Anda di halaman 1dari 66

PERBANDINGAN KARBON TERSIMPAN

PADA BEBERAPA PENUTUPAN LAHAN


DI KABUPATEN MAMUJU UTARA, SULAWESI
BARAT BERDASARKAN KARAKTERISTIK FISIK
LAHANNYA

ROMMY KASHENGKY

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERBANDINGAN KARBON TERSIMPAN
PADA BEBERAPA PENUTUPAN LAHAN
DI KABUPATEN MAMUJU UTARA, SULAWESI
BARAT BERDASARKAN KARAKTERISTIK FISIK
LAHANNYA

ROMMY KASHENGKY

Skripsi
Sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
ROMMY KASHENGKY. Perbandingan Simpanan Karbon pada Beberapa
Penutupan Lahan di Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat Berdasarkan Sifat
Fisik dan Sifat Kimia Tanahnya. Di bawah bimbingan OMO RUSDIANA.
Permasalahan mengenai pemanasan global termasuk salah satu
permasalahan yang hangat dibicarakan belakangan ini oleh hampir seluruh negara
di dunia termasuk Indonesia. Seluruh negara di dunia semakin gencar berjuang
untuk mengatasi pemasanasan global ini, berusaha untuk menanggulanginya serta
berusaha untuk mencegah berkembangnya pemanasan global ini. Salah satu cara
Mengurangi pemanasan global ini adalah dengan menjaga kelestarian hutan.
Hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Manfaat secara langsung dari hutan dapat berupa kayu,
hasil hutan non kayu seperti bambu dan rotan, dan satwa. Sedangkan manfaat
hutan secara tidak langsung berupa jasa lingkungan sebagai pengatur tata air,
fungsi estetika, penyedia oksigen, dan sebagai penyerap karbon. Hutan merupakan
penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global,
akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan dapat
menyimpan karbon lebih besar dibandingkan dengan tipe vegetasi lain seperti
padang rumput, tanaman semusim, dan tundra. Kemampuan hutan dalam
menyerap karbon berbeda-beda berdasarkan tipe hutanya. Perbedaan ini
dipengaruhi oleh jumlah dan kerapatan pohon, jenis pohon, faktor lingkungan
yang meliputi penyinaran matahari, kadar air, suhu, dan kesuburan tanah yang
mempengaruhi laju fotosintesis.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 di
beberapa penutupan lahan di Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi barat;
Laboratorium Pengaruh Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor; dan Laboratotium Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor.
Pengukuran biomassa dan simpanan karbon dilakukan dengan menggunakan data
diameter dan tinggi tegakan pada masing-masing penutupan lahan. Analisis sifat
fisik tanah berupa tekstur tanah dan kimia tanah (pH, Nisbah C/N, dan kandungan
P, K, Ca, dan Mg) dilakukan pada sampel tanah terusik dan tanah tidak terusik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tutupan lahan berupa perkebunan
kelapa sawit memilki simpanan karbon terbesar, yaitu sebesar 997,81 ton/ha.
Sedangkan simpanan karbon terendah terdapat pada tutupan lahan berupa kebun
campuran 43,89 ton/ha. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa sifat fisik dan
kimia tanah mempengaruhi nilai simpanan karbon pada suatu penutupan lahan.

Kata kunci : pemanasan global, hutan, simpanan karbon, sifat fisik tanah, sifat
kimia tanah.
SUMMARY

ROMMY KASHENGKY. Comparison of Carbon stocks on some land cover


in North Mamuju, West Sulawesi Based on the Nature of Physical and
Chemical properties of soil. Under the guidance of OMO RUSDIANA.
Issues regarding global warming is lately one problem that is common
considered by almost all countries in the world, including Indonesia. We are
struggling to overcome with intensified that global warming, to try as well as
prevent the development of global warming. One of the ways reducing global
warming is to preserve the forest. Because forest has multiple benefits for life,
either directly or indirectly. Benefit directly from a timber, non-timber forest
products such as bamboo and rattan, and wildlife. Even the indirect benefits of
forests for environmental services as watersheds, aesthetic function, a provider
of oxygen, and carbon sequestration.
Forest, one of the carbon sinks in the world, the largest and plays an
important role in the global carbon cycle, but also can generate forest carbon
emissions (source). Forests can store more carbon than other vegetation types
such as grasslands, crops, and tundra. Be able to absorb carbon vary by type, it
is influenced by the number and density of trees, tree species, environmental
factors are sun exposure, moisture content, temperature, and soil fertility that
affect the rate of photosynthesis.
The research was holded on February to August 2012, the data was
researched in some land cover in North Mamuju, West. Sulawesi; data
analysis by Influence of Forest Laboratories, Department of Silviculture,
Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University; and Laboratotium Soil,
Soil Research Bogor. Measurement of biomass and carbon storage was
calculated by using the data stands to diameter and height of each land cover.
Analysis of soil physical properties by soil textures and soil chemistry (pH, the
ratio C/N, and the content of P, K, Ca, and Mg) was indicated on samples of
soil disturbed and undisturbed soil.
Based on researched data results that showed in land cover, the greatest
carbon savings are oil palm plantations by amounting reach to 997.81 tons/ha.
The lowest carbon deposits were found in land cover in the form of mixed
farms to 43.89 tons/ha. The conclusion correlation test indicated that the
physical and chemical properties of soil have affected the value of carbon
storage in a land cover.

Keywords: global warming, forest, carbon storage, soil physical properties,


chemical properties of soil.
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perbandingan Karbon


Tersimpan pada Beberapa Penutupan Lahan di Kabupaten Mamuju Utara,
Sulawesi Barat Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahannya” adalah benar-benar
hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah
digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2012

Rommy Kashengky
NIM. E44051350
Judul Skripsi : Perbandingan Karbon Tersimpan pada Beberapa Penutupan
Lahan di Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat
Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahannya
Nama Mahasiswa : Rommy Kashengky
NIM : E44051350

Menyetujui:
Dosen Pembimbing

,
Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc
NIP. 19630119 198903 1 003

Mengetahui:
Ketua Departemen Silvikultur

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS


NIP. 19601024 198403 1 009

Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat
diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dengan judul
”Perbandingan karbon tersimpan pada beberapa penutupan lahan di kabupaten
Mamuju Utara, Sulawesi Barat berdasarkan karakteristik fisik lahannya” yang
dilaksanakan pada daerah Mamuju Utara, Sulawesi Barat.
Di dalam skripsi ini dijelaskan beberapa faktor tanah dan geografis yang dapat
mempengaruhi jumlah karbon beberapa tutupan lahan di Mamuju Utara. Beberapa
tutupan lahan yang diteliti meliputi perkebunan sawit, hutan primer, kebun campuran,
rawa dan tegalan.
Penulis berharap semoga hasil dan rekomendasi yang dituangkan dalam karya
ilmiah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan, khususnya di bidang
kehutanan.

Bogor, Januari 2012

Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah
ini dapat diselesaikan.Terselesaikannya karya ilmiah ini tidak terlepas dari berbagai
pihak yang telah ikut mendukung dan member bantuan. Untuk itu pada kesempatan
ini penulis menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada :
1. Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran untuk memberikan bimbingan serta
arahan dengan penuh kesabaran kepada penulis.
2. Kedua orang tua tercinta (Kashardi Absa dan Rosane Medriati) dan adik
tersayang Pretty Megiesty Rosantika yang telah memberikan dukungan secara
moril dan materil, memberikan segala perhatian, kasih sayang, doa serta semangat
kepada penulis hingga terselesaikannya karya ilmiah ini.
3. Kepada Putti rindang yang selalu memberikan semangat tanpa mengenal kata
bosan dan mengingatkan saya di waktu saya malas.
4. Teman, sahabat atas waktu yang telah diluangkan untuk berbagi ilmu dan
memberikan masukan serta pendapat dalam menyusun karya ilmiah.
5. Keluarga besar Laboratorium pengaruh hutan (Ibu Atikah dan Ghina Ghufrona)
yang senantiasa membantu penulis.
6. Rekan satu bimbingan (Rinal dan Lilik) atas masukan serta diskusi dengan
penulis.
7. Semua rekan-rekan SVK ’42 khususnya bagi yang masih berada di sekitar
kampus Dramaga yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih
atas kebersamaan selama ini.
8. Keluarga besar Departemen Silvikultur atas bantuannya dalam pengurusan
administrasi seminar, ujian skripsi dan sebagainya.
9. Seluruh pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun karya ilmiah
ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas semua bantuannya.
Terima kasih atas bantuannya kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini dapat
memberikan masukan serta dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Januari 2012

Penulis
RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Kashardi dengan
Rosane, yang dilahirkan di Bengkulu pada Selasa, 22 September 1986. Penulis lulus dari
SMAN 2 Bengkulu pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama penulis masuk Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Pada tahun 2006
penulis memilih Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan sebagai Mayor dan
mengambil supporting course. Pada tahun 2008 penulis mengambil minat di
Laboratorium Pengaruh Hutan Bagian Ekologi Hutan Departemen Silvikultur.
Selama menuntut ilmu di IPB penulis aktif pada beberapa organisasi
kemahasiswaan antara lain sebagai anggota Music Angriculture Xpression (MAX) , Tree
Grower Community (TGC) tahun 2007–2008, panitia Masa Perkenalan Himpunan
Profesi Belantara (Bersama Dalam Orientasi Anak Rimba) Departemen Silvikultur tahun
2007 serta sebagai asisten mata kuliah Pengaruh Hutan tahun ajaran 2009/2010.
Selain itu penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) jalur
Indramau - Linggarjati tahun 2007. Pada tahun 2008 praktek Pembinaan Hutan (P2H) di
Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Praktek Kerja Profesi (PKP) di KPH Bogor pada
tahun 2009.
Selanjutnya penulis menyelesaikan skripsi dengan judul ”Perbandingan karbon
tersimpan pada beberapa penutupan lahan di kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat
berdasarkan karakteristik fisik lahannya” di bawah bimbingan Dr. Ir. Omo Rudiana,
M.Sc untuk menyelesaikan program Sarjana di Departemen Silvikultur Fakultas
Kehutanan IPB.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. xii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………. xiii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xiv
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………... ... 1
1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................... 3
1.3 Manfaat Penelitian ........................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………….. 5
2.1 Karbon dioksida ............................................................................ 5
2.2 Biomassa ....................................................................................... 6
2.3 Peranan Hutan Sebagai Penyerap Karbon..................................... 10
2.4 Penggunaan Lahan ........................................................................ 11
2.5 Sifat Fisik Tanah ........................................................................... 14
2.6 Sifat Kimia Tanah……………………………………………… . 14
2.7 Topografi………………………………………………………… 18
BAB III METODE PENELITIAN..................................................................... 21
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................ 21
3.2 Alat dan Bahan .............................................................................. 21
3.3 Metode Pengambilan Data ............................................................ 21
3.4 Metode Penelitian.......................................................................... 22
3.5 Analisis Data ................................................................................. 24
3.5.1 Analisis Tanah…………………………………………….. 26
3.5.2 Analisis Statistik……………………………………........... 26
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................... 27
4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah .............................................. 27
4.2 Keadaan Iklim ............................................................................... 28
4.3 Geologidan Tanah ......................................................................... 29
A. AspekGeologi .......................................................................... 29
B. Aspek Tanah............................................................................ 30
4.4 SosialEkonomi ............................................................................... 30
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. 31
5.1 Analisis Tutupan Lahan danVegetasi ............................................. 31
5.2 Kandungan Karbon Pada Penggunaan Lahan ................................ 32
5.3 KondisiTapak.................................................................................. 33
5.3.1 Sifat-sifat Tanah .................................................................... 33
5.3.1.1 Sifat Fisik Tanah........................................................ 33
5.3.1.1.1 Tekstur Tanah…………………………… . 33
5.3.1.2 Sifat Kimia Tanah…………………………………. . 33
5.3.1.3 Reaksi Tanah……….. ...................................... …… 34
5.3.1.4 C-Organik……………………………………….… 35
5.3.1.5 N-Total ..................................................................... 36
5.3.1.6 P 2 O 5 ……………………………………………… . 37
5.3.1.7 K2 O……………………………………………… .. 38
5.3.1.8 Kalsium…………………………………………… 38
5.3.1.9 Magnesium……………………………………… ... 39
5.3.1.10 Topografi .................................................................. 40
5.4 Metode Statistik…….…………...……………..……………....... 41
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………… ... 42
6.1 Kesimpulan .................................................................................... 42
6.2 Saran............................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 43
LAMPIRAN…………………………………………………………………. .. 44
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Parameter-parameter biomassa di atas tanah dan metode pendugaan
simpanan biomassa ..................................................................................... 8
2 Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah .................................................... 16
3 Kriteria penilaian Ca dan Mg ..................................................................... 18
4 Analisis tutupan lahan dan vegetasi............................................................ 30
5 Jumlah karbon pada penggunaan lahan ...................................................... 31
6 Tekstur tanah .............................................................................................. 32
7 Kandungan pH tanah .................................................................................. 34
8 Kandungan C-organik tanah……………………………….……….......... 35
9 Kandungan N-total tanah ............................................................................ 35
10 Kandungan P 2 O 5 ........................................................................................ 36
11 Kandungan K tanah .................................................................................... 37
12 Kandungan Kalsium ................................................................................... 38
13 Kandungan Magnesium .............................................................................. 39
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Plot pengukuran biomassa .......................................................................... 22
2 Plot pengukuran biomassa di semak belukar .............................................. 23
3 Bentuk agrerat tanah................................................................................... 25
4 Kerangka struktur geologi Pulau Sulawesi................................................ . 29
5 Metode biplot .............................................................................................. 41
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data kondisi tanah dan topografi ................................................................ 46


