Anda di halaman 1dari 20

MODUL ORGAN ENDOKRIN METABOLIK DAN GIZI SEORANG WANITA YANG MENGELUH KEDUA TUNGKAINYA BENGKAK KELOMPOK 4 ABDULLAH

ADIWENA SWARDHANI RAHAYU AGATA NOVITASARI AHMAD NUGROHO AKBAR SIDIQ ALBERTO AFRIAN RUSLI ALTAMA AMANDA PRAHASTIANTI AMELIA CHRISTIANA ANDRE FERRYANDRI SUSANTIO ANDREAS KURNIAWAN SUWITO ANDRIANUS S D ANINDITA JUWITA P M AZRI AZMI BIN YAHAYA MUHAMMAD IKMAL BIN HAZLI 030.08.002 030.08.007 030.08.009 030.08.013 030.08.014 030.08.015 030.08.019 030.08.020 030.08.021 030.08.025 030.08.026 030.08.027 030.08.283 030.08.283 030.08.284

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA, 28 SEPTEMBER 2010

BAB I PENDAHULUAN Seperti halnya tutorial sebelumnya, pada tutorial Modul EMG yang ketiga ini jug terbagi dalam dua sesi. Pada sesi pertama diskusi dibimbing oleh dr. Suweino, Sp.Bkm selaku tutor. Diskusi berlangsung pada hari Jumat, 24 September 2010 pukul 08.00-9.50 WIB. Diskusi diikuti oleh 14 peserta, dipimpin oleh Sdr. Amanda Prahastianti selaku ketua dan Anindita Prahastianti selaku sekretaris. Pada sesi kedua diskusi dibimbing oleh dr. Suweino, Sp.Bkm selaku tutor. Diskusi berlangsung pada hari Senin, 27 September 2010 pukul 13.00-14.50Wib. diskusi diikuti oleh 15 orang peserta, dipimpin oleh Ahmad Nugroho selaku ketua dan Agata Novitasari selaku sekretaris.

BAB II LAPORAN KASUS

KASUS Ny Ani (81 tahun): Ibu Ani, 81 tahun datang ke RS tempat saudara bekerja mengeluh bengkak seluruh tubuh terutama pada kedua tungkai bawahnya. Karena masalah keluarga, Ibu Ani akhir-akhir ini sering marah-marah dan 2-3 bulan ini makanya sedikit karena katanya tidak ada keinginan untuk makan. Sejak dua minggu terakhir, ia menyadari bahwa kedua tungkainya benkak bahkan seluruh badannya. TB:165cm, BB :58kg, TD : 110/80, Nadi : 88x/menit, Pernapasan : 24x/menit Menurut keluarga, berat badan ibu Ani sekitar 3 bulan yang lalu kira-kira sama, tetapi sekarang tampek lebih kurus namun peri\utnya keliatan besar. Ibu Ani dahulu jarang sakit dan tidak sedang dalam pengobatan apapun. Pada pemeriksaan fisik ditemukan : Ibu Ani sakit sedang Wajah agak pucat Conjugtiva anemis Kelenjar tiroid tidak membesar Paru : ronkhi basah halus pada basal kedua paru Jantung : terdengar bising sistolik dengan PMI di i.c II pada garis sternalis kanan derajat 3 Abdomen : shifting dullness (+), hepar teraba 1 jari di b.a.c, lien tidak teraba Kedua tungkai bawah : edema, pitting Hasil pemeriksaan laboratorium : Hb 10,1gr% , leukosit 6200mm3 Hitung jenis 0/2/5/68/23/2 Albumin 2,1g% , globulin 4,3g% Ureum 21mg%, kreatinin 1,3mg% SGOT 43u, SGPT 48i.u Urin : protein +1, eritosit 0-1, leukosit 5-6, silinder (-)

