasana. Dengan caramu seperti itu kejumutan fikiran hilang juga jadinya. Ya, begitulah perangaimu itu !, kata Mak Sikek pula padaku sambil tersipu-sipu. Sekarang begini sajalah, kamu simpanlah segala kisah dan segala peristiwa y ang kamu dengar dan yang kamu saksikan dalam keranda mutiaramu, dan pada suatu saat nanti kamu tulislah pada kitabmu sepatah kalam-mu dan sekering dawatmu menuliskannya !, kata Etek Anisyah pula. Dan sekarang kita makan bersama dulu, dan saya akan ke dapur untuk mempersiapkannya dan kamu belum boleh pergi, ya! , seru Etek Anisyah padaku.\ Sambil mengendong Ramaya Etek Anisyah beranjak ke dapur, sementara kami dengan Mak Sikek tetap melanjutkan obrolan kami. Tanpa aku duga, dengan suara pelan dan sambil menghampiriku Mak Sikek pun betanya. Apakah selama ini pimpinan kita sudah menurunkan ilmunya kepadamu ? Beberapa yang penting sudah, Mak, jawabku dengan serius. Ilmu apa saja yang telah kamu dapatkan, desak Mak Sikek lagi. Diantaranya ilmu silat, ilmu meringankan tubuh, ilmu tahan peluru, ilmu petunduk, dan sedikit ilmu pemanis, Mak!, jawabku dengan polos. Apakah itu saja !, desaknya lagi. Iya ! Memangnya kenapa, Mak ? kataku pula kepada Mak Sikek. Kalau ilmu-ilmu semacam itu sudah umum bagi anak muda, apalagi dalam suasana seperti sekarang ini. Kepada siapa saja sudah disebarkan oleh orang-orang pintar, termasuk dari Inyiak Manan sendiri. Bukan kepadamu saja diturunkan ilmu itu, bahkan kepada etekmu ini, kepada Aisyah atau pun kepada Maryam sekalipun !, tapi ada yang lebih khusus lagi, yang harus kamu miliki !, kata Mak Sikek pula. Tapi, Mak !, rasa-rasanya tidak ada artinya bagi hidup ini semua ilmu-ilmu itu. Sebab saya sangat yakin, walau bagaimana pun hebatnya ilmu itu kalau Allah, Swt berkehendak lain, toh manusia juga tidak dapat berbuat apa apa ! Suratan kita sudah jelas sebagaimana yang telah dijanjikan Allah, Swt. Sewaktu roh menimpa jasad semasa masih di dalam rahim ibunya. Saya hanya menyerah saja kepada Allah tentang apa yang akan dia timpakan kepada kita. Maka kita harus dengan ikhlas menerimanya, Mak !, jelasku kepada Mak Sikek dengan sejujurnya, karena

106 | Maryam Chilvalry

akhirnya aku pun tidak bergantung dan bahkan tidak mempurganakan ilmu-ilmu tersebut dalam hidupku, tidak lain hanya sekedar untuk mengetahuinya saja. Kata-katamu itu memang benar, sayapun tidak akan membantahnya !, tapi yang satu itu sangat lain dan sangat perlu, apalagi kamu pada suatu saat nanti juga akan berkeluarga !, kata Mak Sikek lagi. Karena saya malas untuk bersitegang urat leher dengan Mak Sikek, maka saya coba juga untuk memperturutkan desakannya itu. Ilmu apa itu kira-kira, Mak ?, tanyaku pula. Dengan penuh semangat dan dengan matanya yang sedikit terbulalak menerangkan kepadaku tentang khasiat ilmu yang satu itu. Ilmu itu gunanya untuk menjaga istri kita, supaya orang yang berniat curang dan jahat di belakang kita tidak berani mencoba menidurinya, kalaupun dia paksakan juga akhirnya kemaluan-nya itu tidak akan berfungsi lagi selama-lamanya. Tidak akan bisa dipergunakannya lagi sampai dia mati, kecuali hanya untuk terkencing saja ! Cobalah kamu ambil selembar rambutmu itu lalu kamu bakar, kira-kira seperti itulah bentuk kemaluan -nya itu nantinya, setelah dia meniduri istri kita itu !, terang Mak Sikek padaku. Mendengar penjelasan Mak Sikek itu, akhirnya saya bersemangat pula jadinya. Sudah ada buktinya, Mak ?, tanyaku pula Kalau buktinya yang kamu tanyakan, bagaimana caranya membuktikan, kalaupun sudah ada yang teraniaya seperti itu siapa pula yang mau mengakuinya. Kan mancabiak baju di dado juga jadinya, jelas Mak Sikek pula. Panjangkah bacaan doanya, Mak ?, dan kepada siapa saya dapat menuntut ilmu itu ?, desakku dengan antusias pula kepada Mak Sikek. Itu kan ?!, makanya jangan terburu-buru dulu untuk mengatakan tidak. Kan sudah ada pepatah yang mengatakan jika manis jangan terburu-buru menelannya, dan jika pahit jangan terburu-buru pula memuntahkannya. Ilmu batin itu bukankah juga merupakan doa-doa kita kepada Tuhan ! Nah, ternyata sekarang kamu bersemangat pula untuk memilikinya bukan ? He, he, he!, ledek Mak Sikek lagi kepadaku sambil terkekeh-kekeh. Agak malu juga aku jadinya karena kecongkakanku sebelumnya, sehingga akupun diledek oleh Mak Sikek. Tapi aku memang merasa perlu akan ilmu itu. Begini!, ada suatu jalan yang aku tunjukkan padamu. Seandainya pemimpin kita tidak berkesempatan lagi mengasihkan ilmu itu kepadamu, karena tidak ada lagi waktu yang senggang, maka janganlah gusar, karena ilmu itu pun telah sampai 107 | Maryam Chilvalry

kepada Etek Siti di Mangopoh. Pada suatu kali nanti cobahlah kamu telusuri ke sana. Kamu tuntut lah ilmu itu kembali kepada Etek Siti Mangopoh itu !. Dalam merenung, menyimak penjelasan Mak Sikek itu, terbayang olehku barangkali inilah sebabnya kenapa pemimpin perlawanan ini dan para kaum lakilaki tidak menyangsikan untuk meninggalkan para istri mereka kelak. Bahkan untuk beberapa orang suami rela pula melepas istri-istrinya untuk berjuang mempertaruhkan nyawanya. Mereka percaya bahwa anaknya tidak akan berbapak tiri dan para ibu-ibu atau pun para gadis tidak khawatir pula mahkotanya akan dirampas oleh cecunguk-cecunguk Ulando itu nantinya. Agaknya pula, Maryam sang kekasihku juga telah menimba ilmu ini dari pemimpin perlawanan ini atau dari Etek Siti Mangopoh sendiri, karena dia sering menemuinya dalam mengkonsolidasikan perjuangn ini. Tapi, kenapa Maryam tidak pernah berterus terang padaku tentang satu hal ini, ya ?! Bisik hatiku lagi. Akhirnya aku dikagetkan dari lamunan itu dengan suara Mak Sikek lagi. Persoalan yang satu inilah sebetulnya yang ingin aku bicarakan denganmu !, makanya saya suruh kamu untuk mampir hari ini dan malah saya pesankan pula kepada etekmu ini tadi pagi, sebelum aku berangkat ke Salo itu, kata Mak Sikek. Dalam pada itu istri Mak Sikek pun telah menghidangkan nasi yang asapnya sedang mengebul-ngebul. Maka kamipun segera menikmatinya, namun tidak sepatah katapun diantara kami ada yang keluar, keculai Etek Anisyah dan Mak Sikek sesekali mencuri pandang, seakan-akan mereka berbicara dalam bahasa isyarat. Entah apa arti dan maksudnya sampai sekarang pun saya tidak bisa menebaknya. Makan di rumah Etek Siti Anisyah sore itu terasa nikmat sekali, karena sebelumnya kami terlibat dalam pembicaraan yang penuh arti, meskipun kadang kala dalam suasana berseloroh. Atau mungkin juga lantaran udara terasa dingin karena hujan di sore itu telah turun pula. Dan yang pasti saat itulah aku makan terakhir kalinya di rumah Etek Anisyah sekeluarga.

Sebagaimana kisah yang aku bayangkan di hadapan Mak Sikek dan Etek Anisyah sebelumnya, maka sewaktu aku bertamu ke rumah istri Mak Datuak Rajo Pangulu, 108 | Maryam Chilvalry

di itulah aku mendapatkan sebuah panorama kehidupan dalam keluarga yang harmonis, romantis namun tetap dalam adab ke-Minangkabau-an. Namun, 'lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya', begitu kata pepatah menggambarkan tentang khasanah kosmologi itu kepada kita dari para filusuf, leluhur Minangkabau dahulu kala. Kata-kata bijak itupun sangat luas cakupannya termasuk kepada tingkah, perangai maupun kisah dan kenangan yang dialami setiap orang yang tidak sama satu dengan yang lainnya. Pada suatu pagi, aku diajak seorang sahabat untuk minum pagi dirumahnya selesai kami shalat berjamaah di surau. Tak hayal lagi karena hidup masih membujang maka aku pun mengamini ajakan sahabat tersebut. Tapi melihat suasana keluarga yang masih belum mempunyai momongan sibuah hati itu, dia senasib dengan Mak Datuak Rajo Pangulu dan Kak Siti Aisyah. Meskipun berbeda kondisi, pengalaman hidup dan kisahnya masing-masing. Bagiku tidak lain adalah semacam kekayaan khasanah saja. Entah apa sebab musababnya dan firasat apa yang berembus di hati sahabatku itu dia mulai berkisah sambil menikmati kopi pagi dan ketan merah dengan kalio rendang hangat, yang masih dipanaskan dengan bara api sabut kelapa. Wanginya disapu-sapu semelir angin dipagi hari melayang-layang entah kemana-mana membuat kelenjer air ludah memercikkan air bening di pinggir lidah, menerbitkan selera untuk menyantapnya. Katanya, sepulang melihat padi di sawahnya sehabis zohor kemarin dia bertanya pada istrinya, paling tidak sekedar melepaskan unek-unek yang menyelimuti fikirannya tentang alasan sesungguhnya terhadap kemauan yang keras dari istrinya yang mengikhlaskannya akan turut berjuang menentang belasting yang sedang diperjuangkannya itu. Meskipun istrinya sendiri wallahu alam akan turut berperang nantinya, namun sekedar membantu Maryam dalam propaganda guna membangkitkan semangat juang bersama pada masyarakat telah menjadi cermin bagi masyarakat. Ambo mau bertanya pada awak tentang satu hal, katanya kepada istrinya. Apa yang ingin Tuan tanyakan pada ambo?, jawab istrinya. Kenapa awak mengikhlaskan ambo untuk turut berjuang menentang Ulando bersama pejuang anti belasting lainnya itu, apa alasan awak yang sesungguhnya?, tanya sahabatku itu lagi kepada istrinya. O, itu yang mau Tuan tanyakan pada ambo?, istrinya balik bertanya. Hal ini adalah sebuah pertanyaan penting bagi ambo sebagai salah seorang anggota pasukan Inyiak Manan, dan pertanyaan ini harus awak jawab dengan sunguh-sunguh! 109 | Maryam Chilvalry

Begini, Tuan! Ambo lihat pemimpin kita yang bertiga itu, yaitu Inyiak Manan, Mak Datuak Rajo Pangulu dan Tuan Kari Mudo itu adalah gambaran pemimpin di Minangkabau. Mereka benar-benar Tali Tigo Sapilin. Inyiak Haji Abdul Manan, Tuan Kari Mudo dan Mak Datuak Rajo Pangulu tidak seorang pun yang dapat dikatakan mana yang pemimpin utama dari mereka, sebab beliau bertiga itu berfungsi pada posisinya masing- masing dalam satu tekad dan satu tujuan yang sama. Seperti yang awak pahami, Inyiak Manan adalah seorang Ulama, Mak Datuak Rajo Pangulu sebagai Ninik Mamak. Sedangkan Tuan Kari Mudo adalah seorang cerdik pandai, karena dia seorang berilmu, berfaham tapi tidak seorang penghulu dan juga tidak sebagai seorang ulama. Sementara pemimpin yang diinginkan oleh penjajah itu adalah pemimpin tunggal, yaitu pimpinan yang berada pada satu tangan saja. Dia mengatur segala-galanya. Jika bertampuk dia seorang yang memegang, jika bertangkai dia seorang menggenggamnya. Itulah dia seperti Angku Palo, Angku Lareh hasil perbuatan Ulando itu. Bukankah begitu, Tuan? tanya istrinya kepada sahabatku itu, mempertegas penyampaiannya. Ya! Tepat sekali!, lalu dari mana kamu mendapatkan kalimat -kalimat seperti itu? Sahabatku itu tercengang mendengar penjelasan istrinya itu, meskipun hakikat pertanyaan yang dituntutnya belum terjawab oleh istrinya itu. Dari Maryam, Tuan. Ambo kan sering berjalan dengannya di kampung ini. Maka sepanjang perjalanan itu sering kami bertukar pikiran tentang banyak hal, jelas istrinya. Nah, suatu hal lagi. Kak Siti Aisyah dan suaminya Mak Datuak Rajo Pangulu akan langsung turut berperang, Siti Maryam juga demikian dan Etek Siti Anisyah sudah mengikhlaskan pula dirinya bersama suaminya untuk meninggalkan anaknya Ramaya yang masih kecil kalau dia gagal dalam peperangan itu nanti. Dan kalau ambo mempunyai kemampuan dan kepintaran berperang seperti mereka itu tentunya ambo akan turut pula ke medan lagi itu. Makanya ambo hanya mengikhlaskan Tuan untuk turut dalam perjuangan suci itu, tambah istrinya lagi menjawab tuntutan suaminya itu. Meskipun nanti Tuan - junjungan jiwa dan badan ambo gugur dalam pertempuran itu tentu ambo akan hidup sendirian, sebab tidak ada lagi orang sebagai sandaran jiwa dan badan, tidak ada lagi orang sebagai curahan kasih dan sayang. Maka tidak obahnya ibarat pantun orang juga Tuan, sambung istrinya: Nan karimbo rasak nan banyak Nan tumbuah di kaki Singgalang. Nan kalawan galak nan ka kabanyak Nan kok rusuah ka ambo surang. (Kerimba rasak [kayu] yang banyak 110 | Maryam Chilvalry

yang tumbuh di kaki [gunung] Singgalang. Untuk ketawa kawan yang banyak yang rusuh [risau] aku seorang)

Kenapa awak tidak punya alasan lain dan berbicara tentang masalah yang lain, seperti kalau perlawanan ini kita menangkan maka si kafir itu tidak akan jadi menjajah kita. Seluruh rakyat akan betul-betul menikmati kemerdekaannya, mereka akan menikmati hasil buminya sendiri secara bulat dan utuh, sanggah sahabatku itu lagi kepada istrinya, menirukan kembali ucapannya kepadaku. Tentu saja, Tuan-ku...! Kan dalam perang itu kita dihadapkan pada dua pilihan saja. Hidup atau mati! Maka, lebih baik kita bicarakan dulu sesuatu kepahitan yang akan kita tempuh nantinya. Seandainya, Allah Swt mentakdirkan, dalam pertempuran itulah ajal kita sampai, Malaikat Izrail mencabut nyawa kita yang tersebabkan oleh peluru mesiunya pasukan Ulando itu, maka tamatlah semua perjalanan hidup kita. Di akhiratlah tempat kita bertemu kembali!. Iya, kan Tuan?!, kata istrinya, yang ditirukan sahabatku itu sambil menghirup kopi pada cawan porsolen buatan cina yang bermotif kembang sepatu itu. Menirukan jawaban istrinya itu, tersedak kerongkongannya sewaktu menelan kopi pahit itu dan buru-buru menyanggah pernyataan istrinya. Nah, kenapa kamu tersedak, kataku kaget padanya. Ya, karena dia bicara soal kematian, kawanku, Juru Tulis, katanya padaku Memangnya kenapa, kematian adalah ketentuan, mutlak hukumnya bagi setiap yang bernyawa, bukankah begitu?, jawabku pula Ya, memang!, jawabnya pintas Nah, apa lagi dalam sebuah peperangan. Sudah jelas tantangannya hidup atau mati, seperti yang dikatakan istrimu itu Kataku padanya Terus, bagaimana lagi kelanjutan cekrama kalian, kemarin itu? Pancingku lag i Ya, apa yang akan kita risaukan Tuan, kalau memang kita ditakdirkan meninggal dalam pertempuran itu si buyung tak ada yang akan menangis, si upik pun tak ada yang akan meratapi kita! Kata istriku lagi.

111 | Maryam Chilvalry

Sekilas aku menangkap terjadi perubahan sinar wajah dan sedikit matanya berlinag menyertai geleng-geleng kepalanya sambil meletakkan kembali cawan kopi ke tatakannya seakan dia mengeluhkan tingkah istrinya itu. Kemudian istriku itu masuk kedalam kamar, meninggalkanku sendirian di tengah rumah yang sedang menikmati rokok yang asapnya mengepul-ngepul, ulasnya padaku Maklumlah sajalah kamu, sepasang suami-istri itu belum diamanahkan oleh Allah, Swt. seorang keturunan pun, dan kamu juga tau bukan bahwa istriku ini adalah perempuan semata wayang pula oleh keluarganya, meskipun dia punya kakak dan adik tetapi laki-laki semua. Sehingga rumah kami ini terasa sunyi dari suara anak anak, sambungnya lagi Tau-ataunya, katanya lagi kepadaku dengan mendongakkan sedikit kepala dengan wajahnya berseri, istriku keluar dari kamarnya dan bertanya padaku. Taukah kamu apa yang terjadi selanjutnya? Tanya dia pula padaku. Ya, apa? akau balik bertanya padanya Tau-taunya, istriku keluar dari kamarnya dengan membawa tiga potong baju yang sudah lama tersimpan di lemari ke hadapanku yang diringi pertanyaanya...Tuan, manakah yang bagus kebaya ini untuk ambo pakai sekarang?, tanya dia kepadaku sambil memperlihatkan tiga helai kebaya panjang yang masih dalam keadaan terlipat. Tentu saja saya terperanjat, Juru Tulis !, katanya padaku. Akupun tak berkedip mendengarkan ucapannya yang diiringi semangatnya yang mulai berapiapi. Baju apa maksudmu, kawan?, tanyaku dengan penuh antusias Satu lembar kebaya itu adalah kebaya kurung yang sedikit saja tekukan gunting di bahagian lehernya, seperti huruf. V (ve), sedangkan dua lembar lagi adalah kebaya panjang yang berbelah lepas di tengahnya, jelasnya. Biasanya kebaya panjang yang berbelah lepas di tengahnya itu mempergunakan peniti yang berderet ke bawah untuk mengenakannya di badan. Dan biasanya pula kebaya tersebut dipergunakan untuk menghadiri jamuan atau perhelatan sering penitinya berupa rupiah emas Amerika. Rupiah emas merupakan jenis mata uang Amerika yang terbuat dari emas 24 karat beratnya berkisar 7,5 gram. Rupiah emas ini ada berupa rupiah emas polos, ada pula yang dijadikan mainan lontin dan sering juga dikasih peniti emas di tengahtengah untuk disematkan di baju kurung perempuan Minang. Kaum perempuang Minang menjadikan rupiah emas Amerika ini sebagai simbol atas keberadaannya. Dan sering pula dijadikan sejenis tabungan karena harganya selalu naik bila dibandingkan nilai uang. 112 | Maryam Chilvalry

Memangnya awak mau kemana?, siapa yang berhelat?, tanyaku penuh heran saat itu. Tidak kemana-mana Tuan!, tidak ada pula orang yang berhelat sekarang ini! Cuma ambo ingin sekali memakai salah satu diantara kebaya yang saya sukai ini. Setelah mandi sore nanti ambo akan berdiam diri saja di rumah bersama Tuan, ambo akan memakai salah satu dari kebaya kebaya ini, hasil pilihan Tuan. Tuan tidak kemanamana bukan?!, tukasnya lagi Ya, ambo memang tidak ke mana -mana, ambo saat ini ingin beristirahat dulu di rumah! Kalau begitu kenapa awak akan memakai kebaya, sedangkan kita di rumah saja?, tanyaku lagi menyambung jawabannya itu. Entah kapan lagi rasanya ambo akan memakai kebaya pembelian Tuan ini, jawabnya Sebetulnya bukan Aisyah saja yang berprilaku sedemiakian, baik laki -laki maupun perempuan pada pekan-pekan ini, berusaha menggembirakan hatinya masingmasing dengan mengenakan pakaian bagus-bagus setiap harinya. Karena mereka sudah siap berhadapan dengan maut. Dan kalau memang kematian menjadi kenyataan, kapan lagi akan mengenakan pakaian yang bagus-bagus itu. Itulah anggapan rmereka yang sudah siap untuk berperang belawan Ulando nantin ya, komentarku pula, mencoba menghibur sahabatku itu. Tapi bukan sebegitu saja, Juru Tulis, dia, istriku itu melontarkan kata -kata pula Tuan, semakin hari perasaan ini semakin tidak enak. Rasa-rasanya akan ada sesuatu yang akan terjadi pada kita, Tuan! Maka, izinkanlah ambo memakai kebaya ini pada malam ini, dan tolonglah Tuan pilihkan yang mana akan ambo kenakan nanti. Ada-ada saja perangai istruku itu, Sambil gelelng-geleng kepala dia mengkisahkan tingkah istrinya Lalau kamu pilihkan?, aku semakin ingin tau akan cerita yang semakin mengasikkan itu. Begini, Juru Tulis, ambo katakan sama dia masak ambo yang disuruh memilih, sedangkan yang akan memakainya adalah awak sendiri!, kataku padanya, tahukah kamu jawabannya Juru Tulis? Ya, tidaklah kawan, dari mana pulaku tau! Kamu ini ada-ada saja. Sambil setengah berbisik dengan sedikit membungkukkan tubuhnya ke arahku dia kembali menirukan kalimat istrinya. Iyalah, Tuan!, kan yang melihat bagus atau tidaknya tentu orang yang memandang. Sedangkan orang yang akan menikmati atau merasakan keindahan itu adalah Tuan sendiri! Katanya lagi padaku.

