Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama
keberadaan dan perubahan zat aktif di dalam tubuh. Aktivitas ini
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Nasib obat di dalam tubuh
dikenal dengan istilah farmakokinetika. Fase farmakokinetik ini
merupakan salah satu unsur penting yang menentukan profil keberadaan
zat aktif pada tingkat biofase dan selanjutnya menentukan aktivitas
terapeutik obat. Fase farmakokinetika terdiri dari absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi (Zunilda dan Suyatna, 1995).
Farmakokinetika obat dapat diilustrasikan dalam model yang
dikenal dengan istilah model farmakokinetika atau kompartemen.
Model farmakokinetik sendiri dapat memberikan penafsiran yang lebih
teliti tentang hubungan kadar obat dalam plasma dan respons
farmakologik. Salah satu model kompartemen yang biasa digunakan
untuk perhitungan farmakokinetika adalah model kompartemen satu
terbuka (Zunilda dan Suyatna, 1995).
Mempelajari ilustrasi model kompartemen secara teoritis perlu
didukung dengan aplikasi untuk lebih memudahkan pemahaman
mahasiswa. Oleh sebab itu, pada praktikum ini dilakukan praktikum
model farmakokinetika dengan bahan Metilen Blue. Metilen Blue
diibaratkan sebagai obat yang beredar di dalam tubuh. Maka dari itu,
mahasiswa dapat lebih jelas memahami bagaimana kinerja obat di dalam
tubuh sesuai dengan teori model farmakokinetika (Aiache, 1993).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana cara kerja obat degan
model kompartemen farmakinetika ?
1.3 Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui penentuan parameter
farmakokinetika berdasarkan simulasi in-vitro model farmakokinetika
(kompartemen satu terbuka).

1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah mahasiswa dapat mengetahui cara
kerja obat dengan model farmakokinetika dengan bahan Metilen blue.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Model Farmakokinetika


Model farmakokinetik merupakan model matematika yang
menggambarkan hubungan antara dosis dan konsentrasi obat dalam
setiap individu. Parameter dari model menggambarkan faktor-faktor
yang dipercaya penting dalam penentuan observasi dari konsentrasi atau
efek obat. Parameter tersebut antara lain terdiri dari beberapa parameter
antara lain parameter primer yang terdiri dari volume distribusi (Vd);
klerens (Cl); dan kecepatan absorbsi (Ka), parameter sekunder terdiri dari
kecepatan eliminasi (K); dan waktu paruh (T1/2), serta parameter-
parameter turunan. Model farmakokinetik tersebut mempunyai aplikasi
langsung untuk terapi obat berkenaan dengan menentukan aturan dosis
yang sesuai (Aiache, 1993).Kompartemen adalah suatu kesatuan yang
dapat digambarkan dengan suatu volume tertentu dan suatu konsentrasi.
Perilaku obat dalam sistem biologi dapat digambarkan dengan
kompartemen satu atau kompartemen dua. Di lain hal, perlu untuk
menggunakan multikompartemen, dimulai dengan determinasi apakah
data eksperimen cocok atau pas untuk model kompartemen satu dan jika
tidak pas coba dapat mencoba model yang memuaskan. Sebenarnya
tubuh manusia adalah model kompartemen multimillion
(multikompartemen), mengingat konsentrasi obat tiap organel berbeda-
beda (Hakim, 2014).
Model kompartemen yang sering digunakan adalah model
kompartemen satu terbuka, model ini menganggap bahwa berbagai
perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang
sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi model ini tidak
menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah
sama dengan berbagai waktu. Di samping itu, obat di dalam tubuh juga
tidak ditentukan secara langsung, tetapi dapat ditentukan konsentrasi
obatnya dengan menggunakan cuplikan cairan tubuh (Shargel dkk,
1988).
Jika tubuh diasumsikan sebagai satu kompartemen, tidak berarti
bahwa kadar obat sama di dalam setiap jaringan atau organ, namun
asumsi yang berlaku pada model tersebut ialah bahwa perubahan kadar
obat di dalam darah mencerminkan perubahan kadar obat di jaringan.
Lalu eliminasi (metabolism dan ekskresi) obat dari tubuh setiap saat
sebanding dengan jumlah atau kadar obat yang tersisa di dalam tubuh
pada saat itu (Ritschel, 1992).
2.2 Jalur Intravaskuler dan Ekstravaskuler
Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular.
Pada pemberian secara intravaskular, obat akan langsung berada di
sirkulasi sistemik tanpa mengalami absorpsi, sedangkan pada
pemberian secara ekstravaskular umumnya obat mengalami absorpsi
(Zunilda,.dkk, 1995).
Model farmakokinetika untuk obat yang diberikan dengan injeksi
IV cepat. D merupakan obat dalam tubuh, Vd merupakan Volume
distribusi, dan K merupakan tetapan laju eliminasi. Setelah ditentukan
nilai Cp dan K, berbagai parameter farmakokinetik obat yang berkaitan
dengan cara pemberian obat secara bolus intravaskuler dapat dihitung,
seperti (Hakim, L, 2014) :
a. Volume distribusi (Vd): volume dalam tubuh di mana obat terlarut
b. Klirens (Cl)
c. Waktu paruh eliminasi (t ½)
d. Luas di bawah kurva dalam plasma (AUC)
e. Bioavalaibilitas (ketersediaan hayati)
𝑫
Vd = 𝑪𝒑

Cl = Vd.Ke
𝟎,𝟔𝟗𝟑
t𝟏⁄𝟐 = 𝑲
(𝑪𝟏 + 𝑪𝟎 ) 𝒙 (𝒕𝟏 −𝒕𝟎 )
AUC = 𝟐
Absorpsi sistemik suatu obat melalui saluran gastrointestinal atau
tempat absorpsi lain tergantung sifat fisiko kimia obat, bentuk sediaan,
dan anatomi fisiologi tempat absorpsi. Faktor-faktor seperti luas
permukaan saluran cerna, kecepatan pengosongan lambung, motilitas
gastrointestinal, metabolism oleh mikroflora usus, dana aliran darah di
tempat absorpsi, semuanya dapat mempengaruhi kecepatan dan jumlah
obat yang diabsorpsi (Shargel dkk, 2005).
Pada pemberian ekstravaskuler ini terdapat proses absorpsi obat,
pada waktu ke 0 tidak ada obat pada sirkulasi sistemik, dan setelah
absorpsi konsentrasi meningkat dan berkurang setelah eliminasi. Bentuk
model yang menerangkan kinetik obat setelah pemberian ekstravaskuler
adalah (Hakim, 2014) :

Persamaan yang merangkan perubahan kadar obat dalam darah,


plasma, serum, atau sampel hayati lainnya pada tiap waktu (Ct) adalah
(Hakim, 2014) :

F = ketersediaan hayati (bioavailabilitas)


Dev = dosis obat yang diberikan secara ekstravaskular

Dari persamaan terebut dapat diketahui bahwa semakin cepat atau


banyak obat yang diabsorpsi masuk ke dalam sistem sirkulasi atau
semakin besar dosis, maka semakin cepat dan tinggi kadar obat di dalam
darah. Demikian sebaliknya, semakin banyak obat yang terdistribusi ke
dalam jaringan, semakin rendah kadar obat di dalam darah (Hakim,
2014).

2.3 Tinjauan Bahan


2.3.1 Metilen Blue
Zat warna adalah senyawa organik berwarna yang digunakan
untuk memberi warna ke suatu objek atau suatu kain. Proses terjadinya
warna yang paling umum adalah adanya absorpsi cahaya dari panjang
gelombang tertentu oleh suatu zat. Senyawa organik dengan konjugasi
yang tinggi dapat menyerap cahaya pada panjang gelombang sekitar
4000 Ǻ. Warna juga dapat dibentuk dari senyawa organometalik ataupun
senyawa anorganik kompleks. Zat warna tekstil mempunya sifat sulit
diuraikan oleh bakteri biasa ataupun panas. Oleh karena itu kadar zat
warna yang tinggi dalam perairan dapat mempengaruhi kehidupan air
(Zunilda dan Suyatna, 1995).
Fenomena absorpsi ini berhubungan erat dengan vibrasi elektron
yang distimulasi oleh cahaya dengan isolasi frekuensi yang spesifik.
Apabila elektronnya tetap (tunggal/jenuh) maka molekul ini akan
merespon dan mengabsorpsi cahaya dengan panjang gelombang rendah.
Vibrasi elektron yang terjadi memerlukan energi tinggi untuk
mengeksitasi elektron dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih tinggi.
Elektron yang bergerak bebas bervibrasi pada panjang gelombang yang
lebar. Energi yang diperlukan dalam mengeksitasi elektron dari keadaan
dasar ketingkat yang lebih tinggi relatif lebih kecil (Gunawan, 2009).
Metilen biru merupakan salah satu zat warna thiazine yang sering
digunakan, karena harganya ekonomis dan mudah diperoleh. Zat
warna metilen biru merupakan zat warna dasar yang penting dalam
proses pewarnaan kulit, kain mori, dan kain katun, Penggunaan metilen
biru dapat menimbulkan beberapa efek, seperti iritasi saluran pencernaan
jika tertelan, menimbulkan sianosis jika terhirup, dan iritasi pada kulit
jika tersentuh oleh kulit (Gunawan, 2009).
Nama resmi metilen blue adalah Methylthionini Chloridum.
Metilen blue memiliki rumus molekul C16H18CIN3S.2H2O dan berat
molekul yaitu 372,90. Pemerian metilen blue berupa serbuk hablur
mengkilat seperti logam atau suram kehijauan tua atau serbuk warna
coklat, hampir tidak berbau, dan higroskopik. Kelarutan metilen blue
yaitu larut dalam 40 bagian air, dalam 110 bagian etanol dan dalam 450
kloroform P. Penyimpanan dalam wadah tertutup rapat. Kegunaan
sebagai zat warna basa (Ditjen Pom, 1979).

Gambar 2.1 Struktur Metilen Blue

2.3.2 Aquades
Aquadest memiliki rumus bangun H2O dengan Pemerian jernih
tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa.Penyimpanannya Dalam
wadah tertutup baik.Air adalah salah satu bahan kimia yang stabil dalam
bentuk fisik (es,air , dan uap). Air harus disimpan dalam wadah yang
sesuai. Pada saat penyimpanan dan penggunaannya harus terlindungi dari
kontaminasi partikel – pertikel ion dan bahan organik yang dapat
menaikan konduktivitas dan jumlah karbon organik. Serta harus
terlindungi dari partikel – partikel lain dan mikroorganisme yang dapat
tumbuh dan merusak fungsi air (Ditjen Pom, 1997).

G
Gambar 2.2 Struktur Aquades
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Tempat dan Waktu


Pada percobaan simulasi permodelan farmakokinetika secara
invitro dilakukan di Laboratorium Biologi Terpadu STIkes RS Anwar
Medika Sidoarjo, pada pukul 14.20.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Pada percobaan simulasi permodelan farmakokinetika secara
invitro, alat-alat yang digunakan yaitu spektrofotometer UV-Vis,
magnetic stirrer, tabung reaksi, pipet ukur, pipet volume dan beaker
glass.
3.2.2 Bahan
Pada percobaan simulasi permodelan farmakokinetika secara
invitro, bahan yang digunakan yaitu metilen blue dan air suling
(aquades).
3.3 Prosedur
1) Macam percobaan
Kelompok 1: Kelompok 3:
Kelompok 2: Kelompok 4:
Dosis 20 mg, Dosis 20 mg,
Dosis 10 mg, Dosis 10 mg,
klirens klirens
klirens 100 klirens 100
200ml?15 ml/15 menit, 2000 ml/15 ml/15 menit,
menit, Vd 0,5 Vd 0,5 L menit, Vd 1 Vd 1 L
L L

Hasil

2) Pembuatan larutan baku kerja Metilen Blue


Larutan baku induk 100 ppm

- dilarutkan 10 mg metilen blue dalam 100 ml air suling


- diencerkan dengan air sulingsampai didapat larutan dengan
kadar 1, 2, 5, 10, 20, 40 ppm

Hasil

3) Penentuan Panjang Gelombang Maksimum


Larutan baku kerja
- diamati nilai serapan pada panjang gelombang 530-570
- dibuat kurva serapan terhadap panjang gelombang pada kertas
grafik berskala sama
- ditentukan panjang gelombang (λ) maksimum

Hasil

4) Pembuatan Kurva baku

Larutan baku kerja dengan λ maks, diketahui


- diamati serapan
- Dibuat tabel hasil pengamatan
- Dibuat kurva kadar larutan baku kerja terhadapa serapan pada
kertas grafik berskala sama
- Dihitung koefisien relasi
- Dibuat persamaan garis
Hasil
5) Simulasi Model Farmakokinetik Invitro Rute Intravaskuler

Gelas Beaker
- diisi dengan air suling secara kuantitatif, sesuai dengan nilai Vd
- Ditambahkan metilen bluesesuai dengan dosis yang telah
ditentukan sebelumnya
- Diaduk dengan batang pengaduk
- Diambil sampel larutan metilen blue pada menit ke-0, 15, 30,
45 sebesar nilai klirens dan segera digantikan volume yang
diambil tersebut dengan air suling
- Diukur serapan sampel pada panjang gelombang maksimum
yang telah diperoleh, digunakan air suling sebagai blanko
- Dihitung parameter farmakokinetika
Hasil
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

4.1 Data Hasil


4.1.1 Tabel Hasil Larutan Baku Standar
Kadar (ppm) Absorbansi
1 ppm 0,220
2 ppm 0,390
5 ppm 0,829
10 ppm 1,651
20 ppm 3,028
40 ppm 4,065
4.1.2 Tabel hasil penetapan kadar sampel klirens
Clearance Absorbansi Kadar
(menit)
0 menit 2,806 24,00
15 menit 2,410 20,07
30 menit 2,002 16,02
40 menit 1,546 11,49

4.1.3 Kurva volume distribusi

kadar
30.00

25.00

20.00

15.00
y = -4.158x + 28.29
10.00 R² = 0.9989

5.00

-
0 15 30 45
4.2 Perhitungan
4.2.1 Perhitungan kurva baku standar
Rumus: Y = Bx + A

B: 0,10075 jadi, y = 0,10075x + 0,3874


A: 0,3874
r: 0,9706
4.2.2 Perhitungan kadar sampel clearens
Rumus:
Y = Bx + A

a. waktu ke-0
2,806 = 0,10075x + 0,3874
2,806 – 0, 3874 = 0, 10075x
2,4186 = 0,10075x
2,4186
= x
0,10059

24, 0059 = x
b.waktu ke- 15
2,410 = 0,10075x + 0,3874
2,410 – 0, 3874 = 0, 10075x
2,0226 = 0,10075x
2,0226
= x
0,10059

20,07 = x
c. waktu ke-30
2,002 = 0,10075x + 0,3874
2,002– 0, 3874 = 0, 10075x
1,6146= 0,10075x
1,6146
= x
0,10059

16,02= x
d. waktu ke- 45
1,546 = 0,10075x + 0,3874
1,546– 0, 3874 = 0, 10075x
1,1586= 0,10075x
1,2586
= x
0,10059

1,546 = x

4.2.3 Perhitungan konsentrasi obat dalam darah


𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠
Rumus: Cp=
𝑉𝑑

Diketahui: Dosis Asam Salisilat 10 mg


Volume distribusi 1000 ml
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠
Jawab: Cp=
𝑉𝑑
10 𝑚𝑔
= 1000 𝑚𝑙
10.000 µ𝑔
= 1000 𝑚𝑙

= 10 ppm

4.3 Perhitungan Orde 0


y = -4,158x + 28,29
Diketahui: Cpo: 28,29
Kel: -4,158
Dijawab: Cpt = Cpo – Kel – Δt
= 28,29 - 4,158 – (45 - 15)
= 24,132 – 30
= 0,8044 jam

4.4 Waktu kadar obat ketika kadar 0


0 = 28,29 – 4,158t
4,158t = 28,29 – 0
28,29
t = 𝑉𝑑4,158

= 6,8037 menit
𝟏
4.5 T 𝟐
1 0,6931
T2= 𝐾𝑒𝑙
0,639
= 24,158

= 0,1667
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam memahami permodelan farmakokinetika, dapat dilakukan
simulasi in-vitro. Model kompartemen satu terbuka merupakan model yang
umumnya digunakan untuk permodelan farmakokinetika. Pada praktikum
kali ini dilakukan simulasi in-vitro model kompartemen satu terbuka dengan
reaksi orde kesatu.
Sampel yang digunakan adalah rhodamine B. Rhodamine B
dianggap sebagai obat yang diberikan melalui rute IV maupun
ekstravaskuler. Warnanya yang biru akan mempermudah dalam
pengamatan.
Berdasarkan analisis spektrofotometri dari larutan baku rhodamine
B, diketahui panjang gelombang maksimal yakni 554 nm. Selanjutnya
analisis dilakukan dalam panjang gelombang 554 nm. Panjang gelombang
ini termasuk dalam panjang gelombang visible merah, sesuai dengan
penampakan rhodamine B yang berwarna merah keunguan.
Larutan standar rhodamine B dibuat dalam konsentrasi
1,;2,;5,;10,;20,;40 ppm yang selanjutnya dianalisis dengan
spektrofotometer. Hasil dari absorbansi larutan kemudian dibuat kurva
konsentrasi vs absorbansi sehingga didapatkan persamaan garis y =
0,10075+0,3874= 0,9706. Dari kurva tersebut dapat diketahui kadar
rhodamine B dalam cuplikan-cuplikan rute intravaskuler dan ekstravaskuler
Rute intravaskuler merupakan rute yang diibaratkan tubuh sebagai satu
ruang. Jadi, ketika obat diinjeksikan ke dalam tubuh, maka secara perlahan-
lahan obat akan menyebar hingga merata dan terjadi kesetimbangan.
Sedangkan rute intravaskuler mengumpamakan tubuh sebagai satu bagian,
yang meliputi jalur absorpsi dan ekskresi. Sehingga, ketika obat dimasukkan
dalam tubuh, obat tersebut akan melalui proses absorpsi terlebih dahulu
hingga mencapai kesetimbangan baru diekskresikan secara bertahap.
Masing-masing rute memiliki perhitungan parameter farmakokinetika yang
berbeda.
Cuplikan-cuplikan dalam masing-masing rute berjumlah 15 yang
diibaratkan proses obat dalam tubuh sejak T0-T70 dengan interval 5. Pada
rute intravaskuler, dicari regresi linier dari data dengan plot waktu vs log
konsentrasi sehingga didapatkan persamaan garis y =
0,4186x:0,10075=24,0059. Dari persamaan garis tersebut dapat ditentukan
K, T1/2, Vd, Cl, dan AUC. Hasil perhitungan parameter farmakokinetika
adalah sebagai berikut:
K = 0,004606 menit-1 Vd = 0,97 L
t ½ = 150,455927 menit AUC = 156,6393 mgL/menit
Cl = 0,00446782 L/menit

Secara teoritis juga dihitung parameter farmakokinetikanya, yakni K,


waktu paruh, konsentrasi plasma, dan AUC. Hasil perhitungan secara
teoritis adalah sebagai berikut:
K = 0,025 menit-1 CO = 2,5 ppm
t ½ = 27,72 menit AUC = 100 mgL/menit

Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil perhitungan teroritis


dan hasil praktik. Hal ini kemungkinan disebabkan dari perlakuan selama
simulasi in-vitro yang kurang maksimal. Sehingga diperoleh nilai absorbansi
yang tidak linier. Dari kurva dapat dilihat bahwa kurva rute intravaskuler
yang harusnya linier menurun, justru tidak linier sempurna. Menyebabkan
perhitungan farmakokinetika tidak sesuai dengan perhitungan secara teoritis.
Selama proses pengambilan cuplikan dari beaker glass larutan dimungkinkan
tidak berada dalam kondisi homogen. Maka dari itu didapatkan nilai
konsentrasi yang tidak linier menurun sesuai dengan kurva yang dimiliki
obat-obat IV.
Tahapan pengambilan cuplikan pada rute ekstravaskuler berbeda
dengan rute intravaskuler. Pada rute ekstravaskuler, dosis rhodamine B dibagi
menjadi 5 dan ditambahkan satu persatu hingga seluruh dosis digunakan.
Baru kemudian penambahan larutan dilakukan dengan aquades. Proses
pengambilan cuplikan yang masing ditambah rhodamine B diibaratkan
sebagai proses absorpsi dan selanjutnya diibaratkan proses eliminasi.
Sayangnya pada praktikum kali ini tidak semua cuplikan dianalisis
dengan spektrofotometer. Hanya cuplikan-cuplikan proses eliminasi saja
yang dibaca nilai absorbansinya. Untuk menutupi data fase absorpsi,
digunakan 5 data pertama dari rute intravaskuler. Hal demikian tentu saja
menyebabkan perhitungan tidak valid. Namun, untuk kepentingan
pembelajaran perhitungan masih dilakukan sebagaimana mestinya.
Hasil dari perhitungan parameter farmakokinetika rute ekstravaskular
adalah sebagai berikut:
Ka = 0,0057575 menit-1 t ½ = 200,6079027 menit
Ke = 0,0034545 menit-1 Vd = 0,97 L
Ktotal = 0,009212 ppm AUC = 161,7859 mgL/menit

Clearence (menit) absorbansi kadar (ppm) waktu kadar

0 2.8060 24.00595533 0 24.00

15 2.4100 20.07543424 15 20.07

30 2.0020 16.02580645 30 16.02

40 1.5460 11.49975186 45 11.49


DAFTAR PUSTAKA
Aiache, J.M, 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi Edisi ke-2. Surabaya: Penerbit
Airlangga University Press.
Hakim, L., 2014. Farmakokinetik. Yogyakarta: Bursa Ilmu.
Ritschel, W.A. dan Kearns, G.L. 1992. Handbook of Basic Pharmacokinetics-
Including
Clinical Aplications, 6th ed., Washington: AphA.
Shargel, Leon., Yu, Andrew B. C., 2005. Applied Biopharmaceutical and
Pharmacokinetics fifth edition. New York: the McGraw-Hill
companies.
Zunilda, S.B, dan F.D. Suyatna. 1995. Pengantar Farmakologi. Dalam
Farmakologi dan Terapi Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia Press.
Gunawan, G.S., 2009, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Ditjen Pom, (1979), Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai