Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang, berusaha untuk
menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. Ia menganggap Baginda Sulaiman sebagai
saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa iri hatinya melihat harta kekayaan ayah
Sitti Nurbaya itu. “Aku sesungguhnya tidak senang melihat perniagan Baginda Sulaiman, makin
hari makin bertambah maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh sebab itu, hendaklah
ia dijatuhkan,” demikian Datuk Meringgih berkata (hlm. 92). Ia kemudian menyuruh anak
buahnya untuk membakar dan menghancurkan bangunan, took-toko, dan semua harta kekayaan
Baginda Sulaiman.
Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini jatuh miskin. Namun,
sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya, kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk
Meringgih. Oleh karena itu, tanpa prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang yang
sebenarnya akan mencelakakan Baginda Sulaiman.
Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat “Pucuk dicinta ulam tiba”,
karena memang hal itulah yang diharapkannya. Rentenir kikir yang tamak dan licik itu,
kemudian meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman dengan syarat harus dapat dilunasi
dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk Meringgih pun dating menagih
janji.
Malang bagi Baginda Sulaiman. Ia tak dapat melunasi utangnya. Tentu saja Datuk
Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia akan mengancam akan memenjarakan
Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali apabila Sitti Nurbaya diserahkan
untuk dijadikan istri mudanya.
Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putri tunggalnya menjadi korban lelaki hidung
belang itu walaupun sebenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka, ketika ia sadar bahwa
dirinya tak sanggup untuk membayar utangnya, ia pasrah saja digiring polisi dan siap menjalsni
hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya keluar dari kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi
istri Datuk Meringgih asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. Suatu putusan yang kelak akan
menceburkan Sitti Nurbaya pada penderitaan yang berkepanjangan.
Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu lewat surat Sitti
Nurbaya, juga ikut prihatin. Cintanya kepada Sitti Nurbaya tidak mudah begitu saja ia lupakan.
Oleh karena itu, ketika liburan, ia pulang ke Padang, dan menyempatkan diri menengok Baginda
Sulaiman yang sedang sakit. Kebetulan pula, Sitti Nurbaya pada saat yang sama sedang
menjenguk ayahnya. Tanpa sengaja, keduanya pun bertemu lalu saling menceritakan pengalaman
masing-masing.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat Meringgih
yang culas dan selalu berprasangka itu, tentu saja menyangka kedua orang itu telah melakukan
perbuatan yang tidak pantas. Samsulbahri yang tidak merasa tidak melakukan hal yang tidak
patut, berusaha membela diri dari tuduhan keji itu. Pertengkaran pun tak dapat dihindarkan.
Pada saat pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya berusaha datang ke tempat kejadian.
Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh dari tangga hingga menemui ajalnya.
Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri yang merasa malu atas
tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya, kemudian mengusir Samsulbahri. Pemuda itu
terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya
telah bebas dan tidak perlu lagi tunduk dan patuh kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia
tinggal menumpang bersama salah seorang familinya yang bernama Aminah.
Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta. Namun, akibat
tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang menuduhnya telah mencuri harta perhiasan
bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa kembali ke Padang. Oleh karena Sitti Nurbaya tidak
bersalah, akhirnya ia bebas dari tuduhan. Namun, Datuk Meringgih masih juga belum puas. Ia
kemudian menyuruh seseorang untuk meracun Sitti Nurbaya. Kali ini, perbuatannya berhasil.
Sitti Nurbaya meninggal karena keracunan.
Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri. Ia kemudian
jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia. Berita kematian Sitti Nurbaya dan
ibu Samsulbahri, sampai juga ke Jakarta. Samsulbahri yang merasa amat berduka, mula-mula
mencoba bunuh diri. Beruntung, temannya, Arifin, dapat menggagalkan tindakan nekat
Samsulbahri. Namun, lain lagi berita yang sampai ke Padang. Di kota ini, Samsulbahri
dikabarkan telah meninggal dunia.
Sepuluh tahun berlalu. Samsulbahri kini telah menjadi serdadu kompeni dengan pangkat
letnan. Ia juga sekarang lebih dikenal dengan nama Letnan Mas. Sebenarnya, ia menjadi serdadu
kompeni bukan karena ia ingin mengabdi kepada kompeni, melainkan terdorong oleh rasa
frustasinya mendengar orang-orang yang dicintainya telah meninggal. Oleh karena itu, ia sempat
bimbang juga ketika mendapat tugas harus memimpin pasukannya memadamkan pemberontakan
yang terjadi di Padang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja melupakan tanah leluhurnya itu.
Ternyata pemberontakan yang terjadi di Padang itu didalangi oleh Datuk Meringgih.
Dalam pertempuran melawan pemberontak itu, Letnan Mas mendapat perlawanan cukup
sengit. Namun, akhirnya ia berhasil menumpasnya, termasuk juga menembak Datuk Meringgih,
hingga dalang pemberontak itu tewas. Namun, Letnan Mas luka parah terkena sabetan pedang
Datuk Meringgih.
Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. Ia terpaksa dirawat dirumah
sakit. Pada saat itulah timbul keinginan Letnan Mas untuk berjumpa dengan ayahnya. Ternyata,
pertemuan yang mengharukan antara “Si anak yang hilang” dan ayahnya itu merupakan
pertemuan terakhir sekaligus akhir hayat kedua orang itu. Oleh karena setelah Letnan Mas
menyatakan bahwa ia Samsulbahri, ia mengembuskan napas di depan ayahnya sendiri. Adapun
Sutan Mahmud Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal beberapa
tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun meninggal dunia pada
keesokan harinya
Secara umum, kisah ini bercerita mengenai suka duka Midun yang menghadapi banyak cobaan
sebelum hidup bahagia bersama isteri dan keluarganya. Salah satu cobaan terbesar Midun adalah
rasa dengki dari Kacak. Ia sering dicurangi dan difitnah oleh Kacak. Pernah isteri Kacak terseret
arus sungai, karena Midun berada di tempat yang sama, ia langsung menolong dan
menyelamatkan isteri Kacak. Namun, bukannya berterimakasih, Kacak malah memfitnah Midun
hendak memperkosa isterinya. Kacak melaporkan hal tersebut pada pimpinan desa dan mereka
mempercayai fitnah tersebut. Dan sebagai akibatnya, Midun dihukum untuk melakukan
pekerjaan tanpa digaji. Ia melakukan hukuman tersebut di bawah pengawasan Kacak.
Tidak berhenti sampai di situ, Kacak masih gerah melihat Midun masih berkeliaran di desa
mereka. Ia akhirnya merencanakan sejumlah hal dengan tujuan membunuh Midun. Usaha
tersebut selalu gagal tetapi Kacak masih bisa memfitnah Midun sehingga pada akhirnya ia
dijebloskan ke dalam penjara. Di dalam penjara Midun menjadi seorang yang disegani sebab ia
memiliki hati yang baik dan kepandaian dalam bela diri. Dalam menjalani masa tahanannya,
Midun suatu hari bertugas menyapu jalanan. Secara tidak sengaja ia melihat seorang gadis cantik
yang duduk termenung sendiri. Setelah gadis itu pergi, Midun bermaksud menyapu di tempat
gadis tersebut tadi duduk. Ia kaget dan mendapati sebuah kalung yang tercecer milik gadis
tersebut. Akhirnya setelah mengembalikan kalung tersebut, ia bisa berkenalan dengan gadis yang
ternyata bernama Halimah tersebut. Halimah hidup bersama dengan ayah tirinya. Ia merasa tidak
bahagia dan berniat mencari ayah kandungnya di Bogor. Midun berjanji setelah menjalani masa
hukumannya, ia akan membantu Halimah mencari ayahnya di Bogor.
Singkat cerita, Midun akhirnya keluar dari penjara dan membawa Halimah lari ke Bogor mencari
ayahnya. Setelah menemukan ayah Halimah, Midun menetap di rumah tersebut selama 2 bulan.
Dia merasa tak enak dan kemudian memutuskan berangkat ke Batavia mencari pekerjaan. Saat di
Batavia, Midun mendapat banyak sekali cobaan dan rintangan. Ia meminjam uang pada rentenir
dan memulai usahanya yang akhirnya sukses. Si renternir menjadi iri dan memfitnah Midun.
Akhirnya, ia masuk ke penjara sekali lagi. Setelah bebas, ia berjalan ke pasar baru dan secara
tidak sengaja menolong seorang sinyo Belanda yang diganggu penjahat. Sinyo Belanda tersebut
ternyata anak seorang pejabat terkenal. Sebagai rasa terimakasih, Midun diberi pekerjaan dan
akhirnya ia ke Bogor menikahi Halimah. Seiring perjalanan waktu, karir Midun menanjak dan
dipercaya memimpin sebuah operasi di Medan. Hal tersebut mempertemukannya dengan sang
adik bernama Manjau. Manjau bercerita bahwa keadaan keluarganya sangat menyedihkan.
Akhirnya sekembali ke Batavia, Midun meminta agar ditugaskan di kampung halamannya. Ia
akhirnya kembali ke sana dan bertemu dengan keluarganya juga Kacak. Kacak sangat menyesali
perbuatannya dulu pada Midun. Dan pada akhirnya, mereka hidup bahagia di kampung
halamannya.
Asri dan Asnah semakin lama semakin dewasa dan semakin akrab
sebagai saudara. Mereka terbiasa jujur satu sama lain, bahkan Asnah
mengetahui rahasia kakaknya yang tidak diketahui sang bunda, begitu juga sebaliknya. Namun
ada satu hal yang sangat dirahasiakan Asnah, dia menyayangi Asri lebih dari seorang kakak,
melainkan rasa sayang seorang kekasih. Gadis itu sangat terpukul ketika sang ibu meminta anak
lelakinya untuk segera menikah, dia tahu bukan ia yang akan menjadi pendamping Asri karena
adat melarang pernikahan sesuku seperti mereka. Asri menjatuhkan pilihan pada seorang putri
bangsawan yang cantik, adik kandung mantan kekasihnya. Gadis itu bernama Saniah. Mereka
bertunangan lalu menikah setelah melewati beberapa adat Minangkabau.
Pernikahan Asri dengan Saniah sangat jauh dari kata ‘bahagia’. Keduanya memiliki perbedaan
yang sangat kuat dalam masalah adat. Saniah selalu disetir sang ibu untuk mengikuti adat yang
sangat kaku dan kuno menurut Asri, karena Asri sudah terbiasa dengan pendidikan luar yang
bebas. Ia sangat menghormati adat, namun ia tidak suka terlalu dikekang dan dipaksa-paksa
seperti yang dilakukan Saniah padanya. Selain itu, Saniah adalah wanita yang sombong, keras
kepala, membedakan kelas sosial masyarakat, dan tidak suka bergaul dengan tetangga. Saniah
sangat cemburu dengan keberadaan Asnah dan ia ingin menyingkirkan gadis itu dengan berbagai
cara, tentunya peran sang ibu tidak tertinggal.
Suatu hari penyakit bu Mariati menjadi sangat parah. Asnah beserta Mak Cik Liah bergantian
menjaganya, tak lupa juga Asri lebih sering mengunjungi ibunya yang telah diasingkan Saniah di
bagian rumah mereka yang lain. Penyakit bu Mariati tidak dapat disembuhkan dan nyawanya
telah lepas dari raga. Sebelum meninggal, ibu itu berpesan kepada anaknya, ia menyesal telah
meminta Asri menikah, apalagi dengan Saniah. Wanita itu juga menjelaskan adat Minang yang
tidak melarang Asri dan Asnah menikah karena mereka tidak sedarah. Wanita itu berpesan agar
anak lelakinya itu menikah dengan anak angkatnya, Asnah yang sifatnya sangat mulia dan
dimata semua orang.
Setelah kematian sang bunda, Asri selalu memikirkan petuah terakhir itu. Dan ia baru menyadari
perasaan sayangnya kepada Asnah yang lebih setelah teman lamanya, Hasan Basri datang
kepadanya untuk meminta izin memperistri Asnah. Ia sangat cemburu dan tidak bisa mengambil
keputusan, sehingga segalanya ia serahkan kepada Asnah. Asri sangat lega ketika Asnah
menolak pinangan teman lamanya itu. Tanpa saling bicara, keduanya bisa mengerti bahwa ada
cinta diantara mereka. Saniah menangkap keganjilan pada suaminya sehingga ia memaki-maki
Asnah sebagai wanita yang tidak tahu diri. Kejadian itu diketahui Asri sehingga ia sangat marah
kepada Saniah dan keduanya bertengkar hebat, sementara Asnah memilih pergi dari rumah itu
dan tinggal bersama bu Mariah, adik ibu Mariati. Semenjak kepergian Asnah, Asri tetap sering
bertengkar dengan Saniah hingga ia tidak betah lagi berada di rumah gadang itu.
Suatu ketika bu Saleah, ibu dari Saniah mendapat kabar bahwa anak lelakinya akan menikah
dengan gadis biasa di perantauan. Ibu itu merasa geram, ia tidak mau mempunyai menantu
miskin dan dari suku lain, kemudian ia mengajak Saniah beserta pembantu mereka pergi
ketempat putranya untuk menggagalkan pernikahan itu. Saking geramnya, bu Saleah meminta
sopir mobil yang ia sewa untuk mengebut walaupun jalanan sangat sulit. Alhasil, mobil yang
mereka tumpangi kurang kendali sehingga masuk jurang lalu Saniah dan ibunya meninggal
dunia.
Semenjak Asri menduda, banyak wanita yang datang menghampirinya. Namun, ia tidak pernah
goyah untuk mencintai Asnah, walaupun wanita-wanita yang menghampirinya lebih cantik. Asri
tidak bisa lagi menahan cintanya. Setelah berunding dengan bibinya yang sekarang merawat
Asnah, ia memutuskan menikah dengan Asnah dan meninggalkan segala harta dan jabatannya
untuk merantau ke Jawa, karena jika tidak pergi dari situ, maka keduanya akan dikeluarkan dari
suku secara tidak hormat. Perantauannya menghasilkan sesuatu yang baik. Asri punya
kedudukan yang baik dan keduanya mempunyai banyak teman di sana. Ditengah rutinitas
mereka di Jawa, tepatnya di Jakarta, tiba-tiba datang surat dari Maninjau meminta agar keduanya
kembali ke sana dan Asri diminta untuk menjadi kepala pemerintahan. Tanpa pikir panjang
mereka setuju untuk kembali ke Maninjau walaupun berat juga meninggalkan kawan-kawannya
di Jakarta, mereka sangat rindu dengan kampung kelahirannya itu. Setibanya di Maninjau,
mereka disambut meriah oleh warga yang sangat menghormati Asri atas jasa-jasanya sebelum ia
merantau dulu dan atas kelembutan tabiat Asnah. Berawal dari Asri yang salah pilih istri, ia
menjadi tahu siapa orang yang sebenarnya ia cintai dan dengan berusaha keras ia mampu hidup
bersama sang kekasih dalam mahligai rumah tangga yang penuh cinta di kampung halaman
tercinta.