Anda di halaman 1dari 109

RUBRIK SUNGGUH-SUNGGUH TERJADI DALAM SURAT KABAR HARIAN KEDAULATAN RAKYAT (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)

SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh : SEPTI NUR HANANI ----------------------------NIM: C 0200051

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2005

Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pembimbing

Prof. Dr. Kunardi Hardjoprawiro, M. Pd. NIP 130 189 637

Diterima dan Disetujui oleh Panitia Penguji Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal: 28 Februari 2005

Panitia Penguji: 1. Dra. Hesti Widyastuti, M. Hum. Ketua (.) NIP 131 281 866

2. Drs. Hanifullah Syukri, M. Hum. Sekretaris

(.....) NIP 132 231 674

3. Prof. Dr. Kunardi Hardjoprawiro, M. Pd. Penguji I

(.....) NIP 130 189 637

4. Drs. FX. Sawardi, M. Hum. Penguji II

(.....) NIP 131 913 435

Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dr. Maryono Dwirahardjo, S.U. NIP 130 675 167

MOTTO:

Boleh

jadi

kamu

membenci

sesuatu

padahal itu baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al Baqarah (2): 216) Kebahagiaan ada untuk mereka yang

menangis, mereka yang tersakiti, mereka yang mencari dan mereka yang telah mencoba

PERSEMBAHAN:
Karya kecil ini kupersembahkan kepada :

Bapak dan Ibu tercinta

Mbak Metty dan Dhe Eva tersayang

Almamaterku

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, karunia, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian ini telah dapat diselesaikan berkat kerjasama, pencurahan pikiran, tenaga, dan waktu dari berbagai pihak. Atas semuanya ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya pada:
1.

Dr. Maryono Dwiraharjo, S.U. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2.

Drs. Henry Yustanto, M.A. selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia yang telah memberi izin dalam penelitian ini

3.

Prof. Dr. Kunardi Hardjoprawiro, M.Pd. selaku pembimbing yang telah dengan sabar membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.

4.

Drs. FX. Sawardi, M. Hum. selaku pembimbing akademik yang telah mengasuh dan membimbing penulis selama kuliah.

5.

Para dosen yang telah menularkan ilmu kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

6.

Staf karyawan perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, dan perpustakaan pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan pelayanan dengan baik selama penulis menjadi mahasiswa.

7.

Orang tua serta keluarga yang telah memberi restu dan dorongan pada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, Allah selalu melindungi kita.

8.

Rekan-rekan di Jurusan Sastra Indonesia, khususnya angkatan 2000 yang telah memberi arti dalam penelitian ini.

9.

Sahabat-sahabat Kejora Susan, Siti, Tyas, Dian, Ari yang telah memberikan warna dalam kehidupan penulis.

10.

Teman-teman kost Ratih Primis, Nuki, Bekti, Dwik, Endah, Niken, Mimin, Uun, Maya, Lia, Tari, Dian, dan Yuli serta Teman-teman di Jl. Mendung ; Mas Aris, Blendung, Didik, Marimas, Sari, Puput, Itak

11.

Sahabatku Rita Kusuma, Wahyu, Dewi, Agus ASDI, Cahyo, yang selalu menemani penulis di saat suka maupun duka. Terima kasih pada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per

satu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Surakarta, Februari 2005

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ......i HALAMAN PERSETUJUAN..ii HALAMAN PENGESAHAN...iii HALAMAN MOTTO...iv HALAMAN PERSEMBAHAN.v KATA PENGANTAR...vi DAFTAR ISI...viii DAFTAR SINGKATAN..xii DAFTAR TABELxii ABSTRAK...xiii I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah....1 B. Pembatasan Masalah.........6 C. Rumusan Masalah.....6 D. Tujuan Penelitian..6 E. Manfaat Penelitian.....7 F. Sistematika Penulisan....7 II. LANDASAN TEORI A. Sosiolinguistik.9 B. Variasi Bahasa ...10 C. Ragam Bahasa.....12 D. Komunikasi.15

E. Singkatan dan Akronim...19 F. Slang ...20 G. Gaya Bahasa....21 H. Idiom...24 I. Kode, Campur Kode dan Alih Kode ...26 J. Interferensi.......28 K. Humor..29 L. Rubrik .....33 III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian........35 B. Sumber Data....36 C. Populasi.......36 D. Sampel.....37 E. Teknik Pengumpulan Data..37 F. Klasifikasi Data39 F. Metode Analisis Data...43 IV. ANALISIS DATA
A.

Karakter pemakaian bahasa rubrik SST.....44


1. 2. 3. 4. 5.

Ragam informal..45 Ragam percakapan 48 Singkatan dan akronim...50 Slang...53 Gaya bahasa...54 a. Hiperbola55

b. Repetisi...57 c. Personifikasi...59 d. Elipsis.....60 6. Idiom 62 7. Campur kode.64 8. Alih kode ..66 9. Interferensi ...68
B.

Aspek humor yang terdapat dalam rubrik SST .69


1. 2. 3.

Keambiguan ..70 Pertentangan makna...71 Penyimpangan logika 74


a. b. c.

Penyimpangan logika angka ..74 Penyimpangan logika bahasa .75 Penyimpangan logika makna..77

4. C.

Membandingkan yang tidak logis .78

Fungsi rubrik SST sebagai karya jurnalistik..80


1. 2. 3. 4.

Sarana menyiarkan informasi82 Sarana mendidik85 Sarana menghibur..86 Sarana mempengaruhi...89

V. PENUTUP A. Simpulan...91

10

B. Saran.92 DAFTAR PUSTAKA...94 LAMPIRAN DATA

DAFTAR SINGKATAN

11

SST KR O1 O2

: Sungguh-sungguh Terjadi : Kedaulatan Rakyat : Orang Pertama : Orang Kedua

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1: Rubrik SST Bulan Maret 2004 Edisi Sepekan.37 Tabel 2: Rubrik SST Bulan April 2004 Edisi Sepekan..37 Tabel 3: Klasifikasi Karakter Rubrik SST.38 Tabel 4: Klasifikasi Aspek Humor Rubrik SST 40 Tabel 5: Klasifikasi Fungsi Rubrik SST41

ABSTRAK

12

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan judul Rubrik Sungguh-sungguh Terjadi dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik). Tujuan penelitian ini adalah

mendeskripsikan karakter pemakaian bahasa rubrik SST yang meliputi ragam informal, ragam percakapan, singkatan dan akronim, slang, gaya bahasa yang meliputi hiperbola, repetisi, personifikasi, dan elipsis, idiom, campur kode dan alih kode, interferensi serta mendeskripsikan aspek humor dalam rubrik SST dan mendeskripsikan fungsi rubrik tersebut sebagai karya jurnalistik bagi pembaca (O2) berdasarkan pengamatan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Suwito mengenai sosiolinguistik, teori Pateda mengenai variasi bahasa, teori Kridalaksana tentang ragam bahasa, teori Gorys Keraf mengenai gaya bahasa, teori Soedjatmiko

tentang teknik penciptaan humor, teori Effendi mengenai komunikasi dalam jurnalistik, teori lain yang mendukung seperti teori Mustakim mengenai

singkatan dan akronim, teori Suwito tentang alih kode, campur kode dan interferensi serta pengertian rubrik menurut Moeliono. Surat kabar Kedaulatan Rakyat (KR) digunakan sebagai sumber data. Populasinya adalah keseluruhan pemakaian bahasa yang ada dalam rubrik SST, sedangkan sampel yang diambil yaitu wacana dalam rubrik SST selama dua bulan berturut-turut yaitu bulan Maret dan April 2004 kecuali hari libur nasional yang ditentukan dengan purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan tujuan penelitian. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik pustaka yaitu sumber data berasal dari media cetak surat kabar, sedangkan metode

13

yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode deskriptif yaitu memaparkan fenomena kebahasaan berdasarkan fakta yang ada. Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa karakter pemakaian bahasa dalam rubrik SST meliputi pemakaian ragam informal, ragam percakapan, singkatan dan akronim, pemanfaatan bentuk slang, pemanfaatan gaya bahasa yang terdiri dari gaya bahasa hiperbola, repetisi, personifikasi, elipsis, pemakaian bentuk idiom, campur kode, alih kode serta interferensi. Karakter pemakaian bahasa dalam rubrik SST telah didapatkan kemudian dilanjutkan dengan aspek humor yang ada dalam rubrik SST dan fungsi rubrik tersebut sebagai karya jurnalistik. Aspek humor dapat diketahui dengan beberapa teknik antara lain dengan teknik keambiguan, teknik pertentangan makna, teknik logika yang terdiri atas penyimpangan logika angka, penyimpangan logika bahasa, penyimpangan logika makna, dan teknik membandingkan yang tidak logis, sedangkan fungsi rubrik SST sebagai karya jurnalistik meliputi sarana menghibur, sarana menyampaikan informasi, sarana mendidik, dan sarana mempengaruhi masyarakat sebagai pembaca (O2).

BAB I

14

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam melangsungkan hidupnya. Sebagai makhluk sosial manusia secara naluriah terdorong untuk bergaul dengan manusia lain, baik untuk menyatakan keberadaan dirinya, mengekspresikan kepentingannya, menyatakan pendapatnya, maupun untuk mempengaruhi orang lain demi kepentingan sendiri, kepentingan kelompok, atau kepentingan bersama. Berkenaan dengan itu, bahasa memegang peranan yang amat penting sebagai salah satu produk budaya manusia yang dalam perkembangannya selalu melibatkan manusia. Bahasa adalah sarana utama untuk berkomunikasi dalam masyarakat baik secara lisan maupun tertulis. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi digunakan dalam berbagai sendi kehidupan, seperti keluarga, pendidikan, pemerintahan, dan perdagangan. Manusia akan mengalami kesulitan berkomunikasi tanpa bahasa. Bahasa, media komunikasi, dan manusia tidak dapat dipisahkan sebagai unsurunsur pendukung interaksi dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, manusia membutuhkan bahasa sebagai alat komunikasi untuk memenuhi segala kebutuhannya. Pemanfaatan potensi bahasa sebagai alat komunikasi dapat dilihat dari dunia pendidikan, media massa elektronik, media massa cetak, dan hampir semua ranah kehidupan membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Jadi bahasa memiliki peran dan fungsi strategis dalam kehidupan sehari-hari seperti pendapat berikut yang menyatakan bahwa

15

bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2001, h. 21). Bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerjasama dengan sesama warga (Keraf, 1984, h. 4). Komunikasi dengan media bahasa dapat dibedakan menjadi komunikasi lisan dan tulisan. Komunikasi lisan menggunakan mulut sebagai alat komunikasi, sedangkan komunikasi tulis menggunakan media tulis seperti majalah, surat kabar, buku dan lain-lain. Surat kabar sebagai salah satu jenis media massa cetak mempunyai fungsi menyampaikan berita kepada pembaca. Pada saat penulis menyampaikan isi pikiran tersebut terjadilah pemindahan informasi yang efisien. Jadi, dalam fungsi ini yang dipentingkan adalah pemakaian bahasa yang berorientasi pada pembaca atau penerima dalam menangkap informasi secara benar. Bahasa jurnalistik atau bahasa pers merupakan bahasa yang dipergunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa. Bahasa pers adalah salah satu ragam bahasa yang memiliki sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku(Anwar, 1984, h. 1). Lebih lanjut pengertian ragam bahasa jurnalistik dijelaskan oleh Wojowasito (dalam Anwar, 1984, h. 1) bahwa: Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu

16

bahasa harus jelas dan mudah untuk dipahami oleh pembaca dengan ukuran yang berbeda-beda pada tingkat intelektualitasnya, sehingga sebagian besar anggota masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isi maupun maksud penulisnya. Melihat latar belakang dan fungsi bahasa tersebut, maka penulis ingin mengambil kajian tentang karakter pemakaian bahasa dalam surat kabar. Kajian tersebut mengenai pemakaian bahasa yang digunakan dalam sebuah rubrik pada surat kabar yang dilihat dari sudut pandang sosiolinguistik. Pengertian rubrik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan karangan yang bertopik tertentu di surat kabar, majalah, dan sebagainya (Moeliono, 1989, h.756). Adapun rubrik-rubrik tersebut misalnya rubrik berita atau peristiwa, rubrik opini, rubrik kesehatan, rubrik kecantikan dan sebagainya. Semakin maraknya bisnis jurnalistik tentu saja secara langsung akan membawa konsekuensi semakin gigihnya usaha berbagai media massa untuk menarik atau paling tidak mempertahankan jumlah pembaca atau pelanggannya. Untuk itu, pihak-pihak yang terlibat dalam usaha penerbitan senantiasa berusaha meningkatkan kualitas penerbitannya dengan berbagai upaya. Penciptaan rubrik khusus agaknya merupakan salah satu usaha para redaktur untuk meningkatkan kualitas dan daya tarik penerbitan. Sehubungan dengan ini, rubrik Sungguh-sungguh Terjadi (selanjutnya disingkat SST), kehadirannya merupakan usaha para pengasuh surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR) untuk memikat penggemarnya. Boleh jadi, rubrik ini merupakan

17

salah satu kolom andalan yang menjadikan koran ini memiliki daya tarik pembacanya. SST merupakan sebuah rubrik yang mengutamakan cara penyampaiannya daripada informasi yang ada didalamnya. Penyampaian informasi bukanlah hal yang paling penting dalam wacana ini karena sering kali nilai informasi yang dikandung oleh rubrik SST adalah informasi yang tidak begitu penting untuk diketahui. Misalnya pada rubrik SST berikut: MUNGKIN karena pusing dan bingung kurang tahu caranya nyoblos, ditambah merasa tidak kenal para caleg yang menurutnya berjumlah sangat buanyaaaak, seorang pemilih di TPS 01 Dipowinatan, Yogya, dalam Pemilu Legislatif 5-4-2004 kemarin tidak nyoblos, tapi malah menempelkan bungkus obat sakit kepala Paramex. (SST/6 April 2004/35) Dalam rubrik di atas jelas terlihat bahwa bagian informasi yang terpenting bukanlah seseorang yang pusing dan bingung saat mengikuti pemilu legislatif akan tetapi informasi yang penting adalah banyaknya calon legislatif yang ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif yang dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004. Proses kreativitas penulis dalam menciptakan rubrik SST inilah yang lebih diutamakan yaitu penyampaiannya dengan gaya yang santai dan enak di baca sehingga menimbulkan kesan humor bagi para pembaca. Kejadian-kejadian yang sederhana, tetapi di dalamnya sering kali mengandung kejutan dan keunikan karena orang tidak pernah memikirkan sebelumnya. Keunikan yang tidak pernah terpikirkan inilah kerap kali membawa efek yang menggelikan bagi para penggemarnya. Hal ini merupakan salah satu yang menarik dari rubrik SST.

18

Dengan proses kreativitas penulis menjadikan rubrik ini termasuk dalam wacana rekreatif. Rubrik SST muncul setiap hari di halaman pertama pojok kanan bawah di kolom kesembilan, sedangkan untuk edisi sepekan terletak di halaman terakhir yang berjumlah lebih dari satu rubrik dan disertai gambar kartun yang mendukung salah satu rubrik di dalamnya, sedangkan untuk hari libur nasional Kedaulatan Rakyat (KR) tidak terbit. Rubrik SST diisi oleh para pembaca surat kabar tersebut, sehingga merupakan salah satu wujud konkret wahana penyampaian ide, gagasan, dan keinginan-keinginan pembaca yang kemudian diangkat dan dipilih oleh redaktur. Para pencipta (penulis) rubrik ini berasal dari berbagai kalangan, antara lain mahasiswa, Purnawirawan TNI, pedagang, pengajar, dan sebagainya yang dapat dilihat pada bagian akhir rubrik. Para pencipta (penulis) rubrik SST adalah seorang dwibahasawan yang menguasai bahasa asing, bahasa Jawa dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Maka secara sengaja atau tidak sengaja mereka memasukkan unsur bahasa asing atau bahasa Jawa dalam rubrik ini yang resminya menggunakan bahasa Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti rubrik SST pada surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR) sebagai objek kajian dengan judul RUBRIK SUNGGUH-SUNGGUH TERJADI DALAM SURAT KABAR HARIAN KEDAULATAN RAKYAT (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik).
A.

Pembatasan Masalah

19

Penelitian ini dibatasi pada masalah karakter pemakaian bahasa dalam rubrik SST, aspek humor yang ada dalam rubrik SST pada data yang

mengandung unsur humor serta fungsi rubrik tersebut sebagai karya jurnalistik.

C. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Bagaimana karakter pemakaian bahasa rubrik SST pada surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR)?

2.

Aspek humor apa saja yang terdapat dalam rubrik SST pada surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR)?

3.

Bagaimana fungsi rubrik SST sebagai karya jurnalistik dalam surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR)?

D. Tujuan Penelitian Berkenaan dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1.

Mendeskripsikan karakter pemakaian bahasa rubrik SST pada surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR).

2.

Mendeskripsikan aspek humor yang ada dalam rubrik SST pada surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR).

3.

Menjelaskan fungsi rubrik SST sebagai karya jurnalistik dalam surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR). E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis

20

a.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan pemakaian bahasa Indonesia dalam sebuah rubrik pada surat kabar.

b.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu linguistik, khususnya disiplin ilmu sosiolinguistik.

. 2. Manfaat Praktis
a.

Memberikan informasi bagi pembaca tentang seluk beluk pemakaian bahasa Indonesia dalam sebuah rubrik pada surat kabar.

b.

Memberikan informasi adanya faktor-faktor sosiolinguistik yang melatar belakangi pemakaian bahasa dalam sebuah rubrik pada surat kabar.

F. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori, berisi tentang beberapa teori yang berhubungan dengan masalah yang akan dikaji. Teori-teori tersebut digunakan sebagai landasan dalam menganalisis data. Bab III Metode Penelitian, yang meliputi metode penelitian, sumber data, populasi, sampel, teknik pengumpulan data, klasifikasi data dan metode analisis data

21

Bab IV Hasil Penelitian, yang merupakan penyajian dan analisis data yang akan menjabarkan data-data yang telah terkumpul, kemudian dianalisis untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang ada sebelumnya. Bab V Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran-saran.