2 Principal Component Analysis (PCA) Lereng, Ketinggian, P H, C, N, C/N,
P205, K20, Ca dengan program minitab 16 ………………………………. 47
3 Beberapa rumus alometrik pohon yang digunakan dalam penelitian ........ 48
4 Citra Landsat Mamuju Utara 2010 dan Titik lokasi Penelitian …………... 49
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permasalahan mengenai pemanasan global termasuk salah satu
permasalahan yang hangat dibicarakan belakangan ini oleh hampir seluruh negara
di dunia termasuk Indonesia. PBB semakin gencar berjuang untuk mengatasi
pemasanasan global ini, berusaha untuk menanggulanginya serta berusaha untuk
mencegah berkembangnya pemanasan global ini. Pemanasan global atau global
warming yang terjadi saat ini pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan
suhu global karena terjadinya efek rumah kaca yang disebabkan oleh
meningkatnya emisi gas seperti karbondioksida (CO 2 ) sehingga energi matahari
terperangkap dalam atmosfer bumi.
Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata
atmosfer, laut dan daratan atau bumi. Temperatur rata-rata global pada permukaan
bumi telah meningkat 0,74 ± 0,18°C selama seratus tahun terakhir.
Intergovernmental Panel on Climate (IPCC) pada tahun 2007 menyimpulkan
bahwa, sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan
abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-
gas rumah kaca, akibat aktivitas manusia.
Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang
dikenal dengan gas rumah kaca, yang terus bertambah di udara, hal tersebut
disebabkan oleh tindakan manusia, kegiatan industri, khususnya CO 2 dan
chlorofluorocarbon, terutama adalah karbon dioksida, yang umumnya dihasilkan
oleh penggunaan batubara, minyak bumi, gas dan penggundulan hutan serta
pembakaran hutan.
Asam nitrat dihasilkan oleh kendaraan dan emisi industri, sedangkan emisi
metan disebabkan oleh aktivitas industri dan pertanian.Chlorofluorocarbon CFCs
merusak lapisan ozon seperti juga gas rumah kaca menyebabkan pemanasan
global, tetapi sekarang dihapus dalam Protokol Montreal. Karbon dioksida,
chlorofluorocarbon, metan, asam nitrat adalah gas-gas polutif yang terakumulasi
2

di udara dan menyaring banyak panas dari matahari.Sementara lautan dan vegetasi
menangkap banyak CO 2 , kemampuannya untuk menjadi “atap” sekarang
berlebihan akibat emisi.Ini berarti bahwa setiap tahun, jumlah akumulatif dari gas
rumah kaca yang berada di udara bertambah dan itu berarti mempercepat
pemanasan global.
Sepanjang seratus tahun ini konsumsi energi dunia bertambah secara
spektakuler. Sekitar 70% energi dipakai oleh negara-negara maju; dan 78% dari
energi tersebut berasal dari bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan yang mengakibatkan sejumlah wilayah terkuras habis dan
yang lainnya mereguk keuntungan. Sementara itu, jumlah dana untuk
pemanfaatan energi yang tak dapat habis (matahari, angin, biogas, air, khususnya
hidro mini dan makro), yang dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil,
baik di negara maju maupun miskin tetaplah rendah, dalam perbandingan dengan
bantuan keuangan dan investasi yang dialokasikan untuk bahan bakar fosil dan
energi nuklir. Penggundulan hutan yang mengurangi penyerapan karbon oleh
pohon, menyebabkan emisi karbon bertambah sebesar 20%, dan mengubah iklim
mikro lokal dan siklus hidrologis, sehingga mempengaruhi kesuburan tanah.
Perubahan tata guna lahan dan perubahan penutupan lahan melalui konversi
hutan dan semakin banyaknya industri-industri berat membuat lingkungan iklim
global mengalami kerusakan dan pencemaran udara yang berdampak besar pada
perubahan iklim global. Kerusakan lingkungan dan pencemaran udara oleh gas-
gas emisi seperti CO 2 , NO 2 dan CH4 di atmosfer yang merupakan gas buangan
industri dan yang berasal dari deforestrasi merupakan faktor penyebab terjadinya
pemanasan global (Murdiyarso 2003).
Saat ini, kondisi hutan alam tropis di Indonesia sangat mengkhawatirkan
yang disebabkan oleh adanya laju kerusakan yang tinggi. Pada kurun waktu 1980–
1990 laju kerusakan hutan mencapai 1,7 ha per tahun yang kemudian meningkat
menjadi 2 juta hektar per tahun setelah tahun 1996 (FWI/GFW 2002). Hal ini
membawa konsekuensi akan perlunya upaya rehabilitasi hutan. Selain itu
diperlukan paragdigma dalam pengelolaan hutan yang tidak hanya berorientasi
3

pada kayu sebagai produk utama melainkan juga produk-produk non kayu seperti
potensi simpanan karbon.
Namun, jika dilihat keadaan dari bumi saat ini pemanasan global itu
bukannya semakin menurun, tetapi semakin bertambah efek dan
dampaknya.Banyak sekali dampak-dampak negatif yang terjadi akibat adanya
pemanasan global, misalkan saja peningkatan suhu dunia yang semakin tidak
bersahabat, kehidupan beruang kutub dan penguin semakin terancam akibat
semakin mencairnya permukaan es di kutub, karena lubang ozon semakin
membesar. Akibatnya permukaan air laut semakin meninggi dan mengakibatkan
banjir di kota-kota pelabuhan contoh nyatanya adalah Jakarta.
Sumberdaya hutan Indonesia memiliki potensi tinggi dalam hal
keanekaragaman hayati dan potensi dalam penyerapan karbon (Suhendang 2002).
Suhendang (2002) memperkirakan bahwa dalam kurun waktu 1990–1994 hutan
Indonesia yang luasnya sekitar 120,4 juta hektar mampu menyerap dan
menyimpan karbon sekitar 15,05 milyar ton karbon. Data lain menunjukkan
bahwa dalam kurun waktu 1990-1994 mampu menyerap emisi karbon 74%
(Suryadi 2004). Besarnya potensi hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon
tersebut, memberikan peluang besar kepada Indonesia untuk terlibat dalam
mekanisme perdagangan karbon yang digagas dunia internasional sejak disetujui
Kyoto Protocol pada tahun 1997.
Salah satu cara untuk mencegah atau mengurangi peningkatan gas CO 2
adalah dengan mempertahankan keberadaan hutan dan menjaga keseimbangan
ekosistem hutan. Hal ini dilakukan karena hutan mampu menyimpan karbon
dalam jumlah yang cukup banyak. Murray et al. (2000) dalam Tiryana (2005)
mengemukakan bahwa ekosistem hutan dapat menyerap gas rumah kaca dengan
cara mentransformasi CO 2 dari udara menjadi simpanan karbon yang tersimpan
dalam pohon, tumbuhan bawah maupun pohon.
4

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan karbon tersimpan pada beberapa
penutupan lahan di Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat yang didasarkan pada
karakteristik fisik lahannya.

1.3 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini antara lain adalah dapat memberikan informasi dan
data mengenai kondisi lingkungan dan potensi karbon yang dihasilkan di beberapa
macam tutupan lahan Kabupaten Mamuju Utara Sulawesi Barat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Karbondioksida


Karbondioksida adalah zat asam arang CO 2 , gas tidak berwarna, tidak beracun
dan berbau merangsang terdapat 0,03% di atmosfer, mineral dan sumber alam. Di
udara terbuka, karbondioksida dalam bentuk cair akan segera mengembun menjadi
salju asam karbon dan merupakan bahan pemadam api yang baik. Karbondioksida
dapat digunakan sebagai bahan pendingin, bahan pemadam kebakaran dan penyegar
minuman.
Karbon adalah bahan penyusun dasar semua senyawa organik. Pergerakannya
dalam suatu ekosistem berbarengan dengan pergerakan energi melalui zat kimia lain,
karbohidrat dihasilkan selama fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu
hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan terestrial. Tumbuhan
mendapatkan karbon, dalam bentuk CO 2 dari atmosfer melalui stomata daunnya dan
menggabungkannya ke dalam bahan organic biomassanya sendiri melalui proses
fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian menjadi sumber karbon bagi
konsumen.
Dalam biologi, karbondioksida berperan sebagai hasil akhir dari organisme
yang mendapatkan energi dari penguraian gula, lemak dan asam amino dengan
oksigen sebagai bagian dari metabolisme dalam proses yang dikenal sebagai respirasi
sel. Proses Metabolisme ini meliputi tumbuhan, hewan, sebagian besar jamur dan
beberapa bakteri. Pada hewan tingkat tinggi, karbondioksida mengalir di darah dari
jaringan tubuh ke paru-paru untuk dikeluarkan dan pada tumbuh-tumbuhan,
karbondioksida diserap dari atmosfer sewaktu fotosintesis.
6

2.2 Biomassa
2.2.1 Pengertian Biomassa
Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis,
baik berupa produk maupun buangan, contoh biomassa antara lain tanaman,
pepohonan, rumput, ubi, limbah pertanian dan limbah hutan. Biomassa selain
digunakan untuk tujuan primer seperti serat, bahan pangan pakan ternak, minyak
nabati, bahan bangunan juga dapat digunakan sebagai bahan energi (bahan bakar).
Pada umumnya biomassa yang digunakan untuk bahan bakar adalah biomassa yang
bernilai ekonomis rendah atau merupakan limbah dari produk primernya. Biomassa
dalam bentuk kayu bakar dan limbah pertanian merupakan sumber energi tertua.
Hingga sekarang biomassa sebagai sumber energi masih cukup berperan terutama
untuk negara-negara berkembang.
Menurut Whitten et al. (1984) biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering
semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organism,
produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha).
Sedangkan menurut Chapman (1976) biomassa adalah berat bahan organik suatu
organisme per satuan unit area pada suatu saat, berat bahan organik umumnya
dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat
kering bebas abu (ash free dry weight).
Biomassa hutan merupakan total materi yang ada di bawah dan atas permukaan
tanah dari komponen-komponen hayati meliputi pohon serta semak dan non hayati
yang ada dalam ekosistem hutan, seringkali biomassa didefinisikan sebagai “jumlah
total dari komponen-komponen organik dalam pohon-pohonan di atas tanah, yang
biasanya dinyatakan dalam berat kering atau ton per satuan luas” (Brown 1997).
Menurut Kusmana (1993) biomassa dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu
biomassa tumbuhan diatas permukaan tanah (above ground biomass) adalah berat
bahan unsur organik per unit luas pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu
fungsi sistem produksi, umur, tegakkan hutan dan distribusi organik dan biomassa di
bawah permukaan tanah (below ground biomass).
7

Biomassa atas permukaan adalah semua material hidup di atas permukaan.


Bagian yang termasuk dari biomassa atas permukaan ini adalah batang, tunggul,
cabang, kulit kayu, biji dan daun vegetasi baik strata pohon maupun dari strata
tumbuhan bawah di lantai hutan. Biomassa bawah permukaan adalah semua
biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran
diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan karena akar tumbuhna dengan
diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan
bahan organik tanah dan serasah (Sutaryo 2009).

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Biomassa


Faktor iklim seperti suhu dan curah hujan merupakan faktor yang
mempengaruhi laju peningkatan karbon biomassa pohon (Kusmana 1993). Selain
curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan adalah
umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan serta kualitas tempat
tumbuh (Satoo dan Madgwick 1982). Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh
umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan
(Lugo dan Snedaker 1974).
Semakin tinggi suhu akan menyebabkan kelembaban udara relatif semakin
berkurang. Kelembaban udara relatif bisa mempengaruhi laju fotosintesis. Hal ini
disebabkan udara yang relatif tinggi akan memiliki tekanan udara uap air pasial CO 2
sehingga memudahkan uap air berdifusi melalui stomata. Akibat selanjutnya laju
fotosintesis akan menurun (Siringo & Ginting 1997 dalam Ojo 2003).

2.2.3 Pengukuran dan Pendugaan Biomassa


Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi mengenai nutrisi
dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan atau jumlah bagian-bagian
tertentu seperti kayu yang sudah ditebang. Biomassa vegetasi pohon tidak mudah
diukur khususnya hutan campuran dan tegakan tidak seumur. Pengumpulan data
biomassa dapat dikelompokkan dengan cara dekstruktif dan non destruktif tergantung
8

jenis parameter vegetasi yang diukur seperti yang tercantum pada Tabel 1 (Hairiah et
al. 2001).

Tabel 1 Parameter-parameter biomassa diatas tanah dan metode pendugaan


simpanan biomassa

Parameter Metode
Tumbuhan bawah Pemanenan/destruktif
Serasah : 1. Serasah kasar Pemanenan/destruktif
2. Serasah halus
Pohon Hidup Non-destruktif, persamaan allometrik
Pohon mati berdiri (nekromassa) Non-destruktif, persamaan allometrik (yang
bercabang) atau silinder (yang tidak
bercabang)
Pohon mati roboh (nekromassa) Non-destruktif, persamaan silinder (atau
allometrik untuk yang bercabang)
Tunggak pohon (nekromassa) Non-destruktif, persamaan silinder

Pendugaan biomassa hutan diperlukan untuk mengetahui perubahan cadangan


karbon untuk tujuan lain. Pendugaan biomassa diatas permukaan tanah sangat penting
untuk mengkaji cadangan karbon dan efek dan deforestasi dan penyimpanan karbon
dalam keseimbangan karbon secara global (Ketterings et al. 2001).
Menurut Brown (1997) ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari
pohon yaitu pendekatan yang pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai
batang bebas cabang yang kemudian dirubah menjadi jumlah biomassa (ton/ha)
sedangkan pendekatan yang kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan
regresi biomassa.
Pendekatan pertama menurut Brown (1997) menggunakan persamaan dibawah ini :

Biomassa diatas tanah (ton/ha) : VOB x WD x BEF

Dimana, VOB : Volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha)


WB : Kerapatan kayu
BEF : Faktor ekspansi
9

Pendekatan yang kedua dengan menggunakan persamaan regresi biomassa


yang didasarkan pada diametr batang pohon. Dasar dari persamaan regresi ini adalah
hanya mendekati biomassa rata-rata per pohon menurut sebaran diameter,
menggabungkan sejumlah pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan total
seluruh pohon untuk seluruh kelas diameter.
Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi tentang nutrisi dan
persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan atau jumlah bagian-bagian
tertentu seperti kayu yang sudah ditebang.
Chapman (1976) mengelompokkan metode pendugaan biomassa diatas tanah
ke dalam dua kelompok besar, yaitu :
1. Metode destruktif (permanenan)
a. Metode permanenan individu tanaman, metode ini digunakan pada tingkat
kerapatan individu tumbuhan cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan
jenis sedikit.
b. Metode permanenan kuadrat, metode ini mengharuskan memanen semua
individu pohon dalam suatu unit cintoh dan menimbangnya.
c. Metode permanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-
rata, metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki ukuran
seragam.
2. Metode non destruktif (tidak langsung)
a. Metode hubungan allometrik, persamaan allometrik dibuat dengan mencari
korelasi yang paling baik antara dimensi pohon dengan biomassanya.
Pembuatan persamaan tersebut dengan cara menebang pohon yang mewakili
sebaran kelas diameter dan ditimbang.
b. Crop meter, penduga biomassa metode ini dengan cara menggunakan
seperangkat peralatan elektronika listrik yang kedua kutubnya diletakkan
diatas permukaan tanag pada jarak tertentu.
Pendugaan biomassa hutan dibutuhkan untuk mengetahui perubahan
cadangan karbon untuk tujuan lain. Pendugaan biomassa diatas permukaan tanah
sangat penting untuk mengkaji cadangan karbon dan efek dari deforestasi dan
10

penyimpanan karbon dalam keseimbangan karbon secara global (Ketterings et al.


2001).
Menurut Rahayu et al. (2004) peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Meningkatkan pertumbuhan biomassa hutan secara alami.
2. Menambah cadangan kayu pada ahutan yang ada dengan penanaman pohon atau
mengurangi pemanenan kayu.
3. Mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh.
Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomassa kayu sehingga
cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan
menanam dan memelihara pohon.

2.3 Peranan Hutan sebagai Penyerap Karbon


Hutan sangat berperan penting dalam upaya peningkatan penyerapan CO 2
dimana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil
mampu menyerap CO 2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini
antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh
menjadi makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus
sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen.
Secara umum hutan dengan “net growth” terutama dari pohon-pohon yang
sedang berada pada fase pertumbuhan akan mampu menyerap lebih banyak CO 2 ,
sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan karbon
tetapi tidak dapat menyerap CO 2 secara berlebih atau ekstrak. Dengan adanya hutan
yang lestari maka, jumlah karbon yang disimpan akan semakin banyak dan semakin
lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau
rehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO 2 di atmosfer.
Rusaknya hutan-hutan di Indonesia seharusnya berfungsi sebagai tempat
penyimpanan CO 2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang
mati akan melepaskan CO 2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer
(Kyrklund 1990).
11

Siklus karbon menggambarkan dinamika karbon di alam secara sederhana.


Siklus ini merupakan siklus biogeokimia yang mencakup pertukaran atau
perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer dan atmosfer bumi.
Siklus karbon merupakan proses yang rumit dan setiap proses saling mempengaruhi
proses lainnya (Sutaryo 2009).
Tumbuhan memerlukan sinar matahari dan gas karbondioksida yang diserap
dari udara serta air serta hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan
hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO 2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah
menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya
ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses
penimbunan karbon dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi.
Pengukuran jumlah karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa)
pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO 2 di atmosfer yang diserap
oleh tanaman (Hairiah dan Rahayu 2007).
Aliran karbon dari atmosfer ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua
arah yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomassa melalui fotosintesis dan pelepasan
CO 2 ke atmosfer melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Alih guna lahan dan
konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO 2 dengan jumlah sebesar (1,7 ±
0,6) 109 Mg karbon pertahun. Karbon yang terikat oleh vegetasi hutan akan segera
dilepaskan kembali ke atmosfer melalui pembakaran, dekomposisi sisa panen
maupun pengangkutan hasil panen. Pelepasan karbon ke atmosfer akibat konversi
hutan berjumlah sekitar 250 Mg karbon per hektar yang terjadi selama penebangan
dan pembakaran sedangkan, penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon
relatif lambat hanya sekitar 5 Mg karbon per hektar setiap tahun (Rahayu et al. 2004).

2.4 Penggunaan Lahan


Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah air,
dan vegetasi serta benda yang memberikan pengaruhnya terhadap potensi
penggunaan lahan (FAO 1976 dalam Arsyad 2006). Saefulhakim (1998) menyatakan
bahwa lahan adalah matriks dasar kehidupan manusia dan pembangunan karena
12

semua aspek kehidupan dan pembangunan baik langsung maupun tidak langsung
berkaitan dengan permasalahan lahan.
Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk campur tangan
manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material
maupun spiritual (Arsyad 2006). Penggunaan lahan merupakan bentuk kegiatan
manusia terhadap sumberdaya alam lahan baik yang bersifat permanen atau
sementara yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan material maupun spiritual
(Candra 2003). Penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia
terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk keadaan
alamiah yang belum terpengaruh oleh kegiatan manusia. Aktivitas tersebut
menyebabkan terjadi penggunaan lahan yang sangat beraneka ragam sesuai dengan
peruntukan (Suburi 2000). Saefulhakim dan Nasoetion (1994) menyatakan bahwa
penggunaan lahan merupakan proses dinamis, sebagai hasil dari perubahan pola dan
besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu.
Menurut Chapman (1976), kebutuhan penggunaa lahan berkaitan erat dengan
sistem aktivitas antara manusia dan kelembagaan (institusi) yaitu individu, rumah
tangga, firma dan institusi. Barlowe (1987) menyebutkan ada tiga faktor penting yang
dipertimbangkan dalam menggunakan lahan yaitu kesesuaian bio-fisik, kelayakan
sosial ekonomi dan kelayakan kelembagaan. Faktor fisik dan biologis mencakup
kesesuaian sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan,
binatang dan kependudukan.
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan
dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lain diikuti oleh berkurangnya tipe
penggunaan lahan lain pada suatu waktu ke waktu berikutnya (Martin 1993 dalam
Candra 2003). Perubahan penggunaan lahan tidak akan membawa masalah yang
serius sepanjang mengikuti kaidah konservasi tanah dan air serta kelas kemampuan
lahan. Perubahan lahan akan berpengaruh langsung terhadap karakteristik penutupan
lahan sehingga akan mempengaruhi sistem tata air DAS yang ditunjukkan oleh
respon hidrologi DAS yang diketahui melalui produksi air, erosi dan sedimentasi
(Seyhan 1990).
13

2.4.1 Pola Penggunaan Lahan


Pola penggunaan lahan adalah konfigurasi spasial atau tata ruang di suatu
wilayah untuk waktu tertentu. Pola penggunaan lahan dapat menggambarkan keadaan
sosial ekonomi dari masyarakatnya. Secara umum, pola tersebut merefleksikan
aktivitas manusia yang membutuhkan lahan untuk memproduksi pangan, lokasi
perumahan, bangunan serta fasilitas lainnya (Saefulhakim 1998).
Pola penggunaan lahan merupakan gabungan dari beberapa jenis penggunaan
lahan yang ada dalam suatu wilayah. Oleh karena itu, potensi suatu daerah dapat
dilihat dari pola penggunaan lahan yang ada di daerah yang bersangkutan.