CXR : jantung dan paru dalam batas normal PEMBAHASAN KASUS ANAMNESIS IDENTITAS o Nama : Ny. Ani o Umur : 81 tahun o Jenis kelamin : perempuan o Status :o Alamat : Keluhan Utama Bengkak Seluruh Tubuh terutama pada kedua tungkainya Anamnesis Tambahan: Riwayat Penyakit Sekarang: o Adakah pasien merasakan kelemahan tubuh? o Berapakah berat badan sebelum sakit, adakah peningkatan atau penurunan? o Bagaimana asupan makan pasien? Riwayat Pengobatan: o Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan apapun Riwayat Penyakit Dahulu: o o o o Apakah pasien mempunyai riwayat menderita penyakit jantung? Apakah Pasien mempunyai riwayat menderita penyakit hati? Apakah pasien mempunyai riwayat menderita penyakit ginjal? Apakah pasien menderita DM?

Riwayat kebiasaan : o Kebiasaan minum alkohol? o Kebiasaan merokok? Pemeriksaan Fisik: Keadaan Umum Kesadaran Tanda vital o o o o TD Nadi Pernapasan Antropometri : tampak sakit sedang : compos mentis : : 110/80 : 88x/menit : 24x/menit :

TB BB

: 165 cm : 58 kg

Inspeksi Pada kedua tungkai bawah tampak edema, simetris, pitting, warna kulit biasa, tak tampak kemerahan atau p9ucat, conjungtiva anemis. Palpasi Kelenjar tiroid tidak membesar, hepar teraba 1 jari b.a.c, lien tidak teraba, pitting oedem di kedua tungkai. Perkusi Shifting dullness (+) Aukultasi Ronkhi basah halus di basal kedua paru, bising sistolik dengan PMI di i.c II pada garis sternalis kanan derajat 3. Interpretasi hasil laboratorium : Hb 10,1gr% (menurun ) ( 12-16gr%) Leukosit 6200mm3 (5000-10000mm3 Hitung jenis 0/2/5/68/23/2 (0-1/ 0-3/ 2-6/ 50-70/ 20-40/ 2-8) Albumin 2,1g% (menurun) (3,8-5g%) Globulin 4,3g% (meningkat) (2,3-3,2g%) Ureum 21mg% (15-40mg%) kreatinin 1,3mg% (0,5-1,5mg%) SGOT 43u (meningkat) (5-40u) SGPT 48i.u (meningkat) (5-41i.u) Urin : protein +1 (0-1) (proteinuri) eritosit 0-1 (normal: 0-1) leukosit 5-6 ( 0-5) (meningkat) silinder (-) interpretasi hasil pemeriksaan penunjang :

CXR : jantung dan paru dalam batas normal tidak ada cardiomegali Masalah Kurang asupan gizi Gangguan fungsi hepar Gangguan fungsi jantung Infeksi saluran kemih Dasar pemikiran Hipoalbuminemia, kurus Hepatomegali, peningkatan enzim hati, ascites Bising sistolik PMI i.c II sternal kanan leukosituria Hipotesis penyebab anoreksia Kompensasi untuk sintesis albumin Stenosis aorta

anemia Oedem seluruh tubuh Gangguan paru

Usia: perubahan Ph vagina, kurang menjaga kebersihan vagina Hb 10,1g% Asupan gizi yang kurang Shifting dullness (+), pitting hipoalbuminemia oedem Ronkhi basah halus pada Oedem paru basal kedua paru

Patofisiologi : Pada usia lanjut terjadi atrofi papilla pengecapan, hilangnya opioid endogen dan efek berlebihan kolesistokin menyebabkan timbulnya gejala anoreksia. Hal ini, diperberat dengan faktor psikologis pada pasien. Anoreksia yang berjalan cukup lama menyebabkan kurangnya intake gizi yang berakibat hipoalbuminemia dan anemia. Hipoalbuminemia merangsang hati untuk meningkatkan sintesis albumin hal ini menyebabkan terjadinya hepatomegali dan peningkatan enzim hati. Hipoalbuminemia juga menyebabkan oedem seluruh tubuh, bila terjadi oedem paru pada pemeriksaan fisik akan ditemukan ronkhi basal dibasal kedua paru dan peningkatan laju pernapasan. Pada usia lanjut protein kolagen pada katup dihancurkan dan digantikan dengan kalsium sehingga katup menjadi kaku dan tidak dapat membuka dengan sempurna. Setelah wanita mengalami menopause kadar estrogen akan menurun dengan drastis hal ini mengakibatkan Ph vagina menjadi lebih basa, perubahan pH vagina menyebabkan perubahan flora normal menyebabkan bakteri patogen berkoloni di vagina selain itu dengan bertambahnya usia biasanya wanita akan kurang menjaga kebersihan vagina. Infeksi saluran kemih pada pasien geriatri dapat tanpa gejala dan hanya ditandai dengan leukosituria.

Pemeriksaan tambahan : Foto thorax untuk melihat keadaan dari paru, ada atau tidaknya oedem paru/efusi pleura Echocardiogram Pemeriksaan laju filtrasi glomerulus (GFR)

USG Hepar memastikan gangguan hepar Rencana tindakan: Non-medikamentosa : Edukasi kepada keluarga untuk menghindarkan pasien dari stress, memperbaiki status gizi pasien dengan gizi seimbang tinggi protein dan tinggi kalori. Rujuk ke ahli gizi.

Medikamentosa : Antibiotik untuk menanggulangi Infeksi saluran kemih Pemberian suplemen vitamin dan preparat besi. Prognosis : Ad vitam: dubia ad Bonam Ad fungtionam: dubia ad bonam Ad sanationam: dubia ad bonam

BAB III PEMBAHASAN Gizi Pada Geriatri. I. Perubahan yang Dapat Terjadi a. Perubahan anatomi dan fisiologi Menua (aging) meruakan proses normal yang dimulai sejak konsepsi dan berakhir saat kematian. Selam periode pertumbuhan, proses anabolisma melampaui proses katabolisma. Pada saat tubuh sudah mencapai tingkat kematangan fisiologik, kecepatan katabolisma atau proses degenerasi lebih besr daripada kecepatan proses regenerasi sel (anabolisma). Akibat yang timbul adalah hilangnya sel-sel yang berdampak dalam bentuk penurunan efisiensi dan gangguan fungsi organ(Whitney, Catalgo, Rolfes, 1987; Prodrabky, 1992). Dengan demikian menua ditandai dengan kehilangan secara progresif lean body mass (jaringan aktif tubuh) dan perubahanperubahan di semua system di dalam tubuh manusia. Berikut ini adalah perubahan fisiologik yang berhubungan dan mempengaruhi status gizi lansia. b. Indera Indera pengecap, pencium dan penglihatan menurun yang akan secara langsung dan tak langsung mempengaruhi nafsu makan dan asuapan makanan. Papila pengecap mulai mengalami atrofi pada usia 50 tahun, dari jumlah 245 pada anak menjadi hanya 88 pada usia 74-85 tahun. Terjadi penurunan sensitifitas terhadap rasa manis dan asin. Selain itu muncul glossodyna atau nyeri pada lidah. c. Saluran cerna/digestif Terjadi perubahan-perubahan pada kemampuan disgesti dan absorbsi yang terjadi sebagai akibat hilangnya opioid endogen dan efek berlebihan dari kolesistokin. Akibat yang muncul adalah anoreksia.

Penyakit periodonsia dan gigi palsu yang tidak tepat akan makin memberikan rasa sakit dan tak nyaman saat mengunyah. Selain itu sekresi ludah juga menurun hingga terjadi gangguan pengunyahan dan penelanan. Hipoklorhidria yang terjadi oleh karena berkurangnya sel-sel parietal mukosa lambung akan mengakibatkan penurunan absorpsi kalsium dan non-hem-iron. Terjadi pula overgrowth bakteri yang akan menurunkan bioavailability B12, malabsorbsi lemak, fungsi asam empedu yang menurun dan diare. Selain itu terjadi penurunan motilitas usus, hiungga terjadi konstipasi. d. Metabolisma Pada lansia dapat terjadi penurunan toleransi glukosa yang akan

mengakibatkan kenaikan glukosa di dalam plasma sekitar 1,5 mg/dl untuk tiap dekade umur. Hal ini terjadi mungkin karena penurunan produksi insulin atau karena respon jaringan terhadp insulin yng menurun. Metabolisma basal (BM) menurun sekitar 20% antara usia 30-90 tahun. Hal ini terjadi karena berkurangnya lean body mass pada lansia. e. Ginjal Fungsi ginjal menurun sekitar 50 % antara usia 30-80 tahun. Reaksi respon asam basa terhadap perubahan-perubahan metabolik melambat. Pembuangan sisasia metabolisma protein dan elektolit yang harus dilakukan ginjal akan merupakan beban tersendiri. f. Fungsi jaringan

Pad usia sekitar 75 tahun, maka prosentsenya fungsi jaringan yang tertinggal adalah 82 % untuk cairan/air tubuh, 56% glomerulus, 63 % serat syaraf, 36 % taste buds dan 56 % berat otak. II. Gangguan Gizi Gangguan gizi yang dapat muncul pada usia lanjut dapat berbentuk gizi kurang maupun gizi lebih. Gangguan ini dapat menyebabkan munculnya penyakit atau terjadi sebagi akibat adanya penyakit tertentu. Oleh karena itu langkah pertama yang harus dilakukan adalah menetukan terlebih dahulu ada tidaknya gangguan gizi, mengevaluasi faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan gizi serta merencakan bagaimana gangguan gizi tersebut dapat diperbaiki. III. Metabolisme Energi Produksi energi untuk tiap m2 luas tubuh menurun secara progresif dengan bertambahnya usia. Rata-rata penurunanya dalah 12 kal/m2/jam untuk tiap tahun antara usia 20 90 tahun. Penurunan ini terjadi oleh karena berkurangnya jaringan aktif (metabolizing tissue) sejalan dengan bertambahnya usia. Produksi energi ini merupakan produksi untuk metabolisme basal ditambah dengan energi untuk aktifitas. Kebutuhan energi untuk aktivitas menurun lebih besar daripada untuk metabolisme basal, terutama pada lansia. IV. Kecukupan Zat-Zat Gizi Tiap Negara mempunyai standar /baku untuk kebutuhan zat-zat gizi dengan menggunakan standar FAO/WHO sebagai acuan utamanya. Indonesia memiliki Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (KGA) untuk energi dan zat-zat gizi lainnya yang diperbaharui tiap 5 tahun melalui Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Berikut ini contoh KGA untuk lansia yang dikeluarkan oleh Depkes RI dan Negara Inggris

(Brocklehurst dan Allen, 1987; Van der Cammen, Rai, Exton-Smith, 1991; Muhilal, Fasli Jalal, Hardinsyah,1997). Tabel 1. Asupan yang dianjurkan Laki-laki Inggris 75 + Energi (Kal) Protein (gram) Zat besi (mgram) Kalsium (mgram) Vit. C (mgram) 2100 53 10 500 30 Indonesia 60 + 2200 62 13 500 60 Perempuan Inggris 75 + 1900 48 10 500 30 Indonesia 60 + 1850 54 14 500 60

Apabila dijabarkan dalam porsi makanan/ukuran rumah tangga, maka KGA lansia untuk Indonesia adalah seperti dalam table 2 Tabel 2. Kecukupan makan satu hari (usia 60 tahun ke atas)
Jenis bahan makan 1. Nasi Laki-laki 3 x 200 gram (3 x 1,5 gls blimbing) 2. Lauk daging/ikan, tempe Kalau tahu 1,5 x 50 gram 5 x 25 gram ( 1pt kecil ) 5 x 50 gram 1,5 x 100 gram Perempuan 2 x 200 gram (2 x 1,5 gls blimbing) 2 x 50 gram 4 x 25 gram ( 1 pt kecil ) 4 x 50 gram 1,5 x 100 gram

Sumber : Leaflet DepKes RI


4. Buah

3. Sayur

( 1,5 x 1 gls penuh sayur) 2 x 100 gram ( 1 pt sedang ) 2 x 100 gram ( 1 pt sedang )

V.

