Anda di halaman 1dari 9

Eksplorasi Potensi dan Kandungan Spons Laut serta Tingkat

Keanekaragaman Mangrove di Pulau Pari, Kepulauan Seribu



Viky Fajrul.
1
, Desta Tansya
2
, Eka Septiyawati
3
,
Ajeng Y. Ikhsani
4
, Aurora Aproditha
5
, Eli Riswandi
6

1 230210100002, 2 230210100028, 3 230210100034,
4 230210100049, 5 230210100052, 6 230210100055


Abstract
Pari Island have three important ecosystem that are Mangrove ecosystems, seagrass and
coral reefs. Mangrove ecosystem has many benefits both in terms of ecological , biological ,
and economical. The method used for calculating the density of mangrove is 10x10 m line
transect method. While the Sea Sponge to do a test to find out the content of Phytochemical
metabalit secondary. Results be obtained is the level of dominance of Rhizophora up to 100
% due to mangrove mangrove island is artificial rays . In view of the value of the temperature
, salinity , and substrate brightness , water conditions on the island are pari suitable
conditions for the growth of the genus Rhizophora . Test results showed that phytochemicals
found sponge contains alkaloids and saponins characterized by the appearance of red -
brown precipitate after adding reagent Wegner and 1cm tall foam to test saponins. When
compared with the literature above, the probability that the sample tested is a type of sponge
Callyspongia sp because of the content of alkaloids and saponins in the sponge and its
presence in the cluster of the Thousand Islands

Key word: Spons, Phytochemical metabalit secondary, Mangrove, Ecosystem, Rhizophora
mucronata
Abstrak
Di Pulau Pari terdapat tiga ekosistem penting yaitu ekosistem Mangrove, lamun dan terumbu
karang. Ekosistem mangrove memiliki banyak manfaatnya baik dari segi ekologis, biologis,
maupun ekonomis. Di Pulau Pari juga terdapat biota yang meiliki potensi yang masih kurang
dieksplorasi salah satunya sponge laut. Metode yang digunakan untuk penghitungan
kerapatan mangrove adalah metode transek garis 10X10 m. Sedangkan untuk spons Laut
dilakukan uji fitokimia untuk mengetahui kandungan metabalit sekundernya. Hasil yang
didapatkan adalah tingkat dominasi dari Rhizophora hingga 100% dikarenakan mangrove di
Pulau pari merupakan mangrove buatan. Di lihat dari nilai suhu, salinitas, kecerahan dan subtrat,
kondisi perairan di pulau pari merupakan kondisi yang cocok untuk pertumbuhan genus
Rhizophora. Hasil Uji fitokimia didapatkan bahwa spons yang ditemukan memiliki kandungan
alkaloid dan saponin ditandai dengan munculnya endapan coklat-merah setelah ditambahkan
pereaksi wegner dan busa setinggi 1cm untuk uji saponin. Jika dibandingkan dengan literatur di
atas maka kemungkinan sampel spons yang diuji adalah jenis Callyspongia sp karena adanya
kandungan alkaloid serta saponin pada spons tersebut dan keberadaanya di gugusan
Kepulauan Seribu.

Kata kunci : Sponge Laut, Uji Fitokimia, Mangrove, Ekosistem, Rhizophora mucronata

