Anda di halaman 1dari 97

OSMAN RALIBY

IBNU KHALDUN
Tentang
MASYARAKAT DAN NEGARA
Bertujuan memberi isi
kepada masyarakat
dan negara sesuai
dengan ketuhanan
Yang Maha Esa
SEPATAH KATA
Seyogianya diketahui bahwa isi pokok dari kitab ini adalah !erjemahan dari buah
pikiran Ibnu Khaldun mengenai masyarakat dan negara, sebagaimana secara
terpisah-pisah dibentangkannya dlalam bukunya Mukaddimah yang terkenal itu.
Fragmen fragnen mengenai masyarakat dan negara yang terpisah-pisah itu saya pilih
satu persatu dan kemudian langsung dari bahasa Arab saya salin ke dalam bahasa
Indonesia dengan berpedoman pada terjemahan-terjemahan asing yang sebelumnya
telah ada, terutama sekali dalam bahasa-bahasa Inggris, Jerman dan Perancis.
Karenanya, dengan menjauhkan diri dari takabur, terjemahan fragmenta khaldunia
ini dapatlah dikatakan paling terpercaya.
Sebenarnya lebih kurang tiga tahun yang lalu, seiring dengan berdirinya
Universitas Ibnu Khaldun di Jakarta (dan kemudian juga di Bogor), dalam
kedudukan sebagai dekan dari Fakultas Publizistik perguruan tinggi tersebut, saya
bercita-cita hendak menterjemahkan Muqaddimah Ibnu Khaldun itu secara lengkap
untuk para mahasiswa dan masyarakat Islam Indonesia, akan tetapi sudahlah
demikian kiranya, maksud hati hendak memeluk gunung,apa daya tangan tak sampai.
Oleh hal-hal tertentu saya telah tidak sanggup melaksanakan penterjemahan itu
seluruhnya. Pekerjaan yang telah dimulai menjadi terbengkalai dan yang selesai
baru terjemahan pendahuluannya saja. Diantara sebab-sebab yang membikin
pekerjaan itu menjadi separuh jalan, ialah ketiadaan waktu yang saya alami dewasa
itu dan kesulitan -kesulitan yang dihadapi dalam menyalin perkataan-perkataan dan
kalimat-kalimat Arab yang bersifat "mengandung", sehingga sukar sekali mencari
dan kadangkala malah tak ada kata perbandingannya dalam bahasa kita.
Akhirnya setelah tahun-tahun itu berlalu, sedang saya pun sudah sadar tidak akan
sanggup lagi meneruskan penterjemahan Muqaddimah itu secara lengkap seperti
diidam-idamkan semula, maka timbullah pikiran untuk berusaha sekedar mengambil
faedah juga dari ke-terbengkalai-an itu, yaitu dengan selanjutnya menterjemahkan
saja fragmen-fragmen tertentu yang nantinya bersama-sama dengan kata
pendahuluan yang telah selesai disalin itu dapat dihimpun menjadi sebuah buku
tersendiri dengan nama yang agak tertentu pula dan baik. Pikiran saya waktu itu
jatuh pada soal-soal kemasyarakatan dan kenegaraan.
Maka karya penterjemahan itu dimulailah kembali dengan hanya mementingkan
dan menyalin semata-mata bagian-bagian yang ada hubungan dan pertaliannya
dengan soal-soal masyarakat dan negara. Usaha translasi itu kemudian telah
menjadi lebih mudah pula karena sementara itu di Amerika Serikat dan Eropah telah
keluar satu terjemahan baru yang lengkap dari Muqaddimah dalam bahasa Inggris
yang dilakukan oleh Prof. Franz Rosenthal dari Yale University. Buku Rosenthal itu
baik sekali dan ia kemudian menjadi pedoman saya terus-menerus dalam
menterjemahkan selanjutnya fragmen-fragmen tersebut di atas dari bahasa Arab ke
dalam hahasa Indonesia, sebagaimana sekarang telah dihimpun menjadi satu buku
dan dihidangkan kepada kepada para pembaca dengan nama "Ibnu Khaldun tentang
Masyarakat dan Negara. "
Demikianlah sekedar riwayat penterjemahan ini untuk dimaklumi.
Maka kini tertumpanglah harapan semoga buku kecil ini, Yang sebenarnya
adalah salinan dan susunan, dapat jugalah kiranya memperasakan manfaatnya yang
besar pada para pembaca sekalian, dan dapat pula ala kadarnya memberi
sumbangan pada pertumbuhan dan perkembangan pikiran di Indonesia mengenai
masyarakat dan negara itu.
Amin ya Rabbal alamin.
OSMAN RALIBY
Jakarta, akhir Juni MCMLXI.(1961)
RIWAYAT-HIDUP IBNU KHALDUN
Silsilah Keturunannya
Ibnu Khaldun - nama lengkapnya Waliuddin Abdurrakhman ibn Muhammad ibn
Muhammad Ibnu Khaldunal-Hadlrami dari Tunisia - dilahirkan di Tunis pada 1
Ramadlan 732 H. (27 Mai 1332 A.C.). Nenek-moyangnya berasal dari suatu suku di
Arabia Selatan. Khaldun, demikianlah nama nenek moyangnya itu, dikabarkan telah
pergi merantau ke Spanyol di abad ke-VIII, karena tertarik oleh kemenangan-
kemenangan dan penaklukan-penaklukan tentara Islam di sana. Ia menetap di
Carmona, satu kota kecil yang terletak di tengah-tengah tiga segi antara Cordoba,
Sevilla, dan Granada. Ketiga kota ini adalah kota-kota yang sangat termasyhur dalam
sejarah militer Islam di Spanyol. Pun kota-kota ini kemudian terkenal sebagai pusat-
pusat kebudayaan Islam di Spanyol.
Jadi kota kecil Carmona di Spanyol boleh dikatakan tempat tinggal tetap yang
pertama dari nenek moyang Ibnu Khaldun. Dari sini anak-anak Khaldun kemudian
pindah ke Sevilla; tanggal pindahnya yang pasti tidaklah diketahui orang, akan tetapi
adalah terletak dalam garis kemungkinan, bahwa di abad ke-VIII famili Khaldun itu
sudah berdiam di sana.
Pengetahuan Ibnu Khaldun sendiri tentang silsilah keturunannya adalah sangat
terbatas, padahal keluarganya itu berabad-abad lamanya termasuk kalangan orang-
orang yang amat termasyhur. Apa yang diketahuinya tentang itu semuanya
berdasarkan keterangan-keterangan yang terdapat dalam buku-buku yang ditulis oleh
ahli-ahli sejarah Spanyol, terutama sekali dari dua buah buku yang masing-inasing
dikarang oleh Ibn Hayyan dan Ibn Hazm yang hingga hari ini masih ada disimpan
orang. Keluarga Khaldun sendiri mungkin tak punya silsilah tertulis karena barangkali
memang tak merasakan perlunya dewasa itu, ataupun mungkin juga ada tetapi
kemudian hilang sewaktu keluarga itu pindah dari Spanyol ke Afrika Utara di bagian
pertama dari abad ke-XIII.
Menurut sejarah, orang yang paling terkemuka dalam keluarga Ibnu Khaldun ialah
seorang yang bernama Kuraib. Ia ini memberontak melawan pemerintah Umayyah
pada suatu waktu di akhir abad ke-IX, dan berhasil mendirikan satu pemerintahan
sendiri di Sevilla sampai lebih sepuluh tahun lamanya. Ia akhirnya mati terbunuh di
tahun 899. Akan tetapi Ibnu Khaldun sendiri tiada sanggup menjelaskan betapa
sebenarnya pertalian keturunan antara dirinya sendiri dengan Kuraib itu.
Sebagai salah seorang sarjana agung Islam yang sangat terkemuka di dunia
internasional, keturunannya kadangkala menjadi perbincangan orang di mana-mana.
Dalam hal ini kita lebih suka hendak mengatakan, bahwa Ibnu Khaldun itu betapapun
adalah orang Arab asli dari jurusan ayah dan nenek-moyangnya yang lelaki, walaupun
sudah tentu sukar pula untuk mengingkari bahwa dalam tubuhnya itu terdapat juga
darah Barbari yang bercampur Spanyol. Ibnu Khaldun sendiri penuh kebanggaan
dengan keturunan Arabnya yang asli itu.
Peristiwa Kuraib yang mati terbunuh di bagian terakhir dari abad ke-IX itu pada
galibnya tentu turut memperlibatkan juga, walaupun tidak semua, para anggota
lainnya dan keluarga Khaldun. Akan tetapi agaknya kemerosotan keluarga Khaldun
itu tidaklah berjalan lama, sebab dalam masa-masa sesudah itu, terutama pada
pertengahan ahad ke-XI, Banu Khaldun itu terdengar kembali dalam sejarah sebagai
pemimpin-pemimpin politik dari kota Sevilla.
Kota Sevilla dewasa itu sesungguhnya berada dalam pimpinan politik dari Banu
Khaldun dan beberapa keluarga bangsawan lainnya. Kedaulatan atas kota itu menurut
sebutan memang terletak dalam tangan seorang raja, akan tetapi kekuasaan
sebenarnya atas segala macam persoalan-persoalan kota Sevilla itu adalah dipegang
dan dijalankan oleh keluarga-keluarga yang megah ini, yang waktu itu berdiam di
istana-istana yang indah di dalam kota dan di puri-puri yang gagah di bagian luar dari
kota itu.
Di bagian permulaan dari abad ke-XIII kerajaan al-Muwahhidin di Spanyol
hancur. Kemajuan pasukan-pasukan Kristen makin lama makin bertambah dekat
dengan tiga segi Cordoba-Sevilla-Granada. Ketika keadaan sudah tak tertahankan
lagi, sedang kota Sevilla sudah pasti pula telah akan jatuh ke tangan pasukan-pasukan
Kristen (dan memang jatuh ke tangan Kristen di tahun 1248 M.), maka Banu Khaldun
pun mengungsilah menyelamatkan diri mereka ke Afrika Utara, dimana mereka
sebelumnya memang sudah mempunyai hubungan-hubungan dengan pihak berkuasa
di sana, baik karena pertalian darah, maupun karena hubungan-hubungan politik
lainnya. Karena itu tidaklah mengherankan jika begitu mereka tiba di sana, mereka
telah disambut oleh satu kedudukan yang baik dan tinggi. Perkawinan-perkawinan
dan kecakapan-kecakapan mereka dalam masyarakat telah membuat keluarga
Khaldun itu mempunyai banyak teman-teman dan pengikut-pengikut pula di Afrika
Utara. Mereka menetap di Ceuta.
Nenek moyang Ibnu Khaldun yang mula-mula tiba di Afrika Utara itu dan
menetap di Ceuta ialah Al-Hasan ibn Muhammad, yakni kakek dari kakek Ibnu
Khaldun. Tiada lama setibanya di Ceuta Al Hasan segera pergi naik haji ke Makkah,
barangkali sebagai alasan untuk menghindari tuduhan-tuduhan orang terhadap
pengungsiannya ke Afrika itu. Sekembalinya dari Makkah ia menetap di Bone sebagai
pegawai tinggi dari kerajaan Hafshiah. Berkat introduksi dari pembesar-pembesar
negara yang menjadi teman-temannya, hubungan antara keluarga Khaldun dengan
dinasti Hafshiah menjadilah dekat sekali. Maka dengan sendirinya kedudukan dan
kekayaan keluarga Khaldun di Afrika Utara itupun amatlah baiknya.
Kemudian oleh perubahan-perubahan dan naik-turunnya nasib yang menimpa para
anggota keluarga dinasti Hafshiah itu, maka berubah dan naik-turun pula nasib
keturunan selanjutnya dari keluarga Khaldun di Afrika Utara itu. Akan tetapi berkat
takdir baik dan kepandaian siasat mereka, selalu saja mereka berada di pihak yang
menang. Hanya tempat tinggal mereka yang turut bertukar dengan beralihnya
kekuasaan di istana itu. Maka tempat tinggal mereka dewasa itu kebanyakannya ialah
di Tunis.
Al-Hasan meninggal di zaman pemerintahan Abu Zakaria. Anaknya Abubakar
Muhammad (yakni ayah dari kakeknya Ibnu Khaldun) adalah seorang sarjana dalam
ilmu politik dan menjadi menteri keuangan dari dinasti Hafshiah di sana. Ia
tertangkap dan terbunuh dalam pemberontakan Ibn Abi 'Umarah di sekitar tahun 1283
sewaktu melawan kekuasaan dinasti Hafshiah tersebut.
Kakek dari Ibnu Khaldun, yang juga bernama Muhammad, rupanya tiada begitu
tertarik pada kedudukan tinggi di kerajaan Hafshiah itu. Ia merasa telah puas dengan
kedudukannya sebagai hajib
1
) kedua dari istana sulthan. Walaupun jabatannya tidak
begitu tinggi, ia adalah sangat dihormati dan disegani oleh kalangan istana. Malah
pengaruh pribadinya besar sekali. Sulthan berkali-kali hendak menyerahkan
kepadanya jabatan lain yang lebih tinggi dan lebih besar tanggung jawabnya, tetapi ia
kemudian malah lebih menolaknya lagi. Di hari tuanya ia kelihatan lebih suka
mempergunakan waktunya untuk studi dalam ilmu-ilmu keagamaan. Dua kali ia naik
haji ke Makkah dan sejenak itu nampak benar ia asyik terus dengan studinya tentang
ilmu-ilmu keagamaan. Di tahun 1336/37 M. (atau 737 H.) iapun meninggal dalam
usia yang lanjut sekali.
Terkena oleh pengaruhnya, anaknya yang bernama Muhammad, yang kemudian
menjadi ayah dari Ibnu Khaldun, pun telah menuruti pula jejak langkahnya dalam hal
menuntut ilmu pengetahuan itu. Ayah Ibnu Khaldun ini terkenal kemudian sebagai
orang yang ahli dalam Ilmu Tafsir serta ilmu-ilmu lain yang bertalian dengan
pembacaan dan pemahaman kitab-suci Al Qur-an, seperti pramasastera bahasa Arab
(Nahwu dan Sharaf), rethorika (Ar. Ma'ani, bayan dan badi) dan logika (Ar.
Manthiq).
Ia meninggal sewaktu di Afrika Utara berkecamuk penyakit wabah (1348/49 M.)
dengan sangat dahsyatnya. Ibnu Khaldun, yang waktu itu sedang berusia 17 tahun,
tidak dapat melupakan malapetaka peristiwa sedih itu, sehingga dalam bukunya Kitab
al-'Ibar ia telah menulis beberapa catatan mengenai kematian ayahnya itu. Sang ayah
yang telah meninggal itu buat Ibn Khaldun kita bukan saja hanya seorang ayah, tetapi
juga seorang guru baginya. Ia sendiri telah mendidik dan ia sendiri telah turut
mengajar Ibnu Khaldun itu sehingga ia berkembang dan menjadi salah seorang dari
sarjana-sarjana agung dunia Islam, yah, malah salah seorang dari sarjana-sarjana
agung dunia internasional.
Demikianlah secara singkat silsilah keturunan Ibnu Khaldun yang juga digelari
orang dengan sebutan Waliud-Din, penjaga agama.
Ia mempunyai dua saudara laki-laki, yang tua darinya bernama Muhammad,
seorang guru besar di sana, dan yang muda bernama Yahya, terkenal kemudian
sebagai seorang ahli sejarah dan ahli politik. Dari ketiga bersaudara ini hanya Ibnu
Khaldun sajalah yang menjadi sangat termasyhur.
Pendidikan Ibnu Khaldun
Pendidikannya sewaktu kanak-kanak dan anak muda adalah sepetti biasa saja,
yaitu belajar mengaji, belajar ilmu-ilmu yang bertalian dengan pemahaman dan
penafsiran A1 Qur-an. Dalam hal ini gurunya ialah Muhammad ibn Sa'ad ibn Burrah.
Bahasa Arab dipelajarinya dari ayahnya sendiri dan beberapa para ulama lainnya, di
antaranya syaikh Muhammad ibn al-Arabi al Hasha'iri, syaikh Muhammad asy-
Syawwasy az-Zarzali, syaikh Ahmad ibn al-Qashshar, dan syaikh Muhammad ibn
1
Di zaman modern sekarang ini jabatan hajib dapatlah disamakan dengan kepala rumah tangga istana. OR.
Bahr. Yang tersebut belakangan ini juga mengajar Ibnu Khaldun dalam ilmu syair.
Agaknya dialah orangnya yang telah menanam bibit pengertian yang mendalam sekali
pada Ibnu Khaldun sehingga ia dapat memahami syair dengan baik sekali,
sebagaimana jelas kelihatan pada ketika ia membahas soal syair dalam bukunya
Mukaddimah yang terkenal itu.
Ilmu Hadits dan Ilmu Hukum Islam adalah termasuk ilmu-ilmu yang tinggi dan
sukar. Karenanya guru-guru Ibnu Khaldun dalam bidang-bidang ini adalah orang-
orang yang sebelumnya memang sudah cukup ternama, seperti misalnya syaikh
Syamsuddin Muhamad ihn Jabir ibn Sulthan al Wadiysyi (12274 - 1348 AC) buat
Ilmu Hadits, dan syaikh-syaikh Muhammad ibn 'Abdallah al-Jayyani, Muhammad
alal-Qashir, dan Muhammad ibn 'Abdassalam al-Hawwari (1278--1349 AC) buat
Ilmu Hukum Islam.
Sebagaimana halnya dengan sikap anak-anak yang berusia antara 7 hingga 15
tahun yang biasa menerima saja segala apa yang diajarkan kepadanya, demikian juga
halnya dengan Ibnu Khaldun dalam masa usianya di masa itu. Secara passif, tanpa ada
kritik, ia menerima dan mengenyam segala pelajaran-pelajarannya itu dengan
bernafsu sekali. Akan tetapi dalam masa mudanya antara 15 dan 25 tahun kelihatanlah
perubahan-perubahan pada sikap dan tindak-tanduknya. Sebagai diketahui masa yang
paling menentukan bagi perkembangan intelektual seorang manusia muda ialah antara
15 dan 25 tahun. Dalam masa inilah pemuda itu melengkapi pendidikannya dan
memulai dengan karier hidupnya, yaitu dengan memberi pada perjalanan hidupnya
satu arah tujuan tertentu yang nantinya akan sukar sekali untuk mengalami
perubahan-perubahan. Biasanya masa seperti itu berlalu dengan aman dan tenteram
dalam kehidupan pemuda tanpa ada gangguan-gangguan dalam masyarakat di mana ia
hidup. Tetapi kadangkala terjadi jugalah sesuatu yang hebat justru pada masa
pertumbuhan zaman mudanya itu.
Jika demikian halnya, maka peristiwa tersebut dapatlah memberikan pengaruhnya
pada arah tujuan hidup anak muda itu. Dan rupanya sudahlah Takdir Tuhan yang
masa usia 15 hingga 25 tahun dari usianya itu jatuh pada satu zaman yang penuh
dengan kekalutan-kekalutan dan huru-hara di Afrika Utara, yaitu tahun 1347 hingga
tahun 1357, lebih kurang sepuluh tahun lamanya.
Afrika Utara dewasa itu adalah ibarat satu pentas di mana orang dapat
mempersaksikan pergolakan-pergolakan politik yang hebat-hebat. Kerajaan Al
Muwahhidun (Er. Almohades) waktu itu telah lama hancur-lebur dan di atas puing-
puingnya telah muncul beberapa negara-negara kecil dan keamiran-keamiran cilik. Di
Tunis muncul Keamiran Banu Hafsh, di Tlemcen (Tilamson) dan Barbari Tengah
(kini disebut Aljazair) berdiri Keamiran Banu Abdul Wad. di Fez dan Marokko tegak
Kerajaan Banu Marin. Di bawah lindungan negara-negara kecil ini ada pula lagi
negara-negara cilik, dan di belakang negara-negara cilik ini ada pula lagi keamiran-
keamiran dan kota-kota yang berdiri sendiri-sendiri dengan kemerdekaan dan
kedaulatan masing-masing pula.
Di tahun 1347 M raja Banu Marin di Fez, Abu Al Hasan, menyerang dan
menduduki Tunis. Sebelum itu di tahun 1337 ia telah menyerang juga Keamiran Banu
Abdul Wad di Tlemcen dan mendudukinya selama lebih kurang sepuluh tahun. Di
tahun 1348, sesudah mengalami satu pukulan yang hebat di Al Qayrawan (Er.
Kairouan) dari suku-suku Arab di sana, ia terpaksa mengundurkan diri lagi dari
Tunis. Akan tetapi buat beberapa waktu lamanya keadaan politik dari Banu Hafsh
tetap juga buruk adanya. Abu Inan, yaitu anak dari pengganti dari Abu al Hasan, di
tahun 1357 berhasil lagi menyerang Tunisia, akan tetapi sayang kemenangannya itu
segera akan tidak berarti sama sekali. Ia meninggal di tahun 1358 dan sepeninggalnya
itu pergolakan-pergolakan politik di Afrika Utara menjadi halangan-halangan lagi
bagi pertumbuhan yang sehat dari Keamiran Banu Hafsh. Alampun turut memainkan
perananya pula di antara peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi nasib Ibnu Khaldun
itu. Penyakit wabah yang berkecamuk dengan hebatnya di Tunis di tahun-tahun,
1348-49 merupakan tambahan lagi terhadap bencana-bencana yang dibuat oleh tangan
manusia sendiri.
Penyerangan dan pendudukan Banu Marin terhadap Tunis di tahun 1347 telah
mengakibatkan berpindahnya sejumlah besar ulama-ulama terkenal ke sana sebagai
pengikut-pengikut raja Abu Al Hasan. Ibnu Khaldun yang waktu itu sudah meningkat
dewasa (telah berusia 15 tahun) telah mendapati di antara mereka ini ulama-ulama
yang memberi semangat ilmu pengetahuan kepadanya. Mereka itu semua menjadi
syaikh-syaikh dari Ibnu Khaldun, yakni ulama-ulama dan guru-guru yang
memberikan pengaruh-pengaruh pasti terhadap pertumbuhan intelligentsia Ibnu
Khaldun di hari-hari nanti. Mereka semua adalah ulama-ulama lautan ilmu yang
megah dan masyhur dewasa itu di seluruh Afrika Utara. Di antaranya yang sangat
terkemuka ialah syaikh Muhammad ibn Sulaiman as-Saththy, syaikh Abdul
muhaiman ibn Muhammad ad Hadlrami, dan terutama sekali syaikh Muhammad ibn
Ibrahim al Abili. Keberangkatan syaikh al Abili kemudiannya dari Tunis adalah salah
satu di antara sebab-sebab yang membikin Ibnu Khaldun berangkat dan meninggalkan
kota kelahirannya itu.
Ada pula beberapa ulama terkenal lainnya dalam lingkungan pergaulan raja Abu
al-Hasan itu, misalnya syaikh Abdullah Yusuf ibn Ridlwan al-Malaqi, syaikh
Muhammad ibn Muhammad ash-Shabbagh, dan syaikh Muhammad Ahmad ibn
Marzuq, akan tetapi rupanya Ibnu Khaldun sendiri tidak memandang mereka ini
sebagai guru-gurunya. Malah ada di antara mereka itu, yaitu Ibn Marzuq, yang selalu
bertentangan saja dengan Ibnu Khaldun.
Penyakit wabah yang berkecamuk di Tunis di tahun 1348/49 itu telah membikin
Ibnu Khaldun banyak kehilangan para guru besarnya dan malah juga kedua orang
tuanya telah menjadi korban dari wabah itu. Maka tinggallah ia dewasa itu di bawah
pimpinan abangnya yang bernama Muhammad yang kini bertindak sebagai kepala
dari keluarga Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun rupanya telah bosan dengan pertukaran-pertukaran kekuasaan di
Afrika Utara. Kepercayaannya kepada Keamiran Banu Hafsh di Tunis berkurang,
kalaulah tidak hilang sama sekali. Kehidupan intelektualisme juga turut menurun
karena pergolakan-pergolakan politik di sana. Akhirnya setelah berfikir semasak-
masaknya, di tahun 1354 Ibnu Khaldun memutuskan untuk meninggalkan Tunis dan
pergi ke Fez di mana terdapat sejumlah ulama-ulama besar yang mendampingi Abu
Inan, sultan Marokko yang baru.
Di Fez-lah Ibnu Khaldun menyelesaikan pendidikan tingginya dengan dan
bersama-sama para ulama yang dewasa itu berada di sana yaitu :
1. Syekh Muhammad ibn ash-Shaffar
2. Syekh Muhammad ibn Muhammad al Maqqari
3. Syekh Muhammad ibn Ahmad al 'Alwi
4. Syekh Muhainmad ibn Abdassalam
5. Syekh Muhammad ibn Abdarrazaq
6. Syekh Muhammad ibn Yahya al-Barji
7. Syekh Ibn al Khaththib (pengarang "Sejarah Granada")
8. Syekh Ibrahim ibn Zarrar
9. SyekL Abulbarakat Muhammad al Ballafiqi.
Mahasiswa Pengarang
Selagi masih mahasiswa Ibnu Khaldun sebenarnya telah juga giat menulis buku-
buku, akan tetapi ia sendiri tiada pernah menyebut-nyebut tentang karya-karyanya itu
di dalam Muqaddimah. Barangkali karena semua itu hanya baru merupakan buku-
buku kecil saja dan bukan satu karya ilmiah yang besar. Malah mengenai buku
tentang Afrika Utara yang pernah ditulisnya di tahun 1401 M buat panglima perang
Timur (yakni Timurlane) tiada pernah disebut-sebutnya. Dalam pandangannya sendiri
semua itu kurang bernilai sebagai karya ilmiah. Akan tetapi bahwa ia memang sudah
menulis-nulis lama sebelum ia menjadi pengarang Muqaddimah yang termasyhur itu,
dapat kita ketahui dari apa yang pernah ditulis tentangnya oleh Ibn al Khatthib (1313-
71347), pengarang "Sejarah Granada" yang terkenal itu.
Ibn al Khatthib antara lain mengatakan, bahwa Ibnu khaldun pernah menulis satu
uraian panjang dari kitab Burdah karangan al Bushiri yaitu kitab madah dan puja-puji
tentang Rasulullah dalam bentuk syair-mair yang indah sekali. Di samping itu ia juga
telah membuat beberapa ringkasan dari buku-buku karangan Ibn Rusyd (Er.
Averroes). Pun ia juga menulis satu buku tentang Logika (Ilmu Mantiq) buat Sri
Sultan. Ia telah membuat juga satu ringkasan yang baik sekali dari kitab Muhassal
karangan Imam Fakhruddin ar-Razi. Malah oleh Ibn al Khatthib dikabarkan pula
bahwa Ibnu Khaldun pernah juga menulis satu buku tentang dasar-dasar ilmu hitung.
Entahlah, Allah lebih mengetahui tentang kebenaran segala itu.
Perkawinannya.
Ketika Ibnu Khaldun berdiam di Fez dan bekerja di sana sebagai pembesar istana
Banu Marin diketahui bahwa ia telah beristeri. Malah besar sekali kemungkinan
bahwa ia telah beristeri semenjak ia berdiam di Tunis. Isterinya ialah anak seorang
jenderal Banu Hafsh yang menjadi menteri peperangan di sana, yaitu panglima
Muhammad Ibnu Al Hakim (meninggal 1343 M), anggota dari satu keluarga
bangsawan dan berilmu. Menurut Ibnu Khaldun sendiri ia mempunyai beberapa anak
darinya. Ketika ia pergi ke Spanyol di musim gugur tahun 1363, ia telah mengirim
isteri beserta anak-anaknya ke Constantine, dengan maksud supaya mereka
menumpang dulu di rumah abang isterinya di sana, sebelum segala sesuatunya
mengenai perumahan di Spanyol selesai. Baru kemudian mereka menurutinya ke
Spanyol.
Karena Ibnu Khaldun seringkali berpindah-pindah tempat, maka seringkali pula ia
harus berpisah secara sementara dengan isteri dan anak-anaknya itu. Malah pernah
terjadi mereka ini berada dalam ancaman bahaya dan ditahan sebagai tawanan
tebusan, sedang Ibnu Khaldun sendiri berada di suatu tempat yang jauh dan aman.
Ibnu Khaldun cinta dengan mesra sekali kepada keluarganya, dan hanya karena
tabiatnya yang suka pindah-pindah itu sajalah yang membuat dia acapkali harus
berpisah lama dengan isteri dan anak-anaknya itu.
Ibnu Khaldun di Fez
Seperti tersebut di atas di Fez-lah Ibnu Khaldun menyelesaikan pendidikan
tingginya. Di Fez pulalah ia bergaul banyak dengan ulama-ulama yang mendampingi
sultan Abu 'Inan. Dengan sendirinya ia dekatlah dengan kalangan istana. Sultan
beberapa kali mendesak supaya ia mau menjadi sekretaris istana, tetapi Ibnu Khaldun
selalu saja menolak dengan alasan bahwa "ia tiada pernah melihat nenek-moyangnya
memegang jabatan seperti itu." Rupanya ia merasa rendah memegang jabatan
sekretaris walaupun sekretaris istana sekalipun. Kiranya patut diketahui bahwa Banu
Khaldun menurut sejarahnya adalah orang-orang yang selalu memegang jabatan
jabatan eksekutif dan penasihat, dan tiada pernah ada yang menjadi sekretaris atau
panitera.
Maka kedudukan Ibnu Khaldun di istana Fez itu tidaklah berjalan lama justeru
karena pandangannya yang seperti itu. Malah karena dicurigai pada suatu ketika (10
Pebruari 1357) Ibnu Khaldun pernah dipenjarakan oleh sultan Abu 'Inan selama lebih
kurang 21 bulan lamanya. Ia baru dilepaskan sesudah Abu 'Inan meninggal dunia
pada 27 Nopember 1358.
Dengan meninggalnya Abu 'Inan kekuasaan dinasti Banu Marin pun menurunlah
dan kemudian hancur luluh dengan sendirinya. Raja-raja yang datang kemudian
adalah ibarat patung-patung saja, karena yang berkuasa sebenarnya dewasa itu ialah
para perdana menterinya, satu suasana yang subur untuk kemudian menimbulkan raja-
raja cilik bagai cendawan tumbuh.
Dalam keadaan seperti itu Ibnu Khaldun telah memilih dan menyokong Abu
Salim sesudah meninggalnya Abu 'Inan. Rupanya pilihannya tepat, karena di bulan
Juli 1359 Abu Salim itu diangkat oranglah menjadi raja Marokko. Sebagai balasan
atas bantuannya Ibnu Khaldun diangkatnya menjadi sekretaris negara dan kemudian
menjadi pegawai tinggi dalam soal-soal hukum dan pelanggaran-pelanggarannya,
yang dewasa itu terkenal dengan sebutan mazalim. Akan tetapi semua itu tidak lama
pula, sebab dalam musim kharif tahun 1361 dalam satu pemberontakan istana yang
diatur oleh pihak sipil dan militer ia mati terbunuh.
Maka Ibnu Khaldun pun berniat hendak meninggalkan Fez dan berharap hendak
memperoleh tempat bergerak yang lebih baik dan aman baginya di suatu daerah lain.
Akan tetapi kalangan pemerintah di Fez merasa takut bahwa ia nanti di lain daerah
akan mempergunakan pengetahuannya terhadap politik Afrika Utara untuk
kehancuran mereka sendiri. Oleh karena itu pada mulanya dihalang-halangi. Tetapi
ketika ia berjanji akan sama sekali meninggalkan Afrika Utara dan hendak menetap di
Spanyol, iapun diizinkanlah pergi. Maka berangkatlah Ibnu Khaldun meninggalkan
Fez dan dengan melalui Ceuta pergi ke Granada, satu-satunya negara Islam yang
waktu itu masih ada di semenanjung Iberia. Ia tiba di Granada pada 26 Desember
1362.
Ibnu Khaldun di Granada
Ibnu Khaldun telah diterima oleh pemerintah Granada dengan penuh kebesaran.
Sebahnya ialah karena raja Muhammad V yang memerintah di sana dewasa itu adalah
sahabat lama dari Ibnu Khaldun. Sebagai sekretaris negara di Fez dahulu ia telah
pernah menjadi tuan rumah yang baik hati terhadap Raja Muhammad V dari Granada
beserta perdana-menterinya (yaitu Ibnul Khathib, seorang sarjana dan pengarang
Spanyol Islam yang terkenal yang karena mengungsi ke Fez telah menjadi guru dan
sahabat karib dari Ibnu Khaldun), yakni sewaktu mereka itu terpaksa lari dan
mengungsi ke Fez di antara tahun 1354-59. Atas perhatian dan bantuan Ibnu Khaldun
dewasa itu Muhammad V kemudian telah dapat kembali ke Granada lagi dan berhasil
memperkuat kedudukannya di sana sebagai raja Granada. Karena itu tidak usahlah
orang heran kalau Ibnu Khaldun mendapat kedudukan yang baik pula di Granada.
Berkat jasa-jasanya di masa yang lampau itu Ibnu Khaldun kini mendapat
kepercayaan yang penuh dari Raja Muhammad V, pun juga dari perdana menterinya
Ibnul Khathib. Di tahun 1364 ia ditugaskan untuk mengepalai satu missi kepada Raja
Pedro dari Castilla. yang bertujuan hendak mengangkat satu perjanjian perdamaian
antara Castilla yang Kristen dan Granada yang Islam. Dengan demikian Ibn Khaldun
mendapat kesempatan pula untuk mengunjungi Sevilla, kota asal dari nenek-
moyangnya.
Raja pedro rupanya sangat tertarik pada Ibnu Khaldun dan memuliakannya
dengan setinggi-tingginya. Raja Kristen itu sampai berjanji akan mempekerjakan Ibnu
Khaldun dalam dinas kerajaannya dan berjanji akan mengembalikan segala harta-
benda dan tanah peninggalan keluarganya di zaman dahulu itu. Akan tetapi Ibnu
Khaldun telah menolaknya dengan penuh penghargaan.
Sementara itu keluarganya (isteri dan anak-anaknya) pun telah tiba pula dari
Constantine, dan selama lebih kurang tiga tahun Ibnu Khaldun sekeluarga hiduplah
dengan penuh ketenangan di kota Granada yang penuh dengan kebudayaan itu. Tetapi
hal sedemikian itu rupanya segera akan berubah pula dan tanda-tandanya sudah mulai
kelihatan. Ia merasa, bahwa sarjana dan pengarang Ibnul Khathib yang dewasa itu
menjadi perdana menteri Granada, mulai amat kurang senang terhadapnya, terutama
karena pengaruhnya yang nampak benar semakin hari semakin meningkat di kalangan
istana. Ibnu Khaldun tiada mempunyai niat untuk bertikai dengan orang yang
dengannya ia sudah saling berhutang budi, apalagi orang itu adalah pula seorang
sarjana sastera yang selama itu telah menjadi kekagumannya. Sebab itu ia
menghindari segala hal-ihwal yang dapat membawanya pada satu pertikaian dengan
perdana menteri Ibnul Khathib (yang di kemudian hari mati dibunuh orang di Fez di
tahun 1374).
Kembali ke Afrika Utara
Maka itulah sebabnya sehingga pada 11 Februari 1365 Ibnu Khaldun sekeluarga
telah meninggalkan Granada dan kembali ke Afrika Utara di mana ia menetap di
Bougie, yang dewasa itu lagi diperintah oleh amir Abu 'Abdallah, salah seorang di
antara para sahabat lamanya dari kalangan Banu Hafsh. Di Bougie ini ia tidak sempat
tinggal lama, hanya lebih-kurang setahun tiga bulan ia di sana, penuh dengan
penderitaan-penderitaan. Sebagai diketahui amir Abu 'Abdallah itu selalu saja berada
dalam pertikaian dengan kemenakannya amir Abul 'Abbas yang berkuasa di
Constantine. Kadangkala terjadilah serang-menyerang di antara kedua keamiran itu,
di mana Ibnu Khaldun sendiri terang harus berpihak kepada Abu 'Abdallah. Yang
disebut belakangan ini kemudian meninggal dalam bulan Mei 1366, sehingga dalam
suasana sulit yang timbul sesudah itu, dan juga untuk menjaga keutuhan keluarganya
sendiri, Ibnu Khaldun sebagai siasat pindah dan memihak kepada amir Abul 'Abbas di
Constantine.
Penghidupan Ibnu Khaldun selama masa 8 atau 9 tahun kemudian penuhlah
dengan kesulitan-kesulitan baru lagi, baik politis, maupun ekonomis. Selama masa ini
di mana Ibnu Khaldun kadangkala terpaksa memainkan keamiran-keamiran cilik yang
saling bertikaian dan bermusuhan itu, ia benar-benar telah hidup sebagai seorang
petualang politik yang ruang hidupnya berpindah-pindah dari satu ibukota ke ibukota
lainnya. Begitulah akhirnya dari Constantine ia berpindah pula ke Biskra pada tanggal
4 Agustus 1370. Akan tetapi oleh kerusuhan-kerusuhan pada tanggal 11 September
1372 ia beserta keluarganya meninggalkan pula Biskra dan lari ke Fez yang dengan
penuh kesulitan dicapainya dalam bulan Oktober atau Nopember 1372.
Tetapi suasana kacau dan huru-hara yang berkecamuk di Fez dewasa itu telah
membuat Ibnu Khaldun tak mungkin untuk memperoleh satu kedudukan yang
terjamin dan memuaskan di sana. Harapannya kini ialah hendak kembali lagi ke
Spanyol, semoga di sana ia dapat tinggal dan hidup dengan lebih aman. Temannya
Ibnul Khathib yang tadinya adalah perdana menteri Granada, dewasa itu sedang
berada dalam buangan di Fez, dan sebagai perdana menteri ia telah digantikan oleh
Ibn Zamrak, juga seorang sarjana dan sasterawan termasyhur. Ibnu Khaldun kenal
baik pada Ibn Zamrak ini, karena sebelumnya yang tersebut itu adalah juga orang
buangan di Fez. Namun demikian bukanlah satu pekerjaan mudah bagi Ibnu Khaldun
untuk berhijrah ke Spanyol. Perhubungan antara Fez dan Granada dewasa itu sudah
sedemikian tegangya, sehingga hampir-hampir saja meletus menjadi satu peperangan
besar. Apalagi penguasa di Fez dengan berbagai macam daya tetap menghalang-
halangi keberangkatannya ke Granada itu.
Tetapi akhirnya di tahun 1374 (besar kemungkinan dalam musim kharif) berhasil
jugalah ia pindah ke sana, hanya saja tidak disertai keluarganya yang tak diizinkan
untuk berangkat. Malah pemerintah Fez dewasa itu masih berusaha keras agar
pemerintah Granada mengeluarkannya dari sana. Kesudahannya ia dikembalikan juga
ke Afrika Utara, di mana ia didaratkan di Hunayn. Dari Hunayn ia pergi ke Tlemcen
(Ar. Tlimsan), di mana ia bergabung dengan keluarganya yang sudah sekian lama
berpisah dengannya. Sejak 5 Maret 1375 tinggallah Ibnu Khaldun di al-'Ubbad satu
desa yang tiada jauh letaknya dari Tlemcen.
Menulis Muqaddimah di Qal'at Ibn Salamah
Selama masa lebih-kurang sembilan tahun bertualang itu, tetapi tentunya dengan
penuh pengalaman-pengalaman, Ibnu Khaldun boleh dikatakan jemulah sudah pada
politik. Maka dalam pekerjaan hidup Ibnu Khaldun selanjutnya kita lihatlah beliau
sekeluarga menetap di Qal'at Ibn Salamah, yaitu satu puri dan desa dalam propinsi
Oran, yang sengaja telah disediakan baginya oleh amir Abu 'Inan yang berkuasa
dewasa itu. Di sanalah Ibnu Khaldun sekeluarga tinggal dengan aman dan tenteram
selama lebih dari tiga tahun, dan di sana pulalah ia untuk pertama kali menikmati
istirahat besar, jauh dari gangguan-gangguan politik dan intrik-intrik istana, dan jauh
pula dari bahaya-bahaya perjalanan dan serbuan-serbuan militer. Untuk pertama kali
ia memperoleh kelapangan dan kesempatan di sini untuk melakukan perkerjaan
research dan studi yang mendalam.
Dalam suasana tenang yang meliputi Qal'at Ibn Salamah, di sanalah Ibnu Khaldun
mulai menulis dan mengarang. Segala sesuatu tiada sulit lagi baginya. Usianya ketika
itu sudah 43 tahun. Penyelidikan-penyelidikan dan studinya telah cukup matang.
Lebih-kurang 25 tahun lamanya ia telah berjuang dalam politik. Selama masa itu ia
telah pernah menduduki jabatan-jabatan politik tinggi di istana-istana dan negara-
negara Afrika Utara, mempelajari persoalan-persoalan dan lembaga-lembaga mereka,
mengetahui pendapat-pendapat dan jalan-jalan pikiran mereka, menjarahi daerah-
daerah dan padang-padang pasir dari suku-suku Barbari, bercampur-gaul dengan
suku-suku itu serta mempelajari watak-watak, keadaan-keadaan, dan adat-istiadat
mereka baik dalam kehidupan kemasyarakatan maupun dalam kehidupan
kekeluargaan mereka. Otaknya yang memang sudah penuh dengan ilmu-ilmu agama,
apalagi pengalaman-lpengalaman, telah bertambah-tambah melimpah selama ini
dengan berbagai-bagai macam ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari
perpustakaan-perpustakaan yang dewasa itu terdapat di Afrika Utara dan Andalusia
(Spanyol Islam).
Sungguh pengasingan diri Ibnu Khaldun ke Qal'at Ibn Salamah dalam keadaan
seperti itu merupakah hikmat dan nikmat yang besar bagi umat manusia umumnya
dan umat Islam khususnya. Di tempat yang terpencil itulah ia telah menulis kitabnya
"MUQADDIMAH" yang terkenal itu, yaitu introduksi terhadap bukunya yang lebih
tebal dan berjilid-jilid tentang Sejarah Umum Umat Manusia yang dinamakannya :
, ,
(Kitab Al 'Ibar, Wa Diwan Al Mubtada Wal Khabar, Fi Ayyam Al Arabi Wal Ajami
Wa1 Bar-Bar, Wa Man Asrahum Min Dzawi Al Sulthan Al Akbar /Buku tentang
Ibarat-ibarat dan Catatan Sejarah Terdahulu dan Kemudian, Memperbincangkan
Peristiwa-peristiwa Politik dari Bangsa-bangsa Arab, Asing dan Barbari dan Raja-raja
Besar yang Hidup Di zaman Mereka), tetapi yang singkatnya biasa disebut Kitah al-
'Ibar saja.
Muqaddimah itu selesai dikarangnya pada pertengahan tahun 1377 M dalam
jangka waktu lima bulan. Kemudian diadakannya beberapa revisi dengan membawa
beberapa perubahan di sana-sini. Ibnu Khaldun merasa dirinya sangat sukses dengan
hasil ciptaannya itu. Dalam bulan Nopember 1377 ia berkata : "Saya telah
menyelesaikan Muqaddimah itu dengan cara yang aneh sekali. Saya seperti telah
diilhami saja pada waktu pengasingan diri itu, sehingga kata-kata dan pikiran-
pikiran seperti mengalir saja ke otakku seperti mengalirnya air bah ke muara
layaknya sampai buku itu selesai."
Muqaddimah seperti telah dikatakan di atas adalah jilid pertama dari Kitab al-'Ibar
yang terdiri tujuh jilid itu. Tetapi dalam sejarah pertumbuhannya Muqaddimah adalah
lebih terkenal dari nama kitab induknya sendiri yang berjumlah enam (atau tujuh) jilid
itu. Apa kandungan Muqaddimah itu biarlah nanti kita jelaskan di tempat yang lain.
Akan tetapi perlu kiranya dinyatakan di sini, bahwa setelah selesai dengan
Muqadimahnya, Ibnu Khaldun masih memerlukan empat tahun lagi untuk menyudahi
Kitab al 'Ibar yang enam jilid lagi, termasuk di dalamnya kesempatan untuk
mempergunakan semua perpustakaan-perpustakaan yang waktu itu terdapat di
Tunisia. Kini marilah kita turuti lebih lanjut riwayat hidup syaikhuna kita itu.
Menyelesaikan Kitab Al 'Ibar di Tunis
Setelah bukunya Muqaddimah selesai dikarangnya pada pertengahan tahun 1377,
maka terjadilah perubahan pada diri Ibnu Khaldun. Ia mulai rindu kembali kepada
kehidupan ramai yang telah biasa ia mengalaminya, tetapi yang sesungguhnya tak
terdapat di puri Qal'at Ibn Salamah yang terpencil itu. Ia pun jatuh sakit dengan tiba-
tiba, sakit yang agak berat juga. Sesudah ia sembuh kembali, diputuskannya lah untuk
meninggalkan puri terpencil itu dan pergi kembali ke Tunis, kota kelahirannya. Di sini
ia ingin hendak menetap sementara waktu untuk melanjutkan karyanya menulis Kitab
al 'Ibar yang berjilid-jilid itu, apalagi Tunis dewasa itu mempunyai beberapa
perpustakaan yang baik-baik dan lengkap.
Pada waktu itu yang memerintah di Tunis ialah Abul 'Abbas dari Keamiran Banu
Hafsh, seorang sultan yang selama tujuh tahun paling berkuasa di seluruh Afrika
Utara. Maka kepadanyalah Ibnu Khaldun meminta supaya ia dibolehkan kembali ke
kampung halamannya itu, pertama untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai
penyelidik ilmiah dalam ilmu sejarah, dan kedua untuk sekaligus dapat menziarahi
kuburan orang tuanya yang terdapat di sana, Permintaan Ibnu Khaldun itu dikabulkan
oleh Abul 'Abbas, barangkali juga karena pengaruh nama dari keluarga Ibn Khaldun
itu. Maka pada permulaan musim dingin di tahun 1378 Ibnu Khaldun pun
meninggalkan Qal'at Ibn Salamah dan tiba di Tunis dalam bulan Nopember (atau
Desember) 1378.
Di Tunislah ia kembali bekerja sebagai seorang sarjana yang melanjutkan
penyelidikannya tentang ilmu sejarah dan sambil meneruskan karyanya menulis Kitab
al-'Ibar, yang pendahuluannya serta beberapa bagian permulaannya telah selesai
dikarangnya dahulu di Qal'at Ibn Salamah. Lebih kurang empat tahun lamanya ia
tinggal di Tunis, dan dalam jangka waktu itu selesai jugalah ia menyiapkan bukunya
Kitab al-'Ibar yang enam jilid itu. Kitab itu selesai kira-kira pada pertengahan tahun
1382, akan tetapi belum lagi selengkap seperti sekarang ini. Naskah waktu itu
meliputi Muqaddimah, sejarah bangsa Barbari dan Zanatah, sejarah bangsa Arab
sebelum dan sesudah Islam, dan sejarah berbagai kerajaan-kerajaan Islam. Mengenai
sejarah bangsa Barbari di zamannya sendiri itu misalnya ia baru sampai menulisnya
hingga direbutnya kembali kota Tawzir oleh sultan Abul 'Abbas di tahun 1381. Akan
tetapi naskah pertama ini dikemudian hari diperluasnya lagi dengan tambahan pasal-
pasal lain yang panjang tentang sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Timur, sejarah
bangsa-bangsa purbakala, dan sejarah bangsa-bangsa Kristen.
Pada hari penyerahan naskah pertama kepada sultan Abul 'Abbas, Ibnu Khaldun
telah membacakan seratus rangkum syair puja-puji terhadap sultan itu. Baginda sultan
sangat puas dengan hasil karya Ibnu Khaldun itu dan Ibnu Khaldunpun merasa sangat
bahagia dengan keadaannya waktu itu serta selesainya Kitab al 'Ibar tersebut. Tetapi
kebahagiaannya di Tunis, kota kampung halamannya, rupanya juga tiada dapat lama.
Seorang ulama besar di sana dalam madzhab Maliki yang bernama Ibn Arafah al
Warghami (1316-1401), enam belas tahun lebih tua dari Ibnu Khaldun sendiri, tetapi
bekas sesama sekolah dengannya, rupanya telah lama tiada merasa senang dengan
Ibnu Khaldun. Sejak Ibnu Khaldun tiba di Tunis dan menjadi teman yang akrab dari
baginda sultan, ia sebenarnya telah tidak disenangi oleh Ibn 'Arafah ini yang juga
dekat dengan sultan itu. Kebencian itu terutama bukanlah karena Ibnu Khaldun
disukai amat oleh Sri Sultan, tetapi sebab sebenarnya ialah karena banyaknya para
pelajar dan mahasiswa yang lantas pergi saja meninggalkannya dan ternyata
kemudian telah menjadi pelajar dan mahasiswa yang taat dari Ibnu Khaldun.
Maka sebenarnya selama Ibnu Khaldun berada di Tunis ia selalu terancam oleh
bahaya fitnah dari Ibnu 'Arafah dan orang-orang yang sepaham dengannya, halmana
adalah soal biasa waktu itu di kalangan perguruan tinggi. Akhirnya untuk
menghindari agar jangan sampai terjadi sesuatu yang tak baik antara dirinya dengan
Sri Sultan akibat hasutan-hasutan orang, maka Ibn Khaldun pun memohon pada Sri
Sultan supaya ia dibebaskan dari tugasnya selama itu dan dibolehkan pergi ke
Makkah untuk menunaikan ibadah hajinya. Sultan mengizinkannya dan berangkatlah
Ibnu Khaldun meninggalkan kampung halamannya untuk sekali ini tidak akan
kembali-kembali lagi. "Pergi ke Makkah" itu sebenarnya hanya muslihat semata-
mata, walaupun satu waktu nanti memang ia akan naik haji juga tentunya.
Di pelabuhan ia diantarkan beramai-ramai oleh banyak para bangsawan, teman-
teman, dan para mahasiswanya, sehingga merupakan satu demonstrasi yang seolah-
olah hendak menyatakan menyesal dan meratapi keberangkatannya itu. Ia berlayar
menuju timur pada 24 Oktober 1382. Keluarganya tidak ikut serta. Sesudah lebih dari
40 hari lamanya berlayar di Laut Tengah, pada 8 Desember 1382 tibalah ia dengan
selamat di pelabuhan Iskandariyah (Er. Alexandria), Mesir.
Ibnu Khaldun di Mesir
Setibanya di bumi Mesir Khaldun tidaklah meneruskan perjalanannya menuju
Makkah untuk naik haji. Seperti telah dikatakan juga di atas "naik haji" itu hanyalah
semata untuk dapat meninggalkan Tunis di mana ia terus saja mengalami fitnahan-
fitnahan dari pihak lawan dan yang tak menyukainya. Dari Iskandariyah Ibnu
Khaldun kemudian terus berangkat ke Kairo (Ar. Al Qahirah) yang waktu itu
sebagaimana juga sekarang adalah pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia
Islam.
Ibnu Khaldun bukanlah orang yang tak dikenal di Kairo. Lama sebelum ia tiba
namanya yang harum itu telah mendahuluinya lebih dahulu di sana. Masyarakat
intelligentsia Kairo semua kenal akan namanya. Buah tangannya yang berjilid-jiiid
itu, terutama sekali kitab Muqaddimah, walaupun belum tersebar secara meluas,
sudah cukup dikenal dan dipercakapkan orang di mana-mana di negeri Mesir, malah
juga di seluruh negeri-negeri Arab. Karenanya, begitu ia sampai di Kairo pada tanggal
6 Januari 1383, para sarjana dan mahasiswa pun berduyun-duyunlah datang
menziarahinya. Ibnu Khaldun sendiri pernah mengatakan tentang kunjungan para
mahasiswa kepadanya di Kairo itu sebagai berikut : "Para mahasiswa pada bergegas-
gegas mencari saya untuk memperoleh sekedar ilmu pengetahuan, padahal telah
kukatakan ilmuku hanya sedikit saja, tetapi mereka tak hendak juga mau percaya."
Demikianlah Ibnu Khaldun menetap di Kairo, ibukota Mesir, yang dewasa itu
dibandingkan dengan Tunis adalah lebih aman, tenteram, adil, dan makmur. Berbeda
dengan keadaan di Afrika Utara umumnya situasi politik di Mesir adalah lebih stabil.
Dan adalah kebetulan pula sewaktu syaikhuna kita tiba di sana, Mesir baru saja
mempunyai seorang sultan yang baru, yaitu Al Malik az-Zahir Barquq. Sultan ini
memulai pemerintahannya dengan mengumpulkan sekelilingnya orang-orang cerdik-
pandai dan ulama-ulama terkenal, kesemua itu barangkali adalah untuk maksud-
maksud mempertontonkan corak dan sifat dari para pembesar dan ulama yang
mengelilinginya. Hal seperti itu adalah lumrah di zaman tersebut.
Maka tidak usah kita heran kalau syaikhuna kita yang termasyhur dan bijaksana
itu segera pula telah dekat dengan kepala negara baru itu dan dengan kalangan
pemerintah Mesir yang baru diangkat itu. Ibnu Khaldun mula-mula diberi kesempatan
untuk memberi kuliah di Universitas Al Azhar yang terkenal itu, dan seketika sudah
ada lowongan iapun diangkat oleh Barquq menjadi guru besar luar biasa (19 Maret
1384) dalam ilmu hukum madzhab Maliki pada Sekolah Tinggi Hakim Qamhiyah.
Dikemudian hari ia juga memberikan kuliahnya pada beberapa perguruan tinggi
lainnya, seperti Sekolah Tinggi Zahiriyah dan Sekolah Tinggi Surghatmisyiyah.
Selama tinggal di Mesir Ibnu Khaldun terus juga membawa perbaikan-perbaikan pada
Muqaddimahnya, demikian juga pada kitab al-'Ibar yang terus dijaganya supaya tetap
up-to-date.
Pada 8 Agustus 1384 Ibnu Khaldun diberhentikan sebagai guru besar dan tidak
memberi kuliah lagi pada universitas dan perguruan-perguruan tinggi di Kairo, karena
sejak tanggal tersebut ia telah diangkat oleh Sri Sultan menjadi Hakim Tinggi dalam
madzhab Maliki pada Mahkamah Agung Mesir. Begitulah selama 23 tahun ia tinggal
di Mesir, jabatan-jabatan yang dipegangnya silih berganti dan kadangkala bergabung,
yaitu antara guru besar atau hakim tinggi atau merangkap kedua-duanya.
Sewaktu kedudukannya di Kairo telah cukup baik teringatlah ia akan keluarganya
yang selama ini ditinggalkannya di Tunis. Hasrat untuk mendatangkan mereka ke
Kairo semakin hari semakin bertambah kuat juga dan akhirnya Ibnu Khaldun bekerja
keras untuk dapat bergabung kembali dengan isteri dan anak-anaknya. Mula-mula
timbul kesulitan karena sultan Tunis ingin menahan keluarganya itu sebagai suatu
muslihat untuk memikat Ibnu Khaldun agar suka kembali ke kampung halamannya.
Tetapi berkat sepucuk surat dari sultan Barquq kepada sultan Abul 'Abbas, izinpun
kemudian segera pula diperoleh dan isteri beserta anak-anak Ibnu Khaldun pun
dapatlah berangkat tanpa halangan apa-apa lagi menuju Kairo. Tetapi sungguh
malang yang tak boleh ditolak, tepat setibanya dekat pelabuhan Iskandariyah, kira-
kira dalam bulan Oktober atau Nopember 1384, kapal yang membawa keluarganya itu
oleh hal-hal yang tiada jelas telah tenggelam beserta segala muatannya, termasuk
keluarganya yang sangat disayanginya itu. Inilah penderitaan Ibnu Khaldun yang
sangat berat di Mesir.
Ketika pada 21 Juni 1399 sultan Barquq meninggal dunia dan digantikan oleh
puteranya Faraj yang baru saja berusia 10 tahun, kedudukan Ibnu Khaldun semakin
bertambah kuat. Sultan Faraj juga sangat tertarik pada syaikhuna kita. Di tahun 1400
Ibnu Khaldun mengunjungi Damascus sebagai anggota rombongan sultan Faraj yang
dewasa itu harus menyertai tentara Mesir dalam mempertahankan perbatasan timur
kerajaan dari serangan-serangan tentara Monggolia. Dalam perjalanan kembali ia
mengambil kesempatan untuk berziarah ke tempat-tempat mulia di Palestina, seperti
Baitul-maqdis, Baitullahm (Bethlehem) dan Hebron. Di Baitullahm ia menolak untuk
memasuki Gereja Sepulkra Suci, karena menurut Ibnu Khaldun "gedung yang
didirikan umat Kristen di atas tempat di mana dikiranya Nabi Isa as telah disalib
tidak benar menurut pendapat saya dan karenanya saya tidak hendak memasukinya."
Setibanya kembali di Mesir, Ibnu Khaldun dibebaskan dengan resmi dari
jabatannya sebagai hakim tinggi madzhab Maliki pada 5 September 1400.
Pembebasan itu adalah sebagai akibat dari suatu komplot yang sebenarnya telah ada
sejak ia berada dalam musafir di Syria (termasuk Palestina waktu itu) bekerja keras
untuk menggulingkannya.
Ibnu Khaldun di Syiria
Ibnu Khaldun pergi ke Syria adalah atas permintaan dari sultan Faraj sendiri.
Ketika pasukan-pasukan Tartar di bawah pimpinan panglima Timur sudah berada di
perbatasan Syria, tentara Mesir di bawah pimpinan Faraj berusaha keras untuk
menghalaunya dari sana. Ibnu Khaldun diminta oleh Sri Sultan supaya turut
menyertainya dari garis belakang barisan pertempuran. Ibn Khaldun sebenarnya
memenuhi permintaan itu dengan setengah hati. Mereka meninggalkan Mesir dalam
bulan Nopember 1400 dan tiba di Damascus yang sudah hancur-luluh itu sebulan
kemudiannya. Akan tetapi baru saja seminggu mereka di sana tibalah kabar dari Mesir
bahwa di sana orang merencanakan suatu pemberontakan terhadap sultan.
Maka Faraj beserta para penasihatnya pun berniat untuk kembali saja dengan
segera ke Mesir sebelum sesuatu yang tak diinginkan itu terjadi. Di sini timbullah
pertikaian antara penguasa-penguasa sipil dengan penguasa-penguasa militer tentang
jalan mana yang sebaiknya dan seharusnya ditempuh. Para pembesar militer ingin
hendak bertahan terus di Damascus, tetapi para pembesar sipil, antara lain para hakim
dan ulama-ulama termasuk juga syaikhuna kita Ibnu Khaldun, berpendapat bahwa
sebaiknyalah ditempuh jalan mundur dengan teratur. Maka Damascus pun
ditinggalkanlah kemudian dalam keadaan hancur dan dirampok habis-habisan oleh
pasukan-pasukan Monggolia yang dipimpin oleh Timur, panglima perang dan
penakluk dunia yang gagah perkasa itu.
Sewaktu para hakim dan ulama Damascus untuk pertama kali mengadakan kontak
dengan Timur guna mengatur penyerahan kota, panglima perang Monggolia itu
sekonyong-konyong telah menanyakan pada mereka tentang di mana gerangan
adanya seorang sarjana agung ulama besar yang bernama Ibnu Khaldun, karena ia
ingin sangat hendak bertemu dengannya. Demikian sudah harumnya nama Ibnu
Khaldun dewasa itu. Maka diusahakanlah supaya syaikhuna kita itu dapat dibawa dan
dipertemukan dengan penakluk dunia itu. Ketika itu semua pintu kota Damascus
masih dikuasai oleh tentara Mesir sehingga tiada seorangpun dapat meloloskan
dirinya ke luar.
Ibnu Khaldun Dan Panglima Monggolia
Maka Ibnu Khaldun pun terpaksalah diturunkan orang dengan tali dari atas
tembok kota itu dan pada 10 Januari 1401 terjadilah pertemuan yang bersejarah antara
ulama dan sarjana Ibnu Khaldun dengan panglima dan raja Timur, penakluk dunia
bangsa Monggolia yang termasyhur itu. Pertemuan pribadi antara kedua orang besar
itu berlangsung hingga akhir Februari tahun tersebut.
Ibnu Khaldun di pihaknya bermaksud dengan pertemuan-pertemuan itu hendak
memperoleh jaminan dari panglima mengenai keselamatan dirinya dan keselamatan
teman-teman sejawatnya, yaitu para hakim dan ulama dari Damascus. Tetapi ia
bukanlah tidak sadar bahwa yang dihadapinya itu adalah juga seorang manusia besar
pembuat sejarah dunia. Maka sudah terang dalam pertemuan-pertemuan itu tentu
dibicarakannya juga hal-hal yang mengenai sejarah. Dan jika disebut sejarah, maka
panglima Timur di pihaknya tentu merasa berbahagia pula dapat bertemu dengan Ibnu
Khaldun, sarjana dan ahli sejarah dunia, terutama sejarah dan segala sesuatu
mengenai Afrika Utara, yang penerangannya sangat diperlukan oleh panglima besar
itu, barangkali guna penaklukan dunia di bagian utara dari benua Afrika itu, entahlah.
Ibnu Khaldun memang terkenal sebagai ahli dalam soal-soal Afrika Utara.
Walaupun ia telah menetap di Mesir, namun hubungannya dengan Afrika Utara
tiadalah pernah diputuskannya. Pertama sekali selama tinggal di Mesir itu ia tetap
terus mempertahankan pakaian nasionalnya. Kemudian ia menjadi penghubung antara
para ulama dan sarjana di Afrika Utara dengan para ulama dan sarjana di Mesir,
seperti misalnya dalam hal penyampaian surat-surat dari mereka di Tunis kepada
mereka yang di Kairo, pembelian kitab-kitab tertentu di Kairo untuk mereka-mereka
yang berdiam di Tunis dan Spanyol, dan begitulah seterusnya. Malah ia juga
menyampaikan penerangan-penerangan tentang situasi politik di Mesir kepada
negarawan-negarawan yang berdiam di bagian barat dari Afrika Utara itu. Sebagai
balasannya ia mendapat pula keterangan-keterangan tentang perkembangan-
perkembangan politik terbaru di sana sehingga dengan demikian ia dapat terus
membuat kitab Muqaddimahnya itu menjadi up-to-date hingga saat yang terakhir
sekali. Jadi jelas dari sini, bahwa pengetahuan Ibnu Khaldun tentang situasi politik di
Afrika Utara itu adalah selalu baru dan segar.
Itulah sebabnya maka Timur sebagai penakluk dunia sangat memerlukan
menemui Ibnu Khaldun untuk kepentingan siasat peperangannya, bukan untuk
keperluan-keperluan damai. Ia telah menanyakan Ibnu Khaldun tentang ilmu bumi
dari Afrika Utara dan memintanya supaya menulis satu risalah terperinci tentang itu
untuk nanti diterjemahkan ke dalam bahasa Mongolia. Sebagai sarjana dan semata-
mata guna kepentingan ilmiah Ibn Khaldun telah memenuhi permintaan itu dan atas
jasa-jasanya itu Timur kemudian mengizinkannya pulang kembali ke Mesir.
Perlu ditambahkan di sini bahwa setibanya di Mesir Ibnu Khaldun merasa juga
kurang layak untuk memberikan keterangan-keterangan tentang ilmu bumi Afrika
Utara kepada seorang penakluk dunia seperti Timur itu. Oleh karena itu untuk
mengimbangi kesadaran batinnya setibanya kembali di Mesir ia menyampaikan
informasi-informasi yang berguna pula kepada sultan Banu Marin di Afrika Utara
mengenai sejarah bangsa Tartar dan pribadi dari panglima Timur, penakluk dunia
yang gagah perkasa itu. Dengan berbuat demikian kiranya ia telah memperbaiki
kesalahan yang dilakukannya di Syria dahulu.
Ibnu Khaldun Meninggal Di Mesir
Ibnu Khaldun tiba kembali di Mesir dalam bulan Maret 1401. Lebih kurang
sebulan kemudian, bulan April, ia diangkat lagi untuk ketiga kalinya menjadi hakim
tinggi dalam madzhab Maliki. Lebih kurang setahun kemudian (1 Maret 1402) ia
diberhentikan pula untuk kemudian diangkat lagi dalam bulan Juli berikutnya, dan
diberhentikan lagi dalam bulan September tahun 1403. Pada 11 Pebruari 1405 ia
diangkat pula kembali dalam jabatan hakim itu dan sekali ini jabatan itu dipegangnya
hingga 31 Mai 1405. Pengangkatannya yang terakhir sebagai hakim ialah dalam
bulam Maret 1406 dan hanya beberapa hari saja sesudah pengangkatan ini, yaitu pada
17 Maret 1406, ulama dan sarjana agung kita itu pun berpulang ke rahmat Allah
dengan penuh ketenangan. Dengan penuh kehormatan dari negara dan bangsanya ia
dikebumikan di permakaman kaum Sufi agak di luar kota Kairo yang megah itu.
Tidak banyak diketahui orang tentang penghidupannya selama lima tahun yang
terakhir itu. Sebab itu tidak banyak pula yang dapat kita kemukakan selain dari
pengangkatan dan pemberhentiannya yang berkali-kali dari kedudukannya sebagai
hakim tinggi mdazhab Maliki.
Maka pergilah Ibnu Khaldun, pujangga, ulama dan sarjana agung dunia lslam, ya
malah sarjana agung dunia internasional juga.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Hiduplah nama Ibnu Khaldun sepanjang masa.
MUQADDIMAH SELAYANG PANDANG
Perbedaan antara Ibnu Khaldun dan selebihnya para ahli sejarah Muslim, baik
sebelum maupun sesudahnya, ialah kenyataan bahwa Ibnu Khaldun memandang
sejarah itu sebagai satu ilmu yang perlu dipelajari, jadi bukan hanya sebagai kabar dan
cerita semata-mata. Syaikhuna kita itu ingin supaya orang melihat sejarah itu secara
ilmiah. Karena itu ia mencoba membuat cara melihat dan penerangan sejarah menurut
kaca mata baru dan untuk itu ia berpikir dan melakukan penyelidikan-penyelidikan
yang mendalam.
Maka ditulisnyalah Kitab al 'Ibar yang terdiri dari tujuh jilid (lihat di atas pada
Riwayat-Hidup Ibnu Khaldun). Jilid pertama dari kitab itu mengandung Sepatah-Kata
dan Pendahuluan (Ar. Muqaddimah) yang panjangnya jika dalam bahasa Arab hanya
beberapa halaman saja, tetapi jika dalam bahasa Indonesia panjangnya adalah seperti
tercantum pada halaman 40 hingga halaman 50. Lihatlah di sana. Dan itulah dia
Muqaddimah asli dari Ibnu Khaldun bagi bukunya Kitab al 'Ibar. Akan tetapi sudah
semenjak zaman syaikhuna kita itu sendiri muqaddimah yang asli ini bersama dengan
jilid pertama dari Kitab al 'Ibar menjadi satu buku tersendiri dengan sebutan judul
Muqaddimah pula, yaitu diambil dari nama Muqaddimah asli.
Sebutan Muqaddimah untuk jilid pertama dari Kitab al 'Ibar itu adalah demikian
populernya kemudian, sehingga pengarangnya sendiri akhirnya terbiasa atau terpaksa
juga menggunakan nama itu. Dewasa ini nama Muqaddimah sudah umum diketahui
orang, lebih umum dan lebih terkenal lagi dari kitab induknya,sendiri.
Maka apakah kandungan isi Muqaddimah itu ?
Ibnu Khaldun membagi pokok pembicaraannya dalam enam Bab, yang olehnya
dalam bahasa Arab dinamakan Fasal. Bab-bab itu ialah :
I. Peradaban manusia pada umumnya.
II. Peradaban padang-pasir (Baduwi), bangsa-bangsa dan suku-suku biadab
dan keadaan-keadaan hidup mereka.
III. Dinasti, kekuasaan raja, Khalifah, jawatan-jawatan dalam pemerintahan
dan segala sesuatu yang bertalian dengannya.
IV. Negeri dan kota dan segala macam bentuk peradaban maju.
V. Perekonomian, cara-cara hidup dan cara-cara mencari makan.
VI. Ilmu pengetahuan dan pendidikaan.
Pembagian dalam enam bab ini kiranya dapat memberi gambaran pada kita apa
sesungguhnya yang dianggap Ibnu Khaldun sebagai pokok utama dari pengetahuan
kita tentang masyarakat manusia.
Ibnu Khaldun memulai Muqaddimahnya dengan memperbincangkan nilai sejarah
dan bentuk-bentuknya, dan kesalahan-kesalahan yang sering dibuat oleh para ahli
sejarah dalam mencatat tanggal-tanggal dan peristiwa-peristiwa, baik dengan
disengaja karena maksud-maksud tertentu, maupun karena tak sadar dan semata-mata
karena kurang atau tiada pengertian tentang hukum-hukum dari apa yang kini sudah
biasa dinamakan orang dengan sosiologi dan keadaan-keadaan masyarakat. Ia
kemudian mengemukakan beberapa contoh-contoh yang juga diuraikannya sekali
dengan memperlihatkan kesalahan-kesalahan di dalamnya. Banyak di antara
pernyataan-pernyataan Ibnu Khaldun dalam bab pertama itu merupakan sesuatu yang
baru dan menarik, dan pada umumnya kebanyakan kecaman-kecamannya terhadap
para ahli dan pencatat sejarah adalah tegas dan nyata benarnya.
Ibnu Khaldun kemudian menunjuk pada betapa pentingnya orang harus
menentukan fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa sesuai dengan hukum-hukum
sosiologi atau ilmu masyarakat manusia. Sesudah satu pembahasan yang mendalam
dan kritis, Ibnu Khaldun kemudian menyebut-nyebut ilmu pengetahuan yang baru
didapatinya itu. Maka mulailah ia berbicara tentang sosiologi secara umum, sesuai
dengan pembagian bab-bab seperti tersebut di atas. Ia menerangkan tentang watak
pergaulan manusia (masyarakat), perlunya manusia bermasyarakat, dan bagaimana
masyarakat itu berbeda-beda menurut iklim masing masing, betapa ia dipengaruhi
oleh perubahan-perubahan udara sehingga terjadilah daerah-daerah yang panas,
dingin dan pertengahan iklim hawanya.
Kemudian dijelaskannya tentang bagaimana iklim itu berpengaruh pada sifat
(karakter), warna, dan keadaan-keadaan manusia. Maka ia pun berbicaralah tentang
ilmu bumi dunia sebagaimana dikenal orang di waktu itu, yaitu terbagi dalam tujuh
daerah raja. Dalam bab pertama itu sebenarnnya tidaklah banyak hal dan soal yang
baru-baru.
Baru dalam bab kedua Ibnu Khaldun mulai menyinggung soal-soal yang baru
sama sekali. Dalam bab itu syaikhuna kita memperbincangkan tentang berbagai
macam bentuk masyarakat padang pasir. Di sini ia menulis dengan panjang sekali
tentang masyarakat Baduwi beserta sifat-sifatnya dan diperbandingkannya sekali
dengan masyarakat kota. Ibnu Khaldun di sini mengemukakan teori-teori sosialnya
yang sungguh-sungguh baru. Ia berbicara tentang 'ashabiyah, yaitu rasa-golongan
yang kalau sekarang agaknya dapat disamakan dengan rasa kebangsaan atau
nasionalisme. Ibnu Khaldun menyandarkan 'ashabiyah itu pada keluarga atau
kumpulan yang menyamainya. Ashabiyah inilah katanya asal-usul dari kekuasaan dan
kewibawaan, ataupun asal-usul keadaan dalam masyarakat padang pasir.
Kekuasaan ini dimiliki oleh mereka-mereka yang menikmati 'ashabiyah itu.
Dikatakannya bahwa rasa golongan itu dapat berasal juga dari keturunan bangsawan.
Maka kekuasaan yang diperoleh secara demikian itu akhimya dapat turun-temurun
sampai empat keturunan manusia. Mungkin juga sampai pada keturunan ke lima dan
ke enam, akan tetapi dalam hal demikian kekuasaan itu tentu sudah merosot dan
lemah. 'Ashabiyah itu (dan bersamanya kekuasaan atau kewibawaan) berakhir dengan
lenyapnya sesuatu keturunan bangsawan dan berpindah kepada keluarga, suku atau
bangsa lain yang jumlahnya banyak, kuat, dan lain-lain sebagainya. Tujuan 'ashabiyah
ialah kekuasaan, kewibawaan atau kedaulatan.
Kemudian Ibnu Khaldun berbicara tentang kedaulatan dan sifat-sifatnya, corak
kedaulatan yang berbeda-beda itu, luasnya kedaulatan menurut bangsa-bangsa di
mana ia muncul, akibat kemenangan atas bangsa-bangsa yang kalah perang, dan lain-
lain sebagainya. Menurut Ibnu Khaldun bangsa yang kalah perang adalah cenderung
sekali pada meniru-niru bangsa yang menang dan berkuasa.
Dalam bab ini Ibnu Khaldun juga menulis banyak tentang bangsa Arab. Menurut
pendapatnya orang-orang Arab itu adalah bangsa liar yang suka berperang dan
bertempur, merampok, merampas dan menghancurkan. Dalam pertempuran-
pertempuran mereka hanya berhasil di dataran-dataran yang mudah, mengarungi
gunung dan dataran-dataran tinggi mereka tak berani disebabkan oleh kesukaran-
kesukaran alam di sana.
2
) Jika mereka mengalahkan sesuatu negeri, maka negeri itu
tentu segera akan hancur dan sepi, karena sudahlah menjadi watak mereka dalam
merusak dan membinasa itu.
Orang-orang Arab menurut pendapat syaikhuna kita kurang dapat menyesuaikan
diri dengan kedaulatan (atau kewibawaan) dan ini adalah disebabkan oleh watak
mereka yang nomadis dan bertabiat kasar. Mereka lebih suka pada kebebasan dan
kemerdekaan dan tiada hendak menyerah pada kekerasan, kekuasaan dan disiplin.
Hanya tidak perlu dijelaskan di sini, bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang bangsa
Arab itu adalah terlalu subyektif sifatnya. Misalnya pula pendapatnya yang
mengatakan bahwa orang-orang Arab itu kurang campin dalam perniagaan, bahwa
mereka tiada sanggup untuk berilmu pengetahuan, dan bahwa kebanyakan dari
sarjana-sarjana agung dalam negara-negara Islam adalah umumnya orang-orang yang
bukan Arab. Walaupun Ibnu Khaldun dalam mengemukakan pendapat itu
mengemukakan juga contoh-contoh, namun opininya tentang orang-orang Arab itu
adalah agak keterlaluan. Ini barangkali disebabkan oleh pengaruh darah Barbari yang
terdapat dalam tubuhnya syaikhuna kita. Wallahua'lam.
Dalam bab ketiga Ibnu Khaldun menguraikan tentang negara dan kedaulatannya.
Menurutnya kejadian negara adalah karena kekuatan pada suku dan rasa-golongan.
Rasa-golongan atau 'ashabiyah itu mempunyai sifat-sifat dan bentuk-bentuknya yang
tersendiri sesuai dengan keadaan mereka yang menguasainya. Agamapun mempunyai
pengaruh pada penguatan negara. Jika pertikaian terjadi di kalangan penguasa, maka
negara pun lemah dan cepat hancur dan musnah. Seperti halnya dengan negara,
demikian juga kedaulatan mempunyai sifat-sifat tertentu, dan yang karakteristik sekali
ialah pemborongan kebesaran, kemegahan, kemewahan, dan kesenangan bagi dirinya
sendiri. Ini adalah karakteristik yang jika terus berakar dengan kuatnya akan
membawa negara kepada usia tua, lemah dan musnah.
Sebagaimana manusia, negara juga mempunyai umur menurut kodrat alam, dan
Ibnu Khaldun dalam bab ini menaksir kehidupan sesuatu negara mulai dari lahir
hingga muda dan kuat hingga tua dan akhirnya mati, pada umumnya selama tiga
generasi manusia, dengan taksiran satu generasi empat puluh tahun lamanya. Jadi
menurutnya usia negara pada umumnya tidak akan lebih dari seratus dua puluh tahun;
terkecuali dalam hal-hal yang agak jarang terjadi. Teori ini bersamaan pula dengan
teorinya tentang keturunan manusia seperti telah kita sentuh juga di atas sewaktu
menyinggung soal 'ashabiyah. Dalam bab ketiga ini Ibnu Khaldun asli sekali dalam
pendapatnya sehingga teori-teori sosialnya beserta analisa-analisanya tentang
masyarakat sungguh merupakan sesuatu yang baru dan menarik sekali.
Ibnu Khaldun memperbincangkan tentang negara dan kedaulatan secara panjang
dalam bab ini. Kemudian diuraikannya tentang perubahan negara dari tingkat nomadis
ke tingkat peradaban dan berbagai taraf-taraf yang harus dilaluinya. Diterangkannya
pula dengan jelas bagaimana dalam evolusi itu kaum mawali dan orang-orang yang
dekat dengan pihak penguasa turut memainkan peranannya dalam pemerintahan
negara. Kemudian ia memperbincangkan kedaulatan dengan aneka macam coraknya.
tentang Imamah dan khilafah dan aneka macam pendapat-pendapat tentangnya, begitu
juga tentang kaum Syi'ah. Dengan panjang lebar ia membentangkan tentang Khilafah
2
Ini sudah terang kurang benar, sebab yang menyerbu ke lembah-lembah Syria, dataran-dataran tinggi Anatolia
dan Armenia, gunung di Persia, malah sampai-sampai ke Afrika Utara hingga Marokko dan Spanyol, dan malah
yang menemhusi gunung-gunung tinggi di Spanyol dan masuk ke lembah-lembah Perancis, semuanya itu menurut
sejarah adalah orang-orang Arab. Kita kurang sependapat dalam hal ini dengan syaikhuna kita. O.R.
dan kedaulatannya, tentang formalita-formalita pada khilafah dalam pemilihan dan
pengangkatan putera mahkota, tentang berbagai jawatan-jawatan dan lembaga-
lembaga negara, tentang angkatan perang, polisi, tradisi-tradisi kerajaan, strategi dan
taktik peperangan, dan tentang soal-soal yang menyangkut perdagangan. Bab itu
kemudian ditutupnya dengan pembicaraan tentang kezaliman yang pasti akhirnya
akan menghancurkan negara dan kebudayaan manusia.
Bab ke empat memperbincangkan pedesaan dan perkotaan, asal-usul kota-kota,
sifat-sifat dan keadaan-keadaannya seperti misalnya mengenai kesuburan dan
kemakmuran, atau ketandusan dan kemiskinan, yang pengaruhnya meluas sampai
keluar batas negara-negara dari kota tersebut. Kemudian terdapat pula uraian yang
panjang lebar tentang disposisi suku-suku Baduwi dalam hubungannya dengan kota-
kota, tentang peradaban kota dan pengaruhnya, tentang keadaan negara yang tujuan
tertingginya ialah peradaban, yang juga dapat menjadi sebab dari kehancurannya,
tentang korupsi dalam negara, dan akhirnya tentang perbedaan negara-negara menurut
hasil pertaniannya, industrinya dan bahasanya.
Dalam bab ke lima Ibnu Khaldun berbicara tentang makanan dan cara-cara
memperolehnya, yang akhirnya membawa dia pada memperbincangkan tentang
penumpukan harta. Maka diuraikannyalah tentang ekonomi dan perdagangan, supply
dan kebutuhan, monopoli, tentang harga-harga, dan lain-lain sebagainya. Tentang
perdagangan diterangkannya dengan lebih mendalam. Dalam bab ini terdapat pula
pasal-pasal tersendiri tentang pertanian, pembangunan, pertenunan, kebidanan dan
perobatan.
Bab yang ke enam dan terakhir telah disediakan oleh Ibnu Khaldun untuk khusus
memperbincangkan tentang ilmu pengetahuan (sciences) dan pendidikan (education).
Diterangkannya di sana, bahwa tidak belajar itu adalah salah satu dari sifat-sifat
peradaban. Di mana saja ada peradaban, maka pendidikan dan ilmu pengetahuan
tumbuh dan berkembang. Maka diuraikannya dengan panjang lebar tentang berbagai
ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan sosial. Akhirnya dalam bab ini Ibnu
Khaldun mencela falsafat (philosophy) beserta para filosofnya karena menurut
pendapatnya falsafat adalah satu cabang pengetahuan yang tiada berguna dan
merupakan bahaya bagi agama dan kepercayaan. Di sini syaikhuna kita kemudian
memperbincangkan dan menolak beberapa ketentuan-ketentuan falsafat. Akhirnya ia
datang pada membicarakan soal pendidikan serta sistem-sistemnya dan tentang sifat-
sifat dari para sarjana umumnya. Ditegaskannya pula di sana, bahwa dalam Islam
kebanyakan sarjana-sarjana adalah orang-orang yang bukan Arab.
Begitulah bab ini kemudian ditutupnya dengan uraian-uraian tentang rethorika,
proza, dan syair-mair dengan kebiasaan-kebiasaan yang lazim dipakai waktu itu.
Demikianlah secara singkat dan selayang pandang kandungan isi dari
Muqaddimah itu. Apa yang.tertera di sebelah ini setelah Sepatah Kata dan
Pendahuluan atau Muqaddimah, adalah pandangan Ibnu Khaldun khusus mengenai
Masyarakat dan Negara, sebagaimana terdapat di sana-sini dalam bukunya yang
terkenal itu. Ia sengaja telah kita kumpul dan terjemah semoga darinya orang dapat
mengambil faedah dalam menambah ilmu pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu
sosial, terutama ilmu politik dan ilmu ketatanegaraan.
Wa billahittaufiq.
MUQADDIMAH
DARI
MUQADDIMAH
SEPATAH KATA
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim
Berkatalah seorang hamba Allah 'Abdurrahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun Al
Hadlrami, yang sangat berhajat pada kerahiman Tuhan, yang maha Kaya dengan
kebaikannya, semoga Allah memberikan sukses padanya.
Alhamdulillah ! Segala puji bagi Allah, yang mahakuasa dan mahahebat, di
tangan-Nya terletak kekuasaan muluk dan kekuasaan malakut. Segala nama-nama
baik dan semua sifat-sifat indah adalah kepunyaan-Nya. I1mu-Nya adalah begitu
sempurna, sehingga tiada suatupun yang tiada diketaliui-Nya, baik yang diucapkan
dalam bisikan rahasia, maupun yang tiada diucapkan. Kekuasaan-Nya adalah
demikian lengkap, sehingga tiada satupun di langit dan di bumi yang berlebihan bagi-
Nya ataupun dapat lepas dari-Nya.
Dia menciptakan kita dari tanah sehingga menjadi makhluk-makhluk yang hidup
dan bernafas. Dibuat-Nya kita tinggal di atasnya sebagai suku-suku dan bangsa-
bangsa (Ar. ajyal dari jil dan umam dari ummah). Darinya Ia sediakan bagi kita
rezeki-rezeki dan makanan-makanan. Rahim-rahim dari para ibu dan rumah-rumah
adalah tempat tinggal kita. Rezeki dan makanan itu menjaga agar kita hidup. Tetapi
hari-hari dan waktu-waktu memakan kita. Akhirnya ajal yang ditentukan bagi kita
dalam kitab nasib memanggil kita. Tetapi Dia itu terus tetap dan baka. Dia itu adalah
al Hayyu yang tidak mati-mati.
Maka selawat dan salam atas junjungan kita Muhammad, Nabi yang ummi serta
Arabi, yang namanya telah termaktub dan disebut-sebut dalam kitab Taurat dan Injil;
yang untuk kelahirannya dunia seadanya telah bergerak berputar lama sebelum hari-
hari Minggu mengikuti hari-hari Saptu secara tertib dan lama pula sebelum bintang
Saturnus dan Behemoth telah menjadi terpisah, yang cintanya pada kebenaran telah
disaksikan oleh merpati dan laba-laba.
Selawat dan salam pula atas keluarganya dan sahabat-sahabatnya, yang karena
cinta padanya dan mengikutinya telah memiliki bekasnya yang mendalam dan
menjadi terkenal, dan dengan membantunya telah timbul persatuan, sedang musuh-
musuh mereka menjadi lemah karena perpecahan.
Selawatlah, ya Allah, baginya dan bagi semua mereka itu, karena selama Islam
terus-menerus menikmati nasibnya yang penuh bahagia itu, tapi kekufuran yang telah
lusuh itu tetap akan putus !
Berilah pangestu salam sebanyak-banyaknya baginya dan bagi semua mereka itu !
Ibnu Khaldun
PENDAHULUAN
Sejarah sesungguhnya adalah satu mata pelajaran yang secara luas
diperkembangkan di antara bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa. Ia dituntut orang
dengan sangat. Rakyat sederhana, orang-orang biasa berhasrat mengetahuinya. Raja-
raja dan para pemimpin berlomba-lomba untuk sejarah itu.
Baik orang-orang terpelajar maupun orang-orang yang tak terpelajar sanggup
memahaminya, karena pada zahirnya sejarah itu tidak lebih dari kabar-kabar tentang
peristiwa-peristiwa politik, dinasti-dinasti, dan kejadian-kejadian di kurun-kurun yang
telah jauh lampau yang dikemukakan secara kata-berkata dan dibumbui pula dengan
amsal-amsal. Sejarah itu berbakti kepada pertemuan-pertemuan orang ramai yang luas
dan memberi kepada kita satu pengertian tentang persoalan-persoalan manusia. Ia
memperlihatkan bagaimana perubahan keadaan-keadaan (Ar.taqallub al ahwal)
menyentuh persoalan-persoalan manusia itu (Ar. sya'nul khaliqah), betapa negara
tertentu muncul menduduki suatu ruang yang makin meluas di dunia ini, dan
bagaimana mereka memperlakukan bumi itu, hatta sampai kemudian mereka.
mendengar panggilan, dan . habislah masa mereka.
Pada batinnya sejarah itu mengandung spekulasi dan satu usaha untuk sampai
pada kebenaran, penjelasan-penjelasan yang halus tentang sebab-musabab dan asal-
usul dari barang-barang yang ada, dan pengetahuan yang mendalam tentang
bagaimana dan kenapa dari segala peristiwa-peristiwa. Sejarah karena itu sangatlah
berakar pada filsafat. Ia berhak digolongkan sebagai cabang dari falsafat.
Para ahli sejarah terkemuka di kalangan Islam telah mengumpulkan dengan sangat
banyak peristiwa-peristiwa bersejarah dan telah menulisnya menjadi buku-buku.
Akan tetapi orang-orang yang sama sekali tak berhak menyibukkan dirinya dengan
sejarah telah memasukkan dalam buku-buku itu desas-desus yang tidak benar yang
dicari-cari ataupun dibikin-bikin dengan bebasnya, begitu pula laporan-laporan palsu
yang dibuat-buat atau dibunga-bungai. Banyaklah di antara para pengikut mereka itu
yang menuruti jejak mereka dan meneruskan penerangan itu kepada kita sebagaimana
telah didengarnya. Mereka tidak melihat ataupun memberi perhatian pada sebab-
sebab dari peristiwa-peristiwa (Ar. waqa-i') dan keadaan-keadaan (Ar. ahwal) itu, pun
tidak pula mereka menghapuskan ataupun menolak ceritera-ceritera bohong itu.
Usaha sedikit sekali dilakukan untuk mencapai kebenaran (Ar. attahqiq). Mata
yang kritis pada galibnya tidak tajam. Kesalahan-kesalahan dan waham-waham
menjadilah bersekutu dan merupakan unsur-unsur yang biasa dalam penerangan
sejarah. Taklid buta menjadilah satu bawaan keturunan pada ummat manusia.
Penyibukan diri dengan soal-soal ilmiyah di pihak orang-orang yang tiada berhak
jadilah amat meluas. Akan tetapi padang kebodohan itu tidak sehat buat kemanusiaan.
Tiada seorangpun dapat menantang kekuatan kebenaran (Ar. sulthan al-haq), dan
kejahatan kebatilan (Ar. syaithaan al Bathil) haruslah dilawan dengan pandangan
yang benderang. Si pelapor hanyalah mendiktekan dan meneruskan bahan-bahan saja.
Maka perlulah satu pandangan yang kritis untuk memilih yang sehat-sehat dari
kebenaran-kebenaran yang terpendam itu, perlu pada pengetahuan untuk
membentangkan kebenaran dan membersihkannya sehingga pandangan kritis dapat
dipergunakan baginya.
Banyak sudah karya-karya sejarah yang sistematis yang telah disusun, dan sejarah
bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia (Ar. tawarikh al umam wad dual fil alam)
telah dicatat dan dikarang. Tetapi amat sedikitlah ahli-ahli sejarah yang sudah begitu
terkenal dan diakui sebagai autoritas-autoritas, dan yang telah menggantikan hasil-
hasil karya orang-orang sebelumnya dengan karya-karya mereka sendari. Mereka
sesungguhnya dapat dihitung dengan jari-jari di tangan, mereka tidak lebih banyak
dari huruf-huruf harakat dalam susunan kramatika. Sebagai contoh, misalnya ada :
Ibnu Ishaq, At-Thabari, Ibn Al Kalbi, Ibn 'Umar Al Waqidi, Saif Ibn 'Umar Al Asadi.
Al Mas'udi, dan ahli-ahli sejarah terkenal lainnya, yang berbeda dari umumnya para
ahli sejarah itu.
Sebagai diketahui buku-buku buah tangan A-Mas'udi dan Al Waqidi dalam hal-
hal tertentu mencurigakan dan dapat ditolak. Ini cukup diketahui oleh orang-orang
yang kompeten dan para ahli yang dapat dipercaya. Akan tetapi namun demikian,
karya-karya mereka itu telah dimegahkan dengan diterimanya secara universal
penerangan-penerangan yang terkandung di dalamnya dan dengan diterima pula
metode-inetode mereka (Ar. Iqtifa-u sunanihim fi at-tashnif) dan penyampaian
material mereka. Seorang pengecam yang tajam (Ar. An-naqid al bashir) akan
menjadi hakim sendiri mengenai bagian mana dari bahan mereka itu yang
dianggapnya palsu dan mana yang dapat dipercayainya. Peradaban (Ar. al 'umran)
dalam aneka ragam keadaannya mengandung unsur-unsur yang bermacam-macam
dan padanya dapat dipertautkan keterangan-keterangan sejarah (Ar. al akhbar) dan
dengannya diuji laporan-laporan dan hahan-bahan sejarah itu (Ar. Ar riwayat wal
atsar).
Kebanyakan dari sejarah-sejarah karangan pengarang-pengarang ini meliputi
segala-galanya disebabkan semestinya pengluasan geografi dari kedua daulah
Islamiyah yang terdahulu itu
3
) dan disebabkan pilihan sangat luas dari sumber-
sumber yang mereka pergunakan ataupun yang tidak digunakannya. Beberapa dari
para pengarang ini, seperti Al Mas'udi dan ahli-ahli sejarah lain seperti dia, telah
memberikan satu sejarah yang lengkap mendalam tentang daulah-daulah dan bangsa-
bangsa sebelum Islam (Ar. ma qablal millah min ad-dual wa al umam) dan tentang
soal-soal lainnya sebelum Islam umumnya.
Sebaliknya beberapa ahli sejarah yang terkemudian memperlihatkan
kecenderungan untuk lebih teliti dan mereka ini sangsi untuk berbuat begitu umum
dan luas. Mereka mengumpulkan segala kejadian dari zaman mereka sendiri dan
memberikan penerangan sejarah yang lengkap mendalam tentang bagian dunia
mereka sendiri. Mereka membatasi diri mereka pada sejarah negara (Ar. daulah) dan
kota-kota mereka sendiri. Ini telah dilakukan oleh Ibn Hayyan, ahli sejarah Spanyol
(Ar. Andalus) beserta daulah Umayyah di sana, dan oleh Ibnu ar Raqiq, ahli sejarah
Afrika dan negara-negara yang ada di Kairouan (Ar. Al Qayrawan).
Para ahli sejarah yang kemudiannya, semuanya terikat pada taklid dan boyak pada
tabiat dan akal, atau sekurang-kurangnya tidak pernah berusaha untuk tidak bersifat
boyak. Mereka hanya menyalin dari ahli-ahli sejarah yang lama dan menuruti contoh
mereka. Mereka mengabaikan perubahan-perubahan pada keadaan (Ar.'Amma
ahalathu al ayyam min al ahwal) dan pada adat-istiadat bangsa-bangsa dan suku-suku
bangsa (Ar. 'awa-id al-umam wa al-ajyal) yang telah terjadi oleh berlalunya masa.
Maka mereka kemukakan penerangan sejarah (Ar. al Akhbar) tentang daulah-daulah
dan cerita-cerita tentang peristiwa-peristiwa (Ar. Hikayat al-waqa-i') dari abad-abad
permulaan hanya sebagai bentuk-bentuk tanpa isi, sarung-sarung tanpa pedang,
sebagai pengetahuan yang harus dianggap kebodohan karena tidak diketahui darinya
apa yang ganjil dan apa yang asli. Penerangan mereka hanya mengenai kejadian-
kejadian (Ar. al-hawadits) yang asal-usulnya tidak diketahui. Ia adalah tentang
bentuk-bentuk yang terhadap jenis-jenisnya tidak diberikan perhatian dan yang
mauduk-mauduknya tertentu tidak diberikan perincian-perincian.
Dengan keterangan-keterangan yang ada itu mereka hanya mengulangi bahan
sejarah yang betapapun juga sudah diketahui orang dengan luas dan mereka
mengikuti para ahli-sejarah terdahulu yang telah mengerjakan segala itu. Dalam
memperlakukan bahan sejarah itu mereka mengabaikan pentingnya perubahan atas
generasi-generasi, terutama karena mereka itu tidak mempunyai seorangpun yang
dapat memberikan pengertian tentang itu kepada mereka. Karya-karya mereka karena
itu tidak memberikan penjelasan untuk itu.
Kemudian jika mereka tiba pada penggambaran sesuatu daulah (negara) tertentu,
mereka menyampaikan penerangan sejarah tentang itu hanya secara mekanis semata-
mata dan berusaha keras menjaganya agar tetap sebagaimana tadinya telah
disampaikan kepada mereka, baik penuh dengan dugaan-dugaan maupun benar.
Mereka tidak melihat kepada (asal-usul) permulaan dari daulah (negara) itu. Juga
3
Dimaksudkan di sini Daulah Umayah dan Daulah 'Abasiyah.
mereka tidak mengatakan sebab-sebab daulah itu dapat mengembangkan benderanya
(Ar. (al rajah) dan sanggup memberi arti kepada lambang negaranya (Ar. al ayah),
atau apa yang menyebabkan daulah tersebut itu akhirnya berhenti sesudah mencapai
tujuannya (Ar. al ghayah).
Maka itu tetaplah seorang pelajar sejarah harus mencari asal-usul dari keadaan-
keadaan dan prinsip prinsip organisasi dari berbagai negara (Ar. Ahwalu mabadi ad-
dual wa maratibiha). Ia harus menyelidiki sendiri kenapa berbagai negara-negara itu
membawa tekanan-tekanan untuk saling menindas (Ar. tazahum ad-dual) dan kenapa
mereka saling ganti-mengganti (Ar. ta'aqub ad-dual). Ia harus mencari satu
penjelasan yang memuaskan tentang unsur-unsur yang membuat negara-negara itu
saling berpisah atau saling bertemu (Ar. tabayun wa tanasub ad-dual). Segala ini akan
kita perbincangkan dalam Muqaddimah dari buku ini.
Maka akhirnya datanglah para ahli sejarah lain-lain dengan satu presentasi yang
sangat singkat dari sejarah. Mereka ini sudah merasa puas sekali dengan nama-nama
dari raja-raja tanpa sesuatu keterangan keturunan atau keterangan sejarah dan hanya
dengan satu petunjuk angka-angka mengenai lamanya kekuasaan-kekuasaan mereka.
Ini telah dilakukan oleh Ibn Rasyiq dalam bukunya Mizan al-'Amal dan oleh semua
domba-domba hilang yang telah mengikuti jejaknya. Tidak ada kepercayaan dapat
diberikan pada apa yang mereka katakan. Mereka tidak dapat dipercaya, demikian
pula bahan mereka itu tidak dapat dianggap berguna untuk diteruskan, karena mereka
telah menyebabkan hilang lenyapnya bahan yang berfaedah itu dan merusak cara-cara
dan kebiasaan-kebiasaan yang telah dianggap baik dan praktis oleh para ahli sejarah.
Ketika saya telah mentalaah karya-karya orang lain, sampai-sampai menembusi
kegelapan-kegelapan kemarin dan hari ini, maka saya lepaskanlah diri saya termangu-
mangu serta ketiduran. Walaupun tidak banyak sebagai pengarang, saya tunjukkan
juga kecakapan menulis saya sendiri sedapat mungkin, dan demikianlah, maka saya
susunlah satu buku tentang sejarah. Dalam buku ini saya angkatlah hijab dari
keadaan-keadaan sebagaimana ia telah muncul pada generasi-generasi (Ar. ahwal an-
nasyi-ah min al ajyal). Saya susun ia dengan satu cara teratur dalam bab-bab yang
memperbincangkan fakta-fakta sejarah (Ar. al akhbar) dan pencerminan-pencerminan
(Ar. al-i'tibar). Di dalamnya saya tunjukkan bagaimana (Ar. al 'ilalan) dan kenapa
(Ar. asbaban) daulah-daulah dan peradaban itu (Ar. al 'umran) tumbuh.
Saya dasarkan karya saya ini atas sejarah dari dua (suku) bangsa yang merupakan
penduduk dari al Maghrib dewasa ini. dan mendiami berbagai daerah-daerah (Ar. an-
nawahi) dan kota-kotanya (Ar. al amshar), dan atas daulah-daulahnya
4
), baik yang
lama usianya maupun yang pendek, termasuk dalamnya raja-raja (Ar. al muluk) dan
sekutu-sekutu mereka di masa yang lampau. Kedua (suku) bangsa itu ialah orang-
orang Arab dan orang-orang Barbari (Ar al Barbar). Mereka adalah dua suku bangsa
(Ar. Al jilan) yang diketahui telah menetap di Al Maghrib sejak begitu lama sehingga
orang hampir tak dapat membayangkan mereka itu pernah hidup di tempat lain,
karena penduduk-penduduknya mengetahui tiada pernah ada suku bangsa lain di sana.
Maka saya perbaiki isi-isi karya ini dengan teliti sekali dengan menyerahkannya
kepada penilaian para sarjana kaum elite. Saya telah memilih satu cara penertiban dan
pembagian bab-bab di luar kebiasaan selama ini. Dari berbagai kemungkinan-
kemungkinan, saya telah memilih satu methode yang ajaib dan asli sekali. Dalam
buku ini saya uraikan tentang peradaban (Ar. ahwal al-'umran), tentang urbanisasi
(Ar. at-tamaddun), dan tentang karakteristik-karakteristik yang essensial (Ar. al
'awaridl ad dzatiah) dari organisasi sosial manusia (Ar. al Ijtima al insani), dengan
4
Dapat juga diartikan negara-negara atau dinasti-dinasti. OR.
suatu cara yang menerangkan kepada pembaca bagaimana dan kenapa sesuatu itu ada
sebagai adanya, dan memperlihatkan padanya bagaimana manusia-manusia yang
mengendalikan daulah-daulah itu muncul untuk pertama kali di atas panggung sejarah
(Ar. kaifa dakhala ahl ad-dual min abwabiha). Sebagai akibat, ia harus
membersihkan tangannya dari kepercayaan membabi-buta pada taklid. Ia harus sadar
terhadap keadaan-keadaan zaman dan suku-suku bangsa (Ar. ahwal al-ayyam wa al-
ajyal) yang berada sebelum dan sesudah masanya.
Maka saya bagi karya saya ini dalam satu Muqaddimah dan tiga Kitab :
Muqaddimah menerangkan tentang kelebihan utama dari ilmu Sejarah, dan
mengemukakan satu penghargaan terhadap berbagai metode-metodenya (Ar.
madzahib at-tarikh) serta menyebut kekhilafan-kekhilafan dari para ahli-sejarah.
Kitab Pertama menerangkan tentang peradaban (Ar. Al 'umran) dan karakteristik-
karakteristik essensialnya, seperti misalnya, kekuasaan diraja (Ar. mulkun),
pemerintahan (Ar. As sulthan), jabatan-jabatan penghasil (Ar. al-kasb), cara-cara
mencari penghidupan (Ar. al ma'asy), pekerjaan tangan (Ar. ash-shana-i), dan ilmu-
ilmu pengetahuan (Ar. al-'ulum), sebagaimana juga sebab-musabab dan alasan-alasan
(Ar. al-'ilal wa al-asbab) darinya.
Kitab Kedua menerangkan tentang sejarah Arab dan suku-suku bangsa dan
daulah-daulahnya, sejak mula penciptaan makhluk hingga sekarang ini. Ini
mengandung penunjukan-penunjukan pada bangsa-bangsa dan daulah-daulah terkenal
yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa-bangsa Nabataea (Ar. an-Nabath),
Syria, (Ar. as-Suryaniyun), Persia (Ar. al Faris), Bani Israil, Kopt (Ar. al Qibth),
Yunani, Byzantium (Ar. ar-Rum), Turki dan bangsa-bangsa asing lainnya.
Kitab Ketiga menerangkan tentang sejarah suku bangsa Barbari dan Zanatah yang
merupakan bagian darinya, tentang asal-usul dan suku-suku mereka dan terutama
tentang kekuasaan diraja dan daulah-daulah di al Maghrib itu.
Kemudian sekali adalah perjalanan saya ke Timur untuk mempersaksikan
beberapa banyak cahaya yang terdapat di sana dan untuk menunaikan kewajiban haji
di Makkah dan melakukan thawaf di Ka'bah serta mengunjungi Madinah, begitu juga
untuk mempelajari karya-karya dan kitab-kitab tebal tentang sejarah Timur.
Sebagai hasilnya, saya telah dapat menutupi kekosongan-kekosongan dalam
penerangan sejarah saya tentang raja-raja Persia yang bukan Arab di negeri-negeri itu,
dan tentang daulah-daulah Turki di daerah-daerah yang dikuasai mereka. Saya
tambahkan keterangan ini pada apa yang saya telah tuliskan di sini sebelumnya. Saya
masukkan ia dalam perbincangan tentang bangsa-bangsa dari berbagai kota-kota dan
wilayah-wilayah (Ar. muluk al-amshar wa adl-dlawahi) yang sezaman dengan suku-
suku bangsa Persia dan Turki tersebut. Dalam hubungan ini saya hanya ringkas dan
pendek saja dan lebih menyukai sasaran yang mudah . daripada yang sulit. Saya mulai
dengan daftar-daftar keturunan yang umum dan kemudian menuju ke penerangan
sejarah yang lebih khusus atau terperinci.
Demikianlah, karya ini mengandung. satu sejarah yang lengkap tentang dunia. Ia
memaksa budiman yang sesat dan keras kepala untuk kembali ke kandangnya. Ia
mengemukakan sebab-sebab dan alasan-alasan terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi di berbagai daulah-daulah. Ia merupakan kapal buat ilmu falsafat (Ar. al-
hikmah) dan penumpang buat pengetahuan sejarah.
Karya ini mengandung sejarah bangsa Arab dan Barbari (Ar. al akhbar al 'Arab
wa al-Barbar), baik golongan-golongan suka menetap, maupun golongan yang selalu
berpindah-pindah tempat tinggalnya (Ar. al-mudun wa al-wabar). Ia juga
mengandung pengrawian daulah-daulah besar yang hidup sezaman dengan mereka,
dan terutama, jelas menunjukkan ibarat-ibarat (Ar. al-'ibar) yang harus dicamkan dan
diingat dari keadaan-keadaan terdahulu itu dan dari sejarah berikutnya. Karena itulah
maka saya telah menamakan karya ini : "Kitab Ibarat Dan Pelukisan Sejarah
Permulaan Dan Berikutnya, Menerangkan Tentang Peristiwa-Peristiwa Politik
Mengenai Bangsa Arab, Asing dan Bar-Bari, Dan Kepala-Kepala Negara Yang
Sezaman Dengan Mereka." (Ar. Kitab al-'Ibar wa Diwan al Mubtada' wal al-Khabar,
fi Ayyam al-Arab wa al-'Ajam wa al-Barbar wa man 'Asarahum min zawi us-Sulthan
al-akbar).
Saya tiada meninggalkan suatupun mengenai asal-usul suku-suku bangsa (Ar.
ajyal) dan daulah-daulah bangsa terdahulu (Ar. ta'asur al-umam al-awwal), mengenai
sebab-sebab perubahan dan perbedaan (Ar. asbab at-tasarruf wa al-haul) di masa-
masa yang lampau dan di kalangan golongan-golongan agama (Ar. milal), mengenai
daulah-daulah dan golongan-golongan agama, kota-kota dan desa-desa, kekuatan dan
kehinaan, jumlah-jumlah besar dan jumlah-jumlah kecil, ilmu-ilmu dan kerajinan-
kerajinan tangan, laba-laba dan rugi-rugi, keadaan-keadaan umum yang berubah-
ubah, kehidupan berpindah-pindah dan yang tetap-menetap, peristiwa-peristiwa dini
hari dan peristiwa-peristiwa yang akan datang, pendeknya segala sesuatu yang
diharapkan terjadi dalam peradaban manusia. Saya perlakukan segala sesuatu itu
secara luas dan mendalam dan saya terangkan dalil-dalil untuk itu dan sebab-sebab
maka terjadinya.
Sebagai akibatnya, maka kitab ini telah menjadi unik, karena mengandung
pengetahuan-pengetahuan yang garib dan hikmah-hikmah yang tersembunyi
walaupun sebenarnya biasa. Namun demikian saya masih juga yakin, bahwa ia masih
belum sempurna, terutama jika saya perhatikan sarjana-sarjana di masa-masa yang
lampau dan dewasa ini. Saya mengaku tidak sanggup memasuki masalah sesulit itu.
Saya harap agar mereka-mereka yang berkesanggupan ilmiyah dan berpengetahuan
luas melihat kitab ini dengan mata yang kritis, jangan dengan mata yang rela saja, dan
secara diam-diam memperbaiki dan memperhatikan kesalahan-kesalahan yang
ditemukan mereka itu. Jumlah ilmu yang dapat diberikan seorang sarjana adalah
sedikit. Pengakuan kekurangan-kekurangan seseorang membantu terhadap kecaman-
kecaman. Maka saya harapkan sangat kebaikan dari saudara-saudara semua. Dan
kepada Allah saya mohon semoga amalan kita itu dapat diterima oleh-Nya.
Hasbunallah wa ni'mal Wakil !
AL-MUQADDIMAH
Kelebihan ilmu sejarah - Penilaian berbagai approach terhadap sejarah
(Ar. tahqiqu mazahib at-tarikh) - Sekilas tentang aneka ragam
kesalahan yang mungkin diperbuat ahli sejarah Sesuatu tentang kenapa
kesalahan-kesalahan ini terjadi.
Sesungguhnya patutlah diketahui, bahwa sejarah adalah satu mata pelajaran (Ar.
fan) yang mempunyai sejumlah madzhab yang berbagai macamnya. Faedah-
faedahnya adalah sangat banyak, dan tujuannya adalah mulia.
Sejarah membuat kita berkenalan dengan keadaan-keadaan dari bangsa-bangsa
yang telah lalu sesuai dengan pantulan karakter (Ar. akhlaq) nasional mereka. Ia
memperkenalkan kita dengan perjalanan hidup Nabi-nabi dan dengan daulah-daulah
(negara-negara) dan haluan-haluan politik dari para kepala negara. Maka barangsiapa
ingin dapatlah ia mengambil faedah dengan berusaha meniru contoh-contoh dalam
sejarah itu, baik dalam soal-soal keagamaan, maupun dalam soal-soal keduniaan.
Menulis sejarah meminta banyak sumber-sumber dan aneka macam pengetahuan
yang luas. Ia juga meminta satu pandangan (Ar. nadzar) yang sehat mendalam. Kedua
sifat ini membawa para ahli sejarah kepada kebenaran (Ar. Al-haq) dan
menjauhkannya dari kekhilafan-kekhilafan dan kesalahan-kesalahan. Jika ia
mempercayai saja berita sejarah (Ar. al akhbar) dalam bentuk sederhananya sewaktu
ia disampaikan dan tiada mempunyai pengetahuan yang baik tentang prinsip-prinsip
yang terbit dari adat-istiadat (Ar. usul al-'adat), kaedah-kaedah politik (Ar. qawaid al-
siyasah), watak peradaban (Ar. thabi'at al-'umran), atau keadaan-keadaan yang
menentukan susunan kemasyarakatan manusia (Ar. al-ahwalu fi al-ijtima' al-insani),
dan jika seterusnya ia tidak pula memperbandingkan bahan-bahan yang telah lampau
itu dengan bahan-bahan yang lagi sedang terjadi, atau yang lagi terjadi itu dengan
yang telah lampau, maka acapkali tidaklah ia akan mengelakkan dirinya dari keadaan
terserandung, tergelincir dan tersesat dari jalan kebenaran (Ar. jadat al-shidqi).
Para ahli sejarah (Ar. al Muarrikhun), para ahli tafsir (Ar. al Mufassirun) dan para
ahli penyampai (Ar. a-im-mat al-naql) yang terkemuka selalu saja melakukan
kesalahan-kesalahan dalam riwayat-riwayat dan peristiwa-peristiwa (Ar. al-waqa-i')
yang mereka sampaikan. Mereka telah menerima segala itu dalam bentuk asli sewaktu
penyampaian, tanpa memberi perhatian sedikitpun pada nilai sebenarnya. Mereka
tidak menyesuaikannya dengan asal-usulnya pun tidak memperbandingkannya dengan
bahan-bahan lain serupa itu. Mereka juga tidak mencobanya secara lebih mendalam
dengan ukuran falsafat (Ar. mi'yar al-hikmah), dengan bantuan pengetahuan tentang
watak benda-benda (Ar. thaba-i' al-kainat), atau dengan pertolongan pandangan (Ar.
an-nadzar) dan tinjauan sejarah (Ar. al-bashirah fi al-akhbar). Karenanya maka
mereka terseleweng dari kebenaran dan mendapati diri mereka tersesat di padang
pasir kewahaman dan kesalahan-kesalahan.
Ini adalah terutama mengenai soal angka-angka (Ar. ihsa-i al-a'dad), baik angka-
angka tentang jumlah-jumlah uang, maupun angka-angka tentang jumlah-jumlah
tentara, kapan saja ia tercantum dalam riwayat-riwayat (Ar. fi al-hikayat). Ia memberi
kesempatan baik bagi suatu penerangan palsu dan merupakan pendukung bagi
pernyataan-pernyataan bohong. Maka tidak boleh tidak ia harus dikembalikan kepada
asal-mulanya dan diawasi dengan bantuan fakta-fakta yang ada.
Kesalahan Angka-Angka Pada Bani Israil
Sebagai contoh misalnya, al Mas'udi dan beberapa banyak ahli sejarah lainnya,
mengatakan bahwa Nabi Musa as telah menghitung-hitung banyaknya (jumlah)
tentara Israil di padang pasir at-Tih. Beliau telah menyuruh latih semua mereka yang
telah sanggup memanggul senjata, terutama mereka yang telah berumur dua puluh
tahun atau lebih. Ternyata semuanya berjumlah 600.000 atau lebih.
Dalam hubungan ini al-Mas'udi lupa untuk memperhatikan apakah Mesir dan
Syria ada kemungkinan untuk memiliki tentara sedemikian banyak. Setiap kerajaan
(Ar. mamlakah) tentu mempunyai tentara sebesar yang mungkin dapat dimiliki dan
dipeliharanya, akan tetapi tidak akan lebih dari itu. Kenyataan ini dibuktikan oleh
kebiasaan-kebiasaan yang sudah terkenal dan hal-ihwal yang telah lazim (Ar. al-
ahwal al-ma'lufah). Apalagi jika diketahui bahwa satu tentara sebesar itu tidaklah
akan dapat maju (Ar. zahaf) dan berperang sebagai satu kesatuan. Seluruh medan
pertempuran yang ada itu menjadi kekecilan baginya. Jika ia berada dalam formasi
pertempuran, maka ia meluas menjadi dua kali, tiga kali atau beberapa kali lagi di luar
kesanggupan jarak pandangan mata. Maka bagaimanakah kedua pihak (Ar. fariqan)
seperti itu dapat saling bertempur, ataupun formasi tempur (Ar. As-shaf) yang satu
dapat mengalahkan formasi tempur lainnya, padahal sayap-barisan (Ar. janib) yang
satu tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh sayap-barisan lainnya ! Situasi di masa
sekarang ini membuktikan kebenaran pernyataan ini. Dan masa yang lampau itu
menyerupai masa yang akan datang akibat air setetes menyamai tetesan air lainnya.
Selanjutnya patutlah diketahui, bahwa raja Persia dan daulah (negara)nya adalah
jauh lebih besar dari raja Bani Israil. Kenyataan ini jelas dari kemenangan
Nebuchadnezzar (Ar. Bukhtanasr) atas mereka. Ia telah menelan negeri mereka itu
dan menguasainya seluruhnya. Ia juga telah menghancurkan Baitul-makdis (Er.
Yerusalem), pusat agama dan pusat politik mereka. Padahal ia hanyalah salah seorang
dari para pegawai propinsi Fars.
5
) Orang mengatakan bahwa ia adalah gubernur dari
daerah perbatasan barat. Propinsi-propinsi Persia dari kedua 'Iraq,
6
) Khurasan.
Transoxania (Ar. ma wara-an nahr), dan daerah Derbend di Laut Kaspia (Ar. al-
abwab) adalah jauh lebih luas dari kerajaan-kerajaan Bani Israil. Namun begitu
tentara Persia tidak mencapai jumlah sebanyak demikian. malah mendekati
demikianpun tidak. Pemusatan yang terbesar dari pasukan-pasukan Persia di
Qadisiyah berjumlah 12.000 orang, kesemuanya mempunyai para pengikut
(pembantu) masing-masing. Ini adalah menurut Saif
7
) yang mengatakan, bahwa
bersama-sama dengan para pengikut mereka, mereka berjumlah lebih dari 200.000
orang. Menurut 'Aisyah dan az-Zuhri,
8
) pemusatan dari tentara Rustum yang
menyerang Sa'ad di al-Qadisiyah hanya berjumlah 60.000 orang, kesemuanya punya
para pengikut masing-masing.
Maka jika kaum Bani Israil sesungguhnya berjumlah sebanyak tersebut itu, tentu
luas daerah di bawah kekuasaan mereka akan lebih besar, karena sesungguhnya luas
kesatuan-kesatuan administrasi negeri (Ar. al-'amalat) dan propinsi-propinsi di bawah
sesuatu daulah (negara) tertentu adalah berbandingan langsung dengan luas tentaranya
dan golongan-golongan yang menyokong daulah itu, sebagaimana akan dijelaskan
nanti dalam Pasal tentang Propinsi-propinsi dari Buku Pertama.
Kini sudahlah jelas diketahui, bahwa daerah Bani Israil itu tidaklah meliputi satu
wilayah yang lebih luas dari propinsi Yordania dan Palestina di Syiria dan negeri
Yathrib
9
) dan Khaibar di al-Hijaz. Juga bahwa, menurut para sarjana yang amat
mengetahui hanya ada empat generasi antara Musa dan Israil, yaitu : Musa adalah
anak dari 'Amran, anak dari Yishar (Er. Izhar), anak dari Qahits (Er. Kohath), anak
dari Lawi (Er. Levi), anak dari Yaqub (Er. Yacob), dan ia inilah Israil-Allah.
Demikianlah silsilah Musa menurut Taurat.
Jangka waktu antara Israil dan Musa telah ditentukan oleh al-Mas'udi ketika ia
berkata : "Israil memasuki Mesir dengan anak-anaknya, suku-suku bangsa dan anak-
anak mereka, ketika mereka datang pada Yusuf sebanyak tujuh puluh jiwa. Lamanya
mereka tinggal di Mesir sampai mereka meninggalkannya bersama Musa menuju
padang pasir at-Tih adalah dua ratus dua puluh tahun. Selama masa-masa itu raja-
raja Kopt (Ar. al-Qibt), yakni Fir'aun-fir'aun, telah menyerahkan mereka itu sebagai
rakyat mereka dari satu kepada lainnya." Maka tidaklah mungkin kiranya, yang
keturunan-keturunan dari satu orang dapat berkembang biak menjadi sejumlah
tersebut tadi dalam jangka waktu empat keturunan.
Ada sangkaan bahwa jumlah serdadu itu ditujukan pada zamannya Sulaiman dan
yang berkuasa sesudah beliau. Tetapi juga ini tak mungkin. Antara Sulaiman dan
Israil hanya ada sebelas keturunan, yaitu : Sulaiman, anak dari Daud, anak dari Isya
(Er. Yesse), anak dari 'Ufidz (Er. Obed), anak dari Ba'az (atau Bu'iz, Er. Boaz), anak
5
Propinsi Fars telah memberikan namanya pada seluruh daerah Persia. O.R
6
Yaitu Mesopotamia dan Persia Barat Laut yang berdekatan dengannya.
7
Yakni Saif ibn 'Umar al-Asadi, meninggal tahun 345 H. atau 956 M.
8
Yakni Muhammad Ibn Muslim yang meninggal antara tahun 123 dan 125 H atau 740 dan 741/742 M
9
Yakni Madinah sekarang.
dari Salmun (Er. Salmon), anak dari Nahsyun (Er. Nahsbon), anak dari Aminazas (Er.
Amminadab), anak dari Ram, anak dari Hasrun (Er. Hezron), anak dari Baras (Er.
Perez), anak dari Yahuza (Er. Yudah), anak dari Yakub.
Keturunan-keturunan dari satu orang dalam sebelas generasi tidaklah akan
berkembang-biak menjadi satu jumlah seperti itu, sebagaimana disangkakan. Mereka
sesungguhnya tentu dapat mencapai angka ratusan atau ribuan. Ini sering terjadi.
Tetapi suatu pertumbuhan yang melampaui itu menuju angka-angka yang lebih tinggi
lagi tidaklah mungkin. Perbandingan dengan kenyataan-kenyataan dinihari yang dapat
dilihat dan yang baru saja berlalu yang masih amat terkenal (Ar. fil hudhir al-
musyahid wal qarib al ma'ruf) membuktikan, bahwa sangkaan itu tidak benar dan
penyampaian itu bohong. Menurut pernyataan yang tegas dari Cerita-cerita Israiliah,
tentara-tentara Sulaiman itu berjumlah 12.000 orang dan kuda-kudanya (Ar
Muqarrabat) berjumlah 1.400 ekor, dan dikandangkan di istananya. Inilah keterangan
yang sahih. Maka janganlah percaya pada keterangan-keterangan bohong dari para
juru penerang pasaran.
Pada zaman Sulaiman as, Negara Israil berkembang sebesar-besarnya dan daerah-
daerah kekuasaannya luas sekali. Dan telah kita dapati selalu, bahwa orang-orang
sezaman jika mereka sendiri atau yang terdekat dengan mereka, dan
memperbincangkan tentang tentara-tentara Islam atau Kristen, atau jika mereka
sampai pada menghitung-hitung penghasilan-penghasilan pajak (Ar. amwal al
jabayat) dan pengeluaran-pengeluaran pemerintah (Ar. kharaj al-sulthan),
penghasilan-penghasilan dari manusia-manusia pemboros (Ar. nafaqat al mutarrafin),
dan barang-barang yang dimiliki oleh kaum hartawan yang subur-makmur, mereka
pada umumnya berlaku berlebih-lebihan, melampaui batas-batas yang biasa, dan
menyerah pada imbauan sensasi.
Jika para pembesar yang bertugas ditanyakan tentang tentara-tentara mereka, jika
barang-barang dan penghasilan-pengliasilan kaum hartawan harus ditaksir, dan jika
penghasilan-penghasilan dari manusia-manusia pemboros mesti dilihat secara terang,
maka angka-angka tentang itu akan kita dapatilah melonjak sepuluh kali dari apa yang
sebenarnya dikatakan oleh orang yang bersangkutan. Sebabnya adalah sederhana,
yaitu keinginan biasa untuk sensasi (Ar. al-walu' an-nafs bil ghara-ib), keenakan
dalam menyebut angka-angka tinggi, dan ketiadaan perhatian pada para pemerhati
dan para pengeritik. Ini kemudian membawa pada kegagalan dalam pengecaman diri
sendiri tentang kesalahan-kesalahan dan tujuan-tujuannya, dalam meminta pada diri
sendiri kesederhanaan dan kejujuran dalam pemerintahan, dalam mengambil tindakan
baru untuk pembahasan dan penyelidikan.
Para ahli sejarah seperti ini merusak diri mereka sendiri dan mereka berpesta
dengan pernyataan-pernyataan bohong. Mereka mengambil ayat-ayat Allah sebagai
mainan dan membeli kabar-kabar kosong untuk menyesatkan manusia dari jalan
Allah.
10
) Sungguh ini satu pekerjaan yang amat buruk !
Kesalahan-Kesalahan Mengenai Sejarah Yaman
Satu contoh yang lain dari kabar-kabar bohong para ahli sejarah ialah sejarah
kaum at-Tubba'
11
) yakni raja-raja Yaman dan semenanjung Arabia, seperti umumnya
telah disampaikan pada kita. Dikabarkan, bahwa dari tempat-tempat mereka di Yaman
itu kaum at-Tubba' telah menyerang Afrika dan (suku) bangsa Barbari di negeri al-
Maghrib. Afriqusy ibn Qais ibn Shaifi, yaitu seorang di antara raja-raja besar
10
Al Qur-an : XXXI : 6 (5).
11
Kaum at-tubba' ini ada tersebut dalam al-Qur-an L: 14 dan XLIV : 37. Lihat di sana.
terdahulu mereka yang hidup di zaman Musa as, atau agak terdahulu dari itu,
dikabarkan telah menyerang Afrika dan melakukan satu pembunuhan besar-besaran di
kalangan (suku) bangsa Barbari. Dialah yang memberi nama Barbari (Ar. al-Barbar)
itu, yakni ketika ia mendengar kata-kata karut (Ar. rathanah) mereka dan bertanya-
tanya apakah al-Barbarah itu. Ini telah memberikan pada mereka satu nama yang telah
abadi bagi mereka sampai hari ini.
Ketika ia meninggalkan al-Maghrib, dikabarkan bahwa ia telah memusatkan di
sana beberapa kabilah dari suku-bangsa Himyar. Mereka ini tinggal menetap di sana
dan bercampur-baur dengan bumi putera di sana. Di antara keturunan-keturunan
mereka itu ialah Shinhajah dan Kutamah. Inilah yang telah membuat at-Thabari, al-
jurjani, al-Mas'udi, Ibn al-Kalbi dan al-Baihaqi
12
) untuk menyatakan, bahwa
Shinhajah dan Kutamah itu adalah termasuk dalam suku bangsa Himyar. Para ahli
keturunan (Ar. nassabah) Barbari tidak hendak mengakui ini dan mereka adalah
benar.
Al-Mas'udi pun pernah mengatakan juga bahwa salah seorang dari raja-raja
Himyar setelah Afriqusy, yaitu Dzul-Adz'ar, yang hidup di zaman Sulaiman as, telah
menyerang negeri al-Maghrib dan memaksanya menyerah kalah sekali. Hal yang
serupa itu pula telah dikatakan oleh al-Mas'udi mengenai anak yang
menggantikannya, yaitu Yasir. Dikatakan tentangnya bahwa ia telah mencapai Wadi
ar-Raml (Ind. Sungai Pasir) di al-Maghrib, akan tetapi tidak sanggup mengharunginya
disebabkan amat luasnya padang pasir tersebut. Karenanya, iapun balik kembali.
Dan seperti itu pula telah dikatakan bahwa raja Tubba' yang akhir, yaitu As'ad
Abu Karib, yang hidup di zaman raja Persia Yastasb (Er. Vishtaspa dari Pers.
Bishtasp), dari keturunan raja-raja al-Kayyaniah (Er. Achaemenids), adalah raja dari
Mosul dan Azerbaijan. Ia dikatakan telah menghadapi dan menghancurkan orang-
orang Turki dan menyebabkan timbulnya satu penumpahan darah di kalangan mereka.
Kemudian ia menggempur mereka lagi untuk kedua kalinya dan untuk ketiga kalinya.
Sesudah itu ia dikabarkan telah mengirim tiga orang puteranya untuk penyerangan-
penyerangan, satu untuk menyerang negeri Fars, satu untuk Soghdian, yakni salah
satu dari suku-suku bangsa Turki di Transoxania (Ar. wara-an nahr) dan satu lagi
untuk negeri Rum (Er. Byantium).
Maka putera yang pertama itu menguasai negeri tersebut hingga sampai ke
Samarkand dan menyeberangi padang pasir menuju ke Tiongkok. Di sana didapatinya
saudaranya yang kedua yang telah menyerang negeri Soghdian dan telah tiba di
Tiongkok lebih dahulu sebelumnya. Kedua mereka ini telah menimbulkan satu
penumpahan darah di Tiongkok dan akhimya mereka bersama-sama pulang penuh
dengan harta-harta rampasan. Mereka tinggalkan di Tiongkok itu
13
) beberapa kabilah
dari suku bangsa Himyar. Dan mereka telah berada di sana hingga hari ini. Putera
yang ketiga dikabarkan telah tiba di Konstantinopel. Ia telah menyerang kota tersebut
dan memaksa negeri Rum (Byzantium) untuk menyerah kalah. Kemudian ia pun
pulang kembali.
Segala penerangan (Ar. al-akhbar) ini adalah jauh dari kebenaran. Ia berakar pada
waham-waham yang salah dan tiada berdasar sama sekali. Ia menyerupai kabar-kabar
alkissah dari tukang-tukang cerita. Daerah kerajaan kaum Tubba' (Ar. mulku at-
Tubbabaah) itu adalah terbatas di semenanjung Arabia saja. Tempat dan kedudukan
mereka ialah San'a di Yaman. Seperti diketahui semenanjung Arabia itu adalah
dilingkari oleh lautan di tiga jihat : di selatan Samudera Indonesia, di timur Teluk
12
Di naskah lain tersebut al Bili, bukan al-Baihaqi. OR.
13
Menurut naskah lain di Tibet. OR
Persia (Ar. Bahrul fars), menjulur dari Samudera Indonesia hingga Basrah, dan di
barat Laut Merah (Ar. Bahr al-Suis), menjulur dari Samudera Indonesia hingga Suez
di Mesir. Ini dapat dilihat di atas peta. Tidaklah ada jalan dari Yaman ke al-Maghrib,
kecuali lewat Suez. Jarak antara Laut Merah dan Laut Tengah (Ar. al-bahr asy
Syami), adalah dua hari perjalanan atau kurang. Adalah amat jauh dari kemungkinan,
bahwa jarak itu dapat ditempuh tembus oleh seorang raja besar dengan tentaranya
yang besar pula, kecuali jika ia menguasai daerah tersebut. Menurut kebiasaan ini
tidaklah mungkin. Di daerah itu terdapat suku-suku bangsa Amalekit (Ar. al-
'amaliqah) dan Kanaan (Ar. Kan'an) di Syria, dan suku bangsa Kopt (Ar. al-Qibt) di
Mesir. Kemudian harinya, suku-suku bangsa Amalekit itu menguasai Mesir dan kaum
Bani Israil menguasai Syria. Akan tetapi tidak ada satu laporan pun yang mengatakan,
bahwa kaum at-Tubba' itu pernah memerangi salah satu dari (suku-suku) bangsa ini
atau bahwa mereka itu pernah menguasai sesuatu bagian tertentu dari daerah tersebut.
Apapula jarak dari Yaman ke al Maghrib itu adalah sangat jauh dan tentara
menghajati pada makanan (Ar. al-azwidah wa al- 'lufah) yang banyak untuk para
prajurit dan hewan-hewan pengangkut. Tentara yang hendak melintasi daerah-daerah
orang lain memerlukan persediaan-persediaan gandum dan binatang-binatang dan
perampasan negeri-negeri (Ar. intihab al-bilad) yang mereka lalui. Menurut
kebiasaan segala itu tidak mencukupi untuk makanan para prajurit dan hewan-hewan.
Sebaliknya, jika mereka berusaha membawa bersama mereka bahan-bahan makanan
secukupnya maka mereka tentu bakal tidak mempunyai cukup binatang-binatang lagi
untuk pengangkutan. Dengan demikian, seluruh barisan mau tak mau harus membawa
mereka melalui daerah-daerah yang mesti dikuasainya dan mesti dipaksanya
menyerah-kalah untuk memperoleh makanan mereka. Maka sekali lagi, sungguh amat
jauhlah dari kemungkinan, bahwa tentara seperti itu dapat melalui semua bangsa-
bangsa itu tanpa mengusik mereka dan memperoleh perbekalan mereka dengan
berunding secara damai (Ar. bil musalamah). Ini menunjukkan bahwa segala
penerangan tentang penyerangan-penyerangan kaum Tubba' ke al-Maghrib itu adalah
fantastis dan penuh ketololan.
Dan tentang Wadi ar-Raml yang dikatakan tak terharungi itu, orang tak pernah
mendengarnya di al-Maghrib, padahal negeri al-Maghrib itu telah kerap kali dijelajahi
manusia dan jalan-jalannya diketemukan oleh para pengembara dan para penggempur
di segala zaman dan jurusan. Di sebabkan oleh sifat yang sangat aneh dari cerita itu,
maka besarlah kegemaran untuk meneruskannya terus-menerus.
Tentang apa yang dinamakan penyerangan kaum Tubba' ke negeri-negeri di
Timur dan negeri Turki, haruslah diakui bahwa garis maju dalam hal ini adalah lebih
luas dari terusan sempit di Suez. Akan tetapi jaraknya adalah lebih besar, dan bangsa-
bangsa Persia dan Byzantium (Ar. ar-Rum) berada di pertengahan dari jalan menuju
Turki itu. Dan tidaklah ada laporan, bahwa kaum Tubba' itu pernah menguasai (Ar.
malaku) negeri-negeri Persia dan Byzantium. Mereka hanya memerangi orang-orang
Persia di perbatasan-perbatasan Iraq dan di perbatasan-perbatasan negeri-negeri Arab
antara al-Bahrain dan al-Hirah, yang merupakan daerah-daerah perbatasan bagi kedua
bangsa tersebut.
14
) Peperangan-peperangan ini telah terjadi antara raja Tubba' Dzu'l-
Adz'ar dengan raja al-Kayyaniah Kaikawus, dan kemudian antara raja Tubba' al-
Ashghar Abu Karib dengan raja al-Kayyaniah Yastasb (Er. Bisthasp).
14
menurut Prof. Franz Rosenthal : al-Hirah yang terletak di sungai Furat (Er. Euphrat) adalah ibukota dari negara-
penyanggah Lakhmid yang berada di bawah pengawasan Persia. Yang dimaksud al-Bahrain di sini bukanlah
khusus pulau-pulau seperti dikenal sekarang ini, tetapi al-Bahrain dahulu, yang di dalamnya termasuk juga pesisir
barat-laut dari Teluk Persia.
Di kemudian hari ada lagi peperangan-peperangan dengan para raja dari dinasti-
dinasti yang menggantikan al-Kayyaniah, dan pada gelerannya, dengan pengganti
mereka lagi, yaitu dinasti as-Sasaniyah (Er. Sasanid).
Akan tetapi menurut kebiasaan seyogianya tidaklah mungkin buat kaum Tubba'
untuk menjelajah negeri Persia dalam petualangan mereka hendak menyerang negeri-
negeri Turki dan Tibet, disebabkan bangsa-bangsa yang harus dihadapi di tengah jalan
dalam menuju ke Turki itu, disebabkan kebutuhan pada perbekalan-perbekalan dan
makanan-makanan, sebagaimana juga jarak yang sangat jauh, seperti sudah tersebut di
atas.
Maka itu segala kabar-kabar tentangnya adalah khayal dan tolol. Sekalipun cara
penyampaian kabar-kabar itu sehat, pokok-pokok soal yang disebut itu akan
menimbulkan curiga atasnya. Apalagi kabar-kabar itu memang harus dicurigakan
karena cara penyampaiannya adalah tidak sehat.
Ibn Ishaq berkata dalam keterangannya tentang Yathrib (Madinah) dan Aws dan
Khazraj, bahwa raja Tubba' yang terakhir telah pergi ke arah Timur menuju Iraq dan
Persia, akan tetapi suatu serangan dari raja Tubba' terhadap negeri-negeri Turki dan
Tibet tidak dibenarkan betapapun oleh kenyataan-kenyataan yang ada. Maka
penentuan-penentuan ke jurusan ini seyogianya janganlah dipercaya. Segala-
peperangan seperti itu seharusnya diselidiki dan disesuaikan dengan ukuran-ukuran
yang sehat. Akibatnya nanti ialah, bahwa ia akan dihancurkan dengan sebaik-baiknya.
Allah adalah penunjuk kepada kebenaran.
Kesalahan-Kesalahan Mengenai 'Ad Dan Iram
Lebih jauh lagi dari apa yang tersebut di atas dan malah penuh dengan sangkaan-
sangkaan ialah penafsiran umum dari ayat Surat al Fajr yang berbunyi : "Tiadakah
kamu lihat bagaimana Tuhanmu telah berbuat dengan 'Ad-Iram, yang mempunyai
tiang-tiang ? (A1 Qur-an LXXXIX : 6-7).
Para ahli tafsir menjadikan perkataan Iram itu nama dari suatu kota yang
digambarkan sebagai mempunyai tiang-tiang, yakni tonggak-tonggak besar dari batu
(Ar. asathin dari usthuanah). Mereka katakan bahwa 'Ad bin Ush Ibn Iram
mempunyai dua orang anak, yaitu Syadid dan Syadad, yang memerintah sesudahnya.
Syadid kemudian musnah, sehingga menjadilah Syadad satu-satunya raja dalam
kerajaan itu. Raja-raja lainnya di sana semua menyerah kepada kekuasaannya.
Ketika Syadad pada suatu hari mendengar suatu penggambaran tentang Sorga,
iapun berkata : "Akan kudirikan sesuatu yang seperti itu." Maka didirikannyalah kota
Iram di atas padang pasir Aden (Ar. 'Adan) dalam jangka waktu tiga ratus tahun. Ia
sendiri mencapai usia sembilan ratus tahun. Orang mengatakan bahwa kota itu besar
sekali, penuh dengan puri-puri dari emas dan perak dan tiang-tiang dari zabarjad dan
yaqut, di dalamnya tumbuh aneka macam pohon-pohonan dan sungai-sungai mengalir
dengan bebasnya. Ketika pembinaan kota itu telah selesai, Syadad pun pergilah ke
sana dengan rakyat kerajaannya. Akan tetapi ketika ia sampai pada jarak sehari
semalam dari kota itu, Tuhan menyampaikan satu suara gemuruh dari langit dan
musnahlah semua mereka itu.
Demikian diriwayatkan oleh At-Thabari, As-Tsa'labi, Az-Zamakhsyari, dan para
ahli tafsir lainnya. Mereka menyampaikan berita berikut ini semata-mata berdasarkan
kepercayaan pada salah seorang dan para sahabat Nabi yang bernama 'Abdullah Ibn
Qilabah
15
). Ia ini pada suatu hari telah keluar mencari beberapa untanya. Maka ia
15
Seorang yang tiada dikenal sama sekali dalam sejarah hidup Nabi, kecuali dalam huhungan cerita ini semata-
mata. OR.
ketemukan kota tersebut itu dan mengambil daripadanya sekuasa ia dapat
membawanya. Ceritanya itu akhirnya sampai pada Mu'awiyah, yang segera
mengeluarkan perintah agar ia dibawa kepadanya, dan berceriteralah ia tentang kabar
itu. Mu'awiyah kemudian mendatangkan Ka'ab al-Akhbar dan menanyakannya
tentang itu. Maka berkatalah Ka'ab : "Itulah dia Iram, yang mempunyai tiang-tiang.
Iram akan dimasuki oleh seorang Muslim di zamanmu, merah pekat kulitnya, pendek-
pendek tubuhnya, atas keningnya ada tahi lalat, begitu pula atas kuduknya, dan ia itu
keluar mencari beberapa unta kepunyaannya." Kemudian ia pun memalingkan muka,
dan ketika terlihat olehnya Ibn Qilabah, berkata sekali :"Ya Allah, ini rupanya orang
itu ! "
Sejak itu tiada pernah orang mendengar kabar apa-apa tentang kota tersebut di
manapun di dunia ini. Padang pasir Aden, di mana kota itu dikatakan telah didirikan,
terletak di tengah-tengah negeri Yaman. Keramaiannya tiada pernah terhenti dan para
pengembara dan penunjuk jalan telah menjelajah jalan-jalannya di segala jurusan.
Namun demikian, tiada pernah orang meriwayatkan tentang kota itu. Tidak ada
pengabar berita lama, tidak ada bangsa yang menyebut-nyebutnya. Kalau para ahli
tafsir mengatakan bahwa kota itu telah lenyap sama sekali sebagaimana lenyapnya
benda-benda kuno lainnya, ini lebih dapat diterima akal, akan tetapi mereka sengaja
telah mengatakan bahwa kota itu masih ada. Beberapa di antara mereka mengatakan
bahwa kota itu ialah Damascus (Ar. Damasyq) karena Damascus pernah berada dalam
kekuasaan kaum 'Ad. Lebih gila lagi ucapan beberapa di antara mereka yang
mengatakan, bahwa kota itu adalah gaib dan hanya dapat diketemukan oleh mereka
yang terlatih dan ahli-hali sihir. Segala ini adalah sangkaan-sangkaan yang lebih baik
dinamakan omongan-omongan kosong (Ar. Al Khurafat) belaka.
Segala yang dikemukakan para ahli-tafsir itu adalah akibat dari peninjauan-
peninjauan dari sudut ilmu bahasa, karena paramasastera Arab menghendaki sebutan
"dzatil'imad" (Ind. yangmempunyai tiang-tiang) menjadi sifat dari Iram. Perkataan
"al'imad (Ind. tiang-tiang) diartikan bermakna tonggak-tonggak besar dari batu-batu
(Ar. al-asathin). Dengan demikian Iram telah diperkecil maknanya menjadi suatu
jenis dari bangunan. Para ahli-tafsir Al Qur-an telah dipengaruhi dalam penafsiran
mereka itu oleh pembacaan cara qiraat Ibn az-Zubair
16
) yang membaca sebutan itu
dengan idlafah tanpa tanwin, yaitu : 'Adi Iram (artinya : 'Ad dari Iram) dan bukan
'Adin dengan tanwin. Mereka kemudian menerima berita-berita tersebut yang
sebenaraya lebih baik dinamakan hikayat alkissah, yang sama dengan lelucon-lelucon
dalam cerita-cerita penggeli hati.
Sebenamya "tiang-tiang" itu adalah tiang-tiang kemah. Jika yang dimakaud
dengan perkataan itu "tonggak-tonggak besar dari batu," maka tidaklah perlu dicari
begitu jauh, karena kekuatan kaum 'Ad adalah sangat termasyhur dan mereka itu
dapat digambarkan sebagai kaum dengan gedung-gedung dan tonggak-tonggak besar
dengan cara yang biasa. Akan tetapi adalah terlalu dicari-cari untuk mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan itu ialah suatu gedung tertentu dalam salah satu dari
kota tertentu pula. Jikapun dibaca dengan idlafah, seperti halnya menurut cara
pembacaan Ibn az-Zubair, maka idhafah itu ialah untuk menyatakan hubungannya
dengan kabilah itu, seperti misalnya jika dikatakan : Quraisy Kinanah, Ilyas Mudlar
atau Rabiah Nizar, yang artinya ialah Quraisy dari Kinanah dan begitulah seterusnya.
Tidaklah ada perlunya sama sekali penafsiran yang begitu jauh yang menggunakan
sebagai pokok pembahasan cerita-cerita kosong, seperti tersebut di atas, yang
16
Yakni Abdullah ibn Az-Zubair yang terkenal karena ahlinya dalam pembacaan Al Qur-an.
sesungguhnya tak dapat dipersebabkan pada Al Qur-an, karena cerita-cerita itu adalah
jauh dari kebenaran.
Keruntuhan Al Baramikah
Suatu ceritera hikayat lagi dari para ahli sejarah, yang semua mereka turut
menyampaikannya ialah mengenai sebab dari hancurnya ar-Rasyid dari al-Baramikah
(Er. Barmecides), yakni kissah al-'Abbasah, saudara perempuan dari ar-Rasyid
dengan Ja'far ibn Yahya ibn Khalid, mawlanya. Ar-Rasyid dikatakan menjadi masgul
tentang di mana menempatkan mereka ketika ia minum-minum khamar dengan
mereka. Ia hendak menerima mereka bersama-sama dalam majelisnya. Karena itu ia
izinkan kedua mereka itu untuk kawin tanpa percampuran. Al-'Abbasah kemudian
mengakali Ja'far dalam keinginannya hendak bercumbu-cumbuan dengan Ja'far
karena al-'Abbasah sesungguhnya telah jatuh cinta padanya. Ja'far akhirnya
bersetubuh dengannya dikatakan sewaktu ia sedang mabuk dan al-'Abbasah pun
hamil-lah. Cerita itu disampaikan kepada ar-Rasyid yang murka dengan amat sangat.
Cerita ini adalah tidak sesuai dengan kedudukan al-'Abbasah, kesalehannya,
keturunannya, dan ketinggian martabatnya. Ia adalah puteri keturunan 'Abdullah ibn
'Abbas dan jauh darinya hanya empat keturunan, dan mereka itu adalah orang-orang
yang paling terkemuka dan besar dalam Islam. Al-'Abbasah adalah anak perempuan
dari Muhammad al-Mahdi, anak dari Abdullah Abi Ja'far al Manshur,
17
) anak dari
Muhammad as Sajjad, anak dari 'Ali (Bapa dari Khalifah-Khalifah). 'Ali adalah anak
dari ahli tafsir Al Qur-an Abdullah, anak dari pamannya Nabi saw al-'Abbas.
Jadi al-'Abbasah adalah puteri dari seorang khalifah dan saudara dari seorang
khalifah. Ia dilahirkan untuk kekuasaan kerajaan dan khilafah dan turunan dari orang-
orang sekeliling Muhammad dan paman-pamannya. Ia terikat oleh kelahiran dengan
imamat Al Islam, dengan cahaya wahyu dan dengan tempat turunannya malaikat
malaikat untuk membawa wahyu-wahyu itu. Ia dekat zamannya dengan watak asli
kepadang-pasiran Arab (Ar. badawat al-'urubiyah), dengan sifat kesederhanaan Islam
yang masih menjauhi kebiasaan kemewahan dan bidang-bidang subur untuk berbuat
maksiat.
Di manakah seseorang dapat mencari kesucian dan kesopanan (Ar. As-shaun wal
'afaf), jika dia itu tidak memilikinya? Dimanakah kebersihan dan kemurnian bisa
diperdapat, jika kedua-duanya telah tak ada lagi di rumahnya? Bagaimanakah
mungkin menghuhungkan keturunannya dengan Ja'far bin Yahya dan mengotori
kebangsawanan Arabnya dengan seorang mawla dari Persia? Nenek moyangnya
orang Persia itu telah diperoleh sebagai seorang budak, atau diambil sebagai mawla,
oleh salah seorang dari nenek-moyangnya al-'Abbasah, yaitu paman dari Nabi dan
bangsawan Quraisy, dan apa yang dilakukan Ja'far hanyalah bahwa ia beserta ayahnya
telah tertarik oleh kemegahan yang sedang tumbuh dari daulah Abbasiyah dan dengan
demikian akhirnya terintislah jalan naik dan diangkatlah ia pada satu martabat
bangsawan (Ar. manazil al-ashraf). Dan bagaimanakah bisa terjadi yang ar-Rasyid,
dengan himmahnya yang tinggi dan keturunannya yang megah, dapat membiarkan
dirinya menjadi bersangkutan karena perkawinan dengan mawla-mawla Persia itu!
Jika seorang yang kritis melihat pada cerita ini dengan segala kejujuran dan
membanding al-'Abbasah dengan puteri dari salah seorang raja yang besar di
zamannya sendiri, maka ia tentu akan merasa jijik dan tak masuk akal yang al
'Abbasah itu dapat berbuat sedemikian rupa dengan salah seorang dari mawla-mawla
kerajaannya, apalagi sewaktu keluarganya sedang memegang tampuk pemerintahan
17
Diceritakan lainnya disebut juga Abu Ja'far Abdullah al-Manshur.
negara. Ia pasti akan minta agar cerita itu dinyatakan tidak benar. Dan siapakah yang
dapat menyamai al-'Abbasah dan ar-Rasyid dalam keagungan itu ?
Penghancuran al-Baramikah sebenarnya adalah disebabkan oleh usaha mereka
hendak merebut kekuasaan atas negara (Ar. istibdadihim 'ala ad-daulah) dan karena
mereka telah menahan pemasukan-pemasukan pajak negara (Ar. amwal al-jibayah).
Ini telah berjalan begitu jauh, sehingga ketika ar-Rasyid sendiri memerlukan uang
sedikit saja, ia tidak memperolehnya. Mereka merebut persoalan-persoalannya dari
tangannya dan turut campur mengambil bagian dalam segala kekuasaannya. Ia tidak
berhak bersuara sama sekali bersama mereka dalam soal-soal kerajaannya. Pengaruh
mereka semakin bertambah dan merekapun bertambah-tambah megahnya. Mereka
mengisi kedudukan-kedudukan dan jabatan-jabatan pemerintahan dengan anak-anak
dan jadi pegawai-pegawai tinggi, dan dengan demikian menutup pintu bagi orang-
orang lain untuk menempati kedudukan-kedudukan menteri (Ar. al-wazir) sekretaris
jenderal (Ar. al-katib), panglima perang (Ar. al-qaid), kepala protokol,
18
) dan
kedudukan-kedudukan pada administrasi ketentaraan dan pemerintahan sipil.
Dikatakan bahwa di istana ar-Rasyid itu ada dua puluh lima orang yang tergolong
pegawai-pegawai tinggi, baik militer maupun sipil, dan semua mereka itu adalah
anak-anak dari Yahya ibn Khalid. Di sana mereka menggagahi orang-orang kerajaan
dan menggeser mereka keluar dengan kekerasan. Ini telah dapat mereka lakukan
karena kedudukan ayah mereka, Yahya, yang menjadi penasehat kesayangan bagi
Harun, baik sebagai putera kota maupun sebagai Khalifah. Harun memang dibesarkan
dalam pangkuannya dan memperoleh segala pendidikan darinya. Harun membiarkan
ia melakukan pekerjaannya dan iapun biasa berbapa kepadanya dengan
memanggilnya "ya Abati" artinya "Ayahku."
Sebagai akibat dari ini akhirnya Baramikahlah, dan bukan pemerintah yang
melakukan segala pengaruh. Mereka semakin bersimaharajalela. Kedudukan mereka
semakin bertambah-tambah berpengaruh. Mereka menjadi pusat perhatian. Semua taat
pada mereka. Segala harapan-harapan ditujukan pada mereka. Dari batas-batas negeri
yang sejauh-jauhnya hadiah-hadiah dan pemberian raja-raja dan amir-amir
dipersembahkan kepada mereka. Uang pajak mengalir ke dalam khazanah mereka
sebagai saluran orang untuk diperkenalkan kepada mereka dan untuk memikat kasih
sayang mereka. Pemberian-pemberian dan kemurahan-kemurahan mereka berikan
kepada orang-orang Syi'ah
19
) dan kerabat-kerabat yang penting dari Nabi. Yang
miskin dari keluarga-keluarga bangsawan yang ada sangkutannya dengan Nabi
mereka berikan sesuatu untuk nafkah. Mereka memerdekakan orang-orang tangkapan.
Begitulah, mereka telah diberi puji-pujian sebagaimana tidak pernah diberikan kepada
khalifah mereka. Mereka melimpahi keistimewaan-keistimewaan dan hadiah-hadiah
atas mereka yang datang memohon kurnia dari mereka. Mereka memegang
pengawasan atas desa-desa dan tanah-tanah perladangan di daerah pedalaman dan
dekat kota-kota besar di setiap propinsi.
Pada akhirnya pihak al-Baramikah itu menyakiti hati kalangan dalam dari istana
(Ar. al-bithanah). Mereka menimbulkan kebencian di antara kaum elite (Ar. al
khashshah) dan membangkitkan amarah pada pegawai-pegawai tinggi (Ar. ahl al-
wilayah). Kecemburuan dan kedengkian berbagai corak mulai memperlihatkan
dirinya, dan kala-kala intrigue merayaplah dalam tempat-tempat empuk dalam
pemerintahan.
18
Ar. al-hajib arti sebenarnya ialah penjaga pintu, tetapi sesuai deugan keadaan sekarang saya artikan saja : kepala
protokol.
19
Dimaksudkan di sini tentunya orang-orang Syi'ah dari golongan 'Alawiyah dan bukan 'Abbasiyah.
Keluarga atau banu Qahthabah, yaitu paman-paman Ja'far dari pihak ibunya,
memimpin persekongkolan terhadap mereka. Perasaan-perasaan ikatan darah dan
hubungan-hubungan kekeluargaan tak dapat meredakan atau menjauhkan keluarga
Qahthbah dari hasad dengki yang telah membatu dalam hati semua mereka. Ini
bersatu pula dengan cemburu yang mulai timbul pada yang dipertuan agung mereka
(yaitu ar-Rasyid) dengan kebenciannya pada pembatasan-pembatasan dan pada sifat
berkuasa sendiri, dan dengan kebenciannya yang menggelora nyata oleh tindakan-
tindakan congkak di pihak al-Baramikah. Dalam mereka terus juga subur
sebagaimana biasanya, terjerumuslah mereka ke dalam satu insubbordinasi besar (Ar.
kibar al-mukhalafah), seperti nampak misalnya pada sikap mereka dalam soal Yahya
ibn Abdullah ibn Hasan ibn al-Hasan ibn 'Ali ibn Abi Thalib, saudara dari
Muhammad
20
) al-Mahdi yang terkenal dengan sebutan "Si jiwa Bersih" (Ar. an-Nafs
az-Zakiyah), yang telah berontak terhadap al-Manshur.
Yahya ini adalah orang yang dibawa balik oleh al Fadhl ibn Yahya dari negeri
Dailam atas suatu surat keterangan aman dari ar-Rasyid yang ditulis dengan
tangannya sendiri. Menurut at-Thabari, al-Fadhl telah membayar satu juta dirham (Ar.
alf alf dirham) dalam soal ini. Ar Rasyid telah menyerahkan Yahya itu kepada Ja'far
untuk ditahan di rumahnya dan diamat-amatinya sendiri. Maka ditahanlah ia itu buat
beberapa waktu lamanya, tetapi didorong oleh purbasangka, Ja'far akhirnya atas
keputusannya sendiri telah membebaskan Yahya itu, terutama karena hormatnya pada
darah turunan ahli bait Nabi seperti selamanya menjadi pendapatnya, dan juga untuk
memperlihatkan purbasangkanya terhadap Pemerintah.
Ketika soal ini dilaporkan orang kepada ar-Rasyid, ia ini segera menanyakan
Ja'far tentang soal Yahya itu. Ja'far arif akan maksudnya dan karena itu mengatakan,
bahwa dialah yang telah menyuruhnya pergi. Ar-Rasyid pada dzahirnya kelihatan
menyetujuinya dan menahan sakit hatinya bagi dirinya sendiri. Dengan demikian
Ja'far sendiri telah melempengkan jalan bagi kehancuran dirinya sendiri dan
keluarganya, yang berakhir dengan rubuhnya singgasana mereka, dengan langit-langit
berjatuhan atas diri mereka dan tanah runtuh-rubuh bersama mereka dan rumah
mereka. Hari-hari kemegahan mereka menjadilah suatu barang dari zaman yang
lampau, suatu contoh teladan bagi generasi-generasi yang akan datang.
Barangsiapa mempelajari dengan teliti riwayat mereka dan dengan seksama
memeriksa tatacara pemerintahan dan tingkah laku mereka, tentu akan berpendapat,
bahwa segala itu adalah sesuai dengan kebiasaan dan jelas sebab-musababnya. Jika
kita perhatikan pengabaran Ibn 'Abd rabbih
21
) tentang percakapan ar-Rasyid dengan
paman kakeknya Dawud ibn 'Ali mengenai keruntuhan al-Baramikah, demikian pula
ceramah-ceramah malam hari dari al-Ashma'i dengan ar-Rasyid dan al-Fadhl ibn
Yahya sebagaimana tersebut dalam bab para penyair dari Kitab al 'Iqd, maka tentu
diketahui bahwa sungguhnya cemburu dan perebutan kekuasaan (Ar. al-munafasah fi
al-istibdad) sebenarnya berarti perebutan pengawasan- semata-mata di pihak khalifah
dan para pengikutnya yang telah membunuh mereka. Faktor lainnya ialah syair-syair
yang secara diam-diam telah diberikan kepada para penyanyi oleh musuh-musuh
dalam selimut dari al Baramikah yang bercokol dalam istananya sendiri, dengan
maksud supaya dinyanyikan mereka dan dengan demikian khalifah tentu
mendengarnya sehingga kebenciannya yang sudah bertumpuk-tumpuk terhadap
mereka itu semakin bertambah-tambah menggelora.
20
Yaitu Muhammad ibn Abdullah ibn Hasan ibn al-Hasan (cucu Nabi). Lakap al-Mahdi itu dipakainya sejak ia ke
al Hijaz.
21
Yaitu Ahmad Ibn Muhamad, yang hidup 246 -328 H atau 860 - 940 M. Lihat pada C. Brockelmann : Geschichte
der Arabischen Literatur, Weimar, 1898, Berlin 1091. OR
Syair itu berbunyi begini :
Semoga Hindun dapat memenuhi janjinya pada kita,
Dan menolong kita dari kesulitan yang dihadapi,
Dan sudi bertindak sendiri untuk sekali saja,
Yang tidak pernah bertindak sendiri itu, itulah dia
Pelemah ! "
22
)
Ketika ar-Rasyid mendengar syair ini iapun berteriak "Ai wallahi, sesungguhnya
aku Pelemah juga !"
Maka dengan cara-cara seperti ini dan yang serupa itu, musuh-musuh al
Baramikah akhirnya berhasillah membangkitkan kecemburuan yang nyata dari ar-
Rasyid dan menimbulkan dendam yang sangat terhadap mereka. Na'uzubillah dari
nafsu manusia pada kekuasaan dan malapetaka !
Kesalehan ar-Rasyid
Cerita gila tentang keadaan ar-Rasyid yang dikatakan suka minum anggur dan
jatuh mabuk dalam pesta-pesta ria dengan sahabat-sahabat periangnya adalah sangat
menjijikkan. Cerita itu sekurang-kurangnya tidak sesuai dengan sikap ar-Rasyid
terhadap perlaksanaan kehendak-kehendak agama dan keadilan yang diwajibkan atas
khalifah-khalifah. Ia bergaul rapat dengan para ulama dan awlia. Ia bertukaran pikiran
(Ar. al-muhawarah) dengan al-Fudlail ibn 'Iyadl , Ibn as-Sammak, dan al-'Umari, dan
ia bersurat-suratan pula dengan Syufyan ath-Thawri. Mendengar khutbah-khutbah
(Ar. al-mawa'iz) mereka, ia menangis. Pula ia berdo'a di Makkah ketika ia melakukan
thawaf di Ka'bah. Ia tetap beribadat, mengindahkan waktu-waktu sembahyang, dan
sembahyang subuhnya tetap pada waktu paling awal. Menurut ath-Thabari dan lain-
lain ia bersembahyang sunat setiap hari seratus rakaat. Secara bergiliran tahun-tahun
itu dipergunakannya sekali sepenuhnya untuk kepentingan perjuangan Islam dan
sekali untuk keperluan naik haji ke Makkah. Ia memarahi pelawak penghiburnya (Ar.
al-mudlahhik) Ibn Abi Maryam karena telah mengeluarkan kata-kata tiada patut
baginya sewaktu ia lagi bersembahyang. Kejadian itu begini : Ketika Ibn Abi Maryam
mendengar ar-Rasyid membacakan ayat Al Qur-an : "Dan mengapakah aku tidak
menyembah Tuhan Yang telah menjadikan aku,"
23
) maka ia telah dengan tiba-tiba
meningkah dengan kata-kata : "Sungguh akupun tidak tahu, kenapa ya ?" Ketika itu
Ar-Rasyid telah tak dapat menahan ketawanya, tetapi kemudian ia berpaling
memarahinya dengan amat sangat dan berkata : "Ya Ibn Abi Maryam, juga di
sembahyang kamu melucu ? Awas, awas terhadap Al Qur-an dan agama !!! Selain
dua ini, kamu boleh melawak apa saja yang kamu sukai, mengerti !"
Demikianlah peristiwa tersebut.
Di samping itu ar-Rasyid memiliki juga sejumlah ilmu dan kesederhanaan, karena
zamannya adalah masih terdekat dengan zaman nenek-moyangnya sendiri yang cukup
mempunyai segala sifat-sifat itu. Masa antara dia dan kakeknya Abu Ja'far al-
Manshur tiadalah begitu jauh. Malah ketika Abu Ja'far meninggal, ia adalah seorang
pemuda yang masih remaja.
Abu Ja'far itu memiliki beberapa banyak ilmu dan ia berpegang teguh pada ajaran-
ajaran agama lama sebelum menjadi khalifah dan sesudahnya. Dialah yang
menasehatkan Malik supaya mengarang kitab Al-Muwaththa' dengan perkataan :"Ya
Abu Abdullah, tiada seorangpun di atas bumi ini yang lebih alim dariku dan dari
tuan. Tetapi aku ini sudah sangat sibuk dengan khilafah. Karenanya tuanlah
22
Syair ini berasal dari Umar Ibn Abi Rabi'ah, hidup kira-kira di tahun 700 M.
23
Yakni ayat Al Qur-an, surat Ya sin 22.
hendaknya menulis suatu kitab bagi rakyat yang akan berfaedah bagi mereka. Di
dalamnya hendaklah tuan jauhi benar kelemahan Ibn 'Abbas dan kekerasan Ibn
Umar
24
) dan persembahkanlah ia secara terang dan jelas kepada rakyat."
Malik telah menerangkan tentang kejadian ini sebagai berikut : "Wallahi, pada
kejadian tersebut itu Al-Manshur sesungguhnya telah mengajari aku untuk menjadi
seorang pengarang !"
Kesalehan Ar-Rasyid dan Al Manshur
Putera dari al-Manshur ini yang bernama al-Mahdi, yaitu ayah dari ar-Rasyid,
telah mengalami kekakuan al-Manshur yang sama sekali tak suka mempergunakan
Kas Negara (Ar. bait al-mal) untuk memperlengkapi keluarganya dengan pakaian-
pakaian baru. Pada suatu hari al-Mahdi datang padanya. Ketika itu ia lagi di
Majelisnya sibuk bercakap-cakap dengan para tukang jahit tentang tambalan-tambalan
dari pakaian-pakaiaui tua sanak-keluarganya.
Al-Mahdi tidak menyukai itu dan berkata : "Ya Amir al Mukminin ! Tahun ini
biarlah saya yang bayar buat pakaian-pakaian anggota keluarga kita dari
penghasilan saya sendiri !"
Jawab al-Manshur ialah : "Silahkan !"
Ia tidak menghambatnya dari membayarnya sendiri, malah sebaliknya ia tidak
mengizinkan pembayaran itu dilakukan darii uang Kas Negara yang menjadi hak
milik kaum Muslimin seluruhnya.
Ar-Rasyid adalah seorang yang sangat dekat zamannya dengan masa khalifah itu
dan dengan nenek moyangnya. Ia diasuh di bawah pengaruh didikan yang sama
seperti itu dalam keluarganya, sehingga tabiat tersebut menjadilah watak darah daging
baginya. Maka bagaimanakah manusia seperti itu dapat menjadi seorang peminum
anggur dan pemabuk secara terang-terangan ? Adalah satu hal yang sudah umum
diketahui, bahwa kaum bangsawan Arab di jaman Jahiliyah menjauhi diri dari
minuman-minuman khamar. Anggur tidaklah termasuk pohon-pohonan yang
dipelihara mereka. Mereka umumnya menganggap minum anggur itu pekerjaan yang
tercela. Ar-Rasyid dan nenek moyangnya adalah sangat berhasil dalam menjauhi
segala sesuatu yang tercela dalam agama dan dunia mereka dan mereka dalam
tingkah-laku dan akhlak yang menuju kesempurnaan amatlah terpuji, begitu pula
sifat-sifat ke-Araban mereka, yaitu watak kehidupan mereka yang sebenar-benarnya.
Kini marilah kita perbandingkan pula kissah dari ahli pengobat (Ar. thabib) Jibril
Ibnu Bukhtisyu',
25
) sebagaimana diberitakan oleh ath-Thabari dan al-Mas'udi.
Pada suatu ketika sepotong ikan dihidangkan orang di meja ar-Rasyid. Jibril tidak
mengizinkan ar-Rasyid memakan ikan itu. Ternyata kemudian Jibril telah
memerintahkan pelayan yang bersangkutan supaya membawa ikan itu ke rumahnya
(Jibril) sendiri. Ar-Rasyid mengetahui ini dan iapun curigalah. Seorang khadamnya
disuruhnya mengamat-amati Jibril dan khadam itu memang menyaksikannya
memakan ikan tersebut. Untuk helah dan membenarkan dirinya, Ibn Bukhtisyu'
menyuruh tiga potong ikan diletakkan masing-masing di atas tiga buah pinggan.
Potongan yang pertama dicampurnya dengan daging yang telah diaduk dengan
berbagai macam bumbu, sayur-mayur, kuah pedas dan manis-manisan. Potongan
kedua disiraminya dengan air es dan potongan ketiga dengan air anggur. Pinggan
pertama dan kedua ialah makanan Amir al-Mukminin, katanya, tidak peduli apakah
24
Dengan Ibn 'Abbas di sini dimaksudnya 'Abdulluh ibn 'Abbas yang tersebut di atas, yaitu kemenakannya Nabi.
sedang Ibn 'Umar ialah 'Abdullah, putera dari khalifah 'Umar Ibn Khatab.
25
jibril adalah salah seorang dari keturunan ahli pengobat di masa yang telah lalu. Ia meninggal tahun 213 H (atau
828/29 M)
pada ikan itu telah ditambah olehnya sesuatu atau tidak. Pinggan ketiga, katanya pula,
ialah makanan Ibn Bukhtisyu' sendiri. Maka ketiga pinggan itu diserahkannya pula
kepada pelayan.
Ketika ar-Rasyid bangun dari tidurnya dan menyuruh panggil Ibn Bukhtisyu'
untuk dimarahinya, yang tersebut belakangan ini telah meminta supaya ketiga
pinggan itu dibawa kepadanya. Maka pinggan yang dengan air anggur tadi
kelihatannya telah menjadi semacam sup dengan potongan-potongan kecil dari ikan,
sedang yang dua lainnya nampaknya telah busuk dan berbau lain sekali. Demikianlah
dengan itu Ibn-Bukhtisyu' telah melakukan helah yang cukup membenarkan dirinya
memakan ikan yang tadinya disediakan untuk khalifah. Dan terang pulalah dari cerita
ini, bahwa keadaan ar-Rasyid menjauhi diri dari minuman anggur itu adalah satu
kenyataan yang cukup dikenal oleh kalangan-dalam di istananya dan oleh orang-orang
yang turut bersantap bersamanya.
Dan adalah satu kenyataan yang terkenal pula, bahwa ar-Rasyid telah menyetujui
untuk menahan Abu Nuwas dalam penjara terus-menerus sampai ia tobat dan
melepaskan kebiasaan buruknya, yaitu suka minum anggur secara berlebih-lebihan,
sebagaimana telah disampaikan orang kepadanya. Ar-Rasyid sendiri biasa mimun
anggur korma (Ar. nabiz at-tamr) berdasarkan madzhab di Iraq sendiri yang sudah
terkenal fatwa-fatwanya tentang itu.
26
) Akan tetapi ia tidak dapat dituduh suka
meminum anggur yang sebenar-benarnya. Berita-berita tolol tentang itu tidaklah dapat
dibenarkan. Ia bukanlah orang yang suka melakukan sesuatu yang diharamkan dan
yang dianggap oleh ahli agama sebagai salah satu dosa yang terberat di antara dosa-
dosa besar itu (Ar. min akbari al-kabair 'inda ahli al-millah).
Tiada seorangpun dari kaum 'Abbasiyah terdahulu itu yang tercela karena
pemborosan atau kemewahan dalam soal-soal pakaian, batu permata, ataupun ragam
makanan yang mereka pilih. Mereka tetap berpegang pada watak padang pasir yang
keras dan pada kesederhanaan dari agama Islam (Ar. sazajat al-din). Maka betapakah
orang dapat curiga mereka akan melakukan sesuatu yang menuju dari yang boleh ke
tidak boleh atau dari yang halal ke yang haram ?
Para ahli sejarah seperti at-Thabari, al-Mas'udi, dan lain-lain, telah sama setuju,
bahwa semua kaum khalifah keturunan banu Umayyah dan banu al-Abbas yang
terdahulu itu selalu keluar dengan hanya perhiasan perak yang ringan di pinggang
mereka, di pedang mereka, di tali kekang dan pelana kuda mereka, dan bahwa
khalifah pertama yang mulai keluar dengan perlengkapan keemasan ialah al-Mu'tazz
ibn al-Mutawakkil, yaitu khalifah ke delapan sesudah ar-Rasyid. Pun dengan pakaian,
mereka itu sederhana. Maka betapakah kiranya orang bisa berpendapat lain mengenai
soal apa yang mereka minum itu ? Soal ini akan menjadi lebih jelas lagi bila kelak
telah difahami sebaiknya betapa watak kerajaan-kerajaan itu pada mula
pertumbuhannya dalam kehidupan padang pasir dan lingkungan-lingkungan
sederhana itu, seperti nanti akan kita uraikan juga di antara persoalan-persoalan yang
akan diperbincangkan dalam, bab pertama, insya Allah !
Al-Ma'mun dan Ibn Aktsam
Kemudian ada pula satu berita yang sejajar atau sama dengan yang tersebut di
atas, yaitu berita yang disampaikan oleh para ahli sejarah tentang Yahya Ibn Aktsam,
qadli dan sahabat dari al-Ma'mun.
27
) Ia dikatakan telah minum anggur bersama-sama
al-Ma'mun dan menjadi mabuk pada suatu malam. Ia kedapatan tertimbun di antara
26
Madzhab yang umum di Iraq ialah Mazhah Hanafi, yang bersikap agak lunak terhadap nabiz itu.
27
Berita ini terdapat secara lengkap dalam kitab 'Iqd, jilid III karangan Ibn 'Abdrabbih. Yahya Ibn Aktsam itu
meninggal di tahun 242 atau 243 atau 847 M.
rihan sampai ia kemudian terbangun. Maka syair berikut disebut-sebutlah sebagai
keluar dari mulutnya :
"Ya Tuhanku, penghulu sekalian manusia !
Dia yang memberiku minum tidaklah adil dengan hukumannya,
Memang 'ku lalai terhadap si penuang, sehingga did telah membuat daku,
Sebagai kau lihat, kehilangan akal sehat agama. "
Hal Ibn Aktsam dan al-Ma'mun ini sama dengan halnya ar-Rasyid di atas. Apa
yang mereka minum adalah anggur korma yang sepanjang pendapat mereka tidaklah
terlarang. Tidaklah ada mabuk dalam hal mereka itu. Persahabatan Yahya ibn Aktsam
dengan al-Ma'mun adalah satu persahabatan dalam Islam (Ar. fid din). Dan adalah
satu kenyataan yang tak dapat dimungkiri, bahwa Ibn Aktsam itu tidur dalam
kamarnya al-Ma'mun. Dan dikabarkan, sebagai suatu petunjuk betapa mulia dan
sopannya al-Ma'mun itu, bahwa pada suatu malam ia itu tertegun dengan sangat
dahaganya. Maka berdirilah ia meraba-raba mencari kendi air. Ia segan
membangunkan Yahya Ibn Aktsam. Pun adalah pula kenyataan yang tak dapat
dimungkiri, bahwa kedua mereka itu biasa sembahyang subuh bersama-sama. Maka
bagaimanakah ini boleh disamakan dengan minum anggur bersama-sama ? Malah
Yahya Ibn Aktsam itu terkenal pula sebagai perawi Hadtis. Ia dipujikan oleh al-Imam
Ahmad Ibn Hanbal
28
) dan Hakim Isma'il.
29
) At-Tirmizi
30
) sendiri merawikan hadits-
hadits Nabi dengan menggunakan namanya pula. Dan penghafal hadits Al-Mizzi
31
)
pun menerangkan, bahwa al-Bukhari telah merawikan hadits-hadits Nabi atas
(kekuatan) namanya, di dalam kitab-kitab yang bukan "al Jami' as-Shahih." Mencerca
Yahya seperti itu sebenarnya sama artinya dengan mencerca semua dari para ulama
tersebut.
Kemudian ada pula orang-orang cabul yang menuduh Yahya Ibn Aktsam itu
mempunyai suatu kecenderungan pada anak-anak muda. Ini adalah satu penghinaan
terhadap Tuhan dan satu dusta keji yang diarahkan pada kaum ulama. Orang-orang itu
telah menuduh sedemikian rupanya berdasarkan desas-desus kisah yang tolol yang
barangkali telah dibuat-buat oleh musuh Yahya, karena sesungguhnya mereka
sangatlah cemburu padanya disebabkan kesempurnaan dan persahabatannya dengan
raja (Ar. Sulthan). Kedudukannya dalam ilmu dan agama tidak memungkinkan
terjadinya hal yang seperti itu.
Ketika Ibnu Hanbal diberitahukan orang tentang desas-desus mengenai Yahya itu
beliau berteriak : "SubhanAllah, subhanAllah ! Siapa berkata begitu !" Beliau
kemudian mencela desas-desus itu dengan amat sangat. Hakim Isma'il yang juga
diberitahukan orang tentang omongan itu telah berkata dengan keras : "Allah menjaga
semoga kejujuran (Ar. 'adalah) orang seperti itu tidaklah lenyap hanya karena
tuduhan-tuduhan bohong dari tukang-tukang cerita yang iri hati." Katanya pula
:"Yahya Ibn Aktsam bersih di mata Tuhan dari hubungan apapun yang seperti itu
dengan anak-anak muda, sebagaimana dituduhkan orang atasnya. Saya mengetahui
pikiran-pikirannya yang paling rahasia dan kudapati dia sangatlah takut pada Allah.
Akan tetapi ia memang suka bersenda-gurau dan berolok-olok secara tertentu, Yang
mungkin telah membuat orang menuduhnya sedemikian rupa." Ibn Hibban telah
menyebut-nyebut Yahya itu dalam kitabnya as-Tsiqah Dikatakannya di sana supaya
orang jangan memperhatikan cerita-cerita mengenainya itu karena sebagian besar dari
padanya adalah tidak benar.
28
Yaitu Ahmad ibn Muhamad ibn Hanbal, pendiri dan kepala dari Madzhab Hanbali (164-241 H. atau 780-855 M)
29
Yaitu Ismail ibn Ishaq, kadi dari madzhab Maliki.
30
Yaitu Muhammad ibn Isa, meninggal 279 h. (atau 892 M.), seorang perawi hadits yang terkenal.
31
Yaitu Yusuf ibn Abdarrahman al-Mizzi (654-742 H. atau 1256 - 1341 M.), pengarang dari "Tahzab al Kamal"
Al Ma'mun dan Buran.
Maka ada pula satu cerita lain yang menyerupai cerita di atas. Cerita itu ialah
tentang keranjang (Ar. az Zinbil), disampaikan oleh Ibn 'Abdrabbih, pengarang Al-
'Iqd, dalam penjelasannya mengenai hal bagaimana al-Ma'luun itu telah menjadi
menantu dari Al-Hasan ibn Sahl dengan mengawini anak perempuannya yang
bernama Buran.
Pada suatu malam sewaktu ia keluyuran di jalan-jalan kota Baghdad, al-Ma'mun
dikabarkan telah kepergok dengan satu keranjang yang diulurkan orang ke bawah dari
salah satu sutuh (atap rumah) dengan perantaraan kerek dan tali yang dipintal dari
benang-benang sutera, maka iapun menundukkan dirinya dalam keranjang itu dan
memegang kereknya yang segera pula bergerak. Dan terangkatlah ia ke dalam satu
kamar yang luas, yang sifatnya begini dan begitu . Ibn 'Abdrabbih melukiskan
tentang bagaimana cantiknya permadani-permadani di situ yang mengharukan mata
dan jiwa, kehebatan perabot-perabotnya, dan keindahan pemandangan di sana.
Kemudian, begitulah dikabarkan, seorang wanita yang luar biasa cantiknya dan
menggiurkan, telah muncul dari balik tirai di kamar itu. Ia menyapa al-Ma'mun dan
mengajaknya menemaninya. Maka sepanjang malam itu ia telah minum anggur
bersamanya. Pada waktu subuh kembalilah ia pada teman-temannya di tempat di
mana mereka telah menunggu-nunggunya. Ia telah begitu jatuh cinta pada wanita itu,
sehingga akhirnya ia telah melamarnya pada ayahnya.
Maka bagaimanakah segala ini boleh sesuai dengan keadaan al-Ma'mun yang
terkenal dengan agamanya, ilmunya dan teguh pegangannya pada cara-cara hidup dari
nenek-nenek moyangnya, yaitu khalifah-khalifah al-Abbas yang rasyidin, dengan
teguh pegangannya pada cara-cara hidup para khalifah empat yang pertama, yang
merupakan sokoguru-sokoguru Islam, dengan penghormatannya pada para alim
ulama, dan ketaatannya terhadap norma-norma keagamaan seperti sembahyang dan
hukum-hukum agama lainnya ! Bagaimanakah bisa benar, bahwa ia bertindak seperti
orang fasik yang menyenangkan dirinya dengan merayap-rayap di malam hari,
memasuki rumah-rumah orang di gelap-gulita dan berasyik-ma'syuk secara orang-
orang badui itu ! Dan bagaimanakah cerita itu bisa sesuai dengan kedudukan dan sifat
mulia dari puteri al-Hasan ibn Sahl itu, dan dengan akhlak yang keras dan kesucian
yang berlaku di rumah ayahnya !
Banyaklah ceritera-ceritera yang seperti itu. Ia bertebaran dalam karya-karya para
ahli sejarah. Perangsang untuk mengada-ada dan mengisahkan cerita-cerita seperti itu
merupakan satu kecenderungan umum dalam mencari nikmat terlarang dan dalam
mengaibkan kedudukan orang-orang lain. Manusia membenarkan penghambaan
mereka terhadap kenikmatan menyebut-nyebut sesuatu kaum di masa yang lalu (yang
dikabarkan juga melakukan hal-hal yang mereka lakukan itu. OR). Karenanya mereka
acapkali kelihatan sangat tertarik pada kabar-kabar seperti itu dan bersiap-siap hendak
menemuinya jika mereka membalik-balik lembaran-lembaran dari karya-karya (Ar.
awraq ad-dawawin) yang sudah diterbitkan orang. Sekiranya mereka mau menuruti
tauladan bangsa-bangsa yang lampau dalam hal-hal yang lain, seperti dalam sifat-sifat
kesempurnaan yang ada pada mereka yang telah memasyhurkan mereka itu, la kana
khairan lakum (Al. Qur-an IV : 46, III : 110, IV : 66, XLVII : 21 dan XLIX : 5), lau
kanu ya'lamun (A-Qur-an II : 102-103, XVI : 41, XXIX : 41-64 dan LXVIII : 33).
Saya pada suatu kali (pernah) mengecam seorang pangeran diraja karena
kesukaannya yang bernafsu sekali hendak belajar menyanyi dan bermain gitar. Saya
katakan padanya, bahwa itu bukanlah urusannya dan tidak layak bagi kedudukannya.
Sahutnya : "Tidakkah tuan mengenal Ibrahim ibn al-Mahadi,
32
) yang menjadi
pemain musik terkemuka dan penyanyi yang terbaik di zamannya ?" Maka kataku
pula : "SubhanAllah, kenapa kalau begitu kok tidak tuan turuti saja tauladan ayahnya
ataupun abangnya ? Tidakkah tuan lihat betapa pekerjaannya itu telah menghambat
Ibrahim untuk memperoleh kedudukan mereka ?" Akan tetapi pangeran itu rupanya
tuli terhadap kecamanku itu dan tak menghiraukannya. Dan Allah memberi petunjuk
siapa yang disukai-Nya.
Silsilah Keturunan Al-Fathimiyah
Seterusnya ada pula perkabaran tolol yang telah diterima oleh banyak ahli-ahli
sejarah mengenai dinasti 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah), yaitu khalifah-khalifah Syi'ah
33
)
di Kairawan (Ar. al-Qairawan) dan Kairo (Ar. al-Qahirah). Para ahli sejarah tersebut
mengingkari keturunan mereka dari sayidina 'Ali as. (Ar. ahlal bait) dan menyerang
kebenaran, bahwa mereka itu adalah turunan dari Imam Isma'il, anak dari Ja'far as-
Shadiq. Mereka mendasarkan pendirian mereka itu atas berita-berita yang telah
dibuat-buat untuk keuntungannya para khalifah 'Abbasiyah yang lemah oleh orang-
orang yang menginginkan kesayangan mereka dengan melempari tuduhan-tuduhan
terhadap lawan-lawan mereka yang giat itu dan karenanya cenderung mengeluarkan
segala macam cerca dan nista terhadap musuh-musuh mereka. Kita akan
mengemukakan beberapa perkabaran seperti itu dalam uraian kita tentang sejarah
'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu. Para ahli sejarah tersebut tiada merasa perlu untuk
memperhatikan kenyataan-kenyataan kejadian (Ar. syawahid al-waqi'at) dan dalil-
dalil yang nyata (Ar. adillat al-ahwal) yang meminta pengakuan, bahwa yang
sebaliknyalah yang benar dan bahwa tuntutan mereka itu adalah satu pembohongan
dan harus ditolak.
Semua mereka telah menyampaikan keterangan-keterangan yang sama tentang
asal mulanya dinasti Syi'ah (Ar. daulat al-Syiah) itu Abu 'Abdallah al-Muhtasil
34
)
(dikabarkan) mengundang kaum Kutamah supaya mereka rela menerima keluarga
Muhammad (yakni al-'Alawiyah. O.R.). Pekerjaannya itu diketahui oleh semua orang.
Diketahui pula bagaimana ia meletakkan perhatiannya pada 'Ubaidallah al-Mahdi dan
anaknya Abul-Qasim. Karenanya, kedua mereka ini ketakutanlah terhadap jiwa
mereka dan keduanya lari dari Timur, pusat kedudukan khilafah. Mereka memasuki
Mesir dan meninggalkan kota al-Iskandariyah (Ar. Alexandria) dengan menyamar diri
sebagai pedagang. Maka disampaikanlah peristiwa itu kepada 'Isa an-Nawshari,
gubernur (Ar. 'amil) Mesir dan Iskandariyah, yang segera mengirimkan pasukan-
pasukan berkuda untuk memburu mereka. Akan tetapi ketika pasukan-pasukan itu
mencapai mereka, mereka tidak mengenal kedua mereka itu disebabkan pakaian dan
penyamaran mereka. Maka terhindarlah mereka dan masuklah mereka dengan selamat
ke Marokko (Ar. al-Maghrib).
Al-Mu'tadlid
35
) kemudian memerintahkan para amir dari kaum Aghlabiyah yang
memerintah Afrika di Kairawan, sebagaimana juga para amir kaum Midrar di
32
Ibrahim ini memang adalah putera dari khalifah al-Mahdi, yang memerintah sebentar saja atas pengakuan suatu
golongan.
33
Seperti umum telah mengetahuinya, persoalan mengenai silsilah al-Fathimiyah sebagai keturunan Sayidina 'Ali,
begitu pula sejarahnya yang terdahulu, telah berisikan suatu "peledakan" politik berabad-abad lamanya setelah
dinasti al-Fathimiyah itu jatuh.
34
Abu 'Abdallah As-Syi'i, yang atas usahanya telah membikin kaum al-Fathimiyah berkuasa di bagian barat-laut
dari Afrika, biasa disebut-sebut sebagai muhtasil di Al-Basrah, jika tidak abangnya Abul-'Abbas yang memegang
jabatan itu.
35
Menurut Prof. Franz Rosenthal peristiwa ini terjadi di tahun 293 H atau 905/ 906 M, jadi sebenarnya bukan
sewaktu pemerintahan al-Mu'tadlid, melainkan sewaktu pemerintahan anaknya al-Muktafi. Wallahu 'alam! OR.
Sijilmasah, supaya berusaha keras mencari kedua mereka itu di manapun dan
mengamat-amatinya sekali. Kepala kaum Midrar di Sijilmasah yang bernama Ilyasa'
kemudian dapat mengetahui tempat persembunyian mereka di negerinya itu dan
menahan mereka itu untuk menyenangkan hati khalifah. Ini semua adalah sebelum
kemenangan kaum Syi'ah atas kaum Aghlabiyah di Kairawan.
Kemudian sesudah itu, sebagaimana umumnya mengetahuinya propaganda (Ar.
da'wah) kaum 'Ubaidiyah (al-fathimiyah) tersebarlah dengan sukses di seluruh Afrika
(Utara) dan Marokko, dan seterusnya menurut geleran meluas sampai-sampai ke
Yaman, Iskandariyah serta daerah-daerah Mesir lainnya, Syria dan Hijaz. Maka
tegaklah dinasti 'Ubaidiyah (al-fathimiyah) memerintah dunia Islam dalam bagian
yang sama dengan dinasti al-'Abbasiyah. Malah mereka hampir saja berhasil dalam
menerobos tanah airnya kaum al-'Abbasiyah dan menggantikan mereka memerintah
di sana.
Propaganda mereka di Baghdad dan daerah al-Iraq lainnya telah mencapai sukses
dengan bantuan amir al-Basasiri, seorang dari kalangan mawali ad-Dailam yang telah
menguasai khalifah-khalifah banu al-'Abbas. Ini telah terjadi sebagai akibat dari satu
pertikaian antara al-Basasiri dengan amir-amir yang bukan Arab.
36
) Maka setahun
penuh nama al-'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu telah disebut-sebut orang dari atas
mimbar kota Baghdad dalam khutbah-khutbah Jum'at. Kaum al-'Abbasiyah terus
menerus terganggu oleh kekuatan dan kehebatan dinasti al-'Ubaidiyah (al-Fathimiyah)
itu, sedang raja-raja banu Umayyah di seberang lautan (yakni di Spanyol) telah
menyatakan sakit hati mereka terhadap al-'Ubaidiyah itu dan mengancam hendak
berperang dengan mereka.
Maka bagaimanakah segala ini dapat menimpa seorang penuntut palsu dari
mahkota, apalagi ia dianggap seorang pembohong? Seyogianya orang
memperbandingkan hal ini dengan sejarahnya al-Qarmathi.
37
) Silsilahnya menurut
kenyataan adalah palsu. Maka lihatlah bagaimana sempurnanya kehancuran
da'wahnya itu dan kehancuran para pengikutnya ! Keburukan dan kelicikan mereka
lekas sekali nyata. Merekapun berakhir secara buruk dan menderita satu nasib yang
pahit. Jika keadaan kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) serupa pula seperti itu, tentu
akan diketahui orang juga akhirnya, walaupun akan meminta beberapa waktu
lamanya.
"Apapun watak sifat yang dimiliki seorang manusia,
orang akan mengetahuinya walaupun dikiranya ia dari manusia tersembunyi."
38
)
Dinasti 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu berkelanjutan usianya terus-menerus
selama lebih kurang dua ratus tujuh puluh tahun. Mereka menguasai maqam Ibrahim
as
39
) beserta tempat sembahyangnya, rumah Rasulullah saw dan tempat di mana
beliau dikebumikan, petak di mana para hujad berdiri dan di mana malaikat turun
(menyampaikan wahyu kepada Muhammad). Akhirnya, pemerintahan mereka pun
berhentilah.
Selama masa itu semua para pengikut mereka memperlihatkan taat dari cinta yang
sebesar-besarnya terhadap mereka dan percaya sepenuhnya pada keturunan mereka
dari Imam Isma'il, anak Ja'far as Shadiq. Malah lama sesudah dinasti itu pergi dan
hilang lenyap pengaruhnya, orang-orang masih juga datang mendesakkan dakwah
36
Peristiwa ini terjadi pada permulaan pemerintahan kaum Saljuk di bawah Tughril-bek, yaitu dalam masa
Desember 1058 hingga 1060.
37
Al-Qarmathi ialah pendiri dari sekte yang terkenal dengan nama itu, yakni seorang yang bernama Hamdan yang
hidup di bagian kedua dari abad ke sembilan Masehi.
38
Syair ini berasal dari bagian terakhir dari Mu'allaqut karangan Zuhayr.
39
Yakni maqam Ibrahim di Masjid al-Hasan, Makkah.
sekte tersebut. Mereka mengumumkan nama-nama dari anak-anak kecil keturunan
'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) yang mereka percayakan berhak atas khilafah. Begitu
jauhnya tindakan mereka itu sehingga mereka menganggap anak-anak itu seolah-olah
sebenarnya telah ditetapkan menjadi para pewaris dari imam-imam yang terdahulu.
Sekiranya ada kecurigaan-kecurigaan mengenai silsilah keturunan mereka, tentu para
pengikut mereka itu tidak akan rela menghadapi bahaya-bahaya yang terlibat dalam
usaha penyokongan mereka. Seorang sektarian (Ar. shahib al-bid'ah) tidak akan
mempermainkan persoalan-persoalannya sendiri, juga tidak akan menaburkan benih
kebimbangan dalam sektenya sendiri, pun juga tidak akan menipu dirinya sendiri
mengenai kepercayaannya itu.
Adalah aneh sekali, hakim Abubakar al-Baqillani,
40
) syekh besar kaum al-
Mutakallimin, cenderung pada pandangan yang tak masuk akal (OR. yaitu mengenai
kepalsuan dari silsilah kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu), dan berpegang teguh
pada pendapat yang lemah tersebut. Jika sikapnya itu adalah disebabkan oleh ke-
mulhid-an agama dan extremisme kaum Syi'ah dalam mana termasuk kaum
'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu, maka itu tidaklah dapat diterima, karena sangkalannya
tentang keturunan mereka itu dari 'Ali as tidak akan membatalkan da'wah mereka itu,
pun juga penerimaan keturunan mereka seperti tersebut itu betapapun tidak akan
menolong mereka di depan Tuhan dalam persoalan kekufuran mereka. Tuhan telah
berkata kepada Nuh as mengenai anak-anaknya : "Sesungguhnya ia bukan dari
ahlimu, karena amalnya itu sesungguhnya amal yang tidak baik. Karena itu
janganlah kamu minta kepadaku apa yang kamu tidak tahu."
41
) Dan Muhammad
s.a.w. telah memperingati Fathimah sebagai berikut : "Ya Fathimah, berbuatlah
(sebagaimana kamu suka). Saya tidak akan dapat menolongmu di hadapan Tuhan."
Jika seorang manusia sampai mengetahui sesuatu persoalan atau yakin mengenai
sesuatu masalah, maka ia haruslah mengemukakannya secara terbuka. "Dan Allah
mengatakan yang hak dan Ia memimpin (manusia) ke jalan yang benar."
42
) Kaum
'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu adalah selalu dalam berpindah-pindah disebabkan
kecurigaan-kecurigaan berbagai pemerintah terhadap mereka. Mereka itu diamat-
amati oleh pemerintah-pemerintah yang dzalim (Ar. at-thughah), karena para
pengikut mereka banyak dan propaganda mereka meluas sampai ke pelosok-pelosok.
Berulang kali mereka harus pindah dari tempat-tempat di mana mereka sebenarnya
telah menetap. Orang-orang mereka karena itu sering berada dalam persembunyian
dan keadaan mereka hampir-hampir tak diketahui, berkata seorang-penyair :
Jika kau tanyakan zaman tentang apakah namaku,
mereka pasti akan tidak mengetahuinya
Dan di manakah aku,
pun mereka juga tidak akan tahu di mana aku berada.
43
)
Demikianlah halnya, sehingga Muhammad, anak dari imam Isma'il, nenek
moyang dari 'Ubaidallah al-Mahdi, diberikan orang sebutan "al-Maktum" ("Yang
Tersembunyi"). Dinamakan ia demikian oleh para pengikut mereka (Ar. as-Syi'ah
sebenarnya berarti partisan) karena mereka semua telah sependapat mengenai
kenyataan, bahwa ia itu acap bersembunyi disebabkan takut pada orang-orang yang
berkuasa atas mereka. Para pengikut banu 'Abbas (Ar. Syi'atul bani al 'Abbas) banyak
mengambil faedah dari kenyataan ini ketika mereka secara terang-terangan
40
Yaitu Muhammad ibn al-Thayyib, meninggal tahun 403 H. (atau 1013 M.).
41
Al-Qur-an XI :46 (48)
42
Al-Qur-an XXXIII : 4.
43
Beberapa pengarang mengatakan, bahwa syair ini adalah dari Abu Nuwas, akan tetapi ia tiadalah terdapat dalam
Diwan dari Abu Nuwas itu.
menyerang silsilah keturunan 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu. Mereka berusaha
mengambil hatinya para khalifah yang lemah-lemah (dari al-Abbasiyah) itu dengan
cara mengakui pendapat bohong yang mengatakan bahwa keturunan 'Alawiyah
44
)
dari kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah), adalah palsu semata-mata. Ini amatlah
menyenangkan hati para wali al-'abbasiyah dan para amir daulah mereka yang
bertugas melakukan operasi-operasi militer terhadap musuh-musuh al-'Abbasiyah itu.
Hal itu menolong mereka dan pemerintah dalam memampasi diri mereka yang tiada
sanggup melawan dan mengusir suku-bangsa Barbar Kutamah (Ar. al-Barbar al-
Kutamiyin) yang menjadi pengikut-pengikut (Ar. as-syi'ah) dan propagandis-
propagandis (Ar. ahl ad-dakwah) dari kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah), yang telah
merampas Syria, Mesir dan al-Hijaz dari kerajaan al-Abbasiyah.
Sesuai dengan itu para hakim (Ar. al-Qudlah) di Baghdad akhirnya menyediakan
satu pernyataan resmi yang isinya menyangkal kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu
sebagai keturunan dari sayidina 'Ali as Pernyataan itu disaksikan oleh sejumlah orang-
orang terkemuka, di antaranya Syarif al-Radli
45
) dan abangnya al-Murtadla
46
) dan
Ibn at-Thahawi.
47
) Di antara para ulama yang juga menyaksikan dokumen itu ialah
Abu Hamid al-Isfarayini,
48
) al-Quduri,
49
) as-Shaimari,
50
) Ibn al-Akfani,
51
) al-
Abiwardi,
52
) ahli hukum Syi'ah Abu Abdallah ibn an-Nu'man,
53
) dan kaum
terkemuka lainnya di Baghdad.
Peristiwa itu terjadi pada suatu hari bersejarah (Ar. yaum masyhud
54
) di tahun 402
(atau 1011 M.) di zamannya al- Qadir. Penyaksian dari pada saksi itu adalah
didasarkan atas pendengaran, atas apa yang masyhur dan diketahui rakyat di Baghdad.
Dan kebanyakan dari mereka adalah pengikut-pengikut dari banu al-'Abbas yang
selalu menyerang silsilah keturunan 'Ali dari kaum 'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) itu.
Para ahli sejarah telah menyampaikan keterangan-keterangan sebagaimana mereka
telah mendengarnya. Mereka telah meneruskannya kepada kita sebagaimana yang
mereka ingat. Akan tetapi yang benar (Ar. al-haq) adalah terletak di balik segala itu.
Suatu surat dari al-Mu'tadlid mengenai 'Ubaidallah, dialamatkan kepada Ibn al-
Aghlab di al-Qairawan (Er. Kairawan) dan Ibn Midrar di Sijilmasah, menjadi saksi
yang paling benar dan dalil yang paling jelas atas benarnya penerangan, bahwa kaum
'Ubaidiyah (al-Fathimiyah) tersebut adalah keturunan dari sayidina Ali as Al-
Mu'tadlid adalah paling dekat nasabnya dengan keluarga Nabi dan karenanya lebih
berhak dari siapapun untuk berbicara tentang silsilah keturunan dari ahlil-bait Nabi.
Negara dan pemerintah adalah ibarat pasar dunia, di mana baginya dihidangkan
hasil-hasil dari ilmu pengetahuan dan keahlian tangan manusia. Pemikiran-pemikiran
yang tak terduga-duga dan riwayat-riwayat yang dilupakan manusia dikemukakan
orang di sana. Dalam pasar ini berita-berita dibeberkan dan hal-hal yang berupa
penerangan sejarah disampaikan orang pula. Apa saja yang dibutuhkan orang di pasar
ini pada umumnya dibutuhkan juga di tempat-tempat lainnya. Karena bilamana
negara yang ada itu menjauhi ketidak adilan, purbasangka, kelemahan, dan
44
Yakni keturunan dari Saidina 'Ali a.s.
45
Yaitu Muhammad ibn al-Husain, 359-406 H. atau 969-1015 M.
46
Yaitu 'Ali ibn al-Husain, hidup dari 355-436 H. atau 966-1044 M.
47
Di lain naskah tertulis Ibn al-Bathawi.
48
Yaitu Ahmad ibn Muhammad, hidup 345-406 H. atau 956-1016 M.
49
Yaitu Ahmad ibn Muhammad, hidup 362-428 H. atau 972-1037 M.
50
Yaitu Abu 'Abdallah al-Husain ibn 'Ali, hidup 351-436 H. atau 962-1045 M.
51
Yaitu Abu Muhammad 'Abdallah ibn Muhammad, hidup 320-405 H. atau 932 - 1014 M.
52
Yaitu Abu al-'Abbas Ahmad ibn Muhammad, meninggal 425 H. atau 1034 M.
53
Yaitu Muhammad ibn al-Mu'allim, meninggal 413 H. atau 1022 M.
54
Berasal dari ayat al-Qur-an XI : 103.
kecendekiaan (bercabang hati), dengan hati yang tabah berdiri di atas jalan yang benar
dan sekali-kali tidak akan menyeleweng darinya, maka barang-barang yang ada di
pasarnya itu adalah penaka perak putih dari emas yang murni sekali. Akan tetapi
sebaliknya jika ia dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan perorangan dan dengki-
mendegki, atau goyang-goyah oleh pemuka-pemuka kedzaliman dan kebathilan, maka
barang-barang, di pasarnya itu menjadilah seperti logam-logam sanga dan palsu.
Orang yang kritis haruslah menilai sendiri apa yang dilihat di sekelilingnya,
memeriksa ini, mengagumi itu, dan akhirnya memilihlah ia apa yang dipilihnya.
Silsilah Keturunan Al-Idrisiyah
Satu cerita lain yang seperti itu, yang malah lebih tidak mungkin lagi ialah cerita
yang sering diperbincangkan di kalangannya sendiri oleh orang-orang yang suka
menyerang keturunan 'Alawiyah
55
) dari Idris ibn Idris ibn Abdallah ibn Hasan ibn al-
Hasan ibn 'Ali ibn Abi Thalib (semoga kerelaan Allah atas mereka sekalian) yang
menjadi al-Imam di Marokko (Ar. al-Maghrib al-aqsha) menggantikan ayahnya.
Mereka mengilat-ngilatkan seolah-olah telah terjadi suatu kejahatan zina, yaitu
dengan insinuasi mereka bahwa itu anak yang belum lagi lahir sewaktu meninggalnya
Idris tua
56
) pada hakekatnya adalah anak dari Rasyid, mawla dari kaum Idrisiyah
tersebut. Alangkah tololnya manusia-manusia yang melupakan Tuhan ini !
Mereka seharusnya mengetahui, bahwa Idris tua itu isterinya adalah seorang
wanita dari suku bangsa Barbar dan bahwa sejak tibanya di al-Maghrib hingga
mangkatnya ia telah sedarah sedaging dengan penghidupan secara padang pasir itu.
Dan di padang pasir pekerjaan seperti itu tiadalah dapat tinggal sebagai rahasia. Di
sana tidak ada tempat tersembunyi di mana orang dapat melakukan pekerjaan-
pekerjaan rahasia. Para tetangga wanita selalu saja dapat melihat dan tetangga lelaki
selalu dapat mendengar segala sesuatu yang dilakukan para wanita mereka, karena
rumah-rumah di sana rendah-rendah, demikian pula jendela-jendelanya, dan sangat
berdekatan satu sama lain tanpa ada ruang di antaranya.
Maka adalah Rasyid itu telah dipercayakan untuk menjaga seluruh para wanita
(Ar. al-harim) sesudah meninggal mawlanya, atas anjuran sahabat-sahabat dan
pengikut-pengikut al-Idrisiyah sendiri dan takluk pada pengawasan tertinggi dari
mereka semua. Seterusnya, semua (suku) bangsa Barbar di Marokko itu umumnya
sepakat untuk menyampaikan bai'ah pada Idris muda sebagai pengganti ayahnya.
Dengan sukarela mereka mentaati dia itu. Mereka bersumpah, bahwa mereka bersedia
mati untuknya dan mereka telah memasuki bahaya-bahaya maut untuk melindunginya
dalam segala peperangan-peperangannya dan ghazwah-ghazwahnya. Andaikata ada di
kalangan mereka itu sendiri yang menceritakan riwayat-riwayat kotor seperti tersebut
itu ataupun mereka mendengarnya dari seseorang lain, sekalipun musuh yang penuh
dendam ataupun munafik yang suka fitnah, sekurang-kurangnya beberapa di antara
mereka itu tentu sudah menolak untuk melakukan pekerjaan tadi. Tidak, demi Allah
cerita kotor ini sebenarnya adalah berasal dari lawan-lawan banu Idris yang terdapat
di kalangan banu 'Abbas dan di kalangan banu Aghlab, yang menjadi gubernur-
gubernur dan pegawai-pegawai tinggi 'Abbasiyah di Afrika (Utara).
Terjadinya itu adalah begini :
Ketika ldris tua telah melarikan dirinya ke al-Maghrib (Marokko) sesudah
pertempuran Fach,
57
) al-Hadi mengirim perintah-perintahnya kepada banu Aghlab
55
Yakni keturunan dari sayidina 'Ali as.
56
Yakni ayah dari Idris muda, O.R.
57
Fach ialah satu tempat dekat Makkah, di mana pengikut-pengikut sayidina 'Ali as dikalahkan di tahun 169 H.
(atau 786 M).
supaya mereka bersiap-siap dan mengamat-amatinya dengan keras di daerah mereka.
Akan tetapi mereka tidak dapat menangkapinya, dan ia lolos dengan aman ke al-
Maghrib. Ia pun memperkuat kedudukannya di sana, dan propagandanya (Ar. da'wah)
pun berhasil pula. Di kemudian hari ar-Rasyid dapat mengetahui bahwa Wadlih,
mawla gubernur al-'Abbasiyah di Iskandariyah telah cenderung kepada pihak
pengikut-pengikut al-'Alawiyah.
58
) dan bahwa ia telah bersikap menipu dalam soal
pelarian Idris ke al-Maghrib. Maka ar-Rasyid telah membunuh Wadlih itu.
Sesudah itu asy-Syammakh, seorang mawla dari ayah ar-Rasyid, mengemukakan
kepada ar-Rasyid satu muslihat untuk membunuh Idris itu. Asy-Syammakh pura-pura
menjadi pengikut dari ldris dan pura-pura sudah pecah dengan mawla-mawlanya dari
al-'Abbasiyah. Maka Idrispun mengambilnya di bawah perlindungannya dan
membolehkan ia bergaul dengannya dalam kehidupan pribadinya sehari-hari.
Pada suatu kali, ketika Idris sedang sendirian, asy-Syammakh memberikan racun
kepadanya dan dengan demikian membunuhnya sekali. Berita kematiannya itu telah
diterima oleh banu al-'Abbas dengan gembira sekali, karena mereka mengharapkan
dengan kejadian itu akan tercabutlah akar dan tumpullah mata propaganda kaum al-
'Alawiyah (Ar. ad-da'wah al-Alawiyah) di al-Maghrib. Berita tentang anak yang
belum lahir yang ditinggalkan oleh kematian Idris belum lagi sampai pada mereka.
Jadi hanya singkat saja waktunya sampai propaganda kaum al-'Alawiyah itu muncul
pula kembali.
Kaum Syi'ah itu maju pesat di al-Maghrib, dan pemerintah Syi'ah di sana pun
diperbaharui lagi dengan adanya Idris ibn Idris. Ini sesungguhnya adalah satu pukulan
yang hebat sekali bagi kerajaan al-Abbasiyah. Kebetulan dewasa itu kelemahan dan
kejemuan telah pula meliputi kerajaan Arab itu. Kerajaan al-Abbasiyah tidak kuasa
lagi untuk berusaha mengawasi daerah-daerahnya yang jauh terpencil itu. Karena ldris
tua itu memerintah begitu jauhnya di al-Maghrib di bawah lindungan suku bangsa
Barbar, maka kekuasaan ar-Rasyid di sana itu hanya sekedar cukup saja, dan tidak
lebih, untuk meracuninya dengan bantuan satu muslihat. Karenanya kaum al-
'Abbasiyah itu kini lari pada wali-wali mereka di Afrika (Utara), yaitu kaum banu
Aghlab. Mereka meminta pada kaum Aghlabiyah itu supaya memulihkan kembali
keretakan yang penuh bahaya yang telah dibuat golongan al-Idrisiyah itu, mengambil
langkah-langkah terhadap malapetaka yang lagi mengancam kejatuhan negara dari
jurusan sana, dan sekaligus memusnahkan kaum al-Idrisiyah itu sebelum mereka
dapat meluas.
Al-Ma'mun dan khalifah-khalifah sesudahnya semuanya menulis kepada kaum
Aghlabiyah itu. supaya berbuat demikian. Akan tetapi kaum Aghlabiyah juga telah
terlalu lemah untuk dapat menguasai (suku) bangsa Barbar di al-Maghrib itu, dan
malah mereka lebih mungkin mencoba menghantam raja-raja mereka sendiri,
sebagaimana kaum Idrisiyah telah menghantam mereka, karena kekuasaan khilafah
kini telah digagahi oleh budak-budak bangsa asing,
59
), yang sudah mengambil-alih
untuk tujuan-tujuan mereka sendiri seluruh pengawasan dan kekuasaan khilafah atas
manusia, pajak-pajak dan para pegawainya.
Keadaan tak ubahnya seperti ditamsilkan oleh seorang penyair 'Abbasiyah sendiri
dewasa itu :
Seorang khalifah di dalam sangkar
60
)
58
Yakni kaum Syi'ah, pengikut sayidina 'Ali as.
59
Ar. mamalik al-'ajam, ialah hamba-hamba sahaya yang bukan orang Arab yang kemudian merebut kekuasaan
dan terkenal dengan sebutan Mameluk atau Mamalik.
60
Sindiran terhadap khalifah al-Musta'in, salah seorang dari pada khalifah 'Abbasiyah yang sangat dipengaruhi
dan kuasai oleh dua jenderal Turki yang bernama Washif dan Bugha.
Antara Washif dan Bugha
Berkata apa saja disuruh mereka,
Seperti burung nuri tak ubahnya.
Amir-amir kaum Aghlabiyah karena itu ketakutanlah terhadap kemungkinan
adanya persekongkolan-persekongkolan dan mereka pun mencari helah yang
bermacam-macam ragamnya. Kadang-kadang mereka menghina al-Maghrib beserta
rakyatnya.
Di lain kali, mereka berusaha menimbulkan rasa takut terhadap kekuasaan Idris
dan keturunannya yang telah menggantikannya di sana. Mereka menulis kepada al-
'Abbasiyah bahwa ia telah melintasi batas-batas daerahnya. Dalam hadiah-hadiah,
pemberian-pemberian dan pembayaran-pembayaran pajak, mereka masukkan mata
uang-mata uang dari Idris untuk menunjukkan betapa pengaruhnya itu telah
berkembang dan untuk menakut-nakuti terhadap kekuasaannya yang lagi bertambah-
tambah besarnya, untuk menghambat-hambatkan bahaya yang mungkin terjadi jika ia
itu diserang dan dipukul sebagaimana diharapkan mereka melakukannya, dan untuk
mendesak satu perubahan da'wah jika mereka dipaksakan juga untuk melakukan
pekerjaan tersebut. Di lain waktu pula, mereka menyerang keturunan Idris itu dengan
dusta-bohong seperti tersebut di atas, yaitu untuk mencelakakannya. Mereka tidak
peduli apakah tuduhan itu benar atau tidak, karena Baghdad letaknya adalah jauh
sekali dari mereka, dan anak-anak al-'Abbasiyah beserta budak-budak 'ajam mereka
adalah begitu lemah dalam akal mereka, sehingga mereka menerima saja omongan
setiap orang dan mendengar saja teriakan setiap manusia. Mereka terus dalam
keadaan sedemikian itu sampai kesudahannya pemerintahan Aghlabiyah itu berakhir.
Maka tuduhan kotor tentang keturunan Idris itu menjadilah terkenal di kalangan
orang ramai. Beberapa tukang fitnah mendengarnya dengan penuh perhatian dan
memakainya untuk mencelakakannya kaum Idrisiyah itu setiap kali persaingan-
persaingan muncul. Kenapakah orang-orang yang meninggalkan Tuhan ini tersesat
dari maksud-maksud Syari'at, yang tiada mengenal perbedaan antara kenyataan yang
tegas dengan hanya sangka-sangkaan
61
) semata-semata ?
Idris adalah dilahirkan di tempat tidur ayahnya, dan "sang anak adalah masuk
bilangan tempat tidur."
62
)
Dan kaidah ahli Iman ialah, bahwa keturunan-keturunan Nabi itu jauh adanya dari
perbuatan-perbuatan seperti itu. Allah subhanahu wa ta'ala menjauhkan setiap
kebejatan dari mereka dan menyucikan mereka itu. Maka tempat tidur Idris itu adalah
suci dari segala kekotoran dan dari segala kebejatan menurut ketentuan al Qur-an.
63
)
Dan barang siapa percaya pada yang sebaliknya itu, maka mengakulah ia
kesalahannya dan mengundanglah ia kekufuran itu.
Saya telah menolak tuduhan terhadap Idris dengan panjang lebar di sini dengan
maksud hendak menutup pintu-pintu kesangsian itu dan membasmi orang-orang yang
pendengki. Saya telah mendengar cerita itu dengan telinga sendiri dari seorang yang
bermusuhan dengan kaum Idrisiyah dan telah menyerang silsilah keturunan mereka
itu dengan pembikinan berita bohong tersebut. Sambil menipu diri sendiri, ia telah
meneruskan cerita itu dengan menggunakan kebesaran nama-nama para ahli sejarah
Maghrib yang tertentu, yang telah membelakangi keturunan-keturunan keluarga Nabi
dan goncang iman mereka terhadap nenek-moyang mereka itu. Akan tetapi keadaan
al-Idrisiyah adalah di atas segala itu dan maksum dari noda semacam tersebut tadi.
61
Ar. baina al-maqthu' wa al-mazhnun.
62
Ar. al-waladu li al-firasy.
63
Bacalah Al Qur-an XXXIII: 33.
Sebaiknya janganlah diberi peluang bagi pembentangan suatu tuduhan yang
seperti itu, karena menolak 'aib di mana 'aib itu sebenarnya sudah tidak mungkin ada,
adalah satu keaiban pula. Akan tetapi namun demikian, saya akan tetap membela
mereka di dunia ini, dan saya harap kelak begitulah mereka akan membela saya di
Hari Qiamat.
Haruslah diketahui bahwa kebanyakan dari mereka yang menyerang keturunan
'Alawiyah dari Idris itu adalah orang-orang yang mereka sendiri menghendaki diri
mereka itu sebagai keturunan dari Nabi ataupun berlaku seolah-olah mereka itu ada
pertaliannya dengan keturunan Nabi, dan mereka ini iri akan keturunan Idris.
Tuntutan menjadi keturunan Nabi itu telah merupakan kunci bagi pangkat
kebangsawanan (ke"syarif"an) di antara bangsa-bangsa dan suku bangsa segala
daerah.
Maka sekarang, baik di tanah air mereka di Fez, maupun di daerah-daerah lain di
al-Maghrib, keturunan kaum Idrisiyah itu begitu terkenal dan terangnya sehingga
hampir tiada seorang pun sanggup memperlihatkan ataupun berharap dapat
memperlihatkan satu silsilah keturunan yang lebih lengkap dari itu. Silsilah itu adalah
hasil penyampaian yang terus-menerus dari bangsa-bangsa dan generasi-generasi
yang baru saja berlalu atas penyampaian resmi dari mereka-mereka sebelumnya.
Kaum ldrisiyah itu memasukkan usrah perumahan nenek moyang mereka Idris,
pendiri dan pembina kota Fez itu, ke dalam usrah perumahan mereka. Masjidnya
adalah berdekatan dengan tempat tinggal mereka beserta darb-darbnya.
64
) Pedangnya
digantungkan terhunus di atas menara adzan utama dari kediaman mereka. Ada pula
atsar-atsar
65
),lain darinya yang menjadi saksi dari zaman ke zaman tanpa terputus-
putus tradisinya, sehingga tradisi tentang mereka itu adalah hampir sama dengan
nilainya penglihatan mata sendiri, sehingga sungguh dapat dipercaya kebenarannya.
Para keturunan Nabi lainnya bolehlah memperhatikan tanda-tanda ini yang Allah
telah kurniakan bagi kaum ldrisiyah itu naik meninggi oleh tingginya kekuasaan
diraja yang diperlihatkan nenek-moyang mereka di al-Maghrib. Mereka akan melihat,
bahwa mereka sendiri tiada memiliki hal yang seperti itu dan bahwa mereka tidak
seukuran walau setengah sekalipun dengan al-Idrisiyah itu. Mereka juga akan melihat,
bahwa mereka yang mendakwakan diri mereka itu keturunan Nabi akan tetapi tidak
mempunyai tanda-tanda yang diperlukan untuk memperkuat tuntutan itu sebagaimana
ada terdapat pada kaum al Idrisiyah, setinggi-tingginya baiklah bergembira yang
kedudukan mereka itu telah dibiarkan orang seolah-olah benar adanya. Manusia itu
haruslah dapat diyakinkan mengenai keturunan yang mereka tuntut itu, akan tetapi
perbedaan ada antara apa yang diketahui, dengan apa yang disangka-sangka saja,
antara apa yang yakin dengan apa yang hanya dibiarkan saja sebagai kebenaran yang
mungkin.
Jika mereka ketahui kenyataan-kenyataan ini mereka tentu akan sesak napas
disebabkan terpaksa menelan kembali ludahnya sendiri karena cemburu itu. Hasad
dengki yang timbul pada diri mereka masing-masing menyebabkan banyak di antara
mereka yang mengharapkan agar mereka dapat menjatuhkan kaum Idrisiyah itu dari
kedudukan mereka yang mulia itu kekedudukan orang-orang biasa. Karena itulah
mereka lari kepada dendam dan akal-akal jahat dan membuat tuduhan-tuduhan palsu
yang bukan-bukan seperti yang menjadi pokok perbincangan kita di atas. Mereka
membenarkan diri mereka sendiri dengan pendirian, bahwa segala keragu-raguan itu
kemungkinannya adalah sama. Sebaiknya mereka harus buktikan segala itu!
64
Gang-gang atau jalan-jalan.
65
Barang-barang kuno atau relief.
Kita tiada mengenal turunan-turunan Nabi yang garis silsilahnya itu begitu terang
dan begitu jelas seperti nasabnya keturunan-keturunan Idris dari keluarga al-Hasan.
Kaum Idrisiyah yang paling terkenal di zaman ini
66
) ialah Banu 'Imran di Fez.
Mereka itu adalah keturunan Yahya al-Juthi ibn Muhammad ibn Yahya al-'Addam ibn
al-Qasim ibn Idris ibn Idris. Mereka adalah naqib-naqib dari ahlil bait 'Alawiyah
(keturunan sayidina 'Ali a.s.) di sana. Mereka sekarang ini tinggal di rumah nenek-
moyang mereka Idris. Mereka memegang pimpinan atas seluruh al-Maghrib itu. Insya
Allah, dalam hubungan dengan al Idrisiyah itu kita tentu nanti akan menyebut-nyebut
juga nama mereka. Mereka adalah keturunan-keturunan dari 'Imran ibn Muhammad
ibn al-Hasan ibn Yahya ibn 'Abdallah ibn Muhammad ibn 'Ali ibn Muhammad ibn
Yahya ibn Ibrahim ibn Yahya al-Juthi. Kepala bait mereka sekarang ini ialah
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn 'Imran.
Silsilah Keturunan Al-Muwahhidin
Pada pernyataan-pernyataan jahat dan kepercayaan-kepercayaan salah seperti
tersebut di atas ini orang dapat menambahkan pula tuduhan-tuduhan yang
dilemparkan oleh kalangan para ahli fikih
67
) al-Maghribi ke atas pundaknya imam al-
Mahdi, kepala dari daulah al-Muwahhidin
68
) dituduh penipu dan tiada jujur ketika ia
bersitegang terus atas pendiriannya tentang Tauhid yang sebenar-benarnya dan ketika
ia mengeluh terhadap kaum ahl-al-baghyi
69
) di zaman sebelumnya. Semua
pendakwaannya dalam hubungan itu dianggap sebagai bohong, malah sampai-sampai
keturunannya dari ahli bait Nabi, yang sudah diterima dan dipercaya oleh para
pengikutnya al-Muwahhidin itu, pun juga dianggap demikian.
Sebenarnya jauh dalam lubuk hati mereka, iri-hati terhadap kemajuan al-Mahdilah
yang telah membikin para ahli fikih itu, kemudian bertindak mengatakannya sebagai
penipu. Sambil menipu diri sendiri mereka mengira, bahwa mereka dapat menandingi
al-Mahdi itu dalam ilmu pengetahuan, fatwa-fatwa dan agama. Nyatanya ia lebih
tinggi dari mereka itu. Pendapat-pendapatnya selalu diterima orang, apa yang
dikatakannya dituruti, dan ia pun mempunyai banyak para pengikut. Mereka iri hati
terhadap kemajuannya ini dan mencoba mengurangi pengaruhnya itu dengan
menyerang pendirian-pendiriannya, dan mengabar-ngabarkan seolah-olah segala
da'wahnya itu adalah palsu.
Pun pula mereka telah terbiasa menerima dari raja-raja Lamtunah (dari dinasti al-
Murabithun), yaitu musuhnya al Mahdi, penghargaan dan penghormatan yang telah
tiada pernah mereka terima dari siapa pun lainnya, sebabnya karena kesederhanaan
dalam agama dari kaum al-Murabithun itu. Di bawah daulah Lamtunah itu ahli-ahli
ilmu pengetahuan menduduki tempat-tempat kehormatan dan diangkat menjadi para
anggota Majelis Syura, masing-masing menurut pengaruhnya pada rakyat di desanya
sendiri. Para ahli ilmu itu karenanya menjadilah Syi'ah
70
) dari al-Murabithun dan
musuh-musuh dari musuh-musuh mereka. Maka itu mereka mencoba membalas
dendam pada al-Mahdi itu karena oposisinya terhadap mereka, dan karena
kecamannya terhadap mereka. Ini adalah akibat dari pengikutan mereka pada
Lamtunah dan ta'assub
71
) mereka yang menguntungkan daulah Lamtunah itu.
66
Yakni zamannya Ibnu Khaldun, O.R.
67
Yuris-yuris Islam, O.R.
68
Ing. Almohad dynasti, OR.
69
Kaum tidak adil, O.R.
70
Pengikut atau partisan.
71
Fanatisme.
Keadaan al-Mahdi adalah berbeda dengan keadaan mereka. Ia tidak sependirian
dengan i'tikad-i'tikad mereka itu. Apalagikah yang dapat diharapkan dari seorang
yang telah pernah mengecam setiap dinasti (daulah) yang berkuasa itu dan yang
dalam tindakan-tindakannya telah ditentang oleh para ahli fikih dari daulah tersebut?
Ia sendiri telah menyeru kaumnya supaya berjihad terhadap mereka itu. Maka ia telah
menghancurkan daulah itu sampai ke akar-akarnya dan menjungkir-balikkannya
sekali, walaupun daulah itu kokoh kekuatannya, besar kekuasaannya
72
) dan kuat
tenaga sekutunya dan tentaranya. Pengikut-pengikutnya yang tewas dalam
pertempuran itu tak terkira banyaknya. Mereka telah bersumpah setia kepadanya
hingga mati. Mereka telah melindunginya dari maut dengan nyawa mereka sendiri.
Mereka telah bertaqarrub pada Tuhan dengan mengorbankan diri mereka bagi
kemenangan cita-cita (da'wah) al-Mahdi sebagai fanatik-fanatik penegak Kalimat
Allah yang nantinya menang dan menggantikan daulah-daulah di kedua pesisir itu.
73
)
Al-Mahdi sendiri terus tetap sederhana, suka menyendiri, sabar dalam segala
cobaan, dan sedikit sekali mengindahkan soal keduniaan
74
) hingga akhir hayatnya. Ia
meninggal tanpa kekayaan atau benda keduniaan. Malah anak pun ia tidak punya,
sebagaimana setiap manusia menghendakinya, melainkan kerap kali ia tertipu dalam
keinginannya. Saya ingin hendak mengetahui apakah kiranya yang diharapkannya
hendak memperoleh dengan cara hidup yang seperti itu kalaulah bukan hasrat ingin
menatap wajah Allah, karena ia tidaklah memiliki harta-benda keduniaan selama
hidupnya itu. Tambahan lagi, jika maksudnya ia itu tiada baik, tentu ia tidak akan
berhasil, dan da'wahnya tentu tidak akan meluas. "Demikianlah Allah telah
melakukan dahulu-dahulu dengan para hamba-Nya."
75
)
Sesungguhnya penolakan para ahli fikih itu terhadap keturunan al-Mahdi dari
keluarga Nabi tidaklah didasarkan atas sesuatu dalil apapun. Sekiranya benar bahwa
ia sendirilah yang mendakwakan keturunan tersebut, maka dakwanya itu tidaklah
dapat tidak dibenarkan, sebab manusia haruslah dapat dipercaya mengenai keturunan
yang mereka dakwakan bagi diri mereka. Baiklah dikatakan kiranya, bahwa
kepemimpinan (Ar. ar-riyasah) atas sesuatu kaum hanya terletak pada manusia-
manusia sebangsa mereka sendiri. Ini memang benar sebagaimana akan diterangkan
nanti dalam Bab Pertama dari buku ini.
Akan tetapi al-Mahdi itu memegang pimpinan atas seluruh al-Mashmudah.
Mereka bersetuju untuk mengikutinya dan dipimpin olehnya dan golongan
'ashabatnya yang bernama Harghah, sampai akhirnya Allah mengkurniakan
kemenangan penuh bagi da'wahnya itu.
Dalam hubungan ini haruslah diketahui, bahwa kekuasaan al-Mahdi itu tidaklah
bergantung semata-mata pada keturunan al-Fathimiyahnya, dan orang-orang tidaklah
mengikutnya semata-mata atas dasar kenyataan tersebut. Mereka telah mengikutnya
karena adanya rasa golongan pada mereka, yaitu golongan Harghah-Mashmudah,
76
)
dan karena kedudukannya yang sudah berurat berakar dalam rasa golongan itu.
Keturunan Fathimiyah dari al Mahdi itu telah menjadi samar-samar dan pengetahuan
tentangnya telah menghilang di antara kalangan rakyat, walaupun ia tetap tinggal
hidup pada dirinya dan pada keluarganya karena adanya tradisi keluarga itu.
Keturunan asal dari al-Fathimiyah oleh satu dan lain hal telah terkupas dan ia
kemudian memakai kulitnya Harghah-Mashmudah dan dengan demikian muncullah ia
72
Ar. syaukah.
73
Dimaksudkan di sini pesisir Afrika Utara bagian barat dan Spanyol, O.R.
74
Ar. At taqallul min ad-dunya.
75
Al Qur-an XL : 85.
76
Ar. 'ashabiat al-Harghiat al-Mashmudiyah.
sebagai salah seorang dengan kulit mereka. Kenyataan bahwa ia berasal dari
keturunan al-Fathimiyah tidaklah menyukarkan baginya dalam hubungan dengan rasa
golongannya itu karena kenyataan tersebut tidak diketahui oleh anggota-anggota dari
golongan itu. Hal seperti ini acapkalilah terjadi sekali saja keturunan dari asal
seseorang itu menjadi samar-samar.
Dalam hal ini ingatlah pada kisah 'Arfajah dan Jarir mengenai pimpinan atas suku
bangsa Bajilah. 'Arfajah adalah sebenarnya dari suku bangsa Azd, akan tetapi ia telah
memakai kulit suku (bangsa) Bajilah secara begitu baik, sehingga ia di hadapan
sayidina 'Umar ra sanggup bertikai dengan Jarir mengenai kepemimpinan (Ar. ar-
riyasah) itu, seperti juga telah tercatat dalam sejarah. Dari peristiwa ini hendaknya
dapatlah manusia memahami betapa wajah kebenaran itu sebenarnya.
Allah adalah petunjuk kepada apa yang sesungguhnya benar.
Pentingnya Historiographi.
Pembicaraan panjang lebar tentang kesalahan-kesalahan itu telah membawa kita
agak jauh juga dari tujuan kitab ini. Akan tetapi banyaklah sudah orang-orang yang
kompeten dan ahli-ahli sejarah yang cakap yang telah tergelincir dalam hubungan
dengan cerita-cerita dan pendapat-pendapat seperti itu, dan mereka pun seperti
terdampar layaknya dengan pikiran-pikiran mereka itu. Maka banyaklah orang-orang
yang berpikiran lemah dan tiada kritis mendengar tentang itu dari mereka, dan malah
para ahli sejarah sendiri yang cakap-cakap telah menerima segala itu tanpa
penyelidikan yang kritis dan dengan demikian cerita-cerita aneh pun menyusuplah
dalam karangan-karangan mereka.
Maka sebagai akibat dari itu Ilmu Sejarah (Ar. 'ilmu at-tarikh, fan at-tarikh atau
Er. historiographi) menjadilah bersifat tak masuk akal dan membingungkan dan para
pelajarnya pun meraba-raba dibuatnya. Kesudahannya Ilmu Sejarah itu dianggaplah
sebagai satu lapangan dari orang-orang biasa. Padahal sekarang ini seorang ahli dalam
jurusan ini seharusnya mengetahui kaidah-kaidah politik, watak sebenarnya dari
benda-benda, perbedaan-perbedaan di antara bangsa-bangsa dan negeri-negeri,
periode-periode mengenai cara-cara hidup, akhlak, adat-istiadat, sekte-sekte,
madzhab-madzhab dan segala sesuatu lainnya. Seterusnya ia perlu memiliki satu
pengetahuan yang mendalam tentang keadaan-keadaan sekarang dalam segala hal-hal
itu. Ia harus dapat memperbandingkan persamaan-persamaan dan perbedaan-
perbedaan antara keadaan sekarang dengan keadaan-keadaan di masa yang telah lalu
dan lampau. Ia harus mengetahui sebab-sebab dari persamaan-persamaan itu pada
keadaan-keadaan tertentu dan sebab-sebab dari perbedaan-perbedaan itu pada
keadaan-keadaan lainnya. Ia harus insaf tentang asal-usul berbagai-bagai negara dan
golongan agama (Ar. ushul ad-dual wa al-milal) dan permulaan-permulaan dari
pertumbuhannya, sebagaimana juga tentang sebab-sebab dan perangsang-perangsang
yang melahirkannya dan lingkungan-lingkungan serta sejarah dari orang-orang yang
menegakkannya. Kesemuanya itu ialah supaya pengetahuannya lengkap tentang
sebab-musabab dari setiap kejadian, dan diketahuinya tentang asal-usul dari setiap
peristiwa. Kemudian, haruslah ia mengecek penerangan yang disampaikan itu dengan
kaidah-kaidah asasi yang telah diketahuinya itu. Jika ia memenuhi syarat-syarat yang
diperlukan, maka shahihlah (benarlah) penerangan itu. Jika sebaliknya, maka ahli
sejarah itu haruslah menganggapnya sebagai bohong dan menolaknya.
Hanya dan semata-mata karena alasan ini sajalah makanya Ilmu Sejarah itu telah
dipandang tinggi oleh orang-orang purbakala, sedemikian tingginya sehingga at-
Thabari, al-Bukhari, dan sebelum mereka, Ibn Ishaq dan sarjana-sarjana ummat
lainnya, telah memilihnya sebagai bidang ilmu yang akan diselami mereka. Akan
tetapi kebanyakan para sarjana telah melupakan ini, yaitu rahasia sebenarnya dari
Ilmu Sejarah, dan akibatnya ialah ilmu ini menjadilah suatu kejuruan yang jahil.
Orang-orang awam dan sarjana-sarjana yang tiada mempunyai dasar-dasar kuat dari
ilmu pengetahuan, telah menganggap sebagai satu soal remeh mempelajari, dan
mengetahui sejarah itu, menggalinya dan menjelajahnya. Maka bercampurlah hewan-
hewan gembalaan dengan hewan-hewan tersesat, kulit bercampur dengan isi,
kebenaran dengan kebohongan.
"Dan kepada Allah-lah terserah akibat semua urusan itu." (Al Qur-an XXXI : 22).
Kealpaan Para Ahli Sejarah Tentang Perubahan
Satu lobang tempat jatuh yang tak kelihatan dalam ilmu sejarah ialah sifat alpa
terhadap kenyataan, bahwa keadaan-keadaan di kalangan bangsa-bangsa dan suku-
suku bangsa itu turut berubah dengan berubahnya zaman dan berlalunya hari-hari. lni
adalah suatu luka perih yang tersembunyi dalam sekali dan hanya dapat diketahui
sesudah waktu yang lama, sehingga jarang sekali orang menyadarinya selain dari
beberapa gelintir manusia saja.
Soalnya begini. Keadaan dunia dan bangsa-bangsa,
77
) Adat-istiadat dan sekte-
sekte mereka,
78
) tidaklah tetap dalam bentuknya yang sama atau dengan cara yang
tak berubah-rubah. Ia berbeda-beda menurut hari-harinya dan zaman-zamannya, dan
berubah dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Hal seperti ini berlaku bagi
perorangan-perorangan manusia, waktu-waktu dan kota-kota, dan, dengan cara yang
sama, iapun terjadi dalam hubungan dengan daerah-daerah dan distrik-distrik, zaman-
zaman dan daulah-daulah (dinasti-dinasti).
"Demikianlah Allah telah melakukan dahulu-dahulu dengan para hamba-Nya."
(Al Qur-an XL : 85).
Di dunia ini tadinya pernah ada bangsa Persia purba, bangsa Syria, bangsa
Nabataea, bangsa Tubba', bangsa Israil, dan bangsa Kopt. Semua mereka itu masing-
masing mempunyai lembaga-lembaga tertentu dalam rangka susunan kenegaraan dan
kedaerahan mereka, politik sendiri-sendiri, ekonomi sendiri-sendiri, bahasa sendiri-
sendiri, istilah sendiri-sendiri, sebagaimana juga cara sendiri-sendiri dalam kehidupan
kemasyarakatan dan kebudayaan mereka. Peninggalan-peninggalan kuno mereka
menjadi saksi bagi segala itu. Mereka itu kemudian digantikan oleh bangsa Persia
baru, bangsa Romawi,
79
) dan bangsa Arab. Lembaga-lembaga lama berubahlah dan
adat-istadat semula pun bertukarlah bentuknya, atau menjadi sesuatu yang mirip benar
dengan bentuk semula, ataupun menjadi sesuatu yang berlainan dan berbeda sama
sekali seluruhnya. Kemudian datanglah Islam dengan daulah
80
) Mudlar. Maka
berubahlah lagi semua lembaga-lembaga yang ada, dan pada umumnya bentuk-bentuk
yang telah diambil itu masih dikenal sekarang ini sebagai akibat dari kelanjutan
generasi dari generasi sebelumnya.
Kemudian hari-hari dari dinasti Arab itupun berakhirlah. Generasi-generasi
terdahulu yang telah memperteguh kekuasaan Arab dan membangun kerajaan-
kerajaan mereka lenyaplah pula. Kekuasaan jatuh pada tangan orang lain, pada orang-
orang yang bukan Arab, seperti orang-orang Turki di timur, orang-orang Barbar di
barat, dan orang-orang Franka
81
) di utara. Maka dengan lenyapnya mereka itu,
seluruh bangsa-bangsa itu pun lenyap, dan lembaga-lembaga dan adat-istiadat pun
77
Ar. ahwal al-'alam wa al-umam.
78
Ar. 'awa-iduhum wa nihaluhum.
79
Yakni Romawi-Timur yang juga disebut Byzantium. OR
80
Dinasti.
81
Yakni orang-orang Kristen Perancis.
mengalami perubahan. Kemegahan mereka dilupakan orang, dan kekuasaan mereka
pun tak diindahkan orang lagi.
Sebab utama yang dapat diterima secara luas dari perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga dan adat-istiadat itu ialah kenyataan, bahwa adat-istiadat dari setiap
(suku) bangsa itu adalah bergantung pada adat-istiadat dari rajanya. Yakni sama
seperti bunyi kata berhikmat : "An-Nasu 'ala din al-malik wa ahli al-malik" (artinya :
"Rakyat umum itu hanya meniru saja apa agama raja dan keluarga rajanya.")
Jika orang-orang yang bernafsu politik mengalahkan sesuatu daulah dan merebut
kekuasaan, maka mau tak mau mereka harus berlindung pada adat-istiadat dari yang
digantikannya dan menerima bagian terbesar darinya. Dalam pada itu mereka tidak
mengabaikan adat-istiadat dari (suku) bangsa mereka sendiri. Ini mengakibatkan
timbulnya beberapa pertentangan-pertentangan (Ar. al-mukhalafah) antara adat-
istiadat dari daulah yang baru dengan adat-istiadat dari (suku) bangsa yang lama.
Kekuasaan baru itu, pada gilirannya, digantikan pula oleh daulah yang lain lagi
dan adat-istiadat itu pun teraduklah lebih lanjut dengan adat-istiadat dari daulah yang
baru itu. Maka bertambah-tambahlah pertentangan-pertentangan yang terjadi, dan
adalah pertentangan antara daulah yang baru itu dengan daulah yang pertama lebih
hebat dari pertentangan antara daulah yang kedua dengan yang pertama.
Pertentangan-pertentangan itu tiada henti-hentinya berjalan terus taraf demi taraf,
sehingga sebagai hasilnya tercapailah satu susunan adat-istiadat dan lembaga-lembaga
yang dalam keseluruhannya menyolok sekali (Ar. Al mubayinah bi al jumlah). Selama
bangsa-bangsa dan suku bangsa-suku bangsa itu tiada henti-hentinya silih bertukar
menggantikan kekuasaan diraja dan pemerintah, maka pertentangan-pertentangan
mengenai adat-istiadat dan lembaga-lembaga itu pun tiadalah henti-hentinya akan
terjadi.
Manusia sudah terkenal tabiatnya suka membuat kiasan dan perbandingan.
82
) Dua
ini tidaklah aman dari kesalahan. Bersama-sama dengan sifat pelupa dan lalai, mereka
mengontal-ngantil manusia dari maksudnya dan memisahkannya dari tujuannya.
Maka acapkalilah terjadi seorang yang telah mendengar cukup banyak tentang sejarah
yang lalu itu tetap juga tinggal tiada sadar tentang perubahan-perubahan yang telah
dialami oleh keadaan-keadaan. Tanpa ragu-ragu sedikitpun ia mempergunakan
pengetahuannya tentang dinihari itu untuk menerangkan sejarah dan mengukur
penerangan sejarah itu dengan apa yang telah dipersaksikannya dengan mata
kepalanya sendiri, walaupun perbedaan antara keduanya itu benar adanya. Sebagai
akibat dari itu, terjerumuslah ia itu ke dalam jurang kesalahan.
Kesalahan Mengenai Al-Hajjaj Dan Persoalan Mengajar
Ini dapat digambarkan dengan apa yang telah disampaikan para hali sejarah
mengenai hal-ihwal dari Al-Hajjaj.
83
) Mereka mengatakan bahwa ayahnya adalah
seorang guru sekolah. Pada masa sekarang, mengajar
84
) itu adalah satu kepandaian
yang berguna buat mencari nafkah hidup. Ia jauh dari kebanggaan rasa golongan.
Guru-guru itu lemah, miskin, dan tak berakar.
Banyaklah orang-orang yang lemah di bidang kejuruan dan kerja tangan dan
hendak mencari nafkah hidup mereka, telah berjuang untuk kedudukan-kedudukan
yang sebenarnya bukan lapangan mereka, akan tetapi yang terletak dalam batas-batas
kemungkinan yang dapat dicapai oleh mereka. Maka mereka tersesatlah oleh nafsu
tamak mereka itu. Acapkali tali terlepas dari tangan mereka dan terlemparlah mereka
82
Ar. al-qiyas wa al-muhakah.
83
Dimaksudkan di sini Al-Hajjaj ibn Yusuf, gubernur yang megah dari Iraq, 660-714 M.
84
Ar. at-ta'lim.
ke dalam jurang kehancuran. Mereka tidak menginsafi, bahwa apa yang mereka
inginkan itu adalah tidak mungkin buat orang-orang seperti mereka. Mereka tidak
menginsafi, bahwa mereka adalah orang-orang kejuruan dan pekerja tangan yang
mencari nafkah hidup.
Pun mereka juga tidak mengetahui, bahwa pada masa permulaan dari Islam dan di
zaman daulah-daulah Umayyah dan 'Abbasiyah, mengajar itu bukanlah seperti
sekarang. Kepandaian ilmu waktu itu adalah penyampaian pernyataan-pernyataan
yang telah didengar orang sudah dibuat oleh Nabi sebagai pembentuk Syari'at Islam.
Ia adalah pengajaran tentang soal-soal agama bagi orang-orang yang belum
mengetahuinya dengan perantaraan tabligh. Orang-orang dari keturunan bangsawan
dan orang-orang yang merasa segolongan dengan daulah yang berkuasa, yaitu
mereka-mereka yang melaksanakan ajaran-ajaran Islam, merekalah orang-orang yang
telah mengajarkan Kitab Allah dan Sunnah Nabi saw itu, dan mereka telah melakukan
segala itu sebagai tabligh yang bersifat menyampaikan, bukan sebagai ta'lim
(pengajaran) yang bersifat jabatan.
Al Qur-an adalah Kitab mereka, diturunkan kepada Rasul dari kalangan mereka.
Kitab itu adalah pedoman mereka, dan Islam adalah agama mereka. Untuknya mereka
telah berjuang dan untuknya mereka telah rela mati. Mereka telah berbeda dari
bangsa-bangsa lain karenanya dan mereka telah terhormat karenanya. Maka mereka
inginlah hendak menyampaikan segala ajaran-ajaran Islam itu dan memahamkannya
kepada seluruh ummat manusia. Mereka tak dapat ditakut-takuti dalam hal ini oleh
celaan-celaan yang datang karena kebanggaan manusia, pun tidak pula dapat
dihambat oleh kecaman-kecaman yang timbul karena ketinggian hati manusia. Ini
dapat dibuktikan oleh kenyataan bahwa Nabi saw telah mengirim sahabat-sabahat
beliau yang terpenting sebagai utusan-utusan kepada bangsa Arab untuk mengajar
mereka norma-norma Islam
85
) dan syari'at-syari'atnya. Beliau telah mengirim sebagai
utusan para sahabat beliau nan sepuluh
86
) dan lain-lain lagi sesudah mereka itu.
Sesudah itu Islam pun berdiri dengan teguhnya dan berakar dengan sangat
kuatnya. Bangsa-bangsa yang jauh-jauh sekalipun menerima dan memeluk Islam dari
tangan kaum Muslimin sendiri. Dengan berlalunya masa, maka keadaan Islam itu pun
berubahlah. Banyak hukum-hukum Syari'at itu diistinbatkan dari nash-nash yang ada
sebagai akibat dari perkembangan-perkembangan yang berturut-turut dan tiada henti-
hentinya. Akhirnya orang pun berhajat pada suatu kanun yang dapat memelihara
pertumbuhan itu supaya aman dari kesalahan-kesalahan. Maka menjadilah kepandaian
ilmu itu satu kebiasaan yang untuk memilikinya perlu kepada studi.
87
) Dan dengan
demikian keahlian ilmu itu tumbuhlah kejurusan menjadi satu kejuruan dan jabatan.
Ini nanti akan kita perbincangkan juga pada pasal tentang Ilmu dan Pendidikan.
Maka orang-orang yang menguasai rasa golongan itu
88
) kini sibuklah dengan
pelaksanaan urusan-urusan raja dan pemerintahan negara. Perkembangan kepandaian
ilmu dipercayakan kepada orang-orang lain. Secara demikian kepandaian ilmu itu
menjadilah jabatan yang berguna untuk mencari nafkah hidup. Orang-orang yang
hidup mewah dan memegang kuasa pada pemerintahan negara merasa diri sudah
terlalu megah untuk turut serta dalam pengajaran apapun. Maka mengajar itu
menjadilah satu jabatan yang terbatas pada orang-orang yang rendah. Dan sebagai
85
Ar. hudud al-Islam.
86
Dalam istilah Arab terkenal dengan sebutan 'asyarah al-mubasysyarah, yakni sepuluh orang Islam yang
terdahulu sekali yang sudah pasti masuk sorga. Mereka itu ialah : Abubakar, 'Umar, 'Usman, 'Ali, Thalhah, Az-
Zubair, 'Abdurrahman ibn 'Auf, Saad ibn Abi Waqqash, Sa'id ibn Zaid dan Abu 'Ubaidah ibn al-Jarrah.
87
Ar. at-ta'allum.
88
Ar. ahl al-'ashabiyah.
akibat darinya, guru-guru itu dipandang sebagai hina oleh orang-orang yang
menguasai rasa golongan dan pemerintahan negara.
Maka mengenai Al-Hajjaj ibn Yusuf itu, ayahnya adalah salah seorang dari para
kepala dan bangsawan Tsaqif, yang cukup terkenal sudah karena kedudukan mereka
dalam rasa kegolongan Arab
89
) dan karena persaingan mereka dengan kaum
bangsawan Quraisy. Al-Hajjaj itu memang benar turut mengajar Al Qur-an, akan
tetapi mengajar Al Qur-an di zamannya itu tidaklah sama seperti mengajar Al Qur-an
sekarang ini, yaitu sebagai satu jabatan yang berguna untuk mencari nafkah hidup.
Mengajar sebagai dilakukannya itu adalah mengajar dalam bentuk sebagaimana telah
dipraktekkan di zaman permulaan dari Islam, seperti juga telah kita sebutkan di atas
tadi.
Kesalahan Mengenai Para HakimUmayyah Di Spanyol
Satu gambaran lain dari kesalahan yang sejenis itu ialah kesimpulan yang tak ada
dasarnya yang telah diambil oleh pembaca-pembaca yang kritis dari buku-buku
sejarah. Mereka rupanya mendengar darinya tentang kedudukan hakim-hakim
90
) di
masa yang lampau itu, dan tentang pimpinan mereka dalam peperangan-peperangan
dan betapa dahulu itu mereka telah memberikan perintah-perintah kepada tentara-
tentara. Maka secara sesat mereka pun menginginkan pula kedudukan-kedudukan
yang seperti itu. Mereka mengira bahwa jabatan hakim sekarang ini sama pentingnya
dengan martabat hakim di zaman dulu.
Ketika mereka mendengar bahwa ayah dari Ibn Abi 'Amir,
91
) yang berkuasa
penuh atas Hisyam, dan ayah dari Ibn 'Abbad,
92
) yakni salah seorang dari muluk ath-
thawaif di Sevilla,
93
) adalah hakim-hakim, mereka mengira bahwa mereka itu adalah
seperti hakim-hakim sekarang ini. Mereka rupanya tiada sadar bahwa perubahan-
perubahan telah menimpa adat-istiadat dari jabatan hakim itu, dan tentang ini nanti
akan kita perbincangkan juga dalam pasal tentang Jabatan Hakim dalam jilid pertama.
Ibn Abi 'Amir dan Ibn 'Abbad adalah dari golongan kabilah-kabilah Arab yang
menyokong daulah Umayyah di Spanyol dan mewakili rasa golongan dari kaum
Umayyah itu, dan betapa pentingnya posisi mereka itu sudahlah cukup diketahui
orang. Kepemimpinan
94
) dan kekuasaan kerajaan
95
) yang dipegang mereka itu
bukanlah terbit dari pangkat hakim sebagaimana yang dikenal sekarang ini. Tidak.
Dalam organisasi tata negara zaman dahulu itu, jabatan hakim itu diberikan oleh
daulah dan para mawlanya kepada orang-orang yang turut menyertai rasa golongan
dari daulah yang bersangkutan itu, sebagaimana juga halnya di abad kita sekarang ini
dengan al-wizarah di al-Maghrib. Lihat sajalah pada kenyataan, bahwa di zaman
dahulu itu para hakim itu turut serta dengan tentara dalam pertempuran-pertempuran
di musim panas dan bahwa mereka ditugaskan dalam persoalan-persoalan yang
penting-penting sekali, seperti yang hanya dapat dipercayakan pada orang-orang yang
rasa golongan mereka benar-benar telah mendalam. Hanya orang-orang seperti inilah
yang diperlukan untuk pelaksanaan segala itu.
Dengan mendengar hal-hal seperti itu sebagian orang mudah tertipu dan
memperoleh pengertian yang salah tentang keadaan-keadaan itu. Sekarang ini
89
Ar. 'ashabiyah al-'Arab.
90
Ar, ahwal al-qudlah.
91
Dapat dicatat di sini, bahwa al-Manshur ibn Abi 'Amir meninggal di tahun 392 H. atau 1002 M.
92
Dinasti 'Abbadiyah itu berkuasa di Sevilla selama abad ke sebelas. O.R.
93
Ar. Isybiliyah
94
Ar. ar-riyasah.
95
Ar. al-mulk.
kebanyakan orang-orang yang terjerumus dalam kesalahan seperti itu adalah orang-
orang Spanyol
96
) yang pendek pikiran. Rasa golongan telah lenyap di negeri mereka
itu sejak bertahun-tahun lamanya, sebagai akibat dari permusuhan orang-orang Arab
beserta daulah mereka di Spanyol dan keluarnya orang-orang Spanyol itu dari
pengawasan 'ashabiyah orang-orang Barbar. Keturunan Arab mereka masih saja
diingat-ingat orang, akan tetapi kesanggupan untuk memperjuangkan kekuasaan lewat
'ashabiyah dan kerjasama itu telah lenyap. Malah menurut kenyataan, orang-orang
Spanyol itu kemudiannya menjadilah rakyat yang passif, tanpa perasaan sama sekali
buat kewajiban bantu-membantu. Mereka telah diperbudak oleh kekerasan dan telah
menjadi senang pada penghinaan, karena menurut perkiraan mereka, keturunan
mereka serta turut-sertanya mereka dalam pemerintahan negara itu, itulah dia sumber
kekuatan dan kekuasaan. Itulah sebabnya maka di antara mereka itu terdapat orang-
orang kejuruan dan keahlian tangan yang berusaha keras hendak mencapai kekuatan
dan kekuasaan itu dan bernafsu sekali hendak memperolehnya.
Sebaliknya, orang-orang yang mempunyai pengalaman tentang hal-ihwal kabilah-
kabilah, rasa golongan dan kerajaan-kerajaan di sepanjang pesisir barat, dan yang
mengetahui bagaimana superioritas itu
97
) dapat tercapai di antara bangsa-bangsa dan
golongan-golongan suku bangsa, jarang sekali berbuat kesalahan-kesalahan ataupun
memberi pengertian-pengertian yang salah dalam hal itu.
Bertahan Pada Bahan-Bahan Tua
Gambaran lain dari kesalahan yang seragam seperti itu ialah prosedur yang
ditempuh para ahli sejarah dalam keinginan mereka hendak menyebut-nyebut
bermacam-macam kerajaan dan jumlah dari raja-rajanya. Mereka menyebut nama dari
setiap raja, keturunannya, ibu dan ayahnya, isteri-isterinya, laqabnya, capnya,
kadlinya, hajibnya dan wazirnya. Dalam hal ini mereka telah mengikuti secara taklid
para ahli sejarah dari kedua daulah Umayyah dan 'Abbasiyah, tanpa menginsafi
maksud-maksud dari para ahli sejarah di zaman tersebut.
Ahli-ahli sejarah di zaman itu menulis buku-buku sejarah mereka ialah buat
anggota-anggota dari kerajaan yang sedang berkuasa, karena anak-anak mereka
berhajat pada pengetahuan tentang riwayat hidup-riwayat hidup dan keadaan-keadaan
dari para nenek-moyang mereka untuk dituruti jejak-jejak langkah mereka dan
mengerjakan sebagaimana mereka telah lakukan, walaupun sampai pada hal yang
sekecil-kecilnya, seperti misalnya penerimaan pelayan-pelayan dari antara orang-
orang yang ditinggalkan oleh kerajaan yang sebelumnya dan pemberian pangkat-
pangkat dan kedudukan-kedudukan bagi keturunan-keturunan para pelayan itu dan
yang menyamainya. Juga hakim-hakim turut mengambil bagian dalam rasa golongan
kerajaan itu, dan menikmati kebesaran yang sama seragai wazir-wazir, seperti baru
saja kita sebutkan di atas. Karena itulah maka para ahli sejarah di zaman tersebut
harus menyebutkan segala itu semuanya.
Akan tetapi di kemudian hari, berbagai-bagai kerajaan baru telah muncul. Masa
pemerintahannya semakin menjadi bertambah-tambah lama. Perhatian sejarah kini
ditujukanlah secara khusus kepada pribadi raja-raja itu sendiri dan pada perhubungan-
perhubungan bersama dari berbagai-bagai kerajaan dalam rangka kekuatan dan
kekuasaannya. Persoalannya sekarang ini ialah bangsa-bangsa manakah yang sanggup
menentang kerajaan yang sedang berkuasa itu dan manakah yang terlalu lemah untuk
berbuat demikian. Karena itu tidaklah ada faedahnya buat pengarang di masa
96
Ar. al-Andalus.
97
Ar. at-taghallub'
sekarang ini untuk mencantumkan nama-nama anak dan isteri-isteri, cukilan cincin
stempel, laqab, kadli, wazir dan hajib dari sesuatu kerajaan kuno, jika ia tiada
mengetahui asal-usul, keturunan, atau keadaan-keadaan dari para anggotanya.
Pengarang-pengarang zaman sekarang ini telah menyebut-nyebut segala itu hanya
karena hendak meniru pengarang-pengarang dahulu itu secara taklid buta. Mereka
tiada mengindahkan maksud-maksud sebenarnya dari pengarang-pengarang dahulu
itu dan lupa pula memperhatikan tujuan yang sesungguhnya dari penulisan sejarah.
Yang dapat dikecualikan dalam hal ini ialah wazir-wazir yang pengaruhnya luar
biasa, yang kebesaran mereka dalam sejarah adalah melebihi kebesaran dari raja-raja.
Wazir-wazir seperti ini memang perlu dicantumkan, misalnya ialah, al-Hajjaj, Banu
al-Muhallah, al-Baramikah, Banu Sahl ibn Nawbacht, Kafur al Ikhsyidi, Ibn Abi
'Amir, dan lain-lainnya. Dalam hal ini tidaklah ada keberatan apa-apa untuk
memperbincangkan peri kehidupan mereka ataupun menunjuk pada keadaan-keadaan
mereka, karena mereka itu semua adalah sama pentingnya dengan raja-raja.
Perubahan-Perubahan Sejak Zaman Al-Mas'udi.
Kini marilah kita cantumkan di sini satu catatan tambahan sebagai penutup dari
pembicaraan kita ini.
Sejarah adalah penyebutan kejadian-kejadian yang istimewa bagi zaman atau
(suku) bangsa tertentu. Perbincangan tentang keadaan-keadaan umum dari daerah-
daerah, bangsa-bangsa dan zaman-zaman itu merupakan dasar bagi ahli sejarah.
Kebanyakan dari persoalan-persoalannya terletak atas dasar ini, dan kejelasan dari
penerangan sejarahnya pun terbit dari sini pula. Ini merupakan pokok pembicaraan
dari karangan-karangan tertentu, seperti misalnya kitab Muruj adz-Dzahab dari al-
Mas'udi. Dalam karangannya itu al-Mas'udi mengulas tentang keadaan-keadaan dari
bangsa-bangsa dan daerah-daerah di Barat dan di Timur di waktu zamannya, yaitu di
tahun tiga ratus tiga puluhan.
98
) Ia telah menyebut di sana sekte-sekte dan adat-
istiadat mereka. Ia lukiskan di dalamnya berbagai-bagai negeri, gunung-gunung,
samudera-samudera, propinsi-propinsi dan kerajaan-kerajaan. Ia telah pula
memperbedakan di sana antara rakyat-rakyat Arab
99
) dengan rakyat-rakyat yang
bukan Arab. Dengan demikian bukunya itu menjadilah kitab petunjuk asasi bagi para
ahli sejarah, sumber mereka yang utama buat menguji penerangan sejarah.
Sesudah al-Mas'udi itu, kemudian datanglah al-Bakri
100
) yang melakukan
pekerjaan yang sama, khusus mengenai jalan-jalan dan propinsi-propinsi, tanpa
menguraikan yang lain-lain lagi, karena di zamannya itu tidaklah banyak terjadi
transformasi-transformasi atau perubahan-perubahan besar di kalangan bangsa-bangsa
dan suku bangsa-suku bangsa. Akan tetapi sekarang ini, yakni pada akhir abad ke
delapan,
101
) suasana di al-Maghrib itu, seperti dapat kita lihat, telah berputar dan
berubah seluruhnya. Orang-orang Barbar, yaitu penduduk asli dari al-Maghrib, telah
digantikan oleh orang-orang Arab yang mengalir deras ke sana sejak abad ke lima
102
)
Jumlah orang-orang Arab itu melebihi jumlah orang-orang Barbar dan dengan mudah
mereka dapat menguasai orang-orang Barbar, melucuti mereka dari sebagian besar
98
Atau 940-an Masehi OR.
99
Ibnu Khaldun memakai perkataan Ar. syu'ub al-Arab OR.
100
Yaitu ahli geographi 'Abdullah ibn Muhammad al-Bakri, hidup 432-487 H. (atau 1040/41-1094 M.). Ia sering
disebut-sebut oleh Ibnu Khaldun. Bukunya yang terkenal, tetapi yang baru sebagian diterbitkan ialah al-Masalik
wa al Mamalik (jalan-jalan dan Propinsi-propinsi). Di Kairo kini sudah diterbitkan ilmu buminya yang bernama
Mu'jam wa Tsa'yam.
101
Atau abad ke empat belas Masehi, OR.
102
Atau abad ke sebelas Masehi. OR.
tanah-tanah mereka, dan malah memperoleh bagian pula lagi dari tanah-tanah yang
masih tinggal di tangan mereka itu.
Demikianlah suasana waktu itu, sampai pada pertengahan abad ke delapan,
103
)
peradaban di Timur dan di Barat itu ditimpa oleh penyakit tha-un yang
menghancurkan, yang merusakkan bangsa-bangsa dan menyebabkan banyak sekali
penduduk-penduduk musnah dan lenyap.
104
) Penyakit itu telah menelan banyak dari
hal-hal yang baik dari peradaban dan yang hapus karenanya. Ia telah menyerbu
kerajaan-kerajaan itu pada saat usia mereka sudah lanjut, ketika mereka sudah tiba
pada batas waktu mereka. Ia telah mengurangi kekuatan mereka dan membatasi
pengaruh mereka. Ia telah memperlemah kekuatan mereka. Keadaan mereka telah
mendekati titik kehancuran dan kemusnahan.
Maka peradaban pun mundurlah dengan mundurnya kemanusiaan itu. Kota-kota
dan gedung-gedung menjadi puing-puing, jalan-jalan raya dan tanda-tanda lalu-lintas
musnah, tempat-tempat tinggal dan rumah-rumah menjadi kosong, daulah-daulah dan
kabilah-kabilah pun menjadilah lemah. Seluruh dunia yang didiami manusia berubah
karenanya. Timur seolah-olah telah ditimpa oleh apa yang telah menimpa Barat,
105
)
walaupun dalam ukuran yang sesuai dan sebanding dengan peradaban Timur sendiri
yang kaya-raya itu. Keadaannya seolah-olah suara eksistensi di dunia ini
106
) telah
menyerukan kehancuran dan pembatasan, dan dunia rupanya telah menjawab
tantangan seruan itu. Maka Allahlah pewaris bumi dan segala apa yang berada di
atasnya!
Ketika kelihatan ada satu perubahan umum pada keadaan keadaan itu, maka
nampak seolah-olah seluruh makhluk itu telah berubah dan seluruh dunia telah
bertukar, seperti satu ciptaan baru yang diulangi layaknya, yah satu alam yang adanya
adalah baru sama sekali! Karena itu adalah satu kebutuhan sekarang ini supaya ada
hendaknya salah seorang manusia yang secara sistematis mencatat situasi dunia di
antara segala daerah-daerah dan bangsa-bangsa, sebagaimana juga adat-istiadat bagi
kepercayaan-kepercayaan sekte yang telah berubah bagi para pengikutnya,
pendeknya, melakukan buat masa sekarang apa yang telah dilakukan al-Mas'udi buat
zamannya. Ia haruslah menjadi model buat para ahli sejarah zaman depan dalam
menuruti jejaknya.
Dalam buku saya ini saya akan perbincangkan sebanyak-banyaknya tentang itu,
sebagaimana dimungkinkan oleh keadaan saya di sini di al-Maghrib. Saya akan
berbuat demikian, baik secara terang-terang tersurat, maupun secara tersirat, tentang
sejarah al-Maghrib, sesuai dengan maksud saya hendak membatasi diri dalam buku
ini pada penulisan al-Maghrib saja dulu, hal-ihwal suku-suku dan bangsa-bangsanya,
dan rakyat-rakyat dan daulah-daulahnya, tanpa menyinggung daerah manapun yang
lain-lain.
107
) Pembatasan ini adalah sangat perlu oleh kekurangan tela'ah saya tentang
keadaan-keadaan di Timur
108
) serta bangsa-bangsanya, dan juga oleh kenyataan,
bahwa berita-berita dari tangan kedua tidaklah akan dapat memberikan fakta-fakta
penting yang amat saya perlukan itu.
103
Atau abad ke empat belas Masehi.
104
Ini terjadi di antara tahun 1347 - 1357 M. di Afrika Utara, di mana di samping peperangan merebut Tunis, juga
berkecamuk penyakit sampar (tha'un) yang bersifat menghancurkan juga. OR.
105
Maksudnya al-Maghrib, yakni Marokko sekarang.
106
Ar. lisan al-kawni fl al-'alam.
107
Menurut kenyataan, Ibnu Khaldun kemudian telah merubah pikirannya itu dan menambah pada babak
permulaan dari bukunya ini Sejarah dari Negeri-negeri Timur. O R
108
Ar. al-Masyriq.
Al Mas'udi telah dapat berbuat demikian disebabkan ia telah banyak menjelajahi
berbagai-bagai negeri, sebagaimana telah tertulis dalam bukunya itu. Namun
demikian pembahasannya tentang keadaan-keadaan di al-Maghrib tidaklah lengkap.
"Dan di atas setiap ahli ilmu, Dialah yang lebih mengetahui." (QS.12 : 76)
Allah adalah gudang terakhir dari segala ilmu. Manusia itu adalah lemah dan tiada
sempurna. Mengaku tentang kekurangan diri adalah satu kewajiban agama yang
spesifik. Dan barang siapa ditolong Allah, maka mudahlah jalan baginya dan
berhasillah usaha-usaha dan tuntutan-tuntutannya. Maka kami memohon pertolongan
Allah dalam mencapai tujuan yang kami cita-citakan dengan buku ini. Semoga Ia sudi
memberi petunjuk dan bantuan, dan sesungguhnya Allah dapatlah dipercaya.
Transliterasi Bunyi Suara Yang Bukan Arab.
Kini tinggallah lagi bagi kita untuk menjelaskan bagaimana cara menuliskannya
nanti bunyi-bunyi suara yang tidak ada pada lidah Arab, bila saja ia terdapat dalam
buku kita ini kelak.
Haruslah diketahui, bahwa huruf-huruf untuk itu, sebagaimana kelak akan
diterangkan, adalah perubahan-perubahan dari bunyi suara yang datang dari pangkal
kerongkongan. Perubahan-perubahan ini berasal dari kenyataan, bahwa bunyi-bunyi
suara itu menjadi terpecah dalam persentuhannya dengan anak-lidah dan tepi-tepi
lidah di kerongkongan, pada waktu menyentuh langit-langit atau gigi, dan begitu pula
jika bertemu dengan kedua bibir. Bunyi suara itu berubah menurut aneka ragam
penyentuhan-penyentuhan yang terjadi. Sebagai akibat darinya, huruf-huruf itupun
berbunyi secara tertentu. Penggabungan dari bunyi-bunyi itu menimbulkan perkataan,
yang menggambarkan apa terdapat dalam pikiran manusia.
Tidak semua bangsa sama dalam pembunyian huruf-huruf itu. Bangsa yang satu
mempunyai huruf-huruf yang tidak dipunyai oleh yang lainnya. Huruf-huruf yang ada
pada bangsa Arab, sebagai diketahui, berjumlah dua puluh delapan semuanya. Orang-
orang 'Ibrani kedapatan mempunyai huruf-huruf yang tak ada pada bahasa kita.
Dalam bahasa kita menurut kenyataan ada pula huruf-huruf yang tak terdapat pada
mereka itu. Demikian juga halnya dengan orang-orang Eropah, Turki, Barbar, dan
orang asing lainnya.
Maka supaya dapat membunyikan hurut-huruf mereka itu, orang-orang Arab yang
ahli tulis-baca telah membuat dan menggunakan istilah-istilah untuk pembunyian
huruf-huruf mereka itu dengan meletakkan huruf-huruf yang ada itu tertulis secara
terpisah-pisah, seperti alif ba, jim, ra, tha, dan demikianlah seterusnya melewati ke
dua puluh delapan huruf-huruf yang ada itu. Jika mereka sampai pada satu huruf yang
tidak terdapat bunyi huruf dalam bahasa mereka, maka tinggallah ia tidak tertulis dan
tidak dibunyikan dengan jelas. Para penulis kadangkala membunyikannya dengan
menggunakan huruf yang paling dekat padanya dalam bahasa kita, sebelumnya atau
sesudahnya. lni bukanlah satu cara yang memuaskan dalam pembunyian huruf, malah
satu penukaran dari bunyi aslinya.
Buku kita ini, mengandung sejarah bangsa Barbar dan beberapa bangsa 'ajam
lainnya. Pada nama-nama mereka dan pada beberapa dari perkataan mereka itu, kita
dapati huruf-huruf (suara-suara) yang tidak ada pada bahasa tertulis kita dan pada
orthographi kita yang biasa. Karenanya kita terpaksa menandai huruf-huruf (suara-
suara) itu dengan tanda-tanda tertentu. Maka seperti telah dikatakan, kami tidaklah
puas dengan penggunaan huruf-huruf yang paling berdekatan dengannya, karena
menurut pendapat kami itu bukanlah suatu penunjukkan yang memuaskan. Karena itu
dalam buku saya ini, saya telah mengistilahkan hendak menulis huruf-huruf (suara-
suara) asing itu dengan dua huruf kita yang paling dekat dengannya, sehingga para
pembaca dapat menyuarakannya agak di tengah-tengah di antara suara-suara yang
dibunyikan oleh kedua huruf itu dan dengan demikian menyuarakannya secara tepat
sekali.
Pikiran saya ini berasal dari cara-cara ahli al Qur-an menulis huruf-huruf yang tak
begitu tajam bunyinya,
109
)seperti misalnya pada perkataan ash-shirath menurut cara
pembacaannya Khalaf.
110
) Di sini pembunyian huruf shad itu adalah antara shad dan
zai. Dalam hal ini mereka menyebut perkataan itu dengan shad dan menulis di
dalamnya bentuk zai. Jadi dengan begitu mereka menunjuk pada penyuaraan yang
agak di tengah-tengah antara kedua bunyi suara itu.
Dan secara demikian pula saya telah menulis setiap huruf (suara) yang
penyuaraannya adalah agak di tengah-tengah di antara dua dari huruf-huruf (suara)
kita itu. Huruf Barbar kaf, misalnya, yang disuarakan agak di tengah-tengah antara
kaf kita yang nyaring dengan jim atau qaf, seperti misalnya dalam perkataan nama
Bulugin
111
) telah saya tuliskan dengan satu kaf dengan tambahan satu titik - yakni
dari jim di bawahnya -, ataupun satu atau dua titik - yakni dari qaf - di atasnya. Ini
menunjukkan bahwa suara itu harus dibunyikan agak di tengah-tengah antara kaf
dengan jim ataupun qaf. Bunyi suara ini paling banyak terdapat pada bahasa Barbar.
Dalam hal-hal yang lain, saya telah menuliskan setiap huruf (suara) yang harus
dibunyikan agak di tengah-tengah antara dua huruf (suara) dari bahasa kita, dengan
penggabungan yang sama dari dua huruf itu. Pembaca dengan demikian akan
mengetahui bahwa itu adalah satu suara pertengahan dan tentu akan mengucapkannya
sesuai dengan itu. Dengan cara begini kita sudahlah memberi petunjuk tentang hal
tersebut itu dengan memuaskan. Andai kata kita tidak menulisnya dengan
menggunakan hanya satu huruf (suara) yang berdekatan dengannya di salah satu
tepinya, tentulah kita akan telah merubah pembunyiannya yang sebenarnya dengan
pembunyian huruf (suara) tertentu dari bahasa kita sendiri, dan kita dengan demikian
sudahlah bertindak merubah cara-cara bicara dari ummat manusia. Ini haruslah
dicamkan benar-benar.
Semoga Allah memberikan kita kemenangan semuanya!
CUPLIKAN DARI MUQADDIMAH
TENTANG
MASYARAKAT DAN NEGARA
1. ASAL-USUL MASYARAKAT
Sesungguhnya organisasi kemasyarakatan (Ar. al-ijtima' al-insani) dari ummat
manusia adalah satu keharusan. Para filosof (Ar. al-hukuma') telah melahirkan
kenyataan ini dengan perkataan mereka : "Manusia itu adalah politis menurut
tabiatnya" (Ar. al-insanu madaniyyun bi ath-thab'i). lni berarti bahwa ia memerlukan
satu organisasi kemasyarakatan yang menurut istilah para filosof dinamakan "kota"
(Ar. al-madinah, atau Lat. polis).
Dan itulah dia peradaban (Ar. al-'umran). Keharusan adanya organisasi
kemasyarakatan manusia atau peradahan itu dapat diterangkan oleh kenyataan, bahwa
Allah subhanahu wa ta'ala telah menciptakan dan menyusun manusia itu menurut satu
bentuk yang hanya dapat tumbuh dan mempertahankan hidupnya dengan bantuan
109
Ar. huruf al asymam.
110
Yaitu Khalaf ibn Hisyam, salah seorang dari tujuh ahli qira'at al-Qur-an yang termasyhur. Ia meninggal di
tahun 229 H. (atau 843/44 M.). Perkataan ash-shirath tersebut itu ialah dari surat Al-Fatihah. O.R.
111
Huruf "g" seperti diketahui tidak ada dalam bahasa Arab. O.R.
makanan. Ia menunjuki manusia itu pada keperluan makan menurut watak dan
memberi padanya kodrat yang menyanggupkannya memperoleh makanan itu.
Akan tetapi kodrat manusia seorang itu tidak mencukupi baginya untuk
memperoleh makanan yang ia perlukan, dan tidak memberi kepadanya makanan
sebanyak yang ia butuhi untuk hidup. Sekalipun kita letakkan makanan yang amat
diperlukan itu pada serendah-rendahnya, yakni makanan sekedar cukup untuk sehari
saja, misalnya sedikit gandum, namun jumlah makanan yang sedikit itu hanya dapat
diperoleh sesudah satu usaha yang banyak juga, seperti misalnya menggiling,
meremas, dan memasak. Masing-masing dari tiga pekerjaan ini berhajat pada
sejumlah alat-alat dan lebih banyak lagi pekerjaan tangan dari yang tersebut barusan.
Adalah di luar tenaga seorang manusia untuk melakukan segala itu, ataupun
sebagiannya, sendirian saja. Jelaslah bahwa ia tak dapat berbuat banyak tanpa
penggabungan beberapa tenaga dari kalangan sesama manusia, jika ia hendak
memperoleh makanan bagi dirinya dan bagi mereka itu. Dengan bergotong-royong
(Ar. at-ta'awun) maka kebutuhan-kebutuhan sejumlah manusia, beberapa kali lebih
banyak dari jumlah mereka, dapatlah dipenuhi.
Demikian pula dengan cara serupa, setiap perorangan itu berhajat pada bantuan
orang lain untuk pertahanan dirinya. Ketika Tuhan mengatur tabi'at-tabi'at pada semua
makhluk bernyawa dan membagi berbagai-bagai kodrat di antara mereka, maka
banyaklah hewan-hewan bisu diberikan tenaga yang lebih sempurna daripada tenaga
manusia. Tenaga seekor kuda misalnya, adalah lebih besar dari tenaga seorang
manusia, dan demikian tenaga seekor keledai atau seekor sapi. Tenaga dari seekor
singa atau seekor gajah adalah berganda-ganda lebih besar dari tenaga manusia.
Dan karena permusuhan
112
) adalah suatu tabi'at pada makhluk hewan, maka
Tuhan memberikan masing-masing mereka itu satu anggota tertentu bagi pertahanan
diri mereka dari serangan-serangan. Kepada manusia, sebagai ganti itu, diberikannya
kesanggupan berpikir dan dua buah tangan. Dengan dibantu oleh pikiran, tangan itu
dapatlah menyediakan dirinya bagi kecakapan-kecakapan tangan. Kecakapan-
kecakapan tangan ini pada gilirannya menghasilkan bagi manusia itu alat-alat yang
berguna baginya sebagai ganti anggota badan yang dimiliki hewan-hewan lainnya
untuk pertahanan diri mereka itu. Lembing-lembing misalnya, adalah sebagai
pengganti tanduk-tanduk guna menebuk dan menembus, pedang-pedang sebagai ganti
kuku atau cakar guna menimbulkan luka-luka, perisai-perisai sebagai ganti kulit-kulit
tebal, dan begitulah seterusnya. Banyak yang lain-lain lagi yang serupa itu seperti
telah disebut-sebut juga oleh GALEN
113
) dalam bukunya Faedah-faedah Anggota
Badan.
Tenaga seorang manusia tidak akan dapat menahan tenaga seekor binatang bisu
yang manapun terutama - tidak tenaga - dari binatang-binatang buas. Manusia pada
umumnya tiada sanggup mempertahankan dirinya dari mereka secara sendirian. Pun
pula tenaganya tiada akan cukup untuk mempergunakan alat-alat pertahanan yang
ada, karena alat-alat semacam itu banyak sekali adanya dan meminta banyak sekali
usaha-usaha tangan dan benda-benda yang diperlukan. Maka tak boleh tidak amatlah
perlu bagi manusia supaya bergotong-royong sesamanya. Selama gotong-royong
seperti itu tidak ada, ia tidaklah akan memperoleh makanan atau santapan apapun, dan
kehidupan tidaklah memenuhi baginya, karena Allah telah menciptakannya begitu
rupa sehingga betapapun ia berhajat pada makanan jika ia hendak hidup.
112
Ar, al-'udwan ialah permusuhan, akan tetapi kiranya tepat juga jika di sini diterjemahkan dengan perkataan
aggressivitas atau suka-serang.
113
Ar. Jalinus, yakni Claudius Galenus, seorang tabib yang amat masyhur di zaman purba sebelum nabi 'Isa, hidup
sebagai ahli anatomi dan fisiologi di Roma, dan meninggal di tahun 200 sebelum Isa.
Pun pula ia tak akan berhasil mempertahankan dirinya karena ketiadaan senjata-
senjata. Maka jatuhlah ia menjadi mangsa bagi binatang-binatang dan matilah ia tidak
pada waktunya. Dalam keadaan-keadaan seperti itu jenis manusia (Ar. naw'ul bashar)
tentulah akan lenyap. Akan tetapi karena adanya gotong-royong, maka manusia pun
memperolehlah makan untuk santapannya dan senjata-senjata untuk pertahanan
dirinya. Dan dengan demikian terpenuhilah hikmat Tuhan agar umat manusia itu
berkelanjutanlah hidupnya dan terpeliharalah jenisnya itu hendaknya.
Maka itu organisasi masyarakat adalah satu kemestian bagi jenis manusia (Ar. al-
ijtima'u dlaruriyyun li an-naw'i al-insani). Tanpa itu wujud umat manusia tidaklah
sempurna. Keinginan Tuhan hendak memakmurkan dunia dengan makhluk manusia
dan menjadikan mereka khalifah-khalifahnya di bumi ini tentulah tidak akan terbukti.
Inilah sebenarnya arti peradaban (Ar. Al-'umran) yang menjadi maudhu' atau dasar
pokok pembicaraan dari ilmu pengetahuan yang sedang kita perbincangkan sekarang
ini.
(Pasal I : Muqaddimah Pertama).
2. ASAL-USUL NEGARA
Pada waktu umat manusia telah mencapai organisasi kemasyarakatan seperti kita
sebutkan itu, dan ketika peradaban dunia dengan demikian telah menjadi satu
kenyataan, maka umat manusia pun memerlukan seseorang yang akan melaksanakan
satu kewibawaan dan memelihara mereka, karena permusuhan dan kedzaliman adalah
pula watak kehewanan pada manusia. Senjata-senjata yang dibuat untuk pertahanan
bangsa manusia dari serangan binatang-binatang bisu tidaklah mencukupi bagi
pertahanan dari serangan-serangan manusia terhadap manusia, karena semua mereka
itu memiliki alat-alat senjata tersebut itu. Jadi amatlah diperlukan sesuatu yang lain
buat pertahanan terhadap serangan-serangan sesama manusia itu. Dan ini tidaklah
mungkin datang dari luar, karena semua hewan-hewan yang lain itu tidaklah memiliki
tanggapan-tanggapan dan ilham-ilham manusia (Ar. madarikihim wa ilhamatihim).
Maka dengan sendirinya orang yang akan melaksanakan kewibawaan itu (Ar. al-
wazi') haruslah salah seorang di antara mereka itu. Ia harus menguasai mereka dan
mempunyai kekuatan dan wibawa atas mereka (Ar. lahu 'alaihim al-ghalbah wa as-
sulthan wa al-yad al-qahirah), sehingga tiada seorang pun di antara mereka itu akan
sanggup menyerang yang lainnya. Dan inilah yang dinamakan kekuasaan autoritas
(Ar. al-mulk
114
).
Jadi nyata dari sini, bahwa kekuasaan wibawa itu adalah satu watak (tabiat)
khusus dari manusia yang secara mutlak perlu sekali bagi umat manusia. Para filosof
malah berpendapat bahwa ia itu juga terdapat di kalangan binatang-binatang bisu
tertentu, seperti misalnya di kalangan lebah dan di kalangan belalang. Di kalangan
mereka itu orang telah dapati adanya hukum, kepemimpinan dan ketaatan pada
seorang kepala. Mereka mengikuti seekor dari kalangan mereka sendiri yang karena
khilkah dan badannya nampak amat menonjol sebagai pemimpin mereka itu. Akan
tetapi segala itu telah ada pada makhluk di luar manusia ialah berkat fithrah dan
hidayah Tuhan, dan bukan sebagai fikrah(kesanggupan berpikir) dan siyasah (politik).
"Dialah yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu itu kejadian masing-
masing, kemudian Ia unjukkanlah jalan-jalan." (al-Qur-an XX : 50).
114
Perkataan Arab al-mulk ini oleh Issawi diterjemahkan dengan perkataan Inggris sovereignty, dan oleh
Rosenthal dengan royal authority. Menurut pendapat saya yang paling kena ialah menterjemahkannya dengan
kekuasaan wibawa atau dalam bahasa Inggrisnya authoritative power. Oleh karena itu al-mulk akan kita
terjemahkan seterusnya dengan kekuasaan-wibawa. O.R.
Para filosof malah bertindak lebih jauh lagi. Mereka berusaha untuk memberi dalil
yang logis tentang adanya nubuwwah dan bahwa nubuwwah itu adalah satu watak,
khusus dari manusia. Dalam hubungan ini mereka menarik argumen sampai ke akhir
ujungnya dan mengatakan bahwa makhluk manusia itu secara mutlak memerlukan
suatu autoritas untuk melaksanakan satu kewibawaan. Kemudian mereka menyatakan
lagi bahwa autoritas yang seperti itu adalah terdapat pada Syari'at Islam yang
diwajibkan Allah dan telah disampaikan kepada seluruh umat manusia oleh seorang
manusia, yang sungguh berbeda dari seluruh manusia lainnya oleh keistimewaan-
keistimewaan hidayah Allah padanya sehingga karenanya semua lainnya pada
menyerah diri padanya dan siap-sedia menerima segala barang apa saja katanya.
Maka itu adanya kekuasaan-wibawa di antara mereka itu dan di atas mereka
menjadilah satu kenyataan yang diterima tanpa ingkar atau mungkir sedikitpun.
Penetapan para filosof ini terang tidak logis kelihatannya, karena wujud
(eksistensi) dan penghidupan manusia itu dapat juga ada tanpa adanya nubuwwah itu,
yaitu lewat peraturan-peraturan yang dibuat oleh seseorang yang berkuasa sesukanya
atau dengan bantuan suatu rasa golongan (Ar. al-'ashabiyah) yang memungkinkan
baginya untuk memaksa yang lain-lain itu agar mengikutinya ke mana saja ia bawa
mereka itu. Rakyat yang mempunyai Kitab Suci dan yang mengikuti Nabi-nabi adalah
sedikit jumlahnya dibandingkan dengan kaum Majusi
115
) yang tiada memiliki Kitab
Suci itu. Yang tersebut belakangan ini adalah merupakan bagian terbesar dari
penduduk dunia. Malah mereka itu juga mempunyai kerajaan-kerajaan dan monumen-
monumen, untuk tidak menyebut-nyebut penghidupan itu sendiri. Hingga sekarang ini
mereka masih memiliki segala itu di daerah-daerah sejuk di utara dan di selatan. Ini
adalah bertentangan dengan penghidupan manusia dalam keadaan anarkhi, di mana
seorang pun tidak ada yang akan melaksanakan kewibawaan itu. Hal seperti ini
tidaklah mungkin.
Maka dari ini teranglah bagi kita, bahwa para filosof itu telah salah ketika mereka
mengatakan bahwa nubuwwah itu adalah wajib, karena adanya itu tidaklah sesuai
dengan logika.
(Pasal 1 : Muqaddimah Pertama).
3. NEGARA DAN MASYARAKAT
Adalah satu kenyataan, bahwa daulah (negara) dan mulk (kekuasaan wibawa) itu
mempunyai hubungan yang sama terhadap 'umran (peradaban atau masyarakat)
sebagai hubungan bentuk dengan benda. Bentuk adalah rupa yang menjaga adanya
benda dengan perantaraan potongan tertentu dari bangunan yang diwakilinya. Di
dalam ilmu falsafat telah ditetapkan bahwa yang satu tak dapat dicerai-pisahkan dari
yang lainnya. Kita sungguh tak dapat membayangkan satu daulah tanpa 'umran,
sedang satu 'umran tanpa daulah dan mulk adalah tidak mungkin, karena umat
manusia menurut wataknya haruslah saling bantu-membantu, dan ini meminta adanya
satu kewibawaan (Ar. Al-wazi'). Maka kepemimpinan politik yang didasarkan atas
kekuasaan Syari'at ataupun diraja, adalah satu keharusan sebagai pemegang wibawa
itu. Inilah yang dimaksudkan dengan daulah. Oleh karena keduanya itu tak dapat
dicerai-pisahkan, maka kehancuran salah satunya itu akan mempengaruhi yang
lainnya, sebagaimana juga tak adanya yang satu akan mengakibatkan tak adanya yang
lain itu.
115
Dengan perkataan Majusi di sini dimaksudkan kaum Zarathustra atau Zoroaster di Persia purba.
Kehancuran besar hanya terjadi sebagai akibat dari kehancuran-kehancuran daulah
seluruhnya, seperti telah terjadi dengan Ke-maharaja-an Byzantium, Ke-maharaja-an
Persia, ataupun umumnya ke-maharaja-an Arab, sebagaimana juga ke-maharaja-an
Bani Umayyah dan 'Abbasiyah. Pemerintahan perorangan, seperti misalnya dari
Anusyarwan,
116
) Heraclius,
117
) 'Abdul malik ibn Marwan,
118
) atau ar-Rasyid,
tidaklah dapat menimbulkan pengaruh yang sekaligus menghancurkan. Para individu
itu datang ganti-berganti dan mengambil alih 'umran yang ada. Mereka menjaga
wujud dan jangka waktu peradaban itu, dan mereka amat bersamaan satu dan lainnya.
Daulah sebenarnya, yakni yang bertindak dalam soal 'umran itu, pada hakikatnya
ialah rasa golongan dan kekuasaan (Ar. al-'ashabiyah wa asysyawkah). Ini tetap
tinggal pada anggota-anggota perorangan dari daulah itu. Akan tetapi jika rasa
golongan itu telah lenyap dan digantikan oleh rasa golongan lain yang mempengaruhi
'umran yang ada, dan jika semua anggota-anggota penguasa dari daulah itu telah tak
ada lagi, maka satu kehancuran besar pun terjadilah, seperti telah kita nyatakan juga
di atas tadi.
Allah amat berkuasa untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya. "Jika Ia mau,
niscaya Ia hapuskan kamu dan Ia adakan ciptaan yang baru. Yang demikian itu
tidaklah payah bagi Allah." (Al Qur-an XXXV : 16).
(Pasal IV : 19)
4. KEBUTUHAN PADA KEPALA NEGARA
Maka adalah jabatan Imam itu satu kemestian. Para sahabat Nabi dan para tabi'in
telah ijmak semuanya, bahwa lembaga Imamah adalah wajib menurut hukum Islam.
Pada waktu Rasulullah wafat, para sahabat beliau telah bertindak membai'atkan Abu
Bakar ra dan mempercayakan padanya pengawasan persoalan-persoalan mereka. Dan
demikianlah seterusnya di masa-masa berikutnya. Dalam zaman manapun rakyat tiada
pernah diserahkan kepada anarkhi. Kesemuanya itu adalah karena ijmak para sahabat
dan tabi'in yang menunjuk pada kemestian adanya jabatan Imam itu.
Ada pula sebagian orang yang menyatakan pendapat, bahwa keharusan adanya
Imamah itu adalah ditentukan oleh akal, dan bahwa ijmak yang kebetulan terjadi itu
hanya menguatkan saja lagi penentuan akal dalam hal ini. Sebagai mereka katakan,
apa yang membuat jabatan Imam itu wajib menurut hukum akal ialah keperluan umat
manusia pada suatu organisasi kemasyarakatan (Ar. al-ijtima') dan tidak mungkinnya
mereka itu hidup dan bereksistensi secara sendiri-sendiri. Satu di antara akibat-akibat
lazim dari organisasi kemasyarakatan itu ialah pertikaian
119
) yang disebabkan oleh
tekanan-tekanan dari pendapat-pendapat yang berbeda-beda (Ar. at-tanazu' li izdiham
al-aghradl). Selama tidak ada penguasa yang akan melaksanakan sesuatu
kewibawaan, maka pertikaian ini akan menimbulkan keributan atau kekacauan, yang
seterusnya dapat mengakibatkan penghancuran dan pemusnahan manusia. Karena
itulah maka pemeliharaan jenis umat manusia adalah salah satu dari maksud-maksud
yang dlaruri dari Syari'at Islam.
116
Yakni Chosroes I (541-579), raja yang paling besar dari rentetan raja-raja Sassanid.
117
Heraclius (580-641), kaisar dari Ke-maharaja-an Romawi Timur antara tahun 610-641. Berhasil memukul
mundur tentara Persia, tetapi kalah menghadapi tentara Islam sehingga Syria dan Mesir terpaksa diserahkan
kepada Islam.
118
Abdul malik (memerintah 685-705) memperkokoh kekuasaan Daulah Umayyah, memulai penyerangan
Transoxania dan membawa perubahan-perubahan besar di dalam kerajaannya. Masjid al-Aqsa di Baitul maqdis
adalah hasil ciptaan dari arsitek-arsiteknya.
119
Perkataan Arab at-tanazu' di sini kita terjemahkan dengan pertikaian, sedang Issawy menterjemahkannya
dengan political sanction, dan Rosenthal dengan disagreement.
Pengertian inilah yang terkandung dalam pikiran para filosof ketika mereka
memandang nubuwwah itu sebagai sesuatu yang menurut akal adalah wajib bagi umat
manusia. Kami terlebih dahulu telah perlihatkan tentang tidak benarnya dalil mereka
itu. Setelah satu dari premisenya ialah, bahwa pengaruh kewibawaan itu terjadinya
hanyalah disebabkan Syari'at dari Tuhan, yang kepadanya semua menyerah diri
sebagai keimanan dan iktikad. Premise ini
120
) sungguh tidak dapat diterima.
Munculnya pengaruh kewibawaan itu adalah sebagai akibat dari gaya kekuasaan
diraja (Ar. sathwah al-malik) dan kekerasan dari si penguasa (Ar. qahru ahli asy-
syawkah), walaupun Syari'at tak ada sama sekali, seperti misalnya di kalangan bangsa
Majusi dan bangsa-bangsa lain yang sama sekali tak mempunyai Kitab Suci ataupun
belum lagi didatangi da'wah sesuatu agama.
Malah kita dapat mengatakan (terhadap pendirian yang memestikan adanya
khilafat berdasarkan akal) Untuk meniadakan pertikaian itu cukuplah sudah
seyogianya setiap orang mengetahui, bahwa kedzaliman itu tidaklah dibolehkan
atasnya menurut hukum akal. Dengan begini maka dakwaan mereka, bahwa
penghapusan pertikaian itu hanyalah mungkin terjadi oleh adanya Syari'at dalam hal
yang satu, dan oleh adanya jabatan Imam dalam hal yang lain, menjadilah tidak benar.
Pertikaian itu dapat juga dilenyapkan dengan adanya pemimpin-pemimpin yang kuat,
ataupun dengan keadaan rakyat itu sendiri menjauhkan diri mereka dari pertikaian dan
saling mencelakakan itu, sebagaimana halnya jika ada jabatan Imam tersebut. Jadi
dengan demikian, maka dalil premise tadi tidaklah tahan uji. Maka dengan itu
teranglah bahwa kemestian adanya jabatan Imam itu adalah ditunjuk oleh Syari'at,
yakni dengan ijmak, sebagaimana telah kita sebutkan di atas tadi.
(Pasal III : 24)
5. SYARAT-SYARAT KEPALA NEGARA
Jika telah diakui bahwa lembaga Imamah itu adalah wajib menurut ijmak
(konsensus umum), maka harus pula ditambahkan di sini bahwa keperluan lembaga
itu adalah satu fardl al-kifayah, dan mengenai itu terserah kepada ikhtiar dari pemuka-
pemuka Islam yang kompeten (Ar. ahl al-'aqd wa al-hill). Adalah kewajiban mereka
untuk berbuat agar Imamah itu berdiri, dan setiap orang wajib taat kepada Imam
sesuai dengan perintah Al Qur-an : "Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasul dan
pada mereka yang dikuasakan di antara kamu!" (Al Qur-an IV:59).
Lembaga Imamah itu mempunyai empat syarat, yaitu :
1. Ilmu pengetahuan (Ar. al-'ilm)
Mengenai ilmu pengetahuan sebagai syarat kiranya sudah cukup terang. Imam
hanya dapat melaksanakan hukum-hukum Allah itu jika ia mengetahui
tentangnya. Jika ia tidak mengetahuinya tidaklah ia akan dapat
mengemukakannya. Dan tidaklah cukup ilmu pengetahuannya itu terkecuali jika
ia sanggup mengambil keputusan-keputusan yang bebas (Ar. yakuna mujtahidan).
Meniru-niru semata-mata (Ar. taqlid) adalah satu kepincangan, dan Imamah
meminta kesempurnaan dalam segala sifat-sifat dan keadaan-keadaan.
2. Keadilan (Ar. al-'adalah),
Mengenai keadilan itu adalah perlu karena Imamah adalah satu lembaga
keagamaan yang mengawasi segala lembaga-lembaga lainnya yang pula
memerlukan keadilan. Maka terlebih utamalah kiranya jika Imamah itu sendiri
120
Premise ialah terjemahan dari perkataan muqaddimah sebagai istilah ilmu manthiq (Logica).
juga memiliki syarat keadilan itu. Tidak adalah perbedaan pendapat mengenai
kenyataan bahwa keadilan Imam itu akan lenyap oleh sikap yang membiarkan
berlakunya tindakan-tindakan terlarang dan yang menyerupainya. Akan tetapi ada
perbedaan pendapat tentang masalah apakah ia (keadilan) itu akan lenyap oleh
sikap Imam yang memasukkan atau menerima soal-soal baru dalam iktikad dari
ummat itu.
3. Kesanggupan (At. al-kifayah)
Kesanggupan berarti bahwa Imam bersedia melaksanakan hukuman-hukuman
yang ditetapkan oleh undang-undang dan sedia pergi berperang. Ia harus faham
berperang dan sanggup mengambil tanggung jawab untuk mengerahkan ummat
menuju peperangan. Ia harus mengetahui juga tentang 'ashabiyah (rasa golongan)
dan titik-titik halus dari diplomasi (Ar. ahwal ad-daba'). Ia harus cukup kuat
untuk memelihara tugas-tugas politik. Kesemuanya itu adalah agar ia
berkesanggupan melakukan fungsi-fungsinya melindungi agama, berjihad
melawan musuh, menegakkan hukum dan mentadbirkan kepentingan-kepentingan
umum.
4. Kebebasan pancaindera dari sesuatu cacat yang dapat memberi bekas pada
pengeluaran pendapat dan pekerjaan (Ar. as-salamah).
Tentang kebebasan pancaindera dan anggota-anggota badan dari cacat-cacat
ataupun kedhaifan-kedhaifan seperti gila, buta, bisu, atau tuli, dan kehilangan
anggota-anggota yang mengganggu kesanggupan bertindak, seperti kehilangan
tangan, kaki ataupun testikel (buah pelir), itu semua telah dijadikan syarat
disebabkan segala kekurangan-kekurangan seperti itu memberi bekas pada
kesempumaan tindakan dari Imam dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Malah
dalam hal cacat yang hanya mengganggu pemandangan saja, seperti misalnya
kehilangan satu kaki, syarat bebas dari cacat itu tetap berlaku sebagai satu syarat,
dengan pengertian bahwa Imam itu seharusnyalah sempurna.
Ketiadaan kebebasan bertindak bertalian rapat dengan kehilangan anggota-
anggota badan tadi. Ketiadaan yang seperti itu boleh dikatakan dua bagai. Satunya
ialah yang dipaksakan dan sama sekali tak dapat bertindak lagi karena
dipenjarakan orang ataupun karena hal-hal lain yang menyamai pemenjaraan itu.
Kemerdekaan bertindak yang bebas dari pembatasan-pembatasan apapun adalah
satu syarat yang sama perlunya bagi Imamah itu sebagaimana halnya dengan
kebebasan dari kecacatan anggota-anggota badan. Bagi yang satu lagi terletak
dalam kategori yang lain sekali. Ketiadaan kebebasan bertindak ini mengandung
pengertian bahwa beberapa di antara orang-orang Imam itu merebut kekuasaan
darinya, walaupun dalam peristiwa itu tidak terlibat soal pemungkiran taat atau
pertikaian, dan menahannya di suatu tempat yang terasing. Maka dalam hal seperti
ini persoalan berpindahlah pada orang yang merebut kekuasaan itu. Jika ia
bertindak sesuai dengan hukum Islam dan keadilan dan melaksanakan politik yang
terpuji, maka ia itu bolehlah diakui sebagai Imam. Jika tidak, maka umat Islam
haruslah mencari bantuan. Mereka harus mencari orang-orang yang akan
menguasainya dan melenyapkan suasana tak sehat yang telah dibuatnya sehingga
kekuasaan bertindak dari khalifah itu, pulih kembali.
5. Keturunan dari kaum Quraisy.
Akan tetapi mengenai syarat ini ada perbedaan pendapat. Syarat keturunan
Quraisy adalah didasarkan atas ijmak para sahabat pada hari Saqifah yang
bersejarah itu. Pada hari itu kaum Anshar bermaksud hendak membai'atkan Sa'd
ibn Ubadah. Mereka waktu itu telah berseru : "Seorang amir dari kami dan
seorang amir dari kalian !" (Ar. Minna amirun wa minkum amirun !). Akan tetapi
kaum Quraisy telah menentang mereka itu dengan sebagai dalil menyebut-nyebut
ucapan Nabi yang mewasiatkan mereka supaya "berbuat baik kepada semua kaum
Anshar yang berbuat baik dan membiarkan tak terhukum semua dari mereka yang
berbuat jahat." Maka kaum Quraisy waktu itu mengatakan, bahwa jika
kepemimpinan (Ar. Imarah) itu diberikan kepada kaum Anshar, maka yang
tersebut belakangan ini tentulah tidak bakal diwasiatkan Nabi supaya dijaga oleh
kaum Quraisy, sebagaimana tersebut dalam hadits tadi. Maka di sini kaum Anshar
telah menerima dalil tersebut dan menarik kembali pernyataan mereka : "Seorang
amir dari kami dan seorang amir dari kalian." Juga keinginan pembai'atan Sa'd
mereka tarik kembali. Maka menurut hadits sahih adalah tegas pula bahwa
"barang ini (yakni Negara Islam) akan tetaplah selalu berada pada kaum Quraisy
itu." Dalil-dalil lain yang seperti ini adalah banyak.
Akan tetapi kekuasaan kaum Quraisy itu lambat laun menjadi lemah. Rasa
golongan mereka lenyap sebagai akibat dari hidup mewah dan berlebih-lebihan
yang mereka lakukan, dan sebagai akibat dari kenyataan bahwa daulah itu
menggunakan mereka di seluruh penjuru dunia. Dengan demikian kaum Quraisy
menjadilah terlalu lemah untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban khilafat.
Bangsa-bangsa yang bukan Arab berkuasalah atas mereka, dan kekuasaan
eksekutif pun jatuhlah dalam tangan mereka itu.
Ini telah menyebabkan banyak kekacauan di kalangan para sarjana mengenai
keturunan Quraisy itu sebagai satu syarat tambahan bagi Imamah. Mereka
seterusnya telah bertindak lebih jauh lagi dan menolak sama sekali, bahwa
keturunan Quraisy itu adalah satu syarat bagi Imamah. Mereka dasarkan pendirian
mereka ini atas ucapan Nabi : "Dengarkan dan patuhilah walaupun seorang
budak Habsyi yang hitam pekat yang menjadi kepala pemerintahmu !" Akan
tetapi sayang pernyataan ini tidak dapat dijadikan hujjah berkenaan dengan
masalah yang dipersoalkan itu. Ia hanya merupakan satu tamsilah hypothetis yang
secara mubalaghah dimaksudkan untuk menekankan pentingnya arti wajib taat
itu.
Di antara mereka yang menolak keturunan Quraisy itu sebagai syarat Imamah
ialah Abu Bakar al-Baqillani, seorang yuris yang terkenal. Rasa golongan (Ar.
'ashabiyah) kaum Quraisy telah mulai pudar dan menghilang di zaman yuris itu
dan penguasa-penguasa yang bukan Arab telah mengendalikan khalifah-khalifah
yang ada. Karena itu ketika dilihatnya betapa keadaan khalif-khalif sesungguhnya
di zaman itu, maka iapun menghapuskanlah keturunan Quraisy itu sebagai satu
syarat untuk Imamah, walaupun itu sebenarnya telah mengandung arti memberi
persetujuan diam-diam kepada kaum Khawarij.
Akan tetapi para sarjana umumnya tetap berpegang pada perlunya keturunan
Quraisy itu sebagai syarat Imamah. Mereka berpendapat Imamah itu adalah
haknya orang Quraisy, walaupun ia itu terlalu lemah untuk melaksanakan
persoalan-persoalan umat Islam (Ar. wa sihhatu al-Imamah li al-Quraisy, walau
kana 'ajizan 'anil qiyami bi umur al-Muslimin). Akan tetapi jika ini dapat
diterima, maka tak adalah artinya lagi syarat kesanggupan (Ar. al-kifayah), yang
meminta dari Imam kekuatan dalam melakukan kewajiban-kewajibannya. Jika
kekuasaannya (Ar. asy-syawkah) telah lenyap oleh hilangnya rasa-golongan, maka
juga kesanggupan itu turut melenyap. Dan jika syarat kesanggupan itu
dihapuskan, itu nantinya akan berpengaruh pula pada ilmu pengetahuan dan
agama. Maka dalam hal seperti ini, semua syarat-syarat yang diperlukan bagi
Imamah itu menjadilah tidak diperhatikan lagi, dan ini akan bertentanganlah
dengan ijmak adanya.
Maka kini baiklah kita perbincangkan hikmah apa sebenarnya yang telah
membikin orang membuat keturunan Quraisy itu menjadi satu syarat bagi
Imamah, sehingga dengan demikian dapatlah kita ketahui fakta-fakta
sesungguhnya yang menjadi alas dari segala pendapat itu. Menurut hemat saya
adalah begini :
Semua hukum-hukum Syari'at tidak boleh tidak tentu mempunyai maksud-
maksud tertentu dan hikmah-hikmah, dan guna itulah ia telah disyari'atkan. Jika
kini kita periksa hikmah dari keturuhan Quraisy itu dijadikan satu syarat bagi
Imamah dan maksud yang diharapkan oleh Si pemberi Syari'at (yakni Muhammad
saw) darinya, maka akan kita dapatilah bahwa dalam hubungan ini ia tidaklah
semata-mata berpikir tentang adanya berkat yang terkandung dalam berwasilah
dengan Nabi itu, sebagaimana umumnya sudah pendapat orang. Wasilah seperti
itu se-memang-nyalah ada jika terang dari keturunan Quraisy, dan itu se-memang-
nyalah pula satu berkat. Akan tetapi seperti diketahui, pemberian berkat (Ar.
tabarruk) bukanlah tujuan dari Syari'at Karena itu jika satu keturunan tertentu
telah dijadikan satu syarat bagi Imamah, maka tentunya harus ada satu
kepentingan umum yang menjadi tujuan di belakang pembikinan hukum itu. Jika
kita periksa persoalan itu dan kita analisa dia, maka kita dapatilah bahwa
kemaslahatan umum itu sebenarnya tidak lain melainkan pengindahan pada rasa
golongan (Ar. al-i'tibar al-ashabiyah). Rasa golongan itu memberikan
perlindungan (Ar. al-himayah) dan memperkuat tuntutan-tuntutan (Ar. al-
muthalabah). Adanya rasa golongan itu dapat melepaskan pejabat tersebut dari
opposisi dan perpecahan (Ar. al-khilaf wal furqah). Masyarakat Islam tentu akan
dapat menerima dia beserta keluarganya, dan ia dapatlah dengan demikian
mengadakan hubungan akrab dengan mereka itu.
Kaum Quraisy adalah pula pemimpin-pemimpin utama, asli dan tergagah dari
bangsa Mudlar. Jumlah mereka, rasa golongan mereka, dan kebangsawanan
mereka telah memberikan mereka kewibawaan atas seluruh orang-orang Mudlar
lainnya. Orang-orang Arab lainnya semuanya mengakui kenyataan itu dan tunduk
patuh pada kekuatan mereka. Sekiranya pemerintahan itu dipercayakan pada pihak
lain, yang manapun di luar mereka, maka dapatlah diharapkan bahwa opposisi
mereka dan ketiadaan taat mereka itu akan dapat merusak segala-galanya. Tidak
ada kabilah Mudlar yang lain yang sanggup menggoncangkan mereka dari sikap
opposisi mereka dan dapat menarik mereka itu dengan tanpa kemauan mereka
sendiri. Maka dengan begitu masyarakat Islam tentu akan terpecah dan pendapat
umumnya terbelah, padahal Nabi sebagai pemberi undang-undang telah
memperingatkan terhadap segala itu. Beliau ingin melihat mereka itu bersatu,
menjauhkan diri dari perpecahan dan kekacauan untuk kepentingan persaudaraan
(Ar. al-luhmah), rasa golongan dan perlindungan yang diperbaiki (Ar. tabassun
al-himayah).
Jelas bahwa sebaliknyalah yang akan terjadi, jika kaum Quraisy itu yang
berkuasa. Mereka itu sanggup dengan kekuatan mereka untuk menyuruh manusia
melakukan apa saja yang diharapkan dari mereka. Tidak perlu ditakutkan bahwa
nanti akan ada orang-orang yang akan menentang mereka, ataupun bahwa nanti
akan timbul perpecahan. Mereka sanggup mengambil tanggung jawab untuk
meniadakan perpecahan itu dan menjauhkan manusia darinya. Itulah sebabnya
maka keturunan Quraisy kemudian telah dijadikan satu syarat bagi lembaga
Imamah itu.
Jika kini telah jelas bahwa keturunan Quraisy sebagai satu syarat bagi imamah
adalah dimaksudkan untuk melenyapkan perpecahan dengan bantuan rasa
golongan dan superioritas mereka, dan jika kita ketahui pula bahwa si pemberi
Syari'at itu (yakni Nabi) tidaklah membuat hukum-hukum khusus bagi sesuatu
generasi, zaman atau bangsa tertentu, maka tentulah kita akan ketahui juga, hahwa
keturunan Quraisy itu sebenarnya adalah tergolong dalam kategori kesanggupan.
Dengan begini kita telah mempertautkannya dengan syarat ketiga, yaitu
kesanggupan, dan telah memperlihatkan maksud terutama dari pen-syarat-an
keturunan Quraisy itu, yaitu adanya perasaan golongan.
Karena itu kitapun menganggapnya sebagai satu syarat yang perlu bagi
seseorang yang bertugas dalam persoalan-persoalan kaum Muslimin supaya ia itu
termasuk dalam golongan kaum yang kuat rasa golongannya, superior terhadap
rasa golongan dari kaum-kaum yang sezaman dengan mereka, sehingga mereka
sanggup memaksakan yang lain-lain itu supaya mengikuti mereka dan seluruhnya
itu dapat dipersatukan untuk kepentingan perlindungan yang bermanfaat. Perasaan
golongan seperti itu pada hakikatnya tidaklah dapat meliputi semua daerah-daerah
dan wilayah-wilayah. Akan tetapi rasa golongan kaum Quraisy umum sifatnya,
karena da'wah Islamiyah yang mereka lakukan itu adalah umum dan rasa
golongan Arab adalah sesuai untuk da'wah itu. Karena itulah mereka telah
sanggup menguasai semua bangsa-bangsa lainnya. Akan tetapi dewasa ini setiap
daerah mempunyai orang-orangnya sendiri yang mewakili rasa golongan terbesar
di sana itu.
Maka jika kita perhatikan rahasia maksud Tuhan dengan khilafah tidaklah
banyak lagi yang perlu dikatakan tentang itu. Allah telah membuat khalifah itu
121
)
menjadi nabi-Nya untuk melaksanakan persoalan-persoalan hidup dari para
hamba-Nya. Ia harus membawa mereka itu pada jalan yang akan memberi
kebajikan bagi mereka dan bukan pada jalan yang akan membawa kemelaratan
bagi mereka.
(Pasal III : 24).
6. ASAL-USUL 'ASHABIYAH
Pemuliaan ikatan darah (Ar. shilat ar-rahmi) adalah sesuatu yang tabi-i pada
watak manusia, dengan sedikit sekali pengecualiannya. Ikatan itu menimbulkan cinta
(Ar. nu'arah) pada kaum kerabat dan keluarga seseorang (Ar. dzawi al-qurba wa ahl
al-arham), membangkitkan perasaan supaya hendaknya janganlah ada cedera atau
bencana yang datang menimpa mereka itu. Orang akan merasa malu jika kaum
kerabatnya diperlakukan tidak baik ataupun diserang, dan orang itu akan turut turun
tangan untuk melerai antara mereka dengan bahaya atau kehancuran apapun yang
mengancam mereka itu. Ini adalah satu dorongan tabi-i pada manusia sejak makhluk
manusia itu muncul di dunia.
Jika tali nasab antara mereka yang saling bantu-membantu itu adalah sangat dekat,
sehingga ia menghasilkan persatuan dan pergaulan (Ar. al-ittihad wa al-iltiham),
maka pertalian itu adalah jelas dan terang menghendaki adanya suatu rasa kesetiaan
tanpa sesuatu desakan dari luar. Akan tetapi jika tali nasab itu agak berjauhan, maka
ia acapkali dilupakan untuk sebagiannya. Tetapi betapapun sedikit pengetahuan
tentangnya tetap ada dan ini menyebabkan seseorang akan membantu kaum
121
Waspadalah terhadap kata-kata khalifah (orangnya) dan khilafah (jabatannya). OR
kerabatnya itu untuk tujuan-tujuan tertentu, guna menghindari malu yang dirasakan
akan menimpa jiwanya jika seseorang yang berkerabat dengannya diperlakukan
secara tidak sewajarnya.
Dalam kategori ini termasuk juga para mawali dan sekutu-sekutu. Cinta yang
dirasakan oleh setiap orang pada para mawalinya dan sekutu-sekutunya adalah berasal
dari rasa malu yang timbul pada manusia jika salah seorang dari para tetangganya,
kaum kerabatnya, ataupun keluarganya, betapapun jauh dan dekat nasabnya itu,
dihinakan. Sebabnya ialah karena pergaulan (atau kontak rapat) antara seorang mawla
dengan tuannya menimbulkan perhubungan yang karib, tak ubahnya seperti orang-
orang seketurunan jua ataupun lebih kurang demikian halnya. Dan sesungguhnya
dalam artian inilah harus difahamkan hadits Nabi yang berbunyi : "Pelajarilah
sebanyak-banyaknya nasabmu sebagaimana diperlukan untuk mempertegak
perikatan-perikatanmu dari pertalian darah." Artinya ialah bahwa nasab-nasab itu
berguna hanya sebegitu jauh ia mengandung ikatan-ikatan sebagai akibat dari
pertalian-pertalian darah sehingga timbullah usaha gotong-royong dan cinta-
mencintai. Segala sesuatu lainnya di luar ini adalah berlebih-lebihan kiranya. Karena
nasab itu adalah sesuatu yang bersifat khayalan (imaginair) dan tak ada hakikatnya.
Faedahnya hanya terletak pada perhubungan dan pertalian rapat itulah.
Jika keadaan seketurunan itu nampak terang dan jelas, maka ia akan
membangkitkan pada manusia itu satu rasa cinta yang tabi-i, seperti sudah kita
katakan juga tadi di atas. Akan tetapi jika keadaan itu diketahui hanya dari riwayat-
riwayat lama saja, maka ia akan membangkitkan pengertian hanya secara samar-
samar. Faedahnya telah tak ada lagi, dan membangkit-bangkitkannya kembali tak
adalah gunanya, hanya merupakan semacam permainan yang tak diperlukan. Dalam
artian inilah orang harus memahami pernyataan : "Ilmu keturunan adalah sesuatu
yang tak ada gunanya diketahui dan tak ada pula mudaratnya jika tak diketahui." Ini
berarti bahwa jika nasab (seketurunan) itu sudah tidak jelas lagi, dan telah tinggal
menjadi satu persoalan dari ilmu pengetahuan, maka ia tidaklah lagi dapat
membangkitkan faham dan hilanglah rasa cinta yang disebabkan oleh 'ashabiyah (rasa
golongan) itu. Maka menjadilah ia tak bermanfaat.
(Pasal II : 8)
7. TEMPATNYA KETURUNAN BERSIH
Turunan bersih hanya terdapat di kalangan manusia jalang padang pasir dari
bangsa Arab dan di kalangan manusia-manusia yang seperti itu dari bangsa-bangsa
lainnya. Ini adalah disebabkan oleh penghidupan yang miskin, syarat-syarat hidup
yang keras dan tempat-tempat hidup yang buruk yang rupanya adalah terkhusus bagi
manusia-manusia Arab itu. Segala itu adalah akibat dari satu kemestian yang
menetapkan keadaan-keadaan tersebut bagi mereka, seperti juga kehidupan mereka
yang banyak sekali bergantung pada unta-unta beserta pembiakan dan penggembalaan
unta-unta itu.
Maka unta itu adalah sebab dari penghidupan jalang manusia Arab di padang
pasir, karena hewan tersebut itu hidupnya adalah dari daun-daunan padang pasir dan
ia melahirkan anak-anaknya di atas pasir dari pada sahara itu, sebagaimana telah juga
kita perbincangkan sebelumnya. Padang pasir (Ar. al-qafr) adalah tempat ujian dari
kekerasan-kekerasan dan tahan lapar, akan tetapi bagi manusia Arab itu semua sudah
menjadi kebiasaan dan adat. Angkatan demi angkatan dari mereka itu telah tumbuh di
sana. Akhirnya mereka pun menjadi berwatak dalam karakter dan tindak-tanduk
mereka. Tak ada warga bangsa manapun yang berkesempatan untuk menyertai nasib
mereka itu. Tak ada warga dari suku manapun yang merasa tertarik pada mereka.
Akan tetapi jika salah seorang dari mereka memperoleh kesempatan untuk lari dari
keadaan nasib seperti itu, namun ia tidak akan melakukannya atau melepaskan
kehidupan seperti itu. Karenanya maka nasab turunan mereka itu dapatlah dipercaya
tidak pernah mengandung campuran dan noda. Ia telah terjaga bersih secara terus-
menerus tak berkeputusan.
Demikianlah halnya, misalnya dengan suku-suku dari bangsa Mudlar seperti.
Quraisy, Kinanah, Tsaqif, Banu Asad, Hudzail, dan tetangga-tetangga mereka
Khuza'ah. Penghidupan di tempat-tempat di mana tidak ada pertanian atau peternakan
itu amatlah berat. Mereka hidup jauh dari tanah-tanah yang subur dari Syria dan Iraq,
jauh dari sumber rempah-rempah dan sumber-sumber gandum. Sungguh amat
bersihlah mereka menjaga nasab-nasab mereka itu!. Tiada bercampur sedikitpun dan
cukup terkenal tiada bernoda.
Bangsa Arab lainnya hidup di bukit-bukit dan di tempat-tempat bersumber yang
subur ladangnya dan makmur penghasilannya. Dalam bangsa Arab ini termasuk
antara lain suku-suku Himyar dan Kahlan, seperti Lachm, Judzam, Ghassan, Thayy,
Qudla'ah, dan 'Iyad. Nasab-nasab mereka sudah bercampuran dan golongan-golongan
mereka telah saling berbauran (kawin-mengawini). Sudahlah diketahui bahwa orang
umumnya berbeda pendapat mengenai masing-masing dari para keluarga mereka itu.
Ini telah terjadi sebagai akibat dari percampuran mereka dengan orang-orang yang
bukan Arab. Mereka tidak peduli sama sekali untuk menjaga kebersihan dari
keturunan para keluarga mereka dan golongan-golongan mereka. Ini hanya dilakukan
oleh manusia Arab yang asli semata-mata.
Telah berkata sayidina 'Umar ra sebagai berikut : "Pelajarilah nasab (Er.
genealogy), dan janganlah menjadi seperti orang-orang Nabath (Er. Nabataeans) dari
as-Sawad.
122
) Mereka jika ditanyai tentang usul-usul mereka, jawabnya ialah : Dari
desa ini atau desa itu."
Tambahan lagi orang-orang Arab dari tanah-tanah subur itu suka sekali pada
kebiasaan manusia umumnya, yaitu persaingan dalam merebut tanah-tanah gemuk
dan ladang-ladang yang baik. Ini mengakibatkan banyaknya percampuran-
percampuran dan perbauran pada nasab-nasab. Malah sudah pada permulaan Islam
orang-orang pada masanya menamakan diri mereka itu menurut nama-nama tempat
darimana mereka itu berasal. Begitulah maka mereka sebutlah nama-nama distrik (Ar.
jund) Qinnasrin, distrik Damascus, ataupun distrik al-'Awashim, daerah perbatasan
dari Syria Utara. Kebiasaan seperti ini kemudian berpindah ke Spanyol (Ar. al-
Andalus).
Kejadian ini bukanlah disebabkan orang-orang Arab itu menolak pertimbangan-
pertimbangan nasab (genealogis), akan tetapi ini adalah semata-mata disebabkan
mereka telah memperoleh tempat-tempat tinggal khusus sesudah fathul (pengluasan)
Islam itu. Maka dengan sendirinya terkenallah mereka dengan sebutan-sebutan yang
berasal dari nama-nama tempat tinggal mereka. Ia itu menjadilah satu sebutan
tambahan bagi nasab yang biasanya dipakai orang-orang Arab untuk dapat mengenal
mereka di hadapan amir-amir mereka.
Di kemudian harinya, orang-orang Arab yang bertempat tinggal tetap (Ar. al-
hawadlir) bercampuran pula dengan orang-orang Persia dan orang-orang asing
lainnya. Maka kemurnian turunan pun lenyaplah sepenuhnya, dan bersama itu
buahnya, yaitu 'ashabiyah pun lenyap pula dan tak dapat diterima orang lagi. Dengan
122
As-Sawad ialah dataran rendah di Iraq. O.R.
sendirinya kabilah-kabilah pun lenyap dan hapus, dan bersama mereka hapuslah pula
'ashabiyah itu.
Hanya di kalangan kaum Badwilah keadaan semula itu tetap tak berubah-ubah.
(Pasal II : 9 )
8. PERGAULAN DAN KETURUNAN SEBAGAI DASAR 'ASHABIYAH
Penempatan berbagai macam kedudukan dalam pemerintahan negara oleh para
pengikut (Ar. al-musthaniun) dari sesuatu daulah bergantung sekali pada lama dan
barunya pergaulan akrab
123
) mereka dengan kepala daulah itu. Sebabnya ialah karena
tujuan 'ashabiyah, yaitu pertahanan dan penyerangan, hanya dapat terwujud dengan
bantuan dari orang-orang yang seketurunan. Sebagai kita telah terangkan sebelumnya,
hubungan-hubungan darah dan kerabat-kerabat terdekat lainnya adalah membantu
satu sama lain, sedangkan orang-orang asing dan orang-orang luar tidak. Hubungan-
hubungan kemawlaan dan pergaulan-pergaulan dengan para hamba sahaya ataupun
dengan sekutu-sekutu mempunyai akibat yang sama dengan apa yang terdapat pada
orang-orang seketurunan. Akibat-akibat dari keadaan seketurunan itu, walaupun tabi-i
sekali, masih saja sebagai sesuatu yang khayali (imaginair) sifatnya. Barang yang
sebenarnya menimbulkan rasa pergaulan akrab itu ialah sikap suka bercampur-gaul
dalam masyarakat, suka mengikat tali persaudaraan, lama dikenal orang sebagai
terkenal, dan persahabatan yang timbul dari zaman kanak-kanak, mempunyai penyusu
yang sama, dan sama-sama dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup dan mati.
Jika pergaulan akrab terjadi menurut cara tersebut itu, maka akibatnya adalah cinta
(Ar. nu'arah) dan rasa tolong-menolong atau gotong-royong (Ar. tanashur). Ini
dapatlah dipersaksikan di kalangan manusia itu.
Sesuatu yang mirip seperti itu dapat pula dipersaksikan dalam hubungan dengan
pertalian antara yang dipertuan (pemimpin) dengan si pengikutnya. Antara kedua
mereka itu terjadilah satu perikatan erat yang khusus, yang mempunyai akibat yang
sama dengan apa yang terdapat pada orang-orang seketurunan, dan yang memperkuat
pergaulan akrab tadi. Walaupun sekiranya tak ada yang seketurunan, namun buah dari
seketurunan itu toh ada juga.
Apabila pertalian kemawlaan seperti itu terjadi antara sesuatu kabilah dengan
mawla-mawla mereka pada waktu sebelum kabilah itu memperoleh suatu kekuasaan
wibawanya, maka akar-akar pertalian itu sudahlah teguh penjalinannya, perasaan-
perasaan dan iktikad-iktikad yang bersangkutan pun sudah lebih absah adanya, dan
pertalian itu sendiri oleh dua sebab pun telah lebih tegas bentuknya.
Sebab pertama : Sebelum sesuatu rakyat memperoleh kuasa kewibawaan (Ar. al-
mulk), mereka telah merupakan tauladan dalam tata-cara hidup mereka itu. Perbedaan
antara orang-orang seketurunan dengan para mawla jarang sekali terjadi. Kedudukan
para mawla sama dengan kedudukan orang-orang sekerabat atau orang-orang
sekeluarga. Akan tetapi jika para pengikut mereka itu datang sesudah mereka itu
memperoleh kuasa kewibawaan tersebut, maka martabat kuasa kewibawaan itu akan
menyebabkan mereka membikin satu perbedaan antara mereka yang berkuasa
124
)
(yang dipertuan agung atau Ar. sayyid) dengan yang harus mengikut (Ar. mawla), dan
pula antara kaum kerabat mereka dengan para mawla atau para pengikut itu.
123
Ibnu Khaldun di sini menggunakan perkataan iltihan yang sebenarnya berarti kontak atau hubungan yang
dekat, akan tetapi berdasarkan maksud yang terkandung di dalamnya maka saya di sini sengaja telah
menterjemahkannya dengan pergaulan akrab.
124
Di sini Ibnu Khaldun memakai perkataan sayyid, yang Indonesianya adalah tuan atau yang dipertuan, tetapi
untuk mudahnya kita terjemahkan saja dengan mereka yang berkuasa.
Kedudukan kepemimpinan dan kekuasaan wibawa itu (Ar. ahwal ar-riyasah wa al
mulk) menghendaki keadaan ini melihat adanya derajat-derajat dan perbedaan dalam
pangkat-pangkat. Kedudukan para pengikut karenanya sungguh berlainan. Mereka
sekarang sama derajatnya dengan orang-orang asing. Pergaulan akrab antara mereka
yang berkuasa (yang dipertuan) dengan mereka itu adalah lemah, dan karenanya kerja
sama pun menjadilah kurang terwujud. Ini berarti bahwa para pengikut itu sekarang
telah tambah berkurang akrabnya dengan mereka yang berkuasa (yang dipertuan) itu
dibandingkan dengan masa sebelum mereka (yang dipertuan) itu memperoleh
kekuasaan wibawa tersebut.
Sebab kedua : Orang-orang yang menjadi para pengikut dari seorang pemimpin
berkuasa (yang dipertuan) lama sebelum ia memperoleh kekuasaan wibawa itu, pada
hakikatnya telah mempunyai kedudukan ishthina' (kedudukan pengikut) itu lama
sebelum pemimpin berkuasa (yang dipertuan) itu memangku kekuasaan tersebut.
Karena itu maka tidaklah begitu jelas lagi bagi orang-orang sezamannya bagaimana
sebenarnya pertalian akrab itu tadinya telah terjadi. Sebagaimana biasa orang
umumnya menduga, bahwa itu adalah disebabkan oleh nasab, dan dalam hal begini
rasa golongan itu pun menjadi kuatlah.
Akan tetapi sebaliknya pula, pertalian-pertalian kemawlaan yang terbentuk
sesudah sang pemimpin (yang dipertuan) itu berkuasa sifatnya adalah baru dan bagian
terbesar dari rakyat mengetahui tentangnya. Asal-usul dari pergaulan akrab itu dalam
hal ini cukup jelas adanya, dan perbedaannya dari nasab pun jelas pula. Maka
'ashabiyah dalam hal terakhir ini adalah lemah sifatnya dibandingkan dengan
'ashabiyah yang timbul sebagai akibat dari pertaliah kemawlaan dari masa
sebelumnya sang pemimpin (yang dipertuan) itu memperoleh kekuasaan.
Ini terang dan nyata sekali jika kita mau memperhatikan sejarah daulah-daulah
yang terkenal dan peristiwa-peristiwa lainnya yang menggambarkan kepemimpinan
politik. Perhubungan antara para pengikut dengan para pemimpin (para yang
dipertuan) yang terjalin lama sebelumnya tercapai sesuatu riyasah (leadership) dan
kekuasaan, tentunya nanti akan jelas memperlihatkan satu pertalian yang lebih akrab
dan kuat antara para pemimpin itu dengan pengikut-pengikut mereka. Yang tersebut
belakangan ini nampak menduduki tempat-tempat yang sama di sisi sang pemimpin
(yang dipertuan) itu, tak ubahnya seperti dengan anak-anaknya sendiri, saudara-
saudaranya sendiri, ataupun kerabat-kerabatnya sendiri. Tetapi sebaliknya,
perhubungan-perhubungan antara para pengikut dengan para pemimpin (para yang
dipertuan) yang berjalan sesudah tercapainya sesuatu riyasah dan kekuasaan,
tidaklahh memperlihatkan pertalian akrab seperti yang terdapat pada golongan
pertama itu. Setiap orang dipersilahkan mempersaksikan kenyataan ini dengan mata
kepala sendiri!
Kesudahannya ialah bahwa pada akhir kekuasaan mereka daulah-daulah itu
kembali mempekerjakan orang asing dan menerima mereka itu sebagai pengikut-
pengikut. Akan tetapi orang-orang ini tidak memperoleh kebesaran apapun
sebagaimana yang telah dicapai oleh orang-orang yang telah menjadi pengikut-
pengikut daulah sebelum daulah itu berkuasa. Kedudukan mereka sebagai para
pengikut adalah masih terlalu baru rupanya. Apalagi kehancuran daulah itu pun
sedang mengancam pula. Maka itu mereka hanya menempati kedudukan yang sangat
rendah dan tak berarti.
Sang pemimpin (yang dipertuan atau kepala negara) telah mengambil mereka itu
sebagai para pengikutnya dan telah menggantikan mawla-mawlanya yang lama dan
pengikut-pengikutnya yang asli dengan mereka itu, ialah disebabkan satu kenyataan
yang menunjukkan dengan jelas sekali, bahwa para mawla dan para pengikutnya yang
lama itu sudah menjadi amat menyusahkan baginya. Ketaatan mereka terhadapnya
berkurang. Mereka memandangnya dengan cara seperti yang biasa dilakukan oleh
kabilahnya sendiri dan keluarganya sendiri. Pertalian akrab memang telah terjadi
antara dia dengan mereka itu dalam waktu yang amat lama. Mereka telah tumbuh dan
akil-balig bersama-sama dengan dia dan telah punya hubungan-hubungan dengan
bapak-bapak ayahnya dan anggota-anggota tertua dari keluarganya, dan telah
menyesuaikan pula hidup mereka itu dengan orang-orang besar dari perumahannya.
Begitulah mereka semua telah menjadi familiar dengannya dan sebagai akibat dari
keadaan familiar ini mereka itu pun menjadilah sombong dan menyusahkan baginya.
Inilah sebabnya kenapa si pemimpin (yang dipertuan atau kepala negara) itu
kemudian menyisihkan mereka dan memakai orang-orang lain sebagai ganti mereka
itu. Akan tetapi perhatiannya terhadap mereka ini dan penggunaan mereka sebagai
pengikut-pengikutnya tidaklah berlangsung lama. Karena itu mereka tidaklah dapat
memperoleh kedudukan-kedudukan yang megah, melainkan tetap memegang posisi
mereka itu sebagai kharijiyah (orang-orang luar atau "Outsiders") semata-mata.
Demikianlah wataknya daulah-daulah pada akhir umurnya itu.
(Pasal III : 18)
9. KEHIDUPAN PADANG PASIR HANYA DENGAN 'ASHABIYAH
Ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah meletakkan pada watak
manusia itu yang baik (Ar. al-khair) dan yang jahat (Ar. asy-syarr). Demikianlah
dalam Al Qur-an Tuhan telah berkata : "Dan Kami telah unjukkan padanya dua
jalan" (Al Quran XC : 10). Kemudian Tuhan berkata pula lagi : "Lalu menunjukkan
kepadanya jalan kejahatannya dan jalan kebaikannya." (Al Qur-an XCI: 8).
Maka kejahatan adalah sifat yang paling dekat pada manusia jika ia gagal dalam
memperbaiki kebiasaan-kebiasaannya dan jika agama tidak dipergunakan sebagai
contoh untuk memperbaikinya. Jumlah terbesar dari umat manusia adalah dalam
keadaan ini, terkecuali mereka yang telah memperoleh tawfiq dari Allah.
Sifat-sifat jahat pada manusia itu ialah kedzaliman (Ar. Adz-dzulm) dan keadaan
saling serang-menyerang (Ar. al-'udwan). Seorang yang matanya telah melihat harta
benda saudaranya tentu akan meletakkan tangannya atas harta benda itu untuk
mengambilnya, kecuali jika ada satu kewibawaan yang sanggup menghambatnya.
Telah berkata seorang penyair :
Kedzaliman adalah satu sifat manusia,
Jika kamu dapati juga,
Ada manusia susila (yang tidak dzalim ),
Maka tentu ada sebabnya pula kenapa ia tidak dzalim itu.
Maka sifat saling serang-menyerang yang terdapat pada para penduduk kota-kota
dan kota-kota besar itu biasanya adalah dibendung oleh para penguasa (Ar. al-hukam)
dan Pemerintah, yang mengekang semua mereka yang berada di bawah
pengawasannya itu dari sikap serang-menyerang dan bermusuh-musuhan sesamanya.
Mereka dengan demikian dicegah oleh pengaruhnya kekuatan dan kewibawaan
Pemerintah (Ar. bi hakamah al-qahri wa as-sulthan) dari pendzaliman sesama
mereka, terkecuali tentunya kedzaliman yang datang dari Pemerintah itu sendiri.
Penyerangan (agressi) dari luar terhadap sesuatu kota dapat dicegah dengan
tembok-tembok, terutama dalam hal adanya kelengahan, kemungkinan serangan
mendadak di malam hari, ataupun tidak sanggupnya para penduduk untuk melawan
musuh itu di siang hari. Ataupun dapat juga serangan itu dicegah dengan bantuan
suatu angkatan pasukan-pasukan penolong dari Pemerintah, sekiranya para penduduk
itu memang bersedia dan bersiap-siap untuk melawan serangan itu.
Di kalangan suku-suku Badwi pengaruh kewibawaan itu datangnya ialah dari para
syaikh dan pemimpin-pemimpin mereka. Ini adalah disebabkan oleh rasa hormat dan
penghargaan yang umumnya mereka terima dari rakyat. Kampung-kampung kaum
Badwi itu dipertahankan dari serangan-serangan musuh luaran oleh satu pasukan
kesukuan yang terdiri dari pemuda-pemuda yang gagah dan berani. Pertahanan dan
perlindungan mereka itu hanya akan berhasil jika mereka itu merupakan satu
golongan yang mempunyai 'ashabiyah dari sesuatu keturunan. Ini memperkuat
syawkah (kekuasaan) mereka dan membikin mereka itu disegani orang, karena Cinta
seseorang terhadap turunannya dan 'ashabiyahnya adalah lebih penting dari apapun
juga lainnya. Kasih sayang dan cinta pada keluarga sedarah dan sekerabat itu adalah
watak dari manusia sebagai taruhan Tuhan dalam kalbu para hamba-Nya. Ia
menimbulkan rasa bantu-membantu dan gotong-royong, dan memperhebat rasa takut
di pihak musuh.
Ini dapat diibaratkan dari cerita dalam Al Qur-an mengenai saudara-saudara dari
Nabi Yusuf as, Mereka telah berkata kepada ayah mereka : "Jika dia dimakan oleh
serigala, padahal kami adalah se'ushbah (segolongan), sesungguhnya kami, kalau
begitu, adalah orang-orang yang rugi" (Al Qur-an XII : 14). Ini berarti bahwa
manusia tidaklah dapat membayangkan sikap bermusuhan apapun terhadap seseorang
lainnya yang mempunyai rasa golongan (Ar. 'ushbah) untuk menyokongnya. Mereka
yang tak mempunyai seorangpun yang seketurunan dengan mereka untuk
diperhatikan, jaranglah mempunyai cinta pada yang lain itu. Jika bahaya mengancam
pada masa peperangan, maka orang-orang seperti itu segera akan menyelinap keluar
dan berusaha menyelamatkan diri mereka, karena mereka itu takut akan ditinggalkan
orang tanpa bantuan dan mereka rasa-rasa cemas untuk itu. Orang-orang seperti ini
teranglah tidak dapat tinggal di padang pasir (Ar. al-qafr), karena mereka akan
menjadi mangsa dari setiap bangsa lainnya yang ingin hendak menelan mereka itu.
Jika ini adalah benar mengenai tempat di mana seseorang tinggal, yang tetap
memerlukan pertahanan dan perlindungan militer, maka bersamaan itu tentu benar
pula mengenai setiap kegiatan manusia lainnya, seperti nubuwwah, menegakkan
kuasa kewibawaan (Ar. iqamah mulk), ataupun da'wah (propaganda) untuk sesuatu
hal. Tiada sesuatu pun dapat dicapai dalam semua hal ini tanpa memperjuangkannya,
karena manusia adalah berwatak untuk melakukan penolakan (resistensi). Dan untuk
perjuangan itu orang memerlukan rasa golongan (Ar. 'ashabiyah), seperti kita telah
katakan juga pada permulaan di atas. Ini haruslah dipegang teguh sebagai pedoman
bagi penjelasan-penjelasan kita di kemudian hari.
(Pasal II : 7)
10. WUJUD 'ASHABIYAH DI KOTA-KOTA
Sudahlah cukup terang kiranya, bahwa bercampur-gaul dan berhubungan dengan
sesamanya itu (Ar. al-iltiham wa al-ittishal) adalah salah satu dari watak manusia,
walaupun dan sekalipun mereka itu mungkin bukan dari satu keturunan yang sama.
Akan tetapi sebagaimana kita telah terangkan juga sebelumnya (lihat Muqaddimah,
pasal III, bagian 45), perikatan seperti itu sifatnya adalah lebih lemah dari perikatan
yang didasarkan atas nashab (seketurunan), dan 'ashabiyah yang terbit darinya pun
hanya merupakan bagian saja dari 'ashabiyah yang terbit dari keadaan seketurunan
itu. Banyak para penduduk dari kota-kota menjadi akrab pergaulan (rapat
perhubungan) mereka karena perkawinan di antara mereka-mereka itu (Ar. shihr).
Antar perkawinan seperti ini mendekatkan mereka sesamanya, dan akhirnya, mereka
ini merupakan golongan-golongan yang ikatannya perorangan-perorangan. Pada
mereka inipun terdapat juga permusuhan dan persaudaraan sebagaimana terdapat pada
kabilah-kabilah dan keluarga-keluarga. Maka terpecah jugalah mereka menjadi pihak-
pihak dan golongan-golongan.
Apabila sesuatu daulah telah lanjut usianya dan bayang-bayangnya melenyap dari
daerah-daerahnya yang teramat jauh-jauh itu, maka para penduduk dari kota-kota
perlulah bertindak menjaga persoalan-persoalan masing-masing dan berusaha agar
tempat masing-masing itu terpelindung hendaknya. Maka kembalilah mereka kepada
musyawarah (Ar. as-Syura), dan orang-orang golongan atasan (Ar. 'ilyah) nampaklah
berbeda dari orang-orang golongan rendahan (Ar. suflah). Dan manusia itu, jiwa
mereka menurut wataknya, adalah cenderung pada mencari kemenangan dan menjadi
pemimpin (Ar. an-nufusu bi-thiba'iha mutathawilatun ila al-ghalb wa ar-riyasah).
Karena suasana waktu itu adalah kosong dari pemerintah dan daulah yang kuat, maka
yang tua-tua berhasratlah hendak memegang kekuasaan sepenuhnya. Setiap orang
berlomba-lomba dalam hal ini dengan yang lainnya. Mereka berusaha memperoleh
pengikut-pengikut seperti mawla-mawla, partisan-partisan, dan sekutu-sekutu, yang
akan menyertai mereka itu. Mereka bersedia membelanjakan segala yang mereka
miliki untuk menarik rakyat jembel dan si jelata yang banyak itu. (Ar. li al-awghadi
wa al awsyab). Setiap orang berkoalisi (Ar. i'shawshaba) dengan orang-orangnya, dan
salah seorang dari mereka itu akhirnya mencapailah kemenangan. Maka diapun
mulailah kini berbalik dan menentang orang-orang sesamanya guna menguasai
mereka dan memburu-buru mereka itu untuk dibunuh ataupun untuk dibuang.
Akhirnya iapun merampas semua kekuasaan eksekutif (Ar. asy-syawkat an-nafidzah)
dari mereka dan membuat mereka itu tidak berdaya sama sekali. Seluruh kota jatuhlah
di bawah pengawasan mutlak darinya. Kini mulailah ia berpendapat, bahwa ia telah
menciptakan satu kerajaan yang dapat diwariskannya kelak kepada keturunan-
keturunannya, akan tetapi gejala-gejala yang sama dari kekuasaan dan kelanjutan usia
yang terdapat pada suatu kerajaan besar, terdapatlah juga pada kerajaan ciliknya itu.
Kadangkala sebagian dari mereka ini bertindak meniru cara-cara dari raja-raja
besar yang menjadi kepala-kepala atas kabilah-kabilah dan keluarga-keluarga dan
perasaan-perasaan golongan, yang pergi memasuki pertempuran-pertempuran, yang
bangkit melakukan peperangan-peperangan, dan yang menguasai daerah-daerah dan
propinsi-propinsi. Mereka misalnya meniru adat raja-raja duduk bersemayam di atas
sebuah kursi kemahkotaan. Mereka juga menggunakan alat-alat kelengkapan diraja
125
), menggerakkan barisan berkuda dalam menjarahi daerah-daerahnya itu, memakai
cincin-cincin sebagai stempel, disapa orang secara khidmat, dan dipanggil orang
dengan sebutan "Mawla," yang sungguh menertawakan bagi siapa saja yang
mempersaksikan keadaan mereka itu. Mereka pun meniru emblem-emblem kerajaan
yang sebenarnya bukan hak mereka. Dan semua itu mereka telah lakukan hanya
karena memudarnya pengaruh daulah yang berkuasa itu dan terjadinya hubungan-
hubungan akrab yang mereka usahakan sehingga akhirnya mengakibatkan munculnya
'ashabiyah itu. Akan tetapi sebaliknya pula sebagian dari mereka itu menjauhi diri
dari tingkah-laku yang tidak sewajarnya itu dan hidup secara biasa saja; sebabnya
ialah karena mereka ini tiada sudi menyediakan diri mereka itu menjadi sasaran dari
lelucon-lelucon dan permainan orang.
125
Ibnu Khaldun di sini menggunakan perkataan alah, yaitu alat-alat kelengkapan diraja seperti pertunjukan panji-
panji dan bendera-bendera, pemukulan genderang-genderang dan tiupan terompet-terompet dan Serunai.
Menurut kebiasaan kemenangan merebut pimpinan seperti (di atas) itu jatuhnya
ialah pada anggota-anggota dari keluarga-keluarga besar, keluarga-keluarga
bangsawan, dan semua mereka yang pantas untuk menjadi pengetua-pengetua dan
pemimpin-pemimpin dari sesuatu kota. Kadang-kadang ia jatuh pada orang tertentu
dari kalangan paling bawah dari rakyat jelata. Jika ia memperoleh 'ashabiyah itu,
maka itu adalah disebabkan takdir telah menghendaki itu baginya. Maka iapun
berkuasalah atas pengetua-pengetua dan kalangan-kalangan atasan yang telah
kehilangan sokongan dari golongan mereka itu.
(Pasal IV : 21).
11. TUJUAN 'ASHABIYAH
Tujuan 'ashabiyah (rasa golongan) ialah kekuasaan wibawa (Ar. mulk). Ini adalah
karena, sebagai kita telah katakan sebelumnya,
126
) 'ashabiyah itu memberi
perlindungan, memungkinkan pertahanan bersama, sanggup mendesakkan tuntutan-
tuntutan, dan aneka macam kegiatan kemasyarakatan yang lain-lain lagi. Kitapun
telah mengatakan juga sebelumnya
127
) bahwa sesuai dengan wataknya makhluk
manusia itu memerlukan seseorang yang akan bertindak sebagai suatu wibawa dan
pengantara dalam setiap organisasi kemasyarakatan (Ar. yahtajuna fi kulli ijtima'in ila
wazi'in wa hakimin) untuk menjaga agar para anggota itu tidak pukul-memukul
sesama mereka. Orang seperti itu haruslah, sebagai satu kemestian, mempunyai
superioritas (Ar. taghallub) atas yang lainnya dalam hal 'ashabiyah. Jika tidak, maka
kodratnya untuk melaksanakan satu kewibawaan tidaklah dapat berlaku. Superioritas
seperti itu ialah kekuasaan-wibawa (Ar. hadza at-taghallub huwa al-mulk).
Kekuasaan-wibawa itu melebihi kepemimpinan (Ar. riyasah). Kepemimpinan artinya
ialah keadaan menjadi kepala suku, dan keadaan seorang pemimpin itu dipatuhi
orang, tetapi ia mempunyai kekuatan untuk memaksakan orang-orang lain supaya
menerima kekuasaan pemerintahannya. Dalam pada itu kekuasaan-wibawa berarti
superioritas dan kekuasaan memerintah dengan kekerasan (Ar. wa amma al-mulku fa
huwa at-faghallubu wa al-hukmu bi al-qahri).
Apabila seseorang dari kalangan 'ashabiyah telah sampai pada mencapai martabat
kepala suku dan ditaati orang, dan bila ketika itu ia dapati jalan terbuka menuju
superioritas dan pemakaian kekerasan, maka ia tidaklah akan mengabaikannya,
karena itu adalah sesuatu yang diharapkan nafsunya. Ia tidak dapat akan mencapai
tujuannya itu sepenuhnya, terkecuali dengan bantuan rasa golongan ('ashabiyah) yang
akan mengakibatkan yang lainnya itu mematuhinya. Demikianlah superioritas diraja
itu adalah tujuan dari 'ashabiyah (Ar. fa at-taghallubu al-mulkiyu ghayatun li al-
'ashabiyah), seperti yang jelas kelihatan.
Kemudian seyogianya pula diketahui, bahwa walaupun sesuatu kabilah itu
mempunyai berbagai-bagai "perumahan" dan beberapa banyak 'ashabiyah, namun
mestilah ada satu 'ashabiyah yang lebih kuat dari semua gabungan 'ashabiyah-
'ashabiyah lainnya, yakni superioritas atas semua mereka dan menjadikan mereka itu
takluk kepadanya. Semua 'ashabiyah yang beraneka corak itu berkoalisilah di
dalamnya seolah-olah menjadi satu 'ashabiyah yang terbesar. Jika tidak demikian
halnya, maka perpecahanlah yang akan terjadi dan terbitlah pertikaian-pertikaian dan
pertentangan-pertentangan.
126
Lihat pada Pasal II: 7 dari Muqaddimah atau nomor 9 di atas.
127
Lihat pada nomor 2 di atas (yang sebenarnya merupakan bagian dari pendahuluan Pertama dari Pasal I dari
Muqaddimah).
"Dan sekiranya Allah tidak menjauhkan manusia sebagiannya dari sebagian
lainnya, niscaya rusaklah bumi ini." (Al Qur-an II : 252).
Kemudiannya, sekali 'ashabiyah itu memperoleh superioritas atas rakyat
golongannya, maka sesuai dengan wataknya, ia akan mencari superioritas pula lagi
atas rakyat dari 'ashabiyah-'ashabiyah lain yang tidak ada hubungan apa-apa
dengannya. Jika 'ashabiyah yang satu sama dengan 'ashabiyah yang lain atau sanggup
menolak tantangannya, maka rakyat-rakyat yang bersangkutan itu sebandinglah dan
sama. Dalam hal begini, masing-masing 'ashabiyah itu tetaplah memegang
kekuasaannya atas daerah dan rakyatnya sendiri-sendiri, sebagaimana halnya dengan
kabilah-kabilah dan bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Akan tetapi jika sesuatu 'ashabiyah mengalahkan 'ashabiyah lainnya dan
membuatnya takluk kepadanya, maka kedua 'ashabiyah itupun bercampurlah secara
akrab (Ar. iltahamat), yang kalah memberikan tambahan tenaga kepada yang menang,
yang sebagai satu akibat, mulai menuntut tujuan yang lebih tinggi dari sebelumnya
dari superioritas dan dominasinya itu. Demikianlah selalu selanjutnya, sehingga
kekuatannya itu menyamai kekuatan daulah yang berkuasa. Akhirnya, apabila daulah
yang berkuasa itu sudah tua umurnya dan di antara para pembesarnya yang se-
'ashabiyah itu tidak seorangpun ada yang akan mempertahankannya, maka 'ashabiyah
yang baru itupun bertindak merebut kekuasaan dan membebaskan daulah yang
memerintah itu dari kekuasaannya. Dengan demikian seluruh kekuasaan-wibawa (Ar.
mulk) itu jatuhlah ke dalam tangannya.
Kekuatan dari sesuatu 'ashabiyah dapat juga mencapai puncaknya pada ketika
daulah yang berkuasa itu masih belum lagi mencapai usia tuanya. Babakan ini dapat
terjadi bersamaan dengan babakan di mana daulah yang berkuasa itu sedang
memerlukan dengan sangat bantuan dari para pengikut 'ashabiyah-'ashabiyah lainnya
untuk menenteramkan suasana. Dalam hal seperti itu daulah yang lagi memerintah itu
bertindaklah memasukkan para pengikut 'ashabiyah yang kuat-kuat itu ke dalamnya
sebagai mawla-mawlanya yang akan dipergunakannya untuk melaksanakan aneka-
bagai maksud-maksudnya. Maka ini artinya ialah pembentukan kekuasaan-wibawa
(mulk) yang baru, yang kurang dari kekuasaan-wibawa semula.
Demikianlah telah terjadi dengan orang-orang Turki di bawah daulah 'Abbasiyah,
dengan orang-orang Shinhajah dan Zanatah dalam hubungan mereka dengan orang-
orang Kutamah, dan dengan orang-orang Banu Hamdan dalam hubungan mereka
dengan raja-raja Syi'ah dari kerajaan 'Alawiyah dan 'Abbasiyah.
Dengan demikian nyatalah sudah, bahwa kekuasaan-wibawa (mulk) adalah tujuan
dari 'ashabiyah itu. Jika sesuatu 'ashabiyah mencapai tujuan itu, maka kabilah
(rakyat) yang menjadi pengikut 'ashabiyah tertentu itu memeganglah kekuasaan-
wibawa, baik dengan cara memegangnya benar-benar (Ar. bi al-istibdadi) maupun
dengan cara memberi bantuan sajai (bi al-muzhaharah) kepada yang bakal
memerintah. Tergantunglah pada keadaan-keadaan dewasa itu mana dari kedua
alternatif ini yang akan berlaku. Jika 'ashabiyah itu menemui tantangan-tantangan
dalam mencapai tujuannya, seperti yang akan kita jelaskan nanti, maka berhentilah ia
di tempat beradanya, sampai Allah menetapkan apa yang akan terjadi selanjutnya
dengannya.
(Pasal II : 16)
12. 'ASHABIYAH SEBAGAI DASAR KEKUASAAN-WIBAWA
Sesungguhnya kekuasaan-wibawa (Ar. mulk) dan kekuasaan daulah yang besar-
besar itu terjadinya adalah karena golongan dan rasa golongan. Ini adalah seperti telah
disebut juga di pasal pertama, karena kekuatan agressif dan defensif itu hanya dapat
tercapai dengan perantaraan rasa golongan, yakni kesukaan dan keinginan untuk
berjuang dan mati bagi kepentingan bersama.
Kekuasaan-wibawa itu adalah satu kedudukan yang mulia dan penuh nikmat. Di
dalamnya termasuk segala sesuatu yang baik-baik di dunia ini, kesenangan-
kesenangan badaniah, kesenangan-kesenangan syahwiah dan kesenangan-kesenangan
rohaniah. Karenanya, menurut kebiasaannya, selalu ada persaingan besar untuk itu. Ia
jarang sekali diserahkan orang dengan sukarela, akan tetapi ia dapat direbut. Dengan
demikian terjadilah pertikaian, yang dapat menimbulkan peperangan dan bunuh-
membunuh dan usaha-usaha untuk memperoleh kemenangan. Tiada sesuatupun dari
segala itu akan terjadi, jika tidak karena rasa golongan, seperti telah juga kita sebut-
sebut tadinya.
Keadaan seperti ini sama sekali tak difahami oleh orang ramai. Mereka lupa
akannya, karena mereka telah melupakan masa sewaktu daulah itu untuk pertama kali
didirikan. Mereka telah menjadi orang-orang dewasa di daerah-daerah tertentu sejak
suatu masa yang lama. Mereka telah hidup di sana sampai turun-temurun. Dengan
demikian mereka tiada mengetahui apa-apa tentang apa yang telah terjadi atas
kehendak Tuhan pada masa permulaan dari daulah itu. Yang mereka lihat hanya,
bahwa tokoh-tokoh daulah itu sudah ditentukan, bahwa rakyat telah mematuhi
mereka, dan bahwa 'ashabiyah sudah tidak diperlukan lagi untuk memperkuat
kekuasaan mereka itu. Mereka tidak mengetahui betapa duduknya keadaan pada
mula-mulanya dan kesulitan-kesulitan apa yang telah dihadapi oleh pembentuk daulah
itu.
(Pasal III : 1)
13. SEKALI NEGARA ITU BERDIRI TEGUH,
'ASHABIYAH DAPATLAH DITINGGALKAN
Negara itu jika sekali telah berdiri teguh bolehlah ia meninggalkan 'ashabiyah.
Sebabnya ialah karena rakyat itu pada mulanya sukar untuk menyerah diri kepada
sesuatu kekuasaan pemerintahan, terkecuali jika mereka terpaksa menyerah karena
sesuatu kekuatan yang melebihi kekuatannya. Maka pemerintah baru itupun
merupakan barang baru baginya. Rakyat tiada suka dan terbiasa dengan
pemerintahannya. Akan tetapi sekali leadership (Ar. riyasah) telah tergenggam dalam
tangan keluarga yang sanggup melaksanakan kekuasaan-wibawa (Ar. mulk) dalam
daulah itu, dan sekali kekuasaan-wibawa itu telah menjadi turun-temurun bagi
beberapa banyak generasi dari daulah-daulah yang berturut-turut itu, maka zaman-
zaman permulaan itupun telah dilupakan orang, dan para anggota dari keluarga itu
menjadilah pemimpin-pemimpin yang diakui. Dan menjadilah satu akidah, bahwa
setiap orang harus takluk dan menyerah diri pada mereka. Orang-orang bersedia untuk
berperang bersama-sama mereka untuk kepentingan mereka, sebagaimana mereka
telah sedia berperang untuk kepentingan agama.
Dalam kcadaan seperti ini, para pemimpin daulah tiadalah memerlukan 'ashabiyah
untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Keadaan adalah seolah-olah ketaatan pada
pemerintah itu merupakan kitab dari Tuhan yang tak dapat dirubah-rubah atau
ditentang-tentang. Itulah sebabnya pula maka perbincangan tentang Imamah telah
sengaja saya tempatkan pada bagian terakhir dari uraian ini yang khusus
memperbincangkan soal-soal keimanan, seolah-olah ia sebagian daripadanya.
128
)
128
Lihat Pasal III : 23, 24 tentang kedudukan Khalifah dan Imamah, atau pada No. 4 dan 5 di atas.
Maka adalah para penguasa itu telah mempertahankan pemerintahan dan daulah
mereka dewasa itu atau dengan bantuan para mawla dan para pengikut yang tumbuh
dalam lindungan dan kekuasaan 'ashabiyah, atau dengan bantuan golongan-golongan
persukuan dari suatu keturunan lain yang telah menjadi mawla mereka.
Sebagai suatu contoh dapat kita lihat apa yang telah terjadi dengan daulah
'Abbasiyah.
Di zaman pemerintahan al-Mu'tashim dan anaknya al-Watsiq adalah keadaan
'ashabiyah bangsa Arab itu sudah amat lemah. Mereka berusaha mempertahankan
kendali pemerintahan mereka sesudah itu dengan bantuan para mawla dari bangsa-
bangsa Persia, Turki, Dailam, Saljuk dan lain-lain. Kemudian orang-orang Persia dan
para mawla itu memperoleh kekuasaan atas propinsi-propinsi dari daulah itu, sedang
pengaruh dari pemerintah pusat sendiri menjadilah semakin kecil dan hanya terbatas
di sekitar ibukota Baghdad. Kemudian (suku) bangsa Dailam mara ke Baghdad dan
mendudukinya. Para khalifah pun dikuasailah oleh mereka. Kemudian pada gilirannya
(suku) bangsa Dailam itu hilang pula kekuasaannya. Bangsa Saljuk datang merebut
kekuasaan sesudah mereka dan para khalifah pun dikuasailah oleh mereka. Kemudian
lagi bangsa Saljuk itupun pada gilirannya hilang pula kekuasaannya karena
dikalahkan oleh bangsa Tartar, khalifah dibunuh mereka dan daulah itupun
dimusnahkan mereka sama sekali.
Demikian pula telah terjadi dengan daulah Umayyah di Spanyol. Ketika
'ashabiyah mereka telah hancur, maka raja-raja kecil yang disebut muluk at-thawaif
(Er. reyes de taifah) merebutlah kekuasaan dan membagi-bagi daerah itu di antara
sesama mereka. Dalam persaingan sesama mereka itu, mereka telah mendistribusikan
daerah daulah Umayyah itu. Masing-masing mereka merebut daerah yang sedang
berada di bawah pengawasannya dan memperluas kekuasaan masing-masing.
Raja-raja ini mengetahui tentang hubungan yang ada antara orang-orang yang
bukan Arab di bagian Timur dengan kerajaan 'Abbasiyah. Sambil meniru-niru
mereka, mereka itu memakai sebutan-sebutan diraja dan titel-titel diraja. Bahaya
bahwa nanti seseorang lain akan mencaplok pangkat-pangkat yang mereka tuntut itu,
ataupun akan merubah suasana dalam hal ini tidaklah ada sama sekali, karena Spanyol
dewasa itu bukanlah lagi tempatnya 'ushbah-'ushbah (golongan-golongan) dan
qabilah-qabilah, seperti akan kita terangkan juga nanti. Keadaan sedemikian itu terus
berlarut-larut, seperti pernah disyairkan oleh Ibn Syaraf sebagai berikut :
Apa yang membikin'ku seperti zahid di Spanyol
Ialah penggunaan nama-nama Mu'tashim dan Mu'tadlid di sana
Sebutan-sebutan diraja itu tidaklah pada tempatnya
Seperti kucing said yang meniup-niup dirinya hendak menjadi Singa layaknya.
Mereka berusaha keras mempertahankan kekuasaan mereka itu dengan bantuan
dari para mawla dan pengikutnya dan dengan sokongan bangsa Zanatah dan suku-
suku Barbar yang lain yang telah menyusup ke Spanyol dari pesisir Afrika.
(Pasal III : 2)
14. OPPOSISI DARI SUKU BANGSA DAN 'USHBAH
Suatu daulah jarang sekali berdiri dengan teguh di negeri-negeri yang banyak
terdapat suku bangsa dan 'ushbah yang berbeda-beda. Sebabnya ialah karena
perbedaan-perbedaan yang terdapat pada pendapat-pendapat dan kemauan-kemauan.
Di belakang setiap pendapat dan kemauan itu selalu saja ada 'ashabiyah yang
mempertahankannya. Maka itu di zaman apa saja terdapat opposisi terhadap sesuatu
daulah dan perlawanan yang menentangnya, walaupun daulah itu memiliki
'ashabiyah, karena setiap 'ashabiyah yang berada di bawah pengawasan daulah yang
lagi berkuasa itu selalu saja mengira bahwa ia cukup mempunyai kekuatan dari
kekuasaan pada dirinya.
Orang bolehlah memperbandingkan apa yang dalam hal ini telah terjadi di Afrika
129
) dan di al-Maghrib sejak permulaan Islam hingga masa sekarang ini.
130
) Para
penduduk dari negeri-negeri itu adalah suku bangsa-suku bangsa dan golongan-
golongan Barbar. Kemenangan pertama-tama dari Ibn Sarh
131
) atas mereka dan atas
orang-orang Eropah Kristen (Ar. al-Ifranjah) di al-Maghrib adalah tidak berfaedah.
Mereka berulangkali sesudah itu berontak melakukan irtidad sambil membunuh
banyak kaum Muslimin. Malah sesudah agama Islam berdiri teguh di kalangan
mereka, mereka masih terus juga berontak dan melawan, dan banyak kali-lah sudah
mereka kembali berperang pada ajaran-ajaran kaum Khawarij.
Ibn Abi Zayd
132
) mengatakan, bahwa (suku) bangsa Barbar di al-Maghrib itu
telah berontak dua belas kali dan bahwa Islam telah menjadi kuat di kalangan mereka
itu hanya selama gubernur Musa ibn Nusyayr memerintah dan masa sesudahnya.
Inilah yang dimaksudkan oleh satu pernyataan dari 'Umar yang mengatakan bahwa
anna Afriqah mufarriqatun
133
) liqulubi ahliha (Afrika itu memecah-belah jantung-
jantung penduduknya). Pernyataan itu rupanya hendak menunjuk pada banyaknya
golongan-golongan dan suku bangsa-suku bangsa di sana, yang menyebabkan mereka
menjadi tiada patuh dan tak terkendalikan.
Iraq dewasa itu tidaklah demikian halnya, demikian pula Syria. Karena militer
Iraq dan Syria adalah masing-masing terdiri dari orang-orang Persia dan Romawi
Timur (Byzantium). Para penduduknya adalah satu jemaah campuran dari para
penghuni kota-kota kecil dan kota-kota besar. Ketika kaum Muslimin mengalahkan
mereka itu tiada seorangpun di antara mereka yang masih tinggal yang sanggup
bertahan atau melawan lagi. Suku-suku atau kabilah-kabilah dari bangsa Barbar di al-
Maghrib amatlah banyaknya. Semua mereka itu adalah orang-orang penghuni padang
pasir dan anggota-anggota dari 'ushbah-'ushbah(golongan-golongan) dan keluarga-
keluarga. Bilamana suatu kabilah telah dimusnahkan, maka kabilah yang lain pun
tampillah menggantikannya dan yang tersebut belakangan ini sama saja dengan yang
sebelumnya dalam hal memberontak dan irtidad. Karena itulah bangsa Arab telah
memerlukan waktu yang lama dalam menegakkan daulahnya di negeri Ifriqiyah dan
al-Maghrib itu.
Demikian jugalah halnya di Syria di zamannya Bani Israil. Waktu itu di sana
terdapat satu jumlah yang besar dari suku bangsa-suku bangsa (Ar. qaba-il), masing-
masing dengan 'ashabiyahnya sendiri-sendiri, misalnya seperti suku bangsa Palestina
(Ar. Filasthin ) dan suku bangsa Kanaan (Ar. Kan'an), Bani Esau (Ar. 'Ishu), Bani
Median (Ar. Midyan), Bani Luth, suku bangsa Edom, suku bangsa Armenian, suku
bangsa Amalekit (Ar. 'Amaliqah), suku bangsa Girgasy (Ar. Akrisy) dan suku bangsa
Nabatea (Ar. Nabith) dari Jazirah
134
) dan Mosul. Karena itu amatlah sulit bagi Bani
Israil untuk mendirikan daulah mereka itu dengan teguh. Berulangkali kekuasaan-
wibawa (Ar. mulk) mereka itu telah digoncangkan. Semangat opposisi seringkali
129
Dengan Afrika dimaksudkan di sini Ifriqiyah, yaitu daerah yang kini ditempati oleh Republik Tunisia.
130
Yakni masanya Ibnu Khaldun. O.R.
131
Yaitu Gubernur Mesir di zaman sayidina Usman ra. Yang pernah mencoba menyerang Tripolitania tiada lama
sesudah tahun 647 M.
132
Yaitu 'Abdallah ('Ubaidallah) ibn Abi Zayd adalah seorang autoritas tentang sekolah yang sering disebut-sebut
oleh Ibnu Khaldun. Ia hidup antara tahun 316-386 H (atau 928-996 M).
133
Sebenarnya ini hanya permainan kata-kata saja, yaitu hendak memperhubungkan perkataan Ifriqiyah dengan
kata kerja faraqa, yakni memecah belah. 0 R.
134
Yakni daerah Irak sekarang O.R.
muncul. Mereka menentang pemerintah mereka sendiri dan berontak melawannya.
Maka itu kaum Bani Israil tiada pernah mempunyai satu kekuasaan-wibawa yang
berkelanjutan terus-menerus dan kuat. Pada waktunya merekapun dikalahkan orang,
mula-mula oleh bangsa Persia, kemudian oleh bangsa Yunani, dan kesudahannya oleh
bangsa Romawi, ketika mana kekuasaan mereka itu telah berakhir dengan porak-
poranda.
"Dan Allah itu amatlah berkuasa atas urusan-Nya." (Al Qur-an XII : 21)
Sebaliknya amatlah mudahnya mendirikan satu daulah di negeri-negeri yang
bebas dari perasaan-perasaan golongan. Memerintah di sana akan aman dan tenteram
sekali karena pemberontakan-pemberontakan dan perlawanan-perlawanan kurang,
dan daulah di sana itu tidaklah memerlukan banyak 'ashabiyah. Hal seperti terdapat di
Mesir dan Syria sekarang ini.
135
) Mereka di sana bebas dari perasaan-perasaan suku
bangsa dan golongan. Malah orang tidak menyangka bahwa Syria, yang pada suatu
masa adalah penuh dengan kabilah-kabilah dan golongan-golongan
136
) kini adalah
bebas dari segala itu.
Kekuasaan-wibawa di Mesir adalah paling tenteram dan sangat berakar, karena
Mesir itu mempunyai sedikit sekali orang khawarij ataupun orang-orang yang
memiliki golongan-golongan kabilah. Mesir mempunyai seorang Sultan dan sejumlah
rakyat. Dinasti yang memerintah Mesir itu terdiri dari raja-raja Turki dan 'ushbah-
'ushbah mereka. Mereka saling ganti-berganti dalam kekuasaan, dan kendali
pemerintahan telah beredar di kalangan mereka dari satu pusat ke pusat lainnya.
Hanya menurut nama khilafah itu berada di tangannya al-Abbasiyah, yaitu keturunan
dari klialifah-khalifah 'Abbasiyah di Baghdad.
(Pasal III : 9)
15 WATAK KEKUA5AAN-WIBAWA
Kekuasaan-wibawa (Ar. al-mulk) adalah satu lembaga yang merupakan tabiat (Ar.
manshibun thabi'iyyun) pada umat manusia. Kita sudah menerangkan sebelumnya,
137
) bahwa makhluk manusia tidak dapat hidup dan berwujud terkecuali dengan
adanya organisasi kemasyarakatan dan kegotong-royongan untuk kepentingan
memperoleh makanan mereka dan untuk keperluan-keperluan hidup yang lain-lain.
Jika mereka itu telah berorganisasi, maka keadaan memaksakan mereka supaya saling
indah-mengindahkan dan dengan demikian memenuhi keperluan-keperluan yang
mereka hajati.
Setiap orang akan menggerakkan tangannya untuk memperoleh apa saja yang ia
perlukan dan ia akan berusaha untuk mengambil apa saja yang ia perlukan itu dari
orang lain. Karena adalah sudah menjadi watak dari makhluk hewan itu untuk berlaku
dzalim (tidak adil) dan agressif. Orang yang akan dirugikan itu, di pihaknya, sudah
tentu berusaha pula untuk menghalang-halanginya berbuat demikian. Kesemua itu
adalah digerakkan oleh rasa amarah, rasa benci dan sebagai reaksi dari kekuatan
manusia jika hak-miliknya itu terancam. Maka terjadilah pertikaian. Pertikaian
menimbulkan permusuhan-permusuhan, dan permusuhan-permusuhan menimbulkan
kekacauan dan penumpahan darah serta pengorbanan-pengorbanan nyawa manusia,
yang pada gilirannya dapat sampai pada memusnahkan umat manusia sendiri. Padahal
sebagai diketahui umat manusia adalah salah satu dari yang teristimewa diperintahkan
Tuhan kita supaya dipelihara.
135
Yakni Mesir dan Syria di Zaman Ibnu Khaldun. OR.
136
Ibnu Khaldun menamakan Syria "tambang dari kabilah-kabilah dan golongan-golongan."
137
Lihat pada : 1. Asal-usul Masyarakat dan 2. Asal-usul negara. OR.
Maka itu manusia tidaklah dapat terus-menerus hidup dalam keadaan anarkhi,
tanpa mempunyai suatu pemerintahan
138
) yang akan menjaga mereka itu. Maka itu
pula mereka memerlukan seseorang yang akan mengendalikan mereka. Dan itulah dia
yang memerintah mereka itu.
Dan sebagaimana dikehendaki oleh watak manusia, orang itu haruslah seorang
pemerintah yang kuat, seorang yang benar-benar melaksanakan kewibawaan (Ar. al-
malik al qahir al-mutahakkim). Dalam hubungan ini adanya 'ashabiyah adalah satu
keharusan, karena sebagai kita telah katakan juga sebelumnya,
139
) tindakan-tindakan
agressif dan defensif hanya dapat berhasil dengan bantuan dari 'ashabiyah itu.
Jelaslah kiranya dari apa tersebut di atas, bahwa kekuasaan wibawa itu adalah satu
lembaga yang mulia (Ar. manshibun syarifun), yang dituntut oleh semua pihak, dan
merupakan sesuatu yang perlu dipertahankan. Tiada sesuatu pun darinya dapat
terbentuk terkecuali jika ia dibantu oleh 'ashabiyah-'ashabiyah, seperti telah juga kita
perkatakan sebelumnya.
Adapun 'ashabiyah-'ashabiyah itu berbeda-beda pula. Masing masing 'ashabiyah
melakukan kekuasaan dan kekuatannya sendiri atas rakyat dan keluarga-keluarga
yang menurutinya. Dan tidaklah setiap 'ashabiyah memiliki kekuasaan-wibawa itu.
Kekuasaan-wibawa pada hakikatnya hanya dimiliki oleh mereka-mereka yang
sanggup menguasai rakyat-rakyat, sanggup memungut iyuran-iyuran negara, sanggup
mengirim angkatan-angkatan bersenjata untuk berperang,
140
) sanggup melindungi
daerah-daerah perbatasan, dan yang tiada mempunyai seorangpun di atas mereka lagi
yang lebih kuat dari mereka itu. Inilah arti sebenarnya dari kekuasaan-wibawa (Ar. al-
mulk) yang sudah menjadi penerimaan umum.
Kemudian ada pula rakyat yang 'ashabiyahnya tiada sanggup melaksanakan salah
satu dari tindakan-tindakan yang merupakan bagian dari kekuasaan-wibawa sebenar-
benarnya itu, seperti misalnya melindungi daerah-daerah perbatasan, mengumpulkan
pajak-pajak, ataupun mengerahkan angkatan-angkatan bersenjata. Kekuasaan-wibawa
seperti itu adalah cacad, tiada sempurna, dan bukan kekuasaan-wibawa dalam arti
yang sebenarnya. Demikianlah halnya dengan banyak raja-raja Barbar dari daulah
Aghlabiyah di Kairawan (Ar. al-Qairawan), dan dengan raja-raja Persia pada
permulaan dari daulah 'Abbasiyah.
Kemudian ada pula lagi rakyat yang 'ashabiyahnya itu tiada cukup kuat untuk
menguasai dan mengawasi segala perasaan-perasaan golongan yang lain-lain ataupun
untuk mencegah timbulnva perasaan-perasaan golongan itu, sehingga karenanya
timbullah satu kekuasaan baru di atas kekuasaan mereka itu. Maka kekuasaan-wibawa
mereka seperti ini adalah juga cacat, tiada sempurna, dan tidaklah merupakan
kekuasaan-wibawa dalam arti yang sebenar-benarnya.
Kekuasaan itu misalnya dilakukan oleh gubernur-gubernur propinsi dan para
kepala wilayah yang seluruhnya sebenarnya adalah merupakan alat-alat negara dari
satu daulah. Keadaan seperti ini seringkali terdapat dalam kerajaan-kerajaan yang
amat luas daerahnya. Saya maksudkan dengan ini ialah gubernur-gubernur dari
propinsi-propinsi atau wilayah-wilayah yang terpencil yang memerintah rakyat
mereka sendiri, akan tetapi disamping itu mematuhkan pula pemerintah pusat dari
daulah yang bersangkutan itu.
138
Perkataan Arab al-hakim sebenarnya adalah penguasa atau kepala negara akan tetapi saya kira lebih tepat kalau
di sini ia diterjemahkan dengan pemerintah. O.R.
139
Lihat pada asal-usul masyarakat.
140
Di sini Ibnu Khaldun mempergunakan perkataan ba'tsul bu'uts, artinya pengiriman duta-duta. Tetapi saya kira
kalau hanya pengiriman duta-duta yang dimaksudkan itu tiadalah sukar. Sebab itu tentu yang dimaksudnya dengan
bu'uts itu pengiriman angkatan-angkatan bersenjata. O.R.
Demikianlah misalnya hubungan dari Shinhajah dengan daulah 'Ubaidiyah (al-
Fathimiyah) dari Zanatah dengan daulah Umayyah pada ketika yang lain, dari raja-
raja Persia dengan daulah 'Abbasiyah, dari pangeran-pangeran serta raja-raja Barbar
dengan orang-orang Kristen Eropah di al Maghrib sebelum Islam, dan dari raja-raja
Persia kuno dengan rakyat Alexander dari Yunani dan bangsa Yunani sendiri.
Banyaklah contoh-contoh di dalam sejarah jika kita mau memperhatikannya. Dan
Allah itulah "Yang Berkuasa atas hamba-hamba-Nya" (Qur-an VI : 18).
(Pasal III : 21)
16. PEMUSATAN KEKUASAAN
Menurut wataknya kekuasaan-wibawa itu (Ar. mulk) suka memusatkan kekuasaan
di tangan satu orang. Sebabnya ialah seperti telah kita perkatakan juga sebelumnya,
karena kekuasaan-wibawa tersebut timbulnya adalah dengan perantaraan 'ashabiyah
(rasa golongan). Dan 'ashabiyah yang menimbulkan kekuasaan-wibawa itu adalah
sesuatu yang terjadi dari beberapa banyak 'ushbah-'ushbah (golongan-golongan),
yang diantaranya ada satu yang merupakan yang terkuat dari seluruh lainnya. Jelas
kelihatan dari sini, bahwa 'ashabiyah tertentu dapat mengalahkan dan menguasai
'ashabiyah-'ashabiyah lainnya, dan adakalanya meletakkan semua mereka itu di
bawah kekuasaannya. Dan begitulah secara demikian itu nantinya terwujudlah satu
organisasi kemasyarakatan dan penguasaan atas umat manusia dan daulah-daulah.
Rahasianya disini ialah bahwa 'ashabiyah yang meluas meliputi sesuatu kabilah
(suku bangsa) itu sifatnya adalah menyerupai watak yang terdapat pada benda-benda
yang hendak dilarutkan (Ar. mitslu al-mizaj li al-mutakawwin). Pelarutan dalam ilmu
fisika adalah hasil dari percampuran unsur-unsur.
Seperti telah kita terangkan pada pasal tertentu di atas
141
) adalah unsur-unsur itu
jika diaduk datam jumlah yang bersamaan, tidak akan menghasilkan pelarutan apa-
apa. Unsur yang satu hendaknya harus melebihi atas unsur-unsur lainnya, sehingga
jika ia melakukan kelebihan kekuatannya atas yang lain-lain itu, terjadilah pelarutan
itu. Dengan cara yang seperti itu pula, salah satu dari berbagai-bagai 'ashabiyah itu
haruslah melebihi semua yang lainnya. Hanya secara demikianlah baru mereka dapat
dipertemukan, dapat dipersatukan dan dapat dilarutkan menjadi satu 'ashabiyah yang
terdiri dari berbagai-berbagai 'ushbah (golongan). Semua golongan lain yang berbeda-
beda itu dengan demikian beradalah di bawah pengaruh dari 'ashabiyah yang terkuat.
'Ashabiyah terbesar (Ar. 'ashabiyah al-kubra) ini hanya terdapat pada rakyat yang
mempunyai keluarga kuat (Ar. ahli baitin) dan kepemimpinan (Ar. riyasah) di antara
suku-sukunya. Salah seorang di antara mereka itu seharusnyalah menjadi Pemimpin
(Ar. ra-is) yang mempunyai kekuasaan atas semua mereka lainnya. Ia menonjollah
sebagai Pemimpin dari semua 'ashabiyah yang aneka macam itu, karena melebihi
semua itu menurut tumbuhannya.
142
)
Jika ia telah menonjol sebagai orang yang memegang kepemimpinan, maka ia pun
menjadilah congkak dan tiada membiarkan orang lain menyertainya dalam
kepemimpinannya itu. Orang lain tak boleh menyertainya dalam memegang
kekuasaan atas rakyat. Ia sekali-sekali tidak membiarkan hal itu terjadi. Sebabnya
ialah karena sifat-sifat tinggi hati dan sombong (Ar. khulku al kibri wa al-anafah) itu
141
Dimaksudkan oleh Ibnu Khaldun barangkali Pasal II : 10, yaitu yang memperbincangkan Soal Kemurnian
Keturunan.
142
Ibnu Khaldun menggunakan perkataan li ghalbi manbitihi, yang juga dapat diterjemahkan karena
kelahirannya. O.R.
sudah menjadi satu khuluk pada watak kehewanan. Demikianlah maka egoisme yang
memang sudah menjadi watak manusia pun berkembanglah pada dirinya.
Apalagi ilmu politik pun menghendaki agar hanya satu penguasa saja yang
mengendalikan pemerintahan. Jika yang akan mengendalikannya itu berbagai-bagai
orang yang berbeda-beda pendapatnya, maka kehancuranlah yang akan timbul sebagai
akibatnya. Allah telah berkata dalam Al Qur-an : "Kalaulah ada pada kedua-duanya
(langit dan bumi) Tuhan selain Allah, niscaya akan rusak binasalah kedua-duanya
itu" (Al Qur-an XXI : 22).
Maka itu aspirasi-aspirasi dari berbagai 'ashabiyah itupun dilumpuhkan oranglah.
Rakyat menjadi jinak dan tidak mempunyai aspirasi untuk turut serta dengan
Pemimpin dalam melakukan pengawasan. 'ashabiyah mereka dipaksakan supaya
menjauh diri dari perbuatan itu. Maka sang Pemimpin pun berkuasalah sendiri
sepenuhnya dan dengan kuasa yang sebesar mungkin. Kadangkala ia tiada
membiarkan sebagian pun dari kekuasaan itu berada di tangan orang lain. Dengan
demikian ia memusatkan segala kekuasaan itu di tangannya sendiri dan tidak
membolehkan rakyat untuk mengambil bagian dalam kekuasaan itu.
Hal seperti ini mungkin dapat terjadi dengan raja pertama dari sesuatu daulah,
atau mungkin juga hanya dengan yang keduanya atau yang ketiga, sesuatunya
tergantung sekali pada perlawanan dan kekuatan dari berbagai-bagai perasaan
golongan, akan tetapi ia adalah sesuatu yang tak dapat tidak harus terjadi dalam
sesuatu daulah.
Demikianlah biasanya sunnah Tuhan dengan para hamba-Nya di masa-masa yang
telah lalu.
(Pasal III : 10)
17. TERJADINYA KEMEWAHAN
Sudahlah menjadi tabiat dari negara-negara untuk berlaku mewah. Sebabnya ialah
karena bila sesuatu bangsa telah memperoleh kemenangan dan memiliki segala
sesuatu dari harta-kekayaan mereka yang tadinya memegang kekuasaan-wibawa itu,
maka harta dan kemakmurannya pun berganda-gandalah. Dan bersama dengan itu
bangsa tersebut pun menjadi terbiasa pula dengan bekerja, banyak adat-istiadat yang
baru-baru. Maka dari satu penghidupan yang penuh dengan kesulitan-kesulitan dan
tekanan-tekanan hidup mereka bergeraklah maju menuju satu kehidupan yang mewah
dan hiduplah mereka itu penuh dengan kesenangan dan keindahan.
Mereka menerima adat-istiadat dan keadaan-keadaan dari bangsa (rakyat) yang
mereka gantikan itu. Kemewahan-kemewahan itu sudah terang menghendaki adanya
adat-istiadat yang sesuai dengannya. Maka orang pun mulailah cenderung pula supaya
hidup mewah dalam soal-soal makanan, pakaian, tempat-tidur dan perabotan rumah.
Mereka merasa bangga dalam hal-hal seperti itu dan berlomba-lombalah mereka
dengan bangsa-bangsa lain dalam hal-hal makanan lezat, pakaian cantik dan
kendaraan yang indah.
Setiap generasi-generasi ingin melebihi generasi sebelumnya dalam hal ini, dan
begitulah seterusnya mereka meluncur ke bawah menuju kehancuran daulah mereka.
Semakin luas daerah yang dikuasai oleh sesuatu daulah, semakin besar pula peranan
rakyatnya dalam kemewahan itu. Pada galibnya batas yang akan dicapai itu sudah
ditentukan buat sesuatu daulah oleh kekuatannya sendiri dan oleh adat-istiadat dari
bangsa yang digantikannya.
Demikianlah sudah sunnah Allah pada makhluk-Nya.
(Pasal III : 10)
18. KEMEWAHAN DAN KEKUASAAN
Kemewahan itu mula-mula akan merupakan tambahan kekuatan bagi sesuatu
daulah. Sebabnya ialah karena sesuatu suku bangsa yang telah memperoleh
kekuasaan-wibawa dan kemewahan (Ar. taraf) itu sifatnya adalah subur, cacah
jiwanya naik dan rakyatnya pun berkembang. Dengan demikian golongan-golongan
pun bertumbuhan pula. Juga para mawla beserta pengikut-pengikutnya bertambah-
tambah jumlahnya. Pendeknya, generasi-generasi baru lahir dalam satu suasana yang
penuh kemakmuran dan kemewahan. Dan dengan mereka ini daulah itu pun
beruntunglah dalam jumlah rakyatnya dan kekuatannya, karena sejumlah golongan-
golongan telah terbentuk waktu itu sebagai akibat dari bertambahnya angka penduduk
itu.
Jika generasi-generasi pertama dan kedua telah tidak ada lagi dan daulah tersebut
mulai tua usianya, maka para pengikut dan mawla-mawlanya itu sendiri tiadalah
sanggup berbuat sesuatu untuk meletakkan daulah tersebut beserta kekuasaan-
wibawanya di atas dasar yang lebih kuat. Sebabnya ialah karena mereka itu tiada
pernah mempunyai kekuasaan itu di tangan mereka sendiri dan selama itu mereka
hanya bergantung pada pembesar-pembesar daulah saja dan bertindak sebagai
penyokong-penyokong mereka. Jika akar telah tak ada lagi, maka cabang-cabang
dengan sendirinya tidaklah dapat kuat, malahan akan lenyap seluruhnya. Dan daulah
itu pun kini tiadalah dapat lagi mempertahankan kekuatannya yang semula.
Sebagai contoh dalam hal ini dapat diambil apa yang telah terjadi dengan kerajaan
Arab dalam sejarah Islam.
Sebagai telah pernah kita katakan, jumlah orang-orang Arab di zaman Nabi dan
para khalifah yang terdahulu adalah lebih kurang 150.000 orang yang terdiri dari
suku-suku Mudlar dan Qahthan. Kemewahan hidup telah mencapai puncaknya di
zaman daulah itu. Penduduknya telah bertambah cepat sekali bersamaan dengan
bertambahnya kemakmuran. Para khalifah telah memperoleh banyak mawla-mawla
dan pengikut-pengikut (Ar. al-mawali wa ash-shana-i). Dengan demikian jumlah asli
telah bertambah berganda-ganda.
Ada dikatakan bahwa sewaktu pertempuran Amorium (Ar. Ammuriyah), al-
Mu'tashim telah menyerang kota itu 900.000 orang. Jumlah ini agaknya tidak jauh
dari kebenaran, kalau sekiranya kita ingat tentang betapa besarnya jumlah militer
Islam di daerah-daerah perbatasan itu baik yang terjauh maupun yang terdekat, baik di
Timur maupun di Barat, dan kemudian menambah lagi padanya jumlah tentara yang
langsung berada dalam dinas kerajaan, bersama-sama dengan para mawla dan
pengikut-pengikutnya.
(Pasal III : 16)
19. KEPALA NEGARA DAN PEMERINTAH
Seyogyanyalah diketahui, bahwa Kepala Negara secara sendirian adalah lemah,
padahal ia mendukung beban yang sangat berat atas pundaknya. Ia haruslah mencari
bantuan dari orang-orangnya. Ia memerlukan bantuan-bantuan mereka buat
keperluan-keperluan hidup dan buat segala macam kepentingannya yang lain. Maka
betapatah lebih lagi ia memerlukan bantuan itu untuk melaksanakan satu pimpinan
politik atas masyarakat manusia, atas makhluk-makhluk dan hamba-hamba Allah
yang telah dipercayakan Tuhan padanya sebagai rakyatnya ?
Ia harus membela dan melindungi masyarakat dari musuh-musuhnya. Ia harus
menjalankan hukum terhadap rakyatnya untuk menjaga agar mereka jangan sampai
saling bermusuhan dan serang-menyerang karena harta-benda. Dalam ini termasuk
pula penjagaan keamanan pada lalu lintas manusia. Ia harus membuat manusia
bertindak sebaik-baiknya untuk kepentingan diri mereka masing-masing, dan ia harus
mengawasi persoalan-persoalan umum mereka yang meliputi pencarian nafkah hidup
mereka dan persoalan muamalat mereka seperti bahan-bahan makanan dan takaran-
takaran timbangan dan ukuran-ukuran agar dengan demikian tipu-menipu dapat
dihindarkan.
Ia harus melaksanakan pimpinan politik dan membuat rakyat secara puas patuh
kepadanya sampai-sampai kepada derajat dikehendakinya, kedua-dua itu sesuai
dengan maksud-maksudnya terhadap mereka dan dengan kenyataan bahwa hanya dia
sendirilah yang mempunyai segala kebesaran itu, sedang mereka tidaklah punya apa-
apa. Ini menghendaki satu penilaian psykhologis yang luar hiasa. Seorang bangsawan
ahli-hikmah pernah berkata "Memindahkan gunung-gunung dari tempat-tempatnya
adalah lebih mudah bagiku daripada mempengaruhi manusia-manusia secara
psykologis".
(Pasal III : 32)
20. PEMERINTAHAN SIPIL DAN MILITER
Seyogianya diketahui, bahwa baik kekuatan militer maupun tenaga sipil,
143
)
kedua-duanya adalah alat bagi Pemerintah untuk dipergunakan dalam mengurus
kepentingan-kepentingannya. Akan tetapi pada permulaan sesuatu daulah selagi
bangsa itu masih sibuk menegakkan kekuasaannya, keperluan pada kekuatan militer
adalah lebih besar daripada keperluan pada tenaga sipil. Dalam hal seperti itu tenaga
sipil hanyalah merupakan satu pembantu dalam pelaksanaan kekuasaan Pemerintah,
sedang tenaga militer adalah peserta langsung dalam memberi bantuan aktifnya.
Pun demikian juga halnya pada kesudahan sesuatu daulah sewaktu 'ashabiyahnya
telah mulai melemah, seperti pernah kita perkatakan sebelumnya, dan rakyatnya pun
sudah mulai berkurang jumlahnya karena usia tua. Pada ketika itu daulah yang
bersangkutan berhajat sekali pada bantuan kekuatan militer. Kebutuhan pada bantuan
militer untuk maksud-maksud perlindungan dan pertahanan (Ar. himayat ad-daulah
wa al-mudafa'ah) di waktu itu sama kuatnya dengan kebutuhan di waktu permulaan
dari daulah tersebut untuk kepentingan-kepentingan penegakannya. Dalam kedua hal
ini tenaga militer mempunyai kelebihan atas tenaga sipil. Pada masa itu kaum militer
mempunyai kedudukan-kedudukan yang lebih tinggi. Mereka menikmati lebih banyak
keuntungan-keuntungan dan lebih banyak kemewahan-kemewahan.
Akan tetapi di zaman tengah dari daulah itu, Pemerintah hingga tarap tertentu
melepaskan tenaga militer itu karena kekuasaannya telah berdiri tegak dengan
kekuatan yang cukup. Tinggal saja lagi cita-citanya untuk memperoleh hasil dari
kekuasaan-wibawanya itu, yaitu misalnya pemungutan pajak-pajak, pemilikan harta-
benda, berusaha melebihi negara-negara lain, dan menjalankan hukum. Untuk segala
ini tenaga sipillah yang diperlukan. Maka kebutuhan untuk mempergunakannya
meningkatlah. Tentara ibarat pedang tinggallah sekarang tanpa terpakai dalam
sarungnya, terkecuali jika sesuatu terjadi sehingga mereka perlu dikerahkan untuk
tindakan-tindakan pengamanan kembali. Untuk tujuan-tujuan yang lain dari itu,
tenaga militer tidaklah diperlukan lagi.
143
Ibnu Khaldun di sini mempergunakan perkataan as-saif wa al-qalam, yang lebih tepat sebenarnya jika
diterjemahkan dengan pedang dan pena. Akan tetapi untuk jelasnya sengaja ia kita salinkan dengan kekuatan
militer dan tenaga sipil. Sebenarnya Ibnu Khaldun melihat pada kekuatan militer dan tenaga sipil itu sebagai
kekuatan-kekuatan pedang dan pena. O.R.
Dalam hal seperti ini, tenaga sipillah yang mempunyai lebih banyak kekuasaan.
Mereka menduduki jabatan-jabatan yang tinggi. Mereka menikmati lebih banyak
keuntungan-keuntungan dan kekayaan dan mempunyai hubungan yang lebih akrab,
lebih acap, dan lebih mesra dengan pihak yang berkuasa.
144
) Dalam masa-masa
seperti itu, tenaga sipil itulah alat yang dipergunakan oleh yang berkuasa untuk
memetik buah dari kekuasaan wibawanya. Ia pergunakan itu untuk mengawasi dan
memerintah daerah kekuasaannya dan untuk mempertunjukkan keadaan baik dari
negeri itu. Pada waktu seperti itu para wazir dan kaum militer dapatlah tiada
dipergunakan. Mereka dikesampingkan dari lingkungan terdekat dari yang berkuasa
sehingga mereka haruslah berhati-hati sekali terhadap tingkah laku mereka.
(Pasal III : 35)
21. USIA SESUATU DAULAH
145
)
Sebagaimana halnya dengan umur-umur manusia, demikian jugalah dengan usia-
usia daulah. Lamanya itu dapat berbeda-beda sesuai dengan letaknya bintang-bintang
di langit (Ar. Bihasab al-qiranat). Akan tetapi pada galibnya tidak ada daulah yang
usianya melampaui usia-usia dari tiga generasi bangsanya. Dan satu generasi itu (Ar.
al jail) adalah sama dengan kebiasaan lamanya hidup seseorang manusia, yaitu empat
puluh tahun, yakni masa yang diperlukan bagi pertumbuhan-pertumbuhan badan
untuk mencapai kesempurnaannya dan untuk pencapaian kedewasaannya.
Tuhan telah berkata dalam Al Qur-an : "Sehingga ia sampai pada masa balighnya
dan mencapai usia empat puluh tahun ...." (Al Qur-an XLVI : 15).
Karena itulah kita telah mengatakan bahwa menurut kebiasaan, lamanya hidup
seseorang manusia sama dengan lamanya usia satu generasi dari sesuatu bangsa.
Kebenaran kata ini diperkuat oleh kenyataan berdiamnya empat puluh tahun
bangsa Bani Israil di padang pasir dari semenanjung Sinai. Ke empat puluh tahun itu
dimaksudkan untuk membuat lenyapnya generasi yang dewasa itu lagi hidup dan
tumbuhnya satu generasi lain yang tiada pernah melihat dan mengalami penghinaan
kolonisasi di Mesir. Ini adalah bukti dari pernyataan bahwa masa empat puluh tahun
itu yang lebih kurang sama dengan usia perorangan manusia, haruslah dianggap
sebagai lamanya usia dari sesuatu generasi bangsa.
Kita telah menyatakan, bahwa lamanya usia sesuatu dinasti itu menurut kebiasaan
tidaklah melebihi lamanya usia tiga generasi bangsa.
Generasi pertama (Ar. al-jil al-awwal) masih saja berpegang pada sifat-sifat ke-
padangpasir-annya, seperti kekerasan padang pasir dan kekasaran padang pasir. Para
anggotanya sudah biasa dengan sifat suka menyendiri, tetapi ingin menikmati
kemenangan-kemenangan mereka secara bersama-sama. Mereka itu pemberani dan
suka merampok. Karenanya kekuatan rasa golongan terus-menerus terjaga di
kalangan mereka itu dan rasanya tak hendak lenyap. Mereka kuat dan amat ditakuti.
Orang-orang pun banyaklah yang menyerah pada mereka.
Di bawah pengaruh kekuasaan-wibawa dan satu penghidupan yang lapang, maka
datanglah generasi kedua yang berubah sifatnya dari kehidupan padang pasir menjadi
satu penghidupan yang berkebudayaan kota, dari tadinya hidup dan menyendiri
menjadi hidup mewah dan melimpah-limpah, dari satu keadaan di mana setiap orang
menikmati kebesaran dan kemegahan menjadi satu keadaan di mana hanya seorang
144
Ibnu Khaldun menggunakan di sini perkataan sulthan, yang saya kira lebih tepat jika di sini diterjemakan
dengan yang berkuasa daripada dengan perkataan sultan, yang juga telah menjadi perkataan Indonesia dengan
artian kepala negara 0 R.
145
Dengan daulah dimaksudkan di sini dinasti dari raja-raja dan bukan negara. O R.
saja yang menikmati seluruh kebesaran dan kemegahan itu, sedang yang lain-lainnya
telah menjadi acuh tak acuh terhadap kebesaran dan kemegahan itu. Pada generasi
baru itu superioritas yang tadinya penuh kebanggaan bersama berubah menjadi
pengabdian yang hina. Demikianlah kekuatan 'ashabiyah itu mulai retak hingga taraf
tertentu.
Rakyat mulailah terbiasa dengan hina-dina dan pengabdian. Namun demikian dari
kebaikan-kebaikan semula masih banyak yang tinggal di kalangan mereka, sebab
mereka itu masih mempunyai hubungan pribadi yang langsung dengan generasi
pertama beserta segala hal-ihwal keadaannya. Pun mereka telah turut menyaksikan
dengan mata kepala sendiri kebanggaannya dan perjuangannya mencapai kebesaran
itu dan keinginannya untuk melindungi dirinya sendiri. Mereka tak dapat melepaskan
segala itu sekaligus, walaupun sebagian besar dari segala itu nanti akan lenyap juga.
Mereka hidup dengan harapan supaya keadaan-keadaan yang terdapat pada generasi
pertama itu seyogianya datang kembali ataupun mereka hidup dengan khayalan agar
keadaan-keadaan seperti itu terus-menerus tetap begitu hendaknya.
Adapun mengenai generasi ketiga, mereka itu sama sekali telah lupa akan
zamannya penghidupan padang pasir beserta kesulitan-kesulitannya, seolah-olah masa
itu tidak pernah ada. Mereka telah kehilangan rasa betapa sedapnya kemegahan itu
dan betapa sebenarnya 'ashabiyah itu, sebab selama masa itu mereka telah dikuasai
dengan kekerasan.
Kemewahan mencapai puncaknya di kalangan mereka, sebab mereka telah terlalu
cenderung kepada kehidupan melimpah-limpah dan mudah. Mereka menjadilah amat
tergantung pada daulah dan mereka adalah seperti wanita-wanita dan anak-anak
layaknya, yang memerlukan perlindungan dari seseorang yang lain.
Rasa golongan lenyap sepenuhnya dari mereka. Orang-orang pada lupa untuk
melindungi dan mempertahankan diri mereka sendiri dan bertindak mendesak agar
tuntutan-tuntutan mereka dipenuhi. Dengan emblem-emblem mereka, pasangan
pakaian mereka, penunggangan kuda dan kemahiran mereka dalam bertempur,
mereka menipu rakyat dan memberikan mereka kesan yang bukan-bukan. Sebenarnya
sebagian besar mereka itu bersifat penakut seperti wanita. Jika seseorang datang dan
mendesak atau menuntut sesuatu dari mereka, mereka tidak sanggup menolaknya.
Maka di sinilah yang memerintah atau yang berkuasa itu memerlukan orang-orang
lain yang berani untuk membantunya. Maka diambilnyalah beberapa banyak mawali
dan pengikut-pengikut lainnya. Mereka ini dapat membantu daulah itu sampai taraf-
taraf tertentu, sehingga sampailah soalnya Allah mengizinkan kehancuran daulah itu
beserta segala sesuatu yang ada padanya.
Jelas kelihatan di sini bahwa tiga generasilah yang ada di sana. Dalam masa tiga
generasi ini daulah itu pun menjadikan tua bangka. Karena itu barulah pada generasi
ke empat nampak kebanggaan keturunan itu mulai luntur. Hal ini telah kita
perbincangkan sebelumnya dalam hubungan dengan pembicaraan kita, bahwa
kemegahan dan kebanggaan keturunan itu adalah terbatas pada empat keturunan atau
generasi. Saya telah buktikan itu dengan dalil-dalil tabi-i dan jelas yang didasarkan
atas premise-premise yang kita tetapkan sebelumnya. Para pembaca hendaknya
memperhatikan itu. Sebagai orang yang tidak berat sebelah dalam pendiriannya ia
tidaklah boleh mengabaikan kebenaran.
Tiga generasi adalah seratus dua puluh tahun lamanya, seperti sudah juga
dikatakan sebelumnya. Menurut kebiasaan dinasti-dinasti tidaklah lebih lama usianya
dari jumlah tahun-tahun itu, hanya kadangkala yang satu agak lebih dan yang lain
agak kurang dari usia itu, terkecuali jika kebetulan tidak ada seorangpun yang mau
menyerangnya. Jika sesuatu dinasti telah mencapai usia tuanya, maka mungkin juga
tidak akan ada penuntut terhadap kekuasaannya. Jika demikian sesuatupun tidak akan
terjadi. Tetapi jika sekiranya ada seseorang penuntut kekuasaannya maka pastilah ia
tidak akan menemui apapun yang akan sanggup menolaknya. Jika ajalnya telah tiba,
maka keakhiran dinasti itupun tidaklah dapat ditunda-tunda ataupun dipercepat walau
sesaatpun.
Demikianlah kita lihat, bahwa panjangnya usia sesuatu dinasti sesuai dengan
panjangnya umur seseorang manusia. Ia tumbuh dan melalui satu masa yang tetap dan
kemudian iapun berlalu. Karenanya pula orang biasa mengatakan, bahwa panjangnya
usia sesuatu dinasti adalah seratus tahun. Perkataan ini sama maknanya seperti yang
telah saya terangkan barusan.
(Pasal III : 14)
22 DARI PADANG PASIR KE HIDUP MODERN
Ketahuilah, bahwa babak-babak ini
146
) adalah merupakan hal-hal yang tabi-i bagi
daulah-daulah. Superioritas yang telah membuat kekuasaan-wibawa itu dapat tercapai
adalah akibat dari adanya 'ashabiyah (rasa-golongan) dan dari adanya kemauan yang
keras dan nafsu merebut yang tumbuh bersamanya. Menurut kebiasaan hal-hal seperti
ini hanya mungkin dalam hubungan dengan kehidupan padang pasir. Maka itu babak
pertama dari dinasti-dinasti itu adalah kehidupan padang pasir
147
).
Ketika kekuasaan-wibawa telah diperoleh, maka satu penghidupan yang
lapangpun terjadilah bersama-sama dengan kemungkinan-kemungkinan luas lainnya.
Peradaban modern sebenarnya hanyalah satu kesenian dari kehidupan mewah (Ar. al-
hidlaratu innama hiya tafannunun fi at-taraf) dan penghalusan pengetahuan mengenai
pekerjaan tangan yang dipergunakan bagi berbagai-bagai aspek cara-cara kemewahan.
Misalnya mengenai soal makanan, pakaian, perumahan, perabot rumah (permadani),
alat-alat kerja, dan lain-lain keperluan rumah tangga. Masing-masing dari barang-
barang ini menghendaki satu kesenian kemahiran tersendiri yang akan memperhalus
dan memberi perbaikan-perbaikan padanya.
Kesenian-kesenian (kemahiran-kemahiran) ini semakin bertambah-tambah
jumlahnya dengan bertambahnya aneka ragam kemewahan-kemewahan dan
kesenangan-kesenangan dan cara-cara menikmati hidup mewah yang diingini oleh
hawa nafsu, dan dengan bertambahnya berbagai benda dan barang yang telah menjadi
kebiasaan pada manusia.
Babak modem dari kekuasaan-wibawa adalah kelanjutan dari babak kehidupan
padang pasir. Itu terjadi sebagai satu kemestian, yaitu sebagai akibat kenyataan,
bahwa kekuasaan-wibawa itu semestinya didampingi oleh satu kehidupan yang
lapang. Dalam babak modern itu dan dalam keadaan baru rakyat dari dinasti yang
digantikannya. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri keadaan-keadaan
dalam mana dinasti yang terdahulu itu hidup, dan menurut kebiasaan merekapun
belajar dari mereka itu.
Seperti itu pulalah terjadi dengan bangsa Arab sewaktu mereka telah menaklukkan
bangsa Persia dan Byzantium (Ar. ar-Rum) dan mempekerjakan putera-putera
mereka, lelaki dan perempuan. Pada waktu itu bangsa Arab tidak modern sama sekali
dalam kebudayaannya. Diriwayatkan orang bahwa ketika dewasa itu mereka berikan
orang sebuah bantal, mereka mengira bahwa itu adalah sebungkus kain-kain buruk.
146
Yakni peralihan sesudah daulah dari kehidupan padang pasir hingga sampai pada kehidupan modern. O.R.
147
Ibnu Khaldun di sini sudah terang hanya teringat pada dinasti-dinasti Arab semata-mata. O R.
Kapur barus yang mereka dapati dalam perbendaharaan raja Persia telah dipergunakan
oleh mereka sebagai garam dalam sarung mereka. Banyaklah hal-hal yang seperti itu.
Bangsa Arab kemudian menaklukkan rakyat dari daulah-daulah terdahulu dan
mempergunakan mereka dalam jabatan-jabatan mereka dan dalam keperluan-
keperluan rumah tangga. Dari kalangan mereka, mereka pilih orang-orang mahir
dalam berbagai keahlian, dan pada gilirannya mereka itu diajarlah bagaimana harus
memperlakukan, menguasai dan memperkembangkan segala kesenian itu untuk
mereka sendiri.
Kemudian itu penghidupan orang Arab pun meluas dan menjadi lebih berwarna-
warni, sehingga mereka melampaui batas dalam hal ini. Mereka memasuki babak
kebudayaan modern (Ar. thaur al-hidlarah), memasuki babak kemewahan dan
kehalusan dalam makanan, minuman, pakaian, perumahan, persenjataan, permadani,
perabot rumah tangga, musik, dan lain-lain barang serta alat-alat. Kesempurnaan
seperti itu mereka perlihatkan pada hari-hari perayaan mereka, pada banquet-banquet
dan pada pesta-pesta perkawinan. Dalam hal ini mereka telah melampaui batas.
(Pasal III : 15)
23. KEMEWAHAN PERTANDA KEHANCURAN NEGARA
Jika tabiat kekuasaan-wibawa untuk menuntut segala kemenangan serta
kemegahan
148
) bagi dirinya telah tercapai, kemewahan telah ada serta ketenangan pun
telah tercipta dengari sebaik-baiknya, maka daulah itupun mendekatilah sudah pada
usia tuanya. Ini dapat kita jelaskan dengan beberapa cara.
Pertama Sebagaimana telah kita terangkan, kekuasaan-wibawa itu sesuai dengan
wataknya, mestilah menuntut kemenangan serta kemegahan bagi dirinya. Selama
kemenangan serta kemegahan itu menjadi milik bersama dari golongan (masyarakat)
itu dan selama semua para anggotanya sama-sama berdaya-upaya untuk memperoleh
kemenangan serta kemegahan itu, maka kehendak-kehendak mereka untuk berkuasa
di atas orang lain dan untuk mempertahankan harta benda mereka sendiri dapatlah
dilihat dengan nyata dari tindakan-tindakan mereka yang tiada sabar dan tiada
terkendalikan. Semua mereka ingin menang dan megah. Karena itu mereka
menganggap mati dalam mencari kemenangan serta kemegahan itu sebagai satu
kenikmatan, dan mereka lebih suka hancur-lebur daripada lenyapnya kemenangan
serta kemegahan itu. Akan tetapi jika kemudian ada salah seorang dari mereka yang
menuntut kemenangan serta kemegahan itu bagi dirinya sendiri, tentu ia akan
memperlakukan semua orang lain itu dengan kekerasan dan mengendalikan mereka
itu dengan semau-maunya. Malah lebih lanjut ia tentu tidak akan membiarkan pihak
lain memiliki kekayaan-kekayaan dan segala itu akan dimilikinya sendiri. Maka orang
pun akhirnya menjadilah terlalu malas untuk mempedulikan kemegahan itu. Mereka
mulailah menjadi tidak bersemangat dan lebih suka pada kehina-dinaan dan
penghambaan (Ar. al-maddzalah wa al-isti'bad).
Generasi yang kemudiannya dari pada anggota dinasti tersebut dibesarkanlah
dalam keadaan seperti ini. Mereka menganggap tunjangan-tunjangan yang mereka
terima itu sebagai bayaran pemerintah kepada mereka karena jasa-jasa dan bantuan-
bantuan militer mereka. Pikiran lain tak ada terlintas dalam otak mereka. Akan tetapi
jaranglah ada manusia yang mau mempersewakan dirinya sendiri guna mengorbankan
nyawanya. Maka keadaan seperti itu akhirnya melemahkan daulah itu dan
148
Ibnu Khaldun menggunakan di sini perkataan Arab al-majdu yang dalam bahasa Indonesia saya kira lebih tepat
diterjemahkan dengan dua perkataan kemenangan serta kemegahan. O.R.
menghancurkan sendi-sendi kekuatannya. Ashabiyahnya pun menjadi rusak karena
rakyat pendukung 'ashabiyah itu telah hilang semangat dan energi mereka. Akibatnya
ialah daulah itu meluncurlah terus menuju kelemahan dan kebangkaannya.
Kedua Seperti telah kita katakan juga sebelumnya, kekuasaan-wibawa itu menurut
wataknya adalah meminta kemewahan (Ar. anna thabiat al-mulki taqtadli at-tarafa).
Manusia menjadi terbiasa dengan beberapa banyak macam benda-benda.
Pengeluaran-pengeluaran mereka adalah lebih tinggi dari uang-uang sokongan yang
mereka terima dan penghasilan mereka tidaklah cukup untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran mereka itu. Maka mereka-mereka yang miskin musnahlah. Nafsu
berbelanja memboroskan penghasilan mereka pada barang-barang mewah. Keadaan
seperti ini semakin menjadi-jadi di zaman generasi-generasi yang kemudiannya. Maka
pada akhirnya semua penghasilan mereka itu nanti tidaklah sanggup lagi membiayai
kemewahan-kemewahan itu beserta segala hal-hal lain lagi yang mereka telah terbiasa
dengannya. Mereka pun menjadilah orang-orang yang kekurangan. Jika raja-raja
mereka mendesak mereka supaya membiayai belanja penyerangan-penyerangan dan
peperangan-peperangan, maka mereka pun tak berdaya untuk melaksanakannya.
Karena itu maka para raja yang berkuasa membebani pula lagi rakyat dengan ukubat-
ukubat dan banyaklah di antara mereka itu yang dirampas harta kekayaannya, baik
dengan mengambilnya buat mereka sendiri, maupun dengan menyerahkannya kepada
anak-anak mereka dan penyokong-penyokong dari dinasti yang bersangkutan. Dengan
berbuat demikian mereka sebenarnya telah membuat rakyat mereka menjadi lemah
dalam keuangannya untuk sekedar dapat membelanjai nafkah hidupnya, dan
kelemahan rakyat itu akhirnya mempunyai akibat (reaksi) atas raja itu sendiri dan
akan sangat melemahkannya pula.
Maka itu jika kemewahan telah merajalela pada sesuatu dinasti, sedang
penghasilan rakyat telah tak cukup lagi untuk sekedar membiayai nafkah kebutuhan-
kebutuhan dan pengeluaran-pengeluarannya sehari-hari, maka raja yakni Pemerintah
haruslah menambah perbantuan-perbantuan pada mereka itu supaya mereka dengan
demikian dapat mengatasi dan memulihkan kembali keadaan yang tiada sehat atas diri
mereka itu. Akan tetapi harus diingat pula bahwa jumlah uang yang masuk dari pajak
adalah sesuatu yang tetap. Ia tidak bertambah dan tidak berkurang. Jika ia bertambah
oleh adanya pajak-pajak pabean yang baru, maka jumlah yang akan dipungut sebagai
akibat penambahan itu mempunyai batas-batas yang tertentu pula dan tiada akan
dapat ditambah-tambah lagi. Dan jika uang yang masuk dari pajak itu harus lenyap
pula karena perlu dikeluarkan untuk membiayai perbantuan-perbantuan yang telah
mesti ditambah baru-baru ini, yakni telah mesti ditambah bagi setiap orang semata-
mata karena hendak mempertahankan kemewahan-kemewahan dan pengeluaran-
pengeluaran besar yang boros itu, maka jumlah tentara dengan sendirinya terpaksa
pula dikurangi dari keadaan sebelum penambahan-penamhahan bantuan itu berlaku.
Dalam pada itu kemewahan tersebut tentu semakin menjadi-jadi. Akibatnya ialah
bantuan-bantuan tersebut itu semakin bertamhah-tambah besar jumlahnya, dan
dengan itu jumlah tentara semakin bertambah-tambah kurang pula. Ini kiranya terjadi
untuk ketiga dan empat kalinya. Pada akhirnya jumlah tentara itu telah berkurang
sampai sekecil-kecil mungkin. Akibatnya lagi ialah pertahanan militer dari daulah itu
menjadilah amat lemahnya dan kekuasaan dinasti itupun merosotlah. Negara-negara
yang bertetangga dengannya, malah pun juga bangsa-bangsa dan suku-suku yang
dikuasai oleh dinasti itu sendiri, kini menjadi berani dan akan bertindak
menyerangnya, dan adalah dengan seizin Allah yang ia kemudian hancur-lebur,
sebagaimana Ia telah tetapkan juga bagi semua makhluk-Nya.
Ketahuilah pula kemudian, bahwa kemewahan itu adalah merusak akhlak (Ar. at-
tarafu mufsidun li al-khalqi). Lewat kemewahan itu jiwa memperoleh bermacam
corak kebiasaan-kebiasaan maksiat dan sapsapah (sophisme), yang akan kita
bicarakan tersendiri nanti dalam pasal khusus tentang kebudayaan yang menetap (lihat
Muqaddimah IV : 18. OR.). Orang kehilangan sifat-sifatnya yang balk yang tadinya
merupakan tanda dan petunjuk pada diri mereka sebagai pemegang kekuasaan-
wibawa itu. Mereka sebaliknya telah mengamhil sifat-sifat itu buruk. Ini adalah
menuju ke arah kemunduran dan kehancuran, sesuai dengan takdir Tuhan dalam hal
seperti itu bagi sekalian makhluk-Nya. Maka dinasti (daulah) itupun memper-tonton-
kanlah tanda-tanda kemerosotan dan kehancuran. Ia ditimpa oleh penyakit tuanya
yang kronis dan akhirnya iapun matilah.
Ketiga Seperti telah juga kita sebut-sebut, kekuasaan-wibawa itu, sesuai dengan
wataknya, meminta ketenteraman dan kedamaian. Jika orang telah terbiasa dengan
ketenteraman dan kedamaian dan menerimanya sebagai suatu garis tabiat, maka iapun
menjadilah satu bagian dari wataknya. Demikianlah adanya dengan segala hal yang
orang telah mulai terbiasa dan ter-adat dengannya.
Maka generasi-generasi baru di sini tumbuhlah dalam kesenangan dan kesedapan
hidup mewah yang aman dan tenteram dan damai. Tanda-tanda kebiadaban yang
tadinya ada pada generasi-generasi yang terdahulu mengalami perubahan. Mereka
lupa pada kebiasaan-kebiasaan keras di padang pasir (Ar. 'awa-id al-bidawah) yang
tadinya telah membikin mereka cukup tangkas untuk mencapai kekuasaan-wibawa
itu, seperti misalnya energi yang besar, ketangkasan merompak, dan kesanggupan
mengharungi padang yang luas-buas dan tak akan kehilangan jalan di daerah-daerah
yang terpencil. Tidak ada perbedaan terdapat antara mereka dengan penduduk-
penduduk kota yang biasa, terkecuali karena ketangkasan mereka dalam berkelahi dan
dalam berlambang. Maka pertahanan militer mereka pun lemahlah, energi mereka
lenyap, dan kekuatan mereka retak sampai ke sendi-sendinya. Akibat-akibat buruk
dari keadaan seperti ini atas dinasti (daulah) yang bersangkutan itu akan kelihatanlah
dalam bentuk ketua-bangkaan usianya.
Dalam pada itu orang-orang terus juga menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk
yang terbaru dari kemewahan-kemewahan dan kebudayaan setempat dan dengan
ketenteraman, keamanan dan kehalusan dalam segala keadaan-keadaannya, dan
dengan demikian tenggelam terus dengan cepatnya menjurus ke bawah. Maka dengan
begitu mereka menjadilah terpisah jauh sekali dengan penghidupan padang pasir dan
kekerasan padang pasir. Lambat laun kebaikan-kebaikan yang lama pun semakin
melenyap dari mereka. Mereka lupa sudah pada sifatnya keberanian yang tadinya
telah melindungi dan mempertahankan mereka. Akhirnya mereka terpaksalah harus
bergantung pada kekuatan militer yang lain, jika mereka masih mempunyainya.
Satu contoh tentang ini ialah bangsa-bangsa yang sejarahnya terdapat dalam buku-
buku yang anda punyai. Apa yang saya telah katakan itu akan kelihatan di saua
kebenarannya dan tak akan dapat disangkal.
Dalam satu dinasti yang telah ditimpa oleh usia-tua sebagai akibat kemewahan
dan hidup tenang-tenteram itu, kadang-kadang ada terjadi yang sang raja memilih
penyokong-penyokong dan pengikut-pengikutnya dari kalangan-kalangan yang tak
ada sangkut-pautnya dengan dinasti yang sedang memerintah itu, akan tetapi mereka
itu semua memang termasuk orang-orang yang terbiasa dengan hidup kasar. Maka ia
pergunakan orang-orang ini sebagai tentaranya yang terang akan sanggup menderita
kesakitan-kesakitan perang, lapar dan hidup terpencil. Ini memang dapat merupakan
satu obat bagi kemungkinan sampai umurnya dinasti itu, akan tetapi itu hanya
sementara saja sehingga Tuhan mengizinkan pelaksanaan amar-Nya mengenai
kehancuran dinasti itu.
Demikianlah telah terjadi dengan daulah Turki di Timur. Kebanyakan para
anggota tentaranya adalah mawali Turki. Raja-raja Turki kemudian memilih pasukan-
pasukan berkuda dan prajurit-prajurit dari kalangan hamha-hamba orang kulit putih
(Ar. al-mamalik) yang dibawakan kepada mereka. Mereka itu lebih bernafsu
bertempur dan lebih sanggup menderita hidup terpencil daripada anak-anaknya orang-
orang Mamalik yang terdahulu, yang telah terbiasa hidup dalam lingkungan-
lingkungan mewah sebagai kasta berkuasa di bawah naungan Sri baginda Sultan.
Demikian pula halnya dengan Daulah al-Muwahhidin di Afrika Utara. Raja-raja
mereka acapkali memilih tentara-tentara mereka dari bangsa Zanatah dan bangsa
Arab. Mereka mempergunakan banyak dari mereka, dan mengabaikan bangsa mereka
sendiri yang telah terbiasa dengan kemewahan. Begitulah maka dinasti itupun
memperoleh satu penghidupan lain yang baru, yang tiada disentuh-sentuh oleh ketua-
bangkaan usia.
Allahlah pewaris bumi dan segala yang ada di atasnya.
(Pasal III : 13)
24. BATAS-BATAS EKSPANSI NEGARA
Setiap daulah mempunyai sejumlah propinsi-propinsi dan wilayah-wilayah
tertentu dan tidak lebih dari itu. Sebabnya ialah karena golongan yang menjadi
pembangun daulah itu dan rakyat yang mejadi pendukung dan penegaknya, sebagai
satu kemestian seharusnyalah disebarkan ke seluruh propinsi-propinsi dan daerah-
daerah perbatasan yang telah mereka capai dan miliki itu. Hanya secara demikianlah
baru mungkin untuk melindungi mereka dari musuh-musuh dan melaksanakan
undang-undang daulah itu yang mengenai pemungutan pajak-pajak, pembatasan-
pembatasan, dan lain-lain.
Jika golongan-golongan yang aneka-bagai itu telah tersebar merata di seluruh
daerah-daerah perbatasan dan propinsi-propinsi, maka jumlah mereka pun
semestinyalah berkurang dan habis. Pada waktu itulah territorium daulah itu
mencapai pengluasannya (expansinya) yang terjauh, di mana semua daerah-daerah
perbatasan itu merupakan suatu lingkaran (peripheri) di sekeliling pemerintahan
pusat. Jika pada masa itu daulah itu terus juga meluaskan daerahnya sampai-sampai
melampui apa yang telah dikuasainya itu, maka daerah-daerahnya yang semakin
meluas itu tinggallah tanpa perlindungan militer lagi, dan terbukalah ia bagi setiap
kesempatan serangan dari musuh atau dari tetangganya. Ini mempunyai akibat yang
merugikan bagi daulah itu karena orang mulai menjadi berani terhadapnya dan tiada
segan-segan menghadapinya. Sebaliknya jika 'ishabat (golongan) itu cukup besar
jumlahnya dan tidak akan habis-habis jika ditebarkan ke daerah-daerah dan wilayah-
wilayah perbatasan, maka daulah itu tetap mempunyai satu kekuatan pusat untuk
menjaga daerahnya seluas yang telah tercapai itu, sampai expansinya itu nanti tiba
pada luasnya yang sejauh-jauh mungkin.
Sebab tabi-i dari keadaan seperti ini terletak pada kenyataan, bahwa kekuatan
'ashabiyah itu sebenarnya adalah salah-satu dari kekuatan-kekuatan alam (Ar. al-
'illatu ath-thabi'iyat fi dzalika hiya : quat al-'ashabiyah min sa-ir al-quwa ath-
thabi'iyah). Setiap kekuatan yang mengakibatkan kegiatan dalam bentuk apapun
seharusnyalah maju dalam kegiatannya itu secara demikian, yakni menuruti jalan tabi-
inya.
Daulah itu adalah lebih kuat di pusatnya daripada di daerah-daerah perbatasannya.
Jika ia telah mencapai ekspansinya yang terjauh, maka ia menjadilah terlalu lemah
dan tiada sanggup berjalan lebih jauh lagi. Ini dapat diperbandingkan dengan sinar-
sinar cahaya yang memancar dari pusatnya, atau dengan lingkaran-lingkaran yang
meluas di atas air jika sesuatu jatuh atasnya.
Jika daulah itu menjadi tua usianya dan lemah, maka ia mulai runtuh di daerah-
daerah perbatasannya. Pusat tinggal tetap utuh seperti biasa sampai Tuhan
mengizinkan kehancuran seluruh daulah itu. Ketika itulah baru pusat terhancurkan.
Akan tetapi jika daulah itu disergap dari pusat, maka tidaklah ada faedah baginya
yang daerah-daerah perbatasannya itu tetap tinggal utuh. Semua itu juga akan turut
hancur dengan segera. Pusat itu adalah ibarat jantung hati yang darinya memancar
semangat yang menyala-nyala. Jika jantung hati itu telah disergap dan direbut, maka
segala daerah-daerah perbatasan itu teranglah akan turut terhancurkan pula.
Ini dapat dilihat pada ke-maharaja-an Persia. Pusatnya ialah Al-Madain
(Ctesiphon). Ketika tentara Islam telah merebut Al Madain, maka seluruh ke-
maharaja-an Persia itu hancur-luluh. Pemilikan propinsi-propinsi di bagian peluaran
dari ke-maharaja-annya itu adalah tidak berguna lagi bagi Yazdijard.
Sebaliknya pula, pusat pemerintahan ke-maharaja-an Byzantium di Syria adalah di
Konstantinopel. Ketika tentara Islam mencaplok Syria dari ke-maharaja-an
Byzantium itu, yang tersebut belakangan ini dapat pulih kembali di pusatnya di
Konstantinopel itu. Lepasnya Syria tidaklah menghancurkan mereka. Dan pemerintah
mereka terus juga berlangsung di sana tanpa ada hentinya sampai dengan izin Allah
ke-maharaja-an itu pun berakhirlah.
Suatu contoh yang lain ialah keadaan bangsa Arab pada permulaan Islam. Karena
mereka itu adalah satu golongan yang sangat besar, dengan cepat sekali mereka telah
dapat mencaplok negeri-negeri Syria, Iraq, dan Mesir. Kemudian mereka terus pula
berjuang hingga sampai pada menduduki India Barat (Sind), Abyssinia, Afrika-Utara
dan al-Maghrib, dan kemudian sekali Spanyol. Mereka bertebaran di seluruh propinsi-
propinsi dan daerah-daerah perbatasan, dan menetap di sana sebagai orang militer.
Maka jumlah mereka menjadilah ciut sekali oleh ekspansi itu. Penyerangan-
penyerangan seterusnya tak dapat lagi mereka lakukan, dan Daulah Islamiyah
mencapailah puncak keluasannya waktu itu. Batas-batas itu tidak pernah
dilampauinya, malahan daulah itu kemudian mundur darinya, sampai dengan izin
Allah hancur-lebur pula.
BIBLIOGRAPHI
Untuk mereka yang tak menguasai bahasa Arab, tetapi ingin hendak melanjutkan
studinya tentang segala sesuatu mengenai Ibnu Khaldun, di bawah ini kita cantumkan
satu daftar nama-nama buku dan karangan yang diperlukan.
ALATAS, HUSEIN. "Objectivity and the Writing of History : The
Conceptions of History by Al-Ghazzali, Ibnu Khaldun " The Islamic
Review, 1954 No. 1
AMMAR, ABBAS M. "Ibnu Khaldun's Prolegomena to History. The Views of
a Muslim Thinker of the 14th Century on the Development of Human
Society." Disertasi Ph. D. yang tiada diterbitkan, Dept. of Archaelogy,
Cambridge University, 1941.
ARENDONK, CORNELIS VAN; "Ibnu Khaldun" dalam Encyclopaedia of
Islam.
ASTRE, GEORGES ALBERT. "Un Precurseur de la sociologie au XIVe
siecle : Ibn Khaldoun" dalam L'Islam et l'Occident. Paris, 1947.
AYAD, MOHAMMED KAMIL. Die Geschichts - und Gesellschaftslehre Ibn
Halduns. Stuttgart dan Berlin, 1930.
BERGH, SIMON VAN DEN. Umriss der muhammedanischen Wissenschaften
nach Ibn Kaldun. Leiden, 1912.
Bolsjaya Sovetskaya Entsklopediia. Moskow, 1950. Artikel Ibnu Khaldun
BOSCH, KHEIRALLAH G. "Ibnu Khaldun on Evolution, " "The Islamic
Review, 1950, No. 5.
BOUTHOUL, GASTON. Ibn Khaldoun : sa philosophie sociale. Paris 1930.
BOUTHOUL, GASTON. "L'Esprit de corps selon Ibn Khaldoun," "Revue
internationale de Sociologie, Paris, 1932, XL.
BUKHSH, SALAHUDDIN KHUDA. "Ibnu Khaldun and his History of
Islamic Civilization," Islamic culture, Hyderabad, 1927, nomor L
CARO BAROJA, JULIO. "Aben Jaldun y la ciudad musulmana," Africa,
Madrid, 1955, No. 167.
CHAIX-RUY, JULES. "Sociologia y psicologia de la vida social en la Obra de
Ibn Jaldun," Revista Mexicana de Sociologia, Mexico, 1954, XXI, No. 24.
COLOSIO, STEFANO. "Contribution a 1'etude d'Ibn Khaldoun," Revue du
Monde Musulman, Paris, 1914, XXVI.
COQUEBERT DE MONTBRET FILS, E. "Extraits des Prolegomenes
historique d'Ibn Khaldoun," Journal asiatique, Paris, 1824, jilid V; 1825 jilid
VI, 1827 jilid X.
DARBISHIRE, ROBBERT S. "The Philosophical Rapprochement of
Christendom and Islam in Accordance with Ibnu Khaldun's Scientific
Cristicism," TheMoslem World, Hartford, 1940, jilid XXX.
DOVER, CEDRIC. "The Racial Philosophy of Ibnu Khaldun," Phylon,
Georgia, 1952, jilid XIII.
ENAN, MUHAMMAD ABDULLAH. Falsafat Ibnu Khaldun al-ijtima'iyah.
Kairo, 1925.
ENAN, MUHAMMAD ABDULLAH. Ibnu Khaldun : His Life and Work.
Lahore, 1946.
Encyclopaedia Britannica. London, Chicago, dan Toronto, 1950. "Ibnu
Khaldun."
Encyclopaedia of Islam. Leiden dan London, 1934. Artikel "Ibnu Khaldun."
Encyclopaedia Americana. NY dan Chicago, 1951. Artikel "Ibn Khaldun
EZZAT, ABDULAZIZ. Ibn Khaldoun et sa science sociale. Cairo, 1947.
FARRUKH, 'UMAR. Ibnu Khaldun wa Muqaddimatuhu. Beirut, 1951.
FARRUKH, 'UMAR. "Dirasat 'an Muqaddimat Ibnu Khaldun," Revue de l
Acalemie Arabe, Damascus, 1954, XXIX.
FARRUKH, 'UMAR. The Arab Genius in Science and Philosophy. The
American Council of Learned Societies ; Near East Translation Program,
Publication 10. Washington, 1954.
FINDIKOGLU, ZIYAEDDIN FAHRI. "Les Theories de la connaisance et de
l'histoire chez Ibn Haldoun" dalam Proceeding of the 10th International
Congress of Philosophy. Amsterdam, 1949.
FISCHEL, WALTER JOSEPH. Ibn Khaklun and Tamerlane : Their Historic
Meeting in Damascus, A.D. 1401. Berkeley dan Los Angeles, 1952.
GIBB, HAMILTON ALEXANDER. "The Islamic Background of Ibn
Khaldun's Political Theory," dalam Bulletin of the School of Oriental Studies,
London, 1933-1935.
GUMPLOWICZ, LUDWIG. "Ibn Khaldun, ein arabischer Soziologe des 14.
Jahrhunderts" dalam Sociologische Essays. Innsbruck, 1899.
HUSAIN, TAHA. Etude analytique et critique de la philosophie sociale d
'Ibnu Khaldoun. Paris, 1917.
ISSAWI, CHARLES. An Arab Philosophy of History. London, 1950.
MAHDI, MUHSIN. Ibnu Khaldun's Philosophy of History ; A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture. London, 1957.
MAHMASSANI, SOBHI Les Idees economique d'Ibnu Khaldoun : Essai
historique analytique et critique. Lyon, 1932.
NASHAAT. MOHAMMAD ALI. The Economic Ideas in the Prolegomena of
Ibnu Khaldun. Cairo, 1944.
QADIR, ABD AL. "'The Social and Political Ideas of Ibnu Khaldun," The
Indian Journal of Political Science. Allahabad, 1941.
QADIR' ABD AL. "The Economic Ideas of Ibnu Khaldun." Lihat majalah di
atas, Allahabad, 1942.
ROSENTHAL, ERWIN ISAK JAKOB. Ibnu Khalduns Gedanken uber den
Staat : Ein Beitrag zur Geschichte der mittelalterlichen Staarslehre. Berlin,
1932.
ROSENTHAL, FRANZ : A History of Muslim Historiography. Leiden, 1952.
SCHMIDT, NATHANIEL. Ibnu Khaldun : Historian, Sociologist and
philosopher. New York, 1930.
TOYNBEE, ARNOLD JOSEPH. "The Relativity of Ibnu Khaldun's Historical
Thought" dalam A Study of History. London, 1934-1954. 10 jilid. Lihat III,
321- 28,473-76, dan jilid X, 84-87.
ZAHIDA, H. PASHA. "Ibn Khaldoun, Sociologist" dalam Actes du XVe
Congres Interrnational de Sociologie. Istanbul, 1952.

Anda mungkin juga menyukai