Anda di halaman 1dari 88

MUHAMMAD RASYID DIMAS

25 KIAT MEMPENGARUHI
JIWA DAN AKAL ANAK

AL INSHAT AL IN’IKASI

KHAMSUN WA ISYRUNA THARIQAH FI NAFSI ATH THIFLI WA


’AQLIHI

Penerbit

Dar Ibn Hazm


Beirut Lebanon
Muqaddimah

SEGALA puji hanya bagi Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan


kepada-Nya, dan minta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Al-
lah dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan amal-amal kami.
Barangsiapa diberi petunjuk Allah maka tiada satu pun dapat
menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan Allah maka tiada satu pun
dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Wa ba'du:

Islam memerintahkan orang tua untuk mendidik anak dan memikulkan


tanggung jawab itu di pundak mereka. Firman Allah swt.

"Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Padanya ada
malaikatyang kasar dan bengis yang tidak durhaka kepada Allah (dalam
menjalankan) apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. " (At-Tahirm 6)

Rasulullah saw. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar:

"Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta


pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin
dan akan ditanya (diminta pertanggungjawaban) tentang rakyatnya.
Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanya
tentang kepemimpinannya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah
suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinnaya. Seorang pembantu
adalah pemimpin dalam urusan harta majikannya dan akan ditanya
tentang kepemimpinannya. Dan setiap kalian adalah pemimpin dan akan
diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya." (Muttafaq
'alaih)

Rasulullah saw. telah meletakkan kaidah-kaidah dasar yang intinya adalah


bahwa anak akan tumbuh sesuai dengan agama kedua orang tuanya.
Merekalah orang yang secara kuat mempengaruhi anak-anaknya. Beliau
bersabda:

"Tidak ada seorang anak yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah.
Maka ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau
Majusi." (Bukhari)
Abul-'Ala mengatakan:

"Pemuda-pemuda kami tumbuh-kembang

Sesuai dengan pembiasaan bapaknya

Anak muda tidaklah beragama berdasarkan otaknya.

Orang-orang terdekatlah yang membentuk cara beragamanya."

Hal itu juga diisyaratkan oleh Imam Al-Ghazali. Beliau mengatakan, "Anak
kecil siap menerima segala ukiran dan akan cenderung pada setiap yang
diucapkan." Karenanya, jika kita mengajari dan membiasakan anak-anak
kita dengan kebaikan maka mereka akan tumbuh dalam kebaikan itu.
Mereka akan bahagia di dunia dan akhirat dan kita juga akan bahagia
bersama mereka, insya Allah. Dan jika kita mengabaikan mereka
sebagaimana binatang, mereka akan celaka dan binasa, dan kita turut
celaka bersama mereka. Kita menanggung dosa akibat melalaikan
tanggungjawab dan kewajiban kita terhadap mereka.

Boleh jadi seorang bapak menyesali sikap tak mempedulikan anaknya dan
menangisi apa yang telah ia lakukan. Akan tetapi apa arti tangisan itu bila
nasi sudah menjadi bubur.

Karenanya kita menemukan bahwa Islam memikulkan tanggungjawab


pendidikan, dalam dimensinya yang paling jauh dan cakupannya yang
paling luas, kepada para bapak, para ibu dan semua pendidik. Islam juga
mengingatkan dan memperingatkan mereka bahwa Allah akan meminta
pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat tentang amanah itu, adakah
mereka menunaikannya; tentang risalah. itu, adakah mereka
menyampaikannya; dan tentang tanggung jawab itu adakah mereka
memikulnya?

Allah swt. berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, niscaya Kami akan menanyai mereka semua,


tentang apa yang mereka kerjakan. " (Al-Hijr 92-93)

Firman-Nya pula:
"Seandainya Allah hendak mengambil anak niscaya Dia akan memilih apa
yang Dia kehendaki dari apa yang diciptakan-Nya. Maha Suci Allah, Dialah
Allah Yang Esa dan Maha Mengalahkan. " (Az-Zumar 4)

Ibnul-Qayyim -semoga Allah merahmatinya-menegaskan tanggungjawab


itu dengan mengutip perkataan para ulama seraya mengatakan,

"Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada anak tentang orang tuanya.


Barangsiapa mengabaikan pendidikan anak dan menelantarkannya maka ia
telah melakukan puncak keburukan. Dan kebanyakan kerusakan pada anak
diakibatkan oleh para orangtua yang mengabaikan mereka dan tidak
mengajari mereka kewajiban agama dan Sunnah."

Pembaca budiman, anak bagaikan lembaran putih yang mungkin ditulisi


apa saja sesuai dengan yang kita inginkan. Fitrahnya bersih tidak tercoret
gambar apapun, seperti yang dikatakan Ibnu Maskawaih dalam Tahdzibul-
Akhlaq. Sedangkan pendidikan dan pengajaran orang dewasa banyak
menemui kesulitan sebagaimana dikatakan dalam pepatah rakyat: "kucing
dewasa tidak bisa dididik". Itulah yang dilukiskan seorang penyair:

"Pendidikan di masa kecil akan bermanfaat Sedangkan di saat tua dia tidak
berguna Sesungguhnya ranting jika engkau luruskan akan menjadi lurus,
Sedangkan batang jika engkau luruskan tidak akan melunak."

Selain itu, masa kanak-kanak adalah fase pertumbuhan yang paling


penting dan paling besar pengaruhnya terhadap jiwa. Sebab, seperti kita
ketahui, fase itu merupakan masa pembentukan kepribadian. Karena itulah
saya memutuskan untuk menulis seni, keterampilan, dan kaidah-kaidah
pendidikan anak sesuai dengan konsep pendidikan Islam -seperti yang
diarahkan oleh Rasulullah saw.- yang telah dijalankan oleh para pendahulu
kita yang saleh dalam mendidik anak mereka. Saya juga merujuk kepada
ilmu jiwa dan ilmu pendidikan moderen.

Ini semua dimaksudkan agar kita dapat mempersiapkan anak kita sebagai
orang-orang masa depan dan orang-orang abad mendatang yang penuh
dengan tantangan; agar ia kelak menjadi orang yang tangguh dalam
memikul segala beban dan mengemban tanggung jawab dan kemudian ia
menjadi panutan karena kesucian jiwanya, kebersihan hatinya, ketinggian
akhlaknya, keindahan perilakunya, keserasian penampilannya, dan
kelemah-lembutan pergaulannya.
Muhammad Rasyid Dimas
1. Bersahabatlah dengan Anak dan Jadilah Teladan

SIKAP bersahabat dengan anak mempunyai peranan besar dalam


mempengaruhi jiwanya. Perilaku seseorang akan menjadi cermin bagi
sahabatnya.

Rasulullah saw. biasa menemani anak-anak dalam banyak kesempatan.


Suatu saat beliau menemani Ibnu 'Abbas dan berjalan berdua. Di lain
kesempatan beliau menemani anak-anak saudara sepupunya, Ja'far.
Kadang-kadang ia menemani Anas. Begitulah Rasulullah saw. bersahabat
dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk lebih-lebih angkuh. Adalah
merupakan hak anak untuk dapat menyertai orang-orang dewasa agar
mereka bisa belajar dari orang dewasa itu hingga jiwanya terdidik dan
kebiasaannya menjadi baik.

Dalam sebuah hadits, Anas Bin Malik menjelaskan bahwa Jibril pernah
datang kepada Rasulullah saw. sedangkan beliau tengah bermain bersama
anak-anak. Lalu Jibril membawa beliau, membaringkan, dan membelah
dadanya.

Seorang sahabat Rasulullah saw. yang masih anak-anak menceritakan


bagaimana kaumnya meminta dirinya untuk menemani Rasulullah saw. Hal
yang menyebabkan ia kelak meriwayatkan hadits-hadits Nabi saw. Ia
menginformasikan apa yang dilihat dan didengarnya dari Rasulullah saw.
Itulah Abu Juhaifah -semoga Allah meridhainya-. Dia mengatakan, "Saya
datang bersama rombongan dari Bani 'Amir Bin Sha'sha'ah di Abthah.
Rasulullah saw. mengatakan, "Selamat datang, kalian adalah bagian
dariku." Saat tiba waktu shalat, keluarlah Bilal lalu adzan dan memasukkan
kedua telunjuknya pada kedua telinganya. Ia menengok (ke kanan dan ke
kiri) saat adzan. Maka ketika (hendak) melakukan shalat Rasulullah saw
menancapkan tongkat lalu shalat menghadapinya."

Rasulullah saw pernah melihat sekelompok anak-anak tengah bermain.


Beliau tidak memisahkan mereka dan tidak pula menghentikan permainan
mereka. Bahkan beliau mendukung semangat kebersamaan itu dan
mengawasi permainan mereka.

Demikian pula para sahabat beliau -semoga Allah meridhai mereka. 'Umar
biasa menemani puteranya dan menemani Ibnu 'Abbas. Zubair biasa
menyertai anaknya ke medan perang untuk belajar seni berperang hingga
tumbuh menjadi kuat dan tangguh. Adalah Rasulullah saw, di masa
kecilnya, biasa bergaul dengan anak-anak dan bermain bersama mereka.
Pagi dan petang selalu dengan mereka. Demikianlah beliau tumbuh.

Jadi, orang tua harus menyediakan waktu untuk menemani anak-anaknya.


Anak-anak juga perlu dicarikan teman sebaya. Jika orang tua pandai
memilihkan teman yang saleh untuk anak-anaknya dan mengawasi
perilaku mereka serta membimbingnya, maka hal itu akan mendatangkan
kebaikan bagi dirinya.

Faktor keteladanan juga mempunyai pengaruh besar terhadap jiwa anak.


Sebab biasanya anak akan meniru kedua orang tuanya. Bahkan kedua
orang tuanya akan mencetak perilaku paling kuat. "Maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nasrani," demikian
kata Rasulullah saw. Keteladanan adalah sarana paling efektif untuk
menuju keberhasilan pendidikan.

Karena itu, Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. untuk menjadi teladan
bagi manusia. "Sungguh telah ada, untuk kalian, pada diri Rasulullah
teladan yang baik." Dan Allah menampilkan kepribadian Rasulullah saw.
sebagai gambaran utuh sistem Islam, sebuah gambaran yang hidup dan
abadi sepanjang sejarah.

Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. la menjawab,


"Akhlaknya adalah al-Quran." Rasulullah saw. adalah teladan agung untuk
manusia sepanjang sejarahnya. Beliau adalah pendidik dan penuntun
dengan segala perilakunya sebelum dengan kata-kata yang terucap. Itulah
Rasulullah saw, yang menganjurkan para orangtua agar menjadi teladan
yang baik tentang kejujuran dalam bergaul dengan anak-anak. Sebab
kejujuran adalah jalan keberhasilan.

Imam Ahmad Bin Hanbal meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah -semoga
Allah meridhainya-bahwa Nabi saw. bersabda:

"Barang siapa mengatakan kepada anaknya, 'Kemarilah aku beri sesuatu',


tapi tidak memberinya maka itu merupakan kebohongan."

Abu Daud mengeluarkan hadits dari Abdullah Bin 'Amir, ia berkata, "Suatu
hari ibuku memanggilku, sedangkan Rasulullah saw. tengah duduk di
rumah kami. Ibuku mengatakan, 'Kemarilah aku akan memberi kamu
sesuatu.' Rasulullah saw. bertanya kepadanya, 'Apa yang mau kauberikan
kepadanya?' Ibuku menjawab, "Aku akan beri dia kurma.' Rasulullah saw.
berkata kepadanya, 'Demi Allah jika engkau tidak memberi sesuatu
padanya maka akan dicatat bahwa engkau berdusta'."

Bukankah tuntunan Nabi saw. itu menunjukkan upaya keras beliau agar
pendidik mempraktikkan kejujuran di hadapan orang yang dididiknya untuk
memberi keteladanan kepadanya.

Abdullah Bin 'Amer -semoga Allah meridhai mereka- mengatakan bahwa ia


mendengar Rasulullah saw. bersabda,

"Berangkatlah tiga orang -dari umat terdahulu- hingga tiba malam yang
memaksa mereka berlindung di sebuah goa. Lalu mereka memasukinya.
Tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari gunung menutup pintu goa
tersebut. Mereka berkata, 'Tidak ada yang dapat menyelamatkan kalian
dari batu ini kecuali doa kalian dengan (perantaraan) amal saleh kalian.
Salah seorang di antara mereka mengatakan, 'Ya Allah, aku mempunyai
ibu bapak yang sudah tua renta. Dan aku tidak pernah berani mendahului
mereka minum di sore hari, tidak pula keluargaku. Pada suatu hari aku
harus pergi jauh untuk mencari kayu bakar hingga aku pulang menemui
mereka dalam keadaan sudah tertidur. Aku tidak ingin membangunkan
mereka sementara aku tidak mau mendahulukan keluargaku (untuk
minum). Maka aku menunggu mereka bangun, sedangkan cangkir tetap di
tanganku, hingga terbit fajar. Sedangkan anak-anakku, saat aku datang,
menggeliat-geliat karena lapar. Lalu kedua orangtua saya bangun dan
meminum minumannya itu. Ya Allah, jika aku lakukan itu karena mencari
ridha-Mu maka berilah aku jalan keluar dari himpitan batu ini. Maka
bergesarlah batu itu sedikit, namun mereka belum dapat keluar darinya..."
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Hal itu menunjukkan betapa Rasulullah saw. ingin agar para pendidik
berbuat baik kepada orang tuanya agar menjadi teladan bagi orang yang
sedang dididik. Apa makna anak-anak yang dibiarkan menggeliat-geliat
kelaparan padahal cangkir minuman itu ada di tangannya? Bukankah itu
menunjukkan bahwa ayah adalah teladan bagi anak-anaknya dalam hal
berbuat baik kepada kedua orang tuanya?

Sahl Bin Sa'ad As-Sa'idi meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. diberi


minuman lalu beliau meminumnya sedangkan di sebelah kanan beliau ada
seorang anak laki-laki dan di sebelah kiri beliau ada orang-orang yang
sudah tua. Rasulullah saw bertanya kepada anak itu, "Apakah kamu
mengizinkan aku untuk memberi mereka (yang tua-tua) terlebih dahulu?"
Si anak itu menjawab, "Tidak, demi Allah, aku tidak akan memberikan
hakku darimu kepada siapa pun." Bukankah tuntunan Nabi saw itu
menunjukkan bahwa beliau memberikan teladan dalam bersikap lemah-
lembut kepada anak-anak kecil dan berpegang teguh dengan manhaj Islam
dalam tata cara minum, hingga generasi Islam mengikuti jejak langkahnya?
Demikianlah Rasulullah saw. mengajari orang yang mengemban amanah
pendidikan agar menjadi teladan dalam segala hal. Supaya anak-anak
terpengaruh dengan perilaku mereka yang terpuji, dengan nasehat yang
membekas, dengan peringatan yang membimbing, dan dengan pendidikan
yang bijaksana dan integral.

Anak-anak akan meniru perilaku orang dewasa yang mereka amati. Jika
mereka mendapatkan kedua orang tuanya jujur, maka mereka akan
tumbuh menjadi orang jujur. Demikian pula dalam hal lainnya. Anak-anak
melihat orang dewasa di sekitarnya sebagai sosok ideal. Jadi, ayah dan ibu
di rumah atau guru di sekolah, dengan segala perilakunya akan menjadi
contoh yang akan ia tiru. Di sinilah arti penting larangan menampakkan
sikap kontradikitif di depan anak-anak. Tidak boleh sama sekali, misalnya,
mengatakan kepada anak-anak bahwa dusta itu salah dan haram
sementara kita berdusta di hadapannya. Atau bahwa kita tidak boleh kotor
tapi kemudian mereka melihat kita makan tanpa mencuci tangan terlebih
dahulu.

Inilah si kecil Ibnu 'Abbas -semoga Allah meridhainya- ketika ia melihat


orang yang melakukan shalat malam ia segera melakukannya dan
bergabung dengan Rasulullah saw. Ia menceritakan,

"Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah, pada suatu malam. Maka nabi
saw. berdiri (untuk shalat malam). Beliau berwuduhu dari ember yang
tergantung dengan (cara) wudhu yang ringan. Kemudian berdiri shalat,
dan aku pun bangun untuk wudhu seperti wudhu beliau kemudian aku
kembali (dari berwudhu) dan berdiri di samping kiri Rasulullah saw. Maka
beliau memindahkanku ke sebelah kanannya kemudian ia shalat..."
(Riwayat Bukhari)

Jadi ia berwudhu mengikuti Rasulullah saw. kemudian berdiri untuk shalat.


Demikianlah peran keteladan pada jiwa anak. Karenanya orangtua dituntut
untuk menjadi teladan yang baik karena memang anak akan mengamati
perilaku mereka dan perkataan mereka. Anak biasanya bertanya-tanya
tentang alasan orang tua melakukan sesuatu. Jika yang dilakukan itu baik
maka anak pun akan baik. Dan inilah si kecil Abdullah Bin Abi Bakrah yang
senantiasa mengamati doa-doa yang dilantunkan ayahnya, lalu ia bertanya
tentang doa-doa itu dan ayahnya menjawabnya.

Abdullah Bin Abi Bakrah mengatakan,


"Saya bertanya kepada ayah saya, 'Ayah, aku dengar engkau setiap pagi
mengucapkan: 'Ya Allah, sehatkanlah pendengaranku. Ya Allah,
sehatkanlah pandanganku. Dan tidak ada tuhan selain Engkau'. Engkau
mengulang-ulangnya tiga kali jika datang waktu pagi dan tiga kali jika
datang waktu sore.' Ia menjawab, 'Wahai anakku, sesungguhnya aku
mendengar Rasulullah saw berdoa dengan doa itu. Jadi aku ingin mengikuti
sunnahnya'." (Riwayat AbuDaud)

Kedua orangtua dituntut melaksanakan perintah-perintah Allah swt. dan


Sunnah Rasul-Nya dalam bentuk amal nyata dan perilaku serta senantiasa
meningkatkan hal itu secara optimal. Sebab anak-anak senantiasa
mengamati mereka pagi dan petang dan dalam setiap kesempatan.
Kemampuan untuk meniru pada anak-anak, baik karena paham ataupun
tidak paham, amat besar melebihi dugaan kita. Sedangkan kita
memandangnya sebagai makhluk kecil yang tidak mengerti apa-apa.

Karenanya, keteladanan dalam pendidikan adalah merupakan salah satu


sarana paling efektif dan berpengaruh dalam mempersiapkan anak dari sisi
akhlak dan membentuknya secara psikologis dan sosial. Karena pendidik
adalah prototipe dalam pandangan anak, seperti yang telah kita sebutkan
sebelum ini. Dan teladan yang baik dalam pandangan anak pasti akan
diikutinya dengan perilaku dan akhlak, baik disadari ataupun tidak. Bahkan
akan terpateri dalam jiwa dan perasaannya bayangan ucapan, perbuatan,
perasaan, dan mental orangtua, disadari atau tidak.

adi keteladanan merupakan faktor penting dalam membentuk kesalehan


atau kenakalan anak. Jika pendidik jujur, amanah, berakhlak baik,
pemurah, pemberani, dan menjaga kesucian diri, maka si anak akan
tumbuh menjadi orang yang jujur, amanah, berakhlak mulia, pemurah,
pemberani, dan menjaga kesucian diri. Dan jika pendidik berdusta, khianat,
kikir, pengecut, maka si anak pun akan tumbuh dengan dusta, khianat,
penakut, dan kikir.

Karenanya orang-orang terdahulu begitu serius dalam memilih pendidik


terbaik untuk anak mereka.

'Umar Bin Utbah menulis surat kepada pendidik anaknya. Isinya,


"Hendaklah yang pertama kau lakukan dalam mensalehkan anakmu adalah
mensalehkan dirimu sendiri. Sebab pandangan mereka sangat ditentukan
oleh pandanganmu. Yang disebut baik oleh mereka adalah apa yang
kaulakukan dan yang disebut buruk oleh mereka adalah apa yang kau
tinggalkan."
Pembaca budiman, saya ingin menceritakan sebuah peristiwa yang
disampaikan oleh Ustadz Mahmud Mahir Zaidan dalam bukunya, Als-
Tsawab Wal-'Iqob Fit-Tarbiyah (Imbalan dan hukuman dalam Pendidikan),
halaman 17. Silakan Anda menyimpulkan sendiri seberapa besar peranan
keteladanan.

la menulis:

"Suatu kali saya pernah diundang untuk menghadiri sebuah pesta


sederhana, di ruang kelas V SD. Dalam acara itu, anak-anak meminta salah
seorang teman mereka untuk menirukan perilaku guru-guru sekolah. Lalu
si anak bangkit sambil mengatakan bahwa ia akan menirukan guru
pelajaran Bahasa Inggris. Ia lalu keluar dari kelas dan menutup pintunya.
Sejenak ia menghilang. Dan tiba-tiba ia masuk, bagaikan angin topan,
dengan menendang pintu sekeras-kerasnya. Dengan mata tajam yang
menyorot ke "murid-muridnya" dan dengan wajah garang ia mengatakan,
'Good morning dogs!

Sebelum para hadirin mengakhiri keterhenyakannya oleh demonstrasi itu,


anak itu mengatakan bahwa ia akan menirukan guru matematika. Ia
kemudian melontarkan pertanyaan kepada salah seorang temannya yang
kemudian menjawab dengan ragu-ragu. Kemudian pertanyaan yang sama
ditujukan kepada temannya yang lain dan menjawabnya dengan benar.
Maka "si guru" itu menyuruh murid yang jawabannya benar untuk
menampar temannya yang jawabannya tidak tepat itu. Keterhenyakan pun
semakin menjadi-jadi.

Tiba-tiba saja salah seorang guru mengajak kami menyantap makanan dan
minuman yang tersedia di hadapan kami. Dan saya pun mengerti bahwa ia
ingin mencegah kami agar tidak menikmati lebih jauh tentang apa yang
terjadi di hadapanku."

Ustadz Mahmud melanjutkan, "Saya keluar mengayunkan langkah dengan


hati pedih. Dalam benak saya berkecamuk puluhan tanda tanya dan
kegalauan. Begitukah hubungan antara guru dengan murid? Perilaku dan
nilai macam apa yang harus kita tanamkan dalam jiwa-jiwa yang tengah
meniti awal perjalanan dalam kehidupan itu?"

Jadi, sekali saja contoh yang buruk, sudah cukup. Sekali saja murid
mendengar gurunya mengucapkan kata-kata kotor dan menghina, itu
sudah cukup. Sekali saja anak mendengar ibunya berdusta kepada
ayahnya atau sebaliknya, atau salah satunya berdusta kepada
tetangganya, sekali saja, cukup untuk menumbangkan nilai kejujuran
dalam jiwanya.

Sekali saja mendengar ayahnya memerintah dirinya untuk menjawab


telepon dengan mengatakan bahwa ia tidak ada padahal ada; atau ibunya
meminta saudara perempuannya untuk mengatakan hal serupa, maka ia
tidak mungkin lagi belajar tentang kejujuran. Sekali saja ia melihat ibunya
mengelabui ayah atau saudaranya atau mengelabui dirinya, maka tidak
mungkin ia belajar amanah. Sekali saja ia melihat ibunya berperilaku
rendah maka ia tidak akan dapat belajar akhlak mulia. Sekali saja ayahnya
bersikap kasar kepadanya, ia tidak akan bisa belajar kasih sayang dan
kerja sama.

Anak, betapapun berpotensi besar untuk menerima kebaikan dan


betapapun fitrahnya lurus dan suci, namun dia tidak akan merespon
prinsip-prisnsip kebaikan dan dasar-dasar pendidikan yang baik selama ia
tidak melihat pendidiknya berakhlak mulia dan menjadi sosok ideal. Adalah
mudah bagi pendidik mengarang buku atau mendiktekan metoda pendi-
dikan. Akan tetapi amatlah sulit bagi sang anak untuk menerima manhaj
(sistem) pendidikan mana pun jika ia melihat orang yang menjadi
pembimbingnya tidak mempraktikkan apa yang diajarakan oleh metodologi
itu.

Untuk itu, saya ingin mengingatkan kita semua agar tidak terjadi
kontradiksi antara ucapan dengan perbuatan kita. Jika kita cermati al-
Quran, kita akan temukan bahwa al-Quran menolak keras perilaku orang-
orang yang perbuatannya berlainan dengan ucapannya termasuk di
dalamnya adalah para bapak, para ibu, semua pendidik, dan semua orang
yang mengemban amanah pendidikan. Firman Allah swt.:

"Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa


yang tidak kalian kerjakan. Sungguh amat besar dosa di sisi Allah jika
kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan. " (Ash-Shaf 2-3)

Firman-Nya pula:

"Adakah kamu memerintah manusia untuk melakukan kebaikan dan kalian


lupakan diri kalian sendiri padahal kalian membaca kitab. Tidakkah kalian
berfikir?" (Al-Baqarah 44)
Adakah Anda menemukan dalam al-Qur'an larangan yang lebih hebat dari
larangan terhadap orang-orang yang memberikan teladan yang buruk?
Sungguh agung sikap 'Umar Bin Khattab -semoga Allah meridhainya- saat
mengumpulkan keluarganya seraya mengatakan kepada mereka, "Amma
Ba'du. Sesungguhnya aku akan menyeru orang untuk melakukan itu dan
ini. Aku akan mencegah mereka dari perbuatan itu dan ini. Dan aku
bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Agung, aku tidak ingin
mendapatkan seorang pun dari kalian yang melakukan apa yang aku cegah
itu atau tidak mengerjakan apa yang aku perintahkan kepada orang-orang
itu. Jika tidak, aku akan hukum kalian dengan hukuman yang berat."

Lalu keluarlah 'Umar untuk menyeru manusia kepada kebaikan. Maka tidak
seorang pun dari mereka ragu-ragu untuk mendengar dan menaatinya.
Sebab ia telah memberi mereka contoh dengan perbuatan sebelum dengan
kata-kata.

Seorang penyair melukiskan kepedihan hatinya melihat guru dan pendidik


yang perbuatannya menyalahi kata-katanya:

"Wahai engkau yang mengajari orang lain

Tidakkah pelajaran itu juga berlaku untukmu

Engkau memberikan obat kepada orang sakit

Agar ia sembuh padahal dirimu juga sakit

Kami lihat engkau meluruskan akal kami dengan petunjuk

Padahal engkau sendiri mandul petunjuk

Mulailah dengan dirimu dan cegahlah dari

senyimpangan

Jika itu kau lakukan maka engkau orang yang bijak

Cala itulah nasihatmu akan diterima

Ilmumu akan diikuti dan pengajaranmu berguna."


2. Tunaikan Hak-hak Anak

DIANTARA hak paling penting yang wajib kita tunaikan kepada anak
adalah memahaminya, berempati kepadanya, dan menasihatinya jika ia
melakukan kesalahan. Temuan berikut ini akan mempertegas hal itu:

Seorang ahli pendidikan menunjuk tiga orang ibu dari para peserta
Pelatihan Seni Kebapakan. Ia mengatakan kepada mereka,

"Saya akan memanggil ibu yang pertama dengan Hanan, yang kedua
Su'ad, dan yang ketiga dengan nama Laila. Dan saya akan bertanya
kepada Anda semua dengan beberapa pertanyaan. Saya ingin Anda semua
menjawabnya."

la mulai dengan pertanyaan berikut: "Jika masing-masing Anda, pada


suatu pagi, sedang menyiapkan sarapan untuk suami Anda. Tiba-tiba
telepon berdering, anak Anda menangis, dan roti bakar yang sedang Anda
siapkan untuk suami hangus. Lalu suami Anda berkomentar dengan
mengatakan, 'Kapan kamu akan belajar memanggang roti tanpa
menghanguskannya?' Bagaimana kira-kira reaksi Anda?"

Hanan : "Langsung saya lemparkan roti itu


kemukanya!"

Su'ad : "Saya akan katakan padanya, 'Bangun dan


bakar sendiri rotinya!"

Laila : "Komentarnya itu melukai perasaan saya dan


saya rasa saya akan menangis."

Ahli pendidikan : "Lalu bagaimana perasaan Anda terhadap suami


Anda?"

Ketiganya : "Marah, benci, dan merasa dizalimi."

Ahli pendidikan : "Mudahkah bagi Anda untuk menyiapkan roti


bakar lain untuknya?"

Serempak semuanya : "Tentu saja tidak."


Ahli Pendidikan : "Jika suami Anda pergi bekerja, akan mudahkan bagi
Anda untuk membereskan rumah dan belanja
kebutuhan sehari-hari dengan lapang dada?"

Hanan : 'Tidak. Saya akan merasa sumpek sekali


sepanjang hari."

Su'ad :"Tentu saja tidak. Saya tidak akan membeli apa


pun untuk keperluan rumah hari itu."

Laila : "Saya akan merasa sesak dalam menjalankan


kewajiban-kewajiban saya."

Ahli pendidikan : "Katakanlah bahwa roti itu memang hangus. Akan


tetapi suami Anda mengatakan kepada Anda,
'Tampaknya pagimu ini melelahkan. Telepon
berdering, anak menangis, dan sekarang roti
hangus'. Kira-kira apa reaksi Anda dengan
komentar seperti itu?"

Hanan : "Saya tidak percaya bahwa yang berbicara itu


adalah suami saya."

Su'ad : "Saya akan merasa bahagia dan senang."

Laila : "Saya akan merasa bahagia dan saya fikir saya


akan memeluknya.

Ahli

pendidikan : "Mengapa Anda gembira? Bukankah anak tetap


menangis, telepon berdering dan roti hangus
sudah ?"

Semua perempuan itu : "Saya tidak akan peduli dengan semua itu."

Ahli pendidikan : "Lalu apa yang berbeda kali ini?"

Hanan : "Saya merasa suami saya baik sekali karena ia


tidak mengkritik saya melainkan memahami
perasaan saya. Dia berpihak kepadaku dan
bukan melawanku." Dan para ibu itu
menyetujuinya.

Ahli pendidikan : "Jika suami Anda pergi, akan mudahkah bagi


Anda untuk melakukan tugas-tugas rumah
tangga?"

Su'ad, mewakili para ibu itu:

"Saya akan melaksanakan tugas-tugas saya dengan senang hati."

Ahli pendidikan : "Sekarang mari kita bicara tentang suami tipe


ketiga. Setelah roti itu hangus ia memandang
isterinya sambil mengatakan, nih, saya ajari kamu
cara membakar roti'!"

Para ibu itu serempak: "Tidak. Suami macam itu lebih buruk lagi dari yang
pertama. Sebab ia menganggap saya dungu."

Saat itu si ahli pendidikan mengatakan, "Bagaimana kalau apa yang suami
Anda lakukan kepada Anda itu Anda lakukan
kepada anak Anda?"

Hanan : "Sekarang saya mengerti tujuan Anda dengan


dialog ini. Saya memang selalu mengkritik anak
saya, tanpa saya sadari, dengan mengatakan,
'Kamu sudah besar dan usiamu sudah harus
membuat kamu tahu bahwa apa yang kamu
lakukan itu salah.' Saya sekarang tahu mengapa
ia marah dengan kata-kataku."

Su'ad :"Saya juga selalu mengatakan kepada anak saya,


'Biar saya tunjukkan kepada-mu bagaimana cara
melakukan itu dan ini.' Dan ia sering kali marah
saat saya katakan hal itu.

Laila : "Saya selalu mengkritik puteri saya hingga hal


itu menjadi hal yang biasa bagi saya. Dan saya
sering mengulang-ulang kalimat yang dulu
diucapkan ibu saya kepada saya, jika memarahi
saya, saat saya kecil. Dan saya juga dulu sangat
tidak suka saat mendengar ibu mengatakannya."
Ahli pendidikan : "Dan sekarang Anda mengatakan kalimat yang
sama kepada puteri Anda?"

Laila : "Betul, itu yang saya lakukan. Dan saya


membenci diriku ketika saya mengucapkannya."

Ahli pendidikan : "Apakah sekarang Anda bisa melihat cara yang


lebih baik dalam berinteraksi dengan puteri
Anda?"

Segera Laila menjawab,

"Tentu, saya berharap saya dapat belajar tentang


cara baru yang lebih baik."

Ahli pendidikan : "Kalau begitu mari kita cari tahu apa yang
mungkin kita pelajari dari kasus roti hangus ini.
Apa yang membantu merubah perasaan Anda
dari benci menjadi senang terhadap suami Anda?"

Hanan :"Saya yakin sebabnya adalah karena suami tidak


menkritik saya bahkan dia memahami perasaan
saya."

Su'ad menambahkan, "Tanpa mencela saya."

Laila menimpali, "Tanpa mendikte saya."

Setelah sampai pada yang dituju, ahli pendidikan itu mengatakan,


"Sekarang Anda semua mengerti bahwa apa yang Anda inginkan dari
suami Anda itulah pula yang diinginkan oleh anak-anak kita dari kita:
pengertian dan empati.

Baik orang dewasa maupun anak-anak sama-sama membutuhkan


pengertian dan empati bukan kritikan dan membutuhkan nasihat saat
mereka melakukan kesalahan sehingga mereka dapat belajar dari
pengalaman untuk mengembangkan kepribadian mereka. Oleh karena itu
kita harus memenuhi hak itu kepada anak jika kita ingin anak kita
berkembang secara seimbang.

Memahami dan berempati kepada anak akan menanamkan sikap positif


dalam menghadapi kehidupan. Dia akan belajar bahwa dalam kehidupan
ada memberi dan menerima. Dia akan berlatih untuk tunduk kepada
kebenaran sebab ia melihat teladan yang baik di hadapannya. Ia akan
membiasakan diri bersikap adil dalam menerima kebenaran. Sehingga akan
tumbuhlah kemampuan untuk memilih cara mengungkapkan apa yang ada
dalam jiwanya dan cara menuntut hak-haknya. Dan sikap sebaliknya akan
memasung, membunuh dan mengubur kemampuan itu.

Inilah Rasulullah saw. Beliau meminta izin kepada anak kecil yang ada di
sebelah kanannya untuk mengalah dari hak minum guna memberikannya
terlebih dahulu kepada orang dewasa yang ada di sebelah kirinya. Tapi
ternyata si anak itu tidak ingin orang lain mendahulinya meminum air sisa
Rasulullah saw. itu. Rasulullah saw. pun kemudian memberikan minuman
itu kepada si anak. Dan si anak merasa nyaman dalam menikmati haknya.

Sahl Bin Sa'ad As-Sa'idi meriwayatkan,

bahwa Rasulullah saw. diberi minuman lalu beliau meminumnya


sedangkan di sebelah kanan beliau ada seorang anak laki-laki dan di
sebelah kiri beliau ada orang-orang yang sudah tua. Rasulullah saw
bertanya kepada anak itu, "Apakah engkau mengizinkan aku untuk
memberi mereka terlebih dahulu?" Si anak itu menjawab, "Tidak, demi
Allah, aku tidak akan memberikan hakku darimu kepada siapa pun." Maka
Rasulullah saw. meletakkannya di tangan anak itu. (Bukhari dan Muslim)

Ketika seorang anak memprotes Rasulullah saw. -sesaat sebelum perang


Uhud- karena merasa bahwa haknya dihalang-halangi, seraya mengatakan
kepada beliau, "Wahai Rasulullah saw, engkau mengizinkan anak pamanku
ikut perang. Padahal jika saya bergulat dengannya pasti saya
mengalahkannya." Maka Rasulullah saw. mengizinkan mereka bergulat.
Dan benar saja ia dapat mengalahkan anak pamannya itu. Maka tidak ada
pilihan lain bagi Rasulullah saw. selain mengizinkan anak itu menjadi
prajurit Muslim dalam memerangi orang-orang musyrik.

Adakah seseorang di dunia ini yang lebih tinggi kedudukannya, lebih


berwibawa, lebih banyak prajurit dan pengikutnya, dan lebih utama dari
Rasulullah saw.? Tidak dan seribu kali tidak. Tapi, beliau menerima
kebenaran dari anak kecil. Beliau mengajari kita menerima kebenaran dari
anak kecil tanpa rasa angkuh dan merasa turun gengsi. Kita mungkin
bertanya kepada sebagian para orang tua, "Untuk apa berkelit dan
berbelit-belit dengan anak; dan berusaha lari dari merespon dan memenuhi
hak-hak mereka?"

Kepada orang seperti itu kita sampaikan hadits Nabi saw. berikut:

Dari Ibnu Mas'ud -semoga Allah meridhainya-berkata, "Saya berkata


kepada Nabi saw, 'Ajarkanlah kepadaku kalimat-kalimat yang padat namun
singkat dan bermanfaat.' Rasulullah saw. menjawab, 'Beribadahlah kepada
Allah dan janganlah kamu menyekutukan sesuatu apa pun dengan-Nya;
berputarlah dengan al-Qur'an kemana saja ia berputar; terimalah kebe-
naran dari siapa saja yang membawanya, anak kecil ataupun orang tua,
meskipun ia itu kamu benci dan jauh (hubungannya dengan kamu) tolaklah
kebatilan dari siapapun datangnya, anak kecil ataupun orang tua,
meskipun dia kamu cintai dan akrab'." (HR Ibnu 'Asakir dan Ad-Dailami)

Di antara hak anak adalah menjadi imam dan pemimpin jika ia mempunyai
ilmu dan bagus bacaan (Quran)-Nya. Dari Muhajir Bin Hubaib Az-Zubaidi, ia
mengatakan, berkumpullah Abu Salamah Bin 'Abdirrahman dan Sa'id Bin
Jubair. Berkatalah Sa'id kepada Abu Salamah, "Sampaikanlah hadits
kepada Icami, kami akan mengikutimu." Abu Salamah mengatakan,
Rasulullah saw. bersabda, "Jika ada tiga orang dalam perjalanan maka
hendaklah yang mengimami ibereka adalah orang yang paling baik bacaan
(Quran)-nya walaupun ia paling kecil. Dan jika ia mengimaminya maka
dialah pemimpin mereka." Abu Salamah mengatakan, "Itulah pemimpin
yang diangkat langsung oleh Rasulullah saw." (HR 'Abdur-Razzaq)

Dan sudah mafhum bahwa yang dimaksud dengan paling baik bacaannya
adalah paling memahami hukum-hukum shalat dan bacaan al-Qur'an.

Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Musa minta izin sebanyak tiga kali
untuk masuk ke rumah 'Umar. Tampaknya ia mendapatkan 'Umar dalam
keadaan sibuk lalu ia pulang. "Tidakkah kamu dengar suara Abdullah Bin
Qais (Abu Musa)? Biarkan dia masuk," kata "Umar setelah Abu Musa
pulang. Lalu dipanggillah Abu Musa, seraya 'Umar berkata, "Apa yang
membuatmu bersikap begitu?" la menjawab, "Sesungguhnya kami
diperintah begitu (oleh Rasulullah saw)" 'Umar mengatakan, "Kamu harus
mendatangkan bukti dan jika tidak akan aku hukum." Maka keluarlah Abu
Musa menemui majlis kaum Anshar dan mereka mengatakan, "Tidak ada
yang menjadi saksi untukmu selain orang yang paling kecil (muda) di
antara kita." Maka berdirilah Abu Sa'id seraya berkata, "Memang kita
diperintahkan demikian (oleh Rasulullah saw)" Umar berkata, "Aku tidak
mengetahui perintah Rasulullah saw tersebut. Urusan dagangan di pasar
telah membuatku lalai." (HR Muslim)
Dalam riwayat lain, "Tidak ada yang bisa menjadi saksi untukmu sekalian
kecuali orang yang paling muda usianya. Bangunlah wahai Abu Sa'id!"

Tidakkah Anda lihat, wahai saudaraku, bahwa Amirul Mu'minin menerima


kesaksian yang benar dari seorang anak kecil, Abu Sa'id Al-Khudri -semoga
Allah meridhai mereka-Mengapa kita tidak meneladaninya? Para salafus-
salih telah mempraktikkan dalam menerima kebenaran dari anak kecil
bagaimana pun keadaaannya.

Demikian pula Abu Hanifah -semoga Allah meridhainya. la menerima


nasehat dari anak kecil. Ketika melihat seorang anak bermain di tanah,
beliau menasehatinya, "Hati-hati, jangan sampai kamu jatuh ke tanah."
Maka berkatalah si anak kecil kepada imam besar itu, "Hati-hatilah engkau
jangan sampai terjatuh. Sebab jatuhnya seorang 'alim berarti jatuhnya
alam semesta." Maka tersentaklah jiwa Abu Hanifah demi mendengar
ungkapan itu. Karenanya ia tidak pernah berani mengeluarkan fatwa
kecuali jika sudah dikaji selama satu bulan bersama para muridnya.

Demikian pula 'Umar Bin 'Abdul-'Aziz. Saat ia menerima tampuk khilafah,


para utusan berdatangan untuk mengucapkan selamat atas jabatan
barunya. Majulah seorang anak kecil, mewakili satu rombongan utusan.
Maka Khalifar 'Umar Bin 'Abdil 'Aziz berkata, "Tidak adakah di antara
rombongan kamu orang yang lebih tua darimu?" Maka anak itu menjawab,
"Wahai Amirul Mu'minin, kalaulah yang menjadi ukuran adalah usia, maka
ada orang yang lebih tua darimu untuk menduduki jabatan itu. Wahai
Amirul Mu'minin tidakkah Anda tahu bahwa manusia itu ditentukan oleh
dua hal kecil yang ada padanya: lidah dan hati." 'Umar menjawab,
"Nasihatilah aku wahai anak muda." Maka sang anak pun menasehatinya
hingga membuatnya menangis.

Anda lihat, jiwa-jiwa agung itu, kepala-kepala yang penuh dengan ilmu itu
menerima nasehat dan bimbingan dari anak-anak. Mereka mendengar
anak-anak itu dengan rendah hati lalu menerima pendapat mereka untuk
mengoreksi dan meluruskan pemikiran dan langkah mereka. Semoga Allah
menjadikan saya dan Anda berjalan di atas petunjuk dan menerima
kebenaran dari anak kecil dan orang tua.5
3. Gembirakan dan Hiburlah Hatinya

KEGEMBIRAAN memainkan peran yang sangat menakjubkan dan


berpengaruh kuat dalam jiwa anak. Anak-anak -sebagai tunas-tunas suci-
menyenangi kegembiraan. Mereka senang melihat senyuman tersungging
di wajah orang dewasa.

Karenanya memetik senar kegembiraan pada anak akan memunculkan


keriangan dan vitalitas dalam jiwanya. Hal itu juga akan menjadikan si
anak selalu siap untuk menerima perintah, peringatan, atau bimbingan apa
pun.

Ya, menaburkan kegembiraan dan keceriaan pada anak akan membuatnya


mampu mengaktualisasikan kemampuannya dalam bentuknya yang
sempurna. Di hadapan kita ada contoh yang diperankan Rasulullah saw.
Intinya menggambarkan bahwa keceriaan jiwa adalah jalan untuk
mengungkap dan mengaktualisasikan kemampuan itu.

Setelah penaklukan Makkah, Rasulullah saw. menyuruh Bilal naik ke atas


Ka'bah untuk mengumandangkan adzan. Maka adzanlah Bilal -untuk
pertama kali dalam Islam. Saat ia adzan, sebagian orang musyrik Quraisy
memperolok-olok dan meniru suara Bilal dengan nada jengkel. Di antara
mereka itu ada Abu Mahdzurah Al-Jumahi alias Salamah Bin Ma'ir. Ia orang
yang paling merdu suaranya di antara mereka. Saat ia melantunkan
suaranya meniru adzan, Rasulullah saw. mendengarnya dan meminta agar
ia dibawa ke hadapan beliau. Ia menyangka bahwa dirinya akan dibunuh.
Rasulullah saw. mengusap ubun-ubun dan dadanya dengan tangan beliau
yang mulia. Abu Mahdzurah berkata, "Maka hati saya serta merta
terpenuhi iman dan keyakinan. Tahulah aku bahwa dia adalah Rasulullah
saw." Kemudian Rasulullah saw. mengajarinya adzan dan menyuruhnya
adzan untuk penduduk Makkah. Saat itu ia berumur enam belas tahun.

Kita bisa melihat dari kisah itu bahwa saat Rasulullah saw. mengusap dada
dan ubun-ubun Abu Mahdzurah, beliau membuatnya merasakan
kedamaian, ketentraman, dan keceriaan jiwa hingga ia menerima
keimanan dengan perasaan puas dan lalu menjadi muadzin untuk
penduduk Makkah. Begitulah, dengan cara mengembangkan keceriaan,
kecintaan, dan mendengarkan anak maka kita bisa mengungkap
kemampuan-kemampuannya.
Lalu cara apa yang digunakan Rasulullah saw. untuk membuat anak-anak
gembira dan ceria? Banyak cara yang beliau lakukan, antara lain:
menyambut dengan hangat; mencium dan bercanda; mengusap kepala;
menggendong dan memeluknya; memberikan makanan yang baik; atau
makan bersama dengan mereka.
4. Gunakanlah Cara "Siapa Menang Dia Dapat"

KOMPETISI akan membangkitkan potensi-potensi terpendam pada


manusia secara umum dan lebih-lebih pada anak-anak. Ada potensi-
potensi diri yang tidak diketahui oleh pemiliknya kecuali jika ia
menanamkan semangat kompetisi untuk mengungguli orang lain. Kita
mempunyai teladan pada diri Rasulullah saw. saat beliau membangkitkan
semangat kompetisi pada jiwa anak. Di antara contohnya adalah kompetisi
olah raga di kalangan anak-anak, di mana Rasulullah saw. pernah
berlomba lari dengan anak-anak untuk menumbuhkan otot-otot mereka
dan membuat tubuh mereka kuat.

'Abdullah Bin Harits mengatakan bahwa Rasulullah saw. membariskan


'Abdullah, 'Ubaidillah dan banyak anak-anak keturunan Al-'Abbas lainnya
-semoga Allah meridhai mereka- seraya mengatakan, "Barang siapa lebih
dulu sampai kepadaku maka ia mendapat itu dan ini." Maka mereka
berlomba untuk mencapai punggung atau dada beliau lalu beliau mencium
dan memeluk mereka. (HR Imam Ahmad)

Metoda "siapa menang dia dapat" merupakan cara penting untuk


menanamkan semangat persaingan sehat antara anak-anak. Sangat baik
jika anak yang menang diberi hadiah, sehingga ia merasa senang dan
dihargai. Setiap anak berlomba untuk menunjukkan kebolehannya dan
mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencapai kemenangan. Lalu
dia pulang ke rumah untuk mempesiapkan diri, belajar, dan berlatih, dan
mengasah pengetahuan. Dia akan memperlihatkan kepada kedua
orangtuanya hasil yang telah diraihnya. Begitulah bakat-bakat terpendam
itu akan muncul.

Kompetisi juga akan memunculkan semangat kebersamaan antar anak-


anak, menjauhkan mereka dari sikap individualistik, dan melatih mereka
untuk memahami kehidupan: ada menang ada kalah ada kalanya bisa
menjawab ada kalanya mengalami kebuntuan; kadang-kadang benar dan
kadang-kadang keliru.

Jadi, persaingan dan perlombaan adalah salah satu cara yang bisa
digunakan para orang tua dan pendidik, pada waktu-waktu yang tepat,
untuk memotivasi anak-anak dan menumbuhkan bakat mereka. Yang
menang mendapatkan hadiah, seperti yang dilakukan Rasulullah saw.,
"Barang siapa lebih dulu sampai kepadaku maka ia mendapat itu dan ini."
Contoh lainnya adalah lomba kecerdasan. Rasulullah saw. melontarkan
beberapa pertanyaan kepada para sahabatnya dan di antara yang hadir
adalah Ibnu 'Umar, orang yang paling muda usianya.

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu 'Umar -semoga Allah meridhai keduanya,


ia mengatakan, Rasulullah

saw. bersabda, "Sesungguhnya di antara pohon-pohon gurun ada pohon


yang daunnya tidak pernah jatuh. Dan itu bagaikan seorang muslim. Pohon
apakah itu?" Maka mulailah orang-orang berfikir tentang pohon-pohon
gurun. Ibnu 'Umar mengatakan, "Terbersit dalam fikiranku bahwa yang
dimaksudkan adalah pohon kurma. Lalu Rasulullah saw. mengatakan
bahwa yang dimaksudkan adalah pohon kurma." Dalam riwayat lain, Ibnu
'Umar menjelaskan alasannya tidak menjawab pertanyaan itu, "Ternyata
saya orang yang paling kecil di antara orang-orang yang hadir, maka diam
saja."

Di sini kita melihat bahwa dengan mempergunakan cara melontarkan


pertanyaan, Rasulullah saw merangsang perhatian Ibn 'Umar dan
memaksanya berfikir dan berlomba dengan orang-orang dewasa untuk
mendapatkan jawaban. Hanya saja Ibnu 'Umar merasa malu karena masih
kecil. Jadi pertanyaan-pertanyaan dapat merangsang anak untuk berfikir,
membuka katup-katup pemahamannya, dan menyegarkan kembali ingatan
yang beku.

Karenanya cara ini dapat dipergunakan saat mengarahkan dan mendidik


anak. Metoda itu merupakan salah satu cara paling baik, karena
mempunyai beberapa kelebihan, antara lain:

1. Merangsang anak berfikir dan memfokuskan perhatiannya pada


pertanyaan yang dilontarkan. Sehingga panca inderanya tidak sibuk
dengan urusan lain. Saat itu orang tua berhasil dalam mengarahkan
perhatian terhadap diri mereka.

2. Menanamkan kesan bahwa informasi yang berkaitan dengan


pertanyaan itu memang penting. Anda dapat membedakan antara dua cara
menyampaikan informasi berikut. Cara pertama: "Ghibah adalah
menceritakan saudaramu tentang hal yang tidak disukainya (menceritakan
keburukannya)." Cara kedua: "Tahukah kalian apa yang disebut ghibah?"
Para sahabat menjawab, "Allah dan rasuI-Nya yang lebih tahu." Rasulullah
saw. menjelaskan, "Ghibah adalah menceritakan saudaramu tentang hal
yang tidak disukainya (menceritakan keburukannya)." Anda dapat melihat
perbedaan antara kedua cara itu? Yang manakah yang lebih baik? Cara
pertama tidak menarik perhatian. Cara yang kedualah yang menarik
perhatian.

3. Merealisasikan tiga tujuan pendidikan: kognitif, afektif, dan psiko-


motorik. Contoh untuk mencapai sasaran kognitif, pertanyaan Rasulullah
saw, "Tahukah kalian apa itu muflis (pailit)?" Pendengar tentu ingin
mengetahui apa sesung-guhnya yang disebut pailit itu. Contoh untuk
mencapai sasaran afektif dan psikomotorik, sabda Rasulullah saw. "Maukah
hatimu menjadi lembut dan kebutuhanmu terpenuhi?" Pertanyaan ini
menggugah pemikiran dan hati pendengar. la jadi ingin tahu, perbuatan
apa yang dapat dia lakukan untuk melunakkan hati dan memenuhi
kebutuhannya. Itu pasti membuat jiwa pendengar begitu antusias untuk
mengetahuinya dan terpengaruh dengannya (afektif) dan berusaha untuk
melakukannya (psiko-motorik)

4. Menciptakan tantangan dalam pemikiran anak yang membuatnya


berusaha keras untuk mengetahuinya secara cepat. Dan ini merupakan
bentuk pengajaran langsung dan cepat untuk menyampaikan informasi
yang akan bertahan lama dalam otak.

Jadi, metoda melontarkan pertanyaan kepada anak merupakan salah satu


cara paling baik untuk menarik perhatiannya dalam mendidiknya, terutama
bila Anda ingin memunculkan kemampuannya yang terpendam dan
membangun semangat bersaing dan kesiapan menghadapi tantangan.
5. Bercengkrama dengan Anak dan Berikanlah Mainan

BERCANDA dan bercengkerama dengan anak akan menumbuhkan jiwanya


dan mengungkap apa-apa yang tersembunyi didalamnya. Kita
mendapatkan keteladanan pada diri Rasulullah saw. Beliau bercanda
dengan Hasan dan Husen. Mereka menaiki punggung beliau dan beliau
berjalan membawanya. Demikian juga beliau bermain dengan anak-anak
Al-'Abbas, mendoakan 'Abdullah Bin Ja'far, saat beliau melewatinya,
sementara ia tengah bermain dagang-dagangan.

Beliau mengatakan, "Semoga Allah memberkahi perdagangannya. "

Begitulah Rasulullah saw. telah menjadi teladan dalam hal bercengkrama


dengan anak-anak. Beliau menyayangi dan bersikap baik dalam
memperlakukan mereka. Itu seperti yang kita lihat dalam interaksinya
dengan cucu-cucunya dan anak-anak para sahabat -semoga Allah meridhai
mereka.

Bahkan saking besarnya perhatian terhadap masalah senda gurau antara


orangtua dengan anak-anaknya, beliau menyerukan kepada semua
orangtua untuk melakukannya. Abu Sufyan berkata, "Saya masuk ke
rumah Mu'awiyah, dia dalam keadaan terlentang, sementara di atas
dadanya ada seorang anak kecil yang sedang merengek-rengek. Lalu saya
katakan kepadanya, 'Jauhkanlah anak ini darimu wahai Amirul Mu'minin'. la
menjawab, 'Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa
mempunyai anak kecil hendaklah ia bercengkerama dengannya." (HR. Ibu
'Asakir)

Dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya, ia mengatakan bahwa


Rasulullah saw. mencium Hasan Bin 'Ali dan saat itu ada Al-Aqra' Bin Habis
sedang duduk. Maka berkatalah Al-Aqra', "Saya punya sepuluh orang anak.
Saya tidak pernah mencium seorang pun dari mereka." Rasulullah saw.
memandangnya seraya mengatakan, "Orang yang tidak menyayangi akan
disayangi."

Dari Abu Ayyub Al-Anshari -semoga Allah .neridhainya, aku masuk ke


rumah Rasulullah saw. sedangkan Hasan dan Husen bermain di hadapan
beliau atau di kamarnya, maka aku katakan kepada beliau, "Wahai
Rasulullah saw. apakah engkau mencintai mereka?" Rasulullah saw.
menjawab, "Bagaimana aku tidak mencintai mereka. Mereka adalah dua
kuntum bunga raihanah di dunia, dan aku selalu menciumnya." (HR At-
Thabrani)

Sa'ad Bin Abi Waqqash -semoga Allah meridhainya- mengatakan, "Aku


masuk ke rumah Rasulullah saw. sementara Hasan dan Husen sedang ber-
main di atas perut beliau. Lalu saya bertanya, 'Ya Rasulullah, apakah
engkau mencintai mereka?' Rasulullah saw. menjawab, 'Bagaimana saya
tidak mencintai imereka padahal mereka adalah dua kuntum bunga
raihanah bagiku'." (HR. Al-Bazzar)

Al-Barra' Bin 'Azib mengatakan bahwa Rasulullah saw sedang shalat lalu
datanglah Hasan dan Husen (atau salah satunya) -semoga Allah meridhai
mereka- dan menaiki punggung beliau. Jika bangkit beliau mengisyaratkan
dengan tangannya agar ia berpegangan. kemudian beliau mengatakan,
"Sebaik-baik kendaraan adalah kendaraanmu." (HR Ath-Thabtani)

Dari Jabir Bin 'Abdillah -semoga Allah meridhainya, ia mengatakan, "Saya


masuk ke rumah Rasulullah saw. dalam keadaan beliau sedang berjalan
dengan dua kaki dan dua tangannya (merangkak) sedangkan di
punggungnya ada Hasan dan Husen. Beliau mengatakan, 'Sebaik-baik unta
adalah unta kalian dan sebaik-baik orang adil adalah kalian'."

Itu semua menunjukkan betapa pentingnya orangtua bercengkerama


dengan anak-anak. Para sahabat pun kemudian mengikuti Rasulullah saw
Mereka segera bercanda dengan anak-anak mereka dan memposisikan diri
menjadi anak-anak.

'Umar Bin Khaththab -semoga Allah meridhainya- mengatakan, "Sebaiknya


seorang bapak menjadi seperti anak kecil dalam keluarganya -dalam hal
keakraban, pergaulan, fleksibilitas, dan bercanda dengan anak-anak."
Bahkan 'Umar pernah memecat salah seorang pegawainya dari jajaran
pemerintahan karena beliau menemukan pada orang itu indikasi kekerasan
hatinya terhadap anak-anaknya.

Muhammad Bin Salam menjelaskan," 'Umar Bin Khaththab mengangkat


seseorang untuk tugas tertentu. Orang itu melihat 'Umar mencium anaknya
lalu bertanya, 'Engkau menciumnya padahal engkau adalah Amirul-
Mu'minin? Jika aku menjadi dirimu aku tidak akan melakukannya.' 'Umar
menjawab, 'Lalu apa dosaku (dengan melakukan hal itu), jika (kamu tidak
melakukan hal serupa akibat) rasa kasih sayang telah tercerabut dari
hatimu? Sesungguhnya Allah hanya mengasihi hamba-hamba-Nya yang
penyayang.' Lalu 'Umar memecatnya dan mengatakan, 'Kamu tidak
menyayangi anak bagaimana bisa menyayangi orang-orang."

Para ulama salaf juga memahami pentingnya bercanda dengan anak-anak


dan membangun tubuhnya. Imam Ghazali mengatakan:

"Setelah selesai belajar al-Qur'an, sebaiknya anak diizinkan untuk bermain


dengan permainan yang bagus untuk melepas lelah. Dan anak, biasanya,
tidak merasa lelah dengan bermain. Sebab jika anak dilarang bermain dan
dipaksa terus untuk belajar akan mematikan nuraninya, menghancurkan
kecerdasanya dan membuat kehidupannya menjadi muram. Yang pada
akhirnya juga dia akan mencari-cari jalan untuk meninggalkan belajar.
Anak yang tidak suka berolahraga akan menyimpan berbagai bahaya yang
semakin lama semakin besar dan berkembang. Kemudian muncul, jika
tidak sekarang di kemudian hari, dalam berbagai bentuk keringkihan ruhani
dan hancurnya imentalitas.

Itu semua, karena permainan bagi anak-anak mempunyai beberapa


manfaat dan menanamkan beberapa nilai, di antaranya:

a. Nilai fisik. Permainan yang aktif sangat penting bagi penumbuhan


otot anak. Dengan bermain ia akan berlatih keterampilan dalam
menemukan dan menghimpun sesuatu.

b. Nilai edukatif. Permainan membuka peluang seluas-luasnya bagi


anak untuk belajar tentang banyak hal melalui alat-alat permainan yang
bervariasi. Seperti mengenal bentuk, warna, atau ukuran. Dan sering kali
dengan permainan itu anak-anak memperoleh pengetahuan yang tidak
mungkin diperoleh dari sumber lain.

c. Nilai sosial. Dengan bermain anak belajar membangun hubungan


sosial dengan orang lain dan bagaimana cara sukses bergaul dengan
mereka. Dengan permainan kolektif ia juga dapat belajar bagaimana
memberi dan menerima.

d. Nilai akhlak. Melalui permainan anak akan mempunyai pemahaman


awal tentang benar dan salah. Ia juga akan mengenal beberapa nilai akh-
lak, dalam bentuk awal, seperti keadilan, kejujuran, amanah, disiplin, dan
sportifitas.
e. Nilai kreatifitas. Dengan permainan ia dapat mengungkapkan
kemampuan kreatifitasnya dan mempraktikan gagasan-gagasan yang
dimilikinya.

f. Nilai kepribadian. Si anak, melalui permainan, akan mampu


menemukan banyak hal tentang dirinya. Ia dapat mengukur kemampuan
dan keterampilannya melalui interaksinya dengan teman-temannya. Ia juga
belajar -dari problem-problem yang dihadapinya itu- bagaimana ia dapat
menghadapinya.

g. Nilai solutif. Dengan permainan, anak akan keluar dari ketegangan


yang muncul akibat banyaknya ikatan yang dipaksakan kepadanya.

Makanya kita sering menyaksikan anak-anak yang berlatarbelakang


keluarga yang terlalu banyak ikatan, perintah,dan larangan, bermain lebih
agresif dibandingkan anak lainnya. Bermain juga merupakan salah satu
sarana yang baik untuk mencairkan permusuhan.

Permainan akan memberikan kesenangan kepada anak. Lebih-lebih bila di


dalam permainan itu ayah dan ibu berperan serta. Mungkin bentuknya
sekedar Melempar bola kepada si kecil; atau mengekspresikan kekaguman
atas karya sulam puterinya; atau menambahkan garis pada gambar yang
dibuat anaknya; atau menemani puterinya bermain pengantin-pengantinan
dan dari situ si anak belajar tata krama (adab) berbicara, makan, dan
minta izin. Atau bentuk permainan lainnya. Sebab anak lebih cenderung
bermain secara kolektif setimbang sendiri-sendiri.

Akan tetapi harus diperhatikan, ada beberapa permainan yang


berbahaya. Ada peneiitian yang dilakukan terhadap anak berusia antara
lima hingga sepuluh tahun, di salah satu sekolah di Illionis, Amerika
serikat. Penelitian itu ditujukan pada anak-anak yang biasa bermain
perang-perangan dengan anak yang bermain dengan permainan lainnya.

Hasil peneiitian itu menunjukkan bahwa anak-anak yang biasa bermain


perang-perangan lebih agresif dibandingkan anak-anak lainnya. Mereka
lebih banyak memukul dan menyakiti misalnya dengan cara menendang,
menjambak rambut, atau menindih

tubuh anak lainnya. Adapun anak-anak yang tidak bermain perang-


perangan, misalnya permainan yang mengajarkan kerjasama, berfikir,
berfikir kolektif, mereka tampak lebih tenang dan jauh dari sikap agresif.
6. Gunakanlah Metoda: "Apa yang Menghalangimu untuk
Mengatakannya"

MEMOTIVASI, baik secara material maupun nonmaterial, sangat baik dan


merupakan salah satu unsur pendidikan yang tidak boleh diabaikan. Akan
tetapi hal itu tidak boleh dilakukan berlebihan. Memotivasi harus dilakukan
dalam batas-batas yang wajar. Sebab jika tidak, ia akan berubah menjadi
faktor yang merusak.

Motivasi mempunyai peranan besar terhadap jiwa anak dalam


mewujudkan kemajuan aktifitas positif yang membangun, dalam
menumbuhkan kemampuan dan dalam menyalurkan bakatnya. Motivasi
juga akan mendukung kontinuitas kerja dan mendorong anak untuk maju.
Hadits Rasulullah saw., "Siapa yang lebih dulu sampai kepadaku maka ia
akan memperoleh itu dan ini," adalah dalil untuk itu.

'Umar memberi contoh kepada kita dalam memotivasi anaknya. Ibnu


'Umar berkata kepada ayahnya, saat ia keluar dari majlis Rasulullah saw.
bersamanya, "Sebetulnya terlintas dalam fikiranku bahwa yang dimaksud
adalah pohon kurma." 'Umar berkata, "Lalu apa yang menghalangimu
untuk mengatakannya? Jika kamu mengatakannya, aku akan sangat
suka?" Ia menjawab, "Tidak ada yang menghalangiku untuk
mengatakannya selain karena aku tidak melihatmu berbicara tidak pula
Abu Bakar. Jadi aku tidak mau mengatakannya." (HR. Bukhari)

Mengomentari hadits itu, Ibnu Hajar Al-'Asqalani mengatakan, "Hadits itu


mengisyaratkan bahwa keharusan mendahulukan orang tua dari anak-anak
dalam berbicara itu adalah manakala pengetahuannya sama. Adapun jika
anak kecil mengetahui apa yang tidak diketahui orang tua maka tidak ada
salahnya anak itu berbicara di hadapan orang tua. Dan 'Umar menyesalkan
anaknya yang tidak berbicara. Akan tetapi Ibnu 'Umar sudah menjelaskan
alasannya, yakni karena ada ayahnya dan Abu Bakar.

Sedangkan komentar Ibnul-Qayyim tentang hadits itu, "Itu


menggambarkan kegembiraan seseorang karena anaknya benar. Itu juga
sekaligus menunjukkan, tidaklah tercela seorang anak menjawab dengan
apa yang ia ketahui di hadapan ayahnya sementara sang ayah tidak
menggetahuinya. Sikap itu tidaklah merusak tatakrama terhadap ayahnya."

Ada contoh lain bagaimana 'Umar Bin Khathab -semoga Allah meridhainya-
mendorong anak-anak untuk berbicara di hadapan majlis orang tua guna
menyampaikan pendapat dan gagasan. 'Umar bertanya, "Terkait dengan
apa turunya ayat, 'Inginkah seseorang di antara kalian memiliki kebun
kurma dan anggur?" Mereka menjawab, "Hanya Allahlah yang tahu." Maka
'Umar marah seraya mengatakan, "Katanlanlah: tahu atau tidak tahu."
Ibnu 'Abbas menjawab, "Dalam benakku ada sedikit pengetahuan tentang
itu, wahai Amirul Mu'minin." 'Umar mengatakan, "Katakanlah wahai anakku
dan janganlah kamu merendahkan dirimu sendiri." Ibnu 'Abbas berkata,
"Ayat itu menggambarkan perumpamaan amal." "Amal apa?" tukas 'Umar.
Ibnu 'Abbas menjawab, "Seorang kaya yang melakukan kebaikan-kebaikan
kemudian Allah mengutus kepadanya syetan lalu orang itu melakukan
kemaksiatan hingga menghancurkan segala amal baiknya itu." "

Marilah kita jadikan motto: "Katakanlah anakku dan janganlah kau


rendahkan dirimu sendiri" dan "Apa yang menghalangimu untuk
mengatakannya?"

Agar kita dapat memotivasi anak, mendorongnya untuk maju,


mengaktualisasikan potensi dinamisnya dan menyalurkan bakatnya.

Cara lain yang baik untuk memotivasi anak adalah dengan membelikan
buku-buku yang bermanfaat untuknya. Sehingga anak akan mempunyai
perpustakaan ilmiah yang terus berkembang sesuai dengan pertumbuhan
dirinya. Ibnu 'Abidin -seorang ulama besar- bercerita kepada anaknya
tentang perjalanan dirinya. la mengatakan bahwa yang menyebabkan ia
mengumpulkan buku-buku dalam jumlah yang tidak ada tandingannya itu
adalah ayahnya. Ayahnya, menurut Ibnu 'Abdidin, selalu membelikan buku
yang dinginkanya lalu mengatakan, "Belilah buku yang kamu inginkan dan
aku akan membayarnya. Karena kamu telah menghidupkan sirah
(perjalanan hidup) para pendahulu kita. Semoga Allah membalasmu
dengan kebaikan, hai anakku." Lalu ia pun memberikan kepadanya buku-
buku para pendahulunya yang dimilikinya.
7. Tumbuhkanlah Rasa Percaya Diri

RASULULLAH saw. menggunakan banyak cara untuk menumbuhkan rasa


percaya diri pada anak, antara lain:

a. Memperkuat kemauan anak

Ini dilakukan oleh beliau dengan dua cara:

Pertama, membiasakannya menjaga rahasia. Seperti yang dialami oleh


Anas Bin Malik dan Abdullah Bin Ja'far. Ketika anak belajar menjaga rahasia
dan tidak membocorkannya, maka kemauannya tumbuh dan menguat. Dan
karenanya rasa percaya dirinya menjadi besar.

Kedua, membiasakan puasa. Ketika anak mampu bertahan dalam keadaan


lapar dan haus karena puasa, ia akan merasakan kemenangan
mengalahkan hawa nafsu. Maka kemapuannya menjadi kuatlah dalam
menghadapi kehidupan. Dan itu akan meningkatkan rasa percaya dirinya.
Para sahabat sangat memperhatikan agar anak-anaknya berpuasa. Untuk
itu mereka menyiapkan mainan saat anak-anaknya berpuasa agar mereka
terhibur dan tidak merasakan panjangnya siang.

b. Menumbuhkan kepercayaan sosial

Ketika anak bergaul denga orang dewasa dan berkumpul dengan teman-
teman sebaya maka akan tumbuh rasa kepercayaan sosialnya. Ini yang
kita tangkap dari kesertaan para sahabat terhadap anak-anaknya. Anak-
anak mereka biasa menghadiri majlis Rasulullah saw. karena orangtua
mereka mengajaknya. 'Umar Bin Khaththab menemani anaknya datang ke
majlis Rasulullah saw.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu 'Umar -semoga Allah meridhai
mereka- bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Beritahukanlah kepadaku sebuah pohon yang mirip dengan seorang


muslim. Ia memberikan buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya dan
daunnya tidak pernah gugur." Terlintas dalam benakku bahwa itu adalah
pohon kurma. Tapi aku tidak mau mengatakannya karena di sana ada Abu
Bakar dan 'Umar. Mereka tidak berbicara. Maka Nabi berkata, "Itu adalah
pohon kurma." Ketika aku luar bersama ayahku, aku mengatakan, "Ayah, -
terlintas dalam benakku bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma."
'Umar bertanya, "Apa yang menghalangimu untuk mengatakannya? Andai
saja kamu mengatakannya, aku lebih suka" Ibnu 'Umar menjawab "Tidak
ada yang menghalangiku untuk mengatakannya selain karena saya tidak
melihat engkau dan Abu Bakar berbicara. Jadi aku tidak mau." Dalam
riwayat lain disebutkan, "Ternyata aku adalah yang paling kecil, maka aku
diam saja."

