Sugianli Rusmei Singkali Program Pasca Sarjana Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura, Jl. Daya Nasional, Pontianak; NIM: G2021131037; Email: sugianli@gmail.com
1. Pendahuluan Hutan alam tropis di Kalimantan oleh Suku Dipterocarpaceae, yang merupakan jenis-jenis penting kayu komersil yang memiliki pasar yang luas, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor dalam bentuk kayu olahan. Kegiatan eksploitasi hutan melalui ijin konsesi IUPHHK-HA dan bahkan tanpa menggunakan ijin sah dari pemerintah menyebabkan ekstraksi jenis-jenis dari suku Dipterocarpaceae ini dalam jumlah besar, sehingga mempengaruhi komposisi dan strukturnya pada hutan alam yang ada. Keberlanjutan pengusahaan hutan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang IUPHHK-HA tergantung dari tingkat regenerasi jenis-jenis komersil pada areal kerja bekas perusahaan, yang didominasi dari suku Dipterocarpaceae. Ketersediaan jenis komersil khususnya Dipterocarpaceae pada areal bekas tebangan berfungsi untuk mengembalikan struktur dan komposisi vegetasi alami dari hutan, selain itu struktur dan komposisi tegakan pada areal bekas tebangan dijadikan standar penilaian untuk menjamin rotasi tebang berikutnya pada areal pengusahaan hutan. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian mengenai struktur famili Dipterocarpaceae pada hutan alam bekas tebangan yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk mengambil langkah-langkah dalam perbaikan ekologis hutan dan peningkatan nilai ekonomis hasil hutan berupa kayu pada hutan-hutan alam produksi di Kalimantan. 2. Bahan dan Metode Metode dilakukan dengan mengkaji komposisi dan struktur vegetasi famili Dipterocarpaceae pada beberapa hutan bekas tebangan yang sudah dilakukan penelitian. 3. Hasil dan Pembahasan Di Indonesia suku Dipterocarpaceae terdapat beberapa 9 genus yaitu: Shorea, Hopea, Dryobalanops, Dipterocarpus, Cotylelobium, Vatica, Paper Tugas Mata Kuliah Silvikultur Lanjutan
Anisoptera, Parashorea, dan Upuna. Dari genus tersebut beberapa jenis yang paling diminati pasar adalah: Shorea spp, Dryobalanops spp, Dipterocarpus spp, Vatica spp, Anisoptera spp dan Hopea spp. Menurut English et al. (1997) dalam Muh. Ismail Sakarudin (2011) bahwa Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu suatu jenis terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Komposisi dari suatu jenis dapat dilihat pada Indeks Nilai Penting (INP) jenis tersebut. Kegiatan eksploitasi kayu pada hutan primer mempengaruhi komposisi dan struktur tegakan hutan, hal ini disebabkan karena kegiatan penebangan itu sendiri, pembagian batang, kegiatan penyaradan, pembuatan jalan angkutan dan penimbunan kayu yang menyebabkan kerusakan vegetasi serta keterbukaan lahan dan tajuk. Keterbukaan tajuk ini menstimulasi tumbuhan bawah terutama jenis-jenis pioneer (fast growth) yang merupakan upaya suksesi alami dari lahan. Famili Dipterocarpaceae yang merupakan struktur utama penyusun tegakan hutan tropis di Pulau Kalimantan mengalami tekanan karena beberapa jenis dari famili ini pada tingkat semai dan anakan bersifat semitoleran. Sehingga viabilitas semai dan anakan tergantung dari kondisi kerterbukaan tajuk dan lahan hutan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Rasyid H.A dkk (1991) dalam Irwanto (2006) bahwa Penanaman jenis Dipterocarpaceae di lapangan terbuka harus mempergunakan peneduh. Sedangkan pada tingkat pancang, tiang dan pohon pertumbuhan riap menjadi meningkat karena keterbukaan tajuk memberi peluang bagi tanaman dalam memperoleh cahaya matahari lebih banyak yang merupakan faktor penentu proses fotosintesis. Hal ini telah dikemukakan oleh Tourney dan Korstia (1974) dalam Simarangkir (2000) dalam Irwanto (2006) bahwa pertumbuhan diameter tanaman berhubungan erat dengan laju fotosintesis akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima dan respirasi. Namun juga perlu diperhatikan yaitu struktur dan komposisi tegakan setelah penebangan akan semakin berkurang akibat kerusakan yang terjadi pada tingkat semai sampai pohon. Menurut Suhartana & Idris (1996) dalam Mawazin (2011), penebangan pohon sebanyak 6,6 batang/ha menimbulkan kerusakan akibat penebangan rata-rata 11,5% dan kerusakan akibat penyaradan sebesar rata-rata 15,4%. Apabila dijumlahkan maka kerusakan akibat penebangan dan penyaradan sekitar 26,9%. Paper Tugas Mata Kuliah Silvikultur Lanjutan
Berdasarkan data dari Dirjen Pengusahaan Hutan (1994) dalam Suhartana & Idris (1996) dalam Mawazin (2011), Pohon yang dikategorikan rusak adalah pohon yang mengalami salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut: (i) tajuk rusak >30%, atau cabang atau dahan patah; (ii) luka batang > keliling dengan panjang 1,5 m; dan (iii) perakaran terpotong atau 1/3 banirnya rusak. Penelitian Muhdin et al. (2008) menunjukkan total Indeks Nilai Penting dari jenis-jenis famili Dipterocarpaceae pada hutan bekas tebangan di Kalimantan, yaitu: Kalimantan Timur sebesar 76,8%, Kalimantan Barat sebesar 54,3%, Kalimantan Selatan sebesar 110,7% dan di Kalimantan Tengah sebesar 91,9%. Ini menunjukkan bahwa komposisi dari jenis famili Dipterocarpaceae secara umum masih menunjukkan dominansi pada areal bekas tebangan. Namun, pada struktur tegakan seluruh jenis, jumlah pohon pada beberapa kelas diameter tidak memenuhi standar sebagaimana yang ditentukan dalam SK Menteri Kehutanan No. 8171/Kpts-II/2002 dan SK Menteri Kehutanan No. 88/Kpts-II/2003. (Tabel 1) terutama pada tingkat kelas diameter 10-19 cm dan > 50 cm. Tabel 1. Jumlah pohon komersial minimal pada hutan alam produksi produktif tanah kering
Suhendang (1995) dalam Iwan Hilwan (2012) menyebutkan bahwa struktur tegakan menyatakan sebaran dimensi tegakan (luas bidang dasar per hektar atau banyaknya pohon per hektar) pada berbagai ukuran diameter pohonnya. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Farida H. Susanty (2008), Famili Dipterocarpaceae memiliki dominansi pada struktur tegakan hutan bekas tebangan. Yang ditunjukkan dengan tingkat kerapatan pohon pada penghitungan luas bidang dasar (basal area) rata- rata 20% dibanding jenis-jenis lainnya, yaitu pada kisaran 25-35 m2/Ha. Paper Tugas Mata Kuliah Silvikultur Lanjutan
Menurut Pambudhi (1994) dalam Sidiyasa (2009) dalam Mawazin (2011), kondisi normal hutan alam memiliki luas bidang dasar untuk pohon- pohon yang berdiameter batang >10 cm sebesar 27-38 m2/ha. Ini menunjukkan bahwa Hutan bekas tebangan tersebut dapat mencapai kondisi klimaks hutan alam. Namun pada kelas diameter 10-19 cm menunjukkan masih di bawah standar pemenuhan. 4. Kesimpulan Hutan tropis di Pulau Kalimantan didominasi oleh famili Dipterocarpaceae, yang terdiri dari 9 genus, yaitu: Shorea, Hopea, Dryobalanops, Dipterocarpus, Cotylelobium, Vatica, Anisoptera, Parashorea, dan Upuna. Kegiatan eksploitasi kayu pada hutan primer mempengaruhi komposisi dan struktur tegakan hutan. Karena kegiatan penebangan, pembagian batang, kegiatan penyaradan, pembuatan jalan angkutan dan penimbunan kayu yang menyebabkan kerusakan vegetasi serta keterbukaan lahan dan tajuk Famili Dipterocarpaceae mendominasi Komposisi jenis pada hutan alam bekas tebangan di Kalimantan, ditunjukkan oleh INP yang tinggi di seluruh daerah. Kaltim = 76,8%, Kalbar = 54,3%, Kalsel = 110,7% dan Kalteng = 91,9%. Pada struktur tegakan hutan alam bekas tebangan yang dilihat dari tingkat kerapatan tegakan kelas pohon famili DIpterocarpaceae juga memiliki dominasi > 20% (kisaran 25-35 M2/Ha) Pada struktur tegakan pada kelas diameter 10-19 cm, famili Dipterocarpaceae tidak memenuhi standar ketersediaan sebagaimana yang ditentukan dalam SK Menteri Kehutanan No. 8171/Kpts-II/2002 dan SK Menteri Kehutanan No. 88/Kpts-II/2003. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh cara penebangan, pemotongan batang, penyaradan, pembuatan jalan angkut, dan penimbunan kayu yang kurang memperhatikan kondisi tegakan yang ada. 5. Saran Pemeliharaan tegakan tinggal untuk meningkatkan basal area dari jenis-jenis komersil. Pengayaan dengan jenis komersial pada areal bekas tebangan yang ketersediaan semai dan anakan masih di bawah standar. Paper Tugas Mata Kuliah Silvikultur Lanjutan
Pada kelas diameter 10-19 cm perlu perhatian khusus untuk menjamin keberadaannya tidak semakin berkurang. Dan memacu pertumbuhan riap pada kelas diameter < 10 cm, agar dapat menutupi kekurangan jumlah dari kelas diameter 10-19 cm. Kegiatan penebangan menggunakan teknik-teknik yang baik untuk meminimalisir kerusakan tegakan tinggal pada hutan bekas tebangan.
Sumber Referensi: Amiril Saridan dan Sri Soegiharto, 2010. Struktur Tegakan Tinggal pada Uji Coba Pemanenan di Hutan Penelitian Labanan, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 9 No. 3 : 239-249, 2012. Iwan Hilwan, 2012. Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan di PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 03 No. 03 Desember 2012. Mawazin, 2011. Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal Di Hutan Rawa Gambut Sungai Kumpeh-Sungai Air Hitam Laut Jambi. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor Muhdin et al., 2008. Keragaman Struktur Tegakan Hutan Alam Sekunder. JMHT Vol. XIV, (2): 81-87, Agustus 2008 Farida H. Susanty, 2008. Struktur dan Potensi Dipterocarpaceae pada Variasi Umur Tegakan Hutan Bekas Tebangan. Jurnal Penelitian Dipterocarpa Vol. 2 N0. 1, September 2008.