113 | Maryam Chilvalry

Kawanku semain berbinar. Aku pun mulai tersimpul-simpul pula melihat gaya sahabatku meragakan gaya istrinya yang bermanja dengannya tentang selembar kebaya. O, ya ya!. Terserah awak sajalah mana yang lebih pantas untuk awak kenakan. Ambo menyukai ketiganya. Jadi ambo tak dapat membedakannya. Mana yang awak kenakan itulah yang terbagus! Betulkah begitu, Tuan? Iya, betul begitu! Tanpa disadari kami yang sedang berleha-leha diberanda depan rumahnya itu kami dipergok oleh istrinya. Apa mempergunjangkan awak pula Tuan -tuan, ya?! Tidak, tidak! Siapa yang mempergunjingkan kamu sepagi ini, jawabku agak gagap. Rupanya selentingan menjelang di menjumpai kami di beranda itu dia sudah mendengar senda gurau kami itu. Ke dapur saja lah awak atau pergilah mencuci ke pancuran biarlah kami maota maota (ngobrol)saja disini!, timpal sumainya, kawanku itu. Iya pula yang disampikan suamimu ini, biarlah kami angsur-angsur juga mncicipi ketan dan kalio masakan kamu ini, kataku pula. Iya, dihabiskan itu ketannya itu Tuan!, serunya pula kepadaku Iya, terimakasih. Siapa pula yang tidak mau menghabiskan makanan yang seenak ini!, sanjungan pula padanya. Istrinya itu berlalu dari hadapan kami, seperti berkemas-kemas membersihkan kamarnya dan memisahkan kain-kain yang akan dicuci pancuran, tepian umum di kampung itu. Setelah mandi dan Shalat Ashar, mereka hanya mengaso saja di rumah dan menjelang Shalat Magrib mereka makan bersama, tapi Aisyah ternyata tidak mengenakan kebaya yang dia perlihatkan siang tadi pada suaminya. Sehingga sewaktu makan sore, bertanya tanya sendirian sajalah Dt. Rajo Pangulu dalam hati. Mau ditanyakan langsung kepada Aisyah kenapa tidak jadi dia mengenakan kebaya itu agak ragu pula. Masih dalam suasana sedemikian Aisyah berkata pada suaminya. Tuan, kali ini ambo tidak Shalat Maghrib di Surau, ya! Tuan sajalah yang pergi ke Surau. Tapi Shalat Isya nanti kita berjamah saja di rumah. Tidak apa bukan?, kata Aisyah pada suaminya dengan sedikit bergaya memanjakan diri.

114 | Maryam Chilvalry

Ya, tidak apalah!, jawab suaminya dengan singkat. Sepulang dari Surau, Dt. Rajo Pangulu mendapati istrinya sudah mengenakan baju kebaya dengan sedikit polesan berhias diri. Ternyata kebaya panjang yang dikenakan Siti Aisyah adalah yang berbelah di tengah dan dilihatnya peniti yang terbuat dari rupiah emas telah berderat pula dari atas sampai ke bawah, setentangan pusatnya. Peniti-peniti dari rupiah emas itu mempertemukan kedua ujung kebaya tersebut. Semerbak bau kasturi pun terlintas meransang penciuman Dt. Rajo Pangulu. Sehingga suami Siti Aisyah ini semakin terheran - heran melihat tingkah isterinya semenjak pagi tadi, yang terlihat agak aneh-aneh, tidak seperti biasanya. Dt. Rajo Pangulu duduk di tengah rumah selesai dia bersalin di kamarnya, Siti Aisyah menghidangkan secangkir minuman khas waktu itu, yaitu aia kawa, bercampur santan, madu dan sedikit irisan jahe merah yang masih hangat. Aia kawa adalah air seduhan daun kopi arabica atau robusta yang telah tua dan dikeringkan dengan cara mendiangkan (diasap) dengan cara menusuk daun-daun kopi yang telah tua itu dengan lidi lalu digantungkan di atas tungku kayu. Setelah daun itu kering dan berwarna coklat lalu diremukkkan bagaikan teh. Serbuk inilah yang diseduh dengan air panas dalam tabung bambu hingga dingin airnya. Tabung bambu itu dikenal juga dengan nama katiang. Minuman apa ini yang awak bikin?, tanya Dt. Rajo Pangulu Santan dan aia kawa, Tuan! Eh, biasanya kan pada pagi hari m inuman ini awak buatkan untuk ambo, kenapa sekarang, pada malam hari awak buatkan?, tanya suaminya lagi. Iya, Tuan!, tadi ambo lupa membuatkannya, maka sekarang saja ambo bikinkan! Kalau Tuan tidak suka, ya tidak apa -apa, biarlah ambo buang kembali!, jawab Aisyah dengan sedikit merajuk, takut kalau suaminya tidak mau meminum minuman yang berkhasiat itu. O, o! Tidak, tidak Aisyah! Ambo kan cuma bertanya saja pada awak. Kalau sudah dibuatkan ini ya..., untuk apa dibuang. Kan mubazir kalau dibuang. Diminum juga tidak ada salahnya!, jawab suaminya yang takut istrinya akan kecewa karena dia sudah cape-cape membikinkannya. Tapi, kenapa berbusa airnya, Aisyah?, tanya Dt. Rajo Pangulu lagi. Tentu saja berbusa, Tuan! Kan minuman itu juga ambo campur pula dengan kocokan kuning telor itik, jawab Aisyah dengan malu-malu kucing.

115 | Maryam Chilvalry

Aaaa..., agak panas pula kerongkongan ambo dan menyengat ke hidung!, rasa apa pula itu Aisyah?!, kata Dt. Rajo Pangulu pula. Akh, Tuan!, masak segala ditanya, tentu saja agak panas dan menyengat rasnya Tuan. Kan ambo kasih pula air parutan sipadeh siarah dan sedikit merica, kayu manis, Tuan!, jawab Aisyah dengan tersipu -sipu malu kepada suaminya. Dt. Rajo Pangulu pun tertawa tawa kecil melihat tingkah istrinya itu, dan Siti Aisyah pun tertawa geli juga karena malu seakan-akan niatnya yang terselubung tertebak oleh suaminya. Sehingga dalam suasana saling tertawa itu mereka tanpa sadar telah ber-endek endek-an pula. Endek-endekaan adalah senggol senggolan dengan bahu kanan dan bahu kiri pasangan. Sehabis minum santan-aia kawa yang ditambah telor itik dan ramuam rempahrembah tradisional tersebut dari kejauhan terdengarlah bunyi beduk berirama menandakan waktu Shalat Isaya sudah tiba. Maka Dt. Rajo Pangulu pun berkumur kumur dengan air putih dan berdiri untuk mengambil wudhuk ke belakang. Siti Aisyah pun bergegas pula untuk berwudhu karena mereka akan melaksankan Shalat Isya berjamah. Selesai Shalat, Siti Aisyah mengemas mukena dan dua buah sajadah yang terbentang, kemudian masuk ke kamarnya. Dan Dt. Rajo Pangulu duduk kembali bersandar di dinding rumah persis menghadap kearah kamarnya sambil mempelintir sebatang rokok yang terbuat dari daun nipah yang digulung dengan tembakau dari Nagari Guntuang di Luhak Limo Puluah Koto. Sesaat kemudian Siti Aisyah muncul kembali di pintu kamar dan langsung berhadapan dengan suaminya yang sedang mengkulum asap rokok. Tuan, bagaimana menurut Tuan pakaian kebaya yang ambo kenakan ini?, anya Aisyah. O, bagus!, ambo suka dengan pakaian yang awak kenakan itu. Cocok sekali dengan paras awak!, jawab Dt. Rajo Pangulu memuji kecantikan istrinya itu. Kalau mengenai kecantikan Siti Aisyah, apa yang hendak dikata. Belanda saja sering mengeluhkannya. Kontroler Westenenck sendiri mengakui akan kemolekan istri Dt. Rajo Pangulu itu, sehingga Westenenck sangat heran kenapa wanita muda yang secantik itu mau mensucikan dirinya dan mau mati syahid dalam berperang. Lalu Aisyah menghampiri suaminya, dan duduk di sebalah kiri suaminya. Taukah Tuan apa maksud ambo berpakaian seperti ini pada malam ini? Memangnya mengapa?, tanya suaminya pula. Malam ini sepertinya malam terakhir bagi kita untuk bersama di rumah kita ini, Tuan! 116 | Maryam Chilvalry

Ya, barangkali firasat kita sama, Aisyah! Perang sudah diambang pintu. Belum taulah bagaimana nasib kita selanjutnya. Cuma saja ambo tidak memperlihatkan kegundahan ambo itu kepada awak atau pun kepada orang lain. Ambo khawatir nantinya akan melemahkan semangat perjuangan kita, jawab Dt. Rajo Pangulu. Makanya ambo sangat menginginkan tiada tersisa dan terbuang waktu semalam ini bagi kita. Ambo tidak mau malam ini waktu kita terbagi kepada yang lain, Tuan!, tukas Aisyah pula. Dt. Rajo Pangulu berdiri, berjalan kearah kamarnya, dan menggantung kan peci hitam berlilitkan kerutan kain sutra hitam yang dikenakannya itu di sisi samping pintu kamarnya. Sambil berdiri itu Dt. Rajo Pangulu pun bertanya kembali kepada isterinya. Kenapa awak pakai peniti rupiah itu semuanya ? Kalau sempat terlihat orang bisa bikin susuah juga nantinya! Sambil berdiri dan menyusul ke tempat suaminya berdiri itu, Aisyah mencoba menjawab tanya sumainya itu. Karena ambo ingin segala perhisan ambo ini, hanya Tuan yang mengumpulkan dan menggenggamnya dengan erat, jawab Aisyah. Maklumlah, Dt. Rajo Pangulu adalah seorang ninik mamak yang sangat paham dengan maksud kata malereng dari isterinya itu, apalagi semenjak dari siang tadi kurenah isterinya pun sudah menunjukkan ada sesuatu hasrat yang harus ditunaikannya. Bagi Dt. Rajo Pangulu sendiri rasa hangat telah mulai menjalar naik di sela-sela tulang punggungnya menuju pundak dan kepalanya, dari kepala pun sudah menyebar ke seluruh tubuh, otot-ototnya sudah mulai mengencang. Apakah karena pengaruh ramuan minuman yang dibuatkan isterinya tadi atau karena mendengar resah suara yang melirih dari istrinya itu. Atau mungkin juga karena sudah serentak niat dan takbir untuk menunaikan nafkah bathin. Dt. Rajo Pangulu berbalik dan melangkah untuk mendekati istrinya, dan mencoba untuk memagang pundak istrinya yang terlihat sudah mulai agak kaku itu untuk dirangkul dan didekapnya. Dalam dekapan yang penuh kehangatan itulah dada Dt. Rajo Pangulu merasakan sesuatu yang hanya dibatas oleh selembar kain kebaya yang lembut dan tipis itu. Tapi Aisyah seakan meronta dengan gerakan-gerakan kecil yang lambat, seakan dia ingin melepaskan tubuhnya dari dekapan suaminya itu. Ternyata gerakan kecil Siti Aisyah itu semakin membubungkan darah Dt. Rajo Pangulu, sehingga dia semakin mengeratkan rangkulannya.

117 | Maryam Chilvalry

Aisyah, apakah maunya awak juga ambo yang akan membuka satu persatu peniti rupiah yang menyemat baja awak ini?, tanya suaminya dengan suara setengah berbisik sambil merenggangkan rangkulannya pada Aisyah. Rupanya Tuan sangat arif sekali, tapi kenapa dari tadi siang Tuan seolah tidak mengerti apa sebenarnya yang ambo maksud dan inginkan?, kata Aisyah pula yang saat itu tangan kirinya diletakkannya di bidang dada suaminya sebelah kanan, sedangakan jari telunjuk dan jari malangnya tangan kanannya mencoba untuk masuk disela-sela kancing baju ganiah bergunting teluk belanga yang dikenakan Dt. Rajo Pangulu untuk mengukir dada suaminya dengan lembut. Dt. Rajo Pangulu membuka semat peniti dari rupiah emas di baju istrinya itu satu persatu dan sambil melangkah ke pinggir tempat tidurnya di dalam kamar, mencoba untuk menenangkan darahnya dan mengalihkan sedikit perhatiannya. Dia menerangkan suatu penjelasan tentang pertanyaan istrinya itu. Aisyah, seharusnya kita sebagai seorang yang berpaham tidak harus serta -merta menanggapi sesuatu yang kita dengar, yang kita lihat atau pun sesuatu yang dapat kita rasakan. Meskipun lemang dan serikaya yang terhidang di depan kita, bukanlah langsung kita santap, meskipun sudah untuk kita sendiri. Tentu kita patut dan renungkan dulu untuk sesaat, cobalah kita rasa-rasakan dulu dikerongkongan kita bagaimana nikmatnya lemang dan serikaya itu, yang dimakan itu rasa dan yang dilihat itu rupa, Aisyah. Setelah itu, barulah nantinuya kita akan benar-benar merasakan kenikmatan yang sesungguhnya. Bukankah begitu yang pernah kita lakukan selama ini, Aisyah? Sepanjang itu penjelasan Dt. Rajo Pangulu pada istrinya, namun Siti Aisyah seakan telingahnya sudah pekak. Dia hanya membisu, sementara tangan kirinya sudah melingkar dipinggang suaminya dan tangan kanannya telah mengerayang pula tak tentu arah. Kala itu Aisayah hanya bisa menjawab dengan sopotong kalimat dalam suara yang amat gemetar. Selama ini memang begitu, Tuan! Tapi sekarang sangat berbeda!, dan ambo ingin sekali untuk menikmati yang berbeda itu sepuasnya malam ini!, tegas Aisyah pada suaminya. Bagaimana kisah dalam perjalanan malam istimewa mereka itu kuranglah terang bagiku. Namun yang jelas pada Subuh itu jamaah Surau bertanya-tanya kenapa Dt. Rajo Pangulu dan Siti Aisyah tidak nonggol subuh itu?. Tentu saja jamaah surau itu merasa berwas-was, karena situasi bagi masyarakat Kamang waktu itu sudah sangat mencekam dan mengkhawatirkan.

118 | Maryam Chilvalry

14.

Biadab

SUDAH beberapa kali Bonjol di gempur untuk diduduki termasuk yang dipimpin langsung oleh Gubernur General Van den Bosch. Karena sulitnya menundukkan kaum Paderi dan menduduki Bonjol, Van den Bosch akhirnya pada dini hari 3 Oktober 1833 memutuskan untuk berangkat kembali ke Batavia, lari malam menurut cemoohan orang Minang. Dan, untuk memperkuat pemerintahannya di Sumatera Barat diangkatnya dua orang Komisaris di Padang sebagai wakilnya. (Red: Dua orang Komisaris untuk satu daerah di Hindia Belanda, agaknya hanyalah di Minangkabau ?), yaitu J.J. Van Sevenhoven dan Mayor Jenderal J.G. Riesz. Sejarah pun berulang, penyakit lama berjangkit kembali. Siasat ditukar, perang frontal sudah tak mempan Pelakat Panjang diumumkan pada 25 Oktober 1833 sekedar time out untuk bernapas panjang sesaat. Hal ini terbukti dengan tindakan Belanda yang mengkhianati sendiri maklumat perdamaian yang dibuatnya sendiri secara sepihak itu. Luka lama berdarah lagi rakyat Minangkabau. Fatwa-fatwa yang diberikan Tuangku Imam Bonjol merupakan senjata bathin yang tidak dapat ditumpulkan oleh berbagai presure dan provokasi dari pemerintah ataupun oleh militer Belanda. Sebuah kejadian yang tidak dapat dimaafkan dan dilupakan oleh generasi kami dan bahkan generasi Minangkabau, Siti Maryam mengawali pidatonya. Adalah terhadap kekejaman pasukan tentara Ulando pada waktu itu penculikan yang dilakukan atas dua orang istri Tuangku Imam untuk menggoncangkan mental beliau. Pada suatu malam dalam bulan Juli 1837 - setelah sepuluh hari lebih pertempuran yang dihadang pasukan Tuangku Imam yang tiada henti-hentinya, satu pasukan kecil tentara Belanda mencoba memasuki kota Bonjol dengan menyelundup 119 | Maryam Chilvalry

ditengah lelapnya pasukan Paderi yang sedang kelelahan. Sehingga kedatangan tamu yang tidak diundang itu tidak diketahui oleh pengawal benteng. Pasukan kecil itu terus menuju rumah kediaman Tuangku Imam bersama anak-anak dan kedua istrinya. Dengan serta merta kedua istri Tuangku Imam dilarikan secara diam-diam. Kejadian itu diketahui oleh salah seorang putra Tuangku Imam yang bernama Mahmud, dan tanpa berpikir panjang Mahmud melakukan perlawanan guna menyelamatkan kedua orang ibunya itu. Karena perkelahian tidak seimbang, pada akhirnya perut Mahmud ditusuk dengan bayonet yang menempel di ujung laras senapan pasukan Belanda tersebut. Dalam kejadian ini, yang amat tragis adalah perlakuan marsuse yang sangat biadab. Setelah perut Mahmud terberai, darah mengucur dari celah jantung yang bocor. Kemudian, kaki salah seorang istri Tuangku Imam diputuskan, dikerat pahanya selagi dia masih hidup, sedangkan istri yang seorang lagi tubuhnya diukir, disayat-sayat dengan ujung sangkur Belanda Hitam itu. Ini benar-benar biadab, buas. Mendengar suara ribut dan jeritan suara perempuan, Tuangku Imam terbangun dari lelapnya, beliau langsung mengambil pedang dihunusnya menuju tempat suara ribut tersebut. Perkelahian seru pun terjadi antara beliau dengan tentara Ulando. Dalam perkelahian ini, Tuangku Imam Bonjol menderita luka-luka karena tusukan bayonet, tetapi pasukan Ulando kocar-kacir melarikan diri dalam penderitaannya pula. Karena banyak menderita luka yang menyebabkan banyaknya darah yang keluar, tubuhnya semakin melemah dan beliau tidak dapat lagi memimpin pertempuran selanjutnya. Besoknya, pada sore hari pasukan Ulando melancarkan serangan besar-besaran. Pertahanan benteng di Bonjol langsung diambil alih oleh Bagindo Majolelo dan kawan-kawannya. Kota Benteng sangat tangguh untuk diterobos yang dipertahankan oleh kaum yang militansi. Akhirnya tidak membawa apa-apa bagi Ulando kecuali penderitan dan kerugian. Keesokan harinya, setelah Ulando menyulut sejumlah besar bahan peledak kedinding pertahanan rakyat penyerbuan secara tiba-tiba kembali dilakukan dibawah pimpinan pasukan Letnan Lange. Pada tanggal 16 Agustus 1837 kejatuhan kota benteng Bonjol dirayakan prajurid Ulando dengan pesta candu dan tuak, sebagai ungkapan keberhasilan mereka. Dengan pertolongan beberapa orang hulu balang yang gagah berani, Tuangku Imam diselamatkan dari kepungan pasukan musuh dan dilarikan ke kampuang Marapak. Sesudah menduduki Bonjol, tentara Belanda mengadakan pembersihan secara besar-besaran. Penyisiran terhadap daerah-daerah basis pasukan Tuangku Imam dibumi hanguskan. Tapi Tuangku Imam tidak ditemukannya juga. Apakah salah seorang dari istri Tuangku Imam itu nenekmu, Maryam?, aku bertanya. 120 | Maryam Chilvalry

Barangkali, sekarang bukanlah saatnya yang tepat untuk saya jelaskan, Mak Kari, maksudnya Wahid Kari Mudo. Hadirin di Surau Haji Abdul Manan di Kampung Budi itu terganga dan ada yang air matanya meleleh di pipi atas kepiluan dari kekejaman marsose si Belanda Hitam atas perintah tuannya lanun dari seberang lautan itu. Mendengar pemaparan anak sasian, murid beliau itu, Haji Abdul Manan hanya bersitelekan, menupang kedua pipinya dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas kedua pahanya karena terharu akan kisah tragis dari kebiadaban pasukan Belanda itu dari akhir keagungan Bonjol sebagai pertahanan terakhir pada Perang Paderi. Dalam alkisah perang Minangkabau Raya itu dan kepasihan tutur Siti Maryam yang diwarisinya dari keluarganya sendiri dalam menuturkannya. Tujuan ditampilkan Siti Maryam untuk menyampaikan kisah pembiadaban tentara Belanda itu pada halaqah Surau Budi menjelang berkobarnya perang anti belasting itu adalah dalam rangka membangkitkan semangat anti Belanda dan semangat untuk bangkit berjuang melawan tirani, kebiadaban-kebiadaban penjajah, penjarah rakyat oleh tentara dan pemerintah Belanda yang akan melancarkan pajak, pungutan langsung-nya.

121 | Maryam Chilvalry

15.

Briefing

TINDAKAN yang diambil oleh L.C. Westenenck didasarkan pada pengumuman Gubernur Genderal Van Heutsz di Batavia pada tanggal 1 Maret 1908 untuk memberlakukan Peraturan (Undang Undang) Pajak Langsung untuk seluruh Hindia Belanda. Westenenck sebagai seorang pejabat tinggi Departemen Dalam Negeri (Amtenaar B.B) yang berpangkat kolonel dan berkedudukan sebagai Komendur Oud Agam karena Asisten Residen Luhak Agam merangkap Residen Padangshe Bovenllanden yaitu Van Driesche yang tidak begitu serius dalam menjalankan tugasnya - karena menurutnya belum saatnya untuk melaksanakan Undang-Undang Belasting dengan tangan besi. Karena beberapa kali pendekatan dan sosialisasi tentang pelaksanaan peraturan baru itu gagal atau tidak didukung oleh rakyat, maka pada tanggal 16 Maret 1908 L.C. Westenenck kembali memanggil seluruh Laras untuk mengadakan pertemuan di kantornya, di kota Fort de Kock (Bukittinggi). Inti pertemuan tersebut adalah penegasan dan instruksi oleh L.C. Westenenck untuk segera melakukan penghitungan atau penaksiran dan langsung memungut pajak langsung itu. Dalam instruksi itu dipertegas bahwa kepada masing-masing Laras dan kepala nagari yang merasa tidak mampu menjalankan pemungutan pajak akan dibantu dengan kekuatan militer, kepada laras laras dan kepala nagari yang menentang akan dipecat dari jabatannya dan akan ditangkap untuk dibuang. Dalam pertemuan itu, Laras Salo-Magek diwakili oleh Warido, lengkapnya Agus Warido Prawirodirjo, anak seorang bekas prajurid Sentot Alibasya yang berpihak Belanda menikahi salah seorang padusi (gadis) Minang secara paksa dengan mendapat dukungan Belanda. 122 | Maryam Chilvalry

Agus Warido Prawirodirjo sebelumnya diangkat Belanda sebagai Mantri Kopi di Limo Puluah Koto. Laras Kamang dihadiri oleh Kepala Laras Garang DT. Palindih, Laras Tilatang Jaar Dt. Batuah, Laras Ampek Angkek Samat Dt. Sati, Laras Kapau Dt. Rajo Labiah, Laras Baso Adam Dt. Kayo dan Laras Canduang oleh Sahat Rajo Malenggang dan Laras Ampek Koto, Yahya Dt. Kayo. Karena rakyat mendapat bocoran informasi pertemuan rahasia para Laras se Agam Tuo itu, maka pada Senin, 2 Juni 1908, diadakanlah pertemuan bersama di Mesjid Taluak (Kamang) yang dihadiri oleh utusan-utusan dari Agam Tuo, Lubuk Basung, Mangopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar, Solok-Selayo, Limo Puluah Koto, Pauah Kamba, Lintau, Muaro Labuah dan lain-lain. Dengan kebulatan tekad, peserta rapat memutuskan akan melancarkan aksi menentang Ulando, dan dalam rapat itu pula sekaligus ditentukan tugas masing-masing. Pada Rabu, 11 Juni 1908 para pasukan rakyat - yang bukan saja masyarakat Kamang, tetapi juga berasal dari berbagai daerah berdatangan dan berkumpul di Surau Haji Abdul Manan, kampung Budi. Pertemuan dalam rangka persiapan perang itu diimami langsung oleh Haji Abdul Manan. Pidatonya yang terakhirnya sebelum konfrontasi melawan Belanda, Haji Abdul Manan meminta seluruh pasukan jangan gentar dan ragu-ragu menentang Belanda dan tidak takut akan mati syahid. Tujuan akhir dari briefing bersama pada pasukan - fi-Sabilillah - itu adalah membakar semangat juang mereka oleh pemimpin gerakan dengan ayat-ayat pedang dalam mengobarkan semangat perang suci. Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendakiNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati. Begitulah yang telah terjadi pada Perang Badar zaman Rasulullah dahu lu. Dan bahkan sebagaimana yang dihadapi pula oleh leluhur kita Inyiak Enceh, dan Tuangku Imam di Bonjol dalam Perang Paderi dahulu, sambung Haji Abdul Manan mengulas ayat Al-Quran yang didiktekannya itu. Bahkan...!, kematian Inyiak Enceh pun terpaksa d ilakukan dengan sebuah pengkhiatan oleh orang suruhan Ulando, karena hanya itulah satu satunya jalan yang dapat dilakukan untuk membunuh nenek kita itu guna menghentikan perlawanannya, kata beliau lagi. Kenapa kita harus gentar, takut dan berpaling untuk menghadapi si kafir nan bamato bula itu. Yakinlah tentang apa yang dikatakan oleh Allah, Swt bahwa Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. tegasnya. 123 | Maryam Chilvalry

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allah-lah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong. Janganlah kamu mengira bahwa orang orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Yaitu hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu Ulas beliau Haji Abdul Manan pula.
Dan apa kata Allah, Swt lagi dalam Al -Quran ini!!! Tangan kanannya sambil mengacungkan sebuah kitab Al-Quran, bahwa:

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu. Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwallah kepada Allah, supaya kamu beruntung.
Selesai penyampaian orasi yang mengebu-ngebu, membakar semangat jemaahnya, Haji Abdul Manan tetap menganjurkan terlebih dahulu musuh dihadapi dengan secara bijaksana. Sungguhpun demikian, kata beliau Inyiak Manan, maka besok beberapa ninik orang mamak dan cerdik-pandai kita bersama pengikutnya, terutama yang biasa berdagang ke Bukittinggi akan mengadakan unjuk perasaan lagi ke kantor Siteneng itu, guna menyampaikan kebulatan tekad kita untuk menolak belasting, dan menganjurkan supaya pengumuman 1 Maret, tentang pembayaran belasting itu di tarik pemerintah kembali. Kita tunggulah terlebih dahulu apa buah perjuangan dunsanak kita, yaitu Datuak Makhudum, Datuak Kondo dan Sidi Gadang beserta pengikutnya itu setelah bertemu dengan Siteneng besok. Andaikan perjuangan dengan lidah itu gagal, maka kita harus menempuh perjuangan dengan tangan, yaitu dengan perang!, tegas beliau.

124 | Maryam Chilvalry

Akhirnya Datuak Rajo Pangulu, Kari Mudo dan Qadi Abdul Gani pun bangkit dari duduknya, mengacungkan kepalan tinjunya sambil meneriakkan pekikkan, Allahu Akbar!, Allahu Akbar!, Allahu Akbar!!!. Kemudian diiringi pula oleh seluruh pasukan yang telah membaiat diri sebagai pasukan berani mati - mati syahid di jalan Allah, Swt. Pada tanggal 12 Juni 1908 diadakan upaya dialog dalam bentuk unjuk perasaan ke kantor Kontreluer untuk mencabut Undang Undang Belasting tersebut. Ternyata upaya perjuangan dengan lidah dalam bentuk unjuk perasaan itu mengakibatkan ketiga orang penyambung lidah rakyat itu dijebloskan Belanda ke penjara, sehingga langkah terakhir perjuangan semakin menggelegar di hati Pasukan Kamang. Bagi Belanda juga tidak ada lagi posisi tawar dengan rakyat kecuali dengan gonggongan karabinnya untuk menghentikan gerakan perlawanan terhadap pelaksanaan belasting, maka Belanda mulai merekayasa situasi untuk memulai perang itu. Tindakan militer untuk menteror rakayat Kamang itu dipicu oleh suatu kejadian, dimana paginya datang tiga orang masyarakat Magek suruhan Belanda ke kantor Laras Agus Warido untuk membayar belasting. Ternyata ketiga orang itu langsung dihadang oleh serombongan warga setempat yang mengancam akan membunuhnya kalau belasting dibayarnya juga, karena perbuatan membayar belasting itu merupakan pengkhiatan secara terang-terangan terhadap tekad bersama untuk menentang Belanda. Mengetahui enggan kejadian itu, Laras Salo-Magek Agus Warido sangat marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa karena toh dia sendiri adalah orang Jawa sisa keturunan prajurut Sentot Ali Basya kepercayaan Belanda. Langkah yang dapat dia perbuat hanyalah segera ke Bukittinggi untuk melaporkan peristiwa pagi itu kepada L.C. Westenenck di Bukittinggi dan meminta supaya para pembangkang Belanda segera ditangkap. Saat yang ditunggu-tunggu. Tuan Kumandua, sebutan orang Minang terhadap Kontroliur telah tiba, saat itu juga melalui telepon L.C. Westenenck si hidung kakatua itu menghubungi Gubernur Sumatera Barat Heckler untuk mohon petunjuk mengenai tindakan yang harus diambil. Heckler memberikan jawaban dalam telepon itu sesuai dengan komando yang digariskan oleh Gubernur General Van Heutsz di Batavia, hanya dengan satu kata saja, Serbu...! lhistorie se repete, zaman beredar, riwayat berulang. Nagari Kamang akan menambah riwayatnya dengan darah dan nyawa untuk kelekangan adat dan agama. Dahulu kaum ibu hanya membantu nasi berbungkus daun pisang tinbatu (abu) untuk pasukan Tuangku Nan Renceh, sekarang Siti Maryam bersama Siti Aisyah, Siti Anisyah dan juga para kaum hawa lainnya sebagai pengikut ketuga Srikand i itu akan turut di medan laga dalam barisan infantri Tuangku Haji Abdul Manan. 125 | Maryam Chilvalry

126 | Maryam Chilvalry

16.

Mantik

Jamaah Surau Kampung Budi Kamang, suraunya Haji Abdul Manan seorang tamu atas undangan dari sesepuh Kamang.

kedatangan

Tamu tersebut adalah Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek, saudara dari Haji Muhammad Taher Jalaluddin anak dari Tuangku Syeikh Cangkiang Ampek Angkek yang pernah menjadi redaktur Al-Imam di Singapura, dan saudara tiri dari Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabauwi. Pertemuan yang dilakukan pada petang Sabtu (malam Minggu), sekedar menghilangkan pemantauan dari para antek antek Belanda. Karena malam Minggu sebagai malam panjang yang penuh pesta pora orang orang Belanda di Fort de Kock yang telah pula membias terhadap kaki tangannya seperti, Engku Laras dan koleganya, Engku Palo dan koleganya. Seolah-olah mereka sudah menjadi orang Belanda pula di kampungnya sendiri. Situasi semacam ini dimanfaatkan pula oleh para santri di surau-surau untuk memperbincangkan sesuatu yang sangat rahasia, dengan dalil tidak akan mungkin orang yang sedang pesta, mabuk-mabukan melakukan kontrol dan pengawasan masuk kampung keluar kampung. Salah seorang penceramah pada pertemuan dengan slogan wirid umum ini adalah Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek Muhammad Amin Pamuncak yang bergelar Sutan Bagindo. Pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Amin Pamuncak sendiri di Koto Tuo pada Mei 1908 dan seluruh peserta rapat di Koto Tuo Ampek Angkek waktu itu telah bersumpah sakti untuk tidak akan membayar pajak kepada Belanda. Sumpah sakti itu dilaksanakan di makam moyangnya, makam tokoh pergerakan Islam sebelum perang Paderi, yaitu di makam Tuangku Alamuddin Datuak Bandaro, suku Guci yang terkenal dengan sebutan Tuangku Nan Tuo di Koto Tuo Ampek Angkek. Awal acara wirid tetap seperti biasanya. Pembacaan qalam Illahi yang dikumandangkan oleh Siti Maryam dilanjutkan pengajian umum leh Haji Musa, 127 | Maryam Chilvalry

abangnya Haji Abdul Manan dan setelah agak larut malam barulah Muhammad Amin Pamuncak meminpin sebuah halaqah untuk bermanti (mantik) dan bermani. Tapi saat ini bukan mengenai ketauhidan, melainkan menganalisa pemikiran dari C. Snouck Hurgranje yang dianjurkannya terhadap pemerintah Belanda dalam melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Belanda di Hindia Belanda. Dari sisi ruang yang dibatas tabir kelambu - dipenuhi oleh kaum perempuan, ternyata Siti Maryam telah mengembangkan kertas-kertas kosong dan kalam untuk mencatat seluruh penyampaian dari Muhammad Amin Pamuncak. Tentu saja beberapa data dan hasil muzakarah ini sangat berguna baginya untuk disampikannya pula dalam wirid-wirid pertemuannya di Mangopoh, Kurai Taji, Sungai Sariak Pariaman dan daerah-daerah Pasaman, serta daerah lain yang menjadi sebagai tenaga propaganda. tanggungjawabnya

Toute loeuvre coloniale sappuie, doit sappuyer sur ce qon appelle la politique Indigene, lart de connaitre les Indigenes, begitu peringatan yang dilontarkan oleh J.C. van Earde, Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo itu memulai pencerahannya yang aktual itu. Bahwa, Semua pekerjaan yang berhubungan dengan tanah jajahan harus bersandar kepada yang dinamakan Inlander Politik, yaitu kecakapan untuk mengenal penduduk Bumiputera. Apa maksudnya?, Muhammad Amin Pamuncak mengajukan sebuah pertanyaan kepada peserta halaqah. Tidak satupun yang menjawab pertanyaan itu, mereka masih menunggu kelanjutan pembicarannya. Pendapat Van Earde itu benar-benar menjadi nutrisi bagi setiap Negara dan bangsa yang mempunyai tanah jajahan. Bukan saja Belanda, tetapi Inggris, Perancis pun melumat pemikiran Earde tersebut dalam melakukan berbagai ikhtiar pacificasie, penaklukan dan perdamaian di tanah jajahannya. Bagi pemerintah Belanda yang mempunyai tanah jajahan yang amat luas ini amat beruntunglah mempunyai seorang ahli ternama, C. Snouck Hurgranje, sambung si penceramah itu. Kemudian dilanjutkannya pembicaraannya yang terputus dengan sederetan keterangan panjang tanpa teks tertulis karena menurut profesor Belanda ini, yang telah menyelidiki Turky dan kemudian beberapa tahun bermukim di Mekah dengan nama Abdul Ghaffar dan melanjutkan perjalanannya ke Indonesia dan bertahun-tahun melakukan penyelidikan di Nusantara ini sebagai adpisur pemerintah Belanda, memberikan tuntutan politik menghadapi orang Islam di Indonesia yang jumlahnya 85% dari jumlah penduduk keseluruhan atas tiga dasar yang sangat penting dan yang tahan uji, yaitu: 1.Terhadap urusan ubudiyah, Pemerintah (Belanda) harus memberi kemerdekaan yang seluas-luasnya dan yang sejujur jujurnya. 2.Terhadap urusan 128 | Maryam Chilvalry

muamalah, ia (pribumi) harus menghormati; terhadap instelling -instelling yang sudah ada, sambil memberi kesempatan untuk berjalan berangsur-angsur kea rah kita (Pemerintah Belanda), malah yang sedemikian itu harus diajak dan gemarkan. 3.Terhadap urusan yang berhubungan dengan politik, harus pemerintah menolak dan meberantas cita-cita dan kehendak-kehendak yang bersifat Pan Islamisme, yang wujudnya hendak membukakan pintu bagi kekuatan kekuatan asing untuk mempengaruhi perhubungan pemerintah Belanda dengan rakyatnya orang Timur. Kalau begitu, kita wajib pula mengetahui asal -muasal, pertimbangan pemikiran professor Ulando itu, Engku ?, kataku. Ya! Tepat sekali !, jawab sang orator. Dasar pertimbangan Profesor Snouck, membentangkan garis-garis kebijakan yang harus dijalankan pemerintah Belanda itu atas pengetahuannya yang dalam tentang sikap militansi orang-orang Islam di tanah air kita ini, sehingga dia menjelaskan natijah-nya lagi dengan ucapannya, Biarkam kaum Muslimin beribadah seluasluasnya! Biarkan mereka bersembahyang, jangan campuri mereka dalam urusan berjumad dan berpuasa; jangan disempitkan urusan mereka untuk naik haji, dll., sehingga merasa merdeka dalam urusan keagamaan mereka. Dan lantaran merasa merdeka itu, mereka akan lalai sendiri mengerjakannya, sekurangnya tidak merasa bahwa mereka diperintah oleh bangsa yang beragama lain darinya!. Artinya, berdasarkan pengalaman yang dia selidiki, bahwa secara nyata dan mendalam, dia mengetahui betul bahwa pertama, orang Islam baru besar bahayanya bagi pemerintah jajahan, bilamana mereka merasa bahwa kemerdekaan mereka beragama terganggu. Makin dilarang mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan ubudiyah, semakin fanatik mereka mengerjakannya. Bertambah berbahaya lagi, apabila lantaran terganggu kemerdekaan mengerjakan agama itu, mereka terus mengasingkan diri dari masyarakat biasa dan mendirikan perkumpulan perkumpulan tarekat yang mengajarkan perang sabil, dan sangat mungkin tidak lekas dapat diketahui oleh pemerintah negeri. Sehingga di sampai kepada natijahnya tadi. Kalau demikian pandangan si professor maka sangat berhati -hatilah kita. Janganlah kita sampai lengah, lalai dalam beribadah lantaran merasa merdeka itu!, komentar salah seorang perempuan belia yang hadir dalam halakah itu dengan sebuah statement dari hasil manti(k), logikanya itu. Betul!!!, apa yang dikatakan Maryam itu, kata sang orator. Perlu juga diingat, sambungnya lagi bahwa sang professor itu sering bersemboyan dan semboyannya itu umumnya dibenarkan pula oleh orang-orang Islam, bahwa Een staat kan duurzaam zijn in ongeloof, maar niet ini ongerechtigheid, Satu kerajan mungkin tetap berdiri dalam kekufuran, akan tetapi tidak mungkin dalam kezaliman. 129 | Maryam Chilvalry sebab-musabab

Kedua, ruh ke-Islam-an itu mungkin bangkit juga apabila mereka mendapat gangguan dalam urusan muamalah, seperti urusan perkawinan, warisan dan yang berhubungan dengan itu. Oleh sebab itu Hormati instelling -instelling mereka di bawah penilikan (pengawasan) kepala-kepala mereka, regen-regen dan raja-raja. (Red: Di Minangkabau inilah yang dilakukan oleh Laras, Penghulu Kepala atau kepala nagari). Dengan begini mereka akan merasa diperintah oleh wet -wet mereka sendiri, dan tidak timbul lagi cita-cita kenegaraan secara pemerintahan Islam. Apalagi kalau sudah ditetapkan, sekurang-kurangnya dianjurkan dengan cara setengah resmi, kitab-kitab apakah yang harus dipakai dalam mengurus perkawinan, perceraian dan warisan mereka itu. Sehingga tidak masuk pengaruh modern yang menimbulkan semangat mereka. Dan disamping itu, kalau anak-anak Islam diberi lagi didikan Barat yang menjauhkan mereka dari agamanya, sehingga mereka geemancipeerd van het Islam-stelsel, terlepas dari genggaman Islam. Maka besarlah harapan, mereka akan menjatuhkan perasaannya dengan yang memerintahnya dan akan terjadilah satu assosiasi, perhubungan peradaban, kebudayaan dan politik antara yang memerintah dan yang diperintah, kata si professor itu lagi. Apabila assosiasi ini telah tercapai, maka menurut professor ini, tid ak ada lagi yang akan menyusahkan pemerintah Ulando itu, komentar si perawi itu selesai mengutip pemikiran Profesor Snouck Hurgranje tersebut. Kenapa Engku dapat membuat penafsiran seperti itu?, tanya seorang jamaah. Para jamaah Islamiayah yang berhadi r, yang saya muliakan! Bukan saya, yang menafsirkannya seperti itu. Akan tetapi Sang professor itu sendiri yang menyuci otak pemerintahnya sendiri dengan penjelasan dari pernyataannya itu. Katanya, La solution de la question islamique depend de ladhesion des indigenes a notre civilisation. Artinya, manakala sudah tercapai perhubungan yang rapat antara penduduk bumiputera dengan kecerdasan kita, maksudnya kecerdasan orang Belanda, tak adalah lagi yang akan diusahkan, sehubungan dengan kaum muslimin ini. Makanya semenjak tahun 1817 Belanda telah mengupayakan berdirinya sekolah-sekolah dengan cara-cara mereka, sebagaimana di negerinya sendiri. Ketiga, kata sang professor itu lagi, bahwa apabila urusan di dalam sudah diatur seperti itu, tinggal lagi yang harus dijaga ialah supaya jangan ada perhubungan dengan muslimin di laur negeri, yang mungkin menimbulkan kembali semangat Pan-Islamisme yang berbahaya itu. Lantaran itu, maka nasehat sang professor itu berbunyi jaga supaya jangan ada pengaruh dari luar!. Demikianlah ringkasnya jalan fikiran Profesor Snouck Hurgranje itu dalam advisnya kepada pemerintah Ulando, dalam menghadapi kaum Muslimin di 130 | Maryam Chilvalry