I. PENDAHULUAN

Pulau Pari merupakan pulau terbesar
dari tujuh buah pulau yang ada di Gugusan
Pulau Pari. Panjangnya 2,5 km dan lebar
bagian terpendek sekitar 60 meter dan bagian
terpanjang 900 meter. Pantai utaranya terdiri
atas goba (Goba Besar I dan Goba Besar II),
di sebelah barat dan timur terdiri atas rataan
terumbu. Rataan terumbu adalah bagian
pulau karang yang berada di daerah pasang
surut. Pulau Pari memiliki wilayah yang
tidak terlalu luas, yaitu sekitar 40,32 hektar
dengan jumlah pendduk yang tidak terlalu
padat (Zaini 2009 dalam Anonim 2010).
Di Pulau Pari terdapat tiga ekosistem
penting yaitu ekosistem Mangrove, lamun
dan terumbu karang. Ekosistem mangrove
memiliki banyak manfaatnya bagi manusia
baik dari segi ekologis, biologis, maupun
segi ekonomis. Fungsi ekologis sangat
penting yaitu sebagai penghasil organik
(detritus) yang sangat produktif. Fungsi fisik,
yaitu menjaga kestabilaan garis pantai,
melindungi tepian sungai dan pantai,
mempercepat terbentuk lahan atau daratan
baru, melindungi daratan dibelakangnya
dengan meredam gelombang dan angin badai
dari laut, menahan lumpur dan menangkap
sedimen dari darat atau aliran permukaan
(melindungi padang lamun dan terumbu
karang), mendaur ulang unsur-unsur hara
yang penting. Fungsi biologi, yaitu:
Spawning, nursery dan feeding ground bagi
aneka jenis udang, ikan dan biota laut
lainnya. Fungsi ekonomi, yaitu: akua/mari-
kultur (Reiza 2010).
Selain itu Di Pulau pari terdapat
biota-biota yang memiliki potensi yang
masih belum dimangaatkan, salah satunya
adalah sponge laut. Telah banyak senyawa
metabolit sekunder yang berhasil diisolasi
dari sponge yaitu alkaloida, diterpenoida,
sesquiterpenoida, asam-asam amino dan
karotenoida (Attaway dan Zaborsky 1993
dan Shceuer 1995 dalam Anonim 2010).
Karena adanya senyawa bioaktif tersebut
maka sponge mempunyai aktivitas sebagai
antelmentik, anti virus, anti tumor, anti
kanker, anti malaria, anti abkteri dan anti
jamur (Colwell 1984 dalam Anonim 2010).
Sponge saat ini juga tengah gencar diteliti di
berbagai negara untuk diambil senyawa
bioaktifnya (Anonim 2013).
Berdasarkan alasan di atas, maka
tujuan dari praktikum ini adalah untuk
mengetahui potensi kandungan sponge laut
yang ditemukan dan Tingkat
Keanekaragaman Ekosistem Mangrove di
Pulau Pari, Kepulauan Seribu.

II. METODE

Bahan Baku
Pengambilan sampel dilaksanakan
pada tanggal 16 Desember 2013. Adapun
lokasi pengambilan sampel adalah kawasan
Selatan Pulau Pari. Sedangkan uji fitokimia
bahan hayati ini dilaksanakan pada tanggal
30 Desember 2013 di Laboratorium
Bioteknologi Kelautan, Gedung 4 Lantai 3
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Padjadjaran.
Untuk mengetahui kerapatan
mangrove di Pulau Pari, digunakan transek
garis 10x10 m. Sampel sponge laut yang
diambil adalah sponge laut yang ditemukan
di daerah ekosistem lamun. Sampel
dimasukan ke dalam kantong plastik berisi
air laut yang telah diberi methanol dan
disimpan ke dalam coolbox. Setelah sampai di
laboratorium, sampel sebaiknya langsung
dimasukan kedalam lemari pendingin.
Bahan kimia yang digunakan adalah
akuades, metanol, kloroform, bubuk
magnesium, asam klorida pekat, pereaksi
Lieberman Burchard, dan FeCl
3.

Alat Penelitian
Alat yang digunakan untuk metode
transek garis lamun adalah tali rafia, roll meter,
refraktometer dan termometer. Sedangkan, alat
yang digunakan dalam uji fitokimia ini antara
lain : bunsen, gelas ukur, kertas saring, neraca
analitis, penjepit tabung, pipet tetes, plat tetes,
dan tabung reaksi.

Metode Penelitian
Transek garis untuk ekosistem
mangrove dimulai dengan menarik garis
sejauh 30 meter dari arah pantai hingga ke
laut. Kemudian dibuat petak 10X10 m. di
Dalam petak 10X10 meter dibuat petak lebih
kecil berukuran 5X5 dan 2X2.
Sampel spons laut yang didapat akan
diekstrak lalu dimasukkan ke dalam tabung
reaksi dan diberi pereaksi sesuai dengan uji
fitokimianya (tabel 1)
Tabel 1. Uji Fitokimia
Uji Fitokimia Pereaksi
Saponin Dipanaskan lalu dikocok
hingga berbusa selama 10
menit sepanjang 10 cm ,
lalu diteteskan HCl 2 N.
(+) busa tidak hilang.
Fenol Lapisan air pada uji
flavonoid diteteskan
FeCl
3
1 %. (+) larutan
berwarna ungu
Flavonoid Ditambahkan akuades
dan kloroform (1:1).
Lapisan air ditambahkan
bubuk magnesium dan
asam klorida pekat. (+)
larutan berwarna orange.
Triterpenoid Lapisan kloroform dari
uji flavonoid diteteskan
ke plat tetes. Setelah
mengering diteteskan
pereaksi Lieberman
Burchard. (+) berwarna
merah.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL
Mangrove
Berdasarkan hasil pengukuran Suhu,
Salinitas, Kecrahan dan kerapatan (transek garis)
di dapatkan hasil jenis mangrove yang terdapat di
Pulau pari pada koordinat yang telah ditentukan.
Data pengukuran dapat dilihat dalam tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengukuran dan Pengambilan Data Mangrove Stasiun 1
Tempat Sampling Pulau Pari, Kepulauan Seribu
Waktu Sampling 10.00 WIB
Posisi
South 05
o
51 40.6
East 106
o
36 46.4
Spesies Mangrove Rhizopora mucronata

Jenis 10X10 Tiang 1 ind Kerapatan 1 ind/100m
2

Jenis 5X5 Pancang 174 Kerapatan 174 ind/25m
2
Jenis 2X2 Semai 23 Kerapatan 23 ind/4m
2
Parameter Kedalaman Suhu (
o
C) Substrat Salinitas (%o)
Pengulangan 1 1 m 29 Lumpur Berpasir 25
Pengulangan 2 1 m 29 Lumpur Berpasir 26
Pengulangan 3 1 m 30 Lumpur Berpasir 30

Tabel 3. Hasil Pengamatan Kualitas Perairan di Ekosistem Mangrove Stasiun 2
Tempat Sampling Pulau Pari, Kepulauan Seribu
Waktu Sampling 10.46 WIB
Posisi
South 05
o
51 38,5
East 106
o
36 48,2
Spesies Mangrove Rhizopora apiculata

Jenis Tiang 200 ind Kerapatan 200 ind/100m
2

Parameter Kedalaman Suhu (
o
C) Substrat Salinitas (%o)
Pengulangan 1 1 m 29 Lumpur Berpasir 29
Pengulangan 2 1 m 29 Lumpur Berpasir 30
Pengulangan 3 1 m 30 Lumpur Berpasir 30

Tabel 3. Hasil Pengamatan Kualitas Perairan di Ekosistem Mangrove Stasiun 3
Tempat Sampling Pulau Pari, Kepulauan Seribu
Waktu Sampling 10:55 WIB
Posisi
South 05
o
51 36,6
East 106
o
36 49,3
Spesies Mangrove Rhizopora mucronata

Jenis
Tiang 6 ind
Kerapatan 9 ind/100m
2
Pancang 3 ind
Parameter Kedalaman Suhu (
o
C) Substrat Salinitas (%o)
Pengulangan 1 85 cm 29 Lumpur Berpasir 29
Pengulangan 2 85 cm 28 Lumpur Berpasir 28
Pengulangan 3 85 cm 29 Lumpur Berpasir 25
Perhitungan Data Mangrove
1. Kerapatan
a.

(

)


()
(


b.





2. Frekuensi
a.





b.



x100%


3. Dominansi
a.
(

)
(

)


(

)
(

)

b.






