Anda di halaman 1dari 89

IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN

ANGSANA DAN BERINGIN


AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK
PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI

CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI

DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN
ANGSANA DAN BERINGIN
AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK
PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI

CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN

CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI. Identifikasi Struktur Anatomi Daun


Angsana dan Beringin Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca
Erupsi Gunung Merapi. Dibimbing oleh: SITI BADRIYAH RUSHAYATI
dan DORLY

Letusan Gunung Merapi terjadi pada hari Selasa tanggal 26 Oktober 2010.
Letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi yang terdiri
dari sulfur dioksida (SO2), gas hidrogen sulfida (H2S), nitrogen dioksida (NO2),
serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau
Particulate Matter). Bahan-bahan pencemar udara, khususnya gas dan materi
vulkanik Merapi, dapat menyebabkan kerusakan dan perubahan pada struktur
anatomi dari tanaman yang ada di sekitarnya (Wilson et al. 2007). Oleh karena itu
dilakukan penelitian mengenai pengaruh gas dan materi vulkanik pada struktur
anatomi tanaman perkotaan di Kota Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh gas dan materi
vulkanik pasca erupsi Gunung Merapi terhadap struktur anatomi daun pada dua
jenis tanaman perkotaan yaitu angsana dan beringin. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai masukan dalam mempertimbangkan
pemilihan jenis tanaman perkotaan untuk membuat kondisi lingkungan lebih baik
pasca erupsi Gunung Merapi di Kota Yogyakarta.
Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi relatif tercemar) dan di
Kota Solo (lokasi kontrol) serta pembuatan sediaan mikroskopis anatomi daun
dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni - Agustus 2011. Jenis data dan
informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diambil dari hasil pengamatan terhadap anatomi daun
sayatan paradermal dan transversal masing-masing daun pada kedua kota. Data
sekunder berupa data kualitas udara lokasi penelitian yang didapatkan dari Balai
Lingkungan Hidup masing-masing kota. Analisis data menggunakan uji t-student
untuk menguji pembandingan antara tanaman di daerah yang relatif tercemar
dengan daerah kurang tercemar.
Hasil pengamatan sayatan paradermal dan transversal pada daun angsana
tidak menunjukkan adanya kerusakan, namun daun menunjukkan respon terhadap
gas dan materi vulkanik dengan menurunkan kerapatan dan indeks stomata, serta
meningkatkan ukuran panjang stomata dan ketebalan jaringan palisade. Hasil
pengamatan sediaan sayatan paradermal dan transversal pada daun beringin juga
tidak menunjukkan adanya kerusakan dan semua parameter pengamatan tidak
menunjukkan respon secara statistik.
Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap struktur anatomi daun dapat
disimpulkan bahwa tanaman angsana dan beringin tahan terhadap gas dan materi
vulkanik Gunung Merapi. Sehingga tanaman angsana dan beringin merupakan
tanaman yang baik untuk ditanam di Kota Yogyakarta.

Kata kunci : gas vulkanik, materi vulkanik, angsana, beringin, struktur anatomi.
SUMMARY

CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI. Identification of Leaf Anatomical


Structure of Burmese rosewood and Banyan Influenced by Gas and Volcanic
Material Post-Eruption of Mount Merapi. Supervised by SITI BADRIYAH
RUSHAYATI and DORLY

Mount Merapi eruption occurred on Tuesday October 26, 2010. The


eruption discharged various types of gases and materials consisted of sulfur
dioxide (SO2), hydrogen sulfide (H2S), nitrogen dioxide (NO2), and dust particles
(Total Suspended Particulates or Particulate Matter). Air pollutant particularly
Merapi, gas and volcanic material can cause damage to the anatomical structure of
plants around them (Wilson et al. 2007). Therefore research on the influence of
gas and volcanic material on anatomical structure of urban plants in Yogyakarta
city is nedeed.
The aim of the research was to identify the influence of gas and volcanic
material on leafs anatomical structure in two species of urban plants, namely
Burmese rosewood and Banyan. This research was expected to provide
consideration as input in the selection of urban vegetation to improve
environmental conditions after the eruption of the Mount Merapi in Yogyakarta
city.
The research was carried out in Yogyakarta as a relatively polluted area, and
Solo as the location of less polluted area or control, and microscopic leaf
anatomical preparations were carried out in the Laboratory of Plant Anatomy,
Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bogor
Agricultural University. The research was conducted from June until August
2011. Types of data and information collected in this study consists of primary
and secondary data. Primary data was taken from the results of observation on the
leaf anatomical paradermal and transversal section each leaf in two cities.
Secondary data on air quality data was obtained from The Environmental Bureau
of each city. Data were analysed using t-student test to test the difference between
plants in the relatively polluted area with the less polluted area.
Observation results of leaf anatomical paradermal and transversal section of
Burmese rosewood were undamaged, but which showed influence by gas and
volcanic material were the decline of density and index stomata, the raise length
stomatal, and the thicken of palisade tissues. Observation result of leaf anatomical
paradermal and transversal section of Banyan were also undamagade and all the
parameters were not significant statistically.
The research had showed that Burmese rosewood and Banyan could cope up
with pollutants from Mount Merapi eruption. Therefore, both species were
appropriate to be planted in the Yogyakarta city.

Keywords: volcanic gas, volcanic material, burmese rosewood, banyan,


anatomical structure
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Identifikasi Struktur


Anatomi Daun Angsana dan Beringin Akibat Pengaruh Gas dan Materi
Vulkanik Pasca Erupsi Gunung Merapi” adalah benar-benar hasil karya saya
sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

Choirunnisa Wihda Desyanti


NIM E34070070
Judul Skripsi : Identifikasi Struktur Anatomi Daun Angsana dan
Beringin Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik
Pasca Erupsi Gunung Merapi
Nama : Choirunnisa Wihda Desyanti
NIM : E34070070

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si Dr. Ir. Dorly, M.Si
NIP. 19650704 200003 2 001 NIP. 19640416 199103 2 002

Mengetahui:
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.


NIP. 19580915 198403 1 003

Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih
sayang-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas
Kehutanan IPB dengan judul “Identifikasi Struktur Anantomi Daun Angsana dan
Beringin Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Erupsi Gunung
Merapi”.
Letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta telah menimbulkan berbagai
masalah lingkungan, salah satunya adalah berubahnya kualitas lingkungan akibat
pencemaran di udara. Gas dan materi vulkanik Gunung Merapi mencemari udara
hingga menempel pada daun-daun di pepohonan sekitar Kota Yogyakarta. Gas
dan materi vulkanik ini dapat masuk dan menempel pada daun, serta menghambat
proses fotosintesis, sehingga dapat terjadi kerusakan dan perubahan jaringan di
dalam daun. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengetahui kerusakan
dan perubahan jaringan di dalam daun adalah melakukan penelitian untuk
mengidentifikasi struktur anatomi daun. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan
dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah setempat dalam rangka
meningkatkan kualitas vegetasi dan udara.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Namun demikian
penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Ir. Siti Badriyah
Rushayati, M.Si. dan Ibu Dr. Ir. Dorly, M.Si. yang telah membimbing penulis
hingga selesainya skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

Penulis
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, 24 Desember 1989 sebagai


anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Drs.
Abdul Kholik dan Kanti Hardiati. Penulis memulai
pendidikan formal di SD Negeri 4 Wanaherang Bogor
lulus pada tahun 2001. Tahun 2004 penulis lulus dari
SMP Puspanegara Bogor. Kemudian pendidikan penulis
dilanjutkan ke SMA Negeri 3 Bogor dan lulus tahun
2007. Penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) dengan memilih program mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata (KSHE), Fakultas Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam kegiatan Kelompok
Pemerhati Burung (KPB) “Perenjak” di Himpunan Mahasiswa Konservasi
Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA) sebagai sekretaris periode 2009-2010. Semasa
kuliah penulis telah mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan
(P2EH) di Cagar Alam (CA) Gunung Burangrang Purwakarta dan CA Cikiong
Karawang, Jawa Barat pada tahun 2009. Penulis juga telah mengikuti Praktek
Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi pada
tahun 2010. Pada tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapang
Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Kegiatan
lapang yang pernah diikuti penulis adalah Eksplorasi Flora Fauna Indonesia
“RAFFLESIA” HIMAKOVA di CA Rawa Danau Kabupaten Serang Provinsi
Banten dan CA Gunung Burangrang Kabupaten Purwakarta Provinsi Jawa Barat,
dan Studi Konservasi Lingkungan “SURILI” HIMAKOVA di Taman Nasional
Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Kehutanan
IPB, maka penulis menyusun skripsi dengan judul “Identifikasi Stuktur Anatomi
Daun Beringin dan Angsana Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca
Erupsi Gunung Merapi” di bawah bimbingan Ibu Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati,
M.Si. dan Ibu Dr. Ir. Dorly, M.Si.
UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillah. Segala puji penulis panjatkan bagi Allah SWT yang telah
memberikan anugerah berupa kesehatan dan kesempatan sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak
yang telah membantu memberikan bimbingan, bantuan, dukungan dan doa yang
akan penulis kenang dan syukuri. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT,
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Drs. Abdul Kholik dan Ibu Kanti Hardiati tersayang yang telah
mencurahkan kasih sayang, doa yang tulus, dukungan moril dan materil serta
adikku Sabila Syifa yang selalu memberikan motivasi.
2. Ibu Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Dorly, M.Si. selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan arahan
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
3. Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si. yang berkenan menjadi moderator dalam
seminar hasil penelitian.
4. Ibu Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si. selaku ketua sidang dan ibu Istie
Sekartining Rahayu, S.Hut, M.Si. selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Divisi-divisi Pemerintahan Kota (PEMKOT) Yogyakarta dan Solo, Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta dan Solo, serta Badan Pusat
Statistik (BPS) Kota Yogyakarta atas izin penggunaan data.
6. Kepala dan seluruh staff Tata Usaha DKSHE IPB atas bantuan demi
kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
7. Teman-teman di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia
yaitu Ari Firmansyah, Fajarwening, Dian Paramitha, dan Maulana Adhi P.
yang telah membantu penulis dan akan selalu dikenang.
8. Teman-teman di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi
FMIPA IPB, yaitu Rita, Henny, Nisful, Adhi, Bu Tini, Bu Ani, Pak Naryo dan
Pak Edi yang telah membantu penulis selama penelitian.
9. Singgih Mukti Wibowo, Fachrunnisa, Maya, Laras, Lili, Keluarga Pondok
Jamilah (Rani, Seruni, Indri, Mia, Kak Aisyah dan Mba Arum), Keluarga
Villa Cempaka (Belinda, Angga, Anabela, Icha, Nindi, Iie, Gita, dan Adam)
atas dukungan dan semangat yang diberikan. Semoga kita dapat meraih segala
cita dalam kebersamaan.
10. Para sahabat di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata
Fakultas Kehutanan IPB angkatan 44 “KOAK”, Brigitta, Resi, Diena, Dinar,
Meli, Fela, Reza, Chaca, dan Anin, atas kekeluargaannya dan segala
kebersamaan dalam mengejar studi.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu
dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga amal kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dan pahala
oleh Allah SWT, amin.
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................... 2
1.3 Manfaat ......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Udara ........................................................................ 3
2.2 Jenis Polutan Udara Erupsi Gunung Merapi ................................. 5
2.2.1 Sulfur Oksida (SOx) ............................................................ 5
2.2.2 Nitrogen Dioksida (NOx) .................................................... 6
2.2.3 Partikel (Debu) ..................................................................... 6
2.3 Pengaruh Polutan Udara terhadap Tanaman ................................. 7
2.4 Struktur Anatomi Daun ................................................................ 8
2.5 Deskripsi Jenis Pohon Sampel ...................................................... 10
2.5.1 Angsana (Pterocarpus indicus Willd.)................................. 10
2.5.2 Beringin (Ficus benjamina Linn.) ........................................ 11
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 13
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................ 13
3.3 Jenis Data ...................................................................................... 13
3.3.1 Data Primer .......................................................................... 13
3.3.2 Data Sekunder ..................................................................... 14
3.4 Metode Pengambilan Data ............................................................ 14
3.4.1 Penentuan Letak Pohon ........................................................ 14
3.4.2 Pengambilan Sampel Daun .................................................. 14
x

3.4.3 Pembuatan Sediaan Mikroskopis ......................................... 16


3.4.4 Pengamatan Sediaan Mikroskopis ....................................... 21
3.5 Analisis Data ................................................................................. 23
BAB IV KONDISI UMUM
4.1 Kota Yogyakarta ........................................................................... 24
4.1.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta ..................... 24
4.1.2 Letak Geografis dan Batas Administratif ............................ 24
4.1.3 Topografi ............................................................................. 26
4.1.4 Iklim .................................................................................... 27
4.1.5 Kependudukan ..................................................................... 27
4.2 Kota Surakarta (Solo).................................................................... 27
4.2.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Surakarta ........................ 27
4.2.2 Letak Geografis dan Batas Administratif ............................ 28
4.2.3 Topografi ............................................................................. 29
4.2.4 Iklim .................................................................................... 29
4.2.5 Kependudukan ..................................................................... 29
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kualitas Udara .............................................................................. 31
5.2 Struktur Anatomi Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) ... 34
5.2.1 Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal ........................... 34
5.2.2 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal .......................... 38
5.3 Struktur Anatomi Daun Beringin (Ficus benjamina Linn.) .......... 40
5.3.1 Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal ........................... 40
5.3.2 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal .......................... 43
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ................................................................................... 45
6.2 Saran.............................................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 46
LAMPIRAN ...................................................................................................... 51
DAFTAR TABEL

