DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN
ANGSANA DAN BERINGIN
AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK
PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
Letusan Gunung Merapi terjadi pada hari Selasa tanggal 26 Oktober 2010.
Letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi yang terdiri
dari sulfur dioksida (SO2), gas hidrogen sulfida (H2S), nitrogen dioksida (NO2),
serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau
Particulate Matter). Bahan-bahan pencemar udara, khususnya gas dan materi
vulkanik Merapi, dapat menyebabkan kerusakan dan perubahan pada struktur
anatomi dari tanaman yang ada di sekitarnya (Wilson et al. 2007). Oleh karena itu
dilakukan penelitian mengenai pengaruh gas dan materi vulkanik pada struktur
anatomi tanaman perkotaan di Kota Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh gas dan materi
vulkanik pasca erupsi Gunung Merapi terhadap struktur anatomi daun pada dua
jenis tanaman perkotaan yaitu angsana dan beringin. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai masukan dalam mempertimbangkan
pemilihan jenis tanaman perkotaan untuk membuat kondisi lingkungan lebih baik
pasca erupsi Gunung Merapi di Kota Yogyakarta.
Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi relatif tercemar) dan di
Kota Solo (lokasi kontrol) serta pembuatan sediaan mikroskopis anatomi daun
dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni - Agustus 2011. Jenis data dan
informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diambil dari hasil pengamatan terhadap anatomi daun
sayatan paradermal dan transversal masing-masing daun pada kedua kota. Data
sekunder berupa data kualitas udara lokasi penelitian yang didapatkan dari Balai
Lingkungan Hidup masing-masing kota. Analisis data menggunakan uji t-student
untuk menguji pembandingan antara tanaman di daerah yang relatif tercemar
dengan daerah kurang tercemar.
Hasil pengamatan sayatan paradermal dan transversal pada daun angsana
tidak menunjukkan adanya kerusakan, namun daun menunjukkan respon terhadap
gas dan materi vulkanik dengan menurunkan kerapatan dan indeks stomata, serta
meningkatkan ukuran panjang stomata dan ketebalan jaringan palisade. Hasil
pengamatan sediaan sayatan paradermal dan transversal pada daun beringin juga
tidak menunjukkan adanya kerusakan dan semua parameter pengamatan tidak
menunjukkan respon secara statistik.
Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap struktur anatomi daun dapat
disimpulkan bahwa tanaman angsana dan beringin tahan terhadap gas dan materi
vulkanik Gunung Merapi. Sehingga tanaman angsana dan beringin merupakan
tanaman yang baik untuk ditanam di Kota Yogyakarta.
Kata kunci : gas vulkanik, materi vulkanik, angsana, beringin, struktur anatomi.
SUMMARY
Menyetujui:
Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si Dr. Ir. Dorly, M.Si
NIP. 19650704 200003 2 001 NIP. 19640416 199103 2 002
Mengetahui:
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih
sayang-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas
Kehutanan IPB dengan judul “Identifikasi Struktur Anantomi Daun Angsana dan
Beringin Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Erupsi Gunung
Merapi”.
Letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta telah menimbulkan berbagai
masalah lingkungan, salah satunya adalah berubahnya kualitas lingkungan akibat
pencemaran di udara. Gas dan materi vulkanik Gunung Merapi mencemari udara
hingga menempel pada daun-daun di pepohonan sekitar Kota Yogyakarta. Gas
dan materi vulkanik ini dapat masuk dan menempel pada daun, serta menghambat
proses fotosintesis, sehingga dapat terjadi kerusakan dan perubahan jaringan di
dalam daun. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengetahui kerusakan
dan perubahan jaringan di dalam daun adalah melakukan penelitian untuk
mengidentifikasi struktur anatomi daun. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan
dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah setempat dalam rangka
meningkatkan kualitas vegetasi dan udara.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Namun demikian
penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Ir. Siti Badriyah
Rushayati, M.Si. dan Ibu Dr. Ir. Dorly, M.Si. yang telah membimbing penulis
hingga selesainya skripsi ini.
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Alhamdulillah. Segala puji penulis panjatkan bagi Allah SWT yang telah
memberikan anugerah berupa kesehatan dan kesempatan sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak
yang telah membantu memberikan bimbingan, bantuan, dukungan dan doa yang
akan penulis kenang dan syukuri. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT,
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Drs. Abdul Kholik dan Ibu Kanti Hardiati tersayang yang telah
mencurahkan kasih sayang, doa yang tulus, dukungan moril dan materil serta
adikku Sabila Syifa yang selalu memberikan motivasi.
2. Ibu Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Dorly, M.Si. selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan arahan
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
3. Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si. yang berkenan menjadi moderator dalam
seminar hasil penelitian.