Keadaan Gizi Lansia Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat mengalami baik keadaan gizi lebih maupan kekurangan gizi. Boedhi-Darmoyo (1995) melaporkan bahwa lansia di Indonesia yang dalam keadaan kurang gizi ada 3,4 %, BB kurang 28,3 %, BB ideal berjumlah 42,4 %, BB lebih ada 6,7 % dan obesitas sebanyak 3,4 %. Temuan proporsi lansia yang kurang gizi di Indonesia pada tahun 1994 tersebut tak banyak berbeda dengan temuan di Inggris pada tahun1972 dan 1979 yakni sebanyak 3 %. Setelah di follow up ternyata lansia di Inggris yang menjadi kurang gizi meningkat 2 kali lipat lima tahun kemudian (Brocklehurst dan Allen, 1987; Van der Cammen, Rai, ExtonSmith, 1991). Selanjutnya Wichaidit (1995) melaporkan bahwa ada 10-60 % lansia di Thailand yang menderita anemia dan 80-90 % lansia mengkonsumsi kalsium kurang dari 2/3 dari kecukupan yang dianjurkan. Terjadi kekurangan gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang bersifat primer maupaun sekunder. Sebab-sebab primer meliputi ketidaktahuan isolasi sosial, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik, gangguan indrera, gangguan mental, kemiskinan dan iatrogenik. Sebab-sebab sekunder meliputi gangguan nafsu makan/selera, gangguan mengunyah, malabsorpsi, obat-obatan, peningkatan kebutuhan zat gizi serta alkoholisme. Ketidaktahuan dapat dibawa sejak kecil atau disebabkan olah pendidikan yang sangat terbatas. Isolasi sosial terjadi pada lansia yang hidup sendirian, yang kehilangan gairah hidup dan tidak ada keinginan untuk masak. Gangguan fisik terjai pada lansia yang mengalami hemiparese/hemiplegia, artritis dan ganggun mata. Gangguan mental terjadi pada lansia yang dement dan mengalami depresi. Kondisi iatrogenik dapat terjadi pada lansia yang mendapat diet lambung untuk jangka waktu lama, hingga terjadi kekurangan vitamin C. selanjutnya gangguan selera, megunyah dan malabsorbsi terjadi sebagi akibat penurunan fungsi alat pencernaan dan

pancaindera, sebagai akibat penyakit berat tertentu, pasca operasi, ikemik dinding perut dan sensitifitas yang meningkat terhadap bahan makanan tertentu seperti lombok, santan, lemak dan tepung ber gluten(misalnya ketan). Kebutuhan yang meningkat terjadi pada lansia yang mengalami keseimbangan nitrogen negatif dan katabolisme protien yang terjadi pada mereka yang harus berbaring di tempat tidur untuk jangka waktu lma dan yang mengalami panas yang tinggi.(1) Kondisi kekurangan gizi pada lansia dapat terbentuk KKP(kurang kalori protein) kronik, baik ringan sedang maupun berat. Keadaan ini dapat dilihat dengan mudah melalui penampilanumum, yakni adanya kekurusan dan rendahnya BB seorang lansia dibanding dengan baku yang ada. Kekurangan zat gizi laing yang banyak muncul adalah defisiensi besi dalam bentuk anemia gizi, defisiensi B1 dan B12. Kelebihan gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan afluency denga ngaya hidup pada usia sekitar 50 tahun. Dengan kondisi ekonomi yang membaik dan tersedianya berbagai makanan siap sji yang enak dan kaya energi. Utamany sumber lemak, terjadi asupan makan dan zat-zat gizi melebihi kebutuhan tubuh. Keadaan kelbihan gizi yang dimulai pada awal usia 50 tahun-an ini akan membawa lansia pada keadaan obesitas dan dapat pula disertai dengan munculnya berbagai penyakit metabolisme seperti diabetes mellitus dan dislipidemia. Penyakit-penyakit tersebut akan memerlukan pengelolaan dietetik khusus yang mungkin harus dijalani sepanjang usia yang masih tersisa. VI. Penentuan Status Gizi Status gizi pada lansia dapat dinilai dengan cara cara yang baku bagi berbagai tahapan umur yakni penilaian secara langsung dan tak langsung. Penilaian secara langsungdilakukan melaui pemeriksaan klinik, antropometrik, biokimia dan biofisik.