No. Halaman
1 Hasil kualitas udara di lokasi penelitian pada sebelum dan setelah
letusan Gunung Merapi tahun 2010 ............................................................. 31
2 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan
sediaan sayatan paradermal daun angsana antara Kota Yogyakarta dan
Solo .............................................................................................................. 36
3 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan
sediaan sayatan transversal daun angsana antara Kota Yogyakarta
dan Solo........................................................................................................ 39
4 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan
sediaan sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta
dan Solo........................................................................................................ 42
5 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan
sediaan sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta
dan Solo........................................................................................................ 43
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1 Posisi sampel daun yang diambil pada ranting (a) dan cabang (b) .............. 15
2 Fiksasi daun dalam alkohol 70% pada wadah (a) dan sampel daun
dalam tabung film yang telah berlabel (b) ................................................... 15
3 Perendaman daun di dalam larutan HNO₃ 50% .......................................... 16
4 Penyayatan epidermis daun dengan silet...................................................... 17
5 Hasil sayatan paradermal ............................................................................ 17
6 Infiltrasi parafin murni ................................................................................. 18
7 Oven ABC Labo Corporation KP-30AT...................................................... 18
8 Penanaman dalam blok parafin (a) dan pengaturan posisi sampel (b) ......... 19
9 Perendaman blok di dalam larutan Gifford .................................................. 19
10 Penempelan blok pada holder (a) & mikrotom putar Yamato RV-240 (b) . 20
11 Pemanasan pita parafin pada hot-plate ........................................................ 20
12 Pemberian media perekat entellan ............................................................... 21
13 Preparat yang siap dimasukkan ke oven (a) dan Oven Memmert (b) .......... 21
14 Wilayah administratif Kota Yogyakarta ...................................................... 25
15 Peta wilayah administratif Kota Surakarta ................................................... 28
16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta dan di Kota Solo ................................. 30
17 Pohon beringin di Kota Yogyakarta dan di Kota Solo ................................ 31
18 Penampang sayatan paradermal adaksial daun angsana Kota Yogyakarta
(A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C)
dan Kota Solo (D), (skala : 100µm) ............................................................. 35
19 Penampang sayatan transversal daun angsana di Kota Yogyakarta (A)
dan Kota Solo (B), (skala : 100µm) ............................................................. 38
20 Penampang sayatan paradermal adaksial daun beringin
di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial
di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm) ...................... 41
21 Hasil sayatan paradermal abaksial daun beringin: trikoma kelenjar
di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm) ...................... 41
22 Penampang sayatan transversal daun beringin di Kota Yogyakarta (A)
dan Kota Solo (B), (skala : 100µm) ............................................................. 44
DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1 Komposisi seri larutan Johansen .................................................................. 52
2 Komposisi larutan Gifford............................................................................ 52
3 Prosedur pembuatan sediaan mikroskopis sayatan paradermal
dengan metode wholemount (Sass 1951) ..................................................... 53
4 Prosedur pembuatan sediaan mikroskopis sayatan transversal
dengan metode parafin (Johansen 1940) ..................................................... 54
5 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta ................................................................................................... 55
6 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 25 Mei 2010 – 1 Juli 2010...................... 56
7 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 25 Mei 2010 – 6 Juli 2010...................... 57
8 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 1 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ....................... 58
9 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 5 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ....................... 59
10 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ....................... 60
11 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 12 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ..................... 61
12 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 19 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ..................... 62
13 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 22 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ..................... 63
14 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 26 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ..................... 64
15 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ..................... 65
xiv

16 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 27 April 2011 .......................................................................... 66
17 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 28 April 2011 .......................................................................... 67
18 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 4 Mei 2011 .............................................................................. 68
19 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 11 Mei 2011 ............................................................................ 69
20 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 12 Mei 2011 ............................................................................ 70
21 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 11 Oktober 2010 ..................................................................... 71
22 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 11 Oktober 2010 ..................................................................... 72
23 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 14 Oktober 2010 ..................................................................... 73
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gunung berapi merupakan suatu gunung yang dapat secara tiba-tiba


mengeluarkan lava dan materi-materi vulkanik lainnya. Banyaknya gunung berapi
yang masih aktif merupakan potensi munculnya bencana gempa bumi, awan
panas, lahar, banjir, dan letusan gunung berapi. Salah satu gunung berapi yang
masih aktif adalah Gunung Merapi yang terletak di Kabupaten Sleman Provinsi
Daerah Yogyakarta (DIY), Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten Provinsi
Jawa Tengah, dengan ketinggian 2.980 meter di atas permukaan laut (Marsono
2004).
Letusan Gunung Merapi yang terjadi pada hari Selasa tanggal 26 Oktober
2010 pukul 17.02 Waktu Indonesia Barat. Aktivitas erupsi Merapi semakin
meningkat, yang ditunjukkan dengan tingginya frekuensi gempa vulkanik dan
mengeluarkan gas-gas vulkanik (BPPTK Yogyakarta 2010). Gunung Merapi
meletus akibat magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang
bertekanan tinggi atau karena gerakan lempeng bumi, tumpukan tekanan dan
panas cairan magma. Letusannya membawa abu dan batu yang menyembur
dengan keras, sedangkan lavanya bisa membanjiri daerah sekitarnya. Akibat
letusan tersebut bisa menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar pada
wilayah radius ribuan kilometer dan bahkan bisa mempengaruhi putaran iklim di
bumi ini.
Gas dan materi vulkanik letusan Gunung Merapi menurut P2PL (2010),
bahwa mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi vulkanik yang terdiri dari
sulfur dioksida (SO2), gas hidrogen sulfida (H2S), nitrogen dioksida (NO2), serta
debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau Particulate
Matter). Banyaknya gas-gas vulkanik dan debu yang ada di udara menyebabkan
kesehatan lingkungan menurun. Gas dan materi vulkanik yang dikeluarkan akibat
letusan Gunung Merapi memiliki dampak yang buruk bagi makhluk hidup, antara
lain kerusakan tanaman mulai dari layu hingga mati, terganggunya kesehatan
manusia, pencemaran udara dan air, kerusakan rumah, kecelakaan lalu lintas, serta
2

korban jiwa (Suriadikarta et al. 2010). Gas dan materi vulkanik letusan Gunung
Merapi adalah gas dan material letusan yang sangat halus, karena hembusan angin
dampaknya bisa dirasakan ratusan kilometer jauhnya.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi penurunan kualitas
udara diperlukannya pohon-pohon untuk menyaring dan menetralkan udara yang
tercemar. Dahlan (2004) mengemukakan, kemampuan daun tanaman dalam
menyerap dan menjerap berbagai gas pencemar udara bervariasi menurut daya
kelarutan polutan, kelembaban lingkungan, intensitas cahaya matahari, kedudukan
daun dan laju penyerapan. Dalam kondisi yang tercemar, bahan-bahan pencemar
akan diserap dan dijerap pada daun-daun tanaman. Hal ini dapat mempengaruhi
pertumbuhannya sehingga tanaman dapat mati atau rusak.
Bahan-bahan pencemar udara seperti gas dan materi vulkanik Merapi dapat
menyebabkan kerusakan dan perubahan pada struktur anatomi dari tanaman yang
ada di sekitarnya (Wilson et al. 2007). Oleh karena itu dilakukan penelitian
mengenai pengaruh gas dan materi vulkanik pada tanaman perkotaan di Kota
Yogyakarta.

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh gas dan materi
vulkanik pasca erupsi Gunung Merapi terhadap struktur anatomi daun pada dua
jenis tanaman perkotaan, yaitu angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin
(Ficus benjamina Linn.).

1.3 Manfaat
Penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai masukan dalam
mempertimbangkan pemilihan jenis tanaman perkotaan untuk membuat kondisi
lingkungan lebih baik pasca erupsi Gunung Merapi di Kota Yogyakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Udara


Undang-undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1982, menjelaskan bahwa
pencemaran lingkungan merupakan masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup,
zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya
tatananan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas
lingkungan turun sampai ke tingkat yang menyebabkan lingkungan kurang atau
tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Menurut Sastrawijaya (1991),
pencemaran lingkungan adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan,
sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan pola penggunaan energi
dan materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika dan kimia, dan jumlah
organisme. Pencemaran yang terjadi pada suatu lingkungan dapat berupa
pencemaran udara, air, dan tanah. Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat
pada lapisan yang mengelilingi bumi (Kristanto 2004). Di dalam udara terdapat
oksigen (O2) untuk bernafas, karbon dioksida (CO2) untuk proses fotosintesis oleh
klorofil daun dan ozon (O3) untuk menahan sinar ultra violet. Keadaan udara yang
terdapat bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan
perubahan susunan atau komposisi udara dari keadaan normalnya disebut dengan
pencemaran udara (Wardhana 2004).
Soemarno (1999), mengemukakan bahwa pencemaran udara merupakan
masuknya zat pencemar (gas beracun dan aerosol) ke dalam atmosfer sehingga
melampaui batas ambangnya dan menganggu kehidupan, hewan, dan tumbuhan.
Menurut sumber pencemarnya, pencemaran udara ada dua macam yaitu alami dan
non-alami. Pencemaran udara alami adalah masuknya zat pencemar ke dalam
udara, diakibatkan oleh proses-proses alam seperti asap kebakaran hutan, debu
gunung berapi, pancaran garam laut, debu meteorit dan sebagainya. Sedangkan
pencemaran non-alami adalah masuknya zat pencemar oleh aktifitas manusia,
yang pada umumnya tanpa disadari dan merupakan produk sampingan, berupa
gas-gas beracun, asap, partikel-partikel halus, senyawa oksida, senyawa belerang,
senyawa kimia, panas, dan buangan nuklir.
4

Soedomo (2001), mengatakan bahwa perubahan lingkungan udara pada


umumnya disebabkan oleh pencemaran udara akibat masuknya zat pencemar
dalam bentuk gas-gas dan partikel aerosol ke dalam udara. Sumber pancaran zat
pencemar ke dalam udara, terdapat tiga macam sumber pencemar yaitu:
1. Sumber titik kontinyu, pada umumnya oleh pabrik-pabrik tunggal atau
ganda yang memancarkan zat pencemar ke dalam udara melalui cerobong
pembuangan.
2. Sumber garis, zat pencemar yang dipancarkan oleh kendaraan bermotor baik
mobil maupun motor.
3. Sumber bidang atau area, merupakan sumber pencemaran kompleks yang
dipancarkan dari suatu daerah seperti kawasan industri, perkotaan, dan
sebagainya.
Jenis-jenis bahan pencemar udara berdasarkan ciri-ciri fisiknya, dibagi
menjadi tiga jenis, antara lain (Soedomo 2001):
1. Partikel merupakan jenis bahan pencemar udara dalam bentuk lain sebagai
proses lanjutan dalam atmosfir atau udara dalam bentuk debu, aerosol, dan
timah hitam.
2. Gas pada umumnya merupakan produk sampingan industri kimia dasar yang
masuk ke udara dalam bentuk COx, NOx, SOx, H2S, dan Hidrokarbon.
3. Energi merupakan hasil dari kegiatan-kegiatan pembangunan fisik terutama
yang berskala besar, pada umumnya akan menimbulkan kenaikan suhu
udara dan kebisingan.
Pencemar udara berdasarkan asal dan kelanjutan perkembangannya di udara,
menurut Kristanto (2004) dapat dibedakan menjadi :
1. Pencemar udara primer yaitu semua pencemar di udara yang ada dalam
bentuk yang hampir tidak berubah, sama seperti pada saat dibebaskan dari
sumbernya sebagai hasil dari suatu proses tertentu. Ada lima kelompok
pencemar udara pimer, yaitu karbon monoksida (CO), nitrogen oksida
(NOx), hidrokarbon (HC), sulfur oksida (SOx), dan partikel.
2. Pencemar sekunder adalah semua pencemar di udara yang sudah berubah
karena reaksi tertentu antara dua atau lebih kontaminan atau polutan.
Umumnya polutan sekunder tersebut merupakan hasil antara polutan primer
5

dengan polutan lain yang ada di udara. Jenis-jenis pencemar yang bersifat
sekunder yaitu ozon yang berada di troposfer dan partikel-partikel logam.
Wardhana (2004), mengatakan bahwa komponen pencemar udara yang
paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara yaitu karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida (NOx), belerang oksida (SOx), hidro karbon (HC), dan
partikel (debu), dan lain-lain. Menurut Sutarno et al. (2003), efek pencemaran
udara terhadap kehidupan, termasuk kesehatan manusia, produktivitas dan
properti merupakan kekhawatiran besar bagi penduduk bumi. Pencemaran udara
dapat menganggu sistem pernapasan, emfisema, asma, dan penyakit pernapasan
lain. Bagi tumbuhan, paparan terhadap pencemaran udara dapat menurunkan daya
resistensi terhadap penyakit dan predator.