Adalah Rasulullah saw. bergaul dan berinteraksi dengan anak-anak. Anas


Bin Malik -semoga Allah meridhainya- mengatakan, "Adalah Rasulullah saw
bergaul dengan kami hingga ia mengatakan kepada kami, 'Hai Aba 'Umair
sedang apa burung kecil itu?' Kami menggelar tikar lalu beliau shalat dan
membariskan kami di belakangnya. (HR. Ahmad)

Jadi membawa anak ke majlis orang dewasa akan mengungkap


kekurangan dan kebutuhannya. Sehingga dididik dapat mengarahkannya
menuju kesempurnaan, mendorongnya untuk menjawab ketika ditanya,
berbicara setelah minta izin dengan tatakrama dan kesopanan, belajar
mengenal sedikit demi sedikit pembicaraan orang dewasa sehingg ia siap
berkecimpung ditengah masyarakat. Demikianlah ia berproses secara
bertahap.

Menumbuhkan kepercayaan sosial pada anak juga dapat dilakukan dengan


membiasakan mengucapkan salam. Kita melihat bahwa Rasulullah saw.
dan para sahabatnya mempraktikan cara yang halus untuk menanamkam
kebiasaan mengucapkan salam pada anak-anak. Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Anas -semoga Allah meridhainya- bahwa ia melewati
anak-anak lalu ia mengucapkan salam kepada mereka seraya mengatakan,
"Adalah Rasulullah saw. melakukannya." Karenanya kita harus
membiasakan anak agar memulai mengucapkan salam terutama bila
masuk ke rumah.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah -semoga Allah


meridhainya- bahwa Rasulullah mengatakan,

"Hendaklah orang yang naik kendaraan mengucapkan salam kepada


orang yang berjalan kaki, orang yang berjalan kaki kepada yang duduk,
yang sedikit kepada yang banyak." Dan dalam riwayat Bukhari, "Yang kecil
kepada yang tua."

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas -semoga Allah meridhainya- ia


berkata, Rasulullah saw bersabda,
"Wahai anakku, jika kamu masuk kepada keluargamu maka ucapkanlah
salam. Niscaya hal itu akan mendatangkan barokah kepadamu dan kepada
keluargamu." (Hadits hasan shahih)

Kita juga wajib membiasakannya untuk mengucapkan salam saat ia keluar


dari rumah dan tidak mengucapkan salam kepada orang yang sedang
membaca al-Qur'an atau sedang berdzikir, agar tidak mengganggunya.

Bisa juga menumbuhkan kepercayaan sosial ini dengan cara mengutusnya


untuk keperluan rumah atau keperluan orangtua. Dengan begitu ia
,mengenal liku-liku kehidupan, merasa gembira dengan bertambahnya
wawasan, dan kemudian terbentuklah kepercayaan diri dalam menghadapi
persoalan hidup, sesuatu yang membuatnya mampu mengarungi
kehidupan ini dengan langkah-langkah yang mantap, terfokus, tanpa
goncangan.

Imam Ahmad, Bukhari, dan Muslim -dan redaksi hadits ini berdasarkan
riwayat Ahmad- meriwayatkan. dari Tsabit Al-Banan dari Anas Bin Malik
-semoga Allah meridhainya- berkata, "Aku melayani Rasulullah saw. pada
suat hari, sampai aku menyelesaikan tugasku. Rasulullah saw. kemudian
tidur siang dan aku keluar menemui anak-anak. Aku melihat permaina
mereka. Maka datanglah Rasulullah saw. seraya mengucapkan salam
kepada anak-anak yang sedang bermain. Kemudian beliau memanggilku
dan menyuruhku untuk satu keperluan. Maka aku pun pergi untuk
keperluan itu sedangkan Rasulullah saw. duduk di bawah bayang-bayang,
hingga aku kembali.Aku terlambat datang menemui ibuku. Ketika aku pergi
kepada ibuku, ia bertanya, "Apa yang membuatmu terlambat datang?" Aku
menjawab, "Rasulullah ! mengutusku untuk satu keperluan." Ia berkata,
Apa keperluannya?" Aku menjawab, "Itu rahasia Rasulullah saw." Ia
berkata, "Kalau begitu jagalah rahasia Rasulullah saw."

ehadiran anak-anak pada perayaan-perayaan yang disyari'atkan, upacara


pernikahan, dan menginap di rumah kerabat yang saleh juga termasuk hal
baik. Karena hal itu dapat membuat keceriaan pada jiwa anak-anak,
melatih mereka untuk berinteraksi dengan orang lain, dan mendukung bagi
terciptanya hubungan sosial yang baik dengan masyarakatnya.

c. Menumbuhkan kepercayaan ilmiah

Ini dicapai dengan cara mengajarinya al-Qur'an, Sunnah, dan sirah Nabi
saw. yang agung. Kelak anak akan tumbuh dengan membawa ilmu yang
luas. Maka tumbuhlah kepercayaan ilmiah dalam dirinya karena ia memiliki
hakikat-hakikat ilmu yang jauh dari khurafat dan dongeng-dongeng.
Sebaiknya anak dimotivasi untuk menghafal dengan diberi hadiah.

d. Menumbuhkan kepercayaan ekonomi dan bisnis

Hal itu dapat diwujudkan dengan membiasakan anak berjual-beli, berjalan


di pasar dengan disertai orangtuanya untuk memenuhi keperluan mereka.
Malik meriwayatkan dari Sulaiman Bin Yasar, ia mengatakan, "Keahlianku
adalah memberi makan keledai milik Sa'id Bin Abi Waqqash. Ia
mengatakan kepada budaknya, "Ambillah sebagian hinthah keluargamu
kemudian juallah dengan sya'ir, dan janganlah kau terima kecuali yang
sama dengannya."

Rasulullah saw. menyaksikan si kecil 'Abdullah Bin Ja'far sedang bermain


dagang-dagangan, lalu beliau mendoakannya, "Ya Allah, curahkanlah
barokah dalam perdagangannya." Demikianlah kita mendapatkan
Rasulullah saw. begitu antusias dalam menumbuhkan kepercayaan diri
pada anak.

Dan akhirnya saya ingin mengingatkan Anda tentang beberapa cara yang
salah yang oleh para ahli pendidikan dinilai dapat menyebabkan anak
kurang percaya diri, yakni:

1. Cara mendidik dengan mengandalkan bentakan dan pukulan

2. Dominasi orangtua yang tidak memberikan keleluasaan bagi anak


untuk berfikir dan bertindak.

3. Tidak mendorong anak untuk mandiri.

4. Tidak mewujudkan suasana psikologis yang membuat anak merasa


nyaman, penuh percaya diri, berani, dan tidak dicekam ketakutan.
8. Gunakanlah Metoda: "Dia Anak paling Baik"

PUJIAN bagi anak mempunyai pengaruh besar pada jiwanya. Pujian dapat
menyentuh perasaannya dan membuatnya segera mengoreksi perbuatan
dan perilakunya dengan perasaan lega dan serius. Itulah yang ditegaskan
Rasulullah saw. Beliau mengingatkan Urgensi pujian bagi anak, jika kita
menginginkan dia merespon dan melaksanakan kewajibannya.

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu 'Umar -semoga Allah meridhai mereka,


berkata, "Biasanya jika seseorang bermimpi pada masa Rasulullah saw. ia
menceritakannya kepada Rasulullah saw. Maka saya berangan bahwa saya
bermimpi, kemudian akan saya ceritakan kepada Rasulullah saw. Saya
adalah anak muda dan saya tidur di masjid pada masa Rasulullah saw.
Maka saya bermimpi bahwa malaikat membawa saya ke neraka. Di sana
terlihat ada lubang seperti lubang sumur. Ternyata di dalamya ada orang-
orang yang saya kenal. Maka saya mengucapkan, "Aku berlindung kepada
Allah dari neraka." Lalu aku ceritakan kepada Hafshah dan dia
menceritakannya kepada Rasulullah saw. Maka beliau bersabda, "Sebaik-
baik orang lelaki adalah 'Abdullah, jika dia shalat malam." Maka setelah itu
dia tidak pernah tidur malam kecuali sebentar."

Demikianlah Rasulullah saw. mendahulukan pujian, "Sebaik-baik orang


lelaki adalah Abdullah." Lalu beliau mengingatkan tentang sesuatu yang
terlalaikan dengan cara yang indah dan menarik hati:"Andai dia shalat
malam." Demikianlah pujian dan sanjungan jika dilakukan pada waktu dan
tempat yang tepat, tidak berlebihan, dan bukan basa-basi akan
membuahkan hasil yang bermanfaat setiap saat.

Dan di antara yang dikatakan Nabi saw. pada hari perang Khandaq kepada
pemuda yang belajar bahasa Suryani untuk berkhidmat kepada Rasulullah
saw. "Bukankah dia adalah anak yang paling baik?" Artinya, Rasulullah
saw. menyanjung dan memuji pemuda itu.

Karenanya, mari kita meneladani Rasulullah saw. Mari kita puji anak-anak
kita secara proporsional, pada waktu dan tempatnya yang tepat.
9. Memotivasi untuk Kebajikan dan Memperingatkan Bahaya
Keburukan

MEMOTIVASI dan memperingatkan (targhib wa tarhib) adalah termasuk


kiat alami yang tidak mungkin ditinggalkan oleh seorang pendidik. Sebab
murid atau anak didik perlu mengetahui akibat dari tingkah laku ketika
yang baik maupun yang buruk.

Itulah sebabnya kita menemukan al-Qur'an mengisyaratkan perilaku yang


baik hasilnya adalah baik. Dan itu dikaitkannya dengan sorga dan
kenikmatannya. Sebaliknya, ia juga mengisyaratkan bahwa perilaku buruk
akibatnya buruk pula. Dan ia mengaitkannya dengan kedahsyatan neraka
jahim dan siksaan yang abadi bagi orang-orang yang melampaui batas,
orang-orang kafir dan para perusak. Karena manusia akan dihisab
berdasarkan setiap amal yang dia kerjakan. Dan balasan sesuai dengan
perbuatan. Allah sekali-kali tidak melakukan kezaliman. Dia berfirman:

"Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk


dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas
dirinya sendiri; dan sekali-kali Rabbmu tidaklah menzalimi hamba-
hambanya. " (Fushshilat 46)

Saat memberikan ancaman Allah swt. berfirman:

"Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi


pembalasan dengan kejahatan itu dan dia tidak mendapat pelindung dan
tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. " (An-Nisa 123)

Dan agar manusia tidak berputus asa dari rahmat Tuhan mereka, maka
Allah memberikan motivasi untuk beramal saleh, dengan menyatakan
bahwa Dia menerima taubat yang sungguh-sungguh. Firman-Nya:

"Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang


kepadamu maka katakanlah, Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepa-
damu '. Tuhanmu telah menetapkan atas dirinya kasih sayang, (yaitu)
bahwa siapa yang berbuat keburukan di antara kamu lantaran
ketidaktahuan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan
mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. " (Al-An'am 54)
Tidak ada salahnya menyampaikan ancaman kepada anak dengan cara
tidak langsung. Misalnya, saat dia melakukan perbuatan yang baik, katakan
padanya bahwa Allah akan mencintainya karena perbuatan baik itu dan
akan memasukkannya ke sorga. Tidak seperti anak-anak lain yang
melakukan perbuatan yang buruk. Mereka akan disiksa di dalam neraka.

Dengan demikian kita telah menyebut-nyebut tentang siksa namun


dengan cara yang halus. Cara itu akan memunculkan rasa takut yang
diperlukan dalam jiwa anak namun bukan takut yang tanpa alasan
edukatif. Demikian pula dalam amal-amal lain. Kita wajib memberi
semangat untuk melakukan kebaikan dan memperingatkan dari hal-hal
yang buruk.

Jadi memotivasi dan memperingatkan merupakan salah satu metoda


psikologis yang efektif dalam memperbaiki anak. la merupakan metoda
yang jelas dan nyata dalam pendidikan Nabi saw. Beliau menggunakannya
terhadap anak-anak dalam banyak situasi. Terutama dalam masalah
berbuat baik kepada orang tua. Itu tidak lain agar anak merespon dan
terkesan sehingga ia memperbaiki jiwa dan perilakunya.
10. Biasakan Kebajikan karena Kebajikan adalah Kebiasaan

DI ANTARA metoda pendidikan adalah pembisaan. Yakni membiasakan


anak untuk hal-hal tertentu hinga menjadi kebiasaan yang mendarah
daging, yang untuk melakukannya tidak perlu pengarahan lagi.

Di antara contoh paling menonjol tentang kebiasaan dalam sistem


pendidikan Islam adalah ibadah-ibadah ritual yang induknya adalah shalat.
Dengan pembiasaan shalat akan menjadi kebiasaan manusia yang bila
belum laksanakannya ia tidak merasa tenang.

Tapi bukan hanya ibadah ritual saja kebiasaan yang ingin ditumbuhkan
oleh sistem pendidikan Islam. Sebab sebenarnya, anak dapat dilatih dan
dibiasakan pada semua model perilaku islami dan setiap adab serta akhlak
Islami: adab makan, minum, berjalan, duduk, tidur, bangun, mengucapkan
salam; adab dalam keluarga, seks, berbicara, pertemuan, berpisah,
bepergian, pulang dari bepergian, bertetangga/ berteman dan seterusnya.

Semua itu adalah merupakan hal-hal baru bagi kaum muslimin di masa
Rasulullah saw. Sebelumnya, di masa jahilryyah, mereka tidak pernah
melakukan hal-hal itu. Maka Rasulullah saw. membiasakan dan mendidik
mereka untuk melaksanakan adab-adab itu dengan keteladanan,
pengajaran, pemantauan, dan pengarahan. Hingga adab-adab itu menjadi
kebiasaan yang mendarah daging dalam jiwa dan menjadi watak istimewa
mereka, yang membedakan antara kaum muslimin dengan non muslim di
seluruh penjuru bumi.

Orangtua muslim membiasakan adab-adab itu pada anaknya dengan cara-


cara yang ditempuh Rasulullah saw, yakni keteladanan, pengajaran,
pemantauan, dan pengarahan. Sampai manakala pertumbuhan mereka
telah sempurna, dalam waktu bersamaan ia juga telah terbiasa dengan
adab-adab Islam itu. Dan kita tahu adab-adab itu merupakan sistem yang
integral mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dari sejak bangun
tidur sampai bangun tidur berikutnya. Ia juga mencakup kehidupan
personal, kehidupan keluarga, kehidupan seorang laki-laki, kehidupan
orang perempuan, kehidupan anak kecil, dan seterusnya.

Anak, sebagaimana manusia lainnya, bisa lupa dan lalai. Allah swt. telah
mengkhususkan untuknya -sesuatu yang tidak diberikan kepada makhluk
lainnya- rentang waktu masa kanak-kanak yang panjang. Dan masa itu
bukanlah masa taklif (pemberlakuan kewajiban) melainkan masa untuk
mempersiapkannya agar siap menerima taklif. Jika kita pahami hal ini,
mudahlah bagi kita untuk percaya kepada prinsip pengulangan lebih dari
satu kali hingga membekas dalam jiwa dan siap menerima perintah serta
merespon panggilan.

Tentang prinsip pengulangan ini ditegaskan oleh Rasulullah saw. dengan


sabdanya:

"Suruhlah anak-anakmu untuk shalat saat usia mereka tujuh tahun. Dan
pukullah mereka (jika tidak mau shalat) bila usia mereka mencapai sepuluh
tahun. "

Jadi Rasulullah saw telah mengalokasikan waktu khusus selama tiga tahun
berturut-turut untuk menghunjamkan hal penting dalam Islam yakni shalat.
Tentu saja itu merupakan rentang waktu yang leluasa untuk
membiasakannya shalat. Maka jika mereka telah mencapai usia sepuluh
tahun, mereka akan telah siap Untuk menunaikannya. Jika masih belum
terbiasa melakukannya sendiri selama tiga tahun pembiasaan itu, maka
harus diambil langkah tegas yang menjamin tumbuh dan mapannya
kebiasaan itu. Karena urgensinya, maka al-Qu'ran menegaskan:

"Dan perintahkanlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah dalam


menjalaninya." (Thaha 132)

Jadi harus ada kesabaran pada tiga tahun pertama. Kita harus mengulang-
ulangi apa yang menjadi tujuan kita lebih dari satu kali. Pembiasaan
memang tidak mudah dan tidak cukup dengan hanya kita katakan satu kali
atau beberapa kali, "Lakukanlah itu," lalu dia mengikuti. Anak
Membutuhkan pengingatan dan pengulangan berkali-kali agar menjadi
paham. Karenanya tidak heran bila kita sering mendengar seorang ayah
mengatakan kepada anaknya, "Saya sudah ingatkan kamu berulang kali."

Jika kita menghitung perintah shalat beradasarkan hadits Nabi di atas,


maka selama tiga tahun dan setiap waktu shalat, orangtua menyuruh
anaknya untuk shalat akan menghasilkan angka yang sangat besar. Yakni:
(5 x 365) x 3 = 5475

Jika angka itu punya arti, maka itu menunjukkan urgensi pengulangan dan
bahwa jiwa anak boleh jadi tidak merespon perintah pertama, kedua, atau
ketiga. Maka perlu pengulangan tanpa putus asa.
Ada penelitian yang membuktikan bahwa informasi yang diulang satu kali
hanya 10 °/o saja yang bisa kita ingat di akhir bulan. Akan tetapi kalau
nasihat itu diulang sebanyak enam kali, dengan cara berbeda-beda, maka
kita akan mengingatnya sebanyak 90 %. Ini artinya bahwa anak akan
senantiasa mengingat shalat dan urgensinya jika kita melakukan
pengulangan tentang pentingnya melaksanakan shalat.

Abdullah Bin Mas'ud memahami prinsip pengulangan terhadap anak ini. la


mengatakan, saat memberikan arahan kepada para bapak dalam
mensikapi anak-anaknya, "Biasakanlah pada mereka kebajikan karena
kebajikan itu adalah kebiasaan."

Sesungguhnya, seluruh adab dan perintah Islam berjalan di atas sistem


pengulangan itu, walaupun Nabi saw. tidak membatasi waktunya seperti
shalat. Semuanya membutuhkan pengulangan dini. Dan semuanya, setelah
melalui rentang waktu tertentu, memerlukan pemberlakuan secara tegas
jika si kecil tidak melakukannya dengan kesadaran sendiri.

Pembiasaan ini bisa juga dibentuk melalui pemberian contoh yang baik.
Bahkan ini merupakan salah satu faktor penting yang menumbuhkan
kebiasaan yang baik. la seringkali bisa menghemat tenaga. Karena
memang anak memiliki kecenderungan untuk meniru. Dan anak-anak
muslimin selalu meniru orang tua mereka melaksanakan shalat bahkan
sebelum mereka belajar berbicara. Sehingga jadilah membiasakan
perbuatan itu pada dirinya menjadi sesuatu yang mudah. Kecuali pada
anak-anak yang mempunyai kelainan. Dan kelainan adalah sesuatu yang
bisa saja terjadi. Bisa karena faktor keturunan atau karena kondisi tertentu
yang buruk. Dan mereka itulah yang berhak mendapatkan hukuman jika
mereka tidak dapat menerima pembiasaan pada rentang waktu tertentu.

Pembiasaan juga bisa dilakukan dengan pemberian motivasi, bisa dengan


cara mewajibkan secara halus, dan bisa juga dengan cara mewajibkan
secara tegas. Membiasakan anak, misalnya agar selalu merapikan segala
sesuatu, tidak melempar barang sembarangan dan tidak membuat
berantakan di kamar adalah sesuatu yang penting dan harus. Hal itu
mungkin dilakukan oleh anak karena kesadaran sendiri sebagai buah dari
keteladan yang baik di hadapannya. Jika ia tidak melakukannyua maka ia
harus didorong untuk melakukannya dengan berbagai cara baik yang
bersifat fisik maupun bersifat nonfisik, seperti yang telah disebutkan di
muka. Di antaranya adalah dengan memuji kebersihan, kerapian dan
keteraturannya.
Jika semua itu tidak berguna maka ia harus diperintah dan dipantau terus
hingga ia menjalankan perintah itu. Tentunya dengan tujuan agar hal itu
menjadi kebiasaan. Jika ia tidak melaksanakan atau hanya
melaksanakannya jika terus dipantau maka kita perlu meningkatkan
ketegasan. Bahkan sampai pada tingkat memberikan hukuman, dengan
peringkat-peringkat yang sudah dijelaskan terdahulu.

Hal ini berlaku pada setiap kebiasaan yang baik, yang ingin kita terapkan
pada anak dan juga kebiasaan buruk yang kita ingin jauhkan darinya atau
ingin kita ubah. Pembiasaan sebenarnya menyedot energi paling besar dari
orangtua. Tetapi itulah esensi proses pendidikan. Sebab bila pada anak
tidak terbentuk kebiasaan-kebiasaan yang baik maka sebenarnya kita
belum berbuat apa-apa selain hanya angan-angan indah yang tidak
berguna sama sekali di alam nyata. Pendidik haruslah menghayati nilai-nilai
dan prinsip-prinsip Islam di balik perilaku kesehariannya. janganlah ia
menjalankan pekerjaan-pekerjaan itu, terutama shalat, secara mekanistis.
Ingatkan anak kepada Allah dan bahwa semua pekerjaan harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-Nya, karena Allah menginginkan
demikian. Dan ketika kita melaksakannya maka kita berada dalam ridha
Allah. Semoga Allah merahmati orang yang mengatakan:

”Pemuda-pemuda kami tumbuh-kembang

Sesuai dengan pembiasaan bapaknya

Anak muda tidaklah beragama berdasarkan otaknya.

Orang-orang terdekatlah yang membentuk cara


beragamanya”
12. Memilih Waktu yang Tepat untuk Menasihati

PEMILIHAN waktu yang tepat mempunyai peran signifikan untuk mencapai


hasil dalam mengarahkan anak pada apa yang diinginkan orang tuanya
dan dalam mengajarinya tentang apa yang dicintainya.

Jika orang tua memilih waktu yang tepat dan mengesankan bagi anak
maka akan mempermudah jalan dan menghemat tenaga dalam proses
pendidikan.

Rasulullah saw. sangat cermat dalam memilih dan memanfaatkan waktu


dan tempat untuk mengajari pemikiran anak dan meluruskan perilakunya
yang salah, serta membangun perilaku yang lurus dan benar. Beliau telah
mengajukan kepada kita tiga waktu utama untuk mengarahkan anak.
Waktu-waktu itu adalah:

a. Saat Rekreasi, dalam Per jalanan, di atas Kendaraan

Hadits Ibnu 'Abbas -yang diriwayatkan At-Tir-midzi, mengatakan,

"Aku berada di belakang Rasulullah saw, pada suatu hari. Lalu ia


mengatakan, Wahai anakku..." (Al-Hadits).

Itu menunjukkan bahwa nasehat Nabi saw. itu dilakukan di perjalanan


saat mereka berdua, terkadang berjalan kaki terkadang pula naik
kendaraan. Nasihat itu tidak hanya dilakukan di kamar yang terbatas
melainkan di udara terbuka di mana jiwa si anak memiliki kesiapan lebih
kuat untuk menerimanya.

Riwayat Al-Hakim memperkuat bahwa perjalanan mereka di atas


kendaraan. Ibnu 'Abbas mengatakan, "Nabi saw. diberi hadiah seekor
keledai kemudian beliau menungganginya, dengan menggunakan tali.
Beliau memboncengku di belakangnya dan berjalan bersamaku, lalu
menoleh kepadaku seraya mengatakan, 'Wahai anakku.' Aku menjawab,
'Ya Rasulullah.' Beliau bersabda, 'peliharalah (agama) Allah, niscaya Dia
akan memeliharamu'." (Al-Hadits)

Sampai-sampai Rasulullah saw. menyampaikan sesuatu yang bersifat


rahasia kepada seorang anak di perjalanan, agar ia menjaganya. Itu tidak
lain karena si anak akan sangat terkesan dalam menerima hal itu dalam
kondisi seperti itu.
11. Perhatikanlah Kecenderungannya

DI ANTARA metoda yang efektif pada banyak situasi -tidak selalu- adalah
memenuhi kecenderungan-kecenderungan anak dan membuatnya puas.
Karena di usia kanak-kanak, seseorang ingin selalu merasa puas dan ingin
segala kemauannya terpenuhi. Jika kebutuhan dan kemauannya terpenuhi
maka perasaannya akan lega dan gembira. Dia akan melaju dengan penuh
dinamika. Tapi bila keinginannya tidak terpenuhi maka ia akan kesal,
marah, dan bertindak bodoh dengan melakukan sesuatu yang tidak disukai
orang tuanya.

Rasulullah saw. telah membuat landasan besar psikologi dalam


menyelesaikan banyak masalah-masalah psikologis anak. Dan para sahabat
telah merespon dan melaksanakan kaidah tersebut. Ibnu 'Asakir
meriwayatkan dari Watsilah Bin Al-Asqa' -semoga Allah meridhainya-
bahwa Rasulullah saw. keluar menemui Utsman Bin Mazh'un yang tengah
membawa anak kecil yang dibalut. "Ini anakmu, Utsman?" tanya Rasulullah
saw. "Ya, benar," jawabnya. "Kamu mencintainya? Tanya Rasulullah lagi.
"Tentu saja ya Rasul." Jawabnya. "Sesungguhnya barangsiapa membuat
senang anak kecil dari keturunannya hingga ia puas maka Allah akan
membuatnya senang pada hari kiamat," kata Rasulullah saw.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah Bin Ja'far -semoga Allah


meridhai mereka, "Rasulullah saw. memboncengku di belakangnya
kemudian membisikan sesuatu yang aku tidak pernah sampaikan !kepada
siapa pun."

Rasulullah saw menggunakan perjalanan sebagai kesempatan untuk


menanamkan aqidah tauhid dan aqidah iman kepada taqdir, mendidiknya
agar senantiasa optimis dan berani dalam menghadapi kehidupan.
Sehingga kelak ia menjadi orang yang berguna bagi umatnya. Beliau juga
mengajarkan bahwa manusia diperintahkan untuk menaati Allah dan
menjauhi kemaksiatan. Dan bahwa Allah swt. akan menyelamatkannya
saat terjadi kesulitan jika ia menunaikan hak Allah dan hak manusia dalam
keadaan lapang, sehat, dan berkecukupan.

Jadi dapatlah kita katakan bahwa waktu perjalanan adalah kesempatan


yang baik untuk menyampaikan arahan dan meluruskan kesalahan-
kesalahan yang dilakukan si anak dalam kehidupan keseharian-nya.
b. Saat Makan

Pada saat makan ini anak akan memperlihatkan watak aslinya dan tak
berdaya menghadapi keinginan untuk makan. Karena itu, kadang-kadang
ia berperilaku buruk dan merusak tatakrama. Jika orangtua tidak duduk
bersama mereka secara terus menerus saat mereka makan dan
meluruskan kesalahan-kesalahan mereka maka si anak akan tetap
membawa bibit-bibit kebiasaan buruk.

Hal lain, jika orang tua tidak pernah menemani mereka saat makan ia
akan kehilangan kesempatan baik untuk memberikan pengajaran
kepadanya. Adalah Rasulullah saw. makan bersama anak-anak. Jika
menyaksikan sejumlah kesalahan maka beliau meluruskanya dengan cara
yang simpatik yang dapat berpengaruh pada jiwa dan akal mereka.

mam Bukhari meriwayatkan dari 'Umar Bin Abi Salamah -semoga Allah
meridhainya- ia mengatakan, "Dulu aku adalah anak kecil yang biasa
berada di kamar Rasulullah saw. Ketika tanganku mau menyuapkan
makanan, beliau bersabda, 'Nak, sebut-lah nama Allah, makanlah dengan
tangan kananmu, dan makanlah apa yang dekat denganmu'."

Dalam hadits riwayat Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban, Rasulullah
saw. bersabda, "Mendekatlah hai anakku, sebutlah nama Allah, makanlah
dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang dekat denganmu."

Dalam riwayat ini Anda temukan bahwa Rasulullah saw. mengundang


anak itu makan bersamanya. Dan itu dilakukannya dengan lemah lembut:
"Mendekatlah". Kemudian beliau mengarahkannya pada cara dan adab
makan.

Para sahabat pun, disertai anak-anaknya, biasa menghadiri walimah-


walimah terutama yang dihadiri Rasulullah saw. Dalam acara seperti ini
mereka belajar yang bermanfaat dan adab yang banyak, sehingga mereka
membangun kepribadian sedikit demi sedikit

c. Waktu Sakit

Sakit akan melunakkan hati orang dewasa yang keras apalagi hati anak-
anak yang memang masih penuh kelembutan dan mempunyai kesiapan
untuk merespon. Anak, saat dia sakit, mempunyai dua sifat sekaligus yang
menjadi bekal untuk meluruskan kesalahan-kesalahan perilaku maupun
keyakinan. pertama adalah fitrah masa kanak-kanak dan kedua adalah sifat
kelembutan hati dan jiwa saat sakit.

Rasulullah saw. telah mengarahkan kita dalam hal ini. Beliau menjenguk
anak Yahudi yang sakit dan diajaknya masuk Islam. Ternyata kunjungan
Rasulullah saw itu merupakan pembuka hidayah bagi anak

.Bukhari meriwayatkan dari Anas -semoga Allah meridhainya- berkata,


"Seorang anak Yahudi yang melayani Rasulullah saw. jatuh sakit. Maka
Rasulullah saw. datang untuk membezuknya. Rasulullah saw duduk dekat
kepalanya seraya mengatakan, 'Masuk Islamlah.' Lalu anak itu memandang
ayahnya yang ada disisinya. Ayahnya mengatakan, Ikutilah Abal-Qasim
(Nabi Muhammad saw).' Maka anak itu pun masuk Islam dan Rasulullah
saw keluar sambil mengatakan, 'Segala puji bagi Allah yang telah
menyelamatkannya dari neraka'.

Di sini kita melihat bahwa anak itu biasa melayani Rasulullah saw. Namun
demikian beliau tidak menyerunya untuk masuk Islam kecuali saat beliau
menemukan waktu yang tepat untuk itu Karenanya kita harus memilih
waktu yang tepat untuk mengarahkan anak-anak kita.
13. Bertahap dalam Menyampaikan Nasihat, Tugas dan Perintah

DARI hadits yang lalu, "Perintahlah anakmu shalat saat di berumur tujuh
tahun dan pukullah mereka saat dia berumur tujuh tahun dan pukullah
mereka (jika dia tidak melaksanakannya) saat umur mereka telah
mencapai sepuluh tahun," kita dapat mengambil satu prinsip penting yang
berpengaruh dalam jiwa anak. Prinsip itu adalah : bertahap dan tidak
menyerahkan berbagai persoalan kepadanya secara sekailgus. Setiap fase
mempunyai masanya sendiri. Shalat saja yang merupakan tiang agama
melewati tiga fase.

Fase pertama, sejak perjalanan awal hingga usia tujuh tahun adalah masa
di mana ia menyaksikan orangtuanya shalat lalu ia segera mengikutinya.
Jika orangtuanya melatihnya terus-menerus maka akan berbuah kebaikan.

Fase kedua, masa diperintah. Dan ini berlangsung dari usia tujuh hingga
sepuluh tahun. Pada masa ini ibu dan bapaknya memberikan perintah-
perintah dan memintanya untuk melaksanakan shalat.

Fase ketiga, masa layak untuk dihukum. Ini dimulai dari usia sepuluh.
Pada usia ini baru si anak dipukul bila tidak mau melaksanakan shalat.

Langkah-langkah yang bertahap ini mempunyai pengaruh yang besar


terhadap jiwa anak. Dengan cara itu anak akan mudah merespon segala
perintah. Sebab dia masih sangat hijau sehingga perlu ada proses yang
bertahap untuk memindahkannya dari satu fase ke fase berikutnya.
Perencanaan untuk mencapai tujuan apa pun, betapapun ingin dicapai
dengan cepat, namun tetap harus melewati fase-fase dan langkah-langkah
yang dirancang oleh kedua orangtua dan bekerjasama untuk
melaksanakannya.
14. Berbicara Terus-terang dan tidak Bertele- tele

BERBICARA secara langsung dan tidak berputar-putar atau bertele-tele


dalam memahamkan anak tentang kebenaran, akan menjadikan anak lebih
siap dan lebih kuat untuk menerimanya. Sedangkan cara yang bertele-tele
dan berbelit-belit tidaklah memperoleh tempat dalam berinteraksi dengan
anak. Demikianlah Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk
berbicara kepada anak secara to the point, terus terang, dan jelas.

Hadits berikut ini tidak lain merupakan dalil untuk hal itu. Dalam hadits
riwayat At-Tirmidzi, Ibnu 'Abbas mengatakan, "Suatu hari aku berada di
belakang Rasulullah saw. lalu beliau mengatakan kepadaku, 'Nak, aku akan
ajarkan kepadamu beberapa kata ." Jadi Rasulullah saw. berbicara
langsung pada topik yang ingin disampaikan. Beliau mengatakan, "Aku
ingjn ajarkan kepadamu." Lalu beliau mengajarkan kepadanya "beberapa
kata" yang singkat, bermanfaat, padat dan tidak membosankan Itu sesuai
dengan watak pemikiran anak yang menginginkan kalimat-kalimat pendek,
ringkas, menyeluruh, dan sarat makna.

Jika kita perhatikan, kalimat-kalimat yang disampaikan Rasulullah saw. Itu


merupakan landasan pemikiran dan landasan aqidah yang prinsipil pada
anak dalam kehidupan masa kanak-kanak dan juga untuk masa muda yang
tidak lama lagi akan dijalaninya. Mari kita baca kalimat-kalimat itu:

"Jagalah (agama) Allah niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah (agama)


Allah niscaya kamu akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Jika kamu
meminta, mintalah kepada Allah; jika kamu mohon pertolongan mohonlah
kepada Allah; ketahuilah bahwa jika seluruh umat berhimpun untuk
menyelamatkanmu dengan sesuatu maka niscaya mereka tidak dapat
melakukannya kecuali dengan apa yang sudah Allah tetapkan untukmu.
Dan jika mereka berhimpun untuk mencelakakanmu maka niscaya mereka
tidak akan dapat melakukannya kecuali jika Allah telah menetapkannya.
Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran (ketentuan
Allah)."

Anda lihat kalimat-kalimat yang disampaikan Rasulullah saw. itu langsung


pada sasaran dan diawali dengan menarik perhatian si anak melalui
panggilan, "Nak." Ini membuat si anak merasa mendapat perhatian. Sama
halnya ketika pemuda dipanggil "Hai pemuda."
Adakah Anda menemukan penjelasan yang padat dan menyeluruh yang
menyentuh akal anak seperti yang disampaikan Rasulullah saw. itu?
Pernahkah Anda membaca atau mendengar kaidah-kaidah yang
membangun pemikiran dan akal anak agar menjadi landasan dalam
menghadapi kehidupan, sebaik yang dilontarkan Rasulullah saw. itu?

Demikian pula Rasulullah saw. membimbing anak secara langsung tentang


langkah praktis untuk membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati seperti
dengki, kebencian, dan licik.

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas -semoga Allah meridhainya- bahwa ia


berkata,

"Rasulullah saw. berkata kepadaku, 'Wahai anakku, jika kamu bisa, saat
datang pagi dan petang, dalam keadaan hatimu tidak menyimpan
kedengkian kepada seseorang maka lakukanlah, wahai anakku. Dan itu
termasuk sunnahku. Barangsiapa menghidupkan sunnahku maka dia telah
menghidupkanku. Dan barang siapa menghidupkanku maka dia bersamaku
di sorga'."

Di sini Rasulullah saw. menggunakan kata 'anakku'. Hal itu dalam rangka
menyentuh perasaan si anak, menarik perhatiannya, dan merangsangnya
untuk mendengarkannya secara jelas.

Pemaparan itu menegaskan bahwa Rasulullah saw. memilih cara yang


memuaskan dalam menjelaskan sesuatu kepada anak. Kita juga melihat
bagaimana Rasulullah saw. menyusun informasi agar si anak
menghafalnya. Beliau juga berbicara secara runut agar si anak dapat
memahaminya, dalam suasana yang tenang dan menyenangkan, dengan
sentuhan yang mengagumkan, menggunakan sapaan 'wahai anakku'.
15. Berbicara sesuai dengan Tingkat Intelektualitasnya

JIKA kita mengetahui tingkat pertumbuhan yang dicapai akal anak, akan
mudah bagi kita untuk memecahkan banyak persoalannya. Dengannya kita
akan tahu kapan kita harus bicara padanya, kalimat macam apa yang
dipilih, dan gagasan apa yang kita ajukan kepadanya. Sebab anak, seperti
manusia lainnya, memiliki keterbatasan yang tidak dapat diterobosnya.
Akal dan pemikirannya masih dalam proses pertumbuhan dan perluasan.

Ini dibuktikan dengan kasus yang terjadi menjelang Perang Badar. Para
sahabat menangkap seorang gembala dari orang Quraisy. Mereka
menanyainya tentang jumlah pasukan Quraisy. Ternyata anak itu tidak
menjawab dengan baik lalu para sahabat memukulnya. Hingga datanglah
Rasululiah saw. -seorang ahli kejiwaan yang tidak diragukan lagi. Ternyata
Rasulullah saw. bertanya kepadanya, "Berapa ekor unta yang mereka
sembelih?" Si anak itu menjawab, "Sekitar sembilan atau sepuluh ekor."
Maka Rasululiah saw. bersabda, "Berarti jumlah mereka sekitar sembilan
ratus sampai seribu orang."

Rasululiah saw. memahami bahwa si gembala itu tidak mengetahui


hitungan ribuan. Tingkat kemampuan akalnya hanya mencapai angka
puluhan. Lalu puluhan apa? Puluhan untalah yang mudah dihitung oleh
anak itu karena ukurannya besar.

Rasululiah saw. mampu membuat anak itu berkomunikasi dengan baik.


Itu terjadi karena beliau berbicara dengannya sesuai dengan tingkat
intelektualitasnya.

Contoh lain adalah ketika Anas Bin Malik -semoga Allah meridhainya-
melakukan kelalaian atau lupa sesuatu saat melayani Rasulullah saw. Maka
keluarga beliau menghukumnya. Namun ternyata Rasululiah saw. yang
mengetahui batas-batas kemampuan anak mengatakan, "Biarkanlah.
Sebab kalau memang dia mampu pasti dia lakukan." Ini menunjukkan
bahwa anak mempunyai kemampuan berfikir dan kemampuan fisik yang
terbatas. Menuntutnya untuk melakukan apa yang berada di luar
kemampuannya sama saja dengan si cebol merindukan bulan. Bahkan
dalam bercanda pun Rasululiah saw. melakukannya sesuai dengan kadar
nalar anak-anak yang diajaknya bercanda.
Rasululiah saw. bercanda dengan hal-hal yang mereka rasakan, pahami
dan ketahui. Rasulullah saw. bertanya kepada seorang anak: "Hai Aba
'Umair, sedang apa burung kecil itu? "

Itu tidak lain merupakan dalil bagi hal itu. Nughair adalah burung kecil
yang menjadi mainan anak itu.

Kalau kita perhatikan kalimat yang digunakan Rasululiah saw. itu kita akan
mendapatkannya telah memenuhi sifat-sifat kalimat edukatif yang baik,
yakni:

a) Kalimatnya pendek, dengan enam kata dan dua belas suku kata.
Dan ini kalimat yang cocok untuk anak kecil.
b) Kalimatnya mudah diucapkan dan tidak ada kata yang sulit
diucapkan.
c) Kalimatnya mudah dipahami dan jelas.
d) d. Kalimatnya mudah dihafalkan karena mempunyai unsur sajak
yakni adanya kesamaan bunyi pada kedua ujung penggalan
kalimat.
e) Penggalan-penggalan kalimatnya sesuai dengan jiwa anak dimulai
dengan sapaan, ada jeda, dan ada pertanyaan.

Karenanya, hendaknya pendidik memilih kata yang mudah dan kalimat


yang pendek dalam berbicara dengan anaknya. Juga hendaknya, ia
berbicara sesuai dengan tingkat intelektualitasnya, agar anak tidak punya
alasan untuk menjadi pembangkang.

Saudaraku pendidik, bayangkan jika Anda mempunyai atasan yang


memberi Anda tugas di luar kemampuan. Adakah Anda akan melaksanakan
tugas itu? Maka terlebih lagi anak Anda, jika Anda berbicara kepadanya di
luar kemampuan jangkauan akalnya
16. Gunakanlah Metoda:"Apakah Kendalamu, Nak?"

DIALOG yang tenang akan menumbuhkan kemampuan akal, memperluas


wawasan, dan merangsang aktifitas akal anak untuk memahami realitas
kehidupan. Melatih anak untuk berdiskusi dan berdialog akan membawa
orangtua pada hasil yang mencengangkan. Sebab dengan cara itu si anak
akan mampu mengutarakan pendapat-pendapat dan gagasannya serta
berani menuntut hak-haknya di hadapan orang dewasa. Karena orang
tuanya di rumah telah melatihnya adab, dan tata cara berdialog.

Rasulullah saw. berdialog secara tenang dengan anak muda yang datang
kepadanya untuk meminta agar dizinkan berzina. Dan pada akhirnya si
anak muda itu bangkit dari duduknya dalam keadaan telah sangat
membenci perbuatan zina.

Beliau juga berdialog dengan anak kecil yang ingin ikut menjadi prajurit
perang dengan tenang, penuh perhatian, dan objektif.

Samurah Bin Jundub mengatakan,

"Rasulullah saw. menerima seorang anak kecil menjadi prajurit perang dan
menolak saya. Maka saya katakan kepadanya, "Ya Rasulullah, engkau
menerimanya dan menolak saya. Padahal kalau saya bergulat dengannya
pasti saya bisa mengalahkannya." Maka saya bergulat dengannya dan
mengalahkannya. (HR. Al-Hakim)

Rasulullah saw. juga berdialog dengan Ibnu 'Abbas. Dari Ibnu 'Abbas
-semoga Allah meridhainya, ia mengatakan, "Aku menginap di rumah
bibiku, Maimunah, untuk melihat shalat Rasulullah saw. Maka beliau
bangun dari tidur seraya mengucapkan, 'Mata telah tertidur, bintang-
bintang pun telah tenggelam, dan (Allah) Yang Maha Hidup lagi Berdiri
Sendiri tetap ada.' Kemudian beliau membaca akhir surah Ali 'Imran 'Inna
fii khlaqissamawali wal-ardhi...' Kemudian beliau bangun menuju tempat air
yang bergantung lalu berwudhu dan memulai shalat. Maka aku pun
berwudhu kemudian berdiri di sebelah kirinya. Beliau menarik kupingku
dan memindahkanku ke sebelah kanannya. Aku kembali ke tempatku
semula dan Rasulullah saw. kembali memindahkan aku dua dan tiga kali.
Ketika selesai shalat, beliau mengatakan, 'Nak, apa yang menghalangimu
untuk tetap di tempat berdiri yang aku tunjukkan?' Aku mengatakan,
'Engkau adalah Rasulullah. Tidak layak seorang pun menyamaimu.' Maka
Rasulullah saw. bersabda, 'Ya Allah jadikanlah dia orang yang memahami
agama dan ajarkanlah padanya takwil'."

Karenanya, saudaraku pendidik, mari kita gunakan cara "apa kendalamu,


nak" yang diajarkan Rasulullah saw. kepada kita. Yakni berdialog dengan
anak dan memberikan kesempatan kepadanya untuk mengungkapkan
gagasan, pendapat dan segala perasaannya.

Para sahabat pun telah mengikuti apa yang diajarkan Rasulullah saw
Amirul-Mu'minin 'Umar Bin Khaththab mendapat pengaduan dari seorang
bapak tentang anaknya. Maka 'Umar Bin Khaththab memanggil anak itu
untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. "Apa yang
menyebabkan kamu durhaka kepada bapakmu?" tanya 'Umar kepada anak
itu. "Wahai Amirul-Mu'minin, apa hak anak pada papaknya?" si anak balik
bertanya. "Dia harus memberinya nama yang bagus, memilihkan untuknya
calon ibu yang baik, dan mengajarinya Al-Qur'an ," . jawab 'Umar. "Wahai
Amirul Mu'minin, ayahku tidak melakukan satu pun dari semua itu," ungkap
si anak. 'Umar lalu menoleh kepada si ayah seraya mengatakan, "Engkau
telah durhaka kepada anakmu sebelum anakmu durhaka kepadamu."
Begitulah 'Umar berdialog dengan anak kecil untuk konfirmasi dalam hal-
hal penting.

Anda lihat, saudaraku, Khalifatul-Muslimin dan pemimpin negara terbesar


di dunia. Dan Anda tahu sikap tegas 'Umar dalam kebenaran. Dia
mengkonfirmasi hal-hal penting kepada kalangan yang sering kali tidak
menarik perhatian dan tidak dipandang sebelah mata anak-anak.

Saudaraku, mari kita lakukan dialog yang tenang bersama anak.


Berdiskusilah denganya dalam suasana penuh kasih. Dengarkanlah
pendapatnya dengan seksama dan bijak, sebagaimana dilakukan oleh
khalifah kelima, 'Umar Bin 'Abdil 'Aziz. Ketika beliau baru saja menjabat
sebagai khalifah, para tamu berdatangan untuk mengucapkan selamat dan
menyampaikan berbagai keperluan. Lalu datanglah rombongan dari Hijaz.
Seorang anak kecil mewakili mereka maju untuk berbicara. Maka Umar
berkata, "Biarkan orang yang lebih tua darimu maju." Anak itu menjawab,
"Semoga Allah meluruskan Amirul Mu'minin. Kami datang kepadamu untuk
mengucapkan selamat bukan untuk menghinakan. Kami datang kepadamu
karena perkenan Allah yang telah mengaruniakan engkau kepada kami..."
'Umar menyahut, "Nasihatilah aku, anakku." Si anak melanjutkan, "Semoga
Allah meluruskan engkau wahai Amirul Mu'minin, Ada orang-orang yang
dibanjiri karunia Allah, panjang cita-citanya, dan banyak sanjungan orang
kepadanya. Lalu orang itu tergelincir kemudian meluncur ke dalam neraka.
Maka janganlah engkau tertipu dengan banyaknya karunia Allah dan
banyaknya sanjungan kepadamu, nanti kakimu akan tergelincir dan engkau
akan menyusul mereka ke neraka. Semoga Allah tidak menjadikan engkau
seperti mereka dan semoga Dia mempertemukan engkau dengan orang-
orang saleh dari umat ini." Kemudian ia diam.

Umar bertanya, "Berapa umur anak itu?" Beliau mendapat jawaban bahwa
umurnya sebelas tahun. Beliau bertanya-tanya tentang anak itu, ternyata
ia keturunan Husen Bin 'Ali -semoga Allah meridhai mereka. Akhirnya, kami
ingin angkat contoh lain tentang dialog yang tenang yang mampu
meluruskan langkah seorang Imam besar, Abu Hanifah. Ia melihat seorang
anak kecil sedang bermain tanah. Ia mengatakan kepada anak itu, "Hati-
hati kamu jangan sampai jatuh ke tanah." Si anak itu menjawab, "Engkau
yang harus hati-hati agar tidak terjatuh. Karena jatuhnya seorang alim
berarti jatuhnya alam semesta." Setelah mendengar nasihat itu Abu
Hanifah tidak berani mengeluarkan fatwa kecuali setelah dikaji bersama
murid-muridnya selama satu buIan.
17. Latih, Latih dan Latih

MELATIH anak akan membuatnya tahu dan mengerti. Ketika si anak


mengawali pertumbuhan dan mulai mengaktifkan kedua tangannya, maka
ia mulai merangsang otaknya untruk berkembang. Ia akan menyaksikan
bagaimana sesuatu dilakukan dan kemudian ia mengulanginya .
Demikianlah akhirnya ia melakukan sesuatu dengan baik selangkah demi
selangkah.

Rasulullah saw. melihat seorang anak sedang menguliti seekor kambing.


Tapi ia belum bisa melakukannya secara baik. Maka Rasulullah saw
menyingsingkan lengan bajunya seraya mengatakan, "Beginilah caranya."
Lalu beliau memasukkan tangannya antara kulit dan darah hingga sampai
ke bagian ketiaknya. Kemudian beliau pergi untuk mengimami shalat dan
tidak berwudhu lagi. (Riwayat Abu Daud Dari Abu Sa'id Al-Khudri)

Pelatihan semacam itu akan membuat anak terbuka pemikirannya dan


bertambah luas wawasannya, di samping mempunyai keterampilan. Oleh
karena itu alangkah baiknya jika jargon kita dalam berinteraksi dengan
anak-anak "beginilah caranya". Karena cara itu lebih mampu menanamkan
pengetahuan yang benar dan keterampilan dalam bekerja.

Para sahabat amat besar perhatiannya dalam melatih anak-anak mereka.


Salah satu contohnya adalah melatih anak-anak mereka berpuasa.
Sehingga mereka harus membuatkan mainan untuk anak-anaknya agar
merasa terhibur dan tidak merasakan panjangnya hari.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan, dari Ar-Rabi' Binti Mu'awwidz, bahwa


Rasulullah saw. mengutus orang ke kampung-kampung Anshar pada hari
'Asyura untuk mengumumkan: "Barang siapa yang sejak pagi puasa maka
hendaklah ia melanjutkannya dan barang siapa yang tidak berpuasa maka
hendaklah berpuasa di sisa hari." Maka setelah itu kami selalu berpuasa
pada hari 'Asyura dan menyuruh anak-anak kami untuk berpuasa. Kami
pergi ke masjid kemudian kami membuat mainan dari bulu. Jika di antara
anak-anak itu ada yang menangis maka kami berikan kepadanya hingga
sampailah waktu berbuka.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani dalam mengomentari hadits itu


mengatakan, "Hadits itu menunjukkan disyari'atkannya melatih anak-anak
berpuasa sebagaimana yang telah disebutkan. Meski pun usianya belum
mukallaf (terkena pemberlakuan hukum) namun hal itu perlu dilakukan
untuk melatihnya.”

Jadi betapa pentingnya latihan bagi anak. Nah, agar latihan yang kita
lakukan terhadap anak kita sukses, maka harus diperhatikan hal-hal
berikut:

a. Memberikan tugas sesuai dengan jenis kelaminnya

Tidaklah tepat menugaskan anak laki-laki untuk mencuci piring sementara


yang perempuan disuruh untuk mengangkat beban yang berat. Tugas-
tugas ke luar rumah dan membawa beban berat lebih cocok untuk laki-laki.
Sedangkan tugas-tugas yang terkait dengan dapur, mengasuh anak kecil
lebih tepat untuk anak perempuan.

b. Memberi tugas sesuai dengan usianya

Tidaklah tepat meminta anak kecil untuk mengangkat sesuatu yang sangat
berat. Tidaklah tepat menyuruh anak perempuan yang masih kecil
mencuci bertumpuk-tumpuk piring yang memakan waktu lebih dari satu
jam.

c. Bertahap dalam melatih

Jika Anda ingin melatihnya pergi ke supermarket maka untuk pertama kali
janganlah ia disuruh pergi ke supermarket yang jauh dan jangan disuruh
belanja barang yang harganya tinggi. Suruhlah dia pergi ke supermarket
yang dekat untuk membeli hanya satu jenis barang dengan harga murah
dan kemudian tingkatkan sedikit demi sedikit.

d. Tidak mencercanya jika salah

Jika Anda suruh dia membeli sesuatu dan temyata ia membeli barang yang
lain atau salah dalam menghitung uang atau memecahkan apa yang ia beli
janganlah Anda mengecamnya dengan mengatakan, "Ah, Coba saya tidak
suruh kamu," atau "Seharusnya saya bisa mempercayai kamu," atau,
"Mana otakmu?" dan Iain-lain. Kalimat-kalimat itu akan membuat dia
sangat terpukul dan meninggalkan dampak buruk dalam jiwanya. Demikian
pula jika Anda menyuruh puteri Anda melakukan pekerjaan-pekerjan dapur
seperti mengiris tomat, mencuci sayuran atau mencuci piring dan tidak
mencapai hasil yang memuaskan, maka jangan katakan padanya," Sudah
pergi saja bermain. Kamu masih kecil. Seharusnya saya sendiri yang
mengerjakan semua ini."

Sebaiknya terangkanlah kesalahannya kepada anak Anda secara tenang.


Minta dia untuk mengulangi tugasnya dengan benar, jika mungkin. Paham
kanlah padanya bahwa kita juga biasa salah pada awal kita belajar dan
bahwa kesalahan bukan berarti kelemahan dan kegagalan.

e. Memantaunya di awal pemberian tugas

Sangat baik jika Anda bisa menyertainya pada tugas-tugas pertama. Jadi
jika kita menyuruhnya untuk membeli sesuatu, maka tidak ada salahnya
jika kita mengawasinya dari jendela atau berdiri di dekatnya. Dan jika kita
menyuruh puteri kita melakukan sesuatu di dapur, tidak ada salahnya jika
kita mengawasi dan membantunya untuk melakukan pekerjaan secara baik
sehingga ia tidak merasa gagal di langkah awal.

f. Tidak menugaskan sesuatu pada waktu yang tidak tepat

Jika ia sedang bermain dengan teman-temannya dalam permainan yang


baik maka janganlah kita memotong kebahagiaannya dangan menugaskan
"kepadanya sesuatu yang membuatnya tidak dapat bermain. Dan jika ia
sedang menonton TV dengan acara anak-anak yang baik maka janganlah
kita memaksanya untuk meninggalkannya dan melakukan sesuatu yang
lain.

g. Tidak berlebihan dalam memberikan motivasi

Kita harus selalu memotivasi anak, misalnya dengan mengucapkan


terimakasih kepadanya jika ia melaksanakanapa yang kita tugaskan.
Misalnya dengan mengucapkan,"Baarakallahu fiik (semoga Allah mem-
berikan barokah kepadamu)" atau "Bagus, semoga Allah memberikan
kesehatan kepadamu." Namun demikian motivasi dan pujian itu jangan
dilakukan secara berlebihan. Karena si anak juga harus tahu bahwa apa
yang dia lakukan itu adalah bagian dari kewajibannya.

8. Menuntun Anak kepada Sosok Rasulullah saw sebagai Teladan

Dari Ibnu 'Abbas -semoga Allah meridhai keduanya-mengatakan, "Aku


menginap di rumah bibiku, Maimunah. Pada tengah malam beliau bangun
untuk shalat. Beliau menuju tempat air yang tergantung dan terus
berwudhu; kemudian berdiri untuk shalat. Maka aku bangun, berwudhu
dan melakukan apa yang dilakukannya seraya berdiri di sebelah kirinya.
Beliau mindahkanku ke sebelah kanannya kemudian ia shalat banyak
sekali, kemudian berbaring dan tidur hingga mendengkur. Lalu datanglah
muadzin dan beradzan untuk memanggil shalat, maka beliau keluar dan
shalat." (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam Shahih- nya)

Dalam riwayat lain dari Ibnu Khuzaimah, "Aku menginap di rumah bibiku
Maimunah, lalu aku menunggu-nunggu bagaimana Rasulullah saw. shalat,
kemudian beliau berdiri dan shalat..."

Mengaitkan anak dengan pribadi Rasulullah saw, menjadikannya sebagai


teladan, dan menanamkan kecintaan kepadanya, akan membuat seseorang
menjadi manusia yang lurus dan terbuka hatinya untuk memahami
perjalanan pemimpin para rasul itu. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah
saw,

"Didiklah anak kalian untuk tiga hal: mencintai nabi kalian, mencintai
keluarganya, dan membaca al-Al-Qur'an ." (Dikeluarkan oleh Ath-
Thabrani dari 'Ali Bin Abi Thalib)

Melalui penanaman cinta kepada Rasulullah saw. itu kita dapat menuntun
anak kepada pribadi beliau. Dan langkah-langkah untuk itu adalah:

a. Menjelaskan keutamaan Rasulullah saw. bagi umat Islam dengan


cara yang sesuai dengan nalar anak

b. Mengajarinya shalawat atas Nabi saat mendengar namanya disebut.

c. Menceritakan sirah Rasulullah dengan cara yang menarik dan


berkesan.

d. Membiasakan perilaku yang biasa dipraktikkan oleh Rasulullah saw.

Membimbingnya untuk menghafal doa-doa sehari-hari yang biasa


diucapkan oleh Rasulullah dan mengarahkan serta memantaunya untuk
menghafal hadits-hadits beliau.
19. Mendengar Reflektif

ORANG tua harus menjaga anak-anaknya dari kegagalan, rasa


keterpurukan, dan konflik dengan anggota lingkungan tempat dia hidup.
Tentu saja kita tidak dapat menempatkan mereka dalam perlindungan kita
secara terus menerus. Yang dapat kita lakukan padanya hanyalah
memberinya pemahaman, dan merespon perasaannya yang sedang tidak
baik serta pengalamannya yang mengganggunya. Dan kita harus
memotivasi mereka untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara yang
disebut mendengar reflektif {reflektive listening). Mendengar reflektif
adalah menyimak secara responsif dan aktif dalam rangka memahami apa
yang dikatakan anak dan agar dia mampu mengingat kembali perasaannya
serta mampu menjelaskan situasi-situasi yang memuculkan perasaan itu.
Itu dimaksudkan agar kita dapat membantunya mengungkapkan perasaan
dan segala problem yang dihadapinya. Dari situ kita dapat menghilangkan
ketegangan dan sikap reaktif.

Komunikasi macam ini dengan anak akan membuat hubungan baik dan
mengokohkan jalinan serta membuat dia mandiri dan tabah.

Kita dapat menggunakan cara mendengar reflektif ini pada anak dari mulai
umur tiga tahun, dengan syarat kita menggunakan bahasa yang mudah
dan sederhana. Ada lima hal penting yang harus diperhatikan saat Anda
menyelami perasaannya, yakni:

a. Hendaknya Anda menghargai perasaannya dan tunjukkan


bahwa Anda memahami perasaan itu

Itu dapat tercapai dengan cara mendengar secara tenang, penuh


perhatian, dan tampillah bukan sebagai sosok yang akan menghakimi.
Tentu saia ada kemungkinan Anda tidak dapat menerima semua perilaku
dan perbuatannya. Tapi kesankan bahwa Anda dapat memahami
perasaannya. Dia akan mengungkapkan kepada Anda tingkat
kemarahannya kepada saudaranya. Tapi dalam waktu bersamaan Anda
tidak mengizinkannya untuk melampiaskan kemarahannya kepada
saudaranya itu dengan melakukan keculasan dan pemukulan.

b. Tampakkan bahwa Anda benar-benar menyimak apa yang


dikatakan
Dengan semata-mata mendengarkan, Anda telah memberikan padanya
penghargaan. Karena Anda telah memperkenankan dia untuk
mengungkapkan perasaannya dan membagi kekesalan dan kemarahan
yang berkecamuk dalam dadanya. Dan isyarat-isyarat yang Anda lakukan
juga bisa berarti sebagai partispasi Anda, bahkan seringkali isyarat-isyarat
itu mewakili omongan. Misalnya mengangguk-anggukkan kepala sebagai
bukti bahwa Anda setuju, menerima, dan berempati terhadap ucapannya.

c. Ulangi apa yang dia ucapkan dan ekspresikan bahwa Anda


sedang memikirkan perasaannya

Sangat baik jika Anda merangkum atau meyusun ulang inti sari yang dia
katakan tentang perasaannya itu. Tidaklah cukup -sementara kita tengah
bicara tentang empati- hanya mendengarkan dan memahami apa yang
dikatakan anak. Sebaiknya kita mengulangi perkataan dan ungkapan
perasaannya untuk memberikan bukti bahwa kita merespon dan

mahami perasaanya. Itulah yang disebut mendengarkan reflektif seperti


yang sudah kita jelaskan.

Mengulangi apa ucapan anak bukan berarti mengulangi kata-katanya


secara persis melainkan menyusun ulang inti omongannya. Misalnya Anda
mengatakan kepada puteri Anda yang berumur tiga tahun yang tengah
kecewa, "Oh, kamu pasti kecewa dan sedih ya, karena kamu tidak dapat
ikut ibu ke pasar."

Suatu saat mungkin anak Anda mengungkapkan perasaan yang amat


mengganggu dan mengancamnya. Misalnya ia mengatakan, "Tidak ada
seorang pun di kelasku yang menyukaiku." Dalam keadaan seperti ini
kendalikan diri Anda dan janganlah Anda terbawa emosi dalam mensikapi
informasi yang mungkin membuat Anda tersinggung. Jadilah orang tua
yang membantu, memberikan motivasi dan mendorong anaknya untuk
semakin berterusterang dalam mengemukakan apa yang bergejolak di
dalam hatinya betapapun itu menyakitkan Anda.

Anak memerlukan bantuan dan pertolongan Anda. Dan melalui "bermain


peran" sebagai cermin, Anda merefleksikan apa yang ada dalam hatinya.
Dengan cara itu Anda berinteraksi dengan perasaannya. Itu akan
membantunya memilih solusi dan langkah-langakah yang paling baik guna
mengatasi kesulitan dan problem yang dia hadapi. Tentu ada fenomena
umum dalam cara berfikir dan perilaku anak. Yaitu bahwa mereka sering
berlebihan dalam mengungkapkan perasaan mereka dan menggambarkan
situasi yang melatarbelakanginya. Karenanya orangtua harus
membantunya dalam menggambarkan perasaan dan situasi yang
melatarbelakanginya agar sesuai dengan realitas. Artinya orangtua harus
mengurangi sikap berlebihan dan memproporsionalkan perasaan dengan
situasi yang sebenarnya.

Apa pun kondisinya, dengan cara menyimak dan menyusun ulang fikiran si
anak serta membuatnya menjelaskan perasaannya dengan situasi yang
melatarbelakanginya, kita akan tahu kalau dia over acting tanpa harus
mengatakannya kepadanya secara langsung.

Cara ini bisa digunakan dengan anak dalam segala usia. Karena cara ini
memenuhi dua syarat.

Pertama, konsentrasi, menyimak dan mendengar reflektif.

Kedua, meningkatkan pemahaman anak tentang hakikat perasaannya dan


realitas.

d. Rumuskan perasaannya

Setelah Anda menyimak omongan anak dengan seksama dan mencermati


ekspresi wajahnya yang melukiskan perasaannya seperti marah, kecewa,
sedih dan Iain-lain, maka sebaiknya Anda mengidentifikasi reaksinya.
Misalnya Anda katakan kepada puteri Anda yang berusia sembilan tahun,
"Tampaknya kamu kecewa atau kamu sedih karena perlakuan gurumu itu."

Jika dugaan Anda -tentang perasaannya- tidak tepat untuk pertama kali,
maka coba lagi. Tetaplah anda menghargainya, tenang, dan bicaralah
dengan menggunakan jeda-jeda waktu agar Anda menjadi paham.
Doronglah puteri Anda itu menilai dugaan anda, benar atau salah.

e. Bersikap responsif , berikanlah nasihat dan usulan

Kita harus membiarkan anak untuk mencurahkan segala perasaan yang


berkecamuk di dalam jiwanya. Terutama jika ia bersikap negatif terhadap
kita. Akan tetapi dalam waktu yang bersamaan kita juga tidak membiarkan
dia menghina kita. Kita beritahukan bahwa kita memperkenankan dia
mengungkapkan perasaannya dan segala gejolak jiwanya tapi dengan tidak
mengeluarkan kata-kata yang menghinakan kita. Jika ia tidak mau
menuruti peringatan kita, kita bisa memintanya segera menghentikan
pembicaraannya dan memberinya hukuman ringan. Sebab ia juga harus
belajar aturan, disiplin, dan adab berbicara dengan ibu-bapaknya atau
orang yang lebih tua darinya.

Namun untuk itu kita harus menjadi teladan dalam hal tatakrama
mengungkapkan perasaan yang kita terapkan pada anak kita. Kita jangan
memberi contoh dengan menghinakannya dan melontarkan ungkapan atau
julukan yang merusak kejiwaannya.

Betul bahwa anak menginginkan kita memahami perasaannya saat dia


marah, membangkang, cemburu, sedih, atau takut. Dan saat ia tidak
mendapatkan respon maka ia akan berontak kepada kita. Sebab hal
terbesar yang menyakitinya adalah bila kita menganggap enteng
perasaannya atau kita bersikap masa bodoh. Karenanya kita harus
mendekati perasaannya baik dengan cara memahami, berempati, dan
mengidentifikasi perasaannya, bila kita ingin masuk ke dalam jiwa dan
akalnya.

Berikut ini sebuah contoh yang menjelaskan betapa pentingnya mendekati


perasaan anak dengan cara memahami dan berempati. Ini ditulis oleh
Salwa Al-Muayyad dalam bukunya, Ibnii Laa Yakfii an Uhibbuk (Anakku,
Tidak Cukup Aku Mencintaimu).

Sarah pulang dari sekolah dalam keadaan marah. Ia mengadukan kepada


ibunya perihal perlakuan buruk gurunya terhadap dirinya. "Aku benci
guruku. Dia membentakku di depanku karena aku lupa membawa buku
catatan matematika." Ibunya berusaha menampung kemarahannya dan
berkata," Apakah sikapnya membuat kamu sangat kesal?" katanya.
"Memang. Seorang temanku juga lupa tidak bawa buku tulis, tapi guru itu
tidak membentaknya seperti yang dia lakukan kepadaku," jawab si anak.
"Kamu menganggap perlakuannya tidak adil, bukan?" sahut ibunya.
Spontan anak itu menjawab, "Tentu saja. Bahkan saya berfikir untuk
menamparnya dan membuangnya ke tempat sampah." Sambil terus
berusaha menenangkan puterinya itu ia mengatakan, "Omonganmu
menunjukkan bahwa kamu benar-benar marah kepadanya."

Sejak itu amarah Sarah mulai reda. Tidak lama kemudian ia pergi keluar
untuk bermain sepeda bersama adiknya, setelah ia lupa kemarahannya
kepada gurunya.
Jadi Sarah menginginkan ibunya memahaminya dan mengakui apa yang ia
rasakan terhadap gurunya. Dan ibunya telah memenuhi apa yang dia
inginkan. Ia tidak menceramahinya melainkan menampung amarahnya
dengan cerdas. Dan semua orang tua bisa melakukannya dengan berlatih
dan kesabaran.

Reaksi spontan seorang ibu menghadapi situasi seperti itu bisa beberapa
sikap. Mungkin ia akan mencela anaknya karena kelalaiannya dan
mengatakan bahwa dia memang layak mendapat hukuman seperti itu dari
gurunya. Atau mungkin si ibu berdiri di pihak puterinya melawan gurunya.
Akan tetapi ibu Sarah tidak melakukan itu. Dia justeru mengakui perasaan
anaknya dengan mengatakan, "Kamu menganggap perlakuannya tidak adil,
bukan?" Demikian pula saat ia mengatakan, "Omonganmu menunjukkan
bahwa kamu benar-benar marah kepadanya." Ibu Sarah juga tidak
berusaha menghakimi atau menceramahinya. Karena ia tahu bahwa
gurunya telah menjalankan tugas mendidik dan ia tidak ingin mengulangi
apa yang dilakukan gurunya di sekolah.

Begitulah si ibu sampai kepada hasil positif. Sarah telah keluar untuk
bermain sepeda dengan adik-nya setelah memperoleh pelajaran yang
semestinya dari gurunya dan mencurahkan kemarahannya yang
menggumpal dalam jiwanya melalui curahan hati (curhat) dengan ibunya.
20. Doakan untuk Kebaikan, bukan Keburukannya

DOA termasuk hal penting yang harus kita pegang teguh. Kita perlu
mencari waktu-waktu terkabulnya doa yang dijelaskan Rasulullah saw.
Sebab doa orangtua akan dikabulkan oleh Allah swt. Dengan doa muatan
rasa cinta dan kasih sayang akan bertambah mekar di dalam hati kedua
orangtua. Maka hendaklah keduanya bermunajat dan memohon kepada
Allah agar Dia meluruskan anaknya dan masa depannya. Itulah Sunnah
para nabi dan rasul. Oleh karena itu mendoakan keburukan kepada anak
merupakan hal yang berbahaya. Sebab hal ini akan mengakibatkan
kehancuran anak dan masa depannya, bahkan kehancuran orang tua itu
sendiri.

Rasulullah saw. melarang para orangtua mendoakan keburukan bagi.


anaknya karena hal itu bertentangan dengan akhlak Islam, dengan
pendidikan Nabi dan jauh dari cara Nabi dalam menyeru manusia ke dalam
Islam. Rasulullah saw. saja tidak medoakan kebinasaan bagi orang musyrik
Thaif. Beliau bahkan berdoa, "Aku berharap dari anak keturunan mereka
akan ada orang-orang yang beribadah kepada Allah." Dan ternyata Allah
rnewujudkan harapannya.

Rasulullah saw. bersabda:

"Janganlah kalian mendoakan keburukan kepada diri kalian, janganlah


kalian mendoakan keburukan kepada anak-anak kalian, janganlah kalian
mendoakan keburukan kepada pelayan-pelayan kalian, dan janganlah
kalian mendoakan keburukan kepada harta kalian. Janganlah kalian
(mendoakan keburukan sebab jika waktu doa kalian) bertepatan dengan
saat-saat dikabulnya doa, maka Allah akan mengabulkan doa kalian (yang
buruk itu)" (HR Abu Daud)

Imam Ghazali menyebutkan, ada seseorang yang datang kepada Abdullah


Bin Al-Mubarak seraya mengadukan perihal kedurhakaan anaknya. Ibnul-
Mubarak bertanya, "Pernahkah kamu mendoakan keburukan baginya?" la
menjawab, "Ya, pernah." Ibnul-Mubarak mengatakan, "Engkau telah
menghancurkannya."

Mestinya, daripada Anda menjadi penyebab kehancurannya - dengan


mendoakan keburukan baginya-lebih baik engkau menjadi penyebab
kesalehannya dengan mendoakan kebaikan untuknya. Sebagaimana
dilakukan Rasulullah saw., beliau mendoakan kebaikan kepada anak-anak
maka Allah memberikan barokah kepada mereka di kemudian hari dengan
amal saleh, harta, dan anak. Ibnu 'Abbas -semoga Allah meridhainya-
mengatakan,

"Rasulullah saw. memelukku di dadanya seraya berdoa,

Ya Allah ajarkanlah padanya hikmah'." (HR Bukhari)

Dalam riwayat lain, bunyi doanya adalah,

"Ya Allah ajarkanlah padanya al-Al-Qur'an ."

Dan berkat doa Rasulullah saw. itu Ibnu 'Abbas menjadi habrul-ummah
(ulama yang luas ilmunya) dan turjumanul-Al-Qur'an (pakar al-Al-Qur'an ).

Rasulullah saw. menempuh jalan doa untuk menyelamatkan anak agar


tidak memilih ibunya yang Nasrani dan meninggalkan bapaknya yang
muslim. Itu merupakan pelajaran betapa pentingnya doa, sesuatu yang
tidak dimiliki oleh sistem lain di luar Islam. 'Abdur-Razzaq meriwayatkan
dari 'Abdul-Hamid Al-Anshari dari ayahnya dari kakeknya, bahwa kakeknya
masuk Islam sedangkan isterinya enggan masuk Islam. Maka ia membawa
anaknya yang masih kecil dan belum dewasa. Kemudian Rasulullah saw.
menyuruh ayahnya duduk di sini dan ibunya duduk di sana dan menyuruh
si anak untuk memilih. Rasulullah saw. berdoa, "Ya Allah, berilah dia
petunjuk." Maka si anak pergi (memilih) bapaknya. (Diriwayat- kan pula
oleh Ahmad dan An-Nasai)

Durhaka jauh di bawah kekafiran. Namun demikian, berkaitan dengan


kekafiran saja Rasulullah saw. menempuh jalan doa. Karenanya dapat kita
katakan bahwa doa bisa mencerabut akar-akar kedurhakaan jika orangtua
melakukannya dengan ikhlas dan tak kenal henti, bahkan saat bepergian
(safar). Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw. apabila telah duduk
tegak di atas kendaraannya, untuk melakukan safar, bertakbir tiga kali,
kemudian mengucapkan:

"Maha Suci (Allah) Yang telah memudahkan (perjalanan) ini bagi kami
padahal sebelumnya kami tidak mampu melakukannya. Dan sesungguhnya
kami kepada Tuhan kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami
memohon kepada-Mu, dalam perjalanan ini, kebaikan dan ketakwaan dan
amal yang Engkau ridhai. Ya Allah, ringankanlah bagi kami perjalanan ini
dan dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkaulah Yang
Menyertai kami dalam perjalanan dan Yang Mengurusi keluarga. Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kepenatan perjalanan, dari
pemandangan yang menyedihkan, dan dari keburukan saat kami kembali,
yang m enimpa harta, keluarga, dan anak."

Para ibu di zaman Rasulullah saw. begitu antusias mendapatkan doa


Rasulullah saw. bagi anak-anak mereka supaya mereka memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Ummu Sulaim, ibu Anas -semoga Allah
meridhainya- meminta kepada Rasulullah saw. agar mendoakan anaknya
lalu beliau pun berdoa untuknya. Ummu Sulaim berkata, "Wahai
Rasulullah, ini pelayanmu, Anas, doakanlah dia." Maka beliau berdoa, "Ya
Allah perbanyaklah harta dan anaknya dan limpahkanlah barokah dalam
segala yang Engkau berikan kepadanya." (Riwayat Bukhari, Muslim,
dan At-Tirmidzi)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Bukhari, Anas mengatakan, "Ibuku


membawaku kepada Rasulullah saw. la memakaikan sarung kepadaku
dengan separuh kerudungnya dan memakaikan baju dengan separuhnya
yang lain. Kemudian ia mengatakan, "Wahai Rasulullah saw. inilah Unais (si
Anas kecil) anakku. Aku membawanya kepadamu agar ia melayanimu.
Maka doakanlah dia." Maka Rasulullah saw. berdoa, "Ya Allah perbanyaklah
harta dan anaknya." Anas mengatakan, "Demi Allah, hartaku banyak, anak
dan cucu-cucuku hari ini berjumlah kira-kira seratus orang."

Dari 'Abdillah Bin Hisyam -semoga Allah meridhainya- bahwa ia dibawa


ibunya kepada Rasulullah saw. ketika masih kecil. Maka Rasulullah saw.
mengusap kepalanya dan tidak membai'atnya. Dalam riwayat lain,
Rasulullah saw. mengusap kepalanya dan mendoakannya." (Al-Hakim
dalam al-Mustadarak no. 3456)

Dari Abu Hamzah Bin 'Abdillah, ia mengatakan,

"Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah Bin 'Utbah Bin Mas'ud, Apa yang kau
ingat dari Rasulullah saw.?' Dia menjawab, 'Aku masih ingat saat beliau
membawaku, dan usiaku waktu itu lima atau enam tahun, lalu menyuruhku
duduk di kamarnya seraya mengusap kepalaku dan mendoakan barokah
untukku dan keturunanku'." (Al-Hakim)

Mungkin ada yang berkata, "Anak memang pembangkang dan tidak patuh
kepada kedua orang tuanya." Jawaban untuk hal itu adalah kelapangan
dada Nabi Ya'qub terhadap anaknya yang mengatakan, "Aku akan
mintakan ampun untukmu kepada Tuhanku."
21. Mendidik dengan Kasus

DI ANTARA sarana yang efektif adalah mendidik dengan kasus. Yakni


memanfaatkan peristiwa tertentu untuk memberikan pengarahan.
Keistimewaannya dibandingkan dengan pengarahan-pengarahan lain yang
bersifat rutin adalah bahwa pengarahan yang diberikan setelah terjadinya
kasus yang mengguncang jiwa -dan membuatnya lebih mudah
terpengaruh- akan lebih efektif, lebih meresap, dan bertahan lebih lama.
Sedangkan pengarahan rutin biasanya dingin dan tanpa reaksi.

Pendidik yang cerdas tidak akan membiarkan peristiwa-peristiwa yang


terjadi berlalu begitu saja secara sia-sia tanpa diambil 'ibrah dan
pelajarannya. Ia akan memanfaatkannya untuk mendidik dan
menghaluskan jiwa. Jadi, pendidik yang baik adalah orang yang memiliki
kemampuan memanfaatkan momentum tertentu untuk menjadi bahan
pengarahan dan nasihat dalam rangka menanamkan pemahaman
keimanan dan nilai-nilai pendidikan ke dalam jiwa anak-anak.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di zaman para sahabat dan arahan-arahan


al-Al-Qur'an yang turun kepada mereka merupakan sarana pendidikan
yang paling bagus dan berdampak paling dalam pada jiwa mereka. Dalam
setiap kasus ada pelajaran. Dan dalam setiap pelajaran ada 'ibrah.

Tentu saja seorang pendidik tidak akan mampu mengendalikan peristiwa-


peristiwa. Karena semua peristiwa itu -baik besar maupun kecil- berjalan
atas ketentuan Allah. Apa yang dapat ia lakukan adalah memanfaatkan
momentum dan peristiwa -yang terjadi berdasarkan ketentuan Allah- itu
guna memberikan pelajaran yang mendidik. Baik dalam jiwa si anak ada
reaksi spontan atas peristiwa tersebut ataupun si pendidik harus
merangsangnya terlebih dahulu dengan mengomentarinya. Bahkan
sekalipun dalam diri si anak telah ada luapan perasaan, namun taujih
(arahan) tetap perlu diberikan

Biasanya, hal itu terjadi apabila si anak melakukan pelanggaran kemudian


menimbulkan dampak luar biasa pada dirinya. Pada saat itulah pengarahan
akan efektif. Sedangkan peristiwa-peristiwa biasa yang terjadi dalam
keseharian, itu bukanlah yang dimaksud dengan pendidikan melalui kasus
dan tidak pas untuk itu. Sebab arahan dan komentar yang diberikan
haruslah sesuai dengan peristiwa yang terjadi sehingga ia tidak
menganggap arahan itu berlebihan. Bisa saja terjadi bahwa anak
menganggap sepele sebuah kasus yang terjadi. Sementara si pendidik,
dengan pengalamannya, memandang bahwa peristiwa itu merupakan hal
yang besar dan penting. Maka pada saat itu, ia harus menjelaskan kepada
si anak makna kejadian itu dan menerangkan bahwa menyepelekannya
merupakan kesalahan yang harus dihentikan. Sebagaimana terjadi pada
kaum mukminin dalam kasus haditsul-ifki (berita bohong).

"(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut
dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit
juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada
sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu
mendengar berita bohong itu: 'Sekali-kali tidaklah layak bagi kita untuk
memperkatakan ini. Maha suci Engkau (Ya Tuhan Kami), ini adalah dusta
yang besar.' Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali
memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu adalah orang-
orang yang beriman. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu.
Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. " (QS. An-Nur 15-18)

Jadi Allah mengoreksi kesalahan kaum muslimin yang menganggap bahwa


apa yang mereka lakukan itu adalah hal sepele saja. Allah menjelaskan
bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar. Dia juga menjelaskan sikap apa
yang seharusnya diambil oleh kaum mukminin dalam situasi seperti itu.
Kemudian Dia memberikan arahan yang tajam, keras, dan tegas.

Sekarang mari kita lihat bagaimana murabbi (pendidik) teladan, Rasulullah


saw. memanfaatkan situasi untuk mendidik. Dari Jabir Bin 'Abdillah
-semoga Allah meridhainya- bahwa Rasulullah saw masuk ke pasar sedang
orang-orang berada di kanan dan kirinya. Lalu beliau melewati bangkai
seekor binatang. "Siapa yang mau beli ini dengan satu dirham?" kata
Rasulullah saw. sambil memegang telinganya. "Kami tidak mau.
Memangnya apa yang bisa kami buat dengannya?" jawab orang-orang
yang ada di situ. "Bagaimana kalau ini menjadi milik kamu?" tanya
Rasulullah saw. lagi. "Kalau pun binatang itu hidup, memilikinya
merupakan aib, apalagi ia mati." Sahut mereka. Maka Rasulullah saw.
mengatakan, "Demi Allah, dunia lebih hina dari pada bangkai ini di
hadapan Allah." (HR Muslim)

Mendidik dengan pola ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain:

Membuka dialog antara pendidik dengan anak. Hal ini akan menumbuhkan
daya berfikir dan menambah informasi pada anak
a. Dapat mewujudkan tiga tujuan pendidikan: kognitif, afektif, dan
psiko-motorik
b. Membuat anak terus menerus berada dalam situasi belajar tanpa
dihinggapi rasa bosan karena ada informasi dan pelajaran yang
bervariasi, menyangkut aqidah, akhlak dan sebagainya.
c. Membuka peluang bagi pendidik untuk melontarkan pertanyaan
dan sekaligus jawabannya atas peristiwa itu.
d. Berpengaruh lebih kuat pada jiwa anak karena pemahaman yang
diperolehnya berpijak pada pengamatan indera audio-visual
(pendengaran dan penglihatan).
22. Isi Waktu Luangnya dengan Hal-hal yang Bermanfaat

ISLAM menghendaki agar keseharian manusia, dari mulai bangun tidur


hingga tidur lagi, diisi dengan hal-hal yang bermanfaat. Tidak ada waktu
yang terbuang percuma. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengisi
waktu. Bisa dengan dzikir atau ibadah yang Sunnah, setelah melaksanakan
yang wajib. Bisa dengan membaca atau menghafal Al-Qur'an, dalam
rangka ibadah kepada Allah. Bisa dengan mengunjungi teman-teman atau
membezuk orang sakit. Bisa dengan bersenda gurau dengan isteri dan
anak-anak di rumah atau dengan kawan-kawan sesama mukmin.

Apa pun yang dilakukan, yang penting semua itu merupakan ketaatan
yang mendekatkan diri kepada Allah dan menambah kekayaan jiwa karena
itu semua akan menambah aset kebaikan. Dan janganlah potensi jiwa
dihabiskan untuk hal-hal tidak berguna lebih-lebih merusak dan
menghancurkan.

Islam juga mendorong membiasakan anak-anak mengisi waktunya dengan


kebajikan sejak mereka kecil. Agar kelak mereka tidak punya kebiasaan
mengisi waktu luang dengan perilaku, perasaan, dan pemikiran yang
buruk. Waktu luang adalah kesempatan emas bagi perilaku buruk jika tidak
dapat memanfaatkannya dengan baik. Terlebih lagi jika ada potensi yang
menganggur, maka kerusakan yang timbul akan lebih dahsyat lagi.

Terkait dengan anak, untuk mengisi waktu luangnya bisa dengan bermain,
menata atau menyusun sesuatu, melakukan beberapa pekerjaan di rumah,
bercerita atau mendengarkan cerita, berjalan-jalan ke luar rumah, atau
berkunjung ke rumah salah seorang kawan. Semua itu mengisi waktu
dalam hal yang bermanfaat dan tidak membiarkannya diisi dengan hal-hal
yang buruk.

Di antara sarana yang dipakai Islam dalam mendidik manusia untuk hal itu
adalah dengan cara menyalurkan segala muatan potensi tubuh dan jiwanya
dan tidak membelenggunya. Karena manusia memiliki potensi dinamis
yang bersifatfietral, dapat berpihak kepada kebenaran maupun keburukan.
Bisa untuk membangun dan bisa juga untuk menghancurkan. Dan dapat
pula semua itu disalurkan secara sia-sia tanpa arah dan tujuan. Maka Islam
mengarahkannya ke arah yang benar dalam rangka mencapai kebenaran.
Dan jangan hendaknya manusia memendam potensi tersebut sebab akan
menimbulkan guncangan dan penyakit jiwa lainnya.
Jika mereka tidak menyalurkan potensinya dalam hal yang bermanfaat
pasti akan disalurkan . dalam hal yang buruk. Dan ini berbahaya. Di sinilah
juga pentingnya pendidik selalu memantau anak didiknya.

Anak kecil hingga umur tujuh tahun mungkin menyalurkan sebagian


besar potensinya untuk bermain. Nah, permainan adalah lahan yang luas
untuk mendidik, mengarahkan, dan mengembangkan talenta (bakat) dan
kemampuan dengan syarat mencegahnya dari permainan yang berbahaya
atau yang akan menimbulkan kebiasaan buruk.

Namun selain dengan bermain, menyalurkan potensi anak bisa juga


dengan mendorongnya untuk melakukan pekerjaan tertentu seperi menata
atau menyusun sesuatu, menugaskan berbelanja dan pekerjaan-pekerjaan
lainnya agar anak tidak memendam potensi menganggur yang mungkin
disalurkan untuk hal-hal yang buruk. ■
23. Perbanyak Kegiatan yang Mengembangkan Kecerdasan

JIKA Anda menginginkan kemampuan dan kecerdasan anak Anda


berkembang, maka arahkanlah dia pada kegiatan-kegiatan yang dapat
mengembangkan kecerdasan dan membantunya untuk berfikir secara
ilmiah, sistematis, serta memiliki daya inovasi tinggi. Di antara kegiatan-
kegiatan itu adalah:

a. Permainan

Telah kita singgung di muka urgensi permainan. Ia dapat mengembangkan


kemampuan berkreasi pada anak kita. Ada permainan tertentu yang
memberikan peluang untuk menumbuhkan imajinasi, dan melatih mereka
untuk mengkonsentrasikan perhatian dan mengarahkan kemampuan otak
untuk mengambil kesimpulan, berargumentasi, berhati-hati, mencari
alternatif dari banyak asumsi. Dan itu semua membantu pengembangan
kecerdasan.

Permainan imajinatif juga merupakan salah satu sarana untuk merangsang


kecerdasan anak. Imajinasi anak akan muncul saat ia memainkan peran-
peran tertentu dalam permainan itu. Misalnya, ia menjadikan binatang atau
benda tertentu sebagai kawan, jauh dari orang lain. Kreatifitas anak akan
muncul melalui permainan seperti itu.

Tidak boleh dilupakan permainan rakyat. Ini juga mempunyai peranan


penting mengembangkan dan merangsang kecerdasan anak-anak. Sebab
dalam permainan itu kecenderungan psikologis dan sosial si anak
terpuaskan. Ia juga dilatih untuk terbiasa bekerjasama. Jadi alangkah
baiknya jika anak-anak didorong untuk melakukan permainan-permainan
semacam itu.

b. Cerita dan buku-buku fiksi-ilmiah

Pengembangan berfikir anak merupakan langkah penting untuk


menumbuhkan kecerdasannya. Dan buku-buku ilmiah membantu
mengembangkan kecerdasan itu. Sebab ia membimbing anak untuk
berfikir ilmiah secara sistematis. Dan pada gilirannya hal itu akan
membantu menumbuhkan kecerdasan dan kreatifitasnya serta
mengembangkan kemampuan akalnya.
Buku ilmiah bagi anak sekolah dapat menjelaskan beberapa pemahaman
ilmiah yang dituntut pada masa kanak-kanak dan dapat merangsang anak
untuk berfikir secara ilmiah. Si anak bisa melakuan eksperimen ilmiah yang
sederhana. Buku ilmiah juga merupakan sarana yang dapat membuat anak
mengembangkan orientasi yang benar terhadap ilmu dan para ulama
(pakar).

Imajinasi adalah sesuatu yang penting bagi anak dan pasti dimilikinya
karena hal itu merupakan ciri khas anak. Pengembangan imajinasi pada
anak menempati posisi penting dalam pendidikan. Dan itu bisa dilakukan
dengan cara menceritakan cerita-cerita fiktif yang dibingkai dengan akhlak.
Dengan syarat kandungannya mudah difahami, membangkitkan perhatian
anak, dan menyentuh perasaan. Pengembangan imajinasi juga bisa
dilakukan dengan menceritakan cerita-cerita fiksi-limiah yang
menggambarkan tentang berbagai inovasi dan masa depan.

Ini termasuk upaya menanamkan benih kecerdasan, inovasi dan kreatifitas


pada akal anak. Akan tetapi orangtua harus membaca terlebih dahulu
cerita-cerita itu guna menyeleksi kelayakannya untuk dibaca oleh anak-
anak agar cerita-cerita itu tidak malah merusak akal anak. Sebab banyak
cerita-cerita yang menanamkan cara berfikir yang salah pada anak dan
bertentangan dengan watak manusia, seperti Ultra-man, Superman, Green
Man dan Iain-lain. Kisak-kisah seperti itu mengakibatkan persepsi salah
pada anak tentang masyarakat tempat dia hidup dan masyarakat lainnya di
samping dapat memicu munculnya sikap fanatik dan permusuhan di
kalangan mereka.

UNESCO menerbitkan laporan penting yang menegaskan munculnya


pengaruh buruk yang diakibatkan oleh komik-komik semacam Superman
dan Tarzan. Dari segi inspirasi juga komik-komik macam itu berada pada
kelas dua dan lebih-lebih tidak menampilkan ide-ide baru. Cerita macam itu
merupakan cerita fiktif yang tidak mempunyai landasan logika atau pijakan
ilmiah. Bahkan banyak buku bacaan anak yang diterjemahkan dari bahasa
asing, yang ditampilkan dengan gaya kocak, menggambarkan persaingan
antara dua pihak. Satu-satunya cara untuk menghentikan persaingan,
dalam cerita itu, adalah pertarungan sampai mati, dengan cara- cara yang
kocak.

Masih banyak cerita-cerita bagus yang dapat dijadikan bahan bacaan anak-
anak, dalam rangka meningkatkan kecerdasan. Misalnya saja kisah-kisah
dalam lingkungan Islam (seperti kisah para nabi, para sahabat, para
pahlwawan Islam, pen.), kisah yang bermuatan teka-teki yang tidak
bertentangan dengan akhlak dan kewajaran. Karenanya kita harus
memilihkan untuk anak-anak cerita-cerita yang bisa meningkatkan
kecerdasan dan kreatifitas namun pada saat yang sama juga mengajarkan
kasih sayang, keindahan, dan akhlak terpuji.

c. Lukisan dan hiasan

Melukis dan membuat hiasan juga membantu menumbuhkan kecerdasan


anak. Itu tercapai karena saat melukis atau membuat hiasan itu si anak
mengembangkan hobinya dan memenuhi akurasi yang dihmtut oleh
lukisan.

Di samping hal itu juga mengembangkan kemampuan inovatif dengan cara


mencari hubungan-hubungan antar bagian dan melakukan penyerasian
sehingga lukisan atau hiasan itu menjadi indah.

Gambar yang dibuat oleh anak-anak akan menunjukkan fase pertumbuhan


akalnya, khususnya daya imajinasinya. Selain itu melukis baginya juga
merupakan hiburan dan latihan berkonsentrasi.

Meskipun lukisan anak itu sendiri bagian dari permainannya namun dalam
waktu yang sama ia juga merupakan wahana komunikasi antara dirinya
dengan orang lain. Ia melukis karena ia ingin memperlihatkannya kepada
orang lain, termasuk orang dewasa. Seolah ia ingin mengatakan sesuatu
melalui lukisannya itu.

d. Drama anak-anak

Drama atau teater anak-anak mempunyai peran penting dalam


menumbuhkan kecerdasan. Dalam permainan itu si anak akan terlibat
dalam mendengarkan kisah, menceritakan kisah, dan memainkan peran-
peran di dalamnya. Semuanya itu akan menumbuhkan kemampuan
berfikir. Dan dengan bahasa yang digunakan si anak akan mendapatkan
pengkayaan (enrichment) cara berfikir yang variatif.

Teater juga dapat meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak.


