Anda di halaman 1dari 33

REFARAT

KARSINOMA NASOFARING

Disusun Oleh : Elies Oktaviani Jacob Trisusilo Salean (05-041) (05-045)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT PERIODE 22 FEBRUARI 20 MARET 2009 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA

DAFTAR ISI
1

KATA PENGANTAR..3 I. PENDAHULUAN.4 II TINJAUAN PUSTAKA...5


A.
B. C.

DEFINISI..5

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI.5 ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOPHARING9


D.

GEJALA DAN TANDA KNF.12

E. F. G.

PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING...13 DIAGNOSIS...15 DIAGNOSIS BANDING18 STADIUM..20 KOMPLIKASI21 PENATALKSANAAN...23 PENCEGAHAN..29

H.
I. J.

K.
III.

PENUTUP.30
A. KESIMPULAN...30 B. SARAN...30

DAFTAR PUSTAKA..31
2

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah menolong dan memberkati kami menyelesaikan refarat ini dengan baik. Tanpa pertolongan Dia mungkin kami tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik. Refarat ini disusun sebagai syarat untuk mengikut ujian selain itu agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang KARSINOMA NASOFARING, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber Refarat ini memuat tentang KARSINOMA NASOFARING yang sangat berbahaya bagi kesehatan seseorang. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing THT yaitu dr. A. Sebayang, SpTHT, dr. Nuzwar Noer, SpTHT dan dr. Robert Hasibuan, SpTHT beserta asistenya yang telah membimbing kami agar dapat mengerti tentang bagaimana cara kami menyusun refarat dan mengerti tentang ilmu di bidang THT. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kami mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.

Jakarta, Maret 2010

Penyusun

I. PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekwensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia. Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk. Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini. Untuk dapat bereperan dalam hal tersebut dokter perlu mengetahui terlebih dahulu sega aspek dai kanker nasofaring ini, meliputi definisi, anatomi fisiologi nasofaring, epidemiologi dan etiologi, gejala dan tanda, patofisiologi,
4

diagnosis, komplikasi, terapi maupun pencegahanya. Penulis berusaha untuk menuliskan semua aspek tersebut dalam tinjauan pustaka refarat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.

II TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis. (DORLAND.2002) Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di Cina bagian selatan(DORLAND.2002)

B.

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI


Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7

kasus/tahun/100.000 penduduk

atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh

Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002. Di RSCMJakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya. Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964 (MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua
5

aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta agregasi family. KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara berbagai Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/10 5 di semua area. Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan timur tengah (PARKIN dkk. 1992.2002, WATERHOUSE dkk. 1982, MUIR dkk. 1987). Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita dengan rasio 2-3:1 (PARKINdkk.2002) dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daeraj dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya (ZONG dkk.1983). Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat
6

penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang memudahkan untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan. Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000). Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan. Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring (KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan tetap ada peneliti yg mencoba menghubungkannya dengan merokok , secara umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009). ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan
7

terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonesestyle salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih. Tentang factor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu cintoh terkenal di Cina selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring menderita keganasan organ lain. Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yg laten. Seperti pada TPA ( Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi cell-mediated immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF (genesis) (TANG dkk.1988). Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu : 1. Bentuk ulseratif Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa deengan diferensiasi baik.

2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative
8

Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah angguratau polipoid jarang, dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil. Gambaran histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi. 3. Bentuk eksofitik Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin. Tumor jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor nini dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOPHARING


Nasopharing berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Batas nasopharing: Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum. Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri. Posterior : - vertebra cervicalis I dan II Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar Mukosa lanjutan dari mukosa atas

Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang Muara tuba eustachii
9

Fossa rosenmulleri

Bangunan yang penting pada nasopharing Ostium tuba eustachii pars pharyngeal Tuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum nasi dan nasopharyng dengan rongga telinga tengah. Mukosa ostium tuba tidak datar tetapi menonjol seperti menara, disebut torus tubarius. Torus tubarius Fossa rosen mulleri Adalah dataran kecil dibelkang torus tubarius. Daerah ini merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring, suatu tumor yang mematikan nomor 1 di THT. Fornix nasofaring

10

Adalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat tumor angiofibroma nasopharing Adenoid= tonsil pharyngeal=luskha

Secara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adaenoid akan mencapai titik optimal pada umur 12-14 tahun. Lokasi pada dinding superior dan dorsal nasopharing sebelah lateral bursa pharyngea. Fungsinya sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman- kuman yang lewat jalan napas hidung.

Nasopharing akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata etrtentu seperti hak. Fungsi nasopharing : Sebagai jalan udara pada respirasi Jalan udara ke tuba eustachii Resonator Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
11

Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena: Gaya gravitasi Gerakan menelan Gerakan silia (kinosilia)
Gerkan usapan palatum molle

D.

GEJALA DAN TANDA KNF

Gejala nasofaring yang pokok adalah : 1. Nasal sign :

Pilek lama yang tidak sembuh Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu

Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.

2. Ear sign : Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba oklusi, karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri. Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus.

Gangguan pendengaran hantaran


Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).

3. Eye sign :

12

Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.

4. Tumor sign : Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. 5. Cranial sign Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada penderita. Gejala ini berupa : Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen. Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang. Kesukaran pada waktu menelan Afoni

Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada: o Lidah o Palatum o Faring atau laring o M. sternocleidomastoideus o M. trapezeus
13

E.

PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING


Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan

termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu (1)Aadanya infeksi EBV, (2) Faktor lingkungan (3) Genetik 1) Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya

14

perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.
2) Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen 3) Faktor lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), Nnitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

15

F.

DIAGNOSIS

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor : 1. Anamnesis / pemeriksaan fisik Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF) 2. Pemeriksaan nasofaring Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop 3. Biopsi nasofaring Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis. 4. Pemeriksaan Patologi Anatomi Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

16

Karsinoma buruk.

sel

skuamosa

berkeratinisasi

(Keratinizing

Squamous

Cell

Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.

Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :

Karsinoma Carcinoma).

sel

skuamosa

berkeratinisasi

(Keratinizing

Squamous

Cell

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

5. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah: Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah nasofaring Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

a) Foto polos Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
17

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue

technique) Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks Tomogram Lateral daerha nasofaring Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

b) C.T.Scan Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial. Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue

technique) Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks Tomogram Lateral daerha nasofaring
18

Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini. 7. Pemeriksaan serologi. Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160. hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang

G.

DIAGNOSIS BANDING 1. Hiperplasia adenoid Biasanya terdapat pada anak-anak, jarnag pada orang dewasa, pada anak-anak hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.

2. Angiofibroma juenilis Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto polos akan
19

didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanay erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenals ebgai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos. 3. Tumor sinus sphenooidalis Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan pertama.

4. Neurofibroma Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai keganasan didnding lateral nasofaring. secara C.T. Scan, pendesakan ruang para faring kea rah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.

5. Tumor kelenjarr parotis Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kea rah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.

6. Chordoma Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di
20

daerah clivus. CT dapat membantu ,elihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebuts edangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.

7. Menigioma basis kranii Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikanzat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.

H.

STADIUM

Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut : T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya. T0 : Tidak tampak tumor T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkan N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah melekat pada jaringan sekitar. M = Metastase, menggambarkan metastase jauh M0 : Tidak ada metastase jauh
21

M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13 Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV : T1 N0 M0 : T2 N0 M0 : T3 N0 M0 T1,T2,T3 N1 M0 : T4 N0,N1 M0 Tiap T N2,N3 M0 Tiap T Tiap N M12 Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut : Tis : Carcinoma in situ T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi. T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan dindinglateral. T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring. T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau keduanya). I. PROGNOSIS

Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti : Stadium yang lebih lanjut. Usia lebih dari 40 tahun Laki-laki dari pada perempuan Ras Cina dari pada ras kulit putih Adanya pembesaran kelenjar leher Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak Adanya metastasis jauh
22

J.

KOMPLIKASI
1. Petrosphenoid sindrom Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan kelainan :

Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

Ptosis palpebra ( N. III ) Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

2. Retroparidean sindrom Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala : N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan respirasi dan saliva N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah. Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.
23

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenaiorgan tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.

K.

PENATALKSANAAN

1. Radioterapi Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal. perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa negara maju.
24

Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA Ribose Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid . DNA terutama terdapat paa khromosom ionizing radiation menghambat metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang. Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat . Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad. Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah. Dosis radiasi Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 7000 rad, dalam waktu 6 7 minggu dengan periode istirahat 2 3 minggu (split dose). Alat yang biasanya dipakai ialah cobalt 60, megavoltageorthovoltage Respon radiasi

25

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO : - Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar. - Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih. - No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap. - Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih. Komplikasi radioterapi dapat berupa : a) Komplikasi dini Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti : Xerostomia - Mual-muntah Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum Anoreksi Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis yang terkena radiasi) Eritema

b) Komplikasi lanjut Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti : Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan
26

Kontraktur Penurunan pendengaran Gangguan pertumbuhan

antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti avomit, avopreg.

2. Kemoterapi Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata : kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh). Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi menjadi 1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi) 2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan bersamaan dengan penyinaran atau operasi) 3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radiasi )

Efek Samping Kemoterapi Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya
27

infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi. Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.

Manfaat Kemoradioterapi adalah 1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser). Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar radiasi.

28

Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi. Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. Kelemahan Kemoradioterapi Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat fatal. Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian. Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel

29

kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%. 3. Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain. 4. Imunoterapi Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus EpsteinBarr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.

L.

PENCEGAHAN
Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

30

PENUTUP
I. KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan dan menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh.

Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu (1)Aadanya infeksi EBV, (2) Faktor lingkungan (3) Genetik

Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia. Pada stadium dini yang diberikan adalah penyinaran dan hasilnya baik. II. SARAN Diagnosis dini perlu diperhatikan pada pasien dewasa yang sering mimisan, hidung tersumbat, keluhan kurang dengar, salit kepala dan penglihatan dobel. Sebagai gejala lanjut ialah pembesaran kelenjar limfe leher dan kelumpuhan saraf otak.

Bila dijumpai gejala seperti yang disebutkan di atas, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan lengkap sampai karsinoma nasofaring dapat disingkirkan.

Bagi para penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi diharapkan melalukan vaksinasi virus EBV.
31

Diharapkan dengan meningkatkan penemuan kasus dini penangulangan terhadap penyakit ini dapat diperbaiki. Sehingga angka kematian dapat ditekan.

DAFTAR PUSTAKA Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima. Jakarta : FK UI, 2001. h. 146-50. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi

kombinasi/kemoradioterapi. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi. Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.

32

33

Anda mungkin juga menyukai