BASUKI WASIS
SEKOLAH PASCASARJANA
BASUKI WASIS
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul "Perbandingan
Kualitas Tempat Tumbuh antara Daur Pertama dengan Daur Kedua pada
Hutan Tanaman Acacia mangium Willd (Studi Kasus di HTI PT Musi Hutan
Persada, Propinsi Sumatera Selatan)" adalah benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang
digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Basuki Wasis
IPK 985091
ABSTRAK
Basuki Wasis. Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh antara Daur Pertama dengan
Daur Kedua pada Hutan Tanaman Acacia mangium Willd (Studi Kasus di HTI PT
Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan). Dibawah bimbingan Cecep
Kusmana sebagai ketua pembimbing, Endang Suhendang dan Sudarsono sebagai
anggota pembimbing.
Pembangunan hutan tanaman di masa mendatang seharusnya mulai mengarah
pada konsep intensifikasi dan tidak lagi penekanannya pada konsep ekstensifikasi.
Konsep ekstensifikasi pada pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman telah terbukti
secara nyata menyebabkan hutan terdegradasi demikian cepat. Namun kendala yang
dihadapi pada pembangunan hutan tanaman industri di lapangan adalah terjadinya suatu
kesenjangan yang demikian besar antara kualitas tempat tumbuh dengan tuntutan
pertumbuhan tegakan untuk menghasilkan produktivitas hutan tanaman yang tinggi.
Kekhawatiran yang muncul pada pembangunan hutan tanaman industri A. mangium
pada lahan terdegradasi adalah kemungkinan terjadinya penurunan kualitas tempat
tumbuh yang dicerminkan oleh peninggi pada daur kedua dan seterusnya. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran kecenderungan perubahan kualitas
tempat tumbuh tegakan A. mangium, pada daur kedua dibandingkan terhadap daur
pertama. Penelitian lapangan dilakukan di areal HTI PT Musi Hutan Persada Propinsi
Sumatera Selatan, sedangkan analisa tanah dan tanaman di Laboratorium Tanah dan
Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian
IPB. Penelitian ini menggunkan metoda survey dengan pengambilan data dilakukan pada
umur 1 tahun sampai dengan 5 tahun yang diwakili oleh tiga petak berbentuk lingkaran
ukur seluas 0,10 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara nyata telah terjadi
penurunan kualitas tempat tumbuh yang dicerminkan oleh penurunan peninggi pada daur
kedua jika dibandingkan dengan daur pertama. Peninggi di lokasi penelitian secara nyata
berkorelasi negatif dengan biomassa bintil akar, sedangkan umur, kandungan bahan
organik dan kandungan air tersedia secara nyata berkorelasi positif dengan pertumbuhan
A. mangium. Dibandingkan daur pertama pada daur kedua telah terjadi penurunan
dimensi tegakan (diameter batang, tinggi total dan biomassa), penurunan pH tanah,
kadar C organik tanah, N, Ca dan Mg tanah, kadar N, P dan K pada jaringan tanaman,
kandungan hara N, P, K, Ca dan Mg pada biomassa. Selain itu neraca hara (N, P, K,
Ca dan Mg) pada daur kedua bersifat negatif.
Kata kunci : Acacia mangium, daur, dimensi tegakan, kadar hara, kualitas tempat
tumbuh, neraca hara, peninggi
ABSTRACT
Basuki Wasis. Comparison of site quality between first rotation and second
rotation Acacia mangium Willd plantation forest (a case study in Industrial
Plantation Forest of PT Musi Hutan Persada, South Sumatra Province). Under
academic supervision committe of Cecep Kusmana, as chairman; and Endang
Suhendang and Sudarsono as members.
Development of plantation forest in the future should be directed toward the
concept of intensification rather than emphasizing on extensification concept.
Extensification concept on natural forest and plantation forest management has been
proved to significantly accelerate degradation of the forest. However, the constraint
faced by development of industrial plantation forest in the field is the wide gap between
site quality and a great demand for stand growth to achieve high productivity plantation
forest. The great concern appeared in development of industrial plantation forest of
Acacia mangium on degraded land, is the possibility of site quality deterioration which
could be reflected by the tree dominant height in the second and the following rotation.
Therefore, this study was conducted with the main objective of comparing site quality
between the first and second rotatio n in industrial plantation forest of A. mangium.
Field study was conducted in Industrial Plantation Forest of PT Musi Hutan Persada,
South Sumatra Province, while analysis of soils and plant tissues were conducted in
Laboratory of Soils and Soil Fertility, Department of Soil Sciences and Land
Resources, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. This study applied a
survey method where the data were obtained from stands aged from one to five years
from first and second rotation, represented by three circular sample plots of 0.10 ha
each. The study revealed that there has been a significant decrease in site quality which
was reflected in decrease of tree dominant height in the second rotation as compared
with that of the first rotation. Tree dominant height in the study site has significant
negative correlation with biomass of root nodules. On the other hand, age, contents of
available water and soil organic matter had significant positive correlation with A.
mangium growth. By comparing with the first rotation, there were change of stand
dimension and site quality in the second rotation, namely: decreasing stand dimensions
(stem diameter, total height and biomass), soil pH; organic matter content; N, Ca, Mg
contents in soil; N, P, and K contents in plant tissue; and N, P, K, Ca, Mg contents in
biomass. Moreover, nutrients balance of N, P, K, Ca and Mg in the second rotation
was negative.
Key words: Acacia mangium, dominant height, nutrient balance, nutrient
contents, rotation, site qua lity, stand dimensions
Judul Disertasi
Nama
NIM
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Diketahui :
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT., atas rahmat yang
telah dilimpahkan-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Karya ilmiah dengan judul Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh antara Daur Pertama
dengan Daur Kedua pada Hutan Tanaman Acacia mangium Willd, diajukan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji permasalahan pembangunan hutan
tanaman industri A. mangium yang dilakukan pada kualitas tempat tumbuh (kesuburan
tanah) yang rendah. Penelitian lapangan telah dilaksanakan di HTI PT Musi Hutan
Persada Propinsi Sumatera Selatan, sejak bulan September tahun 2003 sampai dengan
bulan Mei 2004, sedangkan untuk analisa tanah dan tanaman dilakukan di Laboratorium
Tanah dan Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian IPB dan penyiapan bahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium
Pengaruh Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang setingi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS, sebagai Ketua
Komisi Pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS dan Prof. Dr. Ir.
Sudarsono, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan di dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Ucapan terima kasih yang sama pula disampaikan kepada Dekan Sekolah
Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Dekan Fakultas
Kehutanan IPB, Ketua Departemen Manajemen Hutan, Ketua Departemen Silvikultur
serta Civitas Akademika IPB pada umumnya Fakultas Kehutanan IPB pada khususnya,
Pimpinan dan staf PT Musi Hutan Persada, Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa, Program A2 Departemen
Manajemen Hutan dan semua pihak atas bantuan dan dukungannya kepada penulis
untuk mengikuti program pendidikan di Sekolah Pascasarjana di IPB.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih ada beberapa kelemahan dan
kekurangan, untuk itu kritik dan saran demi perbaikan karya ilmiah penulis harapkan.
Harapan penulis semoga karya ilmiah ini dapat memberikan pemikiran dan bermanfaat
bagi pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, Pebruari 2006
Basuki Wasis
RIWAYAT HIDUP
ditempuh penulis adalah Sekolah Dasar (SD) dan lulus tahun 1977 di SD Kartika,
Jakarta Selatan, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri
110, Jakarta Selatan dari tahun 1978 hingga lulus pada tahun 1981. Tahun 1981
penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri 29, Jakarta Selatan
hingga lulus pada tahun 1984. Pada tahun 1984 penulis diterima masuk Institut
Pertanian Bogor dan tahun 1985 memilih Fakultas Kehutanan, selesai tahun 1990.
Tahun 1991 penulis diangkat sebagai staf pengajar pada Fakultas Kehutanan IPB,
Departemen Manajemen Hutan di Laboratorium Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
pada bidang Ilmu Tanah Hutan. Pada tahun 1992 penulis mengikuti pendidikan S2
(Magister Sains) di Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Tanah pada
bidang Kesuburan Tanah dan selesai tahun 1996.
Pada tahun 1998 penulis
Dalam rangka
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR..............................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................
DAFTAR TABEL.....................................................................................
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................
i
iii
v
vi
vii
PENDAHULUAN ...................................................................................
Latar Belakang..............................................................
Perumusan Masalah.........................................................
Tujuan Penelitian..........................................................................
Hipotesis ......................................................................................
Manfaat Penelitian........................................................................
1
1
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tegakan
Hubungan Kualitas Tempat Tumbuh dengan Pertumbuhan
Hutan Tanaman Acacia mangium ................
Fungsi dan Peranan Unsur Hara di Hutan Tanaman
A. mangium.........................................................................
Sifat Botanis, Pertumbuhan dan Biomassa Tegakan A. mangium
Sifat
Botanis
.................................................................................
Penyebaran
...................................................................................
Persyaratan
Tumbuh.....................................................................
Pertumbuhan
Tegakan
A.
Mangium..............................................
Biomassa Hutan Tanaman............................................................
4
4
6
6
13
18
18
19
19
21
23
24
24
24
25
25
26
31
31
31
34
34
35
35
35
42
43
43
44
44
46
46
47
49
49
49
49
54
55
58
67
67
75
Pembahasan .................................................................................
Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh antara Daur 1 dan 79
Daur 2.................................................................................... 79
Peranan Hara dalam Kelestarian Hutan ...............................
79
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................
Kesimpulan ..................................................................................
Saran ............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
LAMPIRAN .............................................................................................
80
99
DAFTAR TABEL
Hal
1.
2.
3.
4.
53
5.
53
6.
54
7.
54
8.
9.
10.
11.
58
12.
13.
14.
15.
62
16.
17.
18.
DAFTAR GAMBAR
Hal
1.
2.
32
46
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
99
2.
3.
4.
5.
6.
Derajat kemasaman tanah (pH) pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan
tanaman A. mangium ............................................................
Kadar nitrogen tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium .....................................................................
101
102
102
Kadar kalium tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium .......................................................................
8.
101
Kadar fosfor tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium .......................................................................
7.
100
Kadar kalsium tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium .......................................................................
vii
103
103
9.
10.
11.
12.
13.
14.
pH, kadar alumunium, besi dan mangan tanah pada daur 2 tegakan
hutan tanaman A. mangium di lokasi penelitian ................
Kadar nitrogen pada daun daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ......................................................................
Kadar nitrogen pada cabang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ......................................................................
Kadar nitrogen pada kulit daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ......................................................................
16.
Kadar nitrogen pada akar daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium .....................................................................
105
105
106
106
107
17.
104
15.
104
107
Kadar fosfor pada daun daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A.
mangium .....................................................................................
viii
108
18.
Kadar fosfor pada cabang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium .......................................................................
19.
Kadar fosfor pada kulit pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan
tanaman A. mangium .......................................................................
20.
111
Kadar kalium pada kulit daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A.
mangium ......................................................................
26.
111
Kadar kalium pada cabang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium ......................................................................
25.
110
Kadar kalium pada daun daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A.
mangium .......................................................................
24.
110
23.
109
Kadar fosfor pada akar pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan
tanaman A. mangium ......................................................................
22.
109
Kadar fosfor pada batang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman
A. mangium .......................................................................
21.
108
112
Kadar kalium pada batang pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan
tanaman A. mangium ......................................................................
ix
112
27.
Kadar kalium pada akar daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A.
mangium ....................................................................................
28.
29.
115
32.
114
31.
113
30.
113
115
Sidik ragam persamaan regresi hubungan tinggi total antara daur 1 dan
daur 2 hutan tanaman A. mangium .........................................
115
33.
116
34.
117
35.
118
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan hasil paduserasi TGHK - RTRWP pada tahun 1999, luas kawasan
hutan alam diduga sekitar 120.353.104 ha (Purnama, 2003), dimana diperkirakan hutan
alam yang terdegradasi, sampai saat ini mencapai 40 juta ha (Haeruman, 2003 a ). Hasil
penafsiran citra satelit menunjukkan laju perusakan hutan alam tahun 1985 - 1997 tercatat
1,6 juta ha/tahun, tahun 1997 - 2000 tercatat 2,8 juta ha/tahun dan tahun 2000 - 2003
semakin tidak terkendali (Purnama, 2003). Dengan demikian pengelolaan hutan di masa
mendatang diarahkan ke proses pengelolaan hutan yang bersifat intensif, karena pengelolaan
hutan alam dan hutan tanaman yang ekstensif bersifat ekstraktif telah menyebabkan hutan
terdegradasi demikian cepat.
tanaman industri (HTI) di lapangan yaitu terjadi suatu kesenjangan demikian besar antara
kualitas tempat tumbuh (kesuburan tanah rendah) dengan tuntutan pertumbuhan tegakan
untuk menghasilkan produktivitas hutan tanaman yang tinggi (Sanchez, 1976; Manan,
1994; Mile, 1997; Hani'in, 1999; Siswoyo, 2004).
Tingkat intensifikasi pada hutan tanaman dapat dicirikan oleh sejumlah kegiatan atau
upaya dan biaya yang diinvestasikan ke dalam setiap luas lahan atau volume produk.
Makin besar jumlah modal yang diinvestasikan pada suatu hutan tanaman, maka semakin
intensif pengelolaannya.
bergantung pada aksesibilitas, kualitas tapak, tujuan manajemen dan sifat pemilik hutan.
Sedangkan tersedianya pemasaran dengan harga yang baik mutlak diperlukan (Manan,
1994; Siswoyo, 2004). Hal ini sesuai dengan tujuan pengusahaan HTI yaitu : 1) menunjang
pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa,
2) meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, dan 3) memperluas
lapangan kerja dan lapangan usaha.
Di Indonesia salah satu jenis tanaman yang digunakan dalam skala luas untuk
pembangunan HTI adalah Acacia mangium. Jenis ini telah terbukti memberikan
pertumbuhan yang sangat baik pada program reboisasi pada kawasan hutan terdegradasi
yang tertutup oleh tanah kosong, alang-alang dan semak belukar di Sabah, Malaysia Timur
dan Subanjeriji, Sumatera Selatan (Simon dan Arisman, 2004).
Kekhawatiran yang muncul pada pembangunan hutan tanaman industri A. mangium
pada lahan terdegradasi adalah kemungkinan terjadinya penurunan kualitas tempat tumbuh
yang dicerminkan oleh peninggi pada daur kedua (daur 2) dan seterusnya yang akan
berakibat menurunnya hasil panen kayu tegakan hutan.
tempat tumbuh dengan peninggi tegakan A. mangium pada daur pertama (daur 1)
menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi peninggi adalah umur dan kandungan
kalium (Chaerudy, 1994).
mempengaruhi peninggi tegakan adalah umur, pH tanah, C organik, kadar fosfor dan tebal
horison A. Pemanenan hutan tanaman A. mangium pada jenis tanah vertisol menyebabkan
penurunan unsur hara tanah N, P, K, Ca dan Mg, sehingga perlu dilakukan penambahan
unsur hara melalui pemupukan (Mindawati, 1996; Kusumawati, 1998; Mackensen, 2000).
Penelitian Mile (1997) menunjukkan bahwa konversi hutan alam menjadi HTI berpengaruh
negatif terhadap sifat kimia tanah yaitu menurunnya kandungan hara N, P, K, Ca dan Mg.
Analisa regresi menunjukkan bahwa pH tanah, P tersedia, kedalaman efektif tanah,
ketebalan horison A dan lereng berpengaruh terhadap peningkatan produksi tanaman A.
mangium (Hafiziansyah, 1997).
bahwa tekstur tanah dan pengolahan tanah dibandingkan sifat kimia tanah lebih berpengaruh
terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman muda A. mangium (Butarbutar,
Masud dan Suhada, 1993).
Tanaman A. mangium mampu bersimbiose yang saling menguntungkan dengan
bakteri tanah dari genus Rhizobium. Bakteri ini menembus akar-akar muda di dalam
permukaan tanah dan menggandakan diri dalam bentuk nodul yang membengkok pada
permukaan akar. Kemampuan fiksasi N untuk pohon akasia sekitar 10 - 32 kg N/ha/tahun
(Adam dan Attiwill, 1981). Kecukupan unsur hara P dan K di tanah akan meningkatkan
fiksasi N sebesar 50 - 200 kg N/ha/tahun (Fisher dan Binkley, 2000). Pembentukan bintil
akar pada Acacia sp terbaik pada pH 6,5 - 7,0 (Habish, 1970).
Jenis A. mangium merupakan salah satu jenis cepat tumbuh (fast growing
species), yang memiliki daur pendek dengan daur finansial pada umur 9 - 10 tahun
(Gunawan, 2002). Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa daur A. mangium untuk
keperluan bahan baku pulp dapat diperpendek menjadi 6 8 tahun (Anonymous, 2003;
Djojosoebroto, 2003 a). Penelitian penanaman A. mangium pada tanah podsolik merah
kuning mengungkapkan bahwa riap diameter mencapai puncaknya pada umur 2 tahun
(Riyanto dan Kusnandar, 1994).
Kelengkapan hasil penelitian merupakan salah satu kunci untuk mendukung
keberhasilan pembangunan hutan tanaman industri di Indonesia secara berkelanjutan. Data
kajian penelitian kualitas tempat tumbuh, sifat-sifat tanah, kadar hara jaringan tanaman dan
pertumbuhan pada hutan tanaman industri A. mangium yang ada sekarang ini masih
bersifat parsial dan belum lengkap atau sebatas dilakukan pada daur pertama, sedangkan
bagaimana kualitas tempat tumbuh, sifat-sifat tanah, kadar hara tanaman dan pertumbuhan
pada hutan tanaman A. mangium pada daur kedua dan seterusnya, serta bagaimana
perbandingan antara daur pertama dengan daur kedua adalah belum ada atau belum
lengkap.
Perumusan Masalah
berikutnya. Dengan demikian kualitas tempat tumbuh merupakan pembatas utama dalam
pertumbuhan hutan tanaman A. mangium.
Permasalahan pokok yang akan diselidiki dalam penelitian ini adalah mengkaji
perbandingan kualitas tempat tumbuh antara daur 1 dan daur 2 pada hutan tanaman industri
A. mangium. Beberapa permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah pada areal HTI A. mangium terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh
pada daur kedua ?
b. Sejauh mana pertumbuhan dimensi tegakan A. mangium pada daur kedua ?
c. Sifat-sifat tanah apa yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan dimensi
tegakan pada daur kedua ?
Tujuan Penelitian
1. Perbandingan bentuk dan pola kurva pertumbuhan peninggi tegakan pada daur
pertama dan daur kedua
2. Perbandingan bentuk dan pola kurva pertumbuhan rata-rata diameter batang pohon
dan rata-rata tinggi total tegakan pada daur pertama dan daur kedua
3. Hubungan antara sifat-sifat tanah dengan peninggi tegakan pada daur kedua
Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah :
1. a). bentuk kurva pertumbuhan peninggi tegakan A. mangium pada daur pertama sama
dengan daur kedua dan b). letak kurva pertumbuhan peninggi tegakan pada daur
kedua lebih rendah dari kurva pertumbuhan peninggi tegakan daur pertama
2.
a). bentuk kurva pertumbuhan rata-rata diameter batang pohon dan rata-rata tinggi
total tegakan pada daur pertama sama dengan daur kedua dan b).
letak kurva
pertumbuhan rata-rata diameter batang pohon dan rata-rata tinggi total tegakan pada
daur kedua lebih rendah dibandingkan daur pertama
3. Terdapat hubungan yang kuat antara sifat-sifat kimia tanah : pH, C organik, N, P, K,
Ca dan Mg dengan peninggi tegakan A. mangium pada daur kedua
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengelolaan hutan tanaman A.
mangium secara lestari terutama sebagai masukan penting pada :
1. Pengelolaan hutan tanaman A. mangium yaitu menentukan input dan teknik silvikultur
intensif untuk mendukung pembangunan HTI di Indonesia secara berkelanjutan
2. Penyusunan perencanaan dan petunjuk teknis pembinaan hutan tanaman A. mangium.
TINJAUAN PUSTAKA
mangium
yaitu keturunan, lingkungan dan teknik pembudidayaan (silvikultur) (Kramer dan Kozlowski,
1960).
dimanipulasi yaitu faktor genetik dan faktor tanah. Keragaman pertumbuhan akibat keragaman
genetis diduga sangat kecil apabila biji yang ditanam berasal dari sumber biji yang sama.
Menurut Soerianegara dan Djamhuri (1979) jenis-jenis pohon biasanya memperlihatkan
keragaman dan ada perbedaan-perbedaan sifat. Dalam sesuatu jenis pohon dapat terjadi
keragaman geografis (antar provenance), keragaman lokal (antar tempat tumbuh), keragaman
antar pohon pada sesuatu tempat tumbuh dan keragaman di dalam pohon.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperkecil kemungkinan adanya
keragaman genetik dari pertumbuhan tegakan pada lokasi penelitian adalah dengan menelusuri
asal biji yang ditanam pada tegakan itu. Keragaman pertumbuhan akibat keragaman genetis
diduga sangat kecil apabila biji yang ditanam berasal dari sumber biji yang sama. Asal benih
untuk pembangunan HTI PT Musi Hutan Persada berasal dari Kebun Benih A. mangium di
Subanjeriji. Kebun Benih Subanjeriji dibangun tahun 1980 dengan luas 600 ha dimana 300 ha
ditanam dengan sumber benih berasal dari
turunan yang ditanam sekitar tahun 1968 - 1970 dengan asal benih dari Queensland, Australia
dan 300 ha ditanam dengan sumber benih dari Australia. Tegakan benih dan ras lahan
Subanjeriji inilah yang kemudian dijadikan sumber benih untuk pembangunan hutan tanaman A.
mangium di seluruh Indonesia. Akhirnya pada tahun 1985 areal Subanjeriji itu ditetapkan
menjadi tegakan benih (seed production area) yang pengelolaannya diserahkan pada PT
Inhutani I (Simon dan Arisman, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman genetik
(DNA) untuk A. mangium sangat kecil (Konsultasi pribadi dengan Dr Iskandar Zulkarnaen S).
Faktor geografis lokasi asal benih (provenansi) yaitu lintang, bujur dan ketinggian, tidak
besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan provenasi A. mangium di Parung Panjang mengingat
keadaan geografis asal benih tersebut tidak jauh berbeda dengan keadaan geografis Parung
Panjang (Narendra, 1997).
pengujian pada lima provenansi A. mangium pada umur tiga tahun menunjukkan tidak berbeda
nyata dalam hal tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter batang, derajat kerusakan akibat
serangan hama dan penyakit dan jumlah cabang (Santoso, 1992). Hasil penelitian Huriati
(2001) menunjukkan bahwa provenansi A. mangium tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap pertambahan tinggi, pertambahan diameter, berat kering total, nisbah pucuk akar dan
kekokohan semai.
2. Sifat-sifat tanah
Faktor lingkungan adalah faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan tegakan hutan
yaitu iklim, bentuk lahan, ketinggian tempat dan topografi, dimana secara umum sangat sulit
untuk dikendalikan atau dikelola. Upaya yang dilakukan pada kegiatan budidaya tanaman yaitu
melalui pendekatan kepada kesesuaian lahan. Peningkatan pertumbuhan pohon atau tanaman
dapat dilakukan melalui perbaikan kesuburan tanah.
Tanah merupakan faktor edafis yang penting bagi pertumbuhan perakaran pohon dan
perkembangannya.
berhasilnya usaha penanaman. Kesuburan tanah diartikan sebagai kesuburan kimiawi dan fisika,
yang memungkinkan pohon tumbuh dengan baik dan menghasilkan kayu produk lainnya.
Kesuburan tanah ditentukan oleh sifat kimia, fisika dan biologis tanah. Kesuburan tanah
merupakan kekuatan di dalam budidaya hutan tanaman, tanah yang subur akan memberikan
peluang keuntungan yang besar dalam pengusahaan hutan tanaman (Tobing, 1995).
Tanah merupakan perantara penyedia faktor-faktor suhu, udara, air dan unsur hara
yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, terutama unsur-unsur hara. Unsur hara esensial
dapat berasal dari udara, air dan tanah.
Penelitian hubungan kualitas tempat tumbuh dengan peninggi tegakan A. mangium
menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi peninggi yaitu umur dan kandungan K
(Chaerudy, 1994). Sedangkan menurut Rukmini (1996) faktor yang mempengaruhi adalah
umur, kandungan P, C organik, pH dan tebal lapisan A. Hasil penelitian Kusnadi (1998) pada
hutan tanaman A. mangium secara tegas mendiagnosis unsur hara K dan P masing-masing
sebagai hara yang paling defisien urutan pertama dan kedua sehingga direkomendasikan untuk
memberi input baik berupa pupuk maupun pengapuran. Tanaman cepat tumbuh diduga
memerlukan unsur hara yang banyak untuk pertumbuhannya sehingga menyebabkan unsur hara
dari tanah akan cepat terkuras.
nyata terhadap pertumbuhan biomassa anakan A. mangium dan telah menyebabkan terjadinya
peningkatan pertumbuhan biomassa sebesar 34,2 % pada dosis 300 ppm (Kusumawati,
1998).
Tanah masam umumnya dijumpai di daerah tropis dengan iklim basah. Kandungan Al,
Fe dan Mn yang tinggi pada tanah masam merupakan salah satu penghambat pertumbuhan
tanaman. Di samping itu pada tanah masam ketersediaan hara seperti : N, P, K, Ca, Mg dan
hara mikro seperti boron (B), seng (Zn), dan molibdenum (Mo) bagi tanaman sangat rendah
(Sanchez, 1976).
Keracunan Al lebih sering terjadi pada lahan-lahan bereaksi masam. Pada kisaran pH
4,7 6,5 bentuk Al yang dominan adalah Al(OH)3 dan Al(OH)+2 (Bohn, Mc Neal dan
OConnor, 1979). Tan (1993) menyatakan tanah-tanah masam umumnya dijumpai di daerah
iklim basah. Dalam tanah tersebut konsentrasi ion H+ melebihi konsentrasi ion OH-. Tanahtanah ini dapat mengandung Al, Fe dan Mn terlarut dalam jumlah besar sehingga dapat meracuni
tanaman.
Fosfor adalah hara penting kedua terbesar setelah N, dan dikatakan bahwa P sebagai
kunci kehidupan karena berfungsi sebagai transfer energi dan penyusun asam nukleat. Jika N
dapat ditambat dari udara, namun P hanya dari batuan, sedangkan air hujan sedikit sekali
mengandung P (Soerianegara, 1973; Tan, 1993; Taylor, 1995). Kalium merupakan unsur hara
terpenting ke tiga dimana umumnya tanah-tanah di Indonesia memiliki kandungan K yang
rendah. Sedangkan Ca merupakan unsur hara makro yang berperan dalam penyusun dinding
sel, termasuk unsur hara tidak mobile sehingga akan terus diambil dari tanah .
Kekurangan unsur hara yang umum sering terjadi adalah fosfor, tetapi pada tanah-tanah
bergambut dan bertekstur kasar di daerah beriklim basah (humid) kekurangan N dan K
kadang-kadang dapat merupakan pembatas yang nyata mempengaruhinya. Untuk mengatasi
rendahnya kandungan hara perlu dilakukan pemupukan (Suparna dan Purnomo, 2004).
Pemberian kompos bokashi pada tanah podsolik merah kuning secara nyata meningkatkan
pertumbuhan A. mangium (Susilawati, 2000).
Pemanenan hutan mempunyai resiko yang tinggi dalam mengurangi produktifitas lahan
pada satu dan beberapa daur. Pemanenan hutan pinus di Minnesota, USA dan Ontario,
Canada menyebabkan pemiskinan unsur hara N, P, K, Ca dan Mg (Binkley, 1987).
Hasil penelitian Waluyo (2003) menunjukkan bahwa unsur hara yang hilang pada hutan
sekunder akibat pembakaran lahan dari aliran permukaan selama 3 bulan adalah 1.050,15 gram
N/ha, 21,69 gram P/ha, 1.084,31 gram K/ha, 13,01 gram Ca /ha Ca dan 3,8 gram Mg/ha.
Rata-rata produksi serasah A. mangium di KPH Majalengka adalah sebesar 9,34
ton/ha/tahun. Kontribusi hara dari serasah tersebut pada lahan hutan sebesar 83,1 kg N
/ha/tahun, 2,8 kg P/ha/tahun, 21,35 kg K/ha/tahun, 54,18 kg Ca/ha/tahun dan 13,08 kg
Mg/ha/tahun (Mindawati, 1999).
Sifat fisika tanah terutama penting dalam hubungannya dengan kandungan air, aerasi,
drainase dan kandungan hara. Pada tanah yang padat aerasi menjadi buruk. Dalam kondisi
demikian pengambilan oksigen dan pembuangan karbondioksida tidak berjalan dengan baik.
Keadaan sifat fisika tanah sangat mempengaruhi kesuburan tanah terutama dalam perbaikan
tekstur dan struktur tanah.
Penelitian Soedomo (1984) menunjukkan bahwa sifat fisika tanah merupakan
komponen yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan tegakan hutan, dan diyakini
bahwa sifat fisika tanah lebih penting pengaruhnya dibandingkan dengan sifat kimia dan biologi
tanah.
Penelitian di lahan kritis Padang Lawas menunjukkan bahwa sifat fisika tanah yaitu
tekstur tanah dan pengolahan tanah dibandingkan sifat kimia lebih berpengaruh terhadap
pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman muda A. mangium (Butarbutar, Masud dan Suhada,
1993). Pertumbuhan tinggi A. mangium yang terbaik sampai dengan umur dua tahun didapat
melalui pengolahan tanah total yaitu setinggi 6,83 m dan paling rendah pertumbuhannya dengan
perlakuan land clearing yaitu sebesar 3,83 m. Pengolahan tanah akan memperbaiki sifat fisika
tanah dan menekan pertumbuhan alang-alang sehingga tidak timbul terjadinya persaingan hara
dan air dengan tanaman pokok (Kusnandar, 1996).
10
Hasil penelitian Soedomo (1984) pada tegakan pinus menunjukkan bahwa sifat fisika
tanah yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan tegakan adalah : ketebalan lapisan A,
penetrabilitas tanah, tekstur tanah, kadar air tersedia dan bulk density (limbak).
Penelitian di tegakan jati menunjukkan bahwa sifat fisika tanah yang mempengaruhi
terhadap pertumbuhan tegakan adalah persentase lereng dan ketebalan horison A (Sjahid,
1981; Sunarto, 1989).
Beberapa penelitian menunjukan bahwa tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan tegakan. Oleh karenanya, tekstur tanah merupakan salah satu faktor penentu
kualitas tapak (site quality) yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah bonita. Jenis pinus
lebih menyukai tanah bertekstur sedang sampai ringan, sedangkan jati lebih sesuai dengan tanah
bertekstur berat (Soedomo, 1984).
Faktor ketebalan tanah lapisan atas (top soil) merupakan salah satu faktor penentu
pertumbuhan tanaman. Lapisan ini merupakan zona perakaran tanaman dan tempat hidup
berbagai makro dan mikro organisme tanah. Lapisan atas (horison A) umumnya memiliki
kandungan bahan organik yang lebih tinggi, lebih subur dan memiliki sifat fisika tanah yang lebih
baik dibandingkan lapisan lainnya (Soedomo, 1984).
Kadar air tersedia adalah kondisi air pada kapasitas lapang (field capacity) sampai
dengan kondisi titik layu permanen. Kapasitas lapang adalah jumlah kandungan air di dalam
tanah sesudah air gravitasi turun semua, sampai batas akar tanaman tidak mampu mengisap air
tanah lagi. Menurut penelitian Ang, Maruyama, Mullins dan Seel (1997) tanaman A. mangium
yang tumbuh pada tanah yang kekeringan
11
meningkatkan bobot kering dan jumlah bintil akar sebesar 162 persen dan pertumbuhan
biomassa anakan tanaman sengon rata-rata sebesar 26 persen serta menyumbangkan unsur N
ke tanah setara 100 kg/ha (Wasis, 1996).
umumnya dijumpai pada kedalaman tanah 0 10 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa masa
depan hutan tanaman industri khususnya A. mangium sangat tergantung kepada sifat biologi
tanah, sementara itu penelitian ini belum dilakukan pada skala lapangan.
Umumnya bintil akar A. mangium berukuran besar, berbentuk panjang, berlekuk-lekuk
dan kadang bercabang-cabang . Bintil akar tersebut tersebar di seluruh bagian akar baik di
akar utama maupun akar cabang.
kecoklatan yang menandakan bahwa bakteri Rhizobium yang berada di dalam bintil akar sel
tersebut efektif dalam menambat nitrogen (Sumiasri et al, 1990). Inokulasi mikoriza dan
Bradyrhizobium sp meningkatkan penambatan N (aktifitas nitrogenase) pada semai A. nilotica
(Saravanan dan Natarajan, 2000).
Pemberian inokulasi VA-mikoriza dan inokulasi Rhizobium dapat meningkatkan
pertumbuhan tinggi, diameter dan bobot kering total anakan A. mangium (Suwarto, 1991).
Hasil penelitian Irawan (1997) menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi cendawan
endomikoriza (MVA) memberikan pengaruh nyata terhadap semua parameter pertumbuhan
12
yang diamati yaitu tinggi, diameter, berat kering total, jumlah panjang daun dan indeks mutu bibit
semai A. mangium.
Dekomposisi serasah A. mangium di lapangan umumnya berjalan sangat lambat. Laju
dekomposisi serasah A. mangium dapat dipercepat dengan penambahan inokulum cendawan
Trichoderma viride apabila kondisi lingkungannya mendukung. Nilai rasio C/N optimal dalam
selang kritis antara 20 - 30 % dapat dicapai dalam waktu yang relatif singkat yaitu 8 minggu
(Rohiani, 1996).
Unsus hara tanaman adalah bahan kimia yang dibutuhkan atau diserap oleh tanaman
untuk proses pertumbuhan dan proses metabolisme. Unsur hara tersebut sangat penting karena
menentukan kemampuan hidup tanaman. (Mengel dan Kirby, 1982). Bila salah satu atau
beberapa unsur hara tidak berada dalam jumlah yang cukup atau salah satu unsur berlebihan
sedangkan lainnya sangat kurang, maka tanaman akan menunjukkan gejala-gejala kekurangan
unsur hara. Gejala kekurangan unsur hara cepat atau lambat akan terlihat pada bagian tanaman
seperti pada daun, cabang, batang, bunga, buah bahkan pada seluruh bagian tanaman. Ada
tanaman yang cepat sekali menunjukkan tanda kekurangan dan ada pula yang lambat (Fisher
dan Binkley, 2000).
Berdasarkan kebutuhan bagi tanaman maka unsur hara dibedakan menjadi dua yaitu
unsur hara makro (macro nutrient) dan unsur hara mikro (micro nutrient). Unsur hara makro
terdiri dari C, H, O, N, P, K, Ca, Mg dan S, sedangkan unsur hara mikro terdiri dari Mn, Cu,
Zn, Mo, B, Cl da Fe.
1. Nitrogen (N)
13
tanaman hutan (Tanner, Vitousek dan Cuevas, 1997; Anonymous, 2004; Majdi dan Ohrvik,
2004) . Secara umum senyawa organik di dalam tanaman akan mengandung N. Senyawa N
dalam tanaman adalah asam amino, asam nukleat, enzim-enzim, bahan-bahan yang menyalurkan
enersi seperti klorofil, ADP dan ATP. Tanaman tidak dapat melakukan metabolismenya jika
kekurangan N untuk membentuk bahan-bahan vital tersebut (Kramer dan Kozlowski, 1960).
Menurut Bidwell (1979) konsentrasi unsur N pada daun sebesar 2,2 % merupakan
batas defisiensi, sedangkan konsentrasi N pada daun sebesar 2,2 - 2,4 % masuk selang rendah
dan konsentrasi N pada daun sebesar 2,5 - 2,7% masuk selang optimum. Menurut Kramer and
Kozlowski (1961) konsentrasi N pada daun pada pohon jenis Tilia americana sebesar 2,32
% merupakan batas defisiensi. Pada kebanyakan tanaman pinus konsentrasi dibawah 10 - 12
mg/gram biomassa daun (1,0 - 1,2 %) merupakan indikasi terjadinya defisiensi unsur N.
Sedangkan unsur hara konsentrasi P kritis bagi tanaman sekitar 10 persen dari konsentrasi N
(Fisher dan Binkley, 2000).
2. Fosfor (P)
Fosfor adalah unsur hara penting kedua terbesar setelah N, dan dikatakan bahwa P
sebagai kunci kehidupan karena berfungsi sebagai transfer energi dan penyusun asam nukleat
dan umumnya sebagai pembatas pertumbuhan hutan tropik. Jika N dapat ditambat dari udara,
tetapi unsur hara
14
nucleoprotein, dan fitin, yang selanjutnya akan banyak tersimpan dalam biji. P sangat berperan
aktif dalam mentransfer energi di dalam sel, berfungsi mengubah karbohidrat dan meningkatkan
efisiensi kerja kloroplas.
Menurut Bidwell (1979) konsentrasi unsur P pada daun sebesar 0,9 % merupakan
batas defisiensi, sedangkan konsentrasi P pada daun sebesar 0,09 - 0,11 % masuk selang
rendah dan konsentrasi P pada daun sebesar 0,12 - 0,16 % masuk selang optimum. Menurut
Kramer and Kozlowski (1960) konsentrasi P pada daun pohon jenis Pinus sylvestris sebesar
0,08 % merupakan batas defisiensi sedangkan untuk Betula spp batas defisiensi sebesar 0,08 0,10 %.
3. Kalium (K)
Kalium merupakan unsur hara terpenting ketiga dimana secara umum tanah-tanah di
Indonesia memiliki kandungan K yang rendah.
dan
merupakan unsur hara makro yang sangat penting bagi proses fisiologis. Bagian tanaman yang
banyak mengandung K adalah batang, daun, buah dan akar. K bukan hara pembentuk organ
tanaman, namun hara ini terdapat di dalam semua sel, yaitu sebagai ion dalam cairan sel. Inti sel
juga mengandung K (Mengel dan Kirby, 1982).
Fungsi hara K membantu pembentukan/asimilasi pati/zat arang, bila tanaman tidak
sama sekali mengandung K,
pertumbuhan, maka K dengan cepat ditarik, karena K mudah bergerak atau ditranslokasikan
ke bagian lain.
metabolisme dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur hara, mempertinggi daya tahan
terhadap kekeringan dan penyakit dan membantu perkembangan akar. K berfungsi mendorong
aktivitas sebanyak 40 enzim dan membantu pembentukan protein dari asam amino (Meyer,
Anderson dan Bohning, 1960; Geus, 1973; Mengel dan Kirby, 1982).
15
Menurut Bidwell (1979) konsentrasi unsur K pada daun sebesar 0,7 % merupakan
batas defisiensi, sedangkan konsentrasi K pada daun sebesar 0,7 - 1,1 % masuk selang rendah
dan konsentrasi K pada daun sebesar 1,2 - 1,7 % masuk selang optimum. Menurut Kramer
and Kozlowski (1960) konsentrasi K pada daun pohon jenis Pinus strobus dan Pinus
resinosa
sebesar 0,84 % merupakan batas defisiensi sedangkan untuk Betula spp batas
defisiensi sebesar 0,29 - 0,84 % dan Picea abies dan Picea glauca batas defisiensi sebesar
0,18 - 0,21 %.
4. Kalsium (Ca)
Kalsium merupakan unsur hara makro yang berperan dalam penyusun dinding sel,
termasuk unsur hara tidak mobil sehingga kebutuhan hara oleh tanaman akan terus diambil dari
tanah. Ca berfungsi bagi tanaman adalah untuk penyusunan dinding sel tanaman, sintesa pektin
dalam lamela tengah dinding sel,
2+
yang bebas.
16
Kalsium berguna untuk penguat dinding sel (lamela tengah) dan di dalam banyak tanaman, unsur
ini terdapat sebagai kristal-kristal kalsium oksalat. Kalsium mempergiat pembelahan sel-sel
meristem, membantu pengambilan nitrat dan mengaktifkan berbagai enzim. Di dalam daun yang
tua terdapat lebih banyak kalsium daripada di dalam daun yang muda. Unsur hara Ca di dalam
tubuh tanaman tidak dipindahkan (translokasi).
5. Magnesium (Mg)
Sementara Mg merupakan unsur penyusun inti klorofil pada tumbuhan (Sanchez, 1976;
Devlin, 1977; Bidwell, 1978), Mg diserap oleh tanaman dari larutan tanah sebagai ion Mg2+.
Konsentrasinya dalam larutan hara selalu bervariasi antara 30 sampai 100 ppm, dengan sekitar
24 ppm merupakan level yang diperlukan kebanyakan tanaman. Kadar Mg dalam tanah
berkisar 0,05 persen untuk tanah pasir dan 0,5 persen untuk tanah liat (Mengel dan Kirkby,
1982), karena itu menurut pendapat Bidwell (1979) kekurangan Mg tidak perlu terjadi. Jumlah
yang lebih banyak ditemukan pada tanah liat, sebab Mg yang ada merupakan mineral
ferromagnesian yang relatif mudah melapuk seperti biotit, serpentin, horblende dan olivin.
Mineral tanah yang mengandung Mg antara lain MgCO3 atau dolomit (CaCO3MgCO3).
Menurut Bidwell (1979), konsentrasi Mg pada daun sebesar 0,20 % merupakan batas
defisiensi, sedangkan konsentrasi Mg pada daun sebesar 0,20 - 0,29 % masuk selang rendah
dan konsentrasi Mg pada daun sebesar 0,30 - 0,49 % masuk selang optimum. Kekurangan
unsur hara Mg bagi pinus dapat dilihat pada daun jarumnya yang kuning dari ujung yang
mengarah ke pangkalnya. Tanda-tanda selanjutnya terlihat pada daun jarum yang berwarna
kuning sepanjang tahun, dan hanya sedikit yang berwarna hijau terutama di sekitar kuncup.
Warnanya kemudian berubah menjadi kuning emas yang mengkilap (cemerlang). Mg berfungsi
untuk pembentukan klorofil, sistem enzim dan pembentukan getah (Binns, et al, 1980; Mengel
dan Kirkby, 1982). Dengan demikian warna kuning merupakan salah satu gejala kekurangan
unsur Mg, dan secara umum terjadi pada daun tua (Bidwell, 1979).
17
18
Penyebaran
A. mangium secara alami tersebar di daerah Australia bagian utara, Irian Jaya (Papua)
bagian Selatan (Fak-Fak, Manokwari, Sedai, Sepanjang Sungai Digul dan Merauke), di
Kepulauan Aru (Pulau tragan dan Kepulauan Ngaibar) dan Maluku (Pulau Sulau, Taliabu, Teje
dan Seram). Sedangkan menurut Nicholson (1981) jenis ini tumbuh secara alami di Australia
Timur Laut, Papua Nugini dan Indonesia Bagian Timur(Maluku dan Irian Jaya) dan menyebar
dari batas Irian Jaya (0 o 50 o LS) sampai bagian Selatan Queensland, Australia (sekitar 19 o
LS). Tegakan sisa yang cukup luas ditemui di daerah Daintree River (11 o LS), Heatlands (11 o
LS) daerah Champ China (16
Taylor (1993), penyebaran A. mangium di Papua Nugini tersebar merata di daerah dataran
rendah dari propinsi bagian Barat Papua Nugini, mulai dari daerah Selatan Danau Murray
sampai ke pantai dan dari batas Irian Jaya sampai ke Fly River di daerah Balimo. Terletak
pada garis 7o37 8o59 LS dan garis 141o09 143 o 8 BT. Tinggi dari permukaan laut 50
100 m pada bagian Utara dekat Boset.
Persyaratan tumbuh
A.
dengan baik pada tanah yang miskin hara dan tidak subur, padang alang-alang, bekas tebangan
dan mudah beradaptasi. Pada tanah yang jelek masih dapat tumbuh lebih baik dari jenis pohon
cepat tumbuh lainnya (Siregar, Djaingsastro dan Satjapradja, 1991; Susanto, Nirsatmanto dan
Susilowati, 1997). Di Sabah A. mangium dikembangkan pada lahan dengan pH 4,5 dan jenis
tanahnya Entisol dan Ultisol.
keistimewaan dari jenis ini, sehingga patut diperhatikan pengembangannya dalam hutan tanaman
19
industri (Rahayu, Soetisna dan Sumiasri, 1991). Tanaman ini merupakan tumpuan dan harapan
untuk perjuangan melawan kerusakan lahan dan hutan di daerah tropik (Soerjono, 1989).
Berdasarkan pengamatan di daerah sebaran alam A. mangium di kelompok Hutan
Tanjung Seram Maluku pada ketinggian 140 m dpl ada lima jenis tumbuhan bawah yaitu pakis
kawat, rumput kuda, singa-singa, biroro, haleki, kusu-kusu dan talas hutan. Dari tumbuhan
bawah tersebut ada dua jenis tumbuhan bawah yang dominan yaitu pakis kawat dan rumput
kuda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanaman pakis kawat dan rumput kuda
merupakan tanaman indikator bagi kesesuaian tumbuh A. mangium (Gintings, Sutisna,
Purwanto, Mile dan Santoso, 1996). A. mangium untuk tumbuh dengan baik menghendaki
suhu maksimum sekitar 31 - 34
1500 - 4000 mm/tahun. Tanaman ini pertumbuhannya akan lebih baik pada tempat-tempat
yang terbuka (dapat penyinaran matahari penuh) (Sumiasri, Harmastini, Sukiman dan Karsono,
1990).
Nicholson (1981) menyatakan bahwa A. mangium dapat tumbuh pada berbagai tipe
tanah. Tetapi jarang tumbuh pada tanah-tanah yang mempunyai lapisan padas, tumbuh baik
pada tanah yang mempunyai batuan metamorfik dan granitik serta tanah datar jenis coastal
dimana umumnya merupakan jenis batuan alluvium quartener. Sedangkan menurut National
Academy of Science, (1983) jenis ini tumbuh dengan baik pada tanah tererosi, tanah mineral
dan tanah alluvial. Di Pulau Seram tumbuh pada tanah Podsolik Merah Kuning, sedang di
Sabah telah ditanam pada tanah Entisol dan Ultisol yang bersifat asam.
Hasil penelitian
Firmansyah (2001) menunjukkan A. mangium dapat tumbuh dengan baik pada tanah gambut
yang disertai dengan penambahan pupuk daun dan pupuk NPK.
Adaptasi dan perkembangan tanaman A. mangium pada lahan reklamasi bekas
tambang batubara yang mempunyai sifat fisika dan kimia tanah yang marginal sampai umur 4
tahun 4 bulan menunjukkan pertumbuhan cukup baik (Tambubolon, Gintings dan Kurniati,
1996).
Hasil uji coba penanaman A. mangium pada dua lokasi yaitu Darmaga Bogor dan
Cikampek menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi pada umur 2 tahun di Darmaga, Bogor lebih
baik, dimana pertumbuhan tinggi maksimal di Darmaga yaitu sebesar 6,16 m dan di Cikampek
20
Pertumbuhan adalah menunjukkan total jumlah hasil sampai periode waktu tertentu,
sedangkan dalam arti laju menunjukkan jumlah untuk setiap periode waktu tertentu, biasanya
dinyatakan untuk setiap tahun. Riap adalah laju pertumbuhan tegakan dalam satuan m3/ha/tahun.
Kurva pertumbuhan mahluk hidup secara ideal berbentuk sigmoid, dengan syarat matematis
sebagai berikut, (a) melalui titik nol pada saat awal pertumbuhan (a = 0) dan mencapai titik nol
pada akhir pertumbuhan (A = tak terhingga), (b) mempunyai titik belok (Q). Titik Q adalah titik
belok kurva hasil, dicapai pada saat laju pertumbuhan maksimum dan (c) memiliki garis
asimptot yaitu suatu garis yang bersifat tetap dan mendatar yang terjadi pada akhir pertumbuhan
(Prodan, 1968; Suhendang, 1990).
Dalam kegiatan pengelolaan hutan dibedakan pengertian pertumbuhan tegakan dan hasil
tegakan. Menurut Davis dan Johnson (1987), pertumbuhan tegakan adalah perubahan ukuran
dari sifat terpilih dari tegakan (dimensi tegakan) yang terjadi selama periode waktu tertentu.
Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada
waktu tertentu atau jumlah kumulatif sampai waktu tertentu. Perbedaan antara pertumbuhan
dan hasil tegakan terletak pada konsepsinya yaitu produksi biologis untuk pertumbuhan tegakan
dan pemanenan untuk hasil tegakan. Pengelolaan hutan berada pada kelestarian hasil, apabila
21
besarnya hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung terus menerus. Secara umum
dapat dikatakan bahwa jumlah maksimum hasil yang dapat diperoleh dari hutan pada suatu
waktu tertentu adalah jumlah kumulatif pertumbuhan sampai waktu itu, sedangkan jumlah
maksimum hasil yang dapat dikeluarkan secara terus menerus setiap periode sama dengan
pertumbuhan dalam periode waktu itu.
Tanaman A. mangium untuk kelas perusahaan kayu serat (pulp) umumnya tidak
dilakukan perlakuan penjarangan dan daur bisa diperpendek menjadi 6 8 tahun, sedangkan
untuk kelas perusahaan kayu pertukangan sejak awal harus dilakukan secara intensif kegiatan
wiwilan (pruning) dan penjarangan (thinning) dengan daur 10 tahun (Djojosoebroto, 2003 b).
Produksi maksimum tegakan A. mangium dicapai umur sekitar 6 tahun, pada saat kurva riap
tahunan berjalan (CAI) dan riap tahunan rata-rata (MAI) saling berpotongan (Fadjar, 1996).
Jenis tanaman A. mangium beberapa literatur menyebutkan bahwa perkiraan riap
volume sebesar 20 sampai dengan 30 m3 per ha. Dengan daur 7 tahun maka potensi per ha
pada akhir daur berkisar antara 140 sampai dengan 210 m3 per ha. Pada kenyataannya
beberapa data sulit untuk mencapai potensi tersebut, dimana rata-rata maksimal yang dapat
dicapai adalah 100 m3 per ha. Beberapa perusahaan yang sudah panen menginformasikan
bahwa rata-rata potensi hutan tanaman yang dapat dipanen sebesar 80 m3 per ha (Purnomo,
2002). Persen hidup tanaman muda A. mangium pada daur kedua tidak dipengaruhi oleh
pemakaian lahan daur pertama (Kurnia dan Sianturi, 1997).
Pembangunan hutan tanaman industri jenis A. mangium menunjukkan bahwa
pemanfaatan tegakan hampir dilakukan seluruh bagian tegakan. Daun/serasah digunakan untuk
media tumbuh persemaian, ranting dan cabang untuk pembuatan arang dan batang pohon untuk
kayu pulp dan pertukangan (pada pemanenan akan dilakukan pembagian batang dimana kelas
diameter di atas 20 cm untuk kayu pertukangan dan diameter di bawah 20 cm untuk pulp).
Sehingga hasil tegakan yang dipanen untuk dimanfaatkan adalah biomassa tegakan tersebut.
Menurut Mindawati (1999) pada setiap aktivitas pemanenan tegakan A. mangium perlu
meninggalkan bagian-bagian tanaman selain kayu di lantai hutan hal tersebut untuk
memperbanyak unsur hara yang dapat dikembalikan pada areal tersebut.
22
23
Perusahaan PT Musi Hutan Persada (PT MHP) adalah merupakan perusahaan patungan
antara BUMN/Pemerintah (40 %) dengan perusahaan swasta PT Enim Musi Lestari (60 %) yang
berdiri pada tanggal 27 Maret 1991 bergerak di bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) di daerah
Propinsi Sumatera Selatan, dengan luas kawasan sebesar 296.400 ha yang terdiri dari hutan
tanaman Acacia mangium seluas 193.500 ha, hutan produksi yang dikonservasi seluas 86.000 ha
serta sarana dan prasarana pemukiman seluas 16.000 ha.
Lokasi hutan tanaman industri (HTI) PT MHP terbagi ke dalam tiga wilayah kerja yaitu
Benakat seluas 197.741 ha, Subanjeriji seluas 87.354 ha dan Martapura seluas 10.305 ha. Lokasi
penelitian dilakukan di Kelompok Hutan Subanjeriji yang terbagi atas beberapa unit dengan luasan
sebagai berikut : Merbau (9.087,65 ha), Caban (8.687,29 ha), Sodong (15.156,31 ha) dan
Gemawang (12.893,21 ha). Subanjeriji secara administratif pemerintahan terletak di Kecamatan
Rambangdangku, Kabupaten Muaraenim, Propinsi Sumatera Selatan.
Menurut perwilayahan
administrasi pemangkuan hutan Kelompok Hutan Subanjeriji termasuk Resort Polisi Hutan
Subanjeriji, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Muaraenim, Kesatuan Pemangkuan Hutan
Lematang Musi Hulu, Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan. Menurut wilayah daerah aliran
sungai (DAS) Subanjeriji masuk kedalam DAS Musi, Sub DAS Sungai Lematang. Posisi geografis
dari areal tersebut terletak antara 103o 10' - 104o25' Bujur Timur dan 3o0' - 4o28' Lintang Selatang
(Lampiran 34 dan 35).
24
Tanah di kelompok hutan Subanjeriji didominasi oleh asosiasi podsolik, asosiasi latosol dan
podsolik merah kekuningan, yang menurut taksonomi tanah termasuk kedalam ordo Ultisol.
Tekstur tanah umumnya berliat berat dengan tingkat kesuburan yang rendah dan permeabilitas
kurang baik, serta kedalaman efektif berkisar antara 60 - 90 cm.
Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua.
ditemukan di daerah dengan bahan induk batuan liat. Secara umum ordo tanah Ultisol merupakan
tanah yang masih tersisa dan dapat dikembangkan sebagai kawasan budidaya. Ketersediaan air di
daerah ini umumnya cukup tersedia dari curah hujan yang tinggi. Reaksi tanah yang masam,
kejenuhan basa rendah, kadar Al yang tinggi dan kadar unsur hara yang rendah merupakan
pembatas utama kegiatan budidaya, sehingga untuk penggunaan budidaya yang baik diperlukan
pengapuran, pemupukan dan pengelolaan yang tepat.
Kondisi topografi di lokasi penelitian umumnya relatif datar hingga bergelombang dengan
kemiringan lahan berkisar antara 2 - 20 % pada ketinggian tempat berkisar 100 - 250 m dpl.
Lokasi pengambilan sampel tanah dan tegakan secara umum datar (0 - 3 %).
Iklim
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim daerah penelitian termasuk keadaan tipe
hujan A dengan curah hujan rata-rata pertahun sekitar 2.500 mm sampai dengan 3.000 mm
(Soedjoko, 2004). Sedangkan berdasarkan iklim Oldeman termasuk iklim kering dengan empat
bulan basah yaitu pada bulan Desember, Januari, Pebruari dan Maret dan delapan bulan kering.
Suhu rata-rata bulanan maksimum berkisar 32 oC dan rata-rata bulanan minimum berkisar 27 oC.
Kecepatan angin rata-rata bulanan sebesar 30,2 km/jam dengan kelembaban nisbi rata-rata 30 %
sampai 88 %.
25
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tegakan hutan di samping genetik dan kualitas
tempat tumbuh adalah faktor pengelolaan dan sistem silvikultur. Pengelolaan hutan tanaman sampai
dengan dilakukan kegiatan penelitian masih dilakukan perusahaan yang sama yaitu PT Musi Hutan
Persada dengan kepemilikan saham yaitu 40 % milik pemerintah BUMN dan 60 % milik PT Enim
Musi Lestari (Simon dan Arisman, 2004), sehingga dari faktor pengelolaan antara daur 1 dan daur
2 tidak ada perbedaan dari aspek kepemilikan dan kebijakan perusahaan terhadap pengelolaan
hutan tanaman A. mangium.
Sistem silvikultur yang digunakan pada daur 1 dan daur 2 adalah sistem tebang habis
dengan permudaan buatan, dengan tahapan utama yaitu persemaian, penyiapan lahan, penanaman,
pemeliharaan dan penebangan (pemanenan). Adapun perbedaan tahapan pembangunan hutan
tanaman A. mangium antara daur 1 dan daur 2 adalah sebagai berikut :
1. Persemaian
Persemaian yang digunakan pada daur 1 adalah persemaian temporer, dimana lokasi
persemaian selalu berpindah setiap tahunnya mendekati areal penanaman dan dekat dengan
sumber air. Media persemaian yang digunakan berupa tanah permukaan (top soil) dengan
wadah kantong plastik (polybag) berukuran diameter 7 cm dan panjang 15 cm. Sedangkan
pada daur 2 menggunakan persemaian permanen yang dilengkapi tempat penyiapan dan
pengisian media, ruang penyemaian (pengecambahan), area pernaungan (shaded area), area
terbuka (open area), sistem irigasi dan penyiraman dan kantor administrasi.
Media
persemaian yang digunakan tanah permukaan (top soil) dicampur sabut sawit dan serasah A.
26
mangium dan setelah pabrik pulp PT TELP beroperasi menggunakan limbah kulit kayu
dengan wadah polytube (95 cc) dan wadah bercelah (side slide).
2. Penyiapan lahan
Kelompok Hutan Subanjeriji adalah wilayah kerja yang paling ideal dibandingkan Kelompok
Hutan Benakat dan Martapura karena dekat dengan lokasi pabrik PT TELP, asesbilitasnya
paling baik dan topografinya relatif datar. Sebelum ditanami dengan A. mangium, vegetasi asal
sebagian besar alang-alang, semak belukar dan hutan rawang (hutan sekunder), sebagai akibat
praktek kegiatan perladangan berpindah yang telah berlangsung lama. Tanah di areal umumnya
terdiri dari Podsolik Merah Kuning atau Ultisol, berasal dari batuan induk sedimen tuf, tuf pasir,
batu pasir dan batu lempung. Tekstur tanah tergolong berat dengan kandungan liat dapat
mencapai 70 %, reaksi tanah (pH) berkisar antara 4,0 - 4,5, kandungan unsur hara seperti P, K
dan Ca umumnya rendah dan drainase pada umumnya rendah (Hardiyanto, 2004). Pada
padang alang-alang dilakukan secara mekanis dengan pembajakan menggunakan bajak piringan
yang ditarik oleh traktor pertanian. Pembajakan dilakukan pada saat kadar air mendekati
kapasitas lapang untuk menghindari pemadatan dan kerusakan struktur tanah. Pembajakan
diulangi lagi untuk memecah gumpalan tanah yang dihasilkan oleh pembajakan pertama, dimana
arah pembajakan tegak lurus dengan arah pembajakan pertama. Penggaruan (harrowing)
kemudian dilakukan
27
Persiapan lahan untuk daur 2 dilakukan secara manual atau kombinasi dengan khemis, hal ini
relatif sama dengan apa yang dilakukan pada daur 1 pada persiapan lahan di areal semak
belukar dan hutan rawang (hutan sekunder), perbedaannya pada daur 1 dilakukan pembakaran
terhadap sisa bahan vegetasi, namun pada daur 2 tidak dilakukan pembakaran terhadap sisa
bahan vegetasi (Hardiyanto, 2004).
3. Penanaman
Penanaman daur 1 dilakukan dengan tahapan sebagai berikut yaitu pengajiran untuk pembuatan
lubang tanam dengan jarak tanam 3 m x 2 m, 3 m x 3 m dan 4 m x 2 m, pembuatan lubang (20
cm x 20 cm x 20 cm) pemberian pupuk dasar P dengan dosis 70 gram TSP/pohon atau 87,5
gram SP 36/pohon kemudian dilanjutkan penanaman dan pemberian pupuk N dengan dosis
30 gram urea/pohon. Pada daur 2 kegiatan penanaman relatif sama hanya jarak tanam hanya
menggunakan jarak tanam 3 m x 3 m, karena hasil penelitian pada daur 1 menunjukkan
pertumbuhan terbaik. Hal tersebut terkait dengan terciptanya ruang tempat tumbuh yang optimal
bagi tanaman. Namun ada sebagian tanaman pada daur 2 hanya dipupuk TSP sebanyak 70
gram atau SP 36 sebanyak 87,5 gram.
4. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan daur 1 dengan daur 2 adalah relatif sama. Setelah tanaman berumur 2
bulan dilakukan pembersihan gulma tahap 1 dan 2 bulan berikutnya dilakukan pembersihan
gulma tahap 2. Pada saat tanaman berumur 7 bulan dilakukan pemangkasan cabang tahap I,
serta dilanjutkan pemangkasan cabang tahap II pada tanaman berumur 10 bulan. Pemangkasan
cabang dimaksudkan untuk mendapatkan batang yang lurus.
5. Penebangan
28
Penebangan pada daur 1 dilakukan pada saat tanaman berumur 6 tahun, namun pihak
perusahaan mempunyai rencana bahwa kegiatan penebangan pada daur 2 akan dilakukan pada
saat tanaman berumur 5 tahun, artinya pada daur 2 akan diturunkan 1 tahun.
pembuangan cabang dan ranting, pembagian batang dan penumpukan kayu. Panjang sortimen
rata-rata 2,5 m dengan diameter batang terkecil 8 cm.
b. Penyaradan
c. Pemuatan Kayu
d. Pengangkutan Kayu
29
e. Pengujian Kayu
Untuk menentukan kuantitas dan kualitas kayu yang dikirim ke pabrik, pihak PT TELP dengan
PT Musi Hutan Persada melakukan pengujian kayu seperti panjang sortimen, diameter batang,
kayu rusak, kayu terbakar, kayu jenis lain, kadar air, volume, bobot basah, bobot kering dan
lain-lain.
30
METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Dalam rangka penjabaran permasalahan tersebut di atas maka diperlukan
landasan berpikir yang sistematis terhadap tahapan-tahapan yang berlangsung
tentang hubungan
Kerangka Teoristis
31
Faktor Genetik
Pemanenan
Kayu
P, K, Ca dan Mg)
Peninggi
Tegakan A. mangium
Diameter Batang
dan Tinggi Total
Biomassa Tegakan
Kelestarian
Kualitas Tempat Tumbuh
(Daur 1 Daur 2)
32
Gambar 1.
33
Wilde (1958) menyatakan bahwa pada dasarnya produktivitas tanah hutan dipengaruhi
oleh faktor-faktor primer dan sekunder. Faktor-faktor primer ini terdiri atas kondisi umum iklim,
topografi, drainase, batuan asal, tekstur tanah, profil tanah dan lain-lain ciri tanah. Sedangkan
faktor-faktor sekunder antara lain serasah, simbiosis organisme, iklim mikro dan spesies
tumbuhan.
Pertumbuhan pohon sangat ditentukan oleh interaksi antara tiga faktor yaitu
keturunan (genetik), kualitas tempat tumbuh (lingkungan) dan teknik pembudidayaan (silvikultur)
(Kramer dan Kozlowski, 1960).
diketahui sehingga dapat dilakukan manipulasi pertumbuhan tanaman agar dapat diperoleh hasil
produksi yang menguntungkan dan lestari. Adapun faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
tanaman yang dapat dimanipulasi yaitu faktor genetik, faktor tanah dan sistem silvikultur
(Sabarnurdin, 1999; Callesen et al, 2004).
Pembangunan hutan tanaman industri A. mangium diarahkan pada lahan-lahan yang
tidak produktif dengan tingkat kesuburan tanah rendah, sehingga dikhawatirkan akan terjadi
kesenjangan antara tuntutan pertumbuhan tanaman yang tinggi dengan kualitas tempat tumbuh
(kesuburan tanah) dengan meningkatnya daur tanaman.
Perbaikan sifat-sifat tanah melalui pemupukan (TSP sebanyak 70 gram/tanaman dan
urea sebanyak 30 gram/tanaman) pada pembangunan HTI A. mangium di Subanjeriji daur 1
oleh pihak PT Musi Hutan Persada telah memberikan hasil panen kayu secara memuaskan.
Namun hasil penelitian menunjukkan pada daur 1 telah menyebabkan pemiskinan hara N, P, K,
Ca dan Mg (Setiawan, 1993;. Mindawati, 1996; Rosalina dan Setiawan, 1997; Mackensen,
2000) serta hasil analisis statistik memberi hasil bahwa pH, C organik, kadar P tanah dan kadar
K tanah menjadi peubah yang paling berpengaruh terhadap peninggi tegakan A. mangium
(Chaerudy, 1994; Rukmini, 1996).
Pemanenan kayu yang dilakukan pada daur 1 dapat menyebabkan hilangnya unsur hara
makro seperti N, P, K, Ca dan Mg dalam jumlah banyak, hal ini tentunya akan berakibat
menurunnya tingkat kesuburan tanah pada daur 2. Di tanah-tanah tropik umumnya unsur hara,
tersimpan pada biomassa, sehingga apabila biomassa dipanen maka unsur hara pada tanah
tersebut akan berkurang secara signifikan. Dengan demikian permasalahan yang muncul pada
pembangunan hutan tanaman industri A. mangium yaitu akan timbulnya penurunan kualitas
tempat tumbuh pada daur 2 dan daur berikutnya, dimana hal tersebut akan berakibat kelestarian
aspek produksi tidak akan tercapai.
33
Upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kelestarian kualitas tempat tumbuh
hutan tanaman industri A. mangium yaitu dengan cara memperbaiki kesuburan tanah melalui
perbaikan terhadap sifat kimia tanah yaitu dengan pemupukan dan pengapuran, perbaikan sifat
fisik tanah melalui pengolahan tanah dan perbaikan biologi tanah melalui peningkatan
kemampuan penambatan nitrogen oleh bintil akar. Hal ini umumnya sudah biasa diterapkan
pada konsep budidaya secara intensif pada bidang pertanian dan perkebunan.
Salah satu syarat kelestarian pembangunan hutan tanaman industri A. mangium yaitu
terjadinya kelestarian kualitas tempat tumbuh dan fungsi produksi pada setiap daur. Kelestarian
kualitas tempat tumbuh dan fungsi produksi dapat diukur secara langsung melalui parameter
tegakan di lapangan seperti kadar hara N, P dan K pada bagian tanaman, diameter batang dan
tinggi total tegakan, kandungan hara N, P, K, Ca dan Mg pada tanah, biomassa tegakan dan
neraca hara.
Bahan Penelitian
Bahan utama penelitian sebagai obyek penelitian adalah tegakan hutan tanaman A.
mangium berumur satu tahun sampai 5 tahun pada daur 2 di wilayah kerja PT Musi Hutan
Persada, Propinsi Sumatera Selatan. Data peninggi, tinggi total dan diameter batang tegakan
hutan tanaman A. mangium pada daur 1 diperoleh berdasarkan data yang dikumpulkan oleh
Saharjo (1999) dan disamping itu diperoleh pula data tinggi total dan diameter batang yang
berdasarkan data dari PT Musi Hutan Persada (2003).
34
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survey. Penentuan lokasi didasarkan atas peta kelas
perusahaan, peta tanah dan konsultasi dengan pihak perusahaan yaitu Divisi Research and
Development PT Musi Hutan Persada.
sebanyak 3 petak ukur (plot). Pengambilan contoh dilakukan pada tegakan A. mangium umur
1 tahun sampai dengan 5 tahun pada daur kedua.
Setiap umur tanaman diwakili 3 petak ukur yang ditentukan secara acak, namun
diusahakan lokasinya menyebar di seluruh wilayah penelitian. Petak ukur yang digunakan
berbentuk lingkaran seluas 0,10 ha (jari-jari 17,80 meter).
pengukuran peninggi untuk menentukan kualitas tempat tumbuh, tinggi total dan diameter batang,
pemanenan pohon sebanyak 3 pohon untuk menentukan biomassa dan kadar hara N, P, K, Ca
dan Mg pada jaringan tanaman, lereng, tebal horison A, bintil akar dan pengambilan contoh
tanah.
1. Peninggi
Peninggi yang digunakan dalam penelitian ini adalah peninggi dari tanaman selama
penelitian ini dilakukan dari tegakan yang tidak terganggu oleh kebakaran, penggembalaan
ternak, penjarangan dan kerusakan lainnya.
menggunakan haga hipsometer. Perhitungan rata-rata peninggi dari masing-masing umur dan
kualitas tempat tumbuh dilakukan sebagai berikut :
35
Hi =
ni
Hij
j=i
_____________________
n
dimana :
Hi
Hij
ni
Hk =
nk
Hki
j=i
______________
n
dimana :
Hk
Hki
nk
Diameter batang pohon diukur dengan menggunakan pita ukur (meteran). Perhitungan
rata-rata diameter batang pohon dari masing-masing umur tanaman dilakukan sebagai berikut :
36
Di =
ni
Dij
j=i
_____________________
n
dimana :
Di
Dij
ni
Dk =
nk
Dki
j=i
______________
n
dimana :
Dk
Dki
nk
3. Tinggi total
Tinggi total pohon diukur dengan menggunakan haga hipsometer. Perhitungan rata-rata
tinggi total tanaman dari masing-masing umur tanaman dilakukan sebagai berikut :
37
Ti =
ni
Tij
j=i
_____________________
n
dimana :
Ti
Tij
ni
Tk =
nk
Tki
j=i
______________
n
dimana :
Tk
Tki
nk
4. Tebal horison A
Horison A adalah horison pencampuran bahan mineral dengan bahan organik. Tebal
horison A merupakan ukuran bagi kuantita ruang tumbuh perakaran termasuk kedalaman efektif
bagi akar-akar kecil pohon. Horison A diukur dengan menggunakan bor tanah dan meteran.
THAm =
nm
THA mi
i=1
_______________
n
dimana :
THAm
THAmi
n
Pada setiap petak ukur dilakukan pengukuran lereng dengan menggunakan haga
hipsometer. Perhitungan persentase kemiringan (lereng) dilakukan sebagai berikut :
Sm =
nm
S mi
i=1
_______________
n
dimana :
Sm
S mi
n
Untuk mengetahui sifat tanah di lapangan, maka dilakukan deskripsi profil tanah untuk
masing-masing jenis tanah yang diteliti. Dalam deskripsi profil memuat nama tanah berdasarkan
sistem
permeabilitas, penggunaan tanah, muka air tanah dan penentuan horison, ketebalan horison dan
uraian pada masing-masing horison.
39
Pada setiap petak ukur dilakukan pengukuran biomassa bintil akar dengan cara
membuat 3 buah lubang dekat pohon dengan luas 1 m2 yang digali sampai kedalaman 50 cm.
Setiap contoh bintil akar yang terkumpul kemudian ditimbang.
BAm =
nm
BA mi
i=1
_______________
n
dimana :
BAm
= biomassa bintil akar anak petak ke m
BAmi = biomassa bintil akar petak ukur ke i pada anak petak ke m
n
= banyaknya petak ukur dalam anak petak ke m
.
pohon) rata-rata tertimbang komposisi hara per pohon diperoleh dengan memboboti konsentrasi
terukur menurut volume relatif dari kulit atau kayu untuk setiap analisis.
Kadar hara akar ditentukan pada setiap petak ukur. Pada setiap petak ukur dibuat 3
buah plot dekat pohon dengan luas 1 m2 digali sampai kedalaman 50 cm. Setiap contoh akar
dikeringkan dalam oven bersuhu 80 oC selama 48 jam, kemudian disimpan untuk dilakukan
analisis kadar hara N, P, K, Ca dan Mg.
Kuantitas hara dalam tegakan pohon A. mangium diperoleh dengan mengalikan
biomassa total tega kan dari pohon-pohon dengan rata -rata kadar hara dalam pohon tersebut.
9. Pengambilan contoh tanah
Pengambilan contoh tanah dilakukan pada setiap petak ukur dengan menggunakan bor
tanah. Contoh tanah diambil dari masing-masing dari horison A dan horison B, kemudian contoh
tanah dari setiap petak ukur dicampur sesuai dengan horison masing-masing. Selanjutnya contoh
tanah tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik sebanyak 1 kg dan diberi label sesuai
dengan lokasinya. Disamping itu dilakukan pengambilan contoh tanah utuh dengan ring sample
untuk analisa sifat fisik tanah pada setiap petak ukur.
Semua contoh tanah dari lokasi penelitian dianalisa di Laboratorium Kimia dan Kesuburan
Tanah Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah meliputi :
41
Tabel 1. Jenis parameter yang dianalisis dan metode penetapan yang digunakan dalam
penelitian
No.
I.
II
III
IV
42
Parameter
Gravimetrik
Nisbah bobot tanah/volume
Pipet
Potentiometrik
Walkley dan Black
Kjehldahl
Bray II
N KCl titrasi HCl
NH4OAc pH 7,0
Gravimetrik
Pengabuan basah
Analisis Data
Pengujian analisis uji kesamaan slope dan intercept dua model, dilakukan pada peubah
peninggi, diameter batang dan tinggi total. Kesamaan slope dan intercept dua buah kurva dapat
dievaluasi dengan menggunakan pendekatan regresi linier sederhana. Jika Y1 dan Y2 adalah
kurva yang merupakan fungsi dari X, atau Yi = f(x) dan Y2 = g(x). Pengujian kesamaan slope
dan intercept dua model dapat dilakukan dengan cara meregresikan Y1 dan Y 2 dengan model :
Y1 = a + bY2
dimana pengujian slope (b) kurva dilakukan dengan menggunakan uji statistik :
T hitung =
b b
s^
dengan hipotesis
H0 : b = 1
H1 : b 1
Sedangkan untuk pengujian intercept (a) kurva, dilakukan dengan uji statistik :
43
T hitung =
a a
s^
Dengan hipotesis
H0 : a = 1
H1 : a 1
Jika Ho benar, t hitung memiliki sebaran -t student dengan derajat bebas n-2. penolakan H0
dapat diartikan bahwa intercept atau slope kedua kurva tidak sama (Mattjik dan Sumertajaya.
2002)
Analisis statistik ditujukan untuk mengidentifikasi peubah sifat-sifat tanah yang paling erat
hubungannya dengan pertumbuhan hutan tanaman A. mangium pada daur 2 serta mencari pola
hubungan matematik antara peubah sifat-sifat tanah tersebut dengan peubah pertumbuhan
tanaman.
Model matematik yang digunakan berbentuk persamaan logaritma. Sesuai dengan pola
pertumbuhan hutan tanaman A. mangium maka kurva indeks tempat tumbuh merupakan
penyederhanaan kurva pertumbuhan bagi kesatuan genetik tertentu di bawah seperangkat
kondisi lingkungan tertentu.
Persamaan umum yang digunakan untuk penelitian hubungan sifat-sifat tanah dengan
peninggi tegakan A. mangium adalah regresi linier berganda menurut persamaan sebagai berikut
(Husch, 1963) :
X1
= 1/umur
= Sifat-Sifat Tanah
b 0, b1, ..., b 17
= konstanta
= sisaan
Variabel-variabel bebas yang dipilih dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
X1
= 1/umur
X2
= Tebal horison A
X3
X4
X5
X6
X7
X8
= pH tanah
X9
= C-organik tanah
X10
= N total tanah
45
X11
= P tanah
X12
= Al dd tanah
X13
= Ca dd tanah
X14
= Mg dd tanah
X15
= K dd tanah
X16
= KTK tanah
X17
Hubungan Diameter Batang Pohon dan Tinggi Total dengan Umur pada Hutan
Tanaman A. mangium
Data diameter batang pohon dan tinggi total pada daur 1 diperoleh berdasarkan data
penelitian Saharjo (1999) dan PT Musi Hutan Persada (2003), sedangkan data diameter batang
pohon dan tinggi total pada daur 2 didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan. Program yang
digunakan untuk mencari hubungan diameter batang pohon dan tinggi total dengan umur hutan
tanaman A. mangium pada daur 1 dan daur 2 menggunakan Program Curve Expert 1.3.
WB
D2H
H
46
WS
WT
WL
LA
Besarnya nilai rata-rata dan selang penduga pH tanah, kadar bahan organik, kadar hara
N, P, K, Ca dan Mg pada tanah dan tanaman ditentukan secara statistik.
Xi
47
i=1
_____________________
n
dimana :
X
= Nilai rata -rata
Xi
= Nilai X ke i
n
= Banyaknya contoh
S2
ni
X i - (X i )2 / n
i=1
_____________________
n -1
dimana : S 2
= Nilai keragaman ke i
Sedangkan untuk mengetahui perbedaan pH tanah, bahan organik tanah dan kadar hara N,
P, K, Ca dan Mg pada tanah dan tiap bagian tanaman dilakukan uji beda nyata dari Tukey
(Steel and Torrie, 1980).
48
49
Kondisi Unsur Hara Tanah pada Pertumbuhan Hutan Tanaman Industri A. mangium
Berdasarkan klasifikasi tanah menurut USDA (2000) tanah di lokasi penelitian masuk Sub
Order Udults, berdasarkan PPT (1981), tanah tersebut termasuk tanah Podsolik Kromik dan
berdasarkan FAO/UNESCO (1974), termasuk pada tanah Kromik Acrisol. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada deskripsi profil tanah (Lampiran 1 dan 2).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kesuburan tanah pada daur 2
dibandingkan daur 1. Penurunan terjadi pada pH, C organik, N, Ca dan Mg tanah dimana
penurunan pH tanah sebesar 1,62, C organik tanah sebesar 0,58 %, N tanah sebesar 0,12 %, Ca
tanah sebesar 19,76 me/100 g dan Mg tanah sebesar 1,33 me/100 g. Secara kualitas yang terjadi
penurunan pada daur 2 adalah pH, Ca tanah dan Mg. Adapun perubahan secara kualitas untuk
derajat kemasaman (pH) yaitu dari agak masam pada daur 1 menjadi sangat masam pada daur 2,
untuk kadar Ca tanah dari sangat tinggi pada daur 1 menjadi sangat rendah pada daur 2 serta kadar
Mg tanah dari tinggi pada daur 1 menjadi rendah pada daur 2 (Tabel 2).
Untuk mendapatkan persamaan regresi terbaik dilakukan analisa stepwise dengan Program
Minitab, adapun persamaan regresi terbaik adalah log Y = 1,68 - 1.09 1/X1 + 0,0086 X5 +
0,0275 X9 - 0,0181 X17 , dengan R2 = 99,7 % dan PRESS = 0,004197. Persamaan terbaik
tersebut dilakukan dengan cara penyusupan satu persatu peubah bebas yang mempunyai korelasi
yang tinggi dengan log Y. Pada Tabel 3 disajikan nilai koefisien korelasi peubah bebas (X),
koefisien dan nilai t hitung dari persamaan terbaik tersebut.
49
50
Tabel 2. Kondisi pH, C organik, N, P, K, Ca dan Mg tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan
hutan tanaman A. mangium
Daur 1 1)
5,95 0,51 **
(agak masam)
4,10 1,90 *
(tinggi)
0,34 0,04 *
(sedang)
0,35 0,32 **
(sangat rendah)
0,22 0,03 tn
(rendah)
21,09 20,41 **
(sangat tinggi)
2,19 0,26 *
(tinggi)
Daur 2
4,33 0,02
(sangat masam)
3,52 1,50
(tinggi)
0,22 0,05
(sedang)
6,79 0,32
(sangat rendah)
0,25 0,03
(rendah)
1,33 0,27
(sangat rendah)
0,86 0,13
(rendah)
Perubahan
- 1,62 (27 %)
- 0,58 (14 %)
- 0,12 (35 %)
+ 6,44 (1840 %)
+ 0,03 (14 %)
-19,76 (94 %)
- 1,33 (61 %)
Keterangan :
1)
tn
Tabel 3.
Peubah sifat-sifat tanah dan umur yang teruji berkorelasi dengan peninggi hutan
tanaman A. mangium pada daur 2
No.
Variabel (Xi)
Koefisien
T hitung
R2
1.
- 1,09
-15,01**
99,18
2.
C organik (X9)
0,0275
4,20**
99,37
3.
0,0086
3,06*
99,60
4.
-0,0181
- 2,46*
99,74
Keterangan :
**
50
51
mangium di lokasi penelitian pada daur 2 berkorelasi negatif dengan 1/umur dan biomassa bintil
akar. Sedangkan kadar air tersedia dan kadar bahan organik tanah berkorelasi positif dengan
pertumbuhan A. mangium.
Umur tanaman
Faktor 1/umur mempunyai korelasi terbesar terhadap peninggi hutan tanaman A. mangium
daur 2.
mangium maka, sampai umur tertentu peninggi yang dihasilkan semakin tinggi.
Faktor umur tanaman mempunyai koefisien determinasi (R2 ) sebesar 99,18, hal ini berarti
sebagian besar peninggi ditentukan oleh faktor umur sedangkan sifat-sifat tanah dan lingkungan
hanya kecil saja berkorelasi dengan peninggi tanaman. Hal tersebut menerangkan bahwa lokasi
penelitian memiliki kualitas tempat tumbuh yang relatif seragam (homogen) pada daur 2.
Kadar bahan organik berkorelasi positif secara sangat nyata terhadap pertumbuhan peninggi
pada hutan tanaman A. mangium. Korelasi yang positif menerangkan bahwa semakin tinggi kadar
bahan organik, maka sampai umur tertentu peninggi tanaman semakin besar.
Kadar C merupakan salah satu unsur utama dalam bahan organik. Bahan organik mempunyai
peranan penting terhadap kesuburan tanah, karena dari hasil mineralisasi bahan organik akan
dihasilkan unsur hara yang diperlukan tanaman.
51
52
Di antara sifat fisik tanah yang paling penting adalah kapasitas menyimpan air
tersedia, yang berkaitan dengan kedalaman daerah perakaran. Tanaman A. mangium yang tumbuh
pada tanah yang kering akan mempunyai fotosintesa lebih rendah dibandingkan yang tumbuh pada
lahan yang basah.
Biomassa bintil akar berkorelasi negatif secara nyata terhadap pertumbuhan peninggi pada
hutan tanaman A. mangium. Korelasi yang negatif menerangkan bahwa semakin tinggi biomassa
bintil akar, maka sampai umur tertentu peninggi tanaman semakin kecil.
Hasil ini sangat bertentangan dengan hubungan antara fungsi bintil akar dalam membantu
penyediaan hara N tanah, melalui proses penambatan N. Dalam hal bintil akar tidak mampu
meningkatkan penambatan N diduga terkait dengan kondisi pH tanah dan unsur hara tanah yang
rendah sehingga menyebabkan terjadinya kompetisi unsur hara antara tanaman itu sendiri dengan
bintil akar. Hal itu didukung temuan dilapangan bahwa pada tegakan kebun benih A. mangium
umur 7 tahun tidak ditemukan adanya bintil akar.
Hubungan peninggi tegakan dengan sifat-sifat tanah pada daur 2 mengikuti persamaan regresi
log Y = 1,68 - 1.09 1/X1 + 0,0086 X5 + 0,0275 X9 - 0,0181 X17
52
53
maksimum akan dicapai apabila bahan organik tanah dan air tersedia maksimum dengan biomassa
bintil akar minimum, demikian pula peninggi minimum akan dicapai apabila bahan organik tanah dan
air tersedia minimum dengan biomassa bintil akar maksimum (Tabel 4).
Perbandingan peninggi tegakan daur 1 dan daur 2 berdasarkan persamaan regresi log Y =
1,68 - 1.09 1/X1 + 0,0086 X5 + 0,0275 X9 - 0,0181 X17 (R2 = 99,7 %) tidak tepat dan perlu
dimodifikasi, karena data biomassa bintil akar tidak dijumpai pada daur 1. Untuk itu persamaan
regresi yang digunakan untuk membandingkan peninggi tegakan daur 1 dan daur 2 menggunakan
persamaan regresi
Umur (th)
1
2
3
4
5
Peninggi tegakan
maksimum (m)
1,93
6,76
10,27
12,66
14,36
Peninggi tegakan
rata-rata (m)
1,47
5,16
7,84
9,66
10,96
Peninggi tegakan
minimum (m)
1,40
4,91
7,46
9,19
10,42
53
54
Umur (th)
1
2
3
4
5
Peninggi tegakan
maksimum
daur 1 (m)
2,43
8,54
12,98
16,00
18,13
Peninggi tegakan
maksimum
daur 2 (m)
2,02
7,09
10,77
13,27
15,05
Perubahan peninggi
tegakan maksimum (m)
0,41
1,45
2,21
2,73
3,08
Peninggi tegakan
Peninggi tegakan
Perubahan peninggi
rata-rata
rata-rata
daur 1 (m)
daur 2 (m)
2,03
1,93
0,10
7,11
6,76
0,35
10,81
10,28
0,53
13,32
12,67
0,65
15,11
14,36
0,75
54
Peninggi tegakan
Peninggi tegakan
Perubahan peninggi
minimum
minimum
daur 1 (m)
daur 2 (m)
1,91
1,66
0,25
6,70
5,83
0,87
10,18
8,85
1,33
12,54
10,91
1,63
14,22
12,37
1,85
55
Pada daur 2 kadar N rata-rata pada daun sebesar 2,46 %, dimana kadar N tertinggi (2,88
%) terdapat pada daun tanaman berumur 3 tahun dan kadar N terendah (2,06 %) pada daun pada
tanaman berumur 1 tahun. Pada daur 2 juga menunjukkan terjadinya peningkatan kadar N daun
secara nyata pada umur 3 tahun dan 4 tahun.
Pada daur 2 kadar N rata-rata pada akar sebesar 0,53 %, dimana kadar N tertinggi (0,71
%) terdapat pada akar tanaman berumur 1 tahun dan kadar N terendah (0,38 %) pada akar
tanaman berumur 4 tahun. Data tersebut menunjukkan terjadinya penurunan kadar N secara nyata
pada akar sampai umur 4 tahun. Sedangkan kadar N pada cabang, kulit dan batang tanaman
tidak berbeda nyata pada perkembangan umur tanaman.
Secara umum data menunjukkan bahwa kadar P pada daun, cabang, batang, kulit dan akar
tidak berbeda nyata antara umur tanaman sampai tanaman berumur 4 tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa pada tanah tidak terjadi adanya peningkatan hara P.
Pada daur 2 kadar K rata-rata pada daun sebesar 0,17 %, dengan kadar K tertinggi (0,21
%) pada daun tanaman berumur 3 tahun dan kadar K terendah (0,14 %) pada daun tanaman
berumur 1 tahun. Kadar K pada daun umur 3 tahun menunjukkan perbedaan yang nyata dengan
umur 1 tahun. Secara umum kadar K pada cabang, batang, kulit dan akar tidak berbeda nyata
pada perkembangan umur tanaman.
Pada daur 2 kadar Ca rata-rata pada cabang sekitar 0,43 % dimana kadar Ca tertinggi
(0,64 %) pada cabang tanaman berumur 2 tahun dan kadar Ca terendah (0,20 %) pada cabang
tanaman berumur 4 tahun. Ada kecenderungan terjadi penurunan kadar Ca pada cabang secara
nyata dengan bertambahnya umur tanaman sampai 4 tahun. Secara umum kadar Ca daun, batang,
kulit dan akar tidak berbeda nyata pada perkembangan umur tanaman.
Pada daur 2 kadar Mg rata-rata pada daun sebesar 0,18 %, dengan kadar Mg tertinggi
(0,24 %) terdapat pada daun tanaman 2 tahun dan kadar Mg terendah (0,15 %) pada daun
tanaman berumur 3 tahun. Pada daur 2 menunjukkaan terjadinya penurunan kadar Mg pada daun
dari umur 1 tahun sampai dengan umur 4 tahun. Sedangkan kadar Mg pada cabang, batang, kulit
dan akar tidak berbeda nyata pada perkembangan umur tanaman (Tabel 8).
55
56
Tabel 8. Kadar hara pada bagian tanaman pada tegakan daur 2 di lokasi penelitian
Umur (th)
Daun
Cabang
Batang
Kulit
Akar
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
Nitrogen
1
2,06 0,03 a
0,57 0,06 a
0,36 0,09 a
1,11 0,08 a
0,71 0,15 a
2,40 0,08 b
0,50 0,15 a
0,48 0,07 a
0,92 0,30 a
0,57 0,11 ab
2,88 0,03 c
0,47 0,16 a
0,31 0,04 a
0,89 0,06 a
0,47 0,12 ab
2,51 0,17 b
0,42 0,07 a
0,31 0,09 a
0,77 0,13 a
0,38 0,09 b
Fosfor
1
0,087 0,006 a
0,033 0,006 a
0,037 0,006 a
0,037 0,006 a
0,043 0,006 a
0,080 0,000 a
0,047 0,015 a
0,033 0,006 a
0,057 0,012 a
0,037 0,006 a
0,083 0,006 a
0,040 0,000 a
0,033 0,006 a
0,047 0,012 a
0,033 0,006 a
0,080 0,010 a
0,030 0,01 a
0,080 0,010 a
0,040 0,010 a
0,030 0,010 a
Kalium
1
0,14 0,01 a
0,29 0,11 a
0,15 0,05 a
0,30 0,11 a
0,14 0,02 a
0,16 0,04 ab
0,28 0,08 a
0,18 0,05 a
0,34 0,12 a
0,21 0,04 a
0,21 0,03 b
0,20 0,04 a
0,15 0,05 a
0,21 0,06 a
0,16 0, 05 a
0,15 0,005 ab
0,16 0,05 a
0,12 0,02 a
0,17 0,02 a
0,14 0,05 a
Kalsium
56
0,64 0,25 a
0,68 0,13 b
0,28 0,16 a
0,57 0,13 a
0,29 0,01 a
0,74 0,18 a
0,64 0,30 b
0,52 0,28 a
0,68 0,04 a
0,47 0,13 a
57
3
0,92 0,23 a
0,29 0,08 ab
0,27 0,09 a
0,43 0,23 a
0,32 0,11 a
0,68 0,13 a
0,20 0,01 a
0,17 0,01 a
0,65 0,16 a
0,26 0,12 a
Magnesium
1
0,17 0,02 ab
0,14 0,01 a
0,08 0,06 a
0,06 0,02 a
0,06 0,01 a
0,24 0,03 b
0,13 0,08 a
0,09 0,30 a
0,12 0,03 a
0,10 0,11 a
0,15 0,03 a
0,08 0,01 a
0,05 0,02 a
0,14 0,07 a
0,08 0,02 a
0,17 0,02 a
0,05 0,02 a
0,04 0,01 a
0,11 0,07 a
0,05 0,01 a
Tabel 9.
Umur (th)
MAI D2 (cm/tahun)
(cm)
1
2,71
2,71
5,31
2,66
7,81
2,60
10,20
2,55
12,49
2,50
2. Tinggi total
Berdasarkan hasil analisa data tinggi total untuk tegakan pada daur 2 diperoleh bentuk kurva
dengan persamaan H2 = -36,98 + 36,98e 0,0580 X dengan R2 = 0,9545. Pertumbuhan tinggi total
tanaman tahun berjalan menunjukkan kecenderungan yang terus menurun sampai tanaman berumur
57
58
5 tahun. Pertumbuhan riap tinggi total tahun berjalan mencapai maksimal terjadi pada saat tanaman
berumur 1 tahun yaitu 2,36 m/tahun (Tabel 10).
Tabel 10. Prakiraan pertumbuhan tinggi total pada tegakan daur 2 di hutan tanaman A.
mangium berdasarkan pemilihan model terbaik
Umur (th)
MAI H2 (m/tahun)
2,36
2,36
4,68
2,34
6,94
2,31
9,15
2,29
11,30
2,26
Hasil penetapan model pendugaan biomassa pada tegakan hutan tanaman A. mangium dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11.
Bagian
Tanaman
Model Pendugaan
R2
MS
Fhit
Daun
0,7950
31,07
64,00 **
Cabang
0,7980
284,45
65,28 **
Kulit
0,9070
171,62
161,27 **
Batang
0,8260
7327,41
78,09 **
Total
0,8990
14621,00 146,77 **
58
59
Keterangan : W = biomasssa
D = diameter batang
Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh dan Pertumbuhan antara Daur 1 dengan Daur 2
1. Peninggi tegakan
Hasil analisis uji kesamaan slope dan intercept 2 model dengan menggunakan pendekatan regresi
sederhana didapatkan persamaan :
P1 = -1,61 + 1,09 P2 R2 = 0,9040.
Hasil pengujian sidik ragam terhadap persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa berbeda
sangat nyata.
Uji statistik untuk pengujian slope kurva (b) didapatkan t hitung = (1,09 - 1) /0,1128 =0,79787,
dimana nilai P sebesar 0,7804 pada selang kepercayaan 95 %. Jadi dapat disimpulkan bahwa
kedua kurva mempunyai kesamaan dalam slope kurva.
Uji statistik untuk pengujian intercept (a) didapatkan t hitung (a) = (-1,61 - 1)/ 1,221 = -2,13759,
dimana nilai P sebesar 0,0261 pada selang kepercayaan 95 %. Jadi dapat disimpulkan bahwa
kedua kurva mempunyai intercept yang berbeda.
Hasil analisa data peninggi untuk daur 1 diperoleh kurva dengan bentuk persamaan P1 =
35,47 - 35,47e
-0,1392 X
111,45 - 111,45e
-0,0277 X
tanaman A. mangium pada umur 1 tahun pada daur 1 rata-rata adalah 4,61 m, sedangkan pada
daur 2 peninggi tegakan sebesar 3,04 m, dengan demikian pada tahun pertama telah terjadi
penurunan peninggi sebesar 1,57 m (34 %). Perubahan peninggi tegakan ini terus menurun sampai
tanaman berumur 5 tahun, dengan selisih pertumbuhan peninggi sebesar 3,38 m (19 %). Hal
tersebut menunjukkan bahwa dibandingkan daur 1 maka pada daur 2 telah terjadi penurunan
kualitas tempat tumbuh (Tabel 12).
Tabel 12. Prakiraan perubahan peninggi tegakan antara daur 1 dengan daur 2 di lokasi
penelitian
59
60
Umur
Peninggi tegakan
Peninggi tegakan
(th)
Daur 1 (m)
daur 2 (m)
4,61
3,04
- 1,57
-34
8,62
6,01
- 2,61
-30
12,11
8,89
- 3,22
-27
15,14
11,69
- 3,45
-23
17,79
14,41
- 3,38
-19
R2 = 0,9630.
Hasil pengujian sidik ragam terhadap persamaan regresi menunjukkan perbedaan sangat nyata.
Uji statistik untuk pengujian slope kurva (b) didapatkan t hitung = (0,934 - 1) /0,0575 =
1,14783, dimana nilai P sebesar 0,1359 pada selang kepercayaan 95 %.
Jadi dapat
Jadi dapat
60
61
Tabel 13. Prakiraan perubahan diameter batang pohon antara daur 1 dengan daur 2 di lokasi
penelitian
Umur
Diameter batang
Diameter batang
Perubahan diameter batang
(th)
cm
3,74
2,71
-1,03
-28
6,96
5,31
-1,65
-24
9,71
7,81
-1,90
-20
12,08
10,20
-1,88
-16
14,11
12,49
-1,62
-11
Keterangan :
D1 : Data diameter batang pohon yang dikumpulkan Saharjo (1999) pada tegakan daur 1
D2 : Data diameter batang pohon hasil penelitian pada tegakan daur 2
Tinggi total
Hasil analisis uji kesamaan slope dan intercept 2 model dengan menggunakan pendekatan regresi
sederhana didapatkan persamaan :
H1 = - 0,88 + 1,33 H2 R2 = 0,9180
Hasil pengujian sidik ragam terhadap persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa berbeda
sangat nyata.
Uji statistik untuk pengujian slope kurva (b) didapatkan t hitung = (1,33 - 1) /0,1253 = 2,63368,
dimana nilai P sebesar 0,9897 pada selang kepercayaan 95 %.
-0,1212 X
tanaman A. mangium pada umur 1 tahun pada daur 1 sebesar 4,14 m, sedangkan pada daur
2 tahun 1 tinggi total sebesar 2,36 m, dengan demikian pada tahun pertama daur 2 telah terjadi
61
62
penurunan tinggi total sebesar 1,78 m (43 %). Selisih tinggi total antara daur 1 dengan daur 2
terus menurun sampai tanaman umur 5 tahun (Tabel 14).
Tabel 14. Prakiraan perubahan tinggi total tegakan antara daur 1 dengan daur 2 di lokasi
penelitian
Umur
(th)
Tinggi total
(H1) daur 1 (m)
Tinggi total
(H2) daur 2 (m)
1
2
3
4
5
4,14
7,81
11,07
13,95
16,50
2,36
4,68
6,94
9,15
11,30
- 1,78
- 3,13
- 4,13
- 4,80
- 5,20
- 43
- 40
- 37
- 34
- 31
Keterangan :
H1 : Data tinggi total yang dikumpulkan Saharjo (1999) pada tegakan daur 1
H2 : Data tinggi total hasil penelitian pada tegakan daur 2
Tabel 15. Prakiraan biomassa tegakan pada daur 1 dan daur 2 di lokasi penelitian
62
63
Bagian
Biomassa
Biomassa
Perubahan biomassa
tanaman
daur 1 (ton/ha)
daur 2 (ton/ha)
ton/ha
Daun
2,731
2,381
- 0,350
- 13
Cabang
7,318
6,162
- 1,157
- 16
Batang
33,705
27,199
- 6,506
- 19
Kulit
5,381
4,425
- 0,956
- 18
Total
49,135
40,167
- 8,968
- 18
4. Distribusi biomassa
Berdasarkan hasil pendugaan biomassa maka dilakukan pembagian distribusi biomassa bagian
tanaman pada batang, kulit, cabang dan daun. Distribusi biomassa bagian tanaman dilakukan pada
saat tanaman akan ditebang (panen). Hasil perhitungan distribusi biomassa bagian tanaman dapat
dilihat pada Tabel 16.
Uraian distribusi biomassa bagian tanaman seperti daun, cabang, kulit dan batang pada daur 1 dan
daur 2 pada hutan tanaman A. mangium, secara berurutan dari yang tertinggi sampai terendah
yaitu batang > cabang > kulit > daun.
menyebabkan terjadinya penurunan persentase biomassa batang pada daur 2 sebesar 68,6 % pada
daur 1 menurun menjadi 67,8 % pada daur 2 (Tabel 16).
Tabel 16. Distribusi biomassa tegakan pada daur 1 dan daur 2 di hutan tanaman A.
mangium
Bagian tanaman
Biomassa daur 1
Biomassa daur 2
ton/ha
ton/ha
Batang
33,705
68,6
27,199
67,8
Kulit
5,381
11,0
4,423
11,0
Cabang
7,318
14,9
6,162
15,3
Daun
2,731
5,5
2,381
5,9
Biomassa total
49,135
100
40,167
100
63
64
64
65
daun. Nampaknya ada indikasi bahwa semenjak daur 1 tanaman telah mengalami defisiensi hara K,
sehingga menyebabkan jaringan meristem seperti kulit dan daun memiliki persentase terendah (Tabel
17). Penurunan kandungan K bagian tanaman pada daur 2 yang tertinggi sampai yang terendah
yaitu cabang > daun > batang > kulit. Penurunan kualitas tempat tumbuh pada daur 2 telah
menyebabkan penurunan K pada kulit terendah, hal ini mungkin terkait dengan fungsi K untuk
memperkuat batang dan sebagai jaringan meristem (Tabel 18).
Persentase kandungan Ca bagian tanaman pada daur 1 dan daur 2 dari yang tertinggi sampai
yang terendah yaitu batang > cabang > kulit > daun. Ca merupakan hara yang tidak
ditranslokasikan karena sebagai penyusun dinding sel. Hal ini yang menyebabkan kandungan Ca
pada batang dan cabang lebih tinggi dibandingkan persentase kandungan Ca pada kulit dan daun
(Tabel 17). Penurunan kandungan Ca bagian tanaman pada daur 2 yang tertinggi sampai yang
terendah yaitu batang > kulit > cabang > daun. Hal ini menerangkan adanya indikasi bahwa
defisiensi hara Ca telah terjadi semenjak awal pertumbuhan yang ditunjukkan dengan penurunan Ca
pada batang terbesar (Tabel 18).
Persentase kandungan Mg bagian tanaman pada daur 1 dan daur 2 dari yang tertinggi sampai
yang terendah yaitu batang > cabang > kulit > daun. Pada daur 2 menunjukkan terjadinya
peningkatan persentase Mg pada daun bila dibandingkan dengan daur 1. Mg merupakan hara
mobile yang menyusun klorofil.
terjadinya penurunan kualitas tempat tumbuh, Mg akan diakumulasikan pada daun (Tabel 17).
Penurunan kandungan Mg bagian tanaman pada daur 2 yang tertinggi sampai yang terendah yaitu
batang
65
>
kulit
>
cabang
>
daun
(Tabel
18).
Tabel 17. Besarnya biomassa dan kandungan hara N, P, K , Ca dan Mg yang diangkut dan ditinggalkan rata-rata per ha akibat pemanenan
tegakan
Bagian Pohon
Biomassa
ton/ha
%
Rotasi 1
1. Diangkut pada saat pemanenan
a. Batang
33,7
68,6
b. Kulit
5,4
11
Jumlah 1
39,1
79,6
2. Ditinggalkan pada saat pemanenan
a. Cabang
7,3
14,9
b. Daun
2,7
5,5
Jumlah 2
10,0
20,4
Jumlah (1 + 2)
49,1
100
Rotasi 2
1. Diangkut pada saat pemanenan
a. Batang
27,2
67,8
b. Kulit
4,4
11,0
Jumlah 1
31,6
78,8
2. Ditinggalkan pada saat pemanenan
a. Cabang
6,2
15,3
b. Daun
2,4
5,9
Jumlah 2
8,6
21,2
Jumlah (1+2)
40,2
100
Ca
Mg
kg/ha
kg/ha
kg/ha
kg/ha
kg/ha
155,0
63,5
218,5
40,1
16,4
56,5
53,9
11,0
64,9
63,3
12,9
76,2
148,3
20,4
168,7
44,9
6,2
51,1
104,5
28,5
133,0
56,5
15,4
71,9
23,6
5,9
29,5
56,6
14,1
70,7
82,0
86,0
168,0
386,5
21.2
22,3
43,5
100
11,6
8,7
20,3
85,2
13,6
10,2
23,8
100
126,0
35,8
161,8
330,5
38,1
10,8
48,9
100
31,5
20,5
52,0
185,0
17,0
11,1
28,1
100
7,3
4,9
12,2
41,7
17,5
11,8
29,3
100
97,9
40,7
138,6
43,0
17,9
60,9
9,0
2,0
11,0
59,2
13,2
72,4
40,8
11,5
52,3
57,9
16,3
74,2
84,3
23,5
107,8
55,4
15,4
70,8
19,0
4,9
23,9
55,3
14,2
69,5
30,2
58,6
88,8
227,4
13,3
25,8
39,1
100
2,3
1,9
4,2
15,2
15,1
12,5
27,6
100
14,2
4,0
18,2
70,5
20,1
5,7
25,8
100
26,5
17,9
44,4
152,2
17,4
11,8
29,2
100
6,2
4,3
10,5
34,4
18,0
12,5
30,5
100
65
Tabel 18. Prakiraan kandungan rata-rata per ha dari unsur hara N, P, K, Ca dan Mg yang diangkut
dan ditinggalkan pada saat pemanenan tegakan
Bagian tanaman
Daur 1
(kg/ha)
Nitrogen
Diangkut pada saat pemanenan
Batang
155,0
Kulit
63,5
Jumlah 1
218,5
Ditinggalkan pada saat pemanenan
Cabang
82,0
Daun
86,0
Jumlah 2
168,0
Fosfor
Diangkut pada saat pemanenan
Batang
53,9
Kulit
11,0
Jumlah 1
64,9
Ditinggalkan pada saat pemanenan
Cabang
11,6
Daun
8,7
Jumlah 2
20,3
Kalium
Diangkut pada saat pemanenan
Batang
148,3
Kulit
20,4
Jumlah 1
168,7
Ditinggalkan pada saat pemanenan
Cabang
126,0
Daun
35,8
Jumlah 2
161,8
Daur 2
(kg/ha)
97,9
40,7
138,6
- 57,1
- 22,8
- 79,9
37
36
37
30,2
58,6
88,8
- 51,8
- 27,4
- 79,2
63
32
47
9,0
2,0
11,0
- 44,9
- 9,0
- 53,9
83
81
83
2,3
1,9
4,2
- 9,3
- 6,8
- 16,1
80
78
79
40,8
11,5
52,3
- 107,5
- 8,9
- 116,4
72
44
69
14,2
4,0
18,2
- 121,8
- 31,8
- 143,6
96
89
89
84,3
23,5
107,8
- 20,2
- 5,0
- 25,2
19
18
19
26,5
17,9
44,4
- 5,0
-2,6
- 7,6
16
13
15
- 4,6
- 1,0
- 5,6
19
17
19
Kalsium
Diangkut pada saat pemanenan
Batang
104,5
Kulit
28,5
Jumlah 1
133,0
Ditinggalkan pada saat pemanenan
Cabang
31,5
Daun
20,5
Jumlah 2
52,0
Magnesium
Diangkut pada saat pemanenan
Batang
23,6
Kulit
5,9
Jumlah 1
29,5
Ditinggalkan pada saat pemanenan
19,0
4,9
23,0
66
Cabang
Daun
Jumlah 2
7,3
4,9
12,2
6,2
4,3
10,5
- 1,1
- 0,6
- 1,7
15
12
14
Pembahasan
tidak dilakukan
penjarangan, karena seluruh produksi kayu digunakan untuk mensuplai kebutuhan bahan baku pulp
PT TELP.
Hasil analisa persamaan regresi hubungan sifat-sifat tanah dengan peninggi serta uji kesamaan
slope dan intercept 2 model pada peninggi tegakan daur 1 dan daur 2 menunjukkan bahwa telah
terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh pada daur 2 dibandingkan dengan daur 1. Penurunan
kualitas tempat tumbuh pada daur 2 menjadi penyebab utama karena pemanenan tegakan pada
daur 1 telah menyebabkan hilangnya biomassa sebanyak 39,1 ton/ha (79,5 %) dan unsur hara N
sebanyak 218,5 kg/ha (56,5 %), P sebanyak 64,9 kg/ha (76,5 %), K sebanyak 168,7 kg/ha (51,1
%), Ca sebanyak 133,0 kg/ha (71,9 %) dan Mg sebanyak 29,5 kg/ha (70,7 %) pada lahan
tersebut. Sanchez (1976) menyatakan bahwa penelitian di daerah tropis dari beberapa negara
(Zaire, Ghana, Panama dan Puertorico) menunjukkan bahwa bagian biomassa pada bagian utama
dari hutan dapat dikatakan tetap, kira-kira 75 % biomassa terdiri dari batang pohon, 15 - 20 %
bagian akar, 4 % bagian daun dan 1-2 % bagian serasah.
Hasil penelitian ini sesuai apa yang terjadi di Australia Selatan bahwa dilaporkan telah terjadi
penurunan produktivitas hutan tanaman Pinus radiata pada daur 2 karena pengurangan unsur hara
yang disebabkan oleh kegagalan dalam konservasi bahan organik (Evans, 2000). Demikian juga
dilaporkan di Cina telah terjadi penurunan produktivitas hutan tanaman Cunninghamia lanceolata
pada daur 2 yang disebabkan oleh pemanenan serasah dan tumbuhan bawah terus menerus untuk
67
bahan bakar (Evans, 2000). Hasil penelitian berdasarkan simulasi terhadap parameter-parameter
model dan plot permanen di areal hutan HPH PT Inhutani II diperoleh hasil, bahwa sistem
pengelolaan hutan alam setelah tebangan bila proses pemulihannya diserahkan pada alam melalui
proses suksesi sekunder menghasilkan respons simulasi rotasi tebang I setelah penebangan sekitar
24 tahun dan rotasi tebang II membutuhkan waktu 37 tahun, sedangkan hasil verifikasi model
simulasi pada HPH PT Ratah Timber Co menghasilkan respon simulasi rotasi tebang I setelah
penebangan sekitar 30 tahun dan rotasi tebang II membutuhkan waktu sekitar 43 tahun (Indrawan,
2000). Namun Hardiyanto (2004) menyebutkan bahwa produktivitas hutan tanaman A. mangium
pada daur 2 di PT MHP tidak hanya dipertahankan tetapi justru dapat ditingkatkan melalui
penggunaan materi genetik unggul, pengendalian gangguan pada lahan minimum, managemen bahan
organik (sisa hasil panen), masukan unsur hara dan pengendalian gulma.
Penurunan kualitas tempat tumbuh pada daur 2 sebesar 1,57 m (34 %) ternyata diikuti oleh
terjadinya penurunan diameter batang (28 %), tinggi total (43 %) dan biomassa (18 %). Penurunan
diameter batang, tinggi total dan biomassa tegakan pada daur 2 disebabkan karena dimensi
diameter batang, tinggi total dan biomassa merupakan fungsi turunan dari peninggi tegakan.
Pengamatan pada daur 2 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan riap diameter batang pohon dan
tinggi total terbesar terjadi pada tahun pertama dan akan terjadi penurunan laju pertumbuhan sampai
dengan tanaman berumur 5 tahun. Hal ini berarti bahwa laju pertumbuhan diameter batang pohon
dan tinggi total pada awal pertumbuhan merupakan hal yang harus dipertahankan pada tingkat
pertumbuhan yang normal. Sehingga pertumbuhan tegakan pada tahun-tahun awal merupakan hal
yang terpenting dari keseluruhan pertumbuhan pohon. Kehilangan pertumbuhan dimensi tegakan
pada tahun awal sangat membahayakan kelestarian pengusahaan HTI dan koreksi terhadap
kehilangan pertumbuhan tegakan pada tahun awal melalui pemberian input hara dan teknik silvikultur
pada tahun berikutnya kurang
pertumbuhan tegakan. Hal ini disebabkan fase sensitif pertumbuhan organ vegetatif tanaman sudah
dilampaui. Menurut Arisman dan Widyarsono (1999) hasil penelitian dari studi perlakuan pupuk
pada tanaman A. mangium, di PT MHP disimpulkan bahwa waktu pemupukan yang memberikan
respon yang paling baik bagi percepatan pertumbuhan tanaman adalah saat penanaman sampai
68
tanaman berumur 1 bulan dan semakin tua umur tanaman saat pemupukan dilaksanakan akan
memberikan respon yang semakin berkurang.
Peninggi tegakan secara prinsipnya dipengaruhi faktor genetik, faktor sifat-sifat tanah dan sistem
silvikultur (pengelolaan). Hasil penelusuran beberapa literatur menyebutkan untuk faktor genetik
dan sistem silvikultur (sistem pengelolaan) relatif hampir sama antara daur 1 dan daur 2. Hal-hal
yang berbeda pada daur 2 adalah mulai dicobanya beberapa petak dengan provenans jenis baru,
pembangunan persemaian menetap, pola jarak tanam dengan 3 m x 3 m dan pengendalian
kebakaran (Djojosoebroto, 2003; Hardiyanto, 2004), sehingga yang mempengaruhi
peninggi
berkorelasi positif yaitu umur, bahan organik tanah dan kandungan air
tersedia, sedangkan biomassa bintil akar berkorelasi negatif. Setelah umur tanaman maka bahan
organik tanah merupakan faktor yang berkorelasi sangat erat terhadap peninggi tegakan. Penelitian
ini menunjukkan bahwa sifat kimia tanah lebih banyak mempengaruhi peninggi tegakan. Hal ini
disebabkan karena A. mangium adalah tanaman cepat tumbuh memerlukan unsur hara yang
banyak untuk pertumbuhannya sehingga menyebabkan unsur hara dari tanah akan cepat terkuras.
Hal ini sesuai dengan penelitian Latifah (2000) yang menunjukkan bahwa selain umur tanaman maka
bahan organik tanah merupakan sifat tanah yang paling berkorelasi terhadap peninggi tegakan A.
mangium.
Pada daur 2 kadar C organik tanah mengalami penurunan rata-rata sebesar 0,58 %, dimana pada
daur 1 kadar C organik tanah rata-rata sebesar 4,10 % dan menurun pada daur 2 dengan kadar C
organik tanah rata-rata sebesar 3,52 % (14 %) (Tabel 2; Lampiran 3). Penurunan bahan organik
tanah ini diduga terkait dengan kegiatan pemanenan tegakan, kebakaran hutan dan erosi.
Pemanenan tegakan pada daur 1 telah menyebabkan hilangnya biomassa batang dan biomassa
kulit sebesar 39,1 ton/ha (79,6 %), hal ini tentunya menjadi penyebab utama menurunnya sumber
bahan organik di lokasi penelitian. Pemanenan tegakan telah menyebabkan siklus hara pada hutan
tanaman terputus dan hilangnya sebagian besar biomassa tegakan hutan.
Ada suatu kecenderungan pada daur 1 bahwa dengan meningkatnya umur tanaman terjadi
penurunan C organik tanah, hal ini diduga terkait dengan kebakaran hutan dan lahan yang sering
69
terjadi di lokasi penelitian sehingga menyebabkan menurunnya kadar C organik tanah. Sedangkan
pada daur 2 menunjukkan bahwa kebakaran hutan sudah dapat dikendalikan oleh pihak perusahaan
dengan baik, namun dalam penyiapan lahan (land clearing) tampaknya perusahaan masih
melakukan kegiatan pembakaran, hal ini ditunjukkan dengan menurunnya C organik tanah sebesar
1,12 % yaitu dari 2,56 % pada umur 4 tahun daur 1 menurun menjadi 1,44 % pada umur 1 tahun
daur 2.
dilakukan pada daur 2 oleh pihak PT MHP, dimana pada tahun 2001 ditemukan 20 hotspot, tahun
2002 ditemukan 139 hotspot dan tahun 2003 ditemukan 168 hotspot. Hal ini sesuai dengan
penelitian Hasanuddin (2005) yang melaporkan bahwa di Kabupaten Muara Enim, dimana PT
MHP berada di wilayah kabupaten tersebut terdapat 554 hotspot.
Penelitian Mujiastuti (1999) melaporkan bahwa kegiatan pembakaran lahan di lokasi penelitian
telah menyebabkan terjadinya penurunan C organik tanah sebesar 0,50 % yaitu pada tegakan A.
mangium yang tidak terbakar sebesar 1,83 % turun menjadi 1,33 % pada tegakan A. mangium
yang terbakar.
Penelitian Wijaya (2000) menunjukkan hal yang sama bahwa pembakaran pada
tegakan hutan Pinus merkusii KU I juga menurunkan kandungan C organik sebesar 0,19 %.
Menurut penelitian Mahbubi (1999) pada lahan hutan tanaman A. mangium yang terbakar akan
terjadi peningkatan kehilangan tanah akibat erosi sebesar 1947 kg/ha, bahan organik sebesar 27
kg/ha dan N total sebesar 4 kg/ha. Menurut Roose dan Barthes (2001), konversi hutan menjadi
lahan pertanian telah menyebabkan peningkatan kehilangan deposit karbon di tanah melalui proses
erosi, aliran permukaan dan pencucian, dimana pada hutan kehilangan deposit karbon tanah sebesar
88,1 kg/ha/th dan meningkat menjadi 1.872,8 kg/ha/th.
Masalah yang dihadapi pada tanah yang ditanami terus menerus adalah merosotnya kadar
bahan organik tanah.
berbahaya karena mengakibatkan produksi tanaman menjadi menurun (Killham, 1999). Penelitian
menunjukkan konversi hutan alam menjadi HTI telah menyebabnya hilangnya lapisan bahan organik
(horison O) pada permukaan tanah (Subroto dan Iriansyah, 1998). Hal ini juga sesuai dengan
penelitian di Vietnam bahwa konversi hutan alam menjadi pohon buah-buahan, perkebunan teh,
tanaman jagung dan tanaman ubi kayu telah menyebabkan menurunnya bahan organik, dimana C
organik tanah pada hutan alam sebesar 3,01 %, pohon buah-buahan sebesar 2,70 %; kebun teh
70
sebesar 2,64 %; tanaman jagung sebesar 1,88 % dan tanaman ubi kayu sebesar 1,75 % (Nguyen
The Dang dan Klinnert, 2001). Demikian juga penelitian di Brazil bahwa konversi hutan alam
menjadi lahan pertanian telah menyebabkan terjadinya penurunan bahan organik tanah, dimana
kandungan bahan organik pada hutan alam sebesar 47,8 Mg/ha dan lahan pertanian sebesar 37,3
Mg/ha (Machado dan Silva, 2001).
Penelitian ini menunjukkan bahwa PT MHP telah mengalami kegagalan dalam melakukan
konservasi bahan organik tanah, dan nampaknya secara umum kandungan bahan organik
merupakan tumpuan pihak PT MHP untuk meningkatkan pertumbuhan tegakan pada daur 1 dan
daur 2. Untuk itu guna mempertahankan kandungan bahan organik tanah dan pertumbuhan tegakan
A. mangium pada daur 2 dianjurkan PT MHP melakukan pemberian bahan organik seperti
pengembalian biomassa kulit yang dipanen melalui penggunaan sebagai media tumbuh semai dan
melakukan pemupukan untuk mengganti unsur hara hilang akibat pemanenan tegakan serta
melakukan pengendalian kebakaran lahan dan hutan.
Penelitian Mulyana (2000) menunjukkan bahwa pemberian pupuk NPK 10 g/tanaman dan
bahan organik berupa pupuk kandang 4 kg/tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan anakan
damar (Agathis loranthifolia) pada tanah Latosol Darmaga untuk tinggi total sebesar 95 %,
diameter batang sebesar 51 % dan jumlah cabang sebesar 61 %. Penelitian Supangkat (1997)
menunjukkan bahwa pemberian kompos 100 kg/ha pada tanah Regosol Garut telah meningkatkan
pertumbuhan semai pinus (Pinus merkusii) untuk tinggi total sebesar 43 %, diameter batang
sebesar 340 % dan bobot kering sebesar 76 %, demikian pula penelitian Basuki (1998)
menunjukkan penanaman pinus di tanah Dystropepts dan Hapludults bahwa pemberian pupuk
kandang 1000 g/batang secara sangat nyata dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi total sebesar
38,5 cm dan diameter batang, sebesar 10,72 mm. Penelitian Sumarhani (1998) memberikan hasil
bahwa penggunaan pupuk kandang dengan dosis 2 kg per lubang tanaman mahoni, dapat
meningkatkan pertumbuhan tinggi sebesar 3,7 cm/12 minggu, diameter batang sebesar 0,25 cm/12
minggu dan persen hidup sebesar 91 %.
Menurut Sudrajat (1999), pemanenan tegakan akan menyebabkan siklus hara terputus di hilir
(kota) dan tidak pernah kembali ke daerah hulu. Kiat pengolahan sampah kota menjadi pupuk
organik (kompos) merupakan rantai penyambung siklus hara yang terputus, yaitu apabila kompos
71
itu dapat digunakan di daerah hulu (hutan) antara lain sebagai pupuk untuk areal HTI. Pemanfaatan
kompos dari limbah sampah kota (domestik) dan limbah panen merupakan cara untuk
meningkatkan kadar bahan organik dan unsur hara pada lahan hutan. Menurut Nguyen The Dang
dan Klinnert
72
1,62 dimana pada daur 1 pH tanah rata-rata sebesar 5,95 dan menurun pada daur 2 menjadi ratarata sebesar 4,33 (Tabel 2; Lampiran 4).
Nilai pH tanah daur 1 lebih tinggi dibandingkan pada daur 2. Hal ini terjadi akibat kegiatan
pemanenan tegakan daur 1. Pada daur 1 tanaman telah mengambil basa-basa tanah yang kemudian
diakumulasikan pada biomassa, dimana pada umumnya tanah-tanah tropis unsur hara tersimpan
pada biomassa, sehingga pemanenan tegakan daur 1 telah menyebabkan hilangnya unsur hara pada
lahan.
Kondisi pH tanah pada daur 1 sekitar 5,2 - 6,2. Sehingga secara umum ketersediaan unsur
hara daur 1 yang lebih baik dibandingkan daur 2. Sehingga pada daur 1 akan menciptakan
pertumbuhan akar dan tegakan tanamanan secara lebih baik, karena umumnya unsur hara tanah
akan tersedia secara maksimal pada pH mendekati netral dengan nilai pH berkisar sekitar 6,5 - 7,0
(Killham, 1999). Penelitian menunjukkan bahwa tegakan hutan tanaman A. mangium masih dapat
tumbuh pada pH berkisar 4,40 - 5,80 (Astuti, 1998), sehingga tanaman A. mangium merupakan
jenis yang toleran terhadap kondisi tanah yang masam.
Kondisi pH tanah pada daur 1 yang cukup baik tersebut diduga terkait dengan kebakaran lahan dan
hutan yang terjadi di lokasi penelitian (Djojosoebroto, 2003 b; Hardiyanto, 2004). Penyiapan
lahan dengan pembakaran lahan, dilakukan karena perusahaan diuntungkan karena murah,
mudah dan dapat menyediakan unsur hara secara cepat. Pengaruh pembakaran hutan dan
lahan terhadap peningkatan pH tanah dan unsur hara untuk memacu pertumbuhan tanaman
lebih bersifat temporal dan singkat, namun sangat membahayakan kualitas lahan untuk jangka
waktu yang panjang.
Penelitian Mujiastuti (1999) bahwa kegiatan pembakaran lahan dan hutan pada daur 1 dapat
meningkatkan pH tanah sebesar 2,8 yaitu pada lahan tidak terbakar sebesar 3,9 meningkat
menjadi sebesar 6,7 pada lahan terbakar. Demikian juga penelitian Villachica, Silva, Peres dan
Rocha (1990) bahwa kegiatan pembakaran lahan dan hutan pada jenis tanah Ultisol Peru
meningkatkan pH tanah sebesar 0,7 yaitu 4,1 pada lahan sebelum terbakar kemudian
meningkat menjadi 4,8 setelah satu bulan terbakar. Sehingga pembakaran lahan dan hutan
secara umum dapat meningkatkan pH tanah. Menurut Saharjo (1996) peningkatan pH dan
basa-basa tanah akan tergantung kepada jumlah biomassa bahan bakar yang tersedia.
73
Penelitian ini mengindikasikan bahwa pihak perusahaan tidak melakukan kegiatan pengapuran
dan pengelolaan secara intensif pada daur 1 maupun daur 2. Apabila kegiatan pengapuran atau
pengelolaan lahan dilakukan secara intensif maka pH tanah tidak menurun secara drastis seperti apa
yang telah terjadi pada daur 2. Hasil penelitian ini tentunya bertentangan dengan pernyataan
Djojosoebroto (2003 b) bahwa pada daur 2 kegiatan penanaman dilakukan secara lebih intensif
dibandingkan daur 1.
Penelitian Habish (1970) menginformasikan bahwa pembentukan bintil akar terbaik pada
Acacia sp pada kondisi pH sekitar 6,5 - 7,0, hal ini sesuai dengan penelitian Widiastuti (1998)
yang menyatakan bahwa kemampuan isolat Rhizobium pada tanaman A. mangium dan A.
crassicarpa tumbuh terbaik pada pH tanah sekitar 7. Sementara itu menurut Peoples et al. (1989),
pembentukan bintil akar oleh akar tanaman dengan bakteri Rhizobium akan mengalami penurunan
apabila kondisi pH tanah di bawah 5,5 atau lebih besar dari 7. Menurut penelitian Wasis (1996)
pemberian kapur dosis 1,5 x Al-dd pada tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) yang
ditumbuhkan pada media tanah masam dapat meningkatkan bobot bintil akar sebesar 152 %,
meningkatkan aktifitas spesifik nitrogenase sebesar 7,8510 mmol/g bobot kering bintil/jam dan
meningkatkan serapan N tanaman sebesar 10 %.
Pada tapak dimana pertumbuhan tanaman A. mangiumnya merana memperlihatkan akar
tunggang membelok ke samping, perakaran tidak berkembang dengan baik, akar sedikit, ukuran
akar lebih pendek, ujung-ujung akar membengkak, pendek gemuk, membatu, rapuh berwarna lebih
gelap dan tidak ditemukan bintil akar. Sebaliknya pada tapak yang tanaman A. mangiumnya
tumbuh normal menunjukkan perakaran banyak, akar sekunder banyak, akar halus (serabut)
banyak dan ditemukan banyak bintil akar ( Nursanti, 2003).
Sifat tanah lainnya yang berpengaruh terhadap peninggi tegakan yaitu kadar air tanah. Kadar
air tersedia berkorelasi positif secara nyata terhadap pertumbuhan peninggi pada hutan tanaman A.
mangium. Hal ini sesuai hasil penelitian Soedomo (1984) yang menunjukkan bahwa kadar air
tersedia berkorelasi positif dengan peninggi tegakan hutan tanaman Pinus merkusii.
Tanaman A. mangium merupakan jenis cepat tumbuh, secara umum untuk mendukung
pertumbuhannya secara maksimal maka diperlukan air dan unsur hara yang lebih banyak
dibandingkan jenis lainnya. Sehingga kemampuan tanah dalam menyediakan air tersedia akan
74
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Demikian juga penyediaan suplai air secara cukup diperlukan
untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai pernyataan Sumiasri et al (1990) bahwa
tanaman A. mangium untuk tumbuh dengan baik membutuhkan curah hujan sekitar 1500 - 4000
mm/tahun dan penyinaran matahari yang penuh.
Hasil uji coba penanaman A. mangium pada dua lokasi pada umur 2 tahun yaitu Darmaga
Bogor dan Cikampek menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi di Darmaga, Bogor lebih baik,
dimana pertumbuhan tinggi maksimal di Darmaga yaitu sebesar 6,16 m dan di Cikampek maksimal
sebesar 3,77 m (Soemarna dan Subiakto, 1989). Hal tersebut disebabkan perbedaan besarnya
curah hujan. Air merupakan komponen utama dalam proses fotosintesa, sehingga tanaman A.
mangium yang tumbuh pada tanah yang kering akan mempunyai fotosintesa lebih rendah
dibandingkan yang tumbuh pada lahan yang basah.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa memang telah terjadi penurunan kadar N rata-rata
jaringan tanaman sebesar 0,47 % pada daur 2. Penurunan kadar N dari yang tertinggi sampai
terendah secara berurutan yaitu daun > akar > cabang > kulit > batang. (Lampiran 16).
Pemanenan tegakan A. mangium pada daur 1 secara nyata telah menyebabkan terjadinya
penurunan kadar N pada seluruh bagian tanaman pada daur 2. Hasil ini sesuai dengan hasil
penelitian Manan (1974) yang melaporkan bahwa pemanenan tegakan hutan akan menyebabkan
kehilangan N sebesar lebih dari 198 %. Tanaman yang tumbuh harus mengandung N dalam jumlah
yang cukup untuk membentuk sel-sel baru. Fotosintesis menghasilkan karbohidrat dari CO2 dan
H2O namun proses tersebut tidak dapat berlangsung untuk menghasilkan protein, asam nukleat dan
sebagainya bilamana N tidak tersedia. Dengan demikian bilamana terjadi kekurangan N yang hebat
akan menghentikan proses pertumbuhan dan reproduksi. Kekurangan N merupakan salah satu
penyebab mengapa pertumbuhan tegakan A. mangium demikian buruk pada daur 2.
Menurut Lutz dan Chandler (1965), pemberian pupuk N secara nyata akan meningkatkan
kadar N jaringan pada semua jenis tanaman hutan. Hal ini dapat dilakukan untuk mengatasi
timbulnya defisiensi hara N pada tanaman.
75
kadar N pada daun mempengaruhi semua pertumbuhan pada tinggi, diameter dan produksi berat
kering (biomassa) pada tanaman A. mangium. Sebagian N yang tersedia ditranslokasikan dan
digunakan oleh bagian-bagian lainnya yang sedang tumbuh (Kramer dan Kozlowski, 1960; Devlin,
1960; Bidwell, 1979; Fisher dan Binkley, 2000). Kekurangan N membatasi produksi asam amino
dan protein dan bahan-bahan penting lainnya dalam pembentukan sel-sel baru.
Kecepatan
pertumbuhan tanaman akan berjalan proporsional dengan suplai N (Meyer, Anderson dan Bohning,
1960; Fisher dan Binkley, 2000).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kadar hara P pada daur 2 ratarata sebesar 0,159 %, dimana penurunan kadar P dari yang tertinggi sampai terendah secara
berurutan yaitu daun > kulit > akar > batang > cabang. Dengan menurunnya kadar P jaringan
tanaman pada daur 2 secara nyata telah menyebabkan terjadinya penurunan proses metabolisme
dan pertumbuhan tanaman A. mangium (Lampiran 22).
Di dalam tanaman unsur P merupakan unsur yang mobil dan bilamana terjadi kekurangan unsur
ini pada tanaman maka unsur P pada jaringan tua akan ditranslokasikan kejaringan yang masih aktif
(Meyer et al, 1960; Bidwell, 1979). P sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan
pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena P banyak terdapat di dalam sel tanaman berupa
unit-unit nukleotida. Sedangkan nukleotida merupakan suatu ikatan yang mengandung P sebagai
penyusun RNA, DNA yang berperan dalam perkembangan sel tanaman (Meyer et al, 1960; Fisher
dan Binkley, 2000). Fosfor adalah penyusun fosfolipid, nucleoprotein, dan fitin, yang selanjutnya
akan banyak tersimpan dalam biji. P berperan aktif dalam mentransfer energi di dalam sel,
berfungsi mengubah karbohidrat dan meningkatkan efisiensi kerja kloroplas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kadar hara K pada daur 2 ratarata sebesar
0,85,
berurutan yaitu cabang > akar > daun > batang > kulit (Lampiran 28).
Fungsi hara K adalah membantu pembentukan pati (zat arang), bila tanaman tidak sama
sekali mengandung K, maka asimilasi akan berhenti. Bila tanaman mulai tumbuh, maka K dengan
cepat ditarik, karena kalium mudah bergerak atau ditranslokasikan kebagian lain. K juga berfungsi
sebagai katalisator proses fisiologis tanaman, proses metabolisme dalam sel, mempengaruhi
penyerapan unsur hara, mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan dan penyakit, dan membantu
76
perkembangan akar.
Membantu
pembentukan protein dari asam amino (Meyer et al, 1960; Geus, 1973; Bidwell, 1979; Binns et al
1980; Mengel dan Kirby, 1982).
Kegiatan pemanenan tegakan hutan tanaman A. mangium dilakukan pada saat tanaman
berumur sekitar 6 tahun, untuk mengetahui dampak penebangan terhadap kualitas tempat tumbuh
yang ada atau mempertahankan kesuburan tanah yang ada maka dapat dilakukan analisa neraca
hara. Hasil analisa neraca hara menunjukkan bahwa kandungan hara N, P, K, Ca dan Mg pada
tanah sudah merupakan pembatas utama pertumbuhan hutan tanaman A. mangium dan pemanenan
tegakan A. mangium pada daur 1 telah menyebabkan terjadinya pemiskinan hara tanah N, P,K,
Ca dan Mg tanah, yang mengakibatkan neraca hara negatif. Kegiatan pembakaran lahan dan
pemberian pupuk
diberikan ke tanaman A. mangium pada daur 2 belum cukup untuk mempertahankan kesuburan
tanah (kualitas tempat tumbuh) seperti pada daur 1. Pemupukan dan pembakaran lahan dalam
penyiapan lahan pada daur 2 nampaknya kurang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman A.
mangium (Lampiran 29).
Seperti telah diuraikan bahwa memang telah terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh yang
dicerminkan dengan peninggi pada daur 2 apabila dibandingkan daur 1. Hal tersebut telah
menyebabkan terjadinya penurunan kadar N, P dan K pada bagian tanaman, bahkan pada bagian
daun telah ditemukan adanya indikasi terjadinya defisiensi hara N, P, K, Ca dan Mg. Akibat lain
dengan terjadinya penurunan kualitas tempat tumbuh yaitu terjadinya penurunan diameter batang
pohon dan tinggi total tegakan hutan tanaman A. mangium secara nyata, dan hal tersebut juga telah
menyebabkan terjadinya penurunan biomassa tegakan serta telah menyebabkan terjadinya neraca
hara bersifat negatif.
Kondisi kualitas tempat tumbuh dan unsur hara pada daur 2 telah mengancam keberlanjutan
dan kelestarian di hutan tanaman A. mangium PT MHP. Cossalter dan Smith (2003) menyatakan
bahwa kehilangan unsur hara pada hutan tanaman industri (HTI) sangat nyata pada saat persiapan
lahan dan pemanenan hutan serta beberapa unsur hara akan hilang melalui erosi tanah.
Banyak
unsur hara yang dipindahkan pada saat persiapan lahan dan pemanenan tegakan sehingga sebagai
konsekuensinya maka pemupukan akan sangat disarankan.
77
Untuk mencapai pertumbuhan hutan tanaman A. mangium yang baik, dengan diasumsikan
tidak adanya kehilangan dan masuknya unsur hara dari lingkungan, maka untuk mempertahankan
tingkat pertumbuhan tanaman (mengganti hara yang hilang karena dipanen) seperti daur 1 maka
diperlukan input hara melalui pemupukan N sebanyak 218,5 kg/ha N (pupuk urea = 534
gram/tanaman), P sebanyak 64,9 kg/ha (pupuk TSP = 162 gram/tanaman, K sebanyak 168,7
kg/ha (pupuk KCl = 377 gram/tanaman), Ca sebanyak
gram/tanaman) dan Mg sebanyak 29,5 kg/ha (Kapur MgO = 184 gram/tanaman). Sementara itu
pada kegiatan penanaman daur 2 hanya diberikan input berupa pemupukan N berupa urea
sebanyak 30 gram/tanaman dan P berupa TSP sebanyak 70 gram/tanaman, sementara unsur K, Ca
dan Mg tidak diberikan, itupun hanya dilakukan pada daerah yang memiliki infrastruktur jalan yang
baik (tepi jalan). Hal ini sesuai dengan penelitian Anshori (1999) bahwa pemanenan tegakan A.
mangium umur 9 tahun di PT MHP akan menyebabkan kehilangan hara sebesar 375 kg/ha N; 9,3
kg/ha P; 73 kg/ha K; 267 kg/ha Ca dan 18 kg/ha Mg, sehingga secara langsung akan
mempengaruhi produktivitas tegakan pada daur berikutnya dan untuk mempertahankan
pertumbuhan perlu dilakukan teknologi pemupukan.
Dampak akibat pemberian input yang kurang berimbang dengan kebutuhan pertumbuhan hutan
tanaman A. mangium, inilah yang menyebabkan pada daur 2 terjadi penampakan tegakan hutan
tanaman A. mangium yang begitu buruk. Menurut Arisman (1999), upaya pemupukan dalam
pembuatan hutan tanaman merupakan hal yang relatif belum banyak dipraktekkan, karena
kesuburan tanah tidak begitu penting karena pohon tidak terlalu memerlukan untuk
pertumbuhannya. Apabila terjadi defisiensi terhadap unsur-unsur tertentu dapat diatasi dengan
pemupukan.
Guna terciptanya kelestarian hutan tanaman A. mangium maka langkah ke depan pihak
perusahaan PT MHP perlu melakukan penggantian terhadap tegakan hutan tanaman A. mangium
umur 1 tahun dan 2 tahun yang menunjukkan pertumbuhan tanaman yang buruk, dengan tanaman
baru yang memiliki genetik yang baik dengan pemberian input pupuk dan kapur yang cukup dan
berimbang serta aplikasi bioteknologi. Hal ini penting karena tanaman HTI untuk dipanen umumnya
memerlukan waktu yang lama, sehingga apabila ada kesalahan maka kerugian segi waktu untuk
investasi sangat besar. Menurut Soekotjo (1999) guna meningkatkan pertumbuhan hutan tanaman,
78
dengan penerapan bioteknologi seperti teknik sterilitas yaitu teknik menghambat perkembangan
organ reproduksi dan mengalihkan enersi yang ada untuk memacu pertumbuhan vegetatif seperti hal
yang sudah berhasi dicoba pada pohon Populus sp, dimana pohon ini dapat dipanen untuk bahan
pulp pada umur 5 tahun dan dapat diterapkan untuk pembangunan hutan tanaman A. mangium.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pemanenan tegakan daur 1 telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas tempat tumbuh
pada daur 2 secara signifikan yang dicerminkan oleh penurunan peninggi tegakan sebesar 3,38 m
(19%). Selain itu pemanenan tegakan pada daur 1 telah menyebabkan terjadinya penurunan
secara signifikan untuk rata-rata diameter batang pohon (11 %), rata-rata tinggi total tegakan (31
%), biomassa organ vegetatif (daun sebesar 13 %), biomassa organ non vegetatif (cabang
sebesar 16 %, kulit sebesar 18 % dan batang 19 %) dan biomassa total (18 %). Disamping itu
pemanenan tegakan daur 1 menyebabkan penurunan kandungan hara N, P, K, Ca dan Mg pada
bagian tanaman
2. Pada daur 2 dapat diketahui bahwa pertumbuhan tegakan hutan tanaman A. mangium di lokasi
penelitian secara nyata berkorelasi positif dengan umur, C organic tanah dan kadar air tersedia
tanah. Sedangkan biomassa bintil akar berkorelasi negatif dengan peninggi tegakan
Saran
1. Pihak perusahaan PT Musi Hutan Persada perlu melakukan penanaman secara intensif melalui
pemberian bahan organik (biomassa kulit), pupuk dan kapur secara cukup dan berimbang
2. Melakukan penggantian terhadap tegakan A. mangium daur 2 yang berumur sekitar 1- 2 tahun
yang menunjukkan pertumbuhan tanaman yang buruk , dengan tanaman baru
79
DAFTAR PUSTAKA
Adam, M. A and P. M. Attiwill. 1981. Role of Acacia sp. in regenerating, Eucalyptus regnans
F. Muel : temporal changes in biomass and nutrien content. Aust J. Bot. 32: 205-215.
Afwani, N. 1990. Pengaruh pemupukan anorganik N, P dan K terhadap pertumbuhan semai
jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Agus C., Sumardi., O. Karyanto, S, Hardiwinoto dan M. Na'iem. 1999. Tingkat pertumbuhan
dan kebutuhan unsur hara pada tegakan HTI Gmelina arborea Roxb. Dalam Eko B.
Hardiyanto. 2000. Proseding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Peluang dan Tantangan
Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Wanagama I,
Tanggal 1 - 2 Desember 1999. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yokyakarta.
Agus C., P. Lestari, O. Karyanto, S. Hardiwinoto dan M. Na'iem. 1999. Klasifikasi produktivitas
lahan dan kualitas tapak tegakan HTI Gmelina arborea Roxb. pada jenis tanah Typic
Hapludults. Dalam Eko B. Hardiyanto. 2000. Proseding Seminar Nasional Status Silvikultur
1999. Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan
Jangka Panjang. Wanagama I, Tanggal 1 - 2 Desember 1999. Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada, Yokyakarta.
Alrasyid, D., Sumarhani dan Y. Heryati. 2000. Percobaan penanaman padi gogo di bawah
tegakan hutan tanaman Acacia mangium di BKPH Parung Panjang, Jawa Barat. Bul. Pen.
Hutan (For. Res. Bull.) 621 : 27 -54. Bogor.
Ang L. H., Y. Maruyama, C. Mullins and W. E. Seel. 1997. Effects of periodic drought on gas
exchange and phyllode water status of Acacia mangium and Acacia auriculiformis
growing on sand tailings. In Proceedings of The 6 th International Workshop of Bio-Refor,
Brisbane Australia, December 2-5, 1997 : 11 - 15.
Anonymous. 1995. Forest Soil and Site Index. Ecosystem/ S1.02-00 Site. USA. Colorado.
Anshori S. 1999. Sumbangan hutan tanaman mangium terhadap sifat-sifat tanah. Publikasi Divisi
R & D Technical Notes PT MHP Volume 9 No. 6.
Arifani, R. 1999. Teknik kriopreservasi Acacia mangium Willd dan Paraserianthes falcataria
(L) Nielsen sebagai model tanaman kehutanan. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
80
Arisman H. 1999. Strategi silvikultur intensif untuk pembangunan hutan tanaman : Pengalaman dari
hutan tanaman Acacia mangium di PT Musi Hutan Persada. Dalam Eko B. Hardiyanto.
2000. Proseding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Peluang dan Tantangan Menuju
Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Wanagama I, Tanggal 1 2 Desember 1999. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yokyakarta.
Arisman H. dan Widyarsono. 1999. Silvikultur Acacia mangium di Sumatera Selatan. Dalam
Eko B. Hardiyanto. 2000. Proseding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Peluang dan
Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang.
Wanagama I, Tanggal 1 - 2 Desember 1999. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada,
Yokyakarta.
Astuti, I. S. 1998. Evaluasi status hara dan produksi Acacia mangium di PT Tanjung Redep
Hutani Berau Kalimantan Timur. Skripsi Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Tidak
dipublikasikan.
Awang, K and D. Taylor. 1993. Acacia mangium : Growing and Utilization. Winrock
International and Food and Agriculture Organization of The United Nation. Bangkok.
Baker, F. S. 1934. Theory and Practice of Silviculture. McGraw-Hill Book Company, Inc. New
York.
Basuki, T. M. 1998. Pengaruh pengolahan tanah dan pemupukan terhadap pertumbuhan Pinus
merkusii di Aek Godang Tapanuli Selatan. Buletin Penelitian Kehutanan Vol. 14 No. 2.
Badan Penelitian Kehutanan. Pematang Siantar.
Bidwell, R. G. S. 1979. Plant Physiology. Second Edition Collier Mac Millan Int. Ed. New York.
Binkley, D. 1987. Forest Nutrition Management. Duke University, Durham, North Carolina.
Binns, W. D. , G. J. Mayhead and J. M. Mackenzie. 1980. Nutrient of container - grown tree
seedling. Proceedings of The North American Containerized Forest Tree Seedling
Sympossium. Great Plains Agriculture Council Publication. Denver, Colorado. 68 : 97 109.
Bohn, H. L., B. C. Mc Neal and G. A. OConnor. 1979. Soil Chemistry. John Wiley and Sons.
New York.
Breulmann, G., I. Ninomiya and K. Ogino. 1996. Concentration of chemical elements in differents
tree compartements a mixed Dipterocarp forest in Sarawak Malaysia. Tropics 6 (1/2) : 19
- 28.
Brown S., A. J. R. Gillespic and A. E. Lugo. 1989. Biomass estimation methods for tropical
forest with application to forest inventory data. Forest Science 35 (4) : 881 - 902.
81
Brown S. 1997. Estimating biomass change of tropical forest a primer. FAO Forestry Paper No.
134. FAO USA.
Butarbutar, T., F. A. Mas'ud dan D. A. Suhada. 1993. Studi pendahuluan tempat tumbuh
tanaman Acacia mangium di Padang Lawas Sumatera Utara. Buletin Penelitian Kehutanan
10(4) : 329 -344.
Callesen I., M. Ingerslev, V. K. Johannsen and K. R. Rasmussen. 2000. Manipulating the
nutrien status of Danish Norway spruce forest ecosystems. Skov & Landskab, Danish
Forest and Lanskab Research Institut. Horsholm.
Chaerudy. 1994. Studi kualita tapak yang dipakai untuk penanaman akasia (Acacia mangium
Wild) di KPH Banten, KPH Indramayu dan KPH Majalengka. Skripsi Jurusan
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan.
Chapman, S. B. 1976. Production ecology and nutrient budgets, in Chapman, S. B. (eds).
Methods in Plant Ecology. Second Edition. 157 - 228. Blackwell Scientific Publisher,
Oxford.
Cipta, J. D. 2003. Pengaruh pupuk Phonska terhadap pertumbuhan semai pinus (Pinus merkusii
Jung. Et de Vr.), suren (Toona sureni Merr.) dan kayu afrika (Maesopsis eminii Engl.)
pada tanah andosol Lembang Jawa Barat. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan.
Cleveland, C. C., A. R. Townsend and S. K. Schmidt. 2002. Phosphorus limitation of microbial
processes in moist tropical forest : Evidence from Short Term Laboratory Incubations and
Field Studies. Ecosystems (2002) 5 : 680 - 691. Colorado.
Cossalter C and C. P. Smith. 2003. Fast - Wood Forestry. Centre for International Forestry
Research. Bogor.
Cruz, R. E. and K. Yantasath. 1993. Symbiotic associations. In Awang, K and D. Taylor. 1993.
Acacia mangium : Growing and Utilization. Winrock International and Food and
Agriculture Organization of The United Nation. Thailand. Bangkok.
Daniel, T. W., J. A. Helms dan F. S. Baker. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Edisi Indonesia.
Gadjah Mada University Press. Yokyakarta.
Davis, K. P. 1952. Forest Management Regulation and Valuation. Mc Graw Hill Book
Company Inc., New York.
Davidson, J. 1982. Acacia mangium, Eucalyptus and Forestry. Forest Science and Concultant.
Australia.
82
Effendi M. 1998. Uji coba pemupukan NPK pada tanaman ampupu (Eucalyptus urophylla) di
daerah tropika semi arid dan jenis tanah grumusol. Buletin Penelitian Kehutanan Vol. 3 No.
2/1998. Balai Penelitian Kehutanan Kupang.
Evans, J. 2000. Sustainaibility of productivity in successive rotations. Proc. of International
Conference on Timber Plantation Development. November 7-9, Manila , Phillipines.
Fadjar, A. 1996. Pertumbuhan luas bidang dasar hutan tanaman Acacia mangium Willd yang
terbaik melalui differensia model hubungan luas bidang dasar dengan umur, tempat tumbuh
dan kerapatan tegakan. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Tidak dipublikasikan.
Firmansyah. 2001. Pengaruh perlakuan media tanam dan pupuk terhadap pertumbuhan bibit
Acacia mangium. Skripsi Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Tidak
dipublikasikan.
Fisher, R. F., and D. Binkley. 2000. Ecology and Management of Forest Soils. Third Edition
John Wiley and Sons, Inc. New York.
83
Geus, J. G. D. 1973. Fertilizer Guide for The Tropics and Sub Tropics. Centre dEtude lAzote,
Bleicherwig.
Grubb, P. J and P. J. Edwards. 1982. Studies of minerals cycling in a montana rain forest in New
Guinea III. The Distribution of Mineral Elements in Above Material. Journal of Ecology,
70. 623 - 648.
Gunawan, H. 2002. Analisis penentuan daur finansial kelas perusahaan Acacia mangium Willd di
Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor PT Perhutani Unit III Jawa Barat. Tesis Program
Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Habisch, H. A. 1970. Effect of certain soil condition on nodulation of Acacia sp. Plant and Soil
33 : 1 - 6.
Haeruman, H. 2003 a. Pengelolaan hutan bersama masyarakat di HTI. Makalah Diskusi PHBM
Fakultas Kehutanan IPB tanggal 29 Januari 2003. Bogor.
____________. 2003 b. Jeda balak di Jawa antara harapan dan kenyataan. Makalah
Disampaikan dalam Acara Seminar Sehari Jeda Balak Di Pulau Jawa di Hotel Santika
Tanggal 3 Juni 2003. Poltrof Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Hafiziansyah G. 1997. Evaluasi kesesuaian tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus deglupta
di areal hutan tanaman industri PT Surya Hutani Jaya Sebulu, Kalimantan Timur. Tesis
Program Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Hairiah K., M. Van Noordwijk and C. Palm. 1999. Methods for sampling above and below
ground organic pools in modelling global change impacts on the soil inveroment. IC-SEA
Report No. 6 BIOTROP-GCTE/ Impacts Centre for Southeast Asia (IC-SEA). Bogor.
Hakim, N. 1999. Potensi organogenesis tiga tingkat kematangan fisiologis benih Acacia mangium
Willd. pada 2,4-D dan thidiazuron dengan waktu induksi selama 4 dan 8 minggu. Skripsi
Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Hani'in, O. 1999. Pemuliaan pohon hutan Indonesia menghadapi abad 21. Dalam Eko B.
Hardiyanto. 2000. Proseding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Peluang dan Tantangan
Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Wanagama I,
Tanggal 1 - 2 Desember 1999. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yokyakarta.
84
Hardiyanto, E. B. 2003. Keberadaan kebun benih Acacia mangium PT Musi Hutan Persada.
Jurnal Gelora MHBM Menjalin Kemitraan Masyarakat dan Perusahaan PT Musi Hutan
Persada. Palembang.
_____________. 2004. Silvikultur dan Pemuliaan Acacia mangium. Dalam Eko Bhakti
Hardiyanto dan Hardjono Arisman. 2004.
Pembangunan Hutan Tanaman Acacia
mangium. Pengalaman di PT Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. PT Musi Hutan
Persada Sumatera Selatan, Palembang.
Hasan, A. 1999. Peranan tanaman tumpangsari dalam membantu penyediaan air bagi tanaman
pokok Acacia mangium. Thesis Program Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan.
Hasanudin. 2005. Membakar atau tidak membakar dilema pembukaan lahan oleh masyarakat.
South Sumatera Forest Fire Management Project. Hotspot No. 3/ April 2005.
Herawatiningsih, R. 2001. Pengaruh tegakan Acacia mangium dan Eucalyptus pellita terhadap
beberapa sifat hidrologi areal hutan tanaman industri di Kecamatan Mukok, Kabupaten
Sanggau Kalimantan Barat. Thesis Program Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Hilwan I. 1993. Produksi, Laju dekomposisi dan pengaruh allelopatik serasah tusam (Pinus
merkusii jung Et de Vrise) dan mangium (Acacia mangium Willd). Technical Notes V (I) :
33 - 46. Bogor.
Hirano, Y and S. Kaneko. 2003. Root morphology and nutritional status of Japanese Red Cedar
sapling subjected to in situ levels of aluminium in forest soil solution. J. For. Res. Vol. 8
No. 3 Page 209 -214.
Huriati, E. 2001. Studi variasi pertumbuhan Acacia mangium Willd dari berbagai provenans di
persamaian HTI Subanjeriji, PT Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Skripsi Jurusan
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Husch, B. 1963. Forest Mensuration and Statistic. The Ronald Press Co., New York
Hutchinson, W. A. 1979. Plant Propagation and Cultivation.
Wesport, Connecticut.
Indrawan, A. 2000. Perkembangan suksesi tegakan hutan alam setelah penebangan dalam sistem
tebang pilih tanam Indonesia. Disertasi Program Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak
dipublikasikan.
Irawan, I. 1997. Pengaruh fungisida mankozeb 80 % terhadap infektifitas dan efektifitas beberapa
jenis endomikoriza pada semai akasia (Acacia mangium Willd). Skripsi Jurusan
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
85
Istomo. 2002. Kandungan fosfor dan kalsium serta penyebarannya pada tanah dan tumbuhan
hutan rawa gambut (Studi kasus di Wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Bagan,
Kabupaten Rokan Hilir, Riau). Disertasi Program Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak
dipublikasikan.
Jordan C. F. 1985. Nutrient Cycling in Tropical Forest Ecosystem. John Wiley & Sons. New
York.
Kamprath, E. J. 1967. Soil acidity and response to liming. International Soil Testing Series. Tech.
Bull, No. 4.
Kang, B. T. and R. Lal. 1981. Nutrient losses in water run off from agricultural catchmaents.
Tropical Agric. Hydrol. Ed R. Lal and E. W. Russel. New York.
Killham, K. 1999. Soil Ecology. Cambridge University Press. Cambridge.
Kramer, P. J. and T. T. Kozlowski. 1960. Physiology of Trees. Mc Graw - Hill Book Co., New
York.
Kumada, K. 1987. Chemistry of Soil Organic Matter. Japan Scientific Societies Press. Tokyo.
Kurnia, A dan A. Sianturi. 1997. Uji coba pengelolaan hutan tanaman jenis Acacia mangium
rotasi ke dua di Benakat. Proseding Ekspose Balai Teknologi Reboisasi . Palembang.
Kusmana, C., S. Sabiham, K. Abe and H. Watanabe. 1992. An estimation of above ground
biomass of mangrove forest in East Sumatera. Tropics (1) : 143 : 257.
Kusnandar, E. 1996. Pertumbuhan tinggi Acacia mangium pada berbagai tipe pengolahan tanah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.
Kusumawati, E. 1998. Pengaruh pupuk TSP terhadap pertumbuhan anakan Acacia mangium
Willd dari berbagai sumber asal benih. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan.
Laboratorium Biometrika Hutan. 2002. Potensi penyimpanan karbon (Carbon Sequestration)
dalam pengelolaan hutan tanaman di wilayah Perum Perhutani. Laboratorium Biometrika
Hutan Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Latifah, S. 2000. Keragaan pertumbuhan Acacia mangium Willd. pada lahan bekas tambang
timah (Studi kasus di areal kerja PT Timah Tbk). Tesis Program Pascasarjana IPB.
Bogor. Tidak dipublikasikan.
Lugo A. E. and S. C. Snedaker. 1974. The Ecology of mangrove. Ann. Rev. Ecol. Syst. 5 : 59
- 64.
86
Lukitasari, M. M. 2001. Pengaruh pemberian kapur (CaCO3) dan pupuk urea (CO(NH2)2)
terhadap anakan Ochroma bicolor Rowlee pada tanah latosol di Taman Hutan Cikabayan.
Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan.
Lutz H. J. and R. F. Chandler. 1965. Forest Soils. John Wiley and Sons, Inc. New York
Machado, P. L. O. A and C. A. Silva. 2001. Soil management under no tillage systems in the
tropics with special reference to Brazil. Kluwer Academic Publishers, Printed in the
Netherlands. Nutrient Cycling in Agroecosystems 61 : 119 - 130.
Mackensen, J. 2000. Kajian suplai hara lestari pada hutan tanaman cepat tumbuh. Implikasi
ekologi dan ekonomi di Kalimantan Timur, Indonesia. Badan Kerjasama Teknis Jerman.
Eschborn, Jerman.
Maddelein D. and N Lust. 1992. Soil and forest floor characteristics of Scots Pine stands on drift
sand. Silva Gandavensis 57 (1992) p. 1 15.
Mahbubi. 1999. Pengaruh pembakaran hutan terhadap aliran permukaan, erosi dan kehilangan
beberapa unsur hara tanah yang terbawa erosi. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan.
Majdi D., and J. Ohrvik. 2004. Interactive effect of soil warming and fertilization on root
production, mortality and longevity in a Norway Spruces stand in Northern Sweden.
Global Change Biology 10 : 182 - 188.
Manan S. 1974. The Effect of forest cutting on water and nutrient cycles. In Coordinated Study
of Lowland Forest of Indonesia. Biotrop and IPB. Bogor.
________. 1994. Mengapa hutan tanaman industri campuran. Makalah dalam Diskusi Panel
tentang Landscaping HPHHTI tanggal 27 Juni 1994. Direktorat Jenderal Pengusahaan
Hutan, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Manurung , E. G. T. 2003. Potret pembangunan hutan tanaman industri di Indonesia (Realitas dan
kemampuannya dalam menghasilkan pulpwood sebagai bahan baku industri pulp dan kertas
di Indonesia). Makalah Bedah Buku Hutan Tanaman Industri di Persimpangan Jalan,
Fakultas Kehutanan IPB Tanggal, 7 September 2003. Bogor.
Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plant. Second Edition. Academic Press.
London.
Masano dan Mawazin. 1997. Pengaruh pupuk Fertimel terhadap pertumbuhan bibit
Paraserianthes falcataria. Buletin Penelitian Hutan No. 605/1997. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Bogor.
87
Masud, F., Pratiwi dan A. N. Ginting. 2004. Antisipasi kehutanan dalam menghadapi
perubahan iklim. Makalah Lokakarya Dampak Perubahan Iklim Global Terhadap Pengelolaan
Hutan Berkelanjutan pada Tanggal 29 - 30 April 2004, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Mattjik, A. A. dan I. M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab Jilid 1. Edisi Kedua. IPB Press. Bogor.
Mujiastuti. 1999. Analisa sifat fisik dan kimia tanah dalam upaya rehabilitasi lahan tegakan Acacia
mangium bekas kebakaran hutan (Studi kasus di HPHTI PT Musi Hutan Persada,
Sumatera Selatan). Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Tidak dipublikasikan.
88
Mulyana, D. 2000. Pengaruh pemberian pupuk NPK dan pupuk kandang terhadap pertumbuhan
pohon damar (Agathis loranthifolia) di Taman Hutan Cikabayan. Skripsi Jurusan
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Mulyono S. 1991. Operation Research.
Indonesia. Jakarta. Hal 1 - 5.
Napitupulu, B. 1995. Kondisi hara tanah pada beberapa jenis vegetasi hutan di Aek Nauli
Sumatera Utara.
Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak
dipublikasikan.
National Academy of Science. 1983. Mangium and other fast growing Acacias for the humid
tropics : innovation in Tropical reforestation. National Academy Press. Washington, D. C.
Nguyen The Dang and C. Klinnert. 2001. Problem with and local solution for organic matter
management in Vietnam. Kluwer Academic Publishers, Printed in the Netherlands.
Nutrient Cycling in Agroecosystems 61 : 89 - 91.
Nicholson, D. I. 1981. The nature occurrence and conservation status of Acacia mangium Willd
in Australia. Technical Note No. 5. Departemen of Forestry Queensland, Australia.
Nursanti. 2003. Karakterisasi tapak tanaman Acacia mangium pada tanah Spodosols di PT
Wirakarya Sakti Propinsi Jambi. Thesis Program Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak
dipublikasikan.
Peoples M. B., A. W. Faizah, B. Rerkasem and D. F. Herridge. 1989. Methods for Evaluating
Nitrogen Fixation by Nodulated Legumes in The Field. Australian Centre for International
Agricultural Research. Canberra.
Palm C. A. and P. A. Sanchez. 1990. Decomposition and nutrient release pattern of leaves of
three tropical legumes. Biotropica 22 (4) : 330 - 338.
Paudyal, B. K. and N. M. Majid. 2000. The relationship between growth and foliar nutrient
concentrations in Acacia mangium seedlings. Journal Tropical Forest Science, Forest
Research Institute Malaysia. Kuala Lumpur. 62 - 77 p.
Pertiwi, D. 2001. Pemanfaatan kulit kayu Acacia mangium Willd sebagai media tumbuh semai
Acacia mangium Willd dan Eucalyptus urophylla ST. Blake. Skripsi Jurusan Manajemen
Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Pinyopusarerk, K., S. B. Liang and B. V. Gunn. 1993. Taxonomy, distribution, biology and use an
exotic. In Awang, K and D. Taylor. 1993. Acacia mangium : Growing and Utilization.
89
Winrock International and Food and Agriculture Organization of The United Nation.
Bangkok.
Pokhriyal, T. C., S. P. Chaukiyal and U. Singh. 2001. Eucalyptus - Acacia mixed planting effects
on the nodular nitrogenase and nitrate reductase activity Acacia nilotica seedlings. Journal
Tropical Forest Science, Volume 13 Number 2, Forest Research Institute Malaysia.
Kuala Lumpur.
Powers R. F and P. E. Reynolds. 1995. Ten year responses of ponderosa pine plantation to
repeated vegetation and nutrient control along an environmental gradient. Canadian Journal
of Forest Research. 9. 29(7). 1027 1038.
Prodan, M. 1968. Forest Biometrics. Pergamon Press. London.
Pratiwi dan Mulyanto. 2002. Pengaruh penebangan hutan terhadap tanah dan usaha perbaikannya.
Buletin dan Pengembangan Kehutanan Vol. 3 No. 1/ 2002. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
PT Musi Hutan Persada . 2002. Pengelolaan hutan tanaman berkelanjutan. PT Musi Hutan
Persada. Palembang.
___________________. 2003. Rekapitulasi hasil pengukuran petak ukur permanen Unit III
Gemawang dan Blok Subanjeriji. Divisi Research and Development PT Musi Hutan
Persada. Subanjeriji, Palembang.
Purnama, B. M. 1977. Hubungan bonita dengan sifat-sifat tanah hutan rasamala (Altingia
excelsa) di KPH Bandung Selatan. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
_____________. 2003. Data perubahan penutupan lahan berhutan menjadi lahan tidak berhutan
(Deforestasi). Badan Planologi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Purnomo, S. 2002. Kebijakan pembangunan hutan tanaman sebagai bahan baku industri.
Makalah Seminar Pengembangan Industri Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan,
Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB dengan Departemen Kehutanan, Tanggal 16 - 17
Desember 2002. Bogor.
Purwanto. 1992. Pengaruh hutan tanaman dari jenis-jenis Alnus sp, Eucalyptus microcoris,
Pinus merkusii, Agathis dammara dan Eucalyptus deglupta terhadap sifat-sifat tanah.
Buletin Penelitian Hutan. No. 552. Bogor.
90
Risnasari, I. 1997. Modifikasi tanin Acacia mangium Willd dengan krom sebagai bahan
pengawet kayu, pengaruhnya terhadap stabilitas dimensi dan pengujian terhadap serangan rayap
kering (Cryptotermes cynocephalus Light). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Roose, E. and B. Barthes. 2001. Organic matter management for soil conservation and
productivity restoration in Africa : a contribution from Francophone research. Kluwer Academic
Publishers, Printed in the Netherlands. Nutrient Cycling in Agroecosystems 61 : 159 - 170.
Rohayat N., dan N. Mindawati. 1997. Kemampuan perkecambahan benih dan mutu bibit
dari beberapa umur tegakan Acacia mangium. Bul. Pen. Hutan 610 : 51-58. Bogor
Rohiani, A. 1996. Penentuan konsentrasi efektif inokulum Trichoderma viride terhadap laju
dekomposisi serasah Acacia mangium Willd di HTI PT Musi Hutan Persada Subanjeriji
Sumatera Selatan. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak
dipublikasikan.
Rosalina, U. and I. Setiawan. 1997. Structure and function of Acacia mangium forest plantation
in Subanjeriji Palembang South Sumatera. BIOTROP Spec. Publ. No. 60 Bogor.
Rostiwati, T. dan O. Satjapradja. 1989. Hasil dan program penelitian penambatan nitrogen secara
hayati di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Dalam Mahyuddin Syam,
Ruhendi dan Adi Widjono. 1989. Risalah Lokakarya Penelitian Penambatan Nitrogen
Secara Hayati pada Kacang-kacangan. Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian dengan Lembaga Penelitian Pengetahuan Indonesia, Tanggal 30 - 31 Agustus
1988. Bogor.
Riyanto, H. D dan E. Kusnandar. 1994. Pertumbuhan dan laju pertumbuhan diameter tegakan
Acacia mangium dan Paraserianthes falcataria. Makalah Utama Disampaikan pada
Pertemuan Ilmiah Hasil Pengembangan Reboisasi tanggal 30 - 31 Maret 1994 di
Palembang.
Rukmini, B. D. 1996. Kajian penetapan bonita pada tegakan Acacia mangium di areal
HTI PT Musi Hutan Persada Subanjeriji, Sumatera Selatan. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan,
Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan.
91
Setiawan I. 1993. Studi proses dekomposisi serasah Acacia mangium Willd di hutan tanaman
industri Subanjeriji, Sumatera Selatan. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan.
92
Setiawan, A. 1998. Uji patogenesis Rhizoctonia solani pada beberapa tingkat umur semai
Acacia mangium. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Tidak dipublikasikan.
Setyono, A. 1994. Peranan pemulsaan terhadap status hara tanah di bawah tegakan Acacia
mangium Willd pada HTI PT Musi Hutan Persada Propinsi Sumatera Selatan. Badan Litbang
Kehutanan. Bogor
Silitonga, T. 1987. Acacia mangium : profil pohon gulma yang sedang berubah status. Makalah
Utama Diskusi Hutan Tanaman Industri : 27 - 28 April 1987, Jakarta.
Simon H. dan H. Arisman. 2004. Sejarah penggunaan lahan di Sumatera Selatan dan
pembangunan hutan tanaman A. mangium. Dalam Eko Bhakti Hardiyanto dan Hardjono
Arisman. 2004. Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium. Pengalaman di PT Musi
Hutan Persada, Sumatera Selatan. PT Musi Hutan Persada Sumatera Selatan, Palembang.
Siregar, C. A., N. Djaingsastro dan O. Satjapradja. 1991. Model pertumbuhan Acacia mangium
Willd berumur 27 bulan di Tanjung Bintang, Lampung. Bul. Pen. Hutan 539 : 1 -12. Bogor.
Siswoyo, H. 2004. Hutan tanaman solusi di tengah kerusakan hutan dan krisis ekonomi. Makalah
Stadium General Fakultas Kehutanan IPB, Tanggal 4 Maret 2004. Bogor.
Sjahid, H. 1981. Hubungan antara sifat-sifat tanah dengan bonita jati (Tectona grandis L. F.) di
Kesatuan Pemangkuan Hutan Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Skripsi
Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Soedjoko, S. A. 2004. Neraca air hutan tanaman Acacia mangium. Dalam Eko Bhakti
Hadiyanto dan Hardjono Arisman. 2004.
Pembangunan Hutan Tanaman Acacia
mangium. Pengalaman di PT Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. PT Musi Hutan
Persada Sumatera Selatan, Palembang.
Soedomo, S . 1984. Studi hubungan sifat-sifat tanah dan fisiografi dengan peninggi Pinus
merkusii Jung et de Vriese. Thesis Program Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan.
Soekotjo. 1999. Silvikultur intensif untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, kompetitif dan
kelestarian hutan humida tropis Indonesia. Dalam Eko B. Hardiyanto. 2000. Proseding
Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan
Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Wanagama I, Tanggal 1 - 2 Desember 1999.
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yokyakarta.
Soemarna, K dan S. Bustomi. 1986. Tabel isi pohon lokal Acacia mangium Willd untuk daerah
Subanjeriji, Sumatera Selatan. Bul. Pen. Hutan (For. Res. Bull.) 487 : 41 - 49. Bogor.
93
Subba Rao, N. S. 1986. Soil Microorganism and Plant Growth. Oxford and Publishing Co. New
Delhi.
Subroto dan Iriansyah. 1998. Perubahan sifat fisik dan kimia tanah pada penyiapan lahan HTI di
areal PT Surya Hutani Sebulu, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Kehutanan Vol. 13 No. 1
1998. Badan Penelitian Kehutanan. Samarinda.
94
Sudradjat R. 1999. Alternatif siklus hara di suatu areal hutan menimbun hara di areal HTI dengan
kompos sampah kota. Proceedings Konggres Kehutanan Indonesia II. Tanggal 22-25
Oktober 1990. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Suhendang, E. 1990. Hubungan antara dimensi tegakan hutan tanaman dengan faktor tempat
tumbuh dan tindakan silvikultur pada hutan tanaman Pinus merkusii Jungh Et De Vriese di
Pulau Jawa.
Disertasi Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Tidak
dipublikasikan.
____________. 1999. HTI konversi hutan alam tropis. Dalam Abdurahim Martawijaya dan
Hargo Saputro. 1999. Proceedings Konggres Kehutanan Indonesia II. Tanggal 22-25
Oktober 1990. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
____________. 2003. Konsepsi pengelolaan hutan lestari di Pulau Jawa. Makalah Seminar Jeda
Balak di Pulau Jawa pada Tanggal 3 Juni 2003. Forum Pengkajian Kebijakan dan
Manajemen Ekosistem Hutan Tropika Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Sumarhani. 1998. Pengaruh pupuk kandang terhadap pertumbuhan awal mahoni (Swietenia
macrophylla King) di lahan kritis, Sukabumi. Buletin Penelitian Hutan No. 617/1998.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Sumiasri, N., Harmastini., I. Sukiman dan H. Harsono. 1990. Pola pengembangan Acacia
mangium di Jawa Barat. Proseding Seminar Nasional Litbang JPSG/MPTS, Juni 1990.
Bogor.
Sunarto, A. 1989. Tinjauan tentang nilai bonita jati di Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyumas
Barat Perum Perhutani Unit I Jawa Barat. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan.
Sung S. S. B., C. C. Kormanik., T. L. Zarnoch., S. J. Kormanik and P. P. Counce . 1997. Fall
nitrogen fertilization and the biology of Pinus taeda seedling development. Canadian
Journal of Forest Reseach 27. p. 1406 1412.
Supangkat, B. A. 1997. Pengaruh tegangan air tanah dan pemberian kompos terhadap
pertumbuhan semai Pinus merkusii Jungh et de Vriese pada regosol Garut. Skripsi Jurusan
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan.
Susanto, M., A. Nirsatmanto dan S. Susilowati. 1997. Korelasi sifat-sifat kayu, pertumbuhan dan
bentuk batang Acacia mangium provenansi Claudia River. Makalah Disampaikan dalam
Ekpose Hasil Penelitian dan Pengembangan Pemulian Pohon 1997 di Ambarukmo Palace
Hotel, tanggal 23 Desember 1997. Yokyakarta.
95
Susilawati, R. 2000. Penggunaan media kompos fermentase (bokashi) dan pemberian effective
microorganism - 4 (EM-4) pada tanah podsolik merah kuning terhadap pertumbuhan
semai Acacia mangium Willd. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan
IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Suwarto. 1991. Pengaruh inokulasi ganda vesikular arbuskular mikoriza dan Rhizobium terhadap
pertumbuhan anakan Acacia mangium Willd di persemaian. Skripsi Jurusan Manajemen
Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Tampubolon, A. P., A. N. Gintings dan L. Kurniati. 1996. Penampilan tanaman Acacia
mangium di lahan bekas tambang Batubara Cempaka dan lahan bekas alang-alang, Riam
Kiwa, Kalimantan Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.
Tan, K. H. 1993. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.
________. 1994. Enviromental Soil Science. Marcel Dekker, Inc. New York.
________. 1996. Soil Sampling, Preparation and Analysis. Marcel Dekker, Inc. New York.
Tanner E. V. J., P. M. Vitousek and E. Cuevas. 1997. Experimental investigation of nutrient
limitation of forest growth on wet tropical mountains. Ecology ; Vol. 79, No. 1, pp 10 - 22.
Tate, R. L. 1987. Soil Organic Mater, Biological Biological and Ecological Effects. A Wiley
Interscience Publication John Wiley and Sons. New York.
Taylor, C. M. A. 1995. Forest fertilisation in Britain. Forestry Commission Bulletin 95. London.
Tiarks, A., E. K. S. Nambiar and C. Cossalter. 1998. Site management and productivity in
tropical forest plantations. Occasional Paper No. 16 CIFOR. Bogor.
Thai, S. K. , M. Bongkik and R. Salleh. 1997. Planting of Acacia mangium for general utility
timber and reconstituted wood products. In Proceedings of The Seminar on Commercial
Cultivation of Teak, Sentang, Acacia and Hevea for Timber, 9 January 1997. Kuala
Lumpur. Malaysia.
Tisdale, S. L. and W. L. Nelson. 1975. Soil Fertility and Fertilizer. The Mac Millan Co. New
York.
Tisdale S. L. ., W. L. Nelson and J. D. Beaston. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. Mac Millan
Publishing Co., New York.
Tobing D. 1995. Strategi mencapai pengelolaan hutan produksi lestari. Dalam Suhendang, E., H.
Haeruman dan I. Soerianegara. 1995. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia.
96
97
Lampiran 1. Daftar deskripsi profil tanah 1 di Blok Subanjeriji hutan tanaman Acacia mangium
98
Klasifikasi
LPT (1981)
FAO/UNESCO (1974)
USDA (2000)
Fisiografi
Permeabilitas
Tumbuh-tumbuhan
Penggunaan Lahan
tahun
Muka air tanah
Lokasi
: Podsolik Kromik
: Kromik Acrisol
: Udults
:
:
:
:
Agak Datar
Agak lambat - Cukup
Anakan A. mangium
Hutan Tanaman A. mangium pada umur 4,5
Kedalaman (cm)
0 - 15
Horison
A
15 - 45
45 - 96
Uraian
Berliat, merah gelap (2,5 YR 3/6), granuler, halus sampai
sedang, , kuat, agak keras (kering angin), perakaran
halus, medium dan besar, banyak , pH 4,66, KTK
22,56 me/100 gram, batas jelas dan rata
Berliat, coklat terang (7,5 YR 5/8), bercak (karatan)
sedang kuning (10 YR 7/8), masif (tidak berstruktur),
sangat keras (kering angin), perakaran halus, sedikit, pH
4,42, KTK 6,66 me/100 gram, batas jelas dan rata
Berliat, merah (2,5 YR 4/8), bercak (karatan) banyak
kuning (10 YR 7/6), masif (tidak berstrukrur), sangat
keras (kering angin), perkaran tidak ada, pH 4,35 KTK
5,10 me/100 gram, batas jelas dan rata
Lampiran 2. Daftar deskripsi profil tanah 2 di Blok Subanjeriji hutan tanaman Acacia mangium
Klasifikasi
99
LPT
(1981)
: Podsolik Kromik
FAO/UNESCO (1974)
: Kromik Acrisol
USDA (2000)
Fisiografi
Permeabilitas
Tumbuh-tumbuhan
Penggunaan Lahan
tahun
Muka air tanah
Lokasi
: Udults
:
:
:
:
Agak Datar
Agak lambat - Cukup
Alang-alang
Hutan Tanaman A. mangium pada umur 2,5
Kedalaman (cm)
0 - 16
Horison
A
16 - 36
36 - 100
Uraian
Berliat, coklat terang (7,5 YR 5/6), granuler, halus
sampai sedang, , kuat, agak keras (kering angin),
perakaran halus, medium dan besar, banyak , pH 4,68,
KTK 14,87 me/100 gram, batas jelas dan rata
Berliat, kuning (2,5 Y 6/6), bercak (karatan) sedang
kuning (10 YR 7/8), masif (tidak berstruktur), sangat
keras (kering angin), perakaran halus, sedikit, pH 4,53,
KTK 11,79 me/100 gram, batas jelas dan rata
Berliat, kuning kecoklatan (10 YR 6/8), bercak
(karatan) banyak kuning (10 YR 7/6), masif (tidak
berstruktur), sangat keras (kering angin), perkaran tidak
ada, pH 4,61 KTK 6,63 me/100 gram, batas jelas dan
rata
Lampiran 3. Kadar C organik tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
C Organik (%)
C Organik (%)
Perubahan C org
100
Daur 1 1)
4,11
2,96
6,78
2,56
4,10 1,90 tn
Daur 2
1,44 0,30
3,54 1,22
4,15 0,31
4.94 1,32
3,52 1,50
1
2
3
4
Rata-rata
Keterangan :
1).
: Sumber : Saharjo, (1996)
tn : C organik tanah antara daur 1 dan daur 2 tidak berbeda nyata
(%)
- 2,67 (65 %)
+ 0,58 (16 %)
- 2,63 (39 %)
+ 2,38 (48 %)
- 0,58 (14 %)
Lampiran 4. Derajat kemasaman tanah (pH) pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A.
mangium
Umur (th)
pH tanah
pH tanah
Perubahan pH
1)
Daur 1
Daur 2
1
6,1
4,34 0,10
- 1,76 (29 %)
2
6,3
4,31 0,05
- 1,99 (32 %)
3
5,2
4,36 0,22
- 0,84 (16 %)
4
6,2
4,32 0,09
- 1,88 (30 %)
**
Rata-rata
5,95 0,51
4,33 0,02
- 1,62 (27 %)
Keterangan :
1). : Sumber : Saharjo, (1996)
** : pH tanah antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
Lampiran 5. Kadar nitrogen tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
N tanah (%)
N tanah (%)
Perubahan N (%)
101
Daur 1 1)
0,36
0,32
0,39
0,30
0,34 0,04 *
Daur 2
0,14 0,04
0,21 0,05
0,25 0,02
0,26 0,04
0,22 0,05
1
2
3
4
Rata-rata
Keterangan :
1) : Sumber : Saharjo, (1996)
* : Nitrogen tanah antara daur 1 dan daur 2 berbeda nyata pada taraf 95 %
- 0,22
- 0,11
- 0,14
- 0,04
- 0,12
(61 %)
(34 %)
(36 %)
(13 %)
(35 %)
Lampiran 6. Kadar fosfor tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
P tanah (ppm)
P tanah (ppm)
Perubahan P (ppm)
Daur 1 1)
Daur 2
1
0,70
7,06 1,15
+ 6,36 (909 %)
2
0,30
6,35 1,32
+ 6,05 (2017 %)
3
0,21
6,73 0,17
+ 6,52 (3105 %)
4
0,20
7,00 1,07
+ 6,80 (3400 %)
**
Rata-rata
0,35 0,32
6,79 0,32
+ 6,44 (1840 %)
Keterangan :
1) : Sumber : Saharjo, (1996)
** : P tanah antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
Lampiran 7. Kadar kalium tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
102
Umur (th)
K tanah (me/100 g)
Daur 1 1)
0,18
0,21
0,26
0,21
0,22 0,03 tn
1
0,29 0,03
2
0,22 0,03
3
0,24 0,03
4
0,26 0,08
Rata-Rata
0,25 0,03
Keterangan :
1). : Sumber : Saharjo, (1996)
tn : K tanah antara daur 1 dan daur 2 tidak berbeda nyata
Perubahan K
(me/100 g)
+ 0,11 (61 %)
+ 0,01 (5 %)
- 0,02 (8 %)
+ 0,05 (24 %)
+ 0,03 (14 %)
Lampiran 8. Kadar kalsium tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
Ca tanah (me/100 g)
Daur 1 1)
1,11
46,76
8,89
27,61
21,09 20,41 **
Ca tanah (me/100 g)
Daur 2
1,12 0,28
1,11 0,40
1,67 1,01
1,42 0,78
1,33 0,27
Perubahan Ca
(me/100 g)
+ 0,01 (1 %)
- 45,65 (98 %)
- 7,22 (81 %)
- 26,19 (95 %)
- 19,76 (94 %)
1
2
3
4
Rata-rata
Keterangan :
1). : Sumber : Saharjo, (1996)
** : Ca tanah antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
103
Lampiran 9. Kadar magnesium tanah pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
Perubahan Mg
(me/100 g)
- 1,50 (60 %)
- 1,56 (68 %)
- 1,10 (56 %)
- 1,18 (59 %)
- 1,33 (61 %)
Lampiran 10. pH, kadar alumunium, besi dan mangan tanah pada daur 2 tegakan hutan tanaman A.
mangium di lokasi penelitian
Umur (th)
1
2
3
4
Rata-rata
pH
4,34 0,10 a
4,31 0,05 a
4,36 0,22 a
4,32 0,09 a
4,33 0,02
Al (me/100 g)
2,00 0,61a
4,79 0,55 b
3,92 1,27 ab
1,85 0,97 a
3,14 1,45
Fe (ppm)
50,74 9,72 a
63,06 4,43 a
42,61 12,59 a
37,16 23,47 a
48,39 11,26
Mn (ppm)
9,90 0,57 ab
10,72 5,12 ab
23,35 8,59 b
8,48 6,20 a
13,11 6,88
Lampiran 11. Kadar nitrogen pada daun daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
N (%)
N (%)
Perubahan N (%)
1)
Daur 1
Daur 2
104
1
3,04
2,06 0,15
2
3,21
2,40 0,11
3
3,40
2,88 0,12
4
2,93
2,51 0,09
*
Rata-rata
3,15 0,21
2,46 0,34
Keterangan :
1). : Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
* : N pada daun antara daur 1 dan daur 2 berbeda nyata pada taraf 95 %
- 0,98 (32 %)
- 0,81 (25 %)
- 0,52 (15 %)
- 0,42 (14 %)
- 0,69 (22 %)
Lampiran 12. Kadar nitrogen pada cabang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
N (%)
N (%)
Perubahan N (%)
1)
Daur 1
Daur 2
1
1,13
0,57 0,06
- 0,56 (50 %)
2
1,09
0,50 0,15
- 0,59 (54 %)
3
1,11
0,47 0,16
- 0,64 (58 %)
4
1,16
0,43 0,07
- 0,73 (63 %)
**
Rata-rata
1,12 0,03
0,49 0,06
- 0,63 (56 %)
Keterangan :
1).
: Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
** : N pada cabang antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
Lampiran 13. Kadar nitrogen pada kulit daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
N (%)
N (%)
Perubahan N
1)
Daur 1
Daur 2
(%)
1
0,89
1,11 0,08
+ 0,22 (25 %)
105
2
1,28
0,92 0,30
3
1,27
0,89 0,06
4
1,29
0,77 0,13
tn
Rata-rata
1,18 0,20
0,92 0,14
Keterangan :
1). : Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
tn : N pada kulit antara daur 1 dan daur 2 tidak berbeda nyata
- 0,36 (28 %)
- 0,38 (30 %)
- 0,52 (40 %)
- 0,26 (22 %)
Lampiran 14. Kadar nitrogen pada batang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
N (%)
N (%)
Perubahan N
1)
Daur 1
Daur 2
(%)
1
0,29
0,36 0,09
+ 0,07 (24 %)
2
0,59
0,48 0,07
- 0,11 (19 %)
3
0,40
0,31 0,04
- 0,11 (28 %)
4
0,55
0,30 0,09
- 0,25 (45 %)
tn
Rata-rata
0,46 0,14
0,36 0,08
- 0,10 (22 %)
Keterangan :
1). : Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
tn : N pada batang antara daur 1 dan daur 2 tidak berbeda nyata
Lampiran 15. Kadar nitrogen pada akar daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
N (%)
N (%)
Perubahan N
1)
Daur 1
Daur 2
(%)
1
1,22
0,71 0,15
- 0,51 (42 %)
2
0,91
0,57 0,11
- 0,34 (37 %)
106
3
1,62
0,47 0,12
- 1,15 (71 %)
4
0,93
0,38 0,09
- 0,55 (59 %)
**
Rata-rata
1,17 0,33
0,53 0,14
- 0,64 (55 %)
Keterangan :
1). : Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
** : N pada cabang antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
Lampiran 16. Distribusi kadar nitrogen pada bagian tanaman tegakan hutan tanaman A. mangium
Bagian Tanaman
Daun (%)
Cabang (%)
Kulit (%)
Batang (%)
Akar (%)
Rata-rata N (%)
Daur 1 1)
3,15 0,21 *
1,12 0,03 **
1,18 0,20 tn
0,46 0,14 tn
1,17 0,33 **
1,42 1,02 tn
Daur 2
2,46 0,34
0,49 0,06
0,92 0,14
0,36 0,08
0,53 0,14
0,95 0,87
Perubahan N
- 0,69 (22 %)
- 0,63 (56 %)
- 0,26 (22 %)
- 0,10 (22 %)
- 0,64 (55 %)
- 0,47 (33 %)
Keterangan :
1).
: Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
** : antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
*
: antara daur 1 dan daur 2 berbeda nyata pada taraf 95 %
tn
: antara daur 1 dan daur 2 tidak berbeda nyata
Lampiran 17. Kadar fosfor pada daun daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
P (%)
P (%)
Perubahan P
1)
Daur 1
Daur 2
(%)
1
0,30
0,087 0,006
- 0,213 (71 %)
2
0,31
0,080 0,000
- 0,230 (74 %)
107
3
0,35
0,083 0,006
- 0,267 (76 %)
4
0,32
0,070 0,008
- 0,250 (78 %)
**
Rata-rata
0,32 0,022
0,080 0,007
- 0,240 (75 %)
Keterangan :
1). : Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
** : P pada daun antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
Lampiran 18. Kadar fosfor pada cabang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
P (%)
P (%)
Perubahan P
1)
Daur 1
Daur 2
(%)
1
0,17
0,033 0,006
- 0,137 (81 %)
2
0,17
0,047 0,015
- 0,123 (72 %)
3
0,13
0,040 0,000
- 0,090 (69 %)
4
0,16
0,030 0,010
- 0,130 (81 %)
**
Rata-rata
0,158 0,019
0,038 0,008
- 0,120 (76 %)
Keterangan :
1). : Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
**
: P pada cabang antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99
Lampiran 19. Kadar fosfor pada kulit pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A.
mangium
Umur (th)
P (%)
P (%)
Perubahan P
1)
Daur 1
Daur 2
(%)
108
1
0,15
0,037 0,006
- 0,113 (75 %)
2
0,26
0,057 0,012
- 0,203 (78 %)
3
0,23
0,047 0,012
- 0,183 (80 %)
4
0,18
0,040 0,010
- 0,140 (78 %)
**
Rata-rata
0,205 0,049
0,046 0,015
- 0,160 (78 %)
Keterangan :
1). : Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
** : P pada kulit antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
Lampiran 20. Kadar fosfor pada batang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
P (%)
P (%)
Perubahan P (%)
1)
Daur 1
Daur 2
1
0,13
0,037 0,006
- 0,093 (72 %)
2
0,13
0,033 0,006
- 0,097 (75 %)
3
0,20
0,033 0,006
- 0,167 (84 %)
4
0,18
0,030 0,010
- 0,150 (83 %)
a**
Rata-rata
0,16 0,036
0,033 0,003
- 0,127 (79 %)
Keterangan :
1). : Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
** : P pada batang antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99
Lampiran 21. Kadar fosfor pada akar pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A.
mangium
Umur (th)
P Akar (%)
P Akar (%)
Perubahan P (%)
1)
Daur 1
Daur 2
109
1
0,23
0,043 0,006
- 0,187 (81 %)
2
0,26
0,037 0,006
- 0,223 (86 %)
3
0,18
0,033 0,006
- 0,147 (82 %)
4
0,05
0,030 0,010
- 0,020 (40 %)
**
Rata-rata
0,18 0,093
0,036 0,006
- 0,144 (80 %)
Keterangan :
1).
: Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
** : P pada akar antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
Lampiran 22. Distribusi kadar fosfor pada bagian tanaman tegakan hutan tanaman A. mangium
Bagian tanaman
Daur 1 1)
Daur 2
**
Daun (%)
0,320 0,022
0,080 0,007
**
Cabang (%)
0,158 0,019
0,038 0,008
**
Kulit (%)
0,205 0,049
0,045 0,015
**
Batang (%)
0,160 0,036
0,033 0,003
**
Akar (%)
0,180 0,093
0,036 0,003
**
Rata-rata P (%)
0,204 0,067
0,046 0,019
Keterangan :
1). : Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
** : P antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
Perubahan P
- 0,240 (75 %)
- 0,120 (76 %)
- 0,160 (78 %)
- 0,127 (79 %)
- 0,144 (80 %)
- 0,159 (78 %)
Lampiran 23. Kadar kalium pada daun daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
K (%)
K (%)
Perubahan K (%)
1)
Daur 1
Daur 2
110
1
1,25
0,14 0,01
- 1,11 (89 %)
2
1,74
0,16 0,04
- 1,58 (91 %)
3
1,83
0,21 0,03
- 1,62 (89 %)
4
0,42
0,15 0,01
- 0,27 (64 %)
**
Rata-rata
1,31 0,65
0,17 0,03
- 1,14 (87 %)
Keterangan :
1). : Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
** : K pada daun antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99
Lampiran 24. Kadar kalium pada cabang daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
K (%)
K (%)
Perubahan K (%)
1)
Daur 1
Daur 2
1
1,96
0,29 0,11
- 1,67 (85 %)
2
1,79
0,28 0,08
- 1,51 (84 %)
3
1,84
0,20 0,04
- 1,64 (89 %)
4
1,34
0,16 0,05
- 1,18 (88 %)
**
Rata-rata
1,73 0,27
0,23 0,06
- 1,50 (88 %)
Keterangan :
1). : Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
** : K pada cabang antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
Lampiran 25. Kadar kalium pada kulit daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
K (%)
K (%)
Perubahan K (%)
1)
Daur 1
Daur 2
111
1
0,28
0,30 0,11
2
0,30
0,34 0,12
3
0,41
0,21 0,06
4
0,52
0,17 0,02
*
Rata-rata
0,38 0,11
0,26 0,08
Keterangan :
1).
: Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
* : K pada kulit antara daur 1 dan daur 2 berbeda nyata pada taraf 95 %
+ 0,02 (7 %)
+ 0,04 (13 %)
- 0,20 (49 %)
- 0,35 (67 %)
- 0,12 (32 %)
Lampiran 26. Kadar kalium pada batang pada daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A.
mangium
Umur (th)
K (%)
K (%)
Perubahan K (%)
1)
Daur 1
Daur 2
1
0,65
0,15 0,05
- 0,50 (77 %)
2
0,69
0,18 0,05
- 0,51 (74 %)
3
0,21
0,15 0,05
- 0,06 (29 %)
4
0,22
0,12 0,02
- 0,10 (45 %)
**
Rata-rata
0,44 0,26
0,15 0,02
- 0,29 (66 %)
Keterangan :
1).
: Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
** : K pada batang antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99
Lampiran 27. Kadar kalium pada akar daur 1 dan daur 2 tegakan hutan tanaman A. mangium
Umur (th)
K (%)
K (%)
Perubahan K (%)
112
Daur 1 1)
1,71
1,96
0,79
1,14
1,40 0,53 **
Daur 2
0,14 0,02
0,21 0,04
0,16 0,05
0,15 0,04
0,17 0,03
1
- 1,57 (92 %)
2
- 1,75 (89 %)
3
- 0,63 (80 %)
4
- 0,99 (87 %)
Rata-rata
- 1,23 (88 %)
Keterangan :
1). : Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
** : K pada akar antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
Lampiran 28. Distribusi kadar kalium pada bagian tanaman tegakan hutan tanaman A. mangium
Bagian tanaman
Daur 1 1)
Daur 2
Selisih
**
Daun (%)
1,31 0,65
0,17 0,03
- 1,14 (87 %)
**
Cabang (%)
1,73 0,27
0,23 0,06
- 1,50 (88 %)
*
Kulit (%)
0,38 0,11
0,26 0,08
- 0,12 (32 %)
**
Batang (%)
0,44 0,26
0,15 0,02
- 0,29 (66 %)
**
Akar (%)
1,40 0,53
0,17 0,03
- 1,23 (88 %)
**
Rata-rata K (%)
1,05 0,61
0,20 0,05
- 0,85 (81 %)
Keterangan :
1).
: Sumber : Rosalina dan Setiawan, (1997)
**
: K antara daur 1 dan daur 2 berbeda sangat nyata pada taraf 99 %
*
: K antara daur 1 dan daur 2 berbeda nyata pada taraf 95 %
113
Pemanfaatan hara
Daur 1
1. Diangkut
Batang , kulit
2. Ditinggalkan
Cabang, daun
3. Hilang
a. Pencucian1
b. Erosi 2,3
c. Kebakaran 4,5
4. Tanah
5. Pemupukan
Neraca hara
daur 1
N
Kg/ha
P
Kg/ha
K
Kg/ha
Ca
Kg/ha
Mg
Kg/ha
218,5
64,9
168,7
133,0
29,5
168,0
20,3
161,8
52,0
12,2
121,8
21,6
7.200
14.424
28,7
-
66,6
0,6
20
1,5
12,0
-
136,2
22,8
101,4
364,0
Td
-
157,8
2,4
154
17.894
Td
-
73,2
0,6
782
1.115
td
-
Daur 2
1. Diangkut
Batang, kulit
138,6
11,0
52,3
107,8
2. Ditinggalkan
Cabang, daun
88,8
4,2
18,2
44,4
3. Hilang
a. Pencucian1
121,8
66,6
136,2
157,8
2,3
b. Erosi
21,6
0,6
22,8
2,4
4,5
c. Kebakaran
7.200
20
101,4
154
4. Tanah
7.023
25,0
314,0
926,1
5. Pemupukan
28,7
12,0
td
Td
Neraca hara
daur 2
Perubahan hara tanah +
daur 1 - daur 2
Keterangan :
1. Sumber Napitupulu, 1995 (Hara N, P, K, Ca dan Mg)
2. Sumber Ariesca, 2004 (Hara N, P dan K)
3. Sumber Kang dan Lal, 1981 (Hara Ca dan Mg)
4. Sumber Fisher dan Binkley, 2000 (Hara P dan Ca)
5. Sumber Saharjo, 1999 (Hara N, K dan Mg)
td : tidak dilakukan pemberian input
114
23,9
10,5
73,2
0,6
782
304,5
Td
-
Lampiran 30. Sidik ragam persamaan regresi hubungan peninggi antara daur 1 dan daur 2
Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
F hitung
P
bebas
kuadart
tengah
Regresi
159,26
159,26
Galat
10
16,96
1,70
Total
11
176,21
93,92
0,000
Lampiran 31. Sidik ragam persamaan regresi hubungan diameter batang pohon antara daur 1
dan daur 2
Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
F hitung
P
bebas
kuadart
tengah
Regresi
116,99
116,99
Galat
10
4,44
0,44
Total
11
121,43
263,56
0,000
Lampiran 32. Sidik ragam persamaan regresi hubungan tinggi total antara daur 1 dan daur 2
hutan tanaman A. mangium
Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
F hitung
P
bebas
kuadart
tengah
Regresi
203,76
203,76
Galat
10
18,4
1,81
Total
11
221,90
115
112,3
0,000
116