Anda di halaman 1dari 46

BAB 2 PEMBAHASAN 1. 1.1 KEMOTERAPI DALAM GINEKOLOGI Gambaran Umum 1.1.

1 Definisi Merupakan bentuk pengobatan kanker dengan menggunakan obat sitostatika yaitu suatu zat-zat yang dapat menghambat proliferasi sel-sel kanker. Kemoterapi merupakan cara pengobatan kanker dengan jalan memberikan zat/obat yang mempunyai khasiat membunuh sel kanker atau menghambat proliferasi sel-sel kanker dan diberikan secara sistematik. Obat anti kanker yang artinya penghambat kerja sel (Munir, 2005). Untuk kemoterapi bisa digunakan satu jenis sitostika. Pada sejarah awal penggunaan kemoterapi digunakan satu jenis sitostika, namun dalam perkembangannya kini umumnya dipergunakan kombinasi sitostika atau disebut regimen kemoterapi, dalam usaha untuk mendapatkan hasiat lebih besar (Admin, 2009). 1.1.2 Tujuan 1) Pengobatan. 2) Mengurangi massa tumor selain pembedahan atau radiasi. 3) Meningkatkan kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup. 4) Mengurangi komplikasi akibat metastase. 1.1.3 Manfaat 1) Pengobatan Beberapa jenis kanker dapat disembuhkan secara tuntas dengan satu jenis kemoterapi atau beberapa jenis kemoterapi. 2) Kontrol Kemoterapi ada yang bertujuan untuk menghambat perkembangan kanker agar tidak bertambah besar atau menyebar ke jaringan lain. 3

3) Mengurangi gejala Bila kemoterapi tidak dapat menghilangkan kanker, maka kemoterap yang diberikan bertujuan untuk mengurangi gejala yang timbul pada penderita, seperti meringankan rasa sakit dan memberi perasaan lebih baik serta memperkecil ukurran kanker pada daerah yang diserang. 1.2 Prinsip kerja obat kemoterapi (sitostatika) terhadap kanker. Menurut Munir (2005), sebagian besar obat kemoterapi (sitostatika) yang digunakan saat ini bekerja terutama terhadap sel-sel kanker yang sedang berproliferasi, semakin aktif sel-sel kanker tersebut berproliferasi maka semakin peka terhadap sitostatika hal ini disebut Kemoresponsif, sebaliknya semakin lambat proliferasinya maka kepekaannya semakin rendah , hal ini disebut Kemoresisten. Kemoterapi bekerja dengan cara: 1. 2. 3. 1.3 Merusak DNA dari sel-sel yang membelah dengan cepat, yang dideteksi oleh jalur p53/Rb, sehingga memicu apoptosis Merusak aparatus spindel sel, mencegah kejadian pembelahan sel. Menghambat sintesis DNA

Obat-Obat Kemoterapi Menurut Munir (2005), jenis obat yang digunakan pada tindakan kemoterapi ada beberapa macam, diantaranya adalah : 1) Obat golongan Alkylating agent, platinum Compouns, dan Antibiotik Anthrasiklin obst golongsn ini bekerja dengan antara lain mengikat DNA di inti sel, sehingga sel-sel tersebut tidak bisa melakukan replikasi. 2) Obat golongan Antimetabolit, bekerja langsung pada molekul basa inti sel, yang berakibat menghambat sintesis DNA. 3) Obat golongan Topoisomerase-inhibitor, Vinca Alkaloid, dan Taxanes bekerja pada gangguan pembentukan tubulin, sehingga terjadi hambatan mitosis sel.

4) Obat golongan Enzim seperti, L-Asparaginase bekerja dengan menghambat sintesis protein, sehingga timbul hambatan dalam sintesis DNA dan RNA dari sel-sel kanker tersebut. 1.4 Pola pemberian kemoterapi (Munir, 2005) 1) Kemoterapi Induksi Ditujukan untuk secepat mungkin mengecilkan massa tumor atau jumlah sel kanker, contoh pada tomur ganas yang berukuran besar (Bulky Mass Tumor) atau pada keganasan darah seperti leukemia atau limfoma, disebut juga dengan pengobatan penyelamatan. 2) Kemoterapi Adjuvan Biasanya diberikan sesudah pengobatan yang lain seperti pembedahan atau radiasi, tujuannya adalah untuk memusnahkan sel-sel kanker yang masih tersisa atau metastase kecil yang ada (micro metastasis). 3) Kemoterapi Primer Dimaksudkan sebagai pengobatan utama pada tumor ganas, diberikan pada kanker yang bersifat kemosensitif, biasanya diberikan dahulu sebelum pengobatan yang lain misalnya bedah atau radiasi. 4) Kemoterapi Neo-Adjuvan Diberikan mendahului/sebelum pengobatan /tindakan yang lain seperti pembedahan atau penyinaran kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi lagi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan massa tumor yang besar sehingga operasi atau radiasi akan lebih berhasil guna. 1.5 Cara pemberian obat kemoterapi (Munir, 2005) 1) Intra vena (IV) Kebanyakan sitostatika diberikan dengan cara ini, dapat berupa bolus IV pelan-pelan sekitar 2 menit, dapat pula per drip IV sekitar 30 120 menit, atau dengan continous drip sekitar 24 jam dengan infusion pump upaya lebih akurat tetesannya.

2) Intra tekal (IT) Diberikan ke dalam canalis medulla spinalis untuk memusnahkan tumor dalam cairan otak (liquor cerebrospinalis) antara lain MTX, Ara.C. 3) Radiosensitizer, yaitu jenis kemoterapi yang diberikan sebelum radiasi, tujuannya untuk memperkuat efek radiasi, jenis obat untukl kemoterapi ini antara lain Fluoruoracil, Cisplastin, Taxol, Taxotere, Hydrea. 4) Oral Pemberian per oral biasanya adalah obat Leukeran, Alkeran, Myleran, Natulan, Puri-netol, hydrea, Tegafur, Xeloda, Gleevec. 5) Subkutan dan intramuskular Pemberian sub kutan sudah sangat jarang dilakukan, biasanya adalah L-Asparaginase, hal ini sering dihindari karena resiko syok anafilaksis. Pemberian per IM juga sudah jarang dilakukan, biasanya pemberian Bleomycin. 6) Topikal 7) Intra arterial 8) Intracavity 9) Intraperitoneal/Intrapleural Intraperitoneal diberikan bila produksi cairan acites hemoragis yang banyak pada kanker ganas intra-abdomen, antara lain Cisplastin. Pemberian intrapleural yaitu diberikan kedalam cavum pleuralis untuk memusnahkan sel-sel kanker dalam cairan pleura atau untuk mengehntikan produksi efusi pleura hemoragis yang amat banyak , contohnya Bleocin. 1.6 Prosedur Tindakan Kemoterapi Pada Pasien (Herdata, 2009) 1) Persiapan Pasien Sebelum pengotan dimulai maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang meliputi:

a) c)

Darah tepi; Hb, Leuko, hitung jenis, Trombosit. Fungsi ginjal; Ureum, Creatinin dan Creatinin Clearance Test bila serum creatinin meningkat.

b) Fungsi hepar; bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali phosphat.

d) Audiogram (terutama pada pemberian Cis-plastinum) e) EKG (terutama pemberian Adriamycin, Epirubicin). Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut : 1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status penampilan <= 2. Status Penampilan Penderita Ca (Performance Status) ini mengambil indikator kemampuan pasien, dimana penyakit kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal ini juga menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang tepat pada pasien dengan sesuai status penampilannya. Skala status penampilan menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group) adalah sebagai berikut: a. Grade 0: masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas kerja dan pekerjaan sehari-hari. b. Grade 1: hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan. c. Grade 2: hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk tiduran dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat melakukan pekerjaan lain. d. Grade 3: Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50% waktunya untuk tiduran. e. Grade 4: Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul hanya di kursi atau tiduran terus 2. Jumlah lekosit >=3000/ml 2) Syarat pasien yang layak mendapat tindakan kemoterapi :

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Jumlah trombosit>=120.0000/ul Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10 gram % Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) (Tes Faal Ginjal) Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal ( Tes Faal Hepar ). Elektrolit dalam batas normal. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas 70 tahun. Keadaan umum cukup baik. informed concent.

10. Penderita mengerti tujuan dan efek samping yang akan terjadi, 11. Faal ginjal dan hati baik. 12. Diagnosis patologik 13. Jenis kanker diketahui cukup sensitif terhadap kemoterapi. 14. Riwayat pengobatan (radioterapi/kemoterapi) sebelumnya. 3) Prosedur Pemberian Kemoterapi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Periksa pasien, jenis obat, dosis obat, jenis cairan, volume cairan, cara pemberian, waktu pemberian dan akhir pemberian. Pakai proteksi : gaun lengan panjang, topi, masker, kaca mata, sarung tangan dan sepatu. Lakukan tehnik aseptik dan antiseptic Pasang pengalas plastik yang dilapisi kertas absorbsi dibawah daerah tusukan infuse Berikan anti mual jam sebelum pemberian anti neoplastik (primperan, zofran, kitril secara intra vena) Lakukan aspirasi dengan NaCl 0,9 % Beri obat kanker secara perlahn-lahan (kalau perlu dengan syringe pump) sesuai program Bila selesai bilas kembali dengan NaCl 0,9% Semua alat yang sudah dipakai dimasukkan kedalam kantong plastik dan diikat serta diberi etiket.

10. Buka gaun, topi, asker, kaca mata kemudian rendam dengan deterjen. Bila disposible masukkkan dalam kantong plasrtik kemudian diikat dan diberi etiket, kirim ke incinerator / bakaran. 11. Catat semua prosedur 12. Awasi keadaan umum pasien, monitor tensi, nadi, RR tiap setengah jam dan awasi adanya tanda-tanda ekstravasasi. 1.7 Efek samping kemoterapi (Herdata, 2008) Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sumsum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker. Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi. Untuk menghindari efek samping intolerable, dimana penderita menjadi tambah sakit sebaiknya dosis obat dihitung secara cermat berdasarkan luas permukaan tubuh (m2) atau kadang-kadang menggunakan ukuran berat badan (kg). Selain itu faktor yang perlu diperhatikan adalah keadaan biologik penderita. Untuk menentukan keadaan biologik yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum (kurus

sekali, tampak kesakitan, lemah sadar baik, koma, asites, sesak, dll), status penampilan (skala karnofsky, skala ECOG), status gizi, status hematologis, faal ginjal, faal hati, kondisi jantung, paru dan lain sebagainya. Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif tinggi, pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain yang efek samping terhadap organ tersebut lebih minimal. Intensitas efek samping tergantung dari karakteristik obat, dosis pada setiap pemberian, maupun dosis kumulatif, selain itu efek samping yang timbul pada setiap penderita berbeda walaupun dengan dosis dan obat yang sama, faktor nutrisi dan psikologis juga mempunyai pengaruh bermakna. Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh : 1. Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ tubuh tertentu. 2. Dosis. 3. Jadwal pemberian. 4. Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus). 5. Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada organ tertentu. Umumnya efek samping kemoterapi terbagi atas : 1. Efek amping segera terjadi (Immediate Side Effects) yang timbul dalam 24 jam pertama pemberian, misalnya mual dan muntah. 2. Efek samping yang awal terjadi (Early Side Effects) yang timbul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu kemudian, misalnya netripenia dan stomatitis. 3. Efek samping yang terjadi belakangan (Delayed Side Effects) yang timbul dalam beberapa hari sampai beberapa bulan, misalnya neuropati perifer, neuropati. 4. Efek samping yang terjadi kemudian (Late Side Effects) yang timbul dalam beberapa bulan sampai tahun, misalnya keganasan sekunder.

10

Efek samping Kemoterapi timbul karena obat-obat kemoterapi sangat kuat, dan tidak hanya membunuh sel-sel kanker, tetapi juga menyerang sel-sel sehat, terutama sel-sel yang membelah dengan cepat. Karena itu efek samping kemoterapi muncul pada bagian-bagian tubuh yang sel-selnya membelah dengan cepat. Efek samping dapat muncul ketika sedang dilakukan pengobatan atau beberapa waktu setelah pengobatan. Efek samping yang selalu hampir dijumpai adalah gejala gastrointestinal, supresi sumsum tulang, kerontokan rambut. Gejala gastrointestinal yang paling utama adalah mual, muntah, diare, konstipasi, faringitis, esophagitis dan mukositis, mual dan muntah biasanya timbul selang beberapa lama setelah pemberian sitostatika dab berlangsung tidak melebihi 24 jam. Gejala supresi sumsum tulang terutama terjadinya penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia), sel trombosit (trombositopenia), dan sel darah merah (anemia), supresi sumsum tulang belakang akibat pemberian sitistatika dapat terjadi segera atau kemudian, pada supresi sumsum tulang yang terjadi segera, penurunan kadar leukosit mencapai nilai terendah pada hari ke-8 sampai hari ke-14, setelah itu diperlukan waktu sekitar 2 hari untuk menaikan kadar laukositnya kembali. Pada supresi sumsum tulang yang terjadi kemudian penurunan kadar leukosit terjadi dua kali yaitu pertama-tama pada minggu kedua dan pada sekitar minggu ke empat dan kelima. Kadar leukosit kemudian naik lagi dan akan mencapai nilai mendekati normal pada minggu keenam. Leukopenia dapat menurunkan daya tubuh, trombositopenia dapat mengakibatkan perdarahan yang terus-menerus/ berlabihan bila terjadi erosi pada traktus gastrointestinal. Kerontokan rambut dapat bervariasi dari kerontokan ringan dampai pada kebotakan. efek samping yang jarang terjadi tetapi tidak kalah penting adalah kerusakan otot jantung, sterilitas, fibrosis paru, kerusakan ginjal, kerusakan hati, sklerosis kulit, reaksi anafilaksis, gangguan syaraf,

11

gangguan hormonal, dan perubahan genetik yang dapat mengakibatkan terjadinya kanker baru. Kardiomiopati akibat doksorubin dan daunorubisin umumnya sulit diatasi, sebagian besar penderita meninggal karena pump failure, fibrosis paru umumnya iireversibel, kelainan hati terjadi biasanya menyulitkan pemberian sitistatika selanjutnya karena banyak diantaranya yang dimetabolisir dalam hati, efek samping pada kulit, saraf, uterus dan saluran kencing relatif kecil dan lebih mudah diatasi. Kemoterapi dapat mempengaruhi sel normal di lambung, sel lambung ini kemudian mengirim sinyal ke pusat muntah di otak, karena sinyal ini direspon berbeda sehingga memicu mual dan muntah. Ada kala kemoterapi akan langsung bekerja di pusat muntah di otak. Mekanisme ini juga akan memicu mual dan muntah. 1.9 Langkah-Langkah Pemberian Obat Kemoterapi Oleh Perawat Semua obat dicampur oleh staf farmasi yang ahli dibagian farmasi dengan memakai alat biosafety laminary airflow kemudian dikirim ke bangsal perawatan dalam tempat khusus tertutup. Diterima oleh perawat dengan catatan nama pasien, jenis obat, dosis obat dan jam pencampuran. Menurut Admin (2009), bila tidak mempunyai biosafety laminary airflow maka, pencampuran dilakukan diruangan khusus yang tertutup dengan cara : 1. Meja dialasi dengan pengalas plastik diatasnya ada kertas penyerap atau kain 2. Pakai gaun lengan panjang, topi, masker, kaca mata, sepatu. 3. Ambil obat sitostatika sesuai program, larutkan dengan NaCl 0,9%, D5% atau intralit. 4. Sebelum membuka ampul pastikan bahwa cairan tersebut tidak berada pada puncak ampul. Gunakan kasa waktu membuka ampul agar tidak terjadi luka dan terkontaminasi dengan kulit. Pastikan bahwa obat yang diambil sudah cukup, dengan tidak mengambil 2 kali

12

5. Keluarkan udara yang masih berada dalam spuit dengan menutupkan kapas atau kasa steril diujung jarum spuit. 6. Masukkan perlahan-lahan obat kedalam flabot NaCl 0,9 % atau D5% dengan volume cairan yang telah ditentukan 7. Jangan tumpah saat mencampur, menyiapkan dan saat memasukkan obat kedalam flabot atau botol infus. 8. Buat label, nama pasien, jenis obat, tanggal, jam pemberian serta akhir pemberian atau dengan syringe pump. 9. Masukkan kedalam kontainer yang telah disediakan. 10. Masukkan sampah langsung ke kantong plastik, ikat dan beri tanda atau jarum bekas dimasukkan ke dalam tempat khusus untuk menghindari tusukan. 1.11 Penatalaksanaan Kemoterapi Berdasarkan Evidence Based 1. Kemoterapi pada PTG (Unsri, 2008) Tatalaksana PTG adalah berdasarkan staging dan skoring. Kemoterapi adalah modalitas utama pada pasien dengan PTG. Angka keberhasilan terapi pada PTG risiko rendah adalah 100% dan lebih dari 80% pada PTG risiko tinggi. Andrijono, melaporkan angka keberhasilan terapi pada PTG nonmetastasis 95,1%, risiko rendah 83,3% , risiko tinggi hanya 50 % dengan angka kematian karena PTG berkisar 8-9%. Kemoterapi pada PTG risiko rendah adalah kemoterapi tunggal, dengan pilihan utama Methotrexate. Kemoterapi tunggal lain yang dapat digunakan adalah Dactinomycin.Sedangkan pada PTG risiko tinggi menggunakan kemoterapi kombinasi diberikan kombinasi EMA-CO (etoposide,methotrexate,actinomycin,cyclophosphamaide Etoposide ), EP ( Etoposide, Cisplatinum). Evakuasi molahidatidosa dilakukan sesaat setelah diagnosis ditegakkan,hal didasarkan perhitungan bahwa evakuasi dilakukan untuk menghindari abortus mola sehingga perlu tingakan akut, menghindari komplikasi hipertiroid atau perforasi serta untuk memperoleh jaringan dan oncovin) sebagai terapi primer atau menggunakan kombinasi ME (Metothrexate,

13

untuk diagnosis histopatologi. Dengan perkembangan kemoterapi yang mempunyai angka keberhasilan terapi yang tinggi, kuretase cukup dilakukan satu kali. Histerektomi dilaporkan dilakukan pada kasus molahidatidosa usia tua dan terbukti mengurangi angka kematian dari koriokarsinoma. Histerektomi juga dilakukan pada keadaan darurat pada kasus perforasi,pada kasus metastasis liver, otak yang tidak respon terhadap kemoterapi serta pada kasus PSTT. Penyakit trofoblas gestasional adalah radiosensitive, karena radiasi mempuyai efek tumorosidal serta hemostatik, Radioterapi dapat dilakukan pada metastasis otak atau pada pasien yang tidak bisa diberikan kemoterapi karena alasan medis. a. Penatalaksanaan PTG. 1. Stadium I. Pada pasien dengan stadium I, seleksi penangananya adalah berdasarkan fertilitas penderita, yaitu : histerektomi + kemoterapi. Jika sistem anak fertilitas, histerektomi dengan adjuvan agen kemoterapi tunggal mungkin merupakan pengobatan primer. Kemoterapi adjuvant yang digunakan harus memenuhi 3 alasan : a. Mengecilkan penyebaran sel tumor pada saat operasi b. Mempertahankan level sitotoksik kemoterapi pada peredaran darah dan jaringan yang merupakan tempat penyebaran tumor pada saat opertasi. c. Pengobatan metastatis yang tersembunyi yang telah ada pada saat operasi. Pada penatalaksanaan PTG Stadium satu, kemoterapi aman diberikan pada saat histerektomi tanpa peningkatan risiko perdarahan atau sepsis. Pada 1 seri yang terdiri dari 29 pasien yang diterapi pada satu institusi dengan histerektomi primer dan menunjukkan remisi adjuvant kemoterapi tunggal, semuanya

