Anda di halaman 1dari 24

Bab II Dasar Teori

2.1 Buck Converter Buck converter adalah salah satu topologi DC-DC konverter yang digunakan untuk menurunkan tegangan DC. Prinsip kerja rangkaian ini adalah dengan kendali pensaklaran. Komponen utama pada topologi buck adalah penyaklar, dioda freewheel, induktor, dan kapasitor. Pada gambar 2.1 ditunjukkan topologi buck converter yang masih dasar dengan nilai komponen yang belum diketahui.

Gambar 2.1 Topologi Buck Converter Penyaklar dapat berupa transistor, mosfet, atau IGBT. Kondisi saklar terbuka dan tertutup ditentukan oleh isyarat PW M. Pada saat saklar terhubung, maka induktor, kapasitor, dan beban akan terhubung dengan sumber tegangan seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2.2 . Kondisi semacam ini disebut dengan keadaan ON (ON state). Saat kondisi ON maka dioda akan reverse bias. Sedangkan saat saklar terbuka maka seluruh komponen tadi akan terisolasi dari sumber tegangan seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2.4 . Keadaan ini disebut dengan kondisi OFF (OFF state). Saat kondisi OFF ini dioda menyediakan jalur

untuk arus induktor. Buck converter disebut juga down converter karena nilai tegangan keluaran selalu lebih kecil dari inputnya. Berikut ini adalah penjelasan mengenai kedua kondisi pada buck converter.

Gambar 2.2 Keadaan ON (ON State) Pada saat kondisi ON maka rangkaian buck converter akan nampak seperti gambar 2.2 dan dioda akan reverse bias. Dengan demikian maka tegangan pada induktor adalah Sehingga diperoleh,

(2.1)

(2.2)

selama nilai turunan dari arus adalah konstanta positif, maka arus akan bertambah secara linear seperti yang digambarkan pada gambar 2 .3 selama selang waktu 0 sampai dengan DT. Perubahan pada arus selama kondisi ON dihitung dengan menggunakan persamaan 2.2

(2.3) (2.4)

Gambar 2.3 Arus induktor pada buck converter Pada saat kondisi OFF atau saklar terbuka, maka dioda menjadi forward bias untuk menghantarkan arus induktor, dan rangkaian buck converter akan nampak seperti gambar 2.4 Tegangan pada induktor saat saklar terbuka adalah Sehingga diperoleh

(2.5)

(2.6)

turunan dari arus di induktor adalah konstanta negatif, dan arus berkurang secara linear, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3 pada ruas (1-D)T. perubahan pada arus induktor ketika saklar terbuka adalah

(2.7) (2.8)

Gambar 2.4 Keadaan OFF

10

Operasi keadaan t nak (sta y stat) terpenuhi jika arus pada indukt r pada akhir siklus penyaklaran adalah sama dengan saat awal penyaklaran, artinya perubahan pada arus indukt r selama satu peri de adalah nol Hal ini berarti (iL)closed + (iL)open = 0 Berdasarkan persamaan (iL)closed dan (iL)open diperoleh

(2. )

Dengan menyelesaikan Vo diperoleh hubungan

(2.10)

Yang sama dengan apabila menghitung nilai dari int egral keluaran selama 1 periode

(2.11)

Berdasarkan pada persamaan 2.10 dan 2.11 karena nilai tegangan keluaran buck converter sebanding dengan nilai duty cycle, maka untuk memperoleh nilai keluaran tegangan yang bervariasi, caranya adalah dengan mengubah nilai duty cyclenya. Salah satu topologi rangkaian buck converter yang dapat digunakan ditunjukkan pada gambar 2.5. Topologi ini menggunakan BJT Power Transistor (TIP3055) sebagai komponen penyaklarnya. Selain itu menggunakan transistor driver (TIP32) untuk memberikan suplai arus yang cukup ke basis BJT Power Transistor sehingga dapat bekerja pada daerah saturasinya.

11

Kapasitor filter pada buck converter dihitung dengan pendekatan pada persamaan 2.12.  

(2.12)

Rangkaian buck converter pada gambar 2.5 menggunakan topologi yang diberikan oleh datasheet IC T 494.