Permainan ini membantu anak untuk menampilkan apa yang menjadi
imajinasinya. Dan karenanya tidak sedikit orang yang terlibat dalam teater
di sekolahnya mempunyai prestasi bagus, kemampuan bahasa yang baik,
dan mampu bersosialisasi dengan masyarakat, selain memiliki kemampuan
kreatifitas yang tinggi.
Selain itu teater mempunyai andil besar dalam meningkatkan kematangan
karakter anak. la merupakan sarana untuk membentuk orientasi,
kecenderungan, nilai-nilai dan corak karakter anak. Makanya, teater
sekolah merupakan hal yang amat penting dalam menumbuhkan
kecerdasan anak.

e. Kegiatan ekstrakutikuler

Kegiatan sekolah, yang sering disebut dengan ekstra kurikuler, adalah


bagian penting dalam sistem sekolah modern. Kegiatan-kegiatan itu
membantu pembentukan kebiasaan, keterampilan, norma-norma, dan
metoda berfikir yang harus ada guna melanjutkan proses belajar dan
keterlibatan dalam belajar. Anak-anak yang biasa terlibat dalam kegiatan
seperti itu biasanya memiliki kemampuan akademik unggul dan tingkat
kecerdasan tinggi. Mereka biasanya memiliki pandangan positif terhadap
kawan-kawan dan guru-guru mereka.

Kegiatan ekstra kurikuler ini bukanlah mata pelajaran yang terpisah dari
pelajaran-pelajaran di sekolah. la harus merupakan bagian dari kurikulum
pendidikan. Tujuan dari kegiatan-kegiatan itu adalah mengantarkan anak
pada pertumbuhan yang simultan, terpadu, dan seimbang. Di samping
dapat pula dijadikan sarana untuk membangun kepribadian anak.

f. Olah raga

Urgensi olah raga ini sangat besar, dalam mencerdaskan anak, karena
kegiatan ini dapat menghilangkan kemalasan, kejenuhan otak, dan pada
akhirnya membangkitkan kecerdasan. Oleh karena itu kita mengenal
pepatah "akal yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat". Itu
menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan agar tubuh selalu sehat.
Dan itu dapat dicapai dengan makanan yang sehat dan olah raga. Dan
juga menunjukkan adanya hubungan yang erat antara akal dan jasad serta
menegaskan peran pendidikan dalam mempersiapkan akal dan jasad
secara bersama-sama.

Melakukan olah raga pada waktu senggang merupakan faktor penting


yang dapat meningkatkan ikesegaran tubuh dan postur yang baik,
membangkitkan keceriaan dan dapat meningkatkan gairah kerja dan
produktifitas. Dari sisi mentalitas, olah raga dapat meningkatkan
kesabaran, tanggungjawab, keberanian, dan jiwa tolong menolong. Semua
itu merupakan sikap-sikap yang dibutuhkan anak dalam rangka mencapai
sukses di bangku sekolah maupun dalam kehidupannya di tengah
masyarakat.

DR. Hamid Zahran, dalam salah satu kajiannya, menjelaskan hubungan


olah raga dengan keceradasan dan kreatifitas. Menurutnya, "Kreatifitas
terkait dengan sejumlah faktor misalnya tingkat ekonomi, sosial, karakter,
dan seluruh aktifitas manusia terutama olah raga. Dan menurut Dale Ford,
kreatifitas bukan hanya ada dalam seni dan ilmu pengetahuan melainkan
dalam segala aktifitas manusia."

Ya, kita tahu bahwa kompetisi olahraga menuntut pemanfaatan seluruh


fungsi otak, termasuk di dalamnya fungsi berfikir. Beberapa jenis olah raga
menuntut kemampuan kreatifitas dan sekaligus berperan dalam
menumbuhkan cara berfikir ilmiah, inovatif, cerdas pada anak-anak.

g. Membaca buku dan perpustakaan

Kata pertama, dalam al-Al-Qur'an , yang diturunkan oleh Allah swt. adalah
"iqra" (bacalah). Firman-Nya:

"Bacaah dengan (menyeutt) nama Rabbmu Yang telah menciptakan. Dia


telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Rabbmu
Yang Maha Pemurah. Yang mengajari (manusia) dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. "
(Al-'Alaq 1-5)

Jadi, membaca hendaknya ditempatkan pada posisi paling depan dalam


perhatian manusia. Sebab ia merupakan sarana utama bagi anak dalam
mengeksplorasi lingkungan. Ia merupakan cara ideal untuk mengokohkan
kemampuan berkreatifitas dan mengembangkan bakat. Dan ini mendukung
peran pendidikan di sekolah.

Membaca merupakan pintu bagi anak untuk melakukan kajian dan


penelitian. Bahkan dengan membaca ia bisa menyalurkan keinginan untuk
melihat tempat-tempat yang menjadi khayalannya. Karenanya, kita harus
memulai dengan menanamkan pada anak cinta baca dan biasa baca. Kita
juga perlu mengenali segala kesulitan yang dialaminya saat dia baru
belajar membaca.

Tujuan membaca adalah menjadikan anak bisa berfikir sendiri, mengkaji


sendiri, berkreatifitas sendiri, dan mencari informasi sendiri. Karena semua
itu akan sangat membantunya dalam menghadapi dunia. Agar ia tampil
sebagai inovator bukan peniru dan pembebek. Tidak percuma bahwa
membaca diperintahkan langsung oleh Allah swt. Orang yang membaca
berarti melaksanakan perintah Allah swt. Dan jika ia tidak membaca berarti
ia berdosa dan bertanggungjawab di hadapan Allah swt. Allah tidaklah
memerintahkan kecuali hal yang bermanfaat untuk kita.

h. Hobi dan kegiatan hiburan

Menyalurkan hobi dan melakukan kegiatan yang menghibur merupakan


cara yang baik untuk memproduktifkan waktu luang pada anak. Cara ini
dipandang sebagai penyebab penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian anak. Waktu luang oleh masyarakat maju
bukan dipandang sebagai semata-mata saat untuk santai dan
mengembalikan enerji akan tetapi juga sebagai peluang untuk
menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian secara utuh dan
seimbang.

Para ahli pendidikan memandang pentingnya merancang kegiatan untuk


mengisi waktu luang dengan pola yang dapat memberikan kontribusi untuk
peningkatan pengalaman positif, dan dalam waktu yang sama juga
membantu menumbuhkan kepribadian dan manfaat lainnya baik dari sisi
akhlak, kesehatan fisik, atau kesenian. Dari situ tampaklah urgensi
kegiatan itu dalam membangun akal anak pada khususnya dan manusia
pada umumnya."

i. Menghafal al-Al-Qur'an

Mengapa menghafal al-Al-Qur'an? Karena al-Al-Qur'an menyeru kita untuk


merenungkan dan memikirkan banyak hal dari mulai penciptaan langit dan
bumi -dan ini merupakan puncak berfikir dan perenungan, memikirkan
tentang penciptaan manusia, dan penciptaan apa yang ada sekitar kita
agar iman kita bertambah dan berpadu dengan ilmu.

Menghafal al-Al-Qur'an dan memahami maknanya secara sempurna akan


mengantarkan

seseorang pada tingkat kecerdasan yang sangat maju. Makanya kita


melihat para tokoh, para ulama, para cerdik cendekia, dan para sastrawan
muslim rata-rata sudah hafal al-Qur'an sejak kecil. Karena memang al-
Qur'an merupakan landasan penting untuk perluasan pemikiran dan
wawasan.
Al-Qur'an menyeru manusia untuk berfikir, merenung, menggunakan akal
supaya mereka mengenal kekuasaan Allah yang sangat Agung dan
mengenal alam raya tempat ia hidup. Yang kesemuanya itu mengantarkan
pada mengenal Allah (ma'rifatullah) dengan sebaik-baik pengenalan.
Contohnya ayat-ayat berikut:

"Agar kalian berdiri (ibadah) kepada Allah berdua-dua dan sendiri-sendiri


kemudian kalian berfikir. " (Saba 46)

Ayat itu mengajak kita memikirkan semua tanda-tanda kekuasaan Allah.


Dia juga berfirman:

"Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang berfikir. "
(Yunus 24)

"' Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi
orang-orang yang berfikir. " (Ar-Ra 'di atas 3; An-Nahl 11)

Allah juga membedakan antara orang yang berfikir dan mendayagunakan


akalnya dengan orang selain mereka yang tidak mendayagunakan nikmat
Allah itu. Dia berfirman:

"Katakanlah, samakah orang yang buta dengan orang yang melihat.


Tidakkah kamu sekalian berfikir? (Al-An 'am 50)

Firmannya pula:

"Tidakkah mereka berfikir tentang diri mereka sendiri?" (Ar-Rum 8)

Ini merupakan ajakan terbuka untuk berfikir tentang diri sendiri dan
tentang masa depan. Ada seruan lain untuk berfikir tentang penciptaan
langit dan bumi dan tentang segala kondisi yang dialami manusia. la
berfirman:

"Orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan


berbaring, Dan mereka berfikir tentang penciptaan langit dan bumi. " (Ali
'Imran 191)
Bahkan ada ajakan agar kita berfikir tentang kisah-kisah nyata yang
diceritakan Allah. Firman-Nya:

"Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir • (Al-A'raf 176)

Bahkan tamsil-tamsil yang disebutkan Allah dalam al-Qur'an juga tidak lain
untuk difikirkan. Firman-Nya:

"Dan itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami buat untuk manusia


agar mereka berfikir. " (Al-Hasyr 21)
24. Mendidik dengan Nasihat

KETELADANAN adalah faktor penting dan strategis dalam proses


pendidikan. Tapi hal ini bukanlah satu-satunya. Betapapun orang yang
menjadi figur itu saleh dan istiqamah, namun ada faktor lain yang tidak
boleh hilang, selain keteladan itu. Harus ada pengajaran dan nasehat yang
berkesan yang mampu membuka jalan untuk masuk ke dalam jiwa melalui
hati nurani.

Andai keteladanan adalah satu-satunya yang dibutuhkan dalam proses


pendidikan, maka niscaya keteladanan teragung yang mewujud pada
pribadi Rasulullah saw. adalah cukup untuk menegakkan sistem pendidikan
(manhaj tarbiyah) Islam. Akan tetapi keteladan beliau, dengan segala
keagungan yang tiada bandingannya dalam sejarah manusia itu -bahkan di
tingkat para nabi sekalipun- tetap saja diperlukan pengajaran, arahan, dan
nasehat. Dan itu dilakukan Rasulullah saw. dengan aneka cara.

Misalnya Rasulullah saw. membuat perumpamaan. Beliau mengatakan,


"Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Qur'an seperti buah
utrujah (semacam jeruk)"; atau sambil mengacungkan jari telunjuk dan.jari
tengah, beliau mengatakan, "Aku dan pemelihara anak yatim bagaikan
ini."; atau dengan cara membuat gambar.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir Bin Abdillah -semoga Allah


meridhainya, ia mengatakan, "Saat kami duduk bersama Rasulullah saw.,
beliau menggambar satu garis lurus di tanah seraya mengatakan, 'Inilah
jalan Allah.' Kemudian beliau membuat dua garis di kanan dan kirinya
masing-masing dua garis seraya mengatakan, 'Dan ini jalan-jalan syetan.'
Kemudian sambil meletakkan tangannya di garis tengah itu beliau
membacakan ayat: 'Sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus maka
ikutilah dia dan janganlah mengikuti jalan-jalan itu sebab akan mencerai-
beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Allah mewasiatkan kepadamu
supaya kamu bertakwa'.

Atau dengan cara mengalihkan perhatian kepada yang lebih penting.


Ketika ditanya, "Kapan terjadinya kiamat?" beliau menjawab, "Apa yang
sudah kamu persiapkan untuknya?" Orang itu menjawab, "Cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya." Maka Rasulullah saw. mengatakan, "Kamu bersama
yang kamu cintai." Itu hanya sedikit contoh.
Orang yang memperhatikan hadits-hadits Nabi saw. akan menemukannya
sebagai pengarahan-pengarahan dari Nabi, baik berupa hukum, wasiat,
pelajaran, nasihat, maupun perintah dan larangan. Bukan ingin membatasi
namun sekedar memberikan contoh saja, saya ingin sebutkan satu akhlak
indah dalam Islam yang ditegaskan Rasulullah saw, karena urgensinya
dalam kepribadian seseorang. Yakni kebersihan hati dari penyakit iri dan
dengki. Dan hal itu disampaikan Rasulullah melalui nasehat kepada anak
kecil bernama Anas Bin Malik. Beliau memesankan kepadanya agar
membersihkan hati dari kotoran-kotoran jiwa pagi dan petang hari dengan
cara memaafkan orang-orang yang berbuat buruk kepadanya dan
melepaskan hatinya dari bisikan-bisikan syetan. Dan mari kita simak
bersama apa yang dikatakan Rasulullah saw.:

"Wahai anakku, jika kamu bisa hidup di waktu pagi dan petang hari dalam
keadaan hatimu tidak menyimpan kedengkian, maka lakukanlah. Wahai
anakku, itulah sunnahku. Dan barang siapa menghidupkan sunnahku maka
sungguh dia telah menghidupkanku. Dan barang siapa menghidupkanku
maka ia bersamaku di sorga." (Hadits hasan gharib, dirivva- yatkan
oleh At-Tirmidzi dari Anas Bin Malik)

Terlebih lagi al-Qur'an al-Karim. Dari awal hingga akhirnya penuh dengan
pengajaran, arahan, dan nasihat. Disampaikan melalui kisah, targhib
(dorongan) dan tathib (ancaman); menampilkan peris-tiwa alam dan
kemukjizatannya, dan seterusnya. Karena memang banyak hal yang tidak
bisa tidak harus disampaikan melalui nasehat atau pengarahan itu. Sebab
betapapun lurus fitrah manusia, namun tidak mungkin bangunan jiwanya
sempurna dengan semata-mata keteladanan. Tetap saja ia memerlukan
arahan dari waktu ke waktu. Di dalam jiwa manusia ada dorongan fitrah
yang selalu membutuhkan koreksi dan pelurusan. Boleh jadi ada orang
yang tidak mampu menyerap keteladan atau tidak cukup hanya dengan
melihat keteladanan.

Khusunya anak-anak, yang pemahaman dan wawasannya masih terbatas,


sehingga tidak dapat secara otomatis menangkap pelajaran dari apa yang
dilakukan orang dewasa, maka mereka harus diarahkan. Boleh jadi ibu dan
bapaknya tidak mencuri tapi anaknya cenderung untuk melakukannya
karena dorongan-dorongan tertentu. Mungkin ibu dan bapaknya tidak
pernah berbohong tapi anaknya berbohong untuk alasan tertentu. Pada
saat itu harus ada nasihat yang lemah lembut, halus, dan berkesan yang
dapat mengembalikan anak menuju perilaku yang benar dan akhlak yang
tinggi.
Belum lagi kalau kita berbicara tentang faktor genetik yang beragam yang
menjadikan anak sebagai perpaduan dari karakter ibu dan karakter
bapaknya. Sehingga tidak otomatis anak mengikuti bapak atau ibunya. Dan
tidak otomatis kedua orangtuanya menjadi teladan baginya.

Sering kali si anak bertanya kepada ayah atau ibunya, "Mengapa Ibu dan
Bapak melakukan ini dan itu?" Ia ingin tahu tujuan, manfaat, atau hikmah
dari perbuatan yang mereka lakukan, yang belum bisa mereka cerna. Dan
mereka mungkin tidak tertarik untuk meneladaninya jika ia tidak
memahami sebab atau kegunaannya.

Kita semua mengetahui pesan-pesan dan arahan-arahan Luqman Al-


Hakim (yang bijak) kepada anaknya tanpa merentangkan tangannya untuk
memukul atau menghinakannya. Ini menunjukkan betapa pendidikan anak
tidak bisa mengabaikan faktor nasehat.

"Dan ingatlah takala Luqman berkata kepada puteranya, di waktu ia


memberikan nasehat kepadanya, 'Hai anakku, janganlah kamu memper-
sekutukan Allah karena sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah
benar-benar kezaliman yang besar. 'Dan Kami perintahkan kepada manu-
sia (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya.; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada
kedua orangtuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahaunmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikutinya, dan
pergaulilah keduannya di dunia dengcm baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata),
'Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi
dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah
akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus
lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia
untuk mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dan manusia (karena
somhong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai. " (Luqman 13-19)
25. Gunakanlah Kisah dalam Menanamkan Nilai dan Keutamaan

AL-QUR'AN telah menggunakan kisah dengan sangat luas dalam


menanamkan nilai-nilai keimanan dan menghunjamkannya dalam jiwa
kaum muslimin. Kisah merupakan salah satu prinsip dalam pendidikan
Islam. la dapat merangsang minat anak di usia-usia dini.

Anak akan lebih tertarik kisah (cerita) dari yang lainnya karena ia
meninggalkan kesan yang jelas dalam jiwanya. Kisah menanamkan nilai-
nilai yang ia sukai melalui empati dan keberpihakan kepada para pemeran.
Dan ini mempunyai peran besar dalam menarik perhatian dan merangsang
kesadaran pemikiran dan akalnya.

Karenanya, kita harus mengoptimalkan pengaruh kisah-kisah ini baik pada


orang dewasa maupun pada anak-anak. Kepada anak kecil misalnya, kita
bisa menceritakan kembali kisah yang ada dalam al-Qur'an dengan bahasa
yang sederhana dan mudah dicerna oleh si anak. Kita juga bisa mengarang
cerita-cerita yang mengantarkan anak pada keutamaan akhlak, kebersihan
perasaan, dan sikap-sikap terpuji lainnya yang ingin kita tanamkan. Atau
untuk menjauhkannya dari segala sikap buruk dan mentalitas yang rendah.

Mengisyaratkan pentingnya peranan kisah dalam pendidikan, Imam


Ghazali mengatakan, "Anak hendaknya mempelajari al-Qur'an , hadits-
hadits, dan kisah kehidupan orang-orang saleh agar di dalam jiwanya
tertanam kecintaan kepada orang-orang saleh."

Kisah-kisah dalam al-Qur'an merupakan cara pendekatan yang baik dalam


pengajaran dan pendidikan. Dalam surah Al-Maidah misalnya, kita
menemukan kisah dua anak Adam dan apa yang terjadi pada mereka
sebagai buah dari amal mereka masing-masing. Juga ada kisah ashhabul-
kahfi (penghuni goa) dan bagaimana peran aqidah dalam membentuk jiwa.
Ada kisah Nabi Yusuf -'alaihissalam- yang melukiskan kesucian diri dan
menampilkan nilai-nilai keteladanan, keikhlasan, ketabahan, dan
menginformasikan adanya pertarungan yang berkepanjangan antara
kebenaran dan kebatilan, dan kisah-kisah lainnya.

Di samping itu, ada pula kisah-kisah yang disampaikan Nabi saw. seperti
kisah orang botak, lepra, dan buta, yang isinya menganjurkan agar kita
selalu mensyukuri nikmat Allah. Ada kisah tentang orang-orang yang
terjebak dalam goa yang mengajarkan tentang keutamaan dan pentingnya
keikhlasan.
Kisah yang dipilih hendaknya yang menarik anak, sesuai dengan umurnya,
dikemas dengan cara yang dapat menyentuh perasaannya secara mudah;
dan mendorongnya untuk melakukan kebaikan, berpegang teguh dengan
nilai-nilai keutamaan, menyadari pengawasan Allah (muraqabatullah) serta
terjauhkan dari sifat tercela.

Kisah yang memiliki karakteristik semacam itu banyak sekali. Sekedar


contoh saja, untuk menanamkan muraqabatullah misalnya, bisa kita
ceritakan kisah 'Umar Bin Khaththab dengan seorang budak gembala.

"Umar ingin menguji anak itu. "Saya perlu seekor kambing. Kamu mau
menjual satu untuk saya?" pintanya.

"Kambing-kambing ini bukan milik saya," elaknya. Namun "Umar


bersikeras.

"Saya kan membelinya bukan mencuri," "Umar meyakinkan.

"Setahu saya kambing-kambing ini tidak untuk dijual," si anak memberikan


alasan.

"Majikan kamu jauh dari sini, kan. Jadi tidak akan tahu. Kalau pun dia tahu
ada yang hilang padahal dia tidak mau menjualnya, katakan saja
kepadanya bahwa kambing itu dimakan srigala,' bujuknya.

Tanpa diduga si anak itu menjawab, "Kalau begitu, di mana Allah?"

'Umar menangis haru mendengar jawaban itu. Lalu beliau pergi dengan si
budak sahaya itu dan membelinya lalu memerdekakannya dari tuannya.
"Umar kemudian mengatakan, "Kalimat tadi telah membuat kamu merdeka
di dunia. Semoga pula kalimat yang sama memerdekakan kamu di hari
akhirat."

Bisa juga untuk menanamkan muraqabatullah itu diceritakan kisah


seorang ibu dengan puterinya. Si ibu ingin mencampur susu dengan air.
Tujuannya agar ia mendapat keuntungan lebih banyak. "Tapi, Bu, Amirul
Mu'minin 'Umar Bin Khattab melarang hal itu," sang puteri yang tampak
gelisah itu mengingatkan. "Ah, Amirul Mu'minin kan jauh dari kita. Dia tidak
melihat kita." Si ibu mencoba membela diri. "Kalau Amirul-Mu'minin tidak
melihat kita, Tuhannya Amirul-Mu'min tentu melihat kita," jawab si anak
dengan penuh keyakinan.
Ketika kita ingin menanamkan nilai-nilai kejujuran, kita bisa mengangkat
cerita penggembala yang suka berdusta. Suatu hari si gembala pergi
menggiring kambing-kambing ke ladang rumput.

"Tolong...tolong...ada serigala..tolong..!" teriak si gembala seperti


ketakutan. Tak urung teriakan itu membuat kaget penduduk desa yang
sedang asyik dengan pekerjaan masing-masing. Lalu dengan tergopoh-
gopoh penduduk desa berdatangan. Tapi apa yang terjadi? Tidak ada
srigala. Yang ada si anak gembala sedang tertawa terbahak-bahak. Ia
merasa puas dapat mengelabui orang-orang.

"Eee, aku kan cuma bercanda,' kilahnya enteng. Dengan hati dongkol
penduduk desa pulang. Sepanjang jalan mereka mengumpat dan memaki
anak itu. Beberapa hari kemudian. "Tolong...tolong ... ada srigala ...tolong
dia menyerangku..tolong," jerit si anak gembala. Penduduk desa
mendengar suara jeritan itu. Namun mereka tidak terusik. Mereka tahu
bahwa itu pasti tipuan seperti yang pernah mereka alami beberapa hari
yang lalu. Mereka terus asyik dengan pekerjaan mereka. Dan si anak
gembala tak henti-henti berteriak minta tolong. Belakangan diketahui
bahwa srigala itu benar-benar datang dan menyerang kambing serta anak
itu.

Kisah ini memberikan arahan kepada anak-anak bahwa orang yang pernah
berdusta tidak akan dipercaya untuk selamanya. Demikianlah seorang
pendidik dapat memanfaatkan kisah-kisah untuk mencapai sasaran
pendidikan yang diinginkan.

SELESAI

SEMOGA BERTAMBAH ILMU KITA

Bergabunglah di Komunitas Kita

http://groups.yahoo.com/group/rezaervani

Anda mungkin juga menyukai