Anda di halaman 1dari 31

RINGKASAN SKRIPSI

KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA


PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF
HUKUM DAN HAM


Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi
Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM

O l e h:

LOURENT SINAGA
NPM.086000078


BAGIAN HUKUM PIDANA













FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SIMALUNGUN
PEMATANGSIANTAR
2012






KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF
HUKUM DAN HAM

SKRIPSI


Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi
Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM

Oleh:

LOURENT SINAGA
NPM.086000078

BAGIAN HUKUM PIDANA


DISETUJUI OLEH:
PEMBIMBING UTAMA



RAHAMEN SARAGIH, S.H., M.Hum.

DIKETAHUI OLEH

DEKAN KETUA BAGIAN



JANUARISON SARAGIH, S.H., M.Hum. JASEBEL GIRSANG,S.H.


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SIMALUNGUN
PEMATANGSIANTAR
2012





PAKTA INTEGRITAS



Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Lourent Sinaga
Npm : 086000078
Fakultas : Hukum
Bagian : Hukum Pidana

Menyatakan bahwa, skripsi yang berjudul: KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM, adalah
asli hasil karya sendiri, bebas plagiat. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti dan
terdapat plagiat dalam karya tersebut maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan
perundang-undangan sebagaimana tertulis dalam Pasal 12 ayat (1) Permendiknas RI nomor 17
Tahun 2010.



Pematangsiantar, Agustus 2012
Yang membuat Pakta Integritas,




Lourent Sinaga
086000078








ABSTRAK

KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM


Nama : Lourent Sinaga
Npm : 086000078
Bagian : Hukum Pidana


Praktek perdagangan orang khususnya yang dialami oleh perempuan dan anak-anak
terjadi dengan berbagai modus operandi yang melibatkan berbagai pihak yang kadangkala
sulit dideteksi dengan jaringan yang begitu rapi bahkan acapkali melibatkan para
penyelenggara negara dengan menyalah gunakan kekuasaannya. Peraturan yang ada didalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang melarang perdagangan orang hanya
mengatur secara sekilas saja sehingga seiring dengan perkembangan zaman dirasakan sudah
tidak memadai sehingga dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diharapkan dapat memberantas setidak-
tidaknya meminimalisir tindak pidana perdagangan orang untuk mewujudkan perlindungan
terhadap hukum dan hak asasi manusia. Terkait dengan tindak pidana perdagangan orang ini
dapat ditarik beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tindak pidana perdagangan orang ini dilihat dari sisi Hukum dan HAM.
2. Bagaimanakah kebijakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pencegahan tindak pidana
perdagangan orang dalam perspektif Hukum dan HAM.
3. Bagaimana pula perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang dalam
perspektif Hukum dan HAM.
Dalam penulisan ini, penulis hanya mengkaji berbagai literatur yang ada yang relavan dengan
permasalahan tersebut, maka didapatlah kesimpulan sebagai berikut:
1. Tindak pidana perdagangan orang merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat
manusia, hak dan kewajibannya yang merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia yang harus dicegah dan ditanggulangi atau diberantas.
2. Untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana perdagangan orang dapat dilakukan
melalui tahapan kebijakan hukum yaitu tahapan formulasi, aplikasi dan eksekusi.
3. Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap korban perdagangan orang yaitu
dengan pemberian restitusi dan kompensasi, layanan konseling serta bantuan hukum dan
pemberian informasi.
Kata kunci: Perdagangan orang, Hukum dan HAM.



DAFTAR ISI
PAKTA INTEGRITAS
ABSTRAK
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN . 1
A. Alasan Memilih Judul . 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Hipotesa 3
D. Batasan Penulisan 3
E. Tujuan Penulisan . 3
F. Metode Penelitian 4
BAB II URAIAN UMUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.. 5
A. Sekilas Tentang Sejarah Perdagangan Orang .. 5
B. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang .. 7
C. Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang .. 8
BAB III LATAR BELAKANG TERJADINYA TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG. 10
A. Latar Belakang Ekonomi dan Pendidikan 10
B. Latar Belakang Sosial Budaya dan Ketidaksetaraan Gender 11
C. Latar Belakang Penegakan Hukum Dan Moral .. 12
BAB IV KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM .. 16
A. Tindak Pidana Perdagangan Orang Dari Sisi Hukum Dan HAM . 16
B. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pencegahan Tindak Pidana
Perdagangan Orang Dalam Perspektif Hukum dan HAM .. 18
C. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Orang Dalam
Perspektif Hukum dan HAM. 19
BAB V PENUTUP . 23
A. Kesimpulan 23
B. Saran ...................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA










1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Memilih Judul
Perdagangan orang adalah salah satu bentuk modern dari perbudakan manusia yang
merupakan perlakuan terburuk terhadap harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya
masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang
sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat
internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling
banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya
untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk
eksploitasi yang lain, Misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik
serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak,
menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala
bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa, atau pelayanan paksa, perbudakan, dan
praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja
yang timbul, melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa
jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya
akan menderita baik secara fisik maupun psikis.
Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik
serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain
sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum
diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.
Tindak pidana perdagangan orang sebenarnya sudah dikenal sejak lama bahkan
sebelum kita mengenal abad modern seperti sekarang ini praktek perdagangan orang tersebut
sudah dikenal pada jaman dahulu kala dengan sebutan perbudakan. Pada masa itu perbudakan
2



merupakan keadaan umum yang wajar yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapan pun
dan pada masa itu tidak semua orang memandang bahwa perbudakan tersebut sebagai praktek
jahat atau tidak adil.
Seiring dengan perkembangan jaman dimana manusia semakin mengenal tingkat
peradaban, dan juga semakin berkembangnya hukum yang semakin memperhatikan unsur-
unsur kemanusiaan maka praktek-praktek perdagangan orang seperti perbudakan tersebut
diatas semakin berkurang bahkan kalau boleh dikatakan sekarang ini hampir tidak dikenal
lagi. Fenomena yang terjadi kemudian adalah bentuk-bentuk perdagangan orang yang justru
semakin meningkat dengan berbagai modus operandi yang terkadang sulit untuk dideteksi dan
tindak pidana orang tersebut korbannya khususnya adalah perempuan dan anak-anak. Semakin
maraknya tindak pidana perdagangan orang ini bahkan tidak hanya melibatkan perorangan
tapi juga korporasi dan acapkali justru para penyelenggara negara menyalahgunakan
wewenang dan kekuasaannya yang membuat praktek perdagangan orang semakin merajalela.
Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang bahkan memiliki jangkauan operasi tidak
hanya antar wilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara dengan menggunakan berbagai cara
termasuk teknologi canggih.
Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam
Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan mengenai
larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasikan
tindakan tersebut sebagai kejahatan. Namun Pasal 297 KUHP ini memberikan sanksi yang
terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan
perdagangan orang. Dengan latar belakang tersebut dibentuklah undang-undang khusus untuk
mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk
eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan baik yang dilakukan
antarwilayah dalam negeri maupun antarnegara baik oleh pelaku perorangan maupun
korporasi, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini telah membawa nuansa positif
untuk mengantisipasi, mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindak pidana perdagangan
orang. Demikian juga dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan upaya bukan hanya untuk
3



mencegah kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) tetapi lebih luasnya untuk menanggulangi
serta melindungi keberadaan keberadaan HAM.
Begitu rumitnya masalah perdagangan orang ini dengan berbagai latar belakangnya
serta bagaimana dia dilihat dari sisi Hukum dan HAM menarik minat penulis untuk mengkaji
dan mendalaminya lebih lanjut, sehingga memilih judul: KAJIAN YURIDIS TENTANG
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN
HAM.
B. Rumusan Masalah
4. Bagaimanakah tindak pidana perdagangan orang ini dilihat dari sisi Hukum dan HAM.
5. Bagaimanakah kebijakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pencegahan tindak pidana
perdagangan orang dalam perspektif Hukum dan HAM.
6. Bagaimana pula perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang dalam
perspektif Hukum dan HAM.
C. Hipotesa
4. Tindak pidana perdagangan orang merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat
manusia, hak dan kewajibannya yang merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia yang harus dicegah dan ditanggulangi atau diberantas.
5. Untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana perdagangan orang dapat dilakukan
melalui tahapan kebijakan hukum yaitu tahapan formulasi, aplikasi dan eksekusi.
6. Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap korban perdagangan orang yaitu
dengan pemberian restitusi dan kompensasi, layanan konseling serta bantuan hukum dan
pemberian informasi.
D. Batasan Penulisan
Setiap tulisan yang berupa karya ilmiah haruslah ada batasan penulisannya supaya
penulisan tadi lebih terarah, tidak mengambang dan fokus kepada permasalahan yang ada.
Demikian halnya dalam tulisan ini, penulis membatasi diri untuk mengkaji bagaimana tindak
pidana perdagangan orang tersebut dalam perspektif Hukum dan HAM dalam arti
penekanannya khusus dalam lingkup Hukum dan HAM saja, sehingga dengan demikian
tulisan ini diharapkan lebih gampang dipahami dan dicerna.
E. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tindak pidana perdagangan orang dilihat dari sisi Hukum dan HAM.
4



2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap pencegahan tindak pidana
perdagangan orang dalam perspektif Hukum dan HAM.
3. Untuk mengetahui model perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang
dalam perspektif Hukum dan HAM.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis hanya mempergunakan Penelitian Kepustakaan (Library
Research) yaitu dengan membaca, megupas, dan mendalami berbagai literatur yang ada yang
sudah banyak ditemukan yang dapat memberikan solusi atas segala permasalahan yang ada
yang menyangkut tentang tindak pidana perdagangan orang. Disamping itu karena semakin
rapi dan canggihnya praktek pelaksanaan perdagangan orang membuat kasus tersebut jarang
muncul ke permukaan bahkan kasusnya sangat minim sekali sampai ke pengadilan membuat
penulis lebih cenderung untuk mengadakan penelitian kepustakaan saja.



















5


BAB II
URAIAN UMUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
A. Sekilas Tentang Sejarah Perdagangan Orang.
Pada dasarnya perdagangan orang bukanlah hal yang baru, dalam arti bahwa jauh
sebelum manusia mengenal peradaban seperti sekarang ini, perdagangan orang sudah
berlangsung begitu lama.
Dalam sejarah perdagangan orang, pada awalnya yang menjadi objek perdagangan
adalah perempuan yang sering dilakukan transaksi jual beli di pasar-pasar layaknya seperti
dagangan binatang atau barang-barang lainnya, sehingga perempuan tersebut khususnya
dimata laki-laki sepertinya kurang atau bahkan tidak berharga, seperti legenda terkenal di
Yunani, yaitu tentang kisah Dewi Aphrodite. Dewi Aphrodite dengan mudahnya menghianati
suaminya yang oleh masyarakat Yunani dianggap sebagai Dewa. Aphrodite melahirkan anak
yang bernama Koubid yang dianggap sevagai Dewa Cinta. Dewa Cinta itu lahir dari hasil
perselingkuhan Aphrodite dengan kekasihnya. Legenda ini sangat merendahkan martabat dan
moral perempuan, karena merupakan penghianatan moral.
1)

Demikian juga kalau kita menyaksikan film-film Romawi Kuno dan Mesir acapkali
kaum laki-laki bertindak sesuka hatinya terhadap perempuan dan berhak menjual atau
menganiaya istri dan anak-anaknya dengan alasan apapun.
Di India, Konstitusi Manu (kitab suci agama Hindu, memandang wanita hanya sebagai
pengikut dan baying-bayang suami. Jika suami meninggal dunia, istri harus ikut meninggalkan
kehidupan. Sedangkan menurut agama Nasrani yang menyebar di Eropa dan beberapa negara
Timur Tengah, menganggap perempuan sangat diremehkan. Paus Sostam (tokoh agama suci
Nasrani) mengatakan: wanita adalah jahat yang tidak dapat dihindari, penyakit terkutuk yang
akan menimpa laki-laki dengan penuh kesadaran, dan bencana yang dikemas dalam hiasan
yang elok dan memikiat. Pastor Tortulian menganggap wanita adalah gerbang masuknya
setan ke dalam hati dan iwa laki-laki, selalu menyalahi ajaran-ajaran tuhan dan senantiasa
mebujuk laki-laki untuk keluar dari agamanya.
2)

_______________________________
1)
Ahsin Sakho Muhammad, Sayuti Anshari Nasution, Ahmad Munif Suratmaputra, Ensiklopedi Al-Quran Jilid 3,
Kharisma Ilmu, Jakarta, ha103.
2)
Ibid., hal. 105.
6



Pada masa jahiliuah di Arab, perempuan sangat tertindas dan terpinggirkan.
Kelahiran bayi perempuan dianggap membuat aib keluarga dan akan mendatangkan sial bagi
keluarga.
Bayi perempuan yang lahir akan disembunyikan oleh keluarganya, karena setiap bayi
lahir yang berjenis kelamin perempuan akan dibunuh dan
dikubur hidup-hidup (al-mauudah), selain itu kaum perempuan tidak berhak atas warisan,
bahkan perempuan termasuk harta yang dapat diwariskan. Keadaan ini sangat merendahkan
martabat dan derajat kaum perempuan, dan merendahkan sendi-sendi keluarga.
3)
Di Indonesia masalah perdagangan orang juga pernah terjadi melaui perbudakan pada
zaman kerajaan-kerajaan yang terbukti dari para raja-raja yang mempunyai banyak selir. Selir-
selir tersebut ada yang diserahkan atau di jual untuk menyenangkan hati raja dan bahkan ada
yang secara terpaksa harus menyerahkan putrinya kepada raja dengan maksud agar raja senang
dan mereka mempunyai ikatan kekeluargaan dengan raja/istana untuk meningkatkan derajat
keluarganya.
Di Bali juga terjadi hal tersebut, misalnya soerang janda dari kasta rendah tanpa
dukungan yang kuat dari keluarganya, secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja
memutuskan tidak mengambil dan masuk ke lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar
kota untuk menjadi pelacur dan sebahagian penghasilannya harus diserahkan kepada raja
secara teratur. Perlakuan terhadap orang, yaitu perempuan sebagai barang dagangan tidak
terbatas di Jawa saja, tetapi kenyataan juga di seluruh Asia.
4)
Dalam Prostitution in Colonial Java dalam DP Chandler and M.C. Ricklefs bahwa
prostitusi diIndonesia mengalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat pembangunan
jalan Anyer-Panarukan dan dilanjutkanpembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh
Dandaels. Sekarang juga masih terjadi di mana lokalisasi prostitusi dekat stasiun kereta api.
Perkembangan prostitusi kedua adalah tahun 1870 ketika pemerintah Belanda melakukan
privatisasi perkebunan atau kulturstelsel.
5)
_________________________________

3)
Dr. Hj. Henny Nuraeny, S.H., M.H. Tindak Pidana Perdagangan Orang: Kebijakan Hukum Pidana dan
Pencegahannya, Sinar Grafika, 2011. hal. 92
4)
Terence H. Hull, Endang S., Gavin W. Jones, Pelacuran di Indonesia, cetakan I, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1997, hal. 2.
5)
Kuntjoro, Memahami Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial, Jurnal Perempuan No. 36, 2004, Yayasan
Jurnal Perempuan, cetakan pertama, Jakarta, Juli 2004.
7



Begitu juga periode penjajahan Jepang, perdagangan orang berbentuk kerja rodi dan
komersial seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur,
Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong
untuk melayani perwira tinggi Jepang.
6)

Praktek perdagangan orang setelah masa penjajahan Jepang juga berlangsung terus dan
bahkan hingga sekarang ini tidak bisa dipungkiri perdagangan orang semakin marak
khususnya untuk tujuan komersil seperti bayi yang diperjual belikan, perempuan yang
diperjual belikan sebagai pelayan di restoran, pembantu rumah tangga, pemain sandiwara atau
bahkan sebagai pelacur di tempat rumah pelacuran yang awalnya mereka diiming-imingi
dengan berbagai kehidupan mewah, namun akhirnya tertipu oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.
B. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang
1. Menurut KUHP
Pada dasarnya di dalam KUHP tidak ada defenisi secara resmi dan jelas tentang
perdagangan orang, namun dalam Pasal 297 ada diatur secara eksplisit sehingga tidak dapat
dirumuskan unsur-unsur tindak pidana yang dapat digunakan oleh penegak hukum untuk
melakukan penuntutan dan pembuktian adanya tindak pidana perdagangan wanita dan anak
laki-laki dibawah umur.
Pasal 297 tidak menjelaskan tentang eksploitasi sebagai unsur tujuan atau maksud
dari perdagangan wanita dan laki-laki di bawah umur, tetapi dalam penjelasan KUHP yang
disusun oleh R. Sugandhi bahwa perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur ke
luar negeri hanya terbatas pada eksploitasi pelacuran atau pelacuran paksa.
7)

Hampir sama dengan penjelasan Pasal 297 KUHP menurut R. Soesilo bahwa
8)
yang
dimaksud dengan perdagangan perempuan adalah melakukan perbuatan-perbuatan dengan
maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. Masuk pula di sini mereka yang
_________________
6)
Dian Kartika Sari, Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan dan Anak Dalam Tinjauan Hukum, makalah
disampaikan pada Semiloka sehari Woman Trafficking dalam Perspektif agama dan Budaya, Jakarta, 8 Agustus
2002), hal 1.
7)
R. Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 314.
8)
R. Soesilo, Kitab Undang Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
Bogor: Politea, 1976, hal. 188.
8



biasanya mencari perempuan-perempuan muda untuk dikirim ke luar negeri yang maksudnya
akan digunakan untuk pelacuran.
2. Menurut Rancangan Undang Undang KUHP Tahun 2006
Dalam RUU KUHP tidak ditemukan pengertian perekrutan, pengiriman,
penyerahterimaan, pengertian tersebut ada dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Orang. Juga pengertian penyalahgunaan kekuasaan dan
pemanfaatan posisi kerentanan dan penjeratan utang tidak dijelaskan dalam RUU KUHP.
Dalam RUU KUHP terdapat unsur tujuan atau maksud dari perdagangan orang adalah
bertujuan untuk eksploitasi atau berakibat tereks-ploitasi orang tersebut, tetapi eksploitasi
yang merupakan tujuan perdagangan tidak didefenisikan. unsur tujuan ini tidak relevan lagi
atau tidak berarti apabila cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam
defenisi di atas digunakan. Hal ini tidak dijelaskan dalam RUU KUHP, tetapi dalam Undang-
Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
ditegaskan dalam Pasal 1 angka 9, dengan menyebutkan bahwa eksploitasi adalah tindakan
memanfaatkan orang baik dengan atau tanpa persetujuan orang tersebut
3. Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang tersebut di wilayah negara Republik
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Dengan adanya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, maka Pasal 297 dan Pasal 324 KUHP tidak berlaku lagi.
C. Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 dirumuskan mengenai ruang lingkup
tindak pidana perdagangan orang, yaitu:
9



1. Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
ditentukan dalam undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007). Selain itu,
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga melarang setiap orang yang memasukan
orang ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk dieksploitasi;
2. Membawa Warga Negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah NKRI untuk tujuan
eksploitasi;
3. Mengangkat anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu untuk maksud
eksploitasi;
4. Mengirimkan anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun; dan setiap orang
yang menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan
persetubuhan atau pencabulan, mempekerjakan korban untuk tujuan eksploitasi atau
mengambil keuntungan;
5. Setiap orang yang memberikan atau memasukan keterangan palsu pada dokumen negara
atau dokumen lain untuk mempermudah TPPO;
6. Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan bukti palsu atau barang
bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum;
7. Setiap orang yang menyerangan fisik terhadap saksi atau petugas dipersidangan perkara
TPPO; setiap orang yang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau
tidak langsung penyidikan, penuntutan dan persidangan di sidang Pengadilan terhadap
tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara TPPO; setiap orang yang membantu
pelarian pelaku TPPO;
8. Setiap orang yang memberikan identitas saksi atau korban padahal seharusnya
dirahasiakan.


10


BAB III
LATAR BELAKANG TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
A. Latar Belakang Ekonomi dan Pendidikan
Faktor ekonomi menjadi penyebab terjadinya perdagangan manusia yang
dilatarbelakangi kemiskinan dan lapangan kerja yang tidak ada atau tidak memadai dengan
besarnya jumlah penduduk, sehingga kedua hal inilah yang menyebabkan seseorang
melakukan sesuatu, yaitu mencari pekerjaan meskipun harus ke luar dari daerah asalnya
dengan risiko yang tidak sedikit. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, bahwa
jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 37,7 juta jiwa di daerah perkotaan. Dari 213 juta
pendudukan Indonesia pada saat ini hidup di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh
pemerintah, dengan penghasilan kurang dari Rp 9000,00 per hari dan pengangguran di
Indonesia pun semakin meningkat jumlah per harinya.
9)

Sebuah studi dari Wijers dan Lap Chew mengenai perdagangan orang di 41 negara
menunjukkan bahwa keinginan untuk memperbaiki situasi ekonomi ditambah dengan
langkanya peluang ekonomi di tempat asalmerupakan salah satu alasan utama
mencaripekerjaan di luar negeri. peneliti di Indonesia juga menyatakan bahwa motivasi utama
ekonomi bagi kebanyakan pekerja untuk bermigrasi adalah motivasi karena ekonomi
10)
.
Ini sesuai dengan teori migrasi yang dikembangkan oleh Everest S. Lee yang
menjelaskan bahwa: Keputusan berpindah tempat tinggal dari satu wilayah ke wilayah lain
adalah merupakan konsekuensi dari perbedaan dalam nilai ke faedahan antara daerah asal dan
daerah tujuan. Perpindahan terjadi jika ada faktor pendorong (push) dari tempat asal dan faktor
penarik (pull) dari tempat tujuan.
11)
Kemiskinan bukan satu-satunya indicator kerentanan seseorang terhadap
perdagangan orang. Ternyata disisi lain masih ada juga begitu banyak penduduk Indonesia
yang hidup dalam kemiskinan tetapi tidak menjadi korban perdagangan orang, malah
sebaliknya justru ada penduduk yang relatif baik ekonominya dan tidak hidup dalam
_______________________
9)
Dra. Farhana, S.H., M.H., M.Pdi. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta:
2010. hal 50
10)
Rosenberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta: USAID. 2003 hal. 137-138
11)
Muhadjir Darwin, Pencegahan Migran dan Seksualitas, Center for Population and Policy Studies, Gajah
Mada University, 2003.
11



kemiskinan malah menjadi korban perdagangan orang. Ini disebabkan mereka beremigrasi
untuk mencari pekerjaan bukanlah semata-mata tidak mempunyai uang tetapi untuk
memperbaiki hidup yang lebih layak lagi. Hal ini diperparah oleh dukungan dan rangsangan
media yang menyajikan tontonan yang glamour dan konsumtif sehingga membentuk gaya
hidup yang materialistis dan konsumtif.
Akhir-akhir ini gaya hidup materialistis dan konsumtif tampak sangat kontras sekali
yang hampir rata-rata mewarnai pola hidup masyarakat perkotaan, bahkan tak terkecuali anak
sekolah di perkotaan cenderung memaksakan diri untuk berkeinginan menikmati hidup mewah
tanpa perlu perjuangan sehingga rentan untuk menjadi korban perdagangan orang.
Disamping faktor ekonomi tersebut diatas, ternyata faktor pendidikan juga
mengambil peranan yang signifikan sebagai yang melatarbelakangi tindak pidana perdagangan
orang. Secara umum orang-orang yang mempunyai pendidikan akan lebih sulit menjadi
korban perdagangan orang karena yang bersangkutan sudah bisa membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Korban perdagangan orang pada umumnya adalah perempuan dan
anak-anak, tapi secara umum dapat dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang yang
tidak berpendidikan atau yang pendidikannya sangat minim sehingga sangat rentan untuk
menjadi korban.
B. Latar Belakang Sosial Budaya dan Ketidaksetaraan Gender
Secara geografis, Indonesia terdiri atas 17.000 pulau dan 33 provinsi. Bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi, lebih dari 400 bahasa berbeda digunakan di Indonesia.
Keragaman budaya dimanifestasikan dalam banyak macam suku bangsa, tradisi, dan pola
pemukiman yang kemudian menghasilkan keragaman gugus budaya dan sosial. Secara
keseluruhan, pola keturunan paling umum di Indonesia adalah pola bilateral, dengan
patrilineal sebagai pola keturunan kedua paling lazim, tetapi ada banyak variasi.
12)

Nilai sosial budaya patriaki yang masih kuat ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada
kedudukan danperan yang berbeda dan tidak tidak setara. Hal ini ditandai dengan adanya
pembakuan peran, yaitu sebagai istri, sebagai ibu, pengelola rumah tangga, dan pendidikan
anak-anak di rumah, serta pencari nafkah tambahan dan jenis pekerjaannya pun serupa dengan
tugas di dalam rumah tangga, misalnya menjadi pembantu rumah tangga dan mengasuh anak.
_________________
12)
Rosenberg. Op-cit, hal. 143
12



Oleh sebab itu, disinyalir bahwa faktor sosial budaya yang merupakan penyebab
terjadinya kesenjangan gender, antara lain sebagai berikut:
1. Lemahnya pemberdayaan ekonomi perempuan dibandingkan dengan laki-laki, yang
ditandai dengan masih rendahnya peluang perempuan untuk bekerja dan berusaha, serta
rendahnya akses sumber daya ekonomi seperti teknologi, informasi, pasar, kredit, dan
modal kerja.
2. Kurangnya pengetahuan pada perempuan disbanding dengan laki-laki.
3. Ketidak tahuan perempuan dan anak-anak tentang apa yang sebenarnya terjadi di era
globalisasi.
4. Perempuan kurang mempunyai hak untuk mengambil keputusan dalam keluarga atau
masyarakat disbanding dengan laki-laki.
13)

C. Latar Belakang Penegakan Hukum Dan Moral
Faktor-faktor yang mempengaruhi faktor penegakan hukum adalah faktor hukumnya
sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, dan faktor masyarakat dan faktor
kebudayaan.
14)

Keempat faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya karena merupakan esensi dari
penegakan hukum. adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam
perdagangan orang, yaitu sebagai berikut:
15)
1. Faktor Hukumnya Sendiri
Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang, tidak ada peraturan perundang-undangan yang dengan tegas mengatur
hal ini. Kebanyakan pelaku perdagangan orang yang tertangkap pun tidak semua dijatuhi
hukuman yang setimpal dengan jenis dan akibat kejahatan tersebut, akibat lemahnya
peranti hukum yang tersedia. Selama itu ketentuan hukum positif yang mengatur tentang
larangan perdagangan orang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan
seperti Pasal 297 KUHP. Pasal tersebut tidak menyebutkan dengan jelas tentang defenisi -
_______________________
13)
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang Trafficking in
Persons di Indonesia Tahun 2003-2004, Jakarta, 2004, hal.8.
14)
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cet. Kelima, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004, hal.8.
15)
Op.,Cit,.hal. 71.
13



perdagangan orang, sehingga tidak dapat dirumuskan dengan jelas unsur-unsur tindak
pidana yang dapat digunakan penegak hukum untuk melakukan penuntutan dan
pembuktian adanya tindak pidana. Pasal ini dapat dikatakan mengandung diskriminasi
terhadap jenis kelamin karena pasal ini menyebutkan hanya wanita dan anak laki-laki di
bawah umur, artinya hanya perempuan dewasa dan anak laki-laki yang masih di bawah
umur yang mendapat perlindungan hukum.
2. Penegakan hukum di dalam masyarakat selain dipengaruhi oleh peraturan atau undang-
undang (kaidah-kaidah) juga ditentukan oleh para penegak hukum (pengembala hukum),
sering terjadi beberapa peraturan tidak dapat terlaksana dengan baik karena ada penegak
hukum yang tidak melaksanakan suatu peraturan dengan cara sebagaimana mestinya.
Terjadinya korupsi dalam pengurusan-pengurusan dokumen seperti terjadinya pemalsuan
informasi pada dokumen-dokumen resmi seperti KTP, akta kelahiran, dan paspor.
Sebagaimana kita ketahui dan bukan menjadi rahasia umum lagi manakala ada
masyarakat yang berurusan dengan pihak kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan
terkait dengan perkara yang dialami seseorang tidak pernah lepas dari masalah uang atau
sogok-menyogok yang merupakan gambaran buruk dari citra penegak hukum kita, bahkan
penegak hukum sendiri sering terlibat dalam praktek-praktek perdagangan orang dan
pemerasan pengelola rumah pelacuran (bordil), mucikari, dan para pelacur sendiri.
Rendahnya citra penegak hukum membuat masyarakat pencari keadilan sering merasa
enggan dan trauma berurusan dengan para penegak hukum khususnya kepolisian tak
terkecuali untuk melaporkan tindak pidana perdagangan orang sebab penegak hukum lebih
sering memperlakukan korban sebagai pelaku tindak pidana dan bahkan para saksi
terkadang diperlakukan sebagai tersangka. Hal ini terjadi karena perbedaan interpretasi
dan lemahnya koordinasi antar sesama penegak hukum.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Sarana atau fasilitas mempengaruhi penegak hukum. Tidak mungkin penegak hukum akan
berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas. Sarana atau fasilitas antara
lain mencakup sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang
baik, peralatan yang memadai, dan keuangan yang cukup.
16)
___________________________________
16)
Soerjono Soekanto, Op.,cit., hal. 37.
14



Terjadinya perbedaan interpretasi pada penegak hukum tentang defenisi perdagangan
orang sangat berpengaruh terhadap penuntutan, pembuktian, dan penghukuman. Sistem
pendataan dan dokumentasi kasus dan penanganan perdagangan manusia yang tidak
memadai, sehingga data tidak terdokumentasi secara lengkap. Ini mengakibatkan adanya
anggapan bahwa upaya penanganan perdagangan manusia tidak merupakan prioritas.
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dalam struktur organisasi Polri bagian terdepan Polri
dalam menangani perempuan korban kekerasan dan eksploitasi. Peranan RPK belum
digunakan secara maksimal oleh masyarakat. Masih banyak masyarakat yang belum
terdorong mengadu ke RPK bila mengalami eksploitasi ekonomi atau seksual. Apabila
korban datang, mereka ingin segera pulang apabila RPK menahan korban lebih lama,
maka diperlukan dana operasional, sedangkan dana belum dimasukkan dalam anggaran.
4. Faktor Masyarakat
Kesadaran masyarakat terhadap hukum belum terbangun dengan baik. Di samping itu,
sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada hukum dan aparat
penegak hukum. hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketaatan terhadap hukum dan
jaminan pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya dalam pencegahan dan
penanggulangan tindak kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak.
Pemahaman masyarakat tentang tindak pidana perdagangan manusia sangat rendah.
Masyarakat tidak tahu bahwa mereka sedang melakukan salah satu bentuk kejahatan
perdagangan manusia dan masyarakat yang mengetahui adanya kejahatan perdagangan
manusia tidak melaporkan kepada kepolisian atau telah menjadi korban perdagangan
orang.
5. Faktor Kebudayaan
Dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan telah memperoleh pembagian
peran, tugas, dan nilai-nilai serta aturan-aturan yang berbeda. Perempuan karena fungsi
reproduksi ditempatkan domestik (rumah tangga), sedangkan laki-laki ditempatkan pada
ruang publik. Pembagian peran, tugas, dan nilai serta aturan-aturan diberikan melalui
aturan sosial masyarakat, adat.
Pembagian peran ternyata berdampak luas serta mempengaruhi pola pengasuhan dan
kesempatan bagi anak-anak laki-laki dan perempuan. Hampir di seluruh Indonesia, terutama di
pedesaan, orang tua lebih memberikan kesempatan pendidikan kepada anak laki-laki, karena
15



suatu hari anak laki-laki harus mencari nafkah bagi anak dan istrinya. Sedangkan anak
perempuan dianggap tidak terlalu membutuhkan pendidikan karena kelak akan mengikuti
suami.
Selanjutnya, orang tua memilih untuk menikahkan anak perempuan dalam usia muda
bahkan usia anak-anak dengan beberapa alasan. Anak yang baik adalah anak yang menurut
kepada keputusan orang tuanya. Banyak anak yang terpaksa bekerja untuk membantu
perekonomian keluarga. Budaya juga mengajarkan bahwa istri yang baik adalah istri yang
menurut kepada kepala keluarganya.
Dalam sebuah keluarga perempuan selalu diberikan pendidikan rela berkorban untuk
keluarga, sehingga banyak perempuan yang bekerja bukan untuk mengaktualisasikan dirinya
atau melaksanakan haknya, tetapi sekadar untuk membantu keluarga atau menambah
penghasilan keluarga. Oleh sebab itu, anak perempuan rentan terhadap perdagangan orang.
Dari sekian banyak faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana perdagangan
orang sebagaimana yang telah diuraikan diatas, menurut penulis faktor moral juga memegang
peranan yang sangat penting. Jika orang-orang yang terlibat dalam praktek perdagangan orang
mempunyai moral yang baik, akhlak yang mulia serta berbudi luhur tentunya tidak akan tega
melakukan tindak pidana perdagangan orang. Oleh sebab itu gerakan pemberantasan
kemiskinan, meningkatkan pendidikan, penyamarataan derajat laki-laki dan perempuan,
penegakan kesadaran hukum dan secara khusus penanaman nilai-nilai moral kepada setiap
insan harus dilangsungkan secara terus menerus sehingga dengan demikian praktek-praktek
perdagangan orang dapat dihindari atau setidak-tidaknya dapat diminimalisir.



16

BAB IV
KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM
A. Tindak Pidana Perdagangan Orang Dari Sisi Hukum Dan HAM
Salah satu keberhasilan pemerintah Indonesia dalam melaksanakan perlindungan
HAM khususnya terhadap kesewenang-wenangan dari sesama manusia berupa penindasan
adalah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39Tahun 1999 Tentang HAM dan yang lebih
spesifik lagi adalah menghilangkan perbudakan manusia yang lebih luas sifatnya dari
penindasan yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 merupakan verifikasi dari beberapa
peraturan hukum HAM sebelumnya, karena beberapa peraturan hukum nasional yang
mengatur HAM masih bersifat umum dan sangat luas sifatnya sehingga diperlukan adanya
aturan yang khusus mengatur tentang perdagangan orang. Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, merupakan upaya
memberikan perlindungan hukum baik langsung atau tidak langsung kepada korban dan/atau
calon korban agar tidak menjadi korban di kemudian hari.
Peraturan tentang perdagangan orang merupakan adanya pengakuan dari hukum
karena dalam pengakuan muncul adanya sikap bersama yang melekat dan bertujuan untuk
menciptakan keteraturan/ketertiban untuk mencapai keadilan.
Hukum sebagai panglima selalu menjadi dambaan oleh setiap orang dimana hukum
tidak membedakan status dan kedudukan seseorang dalam suatu negara. adanya persamaan
dan pengakuan hukum (equal protection of law) pada setiap orang, menjadi perdebatan dan
perjuangan panjang antara ilmu pengetahuan hukum, sejarah hukum, teori hukum dan
kenyataan sosial di manapun di dunia ini. Kesamaan, perlakuan dan perlindungan hukum yang
sama terhadap manusia, merupakan suatu proyek dalam system dan teori negara hukum yang
gagal, terbengkalai atau merupakan proyek yang mentah.
17)
Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dalam sistem
hukum Indonesia, penegakan hukum perdagangan orang mengacu pada Pasal 297 dan Pasal
__________________
17)
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (rechstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 203-204.
17


298 KUHP. Namun sejalan dengan era globalisasi peraturan dalam KUHP ini dianggap tidak
sesuai lagi sehingga dilakukan regulasi hukum melalui tataran formulasi.
Regulasi hukum tentang perdagangan orang disesuaikan dengan sasaran
pembangunan hukum nasional, yaitu meliputi kaidah-kaidah/norma hukum, aparatur dan
organisasi penegak hukum, mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum,
termasuk perilaku hukum pemerintah dan masyarakat Indonesia, bahkan sampai pada
penyuluhan hukum, pelayanan hukum dan pengawasan hukum.
18)

Pada hakekatnya HAM mengakui adanya persamaan kedudukan, namun dalam realita
masih ditemukan adanya diskriminasi dalam pengakuan HAM. Terbukti dalam tataran
kehidupan masih ditemukan adanya penindasan, perampasan kemerdekaan, perbudakan dan
masih banyak pelanggaran HAM lainnya termasuk perdagangan orang yang merupakan
pelanggaran HAM.
Sebagaimana yang dimuat dalam Harian Metro Siantar (salah satu harian terbitan
lokal) adanya gadis-gadis dibawah umur yang disinyalir berasal dari kota Medan merupakan
korban sindikat trafficking (perdagangan orang). Bahkan ketua umum Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mensinyalir tujuh gadis belasan tahun
yang jadi korban prostitusi di lokalisasi Bukit Maraja adalah korban sindikat perdagangan
manusia untuk tujuan eksploitasi seksual komersial.
19)
Melihat berbagai kasus yang ada dalam bidang tindak pidana perdagangan orang,
maka dalam penegakan hukum tidak cukup hanya dengan pembaharuan hukum yang ada
tetapi yang paling penting adalah bagaimana pemerintah melalui para penegak hukum dapat
menegakkan hukum yang ada itu sebagaimana mestinya. Demikian juga halnya dengan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, jika diterapkan sebagaimana mestinya maka upaya untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana perdagangan orang yang merupakan bagian dari bentuk pelanggaran HAM akan
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya untuk memberantas setidak-tidaknya meminimalisir
tindak pidana perdagangan orang.
______________________________________
18)
L. M. Gandhi Lapian & Hetty A. Geru, Traffiking Perempuan dan Anak Penanggulangan Komprehensif Studi
Kasus: Sulawesi Utara, Kerja sama Yayasan Obor, Convention Watch, Pusat Kajian Perempuan Universitas
Indonesia, dan NZAID, Jakarta, 2006, hal. 71
19)
Harian Metro Siantar, Senin 19 Maret 2012, hal. 1 kol 3-5.

18



B. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan
Orang Dalam Perspektif Hukum dan HAM
Dalam perkembangan dewasa ini, hukum telah mengalami kemajuan yang sangat
besar, baik dari segi teori maupun fungsi-fungsi pragmatisnya. Perkembangan ini muncul
sebagai hasil dari perkembangan kehidupan manusia yang di atur oleh hukum, dalam
perkembangan tersebut, hukum ditempatkan sebagai sarana perubahan sosial ( agent of change
law as a tool of social engineering), atau sarana pembangunan untuk mengatur jalannya
perubahan dalam masyarakat.
20)

Untuk itu agar suatu peraturan hukum yang dibuat dapat berfungsi, maka harus
memperhatikan dan menentukan perumusan dan penyelenggaraannya. Menurut Mardjono
Reksodiputro harus memperhatikan beberapa asas, yaitu:
21)

a. Asas masuk akalnya kerugian yang dapat digambarkan oleh perbuatan tersebut (dapat
mempunyai aspek moral, tetapi seharusnya merupakan public issues).
b. Asas toleransi terhadap perbuatan tersebut (penilaian atas terjadinya kerugian, berkaitan
erat dengan ada atau tidak adanya toleransi. Toleransi didasarkan pada penghormatan atas
kebebasan dan tanggung jawab individu.
c. Asas subsidaritas (sebelum perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana, perlu diperhatikan
apakah kepentingan hukum yang dilanggar oleh perbuatan tersebut masih dapat dilindungi
dengan cara lain, hukum pidana hanya ultimum remedium).
d. Asas proporsionalitas (harus ada keseimbangan antara kerugian yang digambarkan dengan
batas-batas yang diberikan oleh asas toleransi, dengan pidana yang diberikan).
e. Asas legalitas (apabila asas-asas dari nomor a samapai asas nomor d telah
dipertimbangkan, masih perlu dilihat apakah perbuatan tersebut dapat dirumuskan dengan
baik, sehingga kepentingan hukum akan dilindungi, tercermin pula jelas hubungannya
dengan asas kesalahan sendi utama hukum pidana).
___________________________
20)
Lili Rasjidi, Pembangunan Sistem Hukum dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional, dalam Bernard Arief
Sidharta, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta,
Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 129.
21)
Mardjono Reksodiputro, Meninjau RUU tentang KUHP dalam Konteks Perlindungan HAM, Makalah,
Disampaikan pada Diskusi Panel Ahli Meninjau RUU tentang KUHP Konteks Perlindungan HAM, Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, November 2001.
19



f. Asas penggunaannya secara praktis dan efektifitasnya (berkaitan dengan kemungkinan
penegakannya serta dampaknya pada prevensi umum).


Dalam realita, tidak sedikit peraturan yang dibuat dengan tujuan kesejahteraan
masyarakat, tetapi malah ditolak dan ditentang oleh masyarakat karena dianggap tidak sesuai
dan menyengsarakan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan hukum yang merupakan salah
satu upaya dalam mensejahterakan masyarakat, harus dilakukan secara tepat dan serasi, baik
secara vertikal ataupun horizontal.
Demikian juga dengan kebjakan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan
orang sebagai salah satu bagian hukum hak asasi manusia. Kebijakan hukum yang dilakukan
harus mengacu pada bidang hukum yang berhubungan dengan hukum hak asasi manusia.
Hukum hak asasi manusia tidak hanya berhubungan dengan hukum pidana saja, tetapi
berhubungan dengan bidang/cabang hukum lainnya. Oleh karena itu, kebijakan hukum yang
dilakukan sangat luas, dapat meliputi seluruh kebijakan hukum nasional.
Atas dasar itu kebijakan hukum yang dilakukan tidak hanya meliputi tahapan
substansi saja, tetapi harus meliputi semua tahapan kebijakan hukum, yaitu tahapan formulasi,
aplikasi dan eksekusi. Ketiga tahapan tersebut harus sejalan dan dilaksanakan secara
konsisten, apabilla kebijakan hukum yang dilakukan tidak tepat, maka akan terjadi
ketidakserasian dalam implementasi penegakan hukumnya. Terlebih banyak undang-undang
dalam substansinya tidak mencerminkan produk legislatif yang responsif dan berkualitas.
22)
C. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Orang Dalam Perspektif
Hukum dan HAM
Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam
suatu tindak pidana, tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan undang-undang
kepada pelaku kejahatan sehingga korban tersebut sering luput dari perhatian apalagi setelah
pelaku kejahatan menjalani proses hukum dan menjalani hukumannya. Dengan telah
diberikannya sanksi kepada pelaku kejahatan seolah-olah selesailah persoalan tanpa
memperhatikan bagaimana akibat daripada perbuatan tersebut terhadap korban kejahatan tadi.
Dalam kaitannya dengan upaya perlindungan hkum terhadap korban perdagangan orang, maka
__________________________
22)
A.A.G. Peters dalam Koesriani Siswosoebroto (Ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi
Hukum Buku III, Sinar Harapan, Jakarta, 1990. hal. 166-169.
20



upaya perlindungan hukum bagi masyarakat menjadi penting. Hal tersebut disebabkan
masyarakat baik kelompok maupun perorangan dapat sewaktu-waktu menjadi korban
kejahatan perdagangan orang. Perlindungan hukum korban kejahatan perdagangan orang
sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai
bentuk atau model.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, ada dua model perlindungan, yaitu
sebagai berikut:
23)

1. Model hak-hak prosedural (the procedural rights model)
Model ini diPerancis disebut partie civile model (civil action sistem). Model ini
menekankan dimungkinkan berperan aktifnya korban dalam proses peradilan pidana seperti
mambantu jaksa, dilibatkan dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar
pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat dan lain-lain. Model ini melihat korban
sebagai subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan mengejar
kepentingan-kepentingannya.
2. Model pelayanan (the services model)
Model ini menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi,
restitusi, dan upaya pengembalian kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut, dan
tekanan akibat kejahatan, sehingga diperlukan standar baku bagi pembinaan korban yang
dapat digunakan polisi. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk
melayani dalam kerangka para penegak hukum.
Pada dasarnya bentuk-bentuk atau model perlindungan terhadap korban kejahatan
dapat juga diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang, untuk lebih mendalami
bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan orang, maka terdapat beberapa
bentuk atau model perlindungan yang dapat diberikan kepada korban, yaitu sebagai berikut:
24)
a. Pemberian Restitusi dan Kompensasi
Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak
memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan -
____________________________
23)
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hal. 79-80.
24)
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan
Realita, ed. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 166-17.
21



kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau
psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Selain restitusi, kompensasi dapat digunakan sebagai bentuk lain perlindungan
korban tindak pidana sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara. ganti kerugian
oleh negara tersebut merupakan suatu pembayaran pelayanan kesejahteraan, karena negara
bertanggung jawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi masyarakatnya.
Apabila anggota masyarakat menjadi korban tindak pidana, maka pemerintah dianggap
gagal dalam memenuhi kewajibannya, yakni mencegah atau melindungi masyarakat dari
kejahatan.
Menurut Stephen Schafer, perbedaan antara restitusi dan kompensasi adalah restitusi
lebih bersifat pidana yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh pelaku
atau merupakan wujud pertanggungjawaban pelaku, sedangkan kompensasi lebih bersifat
keperdataan, yang timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau
merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara.
51)
Rehabilitasi adalah
pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis dan sosial.
b. Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis
Pada umumnya perlindungan yang diberikan kepada korban sebagai akibat dari
tindak pidana perdagangan orang dapat bersifat fisik maupun psikis. Akibat yang bersifat
psikis lebih lama untuk memulihkan daripada akibat yang bersifat fisik. Pengaruh akibat
tindak pidana perdagangan orang dapat berlangsung selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Untuk sebagian korban pengaruh akibat itu tidak sampai mencapai situasi
yang stabil di mana ingatan akan kejadian dapat diterima dengan satu cara atau cara lain.
Bagi sejumlah korban pengaruh akibat itu tidak mendapat jalan keluar yang baik seperti
tenggelam dalam penderitaan yang disebut psikotrauma. Oleh karena itu, diperlukan
pendampingan atau konseling untuk membantu korban dalam rangka memulihkan kondisi
psikologisnya seperti semula.
Pelayanan medis diberikan kepada korban yang menderita akibat suatu tindak pidana.
Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan
laporan tertulis atau visum.


22



c. Bantuan Hukum
Korban tindak pidana termasuk tindak pidana perdagangan orang hendaknya
diberikan bantuan hukum. ketika korban memutuskan untuk menyelesaikan kasusnya
melalui jalur hukum, maka negara wajib memfasilitasinya.
d. Pemberian Informasi
Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses
penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami korban. Pemberian informasi ini
memegang peranan pdalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian
karena melalui informasi diharapkan fungsi control masyarakat terhadap kinerja kepolisian
dapat berjalan dengan efektif. Salah satu upaya yang dilakukan oleh kepolisian dalam
memberikan informasi kepada korban atau keluarganya melalui web sites di beberapa
kantor kepolisian, baik yang sifatnya kebijakan maupun operasional.

















23

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Terjadinya tindak pidana perdagangan orang secara umum karena latar belakang ekonomi
dan pendidikan, sosial-budaya, dan ketidaksetaraan gender, serta latar belakang penegakan
hukum dan moral.
2. Perdagangan orang merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia serta
hak-hak dan kewajibannya menurut kodrat yang diberikan oleh Tuhan yang merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia sehingga pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang harus berdasarkan prinsip-prinsip HAM.
3. Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang harus meliputi semua
tahapan kebijakan hukum, yaitu tahapan formulasi (dari sisi perundang-undangan),
aplikasi (kesatuan pandang/kesamaan derap langkah diantara sesama aparat penegak
hukum), dan eksekusi (kebijakan hukum dan tahap pelaksanaan hukum pidana secara
konkrit).
4. Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang bisa dilakukan dengan
pemberian restitusi dan kompensasi, rehabilitasi layanan konseling serta bantuan hukum.
B. Saran
1. Mengingat bentuk dan modus tindak pidana perdagangan orang sangat beragam, maka
upaya pencegahan dan penanggulangan hukum harus disesuaikan dengan kasus dan modus
dari tindak pidana perdagangan orang dengan berorientasi kepada penyebab yang
melatarbelakangi terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
2. Agar sesama aparat penegak hukum mempunyai kesatuan pandang dan derap langkah
yang sama untuk mengantisipasi, mencegah dan memberantas tindak pidana perdagangan
orang.
3. Agar Pemerintah dan Pemerintah Daerah membuat kebijakan, program, kegiatan, dan
mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah
perdagangan orang.
4. Agar kepada setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dikenakan hukuman yang
berat untuk menimbulkan efek jera.





DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ahmad. 2008. Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia
Arief Mansur Dikdik, M. dan Elisatris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan antara Norma dan Realita, ed. 1, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Darwin, Muhadjir. 2003. Pencegahan Migran dan Seksualitas, Center for Population and
Policy Studies, Gajah Mada University.
Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Effendi, Masnhyur & Taufani Sukmana Evandri, Edisi Revisi. 2007. HAM dalam Dimens
/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan /Aplikasi Ha-Kham
(Hukum Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat. Bogor: Ghalia Indonesia.
Effendi, Manshyur.1993. Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia.
Fadillah, Syarif dan Chaerudin. 2004. Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan
Hukum Pidana Islam.Jakarta: Grahadikha Press.
Fuady Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern (rechstaat). Bandung: Refika Aditama.
Gandhi, Lapian. L. M. & Hetty A. Geru. 2006. Traffiking Perempuan dan Anak
Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Jakarta: Yayasan
Obor, Convention Watch, Pusat Kajian Perempuan Universitas Indonesia, dan
NZAID.
Gosita, Arif, 1987. Viktimologi dan KUHAP. Jakarta: Akademika Pressindo.
Hendrojono. 2005. Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, cetakan
pertama. Surabaya: Srikandi.
Hull Terence H. Endang S, Gavin W. Jones, 1997. Pelacuran di Indonesia, cetakan I.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kartika Sari, Dian. 2002. Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan dan Anak Dalam
Tinjauan Hukum. Jakarta.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2004. Penghapusan Perdagangan
Orang Trafficking in Persons di Indonesia Tahun 2003-2004 . Jakarta.
Kuntjoro. 2004. Memahami Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial, Jurnal Perempuan
No. 36, 2004, cetakan pertama. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.




Kusuma, Mahmud. 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif TetapiParadigmatik Bagi
Lemahnya Hukum Indonesia. Yogjakarta: Antonio Lib.
Manan, Bagir. 2005. Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian, Yogyakarta: FH UII
Press.
Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenai Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro.
Mulya, Lubis Todung. 1984. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES.
Mulyadi Lilik. 2004. Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi. Jakarta:
Djambatan.
Najih, Mokhammad. 2008. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi. Malang: In-Trans
Publishing.
Nawawi Arief, Bardadan Muladi.1992. Bunga Rampai Hukum Pidana.Bandung: Alumni.
Nuraeny, Henny. Tindak Pidana Perdagangan Orang: Kebijakan Hukum Pidana dan
Pencegahannya. Sinar Grafika.
Peters A.A.G. dalam Koesriani Siswosoebroto (Ed), 1990. Hukum danPerkembangan Sosial,
Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III. Jakarta: Sinar Harapan.
Rasjidi, Lili. 2008. Pembangunan Sistem Hukum dalam Rangka Pembinaan Hukum
Nasional, dalam Bernard Arief Sidharta, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum
Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta. Bandung: RefikaAditama.
Reksodiputro, Mardjono. 2001. Meninjau RUU tentang KUHP dalam Konteks Perlindungan
HAM, Makalah, Disampaikan pada Diskusi Panel Ahli Meninjau RUU tentang
KUHP Konteks Perlindungan HAM. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM).
Riyanto, Astim. 2006. Teori Konstitusi. Bandung: Yapemdo.
Rosenberg. 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta: USAID.
Sakho Muhammad, Ahsin, Sayuti Anshari Nasution, Ahmad Munif Suratmaputra.
Ensiklopedi Al-Quran Jilid 3. Jakarta: Kharisma Ilmu.
Soekanto, Soerjono. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,cet.
Kelima. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soesilo. R. 1976. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea.




Sudarto. 1977. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
Sugandhi, R. 1980. KUHP dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.
Sunggono, Bambang dan Aries Harianto, 2009. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cet.
Ketiga. Bandung: Mandar Maju.
Utrecht. E, 2004. HukumPidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.
Vide Mahmud MD. Politik Hukum di Indonesia .Jakarta: LP3ES.
Yulianto, Agus. 1994. Eksistensi Konsep Negara Hukum dalam UUD 1945, dalam Lili Rasjidi
& B. Arief Sidharta (Ed), Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya ,Bandung:
RemajaRosdaKarya.
---------------- Harian Metro Siantar, Senin 19 Maret 2012.

Anda mungkin juga menyukai