Gambar 2.5 Topologi Buck converter Prinsip kerja buck converter ini adalah pada saat level PWM memberikan level tinggi(1) maka resistor Q3 akan aktif yang membuat arus akan megalir melalui R3 dan menuju ground serta mengaktifkan transistor Q2. Transistor Q1 pun juga menjadi aktif dan nilai tegangan pada kaki katoda di ode D1 adalah sama dengan Vs=48V dan nilai tegangan pada kaki-kaki induktor = V akan sama dengan VsVo. Namun saat level PWM adalah low(0) maka transistor Q3 tidak aktif dan arus tidak dapat mengalir menuju kaki basis Q2 karena nilai tegangan basis pada Q2 sama dengan tegangan supply DC buck converter, yaitu 48 V. Akibatnya

12

transistor Q2 menjadi tidak akti dan menyebabkan Q1 tidak akti juga serta tidak dapat mengalirkan arus dari sumber DC 4 V. Dari prinsip kerja ini maka dapat diketahui bahwa buck converter ini akan menghasilkan tegangan output yang tinggi jika duty cycle PWM tinggi atau mendekati 100%. Sesuai dengan datasheet IC TL4 4, duty cycle PWM dikendalikan dengan memberikan nilai tegangan antara 0,3 V sampai dengan 2,5 V pada kaki DTC (pin.4 TL4 4). Tegangan 0 V menyebabkan duty cycle 100% dan tegangan 2,5 V menyebabkan duty cycle 0% (100% dead time).

2.2 Difference Amplifier Operational Amplifier atau di singkat op-amp merupakan salah sat u komponen analog yang sering digunakan dalam berbagai aplikasi rangkaian elektronika. Aplikasi op-amp yang paling sering dipakai antara lain adalah rangkaian inverter, non-inverter, integrator dan di erensiator. Aplikasi lain dari op-amp yang juga sering dipakai adalah error amplifier. Aplikasi ini berdasarkan pada prinsip kerja op-amp sebagai difference amplifier. Difference amplifier adalah rangkaian elektronika analog yang

menggunakan operational amplifier atau op-amp untuk membandingkan dua masukan pada masukan inverting dan non-inverting. Biasanya gain dibatas i dengan memberikan feedback.

13

Gambar 2.6 Difference Amplifier Pada gambar 2.6 ditunjukkan salah satu penggunaan difference mplifier yang paling sederhana. Pada rangkaian ini masukan non-inverting langsung diperoleh dari Vin1. Masukan Vin2 biasanya adalah tegangan referensinya. Apabila Vin2 dihubungkan ke ground maka rangkaian ini a kan menjadi penguat non-inverting. Namun apabila Vin2 dihubungkan pada sebuah tegangan referensi, maka nilai tegangan output akan mengikuti persamaan

(2.13)

Dengan menggunakan error mplifier, maka nilai keluaran dari error

mplifier akan selalu dibandingkan sehingga masukaninverting dan non-inverting

sama. Error mplifier dengan menggunakan op-amp adalah salah satu cara mengurangi error secara analog.

2.3 Sinyal PWM (Pulse width modulation) PWM atau pul e width modulation adalah salah satu cara untuk mendapatkan tegangan yang memiliki kondisi terbuka penuh (ON) atau tertutup penuh (OFF). Cara paling sederhana untuk mendapatkan sinyal PWM adalah dengan metode interseksi, yang membutuhkan gelombang gergaji atau gelombang segitiga dan komparator. Frekuensi gelombang gergaji akan sama dengan

14

frekuensi PWM. Komparator digunakan sebagai penghasil gelombang kotak dengan membandingkan masukannya . Metode pembangkitan PWM dengan membandingkan gelombang segitiga dan tegangan DC dapat dilihat pada gambar 2.7 di mana saat masukan sinyal segitiga masih lebih rendah dari sinyal DC pembandingnya maka keluaran komparator akan rendah/ OW. Dan ketika sinyal segitiga telah lebih tinggi dari sinyal DC maka keluaran komparator akan tinggi/HIGH. M aka dengan mengubah nilai tegangan DC-nya akan mempengaruhi perbandingan panjang gelombang tinggi terhadap periodenya atau yang disebut dengan dut c cle (D).