Indonesia ini, khusunya kita-kita di Minangkabau ini, karena landasan kita adalah Adat basandi syara. Syara ba sandi kitabullah Syara mangato. Adat mamakai. Sekarang bagaimankah dalam prakteknya?, sambung pemimpin halaqah lagi dalam mengakhiri pemaparannya tentang rencana besar jangka panjang pemerintahan kolonial Belanda di dalam tata politik pemerintahan. Kalau begitu apa upaya kita untuk menghentikan upaya Ulando yang bagaikan api dalam sekam itu, tanya salah seorang peserta diskusi lain lagi. Ya, apa? Mari kita pahamkan dan fikirkan besama-sama!, seru si pendakwah itu lagi. Munurut pendapat saya, kata Maryam. Kita harus selalu ingat dan waspada bahwa jerat tidak akan lupa dengan balam (burung) dan kita harus menentang apapun bujuk rayu yang diupayakan oleh Ulando itu. Suatu hal yang paling utama adalah al-Islamu jalu wa la jula alaihi. Bahwa Islam itu di atas, tak patut dan tidak pantas ada yang mengatasinya, sela Sang guru utama, Haji Abdul Manan mengenegahi persoalan ini. Akan tetapi sampai sekarang, kekhawatiran Profesor Snouck Hurgranje terhadap Pan- Islmaisme toh tidak kunjung lahir. Ya, karena bukan itulah tujuan dan cita citanya umat Islam dunia, disamping mereka juga disibukkan oleh urusannya sendiri-sendiri di negaranya masing-masing. Suatu hal lagi yang mulai menjadi mengkhawitrikan kita, lanjut Pamuncak Amin adalah bahwa di dunia Islam, kehidupan berdagang dihormati, bahkan hampir sama kedudukannya dengan ulama; sebab Rasulullah, Muhammad sebelum menjadi nabi dan rasul adalah seorang pedagang yang handal sehingga telah semakin memperkaya Siti Aisyah, seorang saudagar perempuan yang tiada tandingannya waktu itu. Tentu, perdagangan yang tanpa riba dan monopoli. Maka prilaku pedagang -pedagang Islam tidak sama dengan pedagang-pedagang kapitalih (s). Islam tidak setuju bila orang menumpuk kekayaan dengan cara menghancurkan orang lain, dan mengajarkan apabila seseorang menghadapi kesulitan untuk membayar hutang beri dia waktu sampai sanggup membayarnya. Lalu, Tuangku, apa maksud dan hubungan perjuangan kita dengan masalah perdagangan?, tanyaku pada Pamuncak Amin, cucu dari Beliau Tuangku Nan Tuo di Koto Tuo Ampek Angkek itu. Sudah lama Belanda melancarkan kebijakan memotong hubungan dagang saudagar-saudagar kita ke pelabuhan-pelabuhan di pantai Timur dengan dipaksanya pedagang kita mempergunakan pantai Barat, seperti Padang dan Pariman yang telah berada di bawah kekuasaannya. Sebalinya pedagang kita di Padang sendiri telah diperlakukan tidak adil dengan menganak emaskan pedagang sebangsanya dan pedagang China yang suka menyogok dan menjilat itu. Kedua pedagang tersebut menghalalkan segala cara asalkan mereka mendapat untung besar. 131 | Maryam Chilvalry

Artinya, kebijakan Belanda itu bertujuan untuk menghancurkan jalur perniagaan dan pedagang tradisional kita yang lancar perhubungannya ke pesisir Timur dan terus menyeberangi Selat Malaka ke Penang dan Tumasik. Itulah akhir wejangan dari cendikiawan kita itu yang selalu mendapat perhubungan dengan saudaranya Syekh Ahmad Khatib yang pernah bermukim di Perak, Semenanjung Malaya sebelum menetap di Mekkah al-Mukaramah.

132 | Maryam Chilvalry

17.

Kecamuk

Kira-kira pukul sebelas malam, 15 Juni 1908, sampailah induk pasukan tentara Belanda yang dipimpin L.C. Westenenk di Simpang Empat Kampung Tangah-Kamang (Pakan Sinayan sekarang), berniat untuk membantai habis rakyat di Kamang yang menentang belasting dan rodi. Karena melihat barisan panjang yang berpakaian hitam dengan strip-strip emas pada jahitan celana kiri dan kanan serta pada bajunya, bertopi hitam tinggi dengan berjumbai putih megkilap pada bahagian depannya yang diiringi derap sepatu dan deru mars parajurit, dari jauh para ronda malam mudah mengetahuinya bahwa yang datang berbaris -baris itu adalah pasukan Belanda. Setelah pasukan Wetenenck sampai didekat meraka, maka petugas ronda Angku Rumah Gadang yang didamping Angku Basa dan anggota pengintai lainnya meneriakkan kata-kata sapaan dalam bahasa Belanda sebagaimana kode yang telah dia hafalkan. Weerda! Vriended!, jawab ajudan Westenenk dan langsung menanyakan rumah Haji Abdul Manan. Dima rumah itu orang Dul Manan, ha...(sengau)?! Tabek Tuan! Kami tidak kenal dengan Dul Manan, Tuan, jawab Angku Rumah Gadang. Masak kalian orang tidak tau itu orang bernama Dul Manan!!! Tabek, Tuan! SunguHaji.., Tuan! Tidak ada orang sini yang bernama Dul Manan, Tuan! Godverdome!!!, kamu orang bertele-tele, ha! 133 | Maryam Chilvalry

Tabek, Tuan ! Sungguh, Tuan! Dalam keadaan membungkuk-bungkuk Angku Rumah Gadang dan Angku Basa berusaha meyakinkan ajudan Westenenk tersebut. Padahal yang nyawanya sedang akan dipertaruhkan di ujung klewang mereka. Westenenk yang sudah fasih berbahasa Minang tidakmau lagi bertele-tele yang akan menghabiskan waktu. Dia maju dan langsung bertanya. Apakah kalian tau Haji Abdul Manan? Haji Abdul Manan, tau... Tuan!, jawabnya dengan gaya dan intonasi orang yang sok akrap. Goed...!, kata ajudan dan langsung bergabung pada pasukannya. Tunjukkan rumahnya Haji Abdul Manan itu. Ada yang ingin saya bicarakan dengannya. Beliau, Tuan! Aaa, apa bedanya Beliau dengan Nya? Ya, berbeda, Tuan Akh!, masalah sepele saja kalian pertengkarkan. Ini bukan sepele, Tuan. Akh! Cukup. Cukup! Kalian hanya menghabiskan waktu kami saja, oceh Westenenk sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya. Ayo, tunjukkan dimana rumahnya itu, Dul Manan!, desaknya lagi. Rumah beliau banyak, Tuan! Di kampung Bansa ada, di kampung Budi ada, di kampung . Tapi juga ada. Di.... Angku Rumah Gadang terhenti dan gugup, karena tangannya di toel, disentuh oleh Angku Basa. Suatu isyarat supaya jangan disebut kampung Tangah, tempat Haji Abdul Manan sedang berada dan berkumpul dengan beberapa pembantu beliau. Dimana!!!, bentak ajudan itu dengan cepat karena tergagapnya Angku Rumah Gadang tersebut. Di... kampung Budi, Tuan,! dengan gagapnya. Tadi siang beliau ada di sana, dan kami tidak melihat beliau di sini, sambungnya lagi. Beliau siapa?, tukas ajudan itu lagi. Tabek, Tuan. Haji Abdul Manan, Tuan. Kepala Nagari Ilalang, yaitu Datuak Tumangguang Babukik yang sudah semenjak siang menunggu-nunggu pasukan Westenenk di simpang itu, segera menghampiri, 134 | Maryam Chilvalry

menemui Westenenk dan membenarkan keterangan petugas ronda tersebut dan langsung mengajak rombongan induk semangnya itu ke Kampung Budi. Selepas rombongan pasukan Westenenk, Angku Rumah Gadang dan Angku Basa menyelinap menuju Kampung Tangah utnuk melaporkan keadaan kepada Haji Abdul Manan. Sambil mengendap-endap, bergegas, menggerutu juga. Ulando andia. Pakak!. Yang mereka maksudkan Belanda bodoh dan pekak, tuli. Mana ada orang bernama Dul Manan. Dan apa mungkin pula Inyiak Manan akan melalui simpang ini dari Budi ke kampuang Tangah, mereka bersahut-sahutan menyerapahi Belanda itu. Inyiak!, Tuan Siteneng sudah datang dan sekarang pergi ke kampung Budi mencari Inyiak. Bersiaplah, Nyiak!, kata Angku Rumah Gadang. Tenang, tidak terkejut sedikitpun baik Haji Abdul Manan, Datuak Rajo Penghulu dan Aisyah mendengar kedatangan Westenenk dengan pasukannya yang baru saja selesai latihan perang di Batu Sangkar tersebut. Saya ke Bansa dulu, kata Haji Abdul Manan. Saya ikut!, kata Datuak Rajo Penghulu dengan setia tetap mendampingi Inyiak Manan. Panglima perang ini turun dari rumah langsung menuju Kampung Bansa untuk berziarah ke makam Tuangku Nan Renceh dan selesai berziarah bergegas pula kembali ke Kampung Tangah sambil memeriksa persembunyian pasukan pengawal beliau. Sesampai di atas rumah, Haji Abdul Manan langsung masuk kamarnya, membuka ikat pinggang lebar buatan Turky yang terkenal dengan sebutan kamareleng. Umumnya setiap haji memakai ikat pinggang ini, karena memang pada musim hajilah didapatnya di Mekah. Ikat pinggang tersebut sekitar sepulu centimeter lebarnya dan banyak kantongnya. Kamareleng ditaronya diatas kasur tempat tidur, dan kemudian duduk di atas sajadah. Selesai mengerjakan shalat sunat untuk berkhalwat, bersujud semedi menyerahkan jiwa raganya dan sekligus bermohon petunjuk kepada Allah, Swt. Tariqad Ksatariyah diamalkan yang didahului dengan membaca kafiat zikir yang beliau anut. Alam tidak akan memberi bekas, kecuali atas seizinNya. Namun sebelumnya Haji Abdul Manan berpesan kepada istri dan anaknya, Sawiyah supaya jangan diganggu dalam persemediannya. Walau bagaimanapun juga keadaannya. Dikampung Budi Belanda langsung mengepung dan menggeledah rumah Haji Abdul Manan. Pintu rumah diketuk, tetapi tidak ada yang menyahut, diketuk sekali juga tidak ada jawaban. Kemudian diketuk kembali dengan keras dan berulang-ulang, dan barulah Haji Ahmad menyahut dan bertanya, Siapa itu? Kami! Ini Tuan Komendur! Datang menanyakan Haji Abdul Manan, apakah ada di rumah? 135 | Maryam Chilvalry

Beliau tidak ada di sini, Tuan. Tadi siang beliau ada, ke Bansa barangkali, ja wab Haji Ahmad. Bukakan pintu, kami mau masuk!!!, tukas Kepala Nagari. Haji Ahmad yang belum tidur sejak senja menyalakan lampu togok, damar. Membuka pintu sambil menggosok-gosokkan matanya dan mengangakan mulutnya besar-besar, pura-pura menguap seperti orang baru bangun tidur. Tanpa permisi, tanpa salam, dengan lancang Kepala Nagari, Westenenk dan ajudannya merentak masuk rumah Haji Ahmad. Dan Kepala Nagari pun ambil muka kepada bosnya, dengan berkacak pinggang menanyakan Haji Abdul Manan. Dimana Abdul Manan, ayahmu itu. Tuan kumandur ingin bertemu, ingin berunding dengannya. Ambo kan sudah katakan Angku, Ayah ambo tidak ada di sini. Tadi pagi memang ada akesini, tapi setelah siang beliau pergi, jawab Haji Ahmad. Kemudian Tuan Kumandur itu pun menyela dengan sikap yang siang malam dari angku palo, Kepala Nagari itu. Haji Ahmad tidak usah khawatir, kami sengaja datang untuk menemui beliau Haji Abdul Manan, bukan untuk menangkapnya tetapi kami akan berunding dalam beberapa hal. Jadi..., Haji tidak usahlah cemas. Tunjukkanlah dimana beliau sekarang, Westenenk membujuk Haji Ahmad dengan kefasihannya dalam berbahasa Minang. Ya, Tuan. Tapi beliau memang tidak ada di sini, Tuan boleh periksa sendiri. Dengan isyarat Westenenk memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penggeladehan. Semua kamar di sigi. Loteng, langit-langit rumah dipanjat. Dapur dan kolong rumah pun diperiksa. Tetapi sia-sia saja, waktu berputar juga, Haji Abdul Manan tidak ditemukan. Sekarang dimana beliau kira -kira. Masak Haji tidak tau, nada Wetenenk mulai meninggi, kekesalan menyerumbat di wajahnya. Sekarang Haji harus ikut kami untuk menunjukkan rumah Haji Abdul Manan yang lain. Baik, Tuan, jawab Haji Ahmad dengan lugu. Haji Ahmad pun berlalu ke kamarnya, segera menukar pakaiannya, kelewang pun diselipkan di balik pakaian, di pangkal ketiak kiri yang ujungnya sampai ke bahagian paha. Godverdome!!!, oceh Westenenk sewaktu Haji Ahmad beranjak ke dalam kamarnya. 136 | Maryam Chilvalry

Sewaktu akan turun dari rumah, anaknya Miyah segera memegang tangan ayahnya, Haji Ahmad melarangnya sambil menanggis, Ayah tidak boleh pergi...!!!

Nak, tidak usah menangis, ayahmu cuma sebentar, menemani kami ke rumah kakekmu, bujuk Westenenk lagi menenangkan Miyah yang meraung-raung menahan ayahnya. Dengan suara terisak-isak Miyah menyanggahnya, Kalau tuan mau mencari kakek kenapa malam-malam begini, kenapa tidak siang hari. Ayah tidak boleh pergi! Westenenk terdiam sejenak mencari akal. Ya, Miyah! Semestinya siang tadi kami ke sini, tetapi.... Ya, kami kan datang dari jauh dan kami sangat ingin beertemu dengan kakekmu. Kemudian Haji Ahmad mencoba menenangkan anaknya. Miyah, biar Ayah pergi sebentar menunjukkan rumah kakek kepada tuan ini, dan segera Ayah kembali, ya! Tangisan Miyah berhenti juga dan mengangguk mengizinkan Ayahnya. Westenenk tersenyum lega dan menepuk-nepuk bahu MiyaHaji. Kamu anak pintar, Miyah, katanya. Tapi Miyah tidak memberikan reaksi apa-apa atas pujian Westenenk itu. Rombongan Westenenk turun dari rumah, Haji Ahmad diapit kiri dan kanan oleh pasukan pengawal kontroleur. Mereka berjalan menuju Kampung Tangah. Dari Kampung Budi menuju Kampung Tangah Haji Ahmad tidak bercakap-cakap, otaknya bekerja keras mencari akal dalam keadaan pikiran kacau dan cemas, kalau-kalau Ayahnya ditemukan Westenenk. Ini adalah suatu pertanda buruk, kita mau turun dari rumah anak, Miyah menangis. Semoga saja Allah melindungi negeri ini, bisik hatinya, Haji Ahmad. Sesampai dekat pos ronda, Haji Ahmad sempat mengelincir dari pengawalan dan menyelinap ke penajga malam menanyakan keadaan ayahnya. Orang ronda, penajaga malam menjawab dengan berbisik pula bahwa ayahnya telah siap sedia dan tidak perlu dikhawatirkan. Kemudian Haji Ahmad menyelindap kembali ke tengah-tengah barisan pengawalan. Sesampai di Kampun Tangah, di rumah Haji Abdul Manan, Haji Ahmad batuk-batuk kecil. Kepala Nagari segera mengetuk pintu berulang-ulang. Sawiyah, anak Haji Abdul Manan, saudara seayah dengan Haji Ahmad segera bangun dan memperpesar cahaya lampu damarnya. Yang pertama dia kerjakanlah memeriksa seisi rumah, mencari dimana Ayahnya bersemedi, tetapi Ayahnya tidak ditemukan, kemudian diperiksa kamar-kamar yang lain juga Ayahnya tidak tampak. Dari luar pintu digedor lagi. Takut semakin dicurigai, maka Sawiyah mulai bersuara siapa itu?!

137 | Maryam Chilvalry

Kami! Bukakan Pintu, kami mau masuk, teriak Kepala Nagari dari luar. Pintu dibukakan Sawiyah, Westenenk segera masuk yang diringi Kepala Nagri dan Haji Ahmad saudara Sawiyah. Sawiyah!, Tuan ingin bertemu dengan ayahmu, coba panggil sebentar! Kami ingin Bicara. Ayah tidak di sini, Tuan! Semenjak pagi tadi pergi sampai sekarang belum pulang juga, jawab Sawiyah. Westenenk semakin jengkel, Kau pembohong, pendusta! Ayo cari!!!, dimana Ayahmu bersembunyi? Kalau tuan tidak percaya, orang-orang tuan boleh periksa sendiri! Penggeledahan seperti di rumah Haji Ahmad di Kampung Budi pun terjadi. Allah, Swt telah memperlihatkan kekuasaannya, ketika itu Tuhan melindungi Haji Abdul Manan dari pencaharian. Musu Haji Abdul Manan tidak terlihat sama sekali oleh siapapun dan tidak ditemukan. Kecuali Westenenk hanya melihat ikat pinggang besar Haji Abdul Manan tergeletak malas di atas tempat tidurnya. Ternyata burung sudah terbang dari sangkarnya, gerutu L.C. Westenenk dalam kekesalannya. Pias. Zeg! Kepala Nagari, apakah yey tidak perintah opas yey untuk periksa tadi siang dimana itu Dul Manan berada, ha... (sengau)?!, tanya Westenenk kepada Kepala Nagari, Datuk Tumangguang Babukik anak dari Angku Suku, Datuak Tumangguang Bansa. Angku Suku adalah kepala beberapa penghulu sesuku, sebuah struktur yang dibuat Belanda. Datuak Tumangguang Babukik menjawab dengan sangat takut, mukanya dingin seperti tidak dialiri lagi oleh darah, Ada Tuan! Tadi siang Tuan, Haji Manan masih berada di kampung ini Tuan, jawab Kepala Nagari itu dengan gugupnya. Kepala Nagari, kalian minta kami datang membantumu, tapi kalian tidak tau dimana itu Dul Manan berada, godverdome!, bentak Westenenk lagi dengan penuh kesal kepada Kepala Nagari semakin pias. Tuan..., barangkali...!, kepala Nagari menyela dengan sangat gugup dan membungkuk-bungkuk ketakutan Sech! yey cuma besar omong!, bentak Westenenk memotong pembicaraan Angku Palo yang sedang gugup itu sambil mengibaskan tangannya, sehingga Angku Palo tersurut dan semakin gemetar ketakutan. Di Budi tidak ada. Di Tapi tidak ditemukan. Di sini juga tidak. Macam mana ini kalian orang-orang, ha...! (sengau). Kalian mau setoran belasting besar supaya 138 | Maryam Chilvalry

dapat persen banyak, gaji besar. Perempuan entah seberapa cukupnya oleh kalian. Rakus! Najis kalian semua! Cuma seorang Dul Manan saja tidak terawasi!!! Berderet-deret sumpah kutukan Westenenk kepada pembantu-pembantunya itu. Penuh kekesalan dan amarah L.C. Westenenk memberi isyarat supaya penggeledah untuk turun dari rumah, berlalu mencari kemungkinan di tempat yang dicurigai lagi. Haji Ahmad tidak segera turun, ia mendekati adiknya, Sawiyah. Dengan berbisik menanyakan Ayah mereka. Ayah selamat. Tenang sajalah, awab Sawiyah kepada abangnya. Barulah Haji Ahmad turut turun dari rumah itu. Setelah pasukan Westenenk turun dari rumah itu, maka Datuak Rajo Pangulu menyelinap masuk rumah, sedangkan istrinya Siti Aisyah tetap berjaga-jaga dalam persembunyian dibalik semak-semak di pinggir jalan dekat sebuah parit. Hanya sebentar, Haji Ahmad kembali dan masuk ke rumah berkumpul bersama Datuak Rajo Penghulu. Haji Abdul Manan menampakkan dirinya dari arah ujung rumah. Ia baru saja selesai berzikir dan merenungkan Allah. Haji Ahmad tercengang melihat sosok Ayahnya tiba-tiba sudah ada di ujung rumah, padahal baru saja dia sibuk mencari Ayahnya takut kalau kalau bertemu dengan pasukan yang menggeledah rumah itu. Dalam keheranannya itu Haji Ahmad menghampiri ayahnya, dia bersimpuh, bersalam dan mencium tangan Ayahnya, yang disusul pula oleh Datuak Rajo Pangulu. Tak tampak kegelisahan dari Haji Abdul Manan. Sambil menyuguhkannya cangkir kopi, Haji Abdul Manan mulai berbicara langsung, Datuak! Maksudnya Datuak Rajo Pangulu. Saat ini perang sudah tidak dapat kita elakkan lagi, istrimu Aisyah suruhl ah dia naik ke rumah, palulah tabuah, (beduk) dan pekikkanlah azan sebagai tanda komando perang dimulai!, seru Haji Abdul Manan kepada Datuak Rajo Pangulu. Apakah pasukan sudah siap?, tanya beliau lagi. Sudah, Ayah! Pasukan kita berada dalam posisi baik dan mereka sudah siap. Pasukan Kamang (Ilia) dipimpin oleh Kari Mudo, sebahagian pasukannya akan membantu Datuak Parpatiah Magek dan sebahagian lagi akan membantu kita. Sedangkan Angku Jenggot dan Datuak Parpatiah Pauah memimpin sayap kanan. Jalan ke Bukittinggi sudah ditutup. Pasukan musuh sudah terjepit, tidak akan mungkin lagi mereka dapat meloloskan diri dan bantuan musuh pun tidak akan dapat datang dalam beberapa hari ini, karena jalan kereta api di Lubuak Aluang sudah dibongkar pula oleh orang-orang kita di Lubuak Aluang itu, jawab Datuak Rajo Pangulu yang sekaligus melaporkan kondisi terakhir kepada Haji Abdul Manan yang telah beliau anggap seperti orangtuanya sendiri. Baiklah Datauak, sekarang jemputlah dulu Aisyah!, kata Haji Abdul Man an lagi. Baiklah Ayah!, jawab Datuak Rajo Pangulu. 139 | Maryam Chilvalry

Sepeninggal Datuak Rajo Pangulu pergi menjemput istrinya, sekitar pukul 24.00 WIB (jam. 00.00 dini hari), Pendekar Mukmin yang dikenal juga dengan Pandeka Ulando, sudah menukar pakaian prajurit Belanda-nya dengan pakaian putih-putih sebagaimana layaknya pakaian pasukan Kamang. Ia datang dengan membawa lima belas orang pasukannya yang siap membantu Haji Abdul Manan, dan Pandeka Ulando ini melaporkan bahwa posisi Westenenk dengan induk pasukannya berada dekat jembatan Koto Panjang sebelum Kampung Tangah sedang menunggu hari siang. Gempurlah habis-habisan!, sedangkan membereskannya, kata Pendekar Mukmin. yang lain biar kami yang

Haji Ahmad yang sebelumnya sedikit tegang, sekarang merasa gembira karena sudah jelas dia akan berhadapan dengan Westenenk mendampingi Ayahnya dan Datuak Rajo Pangulu. Terimakasih, biarlah kita tunggu dulu sebentar Datuak Rajo Pangulu, dia sedang menjemput istrinya, jawab Haji Abdul Manan. Baiklah, Nyiak! Kalau begitu izinkan kami untuk kembali menyelinap dan mencegat barisan pasukan Ulando untuk kami bereskan, pamit Pendekar Mukmin. Sepeninggal Pendekar Mukmin, Datuak Rajo Pangulu pun tiba, Nyiak, sebelum kedatangan Tuan Datuak, maksudnya Datuak Rajo Pangulu, suaminya , sebentar ini sudah sembilan orang pasukan Siteneng yang kami selesaikan dengan klewang ini, lapor Siti Aisyah sambil memperlihatkan klewangnya yang masih berlumuran darah kepada Haji Abdul Manan. Baiklah, Aisyah! Sekarang kita bersama sama menghadapi Siteneng dan pasukannya, jawab Haji Abdul Manan. Angku Rumah Gadang palu lah tabuah, beduk dengan bunyi tiga -tiga!, sebagai tanda komando. Tak lama berselang Angku Rumah Gadang memalu tabuah dan terdengarlah bunyi beduk tiga-tiga pukulan itu. tam-tam-tam...!, tam-tam-tam...!, tam tam-tam...!, tanda komando, bagaikan letusan salvo ke udara sebagai tanda perang dimulai untuk menyerang Ulando. Suara Takbir Allahu Akbar pun membahana di udara membelah kesunyian malam sebagai pengiring bunyi beduk tersebut. L.C. Westenenk, sangat terkejut dan gemetar mendengar suara takbir tersebut karena suasana seperti itu diluar dugaannya sama sekali. Namun Westenenk berupaya untuk mengendalikan diri, fluit segera ditiupnya dan kemudian diringi dengan bunyi terompet dan genderang perang oleh pasukannya. 140 | Maryam Chilvalry

L.C. Westenenk, dari tempatnya berdiri dengan pasukannya, dibawah cahaya bulan yang remang-remang dan diringi gerimis. Ia memperhatikan dengan seksama pasukan Kamang berpakaian putih putih yang bergerak maju dari arah pinggir jalan dan merayap dalam rumpun padi, yang jumlahnya tidak dapat dia taksir banyaknya. Dalam keadaan cemas itu, L.C. Westenenk melihat jelas sosok Datuak Rajo Pangulu dan seseorang yang berdiri disamping kirinya. Sosok itu terlihat sangat akrap dengan Datuak Rajo Pangulu, dia itu juga berpakaian laki-laki berwarna putih namun perawakannya tidak sebagaimana seorang laki-laki, tubuhnya terlihat agak ramping. Untuk mengusir kecemasan yang mencekam dirinya, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh L.C. Westenenk dan pasukannya itu, dia berteriak. Bubarlah kalian!!!, dan kembalilah pulang, kembali kepada anak dan istri kalian! Kalau kalian masih tetap bergerak maju, maka segala kemungkinan bisa saja terjadi karena kekuatan kompeni cukup banyak dengan personil dan senjatanya, ancaman L.C. Westenenk. Pasukan rakyat tidak akan mundur setapak pun dan bersedia mati syahid!, jawab Datuak Rajo Pangulu. L.C. Westenenk mendekati Sersan Boorman yang sedang mengawasi kegelapan di bagian timurnya. Sersan Boorman berteriak bahwa di depannya juga bergerak sekelompok orang yang berpakaian putih-putih sedang mendekatinya. Pada saat Westenenk memerintahkan kelompok yang berpakaian putih-putih dekat Sersan Boorman itu membubarkan dirinya, datang lagi panggilan dari kelompok Barat, karena di sana didatangi pula oleh sekelompok orang berpakain putih, setelah diperhatikan ternyata mereka berpencar. Belum sepenuhnya L.C. Westenenk memperhatikan kelompok putih yang bergerak itu, terdengar lagi teriakan Kapten Lutz dari Timur, karena kelompok putih yang berjumlah sekitar lima puluh orang itu tetap bergerak mengayun-ayun serentak seperti sekam dihanyutkan air yang diringi suara ratib.

141 | Maryam Chilvalry

Tubuh-tubuh putih itu telah mendekatinya sampai jarak enam puluh meter. Sekitar dua puluh orang duduk dengan rapat di tengah jalan, seorang duduk sebelah kanan di atas pematang rendah, dan sebelah kirinya berdiri seseorang yang bertindak sebagai juru bicara, sedangkan di belakangnya berjejar pula sekitar empat puluh orang pasukan putih-putih. Westenenk bertanya kepada juru bicara itu,Kamu mau melawan?! Si juru bicara spontan menjawab, Tidak! Kalau tidak kenapa kalian bergerak ke depan?!, kata Westenenk. Juru bicara itu pun balik bertanya kepadanya, Saya ingin tanya pula pada Tuan. Apa yang ingin Tuan kerjakan di sini, di tengah malam ini? Pertanyaan itu sangat mengesalkanku, karena pertanyaan itu adalah pertanyaan yang kurang ajar kepadaku, kata Westenenk dalam nota yang ditulisnya kepada Gubernur Heckler. Kami (kompeni), lanjut laporan Westenenk adalah raja dan di negeri kami dan bisa melakukan apa saja yang kami anggap baik, katanya dengan penuh kesal. Siapa yang mengangkat Tuan sebagai raja, dan di negeri manakah Tuan sebagai raja?, kata si juru bicara itu lagi. Di sini! Ini negeri kami! Kalian orang jangan kurang ajari kami, ya! god verdome! bentakku. Tuan, salah! Salah besar, Tuan! Ini adalah negeri kami. Jangankan mengangkat tuan sebagai raja, bahkan semenjak dari leluhur kami tidak ada mengenal raja. Raja kami adalah kata sepakat yang didasarkan kepada syarak mangato -adat memakai. Dan sejak kapan pula Tuan malateh jo manaruko, kasawah jo ka ladang di sini. Bahkan rupa wajah kita saja tidak sama! Tutup mulut kamu orang, ya...! Bangsat! Duduk...,! hardikku. Kalau Tuan suruh kami duduk, kami sudah duduk dari tadi, Tuan! Kamu juga duduk, kalau tidak saya tembak. Aku mengancam si juru bicara itu dengan amarah yang menjadi-jadi. Kalau Tuan suruh saya duduk, maka saya akan duduk! kata nya lagi. Dia tak gentar dengan hardikku dan malah si juru bicara Haji Abdul Manan keparat itu seperti mengejekku. Masih dalam nota yang ditulis tangan oleh L.C. Westenenk kepada Gubernur Heckler pada tanggal 25 Juni1908 itu dia mengakui lagi.

142 | Maryam Chilvalry

...pada saat saya berputar beberapa langkah dan berbicara dengan Kontrolir Dahler dan perwira kesehatan Justesen mengenai hal yang begitu sulit bagi saya, serdadu mengingatkan saya bahwa orang-orang yang berpakaian putih-putih itu sambil duduk berangsur-angsur maju. Dan saya melihat sendiri memang orangorang itu beringsud maju. Secara samar-samar kelihatan kilatan senjata tajam yang tiap kali berangsur maju diletakkan di samping mereka. Sekali lagi saya berteriak mengancam mereka. Akan saya suruh tembak jika kalian masih bergerak maju, walau serambut pun!, hardikku ini dijawabnya secara serius tetapi menyedihkan. Kalau Tuan ingin menembak kami, ya tembak saja!, kata pasukan berbaju putih putih itu. Tetapi toh mereka kelihatan jelas tetap bergerak maju. Mereka telah mendekat lima puluh meter sampai lima puluh lima meter. Saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi dan menyuruh tembak. Tentu saja pekikkan Tembaaak...!!! oleh L.C. Westenenk ini adalah sebagai suatu penggambaran akan kekalutan dia dengan suasana yang semakin mencekam itu. Namun bagi pasukan rakyat yang berpakaian putih putih itu, teriakan L.C. Westenenk tersebut semakin membawa mereka ke puncak kegairahan untuk membantai pasukan Belanda yang membawa serta komplotan marsose itu. Dalam suasana kekalutan dan kegalauan Westenenk itulah Haji Abdul Manan dan pasukannya berhamburan, keluar dari sarang pengintaiannya dari semak belukar sambil mengayunkan kelewang, pedang dan rudusnya menghantam pasukan inti Westenenk. Tanpa aling-aling, setelah hardikanku itu segera mereka berdiri dan menyerang kami tanpa mengeluarkan suara sedikit pun dengan rudus di tangannya. Kebanyakan diantara mereka tersungkur kena tembakan, tetapi beberapa orang tetap maju dalam cahaya remang-remang dan angker ditambah lagi dengan asap mesiu di udara lembab mereka berhasil memasuki barisan tentara. Saya dan para serdadu dan yang lain lain, karena tidak menyangka ini bisa terjadi, mulai mundur. Kaki dokter Justesen tersandung dan sempat terjatuh ke dalam got (selokan) di pinggir jalan. Pada saat saya dan Sersan Boorsma tetap memberi semangat supaya tentara jangan mundur, di depan saya dua orang gerombolan itu menebas batang leher dua orang serdadu, di depan saya sendiri. Percikan darah kedua orang serdadunya itu mengenai wajah dan menghias pakaiannya, maka kepanikan L.C. Westenenk semakin menjadi-jadi. Sementara itu dr. Justesen berusaha bangkit dari selokan dan berupaya untuk bergabung dengan L.C. Westenenk.

143 | Maryam Chilvalry

Sedangkan Sersan Boorsma melihat lagi pasukan rakyat maju pula dari arah jalan yang satu lagi dan Letnan. II Leroux berteriak minta bantuan karena pasukannya kewalahan dalam serangan pasukan rakyat yang hening tanpa bersuara. Hanya bunyi dencingan klewang dan laras bedil, serta bunyi peluru yang tidak tentu arah yang terdengar dalam cahaya remang-remang yang menegakkan bulu kuduk. Begitulah kita harus menghadapi lebih delapan kali serangan yang terbagi dalam kelompok-kelompok, yang masing-masingnya terdiri dari dua puluh sampai tiga puluh orang. Pada serangan ke delapan, kata Westenenk lagi adalah perlawanan yang sangat serius karena jumlah penyerang lebih banyak, jalan sempit, hanya memberi front yang kecil. Tidak punya ruang gerak. Sementara itu pandangan kami terganggu oleh asap mesiu, walaupun sedikit tetapi tidak cepat hilang. Tiba-tiba beberapa penyerang melompat ke depan kami menembus asap mesiu, sehingga serdadu yang berada di depan saya mundur dan mendorong badan saya ke belakang, karena kaki saya terhalang oleh sosok mayat di pinngir jalan saya terjatuh ke selokan rawa. Persis ketika itu, pada saat Westenenk masih terlentang di dalam selokan dia melihat tiga sosok berpakaian putih-putih dengan rambut tergerai melayang di udara sambil mengayunkan rudus di tangannya. Satu orang di antaranya menebas batang leher serdadu Belanda. Tapi yang sangat mengenaskan pula yaitu seorangnya lagi mengayunkan rudus dan membelah kepala seorang Sersan yang sedang terdesak, kemudian seorang lagi hinggap, bertengger tepat di pundak seorang Kopral sambil menjambak rambutnya ke belakang dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menggesekkan sebilah rudus ke batang leher Kopral yang tertengedah itu. Kau kah itu, Aisyah?, suara seseorang terdengar oleh L.C. Westenenk. Itu adalah suara Datuak Rajo Pangulu. Berarti yang membelah ke pala sersanku itu adalah istrinya, Siti Aisyah. Tentunya pula yang menebas batang leher serdadu tadi adalah Siti Anisyah?! Tapi yang menggesek leher si kopral itu siapa ya...? Dia juga berambut panjang...?!, gerutu L.C. Westenenk yang sedang menggigil da lam keterpurukannya direndam air di selokan. Ketiga penyerang berambut panjang itu memisahkan diri mengejar musuh di depan dan di sampingnya sendiri bagaikan singa lapar dengan memainkan klewang yang berada di tangannya. Sambil melompat ke muka dan ke belakang, ke kiri dan kanan menebas tubuh-tubuh para serdadu Belanda tanpa pandang bulu. Siapa yang menebas siapa, tidak dapat dintandai pada pertempuran yang berlangsung pukul 02.00 (dini hari ) hingga menjelang subuh itu, tetapi tiga orang

144 | Maryam Chilvalry

berambut panjang yang tergerai itu sangat jelas hantaman dan makan tanggannya, yang semakin memperkecil jumlah para serdadu Belanda yang selamat. Kalaulah rambutnya tidak tergerai, tidak lepas dari ikatan sanggulnya tentulah tidak diketahui bahwa mereka itu adalah Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam yang turut ke medan laga dan yang tidak kalah dahsyadnya dari kaum laki-laki di jalan yang kecil dekat jembatan di Kampung Tangah itu. Diperkirakan jalan raya yang lurus itu dari Simpang Koto Panjang hingga Simpang Pakan Sinayan hanya sekitar satu kilo meter dan lebarnya sekitar tiga setengah meter. Setelah serdadu L.C. Westenenk dapat dilumatkan, kecuali hanya L.C. Westenenk , suasana menjadi sepi, hening. Dan Haji Abdul Manan kembali ke rumahnya dan mengumpulkan seluruh pimpinan pasukannya untuk megevaluasi kejadian, menyusun strategi berikutnya dan beberapa instruksi selanjutnya. Induk pasukan Westenenk sudah dapat kita hancurkan, tinggal sisa -sisanya, tetapi Westenek dimana dia bersembunyi, belum dapat kita ketahui, kata Haji Abdul Manan kepada rekan-rekannya. Kari Bagindo bersama Haji Ahmad disuruh untuk menyelidikinya dan segera melaporkan hasil penyelidikan mereka itu. Tapi sebelumnya Inyiak Manan memberikan analisa lagi. Hai Haji Ahmad dan yang lainnya. Bahwa yang berbahaya bagi posisi kita sekarang adalah pasukan sayap kirinya yang datang dari jurusan Aia Tabik, hingga mereka dapat dengan mudah mengepung kita dari arah Koto Panjang. Sedangkan dari arah Timur tidak mungkin, karena mereka melewati tempat terbuka semenjak jembatan dekat Joho hingga ke Simpang Pintu Koto, Haji Abdul Manan diam, hening sejenak. Sementara itu kita juga belum mengetahui bagaimana pertahanan Datuak Parpatiah di Magek dan Datuak Majo Indo di Koto Tangah. Kalau ini bobol maka pertahanan kita akan terancam bahaya, sambung beliau lagi, kemudian hening lagi. Dan bagaimana dengan pasukan Kari Mudo di Hilia, apa mereka sudah mengetahuinya?, beliau diam lagi. Sementara menungu jawaban dari masing-masing pembantunya, Haji Ahmad dan Kari Bagindo mohon diri untuk melakukan tugas penyelidikannya dalam saat fakum perang sebagaimana yang diisntruksikan Imam Perang mereka itu sebelumnya. Syekh Jenggot dan Haji Abdul Samad tampil menjelaskan bahwa pasukan dari Pauah, Sungai Dareh, Suayan Sungai Balantiak, Simarasok dan dari Nagari Nan Tujuah sebagai sayap kanan pasukan yang dipimpin Datuak Parpatiah (Pauah) dengan didampingi oleh Datuak Simajo Nan Gapuak, Datuak Andaleh, Pakiah Sabatang (Tuangku Imam) dan Sutan Bandaro sudah siap menyambut kedatangan

145 | Maryam Chilvalry

tamunya. Sedangkan pasukan Datuak Marajo Kaluang sudah merapikan pasukannya pula di Kampuang Tapi hingga ke Marambuang. Angku Rumah Gadang melaporkan pula bahwa pasukan Kari Mudo di Hilia, Kamang Hilir sudah diberitahu oleh Angku Limau Kambiang dan beduk di surau Limau Kambiang sudah dipalu, dan utusan langsung menemui Kari Mudo pun sudah berangkat. Tak lama berselang Haji Ahmad sudah kembali dari peninjauan melakukan penyelidikan sebagaiman yang diperintahkan pimpinan perang, ayahnya Haji Abdul Manan dan melaporkan bahwa pasukan Datuak Parpatiah di Magek dan Datuak Majo Indo di Koto Tangah sudah mengirim utusannya untuk melaporkan bahwa pasukan mereka sudah mengadakan perlawanan dengan gigih. Kari Bagindo belum memberikan laporan, belum kembali dari penyedikannya di sekitar Koto Panjang. Laporan komandan-komandan pasukan seketika itu selesai. Perundingan selesai! Semua kita harus tenang menunggu gerak -gerik musuh. Jangan mendahului, biar mereka yang memulai. Tetapi sedikit pun tidak ada dan tidak boleh berlalai-lalai!, instruksi Haji Abdul Manan setelah selesai mengevaluasi situasi dan hasil penyelidikan. Selesai briefing, para komandan pasukan di kediaman Haji Abdul Manan bersalamsalaman satu dengan yang lainnya dan kembali ke pasukannya masing-masing. Datuak Rajo Pangulu pun kembali pula ke tempat istrinya bersembunyi di parit sebelah Utara Kampung Tangah bersama Pado Intan, Tuangku Pincuran, Tuangku Parit, Datuak Gunuang Hijau dan beberpa orang lagi kawan-kawannya yang sedang menunggu pasukan Westenenk yang akan menerobos dari arah Barat. Di semak belukar di sebelah jalan telah siap pula pasukan Pandeka Mukmin yang sedang mengambil posisi untuk melumatkan pasukan musuh dari arah Timur. Sekarang si Hendrick akan berhadapan dengan kawannya sendiri yaitu Sersan Boorman yang sedang mengawasi kawasan Timur sebagaimana yang diperintahkan Westenenk. Pasukan Westenenk sudah berada dalam sebuah lingkaran yang dikelilingi oleh militansi Kamang. Keadaannya benar-benar terjepit. Tinggal menunggu tembakan salvo atau dentuman beduk dengan gema takbir Allahu Akbar. Menunggu perintah siapa yang akan memulai babakan kecamuk perang selanjutnya. Haji Abdul Manan sudah mengevaluasi situasi terakhir, sedangkan Westenenk masih dalam kegalauan. Pasukan Haji Abdul Manan sudah rapi membentuk sebuah lingkaran bola-bola api. Pasukan Westeneng kacau balau di titik tengah lingkaran bola-bola api tersebut. Ramuan tradisional yang diseduh sore hari oleh pasukan Haji Abdul Manan mulai memperlihatkan reaksi. Tuak untuk menghangatkan darah dan menghilangkan rasa 146 | Maryam Chilvalry

takut pasukan yang di sasok, diteguk berulang ulang oleh pasukan Westenenk sebelumnya di balai prajurit dekat Birugo itu telah kehabisan khasiatnya, karena telah terkuras oleh perjalanan panjang dan labrakan sesaat dari pasukan Haji Abdul Manan. Jangankan untuk menghisap candu, memasukkan peluru ke senapannya saja tidak sempat lagi. Suasana tetap sunyi, sepi! Satu pasukan napasnya sesak menunggu gerik musuh. Pasukan yang satunya lagi jantungnya berdenyut kencang dalam kecemasan. Dalam kesunyian yang tak terperikan itu, dentuman salvo yang diiringi asap tebal mengiringi bola api menjulang kelangit serta diringi bunyi tiupan terompet perang dari arah Barat membelah kesunyian. Dari siraman cahaya letusan komando itu Kari Bagindo melihat jelas posisi keberadaan Westenenk di sebelah Barat dia berada yang akan diperkuat oleh induk pasukannya di Koto Panjang. Kemudian bergegas melaporkan kepada abangnya Haji Ahmad yang segera pula melaporkan kepada Ayahnya Haji Abdul Manan. Terompet komando dari induk pasukan itu dijawab oleh pasukan sayap kiri musuh. Pasukan induk yang dipecah di Simpang Banto dekat Simpang Empat Sungai Tuak telah masuk jurusan Barat menuju Kampung Tangah, mereka berjalan maojokojok dalam kewaspadaan pada kiri dan kanan jalan, tak obahnya seperti burung onta berjalan di tengah padang. Tanpa diketahuinya, secara diam-diam pasukan Datuak Marajo Kaluang mengikutinya dari belakang. Sesampai pasukan musuh di bahagian Barat Kampuang Tangah, Syekh Jenggot, Haji Jabang meneriakkan suara takbir Allaaahuakbar...!, dengan sekeras -kerasnya dalam semangat yang mendidih. Teriakan takbir itu disahuti pula oleh Datuak Rajo Pangulu. Tibalah saatnya pasukan yang bertahan pada posisi Barat dan Timur berhamburan maju mengeroyok pasukan Westenenk beserta sisa pasukannya yang bertahan di Kampung Tangah. Dari arah belakang sisi Barat pasukan Haji Jabang dan kawan-kawannya menyambut kedatangan sayap kiri musuh. Dibelakang sekali dari pasukan musuh itu diburu dan didesak pula oleh pasukan Datuak Marajo Kaluang. Ronde selanjutnya dimulai, karena pasukan putih terbantu oleh kilatan stripstrip putih pakaian dan jumbai topinya pasukan Westenenk. Sehingga memudahkan sasaran penglihatan. Tanpa hayal lagi Syek Jabang mengganas tak kenal ampun bersama Tuangku Parit, Tuangku Pincuran Datuak Marajo Kaluang, Datuak Marajo Tapi, Datuak Parpatiah Pauah, Sutan Bandaro Kaliru dan Siti Aisyah yang didampingi suaminya Datuak Rajo Pangulu. Bunyi letusan bedil hanya terdengar satu kali sewaktu penyerangan mendadak dimulai oleh pasukan Seyekh Jabang. Selanjutnya yang terdengar adalah gemerincing besi, kelewang beradu dengan laras senapan, bayonet beradu menangkis rudus dan pedang.. Bunga api dari peluru yang meluncur dari laras 147 | Maryam Chilvalry

pancang berganti sudah dengan percikan bunga api besi yang beradu dan bergesekan. Pasukan Belanda kalang kabut tak tentu arah. Ucapan-ucapan kotor keluar dari mulut pasukan marsose yang kena sayatan dan hantaman kelewang. Sebaliknya kalimat suci, tasbih, tahmid, tahlil dan istighfar dari pasukan Haji Abdul Manan meningkah kelatahan pasukan Belanda itu. Haji Jabang, Syekh Jenggot sambil berkucitak dalam kecamuk itu tetap meneriakkan kalimah-kalimah yang membakar semangat pasukan fi sabilillah itu. La takhaf wa la tahzan. Allahu maana. Jangan takut dan gentar. Allah bersama kita. Komando itu disambut pula oleh Datuak Marajo Kaluang dengan pekikan Allauhu Akbar berulang-ulang sambil memburu, menggempur dari bagian barisan musuh yang sudah dikuntitnya dari tadi. Pasukan musuh kucar-kacir, ada yang melompat ke dalam parit, selokan, melompat kolam, ke dalam sawah, tetapi tetap saja mendapat labrakan kelewang karena pasukan Bansa Kamang sudah bertebaran di sekeliling mereka, bak menunggu sapi masuk kandang untuk dijagal. Lumat sudah pasukan sayap kiri musuh yang datang dari arah Air Tabik, setelah longmarch sejauh lebih kurang 17,5 km hingga 20 km dari kota Ford de Kock itu. Di bahagian Timur Kampung Tangah pertempuran berjalan dengan dahsyadnya pula, kejar mengejar di tengah jalan, lompat melompati selokan, decakan rudus, kelewang memindai di punggung dan pundak para marsose meningkah tarian pedang dan bayonet yang disandang mereka. Suara hening kembali menandai perlawanan pada ronde ini selesai pula. Haji Abdul Manan dan komandan masing masing pasukan kembali ke rumah untuk melakukan evaluasi, penyelidikan dan follow-up untuk mengatur strategi berikutnya. Hari semakin larut juga. Udara semakin lembab, waktu Subuh semakin mendekat. Kali ini instruksi yang diberikan Haji Abdul Manan adalalah ...andaikan subuh sudah datang, maka diperintahkan kepada seluruh pasukan untuk menyingkir dan menyelamatkan diri pada siang hari, karena di siang hari musuh akan mudah untuk mengarahkan senjatanya guna menghabisi pasukan kita dan bahkan seluruh isi kampung ini, katanya. Dan kamu!, kata beliau, Inyiak Manan lagi kepadaku. Andaikan peperangan ini tidak dapat dilanjutkan lagi, dan andaikan pula kita kehilangan pemimpin, bahkan termasuk saya sendiri, maka kepadamu aku amanatkan untuk berupaya menyelamatkan diri secepatnya guna terwarisinya kisah peperangan ini kepada anak cucu kita nanti. Haji Abdul Manan diam, menekurkan wajahnya dan terlihat lehernya menegang, menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongan yang sudah kelat. Kemudian air putih pun di hidangkan yang punya rumah. 148 | Maryam Chilvalry

Sedapat mungkin kamu upayakanlah untuk dapat menyelamatkan diri ke Tanah Semenanjung, karena Ulando tidak akan mungkin mengejarmu sampai ke sana, karena Semenanjung telah di kuasai oleh Inggirih (Inggris). Konon kabarnya pula, Syekh Taher Jalaluddin, saudara sepupu Syekh Ahmad Khatib al Minangkabauwi sudah menetap pula di negeri Semenanjung itu, lanjut beliau lagi dan sedikit merangsang pertanyaanku pada beliau. Berarti Syekh Taher saudaranya Nyiak?. Kepala Nagari Koto Tuo Am pek Angkek itu,

Ya. Beliau saudara Amin Pamuncak, Muhammad Amin Pamuncak Sutan Bagindo. Ada bagusnya pula apabila menemui beberapa karib -kerabatku di Sungai Ujong di Negeri Sembilan terlebih dahulu, selain keteranganmu sendiri, berikanlah sepucuk surat saya ini untuk lebih menguatkan keteranganmu, supaya kamu bisa diterima mereka di sana, sambung beliau lagi dan kemudian memberikan lembaran kertas yang berlipat, yang beliau keluarkan dari kantong ikat pinggang kamareleng -nya yang besar itu. Pada suatu saat yang telah memungkinkan, kamu susunlah riwayat perjuangan kita ini dalam menegakkan kedaulatan kita dan mengenyahkan kaum kafir di bumi kita ini. Selanjutnya kamu rawikan pulalah kepada pejuang-pejuang kita nanti dan kepada orang-orang yang singgah di gua persembunyianmu itu. Kamu paham maksudku? Insyaallah, Nyiak, jawabku dengan anggukan kepala sebagai takjupku yang laur biasa pada beliau. Dengan air mata berlinang, aku berusaha meyakinkan beliau di hadapan para komandan pasukan perang itu. ...segala petuah dan amanah Inyiak akan ambo pegang teguh. Semoga Allah, Swt pun memberikan perlindunganNya kepadaku dan kepada semua pejuang kita. Mendung yang sedang menunggu sambaran halilintar. Dengan mengangkat wajahku setengah menengedah dan sedikit suara agak serak aku tegaskan lagi Insaallah, Nyiak!!! Pertemuan mendadak di rumah Haji Abdul Manan larut tengah malam itu, tanpa diduga sebelumnya juga dihadiri oleh Majo Ali, seorang utusan Siti Mangopoh yang sengaja datang menemui Haji Abdul Manan dengan maksud untuk mengkonfirmasikan kapan serangan terhadap Belanda akan dilancarkan. Tautaunya malam itu, Majo Ali pun turut terlibat dalam kancah peperangan di Kamang itu. Padahal Siti Maryam, si chivalry itu sudah diutus oleh Haji Abdul M anan ke Mangopoh untuk memberitakan bahwa perang melawan Belanda akan dimulai malam itu di Kamang dan segera pula letuskan perang di Mangopoh dan sekitarnya. 149 | Maryam Chilvalry

Majo Ali! Sekarang segera pulalah kamu kembali ke Mangopoh. Beritakan kejadian malam ini kepada Siti dan pejuang kita yang lainnya. Dan kobarkan secepatnya semangat perang ini sampai ke Pariaman. Jangan biarkan serdadu Ulando itu dapat bernapas walaupun untuk satu hirup hisapan rokok! Kalau mereka mendapat peluang dan kesempatan meskipun sekejab maka habislah kita, karena mereka dibantu dengan peralatan perang yang maju dan pertolongan para pengkhianat perjuangan kita. Kepung dan lakukan serangan cepat dan mendadak, dan pecah pasukannya dengan penghadangan awal pada tengah-tengah barisannya! Serangan harus terpusat dengan pola maju-mundur, dan kalau musuh berada dalam garis pertahanannya atau benteng lakukan penyusupan terlebih dahulu dan hantam sekonyong-konyong!. Demikian petunjuk terakhir dari Imam perang di Kamang malam itu. Sudah waktunya kalian untuk berangkat, dan kami pun akan melanjutkan perlawanan, guna menghabiskan sisa-sisa pasukan Ulando dan Siteneng itu sendiri.!, sambung Inyiak Manan lagi kepada Majo Ali. Tapi, Nyiak! Kami harus membawa serta Inyiak malam ini untuk memimpin perjuangan pasukan tujuh belas kita di Mangopoh. Kami berharap Inyiak memimpin zikir selama perang berlangsung. Ini pesan khusus dari Kak Siti, pinta Majo Ali. Haji Abdul Gafar kan ada yang akan memimpin zikir, tanggapan Haji Abdul Manan. Iya Nyiak!, tapi kami telah sepakat agar Inyiak yang memimpin zikir itu. Sekarang tidak mungkin Majo (Ali), karena di sini perang belum selesai, belum berakhir, kata Inyiak Manan lagi. Kalau begitu, Nyiak. Biarlah saya tunggu. Sama-sama kita selesaikan dulu pekerjaan yang terbengkalai ini, di sini!, tegas Majo Ali pula. Maryam bagaimana?, tanya Haji Abdul Manan Biarlah Maryam berangkat terlebih dahulu, Nyiak. Atau paling tidak Maryam akan menunggu di tempat yang telah kami sepakati tadi, jawab Majo Ali. Bersamaan dengan terperanjatnya saya mendengar perkataan Majo Ali itu, Kak Siti Aisyah memecah suasana dialogis itu, O, ya! Apakah kamu tidak punya pesan kepada Maryam?, kata Kak Siti Aisyah kepadaku sambil mengikat kembali rambutnya yang tergerai itu. Sehingga orang-orang diatas rumah serentak terdiam dan menoleh kepadaku. O,ya, Kak Aisyah! Sebetulnya di halaman rumah nanti akan saya sampaikan kepada Tuan Majo Ali. Tetapi karena sudah kakak mulai, ya..., tidak apalah, langsung sajalah sekarang saya sampaikan, jawabku kepada Siti Aisyah. 150 | Maryam Chilvalry

Tuan Majo Ali, sampaikan salam saya kepada Siti Maryam, dan kalau sempat ceritakanlah kepadanya bagaimana kelincahan dan kehebatan Kak Siti Aisyah dan Etek Siti Anisyah dalam menghadapi serdadu Ulando ini tadi. Kedua wanita kita itu benar-benar bagaikan naga terbang. Mudah-mudahan hatinya senang dan dapat menggelorakan semangat juangnya di sana. Bukan hanya berdua, Juru Tulis. Tapi bertiga perempuan kita malam ini!, pintas Majo Ali. Bagaimana...?, tanyaku heran. Oh, maksudku Juru Tulis! Kilah Majo Ali kembali apakah tidak sebaiknya kamu saja langsung untuk menemuinya?, sambungnya. Pernyatan Majo Ali semakin membingungkan aku dan termasuk semua orang di atas rumah itu, kecuali Inyiak Manan, Mak Datuak Rajo Pangulu dan Kak Siti Aisyah. Memangnya kenapa, Tuan Majo? Kan dia, Maryam, kataku untuk lebih memastikan sedang ke Mangopoh. Dan saya tidak mungkin menyusulnya ke sana malam ini, Tuan?!, sambungku lagi kepada Tuan Majo Ali. Bukan begitu maksudku!, kata Tuan Majo Ali Lalu...?, desakku lagi. Barangkali kamu kurang arif tentang maksud Aisyah tadi, Juru Tulis!, jawab Tuan Majo Ali, membuat aku semakin bingung, apa sebutulnya yang terjadi dan rahasia apa sebetulnya yang luput dari tugasku. Maryam masih di sini, Juru Tulis!, kata Tuan Majo Ali kepadaku. Dengan serta-merta aku terlonjak kaget, bingung, nanar seperti orang kehilangan akal. Dia juga turut bertempur sebentar ini bersama Guru Tuonya ini, jelas Majo Ali sambil menunjuk Kak Siti Aisyah. Tolong ulangi sekali lagi, Tuan Majo!, apakah aku tidak salah dengar tentang yang Tuan katakan itu!, desakku untuk lebih meyakinkan, tentang keterlibatan Maryam pada pertempuran sesaat tadi dan entah dironde keberapa di masuk ke arena pertempuran. Kemudian Tuan Majo Ali mengulangi lagi kalimat yang sama kepadaku. Juru Tulis, Maryam masih di sini, dia turut berperang bersama -sama kita sebentar ini, dia telah bergabung dengan Aisyah dan Anisyah, Juru Tulis! Betulkah itu, Tuan? Lalu, kenapa bisa begitu, Tuan Majo? Tan yaku lagi dengan penuh haru dan antusias. 151 | Maryam Chilvalry

Memang, tadi sore Maryam telah memacu kudanya menuju Mangopoh. Tetapi, sesampai di Simpang Gudang kami bertemu, karena saya juga menuju kemari ingin meminta penjelasan kapan perlawanan akan dimulai. Di sana terjadi pembicaraan kami, dia langsung menceritakan kondisi terakhir di sini, bahwa sudah dapat dipastikan pada malam ini perlawan akan berlangsung. Sejenak kami menyoal kondisi ini dan langkah apa yang akan kami tempuh. Apakah dia berbalik ke sini dan saya kembali ke Mangopoh membawa berita dari Maryam tersebut. Namun aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke sini, akan turut bertempur sebisanya, maka Maryam pun tersentak dan memutuskan pula untuk balik ke sini. Sehingga kami putuskan bahwa kami berdua untuk secepatnya sampai di Kamang ini. Sesampai kami di sini keadaan sudah kacau, perang sudah berkecamuk, maka Maryam langsung meberikan perintah padaku untuk menyusup ke barisan Syekh Jenggot dan dia, yaitu Siti Maryam akan bergabung dengan Pandeka Mukmin. Dan selama di perjalanan Maryam sudah menjelaskan pula kepadaku tentang strategi, posisi dan kepala pasukan, jelas Majo Ali kepadaku. Apakah Inyiak dan Mak Datuak sudah mengetahui hal ini, sebelumnya?, tanyaku pula pada Inyiak Manan dan Mak Datuak Rajo Pangulu. Sudah. Sudah ada kurir yang menyampaikan kepada kami bahwa mereka berdua berada di sini dan turut bertempur!, jawab Inyiak Manan. Lalu, dimana dia sekarang, Tuan Majo?, tanyaku lagi kepada Majo Ali. Itulah dia Siti Maryam, masak kamu tidak mengenalnya? Dia itu bertempur seperti siluman, dengan secepat kilat dia menyerang dan secepat itu pula dia menghilang. Kemudian menyerang lagi dan menghilang lagi, jawab Majo Ali. Dia sekarang sedang bersama Kak Siti Anisyah!, sela Siti Aisyah dengan tegas. Tetapi selama diperjalanan tadi kami juga telah sepakati bahwa andaikan kami selamat dalam kecamuk perang malam ini, maka menjelang subuh, selesai atau tidak peperangan ini maka kami harus tinggalkan dan bersama-sama pula kembali ke Mangopoh untuk mengkondisikan dan membantu perlawanan di Mangopoh bersama pasukan tujuh belas dan dia sendiri akan mendampingi Kak Siti, istri Tuan Rasyid (Hasyik) Bagindo Magek nantinya. Barangkali dalam kondisi perang yang agak reda ini dia sudah berbalik menuju Mangopoh. Dia pasti menunggu saya di sebuah tempat yang sudah disepekati di Garagahan, atau kalau saya yang duluan sampai di sana, maka saya yang menunggunya untuk bersama sama memasuki Mangopoh, jelas Majo Ali lagi kepadaku.

Mendengar semua pemaparan Majo Ali itu, sehubungan dengan Maryam, aku hanya termangu-mangu memikirkan betapa militannya si perawan desa itu, dia relakan kecantikan wajahnya dicabik-cabik peluru serdadu Belanda. Juga terlintas 152 | Maryam Chilvalry

dipikiranku .....apakah dia tidak ingin berjumpa denganku, atau dia memang telah melihat sosokku dalam kecamuk tadi? Akh..!, aku kehilangan kendali lagi ulah si chivalry itu, yaitu perempuan satria dengan kepribadian sempurna penuh keteladanan nan selalu berbakti pada Tuhan. Setelah selesai mengatur strategi di rumah Haji Abdul Manan itu, kemudian kami berangkat kembali ke medan pertempuran, berniat untuk menghabisi sisa pasukan dan termasuk L.C. Westenenk sendiri yang masih belum diketemukan.

153 | Maryam Chilvalry

18.

Badai Menjelang Subuh

JALU-JALU adalah sejenis tumbuhan rambat yang tumbuh liar di rimba-rimba, buahnya menjadi konsumsi burung. Tapi, bagi pemuda di Minangkabau telah menjadi pokok pantun yang didendangkan setiap mengakhiri sebuah acara, biasanya dalam mengakhiri acara bergurau saluang. Saluang merupakan alat musik tiup tradisional asli Minangkabau daratan, dari Luhak Agam. Dendang jalu-jalu dinyanyikan ditengah malam menjelang subuh hari sebagai lagu perpisahan; Jalu-jalu di dalam parak, makanan anak tiuang rimbo. Sagitu dulu oi... urang banyak, bapisahlah dulu kito samantaro. Pasukan Datuak Rajo Pangulu dan Siti Aisyah sudah bergabung dengan Haji Abdul Manan menyelesaikan pekerjaaan yang masih terbengkalai. Dalam gabungan pasukan Haji Abdul Manan dan Datuak Rajo Pangulu, Siti Aisyah berusaha untuk mendekati Siti Anisyah guna menyampaikan taktik serangan yang sudah di atur di rumah Haji Abdul Manan. Ternyata tidak gampang pula untuk mengenali wajah Siti Anisyah dalam kerumunan pasukan itu, karena disamping hari malam adalah karena Siti Anisyah pun sama dengan Siti Aisyah yaitu sama-sama berpakaian laki-laki berwarna putih. Setelah mereka bertemu dan membicarakan strategi, maka Aisyah dan Anisyah merayap dalam selokan antara sawah dan jalan raya. Siti Aisyah di sebelah kiri jalan sedangkan Siti Anisyah di sebelah kanan jalan, masing-masingnya didampingi pula oleh pasukan laki-laki, tentu saja yang sangat dekat di sisinya adalah suamisuaminya sendiri. 154 | Maryam Chilvalry

Untuk mengelabui pasukan Belanda yang sedang waspada di sepanjang jalan raya, maka sebahagian lagi pasukan berpakaian laki laki berwarna serba putih itu tetap meratib menyebut asmaul husna Lailahailallah..., sambil berjalan di tengah jalan raya dengan rudus yang selalu waspada pada masing-masing tangan mereka. Sesampai dipertengahan barisan serdadu Belanda, kedua srikandi yang merayap membungkuk-bungkuk sambil mengendap mengendap itu berhenti sejenak menunggu pasukan yang bergerak dari arah Timur, dan bersiap-siap pula menunggu aba-aba berikutnya dari komandan pertempuran. Pasukan Westenenk terpukau oleh gerakan pasukan yang berada di ujung jalan raya, baik dari arah Barat maupun dari arah Timur. Apalagi mendengar gemuruh suara ratib Lailahailallah...! Lailahailallah...! Lailahailallah...!, Secara serentak, yang semakin lama semakin mendekat ke arahnya. Pada kondisi pasukan L.C. Westenenk dalam keadaan terkepung barulah teriakan komando Allahuakbar...! menggema, menggelegar, keluar dari kerongkongan Syekh Jenggot. Dan dengan secapatnya pula pasukan rakyat secara serentak berhamburan dari dalam sawah ke tengah pasukan Belanda itu. Dalam keadaan serdadu Belanda terpana itu terdengar pula suara teriakan wanita yang melengking dari sebelah kiri dan kanan jalan, yang diringi oleh bayangan putih yang melayang ke tengah jalan membelah barisan pasukan Belanda tersebut. Seketika itu pula rudus di tangan dua orang srikandi dari Kamang Hilir itu, Siti Aisyah dan Siti Anisyah berdecak merambah batang leher, punggung, dada dan pangkal bahu serdadu Belanda. Rudus-rudus srikandi itu sangat leluasanya meliyuk kiri dan kanan dari arah atas ke bawah, karena kelincahan dan kelihaian pemiliknya memainkan rudus diantara tubuh musuhnya. Srikandi-srikandi itu dengan pinggangnya yang lemah melompat terbang kiri dan kanan, muka dan belakang seakan tidak mendapat perlawanan dari serdadu Belanda, yang terdengar hanyalah erangan dan jeritan mereka karena di semba klewang perempuan perempuan yang sudah bringas itu. Decakan klewang dan rudus para pasukan putih itu hanya dibalas dengan tembakan serdadu yang tidak tentu arah dan membabi buta. Hanya untuk satu kali tembakan bagi masing-masing serdadu itu, karena tidak sempat lagi mengisi peluru untuk tembakan berikutnya. Untuk kesekian kalinya guna menyelamatkan diri terpaksalah mereka mempergunakan bayonet yang menempel di ujung senapannya tersebut. Dan secara kebetulan pula diantra tembakan mereka itu ada yang mengenai sasaran, mayat para kawan kawan srikandi itu satu persatu berjatuhan dan bergelimpangan juga di dalam sawah, di dalam selokan dan di tengah jalan raya, seperti ronde ronde sebelumnya.