Di dalam melakukan pemeriksaan klinik perlu dibedakan tiga kelompok gejala yaitu: (1) tanda-tanda yang dianggap mempunyai nilai dalam pemeriksaan gizi; (2) gejala-gejala yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut; (3) gejala-gejala yang tidak berhubungan dengan gizi. Tanda-tanda yang masuk ke tiga kategori dapat ditemukan di berbagai organ seperti rambut, lidah, konjungtiva, bibir, kulit, hati, limpa dan sebagainya. Pemeriksaan antropometrik adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan. Pemgukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit. Semua hasil pengukuran tersebut harus dikontrol terhadap umur dan jenis kelami. Dalam melakukan interpretasi, digunakan berbagai bahan baku (standard) internasional maupun nasional seperti baku WHO, NCHC, Havard, dan sebagainya. Perlu ditekankan disini bahwa pemeriksaan tinggi badan pada lansia dapat memberikan nilai kesalahan yang cukup bermakna oleh karena telah terjadinya osteoporosis pada lansia yang akan berakibat pada kompresi tulang-tulang columna vertebral. Untuk itu para ahli sepakat bahwa sebagai gantinya tinggi badan dapat dipakai panjang rentang tangan (armspan) dalam penentuan indeks massa tubuh (BMI) (Rabe, Thamrin, Gross, Salomons, Schultink,1995). Ternyata korelasi koefisien antara BMI dengan BMA (body mass-armspan) cukup tinggi yaitu 0,83 dan 0,81 untuk wanita dan untuk pria dengan nilai p-0,001. Pemeriksaan biokimia dapat dilakukan terhadap berbagai jaringan tubuh, namun yang paling lazim, mudah dan praktis adalah darah dan urine. Zat-zat gii tertentu dapat dievaluasi statusnya melalui pemeriksaan biokimiawi seoerti vitamin A, besi, iodium protein dan sebagainya.

Pemeriksaan biofisik dilakuakan misalnya terhadap tulang untuk menilai derajat osteoporosis, jantung untuk kecurigaan beri-beri dan smear terhadap mukosa organ tertentu. VII. Nutrisi Enteral dan Parenteral Pada keadaan tertentu, terkadang diperlukan pemberian makan secara enteral maupun parenteral bagi lansia, terutama yang mengalami perawatan di rumah sakit. Aspen (American Society for Parenteral and Enteral Nutrition) Board of Directors telah membuat pedoman umum pada tahun 1993. Pedomanya adalah sebagai berikut: NUTRISI ENTERAL 1. Dukungan nutrisi enteral melalui tube feeding hendaknya dipakai pada pasien yang akan atau telah mengalami malnutrisi, atau pada pasien yang oral feedingnya tak dapat memepertahankan status gizinya. 2. Pada pasien yang akan mengalami home care, mereka dan perawat yang menjagantya harus dididik tentang prosedur yang diperlukan dan diberi tahu tentang komplikasi yang dapat terjadi. 3. Program nutrisinya harus dengan pemenuhan kebutuhan pola hidup di rumah. 4. Disamping perawat/anggota keluarga yang terlatih, masih diperlukan

pemantauan berkala oleh tenga yang memiliki pengetahuan tentang potensi resiko infeksi, mekanik, metabolik dari tube feeding. NURISI PARENTERAL 1. Calon penerima dukungan nutrisi parenteral adalah mereka yang telah malnutrisi atau berpotensi mengalami malnutrisi namun tidak bisa mencerna atau tidak dapat menyerap nutrien yang diberikan secara oral.