4. Ibu Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si. selaku ketua sidang dan ibu Istie
Sekartining Rahayu, S.Hut, M.Si. selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Divisi-divisi Pemerintahan Kota (PEMKOT) Yogyakarta dan Solo, Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta dan Solo, serta Badan Pusat
Statistik (BPS) Kota Yogyakarta atas izin penggunaan data.
6. Kepala dan seluruh staff Tata Usaha DKSHE IPB atas bantuan demi
kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
7. Teman-teman di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Indonesia
yaitu Ari Firmansyah, Fajarwening, Dian Paramitha, dan Maulana Adhi P.
yang telah membantu penulis dan akan selalu dikenang.
8. Teman-teman di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi
FMIPA IPB, yaitu Rita, Henny, Nisful, Adhi, Bu Tini, Bu Ani, Pak Naryo dan
Pak Edi yang telah membantu penulis selama penelitian.
9. Singgih Mukti Wibowo, Fachrunnisa, Maya, Laras, Lili, Keluarga Pondok
Jamilah (Rani, Seruni, Indri, Mia, Kak Aisyah dan Mba Arum), Keluarga
Villa Cempaka (Belinda, Angga, Anabela, Icha, Nindi, Iie, Gita, dan Adam)
atas dukungan dan semangat yang diberikan. Semoga kita dapat meraih segala
cita dalam kebersamaan.
10. Para sahabat di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata
Fakultas Kehutanan IPB angkatan 44 “KOAK”, Brigitta, Resi, Diena, Dinar,
Meli, Fela, Reza, Chaca, dan Anin, atas kekeluargaannya dan segala
kebersamaan dalam mengejar studi.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu
dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga amal kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dan pahala
oleh Allah SWT, amin.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................... 2
1.3 Manfaat ......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Udara ........................................................................ 3
2.2 Jenis Polutan Udara Erupsi Gunung Merapi ................................. 5
2.2.1 Sulfur Oksida (SOx) ............................................................ 5
2.2.2 Nitrogen Dioksida (NOx) .................................................... 6
2.2.3 Partikel (Debu) ..................................................................... 6
2.3 Pengaruh Polutan Udara terhadap Tanaman ................................. 7
2.4 Struktur Anatomi Daun ................................................................ 8
2.5 Deskripsi Jenis Pohon Sampel ...................................................... 10
2.5.1 Angsana (Pterocarpus indicus Willd.)................................. 10
2.5.2 Beringin (Ficus benjamina Linn.) ........................................ 11
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 13
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................ 13
3.3 Jenis Data ...................................................................................... 13
3.3.1 Data Primer .......................................................................... 13
3.3.2 Data Sekunder ..................................................................... 14
3.4 Metode Pengambilan Data ............................................................ 14
3.4.1 Penentuan Letak Pohon ........................................................ 14
3.4.2 Pengambilan Sampel Daun .................................................. 14
x
No. Halaman
1 Hasil kualitas udara di lokasi penelitian pada sebelum dan setelah
letusan Gunung Merapi tahun 2010 ............................................................. 31
2 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan
sediaan sayatan paradermal daun angsana antara Kota Yogyakarta dan
Solo .............................................................................................................. 36
3 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan
sediaan sayatan transversal daun angsana antara Kota Yogyakarta
dan Solo........................................................................................................ 39
4 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan
sediaan sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta
dan Solo........................................................................................................ 42
5 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan
sediaan sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta
dan Solo........................................................................................................ 43
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1 Posisi sampel daun yang diambil pada ranting (a) dan cabang (b) .............. 15
2 Fiksasi daun dalam alkohol 70% pada wadah (a) dan sampel daun
dalam tabung film yang telah berlabel (b) ................................................... 15
3 Perendaman daun di dalam larutan HNO₃ 50% .......................................... 16
4 Penyayatan epidermis daun dengan silet...................................................... 17
5 Hasil sayatan paradermal ............................................................................ 17
6 Infiltrasi parafin murni ................................................................................. 18
7 Oven ABC Labo Corporation KP-30AT...................................................... 18
8 Penanaman dalam blok parafin (a) dan pengaturan posisi sampel (b) ......... 19
9 Perendaman blok di dalam larutan Gifford .................................................. 19
10 Penempelan blok pada holder (a) & mikrotom putar Yamato RV-240 (b) . 20
11 Pemanasan pita parafin pada hot-plate ........................................................ 20
12 Pemberian media perekat entellan ............................................................... 21
13 Preparat yang siap dimasukkan ke oven (a) dan Oven Memmert (b) .......... 21
14 Wilayah administratif Kota Yogyakarta ...................................................... 25
15 Peta wilayah administratif Kota Surakarta ................................................... 28
16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta dan di Kota Solo ................................. 30
17 Pohon beringin di Kota Yogyakarta dan di Kota Solo ................................ 31
18 Penampang sayatan paradermal adaksial daun angsana Kota Yogyakarta
(A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C)
dan Kota Solo (D), (skala : 100µm) ............................................................. 35
19 Penampang sayatan transversal daun angsana di Kota Yogyakarta (A)
dan Kota Solo (B), (skala : 100µm) ............................................................. 38
20 Penampang sayatan paradermal adaksial daun beringin
di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial
di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm) ...................... 41
21 Hasil sayatan paradermal abaksial daun beringin: trikoma kelenjar
di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm) ...................... 41
22 Penampang sayatan transversal daun beringin di Kota Yogyakarta (A)
dan Kota Solo (B), (skala : 100µm) ............................................................. 44
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1 Komposisi seri larutan Johansen .................................................................. 52
2 Komposisi larutan Gifford............................................................................ 52
3 Prosedur pembuatan sediaan mikroskopis sayatan paradermal
dengan metode wholemount (Sass 1951) ..................................................... 53
4 Prosedur pembuatan sediaan mikroskopis sayatan transversal
dengan metode parafin (Johansen 1940) ..................................................... 54
5 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta ................................................................................................... 55
6 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 25 Mei 2010 – 1 Juli 2010...................... 56
7 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 25 Mei 2010 – 6 Juli 2010...................... 57
8 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 1 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ....................... 58
9 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 5 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ....................... 59
10 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ....................... 60
11 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 12 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ..................... 61
12 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 19 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ..................... 62
13 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 22 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ..................... 63
14 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 26 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ..................... 64
15 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi
di Kota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 2010 – 6 Juli 2010 ..................... 65
xiv
16 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 27 April 2011 .......................................................................... 66
17 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 28 April 2011 .......................................................................... 67
18 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 4 Mei 2011 .............................................................................. 68
19 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 11 Mei 2011 ............................................................................ 69
20 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 12 Mei 2011 ............................................................................ 70
21 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 11 Oktober 2010 ..................................................................... 71
22 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 11 Oktober 2010 ..................................................................... 72
23 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 14 Oktober 2010 ..................................................................... 73
BAB I
PENDAHULUAN
korban jiwa (Suriadikarta et al. 2010). Gas dan materi vulkanik letusan Gunung
Merapi adalah gas dan material letusan yang sangat halus, karena hembusan angin
dampaknya bisa dirasakan ratusan kilometer jauhnya.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi penurunan kualitas
udara diperlukannya pohon-pohon untuk menyaring dan menetralkan udara yang
tercemar. Dahlan (2004) mengemukakan, kemampuan daun tanaman dalam
menyerap dan menjerap berbagai gas pencemar udara bervariasi menurut daya
kelarutan polutan, kelembaban lingkungan, intensitas cahaya matahari, kedudukan
daun dan laju penyerapan. Dalam kondisi yang tercemar, bahan-bahan pencemar
akan diserap dan dijerap pada daun-daun tanaman. Hal ini dapat mempengaruhi
pertumbuhannya sehingga tanaman dapat mati atau rusak.
Bahan-bahan pencemar udara seperti gas dan materi vulkanik Merapi dapat
menyebabkan kerusakan dan perubahan pada struktur anatomi dari tanaman yang
ada di sekitarnya (Wilson et al. 2007). Oleh karena itu dilakukan penelitian
mengenai pengaruh gas dan materi vulkanik pada tanaman perkotaan di Kota
Yogyakarta.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh gas dan materi
vulkanik pasca erupsi Gunung Merapi terhadap struktur anatomi daun pada dua
jenis tanaman perkotaan, yaitu angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin
(Ficus benjamina Linn.).
1.3 Manfaat
Penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai masukan dalam
mempertimbangkan pemilihan jenis tanaman perkotaan untuk membuat kondisi
lingkungan lebih baik pasca erupsi Gunung Merapi di Kota Yogyakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dengan polutan lain yang ada di udara. Jenis-jenis pencemar yang bersifat
sekunder yaitu ozon yang berada di troposfer dan partikel-partikel logam.
Wardhana (2004), mengatakan bahwa komponen pencemar udara yang
paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara yaitu karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida (NOx), belerang oksida (SOx), hidro karbon (HC), dan
partikel (debu), dan lain-lain. Menurut Sutarno et al. (2003), efek pencemaran
udara terhadap kehidupan, termasuk kesehatan manusia, produktivitas dan
properti merupakan kekhawatiran besar bagi penduduk bumi. Pencemaran udara
dapat menganggu sistem pernapasan, emfisema, asma, dan penyakit pernapasan
lain. Bagi tumbuhan, paparan terhadap pencemaran udara dapat menurunkan daya
resistensi terhadap penyakit dan predator.
ini yang dominan adalah gas SO2. Namun demikian gas tersebut akan bereaksi
dengan oksigen yang ada di udara dan kemudian membentuk gas SO 3.
dikembangbiakan dengan biji maupun stek batang (Fakuara & Soekotjo 1986).
