FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SIMALUNGUN PEMATANGSIANTAR 2012
PAKTA INTEGRITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Lourent Sinaga Npm : 086000078 Fakultas : Hukum Bagian : Hukum Pidana
Menyatakan bahwa, skripsi yang berjudul: KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM, adalah asli hasil karya sendiri, bebas plagiat. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti dan terdapat plagiat dalam karya tersebut maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan sebagaimana tertulis dalam Pasal 12 ayat (1) Permendiknas RI nomor 17 Tahun 2010.
Pematangsiantar, Agustus 2012 Yang membuat Pakta Integritas,
Lourent Sinaga 086000078
ABSTRAK
KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM
Nama : Lourent Sinaga Npm : 086000078 Bagian : Hukum Pidana
Praktek perdagangan orang khususnya yang dialami oleh perempuan dan anak-anak terjadi dengan berbagai modus operandi yang melibatkan berbagai pihak yang kadangkala sulit dideteksi dengan jaringan yang begitu rapi bahkan acapkali melibatkan para penyelenggara negara dengan menyalah gunakan kekuasaannya. Peraturan yang ada didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang melarang perdagangan orang hanya mengatur secara sekilas saja sehingga seiring dengan perkembangan zaman dirasakan sudah tidak memadai sehingga dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diharapkan dapat memberantas setidak- tidaknya meminimalisir tindak pidana perdagangan orang untuk mewujudkan perlindungan terhadap hukum dan hak asasi manusia. Terkait dengan tindak pidana perdagangan orang ini dapat ditarik beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tindak pidana perdagangan orang ini dilihat dari sisi Hukum dan HAM. 2. Bagaimanakah kebijakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pencegahan tindak pidana perdagangan orang dalam perspektif Hukum dan HAM. 3. Bagaimana pula perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang dalam perspektif Hukum dan HAM. Dalam penulisan ini, penulis hanya mengkaji berbagai literatur yang ada yang relavan dengan permasalahan tersebut, maka didapatlah kesimpulan sebagai berikut: 1. Tindak pidana perdagangan orang merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia, hak dan kewajibannya yang merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang harus dicegah dan ditanggulangi atau diberantas. 2. Untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana perdagangan orang dapat dilakukan melalui tahapan kebijakan hukum yaitu tahapan formulasi, aplikasi dan eksekusi. 3. Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap korban perdagangan orang yaitu dengan pemberian restitusi dan kompensasi, layanan konseling serta bantuan hukum dan pemberian informasi. Kata kunci: Perdagangan orang, Hukum dan HAM.
DAFTAR ISI PAKTA INTEGRITAS ABSTRAK DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN . 1 A. Alasan Memilih Judul . 1 B. Rumusan Masalah 3 C. Hipotesa 3 D. Batasan Penulisan 3 E. Tujuan Penulisan . 3 F. Metode Penelitian 4 BAB II URAIAN UMUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.. 5 A. Sekilas Tentang Sejarah Perdagangan Orang .. 5 B. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang .. 7 C. Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang .. 8 BAB III LATAR BELAKANG TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. 10 A. Latar Belakang Ekonomi dan Pendidikan 10 B. Latar Belakang Sosial Budaya dan Ketidaksetaraan Gender 11 C. Latar Belakang Penegakan Hukum Dan Moral .. 12 BAB IV KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM .. 16 A. Tindak Pidana Perdagangan Orang Dari Sisi Hukum Dan HAM . 16 B. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Perspektif Hukum dan HAM .. 18 C. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Orang Dalam Perspektif Hukum dan HAM. 19 BAB V PENUTUP . 23 A. Kesimpulan 23 B. Saran ...................................................... 23 DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Memilih Judul Perdagangan orang adalah salah satu bentuk modern dari perbudakan manusia yang merupakan perlakuan terburuk terhadap harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi yang lain, Misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa, atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul, melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupun psikis. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya. Tindak pidana perdagangan orang sebenarnya sudah dikenal sejak lama bahkan sebelum kita mengenal abad modern seperti sekarang ini praktek perdagangan orang tersebut sudah dikenal pada jaman dahulu kala dengan sebutan perbudakan. Pada masa itu perbudakan 2
merupakan keadaan umum yang wajar yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapan pun dan pada masa itu tidak semua orang memandang bahwa perbudakan tersebut sebagai praktek jahat atau tidak adil. Seiring dengan perkembangan jaman dimana manusia semakin mengenal tingkat peradaban, dan juga semakin berkembangnya hukum yang semakin memperhatikan unsur- unsur kemanusiaan maka praktek-praktek perdagangan orang seperti perbudakan tersebut diatas semakin berkurang bahkan kalau boleh dikatakan sekarang ini hampir tidak dikenal lagi. Fenomena yang terjadi kemudian adalah bentuk-bentuk perdagangan orang yang justru semakin meningkat dengan berbagai modus operandi yang terkadang sulit untuk dideteksi dan tindak pidana orang tersebut korbannya khususnya adalah perempuan dan anak-anak. Semakin maraknya tindak pidana perdagangan orang ini bahkan tidak hanya melibatkan perorangan tapi juga korporasi dan acapkali justru para penyelenggara negara menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya yang membuat praktek perdagangan orang semakin merajalela. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang bahkan memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara dengan menggunakan berbagai cara termasuk teknologi canggih. Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Namun Pasal 297 KUHP ini memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Dengan latar belakang tersebut dibentuklah undang-undang khusus untuk mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan baik yang dilakukan antarwilayah dalam negeri maupun antarnegara baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia. Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini telah membawa nuansa positif untuk mengantisipasi, mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindak pidana perdagangan orang. Demikian juga dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan upaya bukan hanya untuk 3
mencegah kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) tetapi lebih luasnya untuk menanggulangi serta melindungi keberadaan keberadaan HAM. Begitu rumitnya masalah perdagangan orang ini dengan berbagai latar belakangnya serta bagaimana dia dilihat dari sisi Hukum dan HAM menarik minat penulis untuk mengkaji dan mendalaminya lebih lanjut, sehingga memilih judul: KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM. B. Rumusan Masalah 4. Bagaimanakah tindak pidana perdagangan orang ini dilihat dari sisi Hukum dan HAM. 5. Bagaimanakah kebijakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pencegahan tindak pidana perdagangan orang dalam perspektif Hukum dan HAM. 6. Bagaimana pula perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang dalam perspektif Hukum dan HAM. C. Hipotesa 4. Tindak pidana perdagangan orang merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia, hak dan kewajibannya yang merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang harus dicegah dan ditanggulangi atau diberantas. 5. Untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana perdagangan orang dapat dilakukan melalui tahapan kebijakan hukum yaitu tahapan formulasi, aplikasi dan eksekusi. 6. Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap korban perdagangan orang yaitu dengan pemberian restitusi dan kompensasi, layanan konseling serta bantuan hukum dan pemberian informasi. D. Batasan Penulisan Setiap tulisan yang berupa karya ilmiah haruslah ada batasan penulisannya supaya penulisan tadi lebih terarah, tidak mengambang dan fokus kepada permasalahan yang ada. Demikian halnya dalam tulisan ini, penulis membatasi diri untuk mengkaji bagaimana tindak pidana perdagangan orang tersebut dalam perspektif Hukum dan HAM dalam arti penekanannya khusus dalam lingkup Hukum dan HAM saja, sehingga dengan demikian tulisan ini diharapkan lebih gampang dipahami dan dicerna. E. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui tindak pidana perdagangan orang dilihat dari sisi Hukum dan HAM. 4
2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap pencegahan tindak pidana perdagangan orang dalam perspektif Hukum dan HAM. 3. Untuk mengetahui model perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang dalam perspektif Hukum dan HAM. F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis hanya mempergunakan Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu dengan membaca, megupas, dan mendalami berbagai literatur yang ada yang sudah banyak ditemukan yang dapat memberikan solusi atas segala permasalahan yang ada yang menyangkut tentang tindak pidana perdagangan orang. Disamping itu karena semakin rapi dan canggihnya praktek pelaksanaan perdagangan orang membuat kasus tersebut jarang muncul ke permukaan bahkan kasusnya sangat minim sekali sampai ke pengadilan membuat penulis lebih cenderung untuk mengadakan penelitian kepustakaan saja.
5
BAB II URAIAN UMUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Sekilas Tentang Sejarah Perdagangan Orang. Pada dasarnya perdagangan orang bukanlah hal yang baru, dalam arti bahwa jauh sebelum manusia mengenal peradaban seperti sekarang ini, perdagangan orang sudah berlangsung begitu lama. Dalam sejarah perdagangan orang, pada awalnya yang menjadi objek perdagangan adalah perempuan yang sering dilakukan transaksi jual beli di pasar-pasar layaknya seperti dagangan binatang atau barang-barang lainnya, sehingga perempuan tersebut khususnya dimata laki-laki sepertinya kurang atau bahkan tidak berharga, seperti legenda terkenal di Yunani, yaitu tentang kisah Dewi Aphrodite. Dewi Aphrodite dengan mudahnya menghianati suaminya yang oleh masyarakat Yunani dianggap sebagai Dewa. Aphrodite melahirkan anak yang bernama Koubid yang dianggap sevagai Dewa Cinta. Dewa Cinta itu lahir dari hasil perselingkuhan Aphrodite dengan kekasihnya. Legenda ini sangat merendahkan martabat dan moral perempuan, karena merupakan penghianatan moral. 1)
Demikian juga kalau kita menyaksikan film-film Romawi Kuno dan Mesir acapkali kaum laki-laki bertindak sesuka hatinya terhadap perempuan dan berhak menjual atau menganiaya istri dan anak-anaknya dengan alasan apapun. Di India, Konstitusi Manu (kitab suci agama Hindu, memandang wanita hanya sebagai pengikut dan baying-bayang suami. Jika suami meninggal dunia, istri harus ikut meninggalkan kehidupan. Sedangkan menurut agama Nasrani yang menyebar di Eropa dan beberapa negara Timur Tengah, menganggap perempuan sangat diremehkan. Paus Sostam (tokoh agama suci Nasrani) mengatakan: wanita adalah jahat yang tidak dapat dihindari, penyakit terkutuk yang akan menimpa laki-laki dengan penuh kesadaran, dan bencana yang dikemas dalam hiasan yang elok dan memikiat. Pastor Tortulian menganggap wanita adalah gerbang masuknya setan ke dalam hati dan iwa laki-laki, selalu menyalahi ajaran-ajaran tuhan dan senantiasa mebujuk laki-laki untuk keluar dari agamanya. 2)
Pada masa jahiliuah di Arab, perempuan sangat tertindas dan terpinggirkan. Kelahiran bayi perempuan dianggap membuat aib keluarga dan akan mendatangkan sial bagi keluarga. Bayi perempuan yang lahir akan disembunyikan oleh keluarganya, karena setiap bayi lahir yang berjenis kelamin perempuan akan dibunuh dan dikubur hidup-hidup (al-mauudah), selain itu kaum perempuan tidak berhak atas warisan, bahkan perempuan termasuk harta yang dapat diwariskan. Keadaan ini sangat merendahkan martabat dan derajat kaum perempuan, dan merendahkan sendi-sendi keluarga. 3) Di Indonesia masalah perdagangan orang juga pernah terjadi melaui perbudakan pada zaman kerajaan-kerajaan yang terbukti dari para raja-raja yang mempunyai banyak selir. Selir- selir tersebut ada yang diserahkan atau di jual untuk menyenangkan hati raja dan bahkan ada yang secara terpaksa harus menyerahkan putrinya kepada raja dengan maksud agar raja senang dan mereka mempunyai ikatan kekeluargaan dengan raja/istana untuk meningkatkan derajat keluarganya. Di Bali juga terjadi hal tersebut, misalnya soerang janda dari kasta rendah tanpa dukungan yang kuat dari keluarganya, secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan masuk ke lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur dan sebahagian penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur. Perlakuan terhadap orang, yaitu perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas di Jawa saja, tetapi kenyataan juga di seluruh Asia. 4) Dalam Prostitution in Colonial Java dalam DP Chandler and M.C. Ricklefs bahwa prostitusi diIndonesia mengalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat pembangunan jalan Anyer-Panarukan dan dilanjutkanpembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh Dandaels. Sekarang juga masih terjadi di mana lokalisasi prostitusi dekat stasiun kereta api. Perkembangan prostitusi kedua adalah tahun 1870 ketika pemerintah Belanda melakukan privatisasi perkebunan atau kulturstelsel. 5) _________________________________
3) Dr. Hj. Henny Nuraeny, S.H., M.H. Tindak Pidana Perdagangan Orang: Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya, Sinar Grafika, 2011. hal. 92 4) Terence H. Hull, Endang S., Gavin W. Jones, Pelacuran di Indonesia, cetakan I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997, hal. 2. 5) Kuntjoro, Memahami Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial, Jurnal Perempuan No. 36, 2004, Yayasan Jurnal Perempuan, cetakan pertama, Jakarta, Juli 2004. 7
Begitu juga periode penjajahan Jepang, perdagangan orang berbentuk kerja rodi dan komersial seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong untuk melayani perwira tinggi Jepang. 6)
Praktek perdagangan orang setelah masa penjajahan Jepang juga berlangsung terus dan bahkan hingga sekarang ini tidak bisa dipungkiri perdagangan orang semakin marak khususnya untuk tujuan komersil seperti bayi yang diperjual belikan, perempuan yang diperjual belikan sebagai pelayan di restoran, pembantu rumah tangga, pemain sandiwara atau bahkan sebagai pelacur di tempat rumah pelacuran yang awalnya mereka diiming-imingi dengan berbagai kehidupan mewah, namun akhirnya tertipu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. B. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Menurut KUHP Pada dasarnya di dalam KUHP tidak ada defenisi secara resmi dan jelas tentang perdagangan orang, namun dalam Pasal 297 ada diatur secara eksplisit sehingga tidak dapat dirumuskan unsur-unsur tindak pidana yang dapat digunakan oleh penegak hukum untuk melakukan penuntutan dan pembuktian adanya tindak pidana perdagangan wanita dan anak laki-laki dibawah umur. Pasal 297 tidak menjelaskan tentang eksploitasi sebagai unsur tujuan atau maksud dari perdagangan wanita dan laki-laki di bawah umur, tetapi dalam penjelasan KUHP yang disusun oleh R. Sugandhi bahwa perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur ke luar negeri hanya terbatas pada eksploitasi pelacuran atau pelacuran paksa. 7)
Hampir sama dengan penjelasan Pasal 297 KUHP menurut R. Soesilo bahwa 8) yang dimaksud dengan perdagangan perempuan adalah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. Masuk pula di sini mereka yang _________________ 6) Dian Kartika Sari, Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan dan Anak Dalam Tinjauan Hukum, makalah disampaikan pada Semiloka sehari Woman Trafficking dalam Perspektif agama dan Budaya, Jakarta, 8 Agustus 2002), hal 1. 7) R. Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 314. 8) R. Soesilo, Kitab Undang Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, 1976, hal. 188. 8
biasanya mencari perempuan-perempuan muda untuk dikirim ke luar negeri yang maksudnya akan digunakan untuk pelacuran. 2. Menurut Rancangan Undang Undang KUHP Tahun 2006 Dalam RUU KUHP tidak ditemukan pengertian perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan, pengertian tersebut ada dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang. Juga pengertian penyalahgunaan kekuasaan dan pemanfaatan posisi kerentanan dan penjeratan utang tidak dijelaskan dalam RUU KUHP. Dalam RUU KUHP terdapat unsur tujuan atau maksud dari perdagangan orang adalah bertujuan untuk eksploitasi atau berakibat tereks-ploitasi orang tersebut, tetapi eksploitasi yang merupakan tujuan perdagangan tidak didefenisikan. unsur tujuan ini tidak relevan lagi atau tidak berarti apabila cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam defenisi di atas digunakan. Hal ini tidak dijelaskan dalam RUU KUHP, tetapi dalam Undang- Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 9, dengan menyebutkan bahwa eksploitasi adalah tindakan memanfaatkan orang baik dengan atau tanpa persetujuan orang tersebut 3. Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka Pasal 297 dan Pasal 324 KUHP tidak berlaku lagi. C. Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 dirumuskan mengenai ruang lingkup tindak pidana perdagangan orang, yaitu: 9
1. Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007). Selain itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga melarang setiap orang yang memasukan orang ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk dieksploitasi; 2. Membawa Warga Negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah NKRI untuk tujuan eksploitasi; 3. Mengangkat anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu untuk maksud eksploitasi; 4. Mengirimkan anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun; dan setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan persetubuhan atau pencabulan, mempekerjakan korban untuk tujuan eksploitasi atau mengambil keuntungan; 5. Setiap orang yang memberikan atau memasukan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain untuk mempermudah TPPO; 6. Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum; 7. Setiap orang yang menyerangan fisik terhadap saksi atau petugas dipersidangan perkara TPPO; setiap orang yang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan persidangan di sidang Pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara TPPO; setiap orang yang membantu pelarian pelaku TPPO; 8. Setiap orang yang memberikan identitas saksi atau korban padahal seharusnya dirahasiakan.
10
BAB III LATAR BELAKANG TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Latar Belakang Ekonomi dan Pendidikan Faktor ekonomi menjadi penyebab terjadinya perdagangan manusia yang dilatarbelakangi kemiskinan dan lapangan kerja yang tidak ada atau tidak memadai dengan besarnya jumlah penduduk, sehingga kedua hal inilah yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu, yaitu mencari pekerjaan meskipun harus ke luar dari daerah asalnya dengan risiko yang tidak sedikit. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 37,7 juta jiwa di daerah perkotaan. Dari 213 juta pendudukan Indonesia pada saat ini hidup di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah, dengan penghasilan kurang dari Rp 9000,00 per hari dan pengangguran di Indonesia pun semakin meningkat jumlah per harinya. 9)
Sebuah studi dari Wijers dan Lap Chew mengenai perdagangan orang di 41 negara menunjukkan bahwa keinginan untuk memperbaiki situasi ekonomi ditambah dengan langkanya peluang ekonomi di tempat asalmerupakan salah satu alasan utama mencaripekerjaan di luar negeri. peneliti di Indonesia juga menyatakan bahwa motivasi utama ekonomi bagi kebanyakan pekerja untuk bermigrasi adalah motivasi karena ekonomi 10) . Ini sesuai dengan teori migrasi yang dikembangkan oleh Everest S. Lee yang menjelaskan bahwa: Keputusan berpindah tempat tinggal dari satu wilayah ke wilayah lain adalah merupakan konsekuensi dari perbedaan dalam nilai ke faedahan antara daerah asal dan daerah tujuan. Perpindahan terjadi jika ada faktor pendorong (push) dari tempat asal dan faktor penarik (pull) dari tempat tujuan. 11) Kemiskinan bukan satu-satunya indicator kerentanan seseorang terhadap perdagangan orang. Ternyata disisi lain masih ada juga begitu banyak penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan tetapi tidak menjadi korban perdagangan orang, malah sebaliknya justru ada penduduk yang relatif baik ekonominya dan tidak hidup dalam _______________________ 9) Dra. Farhana, S.H., M.H., M.Pdi. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta: 2010. hal 50 10) Rosenberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta: USAID. 2003 hal. 137-138 11) Muhadjir Darwin, Pencegahan Migran dan Seksualitas, Center for Population and Policy Studies, Gajah Mada University, 2003. 11
kemiskinan malah menjadi korban perdagangan orang. Ini disebabkan mereka beremigrasi untuk mencari pekerjaan bukanlah semata-mata tidak mempunyai uang tetapi untuk memperbaiki hidup yang lebih layak lagi. Hal ini diperparah oleh dukungan dan rangsangan media yang menyajikan tontonan yang glamour dan konsumtif sehingga membentuk gaya hidup yang materialistis dan konsumtif. Akhir-akhir ini gaya hidup materialistis dan konsumtif tampak sangat kontras sekali yang hampir rata-rata mewarnai pola hidup masyarakat perkotaan, bahkan tak terkecuali anak sekolah di perkotaan cenderung memaksakan diri untuk berkeinginan menikmati hidup mewah tanpa perlu perjuangan sehingga rentan untuk menjadi korban perdagangan orang. Disamping faktor ekonomi tersebut diatas, ternyata faktor pendidikan juga mengambil peranan yang signifikan sebagai yang melatarbelakangi tindak pidana perdagangan orang. Secara umum orang-orang yang mempunyai pendidikan akan lebih sulit menjadi korban perdagangan orang karena yang bersangkutan sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Korban perdagangan orang pada umumnya adalah perempuan dan anak-anak, tapi secara umum dapat dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang yang tidak berpendidikan atau yang pendidikannya sangat minim sehingga sangat rentan untuk menjadi korban. B. Latar Belakang Sosial Budaya dan Ketidaksetaraan Gender Secara geografis, Indonesia terdiri atas 17.000 pulau dan 33 provinsi. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, lebih dari 400 bahasa berbeda digunakan di Indonesia. Keragaman budaya dimanifestasikan dalam banyak macam suku bangsa, tradisi, dan pola pemukiman yang kemudian menghasilkan keragaman gugus budaya dan sosial. Secara keseluruhan, pola keturunan paling umum di Indonesia adalah pola bilateral, dengan patrilineal sebagai pola keturunan kedua paling lazim, tetapi ada banyak variasi. 12)
Nilai sosial budaya patriaki yang masih kuat ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan danperan yang berbeda dan tidak tidak setara. Hal ini ditandai dengan adanya pembakuan peran, yaitu sebagai istri, sebagai ibu, pengelola rumah tangga, dan pendidikan anak-anak di rumah, serta pencari nafkah tambahan dan jenis pekerjaannya pun serupa dengan tugas di dalam rumah tangga, misalnya menjadi pembantu rumah tangga dan mengasuh anak. _________________ 12) Rosenberg. Op-cit, hal. 143 12
Oleh sebab itu, disinyalir bahwa faktor sosial budaya yang merupakan penyebab terjadinya kesenjangan gender, antara lain sebagai berikut: 1. Lemahnya pemberdayaan ekonomi perempuan dibandingkan dengan laki-laki, yang ditandai dengan masih rendahnya peluang perempuan untuk bekerja dan berusaha, serta rendahnya akses sumber daya ekonomi seperti teknologi, informasi, pasar, kredit, dan modal kerja. 2. Kurangnya pengetahuan pada perempuan disbanding dengan laki-laki. 3. Ketidak tahuan perempuan dan anak-anak tentang apa yang sebenarnya terjadi di era globalisasi. 4. Perempuan kurang mempunyai hak untuk mengambil keputusan dalam keluarga atau masyarakat disbanding dengan laki-laki. 13)
C. Latar Belakang Penegakan Hukum Dan Moral Faktor-faktor yang mempengaruhi faktor penegakan hukum adalah faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, dan faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. 14)
Keempat faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya karena merupakan esensi dari penegakan hukum. adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam perdagangan orang, yaitu sebagai berikut: 15) 1. Faktor Hukumnya Sendiri Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, tidak ada peraturan perundang-undangan yang dengan tegas mengatur hal ini. Kebanyakan pelaku perdagangan orang yang tertangkap pun tidak semua dijatuhi hukuman yang setimpal dengan jenis dan akibat kejahatan tersebut, akibat lemahnya peranti hukum yang tersedia. Selama itu ketentuan hukum positif yang mengatur tentang larangan perdagangan orang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Pasal 297 KUHP. Pasal tersebut tidak menyebutkan dengan jelas tentang defenisi - _______________________ 13) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang Trafficking in Persons di Indonesia Tahun 2003-2004, Jakarta, 2004, hal.8. 14) Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cet. Kelima, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal.8. 15) Op.,Cit,.hal. 71. 13
perdagangan orang, sehingga tidak dapat dirumuskan dengan jelas unsur-unsur tindak pidana yang dapat digunakan penegak hukum untuk melakukan penuntutan dan pembuktian adanya tindak pidana. Pasal ini dapat dikatakan mengandung diskriminasi terhadap jenis kelamin karena pasal ini menyebutkan hanya wanita dan anak laki-laki di bawah umur, artinya hanya perempuan dewasa dan anak laki-laki yang masih di bawah umur yang mendapat perlindungan hukum. 2. Penegakan hukum di dalam masyarakat selain dipengaruhi oleh peraturan atau undang- undang (kaidah-kaidah) juga ditentukan oleh para penegak hukum (pengembala hukum), sering terjadi beberapa peraturan tidak dapat terlaksana dengan baik karena ada penegak hukum yang tidak melaksanakan suatu peraturan dengan cara sebagaimana mestinya. Terjadinya korupsi dalam pengurusan-pengurusan dokumen seperti terjadinya pemalsuan informasi pada dokumen-dokumen resmi seperti KTP, akta kelahiran, dan paspor. Sebagaimana kita ketahui dan bukan menjadi rahasia umum lagi manakala ada masyarakat yang berurusan dengan pihak kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan terkait dengan perkara yang dialami seseorang tidak pernah lepas dari masalah uang atau sogok-menyogok yang merupakan gambaran buruk dari citra penegak hukum kita, bahkan penegak hukum sendiri sering terlibat dalam praktek-praktek perdagangan orang dan pemerasan pengelola rumah pelacuran (bordil), mucikari, dan para pelacur sendiri. Rendahnya citra penegak hukum membuat masyarakat pencari keadilan sering merasa enggan dan trauma berurusan dengan para penegak hukum khususnya kepolisian tak terkecuali untuk melaporkan tindak pidana perdagangan orang sebab penegak hukum lebih sering memperlakukan korban sebagai pelaku tindak pidana dan bahkan para saksi terkadang diperlakukan sebagai tersangka. Hal ini terjadi karena perbedaan interpretasi dan lemahnya koordinasi antar sesama penegak hukum. 3. Faktor Sarana atau Fasilitas Sarana atau fasilitas mempengaruhi penegak hukum. Tidak mungkin penegak hukum akan berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas. Sarana atau fasilitas antara lain mencakup sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, dan keuangan yang cukup. 16) ___________________________________ 16) Soerjono Soekanto, Op.,cit., hal. 37. 14
Terjadinya perbedaan interpretasi pada penegak hukum tentang defenisi perdagangan orang sangat berpengaruh terhadap penuntutan, pembuktian, dan penghukuman. Sistem pendataan dan dokumentasi kasus dan penanganan perdagangan manusia yang tidak memadai, sehingga data tidak terdokumentasi secara lengkap. Ini mengakibatkan adanya anggapan bahwa upaya penanganan perdagangan manusia tidak merupakan prioritas. Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dalam struktur organisasi Polri bagian terdepan Polri dalam menangani perempuan korban kekerasan dan eksploitasi. Peranan RPK belum digunakan secara maksimal oleh masyarakat. Masih banyak masyarakat yang belum terdorong mengadu ke RPK bila mengalami eksploitasi ekonomi atau seksual. Apabila korban datang, mereka ingin segera pulang apabila RPK menahan korban lebih lama, maka diperlukan dana operasional, sedangkan dana belum dimasukkan dalam anggaran. 4. Faktor Masyarakat Kesadaran masyarakat terhadap hukum belum terbangun dengan baik. Di samping itu, sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada hukum dan aparat penegak hukum. hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketaatan terhadap hukum dan jaminan pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya dalam pencegahan dan penanggulangan tindak kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak. Pemahaman masyarakat tentang tindak pidana perdagangan manusia sangat rendah. Masyarakat tidak tahu bahwa mereka sedang melakukan salah satu bentuk kejahatan perdagangan manusia dan masyarakat yang mengetahui adanya kejahatan perdagangan manusia tidak melaporkan kepada kepolisian atau telah menjadi korban perdagangan orang. 5. Faktor Kebudayaan Dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan telah memperoleh pembagian peran, tugas, dan nilai-nilai serta aturan-aturan yang berbeda. Perempuan karena fungsi reproduksi ditempatkan domestik (rumah tangga), sedangkan laki-laki ditempatkan pada ruang publik. Pembagian peran, tugas, dan nilai serta aturan-aturan diberikan melalui aturan sosial masyarakat, adat. Pembagian peran ternyata berdampak luas serta mempengaruhi pola pengasuhan dan kesempatan bagi anak-anak laki-laki dan perempuan. Hampir di seluruh Indonesia, terutama di pedesaan, orang tua lebih memberikan kesempatan pendidikan kepada anak laki-laki, karena 15
suatu hari anak laki-laki harus mencari nafkah bagi anak dan istrinya. Sedangkan anak perempuan dianggap tidak terlalu membutuhkan pendidikan karena kelak akan mengikuti suami. Selanjutnya, orang tua memilih untuk menikahkan anak perempuan dalam usia muda bahkan usia anak-anak dengan beberapa alasan. Anak yang baik adalah anak yang menurut kepada keputusan orang tuanya. Banyak anak yang terpaksa bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Budaya juga mengajarkan bahwa istri yang baik adalah istri yang menurut kepada kepala keluarganya. Dalam sebuah keluarga perempuan selalu diberikan pendidikan rela berkorban untuk keluarga, sehingga banyak perempuan yang bekerja bukan untuk mengaktualisasikan dirinya atau melaksanakan haknya, tetapi sekadar untuk membantu keluarga atau menambah penghasilan keluarga. Oleh sebab itu, anak perempuan rentan terhadap perdagangan orang. Dari sekian banyak faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana yang telah diuraikan diatas, menurut penulis faktor moral juga memegang peranan yang sangat penting. Jika orang-orang yang terlibat dalam praktek perdagangan orang mempunyai moral yang baik, akhlak yang mulia serta berbudi luhur tentunya tidak akan tega melakukan tindak pidana perdagangan orang. Oleh sebab itu gerakan pemberantasan kemiskinan, meningkatkan pendidikan, penyamarataan derajat laki-laki dan perempuan, penegakan kesadaran hukum dan secara khusus penanaman nilai-nilai moral kepada setiap insan harus dilangsungkan secara terus menerus sehingga dengan demikian praktek-praktek perdagangan orang dapat dihindari atau setidak-tidaknya dapat diminimalisir.
16
BAB IV KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM A. Tindak Pidana Perdagangan Orang Dari Sisi Hukum Dan HAM Salah satu keberhasilan pemerintah Indonesia dalam melaksanakan perlindungan HAM khususnya terhadap kesewenang-wenangan dari sesama manusia berupa penindasan adalah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39Tahun 1999 Tentang HAM dan yang lebih spesifik lagi adalah menghilangkan perbudakan manusia yang lebih luas sifatnya dari penindasan yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 merupakan verifikasi dari beberapa peraturan hukum HAM sebelumnya, karena beberapa peraturan hukum nasional yang mengatur HAM masih bersifat umum dan sangat luas sifatnya sehingga diperlukan adanya aturan yang khusus mengatur tentang perdagangan orang. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, merupakan upaya memberikan perlindungan hukum baik langsung atau tidak langsung kepada korban dan/atau calon korban agar tidak menjadi korban di kemudian hari. Peraturan tentang perdagangan orang merupakan adanya pengakuan dari hukum karena dalam pengakuan muncul adanya sikap bersama yang melekat dan bertujuan untuk menciptakan keteraturan/ketertiban untuk mencapai keadilan. Hukum sebagai panglima selalu menjadi dambaan oleh setiap orang dimana hukum tidak membedakan status dan kedudukan seseorang dalam suatu negara. adanya persamaan dan pengakuan hukum (equal protection of law) pada setiap orang, menjadi perdebatan dan perjuangan panjang antara ilmu pengetahuan hukum, sejarah hukum, teori hukum dan kenyataan sosial di manapun di dunia ini. Kesamaan, perlakuan dan perlindungan hukum yang sama terhadap manusia, merupakan suatu proyek dalam system dan teori negara hukum yang gagal, terbengkalai atau merupakan proyek yang mentah. 17) Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dalam sistem hukum Indonesia, penegakan hukum perdagangan orang mengacu pada Pasal 297 dan Pasal __________________ 17) Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (rechstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 203-204. 17
298 KUHP. Namun sejalan dengan era globalisasi peraturan dalam KUHP ini dianggap tidak sesuai lagi sehingga dilakukan regulasi hukum melalui tataran formulasi. Regulasi hukum tentang perdagangan orang disesuaikan dengan sasaran pembangunan hukum nasional, yaitu meliputi kaidah-kaidah/norma hukum, aparatur dan organisasi penegak hukum, mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum, termasuk perilaku hukum pemerintah dan masyarakat Indonesia, bahkan sampai pada penyuluhan hukum, pelayanan hukum dan pengawasan hukum. 18)
Pada hakekatnya HAM mengakui adanya persamaan kedudukan, namun dalam realita masih ditemukan adanya diskriminasi dalam pengakuan HAM. Terbukti dalam tataran kehidupan masih ditemukan adanya penindasan, perampasan kemerdekaan, perbudakan dan masih banyak pelanggaran HAM lainnya termasuk perdagangan orang yang merupakan pelanggaran HAM. Sebagaimana yang dimuat dalam Harian Metro Siantar (salah satu harian terbitan lokal) adanya gadis-gadis dibawah umur yang disinyalir berasal dari kota Medan merupakan korban sindikat trafficking (perdagangan orang). Bahkan ketua umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mensinyalir tujuh gadis belasan tahun yang jadi korban prostitusi di lokalisasi Bukit Maraja adalah korban sindikat perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual komersial. 19) Melihat berbagai kasus yang ada dalam bidang tindak pidana perdagangan orang, maka dalam penegakan hukum tidak cukup hanya dengan pembaharuan hukum yang ada tetapi yang paling penting adalah bagaimana pemerintah melalui para penegak hukum dapat menegakkan hukum yang ada itu sebagaimana mestinya. Demikian juga halnya dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, jika diterapkan sebagaimana mestinya maka upaya untuk mencegah dan memberantas tindak pidana perdagangan orang yang merupakan bagian dari bentuk pelanggaran HAM akan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya untuk memberantas setidak-tidaknya meminimalisir tindak pidana perdagangan orang. ______________________________________ 18) L. M. Gandhi Lapian & Hetty A. Geru, Traffiking Perempuan dan Anak Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Kerja sama Yayasan Obor, Convention Watch, Pusat Kajian Perempuan Universitas Indonesia, dan NZAID, Jakarta, 2006, hal. 71 19) Harian Metro Siantar, Senin 19 Maret 2012, hal. 1 kol 3-5.
18
B. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Perspektif Hukum dan HAM Dalam perkembangan dewasa ini, hukum telah mengalami kemajuan yang sangat besar, baik dari segi teori maupun fungsi-fungsi pragmatisnya. Perkembangan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan kehidupan manusia yang di atur oleh hukum, dalam perkembangan tersebut, hukum ditempatkan sebagai sarana perubahan sosial ( agent of change law as a tool of social engineering), atau sarana pembangunan untuk mengatur jalannya perubahan dalam masyarakat. 20)
Untuk itu agar suatu peraturan hukum yang dibuat dapat berfungsi, maka harus memperhatikan dan menentukan perumusan dan penyelenggaraannya. Menurut Mardjono Reksodiputro harus memperhatikan beberapa asas, yaitu: 21)
a. Asas masuk akalnya kerugian yang dapat digambarkan oleh perbuatan tersebut (dapat mempunyai aspek moral, tetapi seharusnya merupakan public issues). b. Asas toleransi terhadap perbuatan tersebut (penilaian atas terjadinya kerugian, berkaitan erat dengan ada atau tidak adanya toleransi. Toleransi didasarkan pada penghormatan atas kebebasan dan tanggung jawab individu. c. Asas subsidaritas (sebelum perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana, perlu diperhatikan apakah kepentingan hukum yang dilanggar oleh perbuatan tersebut masih dapat dilindungi dengan cara lain, hukum pidana hanya ultimum remedium). d. Asas proporsionalitas (harus ada keseimbangan antara kerugian yang digambarkan dengan batas-batas yang diberikan oleh asas toleransi, dengan pidana yang diberikan). e. Asas legalitas (apabila asas-asas dari nomor a samapai asas nomor d telah dipertimbangkan, masih perlu dilihat apakah perbuatan tersebut dapat dirumuskan dengan baik, sehingga kepentingan hukum akan dilindungi, tercermin pula jelas hubungannya dengan asas kesalahan sendi utama hukum pidana). ___________________________ 20) Lili Rasjidi, Pembangunan Sistem Hukum dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional, dalam Bernard Arief Sidharta, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 129. 21) Mardjono Reksodiputro, Meninjau RUU tentang KUHP dalam Konteks Perlindungan HAM, Makalah, Disampaikan pada Diskusi Panel Ahli Meninjau RUU tentang KUHP Konteks Perlindungan HAM, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, November 2001. 19
f. Asas penggunaannya secara praktis dan efektifitasnya (berkaitan dengan kemungkinan penegakannya serta dampaknya pada prevensi umum).
Dalam realita, tidak sedikit peraturan yang dibuat dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, tetapi malah ditolak dan ditentang oleh masyarakat karena dianggap tidak sesuai dan menyengsarakan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan hukum yang merupakan salah satu upaya dalam mensejahterakan masyarakat, harus dilakukan secara tepat dan serasi, baik secara vertikal ataupun horizontal. Demikian juga dengan kebjakan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang sebagai salah satu bagian hukum hak asasi manusia. Kebijakan hukum yang dilakukan harus mengacu pada bidang hukum yang berhubungan dengan hukum hak asasi manusia. Hukum hak asasi manusia tidak hanya berhubungan dengan hukum pidana saja, tetapi berhubungan dengan bidang/cabang hukum lainnya. Oleh karena itu, kebijakan hukum yang dilakukan sangat luas, dapat meliputi seluruh kebijakan hukum nasional. Atas dasar itu kebijakan hukum yang dilakukan tidak hanya meliputi tahapan substansi saja, tetapi harus meliputi semua tahapan kebijakan hukum, yaitu tahapan formulasi, aplikasi dan eksekusi. Ketiga tahapan tersebut harus sejalan dan dilaksanakan secara konsisten, apabilla kebijakan hukum yang dilakukan tidak tepat, maka akan terjadi ketidakserasian dalam implementasi penegakan hukumnya. Terlebih banyak undang-undang dalam substansinya tidak mencerminkan produk legislatif yang responsif dan berkualitas. 22) C. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Orang Dalam Perspektif Hukum dan HAM Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan undang-undang kepada pelaku kejahatan sehingga korban tersebut sering luput dari perhatian apalagi setelah pelaku kejahatan menjalani proses hukum dan menjalani hukumannya. Dengan telah diberikannya sanksi kepada pelaku kejahatan seolah-olah selesailah persoalan tanpa memperhatikan bagaimana akibat daripada perbuatan tersebut terhadap korban kejahatan tadi. Dalam kaitannya dengan upaya perlindungan hkum terhadap korban perdagangan orang, maka __________________________ 22) A.A.G. Peters dalam Koesriani Siswosoebroto (Ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III, Sinar Harapan, Jakarta, 1990. hal. 166-169. 20
upaya perlindungan hukum bagi masyarakat menjadi penting. Hal tersebut disebabkan masyarakat baik kelompok maupun perorangan dapat sewaktu-waktu menjadi korban kejahatan perdagangan orang. Perlindungan hukum korban kejahatan perdagangan orang sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk atau model. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, ada dua model perlindungan, yaitu sebagai berikut: 23)
1. Model hak-hak prosedural (the procedural rights model) Model ini diPerancis disebut partie civile model (civil action sistem). Model ini menekankan dimungkinkan berperan aktifnya korban dalam proses peradilan pidana seperti mambantu jaksa, dilibatkan dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat dan lain-lain. Model ini melihat korban sebagai subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan mengejar kepentingan-kepentingannya. 2. Model pelayanan (the services model) Model ini menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi, dan upaya pengembalian kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut, dan tekanan akibat kejahatan, sehingga diperlukan standar baku bagi pembinaan korban yang dapat digunakan polisi. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk melayani dalam kerangka para penegak hukum. Pada dasarnya bentuk-bentuk atau model perlindungan terhadap korban kejahatan dapat juga diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang, untuk lebih mendalami bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan orang, maka terdapat beberapa bentuk atau model perlindungan yang dapat diberikan kepada korban, yaitu sebagai berikut: 24) a. Pemberian Restitusi dan Kompensasi Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan - ____________________________ 23) Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hal. 79-80. 24) Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, ed. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 166-17. 21
kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Selain restitusi, kompensasi dapat digunakan sebagai bentuk lain perlindungan korban tindak pidana sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara. ganti kerugian oleh negara tersebut merupakan suatu pembayaran pelayanan kesejahteraan, karena negara bertanggung jawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi masyarakatnya. Apabila anggota masyarakat menjadi korban tindak pidana, maka pemerintah dianggap gagal dalam memenuhi kewajibannya, yakni mencegah atau melindungi masyarakat dari kejahatan. Menurut Stephen Schafer, perbedaan antara restitusi dan kompensasi adalah restitusi lebih bersifat pidana yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh pelaku atau merupakan wujud pertanggungjawaban pelaku, sedangkan kompensasi lebih bersifat keperdataan, yang timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara. 51) Rehabilitasi adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis dan sosial. b. Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis Pada umumnya perlindungan yang diberikan kepada korban sebagai akibat dari tindak pidana perdagangan orang dapat bersifat fisik maupun psikis. Akibat yang bersifat psikis lebih lama untuk memulihkan daripada akibat yang bersifat fisik. Pengaruh akibat tindak pidana perdagangan orang dapat berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Untuk sebagian korban pengaruh akibat itu tidak sampai mencapai situasi yang stabil di mana ingatan akan kejadian dapat diterima dengan satu cara atau cara lain. Bagi sejumlah korban pengaruh akibat itu tidak mendapat jalan keluar yang baik seperti tenggelam dalam penderitaan yang disebut psikotrauma. Oleh karena itu, diperlukan pendampingan atau konseling untuk membantu korban dalam rangka memulihkan kondisi psikologisnya seperti semula. Pelayanan medis diberikan kepada korban yang menderita akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan laporan tertulis atau visum.
22
c. Bantuan Hukum Korban tindak pidana termasuk tindak pidana perdagangan orang hendaknya diberikan bantuan hukum. ketika korban memutuskan untuk menyelesaikan kasusnya melalui jalur hukum, maka negara wajib memfasilitasinya. d. Pemberian Informasi Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami korban. Pemberian informasi ini memegang peranan pdalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi diharapkan fungsi control masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif. Salah satu upaya yang dilakukan oleh kepolisian dalam memberikan informasi kepada korban atau keluarganya melalui web sites di beberapa kantor kepolisian, baik yang sifatnya kebijakan maupun operasional.
23
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Terjadinya tindak pidana perdagangan orang secara umum karena latar belakang ekonomi dan pendidikan, sosial-budaya, dan ketidaksetaraan gender, serta latar belakang penegakan hukum dan moral. 2. Perdagangan orang merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia serta hak-hak dan kewajibannya menurut kodrat yang diberikan oleh Tuhan yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sehingga pemberantasan tindak pidana perdagangan orang harus berdasarkan prinsip-prinsip HAM. 3. Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang harus meliputi semua tahapan kebijakan hukum, yaitu tahapan formulasi (dari sisi perundang-undangan), aplikasi (kesatuan pandang/kesamaan derap langkah diantara sesama aparat penegak hukum), dan eksekusi (kebijakan hukum dan tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit). 4. Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang bisa dilakukan dengan pemberian restitusi dan kompensasi, rehabilitasi layanan konseling serta bantuan hukum. B. Saran 1. Mengingat bentuk dan modus tindak pidana perdagangan orang sangat beragam, maka upaya pencegahan dan penanggulangan hukum harus disesuaikan dengan kasus dan modus dari tindak pidana perdagangan orang dengan berorientasi kepada penyebab yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana perdagangan orang. 2. Agar sesama aparat penegak hukum mempunyai kesatuan pandang dan derap langkah yang sama untuk mengantisipasi, mencegah dan memberantas tindak pidana perdagangan orang. 3. Agar Pemerintah dan Pemerintah Daerah membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang. 4. Agar kepada setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dikenakan hukuman yang berat untuk menimbulkan efek jera.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ahmad. 2008. Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia Arief Mansur Dikdik, M. dan Elisatris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, ed. 1, Jakarta:Raja Grafindo Persada. Darwin, Muhadjir. 2003. Pencegahan Migran dan Seksualitas, Center for Population and Policy Studies, Gajah Mada University. Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Effendi, Masnhyur & Taufani Sukmana Evandri, Edisi Revisi. 2007. HAM dalam Dimens /Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan /Aplikasi Ha-Kham (Hukum Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat. Bogor: Ghalia Indonesia. Effendi, Manshyur.1993. Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia. Fadillah, Syarif dan Chaerudin. 2004. Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam.Jakarta: Grahadikha Press. Fuady Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern (rechstaat). Bandung: Refika Aditama. Gandhi, Lapian. L. M. & Hetty A. Geru. 2006. Traffiking Perempuan dan Anak Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Jakarta: Yayasan Obor, Convention Watch, Pusat Kajian Perempuan Universitas Indonesia, dan NZAID. Gosita, Arif, 1987. Viktimologi dan KUHAP. Jakarta: Akademika Pressindo. Hendrojono. 2005. Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, cetakan pertama. Surabaya: Srikandi. Hull Terence H. Endang S, Gavin W. Jones, 1997. Pelacuran di Indonesia, cetakan I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Kartika Sari, Dian. 2002. Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan dan Anak Dalam Tinjauan Hukum. Jakarta. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2004. Penghapusan Perdagangan Orang Trafficking in Persons di Indonesia Tahun 2003-2004 . Jakarta. Kuntjoro. 2004. Memahami Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial, Jurnal Perempuan No. 36, 2004, cetakan pertama. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Kusuma, Mahmud. 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif TetapiParadigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia. Yogjakarta: Antonio Lib. Manan, Bagir. 2005. Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian, Yogyakarta: FH UII Press. Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenai Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro. Mulya, Lubis Todung. 1984. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES. Mulyadi Lilik. 2004. Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi. Jakarta: Djambatan. Najih, Mokhammad. 2008. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi. Malang: In-Trans Publishing. Nawawi Arief, Bardadan Muladi.1992. Bunga Rampai Hukum Pidana.Bandung: Alumni. Nuraeny, Henny. Tindak Pidana Perdagangan Orang: Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya. Sinar Grafika. Peters A.A.G. dalam Koesriani Siswosoebroto (Ed), 1990. Hukum danPerkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III. Jakarta: Sinar Harapan. Rasjidi, Lili. 2008. Pembangunan Sistem Hukum dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional, dalam Bernard Arief Sidharta, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta. Bandung: RefikaAditama. Reksodiputro, Mardjono. 2001. Meninjau RUU tentang KUHP dalam Konteks Perlindungan HAM, Makalah, Disampaikan pada Diskusi Panel Ahli Meninjau RUU tentang KUHP Konteks Perlindungan HAM. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Riyanto, Astim. 2006. Teori Konstitusi. Bandung: Yapemdo. Rosenberg. 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta: USAID. Sakho Muhammad, Ahsin, Sayuti Anshari Nasution, Ahmad Munif Suratmaputra. Ensiklopedi Al-Quran Jilid 3. Jakarta: Kharisma Ilmu. Soekanto, Soerjono. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,cet. Kelima. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soesilo. R. 1976. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea.
Sudarto. 1977. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Sugandhi, R. 1980. KUHP dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional. Sunggono, Bambang dan Aries Harianto, 2009. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cet. Ketiga. Bandung: Mandar Maju. Utrecht. E, 2004. HukumPidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. Vide Mahmud MD. Politik Hukum di Indonesia .Jakarta: LP3ES. Yulianto, Agus. 1994. Eksistensi Konsep Negara Hukum dalam UUD 1945, dalam Lili Rasjidi & B. Arief Sidharta (Ed), Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya ,Bandung: RemajaRosdaKarya. ---------------- Harian Metro Siantar, Senin 19 Maret 2012.