2. Peripheral parenteral nutrition (PPN) diindikasikan untuk dukunga nitrisi partial atau total sampai dengan 2 minggu. 3. Total parenteral nutrition (TPN) diberikan bilan nutrisi parenteral

didindikasikan lebih dari 2 minggu atau jalan masuk perifer terbatas. VIII. Pedoman Umum Gizi Seimbang untuk Lansia Khusus untuk Indonesia, Departemen Kesehatan telah menerbitkan Pedman Umum Gizi Seimbang (PUGS) (DepKes, 1995) yang berisi 13 pesan dasar gizi seimbang bagi lansia dengan dasar PUGS dan dengan memeprtimbangkan pengurangan berbagai resiko pentyakit degenerasi yang dihadapi para lansia.(3) 1. Makanlah aneka ragam makanan 2. Makanlah sumber karbohidrat kompleks (serealia dan umbi) 3. Batasi minyak dan lemak secar berlebihan 4. Makanlah sumber zat besi secara bergantian antara sumber hewani dan nabati. 5. Minumlah air yang bersih, aman, dan cukup jumlahnya dan telah didihkan. 6. Kurangi konsumsi makanan jajanan dan minuman yang tinggi gula murni dan lemak. 7. Perbanyak frekuensi makanhewani laut dalam menu harian. 8. Gunakanlah garam berodium, namaun batasilah penggunaan garam secar berlebihan, kurangi konsumsi makanan dengan pengawaet ISK pada Geriatri Terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya ISK pada geriatri. Semakin tua seseorang, status imunnya akan semakin menurun. Maka, semakin mudah pula orang tersebut mengalami infeksi. Selain penurunan status imun, bertambahnya usia seseorang khususnya perempuan akan berdampak pada penurunan kadar hormon estrogen dikenal dengan masa

menopause. Penurunan estrogen menyebabkan perubahan pH vagina menjadi lebih basa. Padahal pH vagina asam penting dalam melindungi mukosa vagina. Kaum geriatri dengan gangguan mood dan penurunan faal kognitif cenderung sulit merawat diri. Kebersihan tubuh terutama daerah genital kurang terjaga. Akibatnya, kuman mudah berkoloni di daerah tersebut sehingga terjadilah infeksi.(4) Gejala Samar-Samar Tidak mudah menegakkan diagnosis ISK pada lansia karena gejalanya samar-samar. Penyakit komorbid dan terapi yang didapat bisa menutupi gejala ISK. Gejala klinis klasik ISK seperti disuri, polakisuri, demam, nyeri tekan daerah suprapubik maupu sakit pinggang jarang sekali ditemukan tapi dapat saja terjadi. Hal itu mungkin dikarenakan ekspresi kaum geriatri dalam mengutarakan gejala-gejala klinis tersebut kurang baik dibandingkan individu dewasa. Ketidakmampuan mengungkapkan ekspresi tersebut mungkin pula berkaitan dengan sudah terjadinya penurunan faal kognitif. Gejala klinis awal yang dapat ditemukan adalah penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu makan tidak hanya menjadi gejala klinis awal tetapi juga memberi kontribusi terhadap progresifitas penyakit. Dengan kurangnya asupan makanan maka status nutrisi terganggu. Demikian pula dengan status imun.(5) Gejala lain adalah inkontinensia urin. Penggunaan popok perlu diperhatikan agar segera diganti bila basah sebab dapat menjadi media berkembangbiaknya mikroorganisme. Kondisi lebih jauh adalah munculnya gejala perubahan kesadaran, delirium atau perubahan perilaku yang sering disalahtafsirkan oleh keluarga dan tenaga kesehatan sebagai perubahan kepribadian atau stroke. Ditemukannya mikroorganisme di urin merupakan syarat untuk diagnosis ISK. Disinilah permasalahan itu timbul. Pada geriatri seringkali ditemukan gejala ISK tetapi kultur urinnya negatif. Sebaliknya, tak jarang pula tidak ada gejala tetapi ditemukan leukosituria pada urin.