komplit tanpa tambahan terapi. Histerektomi juga selalu dilakukan

14

pada stadium I PSTT. Sebab PSTT

resisten terhadap terapi ,

histerektomi hanya dilakukan pada penyakit yang nonmetastatik dan merupakan pengobatan kuratif. Pada penderita PSTT metastatik yang pernah dilaporkan kemoterapi. a. Kemoterapi tunggal Kemoterapi tunggal lebih baik pada penderita dengan stadium I yang masih membutuhkan fertilitas. pada suatu penerlitian dengan kemoterapi tunggal yang diberikan pada 399 pasien dengan stadium I PTG, 373 ( 93,5%) mengalami respon komplit. Dua puluh enam pasien yang resisten mengalami remisi pada kemoterapi kombinasi atau operatif. Pada pasien yang resisten terhadap kemoterapi tunggal dan masih membutuhkan sistem reproduksi , dapat diberikan kemoterapi kombinasi. Jika pasien resisten terhadap kemoterapi tunggal dan kemoterapi kombinasi dan masih ingin mempertahankan sistem reproduksi dapat dilakukan reseksi uterus lokal. Jika direncanakan reseksi lokal USG preoperatif, MRI atau arteriogram mungkin menolong mendefinisikan bagian tumor yang resisten. b. Kemoterapi kombinasi Sejak ditemukannya kemoterapi yang efektif, maka kesembuhan pada semua pasien dengan PTG risiko rendah dapat diharapkan, tetapi pada PTG risiko tinggi kesembuhan hanya berkisar 52-89% bahkan dengan MTX-Actinomisin-D dan Sikloposfamid/ klorambusil (MAC) sebagai terapi primer PTG risiko tinggi yang metastatik. Regimen MEA dari suatu penelitian tanpa siklofosfamid, Vinkristin adalah kombinasi yang dapat ditolerir dan efektif dalam mengobati wanita dengan PTG risiko tinggi. Efek samping MEA yang didapatkan adalah mielosupresi, alopesia reversibel) grade 2-3) dan nausea ( grade 2). Leuko mengalami remisi setelah

15

dan trombositopenia grade 4 terjadi pada 5,3 dan 6,4% dari 94 siklus. Pergantian kemoterapi EMA/CO juga dilaporkan efektif dan dapat ditoleransi untuk pasien PTG risiko tinggi. Laporan terbaru dari RS Charing Cross terhadap regimen ini menunjukkan 78% remisi komplit, 86% tingkat survival 5 tahun kumulatif dan toksisitas minimal kecuali untuk keganasan. ke2. Uji klinik acak dengan faktor risiko tinggi yang sama dapat mendefinisikan regimen optimal untuk wanita dengan PTG risiko tinggi, walaupun agaknya tidak mungkin karena pada penyakit jarang ini ada tingkat respon yang tinggi terhadap banyak regimen terapi. Baru-baru ini keganasan kedua yang terjadi setelah regimen kemoterapi yang mengandung etoposide telah dilaporkan. Risiko leukemia mieloid, ca kolon dan ca mammae secara bermakna meningkat. Walaupun mekanisme keganasan kedua setelah kemoterapi sekuensial/ kombinasi dengan etoposide belum diketahui, pasien yang diberi etoposide perlu di follow up lebih ketat. 2. Stadium II dan stadium III. Pasien dengan risiko rendah diterapi dengan kemoterapi tunggal, dan pasien dengan risiko tinggi dengan kemoterapi kombinasi primer yang intensif. a. Metastasis ke pelvis dan vagina Pada penelitian dengan 26 pasien stadium II yang diterapi dengan kemoterapi tunggal memberikan remisi komplit sebanyak 16 dari 18 ( 88,9%) pada penderita dengan risiko rendah. Kontrasnya hanya 2 dari 8 orang yang mempunyai risiko tinggi mengalami remisi dengan kemoterapi tunggal dan lainnya dengan kemoterapi kombinasi. Metastasis vagina mungkin menyebabkan perdarahan yang hebat sebab mempunayai vaskuler yang banyak. Ketika perdarahan ini

16

substansial akan dapat dikontrol dengan melokalisir vagina atau dengan lokal eksisi yang luas. Embolisasi Arteriografi arteri hipogastrika mungkin bisa mengontrol perdarahan metastasis vagina. b. Metastasis ke paru-paru. Dari penelitian terhadap 130 pasien dengan stadium III yang diterapi 129 (99%) menunjukkan remisi komplit. Remisi gonadotropin diinduksi dengan kemoterapi tunggal pada 71 dari 85 ( 83,5%) pasien dengan risiko rendah. Semua pasien yang resisten terhadap kemoterapi tunggal sebagian mengalami remisi dengan kemoterapi kombinasi. Torakotomi merupakan batas pemanfaatan pada stadium III. Jika pasien mengalami metastasis pulmo yang persisten dan diberikan kemoterapi intensif, bagaimana pun torakotomi mungkin bisa mengeksisi fokus yang resisten. Pada penderita resisten yang telah dilakukan torakotomi, kemoterapi harus diberikan pada postoperatif untuk mengobati mikrometasis yang tersembunyi. c. Histerektomi. Histerektomi mungkin dilakukan pada pasien dengan metastasis untuk mengontrol perdarahan uterus atau sepsis. Selanjutnya pada pasien-pasien yang tumornya meluas, histerektomi mungkin secara substansial menghambat tumor trofoblas dan membatasi untuk pemberian kemoterapi. d. Follow-up Semua pasien dengan stadium I difollow-up dengan : 1. Pengukuran hCG tiap minggu sampai kadarnya normal selama 3 minggu berturut-turut. 2. Pengukuran hCG setiap bulan sampai nilainya normal 12 bulan berturut-turut. 3. Kontrasepsi yang efektif selama hormonal. interval follow-up sampai stadium III harus

17

3.

Stadium IV. Pasien-pasien stadium IV mempunyai risiko terbesar untuk tumbuh secara progresif cepat dan tidak respon terhadap terapi multimodalitas. Semua pasien stadium IV harus diterapi secara primer dengan kemoterapi intensif dan penggunaan radioterapi yang selektif dan pembedahan. a. Metastasis hepar Penanganan metastasis hepar sebagian sulit. Pada pasienpasien Yang resisten dengan kemoterapi sistemik, infus arteri hepatika mungkin menghambat remisi komplit pada kasus-kasus yang selektif. Reseksi hepar mungkin bisa juga untuk mengontrol perdarahan akut atau untuk mengeksisi fokus tumor yang resisten. Tehnik terbaru tentang embolisasi arteri mungkin diperlukan untuk intervensi pembedahan. b. Metastasis cerebral. Jika didiagnosis metastasis cerebral, dilakukan irradiasi seluruh otak (3000 cGy dengan 10 fraksi). Risiko perdarahan spontan cerebral mungkin bisa terjadi karena kombinasi kemoterapi dan irradiasi otak sebab keduanya mungkin bersifat hemostatik dan bakterisidal. Remisi terbaik yang dilaporkan pada pasien dengan metastasis kranial intravena yang c. Kraniotomi. Kraniotomi dilakukan untuk dekompresi akut atau untuk mengontrol diantaranya perdarahan. mengalami Weed remisi dkk melaporkan Pasien bahwa dengan kraniotomi untuk mengontrol perdarahan pada 6 pasien, 3 komplit. metastasis cerebral yang mengalami remisi umumnya tidak metotreksat intratekal. yang diobati secara intensif dengan kombinasi kemoterapi dan

mempunyai sisa defisit neurologis.

18

d. Follow-up. 1. Nilai hCG tiap minggu sampai normal selama 3 minggu berturut-turut. 2. Nilai hCG setiap bulan sampai normal selama 24 bulan berturut. 2. Kemoterapi pada kanker serviks Penetapan pengobatan kanker serviks berdasarkan Standar Pelayanan Medik Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (2006) : 1. Stadium 0 a. Bila fungsi uterus masih diperlukan: cryosurgery, konisasi, terapi laser atau LLETZ (Large Loop Electrocauter pada Transformation sebagainya b. 2. Pengamatan Pap Smear lanjut pada tunggul serviks dilakukan tiap tahun. Dengan kekambuhan 0,4% Stadium Ia Skuamousa : a. Ia1 dilakukan konisasi pada pasien muda, histerektomi vaginal/abdominal pada pasien usia tua. b. Ia2 histerektomi abdomen dan limfadenektomi pelvik, modifikasi histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvik c. Keadaan diatas PLUS tumor anaplastik atau invasi vaskuler limfatik, dilakukan histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvik. Bila ada kontraindikasi operasi, dapat diberikan radiasi. 3. Stadium Ib/IIa a. Bila bentuk serviks berbentuk barrel, usia <50 tahun, lesi primer <4 sm, indeks obesitas (I.0) <0,70 dan tidak ada kontraindikasi operasi, maka pengobatan adalah operasi radikal. Satu atau dua ovarium pada usia muda dapat ditinggalkan dan Zone). Histerektomi diindikasikan

patologi ginekologi lain, sulit pengamatan lanjut, dan

19

dilakukan ovareksis keluar lapangan radiasi sampai diatas L IV. Post operatif dapat diberikan ajuvan terapi (kemoterapi, radiasi atau gabungan) bila : Radikalitas operasi kurang Kelenjar getah bening pelvis/paraaorta positif Histologik : small cell carcinoma Diferensiasi sel buruk Invasi dan atau limfotik vaskuler Invasi mikroskopik ke parametria Adenokarsinoma/adenoskuamosa b. Bila usia 50 tahun, lesi >4 sm, I.0 >0,70, atau penderita menolak/ada kontraindikasi operasi maka diberikan radiasi. Bila kemudian ada resistensi, maka pengobatan selanjutnya adalah histerektomi radikal. 4. Stadium IIb-IIIb a. Diberikan radiasi. Pada risiko tinggi kemoterapi dapat ditambah untuk meningkatkan respon pengobatan, dapat diberikan secara induksi atau simultan. Secara induksi: bila radiasi diberikan 4-6 minggu sesudah kemoterapi. Secara simultan: bila radiasi diberikan bersamaan dengan kemoterapi. b. Dilakukan CT-Scan dahulu, bila kelenjar getah bening membesar 1,5 sm dilakukan limfadenektomi dan dilanjutkan dengan radiasi. c. Dapat diberikan kemoterapi intra arterial dan bila respon baik dilanjutkan dengan histerektomi radikal atau radiasi bila respon tidak ada. 45Stadium IVa

20

d. Radiasi diberikan dengan dosis paliatif, dan bila respon baik maka radiasi dapat diberikan secara lengkap. Bila respon radiasi tidak baik maka dilanjutkan dengan kemoterapi. Dapat juga diberikan kemoterapi sebelum radiasi untuk meningkatkan respon radiasi. 5. Stadium IVb a. Bila ada simptom dapat diberikan radiasi paliatif dan bila memungkinkan dilanjutkan dengan kemoterapi. b. Bila tidak ada simptom tidak perlu diberikan terapi, atau kalau memungkinkan dapat diberikan kemoterapi. c. Catatan : bila terjadi perdarahan masif yang tidak dapat terkontrol, maka dilakukan terapi embolisasi (sel form) intra arterial (iliaka interna/hipogastrika). 2. RADIOTERAPI DALAM GINEKOLOGI 2.1 Gambaran Umum 2.1.1 Definisi Radioterapi adalah suatu cara pengobatan dengan menggunakan sinar pengion (Wiknjosastro, 1999). Radioterapi adalah jenis terapi yang menggunakan radiasi tingkat tinggi untuk menghancurkan sel-sel kanker (Kreshnamurti, dkk, 2006). 2.1.2 Tujuan Menurut Supriana (2008), radioterapi bertujuan merusak sel-sel abnormal tanpa menimbulkan kerusakan atau gangguan yang berat dan irreversibel pada jaringan sehat di sekitarnya. Tujuan radiasi secara umum terbagi dua yaitu: 1. Radioterapi Definitif Bentuk pengobatan yang ditujukan untuk kemungkinan survive setelah pengobatan yang adekuat, bahkan juga bila kemungkinan survive itu rendah, contoh pada tumor-tumor

21

dengan T4 pada tumor kepala dan leher, pada pasien kanker paru dan kanker serviks stadium FIGO III b atau bahkan IVa. 2. Radioterapi Paliatif Bentuk pengobatan dimana tidak ada lagi harapan untuk hidup pasien untuk jangka panjang. Keluhan dan gejala yang dirasakan oleh pasien yang harus dihilangkan merupakan bentuk pengobatan yang diberikan. Tujuan pengobatan paliatif dengan demikian untuk menjaga kualitas hidup pasien di sisa hidupnya dengan menghilangkan keluhan dan gejala, sehingga pasien hidup dengan lebih nyaman. 2.2 Dasar-Dasar Terapi Radiasi 2.2.1 Proses radiobiologik Proses radiobiologik merupakan perubahan-perubahan yang timbul akibat interaksi antara jaringan hidup dengan sinar pengion serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi akibat interaksi tersebut (Wiknjosastro, 1999). Sinar pengion yang mengenai sel atau jaringan hidup dapat menimbulkan perubahan somatik dan perubahan genetik. Sebagai akibat dari interaksi sinar pengion dengan molekul-molekul dari sel terbentuk pasangan-pasangan ion yang menimbulkan reaksi biokimiawi, dan yang akhirnya menyebabkan gangguan atau berakhirnya proses biologik sel tersebut. Menurut Wiknjosastro (1999), perubahan tingkat seluler yang mungkin timbul ialah sebagai berikut : 1. Kematian langsung sel. 2. Hambatan pembelahan sel. Kadang-kadang sel masih mempu mempertahankan diri, tetapi keturunannya dapat kehilangan daya reproduksi dan kemudian menjadi mati (mati tidak langsung). 3. Hambatan pertumbuhan. Biasanya hal ini akibat kerusakan organel-organel dalam sitoplasma.

22

4. Perubahan kromosom sebagai pembawa keturunan (mutasi genetik). Kepekaan sel terhadap radiasi (radiosensitivitas) berbeda-beda, tergantung pada beberapa faktor : a. Keadaan sel Bergonie dan Tribendeau dalam pengamatannya menyimpulkan bahwa kepekaan sel relatif lebih tinggi pada sel yang mempunyai daya reproduksi tinggi, daripada sel dengan diferensiasi rendah. b. Jenis sel Pada dasarnya sudah ada perbedaan kepekaan dari berbagai sel tubuh, yang dapat digolongkan sebagai: Sangat sensitif : sel gonad, hemopoetik, dan limfoid. Cukup sensitif : sel epitel seperti kulit, mukosa, kornea, pembuluh darah halus, tulang dan tulang rawan yang sedang tumbuh, sel saraf pusat, dan lain-lain. Kurang sensitif : pembuluh darah besar, tulang dan tulang rawan dewasa, otot. Radioresisten : serabut saraf, jaringan ikat. Sel dengan kadar oksigen tinggi relatif lebih sensitif daripada sel-sel berkadar oksigen rendah. Perubahan tekanan oksigen dari 0-30 mmHg dapat meningkatkan kepekaan secara nyata, tetapi di atas 30 mmHg peninggian kepekaan adalah sedikit. d. Bahan-bahan kimia dann obat-obatan Bahan-bahan kimia yang mengandung gugus sulfahidril dapat menurunkan kepekaan, mempunyai sifat radioprotektif. Bahan-bahan yang mengandung purine atau pirimidine dapat menambah kepekaan, mempunyai sifat membuat lebih radiosensitif. Beberapa jenis antibiotika dapat memberi efek sinergistik terhadap radiasi, seperti Aktinomisisn D, Bleomisin.

c. Kadar oksigen

23

e. Suhu Pada percobaan-percobaan binatang ternyata suhu di atas 41o C dapat mempertinggi efek radiasi. f. Hormon Trijodotironin dapat mengurangi kepekaan kulit terhadap radiasi, tetapi sebaliknya dapat menambah kepekaan pada ginjal. Pengaruh hormon terhadap efek radiasi adalah sangat kompleks. Perubahan-perubahan pada tingkat alat tubuh (organ) dapat timbul akut atau menahun. Perubahanperubahan akut memberi gambaran proses inflamasi baik secara klinis maupun histologik. Pada terapi radiasi tumor ginekologik penting diketahui perubahan-perubahan pada traktus inttestinalis, traktus urinarius dan traktus genitalia, di samping perubahan-perubahan pada kulit dan tulangtulang di sekitarnya. Traktus digestivus termasuk jaringan cukup radiosensitif sehingga dengan dosis yang tidak terlampau tinggi dapat timbul gejala-gejala umum seperti enteritis, kolitis, dan proktitis. Demikian pula halnya pada saluran air kencing, dapat timbul gejala-gejala sistitis dan urethritis. Alat-alat tersebut umumnya mempunyai daya tahan (toleransi) sekitar 5000 rad, yang diberikan dalam waktu 5 minggu. Alat genitalia mempunyai radiosensitivitas yang sangat berbeda-beda. Vulva mempunyai daya tahan kirakira sama dengan kulit, yang tergolong cukup sensitif. Mukosa vagina dan endometrium merupkan mukosa yang relatif tahan terhadap radiasi pengion. Diperkirakan dosis antara 20.000 rad dan alat yang sangat sensitif sehingga strerilitas mudah timbul dengan dosis penyinaran yang rendah.

24

Tulang pelvis dan sakrum termasuk cukup tahan dengan radiasi. Namun karena pelvis dan sakrum merupakan bagian dari hemopoetik, maka radiasi pada tulang-tulang tersebut dapat menekan sistem hemopoetik, dengan manifestasi leukopenia atau trombositopenia. Alat abdominal lain yang relatif sensitif ialah ginjal yang menunjukkan gejala-gejala nefritis dengan dosis penyinaran 2500 rad atau lebih. Hepatitis karena radiasi dapat timbul setelah penyinaran 4000 rad atau lebih. Gejala-gejala hepatitis biasanya hanya timbul bila seluruh hepar terkena radiasi, sedangkan bila hanya sebagia saja, tidak akan menimbulkan gejala klinis, demikian pula pada ginjal. Perubahan yang kronis pada alat-alat abdominal biasanya menyebabkan atrofi atau fibrosis yang dapat menimbulkan stenosis pada usus atau ureter, dan penurunan kapasitas kandung kencing. Berat ringannya perubahan-perubahan yang timbul pada jaringan akibat dari radiasi terganttung pula pada faktor hubungan antara waktu, dosis, dan volume. Penyinaran yang diberikan sekaligus (single dose) akan menimbulkan efek lebih berat dibandingkan dengan penyinaran dosis yang sama tetapi diberikan secara bertahap dalam jangka waktu tertentu (fraksional). Penyinaran dengan kecepatan eksposisi (exposure rate) yang tinggi (seperti pada penyinaran eksternal) memberi efek lebih tinggi daripada penyinaran dengan kecepatan eksposisi rendah, seperti penyinaran lokal dengan radium (efek protraksi), oleh karena itu penyinaran lokal dengan radium memerlukan dosis lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama dengan penyinaran eksternal. Volume jaringan yang terkena radiasi dapat mempengaruhi

25

efek radiasi. Makin besar volume penyinaran, makin besar pula efek radiasinya. 2.2.2 Radiofisika Radiofisika merupakan pengenalan terhadap sumber serta sifat sinar pengion. Sumber sinar yang dipakai untuk terapi pada umumnya terdiri atas : a. Generator yang menghasilkan sinar X (sinar foton), sinar elektron, dan sinar neutron. b. Zat radioaktif yang menghasilkan sinar gamma dan beta. Sinar X (foton) yang merupakan hasil benturan elektron mempunyai sifat yang sama dengan sinarr gamma yang dihasilkan oleh zat radioaktif. Kedua-duanya merupkan sinar elektromagnetik. Sinar X (foton) dan sinar gamma yang mempunyai tenaga sama dengan atau lebih dari 1 megavolt (1000 kv) mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu bila dibandingkan dengan sinar X konvensional (sinar X yang dihasilkan oleh tabung Roentgen) yang mempunyai tenaga 300 kv atau kurang, yaitu: a. Sinar X atau gamma dengan tenaga 1 MV (megavolt) atau lebih mempunyai daya tembus yang jauh lebih tinggi daripada sinar X konvensional. b. Sinar X atau gamma bertenaga tinggi (megavolt) mempunyai dosis maksimum di bawah kulit, sehingga kulit dapat terhindar dari akibat radiasi, dosis maksimum pada sinar X bertenaga rendah (konvensional) terdapat di permukaan kulit, sehingga sering menimbulkan kerusakan berat pada jaringan kulit. c. Sinar X atau gamma bertenaga tinggi (megavolt) tidak memberikan perbedaan absorbs di jaringan lunak dan tulang, pada sinar X bertenaga rendah jaringan tulang menyerap sinar jauh lebih banyak dibandingkan dengan jaringan lunak, sehingga mudah menimbulkan kerusakan pada tulang (radionekrosis tulang).

26

Dengan demikian jelas bahwa sinar pengion bertenaga megavolt lebih cocok dipergunakan untuk penyinaran tumor ginekologik umumnya jauh di bawah kulit, dikelilingi tulangtulang pelvis dan sacrum, kecuali tumor vulva.. Sinar elektron atau sinar beta merupakan sinar partikel yang mempunyai daya yang berbeda sedikit dibandingkan dengan sinar X. sinar elektron mempunyai daya tembus yang lebih terbatas, dan dosis sinarnya lebih cepat menurun pada kedalaman tertentu di dalam jaringan. Dengan demikian sinar elektron lebih cocok untuk penyinaran tumor vulva daripada sinar X. Sinar neutron adalah sinar partikel yang pada penelitianpenelitian ternyata member keuntungan bila disbanding dengan sinar X dan elektron, yaitu dapat mematikan sel-sel baik yang beroksigen tinggi maupun rendah. Tidak ada perbedaan efek radiasi akibat kadar oksigen tinggi atau rendah. 2.2.3 Teknologi Teknologi mempunyai peranan yang cukup penting dalam perkembangan radioterapi. Ditemukannya pesawat Cobalt merupakan babak baru bagi radioterapi disbanding sebelumnya, mengingat sinar gamma dari Cobalt 60 merupakan sinar megavoltage yang mempunyai kelebihan-kelebihan disbanding dengan pesawat konvensional. Terlebih-lebih dengan diperkembangkannya linear accelerator yang dapat menghasilkan sinar bertenaga jauh lebih tinggi, serta kapasitas pesawat yang lebih baik, membawa tujuan radioterapi lebih dekat lagi. 2.2.4 Patologi Untuk mencapai tujuan radioterapi diperlukan pengenalan yang baik tentang anatomi patologik dan fisiologi patologik tumor. Dosis dan teknik radiasi harus selalu disesuaikan dengan jenis anatomi patologik, sifat-sifat penjalaran tumor dan tingkat kliniknya.

27

2.3

Alat-Alat yang Digunakan untuk Terapi Radiasi Terapi radiasi mempergunakan sinar-sinar pengion yang dapat dihasilkan oleh generator dan zat radioaktif (Wiknjosastro, 1999). 2.3.1 Sumber sinar pengion dari generator Sinar-sinar pengion yang dihasilkan generator biasanya dipergunakan untuk penyinaran luar (Wiknjosastro, 1999).

1. Penyinaran dengan pesawat konvensional (orthovoltage) Dalam pesawat ini sinar pengion (sinar X, sinar foton) dihasilkan di dalam tabung Roentgen. Perbedaan tegangan listrik yang terdapat antara katode dan anode di dalam tabung hampa udara dapat menimbulkan pergerakan elektron yang cepat dari katode kea rah anode. Benturan elektron dengan target menghasilkan sinar X dan panas. Kekuatan sinar X yang dihasilkan dapat dihasilkan dengan mengatur perbedaan tegangan anatara katode dan anode. Untuk penyinaran yang letaknya di permukaan badan (superficial) dapat dipergunakan sinar X dengan kekuatan 10 KV-50 KV, sedang untuk penyinaran yang ditujukan pada daerah yang dalam diperlukan tenaga 200-300 KV. Jenis pesawat ini tidak banyak lagi digunakan dalam pengobatan tumor ginekologik, mengingat daya tembus yang relative terbatas dan dosis yang diserap kulit relative tinggi, sehingga banyak menimbulkan kerusakan kulit dan juga lebih banyak diserap oleh tulang daripada jaringan lunak sehingga dapat menimbulkan nekrosis tulang. 2. Penyinaran dengan pesawat megavoltage (supervoltage) Pada jenis pesawat ini gerakan elektron dipercepat secara bertahap di dalam lapangan elektromagnetik sedemikian rupa, sehingga dapat dihasilkan elektron dengan kekuatan 1000 KV (=1 megavolt) atau lebih. Percepatan elektron dapat

28

dilakukan dalam arah yang lurus (linear) seperti pesawat linear accelerator atau di dalam arah yang berbentuk sirkuler/spiral seperti pada betatron. Elektron dengan kekuatan megavolt ini dapat dipergunakan langsung untuk terapi radiasi, terapi dapat juga dirubah menjadi sinar X (foton) yang mempunyai daya tembus lebih kuat. Pesawat-pesawat linear accelerator ini sekarang yang paling banyak digunakan untuk terapi radiasi tumor-tumor ginekologik, sebab mempunyai daya tembus yang kuat, juga memberikan reaksi pada kulit yang sangat ringan dan tidak mudah menimbulkan gangguan pada tulang-tulang, karena penyerapan sinar di tulang maupun di jaringan lunak tidak berbeda. 2.3.2 Sumber sinar pengion dari zat radioaktif Menurut Wiknjosastro (1999), zat radioaktif yang menghasilkan sinar-sinar pengion dapat dipergunakan untuk terapi radiasi dalam dua bentuk, yakni: 1. Sumber radioaktif tertutup Zat radioaktif tersimpan dalam wadah (container) sedemikian rupa, sehingga tidak ada hubungan langsung antara zat radioaktif tersebut dengan jaringan tubuh. Bentuk, ukuran, dan jenis wadah tersebut disesuaikan dengan tujuan pengobatan, yaitu: a. Teletherapy (telegamma) Tujuannya ialah untuk penyinaran dari luar dengan jarak cukup jauh antara sumber dan kulit. Sejumlah beberapa ribu kurie zat radioaktif disimpan dalam suatu wadah yang berfungsi sebagai sumber penyinaran luar, seperti pada pesawat telecobalt 60 dan telecesium 137. Pesawat Cobalt 60 menghasilkan sinar gamma yang kekuatannya lebih dari 1 megavolt, sehingga pesawat ini banyak pula digunakan pada terapi radiasi tumor-tumor

29

ginekologik, b. Brachytherapy

disamping

pesawat

linear

accelerator

(Wiknjosastro, 1999). Brachytherapy adalah radiasi dalam jarak yang dekat. Sumber radiasi berbentuk kabel, lempengan yang dimasukkan ke dalam tumor untuk menyalurkan radiasi dengan dosis tinggi. Sumber radioaktif ini adalah cesium, iridium, dan iodine. Pengobatan tipe ini sangat efektif untuk beberapa jenis kanker, seperti kanker serviks, beberapa kasus kanker leher dan kepala, serta paru-paru (Kreshnamurti, dkk, 2006). Penyinaran dilakukan dengan meletakkan sumber sinar langsung/berdekatan dengan jaringan tumor. Zat radioaktif yang dipergunakan dapat dalam bentuk batang, tabung, jarum, butir-butir, atau kawat. Menurut Kreshnamurti, dkk (2006), penggunaan brachytherapy dilakukan dalam 2 cara: 1. Sebagai aplikasi dengan menggunakan alat pembantu yang disesuaikan dengan keadaan tempat penyinaran (aplikator). Tabung atau batang radioaktif diletakkan di dalam aplikator. Aplikator ini dapat dimasukkan ke dalam rongga (aplikator intrakaviter) seperti pada pengobatan karsinoma servisis uteri, atau dapat diletakkan pada permukaan (ekstrakaviter). Bahanbahan yang dapat dipakai untuk aplikator ialah karet, plastik, akrilik, besi tahan karat, dan lain-lain bahan yang dapat diberi bentuk sesuai dengan kebutuhan. Untuk pengobatan tumor ginekologik banyak digunakan aplikator intrauterin (tandem atau tabung), intravaginal (ovoid, silinder). 2. Sebagai implantasi: jarum-jarum radioaktif yang sering dipergunakan untuk cara-cara ini ialah: radium, cobalt, cesium, iridium, dan lain-lain. Radium adalah yang

30

mula-mula dikembangkan dan banyak dipergunakan untuk pengobatan tumor-tumor ganas ginekologik. Salah satu keuntungannya adalah mempunyai waktu paruh yang lama, sehingga tidak memerlukan koreksi waktu penyinaran. Kelemahannya antara lain ialah menghasilkan turunan zat radioaktif radon yang bersifat gas, sehingga bila terjadi kebocoran dari tabung atau jarum dapat membahayakan lingkungan. Tahun-tahun terakhir ini lebih banyak dipergunakan zat radioaktif cobalt, cesium, iridium, yang tidak menimbulkan bahaya pada kebocoran. Dalam pelaksanaan cara pengobatan ini dapat timbul bahaya-bahaya radiasi pada para petugas, baik dokter maupun petugas media yang lain. Untuk mencegah hal-hal tersebut sekarang banyak dipergunakan sistem afterloading yaitu aplikator dipasang dahulu, baru kemudian dengan peralatan tertentu zat radioaktif dimasukkan, sehingga dengan demikian bahaya radiasi untuk petugas menjadi kecil sama sekali atau sama sekali dapat dihindarkan (Wiknjosastro, 1999). 2. Sumber radioaktif terbuka Zat radioaktif di sini berhubungan langsung dengan tubuh/tumor, sehingga penderita baru bebas dari zat radioaktif setelah zat ini habis. Karena itu untuk pengobatan cara ini hanya dipergunakan zat radioaktif yang mempunyai waktu paruh sangat pendek, sehingga cepat habis di dalam tubuh. Contoh: koloid emas radioaktif (Au 198)dapat dimasukkan ke rongga peritoneum. Dahulu cara ini banyak digunakan pada karsinoma ovarii (Wiknjosastro, 1999). 2.4 Kombinasi Pemberian Terapi Radiasi

31

Menurut Supriana (2008), kombinasi pemberian terapi radiasi adalah sebagai berikut: 1. Radioterapi Bentuk pengobatan dengan radiasi saja sejak dari awal sampai akhir. Pada pelaksanaannya teknik radiasi menggabungkan berbagai teknik radiasi dengan tujuan untuk menjaga jaringan sehat dari efek buruk radiasi.

2.

Radiasi preoperasi Bentuk pengobatan radiasi yang mendahului tindakan operasi. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan resektabilitas dari tumor karena dengan radiasi tumor akan mengecil, batas-batas menjadi jelas dan tegas sehingga operasi lebih mudah dilakukan. Tujuan kedua adalah untuk mengurangi kemungkinan metastase jauh akibat tindakan operasi karena sel-sel yang terkena radiasi sudah tidak mempunyai kemampuan untuk hidup di tempat lain, bila sel ini terlepas dan masuk pembuluh darah pada saat tindakan operasi. Kadangkadang digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan penyebaran mikroskopik keganasan pada batas batas operasi yang direncanakan. Yang paling penting pada batas dengan organ penting disekitarnya misalkan kanker vulva dengan uretra dan anus. Saat ini yang masih sering dilakukan adalah radiasi pre-operatif pada kanker endometrium stadium II yang melibatkan serviks uteri secara nyata, atau pada kanker serviks stadium awal dengan ukuran yang besar (bulky).

3.

Radiasi postoperasi Pengobatan adjuvant yang dilakukan setelah tindakan operasi. Radiasi dilakukan dengan tujuan untuk mencegah timbulnya kekambuhan lokal yang disebabkan oleh adanya resiko terjadinya kambuh lokal berupa:

32

a.

Adanya residu tumor setelah operasi, baik gross residu, mikroskopik residu, tepi sayatan tidak bebas tumor, kelenjar getah bening regional yang positif mengandung anak sebar tumor, secarta histologi berdiferensiasi buruk, atau bentuk histologi yang angka kekambuhannya adenoskuamosa. tinggi, contoh adenokarsinoma atau

b.

Tumor-tumor yang kemungkinan kambuh sangat tinggi. Radiasi pelvis pada kanker vulva, endometrium dan serviks

dapat mengurangi insidensi rekurensi terutama pada kanker dengan penyebaran ke kelenjar limfe regional. 4. Kombinasi kemoradiasi Bentuk pengobatan kombinasi anatara radiasi dengan kemoterapi dengan tujuan untuk meninggikan respon radiasi. Kemoterapi di sini bersifat sebagai radiosensitiser. Kemoradiasi dapat berbentuk neoadjuvant sebelum tindakan operasi ataupun dapat berdiri sendiri tanpa operasi. Radiasi dan kemoterapi yang diberikan secara bersamasama akan memberikan efek supradiktif dalam membunuh sel kanker. Suatu obat kemoterapi akan mempotensiasi efek radiasi sehingga memberikan respon yang lebih besar dibandingkan radiasi saja. 5. Radiasi intra/peri operatif Jarang sekali bahkan bisa dikatakan tidak pernah dilakukan disini. Radiasi intra/peri operatif dilakukan pada saat operasi sebelum luka operasi ditutup. Tekniknya dapat berupa:
a. b.

Kontak radioterapi dengan menggunakan sinar elektron Brachiterapi Persiapan Terapi Radiasi Menurut Kreshnamurti, dkk (2006), persiapan pada terapi radiasi

2.5 meliputi:

1. Pemeriksan laboratorium lengkap

33

Pemeriksaan laboratorium meliputi darah tepi, gula darah, kimia darah, EKG. Bila ada anemia harus dikoreksi dulu, karena keadaan anoksia akan mengurangi kepekaan sel-sel kanker terhadap radiasi, infeksi lokal juga harus diobati dulu dengan antibiotika lokal ataupun sistemik. 2. Pemeriksaan BNO-IVP Pemeriksaan BNO-IVP diperlukan untuk menetapkan fungsi ginjal dan untuk menentukan apakah ureter terkena atau tidak. 3. Pemeriksaan radiologik tulang-tulang pelvis dan lumbal 4. Mempersiapkan mental penderita. Mental penderita dipersiapkan dengan cara menjelaskan tentang penyakitnya, cara radiasi (luar atau intrakaviter), efek samping, lama dirawat di rumah sakit, tentang haid dan hubungan seksual di kemudian hari. 5. Konsultasi Konsultasi merupakan tahap paling awal dari pengobatan radioterapi. Pada saat konsultasi, ahli radioterapi akan mengambil data pasien secara akurat, riwayat penyakit serta berbagai pemeriksaan laboratorium lainnya yang mungkin diperlukan. 6. Stimulasi Stimulasi kemudian dilakukan, yakni perencanaan radioterapi yang akan diberikan. Pada tahap ini pasien akan datang ke bagian radioterapi, kemudian berbaring dibawah suatu mesin yang disebut stimulator. Beberapa peralatan mungkin diperlukan untuk mencegah pasien bergerak atau merubah posisi agar pengobatan diberikan pada tempat yang tepat. Kemudian akan dibuat beberapa tanda dan mungkin beberapa foto rontgen yang akan diambil. Foto rontgen yang diambil itu pada nantinya akan mempermudah ahli radioterapi untuk melakukan pengobatan di kemudian hari, karena pasien akan mendapatkan radioterapi selama beberapa kali. Stimulasi merupakan tahap yang penting dalam proses radioterapi. 7. Potograf 8. Block and shields.

34

9. Perlindungan dan pengaman diperlukan selama pasien menjalani pengobatan radioterapi, yang akan melindungi sel-sel normal dari efek radiasi. 2.6 Efek Samping Radiasi Efek ini sangat bervariasi tergantung dari sensitivitas perorangan, kualitas radiasi, besarnya volume radiasi, lokalisasi, besarnya dosis tiap kali, dosis total, serta jangka waktu radiasi diberikan. Menurut Wiknjosastro (1999), efek samping radi radiotherapy adalah sebagai berikut:

1.

Efek Samping Umum a. Gejala umum yang sering timbul yaitu: Nafsu makan menurun Rasa mual Lesu Tidak ada gairah kerja

b. Keadaan yang lebih berat terdapat: Muntah-muntah Tidak bisa makan Lemah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur Berat ringannya gejala-gejala sangat dipengaruhi oleh status fisik dan psikologis penderita. Penderita dengan keadaan fisik dan psikis yang baik umumnya tidak banyak menderita keluhan umum. Karena itu penting persiapan sebelum terapi radiasi dimulai yaitu: Perbaikan keadaan umum Gizi Pemberantasan infeksi bila ada Penjelasan mengenai pelaksanaan terapi radiasi yang umumnya berlangsung lama

35

Penjelasan tentang kemungkinan efek samping radiasi 2. Efek Samping Lokal Gejala-gejala yang timbul yaitu gejala-gejala dari bagianbagian tubuh yang terkena radiasi secara langsung. Berat ringannya terutama tergantung dari kualitas sinar, volume jaringan yang terkena radiasi, dosis tiap kali, dosis total, dan jangka waktu penyinaran. Radiasi dengan sinar X konvensional menimbulkan efek samping yang tinggi pada kulit dan tulang. Radiasi lokal (aplikasi, implantasi interstisial) kurang menimbulkan efek samping karena volume jaringan yang terkena relatif terbatas akibat dosis cepat menurun di luar daerah radiasi. Dosis tiap kali yang tinggi menimbulkan efek samping lebih banyak daripada dosis tiap kali yang rendah. Radiasi yang diberikan dalam jangka waktu pendek akan menimbulkan reaksi yang lebih berat dibandingkan dengan radiasi yang diberikan dalam waktu yang lebih lama dengan dosis total yang sama. Efek samping yang mungkin timbul terdiri atas: a. Efek Akut Efek samping akut akibat dari terapi aplikasi atau implantasi zat radioaktif sepeti pada karsinoma servisis dan korporis uteri yaitu berupa gejala-gejala proktitis/proktosigmoditis dan sistitis. Gejala-gejala proktosigmoiditis berupa: Tenesmus Pengeluaran lendir yang berlebihan Kadang-kadang perdarahan ringan Biasanya keluhan dapat diatasi dengan spasmolitika dan diet rendah residu. Penggunaan irigasi yang mengandung hidrokortison tidak selalu memberi hasil. Gejala sistitis berupa: Polakisuri Disuri 36

Kadang-kadang hematuri Antibiotika sangat diperlukan di amping obat antiinflamasi dan analgetika. Efek samping akut dari radiasi eksternal timbul terutama pada usus-usus halus dalam bentuk enteritis, kolik dan diare ringan sering terjadi. b. Efek Kronik Efek samping kronik terjadi nekrosis pada dinding vagina dengan kemungkinan timbulnya fistula rektovaginalis atau fistula vesikovaginalis. Efek samping kronik yang kadang-kadang menimbulkan kekhawatiran penderita adalah atrofi mukosa rektum disertai teleangiektasi yang sewaktu-waktu bila defekasi keras dapat menimbulkan perdarahan. 2.7 Hal-Hal yang Mempengaruhi Keberhasilan Terapi Radiasi Efek biologik suatu radiasi dipengaruhi oleh dosis, ukuran fraksi, interval fraksi dan waktu pemberian. Ada empat faktor yang disebut empat R radiobiologi yang menentukan pengaruh halhal tersebut terhadap radiasi (Obgyn Undip, 2010). 1. Repair Perbaikan lengkap trauma sub-lethal dengan fraksionasi biasanya dicapai dengan interval minimum 46 jam. Mungkin diperlukan dosis total radiasi yang lebih besar yang diperlukan untuk mencapai efek biologik apabila dibagi menjadi fraksifraksi yang kecil. 2. Re-population Besarnya efek repopulasi dosis yang diperlukan untuk menghasilkan kematian sel dipengaruhi cepat lambatnya waktu pembelahan sel tersebut. Pada sel yang membelah dengan cepat diperlukan suatu dosis yang lebih besar tiap fraksi, atau waktu pemberian yang lebih panjang. Tetapi repopulasi ini diperlukan agar jaringan normal mempunyai cukup waktu untuk berproliferasi kembali, terutama pada selsel respon cepat seperti kulit dan mukosa.

37

3.

Re-distribution Selsel pada fase G2 akhir biasanya paling sensitif terhadap radiasi, selsel pada fase S dan G1 awal paling resisten. Beberapa fraksi pertama radiasi akan menimbulkan efek redistribusi selsel yang berada pada berbagai fase untuk menyamakannya menjadi pada fase yang sensitif.

4.

Re-oxigenation Oksigen merupakan sensitizer radiasi yang paling efektif dimana sensitifitas jaringan yang teroksigenasi dengan akan 3x lebih baik dibandingkan selsel yang mengalami anoksia.

2.8

Pelaksanaan Radiasi Berdasarkan Evidence Based 2.8.1 Radiasi pada karsinoma servisis uteri menurut Wiknjosastro (1999) Pada pasien kanker leher rahim (serviks), radioterapi merupakan terapi utama untuk stadium lanjut. Radioterapi memberikan angka kesembuhan yang sebanding dengan pembedahan radikal pada tumor stadium awal dan mengurangi rekurensi lokal setelah operasi pada pasienpasien dengan risiko tinggi. Dalam menemukan teknik dan dosis radiasi pada pengobatan karsinoma servisis uteri perlu dikembangkan faktor daya toleransi dari jaringan-jaringan di dalam rongga pelvis. Jaringan yang menyusun serviks, korpus uteri dan vagina merupakan jaringan yang paling tahan terhadap radiasi bila dibandingkan dengan jaringan tubuh lainnya. Dosis antara 20.00030.000 rad dalam 2 minggu masih dalam batas daya tahannya. Keadaan ini telah memungkinkan pemberian radiasi dengan dosis yang cukup tinggi pada tumor serviks. Pembatasan dosis lebih ditentukan oleh daya tahan usususus dan kandung kemih. Alat-alat ini mempunyai daya toleransi yang lebih rendah dibandingkan dengan uterus. Dosis radiasi lokal melebihi 5000 rad dapat menimbulkan reaksis-reaksi yang cukup berat seperti timbulnya ulserasi pada mukosa yang dapat menimbulkan fistula.

38

Daya toleransi dari radiasi eksternal sangat tergantung dari volume radiasi, dosis tiap hari, dan lamanya radiasi. Radiasi eksternal ini diperlukan untuk memberantas metastasis-metastasis dalam kelenjar limfe dalam parametrium bagian lateral, sehingga memerlukan volume penyinaran yang cukup luas. 1. Teknik radiasi Kombinasi antara radiasi lokal (intrakaviter) dan radiasi eksternal merupakan pilihan yang umumnya diberikan dengan maksud: a. Radiasi lokal (intrakaviter) dapat memberikan dosis yang tinggi pada serviks dan korpus uteri, tetapi dosis cepat menurun pada jaringan di sekitarnya, sehingga dosis ke rektum, sigmoid, kandung kencing dan ureter dapat dibatasi sampai batas-batas daya toleransi. b. Kemungkinan timbulnya metastasis limfogen pada karsinoma servisis uteri cukup tinggi. Oleh karena itu kelenjar-kelenjar di dalam panggul kecil harus mendapat penyinaran juga. Dosis radiasi intrakaviter cepat menurun di luar uterus, sehingga dosis yang sampai pada kelenjar limfe sangat renddah. Untuk mencapai dosis yang dapat mengamankan metastasis kelenjar limfe ini diperlukan penyinaran luar yang dapat memberikan distribusi dosis yang merata pada daerah yang lebih luas. 2. Radiasi lokal (intrakaviter) Zat radioaktif radium adalah bahan yang pada permulaan perkembangan radioterapi dipergunakan pada karsinoma servisis uteri. Penggunaannya sangat cepat meluas dan berkembang biak, dengan teknik yang pada dasarnya bersumber pada tiga teknik yang dikembangkan di Stockholm, Paris dan Manchester. Pada tahun-tahun terakhir ini penggunaan radiumsudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan cobalt, cesium, atau iridium, yang lebih aman karena

39

sesuai dengan kemajuan teknologi dapat digunakan remote controlled after loading system. Teknik dasar pada penggunaan zat pengganti radium ini umumnya sama dengan teknik pemakaian radium. Radium atau zat radioaktif lainnya diletakkan intravaginal dan intrauterin dengan menggunakan aplikator. Aplikator intravaginal berbentuk kotak (box) silinder atau ovoid, sedang aplikator intauterin benrbentuk tabung (tandem). a. Teknik Stockholm Pada teknik Stockholm digunakan radiasi dengan muatan radium yang agak tinggi yang diberikan dua kali dengan waktu di antaranya tiga minggu, dengan tiap kali pemasangan berlangsung 24-30 jam. Radium diberikan intrauterin dan intravaginal, dengan tandem hanya dalam cavum uteri. Untuk menghindarkan tingginya dosis di rektum dan buli-buli, dipergunakan kain kasa yang diletakkan antara box dan dinding posterior dan anterior vagina. Teknik ini dapat memberikan dosis radiasi yang cukup tinggi pada serviks, fundus, dan rongga vagina proksimal, tetapi relatif rendah ke arah lateral dibanding teknik Paris dan Manchester. b. Teknik Paris Pada teknik Paris digunakan radium bermuatan rendah dan diberikan hanya sekali dan berlangsung antara 96-200 jam. Tandem intrauterin dipasang di seluruh panjang cavum uteri dan kanalis servikalis. Aplikator intravaginal berbentuk silinder terdiri dari dua buah, masing-masing diletakkan di forniks lateralis, yang masing-masing bermuatan 13,3 mg, ditambah 1 silinder bermuatan 6,6 mg yang diletakkan dimuka ostium eksternal dari serviks. c. Teknik Manchester

40

Teknik ini menggunakan muatan radium yang lebih tinggi daripada teknik Paris tetapi lebih rendah dibandingkan teknik Stockholm. Umumnya diberikan dua kkali aplikasi dengan di antaranya 1-2 minggu. Kalau pada teknik Stockholm dan Paris, dosis radiasi ditetapkan dalam mgjam, maka pada teknik Manchester ditetapkan dosis yang lebih eksak, yaitu dalam rad. Dosis tertentu tidak boleh dilewati pada titik A tanpa membahayakan. Titik A tersebut terletak 2 cm di atas forniks dan 2 cm di sebelah lateral garis tengah uterus, diperkirakan bahwa pada titik A ini lewat ureter dan arteri uterina. Teknik manchester digunakan di Indonesia dengan adaptasi terutama dalam hal dosis.

3. Teknik after-loading Teknik after loading digunakan untuk menghindarkan para petugas terkena radiasi pemasangan radium. Terdapat 2 cara, yaitu: a. After-loading secara manual Aplikator intrauterin dan intravaginal dipasang dalam keadaan kosong. Setelah dilakukan pemeriksaan lokalisasi pemasangannya dengan alat radio diagnostik/lokalisator, maka penderita dapat dibawa ke kamar khusus. Zat radioaktif b. Setelah dimasukkan di kamar tersebut, sehingga penyinaran pada petugas sangat kecil. Remote controlled after-loading system pemasangan aplikator dilaksanakan dengan sempurna maka aplikator dihubungkan dengan pipa ke tempat peyimpanan zat radioaktif. Cara memasukkan zat ini ke dalam aplikator dilakukan dalam ruangan khusus dengan menekan tombol, dan setelah radiasi selesai, tombol lain

41

ditekan sehingga zat radioaktif kembali ke tempat penyimpanannya. Dengan cara ini seluruh staf sama sekali bebas dari radiasi. 4. Radiasi eksternal Untuk dapat memberantas metastasis kelenjar dengan efek samping seringan-ringannya dipergunakan pesawat megavolt, seperti telecobalt, atau linear accelerator. Penggunaan pesawat konvensional banyak menimbulkan gangguan-gangguan kulit dan tulang. Luas lapangan penyinaran meliputi daerah kelenjar limfe sekitar arteri obturatoria sampai di pertemuan arteri iliaka kommunis, biasanya luas lapangan penyinaran adalah 15x12 cm sampai 15x18 cm. daerah yang telah mendapat radium intrakaviter selebar antara titik A kanan dan kiri ditutup dengan blok timah hitam. Penutupan dilakukan pula pada daerah-daerah kaput femoris dan sebagian pelvis lateral bagian atas untuk mengurangi bahaya usus-usus terkena radiasi. Dosis yang masih termasuk dosis toleransi ialah 200 rad sehari, 5 kali seminggu dengan dosis total sekitar 5000 rad dalam 5 minggu. Dapat pula diberikan 300 rad tiap kali. Tiga kali seminggu dengan total 4500 rad. Sedangkan pada karsinoma servisis uteri in situ dipilih tindakan operatif, maka pada karsinoma yang sudah infasif radio-terapi memegang peranan yang penting. Dengan kemajuan teknik maka hasil terapi radiasi makin baik, sehingga di banyak klinik di dunia terapi ini menjadi terapi terpilih, walaupun cukup banyak klinik melakukan operasi untuk stadium I dan II (histerektomi radikal menurut Wertheim). Satu indikasi yang jelas memerlukan tindakan operatif ialah kasus-kasus dengan resistensi dari tumor terhadap radiasi.

42

Kombinasi radiasi eksternal dan intrakaviter tergantung pada stadium karsinoma servisis uteri ialah sebagai berikut: a. Stadium I+II : aplikasi radium 6500 rad dengan 2 kali aplikasi. Kemudian radiasi eksternal 5000 rad/5 minggu dengan blok timah pada daerah aplikasi radium. b. Stadium III : pertama-tama radiasi eksternal seluruh pelvis (tanpa blok timah) 2000-3000 rad, kemudian aplikasi radium 4500-5000 rad. c. Stadium IV : hanya radiasi eksternal untuk pengobatan paliatif. 2.8.2 Radiasi pada Karsinoma Korporis Uteri menurut

Wiknjosastro (1999) Pengobatan pembedahan pada karsinoma korporis uteri telah menunjukkan hasil yang baik. Radiasi pada karsinoma korporis uteri dilakukan dalam kombinasi dengan pembedahan, kecuali pada kasus-kasus yang menolak operasi atau yang ada kontraindikasi operasi. Kombinasi radiasi dan operasi dapat dilakukan dalam bentuk: 1. Radiasi Prabedah Tujuan radiasi ini adalah mengurangi kemungkinan metastasis limfogen dan residif pada puncak vagina. a. Radiasi intrakaviter Radiasi ini dianggap dapat menekan timbulnya residif pada vagina dari 20% menjadi 1,5%. Ada dua teknik yang biasa dilakukan: b. Teknik Heyman (Heymans packing) Radiasi dilakukan dengan memasukkan kapsul-kapsul radium ke dalam kavum uteri. Kapsul-kapsul ini mengisi seluruh kavum uteri sehingga seluruh permukaannya mendapat penyinaran yang merata. Tindakan pembedahan dapat dilakukan 1-2 minggu kemudian. Modifikasi teknik

43

ini menggunakan butir-butir cobalt 60 yang dirangkaikan (Cobalt pearls). Satu kelemahan teknik ini yaitu meskipun di permukaan tetapi belum tentu merata pada seluruh tumor, apabila tumor berbentuk ireguler. c. Teknik Manchester (Tod dan Morris) Radiasi ini menggunakan kombinasi tandem intrauterin dan ovoid intravaginal, seperti pada susunan yang dipergunakan pada karsinoma servisis uteri, hanya muatan radium di ujung tandem pada daerah fundus sebanyak 20-25 mg, sedangkan pada bagian lainnya 10 mg. Aplikasi dilakukan dua kali dengan jarak 1 minggu. d. Radiasi prabedah eksternal Tujuan radiasi ini adalah mengurangi timbulnya metastasis baik di vagina maupun di kelenjar limfe dalam pelvis, terutama bila terdapat invasi tumor ke miometrium atau pada tumor dengan diferensiasi rendah. Pembedahan dilaksanakan setelah 6-8 minggu radiasi selesai. 2. Radiasi Pascabedah Tujuan radiasi ini adalah menghindarkan residif di vagina dengan diberikan radiasi intravaginal, misalnya dengan ovoid atau silinder intravagina. Kasus-kasus yang telah mengadakan invasi ke miometrium diperlukan tambahan radiasi eksternal dengan sinar megavolt untuk menghalangi penyebaran ke kelenjar limfe dengan dosis 5000 rad dalam 5 minggu. Radiasi penuh dilakukan pada penderita-penderita yang menolak operasi atau apabila ada kontraindikasi operasi. Caranya adalah menggunakan teknik Manchester seperti pada penyinaran karsinoma servisis uteri, hanya dosis radium untuk tandem intrauterin ditambah di daerah fundus uteri. Radiasi intrakaviter ini kemudian disusul dengan radiasi eksternal yang ditujukan pada daerah kelenjar limfe regional.

44

2.8.3 Radiasi pada Karsinoma Vagina menurut Wiknjosastro (1999) Terapi radiasi umumnya dipilih pada karsinoma vagina invasif. Pelaksanaan radiasi perlu mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: a. Vagina berbatasan erat dengan rektum dan kandung kemih Hampir tidak mungkin untuk menghindarkan reaksi pada kedua bagian tersebut. Untuk mengurangi komplikasi, perlu dilakukan pemilihan jenis sinar, pemasangan zat radiokatif dan hubungan dosis-volume-waktu penyinaran yang tepat. Pada penggunaan aplikator hendaknya trauma yang ditimbulkan seminimal mungkin dan dicegah sedini mungkin. b. Lokalisasi tumor Tumor yang terletak proksimal lebih mudah menjalar ke serviks dan kemudian menimbulkan metastasis limfogen ke rongga panggul, tumor yang terletak pada bagian distal vagina akan menjalar ke kelenjar limfe inguinal. c. Luasnya proses Pada terapi radiasi dianjurkan kombinasi antara penggunaan zat radioaktif intrakaviter atau interstisial dengan radiasi eksternal dengan pertimbangan bahwa radiasi eksternal dapat memberikan distribusi dosis yang lebih homogen dengan volume radiasi yang lebih besar dan yang tidak dapat dijangkau oleh radiasi lokal. Sedangkan pusat tumor memerlukan dosis radiasi yang lebih tinggi, yang dapat diberikan dengan radiasi intrakaviter atau interstisial, yang tidak banyak menyinari daerah sekitarnya. Radiasi eksternal mengecilkan tumor lebih dahulu, mempermudah aplikasi lokal, dan mencapai penyinaran pada kelenjar-kelenjar panggul dan inguinal. Teknik radiasi tergantung pada lokalisasi tumor. Tumor letak proksimal yang masih kecil cukup diberikan radiasi lokal intrakaviter. Tumor

45

yang lebih besar dan sudah menjalar misalnya ke serviks uteri, radiasi merupakan kombinasi antara radiasi lokal intrakaviter dan radiasi eksternal. Tumor letak distal diberikan radiasi eksternal. Tumor yang kecil dan terbatas cukup diberikan radiasi lokal yaitu implantasi interstisial atau dengan menggunakan aplikator intrakaviter. 2.8.4 Radiasi pada Karsinoma Vulva menurut Wiknjosastro (1999) Karsinoma vulva terletak di permukaan sehingga mudah terjangkau dengan radiasi. Meskipun demikian, radiasi tidak selalu dapat diberikan dengan leluasa dan memuaskan mengingat daya toleransi jaringan vulva. Berlainan dengan mukosa vagina, serviks uteri, dan endometrium yang mempunyai daya toleransi tinggi terhadap radiasi, mukosa dan kulit sekitar vulva yang relatif tipis dan selalu lembab sangat mudah mengalami gangguan akibat radiasi. Hal ini memyebabkan tindakan pembedahan lebih disukai. Apabila oleh salah satu sebab radiasi dipilih, untuk tumor yang kecil dan terbatas dilakukan implantasi interstisial dengan jarum-jarum radium, cobalt, atau kawat iridium. Penyinaran lokal dengan zat radioaktif ini tidak banyak menimbulkan kesulitan karena volume radiasi terbatas dan dosis radiasi yang cepat menurun di jaringan sehat sekitarnya. Penderita dengan tumor yang sudah besar, radiasi dengan implantasi tidak akan adekuat. Radiasi yang diperlukan adalah radiasi eksternal, dengan penyinaran ke arah daerah vulvoperineal; lebih baik menggunakan radiasi elektron yang jangkauan penetrasinya mudah diatur dan dapat disesuaikan dengan tebalnya tumor. Tumor yang telah menjalar ke vagina atau urethra sebaiknya diberi radiasi eksternal dengan sinar foton yang lebih luas dengan dua lapangan anterior dan posterior ditambah lapangan vulvoperineal. Implantasi interstisial dapat diberikan apabila

46

setelah radiasi eksternal masih terdapat residif dengan ukuranukuran yang memungkinkna terapi tersebut. 2.8.5 Radiasi pada Karsinoma Urethra menurut Wiknjosastro (1999) Jenis dan teknik radiasi pada karsinoma urethra disesuaikan dengan letak dan besarnya tumor. Tumor letak distal atau pada orifisium urethrae eksternum dengan ukuran kecil dapat diberikan implantasi zat radioaktif interstisial. Implantasi interstisial dapat pula dilakukan pada tumor letak proksimal, hanya dalam pelaksanaannya sebaiknya disertai pemeriksaan kandung kemih untuk dapat menetapkan batas-batas tumor yang tidak jarang sudah menjalar ke arah leher kandung kemih. Pada implantasi tumor-tumor yang masih kecil fungsi urethra masih dapat dipertahankan dengan baik. Tumor yang relatif besar dan menjalar lebih jauh seperti tulang, vagina, dan sebagainya dapat diberi terapi kombinasi dengan radiasi eksternal yang disusul dengan implantasi interstisial pada sisa tumor yang sudah mengecil. Tumor yang meluas ke jaringan di sekitarnya sebaiknya diberikan radiasi eksternal saja dalam 5-6 minggu. 2.9 Hasil pengobatan Dikatakan bahwa apabila seorang wanita terdiagnosis menderita suatu kanker ginekologi, maka tidak pernah dikatakan sembuh (kecuali keganasan trofoblas). Suatu hasil pengobatan kanker dinilai baik dari respon secara klinis maupun secara histopatologi (Obgyn Undip, 2010). a. Remisi Secara klinis massa tumor menghilang dan tidak ditemukan sel ganas pada pemeriksaan patologi. Pasien dengan status remisi tetap harus mendapatkan pemantauan/kontrol secara rutin dengan diperiksa klinis serta patologi secara berkala (biopsi atau papsmear)

47

b.

No response Masih ditemukan sel ganas pada histopatologi dan secara klinis masih dijumpai massa tumor yang tidak berkurang atau berkurang < 50% atau bertambah < 25%.

c.

Partial response secara histopatologi masih ditemukan sel ganas, tetapi dari pemeriksaan klinis dijumpai pengurangan massa tumor lebih dari 50%.

d. e.

Progressif disease Setelah pengobatan massa tumor malah bertambah ukuran = 25%. Residif Pasien pernah dinyatakan remisi setelah terapi, akan tetapi pada pemantauan/kontrol rutin diketahui timbulnya kembali massa tumor atau ditemukannya sel ganas pada patologi maupun ditemukannya metastasis dari pemeriksaan x-foto.

48

Anda mungkin juga menyukai