Anda di halaman 1dari 76

TUGAS AKHIR

ANALISIS BAHASA SINTAKSIS DAN SEMANTIK

disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Bahasa Indonesia untuk
Penulisan Karya Ilmiah

Dosen Pembimbing:

Dr. Agus Nero Sofyan, Drs., M.Hum.

Disusun oleh:

Kelas 1-I

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN PEKERJAAN SOSIAL


SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL
BANDUNG
2017
Disusun oleh:

Fajar Septianto 17.04.001

Adityo Rizky Winarno 17.04.006

Kinanthi Widy Apuri 17.04.072

Kartika Aji Nugraha 17.04.084

Nanda Tiara Ruhiat 17.04.105

Sindy Fatikasari 17.04.141

Hana Rizki Fauziah 17.04.193

Bagus Nugroho Setiaji 17.04.211

Titan Maora Berliana 17.04.259

Camrol Bernard Sitanggang 17.04.282

Dara Rizkia Septriani 17.04.319

Aspiya Aulia Rachman 17.04.365

Untuk memenuhi tugas perbaikan.

ii
ANALISIS BAHASA

SINTAKSIS DAN SEMANTIK

Bahasa keseharian dunia manusia

Sastra keseharian peristiwa dunia

Tanpa bahasa manusia tak berbudaya

(tifa 191991)

Bagi dia yang memiliki peristiwa

Khusus di bulan April

iii
T. Fatimah Djajasudarma

ANALISIS BAHASA

SINTAKSIS DAN SEMANTIK

FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJAJARAN

ANALISIS BAHASA

SINTAKSIS DAN SEMANTIK

UVULA 2003 / 01

Diterbitkan oleh

UVULA PRESS Fakultas Sastra Universitas Padjajaran

Jln. Raya Bandung – Sumedang km 21

Telp./Faks. 022 – 7796482

Jatinangor – Sumedang 45363

@ Prof. Dr. Hj. T. Fatimah Djajasudarma

Dsain Cover. Abdul Ajiez Muslim

Cetakan Pertama oleh HUP Bandung. Syaban 1418./Desember 1997

Cetakan Kedua. Rabiul Awal 1424./Mei 2003

Dicetak oleh Alqaprint Jatinangor

ISBN 979-97523-0-2

iv
PENGANTAR PENERBIT

Bahasa ibarat udara. Ia diperlukan manusia setiap hari, bahkan setiap saat. Apabila
udara diperlukan demi kelangsungan hidup badani, bahasa diperlukan demi
kelangsungan hidup rohani, yang pada gilirannya demi kelangsungan hdiup
budayawi. Akan tetapi, pada satu sisi, keibaratan bahasa dan udara tidak simetris.
Apabila udara yang kita hirup-dalam bentuk asam-“hanya”mberunsurkan O2, bahasa
yang kita cetuskan justru serbaunsur.

Keterserbaunsuran inilah yang dicoba dipaparkan oleh T. Fatimah Djajasudarma


dalam bukunya yang berjudul Analisis Bahasa. Lewat uraiannya, antara lain kita
diperkenalkan dengan masalah “Tipologi Morfologi dan Sintaksis”, “Tipe Klausa
Relatif”, “Hubungan Antarunsur Kalimat” dan “Perkembangan Makna”. Satu hal
yang perlu digarisbawahi ialah mungkin paparan ini terkesan kompleks. Akan tetapi,
karena disajikan dengan gaya yang khas dan sistemik yang jelas kiranya materinya
tidak akan menjadi beban baca.

Dengan bangga “Uvula Press” menyodorkan karya kebahasaan karangan Guru Besar
Linguistik Fakultas Sastra Universitas Padjajaran ini. Akan tetapi, apa arti
kebanggaan tanpa kebermaknaan. Kiranya, kebermaknaan inilah yang menjadi
tujuan buku ini. Artinya, buku ini bermakna bagi pengamat, pekerja, dan pengguna
bahasa, bahkan bagi siapa pun yang ingin “meningkatkan kualitas rohani dan
budayawinya”.

Semoga.

Penerbit

v
KATA PENGANTAR

BUKU Analisis Bahasa: Sintaksis dan Semantik ini disusun sebagai upaya
penunjang dalam meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran bahasa pada
umumnya. Lingustik khususnya. Buku ini disusun sebagai langkah awal dalam upaya
meningkatkan mutu pendi-dikan seperti yang kita cita-citakan bersama. Peningkatan
mutu pendi-dikan dan pengajaran tidak akan terlaksana tanpa ditunjang oleh sarana
dan prasarana pendidikan. Kekurangan sarana pendidikan hanya dapat diatasi dengan
meningkatkanntaraf pendidikan dan pengadaan sarana dan prasarana. Kualitas
pendidikan itu sendiri hanya dapat dica-pai bila sarana dan prasarana pendidikan
memadai sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Buku Analisis Bahasa : Sintaksis dan Semantik merupakan sarana dalam penerapan
teori terhadap data kebahasaan yang dianggap menjadi salah satu jalan untuk
memahami bahasa secara linguitis (ilmu bahasa). Melihat perkembangan lingistik di
Indonesia secara pesat para linguis ditantang untuk melengkapi prasarana dan sarana
tersebut Demi kepuasan analisis (kajian) bahasa sebagai sarana ilmu bahasa yang
dirasakan sangat minim. Penulis berusaha menyusun tulisan ini yang disusun dan
dihimpun dari makalah-makalah yang penulis sampaikan baik untuk seminar
nasional maupun internasional.

Sebagaiana layaknya karangan ilmiah dalam menyusun makalah ini penulis


menggunakan bahan-bahan (sumber) dari berbagai karangan ilmiah yang
berhubungan. Kepada par penulis pemula saya ucapkan terimakasih. Penulis juga
ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tulisan
ini secara teknis.

Akhir kata penulis berharap tulisan ini dapat menjadi sumbangan berharga pada
bidang lingistik khususnya dan bidang pendidikan pada umumnya. Semoga tulisan
ini bermanfaat pula bagi para peneliti baik peneliti bahasa maupun bidang lainnya.

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Pengantar Penerbit. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii

Kata Pengantar. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv

Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v

Bab 1

Pendahuluan

1. Struktur dan Frasa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1


2. Srruktur Frasa dalam Hubungan D-M / M-D. . . . . . 2
3. Tipe Frasa dan Struktur D-M / M-D. . . . . . . . . . . . . 4
a. Frasa Endosentris. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
b. Frasa Eksosentrik. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
4. Struktur dan Teknik (Ekspansi Dileksi). . . . . . . . . . . 10

Bab 2

Klausa

1. Tipologi, Morfologi, dan Sintaksis. . . . . . . . . . . . . . . 13


2. Tipe Klausa Relatif. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
3. Klausa Relatif, Restriktif-Nonrestriktif. . . . . . . . . . . . 21
4. Beberapa Ciri Klausa Relatif Bahasa Indonesia …… 23

Bab 3

Kalimat

1. Kalimat dan Analisis “Govemment/Binding”


(Penguasa-Pembatas) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
2. Hubungan antarunsur kalimat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
3. Prinsip Proyeksi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 29
4. Teori “Theta” dan Semantik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41

vii
Bab 4

Perkembangan Makna sebagai Ajang Semantik

1. Perkembangan Makna. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 43
2. Perubahan Makna. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 45
3. Perluasan dan Penyempitan Makna. . . . . . . . . . . . . . . 48
4. Pergeseran Makna. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49
5. Analisis Semantik. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
a. Situasi Telis-Atelis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
b. Situasi Telis-Atelis dan Keaspekan
Prefektif-Imperfektif. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 52
c. Diksi dan Jenis Kalimat. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 54
d. Makna Keaspekan dan Jenis Verba. . . . . . . . . . 57
e. Hubungan Situasi Telis-Atelis dan Keaspekan
dalam Penggunaan Temporal. . . . . . . . . . . . . . . 62

Kepustakaan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 64

viii
BAB 1

PENDAHULUAN

1. Struktur dan Frasa

Pemahaman struktur yang dikemukakan Ramlan (1983) mengikuti aliran


strukturalisme Amerika dengan tokohnya Bolomfield (1933). Ramlan
mengemukakan bahwa menurut ali Ran struktural tata bahasa dapat dibagi menjadi
dua bagian, yakni morfologi, yang membicarakan seluk-beluk struktur kata, dan
sintaksis, yang membicarakan seluk-beluk struktur frasa dan kalimat (Ramlan, 1983).
Istilah frasa diungkapkan sebagai bentuk linguistik yang terdiri atas dua kata atau
lebih, yang tidak melam paui batas subjek dan predikat. Sehubungan dengan
pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa batasan yang dikemukakan Ramlan ini
adalah dalam rangka membedakan frasa dari klausa Pemahamannya adalah orang
yang pertama nonpredikatif, sedangkan yang kedua predikatif (Djajasudarma, 1987)
Hakikat struktur ini di dalam hal ini berdasarkan tataran bahasa(hierarki) dimulai dari
yang terkecil (fonologi), morfologi, dan Sintaksis. Hal tersebut mengacu pula pada
sifat bahasa yang Sistematis, artinya bahasa yang terdiri atas beberapa subsistem,
Yakni fonologi, gramatika (morfologi-sintaksis), dan leksikon. Dengan demikian,
struktural dapat berupa struktur berikut pemahaman tantaran (hierarki) bahasa,
seperti yang diungkapkan di atas.

Di pihak lain, Moeliono (1983) mengungkapkan structural hendaknya diberi


arti bahwa semua unsur bahasa menurut metode ini dianggap bertalian dank arena
itu membangun satu sistem yang kait-mengait. Di samping itu, ditegaskan pula
bahwa antarhierarki kebahasaan itu saling berhubungan yang membentuk satu
sistem. Struktural (sifat struktur) di dalam hal ini mengikuti paham strukturalisme
Eropa

dengan pelopornya Ferdinand de Saussure (1916). Paham strukturalisme itu

1
menganut bahwa unsur bahasa itu satu sama lain saling berhubungan, membentuk
satu kesatuan (the whole unified). Gagasan de Saussure ini mempengaruhi filsafat
gramatika Jespersen (1924) yang mengungkapkan bahwa “segala sesuatu harus tetap
diamati bentuk, fungsi, dan maknanya” (lihat pula Uhlenbeck, 1978 dan 1982:
Djajasudarma, 1986). Pemahaman fungsi dan makna erat sekali dengan hubungan
antarunsur dalam membentuk satu kesatuan. Oleh karena itu, beda bentuk harus
dicurigai fungsi dan maknanya.

Sehubungan dengan pemahaman strukturalisme, kita membedakan


strukturalisme Amerika dan strukturalisme Eropa. Strukturalisme Amerika
berdasarkan struktur (hierarki/tataran bahasa) dan strukturalisme Eropa berdasarkan
hubungan antarunsur yang membentuk satu kesatuan. Memahami strukturalisme
Eropa, salah satu unsur bahasa, unsur minimal kalimat, yan disebut frasa dapat
dipahami strukturnya melalui hubungan antarunsur pembentuknya. Pembagian frasa
berdasarkan unsur yang menyangkut kelas kata dapat ditentukan oleh adanya: frasa
nomina(l), verba(l), adjektiva(l), dan adverbial(l), dan preposisi. Menarik perhatian
pula tentang pembagian frasa berdasarkan tipe frasa endosentris dan eksosentris.
Mengingat ruang dan waktu, tulisan ini hanya akan mengungkapkan struktur frasa
bahasa Indonesia dalam hubungan D-M/M-D.

2. Stuktur Frasa dalam Hubungan D-M/M-D

Seperti dinyatakan terdahulu, frasa adalah unsur kalimat yang terdiri atas dua
unsur atau lebih dan nonpredikatif. Predikatif adalah sifat fungsional bagi unsur
klausa (kalimat). Sifat ini menjelaskan perbedaan perbedaan frasa dan klausa. Dilihat
dari segi tataran bahasa frasa adalah unsur minimal klausa (kalimat), sedangkan
klausa adalah unsur minimal wacana (discourse); klausa terdiri atas dua unsur atau
lebih dan salah satu unsurnya adalah predikatif (Djajasudarman, 1987).

Perbedaan frasa dan klausa yang menyangkut masalah unsur secara


kuantitatif mengakibatkan masalah dalam hubungannya dengan kata majemuk
(terdiri dua unsur). Perbedaan itu dapat diatasi dengan perbedaan lafal dan
pengembangan unsur, serta tumpuan sematik (makna). Bagi kata majemuk yang

2
terdiri atas dua unsur dengan lafal satu tekanan tidak dapat dikembangkan lebih
lanjut dan memiliki satu kesatuan makna.

Klasifikasi frasa endosentris dan eksosentris adalah berdasarkan hubungan


antarunsur, atau hubungan yang memiliki konstituen (unsur) induk (head) dan
hubungan tak berinduk. Frasa yang memiliki konstituen sebagai induk (inti) disebut
hubungan endosentris, sedangkan yang tak berinduk disebut hubungan eksosentris.
Tipe frasa endosentris terdiri atas frasa yang bersifat atributif dan koordinatif,
sedangkan yang eksosentris terdiri atas frasa yang objektif dan direktif (lihat bagan
1).

Bagan I

Frasa

Endosentris Eksosentris

Atributif Koordinator Objektif


Direktif

Endosentris atributif berhubungan pula dengan kaidah D-M atau M-D dengan
konstituen atributif sebagai M (enerangkan) dan konstituen induk sebagai
D(iterangkan). Perhatikan konstrukti (struktur) frasa berikut:

(1) Istri muda


D M
Ind. atr.