Gambar 2.7 Pembangkitan PWM secara analog Teknik pembangkitan gelombang PWM lainnya adalah secara digital. Pembangkitan ini biasanya dilakukan menggunakan mikrokontroler dengan metode time proportioning. Metode ini memanfaatkan fitur counter yang terdapat pada mikrokontroler yang akan bertambah se cara periodis yang terhubung langsung dengan clock/pendetak rangkaian mikrokontroler. Counter akan tereset pada akhir setiap periode dari PWM. Ketika nilai counter lebih dari nilai referensinya, keluaran PWM berubah dari kondisi HIGH ke sebaliknya sesuai dengan pengaturan). Metode OW (atau dengan

pembangkitan

mikrokontroler ditunjukkan pada gambar 2.8.

15

Pertambahan nilai dari counter (TCNTn) pada gambar 2.8 mirip dengan metode gelombang gigi gergaji. Hanya saja penggunaan counter adalah versi diskret dari metode interseksi. Tingkat ketelitian pada PWM digital sangat dipengaruhi oleh resolusi counter. Semakin tinggi nilai resolusinya maka akan diperoleh hasil yang lebih baik.

Gambar 2.8 Pembangkitan PWM dengan counter mikrokontroler Salah satu pemanfaatan PWM adalah untuk switching. Pada

pengendalian daya dengan frekuensi tinggi penggunaan saklar menggunakan komponen semikonduktor wajib digunakan, hal ini dikarenakan saklar mekanik tidak mampu digunakan untuk frekuensi tinggi. Kondisi on dan off pada PWM digunakan sebagai kontrol saklar elektronis semikonduktor yang berpengaruh pada kontrol tegangan dan arus yang mengalir melalui beban. 2.4 Mikrokontroler ATMega8535 Mikrokontroler ATMega8535 adalah salah satu keluarga dari AVR yang memiliki fitur yang cukup lengkap. Mulai dari kapasitas memori program dan memori data yang cukup besar, interupsi, timer/counter, PWM, USART, TWI, analog comparator, EEPROM internal, dan juga ADC internal semuanya ada

16

dalam ATMega 535. Sehingga

dengan fitur

yang cukup lengkap ini

memungkinkan untuk dapat belajar mikrokontroler keluarga AVR dengan lebi h mudah dan efisien, dan bahkan dapat merancang suatu sistem untuk kepentingan komersial mulai dari yang sederhana sampai dengan sistem yang relatif kompleks hanya dengan menggunakan satu IC saja, yaitu IC ATMega 535. Oleh karena itu, IC ATMega 535 dapat dianalogikan seperti sebuah komput er yang dapat melakukan proses tertentu sesuai dengan programnya. Selain itu, kemampuan kecepatan eksekusi yang lebih tinggi menjadi alasan kuat bagi banyak orang untuk memilih ATMega 535, yang juga mikrokontroler keluarga AVR, dibandingkan dengan mikrokontroler

pendahulunya yaitu keluarga MCS-51.

2.4.1 Fi u AT Berikut ini adalah fitur-fitur yang dimiliki oleh ATMega 535: a. 130 macam instruksi yang hampir semuanya dieksekusi dalam 1 siklus clock. b. 32x -bit register serba guna c. Kecepatan mencapai 16MIPS dengan clock 16MHz. d. Kbyte Flash Memory, yang memiliki fasilitas In-System Programming.

e. 512 byt e internal EEPROM. f. 512 byt e SRAM. g. Programming Lock, fasilitas untuk mengamankan kode program. h. 2 buah timer/counter -bit dan 1 buah timer/counter 16-bit.

17

i. 4 channel output PWM. j. 8 channel ADC 10-bit. k. Serial USART. l. Master/Slave SPI serial interface. m. Serial TWI atau I2C. n. On-Chip Analog Comparator.