Menurut Heyne (1987), tumbuhan ini merupakan raksasa hutan dengan tinggi 35
– 40 meter dan kedalaman akar 1 ½ - 2 meter. Tumbuhan ini sering ditemukan di
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Diameter batang tanaman ini bisa mencapai 2 meter, biasanya bentuk
batangnya kurang menarik, pendek, terpuntir, beralur dalam, dan berbanir . Daun
majemuk dengan 5 – 11 anak daun, berbulu, duduk bergantian. Bunga berkelamin
ganda, kuning cerah dan harum (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2002).
Angsana merupakan tumbuhan yang besar dengan bunga-bunga yang
harum. Tumbuhan ini banyak ditanam di kebun-kebun dan di jalan-jalan
(Kloppenburg 1988). Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2002), menyatakan
bahwa semua jenis Pterocarpus menghasilkan kayu bernilai tinggi dengan ciri
kayu agak keras, digunakan untuk mebel halus, lantai, dan lemari.
tunggal, panjang 3-6 cm, lebar 2-4 cm, pertulangan menyirip, dan berwarna hijau.
Sastrapraja dan Afriastini (1984), mengatakan bahwa buah ara muncul di ranting-
ranting, tunggal atau berpasangan. Penyebaran pohon ini di daerah-daerah
beriklim tropis (Almahy et al. 2003).
Heyne (1987) mengemukakan bahwa, tumbuhan ini sering ditanam di alun-
alun dan halaman serta sangat dinilai tinggi oleh penduduk. Dari segi teknis,
pohon ini bernilai rendah sama seperti jenis-jenis Ficus lainnya. Kayu tumbuhan
ini baik untuk kayu bakar kalau dicampur dengan jenis kayu lain, tetapi untuk
menghormati tumbuhan kayu ini hanya digunakan dalam keadaan darurat sebagai
kayu bakar. Tumbuhan ini juga berkhasiat obat-obatan, yaitu pada bagian akar
udara dan daun (Fauzi 2008). Akar udara pohon ini bermanfaat untuk mengatasi
pilek, demam, radang amandel, dan rematik. Daunnya bermanfaat untuk
mengatasi malaria, radang usus akut, disentri, dan influenza.
BAB III
METODE PENELITIAN
abaksial, tebal jaringan palisade adaksial dan abaksial, tebal jaringan bunga
karang, serta tebal jaringan hipodermis adaksial dan abaksial.
3.3.2 Data Sekunder
Data yang menunjang dalam penelitian ini berupa data kualitas udara, suhu
dan kelembapan udara pada sebelum dan sesudah letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta, serta data kualitas udara pada sebelum dan sesudah letusan Gunung
Merapi di Kota Solo.
(a) (b)
Keterangan :P = Posisi daun keenam untuk sayatan paradermal
T = Posisi daun kelima untuk sayatan transversal
C1 = Posisi daun yang diambil pada cabang pertama
C2 = Posisi daun yang diambil pada cabang kedua
C3 = Posisi daun yang diambil pada cabang ketiga
Gambar 1 Posisi sampel daun yang diambil pada ranting (a) dan cabang (b).
(a) (b)
Gambar 2 Fiksasi daun dalam alkohol 70% pada wadah (a) dan sampel daun
dalam tabung film yang telah berlabel (b).
16
pada suhu 58 ºC. Selanjutnya material siap ditanam dalam blok parafin
(Gambar 8).
(a) (b)
Gambar 8 Penanaman dalam blok parafin (a) dan pengaturan posisi sampel (b).
(a) (b)
Gambar 10 Penempelan blok pada holder (a) dan mikrotom putar Yamato RV-
240 (b).
h. Perekatan : sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi gelas
albumin-gliserin dan ditetesi air. Kemudian gelas berisi pita parafin
dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 40 ºC selama 24 jam (Gambar
11).
(a) (b)
Gambar 13 Preparat yang siap dimasukkan ke oven (a) dan Oven Memmert (b).
b. Parameter anatomi daun yang diamati pada sayatan transversal adalah tebal
kutikula adaksial dan abaksial, tebal daun, tebal epidermis adaksial dan
abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal
hipodermis adaksial dan abaksial. Pengamatan menggunakan mikroskop
Olympus CH12 dengan perbesaran 100 x 10 untuk parameter tebal kutikula
adaksial dan abaksial, serta perbesaran 40 x 10 untuk parameter tebal daun,
tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal palisade adaksial dan abaksial,
tebal bunga karang, serta tebal hipodermis adaksial dan abaksial.
Pengamatan dilakukan pada empat bidang pandang yang berbeda dengan
tiga ulangan tanaman.
23
4.1.3 Topografi
Badan Pusat Statistik Yogyakarta (2011) menjelaskan bahwa, secara umum
Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dengan kemiringan relatif sama yaitu
sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat terutama di daerah pinggiran
sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut hingga 199 m di atas permukaan
laut dimana sebagian wilayahnya (luas kurang lebih 1657 ha) terletak pada
ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1593 ha berada pada ketinggian antara
100-199 m. Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan
ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh
letaknya yang berada di dataran lereng Gunung Merapi (fluvia volcanic foot plain)
yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Sejalan
dengan perkembangan perkotaan dan permukiman yang pesat, lahan pertanian di
Kota Yogyakarta setiap tahun mengalami penyusutan.
27
4.1.4 Iklim
Tipe iklim Kota Yogyakarta berdasarkan klasifikasi oleh Koppen, termasuk
tipe iklim Am dan Aw, dimana artinya merupakan daerah yang beriklim hujan
tropik dengan suhu bulan tertinggi > 18 ºC (Handoko 1994). Curah hujan rata-rata
2,01 mm/tahun atau dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 ºC dan
kelembaban rata-rata 75%. Angin pada umumnya bertiup angin munson dan pada
musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220º bersifat basah dan
mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang
agak kering dengan arah ± 90º - 140º dengan rata-rata kecepatan 9,5 – 29,7
km/jam.
4.1.5 Kependudukan
Pertambahan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun cukup tinggi.
BPS Kota Yogyakarta (2011) menjelaskan bahwa, pada akhir tahun 2009 tercatat
jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 543.917 jiwa dengan tingkat
kepadatan rata-rata 16735 jiwa/km2.
Gambar 15 Peta wilayah administratif Kota Surakarta (Bappeda Kota Solo 2009).
Kota Surakarta yang juga sangat dikenal sebagai Kota Solo, merupakan
sebuah dataran rendah yang terletak di cekungan lereng Pegunungan Lawu dan
Pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92 meter di atas permukaan air
laut. Kota Surakarta terletak diantara 110⁰ 45’ 15’’ – 110⁰ 45` 35″ Bujur Timur
dan 7⁰ 36’ – 7⁰ 56’ Lintang Selatan (BPS Surakarta 2010). Kota Surakarta dibelah
dan dialiri oleh 3 (tiga) buah sungai besar yaitu Sungai Bengawan Solo, Kali
Jenes dan Kali Pepe. Sungai Bengawan Solo pada jaman dahulu sangat terkenal
dengan keelokan panorama serta lalu lintas perdagangannya. Luas wilayah Kota
Surakarta mencapai 44,04 km² yang terbagi menjadi lima kecamatan dan 51
kelurahan. Lima kecamatan yang terdapat di Kota Surakarta yaitu Kecamatan
Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, dan Banjasari. Sebagian besar lahan
dipakai sebagai tempat pemukiman sebesar 61,68%. Sedangkan untuk kegiatan
ekonomi juga memakan tempat yang cukup besar juga yaitu berkisar antara 20%
dari luas lahan yang ada.
29
4.2.3 Topografi
Topografi wilayah Kota Surakarta secara umum keadaannya datar, hanya
bagian utara dan timur agak bergelombang dengan ketinggian kurang lebih 92
meter di atas permukaan air laut. Sebagian jenis tanah adalah tanah liat berpasir
termasuk regosol kelabu dan alluvial, di wilayah bagian utara tanah liat grumosol
serta wilayah bagian timur laut tanah litosol mediteran (BPS Surakarta 2010).
4.2.4 Iklim
Badan Pusat Statistik Surakarta (2010), menjelaskan bahwa suhu udara rata-
rata di Kota Surakarta berkisar antara 24,9°C sampai dengan 28,6°C. Sedangkan
kelembaban udara berkisar antara 66% sampai dengan 86%. Hari hujan terbanyak
jatuh pada bulan Januari dengan jumlah hari hujan sebanyak 25. Sedangkan curah
hujan terbanyak sebesar 735 mm jatuh pada bulan Oktober. Sementara itu rata-
rata curah hujan saat hari hujan terbesar jatuh pada bulan November sebesar 33,1
mm per hari hujan.
4.2.5 Kependudukan
Penduduk Kota Surakarta pada tahun 2009 mencapai 528.202 jiwa dengan
rasio jenis kelamin sebesar 89,38 yang artinya bahwa pada setiap 100 penduduk
perempuan terdapat sebanyak 89 peduduk laki-laki (BPS Surakarta 2010). Tingkat
kepadatan penduduk Kota Surakarta pada tahun 2009 mencapai 11.988 jiwa/km².
Tahun 2008 Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan
Serengan yang mencapai angka 19.959 jiwa/km².
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober 2010. Letusan gunung ini
mengeluarkan gas dan materi vulkanik. P2PL (2010) melaporkan bahwa letusan
Gunung Merapi mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi vulkanik yang terdiri
dari sulfur dioksida (SO2), gas hidrogen sulfida (H2S), nitrogen dioksida (NO2),
serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau
Particulate Matter). Gas-gas dan materi vulkanik yang dihasilkan oleh letusan
Gunung Merapi terbawa angin hingga mencemari Kota Yogyakarta. Jarak antara
puncak Gunung Merapi dengan Kota Yogyakarta sekitar 30 km.
Gas dan materi vulkanik Gunung Merapi mencemari udara di Kota
Yogyakarta. Gas dan materi vulkanik memberikan dampak yang buruk bagi
mahluk hidup. Salah satu dampak buruk dari gas dan materi vulkanik Merapi
yaitu terjadinya perubahan warna daun pada pepohonan di sekitar Kota
Yogyakarta. Selain itu, debu vulkanik dapat mengotori permukaan daun pada
pepohonan. Pohon yang paling banyak ditanam di kota ini adalah angsana
(Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin (Ficus benjamina Linn.), sehingga
ditentukanlah pohon angsana dan beringin pada Kota Yogyakarta (Lokasi 1)
sebagai pohon yang relatif tercemar dan pada Kota Solo (Lokasi 2) sebagai pohon
kontrol (Gambar 16 dan Gambar 17).
(a) (b)
Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).
31
(a) (b)
Gambar 17 Pohon beringin di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).
pengambilan sampel daun. Secara umun, debu vulkanik yang berasal dari letusan
Gunung berapi memiliki ukuran diameter aerodinamik <10µm atau yang lebih
dikenal dengan nama PM10. Namun, pada BLH Kota Yogyakarta melakukan
pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5
µm. Parameter polutan di Kota Yogyakarta yang melebihi dari baku mutu terdiri
dari TSP (debu) dan NO₂. Kadar debu di Kota Yogyakarta sebelum letusan
Gunung Merapi terukur 172 µg/Nm³ (Lampiran 6 – 15), sedangkan kadar debu
setelah letusan Gunung Merapi terukur 418 µg/Nm³. Hal ini menunjukkan bahwa
kualitas udara Kota Yogyakarta melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/Nm³
menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah.
Kadar NO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur
533,6 µg/Nm³. Hal tersebut melebihi nilai baku mutu yaitu 400 µg/Nm³ menurut
Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun
2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta
setelah letusan Gunung Merapi terukur 51,2 µg/Nm³. Hal tersebut tidak melebihi
nilai baku mutu yaitu 900 µg/Nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun
1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara
Ambien Daerah.
Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi mengalami
penurunan dibandingkan kadar SO₂ sebelum terjadi letusan Gunung Merapi. Hal
ini menunjukkan bahwa sebelum terjadi letusan Gunung Merapi, gunung ini
mengeluarkan gas SO₂ secara terus-menerus. Pada saat setelah letusan Gunung
Merapi, kadar gas SO₂ yang dikeluarkan menjadi berkurang. Selain itu, setelah
letusan Gunung Merapi keadaan Kota Yogyakarta tertutup debu vulkanik yang
mengakibatkan semua kendaraan bermotor dan industri tidak beroperasi. Oleh
karena itu, kadar SO₂ pada kandungan udara Kota Yogyakarta setelah letusan
Gunung Merapi lebih rendah dibanding sebelum letusan.
33
Hasil pengukuran kadar debu di kota Solo, baik sebelum maupun sesudah
letusan gunung Merapi, terukur <10 µg/Nm³ (Lampiran 16 – 23). Hal tersebut
tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/Nm³ Peraturan Pemerintah No. 41
tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur
Jawa Tengah No. 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambein di Provinsi
Jawa Tengah. Menurut BLH Kota Solo (2010), kadar debu di Kota Solo dari
tahun ke tahun selalu rendah sehingga nilai debu tidak dicantumkan dalam
laporan. Selain itu, kualitas udara Kota Solo tidak dipengaruhi oleh letusan
Gunung Merapi.
Kualitas udara pada Tabel 1 menunjukkan bahwa polutan debu yang
dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta nilai konsentrasinya
lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Solo. Hal ini disebabkan oleh arah dan
jarak penyebaran debu vulkanik yang dihasilkan Gunung Merapi bergerak ke arah
selatan dan barat dengan jarak sekitar 30 km. Kota Yogyakarta berada di sebelah
selatan Gunung Merapi, sedangkan kota Solo berada di sebelah timur gunung
Merapi. Oleh karena itu, kadar debu vulkanik di Kota Yogyakarta lebih tinggi
dibandingkan di Kota Solo yang tidak tercemar debu vulkanik merapi. Kristanto
(2004) menyatakan bahwa pada tempat tertentu konsentrasi partikulat debu
dipengaruhi oleh kecepatan emisi melepas debu di udara dan kecepatan dispersi
(pembersihan) debu di udara. Daerah perkotaan memiliki kecepatan dispersi
(pembersihan) dari udara sangat lambat karena kecepatan dispersi sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor meterologis seperti kecepatan dan arah angin.
Kecepatan angin di Kota Yogyakarta sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi
berkisar 5,384 Km/jam, sedangkan setelah terjadi letusan Gunung Merapi
kecepatan angin meningkat hingga 18 Km/jam. Banyaknya debu dipengaruhi oleh
kecepatan angin, dimana debu akan lebih banyak terakumulasi jika kecepatan
angin meningkat (Scorer 1968).
Debu letusan Gunung Merapi ini mengakibatkan suhu udara di Kota
Yogyakarta menjadi meningkat. Suhu udara sebelum terjadi letusan yaitu 26,7ºC
dan setelah terjadi letusan pada tahun 2010 yaitu 27,3 ºC. Keadaan ini
mengindikasikan bahwa kondisi Kota Yogyakarta menjadi lebih panas akibat
kadar pencemaran debu vulkanik yang berterbangan di udara.
34
Tabel 2 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan
sayatan paradermal daun angsana antara lokasi 1 dan lokasi 2
Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil
Parameter
Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t
Kerapatan stomata
133,33 190,26 0,001 BN
abaksial (jumlah/mm²)
Indeks stomata 7,76 10,51 0,002 BN
Panjang stomata (µm) 26,65 24,15 0,003 BN
Lebar stomata (µm) 18,17 18,43 0,603 TBN
Kerapatan trikoma tidak
6,00 6,26 0,883 TBN
berkelenjar (jumlah/mm²)
Panjang trikoma tidak
140,56 148,33 0,591 TBN
berkelenjar (µm)
Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%
TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%
Tabel 3 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan
sayatan transversal daun angsana antara Kota Yogyakarta dan Solo
Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil
Parameter
Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t
Tebal daun (µm) 168,40 140,69 0,078 TBN
Tebal epidermis adaksial (µm) 19,65 19,93 0,931 TBN
Tebal epidermis abaksial (µm) 13,13 12,15 0,422 TBN
Tebal palisade (µm) 43,40 33,47 0,02 BN
Tebal bunga karang (µm) 79,03 86,18 0,727 TBN
Tebal kutikula adaksial (µm) 2,39 1,78 0,168 TBN
Tebal kutikula abaksial (µm) 1,92 1,06 0,091 TBN
Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%
TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%
terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon
terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo.
Namun jika dilihat dari hasil data, terdapat kecenderungan untuk semua
parameter menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada Kota Yogyakarta
dibandingkan Kota Solo. Daun yang lebih tebal di Kota Yogyakarta juga diikuti
dengan dengan meningkatnya ketebalan palisade dan bunga karang. Jaringan
44
palisade dan bunga karang yang menebal di Kota Yogyakarta ini terkait dengan
jumlah kloroplas yang terkandung di kedua jaringan tersebut. Hal ini berkaitan
dengan proses fotosintesis untuk menangkap sinar matahari (Jahan & Iqbal 1992).
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
daun tanaman angsana (Pterocarpus indicus Willd.) tidak mengalami kerusakan,
namun menunjukkan respon terhadap gas dan materi vulkanik dengan
menurunkan kerapatan dan indeks stomata, meningkatkan ukuran panjang
stomata, dan ketebalan jaringan palisade. Pada daun tanaman beringin (Ficus
benjamina Linn.) juga tidak mengalami kerusakan, namun semua parameter
pengamatan tidak menunjukkan respon terhadap gas dan materi. Tanaman
angsana dan beringin merupakan tanaman yang baik untuk ditanam di Kota
Yogyakarta yang terpolusi gas dan materi vulkanik Gunung Merapi.
6.2 Saran
Pohon angsana dan beringin dapat dijadikan rekomendasi untuk tanaman
hutan kota dalam rangka perbaikan kualitas udara pasca erupsi letusan Gunung
Merapi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad J, Musa N. 2003. Anatomi berkas pengangkut batang. Eugenia 9(4): 248-
255.
Almahy HA, Rahmani M, Sukari MA, Ali AM. 2003. The chemical constituents
of Ficus benjamina Linn. and their biological activities. Pertanika J. Sci. &
Tech.l 11(1): 73-81.
[BPS] Badan Pusat Statistik Surakarta. 2009. Surakarta Dalam Angka 2009.
Surakarta: Badan Pusat Statistik Kota Surakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik Yogyakarta. 2011. Kota Yogyakarta Dalam Angka
2010. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta.
