Anda di halaman 1dari 11

BAB IV KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER SEBAGAI HASIL DARI DAYA-DAYA SPIRITUAL

Bagus Takwin

1. Pendahuluan Persoalan karakter belakangan ini mencuat kembali. Ada banyak pembahasan tentang karakter di dalam diskusi dan seminar. Bermunculan juga lembaga pendidikan yang diberi label pendidikan karakter. Program-program pendidikan dari pemerintah pun mulai banyak memberi penekanan pada pendidikan karakter. Kecenderungan ini adalah kecenderungan yang baik jika memang persoalan karakter dibidik secara tepat, dan juga jika pendidikan karakter yang dimaksud bukan label saja. Pembentukan karakter memang menjadi salah satu kunci dari kemajuan dan pembangunan bangsa. Jauh-jauh hari Bung Hatta (1932/1988) sudah menekankan pentingnya pembentukan karakter bersama dengan pembangunan rasa kebangsaan dan peningkatan pengetahuan serta keterampilan (Hatta, 1988). Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia. Manusia yang merdeka adalah manusia dengan karakter yang kuat (Dewantara, 2004). Pembentukan karakter juga merupakan isu penting dalam pendidikan mengingat tujuan pendidikan adalah pembentukan watak atau karakter (Santoso, 1979). Dalam psikologi, khususnya psikologi positif, belakangan ini pembahasan tentang karakter dengan kekuatan dan keutamaannya cukup menonjol. Dalam rangka memahami kebahagiaan, mereka sampai pada pengertian bahwa kebahagiaan yang otentik adalah perpaduan perasaan-perasaan positif dan penilaian-penilaian terhadap hidup yang memuaskan berdasarkan kekuatan dan keutamaan karakter. Kebahagian otentik bersumber pada diri sendiri dan pada kekuatan dan keutamaan karakter, tetapi bukan berasal dari hal-hal lain di luar diri sendiri. Dengan kekuatan dan keutamaan karakter, orang dapat menghasilkan perasaan-perasaan positif dalam situasi apa pun. Ia juga dapat melihat sisi-sisi baik dari hidupnya sehingga ia dapat memberikan penilaian positif pula kepada hidupnya. Oleh sebab itu, pendidikan karakter juga merupakan usaha untuk membantu peserta didik mencapai kebahagiaan.

124

Jika kita pikirkan dengan lebih mendalam lagi, kekuatan karakter bersumber pada keberadaan manusia sebagai makhluk spiritual. Manusia memiliki daya-daya spiritual yang memberikan kebebasan kepadanya untuk melampaui apa yang ada di sini dan saat ini. Dengan spiritualitasnya, manusia mengatasi dan melampaui keterbatasannya sebagai makhluk alamiah. Spiritualitas manusia merupakan dasar dari kekuatan karakter. Kemampuan manusia untuk memperbaiki diri dan dunianya dari waktu ke waktu bersumber pada daya-daya spiritualnya. Dalam bab ini akan dibahas pengertian karakter dengan merujuk kepada Allport (1937;1961). Selanjutnya akan dibahas kekuatan dan keutamaan karakter yang sudah dihimpun oleh Peterson dan Seligman (2004) dari pendekatan psikologi positif. Akhirnya akan dibahas spiritualitas sebagai dasar kekuatan karakter.

2. Kepribadian dan Karakter Karakter bukan kepribadian meskipun keduanya berkaitan erat. Perlu dibahas lebih dulu apa yang dimaksud dengan kepribadian mengingat istilah ini sering dipertukarkan dengan karakter. Selain itu, penjelasan tentang karakter akan lebih mudah dilakukan dengan menjelaskan kepribadian terlebih dahulu. Allport (1937:48) mendefinisikan kepribadian sebagai . . . the dynamic organization within the individual of those psychophysical system that determine his unique adjustment to his environment. . . . organisasi dinamis dari keseluruhan sistem psiko-fisik dalam diri individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya. Dari definisi itu dapat dipahami bahwa kerpibadian manusiasebagai hal yang terorganisasitidak acak, dan unsur-unsurnya tidak bekerja sendiri-sendiri. Kepribadian manusia adalah kesatuan yang teratur dengan unsur-unsur yang berkaitan satu sama lain. Allport juga memandang kepribadian manusia sebagai sesuatu yang dinamis. Artinya, kepribadian manusia terus bergerak dan berkembang, tidak berhenti atau terhenti pada satu titik. Kepribadian manusia tampil dalam perilaku yang melibatkan aspek psikis seperti berpikir, mempercayai dan merasakan sesuatu. Kepribadian juga tampil dalam perilaku yang melibatkan aspek fisik manusia seperti berjalan, berbicara dan melakukan tindakan-tindakan motorik. Organisasi, dinamika, dan interaksi antara psikis dan fisik manusia dalam kepribadiannya menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya. Di sini terkandung pengertian bahwa baik faktor internal diri manusia maupun faktor eksternal (lingkungan)-nya mempengaruhi kepribadian manusia. Manusia memiliki otonomi dalam 125

dirinya tetapi, di sisi lain, ia juga menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara unik. Dengan keunikan itu, seorang manusia berbeda dari manusia lainnya. Allport (1937; 1961) menambahkan beberapa pengertian yang menyangkut kepribadian sebagai berikut. Pertama, kepribadian dapat dipahami sebagai perpaduan dari sifat-sifat (traits) mayor dan minor yang masing-masing dapat berdiri sendiri dan dikenali. Kedua, sifat kepribadian (personality trait) merupakan suatu mekanisme paduan antara faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosial yang mengarahkan individu kepada kegiatan-kegiatan spesifik dalam suatu keadaan yang spesifik. Ketiga, seorang ahli psikologi dapat mengatakan bahwa dirinya memahami orang lain hanya jika keseluruhan sejarah hidup orang itu telah ditelitinya, hanya jika hidup orang itu diamati, dan hanya jika orang itu sendiri ikut berkontribusi dalam proses penilaian terhadap dirinya sendiri (self-evaluation). Allport cenderung untuk tidak memilah-milah dan menganalisis motif, keinginan, dan perilaku sebagai hal yang terpisah satu sama lain, melainkan menganggapnya sebagai hal-hal yang saling mempengaruhi. Allport (1961) melihat manusia sebagai keseluruhan yang utuh berdasarkan pembentukan sifat-sifat dasarnya. Oleh karena itu, dalam memahami kepribadian seseorang perlu diketahui sejarah hidup, latar belakang budaya, ambisi, cita-cita, karakter, motif, dan sifatnya serta keterkaitan semua itu dalam pembentukan kepribadiannya. Pemahaman tentang unsur-unsur kepribadian berdasarkan analisis terhadap unsur-unsurnya masing-masing itu baru merupakan langkah awal untuk membantu pemahaman tentang keseluruhan kepribadian. Pada akhirnya, sintesis dari unsur-unsur itulah yang merupakan gambaran kepribadian. Allport (1937) mendefinisikan karakter sebagai kepribadian yang dievaluasi. Artinya, karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari, dan disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu. Karakter, dengan demikian, adalah kumpulan sifat mental dan etis yang menandai seseorang. Kumpulan ini menentukan orang seperti apa pemiliknya. Karakter juga menentukan apakah seseorang akan mencapai tujuan secara efektif, apakah ia apa adanya dalam berurusan dengan orang lain, apakah ia akan taat kepada hukum, dan sebagainya. Karakter diperoleh melalui pengasuhan dan pendidikan meskipun potensialitasnya ada pada setiap orang. Untuk membentuk karakter yang kuat, orang perlu menjalani serangkaian proses pemelajaran, pelatihan dan peneladanan. Seperti yang sudah disebutkan di atas, pendidikan pada intinya merupakan proses pembentukan karakter.

126

3. Kekuatan dan Keutamaan Karakter Identifikasi karakter yang merupakan pengenalan terhadap keutamaan tertentu pada diri seseorang dapat dilakukan melalui pengenalan terhadap ciri-ciri keutamaaan yang tampil dalam perilaku khusus dan respons secara umum dari orang itu. Peterson dan Seligman (2004) mengembangkan klasifikasi keutamaan beserta pendekatan metodik untuk mengidentifikasinya. Mereka mengatakan bahwa karakter yang kuat adalah karakter yang bercirikan keutamaan-keutamaan yang merupakan keunggulan manusia. Di sini keutamaan sebagai kekuatan karakter dibedakan dari bakat dan kemampuan. Mereka juga menjelaskan kondisi situasional yang dapat memunculkan atau menyurutkan kekuatan-kekuatan itu, pelatihan atau pembinaan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan karakter yang kuat, serta hasil-hasil positif yang dapat diperoleh seseorang yang memiliki keutamaan. Penggalian, pengenalan, dan pengukuran keutamaan dapat dilakukan melalui teknik inventori, skala sikap, wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah (focus-group discussion) dan simulasi. Pada prinsipnya, semua teknik itu membutuhkan ahli yang memahami konstruk karakter dan keutamaan, terutama dalam proses penafsiran dan pemaparan keseluruhan karakter subjek yang diteliti. Tetapi, dalam pelaksanaannya, beberapa teknik dapat digunakan oleh lebih banyak orang yang terlebih dahulu dilatih dalam waktu singkat.

4. Kriteria karakter yang kuat Berikut ialah kriteria dari karakter yang kuat. 1. Karakter yang ciri-ciri (keutamaan yang dikandung)-nya memberikan sumbangan terhadap pembentukan kehidupan yang baik untuk diri sendiri dan sekaligus untuk orang lain. 2. Ciri-ciri atau kekuatan yang dikandungnya secara moral bernilai sebagai sesuatu yang baik bagi diri sendiri dan orang lain, bahkan walaupun tak ada keuntungan langsung yang dihasilkannya. 3. Penampilan ciri-ciri itu tidak mengganggu, membatasi atau menghambat orang-orang di sekitarnya. 4. Kekuatan karakter tampil dalam rentang tingkah laku individu yang mencakup pikiran, perasaan, dan tindakan, serta dapat dikenali, dievaluasi dan diperbandingkan derajat kuatlemahnya. 5. Karakter yang kuat dapat dibedakan dari ciri-ciri yang berlawanan dengannya. 6. Kekuatan karakter diwadahi oleh model atau kerangka pikir ideal. 127

7. Kekuatan karakter dapat dibedakan dari sifat positif yang lain tetapi yang saling terkait secara erat. 8. Dalam konteks dan ruang lingkup tertentu, kekuatan karakter tertentu menjadi ciri yang mengagumkan bagi orang-orang yang mempersepsinya. 9. Boleh jadi tidak semua ciri karakter yang kuat muncul pada seseorang, tetapi kebanyakan dari ciri-ciri karakter yang kuat tampil pada orang itu. 10. Kekuatan karakter memiliki akar psiko-sosial; potensinya ada dalam diri sendiri, dan aktualitanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial.

5. Kelompok Keutamaan yang Menjadi Kekuatan Karakter Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi kognitif, yaitu tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Keutamaan ini terdiri atas enam kekuatan, yaitu 1) rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, 2) cinta akan pemelajaran, 3) pikiran yang kritis dan terbuka, 4) orisinalitas dan kecerdasan praktis, 5) kecerdasan sosial atau kecerdasan emosional, dan 6) perspektif atau kemampuan memahami beragam perspektif yang berbeda dan memadukannya secara sinergis untuk pencapaian hidup yang baik. Kesatriaan (courage) merupakan keutamaan emosional yang melibatkan kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan, baik eksternal maupun internal. Keutamaan ini mencakup tiga kekuatan, yaitu 1) keberanian, 2) ketabahan atau kegigihan, serta 3) integritas, kejujuran, dan penampilan diri dengan wajar. Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Kekuatan-kekuatan yang tercakup dalam keutamaan ini adalah baik dan murah hati, selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu orang lain, dan mencintai dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai. Keutamaan keadilan mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu masyarakat. Ada tiga kekuatan yang tercakup di sini, yakni 1) kewarganegaraan atau kemampuan mengemban tugas, dedikasi dan kesetiaan demi keberhasilan bersama, 2) keadilan (fairness) perlakuan terhadap orang lain atau tidak membeda-bedakan perlakuan yang diberikan kepada satu orang dengan yang diberikan kepada orang lain, dan 3) kepemimpinan. Pengelolaan diri adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya tercakup kekuatan dalam hal kemampuan menahan diri, kehati-hatian, dan kerendahan hati. 128

Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan memberi makna kepada kehidupan. Di dalam keutamaan ini termasuk 1) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; 2) rasa syukur atas segala hal yang baik, penuh harapan, optimis, dan berorientasi ke masa depan; 3) spiritualitas: memiliki tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta; 4) pemaafan dan pengampunan; 5) kenikmatan hidup dan selera humor yang memadai; serta semangat dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari. (Lihat Tabel 4.1.) Tabel 4.1: Kekuatan dan Keutamaan Karakter No.
1.

Kekuatan
Kekuatan kognitif: Kebijaksanaan dan pengetahuan Kekuatan interpersonal: Kemanusiaan Kekuatan emosional: Kesatriaan Kekuatan kewarganegaraan (Civic): Berkeadilan Kekuatan menghadapi dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan: Temperance Kekuatan spiritual: Transendensi

Keutamaan
kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran, mencintai kegiatan belajar, memiliki sudut pandang yang sistematiskomprehensif. cinta kasih, kebaikan hati (murah hati, dermawan, peduli, sabar, penyayang, menyenangkan dan cinta altruisitik), serta memiliki kecerdasan sosial. keberanian untuk menyatakan kebenaran dan mengakui kesalahan, teguh dan keras hati, integritas (otentisitas, jujur), serta bersemangat dan antusias. citizenship (tanggung jawab sosial, kesetiaan, mampu bekerjasama), fairness (memperlakukan orang setara dan adil), serta kepemimpinan. pemaaf dan pengampun, kerendahatian, hati-hati dan penuh pertimbangan, serta regulasi-diri. apresiasi keindahan dan kesempurnaan, penuh rasa terima kasih, harapan (optimis, berorientasi ke masa depan), humor, serta spritualitas (religiusitas, keyakinan, tujuan hidup).

2.

3.

4.

5.

6.

6. Karakter dan Spiritualitas Manusia memiliki kemampuan untuk memahami keterkaitan dirinya dengan seluruh alam semesta, juga keterkaitan semua hal yang ada di alam semesta. Kekuatan karakter transendensi memungkinkan manusia memahami keterkaitan itu. Dengan kekuatan itu manusia dapat memaknai apa yang ada di dunia dalam hubungannya dengan hal lain dan dalam konteks keseluruhan semesta. Pemaknaan terhadap keseluruhan alam ini dimungkinkan adanya pada manusia meskipun secara fisik ia terbatas dan tak pernah dapat mengenali keseluruhan dunia secara empirik. Kekuatan transendensi ditandai oleh kemampuan untuk membayangkan apa yang mungkin ada di luar situasi yang dialami kini dan di sini. Pembayangan itu dapat 129

menggerakkan manusia untuk melampaui situasi kini dan di sini, mewujudkan apa yang dibayangkannya itu menjadi situasi nyata yang memberikan kebaruan bagi dunia. Kemampuan membayangkan apa yang mungkin ada dan kemampuan melampaui situasi kini dan di sini mensyaratkan adanya kemampuan memahami keterkaitan semua unsur alam semesta. Daya yang memungkinkan manusia untuk melakukan itu semua disebut spiritualitas. Istilah spiritualitas mempunyai pengertian yang luas dan menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda. Meskipun tak ada kesatuan pengertian, secara umum kita dapat memahami fenomena spiritualitas dari berbagai pengertian yang ada dan pernah diajukan oleh beberapa ahli. Dengan pertimbangan itu, pemaparan beberapa pengertian spiritualitas di sini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang apa itu spiritualitas. Dalam salah satu pengertiannya, spiritualitas merujuk kepada sesuatu yang teramat religius, sesuatu yang berkaitan dengan roh (spirit) dan hal-hal yang sakral. Pembicaraan tentang spiritualitas merujuk kepada hal-hal yang berhubungan dengan roh dan hal-hal sakral lainnya yang dianggap berkaitan dengan roh, misalnya Tuhan dan makhluk-makhluk di luar manusia yang memiliki sifat dan kekuatan gaib. Di dalamnya juga terkandung pengertian tentang bagaimana kita bersikap dan memperlakukan hal-hal yang gaib dan sakral itu. Pandangan lain menunjukkan bahwa spiritualitas tidak terpisah dari kehidupan seharihari. Ia adalah pengalaman yang terjadi di tengah keseharian hidup manusia. Spiritualitas memberikan kedalaman dan integritas kepada kehidupan manusia sebagai makhluk yang hidup dalam kebudayaan, tempat, dan waktu tertentu. Perbedaan-perbedaan yang ada antarmasyarakat hanya gejala yang tampil di permukaan. Di bagian yang lebih dalam, setiap masyarakat memiliki dasar spiritualitas yang universal. Spiritualitas terpancar dari dalam semua struktur sosial yang ada dalam setiap masyarakat dan dalam tampilan fisik. Setiap peristiwa fisik dapat membawa manusia kepada aspek spiritual jika manusia meningkatkan kepekaannya. Dengan menghayati kehidupan sehari-hari, seseorang dapat merasakan pengalaman spiritual yang mendalam. Narayanasamy (dalam McSherry, 1998) menegaskan bahwa tidak ada satu pun definisi dari spiritualitas yang otoritatif. Burnard (1988, dalam McSherry, 1998) melihat spiritualitas dapat merujuk kepada pengertian yang berbeda pada orang yang berbeda. Menurutnya semua individu memiliki spiritualitas yang khas dan khusus bagi diri mereka, terlepas dari orientasi religius dan kepercayaan yang dianutnya. Meskipun begitu, Burnard menilai definisi spiritualitas yang dikemukakan oleh Murray dan Zentner (1989, dalam McSherry, 1998) mendekati pengertian yang universal dan komprehensif. Mereka mendefinisikan spiritualitas demikian: 130

. . . a quality that goes beyond religious affiliation, that strives for inspirations, reverence, awe, meaning and purpose, even in those who do not believe in any god. The spiritual dimension tries to be in harmony with the universe, and strives for answers about the infinite, and comes into focus when the person faces emotional stress, physical illness or death. Definisi Murray dan Zentner tersebut mengusulkan spiritualitas harus ditempatkan dalam konteks keseluruhan alam semesta dan keterkaitan isi dunia ini. Spiritualitas melampaui afiliasi terhadap agama tertentu. Spiritualitas merupakan suatu kualitas yang juga dapat dicapai bahkan oleh mereka yang tidak percaya kepada Tuhan. Pada intinya, dimensi spiritual manusia selalu berusaha melakukan penyelarasan dengan alam semesta dan menjawab pertanyaan tentang yang tak terbatas. Definisi ini menunjukkan spiritualitas sebagai hal yang kompleks dan memiliki kaitan dengan banyak variabel. Segala hal yang ada di alam semesta ini terkait dengan spiritualitas. Dengan demikian, spiritualitas dapat dipahami sebagai dasar kekuatan dan keutamaan karakter manusia. Keutamaan-keutamaan yang terkandung dalam kekuatan transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan memberi makna kepada kehidupan. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam kekuatan transendensi ada penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan. Penghargaan ini memberikan dasar bagi manusia untuk menjalani hidup secara bermakna, optimis, dan selalu memperjuangkan kebaikan. Penghargaan ini juga menyebabkan kekuatan karakter yang lain menjadi penting dalam rangka memperjuangkan kehidupan yang indah dan sempurna. Tanpa penghargaan akan kehidupan yang indah dan sempurna, kita tidak dapat mengembangkan kekuatan karakter pada diri kita sebab kita akan cenderung pesimis, masa bodoh, semena-mena, dan membiarkan saja hal-hal buruk terjadi, jika kita memaknai hidup sebagai hal yang buruk, jelek, dan kacau-balau. Kita memperjuangkan kehidupan yang baik jika kita percaya bahwa dalam hidup kita ada yang baik, indah, dan sempurna yang perlu diperjuangkan terus. Dengan pemaknaan terhadap hidup yang baik, indah dan mengandung kesempurnaan, kita membangun rasa syukur atas segala hal baik, indah dan sempurna itu. Kita pun dapat hidup dengan penuh harapan, optimis dan berorientasi ke masa depan. Dengan itu kita memaknai adanya tujuan kehidupan di masa depan. Kita meningkatkan spiritualitas, menambah daya untuk mencapai tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta. Harapan, rasa optimis, dan rasa syukur memberi kita kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni sebab kita tetap dapat melihat kemungkinan segala sesuatu akan menjadi lebih baik lagi di masa depan. Kita pun dapat menikmati hidup dan mempunyai selera humor 131

yang memadai sebab pikiran-pikiran positif yang kita hasilkan selalu membantu kita menemukan hal yang baik, indah, dan sempurna dalam hidup kita. Dengan kenikmatan dan kepuasan hidup, kita menghasilkan semangat dan gairah besar dalam diri kita untuk menyongsong hari demi hari. Integritas yang mencakup kejujuran dan kesiapan menghadapi berbagai situasi secara teguh menjadi benang yang menjalin semua keutamaan lain dalam menjalani kehidupan agar terus bergerak ke arah yang lebih baik. Karakter selalu didasari oleh spirtualitas. Daya-daya spiritual menjadi kekuatan kita untuk bertahan dan setia menuju satu tujuan. Daya-daya itu menghindarkan kita dari godaan dan menguatkan kita saat berada dalam situasi yang sulit. Pikiran bahwa apa yang kita hadapi saat ini dan di sini selalu dapat kita lampaui memberikan harapan kepada kita untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Dengan daya-daya spiritual, manusia dapat melampaui dirinya, berkembang terus sebagai makhluk yang self-trancendence (selalu mampu berkembang melampaui dirinya). Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang karakter maka kita juga berbicara tentang spiritualitas, tentang daya-daya yang menguatkan dan mengembangkan manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

7. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan Pembentukan karakter erat sekali hubungannya dengan pencapaian kebahagiaan. Pada akhirnya, orang dengan watak atau karakter yang kuat adalah orang yang berbahagia, mandiri, dan memberi sumbangan positif kepada masyarakatnya. Peterson dan Seligman (2004) memaparkan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan keberadaan potensi setiap keutamaan karakter itu pada diri manusia. Dengan demikian, setiap orang memiliki potensi untuk mencapai kebahagiaan, dan potensi untuk menjalani hidup yang baik; tinggal bagaimana mengaktualisasikannya. Seligman (2004) menyebutkan tiga kebahagiaan, yaitu memiliki makna dari semua tindakan yang dilakukan, mengetahui kekuatan tertinggi, dan menggunakan kekuatan tertinggi untuk melayani sesuatu yang dipercayai sebagai hal yang lebih besar dari diri sendiri. Jelaslah bahwa ketiga bentuk kebahagiaan ini berkaitan erat dengan keutamaan dan kekuatan manusia. Jelas juga bahwa ketiga hal itu merupakan kategori spiritual. Ketiganya dimungkinkan oleh daya-daya spiritual manusia. Singkatnya, kebahagiaan manusia mensyaratkan pemanfaatan daya-daya spiritualnya. Menurut Seligman, tidak ada jalan pintas untuk mempersingkat pencapaian kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan memandang hidup sebagai hal yang bermakna dan berharga, mengenali diri sendiri dan menemukan kekuatan-kekuatan kita, lalu memanfaatkan kekuatan-kekuatan itu untuk kepentingan yang lebih besar. Jadi, jika kita 132

ingin bahagia, maka kita harus mulai dengan belajar berpikir positif, memandang hidup dan orang lain sebagai hal yang baik, serta memaknai dunia dan seisinya sebagai kebaikan yang dianugerahkan kepada kita. Pendidikan harus diarahkan kepada ketiga kebahagiaan itu. Peserta didik difasilitasi dan dilatih untuk selalu memaknai setiap tindakan yang dilakukannya. Mereka juga difasilitasi untuk memahami kekuatan dan keutamaan tertinggi yang dimiliki manusia. Lalu mereka difasilitasi dan dibiasakan untuk melayani atau mengerjakan hal-hal yang lebih besar dari mereka sendiri. Perpaduan dari tiga kebahagiaan dan keutamaan-keutamaan karakter merupakan bahan dari pendidikan karakter. Materi-materi itu yang diajarkan kepada peserta didik dengan berbagai cara yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan dan keterampilan, bahkan, lebih jauh lagi, sampai terbentuknya sifat-sifat yang merupakan keutamaan. Jika dipahami bahwa inti pendidikan adalah pembentukan karakter maka seharusnyalah dicamkan pula bahwa setiap pendidikan adalah pembentukan karakter. Dengan demikian tidak diperlukan pendidikan karakter khusus di luar pendidikan secara keseluruhan; juga tak diperlukan pelatihan pembentukan karakter. Tetapi belakangan kita menyaksikan pendidikan secara umum seperti dipisahkan dari pembentukan karakter sehingga diperlukan usaha khusus untuk menyelenggarakan pendidikan karakter sebelum nanti pembentukan karakter kembali menjadi inti dari pendidikan.

133

DAFTAR PUSTAKA
untuk Bab IV
Allport, G. W. 1937. Personality: A Psychological Interpretation. New York: Holt. Allport, G. W. 1961. Becoming: Basic Consideration for a Psychology of Personality. New Haven: Yale University Press. Dewantara, K. H. 2004. Karya K. H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Hatta, M. 19932/1988. Ke Arah Indonesia Merdeka. Dalam Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 1): Kebangsaan dan Kerakyatan, hlm. 21130. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES Indonesia. McSherry, W. 1998. Nurses Perceptions of Spirituality and Spiritual Care Nursing Standard. 13, 4, 36-40. Situs Web: http://www.nursingstandard.co.uk/archives/vol13-04/research.htm. Peterson, C. dan Seligman, M. E. P. 2004. Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. Oxford: Oxford University Press. Radhakrishnan, Sarvepalli, dll. (ed.). 1957. History of Philosophy: Eastern and Western, Vol. I. London: George Allen & Unwin. Ross, L. 1995. The Spiritual Dimension: Its Importance to Patients Health, Well-being and Quality of Life and Its Implications for Nursing Practice. Dalam International. Journal of Nursing Studies, 32, 5, 451-468. Santoso, S. I. 1979. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. Jakarta: Universitas Indonesia. Seligman, M. P. E. 2004. Interview with Martin Seligman. Dalam Edge, 23 Maret 2004.

134

Anda mungkin juga menyukai