2.4.2 Konfig rasi Pin ATMega8535 Konfigurasi Pin pada ATMega 8535 dapat dilihat pada gambar 2.9 berikut.

Gambar 2.9 Konfigurasi pin ATMega8535 Penjelasan fungsi dari pin ATMega 8535 adalah sebagai berikut: 1. VCC pin yang dihubungkan dengan catu daya 5V. 2. GND pin ini merupakan pin ground. 3. Port A(PA0..PA7) masukan ADC. 4. Port B(PB0..PB7) merupakan pin I/O dua arah dan pin dengan fungsi khusus seperti timer/counter, ISP port, dan analog comparator. merupakan pin I/O dua arah yang juga merupakan

5. Port C(PC0..PC ) merupakan pin I/O dua arah dan pin fungsi khusus yait u TWI dan Timer oscillator. 6. Port D(PD0..PD7) merupakan pin I/O dua arah dan pin fungsi khusus yait u komunikasi serial, output PWM, dan interupsi eksternal. 7. RESET adalah pin yang akan aktif jika diberikan logika rendah unt uk mereset program mikrokontroler. . XTAL1 dan XTAL2 adalah pin masukan clock ekst ernal yang berasal dari kristal osilator. . AVCC merupakan masukan tegangan untuk mengaktifkan ADC. 10. AREF merupakan pin masukan untuk tegangan referensi ADC.

2.4.3 Anal

to Di ital Converter(ADC)

Salah satu fitur ATMega 535 yang cukup penting adalah fitur ADC yang terintegrasi di dalam chip. Resolusinya pun cukup tinggi yaitu 10bit dengan channel input. Rangkaian internal ADC ini membutuhkan catu daya sendiri, yaitu pada pin AVCC. Tegangan AVCC yang diperbolehkan adalah VCC 0,3volt , sehingga biasanya AVCC dihubungkan dengan VCC secara langsung jika menggunakan fitur ADC. Selain memiliki resolusi 10-bit, ADC ini juga dapat digunakan untuk resolusi -bit. Untuk resolusi -bit, data hasil konversi ADC dirumuskan sebagai berikut:

(2.14)

19

di mana VIN adalah tegangan masukan yang akan dikonversi yang diperoleh dari pin masukan ADC dan VREF adalah tegangan referensi, atau dalam beberapa sistem digunakan referensi yang sama dengan VCC. Proses ADC yang dilakukan oleh ATMega 8535 terdiri dari 2 tahap, yaitu inisialisasi ADC dan konversi ADC.

2.4.3.1 Inisialisasi ADC Sebelum ADC dapat digunakan untuk mengkonversi nilai tegangan analog ke digital, ada beberapa register pada ATMega 8535 yang harus diatur parameterparameternya. Register-register tersebut diantaranya adalah ADMUX dan ADCSRA. Tiap bit dalam register ADMUX pada gambar 2.10 ataupun ADCSRA pada gambar 2.11 merupakan parameter bit yang harus dilakukan inisialisasi.

Gambar 2.10 Register ADMUX

Gambar 2.11 Register ADCSRA Register ADMUX adalah register 8-bit yang digunakan untuk: y Bit 7:6 REFS1:0 : Reference Selection Bits Bit REFS1 dan REFS0 digunakan untuk menentukan tegangan referensi dari ADC seperti ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut.

20

Tabel 2.1 Pemilihan tegangan referensi ADC


REFS1
0 0 1 1

REFS0
0 1 0 1 Pin AREF

Tegangan Referensi
Pin AVCC, dengan pin AREF diberi kapasitor Tidak digunakan Internal 2,56V dengan pin AREF diberi kapasitor

y Bit 5

AD AR : ADC eft Adjust Result

Bit AD AR digunakan untuk mengatur format penyimpanan data ADC pada register ADC dan ADCH. Format penyimpanan ini ditunjukkan pada gambar 2.12 untuk nilai AD AR=1 dan 0.

Gambar 2.12 ADCH dan ADC y Bit 4:0 MUX4:0 : Analog Channel and Gain Selection Bits Pada tabel 2.2 ditunjukkan bahwa dengan melakukan inisialisasi yang berbeda pada bit MUX4..0 maka channel ADC yang dikonversi pada operasi singleended input akan berubah-ubah. Tabel 2.2 Pemilihan Channel ADC

21

Register ADCSR A adalah regist er -bit yang digunakan untuk mengatur frekuensi yang dipakai ADC dengan menentukan prescalernya serta mengatur mode kerja ADC.
y Bit 7 ADEN : ADC Enable

Bit ADEN digunakan untuk mengaktifkan dan menonaktifkan fasilitas ADC. Jika bit di set1 maka ADC diaktifkan dan jika bernilai 0 maka ADC tidak Aktif.
y Bit 5 ADATE : ADC auto trigger enable

Bit ini digunakan untuk mengaktifkan pemicu proses konversi ADC sesua i dengan bit-bit ADTS pada register SFIOR. Jika bit ADATE bernilai 1 berarti pemicu ADC diaktifkan.
y Bit 4 ADIF : ADC Interupt Flag

Bit ADIF adalah bendera int erupsi ADC yang digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya permintaan interupsi ADC. Bit ADIF akan bernilai 1 jika proses konversi ADC telah selesai.
y Bit 3 ADIE : ADC Int erupt enable

Bit ADIE digunakan untuk menonaktifkan interupsi ADC. Jika bernilai 1 dan bit-I pada SREG diset 1 maka saat terjadi permintaan interupsi ADCI (bit ADIF bernilai 1) akan membuat program melompat ke vektor interupsi ADC yaitu 0x00E.
y Bit 2:0 ADPS2:0 : ADC prescaler Select Bits

22

Bit ADPS2, ADPS1, ADPS0 digunakan untuk menentukan faktor pembagi atau skala frekuensi kristal yang kemudian hasilnya digunakan sebagai frekuensi clock ADC. Nilai faktor yang diperoleh dengan menginisialisasi bit ADPS2..0 dapat diketahui pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Skala Clock ADC

2.4.3.2 Konversi ADC ADC ATMega8535 memiliki 2 mode konversi, yaitu free running dan single ended conversion. Pada mode single ended, konversi akan dimulai saat bit ADSC pada register ADCSRA diset 1 . Pada mode free runing konversi dilakukan terus menerus tanpa harus menunggu perintah atau dengan kata lain konversi selanjutnya dilakukan segera setelah konversi sebelumnya berakhir. Pengecekan terhadap data hasil konversi dapat diketahui dengan mengetahui nilai bit ADIF. Saat bit ADIF telah bernilai 1 maka data konversi telah selesai dan dapat digunakan. Pada mode single ended, untuk memulai konversi berikutnya bit ADIF harus dinolkan kembali dan bit ADSC diset kembali. Hasil konversi ADC disimpan pada register ADCH dan ADC (gambar

2.12). Format penyimpanan ditentukan oleh bit AD AR pada register ADMUX.

23

2.4.3.3 Timer/Counter ATMega8535 memiliki 3 modul timer/counter. Timer dapat digunakan sebagai pencacah, pembangkit PWM, dan interupsi. Pada tugas akhir ini, berfungsi sebagai pembangkit PWM. PWM yang digunakan diatur dengan menginisialisasi register TCCR (Timer/Counter Control Register). Karena akan digunakan 2 PWM yang tidak saling mempengaruhi maka Timer/Counter 1 yang digunakan. Untuk itu, yang diinisialisasi adalah register TCCR1A dan TCCR1B dengan nama bit parameter seperti pada gambar 2.1 3. TCCR1A dan TCCR1B diinisialisasi bersama namun kegunaannya berbeda satu sama la in. Cara pengaturan bitnya akan dijelaskan pada bagian lain.

Gambar 2.13 Register TCCR1A dan TCCR1B

Dengan mengatur bit parameter TCCR1A dan TCCR1B maka akan diperoleh mode kerja dan keluaran yang berbeda pada pin OC1A dan OC1B. Timer/Counter 1 merupakan modul T imer/Counter 16-bit yang dapat berfungsi sebagai pencacah tunggal, pembangkit PWM 16 -bit, pembangkit frekuensi, pencacah event eksternal, dan sebagai pembangkit interupsi yang terdiri dari 4 sumber pemicu yaitu 1 interupsi overflow, 2 interupsi output compare match dan 1 interupsi input capture.

24

Inisialisasi kerja Timer/Counter 1 dapat ditentukan dengan mengatur register TCCR1A, TCCR1B, TCNT1H, TCNT1L, OCR1AH, OCR1AL, OCR1BH, OCR1BL serta TIMSK dan TIFR. TCNT1 akan membatasi nilai TOP Timer/Counter1 dan OCR1A atau OCR1B akan menjadi nilai pembandingnya (Output Compare). Pola keluaran pada OC1A atau OC1B yang dihasilkan oleh

Timer/Counter1 ditentukan pula oleh bit COM1A1..0 atau COM1B1..0 pada register TCCR1A. Pola keluaran ini ditunjukkan pada tabel 2.4, tabel 2.5, dan tabel 2.6. Tabel 2.4 Pola Keluaran pin OC1A/OC1B Mode non-PWM
COM1A1/ COM1B1 0 0 1 COM1A0/ COM1B0 0 1 0 Deskripsi Operasi normal,OC1A/OC1B tidak terhubung ke pin Toggle jika TCNT1=OCR1A/OCR1B Bernilai 0 jika TCNT1=OCR1A/OCR1B Bernilai 1 jika TCNT1=OCR1A/OCR1B

Tabel 2.5 Pola Keluaran pin OC1A/OC1B Mode Fast PWM


COM1A1/ COM1B1 0 0 COM1A0/ COM1B0 0 1 Deskripsi Operasi normal,OC1A/OC1B tidak terhubung ke pin. -Jika WGM13:0=15, OC1A bergulir pada saat CNT1=OCR1A dan OC1B sebagai port I/O -WGM yang lain, OC1A/OC1B sebagai port I/O 1 0 Bernilai 0 setelah TCNT1=OCR1A/OCR1B dan bernilai 1 setelah mencapai TOP.

Bernilai 1 setelah TCNT1=OCR1A/OCR1B dan bernilai 0 setelah mencapai TOP.

25

Tabel 2.6 Pola Keluaran pin OC1A/OC1B Mode phase correct PWM
COM1A1/ COM1B1 0 0 COM1A0/ COM1B0 0 1 Deskrisi Operasi normal,OC1A/OC1B tidak terhubung ke pin. -ika WGM13:0=9 atau 14, OC1A bergulir pada saat CNT1=OCR1A dan OC1B sebagai port I/O -WGM yang lain, OC1A/OC1B sebagai port I/O 1 0 Bernilai 0 setelah TCNT1=OCR1A/OCR1B saat up counter dan bernilai 1 setelah

TCNT1=OCR1A/OCR1B saat down counter.

Bernilai 1 setelah TCNT1=OCR1A/OCR1B saat up counter dan bernilai 0 setelah

TCNT1=OCR1A/OCR1B saat down counter.

Bit CS12, CS11, CS10 digunakan untuk mengatur skala sumber clock yang akan digunakan oleh Timer/counter 1 seperti terlihat pada tabel berikut: Tabel 2.7 Skala Clock Timer/Counter 1

Skala clock timer/counter, akan digunakan untuk menyekalakan frekuensi kristal osilator ke frekuensi yang diinginkan. Namun frekuensi PWM hasil dari penyekalaan ini masih dipengaruhi juga oleh nilai puncak dari timer/counter. Semakin tinggi resolusi bit timer/counter maka nilai frekuensi maksimal yang dapat dihasilkan akan semakin rendah. FOC1A dan FOC1B hanya digunakan pada mode non -PWM.

26

Jika FOC1A diset 1 maka pin OC1A akan dipaksa mengeluarkan sinyal sesuai spesifikasi yang ditentukan oleh COM1A1:0.

Jika FOC1B diset 1 maka pin OC1B akan dipaksa mengeluarkan sinyal sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan oleh COM1B1:0. Mode keluaran PWM pada OC1A dan OC1B ada 15 macam. Selain

mengatur pada register TCCR1A, setiap mode operasi juga diperoleh dengan mengatur bit parameter pada register TCCR1B. Pengaturan itu dapat ditentukan dengan melihat pada tabel 2.8. Tabel 2.8 Mode kerja Timer/Counter 1

Nilai frekuensi yang dihasilkan oleh PWM mikrokontroler ditentukan oleh frekuensi kristal osilator, skala Timer, dan nilai puncak Timer yang digunakan (TOP).

(2.15)

dan nilai dut c cle PWM yang dihasilkan:


(2.16)

27

2.5 IC TL494 T 494 adalah sebuah IC control pulse-width-modulation (PWM).

Dengan metode pengendalian memanfaatkan lebar pulsa untuk memberikan variasi suplai tegangan. Block diagram internal IC pada gambar 2.14 menunjukkan bahwa dalam IC T 494 memiliki fitur yang cukup lengkap, diantaranya error amplifier, pulse steering flip-flop, reference regulator, DTC (dead time controller), dan 2 keluaran berupa transistor open collector.

Gambar 2.14 Block Diagram IC T 494 Konfigurasi pin pada IC T 494 ditunjukkan pada gambar 2.1 5. Pada gambar 2.15 ditunjukan bahwa T 494 merupakan IC yang tergolong kecil dengan jumlah pin 16.

Gambar 2.15 Konfigurasi Pin IC T 494

TL4 4 adalah suatu sirkuit kontrol PWM berfrekuensi tetap. Frekuens i pada oscilator internal ditentukan oleh komponen CT dan RT, perhitungan nila i frekuensi osilator ditentukan oleh persamaan:

(2.17)

Tetapi frekuensi osilator setara dengan frekuens i output hanya berlaku untuk aplikasi single-ended. Untuk aplikasi push-pull output frekuensi bernilai setengah dari frekuensi osilator. Aplikasi single ended:

(2.1 )

Aplikasi push-pull:

(2.1 )

Output PWM dihasilkan dengan perbandingan gelombang segitiga yang dihasilkan dari internal osilator dengan salah satu dari sinyal kontrol. Sinya l kontrol dihasilkan dari dua sumber: rangkaian kontrol dead-time (off-time) dan error amplifier. Dead time control input dibandingkan langsung dengan komparator kontrol dead time. Sedangkan PWM komparator membandingkan sinyal kontrol yang dihasilkan oleh error amplifier. Salah satu fungsi dari error amplifier adalah untuk memonitor t egangan output dan memberikan gain yang cukup agar kesalahan dalam millivolts pada input menghasilkan nilai yang cukup pada sinyal kontrol untuk memberikan kontrol modulasi 100%. TL4 4 dapat bekerja dengan 2 kondisi yaitu push-pull dan single-ended, pada push-pull operation kontrol output yang dhubungkan dengan tegangan 5V referensi (pin 14), di mana kedua output transistor diaktifkan oleh pulse steering

flip-flop. Frekuensi output sama dengan setengah dari frekuensi osilator. Sedangkan pada single-ended operation kontrol output dihubungkan ke ground untuk mematikan pulse steering flip-flop. Ketika arus output drive lebih tinggi dibutuhkan untuk single-ended operation, Q1 dan Q2 dapat dihubungkan secara paralel dan frekuensi output akan sama dengan frekuensi osilator. TL4 4 mempunyai tegangan referensi int ernal 5,0V yang mampu untuk membangkitkan hingga 10mA dari arus beban untuk sirkuit bias eksternal. Nila i referensi memiliki ket elitian internal dari 5,0% dengan sebuah tipe

penyimpangan thermal kurang dari 50mV melebihi sebuah nilai operating temperatur dengan range 00 700C. Dead time control dapat dimanfaatkan juga pada aplikasi soft start saat perangkat mulai dioperasikan. Soft start akan menyebabkan 100% dead time sehingga tidak ada arus yang ditarik oleh beban. Seiring dengan pertambahan waktu, maka nilai PWM perlahan akan dikendalikan oleh keluaran error amplifier. Penggunaan soft start akan mengurangi resiko kerusakan pada perangkat karena adanya arus beban awal (inrush) yang berlebihan. Rangkaian soft start dari datasheet ditunjukkan pada gambar 2.16.

Gambar 2.16 Rangkaian Soft start

30

Pengaruh soft start pada PWM sistem adalah seperti ditunjukkan gambar 2.17. PWM mula-mula akan rendah karena tegangan DTC adalah mendekati VREF. Hal ini disebabkan tegangan pada CS masih rendah. Set elah CS t erisi maka selanjutnya tegangan pada DTC adalah tegangan pada R2 yang merupakan pembatas nilai duty cycle sehingga tidak terlalu besar.

Gambar 2.17 Keluaran PWM dengan soft start Waktu yang diperlukan untuk melakukan soft start ditentukan dengan persamaan 2.1 berikut:
 

(2.20)

dengan nilai CS

(2.21)

Anda mungkin juga menyukai