155 | Maryam Chilvalry

Pertempuran yang membutuhkan stamina yang kuat itu menyebabkan perlawanan dilakukan beberapa kali gelombangan serangan, dengan cara silih berganti antara kelompok yang maju dan kelompok yang beristirahat. Sewaktu beberapa kelompok yang sudah bertempur mengundurkan diri, maka beberapa kelompok dalam keadaan siap sedia di belakangnya maju untuk menggantikan. Pasukan yang mundur langsung ke tempat perlindungan yang sudah dikondisikan untuk beristirahat guna memulihkan tenaganya sambil mengkoordinasikan kembali anggota pasukan, sehingga dapat pula sekaligus menghitung jumlah anggota yang tinggal dan sebaliknya yang telah menjadi korban. Dalam kondisi frontal, serangan berlapis itulah taktik perlawanan yang dilakukan pasukan Kamang yang tergabung dari berbagai anak nagari di Minangkabau sebagai utusan partisipatif atas perjuangan anti belasting dengan pusat pergerakan dan perlawanannya di Kamang, Agam. Sewaktu Siti Aisyah beristirahat setelah beberapa kali bertempur, tiba-tiba bangun dan melompat ke arah serdadu Belanda yang tetap waspada. Siti Aisyah berlari dengan rambut yang tergerai lagi dan pakaian putihnya yang telah berhiaskan semburan darah-darah musuhnya. Aisyah melompat, menyerbu ke arah tiga orang serdadu Belanda yang sedang bersusah payah karena terburu-buru mengisi peluru senapannya. Siti Aisyah menebas batang leher dua orang serdadu kiri dan kanan dengan sebilah klewang dalam genggamannya. Dengan secepat kilat dia kembali bagaikan naga mengamuk. Sewaktu Aisyah mengejar yang seorang lagi, terkilat oleh suaminya Datuak Rajo Pangulu dan seketika itu juga Datuak Rajo Pangulu berteriak memperingatkan Aisyah untuk berhenti mengejar serdadu itu. Aisyah. Jangan...!, teriak Datuak Rajo Pangulu. Tetapi si guru tuo, Siti Maryam itu sudah terlanjur membuat reaksi melompat dan melayang di udara maka dia seakan tidak memperdulikan larangan suaminya itu. Pada jarak sekitar tiga meter menjelang berhadapan dengan serdadu yang terbirit lari memanggul senjatanya ketengah sawah mencari tempat bersembunyi, tautaunya kaki Siti Aisyah terpeleset pada sebuah unggukan tanah di dipematang sawah, Aisyah terjatuh masuk selokan kecil. Dia berusaha untuk bangun secepatnya, tapi pergelangan kakinya yang terperosok itu terasa sakit untuk diangkat. Tau taunya dua orang serdadu lagi sudah berdiri di dekatnya dan langsung mengacungkan laras senjata ke arahnya. Dalam keadaan sedang terlentang tak berdaya, Siti Aisyah hanya menggelinjang sebentar tanpa rintihan apa-apa ketika salah seorang dari dua serdadu masrose itu memasukkan ujung laras senjatanya ke mulut Aisyah dan langsung menarik pelatuknya. Dalam satu letusan yang membelah kesunyian malam itu terkaparlah srikandi yang perkasa itu dalam lumuran darah bercampur keringat. Meskipun kedua serdadu itu adalah bangsanya sendiri. Karena memang rekrukment prajurit marsose itu umumnya orang Batak, Ambon, Bugis, Jawa dan Madura. 156 | Maryam Chilvalry

Dengan wajah yang tenang Siti Aisyah telah menghadap Sang Illahi sebagai seorang syuhada, darahnya mengalir mewarnai air sawah yang baru ditanami padi. Melihat istrinya terkapar di pinggir sawah yang baru beberapa hari selesai ditanami padi itu Datuak Rajo Pangulu yang sedang bertempur menghadapi dua orang serdadu Belanda lantas berpaling dan berbalik kearah istrinya. Datuak Rajo Pangulu merangkul, memeluk menghibai istrinya itu, adalah ciuman terakhir yang penuh kepiliuan. Kemudian dia bangkit kembali meninggalkan istrinya di pematang sawah itu untuk kembali mengejar serdadu Belanda, untuk menuntut balas dalam kekalapan. Namun sebelum mencapai musuh terdengar lagi sebuah letusan, ternyata punggungnya telah ditembus timah panas pula. Akan tetapi Datuak Rajo Pangulu tetap berusaha untuk bertahan dan berbalik melangkah ke arah istrinya. Dengan langkah terseot-seot Datuak Rajo Pangulu berusaha menuju pembaringan istrinya. Pada saat bersamaan, ternyata peluru senjata api Belanda kembali menembus bahagian bawah dada sebelah kanan Dt. Rajo Pangulu dan berapa langkah kemudian dia tersungkur tepat disamping tubuh istrinya, Siti Aisyah. Datuak Rajo Pangulu menyertai kepergian istri tercintanya sebagai seorang syahid dalam menentang kaum kafir itu. Cinta sejati dibawa mati. Westenenk menembakkan pestol komando, diiringi terompet perang dari arah Barat, tetapi tidak dibalas oleh terompet di arah Timur. Wetenenk terpaksa memberanikan diri, maju dari arah Barat. Haji Abdul Manan yang didampingi anakanya Haji Ahmad dan Kari Bagindo dengan pasukan intinya yang semenjak tadi sudah siap sedia mengelus kuduk Westenenk, dengan klewangnya yang terhunus di tanggannya. Haji Abdul Manan dengan suaranya yang nyaring mengomandokan pasukannya untuk serentak maju ke tengah-tengah pasukan Westenenk yang telah mulai bergerak lagi setelah mendengarkan tembakan salvo dan bunyi terompet perang. Haji Abdul Manan langsung melalah, mengejar ke arah tembakan salvo tadi, tetapi Westenek tidak ditemukannya. Amarahnya pun mulai memuncak, dengan suara lantang Haji Abdul Manan berteriak. Hai... Westenenk majulah kau, aku ada di sini!!! Tapi westenenk tidak menjawab. Katanya kamu mencari aku! Ini aku, Haji Abdul Manan yang kau cari-cari itu. Majulah, Westenenk!!! Tunjukkanlah keberanian mu!!! Jangan hanya bisanya mengancam-ancam kami rakyat. Jangan hanya bisanya memerintah saja!!!, teriak Haji Abdul Manan lagi. Tetapi Westenenk jangankan memperlihatkan sosoknya menjawab pun tidak.

157 | Maryam Chilvalry

Biang ka cabiak, gantiang kaputuih. Supaya jelas jantan betinanya. Haji Abdul Manan menerjang musuh kiri dan kanan yang didampingi oleh darah dagingnya sendiri Haji Ahmad dan Kari Bagindo. Sayap Kanan Haji Abdul Manan serentak maju menghantam musuh, Rauangan, rintihan pasukan inti Westenenk yang kena tebas pedang, klewang dan rudus itu sangat mengerikan, merindingkan bulu roma. Sayatan senjata tajam itu seperti sengatan bisa seekor reptil, mereka menggelapar seperti ikan terpental ke atas pematang sawah yang berjemur matahari. Sisanya mundur, tetapi pasukan inti Haji Abdul Manan mendesak terus, semakin garang, mengganas seperti sekawanan binatang fanther yang lapar memburu sekawanan zebra di kaki Gunung Kilimanjoro, Afrika. Lonjakan spirit, semangat seirama hentakan suara ratib, zikir La Ilaha Ilallah...!, La Ilaha Ilallah...!, La Ilaha Ilallah...! yang tak putus-putusnya. Tiba-tiba dari arah kiri Haji Abdul Manan terdengar orang memanggil. Ayah...!, ayah...!, dengan pelan, seperti Haji Abdul Manan mengenal persis suara itu dan berlari ke arah suara itu. Ayah, aku ada di sini! Dan Haji Abdul Manan segera melompat ke arah suara itu. Ternyata anaknya, Kari Bagindo. Ayah, aku kenah. Yah!, kata Kari Bagindo. Haji Abdul Manan berjongkok dan membungkuk memeluk anaknya. Beliau terharu mendengar rintihan anaknya itu. Kamu kena, Kari?! Dan merobek baju putih anaknya yang sudah berlumuran darah untuk memeriksa lukanya. Apamu yang kena, Kari?! Dadaku, Ayah! Dengan suara lembut, letih Kari Mudo menjawab, memberi tau lukanya. Baju Kari Bagindo disobek, lukanya dibersihkan ayahnya. Haji Ahmad, abang Kari Bagindo pun menghampiri ayahnya untuk memberikan pertolongan untuk adiknya. Kari Bagindo semakin melemah, lunglai dan tidak berdaya lagi karena kehabisan darah. Haji Abdul Manan membuka sorbannya yang melilit kepala, leher dan sebahagian wajahnya dan disobek untuk membalut luka anaknya. Kemudian Kari Bagindo dibaringkan di atas lutut Haji Ahmad yang sudah dapat melumpuhkan musuh, menyelesaikan tugasnya. Bagaimana ayah, berat lukanya, Ayah?, Haji Ahmad bertanya sambil memangku adiknya menggantikan Haji Abdul Manan yang sudah kelihatan letih. Letih bukan hanya karena seorang gaek tenaganya terkuras, tetapi melihat anak sibuah hati merintih kesakitan, luka terganga di dada anaknya merontokkan seluruh stamina, persendiannya terasa lemah. Haji Abdul Manan tidak bersuara, hanya mengangguk saja menjawab tanya Haji Ahmad. Suasan kembali sunyi seketika. 158 | Maryam Chilvalry

Haji Jabang menyusul ke arah Haji Abdul Manan dan melaporkan bahwa Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah serta Datuak Marajo Kaluang sudah duluan kembali keharibaan Allah, Swt Yang Maha Suci, gugur dalam pertempuran. Tetapi Westenenk sudah tidak dapat ditemukan lagi, namun kawan kawannya masih tetap mencari Kontroleur tersebut. Haji Abdul Manan semakin terhenyak, terharu karena satu persatu orang-orang yang disayanginya berangsur meninggalkannya untuk selama-lamanya. Aisyah. Kamu luar biasa!. Hanya dengusan itu terdengar lembut dari mulut Haji Abdul Manan, sebagai reaksinya atas laporan Haji Jabang. Angkatlah semua kawan-kawan yang telah gugur ketempat yang patut dan aman, dan sebahagian lagi kerahkan mencari Westenenk beserta sisa pasukannya, perintah Haji Abdul Manan kemudian. Bersamaan dengan itu Pandeka Mukmin pun datang melapor. Pasukan Musuh sudah habis. Karena hari sudah mulai dekat Subuh, kita harus berpisah supaya kami dapat kembali lagi ke Bukittinggi, kata Hendrick, si Pandeka Mukmin. Ya, terimakasih atas bantuanmu, Nak! Upayakan dirimu tidak sengsara, Ya! Baiklah, Ayah!, jawab Pandeka Mukmin yang tersohor juga denga sebutan Pendeka Ulando itu. Mereka bersalam -salaman sebagai tanda perpisahan. Pandeka Mukmin kembali menemui kawan-kawannya dan pakaian dinas militernya pun dikenakan kembali. Haji Jabang yang mendapat perintah sudah menggerakkan anak buahnya untuk menyelamatkan pasukan yang menjadi korban ke Kampung Tangah. Suasana semakin hening, Kari Bagindo masih bernapas lemah diangkat oleh kawankawannya ke atas Surau di Kampung Tangah

159 | Maryam Chilvalry

Tiba-tiba dari kejauhan yang sayup sayup sampai kedengaran bunyi terompet. Dalam hening semuanya mendongakkan kepala masing-masing dengan mengarahkan pendengran untuk memastikan dari arah mana bunyi terompet tersebut. Lalu Haji Ahmad memecahakan kesunyian. Ayah, bunyi terompet itu kedengarannya dari arah Magek. Mungkin pasukan Mantri Warido. Kalau pasukan bantuan dari Bukittinggi tidak akan mungkin, kata Haji Ahmad. Ya, ya!, sambung Haji Abdul Manan dan Ha ji Jabang serentak. Semua pasukan harus dipersiapkan kembali untuk menyambut kedatangan pasukan sayap kanan musuh. Ini berarti pertahanan Datuak Parpatiah Nan Sabantang di Magek dapat ditembus musuh, kata Guru Siti Maryam dan pemimpin besar perlawnan rakyat yang anti belasting itu. Ada apa gerangan sehingga sekawanan buaya darat itu lepas dari perangkap Datuak Parpatiah Nan Sabantang? Kalau begitu untuk apa pula bersumpah setia sehidup dan semati?, tanyanya lagi kemudian. Sekarang Bersiaplah!!! Esa hilang dua terbilang. Relakanlah tulang belulang kita berserakan di jalan. Ikhlaskanlah nyawa berpisah dengan badan sebagaimana kawan kawan kita yang sudah syuhada itu. Biarkanlah sejarah negeri ini yang memberi kata akhir sebagai pedoman dan pelajaran untuk anak cucu kita nantinya. Begitu penafsiran dan perintah serta semangat Haji Abdul Manan dengan tak pernah pupus. Haji, kobarkan kembali semangat perang. Sudah kepalang. Sibungsu tidak akan beradik lagi!! Sekarang kita selesaikan amanah dari Tanah Suci, Mekah itu, ketus Haji Abdul Manan kepada sahabatnya Haji Jabang. Haji Jabang langsung berdiri membawa pasukannya menyeberang selokan besar di sebelah kanan. Sedangkan pasukan inti Haji Abdul Manan tetap di sebelah kiri jalan. Mereka sama-sama menuju sasaran, yaitu Koto Panjang untuk menyonsongkan musuh yang datang dari arah Magek. Haji Ahmad tetap mendampingi ayahnya bersama Angku Rumah Gadang. Tak berselang lama dalam perjalanan ke Koto Panjang dengan penuh kehati-hatian dalam kesunyian larut malam itu terdengar suara tembakan. Cuma sekali dentuman saja dan arahnya tidak diketahui. Haji Abdul Manan menatap sekeliling dan menangkap bayangan sebuah sosok yang sedang merangkak di bawah pohon pisang, dengan lambat-lambat Haji Abdul Manan merangkak mendekati sosok itu. Musuh pun melompat ke seberang bandar, selokan. Haji Abdul Manan telah siap dengan menghunuskan pedangnya sambil membentak, Mana Westenenk?!!! 160 | Maryam Chilvalry

Celaka, saya tidak tau, jawab musuh itu yang kemudian minta ampun. Tapi apa boleh di kata klewang Haji Ahmad keburu menebas batang leher musuh itu. Dan seorang kawan musuh itu mengejar Haji Ahmad untuk membantu kawannya yang tergeletak dengan leher yang hampir putus itu. Tetapi terlambat pula, Angku Rumah Gadang telah lebih dahulu menyambut musuh itu dengan dengan menebasnya pula. Musuh jatuh tersungkur berhimpitan menimpa bangkai kawannya. Keadaan kembali sepi.... Haji Jabang kembali menemui Haji Ahmad, berbisik mengatakan bahwa Westenenk sudah dicari-cari tetapi tidak ditemukan juga tempat persembunyiannya. Tau-tau ada suara panggilan dari arah belakang Ahmad...! Haji Ahmad berpaling mengarahkan telinganya. Ahmad...! Sekali lagi suara memanggilnya. Mereka saling berpandangan ...Ayah?!, dan serentak pula berlari ke arah suara itu. Oh, Ayah rupanya, ada apa Ayah? Kemarilah kamu, dan kawan-kawan kamu. Ayah mau bicara! Kami pun menghampiri beliau, sang pemimpin perang itu. Bagimana?, apa Westenenk sudah ditemukan?, tanya orangtua itu. Belum!!!, jawab Haji Ahmad dan Haji Jabang serentak. Kemudian Sekh Jenggot itu melanjutkan laporannya. Westenenk sudah dicari-cari sampai ke Koto Panjang. Setiap liku dan tebing sudah diteliti, tetapi satupun pasukan musuh tidak ditemukan lagi, selain bangkaibangkai musuh yang bergelimang darah. Dan sekarang beberapa orang pasukan kita sedang mencarinya ke dalam kampung Koto Panjang, mereka belum kembali, jelas kawan Imam Perang itu yang sehidup semati sejak dari kecil sampai di perantauan dan sama-sama pulang pula untuk mempersiapkan apa yang terjadi dimalam buta itu. Ahmad!, kata ayahnya lagi dan kemudian berhenti sejenak. Haji!, serunya kepada Haji Jabang sambil memegang tangannya. Sekarang sudah pukul tiga atau pukul empat pagi, mungkin Westenenk sudah mengundurkan diri bersama sisa pasukannya, namun tetaplah waspada menjelang subuh ini. Kalau sudah siang kita tidak mungkin bertempur lagi karena senjata kita tidak mungkin bisa melawan musuh dengan bersenjatakan senapan dan meriam di siang hari. Oleh sebab itu persiapkan pasukan kita untuk mundur mencari perlindungan masing masing di siang hari untuk menanti saat selanjutnya pada malam besoknya. Dan beri kabar semua kawan-kawan kita di daerah dan pos-pos lain supaya selalu siap sedia melawan musuh, jika nanti pasukan Westenenk menyerbu lagi.

161 | Maryam Chilvalry

Haji Abdul Manan kemudian berhenti sejenak, napasnya mulai sesak dan badannya terlihat semakin letih. Dan dengan suara terputus-putus berwasiat lagi. A...yah!, a...y...ah!, A...yyy...a...h!, tidak... mungkin...lagi...me...ne...russs...kan pim...pinan perrrang ini!. Ayyah kennna!, sebentar lagi mungkin Ayyyah akan menghadap Illahi Rabbi, Allah Subhanawataala, dan sudah tak mungkin lagi...! Terrruskan perrrjuangan...! Diam lagi, namun mulutnya tetap komat kamit dan ujung lidahnya terkilas melentik lentik seperti orang mengucapkan Allah! Allah! Allah! A...yah sssuddah merrasa puas. Amanat kakekmu di tanah suci dulu sudah kita laksanakan bersama.... Kita tidak menyerah begitu saja pada kehendak dan kelancangan musuh terhadap anak, kemenakan dan cucu kita nati.... Berjuanglah terrruss. Ingat!!! Pengkhianat selalu ada dimana mana, hati-hati! Jangan ceroboh! Demi dekat dengan Allah Subhanawataala biarlah miskin harta daripada menjadi budak kapitalih. Karena kaum kapitalih tidak akan sadar akan perbuatannya telah menghalalkan apa saja untuk jabatan dan kekayaan, bahkan riba pun dia halalkan. Ingat pesan Ayah. Dekatkan diri selalu pada yang paling berkuasa, yaitu Allah Subhanawataala. Diam lagi, dengan tatap terengah-engah pelan, dan berupaya pula mengambil napas lagi untuk menyampaikan amanah selanjutnya. Ahmad!!!, kalau batu sipadan di asak urang!, sempadan ulayatmu diusik orang. Begitu pula terhadap negeri ini, terhadap agama kita dan terhadap bangsa kita. Busungkan dadamu, nak!!!. Malam ini kamu dan adikmu serta kawan-kawan kita telah membuktikannya Tapi, Ahmad!!! Katanya lagi setelah terdiam pula sejenak, Selagi menyangkut dengan pribadi sendiri tetaplah bersabar, bersabar dan bersabar. Tenangkan perasaan, jernihkan pikiran dan sandarkan perasaan kepada pemiliknya, yaitu Allah Ajja wazalla. Bertanyalah dan memintalah kepada-Nya petunjuk yang lurus. Sunyi lagi sesaat. Juru Tulisku! Maafkan saya karena kamu selalu aku suruh, aku perintah selama ini. Sekarang jalankan amanahku tadi, selamatkanlah dirimu sekarang. Biarlah Haji Jabang dan lain-lain yang menyelesaikannya perang menjelang subuh ini. Selamatkanlah segala perbendaharaanmu tentang seluk beluk perlawanan ini. Dan..., jadilah... kamu... sebagai perawi ikhwal perang ini... untuk cucu-cucu kita nanti.

Ditengah-tengah bersemangatnya mengkhotbahi kami, tiba-tiba tubuh beliau oyong dan rebah dalam pelukan Haji Ahmad, beliau berhenti berbicara dan keadaan 162 | Maryam Chilvalry

kembali sunyi. Angku rumah gadang berupaya pula memeluk beliau, membantu Haji Ahmad. Tiba-Tiba kedengaran gema takbir, Allahu Akbar!.. Allahu Akbar!... Allahu Akbar! dari jurusan Timur yang sayup -sayup kedengarannya dari tempat kami bersembunyi di Koto Panjang. Tak lama kemudian terdengr pula bunyi tiupan terompet perang musuh dari arah Pulai Magek sebelah Selatan. Haji Abdul Manan yang menelentang dalam pelukan Haji Ahmad dan Angku Rumah Gadang saling berpandangan denga Haji Jabang. Oi!, Mungkin pertahanan Datuak Parpatiah Nan Sabatang di Magek dan Datuak Majo Indo di Koto Tangah dapat ditembus musuh, kata Haji Jabang tiba-tiba. Sekarang Haji Ahmad dan Angku Rumah Gadang selamatkan ayah segera. Bawa beliau ke rumah sebelum terlambat. Biarlah bapak pimpin pasukan kita menghadapi musuh itu. Agaknya Kari Mudo telah mengerahkan pasukannya dari Timur untuk membantu kita. Baiklah Bapak, jawab Haji Ahmad. Kemudian tubuh Haji Abdul Manan kami gotong ke rumah beliau di Kampung Tangah. Sawiyah menahan perasan sedihnya saat Majo Ali membuka pakaian Haji Abdul Manan untuk memeriksa lukanya. Terlihat dada kanan Haji Abdul Manan sobek dari arah rusuk di bawah ketiak hingga ke bidang dadanya, dengan serta merta Majo Ali membalurkan air ludahnya ke tempat yang luka tersebut dan membalut luka itu, setelah meminta sorban beliau kepada Miyah, anak perempuan Haji Abdul Manan yang seorang lagi. Pakain Haji Abdul Manan ditukar semuanya dengan yang bersih. Itulah satu satunya obat penawar luka dan atiseptik dalam keadaan yang sangat darurat ketika itu, air ludah Majo Ali yang sudah dimantrainya. Kemudian Majo Ali berlalu dari rumah untuk menyusul Sekh Jabang. Haji Jabang mempersiapkan pasukan untuk menghadang musuh yang datang dari arah Selatan, yaitu dari Magek Pulai yang didampingi Majo Ali. Tak berselang lama sudah terlihat pasukan musuh berjalan membungkuk bungkuk seperti amai-amai akan menangkap anak ayam. Suara takbir dari pasukan Kari Mudo dari arah Timur Koto Panjang terdengar semakin mendekat dan semakin bergemuruh. Selepas dari jembatan Koto Panjang menuju Kampuang Tangah pasukan Kari Mudo dihujani oleh tembakan musuh, karena pasukan Kari Mudo masuk dalam jebakan musuh yang tidak di duga oleh Kari Mudo sebelumnya, sehingga banyaklah diantara pasukannya itu yang menjadi korban. Haji Jabang dengan serangan itu dapat mengetahui persis keberadaan pasukan Belanda, selanjutnya memberikan isyarat dan perintah kepada pembantupembantunya, Sutan Bagindo Kaliru di sebelah kanan dan di sebelah kririnya Majo 163 | Maryam Chilvalry

Ali yang tergabung dalam pasukan banyak. Haji Jabang membisikkan siasat penggempuran. Jika musuh mulai menembak lagi, komando segera saya berikan, dan apabila sudah terdengar komando segera lakukan serangan serentak ke tengah-tengah barisan musuh. Beri tahu kawan-kawan! Selesai menerima penjelasan itu Sutan Bagindo Kaliru dan Tuangku Pincuran langsung mendekati kawan-kawannya untuk menyampaikan perintah tersebut. Tembakan musuh mulai ramai lagi ke arah pasukan Kari Mudo. Haji Jabang langsung memberikan komando dengan meneriakkan takbir Allahu Akbar. Pasukan yang dipimpin Bagindo Kaliru dan Tuangku Pincuran serentak menyerbu ke tengah-tengah musuh. Pasukan Belanda tidak mengira bahwa meraka dalam pengintaian pasukan Haji Jabang sebelumnya, dan dengan serangan mendadak itu mereka kalang kabut, mereka menembak membabi buta, tidak tentu arah. Pertempuran kembali berkecamuk antara pasukan Haji Jabang dan pasukan Belanda. Tetapi pertempuran di sini hanya berjalan sekejab karena pasukan musuh hanya sekelompok kecil. Di arah Timur pasukan Kari Mudo bakuhampeh pula dengan dahsyadnya dalam waktu setengah jam sudah jelas jantan betinnya. Perang berhenti kembali. Susana tenang, hening...! Haji Jabang kembali meneriakkan takbir beberapa kali ke arah Timur. Dari arah Timur Kari Mudo menyahut dengan suara takbir pula. Kedua pasukan ini berjalan berlawan arah, makin lama makin mendekat antara pasukan Haji Jabang dan pasukan Kari Mudo. Kedua pimpinan pasukan saling maju berjabatan tangan dan saling rangkul-rangkulan dan para pasukan juga melakukan hal yang sama dalam kegembiraan karena mereka dapat menyelesaiakan peperangan dengan sebaikbaiknya. Kecuali Westenenk masih belum diketahui jejaknya. Haji Jabang menyampaikan khabar kepada Kari Mudo bahwa Datuak Rajo Pangulu dan istrinya, Sutan Nan Basikek dan istrinya, Datuak Marajo Kaluang dan beberapa anggota pasukan laiannya sudah syuhada, haji Abdul Manan pun kena sasaran tembakan musuh dan sekarang sedang disitirahatkan di rumah anaknya Miyah. Beriringan laporan itu pula Haji Jabang menyampaikan pesan Haji Abdul Manan agar seluruh pasukan segera mengundurkan diri dan menyingkir ke tempat yang aman karena subuh sudah sangat dekat, hari akan siang dan tidak akan mungkin melanjutkan peperangan di siang hari. Kari Mudo sangat terharu, urat-urat di dahinya semakin terlihat jelas, matanya basah dan memerah karena kawan-kawan dan peminpin perangnya banyak yang gugur. Semoga kesyahitannya dibalas Allah di sorga yang telah dijanjikan. Kemudian Kari Mudo memerintahkan sebahagian pasukannya untuk mengangkat anggota pasukan yang gugur dalam pertempuran dan anggota pasukan yang lain 164 | Maryam Chilvalry

mengiringinya bersama Haji Jabang menjumpai Hai Abdul Manan dan jenazah Datuak Rajo Pangulu dan lain-lainnya. Setelah semua pemimpin pasukan berkumpul di Kampuang Tangah langsung merundingkan segala sesuatau tentang langkah langkah selanjutnya. Hasil kesepakatan masing-masing komandan pasukan Sabilillah Kamang itu adalah bahwa jenazah Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah dibawa pulang ke Kamang Hilir dan begitu pula para syuhada yang berasal dari Kamang Hilir akan dimakamkan di dekat Surau Taluak Kamang Hilir yang digotong oleh pasukan Kari Mudo yang masih selamat. Atas permintan terakhir Majo Ali, demi keselamatan Haji Abdul Manan yang sedang terluka dan juga demi perjuangan di Mangopoh, maka Haji Abdul Manan agar diizinkan untuk dibawa menuju Mangopoh pagi-pagi itu. Sepeninggal Majo Ali yang membawa serta Haji Abdul Manan beduk di surau-surau sudah mulai terdengar, menandakan waktu shalat Subuh sudah masuk. Semua pasukan segera mengganti pakaiannya yang sudah berlumuran darah. Setelah waktu dhuha Haji Ahmad mendapat berita bahwa Yusuf Datuak Parpatiah Nan Sabatang di Magek juga syahid malam itu, karena didatangi pasukan Warido, tangan kanan Belanda yang berjabatan sebagai Mantri Kopi dan terakhir sebagai Laras. Pada mulanya Belanda menanyakan di mana rumah Datuak Parpatiah Pauah, tetapi orang salah tunjuk, rumah Datuak Parpatiah Magek yang ditunjukkan. Pada malam itu, pada pukul 03.00 (dini hari) sampailah serdadu Belanda di rumah istrinya di Pakudoran Koto Marapak-Magek. Tanpa berfikir panjang rumah Siti Hasnah itu digebrek oleh pasukan Belanda, di atas rumah itu terjadilah perkelahian yang hebat pada saat pasukan dibawah kendali Agus Warido itu ingin menagkapnya hidup-hidup, namun apa daya sejumlah tamu yang tidak diundang itu dapat dihabisi oleh Yusuf Dtauak Parpatiah Nan Sabatang, termasuk Agus Warido sendiri tewas di tangan Pendekar dari Magek ini. Perkelahian berlanjut ke halaman rumah Siti Hasnah, meskipun datuak ini telah mulai kekurangan stamina karena telah menghunus lima belas orang serdadu Belanda, namun semangatnya belum juga kendor. Dalam kondisi stamina mulai mengendur regu pelapis yang datang menyusul mendapatkan ruang tembak di balik pagar halaman rumah. Pada saat bidikan tepat sasaran ujung jari telunjuk salah seorang prajurut Marsose itu menarik pelatuk senapannya. Yusuf Datuak Parpataiah Nan Sabatang tersenungkur persis di batua tapak -an, halaman rumahnya. Kemudian sisa prajurut itu tidak mengacuhkannya lagi karena peluit untuk kembali kekesatuan telah terdengar pula. Datuak mengerang kesakitan, tubuhnya dipopong keatas rumah, Hasnah hanya bisa meratapi kepergian suaminya untuk selama lamanya. 165 | Maryam Chilvalry

Pagi hari mulailah berdatangan saudara dan kemenaakan Datuak Parpatiah melihat jasad saudara dan mamandanya. Sesuai dengan hukum adat di Minangkabau, apabila seorang penghulu meninggal dunia maka jasadnya harus dikebumikan di tanah pusaka, ditanah ibunya yang akan diwariskan kepada kemenakannya. Maka jasadnya dikebumikan di Dusun Kabun Jorong Lurah Ateh Nagari Magek, di dekat sebatang pohon duren dekat rumah pusakanya sendiri.

166 | Maryam Chilvalry

19.

Singguluang Batu

Informasi yang disampaikan Pandeka Mukmin sebelum berkecamuknya pertempuran Kemang pada malam 15 Juni 1908, bahwa Belanda akan membantai rakyat Kamang lebih kurang dengan kekuatan seribu orang dengan serdadu bersenjata lengkap dan modern, sedangkan pada waktu jumlah penduduk Kamang tidak lebih dari empat ribu jiwa. Namun, apa yang terjadi, berpedati-pedati mayat serdadu Belanda diangkut ke Kurai, Bukittinggi. Ditaksir ada sekitar 425 orang serdadu Belanda tewas sebagai korban perang ditengah malam buta itu. Andaikan hanya seperempat dari jumlah penduduk Kamang yang ikut berperang waktu itu, maka pertarungan dimalam buta itu dapat dikatakan satu lawan satu. Jadi jelas, bukannya rakyat yang dibantai oleh Belanda, tetapi pasukan Belandalah yang diluluh lantahkan rakyat. Berbalik arahlah penebangan, semula Westenenk berniat menghabisi rakyat Kamang penentang belasting ternyata pasukannya yang habih - tandeh, ludes oleh kaum militansi di Kamang. Bahkan Westenenk yang bernama lengkap Lourd Constant Westenenk (L.C. Westenenk) sampai terbirit-birit menyelamatkan diri ke kolong jembatan Koto Panjang, tubuhnya ditutupi dengan daun keladi (talas). Ia diselamatkan oleh Angku Suku Marah dari Aia Tabik hingga pagi hari dalam pesakitan. Satu jarinya putus, karena dikibas rudus anak nagari Kamang yang rambutnya tergerai bagaikan mayang taurai si gadih Ranti pada saat memainkan rudusnya tersebut. Setelah pertempuran babak terakhir reda, pagi-pagi sekali barulah Westenenk muncul dari persembunyiannya, seperti tikus keluar dari got, karena memang bersembunyi di dalam kolong jembatan yang airnya penuh lumpur bercampur darah. Kolong jembatan itu adalah aliran tali bandar, got dari kancah pertempuran di Kampuang Tangah. 167 | Maryam Chilvalry

Westenank berganti pakaian sepeti gaya penduduk setempat, dengan menyandang kain sarung layaknya orang pulang pagi dari menunggui sawah di malam hari menuju Aia Tabik, ke tempat kediaman Angku Suku Marah. Sehari penuh Westrenenk beristirahat dalam pesakitannya, sakit karena kegagalan misi pembantaian maupun atas kehilangan seruas jarinya. Mungkin saja ujung jarinya itu meloncat menari-nari mencari tuannya akibat dijemur terik matahari seharian dan mungkin juga sudah terinjak-injak oleh masyarakat yang menjamur dari dan ke Kampung Tangah untuk membezuk dan sekaligus untuk mengenali anggota keluarganya yang telah syuhada dalam pertempuran semalam. Setelah Maghrib barulah Westenenk diantar oleh Angku Suku Marah di Aia Tabik yang dikawal oleh beberapa pengiring, hulubalang Angku Suku menuju Baso dengan manaiki kendaraan bendi, sado kebesaran Angku Suku, layaknya kendaraan kaum feodal hasil rekayasa Belanda. Dari Baso Westenenk diselundupkan ke Benteng Fort Van der Capellen di Batu Sangkar. Tetapi, tidak beberapa berselang, terdengar pula desas-desus bahwa yang menyelamatkan Westenenk adalah Jaar. Dt. Batuah (Laras Tilatang), dan kemudian hari diangkat menjadi Demang dan tersohorlah dengan sebutan Damang Cingkuak yang pernah menerima Oranye van Nassau, suatu penghargaan tertinggi dari Ratu Juliana kepada kaum pribumi yang telah berjasa besar dalam melancarkan kekuasaannya di Hindia Belanda. Meskipun perang sudah dianggap selesai, tetapi Tuangku Pincuran masih belum bersenang hati karena perjuangan suci itu telah dikhianati oleh orang Kamang sendiri. Pagi pagi buta rumah Angku Suku Babukik dikepungnya, terjadilah penyergapan terhadap Angku Suku tersebut dan tanpa berpikir panjang Angku Suku Babukik dibunuh dan mayatnya dicincang sebagai ungkapan kebencian dan kekesalan yang maha sangat. Walaupun Angku Suku Babukik telah terbunuh, namun masa belum puas. Rumahnya di bakar, binatang ternak peliharaannya seperti kuda dan anjingnya juga dibunuh. Pada hari-hari selanjutnya, setiap orang yang lewat di depan rumah Angku Suku Air Tabik, Kepala Nagari dan pesuruh-pesuruh Belanda - yang telah mengkhianati orang kampungnya itu meludah di depan rumah itu. Bagi masyarakat Minangkabau perbuatan semacam itu entah mana yang sakit rasanya daripada sayatan klewang dan rudus. Karena sikap semacam itu adalah menandakan kebencian warga terhadap elite lokal di nagari nagari. Menantang habis-habisan masyarakat tidak mau, mereka masih trauma, pemimpin tidak ada lagi, surau sudah lengang. Tetapi kepada anak-kemenakannya mereka berwasiat dan tetap menanamkan kebencian terhadap Belanda, kaum penjajah termasuk para orang kampung, si Belanda hitam.

168 | Maryam Chilvalry

Sesuai hasil kesepakatan masing-masing komandan pasukan Sabilillah Kamang, maka pagi-pagi hari jenazah Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah dibawa pulang ke Kamang Hilir untuk dimakamkan berdampingan di pandam perkuburan Siti Aisyah. Syuhada yang berasal dari Kamang Hilir lainnya akan dimakamkan di dekat Surau Taluak Kamang Hilir oleh masyarakat dan keluarga masing-masing korban. Termasuk yang dimakamkan di dekat Suarau Taluak jenazah Siti Anisyah dan suaminya Sutan Nan Basikek, orangtua dari Ramaya kecil yang kemudian pada tahun 1926 menjadi tokoh revolusi pula dalam menentang penjajah Belanda yang terkenal dengan Pemberontakan Kamang 1926, berbarengan dengan Pemberontakan Silungkang dan Sawahlunto. Sekarang terbukti sudah tentang naluri anaknya, Ramaya sewaktu dia dan suaminya Sutan nan Basikek sedang latihan di halaman belakang Suarau Taluak beberapa waktu yang lalu. Semenjak kematian ayah dan ibunya deraian air mata dan isak tangis Ramaya belum berhenti. Dengan terbata-bata yang diringi isak tangis dalam gendongan neneknya Ramaya kecil tetap menanyakan ibunya. Kenapa Ibu ditembak Ulando, Nek?, tanya Ramaya dengan suaranya yang sendu kepada sang nenek. Dan sebelum dijawab neneknya dia sudah bertanya lagi. Apa salah ayah dan ibu, Nek? Ayah dan ibumu tidak punya salah, Maya!, jawab neneknya. Nanti Maya tidur sama siapa, Nek? Kan ada nenek dan etek, Maya?! Nanti kita tidur bersama -sama, ya?, jawab neneknya pula. Siapa lagi jadi Ibu Maya nanti, Nek? Mendengar pertanyaan cucunya itu si nenek pun tidak bisa lagi menjawabnya, kerongkongannya terasa kelat dan lekat, mulut terasa terkunci, bernapas pun terasa susah, yang bisa dia lakukan hanyalah mencium dan mencium cucunya itu berulang kali dalam pelukan dan gendongannya. Jangankan seorang nenek yang luluh hatinya melihat cucu semata wayang itu menangis dan sebentar-sebantar menanyakan ayah dan ibunya, orang yang hadir bertaziyah ke rumahnya di Pintu Koto, Kamang Hilir itu pun tak kuasa menahan derai air matanya. Dipihak lain, tuan Residen Padang Bovenlanden di Bukittinggi langsung mengambil alih pemerintahan Underavdeeling Oud Agam, karena Controleur Westenenk belum kembali ke Bukittinggi dan nasibnya belum diketahui.

169 | Maryam Chilvalry

Tuan Residen memerintahkan Laras Kamang, Tilatang dan Salo, termasuk para Kepala Nagari serta Penghulu Suku untuk membersihakan dan mengangkut prajuritnya yang menjadi korban pembantaian rakyat Kamang. Dan untuk menggotong para serdadu serdadu itu dipergunkan tenaga orang rantai, orang tahanan dari tangsi di Bukittinggi yang sengaja dikeluarkan dari sarangnya dalam sebuah pengawalan ketat dengan tangan dan kaki tetap dirantai. Laras, Kepala Nagari dan Penghulu Suku sibuk mencari gerobak pedati untuk membawa bangkai-bangkai yang tubuhnya compang-camping tersebut, berserakan dimana-mana, di pematang sawah, di selokan di pinggir jalan. Masih di tengah jalan, orang rantai si Melayu juga menghela gerobak pedati yang sarat muatan bangkai-bangakai serdadu Belanda - sudah mulai mengeluarkan bau amis, busuk karena sudah semalaman direndam air hujan dan air selokan, air sawah serta air kolam. Lalat dan kumbang-kumbang kecil pun silih berganti membezuknya di sepanjang jalan, kadang-kadang sering mengganggu penglihatan dan pendengaran si penghela pedati yang terseot. Gemerincing rantai di kaki yang bergeser dengan jalan berbatu dan dengungan lalat serta kumbang bagaikan lagu suci mengahantarkan mayat-mayat itu ke liang kuburnya, mungkin di laut lepas menjelang Pulau Pisang atau di jurang Ngarai Sianok yang menganga. Karena tak satupun kita menemukan nisan para serdadu itu di Bukittinggi. Pekerjaan mengevakuasi mayat serdadu Belanda ini dilakukan pagi-pagi sekali sebelum orang kampung, masyarakat Kamang dan sekitarnya yang mengetahui kejadian malam itu berduyun-duyun datang ke Kampuang Tangah. Gengsi juga Belanda apabila masyarakat mengetahui akan fakta sesungguhnya atas kejadian yang memalukan pemerintahannya itu. Orang-orang rantai itu tidak lain adalah masyarakat Agam ataupun masyarakat di Sumatera Barat umumnya, yang telah dijatuhi hukuman karena beberapa kesalahan yang dianggap menganggu ketertiban umum dan mulusnya jalan pemerintahan kolonial Belanda. Artinya adalah urang awak juga. Beban berat singgulung batu jadinya bagi masyarakat kita sendiri. Semua kesalahan ditimpakan kepada masyarakat jajahan yang dikatakan Belanda sebagai rakyat inlander, karena tabiat busuk beberapa orang kita juga yang mau mengkhianti arti kedaulatan dan kebangsaan.

InsyaAllah,bersambung.

170 | Maryam Chilvalry

Anda mungkin juga menyukai