22

BAB II LANDASAN TEORI

A. Sosiolinguistik Batasan pengertian sosiolinguistik yang menekankan studi bahasa dalam hubungan dengan masyarakat dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah pendapat Apel (dalam Suwito, 1983, h. 2) sosiolinguistik memandang bahasa, pertama-tama sebagai sistem sosial dan komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu, sehingga pemakaian bahasa inilah (language use) sebagai bentuk interaksi dalam situasi yang konkret. Dalam Kamus Linguistik dijelaskan pengertian sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dengan perilaku sosial (Kridalaksana, 2001, h. 201). Pendapat lain menyatakan bahwa pengertian sosiolinguistik merupakan cabang dari ilmu linguistik yang mengkaji tentang pemakaian bahasa dilingkungan masyarakat atau juga dapat disebut sebagai ilmu yang mempelajari aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial) (Nababan, 1993, h. 2). Pengertian sosiolinguistik juga diartikan sebagai suatu cabang ilmu linguistik yang mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan budaya (Pateda, 1987, h. 3). Bahasa sebagai gejala sosial dalam pemakaiannya tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik, antara lain adalah faktor-faktor sosiokultural dan situasional. Faktor-faktor sosiokultural

23

yang mempengaruhi pemakaian bahasa antara lain status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya, sedangkan faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian bahasa yaitu siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan di mana dan mengenai masalah apa, seperti dengan ringkas dirumuskan oleh Fishman (dalam Suwito, 1983, h. 3) Who speaks what language to whom and when. Dengan adanya faktor-faktor sosiokultural dan faktor-faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian bahasa, maka timbul variasi bahasa. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa sosiolinguistik adalah studi yang bersifat interdisipliner yang menggarap masalah-masalah kebahasaan dalam hubungannya dengan faktor-faktor sosial, situasional dan kultural. Oleh sebab itu, apabila kita berbicara dengan orang lain di samping masalah kebahasaan itu sendiri, maka kita harus memperhatikan orang lain juga. Dengan memperhatikan sosiolinguistik, masalah ketidaktepatan pemakaian bahasa dalam konteks sosialnya dapat dikurangi sampai sekecil mungkin dan setiap penutur akan menyadari betapa pentingnya ketepatan pemilihan variasi bahasa sesuai dengan konteks sosial, di samping kebenaran secara struktur gramatikal.

B. Variasi Bahasa Variasi bahasa diartikan pola-pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalisis secara deskriptif, pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi (Pateda, 1987). Konsep variasi bahasa juga dapat diartikan sebagai ujud perubahan atau

24

perbedaan dari pelbagai manifestasi

kebahasaan, namun tidak bertentangan

dengan kaidah kebahasaan(Ohoiwutun, 1997, h. 46). Terjadinya variasi bahasa bukan hanya disebabkan oleh penutur-penutur bahasa yang heterogen tetapi juga kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat bervariasi. Oleh karena itu kegiatan yang penutur bahasa lakukan dapat menyebabkan terjadinya variasi bahasa. Selain itu, pemakaian bahasa dalam masyarakat tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor nonlinguistik yaitu faktor sosial dan situasional. Menurut Poedjosoedarmo (dalam Suwito, 1983, h. 23) adanya faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian bahasa tersebut menyebabkan timbulnya variasi bahasa yaitu bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola-pola yang menyerupai pola umum bahasa induknya. Timbulnya variasi bahasa disebabkan oleh adanya empat faktor yaitu daerah yang berlainan, kelompok atau keadaan sosial yang berbeda, situasi berbahasa yang berlainan, serta tahun atau zaman yang berlainan (Nababan, 1993). Keberadaan variasi bahasa menunjukkan bahwa bahasa atau pemakaian bahasa bersifat aneka ragam. Keanekaragaman bahasa tampak dalam pemakaian baik secara individu maupun kelompok. Adapun wujud dari variasi itu dapat berupa idiolek, dialek, ragam bahasa, gaya bahasa dan register. Adanya berbagai macam variasi dalam pemakaian bahasa dapat dilihat pada peristiwa kebahasaan seperti campur kode, alih kode dan interferensi.

25

C. Ragam Bahasa 1. Pengertian Ragam Bahasa Ragam bahasa adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa, sedangkan variasi itu timbul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan situasi dalam konteks sosialnya(Suwito, 1983, h. 148). Pendapat lain mengenai ragam bahasa adalah variasi pemakaian bahasa yang timbul sebagai akibat adanya sarana, situasi, dan bidang pemakaian bahasa yang berbedabeda (Mustakim, 1994, h. 18). Ragam bahasa adalah variasi bahasa berdasarkan pemakaian bahasa. ragam bahasa dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu ragam bahasa berdasarkan pokok pembicaraan, ragam bahasa berdasarkan medium

pembicaraan, dan ragam bahasa berdasarkan hubungan antara pembicara. Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan dibedakan atas ragam jurnalistik, ragam ilmiah, ragam jabatan, dan ragam sastra. Ragam bahasa menurut medium pembicaraan dibedakan atas ragam lisan dan tulis. Ragam lisan terdiri dari ragam percakapan, ragam pidato dan sebagainya, sedangkan ragam tulis dibedakan atas ragam undang-undang, ragam catatan, ragam surat menyurat dan sebagainya. Adapun ragam bahasa menurut hubungan antara pembicara dibedakan atas beberapa macam yaitu ragam baku, ragam resmi, ragam usaha, ragam santai, ragam akrab, ragam formal dan ragam informal (Kridalaksana, 1996). Pemakaian ragam bahasa sebagai salah satu sarana kebahasaan dalam berkomunikasi tidak selamanya menggunakan ragam formal, akan tetapi seorang

26

komunikan dan komunikator ada kalanya menggunakan ragam bahasa informal. Pemakaian ragam bahasa informal ini biasanya mengikuti atau menyesuaikan dengan keadaan dan situasi komunikasi. Situasi komunikasi yang dimaksud adalah siapa, kepada siapa, masalah apa, dan untuk tujuan apa komunikasi itu dilakukan(Suwito,1983, h. 148). Maka dari itu, jika seseorang atau seorang penutur bahasa akan berkomunikasi dia harus memilih salah satu ragam bahasa yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ragam bahasa adalah istilah untuk mununjuk suatu bentuk keanekaragaman bahasa sesuai dengan perbedaan pemakaian sehingga akan timbul pemakaian bahasa yang sesuai dengan fungsi dan situasinya. Secara lebih jelas dan terinci variasi sosial bahasa Indonesia terwujud dalam bentuk ragam bahasa (Subroto, 1992, h. 19). Ragam bahasa dalam rubrik SST termasuk dalam ragam informal karena bahasa yang digunakan cenderung dalam situasi tak resmi, banyak mencerminkan logat kedaerahan dan mengalami percampuran (interferensi).

2. Ragam Bahasa Jurnalistik Salah satu bentuk pemakaian bahasa tulis dalam komunikasi adalah

seperti yang ada dalam media massa cetak, dalam hal ini berupa surat kabar. Surat kabar sebagai salah satu media massa cetak mempunyai fungsi menyampaikan berita kepada pembaca dengan menggunakan media pengungkapan berupa bahasa. Bahasa yang digunakan dalam surat kabar dikenal dengan nama ragam bahasa jurnalistik sebagai salah satu jenis ragam bahasa.

27

Jurnalistik diartikan sebagai ketrampilan atau kegiatan mengolah bahan berita mulai dari mendapatkan bahan sampai pada menyebarluaskan kepada masyarakat yang berupa fakta peristiwa atau pendapat yang diperkirakan akan menarik bagi khalayak (masyarakat) dan kemudian dijadikan berita untuk dapat didistribusikan pada masyarakat (Effendi, 1993, h. 96). Pengertian ragam jurnalistik adalah ragam yang digunakan dalam bidang jurnalistik (Mustakim, 1994, h. 20). Ragam jurnalistik yaitu bahasa yang digunakan oleh wartawan dan memiliki ciri khusus yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, lugas, dan menarik. Sejalan dengan ragam jurnalistik yang menekankan pada bahasa yang efektif dan komunikatif, dijelaskan bahwa salah satu ciri khusus yang dimiliki oleh ragam jurnalistik adalah sifatnya yang sederhana. Sederhana yang dimaksud adalah bahwa bahasa yang dipakai itu adalah bahasa yang biasa dipakai oleh masyarakat dalam percakapan sehari-hari, sehingga ragam percakapan merupakan salah satu ragam yang tepat untuk pemakaian bahasa dalam media cetak (Anwar, 1984, h. 1). Rubrik SST sebagai salah satu rubrik dalam surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR) yang merupakan wahana komunikasi di tengah masyarakat Jawa yang tentunya menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-harinya, maka pada rubrik tersebut ditemukan pemakaian ragam percakapan bahasa Jawa. Selain itu ragam percakapan yang berasal dari bahasa Indonesia juga ditemukan pada rubrik tersebut. Ragam percakapan yang terdapat dalam kalimat ditandai dengan kata-kata tertentu, misalnya lho, kok, toh, wong, dan lain-lain yang merupakan salah satu ciri ragam nonstandar (Wijana, 1995, h. 21).

28

D. Komunikasi Manusia dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan terlepas dari kegiatan berkomunikasi. Hal ini disebabkan pengaruh dari peranan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang di maksud dapat dipahami (Moeliono, 1989, h. 517). Jadi, komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan dapat diterima oleh komunikan. Komunikasi sebagai suatu proses yang melibatkan (1) pihak yang berkomunikasi, (2) informasi yang dikomunikasikan, dan (3) alat yang digunakan untuk mengkomunikasikan (Alwasilah, 1993, h. 8). Setiap komunikasi yang terjadi dalam masyarakat tak lepas dari ketiga unsur di atas. Rubrik merupakan bagian dari surat kabar sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kepada pembaca (O2) dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya. Proses komunikasi antara penulis (O1) dan pembaca (O2) terjadi secara tidak langsung yaitu menggunakan bahasa tulis guna menginformasikan maksud dan pesan untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Hymes (dalam Suwito, 1983, h. 32), ketika proses komunikasi sedang berlangsung ada beberapa variabel yang mempengaruhi proses tersebut yang kemudian disingkat SPEAKING yang artinya sebagai berikut:
a.

Setting (S): mencakup tempat, waktu, dan situasi yang berbeda menuntut perbedaan varietas bahasa.

29

b.

Participant (P): yaitu siapa yang kita ajak bicara: anak-anak, pemuda, orang tua, laki-laki atau perempuan dan kategori yang lain.

c.

Ends (E): yaitu tujuan yang hendak kita inginkan dan apa harapannya terhadap tujuan yang dikomunikasikan, sekedar menyampaikan informasi atau mempengaruhi.

d.

Act (A): yaitu apa yang hendak kita komunikasikan: pikiran, perasaan, keinginan, keluhan atau kritikan.

e.

Key (K): bagaimana komunikasi itu berlangsung: santai, akrab, resmi, jujur, ada sesuatu yang harus disembunyikan.

f.

Instruments (I): saluran apa yang dipilih: verba, nonverbal, varitas apa yang dipilih: dialek, sosiolek, fungsiolek, baku.

g.

Norms (N): dalam suatu peristiwa bahasa, bagaimana suatu komunikasi harus dibuka, bagaimana menjaga supaya komunikasi tetap berlangsung dan bagaimana menyelesaikan suatu komunikasi.

h.

Genres (G): bentuk apa yang mesti dipilih: dengan puisi, doa, surat resmi, surat pribadi, cerita peribahasa, tanya jawab atau ceramah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi dalam rubrik SST termasuk dalam komunikasi verbal yaitu komunikasi dengan media surat kabar yang menggunakan sarana bahasa tulis, sedangkan komunikasi yang terjadi adalah komunikasi tidak langsung antara penulis (O1) dengan masyarakat pembaca (O2). Surat kabar sebagai media komunikasi menggunakan bahasa jurnalistik dalam menyampaikan informasinya kepada masyarakat pembaca (O2).

30

Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan pikiran dan perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya. Surat kabar sebagai media komunikasi tidak hanya memberikan informasi tetapi juga memberikan sarana-sarana lain bagi pembaca (O2). Fungsi komunikasi yang sejalan dengan fungsi yang ada dalam jurnalistik adalah sebagai berikut:
a.

Fungsi menyiarkan informasi (to inform) Menyiarkan informasi merupakan fungsi komunikasi yang pertama dan utama. Khalayak pembaca berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan informasi mengenai berbagai hal; mengenai peristiwa yang terjadi, gagasan atau pikiran orang lain, apa yang dilakukan orang lain, apa yang dikatakan orang lain dan sebagainya.

b. Fungsi mendidik (to educate) Dalam dunia jurnalistik memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga khalayak pembaca bertambah pengetahuannya. Fungsi kedua dari komunikasi adalah mendidik. Sebagai sarana pendidikan massa (mass education) surat kabar dan majalah memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan. c. Fungsi menghibur (to entertain) Kehidupan manusia penuh dengan ketegangan-ketegangan karena permasalahan-permasalahan kehidupan yang dihadapi dengan

melakukan komunikasi kadang orang merasa terhibur dan sejenak mampu melepaskan ketegangan-ketegangan pikiran sehingga nantinya akan mampu tampil dengan pikiran-pikiran yang segar. Isi surat kabar

31

dan majalah yang bersifat hiburan dapat berupa cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, karikatur, tidak jarang juga berita yang mengandung minat insani (human interst) dan kadang-kadang tajuk rencana. d. Fungsi mempengaruhi (to influence) Pada saat berkomunikasi antara komunikator dan komunikan terjadi saling mempengaruhi atau salah satu pihak berpengaruh terhadap pihak lain (Effendi, 1993, h. 93-95). Rubrik SST yang merupakan bagian dari surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR) memiliki fungsi komunikasi yang sejalan dengan fungsi jurnalistik. Dengan adanya fungsi tersebut kita dapat mengetahui fungsi rubrik SST sebagai karya jurnalistik bagi masyarakat pembaca (O2) yang menggunakan bahasa jurnalistik dalam menyampaikan pengalaman para penulis (O1) tentang berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun fungsi utama dari rubrik SST adalah untuk menghibur para pembaca (O2), juga ditemukan fungsi lain yang bermanfaat bagi para pembaca(O2). Fungsi tersebut adalah sebagai sarana menyiarkan informasi, sarana mendidik, dan sarana mempengaruhi yang disampaikan dengan kreativitas penulis (O1).

32

E. Singkatan dan Akronim Istilah singkatan berbeda dengan akronim. Singkatan adalah kependekan yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik dilafalkan huruf demi huruf maupun dilafalkan sesuai dengan bentuk lengkapnya, sedangkan akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, atau gabungan huruf awal suku kata, yang ditulis dan dilafalkan seperti halnya kata biasa (Mustakim, 1994, h. 145-146). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian singkatan adalah hasil menyingkat (memendekkan) yang berupa huruf atau gabungan huruf (Moeliono, 1989, h. 945), sedangkan akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar (Moeliono, 1989, h. 18). Berdasarkan pendapat di atas dalam penelitian ini digunakan teori Mustakim untuk menganalisis bentuk singkatan dan akronim dalam rubrik SST. Alasan penggunaan teori tersebut karena sebagai karya jurnalistik yang bersifat kreatif rubrik SST banyak memunculkan bentuk-bentuk singkatan dan akronim dalam menyampaikan maksud para penulis (O1) kepada pembaca (O2). Pemakaian bentuk singkatan dan akronim dalam sebuah karya jurnalistik berfungsi untuk menghemat penggunaan bahasa karena keterbatasan ruang yang disediakan oleh media surat kabar sebagai media komunikasi. Selain itu pemakaian bentuk singkatan dan akronim juga bertujuan untuk memudahkan pembaca (O2) dalam memahami maksud penulis (O1).

33

F. Slang Dalam penggunaan bahasa secara informal, sering kali terjadi penggunaan slang. Slang merupakan variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia, artinya variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu (Chaer dan Leoni Agustin, 1995, h. 87-88). Slang juga dapat diartikan sebagai ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti(Moeliono, 1989, h. 953). Pengertian slang adalah kata-kata nonstandar atau informal yang disusun secara khas, atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer, atau kata-kata kiasan yang khas bertenaga dan jenaka yang dipakai dalam percakapan. Munculnya bahasa slang bertolak dari keinginan agar bahasa itu menjadi lebih hidup (Keraf, 2002, h. 108). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kadangkala kata slang dihasilkan dari salah ucap yang disengaja, atau kadangkala berupa perusakan sebuah kata biasa untuk mengisi suatu bidang makna yang lain. Kata-kata slang sebenarnya bukan saja terdapat pada golongan terpelajar, tetapi juga pada semua lapisan masyarakat. Tiap lapisan atau kelompok masyarakat dapat menciptakan istilah yang khusus, atau mempergunakan kata-kata umum dan pengertian-pengertian yang khusus, yang hanya berlaku untuk kelompoknya (Keraf, 2002). Berdasarkan beberapa definisi di atas, kita bisa menarik simpulan bahwa slang merupakan salah satu bentuk kreativitas berbahasa. Slang seolah-olah

34

menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan dunia remaja atau anak muda dalam interaksi sosial. Sampai saat ini bahasa slang ternyata bukan lagi suatu bahasa yang digunakan penjahat atau organisasi bawah tanah (rahasia), melainkan sudah merupakan suatu bahasa khas yang dimiliki anak muda atau remaja pada umumnya, bahkan tidak jarang orang tua yang mempunyai jiwa muda pun menggunakan bahasa tersebut.

G. Gaya Bahasa 1. Pengertian Gaya Bahasa Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakini atau mempengaruhi penyimak dan pembaca (Tarigan , 1986, h. 5). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian gaya bahasa adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis. Gaya bahasa juga diartikan sebagai pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra, cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan (Moeliono, 1989). Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan penilaian terhadap pribadi, watak dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya. Sebaliknya, semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian yang diberikan padanya.

35

Akhirnya, gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa) (Keraf, 2002, h. 113).

2. Jenis Gaya Bahasa Rubrik SST sebagai wacana rekreatif memanfaatkan berbagai gaya bahasa. Para penulis (O1) menggunakan gaya bahasa dalam proses kreatifnya agar penciptaan rubrik SST lebih bervariasi. Macam gaya bahasa yang dapat ditemukan dalam rubrik SST diantaranya adalah sebagai berikut:
a.

Repetisi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian repetisi adalah

ulangan (Moeliono, 1989, h. 835), sedangkan pengertian lain tentang repetisi dijelaskan sebagai perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 2002, h. 127). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa repetisi merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam sebuah konteks dengan mengulang suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam konteks kalimat.
b.

