disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Bahasa Indonesia untuk
Penulisan Karya Ilmiah
Dosen Pembimbing:
Disusun oleh:
Kelas 1-I
ii
ANALISIS BAHASA
(tifa 191991)
iii
T. Fatimah Djajasudarma
ANALISIS BAHASA
ANALISIS BAHASA
UVULA 2003 / 01
Diterbitkan oleh
ISBN 979-97523-0-2
iv
PENGANTAR PENERBIT
Bahasa ibarat udara. Ia diperlukan manusia setiap hari, bahkan setiap saat. Apabila
udara diperlukan demi kelangsungan hidup badani, bahasa diperlukan demi
kelangsungan hidup rohani, yang pada gilirannya demi kelangsungan hdiup
budayawi. Akan tetapi, pada satu sisi, keibaratan bahasa dan udara tidak simetris.
Apabila udara yang kita hirup-dalam bentuk asam-“hanya”mberunsurkan O2, bahasa
yang kita cetuskan justru serbaunsur.
Dengan bangga “Uvula Press” menyodorkan karya kebahasaan karangan Guru Besar
Linguistik Fakultas Sastra Universitas Padjajaran ini. Akan tetapi, apa arti
kebanggaan tanpa kebermaknaan. Kiranya, kebermaknaan inilah yang menjadi
tujuan buku ini. Artinya, buku ini bermakna bagi pengamat, pekerja, dan pengguna
bahasa, bahkan bagi siapa pun yang ingin “meningkatkan kualitas rohani dan
budayawinya”.
Semoga.
Penerbit
v
KATA PENGANTAR
BUKU Analisis Bahasa: Sintaksis dan Semantik ini disusun sebagai upaya
penunjang dalam meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran bahasa pada
umumnya. Lingustik khususnya. Buku ini disusun sebagai langkah awal dalam upaya
meningkatkan mutu pendi-dikan seperti yang kita cita-citakan bersama. Peningkatan
mutu pendi-dikan dan pengajaran tidak akan terlaksana tanpa ditunjang oleh sarana
dan prasarana pendidikan. Kekurangan sarana pendidikan hanya dapat diatasi dengan
meningkatkanntaraf pendidikan dan pengadaan sarana dan prasarana. Kualitas
pendidikan itu sendiri hanya dapat dica-pai bila sarana dan prasarana pendidikan
memadai sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Buku Analisis Bahasa : Sintaksis dan Semantik merupakan sarana dalam penerapan
teori terhadap data kebahasaan yang dianggap menjadi salah satu jalan untuk
memahami bahasa secara linguitis (ilmu bahasa). Melihat perkembangan lingistik di
Indonesia secara pesat para linguis ditantang untuk melengkapi prasarana dan sarana
tersebut Demi kepuasan analisis (kajian) bahasa sebagai sarana ilmu bahasa yang
dirasakan sangat minim. Penulis berusaha menyusun tulisan ini yang disusun dan
dihimpun dari makalah-makalah yang penulis sampaikan baik untuk seminar
nasional maupun internasional.
Akhir kata penulis berharap tulisan ini dapat menjadi sumbangan berharga pada
bidang lingistik khususnya dan bidang pendidikan pada umumnya. Semoga tulisan
ini bermanfaat pula bagi para peneliti baik peneliti bahasa maupun bidang lainnya.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v
Bab 1
Pendahuluan
Bab 2
Klausa
Bab 3
Kalimat
vii
Bab 4
1. Perkembangan Makna. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 43
2. Perubahan Makna. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 45
3. Perluasan dan Penyempitan Makna. . . . . . . . . . . . . . . 48
4. Pergeseran Makna. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49
5. Analisis Semantik. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
a. Situasi Telis-Atelis. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
b. Situasi Telis-Atelis dan Keaspekan
Prefektif-Imperfektif. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 52
c. Diksi dan Jenis Kalimat. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 54
d. Makna Keaspekan dan Jenis Verba. . . . . . . . . . 57
e. Hubungan Situasi Telis-Atelis dan Keaspekan
dalam Penggunaan Temporal. . . . . . . . . . . . . . . 62
Kepustakaan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 64
viii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
menganut bahwa unsur bahasa itu satu sama lain saling berhubungan, membentuk
satu kesatuan (the whole unified). Gagasan de Saussure ini mempengaruhi filsafat
gramatika Jespersen (1924) yang mengungkapkan bahwa “segala sesuatu harus tetap
diamati bentuk, fungsi, dan maknanya” (lihat pula Uhlenbeck, 1978 dan 1982:
Djajasudarma, 1986). Pemahaman fungsi dan makna erat sekali dengan hubungan
antarunsur dalam membentuk satu kesatuan. Oleh karena itu, beda bentuk harus
dicurigai fungsi dan maknanya.
Seperti dinyatakan terdahulu, frasa adalah unsur kalimat yang terdiri atas dua
unsur atau lebih dan nonpredikatif. Predikatif adalah sifat fungsional bagi unsur
klausa (kalimat). Sifat ini menjelaskan perbedaan perbedaan frasa dan klausa. Dilihat
dari segi tataran bahasa frasa adalah unsur minimal klausa (kalimat), sedangkan
klausa adalah unsur minimal wacana (discourse); klausa terdiri atas dua unsur atau
lebih dan salah satu unsurnya adalah predikatif (Djajasudarman, 1987).
2
terdiri atas dua unsur dengan lafal satu tekanan tidak dapat dikembangkan lebih
lanjut dan memiliki satu kesatuan makna.
Bagan I
Frasa
Endosentris Eksosentris
Endosentris atributif berhubungan pula dengan kaidah D-M atau M-D dengan
konstituen atributif sebagai M (enerangkan) dan konstituen induk sebagai
D(iterangkan). Perhatikan konstrukti (struktur) frasa berikut:
Bandingkan dengan:
3
(2) Seorang istri muda
M D M
atr. ind. atr.
Bagan II
Endosentris Koordinatif
a. Frasa Endosentris
4
Endosentris coordinator aditif
Termasuk pula konstruksi yang disebut frasa nomina dengan unsurnya adalah
nomina, seperti pada:
Atau frasa nomina dengan hubungan endosentris koordinnatif sebagai induk (D)
yang bergabung dengan frasa adjektiva dengan hubungan coordinator aditif.
Perhatikanlah di bawah ini:
5
ind. atr. atr. atr.
D M M M
- Endosentris apositif
Bandingkanlah dengan:
6
(13) pengusaha wanita
D M
ind. atr.
Bandingkan dengan:
7
seperti pada (15) di atas.
V (erba) O (bjek)
M D
atau
V D M
Perhatikan pula dua O(bjek), yaitu objek langsung (OLA) dan objek tak langsung
(OTL), seperti pada struktur berikut:
V OTL OLA
atau
V OLA O = adverbial
8
b. Frasa Eksosentris
c. adalah tuganya
Struktur frasa eksosentris konektif seperti pada (23) a. b. dan c mengacu pada
verba “kopula”, di mana konektor mengacu pada unsur di luar batas frase.
Struktur frase eksosentris direktif memiliki direktor. Unsur yang bergabung dengan
direktor memilki hubungan yang erat sebagai satu kesatuan.
Prep. Lok.
9
dengan
Prep. Pron.
Pada frasa (24) dari Bandung, dari diikuti oleh lokasi (tempat), tetapi pada
(25) dari saya, dari diikuti oleh pronomina persona. Dalam hal ini, kedua struktur itu
harus dikaji melalui filsafat bahasa, di mana manusia mampu bergerak (bersifat
mobilitas) mengakibatkan mampu menjadi titik pusat (dirinya sendiri) atau sebagai
sasar-an, di samping manusia dapat memenuhi ruang dan waktu. Verba tertentu
menuntut kehadiran preposisi. Frasa preposisi memiliki keterkaitan yang erat sebagai
unsur kalimat.
Struktur bahasa Indonesia dapat dipahami dari dua segi, yakni struktur
berdasarkan tataran (unsur yang terkecil sampai dengan yang lebih luas); dan struktur
yang bersifat hubungan menunjukkan stukturalisme Amerika (Bloomfieldian 1933)
sedangkan paham kedua menunjukkan strukturalisme Eropa (Sausurian 1916).
Struktur bahasa Indonesia melalui salah satu unsur minimal kalimat dapat dikaji
melalui kaidah D-M bagi unsur yang memiliki induk frasa, etapi bagi unsur lain tidak
dapat ditentukan D-M/M-D karena memiliki fungsi gramatikal yang sama. Struktur
lain bila dikaitkan dengan frasa sebagai unsur kalimat. Maka bagi frasa objektif pada
konstruksi ekso-sentris memerlukan kategori berdasarkan pemilahan verba dan
kopula. Verba menerangkan objek yang dikerjakan atau dijadikan sasaran makna
yangdiungkapkan verba itu sendiri, tetapi tidak demikian halnya pada frasa
eksosentris konektif, dimana frasa memiliki konektor yang mengacu (menerangkan)
bagian lain di luar frasa itu (harus dilihat pada tataran klausa atau kalimat).
10
Yang juga menarik perhatian ialah cara kerja antar teknik yang perlu di- terapkan
dengan penelitian yang mendalam bagi struktur kalimat bahasa Indonesia. Misalnya,
penerapan teknik interupsi akan mengakibatkan ekspansi bagi struktur kalimat
bahasa Indonesia itu sendiri, dengan makna yang berlainan, seperti pada kalimat:
Bila kita sisipkan kata “hanya” pada kalimat tersebut, akan menghasilkan
gambaran berikut:
hanya
1. Hanya pada pesta itusaya mencium dia (pada pesta lain tidak),
2. Pada pesta itu hanya saya yang mencium dia (yang lain tidak),
3. Pada pesta itu saya hanya mencium dia (tidak memeluknya),
4. Pada pesta itu saya mencium hanya dia (tidak yang lain).
(26) anak istri Pak Lurah atau (27) anak-istri Pak Lurah
Bila ditulis, kita akan memahami tanda bahasa yang menyatakan aditif
(27) dan yang menyatakan milik (26) tetapi bila dilafalkan akan
mengakibatkan makna ganda (ketaksaan). Demikian pula yang terjadi
pada konstruksi berikut:
Apakah maknanya posesif, tangan yang sebelah kanan dari Pak Direktur
atau kepercayaan Pak Direktur. Makna milik di dalam bahasa Indonesia
11
selain dinyatakan dengan leksem “punya” juga dapat dinyatakan dengan
pola urutan (termilik-pemilik atau sebaliknya). Atau, dengan klitik
posesif, seperti bagi pronomina persona | -ku, || -mu, dan ||| -nya.
Pemakaian klitik posesif dapat menurunkan tataran bahasa (terjadi
raising), seperti pada:
12
BAB 2
KLAUSA
Istilah tipologi di dalam hal ini dipahami sebagai ciri-ciri yang dapat dijadikan
sebgai tipe bahasa. Tipologi mengacu pada tipe yang dimiliki bahasa yang
bersangkutan yang dapat dijadikan unsur bahasa universal bila dikaji melalui
bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Tipologi berhubungan erat dengan semestaan
bahasa (language universal) bila tipe-tipe unsur bahasa itu dapat ditelusuri melalui
bahasa-bahasa yang ada. Istilah tipologi diawali dari klasifikasi bahasa secara
tipologis sejak pemikiran pertama dari Friedrich von Schlegel, yang kemudian
(fonologi, morfologi, dan sintaksis). Tipologi morfologi yang muncul pada abad
dengan parameter: (1) menyangkut jumlah morfem yang ada dalam sebuah
kalimat, (2) Jumlah sendi yang ada dalam sebuah konstruksi, (3) kelas-kelas
morfem yang menyangkut sebuah kata (akar, derivasi, dan infleksi), (4)
menyangkut jumlah afiks yang ada dalam sebuah konstruksi, dan (5) masalah
13
Perkembangan penelitian morfologi ini sebenarnya tidak hanya sampai pada
masalah tersebut diatas, sebab pada tahu 1960-an telah dilanjutkan dengan teknik
analisis WP, IP, dan IA yang dikemukakan oleh Hockett (1954) yang kemudian
dipertimbangkan dari berbagai kajian morfologi di dalam Matthews (1974). Tipologi
morfologi yang kemudian menyangkut masalah derivasi dan infeksi yang
mempertimbangkan hasil proses morfermis yang berbeda mengakibatkan para
peniliti morfologi harus membedakan hasil proses derivasional dan hasil proses yang
infleksional (lihat pula Lyons, 1977). Hasil proses yang derivasional akan
menghilangkan kriteria kelas kata dari operan. Berbeda dengan infeksional yang
mepertahankan kelas kata dari operan. Olah karena itu ada verbal (I), nomina (I),
adjektiva (I), dan adverbal (I) sebagai konsekuensi logis dari hasil proses tersebut.
Tipologi dapat pula dipahami secara spesifik yang merupakan pendekatan terhadap
penelitian bahasa yang berlawanan dengan pendekatan sebelumnya, seperti
strukturalisme Amerika dn pendektan tata bahasa generatif. Dalam hal ini, tipologi
merupakan pendekatan teori linguistik atau metodologi kajian linguistik yang
berkembang ke arah teori linguistik yang berbeda dari pendekatan lainnya. Tipologi
tersebut dikenal dengan sebutan Greenbergian dan sebagai pendekatan tipologi
fungsional (functional typologicl approach), lawannya Chomskyan. Yang pertama
dikenal sebagai sedangkan yang kedua (pendekatan Chomsky) dikenal sebagai
pendekatan formalisme (formalism approach). Pendekatan tipologi fungsional mulai
dikenal pada tahun 1970-an (Croft, 1990:2). Tipologi di dalam tulisan ini akan
mengkaji beberapa sifat tipologis klausa relatif bahasa Indonesia, dengan
pemahaman tipologi yang menyagkut ciri klausa relatif bahasa Indonesia dan
dipertimbangkan secara deskriptif. Klausa relatif dipahami sebagai klausa yang
14
memiliki relator (pronomina relatif). Sifat-sifat atau ciri-ciri klausa relatif bahasa
Indonesia dipertimbangkan dari salah satu unsur penelitian kalimat, yakni bola
urutan (word order).
1. Tipe Klausa Relatif
Penelitian klausa termasuk dalam kalimat atau wacana dalam tataran yang lebih
luas. Penelitian linguistik yang bersifat kualitatif erat kaitannya dengan
strukturalisme Saussurian (unsur-unsur yang diteliti berhubungan satu sama lain,
embentuk satu kesatuan yang utuh – the whole unified), dan berkaitan pula dengan
filsafat gramatika yang menyatakan bahwa unsur-unsur penelitian itu harus
dipertimbangkan dari bentuk, fungsi, dan makna (pertimbangkanlah de Saussure,
1916: Jespersen, 1924; Sudaryanto, 1988: Uhlenbeck, 1978: Djajasudarma, 1986,
1992).
Penelitian klausa relatif dengan dasar penelitian dan kajian yang dilandasi
teori tersebut di atas akan berkaitan dengan unsur-unsur yang harus dipertimbangkan
di dalam penelitian klausa (kalimat), yakni: (1) intonasi, (2) bentuk kata, (3) pola
urutan, dan (4) partikel. Unsur-unsur yang harus diperhatikan di dalam penelitian
kalimat tersebut mendukung kalimat secara keseluruhan, tetapi bagi (1) intonasi sulit
untuk dipertimbangkan melalui data tulis. Karena intonasi ada pada parole,
sedangkan sata tulis ada pada langue, sehingga intonasi di dalam hal ini tidak akan
dipertimbangkan lagi. (2) bentuk kata di dalam kalimat bahasa Indonesia, bentuk
kata (verba) misalnya, dapat menentukan kategori kalimat; bagi (3) pola urutan di
dalam kalimat bahasa Indonesia dapat diteliti sejauh mana urutan inti (hulu) dan
noninti membedakan makna kalimat, atau secara tipologis apakah memang hulu yang
mengikuti pronomina relatif di dalam klausa relatif bahasa Indonesia: bagi (4)
partikel di dalam kalimat dapat menentukan kalusa inti dan noninti atau jenis kalimat
dilihat dari segi hubungan makna kalimat. Dalam kajian ini hanya unsur (3) yang
akan dipertimbangkan, sejauh mana klausa relatif memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat
tipologi di dalam bahasa Indonesia.
Sifat yang telah diketahui secara eksplisit di dalam bahasa Indonesia adalah klausa
yang diawali pronomina relatif (lihat Kridalaksana, 1984), selain dapat pula
15
dipertimbangkan dari ciri atau /./ didalam bahasa Indonesia. Pronomina relatif ini
merupakan unsur yang digunakan untuk “mengantar” atau memperkenalkan klausa
hulu (frasa nomina-FN) yang dikembangkan ke dalam klausa secara keseluruhan.
Klausa terikat yang menghantar hulu (FN) dari klausa inti selalu diawali oleh
pronomina relatif, baik yang berupa yang, atau /./. Unsur FN sebagai hulu dari klausa
mensyaratkan persesuaian dengan bagian lain dalam klausa tersebut secara
keseluruhan.
Klausa relatif yang dapat dipilah ke dalam relatif restriktif (membatasi) dan
nonrestriktif (tidak membatasi) memiliki sifat-sifat tersendiri dalam klausa bahasa
Indonesia. Klausa relatif mewajibkan klausa terikat itu hadir, sedangkan klausa
relatif nonrestriktif tidak mensyaratkan unsur klausa terikat, sehingga kehadirannya
dapat dianggap opsional, dan hanya sebagai tambahan (modifier). Klausa relatif
nonrestriktif disebut juga apositif, deskriptif, atau eksplanatori. Intonasi memegang
peran penting di dalam klausa relatif nonrestriktif ini. Relatif restriktif memiliki
pronomina relatif yang dan berfungsi sebagai konjungsi. Perhatikanlah data berikut:
yang + posmodifier
yakni, “Anak gadis itu teman saya” atau “Anak gadis teman saya”. Pada “anak gadis
itu teman saya” pronomina demonstratif itu dianggap sebagai relator unsur klausa,
sedangkan pada “Anak gadis teman saya” menuntut kehadiran intonasi kalimat bila
16
dianggap sebagai klausa ekuatif, bila tidak akan dianggap sebagai FN dengan urutan:
dalam hubungan posesif . tetapi, bila anak sebagai inti maka gadis menjadi
posmodifer dalam batas hubungan rincian ciri FN(N).
S S/P P K
S KL. REL.
S KL. P K
Bandingkan dengan:
Pada (2) kehadiran intonasi sebagai unsur (pronomina) relatif mutlak perlu,
karena pronomina relatif tidak berterima di dalam bahasa Indonesia, dalam hubungan
posesif, tetapi unsur relatif dengan bentuk lain dapat berterima, misalnya menjadi
17
“Anak gadis dari teman saya” bila kata dari dapat menyulih kata yang dalam
fungsinya sebagai konjungsi di samping sebagai pronomina relatif. Sifat klausa
relatif yang ini mengandung pronomina relatif ɸ atau relator dari dalam hubungan
posesif. Konstruksi hubungan FN (hulu) dengan FN (klausa relatif) memiliki kaidah.
FN1 FN2
Klausa relatif pada (2) dapat pula menjadi posmodifier dengan unsur
premodifier dari FN1, sehingga terjadi:
(3) Anak gadis teman saya yang bekerja di Jakarta pulang hari ini
Di sini pula klausa relatif dengan pemarkah ɸ yang menurut adanya intonasi
dalam ujara, yakni “gadis teman saya” dan klausa relatif dengan pronomina relatif
(bekerja si jakarta), sedangkan “pulang” menjadi predikat dari klausa inti, dan “hari
ini” menjadi komplemen (keterangan waktu) predikat. Klausa inti menjadi “Anak
pulang hari ini”.
(posesif) relator yang digunakan dapat berupa atau dari. Perhatikan data bahasa
Indonesia berikut: (7) Ibu bapak yang tinggal di Medan pergi ke Jakarta.
Rel
18
Kl. Rel.
Pada klausa relatif dapat diketahui yang berkoferensi dengan S Kl(ausa) inti,
sedangkan pada da hulu yang berfungsi sebagai S Kl inti terdapat hubungan: (1)
milik, dan (2) sebagai satu kesatuan makna (majemuk) yang mengacu pada “orang
tua”. Ketaksaan tersebut terjadi bila tanda hubungan yang menyatakan majemuk tadi
tidak hadir. Tanda ɸ dalam hubungan milik dapat ditelusuri dengan relator dari yang
berkembang di dalam rangka lisan menjadi daripada. Bandingkan dengan kata (8)
klausa relatif bahasa Indonesia yang berkategori aktif yang dipertimbangkan dari
bentuk V(erba).
S S Rel. Vak O P
= saya
Bila terjadi transformasi akan kita lihat pengedepanan unsur O menjadi S dan
bentuk V mengalami loncatan tataran (kata-frasa), sehingga menjadi (9):
S FV Pas. P
S Rel. P
Kl. Rel.
Kl. Inti
19
apa yang disebut chopping transformation (transformasi loncatan) atau apa yang
disebut movement without an overt copy (permutasi tanpa jejak), bagi pronomina
relatif dengan relator whom (yang berfungsi sebagai ɸ) di dalam bahasa Indonesia
terjadi level skipping (loncatan tataran) pada V menjadi FV seperti pada (9).
Sebaliknya, bagi pronomina persona yang berfungsi sebagai ɸ pada Kl. Rel. menjadi
S pada Kl. Inti (permutasi dengan jejak, ɸ dapat ditelusuri pada kategori aktif
menjadi pasif). Kategori demikian di dalam bahasa Inggris disebut copying
transformation (transformasi salinan atau jejak) atau movement with copying
(permutasi dengan jejak atau dengan salinan).
S O S P K P K
Pilihan yang masih mungkin terjadi adalah hulu dari FN pada klausa inti
bergantung pada intonasi, sehingga kita memiliki pemahaman FN sebagai hulu: (1)
anak (seperti rincian di atas), (2) anak gadis, atau (3) anak gadis teman saya. Antara
FN (anak gadis) dengan FN (teman saya) masih ada relator. Sebagai penghubung
dua FN sebagai pronomina relatif ɸ (yang berfungsi pula sebagai konjungsi yang
menyataka hubungan termilik-pemilik). Dalam hubungan termilik-pemilik di dalam
kontruksi (3) ɸ = dari.
20
Bila dilihat dari kategori klausa relatif, yakni relatif restriktif dan nonrestriktif
klausa relatif bahasa Indonesia yang memiliki /. / sebelum pronomina relatif yang
dan diakhiri sebelum predikat klausa inti akan disebut relatif nonrestriktif yang
sifatnya apositif, deskriptif, atau eksplanatori. Kehadiran dapat opsional klausa reatif
restriktif merupakan klausa terikatyang kehadirannya obligatori. Klausa relatif di
dalam bahasa Indonesia seperti pada:
Klausa relatif “yang saya lihat kemarin” memberi keterangan pada klausa inti
“Orang itu berdiri di depan pintu”, karena pada klausa tersebut belum jelas orang
mana yang dimaksud. Oleh karena itu, klausa relatifrelatif “yang saya lihat kemarin”
bersifat obligatori dan tidak dapat dihilangkan (restrriktif – membatasi FN hulu)
(5) Mardha-i ke ketabhara be anha dede budid raftand men that books to them
youhave given went “The ma that you had given the book to went”
(6) Mo’alief ke nevisandeye xubi –st in sabkra.exteyar karede ast. author that
writergood is this style has chosen
Di dalam bahasa Inggris, klausa relatif ditandai pula dengan unsur pronomina
relatif yang berbeda-beda berdasarkan anteseden (hulu pada klausa inti). Hulu berupa
21
persona yang berfungsi sebagai S(ubjek) klausa rlatif akan mengandung pronomina
relatif who (yang): hulu berfungsi sebagai O(bjek) akan berpronomina reatif whom:
hulu sebagai pemilik akan berpromina relatif whose: bila anteseden(hulu) berua
binatang atau benda akan berpronomina relatif which; dan untuk hulu yang bukan
persona digunakan pronomina relatif that, that dan atau which berperilaku sebagai
pronomina relatif, baik dalam klausa relatif restriktif maupun nonrestriktif.
S P S S S P S S P
22
Inti yang distribusinya berdekatan dengan urutan SP (SV) pada KI. Rel dengan P
dimiliki bersama sebagai akibat acuan yang sama.
Urutan SV di dalam bahasa Indonesia terjadi sesudah KI.Rel. bila ada proses
transformasi dari pasif ke aktif. Bandingkan data berikut:
S S P O P
Pron.Rel.
Kl. Rel.
Kl. Inti.
S KI.Rel. S P S P
KI.Rel KI.Inti
Pada (13) dapat terjadi ketaksaan bila KI.Rel. tidak mengacu ke Kl.Rel (12)
sehingga dapat terjadi “teman saya berlari” atau “yang melihat ia”. Bila acuannya
pada (12), maka “teman saya yang melihat” sebagai klausa relatif dari kalimat (13)
dan sebagai klausa inti adalah “ia berlari”. Dengan demikian, di dalam bahasa
Indonesia dapat pula tejadi prenominal dalam pemahaman kalusa relatif yang
mendahului induknya, seperti pada (13). Meskipun kelaziman menunjukkan bahwa
sifat posnominal dalam pemahaman klausa relatif mengikuti hulunya. Bahasa
Indonesia tidak memiliki sifat hulu yang terdapatdalam klausa relatif itu sendiri.
23
4. Beberapa Ciri Klausa Relatif Bahasa Indonesia
Berdasarkan peran hulu didalam klausa relatif, ada yang bersifat pronomina relatif
dan sifar (ɸ) dan ada pula yang bersifat retensi dalam hubungan kemilikan (posesif).
Dalam hubungan posesif – genetif cenderung memiliki ɸ relator yang dapat disulih
dengan kata dan bukan yang seperti pada sifat yang dimiliki klausa relatif lainnya.
Perlu diteliti lebih lanjut dalam hubungan ini, baik klausa relatif secara keseluruhan
melalui data yang akurat dan objektif maupun klausa relatif dalam hubungan posesif
(genetif) bahasa Indonesia. Dalam hubungan genetif ini, klausa relatifbahasa
Indonesia cenderung merelatifkan pemilik sebagai bagian dan FN sebagai S (ubjek).
Dilihat dari segi konstruksi klausa relatif, bahasa Indoesia bersifat simpleks
(pronomina relatif berkoreferensi dengan FN [S] secara penuh) dan klausa relatif
yang bersifat kompleks (dalam hubungan perelatifan objek langsung dan atau tak
langsung, dan hubungan kemilikan). Ditinjau dari segi posisi klausa relatif, bahasa
Indonesia memiliki sifat (tipe) posnomina (I) dan prenomina (I).
24
BAB 3
KALIMAT
Pendekatan kalimat yang dugunakan Chomsky makin lama makin meluas dan
mendapat tanggapan dari berbagai aliran linguistik. Setelah satu pendekatan
Chomsky adalah yang disebut Government/Binding (selanjutnya disebut GB),
ancangan Cook yang akan dicoba didalam hal ini.hal ini sebagai pengantar ke arah
pertimbangan model analisis Chomsky sendiri jelas dipertimbangkan dari teori
linguistik sebelumnya. Alternatif kalimat bahasa Indonesia didalam hal ini dipahami
bahwa munculnya ekspresi tertentu merupakan pilihan kalimat bahasa Indonesia
yang sudah dipertimbangkan didalam logika berdasarkan kompetensi (unsur – unsur
line-aritas kata yang berterima berdasarkan gramatika bahasa Indonesia).
Data kalimat bahasa Indonesia yang diajukan a.i. memuat hubungan antarunsur
kalimat yang dapat diperikan berdasarkan pemutasi (movement)sebagai upaya
(device) pemindahan unsur akibattransformasi kalimat. Transformasi dengan
permutasi dapat mengubah posisi dan bentuk unsur kalimat, atau perluasan unsur dan
perubahan kattegri. Salah satu contoh perubahan bentuk didalam bahasa Indonesia
ialah menyangkut masalah afiks (misalnya meN- menjadi di- dalam transformasi
aktif-pasif), sedangkan perluasan dan perubahan kategori dan perluasann unsur,
misalnya dari kata menjadi frasa (kamu-oleh kamu), kategori kata menjadi frasa
25
preposisi.
Keberagaman model dalam analisis kalimat sesuatu bahasa disadari sebagai ciri
khas ilmu-ilmu sastra (linguistik). Ilmu menurut varian pendekatan dan hasilnya
sebagai model yang dapat dipahami dan dimengerti ilmuwan yang berkecimpung di
bidang ini atau dapat digunakan sebagai ancangan materi pengajaran dengan
mengandalkan tingkat kompetensi. Kalimat – kalimat bahasa Indonesia yang
digunakan sebagai bahan kajian adalah :
(l)
K(alimat)
26
L(ambang) B(unyi) L(ambang) S(emantik)
(II)
PF LF
(III)
SB
Permutasi
SL
Komponen PF Komponen LF
(1)
27
K
FN FV
N(pron.) V FN
(2)
FN FN
N Pron.demon. N FV
V FN
Afiks Vbd T
Bila kita bandigkan (1) dan (2), terjadi permutasi unsur kalimat dengan
pengedepanan unsur, terjadi transformasi aktif ke pasif, perubahan morfologi verba
dari meN- menjadi ᶲ, unsur yang dipindahkan adalah FN dengan tarda T(race),
sehingga didalam bahasa Indonesia kemungkinan muncul kalimat “ Saya baca buku
itu” sebagai alternatif kalimat yang muncul akibat FN3 yang dapat dipermutasikan,
akibat adanya upaya topikalisasi fronting – pengedepanan unsur).
28
(3)
FN1 FV
N Pron.demon. V N (pron)
(3b)
3.Prinsip Proyesksi
Perbedaan makna (semantik) harus teliti melalui hubungan antar unsur kalimat dan
makna “posisi” itu sendiri. Dari segi makna (peran semantik) dapat dipertimbangkan
29
melalui peran tematis atau apa yang diebut teori theta (misalnya benefaktif) yang
berhubungan dengan kalimat “x-bar’ (memerikan struktur yang berhubungan dengan
kalimat “x-bar” (memerikan struktur frasa, a.l. parameter hulu “head”). Model kajian
tersebut meliputi :
30
Alternatif kalimat dengan permutasi N₂ (Pron) akan muncul (4a) :
Atau
31
Kalimat (5) dapat dikaji sebagai berikut :
Atau
32
(5b) Untuk nenek ikan itu dibeli mereka
Di dalam analisis berikut dapa diperhatikan T yang mungkin merujuk struk asal (5)
dengan perubahn afiks dan posisi unsur kalimat.
(5b)
Teori ᴓ menentukan nenek pada (4) dan (5) sebagai benefaktif (recipient). Pada (4)
pengedepanan unsur benefaktif dan (4) menuntut syarat afiks meN- -kan menjadi di-
-kan diikuti unsur objektif (FN) dan agentif (FP). Pada (4b) permutasi dengan peran
objektif (FN) di depan kalimat menuntut verba dengan afiks –nya/ ᴓ (-nya sebagai
afiks pronomina) yang menuntut agentif ia menjadi –nya (ia). Perhatikan perubhan
afiks dan kategori atau peran semantik berikut ini :
ᴓ + FN (Agentif)
dia
FN (benefaktif) FP
Pada (5) muncul alternatif kalimat (5a) dan (5b), serta permutasi terjadi pada
33
FN (Objektif) dan atau FP (Benefaktif) dengan perubahan verba :
Catatan :
34
SB
Teori kriteria
S1
Komponen PF
Komponen LF
FN FV
N pron FV FN
35
FV N pron demon
Afiks VBD
pasif
FN FV
N pron demon FV FP
V FV prep
FN
36
Afiks pasif vbd PAR V
N pron
demon
atau
K1
FN FV
FN FV FN
N N pron demon
FV
37
perempuan
FN
FV
Perempuan itu FV
FN
Sudah membaca
berita itu
K1 K2
38
KN FV FN FV
N V N pron demon
panas
KD
FN FV
Orang memberitahukan
K1
FV
FN k2
39
Hujan FN FV
hari ini
panas
pada(8) kita dapat mengatakan bahwa K terdiri atas K1 dengan peran objektif K2.
Dengan demikian , dapat di analisis sebagai berikut :
K1
FN FV
N PAR N
saya
ingin O
K2
40
FN FV
N pron demon
V
FN
Afiks Vbd
N pron
demon gadis itu
meN- temu
Teori kontrol yang berhubungan dengan intuisi bahasa dapat meramalka unsur yang
terlepas pada kalimat. Keterbatasan permutasi di dalam GB dapat dibatasi dengan
binding. Teori yang memungkinkan usnur yang dipermutasikan berterima posisinya
41
dari segi peran semantik. Peran semantik inilah yang berhubungan dengan teori
kasus. Pertimbangan semantik kalimat sebagai titik tolak menentukan PF (struktur
bunyi yang akan muncul di permukaan) yang dipertimbangkan dari segi LF
(berterima ddari segi gramatika dan semantik kalimat inklusif). Titik tolak semantik
mengingatkan kita pada titik tolak berpikir melalui segitiga Ogden & Richard, bahwa
konsep (concept) berada pada puncak segitiga (dahulu ada) baru kemudian
dituangkan di dalam “form” yang dapat memiliki acuan (reference). Perhatikan
bagan berikut:
Konsep
Form Acuan
Acuan dapat konkret dan abstrak. Dalam arti ada yang dapat diindera dan ada yang
tidak. Dengan demikian, dalam kalimat kita memahami bahwa konsep yang ada
terlebih dahulu. Baru kemudian dituangkan dalam PF untuk memiliki LF bahwa
kalimat harus memenuhi LF (berterima dari segi gramatika dan logis dari segi
semantik). Bandingkan kalimat bahasa indonesia berikut ini:
42
menunjukan bahwa LF bukan hanya gramatikal tetapi juga harus logis.
BAB 4
1. Perkembangan Makna
43
Perubahan mekna ini menajdi jangkauan semantik historis dam dapat terjadi melalui
hubungan sintagmik, rumpang dalam kosakata, perubahan konotasi, peralihan dari
pengacauan yang konkret menjadi abstrak, timbulnya gejala sinestesia dan
penerjemahan harfiah. Di pihak lain, perubahan makna sebagai akibat: kebahasaan
(linguistic causes), kesejarahan, sebab sosial, psikologis, pengaruh bahasa asing. Dan
karena keperluan akan kata-kata baru. Sebab linguistik berhubungan dengan faktor
kebahasaan, baik yang berhubungan dengan tatanan bahasa (fonologi, morfologi,
sintaksis, dan wacana) maupun luar bahasa. Perhatikanlah kata sahaya pada mulanya
dihubungkan dengan budak, tetapi dengan perubahan makna menjadi saya. Kata
tersebut mengacu pada pronomina persona I netral (tidak ada pemarkah hormat/intim
atau tidak hormat). Bila kata saya dibandingkan dengan kata aku akan terlihat
perbedaan bahwa saya bersifat “netal” sedangkan aku bersifat “intim” muatan makna
apa yang berubah bila dibandingkan antarakata kita dengan kata kita-kita sebagai
pronomina persona I jamak. Hal tersebut termasuk ke dalam gejala perubahan makna
dalam tataran morfologi. Perubahan makna dalam tataran sitaksis dapat
dipertimbangkan bila terjadi penyisipan unsur kalimat. Bandingkanlah perubahan
makna yang terjad bila kalimat per contoh ini disispi kata hanya sebagai unsur
kalimat:
44
sosial, a.l. gerombolan dan simposium. Faktor psikologis yang mengakibatkan
perubahan makna dapat berpa faktor emotif, dan kata-kata tabu. Hubungan
sintagamik merupakan faktor penyebab perubahan makna ini dapat terjadi karena
kekeliruan pemenggalan perfom-perfomnya. Perhatikanlah kata pramugari yang
berasal dari bahasa Jawa pra + mugari (pembantu tuan rumah pada peralatan). Di
dalam bahasa Indonesia, kata itu mengalami salah pemenggalan pramu + gari yang
kemudian pramu- menjadi “go public” sehingga mucullah pramuniaga,
pramuwisama, dan pramuria.
Hubungan yang terjadi dalam perubahan kata adalah rumpang dalam kosakata,
artinya kadang-kadang di dalam bahasa terjadi kekurangan bentuk untuk
menanamkan sesuatu. Bandingkanlah anatara kata penilik dan peneliti atau
pemerintah yang berbeda makanya dalam kehidupan sehari-hari dengan istilah dalam
ketatanegaraan. Bila tidak ada unsur yang diperlukan ia akan dibentuk dari unsur
yang sudah ada dengan menggunakan analog. Perhatikanlah di samping sauadar
kandug kita juga memiliki ayah kandung (padahal ayah tak pernah mengandung).
Rumpang dalam kosakataini biasanya diisi pula dengan metafor. Perhatikanlah kata
lapisan (masyarakat), pada kenyataannya hanya sebagai perbandingan dengan benda
yang berlapis-lapis dan yang dimaksud adalah kelas sosial (social class). Demikian
pula ang-katan (bersenjata) atau tukang (catut). Acuan di luar bahasa pun dapat
mlengkapi rumpang dalam kosakata. Perhatikanlah merakit atau kereta api.
Konotasi atau tautan pikiran yang menyertai makna kognitif dapat mewarnai
rumpang dalam kosakata ini. Konotasi dalam hal ini sangat bergantung pada situasi
pembicaraan. Perhatikanlah kata-kata berikut: ceramah, perangsang, lugas, pesangon,
terlibat, dibebastugaskan, PHK, dst. Peralihan dan pengacuan yang konkret menajdi
abstrakdapat kita perhatikan pada: menangkap, memeluk, merangkap, mencakup
(bahasa Sunda memiliki kata-kata: ngarangkep, yang bermakna bersatu [dalam
perkawinan] yang dibedakan dari ngarapet “mengelem”).
Bila kita perhatikan perubahan makna di dalam bahasa Indonesia atau di dalam
bahasa Sunda dapat dilihat melalui sumber kosakata itu. Di dalam bahasa Indonesia
ada perubahan yang berasal dari bahasa daerah, atau sebaliknya di dalam bahasa
daerah ada yang berasal dari bahasa Indonesia, terutama yang bersumber dari bahasa
45
asing. Kosakata ini dapat pula berubah karena akibat lingkungan, pertukaran
tanggapan indera, akibat gabungan kata, akibat tanggapan pemakai bahasa dan akibat
asosiasi.
Kita dapat memeperhatikan bahwa makna berkembang, baik engan perubahan,
perluasan, dan penyempitan maupun dengan pergeseran. Hal tersebut disadari, baik
sebagai akibat kebutuhan baru maupun sebagai hubungan makna itu sendiri. Sebagai
akibat munculnya beberapa prinsip dalam hubungan makna, seperti inklusif,
tumpang tindih. Komplementer dan persinggungan. Hal tersebut tidak akan dibahas
secara mendalam di sini.
2. Perubahan Makna
Bahasa yang berkembang sejalan dengan bahasa Indonesia adalah bahasa daerah dan
bahasa asing. Pengaruhnya berbeda, sebab bahasa asing di Indonesia hanya
merupakan sumber serapan, sedangkan bahsa daerah dapat menjadi sumber serapan
dan juga sebagai penyerap (bahasa Indonesia memiliki dwi-fungsi bagi bahasa
daerah). Bahasa daerah ikut mewarnai bahsa Indonesia terutama di bidang budaya
(bagi istilah-istilah khusus yang tidak ada dalam sistem budaya Indonesia).
Perubahan makna yang berasal drai bahsa daerah misalnya kata seni yang bermakna:
(i) halus: (ii) air seni = air kencing: (iii)kecakapan membuat sesuatu yang elok atau
indah (Poerwadarminta, 1976). Maknanya kemudian berekmbang menjadi seni: (1)
(adjektiva) halus (tt rabaan), kecil dan halus, tipis dan halus, lembut dan enak
didengar (tt suara), mungil dan elok (tt tubuh); (2) (nomina) keahlian membuat
karya, dsb.). Padahal bagi masyarakat Melayu makna seni lebih banyak dihubungkan
dengan makna (iii) air kencing.
Kosakata tertentu dirasakan tidak layak diucapkan di daerah tertentu, tetepai lain
halnya bagi masyarakat Indonesia yang tidak memiliki kata tersebut.
(1) butuh di dalam bahsa Palembang atau Melayu bermakna kelamin laki-laki: di
dalam bahsa Indonesia selain butuh didapatkan pula bentuk paradigmatis eperti
membutuhkan dibutuhkan, dan butuh sinonim dengan perlu.
(2) tele bagi masyarakat Gorontalo daripada menyebut “bertele-tele” lebih baik
46
diganti dengan berkepanjangan.
(3) momok bagi masyarkat Subda lebih baik diganti dengan seta atau hantu.
Perubahan makna dapat pula terjadi sebagai akibat lingkungan. Kata yang di pakai
dalam lingkungan tertentu belum tentu sama maknanya dengan kata yang dipakai
dilinggkungan lain Misalnya. kata ”cetak“ bagi yang bergerak di lingkungan media
catak setalu dihubungkan dengan tinta. huruf. dan kertas. tetap. bagi dokter lain lagi.
dan lari pula bagi para pemain sepak bola
Kata samber yang lebih banyak dihubungkan dengan mata air atau tampat
asalnya air (gunung, hutan. dsb) berpadanan dengan kata bahasa lnggris resource
(”sumber"). Kata sumber sekarang berkembang dan dipakai di berbagai Iingkungan.
misalnya persuratkabaran (sumber berita). keamanan (sumber kerawanan). bahasa
(bahasa sumber), kesehatan (sumber penyakit). sosial (sumber pendapatan. sumber
gosip). dan pendidikan nara sumber).
47
memiliki perkembangan pemakaian. sehingga tidak hanya didapatkan hubungan
antara pedagang dan pembeli (barang-barang atau benda-benda tertentu), sakarang
digunakan pula di lingkungan WTS dan bermakna 'Iaki-laki yang selalu mendatangi
. suaranya tarang . Katanya manis . kata yang mais enak didangar. tapi yang pedas
serasa ditindas . hitam manis
Makna surat adalah (i) ketas (Kain) yang bertulis (dengan berbagai isi dan
maksudnya): (ii) secarik kertas (kain) sebagai tanda atau Katerangan: (iii) tutisan
(yang tenulis). Pada cantoh di atas kita melihat kata surat dapat bergabungan dengan
Kata yang memiliki makna asosiatif. seperul surat jaIan atau surat perintan tetapi
pada surat kaleng memiliki makna asosiatif. Kata yang menunjuk paaa tempat
melakukan sesuatu atau tempat Khusus dapat kita lihat pada gabungan kata berikut:
tahanan
jompo
48
pemberontakan di Indonesia makna-nya menjadi negatif dan tidak menyenangkan
bahkan menakutkan. Demikian juga kata-kata seperti cuci tangan dan amplop.
Perubahan makna amplop yang semula bermakna "pembungkus surat“ manjadi
amplop yang bermakna ’pembungkus uang sogok" menumukkan makna asosiasi.
Makna asosiasi Ini dapat pula dihubungkan dengan tempat atau lokasi kejadian suatu
peristiwa. misal nya Monas. Bandung, Cengkareng, dst. Bila orang mengatakan
senayan makna asosiasinya adalah . . yang bemubungan dengan sepak boIa,
Depdikbud, ruang sidang MPR/DPR Demikian pula tempat-tempat khusus bagi
masyarakat Jawa Barat musalnya Santem, Cibaduyut. Laut Kidul. Ujungkulon
Karawang, dst. Makna asosiasi ini berhubungan pula dengan warna. Warna putih
berarti "menyerah". biru berarti "cinta' dst Makna asosiasi dapat dihubungkan dengan
tanda tertentu misalnya tanda lalu limas .
Perluasan makna terjadi pada kata-kata antara lain saudara ibu bapak. yang
dahulu digunakan untuk menyebut orang yang seketurunan (sedarah). Kata saudara
dihubungkan dengan kakak atau adik yang seayah dan seibu. kata bapak selaiu di
hubungkan dengan orang yang sudah tua laki-laki. kata ibu selalu dihubungkan
dengan orang yang sudah tua perempuan. sekarang maknanya meluas. kata bapak
digunakan kepada setiap laki-laki yang tua (yang memiliki status sosial lebih tinggi)
meskipun tidak memiliki hubungan keluarga dengan pembicara kata saudara
digunakan untuk mereka yang sebaya dengan pembicara kata ibu digunakan untuk
perempuan yang sudan tua maskipun tidak ada hubungan saudara.
Perluasan makna dapat terjadi puIa dengan penambahan unsur lain. seperti pada
kata kepala yang semula adalah “bagian atas tubuh manusia" Sekarang maknanya
meluas sehingga ada kepala bagian. kepala sekolah kepala rumah sakit. dst Frasa
kepala suster menunjukkan pola urutan posesif Di sampmg itu untuk menghindari
Ketaksaan makna digunakan pula suster kepala ‘yang menunjukkan jabatan
berasosiasi dengan kepala dari jabatan Itu (suster)". Demikian pula kata emang atau
bibi didalam bahasa Sunda sudah tergeser dengan Istiah kekerabatan ayi (adik) bagi
49
yang Iebih rendah usianya dan pembicara atau abang (kakak) bagi Iaki-laki yang
umumya lebih tua dari pembicara bagi wanita digunakan ceuoeu (kakak peremouan).
Kata emang“ bagi tukang cenderung berubah menjadi ‘bapa" (bapak)
Penyempitan makna tejadi bagi kata-kata yang memiliki makna pembatas Hal
tersebut terjadi pada bentukan baru yang mengaku pada benda atau peristiwa
terbatas. Bandingkanlah Dengan penyakit
Kata ahli yang semula memiliki makna "anggota keluarga" (orang yang
termasuk dalam satu garis keturunan) ditambah unsur lain maknanya menjadi
terbatas dan menyempit. Demikian pula "skripsi" semula memiliki makna luas, yakni
"semua tulisan tangan". Sekarang mengalami penyempitan makna menjadi"tulisan
(mahasiswa) yang di susun sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar sarjana"
4. Pergeseran Makna
Perlihatkanlah:
Pergeseran makna terjadi pada kata-kata atau frasa yang permakna terlalu
50
menyinggung perasaan orang yang mengalaminya. Bayangkan kalau kita
mengatakan orang yang tidak rentan di depan mereka yang sudah tua. Ekspresi
tersebut akan menyinggung perasaan mereka yang sudah tua. Olen karena utu.
munculah frasa "manusia lanjut usia" (lansis). Demikian pula pergeseran makna pada
ekspresi berikut dapat dibandingkan mana yang leblh halus.
buta --> tunanetra tuli ~> tuna rungu gelandangan ~> tuna wisma glia ~> cacat
mental pelayan ~> pramuwisma
Dapat kita bayangkan bila kita mengatakan bahwa "pramugari' itu sama dengan
"pelayan kapal" di depan pramugari itu sendiri. Apakah kita akan mendapat pahala
atau palu?
a. Situasi Telis-Atelis
51
Situasi telis adalah situasi yang melibatkan proses menuju ke titik akhir
penyelesaian, proses selebihnya tidak dapat diteruskan. Seperti yang dinyatakannya
“Thus a telic situation is one that involves a process cannot continue” (Comrie,
1976:45).
Titik terminal dapat tercapai, belum tercapai atau tidak tercapai sama sekali,
seperti pada:
Kedua klausa tersebut mengacu pada situasi yang sama, yakni situasi duratif
(kontinuatif). Akan tetapi, kedua konstruksi tersebut memiliki perbedaan jenis situasi
bila dilihat struktur internalnya. Verba singing dan making dibedakan karena pada
klausa
(2) tidak mengenal proses menuju titik akhir, sedangkan pada klausa (3) mengenal
proses menuju titik akhir. Klausa (3) dikatakan menggambarkan situasi telis karena
mengenal proses menuju titik akhir (tindakan membuat kursi dapat sebagian-
sebagian dan tidak berakhir sekaligus). Klausa (2) dikatakan menggambarkan situasi
atelis karena tidak mengenal proses menuju titik akhir (dapat berakhir pada titik
tertentu, terserah kemauan John).
Situasi telis dalam beberapa bahasa dapat dinyatakan dengan morfologi denvasional,
seperti contoh yang dikemukakan Comrie di dalam bahasa Jerman, kampfen
(“perang”) dan erkampfen (“mencapai sesuatu dengan perang”) – resultatif perfektif.
Hal seperti itu menarik perhatian kita untuk meneliti sejauh mana afiks bahasa
Indonesia dapat mendukung situasi telis dan atelis. Bandingkanlah contoh berikut:
52
menanam dan bertanam. Prefiks me(n)- dalam “menanam” menunjukkan situasi
atelis (dapat berakhir pada titik tertentu terserah kemauan penanam), sedangkan
prefiks ber- dalam “bertanam” menunjukan situasi telis dengan aspek imperfektif.
Pemilahan kalimat yang dikemukakan Vendler, apabila kita teliti lebih lanjut,
tergantung dari makna verba yang dipilih untuk menyatakan situasi tertentu. Verba
loves (cinta) dan is (be) yang berarti “berada” menururt Quirk (1972) termasuk verba
statif
Verba cinta berbeda dengan verba berada karena yang pertama termasuk verba statif
dengan persepsi dan pengertian lamban, sedangkan yang kedua termasuk verba statif
relasional.
Di dalam bahasa Inggris, kalimat statif tidak dapat memiliki makna aspectual
53
imperfektif (progresif, kontinuatif, durative). Vendler (1957) berpendapat bahwa
proses penghasilan (achievement) akan terasa aneh apabila memiliki makna
keaspekan imperaktif, tetapi menurut Saurer (1964) kalimat penghasilan dapat
memiliki makna keaspekan imperfektif, seperti pada contoh berikut:
Makna verba di dalam klausa tersebut menunjukan bahwa di dalam makna verba
tersebut sudah termasuk tujuan yang akan dicapai. Hal tersebut berhubungan pula
dengan proses aktivitas secara langsung.
Di dalam bahasa Indonesia, kita dapat melihat perbedaan jenis kalimat tersebut
dengan melihat valensi verba dengan partikel keaspekan yang memarkahi makna
keaspekan imperfektif, misalnya sedang. Atau, dapat pula dilihat valensinya dengan
nomina temporal selama. Valensi tersebut dapat kita lihat sebagai berikut:
Kalimat (7), (8), dan (9) memiliki makna keaspekan imperfektif, sedangkan kalimat
(11), (12), dan (13) memiliki makna keaspekan perfektif. Situasi telis-atelis dalam
kalimat tersebut tergantung pada kebutuhan temporal untuk mencapai titik akhir
kalimat (10) dan (14) tidak berterima di dalam bahasa Indonesia karena kalimat
pencapaian tersebut merupakan titik temporai, tidak menunjukan proses (dapat
dilihat dari makna verba tiba yang menunjuk keaspekan momentan).
54
c. Diksi dan Jenis Kalimat
Pilihan kata (diksi) dapat menunjukkan jenis kalimat dengan situasi dan makna
keaspekan tertentu. Verba mati di dalam bahasa Indonesia merupakan verba
peristiwa transisional dan dapat menunjukan titik temporal pula. Di dalam bahasa
rusia termasuk verba telis (mengacu pada proses mati), meskipun umirat
(imperfektif) dan umeret (perfektif) di dalam bahasa rusia dapat mencapai kematian
atau tidak.
Kata-kata umirat dan umeret di dalam bahasa rusia adalah verba telis, menuju proses
yang mengarah ke kematian, meskipun mati tercapai atau tidak. Sama halnya dengan
ekspresi di dalam bahasa rusia, on oguvarival (Imp.) menja, no ne ugovaril (Perf,)
yang tidak diterjemahan ke dalam bahasa inggris dengan baik kaliamat “he was
persuading me, but didn’t persuade me”. Di dalam bahasa rusia, ugovarivet/ ugo-
varit (persuade) adalah verba telis, sedangkan persuade dalam bahasa inggris hanya
dapat mengacu pada proses ke arah momentum persuasi (bujukan) apabila proses itu
pada kenyaannya berhasil (Comrie, 1976:48). Seperti dinyatakan terdahulu, verba
mati mengacu pada keaspekan pungtual, di dalam bahasa inggris ekspresi “John is
dying” dapat mengandung harapan John sembuh tau menuju ke kematian. Verba die
di dalam bahasa inggris termasuk verba telis karena memiliki proses menuju titik
akhir.
Bahasa Indonesia memiliki verba mati yang menunjukan keaspekan pungtual, dan
mati dibedakan dari matilah hanya karena yang pertama termasuk keadaan,
sedangkan yang kedua termasuk proses (Hopper, 1982:14) Verba mati di dalam
bahasa Indonesia dapat bergabung dengan partikel keaspekan akan menjadi mati
yang dapat menuju ke kematian atau menuju ke sembuh. Dengan demikian, mati di
dalam bahasa Indonesia termasuk verba telis.
Verba mati di dalam bahasa Indonesia tidak memiliki makna keaspekan imperfektif,
tidak didapatkan frasa “sedang mati”. Verba tertentu dapat memiiki makna
55
keaspekan imperfektif atau perfektif bila diperiksa kemampuan verba tersebut
bergabung dengan partikel sebagai pemarkah keaspekan. Verba dapat dipilah
menjadi verba dinamis dan verba statif (Quirck, 1972:95-96). Verba dinamis dapat
dipilah menjadi:
a) Verba aktivitas
b) Verba proses
c) Verba sensasi tubuh
d) Verba peristiwa transisional
e) Verba momentan
Verba aktivitas dan verba proses sering digunakan dalam bentuk makna keaspekan
imperfektif, yang menyatakan peristiwa kontinuatif. Verba sensasi tubuh dapat
digunakan dalam makna keaspekan imperfektif dan memiliki sedikit pergeseran
makna bila dibandingkan. Perhatikanlah:
(16) John merasa/sedang merasa lebih sehat dan memutus-kan untuk bekerja.
Verba merasa termasuk jenis verba sensasi tubuh, sama halnya dengan sakit,
luka, menggaruk, dst.
Verba peristiwa transisional sebagian dapat memiliki makna keaspekan
imperaktif dan sebagian tidak.
a) sedang tiba
b) sedang mati
c) sedang jatuh
d) sedang mendarat
e) sedang meninggalkan
f) sedang menghilang
56
Verba tiba dan mati tidak dapat memiliki makna keaspekan imperfektif.
Tiba, mati, jatuh, mendarat, meninggalkan, dan menghilang adalah contoh verba
peristiwa transisional.
Verba momentan berada di dalam aspek imperfektif yang mensyaratkan
peristiwa lain muncul (peristiwa simultan), seperti pada:
Verba statif jenis kedua (verba relasional) tidak mungkin didapatkan dengan
makna keaspekan imperfektif di dalam bahasa Inggris. Di dalam bahasa
Indonesia, jenis verba ini masih mungkin didapatkan dengan makna aspektual
imperfektif. Bandingkanlah (20) dan (21) dengan (22) dan (23):
(20) Ia memiliki sebuah mobil besar.
(21) Ia sedang memiliki sebuah mobil besar.
(22) He owns a big car.
(23) *He is owning a big car.
Klausa (23) di dalam bahasa Inggris tidak berterima. Akan tetapi, di dalam
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ada jenis verba yang sama (berlaku sama) dan
keduanya tidak didapatkan dengan makna keaspekan imperfektif. Perhatikanlah
contoh berikut:
57
(24) Tindakannya patut mendapatkan komentar.
(25) *Tindakannya sedang patut mendapatkan komentar.
Verba :
A. Aktivitas
1. memutuskan + + + +
2. bertanya + + + +
3. meminta + + + +
4. memanggil + + +
+
5. minum + + + +
6. makan + + + +
7. menolong + + + +
8. belajar + + + +
9. mendengarkan + + + +
10. memandang + + + +
58
11. bermain + + + +
12. hujan + + + +
13. mengingatkan + + + +
14. membaca + + + +
15. membaca + + + +
16. mengiris + + + +
17. melempar + + + +
18. berbisik + + + +
19. bekerja + + + +
20. menulis + + + +
B. Proses
1. berubah + + + +
2. memburuk + + + +
3. tumbuh + + + +
4. berkembang + + + +
5. memperlambat + + + +
6. memperbesar + + + +
C. Sensasi tubuh
1. sakit + + + +
2. merasa + + + +
3. luka + + + +
4. menggaruk + + +
+
D. Peristiwa transisional
1. tiba + + +
+
2. mati + + + +
3. jatuh + + + +
59
4. mendarat + + + +
5. meninggalkan + + + +
6. menghilang + + + +
E. Momentan
1. menabrak + + + +
2. melompat + + + +
3. menendang + + + +
4. mengetuk + + + +
5. mengangguk + + + +
6. menepuk + + + +
Verba momentan didapatkan dengan makna keaspekan imperfektif
(progresif) di dalam kalimat temporal (terjadinya dua peristiwa yang satu imperfektif
dan yang satu lagi perfektif) seperti pada:
Verba statif yang dipilah menjadi dua, yakni: (a) verba dengan persepsi dan
pengertian lamban, dan (b) verba relasional, dapat pula menunjukkan makna
keaspekan di dalam valensinya dengan partikel keaspekan yang telah disebutkan di
atas. Verba dinamis pada tabel di atas hanya sebagian kecil yang tidak dapat
bervalensi dengan partikel keaspekan, apabila dibandingkan dengan verba statif.
Beberapa verba dinamis tidak dapat bergabung dengan pertikel keaspekan sedang
([yang mendukung] makna keaspekan iperfektif). Valensi verba statif dengan
partikel keaspekan adalah sebagai berikut:
60
A. Verba dengan
persepsi dan pe-
ngertian lambang:
1. benci + + + +
2. memuja + + + +
3. mengherankan + + + +
4. percaya + + + +
5. berhasrat + + + +
6. jijik + + + +
7. meragukan + + + +
8. merasa + + + +
9. memaafkan + + + +
10. menerka + + + +
11. mendengar + + + +
12. membayangkan + + + +
13. mengesankan + + + +
14. bermaksud + + + +
15. tahu + + + +
16. suka + + + +
17. cinta + + + +
18. menghiraukan + + + +
19. menyenangkan + + + +
20. mensyaratkan + + + +
21. menyadari + + + +
22. menimbulkan + + + +
23. mengenal + + + +
24. menganggap + + + +
25. ingat + + + +
26. memuaskan + + + +
27. melihat + + + +
61
28. mencium (bau) + + + +
29. menduga + + + +
30. merasakan + + + +
31. berpikir + + + +
32. mengerti + + + +
33. ingin + + + +
34. mengahrapkan + + + +
B. Verba relasional:
1. mencurahkan + + + +
2. berada + + + +
3. mempunyai + + + +
4. menyangkut + + + +
5. berisi + + + +
6. harga + + + +
7. patut (berhak) + + + +
8. sama + + + +
9. cocok (pantas) + + + +
10. memasukkan + + + +
11. meliputi + + + +
12. mengurangi + + + +
13. berarti + + + +
14. memerlukan + + + +
15. mirip + + + +
Keterangan
+ = mampu bergabung
- = tidak mampu bergabung
62
Temporal
I.
Kalimat : t1 t2
Situasi : penghasilan
Telis
Contoh verba :
1) Menanam
2) Menjual
3) Membangun
4) Membuat
5) Menjalani
II.
63
titik awal titik akhir
Kalimat : t1 t2
Situasi : aktivitas/statif
Atelis
Contoh verba :
1) Bertanam
2) Berjual
3) Berbuat
4) Berdagang
5) Berbakti
Dst.
Pada diagram (I) hubungan t1 dan t2 sangat erat, dan t1 merupakan proses menuju
t2 untuk sampai pada titik akhir (titik terminal) ; t1 merupakan bagian dari t2 yang
membentuk satu kesatuan temporal untuk mencapai titik akhir (perfektif).
KEPUSTAKAAN
Comrie, Bernard. 1976. Aspect: An Introduction to the Study of Verbal Aspect and
Related Problems. Cambridge: Cambridge University Press.
64
Comrie, Bernard. 1981. Language Universais and Linguistics Typology. Oxford:
Basil Blackwell.
1993d. “Keterikatan Manusia akan Ruang dan Waktu: Satu Studi Aspektologi dan
65
Aktionsarten (Ragam Tindakan) Bahasa Indonesia”. Di dalam Majalah
Universitas Padjajdaran. No. 1 Vol. 11. Th.1993. ISSN 0216-1451. Journal of
Padjadjaran University.
Jespresen, Otto. 1924. The Philosophy of Grammar. London: Allen & Unwin.
66
Marrhews, P.H. 1974. Morphology: An Introduction to thr Theory of Word-
Structure. Cambridge: Cambridge University Press.
Odgen, C.K. & I.A. Richard. 1972. The Meaning of Meaning London: Routledge &
Kegan Paul Ltd.
Saussure, Ferdinand de. 1916. Course de Linguistique Generale. Paris: Payot Course
in General Linguistics (terjemahan Wade Baskin, 1959, New York: McGraw-
Hill).
67
68