2.2 Jenis Polutan Udara Erupsi Gunung Merapi


2.2.1 Sulfur Oksida (SOx)
Sulfur oksida merupakan pencemar paling umum, terutama di timbulkan
akibat pembakaran bahan bakar fosil, yang mengandung sulfur tinggi dalam
bentuk sulfur organik dan anorgarnik. Pembakaran bahan bakar fosil akan
menghasilkan kira-kira 30 bagian sulfur dioksida untuk setiap bagian sulfur
trioksida. Sulfur oksida biasanya terdiri atas sulfur dioksida, sulfur trioksida, asam
sulfit dan sulfat. Sulfur dioksida merupakan bagian yang paling dominan,
sehingga oksida-oksida sulfur biasanya diukur sebagai sulfur dioksida (Soedomo
2001).
Wardhana (2004), menjelaskan bahwa SOx atau biasa dikenal dengan gas
belerang oksida terdiri atas gas SO2 dan gas SO3 yang keduanya mempunyai sifat
berbeda. Gas SO2 berbau tajam dan tidak mudah terbakar, sedangkan gas SO3
bersifat sangat reaktif, mudah bereaksi dengan uap air yang ada di udara untuk
membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat ini sangat reaktif, mudah bereaksi
dengan benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan, seperti proses
pengkaratan (korosi) dan proses kimiawi lainnya.
Konsentrasi gas SO3 di udara akan mulai terdeteksi oleh penciuman ketika
konsentrasinya berkisar antara 0,3 – 1 ppm. Gas buangan hasil pembakaran pada
umumnya mengandung gas SO2 lebih banyak dari pada gas SO3, jadi dalam hal
6

ini yang dominan adalah gas SO2. Namun demikian gas tersebut akan bereaksi
dengan oksigen yang ada di udara dan kemudian membentuk gas SO 3.

2.2.2 Nitrogen Dioksida (NOx)


Nitrogen oksida sering disebut dengan NO x karena oksida nitrogen
mempunyai dua macam bentuk yang sifatnya berbeda, yaitu gas NO 2 dan gas NO.
sifat gas NO2 adalah berwarna dan berbau, sedangkan gas NO tidak berwarna dan
tidak berbau. Warna gas NO2 adalah merah kecoklatan dan berbau tajam
menyengat hidung. Pencemaran gas NOx di udara terutama berasal dari gas
buangan hasil pembakaran yang keluar dari generator pembangkit listrik stationer
atau mesin-mesin yang menggunakan bahan bakar gas alam (Wardhana 2004).
Soedomo (2001), menyatakan bahwa senyawa NO (nitric oxide) diemisikan
dalam jumlah yang cukup besar ke atmosfer NO x biasanya di gunakan sebagai
satuan komposit oksida-oksida nitrogen di lingkungan. NO x diemisikan dari
pembuangan pembakaran (kombusi) pada temperatur tinggi, sebagai hasil dari
reaksi nitrogen dengan oksigen. Dengan adanya hidrokarbon, pada siang hari
akibat adanya radiasi fotonultra violet, senyawa ini akan membentuk ozon
fotokimia (photochemical smog).

2.2.2 Partikel Debu


Wardhana (2004) menjelaskan bahwa, partikel adalah pencemar udara yang
dapat berada bersama-sama dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya. Sumber
pencemaran partikel dapat berasal dari peristiwa alami dan dapat juga berasal dari
aktivitas manusia dalam rangka mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.
Contoh pencemaran partikel yang berasal dari alam menurut (Wardhana 2004)
adalah sebagai berikut :
a. Debu tanah atau pasir halus yang terbang terbawa angin kencang.
b. Abu dan bahan-bahan vulkanik yang terlempar ke udara akibat letusan
gunung berapi.
c. Semburan uap air panas di sekitar daerah sumber panas bumi di daerah
pegunungan.
7

Dampak pencemaran debu terhadap lingkungan terutama terhadap kesehatan


manusia, tata kehidupan, pertumbuhan tanaman, dan perkembangan satwa yang
berada dalam jangkauan paparan pencemar. Pudjiastuti (2002), menyatakan
bahwa partikel debu akan berada berada di udara dalam waktu yang relatif lama
dalam keadaan melayang-layang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh
manusia melalui pernapasan.

2.3 Pengaruh Polutan Udara terhadap Tanaman


Azmat et al. (2009) mengemukakan bahwa, setiap tanaman memiliki respon
yang spesifik terhadap kekeringan, salinitas, logam berat, dan polusi udara.
Respon tanaman terhadap SO₂ bervariasi. Kerusakan tanaman oleh SO₂
dipengaruhi dua faktor, yaitu konsentrasi SO₂ dan waktu kontak (Fauqani 2011).
Kerusakan yang parah diduga terjadi karena tanaman kontak langsung pada SO₂
dengan konsentrasi yang tinggi, sehingga muncul beberapa gejala seperti sebagian
daun memucat, kering hingga mati. Tanaman yang kontak dengan SO₂ dalam
waktu lama, akan mengakibatkan daun tanaman menguning. Pengaruh SO 2 dalam
jaringan daun dapat menyebabkan kloroplas pecah, kemudian klorofil menyebar
dalam sitoplasma dan selanjutnya protoplasma menyusut dan akhirnya berkerut
(Treshow & Anderson 1991).
Dahlan (2004) menjelaskan bahwa, jika gas oksida nitrogen atau NOx
terhirup bersama udara akan diserap oleh paru-paru dan masuk ke dalam saluran
darah akan menurunkan kemampuan hemoglobin dalam mengikat dan membawa
oksigen. Gas NOx dapat mengakibatkan daun tanaman mengalami nekrosis dalam
bentuk bercak kecil sampai besar, sedangkan gas NO dapat mengganggu proses
fotosintesis. Kedua gas ini sangat berbahaya bagi manusia. Gas NO 2 empat kali
lebih berbahaya dibandingkan dengan gas NO. Konsentrasi gas NO 2 bersifat
mematikan pada konsentrasi 100 ppm hampir pada semua hewan ternak.
Kristanto (2004) menjelaskan bahwa, debu berpengaruh terhadap tanaman
terutama jika bergabung dengan uap air atau air hujan (gerimis) karena akan
membentuk kerak yang tebal pada permukaan daun yang tidak dapat dibilas oleh
air hujan kecuali dengan menggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan menganggu
8

berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman yang akan mengakibatkan


pertumbuhannya terganggu.
Debu yang terserap oleh daun adalah debu yang masuk ke dalam celah
stomata daun yang terperangkap dan terserap masuk ke dalam jaringan pagar dan
bunga karang penyusun mesofil daun (Lambers et al. 2000). Treshow dan
Anderson (1991) menjelaskan bahwa debu yang masuk ke dalam daun lewat celah
stomata, akan menyebabkan kerusakan sel. Selain terganggunya proses
fotosintesis, masuknya debu ke dalam stomata dapat menghambat proses
transpirasi atau penguapan (Treshow & Anderson 1991).

2.4 Struktur Anatomi Daun


Anatomi merupakan salah satu pendekatan untuk membantu pemecahan
masalah taksonomi yang secara morfologi sulit dipisahkan. Adapun pendekatan
yang umum digunakan diantaranya bentuk dan kerapatan stomata, trikoma, bentuk
sel epidermis, jumlah lapisan palisade, dan ketebalan daun (Sunarti et al. 2008).
Tjitrosoepomo (1996), menjelaskan bahwa daun merupakan suatu bagian
tumbuhan yang penting dan pada umumnya tiap tumbuhan mempunyai sejumlah
besar daun. Bentuk daun yang tipis melebar dengan posisi daun pada batang yang
menghadap ke atas selaras dan berperan penting bagi tumbuh-tumbuhan yaitu
sebagai alat untuk pengambilan zat-zat makanan berupa gas CO2 (reabsorpsi),
pengolahan zat-zat makanan (asimilasi), penguapan air (transpirasi), dan
pernafasan (respirasi).
Fungsi daun yang utama adalah mengolah karbon dioksida dan air dengan
bantuan cahaya matahari, menghasilkan karbohidrat dan oksigen melalui suatu
proses yang dikenal dengan fotosintesis. Selain itu, daun memiliki fungsi
penyehatan lingkungan, yaitu sebagai penjerap (adsorpsi) dan penyerap (absorpsi)
gas beracun, aerosol, dan partikel padat (Lakitan 2000). Anatomi daun terdiri atas
jaringan dermal (epidermis atas dan epidermis bawah), jaringan pembuluh, dan
jaringan dasar (palisade dan bunga karang).
Sistem jaringan dermal berfungsi untuk melindungi tumbuhan dari
lingkungan luar dan berperan dalam pengaturan pertukaran gas pada daun.
Jaringan epidermis merupakan lapisan terluar dari daun (Mulyani 2006).
9

Epidermis merupakan jaringan pelindung yang terdapat di kedua permukaan daun


dengan dilengkapi lapisan dan kutikula (Ahmad & Musa 2003). Struktur daun
yang pipih memberikan perbedaan pada jaringan epidermis yaitu pemukaan atas
daun disebut permukaan adaksial sedangkan permukaan bawah daun disebut
permukaan abaksial.
Sutrian (1992), menyatakan bahwa epidermis biasanya tersusun dari satu
lapisan sel saja dan pada irisan permukaan sel-selnya tampak berbentuk macam-
macam. Letak dari sel-sel epidermis sedemikian rapat sehingga di antara sel-
selnya tidak terdapat ruangan-ruangan antar sel. Pada jaringan epidermis ini
terdapat zat kutin dan lapisan kutikula pada lapisan luar dinding sel.
Sulistyaningsih et al. (1996), menyatakan bahwa kutikula merupakan senyawa
lemak yang terdapat dipermukaan luar dinding sel epidermis. Senyawa lemak ini
bersifat kedap air sehingga mengurangi laju transpirasi.
Stomata adalah lubang-lubang yang terdapat pada epidermis yang masing-
masing dibatasi oleh dua sel penutup (Sutrian 1992). Stomata bisa ditemukan di
kedua sisi daun (tipe amfistomatik), hanya ditemukan pada sisi atas daun atau
adaksial (tipe epistomatik) dan hanya ditemukan pada sisi bawah daun atau
abaksial (tipe hipostomatik).
Trikoma merupakan rambut-rambut yang tumbuh dari sel-sel epidermis.
Trikoma berfungsi sebagai proteksi terhadap serangga dan sekresi (Sutrian 1992).
Trikoma dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu trikoma tanpa kelenjar dan
trikoma dengan kelenjar (Fahn 1991). Trikoma tanpa kelenjar terdapat rambut
yang uniseluler sederhana, rambut skuamiform yang berbentuk sisik, rambut
multiseluler yang berbentuk bintang (stelata), dan rambut kasar yang di
pangkalnya terdiri atas sedikitnya dua atau lebih deretan sel yang berdampingan.
Sedangkan pada trikoma berkelenjar, terlibat dalam sekresi berbagai bahan,
contohnya larutan garam, larutan gula, terpentin dan gom (polisakarida). Trikoma
yang mengeluarkan sekresi itu sering disebut kelenjar.
Sistem jaringan dasar atau disebut mesofil terdiri atas jaringan parenkim
yang terdapat di sebelah dalam epidermis (Mulyani 2006). Mesofil mengalami
diferensiasi membentuk jaringan fotosintetik yang berisi kloroplas. Pada
kebanyakan tumbuhan terdapat dua tipe parenkim dalam mesofil, yaitu jaringan
10

palisade dan jaringan bunga karang. Palisade terdapat di bawah epidermis


unilateral (selapis) atau multilateral (berlapis banyak). Sering kali terdapat
hipodermis di antara epidermis dan jaringan palisade. Sel palisade tersusun atas
satu lapisan atau lebih. Jaringan palisade biasanya terdapat pada permukaan
adaksial daun. Daun yang mempunyai jaringan palisade pada kedua sisinya
(adaksial dan abaksial) disebut isolateral atau isobilateral. Apabila hanya terdapat
pada satu sisi, dan sisi lain terdapat jaringan spons disebut dorsiventral atau
bifasial.

2.5 Deskripsi Jenis Pohon Sampel


Pohon mempunyai segudang manfaat bagi alam (Dahlan 2004). Salah satu
manfaatnya adalah kemampuan dalam menyerap gas berbahaya seperti karbon
dioksida (CO₂) dan karbon monoksida (CO) yang dapat menjadi salah satu sebab
terjadinya global warming serta kerusakan jaringan syaraf tertentu khususnya bagi
manusia dan hewan yang menghirupnya baik secara langsung maupun tak
langsung. Selain itu gas oksigen (O₂) hasil sintesis tanaman, dapat digunakan oleh
makluk hidup sebagai salah satu sumber energi.

2.5.1 Angsana (Pterocarpus indicus Willd)


Klasifikasi tanaman angsana menurut Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan
(2002) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rosales
Famili : Fabaceae
Genus : Pterocarpus
Species : Pterocarpus indicus Willd.
Jenis ini mempunyai beberapa nama seperti Nara (Filipina); Angsana
(Malaysia, Indonesia); dan Sena (Sumatera, Maluku). Jenis ini merupakan jenis
asli Asia Tenggara yang menghasilkan banyak biji dan paling mudah
11

dikembangbiakan dengan biji maupun stek batang (Fakuara & Soekotjo 1986).
Menurut Heyne (1987), tumbuhan ini merupakan raksasa hutan dengan tinggi 35
– 40 meter dan kedalaman akar 1 ½ - 2 meter. Tumbuhan ini sering ditemukan di
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Diameter batang tanaman ini bisa mencapai 2 meter, biasanya bentuk
batangnya kurang menarik, pendek, terpuntir, beralur dalam, dan berbanir . Daun
majemuk dengan 5 – 11 anak daun, berbulu, duduk bergantian. Bunga berkelamin
ganda, kuning cerah dan harum (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2002).
Angsana merupakan tumbuhan yang besar dengan bunga-bunga yang
harum. Tumbuhan ini banyak ditanam di kebun-kebun dan di jalan-jalan
(Kloppenburg 1988). Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2002), menyatakan
bahwa semua jenis Pterocarpus menghasilkan kayu bernilai tinggi dengan ciri
kayu agak keras, digunakan untuk mebel halus, lantai, dan lemari.

2.5.2 Beringin (Ficus benjamina Linn.)


Klasifikasi tumbuhan beringin menurut Heyne (1987) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Ficus
Species : Ficus benjamina Linn.
Nama lain dari tanaman beringin menurut Fauzi (2008), yaitu caringin
(Sunda); waringin (Jawa, Sumatera); chinese bayan (China); Banyan Tree
(Inggris). Pohon beringin banyak ditemukan di tepi jalan, pinggiran kota atau
tumbuh di tepi jurang. Pohon ini berukuran besar dengan tinggi 20-25 meter,
berakar tunggang dan memiliki batang yang tegak dengan percabangan simpodial,
bulat, permukaan kasar, dan cokelat kehitaman, pada batang keluar akar gantung
(akar udara). Dalimartha (2005) menyebutkan bahwa beringin memiliki daun
12

tunggal, panjang 3-6 cm, lebar 2-4 cm, pertulangan menyirip, dan berwarna hijau.
Sastrapraja dan Afriastini (1984), mengatakan bahwa buah ara muncul di ranting-
ranting, tunggal atau berpasangan. Penyebaran pohon ini di daerah-daerah
beriklim tropis (Almahy et al. 2003).
Heyne (1987) mengemukakan bahwa, tumbuhan ini sering ditanam di alun-
alun dan halaman serta sangat dinilai tinggi oleh penduduk. Dari segi teknis,
pohon ini bernilai rendah sama seperti jenis-jenis Ficus lainnya. Kayu tumbuhan
ini baik untuk kayu bakar kalau dicampur dengan jenis kayu lain, tetapi untuk
menghormati tumbuhan kayu ini hanya digunakan dalam keadaan darurat sebagai
kayu bakar. Tumbuhan ini juga berkhasiat obat-obatan, yaitu pada bagian akar
udara dan daun (Fauzi 2008). Akar udara pohon ini bermanfaat untuk mengatasi
pilek, demam, radang amandel, dan rematik. Daunnya bermanfaat untuk
mengatasi malaria, radang usus akut, disentri, dan influenza.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi 1) dari pusat kota ke
arah Gunung Merapi sebagai lokasi yang relatif tercemar dan di Kota Solo (lokasi
2) sebagai lokasi kurang tercemar atau kontrol. Pembuatan sediaan mikroskopis
anatomi daun dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen
Biologi FMIPA IPB. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan
bulan Agustus 2011.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain silet, tabung film,
kamera digital, alat tulis, kaca preparat, kaca penutup, mikroskop Olympus CH12,
mikrotom Yamato RV-240, kamera mikroskop Olympus, dan oven parafin.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel daun
(angsana dan beringin), akuades, etanol, entellan, safranin, HNO₃ 50%, fastgreen,
parafin, gliserin, klorox, xilol, larutan FAA (formadehida 37% : asam asetat
glasial : alkohol 70% = 5:5:90), seri larutan Johansen (Lampiran 1) dan larutan
Gifford (Lampiran 2).

3.3 Jenis Data


Jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dari hasil pengamatan dan pengambilan sampel di lapangan serta pengamatan
struktur anatomi daun. Data sekunder dikumpulkan sebagai data penunjang.
3.3.1 Data Primer
Data primer yang diukur dan diamati dalam penelitian ini, yaitu:
a. Anatomi daun berupa sayatan paradermal, yang meliputi bentuk, ukuran,
kerapatan, dan indeks stomata, serta ukuran dan kerapatan trikoma.
b. Anatomi daun berupa sayatan transversal, yang meliputi tebal daun, tebal
kutikula adaksial dan abaksial, tebal jaringan epidermis adaksial dan
14

abaksial, tebal jaringan palisade adaksial dan abaksial, tebal jaringan bunga
karang, serta tebal jaringan hipodermis adaksial dan abaksial.
3.3.2 Data Sekunder
Data yang menunjang dalam penelitian ini berupa data kualitas udara, suhu
dan kelembapan udara pada sebelum dan sesudah letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta, serta data kualitas udara pada sebelum dan sesudah letusan Gunung
Merapi di Kota Solo.

3.4 Metode Pengambilan Data


3.4.1 Penentuan Jenis Pohon
Penentuan jenis pohon sampel dilakukan setelah pengamatan langsung pada
kedua lokasi penelitian. Jenis-jenis pohon yang dijadikan sampel adalah jenis
pohon yang paling banyak di kedua lokasi penelitian yaitu pohon beringin dan
angsana. Posisi pohon yang diambil di Kota Yogyakarta yaitu di alun-alun utara,
alun-alun selatan, Jalan Faridan M. Noto, Jalan Gejayan, Kelurahan Muja-muju,
Jalan Kusumanegara, dan Jalan Timoho. Posisi pohon yang diambil di Kota Solo
yaitu di Balai Kota Surakarta, Jalan Ronggowarsito, Asrama Assalam, dan
Kecamatan Lawean.

3.4.2 Pengambilan Sampel Daun


Daun diambil secara acak, untuk sayatan paradermal digunakan daun yang
diambil di posisi ke 6 dari pucuk ranting pohon pada 3 cabang yang berbeda dari 5
ulangan pohon dan untuk sayatan transversal digunakan daun yang diambil di
posisi ke 5 dari pucuk ranting pohon pada 3 cabang yang berbeda dari 3 ulangan
pohon (Gambar 1). Daun-daun tersebut dimasukkan ke dalam tabung film yang
sudah diisi alkohol 70% dan diberi label (Gambar 2).
15

(a) (b)
Keterangan :P = Posisi daun keenam untuk sayatan paradermal
T = Posisi daun kelima untuk sayatan transversal
C1 = Posisi daun yang diambil pada cabang pertama
C2 = Posisi daun yang diambil pada cabang kedua
C3 = Posisi daun yang diambil pada cabang ketiga

Gambar 1 Posisi sampel daun yang diambil pada ranting (a) dan cabang (b).

(a) (b)

Gambar 2 Fiksasi daun dalam alkohol 70% pada wadah (a) dan sampel daun
dalam tabung film yang telah berlabel (b).
16

3.4.3 Pembuatan Sediaan Mikroskopis


Sampel daun yang telah diambil kemudian dianalisis di Laboratorium
Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB. Pengamatan
dilakukan terhadap sayatan paradermal dan transversal daun.
1. Sayatan paradermal dibuat dalam bentuk preparat semi permanen dengan
perwarnaan safranin 1% mengikuti metode Wholemount (Sass 1951)
(Lampiran 3) yaitu:
a. Daun Difiksasi dalam alkohol 70%
b. Larutan fiksatif dibuang lalu diganti dengan akuades.
c. Daun dilunakkan dengan merendamnya di dalam larutan HNO 3 50%
selama 1 - 4 hari (Gambar 3), sebelum dibuat sayatan paradermal, daun
dicuci terlebih dahulu dengan akuades.

Gambar 3 Perendaman daun di dalam larutan HNO₃ 50%.

d. Jaringan epidermis permukaan atas dan bawah daun disayat dengan


pinset. Kemudian jaringan palisade yang terbawa dikerik sampai bersih
dengan pisau silet sehingga diperoleh lapisan epidermis yang tipis
(Gambar 4).
17

Gambar 4 Penyayatan epidermis daun dengan silet.

e. Sayatan epidermis daun diwarnai dengan pewarna tunggal yaitu safranin


1% (aquosa) selama 3-5 menit, diberi media gliserin 10% dan ditutup
dengan gelas penutup (Gambar 5).

Gambar 5 Hasil sayatan paradermal.

2. Sayatan transversal digunakan metode parafin (Johansen 1940) (Lampiran


4). Adapun tahapan pembuatan preparat daun adalah:
a. Fiksasi : bahan difiksasi selama 48 jam dalam larutan FAA yang
terdiri dari formaldehid, asam asetat glasial dan alkohol 70% dengan
perbandingan 5:5:90.
b. Pencucian : larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan alkohol 50%
sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian masing-masing selama 1
jam.
18

c. Dehidrasi dan penjernihan : dilakukan secara bertahap dengan merendam


bahan dalam larutan seri Johansen I-VII, adapun komposisi masing-
masing larutan seri Johansen (Lampiran 1)
d. Infiltrasi : wadah berisi material dan campuran TBA, minyak parafin
serta parafin beku disimpan pada suhu kamar selama 1-4 jam (tutup
dibuka) (Gambar 6); lalu dimasukkan ke dalam oven (58 ºC) selama 12
jam (tutup dibuka). Keesokan harinya dilakukan 3 kali penggantian
parafin setiap 6 jam dalam oven dengan suhu 58 ºC (Gambar 7).

Gambar 6 Infiltrasi parafin murni.

Gambar 7 Oven ABC Labo Corporation KP-30AT.

e. Penanaman (blok) : satu jam sebelum penanaman material, dilakukan


penggantian parafin dengan parafin cair murni dan disimpan dalam oven
19

pada suhu 58 ºC. Selanjutnya material siap ditanam dalam blok parafin
(Gambar 8).

(a) (b)

Gambar 8 Penanaman dalam blok parafin (a) dan pengaturan posisi sampel (b).

f. Pelunakkan jaringan : blok yang berisi material dilunakkan dengan


merendam dalam larutan Giffort (Lampiran 2) selama satu minggu
(Gambar 9)

Gambar 9 Perendaman blok di dalam larutan Gifford.

g. Penyayatan : blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan


disayat dengan mikrotom putar Yamato RV-240 setebal 9 µm (Gambar
10).
20

(a) (b)

Gambar 10 Penempelan blok pada holder (a) dan mikrotom putar Yamato RV-
240 (b).

h. Perekatan : sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi gelas
albumin-gliserin dan ditetesi air. Kemudian gelas berisi pita parafin
dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 40 ºC selama 24 jam (Gambar
11).

Gambar 11 Pemanasan pita parafin pada hot-plate.

i. Pewarnaan : dilakukan pewarnaan ganda yang terdiri dari safranin 2%


dalam air dan fast-green 0,5% dalam etanol 95%.
j. Penutupan : bahan diberi media entellan lalu ditutup dengan gelas
penutup (Gambar 12).
21

Gambar 12 Pemberian media perekat entellan.

k. Pengeringan : preparat di masukkan ke dalam oven Memmert dengan


suhu 41ºC agar media entellan cepat kering (Gambar 13).

(a) (b)

Gambar 13 Preparat yang siap dimasukkan ke oven (a) dan Oven Memmert (b).

3.4.4 Pengamatan Sediaan Mikroskopis


Parameter anatomi daun yang diamati diantaranya :
a. Pada sediaan sayatan paradermal adalah ukuran, bentuk, dan jumlah
stomata, jumlah sel epidermis, serta ukuran, bentuk dan jumlah trikoma
(kelenjar atau tidak berkelenjar). Semua pengamatan dilakukan
menggunakan mikroskop Olympus CH12. Pengamatan jumlah, bentuk dan
22

ukuran stomata, jumlah sel epidermis, serta ukuran trikoma kelenjar


dilakukan pada perbesaran 40 x 10. Jumlah trikoma kelenjar, serta jumlah
dan ukuran trikoma tidak berkelenjar diamati pada perbesaran 10 x 10.
Pengamatan jumlah stomata dan sel epidermis diamati pada lima bidang
pandang yang berbeda dengan lima ulangan, sedangkan pengamatan trikoma
kelenjar atau tidak berkelenjar dilakukan pada tiga bidang pandang yang
berbeda dengan lima ulangan. Jumlah stomata dan sel epidermis digunakan
untuk mendapatkan indeks stomata (Willmer 1983). Kerapatan stomata dan
trikoma didapatkan dengan perbandingan jumlah stomata atau trikoma
dengan luas bidang pandang (Willmer 1983). Penentuan indeks dan
kerapatan stomata dengan rumus sebagai berikut:
IS = Σ stomata x 100
Σ stomata + Σ sel epidermis
KS*) = Σ stomata
mm² Luas bidang pandang
Luas bidang pandang = πr₀²
Keterangan :
IS = Indeks Stomata
KS = Kerapatan Stomata
r₀ = Jari-jari bidang pandang pada mikroskop
*) Rumus yang sama digunakan untuk menentukan kerapatan trikoma

b. Parameter anatomi daun yang diamati pada sayatan transversal adalah tebal
kutikula adaksial dan abaksial, tebal daun, tebal epidermis adaksial dan
abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal
hipodermis adaksial dan abaksial. Pengamatan menggunakan mikroskop
Olympus CH12 dengan perbesaran 100 x 10 untuk parameter tebal kutikula
adaksial dan abaksial, serta perbesaran 40 x 10 untuk parameter tebal daun,
tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial,
tebal bunga karang, serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial.
Pengamatan dilakukan pada empat bidang pandang yang berbeda dengan
tiga ulangan tanaman.
23

3.5 Analisis Data


Data dianalisis dengan uji t-student menggunakan Statistic Product and
Service Solution (SPSS) 16.0 untuk menguji pembandingan antara tanaman di
lokasi yang relatif tercemar dengan lokasi kurang tercemar. Parameter anatomi
yang yang dibandingkan meliputi kerapatan stomata, indeks stomata, ukuran
stomata, tebal daun, tebal kutikula adaksial dan abaksial, tebal epidermis adaksial
dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang serta tebal
hipodermis adaksial dan abaksial.
Kriteria uji menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau jika nilai t-hit > t-
tabel, maka terdapat perbedaan yang nyata.
Asumsi :
H0 : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati.
H1 : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi memberikan pengaruh
nyata terhadap parameter yang diamati.
Hasil analisis statistik data yang dianalisis didapatkan dengan menggunakan
nilai signifikansi.
Signifikansi < 0,05 = Berbeda Nyata (Tolak H0, terima H1)
Signifikansi ≥ 0,05 = Tidak Berbeda Nyata (Tolak H1, terima H0)
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kota Yogyakarta


4.1.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, 500 km ke arah selatan dari DKI
Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia. Secara historis, Kota Yogyakarta
berawal dari sebuah Kota Istana atau Kota Keraton yang bernama Ngayogyakarta
Hadiningrat yang terletak di daerah agraris pedalaman Jawa yang dibangun pada
tahun 1756 oleh Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi). Pendirian
kota ini dilakukan setelah terjadi peristiwa Palihan Nagari atau Pembagian Dua
Kerajaan (Surakarta – Yogyakarta) pada tahun 1755 sebagai hasil perjanjian
Giyanti.
Pada awal perkembangannya, permukiman di Kota Yogyakarta cenderung
memusat pada poros besar selatan-utara. Permukiman berupa kampung tempat
tinggal penduduk lambat laun tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari
alun-alun utara, Jalan Malioboro hingga ke Tugu. Tempat-tempat permukiman itu
lazim disebut sebagai kampung dan namanya diberikan sesuai dengan tugas dan
pekerjaan dari penduduk yang menempatinya. Pada awal abad ke 20 pola
permukiman penduduk dan stuktur kota tampak semakin memusat dan padat.
Kota Yogyakarta dikenal memiliki karakter khas yang mewarnai kehidupan
masyarakatnya.

4.1.2 Letak Geografis dan Batas Administratif


Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus kota
disamping empat daerah tingkat II lainnya yang berstatus kabupaten. Berdasarkan
BPS Yogyakarta (2011), Kota Yogyakarta terletak pada 7º 49’ 26” - 7º 15’ 24”
Lintang Selatan dan 110º 24’ 19” - 110º 28’ 53” Bujur Timur pada ketinggian
rata-rata 114 m dpl. Sebagai ibukota Provinsi DIY, Kota Yogyakarta menjadi
sentra kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya.
25

Kota Yogyakarta berbatasan dengan wilayah kabupaten lain yang ada di


Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 14), yaitu:
a. Utara : Kabupaten Sleman
b. Timur : Kabupaten Bantul dan Sleman
c. Selatan : Kabupaten Bantul
d. Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman.

Gambar 14 Wilayah administratif Kota Yogyakarta (Regional Geographic of


Indonesia 2011).

Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah paling kecil dibanding daerah


tingkat II lainnya di Provinsi Daerah Yogyakarta, yaitu 3250 Ha (32,5 km2) atau
1,02% luas wilayah propinsi. Secara administratif pemerintahan, wilayah Kota
Yogyakarta terdiri dari 14 wilayah kecamatan dan 45 kelurahan. Kecamatan yang
terluas adalah Kecamatan Umbulharjo kemudian diikuti oleh Kecamatan
Gondokusumo dan Kota Gede.
Wilayah Kota Yogyakarta terbagi dalam lima bagian kota dengan
pembagian sebagai berikut :
26

1. Wilayah I, terletak pada ketinggian ± 91 m – 177 m diatas permukaan laut


(dpl) rata-rata. Yang termasuk dalam wilayah ini adalah sebagian
Kecamatan Jetis, Kecamatan Gedongtengen, Kecamatan Ngampilan,
Kecamatan Keraton, dan Kecamatan Gondomanan.
2. Wilayah II, terletak pada ketinggian ± 97 m – 114 m dpl. Kecamatan yang
termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Tegalrejo dan sebagian
Kecamatan Wirobrajan.
3. Wilayah III, terletak pada ketinggian ± 102 m – 103 m dpl. Kecamatan yang
termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Gondokusumo,
Kecamatan Danurejan, Kecamatan Pakualaman, dan sebagian kecil
Kecamatan Umbulharjo.
4. Wilayah IV, terletak pada ketinggian ± 75 m – 102 m dpl. Kecamatan yang
termasuk ke dalam wilayah ini adalah sebagian Kecamatan Mergangsan,
Kecamatan Umbulharjo, dan Kecamatan Kota Gede.
5. Wilayah V, terletak pada ketinggian ± 83 m – 102 m dpl. Kecamatan yang
termasuk kedalam wilayah ini adalah Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan
Mantrijeron, sebagian Kecamatan Gondomanan, dan sebagian Kecamatan
Mergangsan.

4.1.3 Topografi
Badan Pusat Statistik Yogyakarta (2011) menjelaskan bahwa, secara umum
Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dengan kemiringan relatif sama yaitu
sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat terutama di daerah pinggiran
sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut hingga 199 m di atas permukaan
laut dimana sebagian wilayahnya (luas kurang lebih 1657 ha) terletak pada
ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1593 ha berada pada ketinggian antara
100-199 m. Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan
ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh
letaknya yang berada di dataran lereng Gunung Merapi (fluvia volcanic foot plain)
yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Sejalan
dengan perkembangan perkotaan dan permukiman yang pesat, lahan pertanian di
Kota Yogyakarta setiap tahun mengalami penyusutan.
27

4.1.4 Iklim
Tipe iklim Kota Yogyakarta berdasarkan klasifikasi oleh Koppen, termasuk
tipe iklim Am dan Aw, dimana artinya merupakan daerah yang beriklim hujan
tropik dengan suhu bulan tertinggi > 18 ºC (Handoko 1994). Curah hujan rata-rata
2,01 mm/tahun atau dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 ºC dan
kelembaban rata-rata 75%. Angin pada umumnya bertiup angin munson dan pada
musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220º bersifat basah dan
mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang
agak kering dengan arah ± 90º - 140º dengan rata-rata kecepatan 9,5 – 29,7
km/jam.

4.1.5 Kependudukan
Pertambahan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun cukup tinggi.
BPS Kota Yogyakarta (2011) menjelaskan bahwa, pada akhir tahun 2009 tercatat
jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 543.917 jiwa dengan tingkat
kepadatan rata-rata 16735 jiwa/km2.

4.2 Kota Surakarta (Solo)


4.2.1 Sejarah dan Perkembangan Kota Surakarta
Kota Surakarta atau Solo tidak lebih dari sebuah desa terpencil yang tenang,
10 km di sebelah timur Kartasura, ibukota kerajaan Mataram. Pakubuwana II yang
menjadi Raja Mataram mendukung Cina melawan Belanda, kemudian
Pakubuwana II mencari tempat yang lebih menguntungkan untuk membangun
kembali kerajaannya. Pada tanggal 18 Februari 1745 dianggap sebagai hari
kelahiran kota resmi.
Pada tanggal 16 Juni merupakan hari jadi Pemerintahan Kota Surakarta.
Secara de facto tanggal 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta
yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus
menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran. Dengan
berbagai pertimbangan faktor-faktor historis sebelumya, tanggal 16 Juni 1946
ditetapkan sebagai hari jadi Pemerintah Kota Surakarta.
28

4.2.2 Letak Geografis dan Batas Administratif

Gambar 15 Peta wilayah administratif Kota Surakarta (Bappeda Kota Solo 2009).

Kota Surakarta yang juga sangat dikenal sebagai Kota Solo, merupakan
sebuah dataran rendah yang terletak di cekungan lereng Pegunungan Lawu dan
Pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92 meter di atas permukaan air
laut. Kota Surakarta terletak diantara 110⁰ 45’ 15’’ – 110⁰ 45` 35″ Bujur Timur
dan 7⁰ 36’ – 7⁰ 56’ Lintang Selatan (BPS Surakarta 2010). Kota Surakarta dibelah
dan dialiri oleh 3 (tiga) buah sungai besar yaitu Sungai Bengawan Solo, Kali
Jenes dan Kali Pepe. Sungai Bengawan Solo pada jaman dahulu sangat terkenal
dengan keelokan panorama serta lalu lintas perdagangannya. Luas wilayah Kota
Surakarta mencapai 44,04 km² yang terbagi menjadi lima kecamatan dan 51
kelurahan. Lima kecamatan yang terdapat di Kota Surakarta yaitu Kecamatan
Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, dan Banjasari. Sebagian besar lahan
dipakai sebagai tempat pemukiman sebesar 61,68%. Sedangkan untuk kegiatan
ekonomi juga memakan tempat yang cukup besar juga yaitu berkisar antara 20%
dari luas lahan yang ada.
29

Batas wilayah Kota Surakarta adalah (Gambar 15):


Batas wilayah sebelah utara : Kabupaten Boyolali
Batas wilayah sebelah timur : Kabupaten Karanganyar
Batas wilayah sebelah barat : Kabupaten Sukoharjo
Batas wilayah sebelah selatan : Kabupaten Sukoharjo.

4.2.3 Topografi
Topografi wilayah Kota Surakarta secara umum keadaannya datar, hanya
bagian utara dan timur agak bergelombang dengan ketinggian kurang lebih 92
meter di atas permukaan air laut. Sebagian jenis tanah adalah tanah liat berpasir
termasuk regosol kelabu dan alluvial, di wilayah bagian utara tanah liat grumosol
serta wilayah bagian timur laut tanah litosol mediteran (BPS Surakarta 2010).

4.2.4 Iklim
Badan Pusat Statistik Surakarta (2010), menjelaskan bahwa suhu udara rata-
rata di Kota Surakarta berkisar antara 24,9°C sampai dengan 28,6°C. Sedangkan
kelembaban udara berkisar antara 66% sampai dengan 86%. Hari hujan terbanyak
jatuh pada bulan Januari dengan jumlah hari hujan sebanyak 25. Sedangkan curah
hujan terbanyak sebesar 735 mm jatuh pada bulan Oktober. Sementara itu rata-
rata curah hujan saat hari hujan terbesar jatuh pada bulan November sebesar 33,1
mm per hari hujan.

4.2.5 Kependudukan
Penduduk Kota Surakarta pada tahun 2009 mencapai 528.202 jiwa dengan
rasio jenis kelamin sebesar 89,38 yang artinya bahwa pada setiap 100 penduduk
perempuan terdapat sebanyak 89 peduduk laki-laki (BPS Surakarta 2010). Tingkat
kepadatan penduduk Kota Surakarta pada tahun 2009 mencapai 11.988 jiwa/km².
Tahun 2008 Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan
Serengan yang mencapai angka 19.959 jiwa/km².
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober 2010. Letusan gunung ini
mengeluarkan gas dan materi vulkanik. P2PL (2010) melaporkan bahwa letusan
Gunung Merapi mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi vulkanik yang terdiri
dari sulfur dioksida (SO2), gas hidrogen sulfida (H2S), nitrogen dioksida (NO2),
serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau
Particulate Matter). Gas-gas dan materi vulkanik yang dihasilkan oleh letusan
Gunung Merapi terbawa angin hingga mencemari Kota Yogyakarta. Jarak antara
puncak Gunung Merapi dengan Kota Yogyakarta sekitar 30 km.
Gas dan materi vulkanik Gunung Merapi mencemari udara di Kota
Yogyakarta. Gas dan materi vulkanik memberikan dampak yang buruk bagi
mahluk hidup. Salah satu dampak buruk dari gas dan materi vulkanik Merapi
yaitu terjadinya perubahan warna daun pada pepohonan di sekitar Kota
Yogyakarta. Selain itu, debu vulkanik dapat mengotori permukaan daun pada
pepohonan. Pohon yang paling banyak ditanam di kota ini adalah angsana
(Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin (Ficus benjamina Linn.), sehingga
ditentukanlah pohon angsana dan beringin pada Kota Yogyakarta (Lokasi 1)
sebagai pohon yang relatif tercemar dan pada Kota Solo (Lokasi 2) sebagai pohon
kontrol (Gambar 16 dan Gambar 17).