Hiperbola Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang

berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal(Keraf, 2002, h. 135). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pengertian hiperbola adalah ucapan (ungkapan, pernyataan) kiasan yang dibesar-besarkan (berlebih-lebihan) di

36

maksudkan untuk memperoleh efek tertentu(Moeliono, 1989,h. 353). Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifat-sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya (Tarigan, 1986, h. 55). Berdasarkan beberapa pengertian mengenai hiperbola, dapat disimpulkan bahwa hiperbola merupakan gaya bahasa yang terdapat dalam sebuah konteks kalimat yang mengandung makna berlebih-lebihan dalam memberikan penekanan dalam sebuah pernyataan.
c.

Personifikasi Gaya bahasa personifikasi merupakan gaya bahasa kiasan yaitu gaya

bahasa yang dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Gaya bahasa personifikasi adalah gaya bahasa yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Keraf, 2002, h. 140). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian personifikasi diartikan sebagai pengumpamaan (perlambangan) benda mati sebagai orang atau manusia (Moeliono, 1989, h. 760). Personifikasi adalah jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak (Tarigan, 1986, h. 17). Berdasarkan definisi mengenai personifikasi di atas maka dapat disimpulkan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menganggap benda mati atau tak bernyawa seolah-olah mempunyai sifat seperti manusia.

37

d.

Elipsis Gaya bahasa elipsis merupakan gaya bahasa retoris yaitu suatu gaya

bahasa yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku (Keraf, 2002, h. 127-140). Elipsis juga diartikan sebagai peniadaan kata atau satuan lain yang wujud asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Moeliono, 1989, h. 258). Elipsis merupakan gaya bahasa yang mengalami penghilangan salah satu atau beberapa unsur penting dalam konstruksi sintaksis yang lengkap (Tarigan, 1986). Berdasarkan beberapa pengertian jenis gaya bahasa di atas, dalam penelitian ini digunakan teori Gorys Keraf untuk menganalisis gaya bahasa yang terdapat dalam rubrik SST sebagai salah satu cara para penulis (O1) dalam membuat rubrik tersebut menjadi lebih kreatif. Alasan penggunaan teori ini karena pengertiannya lebih jelas dan lebih mudah untuk menerangkan atau menganalisis gaya bahasa yang terdapat dalam rubrik SST.

H. Idiom Secara sederhana pengertian idiom adalah grup kata-kata yang mempunyai makna tersendiri yang berbeda dari makna tiap kata dalam grup kata itu. Berdasarkan pada hal tersebut dijelaskan bahwa idiom adalah grup kata maka dapat ditelaah lebih jauh bahwa idiom tersebut dapat berupa frasa klausa atau kalimat yang juga merupakan grup kata. Selanjutnya idiom ini tidak dapat

38

diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa asing. Idiom adalah persoalan pemakaiaan bahasa oleh penutur asli, kita tidak bisa membuat idiom sendiri (Alwasilah, 1990). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian idiom adalah konstruksi dalam unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain, pengertian idiom juga diartikan sebagai konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya (Moeliono, 1989). Lebih lanjut dijelaskan pengertian idiom adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidahkaidah bahasa umum, yang biasanya berbentuk frase sedangkan mengenai artinya tidak dapat diterangkan secara logis atau gramatikal dengan bertumpu pada makna kata-kata yang membentuknya (Keraf, 2002, h. 109). Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa idiom adalah suatu bentuk penyimpangan struktur maupun semantiknya dari aturan kebahasaan secara umum. Berdasarkan rumusan di atas kurang lebih bermakna istilah yang digunakan dalam tata bahasa dan leksikologi untuk menyebut suatu rangkaian kata yang dibatasi secara semantik dan seringkali secara sintaksis, sehingga mereka berfungsi sebagai unit tunggal. Dari sudut pandang semantik arti masingmasing kata tidak dapat disimpulkan (diartikan secara leksikal) untuk menghasilkan arti ungkapan idiom tersebut secara menyeluruh. Dari sudut pandang sintaksis, idiom tersebut sangat tergantung pada konteks.

39

I. Kode, Campur Kode dan Alih Kode 1. Pengertian Kode Bahasa adalah alat verbal yang dipergunakan manusia untuk komunikasi. Sebagai alat komunikasi, manusia tidak hanya mengenal satu bahasa. alat komunikasi yang merupakan varian dari bahasa tersebut dikenal dengan istilah kode. Selanjutnya istilah kode dimaksudkan untuk menyebut salah satu dari variasi di dalam hierarki kebahasaan disusul dengan kode yang terdiri dari varianvarian dan ragam-ragam, serta gaya-gaya dan register sebagai sub-sub kodenya. Dengan kata lain, masing-masing varian merupakan tingkat tertentu dalam hierarki kebahasaan dan semuanya termasuk cakupan kode (Suwito, 1983). Dalam Kamus Linguistik dijelaskan pengertian kode adalah (1) lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu. Bahasa manusia adalah sejenis kode; (2) sistem bahasa dalam suatu masyarakat; (3) variasi tertentu dalam suatu bahasa (Kridalaksana, 2001, h. 113). Kode biasanya membentuk variasi-variasi bahasa secara nyata dipakai untuk berkomunikasi dengan anggota-anggota dalam melaksanakan variasi-variasi dari bahasa itu sendiri, sedangkan bagi masyarakat dwi bahasawan, variasi-variasi bahasanya menjadi kompleks. Kode dengan sendirinya mengandung arti yang sifatnya menyerupai unsur-unsur bahasa. 2. Campur Kode Pengertian campur kode adalah apabila seseorang menggunakan dua bahasa atau lebih dalam suatu tindak bahasa (Speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu

40

(Nababan, 1993). Kachru (dalam Suwito, 1983, h. 76) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Dalam campur kode hanya kesantaian penutur dan/ atau kebiasaannya yang dituruti. Campur kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) di dalam masyarakat multilingual. Jadi, hampir tidak mungkin di dalam masyarakat multilingual seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak tanpa sedikitpun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa lain. 3. Alih Kode Pengertian alih kode dijelaskan oleh Hymes (dalam Suwito, 1983, h. 69) yaitu istilah umum untuk menyebut pergantian (peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari satu ragam. Pendapat lain mengenai alih kode dijelaskan sebagai berikut: Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain oleh seorang penutur. Jadi, apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A (misalnya bahasa Indonesia), dan kemudian beralih menggunakan kode B (misalnya bahasa Jawa) maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode (code-switching) (Suwito, 1983, 68). Alih kode merupakan salah satu aspek saling ketergantungan dalam masyarakat multilingual, artinya dalam masyarakat mulitilingual hampir tidak

41

mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak tanpa sedikit pun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa lain. Alih kode terdiri dari dua macam yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Alih kode intern adalah alih kode dari bahasa daerah setempat ke bahasa nasional misalnya bahasa Jawa beralih ke bahasa Indonesia, sedangkan alih kode ekstern adalah alih kode antara bahasa asli dengan bahasa asing misalnya bahasa Indonesia ke bahasa Inggris (Suwito, 1983).

J. Interferensi Interferensi merupakan topik dalam sosiolinguistik yang terjadi sebagai akibat adanya penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual. Pengertian interferensi adalah penggunaan unsur-unsur bahasa lain dalam bertutur yang dianggap menyimpang karena suatu kesalahan (Chaer dan Leonie Agustine, 1995). Interferensi pada hakekatnya adalah peristiwa pemakaian unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang terjadi dalam diri penutur (Suwito, 1983). Selanjutnya Weinreich (dalam Chaer dan Leonie Agustina, 1995, 159) menyebut istilah interferensi adalah menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Dalam Kamus Linguistik dijelaskan pengertian interferensi adalah bilingualisme, yaitu penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang

bilingual secara individual dalam suatu bahasa; ciri-ciri bahasa lain masih kentara.

42

Interferensi berbeda medium, gaya, ragam, dan konteks yang digunakan oleh orang yang bilingual tersebut. Interferensi merupakan pengajaran bahasa yaitu kesalahan bahasa yang berupa unsur bahasa sendiri yang dibawa dalam bahasa atau dialek lain yang dipelajarinya (Kridalaksana, 2001). Interferensi terjadi karena beberapa faktor, yaitu faktor struktur dan faktor nonstruktur. Faktor struktur adalah tingkat perbedaan dan persamaan antara kedua bahasa yang bersangkutan. Faktor nonstruktur adalah faktor yang mempengaruhi terjadinya interferensi yaitu individu, faktor sosial budaya, faktor komunikasi dan faktor situasi. Interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan. Ini berarti bahwa peristiwa interferensi dapat terjadi dalam bidang tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata dan tatamakna (Suwito, 1983, h. 55). Dalam rubrik SST interferensi yang terjadi kebanyakan interferensi tatakata atau morfologi yang terjadi apabila dalam pembentukan katanya sesuatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain misalnya dalam bahasa Indonesia terjadi penyerapan dari bahasa daerah (Jawa).

K. Humor 1. Pengertian Humor Kata humor berasal dari bahasaYunani, yang berarti getah. Menurut kepercayaan orang Yunani pada zaman dahulu, tubuh manusia mengandung semacam getah yang dapat menentukantemperamen seseorang. Perbedaan temperamen dalam diri manusia, menurut kepercayaan orang Yunani, disebabkan perbedaan kadar campuran getah dalam tubuh manusia itu. Kalau campuran itu

43

seimbang, maka dikatakan orang itu mempunyai humor, tidak marah, tidak sedih, dan sebagainya. Kemudian, kata humor mendapat arti yang lain dalam kehidupan sehari-hari yang diartikan dengan riang dalam bersikap hidup atau tanggapan hidup(Jusuf, 1984, h. 5). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa humor adalah sesuatu yang lucu dan menggelikan (Moeliono, 1989, h. 261). Humor termasuk salah satu alat komunikasi, seperti menyampaikan informasi, menyatakan rasa senang, marah, jengkel, simpati. Sebagai sarana komunikasi, apabila digunakan dengan tepat humor dapat berfungsi macam-macam. Humor dapat mengendurkan ketegangan atau berfungsi sebagai katup penyelamat. Misalnya jika ada perselisihan antar kelompok, humor dapat menyelamatkan kelompok yang bertikai tersebut dari lontaran kata-kata kotor atau baku hantam secara fisik. Humor dapat menjadi bumbu dalam ceramah, dan pertemuan ilmiah, dan bisnis, sehingga hadirin yang lelah karena mendengarkan topik yang berat dapat menjadi lebih santai (Soedjatmiko, 1992, h. 69). Masalah humor kadang-kadang begitu kultural, baik untuk humor daerah maupun humor asing (Soedjatmiko, 1992, h. 88). Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa setiap wacana lisan atau tertulis tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budayanya. Informasi sosio-budaya dalam humor dapat dilihat melalui pilihan kata, paduan atau kombinasi beberapa kata yang hanya dapat dipahami oleh pembaca atau pendengar dengan latar belakang informasi yang sama. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada dasarnya humor seringkali memanfaatkan informasi sosio-budaya (Soedjatmiko, 1992, h. 78).

44

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa humor merupakan salah satu alat komunikasi baik berupa wacana lisan atau tertulis yang mengandung unsur lucu dan menggelitik serta tidak lepas dari konteks sosial budaya. Rubrik SST termasuk wacana tertulis yang mengandung unsur humor untuk menghibur para pembacanya.

2. Penciptaan Humor Humor mengalami klimaks kelucuannya dikarenakan adanya suatu teknik penciptaan bahasa humor yang terdapat di dalamnya. Teknik penciptaan bahasa humor adalah salah satu cara yang dianggap cukup efektif dalam penyampaian maksud, pesan yang digunakan untuk maksud persuasive mungkin mengkritik.

Pendekatan ini merupakan penyampaian yang luwes. Keunikan pendekatan ini seperti logam-logam yang memiliki dua sisi yang tak terpisahkan. Bahasa humor dapat diciptakan dengan berbagai cara seperti pendapat berikut yang membagi empat teknik penciptaan humor:
1.

Teknik keambiguan, yaitu suatu teknik penciptaan bahasa humor dengan memanfaatkan keambiguan untuk melihat keadaan di mana sebuah kalimat dimungkinkan sama-sama benar dalam lingkup yang berbeda, untuk dianalisis dicari makna yang dikehendaki. Contoh Ia anak kataka yang pandai bicara, dapat diartikan: (1) si anak pandai bicara; dan (2) Si katak ang pandai bicara. Untuk menghindari salah interpretasi, pembicara atau pendengar memberi dan mencari peneguhan salah satu makna, yaitu makna yang dikendaki.

45

2.

Teknik mempertentangkan makna yaitu suatu teknik penciptaan bahasa humor dengan memanfaatkan dua makna yang dipertentangkan sehingga menyebabkan salah satu maknanya menjadi salah dan informasi yang salah itu menyebabkan maknanya menjadi lucu. Contoh: Pak ada banjir darah di Pekalongan Apa kerusuhannya masih ada? Bukan Pak! Lha terus apa? Ada sunatan massal 1000 anak

3.

Teknik logika-keliru (false-logic), yaitu suatu penciptaan bahasa humor dengan memanfaatkan penyimpangan logika. Misalnya dalam sebuah percakapan terdapat dua logika yang sedang bertentangan, yaitu logika yang benar dan logika yang keliru, maka yang digunakan adalah logika keliru. Ini berarti bukan tanpa logika, melainkan menggunakan logika, tetapi yang dipilih logika keliru. Contoh: A: Gajimu berapa sebulan?. B: Lima ratus ribu, Paka!. A: Mau digaji satu juta?. B: Mau Pak. A: Ada nggak ang digaji satu juta?. B: Tidak ada, Pak!. A: Kalau tidak ada, a ndak usah berarti pasarannya lain.

46

4.

Teknik memperbandingkan yang tidak logis, yaitu suatu teknik penciptaan bahasa humor dengan memperbandingkan dua hal yang tidak logis untuk dibandingkan. Contoh: A: Jangan khawatir, Pak, bila saya menantu Bapak, minta Honda apa celana? B: Biar kelihatan seksi walaupun sudah tua, belikan saja Honda. A: Minta Honda? apa Bapak mau naik Honda nggak pakai celana? B: O, ya ndak gitu mas, nanti aku naik honda naiknya mengkurep. A: Semprol. (Soedjatmiko, 1992, h. 73-75).

L. Rubrik Rubrik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah media cetak yang berupa koran, tabloid atau majalah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia rubrik diartikan sebagai karangan yang bertopik tertentu di surat kabar, majalah, dan sebagainya (Moeliono, 1989, h. 849). Rubrik SST yang menjadi objek dalam penelitian ini merupakan rubrik mini yang terletak di pojok kanan bawah halaman pertama kolom kesembilan, sedangkan untuk edisi sepekan terletak di halaman belakang surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR) dan disertai gambar kartun yang mendukung salah satu wacana didalamnya. Jadi rubrik adalah suatu tulisan atau ruang yang ada dalam media cetak (surat kabar, majalah, atau tabloid) yang berisi pendapat pribadi penulis dalam menyikapi suatu peristiwa atau kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat

47

yang dibuat dengan kreativitas penulis sehingga tercipta sebuah wacana yang penuh dengan humor.

48

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian Metode sangat diperlukan dalam sebuah penelitian yang merupakan jalan untuk mengarahkan peneliti mencapai tujuan yang diinginkan. Pengertian metode adalah cara yang harus dilaksanakan dalam sebuah penelitian. Lebih lanjut dijelaskan: Dalam kegiatan ilmiah linguistik, metode merupakan jalan yang harus ditempuh peneliti untuk menuju pembenaran dan penolakan hipotesis serta penemuan asas-asas yang mengatur kearah bahasa itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa metode sebagai cara kerja suatu penelitian. Metode agar dapat mewujudkan tujuan kegiatan ilmiah linguistik haruslah digunakan secara konkret. Untuk itu metode sebagai cara kerja dijabarkan sesuai dengan alat dan sifat alat yang dipakai. Jabaran yang sesuai dengan alat dan sifat yang dimaksud disebut teknik, sedangkan tahapan atau urutan penggunaan tekniknya disebut prosedur (Sudaryanto, 1993, h. 9). Istilah metode dalam penelitian linguistik dapat ditafsirkan sebagai strategi kerja berdasarkan ancangan tertentu. Dengan demikian, ancangan tersebut merupakan kerangka berpikir untuk menentukan metode sekaligus teknik penelitian. Ancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ancangan sosiolinguistik. Berkaitan dengan ancangan tersebut, maka metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini berupa metode deskriptif dan bersifat kualitatif. Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Subroto, 1992, h. 5)

49

menyatakan penelitian kualitatif (qualitative research) bersifat deskriptif maksudnya, penelitian dengan teliti dan cermat data yang berwujud kata-kata, kalimat, dan wacana, dan sebagainya. Penelitian dengan metode deskriptif semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturnya, sehingga yang dihasilkan adalah paparan apa adanya (Sudaryanto, 1984, 35). Penelitian ini berjenis deskriptif karena semata-mata hanya didasarkan pada fakta yang ada pada diri penuturnya, sedangkan kualitatif yaitu penelitian yang datanya berwujud konsep-konsep, kategori-kategori, dan bersifat abstrak.

B. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber tertulis, yaitu rubrik SST pada surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR).

C. Populasi Populasi adalah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu

bahasa(Subroto, 1992, h. 32). Jadi, populasi adalah objek penelitian dalam kelompok besar dari suatu yang diteliti dengan sifat dan jenis yang sama (homogen). Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pemakaian bahasa yang ada dalam rubrik SST pada surat kabar Kedaulatan Rakyat (KR).

50

D. Sampel Pengampilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu pemilihan sekelompok objek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 1983, h. 82). Sampel dalam penelitian ini adalah wacana dalam rubrik SST pada surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR) selama dua bulan berturut-turut yaitu bulan Maret dan April 2004, kecuali tanggal 21 Maret, 5 April, 9 April, dan 11 April 2004 karena tanggal tersebut merupakan hari libur nasional sehingga surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR) tidak terbit.

E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak catat. Teknik simak artinya dengan menyimak secara cermat data kebahasaan dalam rubrik, sedangkan teknik catat yang di maksud di sini adalah mengadakan pencatatan terhadap data yang relevan dengan sasaran dan tujuan penelitian (Subroto, 1992, h. 42). Penelitian ini menggunakan pula teknik pustaka, karena sumber datanya berasal dari media cetak surat kabar yang merupakan sumber tertulis. Teknik pustaka adalah mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data (Subroto, 1992, h. 42). Adanya teknik pustaka, mengharuskan penulis untuk melakukan teknik kliping yaitu memilih atau mengumpulkan rubrik SST yang ada dalam surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR), kemudian peneliti membaca

51

dengan cermat rubrik tersebut setelah data terpilih kemudian digunting dan diidentifikasi berdasarkan jenis klasifikasi kesamaan fenomena yang ditemukan dalam tujuan penelitian. Berdasarkan hasil pengumpulan data dengan metode/teknik pustaka diperoleh data secara keseluruhan berjumlah 105 data. Data tersebut selanjutnya diurutkan berdasarkan tanggal, bulan, tahun terbitnya dan nomor urut data. Secara berurutan data yang diperoleh dalam penelitian ini dengan bentuk rubrik adalah sebagai berikut:
1.

Bulan Maret 2004 yang terbit setiap hari berjumlah 30 buah yaitu data nomor 01 sampai 30, sedangkan untuk edisi sepekan berjumlah 26 buah yaitu: Tabel 1. Rubrik SST Bulan Maret 2004 Edisi Sepekan Nomor 58 59 60 Tanggal 7 Maret 2004 14 Maret 2004 28 Maret 2004 Data 58A-58H 59A-59I 60A-60I

2.

Bulan April 2004 yang terbit setiap hari berjumlah 27 buah yaitu data nomor 31 sampai 57, sedangkan untuk edisi sepekan didapatkan sebanyak 22 buah yaitu: Tabel 2. Rubrik SST Bulan April 2004 Edisi Sepekan

Nomor 61 62 63

Tanggal 4 April 2004 18 April 2004 25 April 2004

Data 61A-61I 62A-62H 63A-63E

F. Klasifikasi Data

52

Tahap berikutnya setelah pengumpulan data adalah klasifikasi data. Datadata yang telah terkumpul selanjutnya diklasifikasi dengan menggunakan dasardasar yang telah ditetapkan. Dalam klasifikasi data ini tidak tertutup kemungkinan satu data berada dalam beberapa klasifikasi. Data-data yang dianalisis diharapkan telah mewakili keseluruhan data yang ada, karena sejumlah data yang ditemukan tersebut mempunyai kesamaan-kesamaan atau kemiripan-kemiripan. Adapun ketentuan klasifikasi data yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 3. Klasifikasi Karakter Rubrik SST Karakter Rubrik SST
A.

Maret

April

Karakter pemakaian bahasa dalam rubrik SST


1.

Ragam informal

03, 07, 08, 09, 31, 32, 35, 36, 38, 13, 14, 15, 16, 39, 40, 41, 42, 43, 17, 18, 19, 23, 46, 48, 50, 53, 57, 25, 26, 27, 58A, 61F, 61G, 61H, 61I, 58B, 58D, 58F, 63D 58H, 59A, 59F, 59I, 60B, 60D, 60E, 60G, 60H

2.

Ragam percakapan

03, 04, 08, 18, 31, 36, 39, 41, 42, 20, 22, 26, 58D, 61H, 62 F 58B, 59I, 60B,

53

60E, 60G
3.

Singkatan dan Akronim

01, 02, 09, 11, 31, 32, 33, 34, 35, 12, 17, 18, 20, 36, 37, 38, 39, 40, 21, 22, 24, 28, 41, 42, 43, 44, 45, 29, 30, 58D, 58F, 48, 49, 51, 54, 56, 58G, 59B, 59C, 57, 61A, 61B, 61E, 60A, 60B, 60C, 61F, 61G, 61I, 62A, 60D, 60E, 60F, 62B, 60G, 60H 62C, 62D,

62E, 62F, 62G, 62H, 63B, 63C, 63E 46

4. 5.

Slang Gaya Bahasa


a.

15 32, 33, 35, 51, 56, 05, 20, 21, 23, 61G, 62G, 63B 27, 28, 59E, 60E 48, 49, 61I, 62A,

Hiperbola

b.

Repetisi

26, 58B, 58G, 62E 59B, 60I 45 35, 36, 43, 44, 49,

c. d.

Personifikasi Elipsis

23

01, 06, 23, 24, 50, 51, 55, 62C 58C 33, 34, 54, 57, 62H

6.

Idiom

01, 03, 10, 30, 33, 42, 45, 46, 48, 59B 50, 55, 56, 61B,

7.

Campur Kode

01, 02, 03, 04, 61E, 61F, 61G, 61I,

54

06, 08, 10, 14, 62A, 62E, 62F, 63A, 15, 16, 17, 19, 63B, 63D 20, 24, 25, 58B, 58F, 58H, 59B, 39 59E, 59G, 59H, 39 60A, 60B, 60E,
8. 9.

Alih kode Interferensi

60H 24 03, 14, 26

Tabel 4. Klasifikasi Aspek Humor Rubrik SST Teknik Humor


1. 2.

Nomor Data 15, 60H, 61I 08, 10, 13, 25, 46, 59C, 59I, 63D

Keambiguan Pertentangan makna

3.

Penyimpangan logika
a. b. c.

Penyimpangan logika angka Penyimpangan logika bahasa Penyimpangan logika makna

14, 24 02, 19, 60B 20, 29, 30, 36, 63A 01, 26, 38, 39, 43, 58A, 58C, 58E, 58G, 59A, 59F, 61H, 63C

4.

Membandingkan yang tidak logis

55

Tabel 5. Klasifikasi Fungsi Rubrik SST Fungsi Rubrik


1.

Maret

April

Sarana menyiarkan informasi

03, 04, 05, 06, 07, 08, 09, 10, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 38, 12, 13, 15, 17, 20, 21, 22, 23, 39, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 24, 25, 27, 28, 29, 58A, 58B, 49, 50, 51, 52, 53, 55, 56, 58E, 59F, 58H, 59D, 59E, 57, 61I, 61A, 61B, 61C, 59H, 60A, 60C, 60D, 60E, 61E, 61G, 62B, 62C, 62E, 60F, 60G, 60I 07, 10, 11, 28, 20, 22, 28, 58C, 59F 37, 46, 53, 54, 61A, 61B, 62F, 62H, 63A

01, 02, 05, 06, 09, 10, 11, 14, 63A 15, 16, 17,19, 20, 26, 29, 30, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 58C, 58D, 58E, 58G, 59A, 43, 47, 48, 61D, 61F, 59A, 59B, 59C, 59F, 59G, 61G, 61H, 61I, 62A, 62D,
2.

Sarana mendidik

59H, 59I, 60B, 60D, 60H, 62G, 63C, 63D, 63E 60I 09, 13, 12, 25, 58B, 58H

3.

Sarana menghibur 42, 51, 55, 61I

56

4.

Sarana mempengaruh i

G. Metode Analisis Data Istilah metode dalam penelitian linguistik dapat ditafsirkan sebagai strategi kerja berdasar ancangan tertentu (Subroto, 1992, h. 32). Dengan demikian, ancangan penelitian berkaitan dengan metode. Ancangan merupakan kerangka berpikir untuk menentukan metode. Dalam penelitian ini digunakan ancangan sosiolinguistik. Berdasarkan ancangan sosiolinguistik, maka metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode deskriptif. Penelitian dengan metode deskriptif semata-mata hanya didasarkan pada fakta yang ada/fenomena yang memang secara empiris hidup dalam penutur-penuturnya, sehingga apa yang dihasilkan adalah paparan apa adanya (Sudaryanto, 1984, h. 35). Analisis deskriptif diterapkan untuk memerikan semua fenomena terutama fenomena kebahasaan yang ada dalam rubrik serta fungsi rubrik tersebut bagi para pembaca (O2).

57

Dengan analisis deskriptif peneliti dapat menarik simpulan dengan metode induktif yaitu penarikan simpulan dengan memperhatikan fakta-fakta atau fenomena-fenomena kebahasaan dengan senyatanya kemudian memulainya dari fenomena-fenomena khusus untuk generalisasi/kesimpulan yang bersifat umum. BAB IV ANALISIS DATA

Analisis data merupakan tahap yang dilakukan setelah seluruh data ditetapkan dan diklasifikasikan. Analisis dilakukan berdasar klasifikasi yang bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan karakter pemakaian bahasa dalam rubrik SST. Setelah karakter pemakaian bahasa dalam rubrik tersebut diketahui, dilanjutkan dengan aspek humor yang ada dalam rubrik SST kemudian juga akan diketahui fungsinya sebagai karya jurnalistik. Analisis yang dilakukan hanya terhadap sebagian data yang dianggap telah mewakili. Hal tersebut dikarenakan dari data-data itu menunjukkan ciri-ciri yang kurang lebih bersifat sama.

A. Karakter pemakaian bahasa rubrik SST Rubrik SST merupakan sebuah wacana rekreatif yang lazimnya terbentuk dari beberapa kalimat (tiga sampai dengan lima kalimat). Rubrik ini berisikan perihal atau kejadian-kejadian, informasi tidak diutamakan karena proses bercerita justru lebih diutamakan untuk menghibur para penggemarnya. Permainan-

58

permainan bahasa diciptakan para penulis (O1) untuk menjadikan rubrik ini termasuk wacana rekreatif. Kehadiran rubrik SST sangat sederhana dan lugas. Penampilan rubrik SST dikatakan sederhana karena penggunaan kata-kata yang cukup hemat atau tidak menghamburkan kata-kata. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ruang yang disediakan surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR) sebagai media komunikasi, sehingga mau tidak mau harus mengefisienkan pemakaian bahasanya. Meskipun tidak menghamburkan kata-kata namun penampilan rubrik ini dapat menimbulkan rasa humor sehingga para pembaca (O2) dapat menemukan jeda untuk beristirahat setelah dihidangi berita atau artikel yang berat-berat atau setelah melakukan aktifitas yang melelahkan pikiran. Hal ini disebabkan karena keunikan-keunikan yang terkandung di dalamnya menceritakan keanehan-keanehan dari peristiwa-peristiwa atau hal sederhana, namun

mengandung kejutan atau hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Sesuatu yang unik dan belum terpikirkan itulah yang kerap membawa efek menggelikan bagi para pembacanya (O2). Keunikan-keunikan yang mengandung kejutan dalam rubrik SST yang penciptaannya dikreasikan dengan berbagai variasi bahasa tersebut menimbulkan karakter atau ciri khusus pemakaian bahasa dalam rubrik SST sebagai karya jurnalistik. Berikut beberapa karakter pemakaian bahasa yang digunakan para penulis (O1) rubrik SST.

1. Ragam Informal

59

Pemakaian ragam bahasa sebagai salah satu sarana kebahasaan dalam berkomunikasi tidak selamanya menggunakan ragam bahasa formal, akan tetapi seorang komunikan dan komunikator ada kalanya menggunakan ragam bahasa informal. Pemakaian ragam bahasa informal biasanya mengikuti atau

menyesuaikan dengan keadaan dan situasi komunikasi. Situasi komunikasi yang dimaksud adalah siapa, kepada siapa, masalah apa, dan untuk tujuan apa komunikasi itu dilakukan (Suwito, 1983, h. 5). Rubrik SST memanfaatkan penggunaan ragam bahasa informal. Hal ini dimaksudkan agar bahasanya tidak monoton bahasa baku, santai dan mudah diterima oleh pembacanya. Ragam informal lebih mementingkan sudut kepraktisan, sehingga di dalam bahasa tersebut banyak dijumpai hal-hal yang melanggar kebakuan suatu bahasa seperti pemakaian kata nggak, tapi, tahu, dibikin dan sebagainya. Dalam penelitian ini terdapat beberapa data yang mengandung ragam informal yaitu pada data 03, 07, 08, 09, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 23, 25, 26, 27, 31, 32, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 46, 48, 50, 53, 57, 58A, 58B, 58D, 58F, 58H, 59A, 59F, 59I, 60B, 60D, 60E, 60G, 60H, 61F, 61G, 61H, 61I, 63D berikut adalah contoh ragam informal dalam rubrik SST:
1.

TERNYATA, penggemar SST KR sangat buanyak. Buktinya setelah SST saya dimuat KR 29-2-2004, banyak yang kirim sms menanggapi. Tapi maaf, kalau semua saya jawab, honornya nggak cukup. Habis, sangat buanyak sih!makanya, saya jawab aja lewat SST ini, bahwa SST saya itu Sungguh-sungguh Terjadi. (SST/7 Maret 2004/58D)

60

2.

TEMAN saya bilang, Bakso Goyang Lidah sudah biasa. Tapi Bakso Goyang Ngebor baru rruaaaar biasaaa. Nggak yakin, coba saja ke Warung Bakso Mas Inul, Jl Raya Prambanan-Manisrenggo. (SST/7 Maret 2004/58H)

3.

SUASANA kampanye paling rawan adalah di daerah Makasar, Sulawesi Selatan. Bukan karena bentrokan massa, tapi karena di sana ada sop saudara. Gawat kan, kalau saudara saja dibikin sop? Apalagi suasana kampanye, tapi jangan kaget dulu. Sop saudara adalah makanan khas daerah sana!(SST/ 13 Maret 2004/ 13)

4.

AKU punya tentangga. Dia punya becak. Dalam becak itu terdapat tulisan/slogan, bunyinya begini: Pasukan Siap Nempur. (Maksudnya, nempur{=beli}beras). (SST/16 Maret 2004/ 16)

Contoh di atas dapat dilihat adanya penggunaan ragam informal yang ditandai dengan penulisan huruf miring. Kata nggak, tapi, dibikin ,punya masingmasing menyatakan tidak, tetapi, dibuat, dan mempunyai. Bentuk buanyak dan rruaaaaar biasaaaa merupakan bentuk informal yang masing-masing menyatakan banyak dan luar biasa, sedangkan bentuk aja pada wacana (3) yang mengalami penanggalan fonem awal /s/ menyatakan saja. Ragam informal sengaja diciptakan oleh penulis (O1) dengan tujuan agar lebih komunikatif dan mudah dipahami oleh pembaca (O2), selain itu juga untuk menimbulkan kesan humor. Sebagian besar pembaca (O2) rubrik SST adalah lapisan masyarakat menengah ke bawah, sehingga diperlukan komunikasi yang

61

memasyarakat dengan demikian akan dapat terjalin komunikasi yang interaktif dan terasa akrab, santai, dan familier.

1.

Ragam percakapan Ciri utama ragam jurnalistik adalah bahasanya yang efektif dan

komunikatif. Pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan (Keraf, 2002, h. 120). Rubrik SST sebagai karya jurnalistik menggunakan bahasa yang sederhana. Maksudnya adalah bahwa bahasa yang digunakan dalam rubrik SST adalah bahasa yang digunakan masyarakat dalam percakapan sehari-hari. Dengan demikian masyarakat pembaca (O2) akan dengan mudah memahaminya. Rubrik SST merupakan bagian dari surat kabar Kedaulatan Rakyat (KR) yang merupakan wahana komunikasi di tengah masyarakat Jawa khususnya masyarakat Yogyakarta yang tentunya menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehariharinya. Melihat kenyataan tersebut maka dalam rubrik SST selain menggunakan bahasa Indonesia juga ditemukan pemakaian ragam percakapan bahasa Jawa. Dalam penelitian ini terdapat beberapa data yang mengandung ragam percakapan yaitu terdapat pada data 03, 04, 08, 18, 20, 22, 26, 31, 36, 39, 41, 42, 58D, 58B, 59I, 60B, 60E, 60G, 61H, 62 F. Pemakaian ragam percakapan bahasa Jawa dalam rubrik SST dapat dilihat dalam contoh berikut:
5.

TEMAN saya Sigit dari Cilacap cerita, di dekat rumahnya ada anak kecil makan ikan Louhan, tubuhnya berubah jadi merah sedikit biru.

62

Lho kok? Ceritanya begini: anak tersebut minta ijin Bapaknya untuk menjual ikan Louhannya. Bapaknya melarang. Karena jengkel, saat sang Bapak pergi, anak tersebut menggoreng Louhannya dan nekad memakannya. Beberapa saat kemudian tubuhnya jadi merah biru. Anda heran? Tubuh anak berubah karena dipukuli Bapaknya!Bajigur! (SST/14 Maret 2004/59B) (6) DI dekat Prambanan, saya ketemu penjual es potong cerdik. Waktu saya beli, dia sedang ganti kaos kuning jadi merah, saya tanya: Kok ganti? Apa kotor?. Jawabnya: Oh, tidak!Cuma tadi ketemu kampanye kaos kuning, aku menyesuaikan diri. Biar aman. Kalau ketemu merah, saya ganti merah. Ketemu hijau, saya ganti hijau. Ketemu biru, saya ganti biru. Dan ternyata laris manis. (SST/27 Maret 2004/ 26) (7) BIASANYA anak kecil celat/cedal tidak bisa mengucapkan huruf r. misalnya roti diucapkan loti, dll. Tapi keponakan saya ketika umur 2 tahun justru sebaliknya. Dia cedal huruf l. Kalau bilang pulang jadi purang, bilang sekolah jadi sekorah dst. Lha saat dia bilang Bu Lik jadi Burik, itu yang bikin anyel Bu Lik-nya! (SST/ 28 Maret 2004/ 60B) Pada contoh diatas mengandung ragam percakapan yang ditandai dengan bentuk kok, lho, dan lha. Bentuk kok, lho, dan lha merupakan bentuk percakapan yang digunakan dalam bahasa Jawa. Bentuk tersebut digunakan dalam rubrik SST, disamping situasi tuturnya tidak resmi, penggunaan ragam percakapan

63

dirasakan lebih tepat untuk komunikasi. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengakrabkan penutur atau penulis (O1) dengan lawan tuturnya atau pembaca (O2).

3. Singkatan dan Akronim Bentuk singkatan dan akronim dalam rubrik SST dimanfaatkan oleh penulis (O1) dengan tujuan untuk menghemat penggunaan bahasa karena keterbatasan ruang yang digunakan. Hal itu mengingat keterbatasan ruang yang disediakan oleh media surat kabar. Selain itu pemanfaatan bentuk singkatan dan akronim juga dapat memudahkan para pembaca (O2) dalam memahami maksud atau pesan penulis (O1). Pemakaian bentuk singkatan dan akronim yang sudah lazim akan lebih berterima dibandingkan penggunaan bentuk bahasa yang panjang lebar tetapi sulit dipahami. Bentuk singkatan dan akronim baru juga diperkenalkan dalam rubrik SST. Hal ini bertujuan untuk membangkitkan rasa humor dengan memunculkan singkatan atau akronim dengan kepanjangan baru. Hasil pengumpulan data dalam penelitian ini mendapatkan sejumlah data yang mengadung bentuk singkatan dan akronim adalah 01, 02, 09, 11, 12, 17, 18, 20, 21, 22, 24, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 48, 49, 51, 54, 56, 57, 58D, 58F, 58G, 59B, 59C, 60A, 60B, 60C, 60D, 60E, 60F, 60G, 60H, 61A, 61B, 61E, 61F, 61G, 61I, 62A, 62B, 62C, 62D, 62E, 62F, 62G, 62H, 63B, 63C, 63E. Berikut adalah contoh pemakaian bentuk singkatan dan akronim.

64

1.

SAYA lahir di Wonosobo. Sembilan tahun lalu pasar Wonosobo terbakar. Persisnya terjadi tanggal 30 September. Tanggal ini mengingatkan pada peristiwa G-30-S. baru-baru ini pasar wonosobo kembali terbakar. Persisnya terjadi tanggal 11 Maret. Ini mengingatkan pada Supersemar. Pasar terbakar saja kok bisa milih tanggal. Unikkan? (SST/18 Maret 2004/ 18)

(9) SENIN besok benar-benar rekor orang pegang paku, mencermati gambar parpol dan nama-nama caleg, serta rekor orang tua yang bingung mengikuti Pemilu 2004. (SST/ 4 April 2004/34) (10) SEORANG anggota KPPS di TPS 145 Ambarrukmo (Yogya) tanya pada Ketua KPPS begini: Apakah setelah pemilu selesai, bilik suara dan kotak suara akan dikembalikan ke KPU?. Seorang anggota KPPS lain menjawab: Iya, KPU akan mengumpulkan semua bilik dan kotak suara untuk dibuatpesawat terbang! (SST/ 7 April 2004/36). (11) PEMILU 5 April 2004 yang ditayangkan pada VCD di Kelurahan Gandaria Selatan, Jakarta, oleh Bintang Film/ Sinetron Rano Karno dkk, berlangsung 24 menit, honornya jutaan rupiah. Di TPS 16 Mantrijeron, Yogya, jumlah pemilih 255 orang, berlangsung pukul 7.00 hingga 23.00 WIB, honornya.(di bawah Rp 100.000). memang bedaaaaaa!(SST/16 April 2004/ 43) Data (8), (10), dan (11) memanfaatkan bentuk singkatan dan akronim. Bentuk singkatan pada ketiga data di atas ditunjukkan pada bentuk G-30-S

65

(Gerakan 30 September), KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), KPU (Komisi Pemilihan Umum), VCD (Video Compact Disc), TPS (Tempat Pemungutan Suara), dkk (dan kawan-kawan). Pemanfaatan bentuk akronim ditandai dengan penulisan dengan bentuk miring. Bentuk akronim pada data (8), (9), dan (10) yaitu supersemar Surat Perintah Sebelas Maret, parpol Partai Politik, caleg Calon Legislatif, pemilu Pemilihan Umum Pemakaian bentuk singkatan dan akronim tersebut sudah lazim digunakan sehingga dapat berterima di dalam masyarakat pembaca (O2). (12) JIKA Anda ingin tambal ban ditangani lulusan ITB, silakan bawa motor Anda ke perempatan Timoho/Happyland. Di sana ada tambal ban lulusan ITB. Maksudnya, Institut Tambal Ban!(SST/4 April 2004/61I) Data (12) memanfaatkan bentuk singkatan, yaitu ITB yang sebenarnya sudah dikenal dan diketahui oleh masyarakat penggunaan bahasa sebagai bentuk singkatan yang sudah lazim. Namun, penulis (O1) memanfaatkan bentuk singkatan yang sudah baku di tengah masyarakat itu dan mengubahnya menjadi singkatan yang diberi kepanjangan baru sesuai yang diinginkan oleh penulis (O1). Bentuk singkatan ITB sebenarnya mempunyai kepanjangan Institut Teknologi Bandung, tetapi oleh penulis (O1) diberi kepanjangan baru, yaitu Institut Tambal Ban. Tidak hanya bentuk singkatan yang diberi kepanjangan baru, namun bentuk akronim juga diberi kepanjangan baru seperti pada contoh berikut. (13) JURKAM Pemilu di daerah saya tidak hanya pandai memaparkan program saja. Tapi setiap Pahing di Blondo, Jurkam (Juragan

66

Kambing) juga pandai bernegosiasi. Nggak percaya? Silakan cek, karena Pahing adalah hari pasaran Hewan!(SST/ 28 Maret 2004/ 60H) Bentuk akronim jurkam juru kampanye sebenarnya merupakan akronim yang sudah lazim dalam masyarakat bahasa. Penulis (O1) sengaja memanfaatkan bentuk akronim yang sudah baku dalam rubrik SST dan mengubahnya menjadi akronim dengan kepanjangan yang baru sesuai dengan keinginan penulis (O1). Bentuk akronim jurkam kepanjangan dari juru kampanye, tetapi oleh penulis (O1) diberi kepanjangan baru juragan kambing yang artinya pedagang kambing. Tujuan dari pemanfaatan bentuk singkatan dan akronim yang diberi kepanjangan baru ini adalah untuk menimbulkan rasa humor dalam wacana tersebut.

4. Slang Fenomena lain yang ada dalam rubrik SST adalah adanya penggunaan slang yang merupakan ragam tidak resmi. Kreativitas penulis (O1) dalam menyusun rubrik SST memanfaatkan bentuk slang dapat menjadi ciri khas dari wacana tersebut. Dari hasil pengumpulan data dalam penelitian ini didapatkan hanya beberapa data yang memanfaatkan bentuk slang. Berikut adalah pemakaian slang dalam rubrik SST. (14) BELUM lama ini saya pergi ke Lampung, mengantar ortu bawa kendaraan sendiri. Saat lewat jalan toll Jakarta-Merak, ada beberapa ruas jalan yang dipasang sederet hanggelan (polisi tidur) sejumlah 13 baris, dengan irama 3-3-7. kalau dirasakan persis seperti irama

67

Tepuk Pramuka. Silakan buktikan pada kecepatan 80 KM/jam. (SST/19 April 2004/46). Kata slang ortu pada data (14) yang berarti orang tua dipilih penulis (O1) karena lebih komunikatif dan akrab dengan pembaca (O2). Di samping kata-kata slang, dalam rubrik SST ditemukan pula adanya kekhasan pengejaan kata yaitu dieja sesuai dengan bahasa Inggris. Sebagai contoh adalah berikut ini. (15) KALAU malam hari jalan-jalan di Alun-alun Purworejo, Anda akan melihat Warung Scool Club Band. Anda mungkin mengira, itu label sekolahan dalam bahasa Inggris. Nyatanya, itu bahasa Jawa, yang artinya Sekul Kuluban alias Nasi Sayur. Nggak percaya? Silakan cek!(SST/ 15 Maret 2004/ 15) Pada data (15) sengaja memanfaatkan kata yang dieja sesuai dengan ejaan bahasa Inggris, yaitu scool (sekul) dan club band (kuluban). Kata sekul dan kuluban dipengaruhi oleh ragam bahasa Jawa. Pengejaan pada data (15)

menunjukkan kreativitas penulis (O1) yang akan menimbulkan gelak tawa para pembaca (O2).

5. Gaya Bahasa Gaya bahasa dalam dunia jurnalistik sangat mutlak keberadaannya. Hal ini disebabkan karena setiap penulis (O1) harus dapat menulis dan mempergunakan kata-kata yang indah atau mengekspresikan diri agar dapat menarik perhatian para pembaca (O2). Gaya bahasa merupakan ciri khas dari seorang penulis (O1) sehingga hasil karya seseorang akan berbeda dengan karya orang lain. Dengan

68

menggunakan gaya bahasa yang baik, maka hasil karyanya akan mudah di pahami dan banyak para pembaca (O2) yang tertarik dan ingin menikmatinya. Rubrik SST sebagai karya jurnalistik banyak memanfaatkan gaya bahasa yang beraneka ragam. Para penulis rubrik SST berlomba-lomba membuat hasil karyanya dengan memanfaatkan gaya bahasa mereka. Dengan gaya bahasa kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu melalui hasil karyanya. Bila kita amati secara seksama tentang penggunaan gaya bahasa dalam rubrik SST, maka akan kita dapati gaya bahasa sebagai berikut:
a.

Hiperbola Pemanfaatan gaya bahasa hiperbola dalam rubrik SST dapat kita lihat pada

data 05, 20, 21, 23, 27, 28, 32, 33, 35, 56, 59E, 60E, 61G, 62G, 63B. Sebagai contoh dapat dilihat dalam contoh berikut. (16) ADA dua hal terbesar tak tertandingi di dunia yang ada di propinsi DIY. Pertama, kota terbesar di dunia adalah kota Gede. Kota manapun tidak akan lebih besar dari kota Gede. Kedua, kabupaten paling besar di dunia adalah kabupaten Kulon Progo. Wilayahnya meliputi kulone progo. Wilayahnya meliputi kulone Progo. Sampai Eropa, Afika, dam bahkan Amerika sana, posisinya tetap Kulon Progo, Iya, kan? (SST/20 Maret 2004/ 20) Penggunaan gaya bahasa hiperbola pada data (16) ditandai dengan kata yang dicetak tebal. Penulis (O1) sengaja menggunakan gaya bahasa hiperbola untuk menunjukkan hal terbesar yaitu sebuah kota dan kabupaten yang terletak di

69

DIY. Kata terbesar tak tertandingi merupakan pernyataan yang berlebihan dalam kreativitas penulis (O1) untuk menyatakan kenyataan sebenarnya sehingga menimbulkan rasa humor bagi para pembaca (O2) dalam wacana tersebut. (17) SAAT ini KPU sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan Pemilu. Di salah satu kelurahan di wilayah Bantul, PPS sedang melipat kertas suara untuk Pemilu tersebut. Yang menarik, yang melipat adalah peserta KKN Pemantau Pemilu. Apa tumon, Pemantau kok jadi pembantu. Hebat sekali PPS di sana!(SST, 28 Maret 2004/ 60E) (18) ANAK-ANAK remaja di tempat saya sudah punya rencana sejak beberapa waktu lalu, bila Pemilu usai, bendera dan spanduk parpol yang banyak bertebaran di jalan dan tidak terpakai lagi, akan dibikin jadi celana kolor. Kreatif, murah, meriah (apa diperbolehkan pemiliknya?). (SST/ 4 April 2004/ 61G) Pada data (17) dan (18) di atas memanfaatkan gaya bahasa hiperbola yang ditunjukkan dengan pemakaian bentuk sibuk-sibuknya yang merupakan pernyataan yang berlebihan dalam menerangkan kesibukan panitia pemilihan umum di wilayah Bantul. Bentuk banyak pada data (18) menerangkan spanduk parpol yang berserakan di jalan usai pemilu. (19) KETIKA menengok saudaranya di daerah Gombong, turun dari bus, tetangga saya bingung karena dia tidak menemukan becak langganannya. Terpaksa ia melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki. Katanya, sebenarnya di sana ada becak banyak sekali. Bahkan parkir berjejer. Tapi dia takut, karena semua becak yang parkir

70

bergambar parpol tertentu. Jadi dianggapnya, becak-becak itu rombongan mau kampanye, bukan nunggu penumpang. (SST/18 April 2004/62) Bentuk sekali pada banyak sekali merupakan pernyataan yang berlebihan yang menerangkan banyaknya becak yang parkir. Penunjukan banyaknya becak yang parkir tidak perlu menggunakan kata sekali, karena kata banyak sudah dapat mewakili dan penggunaan kata sekali akan menimbulkan kesan berlebihan dalam pengguaan kata. Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal(Keraf, 2002, h. 135). Gaya bahasa hiperbola sengaja digunakan penulis (O1) dalam proses kreatifnya pada rubrik SST untuk menambah penyajiannya agar lebih menarik.
b.

Repetisi Kejenakan dalam rubrik SST dapat muncul dari berbagai macam

fenomena, salah satu di antaranya adalah dari sesuatu yang berulang-ulang, dan perulangan itu terjadi dengan tidak diperkirakan sebelumnya. Gaya bahasa repetisi dalam rubrik SST pada penelitian ini ditemukan dalam beberapa data yaitu 26, 48, 49, 58B, 58G, 59B, 60I, 61I, 62A, 62E. Berikut adalah contoh pemakaian ragam bahasa repetisi dalam rubrik SST. (20) SAYA kuliah di UNSOED Purwokerto, yang kampusnya terletak di lereng Gunung Slamet. Kost di Jl Gunung Muria. Tiap Minggu beli serabi di Jl Gunung Sumbing. Kalau jogging melawati Gunung Lawu. Ber-KKN di Desa Damakasiyan yang letaknya di lereng

71

Gunung Sindoro, dan saya sendiri berasal dari Gunung Kidul. (SST/ 21 April 2004/ 48) (21) DI Purworejo ada SMK yang punya hubungan erat dengan R.A Kartini, yakni SMK Kartini. Didirikan tanggal 21 April. Nomor urut SMK 21. Alamatnya Jl Kartini No 21. siswanya didominasi kaum Kartini. Silakan cek!(SST/ 22 April 2004/49) Pemanfaatan gaya bahasa repetisi ditandai dengan adanya perulangan pada kata yang dicetak tebal. Penulis (O1) sengaja memanfaatkan gaya bahasa repetisi karena kata tersebut dianggap penting untuk memberi tekanan dalam konteks kalimat, selain itu penulis (O1) ingin menimbulkan rasa humor dalam wacana tersebut. Meskipun informasi yang disampaikan dalam rubrik tersebut tidak penting, namun penggunaan kata gunung dan kartini yang berulang-ulang akan menimbulkan rasa lucu dan aneh dalam wacana tersebut. Begitu pula dalam rubrik berikut yang menggunakan bentuk kali yang berulang-ulang. (22) Di daerah tempat tinggal saya sekarang ini, ada banyak yang menggunakan nama Kali. Ada 16 sepengetahuan saya, yaitu: Kalikidang, Kalilandak, Kalicacing, Kalilandak, Kalicacing,

Kalimandi, Kalipelus, Kaliwinasuh, Kaliwungu, Kaligondang, Kalimendong, Kalibenda, Kaliurip, Kalikebong, Kalimanah,

Kaliori, Kalikajar dan Kalibagor. Ada yang nambah?(SST/28 April/60I)

72

c.

Personifikasi Penggunaan gaya bahasa personifikasi dalam rubrik SST disengaja oleh

penulis (O1) untuk menambah kreativitasnya juga kejenakaan dalam rubrik SST. Dalam penelitian ini hanya terdapat beberapa data yang mengandung gaya bahasa personifikasi. Berikut penggunaan gaya bahasa personifikasi. (23) BARU-BARU ini saya melihat dua mobil yang benar-benar sangat rukun. Ke mana-mana selalu berjalan berurutan, satu di belakang yang lain. Keduanya merek Suzuki Baleno. Warna catnya samasama silver metalik. Nomor polisinya H 8494 RW dan H 8495 RW. Melaju di Malioboro ke selatan menuju Alun-alun Utara Yogya, dan entah ke mana lagi. Apa pemilikna kembar, ya? mungkin mendaftar ke Samsat juga sama-sama! (SST/24 Maret 2004/ 23) (24) PITA terpanjang yang pernah kita lihat adalah pita berisi tulisan berjalan di televisi yang memberikan informasi perolehan suara Pemilu 2004. Pita tersebut diulur atau ditayangkan sambungmenyambung sejak Senin 5 April 2004 hingga nanti selesai perhitungan suara oleh KPU. (SST/18 April 2004/45) Pada kedua data di atas memanfaatkan gaya bahasa personifikasi yang ditandai dengan penggunaan kata rukun dan berjalan. Kata rukun biasanya digunakan untuk menerangkan hubungan antar manusia, namun pada data (23) digunakan untuk menerangkan hubungan antara dua mobil yang selalu berjalan berurutan. Mobil adalah benda mati atau barang tidak bernyawa sehingga penggunaan kata rukun merupakan bukti pemanfaatan gaya bahasa personifikasi.

73

Begitu juga yang terjadi pada data (24) yang ditandai dengan kata berjalan untuk menggambarkan sebuah pita yang dibentangkan sambung-menyambung pada saat pemilu berlangsung. Karena pita tersebut terlalu panjang maka di gunakan istilah berjalan, padahal kata berjalan hanya digunakan untuk menggambarkan manusia atau benda bernyawa yang melakukan aktifitas berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan kaki. Tulisan adalah benda tak bernyawa sehingga penggunaan kata berjalan pada tulisan berjalan merupakan bukti pemanfaatan gaya bahasa personifikasi. Personifikasi adalah gaya bahasa yang dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Gaya bahasa personifikasi adalah gaya bahasa yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Keraf, 2002, h. 140).
d.

Elipsis Elipsis merupakan suatu gaya bahasa yang berwujud menghilangkan

suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku (Keraf, 2002, h. 127-140). Hasil pengumpulan data dalam penelitian di dapatkan beberapa data yang memanfaatkan gaya bahasa elipsis yaitu 01, 06, 23, 24, 35, 36, 43, 44, 49, 50, 51, 55, 58C, 62C. Sebagai contoh dapat dilihat pemanfaatan gaya bahasa elipsis pada rubrik SST berikut. (25) JUMAT 20-2-2004 seorang nasabah salah satu bank di Kulonprogo jadi pusat perhatian. Penyebabnya adalah karena, dia mengenakan

74

kaos bertuliskan: Pasien RSJ Pakem No 212. Dia betul-betul mental baja. Teman Wiro Sableng, kali! (SST/1 Maret 2004/ 01) (26) MUNGKIN karena pusing dan bingung kurang tahu caranya nyoblos, ditambah merasa tidak kenal para caleg yang menurutnya berjumlah sangat buanyaaaak, seorang pemilih di TPS 01 Dipowinatan, Yogya, dalam Pemilu Legislatif 5-4-2004 kemarin tidak nyoblos, tapi malah menempelkan bungkus obat sakit kepala Paramex. (SST/6 April 2004/ 35) Pemanfaatan gaya bahasa elipsis ditandai dengan bentuk No dan Yogya. Bentuk No menyatakan nomor, penulis (O1) cukup menulis No sehingga terjadi penghilangan mor . Pembaca (O2) akan dapat menafsirkan sendiri maksud dari bentuk tersebut. Hal ini juga didukung adanya penulisan angka yang mengikuti bentuk No No 212. Kata Yogyakarta hanya disebut Yogya saja dan terjadi penghilangan kata karta. Para pembaca akan dapat menafsirkan sendiri kata Yogya dengan Yogyakarta. (27) SAYA adalah anggota KPPS Desa Karangsalam Kidul, Kab Banyumas, yang bertugas membagikan kartu pemilih. Jumlah pemilih ada 197 orang. Uniknya, 15 di antaranya lahir pada tanggal yang sama, ialah 31 Desember! (SST/ 17 April 2004/44) Seperti halnya pada data (25) dan (26), data (27) juga memanfaatkan gaya bahasa elipsis yang ditandai dengan penggunaan bentuk Kab yang menyatakan Kabupaten terjadi penghilangan upaten. Penulis (O1) tidak perlu menulis

75

secara lengkap kata Kabupaten, hal ini disebabkan para pembaca (O2) dapat menafsirkan sendiri apa yang di maksud penulis (O1). Pemanfaatan gaya bahasa elipsis sebagai kreatifitas penulis (O1) dan penghematan ruang yang disediakan oleh media surat kabar juga disebabkan karena bentuk kata yang digunakan sudah lazim dan berterima oleh masyarakat pembaca (O2) sehingga mudah untuk ditafsirkan maksudnya.

6. Idiom Bentuk penyimpangan terhadap kaidah-kaidah bahasa yang umum juga terjadi dalam proses kreativitas rubrik SST yang disengaja oleh penulis (O1). Pemanfaatan bentuk idiom dalam rubrik SST bertujuan agar bahasanya bervariasi tidak monoton. Hasil pengumpulan data yang peneliti lakukan di dapatkan beberapa data yang mengandung idiom, data tersebut adalah sebagai berikut: 01, 03,10, 30, 33, 54, 57 , 59B, 62H. Berikut contoh penggunaan idiom dalam rubrik SST. (28) JUMAT 20-2-2004 seorang nasabah salah satu bank di Kulonprogo jadi pusat perhatian. Penyebabnya adalah karena, dia mengenakan kaos bertuliskan: Pasien RSJ Pakem No 212. Dia betul-betul mental baja. Teman Wiro Sableng, kali! (SST/1 Maret 2004/ 01) (29) INILAH profesi para Cakil (Calon Wakil) Rakyat yang mencari Surat Sehat Jiwa di RSJ Prof dr Soeryono untuk Pemilu 2004. yaitu : Dosen, Guru, Pensiunan PNS/TNI/Polri, Wartawan, Anggota LSM, Petani, Insinyur, Dokter, Dokter Gigi, Psikolog, Pengacara,

76

Pedagang Pakaian Bekas, Peternak Ayam, Pedagang Ayam Pedaging, Pedagang Barang Rosokan, Ibu Rumah Tangga, Mahasiswa, Sopir, Penjaga Wartel, Pramuniaga, tukang Ojek, Tukang Batu, Penjual Mie Ayam, Tukang Becak dan

danPengangguran! Selamat dicoblos! Semoga dapat kursi! (SST/31 Maret 2004/ 30) Pemanfaatan bentuk idiom ditunjukkan pada kata yang dicetak tebal. Bentuk mental baja dalam data (28) mempunyai makna tidak tahu malu, sedangkan bentuk dapat kursi pada data (29) mempunyai makna mendapatkan kedudukan. (30) KAMIS 22 April 2004 kami berkunjung ke Kuching, Malaysia. Ketika datang ke sebuah Sekolah Rendah, kami diterima oleh Guru Besar (=Kepala Sekolah), Penolong Kanan (=Wakil Kepala Sekolah), dan Kaki Tangan (=Karyawan) serta pelajar.(SST/ 27 April 2004/54) (31) SAAT ini, yang paling disukai pembaca surat kabar, pendengar radio dan penonton TV adalah menyaksikan hasil perolehan suara Pemilu Legislatif 2004. Dan yang paling dag-dig-dug atau senam jantung adalah para ketua parpol dan caleg maupun calon anggota BPD. (SST/28 April 2004/62H) Data (30) dan (31) memanfaatkan bentuk idiom dengan ditandai penggunaan bentuk guru besar, penolong kanan, kaki tangan dan senam jantung yang masing-masing menyatakan Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah,

77

Karyawan dan berdebar. Pemanfaatan bentuk idiom dalam rubrik SST bertujuan untuk menambah kreativitas penulis juga menimbulkan kejenakaan dalan rubrik SST.

7. Campur Kode Rubrik SST juga memanfaatkan bentuk campur kode yang pemakaiannya disengaja oleh penulis (O1) untuk membuat agar pemakaian bahasa dalam rubrik SST bervariasi tidak monoton. Bentuk campur kode sangat beraneka ragam, misalnya campur kode kata, campur kode kata ulang dan campur kode klausa. Namun dalam rubrik SST ini kebanyakan mengandung campur kode kata. Dari hasil pengumpulan data diperoleh pemanfaatan campur kode yaitu pada data berikut: 01, 02, 03, 04, 06, 08, 10, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 24, 25, 33, 42, 45, 46, 48, 50, 55, 56, 58B, 58F, 58H, 59B, 59E, 59G, 59H, 60A, 60B, 60E, 60H, 61B, 61E, 61F, 61G, 61I, 62A, 62E, 62F, 63A, 63B, 63D. Dari hasil klasifikasi data tersebut akan diambil beberapa data untuk dianalisis. Berikut adalah contoh pemanfaatan bentuk campur kode dalam rubrik SST. (32) KALAU kehabisan tempat untuk pasang tanda gambar parpol, saya bisa beri saran yang pasti joss, ialah di bagian atas cermin tukang cukur, di atas cermin tempat-cuci-tangan hotel atau rumah makan, dan di bagian dalam pintu toilet. Silakan coba asalkan tidak melanggar peraturan yang ada! (SST/17 Maret 2004/ 17). (33) JASA angkut, servis motor, tambal ban, penitipan dll, sudah lazim kita dengar. Tapi ternyata ada jasa yang aneh, yaitu jasa pijat

78

dankerik. Gimana rasanya, ya?!silakan cek dan buktikan di: Ibu Elpi, Kragilan, Jl Ki Ageng Pemanahan (Selatan RSUD Wirosaban, Yogya. (SST/ 15 April 2004/42). Pada data (32) dan (33) terjadi campur kode berwujud kata yang ditandai dengan pemakaian kata toilet dan ban. Kata toilet bersumber dari bahasa Perancis yang berarti kamar mandi, sedangkan ban bersumber dari bahasa Jawa yang berarti roda kendaraan. (34) GARA-GARA beternak bebek, tetanggaku dijuluki Dewi Angonangon. Terinspirasi oleh sinetron di satu stasiun TV swasta, yaitu Dewi Angin-angim. (SST/2 Maret 2004/ 02) (35) KITA kenal Topan dan Lesus seniman dua bersaudara yang sukses. Nah, omong-omong soal seniman bersaudara, kalau Anda ke Borobudur, di pertigaan Palbapang Anda akan melihat 4 bersaudara kakak beradik menjadi seniman jalanan. Mereka adalah TrondolGendan, Conth-Cemeng, Menno dan yang paling kecil Deni-ipin. Mudah-mudahan mereka pun sukses!(SST/ 8 Maret 2004/ 08) Data (34) dan (35) merupakan contoh penggunaan campur kode yang berwujud kata ulang yang bersumber dari bahasa Jawa ditunjukkan dengan bentuk angon-angon dan omong-omong . Bentuk angon-angon berasal dari kata angon (menggembala) yang direduplikasikan. Setelah terjadi reduplikasi, kata angon menjadi angon-angon yang tidak mempunyai arti dalam bahasa Indonesia. Pemanfaatan bentuk demikian merupakan ciri khas dalam rubrik SST. Selain itu penggunaan bentuk tersebut bertujuan untuk menimbulkan rasa humor. Bentuk

79

omong-omong (berbicara) dimanfaatkan oleh penulis (O1) untuk menyampaikan informasi dengan suasana santai sehingga untuk mengekspresikannya digunakan unsur bahasa Jawa omong-omong (berbicara).

8. Alih Kode Selain campur kode dalam rubrik SST juga terjadi peristiwa alih kode. Dalam pengumpulan data pada penelitian ini terdapat beberapa data yang mengalami peristiwa alih kode. Alih kode yang terjadi biasanya alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Hal ini disebabkan karena penulis (O1) menyadari para pembacanya adalah orang Jawa khususnya masyarakat Yogyakarta. Data yang mengadung peristiwa alih kode adalah sebagai berikut 19, 24, 39, 57, 59G berikut adalah contoh analisisnya. (36) PULANG mengajar 1-4-2004, saya jumpa kampanye putaran II di Kebumen. Saya minggir di Alun-alun. Dekat saya berhenti ada bakso dorong bertulisan Bakso Asli Kampanye. Kaca gerobangnya penuh tanda gambar macam-macam parpol. Tiap kontestan pembeli bakso boleh menempelkan tanda gambar. Ada pembeli

nyeletuk:Lho, Pak sampeyan niku munafik, ya?. Penjual bakso santai menjawab: Soal nyoblos, niku rahasia. Sing penting bakso saya laris. Ini politiknya penjual bakso! (SST/12 April 2004/39). Data di atas terjadi peristiwa alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa daerah setempat ke bahasa nasional(Suwito, 1983). Rubrik di atas pada awalnya menggunakan bahasa Indonesia, karena situasana tidak resmi atau suasana santai

80

maka penulis (O1) memanfaatkan bentuk alih kode yang ditandai dengan kalimat Lho, Pak sampeyan niku munafik, ya? Lho, Pak Anda itu munafik ya?, tuturan tersebut diutarakan oleh seorang pembeli bakso yang melihat gerobak bakso penuh dengan gambar parpol. Pembeli bakso menggunakan bahasa Jawa nggoko karena dirasakan lebih akrab dengan penjual bakso. Kalimat kedua yang menandai peristiwa alih kode adalah Soal nyoblos, niku rahasia. Sing penting. Soal memilih itu rahasia. Yang penting.. Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang penjual bakso yang mendapat komentar dari seorang pembeli tentang gerobak baksonya yang penuh dengan gambar parpol. Penjual bakso menggunakan bahasa Jawa halus karena adanya rasa hormat dengan pembeli. Alih kode yang terjadi pada data (36) adalah dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa sebagai bahasa daerah setempat begitu pula sebaliknya dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia sehingga dapat dikatakan alih kode yang terjadi adalah alih kode intern. Selain alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa dalam rubrik SST juga terjadi peristiwa alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris seperti pada cotoh berikut: (37) TEMAN saya Devans dari Pert, Australia, ke Yogya naik pesawat terbang, transit di Bali. Katanya, terbang dari Bali ke Yogya hanya butuh waktu 5 menit. Take-off dari Denpasar pukul 08.00 WITA, landing di Adisutjipto Yogya pukul 08.05 WIB. Hello, Devans, how are you research at Malang?(SST/25 Maret 2004/24)

81

Peristiwa alih kode terjadi dengan di tandai penggunaan kalimat penulis Hello, Devans, how are you research at Malang? Halo Devans bagaimana penelitianmu di Malang?. Tuturan tersebut diucapkan oleh penulis (O1) untuk menyapa temannya yang berasal dari Australia. Penutur menggunakan bahasa Inggris karena tujuannya untuk menyapa temannya yang berasal dari luar negri. Pada awalnya penulis (O1) menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam penciptaan rubrik, untuk memberikan variasi penggunaan bahasa penulis (O1) memanfaatkan bentuk alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa sehingga alih kode semacam ini disebut alih kode ekstern. Alih kode ekstern adalah alih kode antara bahasa asli dengan bahasa asing (Suwito, 1983). Adanya alih kode dalam rubrik SST disebabkan beberapa faktor, yaitu faktor penulis, pembaca, tujuan tuturan, dan situasional.

9. Interferensi Interferensi pada umumnya merupakan penyimpangan dalam pemakaian bahasa Indonesia. Oleh karena itu, sebisa mungkin harus diminimalkan pemakaiannya. Interferensi juga terjadi dalam pemakaian bahasa pada rubrik SST. Meskipun interferensi dapat terjadi dalam berbagai tataran, yaitu tataran bunyi, morfologi, dan kalimat, tetapi interferensi yang terjadi dalam rubrik SST paling banyak adalah interferensi dalam tataran morfologi atau kata. Pemanfaatan interferensi terjadi pada data 03, 14, 26, 39. Sebagai contoh perhatikan wacana berikut:

82

(38) SAAT berwisata ke Bandung, di kompleks pemandian air panas Ciater saat ketemu penjual topi menawarkan dagangannya berteriak: Seribu tiga, seribu tiga!. Karena murah, saya tertarik. Eeee., ternyata yang di maksud seribunya yang tiga, bukan seribu dapat tiga! Sial ketipu. Tapi kecerdikannya pantas dicontoh!(SST/14 Maret 2004/14) Data di atas mengandung pemanfaatan interferensi morfologi yaitu pembentukan katanya menyerap afiks-afiks bahasa lain (Suwito, 1983).

Penyerapan afiks-afiks ke- dari bahasa daerah (Jawa) ditandai dengan kata ketemu dan ketipu. Bentukan dengan afiks seperti ini seharusnya tidak perlu digunakan, sebab untuk mengungkapkannya telah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Afiks ke- dalam bahasa Jawa dapat diganti dengan afiks ber- dan ter- dalam bahasa Indonesia sehingga bentuk ketemu dan ketipu dapat diungkapkan dengan bentuk bertemu dan tertipu.

B. Aspek humor yang terdapat dalam rubrik SST Secara umum bahasa yang digunakan dalam rubrik SST adalah bahasa informal yang bertujuan agar penulis lebih akrab dengan pembaca. Selain itu penciptaan rubrik SST bertujuan untuk menghibur para penikmatnya sehingga unsur humor yang mengandung keambiguan, pertentangan makna

ketidakmasukakalan, dan perbandingan yang tidak logis. Keempat unsur tersebut dapat terlaksana melalui krearivitas yang diciptakan oleh penulis dalam rubrik SST. Bahasa dalam rubrik SST yang merupakan kreativitas penulis dapat berwujud plesetan, permainan logika, dan sebagainya.
83

Aspek humor yang terdapat dalam rubrik SST pada surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR) adalah sebagai berikut: 1. Keambiguan Dalam komunikasi keambiguan atau keadaan di mana sebuah kalimat dimungkinkan sama-sama benar dalam lingkup yang berbeda dan dianalisis untuk dicari makna ang dikehendaki (Soedjatmiko, 1992, h. 73). Keambiguan dalam penciptaan rubrik SST pada surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR) dapat berupa bentuk plesetan. Pemanfaatkan teknik keambiguan dalam penciptaan humor pada rubrik SST seperti pada contoh berikut: (39) KALAU malam hari jalan-jalan di Alun-alun Purworejo, Anda akan melihat Warung Scool Club Band. Anda mungkin mengira, itu label sekolahan dalam bahasa Inggris. Nyatanya, itu bahasa Jawa, yang artinya Sekul Kuluban alias Nasi Sayur. Nggak percaya? Silakan cek!(SST/ 15 Maret 2004/ 15) (40) JURKAM Pemilu di daerah saya tidak hanya pandai memaparkan program saja. Tapi setiap Pahing di Blondo, Jurkam (Juragan Kambing) juga pandai bernegosiasi. Nggak percaya? Silakan cek, karena Pahing adalah hari pasaran Hewan!(SST/ 28 Maret 2004/ 60H) (41) JIKA Anda ingin tambal ban ditangani lulusan ITB, silakan bawa motor Anda ke perempatan Timoho/Happyland. Di sana ada tambal ban lulusan ITB. Maksudnya, Institut Tambal Ban!(SST/4 April 2004/61I)

84

Pemanfaatan teknik keambiguan pada ketiga data di atas ditunjukkan dengan bentuk Scool Club Band pada data (39), Jurkam pada data (40), dan ITB pada data (41). Data (39) memanfaatkan kata yang dieja sesuai dengan ejaan bahasa Inggris, yaitu scool (sekul) dan club band (kuluban). Kata sekul (nasi) dan kuluban (sayur) dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Scool Club Band dapat diartikan (1) klub band sekolah, dan (2) Sekul kuluban atau nasi sayur. Data (40) menggunakan bentuk Jurkam yang dapat diartikan (1) juru kampanye, dan (2) juragan kambing, sedangkan data (41) menggunakan bentuk ITB yang dapat diartikan (1) Institut Teknologi Bandung, dan (2) Institut Tambal Ban. Untuk menghindari salah interpretasi, penulis (O1) menggunakan makna yang dikehendaki yaitu arti kedua yang bukan arti sebenarnya hal ini bertujuan untuk memunculkan kesan humor dalam wacana tersebut dengan mempertentangkan makna pertama dengan makna kedua. Pembaca (O2) menikmati kelucuan apabila ia mengambil salah satu makna, dan kemudian menertawakan makna yang salah.

2. Pertentangan makna Rubrik SST memanfaatkan teknik pertentangan makna untuk

mendapatkan humor yang dapat menghibur para pembaca (O2). Dalam hal ini penulis (O1) memanfaatkan dua makna yang dipertentangkan sehingga menyebabkan salah satu maknanya menjadi salah dan informasi yang salah menyebabkan maknanya menjadi lucu. Rubrik SST yang memanfaatkan teknik ini adalah sebagai berikut:

85

(42) SUASANA kampanye paling rawan adalah di daerah Makasar, Sulawesi Selatan. Bukan karena bentrokan massa, tapi karena di sana ada Sop Saudara. Gawat kan, kalau saudara saja dibikin sop? Apalagi suasana kampanye. Tapi jangan kaget dulu Sop Saudara adalah makanan khas daerah sana! (SST/ 16 Maret 2004/ 16) Penciptaan humor pada data di atas menggunakan teknik

mempertentangkan makna yaitu penggunaan bentuk Sop Saudara. Penggunaan bentuk tersebut menimbulkan makna ganda, dengan kata lain ada pertentangan antara bentrokan massa dalam suasana kampanye dan makanan khas daerah Makasar. Para pembaca dapat menafsirkan bahwa suasana kampanye terjadi bentrokan yang mengakibatkan banyak korban, namun dapat pula ditafsirkan bahwa Sop Saudara adalah nama makanan khas daerah Makasar. Penciptaan dengan pertentangan makna demikian dapat menimbulkan rasa humor dalam wacana tersebut. (43) TERKADANG penjual makanan seenaknyasendiri memberi nama warungnya. Di desa Tambakan, kecamatan Gubug, kabupaten Grobogan, Jawa Tengah ada Warung Bakso Nyah Nyoh. (Coba, siapa tahu apa bahasa Indonesianya?) (SST/26 Maret 2004/25) Penggunaan bentuk Nyah Nyoh pada wacana di atas merupakan bukti pemanfaatan teknik pertentangan makna. Bentuk Nyah Nyoh memiliki makna ganda yaitu bentuk kosa kata bahasa Jawa yang berarti dermawan dan memiliki makna nama warung bakso di daerah Jawa Tengah. Para pembaca akan dapat menafsirkan bahwa warung itu murah meriah, namun dapat juga ditafsirkan

86

bahwa warung bakso yang bernama Nyah Nyoh itu hanyalah sebuah nama yang dipilih oleh penjualnya. Sehingga penggunaan bentuk Nyah Nyoh menimbulkan pertentangan kedua maknanya dan memberi kesan humor bagi para pembaca (O2). (44) PADA waktu saya menunggu giliran foto SIM, saya kaget ketika petugas foto memanggil seorang yang ternyata namanya sama persis dengan merek sepeda motor terkenal. Nama orang itu adalah Harley Davidson. Beliau penduduk Desa Sragi, Kabupaten Pekalongan, bangga atas namanya itu! (SST/14 Maret 2004/59C) (45) TETANGGAKU baru beli mobil second karena sering macet, seorang temanku menyarankan untuk memanasi motornya tiap pagi. Karena tetanggaku baru pertama kali punya motor, ditambah lagi dia memang sok-tau, motor tersebut malahan dijemur di sinar matahari. Maksudnya biar cepet panas!(SST/25 April 2004/63D) Pertentangan makna pada data (44) ditunjukkan dengan penggunaan bentuk Harley Davidson yang memiliki dua makna yaitu nama sepeda motor terkenal dan nama orang yang tinggal di desa Sragi, kabupaten Pekalongan. Penyebutan nama Harley Davidson karena orang tersebut memiliki sepeda motor terkenal sehingga banyak orang menyebutnya dengan sebutan kendaraan yang dimilikinya. Pada data (45) pertentangan makna ditunjukkan dengan kata memanasi maksudnya menghidupkan mesin motor, namun kata memanasi disalah artikan dengan dijemur di sinar matahari. Pertentangan makna demikian

87

dapat membuat wacana ini memiliki rasa humor yang dapat menghibur para pembaca (O2).

3. Penyimpangan Logika Penciptaan humor juga memanfaatkan penyimpangan logika.

Penyimpangan logika ini adalah logika keliru. Penciptaan humor dalam rubrik SST yang memanfaatkan teknik logika dibagi menjadi dua macam yaitu:
a.

Penyimpangan logika angka Penciptaan humor pada rubrik SST yang memanfaatkan penyimpangan

logika angka adalah sebagai berikut: (46) SAAT berwisata di Bandung, di kompleks pemandian air panas Ciater saya ketemu penjual topi menawarkan dagangannya berteriak: Seribu tiga, seribu tiga!. Karena murah, saya tertarik. Eee, ternyata yang dimaksud seribunya yang tiga, bukan seribu dapat tiga! Sial ketipu. Tapi kecerdikannya pantas dicontoh! (SST/14 Maret 2004/14) Pada data di atas memanfaatkan logika angka dalam penciptaan humor yang ditunjukkan pada kalimat Seribu tiga, seribu tiga yang diucapkan oleh seorang penjual topi yang mempunyai makna harga sebuah topi yang dijualnya tiga ribu rupiah. Kalimat yang diucapkan oleh penjual topi tersebut membuat seorang wisatawan beranggapan bahwa harga tiga topi seribu rupiah. Dengan anggapan wisatawan yang tidak logis itu membuat wacana tersebut memiliki rasa humor.

88

(47) TEMAN saya Devans dari Pert, Australia, ke Yogya naik pesawat terbang, transit di Bali. Katanya, terbang dari Bali ke Yogya hanya butuh waktu 5 menit. Take-off dari Denpasar pukul 08.00 WITA, landing di Adisutjipto Yogya pukul 08.05 WIB. Hello, Devans, how are you research at Malang?(SST/25 Maret 2004/24) Melihat data di atas dapat dilihat adanya pemanfaatan teknik penciptaan humor dengan logika angka yang ditunjukkan dengan perbedaan waktu di Denpasar dan Yogyakarta. Letak Denpasar berada di bagian tengah wilayah Indonesia sedangkan Yogyakarta berada di bagian barat wilayah Indonesia sehingga antara kedua kota tersebut memiliki perbedaan waktu lima menit. Tidak masuk akal jika penerbangan dari Denpasar menuju Yogyakarta hanya membutuhkan waktu lima menit hal ini yang membuat wacana tersebut memiliki rasa humor. b. Penyimpangan logika Bahasa Penciptaan humor pada rubrik SST memanfaatkan penyimpangan logika bahasa yang ditunjukkan pada contoh berikut: (48) GARA-GARA arah kulon diganti dengan kilen dalam bahasa Jawa halus, maka temanku mengganti setiap huruf u dengan e dalam setiap percakapan. Terakhir, kemarin saya dengan dia bilang begini: Pak, sampeyan ngidel teres ampen menggek-menggek. Dia ingin memberi kesan bahwa dia sangat mahir berbahasa Jawa halus! (SST/19 Maret 2004/ 19)

89

Pemanfaat teknik logika bahasa dalam wacana di atas ditunjukkan pada kalimat Pak, sampeyan ngidel teres ampen menggek-menggek. Secara logika bahasa pengucapan kalimat tersebut tidak benar, tetapi penutur ingin memberikan kesan bahwa ia mahir dalam menggunakan bahasa Jawa halus. Kesan yang ia berikan itulah yang membuat wacana ini memiliki kesan humor dalam wacana tersebut. Seharusnya penutur dapat mengucapkan kalimat tersebut dengan bahasa Jawa halus dengan kalimat Pak, sampeyan ngidul terus, ampun menggokmenggok meskipun setiap huruf o dalam bahasa Jawa halus diganti e tidak semuanya dapat diganti. Hal ini dapat dilihat dari kebakuan kalimat yang digunakan. (49) BIASANYA anak kecil celat/ cedal tidak bisa mengucapkan huruf r. Misalnya roti diucapkan loti, dll. Tapi keponakan saya ketika umur 2 tahun justru sebaliknya. Dia cedal huruf l. Kalau bilang pulang jadi purang, bilang sekolah jadi sekorah, dst. Lha saat dia bilang Bu Lik jadi Burik, itu yang bikin anyel Bu Lik-nya (SST/28 Maret 2004/60B) Penciptaan humor pada wacana di atas ditunjukkan dengan anak kecil yang celat/cedal dalam melafalkan huruf konson r yang diucapkan dengan konsonan l seperti roti menjadi loti, sekolah menjadi sekorah, pulang menjadi purang, Bu Lik menjadi Burik. Pengucapan kata seperti ini secara logika bahasa tidak benar, namun karena kemampuan berbahasa dari anak yang masih kecil membuat dia belum mampu mengucapkan kata-kata tersebut dengan benar. Hal inilah yang membuat wacana ini memiliki rasa humor.

90

c. Penyimpangan logika makna Penciptaan humor rubrik SST memanfaatkan penyimpangan logika makna seperti pada contoh berikut: (50) ADA dua hal terbesar tak tertandingi di dunia yang ada di Propinsi DIY. Pertama, kota terbesar di dunia adalah kota Gede. Kota manapun tidak akan lebih besar dari Kota Gede. Kedua, kabupaten paling besar di dunia adalah kabupaten Kulon Progo. Wilayahnya meliputi kulone Progo. Sampai Eropa, Afrika, dan bahkan Amerika sana, posisinya tetap Kulon Progo, Iya kan? (SST/20 Maret 2004/20) Penciptaan humor pada data (50) memanfaatkan penyimpangan logika makna yang ditunjukkan pemakaian bentuk Kota Gede dan Kulon Progo yang mempunyai dua makna yaitu (1) nama geografi dan (2) makna kata biasa. Penulis (O1) memanfaatkan makna kedua yaitu makna kata biasa untuk menyebut kedua bentuk Kota Gede kota terbesar dan Kulon Progo kabupaten paling besar. Penyimpangan logika makna demikian bertujuan untuk menimbulkan rasa humor dalam wacana tersebut.

(51)

INILAH profesi para Cakil (Calon Wakil) Rakyat yang mencari Surat Sehat Jiwa di RSJ Prof dr Soeryono untuk Pemilu 2004. yaitu : Dosen, Guru, Pensiunan PNS/TNI/Polri, Wartawan, Anggota LSM, Petani, Insinyur, Dokter, Dokter Gigi, Psikolog, Pengacara, Pedagang Pakaian Bekas, Peternak Ayam, Pedagang Ayam Pedaging, Pedagang Barang Rosokan, Ibu Rumah Tangga, Mahasiswa, Sopir, Penjaga Wartel, Pramuniaga, tukang Ojek,

91

Tukang

Batu,

Penjual

Mie

Ayam,

Tukang

Becak

dan

danPengangguran! Selamat dicoblos! Semoga dapat kursi! (SST/31 Maret 2004/ 30) Data (51) di atas memanfaatkan penyimpangan logika makna. Secara logika wacana maknanya salah, karena tidak mungkin para calon wakil rakyat berprofesi seperti yang disebutkan dalam wacana tersebut. Penulis bermaksud menyampaikan tentang pasien di RSJ Prof dr Soeroyo yang sakit jiwa karena profesi yang disebutkan dalam wacana. Kalimat Selamat dicoblos! Semoga dapat kursi maksudnya memberikan kesempatan kepada para pasien untuk menunggu giliran disuntik, namun dapat pula bermakna dipilih sebagai calon wakil rakyat dan mendapatkan kedudukan. Dengan kalimat Selamat dicoblos! Semoga dapat kursi penulis memanfaatkan penyimpangan makna dengan mengartikan kalimat tersebut dengan makna yang salah. Pembaca (O2) dapat menikmati kelucuannya apabila ia mengambil makna yang salah kemudian menertawakannya.

4. Membandingkan yang tidak logis Penciptaan humor dalam rubrik SST menggunakan teknik

membandingkan dua hal yang tidak logis sehingga menimbulkan kesan lucu pada wacana tersebut. Seperti pada contoh berikut: (52) ADA rumah kontrakan yang ditempati orang Tionghoa (Cina) di Kampung saya. Namanya Lie ChoeHwa (baca Li Cu Wa) kemudian yang ngontrak rumah berganti orang Arab. Karena nggak tau

92

namanya para tetangga sering memanggilnya dengan sebutan Lie Choe Hwa Arab!(SST/4 April 2004/61H) Data (52) di atas memanfaatkan teknik membandingkan dua hal yang tidak logis. Permainan logika yang dimaksud adalah mempertentangkan sebutan seseorang yang berasal dari Tionghoa (Cina) dengan julukan Lie Choe Hwa (baca Li Cu Wa), dan sebutan untuk orang yang berasal dari Arab yaitu Lie Choe Hwa Arab. Penyebutan nama dalam masyarakat biasanya dikaitkan dengan kebudayaan daerah setempat misalnya penyebutan nama bagi masyarakat Cina seperti pada wacana tersebut Lie Choe Hwa, sedangkan penyebutan untuk orang Arab biasanya berhubungan dengan nama Islam seperti Muhammad. Dalam data (50) terjadi hubungan yang tidak logis dalam penyebutan nama orang Cina dan orang Arab. Penciptaan humor dengan membandingkan dua hal yang tidak logis demikian dapat membuat sebuah wacana mengandung unsur humor dan dapat menghibur para pembaca (O2). (53) JUMAT 20-2-2004 seorang nasabah salah satu bank di Kulonprogo jadi pusat perhatian. Penyebabnya adalah, karena dia mengenakan kaos bertuliskan: Pasien RSJ Pakem No 212 alias Sableng. Dia betulbetul mental baja. Teman Wiro Sableng kali!(SST/1 Maret 2004/01) (54) DI dekat Prambanan, saya ketemu penjual es potong cerdik. Waktu saya beli, dia sedang ganti kaos kuning jadi merah, saya tanya: Kok ganti? Apa kotor?. Jawabnya: Oh, tidak!Cuma tadi ketemu kampanye kaos kuning, aku menyesuaikan diri. Biar aman. Kalau ketemu merah, saya ganti merah. Ketemu hijau, saya ganti hijau.

93

Ketemu biru, saya ganti biru. Dan ternyata laris manis. (SST/27 Maret 2004/ 26) Data (53) menyampaikan tentang seseorang yang memakai kaos bertuliskan Pasien RSJ No 212 alias Sableng. Dalam dunia hiburan dikenal adanya sinetron berjudul Wiro Sableng yang dalam bajunya bertanda angka 212. Hubungan karena seseorang memakai kaos bertuliskan No 212 alias Sableng yang kemudian dihubungkan dengan Wiro Sableng dalam sinetron merupakan bukti bahwa penciptaan humor dalam wacana ini menggunakan teknik membandingkan yang tidak logis. Data (54) menyampaikan tentang seorang penjual es potong yang selalu berganti kaos jika bertemu kampanye. Penjual itu menyesuaikan warna sesuai dengan warna yang menjadi ciri partai yang ia jumpai. Setelah ditanya kenapa berganti-ganti kaos, si penjual es mengatakan agar dagangannya laris. Hubungan antara ganti kaos dengan dagangannya laris merupakan hubungan yang tidak logis, dengan membandingkan yang tidak logis dapat menimbulkan kesan humor dalam wacana di atas.

C. Fungsi rubrik SST sebagai karya jurnalistik Banyak tulisan yang dianggap menyalahi aturan sehingga maksud yang ingin disampaikan oleh penulis (O1), misalnya menyampaikan informasi, sering tidak dapat dimengerti oleh para pembaca(O2). Pada masa reformasi ini hampir semua hal diminta untuk dilakukan sebebas-bebasnya, sehingga penyampaian

94

informasi dapat diterima secara jelas bahkan terkadang terkesan vulgar. Seperti pada contoh rubrik berikut. (55) TEMAN saya bilang, Bakso Goyang Lidah sudah biasa. Tapi Bakso Goyang Ngebor baru rruaaaar biasaaa. Nggak yakin, coba saja ke Warung Bakso Mas Inul, Jl Raya Prambanan-Manisrenggo. (SST/7 Maret 2004/58H) Dari contoh rubrik di atas dapat kita lihat adanya fungsi informasi dan mempengaruhi para pembaca (O2). Fungsi informasi dapat kita lihat dengan adanya informasi penjual bakso dengan warungnya bernama goyang ngebor yang terletak di daerah Prambanan, sedangkan fungsi mempengaruhi dapat kita lihat bahwa penulis (O1) berusaha mempengaruhi pembaca (O2) untuk menikmati warung bakso dengan nama unik di daerah Prambanan. Setelah membaca rubrik tersebut pembaca (O2) akan merasa penasaran dan ingin merasakan makan bakso di warung tersebut. (56) SEMUA warga di desaku bisa menentukan secara persis letak geografis Kraton Ngayogyakarta, pada hal jaraknya 20 Km. Caranya? Dengan melihat asal sorot sokle pada malam hari di langit (bagi kawasan kami) sebelah utara. (SST/25 April 2004/63A) Rubrik di atas mempunyai fungsi mendidik sekaligus menghibur para pembaca (O2). Fungsi mendidik dapat kita ketahui dengan adanya pengetahuan letak geografis Kraton Ngayogyakarta yaitu dengan melihat sorot sokle. Dengan mempraktekkan cara tersebut, para pembaca (O2) akan bertambah

pengetahuannya tentang letak geografis Kraton Ngayogyakarta. Fungsi menghibur

95

ditunjukkan dengan penulis (O1) cara melihat letak geografis Kraton Ngayogyakarta. Cara tersebut merupakan cara unik dan menggelikan, pembaca (O2) akan merasa terhibur sekaligus mendapatkan pengetahuan. Rubrik SST merupakan sebuah wacana jurnalistik yang mengutamakan fungsinya untuk menghibur para pembaca karena permainan bahasa yang digunakan para penulis (O1), maka juga disebut wacana rekreatif. Proses bercerita justru lebih diutamakan untuk menghibur para pembaca. Setelah para pembaca menikmati berita-berita yang berbobot tinggi dalam surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR) mereka akan kembali segar setelah membaca rubrik SST yang sifatnya menghibur. Meskipun rubrik SST mengutamakan fungsinya untuk menghibur, melalui media yang bukan merupakan media serius itu, para penulis (O1) dapat menuangkan maksud lain. Berdasarkan pengamatan peneliti, rubrik SST sebagai karya jurnalistik mempunyai berbagai fungsi. Di antara fungsi rubrik SST sebagai karya jurnalistik adalah sebagai sarana menyiarkan informasi, sarana mendidik, sarana menghibur, dan sarana mempengaruhi para pembacanya.

1. Sarana menyiarkan informasi Rubrik SST sebagai ragam jurnalistik juga berfungsi untuk menyiarkan informasi bagi para pembaca (O2). Fungsi menyiarkan informasi adalah untuk menyampaikan berbagai hal mengenai peristiwa yang terjadi, gagasan atau pikiran orang lain, apa yang dilakukan orang lain, apa yang dikatakan orang lain dan sebagainya (Effendi, 1993). Seringkali informasi yang disampaikan adalah

96

informasi yang tidak masuk akal karena tujuan utamanya adalah menghibur para pembaca (O2). Informasi apa saja dimunculkan. Bahkan yang konyol sekalipun, dan selalu saja memberi surprise berdaya kejutan yaitu informasi ringan faktual yang tercecer dari gelombang besar informasi. Bagai serpihan-serpihan tak berguna yng dipungut pembaca (O2), tapi ternyata sangat informatif dan menyegarkan. Setelah peneliti melakukan pengumpulkan data, ditemukan beberapa data yang mengutamakan fungsinya untuk menyampaikan informasi kepada pembaca (O2). Data tersebut adalah 03, 04, 05, 06, 07, 08, 09, 10, 12, 13, 15, 17, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 38, 39, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 55, 56, 57, 58A, 58B, 58E, 59F, 58H, 59D, 59E, 59H, 60A, 60C, 60D, 60E, 60F, 60G, 60I, 61I, 61A, 61B, 61C, 61E, 61G, 62B, 62C, 62E, 62F, 62H, 63A. Berikut adalah contoh rubrik SST yang berfungsi menyampaikan informasi kepada pembaca (O2). (57) KALAU kehabisan tempat untuk pasang tanda gambar parpol, saya bisa beri saran yang pasti joss, ialah di bagian atas cermin tukang cukur, di atas cermin tempat-cuci-tangan hotel atau rumah makan, dan di bagian dalam pintu toilet. Silakan coba, asalkan tidak melanggar peraturan yang ada! (SST/17 Maret 2004/17) Rubrik SST di atas berfungsi untuk menyampaikan penemuan mengenai cara-cara baru atau teknik-teknik yang dianggap jitu bahkan lucu yang belum pernah dilakukan atau dipikirkan dalam menangani suatu permasalahan yaitu mengenai cara memasang gambar partai politik (parpol) jika kehabisan tempat,

97

penulis menyarankan agar memasang gambar partai politik (parpol) di bagian atas cermin tukang cukur, di atas cermin tempat cuci tangan hotel atau rumah makan dan di bagian dalam pintu toilet. Hal ini di maksudkan agar dapat dilihat banyak orang karena tempat-tempat tersebut merupakan tempat umum yang sering digunakan. (58) SENIN besok benar-benar rekor orang pegang paku, mencermati gambar parpol dan nama-nama caleg, serta rekor orang tua yang bingung mengikuti Pemilu 2004. (SST/ 4 April 2004/34) (59) ULANG tahunku dan adikku, tahun ini sangat spesial, karena bersamaan dengan pelaksanaan Pemilu. Adikku baru saja meraakan HUT-nya Senin 5 April 2004 lalu. Sedang aku tanggal 5 Juli 2004, pas pemilihan presiden langsung. Lebih istimewa lagi, HUT adikku bertepatan dengan hari jadi kabupaten Subang, kampung

asalku!(SST/28 April 2004/62C) Kedua data di atas menyampaikan informasi tentang suatu hal. Penulis (O1) membuat rubrik tersebut dengan kreatif sehingga menimbulkan rasa humor. Informasi yang disampaikan data (58) yaitu tentang pelaksanaan pemilu yang akan dilaksanakan pada tanggal 5 April. Hal itu ditunjukkan pada tuturan senin besok., pembaca dapat menafsirkan sendiri maksud tuturan itu karena rubrik SST tersebut disajikan pada tanggal 4 April. Data (59) menyampaikan informasi tentang hari jadi kabupaten Subang. Tidak semua pembaca (O2) mengetahui hari jadi kabupaten Subang, melalui rubrik SST dan kreativitasnya penulis (O1)

98

bermaksud menginformasikan kepada para pembaca (O2) bahwa HUT kabupaten Subang pada tanggal 5 April.

2. Sarana mendidik Pengetahuan sangat penting dalam kehidupan manusia, tanpa pengetahuan manusia akan menjadi buta. Rubrik SST sebagai karya jurnalistik memuat pengetahuan, sehingga khalayak pembaca bertambah pengetahuannya. Dengan dimuatnya tentang pengetahuan dalam rubrik SST membuat wacana ini berfungsi sebagai sarana mendidik bagi para pembaca (O2). Berdasarkan klasifikasi data, peneliti mendapatkan beberapa data yang berfungsi mendidik pembaca (O2) yaitu 07, 10, 11, 28, 20, 22, 28, 37, 46, 53, 54, 58C, 59F, 61A, 61B, 63A. Sebagai contoh perhatikan data berikut. (60) BANYAK orang tahu tanaman Lidah Buaya, tapi tidak banyak orang yang tahu bahwa sesungguhnya buaya adalah binatang tidak berlidah! (SST/ 7 Maret 2004/ 07) (61) TAHUN 2004 ini bisa disebut sebagai Tahun Pemilu Dunia. Karena berdasarkan data Lembaga Internasional untuk sistem Pemilu (International System Foundation for Election Systems), ada lebih 40 negara yang akan menyelenggarakan pemilu tahun ini. Yang unik adalah, pemilu yang dilakukan ada yang berlangsung 2 tahap, 3 tahap, bahkan 5 tahap, seperti terjadi di India (SST/ 26 April 2004/ 54).

99

Data (60) dan (61) mempunyai fungsi mendidik bagi para pembaca (O2). Hal ini dapat kita lihat tentang binatang buaya yang tidak memiliki lidah, mungkin banyak pembaca (O2) yang tidak mengetahui bahwa buaya adalah binatang yang tidak berlidah, tapi banyak para pembaca yang mengetahui tentang tanaman lidah buaya. Pengetahuan tentang buaya tidak berlidah tersebut bermanfaat bagi pembaca (O2) untuk menambah pengetahuannya. Begitu pula pada data (61) yang menyampaikan tentang tahap-tahap dalam pemilu. Perbedaan tahap-tahap dalam pemilu di tiap negara di dunia merupakan sebuah pengetahuan bagi pembaca (O2). Adanya fungsi mendidik dalam rubrik SST sangat bermanfaat bagi para pembaca (O2) karena untuk menambah pengetahuan dan wawasan meskipun penyajiannya penuh dengan kreativitas sehingga menimbulkan rasa humor dalam wacana tersebut.

3. Sarana menghibur Fungsi utama rubrik SST adalah untuk menghibur, seringkali penciptaan rubrik SST tidak mengutamakan keakuratan isi namun lebih pada tujuan untuk menimbulkan kesan lucu atau membuat gelak tawa pembacanya. Hiburan yang diciptakan menjadi selingan atau intermezo para pembaca setelah dihidangi berita dan artikel yang berat, mereka perlu melemaskan ketegangan pikiran. Dengan hadirnya rubrik SST ini pembaca (O2) akan kembali segar karena rasa humor yang tinggi dari rubrik tersebut.

100

Hasil pengumpulan data diperoleh banyak data yang berfungsi menghibur para pembaca (O2) yaitu 01, 02, 05, 06, 09, 10, 11, 14, 15, 16, 17,19, 20, 26, 29, 30, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 43, 47, 48, 58C, 58D, 58E, 58G, 59A, 59A, 59B, 59C, 59F, 59G, 59H, 59I, 60B, 60D, 60H, 60I, 61D, 61F, 61G, 61H, 61I, 62A, 62D, 62G, 63C, 63D, 63E. Banyaknya data yang terkumpul tidak memungkinkan peneliti untuk menganalisisnya. Berikut contoh rubrik SST yang berfungsi menghibur pembaca (O2). (62) GARA-GARA arah kulon diganti dengan kilen dalam bahasa Jawa halus, maka temanku mengganti setiap huruf u dengan e dalam setiap percakapan. Terakhir, kemarin saya dengar dia bilang begini ; Pak, sampeyan ngidel teres ampen menggek-menggek. Dia ingin memberi kesan bahwa dia sangat mahir berbahasa Jawa halus! (SST/ 19 Maret 2004/19) (63) ADA dua hal terbesar tak tertandingi di dunia yang ada di Propinsi DIY. Pertama, kota terbesar di dunia adalah Kota Gede. Kota manapun tidak akan lebih besar dari Kota Gede. Kedua, kabupaten paling besar di dunia adalah kabupaten Kulon Progo. Wilayahnya meliputi Kulone Progo. Sampai Eropa, Afrika, dan bahkan Amerika sana, posisinya tetap Kulon Progo, Iya, kan? (SST/ 20 Maret 2004/ 20) Pada data (62) menyampaikan informasi tentang seseorang yang salah dalam menggunakan bahasa Jawa yaitu dengan mengubah vokal u dengan e dalam setiap percakapan. Hal ini membuat dia merasa mahir dalam menggunakan

101

bahasa Jawa, meskipun penggunaan bahasa itu salah. Kreativitas penulis (O1) dalam menyampaikan maksudnya menimbulkan rasa humor sehingga rubrik ini mempunyai fungsi menghibur. Data (63) menyampaikan informasi tentang nama sebuah kota yang bernama Kota Gede dan letak kabupaten yang bernama Kulon Progo. Kota Gede di sini maksudnya bukan kotanya yang gede (besar), tetapi Kota Gede adalah nama sebuah kota yang terletak di Yogyakarta, sedangkan Kulon Progo adalah nama sebuah kabupaten di Yogyakarta yang terletak di sebelah barat sungai Progo sehingga dinamakan Kulon Progo. Kulon berarti barat, karena benua Eropa, Afrika, dan Amerika terletak di sebelah barat sungai Progo maka penulis(O1) menyebutnya kabupaten yang paling luas. (64) SAAT berwisata ke Bandung, di kompleks pemandian air panas Ciater saya ketemu penjual topi menawarkan dagangannya berteriak: Seribu tiga, seribu tiga!. Karena murah, saya tertarik. Eeee.., ternyata yang di maksud seribunya yang tiga, bukan seribu dapat tiga! Sial ketipu. Tapi kecerdikannya pantas dicontoh!(SST/ 14 Maret 2004/ 14) Seperti halnya data (62) dan (63), data (64) dapat menimbulkan gelak tawa setelah para pembaca membacanya. Hal itu ditunjukkan oleh tema rubrik SST tersebut yaitu seseorang yang salah paham saat bertemu dengan penjual topi yang menawarkan dagangannya. Orang itu mengira harga satu topi seribu, hal ini ditunjukkan pada tuturan Seribu tiga, seribu tiga ternyata maksud penjual topi tersebut seribunya tiga alias tiga ribu.

102

Setelah membaca ketiga data di atas para pembaca (O2) akan terhibur karena permainan bahasa yang digunakan para penulis (O1). KreativSitas para penulis (O1) membuat para pembaca (O2) merasa terhibur sehingga menimbulkan gelak tawa. Dengan gelak tawa tersebut, para pembaca (O2) akan segar kembali setelah membaca berita yang berbobot atau setelah melakukan kegiatan yang menegangkan. Penulis (O1) dalam rubrik SST menceritakan keanehan dari peristiwa sederhana, namun mengandung kejutan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh pembaca (O2).

4. Sarana mempengaruhi Salah satu fungsi rubrik SST untuk mempengaruhi. Kedaulatan Rakyat (KR) sengaja menciptakannya agar masyarakat tertarik untuk menjadi pelanggan surat kabar tersebut. Cara ini sekaligus sebagai cara jitu untuk berkompetisi di bidang jurnalistik karena ternyata rubrik SST ini banyak menarik perhatian pembaca (O2) terhadap hal-hal unik. Di antara fokus pembicaraan yang sering memanfaatkan sarana ini antara lain adalah promosi dalam perdagangan atau proses bisnis. Dari hasil klasifikasi data di dapatkan beberapa data yang memuat kreatifitas berbahasa untuk mempengaruhi pembaca (O2) yaitu 09, 13, 12, 25, 42, 51, 55, 58B, 58H, 61I. Sebagai contoh berikut adalah rubrik SST yang mempengaruhi pembaca (O2). (65) MAKANAN khas daerah Banyumas antara lain adalah Soto Sokaraja. Tapi di Jl Bantul, di depan pom bensin Diro, ada papan nama Soto Sokaraja Khas Diro, Bantul! (SST/9 Maret 2004/09)

103

(66) TERKADANG penjual makanan seenaknya sendiri memberi nama warungnya. Di desa Tambakan, kecamatan Gubug, kabupaten Grobogan, Jawa Tengah ada Warung Bakso Nyah Nyoh. (SST/ 26 Maret 2004/ 25) Kedua data di atas berusaha menarik perhatian sekaligus mempengaruhi pembaca (O2) . Data (65) memperkenalkan makanan soto yang terletak di daerah Diro Bantul. Meskipun soto Sokaraja adalah makanan khas Banyumas, dengan kreatifitas penjual memberi nama warungnya diharapkan banyak pembeli yang tertarik dan mencoba makanan soto Sokaraja di daerah Diro Bantul. Pada data (66) menyajikan tentang warung bakso yang penjualnya memberi nama Nyah Nyoh, hal ini di maksudkan agar banyak pembeli yang mampir dan mencicipi bakso. Kata Nyah nyoh merupakan kosa kata bahasa Jawa yang berarti murah. (67) TEMAN saya bilang, Bakso Goyang Lidah sudah biasa. Tapi Bakso Goyang Ngebor baru rraaaaar biasaaa. Nggak yakin coba saja ke Warung Bakso Mas Inul Jl Raya Prambanan Manisrenggo Km 0,5 (SST/ 7 Maret 2004/58H) Data (67) mempunyai fungsi mempengaruhi para pembaca (O2) untuk berkunjung dan merasakan warung bakso dengan nama yang unik di daerah Prambanan. Pemberiaan nama warung tersebut merupakan keativitas penjual bakso untuk menarik para konsumen agar dagangannya laris. Penulis (O1)

dengan kreativitasnya mempromosikan warung bakso tersebut dengan bahasa apa adanya sehingga menarik perhatian para pembaca (O2) untuk menjadi konsumen.

104

BAB V PENUTUP

A. Simpulan Rubrik SST hadir di halaman pertama pojok kanan bawah kolom kesembilan surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR) yang terbit setiap hari, sedangkan untuk edisi sepekan hadir lebih dari satu rubrik yang terletak di halaman terakhir surat kabar tersebut dengan disertai gambar kartun yang menunjang salah satu rubrik di dalamnya. Para penulis (O1) rubrik SST adalah pembaca surat kabar Kedaulatan Rakyat (KR) yang berasal dari berbagai kalangan, antara lain mahasiswa, Purnawirawan TNI, pedagang, pengajar, dan sebagainya yang dapat dilihat dari setiap akhir rubrik dan rubrik ini memuat berbagai pengalaman tentang suatu kejadian yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Rubrik ini merupakan sajian jurnalisme khas yaitu tampilannya yang sederhana, tidak menghamburkan katakata dan bersifat jenaka. Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang telah dilakukan maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.

Rubrik SST sebagai karya jurnalistik memiliki karakter dalam pemakaian bahasa yang terdiri dari (a) adanya pemanfaatan ragam informal, (b) pemanfaatan ragam percakapan, (c) penggunaan bentuk singkatan dan akronim, (d) pemakaian slang , (e) adanya pemanfaatan gaya bahasa hiperbola, repitisi, personifikasi, elipsis, (f) pemanfaatan bentuk idiom, (g) penggunaan campur kode, (h) penggunaan alih kode, dan (i) pemanfaatan

105

bentuk interferensi. Kreativitas penulis (O1) juga menyebabkan pemakaian bahasa dalam rubrik SST bervariasi. Penyajian rubrik SST sebagai karya jurnalistik yang tujuan utamanya untuk menghibur para pembaca (O2), situasinya tidak resmi sehingga bahasa yang digunakan santai dan mudah dipahami para pembaca (O2).
2.

Aspek humor ditemukan dalam rubrik SST pada sebagian data yang dapat diketahui dengan menggunakan beberapa teknik yaitu (1) teknik keambiguan, (2) teknik pertentangan makna, (3) teknik penyimpangan logika terdiri atas penyimpangan logika angka, penyimpangan logika bahasa, penyimpangan logika makna, (4) teknik membandingkan yang tidak logis.

3.

Rubrik SST sebagai karya jurnalistik mempunyai beberapa fungsi bagi para pembaca (O2). Berdasarkan pengamatan didapatkan beberapa fungsi di antaranya sebagai (a) sarana menyiarkan informasi, (b) sarana mendidik, (c) sarana menghibur, dan (d) sarana mempengaruhi.

B. Saran Dalam penelitian ini selain dibutuhkan ketekunan dan kejelian, juga sangat dibutuhkan kritik dan saran serta bimbingan dari berbagai pihak, tanpa bantuan berbagai pihak tersebut, tujuan penelitian ini tidak akan tercapai. Setelah melalui proses pengamatan dan pemahaman mendalam selama penelitian dilakukan dalam batas kemampuan yang dimiliki peneliti, maka peneliti memiliki beberapa saran yang diharapkan dapat dilakukan :

106

1.

Pemakaian bahasa yang terkesan santai dan penuh humor perlu dipertahankan karena itu merupakan daya tarik tersendiri bagi pembaca (O2).

2.

Agar penelitian ini dapat menambah khasanah penelitian tentang kreativitas berbahasa khususnya dalam bahasa Indonesia, penulis menyarankan agar penelitian semacam ini selalu dikembangkan karena bahasa akan selalu berkembang dari satu waktu ke waktu yang lain.

Daftar Pustaka
107

Anwar, Rosihan. 1984. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa Alwasilah, A. Chaedar. 1990. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa Anwar, Khaidir. 1995. Beberapa Aspek Sosiokultural Masalah Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Akhadiah, Sabarti. 1996. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga Badudu, J.S. 1989. Inilah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar III. Jakarta: Gramedia Chaer, Abdul dan Leonie Agustin. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco Efendi, Onong Uchjono. 1993. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung. P.T Citra Aditya Bakti Hadi, Sutrisno. 1983. Metodologi Research: Untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis dan Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Jumsari, Jusuf dkk. Aspek Humor dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Keraf, Gorys. 1984. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende: Nusa Indah Keraf, Gorys. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

108

Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Mustakim.1994. Membina Kemampuan Berbahasa Panduan Ke arah Kemahiran Berbahasa. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama Moeliono, M. Anton. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguistik: Memahami Berbahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta:Visipro Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa Poerwadarminta, W.J.S 1939. Baoesastro Djawa. Batavia: J.B Wolters Uits Gevers Maatscappij Rohmadi, Mohammad. 2004. Karakteristik Bahasa Penyiar Radio JPI FM Solo dalam Humaniora. Yogyakarta: Unit Pengkajian dan Pengembangan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Sebelas Maret University Press Subroto, D. Edi. 1992. Pengantar Metoda Linguistik Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press Sudaryanto. 1984. Metode Linguistik: Pengantar Penanganan Bahasa Secara Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press Soejatmiko, Wuri. 1992. Aspek Linguistik dan Sosiokultural di dalam Humor dalam PELLBA 5. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa Wijana, I Dewa Putu. 1995. Bahasa Indonesia dalam Cerita Humor dalam Linguistik (Th. 3 No. 5 Agustus 1995). Jakarta: Lembaga Bahasa

109

Anda mungkin juga menyukai