2.4.2 Klasifikasi Penggunaan Lahan


Arsyad (2010) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua golongan
besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.
Penggunaan lahan pertanian yaitu penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun, padang
rumput, hutan, padang alang-alang dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan
bukan pertanian yaitu penggunaan lahan kota atau desa (pemukiman), industri,
rekreasi, pertambangan dan sebagainya.
Menurut Barlowe (1987), penggunaan lahan dibagi menjadi sepuluh kelas
yaitu lahan pemukiman, lahan industri dan perdagangan, lahan bercocok tanam, lahan
peternakan dan penggembalaan, lahan rekreasi, lahan pelayanan jasa, lahan
transportasi dan lahan tempat pembuangan. Kelas penggunaan lahan tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa jenis penggunaan, yaitu :
1. Pemukiman dan industri, meliputi sebagian besar penggunaan lahan di perkotaan,
tetapi hanya sebagian kecil dari penggunaan lahan seluruhnya.
2. Pertanian, meliputi areal tanaman pertanian yaitu pangan dan perkebunan yang
merupakan porsi terbesar dari penggunaan lahan seluruhnya.
3. Padang rumput dan penggembalaan, meliputi penggunaan lahan untuk peternakan
termasuk komplek pertanian.
4. Perhutanan, meliputi penggunaan lahan untuk hutan industri, hutan lindung dan
belukar.
14

5. Lain-lain, meliputi penggunaan lahan untuk tempat rekreasi, jalan raya,


pertambangan, pembuangan sampah dan lainnya.

2.5 Sifat Fisik Tanah


2.5.1 Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan komposisi butiran penyusun tanah yang pada
umumnya terdiri dari pasir, debu dan liat yang mempunyai ukuran kurang dari 2 mm.
Pasir biasanya didominasi oleh mineral kuarsa (SiO 2 ) yang sangat tahan terhadap
pelapukan sedangkan debu biasanya berasal dari mineral Feldspar dan mika yang
dengan mudah melapuk dan pada saat pelapukannya mengeluarkan sejumlah hara
sehingga tanah bertekstur debu pada umumnya lebih subur daripada tanah bertekstur
pasir. Liat merupakan koloid yang bermuatan listrik yang aktif sebagai pertukaran
anion dan kation maka, liat lebih berperan secara kimiawi (Hanafiah 2005).
Kelas tekstur tanah ditentukan berdasarkan proporsi dari pasir, debu dan liat
yang terkandung dalam tanah. Menurut Hardjowigeno (2003) tanah dikelompokkan
ke dalam beberapa macam kelas tekstur, yaitu :
1. Tanah bertekstur kasar meliputi pasir dan pasir berlempung.
2. Tanah bertekstur agak kasar meliputi lempung berpasir dan lempung berpasir
halus.
3. Tanah bertekstur sedang meliputi lempung berpasir sangat halus, lempung,
lempung berdebu dan debu.
4. Tanah bertekstur agak halus meliputi lempung liat, lempung liat berpasir dan
lempung liat berdebu.
5. Tanah bertekstur halus meliputi liat berpasir, liat berdebu dan liat.

2.6 Sifat Kimia Tanah


2.6.1 Reaksi Tanah (pH Tanah)
Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang
dinyatakan dengan nilai pH (potential of hydrogen). Nilai pH menunjukkan
15

banyaknya konsentrasi ion hydrogen (H+) di dalam tanah (Hardjowigeno 2003).


Tanah asam memiliki nilai pH yang rendah atau kadar ion H+ yang tinggi, sebaliknya
tanah basa memiliki nilai pH yang tinggi atau kadar ion H+ yang rendah. Dalam
tanah, selain ion H+ dan ion–ion lain ditemukan pula ion OH- yang jumlahnya
berbanding terbalik dengan ion H+. Bila kandungan H+ dan OH- adalah sama, maka
tanah bereaksi netral.
Reaksi tanah yang asam hampir selalu ditemukan di daerah beriklim basah,
pada tanah ini kandungan ion H+ melebihi OH-. Sebaliknya, tanah basa hampir selalu
pula ditemukan di daerah kering, kandungan ion OH- lebih tinggi dari ion H+ (Dikti
1991a). Nilai pH berkisar antara 0–14 dengan pH 7 disebut netral, pH kurang dari 7
disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut basa. Namun, pada umumnya pH tanah
berkisar antara 3,0 – 9,0 (Hardjowigeno 2003).
Tingkat kemasaman atau pH yang digunakan untuk menentukan mudah
tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman. Pada umumnya unsur hara mudah diserap
akar tanaman pada pH tanah sekitar netral, karena pada pH tersebut kebanyakan
unsur hara mudah larut dalam air. Pada umumnya pula tanaman menunjukkan
penurunan pertumbuhan pada tanah asam. Hal ini disebabkan karena kandungan A1
serta unsur-unsur mikro yang berlebih sehingga bersifat racun terhadap tanaman.
Menurut Dikti (1991a) masalah yang paling menonjol pada tanah asam adalah
keracunan A1 dan Mn serta kekurangan hara P. Selain itu, tanah yang terlalu basa
juga sering mengandung garam yang terlalu tinggi yang juga dapat menjadi racun
bagi tanaman.

2.6.2 C-Organik
C-organik adalah penyusun utama bahan organik. Bahan organik mempunyai
peranan yang sangat penting dalam tanah terutama pengaruhnya terhadap kesuburan
tanah. Banyak sifat-sifat tanah baik fisik, kimia dan biologi tanah yang secara
langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh bahan organik (Istomo 1994).
16

Tabel 2 Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah


Sangat Sangat
No Sifat Tanah Satuan Rendah Sedang Tinggi
Rendah Tinggi
1 C-Organik % < 1,00 1,00−2,00 2,01−3,00 3,01−5,00 > 5,00
2 N-Total % < 0,10 0,10−0,20 0,21−0,50 0,51−0,75 > 0,75
3 P 2 O 5 HCl 25% (mg/100g) < 15,00 15,00−20,00 21,00−40,00 41,00−60,00 > 60,00
4 Ca (me/100g) < 2,00 2,00−5,00 6,00−10,00 11,00−20,00 > 20,00
5 Mg (me/100g) < 0,30 0,41−1,00 1,10−2,00 2,10−8,00 > 8,00
6 pH H2O 4,50 4,50−5,50 5,60−6,50 6,60−7,50 7,60−8,50
Sangat Masam Agak Netral Agak basa
masam masam
Sumber : Staff Pusat Penelitian tanah (1983)

2.6.3 N-Total
Nitrogen (N) merupakan salah satu unsur hara makro esensial yang dibutuhkan
oleh tanaman dalam jumlah yang besar. Menurut Hanafiah (2005) unsur N berfungsi
sebagai penyusun semua protein, klorofil dan asam-asam nukleat serta berperan
dalam pembentukkan koenzim. Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik
tanah, pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara, pupuk dan air hujan. Nitrogen
di dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk yaitu protein, senyawa-senyawa
amino, amonium (NH4 +), serta nitrat (NO 3 -).Nitrogen yang diserap oleh tanaman
adalah nitrogen dalam bentuk ammonium dan nitrat (Hardjowigeno 2003).

2.6.4 P 2 O 5
Unsur Fosfor (P) di dalam tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan, dan
mineral-mineral di dalam tanah. P-organik dan P-anorganik merupakan jenis unsur P
yang terdapat di dalam tanah (Hardjowigeno 2003).
Menurut Hanafiah (2005), sumber utama unsur P dalam tanah selain dari
pelapukan bahan induk juga berasal dari mineralisasi P-organik hasil dekomposisi
sisa-sisa tanaman yang mengimobilisasikan P dari larutan tanah dan hewan.
Dibandingkan dengan N, unsur P lebih cepat menjadi tersedia akibat terikat oleh
17

kation tanah serta terfiksasi pada permukaan positif koloidal tanah.Ketersediaan


unsur P optimum terdapat pada kisaran pH 6,0–7,0.

2.6.5 Kalium (K 2 O)
Unsur K dalam tanah berasal dari mineral-mineral primer tanah (feldspar, mika
dan lain-lain) serta berasal dari pupuk buatan. Unsur K ditemukan dalam jumlah
yang besar pada tanah, tetapi hanya sebagian kecil yang digunakan oleh tanaman
yaitu yang larut dalam air atau yang dapat dipertukarkan (Hardjowigeno 2003).
Kalium berfungsi dalam proses pembentukkan pati, mengaktifkan enzim, pembukaan
stomata, proses fisiologis dalam tanaman, proses metabolik dalam sel, mempengaruhi
penyerapan unsur-unsur lain, mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan dan
penyakit serta perkembangan akar.

2.6.6 Kalsium (Ca)


Unsur Ca dalam tanah berasal dari mineral-mineral primer, karbobat (kalsit,
dolomit) dan garam-garam sederhana (gipsum dan Ca fosfat) (Hardjowigeno 2003).
Unsur kalsium tersedia dalam bentuk kation bervalensi 2, dan diambil oleh tanaman
dalam bentuk ion Ca2+. Kalsium berperan sebagai komponen penyusun dinding sel
tanaman, pembentukkan struktur dan permeabilitas membran sel (Hanafiah 2005).
Defisiensi Ca biasanya dijumpai pada kondisi masam dengan kejenuhan Ca
rendah. Ca tersedia pada pH 7,0–8,5. Kekurangan Ca dapat menyebabkan
terhentinya pertumbuhan tanaman akibat terganggunya pembentukkan pucuk
tanaman dan ujung-ujung akar serta jaringan penyimpan yang disebabkan
terhambatnya pembelahan sel.

2.6.7 Magnesium (Mg)


Magnesium dalam tanah berasal dari mineral (biotit, augit, horenblende,
amfibol), garam dan kapur (dolomit) (Hardjowigeno 2003). Sama halnya dengan
kalsium, unsur magnesium (Mg) juga tersedia dalam bentuk kation bevalensi 2, dan
18

diambil tanaman dalam bentuk Mg2+ (Hanafiah 2005). Magnesium berperan sebagai
satu-satunya mineral penyusun klorofil, berperan dalam aktivasi enzim, serta dalam
pembentukkan minyak.
Tabel 3 Kriteria penilaian Ca dan Mg
Sangat Sangat
No Sifat Tanah Satuan Renda Rendah Sedang Tinggi Tinggi
h
1 Kalsium (Ca) mg/100 g < 2,00 2,00−5,00 6,00−10,00 11,00−20,00 >20,00
2 Magnesium (Mg) mg/100 g < 0,40 0,40−1,00 1,10−2,00 2,10−8,00 > 8,00
Sumber: Pustlitanak (1994)

2.7 Topografi
Topografi merupakan gambaran variabilitas permukaaan bumi, yang biasanya
berasosiasi dengan ciri-ciri bentuk permukaan seperti variasi relief suatu daerah.
Untuk menggambarkan secara lebih sederhana dapat digunakan pengertian-
pengertian bentang lahan, seperti perbukitan, lembah dan dataran. Topografi suatu
wilayah dapat digambarkan dalam SIG dengan data elevasi digital. Data ini terdiri
dari sejumlah besar titik elevasi yang menyebar di seluruh daerah yang digambarkan.
Titik-titik ini umumnya diorganisasikan sebagai grid titik sebagai bentuk raster dari
organisasi tersebut.
Topografi dapat dipergunakan untuk mempelajari data selain elevasi. Berbagai
ciri-ciri yang mempunyai perubahan nilai kontinyu pada suatu daerah dapat
ditampilkan sebagai suatu permukaan sehingga dinamika proses di permukaan
tersebut dapat dipahami. Data geologi, aerogmatik, dan geokimia sering ditampilkan
sebagai suatu bidang permukaan. Contoh lain adalah tingkat kebisingan di sekitar
bandar udara, atau tingkat polusi dalam suatu danau juga dapat digambarkan sebagai
permukaan topografi. Aplikasi fungsi topografi sangat banyak dipakai saat ini untuk
keperluan pemetaan polusi di daerah industri atau daerah pertanian intensif.
Fungsi topografi dipakai untuk memperhitungkan nilai-nilai tertentu.
Kebanyakan fungsi-fungsi topografi menggunakan tetangga-tetangganya untuk
menandai terain local. Parameter terain yang palinh sering dipakai adalah lereng dan
19