(a) (b)
Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).
31

(a) (b)
Gambar 17 Pohon beringin di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).

5.1 Kualitas Udara


Data kualitas udara antara Kota Yogyakarta dan Solo dilakukan
perbandingan baik setelah maupun sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi.
Data kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo pada penelitian ini merupakan
data sekunder yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup di kedua lokasi.
Berdasarkan data kualitas udara setelah letusan Gunung Merapi, Balai
Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa parameter TSP
(debu) dan NO₂ konsentrasinya lebih tinggi dibanding SO₂. Hasil perbandingan
parameter kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1 Hasil kualitas udara di lokasi penelitian sebelum dan setelah letusan
Gunung Merapi tahun 2010
Hasil
Yogyakarta Solo Nilai
Parameter Sebelum Setelah Sebelum Setelah Baku
Letusan Letusan Letusan Letusan Mutu
Merapi Merapi Merapi Merapi
SO₂ (µg/Nm³) 535,60 51,2 9,28 15,41 900
NO₂ (µg/Nm³) 57,59 533,6 24,808 81,54 400
TSP(debu) (µg/Nm³) 172 418 * * 230
Keterangan : * = Nilai TSP (debu) < 10 µg/Nm³
Sumber : BLH Yogyakarta (2010) dan BLH Solo (2010)

Data kualitas udara Kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi


menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan
Tugu pada tanggal 5 November 2010 (Lampiran 5). Hal tersebut dikarenakan,
data hasil pemantauan kualitas udara merupakan lokasi terdekat dengan lokasi
32

pengambilan sampel daun. Secara umun, debu vulkanik yang berasal dari letusan
Gunung berapi memiliki ukuran diameter aerodinamik <10µm atau yang lebih
dikenal dengan nama PM10. Namun, pada BLH Kota Yogyakarta melakukan
pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5
µm. Parameter polutan di Kota Yogyakarta yang melebihi dari baku mutu terdiri
dari TSP (debu) dan NO₂. Kadar debu di Kota Yogyakarta sebelum letusan
Gunung Merapi terukur 172 µg/Nm³ (Lampiran 6 – 15), sedangkan kadar debu
setelah letusan Gunung Merapi terukur 418 µg/Nm³. Hal ini menunjukkan bahwa
kualitas udara Kota Yogyakarta melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/Nm³
menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah.
Kadar NO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur
533,6 µg/Nm³. Hal tersebut melebihi nilai baku mutu yaitu 400 µg/Nm³ menurut
Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun
2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta
setelah letusan Gunung Merapi terukur 51,2 µg/Nm³. Hal tersebut tidak melebihi
nilai baku mutu yaitu 900 µg/Nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun
1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara
Ambien Daerah.
Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi mengalami
penurunan dibandingkan kadar SO₂ sebelum terjadi letusan Gunung Merapi. Hal
ini menunjukkan bahwa sebelum terjadi letusan Gunung Merapi, gunung ini
mengeluarkan gas SO₂ secara terus-menerus. Pada saat setelah letusan Gunung
Merapi, kadar gas SO₂ yang dikeluarkan menjadi berkurang. Selain itu, setelah
letusan Gunung Merapi keadaan Kota Yogyakarta tertutup debu vulkanik yang
mengakibatkan semua kendaraan bermotor dan industri tidak beroperasi. Oleh
karena itu, kadar SO₂ pada kandungan udara Kota Yogyakarta setelah letusan
Gunung Merapi lebih rendah dibanding sebelum letusan.
33

Hasil pengukuran kadar debu di kota Solo, baik sebelum maupun sesudah
letusan gunung Merapi, terukur <10 µg/Nm³ (Lampiran 16 – 23). Hal tersebut
tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/Nm³ Peraturan Pemerintah No. 41
tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur
Jawa Tengah No. 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambein di Provinsi
Jawa Tengah. Menurut BLH Kota Solo (2010), kadar debu di Kota Solo dari
tahun ke tahun selalu rendah sehingga nilai debu tidak dicantumkan dalam
laporan. Selain itu, kualitas udara Kota Solo tidak dipengaruhi oleh letusan
Gunung Merapi.
Kualitas udara pada Tabel 1 menunjukkan bahwa polutan debu yang
dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta nilai konsentrasinya
lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Solo. Hal ini disebabkan oleh arah dan
jarak penyebaran debu vulkanik yang dihasilkan Gunung Merapi bergerak ke arah
selatan dan barat dengan jarak sekitar 30 km. Kota Yogyakarta berada di sebelah
selatan Gunung Merapi, sedangkan kota Solo berada di sebelah timur gunung
Merapi. Oleh karena itu, kadar debu vulkanik di Kota Yogyakarta lebih tinggi
dibandingkan di Kota Solo yang tidak tercemar debu vulkanik merapi. Kristanto
(2004) menyatakan bahwa pada tempat tertentu konsentrasi partikulat debu
dipengaruhi oleh kecepatan emisi melepas debu di udara dan kecepatan dispersi
(pembersihan) debu di udara. Daerah perkotaan memiliki kecepatan dispersi
(pembersihan) dari udara sangat lambat karena kecepatan dispersi sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor meterologis seperti kecepatan dan arah angin.
Kecepatan angin di Kota Yogyakarta sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi
berkisar 5,384 Km/jam, sedangkan setelah terjadi letusan Gunung Merapi
kecepatan angin meningkat hingga 18 Km/jam. Banyaknya debu dipengaruhi oleh
kecepatan angin, dimana debu akan lebih banyak terakumulasi jika kecepatan
angin meningkat (Scorer 1968).
Debu letusan Gunung Merapi ini mengakibatkan suhu udara di Kota
Yogyakarta menjadi meningkat. Suhu udara sebelum terjadi letusan yaitu 26,7ºC
dan setelah terjadi letusan pada tahun 2010 yaitu 27,3 ºC. Keadaan ini
mengindikasikan bahwa kondisi Kota Yogyakarta menjadi lebih panas akibat
kadar pencemaran debu vulkanik yang berterbangan di udara.
34

Sastrawijaya (2000) menjelaskan bahwa distribusi zat pencemar juga


mempengaruhi suhu. Semakin tingginya kadar pencemar debu vulkanik di Kota
Yogyakarta akan terjadi peningkatan suhu. Suhu udara yang meningkat
mengakibatkan kelembaban udara menurun. Suhu udara di Kota Solo, sebelum
letusan merapi adalah berkisar 28,6°C dan setelah letusan merapi adalah berkisar
29,1 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa suhu udara di Kota Solo cenderung
lebih stabil baik sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi.
Tingginya konsentrasi NO₂ dan debu di udara dapat dipastikan memberikan
pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk Kota
Yogyakarta. Kadar gas dan debu di udara pada kondisi ini dapat menutup dan
masuk ke dalam stomata daun sehingga dapat merusak struktur anatomi daun
(Bell & Treshow 2002). Debu yang menutupi mulut daun akan membatasi proses
fotosintesis. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein
dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman
akan terganggu (Riikonen et al. 2010). Mudd dan Kozlowzki (1975) menjelaskan
bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya banyak
tercatat yaitu perubahan jaringan seperti plasmolisis, granulasi (kekacauan sel),
hancurnya sel atau mati dan pigmentasi (perubahan warna sel menjadi lebih
gelap). Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya
perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu
vulkanik mengandung SiO2 yang bersifat tajam (Sinuaji 2011).

5.2 Stuktur Anatomi Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd.)


5.2.1 Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal
Hasil pengamatan sayatan paradermal daun angsana baik pada Kota
Yogyakarta maupun Solo, hubungan antara stomata dan sel epidermis dapat
diklasifikasikan bahwa tipe susunan stomata angsana yaitu tipe stomata
anomositik atau ranunculaceous. Tipe stomata anomositik atau ranunculaceous
adalah tipe stomata dimana sel penjaganya dikelilingi oleh sejumlah sel tertentu
yang tidak berbeda dengan sel epidermis, baik dalam bentuk maupun ukuran
(Fahn 1991). Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena
stomata pada tanaman ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial.
35

Tanaman angsana memiliki trikoma tidak berkelenjar dengan pangkal membulat


dan penonjolan multiseriat (Gambar 18).

Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Tidak Berkelenjar

Gambar 18 Penampang sayatan paradermal adaksial daun angsana di Kota


Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di
Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm).

Hasil pengamatan sayatan paradermal tanaman angsana tidak terjadi


kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon
anatomi daun. Pengamatan sayatan paradermal angsana dijumpai beberapa
parameter yang menunjukkan berbeda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo.
Parameter pengamatan yang berbeda nyata tersebut terdiri dari kerapatan stomata,
indeks stomata, dan panjang stomata (Tabel 2). Stomata pada jenis tanaman ini
dijumpai hanya pada bagian abaksial (bawah) daun. Tanaman angsana memiliki
jenis trikoma tidak berkelenjar yang menyerupai rambut-rambut kasar.
36

Tabel 2 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan
sayatan paradermal daun angsana antara lokasi 1 dan lokasi 2
Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil
Parameter
Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t
Kerapatan stomata
133,33 190,26 0,001 BN
abaksial (jumlah/mm²)
Indeks stomata 7,76 10,51 0,002 BN
Panjang stomata (µm) 26,65 24,15 0,003 BN
Lebar stomata (µm) 18,17 18,43 0,603 TBN
Kerapatan trikoma tidak
6,00 6,26 0,883 TBN
berkelenjar (jumlah/mm²)
Panjang trikoma tidak
140,56 148,33 0,591 TBN
berkelenjar (µm)
Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%
TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

Kerapatan stomata pada tanaman angsana di Kota Yogyakarta yang terpolusi


bahan polutan Gunung Merapi (133,33 jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan
kerapatan stomata pada tanaman kontrol atau tanaman di Kota Solo (190,26
jumlah/mm²) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,001 (Tabel
2). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpapar polusi udara, secara
anatomi memberikan respon dengan cara mengurangi jumlah stomata. Menurut
Dickinson (2000), stomata yang berfungsi sebagai tempat utama bagi polutan
untuk melakukan penetrasi terhadap tanaman. Frekuensi stomata diasumsikan
menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi sensivitas tanaman dan
ketahanan daun. Kerapatan stomata ini juga diikuti dengan indeks stomata yang
rendah juga.
Indeks stomata pada Kota Yogyakarta (7,76) lebih rendah dibandingkan
pada Kota Solo (10,51) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi
0,002. Pada Kota Yogyakarta, kerapatan stomata yang rendah diikuti dengan
ukuran panjang stomata yang tinggi. Hal ini diperjelas oleh Willmer (1983) yang
menyatakan bahwa semakin kecil ukuran stomata maka jumlah frekuensi stomata
akan meningkat. Ukuran panjang stomata daun angsana pada Kota Yogyakarta
(26,65 µm) lebih tinggi dibandingkan ukuran panjang stomata di Kota Solo atau
kontrol (24,14 µm) dan berbeda nyata secara uji-t dengan nilai signifikasi 0,003.
Ukuran panjang stomata yang meningkat ini merupakan indikasi adaptasi tanaman
terhadap pencemar udara. Menurut Muud dan Kozlowski (1975), tanaman yang
tumbuh di lingkungan terpolusi cenderung akan mempertahankan dirinya dengan
meningkatkan ukuran stomata. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini
37

sangat membantu dalam penyerapan CO₂ untuk fotosintesis. Selain itu,


karakteristik stomata yang meliputi ukuran, kerapatan, dan indeks stomata banyak
digunakan sebagai bioindikator dan biomonitoring udara (Balasooriya et al.
2008). Kerapatan dan indeks stomata yang menurun serta ukuran panjang stomata
yang meningkat pada jenis daun angsana di Kota Yogyakarta merupakan salah
satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman
lingkungan akibat polusi gas dan materi vulkanik.
Selain itu, menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya
ukuran stomata diduga merupakan modifikasi tanaman angsana untuk
mengoptimumkan penangkapan gas CO₂ yang digunakan untuk proses
fotosintesis. Respon struktur anatomi yang meliputi menurunnya kerapatan dan
indeks stomata serta meningkatnya ukuran panjang stomata juga terjadi pada
Nicotiana tabacum karena adanya cekaman lingkungan dari gas polutan yang
dilaporkan oleh Pedroso & Alves (2008). Hasil yang berbeda disampaikan oleh
Gostin (2009), salah satu respon Trifolium montanum dan Trifolium repens
terhadap cekaman gas polutan adalah dengan meningkatkan kerapatan dan indeks
stomata. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tanaman memiliki respon yang
berbeda-beda terhadap polutan udara, baik gas maupun partikel.
Tanaman angsana memiliki trikoma dengan pangkal membulat dan
penonjolan multiseriat. Trikoma pada tanaman ini merupakan trikoma tidak
berkelenjar. Kerapatan trikoma daun angsana pada Kota Yogyakarta (6,00
jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan kerapatan trikoma di Kota Solo (6,26
jumlah/mm²) namun tidak berbeda nyata secara uji-t. Hal ini menunjukkan bahwa
tanaman yang terpolusi gas dan materi vulkanik secara anatomi tidak
mempengaruhi kerapatan trikoma. Kondisi perilaku ini tidak lazim karena pada
umumnya daun yang memiliki trikoma apabila tercemar gas polutan akan
meningkatkan jumlah trikoma tersebut guna mempertahankan dirinya (Azmat et
al. 2009). Esau (1977) menjelaskan bahwa peran dari trikoma pada tanaman
adalah jelas, yaitu pada beberapa tanaman trikoma dapat mencegah kehilangan
air. Selain itu, fungsi trikoma tidak berkelenjar diantarnya adalah mencegah
kehilangan air, pertahanan fisik terhadap serangga, dan sebagai biomonitoring
lingkungan (Azmat et al 2009).
38

5.2.2 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal


Daun angsana bertipe dorsiventral atau bifasial. Dorsiventral atau bifasial
adalah daun yang memiliki jaringan palisade di satu sisi daun dan jaringan bunga
karang di sisi lainnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini hanya
memiliki satu lapis saja, baik tanaman angsana di Kota Yogyakarta maupun di
Kota Solo. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun angsana,
menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik,
tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota
Yogyakarta dan Solo. Tebal daun angsana pada Kota Yogyakarta lebih besar
dibandingkan tebal daun pada Kota Solo yang dapat dilihat pada Gambar 19.
Tebalnya daun pada Kota Yogyakarta dipengaruhi peningkatan tebal jaringan
palisade.

Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 4 = Epidermis Abaksial


2 = Kutikula Abaksial 5 = Palisade
3 = Epidermis Adaksial 6 = Bunga Karang

Gambar 19 Penampang sayatan transversal daun angsana di Kota Yogyakarta (A)


dan Kota Solo (B), (skala : 100µm).

Hasil pengamatan sayatan transversal daun tanaman angsana yang


menunjukkan beda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo, yaitu tebal jaringan
palisade adaksial. Tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal bunga
karang, serta tebal kutikula adaksial dan abaksial tidak menunjukkan beda nyata
antara Kota Yogyakarta dan Solo yang disajikan pada Tabel 3.
39

Tabel 3 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan
sayatan transversal daun angsana antara Kota Yogyakarta dan Solo
Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil
Parameter
Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t
Tebal daun (µm) 168,40 140,69 0,078 TBN
Tebal epidermis adaksial (µm) 19,65 19,93 0,931 TBN
Tebal epidermis abaksial (µm) 13,13 12,15 0,422 TBN
Tebal palisade (µm) 43,40 33,47 0,02 BN
Tebal bunga karang (µm) 79,03 86,18 0,727 TBN
Tebal kutikula adaksial (µm) 2,39 1,78 0,168 TBN
Tebal kutikula abaksial (µm) 1,92 1,06 0,091 TBN
Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%
TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

Pada tanaman angsana dijumpai perbedaan ketebalan pada jaringan palisade.


Ketebalan jaringan palisade adaksial pada Kota Yogyakarta (43,40 µm) lebih
tinggi dibandingkan Kota Solo (33,47 µm) dan berbeda nyata secara uji-t. Tebal
jaringan palisade yang meningkat pada Kota Yogyakarta merupakan salah satu
respon pertumbuhan angsana dengan beradaptasi terhadap gas dan materi
vulkanik di sekitar tanaman. Hal yang serupa dilaporkan oleh Dickison (2000),
yang menyatakan bahwa gas polutan kendaraan bermotor dapat menyebabkan
pertambahan tebal daun dengan bertambahnya tebal jaringan palisade. Selain itu,
Ribas et al. (2005) juga melaporkan bahwa pada tanaman Oleo europea juga
mengalami peningkatan ketebalan palisade akibat polutan gas ozon. Hasil yang
berbeda dilaporkan oleh Maulana (2004) yang menyatakan bahwa tebal palisade
pada tanaman Canarium commune pada keadaan terpolusi gas kendaraan
bermotor lebih rendah dibandingkan dengan kontrol.
Reaksi tanaman terhadap polusi udara akan memodifikasi jaringannya
dengan meningkatkan ketebalan palisade (Radoukova 2009). Tingkat perubahan
bentuk pada jaringan palisade akan sangat berpengaruh terhadap proses fisiologi
tanaman, terutama pada proses fotosintesis. Menurut Fahn (1991) dan Jahan dan
Iqbal (1992), menjelaskan bahwa jaringan palisade terdapat kloroplas yang
berfungsi untuk fotosintesis.
Selain menurunkan kerapatan dan indeks stomata akibat gas dan materi
vulkanik, tanaman angsana juga merespon dengan meningkatkan ketebalan
jaringan palisade. Kerapatan stomata dan indeks stomata di Kota Yogyakarta
relatif lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo. Namun, di sisi lain tanaman
memodifikasi dirinya dengan penebalan jaringan palisade yang berfungsi untuk
40

meningkatkan efisiensi fotosintesis. Adanya modifikasi jaringan palisade pada


tanaman angsana menunjukkan bahwa tanaman ini dapat beradaptasi secara baik
terhadap lingkungan yang tercemar oleh polutan gas dan materi vulkanik Gunung
Merapi. Menurut Bell dan Treshow (2002), tanaman yang biasa hidup dan tumbuh
di daerah dengan tingkat pencemaran polutan gas dan partikel yang tinggi mampu
beradaptasi dengan menebalkan jaringan palisade. Jaringan palisade yang
meningkat ini mempengaruhi proses pertumbuhan pada tanaman. Hal ini
didukung dengan penelitian pada tanaman Lolium pereme yang cenderung tumbuh
lebih baik di lokasi yang terpolusi oleh polutan gas dibandingkan dengan lokasi
yang tidak terpolusi (Mansfield 1976).
Tanaman angsana termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan
adaptasi yang baik terhadap lokasi yang terpolusi gas dan partikel. Hal ini sesuai
dengan penelitian Roziaty (2009) yang melaporkan bahwa Tanaman angsana
termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi (toleran)
terhadap polutan gas dan partikel. Selain itu, polutan seperti partikel dapat
menghambat pertumbuhan pada suatu tanaman, tetapi tanaman angsana memiliki
mekanisme adaptasi dan pertahanan dengan memodifikasi dirinya agar dapat terus
bertahan hidup. Hal ini berkaitan bahwa, tanaman angsana banyak ditemukan di
sekitar Kota Yogyakarta yang setiap empat tahun sekali terpapar bahan polutan
gas dan materi vulkanik erupsi Gunung Merapi.

5.3 Stuktur Anatomi Daun Beringin (Ficus benjamina Linn.)


5.3.1 Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal
Hasil pengamatan sayatan paradermal pada daun beringin dijumpai stomata
bertipe parasitik atau rubiaceous. Tipe stomata parasitik atau rubiaceous adalah
stomata dimana sel penjaganya bergabung dengan satu atau lebih sel tetangga,
membentuk sumbu yang sejajar dengan sumbu sel penjaganya (Fahn 1991). Letak
stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena stomata pada tanaman
ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial, sedangkan pada sisi atas
daun atau adaksial tidak dijumpai stomata (Gambar 20). Selain itu, hasil
pengamatan sayatan paradermal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak
41

terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon
terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo.

Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Kelenjar

Gambar 20 Penampang sayatan paradermal adaksial daun beringin di Kota


Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di
Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm).

Keterangan: 1 = Trikoma Kelenjar

Gambar 21 Hasil sayatan paradermal abaksial daun beringin: trikoma kelenjar di


di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm).
42

Hasil pengamatan sayatan paradermal abaksial daun beringin pada kedua


lokasi ditemukannya trikoma kelenjar unisel (Gambar 21). Trikoma kelenjar
berfungsi untuk mencegah kekeringan pada tanaman, untuk sekresi berbagai
bahan seperti larutan garam, nektar, terpentin, dan polisakarida (Fahn 1991).
Menurut Cutter (1978), trikoma kelenjar adalah sel sekretori yang dapat
mengeluarkan metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini dapat berperan sebagai
agen penolak serangga.
Parameter pengamatan sediaan sayatan paradermal pada jenis tanaman
beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo tidak berbeda nyata untuk semua
parameter pengamatan yang (Tabel 4).
Tabel 4 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan
sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo
Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil
Parameter
Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t
Kerapatan stomata abaksial
215,79 239,82 0,688 TBN
(jumlah/mm²)
Indeks stomata 4,66 4,77 0,903 TBN
Panjang stomata (µm) 30,95 29,48 0,754 TBN
Lebar stomata (µm) 28,07 26,88 0,801 TBN
Kerapatan trikoma kelenjar
14,00 24,58 0,163 TBN
(jumlah/mm²)
Diameter trikoma kelenjar (µm) 6,42 7,11 0,274 TBN
Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%
TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

Parameter kerapatan stomata pada pengamatan sediaan sayatan paradermal


daun tanaman beringin tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Namun,
nilai kerapatan stomata cenderung menurun. Menurunnya kerapatan stomata pada
daun beringin di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan
pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat gas dan materi
vulkanik Gunung Merapi. Tanaman akan memodifikasi dirinya apabila mendapat
cekaman dari lingkungan yang terdapat gas dan materi vulkanik. Menurut Gostin
(2009), tanaman yang mengurangi jumlah stomata akibat cekaman polusi udara
merupakan salah satu respon untuk mengurangi masuknya gas polutan.
Ukuran stomata pada daun beringin di Kota Yogyakarta dan Solo terlihat
berbeda, namun hasil uji-t pada panjang maupun lebar stomata tidak menunjukkan
beda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman beringin cenderung di Kota
Yogyakarta yang terpapar gas dan materi vulkanik memiliki ukuran panjang dan
lebar stomata yang lebih besar dibandingkan Kota Solo (Gambar 20). Daun
43

dengan stomata yang ukurannya lebih besar memiliki kemampuan menyerap


polutan gas lebih banyak dibandingkan daun dengan stomata yang berukuran
lebih kecil (Lambers et al. 2000). Namun modifikasi tersebut memungkinkan
tanaman lebih optimum untuk menyerap gas CO₂ yang akan digunakan dalam
proses fotosintesis. Hal yang senada juga disampaikan oleh Jahan dan Iqbal
(1992), salah satu respon tanaman Ficus bengalensis terhadap polusi gas dan
partikel adalah dengan meningkatkan ukuran stomata, baik panjang maupun lebar
stomata.

5.3.2 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal


Struktur anatomi daun tanaman beringin bertipe isolateral atau isobilateral
(Gambar 22). Isolateral atau isobilateral adalah daun yang memiliki jaringan
palisade terdapat di kedua sisi daunnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada
tanaman ini terdiri dari satu hingga dua lapisan. Hasil pengamatan sayatan
transversal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan
struktur anatomi daun akibat gas dan materi vulkanik dan semua parameter
pengamatan tidak berbeda nyata secara statistik dibandingkan kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa gas dan materi vulkanik Gunung Merapi tidak memberikan
pengaruh terhadap struktur anatomi daun tanaman beringin (Tabel 5)
Tabel 5 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan
sayatan transversal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo
Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil
Parameter
Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t
Tebal daun (µm) 269,44 253,06 0,701 TBN
Tebal epidermis adaksial (µm) 8,61 8,26 0,803 TBN
Tebal epidermis abaksial (µm) 7,15 6,67 0,523 TBN
Tebal palisade adaksial (µm) 47,08 44,03 0,646 TBN
Tebal palisade abaksial (µm) 18,61 17,99 0,668 TBN
Tebal bunga karang (µm) 137,57 105,21 0,267 TBN
Tebal kutikula adaksial (µm) 4,11 3,56 0,572 TBN
Tebal kutikula abaksial (µm) 3,97 3,64 0,736 TBN
Tebal hipodermis adaksial (µm) 49,72 45,76 0,748 TBN
Tebal hipodermis abaksial (µm) 10,83 10,76 0,748 TBN
Keterangan: TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%

Namun jika dilihat dari hasil data, terdapat kecenderungan untuk semua
parameter menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada Kota Yogyakarta
dibandingkan Kota Solo. Daun yang lebih tebal di Kota Yogyakarta juga diikuti
dengan dengan meningkatnya ketebalan palisade dan bunga karang. Jaringan
44

palisade dan bunga karang yang menebal di Kota Yogyakarta ini terkait dengan
jumlah kloroplas yang terkandung di kedua jaringan tersebut. Hal ini berkaitan
dengan proses fotosintesis untuk menangkap sinar matahari (Jahan & Iqbal 1992).

Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 6 = Hipodermis Abaksial


2 = Kutikula Abaksial 7 = Palisade Adaksial
3 = Epidermis Adaksial 8 = Palisade Abaksial
4 = Epidermis Abaksial 9 = Bunga Karang
5 = Hipodermis Adaksial

Gambar 22 Penampang sayatan transversal daun beringin di Kota Yogyakarta (A)


dan Kota Solo (B), (skala : 100µm).

