NPM : 1306370940
Prodi : Teknologi Bioproses
BAB I
KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER
10. Kekuatan karakter memiliki akar psiko-sosial; potensinya ada didalam diri sendiri, dan
aktualitasnya dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
Indentifikasi karakter yang merupakan pengenalan terhadap keutamaan dari diri seseorang
dapat dilakukan dengan pengenalan terhadap ciri-ciri keutamaan. Peterson dan Seligman
(2004), mengatakan bahwa karakter yang kuat adalah karakter yang bercirikan keutamaankeutamaan yang merupakan keunggulan dari manusia. Keutamaaan karakter dapat dibedakan
berdasarkan kemampuan dan bakat dari seseoarang. Lalu pendekatan metodik yang dapat
mengindentifikasikan keutamaan karakter dari seseoarang dapat dilakukan dengan cara
inventori, skala sikap, wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah dan simulasi. Lalu,
Peterson dan Seligman (2004) membagi karakter menjadi tiga level konseptual, yaitu
keutamaan, kekuatan dan tema situasional. Setiap konsep cara untuk mengenali dari konsep
tersebut berbeda dengan konsep lainnya. Ketiga konsep tersebut tersusun secara hierakis
dengan susunan, yaitu keutamaan pada level atas, kekuatan pada level tengah dan tema
situasional berada pada level bawah. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, seseorang terlebih
dahulu mengenali tema situasional lalu kekuatan dan yang terakhir adalah keutamaan.
Keutamaan adalah sebuah karakteristik utama dari karakter dan dijadikan sebagai nilai moral
oleh para filsuf dan agamawan. Sedangkan kekuatan adalah sebuah unsur psikologis yang
mendefinsikan keutamaan. Dan yang terakhir tema situasional adalah kebiasaan khusus yang
mengarahkan seseoarang untuk mewujudkan kekukatan karakter dalam situasi tertentu,
sehingga semakin banyak dan sering tema ditampilkan maka kekuatan karakter seseorang
akan semakin kuat.
Keutamaan secara umum dapat dikategorikan menjadi 6 kategori dan dari ke-enam kategori
tersebut memiliki 24 kekuatan karakter, yaitu:
1.
2. Kemanusian dan cinta, dengan kekuatannya (1) baik dan murah hati, (2) selalu
memiliki tenaga untuk membantu orang lain, (3) kecerdasan emosional
3. Kesatriaan, dengan kekuatannya (1) menyatakan kebenaran dan mengakui kesalahan,
(2) ketabahan, teguh dan keras hati, (3) integritas, kejujuran dan penampilan diri yang
wajar, (4) vitalitas, bersemangat dan antusias
4. Keadilan, dengan kekuatannya (1) kewarganegaraan, dedikasi dan kesetian demi
keberhasilan bersama, (2) kesetaraan
5. Pengelolaan diri, dengan kekuatannya (1) pemaaf dan pengampun, (2) pengendalian
diri, (3)kerendahan hati dan (4) kehati-hatian
6. Transendensi, Keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan alam
semesta, dengan kekuatannya (1) penghargaan terhdapa keindahan dan
kesempurnaan, (2) kebersyukuran, (3) penuh harapan, optimis dan orientasi ke depan,
(4) spritualitas, (5) menikmati hidup dan selera humor yang memadai
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat keutamaan yang menghubungkan
kehidupan manusia dengan alam semesta, kalimat tersebut dapat diartikan dengan
karakter manusia memiliki hubungan dengan spritualitas. Istilah spiritualitas memilki
pengertian yang luas dan menimbulkan banyak penafsiran, tetapi ada satu definis yang
mendekati pengertian yang universal dan komprehensif. Hal tersebut dikemukan oleh
Murray dan Zenther (1998, dalam McSherry, 1998) yang secara singkat mengatakan
bahwa spiritualitas harus ditempatkan dalam konteks keselurahan alam semesta dan
keterkaitan isi dunia ini.
Spiritualitas melampaui affilisasi terhadapa agama tertentu. Sehingga bisa dikatakan
karakter selalu dilandasi oleh spiritualitas. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
karakter dapat mendatangkan kebahagiaan bagi seseorang, sehingga pembentukan
karakter erat sekali hubungannya dengan pencapaian kebagian yang akhirnya, semakin
orang memiliki karakter yang kuat adalah orang yang berbahagia, mandiri dan memeberi
sumbangan positif bagi masyarakat. Seligman (2004) menyebutkan tiga kebahgiaan,
yaitu memiliki makna dari semua tindakan yang dilakukan mengetahui kekuatan tertinggi
dan menggunakan kekuatan tertinggi untuk melayani sesuatu yang dipercayai lebih besar
dari diri sendiri. Menurut seligman tidak ada jalan pintas untuk mencapai kebahagiaan,
sehingga bila ingin mendapatkan kebahagian harus berpikir positif, memandang hidup
dan orang lain dengan hal yang baik dan serta mamaknai dunia. Sehingga pada
BAB II
DASAR-DASAR FILSAFAT
PENGERTIAN FILSAFAT
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia. Seiring perkembangan jaman
akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti philosophic dalam kebudayaan bangsa
Jerman, Belanda, dan Perancis, philosophy dalam bahasa Inggris, philosophia dalam bahasa
Latin; dan falsafah dalam bahasa Arab. Filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia.
Philos berarti teman, selanjutnya Sophos berarti bijaksana, sedangkan Sophia berarti
kebijaksanaan. Maka secara etimologi (asal-usul kata) maka ada dua arti filsafat yang sedikit
berbeda. Pertama, artinya mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana, dan yang kedua artinya
teman bijaksanaan. Pengertian Filsafat adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dengan mengutarakan problem secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu.
SIFAT-SIFAT FILSAFAT
Berfilsafat adalah berfikir, namun tidak semua berfikir adalah berfilsafat. Berfikir filsafat
mempunyai karakteristik atau ciri-ciri khusus. Bermacam-macam buku menjelaskan cirri-ciri
berfikir filsafat dengan bermacam-macam pula. Sifat sfiat filsafat diantaranya:
1. Radikal
Berfilsafat berarti berfikir radikal. Filsuf adalah pemikir yang radikal karena berfikir
secara radikal ia tidak akan pernah berhenti hanya pada suatu wujud realitas tertentu.
Keradikalan berfikirnya itu akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan
realitas seluruh kenyataan yang berarti dirinya sendiri sebagai suatu realitas telah
termasuk ke dalamnya sehingga ia pun berupaya untuk mencapai akar pengetahuan
tentang dirinya sendiri. Berfikir radikal bisa diartikan berfikir sampai ke akar-akarnya,
tidak tanggung-tanggung, sampai kepada konsekuensinya yang terakhir. Berfikir itu tidak
setengah-setengah, tidak berhenti di jalan tetap terus sampai ke ujungnya. Berfikir radikal
tidak berarti hendak mengubah, membuang atau menjungkirbalikkkan segala sesuatu,
melainkan dalam arti sebenarnya, yaitu berfikir secara mendalam. Untuk mencapai akar
persoalan yang dipermasalahkan. Berfikir radikal justru hendak memperjelas realitas.
2. Kritis
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hal-hal mendasar dan menyeluruh. Berbeda dengan
cabang ilmu lainnya, filsafat mengkaji segala sesuatu secara menyeluruh. Ia terusmenerus mempertanyakan dan berupaya menjawab berbagai macam permasalahan yang
tak dapat dijawab oleh cabang ilmu lainnya dan juga pertanyaan lintas ilmu secara
rasional dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, filsafat tidak dapat tidak bersifat kritis.
Kritis di sini dalam artian terus menerus bertanya secara eksternal mempertanyakan halhal di luar dirinya (lingkup ilmu khusus) dan juga secara internal mempertanyakan diri
sendiri, sehingga tidak berhenti pada sebuah klaim kebenaran tentang hal-hal
fundamental dan mencari jawaban secara rasional dan bertanggung jawab.
Menurut Franz Magnis Suseno, sifat kritis merupakan merupakan tuntutan internal dari
berpikir filosofis itu sendiri. Filsuf harus selalu kritis, bertanya dan mencari jawaban jawaban rasional. Berfilsafat dengan demikian merupakan berpikir kritis, selalu harus
bertanya secara fundamental dan mencari jawaban rasional. Di sinilah terletak tanggung
jawab filsafat, yakni dimana filsafat secara kritis terus menerus mempertanyakan dan
juga harus berani menawarkan jawaban-jawaban rasionalnya bagi permasalahanpermasalahan manusia. Filsuf bertanggung jawab dalam mempertanyakan apa yang
nampaknya sudah jelas dan juga berani mengajukan jawaban-jawaban rasionalnya, serta
terbuka pada kritik dan pertanyaan.
3. Sistematis
Sistematis disini artinya susunan dan urutan (hierarki), juga kaitan suatu masalah dengan
materi atau masalah lain yang terdapat pada filsafat. Sistematis berarti berfikir dalam
suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan sehingga tersusun suatu pola
pemikiran filsufis. Sistematis yang dimaksud adalah upaya memahami segala sesuatu itu
dilakukan menurut sesuai aturan tertentu, runut dan bertahap, serta hasilnya dituliskan
mengikuti suatu aturan pula. Befilsafat sistematis yaitu berpikir kefilsafatan antara satu
konsep dengan konsep yang lain memiliki keterkaitan berdasarkan azas keteraturan untuk
mengarah suatu tujuan tertentu.
KEGUNAAN FILSAFAT
1. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa dengan belajar filsafat semakin menjadikan orang
mampu untuk menagani berbagai pertanyaan mengajar manusia yang tidak terletak dalam
wewenang metodis ilmu-ilmu khusus.
2. Menambah ilmu pengetahuan sehingga dapat membantu penyelesaian masalah dengan
bijaksana, membuat manusia hidup lebih tanggap (peka) terhadap diri dan
3.
lingkungannya.
Kegunaan filsafat ialah untuk memperoleh pengertian (makna) dan untuk menjelaskan
CIRI-CIRI FILSAFAT
Menurut Clarence I. Lewis seorang ahli logika mengatakan bahwa filsafat itu sesungguhnya
suatu proses refleksi dari bekerjanya akal sedangkan sisi yang terkandung dalam proses
refleksi adalah berbagai kegiatan atau problema kehidupan manusia. Kegiatan atau problem
tersebut terdapat beberapa ciri yang dapat mencapai derajat pemikiran filsafat yaitu
1. Sangat umum dan universal
Pemikiran filsafat mempunyai kecenderungan sangat umum dan tingkat keumumannya
sangat tinggi karena pemikiran filsafat tidak bersangkutan dengan obyek-obyek khusus,
akan tetapi bersangkutan dengan konsep-konsep yang sifatnya umum. Misalnya tentang
manusi, tentang keadilan , tentang kebebasan dan lainnya.
2. Tidak factual
Pengertian tidak faktual kata lainnya adalah spekulatif, yang artinya filsafat membuat
dugaan-dugaan yang masuk akal mengenai sesuatu dengan tidak berdasarkan ada bukti.
Hal ini sebagai sesuatu hal yang melampaui batas dari fakta-fakta pengetahuan ilmiah.
3. Bersangkutan dengan nilai
C.J. Ducasse mengatakan bahwa filsafat merupakan usaha untuk mencari pengetahuan,
berupa fakta-fakta yang disebut penilaian. Yang dibicarakan dalam penilaian adalah
tentang yang baik dan yang buruk, yang susila dan asusila dan akhirnya filsafat sebagai
suatu usaha untuk mempertahankan nilai.
4. Berkaitan dengan arti
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa nilai selalu dipertahankan dan dicari. Sesuatu
yang bernilai tentu di dalamnya penuh dengan arti. Agar upaya para filosof dalam
mengungkapkan ide-idenya agar syarat dengan arti, maka para filosof harus dapat
menciptakan kalimat-kalimat yang logis dan bahasa yang tepat(ilmiah), kesemuanya itu
berguna untuk menghindari adanya kesalahan.
5. Implikatif
Pemikiran filsafat yang baik dan terpilih selalu mengandun implikasi (akibat logis), dan
dari implikasi tersebut diharapkan akan mampu melahirkan pemikiran baru, sehingga
akan terjadi proses pemikiran yang dinamis: dari tesis ke anti tesis kemudian sintesis, dan
seterusnya sehingga tiada habis-habisnya. Pola pemikiran yang implikatif (dialektis) akan
dapat menambah intelektual.
1. Ontologi
Berasal dari kata onta yang berarti 'ada' dan logia yang berarti 'ilmu'. Secara umum,
ontologi adalah filsafat yang membahas tentang hakikat ada, eksistensi, realitas, dasar
keberadaan dan hubungan mereka. Sampai saat ini terjadi perbedaan paham mengenai
ontologi diantara para filsuf. Ada beberapa filsuf yang menganggap ontologi penting,
ada juga yang menganggap ontologi tidaklah penting lagi dalam filsafat.
Secara umum ontologi terbagi atas 2 subbidang, ontologi (dalam arti khusus) dan
metafisika.
Ontologi
dalam
arti
khusus
membahas
mengenai
'ada'
yang
Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang mengkaji teori-teori tentang sumbersumber, hakikat, dan batas pengetahuan. Disini dikaji mengenai bagaiman manusia
memperoleh pengetahuan dan sejauh mana manusia dapat mengetahui pengetahuan.
Dalam epistemologi terdapat empat cabang yang lebih kecil: epistemologi dalam arti
sempit, filsafat ilmu, metodologi, dan logika.
Epistemologi dalam arti sempit mengkaji hakikat pengetahuan sehari-hari. Hal ini
dapat di tekusuri dengan 4 pokok: sumber pengetahuan,
struktur pengetahuan,
Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang mengkaji ciri-ciri dan cara memperoleh
ilmu pengetahuan (science). Perbedaan filsafat ilmu dan epistemologi dalam arti
sempit adalah pengetahuan di filsafat ilmu adalah ilmu ilmiah atau ilmu pengetahuan
(science). Sedangkan pada epistemologi dalam arti sempit adalah pengetahuan seharihari (knowledge).
Metodologi adalah cabang yang membahas mengenai cara dan metode memperoleh
pengetahuan secara sistematis, logis, valid, dan teruji. Cara dan metode dikaji sejauh
mana kesahihannya dalam menemukan ilmu pengetahuan. Di dalamnya juga
termasuk kritik dan upaya pengujian keabsahan cara kerja san metode ilmu
pengetahuan.
Logika adalah kajian filsafat yang mempelajari teknik dan kaidah penalaran yamg
tepat. Yang menjadi satuan logika adalah argumen yang merupakan ungkapan dari
putusan. Proposisi tersusun dari premis ke kesimpulan lewat proses penyimpulan.
Secara umum ada dua jenis argumen: induktif dan deduktif. Argumen induktif
bergerak dari premis khusus ke kesimpulan. Sedangkan argumen deduktif bergerak
dari kesimpulan ke premis khusus.
3. Axiologi
Axiologi adalah salah satu cabang filsafat yang berbicara mengenai apa yang
dilakukan manusia dan apa yang seharusnya dilakukan manusia. Secara umum,
axiologi terdiri atas etika dan estetika. Estetika mengkaji pengalaman dan
penghayatan manusia dalam menanggapi sesuatu itu indah atau tidak.
Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan
dan apa itu perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik.
Etika sendiri menunjuk dua hal. Pertama: disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai
dan pembenarannya. Kedua: pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilainilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku manusia.
B. Aliran Filsafat
beberapa aliran filsafat yang cukup berpengaruh dalam perkembangan ilmu filsafat:
1. Rasionalisme: berpandangan bahwa semua pengetahuan berasal dari akal
(rasio).
2. Empirisme: aliran yang menekankan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan.
3. Kritisisme: berpandangan bahwa akal menerima bahan-bahan yang belum
tertata dari pengalaman empirik, lalu mengaturnya dan menertibkannya
dalam kategori-kategori.
4. Idealisme: berpendapat bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental
ataupun proses-proses psikologis yang sifatnya subyektif.
5. Vitalisme: berpandangan bahwa hidup tidak dapat sepenuhnya dijelaskan
secara mekanis karena pada hakikatnya manusia berbeda dengan benda
mati.
6.
Fenomenologi:
aliran
yang
mengkaji
penampakan
(gejala)
dan
Jostein Gaarder, seorang pengajar filsafat dari Oslo, Norwegia, yang mengarang buku "Sofies
verden" (Sophie's World) sebagai wahana baru untuk menjelaskan sejarah filsafat melalui
novel. Versi Indonesia untuk buku ini telah diterjemahkan oleh penerbit Mizan dengan judul
Dunia Sophie. Selain pada Gaarder, kita dapa berguru kepada mas Antariksa, salah seorang
mahasiswa di Fakultas Filsafat UGM. Dia yang mengajarkan untuk belajar filsafat secara
having fun atau menyenangkan. Itu karena dia adalah orang yang tidak mau dipusingkan oleh
teori-teori filsafat yang rumit. (Mas Antariksa ini aktif mengelola jurnal Kunci yang
mengangkat tema Cultural Studies semenjak 1999 hingga sekarang).
Gaarder memberikan contoh untuk mempelajari filsafat dengan enak dan mas Antariksa
mengajarkan untuk tidak selalu berpaku pada teori filsafat yang rumit. Namun, tidak ada dari
mereka yang mengajarkan suatu cara untuk belajar filsafat dengan mudah. Meskipun begitu,
jangan pernah merasa segan untuk mencari cara belajar filsafat dengan mudah. Ini
diperuntukkan bukan hanya bagi saya secara pribadi, tetapi juga bagi Anda yang ingin dan
minat belajar filsafat.
Untuk mendapatkan solusinya, kita harus mencoba menganalisis terlebih dahulu cara belajar
yang telah lalu. Berikut adalah alternatif belajar filsafat yang mudah:
1. Learn by Try
Ketika belajar filsafat untuk yang pertama kali, lebih baik kita menggunakan cara learn
by try (belajar dengan coba-coba). Ini adalah cara belajar yang umum dipakai oleh setiap
orang ketika ia dihadapkan pada masalah atau persoalan yang belum ia kenal
sepenuhnya. Bahkan, pada riset yang paling canggih sekalipun di bidang ilmu dan
teknologi, cara ini masih dipakai. Terutama untuk menemukan sesuatu yang baru dan
riset itu tidak pernah dilakukan sebelumnya.
Walaupun demikian, tetap ada kelemahan dalam cara ini. Sebab, cara belajar seperti ini
lebih banyak menghabiskan waktu, tenaga, dan tentu saja biaya. Padahal, kita tahu, setiap
orang memiliki waktu, tenaga, dan harta yang terbatas. Dalam kaitannya dengan masalah
ini, belajar filsafat seringkali dipandang sebagai sesuatu yang mahal dan mewah. Itu
karena dalam pikiran orang awam, filsuf itu dibayar hanya untuk "melamun".
Oleh karena itu, kita sebaiknya memilih cara belajar yang lain. Cara belajar lainnya yang
mungkin dapat kita lakukan ada dua macam, yaitu (1) learn by experience dan (2) learn
by guidance.
2. Learn by Experience
Cara belajar Learn by Experience difokuskan pada bagaimana caranya kita mempelajari
sesuatu dengan berdasarkan pada pengalaman yang kita miliki. Sedangkan pada yang
kedua, cara belajarnya terfokus pada petunjuk yang akan mengarahkan kita pada tujuan
pembelajaran.
3. Learn by Guidance
Sedangkan pada cara belajar Learn by Guidance, inilah yang ditempuh ketika seseorang
belajar filsafat di perguruan tinggi. Namun, model belajar filsafat di perguruan tinggi
menjadi tidak efektif ketika dilaksanakan dalam kelas yang besar dan terdiri dari banyak
orang. Belajar filsafat dengan model learn by guidance hanya akan berlaku efektif bila
diterapkan pada hubungan Guru dan Murid satu-satu. Artinya, murid ini dibimbing
khusus secara pribadi oleh seorang Guru. Ini mirip ketika seorang mahasiswa
mengajukan skripsi sebagai syarat untuk ujian akhir yang dibantu oleh Dosen
Pembimbing.
Menurut beberapa filsafat terdapat suatu alternatif langkah belajar filsafat yang umum diakai
para filsuf, juga oleh ahli filsafat dan lmuwan untuk memecah masalah filsafat secara umum
dan mengkaji aliran filsafat tertentu.
Secara umum, filsuf berusaha memperoleh makna istilah-istilah dengan cara melakukan
analisis berdasarkan pengenalan objeknya dalam kenyataannya. Menurut Kattsoff (2004),
secara filosofis analisis adalah pengumpulan semua pengetahuan yang dapat dikumpulkan
oleh manusia untuk menyusun suatu pandangan tentang dunia.
Setelah menganalisis, filsuf berusaha untuk memadukan hasil hasil penyelidikan melalui
aktivitas sintetis.menurut Kattsoff (2004), sintetis adalah aktifitas menemukan benang merah
antar bagian yang dipilah berdasarkan kategori tertentu untuk kemudian menemukan
kesamaan makna diantara bagian-bagian itu.
BAB III
DASAR-DASAR LOGIKA
berkaitan dengan pemahaman manusia dalam kesehariannya. Sebagai kajian tentang kajian
tentang kebenaran khusus, logika merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menjelaskan
kebenaran atau fakta tertentu. Kebenaran logis adalah satu pernyataan yang kebenarannya
dijamin sejauh makna dari konstanta logisnya tetap, terlepas dari apa makna bagian lain yang
menyertainya. Dalam arti kajian ciri-ciri atau bentuk umum dari putusan atau bentuk pikiran dari
putusan, logika dapat dipahami sebagai kajian yang mempelajari unsur-unsur putusan dan
susunannya dengan tujuan untuk memperoleh pola atau bentuk umum dari proses pembuatan
putusan. Fokus kajian dari logika adalah pikiran, representasi linguistik, meskipun pikiran dan
bahasa saling terkait erat.
dapat dibolak balik. Definisi harus dinyatakan dalam kalimat positif. Dalam tulisan jenis sastra
ada kekecualian dalam pembuatan definisi karena pendefinisian di situ umumnya bukan dalam
rangka menjelaskan hal tertentu secara harfiah, melainkan untuk memberi kesan tertentu.
2.3. Divisi
Divisi adalah uraian suatu keseluruhan ke dalam bagian-bagian berdasarkan satu kesamaan
karakteristik tertentu. Penguraian dengan divisi real atau aktual dilakukan berdasarkan bagianbagian yang ada pada objek itu sendiri. Kegiatan menambahkan elemen-elemen merupakan
kegiatan dari divisi logis, disebut sintesis. Ada sejumlah aturan yang harus diikuti dalam
pembuatan divisi. Tidak boleh ada bagian yang terlewati. Bagian tidak boleh melebihi
keseluruhan. Tidak boleh ada bagian yang meliputi bagian yang lain. Divisi harus jelas dan
teratur. Jumlah bagian harus terbatas.
3. Kalimat, Pernyataan, dan Proporsi
Secara umum, kalimat didefinisikan sebagai serangkaian kata yang disusun berdasarkan aturanaturan tata bahasa dalam suatu bahasa, dan dapat digunakan untuk tujuan menyatakan,
menanyakan, atau memerintahkan sesuatu hal. Benar atau salahnya struktur suatu kalimat
ditentukan berdasarkan kaidah atau aturan tata bahasa suatu bahasa. Pernyataan adalah kalimat
yang digunakan untuk membuat suatu klaim atau menyampaikan sesuatu yang bisa benar atau
salah. Kalimat yang berupa pertanyaan atau perintah berbeda dari pernyataan. Proposisi ialah
makna yang diungkapkan melalui pernyataan, atau dengan kata lain arti atau interpetasi dari
suatu pernyataan. Kalimat yang tidak bermakna atau tidak koheren tidak mengungkapkan
proporsi apa pun. Kalimat atau pernyataan yang boleh ditafsirkan lebih dari satu makna
menyebabkan kita salah dalam memahami dan menanggapinya. Pernyataan sederhana adalah
pernyataan yang hanya mengandung satu proporsi. Pernyataan kompleks adalah pernyataan yang
mengandung lebih dari satu proposisi. Proporsi yang dikandung oleh suatu pernyataan juga
disebut komponen logika dari pernyataan. Hubungan di antara proposisi atau pernyataan
sederhana dalam pernyataan kompleks ditujukan oleh penggunaan kata hubung. Ada empat jenis
pernyataan kompleks yaitu negasi, konjungsi, disjungsi, dan kondisional. Negasi dari suatu
pernyataan sederhana adalah pengingkaran dari pernyataan tersebut. Suatu pernyataan kompleks
yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata dan disebut konjungsi atau kalimat
konjungtif. Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata atau
disebut disjungsi atau pernyataan disjungtif. Pernyataan kompleks yang komponen logikanya
dihubungkan dengan jika..., maka... disebut pernyataan kondisional atau hipotesis.
4. Penalaran
Penalaran adalah penarikan kesimpulan berdasarkan alasan alasan yang relavan. Proses
pencapaian kebenaran dimulai dari pengenalan terhadap gejala dan pembentukan ide itu sendiri.
Kebenaran dapat dicapai melalui penyimpulan langsung, yaitu penyimpulan yang ditarik sesuai
dengan prinsip-prinsip logika. Penyimpulan langsung dilakukan melalui indera. Penyimpulan
langsung memberikan pengetahuan dasar bagi manusia. Penyimpulan melalui perbandingan ideide adalah penyimpulan tidak langsung. Penalaran adalah penyimpulan tak langsung atau
penyimpulan dengan menggunakan perantara. Deduksi adalah proses penalaran yang dengannya
kita membuat suatu kesimpulan dari suatu hukum, dalil, atau prinsip yang umum kepada suatu
keadaan yang khusus. Induksi adalah proses penalaran yang dengannya kita menyimpulkan
hukum, dalil, atau prinsip umum dari kasus kasus khusus. Kesalahan material adalah kesalahan
putusan yang digunakan sebagai pertimbangan yang seharusnya memberikan fakta atau
kebenaran. Kesalahan formal ialah kesalahan yang berasal dari urutan penyimpulan yang tidak
konsisten. Di dalam argumentasi terkandung term yang merupakan ungkapan verbal dari ide dan
preposisi yang merupakan ungkapan verbal dari putusan. Preposisi yang dijadikan dasar dari
kesimpulan disebut premis atau anteseden. Silogisme kategoris adalah argumen yang
menggunakan proposisi kategoris. Silogisme hipotesis adalah argumentasi yang menggunakan
proposisi hipotetis.
5. Argumen Deduktif
Penalaran deduktif adalah proses perolehan kesimpulan yang terjamin validitasnya jika bukti
yang tersedia benar dan penalaran yang digunakan untuk menghasilkan kesimpulan tepat.
Penalaran deduktif diawali dengan generalisasi yang dianggap benar yang menghasilkan premispremis, lalu dari situ diturunkan kesimpulan yang koheren dengan premis-premisnya. Silogisme
adalah jenis argumen yang kesimpulannya diturunkan dari dua proposisi umum yang berbentuk
prosisi kategoris. Silogisme sahih jika kesimpulannya dibuat berdasarkan premis-premisnya
dengan bentuk-bentuk yang tepat. Silogisme kategoris artinya berlaku untuk semua seluruh
anggota kelas, atau tidak sama sekali. Silogisme tunduk kepada delapan hukum. Silogisme hanya
mengandung tiga term. Term mayor atau term minor tidak boleh menjadi universal dalam
kesimpulan jika dalam premis hanya bersifat partikular. Term tengah harus digunakan sebagai
proposisi universal dalam premis-premis, setidak-setidaknya satu kali. Jika kedua premis
afirmatif, maka kesimpulan juga afirmatif. Tidak boleh kedua premis negatif, setidaknya salah
satu harus afirmatif. Kalau salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif. Kalu salah satu
premis partikular, kesimpulan harus partikular. Tidak boleh kedua premis partikular, setidaknya
salah satu harus universal. Silogisme hipotetis berbeda dengan silogisme kategoris dan tunduk
kepada aturan tersendiri. Dapat dikatakan bahwa premis mayor silogisme hipotetis adalah
proposisi hipotetis sedagkan premis minor dan kesimpulannya adalah preposisi kategoris. Ada
tiga bentuk dasar dari silogisme hipotetis, yaitu modus ponens yang mengafirmasi antisedens,
modus tollens yang menolak konsekuen, dan silogisme hipotetis dengan rantai kondisional.
6. Argumen Induktif
Argumen induktif dapat dipahami sebagai hipotesis yang mengandung risiko dan ketidakpastian.
Ketidak pastian dalam argumen induktif muncul dalam dua area yang berhubungan, yaitu dalam
premis-premis argumen dan dalam asumsi-asumsi infernsial argumen. Dalam semua argumen
induktif, ada premis atau asumsi inferensial yang lemah yang mencerminkan ketidakpastian
karena informasi yang ada kurang lengkap. Karakteristik semua argumen induktif adalah bahwa
dalam kondisi ketidakpastian atau kurangnya informasi, kita langsung mengambil kesimpulan
dengan risiko bahwa kita mengambil kesimpulan yang salah. Suatu hipotesis adalah suatu
proposisi yang diterima secara tentatif. Untuk menjelaskan fakta-fakta atau bukti-bukti tertentu.
Strategi untuk membangun dan mengevaluasi argumen induktif adalah menentukan apakah
kesimpulan yang diambil dari premis-premis yang ada merupakan penjelasan terbaik mengapa
premis-premis bukti benar. Kita dapat membedakan kapan bukti-bukti yang ada sudah cukup
untuk mengambil kesimpulan dan kapan tidak, jika kita mempunyai akal sehat dan pengalaman,
dan berefleksi dengan teliti. Induksi enumeratif atau generalisasi induktif adalah proses yang
menggunakan premis-premis yang menggambarkan karakteristik sampel untuk mengambil
kesimpulan umum mengenai kelompok asal sampel itu. Secara umum induksi enumeratif dapat
dianggap sebagai argumen dari sampel. Karena premis-premis mengandung data yang digunakan
sebagai bukti dalam membuat kesimpulan, maka premis-premis ini disebut dasar induksi atau
dasar bukti atau data atau bukti. Induksi enumeratif sangat berfariasi dalam hal kualitas
pengumpulan dan presentasi datanya, dan dalam kekuatan kesimpulannya. Membuat kesimpulan
berdasarkan sampel yang tidak representatif berarti melakukan percontoh salah yang bias.
Silogisme statistical merupakan argumen yang menggunakan generalisasi statistik tentang suatu
kelompok untuk mengambil kesimpulan mengenai suatu sub atau kelompok atau anggota
individual dari kelompok itu. Induksi eliminatif atau diagnostik mempunyai premis-premis yang
menggambarkan suatu konfigurasi fakta atau data yang berbeda-beda, yang merupakan bukti dari
kesimpulannya. Bukti-bukti dalam argumen induktif mana pun tidak pernah menjamin
kesimpulannya. Tidak seperti pada penyimpulan deduktif, kemampuan membuat kesimpulan
induktif yang merupakan penjelasan terbaik biasanya tergantung pada keahlian dan pengetahuan
si pembicara mengenai topik yang dibahas. Bukti suatu argumen diagnostik adalah informasi
dalam premis yang harus dapat dijelaskan oleh kesimpulan.dari argumen tersebut. Informasi
dalam premis, di samping data diagnostik, dapat berfungsi mengeliminasi hipotesis rival.
Kondisi pembatas dalam suatu argumen induktif diagnostik terdiri dari premis-premis faktual
tambahan yang membatasi konteks argumen dan digunakan untuk menunjukan bagaimana bukti
mengarah pada kesimpulan. Bukti dan kondisi pembatas adalah fakta atau pernyataan yang
dianggap benar oleh pembicara dalam mengambil kesimpulan. Hipotesis bantuan dalam suatu
argumen adalah hipotesis yang membantu menunjukan bagaimana bukti, dalam kondisi
pembatas, dapat diyakini mengarah pada kesimpulan. Kondisi pembatas dan hipotesis pembantu
sering kali tidak dinyatakan dan dibiarkan implisit.
7. Sesat Pikir
Sesat pikir menurut logika tradisional adalah kekeliruan dalam penalaran berupa penarikan
kesimpulan-kesimpulan dengan langkah-langkah yang tidak sah, yang disebabkan oleh
dilanggarnya kaidah-kaidah logika. Sebetulnya tidak ada penggolongan sesat pikir yang
sempurna, tetapi penggolongan dari Copi dapat digunakan sebagai pegangan untuk
mengenali sesat pikir. Dalam deduksi, penalaran ditentukan oleh bentuknya. Jika sebuah
penalaran bentuknya tidak sesuai dengan bentuk deduksi yang baku, maka penalaran itu tidak
sahih dan tergolong sesat pikir. Sesat pikir jenis empat term terjadi jika ada empat term yang
diikutsertakan dalam silogisme padahal silogisme yang sahih hanya mempunyai tiga term.
Pengertian dari term tengah yang tidak terdistribusikan adalah silogisme kategoris yang term
tengahnya tidak memadai menghubungkan term mayor dan term minor. Proses ilisit adalah
perubahan tidak sahih dari term mayor atau term minor. Sesat pikir terjadi jika dalam premis
digunakan proposi afirmatif tetapi dalam kesimpulan digunakan proposi negatif. Sesat pikir
terjadi jika dalam premis digunakan proposi negatif tetapi dalam kesimpulan digunakan
proposi afirmatif. Sesat pikir dua premis negatif terjadi jika dalam silogisme kedua premis
yang digunakan adalah proposi negatif. Sesat pikir mengafirmasi konsekuensi adalah
pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari pernyataan yang dihubungkan antara anteseden
dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu
keniscayaan. Sesat pikir menolak antiseden juga merupakan pembuatan kesimpulan yang
diturunkan dari pernyataan yang hubungan antiseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi
diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Sesat pikir terjadi jika hubungan
atau di antara dua hal diperlakukan sebagai pengingkaran oleh hal yang satu terhadap hal
yang lain.
1. Sesat Pikir Formal
a. Fallacy of Four Terms (kekeliruan karena menggunakan empat term).
Kekeliruan berfikir karena menggunakan empat term dalam silogisme terjadi karena
term penengah diartikan ganda, sedangkan harusnya terdiri dari tiga term. Seperti :
Semua perbuatan mengganggu orang lain diancam dengan hukuman
Menjual barang di bawah harga tetangganya adalah mengganggu
kepentingan
orang lain. Jadi, menjual harga di bawah tetangganya diancam dengan hukuman.
b. Fallacy of Undistributed Middle (kekeliruan karena kedua term penengah tidak
mencakup).
Contoh kekeliruan berfikir karena tidak satupun dari kedua term penengah mencakup:
Orang yang terlalu banyak belajar kurus.
Dia kurus sekali
Karena itu tentulah ia banyak belajar.
c. Fallacy of Illicit Process (kekeliruan karena proses tidak benar).
Kekeliruan berfikir karena term premis tidak mencakup tapi dalam konklusi
mencakup. Seperti:
Kuda adalah binatang, sapi bukan kuda. Jadi ia bukan binatang.
d. Fallacy of Two Negatife Premises (kekeliruan karena menyimpulkan dari dua premis
yang negatif)
Kekeliruan berfikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis negative
sebenarnya tidak bisa ditarik konklusi. Contoh:
Tidak satupun barang yang baik itu murah dan semua barang di toko itu adalah tidak
murah. Jadi, semua barang di toko itu adalah baik.
e. Fallacy of Affirming the Consequent (kekeliruan karena mengakui akibat).
Kekeliruan dalam berfikir dalam Silogisme Hipotetika karena membenarkan akibat
kemudian membenarkan sebabnya. Contoh:
Bila pecah perang, harga barang-barang naik. Sekarang harga barang naik, jadi
perang telah pecah.
f. Fallacy of Denying Antecedent (kekeliruan karena menolak sebab).
Kekeliruan berpikir dalam Silogisme Hipotetika karena mengingkari sebab, kemudian
disimpulkan bahwa akibat juga tidak terlaksana. Contoh:
Bila datang elang, maka ayam berlarian. Sekarang elang tidak datang, jadi ayam
tidak berlarian.
g. Fallacy of Disjunction (kekeliruan dalam bentuk disyungtif).
Kekeliruan berpikir terjadi dalam Silogisme Disyungtif karena mengingkari alternatif
pertama, kemudian membenarkan alternatif lain. Padahal menurut patokan,
pengingkaran alternatif pertama bisa juga tidak terlaksananya alternatif yang lain.
Contoh:
Dari menulis cerita atau pergi ke Surabaya. Dia tidak pergi ke Surabaya, jadi dia
tentu menulis cerita.
h. Fallacy of Inconstistency (kekeliruan karena tidak konsisten).
Kekeliruan berfikir karena tidak runtutnya pertanyaan yang satu dengan pertanyaan
yang diakui sebelumnya. Contoh:
Tuhan adalah Mahakuasa, karena itu Ia bisa menciptakan Tuhan lain yang lebih
kuasa dari Dia.
Rumah di ujung jalan itu sering kemalingan karena warna catnya hijau.
Orang tua lebih tahu dan lebih pintar dari anak-anaknya karena anak-anak itu
dilahirkan orang tuanya.
Kata hati dalam argumentasi di atas dapat bermakna ganda. Term hati di situ tidak
merujuk kepada organ hati, melainkan kepada perasaan, intuisi, atau nurani. Argumentasi
itu menjadi sesat pikir karena hati yang dimaksud tak dapat dikenali secara jelas merujuk
kepada objeknya sehingga tak dapat dibuktikan benar atau salah.
keseluruhan
dianggap
sebagai
kebenaran
pada
bagian-bagiannya.
Umpamanya, manusia adalah makhluk yang berpikir, oleh karena itu kaki dan tangan
manusia pun berpikir.
19. Ad Hominem
Sesat pikir dimana keadaan menyerang karakter seseorang dan bukannya argumen.
Contoh:
Kamu sangat bodoh, sehingga argument kamu tidak mungkin benar.
20. Ad Populum
Sesat pikir
dimana
argumen
dibenarkan
karena
banyak
orang
melakukan/mempercayai. Contoh:
Banyak orang merokok di dunia ini, jadi sesungguhnya merokok itu baik.
yang
pikir
dimana
mengandaikan
sesuatu
yang
ingin
dibuktikan
sebagai
Ketika kita menyimpulkan tanpa dasar yang cukup kuat, hanya karena y mengikuti x, maka x
pasti penyebab y.
8.5.4 Mengacaukan penyebab yang berupa necessary condition dengan sufficient condition
Ketika seorang salah menganggap atau mengacaukan sesuatu penyebab yang merupakan
necessary condition dengan penyebab yang merupakan sufficient condition bagi akibatnya.
8.6 Kesalahan Analogi
Terjadi ketika orang menggunakan analogi yang tidak tepat atau yang menyesatkan dalam
argumennya. Analogi dapat merupakan cara pandang yang original, kreatif, dan menohok
pikiran. Namun analogi tidak dapat menggantikan argumentasi langsung mengenai suatu sudut
pandang.
BAB IV
ETIKA
Etika dan moralitas memang dua kata berhubungan erat dan seringkali orang mengunakan dua
kata tersebut secara bergantian, tetapi tidak tepat (Graham, 2010, 1). Etika merupakan refleksi
filosofis atas moral, sedangkan moralistas merupakan kepercayaan atau perilaku tentag baik dan
buruk. Dalam pengertian yang terakhir ini, etika adalah cabang ilmu filsafat yang menyelidiki
suatu sistem prinsip moral. Tidak heran jika etika disebut juga filsafat atas moral. Etika punya
fokus tentang bagaimana kita mendefinisikan sesuatu itu baik atau tidak. Lain halnya dengan
moralitas berasal dari kata Latin "moralis" yang berarti "tata cara", "karakter", atau "perilaku
yang tepat" (Pritchard, 2012, 1). Secara terminologis moralitas sering kali dirujuk sebagai
diferensiasi dari keputusan dan tindakan antara yang baik atau yang tidak baik. Moralitas lebih
dipahami sebagai suatu keyakinan untuk menjalani hidup yang baik. Karena itu sistem moralitas
seringkali sangat bergantung dengan komutitasnya. Moralitas sangat berhubungan dengan etika
karena hal itu adalah objek kajiannya. Etika adalah suatu abstraksi dalam memahami atau
mendefinisikan moral dengan melakukan refleksi atasnya. Etika membahas persoalan moral pada
situasi tertentu dengan pendekatan tertentu pula. Sedang moralitas tergantung pada pilihan
individu, keyakinan atau agama dalam menentukan hal yang benar atau salah, baik atau buruk.
Etika bisa dibagi menjadi berberapa bidang sebagai berikut :
1. Etika normatif adalah sebuah studi tindakan atau keputusan etis yang berfokus pada
prinsip-prinsip yang seharusnya dari tindakan yang baik. Dalam etika normatif ini
muncul teori-teori etika, misalnya etika utilitarianisme, etika deontologis, etika kebajikan
dan lain-lain. Dalam pengajukan kriteria norma tersebut, teori etika akan memberikaN
semacam pernyataan yang secara normatif mengandung makna seperti "Fulan seharusnya
melakukan X" atau "Fulan seharusnya tidak melakukan X".
2. Etika terapan merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik kepada
topik-topik kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang, hak-hak
binatang, hukuman mati dan lain-lain. Etika terapan ini bisa dibagi menjadi etika profesi,
etika bisnis dan etika lingkungan. Dapat dimengerti bahwa istilah etika terapan digunakan
untuk menggambarkan upaya untuk menggunakan metode filosofis mengidentifikasi apa
saja yang benar secara moral terkait dengan tindakan dalam berbagai bidang kehidupan
manusia.
3. Etika deskriptif merupakan sebuah studi tentang apa yang dianggap 'etis' oleh individu
atau masyarakat. Etika deskriptif hanya melakukan observasi terhadap apa yang dianggap
baik oleh individu atau masyarakat. Tujuan dari etika deskriptif adalah untuk
menggambarkan tentang apa yang dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai
bernilai etis serta apa kriteria etis yang digunakan untuk menyebut seseorang itu etis atau
tidak (Kitchener, 2000, 3).
4. Metaetika berhubungan dengan sifat penilaian moral. Fokus dari metaetika adala arti
atau makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam etika. Dengan kata lain,
metaetika merupakan kajian tingkat kedua dari etika. Metaetika juga bisa dimengerti
sebagai sebuah cara untuk melihat fungsi-fungsi pernyataan-pernyataan etika, dalam arti
bagaimana kita mengerti apa yang dirujuk dari pernyataan-pernyataan tersebut dan
suatu prinsip-prinsip yang memungkinkan kita untuk mengambil pandangan yang lebih
jernih dalam melihat isu-isu moral. Dengan kata lain, etika memberikan sebuah peta
moral atau kerangka berpikir yang bisa digunakan untuk menemukan jalan keluar dari
masalah-masalah moral yang sulit. Dengan kata lain etika sangat memperhitungkan
bukan hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain. Dalam konteks ini, etika berkaitan
dengan kepentingan orang lain secara lebih luas. Prinsip moral dapat muncul dari
berbagai sumber, diserap dari nilai-nilai agama, kaidah norma masyarakat, maupun dari
hukum yang dibuat oleh negara. Hal-hal ini dapat menjadi referensi bagaimana seseorang
bertingkah laku dan membedakan manakah baik dan buruk. Kant mempopulerkan
filsafatnya, ia selalu berkata Sapere Aude! (beranilah berpikir secara mandiri), semangat
ini tercermin juga didalam filsafatnya. Pengertian Kant mendorong individu bahkan
dalam urusan bersikap etis, individu harus dapat memikirkan dan bertindak atas
kehendaknya sendiri. Dimana pemahamannya ini mewajibkannya untuk bersikap etis,
dan melakukan tindakan etis tanpa melibatkan perasaan atau memikirkan tentang
hasilnya saja, tetapi tegas untuk mematuhi suatu prinsip moral. Teori moral dalam filsafat
dapat dipahami menjadi dua aliran besar, yang pertama adalah deontologis, seperti yang
telah dibahas pada bagian Immanuel Kant, yang kedua adalah kaum konsekuensialis.
Pandangan konsekuensialis menyatakan bahwa segala tindakan dianggap bernilai secara
moral bila mempertimbangkan hasil akhir dari tindakan tersebut. Adapula tokoh yang
mengembangkan paham etis utilitarian adalah John Stuart Mill. Utilitarianisme, dari akar
kata utility, yang berarti kegunaan, menganggap bahwa dorongan utama bagi seseorang
untuk bersikap etis adalah untuk mencapai kebahagiaan, Kredo yang menerima prinsip
moral utility, atau kebahagiaan sebagai fondasi moral meyakini bahwa tindakan dianggap
sebagai suatu kebenaran sejauh tindakan itu memproduksi serta mempromosikan
kebahagiaan, akan menjadi kesalahan bila berlaku terbalik dari kebahagiaan itu. Tetapi
seringkali pernyataan kaum utilitarian disalahartikan menjadi pandangan yang secara
general memperbolehkan apapun untuk mencapai kebahagian, inilah kritik terutama bagi
kaum utilitarian. Pandangan moral intuitif dari seorang etikus bernama W.D Ross, ia
menggunakan penjelasan intuisi. Ross berargumen bahwa seseorang mengetahui secara
intuitif perbuatan apa yang bernilai baik maupun buruk. Ia mengkritik pandangan
utilitarian yang terlalu menekankan pada konsep kebahagiaan, bahkan mensejajarkan
kebahagiaan sebagai kebaikan. Bagi Ross, kebahagiaan tidak dapat secara mudah
disamakan dengan kebaikan, justru kebaikan adalah bentuk nilai moral yang lebih tinggi.
Jadi tujuan moral adalah mencapai kebaikan bukan kebahagiaan. Senada dengan Kant,
Ross adalah seorang filosof moral yang menekankan bahwa tindakan etis haruslah
terlepas dari kepentingan individual. Bila dalam argumen utilitarian ditekankan bahwa
motif merupakan hal yang mendasar, bagi Ross, motif menunjukan bahwa seseorang
bertindak etis bukan karena tindakan itu benar secara prinsipil, tapi tindakan itu
menguntungkan baginya. Ross menyebutkan tentang berbagai macam kewajiban yang
membutuhkan pertimbangan individu dalam kejadian-kejadian aktual, ia menyusunya
sebagai berikut:
1) Fidelitas atau yang menyangkut perihal bagaimana seseorang memegang janji
atau komitmennya,
2) Kewajiban atas rasa terimakasih, ketika kita berkewajiban atas jasa yang sudah
ditunjukan oleh orang lain,
3) Kewajiban berdasarkan keadilan, hal ini menyangkut perihal pembagian yang
merata yang berhubungan dengan kebaikan orang banyak,
4) Kewajiban beneficence, atau bersikap dermawan, dan menolong orang lain
sebagai tanggung jawab sosial,
5) Kewajiban untuk merawat dan menjaga diri sendiri,
6) Kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain.
Enam tipe dari Prima Facie yang dijelaskan oleh Ross menunjukan bahwa dalam kondisi
kondisi tertentu kita kerap terbentur untuk memutuskan diantara pilihan-pilihan moral.
Pertimbangan intuitif ini bagi Ross sangat vital, karena intuisi bukanlah pertimbangan
yang serampangan, tetapi pertimbangan yang menggunakan segala aspek kecerdasan dan
sensibilitas individu tersebut.