Anda di halaman 1dari 184

MAKALAH AKHIR

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia di SD Kelas Rendah
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Suprani, M.Pd dan Rina Yuliana, M.Pd

Disusun Oleh:
Kelas 4A

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan. Makalah
akhir mata kuliah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas Rendah.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyelesaian
makalah akhir ini, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan, serta kami berterimakasih atas bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Untuk itu dengan segala hormat kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan
dan penyusunan tugas ini.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik.
Akhir kata penulis berharap bahwa tugas ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis pribadi dan dapat bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman yang kami miliki, kami
yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Serang, 23 Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PSIKOLINGUISTIK
A. Pengertian Psikolinguistik .........................................................................1
B. Sejarah Perkembangan Psikolinguistik ............................................................
C. Pemerolehan Bahasa ....................................................................................
D. Hubungan Otak dengan Bahasa ...................................................................
E. Tahap Perkembangan Bahasa.......................................................................
F. Patologi Bahasa atau Gangguan Berbahasa .................................................
BAB II PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA
A. Sumber Bahasa Indonesia ..................................................................................
B. Peresmian Nama Bahasa Indonesia ..................................................................
C. Peristiwa-Peristiwa Penting yang Berkaitan dengan Bahasa Indonesia ......
D. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia .......................................................
E. Ragam dan Variasi Bahasa ................................................................................
BAB III TEORI-TEORI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
A. Definisi Teori ......................................................................................................
B. Teori Belajar dan Pembelajaran ........................................................................
C. Teori Belajar dalam Pembelajaran Bahasa ......................................................
BAB BAB V PEMBELAJARAN MENULIS DI KELAS RENDAH
A. Pengertian Pembelajaran Menulis Permulaan .................................................
B. Metode yang Digunakan dalam Pembelajran Menulis Permulaan ..............
C. Media yang Digunakan dalam Pembelajaran Menulis Permulaan ...............
D. Langakah-Langkah Pembelajaran Menulis Permulaan .................................
E. Kesulitan Belajar Menulis .................................................................................
BAB VI PEMBELAJARAN MENYIMAK DI KELAS RENDAH
A. Pengertian Menyimak ........................................................................................
B. Proses Menyimak ...............................................................................................
C. Faktor Pengaruh Perhatian Menyimak .............................................................

iii
D. Hubungan Menyimak dengan Berbicara .........................................................
E. Tujuan Menyimak ...............................................................................................
F. Ragam Menyimak ...............................................................................................
G. Teknik Pengajaran Menyimak ..........................................................................
H. Perilaku Menyimak.............................................................................................
I. Mengapa Orang Tidak Menyimak ....................................................................
BAB VII PEMBELAJARAN BERICARA DI KELAS RENDAH
A. Pengertian Berbicara ..........................................................................................
B. Batasan dan Tujuan Berbicara ..........................................................................
C. Hubungan Berbicara dengan Menyimak .........................................................
D. Strategi Pembelajaran Berbahasa Lisan dan Penerapannya ..........................
E. Penyusunan Bahan Pembelajaran Menyimak dan Berbicara ........................
BAB VIII PEMBELAJARAN SASTRA DI KELAS RENDAH
A. Pengertian Sastra dan Hakikatnya ....................................................................
B. Nilai Sastra bagi Anak .................................................................................
C. Pembelajaran Sastra bagi Pendidikan Anak SD .............................................
D. Pentingnya Pembelajaran Sastra di Kelas Rendah .........................................
E. Manfaat Sastra Anak-Anak ...............................................................................
F. Bentuk-bentuk Karya Sastra Anak ..................................................................
BAB IX PENILAIAN BAHASA INDONESIA DI KELAS RENDAH
A. Hakikat Penilaian ................................................................................................
B. Fungsi dan Tujuan Penilaian .............................................................................
C. Keterkaitan Antara Penilian dan Proses Pembelajaran ..................................
D. Karakteristik Penilaian Siswa Sekolah Dasar .................................................
E. Jenis-Jenis Penilaian ...........................................................................................
F. Alat Penilaian Bahasa .........................................................................................
BAB X PENGEMBANGAN MEDIA BAHASA INDONESIA
A. Pengertian Media Bahasa di Kelas Rendah ....................................................
B. Manfaat Media Dalam Proses Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah ...
C. Fungsi Media Dalam Proses Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah ......

iv
D. Kriteria Umum dan Khusus Dalam Memilih Media Pengembangan
Bahasa di Kelas Rendah .....................................................................................
E. Jenis-Jenis Penggunaan Media Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah ...
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................

v
BAB I
PSIKOLINGUISTIK

C. Pengertian Psikolinguistik
Secara etimologi kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan
kata linguistic, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing
berdiri sendiri dengan prosedur dan metode yang berlainan, namun keduanya
sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Linguistik, mengkaji
struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses
berbahasa. Adapun pengertian psikolinguistik menurut para ahli:
Harley (2001: 1) psikolinguistik merupakan suatu studi tentang proses-
proses mental dalam pemakaian bahasa. Diebold (Slama, 1973: 39)
menyatakan bahwa psikolinguistik dalam hubungan luas membicarakan antara
pesan-pesan dengan sifat-sifat kemandirian manusia yang menyeleksi dan
menafsirkan pesan-pesan.Psikolinguistik adalah psikologi yang diorientasikan
secara llinguistik atau linguistik yang diorientasikan secara psikolog.
Sementara itu, Clark dan Clark (1977: 4) menyatakan bahwa psikologi bahasa
berkaitan dengan tiga hal utama: komprehensi, produksi, dan pemerolehan
bahasa. Dengan merujuk kepada berbagai pedapat ahli, Pateda (1990: 13)
mengemukakan beberapa konsep penting terkait pengertian psikolinguistik,
yakni:
1. Membahas hubungan bahasa dan otak
2. Menelaah hubungan langsung proses mengode dan menafsirkan kode
3. Menelaah pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa, dan perubahan bahasa
4. Membicarakan proses yang terjadi dengan pembicara dan pendengar
dengan kaitannya dengan bahasa
5. Menitikberatkan pada pembahasan mengenai akuisisi dan tingkah laku
linguistik.
Dari definisi-definisi ini dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah
ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam
berbahasa.

1
2

Tujuan utama seorang psikolinguis adalah menemukan struktur dan


proses yang melandasi kemampuan manusia untu berbicara dan memahami
bahasa Psikolinguis tidak tertarik pada ineraksi bahasa antara para penutur
bahasa. Yang mereka kerjakan, terutama adalah menggali apa yang terjadi
dalam individu yang berbahasa.
Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama:
1. Komprehensi, yakni proses-proses mental yang dilalui oleh manusia
sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan
memahami apa yang dimaksud.
2. Produksi, yakni proses-proses mental pada diri kita yang membuat kita
dapat berujar seperti yang kita ujarkan.
3. Landasan biologis dan neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa.
4. Pemerolehan bahasa, yakni bagaimana anak memperoleh bahasa mereka.

B. Sejarah Perkembangan Psikolinguistik


Pada awal perkembangannya, psikolinguistik bermula dari adamya pakar
linguistik yang berminat pada psikologi, dan adanya pakar psikologi yang yang
berkecimpung dalam linguistik. Dilanjutkan dengan adanya kerja sama antara
pakar linguistik dan pakar psikologi, dan kemudian muncullah pakar-pakar
psikolinguistik sebagai disiplin mandiri.
1. Psikologi dalam Linguistik
Dalam sejarah kajian linguistik ada sejumlah pakar linguistik yang
menaruh perhatian besar pada psikologi. Diantara mereka yang patut
diketengahkan diantaranya adalah Leonard Bloomfielddan Otto Jespersen.
Leonard Bloomfield (1887-1949), pakar linguistik bangsa Amerika,
dalam usahanya menganalisis bahasa telah dipengaruhi olah dua aliran
psikologi yang saling bertentangan, yaitu mentalisme dan behaviorisme.
Pada mulanya beliau menganalisis bahasa menurut prinsip-prinsip
mentalisme. Disini beliau berpendapat bahwa bahasa dimulai dari
melahirkan pengalaman yang luar biasa, terutama sebagai penjelmaan dari
adanya tekanan emosi yang sangat kuat. Jika melahirkan pengalaman dalam
3

bentuk bahasa ini karena adanya tekanan emosi yang sangat kuat, maka
muncullah ucapan (kalimat) ekslamasi. Jika pengalaman ini lahir oleh
keinginan berkomunikasi maka lahirlah ucapan (kalimat) deklarasi. Jika
keinginan bekomunikasi ini bertukar menjadi keinginan untuk mengetahui
maka muncul ucapan (kalimat) interogasi. Kemudian, sejak 1925,
Bloomfield meninggalka psikologi mentalisme Wundt, lalu menganut
paham psikologi behaviorisme Watson dan Weiss. Beliau menerapkan teori
psikologi behaviorsme dalam teori bahasanya yang kini dikenal sebagai
“linguistik struktural” atau “linguistik taksonomi”.
Otto Jerpersen, pakar linguistic berkebangsaan Denmark, telah
menganalisis bahasa menurut psikologi mentalistik yang juga sedikit berbau
behaviorisme. Jespersen berpendapat bahwa bahasa bukanlah sutu wujud
dalam pengertian satu benda seperti sebuah meja atau seekor kucing,
melainkan merupakan satu fungsi manusia sebagai lambing-lambang di
dalam otak yang melambangkan pikiran atau yang membangkitkan pikiran
itu. Beliau juga berpendapat bahwa berkomunikasi harus dilihat dari sudut
perilaku. Jadi, juga brsifat behavioristic. Malah beliau juga berpendapat
bahwa satu kata dapat dibandingkan dengan suatu kebiasaan berperilaku
seperti mengangkat topi, melirik, atau perbuatan lain.
2. Linguistik dalam Psikologi
Dalam sejarah perkembangan psikologi ada sejumlah pakar psikologi
yang menaruh perhatian pada linguistik. Di antara mereka yang patut
diketengahkan adalah John Dewey, Watson, dan Weiss.
John Dewey (1859-1952), pakar psikologi berkebangsaan Amerika,
seorang empirisme murni. Beliau telah mengkaji bahasa dan
perkembangannya dengan cara menafsirkan analisis linguistik bahasa
kanak-kanak berdasarkan prinsip-prinsip psikologi. Umpamanya, beliau
menyarankan agar penggolongan psikologi akan kata-kata yang diucapkan
kanak-kanak dilakukan berdasarkan makna seperti yang dipahami kanak-
kanak, dan bukan seperti yang dipahami orang dewasa dengan bentuk-
bentuk tata bahasa orang dewasa. Dengan cara ini, maka berdasarkan
4

prinsip-prinsip psikologi akan dapat ditentukan hubungan antara kata-kata


berkelas adverbia.
Dan preposisi di satu pihak dengan kata-kata berkelas nomina dan
adjektiva dipihak lain. Jadi, dengan pengkajian kelas kata berdasarkan
pemahaman kanak-kanak kita kana dapar menentukan kecenderungan akal
(mental) kanak-kanak yang dihubungkan dengan perbedaan-perbedaan
linguistic. Pengkajian seperti ini, menurut Dewey, akan memberi bantuan
yang besar kepada psikologi bahasa pada umumnya.
Watson (1878-1958), ahli psikologi behaviorisme berkebangsaan
Amerika. Beliau menempatkan perilaku atau kegiatan berbahasa yang sama
dengan perilaku atau kegiatan lainnya, seperti makan, berjalan, dan
melompat. Pada mulanya Watson hanya menghubungkan perilaku
berbahasa yang implisit, yakni yang terjadi di dalam pikiran, dengan yang
eksplisit, yakni yang berupa tuutran. Namun, kemudian dia telah
menyamakan perilaku berbahasa itu dengan teori stimulus-respons (S-R).
Maka, penyamaan ini memperlakukan kata-kata sama dengan benda-benda
lain sebagai respons dari suatu stimulus.
Weiss, ahli psikologi behaviorisme Amerika. Beliau mengakui adanya
aspek mental dalam bahasa.Namun, karean wujudnya tidak memiliki
kekuatan bentuk fisik, maka wujudnya itu sukar dikaji atau ditunjukkan.
Oleh karena itu. Weiss lebih cenderung mengatakan bahwa bahasa itu
sebagai bentuk perilaku apabila seseorang menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan sosialnya.
Weiss adalah salah seorang tokoh psikologi behaviorisme terkemuka
yang telah merintis jalan kearah lahirnya disiplin psikolinguistik. Dia pun
sangat berjasa dalam pertumbuhan linguistik struktural Amerika, karena
dialah yang telah berhasil mengubah Bloomfield dari penganut aliran
mentalistik menjadi penganut aliran behaviorisme. Weiss juga telah
mengemukakan sejumlah masalah yang harus dipecahkan oleh linguistik
dan psikologi yang dilihat dari sudut behaviorisme. Di antara masalah-
masalah itu sebagai berikut.
5

a. Bahasa merupakan satu kata kumpulan respons yang jumlahnya tidak


terbatas terhadap suatu simulasi
b. Pada dasarnya perilaku nahasa menyatukan anggota suatu masyarakat ke
dalam organisasi gerak saraf.
c. Perilaku bahasa adalah sebuah alat untuk mengubah dan meragam-
ragamkan kegiatan seseorang sebagai hasil warisan dan hasil perolehan
d. Bahasa dapat merupakan stimulus terhadap suatu respons, atau
merupakan satu respon terhadap satu stimulus
e. Respons bahasa sebagai stimulus pengganti untuk benda dn keadaan
yange sebenarnya memungkinkan untuk memunculkan kembali suatu hal
yang pernah terjadi, dan menganalisis kejadian ini dalam bagian-
bagianya
Menurut Weiss tugas seorag pakar psikolinguistik yang terlatih dalam
disiplin linguistik dan disiplin psikologi adalah sebagai berikut.
a. Menerangkan bagaimana perilaku bahasa menghasilkan satu alam
pengganti untuk alam nyata yang secara praktis tidak dibatasi oleh waktu
dan tempat.
b. Menunjukkan bagaimana perilaku bahasa mewujudkan sejenis organisasi
sosial yang dapat disifatkan sebagai satu kumpulan dari organisasi kecil
yang banyak.
c. Menerangkan bagaimana perilaku bahasa menghasilkan satu bentuk
organisasi; dan didalam organisasi ini panca indra dan otot-otot
seseorang dapat ditempatkan agar dapat diapakai dan dimanfaatkan orang
lain.
d. Menerangkan bagaimana perilaku bahasa menghasilakn satu bentuk
perilaku yang menjadi fungsi setiap peristiwa di alam ini yang telah
terjadi, sedang terjadi, atau akan terjadi di masa mnedatang.
3. Kerja Sama Psikologi dan Linguistik
Kerja sama secara langsung antara disiplin linguistik dan psikologi
sebenarnya sudah dimulai sejak 1860, yaitu oleh Heyman Steinthal seorang
6

ahli psikologi yang beralih menjadi ahli linguistik, dan Moritz Lazarus
seorang ahli linguistik yang beralih menjadi ahli psikologi
Menurut Steinthal, sebuah ilmu psikologi tidak mungkin dapat hidup
tanpa sebuah ilmu bahasa. Juga dikatakannya bahwa satu satunya jalan
untuk masuk ke dalam akal manusia adalah melalui hukum hukum asal
bahasa dan bukan melalui pancaindra manusia.
Dasar-dasar psikolinguistik menurut beberapa pakar adalah sebagai
berikut.
a. Psikolinguistik adalah satu teori linguistik berdasarkan bahasa yang
dianggap sebagai sebuah sistem elemen yang saling berhubungan
b. Psikolinguistik adalah satu teori pembelajaran berdasarkan bahasa yang
dianggap sebagai satu sistem tabiat dan kemampuan yang
menghubungkan isyarat dengan perilaku.
c. Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa
sebagai sebuah alat untuk menyampaikan suatu benda.
4. Tiga generasi dalam Psikolinguistik
Sehubungan dengan perkembangan disiplin psikolingusitik ada artikel
dari Mehler dan Noizet berjudul “Vers Une Modelle Psycholinguistique du
Locuteur” yang dimuat dalam Text Pour Une Psycholinguistique (Paris,
1974). Isinya tentang adanya tiga generasi dalam psikolinguistik.
a. Psikolinguistik Generasi Pertama
Psikolinguistik generasi pertama adalah psikolinguistik dengan
para pakar yang menulis artikel dalam kumpulan karangan berjudul
psycholinguistics: A survey of Theory and Research Problems yang
disunting oleh C. Osgood dan T. Sebeok. (Cetakan pertama 1954, cetak
ulang 1965). Titik pandang Osgood dan Sebeok berkaitan erat dengan
aliran behaviorisme (aliran perilaku) atau lebih tepat lagi dengan aliran
neobehaviorisme. Teori-teori perilaku atau behaviorisme ini
mengidentifikasikan bahasa sebagai satu sistem respons yang langsung
dan tidak langsung terhadap stimulus verbal atau nonverbal. Orientasi
7

stimulus respons (aksi-reaksi; atau rangsangan-balasan) ini adalah


orientasi psikologi.
Mengenai teori psikolinguistik generasi pertama ini, Parera (1996)
mencatat adanya tiga kelemahan berikut.
1. Adanya sifat reaktif dari psikolinguistik tentang bahasa,
2. Psikolinguistik generasi pertama ini bersifat atomistic.
3. Psikolinguistik generasi pertama ini bersifat induvidualis.
Adanya tiga kelemahan itu memang tidak bisa dibantah. Namun,
teori-teori psikolinguistik Osgood dan Sebeok ini dapat diterima sebagai
teori penengah antara teori perilaku (behaviorisme) dan teori kognitif.
Tokoh lain dari psikolinguistik generasi pertama, dan yang diaggap
sebagai tokoh utama adalah B.F Skinner. Beliau menjadi tokoh yang
kemudian ditentang oleh tokoh Noam Chomsky yang menganut aliran
kognitif dalam proses berbahasa. Namun, teori-teori Skinner inilah yang
dianut oleh teori-teori linguistik aliran Bloomfield. Skiner dengan verbal
behaviorismenya berpendapat bahwa berbahasa haruslah diartikan
sebagai satu runtutan respons operan terkondisikan terhadap stimulus
tersembunyi yang internal dan eksternal (Bab VI, I.e, hlm. 89)
b. Psikolinguistik Generasi Kedua
Oleh karena teori-teori psikolinguistik generasi pertama ini tidak
menjawab banyak masalah proses berbahasa, dan teori-teori itu
kekurangan daya penjelas, maka diperlukan teori yang lain dalam
psikolinguistik. Lahirlah teori-teori psikolinguistik generasi kedua,
dengan dua tokoh utamanya yakni Noam Chomsky dan George Miller.
Menurut Mehler dan Noizet, psikolinguistik generasi kedua telah
dapat mengatasi ciri-ciri atomistic dan psikolinguistik Osgood-Sebeok.
Psikolinguistik generasi kedua berpendapat bahwa dalam proses
berbahasa bukanlah butir butir bahasa yang diperoleh, melainkan kaidah
dan sistem kaidahlah yang diperoleh.
8

c. Psikolinguistik Generasi Ketiga


Psikolinguistik generasi ketiga oleh G. Werstch dalam bukunya
Two Problems for New Psycholinguistics diberi nama New
Psycholinguistics atau psikolinguistik baru. Ciri-ciri psikolinguistik
generasi ketiga ini adalah sebagai berikut.
Pertama, orientasi mereka kepada psikologi, tetapi bukan psikologi
perilaku.Mereka berorientasi kepada psikologi seperti yang dikemukakan
oleh Fresse dan Al Vallon dari Perancis, dan mungkin juga kepada
psikologi aktivitas dari Uni Sovyet. Atau seperti ditekankan oleh G.
Werstch bahwa terjadi proses yang serempak dari informasi linguistic
dan psikologi.
Kedua, keterlepasan mereka dari kerangka “psikolinguistik
kalimat” dan keterlibatan dalam psikolinguistik yang berdasarkan situasi
dan konteks.Ini berarti, analisis psikolinguistik bukan lagi menentukan
kaidah hubungan antara struktur gramatikal da kaidah semantic model
Noam Chomsky dengan teori generatif transformasinya, tetapi hubungan
ini diperluas dengan memperhitungkan situasi dan konteks.
Ketiga, adanya satu pergeseran dari analisis mengenai proses
ujaran yang abstrak (atau persepsinya) ke satu analisis psikologis
mengenai komunikasi dan perpikiran. Pergeseran dari ujaran yang
abstrak ke komunikasi dan perpikiran ini dikemukakan oleh oleh J.S.
Bruner dalam artikelnya berjudul “From Comminication to Language”
yang dimuat dalam Cognition Vol 3/3 Tahun 1974-5.
Ketiga cirri utama dari psikolinguistik generasi ketiga ini
menunjukkan telah terjadinya satu peningkatan kualitatif dalam
perkembangan psikolinguistik di Negara-negara Barat.

C. Pemerolehan Bahasa
Menurut Ghazali (2012:3-4), setidak-tidaknya ada tiga fakta tentang
belajar bahasa yang tidak bisa kita tolak kebenarannya. Pertama, semua anak
bayi yang dilahirkan normal akan menguasai bahasa yang dipergunakan oleh
9

lingkungannya. Ini tanpa melihat dimana bayi itu dilahirkan, siapa yang
melahirkan, dan bagaimana ia dilahirkan. Kenyataannya ini terjadi secara
universal sehingga hal tersebut menolak anggapan bahwa bahasa adalah
warisan sosial. Pemerolehan bahasa ini tumbuh secara bertahap, yaitu mulai
dari penguasaan bunyi-bunyi prabahasa, kemudian muncul “kalimat satu kata”.
Selanjutnya muncul “kalimat dua kata”, kalimat sederhana, dan kalimat-
kalimat yang strukturnya lebih kompleks. Kedua, waktu yang dipergunakan
seorang anak untuk menguasai kaidah bahasa yang sangat kompleks terjadi
pada waktu yang relatif singkat dan sangat menakjubkan karena peristiwa
belajar bahasa itu seakan-akan dialami oleh anak-anak tanpa kesulitan apapun.
Ketiga, fakta lain yang membuat peneliti perkembangan bahasa anak
tercengang adalah kemampuan anak menyimpulkan kaidah, membuat
kategorisasi kata, memilah-milah morfem penanda kata, jenis kelamin, jumlah
dan sebagainya.
Sejarah studi bahasa anak dibagi dalam dua periode, yaitu periode
sebelum tahun 1960 dan sesudah 1960 (Mar’at, 2005: 58). Minat terhadap
bahasa anak mulai timbul pada dekade pertama abad ke-20 yang dipelopori
oleh ilmuwan di bidang psikologi ataupun pedagogi, antara lain W. Stern, W.
Preyer, dan G. Stumpf. Pada umumnya, mereka mempelajari buku harian dari
anak-anaknya, kemudian membandingkan hasilnya. Maka timbul argumentasi-
argumentasi tentang perolehan bahasa pada anak-anak yang mempertanyakan
apakah perolehan bahasa pada anak-anak semata-mata merupakan hasil imitasi
terhadap lingkungannya atau karena kreativitas yang timbul secara spontan.
Akhirnya juga dibahas interaksi antar kedua konsep tersebut (lingkungan dan
bawaan). Penelitian sebelum tahun 1960 lebih menitikberatkan pada urutan
kata yang dipakai anak-anak, kesalahan anak pada pemakaian dan
pengucapannya, dan kurang mencari sistematika kesalahan-kesalahan atau
kurang untuk menjelaskan sebab-sebab kesalahan tersebut. Pada periode
sesudah tahun 1960, terjadi perubahan yang cukup berarti. Dimulai sejak
munculnya Chomsky, seorang linguis dengan teori barunya, yaitu
Transformational Generative Grammer (Tatabahasa Transformasi Generatif)
10

pada1957. Di samping itu, karena kemajuan di bidang teknologi seperti


adanya tape recorder dan alat video, perhatian terhadap perkembangan bahasa
anak semakin meningkat. Dengan suatu alat, bahasa anak dapat diselidiki,
dengan merekam kemudian menganalisisnya.
Antara tahun 1960-an sampai dengan 1970-an muncul aliran baru yang
menekankan pentingnya faktor biologi sebagai dasar perolehan bahasa, tetapi
teori ini tidak menjadi popular. Sesudah tahun 1970, studi tentang sintaksis
pada anak diperluas yaitu dengan diadakannya studi-studi lintas budaya untuk
mencari kemungkinan adanya faktor universilitas dalam proses perolehan
bahasa pada anak diseluruh dunia dan melihat persamaan serta perbedaan
dalam perkembangan sintaksis bahasa anak pada bahasa-bahasa lain yang
bukan bahasa Inggris. Aspek semantik juga menjadi perhatian sejalan dengan
munculnya teori kognitif dari Piaget yang beranggapan bahwa dalam
perkembangan seorang anak harus pula diperhatikan termasuk perkembangan
kognisinya.
Salah satu hal yang sering dibicarakan dalam konteks penguasaan
(akuisisi) bahasa adalah pemerolehan bahasa. Pada umumnya, banyak orang
menganggap bahwa subjek dalam pemerolehan bahasa selalu adalah anak-
anak. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar karena selain anak-anak, orang
dewasapun dapat menjadi subjek penelitian mengenai pemerolehan bahasa.
Yang membedakan keduanya adalah waktu pemerolehan bahasa sehingga
terciptalah pembedaan istilah pemerolehan dan pembelajaran. Istilah
pemerolehan dipakai dalam proses penguasaan bahasa pertama, yaitu salah satu
proses perkembangan yang terjai pada seorang manusia sejak ia lahir. Istilah
pembelajaran dipakai dalam proses belajar bahasa (umumnya bahasa yang
dipelajari secara formal di sekolah atau bahasa asing) yang dialami oleh
seorang anak atau orang dewasa setelah ia menguasai bahasa pertama
(Kushartanti, 2005: 24).
Sebagai sebuah proses, pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses
yang kompleks dan berjalin dengan faktor-faktor psikologi, biologi, neurologi,
dan sosial budaya. Faktor psikologi merupakan landasan yang berhubungan
11

dengan kesiapan kognitif anak untuk mengakuisisi bahasa. Faktor biologi


terkait dengan jadwal perkembangan motorik (anatomis) yang biasanya
mengiringi proses pemerolehan bahasa. Faktor neurologi berhubungan dengan
kesiapan mental dan otak yang sangat mendeterminasi kecepatan dan laju
pertumbuhan bahasa anak. Sementara itu, faktor sosial budaya berhubungan
dengan pilihan bahasa yang dilakukan orang tua sebagai korpus yang akan
menjadi input dan sekaligus sebagai latar sebenarnya dari aktivitas komunikasi
dalam kehidupan sosial anak. Pilihan orang tua terhadap suatu bahasa biasanya
dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan sosial budaya dan latar belakang
linguistis yang sangat menentukan jenis dan jumlah bahasa yang diperoleh
anak.
Penguasaan bahasa oleh seorang individu dapat dilakukan melalui
pembelajaran, baik formal maupun informal, dan dapat diperoleh melalui
pemerolehan secara alamiah (Krashen dalam Dulay, 1982: 32). Seorang
pembelajar dapat menginternalisasikan aturan-aturan bahasa melalui satu atau
dua cara secara terpisah, yaitu secara implicit dan eksplisit. Proses
mengecamkan dalam pikiran secara implicit inilah yang sering disebut oleh
ahli pengajaran bahasa dengan istilah pemerolehan, sedangkan yang secara
eksplisit biasa disebut dengan istilah pembelajaran. Pembedaan istilah
pembelajaran dan pemerolehan mula-mula dikemukakan oleh Krashen (1981;
1982; 1983). Melalui model monitor yang dikemukakan, ia menerangkan
bahwa pembelajaran adalah proses yang secara sadar dilakukan oleh
pembelajar dalam menguasai bahasa, sedangkan perolehan adalah proses alami
di dalam menguasai bahasa (1987;261; Huda, 1987: 1). Perolehan biasanya
didapatkan dari kontak verbal dengan penutur asli di lingkungan bahasa,
Sedangkan pembelajaran diperoleh melalui pengajaran formal di lingkungan
bahasa pertama. (Hamied, 1987: 25) dalam (Mintowati, 1997: 67).
Selanjutnya, menurut Huda (1990: 6) pemerolehan adalah penguasaan
atas suatu bahasa melalui cara bawah sadar atau alamiah dan terjadi tanpa
kehendak yang terencana. Proses ini tidak melalui usaha belajar yang formal
ataupun eksplisit. Sementara itu, belajar bahasa adalah usaha sadar untuk
12

secara formal dan eksplisit menguasai bahasa yang dipelajari, terutama yang
berkenaan dengan pengetahuan tentang kaidah-kaidah. Ada dua proses yang
terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya,
yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan
dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penggunaan tata bahasa
yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat
untuk terjadinya proses performansi yang terdiri atas dua buah proses, yakni
proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-
kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian
mengamati atau kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar.
Adapun penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan
kalimat-kalimat. Kedua proses kompetensi ini apabila telah dikuasai kanak-
kanak akan menjadi kemampuan linguistik kanak-kanak. Jadi, melahirkan atau
menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam linguistik transformasi generatif
disebut perlakuan, atau pelaksanaan bahasa, atau performansi (Chaer, 2003:
167).
Persoalan mendasar dalam pemerolehan bahasa pertama adalah
keterkaitan antara pemerolehan bahasa di satu sisi dan produksi bahasa pada
sisi lain. Kedua aspek dalam pemerolehan bahasa anak tersebut secara
mendasar tidak dapat dipisahkan karena ketika anak memperoleh bahasa tentu
akan diikuti oleh produksi bahasa yang akan diperolehnya itu. Kanak-kanak
mengembangkan kompetensi linguistik dalam pengertian bahwa dia
mengembangkan gambaran intern tata bahasa dari bahasanya yang akhirnya
mengizinkannya untuk membuat jenis pertimbangan/keputusan linguistik yang
dapat dibuat oleh orang dewasa, yaitu keputusan-keputusan mengenai
ketatabahasaan, kedwimaknaan, parafrasa, dan sebagainya (Tarign, 1985: 253).
Begitu kanak-kanak mengembangkan kompetensi linguistik, dia pun
mengembangkan kemampuan performansi linguistik, yang mengizinkannya
menjadikan pikiran-pikiran sendiri menjadi ucapan-ucapan yang dapat
dipahami dan mengalih sandikan (men-decoding) ujaran orang lain sehingga
dia mencapai beberapa tingkat pemahaman.
13

Pendekatan Teoritis Terhadap Pemerolehan Bahasa


a. Pandangan Nativistik
Pandangan nativistik tidak menganggap penting pengaruh dari
lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa (pertama), sedikit demi sedikit
manusia membuka kemampuan lingualnya yang secara biologis telah
diprogramkan. Pandangan yang condong pada anggapan bahwa bahasa
merupakan pemberian biologis ini sering pula disebut sebagai “hipotesis
pemberian alam”. Menurut pandangan kaum nativis, bahasa terlalu
kompleks dan mustahil dipelajari dalam waktu singkat melalui metode
seperti peniruan. Jadi beberapa aspek penting menyangkut sistem bahasa
pasti sudah ada pada manusia secara alamiah. Chomsky (1965, 1975) tidak
hanya terkesan akan betapa kompleksnya bahasa, melainkan juga oleh
betapa banyak kesalahan dan penyimpangan kaidah pada pengucapan
bahasa. Oleh karena itu, tidaklah mungkin bahwa manusia belajar bahasa
(pertama) dari manusia lain; selaama belajar mereka menggunakan prinsip-
prinsip yang membimbingnya menyusun tata bahasa. Belajar bahasa
hanyalah mengisikan detail didalam struktur bahasa yang sudah ada secara
alamiah.
Bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Pandangan ini berlandas
pada beberapa asumsi berikut: (1) bahwa perilaku berbahasa adalah sesuatu
yang diturunkan (genetik), pola perkembangan bahasa adalah sama pada
berbagai macam bahasa dan budaya (merupakan sesuatu yang universal),
dan lingkungan memiliki peranan yang kecil di dalam waktu yang singkat;
anak usia 4tahun sudah dapat berbicara mirip dengan kaum dewasa; (2)
bahwa lingkungan bahasa si anak tidak dapat menyediakan cukup data bagi
penguasaan tata bahasa yang rumit dari kaum dewasa.
Menurut Chomsky, anak sudah dibekali secara alamiah dengan peranti
yang disebut Language Acquisition Device (LAD). Peranti ini merupakan
alat yang meruakan pemberian biologis dan sudah diprogramkan untukk
memerinci butir-butir yang mungkin dari suatu tata bahasa. LAD dianggap
sebagai suatu bagian fisiologis dari otak yang dikhususkan untuk
14

memproses bahasa, dan tidak berkaitan dengan kemampuan kognitif lain.


Sebagaimana sayap memungkinkan burung untuk terbang maka LAD
membekali manusia kemampuan alamiah untuk berbahasa (Chomsky,
1979).
b. Pendekatan Behavioristik
Pendekatan behavioristik menekankan bahwa proses penguasaan
bahasa pertama dikendalikan dari luar, yaitu oleh rangsanagan yang
disodorkan melalui lingkungan. Karya Skinner (1957) merupakan versi
yang paling ekstrem dari pandangan ini. Bahasa merupakan salah satu (yang
juga merupakan sesuatu yang kompleks) diantara perilaku-perilaku yang
lain. Dengan demikian, bagi kaum behavioristik bahasa itu sendiri dirasa
kurang tepat karena mengonotasikan suatu wujud (entity) sesuatu yang
dimiliki atau digunakan dan bukan sesuatu yang dilakukan. Untuk istilah
bahasa, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal agar lebih
kelihatan miripnya denga perilaku yang harus dipelajari.
Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui
rangsangan dari lingkungannya. Anak dianggap sebagai penerima pasif dari
tekanan lingkungannya sebagaimana lempung yang dibentuk menjadi wujud
baru. Anak tidak memiliki peranan yang aktif didalam proses perkembangan
perilaku lingualnya. Bukan hanya peranan aktif anak yang tidak diakui
kaum behavioris; kematangan si anak pun bukanlah sesuatu yang
menentukan proses perkembangan bahasa. Proses perkembangan bahasa
terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang disodorkan oleh lingkungan.
c. Pendekatan Kognitivistik
Menurut Piaget (1954), bahasa distrukturkan atau dikendalikan oleh
nalar; perkembangan bahasa harus berlandaskan (atau diturunkan dari)
perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum didalam kognisi. Dengan
demikian, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan
perkembangan bahasa. Untuk lebih memahami hubungan antara
perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa, dapat diamati keterangan
Piaget mengenai tahap paling awal dari perkembangan intelektual anak.
15

Tahap perkembangan dari lahirsampai 18 bulan atau 2 tahun disebut sebagai


tahap “sensori motor”. Pada tahap ini dianggap belum ada bahasa karena
anak belum menggunakan lambing-lambang untuk menunjukan kepada
benda-benda disekitarnya. Anak pada masa sensori ini memahami dunianya
hanya melalui inderanya (sensori) dan gerakan yang dilakukannya (motor).
Anak pada usia ini hanya mengenal objek jika benda itu dialaminya secara
langsung. Begitu sebuah benda hilang dari penglihatannya, benda itu
dianggap tidak ada lagi sebagai benda. Baru menjelang akhir usia satu
tahun, si anak dapat menangkap “kepermanenan” objek, si anak mulai
menggunakan symbol untuk mempresentasikan objek yang tidak lagi hadir
didepan matanya. Simbol ini kemudian menjadi kata-kata awal yang
diucapkan anak. Kepermanenan objek adalah pembuka jalan yang
diperlukan bagi penguasaan bahasa.jadi, menurut pandangan ini,
diasumsikan bahwa perkembangan kognitif harus tercapai lebih dahulu, dan
barulah setelah itu pengetahuan dapatkeluardalam wujud keterampilan
berbahasa. Dengan demikian perkembangan kognitif dan mental anak
adalah faktor penentu dalam proses pemerolehan bahasa (Tolla, 1990:11).
d. Pendekatan Konvergensi
Dalam hal ini, pemerolehan bahasa dimungkinkan terjadi bukan
semata secara alamiah manusia telah dibekali salah satu modal hidup berupa
peranti penguasaan bahasa yang oleh Chomsky dihipotesiskan sebagai
LAD; bukan sekadar anak beroleh masukan dari lingkungan selama dalam
proses pertumbuhan dan perkembanannya sehingga dimungkinkan terjadi
penguasaan bahasa dengan makanisme peniruan; bukan hanya disokong
oleh kematangan kognitif seperti yang dikemukakan oleh kaum
kognitivisme. Pemerolehan bahasa terjadi karena faktor yang kompleks
yang secara alamiah bekerja simultan, yakni karena manusia memiliki bakat
bawaan yang kodrati, karena adanya masukan bahasa dari lingkungan, dan
karena dilandasi kematangan kognitif yang memberinya kemampuan
berpikir.
16

D. Hubungan Otak dengan Bahasa


Dari buku Dardjowidjojo (2003), orang sudah lama sekali berbicara
tentang otak dan bahasa. Aristotle pada tahun 384-322 Sebelum Masehi telah
berbicara soal hati yang melakukan hal-hal yang kini kita ketahui dilakukan
oleh otak. Begitu pula pelukis terkenal Leonardo da Vinci pada tahun 1500-an
(Dingwall 1998: 53). Namun titik tolak yang umum dipakai adalah setelah
penemuan-penemuan ang dilakukan oleh Broca dan Wernicke pada tahun
1860-an. Dari struktur serta organisasi otak manusia tampak bahwa otak
memegang peran yang sangat penting dalam bahasa. Dari (Geschwind 1981)
Apabila input yang masuk adalah dalam bentuk lisan, maka bunyi-bunyi itu
ditanggapi di lobe temporal, khususnya oleh korteks primer pendengaran. Di
sini input tadi diolah secara rinci sekali, misalnya, apakah bunyi sebelum bunyi
/o/ yang didengar itu memiliki VOT +60 milidetik, +20 milidetik, atau di
antara kedua angka ini.
Angka indek VOT ini penting karena kalau VOT-nya adalah +0
milidetik, maka bunyi itu pastilah vois seperti /b/ atau /g/; kalau lebih dari +30
milidetik, pastilah itu bunyi tak-vois seperti /p/ atau /k/, dst. Korteks ini juga
meneliti apakah urutan bu- nyinya adalah, misalnya, /p/,/ɔ/,/s/ (pos) atau
/s/,/ɔ/,/p/ (sop).
Setelah diterima, dicerna, dan diolah seperti ini maka bunyi bunyi bahasa
tadi "dikirim" ke daerah Wernicke untuk diinterpretasikan. Di daerah ini bunyi-
bunyi itu dipilah-pilah menjuci suku kata, kata, frasa, klausa, dan akhirnya
kalimat. Setelah di- beri makna dan difahami isinya, maka ada dua jalur
kemungkinan. Bila masukan tadi hanya sekedar informasi yang tidak perlu
ditanggapi, maka masukan tadi cukup disimpan saja dalam memori. Suatu saat
nanti mungkin informasi itu diperlukan. Bila masukan tadi perlu ditanggapi
secara verbal, maka interpretasi itu dikirim ke daerah Broca melalui fasikulus
arkuat. Di daerah Broca proses penanggapan dimulai. Setelah diputuskan
tanggapan verbal itu bunyinya seperti apa maka daerah Broca
"memerintahkan" motor korteks untuk melaksanakannya. Proses pelaksanaan
di korteks motor juga tidak sederhana. Untuk suatu ujaran ada minimal 100
17

otot dan 140.000 rentetan neuromuskuler yang terlibat. Motor korteks juga
harus mempertimbangkan tidak hanya urutan kata dan urutan bunyi, tetapi juga
urutan dari fitur-fitur pada tiap bunyi yang harus diujarkan. Ambillah perkataan
dia pada kalimat
(1) Dia belum pulang.
Karena bunyi /d/ mempunyai fitur [+vois], di samping fitur-fitur lain
seperti [+konsonatal], [+anterior], [-bilabial, [+alveolar], [- nasal], maka
korteks motor harus memerintahkan pita suara untuk bergetar 30 milidetik
lebih awal daripada perintah- perintah yang lain. Hal ini disebabkan karena
pita suara letaknya paling jauh dibandingkan dengan alat-alat penyuara
yang lain. Sebaliknya, untuk bunyi /p/ pada kata pulang di kalimat (1) di
atas, pita suara harus diperintahkan untuk bergetar paling awal 25
milidetik setelah bunyi /p/ itu diucapkan. Ini untuk menjamin bahwa bunyi
bilabial yang keluar itu benar-benar /p/ dan bukan /b/ Perpindahan dari
bunyi /d/ ke /i/ dan kemudian ke /a/ untuk kata dia juga memerlukan
koordinasi yang sangat akurat. Ujung lidah yang menempel pada daerah
alveolar di mulut untuk bunyi /d/ yang kemudian harus dengan tepat
berubah bentuk menjadi lengkung dan tinggi-depan untuk /i/, misalnya,
harus dikoordinasi dengan rapi sekali sehingga hasilnya benar-benar
mencerminkan bunyi yang natif. Tanpa ketepatan ini maka pembicara akan
kedengaran seperti orang asing. Bila input yang masuk bukan dalam
bentuk lisan, tetapi dalam bentuk tulisan, maka jalur pemrosesannya agak
berbeda.
Masukan tidak ditanggapi oleh korteks primer pendengaran, tetapi
oleh korteks visual di lobe osipital. Masukan ini tidak langsung dikirim ke
daerah Wernicke, tetapi harus melewati girus anguler yang
mengkoordinasikan daerah pemahaman dengan daerah osipital. Setelah
tahap ini, prosesnya sama, yakni, input tadi difahami oleh daerah
Wernicke, kemudian dikirim ke daerah Broca bila perlu tanggapan verbal.
Bila tanggapannya juga visual, maka informasi itu dikirim ke daerah
parietal diproses visualisasinya.
18

E. Tahap Perkembangan Bahasa


Dari jurnal (uny.ac.id) berbagai teori oleh para ahli dapat dipahami
bahwa psikolinguistik membahas tentang bagaimana orang mempergunakan
bahasa sebagai sebuah sistem dan bagaimana orang dapat memperoleh bahasa
tersebut sehingga dapat digunakan untuk komunikasi. Psikolinguistik juga
membahas bagaimana bahasa itu diterima dan diproduksi oleh pemakai bahasa,
bagaimana kerja otak manusia yang berkaitan dengan bahasa, teori
pemerolehan bahasa oleh anak, Perbedaan antara pemerolehan bahasa oleh
anak dan pembelajaran bahasa, dan interferensi sistem bahasa ibu ke bahasa
yang sedang dipelajari.Ada dua langkah pembelajar menguasai bahasa target.
Bahasa target adalah bahasa yang dikuasai (dipelajari) oleh pembelajar, baik
disadari maupun tidak disadari. Krashen dan Terrell (dalam Suwarno: 2002:
18) mengemukakan bahwa kedua cara diatas adalah pembelajaran (learning)
dan pemerolehan (acquisition). Suwarno (2002:18) menyatakan bahwa
pembelajaran merupakan usaha disadari untuk menguasai kaidah- kaidah
kebahasaan (about the language atau language usage), languge learning is
knowing about language, or formal knowledge of a language.
Belajar bahasa dilakukan secara formal dalam setting yang formal pula,
misalnya pembelajaran bahasa dalam kelas.Namun demikian belajar bahasa
secara formal tidak harus dilakukan dalam suatu tempat yang dibatasi oleh
ruang, atau tidak harus dilakukan dalam kelas. Kegiatan belajar dimanapun
asalkan proses belajar itu diarahkan pada penguasaan kaidah kebahasaan secara
disadari, maka proses itu disebut pembelajaran.
Pemerolehan adalah penguasaan bahasa secara tidak disadari (implisit),
informal atau alamiah (Suwarno, 2002:18). Dardjowidjojo (2005:225)
mengemukakan bahwa pemerolehan bahasa atau akuisi bahasa (language
acquisition), yaitu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara
natural pada waktu dia belajar bahasa ibu (native language). Bahasa ibu adalah
bahasa yang digunakan oleh orang dewasa pada saat berbicara dengan anak
yang dalam masa memperoleh bahasa ibu (Dardjowidjojo, 2005:224). Pateda
(1990:51) menyatakan akuisisi bahasa tergantung dari lingkungan anak. Dari
19

berbagai pendapat yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa proses


penguasaan bahasa yang oleh anak dilakukan secara natural. Proses
penguasaan bahasa dilakukan dengan cara anak belajar bahasa yang digunakan
oleh orang dewasa dalam masa memperoleh bahasa ibu. Pemerolehan bahasa
ibu tergantung lingkungan anak. Penguasaaan bahasa secara tidak disadari atau
informal diperoleh dengan cara menggunakan bahasa itu dalam berkomunikasi.
Pemerolehan berkaitan dengan use the language atau use. Pemerolehan
merupakan penguasaan bahasa secara praktis.Pemerolehan bahasa dilakukan
secara alamiah untuk pengembangan kompetensi linguistik.Kompetensi
linguistik tampak dalam performansi berbahasa.
Apabila pembelajar telah dapat menggunakan bahasanya (untuk
komunikasi, baik aktif maupun pasif), berarti ia telah memiliki kompetensi
komunikatif. Penguasaan bahasa pada manusia berlangsung bertahap. Tahap
penguasaan bahasa tersebut mengalami perkembangan paling pesat pada
limatahun pertama yang disebut the golden year. Subyakto (1992: 18)
membagi tahap pemerolehan bahasa menjadi empat tahap yaitu, tahap
pengocehan, tahap satu kata satu frase, tahap dua kata satu frase, dan tahap
menyerupai telegram.Tahap pengocehan (bubling stage) berkisar pada anak
kurang lebih enam bulan. Anak mulai mengucapkan bunyi- bunyi yang tidak
bermakna dan sebagian kecil menyerupai kata atau penggalan kata yang
bermakna hanya merupakan kebetulan saja. Anak belajar menggunakan bunyi-
bunyi ujar yang benar dan membuang bunyi ujar yang salah.Anak mulai
meniru bunyi sesuai yang diucapkan orang dewasa, atau paling tidak
mengadaptasi menjadi bunyi yang sekiranya mirip.Tahap satu kata satu frase
berkisar kira- kira terjadi pada anak usia satu tahun. Anak mulai menggunakan
serangkaian bunyi yang berulang- ulang untuk makna yang sama. Hal ini
dilakukan sebab anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan
makna. Setelah tahap satu kata satu frase kemudian tahap dua kata satu frase.
Tahap itu berada pada anak yang berusia dua tahun. Anak mulai mengucapkan
ujaran yang terdiri atas ucapan satu kata dengan intonasi seakan-akan dua
ucapan. Tahap menyerupai telegram (telegraphic stage). Tahap itu berada
20

pada anak yang berusia kurang lebih empat tahun.Pada tahap itu, kemampuan
anak merespons stimulus dari lingkungannyasemakin berkembang. Anak sudah
menguasai kalimat- kalimat yang lebih lengkap. Hubungan sintaksis sudah
mulai tampak dengan jelas, meskipun yang menjadi topik pembicaraan adalah
hal-hal yang berkenaan dengan dirinya. Leneberg (dalam Pateda, 1990: 57),
membagi tahapan penguasaan bahasa pada anak berdasarkan tentang hubungan
gerakan motorik dengan vokalisme bahasa. Berikut ini adalah tabel yang
menggambarkan hubungan gerakan motorik dengan vokalisme bahasa.

Tabel 1: Hubungan Gerakan Motorik dengan Vokalisme Bahasa


No Umur Gerakan Motorik Vokalisme Bahasa
Mengangkat kepala jika Jika didekati tidak banyak
tiarap, berat bertumpu pada menangis, jika diangguki
1 12 minggu siku dan tangan terbuka, akan tersenyum,
belum ada reflex bergumam sekitar 15-20
memegang. detik.
Bermain mainan yang
Bereaksi terhadap bunyi
berbunyi, dapat memutar
2 16 minggu bahasa, kadang-kadang
kepala, mata selalu
tertawa.
menatap pembicara.
3 20 minggu Duduk sangga. Bergumam yang diselingi
konsonan label- frikatif,
spiranti, nasal, bunyi vocal
berbeda dari bunyi sekitar.
4 0,6 tahun Duduk menekuk ke depan, Meraban dengan satu suku
tangan sebagai penyangga, kata, bukan saja vocal
dapat menahan berat badan tetapi juga konsonan telah
jika meletakkan sesuatu, diucapkan secara
belum dapat berdiri berulang-ulang, umumnya
sendiri, jangkauan searah, mengucapkan da…da,
21

pegangan belum sempurna, ma…,ma…


benda dilepas jika diberi
benda lain.
5 0,8 tahun Berdiri sambil dipegang, Reduplikasi sudah sering,
dapat memegang butir dan tekanan lebih jelas, ujaran
benda dengan ibu jari dan sudah memperlihatkan
jari lainnya. keinginan dan perasaan.
6 0,10 tahun Merangkak, berpegangan, Vocal bercampur bunyi
mendorong untuk usaha tiupan ketika sedang
sendiri. meniru, produksi kata
mulai berbeda.
7 1 tahun Berjalan tanpa dipegang Urutan bunyi telah ditiru,
ditangan, dapat duduk telah mengerti pertanyaan
sendiri di lantai. dan perintah.
8 1,6 tahun Memegang kemudian Membuat kalimat tiga
melepaskan diri secara kata, masih meraban,
cepat, mendorong, turun tetapi berbagai variasi
naik kursi dengan susah silabe dan variasi tekanan.
payah, dapat membuat Belum ada usaha
mainan sendiri. memberikan informasi,
marah jika tidak dituruti,
sudah mengerti kalimat
perintah, belum lancer
menghubungkan kata-
kata.
9 2,0 tahun Berlari kadang-kadang Kosa kata lebih dari lima
terjerembab, dapat segera puluh kata, mulai secara
memilih duduk atau cepat menghubungkan
berdiri. kata-kata.
10 2,6 tahun Melompat berdiri dengan Pertumbuhan kosa kata
22

satu kaki dalam 2 detik, cepat berkomunikasi


berjingkat-jingkat sederhana, marah jika
melompat dari kursi, tidak didengar, ujaran
tangan dan jari telah berupa dua kata,
berkoordinasi dengan baik. intelegensi belum
berkembang dengan baik.
11 3,0 tahun Berjingkat, melompat Kosa kata kurang lebih
setinggi 12 inci. 1000 kata. Bahasa sehari-
hari dikuasai meski
kesalahan masih muncul.
12 4,0 tahun Melompat di tali, dapat Ujaran lancer, matang
menangkap bola yang berbicara, pembeda
dilempar kepadanya. bentuk-bentuk telah jelas.

Dalam jurnal (uny.ac.id) juga menyebutkan bahwa Atchison (dalam


Pateda 1990: 54), membagi stadia akuisi bahasa yang langsung berkaitan
dengan performansi linguistik.Pembagian stadia akuisi bahasa yang langsung
berkaitan dengan performansi linguistik disajikan dalam bentuk tabel.Berikut
ini adalah tabel yang menggambarkan performansi linguistik pada umur
tertentu.
No Umur Performansi Linguistik
1 0,3 tahun Mulai meraban/bergumam
2 0,9 tahun Pola intonasi telah terdengar
3 1,0 tahun Kalimat satu kata (stadi holoprhases)
4 1,3 tahun Kapar kata, banyak bertanya
5 1,8 tahun Ujaran dua kata
6 2,0 tahun Kalimat tiga kata (stadia telegraphic)
7 2,3 tahun Mulai menggunakan kata ganti
8 2,6 tahun Kalimat Tanya, kalimat negasi, kalimat empat kata,
pelafalan vocal telah sempurna.
23

9 3,6 tahun Pelafalan konsonan telah sempurna


10 4,0 tahun Kalimat sederhana yang tepat yeyapi masih terbatas
11 5,0 tahun Kontruksi morfologis dan sintaksis telah sempurna.

Dari berbagai tahapan menurut para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa manusia dalam menguasai bahasa mengalami beberapa tahap dan
tingkatan kesukaran dari tingkatan termudah sampai dengan tingkatan tersukar.
Mulai umur 2,6 tahun anak telah bisa diajak berkomunikasi sederhana
menguasai kalimat tanya, kalimat negasi, dan kalimat empat kata. Pada umur
empat tahun anak sudah menguasai kalimat- kalimat yang lebih lengkap,
hubungan sintaksis sudah mulai tampak dengan jelas, ujaran lancar dan
menguasai kalimat sederhana yang tepat tetapi masih terbatas. Anak secara
sempurna menguasai konstruksi morfologis dan sintaksis pada usia lima tahun.
Dardjowidjojo (2003: 241) mengemukakan bahwa pemerolehan bahasa
berkaitan dengan bagaimana manusia dapat mempersepsi dan kemudian
memahami ujaran orang lain yang berupa unsur pertama yang harus dikuasai
manusia dalam berbahasa. Penelitian mengenai pemerolehan bahasa manusia
terbagi menjadi dua kubu.Pembagian tersebut yaitu berdasarkan pandangan
behavioristik dan mentalis.Teori behavioristik menganggap bahwa anak yang
lahir dianggap kosong dari bahasa. Skinner (dalam Dardjowidjojo: 2003)
mengungkapkan bahwa pemerolehan pengetahuan, termasuk pemerolehan
bahasa, didasarkan pada adanya stimulus, kemudian diikuti oleh respon.
Pengertian bahasa menurut Skinner merupakan seperangkat kebiasaan yang
diperoleh dengan latihan secara berulang-ulang. Anak memperoleh
kemampuan berbahasanya dengan mengulang kata hasil dari lingkungan
sekitarnya. Teori mentalistik, berbeda halnya dengan teori behavioristik,
menganggap bahwa anak yang lahir ke dunia telah membawa kapasitas atau
potensi bahasa. Chomsky (Dardjowidjojo:2003), menyatakan bahwa bahasa
bukan merupakan suatu kebiasaan tetapi merupakan sistem yang diatur oleh
seperangkat keteraturan. Menurut Chomsky manusia akan dengan sendirinya
memperoleh kesempurnaan bahasa tanpa adanya pembiasaan. Chomsky
24

membuat suatu model bagaimana anak belajar tata bahasa.Model tersebut


terkenal dengan LAD (language acquisition device) atau program penguasaan
bahasa (Monks, 1988: 154).

F. Patologi Bahasa atau Gangguan Berbahasa


Dalam buku (Chaer, 2009), manusia yang normal memiliki fungsi otak
dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang
memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan
dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan
berbahasanya terganggu. Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat
dibagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor
lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik
akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Sedangkan
yang dimaksud dengan kelainan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan
kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari
lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Secara medis menurut Sidharta (1984) dalam Chaer (2009) gangguan
berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan (1) gangguan berbicara, (2)
gangguan berbhasa, dan (3) gangguan berpikir. Ketiga gangguan itu masih
dapat diatasi kalau penderita gangguan itu mempunyai daya dengar yang
normal; bila tidak tentu menjadi sukar atau sangat sukar.
1. Gangguan berbicara
a. Gangguan mekanisme berbicara
Mekanisme berbicara aadalah suatu proses produksi ucapan (perkataan)
oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang memebentuk
rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru.
1) Gangguan akibat faktor pulmnal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-
paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernapasnya
sangat kurang, sehingga cara berbicaraanya diwarnai dengan nada
25

yang monoton, volume suara yag kecil sekali, dan terputus-putus,


meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
2) Gangguan akibat faktor laringal
Gangguan berbicara akibat faktor laringal di mana terdapat gangguan
pada pita suara ini ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa
kelaianan semantik dan sintaksis.
3) Gangguan akibat faktor lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan.
Untuk mencegah timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak
aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan seperti
ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna,
sehingga misalnya, kalimat “Sudah barang tentu dia akan
menyangkal” mungkin akan diucapkan menjadi “Hu ah ba-ang ke-ku
ia a-an me-angkay”.
4) Gangguan akibat faktor resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang
dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing, misalnya, suara
menjadi bersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidung
yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit
keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi
terganggu.

b. Gangguan akibat multifaktorial


1) Berbicara serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat
sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan”
sejumlah susku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami.
Umpamanya kalimat “Kemarin pagi saya sudah beberapa kali ke sini”
diucapkan dengan cepat menjadi “Kemary sdada berali ksni”.
Berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa
juga terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.
26

2) Berbicara propulsif
Artikulasi sangat terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah
dan pita suara, sebagian besar lenyap. Dalam pada itu suaranya kecil,
iramanya datar. Suaranya mula-mula tersendat-sendat, kemudian
terus-menerus, dan akhirnya tersendat-sendat kembali.
3) Berbicara mutis
Sebagian dari mereka mungkin masih dapat dianggap membisu, yakni
memang sengaja tidak mau berbicara. Mutisme ini sebenarnya bukan
hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja, tetapi juga tidak
dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan
gerak-gerik dan sebagainya.

c. Gangguan psikogenik
1) Berbicara manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan anak (orang) yang
melakukannya meminta Perhatian untuk dimanja.
2) Berbicara kemayu
Berbicara kemayu (istilah dari Sidharta 1989) berkaitan dengan
perangai kewanitaan yang berlebihan.
3) Berbicara Gagap
Berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak
berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata berikutnya,
dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat
diselesaikan.
4) Berbicara latah
Suatu sindrom yang terdiri atas curahverbalrepetitive yang bersifat
jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing.
27

2. Gangguan berbahasa
a. Afasia motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan
terjadinya afasia motorik dapat terletak pada lapisan permukaan daerah
Broca. Atau pada lapisan di bawah permukaan atau juga di daerah otot
antara daerah Broca dan daerah Wernicke.
1) Afasia motorik kortikal
Hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan
menggunakan perkataan. Penderita ini masih bisa mengerti bahasa
lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama
sekali; sedangkan ekspresi visual masih bisa dilakukan.
2) Afasia motorik subkortikal
Tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan
perkataan; tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan dengan cara
membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak
terganggu, dan ekspresi visual pun berjalan normal.
3) Afasia motorik transcortical
Penderita dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat;
tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya.
b. Afasia sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya
kerusakan pada reaksi kortikal di daerah Wernicke pada hemispherium
yang dominan. Daerah itu terletak di kawasan asosiatif antara daerah
visual, daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran.
Kerusakan di daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian
dari apa yang didengar terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang
dilihat ikut terganggu. Jadi penderita ini kehilangan pengertian bahasa
lisan dan bahasa tulis. Namun dia masih memiliki curah verbal meskipun
hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.
28

3. Gangguan berpikir
a. Pikun
Orang yang pikun menunjukkan banyak sekali gangguan seperti agnosia,
apraksia, amnesia, perubahan kepribadian, perubahan perilaku, dan
kemunduran dalam segala macam fungsi intelektual.
b. Sisofrenik
Para penderita ini dapat mengucapkanword-salad ini dengan lancar,
dengan volume yang cukup, atau lemah sekali. Curah verbalnya penuh
dengan kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan
curah verbal yang melodis.
c. Depresif
Volume curah verbanya lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus
oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak
terganggu.

4. Gangguan lingkungan sosial


Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya
seorang anak manusia, yang aspek biologos bahasanya normal dari
lingkungan hidup manusia. Keterasingan bisa disebabkan diperlakukan
dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam
alam lingkungan manusia, melainka dipelihara oleh binatang serigala,
seperti kasus Kamala dan Mougle (Chauchard, 1983) dalam (Chaer, 2009).
BAB II
PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

F. Sumber Bahasa Indonesia


Sejarah tumbuh dan berkembangnya Bahasa Indonesia tidak lepas dari
Bahasa Melayu. Dimana Bahasa Melayu sejak dahulu telah digunakan sebagai
bahasa perantara (lingua franca) atau bahasa pergaulan. Bahasa melayu tidak
hanya digunakan di Kepulauan Nusantara, tetapi juga digunakan hampir
diseluruh Asia Tenggara. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya Prasasti-
prasasti kuno dari kerajaan di Indonesia yang ditulis dengan menggunakan
Bahasa Melayu. Dan pada saat itu Bahasa Melayu telah berfungsi sebagai:
1. Bahasa Kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan
hidup dan sastra.
2. Bahasa Perhubungan (Lingua Franca) antar suku di Indonesia.
3. Bahasa Perdagangan baik bagi suku yang ada di Indonesia.
4. Bahasa resmi kerajaan.
Jadi, jelaslah bahwa Bahasa Indonesia sumbernya berasal dari Bahasa
Melayu.

G. Peresmian Nama Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat
Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai
bahasa nasional merupakan usulan dari Muhammad Yamin, seorang politikus,
sastrawan, dan ahli sejarah. Secara sosiologis kita bisa mengatakan bahwa
Bahasa Indonesia resmi diakui pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Hal ini juga sesuai dengan butir ketiga ikrar Sumpah Pemuda yaitu “Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Namun secara Yuridis Bahasa Indonesia diakui pada tanggal 18 Agustus 1945
atau setelah Kemerdekaan Indonesia.

29
30

1. Tiga Fase Perkembangan Bahasa Indonesia


Bagian ini menguraikan hasil dan pembahasan tiga fase
perkembangan bahasa Indonesia (1928—2009) dilengkapi foto-foto
peristiwa kebahasaan yang relevan. Secara berurutan, dibahas fase bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
negara, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.
a. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan
Bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa persatuan oleh para
pemuda yang mengikuti Kongres Pemuda ke-II di Batavia (kini Jakarta)
pada tanggal 27—28 Oktober 1928. Saat itu, para pemuda dari berbagai
organisasi daerah mengucapkan ikrar bernama Sumpah Pemuda sebagai
berikut:

Kami poetra dan poetri Indonesia


mengakoe bertoempah darah jang
satoe, tanah Indonesia Kami poetra
dan poetri Indonesia mengakoe
berbangsa jang satoe, bangsa
Indonesia Kami poetra dan poetri
Indonesia mendjoendjoeng bahasa
persatoean, bahasa Indonesia

Butir ketiga menjadi dasar pijakan atas pengakuan bahasa


Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dari segi pemaknaan, bahasa
persatuan menjadi wahana pemersatu seluruh elemen bangsa. Artinya,
bangsa Indonesia mempersatukan diri berdasarkan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Sementara itu, dari segi ejaan, teks
Sumpah Pemuda masih menggunakan ejaan van Ophuijsen. Salah satu
ciri bunyi bahasa ejaan van Ophuijsen, yaitu huruf u ditulis oe. Jadi, teks
ikrar butir ketiga jika ditulis ulang dengan ejaan saat ini menjadi “...
31

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,


bahasa Indonesia.”
b. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Resmi Negara
Fase bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara memiliki durasi
waktu terlama, sejak tanggal 18 Agustus 1945 melalui penetapan Pasal
36 UUD 1945, hingga Seminar Politik Bahasa pada tahun 1999. Fase ini
diawali dengan peristiwa Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta membacakan
teks Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan sehari
kemudian bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara
melalui Pasal 36 UUD 1945. Dengan begitu, terjadilah tanda pergeseran
fase, awalnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan menjadi bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi negara.
Kemudian muncullah Ejaan Suwandi pada tahun 1947. Menurut
Sudaryanto (2017), ejaan Suwandi merupakan sistem ejaan Latin untuk
bahasa Indonesia sesudah Proklamasi Kemerdekaan yang dimuat dalam
Surat Keputusan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr.
Soewandi, No. 264/Bhg. A tanggal 19 Maret 1947 yang merupakan
penyederhanaan atas Ejaan van Ophuijsen, antara lain, adalah perubahan
oe menjadi u. Sistem Ejaan Suwandi bernama lain Ejaan Republik.
Disebut Ejaan Republik karena bangsa Indonesia saat itu tengah
menunjukkan rasa nasionalisme yang tinggi, termasuk di dalam bahasa.
Di mata mereka, Ejaan van Ophuijsen dianggap sebagai bagian dari
pengaruh penjajah Belanda karena yang menyusun ejaan itu ialah orang
Belanda, Charles Adriaan van Ophuijsen.

c. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional


Fase bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional merupakan
kelanjutan dari fase sebelumnya, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi negara. Fase ini ditandai adanya Kongres Internasional IX Bahasa
Indonesia di Jakarta, pada tanggal 28 Oktober—1 November 2008. Tema
kongres tersebut adalah “Bahasa Indonesia Internasional”.

31
32

Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Pondasi


Peradaban Bangsa”. Penggunaan kata internasional pada nama kongres itu
mengisyaratkan bahwa saatnya bahasa Indonesia menjadi bahasa
internasional. Setahun kemudian, terbitlah UndangUndang (UU) Nomor
24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan yang kian mendukung peningkatan fungsi bahasa Indonesia
menjadi bahasa internasional Pasal 44 ayat (1).

2. Empat Faktor yang Menyebabkan Bahasa Melayu Diangkat Menjadi


Bahasa Indonesia
a. Bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa
perhubungan dan bahasa perdagangan.
b. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa
Melayu tidak dikenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
c. Suku Jawa, Suku Sunda dan suku-suku yang lainnya dengan sukarela
menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional.
d. Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa
kebudayaan dalam arti yang luas.

H. Peristiwa-Peristiwa Penting yang Berkaitan dengan Bahasa Indonesia.


Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa
Indonesia dapat dirinci sebagai berikut:
1. Tahun 1801 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch.A Van
Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma'moer dan Moehammad
Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-
buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman
Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai
Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya
dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun
33

memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa


Melayu di kalangan masyarakat luas.
3. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kayo menggunakan bahasa Indonesia
dalam pidatonya. Hal ini untuk pertama kalinya dalam sidang Volksraad
(dewan rakyat), seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.
4. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi pengkokohan bahasa Indonesia
menjadi bahasa persatuan.
5. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menanamkan
dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir
Alisyahbana.
6. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tata bahasa Baru Bahasa
Indonesia.
7. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di
solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh
cendikiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
8. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945,
yang salah satu pasalnya (pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara.
9. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik (ejaan
Soewandi) sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumya.
10. Tanggal 28 Oktober-2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa
Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang
diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
11. Tanggal 16 Agustus 1972 H.M Soeharto, Presiden Republik Indonesia,
meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan
(EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan
pula dengan Keputusan Presiden No.57 tahun 1972.
12. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan kebudayaan
menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan
34

dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah


Indonesia (Wawasan Nusantara).
13. Tanggal 28 Oktober-2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati
Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan,
pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga
berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
14. Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka
memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya
disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus
lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara
Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar,
dapat tercapai semaksimal mungkin.
15. Tanggal 28 Oktober-3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar
bahasa Indonesia dan seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara
sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman,
dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya
besar Pusat Pembinaan dan pengembangan bahasa kepada pencinta bahasa
di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia.
16. Tanggal 28 Oktober-2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari
Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei
Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura,
Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar pusat
pembinaan dan pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi
Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang
Bahasa Indonesia.
35

17. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia


VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya
Badan Pertimbangan Bahasa.

I. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia


1. Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting yaitu:
a. Sebagai Bahasa Nasional
Seperti yang tercantum dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang
berbunyi Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia, ini berarti bahasa Indonesia berkedudukan sebagai
bahasa nasional yang kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
b. Sebagai Bahasa Negara
Tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Bab XV Pasal 36)
mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa bahasa
Negara ialah bahasa Indonesia.

2. Fungsi Bahasa Indonesia


Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai:
a. Lambang Kebangsaan
b. Lambang Identitas Nasional
c. Alat Penghubung antarwarga, antardesa dan antar budaya
d. Alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar
belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam satu
kesatuan kebangsaan yang bulat.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai:
a. Bahasa resmi kenegaraan
b. Bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan
36

c. Alat Perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan


dan pelaksanaan pembangunan
d. Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

F. Ragam dan Variasi Bahasa


1. Ragam Bahasa
Lisan unsur-unsur gramatikal seperti subjek, predikat dan objek tidak
adanya bermacam-macam ragam bahasa terjadi karena fungsi, kedudukan
serta lingkungan yang berbeda-besa. Ada beberapa ragam bahasa yaitu:
a. Ragam Lisan dan Ragam Tulis
Perbedaan ragam lisan dan tulis yaitu:
1) Ragam lisan menghendaki adanya orang kedua, teman bicara
sedangkan ragam tulis tidak mengharuskan.
2) Dalam ragam selalu dinyatakan, sedangkan ragam tulis harus
dinyatakan.
3) Ragam lisan sangat terikat pada kondisi,i situasi, ruang dan waktu
sedangkan ragam tulis tidak.
4) Ragam lisan dipengaruhi oleh intonasi suara sedangkan ragam tulis
dipengaruhi oleh tanda baca, huruf kapital, dan huruf miring.
b. Ragam Baku dan Ragam Tidak Baku
Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh
sebagian besar warga masyarakat pemakaiannya sebagai bahasa resmi
dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya.
Ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilembagakan dan
ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma ragam baku.
c. Ragam Baku Tulis dan Ragam Baku Lisan
Ragam baku tulis adalah ragam yang dipakai dengan resmi dalam
buku-buku pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya.
Ragam baku lisan bergantung kepada besar atau kecilnya ragam
daerah yang terdengar dalam ucapannya.
37

d. Ragam Sosial dan Ragam Fungsional


Ragam sosial adalah ragam bahasa yang sebagian norma dan
kaidahnya didasarkan atas kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial
yang lebih kecil dalam masyarakat.
Ragam fungsional adalah ragam bahasa yang dikaitkan dengan
profesi, lembaga, lingkungan kerja atau kegiatan tertentu.

2. Variasi Bahasa
Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang
dilakukan oleh masyarakatatau kelompok yang sangat beragam dan
dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Variasi bahasa ada
beberapa macam yaitu :
a. Variasi Bahasa Dari Segi Penutur
Variasi bahasa yang muncul dari setiap orang baik individu maupun
sosial.
b. Variasi Bahasa Dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berkenaan dengan pemakaian atau fungsinya disebut
fungsiolek atau register adalah variasi bahas yang menyangkut bahasa itu
digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik,
militer, pertanian, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Variasi
bahasa dari segi pemakaian ini yang paling tampak cirinya adalah hal
kosakata. Setiap bidang kegiatan biasanyay mempunyai kosakata khusus
yang tidak digunakan dalam bidang lain.
c. Variasi Bahasa Dari Segi Keformalan
Variasi bahasa dari segi keformalan ada beberapa macam yaitu :
1) Variasi baku (frozen)
Variasi bahasa yang paling formal yang digunakan pada situasi hikmat
seperti upacara kenegaraan dan khotbah.
2) Variasi resmi (formal)
Variasi bahasa yang digunakan pada kegiatan resmi atau formal seperti
surat dinas dan pidato kenegaraan.
38

3) Variasi usaha (konsultatif)


Variasi bahasa yang lazim dalam pembicaraan biasa. Seperti
pembicaraan di sekolah dan rapat.
4) Variasi santai (casual)
Variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi. Seperti
perbincangan dalam keluarga atau dengan teman.
5) Variasi akrab (intimate)
Variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang
hubungannya sudah akrab.
6) Variasi bahasa dari segi sarana
Variasi bahasa yang dapat dilihat dari sarana atau jalur yang
digunakan. Seperti telepon, telegraf dan radio.
39

BAB III
TEORI BELAJAR DALAM PEMBELAJAR

D. Definisi Teori
Menurut Snelbecker (1974), dalam penggunaan secara umum, teori-teori
berarti sejumlah proposisi yang terintegrasi secara sintaktik (artinya kumpulan
proposisi ini mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat menghubungkan
secara logis proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, dan juga pada data
yang diamati), serta yang digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan
peristiwa peristiwa yang diamati (Dahar, 2011). Snelbecker juga
mengungkapkan bahwa konstruksi teori merupakan suatu bagian proses
keberlangsungan dalam psikologi dan pendidikan, apakah yang diperhatikan
itu suatu proses, belajar misalnya, ataukah suatu individu. Kenyataan bahwa
manusia itu belajar merupakan fakta yang nyata, yang tidak nyata ialah
“Bagaimana manusia itu belajar?” atau “Mengapa manusia belajar?” Suatu
teori dapat menolong kita menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sedangkan
menurut Suyono dan Hariyanto dalam bukunya yang berjudul Belajar dan
Pembelajaran mengemukakan bahwa teori adalah suatu penjelasan tentang
hubungan antara dua atau lebih konsep, atau variabel yang berupa sekumpulan
hukum, gagasan, prinsip, dan teknik-teknik tentang subjek tertentu (Suyono
dan Hariyanto, 2014:28).

E. Teori Belajar dan Pembelajaran


Dalam konsep pembelajaran, Bruner membedakan antara teori
pembelajaran dengan teori belajar, (instructional theory) dan teori belajar,
(learning theory). Menurut Brunner (Degeng, 1989) teori pembelajaran adalah
preskriptif (bersifat memberi petunjuk atau ketentuan) dan teori belajar adalah
deskriptif (bersifat menggambarkan). Disebut preskriptif karena tujuan dari
teori pembelajaran adalah menentukan dan menetapkan metode belajar yang
paling optimal sedangkan tujuan utama dari teori belajar adalah menjelaskan
proses belajar.

39
40

F. Teori Belajar dalam Pembelajaran Bahasa


1. Teori Deskriptif dan Perspektif
a. Pengertian Teori Belajar Deskriptif dan Perspektif
Untuk membedakan antara teori belajar dan teori pembelajaran bisa
diamati dari poisional teorinya, apakah berada pada tataran teori
deskriptif dan perspektif Bruner (dalam dageng 1989) mengemukakan
bahwa teori pembelajaran adalahperspektif dan teori beljar adalah
deskriptif. Perspektif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah
menetapkan metode pembelajaran yang optimal, sedangkan teori belajar
bersifat deskriptif karena tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan
proses belajar. Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan anatara
variabel-variabel yang menentukan hasil belajar. Sedangkan teori
pembelajaran sebaliknya teori ini menaruh perhatian pada bagaimana
seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar. Dengan
kata lain teori pembelajaran berurusan dengan upaya mengontrol variabel
yang di spesivikasikan dalam teori belajar agar dapat memudhkan
belajar.
Astri Budiningsih 2004 dalam buku belajar dan pembelajaran
menjelaskan bahwa upaya dari Brunner untuk membedakan anatara teori
belajar deskriptif dan teori pembelajaran perspektif dikembangkan lebih
lanjut oleh Reigeluth. Teori dan prinsip-prinsip pembelajaran yang
deskriptif menempatkan variabel kondisi dan metode pembelajaran
sebagai menempatkan hasil belajar sebagai variabel yang diamati.
Dengan kata lain, kondisi dan metode pembelajaran sebagai variabel
bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel tergantung.
Reigeluth (1983 dalam Degeng, 1990) mengemukakan bahwa teori
perspektif adalah goal oriented sedangkan teori deskriptif adalah goal
free. Maksudnya adalah bahwa teori belajar deskriptif adalah goal free.
Maksudnya adalah bahwa teori pemeblajaran perspektif dimaksud untuk
mencapai tujuan, sedangkan teori belajar deskriptif dimaksud untuk
memberikan hasil. Itulah sebabnya variabel yang diamati dalam metode
41

yang optimal untuk mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan


teori pembelajaran deskriptif, variabel yang dimati adalah hasil belajar
sebagai akibat dari interaksi antara metode dan kondisi.
Dengan kata lain teori pembelajaran mengungkapkan hubungan
anatara kegiatan pembelajaran dengan proses psikologis dari siswa,
sedangkan teori belajar mengungkapkan hubungan antara kegiatan
pembelajaran dengan proses psikologis dalam diri siswa.
a) Kelebihan Teori Belajar Deskriptif
1) Pembelajaran lebih terpusat sehingga siswa lebih memahami materi
yang akan disampaikan dan mendorong siswa untuk mencari
sumber pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam mengerjakan
suatu tugas.
2) Lebih sistematis sehingga memiliki arah dan tujuan yang jelas.
Banyak memberi motivasi agar terjadi proses belajar.
Mengoptimalisasikan kerja otak secara maksimal.
b) Kekurangan Teori Belajar Deskriptif
1) Kurang memperhatikan sisi psikologis siswa dalam mendalami
suatu materi.
2) Membutuhkan waktu cukup lama.

2. Teori Belajar Humanistik


a. Pengertian Teori Belajar Humanistik
Konsep teori belajar humanistik yaitu proses memanusiakan
manusia, dimana seorang individu diharapkan dapat mengaktualisasikan
diri artinya manusia dapat menggali kemampuannya sendiri untuk
diterapkan dalam lingkungan. Proses belajar humanistik memusatkan
perhatian kepada diri peserta didik sehingga menitikberatkan kepada
kebebasan individu. Teori humanistik menekankan kognitif dan afektif
mempengaruhi proses. Kognitif adalah aspek penguasaan ilmu
pengetahuan sedangkan afektif adalah aspek sikap yang keduanya perlu
dikembangkan dalam membangun individu. Hal yang penting lagi pada
42

proses pembelajaran humanisme harus adanya motivasi yang diberikan


agar peserta didik dapat terus menjalani pembelajaran dengan baik.
Motivasi dapat berasal dari dalam yaitu berasal dari diri sendiri maupun
dari guru sebagai fasilitator.

b. Karakteristik Teori Humanistik (Suprayogi, 2005):


1) Mementingkan manusia sebagai pribadi.
2) Mementingkan kebulatan pribadi.
3) Mementingkan peranan kognitif dan afektif.
4) Mengutamakan terjadinya aktualisasi diri dan konsep.
5) Mementingkan persepsi subjektif yang dimiliki individu.
6) Mementingkan kemampuan menentukan bentuk tingkah laku sendiri.
7) Mengutamakan Insight ( pengetahuan atau pemahaman).

c. Prinsip Teori Humanistik


1) Manusia memiliki kemampuan alami untuk belajar.
2) Belajar menjadi signifikan apabila apa yang dipelajari memiliki
relevansi dengan keperluan mereka.
3) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai
dirinya.
4) Tugas belajar dapat lebih diterima dan diasimilasikan apabila
ancaman dari luar itu semakin kecil.
5) Bila ancaman itu rendah terdapat pengalaman siswa dalam
memperoleh cara.
6) Belajar yang bermakna diperoleh jika siswa melakukannya.
7) Belajar lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar.
8) Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang
mendalam.
9) Kepercayaan pada diri siswa ditumbuhkan dengan membiasakan
untuk mawas diri.
10) Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.
43

d. Tokoh-tokoh Teori Humanistik


1) Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa dalam diri individu ada
dua hal yaitu suatu usaha yang positif untuk berkembang dan kekuatan
untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow
mengemukakan adanya lima tingkatan kunci kebutuhan pokok
manusia. Kalimat tingkatan kebutuhan pokok inilah yang kemudian
dijadikan pengertian kunci dalam mempelajari motivasi manusia.
Karena sesungguhnya dalam teori humanistik ini sangat diperlukan
motivasi.
2) Carl Sam Rogers
Carl Sam Rogers mengemukakan kebutuhan individu ada 4 yaitu:
a) Pemeliharaan,
b) Peningkatan diri,
c) Penghargaan positif (positive regard) dan
d) Penghargaan diri yang positif (positif self regard).
3) Arthur Combs
Arthur mengemukakan bahwa belajar terjadi bila mempunyai arti bagi
individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau
tidak relevan dengan kehidupan mereka. Untuk mengerti tingkah laku
manusia, yang penting adalah mengerti bagaimana dunia ini dilihat
dari sudut pandangnya. Pernyataan ini adalah salah satu dari
pandangan humanistik mengenai perasaan, persepsi, kepercayaan, dan
tujuan tingkah laku inner (dari dalam) yang membuat orang berbeda
dengan orang lain. Untuk mengerti orang lain, yang terpenting adalah
melihat dunia sebagai yang dia lihat, dan untuk menentukan
bagaimana orang berpikir, merasa tentang dia atau dunianya.
e. Penerapan Pembelajaran Teori Belajar Humanistik
Teori belajar humanistik ini masih sukar diterjemahkan ke
dalam langkah-langkah kirim yang praktis dan operasional, namun
44

sumbangan Teori ini amatlah besar. Ide-idenya, konsep-konsep,


taksonomi tujuan yang sudah di rumus dapat membantu para guru
untuk memahami hakikat kejiwaan manusia peserta didiknya. Hal ini
dapat membantu mereka untuk menentukan komponen pembelajaran
seperti perumusan tujuan pembelajaran, penentuan materi, pemilihan
strategi belajar, serta dalam mengembangkan evaluasi.
Dalam pelaksanaannya, teori belajar humanistik ini antara lain
tampak dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel.
Pandangannya tentang belajar bermakna atau meaningful learning
yang juga tergolong dalam aliran teori belajar kognitif, mengatakan
bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Belajar bermakna bakal
terjadi jika relevan dengan kebutuhan peserta didik, disertai motivasi
intrinsik, dan kurikulum yang tidak kaku. Kejadian belajar bermakna
didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta didik
tentang bidang studi tertentu. Untuk terciptanya iklim kelas yang
memungkinkan terjadinya belajar bermakna menurut teori belajar
humanistik adalah sebagai berikut:
1) Terimalah peserta didik apa adanya
Kenali dan bina minat peserta didik melalui penemuannya terhadap
diri sendiri. Usahakan sumber belajar yang mungkin dapat
diperoleh peserta didik untuk dapat memilih dan menggunakannya.
2) Gunakan pendekatan inquiry-discovery
Tekankan pentingnya penilaian diri sendiri dan biarkan peserta
didik mengambil tanggung jawab untuk memenuhi tujuan
belajarnya.
f. Kelebihan dan Kekurangan Teori Humanistik
1) Kelebihan
a) Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap,
analisis terhadap fenomena sosial.
b) Siswa merasa senang, berinisiatif dalam belajar.
45

c) Guru menerima siswa apa adanya, memahami jalan pikiran


siswa.
d) Siswa mempunyai banyak pengalaman yang berarti.
e) Menjadikan Siswa lebih kreatif dan mandiri, membantu siswa
memahami bahan belajar secara lebih mudah.
2) Kekurangan
a) Bersifat Individual.
b) Proses belajar tidak akan berhasil jika tidak ada motivasi dan
lingkungan yang mendukung.
c) Sulit diterapkan dalam konteks yang lebih praktis.
d) Peserta didik kesulitan dalam mengenal diri dan potensi potensi
yang ada pada diri mereka.
e) Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan
ketinggalan dalam proses belajar.

3. Teori Belajar Kognitif


a. Pengertian teori belajar kognitif
Kognitif berasal dari bahasa inggris “cognitive” yang bermakna
mengerti atau pengertian diartikan secara luas bahwa cognition (kognisi)
adalah perolehan pengetahuan, Penataan dan penggunaanya. Kalau arti
secara umumnya adalah kemampuan interaksi yang terdiri dari beberapa
tahapan mulai dari knowledge (pengetahuan), analysis (analisis),
sinthesis (sintesa), sampai evaluation (evaluasi). Ada juga hang
mengartikan kognitif sebagai kemampuan untuk mengembangkan
rasional (akal).
Pembelajaran bagi aliran kognitif dipandang bukan hanya sekedar
mendapat stimulus dan menghasilkan respon yang mekanistik, Tetapi
pembelajaran juga melibatkan kondisi mental didalam individu
pembelajaran yang berhubungan dengan persepsi, perhatian, motivasi
dan lain-lain. Sehingga belajar dipahami sebagai suatu proses mental
yang aktif dalam memperoleh, mengingat dan menunjukkan Kedalam
46

perilaku. Perilaku yang nampak tidak dapat diamati dan diukur apabila
tidak melibatkan proses mental seperti kesadaran, motivasi, keyakinan
dan proses mental lainnya.
Teori belajar kognitif adalah teori yang menjelaskan proses
pemikiran dan perbedaan kondisi mental serta pengaruh faktor internal
dan eksternal dalam menghasilkan belajarnya seorang individu. Apabila
proses kognitif bekerja dengan normal, maka perolehan informasi dan
penyimpanan pengethauan akan bekerja dengan baik pula. Namun
apabila proses kognitif tidak bekerja sebagaimana mestinya, maka
terjadilah masalah dalam belajar.

b. Prinsip-Prinsip Teori Belajar Kognitif


1) Proses lebih penting daripada hasil
2) Disebut juga sebagai model perseptul
3) Persepsi menentukan tingkah laku seseorang serta pemahaman
terhadap situasi berhubungan dengan tujuan belajar.
4) Perubahan persepsi merupakan proses pembelajaran yang kadang
tidak nampak dalam bentuk tingkah laku.
5) Situasi belajar atau materi pelajaran yang dipisah-pisah menjadi
komponen-komponen kecil atay dipisah-piasah akan menghilangkan
makna.

4. Tokoh-tokoh Teori Belajar Kognitif


Beberapa tokoh teori belajar kognitif yang teorinya banyak diterapkan
dalam pendidikan ada Max Wartheimer (1887-1967), Kurt Koffka (1886-
1941), dan Wolfgang Kohler (1887-1967). Mereka bertiga meruapakan
pelapor teori Gestalt. Mereka berpendapat bahwa keseluruhan lebih
bermakna daripada bagian-bagian bagi kognisi manusia. Sehingga proses
pembelajaran baiknya dimulai dari keseluruhan (Gestalt) lalu menganalisir
unsur-unsur atau bagian-bagiannya. Ada beberapa tokoh yang
47

mengemukakan pandangannya terhadap belajar dalam sudut pandang


kognitif (kecerdasan), diantaranya:
a. Kurt Levin (1890-1947)
Kurt Levin merupakan pengembang teori motivasi disekitar medan. Inti
teorinya dalam kaitanya dengan pembelajaran ialah bahwa semakin
peserta didik dekat dengan medan belajar, motivasi belajar semakin kuat
dibanding dengan peserta didik yang lebih jauh dari medan belajar.
Medan yang dimaksud ialah medan psikologis karena belajar peserta
didik.
b. Jean Piaget
Jean Piaget mempunyai konstribusi besar dalam pemahaman terhadap
Perkembangan intelektual anak. Dengan teori “perkembangan
berfikir”nya ia mengemukakan terhadap perkembangan kognitif anak,
yaitu teori sansori-motor, praoperasional, operasional kankret, dan
operasional formal.
c. David Ausubel
Inti dari teori belajar Ausubel adalah belajar bermakna pembelajaran
bermakna merupakan suatu proses yang dikaitkan dengan informasi baru
pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau
fakta-fakta saja, tetapi merupakan kegiatan yang menghubungkan
konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh sehingga
konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah
dilupakan.
d. Jerome Bruner
Jerome Bruner mengusulkan teori yang disebutnya free discovery
learning atau belajar penemuan. Inti dari teorinya memandang bahwa
manusia adalah sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi.
Oleh karenanya, dalam belajar yang terpenting adalah cara-cara
bagaimana seseorang secara aktif memilih mempertahaknkan dan
mentransformasikan informasi yang diterimanya.
48

e. Albert Bandura
Bandura menghasilkan sebuah teori dari turunan teori belajar kognitif
yang disebut “belajar sosial” bermula dari pendapatnya tentang teori
kognitif, sosial dan juga perilaku mempunyai peran penting dalam
pembelajaran. Ini berarti bahwa faktor kognitif merupakan ekspetasi
berarti bahwa faktor kognitif merupakan keberhasilan sedangkan faktor
sosial mencakup pengamatan dan pengalaman pembelajaran terhadap
perilaku orang-orang disekitar lingkungannya.
f. Robet Gagne (1977)
Berlandaskan teori belajar kognitif, maka Gagne menghasilkan suatu
model pembelajaran yang disebut “Peristiwa pembelajaran”. Dalam
model peristiwa pembelajaran tidak meperhatikan apakah proses belajar
terjadi melalui proses penemuan (Discovery) atau proses permainan
(Reception) sebagaimana yang dikenalkan oleh Bruner dan Ausubel,
menurutnya yang terpenting adalah kulitas penetapan (daya simpan) dan
kegunaan belajar.

5. Penerapan Teori Belajar Kognitif


Dalam pembelajaran dalam penerapan teori belajar kognitif secara
khusunya akan ada model belajar bruner, Ausubel, Gagne, dan model model
perekembangan intelektual Piaget. Adapun secara umum penerapan teori
belajar kognitif dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :
a. Belajar tidak harus berpusat pada guru tetapi peserta didik harus lebih
aktif. Oleh karenanya peserta didik harus dibimbing agar aktif
menemukan sesuatu yang dipelajarinya.
b. Bahan pelejaran dan metode pemeblajaran harus menjadi perhatian
utama. Peserta didik akan sulit memahami bahanpelajaran jika frekuensi
belajar hitung loncat-loncat. Bagi anak SD pengoprasian suatu
penjumlahan harus menggunakan benda-benda terutama di kelas-kelas
awal kaerna tahap Perkembangan berfikir mereka baru mencapai tahap
oprasi konkret.
49

c. Dalam proses pemebalajaran guru harus memperhatikan tahap


perkembanagan kognitif peserta didik. Materi dirancang sesuai dengan
tahapan perkembangan kognitif itu dan harus merangsang kemampuan
berpikir mereka.
d. Belajar harus berfusat pada peserta didik karena peserta didik melihat
sesuatu berdasarkan dirinya sendiri. Untuk terjadinya proses belajar harus
tidak ada proses pelaksanaan agar sifat egosentrisnya tidak terbunuh.

6. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Kognitif


1) Kelebihan:
a) Menjadikan siswa lebih aktif dan mandiri.
b) Membantu siswa memahami bahkan belajar secara lebih mudah.
2) Kekurangan:
a) Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan
b) Sulit di peraktika. Khususnya ditingkat lanjut
c) Beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan
pemahamannya masih belum tuntas.

7. Teori Belajar Behavioristik


a. Pengertian Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dianut oleh
Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman. Beberapa ilmuwan yang termasuk pendiri dan penganut
teori ini antara lain adalah Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, dan
Skinner
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang
berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan
dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon
50

atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau


pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan
respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika
dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar
terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi
antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak
dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan
apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur.
Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan
suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah
laku tersebut. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik,
meliputi:
1) Reinforcement and Punishment (penguatan dan hukuman);
2) Primary and Secondary Reinforcement (penguatan utama dan kedua);
3) Schedules of Reinforcement (jadwal penguatan);
4) Contingency Management (manajeman berkelanjutan);
5) Stimulus Control in Operant Learning (kontrol rangsangan pada;
6) The Elimination of Responses (emilinasi respons) (Gage, Berliner,
1984).
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah
faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon
dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga
semakin kuat.
51

b. Teori Belajar Behavioristik Menurut Para Ahli


2) Edward Lee Thorndike
Edward Lee "Ted" Thorndike (31 Agustus 1874 - 9 Agustus
1949) adalah seorang Psikolog Amerika yang menghabiskan hampir
seluruh kariernya di Teachers College, Columbia University.
Karyanya di bidang Psikologi Perbandingan dan proses pembelajaran
membuahkan teori koneksionisme dan membantu meletakkan dasar
ilmiah untuk psikologi pendidikan modern.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat
ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku
akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat
diamati, atau tidak konkret yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun
aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak
dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak
dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori
koneksionisme (Slavin, 2000). Pemahaman dari tokoh Thorndike
akhirnya melahirkan beberapa dalil belajar, antara lain:
a) Hukum sebab akibat yang menunjukkan kuat lemahnya hubungan
antara stimulus dengan respons tergantung pada akibat yang
ditimbulkan.
b) Hukum pembiasaan, yang menunjukkan bahwa hubungan stimulus
dengan respons bisa menjadi kuat ketika dilatih atau diulang.
c) Hukum kesiapan, yang menyatakan bahwa hubungan antara
stimulus dengan respons akan mudah terbentuk jika ada kesiapan
dari individu itu.
52

d) Hukum reaksi bervariasi, yaitu hukum yang menyatakan bahwa


individu melakukan trial and error lebih dulu untuk menunjukkan
macam-macam respons sebelum mendapat respons paling tepat.
e) Hukum sikap, yaitu hukum yang menyatakan bahwa perilaku
seseorang juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri
individu seperti emosi dan psikomotor.
f) Hukum aktivitas berat sebelah, yaitu individu memberikan respons
pada stimulus tertentu sesuai dengan persepsi terhadap keseluruhan
situasi.
g) Hukum respons, yang merupakan pemahaman bahwa individu bisa
menyatakan respons tindakan bahwa pada situasi yang belum
pernah dialaminya.
h) Hukum perpindahan asosiasi, yaitu proses peralihan situasi lama ke
situasi baru dengan cara bertahap, mengurangi unsur situasi lama
dan mengenalkan unsur situasi baru.

3) Ivan Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov (14 September 1849 – 27 Februari 1936)
adalah seorang fisiolog dan dokter dari Rusia. Karya yang membuat
Pavlov memiliki reputasi sebenarnya bermula sebagai studi dalam
pencernaan. Ia sedang mencari proses pencernaan pada anjing,
khususnya hubungan timbal balik antara air ludah dan kerja perut. Ia
sadar kedua hal itu berkaitan erat dengan refleks dalam sistem saraf
otonom. Tanpa air liur, perut tidak membawa pesan untuk memulai
pencernaan. Pavlov ingin melihat bahwa rangsangan luar dapat
memengaruhi proses ini, maka ia membunyikan metronom dan di saat
yang sama ia mengadakan percobaan makanan anjing. Setelah
beberapa saat, anjing itu -- yang hanya sebelum mengeluarkan liur
saat mereka melihat dan memakan makanannya -- akan mulai
mengeluarkan air liur saat metronom itu bersuara, meskipun ketika
tidak ada makanan. Pada 1903 Pavlov menerbitkan hasil
53

eksperimennya dan menyebutnya "refleks terkondisi," berbeda dari


refleks halus, seperti. Pavlov menyebut proses pembelajaran ini
(sebagai contoh, saat sistem saraf anjing menghubungkan suara
metronom dengan makanan) "pengkondisian". Ia juga menemukan
bahwa refleks terkondisi akan tertekan bila rangsangan ternyata terlalu
sering "salah". Jika metronom bersuara berulang-ulang dan tidak ada
makanan, anjing akan berhenti mengeluarkan air liur. Hasil
eksperimen ini akhirnya melahirkan beberapa hukum pembelajaran,
yaitu:
a) Hukum pembiasaan yang dituntut. Hukum ini menjelaskan bahwa
jika ada dua stimulus yang diberikan secara bersama-sama (dan
salah satunya merupakan reinforce/penguat), maka gerakan refleks
pada stimulus lainnya juga meningkat.
b) Hukum pemusnahan yang dituntut. Hukum ini memaparkan jika
refleks yang diperkuat melalui pengkondisian responden
(respondent conditioning) diberikan kembali tanpa adanya penguat
(reinforcer), maka kekuatannya akan melemah.
Dengan melihat eksperimen tersebut dapat kita wujudkan dalam
proses pembelajaran dengan memberikan stimulus yang dilakukan
secara berulang untuk hal-hal yang baru agar mendapatkan respons
yang sama seperti hal-hal yang telah diketahui sebelumnya. Teori
belajar ini disebut dengan terori belajar pengondisian klasik (classical
conditioning) yang berarti perilaku manusia telah diarahkan oleh
sebuah rangsangan.

Beberapa penerapan prinsip pengondisian klasik dalam kelas:


a) Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan
tugas.
b) Membantu siswa mengatasi situasi yang mencemaskan atau
mencekam.
54

c) Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan situasi


sehingga dapat menggeneralisasikannya secara tepat.

4) John B. Watson
John Broadus Watson (lahir di Greenvile 9 Januari 1878;
meninggal 25 September 1958) adalah seorang ahli psikologi
(psikolog) Amerika Serikat. Watson mempromosikan sebuah
perubahan psikologi melalui karyanya Psychology as the Behaviorist
Views it (pandangan perilaku psikologi), yang ia dedikasikan kepada
Universitas Kolumbia pada tahun 1913. Ia menjelaskan bahwa tingkah
laku seseorang dapat dijelaskan atas dasar reaksi fisiologis terhadap
suatu rangsangan atau stimulus. Aliran ini tidak menerima paham
tentang alam sadar dan alam bawah sadar pada kegiatan mental
manusia. Watson adalah guru besar dan direktur laboratorium
psikologi Universitas Johns Hopkins (tahun 1908-1920).
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara
stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus
dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia
mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang
selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai
hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi
yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu
sejauh mana dapat diamati dan diukur.

5) Edwin Guthrie
Asas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu
gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu
timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell,
Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan
55

stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar.


Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah
situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.
Penguatan sekadar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar
tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena
dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi
stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan
menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku
seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi
stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan
apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh
memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler,
1991).

6) Burrhus Frederic Skinner


Burrhus Frederic Skinner (lahir di Susquehanna, Pennsylvania,
20 Maret 1904 – meninggal di Massachusetts, 18 Agustus 1990 pada
umur 86 tahun) adalah seorang psikolog Amerika Serikat terkenal dari
aliran behaviorisme. Inti pemikiran Skinner adalah setiap manusia
bergerak karena mendapat rangsangan dari lingkungannya. Sistem
tersebut dinamakan "cara kerja yang menentukan" (operant
conditioning). Setiap makhluk hidup pasti selalu berada dalam proses
bersinggungan dengan lingkungannya. Di dalam proses itu, makhluk
hidup menerima rangsangan atau stimulan tertentu yang membuatnya
bertindak sesuatu. Rangsangan itu disebut stimulan yang menggugah.
Stimulan tertentu menyebabkan manusia melakukan tindakan-
tindakan tertentu dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu.
56

Teori operant conditioning mengungkapkan bahwa tingkah laku


yang ditunjukkan subjek bukan semata-mata merupakan respon
terhadap stimulus tetapi juga tindakan yang disengaja. Skinner
menyatakan bahwa kepribadian seseorang merupakan hasil dari
respons terhadap lingkungannya. Dua macam respons tersebut adalah:
a) Respondent Response yaitu repons akibat rangsangan tertentu.
b) Operant Response yaitu respon yang muncul dan semakin
berkembang oleh rangsangan tertentu.

7) Robert Gagne
Pada tahun 1956 Robert Wills Gagne mengemukakan delapan
cara untuk belajar. Urutan ini didasarkan pada tingkat kerumitan
proses mental, disarankan suatu sistem untuk menganalisis berbagai
kondisi atau tingkat pembelajaran dari yang sederhana hingga yang
kompleks. Menurut Gagné, tatanan pembelajaran yang lebih tinggi
dalam hierarki dibangun di atas tingkat yang lebih rendah, yang
membutuhkan jumlah pengetahuan sebelumnya yang lebih besar
untuk berhasil berkembang. Ini menganalisis kemampuan akhir
menjadi keterampilan bawahan dengan urutan sedemikian rupa
sehingga tingkat yang lebih rendah dapat diprediksi untuk transfer
positif pembelajaran tingkat yang lebih tinggi. Empat tatanan yang
lebih rendah fokus pada aspek perilaku belajar, sedangkan tatanan
empat yang lebih tinggi fokus pada aspek kognitif. Dalam penelitian
orisinalnya tentang pengajaran, melalui studi yang berasal dari analisis
pembelajaran tugas menyusun rumus untuk jumlah seri angka, Gagne
mengaitkan perbedaan individu atau perbedaan kecerdasan dalam
belajar.

a. Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara
stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia
57

sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull,


seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh
sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati
posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus
(stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis, walaupun respons yang akan muncul mungkin
dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk
dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell,
Gredler, 1991).

c. Penerapan Teori Belajar Behavioristik


Penerapan teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa komponen seperti tujuan pembelajaran, materi
pembelajaran, karakteristik siswa, media, fasilitas pembelajaran,
lingkungan dan penguatan (Sugandi, 2007:35).

d. Ciri-ciri Teori Behavioristic


Untuk mempermudah mengenal teori behavioristik dapat dikenali
lewat ciri-ciri berikut:
1) Mementingkan pengarunmentalish lingkungan (environmentalist).
2) Mementingkan bagian-bagian (elentarist).
3) Mementingkan reaksi (repons).
4) Mementingkan mekanisme terbentuknya hasil belajar.
5) Mementingkan hubungan sebab-akibat pada waktu lalu.
6) Mementingkan pembentukan kebiasaan.
7) Ciri khusus dalam pemecahan masalah dengan “mencoba dan gagal”
atau trial and error.

e. Prinsp-Prinsip Dasar Teori Behavioristic


58

Prinsip-prinsip dasar teori behavioristik yang banyak diterapkan di


dunia pendidikan meliputi:
1) Menekankan pada pengaruh lingkungan terhadap perubahan perilaku.
2) Menggunakan prinsip penguatan, yaitu untuk mengidentifikasi aspek
paling diperlukan dalam pembelajaran dan untuk mengarahkan
kondisi agar peserta didik dapat mencapai peningkatan yang
diharapkan.
3) Mengidentifikasi karakteristik peserta didik, untuk menetapkan
pencapaian tujuan pembelajaran.
4) Lebih menekankan pada hasil belajar daripada proses pembelajaran

f. Kritik Terhadap Teori Behavioristik


1) Tidak dapat menjelaskan situasi belajar yang kompleks.
2) Asumsi bahwa semua hasil belajar berupa perubahan tingkah laku
yang dapat diamati, dianggap menyedrhanakan masalah belajar yang
sesungguhnya.
3) Tidak semua hasil belajar dapat diamati.
4) Cenderung mengarahkan peserta didik berpikir linear, tidak
konvergen dan tidak kreatif.

g. Pentingnya Teori Behavioristik


Pentingnya para guru, perancang pembelajaran, dan pengembang
program-program pembelajaran memahami teori belajar behavioristik
mempunyai alasan sebagai berikut:
1) Membantu para guru, perancang pembelajaran dan pengembang
program-program pembelajaran untuk memahami proses belajar yang
terjadi di dalam diri peserta didik.
2) Mengerti kondisi dan faktor yang dapat mempengaruhi, memperlancar
atau menghambat proses belajar.
59

3) Memungkinkan untuk melakukan prediksi yang cukup akurat tentang


hasil yang dapat diharapkan suatu aktivitas belajar (Lindgren, Teoti
Sukamto, 1992: 14).

h. Aplikasi Teori Behavioristic


Adapun aplikasi dalam pembelajaran teori behavioristik dalam
merancang kegiatan pembelajaran adalah:
1) Menentukan tujuan pembelajaran.
2) Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk
mengidentifikasi pengaturan awal peserta didik.
3) Menentukan materi pembelajaran.
4) Memecah materi pembelajaran menjadi bagian-bagian kecil,
meliputi pokok bahasan, subpokok, bahasan topik dan sebagainya.
5) Menyajikan materi pembelajaran.
6) Memberikan stimulus.
7) Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan peserta didik.
8) Memberikan penguatan baik yang positif maupun negatif
(hukuman).
9) Memberikan stimulus baru.
10) Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan peserta didik.
11) Memberikan pengetahuan lanjutan atau hukuman.
12) Evaluasi hasil belajar (Suciati & Irawan, 2001: 31-32).

i. Kelebihan Teori Behavioristik


1) Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan
kondisi belajar.
2) Guru tidak biasa memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan
belajar mandiri.
3) Mampu membentuk suatu perilaku yang diinginkan untuk mendapat
pengakuan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat
penghargaan negatif yang didasari pada perilaku yang tampak.
60

4) Melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat


mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk
sebelumnya.
5) Bahan pelajaran yang telah disusun sesuai tingkatan dari yang
sederhana sampai yang kompleks dengan tujuan pembelajaran yang
dibagi-bagi menjadi kecil.
6) Dapat mengganti stimulus yang satu dengan yang lainnya dan
seterusnya sampai respons yang diinginkan muncul.
7) Cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktik
dan pembiasaan.
8) Cocok diterapkan untuk anak yang masih membutuhkan dominasi
peran orang dewasa, suka meniru, harus dibiasakan dan senang
dengan penghargaan langsung.

j. Kekurangan teori behavioristik


1) Sebuah konsekuensi untuk menyusun bahan pelajaran yang sudah
siap.
2) Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metode ini.
3) Murid cenderung pasif karena hanya sebagai pendengar dan
menghafal dalam proses pembelajaran.
4) Penggunaan hukuman karena dianggap cara yang efektif untuk
menertibkan siswa
5) Cenderung mengarahkan siswa berpikir linear, konvergen, dan
tidak kreatif.
6) Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, sehingga bersifat
mekanistik (sesuai prosedur atau aturan baku) dan hanya
berorientasi pada hasil yang bisa diamati dan diukur.
7) Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan
terjadinya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan karena
berpusat pada guru.
61

8. Teori Belajar Konstruktivistik


a. Pengertian Teori Belajar Konstruktif
Konstruktivistik atau Konstruktivisme berasal dari kata Konstruktif
dan isme. Konstruktif berarti bersifat membina, memperbaiki, dan
membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Indonesia berarti
paham atau aliran. Konstruktivistik merupakan aliran filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil
konstruksi kita sendiri. Pandangan konstruktifistik dalam pembelajaran
mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan
strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang
membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi.
Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivistik adalah suatu
upaya membangun tata susun hidup yang berbudaya modern.
Konstruktivistik merupakan landasan berpikir (filosofi) pembelajaran
konstektual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan
tidak secara tiba-tiba.
Tran Vui mengatakan bahwa teori konstruktivistik adalah sebuah
teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar
atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan
keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitas orang lain
(Thobroni, 2015:91). Sedangkan menurut Martin. Et. Al mengemukakan
bahwa Konstruktivistik menekankan pentingnya setiap siswa aktif
mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi
dan belajar sebelumnya dengan belajar baru.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan paradigma
pembelajaran, Konstruktifitas menyerukan perlunya partisipasi aktif
siswa dalam proses pembelajaran perlunya pengembangan siswa belajar
mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk
mengembangkan pengetahuannya sendiri.
62

b. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Konstruktivistik


Pada dasarnya tidak terdapat pendekatan strategi, metode, gaya
atau pola mengajar yang paling baik utnuk semua materi pelajaran, yang
ada adalah sesuai atau tidak dengan materi pelajaran pada waktu dan
kondisi pelaksanaannya. Oleh karena itu guru diharapkan menguasai
berbagai macam pendekatan, strategi, metode, gaya atau pola mengajar
sebab setiap pendekatan, strategi, metode, gaya atau pola mengajar
memiliki kelebihan dan kekurangan.
1) Kelebihan
Adapun kelebihan dari pembelajaran berdasarkan kontruktivistik
adalah sebagai berikut:
a) Memberikan kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan
gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa
sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa
memberikan penjelasan tentang penjelasannya.
b) Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang
telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan
gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka
tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai
fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan
memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
c) Memberi siswa untuk berfikir tentang pengalamannya. Ini dapat
mendorong siswa berfikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi
tentanng model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat
yang tepat.
d) Memberi kesempatan pada siswa untuk mencoba gagasan baru agar
siswa terdorong untuk memperoleh percaya diri dengan
menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun
yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan
berbagai strategi belajar.
63

e) Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka


setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan
siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
f) Memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung
siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari
kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

2) Kekurangan
Adapun kekurangan dari pembelajaran berdasarkan
Konstruktivistik adalah sebagai berikut:
a) Siswa mengkontruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa
hasil kontruksi siswa tidak cocok dengan hasil kontruksi para
ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
b) Konstruktivistik menanamkan agar siswa membangun
pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang
lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
c) Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua
sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan
dan kreativitas siswa.
d) Ketidaksiapan murid untuk merancang strategi, berfikir dan menilai
sendiri pengajaran berdasarkan pengalamannya sendiri. Tidak
semua murid mempunyai pengalaman yang sama, masalah ini
kadang menyebabkan aktivitas pengajaran menjadi tidak bermakna
bagi siswa.

c. Membandingkan Pembelajaran Tradisional dengan Kontstruktivistik


Pembelajaran Tradisional (konsep lama) sangat menekan
pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Pembelajaran tradisional
merupakan pembelejaran dimana secara umum, pusat pembelajaran
berada pada guru, dan menempatkan siswa sebagai objek dalam belajar.
64

Jadi, disini guru berperan sebagai yang serba bisa dan sumber belajar.
Pembelajaran tradisional ini dikenal dengan pembelajaran behavioristik.
Sistem pembelajaran tradisional memiliki ciri bawah pengelolaan
pembelajaran ditentukan oleh guru. Peran siswa hanya melakukan
aktivitas sesuai dengan petunjuk guru. Model tradisional ini lebih menitik
beratkan upaya atau proses menghabiskan materi peajaran, sehingga
model tradisional lebih berorientasi pada teks materi pelajaran. Guru
cenderung menyampaikan materi saja, masalah pemahaman atau kualitas
penerimaan materi siswa kurang mendapatka perhatian secara serius.
Sedangkan pembelajaran modern adalah salah satu hasil dari
pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang mengubah
konsepsi dan cara berfikir belajar manusia. Semakin meningkatnya
perkembangan teknologi dan informasi tersebut mengakibatkan teori
pembelajaran behavioristik dipandang kurang cocok lagi untuk
dikembangkan bagi anak didik sekolah. Oleh karena itu, muncul sebuah
teori pembelajaran Konstruktivistik sebagai jawaban atas berbagai
persoalan pembelajaran dalam masa kontemporer.
Teori konstruktivistik beranggapan bahwa pengetahuan tidak dapat
ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterprestasikan sendiri oleh
masing-masing individu. Pengetahuan juga merupakan sesuatu yang
sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus.
Dalam proses itu, keaktifan peserta didik sangat menentukan dalam
mengembangkan pengetahuannya. Ia harus aktif melakukan kegiatan,
aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal
yang dipelajari. Disisi lain, kenyataannya masih banyak peserta didik
salah menangkap apa yang diberikan oleh gurunya. Hal ini menunjukkan
bahwa pengetahuan tidak begitu saja dipindahkan, melainkan harus
dikontruksikan sendiri oleh peserta didik tersebut.
Peran guru dalam pembelajaran bukan pemindahan pengetahuan,
tetapi hanya sebagai fasilitator ia menyediakan stimulus baik berupa
strategi pembelajaran, bimbingan, dan bantuan ketika peserta didik
65

mengalamai kesulitan belajar, atau menyediakan media dan materi


pembelajaran agar peserta didik itu merasa termotivasi dan tertarik untuk
belajar sehingga pembelajaran menjadi bermakna hingga akhirnya
peserta didik tersebut mampu mengkontruksi sendiri pengetahuannya.

d. Teori Belajar Kontruktivistik Menurut Para Ahli


Saat ini, salah satu teori belajar yang banyak dipakai dalam proses
pembelajaran adalah Konstruktivistik. Diantara berbagai variasinya,
terdapat dua jenis Konstruktivistik yang paling menonjol yaitu
Konstruktifisme social (social constructivism) yang sering dikatakan
sebagai kelanjutan hasil kerja vygotsky serta kontruktivisme kognitif
(cognitive constructivism) yang dipercaya berakar pada hasil kerja Piaget.
1) Teori Belajar Kontruktivistik Kognitif Menurut Jean Piaget
Teori belajar kontruktivistik kognitif oleh Jean Piaget, yang
merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor
kontruktivistik. Yang mengatakan bahwa pengetahuan dibangun
dalam pikiran anak. Pandangan-pandangan Jean Piaget seorang
psikolog kelaharian Swiss (1896-1980), percaya bahwa belajar akan
lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif peserta didik. Peserta didik diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh
interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan
dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada
siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari
dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Belajar menurut teori konstruktivistik bukanlah sekedar menghafal,
akan tetapi proses mengkontruksi pengetahuan melalui pengalaman.
Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru,
akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilaaukan setiap
individu. Pegetahuan hasil dari “pemberian” tidak akan bermakna.
Adapun pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna
66

mendalam atau lebih dikuasai lebih lama tersimpan atau diingat dalam
setiap individu. Karena menurut pendekatan Konstruktivistik,
pengetahuan bukanlah tumpuan fakta dari suatu kenyataan yang
sedang dipelajari, melainkan sebagai kontruksi kognitif seseorang
terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang
lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu
pembentukan yang terus-menerus oleh seseorang yang setiap saat
mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari
pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada fikiran
orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru
bermaksud untuk mentransfor konsep, ide, dan pengetahuan tentang
sesuatu kepada siswa, pentransferan itu akan diinterprestasikan dan
dikontruksikan oleh siswa itu sendiri melalui pengalaman dan
pengetahuan mereka sendiri.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh
secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan,
perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka
aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak seimbangan dan keadaan
keseimbangan. Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan
kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun
kemampuan anak mengkontruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan
kematangan intelektual anak.

2) Teori Kontruktivistik Sosial Menurut Lev Vygotsky


Secara umum, pendekatan kontruktivistik sosial menekankan
pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu
dibangun dan dikontruksi secara bersama (mutual). Keterlibatan
67

dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk


mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka
berpartisipasi dalam pencarian bersama. Dengan cara ini, pengalaman
dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk
perkembangan pemikiran murid.
Vygotsky dalam (thobroni, 2015:115) mengungkapkan bahwa
teori belajar kontruktivistik merupakan kemampuan atau pengetahuan
berjenjang yang disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding berarti
memberikan kepada seseorang individu sejumlah bantuan selama
tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan
tersebut. Selanjutnya, memberikan kesempatan kepada anak untuk
mengambil alih tanggungjawab yang semakin besar tersebut setelah
mampu mengerjakannya sendiri. Terbagi kedalam tiga kategori
pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan masalah yaitu:
a) Siswa mencapai keberhasilan dengan baik.
b) Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan.
c) Siswa gagal meraih keberhasilan.
Scaffolding berarti upaya guru untuk membimbing siswa untuk
mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar
pencapaian siswa kejenjang yang lebih tinggi menjadi optimal. Maka
bagi Vygotsky, ada dua prinsip penting berkenaan dengan teori
kontruktivisme sosialnya, yaitu:
a) Mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial
yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai
kepada tukar-menukar informasi dan pengetahuan.
b) Zona of Proximal Development. Pendidik sebagai mediator
memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upaya
membangun pengetahuan, pengertian, dan kompetensi. Zona ini
adalah daerah antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbinga orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
68

e. Penerapan Kontruktivistik dalam Pembelajaran di Kelas


Guru selain sebagai fasilitator dan mediator di dalam kelas juga
berperan sebagai partner belajar siswa di kelas. Merancang
lingkungan di kelas, dimana siswa sebagai pusat kegiatan proses
belajar mengajar. Ada beberapa hal yang guru harus perhatikan dalam
menerapkan pembelajaran kontruktivistik dalam kelas, diantaranya:
1) Memberikan kebebasan terhadap siswa mengungkapkan dan
mengembangkan ide-idenya masing-masing sesuai dengan
persepsinya terhadap objek yang dipelajarinya.
2) Kelompok-kelompok siswa perlu dibangun untuk memberikan
kesempatan kepada siswa berbagi dengan siswa lainnya tentang ide
atau pengetahuan mereka satu sama lainnya sehingga tercipta
pengetahuan baru dari hasil diskusi dan pemahaman dari setiap
siswa.
3) Menganggap proses pembelajaran yang sama pentingnya dengan
hasil belajar.
4) Membangun rasa ingin tahu siswa melalui kajian dan eksperimen.

9. Teori Belajar Sosial


Teori belajar sosial merupakan perluasan teori belajar perilaku
(behavioristik) yang tradisional. Teori ini dikembangkan oleh Albert
Bandura (1969). Teori ini menerima sebagian besar prinsip teori belajar
perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada efek-efek isyarat
pada perilaku dan proses mental internal. Jadi, dalam teori belajar sosial kita
akan menggunakan penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan
kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dari orang lain.
Menurut Bandura (1977) dalam pandangan belajar sosial, “ manusia itu
tidak didorong oleh kekuatan kekuatan dari dalam dan juga tidak dipukul
oleh stimulus-stimulus lingkungan. Namun, fungsi psikologi diterangkan
sebagai Interaksi yang kontinu dan timbal balik dari determinan pribadi dan
69

determinan lingkungan (Dahar, 2011: 22). Teori belajar sosial menekankan


bahwa lingkungan lingkungan yang dihadapkan pada seseorang tidak
random, lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui
perilakunya.
70

BAB IV
PEMBELAJARAN MEMBACA DI KELAS RENDAH

A. Pembelajaran Membaca di Kelas Rendah


Membaca adalah memahami wacana tertulis. Membaca adalah proses
interaktif, yaitu suatu proses manakala pembaca terlibat dalam pertukaran
gagasan dengan penulis melalui teks. Pertukaran ini selalu memiliki tujuan dan
selalu terjadi dalam suatu konteks atau setting. Kemampuan pembaca dalam
memahami bahasa lisan menjadi prasyarat memahami wacana tulis (Burnes,
1985: 45). Hal ini juga didukung oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
menyatakan bahwa membaca merupakan melihat serta memahami isi dari apa
yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). Kegiatan membaca
meliputi membaca nyaring dan membaca dalam hati. Membaca nyaring adalah
kegiatan membaca yang dilakukan dengan cara membaca keras-keras di depan
umum. Sedangkan kegiatan membaca dalam hati adalah kegiatan membaca
dengan saksama yang dilakukan untuk mengerti dan memahami maksud atau
tujuan penulis dari media tertulis. Membaca dalam hati ada dua jenis yaitu: 1)
membaca ekstensif, dan 2) membaca intensif.
Adapula kerangka pemikiran mengenai pembelajaran membaca
permulaan dalam tinjauan teori Artikulasi Penyerta yang disajikan sebagai
berikut:
1. Keterampilan Membaca
Keterampilan membaca merupakan salah satu kemampuan literasi
yang mengacu pada bahasa tulis. Literasi dalam pengertian luas mencakup
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan
membaca yang ditargetkan di sekolah dasar dibagi menjadi dua tahapan,
yakni membaca permulaan dan membaca lanjut. Hartati, dkk (2006:137)
menyatakan bahwa di kelas I SD, pembelajaran membaca dan menulis pada
tingkat dasar/permulaan, yakni melek huruf artinya siswa mengenal huruf
atau lambang-lambang bunyi yang biasa digunakan untuk berkomunikasi.
Lebih lanjut Resmini dan Juanda (2007: 79) menyatakan di kelas 4 sampai 6

70
71

SD, siswa diarahkan pada keterampilan membaca lanjut atau membaca


pemahaman, dimana siswa mampu memahami, menafsirkan, menghayati
dan merespons bacaan yang tepat.

2. Teori Artikulasi Penyerta


Dalam kajian kebahasaan, teori artikulasi penyerta merupakan teori
yang dikaji dalam kajian fonologi. Fonologi merupakan ilmu yang mengkaji
dan mendeskripsikan bunyi bahasa, proses terbentuknya bunyi bahasa dan
proses perubahan bunyi bahasa. Marsono (1999: 109) membedakan proses
pengaruh bunyi karena artikulasi penyerta dapat dibagi menjadi:
a) Labialisasi, ialah pembulatan bibir pada artikulasi primer, sehingga
terdengar bunyi (w) pada bunyi utama tersebut.
b) Retrofleksi, ialah penarikan ujung lidah ke belakang pada artikulasi
primer, sehingga terdengar bunyi (r) pada bunyi utamanya.
c) Palatalisasi, ialah pengangkatan daun lidah ke arah langit-langit keras
pada artikulasi primer kecuali bunyi palatal dapat disertai palatalisasi.
d) Velarisasi, ialah pengangkatan pangkal lidah ke arah langit-langit lunak
pada artikulasi primer. Selain bunyi velar, bunyi-bunyi dapat divelarisasi.
e) Glotalisasi, ialah proses penyerta hambatan pada glotis sewaktu
artikulasi primer diucapkan.
Maka dalam tinjauan artikulasi penyerta dapat disimpulkan bahwa
bunyi yang umumnya diucapkan sama dan melalui daerah artikulasi yang
sama dapat berbeda bunyinya dikarenakan ada bunyi lain yang
menyertainya.

3. Pembelajaran Membaca Permulaan di Sekolah Dasar


Dalam Usaid Prioritas (2015: 32) program membaca di kelas awal
membutuhkan pendamping yang intensif oleh guru. Guru mulai
mengenalkan huruf, suku kata, kosakata dan kalimat. Tujuan dari program
ini membiasakan siswa giat membaca. Kebiasaan membaca akan
berkembang menjadi budaya membaca jika didukung oleh berbagai faktor,
72

seperti kondisi siswa, lingkungan belajar, ketersediaan bahan bacaan dan


dukungan orang tua. Pembelajaran membaca permulaan di SD hendaknya
dilakukan secara konkret dan bertahap, mulai dari yang sederhana hingga
kompleks.

B. Metode Membaca Permulaan


Mula-mula guru memperkenalkan huruf (abjad) kepada siswa a b c d e f
g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z. Selain yang dipasang di papan tulis,
masing-masing huruf tadi juga perlu ditulis dalam satu kartu (satu huruf satu
kartu). Guru memberikan contoh cara membaca huruf-huruf di atas, dan siswa
menirukan. Mula-mula bersifat klasikal (seluruh kelas), kemudian dipecah-
pecah lagi menjadi kelas separuh, seperempat kelas, per dua bangku akhirnya
perorangan, kembali dua bangku, seperempat kelas, separuh kelas, dan
kembali ke seluruh kelas. Apabila pengenalan huruf tadi sudah lancar maka
guru mulai bisa menugaskan beberapa siswa untuk mengambil huruf-huruf
tertentu dari kartu kartu huruf yang tersedia biarkan siswa mengenal huruf-
huruf itu tanpa makna karena tujuannya adalah mengenal dan memahami huruf
abjad lakukan kegiatan ini berulang-ulang sehingga siswa benar-benar
mengenal dan memahami huruf-huruf itu. Selanjutnya, sehingga dapat
ditingkatkan dengan membentuk kata. Pilih beberapa konsonan dan vokal yang
apabila digabungkan bisa menjadi kata yang bermakna. Misalnya m a m a.
Tempel atau tulis huruf m-a-m-a di papan tulis. Tunjukkan kepada siswa
bahwa kata itu dibaca mama. Kemudian tanyakan kepada siswa kata mama itu
terdiri dari huruf apa saja, dan arahkan agar siswa dapat menyimpulkan sendiri
bahwa apabila huruf M digabung dengan huruf a dibaca ma. Berikan contoh
yang lainnya misalnya: papa, nan, tata dll. Begitu seterusnya, guru mulai
menggabung-gabungkan konsonan dengan vokal sehingga seluruh vokal (a, i,
u, e, o ) bisa digunakan namun untuk konsonan tidak perlu diberikan semua
huruf x dan z lebih baik diberikan belakangan karena siswa bisa membaca
gabungan dua huruf konsonan vokal, susunan bisa diganti menjadi vokal-
73

konsonan. Misalnya am, an, as, dan lain-lain. Setelah ini baru bisa dilanjutkan
dengan 3 huruf (konsonan-vokal-konsonan). Misalnya: man, bas dan lain-lain.
Pengajaran membaca permulaan pertama bertujuan agar Siswa memiliki
pengetahuan dasar dapat digunakan sebagai dasar untuk membaca bahasa
Indonesia. Kedua pengajaran diarahkan untuk memperkuat kemampuan
berbahasa lisan siswa. Untuk sampai tujuan pertama diajarkan sistem bunyi
yang terdapat dalam bahasa, Pola tata bahasa sederhana, kosakata, makna
kata yang berhubungan dengan kalimat maupun wacana. Bahan pengajaran
diusahakan adalah bahan yang akrab dengan lingkungan siswa. Misalnya
tentang lingkungan keluarga lingkungan alam sekitar dimana anak
tinggal.Lingkungan budaya dimana anak tinggal. Bahan ajar seperti ini
dimaksudkan agar anak mudah memahami bahan ajar dan semakin memahami
lingkungan alam dan budayanya. Dalam Pelaksanaanya pembelajaran
membaca permulaan di bagi menjadi 5 yaitu:
1. Metode Abjad / Alfabet Metode abjad atau eja (spell method)
Metode abjad adalah metode membaca permulaan tertua. Metode ini
sudah jarang digunakan. Yang dimaksud dengan metode Abjad atau Alfabet
ialah metode pengajaran dengan memperkenalkan huruf yang harus
dihafalkan dengan dilafalkan menurut bunyinya dalam abjad. Huruf yang
telah dilafalkan itu kemudian dirangkaikan menjadi suku kata, suku kata
menjadi kata, dan kata akhirnya menjadi kalimat. Pelafalan tidak dilakukan
dengan cara fonetis. Misalnya huruf / b / dilafalkan /be/,/c/ dilafalkan /ce/, /d
dilafalkan / de / dan seterusnya.
Contoh:
Inimeri
i ni me ri
ini meri
Kebaikan metode ini adalah siswa yang memahami bentuk bahasa
yang paling sederhana. Yang dapat menghafal bunyi huruf yang ada dalam
abjad bahasa yang dipelajari. Disamping kebaikan metode ini juga memiliki
kelemahan sebagai berikut:
74

a. Mengalami kesulitan apabila menghadapi huruf yang baru karena


terbiasa menghafal.
b. Siswa mengalami kesulitan dalam membunyikan diftong dan kluster
karena kedua bunyi itu tidak terdapat dalam abjad.
c. Metode ini bertentangan dengan metode inkuiri yang justru sangat
ditekankan dalam pembelajaran.

2. Metode Bunyi (Klank Method)


Metode bunyi adalah pembelajaran membaca permulaan dengan
menyuarakan huruf konsonan dengan bantuan bunyi vokal tengah (pepet)
[e] atau vokal depan sedang [e] dalam bentuk grafem kedua bunyi bahasa
ini dilambangkan sama yakni huruf /e/. Bunyi bahasa tradisional huruf
konsonan disebut huruf mati. Misalnya huruf konsonan /b/ diucapkan atau
/eb/ atau /be/,/ed/ atau /de/,/es/, /ek/ dll. Karena proses pengerjaan ini
metode bunyi disebut juga metode eja.
Contoh:
Ini
I en i menjadi ini
Lukas
el u-> lu ek a es -> kas
lukas
Kebaikan metode ini adalah siswa mengenal tingkatan bentuk bahasa
yang paling sederhana. Di samping kebaikan metode ini juga memiliki
kelemahan sebagai berikut:
a. Siswa mengalami kesulitan menghadapi huruf yang baru karena terbiasa
menghafal
b. Siswa mengalami kesulitan dalam membunyikan diftong dan kluster
karena kedua bunyi itu tidak terdapat dalam abjad
c. Metode ini bertentangan dengan metode inkuiri yang justru sangat
ditekankan dalam pembelajaran
d. Siswa mengalami kesulitan dalam mengeja
75

e. Siswa kesulitan dalam membunyikan secara spontan.

3. Metode Suku Kata


Metode pembelajaran membaca permulaan berikutnya adalah metode suku
kata. Pembelajaran dimulai dengan menyajikan suku kata. Suku kata kemudian
dirangkai dengan tanda hubung menjadi kata. Suku kata dianalisis atau
dikupas menjadi huruf-huru. Huruf-huruf kemudian dirangkai menjadi suku
kata. Karena dalam penjelasannya terdapat kata kupas dan rangkai metode ini
dikenal pula dengan metode kupas rangkai.
Contoh:
i ni i - ni i ni bu ku lu si
bu ku bu-ku inibukulusi
lu si lu-si i ni bu ku lu si
i-ni bu-ku lu-si
Kebaikan metode ini siswa mengenal Unsur terkecil dari suatu kata yakni
Bunyi atau huruf. Kemudian mengenal suku kata sebagai unsur yang diatasnya
dan bagaimana suku kata dibunyikan. Kelemahan metode ini adalah siswa
mengalami kesulitan dalam membedakan antara suku kata dengan kata karena
pertentangan dengan kenyataan bahwa kata tidak ditulis dengan tanda hubung.

4. Metode Kata Lembaga


Metode kata lembaga merupakan metode peralihan antara metode bunyi
dengan metode global. Materi ajar dimulai dari kata yang dekat dengan anak
dipahami dan sering didengar. Karena dalam konsep seperti ini maka materi
ajar itu dalam bentuk gambar dan mana gambar di bawahnya. Misalnya
gambar seorang anak perempuan bernama Lusi atau Meri. Gambar bola dan
gambar-gambar yang lain. Di bawah gambar ditulis Meri atau Lusi. Di bawah
gambar bola di tulis kata bola. Pelaksanaan pembelajaran yang tersusun
sebagai berikut:
a. Disajikan beberapa gambar yang memenuhi syarat kedekatan, kepahaman,
dan sering didengar.
76

b. Dari gambar-gambar itu dipilih 1 atau 2 gambar yang akan dijadikan kata
lembaga
c. Kata yang telah dipilih diuraikan menjadi satu kata
d. Suku kata diuraikan menjadi huruf huruf
e. Huruf-huruf itu kemudian dirangkai menjadi suku kata kembali
f. Suku kata itu dirangkaikan menjadi kata
g. Kata dirangkaikan menjadi kalimat.
Demikian susunan atau urutan urutan pembelajaran metode kata lembaga
titik karena prosesnya mengupas dan merangkai metode ini juga dinamakan
metode kupas rangkai.
Contoh:
Mama Meri Ma ma me ri
mama Meri mama meri
ma ma me ri Mama meri
mamamerI Mama meri

5. Metode Global atau Kalimat


Metode global, metode ini mendasarkan pada teori bahwa sesuatu
pada awalnya dilihat secara utuh atau secara global. Bahasa dalam
wujudnya secara global berupa kalimat. Oleh karena itu pembelajaran
membaca permulaan diawali dari kalimat. Secara berurutan pembelajaran
metode global tersusun sebagai berikut:
a. Minggu-minggu awal anak masuk sekolah diperkenalkan beberapa
kalimat. Kalimat itu berupa kalimat yang akrab dengan anak. Kalimat-
kalimat itu dapat berupa cerita singkat yang mudah dipahami dan
dimengerti anak. Kalimat ditulis di papan tulis atau di alat peraga atau
pun melalui multimedia. Contoh kalimat: Ini Meri Ini mama Ini mama
Meri Mama Meri beli nasi
b. Kalimat tersebut setiap hari dibaca oleh guru dan ditirukan oleh siswa
sampai seluruh siswa benar-benar dapat menghafal dan membedakan
77

seluruh kalimat dan seluruh kata. Sangat baik jika kata dan kalimat
disertai gambar.
c. Setelah dapat membedakan kalimat dari kata anak akan berangsur-angsur
dapat membedakan suku kata kemudian membedakan huruf dan
bunyinya
d. Setelah dapat menghafal dan mengerti bunyi huruf siswa akan dapat pula
merangkai huruf menjadi suku kata koma suku kata dirangkaikan
menjadi kata dan kata dirangkaikan menjadi kalima.
Pada dasarnya metode Global hanya sampai pada anak mengenal huruf
saja. Proses selanjutnya merangkai tidak dianjurkan. Uraian di atas dapat
dijabarkan dalam materi ajar metode global seperti berikut:
Contoh:
Ini Meri ini mama
ini meri

6. Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik)


Menurut Momo dalam Darmiyanti Zuchdi dan Budiasih (2001, 63-66)
dalam pelaksanaanya, metode ini dibagi dalam dua tahap yaitu:
a. Tanpa buku, dan
b. Menggunakan buku
Pada tahap tanpa buku, pembelajarannya dilaksanakan dengan cara;
1) Merekam bahasa anak
2) Menampilkan gambar sambil bercerita
3) Membaca gambar
4) Membaca gambar dengan kartu kalimat
5) Membaca kalimat struktural
6) Proses analitik
7) Proses sintetik
Penelitian ini menggunakan metode global. Depdiknas (2000:6)
mendefinisikan bahwa metode global adalah cara belajar membaca kalimat
secara utuh. Metode ini didasarkan pada pendekatan kalimat dengan cara
78

guru mengajarkan membaca dengan menampilkan kata atau kalimat di


bawah gambar atau tidak menggunakan gambar kemudian siswa
menguraikan kalimat menjadi kata, menguraikan kata menjadi suku kata,
dan menguraikan suku kata menjadi huruf. Langkah-langkah penerapan
metode global adalah sebagai berikut:
a. Siswa membaca kata/kalimat dengan bantuan gambar, namun jika siswa
sudah lancar tidak perlu menggunakan bantuan gambar. Misalnya: ini
budi.
b. Menguraikan kalimat dengan kata-kata: /ini//budi/
c. Menguraikan kata-kata menjadi suku kata; i-ni-bu-di
d. Menguraikan suku kata menjadi huruf-huruf: ini d-i
Dalam pelaksanaan pengajaran membaca, guru seringkali dihadapi
pada anak yang mengalami kesulitan belajar membaca khususnya di kelas
rendah. Kesulitan- kesulitan tersebut antara lain:
a. Kurang mengenali huruf
Ketidakmampuan anak dalam mengenal huruf- huruf alfabet sering kali
dijumpai oleh guru yang sulit membedakan huruf besar/kapital dan huruf
kecil.
b. Membaca kata demi kata
Jenis kesulitan ini biasanya berhenti membaca setelah membaca sebuah
kata, tidak segera dikut dengan kata berikutnya. Hal ini disebabkan oleh:
1) Gagal menguasai keterampilan pemecahan kode (decoding)
2) Gagal memahami makna kata,
3) Kurang lancar membaca.
c. Pemparafase yang salah.
Dalam membaca anak seringkali mela pemenggalan (berhenti membaca)
pada tempat y baca) pada tempat yang tanda baca tidak tepat atau tidak
memperhatikan khususnya tanda koma.
d. Miskin pelafalan
Ketidak tepatan pelafalan kata disebabkan anak tidak menguasai bunyi-
bunyi bahasa (fonem).
79

e. Penghilangan
Penghilangan yang dimaksud adalah menghilangkan (tidak dibaca) kata
atau frasa dari teks yang dibacanya. Biasanya disebabkan
ketidakmampuan anak mengucapkan huruf-huruf yang membentuk kata.
f. Pengulangan Kebiasaan anak mengulangi kata atau frasa dalam
membaca disebabakan oleh faktor tidak mengenali kata, kurang
menguasai huruf, bunyi, atau rendalh keterampilannya
g. Pembalikan
Beberapa anak melakukan kegiatan membaca dengan menggunakan
orientasi dari kanan ke kiri. Kata nasi dibaca isan. Selain itu, pembalikan
juga dapat terjadi dalam membunyikan huruf-huruf, misal huruf b dibaca
d, huruf p dibaca g. Kesulitan ini biasanya dialami oleh anak-anak kidal
yang memiliki kecenderungan menggunakan orientasi dari kanan ke kiri
dalam membaca dan menulis.
h. Penyisipan
Kebiasaan anak untuk menambahkan kata atau frase dalam kalimat yang
dibaca juga dipandang sebagai hambatan dalam membaca, misalnya,
anak menambah kata seorang dalam kalimat "anak sedang bermain
i. Penggantian
Kebiasaan mengganti suatu kata dengan kata lain disebabkan
ketidakmampuan anak membaca suatu kata, tetapi dia tahu dari makna
kata tersebut. Misalnya, karena anak tidak bisa membaca kata
mengunyah maka dia menggantinya dengan kata makan.

j. Menggunakan gerak bibir, jari telunjuk dan menggerekan kepala


Kebiasaan anak menggerakkan bibir, menggu telunjuk dan menggerakan
kepala sewaktu mem dapat menghambat perkembangan anak membaca
unakan baca dalam
k. Kesulitan konsonan
Kesulitan dalam mengucapkan bunyi tertentu dan huruf yang
melambangkan tersebut
80

l. Kesulitan vocal
Dalam bahasa Indonesia, beberapa vokal dilambangkan dalam satu huruf,
misalnya e selain melambangkan bunyi e juga melambangkan bunyi é
(dalam kata keras, kepala, kerang, telah dan sebagainya) huruf-huruf
yang melambangkan beberapa bunyi seringkali menjadi sumber kesulitan
anak dalam membaca
m. Kesulitan kluster, diftong dan digraph
Dalam bahasa Indonesia dapat dijumpai adanya kluster (gabungan dua
konsonan atau lebih), diftong (gabungan dua vokal), dan digraf (dua
huruf yang melambangkan satu bunyi). Ketiga hal tersebut merupakan
sumber kesulitan anak yang sedang belajar membaca
n. Kesulitan menganalisis struktur kata
Anak seringkali mengalami kesulitan dalam mengenali suku kata yang
membangun suatu kata. Akibatnya anak tidak dapat mengucapkan kata
yang dibacanya.
o. Tidak mengenali makna kata dalam kalimat dan cara mengucapkannya.
Hal ini disebabkan kurangnya penguasan kosakata, kurangnya
penguasaan struktur kata dan penguasaan unsur konteks (kalimat dan
hubunga antar kalimat).
p. Bimbingan terhadap anak yang kesulitan mengucapkan bunyi konsonan
dapat dilakukan bimbingan antara lain:
 Kembangkan anak dalam mendengarkan konsonan yang sulit
misalnya tuliskan kata-kata yang dimulai dengan konsonan (depan,
adat, dapat, diri dan sebagainya).
 Menyuruh anak mencari dan mengumpulkan kata yang didalamnya
terkandung konsonan tersebut.
 Latih anak mengucapkan kata-kata yang didalamnya terkandung
konsonan.
q. Bimbingan terhadap anak yang mengalami kesulitan vocal dapat
dilakukan bimbingan antara lain:
81

 Tanamkan pengertian pada diri anak bahwa huru huruf tertentu dalam
melambangkan lebih daristu bunyi misalnya : huruf e dapat melamba
bunyi e dan é.
 Berikan contoh huruf e yang melambangkan bunyi e dan é dalam
kata-kata
 Ajaklah anak mengumpulkan kata yang didalamnya terkandung huruf
tersebut.

C. Membaca Permulaan Huruf, Suku Kata, Kata dengan Kalimat yang


Tepat
Pembelajaran permulaan lebih ditekankan pada pengembangan
kemampuan dasar membaca. Peserta didik dituntut untuk dapat menyuarakan
huruf, suku kata, kata dan kalimat yang disajikan dalam bentuk tulisan kedalam
bentuk lisan (Sabarti Akhadiah, dkk. 1993: 11). Contoh:
 huruf a dibaca a
 huruf b dibaca be
 huruf c dibaca ce
 suku kata ba dibaca ba bukan bea
 suku kata bu dibaca bu bukan beu
 kata baju dibaca baju bukan beajeu
 kalimat itu buku dibaca itu buku bukan iteu beukeu.

D. Langkah-Langkah Pembelajaran
Sebelum kegiatan belajar-mengajar dimulai, ada beberapa hal yang perlu
disiapkan oleh guru, yaitu:
1. Guru mempersiapkan sumber bahan ajar, khususnya buku ajar. Guru juga
bisa mneggunakan sumber lain misalnya kalimat-kalimat sederhana yang
dibuat guru dalam kertas agak besar disertai gambar.
2. Guru membaca dan memahami standar kompetensi dan kompetensi dasar
materi yang akan diajarkan dan menjabarkannya sehingga materi yang akan
diajarkan jelas, rinci, serta mudah dipahami peserta didik.
82

3. Guru mempelajari dan memahami materi yang akan diajarkan dengan


mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar dan pada buku
ajar. Guru harus memahami konsep kalimat sederhana, cara pelafalan, dan
intonasi.
4. Guru mempersiapkan metode dan teknik pembelajaran yang tepat untuk
digunakan dalam menyajikan materi yang diajarkan.

E. Membaca Nyaring Kalimat Sederhana dengan Lafal dan Intonasi yang


Tepat
Membaca nyaring adalah kegiatan membaca dengan menyuarakan tulisan
yang dibacanya dengan ucapan dan intonasi yang tepat agar pendengar dan
pembaca dapat menangkap informasi yang disampaikan oleh penulis.
Keterampilan yang dituntut dalam membaca nyaring adalah berbagai
kemampuan diantaranya: menggunakan ucapan yang tepat, menggunakan frase
yang tepat, menggunakan intonasi suara yang wajar, dalam posisi sikap yang
baik, menguasai tanda baca, membaca dengan terang dan jelas, membaca
dengan penuh perasaan satu ekspresif, membaca dengan tidak terbata-bata,
mengerti serta memahami bahan bacaan yang dibacanya, kecepatan bergantung
pada bahan bacaannya, membaca dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri.
Kalimat sederhana adalah kalimat yang pendek, yaitu kalimat yang
terdiri atas 2-5 kata. Pola kalimat yang dimiliki oleh kalimat sederhana adalah
subjek (s) dan predikat (p). Unsur kalimat lainnya seperti objek, keterangan,
dan pelengkap tidak selalu ditemukan dalam kalimat sederhana. Contohnya: (1)
Budi lari, (2) Nani lupa.
1. Proses pembelajaran
a. Guru memberitahukan materi yang akan diajarkan: pada bagian diatas,
peserta didik sudah dapat membaca suku kata dan kata dengan lafal yang
tepat. Peserta didik diharapkan sudah dapat merangkai kata-kata itu
hingga dapat membaca kalimat-kalimat sederhana juga dengan intonasi
yang tepat.
83

b. Guru memberikan contoh materi sesuai SK/KD: membaca kalimat


sederhana dengan intonasi yang tepat harus diawali dengan contoh-
contoh yang diberikan guru. Adapun langkah-langkah yang bisa
dilakukan sebagai berikut:
1) Guru memberikan kalimat-kalimat sederhana yang terdiri dari subjek
+ predikat atau subjek + predikat + objek.
Misalnya:
 Budi minum
 Wati lari
2) Guru membacakan kalimat demi kalimat dengan lafal dan intonasi
yang tepat.
3) Peserta didik mengikuti kalimat yang dibacakan guru.
4) Guru mengulangi membaca kalimat bila masih ada peserta didik
yang belum fasih mengucapkan lafal dan intonasi yang tepat.
5) Dalam membaca perhatikan jeda (perhentian).
6) Membaca dengan pelan-pelan, fasih mengucapkan lafal dan
intonasi yang tepat.
c. Guru membimbing peserta didik mendalami materi: guru menunjuk
peserta didik yang dianggap kurang baik dalam melafalkan kalimat dan
mengucapkan intonasi kalimat. Setelah peserta didik mampu membaca
dengan intonasi dengan tepat, guru memberikan kalimat sederhana
dengan pola S+P+O. Misalnya:
 Ibu menjahit baju
 Kakak lari pagi
 Adik meminjam baju
 Budi minum susu
Harap diperhatikan agar guru membaca tidak cepat. Bila ada jeda
dalam kalimat, sebaiknya guru berhenti dulu membaca.
d. Guru memberikan pelatihan kepada peserta didik: dalam kegiatan ini,
guru harus aktif membuat kalimat-kalimat dengan tingkat kesulitan
bertahap.
84

e. Guru mengevaluasi kemampuan siswa: guru memberikan penilaian


tentang cara membaca peserta didik, baik dari segi kelancarannya
maupun dari segi intonasi.

F. Membaca Lancar Beberapa Kalimat Sederhana dan Membaca Nyaring


Teks Dengan Lafal dan Intonasi yang Tepat
Adapun yang dimaksud dengan intonasi adalah lagu kalimat. Intonasi
atau lagu kalimat berita- yang ditandai oleh tanda titik (.) berbeda dengan
intonasi lagu kalimat tanya- yang ditandai oleh tanda tanya (?). hal itu berbeda
pula dengan intonasi lagu atau lagu kalimat perintah yang ditandai oleh tanda
seru (!). Misalnya:
Namaku Krishna. (kalimat berita)
Namamu siapa? (kalimat tanya)
Tolong buka pintu! (kalimat seru)

Dalam intonasi terkandung pula jeda. Jeda adalah perhentian dalam


sebuah kalimat, atau perhentian antara kalimat yang satu dengan berikutnya.
Karena itu jeda dibagi menajdi dua, yaitu (a) jeda pendek dan (b) jeda panjang.
Jeda pendek digunakan ketika kita mengucapkan sebuah kata atau beberapa
kata yang membentuk satu kesatuan. Jeda pendek juga digunakan bila dalam
kalimat terdapat tanda koma (,). Jeda pendek ditandai oleh tanda (/). Sementara
itu, jeda panjang digunakan ketika kita akan berganti dari kalimat satu ke
kalimat berikutnya. Jeda panjang dalam hal ini ditandai oleh tanda (//). Jeda
kalimat-kalimat diatas adalah sebagai berikut.
Namaku / Krishna
Namamu / siapa?
Tolong / buka/ pintu/!

G. Membaca Nyaring Lanjutan


1. Pengantar
85

Membaca nyaring atau membaca bersuara merupakan jenis g


menuntut persyaratan uang ketat. Membaca nyaring bukan seedar jika hal
ini yang terjadi maka pemahaman akan materi yang dibaca akan gagal
diperoleh.
Membaca nyaring atau membaca bersuara merupakan kelanjutan dari
membaca permulaan. Pada membaca permulaan tekanan ada pada
kelancaran dan ketepatan penyuaraan huruf, pada membaca nyaring atau
membaca bersuara difokuskan pada tekanan kata, lagu kalimat atau intonasi,
jeda dan menguasai tanda baca. Keempatnya harus tepat, jika ketepatan
diabaikan, maka murid akan mengalami kesulitan pada waktu membaca
dalam hati atau membaca intensif. Mereka hanya bisa membaca tetapi sulit
menemukan pemahaman yang dikandung dalam bacaan.
Beberapa keuntungan yang dapat diambil dari kegiatan membaca
nyaring yang dilakukan oleh siswa seperti diuraikan di bawah ini:
a. Dalam mengevaluasi kemajuan kemampuan keterampilan membaca
dalam intonasi, tekanan kata, pemenggalan kata, pemenggalan frasa
danuntuk menemukan kebutuhan pengajaran yang spesifik.
b. Membaca nyaring memberikan latihan berkomunikasi lisan untuk
pembaca dan meningkatkan kemampuan menyimak untuk pendengarnya.
c. Membaca nyaring dipakai untuk latihan berdialog, memerankan pelaku
yang terdapat dalam cerita.
d. Membaca nyaring adalah media guru dalam membimbing secara bijak,
bisa digunakann untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian dir pada
anak yang pemalu.
Hasil penelitian yang dilakukan o;leh Rothlein dan Meinbach (1993)
menunjukkan bahwa membaca nyaring dapat meningkatkan keterampilan
berbahasa lainnya, membantu perkembangan anak mencintai buku dan
membaca cerita sepanjang hidupnya. Pendapat yang mirip disampaikan oleh
Cox (1999), membaca ,menyaring untuk anak-anak yang dilakukan setiap
hari merupakan sesuatu yang penting untuk mengajar mereka menyimak,
berbicara atau menulis.
86

Gruber (1993) menyampaikan lebih rinci manfaat membaca nyaring


untuk anak seperti disampaikan dibawah:
a. Memberikan contoh proses membaca secara positif
b. Mengekspos siswa untuk memperkaya kosa kata
c. Memberi siswa informasi baru
d. Mengenalkan kepada siswa berbagai aliran sastra.
e. Memberi siswa kesempatan menyimak dan menggunakan daya
imajinasinya.

2. Hakikat Membaca Nyaring


Membaca bersuara menyangkut tiga istilah, yaitu: reading alound,
oral reading dan reading out loud. Membaca nyaring adalah kegiatan
membaca dengan bersuara dan memperhatikan struktur kata (kata, kata
majemuk dan frasa) dan kalimat, lafal, intonasi dan jeda.

3. Peningkatan Keterampilan Membaca Nyaring


Hasil pengamatan terhadap pembaca yang mengalami kesulitan dalam
membaca nyaring diperoleh simpulan dalam tekanan kata, lagu kalimat atau
intonasi, jeda dan penguasaan tanda baca.
Di bawah ini disampaikan kopetensi yang harus diperhatikan oleh
guru dalam pembelajaran membaca nyaring diambil dari tarigan tahun
(1984).
Kelas I
a. Menyuarakan huruf dengan tebal dan lancar
b. Menyuarakan kata dengan tepat dan lancar
c. Mempergunakan intonasi yang wajar

Kelas II
a. Membaca dengan terang dan jelas
b. Membaca dengan penuh peraaan dan ekspresi
c. Membaca dengan tanpa tertegun-tegun, terbata-bata
87

d. Menguasai tanda baca sederhana


1) Titik(.)
2) Koma (,)
3) Tanda tanya (?)
4) Tanda seru (!)

Kelas III
a. Membaca dengan penuh perasaan dan ekspresi
b. Mengerti serta memahami bahan bacaan

Kelas IV
a. Memahami bacaan pada tingkat dasar
b. Kecepatan mata dan suara : 3 kata dalam satu detik

Kelas V
a. Membaca dengan pemahaman dan perasaan
b. Aneka kecepatan membaca dalam berbagai jenis bacaan
c. Dapat membaca tanpa terus menerus melihat bahan bacaan

Kelas VI
a. Membaca nyaring dengan penuh ekspresi/perasaan
b. Membaca nyaring dengan penuh percaya diri
c. Mempergunakn frasa atau makna majemuk yang tepat
d. jenis membaca nyaring
Pembelajaran membaca nyaring yang dapatditerapkan dikelas cukup
beragam. Ada reading alound, shared reading, guided readin, membaca
bersama, pidato dengan teks.
1) Reading aloud
Kegiatan membaca ini dilakukan oleh guru untuk siswanya atau dengan
kalimat lain guru membaca sisa mendengarkan. Jenis pembelajaran
seperti ini diterapkan dikelas rendah dan taman kanak-kanak dengan
88

menggunakan sumber bacaan dari buku atau teks bacaan lain. Meski
demikian kegiatan reading aloud juga dapat diterapkan di kelas tinggi
jika diperlukan bahkan di tingkat SLTP.
2) Shared reading
Shared reading adalah jenis kegiatan membaca nyaring yang dilakukan
antar guru dan siswa. Alam kegiatan ini antara guru dan siswa memegang
buku yang sama. Kegiatan membaca ini dapat dilakukan dikelas rendah
maupun dikelas tinggi.
3) Guided reading
Guided reading adalah salh satu jenis kegiatan membaca nyaring yang
memfungsikan guru sebagai pembimbing, pengamat dan
fasilitator.meskipun kegiatannya membaca nyaring namun penekananya
lebih kepada pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan.
Seluruh siswa membaca teks yang sama dengan guru kemudian
mendiskusikannya. Guru mengajukan peranyaan dan siswa menjawab
dengan kritis. Pertanyaan harus dibuat secara proposional. Kegiatan
demikian merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dilakukan
dalam kelas.

4. Memilih Bacaan
Kepentingan membaca bagi manusia dicanagkan oleh tuhan. Perintah
membaca oleh tuhan ini dikemas dalam ayat yang pertama kali diturunkan
Tuhan.dalam surat ini yakni al-alaq tertera lima ayat penting aturan
membaca bagi umat manusia untuk mencapai keberhasilan didunia maupun
diakhirat.
Banyak manfaat yang dapat dipetik dari kegiatan membaca. Manfaat
membaca bisa diperoleh oleh siapa saja dan dari tulisan apa saja. Sederetan
manfaat membaca dapat diuraikan seperti dibawah ini:
a. Mengusir rasa cemas dan gundah gulana
b. Tidak akan terjatuh kedalam lembah kebodohan
c. Menjernihkan pikiran
89

d. Mencari dan membentuk jati diri


e. Belajar bercakap dan berkata-kata
f. Mengisi dan memperbanyak memori, dsb
Memperoleh manfaat membaca tidak selamanya positif dan baik
akibatnya. Oleh karena itu, sebagai orang yang berpendidikan yang
menginginkan kemajuan harus berpikir cerdas. Bukankah hilangnya rasa
cemas dan gundah gulana, terhindar dari kebodohan pastilah hal yang baik.
Namun, bagaimana jika hilangnya pikiran yang jernih dan hilangnya
kegundahan hanya menjadikan seorang penghayal. Hilangnya kegundahan
hanya menjdikan seorang menjadi pemalas. Serta jati diri yang terbentuk
menjauhkan manusia dari penciptanya? Sekarang ini sangat mudah
mendapatkan media cetak di masyarakat. Beraneka ragam bentuk, jenis,
tema serta visi dan misinya. Kesalahan memilih bahan bacaan akan
berakibat fatal bagi diri pembaca dan juga masyarakat secara umum. Oleh
karena itu memilih bacaan yang tepat serta baik dan benar sangatlah
penting, baik di lingkungan anak-anak maupun remaja serta dewasa
sekalipun. Orangtua dan guru memiliki peran yang sangat penting dalam hal
ini khususnya tanggungjawab yang lebih dalam mengawasi kegiatan
anakny, terutama dalam orientasi hidup dan kegiatannya di dunia.
BAB V
PEMBELAJARAN MENULIS DI KELAS RENDAH

F. Pengertian Pembelajaran Menulis Permulaan


Pelajaran menulis awal harus dikuasai oleh pembelajar sekolah dasar
terutama pada awal pembelajaran mereka (di kelasa 1). Karean itulah
kedudukan pelajaran menulis awal pelajaran sangat penting di sekolah dasar.
Penguasaan (mastery) dari pelajaran menulis awal menjadi salah satu faktor
penting keberhasilan penguasaan pelajaran lainnya. Sebaliknya kegagalan
pelajaran menulis awal akan berakibat pada kegagalan penguasaan pelajaran
lainnya. Pelajaran menulis awal berkaitan dengan kemampuan matematika
karena pelajaran-pelajaran matematika pun melibatkan kegitan menulis dan
mencatat. Pelajaran menulis pun berkaitan dengan pelajaran ilmu pengetahuan
sosial, ilmu pengetahuan alam, dan pelajaran lainnya karena dalam setiap mata
pelajaran menuntut kemampuan menulis.
Telah diketahui secara umum bahwa pelajaarn menulis akan sangat
berkaitan dengan membaca, sebagaimana pelajaran menyimak akan sangat
berkaitan dengan berbicara. Hal ini berkaitan dengan catur tunggal yang
dikemukakan Tarigan (1983) selain itu kaitan menulis dengan membaca ini
pun relevan dengan kurikulum terintegrasi sesuai penjelasan kurikulum (2013).
Bila seorang mempunyai keterampilan membaca, ia tentu ajan cenderung
(mudah) mengusai keteramplan menulis. Sebalknya, bila seorang pembelajar
tidak menguasai keterampilan membaca, ia tentu akan merasa kesulitan
menguasai keterampilan menulis.
Menulis adalah melahirkan pikiran atau gagasan, (seperti mengarang,
membuat surat) dengan tulisan ( kamus besar bahasa Indinesia, 1993: 968).
Menurut pengertian ini menulis merupakan hasil, yaitu melahirkan pikiran
dalam perasaan kedalam tulisan. Menulis atau mengarang adalah proses
menggambarkan suatu bhasa sehingga pesan pesan yang dosampaikan pennulis
dapat dipahami pembaca (Tarigan, 1986: 21) dari pengertian menulis tersebut

90
91

di atas daat disimpulkan bahwa menulis adalah proses mengungkapkan


gagasan, pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan.
Banayak hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran menulis pada
tingkat awal. Menulis pada tingat awal ini tidak mudah, dikanakan siswa pada
tingkat tersebut belum memiliki bekal pengetahuan yang cukup.
Kemampuan menulis diajarkan pada kelas I sampai kelas IV. Disekolah
dasar menulis dibagi menjadi dua bagaian, yaitu menulis permulaan yang
diajarkab di kelas I dan II, menulis lanjut, di ajarkan di kelas III, IV, V, VI .
Kemampuan menulis merupakan salah satu jenis kemampuan berbahsa
tuis yang bersifat produktif yang merupakan kemampuan yang menghasilkan
tulisan. Menulis merupakan kegiatan yang memerlukan kemampuan yang
bersifat kompleks, yaitu kemampuan berfikir secara teratur dan logis,
kemampuan mengungkapkan pikiran atu gagasan secara jelas dengan
mengguanakan bahasa yang efektif, dan kemampaun menerapakan kaiadah
tulis- menulis dengan baik.
Sebelum pada tingkat mampu menuliis, siswa harus mulai dari tingkat
awal, tingkat permulaan, mulai dari pengenalan lambang – lambang bunyi.
Pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh pada tingkat permulaan pada
pembelajaran menulis permulan tersebut, akan menjadi dasar peningkatan dan
pengembanagn kurikulum siswa selanjutnya. Apabila dasar tersebut baik dan
kuat mkaa dapat diharapkan hasil pengembangannya pun akan baik pula, dan
apabila dsar itu kurang baik atau lemah, maka dapat diperkirakan hasil
pengembangannya kurang baik pula.
Pelajaran menulis awal dapat di integrasikan dengan membaca awal,
penegnalan huruf-huruf dapat dimulai dengan membaca atau mengenal huruf-
huruf. Pelajaran menulis awal menjadi dasar yang sangat penting bagi
pelajaran menulis lanjut.
Penilitian telah dilakukan kepada pembelajar Pendidikan Guru Sekolah
Dasar (mahasiswa PGSD) berkenaan dengan menulis awal, karean para
pembelajar PGSD mahir menulis dengan tangan kanan, mereka diminta untuk
92

belajar menulis dengan tangan kiri. Urutan pelajarn menulis awal dilakuakan
sebagai berikut.
1. Penegnalan huruf dengan lagu ABC
2. Nengang pensil
3. Menggoreskan pensil (miring, tegak, datar, lingkaar)
4. Urutan pengenalan huruf c, d, g, ,j, y.
5. Asosisi huruf
6. Kreasi kata/ kalimat awal.

G. Metode yang Digunakan dalam Pembelajran Menulis Permulaan


Dalam pembelajaran menulis ada beberapa metode yang dapat digunakan
antara lain :
1. Metode Eja
Metode eja di dasarkan pada penedekatan harfiah, artinya belajar
membaca dan menulis dimulai dari huruf-huruf yang dirangkaikan menjadi
suku kata. Oleh karena itu pengajaran dimulai dari pengenalan huruf-huruf.
Demikian halnya dengan pengajaran menulis dimulai dari huruf lepas,
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menulis huruf lepas.
b. Merangkaikan huruf lepas menjadi suku kata.
c. Merangkaikan suku kata menjadi kata.
d. Menyusun kata menjadi kalimat.
Pembelajaran membaca dan menulis permulaan dengan metode ini
memulai pengajarannya dengan memperkenlkan huruf-huruf secara
alpabetis. Huruf-huruf tersebut dihafalkan dan dilafalkan anak sesuai
dengan bunyinya menurut abjad. Sebagai contoh A/a, B/b, C/c, D/d, E/e,
F/f, dan seterusnya, dilafalkan sebagai [a], [be], [ce], [de], [ef], dan
seterusnya. Kegiatan ini diikuti dengan latihan menulis lambang, tulisan,
seperti a, b, c, d, e, f, dan seterusnya atau dengan huruf rangkai a, b, c, d,
dan seterusnya.
93

Setelah melalui tahapan ini, para siswa diajak untuk berkenalan


dengan suku kata dengan cara merangkaikan beberapa huruf yang sudah
dikenalnya.
Misalnya: b, a, d, u menjadi b-a → ba (dibaca atau dieja /be-a/ → [ba ])
d-u→ du (dibaca atau dieja /de-u/ → [du])
ba-du dilafalkan → /badu/
b, u, k, u menjadi b-u → bu (dibaca atau dieja /be-u/ → [bu] )
k-u → ku (dibaca atau dieja / ke-u/ → [ku] )

Proses ini sama dengan menulis permulaan, setelah anak-anak bisa


menuliskan huruf-huruf lepas, kemudian dilanjutkan dengan belajar menulis
rangkaian huruf yang berupa suku kata. Sebagai contoh, ambillah kata
‘badu’ tadi. Selanjutnya, anak diminta menulis seperti ini: ba – du → badu.
Proses pembelajaran selanjutnya adalah pengenalan kalimat-kalimat
sederhana. Contoh-contoh perangkaian huruf menjadi suku kata, suku kata
menjadi kata, dan kata menjadi kalimat diupayakan mengikuti prinsip
pendekatan spiral, pendekatan komunikatif, dan pengalaman berbahasa.
Artinya, pemilihan bahan ajar untuk pembelajaran MMP hendaknya dimulai
dari hal-hal yang konkret menuju hal-hal yang abstrak, dari hal-hal yang
mudah, akrab, familiar dengan kehidupan anak menuju hal-hal yang sulit
dan mungkin merupakan sesuatu yang baru bagi anak.
Kelemahan yang mendasar dari penggunaan metode eja ini meskipun
murid mengenal mengenal dan hafal abjad dengan baik, namun dia tetap
mengalami kesulitan dalam mengenal rangkaian-rangkaian huruf yang
berupa suku kata atau pun kata. Anak yang baru mulai belajar 17 membaca,
mungkin akan mengalami kesukaran dalam memahami sitem pelafalan
bunyi /b/ dan /a/ menjadi [ba], bukan [bea]. Bukankah huruf /b/ dilafalkan
[be] dan huruf /a/ dilafalkan [a]. Mengapa kelompok huruf /ba/ dilafalkan
[ba], bukan [bea], seperti tampak pada pelafalan awalnya? Hal ini, tentu
akan membingungkan anak. Penanaman konsep hafalan abjad dengan
menirukan bunyi pelafalannya secara mandiri, terlepas dari konteksnya,
94

menyebabkan anak mengalami kebingungan manakala menghadapi


bentukan bentukan baru, seperti bentuk kata tadi.
Di samping hal tersebut, hal lain yang dipandang sebagai kelemahan
dari penggunaan metode ini adalah dalam pelafalan diftong dan fonem-
fonem rangkap, seperti /ng/, /ny/, /kh/, /ai/, /au/, /oi/, dan sebagainya.
Sebagai contoh, kita ambil fonem /ng/. Anakanak mengenal huruf tersebut
sebagai [en] dan [ge]. Dengan demikian, mereka berkesimpulan bahwa
fonem itu jika dilafalkan akan menjadi [en-ge] atau [neg] atau [nege].

2. Metode Kata Lembaga


Metode kata lembaga didasarkan atas pendekatan kata, yaitu cara
memulai mengajarkan membaca dan menulis permulaan dengan
menampilkan kata-kata. Metode kata lembaga memulai mengajar membaca
dan menulis permulaan dengan mengenalkan kata, menguraikan kata
menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf, kemudian menggabungkan
huruf menjadi suku kata, dan suku kata menjadi kata, selanjutnya
memvariasikan huruf yang sudah dikenal menjadi suku kata dan kata lain.
Metode kata lembaga memulai mengajar membaca permulaan dengan
mengenalkan kata, menguraikan kata menjadi suku kata, suku kata menjadi
huruf, kemudian menggabungkan huruf menjadi suku kata, dan suku kata,
dan suku kata menjadi kata dan selanjutnya memvariasikan huruf yang
sudah dikenal menjadi suku kata dan kata lain. (H Djauzah Ahmad,
Depdikbud, 1995 / 1996: 5).
Langkah-langkah mengajar membaca menulis permulaan dengan
metode kata lembaga :
a. mengenalkan kata, misalnya : mina
b. menguraikan kata atas suku-sukunya, misalnya : mi – na
c. menguraikan suku kata atas huruf-hurufnya, misalnya : m – i – n – a
d. menggabungkan huruf dengan kata, misalnya : mina
memvariasikan huruf-huruf m, i, n, a menjadi suku kata dan kata
lain misalnya: m, i, n, a a dilafalkan a m dengan i ditambah n dibaca min
95

kalau disatukan menjadi amin. (H Djauzah Ahmad, Depdikbud, 1995 /


1996: 26)
Metode kata lembaga di mulai mengajar dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
a. Mengenalkan kata.
b. Merangkaikan kata antar suku kata.
c. Menguraikan suku kata atas huruf-hurufnya.
d. Menggabungkan huruf menjadi kata.

3. Metode Global
Sebagian orang mengistilahkan metode ini sebagai ‟Metode
Kalimat‟. Dikatakan demikian, karena alur proses pembelajaran MMP
yang diperlihatkan melalui metode ini diawali dengan penyajian beberapa
kalimat secara global. Untuk membantu pengenalan kalimat dimaksud,
biasanya digunakan gambar. Di bawah gambar dimaksud, dituliskan sebuah
kalimat yang kira-kira merujuk pada makna gambar tersebut. Sebagai
contoh, jika kalimat yang diperkenalkan berbunyi ‟ini nani‟, maka gambar
yang cocok untuk menyertai kalimat itu adalah gambar seorang anak
perempuan.
Selanjutnya, setelah anak diperkenalkan dengan beberapa kalimat,
barulah proses pembelajaran MMP dimulai. Mula-mula, guru mengambil
salah satu kalimat dari beberapa kalimat yang diperkenalkan di awal
pembelajaran tadi. Kalimat tersebut dijadikan dasar/alat untuk pembelajaran
MMP. Melalui proses deglobalisasi (proses penguraian kalimat menjadi
satuan-satuan yang lebih kecil, yakni menjadi kata, suku kata, dan huruf),
selanjutnya anak menjalani proses belajar MMP.
Proses penguraian kalimat menjadi kata, kata menjadi suku kata, suku
kata menjadi huruf-huruf, tidak disertai dengan proses sintesis (perangkaian
kembali). Artinya, hurufhuruf yang telah terurai itu tidak dikembalikan lagi
pada satuan di atasnya, yakni suku kata. Demikian juga dengan suku-suku
kata, tidak dirangkaikan lagi menjadi kata; kata-kata menjadi kalimat.
96

Sebagai contoh, di bawah ini dapat Anda lihat bahan untuk MMP
yang menggunakan Metode Gglobal.
a. Memperkenalkan gambar dan kalimat.
(tolong beri gambar dadu di sini) (tlg beri gambar kuda di sini)

ini dadu ini kuda


b. Menguraikan salah satu kalimat menjadi kata; kata menjadi suku kata;
suku kata menjadi huruf-huruf.
ini dadu
ini dadu
i-ni da-du
i-n-i d-a-d-u

4. Metode SAS
Menurut (Supriyadi, 1996: 334-335) pengertian metode SAS adalah
suatu pendekatan cerita disertai dengan gambar yang tidak terkandung unsur
analitik sintetik. Metode SAS menurut (Djuzak, 1996:8) adalah suatu
pembelajaran menulis permulaan yang didasarkan atas pendekatan cerita
yakni cara memulai belajar menulis dengan menampil cerita yang diambil
dari dialog siswa dan guru atau siswa dengan siswa. Teknik pelaksanaan
pembelajaran metode SAS yakni keterampilan menulis kartu huruf, kartu
suku kata, kartu kata dan kartu kalimat, sementara sebagian siswa mencari
huruf, suku kata dan kata, guru dan sebagian siswa menempel kata-kata
yang tersusun menjadi kalimat yang berarti (Subana).
Menurut Supriyadi metode yang cocok dengan jiwa anak-anak adalah
metode SAS. Alasannya adalah:
A. Metode ini menganut prinsip ilmu bahasa umum, bahwa bentuk bahasa
yang terkecil adalah kalimat.
B. Metode ini memperhitungkan pengalaman bahasa anak, dan
C. Metode ini menganut prinsip menemukan sendiri.
97

Adapun prosedur penggunaan metode SAS adalah sebagai berikut:


a. Membaca permulaan dijadikan dua bagian, bagian pertama membaca
permulaan tanpa buku, bagian kedua membaca permulaan dengan buku.
b. Merekam bahasa anak melalui pertanyaan-pertanyaan dari pengajar
sebagai kontak permulaan.
c. Menampilkan gambar sambil bercerita. Setiap kali gambar diperlihatkan,
munculah kalimat anak-anak yang sesuai dengan gambar.
d. Membaca kalimat secara struktural.Membaca permulaan dengan buku.
e. Membaca lanjutan.
f. Membaca dalam hati.

Metode SAS memiliki kelemahan dan kelebihan.


a. Kelebihan metode ini adalah sebagai berikut:
1) Metode ini dapat digunakan sebagai landasan berpikir analisis
2) Dengan langkah-langkah yang diatur sedemikian rupa membuat anak
mudah mengikuti prosedur dan akan dapat cepat membaca pada
kesempatan berikutnya.
3) Berdasarkan landasan linguistic metode ini akan menolong anak
menguasai bacaan dengan lancer.
b. Kelemahan dari metode ini adalah sebagai berikut:
1) Metode SAS mempunyai kesan bahwa pengajar harus kreatif dan
terampil serta sabar. Tuntutan semacam ini dipandang sangat sukar
untuk kondisi pengajar saat ini
2) Banyak sarana yang harus dipersiapkan untuk pelaksanaan metode ini
untuk sekolah-sekolah tertentu dirasa sukar.
3) Metode SAS hanya untuk konsumen pembelajar di perkotaan dan
tidak di pedesaan.
98

Dalam penerapan metode SAS, guru menerapkan langkah-langkah


sebagai berikut:
a. Guru menuliskan sebuah kalimat sederhana, setelah itu kalimat dibaca,
siswa menyalinnya.
b. Kalimat tersebut diuraikan atau dipisah-pisahkan ke dalam kata-kata.
Setelah dibaca, siswa menyalin kata-kata itu seperti yang dilakukan guru.
c. Kata-kata dalam kalimat itu diuraikan lagi atas suku-sukunya, setelah
dibaca siswa menyalin suku-suku seperti yang dilakukan oleh guru.
d. Suku-suku kata itu diuraikan lagi atas huruf-hurufnya, siswa menyalin
seperti yang dilakukan guru.
e. Setelah guru memberikan penjelasan lebih lanjut, huruf-huruf itu
dirangkai lagi menjadi suku kata. Siswa melakukan seperti apa yang
dilakukan guru.
f. Setelah semua siswa selesai, guru merangkai suku-suku menjadi kata,
murid menyalin.
g. Kata-kata tersebut dirangkai lagi sehingga menjadi kalimat seperti
semula. Siswa melakukan hal yang sama seperti guru.
Misalnya: Guru akan mengajarkan huruf baru, s dan y.
Huruf yang sudah dikenal siswa: a, n, m, i
Kalimat : nama saya
nama saya nani
nama saya
na ma sa ya na ni
n a m a s a y a
na ma sa ya
nama saya

H. Media yang Digunakan dalam Pembelajaran Menulis Permulaan


Untuk mengajarkan menulis permulaan ada beberapa jenis media yang
dapat digunakan antara lain :
99

1. Papan Tulis, digunakan guru untuk memberikan contoh, dan oleh siswa
digunakan untuk menuliskan apa yang ditugaskan oleh guru. Misalnya,
menulis kata, kalimat, nama sendiri, dan sebagainya.
2. Papan Selip, digunakan oleh guru untuk menyelipkan gambar atau kartu
kata, kartu kalimat yang harus disalin oleh siswa atau gambar yang harus
dituliskan judulnya oleh siswa.
3. Papan Tali, digunakan untuk menggantungkan kartu kalimat, kartu-kartu
kata, dan huruf yang harus disalin oleh siswa, atau gambar yang perlu
dituliskan judulnya.
4. Majalah anak-anak, dapat digunakan untuk tugas menyalin kalimat
sederhana yang ada di dalamnya atau menyalin judul.
5. Papan Nama, kartu nama, label, dan sebagainya digunakan untuk tugas
menyalin

I. Langakah-Langkah Pembelajaran Menulis Permulaan


Langkah-langkah kegiatan menulis permulaan terbagi kedalam dua
kelompok, yakni pengenalan huruf dan latihan. Pengenalan huruf kegiatan ini
dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan pembelajaran membaca permulaan.
Penekanan pembelajaran diarahkan pada pengenalan bentuk tulisan serta
pelafalannya dengan benar. Fungsi pengenalan ini dimaksudkan untuk melatih
indra siswa dalam mengenal dan membeda-bedakan dan lambang-lambang
tulisan.
Ada beberapa bentuk latihan menulis permulaan yang dapat kita lakukan,
antara lain sebagai berikut ini.
1. Latihan Memegang Pensil dan Duduk dengan Sikap dan Posisi yang
Benar
Tangan kanan berfungsi untuk menulis, tangan kiri untuk menekan buku
tulis agar tidak mudah tergeser. Pensil diletakan diantara ibu jari dan
telunjuk. Ujung jari, telunjuk, dan jari tengah menekan pensil dengan luwes,
tidak kaku. Posisi badan ketika duduk hendaknya tegak, dada tidak
menempel pada meja, jarak anatara mata dengan buku kira-kira 25-30 cm.
100

2. Latihan Gerakan Tangan


Mula-mula melatih gerakan tangan di udara dengan telunjuk sendiri, atau
dengan bantuan alat seperti pensil. Kemudian dilanjutkan denga latihan
dalam buku latihan. Agar kegiatan ini menarik, sebaikanya disertai dengan
kegiatan becerita. Misalnya, untuk melatih membuat garis tegak lurus, guru
dapat bercerita yang ada kaitannya dengan pagar, bulatan dengan telur dan
sebagainya.

3. Latihan Menjiplak
Menjiplak adalah menggambar atau menulis garis-garis gambaran atau
tulisan yang akn ditiru (KBBI, 2008:586). Kegiatan menjiplak gambar
merupakan kegiatan awal dari kegiatan menulis. Berikan gambar-yang
mudah ditiru dan dalam ukuran yang lebih besar dari biasanya. Selain
menjiplak gambar, siswa mulai diarahkan menjiplak huruf. Hal ini penting
umtuk diketahui karena akan menentukan kualitas lisan.

4. Latihan Mengeblat
Menirukan atau menebalkan suatu tulisan dengan menindas tulisan yang
sudah ada. Ada beberapa cara mengeblat yang bisa dilakukan anak,
misalnya dengan menggunakan karbon, menggunakan kertas tipis,
menebalkan tulisan yang sudah ada.

5. Latihan Menghubung-Hubungkan Tanda Titik yang Membentuk


Tulisan
Latihan dapat dilakukan pada buku-buku yang secara khusus menyajikan
latihan semacam ini.

6. Latihan Menatap Bentuk Tulisan


Latihan ini dimaksudkan untuk melatih kordinasi antara mata, ingatan, dan
jemari anak ketika menulis, sehingga anak dapat mengingat bentuk
101

kata/huruf dalam benaknya, dan memindahkannya ke jemari tangannya.


Dengan demikian, gambaran kata yang hendak ditulis tergores dalam
ingatan dan pikiran siswa pada saat dia menuliskannya.

7. Latihan Menyalin Baik dari Buku Pelajaran Maupun dari Tulisan


Guru Pada Papan Tulis
Latihan ini hendaknya diberikan setelah dipastikan bahwa semua anak telah
mengenal huruf dengan baik. Ada beragam model variasi latihan menyalin,
di antaranya menyalin tulisan apa adanya sesuai dengan sumber yang ada,
menyalin tulisan dengan cara berbeda, misalnya dari huruf cetak ke huruf
tegak sambung, atau sebaliknya dari huruf bersambung ke huruf cetak.

8. Latihan Menulis Halus/Indah


Latihan dapat dilakukan dengan menggunakan buku bergaris untuk latihan
menulis atau buku otak. Ada petunjuk beharga yang dapat anda ikuti, jika
murid-murid anda tidak memiliki fasilitas seperti itu.

9. Latihan Dikte/Imla
Latihan ini dimaksudkan untuk melatih siswa dalam mengordinasikan ucapan,
pendengaran, ingatan, dan jari-jarinya (ketika menulis), sehingga ucapan
seseorang itu dapat didengar, diingat, dan dipindahkan ke dalam wujud
tulisan dengan benar.

10. Latihan Melengkapi Tulisan (Melengkapi Huruf, Suku Kata, atau


Kata) yang Secara Sengaja Dihilangkan. Perhatikan contoh berikut :
a. Melengkapi huruf
b. Melengkapi suku kata
c. Melengkapi kata
d. Menuliskan nama benda yang terdapat dalam gambar.
e. Mengarang sederhana dengan bantuan gambar, dengan langkah
sebagai berikut :
102

1) Guru menunjukan suatu susunan gambar berseri


2) Guru bercerita dan bertanya-jawab tentang tema, isi, dan maksud
gambar
3) Siswa diberi tugas untuk menulis karangan sederhana, sesuai
dengan penafsiran mengenai gambar tadi, atau sesuai dengan cerita
gurunya. ( Prof. Dr. Suprani, M.Pd. 2018:147. Pembelajaran
Bahasa Indonesia di Kelas Rendah Sekolah Dasar. Medan,
Sumatra utara. Harapan Cerdas).

J. Kesulitan Belajar Menulis


Seperti yang dikemukakan, bahwa pelajaran menulis mencakup menulis
dengan tangan atau menulis permulaan, mengeja, dan menulis ekspresif.
1. Menulis dengan Tangan atau Menulis Permulaan
Menurut lerner (1985: 402) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kemmpuan anak untuk menulis, antara lain : (1) Motorik, (2) Perilaku, (3)
Persepsi, (4) Memori, (5) kemampuan melaksanakan cross modal, (6)
Penggunaan tangan yang dominan, (7) kemampuan memahami insting.
Anak yang perkembangan motoriknya belum matang akan megalami
kesulitan dalam menulisnya. Anak yang hiperaktif atau anak dapat
menyebabkan pekerjaannya terhambat termasuk pekerjaan menulis. Anak
yang terganggu persepsinya dapat menimbulkan kesulitan dalam menulis.
Jika persepsi visualnya terganngu, anak mungkin akan kesulitan untuk
membedakan bentuk-bentuk huruf yang hampir sama seperti \d\ dan \b\, \p\
dengan \q\, \h\ dengan \n\ atau \m\ dengan \w\. jika persepsi auditori yang
terganggu, mungkin anak akan mengalami kesulitan untk menulis kata-kata
yang diucapkan oleh guru.
Gangguan memori juga dapat dijadikan sebagai penyebab terjadinya
kesulitan belajar menulis karena anak tidak mampu mengingat apa yang
akan ditulis.
Kesulitn belajar menulis sering disebut juga disgrafia. Disgrafia
menunjukan kepada ketidakmampuan mengingat cara membuat huruf atau
103

simbol-simbol matematika. Kesulitan belajar menulis sering terkait dengan


cara anak memegang pensil. Ada 4 macam cara anak memegang pensil yang
dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa anak berkesulitan menulis, yaitu ;
sudut pensil terlalu besar, sudut pensil terlalu kecil, menggenggam pensil
dan menyangkutkan pensil ditangan atau menyeret.

2. Menulis Mengeja
Mengeja adalah suatu bidang yang tidak memungkinkan adanya
kreatifitas atau berfikir defergen. Hanya ada satu pola susunan huruf-huruf
untuk suatu kata yang dapat dianggap benar, tidak ada kompromi.
Sekelompok huruf yang sama akan memiliki makna yang berbeda jika
disusun secara berbeda. Kelompok huruf \b\, \i\, dan \u\ misalnya, dapat
disusun menjadi ibu, ubi, bui dan iub, tiga susunan pertama mengandung
makna yang berbeda sedangkan susunan terakhir tidak mengandung makna.
Oleh karena itu, mengeja pada hakikatnya memproduksi urutan huruf yang
benar baik dalam bentuk ucapan atau tulisan dari suatu kata.

3. Menulis Ekspresif
Menulis ekspresif adalah mengungkapkan pikiran dan atau perasaan
kedalam suatu bentuk tulisan, sehingga dapat difahami oleh orang lain yang
sebahasa. Menulis ekspresif disebut juga mengarang atau komposisi.
Kesulitan menulis ekspresif mungkin yang terlalu banyak yang
dialami baik oleh anak maupun oleh orang dewasa. Agar dapat menulis
ekspresi seseorang harus terlebih dulu memiliki kemampuan berbahasa
ujaran, membaca, mengeja, menulis dengan jelas, dan memahami berbagai
aturan yang berlaku bagi suatu jenis penulisan, dengan menggunakan kata-
kata sendiri. ( Prof. Dr. Suprani, M.Pd. 2018:147. Pembelajaran Bahasa
Indonesia di Kelas Rendah Sekolah Dasar. Medan, Sumatra utara. Harapan
Cerdas.)
BAB VI
PEMBELAJARAN MENYIMAK DI KELAS RENDAH

A. Pengertian Menyimak
Menyimak dapat dibandingkan sebagai suatu sarana, sebagai suatu
keterampilan, sebagai seni, sebagai suatu proses, sebagai suatu respon, atau
sebagai suatu pengalaman kreatif. Menyimak dikatakan sebagai suatu sarana
sebab adanya kegiatan yang dilakukan seseorang pada waktu menyimak yang
harus melalui tahap mendengar bunyi bunyi yang telah dikenalnya dengan cara
seperti ini ia mampu mengimplementasikan dan memahami makna urutan
bunyi tersebut.
Menyimak menurut para ahli:
1. Tarigan djago (1991: 4) menyimak adalah suatu proses yang mencakup
kegiatan mendengarkan bunyi bahasa mengidentifikasi mengimplementasi,
menilai, dan merealisasi atas makna yang terkandung di dalamnya.
2. Harimurti K. 1981 dalam (Hariyadi 1996: 19) menyimak adalah
mendengarkan memerhatikan mengikuti menurut memindahkan dan
memperdulikan
3. Poerwadarminata (1984: 941) menyimak adalah mendengar atau
memerhatikan baik-baik apa yang diucapkan atau yang dibaca orang.
4. Anderso, menyimak sebagai proses besar mendengar, mendengar, serta
menginterprestasikan lambang-lambang lisan.
Selain itu, menyimak merupakan suatu proses kegiatan mendengarkan
bunyi-bunyi bahasa dan non-bahasa dengan penuh perhatian, pemahaman,
apresiasi dan interprestasi untuk memperoleh informasi, sekaligus menangkap
isi atau pesan, serta mampu memahami makna komunikasi yang telah
disampaikan oleh manusia dan atau sumber lainnya. Perlu kita camkan benar
bahwa menyimak adalah suatu penerimaan yang aktif terhadap informasi lisa.
Menyimak juga merupakan suatu perilaku yang dapat dianalisis dan
dimodifikasi, merupakan suatu yang dapat kita pilih untuk dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan sama sekali, kita dapat menentukan apakah perlu diberi

104
105

wadah atau tidak, kita dapat menentukan tingkat efektifnya, dan kita dapat
menggantikan bahkan meningkatkan atau mengembangkannya. Demikian
dapat kita simpulkan bahwa perhatian adalah suatu proses penyelesaian dari
berbagai keragaman stimuli sebuah stimulus yang penting bagi seseorang pada
saat-saat tertentu. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa perhatian
bersinonim dengan persepsi selektif (webb, 1975: 130).
Bahwa menyimak adalah suatu proses mendengarkan bunyi baik bunyi
nonbahasa dan bunyi bhasa dengan penuh pemahaman, perhatian, apresiasi,
serta interprestasi, dengna menggunakan aktivitas telinga dalam menangkap
pesan yang di dengarkan untuk memperoleh informasi dan memahami isi yang
di sampaikan bunyi tersebut.

B. Proses Menyimak
Pemahaman menyimak menjadi lebih mudah apabila penyimak
mengetahui konteks wacana yang disimaknya. Hal tersebut memungkinkan
peserta didik menggunakan pengetahuan yang telah mereka miliki Untuk
menafsirkan dan memahami materi yang mereka sinar yang ada pada diri
penyimak sangat berperan dalam proses menyimak. Menyimak yang berhasil
adalah mereka yang memanfaatkan baik pengetahuan yang ditangkap dari
wacana yang disimak maupun pengetahuan yang telah mereka miliki yang
berhubungan dengan materi yang disimak. Dalam tahap mendengar, penyimak
berusaha menangkap pesan pembicara yang sudah diterjemahkan dalam bentuk
bunyi bahasa. Untuk menangkap bunyi bahasa itu diperlukan telinga yang peka
dan perhatian terpusat. Adapun faktor penting dalam menyimak adalah
keterlibatan penyimak dalam berinteraksi dengan pembicara.
Kegiatan menyimak perlu disesuaikan dengan kemampuan anak bagi
anak-anak yang tergolong rendah kemampuannya dalam menyimak setelah
menyimak teks yang sama dengan yang disimak oleh anak-anak yang lain
anak-anak tersebut dapat diberi tugas membuat ringkasan informasi yang
mereka simak anak-anak yang kemampuan menyimak nya rendah diberi tugas
menyebutkan jumlah pembicaraan atau jumlah kata-kata kunci.
106

C. Faktor Pengaruh Perhatian Menyimak


Kita harus mencoba memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
perhatian kita untuk menyimak. Kita harus memperhitungkan pengalaman,
pembawaan, sikap dan motivasi yang dapat menunjang penyimakan yang baik
sebelum kita menelaah aneka metode bagi peningkatan keterampilan ini.
1. Faktor pengalaman, pengalaman yang dimaksud dapat berasal dari
pembicara ataupun dari penyimak. Setiap orang tentu menaruh perhatian
terhadap pembicaraan yang disajikan oleh orang yang banyak pengalaman
dan banyak pengetahuan. pengalaman masa lalu itu mengajarkan dia untuk
tidak dua kali kehilangan tongkat. Oleh sebab itu, kalau ada pembicara yang
akan menyampaikan suatu pesan dia selalu memberikan perhatian besar.
2. Faktor pembawaan, seseorang pun turut berperan Apakah perhatiannya
untuk menyimak sesuatu itu besar atau tidak. Ada orang yang
berpembawaan baik dan ada pula yang jelek orang yang berpembawaan
baik dapat menyesuaikan diri pada situasi dan kondisi, sedangkan orang
yang berpembawaan jelek justru sebaliknya. baik pembawaan pembicara
maupun pembicaraan menyimak turut menentukan taraf perhatian seseorang
untuk menyimak.
3. Faktor sikap, tidak boleh kita abaikan terhadap perhatian menyimak. sikap
terbuka memang sangat dibutuhkan dalam kegiatan menyimak. sebaiknya,
sikap tertutup atau sikap curiga akan mengurangi minat atau perhatian
seseorang untuk menyimak pembicaraan seseorang.
4. Faktor motivasi, dorongan atau alasan sangat menentukan besar atau
tidaknya perhatian seseorang untuk menyimak ceramah, kuliah, khotbah,
atau pembicaraan yang dibawakan oleh seseorang pembicara. Biarpun
seandainya terdapat banyak gangguan atau kendala fisik atau mental, Tetapi
kalau ada motivasi besar, perhatian menyimak sesuatu tetap besar.
5. Faktor jenis kelamin, dapat menentukan kadar Perhatian untuk menyimak.
minat dan perhatian pria dan wanita memperlihatkan perbedaan, walaupun
tidak dapat disangkal adanya persamaan. Ada hal-hal khusus yang menarik
perhatian wanita ada pula hal-hal khusus yang lebih menarik perhatian pria
tema bahan pembicaraan dapat berbeda kalau para menyimak terdiri dari
107

kaum wanita saja atau terdiri dari pria saja ataupun campuran. Memang
harus diingatkan bahwa ada hal-hal yang tidak pantas disimak oleh kaum
pria dan wanita. jadi dengan singkat dapat kita katakan bahwa faktor
kelayakan ini tidak boleh diabaikan.

D. Hubungan Menyimak dengan Berbicara


Peristiwa menyimak diawali dengan mendengarkan bunyi bahasa secara
langsung atau melalui rekaman audio, telepon, atau televisi. Bunyi bahasa yang
ditangkap oleh telinga kita Identifikasi jenis dan pengelompokannya menjadi
suku kata, kata, frase, Klausa, kalimat, dan wacana. Bunyi bahasa yang
diterima kemudian ditafsirkan maknanya, dinilai kebenarannya agar dapat
diputuskan diterima tidaknya. Dapat dikatakan bahwa menyimak merupakan
proses yang mencakup kegiatan mendengar bunyi bahasa mengidentifikasi
menafsirkan menilai dan mereaksi terhadap makna yang termuat pada wacana.
Lisan merupakan proses interaksi yang ditopang oleh alat komunikasi yang
disebut bahasa yang dimiliki dan dipahami bersama secara sederhana
menyimak merupakan proses memahami Pesan yang disampaikan melalui
bahasa lisan sebaliknya berbicara adalah Proses penyampaian pesan dan
menggunakan bahasa lisan.
Dengan menyimak kita menerima informasi dari seseorang. Peristiwa
berbicara selalu dibarengi dengan peristiwa menyimak atau peristiwa
menyimak pasti ada dalam peristiwa berbicara. Dalam kegiatan komunikasi
keduanya secara fungsional tidak terpisahkan, komunikasi lisan tidak akan
terjadi jika kedua kegiatan itu, yaitu berbicara dan menyimak tidak
berlangsung sekaligus dan tidak saling melengkapi. Menyimak dan berbicara
merupakan kegiatan komunikasi dua arah yang dilakukan secara langsung
antara berbicara dan menyimak terdapat hubungan yang sangat erat. Karena
menyimak merupakan sebuah proses penerimaan pesan dimana seseorang
mampu memakai bentuk-bentuk bahasa tertulis sehingga pesan yang
disampaika dapat diterima secara utuh.
E. Penyusunan Bahan Pembelajaran Menyimak dan Berbicara
1. Bahan Pembelajaran Menyimak
108

Tujuan utama pembelajaran menyimak adalah melatih siswa


memahami bahasa lisan. Hal ini perlu disesuaikan dengan karakteristik
peserta didik. Secara umum, bahan pembelajaran menyimak dapat
menggunakan bahan pembelajaran membaca, menulis, kosakata, karya
sastra, bahan yang pendidik susun sendiri atau diambil dari media cetak.
Setelah menyampaikan bahan pembelajaran, pendidik secara langsung dapat
mengadakan tanya jawab tentang isi materi yang sudah disampaikannya
atau menugasi peserta didik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
sudah disiapkan lebih dahulu. Pertanyaan yang baik harus disusun secara
sistematis, mengingat fakta, mengingat nama orang, nama tempat, urutan
kejadian dan hal-hal lain yang secara eksplisit disebutkan dalam teks lisan,
memahami kosakata baru, memahami arti kata, ungkapan, dan sebagainya
dalam hubungan kalimat.
2. Bahan Pembelajaran Berbicara
Tujuan utama pembelajaran berbicara di SD melatih siswa dapat
berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk mencapai
tujuan tersebut dapat menggunakan bahan pembelajaran membaca dan
menulis, kosakata, dan sastra sebagai bahan pembelajaran berbicara. Untuk
memantau kemajuan siswa dalam berbicara guru dapat melakukan ketika
siswa sedang melaksanakan kegiatan diskusi kelompok tanya jawab dan
sebagainya

F. Tujuan Menyimak
Seperi yang sudah tertera pengertian menyimak berarti mendengarkan
dan memaknai serta bisa menyimpulkan apa yang telah disampaikan dari sang
pembicara melalui bahasa lisan atau ujaran. Tujuan seseorang menyimak
sesuatu itu beraneka ragam sebenarnya, antara lain;
1. Ada orang menyimak dengan tujuan agar dia dapat memperoleh
pengetahuan dari bahan ajar ujaran pembicara; dengan kata lain, dia
menyimak untuk belajar.
2. Ada orang yang menyimak dengan pendekatan pada penikmatan terhadap
sesuatu dari materi yang diujarkan atau yang diperdengarkan atau
109

dipagelarkan (terutama sekali dalam bidang seni); pendeknya, dia


menyimak untuk menikmati keindahan audial.
3. Ada orang yang menyimak dengan maksud agar dia dapat menilai sesuatu
yang dia simak itu (baik-buruk, indah-jelek, tepat-ngawur, logis-tak logis,
dan lain-lain); singkatnya, dia menyimak untuk mengevaluasi.
4. Ada orang yang menyimak agar dia dapat menikmati serta menghargai
sesuatu yang disimaknya itu (misalnya, pembicaraan cerita, pembacaan
puisi, musik, dan lagu, dialog, diskusi panel, dan perdebatan); pendek kata,
orang itu menyimak untuk mengapresiasi materi simakan.
5. Ada orang yang menyimak dengan maksud agar dia dapat
mengkomunikasikan ide-ide, gagasan-gagasan, ataupun perasaan-
perasaannya kepada orang laindengan lancer dan tepat.
6. Ada pula orang yang menyimak dengan maksud dan tujuan agar dia dapat
membedakan bunyi-bunyi dengantepat; mana bunyi yang membedakan arti
(distingitif), mana bunyi yang tidak membedakan arti; biasanya, ini terlihat
nyata pada seseorang yang sedang belajar bahasa asing yang
asyikmendengarkan ujaran pembicara asli.
7. Ada orang yang menyimak dengan maksud agar dia dapat memecahkan
masalah secara kreatif dan analisis, sebab dari pembicara dia mungkin
memperolehbanyak masukan berharga.
8. Selanjutnya, ada lagiorang yang tekun menyimak pembiacara untuk
meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat yang selama ini
dia ragukan; dengan perkataan lain dia menyimak secara persuasif
(disarikan dari: Logan [et all], 1972:42; Shrope, 1979: 261).
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
“menyimak” itu dapat kita pandang dari berbagai segi, misalnya sebagai
sarana, sebagai suatu keterampilan berkomunikasi, sebagai seni, sebagai
proses, sebagai response, dan sebagai pengalaman kreatif. Dan untuk proses
pembelajaran menyimak pada SD kelas rendah, sebenarnya harus sudah
ditanamkan sejak diawal, perserta didik harus dibiasakan menyimak apa yang
sedang disampaikan oleh guru nya walaupun memang kelas rendah sebenarnya
masih susah untuk membuatnya bisa menyimak dengan baik proses
110

pembelajaran dikelas tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa itu hal yang
tidak bisa dilakukan. Sebagai pendidik dan calon pendidik pun juga sudah
seharusnya menguasai segala strategi pembelajaran di kelas agar peserta didik
dapat menyimak dan memahami dengan cepat apa yang disamaikan oleh
gurunya. Semisal, membuat media pembelajaran yang menarik, membuat
games ditengah proses pembelaaran berlangsung, menanyakan apa saja yang
peserta didik sukai, dan sebagainya. Peserta didik khususnya di SD memang
tidak bisa secara instan memaknai apa yang telah disampaikan oleh guru
ataupun lawan bicara nya harus dengan berbagai tahapan agar dapat menyimak
apa yang telah didengar sebelumnya.
Berikut ada pula tahap-tahap menyimak yang dilakukan terhadap
kegiatan menyimak pada siswa Sekolah Dasar, Ruth G. Strickland
menyimpulkan adanya 9 tahap menyimak, mulai dari yang tidak berketentuan
sampai pada yang amat bersungguh-sungguh, kesembilan tahap iu, dapat
dilukiskan sebagai berikut:
Tahap-tahap menyimak
1. Menyimak berkala, yang terjadi pada saat-saat sang anak merasakan
keterlibatan langsung dalam pembiacaraan mengenai dirinya.
2. Menyimak dengan perhatiian dangkal, karena sering mendapat gangguan
dengan adanya selingan-selingan perhatiankepada hal-hal diluar
pembicaraan.
3. Setengah menyimak, karena terganggu oleh kegiatan menunggu kesempatan
untuk mengekspresikan isi hati ini merupakan penjaringan pasif yang
sesungguhnya.
4. Menyimak sekali-kali, menyimpan sebentar-sebentar apa yang disimak,
perhatian secara seksama berganti dengan keasyikan lain; hanya
memperhatikan kata-kata sang pembicara yang menarik hatinya saja.
5. Menyimak serapan, karena sang anak keasyikan menyerap atau
mengabsorpsi hal-hal yang kurang penting, hal ini merupakan penjaringan
pasif yang sesungguhnya.
111

6. Menyimak asosiatif, hanya mengingat pengalaman-pengalaman pribadi


secara konstan yang mengakibatkan sang penyimak benar-benar tidak
memberikan reaksi terhadap pesan yang disampaikan sang pembicara.
7. Menyimak dengan reaksi berkala terhadap pembicara dengan membuat
komentar ataupun mengajukan pertanyaan.
8. Menyimak secara saksama, dengan sungguh-sungguh mengikuti jalan
pikiran sang pembicara.Menyimak secara aktif, untuk mendapatkan serta
menemukan pikiran, pendapat dan gagasan sang pembicara (Strickland,
1957: (Dawson [et all], 1963: 154)

Ada pakar lain yang mengemukakan adanya 7 tahapan dalam menyimak;


1. Isolasi: pada tahap ini sang penyimak mencatat aspek individual kata lisan
dan memisahkan-misahkanatau mengalokasikan bunnyi-bunyi, ideie, fakta-
fakta, organisasi-organisasi khusus, begitupula stimulus-stimulus lainnya.
2. Identifikasi: sekali stimulus tertentu telah dapat dikenal maka suatu makna
atau identitas pun diberikan kepada setiap butir yang berdikari itu.
3. Integrasi: kita mengintegrasikan atau meyatupadukan sesuatu yang kita
dengar dengan informasi lain yang telah kita simpan dan rekam dalam otak
kita.
4. Inspeksi: informasi baru yang telah kita terima dikontraskan dan
dibandingkan dengan segala informasi yang telah kita miliki mengenai hal
tersebut.
5. Interpretasi: kita secara aktif mengevaluasi sesuatu yang kita dengar
menelusuri darimana datangnya semua itu kita punmulai menolak dan
menyetujui serta mengakui dan mempertimbangkan informasi tersebut.
6. Interpolasi: selama tidak ada ppesan yang membawa makna dalam dan
memberi informasi, tanggung jawabkitalah untuk menyediakan serta
memberikan data dan ide penunjang dari latarbelakang pengetahuan dan
pengalaman kita sendiri.
7. Intropeksi: dengan cara merefleksikanan menguji informasi baru, kita
berupaya untuk mempersionalisasikan informasi tersebut dan
menerapkannya pada situasi kita sendiri (Hunt,1981: 18-9)
112

Kita mengetahui bahasa dalam pendidikan formal di sekolah. Kita para


guru dan calon guru, membimbing kegiatan menyimak snak-anak didik kita
sehingga daya simak mereka dapat bersifat selektif, bertujuan, tepat, kritis dan
kreatif, seperti juga kita dapat membimbing mereka dalam pertumbuhan dan
peningkatan keterampilan membaca, menulis dan berbicara. Oleh karena itu,
kita pun perlu mengetahui jenis-jenis menyimak, tujuan, serta cirinya masing-
masing.

F. Ragam Menyimak
Dalam pembicaraan terlebih dahulu telah dikemukakan bahwa tujuan
menyimak adalah memperoleh informasi, menangkap isi, serta memahami
makna komunikasi yang hendak disampaikan sang pembicara melalui ujaran.
Ini merupakan tujuan umum. Di samping tujuan umum terdapat pula tujuan
khusus yang menyebabkan adanya aneka ragam menyimak diantaranya:
1. Menyimak Ekstensil
Menyimak ekstensil adalah sejenis kegiatan menyimak mengenai hal-
hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran, tidak perlu di
bawah bimbingan langsung dari seorang guru. Penggunaan yang paling
dasar islah menangkap atau mengingat kembali bahan yang telah dikenal
atau diketahui dalam suatau lingkungan yang baru dan suasana yang baru.
Menyimak ekstensif dapat pula memberi kesempatan dan kebebasan bagi
para siswa mendengar dan menyimak butir-butir kosa kata dan struktur-
struktur yang masih asing atau baru.

2. Menyimak Sosial
Pengalaman menunjukan bahwa anak kecil umumnya mempunyai
sedikit alasan untuk tidak menyimak secara tekun dan sungguh-sungguh
terhadap suatu hal cukup sang anak mempunyai jenis pilihan menyimak
secara acak (random) waktu dia mengobrol dengan temen-temen sebayanya
pada kegiatan bermain dia menyimak secara kebetulan. Menyimak secara
kebetulan seperti itu sangat penting sepanjang hidup kita dan dapat
113

dikatakan mempunyai beberapa fase: menyimak social, menyimak


sekunder, dan menyimak esteti.

3. Menyimak Sekunder
Menyimak sekunder adalah sejenis kegiatan menyimak secara
kebetulan dan secara ekstensif. Berikut ini ada dua contoh:
a. Menyimak pada musik yang mengiring ritme-ritme atau tari-tarian rakya
di sekolah dan acara-acar radio yang terdengar sayup-sayup sementara
kita menulis surat pada seorang teman di rumah.
b. Sambil menikmati musik kita beradaptasi, berpartisipasi dalam kegiatan
tertentu di sekolah seperti melukis, hasta karya tanah liat, membuat
sketsa dan latihan menulis indah.

4. Menyimak Estetik
Menyimak estetik ataupun yang disebut menyimak apresiatif adalah
fase terakhir dan kegiatan termasuk ke dalam menyimak secara kebetulan
dan menyimak secara ekstensif, mencakup:
a. Menyimak musik, puisi, membaca bersama, atau drama radio dan
rekaman-rekaman.
b. Menikmati cerita, puisi, teka-teki, gemerincing irama dan lakon-lakon
yang dibicarakan atau dicerikatakan oleh guru, siswa dan aktor.

5. Menyimak Pasif
Cara yang seolah-olah tidak memerlukan upaya bagi anak-anak dan
sejumlah penduduk pribumi mempelajari Bahasa asing dapat disebut
sebagai menyimak pasif, menyimak pasif adalah penyerapan suatu ujaran
tanpa upaya sadar yang biasanya menandai upaya-upaya kita pada saat
belajar dengan kurang teliti, tergesa-gesa, menghapal luar kepala, berlatih
santai, serta menguasai suatu Bahasa. Sebenarnya otak kita ‘bukan main’
aktifnya dalam menguasai, mendaftarkan, bunyi-bunyi, bau-bauan, bentuk-
bentuk dan rupa-rupa, walaupun kita seolah-olah mengarahkan perhatian
pada hal lain, bahkan pada saat kita tidur nyenyak.
114

6. Menyimak Intensif
Menyimak ekstensif lebih diarahkan pada kegiatan menyimak secara
lebih bebas dan lebih umum serta perlu dibawa bimbingan langsung para
guru, menyimak intensif diarahkan pada suatu kegiatan yang jauh lebih
diawasi, dinkontrol suatu hal tertentu. Dalam hal ini diharuslah diadakan
suatu pembagian penting sebagai berikut:
a. Menyimak Intensif ini terutama sekali dapat diarahkan sebagai bagian
dari program pengajaran Bahasa, atau
b. Terutama sekali dapat diarahkan pada pemahaman serta pengertian
secara umum. Jelas bahwa dalam butiran kedua ini makna Bahasa secara
umum sudah diketahui oleh para siswa.

7. Menyimak Keritis
Menyimak kritis adalah sejenis kegiatan menyimak berupa pencarian
kesalahan atau kekeliruan bahkan juga butir-butir yang baik dan benar dari
ujaran seseorang pembicara dengan alasan-alasan yang kuat dapat diterima
oleh akal sehat. Pada umumnya menyimak keritis lebih cenderung meneliti
letak kekurangan, kekeliruan, dan ketidaktelitian yang terdapat dalam ujaran
atau pembicaraan seseorang. Anak-anak kita perlu belajar mendengarkan
dan menyimak secara kritis atas segala ucapan atau informasi lisan untuk
memperoleh kebenaran. Kegiatan-kegiatan menyimak secara kritis yaitu:
a) Memperhatikan kebiasaan-kebiasaan ujaran yang tepat, kata, pemakaian
kata, dan unsur-unsur kalimatnya.
b) Menentukan alasan mengapa?
c) Memahami aneka makna petunjuk konteks.
d) Membedakan fakta dari fantasi, yang relevan dari yang tidak relevan.
e) Membuat keputusan-keputusan.
f) Menarik kesimpulan-kesimpulan.
g) Menentukan jawaban bagi masalah tertentu.
h) Menentukan informasi baru atau informasi tembahan bagi suatu topik.
i) Menafsirkan, menginterpretasikan ungkapan, Bahasa yang belum umum
atau belum lazim dipakai.
115

j) Bertindak objektif dan evaluative untuk mentukan keaslian, kebenaran,


atau adanya prasangka atau kecerobohan, kekurangtelitian
Dalam kegiatan menyimak kritis seyogyanya para penyimak
mempunyai konsep. Empat konsep penting dalam menyimak kritis, yaitu:
1) Penyimak harus yakin bahwa sang pembicara telah mendukung serta
mendokumentasikan masalah-masalah yang mereka kemukakan.
2) Menyimak mengharap agar sang pembicara mengemukakan masalah-
masalah khusus,
3) Penyimak mengharap sang pembicara mendemontrasikan keyakinannya
pada suatu topik tertentu.
4) Menyimak harus percaya dan menuntut dengan tegas agar sang
pembicara bergerak dari hal-hal umum ke hal-hal yang khusus.

8. Menyimak Konsentratif
Menyimak konsentratif sering juga disebut listening atau menyimak
sejenis telaah kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam menyimak
konsentratif ini yaitu:
a) Mengikuti petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam pembicaraan.
b) Mencari dan merasakan hubungan-hubungan, seperti kelas, tempat, dan
waktu.
c) Mendapatkan atau memperoleh butiran-butiran informasi.
d) Memperoleh pemahaman dan pengertian yang mendalam.
e) Merasakan serta menghayati ide-ide sang pembicara.
f) Mencari dan mencatat fakta-fakta penting.

9. Menyimak Kreatif
Menyimak kreatif adalah sejenis kegiatan dalam menyimak yang
dapat mengakibatkan kesenangan rekonstruksi imajinatif para menyimak
terhadap bunyi, penglihatan, gerak, serta perasaan-perasaan yang dirasakan
atau dirangsang oleh sesuatu yang disimaknya. Menyimak kreatif
mencangkup kegiatan-kegiatan:
116

a) Menghubungkan atau mengasosiasikan makna-makna dengan segala


jenis pengalaman menyimak
b) Membangun imajinasi
c) Menyesuaikan imajinasi dengan pikiran untuk menciptakan karya baru
dalam tulisan, lukisan, dan pementasan.
d) Mencapai penyelesaian serta sekaligus menguji hasil penyelesaian
tersebut.

10. Menyimak Eksplorasif


Menyimak eksplorasi, menyimak yang bersifat menyelidiki, atau
exploratory listening adalah sejenis kegiatan menyimak intensif dengan
maksud dan tujuan menyelidiki sesuatu lebih terarah dan lebih sempit.

11. Menyimak Interogatif


Menyimak interogatif adalah sejenis kegiatan menyimak intensif yang
menuntut lebih banyak konsentrasi dan seleksi, pemusatan perhatian dan
pemilihan butir-butir dari ujaran pembicara karena menyimak akan
mengajukan banyak pertannyaan. Dalam kegiatan menyimak introgatif
penyimak mempersempit serta mengarahkan perhatiannya pada
pemerolehan informasi dengan cara mengintrogasi atau menanyai
pembicara. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penyimak dalam
kegiatan menyimak introgatif dapat mencangkup apa, siapa, mengapa, di
mana, ke mana, untuk apa, benarkah.

12. Menyimak Selektif


Menyimak selektif hendaknya tidak menggantikan menyimak pasif,
tetapi justru melengkapinya. Mengapa kita harus melengkapi menyimak
pasif itu dengan menyimak selektif, kerena jarang sekali mendapatkan
kesempatan untuk berpartisipasi secara sempurna. Disarankan urutan
prosedur sebagai berikut.
117

a) Nada suara,
Apakah turun atau naik ataupun tetap mendatar, jelas merupakan slah
satu dari hal-hal pertama yang harus diperhatikan oleh seorang anak
mengenai suatu Bahasa baru.
b) Bunyi-bunyi asing
Bagi seseirang menyimak secara selektif pada aneka variasi nada suatu
Bahasa yang biasanya memakan waktu paling sedikit seminggu atau
lebih, bunyi-bunyi asing tertentu, baik konsonsn maupun vocal tentu
sangat menarik perhatian.
c) Bunyi-bunyi yang bersamaan
Setelah menyimak secara selektif pada bunyi-bunyi yang asing, kita
hendaknya milai mengarahkan perhatian pada perangkat-perangkat bunyi
yang bersamaan. Bila kita terus menyimak perangkat bunyi yang
bersamaan baik konsonsn maupun vocal Bahasa mempunyai bunyi-bunyi
yang beraneka ragam.
d) Kata-kata dan frasa-frasa
Salah satu dari frasa yang paling penting dalam menyimak kata-kata
slektif ialah mencoba memahami makana yang dikandungnya.

F. Teknik Pengajaran Menyimak


Teknik atau cara pengajaran menyimak di Sekolah Dasar dapat dilakukan
secara variatif untuk menghindari kesan yang monoton terhadap strategi
mengajar guru di Sekolah Dasar. Selain itu, melalui penggunaan teknik
menyimak yang beragam menjadikan pembelajaran lebih menarik bagi siswa.
Adapun beberapa teknik menyimak yang dapat digunakan guru dalam proses
belajar mengajar di Sekolah Dasar, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Teknik Ulang-Ucap (Menirukan)
Teknik ini biasa digunakan guru pada siswa yang belajar bahasa
permulaan, baik belajar bahasa ibu maupun bahasa asing. Teknik ini
digunakan untuk memperkenalkan bunyi bahasa dengan dengan pengucapan
atau lafal yang tepat dan jelas oleh guru.
118

Dengan teknik ini, pertama-tama guru mengucapkan kata-kata yang


sederhana, seperti “mata”, misalnya, kemudian guru memperjelas kata
tersebut dengan cara mendemonstrasikannya; guru menggunakan jari
tangannya untuk menunjuk salah satu bagian wajahnya, yaitu mata.
Langkah kedua, guru mengucapkan kata “mata” dengan jelas dan keras,
siswa diminta menyimaknya dengan baik, kemudian menirukan apa yang
diucapkan guru. Langkah ketiga, guru memberikan latihan ekstensif dengan
mengulang kata-kata yang sudah dikenalkan, kemudian menambah kosa
kata serta mengenalkan struktur kalimat kepada siswa sampai siswa dapat
mengucapkan kata-kata dengan tepat, dan akhirnya menggunakan kata itu
dalam struktur yang sederhana.

2. Teknik Informasi Beranting


Guru memberi informasi kepada salah seorang siswa kemudian
informasi tersebut disampaikan kepada siswa di dekatnya; begitu
seterusnya, informasi disampaikan secara beranting. Siswa yang menerima
informasi terakhir, mengucapkan keras-keras informasi tersebut di hadapan
teman-temannya. Dengan demikian, kita tahu apakah informasi itu tetap
sama dengan sumber pertama atau tidak. Jika tetap sama, berarti daya simak
siswa sudah cukup baik, akan tetapi, bila informasi pertama berubah setelah
beranting, ini berarti daya simak siswa masih kurang.
Contoh:
Informasi: Andi membeli mie bersama Rani tadi pagi.

3. Teknik Satu Mulut Satu Kelas


Guru membacakan sebuah wacana yang dapat berupa artikel atau
cerita di hadapan siswa, dan siswa diminta menyimak baik-baik. Sebelum
siswa menyimak, guru memberi penjelasan tentang apa-apa yang pernah
disimak. Setelah guru selesai membacakan, guru dapat meminta siswa,
misalnya:
a. Menceritakan kembali isi materi yang disimaknya.
b. Menyebutkan urutan ide pokok dari apa yang disimak.
119

c. Menyebutkan tokoh atau pelaku cerita dari apa yang disimaknya.


d. Menemukan makna yang tersurat dari apa yang disimaknya.
e. Menemukan makna yang tersirat dari apa yang disimaknya.
f. Menemukan ciri-ciri atau gaya bahasa yang digunakan dalam wacana
yang dibacakan.
g. Menilai isi dari apa yang disimaknya.
Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan guru kepada siswa tentu
saja harus disesuaikan dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Dalam penggunaan teknik ini, guru dituntut untuk dapat membaca
dengan baik sesuai dengan jenis wacana yang dibacanya. Oleh karena itu,
guru perlu menyiapkan benar-benar bahan bacaan dan cara membacanya,
jangan sampai siswa mengalami kesulitan memahami isi yang disimaknya
hanya karena pembacaan yang kurang siap.

4. Teknik Satu Rekaman Satu Kelas


Guru terlebih dahulu menyiapkan rekaman melalui kaset (tape
recorder), CD, ataupun laptop yang berisi ceramah, pembacaan puisi,
pidato, cerita/dongeng, drama, dan sebagainya. Kemudian guru memberi
petunjuk-petunjuk sebelum kaset di putar tentang hal-hal yang perlu
disimak. Setelah itu guru memutar rekaman yang telah disiapkan
sebelumnya (dongeng, misalnya). Siswa diminta menyimak baik-baik.
Rekaman dapat diputar ulang bila siswa belum dapat mengikuti tentang apa
yang diputar. Kemudian siswa diberikan tugas menjawab pertanyaan-
pertanyaan untuk menguji pemahamannya terhadap rekaman yang
disimaknya, seperti:
a. Apa tema dari dongeng yang anak-anak simak?
b. Siapa yang menjadi tokoh dalam dongeng tersebut?
c. Bagaimana watak dari tokoh tersebut?
d. Sebutkan amanat yang terdapat dalam dongeng tersebut!
120

5. Teknik Parafrase
Dalam penggunaan teknik ini, guru terlebih dahulu menyiapkan
sebuah puisi untuk disimak oleh siswa. Setelah itu, guru membacakan puisi
yang telah disiapkan dengan jelas. Kemudian setelah siswa selesai
menyimak, siswa secara bergiliran disuruh menceritakan kembali isi puisi
yang telah disimaknya dengan kata-kata sendiri.
Dalam menerapkan teknik ini, guru harus menyesuaikan dengan
perkembangan kebahasaan siswa, agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan
sesuai tujuan.

6. Teknik Simak Bebas Libat Cakap


Teknik ini senada dengan teknik simak libat cakap yang
mementingkan keterlibatan penyimak dalam pembicaraan. Penyimak di sini
hanya berlaku sebagai pemerhati yang penuh minat, tekun menyimak apa
yang disampaikan oleh pembicara sehingga penyimak dapat memahami isi
pembicaraan, tujuan pembicaraan, menganalisis apa yang dibicarakan, serta
akhirnya menilai isi pembicaraan.

G. Perilaku Menyimak
Perilaku menyimak ada dua tipe perilaku dalam kegiatan menyimak
yaitu, menyimak faktual dan menyimak empatik setiap tipe perilaku menyimak
ini terutama kepentingan atau manfaatnya terdapat dalam kegiatan berbicara di
muka umum atau dalam public speaking.
1. Menyimak Faktual
Penguasaan yang mantap terhadap teknik-teknik menyimak faktual ini
justru memudahkan penyimak untuk menangkap serta memahami fakta-
fakta konsep-konsep serta Informasi yang disampaikan pembicara melalui
otak dan pikiran manusia hanya dapat memproses sejumlah fakta tertentu
dalam waktu tertentu selama kita tetap ingin bervariasi mau tak mau kita
harus memanfaatkan otak kita memilih serta mengorganisasikan semua
121

masukan yang kita terima dari para pembicara dalam hal ini otak kita
merupakan komputer yang memindahkan serta mengubah materi dan
membuatnya logis masuk akal dan mudah dipahami kalau kita
mempergunakan otak kita dengan cara ini pada prinsipnya kita tidak
mempraktikkan menyimak faktual yang juga dikenal sebagai menyimak
untuk mengingat pada saat ini menyimak kita mencoba menangkap ide-ide
pokok gagasan gagasan penting pembicara diantaranya.
a. Memusatkan perhatian pada pesan-pesan orang lain, dan
b. Berusaha mendapatkan fakta-fakta.
Perlu kita sadari benar bahwa menyimak faktual menuntut empat
keterampilan khusus yaitu:
1) Kita harus melibatkan diri secara total pada situasi komunikasi.
2) Kita harus menguasai seni atau kiat pembuatan catatan yang tepat.
3) Kita harus mencari serta menganalisis sarana sarana penunjang yang
diutarakan oleh sang pembicara.
4) Kita harus mencari pola organisasi dan struktur keseluruhan sang
pembicara.
Menyimak faktual ini merupakan suatu keterampilan dengan aneka
penerapan yang tidak terbatas kegunaannya bagi setiap situasi komunikasi
sangat berguna misalnya bagi para wartawan, guru, mahasiswa, hakim,
reporter, lembaga, konsumen, para juri dan sebagainya. Dalam diskusi
konferensi penataran seminar simposium kegunaan keterampilan menyimak
faktual ini sangat terasa sekali bagi para partisipan seluruhnya. Telah kita
perbincangkan serta sepintas mengenai pengertian kegunaan serta
keterampilan yang dituntut dalam kegiatan menyimak faktual. Terutama
mengenai 4 keterampilan khusus yang dituntut dari para penyimak yaitu:
1) Penyimak harus mencari pola organisasi dan struktur keseluruhan.
2) Penyimak harus melibatkan diri secara total.
3) Harus mencari dan menganalisis sarana penunjang.
4) Penyimak harus menguasai seni mencatat tepat guna.
122

2. Menyimak Empatik
Menyimak empatik dapat menolong kita untuk memahami sikap
psikologi dan emosional pembicara dan bagaimana sikap tersebut
mempengaruhi menyimak empatik ini dapat juga disebut menyimak aktif
atau menyimak pemahaman setiap pesan berisi dua bagian yaitu, materi
faktual dan perasaan atau sikap pembicara terhadap isi tersebut dengan
kegiatan menyimak demi pemahaman seseorang dapat menyerap serta
memahami pembicara. Ada beberapa perilaku yang dituntut dalam kegiatan
menyimak empatik diantaranya:
a. Memperhatikan isyarat isyarat non verbal
b. Menempat kan diri pada posisi orang lain, dan
c. perhatian pada pesan bukan pada penampilan.

Ada beberapa cara untuk melakukan menjadi penyimak yang baik


diantaranya:
1) Buatlah catatan-catatan mental dari butir-butir utama.
2) Pikirkan dan renungkanlah kemungkinan adanya cara-cara lain untuk
menunjang ide-ide utama sang pembicara.
3) Cari dan dapatkanlah cara-cara yang telah dipakai oleh pembicara untuk
mengorganisasikan atau memberi struktur terhadap penampilannya.

H. Mengapa Orang Tidak Menyimak


Orang tua Sering menasehati anaknya dengarkanlah dulu baik-baik
sebelum kamu kerjakan, peribahasa pun ada pula yang berbunyi listening may
be golden yang bermakna menyimak itu mungkin bernilai emas artinya dari
menyimak itu mungkin sekali kita memperoleh hal-hal yang bernilai tinggi
berharga dan berguna karena sudah terasa sebagai suatu hal yang terlalu biasa
sering orang melupakan fungsi menyimak ini, kita hidup bermasyarakat dalam
masyarakat terdapat hubungan timbal balik antar sesama anggota nya memberi
dan menerima mendengarkan dan didengarkan serta menyimak dan disimak
ada beberapa contohnya diantaranya:
123

1. Para pekerja pada industri para karyawan di kantor-kantor perlu menyimak


petunjuk atasan mereka baik-baik.
2. Para pedagang dan pelayan toko harus menyimak keinginan para pembeli
dan para pelanggan agar dagangan mereka laris.
3. Pada rumah tangga atau keluarga makan yang baik dan simpati jelas dapat
menolong seorang suami untuk lebih memahami istri atau sebaliknya dan
orang tua lebih memahami anak-anak mereka.
4. Di sekolah para siswa haruslah menjadi penyimak yang baik mereka harus
menyimak pelajaran yang diberikan oleh guru dengan baik dan cermat agar
dapat memahaminya.
5. Sebaiknya guru pun perlu menyimak keluhan-keluhan serta masalah-
masalah yang dikemukakan oleh para siswa agar dapat diatasi dengan baik.
Kalau memang begitu pentingnya menyimak. Mengapa masih ada juga
orang yang tidak menyimak? kita perlu mengetahui sebab-sebabnya agar dapat
dihindari bila perlu, mengapa orang tidak menyimak jawabannya yang final
serta memuaskan tidak akan dapat diabaikan kalau orang tidak menyimak itu
berarti bahwa pesan ataupun informasi yang hendak disampaikan oleh
pembicara tidak mencapai sasaran tidak sampai kepada penerima memang ada
beberapa sebab yang dapat membuat orang tidak menyimak antara lain
a. Orang berada dalam keadaan capek.
b. Orang berada dalam keadaan tergesa-gesa.
c. Orang berada dalam keadaan bingung pikiran sedang kacau.
d. Pembicaraan yang tidak sesuai.
Ada beberapa orang termasuk kedalam golongan tipe-tipe orang yang
tidak menyimak:
a. Tipe menyerap tipe bunga karang.
b. Tipe orang berdikari.
c. Tipe seniman ingatan.
d. Tipe orang tidak tergoda oleh pribadi tertentu.
e. Tipe orang yang menyukai bunyi alamiah.
f. Tipe estetikus luar biasa.
g. Tipe siap tempur.
124

Demikianlah telah kita kemukakan beberapa sebab yang turut


mengakibatkan orang tidak menyimak hal-hal itu jelas merugikan dari kegiatan
menyimak kita mungkin memperoleh keuntungan sebagai berikut:
a. Kita dapat mempelajari sesuatu.
b. Kita mungkin memperoleh suatu kesempatan melalui kegiatan menyimak
tersebut.
c. Hal itu dapat membuat kita menjadi suatu pribadi yang lebih baik dan
berpandangan lebih luas.
Hendaknya kita jangan lupa bahwa martabat manusia mengandung suatu
nilai dan makna oleh karena itu tentu saja kemartabatan itu menuntut kita untuk
lebih banyak menyimak pandangan gagasan ide serta konsep orang lain apa
lagi orang terkemuka dan arif kebijaksanaan kita akan rugi kalau tidak
memperoleh dan memanfaatkan harta yang berharga itu atau kesempatan yang
ada.
BAB VII
PEMBELAJARAN BERICARA DI KELAS RENDAH

F. Pengertian Berbicara
Berbicara merupakan kegiatan menyampaikan pesan melalui bahasa
lisan. Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau
kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran,
gagasan, dan perasaan, Tarigan dalam (Haryadi, 1996: 54). Berbicara sering
dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial karena
berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan
faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, dan linguistik secara luas. Faktor-
faktor tersebut merupakan indikator keberhasilan berbicara. Jadi tingkat
kemampuan berbicara seseorang tidak hanya ditentukan dengan mengukur
penguasaan faktor linguistik saja atau faktor psikologis, tetapi dengan
mengukur semua faktor tersebut secara menyeluruh. Dapat dikatakan bahwa
berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar dan yang
kelihatan yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia
demi maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan.
Kegiatan berbicara merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat
produktif artinya kegitan yang menyampaikan pesan, pemikiran, gagasan, dan
perasaan melalui bahasa lisan. Rancangan media pembelajaran disesuaikan
dengan tujuan pembelajaran, jenis tugas, dan respon yang diharapkan untuk
dikuasai siswa setelah pembelajaran berlangsung, dan konteks pembelajaran
termasuk karakteristik siswa. Media dalam proses pembelajaran adalah segala
sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan pesa, merangsang
pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa, sehingga dapat terdorong
untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Penggunaan media yang tepat
tentunya akan memaksimalkan hasil belajar siswa dan sesuai dengan yang
diharapkan. Hal ini didukung oleh pendapat Bretz (Martinis, 2005: 154)
membagi media menjadi tiga macam yaitu media suara, media bentuk visual,
dan media gerak. Media bentuk visual dibedakan menjadi tiga yaitu gambar
visual, garis (grafis dan symbol verbal). Salah satu media gambar yang dapat

125
126

digunakan untuk siswa adalah gambar seri. Gambar seri ini adalah kumpulan
dari beberapa gambar yang menceritakan suatu kejadian atau peristiwa yang
menarik yang disusun secara acak, atau berurut untuk dijaikan sebuah cerita.
1. Proses Berbicara
Kegiatan berbicara dilakukan untuk mengadakan hubungan sosial dan
untuk melaksanakan suatu layanan. Dalam proses belajar berbahasa di
sekolah, anak-anak mengembangkan kemampuan secara vertikal. Mereka
sudah dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum
sempurna. Ellis dalam Roffi’uddin (1998: 12) mengemukakan adanya tiga
cara untuk mengembangkan secara vertikal dalam meningktakn kemampuan
berbicara :
a. Menirukan pembicaraan orang lain
b. Mengembangkan bentuk-bentuk ujaran yang telah dikuasai
c. Mendekatkan atau menyejajarkan dua bentuk ujaran, yaitu bentuk ujaran
sendiri yang belum benar dan ujaran orang dewasa yang sudah benar.
Berikut ini proses pembelajaran berbicara dengan berbagai jenis
kegiatan, yaitu percakapan berbicara estetik, berbicara untuk menyampaikan
informasi atau untuk mempengaruhi, dan kegiatan dramatik (Tompkinss dan
Hoskisson dalam Rofi’uddin, 1998: 12)
1) Percakapan
Siswa mempelajari strategi dan keterampilan untuk melakukan
sosialiasi dan percakapan dengan teman-temannya ketika berpartisipsi
dalam kelompok kecil. Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam
melakukan percakapan :
a) Memulai percakapan. Untuk memulai percakapan, seorang siswa
secara sukarela untuk membuka pembicaraan. Guru menyampaikan
petanyan yang didiskuikan, kemudian seorang murid mulai
percakapan dengan mengulangi pertanyaan tersebut, sedangkan
anggota kelompok menanggapinya.
b) Menjaga berlangsungnya percakapan. Siswa secara bergiliran
menyampaikan komentar atau mengajukan pertanyaan. Lewt
percakapan, siswa menuju pada tercapainya suatu tujuan. Tujuan
127

tersebut dapat berupa penyelesaian suatu tugas, menginterpretasikan


buku yang telah mereka baca, atau menanggapi pertanyaan guru.
c) Mengakhiri percakapan. Pada akhir percakapan, siswa seharusnya
sudah dapat mencapai suatu persetujuan, sudah menjawab semua
pertanyaan atau melaksanakan tugas dengan baik. Murid
menghasilkan sesuatu dari suatu ercakapan, misalnya berupa
kumpulan catatan hasil percakapan.

2) Berbicara Estetik
a) Memilih cerita. Hal yang paling penting dalam memilih cerita adalah
memilih cerita yang menarik. Pertimbangan lainnya : (a) cerita
tersebut sederhana, dengan alur cerita yang jelas, (b) memiliki awal,
pertengahan, dan akhir yang jelas, (c) tema cerita jelas, (d) jumlah
pelaku cerita tidak banyak, (e) cerita mengandung dialog, (f) cerita
menggunakan gaya bahasa perulangan, (g) cerita menggunakan
bahasa yang mengandung keindahan.
b) Menyiapkan diri untuk bercerita. Siswa hendaknya membaca kembali
dua atau tiga kali cerita yang akan diceritakan untuk memahami
perwatakan pelaku-pelakunya dan dapat menceritakan secara urut.
c) Menambahkan barang-barang yang diperlukan. Siswa dapat
menggunakan beberapa teknik untuk membuat ceritanya lebih hidup.
Siswa dapat menggunakan gambar-gambar yng ditempelkan di papan
planet, boneka, dan benda-benda yang menggambarkan pelaku
binatang atau barang-barang yang diceritakan agar cerita lebih
menarik.
d) Bercerita atau mendongeng. Kegiatan mendongeng dapat dilakukan
dalam kelompok-kelompok kecil sehingga penggunaan waktunya
dapat efisien.

3) Berbicara untuk Menyampaikan Informasi atau Mempengaruhi


Empat macam bentuk kegiatan yang masuk jenis kegiatan ini
adalah melaporkan secara lisan, melakukan wawancara, dan berdebat.
128

Pengumpulan informasi dilakukan dengan membaca berbagai sumber,


ntara lain buku, majalah, surat kabar, ensiklopedia, almanak, dan atlas.
Dalam emnyajikan informasi, siswa sebaiknya tidak membawa catatan.

4) Kegiatan Dramatik
Bermain drama merupakan media bagi sisw untuk menggunakan
bahasa verbal dan nonverbal dalam onteks yang bermakna. Kegiatan
drama memiliki kekuatan sebagai suatu teknik pembelajaran bahasa
karena melibatkan siswa dalam kegiatan berpikir logis dan kreatif,
memberikan pengalaman belajar secara aktif, dan memadukan empat
keterampilan berbahasa.

G. Batasan dan Tujuan Berbicara


Ujaran (speech) merupakan suatu bagian yang integral dari keseluruhan
personalitas atau kepribadian, mencerminkan lingkungan sang pembicara,
kontak-kontak sosial, dan pendidikannya. Aspek-aspek lain, seperti cara
berpakaian atau mendandani pengantin, adalah bersifat eksternal, tetapi ujaran
sudah bersifat inheren, pembawaan. Berbicara itu lebih darpada hanya sejedar
pengucapan bunyi-bunyi atau kata-kata. Tujuan utama berbicara adalah untuk
berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif,
seyogianyalah sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin
dikomunikasikan.

H. Hubungan Berbicara dengan Menyimak


Peristiwa menyimak diawali dengan mendengarkan bunyi Bahasa secara
langsung atau melalui rekaman radio, telepon, atau televise. Bunyi Bahasa
yang ditangkap oleh telinga kita diidentifikasi jenis dan pengelompokkannya
menjadi suku kata, kata, frase, klausa, kalimat, wacana. Jeda dan intonasi pun
ikut diperhatikan oleh penyimak. Bunyi Bahasa yang diterima kemudian
ditafsirkan maknanya, dinilai kebenarannya agar dapat diputuskan diterima
tidaknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menyimak merupakan
proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi Bahasa,
129

mengidentifikasi, menafsirkan, menilai, dan mereaksi terhadap makna yang


termuat pada wacana lisan. Menyimak dan berbicara merupakan proses
interaksi yang ditopang oleh alat komunikasi yang disebut Bahasa yang
dimiliki dan dipahami bersama. Secara sederhana dapat kita katakan, bahwa
menyimak merupakan proses memahami pesan yang disampaikan melalui
Bahasa lisan. Sebaliknya, berbicara adalah proses penyampaian pesan dengan
menggunakan Bahasa lisan.
Pesan yang diterima oleh penyimak bukanlah wujud aslinya melainkan
berupa bunyi Bahasa yang kemudian dialihkan menjadi bentuk semula yaitu
ide atau gagasan yang sama seperti yang dimaksud oleh si pembicara. Dari hal
tersebut kita temukan adanya kaitan antara menyimak dengan berbicara.
Berdasarkan jenis Bahasa yang digunakan, menyimak dan berbicara termasuk
keterampilan berbahasa lisan. Dengan berbicara seorang menyampaikan
informasi melalui ujaran. Dengan menyimak kita menerima informasi dari
seseorang. Pada kenyatannya peristiwa berbicara selalu dibarengi dengan
peristiwa menyimak. Atau peristiwa menyimak pasti ada dalam peristiwa
berbicara. Dalam kegiatan komunikasi keduanya secara fungsional tidak
terpisahkan. Dengan demikian, komunikasi lisan tidak akan terjadi jika kedua
kegiatan itu, yaitu berbicara dan menyimak, tidak berlangsung sekaligus dan
tidak saling melengkapi. Menyimak dan berbicara merupakan kegiatan
komunikasi dua arah yang dilakukan secara langsung (face to face
communication) antara berbicara dan menyimak terdapat hubungan yang
sangat erat, Dawson dalam Tarigan dan Tarigan menjelaskan sebagai berikut:
1. Ujaran (speech) dipelajari melalui menyimak dan meniru (imitasi); oleh
karena itu, model atau contoh yang disimak atau yang direkam anak sangat
penting dalam penguasaan serta kecakapan berbicara.
2. Kata-kata yang dipelajari kemudian dipakai anak ditentukan stimuli yang
ditemuinya dalam kehidupan.
3. Ujaran anak mencerminkan pemakaian Bahasa dirumah dan tempat
masyarakatnya hidup; misalnya: ucapan, intonasi, kosakata, penggunaan
kata, dan pola-pola kalimat.
130

Anak yang lebih kecil lebih dapat memahami kalimat-kalimat panjang


daripada kalimat-kalimat yang diucapkannya.
1. Meningkatkan keterampilan menyimak berarti membantu meningkatkan
kualitas berbicara seseorang.
2. Suara merupakan faktor penting dalam meningkatkan penggunaan kata
anak; oleh karena itu akan tertolong kalau anak menyimak ujaran yang baik
dari para guru, rekaman-rekaman yang bermutu, cerita-cerita yang bermutu
tinggi, dan lain-lain.
3. Berbicara dengan bantuan alat peraga akan menghasilkan pemahaman
informasi yang lebih baik bagi penyimak. Umumnya anak menggunakan
Bahasa yang didengarnya atau disimaknya.
Kaitannya dengan kegiatan menyimak di kelas-kelas tinggi SD/MI, maka
jenis kegiatan menyimak harus beragam. Beragam baik dari segi penyajiannya
maupun bahan yang dijadikan padanannya. Sebagaimana diungkapkan
Nambiar dalam Sarumpaet (1998) bahwa pengajaran Bahasa yang
menggunakan berbagai sumber bacaan dan bahan pelajaran lebih berhasil
daripada yang hanya menggunakan satu atau dua bahan (dalam bentuk yang
sama). Tuntutan yang berkenaan dengan kemampuan menyimak dan berbicara
bagi siswa SD/MI di kelas-kelas tinggi ini diantaranya:
a. Siswa mampu menerima informasi dan memberi tanggapan dengan tepat
tentang berbagai hal secara lisan.
b. Siswa mampu menyerap pengungkapan perasaan orang lain secara lisan dan
tertulis serta memberi tanggapan secara tepat.
c. Siswa mampu menyerap pesan, gagsan, dan pendapat orang lain dari
berbagai sumber.
d. Siswa memperoleh kenikmatan dan manfaat mendengarkan.
e. Siswa mampu memanfaatkan unsur-unsur kebahasaan karya sastra dalam
berbicara dan menulis.
Untuk mencapai tujuan tersebut Kurikulum 1994 telah memberikan
rambu-rambu, yakni pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa
131

Indonesia baik secara lisan maupun tertulis. Pelaksanannya di kelas


pembelajarannya harus terintegrasi antara komponen kebahasaan, pemahaman
dan penggunaan, dengan memfokuskan pada salah satu komponen dan
memperhatikan prinsip-prinsip pengajaran antara lain mudah-sukar, dekat-jauh,
sederhana-rumit, konkret menuju abstrak. Keempat aspek keterampilan
berbahasa harus mendapatkan porsi yang seimbang.
Konteks atau tema digunakan untuk pengembangan dan perluasan
pembendaharaan kata serta pemersatu kegiatan berbahasa. Selanjutnya
pembelajaran kosakata dilakukan dalam konteks wacana yang dipadukan
dengan kegiatan pembelajaran, baik pada keterampilan berbahasa maupun
sastra. Pembelajaran sastra diarahkan untuk mempertajam perasaan penalaran ,
dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan
hidup. Strategi pengajaran berbicara, jika kita terapkan Model Ellis dan Siclair
(1989) pada pembelajaran berbicara maka ternyata bahwa:
a. Personal strategies yang digunakan adalah:
1) Menemukan kesempatan praktik latihan (self-management dan
cooperation)
2) Memimpin/mengarahkan percakapan mental imajineri (auditory re-
presentation).
b. Risk taking yang digunakan adalah:
1) Penggunaan teknik-teknik keraguan untuk menyediakan waktu berpikir
dalam suatu percakapan (self-management dan organizational planning);
2) Latihan (advance pre-paration);
3) Bertahan pada kosa Bahasa sendiri (organizational planning dan self-
evaluation).
c. Getting organized yang dipakai adalah:
1) Pengorganisasian sumber;
2) Pengorganisasian materi;
3) Pengorganisasian waktu.
Strategi pokok yang diajarkan bagi kegiatan berbicara untuk berbagai
tugas, adalah:
132

a. Substitution:
Para instruktur menyuruh para pembelajar memakai sinonim, paraphrase,
dan gerak-gerik untuk menjelaskan artinya dalam tugas penceritaan kembali
suatu teks.
b. Cooperation:
Sang instruktur menyuruh para pembelajar bekerja dalam kelompok
mengenai penugasan berbicara dan mendorong mereka saling menolong
satu sama lain mengerjakan tugas ini.
c. Self-evalution:
Para instruktur memberi kesempatan kepada para pembelajar untuk
mengecek seberapa baik mereka membuat keefektifan komunikatif mereka.

I. Strategi Pembelajaran Berbahasa Lisan dan Penerapannya


2. Strategi Meningkatkan dan Mengembangkan Kemampuan Menyimak
Faktor penting dalam menyimak adalah keterlibatan penyimak dalam
berinteraksi dengan pembicara. Berikut strategi pembelajaran guru harus
memenuhi kriteria berikut.
Relevan dengan tujuan pembelajaran :
a. Menantang dan merangsang siswa untuk belajar
b. Mengembangkan kreativitas siswa secara individual maupun secara
kelompok
c. Memudahkan siswa memahami pelajaran
d. Mengarahkan aktivitas siswa kepada tujuan yang telah ditetapkan
e. Mudah diterapkan dan tidak menuntut peralatan yang rumit
f. Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan
Berbagai strategi dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan
menyimak. Guru dapat memberikan cerita yang tidak terlalu panjang di
kelas. Namun, sebelum membaca, guru harus mendiskusikan etika atau
sopan santun dalam menyimak dan perbedaan antara kritik yang konstruktif
atau negatif. Diskusi tersebut hendaknya menekankan harapan agar murid-
murid saling menghormati dan membina kesetiakawanan.
133

3. Mengembangkan Pembelajaran Menyimak di SD


a. Simak - ulang ucap. Teknik ini digunakan untuk memperkenalkan bunyi
bahasa dengan mengucapkan atau lafal yang tepat dan jelas.
b. Simak - tulis (dikte). Guru mengucapkan bunyi bahasa tertentu seperti
fonem, kata, kalimat, idiom, semboyan, kata-kata mutiara, dengan jelas
dan intonasi yang tepat.
c. Simak - kerjaan. Guru mengucapkan bunyi bahasa tertentu seperti fonem,
kata, kalimat, idiom, semboyan, kata-kata mutiara, dengan jelas dan
intonasi yang tepat.
d. Simak -terka. Guru menyusun deskripsi suatu benda atau mainan siswa
yang paling disukai atau gambar foto tanpa menyebutkan mana bedanya.
e. Memperluas kalimat. Guru menyebutkan sebuah kalimat kemudian
mengucapkan kata atau kelompok kata lain, kemudian siswa melengkapi
kata-kata yang telah diucapkan guru dengan kata lain yang sesuai yang
hasilnya kata-kata tersebut menjadi sebuah kalimat yang untuk dan lebih
luas.
f. Menyelesaikan cerita. Guru memperdengarkan suatu cerita sampai
selesai. Setelah siswa selesai menyimak, guru menyuruh seseorang untuk
menceritakan kembali dengan kata-kata sendiri.
g. Membuat rangkuman. Guru menyiapkan bahan simakan yang cukup
panjang. Materi itu disampaikan secara lisan kepada siswa dan siswa
menyimak. Setelah selesai siswa disuruh membuat rangkuman.
h. Permainan untuk meningkatkan keterampilan menyimak (Bisik
Berantai). Suatu pesan dapat dilakukan secara berantai. Mulai dari guru
membisikan pesan kepada siswa pertama dan dilanjutkan kepada siswa
berikutnya sampai siswa terakhir.
i. Mendengarkan cerita. Tujuan dalam kegiatan ini siswa dapat memaknai
dengan cermat, cepat, dan tepat tentang cerita yang didengarnya.
j. Mendengarkan berantai. Tujuannya agar siswa dapat memahami
informasi yang di bisikan oleh temannya dengan cermat, cepat, dan tepat.
134

k. Guru sebagai penyimak. Diharuskan seorang guru menyimak pertanyaan


murid dengan baik.
l. Partisipasi kelompok. Kelompok dapat diarahkan untuk mencapai tujuan
pembelajaran khusus secara langsung dan dapat menolong anak-anak
meningkatkan keterampilan tertentu.

4. Strategi Meningkatkan dan Mengembangkan Kemampuan Berbicara


Berikut merupakan kegiatan kegiatan untuk melatih keterampilan
berbicara sebagai berikut :
a. Menyampaikan informasi. Tujuan kegiatan ini untuk menolong anak-
anak mengembangkan rasa percaya diri dalam berbicara dengan orang
lain.
b. Berpartisipasi dalam diskusi. Diskusi memberikan kesempatan kepada
siswa untuk berinteraksi dengan siswa-siswa yang lain dan guru,
mengekspresikan pikiran secara lengkap, mengajukan berbagai pendapat,
dan mempertimbangkan perubahan pendapat siswa.
c. Menghibur ( menyajikan pertanyaan). Siswa dapat menyajikan
pertunjukan untuk teman-temannya.
d. Sandiwara boneka. Di dalam kelas anak-anak dapat menggunakan
boneka atau mereka dapat membuat boneka kemudian mengarang cerita
yang sesuai.
e. Bercerita atau membaca puisi secara kor. Cerita atau puisi yang
digunakan harus yang menarik bagi anak-anak, yang mudah dipahami
secara lisan, dan yang mudah dihafalkan.
f. Cerita merangkai tujuan. Siswa dapat melanjutkan cerita yang
disampaikan temannya dengan tepat dan dalam lingkup topi yang sama.
g. Menerangkan obat/makanan/minuman/benda lainnya. Dalam hal ini
siswa dapat menjelaskan sesuatu secara rumput dan benar. Syifa
menerangkan sebuah benda yang sudah mereka kenal dalam waktu
singkat mereka menerangkan mengenai karakter benda tersebut.
135

5. Mengembangkan Pembelajaran Berbicara di SD


Untuk sampai pada taraf terampil, maka mengajarkan berbicara harus
dipelajari dan dilatihkan. Jika metode dikaitkan dengan pengalaman belajar,
makan metode berfungsi sebagai sarana mewujudkan pengalaman belajar
yang telah dirancang menjadi kenyataan dalam pelaksanaan pengajaran
pokok bahasa tertentu. Metode pengajaran berbicara menurut Djogo Tarigan
(1990), sebagai berikut :
a. Ulang - ucap. Model ucapan adalah suara guru atau rekaman suara guru,
model ucapan yang di perdengarkan kepada siswa harus dipersiapkan
dengan teliti.
b. Lihat-ucapan. Guru memperlihatkan kepada siswa benda tertentu
kemudian siswa menyebutkan benda tersebut.
c. Memerikan. Memerikan berarti menjelaskan, Menerangkan, melukiskan,
atau mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata sendiri.
d. Menjawab pertanyaan
e. Bertanya
f. Pertanyaan menggali
g. Melanjutkan
h. Menceritakan kembali
i. Percakapan
j. Parafrase
k. Reka cerita gambar
l. Bermain peran
m. Wawancara
n. Memperlihatkan dan bercerita (Show and Tell)

6. Strategi Pembelajaran Berbahasa Lisan dan Penerapannya Melalui


Kegiatan Bercerita dan Dramatisasi Kreatif
Agar strategi yang dipilih dan diterapkan dapat mencapai sasaran nya
perlu diperhatikan beberapa prinsip yang melandasi pembelajaran berbahasa
lisan seperti berikut ini :
136

a. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus mempunyai tujuan yang


jelas yang diketahui oleh guru dan siswa
b. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan disusun dari yang sederhana ke
yang lebih kompleks sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa siswa.
c. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus mampu menumbuhkan
partisipasi aktif terbuka pada diri siswa.
d. Pengajaran keterampilan berbahasa lisan harus benar-benar mengajar
bukan menguji. Beberapa strategi pembelajaran berbahasa lisan yang
dapat diterapkan di sekolah dasar adalah sebagai berikut : bermain tebak-
tebakan. Bermain tebak-tebakan dapat dilaksanakan dengan berbagai
cara. Cara yang sederhana, guru mendeskripsikan secara lisan suatu
benda tanpa menyebut nama bendanya. Tube siswa menerka nama benda
itu.

J. Penyusunan Bahan Pembelajaran Menyimak dan Berbicara


1. Bahan Pembelajaran Menyimak
Tujuan utama pembelajaran menyimak adalah melatih siswa
memahami bahasa lisan. Hal ini perlu di sesuaikan dengan karakteristik
peserta didik. Secara umum, bahkan pembelajaran menyimak dapat
menggunakan bahan pembelajaran membaca, menulis, kosakata, Kary
sastra, bahan yang pendidik susun sendiri atau di ambil dari media cetak.
Teknik penyajiannya dapat dibacakan langsung oleh pendidik atau melalui
alat perekam suara. Setelah menyampaikan bahan pembelajaran, pendidik
secara langsung dapat mengadakan tanya jawab tentang isi materi yang
sudah di sampaikannya atau menugasi peserta didik untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang sudah disisipkan lebih dulu. Pertanyaan yang
baik harus disusun secara sistematis, mengingat fakta, mengingat nama
orang, nama tempat, urutan kejadian dan hal-hal lain yang secara eksplisit
disebutkan dalam teks lisan, memahami kosakata baru, memahami arti kata,
ungkapan dan sebagainya dalam hubungan kalimat, menarik kesimpulan.
Mengidentifikasi isi persoalan, meramalkan kejadian selanjutnya, membuat
137

interpretasi efektif, dan sebagainya. Ya-tidak atau alternatif = 1 2 3, dengan


kata tanya 4 5 6.
Pada penjelasan di atas tampak ada dua jenis pertanyaan dan 3 jenis
perilaku siswa yang kita pancing secara keseluruhan, ada 6 pertanyaan, yaitu
pertanyaan 1-3 merupakan jenis pertanyaan ya-tidak atau alternatif dan
pertanyaan 4-6 jenis pertanyaan yang menggunakan kata tanya, misalnya
apa, mengapa, bagaimana, dan lain sebagainya. Pertanyaan 1-3 termasuk
pertanyaan yang relatif mudah ( di berikan di kelas rendah ), sedangkan
macam pertanyaan 4-6 termasuk golongan pertanyaan yang sukar (
diberikan di kelas tinggi ). Gradasi kesukaran sudah di urutkan, makin besar
nomor pertanyaan makin sukar atau makin kecil Nomor pertanyaan makin
mudah. Dari pembicaraan di muka dapatlah kita petik butir-butir pokok
yang ada kaitannya dengan upaya untuk membuat bahan dimakan yang akan
di sajikan oleh seorang pembicara sehingga menarik perhatian para
penyimak.
Butir pertama = Tema harus up-to-date
Butir kedua = Tema terarah dan sederhana
Butir ketiga =Tema dapat menambah pengalaman dan
pemahaman
Butir keempat = Tema bersifat sugesti dan evaluative
Butir kelima = Tema bersifat motivating
Butir keenam = Pembicara harus dapat menghibur
Butir ketujuh = Bahasa sederhana mudah di mengerti
Butir kedelapan = Komunikasi dua arah

2. Bahan Pembelajaran Berbicara


Tujuan utama pembelajaran berbicara di SD melatih siswa dapat
berbicara dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Untuk mencapai
tujuan tersebut, guru dapat menggunakan bahasa pembelajaran membaca
atau menulis, kosakata, dan sastra sebagai bahan pembelajaran berbicara.
Misalnya menceritakan pengalaman yang mengesankan, menceritakan
138

kembali cerita yang pernah dibaca atau di denger, mengungkapkan


pengalaman pribadi, bertanya jawab berdasarkan bacaan, bermain peran,
berpidato, dan lain sebagainya. Untuk memantau kemajuan siswa dalam
berbicara, guru dapet melakukannya ketika siswa sedang melaksanakan
kegiatan diskusi kelompok, tanya jawab, dan sebagainya. Pengamatan guru
terhadap aktivitas berbicara para siswanya dapat di rekam dengan
menggunakan format yang telah di persiapkan sebelumnya faktor-faktor
yang di amati adalah lafal kata, intonasi kalimat, kosakata, tata bahasa,
kefasihan berbicara, dan pemahaman.
BAB VIII
PEMBELAJARAN SASTRA DI KELAS RENDAH

A. Pengertian Sastra dan Hakikatnya


Sastra (Sansekerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa
Sansekerta "Sastra", yang berarti Teks yang mengandung instruksi atau
pedoman, dari kata dasar "Sas" yang berarti instruksi atau ajaran dan "Tra"
yang berarti Alat atau sarana. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan
untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki
arti atau keindahan tertentu.
Sastra merupakan bagian dari kesenian yang dapat memberikan
kesenangan hiburan kebahagiaan pada diri manusia. Manusia selalu ingin
Menikmati keindahan yang pernah dirasakannya dengan mewujudkan
keindahan itu dalam bentuk, seperti: seni tari yang mewujudkan keindahan
gerak tubuh manusia, seni rupa yang mewujudkan keindahan bentuk benda dan
susunannya, dan seni sastra yang mewujudkan keindahan dalam bentuk bahasa.
Dalam sastra unsur perasaan lebih tinggi. Sastra berhubungan dengan
penciptaan dan ungkapan pribadi (ekspresi). Jiwa sastra berupa pikiran,
perasaan dan pengalaman manusia. Sebuah karya sastra akan menjadikan
pembacanya lebih kaya akan pengalaman dan pengetahuan, hati akan bergetar
dan jiwa akan diliputi kesegaran.
Keindahan sastra terletak pada pengelolaan bahan pokoknya melalui
bahasa. Bahasa sastra mempunyai ciri khas yang berbeda dengan bahasa
sehari-hari misalnya; dalam bahasa sehari-hari orang akan berkata "hari sudah
senja". Akan tetapi sastrawan mungkin akan mengatakan "matahari tenggelam
di balik bukit-bukit". Di sekolah dasar koma pembelajaran sastra dimaksudkan
untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan
mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan
penalaran daya khayal serta kepekaan terhadap masyarakat budaya dan
lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan bersastra di sekolah dasar
dilakukan dalam berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan

139
140

berbicara membaca dan menulis. Adapun pemilihan bahan ajar tersebut dapat
dicari pada sumber-sumber yang relevan (Depdiknas,2003).
Pembelajaran sastra di SD adalah pembelajaran sastra anak. Sastra anak
adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan
berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia
antara 6 sampai 13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata bukan
berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak.
Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak
yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu
dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai
Pedoman tingkah laku dalam kehidupan.
Sastra anak berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk
kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam
sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak,
mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan
keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat
membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan gembira
mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan
kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosi nya.
Pengajaran sastra di sekolah dasar (SD) diarahkan terutama pada proses
pemberian pengalaman bersastra. Siswa diajak untuk mengenal bentuk dan isi
sebuah karya sastra melalui kegiatan mengenal dan mengakrabi cipta sastra
sehingga tumbuh pemahaman dan sikap menghargai cipta sastra sebagai suatu
karya yang indah dan bermakna. Karya sastra anak yang merupakan jenis
bacaan cerita anak-anak merupakan bentuk karya sastra yang ditulis untuk
konsumsi anak-anak.
Sebagaimana karya sastra pada umumnya, bacaan sastra anak-anak
merupakan hasil kreasi imajinatif yang mampu menggambarkan dunia rekaan,
menghadirkan pemahaman dan pengalaman keindahan tertentu. Anak usia SD
pada jenjang kelas menengah dan akhir sebagai pembaca sastra telah mampu
menghubungkan dunia pengalamannya dengan dunia rekaan yang
141

tergambarkan dalam cerita. Hubungan interaktif antara pengalaman dengan


pengetahuan kebahasaan merupakan kunci awal dalam memahami dan
menikmati bacaan cerita anak-anak. Bacaan tersebut ditinjau dari cara
penulisan, bahasa, dan isinya juga harus disesuaikan dengan tingkat
perkembangan dan readiness anak.
Secara konseptual, sastra anak-anak tidak jauh berbeda dengan sastra
orang dewasa (adult literacy). Keduanya sama berada pada wilayah sastra yang
meliputi kehidupan dengan segala perasaan, pikiran dan wawasan kehidupan.
Yang membedakannya hanyalah dalam hal fokus pemberian gambaran
kehidupan yang bermakna bagi anak yang diurai dalam karya tersebut. Sastra
(dalam sastra anak-anak) adalah bentuk kreasi imajinatif dengan paparan
bahasa tertentu yang menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman
dan pengalaman tertentu, dan mengandung nilai estetika tertentu yang bisa
dibuat oleh orang dewasa ataupun anak-anak. Apakah sastra anakmerupakan
sastra yang ditulis oleh orang dewasa yang ditujukan untuk anak-anak atau
sastra yang ditulis anak-anak untuk kalangan mereka sendiri tidaklah perlu
dipersoalkan. Huck (1987) mengemukakan bahwa siapapun yang menulis
sastra anak-anak tidak perlu dipermasalahkan asalkan dalam penggambarannya
ditekankan pada kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan bagi
mereka. Sastra anak-anak adalah sastra yang mencerminkan perasaan dan
pengalaman anak-anak melalui pandangan anak-anak (Norton, 1993). Namun
demikian, dalam kenyataannya, nilai kebermaknaan bagi anak-anak itu
terkadang dilihat dan diukur dari perspektif orang dewasa.

B. Nilai Sastra bagi Anak


Sastra dapat mengembangkan wawasan anak menjadi perilaku insani.
Melalui karya sastra yang luas dapat membuat anak mengerti dunia. Anak
dapat membayangkan dan merasakan keindahan serta anak dapat merasakan
kesadaran mengenai kehidupan orang lain, bahkan bangsa lain sekalipun.
Sastra mengembangkan imajinasi anak untuk memikirkan alam, insan,
pengalaman, atau gagasan dengan berbagai cara. Sastra dapat memberikan
142

pengalaman seolah-olah si anak sendiri yang mengalaminya. Seperti


petualangan, perjuangan dalam menghadapi rintangan. Bagi seorang calon
pendidik dikelas rendah sangatlah penting mengetahui nilai-nilai apa saja yang
akan diberikan pada anak lewat karya sastra.
Huck dan dkk. (1987) mengemukakan bahwa nilai sastra anak secara
garis besar dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu nilai personal
(personal value) dan nilai pendidikan (education value) dengan masing-masing
dapat dirinci menjadi subkategori. Nurgiantoro (2005: 37) menguraikan nilai
personal meliputi perkembangan emosional, perkembangan intelektual,
perkembangan imajinasi, pertumbuhan rasa social, pertumbuhan rasa etis dan
religious. Sedangkan nilai pendidikan meliputi eksplorasi dan penemuan,
perkembangan bahasa, perkembangan nilai keindahan, penanaman wawasan
multicultural, dan penanaman kebiasaan membaca.

C. Pembelajaran Sastra bagi Pendidikan Anak SD


Karya sastra merupakan pembelajaran yang cocok untuk diberikan.
Karena telah diketahui oleh kita bahwa dengan membaca karya sastra hati bisa
merasakan sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Selain itu, karya
sastra juga memberikan nilai-nilai dan pengetahuan lainnya yang belum pernah
diketahui oleh anak-anak seperti pengetahuan bagaimana sebaiknya mereka
berinteraksi dengan sesama.
1. Membantu Perkembangan Bahasa Anak
Melalui menyimak atau membaca karya sastra, secara sadar ataupun tidak
sadar pemerolehan bahasa anak akan meningkat. Bertambahnya kosa kata
maka akan meningkatkan pula keterampilan berbahasa anak.
2. Membantu Perkembangan Kognitif Siswa
Sastra mempunyai hubungan erat dengan penalaran dan pikiran anak-anak.
Semakin anak terampil berbahasa, maka akan semakin terampil pula mereka
berfikir. Penalaran yang dikembangkan melalui media sastra antara lain;
membandingkan, mengklasifikasikan, menghipotesis, merangkum,
mengkritik, dan menerapkan.
143

3. Perkembangan Kepribadian
Sastra mempunyai peranan penting dalam perkembangan kepribadian anak.
Tokoh-tokoh dalam karya sastra secara tidak sadar akan mendorong atau
mempengaruhi anak-anak mengendalikan berbagai emosi, misalnya: benci,
cemas, takut, bangga, angkuh, sombong, dan lainnya. Disini guru harus
pintar-pintar memilih bacaan untuk anak yang didalamnya terdapat pesan,
kesan moral bagi anak.
4. Perkembangan Sosial
Istilah sosialisasi mengacu pada suatu proses yang digunakan untuk anak-
anak dalam membentuk perilaku, norma-norma, dan motivasi, yang selalu
dipantau serta dinilai oleh keluarga dan kelompok budaya mereke. Ada tiga
proses yang sangat berpengaruh dalam sosialisasi dunia anak-anak.
Dalam perkemabngannya anak akan melakukan sesuatu sesuai
dengan keinginan mereka, untuk itu dalam pembelajaran sastra pada anak
yang harus dilakukan yaitu: pertama, proses hadiah dan hukuman.
Orangtua/orang dewasa kerap kali memberikan hadiah kepada anak atas
perilaku yang baik. Sebaliknya, mereka memberikan hukuman atas
perilaku yang tidak baik. Hal ini bermakna, anak disuruh melakukan hal-
hal yang baik dan melarang melakukan hal-hal yang tidak baik
Kedua,, proses imitasi/peniruan. Anak-anak meniru/menyontoh
perilaku atau respon orang dewasa atau teman sebaya. Pada masa ini
anak belajar tentang perilaku yang diterima dalam masyarakat.
Ketiga, proses identifikasi. Proses ini menuntut ikatan emosional
dengan model-model yang ada. Anak-anak menginginkan agar pikiran,
perasaan, dan sifat-sifat mereka sama dengan model yang disukai.
Karena itu dalam karya sastra yang dipilih untuk anak SD hendaknya
menampilkan tokoh model yang dapat membawa anak –anak kearah
yang lebih baik.
144

D. Pentingnya Pembelajaran Sastra di Kelas Rendah


Pembelajaran sastra sangat penting dalam perkembangan manusia, bukan
hanya penting sebagai sesuatu yang “terbaca” melainkan juga sebagai sesuatu
yang memotivasi seseorang untuk berbuat. Melalui sebuah karya sastra,
pembaca belajar dari pengalaman oranglain untuk direfleksikan dalam
menghadapi masalah dalam kehidupan. Pembelajaran sastra yang selama ini
dilakukan di sekolah digabung dengan pelajaran Bahasa Indonesia atau yang
sering disebut dengan “ Bahasa dan Sastra Indonesia”. pendapat Huck dkk.
(1987) bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada
murid yang akan berkontribusi pada empat tujuan (1) menumbuhkan
kesenangan pada buku, (2) menginterpretasi bacaan sastra, (3)
mengembangkan kesadaran bersastra, dan (4) mengembangkan apresiasi.
a) Sastra Menunjukkan Kebenaran Hidup
Dari karya sastra ,orang akan belajar banyak tentang pengalaman hidup,
persoalan dengan aneka ragamnya dan bagaimana cara menghadapinya.
b) Sastra untuk Memperkaya Rohani
Dalam membaca sastra maka siswa sehharusnya dapat menemukan pesan
dan kesan yang bermakna bagi dirinya sendiri.
c) Sastra Melampaui Batas Bangsa dan Zaman
Karya sastra Mahabarata dan Ramayana menceritakan kejadian beberapa
ratus tahun yang lalu. Namun cerita tersebut masih tetap hidup sampai saat
ini. Berarti jelas sastra mampu melampaui zaman.
d) Sastra Memiliki Santun Berbahasa
Dalam karya sastra begitu kaya dengan kata-kata yang tersusun secara tepat
dan mempesona. Dengan itu guru mampu menanamkan pendidikan karakter
kepada siswa melalui pembelajaran karya sastra.
e) Sastra menjadikan manusia berbudaya
Di dalam sastra terdapat gambaran kebiasaan manusia bergaul dengan
kebenaran, keindahan, dan kebaikan.
145

f) Menumbuhkan Kesenangan terhadap Buku


Salah satu tujuan utama pembelajaran sastra di SD ialah memberi
kesempatan kepada anak untuk memperoleh pengalaman dari bacaan, serta
masuk dan terlibat di dalam suatu buku. Pembelajaran sastra harus membuat
anak merasa senang membaca, membolak-balik buku, dan gemar mencari
bacaan.

E. Manfaat Sastra Anak-Anak


Sebagai sebuah karya, sastra anak-anak menjanjikan sesuatu bagi
pembacanya yaitu nilai yang terkandung di dalamnya yang dikemas secara
intrinsik maupun ekstrinsik. Oleh karena itu, kedudukan sastra anak menjadi
penting bagi perkembangan anak. Sebuah karya dengan penggunaan bahasa
yang efektif akan membuahkan pengalaman estetik bagi anak. Penggunaan
bahasa yang imajinatif dapat menghasilkan responsi-responsi intelektual dan
emosional dimana anak akan merasakan dan menghayati peran tokoh dan
konflik yang ditimbulkannya, juga membantu mereka menghayati keindahan,
keajaiban, kelucuan, kesedihan dan ketidakadilan. Anak-anak akan merasakan
bagaimana memikul penderitaan dan mengambil resiko, juga akan ditantang
untuk memimpikan berbagai mimpi serta merenungkan dan mengemukakan
berbagai masalah mengenai dirinya sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya
(Huck, 1987).
Pengalaman bersastra di atas akan diperoleh anak dari manfaat yang
dikandung sebuah karya sastra lewat unsur intrinsik di dalamnya yakni; (1)
memberi kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan bagi anak-anak, (2)
mengembangkan imajinasi anak dan membantu mereka mempertimbangkan
dan memikirkan alam, kehidupan, pengalaman atau gagasan dengan berbagai
cara, (3) memberikan pengalaman baru yang seolah dirasakan dan dialaminya
sendiri, (4) mengembangkan wawasan kehidupan anak menjadi perilaku
kemanusiaan, (5)menyajikan dan memperkenalkan anak terhadap pengalaman
universal dan (6) meneruskan warisan sastra. Selain nilai instrinsik di atas,
sastra anak juga bernilai ekstrinsik yang bermanfaat untuk perkembangan anak
146

terutama dalam hal (1) perkembangan bahasa, (2) perkembangan kognitif, (3)
perkembangan kepribadian, dan (4) perkembangan sosial. Sastra yang terwujud
untuk anak-anak selain ditujukan untuk mengembangkan imajinasi, fantasi dan
daya kognisi yang akan mengarahkan anak pada pemunculan daya kreativitas
juga bertujuan mengarahkan anak pada pemahaman yang baik tentang alam
dan lingkungan serta pengenalan pada perasaan dan pikiran tentang diri sendiri
maupun orang lain.

F. Tahapan Pembelajaran Sastra di Sekolah Rendah


Beberapa tahapan dalam pelaksanaan proses pembelajaran sastra,
diantaranya :
1. Tahap Penikmatan
Tahap ini diawali sejak masa anak umur 3-7 tahun. Anak sekolah dasar
diajak menikmati atau mendengarkan cerita, puisi, syair, lagu drama anak-
anak dsb. Dengan itu maka timbul rasa senang dan cinta terhadap karya
sastra pada diri sang anak.
2. Tahap Penghargaan
Pada tahap ini aanak diajak setengah aktif, bagaimana menimbulkan rasa
kekaguman terhadap karya sastra dengan cara menampilkan tokoh idola
sang anak. Pemberian rasa pujian ketika sang anak mampu menjawab
pertanyaan yang merupakan umpan balik dari karya sastra yang
dinikmatinya.
3. Tahapan Pemahaman
Pemahaman disini ditekankan pada unsur intrinsik dan ekstrinsik karya
sastra , guru harus mampu mengukur tingkat pemahaman anak tentang arya
sastra yang dibacakan.
4. Tahap Penghayatan
Pada tahap ini siswa diajak menganalisis tema dan berdiskusi tentang nilai-
nilai yang terkandung dalam suatu karya sastra dengan cara mengkritik atau
membandingkannya.
5. Tahap Implikasi
147

Tahap Implikasi yaitu tahap dimana anak diberikan kesempatan


mengimplikasikan kreatifitas dalam bidang sastra, sesuai dengan minatnya
masing-masing.

G. Bentuk-bentuk Karya Sastra Anak


1. Sastra Anak SD di Kelas Rendah
Sastra anak SD kelas rendah terdiri atas berbagai genre atau tipe dan
dapat berbentuk lisan maupun tulisan, contohnya :
2. Syair lagu, Nyanyian Anak
Syair lagu atau tembang tidak lain adalah puisi. Puisi yang dilagukan
ini mengandung karya seni/ berbagai unsur keindahan yang menggunakan
Bahasa sebagai media.
Contohnya:
Pu kame-eme
Belalang kupu-kupu
Siang makan nasi, Kalau malam minum susu

Itulah salah satu paralisme dan pengulangan kata. Baik berupa


pengulangan bunyi atau kata.
3. Puisi Tembang Dolanan
Puisi tembang dolanan mengandung makna yang berkaitan dengan
adat-istiadat, budi pekerti, sopan santun, moral serta unsur kejenakaan yang
terkait dengan kondisimasyarakat setempat. Contohnya puisi tembang
dolanan “Gundul-gundul pacul”.
4. Cerita Lisan
Budaya bercerita kepada anak merupakan budaya universal, yaitu
budaya yang turun menurun. Dari cerita yang diberikan, si anak akan
mendapatkan berbagai pendidikan, seperti nilai moral, perbuatan baik dan
buruk. Maka dari itu sebagai seorang guru, harus mampu memilih cerita
yang mengandung pesan moral, disiplin, yang dikemas dalam cerita anak.
5. Sastra Anak Kelas Tinggi
148

Sastra SD kelas tinggi maksudnya adalah jenis-jeis karya sastra yang


baik untuk anak kelas IV, V dan VI SD. Adapun jenis-jenis nya sebagai
berikut:
a. Cerita Fiksi
Cerita Fiksi merupakan cerita yang berisi misteri kehidupan yang
berhubungan dengan kehidupan anak. Tokoh fiksi boleh siapa saja,
namun masih berkisar tentang kehidupan si anak.
Fiksi anak mencakup beberapa aspek antara lain, emosi, moral, perasaan,
dan pikiran yang dapat dipahami oleh anak-anak usia SD.
b. Novel dan Cerpen
Novel dan cerpn ada persamaan dan perbedaannya. Persamaannya adalah
sama-sama dibangun oleh unsur intrinsikyang sama (alur, latar, tema
dsb). Perbedaannya terletak pada pengembangan cerita. Cerpen bias
selesai jika dibaca beberapa menit saja. Namun sebuah novel berbicara
mendetail sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama. Cerpen
biasanya dimuat dalam berbagai surt kabar atau majalah namun sebuah
novel terbit menjadi sebuah buku.
c. Fiksi Realistik
Fiksi Realistik menampilkan model kehidupan anak secara nyata. Cerita
fiksi relalistik menampilkan model kehidupan sehari-hari seorang anak.
d. Fiksi Fantasi
Cerita Fantasi adalah cerita yang dikembangkan dengan menghadirkan
sebuah dunia lain di samping dunia realitas. Cerita fantasi adalah cerita
yang menampilkan tokoh, alur, karakter yang kebenarannya diragukan.
Contoh : Film Harry Potter, Kartun Doraemon, dll.
e. Fiksi Historis
Fiksi Historis merupakan sebuah cerita yang mengungkapkan tentang
peristiwa- peristiwa yang laur biasa di masa lalu. Dalam cerita ini
disajikan fakta sejarah yang diramu dengan imajinasi. Contoh: cerita
Pangeran Diponegoro.
f. Komik Sastra Anak
149

Komik adalah cerita yang bertekanan pada gerak dan tindakan yang
ditampilkan lewat urutan gambar yang dibuat secara khas dengan
paduan kata-kata.

Selain itu berikut merupakan bentuk-bentuk sastra lama sebagai


materi pembelajaran.
1. Prosa Lama
a. Dongeng
Dongeng adalah prosa cerita yang isinya bersifat khayalan atau
hanya ada di dalam fantasi pengarang.
Dongeng dibedakan menjadi :
1) Fabel: Fabel merupakan cerita yang isinya mengani dunia
binatang. Dimana binatang tersebut ditampilkan dapat berpikir,
berbicara, bereaksi dsb. Dongeng tentang kehidupan binatang ini
dimaksudkan menjadi teladan bagi kehidupan manusia pada
umumnya.
2) Farabel: Farabel adalah dongeng tentang binatang atau benda-
benda lain yang mengandung nilai pendidikan. Binatang atau
benda-benda lain merupakan perumpamaan atau lambing-lambang
saja.
3) Legenda: legenda merupakan sebuah dongeng yang dihubungkan
dengan keajaiban alam, terjadinya suatu tempat dan setengah
mengandung unsur sejarah.
4) Mite: Mite adalah dongeng yang berhubungan dengan cerita jin,
peri, roh halus, dewa dsb yang berhubungan dengan kepercayaan
animism.
5) Sage : Sage adalah dongeng yang mengandung unsur sejarah
meskipun tidak keseluruhan. Selalu ada ketegangan antara dunia
manusia dan dunia gaib.

b. Hikayat
150

Kata Hikayat berasal dari Bahasa Arab yang berarti cerita.


Hikayat adalah cerita yang panjang yang sebagian isinya mungkin
terjadi sungguh-sungguh, tetapi di dalamnya terdapat hal yang tidak
masuk akal dan penuh keajaiban.
Ciri- ciri hikayat :
a. Berisi kisah-kisah kehidupan lingkungan istana.
b. Banyak peristiwa yang berhubungan dengan nilai-nilai Islam.
c. Tidak ada pembagian baba tau judul.
d. Peristiwa sering kali tidak logis dsb.
c. Tambo
Tambo merupakan cerita tentang tentang kejadian atau asal usul
keturunan raja.

2. Puisi Lama
a. Mantra
Mantra adalah kata-kata yang mengandung hikmat dan kekuatan
gaib. Mantra sering diucapkan oleh dukun atau pawang.
b. Bidal
Bidal adalah pepatah atau peribahasa dalam sastra melayu lama
yang kebanyakan berisi sindiran, peringatan, nasihat dan sejenisnya.
Yang termasuk kategori Bidal adalah :
1) Ungkapan, yaitu kiasan tentang keadaan atau kelakuan yang
dinyatakan dengan sepatah atau beberapa patah kata.
2) Peribahasa, yaitu kalimat lengkap yang mengungkapkan keadaan
atau kelakuan seseorang dengan mengambil perbandingan alam
sekitar.
3) Tamsil, yaitu seperti perumpamaan tetapi diikuti bagian yang
menjelaskan.
4) Ibarat, yaitu seperti perumpamaan dan tamsil tetapi diikuti bagian
yang menjelaskan yang berisi perbandingan dengan alam.
5) Pepatah, yaitu kiasan tetap yang dinyatakan dalam kalimat selesai.
151

6) Pameo, yaitu ucapan yang terkenal yang diulang-ulang dan


berfungsi sebagai semboyan atai pemacu semangat.
c. Pantun
Pantun merupakan puisi lama yang terikat oleh syarat-syarat
tertentu ( jumlah baris, jumlah suku kata, kata, persajakan, dan isi).
d. Gurindam
Gurindam adalah puisi lama yang terdiri dari dua baris satu bait
dan kedua liriknya merupakan kalimat majemuk yang selalu
berhubungan menurut hubungan sebab-akibat. Baris pertama
merupakan syaratnya sedangkan baris kedua merupakan jawabannya.
e. Syair
Kata syair bersal dari Bahasa Arab “syu’ur” yang artinya
perasaan.syair timbul setelah terjadinya pengaruh kebudayaan Islam.
Puisi ini terdiri atas empat baris sebait, berisi nasihat, dongeng dan
sebagaian besar berisi cerita.
BAB IX
PENILAIAN BAHASA INDONESIA DI KELAS RENDAH

B. Hakikat Penilaian
Penilaian atau disebut juga Assasment dapat didefinisikan sebagai suatu
proses untuk menganbil keputusan dengan menggunakan informasi yang di
peroleh melalui pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen
tes maupun non tes. Dikemukakan oleh Asmawi, Zainul dan Agus Mulyana
(2007: 7) bahwa asesmen (Penilaian) adalah memberikan nilai tentang kualitas
sesuatu. Hal senada dikemukakan oleh Nana Sudjana (1990: 3) asesmen atau
penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek
tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu.
Pada hakikatnya, penilaian adalah suatu proses atau kegiatan yang
sistematis dan berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi tentang
proses dan hasil belajar siswa dalam rangka untuk membuat keputusan
berdasarkan kriteria pertimbangan tertentu (Arifin, 2012). Beliau juga
menjelaskan bahwa penilaian harus dipandang sebagai salah satu faktor
penting yang sangat menentukan keberhasilan proses dan hasil belajar, bukan
hanya sebagai yang digunakan untuk menilai hasil belajar. Penilaian harus
dapat menginformasikan kepada guru untuk meningkatkan kemampuan
mengajarnya dan membantu siswa mencapai perkembangan belajarnya secara
maksimal. Implikasinya adalah kegiatan penilaian harus dilakukan sebagai cara
atau teknik yang mendidik sesuai dengan prinsip pembelajaran.
Tiga istilah yang sering digunakan dalam dunia pendidikan serta tidak
jarang pula sering dikacaukan pemakaiannya atau disamakan begitu saja
pengertiannya. Ketiga istilah tersebut adalah Penilaian (Evaluation),
Pengukuran (Measurement) dan Tes (Test).
1. Penilaian
Penilaian sebagai suatu proses untuk mengetahui apakah suatu
kegiatan, proses suatu kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan
tujuan atau kriteria yang telah ditentukan (Tuckman dalam Nurgiyantoro,

152
153

2010 : 6). Untuk dapat memberikan penilaian secara tepat, kita memerlukan
data-data tentang kemampuan peserta didik. Data kemampuan yang
dimaksud biasanya diwujudkan dalam bentuk skor atau angka-angka. Untuk
mendapatkan data skor tersebut, kita memerlukan prosedur penilaian atau
kegiatan yang berupa pengukura. Melalui pengukuran tingkat kemampuan
peserta didik yang diwujudkan dalam angka.

2. Pengukuran
Hanya pada bagian atau alat penilaian saja yang selalu berhubungan
dengan data-data kuantitatif, misalnya berupa skor-skor peserta didik
(Tuckman dalam Nurgiyantoro, 2010 : 6). Untuk mendapatkan informasi
tentang kemampuan peserta didik yang berwujud data-data angka lewat
pengukuran tersebut, diperlukan cara dan alat yang sesuai dengan tujuan
pengukuran dan apa yang akan diukur. Cara dan alat yang dilakukan dapat
bermacam-macamsalah satunya adalah dengan tes. Dan data yang diperoleh
melalui pengamatan, pemberian angket, wawancara, penugasan, portopolio
dan lain-lain. Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka
atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan bila seorang
siswa telah mencapai karakteristik tertentu.” Hasil penilaian dapat berupa
nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif
(berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau
penentuan nilai kuantitatif tersebut. Tes adalah cara penilaian yang
dirancang dan dilaksanakan kepada siswa pada waktu dan tempat tertentu
serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas
(Depdiknas, 2006).

3. Tes
Tes merupakan sebuah intrumen atau prosedur yang sistematis untuk
mengukur suatu sampel tingkah laku, misalkan untuk menjawab pertanyaan
“Seberapa baik atau tinggi kinerja seseorang” yang jawabannya berupa
angka pengukuran dipihak lain, merupakan proses untuk memperoleh
154

deskripsi angka (Skor) yang menunjukkan tingkat capaian seseorang dalam


suatu bidang tertentu, misalkan jawaban “Seberapa banyak”.
Tes diartikan sebagai suatu pertanyaan atau tugas atau seperangkat
tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi ten-tang atribut
pendidikan atau psikologik tertentu dan setiap butir pertanyaan atau tugas
tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar, dan
apabila tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka jawaban Anda dianggap
salah, (Zainul, A. dan Mulyana, A., 2007: 3). Dari pengertian tersebut di
atas, karakteristik tes yaitu, (1) tes dapat berbentuk pertanyaan, (2) tes dapat
berbentuk tugas yang harus dikerjakan oleh peserta tes, (3) tes digunakan
untuk memperoleh informasi tentang atribut pendidikan atau psikologik, (4)
tes menghendaki adanya jawaban atau cara mengerjakan yang benar.
Penilaian dan pengukuran merupakan satu kesatuan yang saling
memerlukan. Pengukuran terbatas dan hanya berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat kuantitatif dan tidak ada deskripsi atau penjelasan yang bersifat
kualitatif. Penilaian di pihak lain,berurusan dengan aspek kualitatif dan
kuantitatif. Aspek kuantitatif pada penilaian perolehan melalui bantuan
pengukuran yang salah satunya lewat tes, sedangkan aspek kualitatifnya
berupa antara lain penafsiran dan pertimbangan terhadap data kuantitatif
hasil pengukuran tersebut.

G. Fungsi dan Tujuan Penilaian


Penilaian berfungsi sebagai alat untuk mengetahui seberapa berhasilkah
proses belajar mengajar yang terjasi. Selain itu, juga sebagai perbaikan dalam
melakukan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan siswa. Dan
juga sebagai laporan kemauan belajar siswa yang diberikan kepada orang tuga
agar orang tuanya mengetahui hasil belajar anaknya dalam bentuk raport yang
biasanya diberikan pada akhir semester. Adapun fungsi penilaian lain yang
mencakup lebih luas adalah sebagai berikut:
1. Penilaian membantu siswa merealisasikan dirinya untuk mengubah atau
mengembangkan perilakunya.
155

2. Penilaian membantu siswa mendapatkan kepuasan atas apa yang telah


dikerjakannya.
3. Penilaian membantu guru untuk menetapkan apakah metode mengajar yang
digunakannya telah memadai.
4. Penilaian membantu guru membuat pertimbangan administrasi (Cronbach,
1954 dalam Hamalik, 2002 : 204)
Sedangkan tujuan dari penilaian adalah mendeskripsikan hasil belajar
siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangan siswa dalam proses
pembelajaran tersebut. Selain itu juga dapat mengetahui keberhasilan proses
pendidikan dan pengajaran di sekolah, disini dapat terlihat berhasil tidaknya
guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Apabila hasilnya kurang
baik pan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar.

H. Keterkaitan Antara Penilian dan Proses Pembelajaran


Ada keterkaitan dan ketergantungan anatara pembelajaran (Teaching),
belajar (Learning), serta penilaian (Evaluation). Keadaan tersebut terlihat dari
proses pelaksanaan dan pembelajaran (Grounlund, 1985 : 6-8) proses
pembelajaran difasilitasi oleh guru agar peserta didik dapat belajar secara
maksimalmenguasai berbagai kompetensi yang di belajarkan .
Agar capaian hasil belajar peserta didik di ketahui perlu adanya kerja
penilaian. Namun, proses penilaian yang baik adalah di lakukan sepanjang dan
bersamaan dengan proses pembelajaran. Saling ketergantungan tersebut dapat
di lihat dalam langkah proses pemebelajaran, sebagai berikut:
a. Penentuan tujuan pembelajaran
Langkah pertama aktivitas pembelajaran dan penilaian dimulai dari
penentuan tujuan atau kompetensi apa yang diinginkan peserta didik lewat
pelaksanaan pembelajaran kejelasan tujuan memberikan arah yang pasti
terhadap pelaksanaan pembelajaran dan penilaiian
b. Penjajagan pengetahuan awal
Ketika tujuan pembelajaran pasti telah di tentukan, biasanya diperlukan
penjajagan pengetahuan awal peserta didik dalam kaitannya dengan tujuan
156

tersebut. Pemahaman terhadap pengetahuan awal peserta didik akan


membantu dalam hal penentuan strategi atau langkah salanjutnya secara
tepat.

c. Penilaian pencapaian pembelajaran


Penilaian pencapaian pembelajaranMerupakan langkah ahir dari rangkaian
proses pembelajaran.
d. Pemanfaatan hasil penilaian
Ada banyak manfaat yang di ambil dari penilaian pencapaian pembelajaran.
Manfaat yang pertama tentu saja adalah untuk memnentukan prestasi belajar
peserta didik dan sebagai penilaian pelaksanan pembelajaran itu sendiri.
Yang kedua mencakup bebrapa aspek mulai dari penetapan tujuan
(kompetensi), bahan ajar, metode dan strategi, media dan lain-lain juga
sampai model penilaian. Selain itu juga untuk menfaatkan untuk laporan ke
berbagai pihak yang trtkait.

I. Karakteristik Penilaian Siswa Sekolah Dasar


1. Bentuk-Bentuk Karakteristik Siswa Sekolah Dasar
a. Mereka secara ilmiah memiliki rasa ingin tahu yang sangat kuat dan
tertarik akan dunia sekita yang mengelilingi merka sendiri.
b. Meeka senang bermain dan bergembira/riang.
c. Mereka suka mengatur dan dirinya untuk menangani berbagai hal yang di
haadapinya, emang ekplorasi suatu situasi dan mencobakan usaha-usaha
baru dan tidak pernah mau diatur oleh orang lain.
d. Mereka belajar dengan cara mengikuti atau berinisitif dari temannya atau
orang lain.
e. Adanya yang minat terhadap kehidupan yang praktis sehari-hari yang
kongkrit.
f. Amat relistik, ingintau dan ingin belajar.
157

g. Menjelang ahir-ahir ini telah ada minat terhadap hal-hal mata pelajaran
yang khusus.
h. Pada umumnya anak terhadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha
menyelesaikan sendirinya .
i. Pada masa ini anak memandang nilai atau angka nilai rapot sebgai
ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah.
j. Anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk
bermain bersama-sama.

2. Penilain dalam Kurikulum 2013 memiliki karakteristik sebagai berikut:


a. Belajar tuntas
Asumsi yang digunakan dalam belajar tuntas adalah peserta didik
dalam mencapai kompetisi yang di tentukan asslkan pesertadidik
mendapatkan bantuan yang tepat dan di beri waktu sesuai degan yang di
butuhkan. Peserta didik yang belajar lambat perlu diberi waktu yang
lebih lama untuk di beri materi yang sama, dibnadingkan peserta didik
pada umumnya.
Untuk kompetensi pada kategori dan pengetahuan dan
keterampilan (KI-3 dan KI-4) peserta didik tidak di perkrnanan
mengerjakan pekerjaan atau kompetensi berikutnya sebelum mampu
menyelesaikan pekerjaan dengan prosedur yang benar dan potensi baik.
b. Otentik
Dalam kaiatannya dengan asmen, dikenal dengan penilaian otentik.
penilaian otentik (outhentic assessment) merupakan cerminan nyata dari
kodisi pembelajaran siswa. Penilaian ontentik harus mencerminkan dunia
nyata buakan dunia sekolah, tidak hanya mengukur apa yang di ketahui
oleh peserta didiktetapi lebih menekankan apa yang dapat dilakukan oleh
peserta didik.
Berikut contoh-contoh tugas ontentik:
1) Pemecahan masalah matematika
2) Melaksanakan percobaan
158

3) Bercerita
4) Menulis laporan
5) Berpidato
6) Membaca puisi
7) Membuat peta perjalanaan
c. Berkesinambungan
Penilaian berkesinambungandimaksudkan sebagai penilaian yang
di lakukan secara terus menerus dan berkelanjutan selama pembelajaran
berlangsung . Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran yang utuh
mengenai perkembangan hasil belajar peserta didik, mematau
proses,kemajuan dan perbaikan hasil untuk terus menerus dalam
penilaian proses dan berbagai jenis ulangan secara berkelannjutan(
ulangan harian, ulanagan tengah semester, ulangan akhir semester).
d. Menggunakan teknik penilaian yang bervariasi
Teknik penilaian yang dipilih dapat berupa tertulis, lisan,produk,
portofolio, unjuk kerja, projek pengamatan dan penilaian diri.
e. Berdasarkan acuan kriteria
Kemampuan peserta didik tidak tidak di bnadingkan dengan
kelompoknya tetapi dibandingakan kriteria yang di tetapkan, misalnya
ketentuan minimal, yang ditetapkan oleh satuan pendidikan masing-
masing. Penilaian didasarkan padaukuran pencapaian kometensi yang di
tetapkan. Kemampuan peserta didik tidak dibandingan terhadap kriteria
yang di tetapkan, misalnya ketentuan belajar minimal (KKM), yang di
tetapkan oleh satuan pendidikan masing-masingdengan
mempertimbangkan karaktristik kompetensi dasar yang akan dicapai,
daya dukung (sarana dan guru), dan karakteristik peserta didik.
KKM diperlukan agar guru mengetahui kompetensi yang sudah
dan belum di kuasai secara tuntas. Guru mengetahui sedini mungkin
kesulitan peserta didik, sehingga pencapaian kompetensi yang kurang
optimal dapat di perbaiki.
159

J. Jenis-Jenis Penilaian
Penilaian pembelajaran bahasa Indonesia dilaksankan melalui berbagai
cara, yaitu tes tertulis (paper and pencil test), penilaian hasil kerja siswa
melalui kumpulan hasil kerja (karya) siswa (portofolio), penilaian produk,
penilaian proyek, dan penilaian unjuk kerja (performance) siswa.
1. Penilaian Tertulis
Penilaian tertulis biasanya diadakan untuk waktu yang terbatas dan
dalam kondisi tertentu.Dari berbagai alat penilaian tertulis, alat penilaian
jawaban benar-salah, isian singkat, dan menjodohkan merupakan alat yang
hanya menilai kemampuan berpikir rendah, yaitu kemampuan mengingat
(pengetahuan). Alat pilihan ganda dapat digunakan untuk menilai
kemampuan mengingat dan memahami. Pilihan ganda mempunyai
kelemahan, yaitu siswa tidak mengembangkan sendiri jawabannya tetapi
cenderung hanya menerka jawaban yang benar. Hal ini menimbulkan
kecenderungan siswa tidak belajar memahami pelajaran tetapi
menghafalkan soal dan jawabannya. Alat penilaian ini kurang dianjurkan
pemakainnya karena tidak menggambarkan kemampuan siswa yang
sesungguhnya.
Bentuk penilaian tertulis ini untuk kegiatan pembelajaran bahasa,
hanya digunakan untuk menilai hal-hal yang terkait dengan pengetahuan
bahasa. Hanya sedikit yang menggunakan bentuk ini, yang diajarkan dalam
bahasa Indonesia ialah keterampilan berbahasa, sehingga bila yang
ditanyakan hanya seputar kemampuan mengingat dan pemahaman, akan sia-
sia. Kalaupun akan menggunakan bentuk ini, soal harus dibuat sedemikian
rupa sehingga tetap yang diujikan mencakup kemampuan keterampilan.

2. Penilaian Kinerja (Performance)


Pada kurikulum tercantum banyak hasil belajar yang menggambarkan
proses, kegiatan, atau unjuk kerja. Untuk menilai hasil belajar tersebut,
dubutuhkan pengamatan terhadap siswa ketika melakukannya. Penilaian
kinerja adalah penilaian berdasarkan hasil pengamatan penilai terhadap
160

aktivitas siswa sebagaimana yang terjadi. Penilaian dilakukan terhadap


kinerja, tingkah laku, atau interaksi siwa. Cara penilaian ini lebih otentik
daripada tes tertulis karena apa yang dinilai lebih mencerminkan
kemampuan sisiwa yang sebenarnya semakin sering guru mengamati unjuk
kerja siswa, semakin terpercaya hasil penilaian kemampuan siswa.
Penilaian dengan cara ini lebih tepat digunakan untuk menilai
kemampuan siswa dalam berpidato, pembacaan puisi, diskusi, pemecahan
masalah, partisipasi siswa dalam diskusi kelompok kecil, membaca nyaring,
bermain drama, kemampuan bertanya, kemampuan berbicara lafal dan
intonasi, dan proses mendengarkan atau menyimak. Penilaian kinerja,
memerlukan alat penilaian. Alat ini harus disusun sedemikian rupa sehingga
dapat benar-benar menjaring kinerja yang dilakukan siswa.

3. Penilaian Produk (Hasil Kerja)


Penilaian hasil kerja atau produk merupakan penilaian kepada siswa
dalam mengontrol proses dan memanfaatkan/ menggunakan bahan untuk
menghasilkan sesuatu, kerja praktik yang dikerjakan siswa. Untuk
pembelajaran bahasa, bentuk penilaian produk ini diantaranya membuat
puisi, cerpen, dan sewaktu-waktu siswa harus membuat kelengkapan
bermain peran, baju, topeng, atau properti lainnya. Atau siswa harus
membuat alat peraga untuk pembelajaran membaca permulaan.

4. Penilaian Portofolio
Portofolio merupakan kumpulan hasil karya (hasil kerja) seorang
siswa dalam satu periode tertentu. Kumpulan karya ini menggambarkan
tarap kemampuan /kompetensi yang telah dicapai seorang siswa. Dengan
demikian, portofolio dapat memperlihatkan perkembangan kemajuan belajar
siswa. Perkembangan tersebut tidak dapat terlihat dari hasil pengujian.
Kumpulan karya siswa itu merupakan refleksi perkembangan berbagai
kompetensi. Portofolio menurut Tierney dkk ( 1991:41) adalah “ Systematic
collections by both students and teachers.” Atau koleksi atau kumpulan
161

sistematik karya yang dikembangkan oleh siswa dan guru. Karya yang
dikumpulkan bisa berupa gambar, karangan, puisi, dan sebagainya.
Kumpulan karya tersebut dapat dipakai sebagai dasar untuk menelaah usaha,
perbaikan, proses, dan pencapaian kemampuan siswa. Melalui refleksi
terhadap koleksi-koleksi karya siswa, guru dan siswa dapat bekerjasama
untuk menentukan kekuatan-kekuatan dan kemajuan-kemajuan siswa.
Karya puisi, cerpen, ilustrasi puisi, kliping puisi atau cerpen, atau
tulisan tegak bersambung siswa kelas rendah dapat dijadikan portofolio.
Dengan portofolio, guru dan siswa secara kolaboratif dapat bekerja sama
untuk meneliti dan melihat kelebihan atau keunggulan-keunggulan karya
puisi atau cerepn siswa bahkan tulisan siswa selama satu semester. Apa
kelebihan siswa dalam karangannya atau apa kekurangan siswa dalam
karangan yang telah dibuatnya.
Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan
informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup
penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan,
ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester yang
diuraikan sebagai berikut:
a. Model Penilaian Berdasarkan Jenisnya
1) Penilaian Otentik
Merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk
menilai aspek sikap, pengetahuan, keterampilan mulai dari masukan
(input), proses, sampai keluaran (output), pembelajaran. Penilaian
otentik bersifat alami, apa adanya, tidak dalam suasana tertekan. Jhon
Mueller membandingkan penilaian tradisional dengan penilaian
otentik sebagai berikut :
PENILAIAN TRADISIONAL PENILAIAN OTENTIK
Memilih suatu tanggapan Mengerjakan tugas
Buatan Dunia nyata
Mengingat/mengenali Konstruksi/penerapan
162

Struktur oleh guru Struktur oleh siswa


Bukti tidak langsung Bukti langsung

Penilaian otentikmenggunakan format penilaian, antara lain


daftar cek (check list), jurnal, catatan bacaan harian, portofolio, video
dari permainan peran, diskusi yang di rekam dalam audio-tapes,
kuesioner evaluasi diri, pengamatan guru, catatan secara anekdot
untuk menilai berbagai kinerja siswa. Format-format ini dapat
menunjukan apakah para siswa benar-benar mengerjakan sesuatu
dibandingkan mengingat sesuatu. (Gaith, 19988).
2) Penilaian diri
Merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik
untuk mengemukakakan kelebihan dan kekurangan dirinya berkaitan
dengan kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran.
3) Penilaian berbasis portofolio
Merupakan penilaian yang dilaksanakan untuk menilai
keseluruhan entitas proses belajar peserta didik termasuk penugasan
perseorangan dan/atau kelompok di dalam dan/atau du luar kelas
dalam kurun waktu tertentu. Portofolio digunakan oleh guru dan
peserta didik untuk memantau secara terus menerus perkembangan
pengetahuan dan keterampilan peserta didiik dalam bidang tertentu.
Dengan demikian penilaian portofolio memberikan gambaran secara
menyeluruh tentang proses dan pencapaian hasil belajar peserta didik.
4) Ulangan
Merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian
kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses
pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar
peserta didik.
5) Ulangan harian
Merupakan kegiatan yang dilakukan secara periodic untuk
menilai kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu sub-
163

tema. Ulangan harian terintegrasi dengan proses pembelajaran lebih


untuk mengukur aspek pengetahuan, dalam bentuk tes tulis, tes lisan,
dan penugasan.
6) Ulangan tengah semester
Merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk
mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan
8-9 minggu kegiatan pembelajaran.
7) Ulangan akhir semester
Merupakan kegiatan yang di lakukan oleh pendidik untuk
mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester.

b. Model Penilaian Berdasarkan Aspeknya


1) Sikap
Penilaian sikap dilakukan melalui kegiatan observasi, penilaian diri,
penilaian antar teman, dan jurnal.
2) Pengetahuan
Penilaian aspek pengetahuan bersumber dari test ulis, tes lisan, dan
penugasan.
3) Keterampilan
Penilaian praktik adalah penilaian yang menuntut respons berupa
keterampilan melakukan suatu aktivitas atau perilaku sesuai dengan
tuntutan kompetensi. Pada penilaian praktik menuntut siswa untuk
melakukan suatu tugas pada situasi yang sesungguhnya yang
mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan.
Misalnya tugas memainkan alat music, menggunakan mikroskop,
menyanyi, bermain peran, menari.

K. Alat Penilaian Bahasa


Secara umum dapat dikatakan bahwa alat yang dipergunakan untuk
melakukan suatu kegiatan itu baik, peluang untukmendapatkan hasil yang baik
dan cukup besar. Sebaliknya, jika alat yang di pergunakan kurang dapat di
164

pertanggung jawabkan tipis kemungkinan mendapatkan hasil yang diharapkan.


Pernyataan tersebut juga berlaku untuk alat yang di pergunakan dalam kegiatan
penilaian.
Secara garis besar, alat penilaian dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu tes dan non tes. Baik teknik tes maupun non tes, keduanya dapat
dipergunakan untuk mendapatkan informasi atau data-data penilaian tentang
subjek belajar yang dinilai secara berhasil guna jika dipakai secara tepat.
Pemilihan secara tepat terhadap kedua jenis alat tersebut tidak dapat
dipisahkandari tujuan penilaian itu sendiri dan jenis informasi yang di
harapkan.
Kedua jenis alat penilaian yang dimaksud dibawah ini akan dibahas di
sertai dengan contoh secukupnya, antara lain :
1. Kuesioner
Kuesioner (questionnaire) atau angket merupakan serangkaian (daftar)
pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada peserta didik (dalam penelitian :
responden) mengenai masalah-masalah tertentu, yang bertujjuan
mendapatkan tanggapan dari peserta didik (responden) tersebut. Angket
dapat bersifat terbuka, tertutup, atau gabungan keduanya.
2. Tes Tertulis
Tes tertulis adalah suatu teknik penilaian yang menuntut jawaban
secara tertulis, baik berupa pilihan atau isian. Tes yang jawabannya berupa
pilihan meliputi pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan, sedanngkan tes
yang jawabannya berupa isian berbentuk isian singkat atau uraian. Tes
tertulis lebih banyak digunakan oleh guru untuk melakukan penilaian.
3. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah teknik penilaian yang dilakukan
dengan menggunakan indera secara langsung. Observasi di lakukan dengan
menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indicator perilaku
yang akan diamati. Misalnya tingkah laku siswa di dalam kelas pada waktu
mengikuti pelajaran.
4. Penugasan
165

Penugasan adalah suatu teknik penilaian yang menuntut peserta didik


melakukan kegiatan tertentu diluar kegiatan pembelajaran di kelas.
Penugasan dapat di berikan dalam bentuk individual atau kelompok.
Penugasan ada yang berupa pekerjaan rumah atau berupa proyek. Pekerjaan
rumah adalah tugas yang harus di selesaikan peserta didik diluar kegiatan
kelas, mislnya menyelesaikan soal-soal dan melakukan latihan. Proyek
adalah suatu tugas yang melibatkan kegiatan perancangan, pelaksanaan, dan
pelaporan secara tertulis maupun lisan dalam waktu tertentu dan umumnya
menggunakan data lapangan.
5. Tes Lisan
Tes lisan dilaksanakan melaluinkomunikasinlangsung tatap muka
antara peserta didik dengan seseorang atau beberapa penguji. Pertanyaan
dan jawaban diberikan secara lisan dan spontan. Tes jenis ini memerlukan
daftar pertanyaan dan pedoman penskoran. Tes lisan ini dapat mengetahui
secara langsung sampai sejauh mana kemampuan dalam menyerap pelajaran
yang telah diberikan.
6. Jurnal
Jurnal mrupakan catatan pendidikan selama proses pembelajaran yang
berisi informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan
dengan kinerja ataupun sikap peserta didik yang di paparkan secara
deskriptif.
7. Penilaian Antarteman
Penilaian antar teman merupakan teknik penilaian dengan cara
meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan atau kekurangan
temannya dalam berbagai hal. Untuk itu perlu ada pedoman penilaian antar
teman yang memuat indikator perilaku yang dinilai.
BAB X
PENGEMBANGAN MEDIA BAHASA INDONESIA

F. Pengertian Media Bahasa di Kelas Rendah


Menurut Heinich, dkk (dalam Winataputra, 2005) yang dikutip oleh
Suprani (2018: 268) kata media berasal dari bahasa latin, merupakan bentuk
jamak dari “medium” yang secara harfiah berarti “perantara” yaitu perantara
sumber pesan dengan penerima pesan. Kegiatan belajar mengajar pada
hakikatnya merupakan proses komunikasi. Dalam proses komunikasi ini, guru
berperan sebagai komunikator yang akan menyampaikan pesan atau bahan ajar
kepada siswa sebagai penerima pesan. Agar pesan atau bahan ajar yang
disampaikan guru dapat diterima oleh siswa maka diperlukan wahana
penyaluran yaitu dengan menggunakan media pengembangan.
Sejalan dengan Heinich, Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah
berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya
untuk belajar. Sementara itu Briggs (1970) berpendapat bahwa media adalah
segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk
belajar buku, film, kaset, film bingkan adalah contoh-contohnya. Asosiasi
Pendidikan Nasional (National Education Association/NEA) memiliki
pengertian yang sedikit berbeda, bahwa media adalah bentuk-bentuk
komunikasi baik tercetak maupun audio visual serta peralatannya. Media
hendaknya dimanipulasi, dapat dilihat, didengar dan dibaca. Apa pun batasan
yang diberikan, ada persamaan di antara batarasan tersebut yaitu bahwa media
adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalu.rkan pesan dari
pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian
dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi
(dalam Arief, 2014: 6-7).
Suparno (1987: 1) mengatakan bahwa media pembelajaran adalah suatu
alat yang dipakai sebagai saluran untuk menyampaikan pesan, yakni pesan
yang tekandung dalam materi pembelajaran. Dalam perspektif yang sedikit
berbeda Darma (1983) memberi istilah media sebagai alat peraga, yaitu alat

166
167

bantu yang digunakan guru dalam mengkomunikasikan materi pelajaran


kepada siswanya. Dengan demikian dapat dipahami betapa pentingnya
penggunaan media dalam setiap proses pembelajaran dilihat dari aspek
didaktis-psikologis lebih-lebih pada pembelajaran di kelas rendah. Artinya,
pembelajaran dengan menggunakan media dapat menyederhanakan masalah
terutama dalam menyampaikan hal-hal yang baru dan asing bagi siswa (dalam
Kadek, 2017).
Maka dapat disimpulkan bahwa media adalah segala alat yang dapat
membuat merangsang siswa untuk melakukan suatu kegiatan pembelajaran.
Sedangkan, pengembangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah proses, cara, perbuatan mengembangkan. Sejalan dengan teori tersebut,
Abdul Majid (2005: 24) mengemukakan bahwa pengembangan adalah suatu
proses mendesain pembelajaran yang logis, dan sistematis dalam rangka untuk
menetapkan segala sesuatu yang akan dilaksanakan dalam proses kegiatan
belajar dengan memperhatikan potensi dan kompetensi peserta didik.
Dengan demikian, media pengembangan bahasa merupakan sesuatu atau
alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari pengirim pesan (guru)
kepada penerima pesan (siswa), sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan
dan perhatian siswa untuk tercapainya tujuan pendidikan (Suprani, 2018).

G. Manfaat Media Dalam Proses Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah


Manfaat media dalam proses pengembangan bahasa di kelas rendah
adalah sebagai berikut :
1. Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat
menumbuhkan motivasi belajar.
2. Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih mudah
untuk dipahami oleh para siswa untuk menguasai sebuah materi.
3. Metode pengajaran akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi
verbal mealui penuruturan kata-kata oleh guru sehingga guru tidak
kehabisan tenaga.
168

4. Siswa lebih giat melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya


mendengarakan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati,
melakukan dan mendemonstrasikan.
Adapun manfaat media pengembangan bahasa dikelas rendah menurut
para ahli :
1. Menurut Kemp dan Dayton dalam bukunya AzharArsyad (2002: 21)
manfaat media adalah :
a. Penyampaian pembelajaran menjadi lebih baku.
b. Pembelajaran bisa lebih menarik.
c. Pembelajaran menjadai lebih interaktif dengan di terapkannya teori
belajar dan prinsip-prinsip sikologis yang diterima dalam hal partisipasi
siswa, umpan balik dan pengetahuan.
d. Lama waktu pembelajaran yang diperlukan dapat dipersingkat karena
kebanyakan media hanya memerlukan waktu singkat untuk
mengantarkan pesan dan pelajaran dalam jumlah yang cukup banyak dan
kemungkinan mudah diserap oleh siswa.
e. Kualitas hasil belajar dapat ditingkatkan bagaimana integrasi kata dan
gambar sebagai media pembelajaran dapat mengkomunikasikan elemen-
elemen pengetahuan dengan cara yang terorganisasiskan dengan baik
spesifik dan jelas.
f. Pembelajaran dapat diberikan kapan dan dimana di inginkan atau
diperlukan terutama jika media pembelajaran dirancang untuk
penggunaaan secara individu.
g. Sikap positif siswa terhadap apa yang mereka pelajari dan terhadap
proses belajar dapat di tingkatkan.
h. Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif: beban guru untuk
menjelaskan yang berulang-ulang mengenai isi pelajaran dapat dikurangi
bahkan dihilangkan sehingga ia dapat memusatkan perhatian kepada
aspek lain dalam proses belajar mengajar.

2. Menurut Sudjana, dkk. (2002: 2) menyatakan manfaat media adalah :


169

a. Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat


menimbulkan motivasi.
b. Bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih
dipahami.
c. Metode mengajar akan lebih bervariasi.
d. Siswa akan lebih banyak melakukan kegiatan belajar.

3. Menurut Encylopedia of Educational Resach dalam Hamalik yang dikutip


Azhar Arsyad (2002: 25) merincikan manfaat media sebagai berikut :
a. Meletakan dasar-dasar yang konkrit untuk berpikir, oleh karena itu
mengurangi verbalisme.
b. Memperbesar perhatian siswa.
c. Meletakan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar, oleh
karena itu membuat pembelajaran lebih mantap.
d. Memberikan pengalaman nyata yang dapat menumbuhkan kegiatan
berusaha sendiri dikalanagan siswa.
e. Menumbuhkan pemikiran yang teratur, terutama melalui gambar hidup.
f. Membuat tumbuhnya pengertian yang dapat membuat perkembangan
kemampuan berbahasa.
g. Memberikan pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain,
dan membantu efesien dan keragaman yang banyak dalam belajar.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, maka secara umum manfaat
media dalam pembelajaran untuk pengembangan bahasa dikelas rendah
adalah untuk memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat
verbalistik, mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera.
Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi
sikap pasif anak didik, karena pembelajaran dengan menggunakan media
dapat menimbulkan kegairahan belajar, memungkinkan interaksi lebih
langsung antara anak didik dengan lingkungan dengan kenyataan, dan
memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan
minatnya.
170

H. Fungsi Media Dalam Proses Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah


Menurut Prof. Suprani dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran
Bahasa Indonesia di Kelas Rendah Sekolah Dasar (2018: 273) mengemukakan
bahwa fungsi media dalam proses pengembangan bahasa adalah sebagai alat
bantu mengajar, yakni sebagai penunjang penggunaan metode mengajar yang
dipergunakan guru, dan apapun fungsi pengembangan media secara luas yaitu:
1. Sebagai penyaji stimulus atau informasi yang berguna untuk meningkatkan
keserasian penerimaan informasi.
2. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu verbalitis.
3. Untuk mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indra.
4. Membuat konkret konsep-konsep yang abstrak.
5. Memperhatikan gerakan-gerakan yang cepat atau lambat.
6. Membantu pemahaman siswa.
7. Membantu guru dalam mengajar.
8. Membawa dunia ke dalam kelas.
9. Melatih keterampilan siswa.
10. Memperkenalkan suatu proses dengan media.
11. Belajar inovatif
12. Mengenal teknologi pendidikan.
13. Meningkatkan motivasi belajar siswa.

I. Kriteria Umum dan Khusus Dalam Memilih Media Pengembangan


Bahasa di Kelas Rendah
Media pembelajaran merupakan salah satu sarana untuk membantu
meningkatkan efektivitas proses belajar mengajar. Kriteria pemilihan media
harus dikembangkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, kondisi dan
keterbatasan yang ada dengan mengingat kemampuan dan sifat-sifat khasnya
(karakteristik) media yang bersangkutan. Dalam hubungan ini Dick dan Carey
(Arif S. Sadiman, dkk., (1990: 86) menyebutkan bahwa di samping kesesuaian
dengan tujuan perilaku dipertimbangkan dalam pemilihan media, yaitu:
171

1. Ketersediaan sumber setempat, artinya bila media yang bersangkutan tidak


terdapat pada sumber-sumber yang ada, maka harus dibeli atau dibuat
sendiri.
2. Ketersediaan dana, tenaga dan fasilitasnya.
3. Faktor yang menyangkut keluwesan, kepraktisan dan ketahanan media yang
bersangkutan untuk waktu yang lama.
4. Efektivitas biayanya dalam jangka waktu yang panjang.
Adapun menurut Azhar Arsyad (2002: 8) kriteria pemilihan media adalah:
1. Sesuai dengan tujuan yang dicapai media dipilih berdasarkan tujuan
instruksional yang telah ditetapkan dan secara umum mengacu kepada salah
satu atau gabungan dari dua atau tiga ranah kognitif, afektif dan psikomotor.
2. Tempat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip
atau generalisasi.
3. Praktis, luwes, dan bertahan lama
4. Guru terampil menggunakannya.
5. Pengelompokan sasaran, kesesuaian dengan sarana belajar yaitu
karakteristik atau kondisi anak dan tujuan pembelajaran.
6. Mutu teknis yaitu kesesuaian antara situasi dan kondisi anak.
Menurut Nana Sujana dan Rivai (2002: 4-5) dalam memilih media
pembelajaran harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Ketepatan dengan tujuan pengajaran artinya media pengajaran dipilih atas
dasar tujuan instruksional yang telah ditetapkan.
2. Dukungan terhadap isi bahan pelajaran artinya bahan pelajaran yang
sifatnya fakta, prinsip konsep dan generalisasi sangat memerlukan bantuan
media agar mudah dipahami anak.
3. Kemudahan memperoleh media artinya media yang diperlukan mudah
diperoleh, setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru pada waktu mengajar.
4. Ketrampilan guru dalam menggunakannya artinya apapun jenis media yang
diperlukan, syarat utama guru harus dapat menggunakannya dalam proses
pengajaran. Nilai dan manfaat bukan pada medianya tetapi dampak
172

penggunaannya oleh guru pada saat terjadinya interaksi belajar siswa


dengan lingkunganya.
5. Tersedia waktu untuk menggunakannya artinya media tersebut dapat
bermanfaat bagi siswa selama pengajaran berlangsung.
6. Sesuai dengan taraf berfikir siswa artinya makna yang terkandung
didalamnya dapat dipahami oleh siswa.
Menurut Suprani (2018: 274-277) Kriteria pemilihan media pembelajaran
secara umum adalah sebagai bentuk kesesuaian dengan tujuan, kesesuaian
dengan materi, kesesuaian dengan karakteristik dengan gaya belajar siswa,
kesesuain dengan kondisi lingkungan, fasilitas dan waktu yang tersedia,
adapun penjelasan dari setiap kriteria umum sebagai berikut:
a. Kesesuaian dengan tujuan (instructional goals) perlu dikaji tujuan
pembelajaran apa yang ingin dicapai dalam suatu kegiatan pembelajaran.
Kemudian bisa dianalisis media apa saja yang cocok guna mencapai tujuan
tersebut,
b. Kesesuaian dengan materi pembelajaran (instructional content) yaitu bahan
atau kajian apa yang akan diajarkan pada program pembelajaran tersebut.
Pertimbangan lainnya dari bahan atau pokok bahasan tersebut sampai
sejauhmana keadaan yang harus dicapai, dengan demikian kita bisa
mempertimbangkan media apa yang sesuai dengan menyampaikan bahan
tersebut.
c. Kesesuaian dengan karakteristik pembelajaran atau siswa, dalam hal ini
media haruslah familiar dengan karekteristik siswa atau guru, yaitu
mengkaji sifat-sifat dan ciri-ciri media yang akan digunakan. Hal lainnya
karakteristik siswa, baik secara kuantitatif (jumlah) atau pun kualitatif
(kualitas), ciri dan kebiasaan lain terhadap media yang akan digunakan.
d. Kesesuaian dengan teori, pemilihan media ini harus didasarkan fanatisme
guru terhadap suatu media yang dianggap paling bagus, namun didasarkan
atas teori yang dianggap yang sesuai. Pemilihan media harus merupakan
bagian integral dari keseluruhan proses pembelajaran yang fungsinya untuk
meningkatkan efisien dan efektiitas pembelajaran.
173

e. Kesesuaian dengan belajar siswa, kriteria ini didasarkan atas kondisi


psikologis siswa, bahwa siswa belajar dipengaruhi pula oleh gaya belajar
siswa.
f. Kesesuaian dengan kondisi lingkungan, fasilitas pendukung, dan waktu
yang tersedia, bagaimana pun bagusnya sebuah media apabila tidak
didukung oleh fasilitas waktu yang tersedia akan kurang efektif. Media juga
terkait dengan user atau penggunaannya dalam hal ini guru, jika guru tidak
memiliki kemampuan untuk menggunakan media tersebut dengan baik
maka akan sia-sia, begitu juga fasilitas lainnya.
g. Adapun enam kriteria khusus dalam memilih media pembelajar yang dapat
dirumuskan dalam kata ACTION yaitu:
1) Acces (akses) artinya media yang diperlukan dapat tersedia, mudah, dan
dapat dimanfaatkan.
2) Cost (biaya) artinya media yang akan dipilih atau digunakan,
pembiayaanya dapat dijangkau.
3) Technology (teknologi) artinya media yang akan digunakan apakah
teknologinya tersedia dan mudah menggunakannya.
4) Interactivy (interaktivitas) artinya media yang akan dipilih dapat
memunculkan komunikasi dua arah atau interaktiitas, sehingga siswa
akan terlibat (aktif) baik secara fisik, intelektual dan mental.
5) Organization (organisasi) artinya dapat memilih media pembelajaran
untuk pengembangan bahasa tersebut, secara organisatoris mendapat
dukungan dari pemimpin sekolah (ada unit organisasi seperti pusat
sumber belajar yang mengelola).
6) Noveity (kebaruan) artinya media yang dipilih tersebut memiliki nilai
kebaruan, sehingga memiliki daya Tarik bagi siswa yang belajar.

J. Jenis-Jenis Penggunaan Media Pengembangan Bahasa di Kelas Rendah


Ada beberapa macam media yang sering digunakan dalam pelaksanaan
pembelajaran. Menurut Hastuti (1997: 177) yang dikutip kembali oleh Suprani
(2018: 277-279) media pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua yaitu media
174

visual yang tidak diproyeksikan dan media visual yang diproyeksikan. Media
visual yang tidak diproyeksikan seperti gambar diam, misalkan lukisan,
gambar, foto, dan lain-lain.
Sedangkan yang termasuk media visual yang diproyeksikan yaitu media
menggunakan alat proyeksi layar dan ada beberapa alat yang sering digunakan
dalam media pengembangan bahasa di kelas rendah di antaranya yaitu:
1. Media Audio
Media audio berfungsi untuk menyalurkan pesan ke penerima pesan. Media
audio berkaitan erat dengan indra pendengar. Contoh media audio yaitu:
pemutaran rekaman suara di laboratorium bahasa, radio, dan lain-lain.
2. Media Visual
Media visual yaitu media yang mengadakan indra penglihatan. Contoh
media visual di antaranya: gambar, lukisan, dan foto.
3. Media Audio Visual
Media audio visual merupakan media yang mampu menampilkan suara dan
gambar. Contoh media audio visual: penayangan video.
4. Media Serbaneka
Media serbaneka merupakan suatu media yang disesuaikan dengan daerah,
di sekolah atau lokasi lain atau di masyarakat yang dapat dimanfaatkan
sebagai media pengajaran. Contoh media serbaneka di antaranya: papan
tulis, media tiga dimensi, realita, dan sumber belajar pada masyarakat.
Adapun klasifikasi macam-macam media pembelajaran (Silabus.org):
1. Media Audio
Media audio berfungsi untuk menyalurkan pesan audio dari sumber pesan
ke penerima pesan. Media audio berkaitan erat dengan indra pendengaran.
Contoh media yang dapat dikelompokkan dalam media audio di antaranya:
radio, tape recorder, telepon, laboratorium bahasa, dan lain-lain.
2. Media Visual
Media visual yaitu media yang mengandalkan indra penglihatan. Media
visual dibedakan menjadi dua yaitu: (1) media visual diam; dan (2) media
visual gerak.
175

a) Media visual diam contohnya foto, ilustrasi, flashcard, gambar pilihan


dan potongan gambar, film bingkai, film rangkai, OHP, grafik, bagan,
diagram, poster, peta, dan lain-lain.
b) Media visual gerak contohnya gambar-gambar proyeksi bergerak seperti
film bisu dan sebagainya.
3. Media Audio Visual
Media audio visual merupakan media yang mampu menampilkan suara dan
gambar. Contoh media audio visual seperti film, televisi, video, dan gambar
bersuara.
4. Media Serbaneka
Media serbaneka merupakan suatu media yang disesuaikan dengan potensi
di suatu daerah di sekitar sekolah atau di lokasi lain atau di masyarakat yang
dapat dimanfaatkan sebagai media pengajaran. Contoh media serbaneka di
antaranya: papan tulis, media tiga dimensi, realia, dan sumber belajar pada
masyarakat.
a) Papan yang termasuk dalam media ini di antaranya: papan tulis, papan
bulletin, papan flannel, papan magnetik, papan listrik, dan papan paku.
b) Media tiga dimensi di antaranya: model, mock up, dan diorama.
c) Realia adalah benda nyata seperti apa adanya atau aslinya. Contoh
pemanfaatan realia misalkan guru membawa kelinci, burung, ikan atau
dengan mengajak siswanya langsung ke kebun sekolah atau ke
pertenakan sekolah.
d) Sumber belajar pada masyarakat di antaranya dengan karya wisata dan
berkemah.
Contoh media pembelajaran bahasa Indonesia SD di kelas rendah
1) Media Audio
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia SD kelas rendah guru dapat
menggunakan media pembelajaran audio yaitu media yang berhubungan
dengan indra pendengaran, seperti dengan mendengarkan dan menyanyikan
sebuah lagu anak “Dua Mata Saya”. Dengan media audio tersebut siswa
176

mempelajari mata pelajaran bahasa Indonesia dengan bernyanyi. Dan


dengan media tersebut siswa juga dapat mengenal anggota tubuhnya.
2) Media Visual
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia SD kelas rendah guru dapat
menggunakan media pembelajaran visual yaitu media yang berhubungan
dengan indra penglihatan. Salah satu contohnya yaitu dengan menampilkan
gambar seekor kancil dan buaya, lalu siswa diperintahkan untuk membaca
kisah tentang “Si Kancil dan Buaya”.
3) Media Audio Visual
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia SD kelas rendah guru dapat
mengugunakan media pembelajaran audio visual yaitu media yang
menampilkan gambar dan suara yang berhubungan dengan indra
penglihatan dan pendengaran. Salah satu contoh media audio visual pada
saat pembelajaran bahasa Indonesia yaitu dengan menampilkan sebuah
video animasi yang berhubungan dengan materi yang akan dijelaskan oleh
guru.
4) Media Serbaneka
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia SD kelas rendah guru dapat
menggunakan media pembelajaran serbaneka yaitu media yang disesuaikan
dengan potensi suatu daerah baik di sekolah atau di lokasi tertentu.
Contohnya yaitu membuat alat peraga animasi hewan dalam pembelajaran
story telling “Si Tikus dan Si Singa”.
177

DAFTAR PUSTAKA

Suprani. 2018. Pembaelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Rendah Sekolah Dasar.


Medan: Harapan Cerdas.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: kajian teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
Rosidin, Odien. 2015. Percikan Linguistik. Serang: Untirta Press.
----------. 2009. Psikolinguistik: kajian teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
https://eprints.uny.ac.id/9285/3/bab%202-05205241048.pdf. diakses pada tanggal
11 Februari 2019.
https://m.cnnindonesia.com/nasional/fokus/ahok-tersangka-penistaan-agama-
3390/all. diakses pada tanggal 13 Februari 2019.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Aksi_Bela_Islam. diakses pada tanggal 13
Februari 2019.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-379966601. diakses pada tanggal 13
Februari 2019.
Sudaryanto (2018) TIGA FASE PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA
(1928—2009): KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS. AKSIS Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Volume 2 Nomor 1, Juni 2018 e-
ISSN: 2580-9040 e-
Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Bandung:
Erlangga.
https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik. diakses pada tanggal
12 Februari 2019.
https://id.wikipedia.org/wiki/Edward_Lee_Thorndike. diakses pada tanggal 12
Februari 2019.
https://id.wikipedia.org/wiki/Koneksionisme. diakses pada tanggal 12 Februari
2019.
https://id.wikipedia.org/wiki/Ivan_Pavlov. diakses pada tanggal 12 Februari 2019.
178

https://id.wikipedia.org/wiki/John_Broadus_Watson. diakses pada tanggal 12


Februari 2019.
https://id.wikipedia.org/wiki/B.F._Skinner. diakses pada tanggal 12 Februari
2019.
https://id.wikipedia.org/wiki/Clark_Leonard_Hull. diakses pada tanggal 12
Februari 2019.
https://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi#Psikologi_pendidikan. diakses pada
tanggal 12 Februari 2019.
https://en.wikipedia.org/wiki/Robert_M._Gagne. diakses pada tanggal 12 Februari
2019.
Suyono dan Hariyanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Subadiyono. (2014). PEMBELAJARAN MEMBACA. Palembang: Noer Fikri
Offset.
Yuliana, Rina. (2017). PEMBELAJARAN MEMBACA PERMULAAN DALAM
TINJAUAN TEORI ARTIKULASI PENYERTA. Halaman 345-347.
file:///C:/Users/USER/Downloads/2205-4812-1-SM%20(1).pdf . diakses pada 15
Februari 2019.
Akhadiah, Sabarti, dkk. 1993. BAHASA INDONESIA III. Jakarta: Proyek
Pembinaan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDON
ESIA/196008091986012-YETI_MULYATI/Modul_MMP.pdf.
https://core.ac.uk/download/pdf/12351379.pdf.
Tarigan, Henry Guntur. Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Eprints.uny.ac.id
https://www.google.com/http://repositoryradenintan.ac.id/219/11/Strategi_Menyi
mak_Umi_Hijriyah.pdf.
Tarigan, Henry Guntur. 1979. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.
179

Tarigan, Henry Guntur. 1991. Strategi Pengajaran Dan Pembelajaran Bahasa.


Bandung: Angkasa.
Djuanda, Dadan. Pembelajaran Sastra di SD Dalam Gamitan Kurikulum 2013. vol
1 no 2 Hal (191-200).
Emzir dan Salfur Rohman. 2015. Teori dan Penggajaran Sastra. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
https://media.neliti.com>publications
Djuanda, Dadan. 2010. Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di
Sekolah Dasar. UPI Kampus Sumedang.
Kurniawan, Heru. 2015. PEMBELAJARAN KREATIF BAHASA INDONESIA
(KUTIKULUM 2013). Jakarta: Prenadamedia Group
--------. 2012. Indonesia peringkat ke-11 Negara Pembajak Software.
Kompas.com
https://tekno.kompas.com/read/2012/07/11/08124476/indonesia.peringkat.k
e-11.negara.pembajak.software pada 11 Februari 2019.
Dana, Kadek Handika. 2017. Pentingnya Media dalam Meningkatkan Kualitas
Pembelajaran Siswa di Sekolah Dasar. Artikel
hhtps://www.researchgate.net/publication/315111340_PENTINGNYA_M
EDIA_DALAM_MENINGKATKAN_KUALITAS_PEMBELAJARA_SI
SWA_DI_SEKOLAH_DASAR. diakses pada tanggal 14 Februari 2018.
eprints.uny.ac.id/7759/3/bab%202%20-%2008103249021.pdf
https://silabus.org/macam-macam-media-pembelajaran/amp/
kbbi.web.id

Anda mungkin juga menyukai