A. Latar Belakang
Angkatan kesusastraan Indonesia Balai Pustaka, dimulai penghitungannya dari
tahun 1920. Kelompok ini disebut dengan angkatan balai pustaka karena pada masa
tersebut buku-buku sastra pada umumnya diterbitkan oleh penerbit balai pustaka.
Lahirnya angkatan balai pustaka pada kesusastraan Indonesia dilakukan untuk
mengurangi pengaruh buruk kesusastraan melayu yang dianggap terlalu cabul dan liar
pada masa itu.
Pada angkatan balai pustaka ini, karya sastra yang dipublikasikan oleh
penerbit merupakan karya-karya yang amat memelihara perbahasaannya. Angkatan
balai pustaka lebih bercorak Minangkabau. Hal ini terjadi karena kebanyakan editor
yang ada pada masa balai pustaka memang berasal dari Sumatra Barat. Sebenarnya
angkatan ini dipelopori oleh sebuah penerbit “Balai Pustaka” pada tahun 1920.
Titik awal angkatan balai pustaka dimulai ketika terbitnya roman Azab dan
Sengsara oleh Merari Siregar, yang disebut juga sebagai awal kebangkitan angkatan
balai pustaka. Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 yang dipelopori oleh
penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi
mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah
sastra di Indonesia pada masa ini.
B. Karakteristik
Sastra Balai Pustaka lahir sekitar tahun 20-an, di mana kehidupan masyarakat
kita dalam masa penjajahan. Di bawah penindasan kaum penjajah, masyarakat kita
memiliki sikap, cita-cita, dan adat istiadat yang isinya memberontak. Hal tersebut
disebabkan oleh dalam kehidupan mereka selalu diwarnai peristiwa-peristiwa sosial
dan budaya yang sengaja diciptakan oleh pihak penjajah, yakni pemerintah Belanda.
Hal inilah yang menjadi ciri atau karakteristik sastra pada masa itu. Umumnya
karakteristik sastra suatu periode dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: (1) situasi dan
kondisi masyarakat, (2) sikap hidup dan cita-cita para pengarang, dan (3) sikap dan
persyaratan yang ditentukan oleh penguasa atau pemerintah.
Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, karakteristik sastra Angkatan Balai Pustaka
adalah sebagai berikut :
1) Bahasa sastra adalah bahasa Indonesia masa permulaan perkembangan, yang
disebut bahasa Melayu Umum;
2) Sastra Balai Pustaka umumnya bertema masalah kawin paksa atau tema adat
masyarakat (terutama kaum ibu) beranggapan bahwa perkawinan urusan
orang tua. Orang tua memiliki kekuasaan mutlak dalam menentukan jodoh
anaknya.
3) Latar belakang sosial karyanya berupa pertentangan kaum muda dan kaum tua
dalam hal adat istiadat. Contohnya, Salah Asuhan.
4) Tokoh dalam roman/novelnya masih bersifat kedaerahan, belum kukuhnya
nasionalisme.
5) Bersifat didaktis, yaitu lebih cenderung pada sesuatu khususnya mengenai
permasalahan itu itu saja (monoton)
6) Genre sastra berbentuk novel atau roman, puisi masih berbentuk pantun dan
syair
7) Analisis psikologis pelakunya belum dilukiskan secara mendalam
8) Unsur nasionalisme pada sastra balai pustaka belum jelas.
9) Peristiwa yang diceritakan sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
10) Tidak mengandung unsur menentang pemerintah, menyinggung golongan
tertentu atau memihak salah satu agama.
Novel ini berkisah tentang cinta antara Sitti Nurbaya dengan kekasihnya dan
Samsulbahri. Sitti adalah anak dari Bangsawan Baginda sulaiman dan Samsulbahri
anak pembesar bernama Sutan Mahmud syah. Pengakuan cinta mereka baru muncul
saat Samsulbahri hendak pergi ke Batavia.
Berkat pinjaman uang dari Datuk Maringgih tersebut, usaha dagang Baginda
maju pesat. Namun sayang, rupanya Datuk Maringgih menjadi iri hati melihat
kemajuan dagang yang dicapai oleh Baginda Sulaiman ini, maka dengan seluruh
orang suruhannya, yaitu pendekar lima, pendekar empat serta pendekar tiga, serta
yang lainnya, Datuk Maringgih memerintahkan untuk membakar toko Baginda
Sulaiman. Dan toko Baginda pun habis terbakar. Akibatnya Baginda Sulaiman jatuh
bangkrut dan sekaligus dengan hutang yang menumpuk pada Datuk Maringgih. Di
tengah-tengah musibah tersebut, Datuk Maringgih menagih hutangnya kepadanya.
Jelas, tentu saja Baginda Sulaiman tidak mampu membayarnya.
Hal ini memang sengaja dilakukan oleh Datuk Maringgih, sebab dia sudah
tahu pasti bahwa Baginda Sulaiman tidak mampu membayarnya. Dengan alasan
hutang tersebut, Datuk Maringgih langsung menawarkan bagaimana kalau Sitti
Nurbaya, Putri Baginda Sulaiman dijadikan istri Datuk Maringgih. Kalau tawaran
Datuk Maringgih ini diterima, maka hutangnya lunas. Dengan terpaksa dan berat hati,
akhirnya Sitti Nurbaya diserahkan untuk menjadi istri Datuk Maringgih.
Tidak lama kemudian, ayah Sitti Nurbaya jatuh sakit karena derita yang
menimpanya begitu beruntun. Dan, kebetulan itu Samsulbahri sedang berlibur,
sehingga ia punya waktu untuk mengunjungi keluarganya di Padang. Disamping
kepulangannya ke kampung pada waktu liburan karena rindunya pada keluarga,
sebenarnya ia juga hendak mengunjungi Sitti Nurbaya yang sangat ia rindukan.
Ketika Samsulbahri dan Sitti Nurbaya sedang duduk di bawah pohon, tiba-tiba
muncul Datuk Maringgih di depan mereka. Datuk Maringgih begitu marah melihat
mereka berdua yang sedang duduk bersenda gurau itu, sehingga Datuk maringgih
berusaha menganiaya Sitti Nurbaya. Samsulbahri tidak mau membiarkan kekasihnya
dianiaya, maka Datuk Maringgih dipukul hingga terjerembab jatuh ke tanah.
Karena saking kaget dan takutnya, Sitti Nurbaya berteriak-teriak keras hingga
terdengar oleh ayahnya di rumah yang sedang sakit keras. Mendengar teriakan anak
yang sangat dicintainya itu, ia berusaha bangun, namun karena ia tidak kuat, ayah Sitti
Nurbaya kemudian jatuh terjerembab di lantai. Dan rupanya itu juga yang membuat
nyawa Baginda Sulaiman langsung melayang. Karena kejadian itu, Sitti Nurbaya oleh
Datuk Maringgih diusir, karena dianggap telah mencoreng nama baik keluarganya
dan adat istiadat.