aspek, yang dihitung dengan menggunakan elevasi data dari berbagai titik
berdekatan.
Topografi (relief) juga dapat diartikan sebagai perbedaan tinggi atau bentuk
wilayah suatu daerah, termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Peran
topografi dalam proses genesis dan perkembangan profil tanah adalah melalui empat
cara, yaitu lewat pengaruhnya dalam menentukan jumlah air hujan yang dapat
meresap atau disimpan oleh massa tanah, kedalaman air tanah, besarnya erosi yang
dapat terjadi, dan arah pergerakan air yang membawa bahan-bahan terlarut dari
tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
Melalui empat perannya ini, maka Hardjowigeno (2003) menyimpulkan bahwa
sifat-sifat tanah yang terpengaruh meliputi, ketebalan solum dan bahan organik pada
horizon O, kadar bahan organik pada horizon O dan air tanah, warna, temperatur dan
taraf perkembangan horizon, reaksi tanah dan kadar garam mudah larut, jenis dan
taraf perkembangan lapisan padas, sifat bahan induk tanah.
Lereng didefinisikan sebagai besarnya perubahan elevasi dibandingkan ke
panjang bidang datar. Aspek adalah arah lereng menghadap yang biasanya dinyatakan
dalam derajat sudut antara 0 sampai 360. Konsepnya, perhitungan lereng dan aspek
pada suatu titik dapat dibayangkan sebagai ketepatan suatu bidang kenilai elevasi dari
lingkungannya. Kemiringan dan arah bidang adalah lereng dan aspek dari titik
tersebut. Arah maksimum lereng disebut juga gradient.
Lereng biasanya diukur dalam derajat atau persentase perubahan elevasi dibagi
jarak horizontal bersangkutan, sedangkan aspek didefinisikan dari sudut horizontal,
yang biasanya diukur dalam derajat azimuth yang merupakan sudut yang dibentuk
dari pergerakan jarum jam dari utara. Sudut vertikal atau sudut elevasi adalah sudut
positif yang diukur dari horizontal ke suatu garis yang digambar tegak lurus ke
permukaan. Sudut ini adalah 900 dikurangi dengan besarnya gradient.
Lereng dan aspek juga umum dipakai untuk keperluan lain selain elevasi.
Pengukuran lereng biasanya juga dipakai untuk analisis gravitasi dan aeromagnetic
pada bidang geologi. Pada penentuan daerah pemukiman nilai lereng dapt dihitung
sebagai biaya pengelolaan lahan. Tingginya nilai lereng dapat menunjukkan adanya
20

perubahan biaya yang berhubungan langsung dengan jarak. Daerah tertentu dapat
juga menggambarkan zona potensi konflik atau untuk keperluan investasi. Fungsi
topografi lain yang penting adalah iluminasi, model pandangan samping, dan
pandangan perspektif.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 di Laboratorium Pengaruh
Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Lokasi
pengambilan data penelitian ini di Mamuju Utara dan Analisis tanah yang dilakukan
di Laboratorium Tanah Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Balai Besar Sumberdaya Lahan Peranian Balai Penelitian Tanah Bogor.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, seperangkat
komputer dengan beberapa software yaitu Arc View 3.3, Citra Landsat Mamuju Utara
tahun 2010 yang terdapat pada lampiran 4 , Microsoft Word 2010, Microsoft Excel
2010, Microsoft Powerpoint 2010, alat tulis, alat hitung, peta kerja, tally sheet, global
Positioning System (GPS), Tali tambang warna cerah ukuran minimal 20 meter, tali
plastik (tali rafia) warna cerah, Kompas, pita meter ukuran minimal 30 meter, pita
meter jahit untuk mengukur keliling pohon, kamera digital untuk dokumentasi, label,
plastik bening ukuran 5 kg, plastik hitam besar ukuran 1 kg, golok/pisau/cutter,
patok, timbangan, bor tanah.

3.3 Metode Pengambilan Data


Jenis-jenis data yang digunakan untuk kegiatan penelitian ini dibagi 2, yaitu
1. Data Primer
Data Primer adalah data secara langsung dari lapangan yang meliputi data
diameter pohon dari beberapa tutupan lahan dengan diameter 1,3 m dari atas tanah,
berat basah dan berat kering tumbuhan bawah dan serasah pada setiap petak
penelitian dan beberapa sampel tanah terganggu dan tak terganggu.
22

2. Data sekunder
Data sekunder merupakan data penunjang penelitian berupa kondisi umum lokasi
penelitian salah satu data sekunder yang digunakan yaitu berupa citra landsat. Citra
landsat yang digunakan berupa citra tahun 2010. Citra tahun 2010 dipilih karena lebih
jelas karena sedikit tertutup awan.

3.4 Metode Penelitian


Data-data yang digunakan adalah metode non destruktif, yaitu metode tanpa
penebangan pohon. Hal ini dilakukan karena biaya yang lebih murah dan mudah
dilakukan, yaitu dengan mengukur semua pohon dengan diameter 1,3 m dari atas
tanah yang kemudian digunakan pendekatan volumetrik untuk menduga potensi
biomassa dan simpanan karbon, sedangkan untuk estimasi biomassa serta simpanan
karbon pada tumbuhan bawah dan serasah dilakukan dengan mengambil mengambil
seluruh bagian tumbuhan bawah dan serasah (Hairiah dan Rahayu 2007). Untuk
penentuan biofisik tanah digunakan dengan beberapa metode. Langkah-langkah yang
akan dilakukan dalam penelitian ini :
1. Penentuan dan Pembuatan Petak Penelitian
Petak yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 jenis sesuai dengan jenis
tegakan. Untuk tutupan lahan berupa pohon dengan petak berukuran 20 m × 100 m
dengan rincian 5 petak 20 m × 20 m. Didalam masing-masing petak terbagi lagi
menjadi petak kecil berukuran 1 × 1 m sebanyak 2 buah yang letaknya bisa di lihat
dalam Gambar 1, petak ini digunakan untuk pengukuran analisis vegetasi tumbuhan
bawah dan serasah.

Gambar 1 Plot pengukuran biomassa di hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, dan
kebun campuran.
23

Untuk tutupan lahan mangrove menggunakan ukuran plot 10 m × 50 m yang


terbagi atas 5 petak dengan ukuran 10 m × 10 m. Di dalam petak ini juga terdapat 2
buah petak dengan ukuran 1 m × 1 m untuk mengukur biomassa tumbuhan bawah
seperti pada gambar 1.
Untuk jenis tutupan lahan berupa Semak Belukar, Tegalan, Sawah, dan Rawa
digunakan petak 1 m × 1 m dengan jarak antar petak 10 m sebanyak 5 petak seperti
pada Gambar 2.

Gambar 2 Plot pengukuran biomassa di semak belukar, tegalan, sawah, dan rawa
2. Pendugaan Biomassa Tegakan
Pendugaan biomassa tumbuhan dilakukan dengan menggunakan metode
pendekatan volume seperti yang diusulkan Brown (1997).
3. Pengambilan Contoh Tumbuhan Bawah
Pada setiap petak penelitian berukuran 1 m × 1 m dilakukan pengambilan
contok tumbuhan bawan berkayu atau non kayu yang berdiameter batang kurang dari
5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Estimasi biomassa
tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (Hairiah dan Rahayu
2007). Selain pengambilan tumbuhan bawah, dilakukan juga pengambilan serasah
pada petak 1 m × 1 m tersebut.
4. Pengovenan
Pengovenan dilakukan terhadap semua sampel tumbuhan bawah dan serasah
sebanyak 200 gram. Pengovenan dilakukan pada suhu 800 C selama 48 jam (Hairiah
& Rahayu 2007).
24

3.5 Analisis Data


1. Pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan serasah
Data primer tumbuhan bawah yang diperoleh dihitung berat basahnya dan
contoh yang diambil dikeringtanurkan untuk mengetahui berat keringnya. Menurut
Haygreen dan Bowyer (1982), kadar air dihitung menggunakan rumus :
BB − BK
- Perhitungan kadar air: KA = × 100%
BK
(Haygreen & Bowyer 1982)
Keterangan: KA = kadar air (%)
BB = berat basah contoh (gram)
BK = berat kering contoh (gram)
BB
- Perhitungan berat kering biomassa: BKT =
1 + ( KA 100)

2. Struktur Tanah
Penentuan tipe struktur tanah dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
1. Contoh tanah terusik diambil sebanyak ± 20 cm3 (massa tanah dapat ditampung
dua telapak tangan yang didampingkan)
2. Bongkahan tanah tersebut dihancurkan dengan cara dilemparkan setinggi 25 – 50
cm
3. Setelah bongkahan tanah tersebut hancur, ditentukan bentuk agregat tanah terkecil
(struktur tanah) yang terdapat pada bongkah tanah tersebut
4. Bentuk agregat tanah disesuaikan dengan Gambar 3.
25

Gambar 3 Bentuk-bentuk agregat tanah

3. Alometrik
Untuk menduga kandungan biomassa dari tutupan lahan yang ada digunakan
metode pendekatan melalu rumus atau biasa yang disebut alometrik. Adapun
beberapa Alometrik yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Lampiran 3.

4. Potensi Karbon
Karbon diduga melalui biomassa yaitu mengkonversi setengah dari jumlah
biomassa, karena hampir 50% dari biomassa vegetasi hutan tersusun atas unsur
karbon (Brown 1997) yaitu dengan menggunakan rumus :
C = Yn × 0,5
Dimana : C = Karbon (ton/ha)
Yn = Biomassa tegakan (ton/ha)
0,5 = Faktor konversi dari standa internasional untuk
pendugaan Karbon
26

3.5.1 Analisis Tanah


Analisis tanah dilakukan oleh Balai Penelitian Tanah Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian , Cimanggu Bogor.

3.5.2 Analisis Statistik


Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Biplot
dengan menggunakan software Minitab 16. Kedekatan antar objek, informasi ini
dapat dijadikan panduan objek mana yang memiliki kemiripan karakteristik dengan
objek tertentu. Dalam kasus ini, ketika ingin melihat faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi jumlah total karbon, maka bisa dilihat dari faktor-faktor yang
memiliki kedekatan dengan total karbon (Y).
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

1.1 Letak Geofrafis dan Batas Wilayah


Berdasarkan data statistik (Mamuju Utara dalam Angka 2007), Kabupaten
Mamuju Utara, yang terdiri atas 12 kecamatan dan 63 desa/kelurahan, meliputi
wilayah seluas 304.375 ha. Secara geografis Kabupaten Mamuju Utara terletak antara
119°25’ 26”−119° 50’ 20” BT dan 0° 40’ 10”−1° 50’ 12” LS. Secara fisik, batas-
batas Kabupaten Mamuju Utara adalah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Mamuju
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar
Kecamatan Baras memiliki wilayah yang paling luas berdasarkan data statistik
(sekitar 14,24 % dari total luas wilayah kabupaten) sebelum dimekarkan menjadi dua
kecamatan sedangkan Kecamatan yang terluas berdasarkan analisis peta adalah
Kecamatan Dapurang (sekitar 30,71% dari total luas wilayah kabupaten). Posisi
kedua, ketiga dan keempat berdasarkan data statistik secara berturut-turut ditempati
oleh Kecamatan Sarudu, Bulutaba dan Kecamatan Lariang, sedangkan Posisi kedua,
ketiga dan keempat
Berdasarkan analisis peta masing-masing ditempati oleh Kecamatan Baras,
Bulutaba dan Pasangkayu. Kecamatan yang memiliki luas wilayah yang paling kecil
adalah Kecamatan Bambaira (hanya sekitar 1,21% dari total luas wilayah kabupaten).

4.2 Keadaan Iklim


Iklim di wilayah Kabupaten Mamuju Utara digambarkan dengan data curah
hujan yang tecatat di Stasiun Pasangkayu dan Stasiun Karossa yang menunjukkan
pola distribusi curah hujan di wilayah pantai utara dan selatan. Pola ini mengikuti
pola iklim pantai barat Sulawesi yang posisi geografi wilayahnya terletak di pantai
Selat Makassar barat Sulawesi. Antara bulan September sampai bulan Maret
28

dipengaruhi oleh musim barat karena adanya angin barat laut yang membawa hujan
dengan puncak curah hujan pada bulan Desember dan Januari. Sedangkan pada bulan
Maret sampai September bertiup angin tenggara yang merupakan angin timur yang
kering sehingga terjadi musim kemarau.
Curah hujan bulanan yang tercatat pada stasiun Karossa juga menunjukkan
terjadinya puncak musim pada bulan April disamping yang terjadi pada bulan-bulan
Desember dan bulan Januari. Pola seperti ini juga terjadi di bagian tengah wilayah
kabupaten. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya pola bimodial atau dua
puncak musim hujan dimana puncak musim hujan yang kedua terjadi karena adanya
uap air dari tenggara yang terbawa oleh angin timur. Dikaitkan dengan data curah
hujan yang tersedia tersebut maka berdasarkan pembagian wilayah iklim dari
Oldeman, wilayah bagian selatan lebih basah dibandingkan dengan bagian utara.
Iklim di bagian selatan diklasifikasikan sebagai wilayah iklim B1, dimana bulan basah
(curah hujan bulanan rata-rata di atas 200 mm) mencapai tujuh sampai sembilan
bulan dan bulan kering (curah hujan bulanan rata-rata kurang dari 100 mm) kurang
dari dua bulan. Total curah hujan tahunan lebih besar dibagian selatan dibandingkan
dengan di bagian utara yang wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Donggala,
Provinsi Sulawesi Tengah. Bulan kering dengan curah hujan kurang dari 100 mm
terjadi pada bulan Agustus di bagian utara. Sedangkan pada bulan yang sama di
bagian selatan curah hujan masih di atas 100 mm. Distribusi curah hujan bulanan
yang demikian ini memungkinkan terbentuknya vegetasi berupa formasi hutan hujan
dataran rendah yang selalu hijau sepanjang tahun. Tanaman komoditas seperti kelapa
sawit dan kakao pertumbuhannya sesuai dengan kondisi iklim seperti ini.

4.3 Geologi dan Tanah


4.3.1 Aspek Geologi
Lembar Pasangkayu terletak pada Mandala Geologi Sulawesi Barat, yang
perkembangan tektonik dan sejarah pengendapan sedimennya mempunyai hubungan
yang erat dengan tektonik Sulawesi secara keseluruhan. Tektonik Pulau Sulawesi
secara umum sangat dipengaruhi oleh beberapa pergerakan yaitu pergerakan
29

mendatar oleh Palu-Koro, Walanae Fault, pergerakan menghunjam oleh subduksi


Laut Sulawesi dan beberapa patahan lainnya (Bergman 1996) (Gambar 4).

Gambar 4 Kerangka struktur geologi Pulau Sulawesi (Bergman et al. 1996)

4.3.2 Aspek Tanah


Terdapat enam sebaran kelompok utama (Great group) tanah yang di
Kabupaten Mamuju Utara yakni, dystropept, tropaquept, tropohemists, troposaprists,
troposamments, dan tropudults. Dystropept umumnya dijumpai pada relief atau
bentuk wilayah bergelombang, berbukit dan bergunung pada kisaran kemiringan
lereng 16–25 %, 41–60 % dan > 60%. Tanah ini baru dalam stadia perkembangan
awal dan mempunyai harkat kesuburan tergolong tinggi pada kondisi alamiah yang
tidak terganggu. Apabila terjadi konversi keperuntukan lain, dystropept mudah
tererosi karena lithologinya terbentuk dari persilangan konglomerat, batuan pasir,
batuan lempung dan tufa. Luasan tanah dystropept di Kabupaten Mamuju Utara
meliputi areal seluas 175.207 ha yang setara dengan 42,12% dari luas kabupaten.
30

4.4 Sosial Ekonomi


Sebagai daerah pemekaran, perekonomian Kabupaten Mamuju Utara telah
digenjot seiring dengan perbaikan sarana dan prasarana dan insentif layanan publik
yang meningkat. Mata pecaharian masyarakat Mamuju Utara cukup beragam mulai
dari bidang pertanian sampai jasa-jasa di bidang perdagangan dan perhotelan.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Tutupan Lahan dan Vegetasi


Terdapat 6 jenis tutupan lahan yang digunakan dalam penelitian ini seperti
yang ada dalam Tabel 4. Arsyad (2010) mengelompokkan penggunaan lahan
pertanian yaitu penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun,

Tabel 4 Jenis tutupan lahan dan vegetasi dan luas petak penelitian
Luas Petak
No Jenis tutupan Lahan Jenis Vegetasi
Ukur
1 Kebun Sawit 1 Sawit (Elaeis guineensis) 400 m²
2 Kebun Sawit 2 Sawit (Elaeis guineensis) 400 m²
3 Mangrove 1 Api-api (Avicennia sp) 100 m²
Bakau (Rhizopora sp)
4 Mangrove 2 Api-api (Avicennia sp) 100 m²
Bakau (Rhizopora sp)
5 Kebun campuran 1 Angsana (Pterocarpus indica) 400 m²
Kelapa (Cocos nucifera)
Ketapang (Terminalia catapa)
Pinang (Areca catechu)
Pisang (Musa paradisiaca)
Sasuwar (Vitex cofassus)
6 Kebun campuran 2 Kemiri (Aleurites moluccana) 400 m²
Coklat (Theobroma cacao)
Pisang (Musa paradisiaca)
Nangka (Artocarpus heterophyllus)
Aren (Arenga pinnata)
Rambutan (Nephelium lappaceum)
7 Hutan campuran 1 Kemiri (Aleurites moluccana) 400 m²
Gmelina (Gmelina arborea)
Eukaliptus (Eucalyptus sp)
8 Hutan campuran 2 Durian (Durio zibethinus) 400 m²
Coklat (Theobroma cacao)
Gamal (Glyricidia sepium)
Meranti (Shorea sp)
Coklat (Theobromaz cacao)
9 Tegalan Jukut pahit (Coelorachis glandulosa) 1 m²
Paku uban (Nephrolepis biserrata)
10 Rawa Bundung (Scirpus grossus) 1 m²

Jumlah 2602 m²
32

padang rumput, hutan, padang alang–alang dan sebagainya. Sedangkan


penggunaan lahan bukan pertanian yaitu penggunaan lahan kota atau desa
(pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya.

Tabel 5 Luas tutupan lahan di wilayah mamuju utara


No Jenis Tutupan Lahan Luas (Ha)
1 Hutan campuran 149.229,10
2 Mangrove 289,49
3 Tegalan/Ladang 27.678,40
4 Rawa 1.208,31
5 Kebun Campuran (Agroforestry) 60.315,66
6 Perkebunan sawit 56.997,79
Jumlah 295.718,79

5.2 Kandungan Karbon Pada Penggunaan Lahan


Setiap penggunaan lahan memiliki kandungan karbon yang berbeda-beda.
Adapun kandungan karbon yang didapatkan pada beberapa jenis tutupan lahan
pada penelitian ini yaitu pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah karbon pada tiap tutupan lahan


No Jenis C tersimpan (ton/ha)
Penutupan Tegakan Tumbuhan Total
Lahan Bawah
1 Kebun Sawit 1 267,22 4,88 272,10
2 Kebun Sawit 2 993,09 4,72 997,81
3 Mangrove 1 86,67 0,00 86,67
4 Mangrove 2 48,71 0,00 48,71
5 Kebun campuran 1 39,38 4,51 43,89
6 Kebun campuran 2 96,52 4,90 101,42
7 Hutan campuran 1 150,03 4,40 154,43
8 Hutan campuran 2 507,39 3,99 511,38
9 Tegalan 0,00 4,90 4,90
10 Rawa 0,00 7,90 7,90

Dari jumlah perhitungan karbon yang dilakukan dapat ditemukan bahwa


kebun sawit 2 memiliki kandungan karbon terbesar.Namun hasil ini jika
dibandingkan dengan kualitas tanah yang terdapat dilahan tersebut berbanding
33

terbalik. Kandungan C dan N pada kebun sawit 2 ini termasuk kategori rendah.
Untuk unsur-unsur tanah yang lain akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

5.3 Kondisi Tapak


Kondisi tapak yang di teliti dalam penelitian ini meliputi kondisi tanah
yaitu beberapa sifat fisik dan kimia tanah, dan kondisi topografi yang meliputi
kemiringan dan ketinggian lokasi penelitian.

5.3.1 Sifat-sifat Tanah


Sifat-sifat tanah terbagi atas 2 bagian yaitu sifat fisik tanah dan sifat kimia
tanah.

5.3.1.1 Sifat Fisik Tanah


Sifat fisik tanah yang dianalisis adalah tekstur tanah.

5.3.1.1.1 Tekstur Tanah


Tekstur tanah merupakan perbandingan kandungan partikel tanah yang
terdiri dari pasir, debu, dan liat. Setiap lokasi memiliki jenis tekstur tanah yang
berbeda tergantung dari persentase kandungan partikel tanah. Persentase
kandungan partikel tanah lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Tekstur tanah


Jenis tutupan lahan Tekstur tanah (%)
Pasir Debu Liat
Tanah sawit 1 10 64 26
Tanah sawit 2 15 33 52
Tanah Mangrove 1 30 49 21
Tanah mangrove 2 21 46 33
Tanah Kebun campuran 1 28 45 27
Tanah Kebun campuran 2 12 40 48
Tanah Hutan campuran 1 27 38 35
Tanah Hutan campuran 2 37 37 34
Tanah Tegalan 39 25 18
Tanah Rawa 40 18 28
34

Berdasarkan persentase kandungan pasir, debu, dan liat tekstur tanah


perkebunan sawit 1, hutan alam 1, hutan mangrove 2 dan hutan alam 2 bertekstur
sedang tapi agak halus yaitu lempung berliat. Perkebunan sawit 2 termasuk
bertekstur halus yaitu liat. Hutan mangrove 1 bertekstur sedang yaitu lempung
berpasir.Kebun campuran 1 memiliki tekstur sedang berupa lempung. Kebun
campuran 2 memiliki tekstur halus berupa liat berdebu. Pada tegalan memiliki
tekstur sedang tetapi agak kasar berupa lempung berpasir dan pada rawa memiliki
tanah bertekstur sedang tetapi agak halus berupa lempung liat berpasir. Penentuan
tekstur didasarkan pada segitiga teksur yang berisi proporsi persentase partikel
tanah (Darusman 1989). Tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap kemampuan
tanah dalam penyerapan air dan unsur hara.
Tanah yang baik adalah tanah yang memiliki tekstur sedang. Tekstur tanah
yang kasar atau agak kasar mempunyai pori makro yang lebih banyak sehingga
sulit untuk menahan air, sedangkan tekstur tanah halus mempunyai pori mikro
yang lebih banyak serta mempunyai luas permukaan yang besar sehingga dapat
menyulitkan penyerapan air.
Pada kebun sawit 2 yang memiliki tekstur tanah halus dimana tekstur ini
kurang baik bagi tanaman namun memiliki diameter pohon yang besar
dibandingkan dengan tutupan lahan yang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh umur
tanaman dan jenis vegetasinya.

5.3.1.2 Sifat Kimia Tanah


Sifat kimia tanah yang dianalisis adalah pH, C-organik, N, C/N,P2O5, K2O,
Ca, dan Mg. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 2.

5.3.1.2.1 Reaksi Tanah (pH Tanah)


Nilai pH dapat digunakan sebagai indikasi kesuburan kimiawi tanah,
karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. Dari
kesepuluh tutupan lahan hutan alam 1 dan perkebunan sawit 2 memiliki pH tanah
terkecil yaitu 4,4, sedangkan kandungan pH terbesar dimiliki oleh hutan
mangrove 1 dengan besar pH 6,1. pH pada perkebunan sawit dan hutan alam
lebih basa dapat diakibatkan tanah didaerah tersebut lebih kering dibandingkan
35

dengan hutan mangrove 1, karena pada umumnya kandungan OHˉ lebih tinggi
dari ion H+. Kandungan pH tahan keseluruhan tutupan lahan yang diteliti dapat
dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kandungan pH tanah


No Jenis tutupan Lahan pH(H 2 O)
1 Kebun Sawit 1 5,40
2 Kebun Sawit 2 4,40
3 Mangrove 1 6,10
4 Mangrove 2 6,00
5 Kebun campuran 1 5,90
6 Kebun campuran 2 5,90
7 Hutan campuran 1 4,40
8 Hutan campuran 2 5,00
9 Tegalan 4,80
10 Rawa 5,00

Menurut Hardjowigeno (2003), pada umumnya pH tanah berkisar antara


3,0 – 9,0. Unsur hara lebih mudah diserap akar tanaman pada pH netral, selain itu
pada pH netral kandungan unsur hara makro yang dibutuhkan tanaman juga
tersedia dalam jumlah yang banyak.
Pada kebun sawit 2 yang memiliki jumlah karbon total terbesar memiliki
nilai pH yang sangat asam. Namun pada kenyataanya tanaman sawit dapat hidup
pada tanah yang sangat asam.

5.3.1.2.2 C-Organik
C-Organik merupakan penyusun utama bahan organic yang mempunyai
peranan yang sangat penting dalam tanah terutama pengaruhnya terhadap
kesuburan tanah. Sehingga, ketersediaan C-Organik harus tetap dipertahankan
agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak berkurang. Berdasarkan
lampiran 2 hutan alam 2 memiliki C-Organik terkecil dengan nilai 0,56 termasuk
pada kategori sangat rendah sedangkan, nilai C-Organik terbesar dengan nilai
10,93 terdapat pada jenis tutupan lahan berupa rawa. Nilai C-Organik terkecil
pada hutan alam 2 dapat diakibatkan oleh kerusakan tanah yang dilakukan oleh
36

manusia seperti eksploitasi oleh manusia terhadap lahan tersebut. Kandungan C-


organik pada kesepuluh lahan yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Kandungan C-organik tanah


No Jenis tutupan Lahan C-Organik(%)
1 Kebun Sawit 1 3,12
2 Kebun Sawit 2 1,43
3 Mangrove 1 6,33
4 Mangrove 2 6,76
5 Kebun campuran 1 1,09
6 Kebun campuran 2 2,14
7 Hutan campuran 1 1,51
8 Hutan campuran 2 0,56
9 Tegalan 0,94
10 Rawa 10,93

Kebun sawit 2 sebagai tutupan lahan yang memiliki karbon total terbesar
memiliki kandungan C-Organik dalam kategori rendah. Hal ini dapat disebabkan
kondisi tanah pada kebun sawit 2 yang memiliki tekstur halus sehingga sulit untuk
menyimpan air.

5.3.1.2.3 N-Total
Jumlah N-Total terbesar adalah pada rawa dengan persentase sebesar 0,60
persen. Sedangkan nilai N-Total terkecil terdapat pada hutan alam 2 dengan
persentase sebesar 0,05% . Hal ini disebabkan karena kandungan bahan organik
yang dimiliki oleh rawa lebih tinggi dibanding tutupan lahan yang lain.

Tabel 9 Kandungan N-Total tanah


No Jenis tutupan Lahan N-Total(%)
1 Kebun Sawit 1 0,24
2 Kebun Sawit 2 0,12
3 Mangrove 1 0,19
4 Mangrove 2 0,32
5 Kebun campuran 1 0,09
6 Kebun campuran 2 0,19
7 Hutan campuran 1 0,12
8 Hutan campuran 2 0,05
9 Tegalan 0,07
10 Rawa 0,60
37

Pada kebun sawit 2 yang memiliki karbon total tebesar, kandungan N-total
yang dimiliki hanya sebesar 0,12% dimana nilai tersebut termasuk dalam kategori
rendah. Menurut Mengel dan Kirkby (1978), unsur N berkolerasi sangat erat
dengan perkembangan jaringan meristem, sehingga sangat menentukan
pertumbuhan tanaman. Namun pada kebun sawit 2 ini tanaman sawit memiliki
diameter yang cukup besar, ini dapat dikarenakan pada saat penanaman lahan ini
diberikan pupuk yang cukup namun ketika contoh tanah ini diambil lahan kebun
sawit ini tidak lagi diberikan pupuk sehingga menyebabkan berkurangnya unsur N
yang dimiliki. Kandungan N-Total kesepuluh tutupan lahan dapat dilihat pada
Tabel 9.

5.3.1.2.4 P (P 2 O 5 )
Pada penelitian diperoleh nilai P 2 O 5 terbesar pada jenis tutupan lahan
mangrove 1 sebesar 140 mg/100g yang termasuk dalam kategori sangat tinggi,
sebab P tersedia dalam jumlah yang optimal pada pH diatas 6,0 (Foth 1988).
sedangkan tutupan lahan berupa rawa memiliki nilai P 2 O 5 sebesar 26 mg/100g
yang termasuk dalam kategori sedang. Sedikitnya unsur P 2 O 5 pada tanah rawa ini
dapat diakibatkan terjadinya fiksasi oleh Al yang banyak terkandung dalam tanah
masam rawa.

Tabel 10 Kandungan P (P 2 O 5 ) tanah


P (P2O5)
No Jenis tutupan Lahan
(mg/100g)
1 Kebun Sawit 1 106
2 Kebun Sawit 2 29
3 Mangrove 1 140
4 Mangrove 2 58
5 Kebun campuran 1 114
6 Kebun campuran 2 61
7 Hutan campuran 1 47
8 Hutan campuran 2 62
9 Tegalan 40
10 Rawa 26

Pada tutupan lahan kebun sawit 2 yang memiliki karbon total terbesar
ditemukan nilai P 2 O 5 sebesar 29 mg/100g dimana nilai ini termasuk dalam
38

kategori sedang. Dengan nilai P 2 O 5 ini sudah cukup oleh tanaman sawit di lokasi
ini karena tidak dapat ditemukan gejala-gejala kekurangan unusr P pada tanaman.
Kandungan P 2 O 5 pada kesepuluh tutupan lahan yang diteliti dapat dilihat pada
Tabel 10.

5.3.1.2.5 K (K 2 O)
Kalium merupakan salah satu unsur yang cukup tinggi dibutuhkan oleh
tanaman. Salah satu hal yang dapat mempengaruhi ketersediaan kalium pada
tanah adalah pH tanah. Berdasarkan Foth (1988) kalium tersedia dalam jumlah
yang cukup pada pH diatas 6,0. Dari kesepuluh tutupan lahan kedua lokasi hutan
mangrove memiliki kadar K yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan kedua tutupan
lahan tersebut memiliki pH 6,0 dan 6,1 yang sangat cocok dengan unsur kalium
ini.

Tabel 11 Kandungan K (K2 O) tanah


Jenis tutupan
No K (K2O) (mg/100g)
Lahan
1 Kebun Sawit 1 17
2 Kebun Sawit 2 5
3 Mangrove 1 341
4 Mangrove 2 387
5 Kebun campuran 1 44
6 Kebun campuran 2 84
7 Hutan campuran 1 6
8 Hutan campuran 2 66
9 Tegalan 150
10 Rawa 9

Pada kebun sawit 2 yang memiliki jumlah karbon total terbesar memiliki
nilai unsur kalium yang kecil hal ini disebabkan pH pada tutupan lahan ini
masam. Kandungan K pada kesepuluh tutupan lahan yang diteliti dapat dilihat
pada Tabel 11.

5.3.1.2.6 Kalsium (Ca)


Pada kesepuluh tutupan lahan ditemukan ketersediaan kalsium yang sangat
rendah. Hal ini disebabkan oleh kondisi tanah yang masam dengan pH yang
39

rendah (Foth 1988). Kandungan kalsium yang cukup tersedia pada kisaran pH
7,0–8,5 dan kandungan kalsium menurun pada pH kurang dari 7,0 serta lebih
tinggi dari 8,5 , jika dibandingkan dengan lokasi tutupan lahan lainya lokasi kebun
sawit 1 memiliki kandungan kalsium yang lebih tinggi sebab pada tanah sawit 1
masih terdapat mineral-mineral primer yang dapat menghasilkan kalsium dalam
bentuk Ca2+. Kandungan kalsium pada kebun sawit 1 termasuk kriteria rendah
(2–5 m%), sedangkan pada jenis tutupan lahan yang lain termasuk pada kategori
rendah yaitu kurang dari 2 Ca(%). Kandungan Kalsium pada kesepuluh tutupan
lahan yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Kandungan Kalsium (Ca) tanah


No Jenis tutupan Lahan Ca(%)
1 Kebun Sawit 1 4,04
2 Kebun Sawit 2 0,01
3 Mangrove 1 0,40
4 Mangrove 2 0,34
5 Kebun campuran 1 0,17
6 Kebun campuran 2 0,44
7 Hutan campuran 1 0,01
8 Hutan campuran 2 0,12
9 Tegalan 0,05
10 Rawa 0,66

5.3.1.2.7 Magnesium (Mg)


Magnesium juga termasuk unsur yang berasal dari mineral-mineral tanah
yang dikeluarkan dalam bentuk Mg+. Kandungan magnesium pada tutupan lahan
hutan campuran 2 lebih tinggi dibanding kesepuluh tutupan lahan yang lainya. Hal
ini dapat disebabkan tanah pada hutan campuran 2 masih mengandung banyak
mineral-mineral tanah. Kandungan Mg pada hutan alam 2 termasuk dalam
kategori rendah yaitu berkisar dari 0,1−2,1 Mg(%), sedangkan kandungan Mg
pada tutupan lahan yang lain juga tidak jauh berbeda terletak pada kategori rendah
dan sangat rendah. Secara keseluruhan kandungan magnesium termasuk kurang,
karena magnesium tersedia cukup pada pH 6,5−9,0 (Foth 1988).
40

Tabel 13 Kandungan Magnesium (Mg) tanah


No Jenis tutupan Lahan Mg(%)
1 Kebun Sawit 1 0,18
2 Kebun Sawit 2 0,10
3 Mangrove 1 0,78
4 Mangrove 2 0,68
5 Kebun campuran 1 0,66
6 Kebun campuran 2 0,60
7 Hutan campuran 1 0,14
8 Hutan campuran 2 0,79
9 Tegalan 0,55
10 Rawa 0,26

Pada tutupan lahan kebun sawit 2 yang memiliki jumlah karbon total
terbesar, kandungan magnesium yang dimiliki hanya sebesar 0,10 Mg(%)
termasuk dalam kategori sangat rendah. Kandungan Mg pada kesepuluh tutupan
lahan yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 13.

5.3.2 Topografi
Topografi yang di teliti dalam penelitian ini mencakupi kemiringan lahan
dan ketinggian tempat penelitian pada kesepuluh tutupan lahan tersebut. Dari
kesepuluh tutupan lahan, tutupan lahan berupa hutan campuran 2 memiliki nilai
lereng terbesar yaitu 35%. Berdasarkan klasifikasi Arsyad (2010) nilai tersebut
termasuk dalam kategori yang agak curam. Semakin besar kemiringan lereng
semakin menunjukan daerah tersebut mudah mengalami erosi.
Pada kebun sawit 2 yang memiliki karbon total terbesar, memiliki
kemiringan lereng sebesar 9% yang termasuk kategori landau dan berombak.
Dengan kondisi kemiringan seperti ini dalam kesesuaian lahan untuk tanaman
sawit termasuk dalam kelas lahan S3.
Ketinggian tempat lokasi penelitian cukup rendah karena lokasi penelitian
di lakukan pada daerah tepi pantai. Lokasi yang memiliki ketinggian tempat yang
paling tinggi yaitu hutan alam karena lokasi ini terletak pada topografi yang
berbukit-bukit.
41

5.4 Metode statistik


Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan berupa analisis
peubah ganda atau yang biasa disebut dengan metode Biplot. Hasil analisis biplot
dapat dilihat dari gambar di bawah. Jika kita perhatikan ada 4 kelompok tekstur
tanah yang terbentuk : lempung berliat dan lempung berpasir di kelompok
pertama; liat berdebu dan lempung di kelompok kedua; liat di kelompok ketiga;
dan lempung liat berpasir di kelompok ke empat.
Kedekatan antar objek yang terlihat pada gambar 5, informasi ini dapat
dijadikan panduan objek mana yang memiliki kemiripan karakteristik dengan
objek tertentu. Dalam kasus ini, ketika ingin melihat faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi jumlah total karbon, maka bisa dilihat dari faktor-faktor yang
memiliki kedekatan dengan total karbon (Y). Dari gambar di bawah dapat dilihat
bahwa hanya nitrogen (N) dan karbon (C) yang memiliki kedekatan dengan total
karbon (Y), hal ini dilihat dari kemiringan sudut N dan C terhadap Y. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa yang mempengaruhi jumlah total karbon (Y) adalah
nitrogen (N) dan karbon (C).

Lempungliatberpasir
2 Lereng
C
N C/N
Ca
Ketinggian
Second Component

1
Lempunglberpasir
Lempunglberliat K20

0
Y
Mg
PH
P205
-1
Liat
Liatberdebu

-2

-3 Lempung

-3 -2 -1 0 1 2 3
First Component

Gambar 5 Hasil pengolahan metode Biplot


42

Dilihat dari tekstur tanah, tanah liat dan tanah lempung liat berpasir
cenderung untuk menghasilkan karbon lebih banyak dibandingkan dengan jenis
tanah yang lain. Tanah liat berdebu dan tanah lempung memiliki potensi untuk
memproduksi Mg dan P 2 O 5 dan mengandung pH yang lebih besar. Tanah
lempung berliat dan lempung berpasir memiliki potensi untuk memproduksi Ca,
C/N dan K 2 O. Ca memiliki panjang vektor yang lebih pendek artinya Ca memiliki
keragaman yang kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa semua jenis tekstur
tanah mengandung Ca.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini bahwa tiap tutupan lahan
memiliki potensi simpanan karbon yang berbeda. Tutupan lahan berupa perkebunan
sawit memiliki potensi karbon terbesar. Dari beberapa kondisi lingkungan yang
diamati serta berdasarkan analisis statistik dengan menggunakan metode biplot
ditemukan hanya sifat kimia tanah berupa C-Organik dan N tanah yang memberikan
pengaruh jumlah karbon total. Sedangkan pada faktor sifat fisik tanah tekstur
lempungliat berpasir memberikan pengaruh terhadap jumlah karbon total.

6.2 Saran
Saran dari penulis yaitu dengan menambahkan lagi beberapa parameter lagi
pada analisis sifat fisik kimia tanah dan topografi sehingga data yang didapat lebih
akurat. Penambahan ulangan pada tutupan lahan juga perlu ditambah sehingga data
mampu diolah dengan menggunakan metode regresi.
DAFTAR PUSTAKA

[FWI] Forest Watch Indonesia. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor:
Global Forest Watch

Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB press.


Barlowe R. 1987. Land Resources Economics. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Bemmelen RW. 1949. The Geology of Indonesia. Volume ke-1A, General Geology
of Indonesia and Adjacent Archipelagos. The Hague Netherlands: Martinus
Nijhoff.

Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. USA:
FAO. Hlm. 10-13.

Candra A. 2003. Identifikasi dan Pemetaan Lahan Krisis di DAS Ciliwung Hulu
Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis [skripsi].
Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Chapman VJ. 1976. Mangrove Vegetation. Germany: Vaduz.

Foth HD. 1998. Dasar-dasarIlmu Tanah. Purbayanti ED, Lukiwati DR, Trimulatsih
R, penerjemah; Hudoyo SAB, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Terjemahan dari: Fundamentals of Soil Science.

Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran ‘KarbonTersimpan’ di Berbagai Macam


Penggunaan Lahan. Bogor: World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia.

Hanafiah KA. 2005. Dasar - dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Hakim S. 1994. A land Availability Mapping Model for Sustainable Land Use
Management [disertasi]. Japan: Kyoto University.

Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: CV Akademika Pressindo.

Haygreen JG, Bowyer JL. 1982. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu Pengantar.
Sucipto AH, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Terjemahan dari: Forest Product and Wood Science.
Ketterings QM, Coe R, Noordjwik MV, Ambagau Y, Palm CA. 2001. Reducing
Uncertainty in the Use of Allometric Biomass Equations for Predicting Above
Ground Tree Biomass in Mixed Secondary Forest. Forest Ecology and
Management 146: 199-209.

Kusmana C. 1993. A Study of mangrove forest management base and ecological data
in East Sumatera, Indonesia [Disertasi]. Japan: Kyoto University. Faculty of
Agricultural.

Kusmana et al. 2003. Tekhnik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB.


Bogor.
Kyrklund B. 1990. The Potential of Forest and Forest Industry in Reducing Excess
Atmospheric Carbon Dioxide volume 41. Italy: Unasylva. Hlm. 12-14.

Lugo AE, Snedaker SC. 1974. The Ecology Mangrove [editorial]. Annual Review of
Ecology an Systematic 5:39-64.

Murdiyarso D. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan


Iklim.Kerjasama Institut Pertanian Bogor dengan Wetlands
International. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Saefulhakim, HR. 1998. An Evaluation of Earlier Programmes to Strengthen Rural


Urban Linkages. Bogor: PARUL Project.

Sato T, Madgwick HA. 1982. Forest Biomass. Netherlands: Martinus Publisher.

Seyhan E. 1990. Dasar-dasar Hidrologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Siringoringo HH, Ginting N. 1997. Peran hutan Jati dalam Menyerap


Karbondioksida. Bogor: Departemen Kehutanan.

Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.

Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas


Kehutanan.

Sutaryo D. 2009. Perhitungan Biomassa Sebuah Pengantar untuk Sudi Karbon dan
Biomassa. Bogor: Wetlands International Indonesian Programme.

Tiryana, T. 2005. Assessment of Sustainable Forest Management Using Fuzzy Rule-


Based Model.International Institute for Geo Information Science and Earth
Observation. Enschede

Whitten AJ, Anwar DJ, Hisyam N. 1984. The Ecological of Sumatra. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Widiatmaka SH. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna
Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Saefulhakim, HR. 1998. An Evaluation of Earlier Programmes to Strengthen Rural


Urban Linkages. Bogor: PARUL Project.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data kondisi tanah dan topografi

No Tutupan lahan Topografi Tanah


Lereng Ketinggian Tekstur Tanah PH C N C/N P205 K20 Ca Mg
(%) (mdpl) (H20) (%) (%) (mg/100g) (mg/100g) (%) (%)

1 KebunSawit 1 11 8 Lempungberliat 5,40 3,12 0,24 13,00 106 17 4,04 0,18


2 Kebunsawit 2 9 9 Liat 4,40 1,43 0,12 12,00 29 5 0,01 0,10
3 Mangrove 1 10 7 Lempungberpasir 6,10 6,33 0,19 33,00 140 341 0,40 0,78
4 Mangrove 2 10 8 Lempungberliat 6,00 6,76 0,32 21,00 58 387 0,34 0,68
5 Kebuncampuran 1 5 7 Lempung 5,90 1,09 0,09 12,00 114 44 0,17 0,66
6 Kebun campuran2 10 8 Liatberdebu 5,90 2,14 0,19 11,00 61 84 0,44 0,60
7 HutanAlam 1 10 22 Lempungberliat 4,40 1,51 0,12 13,00 47 6 0,01 0,14
8 HutanAlam 2 35 20 Lempungberliat 5,00 0,56 0,05 11,00 62 66 0,12 0,79
9 Tegalan 30 23 Lempungberpasir 4,80 0,94 0,07 13,00 40 150 0,05 0,55
10 Rawa 16 8 Lempungliatberpasir 5,00 10,93 0,60 18,00 26 9 0,66 0,26
Lampiran 2 Principal Component Analysis (PCA) lereng, ketinggian, P H, C, N,
C/N, P205, K20, Ca dengan program minitab 16

Eigenanalysis of the Correlation Matrix

Eigenvalue 4.1526 3.6170 2.0919 0.9406 0.1980 0.0000 0.0000


0.0000
Proportion 0.378 0.329 0.190 0.086 0.018 0.000 0.000
0.000
Cumulative 0.378 0.706 0.896 0.982 1.000 1.000 1.000
1.000

Eigenvalue 0.0000 -0.0000 -0.0000


Proportion 0.000 -0.000 -0.000
Cumulative 1.000 1.000 1.000

Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5


Lereng 0.184 0.464 0.182 0.011 -0.222
Ketinggian 0.279 0.249 0.427 0.269 0.124
PH 0.355 -0.201 -0.381 0.004 -0.354
C -0.113 0.436 -0.316 -0.224 0.144
N -0.183 0.383 -0.390 -0.117 -0.019
C/N 0.225 0.381 0.152 -0.464 0.264
P205 0.397 -0.253 -0.048 -0.065 0.730
K20 0.427 0.124 0.272 -0.079 -0.364
Ca 0.081 0.288 -0.186 0.796 0.164
Mg 0.451 -0.150 -0.177 -0.067 -0.159
Y -0.340 -0.123 0.471 -0.014 -0.028
Lampiran 3 Jenis vegetasi dan rumus alometrik yang digunakan pada tutupan lahan yang diteliti

No Jenis tutupan Lahan Jenis Vegetasi Rumus Alometrik Biomassa


1 Kebun Sawit 1 Sawit (Elaeis guineensis) 0,188 × D² 2,53
2 Kebun Sawit 2 Sawit (Elaeis guineensis) 0,188 × D² 2,53
3 Mangrove 1 Api-api (Avicennia sp) 0,2064 × D² 2,34
Bakau (Rhizopora sp) 0,2064 × D² 2,34
4 Mangrove 2 Api-api (Avicennia sp) 0,2064 × D² 2,34
Bakau (Rhizopora sp) 0,2064 × D² 2,34
5 Kebun campuran 1 Angsana (Pterocarpus indica) 0,0219 × (D²2 × D)² 1,0102
Kelapa (Cocos nucifera) 0,0219 × (D²2 × D)² 1,0102
Ketapang (Terminalia catapa) 0,1923 × D² 2,15
Pinang (Areca catechu) 0,0219 × (D²2 × D)² 1,0102
Pisang (Musa paradisiaca) 0,03 × D² 2,31
Sasuwar (Vitex cofassus) 0,0219 × (D²2 × D)² 1,0102
6 Kebun campuran 2 Kemiri (Aleurites moluccana) 0,0219 × (D²2 × D)² 1,0102
Coklat (Theobroma cacao) 0,0219 × (D²2 × D)² 1,0102
Pisang (Musa paradisiaca) 0,03 × D² 2,31
Nangka (Artocarpus heterophyllus) 0,0219 ×(D²2 × D)² 1,0102
Aren (Arenga pinnata) 0,0219 ×(D²2 × D)² 1,0102
Rambutan (Nephelium lappaceum) 0,0219 ×(D²2 × D)² 1,0102
7 Hutan campuran 1 Kemiri (Aleurites moluccana) 0,0219 ×(D²2 × D)² 1,0102
Gmelina (Gmelina arborea) 0,11 ×0,48×(D² 2,62)
Eukaliptus (Eucalyptus sp) 0,2902 ×D² 2,313
8 Hutan campuran 2 Durian (Durio zibethinus) 0,2902 ×D² 2,313
Coklat (Theobroma cacao) 0,2902 ×D² 2,313
Gamal (Glyricidia sepium) 0,2902 ×D² 2,313
Meranti (Shorea sp) 0,15 ×D² 2.3
9 Tegalan Jukut pahit (Coelorachis glandulosa) *
Paku uban (Nephrolepis biserrata) *
10 Rawa Bundung (Scirpus grossus) *
* = Menggunakan metode destruktif
Lampiran 4 Citra landsat Mamuju Utara 2010 dan titik lokasi penelitian

Anda mungkin juga menyukai