Anda di halaman 1dari 88

MUHAMMAD RASYID DIMAS

25 KIAT MEMPENGARUHI JIWA DAN AKAL ANAK

AL INSHAT AL INIKASI KHAMSUN WA ISYRUNA THARIQAH FI NAFSI ATH THIFLI WA AQLIHI

Penerbit Dar Ibn Hazm

Beirut Lebanon

Muqaddimah SEGALA puji hanya bagi Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan minta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan amal-amal kami. Barangsiapa diberi petunjuk Allah maka tiada satu pun dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan Allah maka tiada satu pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Wa ba'du: Islam memerintahkan orang tua untuk mendidik anak dan memikulkan tanggung jawab itu di pundak mereka. Firman Allah swt.

"Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Padanya ada malaikatyang kasar dan bengis yang tidak durhaka kepada Allah (dalam menjalankan) apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. " (At-Tahirm 6)
Rasulullah saw. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar:

"Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungjawaban) tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinnaya. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta majikannya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Dan setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya." (Muttafaq 'alaih)
Rasulullah saw. telah meletakkan kaidah-kaidah dasar yang intinya adalah bahwa anak akan tumbuh sesuai dengan agama kedua orang tuanya. Merekalah orang yang secara kuat mempengaruhi anak-anaknya. Beliau bersabda:

"Tidak ada seorang anak yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah. Maka ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (Bukhari)

Abul-'Ala mengatakan: "Pemuda-pemuda kami tumbuh-kembang Sesuai dengan pembiasaan bapaknya Anak muda tidaklah beragama berdasarkan otaknya. Orang-orang terdekatlah yang membentuk cara beragamanya." Hal itu juga diisyaratkan oleh Imam Al-Ghazali. Beliau mengatakan, "Anak kecil siap menerima segala ukiran dan akan cenderung pada setiap yang diucapkan." Karenanya, jika kita mengajari dan membiasakan anak-anak kita dengan kebaikan maka mereka akan tumbuh dalam kebaikan itu. Mereka akan bahagia di dunia dan akhirat dan kita juga akan bahagia bersama mereka, insya Allah. Dan jika kita mengabaikan mereka sebagaimana binatang, mereka akan celaka dan binasa, dan kita turut celaka bersama mereka. Kita menanggung dosa akibat melalaikan tanggungjawab dan kewajiban kita terhadap mereka. Boleh jadi seorang bapak menyesali sikap tak mempedulikan anaknya dan menangisi apa yang telah ia lakukan. Akan tetapi apa arti tangisan itu bila nasi sudah menjadi bubur. Karenanya kita menemukan bahwa Islam memikulkan tanggungjawab pendidikan, dalam dimensinya yang paling jauh dan cakupannya yang paling luas, kepada para bapak, para ibu dan semua pendidik. Islam juga mengingatkan dan memperingatkan mereka bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat tentang amanah itu, adakah mereka menunaikannya; tentang risalah. itu, adakah mereka menyampaikannya; dan tentang tanggung jawab itu adakah mereka memikulnya? Allah swt. berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, niscaya Kami akan menanyai mereka semua, tentang apa yang mereka kerjakan. " (Al-Hijr 92-93)
Firman-Nya pula:

"Seandainya Allah hendak mengambil anak niscaya Dia akan memilih apa yang Dia kehendaki dari apa yang diciptakan-Nya. Maha Suci Allah, Dialah Allah Yang Esa dan Maha Mengalahkan. " (Az-Zumar 4)
Ibnul-Qayyim -semoga Allah merahmatinya-menegaskan tanggungjawab itu dengan mengutip perkataan para ulama seraya mengatakan, "Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada anak tentang orang tuanya. Barangsiapa mengabaikan pendidikan anak dan menelantarkannya maka ia telah melakukan puncak keburukan. Dan kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh para orangtua yang mengabaikan mereka dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan Sunnah." Pembaca budiman, anak bagaikan lembaran putih yang mungkin ditulisi apa saja sesuai dengan yang kita inginkan. Fitrahnya bersih tidak tercoret gambar apapun, seperti yang dikatakan Ibnu Maskawaih dalam TahdzibulAkhlaq. Sedangkan pendidikan dan pengajaran orang dewasa banyak menemui kesulitan sebagaimana dikatakan dalam pepatah rakyat: "kucing dewasa tidak bisa dididik". Itulah yang dilukiskan seorang penyair: "Pendidikan di masa kecil akan bermanfaat Sedangkan di saat tua dia tidak berguna Sesungguhnya ranting jika engkau luruskan akan menjadi lurus, Sedangkan batang jika engkau luruskan tidak akan melunak." Selain itu, masa kanak-kanak adalah fase pertumbuhan yang paling penting dan paling besar pengaruhnya terhadap jiwa. Sebab, seperti kita ketahui, fase itu merupakan masa pembentukan kepribadian. Karena itulah saya memutuskan untuk menulis seni, keterampilan, dan kaidah-kaidah pendidikan anak sesuai dengan konsep pendidikan Islam -seperti yang diarahkan oleh Rasulullah saw.- yang telah dijalankan oleh para pendahulu kita yang saleh dalam mendidik anak mereka. Saya juga merujuk kepada ilmu jiwa dan ilmu pendidikan moderen. Ini semua dimaksudkan agar kita dapat mempersiapkan anak kita sebagai orang-orang masa depan dan orang-orang abad mendatang yang penuh dengan tantangan; agar ia kelak menjadi orang yang tangguh dalam memikul segala beban dan mengemban tanggung jawab dan kemudian ia menjadi panutan karena kesucian jiwanya, kebersihan hatinya, ketinggian akhlaknya, keindahan perilakunya, keserasian penampilannya, dan kelemah-lembutan pergaulannya.

Muhammad Rasyid Dimas

1. Bersahabatlah dengan Anak dan Jadilah Teladan SIKAP bersahabat dengan anak mempunyai peranan besar dalam mempengaruhi jiwanya. Perilaku seseorang akan menjadi cermin bagi sahabatnya. Rasulullah saw. biasa menemani anak-anak dalam banyak kesempatan. Suatu saat beliau menemani Ibnu 'Abbas dan berjalan berdua. Di lain kesempatan beliau menemani anak-anak saudara sepupunya, Ja'far. Kadang-kadang ia menemani Anas. Begitulah Rasulullah saw. bersahabat dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk lebih-lebih angkuh. Adalah merupakan hak anak untuk dapat menyertai orang-orang dewasa agar mereka bisa belajar dari orang dewasa itu hingga jiwanya terdidik dan kebiasaannya menjadi baik. Dalam sebuah hadits, Anas Bin Malik menjelaskan bahwa Jibril pernah datang kepada Rasulullah saw. sedangkan beliau tengah bermain bersama anak-anak. Lalu Jibril membawa beliau, membaringkan, dan membelah dadanya. Seorang sahabat Rasulullah saw. yang masih anak-anak menceritakan bagaimana kaumnya meminta dirinya untuk menemani Rasulullah saw. Hal yang menyebabkan ia kelak meriwayatkan hadits-hadits Nabi saw. Ia menginformasikan apa yang dilihat dan didengarnya dari Rasulullah saw. Itulah Abu Juhaifah -semoga Allah meridhainya-. Dia mengatakan, "Saya datang bersama rombongan dari Bani 'Amir Bin Sha'sha'ah di Abthah. Rasulullah saw. mengatakan, "Selamat datang, kalian adalah bagian dariku." Saat tiba waktu shalat, keluarlah Bilal lalu adzan dan memasukkan kedua telunjuknya pada kedua telinganya. Ia menengok (ke kanan dan ke kiri) saat adzan. Maka ketika (hendak) melakukan shalat Rasulullah saw menancapkan tongkat lalu shalat menghadapinya." Rasulullah saw pernah melihat sekelompok anak-anak tengah bermain. Beliau tidak memisahkan mereka dan tidak pula menghentikan permainan mereka. Bahkan beliau mendukung semangat kebersamaan itu dan mengawasi permainan mereka. Demikian pula para sahabat beliau -semoga Allah meridhai mereka. 'Umar biasa menemani puteranya dan menemani Ibnu 'Abbas. Zubair biasa menyertai anaknya ke medan perang untuk belajar seni berperang hingga tumbuh menjadi kuat dan tangguh. Adalah Rasulullah saw, di masa

kecilnya, biasa bergaul dengan anak-anak dan bermain bersama mereka. Pagi dan petang selalu dengan mereka. Demikianlah beliau tumbuh. Jadi, orang tua harus menyediakan waktu untuk menemani anak-anaknya. Anak-anak juga perlu dicarikan teman sebaya. Jika orang tua pandai memilihkan teman yang saleh untuk anak-anaknya dan mengawasi perilaku mereka serta membimbingnya, maka hal itu akan mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Faktor keteladanan juga mempunyai pengaruh besar terhadap jiwa anak. Sebab biasanya anak akan meniru kedua orang tuanya. Bahkan kedua orang tuanya akan mencetak perilaku paling kuat. "Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nasrani," demikian kata Rasulullah saw. Keteladanan adalah sarana paling efektif untuk menuju keberhasilan pendidikan. Karena itu, Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. untuk menjadi teladan bagi manusia. "Sungguh telah ada, untuk kalian, pada diri Rasulullah teladan yang baik." Dan Allah menampilkan kepribadian Rasulullah saw. sebagai gambaran utuh sistem Islam, sebuah gambaran yang hidup dan abadi sepanjang sejarah. Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. la menjawab, "Akhlaknya adalah al-Quran." Rasulullah saw. adalah teladan agung untuk manusia sepanjang sejarahnya. Beliau adalah pendidik dan penuntun dengan segala perilakunya sebelum dengan kata-kata yang terucap. Itulah Rasulullah saw, yang menganjurkan para orangtua agar menjadi teladan yang baik tentang kejujuran dalam bergaul dengan anak-anak. Sebab kejujuran adalah jalan keberhasilan. Imam Ahmad Bin Hanbal meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya-bahwa Nabi saw. bersabda:

"Barang siapa mengatakan kepada anaknya, 'Kemarilah aku beri sesuatu', tapi tidak memberinya maka itu merupakan kebohongan."
Abu Daud mengeluarkan hadits dari Abdullah Bin 'Amir, ia berkata, "Suatu hari ibuku memanggilku, sedangkan Rasulullah saw. tengah duduk di rumah kami. Ibuku mengatakan, 'Kemarilah aku akan memberi kamu sesuatu.' Rasulullah saw. bertanya kepadanya, 'Apa yang mau kauberikan kepadanya?' Ibuku menjawab, "Aku akan beri dia kurma.' Rasulullah saw.

berkata kepadanya, 'Demi Allah jika engkau tidak memberi sesuatu padanya maka akan dicatat bahwa engkau berdusta'." Bukankah tuntunan Nabi saw. itu menunjukkan upaya keras beliau agar pendidik mempraktikkan kejujuran di hadapan orang yang dididiknya untuk memberi keteladanan kepadanya. Abdullah Bin 'Amer -semoga Allah meridhai mereka- mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Berangkatlah tiga orang -dari umat terdahulu- hingga tiba malam yang memaksa mereka berlindung di sebuah goa. Lalu mereka memasukinya. Tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari gunung menutup pintu goa tersebut. Mereka berkata, 'Tidak ada yang dapat menyelamatkan kalian dari batu ini kecuali doa kalian dengan (perantaraan) amal saleh kalian. Salah seorang di antara mereka mengatakan, 'Ya Allah, aku mempunyai ibu bapak yang sudah tua renta. Dan aku tidak pernah berani mendahului mereka minum di sore hari, tidak pula keluargaku. Pada suatu hari aku harus pergi jauh untuk mencari kayu bakar hingga aku pulang menemui mereka dalam keadaan sudah tertidur. Aku tidak ingin membangunkan mereka sementara aku tidak mau mendahulukan keluargaku (untuk minum). Maka aku menunggu mereka bangun, sedangkan cangkir tetap di tanganku, hingga terbit fajar. Sedangkan anak-anakku, saat aku datang, menggeliat-geliat karena lapar. Lalu kedua orangtua saya bangun dan meminum minumannya itu. Ya Allah, jika aku lakukan itu karena mencari ridha-Mu maka berilah aku jalan keluar dari himpitan batu ini. Maka bergesarlah batu itu sedikit, namun mereka belum dapat keluar darinya..." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) Hal itu menunjukkan betapa Rasulullah saw. ingin agar para pendidik berbuat baik kepada orang tuanya agar menjadi teladan bagi orang yang sedang dididik. Apa makna anak-anak yang dibiarkan menggeliat-geliat kelaparan padahal cangkir minuman itu ada di tangannya? Bukankah itu menunjukkan bahwa ayah adalah teladan bagi anak-anaknya dalam hal berbuat baik kepada kedua orang tuanya? Sahl Bin Sa'ad As-Sa'idi meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. diberi minuman lalu beliau meminumnya sedangkan di sebelah kanan beliau ada seorang anak laki-laki dan di sebelah kiri beliau ada orang-orang yang sudah tua. Rasulullah saw bertanya kepada anak itu, "Apakah kamu mengizinkan aku untuk memberi mereka (yang tua-tua) terlebih dahulu?" Si anak itu menjawab, "Tidak, demi Allah, aku tidak akan memberikan hakku darimu kepada siapa pun." Bukankah tuntunan Nabi saw itu

menunjukkan bahwa beliau memberikan teladan dalam bersikap lemahlembut kepada anak-anak kecil dan berpegang teguh dengan manhaj Islam dalam tata cara minum, hingga generasi Islam mengikuti jejak langkahnya? Demikianlah Rasulullah saw. mengajari orang yang mengemban amanah pendidikan agar menjadi teladan dalam segala hal. Supaya anak-anak terpengaruh dengan perilaku mereka yang terpuji, dengan nasehat yang membekas, dengan peringatan yang membimbing, dan dengan pendidikan yang bijaksana dan integral. Anak-anak akan meniru perilaku orang dewasa yang mereka amati. Jika mereka mendapatkan kedua orang tuanya jujur, maka mereka akan tumbuh menjadi orang jujur. Demikian pula dalam hal lainnya. Anak-anak melihat orang dewasa di sekitarnya sebagai sosok ideal. Jadi, ayah dan ibu di rumah atau guru di sekolah, dengan segala perilakunya akan menjadi contoh yang akan ia tiru. Di sinilah arti penting larangan menampakkan sikap kontradikitif di depan anak-anak. Tidak boleh sama sekali, misalnya, mengatakan kepada anak-anak bahwa dusta itu salah dan haram sementara kita berdusta di hadapannya. Atau bahwa kita tidak boleh kotor tapi kemudian mereka melihat kita makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Inilah si kecil Ibnu 'Abbas -semoga Allah meridhainya- ketika ia melihat orang yang melakukan shalat malam ia segera melakukannya dan bergabung dengan Rasulullah saw. Ia menceritakan, "Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah, pada suatu malam. Maka nabi saw. berdiri (untuk shalat malam). Beliau berwuduhu dari ember yang tergantung dengan (cara) wudhu yang ringan. Kemudian berdiri shalat, dan aku pun bangun untuk wudhu seperti wudhu beliau kemudian aku kembali (dari berwudhu) dan berdiri di samping kiri Rasulullah saw. Maka beliau memindahkanku ke sebelah kanannya kemudian ia shalat..." (Riwayat Bukhari) Jadi ia berwudhu mengikuti Rasulullah saw. kemudian berdiri untuk shalat. Demikianlah peran keteladan pada jiwa anak. Karenanya orangtua dituntut untuk menjadi teladan yang baik karena memang anak akan mengamati perilaku mereka dan perkataan mereka. Anak biasanya bertanya-tanya tentang alasan orang tua melakukan sesuatu. Jika yang dilakukan itu baik maka anak pun akan baik. Dan inilah si kecil Abdullah Bin Abi Bakrah yang senantiasa mengamati doa-doa yang dilantunkan ayahnya, lalu ia bertanya tentang doa-doa itu dan ayahnya menjawabnya. Abdullah Bin Abi Bakrah mengatakan,

"Saya bertanya kepada ayah saya, 'Ayah, aku dengar engkau setiap pagi mengucapkan: 'Ya Allah, sehatkanlah pendengaranku. Ya Allah, sehatkanlah pandanganku. Dan tidak ada tuhan selain Engkau'. Engkau mengulang-ulangnya tiga kali jika datang waktu pagi dan tiga kali jika datang waktu sore.' Ia menjawab, 'Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw berdoa dengan doa itu. Jadi aku ingin mengikuti sunnahnya'." (Riwayat AbuDaud) Kedua orangtua dituntut melaksanakan perintah-perintah Allah swt. dan Sunnah Rasul-Nya dalam bentuk amal nyata dan perilaku serta senantiasa meningkatkan hal itu secara optimal. Sebab anak-anak senantiasa mengamati mereka pagi dan petang dan dalam setiap kesempatan. Kemampuan untuk meniru pada anak-anak, baik karena paham ataupun tidak paham, amat besar melebihi dugaan kita. Sedangkan kita memandangnya sebagai makhluk kecil yang tidak mengerti apa-apa. Karenanya, keteladanan dalam pendidikan adalah merupakan salah satu sarana paling efektif dan berpengaruh dalam mempersiapkan anak dari sisi akhlak dan membentuknya secara psikologis dan sosial. Karena pendidik adalah prototipe dalam pandangan anak, seperti yang telah kita sebutkan sebelum ini. Dan teladan yang baik dalam pandangan anak pasti akan diikutinya dengan perilaku dan akhlak, baik disadari ataupun tidak. Bahkan akan terpateri dalam jiwa dan perasaannya bayangan ucapan, perbuatan, perasaan, dan mental orangtua, disadari atau tidak. adi keteladanan merupakan faktor penting dalam membentuk kesalehan atau kenakalan anak. Jika pendidik jujur, amanah, berakhlak baik, pemurah, pemberani, dan menjaga kesucian diri, maka si anak akan tumbuh menjadi orang yang jujur, amanah, berakhlak mulia, pemurah, pemberani, dan menjaga kesucian diri. Dan jika pendidik berdusta, khianat, kikir, pengecut, maka si anak pun akan tumbuh dengan dusta, khianat, penakut, dan kikir. Karenanya orang-orang terdahulu begitu serius dalam memilih pendidik terbaik untuk anak mereka. 'Umar Bin Utbah menulis surat kepada pendidik anaknya. Isinya, "Hendaklah yang pertama kau lakukan dalam mensalehkan anakmu adalah mensalehkan dirimu sendiri. Sebab pandangan mereka sangat ditentukan oleh pandanganmu. Yang disebut baik oleh mereka adalah apa yang kaulakukan dan yang disebut buruk oleh mereka adalah apa yang kau tinggalkan."

Pembaca budiman, saya ingin menceritakan sebuah peristiwa yang disampaikan oleh Ustadz Mahmud Mahir Zaidan dalam bukunya, AlsTsawab Wal-'Iqob Fit-Tarbiyah (Imbalan dan hukuman dalam Pendidikan), halaman 17. Silakan Anda menyimpulkan sendiri seberapa besar peranan keteladanan. la menulis: "Suatu kali saya pernah diundang untuk menghadiri sebuah pesta sederhana, di ruang kelas V SD. Dalam acara itu, anak-anak meminta salah seorang teman mereka untuk menirukan perilaku guru-guru sekolah. Lalu si anak bangkit sambil mengatakan bahwa ia akan menirukan guru pelajaran Bahasa Inggris. Ia lalu keluar dari kelas dan menutup pintunya. Sejenak ia menghilang. Dan tiba-tiba ia masuk, bagaikan angin topan, dengan menendang pintu sekeras-kerasnya. Dengan mata tajam yang menyorot ke "murid-muridnya" dan dengan wajah garang ia mengatakan, 'Good morning dogs! Sebelum para hadirin mengakhiri keterhenyakannya oleh demonstrasi itu, anak itu mengatakan bahwa ia akan menirukan guru matematika. Ia kemudian melontarkan pertanyaan kepada salah seorang temannya yang kemudian menjawab dengan ragu-ragu. Kemudian pertanyaan yang sama ditujukan kepada temannya yang lain dan menjawabnya dengan benar. Maka "si guru" itu menyuruh murid yang jawabannya benar untuk menampar temannya yang jawabannya tidak tepat itu. Keterhenyakan pun semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba saja salah seorang guru mengajak kami menyantap makanan dan minuman yang tersedia di hadapan kami. Dan saya pun mengerti bahwa ia ingin mencegah kami agar tidak menikmati lebih jauh tentang apa yang terjadi di hadapanku." Ustadz Mahmud melanjutkan, "Saya keluar mengayunkan langkah dengan hati pedih. Dalam benak saya berkecamuk puluhan tanda tanya dan kegalauan. Begitukah hubungan antara guru dengan murid? Perilaku dan nilai macam apa yang harus kita tanamkan dalam jiwa-jiwa yang tengah meniti awal perjalanan dalam kehidupan itu?" Jadi, sekali saja contoh yang buruk, sudah cukup. Sekali saja murid mendengar gurunya mengucapkan kata-kata kotor dan menghina, itu sudah cukup. Sekali saja anak mendengar ibunya berdusta kepada ayahnya atau sebaliknya, atau salah satunya berdusta kepada

tetangganya, sekali saja, cukup untuk menumbangkan nilai kejujuran dalam jiwanya.

Sekali saja mendengar ayahnya memerintah dirinya untuk menjawab telepon dengan mengatakan bahwa ia tidak ada padahal ada; atau ibunya meminta saudara perempuannya untuk mengatakan hal serupa, maka ia tidak mungkin lagi belajar tentang kejujuran. Sekali saja ia melihat ibunya mengelabui ayah atau saudaranya atau mengelabui dirinya, maka tidak mungkin ia belajar amanah. Sekali saja ia melihat ibunya berperilaku rendah maka ia tidak akan dapat belajar akhlak mulia. Sekali saja ayahnya bersikap kasar kepadanya, ia tidak akan bisa belajar kasih sayang dan kerja sama. Anak, betapapun berpotensi besar untuk menerima kebaikan dan betapapun fitrahnya lurus dan suci, namun dia tidak akan merespon prinsip-prisnsip kebaikan dan dasar-dasar pendidikan yang baik selama ia tidak melihat pendidiknya berakhlak mulia dan menjadi sosok ideal. Adalah mudah bagi pendidik mengarang buku atau mendiktekan metoda pendidikan. Akan tetapi amatlah sulit bagi sang anak untuk menerima manhaj (sistem) pendidikan mana pun jika ia melihat orang yang menjadi pembimbingnya tidak mempraktikkan apa yang diajarakan oleh metodologi itu. Untuk itu, saya ingin mengingatkan kita semua agar tidak terjadi kontradiksi antara ucapan dengan perbuatan kita. Jika kita cermati alQuran, kita akan temukan bahwa al-Quran menolak keras perilaku orangorang yang perbuatannya berlainan dengan ucapannya termasuk di dalamnya adalah para bapak, para ibu, semua pendidik, dan semua orang yang mengemban amanah pendidikan. Firman Allah swt.:

"Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. Sungguh amat besar dosa di sisi Allah jika kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan. " (Ash-Shaf 2-3)
Firman-Nya pula:

"Adakah kamu memerintah manusia untuk melakukan kebaikan dan kalian lupakan diri kalian sendiri padahal kalian membaca kitab. Tidakkah kalian berfikir?" (Al-Baqarah 44)

Adakah Anda menemukan dalam al-Qur'an larangan yang lebih hebat dari larangan terhadap orang-orang yang memberikan teladan yang buruk? Sungguh agung sikap 'Umar Bin Khattab -semoga Allah meridhainya- saat mengumpulkan keluarganya seraya mengatakan kepada mereka, "Amma Ba'du. Sesungguhnya aku akan menyeru orang untuk melakukan itu dan ini. Aku akan mencegah mereka dari perbuatan itu dan ini. Dan aku bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Agung, aku tidak ingin mendapatkan seorang pun dari kalian yang melakukan apa yang aku cegah itu atau tidak mengerjakan apa yang aku perintahkan kepada orang-orang itu. Jika tidak, aku akan hukum kalian dengan hukuman yang berat." Lalu keluarlah 'Umar untuk menyeru manusia kepada kebaikan. Maka tidak seorang pun dari mereka ragu-ragu untuk mendengar dan menaatinya. Sebab ia telah memberi mereka contoh dengan perbuatan sebelum dengan kata-kata. Seorang penyair melukiskan kepedihan hatinya melihat guru dan pendidik yang perbuatannya menyalahi kata-katanya: "Wahai engkau yang mengajari orang lain Tidakkah pelajaran itu juga berlaku untukmu Engkau memberikan obat kepada orang sakit Agar ia sembuh padahal dirimu juga sakit Kami lihat engkau meluruskan akal kami dengan petunjuk Padahal engkau sendiri mandul petunjuk Mulailah dengan dirimu dan cegahlah dari senyimpangan Jika itu kau lakukan maka engkau orang yang bijak Cala itulah nasihatmu akan diterima Ilmumu akan diikuti dan pengajaranmu berguna."

2. Tunaikan Hak-hak Anak DIANTARA hak paling penting yang wajib kita tunaikan kepada anak adalah memahaminya, berempati kepadanya, dan menasihatinya jika ia melakukan kesalahan. Temuan berikut ini akan mempertegas hal itu: Seorang ahli pendidikan menunjuk tiga orang ibu dari para peserta Pelatihan Seni Kebapakan. Ia mengatakan kepada mereka, "Saya akan memanggil ibu yang pertama dengan Hanan, yang kedua Su'ad, dan yang ketiga dengan nama Laila. Dan saya akan bertanya kepada Anda semua dengan beberapa pertanyaan. Saya ingin Anda semua menjawabnya." la mulai dengan pertanyaan berikut: "Jika masing-masing Anda, pada suatu pagi, sedang menyiapkan sarapan untuk suami Anda. Tiba-tiba telepon berdering, anak Anda menangis, dan roti bakar yang sedang Anda siapkan untuk suami hangus. Lalu suami Anda berkomentar dengan mengatakan, 'Kapan kamu akan belajar memanggang roti tanpa menghanguskannya?' Bagaimana kira-kira reaksi Anda?" Hanan kemukanya!" Su'ad : "Langsung saya lemparkan roti itu

: "Saya akan katakan padanya, 'Bangun dan bakar sendiri rotinya!" : "Komentarnya itu melukai perasaan saya dan saya rasa saya akan menangis." : "Lalu bagaimana perasaan Anda terhadap suami Anda?" : "Marah, benci, dan merasa dizalimi." : "Mudahkah bagi Anda untuk menyiapkan roti bakar lain untuknya?" : "Tentu saja tidak."

Laila

Ahli pendidikan

Ketiganya Ahli pendidikan

Serempak semuanya

Ahli Pendidikan : "Jika suami Anda pergi bekerja, akan mudahkan bagi Anda untuk membereskan rumah dan belanja kebutuhan sehari-hari dengan lapang dada?" Hanan : 'Tidak. Saya akan merasa sumpek sekali sepanjang hari." :"Tentu saja tidak. Saya tidak akan membeli apa pun untuk keperluan rumah hari itu." : "Saya akan merasa sesak dalam menjalankan kewajiban-kewajiban saya." : "Katakanlah bahwa roti itu memang hangus. Akan tetapi suami Anda mengatakan kepada Anda, 'Tampaknya pagimu ini melelahkan. Telepon berdering, anak menangis, dan sekarang roti hangus'. Kira-kira apa reaksi Anda dengan komentar seperti itu?" : "Saya tidak percaya bahwa yang berbicara itu adalah suami saya." : "Saya akan merasa bahagia dan senang." : "Saya akan merasa bahagia dan saya fikir saya akan memeluknya.

Su'ad

Laila

Ahli pendidikan

Hanan

Su'ad Laila

Ahli pendidikan : "Mengapa Anda gembira? Bukankah anak tetap menangis, telepon berdering dan roti hangus sudah ?"

Semua perempuan itu : "Saya tidak akan peduli dengan semua itu." Ahli pendidikan Hanan : "Lalu apa yang berbeda kali ini?" : "Saya merasa suami saya baik sekali karena ia tidak mengkritik saya melainkan memahami perasaan saya. Dia berpihak kepadaku dan

bukan melawanku." menyetujuinya. Ahli pendidikan

Dan

para

ibu

itu

: "Jika suami Anda pergi, akan mudahkah bagi Anda untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga?"

Su'ad, mewakili para ibu itu: "Saya akan melaksanakan tugas-tugas saya dengan senang hati." Ahli pendidikan : "Sekarang mari kita bicara tentang suami tipe ketiga. Setelah roti itu hangus ia memandang isterinya sambil mengatakan, nih, saya ajari kamu cara membakar roti'!"

Para ibu itu serempak: "Tidak. Suami macam itu lebih buruk lagi dari yang pertama. Sebab ia menganggap saya dungu." Saat itu si ahli pendidikan mengatakan, "Bagaimana kalau apa yang suami Anda lakukan kepada Anda itu Anda lakukan kepada anak Anda?" Hanan : "Sekarang saya mengerti tujuan Anda dengan dialog ini. Saya memang selalu mengkritik anak saya, tanpa saya sadari, dengan mengatakan, 'Kamu sudah besar dan usiamu sudah harus membuat kamu tahu bahwa apa yang kamu lakukan itu salah.' Saya sekarang tahu mengapa ia marah dengan kata-kataku." :"Saya juga selalu mengatakan kepada anak saya, 'Biar saya tunjukkan kepada-mu bagaimana cara melakukan itu dan ini.' Dan ia sering kali marah saat saya katakan hal itu. : "Saya selalu mengkritik puteri saya hingga hal itu menjadi hal yang biasa bagi saya. Dan saya sering mengulang-ulang kalimat yang dulu diucapkan ibu saya kepada saya, jika memarahi saya, saat saya kecil. Dan saya juga dulu sangat tidak suka saat mendengar ibu mengatakannya."

Su'ad

Laila

Ahli pendidikan

: "Dan sekarang Anda mengatakan kalimat yang sama kepada puteri Anda?" : "Betul, itu yang saya lakukan. Dan saya membenci diriku ketika saya mengucapkannya." : "Apakah sekarang Anda bisa melihat cara yang lebih baik dalam berinteraksi dengan puteri Anda?"

Laila

Ahli pendidikan

Segera Laila menjawab, "Tentu, saya berharap saya dapat belajar tentang cara baru yang lebih baik." Ahli pendidikan : "Kalau begitu mari kita cari tahu apa yang mungkin kita pelajari dari kasus roti hangus ini. Apa yang membantu merubah perasaan Anda dari benci menjadi senang terhadap suami Anda?" :"Saya yakin sebabnya adalah karena suami tidak menkritik saya bahkan dia memahami perasaan saya."

Hanan

Su'ad menambahkan, "Tanpa mencela saya." Laila menimpali, "Tanpa mendikte saya." Setelah sampai pada yang dituju, ahli pendidikan itu mengatakan, "Sekarang Anda semua mengerti bahwa apa yang Anda inginkan dari suami Anda itulah pula yang diinginkan oleh anak-anak kita dari kita: pengertian dan empati. Baik orang dewasa maupun anak-anak sama-sama membutuhkan pengertian dan empati bukan kritikan dan membutuhkan nasihat saat mereka melakukan kesalahan sehingga mereka dapat belajar dari pengalaman untuk mengembangkan kepribadian mereka. Oleh karena itu kita harus memenuhi hak itu kepada anak jika kita ingin anak kita berkembang secara seimbang. Memahami dan berempati kepada anak akan menanamkan sikap positif dalam menghadapi kehidupan. Dia akan belajar bahwa dalam kehidupan

ada memberi dan menerima. Dia akan berlatih untuk tunduk kepada kebenaran sebab ia melihat teladan yang baik di hadapannya. Ia akan membiasakan diri bersikap adil dalam menerima kebenaran. Sehingga akan tumbuhlah kemampuan untuk memilih cara mengungkapkan apa yang ada dalam jiwanya dan cara menuntut hak-haknya. Dan sikap sebaliknya akan memasung, membunuh dan mengubur kemampuan itu. Inilah Rasulullah saw. Beliau meminta izin kepada anak kecil yang ada di sebelah kanannya untuk mengalah dari hak minum guna memberikannya terlebih dahulu kepada orang dewasa yang ada di sebelah kirinya. Tapi ternyata si anak itu tidak ingin orang lain mendahulinya meminum air sisa Rasulullah saw. itu. Rasulullah saw. pun kemudian memberikan minuman itu kepada si anak. Dan si anak merasa nyaman dalam menikmati haknya. Sahl Bin Sa'ad As-Sa'idi meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. diberi minuman lalu beliau meminumnya sedangkan di sebelah kanan beliau ada seorang anak laki-laki dan di sebelah kiri beliau ada orang-orang yang sudah tua. Rasulullah saw bertanya kepada anak itu, "Apakah engkau mengizinkan aku untuk memberi mereka terlebih dahulu?" Si anak itu menjawab, "Tidak, demi Allah, aku tidak akan memberikan hakku darimu kepada siapa pun." Maka Rasulullah saw. meletakkannya di tangan anak itu. (Bukhari dan Muslim)

Ketika seorang anak memprotes Rasulullah saw. -sesaat sebelum perang Uhud- karena merasa bahwa haknya dihalang-halangi, seraya mengatakan kepada beliau, "Wahai Rasulullah saw, engkau mengizinkan anak pamanku ikut perang. Padahal jika saya bergulat dengannya pasti saya mengalahkannya." Maka Rasulullah saw. mengizinkan mereka bergulat. Dan benar saja ia dapat mengalahkan anak pamannya itu. Maka tidak ada pilihan lain bagi Rasulullah saw. selain mengizinkan anak itu menjadi prajurit Muslim dalam memerangi orang-orang musyrik. Adakah seseorang di dunia ini yang lebih tinggi kedudukannya, lebih berwibawa, lebih banyak prajurit dan pengikutnya, dan lebih utama dari Rasulullah saw.? Tidak dan seribu kali tidak. Tapi, beliau menerima kebenaran dari anak kecil. Beliau mengajari kita menerima kebenaran dari anak kecil tanpa rasa angkuh dan merasa turun gengsi. Kita mungkin bertanya kepada sebagian para orang tua, "Untuk apa berkelit dan

berbelit-belit dengan anak; dan berusaha lari dari merespon dan memenuhi hak-hak mereka?" Kepada orang seperti itu kita sampaikan hadits Nabi saw. berikut: Dari Ibnu Mas'ud -semoga Allah meridhainya-berkata, "Saya berkata kepada Nabi saw, 'Ajarkanlah kepadaku kalimat-kalimat yang padat namun singkat dan bermanfaat.' Rasulullah saw. menjawab, 'Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu menyekutukan sesuatu apa pun dengan-Nya; berputarlah dengan al-Qur'an kemana saja ia berputar; terimalah kebenaran dari siapa saja yang membawanya, anak kecil ataupun orang tua, meskipun ia itu kamu benci dan jauh (hubungannya dengan kamu) tolaklah kebatilan dari siapapun datangnya, anak kecil ataupun orang tua, meskipun dia kamu cintai dan akrab'." (HR Ibnu 'Asakir dan Ad-Dailami) Di antara hak anak adalah menjadi imam dan pemimpin jika ia mempunyai ilmu dan bagus bacaan (Quran)-Nya. Dari Muhajir Bin Hubaib Az-Zubaidi, ia mengatakan, berkumpullah Abu Salamah Bin 'Abdirrahman dan Sa'id Bin Jubair. Berkatalah Sa'id kepada Abu Salamah, "Sampaikanlah hadits kepada Icami, kami akan mengikutimu." Abu Salamah mengatakan, Rasulullah saw. bersabda, "Jika ada tiga orang dalam perjalanan maka hendaklah yang mengimami ibereka adalah orang yang paling baik bacaan (Quran)-nya walaupun ia paling kecil. Dan jika ia mengimaminya maka dialah pemimpin mereka." Abu Salamah mengatakan, "Itulah pemimpin yang diangkat langsung oleh Rasulullah saw." (HR 'Abdur-Razzaq) Dan sudah mafhum bahwa yang dimaksud dengan paling baik bacaannya adalah paling memahami hukum-hukum shalat dan bacaan al-Qur'an. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Musa minta izin sebanyak tiga kali untuk masuk ke rumah 'Umar. Tampaknya ia mendapatkan 'Umar dalam keadaan sibuk lalu ia pulang. "Tidakkah kamu dengar suara Abdullah Bin Qais (Abu Musa)? Biarkan dia masuk," kata "Umar setelah Abu Musa pulang. Lalu dipanggillah Abu Musa, seraya 'Umar berkata, "Apa yang membuatmu bersikap begitu?" la menjawab, "Sesungguhnya kami diperintah begitu (oleh Rasulullah saw)" 'Umar mengatakan, "Kamu harus mendatangkan bukti dan jika tidak akan aku hukum." Maka keluarlah Abu Musa menemui majlis kaum Anshar dan mereka mengatakan, "Tidak ada yang menjadi saksi untukmu selain orang yang paling kecil (muda) di antara kita." Maka berdirilah Abu Sa'id seraya berkata, "Memang kita diperintahkan demikian (oleh Rasulullah saw)" Umar berkata, "Aku tidak mengetahui perintah Rasulullah saw tersebut. Urusan dagangan di pasar telah membuatku lalai." (HR Muslim)

Dalam riwayat lain, "Tidak ada yang bisa menjadi saksi untukmu sekalian kecuali orang yang paling muda usianya. Bangunlah wahai Abu Sa'id!"

Tidakkah Anda lihat, wahai saudaraku, bahwa Amirul Mu'minin menerima kesaksian yang benar dari seorang anak kecil, Abu Sa'id Al-Khudri -semoga Allah meridhai mereka-Mengapa kita tidak meneladaninya? Para salafussalih telah mempraktikkan dalam menerima kebenaran dari anak kecil bagaimana pun keadaaannya. Demikian pula Abu Hanifah -semoga Allah meridhainya. la menerima nasehat dari anak kecil. Ketika melihat seorang anak bermain di tanah, beliau menasehatinya, "Hati-hati, jangan sampai kamu jatuh ke tanah." Maka berkatalah si anak kecil kepada imam besar itu, "Hati-hatilah engkau jangan sampai terjatuh. Sebab jatuhnya seorang 'alim berarti jatuhnya alam semesta." Maka tersentaklah jiwa Abu Hanifah demi mendengar ungkapan itu. Karenanya ia tidak pernah berani mengeluarkan fatwa kecuali jika sudah dikaji selama satu bulan bersama para muridnya. Demikian pula 'Umar Bin 'Abdul-'Aziz. Saat ia menerima tampuk khilafah, para utusan berdatangan untuk mengucapkan selamat atas jabatan barunya. Majulah seorang anak kecil, mewakili satu rombongan utusan. Maka Khalifar 'Umar Bin 'Abdil 'Aziz berkata, "Tidak adakah di antara rombongan kamu orang yang lebih tua darimu?" Maka anak itu menjawab, "Wahai Amirul Mu'minin, kalaulah yang menjadi ukuran adalah usia, maka ada orang yang lebih tua darimu untuk menduduki jabatan itu. Wahai Amirul Mu'minin tidakkah Anda tahu bahwa manusia itu ditentukan oleh dua hal kecil yang ada padanya: lidah dan hati." 'Umar menjawab, "Nasihatilah aku wahai anak muda." Maka sang anak pun menasehatinya hingga membuatnya menangis. Anda lihat, jiwa-jiwa agung itu, kepala-kepala yang penuh dengan ilmu itu menerima nasehat dan bimbingan dari anak-anak. Mereka mendengar anak-anak itu dengan rendah hati lalu menerima pendapat mereka untuk mengoreksi dan meluruskan pemikiran dan langkah mereka. Semoga Allah menjadikan saya dan Anda berjalan di atas petunjuk dan menerima kebenaran dari anak kecil dan orang tua.5

3. Gembirakan dan Hiburlah Hatinya KEGEMBIRAAN memainkan peran yang sangat menakjubkan dan berpengaruh kuat dalam jiwa anak. Anak-anak -sebagai tunas-tunas sucimenyenangi kegembiraan. Mereka senang melihat senyuman tersungging di wajah orang dewasa. Karenanya memetik senar kegembiraan pada anak akan memunculkan keriangan dan vitalitas dalam jiwanya. Hal itu juga akan menjadikan si anak selalu siap untuk menerima perintah, peringatan, atau bimbingan apa pun. Ya, menaburkan kegembiraan dan keceriaan pada anak akan membuatnya mampu mengaktualisasikan kemampuannya dalam bentuknya yang sempurna. Di hadapan kita ada contoh yang diperankan Rasulullah saw. Intinya menggambarkan bahwa keceriaan jiwa adalah jalan untuk mengungkap dan mengaktualisasikan kemampuan itu. Setelah penaklukan Makkah, Rasulullah saw. menyuruh Bilal naik ke atas Ka'bah untuk mengumandangkan adzan. Maka adzanlah Bilal -untuk pertama kali dalam Islam. Saat ia adzan, sebagian orang musyrik Quraisy memperolok-olok dan meniru suara Bilal dengan nada jengkel. Di antara mereka itu ada Abu Mahdzurah Al-Jumahi alias Salamah Bin Ma'ir. Ia orang yang paling merdu suaranya di antara mereka. Saat ia melantunkan suaranya meniru adzan, Rasulullah saw. mendengarnya dan meminta agar ia dibawa ke hadapan beliau. Ia menyangka bahwa dirinya akan dibunuh. Rasulullah saw. mengusap ubun-ubun dan dadanya dengan tangan beliau yang mulia. Abu Mahdzurah berkata, "Maka hati saya serta merta terpenuhi iman dan keyakinan. Tahulah aku bahwa dia adalah Rasulullah saw." Kemudian Rasulullah saw. mengajarinya adzan dan menyuruhnya adzan untuk penduduk Makkah. Saat itu ia berumur enam belas tahun. Kita bisa melihat dari kisah itu bahwa saat Rasulullah saw. mengusap dada dan ubun-ubun Abu Mahdzurah, beliau membuatnya merasakan kedamaian, ketentraman, dan keceriaan jiwa hingga ia menerima keimanan dengan perasaan puas dan lalu menjadi muadzin untuk penduduk Makkah. Begitulah, dengan cara mengembangkan keceriaan, kecintaan, dan mendengarkan anak maka kita bisa mengungkap kemampuan-kemampuannya.

Lalu cara apa yang digunakan Rasulullah saw. untuk membuat anak-anak gembira dan ceria? Banyak cara yang beliau lakukan, antara lain: menyambut dengan hangat; mencium dan bercanda; mengusap kepala; menggendong dan memeluknya; memberikan makanan yang baik; atau makan bersama dengan mereka.

4. Gunakanlah Cara "Siapa Menang Dia Dapat" KOMPETISI akan membangkitkan potensi-potensi terpendam pada manusia secara umum dan lebih-lebih pada anak-anak. Ada potensipotensi diri yang tidak diketahui oleh pemiliknya kecuali jika ia menanamkan semangat kompetisi untuk mengungguli orang lain. Kita mempunyai teladan pada diri Rasulullah saw. saat beliau membangkitkan semangat kompetisi pada jiwa anak. Di antara contohnya adalah kompetisi olah raga di kalangan anak-anak, di mana Rasulullah saw. pernah berlomba lari dengan anak-anak untuk menumbuhkan otot-otot mereka dan membuat tubuh mereka kuat. 'Abdullah Bin Harits mengatakan bahwa Rasulullah saw. membariskan 'Abdullah, 'Ubaidillah dan banyak anak-anak keturunan Al-'Abbas lainnya -semoga Allah meridhai mereka- seraya mengatakan, "Barang siapa lebih dulu sampai kepadaku maka ia mendapat itu dan ini." Maka mereka berlomba untuk mencapai punggung atau dada beliau lalu beliau mencium dan memeluk mereka. (HR Imam Ahmad) Metoda "siapa menang dia dapat" merupakan cara penting untuk menanamkan semangat persaingan sehat antara anak-anak. Sangat baik jika anak yang menang diberi hadiah, sehingga ia merasa senang dan dihargai. Setiap anak berlomba untuk menunjukkan kebolehannya dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencapai kemenangan. Lalu dia pulang ke rumah untuk mempesiapkan diri, belajar, dan berlatih, dan mengasah pengetahuan. Dia akan memperlihatkan kepada kedua orangtuanya hasil yang telah diraihnya. Begitulah bakat-bakat terpendam itu akan muncul. Kompetisi juga akan memunculkan semangat kebersamaan antar anakanak, menjauhkan mereka dari sikap individualistik, dan melatih mereka untuk memahami kehidupan: ada menang ada kalah ada kalanya bisa menjawab ada kalanya mengalami kebuntuan; kadang-kadang benar dan kadang-kadang keliru. Jadi, persaingan dan perlombaan adalah salah satu cara yang bisa digunakan para orang tua dan pendidik, pada waktu-waktu yang tepat, untuk memotivasi anak-anak dan menumbuhkan bakat mereka. Yang menang mendapatkan hadiah, seperti yang dilakukan Rasulullah saw., "Barang siapa lebih dulu sampai kepadaku maka ia mendapat itu dan ini."

Contoh lainnya adalah lomba kecerdasan. Rasulullah saw. melontarkan beberapa pertanyaan kepada para sahabatnya dan di antara yang hadir adalah Ibnu 'Umar, orang yang paling muda usianya. Bukhari meriwayatkan dari Ibnu 'Umar -semoga Allah meridhai keduanya, ia mengatakan, Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya di antara pohon-pohon gurun ada pohon yang daunnya tidak pernah jatuh. Dan itu bagaikan seorang muslim. Pohon apakah itu?" Maka mulailah orang-orang berfikir tentang pohon-pohon gurun. Ibnu 'Umar mengatakan, "Terbersit dalam fikiranku bahwa yang dimaksudkan adalah pohon kurma. Lalu Rasulullah saw. mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah pohon kurma." Dalam riwayat lain, Ibnu 'Umar menjelaskan alasannya tidak menjawab pertanyaan itu, "Ternyata saya orang yang paling kecil di antara orang-orang yang hadir, maka diam saja." Di sini kita melihat bahwa dengan mempergunakan cara melontarkan pertanyaan, Rasulullah saw merangsang perhatian Ibn 'Umar dan memaksanya berfikir dan berlomba dengan orang-orang dewasa untuk mendapatkan jawaban. Hanya saja Ibnu 'Umar merasa malu karena masih kecil. Jadi pertanyaan-pertanyaan dapat merangsang anak untuk berfikir, membuka katup-katup pemahamannya, dan menyegarkan kembali ingatan yang beku. Karenanya cara ini dapat dipergunakan saat mengarahkan dan mendidik anak. Metoda itu merupakan salah satu cara paling baik, karena mempunyai beberapa kelebihan, antara lain: 1. Merangsang anak berfikir dan memfokuskan perhatiannya pada pertanyaan yang dilontarkan. Sehingga panca inderanya tidak sibuk dengan urusan lain. Saat itu orang tua berhasil dalam mengarahkan perhatian terhadap diri mereka. 2. Menanamkan kesan bahwa informasi yang berkaitan dengan pertanyaan itu memang penting. Anda dapat membedakan antara dua cara menyampaikan informasi berikut. Cara pertama: "Ghibah adalah menceritakan saudaramu tentang hal yang tidak disukainya (menceritakan keburukannya)." Cara kedua: "Tahukah kalian apa yang disebut ghibah?" Para sahabat menjawab, "Allah dan rasuI-Nya yang lebih tahu." Rasulullah saw. menjelaskan, "Ghibah adalah menceritakan saudaramu tentang hal yang tidak disukainya (menceritakan keburukannya)." Anda dapat melihat

perbedaan antara kedua cara itu? Yang manakah yang lebih baik? Cara pertama tidak menarik perhatian. Cara yang kedualah yang menarik perhatian. 3. Merealisasikan tiga tujuan pendidikan: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Contoh untuk mencapai sasaran kognitif, pertanyaan Rasulullah saw, "Tahukah kalian apa itu muflis (pailit)?" Pendengar tentu ingin mengetahui apa sesung-guhnya yang disebut pailit itu. Contoh untuk mencapai sasaran afektif dan psikomotorik, sabda Rasulullah saw. "Maukah hatimu menjadi lembut dan kebutuhanmu terpenuhi?" Pertanyaan ini menggugah pemikiran dan hati pendengar. la jadi ingin tahu, perbuatan apa yang dapat dia lakukan untuk melunakkan hati dan memenuhi kebutuhannya. Itu pasti membuat jiwa pendengar begitu antusias untuk mengetahuinya dan terpengaruh dengannya (afektif) dan berusaha untuk melakukannya (psiko-motorik) 4. Menciptakan tantangan dalam pemikiran anak yang membuatnya berusaha keras untuk mengetahuinya secara cepat. Dan ini merupakan bentuk pengajaran langsung dan cepat untuk menyampaikan informasi yang akan bertahan lama dalam otak. Jadi, metoda melontarkan pertanyaan kepada anak merupakan salah satu cara paling baik untuk menarik perhatiannya dalam mendidiknya, terutama bila Anda ingin memunculkan kemampuannya yang terpendam dan membangun semangat bersaing dan kesiapan menghadapi tantangan.

5. Bercengkrama dengan Anak dan Berikanlah Mainan BERCANDA dan bercengkerama dengan anak akan menumbuhkan jiwanya dan mengungkap apa-apa yang tersembunyi didalamnya. Kita mendapatkan keteladanan pada diri Rasulullah saw. Beliau bercanda dengan Hasan dan Husen. Mereka menaiki punggung beliau dan beliau berjalan membawanya. Demikian juga beliau bermain dengan anak-anak Al-'Abbas, mendoakan 'Abdullah Bin Ja'far, saat beliau melewatinya, sementara ia tengah bermain dagang-dagangan. Beliau mengatakan, "Semoga Allah memberkahi perdagangannya. " Begitulah Rasulullah saw. telah menjadi teladan dalam hal bercengkrama dengan anak-anak. Beliau menyayangi dan bersikap baik dalam memperlakukan mereka. Itu seperti yang kita lihat dalam interaksinya dengan cucu-cucunya dan anak-anak para sahabat -semoga Allah meridhai mereka. Bahkan saking besarnya perhatian terhadap masalah senda gurau antara orangtua dengan anak-anaknya, beliau menyerukan kepada semua orangtua untuk melakukannya. Abu Sufyan berkata, "Saya masuk ke rumah Mu'awiyah, dia dalam keadaan terlentang, sementara di atas dadanya ada seorang anak kecil yang sedang merengek-rengek. Lalu saya katakan kepadanya, 'Jauhkanlah anak ini darimu wahai Amirul Mu'minin'. la menjawab, 'Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa mempunyai anak kecil hendaklah ia bercengkerama dengannya." (HR. Ibu 'Asakir) Dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya, ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. mencium Hasan Bin 'Ali dan saat itu ada Al-Aqra' Bin Habis sedang duduk. Maka berkatalah Al-Aqra', "Saya punya sepuluh orang anak. Saya tidak pernah mencium seorang pun dari mereka." Rasulullah saw. memandangnya seraya mengatakan, "Orang yang tidak menyayangi akan disayangi." Dari Abu Ayyub Al-Anshari -semoga Allah .neridhainya, aku masuk ke rumah Rasulullah saw. sedangkan Hasan dan Husen bermain di hadapan beliau atau di kamarnya, maka aku katakan kepada beliau, "Wahai Rasulullah saw. apakah engkau mencintai mereka?" Rasulullah saw. menjawab, "Bagaimana aku tidak mencintai mereka. Mereka adalah dua

kuntum bunga raihanah di dunia, dan aku selalu menciumnya." (HR AtThabrani) Sa'ad Bin Abi Waqqash -semoga Allah meridhainya- mengatakan, "Aku masuk ke rumah Rasulullah saw. sementara Hasan dan Husen sedang bermain di atas perut beliau. Lalu saya bertanya, 'Ya Rasulullah, apakah engkau mencintai mereka?' Rasulullah saw. menjawab, 'Bagaimana saya tidak mencintai imereka padahal mereka adalah dua kuntum bunga raihanah bagiku'." (HR. Al-Bazzar) Al-Barra' Bin 'Azib mengatakan bahwa Rasulullah saw sedang shalat lalu datanglah Hasan dan Husen (atau salah satunya) -semoga Allah meridhai mereka- dan menaiki punggung beliau. Jika bangkit beliau mengisyaratkan dengan tangannya agar ia berpegangan. kemudian beliau mengatakan, "Sebaik-baik kendaraan adalah kendaraanmu." (HR Ath-Thabtani) Dari Jabir Bin 'Abdillah -semoga Allah meridhainya, ia mengatakan, "Saya masuk ke rumah Rasulullah saw. dalam keadaan beliau sedang berjalan dengan dua kaki dan dua tangannya (merangkak) sedangkan di punggungnya ada Hasan dan Husen. Beliau mengatakan, 'Sebaik-baik unta adalah unta kalian dan sebaik-baik orang adil adalah kalian'." Itu semua menunjukkan betapa pentingnya orangtua bercengkerama dengan anak-anak. Para sahabat pun kemudian mengikuti Rasulullah saw Mereka segera bercanda dengan anak-anak mereka dan memposisikan diri menjadi anak-anak. 'Umar Bin Khaththab -semoga Allah meridhainya- mengatakan, "Sebaiknya seorang bapak menjadi seperti anak kecil dalam keluarganya -dalam hal keakraban, pergaulan, fleksibilitas, dan bercanda dengan anak-anak." Bahkan 'Umar pernah memecat salah seorang pegawainya dari jajaran pemerintahan karena beliau menemukan pada orang itu indikasi kekerasan hatinya terhadap anak-anaknya. Muhammad Bin Salam menjelaskan," 'Umar Bin Khaththab mengangkat seseorang untuk tugas tertentu. Orang itu melihat 'Umar mencium anaknya lalu bertanya, 'Engkau menciumnya padahal engkau adalah AmirulMu'minin? Jika aku menjadi dirimu aku tidak akan melakukannya.' 'Umar menjawab, 'Lalu apa dosaku (dengan melakukan hal itu), jika (kamu tidak melakukan hal serupa akibat) rasa kasih sayang telah tercerabut dari hatimu? Sesungguhnya Allah hanya mengasihi hamba-hamba-Nya yang

penyayang.' Lalu 'Umar memecatnya dan mengatakan, 'Kamu tidak menyayangi anak bagaimana bisa menyayangi orang-orang." Para ulama salaf juga memahami pentingnya bercanda dengan anak-anak dan membangun tubuhnya. Imam Ghazali mengatakan: "Setelah selesai belajar al-Qur'an, sebaiknya anak diizinkan untuk bermain dengan permainan yang bagus untuk melepas lelah. Dan anak, biasanya, tidak merasa lelah dengan bermain. Sebab jika anak dilarang bermain dan dipaksa terus untuk belajar akan mematikan nuraninya, menghancurkan kecerdasanya dan membuat kehidupannya menjadi muram. Yang pada akhirnya juga dia akan mencari-cari jalan untuk meninggalkan belajar. Anak yang tidak suka berolahraga akan menyimpan berbagai bahaya yang semakin lama semakin besar dan berkembang. Kemudian muncul, jika tidak sekarang di kemudian hari, dalam berbagai bentuk keringkihan ruhani dan hancurnya imentalitas. Itu semua, karena permainan bagi anak-anak mempunyai beberapa manfaat dan menanamkan beberapa nilai, di antaranya: a. Nilai fisik. Permainan yang aktif sangat penting bagi penumbuhan otot anak. Dengan bermain ia akan berlatih keterampilan dalam menemukan dan menghimpun sesuatu. b. Nilai edukatif. Permainan membuka peluang seluas-luasnya bagi anak untuk belajar tentang banyak hal melalui alat-alat permainan yang bervariasi. Seperti mengenal bentuk, warna, atau ukuran. Dan sering kali dengan permainan itu anak-anak memperoleh pengetahuan yang tidak mungkin diperoleh dari sumber lain. c. Nilai sosial. Dengan bermain anak belajar membangun hubungan sosial dengan orang lain dan bagaimana cara sukses bergaul dengan mereka. Dengan permainan kolektif ia juga dapat belajar bagaimana memberi dan menerima. d. Nilai akhlak. Melalui permainan anak akan mempunyai pemahaman awal tentang benar dan salah. Ia juga akan mengenal beberapa nilai akhlak, dalam bentuk awal, seperti keadilan, kejujuran, amanah, disiplin, dan sportifitas.

e. Nilai kreatifitas. Dengan permainan ia dapat mengungkapkan kemampuan kreatifitasnya dan mempraktikan gagasan-gagasan yang dimilikinya. f. Nilai kepribadian. Si anak, melalui permainan, akan mampu menemukan banyak hal tentang dirinya. Ia dapat mengukur kemampuan dan keterampilannya melalui interaksinya dengan teman-temannya. Ia juga belajar -dari problem-problem yang dihadapinya itu- bagaimana ia dapat menghadapinya. g. Nilai solutif. Dengan permainan, anak akan keluar dari ketegangan yang muncul akibat banyaknya ikatan yang dipaksakan kepadanya. Makanya kita sering menyaksikan anak-anak yang berlatarbelakang keluarga yang terlalu banyak ikatan, perintah,dan larangan, bermain lebih agresif dibandingkan anak lainnya. Bermain juga merupakan salah satu sarana yang baik untuk mencairkan permusuhan. Permainan akan memberikan kesenangan kepada anak. Lebih-lebih bila di dalam permainan itu ayah dan ibu berperan serta. Mungkin bentuknya sekedar Melempar bola kepada si kecil; atau mengekspresikan kekaguman atas karya sulam puterinya; atau menambahkan garis pada gambar yang dibuat anaknya; atau menemani puterinya bermain pengantin-pengantinan dan dari situ si anak belajar tata krama (adab) berbicara, makan, dan minta izin. Atau bentuk permainan lainnya. Sebab anak lebih cenderung bermain secara kolektif setimbang sendiri-sendiri. Akan tetapi harus diperhatikan, ada beberapa permainan yang berbahaya. Ada peneiitian yang dilakukan terhadap anak berusia antara lima hingga sepuluh tahun, di salah satu sekolah di Illionis, Amerika serikat. Penelitian itu ditujukan pada anak-anak yang biasa bermain perang-perangan dengan anak yang bermain dengan permainan lainnya. Hasil peneiitian itu menunjukkan bahwa anak-anak yang biasa bermain perang-perangan lebih agresif dibandingkan anak-anak lainnya. Mereka lebih banyak memukul dan menyakiti misalnya dengan cara menendang, menjambak rambut, atau menindih tubuh anak lainnya. Adapun anak-anak yang tidak bermain perangperangan, misalnya permainan yang mengajarkan kerjasama, berfikir, berfikir kolektif, mereka tampak lebih tenang dan jauh dari sikap agresif.

6. Gunakanlah Metoda: Mengatakannya"

"Apa

yang

Menghalangimu

untuk

MEMOTIVASI, baik secara material maupun nonmaterial, sangat baik dan merupakan salah satu unsur pendidikan yang tidak boleh diabaikan. Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan berlebihan. Memotivasi harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar. Sebab jika tidak, ia akan berubah menjadi faktor yang merusak. Motivasi mempunyai peranan besar terhadap jiwa anak dalam mewujudkan kemajuan aktifitas positif yang membangun, dalam menumbuhkan kemampuan dan dalam menyalurkan bakatnya. Motivasi juga akan mendukung kontinuitas kerja dan mendorong anak untuk maju. Hadits Rasulullah saw., "Siapa yang lebih dulu sampai kepadaku maka ia akan memperoleh itu dan ini," adalah dalil untuk itu. 'Umar memberi contoh kepada kita dalam memotivasi anaknya. Ibnu 'Umar berkata kepada ayahnya, saat ia keluar dari majlis Rasulullah saw. bersamanya, "Sebetulnya terlintas dalam fikiranku bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma." 'Umar berkata, "Lalu apa yang menghalangimu untuk mengatakannya? Jika kamu mengatakannya, aku akan sangat suka?" Ia menjawab, "Tidak ada yang menghalangiku untuk mengatakannya selain karena aku tidak melihatmu berbicara tidak pula Abu Bakar. Jadi aku tidak mau mengatakannya." (HR. Bukhari) Mengomentari hadits itu, Ibnu Hajar Al-'Asqalani mengatakan, "Hadits itu mengisyaratkan bahwa keharusan mendahulukan orang tua dari anak-anak dalam berbicara itu adalah manakala pengetahuannya sama. Adapun jika anak kecil mengetahui apa yang tidak diketahui orang tua maka tidak ada salahnya anak itu berbicara di hadapan orang tua. Dan 'Umar menyesalkan anaknya yang tidak berbicara. Akan tetapi Ibnu 'Umar sudah menjelaskan alasannya, yakni karena ada ayahnya dan Abu Bakar. Sedangkan komentar Ibnul-Qayyim tentang hadits itu, "Itu menggambarkan kegembiraan seseorang karena anaknya benar. Itu juga sekaligus menunjukkan, tidaklah tercela seorang anak menjawab dengan apa yang ia ketahui di hadapan ayahnya sementara sang ayah tidak menggetahuinya. Sikap itu tidaklah merusak tatakrama terhadap ayahnya." Ada contoh lain bagaimana 'Umar Bin Khathab -semoga Allah meridhainyamendorong anak-anak untuk berbicara di hadapan majlis orang tua guna

menyampaikan pendapat dan gagasan. 'Umar bertanya, "Terkait dengan apa turunya ayat, 'Inginkah seseorang di antara kalian memiliki kebun kurma dan anggur?" Mereka menjawab, "Hanya Allahlah yang tahu." Maka 'Umar marah seraya mengatakan, "Katanlanlah: tahu atau tidak tahu." Ibnu 'Abbas menjawab, "Dalam benakku ada sedikit pengetahuan tentang itu, wahai Amirul Mu'minin." 'Umar mengatakan, "Katakanlah wahai anakku dan janganlah kamu merendahkan dirimu sendiri." Ibnu 'Abbas berkata, "Ayat itu menggambarkan perumpamaan amal." "Amal apa?" tukas 'Umar. Ibnu 'Abbas menjawab, "Seorang kaya yang melakukan kebaikan-kebaikan kemudian Allah mengutus kepadanya syetan lalu orang itu melakukan kemaksiatan hingga menghancurkan segala amal baiknya itu." " Marilah kita jadikan motto: "Katakanlah anakku dan janganlah kau rendahkan dirimu sendiri" dan "Apa yang menghalangimu untuk mengatakannya?" Agar kita dapat memotivasi anak, mendorongnya untuk maju, mengaktualisasikan potensi dinamisnya dan menyalurkan bakatnya. Cara lain yang baik untuk memotivasi anak adalah dengan membelikan buku-buku yang bermanfaat untuknya. Sehingga anak akan mempunyai perpustakaan ilmiah yang terus berkembang sesuai dengan pertumbuhan dirinya. Ibnu 'Abidin -seorang ulama besar- bercerita kepada anaknya tentang perjalanan dirinya. la mengatakan bahwa yang menyebabkan ia mengumpulkan buku-buku dalam jumlah yang tidak ada tandingannya itu adalah ayahnya. Ayahnya, menurut Ibnu 'Abdidin, selalu membelikan buku yang dinginkanya lalu mengatakan, "Belilah buku yang kamu inginkan dan aku akan membayarnya. Karena kamu telah menghidupkan sirah (perjalanan hidup) para pendahulu kita. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, hai anakku." Lalu ia pun memberikan kepadanya bukubuku para pendahulunya yang dimilikinya.

7. Tumbuhkanlah Rasa Percaya Diri RASULULLAH saw. menggunakan banyak cara untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada anak, antara lain: a. Memperkuat kemauan anak Ini dilakukan oleh beliau dengan dua cara:

Pertama, membiasakannya menjaga rahasia. Seperti yang dialami oleh Anas Bin Malik dan Abdullah Bin Ja'far. Ketika anak belajar menjaga rahasia dan tidak membocorkannya, maka kemauannya tumbuh dan menguat. Dan karenanya rasa percaya dirinya menjadi besar. Kedua, membiasakan puasa. Ketika anak mampu bertahan dalam keadaan lapar dan haus karena puasa, ia akan merasakan kemenangan mengalahkan hawa nafsu. Maka kemapuannya menjadi kuatlah dalam menghadapi kehidupan. Dan itu akan meningkatkan rasa percaya dirinya. Para sahabat sangat memperhatikan agar anak-anaknya berpuasa. Untuk itu mereka menyiapkan mainan saat anak-anaknya berpuasa agar mereka terhibur dan tidak merasakan panjangnya siang.
b. Menumbuhkan kepercayaan sosial Ketika anak bergaul denga orang dewasa dan berkumpul dengan temanteman sebaya maka akan tumbuh rasa kepercayaan sosialnya. Ini yang kita tangkap dari kesertaan para sahabat terhadap anak-anaknya. Anakanak mereka biasa menghadiri majlis Rasulullah saw. karena orangtua mereka mengajaknya. 'Umar Bin Khaththab menemani anaknya datang ke majlis Rasulullah saw. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu 'Umar -semoga Allah meridhai mereka- bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Beritahukanlah kepadaku sebuah pohon yang mirip dengan seorang muslim. Ia memberikan buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya dan daunnya tidak pernah gugur." Terlintas dalam benakku bahwa itu adalah pohon kurma. Tapi aku tidak mau mengatakannya karena di sana ada Abu Bakar dan 'Umar. Mereka tidak berbicara. Maka Nabi berkata, "Itu adalah pohon kurma." Ketika aku luar bersama ayahku, aku mengatakan, "Ayah, terlintas dalam benakku bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma."

'Umar bertanya, "Apa yang menghalangimu untuk mengatakannya? Andai saja kamu mengatakannya, aku lebih suka" Ibnu 'Umar menjawab "Tidak ada yang menghalangiku untuk mengatakannya selain karena saya tidak melihat engkau dan Abu Bakar berbicara. Jadi aku tidak mau." Dalam riwayat lain disebutkan, "Ternyata aku adalah yang paling kecil, maka aku diam saja." Adalah Rasulullah saw. bergaul dan berinteraksi dengan anak-anak. Anas Bin Malik -semoga Allah meridhainya- mengatakan, "Adalah Rasulullah saw bergaul dengan kami hingga ia mengatakan kepada kami, 'Hai Aba 'Umair sedang apa burung kecil itu?' Kami menggelar tikar lalu beliau shalat dan membariskan kami di belakangnya. (HR. Ahmad) Jadi membawa anak ke majlis orang dewasa akan mengungkap kekurangan dan kebutuhannya. Sehingga dididik dapat mengarahkannya menuju kesempurnaan, mendorongnya untuk menjawab ketika ditanya, berbicara setelah minta izin dengan tatakrama dan kesopanan, belajar mengenal sedikit demi sedikit pembicaraan orang dewasa sehingg ia siap berkecimpung ditengah masyarakat. Demikianlah ia berproses secara bertahap. Menumbuhkan kepercayaan sosial pada anak juga dapat dilakukan dengan membiasakan mengucapkan salam. Kita melihat bahwa Rasulullah saw. dan para sahabatnya mempraktikan cara yang halus untuk menanamkam kebiasaan mengucapkan salam pada anak-anak. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas -semoga Allah meridhainya- bahwa ia melewati anak-anak lalu ia mengucapkan salam kepada mereka seraya mengatakan, "Adalah Rasulullah saw. melakukannya." Karenanya kita harus membiasakan anak agar memulai mengucapkan salam terutama bila masuk ke rumah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya- bahwa Rasulullah mengatakan,

"Hendaklah orang yang naik kendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan kaki, orang yang berjalan kaki kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang banyak." Dan dalam riwayat Bukhari, "Yang kecil kepada yang tua."
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas -semoga Allah meridhainya- ia berkata, Rasulullah saw bersabda,

"Wahai anakku, jika kamu masuk kepada keluargamu maka ucapkanlah salam. Niscaya hal itu akan mendatangkan barokah kepadamu dan kepada keluargamu." (Hadits hasan shahih)
Kita juga wajib membiasakannya untuk mengucapkan salam saat ia keluar dari rumah dan tidak mengucapkan salam kepada orang yang sedang membaca al-Qur'an atau sedang berdzikir, agar tidak mengganggunya. Bisa juga menumbuhkan kepercayaan sosial ini dengan cara mengutusnya untuk keperluan rumah atau keperluan orangtua. Dengan begitu ia ,mengenal liku-liku kehidupan, merasa gembira dengan bertambahnya wawasan, dan kemudian terbentuklah kepercayaan diri dalam menghadapi persoalan hidup, sesuatu yang membuatnya mampu mengarungi kehidupan ini dengan langkah-langkah yang mantap, terfokus, tanpa goncangan. Imam Ahmad, Bukhari, dan Muslim -dan redaksi hadits ini berdasarkan riwayat Ahmad- meriwayatkan. dari Tsabit Al-Banan dari Anas Bin Malik -semoga Allah meridhainya- berkata, "Aku melayani Rasulullah saw. pada suat hari, sampai aku menyelesaikan tugasku. Rasulullah saw. kemudian tidur siang dan aku keluar menemui anak-anak. Aku melihat permaina mereka. Maka datanglah Rasulullah saw. seraya mengucapkan salam kepada anak-anak yang sedang bermain. Kemudian beliau memanggilku dan menyuruhku untuk satu keperluan. Maka aku pun pergi untuk keperluan itu sedangkan Rasulullah saw. duduk di bawah bayang-bayang, hingga aku kembali.Aku terlambat datang menemui ibuku. Ketika aku pergi kepada ibuku, ia bertanya, "Apa yang membuatmu terlambat datang?" Aku menjawab, "Rasulullah ! mengutusku untuk satu keperluan." Ia berkata, Apa keperluannya?" Aku menjawab, "Itu rahasia Rasulullah saw." Ia berkata, "Kalau begitu jagalah rahasia Rasulullah saw." ehadiran anak-anak pada perayaan-perayaan yang disyari'atkan, upacara pernikahan, dan menginap di rumah kerabat yang saleh juga termasuk hal baik. Karena hal itu dapat membuat keceriaan pada jiwa anak-anak, melatih mereka untuk berinteraksi dengan orang lain, dan mendukung bagi terciptanya hubungan sosial yang baik dengan masyarakatnya. c. Menumbuhkan kepercayaan ilmiah Ini dicapai dengan cara mengajarinya al-Qur'an, Sunnah, dan sirah Nabi saw. yang agung. Kelak anak akan tumbuh dengan membawa ilmu yang luas. Maka tumbuhlah kepercayaan ilmiah dalam dirinya karena ia memiliki

hakikat-hakikat ilmu yang jauh dari khurafat dan dongeng-dongeng. Sebaiknya anak dimotivasi untuk menghafal dengan diberi hadiah.

d. Menumbuhkan kepercayaan ekonomi dan bisnis Hal itu dapat diwujudkan dengan membiasakan anak berjual-beli, berjalan di pasar dengan disertai orangtuanya untuk memenuhi keperluan mereka. Malik meriwayatkan dari Sulaiman Bin Yasar, ia mengatakan, "Keahlianku adalah memberi makan keledai milik Sa'id Bin Abi Waqqash. Ia mengatakan kepada budaknya, "Ambillah sebagian hinthah keluargamu kemudian juallah dengan sya'ir, dan janganlah kau terima kecuali yang sama dengannya." Rasulullah saw. menyaksikan si kecil 'Abdullah Bin Ja'far sedang bermain dagang-dagangan, lalu beliau mendoakannya, "Ya Allah, curahkanlah barokah dalam perdagangannya." Demikianlah kita mendapatkan Rasulullah saw. begitu antusias dalam menumbuhkan kepercayaan diri pada anak. Dan akhirnya saya ingin mengingatkan Anda tentang beberapa cara yang salah yang oleh para ahli pendidikan dinilai dapat menyebabkan anak kurang percaya diri, yakni: 1. 2. Cara mendidik dengan mengandalkan bentakan dan pukulan Dominasi orangtua yang tidak memberikan keleluasaan bagi anak untuk berfikir dan bertindak. Tidak mendorong anak untuk mandiri. Tidak mewujudkan suasana psikologis yang membuat anak merasa nyaman, penuh percaya diri, berani, dan tidak dicekam ketakutan.

3. 4.

8. Gunakanlah Metoda: "Dia Anak paling Baik" PUJIAN bagi anak mempunyai pengaruh besar pada jiwanya. Pujian dapat menyentuh perasaannya dan membuatnya segera mengoreksi perbuatan dan perilakunya dengan perasaan lega dan serius. Itulah yang ditegaskan Rasulullah saw. Beliau mengingatkan Urgensi pujian bagi anak, jika kita menginginkan dia merespon dan melaksanakan kewajibannya. Bukhari meriwayatkan dari Ibnu 'Umar -semoga Allah meridhai mereka, berkata, "Biasanya jika seseorang bermimpi pada masa Rasulullah saw. ia menceritakannya kepada Rasulullah saw. Maka saya berangan bahwa saya bermimpi, kemudian akan saya ceritakan kepada Rasulullah saw. Saya adalah anak muda dan saya tidur di masjid pada masa Rasulullah saw. Maka saya bermimpi bahwa malaikat membawa saya ke neraka. Di sana terlihat ada lubang seperti lubang sumur. Ternyata di dalamya ada orangorang yang saya kenal. Maka saya mengucapkan, "Aku berlindung kepada Allah dari neraka." Lalu aku ceritakan kepada Hafshah dan dia menceritakannya kepada Rasulullah saw. Maka beliau bersabda, "Sebaikbaik orang lelaki adalah 'Abdullah, jika dia shalat malam." Maka setelah itu dia tidak pernah tidur malam kecuali sebentar." Demikianlah Rasulullah saw. mendahulukan pujian, "Sebaik-baik orang lelaki adalah Abdullah." Lalu beliau mengingatkan tentang sesuatu yang terlalaikan dengan cara yang indah dan menarik hati:"Andai dia shalat malam." Demikianlah pujian dan sanjungan jika dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat, tidak berlebihan, dan bukan basa-basi akan membuahkan hasil yang bermanfaat setiap saat. Dan di antara yang dikatakan Nabi saw. pada hari perang Khandaq kepada pemuda yang belajar bahasa Suryani untuk berkhidmat kepada Rasulullah saw. "Bukankah dia adalah anak yang paling baik?" Artinya, Rasulullah saw. menyanjung dan memuji pemuda itu. Karenanya, mari kita meneladani Rasulullah saw. Mari kita puji anak-anak kita secara proporsional, pada waktu dan tempatnya yang tepat.

9. Memotivasi Keburukan

untuk Kebajikan

dan Memperingatkan Bahaya

MEMOTIVASI dan memperingatkan (targhib wa tarhib) adalah termasuk kiat alami yang tidak mungkin ditinggalkan oleh seorang pendidik. Sebab murid atau anak didik perlu mengetahui akibat dari tingkah laku ketika yang baik maupun yang buruk. Itulah sebabnya kita menemukan al-Qur'an mengisyaratkan perilaku yang baik hasilnya adalah baik. Dan itu dikaitkannya dengan sorga dan kenikmatannya. Sebaliknya, ia juga mengisyaratkan bahwa perilaku buruk akibatnya buruk pula. Dan ia mengaitkannya dengan kedahsyatan neraka jahim dan siksaan yang abadi bagi orang-orang yang melampaui batas, orang-orang kafir dan para perusak. Karena manusia akan dihisab berdasarkan setiap amal yang dia kerjakan. Dan balasan sesuai dengan perbuatan. Allah sekali-kali tidak melakukan kezaliman. Dia berfirman:

"Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali Rabbmu tidaklah menzalimi hambahambanya. " (Fushshilat 46)
Saat memberikan ancaman Allah swt. berfirman:

"Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan dia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. " (An-Nisa 123)
Dan agar manusia tidak berputus asa dari rahmat Tuhan mereka, maka Allah memberikan motivasi untuk beramal saleh, dengan menyatakan bahwa Dia menerima taubat yang sungguh-sungguh. Firman-Nya:

"Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu maka katakanlah, Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadamu '. Tuhanmu telah menetapkan atas dirinya kasih sayang, (yaitu) bahwa siapa yang berbuat keburukan di antara kamu lantaran ketidaktahuan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. " (Al-An'am 54)

Tidak ada salahnya menyampaikan ancaman kepada anak dengan cara tidak langsung. Misalnya, saat dia melakukan perbuatan yang baik, katakan padanya bahwa Allah akan mencintainya karena perbuatan baik itu dan akan memasukkannya ke sorga. Tidak seperti anak-anak lain yang melakukan perbuatan yang buruk. Mereka akan disiksa di dalam neraka. Dengan demikian kita telah menyebut-nyebut tentang siksa namun dengan cara yang halus. Cara itu akan memunculkan rasa takut yang diperlukan dalam jiwa anak namun bukan takut yang tanpa alasan edukatif. Demikian pula dalam amal-amal lain. Kita wajib memberi semangat untuk melakukan kebaikan dan memperingatkan dari hal-hal yang buruk. Jadi memotivasi dan memperingatkan merupakan salah satu metoda psikologis yang efektif dalam memperbaiki anak. la merupakan metoda yang jelas dan nyata dalam pendidikan Nabi saw. Beliau menggunakannya terhadap anak-anak dalam banyak situasi. Terutama dalam masalah berbuat baik kepada orang tua. Itu tidak lain agar anak merespon dan terkesan sehingga ia memperbaiki jiwa dan perilakunya.

10. Biasakan Kebajikan karena Kebajikan adalah Kebiasaan DI ANTARA metoda pendidikan adalah pembisaan. Yakni membiasakan anak untuk hal-hal tertentu hinga menjadi kebiasaan yang mendarah daging, yang untuk melakukannya tidak perlu pengarahan lagi. Di antara contoh paling menonjol tentang kebiasaan dalam sistem pendidikan Islam adalah ibadah-ibadah ritual yang induknya adalah shalat. Dengan pembiasaan shalat akan menjadi kebiasaan manusia yang bila belum laksanakannya ia tidak merasa tenang. Tapi bukan hanya ibadah ritual saja kebiasaan yang ingin ditumbuhkan oleh sistem pendidikan Islam. Sebab sebenarnya, anak dapat dilatih dan dibiasakan pada semua model perilaku islami dan setiap adab serta akhlak Islami: adab makan, minum, berjalan, duduk, tidur, bangun, mengucapkan salam; adab dalam keluarga, seks, berbicara, pertemuan, berpisah, bepergian, pulang dari bepergian, bertetangga/ berteman dan seterusnya. Semua itu adalah merupakan hal-hal baru bagi kaum muslimin di masa Rasulullah saw. Sebelumnya, di masa jahilryyah, mereka tidak pernah melakukan hal-hal itu. Maka Rasulullah saw. membiasakan dan mendidik mereka untuk melaksanakan adab-adab itu dengan keteladanan, pengajaran, pemantauan, dan pengarahan. Hingga adab-adab itu menjadi kebiasaan yang mendarah daging dalam jiwa dan menjadi watak istimewa mereka, yang membedakan antara kaum muslimin dengan non muslim di seluruh penjuru bumi. Orangtua muslim membiasakan adab-adab itu pada anaknya dengan caracara yang ditempuh Rasulullah saw, yakni keteladanan, pengajaran, pemantauan, dan pengarahan. Sampai manakala pertumbuhan mereka telah sempurna, dalam waktu bersamaan ia juga telah terbiasa dengan adab-adab Islam itu. Dan kita tahu adab-adab itu merupakan sistem yang integral mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dari sejak bangun tidur sampai bangun tidur berikutnya. Ia juga mencakup kehidupan personal, kehidupan keluarga, kehidupan seorang laki-laki, kehidupan orang perempuan, kehidupan anak kecil, dan seterusnya. Anak, sebagaimana manusia lainnya, bisa lupa dan lalai. Allah swt. telah mengkhususkan untuknya -sesuatu yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya- rentang waktu masa kanak-kanak yang panjang. Dan masa itu bukanlah masa taklif (pemberlakuan kewajiban) melainkan masa untuk

mempersiapkannya agar siap menerima taklif. Jika kita pahami hal ini, mudahlah bagi kita untuk percaya kepada prinsip pengulangan lebih dari satu kali hingga membekas dalam jiwa dan siap menerima perintah serta merespon panggilan. Tentang prinsip pengulangan ini ditegaskan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya:

"Suruhlah anak-anakmu untuk shalat saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah mereka (jika tidak mau shalat) bila usia mereka mencapai sepuluh tahun. "
Jadi Rasulullah saw telah mengalokasikan waktu khusus selama tiga tahun berturut-turut untuk menghunjamkan hal penting dalam Islam yakni shalat. Tentu saja itu merupakan rentang waktu yang leluasa untuk membiasakannya shalat. Maka jika mereka telah mencapai usia sepuluh tahun, mereka akan telah siap Untuk menunaikannya. Jika masih belum terbiasa melakukannya sendiri selama tiga tahun pembiasaan itu, maka harus diambil langkah tegas yang menjamin tumbuh dan mapannya kebiasaan itu. Karena urgensinya, maka al-Qu'ran menegaskan:

"Dan perintahkanlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah dalam menjalaninya." (Thaha 132)
Jadi harus ada kesabaran pada tiga tahun pertama. Kita harus mengulangulangi apa yang menjadi tujuan kita lebih dari satu kali. Pembiasaan memang tidak mudah dan tidak cukup dengan hanya kita katakan satu kali atau beberapa kali, "Lakukanlah itu," lalu dia mengikuti. Anak Membutuhkan pengingatan dan pengulangan berkali-kali agar menjadi paham. Karenanya tidak heran bila kita sering mendengar seorang ayah mengatakan kepada anaknya, "Saya sudah ingatkan kamu berulang kali." Jika kita menghitung perintah shalat beradasarkan hadits Nabi di atas, maka selama tiga tahun dan setiap waktu shalat, orangtua menyuruh anaknya untuk shalat akan menghasilkan angka yang sangat besar. Yakni: (5 x 365) x 3 = 5475 Jika angka itu punya arti, maka itu menunjukkan urgensi pengulangan dan bahwa jiwa anak boleh jadi tidak merespon perintah pertama, kedua, atau ketiga. Maka perlu pengulangan tanpa putus asa.

Ada penelitian yang membuktikan bahwa informasi yang diulang satu kali hanya 10 /o saja yang bisa kita ingat di akhir bulan. Akan tetapi kalau nasihat itu diulang sebanyak enam kali, dengan cara berbeda-beda, maka kita akan mengingatnya sebanyak 90 %. Ini artinya bahwa anak akan senantiasa mengingat shalat dan urgensinya jika kita melakukan pengulangan tentang pentingnya melaksanakan shalat. Abdullah Bin Mas'ud memahami prinsip pengulangan terhadap anak ini. la mengatakan, saat memberikan arahan kepada para bapak dalam mensikapi anak-anaknya, "Biasakanlah pada mereka kebajikan karena kebajikan itu adalah kebiasaan." Sesungguhnya, seluruh adab dan perintah Islam berjalan di atas sistem pengulangan itu, walaupun Nabi saw. tidak membatasi waktunya seperti shalat. Semuanya membutuhkan pengulangan dini. Dan semuanya, setelah melalui rentang waktu tertentu, memerlukan pemberlakuan secara tegas jika si kecil tidak melakukannya dengan kesadaran sendiri. Pembiasaan ini bisa juga dibentuk melalui pemberian contoh yang baik. Bahkan ini merupakan salah satu faktor penting yang menumbuhkan kebiasaan yang baik. la seringkali bisa menghemat tenaga. Karena memang anak memiliki kecenderungan untuk meniru. Dan anak-anak muslimin selalu meniru orang tua mereka melaksanakan shalat bahkan sebelum mereka belajar berbicara. Sehingga jadilah membiasakan perbuatan itu pada dirinya menjadi sesuatu yang mudah. Kecuali pada anak-anak yang mempunyai kelainan. Dan kelainan adalah sesuatu yang bisa saja terjadi. Bisa karena faktor keturunan atau karena kondisi tertentu yang buruk. Dan mereka itulah yang berhak mendapatkan hukuman jika mereka tidak dapat menerima pembiasaan pada rentang waktu tertentu. Pembiasaan juga bisa dilakukan dengan pemberian motivasi, bisa dengan cara mewajibkan secara halus, dan bisa juga dengan cara mewajibkan secara tegas. Membiasakan anak, misalnya agar selalu merapikan segala sesuatu, tidak melempar barang sembarangan dan tidak membuat berantakan di kamar adalah sesuatu yang penting dan harus. Hal itu mungkin dilakukan oleh anak karena kesadaran sendiri sebagai buah dari keteladan yang baik di hadapannya. Jika ia tidak melakukannyua maka ia harus didorong untuk melakukannya dengan berbagai cara baik yang bersifat fisik maupun bersifat nonfisik, seperti yang telah disebutkan di muka. Di antaranya adalah dengan memuji kebersihan, kerapian dan keteraturannya.

Jika semua itu tidak berguna maka ia harus diperintah dan dipantau terus hingga ia menjalankan perintah itu. Tentunya dengan tujuan agar hal itu menjadi kebiasaan. Jika ia tidak melaksanakan atau hanya melaksanakannya jika terus dipantau maka kita perlu meningkatkan ketegasan. Bahkan sampai pada tingkat memberikan hukuman, dengan peringkat-peringkat yang sudah dijelaskan terdahulu. Hal ini berlaku pada setiap kebiasaan yang baik, yang ingin kita terapkan pada anak dan juga kebiasaan buruk yang kita ingin jauhkan darinya atau ingin kita ubah. Pembiasaan sebenarnya menyedot energi paling besar dari orangtua. Tetapi itulah esensi proses pendidikan. Sebab bila pada anak tidak terbentuk kebiasaan-kebiasaan yang baik maka sebenarnya kita belum berbuat apa-apa selain hanya angan-angan indah yang tidak berguna sama sekali di alam nyata. Pendidik haruslah menghayati nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam di balik perilaku kesehariannya. janganlah ia menjalankan pekerjaan-pekerjaan itu, terutama shalat, secara mekanistis. Ingatkan anak kepada Allah dan bahwa semua pekerjaan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-Nya, karena Allah menginginkan demikian. Dan ketika kita melaksakannya maka kita berada dalam ridha Allah. Semoga Allah merahmati orang yang mengatakan: Pemuda-pemuda kami tumbuh-kembang Sesuai dengan pembiasaan bapaknya Anak muda tidaklah beragama berdasarkan otaknya. Orang-orang terdekatlah beragamanya yang membentuk cara

12. Memilih Waktu

yang Tepat untuk Menasihati

PEMILIHAN waktu yang tepat mempunyai peran signifikan untuk mencapai hasil dalam mengarahkan anak pada apa yang diinginkan orang tuanya dan dalam mengajarinya tentang apa yang dicintainya. Jika orang tua memilih waktu yang tepat dan mengesankan bagi anak maka akan mempermudah jalan dan menghemat tenaga dalam proses pendidikan. Rasulullah saw. sangat cermat dalam memilih dan memanfaatkan waktu dan tempat untuk mengajari pemikiran anak dan meluruskan perilakunya yang salah, serta membangun perilaku yang lurus dan benar. Beliau telah mengajukan kepada kita tiga waktu utama untuk mengarahkan anak. Waktu-waktu itu adalah: a. Saat Rekreasi, dalam Per jalanan, di atas Kendaraan Hadits Ibnu 'Abbas -yang diriwayatkan At-Tir-midzi, mengatakan,

"Aku berada di belakang Rasulullah saw, pada suatu hari. Lalu ia mengatakan, Wahai anakku..." (Al-Hadits).
Itu menunjukkan bahwa nasehat Nabi saw. itu dilakukan di perjalanan saat mereka berdua, terkadang berjalan kaki terkadang pula naik kendaraan. Nasihat itu tidak hanya dilakukan di kamar yang terbatas melainkan di udara terbuka di mana jiwa si anak memiliki kesiapan lebih kuat untuk menerimanya. Riwayat Al-Hakim memperkuat bahwa perjalanan mereka di atas kendaraan. Ibnu 'Abbas mengatakan, "Nabi saw. diberi hadiah seekor keledai kemudian beliau menungganginya, dengan menggunakan tali. Beliau memboncengku di belakangnya dan berjalan bersamaku, lalu menoleh kepadaku seraya mengatakan, 'Wahai anakku.' Aku menjawab, 'Ya Rasulullah.' Beliau bersabda, 'peliharalah (agama) Allah, niscaya Dia akan memeliharamu'." (Al-Hadits) Sampai-sampai Rasulullah saw. menyampaikan sesuatu yang bersifat rahasia kepada seorang anak di perjalanan, agar ia menjaganya. Itu tidak lain karena si anak akan sangat terkesan dalam menerima hal itu dalam kondisi seperti itu.

11. Perhatikanlah Kecenderungannya DI ANTARA metoda yang efektif pada banyak situasi -tidak selalu- adalah memenuhi kecenderungan-kecenderungan anak dan membuatnya puas. Karena di usia kanak-kanak, seseorang ingin selalu merasa puas dan ingin segala kemauannya terpenuhi. Jika kebutuhan dan kemauannya terpenuhi maka perasaannya akan lega dan gembira. Dia akan melaju dengan penuh dinamika. Tapi bila keinginannya tidak terpenuhi maka ia akan kesal, marah, dan bertindak bodoh dengan melakukan sesuatu yang tidak disukai orang tuanya. Rasulullah saw. telah membuat landasan besar psikologi dalam menyelesaikan banyak masalah-masalah psikologis anak. Dan para sahabat telah merespon dan melaksanakan kaidah tersebut. Ibnu 'Asakir meriwayatkan dari Watsilah Bin Al-Asqa' -semoga Allah meridhainyabahwa Rasulullah saw. keluar menemui Utsman Bin Mazh'un yang tengah membawa anak kecil yang dibalut. "Ini anakmu, Utsman?" tanya Rasulullah saw. "Ya, benar," jawabnya. "Kamu mencintainya? Tanya Rasulullah lagi. "Tentu saja ya Rasul." Jawabnya. "Sesungguhnya barangsiapa membuat senang anak kecil dari keturunannya hingga ia puas maka Allah akan membuatnya senang pada hari kiamat," kata Rasulullah saw. Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah Bin Ja'far -semoga Allah meridhai mereka, "Rasulullah saw. memboncengku di belakangnya kemudian membisikan sesuatu yang aku tidak pernah sampaikan !kepada siapa pun." Rasulullah saw menggunakan perjalanan sebagai kesempatan untuk menanamkan aqidah tauhid dan aqidah iman kepada taqdir, mendidiknya agar senantiasa optimis dan berani dalam menghadapi kehidupan. Sehingga kelak ia menjadi orang yang berguna bagi umatnya. Beliau juga mengajarkan bahwa manusia diperintahkan untuk menaati Allah dan menjauhi kemaksiatan. Dan bahwa Allah swt. akan menyelamatkannya saat terjadi kesulitan jika ia menunaikan hak Allah dan hak manusia dalam keadaan lapang, sehat, dan berkecukupan. Jadi dapatlah kita katakan bahwa waktu perjalanan adalah kesempatan yang baik untuk menyampaikan arahan dan meluruskan kesalahankesalahan yang dilakukan si anak dalam kehidupan keseharian-nya.

b. Saat Makan Pada saat makan ini anak akan memperlihatkan watak aslinya dan tak berdaya menghadapi keinginan untuk makan. Karena itu, kadang-kadang ia berperilaku buruk dan merusak tatakrama. Jika orangtua tidak duduk bersama mereka secara terus menerus saat mereka makan dan meluruskan kesalahan-kesalahan mereka maka si anak akan tetap membawa bibit-bibit kebiasaan buruk. Hal lain, jika orang tua tidak pernah menemani mereka saat makan ia akan kehilangan kesempatan baik untuk memberikan pengajaran kepadanya. Adalah Rasulullah saw. makan bersama anak-anak. Jika menyaksikan sejumlah kesalahan maka beliau meluruskanya dengan cara yang simpatik yang dapat berpengaruh pada jiwa dan akal mereka. mam Bukhari meriwayatkan dari 'Umar Bin Abi Salamah -semoga Allah meridhainya- ia mengatakan, "Dulu aku adalah anak kecil yang biasa berada di kamar Rasulullah saw. Ketika tanganku mau menyuapkan makanan, beliau bersabda, 'Nak, sebut-lah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang dekat denganmu'." Dalam hadits riwayat Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban, Rasulullah saw. bersabda, "Mendekatlah hai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang dekat denganmu." Dalam riwayat ini Anda temukan bahwa Rasulullah saw. mengundang anak itu makan bersamanya. Dan itu dilakukannya dengan lemah lembut: "Mendekatlah". Kemudian beliau mengarahkannya pada cara dan adab makan. Para sahabat pun, disertai anak-anaknya, biasa menghadiri walimahwalimah terutama yang dihadiri Rasulullah saw. Dalam acara seperti ini mereka belajar yang bermanfaat dan adab yang banyak, sehingga mereka membangun kepribadian sedikit demi sedikit c. Waktu Sakit Sakit akan melunakkan hati orang dewasa yang keras apalagi hati anakanak yang memang masih penuh kelembutan dan mempunyai kesiapan untuk merespon. Anak, saat dia sakit, mempunyai dua sifat sekaligus yang menjadi bekal untuk meluruskan kesalahan-kesalahan perilaku maupun

keyakinan. pertama adalah fitrah masa kanak-kanak dan kedua adalah sifat kelembutan hati dan jiwa saat sakit. Rasulullah saw. telah mengarahkan kita dalam hal ini. Beliau menjenguk anak Yahudi yang sakit dan diajaknya masuk Islam. Ternyata kunjungan Rasulullah saw itu merupakan pembuka hidayah bagi anak .Bukhari meriwayatkan dari Anas -semoga Allah meridhainya- berkata, "Seorang anak Yahudi yang melayani Rasulullah saw. jatuh sakit. Maka Rasulullah saw. datang untuk membezuknya. Rasulullah saw duduk dekat kepalanya seraya mengatakan, 'Masuk Islamlah.' Lalu anak itu memandang ayahnya yang ada disisinya. Ayahnya mengatakan, Ikutilah Abal-Qasim (Nabi Muhammad saw).' Maka anak itu pun masuk Islam dan Rasulullah saw keluar sambil mengatakan, 'Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka'. Di sini kita melihat bahwa anak itu biasa melayani Rasulullah saw. Namun demikian beliau tidak menyerunya untuk masuk Islam kecuali saat beliau menemukan waktu yang tepat untuk itu Karenanya kita harus memilih waktu yang tepat untuk mengarahkan anak-anak kita.

13. Bertahap dalam Menyampaikan Nasihat, Tugas dan Perintah DARI hadits yang lalu, "Perintahlah anakmu shalat saat di berumur tujuh tahun dan pukullah mereka saat dia berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (jika dia tidak melaksanakannya) saat umur mereka telah mencapai sepuluh tahun," kita dapat mengambil satu prinsip penting yang berpengaruh dalam jiwa anak. Prinsip itu adalah : bertahap dan tidak menyerahkan berbagai persoalan kepadanya secara sekailgus. Setiap fase mempunyai masanya sendiri. Shalat saja yang merupakan tiang agama melewati tiga fase. Fase pertama, sejak perjalanan awal hingga usia tujuh tahun adalah masa di mana ia menyaksikan orangtuanya shalat lalu ia segera mengikutinya. Jika orangtuanya melatihnya terus-menerus maka akan berbuah kebaikan. Fase kedua, masa diperintah. Dan ini berlangsung dari usia tujuh hingga sepuluh tahun. Pada masa ini ibu dan bapaknya memberikan perintahperintah dan memintanya untuk melaksanakan shalat. Fase ketiga, masa layak untuk dihukum. Ini dimulai dari usia sepuluh. Pada usia ini baru si anak dipukul bila tidak mau melaksanakan shalat. Langkah-langkah yang bertahap ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap jiwa anak. Dengan cara itu anak akan mudah merespon segala perintah. Sebab dia masih sangat hijau sehingga perlu ada proses yang bertahap untuk memindahkannya dari satu fase ke fase berikutnya. Perencanaan untuk mencapai tujuan apa pun, betapapun ingin dicapai dengan cepat, namun tetap harus melewati fase-fase dan langkah-langkah yang dirancang oleh kedua orangtua dan bekerjasama untuk melaksanakannya.

14. Berbicara Terus-terang dan tidak Bertele- tele BERBICARA secara langsung dan tidak berputar-putar atau bertele-tele dalam memahamkan anak tentang kebenaran, akan menjadikan anak lebih siap dan lebih kuat untuk menerimanya. Sedangkan cara yang bertele-tele dan berbelit-belit tidaklah memperoleh tempat dalam berinteraksi dengan anak. Demikianlah Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk berbicara kepada anak secara to the point, terus terang, dan jelas. Hadits berikut ini tidak lain merupakan dalil untuk hal itu. Dalam hadits riwayat At-Tirmidzi, Ibnu 'Abbas mengatakan, "Suatu hari aku berada di belakang Rasulullah saw. lalu beliau mengatakan kepadaku, 'Nak, aku akan ajarkan kepadamu beberapa kata ." Jadi Rasulullah saw. berbicara langsung pada topik yang ingin disampaikan. Beliau mengatakan, "Aku ingjn ajarkan kepadamu." Lalu beliau mengajarkan kepadanya "beberapa kata" yang singkat, bermanfaat, padat dan tidak membosankan Itu sesuai dengan watak pemikiran anak yang menginginkan kalimat-kalimat pendek, ringkas, menyeluruh, dan sarat makna. Jika kita perhatikan, kalimat-kalimat yang disampaikan Rasulullah saw. Itu merupakan landasan pemikiran dan landasan aqidah yang prinsipil pada anak dalam kehidupan masa kanak-kanak dan juga untuk masa muda yang tidak lama lagi akan dijalaninya. Mari kita baca kalimat-kalimat itu: "Jagalah (agama) Allah niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah (agama) Allah niscaya kamu akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah; jika kamu mohon pertolongan mohonlah kepada Allah; ketahuilah bahwa jika seluruh umat berhimpun untuk menyelamatkanmu dengan sesuatu maka niscaya mereka tidak dapat melakukannya kecuali dengan apa yang sudah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka berhimpun untuk mencelakakanmu maka niscaya mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali jika Allah telah menetapkannya. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran (ketentuan Allah)." Anda lihat kalimat-kalimat yang disampaikan Rasulullah saw. itu langsung pada sasaran dan diawali dengan menarik perhatian si anak melalui panggilan, "Nak." Ini membuat si anak merasa mendapat perhatian. Sama halnya ketika pemuda dipanggil "Hai pemuda."

Adakah Anda menemukan penjelasan yang padat dan menyeluruh yang menyentuh akal anak seperti yang disampaikan Rasulullah saw. itu? Pernahkah Anda membaca atau mendengar kaidah-kaidah yang membangun pemikiran dan akal anak agar menjadi landasan dalam menghadapi kehidupan, sebaik yang dilontarkan Rasulullah saw. itu? Demikian pula Rasulullah saw. membimbing anak secara langsung tentang langkah praktis untuk membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati seperti dengki, kebencian, dan licik. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas -semoga Allah meridhainya- bahwa ia berkata, "Rasulullah saw. berkata kepadaku, 'Wahai anakku, jika kamu bisa, saat datang pagi dan petang, dalam keadaan hatimu tidak menyimpan kedengkian kepada seseorang maka lakukanlah, wahai anakku. Dan itu termasuk sunnahku. Barangsiapa menghidupkan sunnahku maka dia telah menghidupkanku. Dan barang siapa menghidupkanku maka dia bersamaku di sorga'." Di sini Rasulullah saw. menggunakan kata 'anakku'. Hal itu dalam rangka menyentuh perasaan si anak, menarik perhatiannya, dan merangsangnya untuk mendengarkannya secara jelas. Pemaparan itu menegaskan bahwa Rasulullah saw. memilih cara yang memuaskan dalam menjelaskan sesuatu kepada anak. Kita juga melihat bagaimana Rasulullah saw. menyusun informasi agar si anak menghafalnya. Beliau juga berbicara secara runut agar si anak dapat memahaminya, dalam suasana yang tenang dan menyenangkan, dengan sentuhan yang mengagumkan, menggunakan sapaan 'wahai anakku'.

15. Berbicara sesuai dengan Tingkat Intelektualitasnya JIKA kita mengetahui tingkat pertumbuhan yang dicapai akal anak, akan mudah bagi kita untuk memecahkan banyak persoalannya. Dengannya kita akan tahu kapan kita harus bicara padanya, kalimat macam apa yang dipilih, dan gagasan apa yang kita ajukan kepadanya. Sebab anak, seperti manusia lainnya, memiliki keterbatasan yang tidak dapat diterobosnya. Akal dan pemikirannya masih dalam proses pertumbuhan dan perluasan. Ini dibuktikan dengan kasus yang terjadi menjelang Perang Badar. Para sahabat menangkap seorang gembala dari orang Quraisy. Mereka menanyainya tentang jumlah pasukan Quraisy. Ternyata anak itu tidak menjawab dengan baik lalu para sahabat memukulnya. Hingga datanglah Rasululiah saw. -seorang ahli kejiwaan yang tidak diragukan lagi. Ternyata Rasulullah saw. bertanya kepadanya, "Berapa ekor unta yang mereka sembelih?" Si anak itu menjawab, "Sekitar sembilan atau sepuluh ekor." Maka Rasululiah saw. bersabda, "Berarti jumlah mereka sekitar sembilan ratus sampai seribu orang." Rasululiah saw. memahami bahwa si gembala itu tidak mengetahui hitungan ribuan. Tingkat kemampuan akalnya hanya mencapai angka puluhan. Lalu puluhan apa? Puluhan untalah yang mudah dihitung oleh anak itu karena ukurannya besar. Rasululiah saw. mampu membuat anak itu berkomunikasi dengan baik. Itu terjadi karena beliau berbicara dengannya sesuai dengan tingkat intelektualitasnya. Contoh lain adalah ketika Anas Bin Malik -semoga Allah meridhainyamelakukan kelalaian atau lupa sesuatu saat melayani Rasulullah saw. Maka keluarga beliau menghukumnya. Namun ternyata Rasululiah saw. yang mengetahui batas-batas kemampuan anak mengatakan, "Biarkanlah. Sebab kalau memang dia mampu pasti dia lakukan." Ini menunjukkan bahwa anak mempunyai kemampuan berfikir dan kemampuan fisik yang terbatas. Menuntutnya untuk melakukan apa yang berada di luar kemampuannya sama saja dengan si cebol merindukan bulan. Bahkan dalam bercanda pun Rasululiah saw. melakukannya sesuai dengan kadar nalar anak-anak yang diajaknya bercanda.

Rasululiah saw. bercanda dengan hal-hal yang mereka rasakan, pahami dan ketahui. Rasulullah saw. bertanya kepada seorang anak: "Hai Aba 'Umair, sedang apa burung kecil itu? " Itu tidak lain merupakan dalil bagi hal itu. Nughair adalah burung kecil yang menjadi mainan anak itu. Kalau kita perhatikan kalimat yang digunakan Rasululiah saw. itu kita akan mendapatkannya telah memenuhi sifat-sifat kalimat edukatif yang baik, yakni: a) Kalimatnya pendek, dengan enam kata dan dua belas suku kata. Dan ini kalimat yang cocok untuk anak kecil. b) Kalimatnya mudah diucapkan dan tidak ada kata yang sulit diucapkan. c) Kalimatnya mudah dipahami dan jelas. d) d. Kalimatnya mudah dihafalkan karena mempunyai unsur sajak yakni adanya kesamaan bunyi pada kedua ujung penggalan kalimat. e) Penggalan-penggalan kalimatnya sesuai dengan jiwa anak dimulai dengan sapaan, ada jeda, dan ada pertanyaan. Karenanya, hendaknya pendidik memilih kata yang mudah dan kalimat yang pendek dalam berbicara dengan anaknya. Juga hendaknya, ia berbicara sesuai dengan tingkat intelektualitasnya, agar anak tidak punya alasan untuk menjadi pembangkang. Saudaraku pendidik, bayangkan jika Anda mempunyai atasan yang memberi Anda tugas di luar kemampuan. Adakah Anda akan melaksanakan tugas itu? Maka terlebih lagi anak Anda, jika Anda berbicara kepadanya di luar kemampuan jangkauan akalnya

16. Gunakanlah Metoda:"Apakah Kendalamu, Nak?" DIALOG yang tenang akan menumbuhkan kemampuan akal, memperluas wawasan, dan merangsang aktifitas akal anak untuk memahami realitas kehidupan. Melatih anak untuk berdiskusi dan berdialog akan membawa orangtua pada hasil yang mencengangkan. Sebab dengan cara itu si anak akan mampu mengutarakan pendapat-pendapat dan gagasannya serta berani menuntut hak-haknya di hadapan orang dewasa. Karena orang tuanya di rumah telah melatihnya adab, dan tata cara berdialog.

Rasulullah saw. berdialog secara tenang dengan anak muda yang datang kepadanya untuk meminta agar dizinkan berzina. Dan pada akhirnya si anak muda itu bangkit dari duduknya dalam keadaan telah sangat membenci perbuatan zina. Beliau juga berdialog dengan anak kecil yang ingin ikut menjadi prajurit perang dengan tenang, penuh perhatian, dan objektif. Samurah Bin Jundub mengatakan, "Rasulullah saw. menerima seorang anak kecil menjadi prajurit perang dan menolak saya. Maka saya katakan kepadanya, "Ya Rasulullah, engkau menerimanya dan menolak saya. Padahal kalau saya bergulat dengannya pasti saya bisa mengalahkannya." Maka saya bergulat dengannya dan mengalahkannya. (HR. Al-Hakim) Rasulullah saw. juga berdialog dengan Ibnu 'Abbas. Dari Ibnu 'Abbas -semoga Allah meridhainya, ia mengatakan, "Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah, untuk melihat shalat Rasulullah saw. Maka beliau bangun dari tidur seraya mengucapkan, 'Mata telah tertidur, bintangbintang pun telah tenggelam, dan (Allah) Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri tetap ada.' Kemudian beliau membaca akhir surah Ali 'Imran 'Inna fii khlaqissamawali wal-ardhi...' Kemudian beliau bangun menuju tempat air yang bergantung lalu berwudhu dan memulai shalat. Maka aku pun berwudhu kemudian berdiri di sebelah kirinya. Beliau menarik kupingku dan memindahkanku ke sebelah kanannya. Aku kembali ke tempatku semula dan Rasulullah saw. kembali memindahkan aku dua dan tiga kali. Ketika selesai shalat, beliau mengatakan, 'Nak, apa yang menghalangimu untuk tetap di tempat berdiri yang aku tunjukkan?' Aku mengatakan,

'Engkau adalah Rasulullah. Tidak layak seorang pun menyamaimu.' Maka Rasulullah saw. bersabda, 'Ya Allah jadikanlah dia orang yang memahami agama dan ajarkanlah padanya takwil'."

Karenanya, saudaraku pendidik, mari kita gunakan cara "apa kendalamu, nak" yang diajarkan Rasulullah saw. kepada kita. Yakni berdialog dengan anak dan memberikan kesempatan kepadanya untuk mengungkapkan gagasan, pendapat dan segala perasaannya. Para sahabat pun telah mengikuti apa yang diajarkan Rasulullah saw Amirul-Mu'minin 'Umar Bin Khaththab mendapat pengaduan dari seorang bapak tentang anaknya. Maka 'Umar Bin Khaththab memanggil anak itu untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. "Apa yang menyebabkan kamu durhaka kepada bapakmu?" tanya 'Umar kepada anak itu. "Wahai Amirul-Mu'minin, apa hak anak pada papaknya?" si anak balik bertanya. "Dia harus memberinya nama yang bagus, memilihkan untuknya calon ibu yang baik, dan mengajarinya Al-Qur'an ," . jawab 'Umar. "Wahai Amirul Mu'minin, ayahku tidak melakukan satu pun dari semua itu," ungkap si anak. 'Umar lalu menoleh kepada si ayah seraya mengatakan, "Engkau telah durhaka kepada anakmu sebelum anakmu durhaka kepadamu." Begitulah 'Umar berdialog dengan anak kecil untuk konfirmasi dalam halhal penting. Anda lihat, saudaraku, Khalifatul-Muslimin dan pemimpin negara terbesar di dunia. Dan Anda tahu sikap tegas 'Umar dalam kebenaran. Dia mengkonfirmasi hal-hal penting kepada kalangan yang sering kali tidak menarik perhatian dan tidak dipandang sebelah mata anak-anak. Saudaraku, mari kita lakukan dialog yang tenang bersama anak. Berdiskusilah denganya dalam suasana penuh kasih. Dengarkanlah pendapatnya dengan seksama dan bijak, sebagaimana dilakukan oleh khalifah kelima, 'Umar Bin 'Abdil 'Aziz. Ketika beliau baru saja menjabat sebagai khalifah, para tamu berdatangan untuk mengucapkan selamat dan menyampaikan berbagai keperluan. Lalu datanglah rombongan dari Hijaz. Seorang anak kecil mewakili mereka maju untuk berbicara. Maka Umar berkata, "Biarkan orang yang lebih tua darimu maju." Anak itu menjawab, "Semoga Allah meluruskan Amirul Mu'minin. Kami datang kepadamu untuk mengucapkan selamat bukan untuk menghinakan. Kami datang kepadamu karena perkenan Allah yang telah mengaruniakan engkau kepada kami..." 'Umar menyahut, "Nasihatilah aku, anakku." Si anak melanjutkan, "Semoga

Allah meluruskan engkau wahai Amirul Mu'minin, Ada orang-orang yang dibanjiri karunia Allah, panjang cita-citanya, dan banyak sanjungan orang kepadanya. Lalu orang itu tergelincir kemudian meluncur ke dalam neraka. Maka janganlah engkau tertipu dengan banyaknya karunia Allah dan banyaknya sanjungan kepadamu, nanti kakimu akan tergelincir dan engkau akan menyusul mereka ke neraka. Semoga Allah tidak menjadikan engkau seperti mereka dan semoga Dia mempertemukan engkau dengan orangorang saleh dari umat ini." Kemudian ia diam. Umar bertanya, "Berapa umur anak itu?" Beliau mendapat jawaban bahwa umurnya sebelas tahun. Beliau bertanya-tanya tentang anak itu, ternyata ia keturunan Husen Bin 'Ali -semoga Allah meridhai mereka. Akhirnya, kami ingin angkat contoh lain tentang dialog yang tenang yang mampu meluruskan langkah seorang Imam besar, Abu Hanifah. Ia melihat seorang anak kecil sedang bermain tanah. Ia mengatakan kepada anak itu, "Hatihati kamu jangan sampai jatuh ke tanah." Si anak itu menjawab, "Engkau yang harus hati-hati agar tidak terjatuh. Karena jatuhnya seorang alim berarti jatuhnya alam semesta." Setelah mendengar nasihat itu Abu Hanifah tidak berani mengeluarkan fatwa kecuali setelah dikaji bersama murid-muridnya selama satu buIan.

17. Latih, Latih dan Latih MELATIH anak akan membuatnya tahu dan mengerti. Ketika si anak mengawali pertumbuhan dan mulai mengaktifkan kedua tangannya, maka ia mulai merangsang otaknya untruk berkembang. Ia akan menyaksikan bagaimana sesuatu dilakukan dan kemudian ia mengulanginya . Demikianlah akhirnya ia melakukan sesuatu dengan baik selangkah demi selangkah. Rasulullah saw. melihat seorang anak sedang menguliti seekor kambing. Tapi ia belum bisa melakukannya secara baik. Maka Rasulullah saw menyingsingkan lengan bajunya seraya mengatakan, "Beginilah caranya." Lalu beliau memasukkan tangannya antara kulit dan darah hingga sampai ke bagian ketiaknya. Kemudian beliau pergi untuk mengimami shalat dan tidak berwudhu lagi. (Riwayat Abu Daud Dari Abu Sa'id Al-Khudri) Pelatihan semacam itu akan membuat anak terbuka pemikirannya dan bertambah luas wawasannya, di samping mempunyai keterampilan. Oleh karena itu alangkah baiknya jika jargon kita dalam berinteraksi dengan anak-anak "beginilah caranya". Karena cara itu lebih mampu menanamkan pengetahuan yang benar dan keterampilan dalam bekerja. Para sahabat amat besar perhatiannya dalam melatih anak-anak mereka. Salah satu contohnya adalah melatih anak-anak mereka berpuasa. Sehingga mereka harus membuatkan mainan untuk anak-anaknya agar merasa terhibur dan tidak merasakan panjangnya hari. Bukhari dan Muslim meriwayatkan, dari Ar-Rabi' Binti Mu'awwidz, bahwa Rasulullah saw. mengutus orang ke kampung-kampung Anshar pada hari 'Asyura untuk mengumumkan: "Barang siapa yang sejak pagi puasa maka hendaklah ia melanjutkannya dan barang siapa yang tidak berpuasa maka hendaklah berpuasa di sisa hari." Maka setelah itu kami selalu berpuasa pada hari 'Asyura dan menyuruh anak-anak kami untuk berpuasa. Kami pergi ke masjid kemudian kami membuat mainan dari bulu. Jika di antara anak-anak itu ada yang menangis maka kami berikan kepadanya hingga sampailah waktu berbuka. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani dalam mengomentari hadits itu mengatakan, "Hadits itu menunjukkan disyari'atkannya melatih anak-anak berpuasa sebagaimana yang telah disebutkan. Meski pun usianya belum

mukallaf (terkena pemberlakuan hukum) namun hal itu perlu dilakukan untuk melatihnya.
Jadi betapa pentingnya latihan bagi anak. Nah, agar latihan yang kita lakukan terhadap anak kita sukses, maka harus diperhatikan hal-hal berikut: a. Memberikan tugas sesuai dengan jenis kelaminnya Tidaklah tepat menugaskan anak laki-laki untuk mencuci piring sementara yang perempuan disuruh untuk mengangkat beban yang berat. Tugastugas ke luar rumah dan membawa beban berat lebih cocok untuk laki-laki. Sedangkan tugas-tugas yang terkait dengan dapur, mengasuh anak kecil lebih tepat untuk anak perempuan. b. Memberi tugas sesuai dengan usianya Tidaklah tepat meminta anak kecil untuk mengangkat sesuatu yang sangat berat. Tidaklah tepat menyuruh anak perempuan yang masih kecil mencuci bertumpuk-tumpuk piring yang memakan waktu lebih dari satu jam. c. Bertahap dalam melatih Jika Anda ingin melatihnya pergi ke supermarket maka untuk pertama kali janganlah ia disuruh pergi ke supermarket yang jauh dan jangan disuruh belanja barang yang harganya tinggi. Suruhlah dia pergi ke supermarket yang dekat untuk membeli hanya satu jenis barang dengan harga murah dan kemudian tingkatkan sedikit demi sedikit. d. Tidak mencercanya jika salah Jika Anda suruh dia membeli sesuatu dan temyata ia membeli barang yang lain atau salah dalam menghitung uang atau memecahkan apa yang ia beli janganlah Anda mengecamnya dengan mengatakan, "Ah, Coba saya tidak suruh kamu," atau "Seharusnya saya bisa mempercayai kamu," atau, "Mana otakmu?" dan Iain-lain. Kalimat-kalimat itu akan membuat dia sangat terpukul dan meninggalkan dampak buruk dalam jiwanya. Demikian pula jika Anda menyuruh puteri Anda melakukan pekerjaan-pekerjan dapur seperti mengiris tomat, mencuci sayuran atau mencuci piring dan tidak mencapai hasil yang memuaskan, maka jangan katakan padanya," Sudah

pergi saja bermain. Kamu masih kecil. Seharusnya saya sendiri yang mengerjakan semua ini."

Sebaiknya terangkanlah kesalahannya kepada anak Anda secara tenang. Minta dia untuk mengulangi tugasnya dengan benar, jika mungkin. Paham kanlah padanya bahwa kita juga biasa salah pada awal kita belajar dan bahwa kesalahan bukan berarti kelemahan dan kegagalan. e. Memantaunya di awal pemberian tugas Sangat baik jika Anda bisa menyertainya pada tugas-tugas pertama. Jadi jika kita menyuruhnya untuk membeli sesuatu, maka tidak ada salahnya jika kita mengawasinya dari jendela atau berdiri di dekatnya. Dan jika kita menyuruh puteri kita melakukan sesuatu di dapur, tidak ada salahnya jika kita mengawasi dan membantunya untuk melakukan pekerjaan secara baik sehingga ia tidak merasa gagal di langkah awal. f. Tidak menugaskan sesuatu pada waktu yang tidak tepat Jika ia sedang bermain dengan teman-temannya dalam permainan yang baik maka janganlah kita memotong kebahagiaannya dangan menugaskan "kepadanya sesuatu yang membuatnya tidak dapat bermain. Dan jika ia sedang menonton TV dengan acara anak-anak yang baik maka janganlah kita memaksanya untuk meninggalkannya dan melakukan sesuatu yang lain. g. Tidak berlebihan dalam memberikan motivasi Kita harus selalu memotivasi anak, misalnya dengan mengucapkan terimakasih kepadanya jika ia melaksanakanapa yang kita tugaskan. Misalnya dengan mengucapkan,"Baarakallahu fiik (semoga Allah memberikan barokah kepadamu)" atau "Bagus, semoga Allah memberikan kesehatan kepadamu." Namun demikian motivasi dan pujian itu jangan dilakukan secara berlebihan. Karena si anak juga harus tahu bahwa apa yang dia lakukan itu adalah bagian dari kewajibannya. 8. Menuntun Anak kepada Sosok Rasulullah saw sebagai Teladan Dari Ibnu 'Abbas -semoga Allah meridhai keduanya-mengatakan, "Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah. Pada tengah malam beliau bangun

untuk shalat. Beliau menuju tempat air yang tergantung dan terus berwudhu; kemudian berdiri untuk shalat. Maka aku bangun, berwudhu dan melakukan apa yang dilakukannya seraya berdiri di sebelah kirinya. Beliau mindahkanku ke sebelah kanannya kemudian ia shalat banyak sekali, kemudian berbaring dan tidur hingga mendengkur. Lalu datanglah muadzin dan beradzan untuk memanggil shalat, maka beliau keluar dan shalat." (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam Shahih- nya) Dalam riwayat lain dari Ibnu Khuzaimah, "Aku menginap di rumah bibiku Maimunah, lalu aku menunggu-nunggu bagaimana Rasulullah saw. shalat, kemudian beliau berdiri dan shalat..." Mengaitkan anak dengan pribadi Rasulullah saw, menjadikannya sebagai teladan, dan menanamkan kecintaan kepadanya, akan membuat seseorang menjadi manusia yang lurus dan terbuka hatinya untuk memahami perjalanan pemimpin para rasul itu. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw,

"Didiklah anak kalian untuk tiga hal: mencintai nabi kalian, mencintai keluarganya, dan membaca al-Al-Qur'an ." (Dikeluarkan oleh AthThabrani dari 'Ali Bin Abi Thalib)
Melalui penanaman cinta kepada Rasulullah saw. itu kita dapat menuntun anak kepada pribadi beliau. Dan langkah-langkah untuk itu adalah: a. Menjelaskan keutamaan Rasulullah saw. bagi umat Islam dengan cara yang sesuai dengan nalar anak Mengajarinya shalawat atas Nabi saat mendengar namanya disebut. Menceritakan sirah Rasulullah dengan cara yang menarik dan berkesan. Membiasakan perilaku yang biasa dipraktikkan oleh Rasulullah saw.

b. c.

d.

Membimbingnya untuk menghafal doa-doa sehari-hari yang biasa diucapkan oleh Rasulullah dan mengarahkan serta memantaunya untuk menghafal hadits-hadits beliau.

19. Mendengar Reflektif ORANG tua harus menjaga anak-anaknya dari kegagalan, rasa keterpurukan, dan konflik dengan anggota lingkungan tempat dia hidup. Tentu saja kita tidak dapat menempatkan mereka dalam perlindungan kita secara terus menerus. Yang dapat kita lakukan padanya hanyalah memberinya pemahaman, dan merespon perasaannya yang sedang tidak baik serta pengalamannya yang mengganggunya. Dan kita harus memotivasi mereka untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara yang disebut mendengar reflektif {reflektive listening). Mendengar reflektif adalah menyimak secara responsif dan aktif dalam rangka memahami apa yang dikatakan anak dan agar dia mampu mengingat kembali perasaannya serta mampu menjelaskan situasi-situasi yang memuculkan perasaan itu. Itu dimaksudkan agar kita dapat membantunya mengungkapkan perasaan dan segala problem yang dihadapinya. Dari situ kita dapat menghilangkan ketegangan dan sikap reaktif. Komunikasi macam ini dengan anak akan membuat hubungan baik dan mengokohkan jalinan serta membuat dia mandiri dan tabah. Kita dapat menggunakan cara mendengar reflektif ini pada anak dari mulai umur tiga tahun, dengan syarat kita menggunakan bahasa yang mudah dan sederhana. Ada lima hal penting yang harus diperhatikan saat Anda menyelami perasaannya, yakni: a. Hendaknya Anda menghargai perasaannya dan tunjukkan bahwa Anda memahami perasaan itu Itu dapat tercapai dengan cara mendengar secara tenang, penuh perhatian, dan tampillah bukan sebagai sosok yang akan menghakimi. Tentu saia ada kemungkinan Anda tidak dapat menerima semua perilaku dan perbuatannya. Tapi kesankan bahwa Anda dapat memahami perasaannya. Dia akan mengungkapkan kepada Anda tingkat kemarahannya kepada saudaranya. Tapi dalam waktu bersamaan Anda tidak mengizinkannya untuk melampiaskan kemarahannya kepada saudaranya itu dengan melakukan keculasan dan pemukulan. b. Tampakkan bahwa Anda benar-benar menyimak apa yang dikatakan

Dengan semata-mata mendengarkan, Anda telah memberikan padanya penghargaan. Karena Anda telah memperkenankan dia untuk mengungkapkan perasaannya dan membagi kekesalan dan kemarahan yang berkecamuk dalam dadanya. Dan isyarat-isyarat yang Anda lakukan juga bisa berarti sebagai partispasi Anda, bahkan seringkali isyarat-isyarat itu mewakili omongan. Misalnya mengangguk-anggukkan kepala sebagai bukti bahwa Anda setuju, menerima, dan berempati terhadap ucapannya. c. Ulangi apa yang dia ucapkan dan ekspresikan bahwa Anda sedang memikirkan perasaannya Sangat baik jika Anda merangkum atau meyusun ulang inti sari yang dia katakan tentang perasaannya itu. Tidaklah cukup -sementara kita tengah bicara tentang empati- hanya mendengarkan dan memahami apa yang dikatakan anak. Sebaiknya kita mengulangi perkataan dan ungkapan perasaannya untuk memberikan bukti bahwa kita merespon dan mahami perasaanya. Itulah yang disebut mendengarkan reflektif seperti yang sudah kita jelaskan. Mengulangi apa ucapan anak bukan berarti mengulangi kata-katanya secara persis melainkan menyusun ulang inti omongannya. Misalnya Anda mengatakan kepada puteri Anda yang berumur tiga tahun yang tengah kecewa, "Oh, kamu pasti kecewa dan sedih ya, karena kamu tidak dapat ikut ibu ke pasar." Suatu saat mungkin anak Anda mengungkapkan perasaan yang amat mengganggu dan mengancamnya. Misalnya ia mengatakan, "Tidak ada seorang pun di kelasku yang menyukaiku." Dalam keadaan seperti ini kendalikan diri Anda dan janganlah Anda terbawa emosi dalam mensikapi informasi yang mungkin membuat Anda tersinggung. Jadilah orang tua yang membantu, memberikan motivasi dan mendorong anaknya untuk semakin berterusterang dalam mengemukakan apa yang bergejolak di dalam hatinya betapapun itu menyakitkan Anda. Anak memerlukan bantuan dan pertolongan Anda. Dan melalui "bermain peran" sebagai cermin, Anda merefleksikan apa yang ada dalam hatinya. Dengan cara itu Anda berinteraksi dengan perasaannya. Itu akan membantunya memilih solusi dan langkah-langakah yang paling baik guna mengatasi kesulitan dan problem yang dia hadapi. Tentu ada fenomena umum dalam cara berfikir dan perilaku anak. Yaitu bahwa mereka sering berlebihan dalam mengungkapkan perasaan mereka dan menggambarkan

situasi yang melatarbelakanginya. Karenanya orangtua harus membantunya dalam menggambarkan perasaan dan situasi yang melatarbelakanginya agar sesuai dengan realitas. Artinya orangtua harus mengurangi sikap berlebihan dan memproporsionalkan perasaan dengan situasi yang sebenarnya. Apa pun kondisinya, dengan cara menyimak dan menyusun ulang fikiran si anak serta membuatnya menjelaskan perasaannya dengan situasi yang melatarbelakanginya, kita akan tahu kalau dia over acting tanpa harus mengatakannya kepadanya secara langsung. Cara ini bisa digunakan dengan anak dalam segala usia. Karena cara ini memenuhi dua syarat. Pertama, konsentrasi, menyimak dan mendengar reflektif. Kedua, meningkatkan pemahaman anak tentang hakikat perasaannya dan realitas. d. Rumuskan perasaannya

Setelah Anda menyimak omongan anak dengan seksama dan mencermati ekspresi wajahnya yang melukiskan perasaannya seperti marah, kecewa, sedih dan Iain-lain, maka sebaiknya Anda mengidentifikasi reaksinya. Misalnya Anda katakan kepada puteri Anda yang berusia sembilan tahun, "Tampaknya kamu kecewa atau kamu sedih karena perlakuan gurumu itu." Jika dugaan Anda -tentang perasaannya- tidak tepat untuk pertama kali, maka coba lagi. Tetaplah anda menghargainya, tenang, dan bicaralah dengan menggunakan jeda-jeda waktu agar Anda menjadi paham. Doronglah puteri Anda itu menilai dugaan anda, benar atau salah. e. Bersikap responsif , berikanlah nasihat dan usulan Kita harus membiarkan anak untuk mencurahkan segala perasaan yang berkecamuk di dalam jiwanya. Terutama jika ia bersikap negatif terhadap kita. Akan tetapi dalam waktu yang bersamaan kita juga tidak membiarkan dia menghina kita. Kita beritahukan bahwa kita memperkenankan dia mengungkapkan perasaannya dan segala gejolak jiwanya tapi dengan tidak mengeluarkan kata-kata yang menghinakan kita. Jika ia tidak mau menuruti peringatan kita, kita bisa memintanya segera menghentikan pembicaraannya dan memberinya hukuman ringan. Sebab ia juga harus

belajar aturan, disiplin, dan adab berbicara dengan ibu-bapaknya atau orang yang lebih tua darinya.

Namun untuk itu kita harus menjadi teladan dalam hal tatakrama mengungkapkan perasaan yang kita terapkan pada anak kita. Kita jangan memberi contoh dengan menghinakannya dan melontarkan ungkapan atau julukan yang merusak kejiwaannya. Betul bahwa anak menginginkan kita memahami perasaannya saat dia marah, membangkang, cemburu, sedih, atau takut. Dan saat ia tidak mendapatkan respon maka ia akan berontak kepada kita. Sebab hal terbesar yang menyakitinya adalah bila kita menganggap enteng perasaannya atau kita bersikap masa bodoh. Karenanya kita harus mendekati perasaannya baik dengan cara memahami, berempati, dan mengidentifikasi perasaannya, bila kita ingin masuk ke dalam jiwa dan akalnya. Berikut ini sebuah contoh yang menjelaskan betapa pentingnya mendekati perasaan anak dengan cara memahami dan berempati. Ini ditulis oleh Salwa Al-Muayyad dalam bukunya, Ibnii Laa Yakfii an Uhibbuk (Anakku, Tidak Cukup Aku Mencintaimu). Sarah pulang dari sekolah dalam keadaan marah. Ia mengadukan kepada ibunya perihal perlakuan buruk gurunya terhadap dirinya. "Aku benci guruku. Dia membentakku di depanku karena aku lupa membawa buku catatan matematika." Ibunya berusaha menampung kemarahannya dan berkata," Apakah sikapnya membuat kamu sangat kesal?" katanya. "Memang. Seorang temanku juga lupa tidak bawa buku tulis, tapi guru itu tidak membentaknya seperti yang dia lakukan kepadaku," jawab si anak. "Kamu menganggap perlakuannya tidak adil, bukan?" sahut ibunya. Spontan anak itu menjawab, "Tentu saja. Bahkan saya berfikir untuk menamparnya dan membuangnya ke tempat sampah." Sambil terus berusaha menenangkan puterinya itu ia mengatakan, "Omonganmu menunjukkan bahwa kamu benar-benar marah kepadanya." Sejak itu amarah Sarah mulai reda. Tidak lama kemudian ia pergi keluar untuk bermain sepeda bersama adiknya, setelah ia lupa kemarahannya kepada gurunya.

Jadi Sarah menginginkan ibunya memahaminya dan mengakui apa yang ia rasakan terhadap gurunya. Dan ibunya telah memenuhi apa yang dia inginkan. Ia tidak menceramahinya melainkan menampung amarahnya dengan cerdas. Dan semua orang tua bisa melakukannya dengan berlatih dan kesabaran.

Reaksi spontan seorang ibu menghadapi situasi seperti itu bisa beberapa sikap. Mungkin ia akan mencela anaknya karena kelalaiannya dan mengatakan bahwa dia memang layak mendapat hukuman seperti itu dari gurunya. Atau mungkin si ibu berdiri di pihak puterinya melawan gurunya. Akan tetapi ibu Sarah tidak melakukan itu. Dia justeru mengakui perasaan anaknya dengan mengatakan, "Kamu menganggap perlakuannya tidak adil, bukan?" Demikian pula saat ia mengatakan, "Omonganmu menunjukkan bahwa kamu benar-benar marah kepadanya." Ibu Sarah juga tidak berusaha menghakimi atau menceramahinya. Karena ia tahu bahwa gurunya telah menjalankan tugas mendidik dan ia tidak ingin mengulangi apa yang dilakukan gurunya di sekolah. Begitulah si ibu sampai kepada hasil positif. Sarah telah keluar untuk bermain sepeda dengan adik-nya setelah memperoleh pelajaran yang semestinya dari gurunya dan mencurahkan kemarahannya yang menggumpal dalam jiwanya melalui curahan hati (curhat) dengan ibunya.

20. Doakan untuk Kebaikan, bukan Keburukannya DOA termasuk hal penting yang harus kita pegang teguh. Kita perlu mencari waktu-waktu terkabulnya doa yang dijelaskan Rasulullah saw. Sebab doa orangtua akan dikabulkan oleh Allah swt. Dengan doa muatan rasa cinta dan kasih sayang akan bertambah mekar di dalam hati kedua orangtua. Maka hendaklah keduanya bermunajat dan memohon kepada Allah agar Dia meluruskan anaknya dan masa depannya. Itulah Sunnah para nabi dan rasul. Oleh karena itu mendoakan keburukan kepada anak merupakan hal yang berbahaya. Sebab hal ini akan mengakibatkan kehancuran anak dan masa depannya, bahkan kehancuran orang tua itu sendiri. Rasulullah saw. melarang para orangtua mendoakan keburukan bagi. anaknya karena hal itu bertentangan dengan akhlak Islam, dengan pendidikan Nabi dan jauh dari cara Nabi dalam menyeru manusia ke dalam Islam. Rasulullah saw. saja tidak medoakan kebinasaan bagi orang musyrik Thaif. Beliau bahkan berdoa, "Aku berharap dari anak keturunan mereka akan ada orang-orang yang beribadah kepada Allah." Dan ternyata Allah rnewujudkan harapannya. Rasulullah saw. bersabda:

"Janganlah kalian mendoakan keburukan kepada diri kalian, janganlah kalian mendoakan keburukan kepada anak-anak kalian, janganlah kalian mendoakan keburukan kepada pelayan-pelayan kalian, dan janganlah kalian mendoakan keburukan kepada harta kalian. Janganlah kalian (mendoakan keburukan sebab jika waktu doa kalian) bertepatan dengan saat-saat dikabulnya doa, maka Allah akan mengabulkan doa kalian (yang buruk itu)" (HR Abu Daud)
Imam Ghazali menyebutkan, ada seseorang yang datang kepada Abdullah Bin Al-Mubarak seraya mengadukan perihal kedurhakaan anaknya. IbnulMubarak bertanya, "Pernahkah kamu mendoakan keburukan baginya?" la menjawab, "Ya, pernah." Ibnul-Mubarak mengatakan, "Engkau telah menghancurkannya." Mestinya, daripada Anda menjadi penyebab kehancurannya - dengan mendoakan keburukan baginya-lebih baik engkau menjadi penyebab kesalehannya dengan mendoakan kebaikan untuknya. Sebagaimana dilakukan Rasulullah saw., beliau mendoakan kebaikan kepada anak-anak

maka Allah memberikan barokah kepada mereka di kemudian hari dengan amal saleh, harta, dan anak. Ibnu 'Abbas -semoga Allah meridhainyamengatakan, "Rasulullah saw. memelukku di dadanya seraya berdoa,

Ya Allah ajarkanlah padanya hikmah'." (HR Bukhari)


Dalam riwayat lain, bunyi doanya adalah,

"Ya Allah ajarkanlah padanya al-Al-Qur'an ."


Dan berkat doa Rasulullah saw. itu Ibnu 'Abbas menjadi habrul-ummah (ulama yang luas ilmunya) dan turjumanul-Al-Qur'an (pakar al-Al-Qur'an ). Rasulullah saw. menempuh jalan doa untuk menyelamatkan anak agar tidak memilih ibunya yang Nasrani dan meninggalkan bapaknya yang muslim. Itu merupakan pelajaran betapa pentingnya doa, sesuatu yang tidak dimiliki oleh sistem lain di luar Islam. 'Abdur-Razzaq meriwayatkan dari 'Abdul-Hamid Al-Anshari dari ayahnya dari kakeknya, bahwa kakeknya masuk Islam sedangkan isterinya enggan masuk Islam. Maka ia membawa anaknya yang masih kecil dan belum dewasa. Kemudian Rasulullah saw. menyuruh ayahnya duduk di sini dan ibunya duduk di sana dan menyuruh si anak untuk memilih. Rasulullah saw. berdoa, "Ya Allah, berilah dia petunjuk." Maka si anak pergi (memilih) bapaknya. (Diriwayat- kan pula oleh Ahmad dan An-Nasai) Durhaka jauh di bawah kekafiran. Namun demikian, berkaitan dengan kekafiran saja Rasulullah saw. menempuh jalan doa. Karenanya dapat kita katakan bahwa doa bisa mencerabut akar-akar kedurhakaan jika orangtua melakukannya dengan ikhlas dan tak kenal henti, bahkan saat bepergian (safar). Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw. apabila telah duduk tegak di atas kendaraannya, untuk melakukan safar, bertakbir tiga kali, kemudian mengucapkan: "Maha Suci (Allah) Yang telah memudahkan (perjalanan) ini bagi kami padahal sebelumnya kami tidak mampu melakukannya. Dan sesungguhnya kami kepada Tuhan kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu, dalam perjalanan ini, kebaikan dan ketakwaan dan amal yang Engkau ridhai. Ya Allah, ringankanlah bagi kami perjalanan ini dan dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkaulah Yang Menyertai kami dalam perjalanan dan Yang Mengurusi keluarga. Ya Allah,

sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kepenatan perjalanan, dari pemandangan yang menyedihkan, dan dari keburukan saat kami kembali, yang m enimpa harta, keluarga, dan anak." Para ibu di zaman Rasulullah saw. begitu antusias mendapatkan doa Rasulullah saw. bagi anak-anak mereka supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Ummu Sulaim, ibu Anas -semoga Allah meridhainya- meminta kepada Rasulullah saw. agar mendoakan anaknya lalu beliau pun berdoa untuknya. Ummu Sulaim berkata, "Wahai Rasulullah, ini pelayanmu, Anas, doakanlah dia." Maka beliau berdoa, "Ya Allah perbanyaklah harta dan anaknya dan limpahkanlah barokah dalam segala yang Engkau berikan kepadanya." (Riwayat Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi) Dalam hadits lain yang diriwayatkan Bukhari, Anas mengatakan, "Ibuku membawaku kepada Rasulullah saw. la memakaikan sarung kepadaku dengan separuh kerudungnya dan memakaikan baju dengan separuhnya yang lain. Kemudian ia mengatakan, "Wahai Rasulullah saw. inilah Unais (si Anas kecil) anakku. Aku membawanya kepadamu agar ia melayanimu. Maka doakanlah dia." Maka Rasulullah saw. berdoa, "Ya Allah perbanyaklah harta dan anaknya." Anas mengatakan, "Demi Allah, hartaku banyak, anak dan cucu-cucuku hari ini berjumlah kira-kira seratus orang." Dari 'Abdillah Bin Hisyam -semoga Allah meridhainya- bahwa ia dibawa ibunya kepada Rasulullah saw. ketika masih kecil. Maka Rasulullah saw. mengusap kepalanya dan tidak membai'atnya. Dalam riwayat lain, Rasulullah saw. mengusap kepalanya dan mendoakannya." (Al-Hakim dalam al-Mustadarak no. 3456) Dari Abu Hamzah Bin 'Abdillah, ia mengatakan, "Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah Bin 'Utbah Bin Mas'ud, Apa yang kau ingat dari Rasulullah saw.?' Dia menjawab, 'Aku masih ingat saat beliau membawaku, dan usiaku waktu itu lima atau enam tahun, lalu menyuruhku duduk di kamarnya seraya mengusap kepalaku dan mendoakan barokah untukku dan keturunanku'." (Al-Hakim) Mungkin ada yang berkata, "Anak memang pembangkang dan tidak patuh kepada kedua orang tuanya." Jawaban untuk hal itu adalah kelapangan dada Nabi Ya'qub terhadap anaknya yang mengatakan, "Aku akan mintakan ampun untukmu kepada Tuhanku."

21. Mendidik dengan Kasus DI ANTARA sarana yang efektif adalah mendidik dengan kasus. Yakni memanfaatkan peristiwa tertentu untuk memberikan pengarahan. Keistimewaannya dibandingkan dengan pengarahan-pengarahan lain yang bersifat rutin adalah bahwa pengarahan yang diberikan setelah terjadinya kasus yang mengguncang jiwa -dan membuatnya lebih mudah terpengaruh- akan lebih efektif, lebih meresap, dan bertahan lebih lama. Sedangkan pengarahan rutin biasanya dingin dan tanpa reaksi. Pendidik yang cerdas tidak akan membiarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi berlalu begitu saja secara sia-sia tanpa diambil 'ibrah dan pelajarannya. Ia akan memanfaatkannya untuk mendidik dan menghaluskan jiwa. Jadi, pendidik yang baik adalah orang yang memiliki kemampuan memanfaatkan momentum tertentu untuk menjadi bahan pengarahan dan nasihat dalam rangka menanamkan pemahaman keimanan dan nilai-nilai pendidikan ke dalam jiwa anak-anak. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di zaman para sahabat dan arahan-arahan al-Al-Qur'an yang turun kepada mereka merupakan sarana pendidikan yang paling bagus dan berdampak paling dalam pada jiwa mereka. Dalam setiap kasus ada pelajaran. Dan dalam setiap pelajaran ada 'ibrah. Tentu saja seorang pendidik tidak akan mampu mengendalikan peristiwaperistiwa. Karena semua peristiwa itu -baik besar maupun kecil- berjalan atas ketentuan Allah. Apa yang dapat ia lakukan adalah memanfaatkan momentum dan peristiwa -yang terjadi berdasarkan ketentuan Allah- itu guna memberikan pelajaran yang mendidik. Baik dalam jiwa si anak ada reaksi spontan atas peristiwa tersebut ataupun si pendidik harus merangsangnya terlebih dahulu dengan mengomentarinya. Bahkan sekalipun dalam diri si anak telah ada luapan perasaan, namun taujih (arahan) tetap perlu diberikan Biasanya, hal itu terjadi apabila si anak melakukan pelanggaran kemudian menimbulkan dampak luar biasa pada dirinya. Pada saat itulah pengarahan akan efektif. Sedangkan peristiwa-peristiwa biasa yang terjadi dalam keseharian, itu bukanlah yang dimaksud dengan pendidikan melalui kasus dan tidak pas untuk itu. Sebab arahan dan komentar yang diberikan haruslah sesuai dengan peristiwa yang terjadi sehingga ia tidak menganggap arahan itu berlebihan. Bisa saja terjadi bahwa anak menganggap sepele sebuah kasus yang terjadi. Sementara si pendidik,

dengan pengalamannya, memandang bahwa peristiwa itu merupakan hal yang besar dan penting. Maka pada saat itu, ia harus menjelaskan kepada si anak makna kejadian itu dan menerangkan bahwa menyepelekannya merupakan kesalahan yang harus dihentikan. Sebagaimana terjadi pada kaum mukminin dalam kasus haditsul-ifki (berita bohong).

"(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: 'Sekali-kali tidaklah layak bagi kita untuk memperkatakan ini. Maha suci Engkau (Ya Tuhan Kami), ini adalah dusta yang besar.' Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu adalah orangorang yang beriman. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. " (QS. An-Nur 15-18)
Jadi Allah mengoreksi kesalahan kaum muslimin yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah hal sepele saja. Allah menjelaskan bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar. Dia juga menjelaskan sikap apa yang seharusnya diambil oleh kaum mukminin dalam situasi seperti itu. Kemudian Dia memberikan arahan yang tajam, keras, dan tegas. Sekarang mari kita lihat bagaimana murabbi (pendidik) teladan, Rasulullah saw. memanfaatkan situasi untuk mendidik. Dari Jabir Bin 'Abdillah -semoga Allah meridhainya- bahwa Rasulullah saw masuk ke pasar sedang orang-orang berada di kanan dan kirinya. Lalu beliau melewati bangkai seekor binatang. "Siapa yang mau beli ini dengan satu dirham?" kata Rasulullah saw. sambil memegang telinganya. "Kami tidak mau. Memangnya apa yang bisa kami buat dengannya?" jawab orang-orang yang ada di situ. "Bagaimana kalau ini menjadi milik kamu?" tanya Rasulullah saw. lagi. "Kalau pun binatang itu hidup, memilikinya merupakan aib, apalagi ia mati." Sahut mereka. Maka Rasulullah saw. mengatakan, "Demi Allah, dunia lebih hina dari pada bangkai ini di hadapan Allah." (HR Muslim) Mendidik dengan pola ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain: Membuka dialog antara pendidik dengan anak. Hal ini akan menumbuhkan daya berfikir dan menambah informasi pada anak

a. Dapat mewujudkan tiga tujuan pendidikan: kognitif, afektif, dan psiko-motorik b. Membuat anak terus menerus berada dalam situasi belajar tanpa dihinggapi rasa bosan karena ada informasi dan pelajaran yang bervariasi, menyangkut aqidah, akhlak dan sebagainya. c. Membuka peluang bagi pendidik untuk melontarkan pertanyaan dan sekaligus jawabannya atas peristiwa itu. d. Berpengaruh lebih kuat pada jiwa anak karena pemahaman yang diperolehnya berpijak pada pengamatan indera audio-visual (pendengaran dan penglihatan).

22. Isi Waktu Luangnya dengan Hal-hal yang Bermanfaat ISLAM menghendaki agar keseharian manusia, dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi, diisi dengan hal-hal yang bermanfaat. Tidak ada waktu yang terbuang percuma. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengisi waktu. Bisa dengan dzikir atau ibadah yang Sunnah, setelah melaksanakan yang wajib. Bisa dengan membaca atau menghafal Al-Qur'an, dalam rangka ibadah kepada Allah. Bisa dengan mengunjungi teman-teman atau membezuk orang sakit. Bisa dengan bersenda gurau dengan isteri dan anak-anak di rumah atau dengan kawan-kawan sesama mukmin. Apa pun yang dilakukan, yang penting semua itu merupakan ketaatan yang mendekatkan diri kepada Allah dan menambah kekayaan jiwa karena itu semua akan menambah aset kebaikan. Dan janganlah potensi jiwa dihabiskan untuk hal-hal tidak berguna lebih-lebih merusak dan menghancurkan. Islam juga mendorong membiasakan anak-anak mengisi waktunya dengan kebajikan sejak mereka kecil. Agar kelak mereka tidak punya kebiasaan mengisi waktu luang dengan perilaku, perasaan, dan pemikiran yang buruk. Waktu luang adalah kesempatan emas bagi perilaku buruk jika tidak dapat memanfaatkannya dengan baik. Terlebih lagi jika ada potensi yang menganggur, maka kerusakan yang timbul akan lebih dahsyat lagi. Terkait dengan anak, untuk mengisi waktu luangnya bisa dengan bermain, menata atau menyusun sesuatu, melakukan beberapa pekerjaan di rumah, bercerita atau mendengarkan cerita, berjalan-jalan ke luar rumah, atau berkunjung ke rumah salah seorang kawan. Semua itu mengisi waktu dalam hal yang bermanfaat dan tidak membiarkannya diisi dengan hal-hal yang buruk. Di antara sarana yang dipakai Islam dalam mendidik manusia untuk hal itu adalah dengan cara menyalurkan segala muatan potensi tubuh dan jiwanya dan tidak membelenggunya. Karena manusia memiliki potensi dinamis yang bersifatfietral, dapat berpihak kepada kebenaran maupun keburukan. Bisa untuk membangun dan bisa juga untuk menghancurkan. Dan dapat pula semua itu disalurkan secara sia-sia tanpa arah dan tujuan. Maka Islam mengarahkannya ke arah yang benar dalam rangka mencapai kebenaran. Dan jangan hendaknya manusia memendam potensi tersebut sebab akan menimbulkan guncangan dan penyakit jiwa lainnya.

Jika mereka tidak menyalurkan potensinya dalam hal yang bermanfaat pasti akan disalurkan . dalam hal yang buruk. Dan ini berbahaya. Di sinilah juga pentingnya pendidik selalu memantau anak didiknya. Anak kecil hingga umur tujuh tahun mungkin menyalurkan sebagian besar potensinya untuk bermain. Nah, permainan adalah lahan yang luas untuk mendidik, mengarahkan, dan mengembangkan talenta (bakat) dan kemampuan dengan syarat mencegahnya dari permainan yang berbahaya atau yang akan menimbulkan kebiasaan buruk. Namun selain dengan bermain, menyalurkan potensi anak bisa juga dengan mendorongnya untuk melakukan pekerjaan tertentu seperi menata atau menyusun sesuatu, menugaskan berbelanja dan pekerjaan-pekerjaan lainnya agar anak tidak memendam potensi menganggur yang mungkin disalurkan untuk hal-hal yang buruk.

23. Perbanyak Kegiatan yang Mengembangkan Kecerdasan JIKA Anda menginginkan kemampuan dan kecerdasan anak Anda berkembang, maka arahkanlah dia pada kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan kecerdasan dan membantunya untuk berfikir secara ilmiah, sistematis, serta memiliki daya inovasi tinggi. Di antara kegiatankegiatan itu adalah: a. Permainan Telah kita singgung di muka urgensi permainan. Ia dapat mengembangkan kemampuan berkreasi pada anak kita. Ada permainan tertentu yang memberikan peluang untuk menumbuhkan imajinasi, dan melatih mereka untuk mengkonsentrasikan perhatian dan mengarahkan kemampuan otak untuk mengambil kesimpulan, berargumentasi, berhati-hati, mencari alternatif dari banyak asumsi. Dan itu semua membantu pengembangan kecerdasan. Permainan imajinatif juga merupakan salah satu sarana untuk merangsang kecerdasan anak. Imajinasi anak akan muncul saat ia memainkan peranperan tertentu dalam permainan itu. Misalnya, ia menjadikan binatang atau benda tertentu sebagai kawan, jauh dari orang lain. Kreatifitas anak akan muncul melalui permainan seperti itu. Tidak boleh dilupakan permainan rakyat. Ini juga mempunyai peranan penting mengembangkan dan merangsang kecerdasan anak-anak. Sebab dalam permainan itu kecenderungan psikologis dan sosial si anak terpuaskan. Ia juga dilatih untuk terbiasa bekerjasama. Jadi alangkah baiknya jika anak-anak didorong untuk melakukan permainan-permainan semacam itu. b. Cerita dan buku-buku fiksi-ilmiah Pengembangan berfikir anak merupakan langkah penting untuk menumbuhkan kecerdasannya. Dan buku-buku ilmiah membantu mengembangkan kecerdasan itu. Sebab ia membimbing anak untuk berfikir ilmiah secara sistematis. Dan pada gilirannya hal itu akan membantu menumbuhkan kecerdasan dan kreatifitasnya serta mengembangkan kemampuan akalnya.

Buku ilmiah bagi anak sekolah dapat menjelaskan beberapa pemahaman ilmiah yang dituntut pada masa kanak-kanak dan dapat merangsang anak untuk berfikir secara ilmiah. Si anak bisa melakuan eksperimen ilmiah yang sederhana. Buku ilmiah juga merupakan sarana yang dapat membuat anak mengembangkan orientasi yang benar terhadap ilmu dan para ulama (pakar). Imajinasi adalah sesuatu yang penting bagi anak dan pasti dimilikinya karena hal itu merupakan ciri khas anak. Pengembangan imajinasi pada anak menempati posisi penting dalam pendidikan. Dan itu bisa dilakukan dengan cara menceritakan cerita-cerita fiktif yang dibingkai dengan akhlak. Dengan syarat kandungannya mudah difahami, membangkitkan perhatian anak, dan menyentuh perasaan. Pengembangan imajinasi juga bisa dilakukan dengan menceritakan cerita-cerita fiksi-limiah yang menggambarkan tentang berbagai inovasi dan masa depan. Ini termasuk upaya menanamkan benih kecerdasan, inovasi dan kreatifitas pada akal anak. Akan tetapi orangtua harus membaca terlebih dahulu cerita-cerita itu guna menyeleksi kelayakannya untuk dibaca oleh anakanak agar cerita-cerita itu tidak malah merusak akal anak. Sebab banyak cerita-cerita yang menanamkan cara berfikir yang salah pada anak dan bertentangan dengan watak manusia, seperti Ultra-man, Superman, Green Man dan Iain-lain. Kisak-kisah seperti itu mengakibatkan persepsi salah pada anak tentang masyarakat tempat dia hidup dan masyarakat lainnya di samping dapat memicu munculnya sikap fanatik dan permusuhan di kalangan mereka. UNESCO menerbitkan laporan penting yang menegaskan munculnya pengaruh buruk yang diakibatkan oleh komik-komik semacam Superman dan Tarzan. Dari segi inspirasi juga komik-komik macam itu berada pada kelas dua dan lebih-lebih tidak menampilkan ide-ide baru. Cerita macam itu merupakan cerita fiktif yang tidak mempunyai landasan logika atau pijakan ilmiah. Bahkan banyak buku bacaan anak yang diterjemahkan dari bahasa asing, yang ditampilkan dengan gaya kocak, menggambarkan persaingan antara dua pihak. Satu-satunya cara untuk menghentikan persaingan, dalam cerita itu, adalah pertarungan sampai mati, dengan cara- cara yang kocak. Masih banyak cerita-cerita bagus yang dapat dijadikan bahan bacaan anakanak, dalam rangka meningkatkan kecerdasan. Misalnya saja kisah-kisah dalam lingkungan Islam (seperti kisah para nabi, para sahabat, para pahlwawan Islam, pen.), kisah yang bermuatan teka-teki yang tidak bertentangan dengan akhlak dan kewajaran. Karenanya kita harus

memilihkan untuk anak-anak cerita-cerita yang bisa meningkatkan kecerdasan dan kreatifitas namun pada saat yang sama juga mengajarkan kasih sayang, keindahan, dan akhlak terpuji. c. Lukisan dan hiasan Melukis dan membuat hiasan juga membantu menumbuhkan kecerdasan anak. Itu tercapai karena saat melukis atau membuat hiasan itu si anak mengembangkan hobinya dan memenuhi akurasi yang dihmtut oleh lukisan. Di samping hal itu juga mengembangkan kemampuan inovatif dengan cara mencari hubungan-hubungan antar bagian dan melakukan penyerasian sehingga lukisan atau hiasan itu menjadi indah. Gambar yang dibuat oleh anak-anak akan menunjukkan fase pertumbuhan akalnya, khususnya daya imajinasinya. Selain itu melukis baginya juga merupakan hiburan dan latihan berkonsentrasi. Meskipun lukisan anak itu sendiri bagian dari permainannya namun dalam waktu yang sama ia juga merupakan wahana komunikasi antara dirinya dengan orang lain. Ia melukis karena ia ingin memperlihatkannya kepada orang lain, termasuk orang dewasa. Seolah ia ingin mengatakan sesuatu melalui lukisannya itu. d. Drama anak-anak Drama atau teater anak-anak mempunyai peran penting dalam menumbuhkan kecerdasan. Dalam permainan itu si anak akan terlibat dalam mendengarkan kisah, menceritakan kisah, dan memainkan peranperan di dalamnya. Semuanya itu akan menumbuhkan kemampuan berfikir. Dan dengan bahasa yang digunakan si anak akan mendapatkan pengkayaan (enrichment) cara berfikir yang variatif. Teater juga dapat meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak. Permainan ini membantu anak untuk menampilkan apa yang menjadi imajinasinya. Dan karenanya tidak sedikit orang yang terlibat dalam teater di sekolahnya mempunyai prestasi bagus, kemampuan bahasa yang baik, dan mampu bersosialisasi dengan masyarakat, selain memiliki kemampuan kreatifitas yang tinggi.

Selain itu teater mempunyai andil besar dalam meningkatkan kematangan karakter anak. la merupakan sarana untuk membentuk orientasi, kecenderungan, nilai-nilai dan corak karakter anak. Makanya, teater sekolah merupakan hal yang amat penting dalam menumbuhkan kecerdasan anak. e. Kegiatan ekstrakutikuler Kegiatan sekolah, yang sering disebut dengan ekstra kurikuler, adalah bagian penting dalam sistem sekolah modern. Kegiatan-kegiatan itu membantu pembentukan kebiasaan, keterampilan, norma-norma, dan metoda berfikir yang harus ada guna melanjutkan proses belajar dan keterlibatan dalam belajar. Anak-anak yang biasa terlibat dalam kegiatan seperti itu biasanya memiliki kemampuan akademik unggul dan tingkat kecerdasan tinggi. Mereka biasanya memiliki pandangan positif terhadap kawan-kawan dan guru-guru mereka. Kegiatan ekstra kurikuler ini bukanlah mata pelajaran yang terpisah dari pelajaran-pelajaran di sekolah. la harus merupakan bagian dari kurikulum pendidikan. Tujuan dari kegiatan-kegiatan itu adalah mengantarkan anak pada pertumbuhan yang simultan, terpadu, dan seimbang. Di samping dapat pula dijadikan sarana untuk membangun kepribadian anak. f. Olah raga Urgensi olah raga ini sangat besar, dalam mencerdaskan anak, karena kegiatan ini dapat menghilangkan kemalasan, kejenuhan otak, dan pada akhirnya membangkitkan kecerdasan. Oleh karena itu kita mengenal pepatah "akal yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat". Itu menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan agar tubuh selalu sehat. Dan itu dapat dicapai dengan makanan yang sehat dan olah raga. Dan juga menunjukkan adanya hubungan yang erat antara akal dan jasad serta menegaskan peran pendidikan dalam mempersiapkan akal dan jasad secara bersama-sama. Melakukan olah raga pada waktu senggang merupakan faktor penting yang dapat meningkatkan ikesegaran tubuh dan postur yang baik, membangkitkan keceriaan dan dapat meningkatkan gairah kerja dan produktifitas. Dari sisi mentalitas, olah raga dapat meningkatkan kesabaran, tanggungjawab, keberanian, dan jiwa tolong menolong. Semua itu merupakan sikap-sikap yang dibutuhkan anak dalam rangka mencapai

sukses di bangku sekolah maupun dalam kehidupannya di tengah masyarakat. DR. Hamid Zahran, dalam salah satu kajiannya, menjelaskan hubungan olah raga dengan keceradasan dan kreatifitas. Menurutnya, "Kreatifitas terkait dengan sejumlah faktor misalnya tingkat ekonomi, sosial, karakter, dan seluruh aktifitas manusia terutama olah raga. Dan menurut Dale Ford, kreatifitas bukan hanya ada dalam seni dan ilmu pengetahuan melainkan dalam segala aktifitas manusia." Ya, kita tahu bahwa kompetisi olahraga menuntut pemanfaatan seluruh fungsi otak, termasuk di dalamnya fungsi berfikir. Beberapa jenis olah raga menuntut kemampuan kreatifitas dan sekaligus berperan dalam menumbuhkan cara berfikir ilmiah, inovatif, cerdas pada anak-anak. g. Membaca buku dan perpustakaan Kata pertama, dalam al-Al-Qur'an , yang diturunkan oleh Allah swt. adalah "iqra" (bacalah). Firman-Nya:

"Bacaah dengan (menyeutt) nama Rabbmu Yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Rabbmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajari (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. " (Al-'Alaq 1-5)
Jadi, membaca hendaknya ditempatkan pada posisi paling depan dalam perhatian manusia. Sebab ia merupakan sarana utama bagi anak dalam mengeksplorasi lingkungan. Ia merupakan cara ideal untuk mengokohkan kemampuan berkreatifitas dan mengembangkan bakat. Dan ini mendukung peran pendidikan di sekolah. Membaca merupakan pintu bagi anak untuk melakukan kajian dan penelitian. Bahkan dengan membaca ia bisa menyalurkan keinginan untuk melihat tempat-tempat yang menjadi khayalannya. Karenanya, kita harus memulai dengan menanamkan pada anak cinta baca dan biasa baca. Kita juga perlu mengenali segala kesulitan yang dialaminya saat dia baru belajar membaca. Tujuan membaca adalah menjadikan anak bisa berfikir sendiri, mengkaji sendiri, berkreatifitas sendiri, dan mencari informasi sendiri. Karena semua itu akan sangat membantunya dalam menghadapi dunia. Agar ia tampil

sebagai inovator bukan peniru dan pembebek. Tidak percuma bahwa membaca diperintahkan langsung oleh Allah swt. Orang yang membaca berarti melaksanakan perintah Allah swt. Dan jika ia tidak membaca berarti ia berdosa dan bertanggungjawab di hadapan Allah swt. Allah tidaklah memerintahkan kecuali hal yang bermanfaat untuk kita. h. Hobi dan kegiatan hiburan Menyalurkan hobi dan melakukan kegiatan yang menghibur merupakan cara yang baik untuk memproduktifkan waktu luang pada anak. Cara ini dipandang sebagai penyebab penting bagi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak. Waktu luang oleh masyarakat maju bukan dipandang sebagai semata-mata saat untuk santai dan mengembalikan enerji akan tetapi juga sebagai peluang untuk menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian secara utuh dan seimbang. Para ahli pendidikan memandang pentingnya merancang kegiatan untuk mengisi waktu luang dengan pola yang dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan pengalaman positif, dan dalam waktu yang sama juga membantu menumbuhkan kepribadian dan manfaat lainnya baik dari sisi akhlak, kesehatan fisik, atau kesenian. Dari situ tampaklah urgensi kegiatan itu dalam membangun akal anak pada khususnya dan manusia pada umumnya." i. Menghafal al-Al-Qur'an Mengapa menghafal al-Al-Qur'an? Karena al-Al-Qur'an menyeru kita untuk merenungkan dan memikirkan banyak hal dari mulai penciptaan langit dan bumi -dan ini merupakan puncak berfikir dan perenungan, memikirkan tentang penciptaan manusia, dan penciptaan apa yang ada sekitar kita agar iman kita bertambah dan berpadu dengan ilmu. Menghafal al-Al-Qur'an dan memahami maknanya secara sempurna akan mengantarkan seseorang pada tingkat kecerdasan yang sangat maju. Makanya kita melihat para tokoh, para ulama, para cerdik cendekia, dan para sastrawan muslim rata-rata sudah hafal al-Qur'an sejak kecil. Karena memang alQur'an merupakan landasan penting untuk perluasan pemikiran dan wawasan.

Al-Qur'an menyeru manusia untuk berfikir, merenung, menggunakan akal supaya mereka mengenal kekuasaan Allah yang sangat Agung dan mengenal alam raya tempat ia hidup. Yang kesemuanya itu mengantarkan pada mengenal Allah (ma'rifatullah) dengan sebaik-baik pengenalan. Contohnya ayat-ayat berikut:

"Agar kalian berdiri (ibadah) kepada Allah berdua-dua dan sendiri-sendiri kemudian kalian berfikir. " (Saba 46)
Ayat itu mengajak kita memikirkan semua tanda-tanda kekuasaan Allah. Dia juga berfirman:

"Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang berfikir. " (Yunus 24)
"' Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berfikir. " (Ar-Ra 'di atas 3; An-Nahl 11) Allah juga membedakan antara orang yang berfikir dan mendayagunakan akalnya dengan orang selain mereka yang tidak mendayagunakan nikmat Allah itu. Dia berfirman:

"Katakanlah, samakah orang yang buta dengan orang yang melihat. Tidakkah kamu sekalian berfikir? (Al-An 'am 50)
Firmannya pula:

"Tidakkah mereka berfikir tentang diri mereka sendiri?" (Ar-Rum 8)


Ini merupakan ajakan terbuka untuk berfikir tentang diri sendiri dan tentang masa depan. Ada seruan lain untuk berfikir tentang penciptaan langit dan bumi dan tentang segala kondisi yang dialami manusia. la berfirman:

"Orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, Dan mereka berfikir tentang penciptaan langit dan bumi. " (Ali 'Imran 191)

Bahkan ada ajakan agar kita berfikir tentang kisah-kisah nyata yang diceritakan Allah. Firman-Nya:

"Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir (Al-A'raf 176)


Bahkan tamsil-tamsil yang disebutkan Allah dalam al-Qur'an juga tidak lain untuk difikirkan. Firman-Nya:

"Dan itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami buat untuk manusia agar mereka berfikir. " (Al-Hasyr 21)

24. Mendidik dengan Nasihat KETELADANAN adalah faktor penting dan strategis dalam proses pendidikan. Tapi hal ini bukanlah satu-satunya. Betapapun orang yang menjadi figur itu saleh dan istiqamah, namun ada faktor lain yang tidak boleh hilang, selain keteladan itu. Harus ada pengajaran dan nasehat yang berkesan yang mampu membuka jalan untuk masuk ke dalam jiwa melalui hati nurani. Andai keteladanan adalah satu-satunya yang dibutuhkan dalam proses pendidikan, maka niscaya keteladanan teragung yang mewujud pada pribadi Rasulullah saw. adalah cukup untuk menegakkan sistem pendidikan (manhaj tarbiyah) Islam. Akan tetapi keteladan beliau, dengan segala keagungan yang tiada bandingannya dalam sejarah manusia itu -bahkan di tingkat para nabi sekalipun- tetap saja diperlukan pengajaran, arahan, dan nasehat. Dan itu dilakukan Rasulullah saw. dengan aneka cara. Misalnya Rasulullah saw. membuat perumpamaan. Beliau mengatakan, "Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Qur'an seperti buah utrujah (semacam jeruk)"; atau sambil mengacungkan jari telunjuk dan.jari tengah, beliau mengatakan, "Aku dan pemelihara anak yatim bagaikan ini."; atau dengan cara membuat gambar. Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir Bin Abdillah -semoga Allah meridhainya, ia mengatakan, "Saat kami duduk bersama Rasulullah saw., beliau menggambar satu garis lurus di tanah seraya mengatakan, 'Inilah jalan Allah.' Kemudian beliau membuat dua garis di kanan dan kirinya masing-masing dua garis seraya mengatakan, 'Dan ini jalan-jalan syetan.' Kemudian sambil meletakkan tangannya di garis tengah itu beliau membacakan ayat: 'Sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah mengikuti jalan-jalan itu sebab akan menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Allah mewasiatkan kepadamu supaya kamu bertakwa'. Atau dengan cara mengalihkan perhatian kepada yang lebih penting. Ketika ditanya, "Kapan terjadinya kiamat?" beliau menjawab, "Apa yang sudah kamu persiapkan untuknya?" Orang itu menjawab, "Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya." Maka Rasulullah saw. mengatakan, "Kamu bersama yang kamu cintai." Itu hanya sedikit contoh.

Orang yang memperhatikan hadits-hadits Nabi saw. akan menemukannya sebagai pengarahan-pengarahan dari Nabi, baik berupa hukum, wasiat, pelajaran, nasihat, maupun perintah dan larangan. Bukan ingin membatasi namun sekedar memberikan contoh saja, saya ingin sebutkan satu akhlak indah dalam Islam yang ditegaskan Rasulullah saw, karena urgensinya dalam kepribadian seseorang. Yakni kebersihan hati dari penyakit iri dan dengki. Dan hal itu disampaikan Rasulullah melalui nasehat kepada anak kecil bernama Anas Bin Malik. Beliau memesankan kepadanya agar membersihkan hati dari kotoran-kotoran jiwa pagi dan petang hari dengan cara memaafkan orang-orang yang berbuat buruk kepadanya dan melepaskan hatinya dari bisikan-bisikan syetan. Dan mari kita simak bersama apa yang dikatakan Rasulullah saw.: "Wahai anakku, jika kamu bisa hidup di waktu pagi dan petang hari dalam keadaan hatimu tidak menyimpan kedengkian, maka lakukanlah. Wahai anakku, itulah sunnahku. Dan barang siapa menghidupkan sunnahku maka sungguh dia telah menghidupkanku. Dan barang siapa menghidupkanku maka ia bersamaku di sorga." (Hadits hasan gharib, dirivva- yatkan oleh At-Tirmidzi dari Anas Bin Malik) Terlebih lagi al-Qur'an al-Karim. Dari awal hingga akhirnya penuh dengan pengajaran, arahan, dan nasihat. Disampaikan melalui kisah, targhib (dorongan) dan tathib (ancaman); menampilkan peris-tiwa alam dan kemukjizatannya, dan seterusnya. Karena memang banyak hal yang tidak bisa tidak harus disampaikan melalui nasehat atau pengarahan itu. Sebab betapapun lurus fitrah manusia, namun tidak mungkin bangunan jiwanya sempurna dengan semata-mata keteladanan. Tetap saja ia memerlukan arahan dari waktu ke waktu. Di dalam jiwa manusia ada dorongan fitrah yang selalu membutuhkan koreksi dan pelurusan. Boleh jadi ada orang yang tidak mampu menyerap keteladan atau tidak cukup hanya dengan melihat keteladanan. Khusunya anak-anak, yang pemahaman dan wawasannya masih terbatas, sehingga tidak dapat secara otomatis menangkap pelajaran dari apa yang dilakukan orang dewasa, maka mereka harus diarahkan. Boleh jadi ibu dan bapaknya tidak mencuri tapi anaknya cenderung untuk melakukannya karena dorongan-dorongan tertentu. Mungkin ibu dan bapaknya tidak pernah berbohong tapi anaknya berbohong untuk alasan tertentu. Pada saat itu harus ada nasihat yang lemah lembut, halus, dan berkesan yang dapat mengembalikan anak menuju perilaku yang benar dan akhlak yang tinggi.

Belum lagi kalau kita berbicara tentang faktor genetik yang beragam yang menjadikan anak sebagai perpaduan dari karakter ibu dan karakter bapaknya. Sehingga tidak otomatis anak mengikuti bapak atau ibunya. Dan tidak otomatis kedua orangtuanya menjadi teladan baginya.

Sering kali si anak bertanya kepada ayah atau ibunya, "Mengapa Ibu dan Bapak melakukan ini dan itu?" Ia ingin tahu tujuan, manfaat, atau hikmah dari perbuatan yang mereka lakukan, yang belum bisa mereka cerna. Dan mereka mungkin tidak tertarik untuk meneladaninya jika ia tidak memahami sebab atau kegunaannya. Kita semua mengetahui pesan-pesan dan arahan-arahan Luqman AlHakim (yang bijak) kepada anaknya tanpa merentangkan tangannya untuk memukul atau menghinakannya. Ini menunjukkan betapa pendidikan anak tidak bisa mengabaikan faktor nasehat.

"Dan ingatlah takala Luqman berkata kepada puteranya, di waktu ia memberikan nasehat kepadanya, 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah karena sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar kezaliman yang besar. 'Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya.; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahaunmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikutinya, dan pergaulilah keduannya di dunia dengcm baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata), 'Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia untuk mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dan manusia (karena somhong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan

lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. " (Luqman 13-19)

25. Gunakanlah Kisah dalam Menanamkan Nilai dan Keutamaan AL-QUR'AN telah menggunakan kisah dengan sangat luas dalam menanamkan nilai-nilai keimanan dan menghunjamkannya dalam jiwa kaum muslimin. Kisah merupakan salah satu prinsip dalam pendidikan Islam. la dapat merangsang minat anak di usia-usia dini. Anak akan lebih tertarik kisah (cerita) dari yang lainnya karena ia meninggalkan kesan yang jelas dalam jiwanya. Kisah menanamkan nilainilai yang ia sukai melalui empati dan keberpihakan kepada para pemeran. Dan ini mempunyai peran besar dalam menarik perhatian dan merangsang kesadaran pemikiran dan akalnya. Karenanya, kita harus mengoptimalkan pengaruh kisah-kisah ini baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Kepada anak kecil misalnya, kita bisa menceritakan kembali kisah yang ada dalam al-Qur'an dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna oleh si anak. Kita juga bisa mengarang cerita-cerita yang mengantarkan anak pada keutamaan akhlak, kebersihan perasaan, dan sikap-sikap terpuji lainnya yang ingin kita tanamkan. Atau untuk menjauhkannya dari segala sikap buruk dan mentalitas yang rendah. Mengisyaratkan pentingnya peranan kisah dalam pendidikan, Imam Ghazali mengatakan, "Anak hendaknya mempelajari al-Qur'an , haditshadits, dan kisah kehidupan orang-orang saleh agar di dalam jiwanya tertanam kecintaan kepada orang-orang saleh." Kisah-kisah dalam al-Qur'an merupakan cara pendekatan yang baik dalam pengajaran dan pendidikan. Dalam surah Al-Maidah misalnya, kita menemukan kisah dua anak Adam dan apa yang terjadi pada mereka sebagai buah dari amal mereka masing-masing. Juga ada kisah ashhabulkahfi (penghuni goa) dan bagaimana peran aqidah dalam membentuk jiwa. Ada kisah Nabi Yusuf -'alaihissalam- yang melukiskan kesucian diri dan menampilkan nilai-nilai keteladanan, keikhlasan, ketabahan, dan menginformasikan adanya pertarungan yang berkepanjangan antara kebenaran dan kebatilan, dan kisah-kisah lainnya. Di samping itu, ada pula kisah-kisah yang disampaikan Nabi saw. seperti kisah orang botak, lepra, dan buta, yang isinya menganjurkan agar kita selalu mensyukuri nikmat Allah. Ada kisah tentang orang-orang yang terjebak dalam goa yang mengajarkan tentang keutamaan dan pentingnya keikhlasan.

Kisah yang dipilih hendaknya yang menarik anak, sesuai dengan umurnya, dikemas dengan cara yang dapat menyentuh perasaannya secara mudah; dan mendorongnya untuk melakukan kebaikan, berpegang teguh dengan nilai-nilai keutamaan, menyadari pengawasan Allah (muraqabatullah) serta terjauhkan dari sifat tercela. Kisah yang memiliki karakteristik semacam itu banyak sekali. Sekedar contoh saja, untuk menanamkan muraqabatullah misalnya, bisa kita ceritakan kisah 'Umar Bin Khaththab dengan seorang budak gembala. "Umar ingin menguji anak itu. "Saya perlu seekor kambing. Kamu mau menjual satu untuk saya?" pintanya. "Kambing-kambing ini bukan milik saya," elaknya. Namun "Umar bersikeras. "Saya kan membelinya bukan mencuri," "Umar meyakinkan. "Setahu saya kambing-kambing ini tidak untuk dijual," si anak memberikan alasan. "Majikan kamu jauh dari sini, kan. Jadi tidak akan tahu. Kalau pun dia tahu ada yang hilang padahal dia tidak mau menjualnya, katakan saja kepadanya bahwa kambing itu dimakan srigala,' bujuknya. Tanpa diduga si anak itu menjawab, "Kalau begitu, di mana Allah?" 'Umar menangis haru mendengar jawaban itu. Lalu beliau pergi dengan si budak sahaya itu dan membelinya lalu memerdekakannya dari tuannya. "Umar kemudian mengatakan, "Kalimat tadi telah membuat kamu merdeka di dunia. Semoga pula kalimat yang sama memerdekakan kamu di hari akhirat." Bisa juga untuk menanamkan muraqabatullah itu diceritakan kisah seorang ibu dengan puterinya. Si ibu ingin mencampur susu dengan air. Tujuannya agar ia mendapat keuntungan lebih banyak. "Tapi, Bu, Amirul Mu'minin 'Umar Bin Khattab melarang hal itu," sang puteri yang tampak gelisah itu mengingatkan. "Ah, Amirul Mu'minin kan jauh dari kita. Dia tidak melihat kita." Si ibu mencoba membela diri. "Kalau Amirul-Mu'minin tidak melihat kita, Tuhannya Amirul-Mu'min tentu melihat kita," jawab si anak dengan penuh keyakinan.

Ketika kita ingin menanamkan nilai-nilai kejujuran, kita bisa mengangkat cerita penggembala yang suka berdusta. Suatu hari si gembala pergi menggiring kambing-kambing ke ladang rumput. "Tolong...tolong...ada serigala..tolong..!" teriak si gembala seperti ketakutan. Tak urung teriakan itu membuat kaget penduduk desa yang sedang asyik dengan pekerjaan masing-masing. Lalu dengan tergopohgopoh penduduk desa berdatangan. Tapi apa yang terjadi? Tidak ada srigala. Yang ada si anak gembala sedang tertawa terbahak-bahak. Ia merasa puas dapat mengelabui orang-orang. "Eee, aku kan cuma bercanda,' kilahnya enteng. Dengan hati dongkol penduduk desa pulang. Sepanjang jalan mereka mengumpat dan memaki anak itu. Beberapa hari kemudian. "Tolong...tolong ... ada srigala ...tolong dia menyerangku..tolong," jerit si anak gembala. Penduduk desa mendengar suara jeritan itu. Namun mereka tidak terusik. Mereka tahu bahwa itu pasti tipuan seperti yang pernah mereka alami beberapa hari yang lalu. Mereka terus asyik dengan pekerjaan mereka. Dan si anak gembala tak henti-henti berteriak minta tolong. Belakangan diketahui bahwa srigala itu benar-benar datang dan menyerang kambing serta anak itu. Kisah ini memberikan arahan kepada anak-anak bahwa orang yang pernah berdusta tidak akan dipercaya untuk selamanya. Demikianlah seorang pendidik dapat memanfaatkan kisah-kisah untuk mencapai sasaran pendidikan yang diinginkan. SELESAI

SEMOGA BERTAMBAH ILMU KITA

Bergabunglah di Komunitas Kita http://groups.yahoo.com/group/rezaervani

Anda mungkin juga menyukai