Anda di halaman 1dari 68

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencemaran logam berat di lingkungan merupakan masalah serius
karena kelarutan dan mobilitasnya menimbulkan toksisitas dan ancaman
bagi kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia. Oleh karena itu,
penemuan kembali logam-logam berat dari limbah industri menjadi penting
bagi masyarakat sebagai upaya daur ulang dan konservasi logam-logam
esensial (Hashim et al., 2004). Remediasi logam melalui pendekatan
teknik fisiko-kimia masih mahal dan tidak ramah lingkungan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pendekatan-pendekatan bioteknologi
dapat diterima sebagai alternatif yang menarik belakangan ini (Iyer et al.,
2005).
Luas wilayah perairan yang melingkupi bumi demikian dominan
( 70 % atau sekitar 10
9
km
3
), hal ini mempunyai arti yang sangat besar
bagi kelangsungan hidup makhluk di bumi ini. Seiring dengan
meningkatnya aktivitas manusia di berbagai sektor kehidupan, jumlah dan
jenis pencemar di perairan meningkat pula. Berbagai jenis kegiatan
industri beserta produknya telah dikembangkan dalam dua dekade
terakhir. Hal ini berdampak pada terbentuknya limbah yang bervariasi
sesuai dengan jenis industri dan bahan baku yang digunakan. Logam Pb
dan Hg merupakan contoh jenis bahan pencemar yang ditemukan di laut.



2

Selain dapat menurunkan kualitas dan produktivitas perairan laut juga
dapat menimbulkan keracunan, karena Hg dan Pb termasuk logam
berbahaya yang dapat terakumulasi pada organisme dan jika dikonsumsi
oleh manusia dapat menimbulkan penyakit (Siahainenia, 2001). Akibat
pencemaran logam berat, fungsi strategis perairan menjadi tidak
maksimal. Penurunan kualitas lingkungan laut akibat kontaminasi bahan-
bahan pencemar akan berdampak pada penurunan produktivitas dan
higienitas komoditas perikanan yang dihasilkan (Rahmansyah, 1997).
Kondisi perairan laut Indonesia sudah saatnya mendapat
perhatian serius karena adanya indikasi peningkatan pencemaran logam
berat. Pada tahun 2001, perairan Dadap, Cilincing, Demak, dan Pasuruan
telah tercemar oleh Hg, sementara residu Hg di perairan Tanjung Pasir
dan Blanakan masih di bawah 2 ppb. Perairan Pasuruan, pada tahun
2002, dilaporkan telah tercemar oleh Hg dengan residu di atas 2 ppb
(Siregar dan Murtini, 2008). Kondisi perairan laut di Pantai Losari
Makassar, menunjukkan kandungan Fe, Pb, dan Cd yang tinggi. Logam-
logam tersebut terakumulasi pada bentos, kerang, atau ikan yang sangat
berbahaya apabila dikonsumsi (Monoarfa, 2002). Kadar Pb, Cd, Cu, Cr,
Ni, Zn, Mn, dan Fe dalam air laut di Selat Makassar pada tahun 2003,
masih tergolong rendah, tetapi pada sedimen kadar logam-logam tersebut
tinggi (Wenno dkk., 2005). Hasil penelitian tahun 2004, menunjukkan
kadar Hg, Pb, Cd, Cu, Zn, dan Ni di Teluk Jakarta telah melewati nilai
ambang batas (Lestari dan Edward, 2004), dan pada tahun 2005, muara



3

Sungai Kahayan dan muara Sungai Barito telah tercemar oleh Cd dan Cu,
Waduk Saguling tercemar oleh Pb, Cd, dan Cu, sementara Waduk Cirata
tercemar oleh Hg dan Waduk Jatiluhur tercemar oleh Cu dan Cd. Walau
demikian, ikan yang hidup di perairan dan waduk tersebut masih aman
untuk dikonsumsi (Siregar dan Murtini, 2008). Di tahun 2008, rataan kadar
Fe, Mn dan Co yang terdeteksi di air Sungai Kuripan Bandar Lampung
relatif tinggi, sementara ada indikasi terjadinya bioakumulasi logam berat
pada sedimen dan remis Eremopyrgus eganensis (Rinawati dkk., 2008;
Rochyatun, 2006).
Mikroalga sebagai produsen primer merupakan organisme renik
yang mempunyai kelimpahan terbesar hingga kedalaman sekitar 7 meter
(Arifin dkk., 1997). Karena adanya klorofil yang mendukung, mikroalga
menggunakan energi sinar untuk mengubah CO
2
menjadi glukosa dan

ATP serta membebaskan oksigen sebagai produk. Mikroalga hanya
membutuhkan air, sinar matahari, dan nutrien untuk kelangsungan
hidupnya (Bjornstad, 2005). Konsentrasi mikroalga pada permukaan
perairan berkisar antara 500-10
4
sel.mL
-1
, sehingga mikroalga mempunyai
luas permukaan yang besar terhadap volumenya.
Mikroalga umumnya mampu menjerap dan mengakumulasi logam
berat dalam tubuhnya. Pada konsentrasi tertentu logam berat dapat
memacu pertumbuhan beberapa jenis mikroalga, tetapi pada konsentrasi
yang sama justru dapat mengakibatkan toksisitas pada jenis mikroalga
lainnya (Palar, 1994). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ion Cu



4

memberikan toksisitas yang signifikan terhadap mikroalga, diikuti oleh Ni
dan Pb (Nayar et al., 2004). Sementara itu Chaetoceros calcitrans mampu
menjerap ion Cu(II) hingga konsentrasi 40 mg.L
-1
pada pH netral dalam
medium Conwy cair (Hala dkk., 2004). Nannochloropsis salina juga
menunjukkan kemampuan menjerap ion Pb, Cd, dan Zn secara signifikan
(Tambung dkk., 2007). Namun dalam sistem ion multi-logam, interaksi
yang sinergik maupun antagonik dapat terjadi dalam kaitannya dengan
peningkatan pertumbuhan mikroalga di perairan laut (Gonzalez-Davila
et al., 1996). Hasil penelitian menunjukkan bahwa biosorpsi logam berat di
perairan dengan menggunakan mikroalga merupakan solusi alternatif
dengan resiko yang relatif lebih kecil, biaya yang lebih murah, dan
biomassa yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
N. salina merupakan salah satu spesies mikroalga dengan waktu
regenerasi relatif cepat. Interaksinya dengan bahan pencemar di laut
dapat menyebabkan perubahan perilaku kehidupan, seperti perubahan
populasi, kecepatan pertumbuhan, aspek biokimia, dan morfologi.
N. salina berukuran 2-4 m yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop.
Berdasarkan ukurannya, N. salina seharusnya sangat rentan terhadap
pencemaran logam berat seperti ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
di
perairan jika dibandingkan dengan tumbuhan dengan tingkatan yang lebih
tinggi seperti rumput laut dan lamun. Dalam berbagai kasus pencemaran
logam berat di perairan, sebagian besar organisme laut tidak mampu



5

bertahan hidup, namun N. salina dijumpai tetap hidup dalam perairan
yang tercemar logam berat.
Pertumbuhan N. salina menurun tajam dalam medium yang
tercemar ion Cd, namun dalam medium yang terkontaminasi Zn,
penurunan populasi tidak berlangsung secara drastis, bahkan terjadi
kenaikan pertumbuhan beberapa hari kemudian (Tambung dkk., 2007).
Toksisitas Ni menunjukkan penurunan hingga 30 % dibandingkan dengan
kontrol, saat N. salina ditumbuhkan dalam medium yang terkontaminasi
ion Ni
2+
(Mohammady et al., 2007)
Mekanisme akumulasi beberapa logam (seperti Co, Mo, Ca, dan
Mg) pada alga terjadi melalui transpor biologi aktif secara intrasel. Ion
logam berat beracun akan diasingkan dari sitoplasma sel melalui tiga cara
yang mungkin, yaitu: pengkhelatan intraselular oleh polimer biologis;
pengendapan logam berat pada permukaan dinding sel; atau adsorpsi
permukaan melalui pengikatan ion logam oleh gugus fungsi kimia di
dinding sel (Moreno-Garrido et al, 1998). Seluruh permukaan tubuh
mikroalga dilapisi oleh membran sel sehingga potensi interaksinya dengan
ion logam di perairan menjadi tinggi (Fhencel, 1988). Daerah permukaan
sel yang luas mengandung berbagai gugus fungsi seperti N-terminal dari
gugus NH
2
, C-terminal dari gugus COO
-
, S-terminal dari gugus SH dan
gugus fungsi rantai samping residu asam amino yang berpotensi sebagai
tempat mengikat logam (Chu and Hashim, 2007). Adsorpsi ion logam oleh
gugus aktif, berlangsung di permukaan sel diikuti oleh langkah transpor



6

yang lambat ke dalam membran dan masuk ke sitoplasma. Selain itu, ion-
ion logam dalam larutan mengalami kesetimbangan dengan ligand-ligand
yang dihasilkan dan diekskresi oleh alga pada semua langkah (Santana-
Casianoa et al, 1995). Beberapa kajian tentang bioakumulasi logam oleh
kelas Eustigmatophyceae telah dikembangkan dengan berbagai asumsi
mekanisme pengikatan, namun belum dijumpai kajian secara kimia
tentang mekanisme penjerapan logam berat oleh N. Salina.
Berkaitan dengan uraian di atas, penelitian tentang kajian
mekanisme reaksi penjerapan ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
akan
dilakukan dengan menggunakan mikroalga N. salina, melalui pengamatan
perubahan struktur asam amino dan klorofil, serta perubahan morfologi
sel. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi alternatif
atas pencemaran logam berat di perairan laut.

B. Rumusan Masalah
Rumusan permasalahan yang akan ditelaah dalam penelitian ini
mencakup hal sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi optimal untuk pertumbuhan maksimum N. salina
dalam medium Conwy dan seberapa besar efisiensi penjerapannya
terhadap ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
?
2. Bagaimana susunan dan struktur asam amino pada sel N. salina
sebelum dan setelah penjerapan ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
?



7

3. Bagaimana stuktur krlorofil pada sel N. salina sebelum dan setelah
penjerapan ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
?
4. Bagaimana morfologi pada sel N. salina sebelum dan setelah
penjerapan ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
?
5. Mekanisme penjerapan apakah yang terjadi dalam interaksi N. salina
dengan ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Menentukan kondisi optimal pertumbuhan maksimum N. salina dalam
medium Conwy, meliputi pengaruh waktu, salinitas, dan pH; serta
menentukan efisiensi penjerapan N. salina terhadap ion Ni
2+
, Cu
2+
,
Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
;
2. Melakukan analisis asam amino pada residu N. salina sebelum dan
setelah penjerapan ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
;
3. Menentukan kandungan klorofil pada residu N. salina sebelum dan
setelah penjerapan ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
;
4. Membandingkan morfologi sel N. salina sebelum dan setelah
penjerapan ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
;



8

5. Menentukan gugus fungsi yang mungkin terlibat dalam proses
penjerapan ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
, dan meramalkan
mekanisme yang terjadi.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan informasi tentang parameter interaksi dan sifat jerapan
N. salina terhadap ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
;
2. Memberikan informasi mengenai jenis mekanisme jerapan yang
dominan, dan data gugus fungsi yang berpotensi aktif sebagai
penjerap ion Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Pb
2+
;
3. Memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan Kimia Anorganik,
khususnya pencemaran logam berat, pemanfaatan N. salina sebagai
biosorben sekaligus sebagai alternatif solusi atas kasus pencemaran
logam berat di perairan laut.




9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pencemaran Logam Berat

1. Logam Berat di Perairan Laut
Luas wilayah perairan yang melingkupi bumi demikian dominan
( 70 % atau sekitar 10
9
km
2
), sehingga mempunyai arti yang sangat
besar bagi kelangsungan hidup makhluk di bumi ini. Akibat pertumbuhan
penduduk yang pesat, kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam, baik pada daerah hulu, pesisir pantai, maupun laut
semakin meningkat. Peningkatan kegiatan tersebut menjadi salah satu
penyebab turunnya kualitas lingkungan laut akibat kontaminasi bahan-
bahan pencemar (Siahainenia, 2001), dan pada gilirannya akan
berdampak pada penurunan produktivitas dan higienitas komoditas
perikanan yang dihasilkan (Rahmansyah, 1997).
Seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia di berbagai sektor
kehidupan, jumlah dan jenis pencemar di perairan meningkat pula. Hal ini
berakibat pada tidak maksimalnya fungsi strategis perairan. Dengan
berbagai jenis kegiatan industri beserta produknya, maka limbah yang
terbentuk akan bervariasi sesuai dengan jenis industri dan bahan baku
yang digunakan. Logam Pb dan Hg yang merupakan jenis bahan
pencemar di laut, selain dapat menurunkan kualitas dan produktivitas



10

perairan laut, juga dapat menimbulkan keracunan, karena Hg dan Pb
merupakan logam berbahaya yang dapat menimbulkan penyakit pada
manusia apabila terakumulasi pada organisme perairan yang dikonsumsi
manusia (Siahainenia, 2001; Ahalya et al., 2003). Berbagai kajian tentang
hal ini telah banyak dilakukan. Kasus yang cukup terkenal adalah kasus
Minamata di Jepang, di mana residu metil merkuri dari limbah pabrik kimia
yang dibuang langsung ke Teluk Minamata menyebabkan ratusan jiwa
meninggal dunia akibat mengkonsumsi ikan yang tercemar bahan
berbahaya tersebut (Anonim, 2005).
Issu pencemaran logam berat di perairan meningkat sejalan
dengan pengembangan berbagai penelitian yang mulai diarahkan pada
berbagai aplikasi teknologi untuk menangani polusi lingkungan yang
disebabkan oleh logam berat. Kondisi perairan laut Indonesia sudah perlu
mendapat perhatian serius karena adanya indikasi peningkatan
pencemaran logam berat. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2001,
menunjukkan bahwa beberapa wilayah perairan di Indonesia telah
tercemar oleh logam berat. Perairan Dadap, Cilincing, Demak, dan
Pasuruan telah tercemar oleh Hg, sementara residu Hg di Perairan
Tanjung Pasir dan Blanakan masih di bawah 2 ppb. Pada tahun 2002,
dilaporkan bahwa perairan Pasuruan telah tercemar oleh Hg dengan
konsentrasi Hg di atas 2 ppb (Sireger dan Murtini, 2008). Kondisi perairan
laut di Pantai Losari Makassar, menunjukkan adanya kandungan Pb dan
Cd yang terdapat pada bentos, kerang, atau ikan, yang sangat berbahaya



11

apabila dikonsumsi (Monoarfa, 2002). Konsentrasi Pb, Cd, Cu, Cr, Ni, Zn,
Mn, dan Fe dalam air laut di Selat Makassar pada tahun 2003 yang
dilaporkan oleh Wenno dkk. (2005), masih tergolong rendah, tetapi
konsentrasi logam tampak tinggi pada sedimen. Kadar Hg, Pb, Cd, Cu,
Zn, dan Ni di Teluk Jakarta pada Bulan Mei 2004 telah melewati nilai
ambang batas (Lestari dan Edward, 2004). Pada tahun 2005, Muara
Sungai Kahayan dan Muara Sungai Barito telah tercemar oleh Cd dan Cu,
Waduk Saguling tercemar oleh Pb, Cd, dan Cu, sementara Waduk Cirata
tercemar oleh Hg dan Waduk Jatiluhur tercemar oleh Cu dan Cd. Akan
tetapi ikan yang hidup di perairan dan waduk tersebut masih aman untuk
dikonsumsi (Sireger dan Murtini, 2008). Di tahun 2008, rataan kadar Fe,
Mn, dan Co yang terdeteksi di air sungai Kuripan Bandar Lampung relatif
tinggi, sementara ada indikasi terjadinya bioakumulasi logam berat pada
sedimen dan remis Eremopyrgus eganensis (Rinawati dkk., 2008;
Rochyatun, 2006).
Kecemasan terhadap pencemaran logam berat di lingkungan
disebabkan oleh tingkat keracunan yang sangat tinggi dalam seluruh
aspek kehidupan makhluk hidup (Suhendrayatna, 2001; Iyer et al., 2005).
Logam berat dapat merusak sistem biokimia, dan merupakan ancaman
serius bagi kesehatan tumbuhan dan hewan (Khan et al, 2009). Logam
berat adalah unsur kimia dengan massa jenis lebih besar dari 5 g.cm
-3
,
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor
atom 22 sampai 92 dari periode 4 sampai 7. Logam berat seperti Pb, Cd,



12

dan Hg merupakan zat pencemar yang berbahaya. Afinitas yang tinggi
terhadap belerang menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang
dalam enzim, sehingga enzim tersebut menjadi tidak aktif. Logam berat
juga bereaksi dengan gugus karboksilat (COOH) dan amina (NH
2
).
Cd, Pb, dan Cu yang terikat pada sel-sel membran akan menghambat
proses transformasi melalui dinding sel. Logam berat juga dapat
mengendapkan senyawa fosfat biologis atau mengkatalisis penguraiannya
(Iyer et al., 2005).
Adanya logam berat di perairan, berdampak negatif dan berbahaya,
baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya
secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan
dengan sifat-sifat logam berat (PPLH-IPB, 1997) yaitu:
1. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan
perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan);
2. Dapat terakumulasi dalam organisme, termasuk kerang dan ikan,
serta akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi
organisme tersebut;
3. Mudah terakumulasi pada sedimen, sehingga konsentrasinya selalu
lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Selain itu sedimen
mudah tersuspensi karena pergerakan massa air yang akan
melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga
sedimen berpotensi menjadi sumber pencemar sekunder dalam
rentang waktu tertentu.



13

Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, toksisitas logam berat
terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai
berikut: Hg>Cd>Zn>Pb>Cr>Ni>Co. Sementara untuk manusia yang
mengkonsumsi ikan, urutan toksisitas ion logam berat adalah
Hg
2+
>Cd
2+
>Ag
2+
>Ni
2+
>Pb
2+
>As
2+
>Cr
2+
>Zn
2+
. Toksisitas tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu logam dengan toksisitas
tinggi, yang terdiri atas Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn; toksisitas sedang, yang
terdiri atas Cr, Ni dan Co; sedangkan Mn dan Fe termasuk logam yang
toksisitasnya rendah (Darmono, 1995).
Logam-logam dalam lingkungan perairan umumnya berada dalam
bentuk ion, ada yang merupakan ion-ion bebas, pasangan ion organik,
dan ion-ion kompleks (Ahalya et al., 2003). Dalam badan air, ion-ion
logam juga bereaksi membentuk kompleks organik dan kompleks
anorganik. Ion-ion logam seperti Pb
2+
, Zn
2+
, Cd
2+
, dan Hg
2+
, mempunyai
kemampuan untuk membentuk senyawa kompleks sendiri. Ion logam
tersebut dengan mudah akan membentuk kompleks dengan ion Cl
-

dan/atau SO
4
2-
pada konsentrasi yang sama dengan konsentrasi dalam air
laut (Palar, 2004).
Limbah industri yang terbuang ke badan sungai atau yang
langsung terbuang ke laut dalam jumlah tertentu dan melebihi kapasitas
asimilatif perairan, akan mengalami akumulasi pada komponen
lingkungan. Limbah ini dapat mengeluarkan bahan beracun berbahaya
seperti sulfida, fenol, Cr(VI), Pb, dan Cd yang dapat terakumulasi dalam



14

organisme perairan tertentu dan secara tidak langsung merupakan
ancaman bagi kehidupan manusia (Suratmo, 1990 dalam Siahainenia,
2001). Untuk itu limbah industri harus diolah terlebih dahulu sebelum
dibuang ke laut melalui badan sungai.
Akibat pertumbuhan penduduk yang pesat, kegiatan-kegiatan
eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya alam, baik pada daerah hulu,
pesisir pantai, maupun laut, tidak dapat dihindari lagi dan menjadi semakin
meningkat. Peningkatan kegiatan tersebut menjadi salah satu penyebab
menurunnya kualitas lingkungan laut akibat kontaminasi bahan-bahan
pencemar. Secara normal, laut mempunyai daya asimilasi untuk
memproses dan mendaur ulang bahan-bahan pencemar yang masuk ke
dalam badan air. Akan tetapi dengan semakin tingginya konsentrasi
akumulasi bahan pencemar ke dalam perairan laut, daya asimilasi laut
sebagai gudang sampah semakin menurun, dan berpotensi menimbulkan
masalah lingkungan. Dampak pencemaran ini akan berpengaruh dalam
kehidupan manusia, organisme lain, serta lingkungan sekitarnya. Untuk itu
secara dini sumber pencemar dan bahan-bahan pencemar perlu
dikendalikan agar kelak tidak merusak lingkungan laut, menurunkan
keanekaragaman hayati, dan mengganggu keseimbangan ekosistem laut
(Siahainenia, 2001).
Pencemaran di sepanjang garis pantai dan ekosistem perairan laut
sampai kini belum tuntas teratasi. Kondisi fisik Pantai Losari Makassar
masih memprihatinkan, sampah yang berserakan, terutama sampah



15

plastik bekas makanan masih sering dijumpai, baik di sudut bibir pantai
maupun di permukaan laut (Anonim, 2009). Pencemaran ini didukung oleh
perubahan fungsi-fungsi ruang kota di kawasan itu, kawasan perumahan
yang berubah menjadi kawasan komersil seperti hotel yang dibangun di
sepanjang pantai. Selain itu, 14 outlet drainase kota bermuara di Pantai
Losari, tujuh diantaranya adalah outlet besar, yang memberikan kontribusi
terhadap tercemarnya perairan laut.

2. Nikel

Nikel merupakan kelompok logam transisi yang umum digunakan
dalam proses elektroplating, baja tahan karat, dan batu baterei nikel-
kadmium. Di alam, Ni dijumpai dalam bentuk ion heksaquo [Ni(H
2
O)
6
]
2+

dan garam terlarut dalam air. Air laut mengandung Ni sekitar 1,5 g.L
-1
,
sekitar 50% dalam bentuk Ni
2+
, sementara sungai dan danau
mengandung Ni
2+
total 0,2-10 g.L
-1
. Perairan yang dekat dengan daerah
pertambangan dan peleburan dapat mengandung Ni
2+
sampai 6,4 mg.L
-1

(Wright and Pamela, 2002).
Pada manusia Ni masuk melalui proses penghirupan (inhalation),
sejumlah kecil melalui makanan dan air, tetapi sebagian besar di eliminasi
melalui pembuangan tinja. Pada organisme aquatik, pemasukan Ni
dipengaruhi oleh kesadahan air seperti penurunaan sifat toksisitas Ni
akibat meningkatnya kesadahan air. Ion Ni
2+
dapat masuk ke dalam
organisme melalui difusi sederhana (Flecther et al., 1994) dan



16

terakumulasi di dalam sitosol sel sampai mencapai keseimbangan dengan
konsentrasi Ni
2+
eksternal atau tempat pengikatan membran sel setelah
tersaturasi (Azzez and Banerjee, 1991). Di dalam sitosol, Ni
2+
terikat
dengan protein dan ligand dengan massa molekular rendah, termasuk
asam amino seperti sistein dan histidin. Ni dapat berikatan dengan
albumin di dalam darah vertebrata dan dikeluarkan melalui urin.
Ni relatif tidak toksik bila dibandingkan dengan logam berat lainnya,
namun, beberapa penelitian menunjukan bahwa toksisitas Ni pada
spesies air tawar cenderung terselubung oleh kehadiran logam lain. Efek
kronik dari paparan Ni seperti penghambatan pertumbuhan dan
reproduksi pada invertebrata, merupakan akibat dari meningkatnya
konsentrasi Ni dibanding tingkat konsentrasi akut terendah (Azzez dan
Banerjee, 1991). Akumulasi tingginya Ni di dalam jaringan paru-paru,
menujukkan adanya hubungan antara paparan sejumlah kecil partikulat
senyawa Ni dengan kerusakan DNA (Wright and Pamela, 2002).
Toksisitas Ni tergantung pada jenis senyawa yang masuk ke dalam
sel. Berdasarkan peningkatan toksisitas akutnya, senyawa Ni dapat dibagi
dalam tiga katagori: (1) garam terlarut dalam air, [NiCl
2
, NiSO
4
, Ni(NO
3
)
2
,
dan Ni(CH
3
COO)
2
]; (2) partikulat Ni, [Ni
3
S
2
, NiS
2
, Ni
7
S
6
, dan Ni(OH)
2
]; dan
(3) karbonil Ni yang larut dalam lemak, [Ni(CO)
4
].
Ion Ni
2+
bebas merupakan bentuk toksik paling tinggi di dalam sel.
Kenyataan ini kontradiktif, jika dianggap penyerapan Ni dan pengeluaran
oleh sel adalah satu rute. Ni terlarut mempunyai pergantian biologis yang



17

cepat dan toksisitasnya rendah. Partikulat Ni memasuki sel melalui
fagositosis, di mana lisosom yang terikat dengan vesikel fagositik akan
membantu pemutusan Ni, namun mekanisme ini belum banyak diketahui
(Wright and Pamela, 2002). Vesikel ini kemudian berkelompok di sekitar
selubung inti, pada tempat masuknya ion Ni
2+
, dan bereaksi secara
langsung dengan molekul DNA sehingga menghasilkan fragmentasi dan
hubungan silang. Pada mammalia, karsinogenitas telah menjadi perhatian
utama karena partikulat Ni merupakan sumber Ni
2+
yang tersalurkan
secara langsung ke dalam DNA.
Ni-karbonil merupakan bentuk gas yang memiliki fungsi berbahaya
yang spesifik pada pengilangan Ni dan penggunaan katalis Ni. Bentuk ini
mudah larut dalam lemak dan sangat cepat memasuki aliran darah.
Toksisitas akut disebabkan oleh terhambatnya aktivitas enzim dalam paru-
paru yang selanjutnya berakibat pada kerusakan sistem respirasi (Wright
and Pamela, 2002).

3. Tembaga

Logam Cu merupakan elemen mikro yang esensial untuk semua
tanaman dan hewan, termasuk manusia, karena diperlukan oleh berbagai
sistem enzim di dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, Cu harus selalu
ada di dalam makanan. Hal yang perlu diperhatikan adalah menjaga agar
kadar Cu di dalam tubuh tidak kekurangan dan juga tidak berlebihan
(Suhendrayatna, 2001).



18

Keberadaan Cu di lingkungan perlu mendapat perhatian
mengingat kecilnya toleransi konsentrasi yang diijinkan. Berdasarkan
keputusan menteri negara KLH Kep.02/Men-KLH/1998 tentang Pedoman
Penetapan Baku Mutu Lingkungan, keberadaan Cu dalam lingkungan
diharapkan nihil, sedangkan batas maksimal yang diperbolehkan adalah
1 ppm (Khasanah, 1998). Dalam industri yang memproduksi alat-alat
listrik, gelas, dan zat warna, Cu dalam bentuk senyawa organik dan
anorganik, biasanya bercampur dengan logam lain seperti alloi dengan
Ag, Cd, Sn, dan Zn Cu (Yruela, 2005).
Kebutuhan tubuh akan Cu per hari sekitar 0,05 mg.kg
-1
berat
badan. Pada kadar tersebut akumulasi Cu pada tubuh manusia normal
tidak terjadi. Konsumsi Cu dalam jumlah yang lebih besar dapat
menyebabkan gejala-gejala yang akut (Darmono, 1995), walaupun
dengan konsentrasi yang kecil sekitar 1-5 mg.kg
-1
bobot kering, Cu
diperlukan sebagai nutrisi pada tumbuhan, dan keberadaan Cu akan
berubah menjadi toksik jika konsentrasinya di atas 20-30 mg.kg
-1
bobot
kering tumbuhan (Klaassen et al., 1986). Dalam proses transpor elektron
pada makhluk hidup, Cu merupakan salah satu komponen yang penting.
Sebagai contoh Cu dijumpai pada plastosianin dalam proses fotosintesis,
sitokrom-C oksidase dalam pernapasan, laccases, superoxide dismutase,
dan ascorbate oxidase (Klaassen et al., 1986).
Jumlah Cu yang diperlukan untuk proses enzimatik dalam keadaan
normal, biasanya sangat sedikit. Dalam keadaan lingkungan yang



19

tercemar, keberadaan Cu akan menghambat sistem kerja enzim. Cu
ditemukan pada jaringan beberapa spesies hewan air yang mempunyai
regulasi sangat buruk terhadap logam (Sembiring dkk., 2008). Pada
binatang lunak jenis moluska sel leukosit sangat berperan dalam sistem
translokasi dan detoksikasi logam. Hal ini terutama ditemukan pada
kerang kecil (oyster) yang hidup dalam air yang terkontaminasi Cu yang
terikat oleh sel leukosit, sehingga menyebabkan kerang tersebut
berwarna kehijau-hijauan (Palar,1994).


4. Seng

Logam Zn dijumpai pada pertambangan logam, dalam bentuk
garam sulfida. Zn dan beberapa bentuk senyawaannya digunakan dalam
produksi logam campuran seperti perunggu dan kuningan. Senyawa Zn
juga sering digunakan dalam pelapisan logam seperti baja, yang
merupakan produk anti karat. Selain itu, logam ini umumnya digunakan
pada industri pewarnaan, cat, karet, obat dalam bentuk salep dan bahan
pengawet kayu.
Pada manusia Zn merupakan unsur yang terlibat dalam sejumlah
besar enzim yang mengkatalisis reaksi metabolik yang vital. Selain itu, Zn
esensial untuk proses pertumbuhan anak dan berperan dalam proses
pembentukan DNA dan RNA serta partisipasinya dalam metabolisme
protein (Darmono, 1995).



20

Menurut U.S National Library of Medicine, defisiensi Zn akan
menyebabkan pertumbuhan rata-rata dan penyembuhan luka yang
lambat, muncul lesi pada kulit, infeksi yang tak kunjung sembuh, dan
menurunnya produksi hormon pada pria (infertilitas). Toksisitas Zn akan
terlihat apabila masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang berlebihan atau
melebihi nilai toleransi yang telah ditetapkan yaitu 40 mg.kg
-1
berat kering.
Zn dapat menyebabkan efek racun bagi tubuh manusia jika dikonsumsi
lebih besar dari 100-500 mg.hari
-1
. Jika dikonsumsi dalam dosis tinggi, Zn
menyebabkan rasa tidak enak dan menyebabkan rusaknya pankreas,
gangguan pencernaan, dan diare.


5. Kadmium

Cd merupakan unsur logam transisi yang termasuk elemen minor
dalam kerak bumi. Secara alami di lingkungan Cd dapat berasal dari
proses erosi dan abrasi batu karang dan tanah, kebakaran hutan, dan
erupsi vulkanik, sedangkan secara non alami Cd merupakan hasil proses
pertambangan.
Cd termasuk logam yang reaktif dan larut dalam asam-asam
pengoksidasi dan non pengoksidasi, tetapi tidak seperti Zn, Cd tidak larut
dalam larutan alkali. Cd teroksidasi sangat lambat pada udara lembab
dan ketika dipanaskan akan membentuk oksida. Cd berikatan secara
kovalen dan mempunyai afinitas yang tinggi terhadap gugus sulfhidril
(SH), mendorong peningkatan kelarutan lemak, dapat terakumulasi dan



21

bersifat racun, sementara Cd bereaksi dengan halogen dan belerang
dalam keadaan panas.
Cd masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi, dan dapat menimbulkan efek toksik (Darmono,
1995). Pada ginjal dan hati Cd terakumulasi terutama sebagai
metalotionein yang mengandung asam amino sistein. Toksisitas Cd
disebabkan oleh adanya ikatan dengan gugus (SH) dalam enzim
karboksil sisteinil, histidil, hidroksil dan fosfatil dari protein dan purin,
sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim
(Suhendrayatna, 2001).
Keracunan Cd pada pekerja industri di Jepang menyebabkan
kerapuhan pada tulang-tulang penderita (penyakit itai-itai), karena
terpapar uap Cd atau CdO (Palar, 1994). Menurut Suhendrayatna (2001),
Cd mempunyai banyak efek toksik seperti kerusakan ginjal dan
karsinogenik pada hewan yang menyebabkan tumor pada testis. Pada air
laut dengan konsentrasi ion klorida 0,54 mol.L
-1
, senyawa CdCl
2
, CdCl
3
+

dan CdCl
-
dijumpai pada rentang pH 7-9. Di larutan encer dengan
konsentrasi Cl
-
0,01-0,03 mol.L
-1
, ion Cd mulai mendominasi sehingga
ikatan Cd-Cl relatif stabil.
Dalam interaksinya dengan Cd, ion Cl
-
berperan sebagai agen
pengompleks yang lebih selektif dari pada beberapa pengompleks
organik. Cd membentuk kompleks yang sangat stabil dengan berbagai
senyawa organik, menjadi suatu aseptor asam lemah dalam reaksi-reaksi



22

koordinasi, dan menyukai atom-atom donor lemah seperti sulfur, selenium,
dan sistein.

6. Timbal

Pb merupakan logam berat yang terdapat secara alami di dalam
kerak bumi dan tersebar di alam dalam jumlah kecil melalui proses alami.
Melalui proses-proses geologi, Pb terkonsentrasi dalam deposit bijih
logam dalam bentuk galena, PbS; anglesit, PbSO
4
; dan Pb
3
O
4
(Darmono,
1995).
Dalam bentuk senyawa, Pb banyak digunakan pada berbagai
bidang. PbO
2
dalam industri baterai digunakan sebagai bahan aktif untuk
pengaliran arus elektron. Kemampuan Pb dalam membentuk alloi dengan
logam lain telah dimanfaatkan untuk meningkatkan sifat metalurgi dari
logam ini sehingga penerapannya menjadi sangat luas (Palar, 1994).
Pada limbah industri metalurgi, Pb dalam bentuk Pb-arsenat
bersifat toksik. Pada proses korosi alloi, Pb dapat dijumpai dalam bentuk
kompleks dengan zat organik seperti heksaetil timbal, dan tetra alkil
timbal. Secara alami, Pb masuk ke badan air melalui pengkristalan di
udara dengan bantuan air hujan (Palar, 1994), dan masuk ke dalam tubuh
melalui saluran pencernaan dan pernapasan. Pada saluran pencernaan,
Pb yang diabsorpsi didistribusikan ke dalam jaringan melalui darah. Pb
terdeteksi dalam tiga jaringan utama, yaitu terikat dalam: (1) sel darah
merah di dalam darah; (2) jaringan lunak, hati dan ginjal, dengan waktu
paruh sekitar beberapa bulan; dan (3) tulang dan jaringan-jaringan keras



23

(kalsifikasi) seperti gigi dan tulang rawan (Darmono, 1995). Pada sistem
syaraf Pb bersifat racun, hematologik, hematotoksik, dan mempengaruhi
kerja ginjal. Toleransi untuk konsumsi mingguan bagi orang dewasa yang
direkomendasikan oleh WHO adalah 50 g.kg
-1
berat badan, dan untuk
bayi atau anak-anak adalah 25 g.kg
-1
berat badan (Suhendrayatna,
2001).
Penelitian yang dilakukan di Universitas Surabaya menunjukkan
bahwa 80% dari populasi anak sekolah di Kenjeran mengalami
kemunduran intelektual atau slow learner. Mereka diketahui banyak
mengkonsumsi ikan yang kemungkinan besar tercemar Pb
(Suhendrayatna, 2001).
B. Alga

Alga termasuk dalam kerajaan tumbuhan, salah satu organisme
yang mempunyai klorofil a dan thallus yang tidak dapat dibedakan antara
akar, batang, dan daunnya. Alga merupakan dasar rantai makanan
perairan, dimakan oleh hewan-hewan mikroskopis, serangga, ikan, dan
selanjutnya akan dimakan oleh predator yang lebih besar. Alga dibedakan
dari tumbuhan berklorofil lain berdasarkan reproduksi seksualnya.
Reproduksi alga dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) generatif, melalui
perkawinan gamet jantan dan betina dan (2) vegetatif, melalui cara
konjugatif dan penyebaran spora yang terdapat pada kantong sporanya
(carporspora, cystocarp).



24

Alga dapat hidup pada tempat-tempat yang mengandung air dan
cahaya. Di daratan, alga dapat dijumpai pada semua habitat yang
mengandung air, seperti genangan air, tanah, dan tanaman. Sementara
habitat air seperti laut, sungai, danau, dan kolam, merupakan tempat
hidup alga. Sebagai tanaman, pertumbuhan alga dapat distimulasi dengan
pemberian nutrisi yang cukup dan gas karbondioksida. Pertumbuhan dan
penyebaran alga laut bergantung pada faktor-faktor oseanografi seperti
faktor fisika, kimia, pergerakan/dinamika air laut, dan jenis substratnya.


Gambar 1. Alga sebagai produsen dalam rantai makanan
Sumber : www.mbari.org




25

Untuk pertumbuhannya, alga laut mengambil nutrisi dari lingkungan
di sekitarnya secara difusi melalui dinding thallus. Alga memiliki ukuran
yang bervariasi, mulai dari rumput laut yang besar, dengan satuan
panjang meter dan disebut makroalga; hingga alga yang hanya bisa dilihat
di bawah mikroskop (disebut mikroalga).

Mikroalga
Mikroalga atau di Indonesia biasa disebut mikroalga, didefinisikan
sebagai organisme tumbuhan mikroskopik yang hidup melayang dan
mengapung di dalam air, dengan kemampuan gerak yang terbatas.
Mikroalga berperan dalam proses sintesis bahan organik dalam
lingkungan perairan (Anonim, 2008). Sebagai mikroorganisme autotrof,
mikroalga mampu menyediakan dan mensintesis makanannya sendiri,
berupa bahan-bahan organik dan anorganik dengan bantuan
energi/cahaya. Bantuan sinar matahari atau sumber energi lain di siang
hari, mendukung aktivitas fotosintesis pada mikroalga untuk membentuk
molekul-molekul karbon kompleks melalui larutan nutrien dari berbagai
sumber yang dikonsumsi untuk membentuk sel-sel baru (Hoff and Snell,
2008). Proses fotosintesis yang berlangsung dapat digambarkan dalam
bentuk persamaan reaksi kimia (Pers. 1).

6 CO
2
+ 12 H
2
O
uv
C
6
H
12
O
6
+ 6 H
2
O +6 O
2
(1)
C
6
H
12
O
6
+ 6 H
2
O + 6 O
2

energi
6 CO
2
+ 12 H
2
O (2)



26

Untuk menunjang kehidupannya, mikroalga membutuhkan sinar
matahari, air, dan nutrien. Keberadaan klorofil mendukung mikroalga
untuk menggunakan energi sinar dalam proses fotosintesis dengan
mengubah CO
2
menjadi karbohidrat dan

ATP. Oksigen dibebaskan
sebagai produk dari proses tersebut. Pada malam hari, mikroalga
melakukan respirasi (Anonim, 2001), di mana oksigen yang dikonsumsi
akan digunakan untuk mengoksidasi karbohidrat dan menghasilkan
sejumlah energi dan karbondiksida (Pers. 2).



Gambar 2. Struktur sel tumbuhan
Sumber : www.sith.itb.ac.id

Mikroalga eukariotik mengandung kloroplas, pigmen penyerap
cahaya, (Gambar 2 dan 3), yang bertanggung jawab untuk menangkap



27

energi cahaya matahari selama proses fotosintesis, di samping pigmen
utama klorofil, yang juga digunakan oleh tumbuhan pada umumnya.
Beberapa diantaranya juga mengandung pigmen sekunder seperti
karotenoid, yang berwarna coklat atau kuning, dan pikobilin yang berwarna
biru atau merah (Hoff and Snell, 2008).
Pigmen sekunder ini merupakan pemberi warna-warni pada
mikroalga. Dalam jumlah besar, mikroalga dapat membuat warna air
menjadi hijau karena mereka mengandung klorofil dalam sel-selnya,
walaupun warna setiap spesies mikroalga dapat bervariasi karena
kandungan klorofil yang berbeda-beda atau adanya pigmen tambahan
seperti phycobiliprotein (Anonim, 2008).



Gambar 3. Struktur kloroplas sel tumbuhan
Sumber : www.sith.itb.ac.id




28

Mikroalga merupakan organisme renik yang mempunyai
kelimpahan terbesar hingga kedalaman sekitar 7 meter. Komunitas
mikroalga umumnya didominasi oleh jenis mikroalga yang berukuran lebih
kecil dari 10 m, di mana pertumbuhan setiap jenis mempunyai respon
yang berbeda terhadap perbandingan nutrien terlarut dalam badan air
(Garno, 2002). Fakta bahwa mikroalga masih mampu bertahan hidup
pada kondisi suhu antara 20-40
o
C, intensitas cahaya dengan rentang
4.305-16.000 lux, dan kadar CO
2
yang dibutuhkan untuk fotosintesis
berkisar 0,5-5 %, pada salinitas 25-30 permil, dan pH sekitar 7,5-8,5
menunjukkan bahwa populasi mikroalga cukup konstan dengan fluktuasi
kondisi setempat.
Selain menyumbang banyak pada proses biogeokimia dan
merupakan dasar untuk rantai makanan akuatik umumnya, mikroalga
memainkan peran esensial dalam mengontrol kualitas air dan memberi
pengaruh besar atas iklim global melalui pengaturan CO
2
. Perubahan
populasi mikroalga dapat digunakan sebagai indikator bagi saintis untuk
mengamati lingkungan. Mikroalga juga berguna dalam menentukan di
mana arus laut membawa nutrien untuk pertumbuhan tanaman dan di
mana polutan beracun yang menghambat pertumbuhan tanaman.
Nutrien yang esensial bagi mikroalga antara lain: CO
2
; senyawa-
senyawa N, S, P; dan logam-logam kelumit. Beberapa spesies mikroalga
juga membutuhkan vitamin seperti tiamin atau biotin untuk hidup
(Bjornstad, 2005). Suhu sangat berperan dalam kultur mikroalga karena



29

aktivitas enzim dan metabolisme sel dipengaruhi oleh suhu. Selain itu,
intensitas cahaya juga merupakan faktor penting, terutama berkaitan
dengan proses fotosintesis. Intensitas cahaya yang baik untuk
pertumbuhan mikroalga adalah sekitar 3.000-30.000 lux (Fogg, 1975).
Salinitas perairan laut sudah tentu berpengaruh atas pertumbuhan
organisme aquatik, khususnya dalam hal keseimbangan fungsi osmosis
antara protoplasma sel dengan medium lingkungan. Salinitas secara
umum berbanding terbalik dengan proses fotosintesis, karena adanya
gejala migrasi kelompok alga dari lingkungan perairan bersalinitas rendah
ke salinitas tinggi, sehingga fotosintesis akan terhambat (Andarias, 1982).
Laju fotosintesis maksimal umumnya dijumpai pada medium air laut
normal. Sebagai salah satu parameter aquatik, pH perlu dipertimbangkan,
karena nilai pH dapat digunakan sebagai indikator kualitas air. Bahkan pH
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh langsung terhadap
produksi dan pertumbuhan mikroalga (Andarias, 1982).
Pada lingkungan perairan laut, mikroalga yang berfungsi sebagai
produsen primer dalam sistem rantai makanan, merupakan subyek penting
yang harus dikaji tingkat akumulasinya terhadap ion-ion logam pencemar.
Menurut Fhencel (1988), konsentrasi plankton pada permukaan perairan
berkisar antara 500-10
4
sel/mL, sehingga plankton mempunyai luas
permukaan yang besar terhadap volumenya. Di samping itu, seluruh
permukaan tubuh plankton dilapisi oleh membran sel (Gambar 2) sehingga
potensi interaksinya dengan ion logam di perairan menjadi tinggi.



30

C. Deskripsi Nannochloropsis sp.
1. Taksonomi
Nannochloropsis adalah genus mikroalga yang terdiri atas 6
spesies, yaitu: N. gaditana; N. granulata; N. limnetica; N. oceanica;
N. oculata; dan N. salina. Genus yang digunakan dalam taksonomi saat ini
pertama kali dikenalkan oleh Hibberd (1981). Taksonomi untuk mikroalga
Nannochloropsis setelah mengalami pengembangan (Andersen et al,
1998) dan digunakan hingga saat ini, adalah sebagai berikut:
Kingdom : Chromista
Filum : Heterokontophyta
Kelas : Eustigmatophyceae
Famili : Monodopsidaceae
Genus : Nannochloropsis

Nannochloropsis merupakan salah satu mikroalga air laut yang
umum dikembangbiakkan pada tempat penetasan ikan sebagai makanan
untuk rotifer. Pembiakan Nannochloropsis sp. dalam jumlah besar telah
dilakukan melalui berbagai macam cara, seperti kolam besar di tempat
terbuka dan tangki (Sukenik, 1999); pada kantung polietilen 50500 liter
atau tabung serat gelas yang diletakkan di dalam ruangan dengan cahaya
tambahan (Fulks and Main, 1991). Proses pembiakan menggunakan
sistem tersebut dapat menimbulkan masalah, antara lain mikroalga mudah
terkontaminasi, dan produktifitas serta konsentrasi biomassanya rendah.



31

Untuk medapatkan hasil dengan tingkat efesiensi yang lebih baik,
pembiakan Nannochloropsis sp. dilakukan melalui sistem fotobioreaktor,
dengan kondisi pencahayaan alami, pencahayaan tambahan, atau
kombinasi antara keduanya.

1. Morfologi Nannochloropsis sp.
Nannochloropsis sp. merupakan mikroalga yang ukuran selnya
relatif kecil, dengan diameter sekitar 24 m, berbentuk bulat telur, dan
tidak dilengkapi dengan cambuk (Gambar 4). Nannochloropsis sp.
mengandung klorofil a, meskipun ditemukan juga xantofil yang berperan
sebagai pigmen tambahan, dan memiliki beberapa kumpulam lamela
fotosintesis, masing-masing dengan tiga buah tilakoid pada setiap
koloninya (Guiry and Guiry, 2008).


Gambar 4. Profil Nannochloropsis sp. di bawah mikroskop
Sumber : www.comenius.susqu.edu




32

2. Reproduksi Nannochloropsis sp.
Dalam lingkungan terbatas, populasi mikroalga menunjukkan 3
tahap pola pertumbuhan, yaitu: (1) tahap penyesuaian, (2) tahap
pembelahan, (3) tahap pertumbuhan dan kematian (Fogg, 1975).
a. Tahap penyesuaian, merupakan tahap yang terjadi setelah inokulasi
pada medium kultur. Pada tahap ini, sel melakukan aktivitas
metabolisme dan fisiologis dalam mempersiapkan diri untuk
melakukan pembelahan. Cepat atau lambatnya tahap in tergantung
pada kualitas dan kuantitas medium serta umur kultur yang
diinokulasi;
b. Tahap pembelahan, terjadi setelah sel menyerap nutrien dari
mediumnya;
c. Tahap pertumbuhan dan kematian, adalah tahap pembelahan sel
melalui pembelahan protoplasma menjadi 2 bagian, disebut epitheca
(setengah dinding bagian luar) dan hypotheca (setengah dinding
bagian dalam), kemudian masing-masing bagian tersebut
menyempurnakan dirinya untuk selanjutnya siap membelah lagi. Pada
kondisi yang memungkinkan akan tercapai percepatan pertumbuhan.
Pada tahap ini kecepatan pembelahan sel maksimum sehingga
terlihat adanya penambahan sel yang berlipat ganda, dengan ukuran
sel yang minimum, dan metabolisme berlangsung sangat aktif. Tahap
ini dapat dipercepat dengan menambahkan nutrien ke dalam medium
sebelum mengalami tahap berikutnya.



33


a. Reproduksi Aseksual
Nannochloropsis sp. bereproduksi secara aseksual melalui
autospora, yakni bentuk sel anak tanpa cambuk yang akan dilepaskan
dari dinding yang hancur pada sel induk yang asli. Sel anak yang
dilepaskan merupakan tiruan yang hampir sempurna dari sel vegetatif
yang memproduksinya (Gualtieri and Barsanti, 2006).

b. Reproduksi Seksual
Pada reproduksi seksual, proses yang terjadi dapat beragam,
antara lain melalui Isogami, di mana kedua gamet motil dan tidak dapat
dibedakan. Ketika kedua gamet memiliki ukuran yang berbeda dinamakan
heterogami. Sedangkan Anisogami adalah reproduksi di mana kedua
gamet motil, tetapi gamet sperma berukuran kecil dan ovum besar. Pada
Oogami, hanya gamet sperma yang motil dan bergabung dengan ovum
yang tak-motil tetapi berukuran sangat besar (Gualtieri and Barsanti,
2006).

3. Komposisi Kimia
Komposisi kimia mikroalga berbeda-beda bergantung pada
spesies, nutrien, cahaya, serta berbagai faktor fisika dan kimia selama
pertumbuhannya. Tabel 1 menunjukkan adanya 3 komponen kimia
dominan pada Nannochloropsis sp., yaitu protein, lipid, dan karbohidrat, di



34

samping 16 macam asam amino esensial. Pada kultur yang berbeda,
walaupun dilakukan pada kondisi yang sama dapat memberikan
komposisi kimia yang berbeda (Hoff and Snell, 2008).
Tabel 1. Analisis Nutrien Nannocloropsis
Spesi kadar (%)
Berat kering 18,40
Protein 52,11
Karbohidrat 16,00
Total lipid 27,64
Vitamin C 0,90
Klorofil a 0,89
Asam Amino kadar (%)
Asam aspartat 9,40
Serin 4,32
Asam glutamat 15,48
Glisin 7,11
Histidin 0,61
Arginin 4,57
Threonin 5,28
Alanin 1,54
Prolin 15,12
Tiosin 1,06
Valin 6,90
Methionin 2,64
Lisin 9,07
Leusin 11,57
Isoleusin 1,47
Fenilalanin 1,92
Sumber : Hoff and Snell, 2008



35

4. Kultivasi Mikroalga
Berbagai metode kultivasi mikroalga telah dilakukan, kultivasi
dalam ruangan umumnya dilakukan dengan fotobioreaktor (Gambar 5),
yang memberi kemudahan terutama dalam melakukan pengontrolan
terhadap intensitas cahaya, suhu, tingkat nutrisi, kontaminasi, dan
mikroalga yang menjadi kompetitor. Sistem kultivasi mikroalga yang
dilakukan di luar ruangan, relatif lebih murah namun banyak
kelemahannya. Masalah yang dapat timbul antara lain pertumbuhan kultur
mikroalga yang spesifik sulit dijaga pada periode waktu yang lama, karena
sistem kultivasi yang rentan kontaminasi dan tidak steril (Sukenik, 1999).



Gambar 5. Kultivasi mikroalga menggunakan fotobioreaktor
Sumber : www.malawicichlidhomepage.com




36

Kultivasi di luar ruangan, misalnya pada kolam terbuka dan tangki,
lebih cepat terkontaminasi daripada mikroalga yang dikultivasi pada
wadah tertutup seperti tabung, labu, jerigen, dan kantung plastik. Untuk
memperoleh kultur yang spesifik, kultivasi dilakukan dengan
menggunakan kultur mikroalga yang bebas dari mikroorganisme asing
seperti bakteri. Akan tetapi metode kultivasi ini cukup sulit dan relatif
mahal, karena membutuhkan sterilisasi yang tepat untuk peralatan gelas,
media kultur, dan wadah yang digunakan (Hoff and Snell, 2008).

4. Parameter Kultur Mikroalga
Pertumbuhan mikroalga autotrof dalam media kultur, sangat
ditentukan oleh berbagai faktor. Hal terpenting yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroalga antara lain kualitas dan kuantitas nutrien, cahaya,
pH, turbulensi, salinitas, dan suhu. Kondisi optimal dari faktor-faktor
tersebut berbeda-beda dengan rentang yang luas sesuai dengan spesies
mikroalga. Jika suatu faktor optimal untuk spesies mikroalga tertentu,
faktor tersebut belum tentu optimal untuk spesies mikroalga lain.

a. Cahaya
Kebutuhan mikroalga akan cahaya tidak boleh terlalu kuat dan
tidak juga terlalu lemah. Sinar matahari langsung yang terlalu kuat
mengenai mikroalga sebaiknya dihindari, karena mikroalga hanya
membutuhkan 1/10 bagian dari intensitas sinar matahari. Beberapa



37

mikroalga hijau dan biru-hijau dapat tumbuh dalam keadaan gelap dan
beberapa jenis lain tumbuh dalam intensitas cahaya sekitar 10.000 lux.
Intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mikroalga pada umumnya
adalah 2.5005.000 lux. Namun kebutuhan mikroalga akan cahaya
berbeda-beda sesuai dengan kedalaman dan kerapatan kultur mikroalga.
Semakin tinggi kedalaman kultur dan semakin tinggi konsentrasi sel, maka
intensitas cahaya harus ditingkatkan agar cahaya dapat menembus media
kultur (Hoff and Snell, 2008).
Intensitas cahaya yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
terjadinya fotoinhibisi, karena cahaya yang berlebih dapat mengakibatkan
suhu kultur naik. Hal ini harus dicegah karena dapat mengganggu proses
metabolisme pada mikroalga dan juga menimbulkan efek fotokimia yang
dapat merusak pigmen. Pada saat pencahayaan terang, mikroalga
cenderung melakukan aktivitas pertumbuhan, di mana ia akan
mengkonsumsi energi dari penguraian glukosa hasil fotosintesis untuk
memperbanyak diri, sehingga pada kondisi ini proses yang terjadi
merupakan proses pertumbuhan sel.
Beberapa hasil penelitian dengan berbagai macam kelompok
mikroalga menyatakan bahwa kandungan senyawa kimia seperti lipid dan
asam lemak tak jenuh berbanding terbalik dengan intensitas cahaya
(Cohen, 1999). Menurut Sukenik (1999), sel Nannochloropsis sp. yang
dikultivasi dengan kondisi cahaya terbatas dapat menaikkan kandungan
lipid dan asam eikosapentaenoat (EPA).



38

b. Suhu
Pada reaksi biokimia, suhu merupakan faktor lingkungan paling
penting yang mempengaruhi komposisi biokimia sel mikroalga. Suhu
kultur mikroalga yang ideal adalah sesuai dengan suhu pada habitat asli
mikroalga tersebut. Oleh karena itu, suhu optimal setiap spesies mikroalga
dapat berbeda-beda.
Sebagian besar spesies mikroalga yang dikulivasi mempunyai
toleransi terhadap suhu antara 16 hingga 27 C (Hoff and Snell, 2008).
Suhu yang lebih rendah daripada 16 C akan memperlambat pertumbuhan
mikroalga, sedangkan jika suhu kultur melebihi 35 C dapat menjadi
kondisi yang mematikan bagi beberapa spesies mikroalga. Penurunan
suhu kultur mikroalga di bawah tingkat suhu optimalnya dapat
menyebabkan perubahan struktur kimia, seperti peningkatan derajat
ketakjenuhan lipid pada sistem membran (Richmond, 2004).

c. pH
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
mikroalga adalah pH. Rentang nilai pH untuk sebagian besar kultur
mikroalga adalah antara 79, dengan nilai pH optimal sebesar 8,28,7.
Kegagalan kultur mikroalga yang disebabkan oleh gangguan pada
beberapa proses selular dapat merupakan akibat dari ketakberhasilan
dukungan nilai pH yang dapat diterima oleh kultur mikroalga. Selama
kultivasi, pH dapat berubah hingga mencapai nilai 9. Peningkatan nilai pH



39

dapat diatasi dengan cara menambahkan CO
2
ke dalam medium
pertumbuhan.

d. Salinitas
Mikroalga laut mempunyai toleransi yang ekstrim untuk
menghadapi perbedaan salinitas medium pertumbuhannya. Sebagian
besar spesies tumbuh optimal pada salinitas yang sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan salinitas pada habitat aslinya. Hal ini dapat
diperoleh dengan cara mengencerkan air laut dengan menggunakan air
tawar. Rentang salinitas optimal untuk kultivasi mikroalga sekitar 2024
g.L
-1
atau 2035 ppt, tetapi N. Oculata dapat hidup pada rentang pH yang
lebih lebar, yakni 0-36 ppt (Hoff and Snell, 2008).
Peningkatan salinitas dapat meningkatkan kandungan lipid pada
Monodus subterraneus (Iwamoto and Sato, 1986) dan Dunaliella spp.
(Borowitzka and Borowitzka, 1988).

D. Penjerapan Logam Berat oleh Mikroalga

Berbagai penelitian yang berhubungan dengan biosorpsi ion
logam menggunakan plankton dan biomassanya telah dilakukan.
Biosorpsi Cu dengan menggunakan biomassa Sargassum yang mampu
mengikat 2,3 meq.g
-1
kation logam melalui teknik pertukaran ion,
dilaporkan oleh Kratochvil and Volesky (1998). Mikroorganisme dan



40

produknya dapat berperan sebagai bioakumulator yang efektif terhadap
logam-logam, baik dalam bentuk partikulat maupun terlarut (Ozdemir et
al., 2004). Biosorpsi Cu dengan menggunakan alga laut Gelidium dan
aplikasi kompositnya sebagai bahan pengisi kolom untuk menjerap ion Cu
juga telah dilaporkan (Vilar et al., 2008a), bahkan dikembangkan hingga
ke sistem tangki reaktor dengan pengadukan yang kontinu (Vilar et al.,
2008b). Proses biosorpsi ion-ion Cr
3+
, Cd
2+
, Cu
2+
oleh Spirulina sp. ditinjau
dari aspek kinetik, kesetimbangan dan mekanisme juga telah dilakukan
(Chojnacka et al., 2005). Demikian juga dengan biosorpsi Pb
2+
, Cu
2+
,
Cd
2+
, dan Zn
2+
dari larutan logam biner pada alga Gelidium sesquipedale,
pada sistem ruah juga telah dilakukan (Vilar et al., 2008c), sementara
Pagnanelli et al. (2003) melaporkan data biosorpsi Pb, Cu. Zn, dan Cd
pada Sphaerotilus natans dengan kesetimbangan pada pH yang berbeda
(3-5 unit). Sheng et al (2004) telah menggunakan alga laut Sargassum
sp., Padina sp., Ulva sp., dan Gracillaria sp., sebagai biosorben untuk
mengikat Pb, Cu, Cd, Zn, dan Ni dalam larutan encer. Biomassa
C. calcitrans mempunyai kemampuan adsorpsi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan biomassa yang telah terimmobilisasi pada silika gel
(Amaria, 1998).
Grimm et al. (2008) telah melakukan komparasi daya jerap dari
kayu pohon Betula sp., alga laut Fucus vesiculosus, dan lumut Pleurozium
schreberi, sebagai bahan baku biosorben untuk menjerap ion Cu dari
larutan encer. Sejumlah kecil (0,5 g/100 mL) sampel alga ternyata mampu



41

menjerap lebih dari 90 % ion Cu dalam larutan encer (5-20 mg.L
-1
),
sedangkan biosorben lainnya kurang efektif. Fungus juga dapat digunakan
untuk menyerap Ni, Cu, dan berbagai jenis unsur lantanida seperti Th, U,
dan Pu. Kebanyakan studi menggunakan pendekatan dengan pH 2
(Wainwright, 1993). Tetapi di bagian lain, metode ini menjadi tidak efektif
bila terdapat penghambat-penghambat proses metabolisme (metabolic
inhibitor) atau siklus gelap terang (Nora et al.., 1998).
Secara umum, biosorpsi ion logam berat berlangsung cepat,
bolak-balik dan tidak bergantung pada faktor kinetik bila dikaitkan dengan
penyebaran sel (dispersed cell). Penggunaan mikroorganisme untuk
menangani pencemaran logam berat lebih efektif dibandingkan dengan
pertukaran ion dan osmosis balik dalam kaitannya dengan sensitivitas
kehadiran padatan terlarut (suspended solid), zat organik dan logam berat
lainnya (Dindin, 2006). Kemampuan adsorpsi biomassa Chlorella sp.
untuk mengadsorpsi ion logam Cd, Pb, dan Cu, lebih tinggi dibandingkan
dengan biomassa yang diimmobilisasi pada silika gel, tetapi biomassa
terimmobilisasi mempunyai bentuk agregat yang lebih stabil (Putra, 2007).
Pada pencemaran akut di perairan, sebagian besar bahan
pencemar dalam bentuk larutan sehingga adsorpsi dan akumulasi
langsung oleh biota akan menggambarkan keadaan yang terjadi. Dalam
kaitan ini, mikroalga menarik untuk dijadikan bioindikator (Arifin dan Raya,
1997), dan biosorben terhadap ion Cu(II) dalam mereduksi tingkat
pencemaran (Hala dkk., 2004). Interaksi C. calcitrans dengan ion Cu(II)



42

dalam medium Conwy cair menunjukkan kapasitas yang relatif besar,
hingga 40 mg.L
-1
, demikian juga halnya dengan interaksi biomassa
terhadap Cu(II). Biomassa ini berpotensi untuk diarahkan menjadi agen
penjerap (biosorben) dalam prekonsentrasi ion Cu(II) dengan cara kerja
yang mirip dengan resin penukar ion, namun biaya yang diperlukan relatif
lebih murah. Peningkatan nilai EC
50
terhadap logam tunggal Cu, Zn, dan
Pb dalam kultur mikroalga dengan nutrien N, P, dan EDTA, lebih tinggi
sesuai urutan Cu <<Zn<<Pb (Seidl et al., 1998).

1. Proses Adsorpsi
Adsorpsi secara umum adalah proses terakumulasinya zat-zat
terlarut yang terdapat dalam larutan antara dua permukaan, dapat terjadi
antara cairan dan gas; cairan dan zat padat; atau cairan dan cairan lain.
Walaupun proses tersebut dapat terjadi pada seluruh permukaan benda,
namun yang sering terjadi adalah penggunaan bahan padat yang
mengadsorpsi partikel yang berada dalam air. Bahan yang akan
diadsorpsi disebut sebagai adsorbat atau terlarut sedangkan bahan
pengadsorpsi dikenal sebagai adsorben (Sugiharto, 1987).
Proses adsorpsi dibedakan atas dua bagian yaitu: adsorpsi fisika
(fisisorpsi) dan adsorpsi kimia (kemisorpsi). Adsorpsi fisika atau adsorpsi
Van der Waals merupakan suatu fenomena yang terjadi secara reversibel
sebagai akibat dari gaya tarik menarik antar molekul padatan dengan
substansi yang teradsorpsi. Sebagai contoh, apabila gaya tarik menarik



43

antar molekul suatu padatan dengan suatu gas lebih besar dibanding
gaya tarik menarik antar molekul-molekul itu sendiri, maka gas akan
terkondensasi pada permukaan padatan (Setiaji, 2000). Adsorpsi fisika
terjadi hampir pada semua permukaan dan dipengaruhi oleh suhu dan
tekanan (Sartamtomo, 1998).
Adsorpsi kimia, dalam bentuk reaksi kimia membutuhkan energi
aktivasi, nilai panas adsorpsi kira-kira 10 sampai 100 kkal.mol
-1
. Adsorbat
yang terikat oleh proses kemisorpsi umumnya sangat sulit diregenerasi
(Sartamtomo, 1998). Selain fisisorpsi dan kemisorpsi, dikenal pula istilah
biosorpsi. Biosorpsi dapat didefinisikan sebagai pemindahan senyawa,
patikulat, spesies logam atau metaloid dari larutan oleh makhluk hidup
atau produk metabolitnya (Boddu and Smith, 2003).

2. Interaksi Logam dengan Biota
Biosorpsi terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel
dengan dua cara yang berbeda, pertama pertukaran ion di mana ion
monovalent dan divalent seperti Na, Mg, dan Ca pada dinding sel
digantikan oleh ion-ion logam berat, dan kedua adalah pembentukan
kompleks antara ion-ion logam berat dengan gugus-gugus fungsi seperti
karbonil, amino, tiol, hidroksi, fosfat, dan karboksil, yang terdapat pada
dinding sel. Proses biosorpsi ini bersifat bolak baik dan cepat. Proses
bolak balik ikatan ion logam berat di permukaan sel ini dapat terjadi pada
sel mati dan sel hidup. Proses biosorpsi dapat lebih efektif pada pH



44

tertentu dengan kehadiran ion-ion lainnya pada media di mana logam
berat dapat terendapkan sebagai garam. Sebagai contoh, pH optimum
biosorpsi ion Fe(II), Ni(II) dan Cu(II) oleh Zoogloea ramigera adalah
berkisar antara 4,0-4,5 sedangkan untuk Fe(II) adalah 2,0. Hasil studi
terhadap biosorpsi Pb oleh alga laut Eckloniaradiata menunjukkan bahwa
laju biosorpsi naik sejalan dengan naiknya pH hingga 5,0.
Ikatan kimia yang terjadi antara gugus aktif pada bahan organik
dengan logam dapat dianalogkan sebagai perilaku interaksi asam-basa
Lewis yang menghasilkan kompleks pada permukaan padatan.
Persamaan 3 dan 4 menunjukkan model interaksi pada sistem absorpsi
larutan ion logam, di mana GH adalah gugus fungsi yang terdapat pada
bahan organik, dan M adalah ion logam bervalensi z.

[GH] + M
Z+
[GM
(Z-1)
]
+
+ H
+
(3)

2[GH] + M
Z+
[G2M
(Z-2)
]
+
+ 2H
+
(4)


Pearson (1963) telah mengklasifikasikan asam-basa Lewis
berdasarkan sifat keras dan lunaknya. Menurut Pearson, bagian aktif pada
permukaan padatan dapat dianggap sebagai ligand yang dapat mengikat
logam secara selektif. Logam dan ligand dikelompokkan menurut sifat
keras dan lunaknya berdasarkan pada kepolaran unsur. Pearson (1963)
mengemukakan suatu prinsip yang disebut Hard and Soft Acid Bases
(HSAB). Ligand-ligand dengan atom yang sangat elektronegatif dan



45

berukuran kecil merupakan basa keras, sedangkan ligand-ligand dengan
atom yang elektron terluarnya mudah terpolarisasi akibat pengaruh ion
dari luar, merupakan basa lunak. Ion-ion logam yang berukuran kecil
namun bermuatan positif besar, elektron terluarnya tidak mudah
terpengaruh oleh ion dari luar, ini dikelompokkan ke dalam asam keras;
sedangkan ion-ion logam yang berukuran besar dan bermuatan kecil atau
nol, elektron terluarnya mudah terpengaruh oleh ion lain, dikelompokkan
ke dalam asam lunak.


Tabel 2. Asam dan basa senyawa dan ion menurut prinsip HSAB

Asam Basa
Keras Keras
H
+
, Li
+
, Na
+
, K
+
, Be
2+
, Mg
2+
, Ca
2+
,
Al
3+
, Ga
3+
, Cr
3+
, Co
3+
, Fe
3+
,
CH
3
Sn
3+
, Si
4+
, Ti
3+
, RCO
+
, CO
2
,
NC
+
, HX (molekul ikatan hidrogen)
H
2
O. OH
-
, F
-
, CH
3
CO
2
-
, PO
4
3-
, Cl
-
,
ClO
4
-
, NO
3
-
, ROH, RO
-
, R
2
O, NH
3
,
RNH
2
, N
2
H
4


Madya Madya
Fe
2+
, Co
2+
, Ni
2+
, Cu
2+
, Zn
2+
, Pb
2+
,
Sn
2+
, B(CH
3
)
3
, SO
2
, NO
+
, R
3
C
+
,
C
6
H
5
+

C
6
H
5
NH
2
, C
5
H
5
N, N
3
-
, Br
-
, NO
2
-
,
SO
3
2-
, N
2


Lunak Lunak
Cu
+
, Ag
+
, Au
+
, Tl
+
, Hg
+
, Pd
2+
, Cd
2+
,
Pt
2+
, Hg
2+
, CH
3
Hg
+
, Co(CN)
5
2-
, I
+
,
Br
+
, HO
+
, RO
+
, Mo (atom logam),
CH
2

R
2
S, RSH, RS
-
, I
-
, SCN
-
, S
2
O
3
-
,
R
3
P, R
3
As, (RO)
3
P, CN
-
, RNC, CO,
C
2
H
4
, C
6
H
6
, H
-
, R
-


Sumber: Amri, A. (2004)

Pengelompokan asam-basa Lewis menurut prinsip HSAB Pearson
dapat dilihat pada Tabel 2. Asam keras akan berinteraksi dengan basa



46

keras untuk membentuk kompleks, begitu juga asam lunak dengan basa
lunak. Interaksi asam keras dengan basa keras merupakan interaksi ionik,
sedangkan interaksi asam lunak dengan basa lunak, interaksinya lebih
bersifat kovalen.
Adsorpsi logam oleh sel-sel mikroba termasuk mikroalga
berlangsung sangat cepat, terjadi hingga suatu tingkatan yang tinggi dan
berlangsung selektif (Harris and Ramelow, 1990). Logam akan
terakumulasi pada tumbuhan setelah membentuk kompleks dengan unsur
atau senyawa lain, salah satunya fitokhelatin yang tersusun dari beberapa
asam amino seperti sistein dan glisin.
Howe dan Merchant (1992), mengungkapkan bahwa untuk
merespon kontaminasi bahan beracun logam berat, organisme
mensintesis protein pengkhelat-logam. Protein dan polisakarida
memegang peranan yang sangat penting dalam proses biosorpsi ion
logam berat di mana terjadinya ikatan kovalen termasuk juga dengan
gugus amino dan group karbonil (Vilchez et al., 1997). Pengambilan ion
logam berat oleh Chlorella regularis secara selektif disebabkan oleh
adanya ikatan yang kuat antara pasangan ion logam berat dan komponen
sel, khususnya protein (Nakajima et al., 1981). Molekul-molekul kecil yang
utama dalam tanaman, alga, dan jamur dirujuk sebagai peptida kaya
sistein yang disebut fitokhelatin (Grill et al., 1985), dengan struktur umum
(-Glu-Cys)
n
-Gly (Grill et al., 1985; Jackson et al., 1987). Fitokhelatin
berfungsi sebagai pembentuk kompleks dengan logam berat dalam



47

tumbuhan dan sekaligus berfungsi sebagai bahan detoksifikasi tumbuhan
terhadap logam berat. Jika tumbuhan tidak mampu mensintesis
fitokhelatin, pertumbuhan akan terhambat dan dapat berujung pada
kematian. Kadar tertinggi fitokhelatin ditemukan pada tumbuhan yang
toleran terhadap logam berat, dengan struktur primer seperti ditunjukkan
pada Gambar 6.


Gambar 6. Struktur fitokhelatin
Sumber: Chekmeneva, et al., 2008


Fitokhelatin disintesis dari suatu turunan tripeptida (glutation) yang
tersusun dari glutamat, sistein, dan glisin. Glutation terdapat hampir pada
seluruh sel. Jika dalam lingkungannya termediasi oleh ion-ion logam,
maka glutation akan membentuk fitokhelatin sebagai peptida pengkhelat
logam, yang akan mengikat ion logam membentuk fitokhelatin-M yang
selanjutnya akan diteruskan ke vakuola.
Selain dengan Cd, fitokhelatin juga dapat berikatan dengan Pb,
Ag, Hg, Cu, Zn, As, Ni, dan Co (Mehra et al., 1996; Ahner et al., 1994).
n



48

E. Kerangka Pikir dan Hipotesis

1. Kerangka Pikir
Kerangka pemikiran yang mendasari rencana penelitian ini diawali
dengan kondisi ril perairan laut yang tercemar logam berat, sebagai akibat
aktivitas manusia di bidang industri, pertambangan, transportasi, dan
rumah tangga. Pencemaran logam berat berdampak buruk bagi
kehidupan makhluk aquatik di perairan yang pada gilirannya akan
berdampak buruk bagi kesehatan dan kemaslahatan manusia.
Metode biosorpsi, bioakumulasi, dan bioremediasi dengan
menggunakan alga telah banyak dikembangkan untuk mengatasi
pencemaran logam berat. Metode ini cukup efektif karena relatif murah,
waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi cukup cepat, dan berisiko kecil.
N. salina merupakan spesies mikroalga (Kelas Eustigmatophytceae) yang
unik, dengan ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan mikroalga
lainnya, sehingga memberikan luas permukaan kontak yang lebih besar
bagi logam berat yang terdapat di dalam perairan. Dengan demikian
efisiensi penjerapan logam akan lebih besar. Beragam asumsi dan
pendekatan teoritik tentang penjerapan ion logam melalui interaksi dengan
gugus fungsi seperti N-terminal dari gugus NH
2
, C-terminal dari gugus
COO
-
, S-terminal dari gugus SH dan gugus fungsi rantai samping residu
asam amino yang berpotensi sebagai tempat mengikat (binding sites),
telah dikembangkan. Karena itu perlu langkah pembuktian melalui analisis



49

perubahan gugus-gugus dimaksud setelah interaksi dengan logam berat
terjadi. Kerangka pemikiran ini dapat dilihat dalam bentuk diagram pada
Gambar 7.











Gambar 7. Diagram Kerangka Pikir
2. Hipotesis
Berdasarkan uraian latar belakang dan kajian teori di atas maka
rumusan hipotesis sebagai berikut:
Penjerapan Ni, Cu, Zn, Cd dan Pb pada Nannochloropsis salina terjadi
karena adanya interaksi kimia dan pembentukan kompleks antara logam
dengan gugus-gugus fungsi yang terdapat pada sel.
Asumsi:
Interaksi
logam dengan
gugus fungsi
pada sel
Perlu
langkah
pembuktian

Perairan/Laut
Kelebihan:
-Regenerasi cepat
-Resiko kecil
-Murah
Perairan/Laut
tercemar
logam berat
Limbah
Logam berat
- Berbagai metode
fisiko-kimia untuk
mengatasi
pencemaran
- Mahal
- Rumit
Biosorpsi dengan
Nannochloropsis
salina
Syarat hidup:
-Air
-Sinar matahari
-Nutrien
-Klorofil
-Industri
-Tambang
-Transportasi
-Rumah tangga
Perairan/Laut
BEBAS
logam berat
Berbahaya bagi
organisme dan manusia
Analisis FTIR
Analisis asam amino
Analisis klorofil
Mikroskop Fluorisensi
SEM



50

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini akan dilakukan dalam lima tahapan kerja, yaitu:
1) penyiapan mikroalga uji, 2) penentuan pertumbuhan optimum dari
mikroalga dalam medium Conwy cair, 3) pemaparan ion-ion logam berat,
disertai penentuan daya jerap terhadap ion logam, 4) penentuan gugus
fungsi mikroalga sebelum dan setelah pemaparan ion logam, dan 5)
pengamatan perubahan morfologi N. salina sebagai penjerap ion logam.

A. Alat dan Bahan

1. Alat-alat yang digunakan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat kaca
yang umum digunakan di laboratorium, diperoleh dari Laboratorium Kimia
Anorganik Jurusan Kimia FMIPA Universitas Hasanuddin. plankton net,
aerator/blower, alat pencacah haemositometer, hand counter, kertas
saring Whatman 42, dan filter membran Millipore | 0,45 m.
Mikroskop Nikon SE dengan pembesaran sampai dengan 125 kali
dan freeze dryer berturut-turut merupakan alat Laboratorium Kimia
Anorganik dan Biokimia Jurusan Kimia FMIPA Universitas Hasanuddin.
Spektrofotometer serapan atom, SSA Shimadzu model AA-600,
digunakan untuk penentuan konsentrasi ion logam dalam sampel,



51

merupakan alat Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Hasanuddin.
Spektrofotometer Fourier Transform Infra-Red (FTIR) Shimadzu
model IR Prestige-21, akan digunakan untuk penentuan gugus fungsi,
merupakan instrumen analisis Laboratorium Kimia Terpadu Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Hasanuddin.
Amino acid analyzer, akan digunakan untuk menentukan
kandungan asam amino N. Salina, adalah instrumen pada PAU IPB
Bogor. Scanning electron microscope (SEM) JEOL model JSM-35C,
adalah instrumen analisis pada Lembaga Fisika Nasional LIPI Bandung.
Inverted research microscope, Olympus, merupakan instrumen analisis
pada Laboratorium Bioteknologi Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Air Payau (Balitbang BAP) Maros.

2. Bahan-bahan yang digunakan
Mikroalga uji jenis Nannochloropsis salina, diperoleh dari
Balitbang BAP Maros, dibiakkan beberapa kali dalam skala kecil yang
kemudian digunakan sebagai biakan awal untuk kultur massal.
Medium kultur Conwy, disiapkan dengan mendidihkan larutan stok
A ditambahkan 1 mL larutan stok B (Tabel 2). Selanjutnya, campuran
larutan tersebut ditambahkan ke dalam air laut steril (2 mL.L
-1
air laut),
kemudian ditambahkan 1 tetes larutan stok C dan akhirnya ditambahkan
1 tetes larutan stok D.



52

Larutan baku logam Ni, Cu, Zn, Cd, dan Pb (Titrisol, E. Merck)
masing-masing dibuat dalam konsentrasi 1000 ppm, yang selanjutnya
dapat diencerkan sesuai kebutuhan. Akuabides yang digunakan adalah
produk lokal Makassar.


Tabel 2. Komposisi Medium Conwy
Nama Bahan Jumlah, g
Stok A
FeCl
2
. 6 H
2
O 1,3
MnCl
2
. 4 H
2
O 0,36
H
3
BO
3
33,6
EDTA (Na-salt) 45
NaH
2
PO
4
. 2 H
2
O 20
NaNO
3
100
Akuades 1 L
Stok B
ZnCl
2
2,1
CoCl
2
. 6 H
2
O 2
(NH
4
)
6
MoO
24
. 4 H
2
O 0,9
CuSO
4
. 5 H
2
O 2
Akuades 100 mL
Stok C
Vitamin B
12
10
Vitamin B
1
200
Akuades 100 L
Stok D
Na
2
SiO
3
. 5 H
2
O 4,00 g
Akuades 100 mL
Sumber: Fogg, 1985




53

B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan Pada Bulan Nopember 2011 s/d Mei
2012 di Laboratorium Kimia Anorganik FMIPA Universitas Hasanuddin
dan di Laboratorium Pakan dan Kimia Air Balitbang BAP Maros.

C. Prosedur penelitian
1. Penyiapan N. salina
N. salina, diisolasi dari alam dan dibiakkan beberapa kali dalam
skala kecil untuk memperoleh spesies murni, yang akan digunakan
sebagai biakan awal untuk kultur massal. Pekerjaan ini telah dilakukan di
Balitbang BAP Maros.

2. Interaksi N. salina dan ion logam berat
a. Pengamatan pola pertumbuhan N. salina
Untuk mengetahui pola pertumbuhan N. salina, dilakukan
perhitungan jumlah sel per mL media setiap hari. Sampel diambil dengan
menggunakan pipet steril, kemudian diteteskan sekitar 0,1-0,5 mL pada
haemositometer dan diamati di bawah mikroskop (Seafdec, 1985).

b. Telaah pengaruh ion logam terhadap laju pertumbuhan N. salina
Berdasarkan pola pertumbuhan N. salina, disiapkan seri kultur
dengan pemaparan berbagai konsentrasi logam pada medium Conwy
cair.



54

c. Telaah akumulasi ion logam pada N. salina
Dalam menelaah proses akumulasi ion logam pada N. salina,
penentuan interaksi optimum meliputi pengaruh suhu, salinitas, dan pH
pada setiap pemaparan variasi konsentrasi ion logam.

3. Identifikasi gugus fungsi pada N. salina dengan FTIR
Sekitar 10 mg biomassa N. salina dihaluskan dalam lumpang dan
dicampurkan dengan serbuk KBr (5-10 % sampel dalam serbuk KBr) lalu
ditentukan langsung dengan menggunakan diffuse reflectance measuring
(DRS-8000). Mula-mula DRS-8000 dipasang pada tempat sampel lalu
serbuk KBr dimasukkan pada sample pan, dan background ditentukan.
Untuk menentukan spektrum sampel, dilakukan dengan memasukkan
sampel yang telah dicampur dengan KBr pada sampel pan lalu spektrum
ditentukan. Setelah selesai DRS-8000 disimpan kembali.
Hasil analisis ini memberikan informasi tentang perubahan-
perubahan yang mungkin terjadi setelah aplikasi logam dibandingkan
dengan data gugus fungsi N. salina sebelum aplikasi, yang dapat
digunakan untuk menentukan mekanisme penjerapan logam.

4. Penentuan klorofil
Metode penentuan kadar klorofil diadopsi dari Standard Methods
for the Examination of Water and Wastewater, sebagai pedoman
laboratorium dalam melakukan penetapan kadar klorofil dalam air.



55

Sebanyak 100 500 mL sampel disaring, dengan menggunakan
penyaring aspirator dan pompa vacum yang telah berisi kertas saring
sellulosa. Kertas saring sellulosa diambil dan dilipat lalu dimasukkan ke
dalam tabung uji yang telah diiisi dengan 7,5 mL larutan aseton 90 %.
Campuran disimpan selama 24 jam dalam freezer. Selanjutnya disentrifus
dengan laju 3500 rpm selama 10 menit lalu didiamkan selama 2 jam.
Cairan jernih dituang ke dalam kuvet untuk diukur absorbansinya dengan
menggunakan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang
masing-masing pada 750; 664; 647; dan 630 nm, dengan menggunakan
blanko aseton yang telah disentrifus pula. Absorbansi dicatat dan
kandungan klorofil dihitung sesuai Persamaan 5, 6, dan 7.

1
3
)] 630 08 , 0 ( ) 647 54 , 1 ( ) 664 85 , 11 [(
) / ( V x
Vs
OD x OD x OD x
m mg a klorofil

=
(5)
1
3
)] 630 66 , 2 ( ) 664 43 , 5 ( ) 647 03 , 21 [(
) / ( V x
Vs
OD x OD x OD x
m mg b klorofil

=
(6)
1
3
)] 664 67 , 1 ( ) 647 60 , 7 ( ) 630 52 , 24 [(
) / ( V x
Vs
OD x OD x OD x
m mg c klorofil

=

(7)
di mana:
OD 664 : Absorban 664 - Absorban 750
OD 647 : Absorban 647 - Absorban 750
OD 630 : Absorban 630 - Absorban 750
V
1
: vol ekstrak aseton
Vs : vol sampel (m
3
)




56

5. Penentuan Asam Amino
Untuk penentuan asam amino dengan amino acid analyzer (AAA)
perlu dilakukan langkah-langkah berikut:
a) Hidrolisis sampel
i. Hidrolisis asam
Sampel sebanyak 0,1 g ditimbang dalam tabung hidrolisis,
tambahkan 10 mL 6N HCl dan diaduk. Campuran dibekukan dalam
penangas es kering-alkohol, ditutup dan divakumkan 50 selama
1 menit; tabung disegel dalam vakum dan campuran dihidrolisis
selama 24 jam pada 110
o
C. Setelah hidrolisis, alat didinginkan,
tabung dibuka, dan campuran disaring dengan kertas saring
Whatman 41. Tabung dicuci 3 kali dengan air, filtrat dikeringkan
pada 65
o
C dalam vakum. Hidrolisat kering dilarutkan dalam volume
buffer yang sesuai untuk AAA. Hidrolisat disimpan tidak lebih dari
3 minggu sebelum analisis. Hidrolisat ini sesuai untuk semua asam
amino, kecuali metionin, sistin/sistein, dan triptofan.

ii. Oksidasi asam performat diikuti hidrolisis asam
Sampel sebanyak 0,1 g ditimbang dalam tabung hidrolisis,
ditambahkan 2 mL asam performat dingin, lalu dibiarkan selama
1 malam pada 0-5
o
C. Ditambahkan berturut-turut 3 mL HBr dingin,
0,04 mL 1-oktanol (antibusa) pada campuran; segera diaduk
selama 30 detik dalam penangan es-air dan diuapkan untuk



57

pengeringan pada 40
o
C dalam vakum. Sebanyak 10 mL 6N HCl
ditambahkan dan dihidrolisis sesuai prosedur di atas. Hidrolisat
digunakan untuk menentukan metionin dan sistin/sistein.

iii. Hidrolisis basa
Sebanyak 0,1 g sampel ditimbang dalam tabung hidrolisis yang
mempunyai tabung sentrifus Nalgene polypropilene sebagai
penggaris internal. Ditambahkan berturut-turut 25 mg pati kentang
yang telah dihidrolisis; 0,6 mL 4,2N HCl segar; dan 0,04 mL
1-oktanol. Campuran diaduk selama 2 menit dalam vakum parsial,
lalu isi tabung dibekukan dalam penangas es kering-alkohol.
Campuran ditutup dan divakumkan 50 selama 1 menit; tabung
disegel dalam vakum dan dihidrolisis selama 22 jam pada 110
o
C.
Campuran didinginkan, tabung dibuka, dan isi tabung dipindahkan
ke dalam labu ukur 5 mL yang mengandung 6N HCl dingin untuk
menetralkan hidrolisat. Campuran diencerkan dengan buffer yang
sesuai untuk AAA. Hidrolisat disentrifus dan disimpan dalam
keadaan beku. Hidrolisat digunakan untuk penentuan triptofan.

b) Analisis asam amino
Analisis masing-masing hidrolisat sesuai parameter optimal untuk
AAA yang digunakan. Larutan baku asam amino digunakan untuk
kalibrasi sedikitnya dalam 24 jam. Setiap puncak asam amino



58

seharusnya mempunyai resolusi 85%. Ketika hidrolisat alkali
dianalisis triptofan harus dipisahkan dari lisinoalanin. Masing-
masing asam amino ASP, THR, SER, GLU, PRO, GLY, ALA, VAL,
MET, ILE, LEU, TRY, PHE, LYS, HIS, AMM, ARG, CYS, dan TRP
dihitung sesuai (Pers. 8). Untuk menghitung persentase perolehan
kembali digunakan (Pers. 9).


q

(8)




(9)

E (10)

6. Pengamatan morfologi dengan SEM dan Mikroskop Fluorisensi

Untuk memperoleh gambaran tentang kemungkinan kerusakan
membran plasma pada sel N. salina setelah proses penjerapan logam
berat, dilakukan pengamatan morfologi dengan menggunakan scanning
electron microscope (SEM) dan Mikroskop fluorisensi, inverted research
microscope.





59

DAFTAR PUSTAKA


Ahalya, A., Ramachandra, T. V., and Kanamadi, R. D. 2003. Biosorption of
heavy metals, Res. J. Chem. Environ. 7(4): 71-79
Ahner, B. A, Price, N. M., and Morel, F. M. M. 1994. Phytochelatin
production by marine phytoplankton at low free metal ion
concentrations, Laboratory studies and fiels data from
Massachusset Bay. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 91: 8433-8436.
Amaria, 1998. Evaluasi kemampuan adsorpsi biomassa Chaetocerus
calcitrans yang terimmobilisasi pada silika gel terhadap ion Cd(II),
Pb(II) dan Cu(II) dalam medium air., Tesis Program Pasca Sarjana
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Andarias, I., 1982. Pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan populasi
Chlorella sp., Lontara, 10.
Andersen, R. A., Brett, R. W., Potter D., and Sexton J. P. 1998.
Phylogeny of the Eustigmatophyceae Based upon 188 rONA, with
Emphasis on Nannochloropsis, Protist. 149: 61-74.
Anonim, 2009. Anjungan pantai losari dan CPI, apakah obsesi
pejabat semata?, http://inart.wordpress.com/2009/07/07/anjungan-
pantai-losari-dan-cpi-apakah-obsesi-pejabat-semata/ online akses
16 September 2009.
Anonim, 2005. Mercury migration series., www.ban.org/Ban-Hg-Wg. online
akses 18 Juni 2007
Anonim, 2008. Microscpe, (http://starcentral.mbl.edu/microscope online
akses 22 April 2008.
Arifin dan Raya, I. 1997. Studi interaksi antara kadmium dan tetracelmis
chui di lingkungan perairan laut.
Azzez, P. A and Banerjee, D. K. 1991. Nickel uptake and toxicity in
cyanobacteria. Toxicol. Envir. Chem. 30: 43-50.



60

Bjornstad, J. M. 2005. A Dynamical Systems Approach to Modeling
Plankton Food Web, Department of Electrical and Computer
Engineering, Georgia Institute of Technology.
Boddu, V. M., and Smith E. D. 2003. A Composit Chitosan Biosorbent For
Adsorption Of Heavy Metals From Wastewater, Precented at the
23
rd
Army Science Conference, Orlando, FL.
Borowitzka, M. A. and Borowitzka, L. J. 1988. Dunaliella, in Microalgal
Biotechnology
Chekmeneva, E., Prohens, R., Daz-Cruz, J. M., Arino, C., Esteban, M.
2008. Thermodynamics of Cd
2+
and Zn
2+
binding by the
phytochelatin (c-Glu-Cys)4-Gly and its precursor glutathione.
Science Direct, Anal. Biochem. 375: 8289
Chojnacka, K., Chojnacki A., Gorecka H. 2005. Biosorption of Cr
3+
, Cd
2+

and Cu
2+
ions by bluegreen algae Spirulina sp.: kinetics,
equilibrium and the mechanism of the process, Chemosphere. 59:
7584.
Chu, K. H and Hashim M. A. 2007. Copper biosorption on immobilized
seaweed biomass: Column breakthrough characteristics, J.
Environ. Sci. 19: 928-932.
Chyntia and Helcombe, 1992. Bacterial leaching of heavy metal from
sewadge sludge for agricultural aplication, water, air, and soil
pollution. 63: 67-80.
Cleveri L. S. F. 2005. Standard methods, for the examination of water and
wastewater, No.3112, 21
th
Ed., Washington DC: APHA, AWWA,
WEF.
Cohen, Z. 1999. Porphyridium cruentum, in chemicals from microalgae.
Cohen, Z.,ed., pp. 1-24. Taylor & Francis LTD, London, UK.
Darmono, 1995. Logam dalam sistem biologi makhluk hidup, UI-Press,
Jakarta.




61

Davies, A.G. 1978. Pollution studies with marine plankton II, Heavy Metal,
In Adv. Mar. Biol. 15: 381-389.
de-Bashan, L. E and Bashan Y. 2010. Immobilized microalgae for
removing pollutants: Review of practical aspects, Bioresour.
Technol. 101: 16111627.
Dindin, H. M. 2006. Menanggulangi Pencemaran Logam Berat,
(http://www.ychi.org, - ychi.org, online akses 27 November 2008.
Fhencel, T. 1988. Marine plankton food chains, Ann. Rev. Ecol. 10(2):
165-173.
Fogg, G. E. 1985. Algae culture and phytoplankton ecology., 3
rd
. Ed. The
University of Wisconsin Press.
Fulks, M. and Main, K.L., eds. 1991. Rotifers and Microalgae Culture
Systems, Proceedings of a US-Asia Workshop, The Oceanic
Institute, Honolulu.
Garno, Y. S. 2002. Penerapan metode pengendapan pada penentuan
kelimpahan fitoplankton di perairan pesisir dan laut (studi kasus
kualitas perairan pesisir Pulau Harapan-Kepulauan Seribu), J.
Sains dan Teknologi Indonesia. 4(2): 53-60.
Gonzalez_Davila, M. 1995. The role of phytoplankton cells on the control
of heavy metal concentration in seawater, Mar. Chem. 48: 215-236.
Grill, E., Winnacker, E. L., Zenk, M. H. 1985. Phytochelatins, the principal
heavy-metal complexing peptides of higher plant. Science. 230:
674-676.
Grimm, A., Zanzi R., Bjornbom E., Cukierman A. L. 2008. Comparison of
different types of biomasses for copper biosorption, Bioresour.
Technol. 99: 25592565

Gualtieri, B., and Barsanti, L. 2006. Algae Anatomy, Biochemistry, and
Biotechnology, CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton.




62

Guiry, M.D. and Guiry G. M. 2008. Nannochloropsis: AlgaeBase, World-
wide electronic publication, National University of Ireland, Galway.
http://www.algaebase.org/search/genus/detail/?genus_id=44568.
Online akses 21-02-2009.
Hala, Y., Raya, I., Ilham, A. 2004. Interaksi Reaksi Fitoplankton
Chaetoceros Calcitrans dengan ion Cu(II) dalam Lingkungan
Perairan Laut, Mar. Chim. Acta. 6(2): 11-14.
Harris, P. O., dan Ramelow, G. J. 1990. Binding of metal ions by
particulate biomass derived from Chlorella vulgaris and
Scenedesmus quadricanda, Env. Sci. Tech. 24: 220-228.
Hashim, M. A and Chu K. H. 2004. Biosorption of cadmium by brown,
green, and red seaweeds, Chem. Eng. J. 97: 249-255
Heasman, M., Diemar, J., Oconnor, W., Sushames, T., Foulkes, L. and
Nell, J.A. 2000. Development of extended shelf-life microalgae
concentrate diets harvested by centrifugation for bivalve molluscs
a summary. Special issue: Live feeds and microparticulate diets.
Aquaculture Res. 31: 8-9, 637-59; 59 ref.
Hibberd, 1981. Notes on the taxonomy and nomenclature of the algal
classes Eustigmatophyceae and Tribophyceae (Synonym
Xanthophyceae), Botanical journal of the Linnean society 82: 93-
119.
Hoff, F. H and Snell T. W. 2008. Plankton culture manual, 6
th
Ed. 3
rd
Prn.,
Florida Aqua Farms, Inc., Florida, 11, 17, 24-29.
Howe, G., dan Merchant, S. 1992. Heavy metal activated synthesis of
peptides in Chlamidomonas reinhardtii, Plant. Physiol. 98: 127-136.
Iwamoto, H. and Sato, S. 1986. EPA production by freshwater algae. J.
Am. Oil Chem. Soc. 63: 434.
Iyer, A., Mody K., and Jha B. 2005. Biosorption of heavy metals by a
marine bacterium, Mar. Pollut. Bull. 50: 340343.



63

Jackson, P. J., Unkefer C. J., Dooler, J. A., Watt, K., and Robinson, N. J.
1987. Poly(g-glutamyl-cysteinyl) glycine, its role in cadmium
resistence in plant cell, Proc Natt Acad Sci USA. 84: 6619-6623.
Khan, S., Farooq R., Shahbaz S., Khan M. A., and Sadique M. 2009.
Health Risk Assessment of Heavy Metals for Population via
Consumption of Vegetables, World Appl. Sci. J. 6(12): 1602-1606.
Khasanah, M. 1998. Metode analisis tembaga (II) dalam air laut secara
spektrofotometri serapan atom melalui ekstraksi dengan 1-(2
pyridylazo-2-naftol)-n-butanol, Universitas Airlangga, Surabaya,
3(2).
Klaassen, C. D., Amdur, M. O., and Doull, J. 1986. Toxicology The Basic
Science of Poison, 3
rd
. Ed. The Macmillan Publishing Company,
New York.
Kratochvil, D and Volesky B. 1998. Biosorption of Cu from ferruginous
wastewater by algal biomass, Wat. Res. 32: 2760-2768.
Lesage, E., Mundia C., Rousseau D. P. L., Van de Moortel A. M. K., Du
Laing G., Meers E., Tack F. M. G., De Pauw N., Verloo M.G. 2007.
Sorption of Co, Cu, Ni and Zn from industrial effluents by the
submerged aquatic macrophyte Myriophyllum spicatum L., Ecol.
Eng. 30: 320325.
Lestari dan Edward, 2004. Dampak pencemaran logam berat terhadap
kualitas air laut dan sumberdaya perikanan (studi kasus kematian
massal ikan-ikan di Teluk Jakarta), Makara Sains. 8(2): 52-58.
Mehra, R. K., Tran, K, Scott, G. W., Mulchandani, P., Saini, S. S. 1996.
Ag(I) binding to phytochelatins, J. Inorg. Biochem. 61:125-142.
Mohammady, N. G., Fathy, A. A. 2007. Humic acid mitigates viability
reduction, lipids and fatty acids of Dunaliella salina and
Nannochloropsis salina grown under nickel stress, International
Journal of Botany. 3(1) : 64-70.




64

Monoarfa, W. 2002. Dampak pembangunan bagi kualitas air di kawasan
pesisir pantai Losari Makassar, Sci &Tech. 3(3): 37-44.
Moreno-Garrido, I., Codd G. A., Gadd G. M., Lubian L. M. 2002. Cu and
Zn accumulation by calcium alginate immobilized marine microalgal
cells of Nannochloropsis gaditana (Eustigmatophytceae), Ciencias
Marinas. 28(1): 107-119
Moreno-Garrido, I., Blasco J., Gonzalez-Delvalle M., Lubian L. M. 1998.
Differences in copper accumulation by the marine microalga
Nannochloropsis gaditana Lubian, submitted to two different
thermal treatments, Ecotoxicol. Environ. Restor. 1: 43-47
Murphy, V., Hughes H., McLoughlin. P. 2007. Cu(II) binding by dried
biomass of red, green and brown macroalgae, Wat. Res. 41: 731
740.
Nakajima. A, Horikoshi. T, and Sakaguchi, T. 1981, European, J. Appl.
Microbio. Biotecnol, 12: 76-83.
Nayar, S., Goh, B.P.L., and Chou, L.M. 2004. Environtmental impact of
heavy metals from dredged and resuspended sediments on
phytoplankton and bacteria assessed in in situ mesocosms,
Ecotoxicol. Environ. Saf. 59: 349-369.
Nora F. Y. T., Wong, Y. S., and Simpson, C. G. 1998. Removal of copper
by free and immobilized microalgae, Chlorella vulgaris, in: water
treatment with algae, Wong, Y. S., and Nora, F. Y. (eds.), Springer-
Verlag and Landes Bioscience, p. 17
O'Farrell, I., Lumbardo, R. J., Pinto, P. T. and Loez, C. 2002. The
assessment of water quality in thr Lower Lujan River (Buenos Aires,
Argentina): phytoplankton and algal bioassays, Environ. Pollut. 120:
207-218.
Ozdemir, G., Ceyhan, N., Ozturk, T., Akirmak, F., Cosar, T. 2004.
Biosorption of chromium(VI), cadmium(II) and copper(II) by Pantoea
sp. TEM18, Chem. Eng. J. 102: 249253.



65

Pagnanelli F., Esposito, A., Toro, L., Vegli, F. 2003. Metal speciation and
pH effect on Pb, Cu, Zn and Cd biosorption onto Sphaerotilus
natans: Langmuir-type empirical model, Wat. Res. 37: 627633
Palar, H. 1994. Pencemaran dan toksikologi logam berat, PT Rineka
Cipta, Jakarta.
Pearson, R. G., 1963. Hard Soft Acid Base, J. Am. Chem. Soc. 85: 3533-
3543,
Putra, S. E. 2007. Potensi Alga sebagai Bioindikator dan Biosorben
Logam Berat, Karya Tulis Ilmiah, Universitas Lampung.
Qin, F., Wen, B., Shan, X., Xie, Y., Liu, T., Zhang, S., Khan, S. U. 2006.
Mechanisms of competitive adsorption of Pb, Cu, and Cd on peat,
Environ. Pollut. 144: 669-680
Rahmansyah, 1997. Akumulasi logam berat (Pb) dalam tubuh udang
windu (Penaeus monodon) pada kondisi salinitas dan individu yang
berbeda, Laporan Hasil Penelitian Perikanan Pantai, Balai
Perikanan Pantai, Maros.
Richmond, A., ed. 2004. Handbook of Microalgal Culture Biotechnology
and Applied Phycology, Blackwell Publishing, UK.
Rinawati, Supriyanto, R., Dewi, W. S. 2008. Profil logam berat (Cd, Co, Cr,
Cu, Fe, Mn, Pb dan Zn) di perairan sungai kuripan menggunakan
ICP-OES, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II
Universitas Lampung (ISBN: 978-979-1165-74-7), 357-366
Rochyatun, E., Kaisupy M. T., dan Rozak, A. 2006. Distribusi logam berat
dalam air dan sedimen di perairan muara sungai Cisadane, Makara
Sains. 10(1): 35-40
Santana-Casianoa, J. M., Gonzalez-Davila, M., Perez-Pefia, J., Millerob,
F. J. 1995. Pb
2+
interactions with the marine phytoplankton
Dunaliella tertiolecta, Mar. Chem. 48: 115-129
Sartamtomo, I. F. 1998. Desain dan rekayasa prototype alat pengolahan
lanjut air limbah industri dengan teknologi absorpsi karbon aktif,
Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, Semarang.



66

Seafdec, 1985. Prawn hatchery design and operational, Aquaculture
Extention Manual (9). Aquaculture Departement, Tigbauan, Iliolo,
Phillipines.

Seidl, M., Huang, V., Mouchel, J. M. 1998. Toxicity of combined sewer
overflows on river phytoplankton: the role of heavy metals, Environ.
Pollut. 101: 107-116.
Sembiring, Z., Suharso, Regina, Faradila, Marta, dan Murniyarti, 2008.
Studi Proses Adsorpsi-Desorpsi Ion Logam Pb(II), Cu(II) dan Cd(II)
Terhadap Pengaruh Waktu dan Konsentrasi Pada Biomassa
Nannochloropsis sp Yang Terenkapsulasi Aqua-Gel Silika Dengan
Metode Kontinyu. Universitas Lampung. Lampung.
Setiaji, B. 2000. Pengolahan Industri Tahu Menggunakan Zeolit Aktif Pada
Prototipe Instalasi Pengolahan Air Limbah, Jurnal Kimia
Lingkungan. 2 (1).

Sheng, P. X., Ting, Y., Chen, J. P., and Hong, L. 2004. Sorption of lead,
copper, cadmium, zinc, and nickel by marine algal biomass:
characterization of biosorptive capacity and investigation of
mechanisms, J. Colloid Interface Sci. 275: 131141.
Siahanenia, L. 2001. Pencemaran laut, dampak dan penanggulangannya,
Makalah Falsafah Sains, Program Pascasarjana IPB, Bogor,
http://www.hayati-ipb.com/users/rudyct/indiv2001/lauras.htm, online
akses 09/10/04.
Siregar, T. H dan Murtini J. T. 2008. Kandungan logam berat pada
beberapa lokasi perairan Indonesia pada tahun 2001 sampai
dengan 2005, Squalen. 3(1): 7-15
Sugiharto, 1987. Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah, Universitas
Indonesia Press, Jakarta.




67

Suhendrayatna, 2001. Bioremoval Logam Berat Dengan Menggunakan
Microorganisme:Suatu Kajian Kepustakaan (Heavy Metal
Bioremoval by Microorganisms: A Literature Study), Makalah
disajikan pada Seminar on-Air Bioteknologi untuk Indonesia Abad
21, Sinergy Forum - PPI Tokyo Institute of Technology,1-14
Februari 2001.
Sukenik, A. 1999. Production of eicosapentaenoic acid by the marine
eustigmatophyte Nannochloropsis, in Chemicals from Microalgae,
Cohen, Z., ed., pp.- 41-56. Taylor & Francis, London.

Tambung, A., Patabang, A., Astri, Hala, Y., dan Taba, P. 2007. Kajian
interaksi ion logam Pb, Cd, dan Zn dengan fitoplankton
Nannochloropsis salina, Mar. Chim. Acta, Ed. Khusus Seminar
Nasional FK3TI, Oktober 2007, 42-46.
Vilar, V. J. P., Botelho, C. M. S., Loureiro, J. M., Boaventura, R. A. R.
2008a. Biosorption of copper by marine algae Gelidium and algal
composite material in a packed bed column, Bioresour. Technol.
99: 58305838.
Vilar, V. J. P., Botelho, C. M. S., Boaventura, R. A. R. 2008b. Effect of
Cu(II), Cd(II) and Zn(II) on Pb(II) biosorption by algae Gelidium-
derived materials, J. Hazard. Mater. 154: 711720.
Vilar, V. J. P., Botelho, C. M. S., Boaventura, R. A. R. 2008c, Lead and
copper biosorption by marine red algae Gelidium and algal
composite material in a CSTR (Carberry type), Chem. Eng. J. 138:
249257.
Vilchez. C, Garbayo. I, Lobato. M. V, and Vega. J. M. 1997. Enzyme
Microb. Technol. 20: 562-572.

Wainwright, M. 1993. An Introduction to Fungal Biotechnology, John Willey
and Sony and Sons, pp. 81-101.



68

Wenno, L. F., Hadikusumah, dan Muchtar, M. 2005. Studi dinamika
perairan selat makassar serta interaksinya dengan daratan pulau
kalimantan dan sulawesi, Laporan Program Penelitian dan
Pengembangan IPTEK Riset Kompetitif LIPI, Pusat Penelitian
Oseanologi_LIPI, 10-21.
Wright, D. A and Pamela, W. 2002. Environmental Toxicology, Cambridge
Environmental Cheistry Series 11, Cambridge University Press.
Yruela, I. 2005. Copper in plants, Braz. J. Plant Physiol. 17(1)

Anda mungkin juga menyukai