[BLH] Balai Lingkungan Hidup Kota Surakarta. 2010. Hasil Pengujian Udara
Ambien. Surakarta: Balai Lingkungan Hidup Kota Surakarta
[BLH] Balai Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta. 2010. Laporan Hasil Uji
Udara Ambien. Yogyakarta. Balai Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta
Bell JNB, Treshow M. 2002. Air Pollution and Plant Life. 2nd Ed. England: John
Wiley and Sons, LTD.
Cutter EG. 1978. Plant Anatomy Part I Cell and Tissues. London: Edward Arnold
(Publisher), Ltd.
Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan
Kota. Bogor: IPB Press.
Esau K. 1977. Anatomy of Seed Plants. Canada: John Wiley and Sons, Inc.
Fauzi DA. 2008. Panduan Lengkap Manfaat Tanaman Obat. Jakarta: Edsa
Mahkota.
Gostin I. 2009. Air pollution effects on the leaf structure of some Fabaceae
species. Not. Bot. Hort. Agrobot. Cluj 37(2): 57-63.
Gultom JT. 1996. Pengaruh Salinitas Air dan Pencemaran Udara yang Diemisikan
Oleh Asap Kendaraan Bermotor terhadap Beberapa Jenis Anakan Tanaman
Perkotaan [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York and London: McGraw-Hill
Book Company Inc.
Lambers H, Chapin FS, Pons TL. 2000. Plant Physyiological Ecology. New York:
Springer.
Maulana RY. 2004. Identifikasi Respon Anatomi Daun dan Pertumbuhan Kenari,
Akasia dan Kayu Manis Terhadap Emisi Gas Kendaraan Bermotor [skripsi].
Bogor: Departeman Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Mudd JB, Kozlowski TT. 1975. Responses of Plants to Air Pollution. New York:
Academic Press, Inc, Ltd.
Pedroso ANV, Alves ES. 2008. Comparative leaf anatomy of Nicotiana tabacum
L. (Solanaceae) cultivars sensitive and tolerant to ozone. Acta Bot. Bras.
22(1): 3306-3318.
Ribas A, Penuelas J, Elvira S, Gimeno BS. 2005. Ozone exposure induces the
activation of leaf senescence-related processes and morphological and
growth changes in seedlings of Mediterranean tree species. Environ. Poll.
134: 291-300.
Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique. Iowa: The Iowa Sate College Press.
Sinuhaji NF. 2011. Analisis Logam Berat dan Unsur Hara Debu Vulkanik
Gunung Sinabung Kabupaten Karo Sumatra Utara [Skripsi]. Medan.
Departemen Fisiska Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sumatra Utara
Sulistyaningsih YC, Dorly, Akmal. 1996. Studi anatomi daun Saccharum spp.
sebagai induk dalam pemuliaan tebu. Hayati 1(2): 32-36.
Sunarti S, Rugayah, Tihurua EF. 2008. Studi anatomi daun jenis-jenis Averrhoa di
Indonesia untuk mempertegas status taksonominya. Berita Biologi 9(3):
253-257.
Sutarno, Pranoto, Dewi WS, Iskamto B. 2003. Indikator kualitas udara di jawa
tengah ditinjau dari komponen biologi. Environmental 3(2): 1-9
Treshow M, Anderson FK. 1991. Plant Stress from Air Pollution. New York:
John Willey and Sons.
Penyayatan
Pewarnaan safranin 1%
Pemberian label
54
Pencucian
Infiltrasi parafin
Penanaman (blok)
Pemberian label
55
Lampiran 5 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta
56
Lampiran 6 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 25 Mei 2010 – 1 Juli 2010
57
Lampiran 7 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 25 Mei 2010 – 6 Juli 2010
58
Lampiran 8 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 1 Juni 2010 – 6 Juli 2010
59
Lampiran 9 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 5 Juni 2010 – 6 Juli 2010
60
Lampiran 10 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Lampiran 11 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 12 Juni 2010 – 6 Juli 2010
62
Lampiran 12 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 19 Juni 2010 – 6 Juli 2010
63
Lampiran 13 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 22 Juni 2010 – 6 Juli 2010
64
Lampiran 14 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 26 Juni 2010 – 6 Juli 2010
65
Lampiran 15 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 2010 – 6 Juli 2010
66
Lampiran 16 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 27 April 2011
67
Lampiran 17 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 28 April 2011
68
Lampiran 18 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 4 Mei 2011
69
Lampiran 19 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 11 Mei 2011
70
Lampiran 20 Hasil uji udara ambien setelah letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 12 Mei 2011
71
Lampiran 21 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 11 Oktober 2010
72
Lampiran 22 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 11 Oktober 2010
73
Lampiran 23 Hasil uji udara ambien sebelum letusan Gunung Merapi di Kota Solo
pada tanggal 14 Oktober 2010