Tatalaksana Secara umum tujuan terapi ISK adalah menghilangkan gejala dengan cepat, mengeradikasi kuman patogen, meminimalisasi rekurensi dan mengurangi morbiditas serta mortalitas. Tujuan itu dapat tercapai dengan pemberian antibiotik sambil mencari penyebab. Penatalaksanaan ISK pada lansia harus dilakukan sedini mungkin agar progresifitasnya tidak berlanjut. Dalam memilih antibiotik harus diperhatikan beberapa hal yaitu efek samping (terutama pada ginjal), harga, resistensi, kepatuhan (compliance), dan interaksi obat. Mengingat adanya penyakit komorbid yang mungkin juga diderita pasien, maka kita perlu mencari tahu obat-obat apa saja yang sedang dikonsumsi pasien, lalu menganalisis apakah obat ISK yang kita berikan akan berinteraksi dengan obat-obatan tersebut. Antibiotik yang umum digunakan untuk mengobati ISK tidak berkomplikasi pada lansia adalah trimethoprim/sulfamethoxazol (TMP/SMX), fluorokuinolon, fosfomisin, dan

nitrofurantoin TMP/SMX telah menjadi obat lini pertama pada ISK non komplikata karena mampu membunuh banyak jenis mikroorganisme, kecuali Enterococcus. Kelebihan lain adalah TMP/SMX tersedia dalam bentuk sirup sehingga cocok digunakan pada lansia yang mempunyai kesulitan menelan. Akan tetapi sekarang sudah mulai tampak kecenderungan resistensi TMP/SMX pada E.coli.(6) Fluorokuinolon sedikit demi sedikit mulai menggeser TMP/SMX karena tolerabilitas dan compliance-nya lebih baik. Antibiotik ini bisa digunakan pada Gram negatif dan positif tetapi lebih efektif pada Gram negatif. Kadar creatinin clearance perlu dipantau bila kita memutuskan memberi fluorokuinolon. Bila kreatinin klirens kurang dari 0,5 ml/detik, dosis dikurangi.

Fosfomisin diberikan dalam dosis tunggal sehingga compliance pasien lebih baik. Fosfomisin efektif pada Gram negatif tetapi kurang pada Gram positif. Harganya cukup mahal. Nitrofurantoin tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, yaitu kreatinin klirens kurang dari 0,67 ml/detik. Sayang, sudah tidak tersedia lagi di pasaran. Kaum lansia lebih rentan terhadap efek samping dan toksisitas antibiotik. Hal itu dikarenakan menurunnya fungsi metabolisme dan ekskresi. Akibatnya, kadar obat dalam serum tinggi dan berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal. Oleh karena batas keamanan obat pada lansia sempit, pemilihan antibiotik harus berhati-hati dengan mempertimbangkan kelarutan obat, perubahan komposisi tubuh, status nutrisi (kadar albumin), dan efek samping. Di samping obat-obatan, terapi nonfarmakologi harus diterapkan. Sayangnya, langkah itu sering terlupakan. Terapi nonfarmakologi mencakup nutrisi dan imobilisasi. Asupan makanan dan cairan perlu disesuaikan hingga optimal sesuai kemampuan penderita. Kita perlu mengusahakan agar makanan yang diberikan habis dimakan. Pasien tidak boleh diimobilisasi terlalu lama untuk mencegah dekubitus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rabe B, Thamrine Mt. Gross. Body Mase Index of the elderly derived from height,and from armspan. Asia Pasific 2. Panduan 13 Dasar GiziSeimbang. Departemen Kesehatan. Jakarta, 2000 3. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. 4. Harrisson. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Ed 13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. 5. Trimetroprim. Available at: http://apps.who.int/emlib/MedicineDisplay.aspx?Language=EN&MedIDName=331% 40trimethoprim. Accessed: Sept, 27, 2010. 6. Aortic Stenosis. Available at :http://www.medicinenet.com/aortic_stenosis/page2.htm . Accessed : Sept, 27, 2010.

PENUTUP

Pada Kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Tuhan YME, dosen pembimbing, dan teman-teman diskusi kelompok IV yang telah bersama-sama berpartisipasi dalam diskusi 2 ini seehingga kami bisa menyusun makalah diskusi ini hingga selesai. Dan tidak lupa pula kami memohon maaf sebesar-besarnya bila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai