Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA DAN KINETIKA


FARMAKOKINETIKA SEDIAAN ORAL

Nama : Shella Fajarisma


NIM : 1813015160
Kelas : S1 E 2018

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2021
PERCOBAAN 6

FARMAKOKINETIKA SEDIAAN ORAL

A. Tujuan Praktikum

Dapat mengetahui dan memahami prinsip dan cara menentukan


profil farmakokinetika sediaan oral pada tikus.

B. Dasar Teori

1. Definisi Farmakokinetik

llmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi


(yakni, ekskresi dan metabolisme) obat (Shargel & Yu, 1988), sehingga
farmakokinetik dianggap sebagai aspek farmakologi yang mencakup nasib
obat dalam tubuh, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya.
Tubuh kita dapat dianggap sebagai suatu ruangan besar, yang terdiri
dari beberapa kompartemen yang terpisah oleh membran-membran sel.
Sedangkan proses absorpsi, distribusi dan ekskresi obat dari dalam tubuh
pada hakekatnya berlangsung dengan mekanisme yang sama, karena
proses ini tergantung pada lintasan obat melalui membran tersebut.
Membran sel terdiri dari suatu lapisan lipoprotein (lemak dan protein)
yang mengandung banyak pori-pori kecil, terisi dengan air .Membran
dapat ditembus dengan mudah oleh zat-zat tertentu, dan sukar dilalui zat-
zat yang lain, maka disebut semi permeabel. Zat-zat lipofil (suka lemak)
yang mudah larut dalam lemak dan tanpa muatan listrik umumnya lebih
lancar melintasinya dibanding kan dengan zat-zat hidrofil dengan muatan
(ion) (Shargel & Yu, 1988).
2. Proses-proses dalam Farmakokinetika

a. Absorpsi

Proses absorpsi sangat penting dalam menentukan efek obat.


Pada umumnya obat yang tidak diabsorpsi tidak menimbulkan
efek.Kecuali antasida dan obat yang bekerja lokal. Proses absorpsi
terjadi di berbagai tempat pemberian obat , misalnya melalui alat
cerna, otot rangka, paru-paru, kulit dan sebagainya (Shargel & Yu,
1988).

Absorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor:

a. Kelarutan obat.

b. Kemampuan difusi melintasi sel membrane

c. Konsentrasi obat.

d. Sirkulasi pada letak absorpsi.

e. Luas permukaan kontak obat.

f. Bentuk sediaan obat

g. Cara pemakaian obat.

(Katzung, 2004).
b. Distribusi.

Obat setelah diabsorpsi akan tersebar melalui sirkulasi darah ke


seluruh badan dan harus melalui membran sel agar tercapai tepat pada
efek aksi. Molekul obat yang mudah melintasi membran sel akan
mencapai semua cairan tubuh baik intra maupun ekstra sel, sedangkan
obat yang sulit menembus membran sel maka penyebarannya
umumnya terbatas pada cairan ekstra sel (Shargel & Yu, 1988).
Kadang-kadang beberapa obat mengalami kumulatif selektif
pada beberapa organ dan jaringan tertentu, karena adanya proses
transport aktif, pengikatan dengan zat tertentu atau daya larut yang
lebih besar dalam lemak. Kumulasi ini digunakan sebagai gudang obat
(yaitu protein plasma, umumnya albumin, jaringan ikat dan jaringan
lemak) (Shargel & Yu, 1988).
Selain itu ada beberapa tempat lain misalnya tulang , organ
tertentu, dan cairan transel yang dapat berfungsi sebagai gudang untuk
beberapa obat tertentu. Distribusi obat kesusunan saraf pusat dan janin
harus menembus sawar khusus yaitu sawar darah otak dan sawar
uri.Obat yang mudah larut dalam lemak pada umumnya mudah
menembusnya (Shargel & Yu, 1988).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses distribusi, yaitu :

a. Perfusi darah melalui jaringan

b. Kadar gradien, pH dan ikatan zat dengan makro molekul

c. Partisi ke dalam lemak

d. Transport aktif

e. Sawar, seperti sawar darah otak dan sawar plasenta, sawar darah
cairan cerebrospinal
f.Ikatan obat dan protein plasma.
(Katzung, 2004).
c. Metabolisme

Tujuan metabolisme obat adalah pengubahannya yang


sedemikian rupa hingga mudah diekskresi ginjal,dalam hal ini
menjadikannya lebih hidrofil. Pada umumnya obat dimetabolisme oleh
enzim mikrosom di retikulum endoplasma sel hati. Pada proses
metabolisme molekul obat dapat berubah sifat antara lain menjadi
lebih polar. Metabolit yang lebih polar ini menjadi tidak larut dalam
lemak sehingga mudah diekskresi melalui ginjal. Metabolit obat dapat
lebih aktif dari obat asal (bioaktivasi), tidak atau berkurang aktif
(detoksifikasi atau bio-inaktivasi) atau sama aktifitasnya.Proses
metabolisme ini memegang peranan penting dalam mengakhiri efek
obat(Shargel & Yu, 1988).
Hal-hal yang dapat mempengaruhi metabolisme (Katzung, 2004):

a. Fungsi hati, metabolisme dapat berlangsung lebih cepat atau


lebih lambat, sehingga efek obat menjadi lebih lemah atau lebih
kuat dari yang kita harapkan.
b. Usia, pada bayi metabolismenya lebih lambat.

c. Faktor genetik (turunan), ada orang yang memiliki faktor genetik


tertentu yang dapat menimbulkan perbedaan khasiat obat pada
pasien.
d. Adanya pemakaian obat lain secara bersamaan
dapat mempercepat metabolisme (inhibisi enzim).
d. Ekskresi.

Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama


dilakukan oleh ginjal melalui air seni, dan dikeluarkan dalam bentuk
metabolit maupun bentuk asalnya.disamping ini ada pula beberapa
cara lain, yaitu (Katzung, 2004).:
a. Kulit, bersama keringat.

b. Paru-paru, dengan pernafasan keluar, terutama berperan pada


anestesi umum, anestesi gas atau anestesi terbang.
c. Hati, melalui saluran empedu, terutama obat untuk infeksi saluran
empedu.

d. Air susu ibu, misalnya alkohol, obat tidur, nikotin dari rokok dan
alkaloid lain. Harus diperhatikan karena dapat menimbulkan efek
farmakologi atau toksis pada bayi.
e. Usus, misalnya sulfa dan preparat besi.

3. Cara Pemberian Obat

Cara pemberian obat yang berbeda-beda melibatkan proses


absorbsi obat yang berbeda-beda pula. Proses absorbsi merupakan
dasar yang penting dalam menentukan aktivitas farmakologis obat.
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorbsi akan
mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan
(Novianto, 2010).
Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah
pemberian obat per oral, karena mudah, aman, dan murah. Pada
pemberian secara oral, sebelum oba masuk ke peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami
absorbsi pada saluran cerna (Novianto, 2010).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat
pada saluran cerna antara lain:
a. Bentuk Sediaan
Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang
secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis
obat. Dalam bentuk sediaan yang berbeda, maka proses absorpsi obat
memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayati
kemungkinan juga berlainan (Novianto, 2010).
b. Sifat Kimia dan Fisika Obat
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan
obat dapat mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain
itu bentuk kristal atau polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan
derajat ionisasi juga mempengaruhi proses absorpsi [2]. Absorpsi
lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut
dalam lemak (Novianto, 2010).
c. Faktor Biologis
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung,
gerakan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit
dalam usus, serta banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi
(Novianto, 2010).
d. Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan
senyawa lain dan adanya penyakit tertentu (Novianto, 2010).
4. Pemberian secara peroral

Oral Gavage Gavaging digunakan untuk dosis seekor binatang


dengan volume tertentu materi langsung ke dalam perut.Hanya khusus,
tersedia secara komersial jarum gavage harus digunakan untuk
mencoba prosedur ini.Jarum untuk injeksi secara peroral (Oral
Gavage) memiliki karakter ujung tumpul (bulat). Hal ini untuk
meminimalisir terjadinya luka atau cedera ketika hewan uji akan
diberikan sedian uji. Proses pemberian dilakukan dengan teknik seperti
Tempatkan ujung atau bola dari jarum ke mulut binatang. Secara
perlahan geser melewati ujung belakang lidah. Pastikan bahwa oral
gavage tidak masuk ke dalam tenggorokan karena akan berdampak
buruk. Hal ini dapat diketahui bila dari hidung hewan uji keluar cairan
seperti yang kita berikan menunjukkan adanya kesalahan dalam proses
pemberian (Novianto, 2010).

Kerugian pemberian per oral adalah banyak faktor dapat


mempengaruhi bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak
semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi
sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus
danatau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ
tersebut (metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Eliminasi lintas
pertama obat dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian
parenteral, sublingual, rektal, atau memberikannya bersama makanan.
Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat
yang dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan
penderita, dan tidak bisa dilakukan saat pasien koma (Novianto, 2010).
Pemberian obat secara parenteral memiliki beberapa
keuntungan, yaitu:
(1) efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan
pemberian per oral; (2) dapat diberikan pada penderita yang tidak
kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah; dan (3) sangat berguna
dalam keadaan darurat. Kerugiannya antara lain dibutuhkan cara
asepsis, menyebabkan rasa nyeri, sulit dilakukan oleh pasien sendiri,
dan kurang ekonomis (Novianto, 2010).
Pemberian intravena (IV) tidak mengalami absorpsi tetapi
langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik, sehingga kadar obat
dalam darah diperoleh secara capat, tepat, dan dapat disesuaikan
langsung dengan respon penderita. Kerugiannya adalah mudah tercapai
efek toksik karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan
jaringan, dan obat tidak dapat ditarik kembali (Novianto, 2010).
Hangatkan hewan uji di bawah lampu panas atau alat pemanas
lainnya, pastikan untuk tidak terlalu panas pada binatang.Suhu tidak
boleh melebihi 85- 90 ° Fahrenheit pada tingkat binatang.Lepaskan
hewan uji dari sumber panas harus segera setiap perubahan dalam
tingkat respirasi atau air liur berlebihan dapat diamati.Alat pemanas
lainnya, seperti handwarmers sekali pakai, dapat digunakan sebagai
pengganti lampu yang panas (Novianto, 2010).
Prep ekor dengan 70% etanol. Memulai usaha suntikan di
tengah atau sedikit bagian distal ekor. Dengan ekor ketegangan di
bawah, masukkan jarum, bevel up, kira-kira sejajar dengan vena dan
masukkan jarum minimal 3 mm ke dalam pembuluh darah. Dalam
proses penyuntikan jangan sekali-kali memasukkan udara karean akan
menyebabakan vena rusak atau tidak stabil. Menyuntikkan materi yang
lambat, gerakan fluida.Anda harus dapat melihat vena jarum pucat jika
diposisikan dengan benar (Novianto, 2010).
Jika ada pembengkakan di tempat suntikan atau injeksi terjadi
perlawanan, keluarkan jarum dan Masukkan kembali itu sedikit di atas
awal injeksi.Pemberian secara injeksi intravena menghasilkan efek
yang tercepat, karena obat langsung masuk ke dalam sirkulasi.Efek
lebih lambat diperoleh dengan injeksi intramuskular, dan lebih lambat
lagi dengan injeksi subkutan karena obat harus melintasi banyak

membran sel sebelum tiba dalam peredaran darah (Novianto, 2010).

C. Alat dan Bahan:


bahan - Parasetamol
Alat:
- CMC-Na 0,5%
- Spektrofot
ometer - Propilenglikol 0,2%

- Sonde oral - Sirupus simpleks

- Gunting - Aquadest

- Sentrifuga - Etanol

- Mikropipet - Serum

- Blue tip - Metanol

- Yellow tip - Asam asetat

- Gelas Hewan uji


kimia Tikus jantan putih
D. Prosedur

a. Pembuatan sediaan suspensi parasetamol

- Sediaan suspensi parasetamol 50 mg/mL dibuat yang


mengandung CMC- Na 0,5%, propilenglikol 0,2% dan sirupus
simpleks hingga 60 mL.
b. Pembuatan kurva baku parasetamol

- Parasetamol 7,5% ditimbang, kemudian dimasukkan kedalam labu


ukur.

- Ditambahkan NaOH 25 mL dan aquadest 50 mL, kemudian


dikocok 15 menit.
- Ditambahkan aquadest hingga 100 mL.

- Masing-masing dipipet dengan konsentrasi konsentrasi 0,5; 0,75;


1; 1,25; 1,5 mL, kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL.
- NaOH 10 ml ditambahkan, kemudiaan ditambahkan aquadest
hingga 10 mL.
c. Pemberian obat pada tikus

- Obat parasetamol diberikan pada tikus setelah dipuasakan ± 5 jam,


obat diberikan secara oral
d. Pengambilan darah

- Sampel darah diambil dari bagian ekor tikus setelah pemberian


obat sebanyak 0,5 ml pada menit ke- 15; 30; 60. 90; 120.
- Darah yang didapat disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama
15 menit.
- Supernatan dipipet sebanyak 0,5 mL, kemudian diencerkan dengan
campuran metanol : asam aseat 1% (80:20). Disentrifugasi kembali
pada kecepatam 4000 rpm selama 15 menit.
- Supernatan dipipet sebanyak 0,5 mL, kemudian ditambahkan
NaOH 0,5 mL.
- Kadar parasetamol dianalisis dengan spektrofotometer uv-vis.
- Perhitungan menentukan kadar parasetamol.
e. Tentukan persamaan dan parameter farmakokinetiknya

E. Hasil Pengamatan
1. Perhitungan
Dosis obat
Dosis parasetamol pada manusia = 500 mg
Dosis parasetamol pada tikus = dosis manusia x faktor konversi
= 500 mg x 0,018 = 9 mg/200 g bb

Tikus I
Bobot = 180 gram
Dosis parasetamol

Volume pemberian

Tikus II
Bobot = 200 gram
Dosis parasetamol

Volume pemberian ??

Metanol : Asam asetat 1% (80 : 20) 0,5 mL

Metanol =
Asam asetat =

Waktu Absorbansi
(menit) Tikus I Tikus II
15 0,851 0,872
30 0,333 0,235
60 0,375 0,361
90 0,876 0,288

Kurva Kalibrasi
Kurva Kalibarasi
Konsentrasi ln C
Volume Absorbansi
(mg/mL)
0,5 3,75 0,263 1,32
0,75 5,625 0,395 1,73
1 7,5 0,523 2,01
1,25 9,375 0,672 2,24
1,5 11,25 0,79 2,42
Regresi antara ln C dan Absorbansi
y =a+bx
y = -0,402+0,479x
r2 = 0,97

Parameter Farmakokinetik tikus I


Waktu C ln C
Absorbansi Konsentrasi Pengenceran
(menit) (µg/mL) (µg/mL)

x= =
15 0,851 x4 10,46 2,35
2,615

x= =
30 0,333 x4 6,136 1,81
1,534

x= =
60 0,876 x4 10,672 2,37
2,668

x= =
90 0,375 x4 6,488 1,87
1,622

Regresi linier antara ln C ( t : 60, 90) dengan t (waktu)


y = 3,37 + 0,016x
Intersep B = 29,08
Konstanta eliminasi = 0,016
r2= 1

Waktu Absorba C Konsentrasi


C residual
(menit) nsi (µg/mL) Ekstrapolasi
y = 3,37 + 0,016(15)
15 0,851 10,46 6,85
= 3,61
y = 3,37 + 0,016(30) =
30 0,333 6,136 2,28
3,85

Regresi linier antara t terhadap ln C residual


y = 3,02 – 0,073x
intersep A = 20,49
konstanta absorbsi = 0,073
r2= 1
Parameter Farmakokinetik:
[Cp = 20,49 e-0,073t – 29,08e-0,016t]

Parameter farmakokinetik tikus II


Waktu Absorba Pengencera C ln C
Konsentrasi
(menit) nsi n (µg/mL) (µg/mL)

x= =
15 0,872 x4 10,64 2,36
2,66

x= =
30 0,235 x4 5,32 1,67
1,33

x= =
60 0,361 x4 6,36 1,85
1,59

x= =
90 0,288 x4 5,76 1,75
1,44
Regresi linier antara ln C ( t : 60, 90) dengan t (waktu)
y = 2,05 + 0,003x
Intersep B = 7,768
Konstanta eliminasi = 0,003
Waktu Absorba C Konsentrasi
C residual
(menit) nsi (µg/mL) Ekstrapolasi
y = 2,05 + 0,003(15)
15 0,361 10,64 8,55
= 2,09
y = 2,05 + 0,003(30) =
30 0,288 5,32 3,18
2,14

Regresi linier antara t terhadap ln C residual


y = 3,13 – 0,066x
intersep A = 22,87
konstanta absorbsi = 0,066

Parameter Farmakokinetik:
[Cp = 22,87 e-0,066t – 7,768 e-0,003]
F. Pembahasan
Judul praktikum kali ini yaitu berjudul farmakokinetika sediaan oral.
Tujuan dari dilakukannya praktikum ini yaitu untuk mengetahui dan
memahami prinsip dan cara menentukan profil farmakokinetika
sediaan oral pada tikus. Sediaan oral yang digunakan yaitu obat
parasetamol.
Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan
demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol
digunakan bagi nyeri yang ringan sampai sedang (Cranswick, 2000).
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan
kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-
kira 2 jam. Metabolisme di hati,sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk
tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam
glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin
dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit
berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari
glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan
berikatan dengan sulfhidril dari protein hati (Lusiana Darsono,
2002).
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam
tubuh atau efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4
proses, yakni absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
(Ganiswara, 2007) Mekanisme interaksi obat secara umum dibagi
menjadi interaksi farmakokinetika dan farmakodinamika. Beberapa
jenis obat belum diketahui mekanisme interaksinya secara tepat
(unknown). Interaksi farmakokinetik terjadi jika salah satu obat
mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme, atau eksresi obat
kedua sehingga kadar plasma kedua obat meningkat atau menurun.
Akibatnya terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektifitas
obat tersebut (Setiawati, 2007).
Absorpsi, distribusi, biofarmasi (metabolisme) dan eliminasi sua
tu obat dari tubuh merupakan proses yang dinamis yang kontinyu
dari suatu obat dimakan dan sampai semua obat tersebut hilang
dari tubuh. Laju dariterjadi proses-proses ini merupakan onset,
serta intensitasnya dan lama kerjanya obat dalam tubuh. Seluruh
proses ini disebut proses farmakokinetik (Ganiswarna, 2005).
Pemberian obat melalui mulut memberi banyak keuntungan
bagipasien, obat oral mudah diberikan dan dapat membatasi jumlah
infeksisistemis yang dapat mempersulit tata laksana. Selain itu,
toksisitas atauoverdosis karena pemberian oral dapat diatasi dengan
pemberian antidot,seperti arang aktif. Dipihak lain, jaras yang
terlibat dalam absorpsi obatadalah yang terumit, dan obat terpapar
dengan kondisi pencernaan saluran cerna yang kasar sehingga
absorpsi terbatas. Beberapa obat diabsorpsi mulai dari lambung,
namun, duodenum merupakan pintu masuk utama menuju sirkulasi
sistemis karena permukaan absorpsinyalebih besar (Harvey, 2009).
Pada prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum kali ini
dilakukan dalam 4 tahap yaitu yang pertama pembuatan sediaan suspense
parasetamol. 50 mg/mL parasetamol dalamsediaan suspensi dibuat
dengan mengandung CMC- Na 0,5%, propilenglikol 0,2% dan sirupus
simpleks hingga 60 mL. yang kedua yaitu pembuatan kurva baku
parasetamol dimana ditimbang parasetamol 7,5 % lalu dimasukkan
kedalam labu ukur. Selanjutnya NaOH sebanyak 25 mL dan aquadest
sebanyak 50 mL ditambahkan lalu dikocok selama 15 menit. Setelah 15
menit ditambahkan lagi aquadest hingga 100 mL. kemudian dipipet
masing-masing dengan konsentrasi 0,5; 0,75; 1; 1,25; 1,5 mL dan
masukkan kedalam labu ukur 100 mL. tambahkan NaOH sebanyak 10
mL dan tambahkan aquadest hingga 10 mL. yang ketiga yaitu pemberian
obat pada tikus, dimana tikus diberikan obat parasetamol secara oral
setelah sebelumnya tikus dipuasakan selama kurang lebih 5 jam. Yang
keempat yaitu pengambilan darah, dimana diambil sampel darah dari
bagian ekor tikus setelah pemberian obat sebanyak 0,5 mL pada menit ke
15; 30; 60; 90; 120. Darah yangtelah didapatkan lalu disentrifugasi
dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Dipipet supernatant yang
terbentuk sebanyak 0,5 m dan diencerkan dengan campuran methanol ;
asetat 1 % (80 :20) lalu disentrifugasi Kembali pada kecepatan 4000 rpm
selama 15 menit. Setelah 15 menit, dipipet lagi sebnyak 0,5 mL
supernatant lalu ditambahkan NaOH 0,5 mL. dianalisis kadar
parasetamol dengan spektrofotometer UV-Vis dan dihitung penentuan
kadar parasetamol serta sitentukan persamaan dan parameter
farmakokinetikanya.
Fungsi perlakuan dari beberapa pengujiaan yang dilakukan yaitu
dimana menggunakan propilenglikol sebagai pelarut pada sediaan
suspense dan Na CMC untuk meningkatkan viskositas serta dan
suspending agent (Rowe, 2006). Sirupus simplek digunkan untuk
menutupi rasa obat yang pahit (Ansel, 2005). Penambahan NaOH
bertujuan untuk melarutkan paracetamol karena parasetamol memiliki
kelarutan larut dalam larutan alkali hidroksia (FI III, 1979). Tikus
dipuasakan selama kurang lebih 5 jam bertujuan agar dapat menghindari
pengaruh makanan saat proses farmakokinetik. Pengambilan darah
melalui ekor dilakukan karena pada ekor terdapat pembuluh darah vena.
Dilakukannya sentrifugasi bertujuan untuk mendapatkan supernatant
yang mengandung obat.
Dari hasil yang didapatkan dalam pengujian kali ini yaitu pada
grafik dapat diketahui bahwa sediaan suspensi parasetamol yang
diberikan melalui oral mengikuti orde ke 1. Dimana orde ke 1 diketahui
bahwa obat tidak sepenuhnya diabsorpsi dampai ke daluran sistemik.
Parameter yang menunjukkan fraksi obat sampai disaluran sistemik
adalam F (bioavailabilitas), Ka atau tetapan laju abosrpsi obat disaluran
gastrointestinal. Nilai konstanta absorbs yang didapatkan yaitu 0,073
pada tikus I dan 0,066 pada tikus II. Untuk nilai konstanta eliminasi yang
didapatkan yaitu 0,016 pada tikus I dan 0,003 pada tikus II. Metode
residual yang digunakan mberpendapat bahwa Ka>K dimana harga
ekponensial kedua akan menjadi kecil yang tidak bermakna terhadap
waktu sehingga dapat dihilang. Pada keadaan tersebut, laju absobsi obat
cepat dana absobsi obat akan dianggap sempurna. Lag time untuk seuatu
obat bisa diamati bila dua garis residual yang didapatkan dengan cara
residual kurva kadar plasma absorbs obat waktu berpotongan pada suatu
titik sesudah t=0 pada sumbu x. pada waktu titik perpotongan pada
sumbu x merupakan lag time dimana menyatakan permulaan absorbs
obat yang menyatakan waktu yang diperlukan obat agar mencapai
konsentrasi efektif minimum. Lag time ini akan dihilang apabila
digunakan persamaan Cp = Be-Kt – Ae-Kat yang merupakan aA dan B
intersep pada sumbu y sesudah ekstrapolasi garis-garis residual berturut-
turut utnuk absobsi dan eliminasi

G. Kesimpulan
Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa
1. Sediaan oral suspense parasetamol mengikuti orde 1 dimana pada
orde satu dianggap bahwa saat diabsobsi obat tidak sepenuhnya
sampai ke saluran sistemik
2. Parameter farmakokinetik meliputi konstanta laju absorbs, konstanta
laju eliminasi, fraksi obat terabsorbsi secara sistemik dan volume
distribusi.
3. Proses farmakokinetik meliputi absorbs, distribusi, emtabolisme dan
ekskresi (ADME)
H. Daftar Pustaka

1. Aiache, J.M.1993.Biofarmasi Edisi Kedua. Surabaya : Penerbit


Universitas Airlangga.
2. Alexander DJ & Senne DA.2008. Disease of Poultry,20th Ed.
United Kingdom : Blackwell Publishing.
3. Anonim. 1979. Farmakope III. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia : Jakarta.
4. Ansel, Howard. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi
Keempat. Penerbit Universitas Indonesia : Jakarta.
5. Darsono, Lusiana. 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat
dan Parasetamol. Jurnal Kimia Vol. 2, No. 1.
6. Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(1995).
Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
7. Gabiswara, sulista G. 2009. Farmakologi dan terapi, edisi V.
Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
8. Katzung, B.G. (2004). Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3 Edisi
8. Penerjemah dan editor: Bagian Farmakologi FK UNAIR.
Surabaya ;: Penerbit Salemba Medika.
9. Munson, James. 1991. Analisis Farmasi Metode Modern. Penerbit
Universitas Airlangga : Surabaya.
10. Novianto, Agiel. (2010). Cara Pemberian vs Profil
Farmakokinetika Obat.http://agiel-
novianto.blogspot.com/2010/02/pengaruh-cara-pemberian- versus-
absorbsi.html Diunduh pada tanggal 4 Januari 2014
11. Sartono.(1996). Obat-obat Bebas Dan Bebas Terbatas. Jakarta :
Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama.
12. Setiawati, A. 2007. Interaksi Obat. Dalam: Farmakologi dan Terapi.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Jakarta. Halaman
862- 867.
13. Shargel, L., Yu, A., and Wu, S. 2005. Biofarmasetika dan
Farmakokinetika Terapan, Edisi kedua. Surabaya : Airlangga
University Press.
14. Tjay, dan Rahardja. 1978. Obat-obat Penting edisi IV. Departemen

Anda mungkin juga menyukai