Berdasarkan hasil pengamatan anatomi daun pada sayatan transversal,


tanaman beringin tidak memberikan respon terhadap polusi gas dan materi
vulkanik Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman beringin tahan
terhadap cekaman polusi udara akibat erupsi Gunung Merapi, karena setiap
empat tahun sekali di Kota Yogyakarta terpolusi gas dan partikel yang dapat
masuk dan menutup permukaan daun pada tanaman. Penelitian yang sama juga
dikemukakan oleh Nurmal (2000) yang melaporkan bahwa tanaman beringin
sangat tahan terhadap pengaruh polutan gas dan debu. Daya tahan suatu tanaman
menurut Gultom (1996) dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam tanaman itu dan
kondisi lingkungannya.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
daun tanaman angsana (Pterocarpus indicus Willd.) tidak mengalami kerusakan,
namun menunjukkan respon terhadap gas dan materi vulkanik dengan
menurunkan kerapatan dan indeks stomata, meningkatkan ukuran panjang
stomata, dan ketebalan jaringan palisade. Pada daun tanaman beringin (Ficus
benjamina Linn.) juga tidak mengalami kerusakan, namun semua parameter
pengamatan tidak menunjukkan respon terhadap gas dan materi. Tanaman
angsana dan beringin merupakan tanaman yang baik untuk ditanam di Kota
Yogyakarta yang terpolusi gas dan materi vulkanik Gunung Merapi.

6.2 Saran
Pohon angsana dan beringin dapat dijadikan rekomendasi untuk tanaman
hutan kota dalam rangka perbaikan kualitas udara pasca erupsi letusan Gunung
Merapi.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad J, Musa N. 2003. Anatomi berkas pengangkut batang. Eugenia 9(4): 248-
255.

Almahy HA, Rahmani M, Sukari MA, Ali AM. 2003. The chemical constituents
of Ficus benjamina Linn. and their biological activities. Pertanika J. Sci. &
Tech.l 11(1): 73-81.

Azmat R, Haider S, Nasreen H, Aziz F, Riaz M. 2009. A viable alternative


mechanism in adapting the plants to heavy metal environment. Pak. J. Bot
41(6): 2729-2738.

[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Surakarta. 2009.


Peta Administrasi Kota Surakarta. Surakarta: Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kota Surakarta

[BPS] Badan Pusat Statistik Surakarta. 2009. Surakarta Dalam Angka 2009.
Surakarta: Badan Pusat Statistik Kota Surakarta.

[BPS] Badan Pusat Statistik Yogyakarta. 2011. Kota Yogyakarta Dalam Angka
2010. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta.

[BLH] Balai Lingkungan Hidup Kota Surakarta. 2010. Hasil Pengujian Udara
Ambien. Surakarta: Balai Lingkungan Hidup Kota Surakarta

[BLH] Balai Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta. 2010. Laporan Hasil Uji
Udara Ambien. Yogyakarta. Balai Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta

[BPPTK] Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian


Yogyakarta. 2010. Kronologis Letusan Gunung Merapi. Yogyakarta: Balai
Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta.

Balasooriya BLWK, Samson R, Mbikwa F, Vitharana UWA, Boeckx P. 2008.


Biomonitoring of urban habitat quality by anatomical and chemical leaf
characteristics. Environ and Experimen Botany 65(2): 386-394.

Bell JNB, Treshow M. 2002. Air Pollution and Plant Life. 2nd Ed. England: John
Wiley and Sons, LTD.

Cutter EG. 1978. Plant Anatomy Part I Cell and Tissues. London: Edward Arnold
(Publisher), Ltd.

Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan
Kota. Bogor: IPB Press.

Dalimartha S. 2005. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1. Jakarta: Trubus


Agriwidya.
47

Dickinson WO. 2000. Integrative Plant Anatomy. Tokyo: Academic Press.

Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2002. Informasi Singkat Benih


Pterocarpus indicus Willd. Jakarta: Kementrian Kehutanan.

Esau K. 1977. Anatomy of Seed Plants. Canada: John Wiley and Sons, Inc.

Fahn A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Soediarto A, Koesoemaningrat RMT,


Natasapura M, Akmal H, penerjemah; Tjitrosomo SS, editor. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Plant Anatomy.

Fakuara Y, Soekotjo W. 1986. Penentuan Jumlah Transpirasi Pada Berbagai


Jenis Pohon yang Tumbuh Di Perkotaan. Bogor: Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.

Fauqani A. 2011. Respon Pertumbuhan dan Anatomi Jaringan Daun Cyperus


kyllingia, Eleusine indica, dan Rottboellia exaltata pada Perbedaan Tingkat
Pencemaran Udara [skripsi]. Bogor: Departemen Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Fauzi DA. 2008. Panduan Lengkap Manfaat Tanaman Obat. Jakarta: Edsa
Mahkota.

Gostin I. 2009. Air pollution effects on the leaf structure of some Fabaceae
species. Not. Bot. Hort. Agrobot. Cluj 37(2): 57-63.

Gultom JT. 1996. Pengaruh Salinitas Air dan Pencemaran Udara yang Diemisikan
Oleh Asap Kendaraan Bermotor terhadap Beberapa Jenis Anakan Tanaman
Perkotaan [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. Bogor: Pustaka Jaya.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Waha


Jaya Badan Litbang Kehutanan.

Jahan S, Iqbal MZ. 1992. Morphological, anatomical, physiological features of


plant species and environmental factors facilitative for dust capturing
efficiency. Jour. of Islam. Academy of Sci. 5(1): 24-38

Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York and London: McGraw-Hill
Book Company Inc.

Kloppenburg J. 1988. Petunjuk Lengkap Mengenai Tanam-tamanan Di Indonesia


dan Khasiatnya Sebagai Obat-obatan Tradisionil. Yogyakarta: ANDI.

Kristanto P. 2004. Ekologi Industri. Yogyakarta: ANDI.

Lakitan B. 2000. Dasar – dasar Fisiologi Tumbuhan. Ed ke-1. Jakarta: Raja


Grafindo Persada.
48

Lambers H, Chapin FS, Pons TL. 2000. Plant Physyiological Ecology. New York:
Springer.

Mansfield TA. 1976. Effects of Air Pollutants on Plants. London: Cambridge


University Press.

Marsono D. 2004. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup.


Yogyakarta: BIGRAF Publishing.

Maulana RY. 2004. Identifikasi Respon Anatomi Daun dan Pertumbuhan Kenari,
Akasia dan Kayu Manis Terhadap Emisi Gas Kendaraan Bermotor [skripsi].
Bogor: Departeman Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Mudd JB, Kozlowski TT. 1975. Responses of Plants to Air Pollution. New York:
Academic Press, Inc, Ltd.

Mulyani S. 2006. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta: Kanisius.

Nurmal L. Pengaruh Pencemaran yang Diemisikan Oleh Kendaraan Bermotor


Terhadap Ketahanan Tanaman Perkotaan [skripsi]. Bogor: Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pedroso ANV, Alves ES. 2008. Comparative leaf anatomy of Nicotiana tabacum
L. (Solanaceae) cultivars sensitive and tolerant to ozone. Acta Bot. Bras.
22(1): 3306-3318.

[P2PL] Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.


2010. Letusan Gunung Merapi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan.

Pudjiastuti W. 2002. Debu Sebagai Bahan Pencemar yang Membahayakan


Kesehatan Kerja. Jakarta: Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Radoukova T. 2009. Anatomical mutability of the leaf epidermis in two species of


Franxinus L. in a region with autotransport pollution. Biotechnol &
Biotechnol. 23(25): 405-409

Regional Geographic of Indonesia. 2011. Profil kota Yogyakarta.


http://www.geoarround.com [17 Januari 2011]

Ribas A, Penuelas J, Elvira S, Gimeno BS. 2005. Ozone exposure induces the
activation of leaf senescence-related processes and morphological and
growth changes in seedlings of Mediterranean tree species. Environ. Poll.
134: 291-300.

Riikonen J, Percy KE, Kivimaenpaa M, Kubiske ME, Nelson ND, Vapaavuori E.


Karnosky DF. 2010. Leaf size and surface charateristics of Betula papyrifera
exposed to elevated CO₂ and O₂. Environ. Poll. 158: 1029-1035.
49

Roziaty E. 2009. Kandungan Klorofil, Struktur Anatomi Daun Angsana


(Pterocarpus indicus Willd.) dan Kualitas Udara Ambein di Sekitar
Kawasan Industri Pupuk PT. Pusri di Palembang [tesis]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.

Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique. Iowa: The Iowa Sate College Press.

Sastrapraja S, Afriastini JJ. 1984. Kerabat Beringin. Bogor: Lembaga Biologi


Nasional LIPI.

Sastrawijaya AT. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.

Scorer R. 1968. Air Pollution. Oxford: Pergamon Press LTD.

Sinuhaji NF. 2011. Analisis Logam Berat dan Unsur Hara Debu Vulkanik
Gunung Sinabung Kabupaten Karo Sumatra Utara [Skripsi]. Medan.
Departemen Fisiska Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sumatra Utara

Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara. Bandung: ITB Bandung.

Soemarno SH. 1999. Meteorologi Pencemaran Udara. Bandung: Departemen


Geofisika dan Meteorologi ITB.

Sulistyaningsih YC, Dorly, Akmal. 1996. Studi anatomi daun Saccharum spp.
sebagai induk dalam pemuliaan tebu. Hayati 1(2): 32-36.

Sunarti S, Rugayah, Tihurua EF. 2008. Studi anatomi daun jenis-jenis Averrhoa di
Indonesia untuk mempertegas status taksonominya. Berita Biologi 9(3):
253-257.

Suriadikarta DA, Abas A, Sutono, Erfandi D, Santoso E, Kasno A. 2010.


Identifikasi Sifat Kimia Abu Volkan, Tanah dan Air Di Lokasi Dampak
Letusan Gunung Merapi. Bogor: Balai Penelitian Tanah.

Sutarno, Pranoto, Dewi WS, Iskamto B. 2003. Indikator kualitas udara di jawa
tengah ditinjau dari komponen biologi. Environmental 3(2): 1-9

Sutrian Y. 1992. Pengantar Anatomi Tumbuh-tumbuhan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tjitrosoepomo G. 1996. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Treshow M, Anderson FK. 1991. Plant Stress from Air Pollution. New York:
John Willey and Sons.

Wardhana WA. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: ANDI

Willmer CM. 1983. Stomata. New York: Longman Inc.


50

Wilson T, Kaye G, Stewart C, Cole J. 2007. Impacts of the 2006 eruption of


Merapi Volcano Indonesia, on Agriculture and Infrastructure. New
Zealand: Gns Science Report, Natural Hazards Research Centre, University
of Canterbury.
LAMPIRAN
52

Lampiran 1 Komposisi seri larutan Johansen

Seri larutan Johansen


Komposisi
I II III IV V VI VII
Air 50% 30% 15% - - - -
Etanol 95 % 40% 50% 50% 45% - - -
Etanol 100% - - - - 25% - -
Tertier butil alkohol 10% 20% 35% 55% 75% 100% 50%
Minyak parafin - - - - - - 50%

Lampiran 2 Komposisi larutan Gifford

Komposisi Volume (ml)


Asam asetat glacial 20
Alkohol 60% 80
Gliserin 5
53

Lampiran 3 Prosedur pembuatan sediaan mikroskopis sayatan paradermal dengan


metode wholemount (Sass 1951)

Fiksasi (dalam alkohol 70%)

Pencucian dengan akuades

Pelunakkan (dalam larutan HNO₃ 50%)

Penyayatan

Penjernihan dengan bayclean

Pewarnaan safranin 1%

Penutupan media gliserin 30%

Pemberian label
54

Lampiran 4 Prosedur pembuatan sediaan mikroskopis sayatan transversal dengan


metode parafin (Johansen 1940)

Fiksasi dalam larutan FAA( Formaldehid Asetit Acid)


Komposisi FAA= (Formalidehid : Asam Asetat : Alkohol 70%)
= (5:5:90)

Pencucian

Dehidrasi dan penjernihan (larutan seri Johansen I – VII)

Infiltrasi parafin

Penanaman (blok)

Pelunakkan (dalam larutan Gifford)

Penyayatan dengan mikroton putar 10µm

Perekatan dengan albumin gliserin

Pewarnaan dengan Safranin (2% dalam air)


dan Fastgreen 0,5% dalam alcohol 95%

Penutupan dengan media entelan

Pemberian label
55

Lampiran 5 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta
56

Lampiran 6 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 25 Mei 2010 – 1 Juli 2010
57

Lampiran 7 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 25 Mei 2010 – 6 Juli 2010
58

Lampiran 8 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 1 Juni 2010 – 6 Juli 2010
59

Lampiran 9 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 5 Juni 2010 – 6 Juli 2010
60

Lampiran 10 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota

Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 2010 – 6 Juli 2010


61

Lampiran 11 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 12 Juni 2010 – 6 Juli 2010
62

Lampiran 12 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 19 Juni 2010 – 6 Juli 2010
63

Lampiran 13 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 22 Juni 2010 – 6 Juli 2010
64

Lampiran 14 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 26 Juni 2010 – 6 Juli 2010
65

Lampiran 15 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 2010 – 6 Juli 2010
66

Lampiran 16 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 27 April 2011
67

Lampiran 17 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 28 April 2011
68

Lampiran 18 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 4 Mei 2011
69

Lampiran 19 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 11 Mei 2011
70

Lampiran 20 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 12 Mei 2011
71

Lampiran 21 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 11 Oktober 2010
72

Lampiran 22 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 11 Oktober 2010
73

Lampiran 23 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 14 Oktober 2010

Anda mungkin juga menyukai