Bandingkan dengan:

3
(2) Seorang istri muda
M D M
atr. ind. atr.

Atribut (M) sebagai konstituen pewatas (modifier) di dalam struktur frasa


bahasa Indonesia dapat lekat kiri atau lekat kanan, mengapit unsur induk. Dalam hal
induk adjektiva dalam komparatif diungkapkan atribut (M) yang mengapit induk
frasa, seperti pada:

(3) Sama besar seperti … atau (4) lebih pandai daripada


M D M M D M
atr. ind. atr. atr. ind. atr.

Struktur frasa endosentris koordinatif adalah gabungan unsur atau konstituen


yang sama kategori kelasnya, berdasarkan sifat konstruksinya, frasa coordinator yang
terdiri atas aditif (penjumlahan), apositif (pembatasan), alternative (pilihan), dan
unsur-unsur (konstituen) yang berkoordinatif (lihat bagian II).

Bagan II

Endosentris Koordinatif

Aditif Apositif Alternatif Unsur-unsurnya


berkoordinatif

3. Tipe Frasa dan Struktur D-M/M-D

a. Frasa Endosentris

4
Endosentris coordinator aditif

Endosentris koordinator aditif yang bermakna penjumlahan dapat muncul dengan


partikel atau bersifat parataksis (0), Seperti pada:

(5) tekun cerdas atau (5a) tekun dan cerdas

Termasuk pula konstruksi yang disebut frasa nomina dengan unsurnya adalah
nomina, seperti pada:

(6) sawah ladang atau (6a) sawah dan


lading

Dalam hal endosentris koordinatif, hubungan D-M/M-D tidak didapatkan


mengingat hubungan konstituen dengan fungsi gramatikal yang setara. Frasa
endosentris koordinatif harus dihubungkan dengan konstituen lain sebagai induk.
Perhatikanlah konstruksi berikut:

(7) anak tekun dan cerdas …


D M M
ind. atr. atr.

Atau frasa nomina dengan hubungan endosentris koordinnatif sebagai induk (D)
yang bergabung dengan frasa adjektiva dengan hubungan coordinator aditif.
Perhatikanlah di bawah ini:

(8) sawah dan ladang yang luas dan subur


D D M M
ind. ind. atr. atr.

Hubungan tanpa paratikel dapat terjadi pada struktur endosentris koordinatif


(hubungan renggang atau parataksis), seperti pada (5). Perhatikan pula yang berikut
ini:

(9) (masakan) Indonesia, Sunda dan Tionghoa


D M M M

5
ind. atr. atr. atr.

Pada (9) Indonesia, Sunda, dan Tionghoa sebagai M bersifat menerangkan


masakan (D) bersifat diterangkan, dengan maksud jenis masakan. Bandingkanlah
dengan:

(10) Masakan Indonesia dan Tionghoa yang lezat

D M M M

ind. atr. atr. atr.

Perhatikanlah masakan yang diterangkan oleh Indonesia dan Tionghoa, serta


lezat, Indonesia, dan Tionghoa adalah frasa dengan hubungan koordinatif.

- Endosentris apositif

Hubungan endosentris apositif bersifat membatasi. Unsur-unsurnya memiliki fungsi


yang sama, di mana unsur kedua menerangkan unsur pertama. Perhatikanlah struktur
frasa berikut:

(11) seorang anak pegawai negeri


M D D M
atr. ind. ind. atr.
D M
atr. atr.

Perhatikanlah D (seorang anak) dibatasi oleh M (pegawai negeri).


Bandingkanlah dengan struktur berikut:

(12) wanita pengusaha


D M
ind. atr.

Bandingkanlah dengan:

6
(13) pengusaha wanita
D M
ind. atr.

Pada (12) wanita sebagai D (induk) dengan pembatas pengusaha (wanita


sebagai pengusaha bukan sebagai …): pada (13) pengusaha dibatasi oleh wanita
sebagai M (atribut) yang mengacu pada wanita sebagai objek dari pengusaha. Pada
(12) wanita pengusaha sama dengan usahawati. Sedangkan pada (13) pengusaha
wanita menunjukkan: pengusaha (baik wanita maupun laki-laki) dengan objek
usahanya wanita. Dengan demikian, pada (13) pengusaha dapat berupa usahawan
atau usahawati, tetapi pada (12) hanya usahawati.

- Endosentris koordinatif berkoordinator

Endosentris koordinatif dengan unsur-unsurnya berkoordinator. Koordinator


dalam hal ini dapat berupa preposisi korelatif, seperti pada:

(14) baik anak maupun istrinya

koor. ind. koor. ind.

Bandingkan dengan:

(15) bukan dia melainkan kamu

koor. ind. koor. ind.

Makna koordinator menunjukkan aditif (penjumlahan), sedangkan pada (15)


coordinator bermakna kontras (mempertentangkan).

- Endosentris coordinator alternative

Endosentris koordinatif yang bersifat alternative memiliki unsur sebagai pilihan,


perhatikanlah:

(16) ibu atau bapak

Alternatif dapat terjadi pula pada konstruktur, unsur-unsur berkoordinator,

7
seperti pada (15) di atas.

Hubungan eksosentris dibentuk dengan gabungan unsur yang berbeda


kelasnya karena itu hubungan ini tidak memiliki induk. Eksosentris terdiri atas
eksosentris objektif dan eksosentris direktif. Bandingkanlah dua struktur berikut:

(18) (x) memasak makanan

V (erba) O (bjek)

M D

atau

(19) (x) menyenangi music klasik

V D M

Perhatikan pula dua O(bjek), yaitu objek langsung (OLA) dan objek tak langsung
(OTL), seperti pada struktur berikut:

(20) (x) mendoakan kamu selamat

V OTL OLA

atau struktur berikut:

(21) (x) menyatakan pertemuan itu dibuka

V OLA Komp. OLA

atau

(22) (x) menyruruh tamunya ke dalam ruang tunggu

V OLA O = adverbial

8
b. Frasa Eksosentris

- Struktur eksosentris objektif

Struktur eksosentris objektif mengacu pada hubungan V dengan objek (komplemen)


verba. Hubungan itu mempertimbangkan verba dengan klasifikasi transitif:
monotransitif, bitransitif, dan kompleks transitif. Monotransitif seperti pada (19):
bitransitif seperti pada (20) yang menghadirkan dua O: kompleks transitif seperti
pada (21), di mana O yang berupa OLA diikuti oleh komplemen O. Pada (22)
berbeda dengan (21) dan pada (22) OLA diikuti O sebagai adverbial yang
menerangkan V (menyuruh ke dalam ruang tunggu).

Struktur eksosentris objektif dibedakan dan struktur eksosentris konektif


(hubungan antarunsusr berkonektor). Sedangkan konektor menerangkan bagian lain.
Perhatikanlah struktur berikut:

(23) a. menjadi pilot

b. merupakan tugas utamanya

c. adalah tuganya

Struktur frasa eksosentris konektif seperti pada (23) a. b. dan c mengacu pada
verba “kopula”, di mana konektor mengacu pada unsur di luar batas frase.

- Struktur frase eksosentris direktif

Struktur frase eksosentris direktif memiliki direktor. Unsur yang bergabung dengan
direktor memilki hubungan yang erat sebagai satu kesatuan.

Bandingkanlah dua struktur berikut:

(24) dari Bandung

Prep. Lok.

9
dengan

(25) dari saya

Prep. Pron.

Pada frasa (24) dari Bandung, dari diikuti oleh lokasi (tempat), tetapi pada
(25) dari saya, dari diikuti oleh pronomina persona. Dalam hal ini, kedua struktur itu
harus dikaji melalui filsafat bahasa, di mana manusia mampu bergerak (bersifat
mobilitas) mengakibatkan mampu menjadi titik pusat (dirinya sendiri) atau sebagai
sasar-an, di samping manusia dapat memenuhi ruang dan waktu. Verba tertentu
menuntut kehadiran preposisi. Frasa preposisi memiliki keterkaitan yang erat sebagai
unsur kalimat.

4. Struktur dan Teknik (Ekspansi Dileksi)

Struktur bahasa Indonesia dapat dipahami dari dua segi, yakni struktur
berdasarkan tataran (unsur yang terkecil sampai dengan yang lebih luas); dan struktur
yang bersifat hubungan menunjukkan stukturalisme Amerika (Bloomfieldian 1933)
sedangkan paham kedua menunjukkan strukturalisme Eropa (Sausurian 1916).

Struktur bahasa Indonesia melalui salah satu unsur minimal kalimat dapat dikaji
melalui kaidah D-M bagi unsur yang memiliki induk frasa, etapi bagi unsur lain tidak
dapat ditentukan D-M/M-D karena memiliki fungsi gramatikal yang sama. Struktur
lain bila dikaitkan dengan frasa sebagai unsur kalimat. Maka bagi frasa objektif pada
konstruksi ekso-sentris memerlukan kategori berdasarkan pemilahan verba dan
kopula. Verba menerangkan objek yang dikerjakan atau dijadikan sasaran makna
yangdiungkapkan verba itu sendiri, tetapi tidak demikian halnya pada frasa
eksosentris konektif, dimana frasa memiliki konektor yang mengacu (menerangkan)
bagian lain di luar frasa itu (harus dilihat pada tataran klausa atau kalimat).

Stukturalisme Eropa dalam kajian unsur bahasa berhubungan dengan metode


distribusional melalui beberapa teknik kajiannya, seperti: pelesapan penghilangan
(delesi), penyulihan (subtitusi), perluasan (ekspansi), penyisipan (interupsi),
pemindahan unsur (permutasi), parafrasa, dan pengulangan (duplikasi/reduplikasi).

10
Yang juga menarik perhatian ialah cara kerja antar teknik yang perlu di- terapkan
dengan penelitian yang mendalam bagi struktur kalimat bahasa Indonesia. Misalnya,
penerapan teknik interupsi akan mengakibatkan ekspansi bagi struktur kalimat
bahasa Indonesia itu sendiri, dengan makna yang berlainan, seperti pada kalimat:

“Pada pesta itu saya mencium dia”

Bila kita sisipkan kata “hanya” pada kalimat tersebut, akan menghasilkan
gambaran berikut:

Pada pesta itu saya mencium dia

hanya

1. Hanya pada pesta itusaya mencium dia (pada pesta lain tidak),
2. Pada pesta itu hanya saya yang mencium dia (yang lain tidak),
3. Pada pesta itu saya hanya mencium dia (tidak memeluknya),
4. Pada pesta itu saya mencium hanya dia (tidak yang lain).
 

Pembicaraan struktur bahasa Indonesia harus dibatasi berdasarkan tataran


bahasa Indonesia sendiri. Struktur frasa di dalam bahasa Indonesia dapat
menyatakan milik dapat menimbulkan ketaksaan, lebih-lebih bila terdiri atas
tiga unsur atau lebih. Bandingkanlah contoh berikut:

(26) anak istri Pak Lurah atau (27) anak-istri Pak Lurah

Bila ditulis, kita akan memahami tanda bahasa yang menyatakan aditif
(27) dan yang menyatakan milik (26) tetapi bila dilafalkan akan
mengakibatkan makna ganda (ketaksaan). Demikian pula yang terjadi
pada konstruksi berikut:

(28) tangan kanan Pak Direktur

Apakah maknanya posesif, tangan yang sebelah kanan dari Pak Direktur
atau kepercayaan Pak Direktur. Makna milik di dalam bahasa Indonesia

11
selain dinyatakan dengan leksem “punya” juga dapat dinyatakan dengan
pola urutan (termilik-pemilik atau sebaliknya). Atau, dengan klitik
posesif, seperti bagi pronomina persona | -ku, || -mu, dan ||| -nya.
Pemakaian klitik posesif dapat menurunkan tataran bahasa (terjadi
raising), seperti pada:

(29) buku dia menjadi (29a) bukunya

Akhiran-nya didapatkan didalam bahasa Indonesia dan dapat memiliki makna


bermacam macam (tidak hanya sebagai klitik pronomina persona III) pada tataran
wacana, kalimat, dan klausa. Sufiks (akhiran) –nya dapat berfungsi a.I. sebagai (1)
klitik sebagai varian dari ia (seperti yang telah disebutkan), (2) nominalisator, (3)
pemarkah takrif, dan (4) unsur anafora (merujuk balik). Bandingkanlah iga
konstruksi kalimat berikut:

(30) a. Buku itu baru kubeli.

b. Adik membacanya sampai tamat.

c. Bukunya habis terjual

Perhatikanlah sufiks-nya pada kata membacanya (30b) mengacu pada buku


(30a). Akan tetapi pada (30c) menimbulkan ketaksaan apakah-nya sebagai pemarkah
takrif ataukah sebagai kritik yang menyatakan milik (sama dengan buku dia). Kajian-
nya dapat menyangkut struktur yang lebih luas, sampai pada wacana dengan unsur
minimalnya klausa.

12
BAB 2

KLAUSA

1. Tipologi Morfologi dan Sintaksis

Istilah tipologi di dalam hal ini dipahami sebagai ciri-ciri yang dapat dijadikan

sebgai tipe bahasa. Tipologi mengacu pada tipe yang dimiliki bahasa yang

bersangkutan yang dapat dijadikan unsur bahasa universal bila dikaji melalui

bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Tipologi berhubungan erat dengan semestaan

bahasa (language universal) bila tipe-tipe unsur bahasa itu dapat ditelusuri melalui

bahasa-bahasa yang ada. Istilah tipologi diawali dari klasifikasi bahasa secara

tipologis sejak pemikiran pertama dari Friedrich von Schlegel, yang kemudian

dikembangkan oleh kakanya August vo Schlegel (1818). Klafisikasi ini semula

berpusat pada tipologi morfologi yang kemudian berkembang pada struktur

(fonologi, morfologi, dan sintaksis). Tipologi morfologi yang muncul pada abad

XIX berkembang ke arah yang lebih luas dengan parameter konsep-konsep

gramatikal, proses-proses gramatikal, dan tingkat penggabungan morfem dalam

kata (lihat Sapir, 1921). Greenberg (1954) mengembangkan gagasan tersebut

dengan parameter: (1) menyangkut jumlah morfem yang ada dalam sebuah

kalimat, (2) Jumlah sendi yang ada dalam sebuah konstruksi, (3) kelas-kelas

morfem yang menyangkut sebuah kata (akar, derivasi, dan infleksi), (4)

menyangkut jumlah afiks yang ada dalam sebuah konstruksi, dan (5) masalah

hubungan antarkata dalam kalimat.

13
Perkembangan penelitian morfologi ini sebenarnya tidak hanya sampai pada
masalah tersebut diatas, sebab pada tahu 1960-an telah dilanjutkan dengan teknik
analisis WP, IP, dan IA yang dikemukakan oleh Hockett (1954) yang kemudian
dipertimbangkan dari berbagai kajian morfologi di dalam Matthews (1974). Tipologi
morfologi yang kemudian menyangkut masalah derivasi dan infeksi yang
mempertimbangkan hasil proses morfermis yang berbeda mengakibatkan para
peniliti morfologi harus membedakan hasil proses derivasional dan hasil proses yang
infleksional (lihat pula Lyons, 1977). Hasil proses yang derivasional akan
menghilangkan kriteria kelas kata dari operan. Berbeda dengan infeksional yang
mepertahankan kelas kata dari operan. Olah karena itu ada verbal (I), nomina (I),
adjektiva (I), dan adverbal (I) sebagai konsekuensi logis dari hasil proses tersebut.

Tipologi sintaksis menyangkut masalah struktur kalimat (tempat S(ubjek),


P(redikat), O(bjek)), dan rasio antara jumlah kata-kata penuh (berdasarkan jenis kata)
dan partikel. Berdasarkan struktur kalimat kemudia dikategorikan ada bahasa
SV(erba)O, SOV, VSO, dst. Tipologi morfologi dalam pemahaman klasifikasi
tipologi merupakan implikasi universal (semestaan) karena bekerja melalui lintas
kebahasaan secara komparatif untuk unsur-unsur yang diteliti. Implikasi universal
antara lain dalam hal bila pro- nomina demonstratif mengikut nomina(I) inti, klausa
relatif juga akan mengikuti(I) inti. Ciri atau sifat unversal ini harus diteliti melalui
unsur-unsur yang bertipe sama pada bahasa-bahasa yang ada di dunia.

Tipologi dapat pula dipahami secara spesifik yang merupakan pendekatan terhadap
penelitian bahasa yang berlawanan dengan pendekatan sebelumnya, seperti
strukturalisme Amerika dn pendektan tata bahasa generatif. Dalam hal ini, tipologi
merupakan pendekatan teori linguistik atau metodologi kajian linguistik yang
berkembang ke arah teori linguistik yang berbeda dari pendekatan lainnya. Tipologi
tersebut dikenal dengan sebutan Greenbergian dan sebagai pendekatan tipologi
fungsional (functional typologicl approach), lawannya Chomskyan. Yang pertama
dikenal sebagai sedangkan yang kedua (pendekatan Chomsky) dikenal sebagai
pendekatan formalisme (formalism approach). Pendekatan tipologi fungsional mulai
dikenal pada tahun 1970-an (Croft, 1990:2). Tipologi di dalam tulisan ini akan
mengkaji beberapa sifat tipologis klausa relatif bahasa Indonesia, dengan
pemahaman tipologi yang menyagkut ciri klausa relatif bahasa Indonesia dan
dipertimbangkan secara deskriptif. Klausa relatif dipahami sebagai klausa yang

14
memiliki relator (pronomina relatif). Sifat-sifat atau ciri-ciri klausa relatif bahasa
Indonesia dipertimbangkan dari salah satu unsur penelitian kalimat, yakni bola
urutan (word order).
1. Tipe Klausa Relatif

Penelitian klausa termasuk dalam kalimat atau wacana dalam tataran yang lebih
luas. Penelitian linguistik yang bersifat kualitatif erat kaitannya dengan
strukturalisme Saussurian (unsur-unsur yang diteliti berhubungan satu sama lain,
embentuk satu kesatuan yang utuh – the whole unified), dan berkaitan pula dengan
filsafat gramatika yang menyatakan bahwa unsur-unsur penelitian itu harus
dipertimbangkan dari bentuk, fungsi, dan makna (pertimbangkanlah de Saussure,
1916: Jespersen, 1924; Sudaryanto, 1988: Uhlenbeck, 1978: Djajasudarma, 1986,
1992).

Penelitian klausa relatif dengan dasar penelitian dan kajian yang dilandasi
teori tersebut di atas akan berkaitan dengan unsur-unsur yang harus dipertimbangkan
di dalam penelitian klausa (kalimat), yakni: (1) intonasi, (2) bentuk kata, (3) pola
urutan, dan (4) partikel. Unsur-unsur yang harus diperhatikan di dalam penelitian
kalimat tersebut mendukung kalimat secara keseluruhan, tetapi bagi (1) intonasi sulit
untuk dipertimbangkan melalui data tulis. Karena intonasi ada pada parole,
sedangkan sata tulis ada pada langue, sehingga intonasi di dalam hal ini tidak akan
dipertimbangkan lagi. (2) bentuk kata di dalam kalimat bahasa Indonesia, bentuk
kata (verba) misalnya, dapat menentukan kategori kalimat; bagi (3) pola urutan di
dalam kalimat bahasa Indonesia dapat diteliti sejauh mana urutan inti (hulu) dan
noninti membedakan makna kalimat, atau secara tipologis apakah memang hulu yang
mengikuti pronomina relatif di dalam klausa relatif bahasa Indonesia: bagi (4)
partikel di dalam kalimat dapat menentukan kalusa inti dan noninti atau jenis kalimat
dilihat dari segi hubungan makna kalimat. Dalam kajian ini hanya unsur (3) yang
akan dipertimbangkan, sejauh mana klausa relatif memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat
tipologi di dalam bahasa Indonesia.

Sifat yang telah diketahui secara eksplisit di dalam bahasa Indonesia adalah klausa
yang diawali pronomina relatif (lihat Kridalaksana, 1984), selain dapat pula

15
dipertimbangkan dari ciri atau /./ didalam bahasa Indonesia. Pronomina relatif ini
merupakan unsur yang digunakan untuk “mengantar” atau memperkenalkan klausa
hulu (frasa nomina-FN) yang dikembangkan ke dalam klausa secara keseluruhan.
Klausa terikat yang menghantar hulu (FN) dari klausa inti selalu diawali oleh
pronomina relatif, baik yang berupa yang, atau /./. Unsur FN sebagai hulu dari klausa
mensyaratkan persesuaian dengan bagian lain dalam klausa tersebut secara
keseluruhan.

Klausa relatif yang dapat dipilah ke dalam relatif restriktif (membatasi) dan
nonrestriktif (tidak membatasi) memiliki sifat-sifat tersendiri dalam klausa bahasa
Indonesia. Klausa relatif mewajibkan klausa terikat itu hadir, sedangkan klausa
relatif nonrestriktif tidak mensyaratkan unsur klausa terikat, sehingga kehadirannya
dapat dianggap opsional, dan hanya sebagai tambahan (modifier). Klausa relatif
nonrestriktif disebut juga apositif, deskriptif, atau eksplanatori. Intonasi memegang
peran penting di dalam klausa relatif nonrestriktif ini. Relatif restriktif memiliki
pronomina relatif yang dan berfungsi sebagai konjungsi. Perhatikanlah data berikut:

1. Anak gadis yang tinggi berdiri di sudut itu teman saya.

Bila dikaji dari sifat tipologis FN sebagai hulu di dalam

klausa relatif (1), bahasa Indonesia memiliki sifat:

FN: anak gadis --- premodifier + inti

Dengan klausa relatif berpola urutan:

yang + posmodifier

Sedangkan klausa inti secara utuh berpola urutan:

FN + premodifier (anak) + Predikat FN (teman saya)

yakni, “Anak gadis itu teman saya” atau “Anak gadis teman saya”. Pada “anak gadis
itu teman saya” pronomina demonstratif itu dianggap sebagai relator unsur klausa,
sedangkan pada “Anak gadis teman saya” menuntut kehadiran intonasi kalimat bila

16
dianggap sebagai klausa ekuatif, bila tidak akan dianggap sebagai FN dengan urutan:

FN1: anak gadis – promodifier (anak) + inti (gadis)

Atau sebaliknya, dan

FN2: premodifer (teman) + inti (saya)

dalam hubungan posesif . tetapi, bila anak sebagai inti maka gadis menjadi
posmodifer dalam batas hubungan rincian ciri FN(N).

Di dalam klausa inti kehadiran intonasi kalimat (terutama klausa ekuatif)


dapat dianggap sebagai pemarkah subjek, bagi FN1 dan pemarkah bagi FN2 bila
susunan SP terdiri dari 2 FN. Klausa inti tanpa intonasi kalimat akan menurunkan
tataran dari klausa menjadi frase (FN) atau urutan dua FN dengan pre atau
posmodifier. Klausa relatif dengan pro-nomina relatif 0 dapat kita perhatikan bila (1)
dikembangkan menjadi (2):

(2) Anak gadis teman saya bekerja di Jakarta

hulu posmod. premod. hulu

S S/P P K

S KL. REL.

S KL. P K

Bandingkan dengan:

(2)* Anak gadis yang teman saya bekerja di jakarta.

Pada (2) kehadiran intonasi sebagai unsur (pronomina) relatif mutlak perlu,
karena pronomina relatif tidak berterima di dalam bahasa Indonesia, dalam hubungan
posesif, tetapi unsur relatif dengan bentuk lain dapat berterima, misalnya menjadi

17
“Anak gadis dari teman saya” bila kata dari dapat menyulih kata yang dalam
fungsinya sebagai konjungsi di samping sebagai pronomina relatif. Sifat klausa
relatif yang ini mengandung pronomina relatif ɸ atau relator dari dalam hubungan
posesif. Konstruksi hubungan FN (hulu) dengan FN (klausa relatif) memiliki kaidah.

FN1 FN2

hulu + pasmod pasmod + hulu

Klausa relatif pada (2) dapat pula menjadi posmodifier dengan unsur
premodifier dari FN1, sehingga terjadi:

(3) Anak gadis teman saya yang bekerja di Jakarta pulang hari ini

hulu posmod KL. Rel. P K

Di sini pula klausa relatif dengan pemarkah ɸ yang menurut adanya intonasi
dalam ujara, yakni “gadis teman saya” dan klausa relatif dengan pronomina relatif
(bekerja si jakarta), sedangkan “pulang” menjadi predikat dari klausa inti, dan “hari
ini” menjadi komplemen (keterangan waktu) predikat. Klausa inti menjadi “Anak
pulang hari ini”.

(posesif) relator yang digunakan dapat berupa atau dari. Perhatikan data bahasa
Indonesia berikut: (7) Ibu bapak yang tinggal di Medan pergi ke Jakarta.

S Prom. P Komp.P P Kom.P

Rel

18
Kl. Rel.

Pada klausa relatif dapat diketahui yang berkoferensi dengan S Kl(ausa) inti,
sedangkan pada da hulu yang berfungsi sebagai S Kl inti terdapat hubungan: (1)
milik, dan (2) sebagai satu kesatuan makna (majemuk) yang mengacu pada “orang
tua”. Ketaksaan tersebut terjadi bila tanda hubungan yang menyatakan majemuk tadi
tidak hadir. Tanda ɸ dalam hubungan milik dapat ditelusuri dengan relator dari yang
berkembang di dalam rangka lisan menjadi daripada. Bandingkan dengan kata (8)
klausa relatif bahasa Indonesia yang berkategori aktif yang dipertimbangkan dari
bentuk V(erba).

(8) Saya yang melihat orang itu berlari.

S S Rel. Vak O P

= saya

Bila terjadi transformasi akan kita lihat pengedepanan unsur O menjadi S dan
bentuk V mengalami loncatan tataran (kata-frasa), sehingga menjadi (9):

(9) Orang itu yang saya lihat berdiri.

S FV Pas. P

S Rel. P

Kl. Rel.

Kl. Inti

Pengendepanan unsur pada transformasi aktif-pasif mengakibatkan S Kl. Inti


menjadi P Kl. Rel. Dengan syarat S Kl. Inti berupa pronomina(l) yang bergabung
dengan V dasar yang dapat pula disulih dengan verba pasif berafiks di-, sehingga
terjadi penyulihan frasa menjadi kata. Bila di dalam Kl. Rel. bahasa Inggris terjadi

19
apa yang disebut chopping transformation (transformasi loncatan) atau apa yang
disebut movement without an overt copy (permutasi tanpa jejak), bagi pronomina
relatif dengan relator whom (yang berfungsi sebagai ɸ) di dalam bahasa Indonesia
terjadi level skipping (loncatan tataran) pada V menjadi FV seperti pada (9).
Sebaliknya, bagi pronomina persona yang berfungsi sebagai ɸ pada Kl. Rel. menjadi
S pada Kl. Inti (permutasi dengan jejak, ɸ dapat ditelusuri pada kategori aktif
menjadi pasif). Kategori demikian di dalam bahasa Inggris disebut copying
transformation (transformasi salinan atau jejak) atau movement with copying
(permutasi dengan jejak atau dengan salinan).

Data di dalam bahasa Onggris yang menunjukkan adanya permutasi tanpa


jejak antara lain ada pada (10), dan permutasi dengan jejak antara lain terdapat pada
(11). Bandingkanlah data berikut:

(10) The man whom I saw yesterday left this morning.

S O S P K P K

Klausa relatif (10) dikembangkan dari:

Kl. Inti : The man left this morning.

Kl. Rel.: I saw the man yesterday.

Kalimat (3) memiliki urutan klausa relatif sebagai berikut:

FN ɸ KL.Rel. yang KL.Rel. P K

Pilihan yang masih mungkin terjadi adalah hulu dari FN pada klausa inti
bergantung pada intonasi, sehingga kita memiliki pemahaman FN sebagai hulu: (1)
anak (seperti rincian di atas), (2) anak gadis, atau (3) anak gadis teman saya. Antara
FN (anak gadis) dengan FN (teman saya) masih ada relator. Sebagai penghubung
dua FN sebagai pronomina relatif ɸ (yang berfungsi pula sebagai konjungsi yang
menyataka hubungan termilik-pemilik). Dalam hubungan termilik-pemilik di dalam
kontruksi (3) ɸ = dari.

20
Bila dilihat dari kategori klausa relatif, yakni relatif restriktif dan nonrestriktif
klausa relatif bahasa Indonesia yang memiliki /. / sebelum pronomina relatif yang
dan diakhiri sebelum predikat klausa inti akan disebut relatif nonrestriktif yang
sifatnya apositif, deskriptif, atau eksplanatori. Kehadiran dapat opsional klausa reatif
restriktif merupakan klausa terikatyang kehadirannya obligatori. Klausa relatif di
dalam bahasa Indonesia seperti pada:

Orang itu yang saya lihat kemarin berdiri di depan pintu.

Klausa relatif “yang saya lihat kemarin” memberi keterangan pada klausa inti
“Orang itu berdiri di depan pintu”, karena pada klausa tersebut belum jelas orang
mana yang dimaksud. Oleh karena itu, klausa relatifrelatif “yang saya lihat kemarin”
bersifat obligatori dan tidak dapat dihilangkan (restrriktif – membatasi FN hulu)

3. Klausa Relatif Restriktif-Nonrestriktif

Pembedaan klausa restriktif dan nonrestriktif di dalam bahasa-bahasa di dunia


bermacam-macam ada yang menggunakan pemarkah secara formal (eksplisit) dan
ada pula yang tidak (ɸ). Misalnya pada bahasa Persiauntuk klausa relatif dimarkahi
oleh sufiks -/ pada FN sebagai hulu klausa inti, sedangkan klausa relatif nonrestruktif
tidak dimarkahi. Perhatikan data (5) berikut:

(5) Mardha-i ke ketabhara be anha dede budid raftand men that books to them
youhave given went “The ma that you had given the book to went”

Bandingkan dengan (6) klausa relatif nonrestritif:

(6) Mo’alief ke nevisandeye xubi –st in sabkra.exteyar karede ast. author that
writergood is this style has chosen

“The author who is a good writer, has chosen this style”

Di dalam bahasa Inggris, klausa relatif ditandai pula dengan unsur pronomina
relatif yang berbeda-beda berdasarkan anteseden (hulu pada klausa inti). Hulu berupa

21
persona yang berfungsi sebagai S(ubjek) klausa rlatif akan mengandung pronomina
relatif who (yang): hulu berfungsi sebagai O(bjek) akan berpronomina reatif whom:
hulu sebagai pemilik akan berpromina relatif whose: bila anteseden(hulu) berua
binatang atau benda akan berpronomina relatif which; dan untuk hulu yang bukan
persona digunakan pronomina relatif that, that dan atau which berperilaku sebagai
pronomina relatif, baik dalam klausa relatif restriktif maupun nonrestriktif.

Di dalam bahasa Indonesia, pronomina relatif digunakan baik untuk


pronomina persona, binatang/benda, maupun nonpersona. Demikian juga dari segi
fungsi yang dapat berkoreferensi dengan S maupun O. Bagi klausa relatif yang
menyatakan hubungan milik The man sebagai ɸ berada di depan KL. Rel., sedangkan
the man pada KI. Rel. Yang berfungsi sebagai ɸ hilang (ɸ) menjadi “I saw Ɵ
yesterday”. Secara gramatikal di dalam KI. “saw” menuntut kehadiran ɸ sebagai
verba transitif, sehingga “I saw yesterday” tidak berterima di dalam bahasa Inggris
bila sendiri.

(11) This is the road which i don’t know where it leads

S P S S S P S S P

KI. Inti Pron.Rel Pron. Salinan

KI. Rel. KI.Rel

This sebagai pronomina demonstratif yang bersifat koreferensi dengan the


road (bersifat kataforis), sedangkan which dan where bersifat anaforis tehrhadap the
road, demikian pula it bersifat anafois terhadap the road, dan kehadirannya wajib
(obligatory). It sebagai S dan Kl.Rel. memiliki P (leads) yang sama dengan S KI.

22
Inti yang distribusinya berdekatan dengan urutan SP (SV) pada KI. Rel dengan P
dimiliki bersama sebagai akibat acuan yang sama.

Urutan SV di dalam bahasa Indonesia terjadi sesudah KI.Rel. bila ada proses
transformasi dari pasif ke aktif. Bandingkan data berikut:

(12) Ia yang dilihat teman saya berlari.

S S P O P

Pron.Rel.

Kl. Rel.

Kl. Inti.

(13) Teman saya yang melihat ia berlari

S KI.Rel. S P S P

KI.Rel KI.Inti

Pada (13) dapat terjadi ketaksaan bila KI.Rel. tidak mengacu ke Kl.Rel (12)
sehingga dapat terjadi “teman saya berlari” atau “yang melihat ia”. Bila acuannya
pada (12), maka “teman saya yang melihat” sebagai klausa relatif dari kalimat (13)
dan sebagai klausa inti adalah “ia berlari”. Dengan demikian, di dalam bahasa
Indonesia dapat pula tejadi prenominal dalam pemahaman kalusa relatif yang
mendahului induknya, seperti pada (13). Meskipun kelaziman menunjukkan bahwa
sifat posnominal dalam pemahaman klausa relatif mengikuti hulunya. Bahasa
Indonesia tidak memiliki sifat hulu yang terdapatdalam klausa relatif itu sendiri.

23
4. Beberapa Ciri Klausa Relatif Bahasa Indonesia

Berdasakran kajian terhadap beberaa klausa relatif bahasa Indonesia sebagai


pengamatan selintas dapat digambarkan bahwa bahasa Indonesia memiliki beberapa
ciri tipologis klausa relatif yakni bersifat memiliki pronomina relatif yang sifar (ɸ),
dan /,/ (koma). Tipe relatif dan nonrestriktif yang dimiliki bahasa Indonesia dengan
bercirikan klausa relatif nonrestriktif yang diapit koma kehadirannya bersifat
opsional atau bersifat menerangkan dan atau membatasi (apositif), sedangkan relatif
restriktif kehadirannya bersifat obligation karena merupakan bagian dari klausa itu
secara utuh.

Berdasarkan peran hulu didalam klausa relatif, ada yang bersifat pronomina relatif
dan sifar (ɸ) dan ada pula yang bersifat retensi dalam hubungan kemilikan (posesif).
Dalam hubungan posesif – genetif cenderung memiliki ɸ relator yang dapat disulih
dengan kata dan bukan yang seperti pada sifat yang dimiliki klausa relatif lainnya.
Perlu diteliti lebih lanjut dalam hubungan ini, baik klausa relatif secara keseluruhan
melalui data yang akurat dan objektif maupun klausa relatif dalam hubungan posesif
(genetif) bahasa Indonesia. Dalam hubungan genetif ini, klausa relatifbahasa
Indonesia cenderung merelatifkan pemilik sebagai bagian dan FN sebagai S (ubjek).

Dilihat dari segi konstruksi klausa relatif, bahasa Indoesia bersifat simpleks
(pronomina relatif berkoreferensi dengan FN [S] secara penuh) dan klausa relatif
yang bersifat kompleks (dalam hubungan perelatifan objek langsung dan atau tak
langsung, dan hubungan kemilikan). Ditinjau dari segi posisi klausa relatif, bahasa
Indonesia memiliki sifat (tipe) posnomina (I) dan prenomina (I).

24
BAB 3

KALIMAT

1. Kalimat dan Analisis “ Government/Binding” (Penguasa-Pembatas)

Pendekatan kalimat yang dugunakan Chomsky makin lama makin meluas dan
mendapat tanggapan dari berbagai aliran linguistik. Setelah satu pendekatan
Chomsky adalah yang disebut Government/Binding (selanjutnya disebut GB),
ancangan Cook yang akan dicoba didalam hal ini.hal ini sebagai pengantar ke arah
pertimbangan model analisis Chomsky sendiri jelas dipertimbangkan dari teori
linguistik sebelumnya. Alternatif kalimat bahasa Indonesia didalam hal ini dipahami
bahwa munculnya ekspresi tertentu merupakan pilihan kalimat bahasa Indonesia
yang sudah dipertimbangkan didalam logika berdasarkan kompetensi (unsur – unsur
line-aritas kata yang berterima berdasarkan gramatika bahasa Indonesia).

Data kalimat bahasa Indonesia yang diajukan a.i. memuat hubungan antarunsur
kalimat yang dapat diperikan berdasarkan pemutasi (movement)sebagai upaya
(device) pemindahan unsur akibattransformasi kalimat. Transformasi dengan
permutasi dapat mengubah posisi dan bentuk unsur kalimat, atau perluasan unsur dan
perubahan kattegri. Salah satu contoh perubahan bentuk didalam bahasa Indonesia
ialah menyangkut masalah afiks (misalnya meN- menjadi di- dalam transformasi
aktif-pasif), sedangkan perluasan dan perubahan kategori dan perluasann unsur,
misalnya dari kata menjadi frasa (kamu-oleh kamu), kategori kata menjadi frasa

25
preposisi.

Keberagaman model dalam analisis kalimat sesuatu bahasa disadari sebagai ciri
khas ilmu-ilmu sastra (linguistik). Ilmu menurut varian pendekatan dan hasilnya
sebagai model yang dapat dipahami dan dimengerti ilmuwan yang berkecimpung di
bidang ini atau dapat digunakan sebagai ancangan materi pengajaran dengan
mengandalkan tingkat kompetensi. Kalimat – kalimat bahasa Indonesia yang
digunakan sebagai bahan kajian adalah :

(1) Saya membaca buku itu.


(2) Buku itu saya baca.
(3) Buku itu dibacanya.
(4) Ia membelikan nenek ikan itu.
(5) Mereka membelikan ikan itu untuk nenek.
(6) Perempuan itu dianggap sudah membaca berita itu.
(7) Kemarin hujan, hari ini panas.
(8) Saya ingin laki-laki itu menemui gadis itu.

Kedelapan kalimat diatas akan dianalisis berdasarkan teori GB Chomsky


ancangan Cook dengan memperimbangkan gejala-gejala hubungan antarunsur
kalimat yang muncul sebagai alternatif didalam analisis struktur kalimat. GB
memerlukan pula unsur struktur lahir (selanjutnya disebut SL) dan struktur batin
(selanjutnyadisebut SB). Dalam hal ini, SB dipertimbangkan sebagai alternatif unsur
kalimat yang muncul sebagai SL, yang melibatkan unsur BF dan BL. Hubungan
unsur kalimat dapat diperimbangkan melalui teori x-bar, prnsip proyeksi, teori kasus,
teori theta (kriteria theta), dll (Cook, 1988).

2. Hubungan Antar Unsur Kalimat

Pemahaman kalimat berdasarkan transformasi Chomsky dapat digambarkan


melalui lambang kalimat yang terdiri atas:

(l)

K(alimat)

26
L(ambang) B(unyi) L(ambang) S(emantik)

Lambang kalimat berdasarkan GB agak berbeda dari lambang sebelumnya.


Didalam GB, kalimat terdidri atas Ph(onetic) F(orm) dan L(ogical) F(orm) atau PF
dan LF. LF dapat dipahami sebagai bentuk yang menginklusikan makna (semantik),
sedangkan kalimat dapat dianggap sebagai “mediator” makna. Dengan demikian,
lambangnya seperti:

(II)

PF LF

Baik PF maupun LF memiliki ciri alamiah yang membedakan komponen yang


diperlukan dalam setiap model. Setiap penelitian tentu lebih berpusat pada unsur-
unsur kalimat daripada terhadap PF dan LF. Kaidah pemutasi dalam GB selalu
dipertimbangkan atas hubungan dua tataran: SB dan SL. Posisi unsur dalam
hubungan SL dan SB dapat ditelusuri asalnya melalui kaidah T(race), “jejak”.
Kalimat (1), 2), dan (3) dikaji berdasarkan GB dengan mempertimbangkan kaidah
permutasi.

(III)

SB

Permutasi

SL

Komponen PF Komponen LF

Dengan kaidah tersebut, data kalimat 1) dapat dikaji sebagai berikut :

(1)

27
K

FN FV

N(pron.) V FN

Afiks aktif Vbd N Pron.demon.

Saya meN- baca buku itu

Kalimat (2) dapat dikaji sebagai berikut:

(2)

FN FN

N Pron.demon. N FV

V FN

Afiks Vbd T

Buku itu saya ᶲ baca

Bila kita bandigkan (1) dan (2), terjadi permutasi unsur kalimat dengan
pengedepanan unsur, terjadi transformasi aktif ke pasif, perubahan morfologi verba
dari meN- menjadi ᶲ, unsur yang dipindahkan adalah FN dengan tarda T(race),
sehingga didalam bahasa Indonesia kemungkinan muncul kalimat “ Saya baca buku
itu” sebagai alternatif kalimat yang muncul akibat FN3 yang dapat dipermutasikan,
akibat adanya upaya topikalisasi fronting – pengedepanan unsur).

Kalimat )3) dapat dikaji sebagai berikut:

28
(3)

FN1 FV

N Pron.demon. V N (pron)

Afiks pasif Vbd FN1

Buku itu di- baca nya

Kalimat alternatif melalui FN1 (T) memungkinka struktur :

(3b) Dibacanya buku itu.

Dengan kajian sebagai berikut :

(3b)

3.Prinsip Proyesksi

Perbedaan makna (semantik) harus teliti melalui hubungan antar unsur kalimat dan
makna “posisi” itu sendiri. Dari segi makna (peran semantik) dapat dipertimbangkan

29
melalui peran tematis atau apa yang diebut teori theta (misalnya benefaktif) yang
berhubungan dengan kalimat “x-bar’ (memerikan struktur yang berhubungan dengan
kalimat “x-bar” (memerikan struktur frasa, a.l. parameter hulu “head”). Model kajian
tersebut meliputi :

Prinsip proyeksi memerlukan spesifikasi tataran kalimat yang dipertimbangkan untuk


setiap unsur leksikal sebagai entri di dalam leksikon. Teori theta (ᴓ) menyatakan
peran ᴓ sebagai hubungan tertentu, tipe makna yang relevan dengan komponen LF
dan secara tidak langsung dengan komponen semantik. Setiap komponen FN hanya
memiliki hubungan peran ᴓ dengan mengendalikan teori ᴓ sebagai kriteria ᴓ sebagai
kriteria ᴓ. Perhatikanlah data (4) dan (5) berikut

(4) Ia membelikan nenek ikan itu

30
Alternatif kalimat dengan permutasi N₂ (Pron) akan muncul (4a) :

(4a) Nenek dibelikan ikan itu olehnya

Atau

(4a) Ikan itu dibelinya untuk nenek

31
Kalimat (5) dapat dikaji sebagai berikut :

(5) Mereka membeli ikan itu untuk nenek

Alternatif kalimat yang muncul.

(5a) Ikan itu dibeli mereka untuk nenek.

Atau

32
(5b) Untuk nenek ikan itu dibeli mereka

Di dalam analisis berikut dapa diperhatikan T yang mungkin merujuk struk asal (5)
dengan perubahn afiks dan posisi unsur kalimat.

(5b)

Teori ᴓ menentukan nenek pada (4) dan (5) sebagai benefaktif (recipient). Pada (4)
pengedepanan unsur benefaktif dan (4) menuntut syarat afiks meN- -kan menjadi di-
-kan diikuti unsur objektif (FN) dan agentif (FP). Pada (4b) permutasi dengan peran
objektif (FN) di depan kalimat menuntut verba dengan afiks –nya/ ᴓ (-nya sebagai
afiks pronomina) yang menuntut agentif ia menjadi –nya (ia). Perhatikan perubhan
afiks dan kategori atau peran semantik berikut ini :

meN- -kan --- di- -nya

ᴓ + FN (Agentif)

dia

FN (benefaktif)  FP

Nenek  untuk nenek

Pada (5) muncul alternatif kalimat (5a) dan (5b), serta permutasi terjadi pada

33
FN (Objektif) dan atau FP (Benefaktif) dengan perubahan verba :

(5a) meN- ---- di-

Perubahan peran semantik :

Objektif + di- (pasif) + Agentif + Benefaktif

Ikan itu di beli mereka untuk nenek

Peran semantik pada (5b) adalah sebagai berikut

(5b) Bennefaktif + Objektif + di- (pasif) + Agentif

Untuk nenek ikan itu dibeli mereka

Catatan :

Perhatikanlah T pada (5b) menunjukkan struktur kalimat asal

Hubungan permutasi antara SL dan SB terbatas pada unsur yang di permutasikan.


Sesuai dengan struktur kebergantungan ( structure-dependency) dan di dalam GB
termasuk pula apa yang di sebut teori boinding (B) yang membatasi unsur kalimt
yang di permutasikan unsur – unsur kalimat seperti benefaktif, agentif, dan objektif
merupakan perkembangan semantik yang berhubungan dengan teori kasus di dalam
GB. Teori kasus berhubungan pula dengan FN yang mengisi posisi tertentu di dalam
K. Teori kasus berhubungan dengan SB dan SL.

Perhatikan bagan berikut :

Teori x-bar prinsip proyeksi leksikon

34
SB

Teori kasus permutasi teori B

Teori kriteria

S1

Komponen PF

Komponen LF

Perhatikan pula data berikut :

(6) perempuan itu di anggap sudah membaca cerita itu :

FN FV

N pron FV FN

35
FV N pron demon

Afiks pasif vbd PAR V

Afiks VBD

pasif

perempuan itu di- anggap sudah meN- bacaberita

alternatif kalimat yang akan muncul adalam (6A):

(6a) berita itu di anggap sudah di baca oleh perempuan itu :

FN FV

N pron demon FV FP

V FV prep
FN

36
Afiks pasif vbd PAR V

N pron
demon

Afiks pasif vbd

berita itu di- anggap sudah di- baca perempuan itu

atau

(6b) (orang menganggap) perempuan itu sudah membaca berita itu

K1

FN FV

FN FV FN

N N pron demon

FV

afiks vbd itu

37
perempuan

orang meN- anggap k2

FN
FV

Perempuan itu FV
FN

Sudah membaca
berita itu

Teori kontrol dapat menelusuri S(ubjek)yamg terlepas tidak hadir di permukaan


[SL]. Kalimat (6) melesapkan S bagi verba di anggap dapat di buktikan pada (6b)
(orang menggap) pada (6a) terjadi transformasi aktif-pasif di lihat dari permutasi
peran agentif (s) bagi FV ‘sudah dibaca’ dan pengedepanan unsurO(bjektif). Teori
kontrol ini melibatkan intuisi bahasa , secara logis (SL) berterima. Dengan teori
kontol kita dapat mengkaji kalimat (7) sebagai berikut:

(7) kemerin hujan harini panas

K1 K2

38
KN FV FN FV

N V N pron demon

kemarin hujan hari ini

panas

kita dapat menemukan alternatif kalimat (7a)

(7a) ( orang memberitahukan) kemarin hujan , hari ini panas

KD

FN FV

Orang memberitahukan

K1

FV

FN k2

39
Hujan FN FV

kemarin N pron demon

hari ini

panas

pada(8) kita dapat mengatakan bahwa K terdiri atas K1 dengan peran objektif K2.
Dengan demikian , dapat di analisis sebagai berikut :

(8) saya ingin laki laki itu menemui gadis itu.

K1

FN FV

N PAR N

saya

ingin O

K2

40
FN FV

N pron demon

Laki – laki itu

V
FN

Afiks Vbd

N pron
demon gadis itu
meN- temu

pada (8) T adalah K2

4. Teori “Theta” dan semantik

Pengembangan teori chomsky’s universal grammar ancangan cook dapat mengkaji


berbagai kalimat bahasa Indonesia, karena mempertimbangkan berbagai kendala
yang ada pada data kalimat. Kita dapat memahi kendala dengan berbagai
pertimbangan subteori yang terangkum di dalam GB. Di dalam analisis kalimat dapat
dipertimbangkan pula kaidah atau gejala yang terjadi pada tataran morfologi, a.l.
dapat dibandingkan antara derivasi merfomis dengan derivasi frasa; atau unsur yang
yang menunjuk kembali pada unsur yang hadir dalam SL kalimat dapat diteliti
melalui teori T yang mengacu pada unsur asal kalimat. Subteori lain memungkinkan
kita menampilkan SL yang bermacam-macam sebagai struktur alternatif (yang
bercermin) di dalam LF bahasa Indonesia.

Teori kontrol yang berhubungan dengan intuisi bahasa dapat meramalka unsur yang
terlepas pada kalimat. Keterbatasan permutasi di dalam GB dapat dibatasi dengan
binding. Teori yang memungkinkan usnur yang dipermutasikan berterima posisinya

41
dari segi peran semantik. Peran semantik inilah yang berhubungan dengan teori
kasus. Pertimbangan semantik kalimat sebagai titik tolak menentukan PF (struktur
bunyi yang akan muncul di permukaan) yang dipertimbangkan dari segi LF
(berterima ddari segi gramatika dan semantik kalimat inklusif). Titik tolak semantik
mengingatkan kita pada titik tolak berpikir melalui segitiga Ogden & Richard, bahwa
konsep (concept) berada pada puncak segitiga (dahulu ada) baru kemudian
dituangkan di dalam “form” yang dapat memiliki acuan (reference). Perhatikan
bagan berikut:

Konsep

Form Acuan

(lihat Odgen & Richard, 1972; Djajasudarma, 1988)

Acuan dapat konkret dan abstrak. Dalam arti ada yang dapat diindera dan ada yang
tidak. Dengan demikian, dalam kalimat kita memahami bahwa konsep yang ada
terlebih dahulu. Baru kemudian dituangkan dalam PF untuk memiliki LF bahwa
kalimat harus memenuhi LF (berterima dari segi gramatika dan logis dari segi
semantik). Bandingkan kalimat bahasa indonesia berikut ini:

1) Orang Indonesia makan nasi.


Melalui tekhnik penyulihan (nomina) Obektif dapat disulih dengan kategori
dan peran yang sama dalam kalimat berikut.
2) Orang Indonesia makan batu.
Kedua kalimat itu graatikal, tetapi (2) memiliki NO yang tidak logis ( tidak
berterima dari segi semantik) sehingga (2) tidak berterima dari segi logika,
meskipun berterima dari segi gramatika. Dari bukti tersebut kita dapat

42
menunjukan bahwa LF bukan hanya gramatikal tetapi juga harus logis.

BAB 4

PERKEMBANGAN MAKNA SEBAGAI AJANG SEMANTIK

1. Perkembangan Makna

Bahasa berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat bahasa dalam


kehidupan. Salah satu perubahan yang dirasakan dalam bahasa adalah perkebangan
makna. Perkembangan makna dalam hal ini harus diberi jangkauan (cakupan,
perubahan, perluasan, dan penyempitan, serta pergeseran makna. Perubahan makna
dapat terjadi sebagai akibat perkembangan makna oleh pemakai bahasa. Oleh karena
itu, bila bahasa berkembang makna turut berkembang pula. Jadi, pernyataan
“Languange moves down time in a current of its own meaning” (Sapir-Ullman.
1972) merupakan hakikat perkembangan bahasa dalam kehidupan, san dapat kita
rasakan (terutama melalui kosakata) (Djajasudarma, 1989).

43
Perubahan mekna ini menajdi jangkauan semantik historis dam dapat terjadi melalui
hubungan sintagmik, rumpang dalam kosakata, perubahan konotasi, peralihan dari
pengacauan yang konkret menjadi abstrak, timbulnya gejala sinestesia dan
penerjemahan harfiah. Di pihak lain, perubahan makna sebagai akibat: kebahasaan
(linguistic causes), kesejarahan, sebab sosial, psikologis, pengaruh bahasa asing. Dan
karena keperluan akan kata-kata baru. Sebab linguistik berhubungan dengan faktor
kebahasaan, baik yang berhubungan dengan tatanan bahasa (fonologi, morfologi,
sintaksis, dan wacana) maupun luar bahasa. Perhatikanlah kata sahaya pada mulanya
dihubungkan dengan budak, tetapi dengan perubahan makna menjadi saya. Kata
tersebut mengacu pada pronomina persona I netral (tidak ada pemarkah hormat/intim
atau tidak hormat). Bila kata saya dibandingkan dengan kata aku akan terlihat
perbedaan bahwa saya bersifat “netal” sedangkan aku bersifat “intim” muatan makna
apa yang berubah bila dibandingkan antarakata kita dengan kata kita-kita sebagai
pronomina persona I jamak. Hal tersebut termasuk ke dalam gejala perubahan makna
dalam tataran morfologi. Perubahan makna dalam tataran sitaksis dapat
dipertimbangkan bila terjadi penyisipan unsur kalimat. Bandingkanlah perubahan
makna yang terjad bila kalimat per contoh ini disispi kata hanya sebagai unsur
kalimat:

(1) Pada pertemuan itu saya menyentuh dia

atau muatan makna apa yang terjadi pada kalimat:

(2) Pak Krishna mencintai istrinya. Pak Dudih juga.


Sebab historis pada kosakata atau ekspresi tertentu muncul karena sejarah. Kita dapat
merasakan mengapa dan perang apa yang mengkibatkan indonesia memiliki kata
negosiasi. Perang Teluk, rudal, Mlavinas, scud, atau perang Vietnam. Ekspresi
tersebut dirasakan sebagai pengaruh peristiwa dunia. Pengaruh dari dalam yang
mengakibatkan perubahan makna sebagai sebab historis adalah seni, butuh, bisa,
wadah, anjang sono, kudapan, wayang (kulit/golek/cepak). Bandung lautan api, atau
semangat Bandung. Ekspresi yang dianggap sebagai unsur asli indoesia dan
dirasakan seluruh masyarakat Indonesia sampai ke pelosok adalah akronim Posyandu
dan Puskesmas. Contoh ekspresi yang menunjukkan gejala perubahan sebagai akibat

44
sosial, a.l. gerombolan dan simposium. Faktor psikologis yang mengakibatkan
perubahan makna dapat berpa faktor emotif, dan kata-kata tabu. Hubungan
sintagamik merupakan faktor penyebab perubahan makna ini dapat terjadi karena
kekeliruan pemenggalan perfom-perfomnya. Perhatikanlah kata pramugari yang
berasal dari bahasa Jawa pra + mugari (pembantu tuan rumah pada peralatan). Di
dalam bahasa Indonesia, kata itu mengalami salah pemenggalan pramu + gari yang
kemudian pramu- menjadi “go public” sehingga mucullah pramuniaga,
pramuwisama, dan pramuria.
Hubungan yang terjadi dalam perubahan kata adalah rumpang dalam kosakata,
artinya kadang-kadang di dalam bahasa terjadi kekurangan bentuk untuk
menanamkan sesuatu. Bandingkanlah anatara kata penilik dan peneliti atau
pemerintah yang berbeda makanya dalam kehidupan sehari-hari dengan istilah dalam
ketatanegaraan. Bila tidak ada unsur yang diperlukan ia akan dibentuk dari unsur
yang sudah ada dengan menggunakan analog. Perhatikanlah di samping sauadar
kandug kita juga memiliki ayah kandung (padahal ayah tak pernah mengandung).
Rumpang dalam kosakataini biasanya diisi pula dengan metafor. Perhatikanlah kata
lapisan (masyarakat), pada kenyataannya hanya sebagai perbandingan dengan benda
yang berlapis-lapis dan yang dimaksud adalah kelas sosial (social class). Demikian
pula ang-katan (bersenjata) atau tukang (catut). Acuan di luar bahasa pun dapat
mlengkapi rumpang dalam kosakata. Perhatikanlah merakit atau kereta api.
Konotasi atau tautan pikiran yang menyertai makna kognitif dapat mewarnai
rumpang dalam kosakata ini. Konotasi dalam hal ini sangat bergantung pada situasi
pembicaraan. Perhatikanlah kata-kata berikut: ceramah, perangsang, lugas, pesangon,
terlibat, dibebastugaskan, PHK, dst. Peralihan dan pengacuan yang konkret menajdi
abstrakdapat kita perhatikan pada: menangkap, memeluk, merangkap, mencakup
(bahasa Sunda memiliki kata-kata: ngarangkep, yang bermakna bersatu [dalam
perkawinan] yang dibedakan dari ngarapet “mengelem”).
Bila kita perhatikan perubahan makna di dalam bahasa Indonesia atau di dalam
bahasa Sunda dapat dilihat melalui sumber kosakata itu. Di dalam bahasa Indonesia
ada perubahan yang berasal dari bahasa daerah, atau sebaliknya di dalam bahasa
daerah ada yang berasal dari bahasa Indonesia, terutama yang bersumber dari bahasa

45
asing. Kosakata ini dapat pula berubah karena akibat lingkungan, pertukaran
tanggapan indera, akibat gabungan kata, akibat tanggapan pemakai bahasa dan akibat
asosiasi.
Kita dapat memeperhatikan bahwa makna berkembang, baik engan perubahan,
perluasan, dan penyempitan maupun dengan pergeseran. Hal tersebut disadari, baik
sebagai akibat kebutuhan baru maupun sebagai hubungan makna itu sendiri. Sebagai
akibat munculnya beberapa prinsip dalam hubungan makna, seperti inklusif,
tumpang tindih. Komplementer dan persinggungan. Hal tersebut tidak akan dibahas
secara mendalam di sini.
2. Perubahan Makna
Bahasa yang berkembang sejalan dengan bahasa Indonesia adalah bahasa daerah dan
bahasa asing. Pengaruhnya berbeda, sebab bahasa asing di Indonesia hanya
merupakan sumber serapan, sedangkan bahsa daerah dapat menjadi sumber serapan
dan juga sebagai penyerap (bahasa Indonesia memiliki dwi-fungsi bagi bahasa
daerah). Bahasa daerah ikut mewarnai bahsa Indonesia terutama di bidang budaya
(bagi istilah-istilah khusus yang tidak ada dalam sistem budaya Indonesia).
Perubahan makna yang berasal drai bahsa daerah misalnya kata seni yang bermakna:
(i) halus: (ii) air seni = air kencing: (iii)kecakapan membuat sesuatu yang elok atau
indah (Poerwadarminta, 1976). Maknanya kemudian berekmbang menjadi seni: (1)
(adjektiva) halus (tt rabaan), kecil dan halus, tipis dan halus, lembut dan enak
didengar (tt suara), mungil dan elok (tt tubuh); (2) (nomina) keahlian membuat
karya, dsb.). Padahal bagi masyarakat Melayu makna seni lebih banyak dihubungkan
dengan makna (iii) air kencing.
Kosakata tertentu dirasakan tidak layak diucapkan di daerah tertentu, tetepai lain
halnya bagi masyarakat Indonesia yang tidak memiliki kata tersebut.

Perhatikanlah contoh berikut:

(1) butuh di dalam bahsa Palembang atau Melayu bermakna kelamin laki-laki: di
dalam bahsa Indonesia selain butuh didapatkan pula bentuk paradigmatis eperti
membutuhkan dibutuhkan, dan butuh sinonim dengan perlu.
(2) tele bagi masyarakat Gorontalo daripada menyebut “bertele-tele” lebih baik

46
diganti dengan berkepanjangan.
(3) momok bagi masyarkat Subda lebih baik diganti dengan seta atau hantu.
Perubahan makna dapat pula terjadi sebagai akibat lingkungan. Kata yang di pakai
dalam lingkungan tertentu belum tentu sama maknanya dengan kata yang dipakai
dilinggkungan lain Misalnya. kata ”cetak“ bagi yang bergerak di lingkungan media
catak setalu dihubungkan dengan tinta. huruf. dan kertas. tetap. bagi dokter lain lagi.
dan lari pula bagi para pemain sepak bola

Bandingkanlah contoh berikut

(1) Buku Itu dicetak di Balai Pustaka.

(2) Cetakan batu bata Itu besar-besar.

(3) Pamerintah menggiatkan pencetakan lahan bagi para petani.

(4) Dokter banyak mencetak uang.

(5) All mencetak lima gol dalam penandingan itu.

Kata samber yang lebih banyak dihubungkan dengan mata air atau tampat
asalnya air (gunung, hutan. dsb) berpadanan dengan kata bahasa lnggris resource
(”sumber"). Kata sumber sekarang berkembang dan dipakai di berbagai Iingkungan.
misalnya persuratkabaran (sumber berita). keamanan (sumber kerawanan). bahasa
(bahasa sumber), kesehatan (sumber penyakit). sosial (sumber pendapatan. sumber
gosip). dan pendidikan nara sumber).

Kata rawat, metawat, dirawat semuya hanya dihubungkan dengan usaha


menyembuhkan orang sakti dan dipakai dilingkungan rumah sakit Kata tersebut
berkembang dan meluas pemakatannya sehingga didapatkan:

merawat ayam,merawat tumbuhan,merawat bayi (yang sama dengan memelihara)

Kata bersalin yang berkembang di lingkungan kesehatan bermakna melahirkan.


Iain halnya di bidang pendidikan salin dihubungkan dengan “ganti' sehingga bersalin
berarti 'berganti pakaian". Kata pelanggan yang berani "orang yang berlanggan'

47
memiliki perkembangan pemakaian. sehingga tidak hanya didapatkan hubungan
antara pedagang dan pembeli (barang-barang atau benda-benda tertentu), sakarang
digunakan pula di lingkungan WTS dan bermakna 'Iaki-laki yang selalu mendatangi

WTS tersebut“ (apakah mungkin ada bandingannya dengan PTS. terserah


masyarakat bahasa Indonesia).

Perubahan makna dapat pula terjadi sabagai akibat perubahan tanggapan


indra (sinestesia)

Bandingkanlah ekspresi berikut .indera apakah yang dipertukarkan

. suaranya tarang . Katanya manis . kata yang mais enak didangar. tapi yang pedas
serasa ditindas . hitam manis

Perubahan makna akibat gabungan kata dapat kita pertimbangkan melalui


perubahan berikut. jalan Surat jalan pemerintah kaleng keterangan

Makna surat adalah (i) ketas (Kain) yang bertulis (dengan berbagai isi dan
maksudnya): (ii) secarik kertas (kain) sebagai tanda atau Katerangan: (iii) tutisan
(yang tenulis). Pada cantoh di atas kita melihat kata surat dapat bergabungan dengan
Kata yang memiliki makna asosiatif. seperul surat jaIan atau surat perintan tetapi
pada surat kaleng memiliki makna asosiatif. Kata yang menunjuk paaa tempat
melakukan sesuatu atau tempat Khusus dapat kita lihat pada gabungan kata berikut:

sakit rumah makan

tahanan

jompo

Makna kata dapat mengalami perubanan akibat tanggapan pemakai bahasa.


Perubahan tersebut cenderung ke hal-hal yang menyenangkan atau hal yang
sebaliknya. Dengan demiknan ada kata-kata yang amelioratif. seperti pada kata juara
yang asanya bermakna “Kepala penyabung ayam" mangadi juara ralenang, juara
bolan dahulu bermakna "orang yang berkelompok". dengan munculnya

48
pemberontakan di Indonesia makna-nya menjadi negatif dan tidak menyenangkan
bahkan menakutkan. Demikian juga kata-kata seperti cuci tangan dan amplop.
Perubahan makna amplop yang semula bermakna "pembungkus surat“ manjadi
amplop yang bermakna ’pembungkus uang sogok" menumukkan makna asosiasi.
Makna asosiasi Ini dapat pula dihubungkan dengan tempat atau lokasi kejadian suatu
peristiwa. misal nya Monas. Bandung, Cengkareng, dst. Bila orang mengatakan
senayan makna asosiasinya adalah . . yang bemubungan dengan sepak boIa,
Depdikbud, ruang sidang MPR/DPR Demikian pula tempat-tempat khusus bagi
masyarakat Jawa Barat musalnya Santem, Cibaduyut. Laut Kidul. Ujungkulon
Karawang, dst. Makna asosiasi ini berhubungan pula dengan warna. Warna putih
berarti "menyerah". biru berarti "cinta' dst Makna asosiasi dapat dihubungkan dengan
tanda tertentu misalnya tanda lalu limas .

3. Perluasan Dan Penyempitan Makna

Perluasan makna terjadi pada kata-kata antara lain saudara ibu bapak. yang
dahulu digunakan untuk menyebut orang yang seketurunan (sedarah). Kata saudara
dihubungkan dengan kakak atau adik yang seayah dan seibu. kata bapak selaiu di
hubungkan dengan orang yang sudah tua laki-laki. kata ibu selalu dihubungkan
dengan orang yang sudah tua perempuan. sekarang maknanya meluas. kata bapak
digunakan kepada setiap laki-laki yang tua (yang memiliki status sosial lebih tinggi)
meskipun tidak memiliki hubungan keluarga dengan pembicara kata saudara
digunakan untuk mereka yang sebaya dengan pembicara kata ibu digunakan untuk
perempuan yang sudan tua maskipun tidak ada hubungan saudara.

Perluasan makna dapat terjadi puIa dengan penambahan unsur lain. seperti pada
kata kepala yang semula adalah “bagian atas tubuh manusia" Sekarang maknanya
meluas sehingga ada kepala bagian. kepala sekolah kepala rumah sakit. dst Frasa
kepala suster menunjukkan pola urutan posesif Di sampmg itu untuk menghindari
Ketaksaan makna digunakan pula suster kepala ‘yang menunjukkan jabatan
berasosiasi dengan kepala dari jabatan Itu (suster)". Demikian pula kata emang atau
bibi didalam bahasa Sunda sudah tergeser dengan Istiah kekerabatan ayi (adik) bagi

49
yang Iebih rendah usianya dan pembicara atau abang (kakak) bagi Iaki-laki yang
umumya lebih tua dari pembicara bagi wanita digunakan ceuoeu (kakak peremouan).
Kata emang“ bagi tukang cenderung berubah menjadi ‘bapa" (bapak)

Penyempitan makna tejadi bagi kata-kata yang memiliki makna pembatas Hal
tersebut terjadi pada bentukan baru yang mengaku pada benda atau peristiwa
terbatas. Bandingkanlah Dengan penyakit

kebidanan ahli sejarah bahasa dll

Kata ahli yang semula memiliki makna "anggota keluarga" (orang yang
termasuk dalam satu garis keturunan) ditambah unsur lain maknanya menjadi
terbatas dan menyempit. Demikian pula "skripsi" semula memiliki makna luas, yakni
"semua tulisan tangan". Sekarang mengalami penyempitan makna menjadi"tulisan
(mahasiswa) yang di susun sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar sarjana"

4. Pergeseran Makna

Makna berkembang melalui perubahan, panuasan, penyenpitan atau pargeseran


Pergeseran makna yang terjadi pada kata-kata (frasa) di dalam bahasa Indonesia
cenderung ke arah eufemisme. Caranya. dapat dengan mengganti simbolnya
(lambangnya) dengan yang baru dan maknanya bargeser. Biasanya terjadi pada kata-
Kata yang dianggap memiliki makna yang menyinggung parasaan orang yang
mengalammya.

Perlihatkanlah:

(1) bul, tahanan, tutupan manjadi "lembaga permasyarakatan"

(2) dipecat menjadi diberitahukan dengan hormat atau dPHK

(3) ditahan menjadi dirumahkan

(4) sogok~menyogok memadi pungli. menyalahgunakan wewenang. komersialisasi


jabatan. upeti. dsb.

Pergeseran makna terjadi pada kata-kata atau frasa yang permakna terlalu

50
menyinggung perasaan orang yang mengalaminya. Bayangkan kalau kita
mengatakan orang yang tidak rentan di depan mereka yang sudah tua. Ekspresi
tersebut akan menyinggung perasaan mereka yang sudah tua. Olen karena utu.
munculah frasa "manusia lanjut usia" (lansis). Demikian pula pergeseran makna pada
ekspresi berikut dapat dibandingkan mana yang leblh halus.

buta --> tunanetra tuli ~> tuna rungu gelandangan ~> tuna wisma glia ~> cacat
mental pelayan ~> pramuwisma

Dapat kita bayangkan bila kita mengatakan bahwa "pramugari' itu sama dengan
"pelayan kapal" di depan pramugari itu sendiri. Apakah kita akan mendapat pahala
atau palu?

Pergeseran makna terjadi bila penggantian lambing (symbol) itu masih


mempertahankan makna semula, hanya terdapat eufemisme di dalam ekspresi baru
(unsur yang menghaluskan) sebagai akibat pertimbangan psikologis (supaya kawan
bicara sebagai pengalami perasaannya tidak tersinggung).

5. Analisis Semantik Verba

a. Situasi Telis-Atelis

Unsur semantis keaspekan dapat dilihat dari segi telis-atelis melalui


pembagian verba dinamis dan statif. Tulisan ini akan mencoba menelusuri hubungan
tersebut dengan menggunakan pembagian verba dinamis dan statif dari Quick et. al.
(1972) Hubungan ini erat pula kaitan-nya dengan pemilahan kalimat dari Vendler
(1957).

Keaspekan perfektif-imperfektif dibedakan karena yang pertama situasinya


dipandang secara keseluruhan (perspektif) dan yang kedua situasinya dipandang
secara keseluruhan (imperfektif). Istilah telis, yang diperkenalkan oleh Garey (1957),
berasal dari bahasa Yunani Kuno, telos yang berarti “akhir” (Comrie, 1974:44).

51
Situasi telis adalah situasi yang melibatkan proses menuju ke titik akhir
penyelesaian, proses selebihnya tidak dapat diteruskan. Seperti yang dinyatakannya
“Thus a telic situation is one that involves a process cannot continue” (Comrie,
1976:45).

Titik terminal dapat tercapai, belum tercapai atau tidak tercapai sama sekali,
seperti pada:

(1) Ibunya sedang berdoa ketika ia meninggal dunia.


(Titik terminal dari berdoa belum tercapai)

Situasi atelis tidak mengenal proses menuju titik akhir. Comrie


mengemukakan dua klausa (bahasa Inggris) dengan situasi yang sama. Perhatikanlah
(2) dan (3) berikut:

(2) John is singing


(3) John is making a chair

Kedua klausa tersebut mengacu pada situasi yang sama, yakni situasi duratif
(kontinuatif). Akan tetapi, kedua konstruksi tersebut memiliki perbedaan jenis situasi
bila dilihat struktur internalnya. Verba singing dan making dibedakan karena pada
klausa

(2) tidak mengenal proses menuju titik akhir, sedangkan pada klausa (3) mengenal
proses menuju titik akhir. Klausa (3) dikatakan menggambarkan situasi telis karena
mengenal proses menuju titik akhir (tindakan membuat kursi dapat sebagian-
sebagian dan tidak berakhir sekaligus). Klausa (2) dikatakan menggambarkan situasi
atelis karena tidak mengenal proses menuju titik akhir (dapat berakhir pada titik
tertentu, terserah kemauan John).

Situasi telis dalam beberapa bahasa dapat dinyatakan dengan morfologi denvasional,
seperti contoh yang dikemukakan Comrie di dalam bahasa Jerman, kampfen
(“perang”) dan erkampfen (“mencapai sesuatu dengan perang”) – resultatif perfektif.
Hal seperti itu menarik perhatian kita untuk meneliti sejauh mana afiks bahasa
Indonesia dapat mendukung situasi telis dan atelis. Bandingkanlah contoh berikut:

52
menanam dan bertanam. Prefiks me(n)- dalam “menanam” menunjukkan situasi
atelis (dapat berakhir pada titik tertentu terserah kemauan penanam), sedangkan
prefiks ber- dalam “bertanam” menunjukan situasi telis dengan aspek imperfektif.

Hubungan situasi telis-atelis dengan aspek perfektif-imperfek melalui penggunaan


verba dinamis-statis dapat dipertimbangkan pada kalimat-kalimat tertentu, seperti
pembagian kalimat yang dikemukakan oleh Vendler yang dikutip Saurer (1984).
Kalimat dapat dipilah menjadi empat macam, yakni:

a) Kalimat statif (John lovesMary; John is at the station)


b) Kalimat aktivitas (John pushes a car; John walks)
c) Kalimat penghasilan (accomplishment); (John built a house; John walked to
the station)
d) Kalimat pencapaian (achievement); (John won the race; John arrived at the
station)

b. Situasi Telis-Atelis dan Keaspekan Perfektif-Imperfektif

Pemilahan kalimat yang dikemukakan Vendler, apabila kita teliti lebih lanjut,
tergantung dari makna verba yang dipilih untuk menyatakan situasi tertentu. Verba
loves (cinta) dan is (be) yang berarti “berada” menururt Quirk (1972) termasuk verba
statif

Verba cinta berbeda dengan verba berada karena yang pertama termasuk verba statif
dengan persepsi dan pengertian lamban, sedangkan yang kedua termasuk verba statif
relasional.

Jenis kalimat lainnya (aktivitas, penghasilan, dan pencapaian) memiliki verba


dinamis. Kalimat aktivitas terjadi di dalam kala (tense) kini (Quirk. 1972), sedangkan
kalimat penghasilan dan pencapaian terjadi di dalam kala lampau. Verba membangun
dan berjalan termasuk verba dinamis (verba aktivitas), tetapi satu sama lain berbeda.
Yang pertama dapat memiliki titik akhir (titik terminal—verba telis), sedangkan yang
kedua tidak memiliki titik akhir (verba atelis).

Di dalam bahasa Inggris, kalimat statif tidak dapat memiliki makna aspectual

53
imperfektif (progresif, kontinuatif, durative). Vendler (1957) berpendapat bahwa
proses penghasilan (achievement) akan terasa aneh apabila memiliki makna
keaspekan imperaktif, tetapi menurut Saurer (1964) kalimat penghasilan dapat
memiliki makna keaspekan imperfektif, seperti pada contoh berikut:

(4) John is winning the race


(5) John is arriving at the station
(6) John is dying

Makna verba di dalam klausa tersebut menunjukan bahwa di dalam makna verba
tersebut sudah termasuk tujuan yang akan dicapai. Hal tersebut berhubungan pula
dengan proses aktivitas secara langsung.

Di dalam bahasa Indonesia, kita dapat melihat perbedaan jenis kalimat tersebut
dengan melihat valensi verba dengan partikel keaspekan yang memarkahi makna
keaspekan imperfektif, misalnya sedang. Atau, dapat pula dilihat valensinya dengan
nomina temporal selama. Valensi tersebut dapat kita lihat sebagai berikut:

(7) John sedang mencintai Mary (kalimat statif)


(8) John sedang berjalan (kalimat aktivitas)
(9) John sedang membangun rumah (kalimat penghasilan)
(10) John sedang tiba di stasiun (kalimat pencapaian)
(11) John mencintai Mary selama satu tahun (kalimat statif)
(12) John berjalan selama satu jam (kalimat aktivitas)
(13) John membangun rumah selama dua bulan (kalimat penghasilan)
(14) John tiba di stasiun selama satu jam (kalimat pencapaian)

Kalimat (7), (8), dan (9) memiliki makna keaspekan imperfektif, sedangkan kalimat
(11), (12), dan (13) memiliki makna keaspekan perfektif. Situasi telis-atelis dalam
kalimat tersebut tergantung pada kebutuhan temporal untuk mencapai titik akhir
kalimat (10) dan (14) tidak berterima di dalam bahasa Indonesia karena kalimat
pencapaian tersebut merupakan titik temporai, tidak menunjukan proses (dapat
dilihat dari makna verba tiba yang menunjuk keaspekan momentan).

54
c. Diksi dan Jenis Kalimat

Pilihan kata (diksi) dapat menunjukkan jenis kalimat dengan situasi dan makna
keaspekan tertentu. Verba mati di dalam bahasa Indonesia merupakan verba
peristiwa transisional dan dapat menunjukan titik temporal pula. Di dalam bahasa
rusia termasuk verba telis (mengacu pada proses mati), meskipun umirat
(imperfektif) dan umeret (perfektif) di dalam bahasa rusia dapat mencapai kematian
atau tidak.

(15) Kolja umirat (Imp.), no ne umer (Perf.)


‘Kolja was dying, but didn’t die’

Kata-kata umirat dan umeret di dalam bahasa rusia adalah verba telis, menuju proses
yang mengarah ke kematian, meskipun mati tercapai atau tidak. Sama halnya dengan
ekspresi di dalam bahasa rusia, on oguvarival (Imp.) menja, no ne ugovaril (Perf,)
yang tidak diterjemahan ke dalam bahasa inggris dengan baik kaliamat “he was
persuading me, but didn’t persuade me”. Di dalam bahasa rusia, ugovarivet/ ugo-
varit (persuade) adalah verba telis, sedangkan persuade dalam bahasa inggris hanya
dapat mengacu pada proses ke arah momentum persuasi (bujukan) apabila proses itu
pada kenyaannya berhasil (Comrie, 1976:48). Seperti dinyatakan terdahulu, verba
mati mengacu pada keaspekan pungtual, di dalam bahasa inggris ekspresi “John is
dying” dapat mengandung harapan John sembuh tau menuju ke kematian. Verba die
di dalam bahasa inggris termasuk verba telis karena memiliki proses menuju titik
akhir.

Bahasa Indonesia memiliki verba mati yang menunjukan keaspekan pungtual, dan
mati dibedakan dari matilah hanya karena yang pertama termasuk keadaan,
sedangkan yang kedua termasuk proses (Hopper, 1982:14) Verba mati di dalam
bahasa Indonesia dapat bergabung dengan partikel keaspekan akan menjadi mati
yang dapat menuju ke kematian atau menuju ke sembuh. Dengan demikian, mati di
dalam bahasa Indonesia termasuk verba telis.

Verba mati di dalam bahasa Indonesia tidak memiliki makna keaspekan imperfektif,
tidak didapatkan frasa “sedang mati”. Verba tertentu dapat memiiki makna

55
keaspekan imperfektif atau perfektif bila diperiksa kemampuan verba tersebut
bergabung dengan partikel sebagai pemarkah keaspekan. Verba dapat dipilah
menjadi verba dinamis dan verba statif (Quirck, 1972:95-96). Verba dinamis dapat
dipilah menjadi:

a) Verba aktivitas
b) Verba proses
c) Verba sensasi tubuh
d) Verba peristiwa transisional
e) Verba momentan

Verba statis dapat dipilah menjadi:

a) Verba dengan persepsi dan pengertian lamban


b) Verba relasional

Verba aktivitas dan verba proses sering digunakan dalam bentuk makna keaspekan
imperfektif, yang menyatakan peristiwa kontinuatif. Verba sensasi tubuh dapat
digunakan dalam makna keaspekan imperfektif dan memiliki sedikit pergeseran
makna bila dibandingkan. Perhatikanlah:

(16) John merasa/sedang merasa lebih sehat dan memutus-kan untuk bekerja.
Verba merasa termasuk jenis verba sensasi tubuh, sama halnya dengan sakit,
luka, menggaruk, dst.
Verba peristiwa transisional sebagian dapat memiliki makna keaspekan
imperaktif dan sebagian tidak.
a) sedang tiba
b) sedang mati
c) sedang jatuh
d) sedang mendarat
e) sedang meninggalkan
f) sedang menghilang

56
Verba tiba dan mati tidak dapat memiliki makna keaspekan imperfektif.
Tiba, mati, jatuh, mendarat, meninggalkan, dan menghilang adalah contoh verba
peristiwa transisional.
Verba momentan berada di dalam aspek imperfektif yang mensyaratkan
peristiwa lain muncul (peristiwa simultan), seperti pada:

(17) Ia sedang melompat dari bis ketika polisi menangkapnya.

Jenis verba momentan yang lainnya antara lain menabrak, menendang,


mengetuk, mengangguk, dan menepuk. Verba momentan memiliki duratif sesaat.
Verba statif dengan persepsi dan pengertian lamban di dalam bahasa
Indonesia sebagian dapat memiliki makna keaspekan imperfektif, sedangkan di
dalam bahsa Inggris jenis verba ini tidak wajar apabila memiliki makna keaspekan
imperfektif. Pemakaian jenis verba yang sama dapat terjadi dengan kategori verba
dinamis (verba aktivitas), seperti pada (18) atau (19):
(18) Saya sedang berpikir tentang dia selama ini.
(19) Saya mencium/sedang mencium wangi parfum.

Verba statif jenis kedua (verba relasional) tidak mungkin didapatkan dengan
makna keaspekan imperfektif di dalam bahasa Inggris. Di dalam bahasa
Indonesia, jenis verba ini masih mungkin didapatkan dengan makna aspektual
imperfektif. Bandingkanlah (20) dan (21) dengan (22) dan (23):
(20) Ia memiliki sebuah mobil besar.
(21) Ia sedang memiliki sebuah mobil besar.
(22) He owns a big car.
(23) *He is owning a big car.

Klausa (23) di dalam bahasa Inggris tidak berterima. Akan tetapi, di dalam
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ada jenis verba yang sama (berlaku sama) dan
keduanya tidak didapatkan dengan makna keaspekan imperfektif. Perhatikanlah
contoh berikut:

57
(24) Tindakannya patut mendapatkan komentar.
(25) *Tindakannya sedang patut mendapatkan komentar.

Dengan pula di dalam bahasa Inggris tidak ditemukan contoh berikut:


(26) *His actions are deserving some comments.

d. Makna Keaspekan dan Jenis Verba


Verba dinamis dan statif dapat membentuk makna keaspekan melalui valensi
sintaksi dengan partikel keaspean. Makna keaspekan melalui valensi sintaksis
tersebut, a.l.: (a) statal (keadaan), (b) imperfektif, (c) perfektif, dan (d) propektif.
Masing-masing verba berkombinasi dengan partikel keaspekan: belum, sedang,
sudah, dan akan. Sebagai percontoh dapat dikemukakan verba dengan klasifikasi
yang di kemu-kakan oleh Quirk (1972). Valensi sintaksis yang terjadi dengan makna
keaspekannya, dapat dilihat pada tabel berikut:

Makna keaspekan Statal Imp. Perf. Pros.


Partikel belum sedang sudah akan

Verba :
A. Aktivitas
1. memutuskan + + + +
2. bertanya + + + +
3. meminta + + + +
4. memanggil + + +
+
5. minum + + + +
6. makan + + + +
7. menolong + + + +
8. belajar + + + +
9. mendengarkan + + + +
10. memandang + + + +

58
11. bermain + + + +
12. hujan + + + +
13. mengingatkan + + + +
14. membaca + + + +
15. membaca + + + +
16. mengiris + + + +
17. melempar + + + +
18. berbisik + + + +
19. bekerja + + + +
20. menulis + + + +

B. Proses
1. berubah + + + +
2. memburuk + + + +
3. tumbuh + + + +
4. berkembang + + + +
5. memperlambat + + + +
6. memperbesar + + + +

C. Sensasi tubuh
1. sakit + + + +
2. merasa + + + +
3. luka + + + +
4. menggaruk + + +
+

D. Peristiwa transisional
1. tiba + + +
+
2. mati + + + +
3. jatuh + + + +

59
4. mendarat + + + +
5. meninggalkan + + + +
6. menghilang + + + +

E. Momentan
1. menabrak + + + +
2. melompat + + + +
3. menendang + + + +
4. mengetuk + + + +
5. mengangguk + + + +
6. menepuk + + + +
Verba momentan didapatkan dengan makna keaspekan imperfektif
(progresif) di dalam kalimat temporal (terjadinya dua peristiwa yang satu imperfektif
dan yang satu lagi perfektif) seperti pada:

(27) Ia sedang menabrak orang itu ketika kami lewat.


Imperatif Perfektif

Verba statif yang dipilah menjadi dua, yakni: (a) verba dengan persepsi dan
pengertian lamban, dan (b) verba relasional, dapat pula menunjukkan makna
keaspekan di dalam valensinya dengan partikel keaspekan yang telah disebutkan di
atas. Verba dinamis pada tabel di atas hanya sebagian kecil yang tidak dapat
bervalensi dengan partikel keaspekan, apabila dibandingkan dengan verba statif.
Beberapa verba dinamis tidak dapat bergabung dengan pertikel keaspekan sedang
([yang mendukung] makna keaspekan iperfektif). Valensi verba statif dengan
partikel keaspekan adalah sebagai berikut:

Makna keaspekan Statal Imp. Perf. Pros.


partikel belum sedang sudah akan

60
A. Verba dengan
persepsi dan pe-
ngertian lambang:
1. benci + + + +
2. memuja + + + +
3. mengherankan + + + +
4. percaya + + + +
5. berhasrat + + + +
6. jijik + + + +
7. meragukan + + + +
8. merasa + + + +
9. memaafkan + + + +
10. menerka + + + +
11. mendengar + + + +
12. membayangkan + + + +
13. mengesankan + + + +
14. bermaksud + + + +
15. tahu + + + +
16. suka + + + +
17. cinta + + + +
18. menghiraukan + + + +
19. menyenangkan + + + +
20. mensyaratkan + + + +
21. menyadari + + + +
22. menimbulkan + + + +
23. mengenal + + + +
24. menganggap + + + +
25. ingat + + + +
26. memuaskan + + + +
27. melihat + + + +

61
28. mencium (bau) + + + +
29. menduga + + + +
30. merasakan + + + +
31. berpikir + + + +
32. mengerti + + + +
33. ingin + + + +
34. mengahrapkan + + + +

B. Verba relasional:
1. mencurahkan + + + +
2. berada + + + +
3. mempunyai + + + +
4. menyangkut + + + +
5. berisi + + + +
6. harga + + + +
7. patut (berhak) + + + +
8. sama + + + +
9. cocok (pantas) + + + +
10. memasukkan + + + +
11. meliputi + + + +
12. mengurangi + + + +
13. berarti + + + +
14. memerlukan + + + +
15. mirip + + + +

Keterangan
+ = mampu bergabung
- = tidak mampu bergabung

e. Hubungan Situasi Telis-Atelis dan Keaspekan dalam Penggunaan

62
Temporal

Hubungan situasi telis-atelis dengan keaspekan perfektif impefektif melalui


verba dinamis-statis melibatkan pula makna “in herent” verba itu sendiri. Struktur
temporal dapat pula menentukan makna keaspekan kalimat. Verba statif dapat
membentuk kalimat statif verba dinamis dapat membentuk kalimat aktivitas dan
kalimat penghasilan. Dalam membentuk kalimat penghasilan memiliki situasi telis
verba dinamis jenis verba peristiwa transional dapat membentuk kalimat pencapaian
dan memiliki makna keaspekan pungtual.

Hubungan situasi telis-atelis dengan keaspekan perfektif-imperfektif dapat


disimpulkan melalui diagram berikut:

I.

Titik awal titik akhir

Keaspekan : inkoatif perfektif

Temporal : lmp. lmp.

Kalimat : t1 t2

Situasi : penghasilan

Telis

Contoh verba :

1) Menanam
2) Menjual
3) Membangun
4) Membuat
5) Menjalani

II.

63
titik awal titik akhir

Keaspekan : inkoatif perfektif

Temporal : lmp. lmp.

Kalimat : t1 t2

Situasi : aktivitas/statif

Atelis

Contoh verba :

1) Bertanam
2) Berjual
3) Berbuat
4) Berdagang
5) Berbakti
Dst.

Pada diagram (I) hubungan t1 dan t2 sangat erat, dan t1 merupakan proses menuju
t2 untuk sampai pada titik akhir (titik terminal) ; t1 merupakan bagian dari t2 yang
membentuk satu kesatuan temporal untuk mencapai titik akhir (perfektif).

Diagram (II) menunjukan bahwa t1 tidak merupakan proses menuju t2 dan


hubungannya longgar (terserah kemauan pelaku) , t1 tidak merupakan prooses bagian
dari t2. Baik t1 maupun t2 masing-masing berdiri sendiri, tidak ada hubungan
tindakan.

KEPUSTAKAAN

Bloomfield, Leonard. 1973 Language: Twelfth Impression Cetakan Pertama 1933.


London: George Allen & Unwin Ltd.

Comrie, Bernard. 1976. Aspect: An Introduction to the Study of Verbal Aspect and
Related Problems. Cambridge: Cambridge University Press.

64
Comrie, Bernard. 1981. Language Universais and Linguistics Typology. Oxford:
Basil Blackwell.

Cook, V.J. 1988. Chomsky’s Universals Grammar: An Introduction. Oxford: Basil


Blackwell.

Croft, William. 1990. Typology and Universals. Cambridge: Cambridge University


Press.

Djajasudarma,T.Fatimah. 1986. “Kecap Anteuran”. Bahasa Sunda: Satu Kajian


Semantik dan Struktur. Disertasi Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas
Indonesia.

1987 Gramatika Sunda. Edisi Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit PT Paramartha.

Djajasudarma,T.Fatimah. 1980. “Situasi Telis-Atelis dan Keaspekan Perfektif-


Imperatif melalui Verba Dinamis-Statif”. Di dalam Majalah Linguistik
Indonesia. Masyarakat Linguistik Indonesia. Juni 1990 Th.8 No.1.ISSN 0215-
4846.

1991a. “Perkembangan Makna sebagai Ajang Semantik”. Di dalam Mozaik


Kebahasaan Indonesia-Nusantara. Bandung Fakultas Pascasarjana Universitas
Padjadjaran.

1991b. “Hubungan Antarunsur Kalimat: Kajian ‘Government/Binding’ Chomsky


Ancangan Cocok dalam Alternatif Kalimat Bahasa Indonesia”. Makalah Temu
Ilmu-Ilmu Sastra Pascasarjana se-Indonesia,21-22 Oktober 1991. Bandung:
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

1993a. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung:


Penerbit PT Eresco.

1993b. Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Penerbit PT Eresco.

1993c. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Penerbit PT Eresco.

1993d. “Keterikatan Manusia akan Ruang dan Waktu: Satu Studi Aspektologi dan

65
Aktionsarten (Ragam Tindakan) Bahasa Indonesia”. Di dalam Majalah
Universitas Padjajdaran. No. 1 Vol. 11. Th.1993. ISSN 0216-1451. Journal of
Padjadjaran University.

1994a. “Beberapa Sifat Tipologis Klausa Relatif Bahasa Indonesia”. Di dalam


Bahasawan Cendekia. Seuntai Karangan untuk Anton M. Moeliono. 1994.
Suntingan Liberty P. Sihombing,dkk. Fakultas Sastra Universitas Indonesia:
PT Intermasa.

1994b. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Penerbit PT


Eresco.

1997a. “Struktur Bahasa Indonesia: Struktur Frase di dalam Hubungan D-M/M-D”.


Di dalam Jurnal Sastra . No. 1 Th.V.1997.

1997b. “Afiks Bahasa Sunda dan Sumbangannya terhadap Bahasa-Bahasa


Austronesia Barat”. Di dalam Majalah Ilmiah Universitas Padjadjaran.
Journal of Padjadjaran University. ISSN 0216-1451. No.3Vol. 15 Th.1997.
Bandung: Lembaga Penelitian Unpad.

Greenberg, Joseph H. 1954. “A Quantitative Approach to the Morphological


Typology of Language“. Di dalam R.F.Spencer, ed. Method and Perspective in
Antropology. 192220. Diterbitkan kembali 1960 di dalam International
Journal of American Linguistics 26: 178-194

Jespresen, Otto. 1924. The Philosophy of Grammar. London: Allen & Unwin.

Keraf, Gorys. 1983. “Pedoman Penyusunan Tata Bahasa Struktural”, di dalam


Pedoman Penyusunan Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.

Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Edisa Kedua. Jakarta: Penerbit PT


Gramedia.

Lyons, John. 1977. Semantic 2. Cambridge: Cambridge University Press.

66
Marrhews, P.H. 1974. Morphology: An Introduction to thr Theory of Word-
Structure. Cambridge: Cambridge University Press.

Moeliono, Anton M. 1983. “Penyusunan Tata Bahasa Struktural”. di dalam


Pedoman Penyusunan Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.

Odgen, C.K. & I.A. Richard. 1972. The Meaning of Meaning London: Routledge &
Kegan Paul Ltd.

Quirk, Randolph . 1972. A Grammar of Contemporary English. London: Longman


Group Ltd.

1985. A Comprehensive Grammar of the English Language. New York: Longman


Group Ltd.

Ramlan. 1983. “Penyusunan Tata Bahasa Struktural Bahasa Indonesia”, di dalam


Pedoman Penyusunan Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.

Redford.A. 1988. Transformational Syntax. Second Edition. Cambridge: Cambridge


University Press.

Sapir,Edward. 1921. Language: An Introduction to the Study of Speech. New York:


Harcout, Brace & World.

Saussure, Ferdinand de. 1916. Course de Linguistique Generale. Paris: Payot Course
in General Linguistics (terjemahan Wade Baskin, 1959, New York: McGraw-
Hill).

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik: Metode dan Ancangan Aneka Teknik


Pengumpulan Data. Bagian Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ullman, Stephen. 1972. Semantics. An Introduction to the Science of Meaning.


Oxford: Blackwell.

67
68

Anda mungkin juga menyukai