Kondisi suhu perairan yang diperoleh
selaman praktikum berkisar antara 29 30
0
C, dimana nilai yang diperoleh dari tiap
stasiun tidak jauh berbeda. Besarnya nilai
pada setiap stasiun disebabkan oleh
dangkalnya perairan, sehingga cahaya yang
masuk kedalam kolom air lebih banyak dan
mengakibatkan suhu perairan meningkat.
Kondisi perairan di lokasi praktikum yang
dangkal merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan nilai kecerahan perairan
menjadi 100%.
Nilai salinitas yang diukur selama
praktikum berlangsung di tiap stasiun
memiliki kisaran pada lokasi penelitian yaitu
25 30
o
/
oo
. Nilai salinitas ini diduga karena
dekat dengan perairan pantai wilayah
Jakarta, sehingga masih adanya pengaruh
aliran air tawar dari beberapa muara sungai.
Selain itu percampuran dasar periran dengan
permukaan karena gerakan praktikan saat
pengukuran mempengaruhi nilai salinitas
dikarenakan mineral dasar periaran yang
naik keatas sehingga di pengukuran ketiga
terjadi rentang perbedaan salinitas yang
cukup tinggi.
Dari hasil pengamatan diketahui
bahwa pada stasiun 1 didominasi oleh jenis
Rhizophora mucronata (gambar 2) dengan
total individu 174 individu untuk ukuran
pancang, 23 individu untuk ukuran semai
dan 1 individu untuk ukuran tiang. Stasiun 2
memiliki jenis mangrove dominan yang
berbeda dibanding dengan stasiun 1 yaitu
jenis Rhizophora aviculata dengan total
jumlah 200 individu. Seperti halnya di
stasiun 1, stasiun 3 juga di dominasi dengan
jenis Rhizophora mucronata dengan jumlah
individu yang lebih sedikit yaitu 11 individu
dengan ukuran tiang dan 6 individu dengan
ukuran pancang.


Gambar 1. Rhizophora mucronata
Umumnya nilai penutupan hanya
dihitung pada pohon saja dikarenakan suatu
ekosistem hutan mangrove yang paling
mendominasi adalah pohon. Berdasarkan
nilai dominasi yang didapat dari tiap stasiun,
diketahui bahwa species Rhizophora
mempunyai pengaruh yag besar di wilayah
tersebut. Hal ini menunjukan bawa
Rhizophora mendominasi pulau tersebut
sehingga dapat disebut sebagai komunitas
monospesifik.
Perolehan hanya satu jenis
mangrove pada Pulau Pari disebabkan oleh
mangrove tersebut merupakan mangrove
buatan/ditanam sendiri (anonim 2010).
Selain itu faktor yang mengakibatkan
wilayah tersebut didominasi oleh spesies
Rhizophora adalah substrat lumpur-berpasir
dimana dengan subtrat tersebut Rhizophora
dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Pada dasarnya tumbuhan ini sering kali
berkembang pada daerah intertidal yang luas,
dari tingkat yang tergenang pada setiap
pasang naik sampai daerah yang tergenang
hanya pada pasang purnama yang tertinggi,
serta dipengaruhi oleh tingkat penyebaran
dari Rhizophora yang luas dan mudah
tumbuh.

Karakteristik Sponge Laut
Sponge merupakan hewan sederhana
yang termasuk dalam filum porifera. Sebagai
porifera, sponge memiliki Struktur yang
asimetri atau simetri (radial), tersusun atas 3
jenis sel; pinacocytes, choanocytes,
dan mesohyl, memiliki rongga sebagai
tempat terjadinya sirkulasi air selama proses
pencarian bahan makanan dan tidak memiliki
jaringan atau organ tubuh. Sebagai hewan
yang tergolong purba karena strukturnya
yang sederhana, maka cara hidupnya juga
relatif simpel karena tidak memiliki organ
tubuh. Sponge biasanya mendapatkan suplay
makanan dari lingkungan sekitarnya atau
organisme yang berasosiasi dengannya
(anonim 2009).

Uji Fitokimia
Hasil uji fitokimia yang dilakukan di
laboratorium FPIK, Universitas Padjadjaran
dengan sampel sponge laut yang diambil
dari Pulau Pari disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Uji Fitokimia Sampel Sponge Laut
No. Uji Fitokimia Hasil Keterangan Hasil Positif
1 Alkaloid
Meyer: ( - ) Tidak ada endapan Endapan putih
Wagner: ( + ) Ada endapan coklat
Endapan coklat
kemerahan
3 Flavonoid ( - )
Terbentuk 2 lapisan, bawah :
kuning bening
(kloroform)
atas : kuning keruh (air)
Warna orange merah
5
Triterpenoid/
steroid
( - ) Warna putih bening
Triterpenoid: Merah
Steroid: ungu
6 Fenolik ( - ) +3 tetes FeCl
3
: kuning bening Warna biru-ungu
7 Saponin ( + ) Busa stabil Terjadi busa
8 Tanin ( - ) Warna kuning bening
Biru tua/ hijau
kehitaman

Uji fitokimia yang dilakukan pada
sampel spons yang diambil dari Pulau Pari,
Kepulauan Seribu meliputi uji alkaloid,
flavonoid, senyawa fenolik, triterpenoid,
steroid, saponin, dan tannin. Berdasarkan
hasil praktikum yang dilakukan, sampel
spons mengandung senyawa alkaloid dan
saponin.
Uji alkaloid dilakukan dengan sampel
yang sudah dimaserasi dengan pelarut
metanol. Kemudian pelarut diambil dan
diekstraksi dengan bantuan rotary
evaporator selama 1 jam dengan putaran
150 rpm dan suhu 66
0
C. Setelah diperoleh
ekstraknya, kemudian ditambahkan 5 tetes
ammonia 10% untuk membentuk basa bebas
alkaloid lalu diekstraksi atau dilarutkan
dengan 5 ml CHCl
3
(kloroform), dikocok
dan disaring. Ekstraksi dengan penambahan
kloroform bertujuan untuk memutuskan
ikatan antara asam tannin dan alkaloid yang
terikat secara ionik dimana atom N dari
alkaloid berikatan saling stabil dengan gugus
hidroksil genolik dari asam tannin. Dengan
terputusnya ikatan ini alkaloid akan bebas,
sedangkan asam tannin akan terikat oleh
kloroform. Setelah diekstraksi, filtrat
disaring dan ditambahkan H
2
SO
4
2 N hingga
terbentuk 2 lapisan, kemudian dikocok kuat-
kuat. Penambahan H
2
SO
4
2 N ini bertujuan
untuk mengikat kembali alkaloid menjadi
garam alkaloid. Terbentuknya dua lapisan ini
dikarenakan adanya perbedaan tingkat
kepolaran antara larutan asam yang polar dan
kloroform yang relatif nonpolar. Garam
alkaloid akan larut pada lapisan asam,
sedangkan lapisan kloroform berada pada
lapisan paling bawah karena memiliki massa
jenis yang lebih besar. Lapisan asam diambil
masing-masing 3 tetes untuk selanjutnya
ditambahkan dengan 2 tetes pereaksi Meyer
dan pereaksi Wagner. Pereaksi Meyer
bertujuan untuk mendeteksi alkaloid, dimana
pereaksi ini berikatan dengan alkaloid
melalui ikatan koordinasi antara atom N
alkaloid dan Hg pereaksi meyer sehingga
menghasilkan senyawa kompleks merkuri
yang nonpolar mengendap berwarna putih.
Uji alkaloid dengan sampel spons, tidak
menunjukkan adanya endapan putih ketika
ditambahkan pereaksi Meyer namun ketika
ditambahkan pereaksi Wagner menunjukkan
adanya endapan coklat yang sangat jelas
sehingga dapat dikatakan bahwa sampel
spons yang diambil dari Pulau Pari
mengandung senyawa alkaloid.
Uji flavonoid dilakukan dengan
menggunakan metanol dan air sebagai
pelarut serta menggunakan kloroform untuk
memisahkan senyawa nonpolar dari larutan
tersebut sehingga senyawa polar terutama
flavonoid dapat lebih mudah dideteksi
keberadaannya. Lapisan air dan metanol
yang melarutkan senyawa polar terutama
flavonoid kemudian ditambahkan pereaksi
magnesium, asam klorida pekat, dan amil
alkohol. Penambahan serbuk magnesium dan
asam klorida pada pengujian flavonoid akan
menyebabkan tereduksinya senyawa
flavonoid yang ada sehingga menimbulkan
reaksi warna merah yang merupakan ciri
adanya flavonoid pada sampel.
Hasil dari sampel spons
menunjukkan hasil negatif yaitu dengan
hanya terbentuknya 2 lapisan, yaitu lapisan
atas berupa larutan kuning keruh dan lapisan
bawah berupa larutan kuning bening. Pada
lapisan air (atas) tidak terjadi perubahan
warna menjadi orange merah setelah
ditambahkan amil alkohol dan asam klorida
serta terdapat bubuk Magnesium yang
mengendap dan tidak terjadi perubahan
warna menjadi orange merah karena serbuk
Mg tidak memberikan reaksi reduksi
terhadap senyawa flavonoid. Hasil uji
flavonoid menunjukkan bahwa spons yang
diambil dari Pulau Pari tidak mengandung
flavonoid. Flavonoid biasanya terkandung
dalam tumbuhan sebagai pigmen sehingga
pada spons yang merupakan hewan tidak
terkandung flavonoid.
Uji senyawa fenolik dilakukan pada
lapisan air dari uji flavonoid yang
merupakan lapisan yang mengandung
senyawa-senyawa polar. Pereaksi yang
digunakan yaitu FeCl
3
1%. Hasil dari sampel
spons menunjukkan hasil negatif yaitu hanya
terdapat perubahan warna menjadi kuning,
orange-cokelat, bening tanpa adanya
perubahan warna menjadi warna biru-ungu
jika terdapat senyawa fenol maka akan
terjadi reaksi dengan FeCl3 1%
menghasilkan senyawa kompleks berwarna
biru-ungu dari fenolat besi. Hasil uji fenolik
menunjukkan bahwa spons yang diambil dari
Pulau Pari tidak mengandung fenolik.
Uji triterpenoid dan steroid dilakukan
bersamaan pada lapisan kloroform dari uji
flavonoid karena triterpenoid dan steroid
bersifat nonpolar sehingga akan larut dalam
pelarut nonpolar juga. Pereaksi yang
digunakan dalam uji triterpenoid dan steroid
ini sama yaitu pereaksi Lieberman burchard
dengan komponen yang terdiri dari asam
asetat anhidrida dan asam sulfat pekat namun
hasil positif dari senyawa triterpenoid dan
steroid ini berbeda yaitu terjadinya warna
merah untuk hasil positif triterpenoid dan
warna biru atau ungu untuk hasil positif
steroid.
Menurut Siadi (2012), prinsip reaksi
dalam mekanisme reaksi uji triterpenoid
adalah kondensasi atau pelepasan H
2
O
dan penggabungan dengan karbokation.
Reaksi ini diawali dengan proses asetilasi
gugus hidroksil menggunakan asam asetat
anhidrida. Gugus asetil yang merupakan
gugus pergi yang baik akan lepas,
sehingga terbentuk ikatan rangkap.
Selanjutnya terjadi pelepasan gugus hidrogen
beserta elektronnya mengakibatkan ikatan
rangkap berpindah. Senyawa ini mengalami
resonansi yang bertindak sebagai elektrooil
atau karbokation menyebabkaan adisi
elektrooilik diikuti pelepasan hidrogen.
Kemudian gugus hidrogen beserta
elektronnya dilepas akibatnya senyawa
mengalaami perpanjangan konjugasi yang
memperlihatkan munculnya warna ungu.
Hasil praktikum uji triterpenoid dan
steroid ini pada sampel spons menunjukkan
hasil yang negatif karena tidak menunjukkan
adanya perubahan warna baik menjadi merah
ataupun biru-ungu. Hasil ini menunjukkan
bahwa spons tidak mengandung senyawa
triterpenoid dan steroid.
Uji saponin dilakukan dengan
melarutkan saponin menggunakan pelarut air
panas yang kemudian dikocok untuk melihat
terjadinya busa sebagai hasil positif dari
kandungan senyawa saponin. Hasil dari
sampel spons menunjukkan hasil yang positif
yaitu dengan adanya busa setinggi 1 cm
selama 10 menit yang stabil. Busa tersebut
terbentuk akibat adanya glikosidan yang
mempunyai kemampuan membentuk busa
dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa.
Hasil uji ini menunjukkan bahwa spons
mengandung senyawa saponin
Uji tannin dilakukan dengan
melarutkan tannin dengan air panas dan
ditambahkan pereaksi FeCl
3
1%. Hasil
positif ditunjukkan dengan adanya
perubahan warna menjadi biru tua atau hijau
kehitaman. Terjadinya pembentukan warna
hijau ini karena terbentuknya senyawa
kompleks antara logam Fe dan tanin. Hasil
uji tannin dengan sampel spons
menunjukkan bahwa spons yang diambil dari
Pulau Pari tidak mengandung tanin.
Menurut Susanna (2006), Handojo (2006),
dan Ismet (2007), spons yang terdapat di
Pulau Pari yaitu jenis Clathria sp,
Xestospongia sp, Petrosia sp, Adocia sp,
Paratetilla bacca, Liosina sp, Acantella
cavernosa, Callyspongia sp, Chelinaphsilla
sp, Neopetrosia sp, Niphates calista, Suberea
laboutei, dan Aaptos aaptos. Jenis spons
yang dominan di Pulau Pari menurut
Susanna (2006) adalah Petrosia sp dan
Xestospongia sp. Kandungan fitokimia spons
jenis Petrosia sp mengandung alkaloid,
steroid, flavonoid, saponin, fenol
hidrokuinon (Hafidzah 2011). Kandungan
fitokimia spons jenis Xestospongia sp
mengandung steroid dan terpenoid
(Mangallo et al. 2011). Menurut Hanani
(2005), dalam jurnal Identifikasi Senyawa
Antioksidan Dalam Spons Callyspongia Sp
Dari Kepulauan Seribu diketahui
kandungan fitokimia dari sponge yang
ditemukan memiliki kandungan alkaloid.
Hasil uji fitokimia yang dilakukan
pada sampel spons dari Pulau Pari
menunjukkan hasil positif pada alkaloid dan
saponin. Jika dibandingkan dengan literatur
di atas maka kemungkinan sampel spons
yang diuji adalah jenis Callyspongia sp
karena adanya kandungan alkaloid serta
saponin pada spons tersebut dan
keberadaanya yang dapat ditemukan di
gugusan Kepulauan Seribu. Pada uji
kandungan steroid, flavonoid, dan fenol
hidrokuinon menunjukkan hasil negatif pada
saat uji fitokima. Hal ini dapat dikarenakan
walaupun pelarut yang digunakan
merupakan pelarut universal yaitu metanol,
tetapi metanol bersifat polar sehingga ada
kemungkinan senyawa non polar dan semi
polar masih tidak dapat tertarik. Steroid dan
triterpenoid merupakan senyawa yang
bersifat non polar serta flavonoid merupakan
senyawa semi polar. Sehingga ada
kemungkinan senyawa-senyawa tersebut
tidak tertarik. Selain itu, dapat juga
dikarenakan ini adanya kesalahan dalam
prosedur pengujian. Penyimpanan sampel
dalam bentuk kering juga dapat berpengaruh
dikarenakan terjadinya pembusukan dan
perubahan senyawa-senyawa oleh air
sehingga kandungan senyawa metabolit
sekunder berkurang seiringnya waktu.

IV. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan dari hasil Praktikum
Eksplorasi ini, diantaranya:
1. Kandungan Fitokimia dalam Sponge laut di
Pulau Pari, Kepulau Seribu adalah Allkaloid
ditandai dengan munculnya endapan merah-
coklat setelah diberi pereaksi wegner dan
saponin dengan munculnya busa setinggi 1
cm. diperkirakan jenis spn laut yang
ditemukan adalah Callyspongia sp
2. Tingkat Keanekaragaman mangrove di Pulau
pari sangat kecil karena dominasi genus
Rhizophora hingga 99%. Hal ini dikarenaka
Mangrove di Pulau pari merupakan
mangrove buatan yang ditanam sendiri.

SARAN
Untuk kevalidan data di praktikum
selanjtya, sampel yang telah diberi ethanol
langsung dimasukan kedalam lemari pendingin
atau sampel merupakan sample kering agar air
tidak mempengaruhi kandungan kimi
sebenarnya. Sebaiknya dilakukan identifikasi
awal sebelum uji fitkimia. Dalam pengukuran
parameter lingkungan, sebaiknya kelengkapan
alan dipersiapkan dimulai dari fisik (suhu,
kecerahan dan kedalam), kimia (DO, pH,
salinitas) dan Biologi (prosesa transek garis
pengulangan 3 kali).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Mengenal Spons Laut.
http://savedesea.wordpress.com/2009/0
5/30/mengenal-sponge/. Diakses Pada
Selasa, 01 Januari 2014 pukul 10.33
WIB.
Anonim. 2011. Bab IV Hasil dan
Pembahasan. http://repository.ipb.ac.id
/bitstream/handle/123456789/46676/B
AB%20IV%20Hasil%20dan%20Pemb
ahasan_%202011mab1.pdf?sequence=
7. Diakses pada tanggal 2 Januari 2014
pukul 10.20 WIB
Bagus. 2011. Taman Laut Pulau Pari Yang
Penuh Keindahan. http://bagusrn-
fpk09.web.unair.ac.id. Diakses pada
tanggal 27 Desember 2013.
Christon, et al. 2012. Pengaruh Tinggi
Pasang Surut Terhadap Pertumbuhan
dan Biomassa Daun Lamun Enhalus
acoroides Di Pulau Pari Kepulauan
Seribu Jakarta. Jurnal Perikanan dan
Kelautan Vol.3; No.3
Dahuri, Rohmin. 2005. Menggali Bahan
Baku Obat di dalam Laut. Departemen
Perikanan dan Kelautan dalam Harlina
Kurnia (2010) . http://www.dkp.go.id.
Hafidzah, T. 2011. Kandungan Senyawa
Bioaktif Antioksidan Spons Petrosia
nigricans Alami dan Transplantasi di
Perairan Pulau Pramuka, Kep. Seribu.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 35 hlm.
Hanani, E. dkk. 2005. Identifikasi Senyawa
Antioksidan Dalam Spons
Callyspongia Sp Dari Kepulauan
Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian,
Vol. II, No.3, Desember 2005, 127
133. ISSN : 1693-9883. Universitas
Indonesia.
Handojo, K.K. 2006. Distribusi dan
Preferensi Habitat Spons Kelas
Demospongiae di Kepulauan Seribu
DKI Jakarta. Sekolah Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 84
hlm.
Ismet, M.S. 2007. Penapisan Senyawa
Bioaktif Spons Aaptos aaptos dan
Petrosia sp. dari Lokasi yang
Berbeda. Sekolah Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 79
hlm.
Mangallo et al. 2011. UJi Antimalaria secara
In Vitro In Vivo Spons Xestospongia
Sp. asal Kepulauan Yapen Papua dari
Isolat Fraksi Heksana sebagai
Produsen Bioaktif. PDII-LIPI. 30 hlm.
Mulia, Dedi. 2004. Alternatif Pengembangan
Gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu
sebagai Objek Ekowisata Bahari di
DKI Jakarta. Skripsi. Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan,
FPIK IPB. Bogor.
Reiza, M. dkk. 2010. Pengamatan Ekosistem
Mangrove Pulau Pari, Kepulauan
Seribu. Laporan Fieltrip Mangemen
Sumber Daya Perairan.
Seandy. 2010. Ekosistem Mangrove Pulau
Pari (kep. Seribu). http://seandy-laut-
biru.blogspot.com/2010/09/ekosistem-
mangrove-di-pulau-pari.html. Diakses
Pada Senin, 01 Januari 2014 pukul
12.35 WIB.
Setyawan , Ahmad Dwi, Ari Susilowati dan
Sutarno. 2002. Biodiversitas Genetik,
Spesies dan Ekosistem Mangrove di
Jawa. FMIPA UNS: Surakarta
Siadi, K. 2012. Ekstrak Bungkil Biji Jarak
Pagar (Jatropha curcas) sebagai
Biopestisida yang Efektif dengan
Penambahan Larutan NaCl. Jurnal
MIPA. 35 (1) : 77-83.
Susanna. 2006. Kajian Kualitas Perairan
terhadap Kelimpahan dan Senyawa
Bioaktif Antibakteri Spons
Demospongiae di Kepulauan Seribu
DKI Jakarta. Sekolah Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 143
hlm.

Anda mungkin juga menyukai