Anda di halaman 1dari 34

Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 1

Nasâ’i

AJARAN-AJARAN POLITIK
DALAM SUNAN ABÎ DÂWUD DAN AN-NASA’I
Oleh: Kamran As’ad Irsyady, Lc

(I)
PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang politik merupakan wacana yang selalu aktual dan tak
akan berkesudahan karena keberadaannya secara fungsional dengan keberadaan
masyarakat itu sendiri, dan manusia meminjam istilah filsuf Yunani, adalah zoon
politicon (hewan berpolitik); artinya di mana pun dia berada, dia akan selalu
berkutat dalam masyarakat politik dengan jenisnya sendiri.1
Terlepas dari perdebatan apakah Islam menggariskan konsep yang baku
tentang negara dan sistem politik atau tidak2, tidak ada yang menyangkal bahwa
Nabi Muhammad saw. tidak diutus hanya untuk mengajarkan ibadah dan akhlak,
akan tetapi lebih dari itu beliau juga berjuang membangun komunitas sosial-
politik yang disegani di Madinah dan membawa ajaran-ajaran dan etika politik
Islam.3 Dengan bahasa lain lain, di samping menjalankan fungsi dan peran sebagai
Rasul penyampai risalah kepada umat manusia, Nabi saw. juga berperan menjadi
kepala negara, panglima perang, hakim, tokoh masyarakat, suami, dan pribadi.4
1
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai
Zaman Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. II/2005), hlm. 3. Dalam bahasa lain, Ibnu
Khaldun memaknainya dengan istilah “hayawân siyâsi” (hewan berpolitik), sebagai salah satu dari
empat karakter istimewa yang ada dalam diri manusia. Tiga karakter lainnya adalah “hayawân
ijtimâ’i (social animal), hayawân nâthiq (logical animal), dan hayawân iqtishadi (economical
animal). Dikutip dari Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam I, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
1977), hlm. 104.
2
Sebagian kalangan memandang bahwa Islam, baik secara normatif maupun faktual,
telah mengatur dan membicarakan masalah politik. Lihat misalnya kitab-kitab karya teoretikus
politik Islam tradisional seperti al-Mawardi dan Ibnu Taimiyyah dari kalangan Sunni maupun
Khomeini dari kalangan Syi’ah. Di lain pihak, sebagian lainnya seperti Ali Abd ar-Raziq
berpandangan sebaliknya, bahwa Islam sama sekali tidak menyinggung masalah ini.
3
Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara al-Farabi dan Khomeini, (Bandung: Mizan,
2002), hlm. 10. Lihat juga pengakuan dan pendapat para orientalis dalam hal ini, antara lain V.
Fitzgearld, C.A. Nallino, Joseph Schacht, T. Arnold, Gibb, dan masih banyak lagi dalam Dr. M.
Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, diterjemahkan dari judul asli An-Nazhariyyât as-Siyâsiyyah
al-Islâmiyyah oleh Abdul Hayyie al-Kattanie dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 1421 H/2001 M),
hlm. 5-6.
4
Lebih detail mengenai peran-peran yang dimainkan Rasulullah saw. lihat Muhibbin,
Hadis-Hadis Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan LESISKA, 1996), hlm. 4.
Lihat juga J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, t.t.), hlm. 88
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 2
Nasâ’i

Karena itu, mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi saw. dengan mengaitkannya
pada fungsi dan kapasitas beliau tatkala hal tersebut dilakukan, menurut Mahmud
Syaltut sebagaimana kutip HM. Syuhudi Ismail, sangat besar manfaatnya,5
mengingat beliau adalah tokoh sentral dan sumber hadis.6

Pembatasan Masalah dan Metode yang Digunakan


Makalah ini berupaya menggali jejak-jejak kenegarawanan dan ajaran-
ajaran politik Rasulullah saw. dari lembaran-lembaran dokumen sejarah yang
dihimpun oleh Imam Abu Dawud di dalam “Sunan Abî Dâwud” dan Imam an-
Nasa’i dalam “Sunan an-Nasâ’i” sebagai dua kitab kompilasi hadis yang diakui
dan termasuk dalam Kutubussittah [Enam Kitab Hadis] yang menjadi rujukan
utama umat Islam7.
Dalam upaya tersebut, penulis menggunakan pendekatan sejarah dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a- Heuristik: Mengumpulkan data dan sumber sejarah, yaitu hadis-hadis politik
yang terdapat dalam Sunan Abî Dâwud dan an-Nasâ’i.
Dari previewing yang penulis lakukan, dapat dikemukakan bahwa hadis-
hadis politik pada Sunan Abî Dâwud dimuat secara dominan dalam Kitab al-
Kharrâj wa al-Fai’ wa al-Imârah [Pajak, Pampasan Perang, dan
Kepemimpinan Politik]. Kitab-kitab lain yang memuat hadis politik dalam
muatan yang lebih kecil dan bersifat lebih umum adalah Kitab al-Jihâd, Kitab

5
HM. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang, 1994), hlm. 33.
6
Hal ini didasarkan pada beberapa hadis Nabi sendiri, antara lain:
َ َ َ َ ‫ما أَن َا ب‬
ٍ‫ىء‬
ْ ‫ش‬ ْ ُ ‫مْرتُك‬
َ ِ‫م ب‬ َ ‫ه وَإِذ َا أ‬
ِ ِ ‫خذ ُوا ب‬ ْ ُ ‫ن دِينِك‬
ُ َ‫م ف‬ ْ ‫م‬
ِ ‫ى ٍء‬
ْ ‫ش‬ ْ ُ ‫مْرتُك‬
َ ِ‫م ب‬ َ ‫شٌر إِذ َا أ‬ َ َّ ‫إن‬
‫شٌر‬َ َ ‫ما أَنَا ب‬
َ َّ ‫ى فَإِن‬
ْ
ٍ ‫ن َرأ‬ ْ ‫م‬ ِ
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia (biasa); jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu
dari agama kalian, maka ambillah (laksanakanlah), dan jika aku perintahkan dengan
sesuatu dari pendapat pribadiku, maka aku hanyalah manusia (biasa).” Lihat Muslim; Abu
al-Husain Muslim ibnu Hajjaj, Al-Jâmi’ ash-Shahîh [Shahîh Muslim], (Beirut: Dar al-Jail dan
Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.), VII:95, Hadis no. 6276, Kitab al-Fadhâ’il, Bab Wujûb imtitsâl
ma qâlahu syar’an.
7
Empat kitab utama lainnya adalah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-
Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah atau Musnad Imam Ahmad menurut pendapat yang lain. Lebih
lanjut silakan lihat T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta:
Penerbit Bulan Bintang, cet. IV 1980), hlm. 104-111. Lihat juga al-Muzzi, Tahdzîb al-Kamâl fi
Asmâ’ ar-Rijâl, I/147.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 3
Nasâ’i

al-Malâhim, Kitab al-Fitan wa al-Malâhim, Kitab Adab al-Qadhâ’, Kitab al-


Aqdhiyyah, Kitab as-Sunnah, hingga Kitab ash-Shaid. Sementara itu, hadis-
hadis politik dalam Sunan an-Nasâ’i secara dominan terkonsentrasi pada Kitab
al-Bai’ah. Sedangkan hadis-hadis politik yang bersifat lebih umum tersebar
antara lain dalam Kitab Adab al-Qadha’, Kitab al-Imâmah, Kitab al-Jihâd,
Kitab al-Qisâmah, Kitab Qism al-Fai’, Kitab Tahrîm ad-Dam, hingga Kitab al-
Jum’ah.
Dari sini, penulis memutuskan untuk menfokuskan pencarian dan
penyuntingan ajaran-ajaran politik pada Kitab al-Kharrâj wa al-Fai’ wa al-
Imârah dalam Sunan Abî Dâwud8, dan dalam Kitab al-Bai’ah dalam Sunan an-
Nasâ’i9 dengan tiga kategori sebagai berikut:
1- Ajaran tentang kepemimpinan dan kekuasaan.
2- Ajaran tentang pola hubungan rakyat dan penguasa.
3- Ajaran tentang tatakelola pemerintahan dan kode etik kepegawaian.
b- Kritik sumber: Menjelaskan status hadis-hadis tersebut. Dalam hal ini, penulis
mengikuti penilaian yang dilakukan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani
terhadap hadis-hadis tersebut. Apa yang dinyatakan shahih dan hasan penulis
ambil sebagai data penelitian, sementara yang dinyatakannya dha’if bahkan
dha’if penulis sisihkan.
c- Interpretasi: Data-data yang terkumpul selanjutnya penulis tafsirkan dan
jelaskan secara singkat.
d- Eksposisi: Hasil interpretasi tersebut kemudian penulis paparkan secara
deskriptif dengan merujuk penjelasan yang diberikan oleh kitab-kitab syarah
kedua Sunan.

Kerangka Teoretik
Tulisan ini berangkat dari asumsi bahwa Islam bukanlah semata agama (a
religion), namun juga merupakan sistem politik (a political system) yang
mencerminkan teori-teori politik dan kenegaraan, sebab hakikat Islam yang

8
Kitab al-Kharrâj wa al-Fai’ wa al-Imârah adalah Kitab ke-15, memuat 1161 hadis yang
dikelompokkan dalam 41 bab.
9
Kitab al-Bai’ah [39], memuat 63 hadis yang dikelompokkan dalam 39 bab.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 4
Nasâ’i

sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-


perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat.
Kata politik berasal kata Yunani “politicos” atau bahasa latin “politica”
yang bermakna relating to a citizen. Kata tersebut berakar kata “polis” yang
bermakna negara kota10 yang dalam bahasa al-Quran dikenal dengan kata “al-
madînah”. Dalam bahasa Arab, politik (siyâsah) berasal dari akar kata “sâsa”, dan
kata kerja ‫ ساس‬mempunyai dua pola, yaitu: “sâsa-yasûsu-sausan” dan pola “sâsa-
yasûsu-siyâsatan.” Kata kerja ini memiliki makna ganda, yaitu kerusakan sesuatu
dan tabiat atau sifat dasar. Dari makna pertama diperoleh makna leksikal menjadi
rusak atau banyak kutu dan dari makna kedua diperoleh makna memegang
kepemimpinan atas masyarakat, menuntun atau melatih hewan,
mengatur/memelihara urusan.11 Sehingga secara singkat, politik bisa diartikan
sebagai hal ihwal tentang mengatur negara dan masyarakat.
Lebih lanjut, negara adalah sekumpulan besar masyarakat manusia yang
secara tetap mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki institusi abstraknya
sendiri, dan tunduk pada suatu sistem kekuasaan/pemerintahan yang bertanggung
jawab memelihara eksistensi masyarakatnya, mengurus segala kepentingannya,
dan kemaslahatan umum.12
Sabda Nabi yang mengandung nilai sejarah (historise waarde) dalam
konteks ini adalah sabda Rasulullah saw. berikut yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra.:
َ ََ ‫هل‬ َ َ
‫ى‬
ٌّ ِ ‫ك نَب‬ َ ‫ما‬ َ َّ ‫م النْبِيَاءُ كُل‬ُ ُ‫سه‬
ُ ‫سو‬
ُ ََ ‫ل ت‬َ ‫سَرائِي‬ ْ َِ ‫ت بَن َُو إ‬ ْ ََ ‫كَان‬
.‫خلََفاءُ فَتَكْثُُر‬ ُ ‫ن‬ ُ ‫ستَكُو‬ َ َ‫ى بَعْدِى و‬ ُ َّ ‫ى وَإِن‬
َّ ِ ‫ه ل َ نَب‬ ٌّ ِ ‫ه نَب‬ُ ‫خلََف‬
َ
“Bani Israel dipimpin oleh para Nabi. Sepeninggal seorang nabi, ia digantikan oleh
nabi berikutnya, sementara tidak ada nabi sepeninggalku. Yang bakal ada hanyalah
para khalifah yang jumlah mereka banyak.”13
10
Lihat Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, hlm. 20.
11
Lihat Ibnu Manzhur; Muhammad ibnu Makram ibnu Manzhur al-Ifriqi al-Mashri,
Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t.t.), VI/107, entri kata “s-w-s”.
12
Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, hlm. 25.
13
Al-Bukhari; Muhammad ibnu Isma’il, al-Jâmi’ ash-Shahîh al-Mukhtashar, tahqiq Dr.
Mushthafa Dib al-Bagha dkk, (Beirut –Yamamah: Dar Ibn Katsir, cet. III 1407 H/1987 M),
III:1237, hadis no. 3268. Lihat juga Muslim, ash-Shahîh, VI:17, hadis no. 4879, Ibnu Majah;
Muhamamd ibnu Yazid al-Quzwini, Sunan Ibn Mâjah, tahqiq Muhamamd Fu’ad ‘Abd al-Baqi,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II:958, hadis no. 2871, dan Ahmad ibnu Hanbal asy-Syaibani, Musnad
al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, (Cairo: Mu’assasah Qurthubah, t.t.), II:297, hadis no. 7947.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 5
Nasâ’i

Sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah saw. dan kaum muslimin
yang hidup bersama beliau di Madinah ini –jika dilihat dari segi praksis dan
diukur dengan variabel-variabel politik di era modern14- tidak disangsikan lagi
dapat dikatakan sebagai sistem politik par excelent. Dalam waktu yang sama,
sistem tersebut juga bisa disebut sebagai sistem religius, jika dilihat dari tujuan-
tujuannya, motif-motifnya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu
berpijak.15 Perpaduan sistem ini menurut Imam al-Ghazali bisa disebut sebagai
“Negara Akhlak”, di mana seluruh politik negara dan pekerjaan pemerintahan
diliputi oleh semangat akhlak dan jiwa agama.16
Melihat pemuatan hadis-hadis politik dalam Sunan Abu Dawud dan an-
Nasa’i, sebagaimana yang tercermin dari nama-nama kitab dan babnya serta
pilihan-pilihan hadis yang dimuat di dalamnya sebagaimana yang disinggung di
atas dan yang akan kita lihat nanti opada Bab III, kedua Imam ini tampaknya
memahami dan memaknai politik sebagai seni tentang bagaimana memimpin
masyarakat dan mengelola urusan negara/pemerintahan dengan cara-cara bijak
dan “penuh moral” yang bertujuan untuk mencapai kemenangan dan kebahagiaan
bersama di dunia dan akhirat17, sesuai praktek-praktek politik praktis yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.

(II)
SUNAN ABÎ DÂWUD DAN AN-NASÂ’I
14
Variabel-variabel pembentuk negara modern adalah adanya bangsa yang mendiami
wilayah tertentu di belahan bumi, adanya institusi abstrak yang diterima baik oleh bangsa tersebut
dan direalisasikan oleh pemegang kekuasaan, adanya sistem yang ditaati dan mengatur jenjang-
jenjang kekuasaan, serta adanya kebebasan politik yang menjadi identitas bangsa tersebut,
sehingga tidak mengekor pada bangsa lain. Lihat, Yusuf Musa, Politik dan Negara, hlm. 25.
15
Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, hlm. 4.
16
Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral menurut Imam al Gazali, (Jakarta:
Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm. 122.
17
Dalam hal ini, penulis mengadopsi dan merangkum definisi politik dalam Islam yang
dikemukakan antara lain oleh Abdurrahman al-Kawakibi, Abu al-Biqa’i, dan pakar-pakar politik
Islam modern lainnya yang dikutip oleh Zainal Abidini dalam Ilmu Politik Islam, hlm. 50-51.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 6
Nasâ’i

Sebelum beranjak pada pembahasan lebih detail, ada baiknya jika penulis
kemukakan pengertian “as-Sunan”18 dalam terminologi ilmu hadis untuk
membedakannya dengan istilah-istilah lain yang digunakan untuk menyebut kitab-
kitab himpunan hadis, antara lain: Ash-Shahîh, al-Musnad, al-Mushannaf, al-
Mustakhraj, al-Jâmi’, al-Mu’jam, al-Amâlî, az-Zawâ’id, al-Athraf, dan
seterusnya.19
Kitab Sunan adalah kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan
bab-bab fikih, mulai dari iman, thaharah, shalat, zakat, dan seterusnya, dan di
dalamnya tidak terdapat hadis mauquf, sebab hadis mauquf dalam terminologi
mereka bukanlah sunnah, melainkan hadis.20 Kitab as-Sunan dengan demikian
harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1- Hanya berisi hadis dan tidak menyebut atsar;
2- Hadis-hadis tersebut berhubungan dengan masalah hukum;
3- Hadis-hadis tersebut disusun berdasarkan bab-bab pembahasan dalam kitab
fikih.
Selain Sunan Abî Dâwud dan Sunan an-Nasâ’i, kitab-kitab hadis yang
termasuk dalam kategori as-Sunan antara lain: Sunan at-Tirmîdzi, Sunan Ibn
Mâjah (keempatnya disebut al-Kutub al-Arba’ah), ditambah lagi dengan Sunan
ad-Dârimi, Sunan asy-Syâfi’i, Sunan al-Baihaqi (ash-Shughrâ dan al-Kubrâ),
Sunan ad-Dâruquthni, Sunan Abî al-Walîd, Sunan Sa’îd ibnu Manshûr, Sunan Abi
Ja’far ad-Dûlâbi, dan masih banyak lagi.21

A. SUNAN ABÎ DÂWUD

18
As-Sunan adalah bentuk plural/jamak dari kata “as-sunnah”. Dalam pengertian yang
umum, sunnah sering diidentikkan dengan hadis, namun ada juga yang membedakannya dengan
mengartikan sunnah sebagai realitas faktual yang dialami masyarakat Islam pada masa Rasulullah
saw. dan shahabat. Ada pula yang mengartikan sunnah sebagai hukum tasyri’, baik yang
diriwayatkan maupun tidak. Pembedaan ini tampak jelas dalam pernyataan Abdurrahman ibnu
Mahdi ketika ditanya mengenai sosok Sufyan ibnu ‘Uyainah, Malik, dan al-Auza’i. Ia
mengatakan: Al-Auza’I adalah imam dalam sunnah, bukan imam dalam hadis, sementara Sufyan
adalah imam dalam hadis dan bukan imam dalam sunnah, sedangkan Malik adalah imam dalam
kedua-duanya. Lihat artikel Abû Dâwud as-Sijistâni wa Shahîhi, makalah di forum diskusi
www.alukah.net/articles. (Diakses tanggal 25 Desember 2008).
19
Lebih lanjut mengenai definisi istilah-istilah ini, lihat Muhammad ibnu Ja’far al-
Kattani, Ar-Risâlah al-Mustathrafah, Beirut: Dar al-Basya’ir al-Islamiyyah, cet. IV 1406 H=1986.
20
Al-Kattani, Ar-Risâlah al-Mustathrafah, I/32.
21
Ibid., I/32-37.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 7
Nasâ’i

1. Biografi Abu Dawud (202-275 H/817-889 M22)


Abu Dawud bernama lengkap Sulaiman ibnu al-Asy’ats ibnu Ishaq ibnu
Syaddad ibnu ‘Amrah ibnu ‘Imran23 al-Azdi24 as-Sijistâni al-Hanbali25. Ia lahir di
Sijistan26 pada tahun 20227 dari sebuah keluarga agamis dan kaya raya, sehingga
menunjangnya untuk melakukan pengembaraan ilmiah ke kantong-kantong
peradaban Islam.
Ia mengawali karir intelektualnya dengan belajar al-Qur’an, bahasa Arab,
dan ilmu-ilmu dasar lain pada para ulama di kampung halamannya, Sijistan.
Menginjak dewasa, atau tepatnya pada usia 18 tahun, ia mulai melakukan
pengembaraan intelektual ke pelbagai kota peradaban kala itu, antara lain: Irak
(Bagdad, Kufah, Basrah), Syam (Damaskus, Homs, Aleppo), al-Jazirah (Haran,
Mosul, dan sekitarnya), Hijaz (Makkah dan Madinah), Mesir, Khurasan
(Naisabur, Herat, Balakh, dan sekitarnya), dan Rayy.
Di Damaskus ia berguru dan mendengar hadis pada Sulaiman ibnu
Abdurrahman, Hisyam ibnu 'Ammar, Hisyam ibnu Khalid, dan lain-lain. Di
Baghdad, ia mengaji pada Ahmad ibnu Hanbal, Abu Tsaur, Muhammad ibnu
Ahmad ibnu Abi Khalf. Di Basrah, ia berguru pada Abu al-Walid ath-Thayalisi,
Abu an-Nu’man, dan lain-lain. Di Kufah pada Abu Bakar dan Usman putera Abu
Syaibah, Muhammad ibnu al-'Ala', dan lain-lain. Di Mesir pada Ahmad ibnu
Shalih dan lain-lain. Sementara di Khurasan, ia berguru pada Qutaibah ibnu Sa'id,
Ishaq ibnu Rahawaih, dan Ishaq ibnu Manshur al-Kausyaj. Di Hijaz (Makkah dan
Madinah), ia berguru pada Yahya ibnu Ma’in, Ali ibnu al-Madini, dan mendengar

22
Khair ad-Din az-Zirkali, Al-A’lâm, III/122.
23
Shahabat yang gugur membela Ali dalam Perang Shiffin. Lihat Tarikh Dimasyq:
22/191.
24
Afiliasi pada Kabilah Azad, sebuah kabilah yang terkenal di Yaman.
25
Abu Ishaq asy-Syirazi memasukkannya sebagai salah seorang murid terkemukanya dan
tokoh madzhab Hanbali. Lihat Abu Ya’la; Abu al-Husain Muhammad, Thabaqât al-Fuqahâ’:
I/171. Lihat juga Ibnu Khaliqan, Wafayât al-A‘yân: II/404.
26
Kalangan sejarawan penyusun biografi ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan
jkota kelahiran Abu Dawud yang bernama Sijistan. Sebagian sejarawan mengatakan bahwa ia
adalah sebuah daerah di kawasan Herat (al-Hârah), atau lebih tepatnya menurut Yaqut al-Hamawi,
ia adalah daerah Herat Selatan. Ada pula yang mengklaim bahwa Sijistan adalah salah satu desa di
Basrah.
27
Ash-Shafadi; Khalil ibn Abik, Al-Wâfi li al-Wafayât: V/113.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 8
Nasâ’i

hadis dari al-Qa’nabi, dan lain-lain.28 Tidak diragukan lagi bahwa lawatan-lawatan
ilmiah ini telah memperkaya khazanah intelektual Abu Dawud sehingga ia
memperoleh ‘uluww al-isnâd. Dalam hal ini, ia melebihi Imam Muslim, dan
seguru dengan Imam al-Bukhari dalam meriwayatkan hadis dari beberapa syaikh
yang hanya diriwayatkan olehnya.
Sementara itu, tokoh-tokoh ilmuwan hadis yang pernah menjadi murid dan
mendengar maupun meriwayatkan hadis darinya antara lain: at-Tirmidzi, an-
Nasa’i, Abu Bakar ibnu at-Tirmidzi, Harb al-Kirmani, Zakariyya as-Saji, Abu
‘Awwanah, Abu Bisyar ad-Dulabi, Abu Bakar al-Khallal, an-Najjad, Ali ibnu al-
Hasan, Abu Usamah Muhammad ibnu Abdul Malik, dan masih banyak lagi.29
Abu Dawud berhasil meraih reputasi tinggi dalam karir intelektualnya
hingga digelari “Sayyid al-huffâzh”30 dan ia konon merupakan orang pertama yang
menyusun kitab hadis model “Sunan”31. Banyak ulama yang memuji keilmuan
Abu Dawud. Al-Khallal mengatakan Abu Dawud adalah imam terkemuka di
zamannya; seorang tokoh yang tak terungguli dari segi pengetahuannya tentang
takhrij al-ulum dan wawasannya tentang lokasi-lokasi ilmu pada zamannya.32 Ibnu
Hibban melanjutkan: Abu Dawud adalah salah seorang imam dunia dalam hal
fikih, keilmuan, kehafizan, peribadatan, kewirangian, dan keakuratan.33
Abu Dawud tergolong penulis yang produktif. Karya tulisnya antara lain:
As-Sunan, Kitab at-Tafarrud fi as-Sunan, Kitab al-Marasil, Kitab al-Masa’il allati
Su’ila ‘anha al-Imam Ahmad, Nasikh al-Qur’an wa Mansukhuhu, dan masih
banyak lagi.34
Pada akhir hayatnya, Abu Dawud diminta secara khusus oleh Amir Abu
Ahmad al-Muwaffiq agar menetap di Basrah untuk meramaikan kembali suasana
intelektual kota tersebut yang kala itu telah porak-poranda dan ditinggalkan orang

28
Tarikh Dimasyq: II/191.
29
Thabaqât al-Huffâzh: I/51. Lihat juga Tadzkirah al-Huffâzh: II/591.
30
Tadzkirah al-Huffâzh: II/591. Lihat juga Al-‘Ibr fi Khabar man Ghabar: I/97.
31
Ar-Risalah al-Mustathrafah: I/11.
32
Thabaqât al-Huffâzh: I/51.
33
Ibid.
34
Isma‘il Basya, Hadiyyah al-‘Arifin: I/207.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 9
Nasâ’i

paska kerusuhan yang dikenal dengan “Fitnah az-Zanj”.35 Ia akhirnya tutup usia
di sana pada 16 Syawal 275 H dalam usia 73 tahun.36

2. Kitab Sunan Abî Dâwud


Kitab kompilasi hadis karya Abu Dawud ini berjudul “As-Sunan”, merujuk
pada keterangan dalam surat yang dikirimnya untuk penduduk Makkah. Ia
menulis kitab ini ketika berada di Baghdad, namun ada juga sinyalemen bahwa ia
sebenarnya telah mengarangnya sejak lama, baru kemudian menyodorkannya ke
hadapan Imam Ahmad yang langsung memberinya rekomendasi baik.37
Mengenai jumlah hadis yang terhimpun di dalamnya, Abu Dawud,
sebagaimana lansir Abu Bakar ibnu Dassah mengatakan: Ada 500.000 hadis yang
ditulis dari Rasulullah. Dari jumlah itu aku menghimpun 4800 hadis dan cukuplah
bagi seseorang mengambil empat hadis saja sebagai pedoman hidup: Pertama,
hadis: “‫”العمال بالنيّات‬, Kedua hadis: “‫”من حسن إسلم المرء تركُه مَا ل يعنيه‬, ketiga, hadis:
“‫”ل يكون المؤمسن مؤمناً حتّى يرضسى لخيسه مَا يرضسى لنفسسه‬, dan keempat, hadis:” ‫الحلل بَيّيّس‬
‫”والحرام ّبيّنّ وبين ذَِلكَ أمور مشتبهات‬.38
Berbeda dengan ulama-ulama sebelumnya, seperti al-Bukhari dan Muslim
dalam Shahih mereka, dan Ahmad ibnu Hanbal dalam al-Musnadnya, Abu Dawud
menyusun kitab kompilasi hadisnya berdasarkan urutan bab-bab fikih dan
membatasi diri pada penghimpunan hadis-hadis hukum39 dengan aneka kualitas,
mulai dari hadis yang shahih, mirip shahih (shahih li ghairihi), mendekati shahih
(hasan), sangat lemah (dha’if), dan shalih (li al-i’tibar).40
Di sini, Abu Dawud membagi hadis-hadis tersebut ke dalam beberapa
kitab, dan setiap kitab dibagi lagi menjadi beberapa bab, dan setiap bab berisi
beberapa hadis. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: 35 kitab pembahasan,
35
Abu Dawud as-Sijistani wa Shahihi, makalah di forum diskusi milis
www.alukah.net/articles. (Diakses tanggal 25 Desember 2008.
36
Thabaqât al-Huffâzh: I/51.
37
Thabaqât al-Hanâbilah: I/61.
38
Al-Wâfi: V/113.
39
Kecuali beberapa hadis yang terdapat dalam kitab al-‘ilm dan al-adab. Abu Dawud
juga tidak memasukkan hadis-hadis tentang fadha’il al-a’mal dan kisah-kisah. Lihat Suryadi, Kitab
Sunan Abu Dawud dalam Dosen Tafsir Hadis Fak Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab
Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003), hlm. 93.
40
Ahmad Umar Hasyim, Qawa’id at-Tahdits, (T.t.p.: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 80.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 10
Nasâ’i

1871 bab, dan 4800 hadis atau 5274 menurut versi Muhammad Muhyiddin Abd
al-Hamid.41
Sunan Abî Dâwud mendapat sambutan dan pengakuan luas dari kalangan
ahli hadis, bahkan menjadi semacam “kitab suci” yang mereka ikuti dan pantang
diselisihi. Zakariyya as-Saji mengatakan: “Kitab Allah adalah pangkal Islam,
sementara kitab Sunan Abî Dâwud adalah ‘ahd al-Islam.” As-Sakhawi
mengatakan: “Sunan Abî Dâwud menjadi wasit penengah di antara umat Islam
dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dipertentangkan.”42
Kitab ini juga banyak mendapat apresiasi dari generasi hadis setelah Abu
Dawud, dalam bentuk syarah, mukhtashar, mustakhrajat, takhrij, dan berbagai
risalah, antara lain:
- Ma’âlim as-Sunan karya Abu Sulaiman Hamd al-Khaththab (w. 388 H).
- ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud karya Abu Thayyib Muhammad
Syams al-Haqq al-‘Azhim al-Abadi (w. abad 14 H).
- Tahdzîb as-Sunan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751).
- Mukhtashar Sunan Abî Dâwud karya al-Hafizh Abd al-‘Azhim ibnu Abd al-
Qawiy al-Mundziri (w. 659).
- Dan masih banyak lagi.43

B. SUNAN AN-NASÂ’I
1. Riwayat Hidup an-Nasa’i (215-303 H/830-915 M)
An-Nasa’i atau lebih lengkapnya Ahmad ibnu Syu’aib ibnu Ali ibnu Sinan
ibnu Bahr ibnu Dinar, al-Imâm al-Hâfizh; Abu Abdurrahman an-Nasa’i, al-Qadhi44
asy-Syafi’i. Ia lahir pada tahun 215 H di kota Nasa, sebuah kota kecil di
Khurasan45, sehingga ia kemudian populer dengan nama kunyah an-Nasa’i.

41
Lihat sistematika penyusunan kitab Sunan Abî Dâwud berikut tabelnya dalam Suryadi,
Kitab Sunan Abî Dâwud, dalam Dosen Tafsir Hadis, Studi Kitab Hadis, hlm. 93-95.
42
Thabaqât al-Huffâzh: I/51.
43
Lihat Hadiyyah al-‘Ârifîn: I/207.
44
Imam an-Nasa’i pernah menduduki lembaga peradilan di Mesir dan Homs (Syria).
45
Yaqut al-Hamawi mengatakan dalam Mu’jam al-Buldan: Nasa berjarak dua hari
perjalanan darat dari Sarkhas dan Marwa, 5 hari dari Marwa, dan 6-7 hari dari Naisabur. Kota ini
konon beriklim sangat panas, terutama di musim panas. Dikutip dari Adh-Dhu‘afâ’ wa al-
Matrûkîn: I/136.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 11
Nasâ’i

Imam An-Nasa’i hidup pada masa puncak keemasan ilmu hadis. Ia


memulai karir ilmiahnya sejak dini. Pada usia 15 tahun, ia nyantri pada Qutaibah
ibnu Sa’id yang kala itu berusia 80 tahun dan merupakan level tengah guru al-
Bukhari. Kemudian sama seperti rekan-rekannya yang lain, an-Nasa’i pun
melakukan lawatan ilmiah ke penjuru negara Islam, berguru dan memburu hadis
dari ulama-ulama dan para hafizh daerah yang ia kunjungi, antara lain Khurasan,
Irak (Baghdad, Kufah, Basrah), al-Jazirah, Syam, ats-Tsughûr (kawasan Islam di
perbatasan timur Bizantium), Hijaz, dan terakhir ia menetap di Mesir.
Selain Qutaibah ibnu Sa’id, an-Nasa’i berguru dan mendengar hadis
antara lain dari Ishaq ibnu Rahawaih, Ishaq ibnu Manshur al-Kausaj, Hisyam ibnu
‘Ammar, Abu Kuraib, Suwaid ibnu Nashr Shan, dan masih banyak lagi, hingga ia
piawai dan dikenal memiliki uluww al-isnâd. Sementara itu, tokoh-tokoh yang
pernah berguru dan mendengar hadis darinya antara lain: Abu Bakar ibnu as-
Sunni, Abu Bisyar ad-Dulabi, Hamzah al-Kinani, al-Hasan ibnu Khadhr as-
Suyuthi, Abu al-Qasim ath-Thabrani, dan masih banyak lagi.46
Menurut keterangan Tajuddin as-Subki yang memasukkannya dalam
generasi ketiga ulama Syafi’iyyah, an-Nasa’i merupakan masyayikh Mesir yang
paling mengerti soal hadis, rajin tahajjud dan ibadah.47 Ad-Daruquthni pun
mengakuinya sebagai orang yang paling diunggulkan dalam disiplin ilmu hadis
pada masanya. Bahkan ketika ditanya oleh Tajuddin as-Subki mengenai siapa
yang lebih utama antara Muslim dan an-Nasa’i, adz-Dzahabi menjawab, “an-
Nasa’i” dan jawaban ini diamini oleh Taqiyuddin as-Subki.48
Adapun karya tulis an-Nasa’i antara lain: As-Sunan al-Kubrâ, al-Mujtabâ
(as-Sunan ash-Shugrâ), Musnad Mâlik ibn Anas, Musnad Ali ibnu Abî Thâlib, al-
Khashâ’ish fi Fadhl ‘Alî ibn Abî Thâlib wa Ahl al-Bait, Kitab adh-Dhu‘afâ’ wa al-
Matrûkîn, al-Jarh wa at-Ta’dîl, ‘Amal Yaum wa Lailah, Manâsik al-Hajj, dan
Kitâb al-Jum’ah,.49

