Anda di halaman 1dari 8

Pengembangan Teknologi Budidaya Kakao Di Kabupaten Luwu

Pengembangan Teknologi Budidaya Kakao Di Kabupaten Luwu

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peranan komoditas kakao terhadap perekonomian Indonesia cukup nyata di samping komoditas perkebunan lainnya seperti kelapa sawit, karet, kopi, kelapa dan teh. Peranan tersebut berupa penghasil devisa, sumber pendapatan petani, penyedia lapangan kerja, dan pelestari sumber daya alam dan lingkungan. Sebagai komoditas ekspor, pemerintah bertekad menjadikan Indonesia sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal

tersebut dapat dicapai karena selain masih tersedia lahan yang sesuai, juga didukung oleh tersedianya sumber daya manusia yang memadai dan fasilitas Pusat Penelitian dan Pengembangan Kakao, sehingga

mempunyai potensi menghasilkan kakao sesuai dengan pertumbuhan permintaan dunia. Oleh karena itu, komoditas kakao ditetapkan sebagai salah satu dari tiga komoditas (dua komoditas lainnya adalah kelapa sawit dan karet) yang masuk ke dalam program revitalisasi perkebunan. Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember yang dikutip dari Media Perkebunan (2008) lahan yang tersedia dan sesuai untuk pengembangan kakao masih sangat luas, yaitu sekitar 6.23 juta hektar yang tersebar di sentra-sentra perkebunan kakao saat ini, yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Maluku, Papua, Nangro Aceh Darussalam. Pada tahun 2002 hingga 2005 laju pertumbuhan ekspor kakao Indonesia masih mengalami peningkatan dengan rata-rata 12.6 % per tahun, sedangkan laju ekspor kakao dunia rata-rata 5.6 % per tahun (Media Perkebunan, 2007). Pertumbuhan permintaan dunia terhadap

kakao antara lain akibat tingginya tingkat konsumsi dunia akan kakao dan produk olahannya, seperti yang terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat serta perkembangan IPTEK di bidang farmasi/kosmetik

Pengembangan Teknologi Budidaya Kakao Di Kabupaten Luwu

yang berkaitan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan konsumen kakao. Tingkat konsumsi di negara-negara Eropa, seperti Belanda

berkisar 4.5 kg/kapita/tahun, Switzerland 10.3 kg/kapita/tahun, sedangkan Amerika Serikat tingkat konsumsinya mencapai 5.3 kg/kapita/tahun pada tahun 2002. Sementara seperti itu, tingkat konsumsi baru di negara-negara mencapai 0.06

berkembang

Indonesia

diperkirakan

kg/kapita/tahun (Media Perkebunan, 2007). Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu sentra perkebunan kakao rakyat terbesar memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkakaoan di Indonesia. Luas areal perkebunan kakao di Provinsi

Sulawesi Selatan pada tahun 2005 sekitar 217 400 ha atau 21.9 % dari luas areal kakao di Indonesia dengan produksi 184 505 ton atau 28.3 % dari produksi kakao di Indonesia (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006). Perkebunan kakao rakyat di Sulawesi Selatan tersebar di 22 kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Luwu Utara. Pada tahun 2005 luas areal perkebunan kakao di Kabupaten Luwu Utara sekitar 47 225 ha atau 21.7 % dari luas areal kakao di Provinsi Sulawesi Selatan dengan produksi 42 290 ton atau 22.9 % dari produksi kakao Provinsi Sulawesi Selatan. Luas areal perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Luwu Utara mengalami peningkatan dari 43 047 ha pada tahun 2003 meningkat menjadi 57 338 ha pada tahun 2007 dengan laju pertumbuhan luas areal rata-rata sebesar 7.6 % per tahun. Akan tetapi peningkatan luas areal tidak diikuti oleh peningkatan produksi dan produktivitas. Selama kurun waktu yang sama produksi cenderung terus menurun, demikian pula dengan produktivitasnya. Penurunan produksi dan produktivitas kakao yang terjadi di Kabupaten Luwu terutama disebabkan oleh: (1) banyaknya tanaman yang rusak akibat serangan penyakit vascular streak dieback (VSD), banjir tahunan, serangan penggerek buah kakao (PBK), (2) kemunduran kesuburan tanah akibat degradasi lahan, (3) ketidaksesuaian lahan dan

Pengembangan Teknologi Budidaya Kakao Di Kabupaten Luwu

agroklimat di beberapa lokasi, (4) penggunaan bibit tanaman bukan klon unggul, (5) penerapan kultur teknis yang tidak sesuai dengan anjuran, serta (6) panen dan pengolahan hasil yang belum baik. Selain dari faktor teknis tersebut di atas, faktor lain juga tidak mendukung motivasi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitas yaitu (1) faktor

kelembagaan, (2) sarana dan prasarana, (3) infrastruktur, serta (4) tataniaga dan pemasaran. Dengan adanya berbagai permasalahan tersebut di atas, maka pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan agribisnis berbasis kakao perlu dilakukan pada seluruh sub sistem agribisnis dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Pengembangan agribisnis tersebut perlu dilakukan melalui pendekatan perbaikan mutu lahan, kultur teknis, kelembagaan, sarana dan prasarana, infrastruktur, industri pengolahan dan pemasaran. Untuk merumuskan langkah-langkah pengembangan agribisnis kakao, terutama di lahan marjinal, telah dilakukan penelitian kondisi lahan dan kondisi pertanaman di lapangan sebagai dasar dalam merumuskan arah dan rencana kaji tindak serta diseminasi teknologi budidaya kakao di lahan marjinal. 1.2. Tujuan 1. Mengidentifikasi permasalahan lahan yang mempengaruhi produksi dan produktivitas di kakao di wilayah Kabupaten Luwu. 2. Merumuskan arahan dan rencana kaji tindak penerapan teknologi budidaya kakao lahan marjinal untuk pengembangan agribisnis kakao berkelanjutan di Kabupaten Luwu. 1.3. Sasaran 1. Teridentifikasi permasalahan lahan di wilayah pengembangan kakao di Kabupaten Luwu

Pengembangan Teknologi Budidaya Kakao Di Kabupaten Luwu

2. Terumuskan arahan dan rencana kaji tindak penerapan paket teknologi budidaya kakao di lahan marjinal untuk pengembangan agribisnis kakao berkelanjutan di Kabupaten Luwu.

Pengembangan Teknologi Budidaya Kakao Di Kabupaten Luwu

II. METODOLOGI 2.1. Survei Lapang Pengamatan lapang diawali dengan pembuatan sistem lahan lokasi yang akan diamati, yang dipusatkan pada satu kecamatan di Kabupaten Luwu yang didasarkan pada sistem lahan ReProt (1988). Selanjutnya pada kebun-kebun kakao, sistem lahan yang dominan akan diamati morfologi tanahnya, diambil contoh tanah komposit pada dua kedalaman yaitu 0 30 cm dan 30 60 cm, dan diambil contoh daun plus untuk melihat kadar hara kakao. Untuk mengetahui kondisi pengelolaan/budidaya tanaman dan pertanaman kakao dilakukan wawancara dengan petani untuk mengisi kuesioner yang disiapkan. Petani yang diwawancarai tersebar di desadesa sentra produksi kakao pada sistem lahan dominan tersebut yang paling banyak ditemukan, dengan mengambil 10 responden. Aspek yang diteliti mengenai profil petani, kepemilikan lahan, penerapan praktek budidaya (mulai dari jarak tanam, penggunaan benih/bibit, pemupukkan, pengendalian OPT, pemangkasan sampai panen), penanganan pasca panen, dan pemasaran. 2.2. Analisis Data Atas dasar pengamatan morfologi tanah dilakukan pengkelasan tanah bersarkan sistem Taksonomi Tanah tahun 2006 (USDA, 2006).

Atas dasar pengamatan morfologi tanah tersebut dicatat pula berbagai kendala dari segi fisik lahan yang mungkin menghambat bagi

pertumbuhan kakao. Contoh tanah komposit yang diambil dari lapang dikering-anginkan dan disaring untuk keperluan analisis kimia tanah. Sifat tanah yang dianalisis meliputi, pH, C-organik, N-total, P-tersedia, basa-basa dapat ditukar, KTK, KB dan teksur tanah. Berdasarkan data yang diperoleh

Pengembangan Teknologi Budidaya Kakao Di Kabupaten Luwu

selanjutnya dicoba dilihat berbagai kendala bagi pertumbuhan kakao dari segi kimia. Contoh daun plus yang diambil dari lapang selanjutnya dibersihkan, diikat rapi dan dikeringkan secara langsung dengan menggunakan oven lapangan. Sesampainya di laboratorium, contoh tanaman dikeringkan dalam oven dengan suhu 65 C sampai kering dan dihal uskan. Selanjutnya bahan tanaman halus tersebut dianalisis kadar N, P dan K daun plusnya. Hasil analisis kadar N, P dan K daun tersebut selanjutnya dibandingkan dengan standar kadar hara yang umum di daun kakao. Data hasil wawancara dianalisis dengan statistik sederhana dengan ukuran penyebaran dan pemusatan seperti frekuensi, rata-rata, modus, dan median untuk aspek praktik budidaya, penanganan pasca panen dan produktivitas.

Pengembangan Teknologi Budidaya Kakao Di Kabupaten Luwu

VI. BIAYA PELAKSANAAN


Dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan sebesar Rp. 125.150.000,- (Seratus Dua Puluh Lima Juta Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah) dengan rincian sebagai berikut :
No. I 1 Ketua Tim 2 Anggota Peneliti 3 Asisten Ahli 4 Tenaga Entri Data II BIAYA OPERASIONAL 1 Transpor Makassar-Lokasi Penelitian a. Survei b. Monitoring & Evaluasi 2 Akomodasi a. Survei Peneliti/Asisten Ahli/Enumerator b. Monitoring & Evaluasi Peneliti/Asisten Ahli/Enumerator 3 Konsumsi a. Survei Peneliti/Asisten Ahli/Enumerator b. Monitoring & Evaluasi Peneliti/Asisten Ahli/Enumerator 4 Workshop 4 Alat Tulis Kantor & Lapangan 5 Pengadaan Data Sekunder dan Peta 6 Fotocopy & Penggandaan Laporan 7 Biaya Analisis Jaringan Daun 8 Biaya Analisis Tanah 8 Pemandu Lapangan 10 Penyusunan Laporan III SUB-TOTAL BIAYA (I + II) Terbilang: Seratus Dua Puluh Lima Juta Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah 7 orang 7 orang 2 paket 1 paket 1 paket 1 paket 1 paket 1 paket 1 paket 1 paket 15 hari 15 hari 1 hari Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 7 orang 7 orang 15 hari 15 hari Rp Rp 1 mobil 1 mobil 15 hari 15 hari Rp Rp Uraian Jumlah Satuan 1 orang 2 orang 2 orang 2 orang Hari Kerja Harga Satuan Rp Rp Rp Rp Total Harga

5 bulan 5 bulan 5 bulan 1 bulan

Rp 25.800.000,00 1.500.000,00 Rp 7.500.000,00 1.000.000,00 Rp 10.000.000,00 750.000,00 Rp 400.000,00 Rp 7.500.000,00 800.000,00

Rp 99.350.000,00 Rp 21.000.000,00 700.000,00 Rp 10.500.000,00 700.000,00 Rp 10.500.000,00 Rp 15.750.000,00 75.000,00 Rp 75.000,00 Rp 7.875.000,00 7.875.000,00

Rp 12.600.000,00 60.000,00 Rp 60.000,00 Rp 6.300.000,00 6.300.000,00

10.000.000,00 Rp 20.000.000,00 1.500.000,00 Rp 1.500.000,00 2.000.000,00 Rp 2.000.000,00 2.500.000,00 Rp 2.500.000,00 10.000.000,00 Rp 10.000.000,00 10.000.000,00 Rp 10.000.000,00 5.000.000,00 Rp 4.000.000,00 Rp 5.000.000,00 4.000.000,00

Rp 125.150.000,00

Anda mungkin juga menyukai