Anda di halaman 1dari 3

Tes Kecerdasan Bayi Gerakan pengujian bayi berkembang dari tradisi pengujian IQ.

Akan tetapi, tes-tes kecerdasan bagi bayi seharusnya memuat lebih sedikit soal verbal dibandingkan tes-tes IQ untuk anak-anak yang lebih tua. Tes-tes kecerdasan untuk bayi lebih terkait dengan perkembangan motorik perseptual. Tes tes itu juga mencakup ukuran-ukuran interaksi social. Untuk mengenal seorang spesialis penilai bayi, lihat Karier dalam Perkembangan Anak. Contributor awal yang paling penting dalam pengujian bayi adalah Arnold Gesell (1934). Ia mengembangkan suatu ukuran yang membantu membedakan bayi-bayi normal dan abnormal. Ukuran ini khususnya berguna bagi agen-agen pengadopsian bayi, yang memiliki banyak bayi yang menunggu penempatan. Ujian gesell digunakan secara luas dan bertahun-tahun, serta secara berkala masih digunakan oleh para ahli anak untuk membedakan bayi-bayi yang normal dan abnormal. Versi terakhir dari tes Gesell memiliki empat kategori; prilaku motorik, bahasa, adaptif dan personal-sosial. Developmental Quotient (DQ) adalah gabungan nilai dari keempat kategori tersebut untuk menghasilkan nilai keseluruhan. Skala Bayley untuk perkembangan anak digunakan secara luas dalam penilaian bayi usia 1 hingga 42 bulan untuk mendiagnosis keterbelakangan perkembangan dan strategis-strategis perencanaan intervensi. Skala tersebut memiliki tiga komponen; skala mental, skala motorik, dan profil prilaku bayi. Awalnya, skala tersebut diciptakan oleh Nancy Bayley (1969). Saat ini edisi kedua skala Bayley telah diciptakan (Black dan Matula, 1969). Apa yang diukur oleh skala-skala tersebut? Dalam skala mental Bayley, contohnya, bayi berusia 6 bulan seharusnya dapat mengekspresikan kesenangan dan ketidaksenangan secara lisan, terus-menerus mencari objek-objek yang tiba-tiba hilang dari jangkauan, dan mendekati sebuah cermin yang ditempatkan di depannya. Pada usia 12 bulan, bayi seharusnya sudah dapat menghentikan prilaku ketika diperintahkan, menirukan kata-kata yang diucapkan penguji (seperti mama), dan merespon permintaan-permintaan sederhana (seperti ambil minum). Nilai total tes-tes kecerdasan bayi (seperti skala Gesell dan skala Bayley) tidak memiliki korelasi kuat dengan skor IQ yang dicapai di kemudian hari, pada masa kanak-kanak. Dalam suatu studi yang dilakukan oleh Nancy Bayley, tidak ada korelasi yang ditemukan antara skor skala Bayley dengan skor tes Stanford-Biner pada usia 6 dan 7 tahun (Bayley,1943). Hal ini tidaklah mengejutkan; ingat bahwa komponen-komponen yang diuji dalam tes kecerdasan bayi berbeda dengan komponen-komponen yang diujikan oleh tes-tes IQ. Ledakan minat dalam mengevaluasi perkembangan bayi menghasilkan banyak cara-cara pengukuran baru, khususnya berupa cara-cara mengevaluasi bayi memproses informasi (Rose, Feldman, dan Wallace, 1992). Tes Fagan ( sebuah tes kecerdasan bayi) banyak digunakan akhirakhir ini ( Fagan, 1992). Tes ini berfokus pada kemampuan bayi untuk memproses informasi seperti penyandian kelengkapan objek, pendeteksian persamaan dan perbedaan antar objek, pembentukan representasi mental dan pengulangan representasi tersebut. Contohnya, bayi

menggunakan waktu lebih lama dalam melihat objek baru dibandingkan dengan waktu yang mereka gunakan untuk melihat objek yang mereka sudah kenali. Ini digunakan untuk memperkirakan kecerdasan mereka. Tes Fagan memberikan hasil yang serupa pada bayi-bayi dari budaya yang berbeda-beda dan, tidak seperti skala Gesell dan Bayley, memiliki korelasi positif dengan ukuran kecerdasan anak yang lebih tua. Bukti-bukti menunjukkan bahwa ukuran terbentuk kebiasaan (habituasi) dan penghilangan kebiasaan (dishabituasi) memprediksikan kecerdasan pada masa kanak-kanak dan remaja (Bornstein dan Sigman, 1986; DiLalla, 2000; Sigma, Cohen, dan Beckwith, 2000). Telah kita diskusikan dalam Bab 7 bahwa habituasi adalah pengurangan daya respon terhadap stimulasi setelah presentasi berulang dari stimulasi, dan dishabituasi adalah pemulihan suatu respon pembentukan kebiasaan setelah perubahan stimuli. Habituasi yang lebih cepat dan dishabituasi yang lebih besar menunjukkan adanya proses informasi yang lebih efisien. Sebuah studi menyimpulkan bahwa hasil tes bayi berusia 3 dan 12 bulan menunjukkan bahwa habituasi dan dishabituasi memiliki korelasi positif dengan skor IQ yang lebih tinggi pada tes-tes yang diberikan pada waktu yang bervariasi antara masa bayi dan remaja ( korelasi rata-rata = 0,37) (Kavsek, 2004)

Stabilitas dan Perubahan Kecerdasan Dalam Masa Remaja Sebuah studi menguji korelasi antara IQ pada suatu sampel dari usia yang berbeda-beda (Honzik, MacFarlane, dan Allen, 1984). Ada relasi yang kuat antara skor-skor IQ yang diperolehkan pada usia 6, 8 dan 9 tahun dengan skor-skor IQ yang diperoleh pada usia 10 tahun. Contohnya korelasi IQ pada usia 8 tahun dan 10 tahun adalah 0,88. Korelasi IQ pada usia 9 dan IQ pada usia 10 adalah 0,90 angka-angka ini menunjukkan relasi yang sangat tinggi antara skor-skor IQ yang dicapai tahun-tahun tersebut. Korelasi antara IQ pada masa praremaja dan IQ pada usia 8 tidaklah setinggi sebelumnya, meskipun secara statistic masih signifikan. Contohnya, korelasi antara IQ pada usia 10 dan IQ pada usia 18 adalah 0,70. Semua yang telah diketahui tentang stabilitas kecerdasan diperoleh dari pengukuran kelompok individu. Stabilitas kecerdasan juga dapat dievaluasi melalui studi-studi individu. Robert McCall dan rakan-rakannya (McCall, Applebaum, dan Hogarty, 1973) mempelajari 140 anak antara usia 2,5 tahun hingga 17 tahun. Mereka menemukan bahwa rata-rata skor-skor IQ adalah lebih dari 28 poin. Satu dari tiga anak nilainya berubah sebanyak 40 poin. Apa yang dapat kita simpulkan tentang stabilitas dan perubahan kecerdasan di masa kanak-kanak? Nilai-nilai tes kecerdasan dapat berubah secara dramatis sepanjang masa kanakkanak. Kecerdasan tidaklah sestabil yang dibayangkan para pencetus awal teori inteligensi, tetapi tidak berubah menjadi orang-orang cerdas yang sepenuhnya baru. Artinya, kecerdasan anak berubah tetapi tetap memiliki hubungan dengan poin-poin awal dalam perkembangan.

Anda mungkin juga menyukai