Anda di halaman 1dari 6

SOAL !!! 1. Apa yang dimaksud dengan molekul obat yang berbentuk Kristal, amorf, hidrat, anhidrat, polimorfi?

2. Aspek Biofarmasi dari obat Deksametason !

JAWAB !!! 1. Zat aktif yang padat dapat berupa Kristal bentuk tertentu atau berupa partikel amorf tanpa bentuk tertentu. Zat aktif yang berbentuk amorf lebih baik diabsorpsi daripada yang berbentuk kristal karena yang berbentuk amorf adalah lebih mudah larut daripada yang berbentuk Kristal, dengan demikian akan menghasilkan derajat aktifitas farmakologi yang berbeda. Bentuk-Bentuk Molekul Obat Kristal dan Amorf Padatan digolongkan dalam dua golongan yaitu kristal dan amorf. Padatan kristalin yaitu padatan yang partikel penyusunnya tersusun sehingga keteraturannya kadang nampak dengan mata telanjang. Kristal yang umum kita lihat adalah natrium khlorida, tembaga sulfat hidrat, dan kuarsa Serta adapula yang dikenal sebagai padatan amorf yang partikel penyusunnya tidak memiliki keteraturan yang sempurna (Yoshito Takeuchi, 2008). Karakter kristal atau amorf dari suatu zat obat merupakan faktor yang sangat penting dalam memudahkan formulasi obat dan penanganannya, kestabilan kimianya bahkan aktivitas biologisnya (Ansel, 2008).

Gambar Padatan kristal dan amorf Terdapat perbedaan besar dalam keteraturan partikel penyusunnya.

Bentuk amorf dari suatu zat kimia biasanya lebih mudah larut dibandingkan dengan bentuk kristalnya, banyaknya absorbsi obat yang berbeda bisa dihasilkan dengan akibat berbedanya derajat aktivitas farmakologis yang diperoleh dari masing-masing. Pengalaman dengan dua zat antibiotik, novobiosin, dan kloramfenikol palmitat, telah memperlihatkan bahwa bahan-bahan ini pada pokoknya tidak aktif jika diberikan dalam bentuk kristal tetapi bila obat-obat tersebut diberikan dalam bentuk amorf, absorbsi dari saluran lambung atau usus berlangsung secara tepat dengan respons terapi yang baik (Nurirjawati, 2008). Polimorfi Dalam sintesis obat, dapat terjadi berbagai bentuk kristal. Berbagai bentuk kristal ini umumnya mempunyai sifat kimia dan farmakologik yang sama namun sifat fisikanya berbeda. Keadaan ini disebut polimorfi. Berbagai obat yang telah diketahui mempunyai polimorfi yaitu novobiosin, kloramfenikol, steroid, sulfamid, barbiturat (Nurirjawati, 2008). Berbagai bentuk polimorfis dari bahan kimia yang sama umumnya berbeda, banyak sifat-sifat fisikanya, termasuk karakteristik kelarutan dan di solusinya, yang sangat penting untuk laju dan besarnya absorbsi obat kedalam sistem tubuh tersebut. Oleh karena itu perbedaan dalam aksi obat, secara farmasi dan terapi, dapat diharapkan dari polimorf-polimorf dalam bentuk sediaan padat seperti juga dalam suspensi cairan. Polimorf stabil umumnya lebih tahan terhadap degradasi kimia dan karena kelarutannya yang rendah seringkali dipilih dalam suspensi farmasi obat-obat yang tidak larut. Daftar Obat Yang Mempunyai Polimorfi Yaitu :

Daftar Obat Yang Mempunyai Polimorfi Lanjutan Yaitu :

Hidrat dan Anhidrat Senyawa obat tertentu pada saat kristalisasi dapat mengikat H2O, Kristal demikian disebut hidrat. Apabila molekul H2O nya dihilangkan maka disebut anhidrat. Anhidrat umumnya mempunyai kelarutan yang lebih tinggi daripada hidrat. Beberapa senyawa obat yang mempunyai bentuk hidrat dan anhidrat yaitu ampisilin, kofein, derivat penisilin, glutetimid, PAS, Kalsium fenobarbital (Nurirjawati, 2008). 2. Deksametason adalah kortikosteroid kuat dengan khasiat immunosupresan dan antiinflamasi yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi peradangan (Samtani, 2005). Menurut Mutschler (1991), makna terapeutik kortikosteroid terletak pada kerja antiflogistiknya (antireumatik), antialergi, dan

imunsupresiv, bila terapi substitusi pada insufiensi korteks adrenal diabaikan. Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamine (Anonim, 2009).

Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam menaggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone (Katzung, 1998). Penggunaan deksametason di masyarakat sering kali kita jumpai, antara lain: pada terapi arthritis rheumatoid, systemik lupus erithematosus, rhinitis alergika, asma, leukemia, lymphoma, anemia hemolitik atau auto immune, selain itu deksametason dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindroma cushing. Efek samping pemberian deksametason antara lain terjadinya insomnia, osteoporosis, retensi cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain (Suherman, 2007). Aspek Biofarmasi 1) Absorpsi Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologik steroid ( Suherman, 2007). Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik. Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial. 2) Distribusi Pada distribusinya khususnya melalui peredaran darah, obat yang telah melalui hati bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara merata ke seluruh jaringan tubuh. Melalui kapiler dan cairan ekstrasel (yang mengelilingi jaringan) obat diangkut ke tempat kerjanya didalam sel (cairan intrasel), yaitu organ atau otot yang sakit. Tempat kerja ini hendaknya memiliki penyaluran darah yang baik karena obat hanya dapat melakukan

aktivitasnya bila konsentrasi setempatnya cukup tinggi selama waktu yang cukup lama ( Tjay dan Rahardja, 2002). Pada tahap distribusi ini penyebarannya sangat peka terhadap berbagai pengaruh yang terkait dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi sesudahnya yaitu peniadaan, serta terkait pula dengan komposisi biokimia serta keadaaan fisiopatologi subyeknya, disamping itu perlu diingat kemungkinan adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada tahap ini merupakan fenomena dinamik yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan penurunan kadar zat aktif (Aiache, 1993). 3) Metabolisme Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung, paru-paru, dan jaringan lainnnya). Di dalam lever terdapat enzim khusus yaitu sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat, dan lain-lain. Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat yang mengalami first pass metabolisme akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang dihasilkan juga berkurang (Hinz, 2005). Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Setelah penyuntikan IV, sebagian besar dalam waktu 72 jam diekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang diekskresi mengalami metabolisme di hepar (Suherman, 2007). 4) Ekskresi Diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA Aiache. 1993. Farmasetika 2: Biofarmasi. terjemahan Widji Soeratri. Airlangga University Press : Surabaya. Ansel, H.C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas Indonesia Press : Jakarta. Hinz, B. 2005. Bioavailability of Diclofenac Potassium at Low Doses. Department of Experimental and Clinical Pharmacology ang Toxicology, Friedrich Alexander University Erlangen-Nurnberg Fahrstrasse 17 : Germany. Katzung, B.G., Payan D.G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 6. Penerbit buku Kedokteran EGC : Jakarta. Nurirjawati, E. 2008. Biofarmasetika. (online).

(http://id.scribd.com/doc/86332222/ BIOFARMASETIKA-2008, diakses 22 Februari 2013). Suheraman K.S Ascobat P, 2007. Adrenokortikosteroid, analog sintetik dan antagonisnya dalam farmakalogi dan terapi Edisi 5. Badan Penerbit FKUI: Jakarta. Takeuchi, Y. 2008. Padatan Kristalin dan Amorf. (online). (http://www.chem-istry.org/materi_kimia/kimia_dasar/padatan1/padatan-kristalin-dan-amorf/, diakses 22 Februari 2013). Tjay, T. H. dan Rahardja, K. 2002. Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi kelima. Elex Media Komputindo: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai