Anda di halaman 1dari 24

LEMBAR PENGESAHAN Judul Bidang study : Karsinoma Nasofaring : Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing Tuban, Agustus 2012

dr. H.Supriyono,Sp.THT

KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan rahmatNya sehingga makalahKarsinoma Nasofaring dapat kami selesaikan, sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian program pendidikan Dokter Muda di bidang studi ilmu kesehatan telinga, hidung dan tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya RSUD Dr. R. Koesma Tuban. Tugas makalah ini dibuat tidak hanya semata-mata untuk mengikuti ujian saja tetapi juga sebagai proses pembelajaran bagi kami dan teman sejawat, juga semua yang membacanya untuk lebih mengenal penyakit-penyakit pada ilmu kesehatan telinga, hidung, dan tenggorok umumnya, dan pada khususnya yang berkaitan dengan Karsinoma Nasofaring . Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Pembimbing dan Pendidik kami yaitu: Dr. H. Supriyono, Sp. THT selaku kepala bagian SMF Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok di RSUD Dr. R. Koesma Tuban yang telah memberikan arahan serta birnbingan kepada kami selama ini. 2. Semua pihak (staf dan perawat) dan teman sejawat Dokter Muda di RSUD Dr. R. Koesma Tuban yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan masih jauh dan sempurna, sehingga kami sangat berterimakasih atas saran dan kritik untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Tuban, 14 Agustus 2012 Penyusun

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan.....................................................................................................1 Kata Pengantar.............................................................................................................2 Daftar Isi......................................................................................................................3 BAB I. Pendahuluan....................................................................................................4 BAB II. Tinjauan Pustaka............................................................................................5 Definisi...........................................................................................................5 Epidemiologi..................................................................................................5 Etiologi...........................................................................................................6 Anatomi dan Fisiologi....................................................................................7 Patofisiologi...................................................................................................9 Gejala Klinis................................................................................................. 10 Diagnosis.......................................................................................................14 Stadium..........................................................................................................17 Penatalaksanaan.............................................................................................18 Prognosa.........................................................................................................22 Pencegahan.....................................................................................................23 Daftar Pustaka...............................................................................................................24

BAB I PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi ( bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit ), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( karsinoma nasofaring mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Gejala dan tanda karsinoma nasofaring sangat bervariasi dan sering samar-samar sehingga membingungkan pemeriksa. Karsinoma ini juga sering tidak menimbulkan gejala hingga akhirnya terlambat didiagnosa, terutama yang muncul pada fossa Rossenmuller. Lesi yang lebih lanjut dapat menyebar hingga mengenai beberapa saraf kranial dan menimbulkan gejala-gejala neurologis.
Kendala yang dihadapi dalam penanganan karsinoma nasofaring adalah sebagian besar penderita datang pada stadium lanjut, bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Hal ini disebabkan terlambatnya diagnosa ditegakkan, maka perlu ditekankan akan pentingnya menemukan dan menegakkan diagnosa sedini mungkin. Sampai saat ini terapi yang memuaskan belum ditemukan. Keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh stadium penderita. Keterlambatan penderita untuk mendapatkan penanganan yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari memuaskan.

II TINJAUAN PUSTAKA
4

A. DEFINISI
Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis. (DORLAND.2002) Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di Cina bagian selatan (DORLAND.2002)

B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Kanker Nasofaring di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita kanker nasofaring berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus kanker nasofaring dari tahun 2000 2002. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (19771979). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya. Kanker nasofaring mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara berbagai negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden kanker nasofaring lebih rendah dari 1/105 di semua area. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden ini tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru kelenjar getah bening di seluruh dunia, dan sekitar 50.000 kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan timur tengah (PARKIN dkk. 1992.2002, WATERHOUSE dkk. 1982, MUIR dkk. 1987).

C. ETIOLOGI
Proses karsinogenesis pada karsinoma nasofaring mencakup banyak tahap dan dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Infeksi virus Epstein-Barr Terdapat peningkatan antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early antigen complex (EA) dan ditemukannya genom virus pada sel tumor. Virus EpsteinBarr (VEB) terdeteksi secara konsisten pada pasien karsinoma nasofaring di daerah dengan insidensi tinggi dan daerah dengan insidensi rendah. Lesi premaligna di nasofaring telah menunjukkan kandungan VEB, yang menunjukkan infeksi terjadi pada fase awal karsinogenesis. (McDermott et al., 2001; Cottrill dan Nutting, 2003). 2. Ikan asin dan nitrosamin Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa yang menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan karsinoma nasofaring di Cina Selatan dan Hongkong. Didalam ikan asin tersebut terkandung nitrosamin yang merupakan zat yang dapat meningkatkan resiko terjadinya karsinoma nasofaring (Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003). 3. Sosial ekonomi, lingkungan, dan kebiasaan hidup Udara yang penuh asap dan uap di rumah-rumah dengan ventilasi kurang baik di Cina, Indonesia, dan Kenya juga meningkatkan insiden karsinoma nasofaring. Pembakaran dupa di rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan karsinoma nasofaring di Hongkong (McDermott et al., 2001; Ahmad, 2002). Perokok berat meningkatkan resiko karsinoma nasofaring pada daerah endemik (Cottrill dan Nutting, 2003). 4. Sering kontak dengan bahan karsinogen, antara lain: benzopyren, gas kimia, asap industri, asap kayu, debu kayu, formaldehid, dan asap rokok (McDermott et al., 2001). 5. Ras dan keturunan Insiden tertinggi di dunia ternyata terdapat pada ras Cina, baik di daerah asal ataupun di perantauan. Insiden karsinoma nasofaring tetap tinggi pada penduduk Cina yang bermigrasi ke Asia Tenggara atau ke Amerika Utara, tapi lebih rendah pada penduduk Cina yang lahir di Amerika Utara daripada yang lahir di Cina Selatan

(Ahmad, 2002). 6. Radang kronis di nasofaring Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab karsinoma nasofaring. Proses peradangan dan kondisi-kondisi benigna di telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan faktor predisposisi terjadinya transformasi pada mukosa nasofaring yang meningkatkan resiko terjadinya keganasan (McDermott et al., 2001).

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering Ke anterior berhubungan timbul. Ke arah posterior dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid.

Gambar 1: Daerah nasofaring


7

Nasopharing akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu seperti hak. Fungsi nasopharing : Sebagai jalan udara pada respirasi Jalan udara ke tuba eustachii Resonator Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

E. Patofisiologi

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring. Kanker nasofaring merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan kanker nasofaring, yaitu (1)Adanya infeksi EBV, (2) Faktor lingkungan (3) Genetik 1) Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan
sel limfosit.

EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor

virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita kanker nasofaring adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20

asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.

2) Genetik Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen 3) Faktor lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), Nnitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

F. GEJALA KLINIS
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh karsinoma nasofaring ini antara lain: Gejala telinga
1. Oklusi tuba eustachius. Pada umumnya tumor bermula di fossa Rosenmuller, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba, sehingga mengakibatkan keluhan rasa penuh di telinga, berdengung dan kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari karsinoma nasofaring. 2. Otitis media serosa dan dapat berlanjut sampai terjadi perforasi dan gangguan pendengaran.

10

Gejala hidung 1. Epistaksis Dinding tumor biasanya rapuh sehingga iritasi ringan saja dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu. 2. Sumbatan hidung Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas pada penderita karsinoma nasofaring, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lain. Epistaksis juga terjadi pada anak yang sedang menderita radang. Namun jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpa penyebab yang jelas, atau menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan segera melakukan pemeriksaan yang lebih teliti terhadap rongga nasofaring sampai terbukti bahwa bukan karsinoma nasofaring penyebabnya.

Gejala Neurologi Karsinoma nasofaring telah diketahui dapat menyebabkan berbagai lesi neurologis, khususnya kelumpuhan saraf kranial. Tumor ini dapat menyebar secara intrakranial maupun ekstrakranial sehingga menyebabkan terjadinya paralisis saraf kranial multipel.

* Perluasan ke atas Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran petrosfenoid. Sindroma petrosfenoid terjadi bila seluruh saraf grup anterior yang terkena. Biasanya melalui foramen laserum. Kemudian ke sinus kavernosus dan fossa kranii media mengenai grup anterior saraf otak yaitu n II - n VI yang sering terkena lebih dulu n VI, kemudian n V dan III. Tidak jarang gejala diplopia-lah yang membawa penderitaan lebih dulu berobat ke dokter mata. Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di Indonesia. Tandatanda lainnya adalah terjadinya - Neuralgia trigeminal unilateral

11

- Oftalmoplegia unilateral - Gejala nyeri kepala hebat terjadi akibat penekanan tumor pada durameter. * Perluasan ke belakang 1 servikalis. 2 Tumor dapat mengenai otot dan menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga terjadi trismus. Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial sepanjang fossa posterior, disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus simpatikus

-Sindrom retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan n IX, X, XI dan XII. Manifestasi keluhan ialah a. n IX : Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah. b. n X : Hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan respirasi dan salivasi. c. n XI : Kelumpuhan atau atrofi otot-otot trapezeus, stemokleidomastoideus, serta hemiparesis palatum mole. d. n XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah Semua ini biasanya disertai dengan sindroma Horner akibat kelumpuhan n. simpatikus servikalis, berupa penyempitan fisura palpebralis, enoftalmus dan miosis. Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan bilateral. Sedangkan nervus VII dan VIII, karena letaknya agak tinggi serta terietak dalam kanalis tulang, sangat jarang terjadi kerusakan oleh karena tumor.

Gejala Pada Kelenjar Getah Bening Oleh karena tumor pada nasofaring relatif bersifat anaplastik dan banyak terdapat kelenjar limfe, maka karsinoma nasofaring dapat menyebar ke kelenjar limfe leher. Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe leher dan tertahan disana karena kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak langsung ke bagian tubuh yang lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien.Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.

12

Ilustrasi skema jalur

13

penyebaran/metastase dari karsinoma nasofaring (arah tanda panah)

G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala kanker nasofaring) 2. Pemeriksaan nasofaring Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop 3. Biopsi nasofaring Diagnosis pasti dari kelenjar getah bening ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis. 4. Pemeriksaan Patologi Anatomi Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

14

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.

Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu : Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi. 5. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan kanker nasofaring merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah: Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah nasofaring Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya (paru-paru dsb).

a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

15

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique) Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks Tomogram Lateral daerah nasofaring Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring b) C.T.Scan Pada umumnya kanker nasofaring yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuannya untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahanperubahan pada tulang, dengan kriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah ada perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intrakranial. Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu: Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique) Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks Tomogram Lateral daerha nasofaring Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring 6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut kanker nasofaring ini. 7. Pemeriksaan serologi.

16

Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.

H. STADIUM
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut : T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya. T0 : Tidak tampak tumor T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkan N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah melekat pada jaringan sekitar. M = Metastase, menggambarkan metastase jauh M0 : Tidak ada metastase jauh M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13 Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium I : T1 N0 M0 Stadium II : T2 N0 M0 Stadium III : T3 N0 M0

17

T1,T2,T3 N1 M0 Stadium IVA : T4 No/N1/N2 Mo Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 N3 Mo Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 No/N1/N2/N3 M1

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut : Tis : Carcinoma in situ T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi. T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan dindinglateral. T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring. T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau keduanya).

I. PENATALAKSANAAN
Stadium I : Radioterapi Stadium II & III : Kemoradiasi Stadium IV dengan N<6cm: Kemoradiasi Stadium IV dengan N>6cm : Kemoterpi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi.

TERAPI
1. Radioterapi Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas,
18

bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal. perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa negara maju. Komplikasi radioterapi dapat berupa : a) Komplikasi dini Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti : Xerostomia - Mual-muntah Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum Anoreksi Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis yang terkena radiasi) Eritema

b) Komplikasi lanjut Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti : 2. Kemoterapi Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
19

Kontraktur Penurunan pendengaran Gangguan pertumbuhan

setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata : kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko Efek Samping Kemoterapi Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi. Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi. Manfaat Kemoradioterapi adalah 1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia. 2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase. 3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

20

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar radiasi. Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi ( concurrent or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. Kelemahan Kemoradioterapi Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat fatal. 3. Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain. 4. Imunoterapi Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.

J. PROGNOSA
Prognosa karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan kecenderungan metastasenya. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma pertumbuhan lokal tumornya cenderung lebih agresif daripada Non Keratinizing dan Undifferntiated Carcinoma, walaupun metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosa penderita buruk bila dijumpai : 1. Pembesaran kelenjar getah bening

21

2. 3.

Stadium lanjut Tipe histologinya Keratinizing Squamous Cell Carcinoma Dari seluruh penderita 5-year survival rate (5-YSR) : 50%, 10 year survival rate (10-YSR) : 30%. Pada

penderita Undifferentiated Carcinoma, 5-YSR-nya lebih tinggi 20-30% daripada penderita Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. Menurut penelitian terbaru, secara umum penderita yang diterapi dengan radioterapi saja, 10-YSR : 40 - 50%, sedangkan bila kombinasi dengan kemoterapi, 10-YSR : 55 - 70%. Pada tipe Squamous Cell Carcinoma, kematian biasanya disebabkan oleh progresfitas lokal tumor. Pada tipe Undifferentiated, kematian lebih sering disebabkan oleh metastase jauh. Relaps lokal mempunyai faktor resiko yang signifikan dengan perkembangan metastase, khususnya ada 2 tahun pertama setelah terapi.

K. PENCEGAHAN
Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.

22

DAFTAR PUSTAKA 1. Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi
(ed). UI, 2001. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima. Jakarta : FK h. 146-50.

2. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11. 3. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi kombinasi/kemoradioterapi. 4. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9. 5. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi. Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.

23

6. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.

24

Anda mungkin juga menyukai