46
Tadzkirah al-Huffâzh: II/698.
47
Tajuddin as-Subki, Thabaqât asy-Syâfi’iyyah: I/6.
48
Ibid.
49
Al-A’lâm: I/171.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 12
Nasâ’i

An-Nasa’i meninggal dunia di Palestina pada bulan Shafar 303 H setelah


peristiwa mihnah di Damaskus50 dalam usia 88 tahun51. Ada juga yang
mengatakan bahwa setelah peristiwa tersebut ia minta di bawa ke Makkah dan
akhirnya meninggal di sana pada bulan Sya’ban, kemudian dimakamkan di antara
Shafa dan Marwa.52

2. Kitab Sunan an-Nasâ’i53


Perlu dijelaskan di sini bahwa Sunan an-Nasâ’i yang dimaksud oleh
kalangan ahli hadis bukanlah as-Sunan al-Kubrâ, melainkan as-Sunan ash-
Shugrâ atau al-Mujtabâ min as-Sunan yang merupakan suntingan dari as-Sunan
al-Kubrâ.54
Mengenai alasan penyusunan kitab ini, konon ada seorang amir yang
bertanya pada an-Nasa’i, apakah hadis yang ada dalam as-Sunan al-Kubra
semuanya shahih? Dijawabnya, tidak. Sang amir menukas, kalau begitu tuliskan
untuk kami yang shahih saja darinya. An-Nasa’i pun menyunting as-Sunan al-
Kubra dan menamai kitab suntingan ini dengan judul “Al-Mujtabâ” atau “al-
Mujtanâ”, atau sering disebut juga As-Sunan ash-Shugra. Karena itu, Ibnu Hajar
mengatakan: Secara umum, Sunan an-Nasâ’i adalah kitab yang paling minim
hadis dha’ifnya dan paling sedikit perawi majruhnya setelah Shahih al-Bukhari
dan Muslim.55
An-Nasa’i menyusun kitab ini dengan menggabungkan dua disiplin ilmu:
hadis (tepatnya isnad) dan fikih. Sistematika kitab ini misalnya disesuaikan

50
Konon, setelah tinggal beberapa lama di Mesir, an-Nasa’i kemudian pergi Damaskus.
Di sana ia ditanya tentang keutamaan-keutamaan Mu’awiyah, namun ia membisu, tak memberikan
jawaban Penduduk yang fanatik terhadap Dinasti Umayyah berang dan memukulinya di dalam
masjid hingga babak belur dan sakit keras. Ia lantas diungsikan ke Ramlah (Palestina) dan
meninggal di sana, kemudian dimakamkan di Baitul Maqdis. Lihat Wafayat al-A’yan: I/77.
51
Taqrîb at-Tahdzîb: I/36.
52
Al-Mustafâd min Dzail Târîkh Baghdad: I/35.
53
Perlu dijelaskan bahwa kitab as-Sunan karya an-Nasa’i diriwayatkan dengan beragam
versi, dan versi yang beredar luas adalah versi Abu Bakr ibnu as-Sunni. Versi inilah selanjutnya
disebut sebagai as-Sunan ash-Shughra. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa al-Mujtaba
atau as-Sunan ash-Shugra merupakan suntingan Ibnu as-Sunni atas as-Sunan al-Kubra karya
gurunya yang kemudian diajukan dan disetujui oleh an-Nasa’i. Lihat Harf, CD Mausu’ah al-Hadits
asy-Syarif (versi 2.1), Sunan-Nasâ’i, (at-Ta’rif bi al-Kutub as-Tis’ah).
54
Al-Kattani, Ar-Risâlah al-Mustathrafah, I/32.
55
An-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn ash-Shalah: I/484.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 13
Nasâ’i

dengan bab-bab dalam kitab fikih. Selanjutnya, ia berusaha sebisa mungkin untuk
melansir minimal sebuah hadis shahih dalam setiap bab; dan jika tidak bisa, maka
ia akan melansir beberapa hadis dha’if yang perawi-perawinya ia pandang tidak
disepakati kedha’ifannya oleh para ulama hadis. Dalam hal ini, ia membatasi diri
hanya mencantumkan hadis-hadis yang memiliki sanad hingga Rasulullah dan
shahabat, dan tidak mencantumkan hadis-hadis mu’allaq. Selain itu, ia
menghimpun sanad-sanad hadis yang sama dalam satu tempat.56
Sebagaimana halnya kitab-kitab Sunan lainnya, an-Nasa’i dalam kitab ini
pun menghimpun hadis-hadis yang terkait dengan hukum berjumlah 575857,
kemudian membaginya menjadi 51 kitab dimulai dari Kitab ath-Thahârah dan
diakhiri dengan Kitab al-Asyribah, dan setiap kitab terbagi lagi menjadi beberapa
bab.58
Terkait posisinya dalam hierarki kitab-kitab hadis, Sunan an-Nasâ’i
merupakan kitab kelima dari kutubussittah, namun ada juga yang
menempatkannya di urutan keempat setelah al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.
Menurut as-Sakhawi, penempatan Sunan an-Nasâ’i setelah al-Bukhari, Muslim,
at-Tirmidzi, dan Abu Dawud lebih didasarkan karena ia meninggal paling akhir.59
Abdurrahim al-Makki, salah seorang masyayikh Makkah mengatakan: Mushannaf
an-Nasa’i merupakan kitab kompilasi hadis yang termulia dan belum pernah ada
kitab serupa dalam Islam. Ibnu Rasyid al-Fahri juga menyatakan bahwa Sunan an-
Nasâ’i adalah kitab sunan yang paling bagus sistematika penyusunannya.
Adapun kitab syarah atas Sunan an-Nasâ’i yang paling terkenal adalah
Zahr ar-Rubâ ‘ala al-Mujtabâ karya Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) dan
Hasyiyah as-Sindi karya Abu al-Hasan Nuruddin ibnu Abdul Hadi as-Sindi (w.
1138 H). Kitab syarah yang paling baru adalah Dzakhîrah al-‘Uqbâ fi Syarh al-

56
Manhaj al-Imâm an-Nasâ’i fi al-Mujtabâ, makalah diskusi dalam forum milis Shina’ah
al-Hadits. http://www.hadiith.net/montada/. (Diakses tanggal 25 Desember 2008).
57
Merujuk pada penomoran versi Abu Ghaddah, sementara menurut versi internasional
dalam CD Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif (Harf Versi 2) berjumlah 5662.
58
Lihat sistematika penyusunan kitab Sunan an-Nasâ’i berikut tabelnya dalam Afdawiza,
Kitab Sunan an-Nasâ’i dalam Dosen, Studi, hlm. 142-146.
59
Bughyah ar-Raghib, hlm. 90. Ada lagi yang menempatkannya di urutan ketiga setelah
Shahihain dengan alasan paling sedikit muatan hadis dha’ifnya. Lihat Hasbi ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 109.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 14
Nasâ’i

Mujtabâ karya Syaikh Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Adam al-Atsyubi, seorang
ustadz di Dar al-Hadits al-Khairiyyah, Makkah berjumlah 28 jilid.60

C. KEHIDUPAN SOSIAL POLITIK PADA MASA ABU DAWUD

DAN AN-NASA’I
Abu Dawud dan an-Nasa’i sama-sama hidup pada abad III H, meski
terpaut beberapa tahun. Abu Dawud meninggal pada tahun 275 H, sementara an-
Nasa’i meninggal dunia pada tahun 303 H.
Sudah maklum adanya bahwa abad III H merupakan masa keemasan ilmu
pengetahuan dalam sejarah Islam. Abad tersebut melahirkan tokoh-tokoh jenius
dalam berbagai bidang pemikiran. Di samping Abu Dawud dan an-Nasa’i
tentunya, dalam bidang hadis muncul al-Bukhari, Muslim, Yahya ibnu Ma‘in,
Ahmad ibnu Hanbal, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i. Sementara dalam bidang fikih
ada ar-Rabi’ dan al-Muzani (dua murid asy-Syafi’i), Dawud azh-Zhahiri, dan lain-
lain. Di bidang syair: Ibnu ar-Rumi, al-Mu’taz, dan al-Buhturi. Dan di bidang
sains dan bahasa muncul Al-Mubarrad, Ibnu Qutaibah, al-Jahizh, al-Farra’, dan
lain-lain. Peradaban Islam masa itu mencapai kematangan dan menunjukkan
buah-buah peradaban yang gemilang dan dikenang sepanjang masa.
Meski demikian, perlu dicatat di sini bahwa pada masa itu juga, terjadi
gonjang-ganjing kemunduran politik Dinasti Abbasiyyah, dimulai dengan
terbunuhnya Khalifah al-Mutawakkil pada tahun 247 H. Usahanya untuk
menyingkirkan elemen-elemen Turki dalam tubuh militer Dinasti Abbasiyyah
yang mulai mendominasi sejak kekhilafahan al-Mu’tashim menemui kegagalan.
Dalam kesempatan ini, penulis tidak membahas seluruh aspek politik masa
itu, namun secara singkat dapat penulis paparkan bahwa kondisi politik pada masa
tersebut mengalami berbagai ketegangan sosial dan politik, ditandai dengan hal-
hal sebagai berikut:
a- Persaingan kekuasaan di antara kaum bangsawan anggota kerajaan mencapai
puncaknya, sehingga dalam rentang waktu tersebut terjadi suksesi politik
berkali-kali.

60
Sunan an-Nasâ’i, http://islamweb.net. (Diakses tanggal 25 Desember 2008).
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 15
Nasâ’i

b- Dominasi elemen-elemen asing (non-Arab) di tubuh pemerintahan Dinasti


Abbasiyyah secara umum, terutama Turki semakin jelas dan kentara.
c- Munculnya sejumlah pemberontakan di berbagai wilayah Dinasti Abbasiyyah,
terutama di jantung pemerintahan Baghdad.
d- Menguatnya pengaruh sekte-sekte sesat di lembaga kekhalifahan disertai aksi-
aksi otoritarianisme pemikiran dan penangkapan besar-besaran terhadap para
ulama.
e- Merebaknya berbagai aliran pemikiran yang sebagiannya cenderung
destruktif.61
Untungnya, kehidupan sosial secara umum masih berjalan menurut alur
petunjuk Islam, ditopang lagi dengan kondisi intelektual dan pemikiran Islam
yang berjalan sesuai misinya. Tanpa hal tersebut, kehidupan politik yang suram di
atas tentu telah memberikan warna kelam pada mega kejayaan Islam masa itu.

(III)
AJARAN-AJARAN POLITIK DALAM SUNAN ABÎ DÂWUD DAN
AN-NASA’I
A. Ajaran tentang Kepemimpinan dan Kekuasaan:
Dalam level perkumpulan manusia sekecil apapun, Islam menganjurkan
untuk menunjukkan salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin, apalagi
dalam konteks sekumpulan manusia yang mendiami sebuah wilayah besar yang
disebut bangsa. Dalam hal ini, Rasulullah saw. sebagaimana riwayat Abu Sa’id al-
Khudri ra. bersabda:
َ
‫م‬
ْ ُ‫حدَه‬ ِّ َ ‫فرٍ فَلْيُؤ‬
َ ‫مُروا أ‬ َ ‫س‬ ٌ َ ‫ج ثَلَث‬
َ ‫ة فِى‬ َ ‫خَر‬
َ ‫إِذ َا‬
“Jika ada tiga orang keluar bepergian dalam sebuah perjalanan, maka hendaklah
mereka menunjuk salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.”62
Mengingatnya kepemimpinan dalam komunitas Islam, maka Nabi saw.
Pun memberikan rambu-rambu ajaran yang musti dipegang teguh, baik melalui
sabda maupun teladan yang beliau berikan.

61
Lihat artikel Abu Dawud as-Sijistani, www. alukah.net/articles..
62
Sunan Abu Dawud II:42, hadis no. 2609, Kitab al-Jihad Bab Fi al-Qaum yusafirun
yu’ammirun ahadahum. Hadis ini dinyatakan hasan shahih oleh al-Albani.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 16
Nasâ’i

1) Pemimpin adalah penggembala rakyat:


Kekuasaan atau pemerintahan adalah sifat orang yang mengurus
administrasi pihak yang dipimpinnya, mengatur urusan-urusannya, memutuskan
masalah-masalahnya dalam hubungan antara anggota yang dipimpinannya, urusan
penghidupan mereka, dan kemakmuran mereka, maupun dalam hubungan mereka
dengan komunitas lain.63 Karenanya, pemimpin dalam filosofi politik Islam
dikiyaskan sebagai “penggembala” yang mengurus gembala dan bertanggung
jawab atas segala sesuatu yang menyangkut gembalaannya.

َ َ َ َ َّ َ ‫مَر أ‬ َّ
ِ ْ ‫ه عَلَي‬
‫ه‬ ُ ّ ‫صل ّى الل‬ َ ِ‫ل الل ّه‬ ‫سو‬ ُ ‫ن َر‬ َ ُ‫ن ع‬ ِ َ ‫ن َعَبْدِ الل‬
ْ ‫ب‬ ِ ‫ه‬ ْ َ‫ع‬
ُ ُ
ِ َِ ‫عيَّت‬
‫ه‬ ِ ‫ن َر‬ ْ ََ‫ل ع‬ ٌ ‫سئُو‬ َْ ‫م‬ َ ‫م‬ ْ َُ ‫ع َوكُل ّك‬ ٍَ ‫م َرا‬ ْ َُ ‫ل أَل كُل ّك‬ َ ‫م قَا‬
َ َ ّ ‫سل‬ َ ََ‫و‬
‫ل‬ ٌ ‫سئُو‬ ََْ ‫م‬ َ َ‫م وَهُو‬ ْ ََِ‫س َرا ٍََع عَلَيْه‬ َ َ
َََِ ‫ميُر الذِي عَلى الن ّا‬
ّ ِ َ ‫فَاْل‬
‫م‬ ْ ُ ‫ل عَنْه‬ ٌ ‫سئُو‬ ْ ‫م‬ َ َ‫ل بَيْت ِهِ وَهُو‬ ِ ْ‫ل َرا ٍع عَلَى أه‬ ُ ‫ج‬ ُ ‫م وَالَّر‬ ْ ُ ‫عَنْه‬
ٌ َ ‫سئُول‬ َ
‫ة‬ َْ ‫م‬ َ ‫ي‬ َ َِ‫ت بَعْلِهََا وَوَلَدَِهِ وَه‬ ِ َْ ‫ة عَلَى بَي‬ ٌ َ ‫عي‬ ِ ‫مْرأة ُ َرا‬ َ ْ ‫وَال‬
‫ه‬ ُ َْ ‫ل عَن‬ ٌ ‫سئُو‬ َْ ‫م‬ َ َ‫سيِّدِهِ َوهُو‬ ََ ‫ل‬ ِ ‫ما‬ َ ‫ع عَلَى‬ ٍَ ‫را‬ َُ ُ ‫م َوالْعَبْد‬ ْ َُُ ‫عَنْه‬
ِ‫عيَّتِه‬
ِ ‫ن َر‬ ْ َ‫ل ع‬ ٌ ‫سئُو‬ ْ ‫م‬ َ ‫م‬ ْ ُ ‫م َراٍع وَكُل ّك‬ ْ ُ ‫فَكُل ّك‬
Dari Abdullah ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Setiap kamu
adalah pemimpin, dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.
Pejabat pemerintah adalah pemimpin rakyat, dan ia bertanggung jawab atas
mereka. Suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia bertanggung jawab
atas mereka. Isteri adalah pengurus rumah suaminya dan anaknya, dan ia
bertanggung jawab atas mereka. Budak adalah pengurus harta majikannya, dan ia
bertanggung jawab atasnya. Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kami
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya (diurusinya).”64

2) Kekuasaan bukan barang warisan:


Sebagai sebuah amanat, jabatan dan kekuasaan politik dalam Islam bukan
merupakan barang warisan yang bisa diberikan secara turun-temurun kepada
orang yang dikehendakinya, laiknya tahta kerajaan dalam sistem monarkhi. Hal
ini ditegaskan dalam hadis berikut:

63
Muhammad al-Mubarak, Sistem Pemerintahan dalam Perspektif Islam, diterjemahkan
dari judul asli “Nizham al-Islam: al-Mulk wa ad-Daulah” oleh Firman Harianto, (Solo: Pustaka
Mantiq, 1995), hlm. 68.
64
Abu Dawud; Sulaiman ibn al-Asy’ats as-Sijistani, Sunan Abî Dâwud, tahqiq
Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II:145, hadis no. 2928, Bab Ma
yulzima al-imam min haqq ar-ra‘iyyah. Hadis ini dinyatakan shahih oleh al-Albani.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 17
Nasâ’i

ََ
‫ن‬ َّ َِ ‫ف فَإ‬ْ ِ ‫خل‬ ْ َ ‫ست‬ ْ ‫ن َل أ‬ ْ َِ ‫مُر إِن ّ َِي إ‬ َ ُ‫ل ع‬ َ ‫ل قَا‬ َ ‫مَر قَا‬ َ ُ‫ع‬ ‫ن‬
ِ َْ ‫ن اب‬ ْ ََ‫ع‬
َ‫م ل‬ َ ّ ‫سل‬ َ َ َ
‫ن‬ ْ ِ ‫ف وَإ‬
ْ ِ ‫خل‬ ْ َ ‫ست‬ ْ َ‫م ي‬ ْ َ َ َ ‫ه عَلَي ْهِ و‬ ُ ّ ‫صل ّى الل‬ َ ِ‫ل الل ّه‬ َ ‫سو‬ ُ ‫َر‬
َّ َ َ
‫و‬
َ ُ‫ما ه‬ َ ِ‫ل فَوَ َالل ه‬ َ ‫ف قَا‬ َ َ ‫خل‬ ْ َ ‫ست‬ْ ‫ن أب َا بَكْرٍ قَد ْ ا‬ َّ ِ ‫ف فَإ‬ ْ ِ ‫خل‬ ْ َ ‫ست‬ ْ ‫أ‬
ٍْ ‫م وَأَبَا بَك‬ ّ ‫سل‬ َّ َ َ َ َ َ
‫ر‬ َ َ َ‫ه عَلَيْهِ و‬ ُ ‫صل ّى الل‬ َ ِ‫ل الل ّه‬ ‫سو‬ ُ ‫ن ذ َكََر َر‬ ْ ‫إ ِ ّل أ‬
َ َ ََّ َ
ِ‫ه عَلَي َْه‬ ُ َّ ‫صل ّى الل‬ ََ ِ ‫ه‬ ‫ل الل‬ ِ ‫سو‬ َُ ‫ل بَِر‬ ُ ِ‫ه َل يَعْد‬ ُ ََّ ‫ت أن‬ َُ ‫م‬ ْ َ ِ ‫فَعَل‬
َ َ ّ ‫وسل‬
‫ف‬ٍ ِ ‫خل‬ْ َ ‫ست‬ ْ ‫م‬ ُ ‫ه غَيُْر‬ ُ َّ ‫حدًا وَأن‬ َ ‫مأ‬ َ َ َ
Dari Ibnu ‘Umar ra., ia bercerita: Umar berkata, “Aku tidak akan memberikan
mandat kekuasaan (sebagai pelanjut), sebab Rasulullah saw. tidak pernah menunjuk
seorangpun untuk menggantikannya. Andai beliau memberikan mandat kekuasaan,
maka Abu Bakar pasti akan memberikan mandat yang sama (kepada Umar untuk
menggantikannya). (Ibnu Umar) berkata, “Demi Allah, ia tidak lain hanya teringat
Rasulullah saw. dan Abu Bakar, maka sadarlah aku bahwa ia tidak akan pernah
menyamakan seorangpun dengan Rasulullah saw., dan ia tidak akan memberi
mandat kekuasaan (kepada siapapun, termasuk aku sebagai pelanjutnya).”65

Oleh karena itu, sistem pewarisan pemerintahan (monarkhi) sama sekali


tidak memiliki legitimasi dalam Islam.
3) Pemimpin harus taat aturan:
Kekuasaan merupakan amanat Tuhan sebagai khalifatullah yang
meniscayakan ketulusan niat untuk mengabdi sepenuh-penuhnya untuk agama,
nusa, bangsa, dan rakyat, tanpa ditunggangi kepentingan pribadi maupun
kelompok. Karena itu, dalam menjalankan wewenangnya, ia musti selalu
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini al-
Qur’an dan Sunnah.
َ َ َ َ
‫ما‬َ ََّ ‫ل إِن‬ َ ‫م قَا‬ َ ّ ‫سل‬َ ََ‫ه ع َلَي َْهِ و‬ ُ َّ ‫صل ّى الل‬ ََ ِ‫ل الل َّه‬ ِ ‫سو‬ َُ ‫ن َر‬ ْ ََ ‫ع‬
َ
‫مَر‬ َ ‫نأ‬ ْ َِ ‫ن َوَرائ َِهِ وَيُت َََّقى ب َِهِ فَإ‬ َْ ‫م‬ ِ ‫ل‬ ُ َ ‫ة يَُقات‬ٌ َّ ‫جن‬ ُ ‫م‬ َُ ‫ما‬َ ِ ‫اْل‬
‫مَر‬ َ ‫نأ‬
َ
ْ ََِ ‫جًرا وَإ‬
َ َ ََِ ‫ن ل َََه بذَل‬
ْ ‫كأ‬ ِ ُ َّ ََِ ‫ل فَإ‬ َ َ ‫بِتَْقوَى الل َََّهِ وَعَد‬
‫ن ع َلَيْهِ وِْزًرا‬ َّ ِ ‫بِغَيْرِهِ فَإ‬
Dari Rasulullah saw., beliau bersabda: “Sesungguhnya imam adalah tameng yang
diperisaii belakangnya dan dilindungi dengannya; maka jika ia memerintah dengan
ketakwaan kepada Allah dan berbuat adil, ia mendapat pahala dengan hal tersebut,
sementara jika ia memerintah dengan selain itu, maka ia telah berdosa.”66
65
Ibid., II:148, hadis no. 2939, Bab Fi al-khalifah yastakhlif. Hadis ini dinyatakan shahih
oleh al-Albani.
66
An-Nasa’i, An-Nasa’i; Ahmad ibnu Syu’aib Abu ‘Abdurrahman an-, Sunan an-Nasâ’i,
tahqiq Abdul Fattah Abu Ghaddah, (Aleppo: Maktab al-Mathbu‘at al-Islamiyyah, 1406 H/1986
M), VII:155, hadis no. 4196, Bab Ma yajibu li al-imam wa ma yajibu ‘alaih. Hadis ini dinyatakan
shahih oleh al-Albani. Hadis senada dengan redaksi lebih singkat dimuat dalam Sunan Abî Dâwud,
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 18
Nasâ’i

ُ َ َّ َ َ ُ
‫ن‬
ْ ‫م‬ِ ‫م‬ْ ُ ‫ما أوتِيك‬ َ ‫م‬َ ّ ‫سل‬َ َ‫ه عَلَي ْهِ و‬
ُ
َّ َ
‫صل ّى الل‬ َ ِ‫ل الل ّه‬ ‫سو‬ ُ ‫ل َر‬َ ‫قَا‬
ُ َ َ
‫ت‬ ِ ‫ثأ‬
ُ ‫مْر‬ ُ ْ ‫حي‬ َ ‫نأ‬
َ ُ‫ضع‬ ٌ ِ‫خاز‬
َ ‫ن أنَا إ ِل‬ ْ ِ ‫موه ُ إ‬ ُ ُ ‫منَعُك‬ْ ‫ما أ‬
َ َ‫يءٍ و‬
ْ ‫ش‬َ
Rasulullah saw. bersabda: “Aku tidak bisa memberi kalian apa-apa dan aku pun
tidak bisa menghalang-halangi kalian dari mendapatkan apa-apa. Aku hanyalah
sekedar bendahara, maka aku pun bertindak sesuai yang diperintahkan kepadaku.”67

‫ن‬ ُ َْ ‫مُر ب‬َ ُ ‫ل ذ َكََر ع‬ َ ‫ن قَا‬ َِ ‫حدَثَا‬ َ ْ ‫ن ال‬ ِ َْ ‫س ب‬ ِ َْ ‫ن أَو‬ِ َْ ‫ك ب‬ ِ َِ ‫مال‬ ََ ‫ن‬ْ ََ‫ع‬
َ َ
ِ‫يء‬ ْ ‫حق ََّ ب ِ َهَذ َا الَْف‬ َ ‫ما أن ََا بِأ‬ ََ ‫ل‬ َ ‫يءَ فََقا‬ ْ ‫ما الَْف‬ ً َْ‫ب يَو‬
َ ‫منك ُ َم و ما أ َحد من َا بأ‬ َِ ‫خط ّا‬ َ ْ ‫ال‬
‫حدٍ إ ِ ّل أَن ّ ََا عَلَى‬ َ ‫نأ‬
َ
َْ ‫م‬
ِ ِ ‫ه‬ َ ِ ‫ب‬ َ َ ّ ‫ق‬ ‫ح‬
َ َِ َّ ِ ٌ َ َ ََ ْ ْ ِ
ََّ َ
ِ‫ل الل ه‬ ِ ‫سو‬ َُ ‫سم ِ َر‬ ْ ََ‫ل وَق‬ ّ ‫ج‬ َ َ‫ب الل َّهِ عََّز و‬ َِ ‫ن كِتَا‬ َْ ‫م‬ ِ ‫منَازِلِن ََا‬ َ
َ َ ّ َ َ ّ َ ّ
ُ ُ ‫ل وَب َلؤ‬
‫ه‬ ُ ‫ج‬ ُ ‫ه وَالَّر‬ ُ ‫م‬ُ َ ‫ل وَقِد‬ ُ ‫ج‬ ُ ‫م فَالَّر‬ َ ‫سل‬ َ َ‫ه عَليْهِ و‬ ُ ‫صلى الل‬ َ
‫ه‬ ُ ُ ‫جت‬ َ ‫حا‬ َ َ‫ل و‬ ُ ‫ج‬ ُ ‫ه وَالَّر‬ ُ
ُ ‫عيَال‬ ِ َ‫ل و‬ ُ ‫ج‬ُ ‫وَالَّر‬
Dari Malik ibnu Aus ibnu al-Hadatsan, ia bercerita: Umar ibnu al-Khaththab suatu
hari teringat akan harta pampasan perang, lalu ia pun berkata, “Aku sama sekali
tidak lebih berhak daripada kalian dengan harta pampasan ini, dan tidak ada
seorangpun di antara kita yang lebih berhak daripada yang lain. Akan tetapi, kita
harus memosisikan diri masing-masing terhadap Kitab Allah awj. dan aturan
pembagian pampasan perang Rasulullah saw. Seseorang diberi bagian sesuai
kedahuluannya (masuk Islam), seseorang diberi bagian menurut bala’ cobaannya,
seseorang diberi bagian menurut jumlah keluarga yang ditanggungnya, dan
seseorang diberi bagian menurut kebutuhannya.”68

4) Ambisi kekuasaan adalah sesuatu yang tabu:


Ambisi kekuasaan atau nafsu berkuasa dan menduduki jabatan dalam level
apapun merupakan sesuatu yang tabu, karena ia ditunggangi bahkan dikendalikan
oleh ego diri yang membutakan mata hati dan cenderung menghalalkan segala
cara, sehingga bisa mengotori amanat suci tersebut. Karena itu, Rasulullah saw.
pun mencela ambisi seperti ini dan mewanti-wanti umatnya untuk menjauhi sikap
demikian.
َ
‫صل ّى‬ َ ُّ ِ ‫ل لِي النَّب‬
‫ي‬ َ ‫ل قَا‬ َ ‫مَرة َ قَا‬
ُ ‫س‬ َ ‫ن‬ ِ ْ‫ن ب‬ ِ ‫م‬
ََ ‫ح‬ْ ‫ن ع َبْد ِ الَّر‬ ْ َ َ‫ع‬
َ
ْ ‫سأ‬
‫ل‬ ْ ََ ‫مَرة َ َل ت‬ ُ َ‫س‬
َ ‫ن‬َ َْ ‫ن ب‬
َِ ‫م‬
َ ‫ح‬ْ ‫م ي ََا عَبْد َ الَّر‬ َ ّ ‫سل‬َ ََ‫ه عَلَي َْهِ و‬ُ َّ ‫الل‬

II:91, hadis no. 2757, Bab Fi al-Imam Yustajannu bihi fi al-‘uhud.


67
Abu Dawud, op. cit., II:150, hadis no. 2949, Bab FI ma yulzimu al-imam min amr ar-
ra‘iyyah wa al-hajabah ‘alaihim. Hadis ini dinyatakan shahih oleh al-Albani.
68
Ibid., II:151, hadis no. 2950, Bab FI ma yulzimu al-imam min amr ar-ra‘iyyah wa al-
hajabah ‘alaihim. Hadis ini dinyatakan hasan mauquf oleh al-Albani.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 19
Nasâ’i

‫ت فِيه َا إِلَى‬ َ ‫ك إذ َا أُعطيته ا ع ن م‬


َ ْ ‫سألَةٍ وُكِل‬ ْ َ ْ َ َ َ ِ ْ ِ َ َّ ‫ماَرة َ فَإِن‬
َ ِ ‫اْل‬
َ ‫ك وإن أُعطيتها عن غَير م‬
‫ت عَلَيْهَا‬ ِ ُ ‫سألَةٍ أ‬
َ ْ ‫عن‬ ْ َ ِ ْ ْ َ ََ ِ ْ ْ َِ َ ‫س‬ ِ ‫نَْف‬
Dari ‘Abdurrahman ibnu Samurah, ia bercerita: Rasulullah saw. berkata kepadaku,
“Hai Abdurrahman ibnu Samurah, jangan kau minta kekuasaan, sebab jika kau
diberi atas dasar permintaan, maka kau berarti dipasrahkan kepada nafsumu dalam
menjalankannya, sementara jika kau diberi tanpa meminta, maka kau akan dibantu
dalam menjalaninya.”69

Jika menengok sejarah politik dari masa ke masa, ambisi kekuasaan selalu
memakan korban dan menjadi penyesalan di episode terakhir bagi sang pelaku,
sebagaimana sinyalemen berikut yang jauh-jauh hari telah diberikan oleh
Rasulullah saw.
َ َ َ َ َ‫ع‬
‫ل‬َ ‫م قَا‬ َ ّ ‫سل‬ َ َ ‫ه عَلَي ْهِ و‬
ُ ّ ‫صل ّى الل‬ َ ‫ي‬ ّ ِ ِ ‫ن النَّب‬ْ َ ‫ن أب ِي هَُريَْرة َ ع‬ ْ
‫ة‬
ً ‫م‬َ ‫ن نَدَا‬ ُ ‫ستَكُو‬ َ
َ َ ‫ماَرةِ وَإِن ّهَ َا‬ ْ
َ ِ ‫ن عَلى ال‬ َ َ ‫صو‬ُ ِ‫حر‬ ْ َ ‫ست‬
ََ ‫م‬ ْ َ ُ ‫إِنَّك‬
‫ة‬ َ ِ ‫ت الَْفاط‬
ُ ‫م‬ ْ ‫س‬َ ْ ‫ة وَبِئ‬ ُ َ‫ضع‬ ِ ‫مْر‬ ُ ْ ‫ت ال‬
ِ ‫م‬ َ ْ‫سَرةً فَنِع‬ ْ ‫ح‬ َ َ‫و‬
Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw., beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian kelak
akan me, dan ia akan menjadi penyesalan dan kenestapaan (setelah mati); maka
sebaik-baik kekuasaan adalah yang menghasilkan manfaat, dan seburuk-buruk
kekuasan adalah yang memutus manfaat.”70

Karena itu, Rasulullah saw. dan para shahabat setelahnya pun enggan
memberikan jabatan kepada orang yang berambisi meminta jabatan dan
kekuasaan. Hadis yang melaporkan peristiwa ini adalah:
َ ‫عََن أ‬
ّ ِ َِ ‫ن إِلَى النَّب‬
‫ي‬ ِ َْ ‫ي‬َ ‫جل‬ ُ ‫ر‬َ َ
َ ‫مع‬ َ ‫ت‬
َُ ‫ق‬
ْ َ ‫ل انْطَل‬
َ
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ‫سى‬ َ َ ‫مو‬ ُ َ
‫ي‬ َِ ‫ب‬ َْ
َ
‫جئْن ََا‬ ِ ‫ل‬ َ ‫م قَا‬ َّ َُ ‫ما ث‬ َ َُ‫حدُه‬ َ ‫شهَّد َ أ‬ َ َ ‫م فَت‬ َ ّ ‫سل‬ َ ََ‫ه عَلَي َْهِ و‬ ُ َّ ‫صل ّى الل‬ ََ
ِ‫حبِه‬ ِ ‫صا‬ َ ‫ل‬ ِ ْ‫ل قَو‬ َ ْ ‫مث‬ ِ ‫خُر‬ َ ‫ل اْل‬ َ ‫ك وَقَا‬ َ ِ ‫مل‬ َ َ‫ن بِنَا عَلَى ع‬ َ ‫ستَعِي‬ ْ َ ‫لِت‬
َ َ
‫سى‬ َ ‫مو‬ ُ ‫ه فَاعْتَذََر أب ُو‬ ُ َ ‫ن طَل َ َب‬ ْ ‫م‬ َ ‫عنْدَن َا‬ َ
ِ ‫م‬ ْ ُ ‫خوَنَك‬
َ
ْ ‫نأ‬ َّ ِ ‫ل إ‬ َ ‫فََقا‬
َ
‫ما‬ َ َِ ‫م ل‬ْ ََ ‫م أعْل‬ ْ ََ ‫ل ل‬ َ ‫م وَقَا‬ َ ّ ‫سل‬ َ ََ‫ه عَلَي َْهِ و‬ ُ َّ ‫صل ّى الل‬ ََ ‫ي‬ ّ ِ َِ ‫إِلَى النَّب‬
‫ت‬َ ‫ما‬َ ‫حتَّى‬ َ ٍ‫يء‬ ْ ‫ش‬ َ ‫ما عَلَى‬ َ ِ‫ن بِه‬ ْ ِ‫ستَع‬ ْ َ‫م ي‬ ْ َ ‫ه فَل‬ ُ َ ‫جاءَا ل‬ َ
Dari Abu Musa (al-Asy’ari) ra., ia bercerita: Aku bertolak menghadap Nabi saw.
bersama dua orang laki-laki, lalu salah satunya bersyahadat (menyatakan diri masuk
Islam), kemudian ia berkata, “Kami datang dengan maksud agar Anda
memanfaatkan kami dalam menjalankan tugas (pemerintahan) Anda.” Yang lain juga
mengatakan hal yang sama dengan rekannya. Rasulullah saw. menjawab,

69
Ibid, II:145, hadis no. 2929, “Bab Ma ja’a fi thalab al-imarah.” Hadis ini dinyatakan
shahih oleh al-Albani.
70
An-Nasa’i, op. cit., VII:162, hadis no. 4211, Bab Ma yukrahu min al-hirsh ‘ala al-
imarah.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 20
Nasâ’i

“Sesungguhnya orang yang paling khianat di antara kalian bagi kami adalah orang
yang memintanya (jabatan).” Abu Musa langsung meminta maaf pada Rasulullah
saw., dan berkata, “Saya sama sekali tidak tahu maksud kedatangan mereka pada
Rasulullah saw.” Sejak itu, ia tidak pernah meminta bantuan mereka dalam hal
apapun hingga wafat.71
B. Ajaran tentang Pola Hubungan Rakyat dan Penguasa:
Kepemimpinan atau kekuasaan dalam filosofi politik Islam, menurut Ibnu
Taimiyyah, merupakan amanat, sewa, atau perwakilan, karena kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat; sehingga para pemimpin merupakan wakil-wakil rakyat
itu sendiri yang menduduki posisi salah satu di antara dua pihak yang berpartner
dengan yang lain.72

1) Pemimpin adalah abdi rakyat:


Seorang pemimpin harus memiliki visi kerakyatan dan benar-benar
memikirkan kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, sebab ada menurut filosofi
politik Islam: “Sayyid al-qaum khâdimuhum” (Pemimpin adalah pelayan
masyarakat). Jika pemimpin mengingkari visi kerakyatan dan menutup mata atas
penderitaan rakyat, maka Allah akan membalasnya dengan balasan setimpal.
Rasulullah saw. bersabda:

َ َ ‫) د‬:ََّ ‫م اْلَْزدِي‬ َ َ ‫(قَا‬


‫ما‬ ََ ‫ل‬ َ ‫ة فََقا‬ َ َ ‫معَاوِي‬ُ ‫ت عَلَى‬ ُ َْ ‫خل‬ َ ََ ‫مْري‬ َ ْ‫ل أبُو‬
‫ت‬ ُ َ َْ ‫ب فَُقل‬ َُ ‫ة تَُقولُهََا الْعََر‬ ٌ ‫م‬َ ِ ‫ي كَل‬ َ َِ‫ن وَه‬ ٍَ ‫ك أَب ََا فَُل‬ َ َِ ‫من ََا ب‬ َ َ‫أنْع‬
َ
َ
‫صل ّى‬ ََ ِ‫ل الل َّه‬ َ ‫سو‬ َُ ‫ت َر‬ ُ ْ‫مع‬ ِ ‫س‬ ََ ِ‫ك ب َِه‬ ََ ‫خبُِر‬ ْ ُ‫ه أ‬ ُ ُ ‫معْت‬ ِ ‫س‬ ََ ‫حدِيث ًَا‬ َ
َ َ َ
َّ ‫ن وَ ّله َُ الل‬ َ ّ ‫سل‬ َ
‫شيْئًا‬ َ ‫ل‬ َ َ‫ه عََّز و‬
ّ ‫ج‬ ُ َْ ‫م‬
َ ‫ل‬ ُ ‫م يَُقو‬ َ َ ََ‫ه عَلَي َْهِ و‬ ُ َّ ‫الل‬
َ َ
‫م‬ْ َِ‫خل ّتِه‬ َ َ‫م و‬ ْ َ َِ‫جتِه‬َ ‫حا‬ َ ‫ن‬ ََ ‫ب دُو‬ ََ ‫ج‬ َ َ ‫حت‬ ْ ‫ن فَا‬ََ ‫مي‬ ِ ِ ‫سل‬ َْ ‫م‬ ُ ْ ‫مرِ ال‬ ْ ‫نأ‬ َْ ‫م‬ ِ
‫ه‬
ِ َِ‫قر‬ ْ َ‫خل ّت َِهِ وَف‬ َ َ‫جت َِهِ و‬ َ ‫حا‬َ َ‫ن‬ َ ‫ه دُو‬ ُ َْ ‫ه عَن‬ ُ َّ ‫ب الل‬ ََ ‫ج‬ َ َ ‫حت‬ْ ‫ما‬ ْ َِ‫قرِه‬ ْ َ‫وَف‬
‫س‬ َ َ ‫جًل عَلَى‬ َ َ‫جع‬ َ َ‫ل ف‬ َ ‫قَا‬
ِ ‫حوَائِِج الن ّا‬ ُ ‫ل َر‬
(Abu Maryam al-Azdi bercerita:) Aku pernah menemui Mu’awiyah, lalu ia berkata,
“Alangkah indahnya kedatanganmu bagi kami, wahai Abu Fulan. Cukup (kau
berikan) sepatah kata yang biasa diucapkan bangsa Arab.” Aku pun mengutip sebuah
hadis yang pernah aku dengar, “Aku beritahukan kepadamu hadis yang pernah aku
dengar dari Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Barangsiapa diberi kekuasaan oleh
Allah untuk mengurusi apapun urusan kaum muslimin, lalu ia menutup diri 73 tanpa
mempedulikan kebutuhan mereka, kepapaan mereka, dan kemiskinan mereka, maka
71
Abu Dawud, op. cit., II:145, hadis no. 2930, Bab Ma ja’a fi thalab al-imarah.” Hadis
ini dinyatakan munkar oleh al-Albani.
72
Dikutip oleh Muhammad al-Mubarak, Sistem Pemerintahan, hlm. 106.
73
Dengan membuat birokrasi yang menghalangi komunikasi langsung pemimpin dan
rakyat.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 21
Nasâ’i

Allah akan menutup diri tanpa mempedulikan kebutuhannya, kepapaannya, dan


kefakirannya.” Ia menukas, sejak itu ia (Mu’awiyah) menunjukkan seseorang untuk
menangani secara khusus masalah kebutuhan rakyat (atau dalam bahasa sekarang
bisa disebut Menkokesra).74

2) Tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat:


Seorang permimpin atau pemerintah sebagai lembaga bertanggung jawab
penuh untuk menyejahterakan rakyatnya. Jika ada rakyat yang hidup menderita
dan serba kekurangan, bahkan mati dalam kondisi menanggung hutang, sementara
keluarganya tidak mampu membayarnya, maka negara dengan institusi
keuangannya, musti memberikan bantuan dan santunan, bahkan mengambil alih
hutang tersebut sebagai tanggung jawabnya.
Sikap pro-rakyat ini ditunjukkan oleh Rasulullah saw. sebagai Kepala
Negara dalam hadis berikut:
َ َ َ ُ َ ‫ن عَبْد ِ اللَّهِ قَا‬
ُ ّ ‫صل ّى الل‬
‫ه‬ َ ِ‫ل الل ّه‬ ‫سو‬ ُ ‫ن َر‬ َ ‫ل كَا‬ ِ َ
ْ ‫جابِرِ ب‬
َ ‫ن‬ ْ َ‫ع‬
َ َ َ ُ ‫عَلَي ه و سل ّم يُقو‬
‫م‬ ْ ِ‫سه‬َِ ‫ن أنُْف‬ َْ ‫م‬ِ ‫ن‬ََ ‫منِي‬ ُ ْ ‫ل أن ََا أ ْولَى بِال‬
ِ ْ ‫مؤ‬ َ َ َ ََ ِ َْ
َّ ََ ‫ضيَاعًَا فَإِل‬ َ َ
‫ي‬ َ ْ‫ك دَيْن ًَا أو‬ََ ‫ن تََر‬َْ ‫م‬ َ َ‫ماًل فَِلهْل َِهِ و‬َ ‫ك‬ ََ ‫ن تََر‬ َْ ‫م‬َ
َ
َّ ‫وَعَل‬
‫ي‬
Dari Jabir ibnu Abdullah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Aku lebih berhak
(peduli) terhadap kaum mukminin daripoda diri mereka. Barangsiapa (rakyat yang
meninggal) yang meninggalkan harta (warisan), maka itu untuk keluarganya, dan
barangsiapa yang meninggalkan hutang atau anak-anak yang masih kecil, maka
serahkanlah urusannya kepadaku dan akulah yang menanggungnya.”75
َ َ َ ُ َ ‫ن أَب ِي هَُريَْرة َ قَا‬
ِ‫عَلَي ْه‬ ُ ّ ‫صل ّ ًى الل‬
‫ه‬ َ ِ‫ل الل ّه‬ ‫سو‬ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل قَا‬ ْ َ‫ع‬
َ
‫ك ك َ ّل فَإِلَيْنَا‬
َ ‫ن تََر‬ َ َ‫ماًل فَلِوََرثَتِهِ و‬
ْ ‫م‬ َ ‫ك‬ َ ‫ن تََر‬ْ ‫م‬
َ ‫م‬َ ّ ‫سل‬َ ‫َو‬
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa (wafat
dengan) meninggalkan kekayaan, maka itu bagi ahli warisnya, dan barangsiapa
(wafat dengan) meninggalkan beban tanggungan (ekonomi), maka serahkanlah
urusannya pada kami.”76

3( Kewajiban patuh kepada pemimpin:


74
Abu Dawud, op. cit., II:150, hadis no. 2948, Bab FI ma yulzimu al-imam min amr ar-
ra‘iyyah wa al-hajabah ‘alaihim.
75
Abu Dawud, op. cit., II:152, hadis no. 2954, Bab Fi Arzaq adz-Dzurriyyah. Hadis ini
dinyatakan shahih oleh al-Albani. Hadis senada dengan status yang sama dilansir pada bab yang
sama dengan no. hadis 2956. Hadis ini juga dilansir oleh an-Nasa’i, op. cit., III:188, hadis no.
1578, Kitab Shalat al-‘Idain, Bab Kaifa al-khuthbah.
76
Abu Dawud, op. cit., II:152, hadis no. 2955, Bab Fi Arzaq adz-Dzurriyyah. Hadis ini
dinyatakan shahih oleh al-Albani.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 22
Nasâ’i

Sebagai timbal baliknya, rakyat harus tunduk dan patuh kepada pemimpin,
meskipun sebelumnya ia adalah seorang budak negro.

‫ل‬ُ ‫جدَّت ََِي تَُقو‬َ ‫ت‬ ُ ْ‫مع‬ِ ‫س‬ َََ ‫ل‬ َ ‫ن قَا‬ ٍ َ ْ ‫صي‬ َََ ‫ح‬ ُ ‫ن‬ ِ ََْ ‫حي َََى ب‬ْ َ‫ن ي‬ْ َََ ‫ع‬
َ َ َ
‫ل ف ِي‬ ُ ‫م يَُقو‬ َ ّ ‫سل‬
َ َ ‫ه عَلَي ْهِ و‬ ُ ّ ‫صل ّى الل‬ َ ِ‫ل الل ّه‬ َ ‫سو‬ ُ ‫ت َر‬ ُ ْ‫مع‬ِ ‫س‬ َ
ْ ُ ‫ي يَُقودُك‬
‫م‬ ٌّ ‫ش‬ ِ َ ‫حب‬
َ ٌ ‫م عَبْد‬ ْ ُ ‫ل عَلَيْك‬َ ‫م‬ ِ ْ‫ستُع‬ ْ ‫ع وَلَوْ ا‬ َِ ‫جةِ الْوَدَا‬
َ
َّ ‫ح‬ َ
َ
‫ه وَأطِيعُوا‬ ُ َ ‫معُوا ل‬َ ‫س‬ْ ‫ب الل ّهِ فَا‬ ِ ‫بِكِتَا‬
Dari Yahya ibnu Hushain, ia berkata: Aku mendengar nenekku, ia berkata: Aku pernah
mendengar Rasulullah saw. bersabda sewaktu haji wada’: “Andai kalian diperintah
oleh seorang budak Habsyi (berkulit hitam legam) yang memimpin kalian dengan
(berpatokan) Kitab Allah, maka dengar dan taatilah dia.”77

4) Ketaatan kepada pemimpin adalah cermin ketaatan beragama:


Kepatuhan terhadap pemimpin bahkan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari keberagamaan seorang muslim, karena berimplikasi pada nilai
ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

‫ب‬ ٍ ‫شهَا‬ ِ ‫ن‬ َ ْ ‫ن اب‬ َّ َ ‫خبََر هُ أ‬ ْ َ ‫سعْد ٍ أ‬ َ ‫ن‬ َ ْ ‫ن زِيَاد َ ب‬ َّ َ ‫ج أ‬ ٍ ْ ‫ري‬ َ ‫ج‬
ُ ‫ن‬ ِ ْ ‫ن اب‬ ْ َ‫ع‬
َ َ َ َ ََ ْ َ‫أ‬
‫ل‬ُ ‫معَ أب ََا هَُريَْرةَ يَُقو‬ ِ َ‫س‬َ ‫ه‬ ُ ََّ ‫خبََره َُ أن‬ ْ ‫ةأ‬ َ ‫م‬ َ َ ‫سل‬ََ ‫ن أب ََا‬ َّ ‫خبََره َُ أ‬
َّ ََّ ‫صلَّى الل‬ َ ُ
‫م نَْ أَطَاعَن َِي‬ َ ‫م‬
َ َ ََ‫ه عَلَي َْهِ و‬
‫سل‬ ُ ََ ِ‫ل الل َّه‬ ‫سو‬
َُ ‫ل َر‬ َ ‫قَا‬
ََّ َ َ
‫ن‬َْ ‫م‬َ َ‫ه و‬
َ ‫صى الل‬ َ ََ‫قد ْ ع‬ َ َ‫صانِي ف‬ َ ََ‫ن ع‬ َْ ‫م‬ َ َ‫ه و‬ َ َّ ‫قد ْ أطَاعََ الل‬ َ َ‫ف‬
َ َ َ َ‫أَطَاع َ َ أ َميري ف‬
ْ‫قد‬َ َ‫ميرِي ف‬ ِ ‫صى أ‬ َ َ َ‫ن ع‬ َْ ‫م‬ َ َ‫قد ْ أطَاعَن ِ َي و‬ ِ ِ
‫صانِي‬ َ َ‫ع‬
Dari Ibnu Juraij, bahwasanya Ziyad ibnu Sa’ad memberitahunya bahwa Ibnu Syihab
memberitahunya bahwa Abu Salamah memberitahunya bahwa ia pernah mendengar
Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa menaatiku, maka ia
telah menaati Allah, dan barangsiapa membangkang kepadaku, maka ia telah
membangkang kepada Allah. Barangsiapa menaati amirku, maka ia telah menaatiku,
dan barangsiapa membangkang pada amirku, maka ia telah membangkang
kepadaku.”78

5) Kepatuhan pemimpin harus berkoridor agama dan akal:


Meski demikian, kepatuhan ini bukanlah kepatuhan membabi-buta tanpa
melihat apa yang diperintahkan dan bagaimana kondisi sang pemimpin, akan
tetapi kepatuhan terhadap pemimpin dalam Islam lebih merupakan kepatuhan
rasional yang mengacu pada akal sehat dan ketentuan agama. Dengan bahasa lain,
77
An-Nasa’i, op. cit., VII:154, hadis no. 4192, Bab Al-Hadh ‘ala tha’ah al-imam; Hadis
ini dinyatakan shahih oleh al-Albani.
78
Ibid., VII:154, hadis no. 4193, Bab At-Targhib ‘ala tha’ah al-imam. Hadis ini
dinyatakan shahih oleh al-Albani.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 23
Nasâ’i

rakyat atau bawahan wajib patuh selama sang pemimpin berada di jalur yang
benar, lalu apa yang diperintahkannya masih dalam koridor agama, dan tidak
bertentangan dengan akal sehat. Jika hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka sang
pemimpin tidak layak lagi dipatuhi.
َ َ َ َ َ َّ َ ‫ي أ‬
‫ث‬َ َ ‫م بَع‬ َ ّ ‫سل‬َ َ ‫ه عَلَي ْهِ و‬ ُ ّ ‫صل ّى الل‬ َ ِ‫ل الل ّه‬ ‫سو‬ ُ ‫ن َر‬ ّ ٍ ِ ‫ن عَل‬ ْ َ‫ع‬
‫خلُوهََََا‬ َ ‫جًل فَأوْقَد َ نَاًرا فََقا‬ َ َّ َ ‫شا وَأ‬
ُ ْ ‫ل اد‬ ُ ‫م َر‬ ْ َََِ‫مَر عَلَيْه‬ ً َََْ ‫جي‬ َ
َّ ‫ن إِن‬ َ َ
‫منْهَا‬ ِ ‫ما فََرْرنَا‬ َ َ ‫خُرو‬ َ ‫ل اْل‬ َ ‫خلُوهَا وَقَا‬ ُ ْ ‫ن يَد‬ ْ ‫سأ‬ ٌ ‫فَأَراد َ نَا‬
َّ َ َ َ
‫م‬
َ ‫سل‬ َ َ َ‫ه عَلَي ْ َهِ و‬ ُ َ ّ ‫صل ّى الل‬ َ َ ِ‫ل الل ّ َه‬ ِ ‫سو‬ َ ُ ‫ك لَِر‬ َ َ ِ ‫فَذ َكَُروا ذَل‬
‫م تََزالُوا‬ َ َ ‫ل لِلَّذي‬
ْ َ ‫موهَا ل‬ ُ ُ ‫خلْت‬ َ َ ‫خلُوهَا لَوْ د‬ ُ ْ ‫ن يَد‬ْ ‫ن أَرادُوا أ‬ َ ِ َ ‫فََقا‬
‫ل أَب َُو‬َ ‫خيًْرا وَقَا‬ َ ‫ن‬ ََ ‫خرِي‬ َ ‫ل لِْل‬ َ ‫مةِ وَقَا‬ َ ‫قيَا‬ ِ ْ ‫فِيهََا إِلَى يَوَْم ِ ال‬
‫ة فََِي‬ َ َ‫ل َل طَاع‬ َ ‫سنًا وَقَا‬ َََ ‫ح‬ َ ‫حدِيث ََِهِ قَوًْل‬ َ ‫سى فََِي‬ َََ ‫مو‬ ُ
ْ َ ّ َ َ ّ
‫ف‬ ِ ‫معُْرو‬ َ ‫ة فِي ال‬ ُ َ‫ما الطاع‬ َ ّ ‫صيَةِ اللهِ إِن‬ ِ ْ‫مع‬ َ
Dari Ali, bahwasanya Rasulullah saw. mengutus pasukan dan menunjuk seseorang
sebagai komandan. Si komandan menyalakan api, lantas berkata, “Masuklah kalian
ke dalamnya (api).” Beberapa orang ingin memasukinya, sementara yang lain
berkata, “Kami menghindar saja darinya.” Mereka lantas melaporkan hal tersebut
kepada Rasulullah saw. Beliau pun bersabda pada orang-orang yang ingin masuk ke
dalam api, “Andai kalian memasukinya, maka kalian tetap akan di dalamnya hingga
hari kiamat.” Sementara kepada yang lain, beliau berujar, “Bagus!” Mengomentari
hadis ini, Abu Musa menyebutkan sebuah perkataan yang cukup bagus, ia berkata:
“Tidak ada kepatuhan (kepada pemimpin) dalam masalah maksiat kepada Allah,
sesungguhnya ketaatan hanya berlaku dalam masalah kebajikan.”79
َ َ َ
ِ َْ ‫ه عَلَي‬
‫ه‬ ُ َّ ‫صل ّى َالل‬ ََ ِ‫ل الل َّه‬ ُ ‫سو‬ َُ ‫ل َر‬ َ ‫ل قَا‬ َ ‫مَر قَا‬ َ ُ‫ن ع‬ ِ َْ ‫ن َاب‬ ْ ََ‫ع‬
‫ما‬َََ ‫ة فِي‬ ُ َ‫معُ وَالط ّاع‬ ْ ‫س‬ َََّ ‫سلِم ِ ال‬ََْ ‫م‬ ُ ْ ‫مْرءِ ال‬َ ْ ‫م عَلَى َال‬ َ ّ ‫سل‬ َ َََ‫و‬
‫صيَةٍ فََل‬ ُ َ َ
ِ ْ ‫مع‬ َ ِ ‫مَر ب‬ِ ‫صيَةٍ فَإِذ َا أ‬ِ ْ ‫مع‬َ ِ ‫مَر ب‬ َ ْ‫ن يُؤ‬ْ ‫ب وَكَر ِه َ إ ِ ّل أ‬ َّ ‫ح‬ َ ‫أ‬
َ َ‫معَ َوَل طَاع‬
‫ة‬ ْ ‫س‬َ
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Seorang insan muslim musti
taat dan patuh (kepada pemimpin) dalam hal-hal yang ia suka maupun yang ia
benci, kecuali jika ia diperintah bermaksiat. Jika ia diperintah bermaksiat, maka
tidak ada kewajiban taat dan patuh.”80

6) Kebebasan ekspresi dan kritik konstruktif terhadap pemimpin:


Selain itu, seorang pemimpin menurut Rasulullah saw. juga bukanlah
sosok yang antikritik, akan tetapi rakyat diberi kebebasan berpolitik untuk
79
An-Nasa’i, op. cit., VII:159, hadis no. 4205, Bab Jaza’ man amara bi ma’shiyyah fa
atha’a. Hadis ini dinyatakan shahih oleh al-Albani.
80
Ibid., VII:160, hadis no. 4206, Bab Jaza’ man amara bi ma’shiyyah fa atha’a. Hadis ini
dinyatakan shahih oleh al-Albani.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 24
Nasâ’i

menyuarakan pendapat dan mengeritik penguasa jika memang ia telah melenceng


dari alur agama dan perundang-undangan.
َ َ َ
ُ َّ ‫صل ّى الل‬
‫ه‬ ََ ِ‫ل الل َّه‬ ُ ‫سو‬
َُ ‫ل َر‬ َ ‫ل قَا‬ َ ‫يَّ قَا‬ِ ِ‫ميمَ ٍ الدَّار‬َ
ِ َ‫ن ت‬ ْ ََ‫ع‬
‫ل‬ َ ‫سو‬ ُ ‫ن ي َا َر‬ ْ ‫م‬ َ ِ ‫ة قَالُوا ل‬ ُ ‫ح‬
َ ‫صي‬ِ َّ ‫ن الن‬ُ ‫دّي‬ِ ‫ما ال‬َ َّ ‫م َإِن‬
َ ّ ‫سل‬ َ َ ‫عَلَي ْهِ و‬
َََّ
‫ن‬ ‫مي‬
ِ ِ ‫ل‬ ‫س‬ ‫م‬ ْ ‫ال‬ ِ ‫ة‬ َ
‫م‬ ِ َ ‫ل لِل ََّهِ ولِكِتَاب هِ ول ِر سولِهِ وِل‬
‫ئ‬ َ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ِ ‫ه‬ ‫الل‬
َ َ
َْ ُ ّ َ َ
َُ َ َ ََِ َ
‫م‬
ْ ِ‫متِه‬ َّ ‫وَعَا‬
Dari Tamim ad-Dari, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya agama
adalah nasihat81.” Para shahabat bertanya, “Bagi siapa, wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab, “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan
kalangan jelata mereka.”82
َ َ َ َ ‫سأ‬ َّ َ ‫ب أ‬
ُ ّ ‫صل ّى الل‬
‫ه‬ َ ‫ي‬ َّ ِ ‫ل النَّب‬ َ ‫جًل‬ ُ ‫ن َر‬ ٍ ‫ش َها‬
ِ ‫ن‬ ِ ْ‫ق ب‬
َ ِ ِ ‫ن طَار‬ْ َ‫ع‬
َ
ِ ْ ‫ه فِ َي الْغَْرزِ أيّ َُ ال‬
ِ‫جهَاد‬ ُ َ َ ‫جل‬
ْ ِ‫ضع ََ ر‬ َ َ‫م وَقَد ْ و‬ َ ّ ‫سل‬ َ َ َ‫عَلَي ْ َهِ و‬
َ
‫ر‬
ٍِ ‫جائ‬
َ ‫ن‬ ٍ ‫سلْطَا‬ ُ َ ‫عنْد‬ ِ ‫ق‬ ٍّ ‫ح‬
َ ‫ة‬ َ ِ ‫ل كَل‬
ُ ‫م‬ َ ‫ل قَا‬ َ ْ‫أف‬
ُ ‫ض‬
Dari Thariq ibnu Syihab, bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya pada Nabi
saw. sambil meletakkan kakinya di dalam pelana onta (siap berangkat perang),
“Jihad apa yang paling afdhol?” Beliau menjawab, “Berkata benar di hadapan
penguasa yang lalim (otoriter).”83

Bahkan, jika pemimpin yang lalim dan bertindak semena-mena dibiarkan


saja tanpa dinasihati, bahkan malah dibenarkan segala sepak terjangnya dan
disokong segala manuvernya, maka Rasulullah saw. menyatakan “cerai”
dengannya dan tidak akan mengizinkannya menemani beliau di surga.
َ َ ُ
َ ِ‫ل الل ّه‬
‫صل ّى‬ ُ ‫ج عَلَيْنَا َر‬
‫سو‬ َ ‫خَر‬َ ‫ل‬ َ ‫جَرةَ قَا‬ ْ ُ‫ن ع‬ ِ ْ‫ب ب‬ِ ْ ‫ن كَع‬ ْ َ َ‫ع‬
َ
ُ ‫ستَكُو‬
‫ن بَعْدِي‬ َ ‫ه‬ُ َّ ‫ل إِن‬
َ ‫ة فََقا‬
ٌ َ‫سع‬ْ ِ‫ن ت‬
ُ ‫ح‬ْ َ ‫م وَن‬َ ّ ‫سل‬
َ َ ‫ه عَلَي ْهِ و‬
ُ ّ ‫الل‬
81
Menurut al-Khaththabi, nasihat bisa dikiyaskan sebagai tindakan mengorientasikan
kebaikan untuk orang yang dinasihati. Menasihati Allah berarti meyakini-Nya secara tulus, dan
mengikhlaskan niat dalam beribadah kepada-Nya. Nasihat kepada Al-Kitab (al-Qur’an)_adalah
mengimani dan menjalankannya, nasihat kepada Rasul adalah mempercayai kenabian dan menaati
segala ajarannya, nasihat kepada pemimpin kaum muslimin adalah mematuhi mereka dalam
kebenaran dan tidak berpikir untuk membangkangnya. Sedangkan nasihat kepada kalangan jelata
adalah membimbing mereka pada kemaslahatan. Lihat Syarh Sunan an-Nasâ’i dalam Software
Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif (Harf).
82
An-Nasa’i, op. cit., VII:156, hadis no. 4197, 4198, VII:157, hadis no. 4199, 4200, Bab
An-Nashihah li al-imam. Hadis ini dinyatakan shahih oleh al-Albani. Hadis senada dimuat dalam
Abu Dawud, op. cit., II:704, hadis no. 4944, Kitab al-Adab, Bab Fi an=Nashihah.
83
An-Nasa’i, op. cit., VII:161, hadis no. 4209, Bab Fadhl man takallama bi al-haqq ‘inda
imam ja’ir. Hadis ini dinyatakan shahih oleh al-Albani. Hadis senada dilansir dalam Abu Dawud,
op. cit., II:527, hadis no. 4344, Kitab al-Malahim, Bab al-amr wa an-nahy, dengan redaksi:
“Sesungguhnya jihad yang paling afdhol adalah berkata adil di hadapan sultan yang lalim, atau
amir yang otoriter.”
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 25
Nasâ’i

َ ُ
‫م‬ْ ََِ‫مه‬ِ ْ ‫م عَلَى ظُل‬ ْ ََُ‫م وَأعَانَه‬ ْ ُ‫صدَّقَه‬
ْ ََِ‫م بِكَذِبِه‬ َََ ‫ن‬ ََْ ‫م‬ َ ُ‫مَراء‬ َ ‫أ‬
‫ض‬
َ َْ‫حو‬ َ ْ ‫ي ال‬
َّ ََ ‫س بِوَارِدٍ عَل‬ َ َْ ‫ه وَلَي‬ ُ َْ ‫من‬
ِ ‫ت‬ُ ‫س‬ ْ ََ ‫من ّ َِي وَل‬ ِ ‫س‬ َ َْ ‫فَلَي‬
‫م‬ ِ ْ ‫م عَلَى ظُل‬
ْ َِ‫مه‬ ْ َُ‫م يُعِنْه‬ ْ ََ ‫م وَل‬ْ َِ‫م بِكَذِبِه‬ْ ُ‫دّقْه‬ ِ ‫ص‬ َ َُ ‫م ي‬ْ ََ ‫ن ل‬
َْ ‫م‬
َ َ‫و‬
َ
‫ض‬
َ ْ‫حو‬ َ ْ ‫ي ال‬َّ َ ‫ه وَهُوَ وَارِد ٌ عَل‬ ُ ْ ‫من‬
ِ ‫منِّي وَأنَا‬ ِ َ‫فَهُو‬
Dari Ka’ab ibnu ‘Ujrah, ia bercerita: Rasulullah saw. keluar menemui kami yang
berjumlah sembilan orang, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya akan datang kelak
setelahku para pemimpin (amir) yang barangsiapa membenarkan mereka dengan
segala kebohongan mereka dan membantu mereka melakukan kezaliman, maka ia
bukanlah bagian dariku dan aku bukan bagian darinya, dan ia tidak akan
mendatangiku di Telaga (Surga). (Sebaliknya), barangsiapa yang tidak
membenarkannya dengan segala kebohongannya dan tidak membantu mereka
dalam kezaliman mereka, maka ia adalah dariku dan aku adalah bagian darinya,
dan ia akan mendatangiku di Telaga (Surga).”84

C. Ajaran tentang Tatakelola Pemerintahan dan Kode Etik Kepegawaian:


Dalam menjalankan fungsi pemerintahan, Kepala Negara (Imam) perlu
membentuk lembaga-lembaga pemerintahan, yang dipetakan oleh Imam al-
Mawardi, sebagaimana kutip Dhiauddin Rais, ke dalam lembaga-lembaga sebagai
berikut: Kementerian, kegubernuran, kehakiman, kemiliteran, keuangan, ditambah
jawatan-jawatan lain yang menunjang tatakelola pemerintahan di pusat maupun
daerah yang dimaksudkan untuk keberlangsungan sebuah negara dan demi
kepentingan rakyat.85
Sebagai Kepala Negara, Nabi saw. telah melakukan praktek pemerintahan,
antara lain membuat Piagam Madinah dan menyatukan seluruh elemen
masyarakat Madinah yang cukup majemuk, sehingga tercipta kestabilan dalam
negeri. Beliau juga mengadakan perjanjian damai dengan kabilah-kabilah di
sekeliling Madinah untuk menjaga stabilitas eksternal, mengorganisir militer,
memimpin peperangan, melaksanakan hukum bagi pelanggar, menerima delegasi
dari berbagai suku di Jazirah Arab, berkirim surat dan mengirim delegasi pada
para penguasa, mengelola zakat, infaq, shadaqah, dan pajak, serta membuat
regulasi di bidang ekonomi, mengadakan pengadilan arbritasi unutk
menyelesaikan perbedaan pendapat dan perselisihan, menunjuk para shahabat

84
An-Nasa’i, op. cit.,, VII:160, hadis no. 4207; Bab Al-Wa’id li man a‘ana amiran ‘ala
azh-zhulm. Hadis ini dinyatakan shahih oleh al-Albani. Hadis senada dengan sanad yang berbeda
dilansir dalam ibid, hadis no. 4207; Bab Man lam ya’in amiran ‘ala azh-zhulm.
85
Lebih detail, silakan lihat Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, hlm. 209-210.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 26
Nasâ’i

untuk menjadi wali, ‘amil, dan hakim di daerah-daerah, dan menunjuk wakil
beliau di Madinah apabila beliau sedang bertugas di luar, melaksanakan
mekanisme musyawarah sebagai sarana sharing gagasan dan pengambilan
keputusan, dan lain sebagainya.86
Dalam konteks Sunan Abî Dâwud dan an-Nasa’i yang menjadi obyek
kajian tulisan ini, penulis menjumpai praktek pengangkatan “wazîr” (menteri),
penasihat, dan pegawai, serta kode etik kepegawaian.

1( Pengangkatan menteri (al-wazîr) dan kriterianya:


Dalam bahasa politik modern, “wazîr”87 sering diartikan sebagai menteri
dengan tugas dan wewenang sesuai dengan pengertian etimologi al-wazir itu
sendiri, yaitu sebagai pembantu imam, penasihat imam, dan tulang punggung
imam dalam menjalankan pemerintahan. Jumlah lembaga kementrian ini bisa
disesuaikan menurut kebutuhan. Namun mengingat pentingnya posisi ini, maka
pejabat kementerian mustilah orang yang memiliki integritas, jujur, dan baik.
Mengenai hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
َ َ َ
ِ َْ ‫ه عَلَي‬
‫ه‬ ُ َّ ‫صل ّى الل‬ ََ ِ‫ل الل َّه‬ ُ ‫سو‬ َُ ‫ل َر‬ َ ‫ت قَا‬ َْ ََ ‫ة قَال‬ َ ‫ش‬َ ِ ‫ن عَائ‬ ْ ََ‫ع‬
َّ ‫م إِذ َا أََراد َ الل‬ َ
‫ق‬ٍ ْ ‫صَد‬ ِ ‫ه وَزِيَر‬ ُ ََ ‫ل ل‬ َ َ‫جع‬ َ ‫خيًْرا‬ َ ِ‫مير‬ ِ َ ‫ه بِاْل‬ُ َ ّ ‫سل‬ َ ََ‫و‬
َ َ َ َ
‫ه ب َِهِ غَيَْر‬ ُ َّ ‫ه وَإِذ َا أَراد َ الل‬ ُ ََ ‫ن ذ َكََر أعَان‬ ْ َِ ‫ي ذ َك َّره َُ وَإ‬ َ ‫س‬ ِ ََ ‫ن ن‬ ْ َِ ‫إ‬
‫ن ذ َكََر‬
ْ ِ ‫م يُذ َ ِكّْر ه ُ وَإ‬ ْ َ‫ي ل‬ َ ‫س‬ِ َ‫ن ن‬ ْ ِ ‫سوءٍ إ‬ ُ ‫ه وَزِيَر‬ ُ َ‫ل ل‬ َ َ‫جع‬ َ ‫ك‬ َ ِ ‫ذ َل‬
‫ه‬
ُ ْ ‫م يُعِن‬ ْ َ‫ل‬
Dari A’isyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda, “Jika Allah menghendaki
kebaikan pada seorang pemimpin, maka ia tetapkan baginya seorang menteri yang
baik, yang mengingatkannya jika ia lupa dan menyokongnya jika ia ingat.
Sementara jika Allah menginginkan hal lain kepadanya, maka ia tetapkan baginya
seorang menteri yang jahat, yang tidak mengingatkannya jika ia lupa dan tidak
menyokongnya jika ia ingat.”88

86
J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, t.t.), hlm. 88.
87
Kata “wazîr” menurut pengertian bahasa berasal dari tiga bentuk. Pertama, dari “al-
wizr” yang berarti beban; karena menteri menerima beban dari imam. Kedua, berasal dari kata “al-
wazr” yang berarti tempat berlindung; karena imam sering meminta pendapat dan bantuan dari
menterinya. Ketiga, berasal dari kata “al-azr” yang berarti punggung; karena menteri kadang
menjadi tulang punggung raja. Lihat Dhiauddin, Teori, hlm. 211-212.
88
Abu Dawud, op. cit., II:146, hadis no. 2932, Bab Fi ittikhadz al-wazir. Hadis ini
dinyatakan shahih oleh al-Albani. Hadis senada dilansir oleh An-Nasa’i, op. cit., VII:159, hadis no.
4204, Bab Wazir al-Imam.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 27
Nasâ’i

2( Pengangkatan “bithânah”:
Nabi saw. juga mengisyaratkan lembaga “yudikatif” yang berfungsi
sebagai pemasok informasi, pemberi saran dan masukan, bahkan tempat
menumpahkan uneg-uneg dan sharing gagasan dengan istilah “bithânah”, yang
dalam pengertian bahasanya berarti orang yang bisa menyimpan rahasia negara
dan pemimpin.89 Rasulullah saw. bersabda:
َّ َّ َّ ُ َ ‫ن أَب ِي هَُريَْرة َ قَا‬
ِ‫ه عَلَي ْه‬ ُ ‫الل‬ ‫ى‬ ‫صل‬
َ ِ ‫ه‬ ‫سول الل‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل قَا‬ ْ َ‫ع‬
ْ َ َ
َُ َ‫مُره‬ُ ‫ة تَأ‬ ٌ َ ‫ن بِطَان‬ ََِ ‫ه بِطَانَتَا‬
ُ َََ ‫ل إ ِ ّل َول‬ ٍ ‫ن وَا‬
ََْ ‫م‬
ِ ‫ما‬ َََ ‫م‬َ ّ ‫سل‬ َ َََ‫و‬
‫خبَاًل‬ ْ
َ ُ َ ‫ة َل تَألُوه‬ ٌ َ ‫منْكَرِ وَبِطَان‬ ُ ْ ‫ن ال‬ْ َ َ ‫ف وَتَنْهَاه َُ ع‬ َ ِ ‫معُْرو‬ َ ْ ‫بِال‬
َ
ِ ْ ‫ب عَلَي‬
‫ه‬ ُ ِ ‫ن ال ّت ِي تَغْل‬ ْ ‫م‬ ِ َ‫ي وَهُو‬ َ ِ ‫قد ْ وُق‬ َ َ‫شَّره َا ف‬َ ‫ي‬ َ ِ ‫ن وُق‬ ْ ‫م‬ َ َ‫ف‬
‫ما‬
َ ُ‫منْه‬ ِ
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang
wali (penguasa) kecuali ia memiliki dua “bithanah”. Bithanah yang satu
mendorongnya melakukan kebajikan dan melarangnya dari kemungkaran,
sementara yang satu tidak henti-hentinya memberikan kemudaharatan kepadanya.
Barangsiapa yang terlindungi dari kejahatannya, maka ia telah terlindungi, dan ia
termasuk kelompok yang mengalahkan “bithanah” jahat tersebut.”90

Dalam perspektif lain, “bithanatân” diartikan sebagai malaikat dan


syetan.91 Hal ini bisa dimaknai juga sebagai pembisik-pembisik baik dan jahat
dalam tubuh pemerintahan yang harus diwaspadai dan disaring oleh seorang
pemimpin.

3) Pengangkatan pengawai dan sistem penggajiannya:


Sebagai kepanjangan tangan pemerintah, pemimpin bisa menunjuk dan
mengangkat person-person tertentu sebagai pegawai, misalnya dalam konteks ini,
untuk menarik zakat, infaq, shadaqah, maupun dana-dana lain yang termasuk
devisa negara. Sebagai konsekuensinya, negara berkewajiban memberikan gaji

89
Lihat as-Sindi; Nuruddin ibnu Abdul Hadi Abu al-Hasan, Hasyiyah as-Sindi ‘ala an-
Nasa’i, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghaddah, (Aleppo: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, cet. II
1406 H/1986 M), VII/158.
90
An-Nasa’i, op. cit, VII:158, hadis no. 4201, Bab Bithanah al-imam. Hadis ini
dinyatakan shahih oleh al-Albani. Hadis senada dari Abu Sa’id al-Khudri dengan redaksi yang
hampir sama terdapat dalam hadis no. 4202, 4203 bab yang sama, yang dinyatakan shahih juga
oleh al-Albani.
91
As-Sindi, op. cit.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 28
Nasâ’i

yang layak untuk mereka, bukan menjadikan mereka sebagai tenaga sukarela yang
tanpa gaji.
َ
‫ه‬
ُ ْ ‫ه ع َن‬ ُ ّ ‫ي الل‬ َ ‫ض‬ ِ ‫مُر َر‬ َ ُ ‫ملَنِي ع‬ َ ْ‫ستَع‬ ْ ‫لا‬ َ ‫ي قَا‬ ّ ِ ِ ‫عد‬ َّ ‫ن ال‬
ِ ‫سا‬ ِ ْ ‫ن اب‬ْ َ‫ع‬
َ
‫ما‬َ ََّ ‫ت إِن‬ ُ َْ ‫مالَةٍ فَُقل‬ َ ُ‫مَر لِي بِع‬ َ ‫تأ‬ ُ َْ‫ما فََرغ‬ َّ ََ ‫صَّدَقَةِ فَل‬ َ ‫عَلَى ال‬
‫ت عَلَى‬ ُ َْ ‫مل‬
ِ َ‫ت فَإِن ّ َِي قَد ْ ع‬ََ ‫ما أُعْطِي‬ ََ ْ ‫خذ‬ ُ ‫ل‬ َ ‫ت لِل ََّهِ قَا‬ُ َْ ‫مل‬ِ َ‫ع‬
َ َ َ َ
‫ملَنِي‬ َّ َ‫م فَع‬َ ّ ‫سل‬َ ‫ه عَلَيْهِ َو‬ ُ ّ ‫صل ّى الل‬ َ ِ‫ل الل ّه‬ ِ ‫سو‬ ُ ‫عَهْد ِ َر‬
Dari Ibnu as-Sa’idi, ia bercerita: Umar mengangkatku sebagai pegawai penarik zakat.
Setelah menyelesaikan tugas, ia memerintahkan (bagian keuangan) untuk memberiku
gaji. Maka aku bilang, “Sesungguhnya aku bekerja demi Allah.” Ia menukas,
“Ambillah apa yang diberikan kepadamu. Sesungguhnya pada masa Rasulullah saw.
aku juga pernah ditugasi menarik zakat, lalu beliau memberiku gaji.”92

Lebih lanjut, Rasulullah saw. mengisyaratkan sebuah sistem penggajian


ala Islam, bahwa pemberian gaji harus memperhatikan standar hidup yang layak,
atau dalam bahasa cukup untuk menghidupi keluarga, menyewa pembantu, dan
membangun rumah. Dengan bahasa lain, gaji tersebut cukup untuk memenuhi
sandang, pangan, dan papan.
َ َ
‫ه‬ُ ّ ‫صل ّى الل‬ َ ‫ي‬ َّ ِ ‫ت النَّب‬ ُ ْ‫مع‬ ِ ‫س‬
َ ‫ل‬ َ ‫شدَّاد ٍ قَا‬ َ ‫ن‬ ِ ْ ‫ستَوْرِد ِ ب‬ َ
ْ ‫م‬ ُ ْ ‫ن ال‬ ْ َ‫ع‬
‫ة‬
ً ‫ج‬ َ ْ‫ب َزو‬ ْ ‫س‬ ِ ََ ‫مًل فَلْيَكْت‬ ِ ‫نَ لَن ََا عَا‬ َ ‫م نَْ كَا‬ َ ‫ل‬ ُ ‫م يَُقو‬ َ ّ ‫سل‬ َ ََ‫عَلَي َْهِ و‬
‫ه‬ُ َ‫ن ل‬ ْ ُ ‫م يَك‬ ْ َ‫ن ل‬ ْ ِ ‫ما فَإ‬ً ِ ‫خاد‬ َ ‫ب‬ ْ ‫س‬ ِ َ ‫م فَلْيَكْت‬ٌ ِ ‫خاد‬ َ ‫ه‬ ُ َ‫ن ل‬
ْ ُ ‫م يَك‬ ْ َ‫ن ل‬ ْ ِ ‫فَإ‬
‫ن‬ َّ َ ‫ت أ‬ ُ ‫خبِْر‬ ْ ُ ‫ل أَب ُو بَكْرٍ أ‬ َ ‫ل قَا‬ َ ‫سكَنًا قَا‬ ْ ‫م‬ َ ‫ب‬ ْ ‫س‬ ِ َ ‫ن فَلْيَكْت‬ ٌ َ ‫سك‬ ْ ‫م‬ َ
َ َ َ
‫ك‬ َ َِ ‫خذ َ غَيَْر ذَل‬ َ َّ ‫ن ات‬
َْ ‫م‬َ ‫ل‬ َ ‫م قَا‬ َ ّ ‫سل‬َ ََ‫ه عَلَي َْهِ و‬ ُ َّ ‫صل ّى الل‬ ََ ‫ي‬ َّ َِ ‫النَّب‬
ٌ‫سارِق‬ َ ٌّ ‫فَهو غَا‬
َ ْ ‫ل أو‬ َ ُ
Dari al-Mustaurid ibnu Syaddad, ia berkata: Aku pernah mendengar Nabi saw.
bersabda, “Barangsiapa menjadi ‘amil (petugas penarik zakat) kami, maka ia berhak
mengambil gajinya (dari Baitul Mal) dalam kadar yang cukup untuk menafkahi
(memberi mahar) isterinya. Jika ia tidak memiliki pembantu, maka ia boleh
mengambil gaji dalam kadar yang cukup untuk membiayai pembantunya. Jika ia tidak
memiliki tempat tinggal, maka ia boleh mengambil gaji dalam kadar yang cukup
untuk (membangun) tempat tinggal.” Abu Bakar berkomentar: Aku pernah diberitahu
bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang mengambil lebih dari itu, maka ia telah
korupsi atau mencuri.”93

4( Kode etik kepegawaian:

92
Abu Dawud, op. cit., II:149, hadis no. 2944, Bab Fi arzaq al-‘ummal. Hadis ini
dinyatakan shahih oleh al-Albani. Hadis senada dilansir oleh An-Nasa’i dalam as-Sunan, V:102,
2604. Bab Man atahu Allah malan min ghair mas’alah.
93
Abu Dawud, op. cit., II:149, hadis no. 2945, Bab Fi arzaq al-‘ummal. Hadis ini
dinyatakan shahih oleh al-Albani.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 29
Nasâ’i

a- Pegawai yang diangkat dan digaji oleh negara dituntut untuk bekerja secara
profesional dan penuh dedikasi, yang dibahasakan Rasulullah saw. dengan
satu kata “bi al-haqq”.
َ َ
‫صل ّى‬ ََ ِ‫ل الل َّه‬ َ ‫سو‬ َُ ‫ت َر‬ ُ ْ‫مع‬ ِ ‫س‬ََ ‫ل‬ َ ‫ج قَا‬ٍَ ‫خدِي‬ َ ‫ن‬ ِ َْ ‫ن َرافَِِع ب‬ ْ َ ََ‫ع‬
َ
َّ‫ق‬
ِ ‫ح‬ َ ْ ‫صَّدَقَةِ بِال‬
َ ‫ل عَلَى ال‬ ُ ‫م‬ِ ‫ل الْعَا‬ُ ‫م يَُقو‬ َ ّ ‫سل‬
َ ََ‫ه عَلَي َْهِ و‬ُ َّ ‫الل‬
َ
ِ‫جعَ إِلَى بَيْتِه‬ِ ‫حتَّى يَْر‬ َ ِ‫ل الل ّه‬ِ ‫سبِي‬ َ ‫كَالْغَازِي فِي‬
Dari Rafi’ ibnu Khadij, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,
“Pegawai penarik zakat yang menjalankan tugasnya dengan benar seperti prajurit
yang berperang di jalan Allah hingga ia pulang ke rumahnya.”94

b- Pegawai pemerintah, terutama yang berurusan dengan keuangan, musti


menyatakan kesediaan untuk menjalankan tugas secara profesional dan
berkomitmen bersih dari korupsi, sebagai prinsip yang dipegang teguh. Jika
merasa tidak mampu, ia dipersilakan untuk mundur/meletakkan jabatan, dan
dalam kondisi ini pemerintah tidak bisa memaksanya untuk tetap menjadi
pegawai.
َ َ
ُ ّ ‫صل ّى الل‬
‫ه‬ َ ‫ي‬ُّ ِ ‫ل بَعَثَن ِي النَّب‬
َ ‫ي قَا‬ّ ِ ِ‫صار‬
َ
َ ْ ‫سعُود ٍ اْلن‬ ْ ‫م‬ َ ‫ن أَب ِي‬ ْ َ‫ع‬
َ َ
‫سعُودٍ وََل‬ َ ‫ل انْطَل ِ َقْ أب َ َا‬
َْ ‫م‬ َ ‫م قَا‬ َّ َ ُ ‫عيًا ث‬ ِ ‫سا‬ََ ‫م‬ َ ّ ‫سل‬ َ َ َ‫عَلَي ْ َهِ و‬
َ َِ‫جيءُ وَعَلَى ظَهْر‬ ُ
‫ل‬ِ ِ ‫ن إِب‬
َْ ‫م‬ ِ ‫ك بَعِيٌر‬ ِ َ ‫مةِ ت‬ ِ ْ ‫م ال‬
َ ‫قيَا‬ َ َْ‫ك يَو‬ َ ََّ ‫فيَن‬
ِ ْ ‫أل‬
‫ل إِذ ًا َل‬ َ ‫ل إِذ ًا َل أَنْطَل َِقُ قَا‬ َ ‫ه قَا‬ ُ ََ ‫ه ُرغَاءٌ قَد ْ غَلَلْت‬ ُ ََ ‫صَّدَقَةِ ل‬َ ‫ال‬
‫ك‬َ ُ‫أُكْرِه‬
Dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia bercerita: Rasulullah saw. pernah mengutusku sebagai
“pegawai pengumpul zakat”, kemudian beliau bersabda, “Berangkatlah, hai Abu
Mas’ud. (Tapi) jangan sampai aku temui kau pada hari kiamat datang dengan kondisi
di atas punggungmu ada seekor onta dari onta shadaqah (zakat) yang melenguh-
lenguh yang kau korupsi.” Ia menukas, “Kalau begitu, saya tidak jadi berangjat
(mundur saja).” Beliau menjawab, “Kalau begitu, aku tidak akan memaksamu.”95

c- Pegawai pemerintah pantang melakukan korupsi dan memakan uang negara di


luar gaji mereka.

94
Ibid., II:147, hadis no. 2936, Bab Fi as-si‘ayah ‘ala ash-shadaqah. Hadis ini dinyatakan
shahih oleh al-Albani.
95
Ibid., II:150, hadis no. 2947, Bab Fi ghulul ash-shadaqah. Hadis ini dinyatakan hasan
oleh al-Albani.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 30
Nasâ’i

َ َ َ ‫عََن ع َبد الل ََّه ب ن بريدة َ عََن أ‬


ُ َّ ‫صل ّى الل‬
‫ه‬ ‫ي‬
ََ ّ ِ َِ ‫ب‬َ ّ ‫الن‬ ‫ن‬
ْ ََ ‫ع‬ َ
ِ ‫يه‬ِ ‫ب‬ ْ َ ْ َ ُ ِ َْ ِ
َ
ِ ْ ْ
َُ ‫ل فََرَزقْنَاه‬ٍ ‫م‬ َ َ‫ملْنَاهُ عَلَى ع‬ َ ْ‫ستَع‬َْ ‫ن ا‬َْ ‫م‬ َ ‫ل‬ َ ‫م قَا‬ َ ّ ‫سل‬ َ ََ‫عَلَي َْهِ و‬
ٌ ‫ك فَهُوَ غُلُو‬
‫ل‬ َ ِ ‫خذ َ بَعْد َ ذَل‬ َ َ ‫ما أ‬َ َ‫رِْزقًا ف‬
Dari ‘Abdullah ibnu Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi saw., beliau bersabda,
“Barangsiapa yang kami angkat menjadi pegawai yang mengurusi suatu pekerjaan,
maka kami beri ia gaji, sehingga apa yang diambilnya di luar gajinya adalah ghulul
(barang korupsi).”96

d- Pengawai pemerintah pantang menerima gratifikasi (hadiah) yang terkait


dengan pekerjaannya, dan harus menyerahkannya kepada pemerintah.

ِ‫ه عَلَي َْه‬ ُ ََّ ‫صلَّى الل‬ َ َ َّ َِ ‫ن النَّب‬


‫ي‬ َّ ََ ‫ي أ‬ ّ ِ ِ‫عد‬ِ ‫سا‬ ََّ ‫ميْد ٍ ال‬ َ ‫ح‬ ُ ‫ن أب َِي‬
َ ََ‫ع‬
ْ
ُ ّ َ َ َ ْ ً َ ّ
ِ َّ ‫ن اللتْبِي‬
‫ة‬ ُ َ ْ ‫ه اب‬ ُ ‫لل‬ ُ ‫ن الْزد ِ يَُقا‬ َْ ‫م‬ ِ ‫جل‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫م‬ َ ْ‫ستَع‬ َْ ‫م ا‬ َ ‫سل‬ َ َ َ‫و‬
‫ل‬ َ ‫جاءَ فََقا‬ َ َ‫صَّدَقَةِ ف‬ َ ‫ن اْلُتْبِيَّةِ عَلَى ال‬ ُ َْ ‫ح اب‬ِ َ ‫ن ال‬
‫سَّْر‬ ُ َْ ‫ل اب‬ َ ‫قَا‬
َ َ ُّ َِ ‫م وَهَذ َا أُهْدَِيَ لِي فََقا َمَ النَّب‬
ِ‫ه عَلَي َْه‬ ُ َّ ‫صل ّى الل‬ ََ ‫ي‬ ْ َُ ‫هَذ َا لَك‬
َ ‫ه وَأَثْن ََى عَلَي َْهِ وَقَا‬ َ َ
‫ما‬ ََ ‫ل‬ َ َّ ‫مد َ الل‬ ِ ‫ح‬ َ َ‫منْبَرِ ف‬ ِ ْ ‫م عَلَى ال‬ َ ّ ‫سل‬ َ ََ‫و‬
ُ
‫ي‬
َ َِ‫م وَهَذ َا أهْد‬ ْ َُ ‫ل هَذ َا لَك‬ ُ ‫جيءُ فَيَُقو‬ ِ َ ‫ه فَي‬ ُ َُ ‫ل نَبْعَث‬ ِ ‫م‬ ِ ‫ل الْعَا‬ ُ ‫بَا‬
‫م‬ َ َ ‫لِي أََل جل َس ف ي بي ت أ ُم ه أَو أَبي ه فَينظ ُر أَيهدى ل‬
ْ ‫هأ‬ ُ َ ْ ُ َ ْ َ ِ ِ ْ ِ ِّ ِ ْ َ ِ َ َ
َّ َ َ َ ْ
‫م‬ َ َْ‫جاءَ ب َِهِ يَو‬ َ ‫ن ذل َِك إ ِل‬ َْ ‫م‬ ِ ٍ‫يء‬ ْ ‫ش‬ َ ِ‫م ب‬ ْ َُ ‫منْك‬ ِ ٌ ‫حد‬ َ ‫َل َل يَأت َِي أ‬
‫خوَاٌر أ َ ْو‬ ُ ‫ه ُرغَاءٌ أَوْ بََقَرة ً فَلَهََا‬ ُ ََ ‫نَ بَعِيًرا فَل‬ َ ‫ن كَا‬ ْ َِ ‫مةِ إ‬ َ ‫قيَا‬ ِ ْ ‫ال‬
‫ل‬ َ ‫م قَا‬ َّ ُ ‫حتَّى َرأَيْنَا عُْفَرة َ إِبِطَيْهِ ث‬ َ ِ‫م َرفَعَ يَدَيْه‬ َّ ُ ‫شاة ً تَيْعَُر ث‬ َ
َّ ْ َ
َّ ُ‫ت الل ّه‬ َ َ
‫ت‬ُ ْ‫م هَل بَلغ‬ ُ ْ‫ل بَل ّغ‬ ْ َ‫م ه‬ َّ ُ‫الل ّه‬
Dari Abu Humaid as-Sa’idi, bahwasanya Nabi saw. pernah mempekerjakan seorang
laki-laki dari Azad yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk menarik zakat. Lalu ia
datang (menghadap seusai menjalankan tugasnya) dan berkata, “Ini bagian kalian dan
ini hadiah yang diberikan kepadaku.” Nabi saw. langsung berdiri di atas mimbar, lalu
mengucapkan puja puji kepada Allah, kemudian berpidato, “Bagaimana seorang ‘amil
(pegawai) yang kami kirim ia (ke daerah), lalu datang, dan berkata: Ini bagian kalian
dan ini hadiah yang diberikan kepadaku?! Coba saja jika ia duduk di rumah ibunya
atau bapaknya, lalu berdiam menunggu, apakah ia akan diberi hadiah atau tidak?!
Tidak ada salah seorang di antara kalian yang datang dengan hal tersebut kecuali ia
kelak akan didatangkan dengan (barang yang dikorupsinya) pada hari kiamat. Jika
(barang yang dikorupsinya) seekor onta, maka ia akan melenguh bak onta, jika seekor
sapi, maka ia akan melenguh seperti sapi, jika seekor domba, maka ia akan
mengembik bak kambing.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga
kami lihat warna putih kedua ketiak beliau, seraya berseru, “Ya Allah, bukankah aku
sudah menyampaikan! Ya Allah, bukankah aku sudah menyampaikan!”97
96
Ibid., II:149, hadis no. 2943, Bab Fi arzaq al-‘ummal. Hadis ini dinyatakan shahih oleh
al-Albani.
97
Ibid., II:149, hadis no. 2946, Bab Fi hadaya al-‘ummal. Hadis ini dinyatakan shahih
oleh al-Albani.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 31
Nasâ’i

(IV)
PENUTUP
Dari data-data hadis politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an-Nasa’i di
atas, bisa disimpulkan bahwa Islam, dalam hal ini Rasulullah saw. telah
menggariskan ajaran-ajaran moral bahkan operasional dalam berpolitik dan
bernegara yang terimplementasikan dalam poin-poin sebagai berikut:

a( Ajaran tentang kepemimpinan dan kekuasaan:


Pemimpin adalah penggembala rakyat yang akan dimintai pertanggung
jawaban baik di hadapan rakyat maupun Allah. Dalam daulat rakyat, kekuasaan
bukan merupakan barang warisan yang diserahkan secara turun-temurun. Dalam
memimpin negara, pemimpin harus taat aturan, dan mempantang segala bentuk
ambisi kekuasaan, karena akan membentuk politik menghalalkan segala cara
(machievalianisme).

b( Ajaran tentang pola hubungan rakyat dan penguasa:


Pemimpin adalah abdi rakyat, dan pemerintah bertanggung jawab atas
kesejahteraan rakyatnya. Sebagai timbal baliknya rakyat wajib patuh kepada
pemimpin, dan ketaatan kepada pemimpin adalah cermin ketaatan beragama,
namun kepatuhan pemimpin harus berkoridor agama dan akal. Selain itu
pemerintah harus menjamin kebebasan ekspresi dan kritik konstruktif terhadap
pemerintah.
c) Ajaran tentang tatakelola pemerintahan dan kode etik kepegawaian:
Untuk membantu tugas pemerintah, imam bisa mengangkat menteri (al-
wazîr) dan penasihat (bithanah). Sementara untuk kerja lapangan, pemerintah
perlu mengangkat pengawai yang digaji oleh pemerintah dengan standar hidup
layak. Dalam menjalankan tugasnya, pegawai pemerintah terikat dengan kode etik
kepegawaian, antara lain: Harus bekerja secara profesional dan penuh dedikasi,
berkomitmen bersih dari korupsi dan siap mengundurkan diri jika tidak mampu,
berpantang memakan uang negara di luar gaji mereka, dan berpantang menerima
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 32
Nasâ’i

gratifikasi (hadiah) yang terkait dengan pekerjaannya, dan harus menyerahkannya


kepada pemerintah.
Wallahu waliy at-taufîq
Sekarsuli, 11 Januari 2009

DAFTAR PUSTAKA

Kitab-Kitab Hadis:
Abu Dawud; Sulaiman ibn al-Asy’ats as-Sijistani, Sunan Abî Dâwud, tahqiq
Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Ahmad ibnu Hanbal asy-Syaibani, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Cairo:
Mu’assasah Qurthubah, t.t.
al-Bukhari; Muhammad ibnu Isma’il, al-Jâmi’ ash-Shahîh al-Mukhtashar, tahqiq
Dr. Mushthafa Dib al-Bagha dkk, Beirut –Yamamah: Dar Ibn Katsir, cet.
III 1407 H/1987 M.
Ibnu Majah; Muhamamd ibnu Yazid al-Quzwini, Sunan Ibn Mâjah, tahqiq
Muhamamd Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Muslim; Abu al-Husain Muslim ibnu Hajjaj, Al-Jâmi’ ash-Shahîh [Shahîh
Muslim], Beirut: Dar al-Jail dan Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.
an-Nasa’i; Ahmad ibnu Syu’aib Abu ‘Abdurrahman an-, Sunan an-Nasâ’i, Abdul
Fattah Abu Ghaddah, Aleppo: Maktab al-Mathbû‘at al-Islamiyyah, 1406
H/1986 M.
as-Sindi; Nuruddin ibnu Abdul Hadi Abu al-Hasan, Hâsyiyah as-Sindi ‘ala an-
Nasâ’i, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghaddah, Aleppo: Maktab al-Mathbu’at
al-Islamiyyah, cet. II 1406 H/1986 M.

Buku-Buku Penunjang:
Ahmad, Zainal Abidin, Ilmu Politik Islam I, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
1977.
_______, Konsepsi Negara Bermoral menurut Imam al Gazali, Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang, 1975.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 33
Nasâ’i

Dosen Tafsir Hadis Fak Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis,
Yogyakarta: Teras, 2003.
Effendy, Bachtiar, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan
Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Hasyim, Ahmad Umar, Qawâ’id at-Tahdîts, T.t.p.: Dar al-Fikr, t.t.
Ibnu Manzhur; Muhammad ibnu Makram ibnu Manzhur al-Ifriqi al-Mashri,
Lisân al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, t.t.
Ibnu Taimiyyah, Siyasah Syar’iyyah Etika Politik Islam, diterjemahkan dari judul
asli As-Siyâsah asy-Syar’iyyah fi Ishlâh ar-Râ’i wa ar-Ra‘iyyah oleh Rofi’
Munawwar, Lc, Surabaya: Risalah Gusti, 1416 H/1995 H.
Ismail, HM. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan
Bintang, 1994.
al-Kattani, Muhammad ibnu Ja’far, Ar-Risâlah al-Mustathrafah, Beirut: Dar al-
Basya’ir al-Islamiyyah, cet. IV 1406 H/1986 M.
al-Mubarak, Muhammad, Sistem Pemerintahan dalam Perspektif Islam,
diterjemahkan dari judul asli “Nizham al-Islam: al-Mulk wa ad-Daulah”
oleh Firman Harianto, Solo: Pustaka Mantiq, 1995.
Muhibbin, Hadis-Hadis Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan
LESISKA, 1996.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, t.t.
Rais, M. Dhiauddin, Teori Politik Islam, diterjemahkan dari judul asli An-
Nazhariyyât as-Siyâsiyyah al-Islâmiyyah oleh Abdul Hayyie al-Kattanie
dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 1421 H/2001 M.
Schmandt, Henry J., Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno
sampai Zaman Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. II/2005.
Suryono, Hassan, Ilmu Negara: Suatu Pengantar ke dalam Politik Hukum
Kenegaraan, Surakarta: LPP dan UPT UNS Press, 2005.
Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara al-Farabi dan Khomeini, Bandung: Mizan,
2002.
Yusuf, Musa, Politik dan Negara dalam Islam, diterjemahkan dari judul asli
Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm oleh Drs. M. Thalib, Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.
Ajaran-Ajaran Politik dalam Sunan Abî Dâwud dan an- 34
Nasâ’i

Zuhri, M., Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara
Wacana, cet. II 2003.

Software Program:
- Harf IT Company, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif, Versi 2.1.
- www.shamela.ws, Al-Maktabah asy-Syamilah, Versi. 3.15.98

Internet Resources:
- Abû Dâwud as-Sijistâni wa Shahîhi, makalah di forum diskusi milis
www.alukah.net/articles. (Diakses tanggal 25 Desember 2008).
- Manhaj al-Imâm an-Nasâ’i fi al-Mujtabâ, makalah dalam forum diskusi milis
Shina’ah al-Hadits. http://www.hadiith.net/montada/ (Diakses tanggal 25
Desember 2008).
- Sunan an-Nasâ’i, dalam http://islamweb.net. (Diakses tanggal 25 Desember
2008).

98
Rujukan dalam catatan kaki tanpa keterangan penulis maupun nama kota, penerbit, dan
tahun terbit, semuanya diambil dari al-Maktabah asy-Syamilah.

Anda mungkin juga menyukai