Anda di halaman 1dari 92

1 by Moezhanks

Pengalaman Pribadi Menjalani Transplantasi Liver


Oleh:
Dahlan Iskan
iskan@jawapos.co.id
Ganti Hati 01 - Harus Turun Mesin, karena Organ-Organ Saya Rusak Parah
26 Agusutus 2007
Pagi ini, hari ke-20 saya hidup dengan liver baru. Kelihatannya akan baik-baik saja. Tidak ada tanda-
tanda kegagalan seperti yang dialami Cak Nur (Nurcholish Madjid, tokoh yang digadang-gadang
menjadi salah satu calon presiden), yang menjalani transplantasi liver di Tiongkok pada 19 Juli 2004.
Kadar protein dalam darah saya yang tidak pernah bisa normal, kini menjadi sangat baik. Salah satu
unsur penting di protein itu, albumin, sejak liver saya diganti sudah mencapai angka 3,6. Selama lebih
dari 10 tahun saya hidup dengan kadar albumin yang hanya 2,7. Padahal, normalnya paling tidak 3,2.
Rendahnya kadar albumin membuat tubuh saya tak mampu membuang kelebihan air, baik dalam
bentuk keringat maupun kencing. Sehingga air yang berlebih ikut darah beredar ke seluruh tubuh.
Akibatnya, tubuh saya jadi gemuk.
Karena itu, kalau ada orang memuji badan saya terlihat lebih gemuk dan segar, dalam hati
sebenarnya saya menderita. Sebab, saya tahu, tubuh saya tidak sedang gemuk, tapi bengkak!
Begitu liver diganti dan albumin normal, badan saya langsung susut. Tapi tidak kuyu, melainkan
sebaliknya: lebih segar.
Dua hari pertama pascatransplantasi, kencing saya bisa mencapai 10 liter sehari. Sebagian karena
memang banyak cairan yang masuk ke badan, sebagian lagi karena air yang tadinya beredar bersama
darah, sudah bisa dipisahkan oleh albumin dan dikirim ke kandung kemih.
Platelet atau trombosit saya, yang seharusnya minimal 200, pernah tinggal 55. Dengan platelet
serendah itu, saya terancam mengalami perdarahan dari mana pun: mulut, hidung, lubang kemaluan,
telinga, dan mata.
Untuk menyelamatkan saya dari ancaman itu, dokter lantas memotong limpa saya hingga sepertiga.
Setelah limpa dipotong, platelet saya naik sampai 120. Sayangnya, itu tidak lama. Perlahan-lahan
angka itu menurun secara konstan. Terakhir tinggal 70. Hampir sama dengan sebelum limpa saya
dipotong.
Tapi, setelah liver saya diganti, platelet saya langsung naik. Tiga hari lalu angkanya sudah mencapai
260. Normalnya, antara 200 sampai 300.
Mengapa saya memutuskan ganti liver? Tidakkah takut gagal? Mengapa liver saya sakit? Separah
apa? Bagaimana jalannya penggantian liver? Bagaimana mempersiapkan diri? Bahkan sampai ke doa
apa yang saya ucapkan? Semua akan saya tulis untuk berbagi pengalaman dengan pembaca.
2 by Moezhanks
Cerita ini mungkin akan agak panjang (bisa 50 hari). Bukan karena saya mau berpanjang-panjang, tapi
karena redaksi membatasi saya untuk menulis hanya sekitar 1.000 kata di setiap seri.
Berikut saya mulai dengan seri pertama ini. (Nama-nama dokter, rumah sakit, sengaja baru akan
disebutkan di bagian-bagian akhir tulisan):
***
Di umur 55 tahun ternyata saya harus turun mesin. Begitu parahnya kerusakan organ-organ di
dalam badan saya sampai harus pada keputusan menambal seluruh saluran pencernaan saya,
memotong sepertiga limpa saya, dan mengganti sama sekali organ terbesar yang dimiliki manusia:
liver.
Turun mesin total itu harus diatur sedemikian rupa karena mesin yang sama harus tetap menjalankan
tugas sehari-hari, yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Maka, saya pun mulai membuat jadwal
turun mesin. Dimulai yang paling membahayakan agar yang penting nyawa bisa selamat dulu.
Ternyata saya memang terancam meninggal dunia dari tiga jenis penyakit. Yang pertama adalah yang
bisa membuat saya meninggal mendadak kapan saja tanpa penyebab apa pun. Tiba-tiba bisa saja
saya muntah darah dan tak tertolong lagi. Ini karena seluruh saluran pencernaan saya, mulai
tenggorok sampai perut sudah penuh dengan varises yang menor-menor karena sudah matang dan
siap pecah. Ibarat kumpulan balon-balon kecil berwarna merah, yang kulitnya sudah tipis seperti
balon yang ditiup terlalu keras. Kapan meletusnya bisa setiap saat. Saat meletus itulah orang akan
muntah darah dan tak tertolong lagi.
Penyakit kedua, yang bisa membuat saya meninggal dalam hitungan bulan adalah jumlah darah putih
saya yang terus merosot. Mengapa? Karena limpa saya sudah membesar tiga kali lipat dari ukuran
normal. Limpa yang tugasnya antara lain mengubur sel-sel darah merah yang mati (dengan darah
putih yang diproduksinya), tidak mampu lagi berfungsi baik. Platelet saya yang seharusnya antara
200-300, hari itu tinggal 60. Itu pun dalam posisi terus menurun. Pada penurunan beberapa poin lagi,
saya akan menderita perdarahan dari mana saja: bisa dari hidung, dari telinga, dari mulut, atau dari
mata. Limpa sendiri bisa juga pecah karena sudah tidak kuat lagi akibat terus membesar.
Yang ketiga, ya liver saya sendiri, yang ternyata sudah amat rusak. Setelah liver saya dibuang setahun
kemudian, tampaklah nyata bahwa liver saya sudah seperti daging yang dipanggang terlalu masak.
Padahal, seharusnya mulus seperti pipi bayi. Ini yang bisa membuat saya meninggal dunia dalam
hitungan dua-tiga tahun. Bahkan, sebenarnya liver itu yang membuat limpa saya membesar dan
membuat seluruh saluran darah di sepanjang pencernakan saya penuh dengan balon-balon darah
yang siap pecah.
Maka, satu per satu harus saya selesaikan. Saya mulai dari mengatasi agar tidak terjadi muntah
darah. Lalu, setengah tahun kemudian memotong limpa saya. Dan, terakhir 6 Agustus lalu, beberapa
hari sebelum ulang tahun ke-56 saya, saya lakukan transplantasi liver: membuang liver lama, diganti
dengan liver baru.
Semua proses itu memakan waktu hampir dua tahun. Ini karena saya tetap harus menjalankan
aktivitas, baik sebagai pimpinan Grup Jawa Pos maupun sebagai CEO perusahaan daerah Jatim yang
lagi giat-giatnya membangun tiga proyek besar: pabrik conveyor belt, gedung ekspo, dan shorebase.
Semua tahap itu saya jalani dengan keputusan yang mantap, tanpa keraguan sedikit pun mengenai
kegagalan hasilnya. Banyak teman yang bertanya mengapa saya bisa tegas membuat keputusan yang
3 by Moezhanks
begitu membahayakan hidup saya. Saya jawab bahwa percaya sepenuhnya dengan takdir -sesuai
dengan tafsir yang saya yakini, yakni mirip dengan uraian buku Saudara Agus Mustofa Takdir Itu Bisa
Berubah.
Faktor lain adalah bahwa rupanya, kebiasaan saya membuat keputusan berani, keputusan besar dan
keputusan yang cepat di perusahaan ikut memengaruhi keberanian membuat keputusan dengan
kualitas yang sama untuk diri sendiri. Lalu, keyakinan bahwa saya mampu me-manage hal-hal yang
rumit selama ini, tentu juga akan mampu me-manage kerumitan persoalan yang ternyata ada di
dalam tubuh saya.
Apakah tidak ada kekhawatiran sama sekali akan gagal dan kemudian meninggal? Tentu ada. Tapi,
amat kecil. Saya tahu kapan harus ngotot dan kapan harus sumeleh. Keluarga saya yang miskin dan
menganut tasawuf Syathariyah sudah mengajarkan sejak awal tentang sangkan paraning dumadi
(dari mana dan akan ke mana hidup dan semua kejadian). Ini membuat saya akan ngotot melakukan
apa pun untuk berhasil, tapi juga tahu batas kapan harus berakhir.
Tentu ada penyebab lain: Banyak keluarga saya mati muda, sehingga saya pun seperti sudah siap
sejak kecil bahwa saya juga akan mati muda. Ibu saya meninggal dalam usia 36 tahun (muntah
darah). Kakak saya, yang digelari agennya Nurcholish Madjid di Jatim untuk urusan pembaharuan
pemikiran Islam, meninggal dalam usia 32 tahun (muntah darah). Dia sering memarahi saya,
mengapa masih kecil sudah belajar filsafat/tasawuf dan mengapa sering pergi ke pondok salaf. Tapi,
tahun depannya saya masih tetap ke pondok salaf Kaliwungu, 25 km sebelah barat Semarang.
Paman saya dan pakde saya juga meninggal muda. Penyebabnya juga sama: muntah darah. Muntah
darah sebenarnya bukan penyebab, tapi begitulah orang di desa mengatakannya, karena tidak tahu
bahwa semua itu berawal dari persoalan liver.
Tapi, ada juga sedikit harapan bahwa saya bisa berumur panjang: Bapak saya meninggal dalam usia
93 tahun. Kakak tertua saya yang amat baik, Khosiyatun, yang juga ketua umum Aisyiah Kaltim, kini
berumur hampir 70 tahun dan masih aktif mengajar di SD swasta di Samarinda. Entahlah, saya ikut
yang mana. (bersambung)
Ganti Hati 02 - Tiga Jam Jelang Operasi Masih Ditawari Take Over Koran
27 Agustus 2007
Mudah-mudahan rencana operasi kali ini tidak gagal lagi. Yu Shi Gan Xian Sheng (nama saya di
Tiongkok), besok mendapat giliran operasi. Itu kata seorang dokter di rumah sakit ini pada Minggu 5
Agustus 2007 kepada saya. Dia memakai istilah mudah-mudahan tidak gagal lagi karena memang
sudah beberapa kali saya diberi tahu dapat giliran operasi, tapi selalu tertunda karena liver yang
datang tidak cocok untuk mengganti liver saya.
Kali ini kelihatannya cocok. Golongan darahnya sama. Juga sudah dinilai akan memenuhi syarat untuk
ditransplantasikan ke saya. Harapan bahwa kali ini tidak gagal lagi kian besar setelah sore harinya,
petugas cukur datang ke kamar saya. Dia harus mencukur rambut yang ada di badan saya, sebagai
salah satu syarat dilakukannya operasi besar. Tugasnya sore itu ringan sekali karena hanya perlu
mencukur rambut di sekitar kemaluan. Saya tidak punya rambut di dada atau di paha.
4 by Moezhanks
Saya lalu membayangkan bagaimana dengan pasien yang punya bulu dada lebat dan cepat tumbuh
kembali. Misalnya, seperti yang banyak dimiliki pasien dari negara-negara Arab.
Saya juga membayangkan bagaimana kalau bulu dada itu cepat tumbuh, sementara luka akibat
sayatan yang panjang di situ belum menyatu kembali. Tapi, bayangan-bayangan saya itu lenyap
karena tiba-tiba tukang cukur menyatakan tugasnya sudah selesai. Sebentar dan sederhana sekali
tugasnya untuk saya malam itu.
Meski itulah malam menghadapi operasi besar, saya tidak punya kekhawatiran apa-apa. Malam itu
saya tidur nyenyak sebagaimana biasa. Tidak punya perasaan galau sedikit pun, meski saya akan
menjalani penggantian organ terbesar dalam tubuh seorang manusia. Sore sebelum tidur, saya
potong rambut. Pendek sekali, nyaris gundul. Saya ingin agar setelah operasi kelak, kalau mau cuci
rambut lebih gampang.
Bangun pagi 6 Agustus 2007, saya bertanya kepada perawat kira-kira operasinya jam berapa.
Setidaknya jam berapa harus berangkat ke ruang operasi. Perawat belum bisa menjawab. Memang
jadwal transplantasi besar seperti ini tidak gampang dibuat.
Karena itu, saya lantas mandi lebih bersih daripada biasanya. Saya tidak ingin ada kuman yang
menempel di badan saya yang akan menjadi penyebab infeksi setelah operasi. Tentu ini kurang
masuk akal, karena dalam proses operasi ada prosedur sterilisasi di badan saya. Yakni, seluruh badan
saya akan diolesi cairan antiinfeksi yang biasanya berwarna merah kecokelatan itu.
Pagi itu saya sudah tidak boleh makan apa pun. Perut harus kosong sejak malamnya. Namun, sekitar
pukul 09.00 perut saya masih harus dibesihkan dari kotoran dengan cara dimasuki cairan bening
sekitar seperempat liter melalui pantat. Kurang dari lima menit kemudian saya lari ke toilet karena
semua isi perut seperti mau keluar.
Setengah jam kemudian dilakukan lagi hal yang sama. Di toilet saya lihat tak ada lagi benda apa pun
yang keluar kecuali air bening yang dimasukkan tadi. Maka saat itu dianggap perut saya sudah bersih.
Beberapa sahabat penting saya di Tiongkok datang. Terutama Mr Guo yang sejak 10 tahun lalu
mengangkat saya sebagai adik kelima, dan saya mengangkatnya sebagai kakak ketiga. Kakak pertama
adalah seorang pensiunan jenderal polisi yang juga tinggal di kota ini.
Pukul 09.30 saya diberi tahu tentang kepastian operasi. Bapak harus masuk ruang operasi pukul
14.00, kata seorang perawat. Alhamdulillah, kata saya dalam hati. Kalau tidak, bagaimana dengan
rambut yang telanjur dicukur? Apa saya akan minta ditempelkan lagi?
Prioritas saya kemudian adalah menghubungi kantor, kakak saya yang di Samarinda, adik saya yang di
Madiun, dan beberapa pemegang saham. Saya akan operasi jam 14.00 nanti, tulis saya di sms.
Kepada kakak saya yang di Samarinda, saya bicara langsung melalui telepon. Saya harus hati-hati
menjelaskannya. Itu kakak saya yang amat baik hatinya. Dia pernah menyerahkan seluruh gajinya
sebagai guru SD untuk biaya sekolah dan hidup saya selama lebih dari lima tahun. Itu sebagai
tanggung jawabnya karena dia harus pergi meninggalkan kami tanpa ibu di Magetan untuk pergi ke
Kaltim, ikut paman saya. Dia merasa kasihan saya hidup dengan Bapak yang tidak punya penghasilan
tetap. Apalagi, masih ada satu adik lagi yang masih kecil. Di Kaltim dia harus mengajar di dua sekolah
agar masih punya penghasilan untuk hidupnya sendiri.
Mbakyu, nanti sore saya harus operasi, kata saya. Operasi apa? tanyanya. Saya tidak berani
menjelaskan apa adanya, khawatir mengganggu pikirannya.
5 by Moezhanks
Saya akan operasi, agar tidak sampai terjadi seperti yang mengakibatkan ibu dan Mbak Sofwati
meninggal muda, kata saya.
Mbak Sofwati adalah kakak saya yang meninggal umur 32 tahun setelah muntah darah. Padahal, dia
kami jagokan sebagai tokoh keluarga. Orangnya pintar dan karirnya bagus. Saat mahasiswa, dia jadi
ketua Korps Himpunan Mahasiswa Islam Wanita Jatim.
Ya, saya doakan semoga berhasil, katanya datar. Dia tidak saya beri tahu betapa berisikonya
penggantian liver ini.
Dalam waktu sekejap sms pemberitahuan operasi itu rupanya menyebar, sampai ke anak
perusahaan. Mulai Aceh sampai Jayapura. Juga beredar di antara teman-teman. Ini saya ketahui dari
sms yang segera mengalir ke telepon saya.
Semua mengirimkan doa untuk keberhasilan operasi saya. Bahkan, SMS dari Bambang Sujiyono,
seniman Surabaya itu, sangat dramatik. Dia kaget saya kok tiba-tiba memberitahunya akan operasi
besar. Dia menangis dalam SMS-nya.
Allah, tulisnya, Selamatkan nyawa rekan saya ini. Kalau perlu, tukar dengan kematian saya.
Bambang memang orang yang sangat humanis. Dia sendiri dalam keadaan sakit jantung.
Saya balas tangisannya itu dengan tegar dan setengah guyon. Mas Bambang, di rumah sakit ini
hampir tiap hari juga dilakukan operasi penggantian jantung, tulis saya.
Juga operasi penggantian ginjal dan organ yang lain, tambah saya. Lalu dia tidak emosional lagi. Dia
justru bertanya berat mana transplantasi ginjal dibanding liver. Transplantasi ginjal itu sekarang
sudah dianggap biasa. Liver paling sulit, jawab saya.
Sekitar pukul 10.30 saya terima sms dari Jakarta. Seorang teman lama menawarkan agar saya
membeli tabloidnya yang mengalami kesulitan. Dia bilang, tabloid itu akan sukses kalau di tangan
saya. Saya balas sms itu, agar dia menunggu keputusan saya beberapa minggu lagi.
Setengah jam kemudian, teman lama yang lain, juga kirim sms. Isinya: apakah saya berminat
mengambil alih koran berbahasa Inggris yang terbit di Jakarta? Saya jawab: saya perlu informasi lebih
lengkap, dan dia saya minta kirim email.
Tanpa tahu bahwa saya segera memasuki meja operasi yang bisa memakan waktu 12 jam dan entah
apa hasilnya, seorang direksi saya di Jakarta menanyakan lewat sms apakah dokumen tender listrik
yang disiapkan sudah saya tanda tangani.
Sesaat sebelum saya berganti baju dengan baju operasi, saya masih sempat membalas sms itu: tidak
perlu saya yang tanda tangan. Saya lantas memberi tahu siapa yang bisa menggantikan tanda tangan
saya. Lalu petugas pembawa baju operasi saya datang membuka bungkusan sterilnya. (bersambung)
6 by Moezhanks
Ganti Hati 03 - Banyak Yang Doakan Panjang-Panjang, Saya Berdoa Pendek
28 Agustus 2007
PUKUL 12.00 Senin (6/8) siang itu saya sudah diminta melepas baju saya, pertanda waktu operasi
sudah akan tiba. Diganti baju kertas biru muda. Kepala saya juga dipasangi topi kertas dengan warna
yang sama. Saya pun sudah siap mental segera menuju ruang operasi di lantai 13.
Tapi, SMS masih terus mengalir masuk. Teman-teman Jawa Pos, entah siapa yang punya inisiatif, lagi
berkumpul di rumah saya di belakang Graha Pena Surabaya. Mereka akan melakukan sembahyang
dan doa bersama. Saya segera menelepon Misbahul Huda, Dirut Percetakan Temprina, yang akan
menjadi imam pada acara itu. Saya minta suara teleponnya dibesarkan. Agar, semua yang hadir di
rumah saya bisa ikut mendengar kata-kata saya. Setelah telepon siap, saya bertanya kepada yang
hadir: apakah ada pertanyaan? Saya siap menjawab pertanyaan apa pun, kata saya.
Salah seorang di antaranya bertanya apakah saya dalam kondisi siap. Saya jawab, saya siap sekali.
Ada yang bertanya, kira-kira operasinya berlangsung berapa jam? Saya jawab sekitar 12 jam.
Memang begitulah yang dikatakan dokter kepada saya, berdasarkan pengalaman mereka.
Ada lagi beberapa pertanyaan dan harapan yang disampaikan dengan penuh suasana prihatin. Untuk
membuat agar suasana mereka tidak sedih, saya tutup pembicaraan saya dengan kata-kata, Sampai
jumpa minggu depan. Maksud saya, kira-kira saya perlu waktu satu minggu untuk bisa bicara lagi
dengan teman-teman itu: satu hari operasi (pasti saya tidak bisa bicara), tiga hari di ICU (juga pasti
belum bisa bicara), dan dua hari memulihkan badan. Genap satu minggu, saya pikir, saya sudah akan
bisa bicara lagi. Setelah tidak ada pertanyaan, telepon saya tutup.
SMS terus mengalir masuk. Dari Madiun menceritakan bahwa keluarga tasawuf sathariyah lagi
berkumpul untuk ber-zikir-pidak, yakni mendengungkan kata hu bersama-sama sebanyak 99.000
kali. Tentu dengan sistem borongan. Artinya, kalau yang mengucapkan lebih banyak orang, waktu
yang diperlukan tidak perlu teralu lama. Dengungan hu adalah hasil compression (untuk meminjam
istilah software komputer) dari kalimat syahadat. Kalau di-decompression, kata hu itu akan
menjadi kalimat panjang: aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusam Allah. Mungkin, kalau harus mengucapkan kalimat yang begitu panjang
sebanyak 99.000 kali dirasa akan memakan waktu yang lama sekali, sehingga perlu di-compress
menjadi satu dengungan hu saja. Siapa menyangka bahwa zikir pun sejak dulu sudah di-compress
seperti itu.
Tapi, sistem compression zikir seperti inilah yang banyak dikecam aliran tasawuf lain dan terutama
oleh kalangan syariah formal. Kalimat syahadat kok dipadatkan, kata mereka. Ini seperti juga Bung
Karno yang dikecam telah menyelewengkan kemurnian Pancasila yang dia temukan sendiri. Yakni,
ketika Bung Karno meng-compress Pancasila yang panjang itu menjadi satu kata yang simpel dan pas:
gotong royong.
SMS juga masuk dari teman-teman Kristen dan Katolik. Mereka mengirimkan doa-doa yang saya
ketahui diambilkan dari Alkitab. Ibu Eric Samola, istri mendiang Pak Eric Samola, yang dulu punya
inisiatif mengambil alih Jawa Pos dari keluarga The Chung Shen, mengirimkan doa paling panjang.
Tokoh Buddha Surabaya juga mengirim SMS dan memberitahukan bahwa hari itu berkumpul lebih
1.000 penganut Buddha di shi mian fo (Buddha empat wajah) di Kenjeran. Mereka akan berdoa terus
selama saya dioperasi. Karena itu, dia minta dikabari kalau operasi sudah selesai. Kalau tidak, doanya
7 by Moezhanks
tentu tidak akan dihentikan. Saya berpesan kepada istri agar jangan lupa memberi tahu mereka
nanti. Tempat ibadah itu memang saya yang meresmikan beberapa tahun lalu.
Teman-teman dari penganut aliran kebatinan Sapta Dharma juga mengirim SMS, bahwa siang itu
200-an tokohnya berkumpul di Pujon, Malang. Mereka melakukan doa berdasar kepercayaan mereka
untuk keberhasilan operasi saya. Demikian juga penganut aliran Sai Baba, mengirimkan doa panjang
yang biasa diucapkan Sai Baba di India sana.
Pukul 14.00 kurang 15 menit, kereta brankar sudah datang dengan beberapa orang yang berbaju biru
muda. Itulah petugas ruang operasi. Saya harus segera berbaring di kereta itu. Sebenarnya saya bisa
berjalan sendiri ke ruang operasi. Badan saya sangat sehat. Tapi, peraturan tidak membolehkannya.
Saat saya sudah berbaring di kereta, Pak Mustofa, akuntan terkemuka Surabaya, telepon minta
bicara. Ternyata, dia lagi makan siang dengan para pengusaha teman saya di Hotel Shangri-La
Surabaya. Lalu, saya beri tahu bahwa saya sudah tidak punya waktu bicara. Saya sudah di atas kereta
yang siap berangkat ke ruang operasi. Pak Alim Markus, yang rupanya ikut makan siang, memaksa
bicara untuk memberi dorongan semangat agar saya kuat memasuki ruang operasi. Alim Markus juga
pernah tiba-tiba sakit yang amat membahayakan hidupnya. Tapi, semangatnya untuk sembuh luar
biasa. Saya sering mengatakan padanya, semangatnya itulah yang ikut mendorong saya punya
semangat yang sama.
Istri saya terus komat-kamit. Rupanya berdoa dengan serius. Anak laki-laki saya sibuk memotret.
Saudara angkat saya, Mr Guo dan sahabat karib saya Robert Lai dari Singapura, memegangi tangan
saya. Kereta pun didorong keluar dari ruang saya di lantai 11 untuk dibawa ke lift naik ke lantai 13.
Ketika melewati kamar pasien dari Jepang, dia terlihat mengepalkan tangan ke arah saya, tanda ikut
memberi semangat.
Tak sampai 5 menit saya sudah tiba di lobi lantai 11, di depan lift yang akan membawa saya ke lantai
13. Ada lima lift di situ. Dua lift ukuran normal, tiga lift ukuran besar untuk mengangkut kereta
pasien. Lift terbuka, tombol 13 dipencet, panah naik menyala. Zoom! Tibalah saya di lantai 13.
Istri, anak, saudara angkat saya, dan Robert Lai mengantar ke lantai 13, tapi hanya bisa sampai di
pintu tertentu. Setelah itu semua harus melepaskan tangan dari tubuh saya. Mata istri saya kelihatan
sembap. Juga mata Robert Lai.
Robert Lai adalah orang yang rajin berpesan kepada siapa pun, agar saat mengantar saya ke lantai 13
nanti, jangan ada yang menangis. Juga jangan ada yang mengeluarkan air mata. Tapi, saya lihat dia
sendiri ternyata terisak-isak ketika melepas saya untuk dibawa petugas ke tempat yang dia tidak bisa
lagi menyertai saya.
Sambil menahan tangis, dia akhirnya berteriak: jia you! tiga kali. Jia artinya tambah. You artinya
bensin. Tapi, jia you dalam bahasa Mandarin berarti semangatlah! .
Lalu pintu ditutup. Saya tidak bisa lagi melihat istri, anak, Saudara Guo, dan Robert Lai. Tinggal saya
dan beberapa petugas yang terus mendorong kereta itu ke ruang operasi.
***
Kereta didorong amat cepat. Rupanya saya harus segera tiba di ruang operasi, karena sedikit agak
terlambat dari jadwal. Saya amati lorong-lorong apa saja yang dilewati kereta ini. Oh, harus
menyeberang ke gedung sebelah, rupanya. Gedung rumah sakit ini memang terdiri atas dua tower,
8 by Moezhanks
masing-masing berlantai 15. Di lantai 12 sampai 14, ada lorong untuk menyeberang dari gedung kiri
ke gedung kanan. Saya akan dioperasi di gedung kanan.
Seluruh lantai 13 adalah ruang operasi. Rumah sakit ini, dalam waktu bersamaan, bisa melakukan 30
operasi penggantian organ. Mulai ganti ginjal, mata, jantung sampai ganti liver seperti saya.
Dalam perjalanan sepanjang lorong-lorong itu saya menyadari bahwa saya tadi belum sempat
berdoa. Saya harus berdoa. Saya tidak mau ada kesan bahwa saya sombong kepada Tuhan. Tapi,
segera saja saya terlibat perdebatan dengan diri saya sendiri: harus mengajukan permintaan apa
kepada Tuhan? Bukankah manusia cenderung minta apa saja kepada Tuhan sehingga terkesan dia
sendiri malas berusaha? Saya tidak mau Tuhan mengejek saya sebagai orang yang bisanya hanya
berdoa. Saya tidak mau Tuhan mengatakan kepada saya: untuk apa kamu saya beri otak kalau
sedikit-sedikit masih juga minta kepada-Ku?
Karena itu, saya memutuskan tidak akan banyak-banyak mengajukan doa. Saya tidak mau serakah.
Kalau saya minta-minta terus kepada Tuhan, kapan saya menggunakan pemberian Tuhan yang paling
berharga itu: otak? Maka saya putuskan akan berdoa se-simple mungkin.
Tapi, masih ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul. Apakah saya harus berdoa dengan biasa saja atau
harus sampai menangis? Kalau doa itu saya sampaikan biasa-biasa saja, apakah Tuhan melihat saya
sedang serius memintanya? Tapi, kalau harus saya ucapkan sampai menangis dan mengiba-iba,
apakah Tuhan tidak akan menilai begini: lihat tuh Dahlan. Kalau sudah dalam posisi sulit saja dia
merengek-rengek setengah mati. Tapi, nanti akan lupa kalau sudah dalam keadaan gembira! Saya
tidak ingin Tuhan memberikan penilaian seperti itu.
Apalagi, saya juga tahu bahwa sistem file di kerajaan Tuhan tidak membedakan doa yang dikirim
secara biasa, secara khusus maupun secara tangis-menangis. Tuhan punya sistem file-Nya sendiri,
entah seperti apa.
Waktu terus berjalan. Perdebatan di hati saya belum selesai. Padahal, kereta sudah hampir sampai di
ruang operasi. Akhirnya saya putuskan berdoa menurut keyakinan saya. Satu doa yang pendek dan
mencerminkan kepribadian saya sendiri: Tuhan, terserah engkau sajalah! Terjadilah yang harus
terjadi. Kalau saya harus mati, matikanlah. Kalau saya harus hidup, hidupkanlah! Selesai. Perasaan
saya tiba-tiba lega sekali. Plong. Kereta pun tiba di depan ruang operasi. (iskan@jawapos.co.id)
(bersambung)
Ganti Hati 04 - Sudah Tiga Jam Dimatikan, Belum Juga Di-Garap
29 Agustus 2007
Ketika memasuki ruang operasi, saya tertegun. Ruangnya sangat bersih, kinclong (karena didominasi
stainless steel), dan modern. Begitu masuk, yang terdengar adalah musik soft-rock berbahasa
Mandarin yang lagi digemari anak muda sekarang.
Belakangan saya tahu judul lagu tersebut adalah Mei Fei Se Wu yang artinya bulu mata menari-
nari, yang dibawakan oleh penyanyi top Hongkong Zheng Xiu Wen. Suara musik itu cukup keras
sehingga suasananya ingar-bingar. Rupanya, sambil menunggu kedatangan saya, beberapa petugas
9 by Moezhanks
muda menyenangi lagu itu. Suasananya pun menjadi seperti di sebuah disko, bukan seperti di sebuah
tempat yang menyeramkan.
Mata saya terus beredar dari dinding ke dinding. Dari alat ke alat. Saya ingin tahu apa saja yang ada
di ruang itu agar, kalau operasi berhasil, saya bisa menuliskan deskripsinya secara baik.
Dokter belum pada datang, karena memang pada tahap ini semua pekerjaan masih urusan perawat.
Beberapa perawat membicarakan saya. Ini orang asing, kita harus pakai bahasa apa? ujar salah
seorang di antara mereka. Dia orang Indonesia, tapi bisa berbahasa Mandarin, jawab yang lain.
Maka saya sela pembicaraan mereka: Ya, saya bisa bahasa Mandarin sedikit-sedikit. Mereka merasa
lega, lalu memberikan beberapa perintah mengenai posisi badan saya. Harus bergeser sini dikit dan
harus naik sedikit. Lalu, lengan saya diperiksa seperti akan memasang selang. Melihat tangan saya
sudah dipasangi selang selama 3 bulan lebih, perawat memutuskan tidak mau pakai itu. Maka, dia
minta lengan kanan saya dimasuki jarum untuk memasukkan beberapa zat kimia ke badan saya.
Musik soft-rock masih terus ingar-bingar. Beberapa perawat mengikuti suara musik itu dengan suara
mulutnya tanpa kata-kata. Rupanya dia sangat menikmati lagu itu. Perawat yang lain mulai
memasukkan cairan tertentu ke lengan saya. Hanya dalam beberapa saat, saya tidak lagi mendengar
suara musik itu. Juga tidak mendengar apa-apa lagi. Saya sudah dimatikan untuk persiapan operasi.
Saya baru akan dihidupkan lagi, nanti, 18 jam kemudian.
***
Sejak saya masuk ruang operasi pukul 14.00, istri, anak, dan sahabat saya Robert Lai kembali ke
kamar saya di lantai 11. Tepatnya kamar 1102. Di kamar ini mereka menantikan perkembangan
operasi saya. Perawat akan selalu mengabarkan apa pun yang terjadi di ruang operasi.
Sementara menunggu kabar, Robert yang sudah 11 bulan menemani saya ke mana pun pergi
memutuskan untuk membersihkan kamar saya. Rumah sakit ini, terutama gedung baru ini, memang
sudah sangat bersih. Tapi, Robert ingin kamar saya lebih bersih lagi. Tidak boleh ada virus atau
sumber virus yang akan membahayakan pascaoperasi saya. Sudah diketahui bahwa virus
pascaoperasi adalah pembunuh paling utama bagi pasien yang baru melakukan transplantasi organ.
Rumah sakit juga sudah memberi kami buku panduan mengenai bagaimana menjaga agar tidak
terkena virus. Buku itu berbahasa Mandarin, lalu kami terjemahkan ke dalam bahasa Inggris agar
seluruh keluarga saya memahami isinya. Penerjemahan ini sangat bermanfaat karena banyak sekali
pasien dari negara-negara Arab dan Pakistan yang kemudian minta kopinya kepada kami.
Kamar saya di lantai 11 terdiri atas dua ruang. Ada ruang tidur pasien dengan kamar mandi khusus
dan ruang pakaian. Lalu, ada satu ruang tamu yang besar di sebelahnya. Di ruang tamu ini ada satu
set TV besar, dispenser air mineral, satu set sofa, lemari es besar, dan satu set dapur kering. Di dapur
kering ini ada microwave, rice cooker, water boiler, dan keran panas dingin.
Di ruang tamu ini ada kamar mandi dan toiletnya. Istri saya tidur di ruang ini. Yakni, di sebuah kursi
yang kalau siang bisa untuk menambah kapasitas sofa, tapi kalau malam bisa dipanjangkan menjadi
tempat tidur biasa. Di belakang sofa, ada satu meja makan dari kaca besar untuk makan bersama.
Tapi, kami tidak makan di situ. Meja ini saya pakai untuk kantor dalam pengasingan. Kami pasang
komputer, laptop, printer, dan internet. Saya memang dapat menggunakan internet kecepatan tinggi
di ruang saya ini.
10 by Moezhanks
Dari kamar inilah saya bisa membaca semua laporan perusahaan, mengirim dan menjawab e-mail,
dan tak jarang juga mengadakan rapat. Terutama rapat dengan partner-partner usaha yang dari
Tiongkok. Misalnya, saya harus panggil partner yang membangun pembangkit listrik tenaga uap
(PLTU) di Kalimantan untuk mencari jalan agar proyek selesai sesuai dengan jadwal. Sebab, krisis
listrik di daerah itu sudah tidak ketulungan.
Di dinding-dinding kamar tamu yang kosong, lantas saya pasangi asesori. Dinding sebelah kanan saya
tempeli peta Tiongkok yang besar sehingga mudah bagi saya untuk melihat negara ini secara
keseluruhan. Di dinding satunya saya pasang peta Indoensia. Lalu, di belakang meja besar saya
pasangi white board. Bukan saja untuk rapat, juga untuk saya pakai belajar bahasa Mandarin.
Sambil menunggu giliran operasi yang tidak menentu waktunya, saya memang memutuskan untuk
meneruskan belajar bahasa Mandarin. Sehari empat jam: pagi dua jam, sore dua jam. Saya
mendatangkan guru dari IKIP di kota ini. Tiga orang guru secara bergantian mengajari saya bahasa
Mandarin.
Saya juga beli proyektor yang saya hubungkan dengan laptop yang software-nya Mandarin. Ini saya
pakai untuk latihan menulis cerita dalam bahasa dan tulisan Mandarin. Lalu, dari kursi di sebelah
saya, guru saya tinggal melihat sorotan proyektor. Lalu, memberikan koreksi mana yang saya salah
dalam menggunakan kata-kata, atau salah memilih huruf.
Sampai sehari sebelum operasi saya masih masuk kelas, seperti besok tidak akan terjadi apa-apa.
Ada juga sedikit tebersit perasaan, untuk apa ya saya susah-susah belajar begini. Toh, kalau operasi
gagal, besok saya sudah tidak akan bisa lagi memanfaatkan hasil belajar saya ini. Malaikat toh akan
bertanya kepada saya di akhirat sana dengan (eh, pakai bahasa apa, ya?) bahasa malaikat sendiri.
Tapi, ketika saya berada di ruang operasi, semua peralatan yang ada di kamar ini dibersihkan. Buku-
buku, koran-koran, dan kertas-kertas yang selama ini di mana-mana diangkut ke apartemen. Semua
kursi dan meja dicuci. Tempat tidur saya lebih-lebih lagi, disterilkan. Lantainya menjadi mengilap.
Bersih dan kinclong.
Dua jam setelah operasi bersih-bersih itu, perawat masuk memberikan kabar bahwa sampai
menjelang pukul 17.00 itu saya belum dioperasi. Hah? gumam Robert seperti tidak percaya. Berarti
sudah hampir tiga jam saya di ruang operasi dan sudah dalam keadaan dimatikan, tapi belum juga di-
garap.
Livernya baru akan datang sekitar pukul 17.00, ujar perawat itu. (Bersambung)
Ganti Hati 05 Tunggu Operasi, Suasana seperti Siaran Langsung Sepak Bola
30 Agustus 2007
Setelah diberi tahu bahwa liver yang akan dipasangkan di dalam tubuh saya ternyata baru akan tiba
sekitar pukul 17.00, Robert Lai terperangah. Tiwas kita sudah tegang selama tiga jam. Ternyata
belum diapa-apakan, katanya. Robert lantas menerjemahkan informasi dalam bahasa Mandarin itu
kepada istri dan anak saya.
Berarti, baru 10 menit lagi livernya tiba? tanya istri saya sambil melihat ke jam dinding.
11 by Moezhanks
Dia lantas memperhatikan pintu masuk rumah sakit dari lantai 11, dari dalam kamar saya. Istri saya
ingin melihat masuknya ambulans yang mungkin membawa liver yang akan dipasangkan ke dalam
tubuh saya. Dia punya khayalan, bahwa kalau ada suara nguingnguing masuk ke rumah sakit,
pastilah itu suara ambulans yang membawa liver.
Dari ruang tamu di kamar saya itu, siapa pun memang bisa melihat apa yang terjadi di luar sana.
Dinding kamar tersebut terbuat dari kaca. Di seberang kamar itu terlihat gedung pertama rumah
sakit yang tingginya 17 lantai. Bangunannya dari luar mirip hotel.
Di atas gedung itu, di bagian tengahnya, terdapat tambahan tiga lantai bulat. Lantai paling atas rata.
Di situlah helikopter yang membawa pasien darurat atau helikopter yang membawa liver yang urgen
mendarat. Istri saya juga memperhatikan puncak gedung tersebut, siapa tahu livernya dibawa
dengan helikopter.
Dari kamar itu juga terlihat simpang susun jalan layang yang melingkar-lingkar di depan rumah sakit.
Lalu, terlihat juga pemandangan sungai yang bersih yang dipakai untuk arena mainan anak-anak
serta keluarga. Dari kamar tersebut, kalau Sabtu dan Minggu malam, sering bisa melihat
pemandangan indah. Yakni, mengudaranya kembang api berjam-jam di berbagai tempat.
Itu pertanda malam tersebut banyak pesta perkawinan. Kalau sudah ada pesta kembang api seperti
itu, kami biasanya mematikan lampu kamar, agar warna-warni kembang apinya lebih jelas.
Istri saya kali ini tidak memperhatikan semua itu. Dia lebih memfokuskan perhatian ke bawah,
melihat keluar masuknya ambulans di pintu gerbang depan sana. Dia mengira salah satu ambulans
yang masuk pada jam-jam itu pastilah yang membawa liver yang akan menggantikan liver saya yang
sudah rusak.
Anak lelaki saya, katanya, jam-jam itu sibuk membalas SMS yang masuk. Semua seperti tidak sabar
menanyakan perkembangan operasi saya. Tentu mereka tidak diberi tahu bahwa operasinya belum
jadi dilaksanakan pada pukul 14.00. Mereka hanya diberi jawaban Belum ada kabar baru dari kamar
operasi.
Lamanya tidak ada kabar baru itu rupanya semakin membuat teman-teman di Indonesia kian
tegang. Ketegangan selama menunggu berlangsungnya operasi digambarkan oleh Yoto, Dirut grup
anak perusahaan Jawa Pos di Papua, seperti ini: Kami tiap 10 menit SMS ke Mas Azrul (Posko di
Tiongkok) atau ke Mbak Nany Wijaya (Posko di Surabaya). Kami seperti sedang mendengarkan siaran
langsung sepak bola lewat radio, tapi dalam keadaan musuh selalu mengancam ke gawang kita!
Semua itu saya nilai wajar karena operasi penggantian liver tidaklah gampang. Apalagi, kegagalan
transplantasi liver di Tiongkok yang dialami tokoh seperti Nurcholish Madjid mendapat pemberitaan
yang sangat besar. Kegagalan tersebut, dan kengeriannya, seperti baru terjadi beberapa minggu lalu.
Kabar pertama dari ruang operasi masuk pukul 22.00. Kita diminta naik ke lantai 13. Kepada kita
akan ditunjukkan sesuatu, kata Robert kepada istri dan anak saya dalam bahasa Melayu yang agak
sulit dimengerti. Go! tambahnya.
Maka, Robert, istri, anak, dan saudara angkat Guo naik lift ke lantai 13. Mereka menunggu di depan
lift untuk menerima instruksi berikutnya. Tak lama kemudian, pintu lorong tempat saya dimasukkan
menuju ruang operasi sore tadi terbuka. Sejumlah dokter membawa barang berdarah dan
meletakkannya di lantai. Ini liver bapak yang sudah kami keluarkan, kata seorang dokter.
12 by Moezhanks
Melihat barang tersebut, istri saya langsung lemas dan terduduk. Sesaat kemudian, dia bersujud di
dekat seonggok daging berdarah itu. Anak saya memotretnya dari berbagai sudut. Waktu bersujud
itu, Anda mengucapkan doa apa? tanya saya beberapa hari kemudian. Doa apa saja yang bisa saya
ucapkan, ungkapnya.
Lalu, dokter menjelaskan bagaimana keadaan liver saya yang sudah dikeluarkan itu. Digulang-
gulingkannya. Lalu, menyayat-nyayatkan pisau di beberapa tempat untuk melihat dalamnya. Masya
Allah, kata anak saya. Seperti daging yang dipanggang kematangan, ujarnya. Liver itu sudah begitu
rusaknya.
Dokter lantas mengiris lagi bagian lain. Dibenggangkannya irisan itu dengan jarinya yang masih
terbungkus sarung karet. Itu lihat. Ada kanker di dalamnya, kata dokter sambil jarinya menuding ke
arah benda yang dimaksud. Jepret, anak saya memotret lagi bagian itu.
Liver lama tersebut memang tidak boleh dibawa. Hanya boleh difoto. Mengapa? Liver itu masih akan
dimasukkan ke laboratorium untuk dianalisis lagi lebih teliti. Bukan hanya mengenai apa saja yang
ada di dalamnya, melainkan juga untuk melihat sudah ada berapa kanker yang muncul. Dan, yang
lebih penting, apakah kankernya telanjur menyebar atau tidak. Sebab, menurut hasil MRI
sebelumnya, di dalam liver saya sudah ada tiga kanker yang besar (ukuran 6 cm, 4 cm, dan 2 cm).
Lalu, masih ada dua lagi calon kanker baru. Dan, tentu mungkin masih akan terlihat anak-anak dan
cucu-cucunya.
Tapi, bagaimana persisnya keadaan liver lama saya itu, masih harus menunggu hasil penelitian. Kami
baru akan diberi tahu sekitar seminggu kemudian. Liver ini kami bawa kembali, ujar dokter sambil
kembali membungkusnya.
Pintu ditutup lagi, para dokter meneruskan lagi pekerjaannya, menyelesaikan operasi terhadap saya.
Pukul 24.00, berita berikutnya disampaikan. Operasi sudah selesai. Pak Yu Shi Gan (baca: i-se-kan)
akan segera dibawa ke ICU untuk menunggu siuman di sana, jelas seorang dokter kepada Robert.
Pukul berapa akan siuman? kata Robert. Kira-kira 6 jam lagi, ujar dokter. Itu berarti saya baru
akan siuman sekitar pukul 07.00 keesokan harinya.
Keluaga saya sudah lebih tenang. Demikian pula dengan seluruh rekan yang memonitor
perkembangan operasi dari Aceh sampai Papua. Dari foto mereka ketika mendengarkan penjelasan
itu, terlihat jelas bahwa wajah-wajah mereka sudah tidak tegang. Bahkan sudah tersenyum-senyum.
Semua disampaikan anak saya kepada teman-teman yang menanyakan perkembangan operasi saya.
Suatu berita yang menggembirakan. Suasananya lantas seperti mendengar siaran radio
pertandingan sepak bola, di mana lawan sudah tidak memborbardir gawang kita lagi. Bahkan,
sepertinya pemain kita anti menyerang terus. Kita lantas seperti sedang menantikan terjadinya gol-
gol ke gawang lawan, tulis Yoto di SMS-nya dari Papua.
Keluarga di Samarinda, Madiun, dan Surabaya diberi tahu perkembangan itu. Kabar selesainya
operasi juga dikirim ke umat Buddha yang terus bersemedi di Kenjeran, Surabaya. Diteruskan juga ke
warga Sapto Dharmo di Pujon. Mereka sudah bisa menghentikan peribadatannya.
Malam itu, istri dan anak saya langsung bisa tidur. Robert kembali ke apartemen. Saudara ketiga Guo
pulang ke rumahnya. Saya tergolek menunggu siuman di ruang ICU di lantai 12. Di situlah berbagai
13 by Moezhanks
jenis kabel dan selang menempel dan menancap di tubuh saya, seperti untuk sementara
menggantikan nyawa saya. (bersambung)
Ganti Hati 06 Begitu Sadar, Teriak Saya Hidup, tapi Tak Terucap
31 Agustus 2007
Begitu Sadar, Teriak Saya Hidup, tapi Tak Terucap
Suasana orang yang lagi mau siuman selalu saja begini: Mula-mula terdengar dulu pembicaraan
orang-orang yang berada di sekitar kita. Tapi, mata tidak mau membuka. Seperti orang yang
ngantuknya luar biasa. Apalagi seperti saya, yang baru saja dibius selama 18 jam. Suara-suara itu
tambah lama tambah jelas. Ingin sekali mata melihat siapa saja yang bersuara itu, tapi tetap saja
tidak punya kemampuan membuka kelopak mata sendiri.
Sesaat kemudian, napas terasa sesak. Seperti orang yang lagi kekurangan oksigen. Perasaan lantas
seperti setengah berharap, setengah putus asa. Berharap karena ternyata masih bisa bernapas, putus
asa karena jumlah oksigen kok seperti tidak segera cukup dan seperti mengancam kehidupan.
Rasanya kok seperti mau mati karena kekurangan udara.
Saya yang sudah pengalaman beberapa kali dibius (meski dulu tidak sampai 18 jam seperti saat
penggantian liver kali ini), sadar bahwa saya ini sedang dalam proses dari tidak sadar ke sadar. Saya
yakin bahwa saya segera mengatasi persoalan sesak napas itu. Tapi, kok sulit sekali ya? Maka, saya
tetap berusaha sekuat tenaga. Saya lantas memberikan isyarat kepada perawat dengan tangan saya.
Antara sadar dan tidak, saya coba menggerakkan jari-jari tangan saya seperti sedang memutar keran.
Maksud saya, ini permintaan agar keran oksigen diperbesar.
Tapi, mungkin perawat tidak melihat isyarat di tangan saya. Saya gerak-gerakkan terus jari-jari saya
dengan gerakan seperti memutar keran. Mungkin juga yang terjadi sebenarnya tidak seperti itu.
Perasaan saya saja bahwa saya sedang menggerak-gerakkan jari, tapi sebenarnya tidak ada jari yang
bergerak sama sekali. Bahkan, sebenarnya, barangkali juga tidak ada oksigen yang dialirkan ke hidung
saya. Begitulah kalau sadar dan tidak sadar bercampur jadi satu.
Lama-lama, rasa sesak itu berkurang. Lalu, menjadi lega. Napas bisa ditarik dengan normal seperti
biasa. Mata pun lama-lama bisa membuka. Agak berat memang, tapi ingin sekali membuka mata
sebentar agar bisa melihat sekeliling. Kelihatanlah samar-samar bahwa saya sedang di ICU. Di ruang
perawatan khusus setelah menjalani penggantian liver. Kesadaran ini datang tujuh jam setelah
operasi.
Saya hidup, komentar spontan yang muncul, tapi tak terucapkan. Saya hidup. Operasi tidak gagal.
Saya hidup.
Tentu saya amat bersyukur. Tapi, syukur saya tidak sampai mengabaikan rasa hormat saya kepada
mereka yang telah belajar keras di universitas dan menggunakan akalnya secara sungguh-sungguh
hingga melahirkan ilmu pengetahuan yang sangat maju. Saya bersyukur kepada Tuhan sekaligus
hormat kepada ilmuwan.
14 by Moezhanks
Setelah senang karena masih hidup, barulah saya sadar bahwa begitu banyak instrumen yang ada di
sekitar tempat saya berbaring. Kabel-kabel, selang-selang, dan saluran infus seperti bertaut-tautan.
Suara tat-tit-tat-tit dari mesin-mesin elektronik di sekitar saya mendominasi pendengaran saya.
Rasa-rasa tidak enak mulai muncul satu per satu. Mula-mula rasa dada penuh dengan cairan lendir.
Cairan itu harus segera bisa keluar sebagai dahak. Kalau tidak, akan membahayakan paru-paru.
Begitulah bunyi petunjuk yang saya baca sebelum operasi. Untuk mengeluarkan lendir itu, saya harus
berbuat seperti membatukkan diri keras-keras. Cara demikian juga saya ketahui dari buku petunjuk.
Bahkan, sejak beberapa hari sebelum operasi, perawat sudah melatih cara berbatuk yang bisa
mengeluarkan dahak. Waktu latihan, saya meraskan tidak ada kesulitan. Apa sih sulitnya batuk?
kata saya dalam hati. Uhuk! Uhuk! Selesai. Perawat menyatakan saya berhasil menjalani latihan
dengan tingkat kelulusan summa cum laude.
Tapi, latihan dan kenyataan ternyata sangat berbeda. Dalam praktik, ternyata saya sulit sekali lulus.
Sudah saya usahakan batuk semirip-miripnya batuk waktu summa cum laude, tapi tidak juga berhasil.
Sebagian mungkin karena saat itu saya sudah tidak lagi punya tenaga sebaik saat latihan. Setelah
hampir dua hari tidak ada makanan apa pun yang masuk ke perut, tenaga pun rupanya ikut hilang.
Namun, saya juga takut akan bahaya dahak itu terhadap paru-paru. Saya berusaha terus
membatukkan diri. Sebatuk-batuknya.
Akhirnya broll! Dahak yang amat banyak bisa keluar. Napas terasa amat lega. Ketika saya tanya
mengapa begitu sulit saya mengeluarkan dahak itu, perawat mengatakan bahwa itu normal saja.
Apakah saya terlalu meremehkan saat latihan? tanya saya. Tidak, kata perawat. Saya tahu, itu
hanya untuk menyenangkan hati saya. Bagi perokok lebih sulit lagi mengeluarkan dahak itu, ujar
perawat lebih lanjut.
Meski sudah berhasil mendapatkan dua jenis kelegaan (bisa bernapas normal dan bisa mengeluarkan
dahak dalam jumlah besar), tapi masih banyak yang membuat badan saya sangat tidak nyaman.
Karena di lubang hidung masih ada dua selang yang dimasukkan sampai ke perut saya. Dalam dunia
kedokteran, kedua selang itu dikenal dengan sebutan sonde.
Dua selang kecil itu punya tugas sendiri-sendiri. Yang satu untuk membuang sisa makanan dari
lambung saya. Yang lain untuk mengirimkan makanan langsung ke usus saya. Mengapa langsung ke
usus? Sebab, pertama, saya belum bisa makan sendiri. Kedua, karena pembuluh darah di esofagus
(jalan makan yang menghubungkan mulut dengan lambung), peritonium (selaput dinding perut), dan
usus saya masih rawan pecah sehingga perlu dilindungi. Ketiga, karena liver baru saya belum bisa
cari makan sendiri. Sehingga perlu ada yang mencarikan.
Selain itu, masih ada empat selang lain yang menancap di leher saya. Satu selang masuk lewat lubang
yang sengaja dibuat di bagian depan leher. Tiga lainnya masuk lewat pembuluh darah besar di leher
kanan.
Satu selang yang dimasukkan lewat leher depan -di antara tulang belikat- gunanya untuk mengalirkan
napas bantuan dan membersihkan kelebihan lendir di paru-paru (broncho toilet).
Saya diberi napas bantuan karena sampai beberapa jam pascaoperasi, saya kan belum bisa bernapas
sendiri. Sehingga perlu dibantu. Agar bantuan itu bisa cepat sampai ke paru-paru, maka diambillah
jalan pintas, yakni lewat tenggorokan.
Dan karena belum bisa bernapas sendiri, maka sisa lendir di paru-paru pun tidak bisa saya keluarkan
sendiri dengan cara batuk atau berdahak, seperti yang sudah diajarkan perawat.
15 by Moezhanks
Sedangkan tiga selang lainnya masuk lewat pembuluh darah besar, yang dalam istilah kedokteran
disebut dengan tri lumen atau central IV (baca : ai vi) line. Gunanya untuk mengalirkan semacam
infus yang mengandung protein dan kalori tinggi. Infus jenis ini memang harus lewat pembuluh darah
besar, tidak boleh lewat pembuluh darah di tangan seperti biasanya orang diinfus. Sebab,
konsentrasinya sangat tinggi sehingga bisa merusak dinding pembuluh yang dilewati. Dinding
pembuluh darah utama yang leher lebih kuat sehingga cukup kuat untuk dilewati infus jenis ini meski
sampai tiga bulan secara terus-menerus.
Fungsi lain tri lumen adalah untuk memasukkan obat-obat injeksi yang harus lewat pembuluh darah
dan mengambil sampel darah. Dengan begitu, bila perawat ingin mengambil sampel darah atau
menyuntikkan obat, tak perlu lagi dengan menusuk-nusuk tangan saya.
Yang lebih istimewa dari tri lumen adalah bisa untuk memonitor kadar air dalam tubuh (central venus
pressure=CVP). Sebab, salah satu ujung tri lumen bisa dihubungkan dengan alat monitor yang bisa
menunjukkan perubahan kadar air di tubuh saya setiap menit, secara otomatis.
Bahwa di tangan saya masih ada semacam pentil yang biasa dihubungkan dengan selang infus, itu
bukan disiapkan untuk cairan infus atau injeksi. Melainkan untuk transfusi (tambah darah) bila
diperlukan.
Ketidaknyamanan lain yang saya rasakan saat itu adalah adanya alat pengukur tekanan darah yang
dipasang di lengan kiri. Alat itu secara otomatis akan mencengkeram lengan saya sangat kuat setiap
setengah jam sekali. Angka-angka tekanan darah otomatis keluar di layar monitor.
Itu belum semuanya. Karena masih ada sejumlah alat dan kabel yang ditempelkan di dada kiri dan
kanan untuk mengecek denyut jantung. Kabel itu juga terhubung dengan layar monitor. Ujung jari
tangan dan kaki juga dijepit dengan alat yang dihubungkan dengan kabel ke layar yang lain lagi.
Lengan kanan saya juga sedang dipasang jarum untuk mengalirkan berbagai jenis infus. Ujung selang
infus itu bercabang-cabang karena lima macam cairan dari botol yang berbeda harus mengalir ke
tubuh saya lewat satu jarum tersebut.
Melihat keruwetan di sekitar tubuh saya, saya mencoba untuk tidak merasa terganggu. Saya
berusaha tidak memikirkan itu. Saya justru teringat humornya rekan Zainal Muttaqien, Dirut anak
perusahan di Grup Kalimantan yang kini jadi direktur Jawa Pos. Yakni mengenai susah payahnya
seseorang untuk menyelamatkan hidup (mungkin seperti saya ini), tapi meninggal oleh penyebab
yang amat sepele.
Jangan sampai nanti meninggalnya justru hanya gara-gara kejatuhan singkong di jalan raya.
Apa kejatuhan singkong di jalan raya bisa membuat orang sampai meninggal?
Lha singkongnya satu truk. Lalu, truknya nabrak kita!
Humor khas orang Surabaya. Humor ludrukan. Tapi, itu bisa mengalihkan perhatian saya dari rasa
ruwet dibeliti selang dan kabel. Setidaknya untuk sementara.
***
Pagi tanggal 7 Agustus 2007 itu, sebenarnya, saya ingin menghitung berapa banyak selang, botol, dan
kabel yang saling berhubungan di tubuh saya. Ini agar saya bisa menggambarkannya dengan baik
16 by Moezhanks
kalau kelak harus menuliskannya untuk pembaca. Namun, kesadaran saya dan tenaga saya tidak
terlalu komplet pagi itu. Orang yang baru siuman setelah dibius selama 18 jam tidak memiliki tingkat
konsentrasi yang sempurna.
Bahkan, saya tidak sepenuhnya mengerti apakah ketika saya mulai sadar itu, waktunya sudah siang
atau masih malam. Lama sekali saya menebak-nebak: siangkah ini? Malamkah ini? Memang suasana
ruang ICU sangat terang. Tapi, saya ragu apakah itu terangnya matahari atau terangnya lampu? Saya
berusaha melihat jauh ke dinding, ke arah jam besar dipasang. Tapi, pandangan saya lamur. Pertama,
sedang tidak menggunakan kacamata. Kedua, ya memang saya belum sepenuhnya punya
kemampuan normal.
Ingin sekali saya berusaha mengalihkan pandangan ke kiri atau ke kanan, namun tidak bisa. Saya
tidak mungkin bisa menoleh karena begitu banyak selang di leher. Apalagi kalau harus
mendongakkan kepala untuk melihat sumber terang di belakang kepala saya. Tidak mungkin. Maka,
saya tidak tahu apakah terang di balik kepala itu karena dinding kaca atau karena ada lampu yang
dipasang di situ.
Satu-satunya cara untuk bisa mengetahui situasi waktu, ya hanya dengan melihat jam di dinding sana
itu. Tapi, sulit sekali untuk bisa melihat dengan jelas. Kelopak mata berat sekali. Hanya secara timbul
tenggelam saya melihat secara kabur bahwa itu seperti jam 11.00-an. Tapi 11 malam atau 11 siang,
saya sungguh ragu dengan kemampuan saya memperkirakan.
Ketika saya lihat ada perawat mendekat, saya bertanya, Ji dian? Jawabnya, Jam sembilan. Lalu,
saya tanya lagi, Wan shang, hai shi shang wu? Dia jawab, jam sembilan siang! Tahulah saya bahwa
saat itu sudah pagi hari. Berarti sudah satu malam saya tidak sadar sama sekali. Dan tahulah saya
bahwa pandangan saya benar-benar gak sempurna. Jarum yang menunjuk jam 9 saya kira menunjuk
angka 11. (bersambung)
Ganti Hati 07 Tahan Tak Bergerak 24 Jam di ICU karena Terbiasa 12 Jam di Jawa Pos
1 September 2007
SATU jam setelah sadar, saya melihat anak lelaki dan istri saya mendekat. Oh, ini jam besuk ke ICU.
Memang hanya dua orang dari pihak keluarga yang boleh masuk ICU. Kecuali orang asing yang
memerlukan penerjemah, maka ditambah satu penerjemah.
Saya segera melambaikan tangan ke arah istri dan anak saya. Saya berusaha untuk tersenyum
sebagai ganti kata-kata bahwa saya baik-baik saja. Saya memang tidak bisa omong jelas karena
banyaknya selang di tenggorokan. Kalau saya paksakan omong, bisa jadi tenggorokan saya akan
terluka dan itu akan menyulitkan diri saya sendiri akhirnya.
Anak saya menceritakan apa yang sedang terjadi dan apa yang mereka lakukan malam sebelumnya.
Juga menyampaikan daftar nama yang mengirim salam dan memberikan dukungan batin lewat SMS.
Misalnya, informasi bahwa malam itu santri Pondok Langitan berdoa bersama dipimpin langsung
oleh Gus Dulloh dan Gus Maksum, putra Kiai Faqih. Juga dari Panti Asuhan Yatim Piatu Zainudin,
Baluran, Sepanjang.
17 by Moezhanks
Istri saya diam saja seperti tertegun melihat ruwetnya jaringan kabel dan selang di sekitar badan
saya. Setelah memotret-motret secukupnya, mereka pamit. Tinggal saya sendiri lagi menghadapi
ketidaknyamanan keadaan.
Tapi, saya sadar sepenuhnya memang begitulah pascaoperasi. Saya tidak mengeluh. Bagian ini juga
harus saya jalani dan saya lewati sebagaimana saya harus menjalani dan melewati proses pembiusan,
pembukaan rongga dada, pembuangan liver lama, dan pemasangan liver baru. Ini bukan operasi
kecil. Ini operasi besaaar! Kalau setelah operasi ada rasa sakit, pastilah demikian. Maka, saya nikmati
saja proses ini. Mengeluh hanya akan menambah penderitaan.
Yang berat adalah menahan diri untuk tidak menggerakkan badan sama sekali. Apalagi harus selama
24 jam. Ini agar luka-luka akibat operasi dan penyambungan pembuluh darah di liver tidak terganggu.
Saya sudah bertekad bagian ini pun harus bisa saya lewati dengan baik. Bahwa akan amat penat, ya
itu sudah risikonya. Saya anggap saja sebagai yoga yang panjang. Atau sebagai bagian dari zikir-pidak
di tarekat Sathariyah. Kalau saya bergerak untuk tujuan mengenakkan badan sesaat, akibatnya bisa
berupa penderitaan yang panjang.
Saya pernah menjalani dua operasi sebelumnya. Dua-duanya mengharuskan saya, kalau bisa, tidak
bergerak selama delapan jam. Saya berhasil menjalani itu dulu. Maka, kalau kali ini saya harus tidak
bergerak selama 24 jam pun, saya merasa akan mampu melakukannya. Dan, ternyata memang bisa.
Penatnya bukan main, tapi itulah bagian yang harus dijalani untuk sukses. Saat mulai membangun
Jawa Pos dulu, tiap malam saya harus berdiri di ruang layout lebih dari 12 jam. Tiap malam. Tujuh
hari seminggu. 30 hari sebulan. 360 hari setahun. Kali ini saya juga harus mampu memenuhi
persyaratan untuk tidak bergerak selama 24 jam!
Sejak kecil pun, saya sudah belajar tahan menderita. Bukan saja oleh kemiskinan, tapi juga oleh
kerasnya sikap bapak saya. Misalnya, bapak melarang saya untuk belajar naik sepeda. Mengapa?
Kalau sepeda itu rusak, bagaimana kita bisa menggantinya? katanya.
Karena itu, sampai kelas tiga SMA (aliyah), saya belum bisa naik sepeda. Saya harus sekolah sejauh 6
km dengan jalan kaki. Satu jam berangkat dan satu jam pulang. Kadang, kalau lagi ada pelajaran
bahasa Inggris hari itu, saya tetap berangkat dari rumah, namun belok ke sungai di tengah jalan. Saya
cari ikan karena takut dengan guru bahasa Inggris. Lama-lama, tiap pelajaran bahasa Inggris, saya
berada di sungai.
Akibatnya, saya tidak naik dari kelas 1 ke kelas 2. Rapor saya merah semua, kecuali ilmu bumi yang
mendapat angka enam. Bapak marah besar. Saya juga merasa bersalah kepada kakak saya yang telah
meninggalkan gajinya untuk saya dan adik saya. Sejak itu, saya kelihatan agak pinter di kelas. Bahkan,
kemudian sering jadi ketua berbagai kegiatan. Juga sering ditunjuk sebagai inspektur upacara pada
tiap Senin.
Tapi, cita-cita saya bukan itu. Cita-cita saya adalah bagaimana agar punya sepatu. Sampai kelas 2
SMA, saya belum punya sepatu. Tiap hari ke sekolah dengan telanjang kaki. Maka, ketika kelas 3
SMA, saya bisa beli sepatu (sepatu kets bekas yang ujung jempolnya sudah bolong dan bagian
tumitnya sudah berserabut), saya hemat benar pemakaiannya. Hanya tiap Senin sepatu itu saya
pakai. Maka, jadilah saya inspektur upacara dengan sepatu di kaki. Banggakah saya? Ternyata tidak.
Karena dalam hati saya tersiksa. Sepatu itu menimbulkan rasa tidak nyaman yang hebat, bahkan
menimbulkan luka.
18 by Moezhanks
Karena itu, saya hanya tersenyum ketika melihat anak saya mempunyai sepatu sampai lebih dari 300
dan semuanya branded alias bermerek. Dia memang hobi mengoleksi sepatu. Kalau beli sepatu, dia
tidak ingin kotak dan labelnya dibuang. Dia juga tidak pakai sepatu itu. Hanya dia jejer di lantai
rumah, untuk dipandang setiap hari. Begitu penuhnya sehingga istrinya suatu saat bilang kepada
saya, Sampai jalan masuk ke kamar tinggal satu galengan (pematang).
Saya juga pernah dipukuli bapak dengan sapu. Mula-mula, saya menangis. Tapi, saya pikir tidak ada
gunanya. Saya diam dan menikmati pukulan itu. Sambil merasa memang saya bersalah. Ternyata,
bapak malah menghentikan pukulannya. Ini gara-gara saya sering menggunakan alat-alat
pertukangannya untuk ndalang. Bapak sangat sayang pada alat pertukangannya. Kalau tidak lagi ada
orang yang minta memperbaiki rumahnya, ayah menggosok-gosok alat-alat itu sampai tajam.
Namun, suatu hari, anak-anak pasah itu (alat untuk menghaluskan kayu) saya gandeng-gandeng,
dalam posisi menumpuk. Kalau disentuh, akan timbul bunyi crek-crek. Satu bunyi yang penting
dalam memainkan wayang. Kecrek itulah, yang saya pasang di kotak kayu. Saya duduk mendalang di
sebelahnya. Kaki saya dalam posisi akan sering menyentuh kecrek tersebut sehingga bisa
menimbulkan bunyi crek-crek. Begitulah, kelirnya terbuat dari sarung saya. Gamelannya adalah
mulut beberapa teman sepermainan. Wayangnya terbuat dari rumput. Dan, kecreknya dari alat
pertukangan ayah.
Ayah bukan hanya marah karena alat-alat cari uangnya dipakai secara salah, tapi juga karena di kotak
itu ternyata ayah menyimpan uang. Dan, uang itu ikut saya ambil untuk saya belikan dawet. Padahal,
meski hanya cukup untuk beli dawet (minuman khas di desa), tapi itulah satu-satunya tabungan
ayah.
Puluhan tahun saya menderita, kata saya dalam hati, kalau hanya akan ditambah 24 jam di ICU ini,
apalah beratnya.
Perawat ICU memuji ketahanan saya. Karena itu, tangan saya tidak perlu diikat. Banyak pasien yang
tangan dan badannya harus diikat karena selalu berusaha untuk bergerak. Bahkan, ada yang mungkin
tidak sadar, tangannya berusaha mencabut selang-selang yang memenuhi tenggorokannya. Saya pilih
menjalani proses tidak bergerak dengan kesadaran sendiri daripada harus diikat seperti itu.
***
Sebenarnya, masih ada tiga selang lagi yang juga amat mengganggu. Selain karena ukurannya yang
cukup besar, juga lantaran ujung dua dari tiga selang-selang itu dimasukkan ke dalam rongga perut
saya melalui pinggang kanan dan kiri. Ujung selang yang satunya dimasukkan ke kandung kemih
melalui lubang kemaluan. Ujung lain dari masing-masing selang itu masuk ke kantong plastik
penampung cairan yang digantungkan di pinggir ranjang pasien.
Dengan adanya selang yang di lubang kemaluan itu, selama di ICU, saya tak perlu lagi merasa akan
kencing. Sebab, begitu kandung kemih saya penuh, air kencing saya keluar dengan sendirinya melalui
selang, masuk ke kantong penampungnya. Secara teratur, air kencing di kantong itu diukur dan
dianalisis. Jumlah dan warnanya menunjukkan normal tidaknya ginjal dan berfungsi atau tidaknya
organ penting itu.
Sama dengan yang di ujung kemaluan, selang yang di pinggang juga untuk mengeluarkan cairan-
cairan yang tidak dibutuhkan tubuh saya. Semua cairan itu juga ditampung di kantong plastik, lalu
secara teratur diukur dan dianalisis.
19 by Moezhanks
Bedanya, selang yang di pinggang kanan berfungsi untuk mengeluarkan sisa darah yang mungkin
masih menetes dari luka bekas sayatan operasi di liver dan kantong empedu baru saya. Karena itu,
posisi ujung selangnya ada di dekat kedua organ yang baru ditransplantasikan itu.
Selama saya di ICU, selang di pinggang kanan mengeluarkan cairan pekat berwarna merah. Makin
hari, cairan itu makin sedikit keluarnya. Dan akhirnya berhenti karena luka-luka bekas sayatan
operasi itu sudah kering. Tak lagi berdarah.
Bersamaan dengan keluarnya sisa darah dari pinggang kanan, selang di pinggang kiri juga
mengeluarkan cairan kuning kemerahan. Cairan itu merupakan kelebihan cairan di rongga perut yang
bercampur dengan sisa darah operasi yang tercecer dan berkeliaran.
Rongga perut memang harus bersih dari barang asing. Jika ada sesuatu yang tidak terdaftar sebagai
penghuni rongga perut, seperti ceceran darah, sel tumor atau kanker, maka selaput dinding rongga
perut -yang dalam istilah kedokteran disebut dengan peritonium- akan bereaksi, protes, dengan cara
mengeluarkan lebih banyak cairan. Makin banyak cairan yang keluar, makin berbahaya karena
peritonium bisa pecah dan orangnya meninggal.
Liver dan empedu baru saya tidak termasuk dalam kategori barang asing yang ditolak karena kedua
organ itu kan sebenarnya penghuni rongga perut juga.
Sama dengan yang di pinggang kanan, cairan yang keluar dari pinggang kiri saya pun makin hari
makin berkurang warna merahnya. Ini berarti semua ceceran darah sisa operasi sudah didorong
keluar dari rongga perut.
Jumlahnya pun makin hari juga semakin sedikit. Ini pertanda tak ada lagi kelebihan cairan di rongga
perut saya. Sehingga selangnya pun bisa dicabut.
Hari-hari pertama di ICU itu memang harus saya lalui dengan amat menderita, tapi saya berusaha
tabah menjalaninya. Saya tidak mengeluh kepada siapa pun. Saat dokter bertanya apakah ada
masalah, saya bilang tidak ada. Bahwa sebenarnya badan tidak enak, ya mesti saja. Tapi, bukankah
memang harus demikian? Bukankah ini operasi yang sangat besar? Yang tidak mungkin tidak sakit?
Tapi, sepanjang sakitnya masih masuk akal, saya bertekad untuk tidak mengeluh. Kalau saya merasa
kesakitan, saya tahu paling-paling hanya akan diberi obat penghilang rasa sakit, painkiller. Itu berarti
satu racun lagi akan dimasukkan dalam tubuh saya. Saya gak mau itu. Apalagi seminggu sebelumnya
saya baru saja baca bahwa Australia melarang penggunaan painkiller tertentu karena terbukti
membuat pasien yang baru menjalani transplantasi liver meninggal dunia.
Sakit ini, meski sakit sekali, masih bisa saya rasakan. Yakni sakit akibat luka. Yakni luka yang sengaja
dibuat dengan pisau bedah di sepanjang dada dan perut saya untuk mengeluarkan liver yang lama
dan memasukkan liver yang baru. Tidak mungkin setelah perut ditutup tidak menimbulkan rasa sakit.
Tapi, sakitnya, sekali lagi, bisa dirasakan. Dan, ketika kecil, saya sudah sering mengalami rasa sakit
seperti itu. Yakni ketika telapak kaki terkena cangkul. Waktu kecil saya memang sering ikut jadi buruh
tani, mencangkul di sawah, yang disiapkan untuk menanam padi. Kadang, cangkul meleset dan
mengenai telapak kaki. Lukanya lebar, memutih, dan berdarah-darah. Tentu tidak ada obat. Biasanya
hanya kami siram dengan minyak tanah, lalu kami bebat dengan kain sobekan dari kaus atau sarung.
Kain yang tidak pernah dipertimbangkan bersih atau tidak karena ya baru disobek saat itu juga.
Kadang masih bercampur lumpur juga. Sakitnya saat habis operasi ya kurang lebih seperti itu.
(bersambung)
20 by Moezhanks
Ganti Hati 08 Sempat Berpikir Lebih Baik Mati daripada Melanjutkan Kemo
2 September 2007
KALAU saya sangat tahan menerima penderitaan selama di ICU, bukan saya jagoan dalam menerima
rasa sakit. Bukan. Saya pernah mengalami rasa sakit sampai tidak tahan lagi menanggungkannya.
Saya pernah mengalami rasa sakit yang sampai nggak bisa dirasakan. Yakni, ketika setahun lalu
harus menjalani kemoterapi. Waktu itu diketahui (lewat scanner) bahwa di liver saya sudah ada
kankernya. Lalu kanker itu dicoba dibunuh dengan cara di-TACE. Lalu dikemo. (Kelak akan saya
jelaskan apa itu di-TACE).
Setelah dikemo itu, rasanya luar biasa tidak karuan. Yakni sakit, mual, mulas, kembung, melintir-lintir,
dan entah berapa jenis rasa sakit menjadi satu. Sampai-sampai saya tak bisa memisah-misahkan
bentuk sakitnya itu terdiri atas berapa macam rasa sakit.
Dalam hal ini saya merasa kalah dengan Sara, salah satu manajer keuangan saya. Dia muda, cantik,
tinggi, dan diserang kanker. Dia harus menjalani kemo berpuluh kali hingga kepalanya gundul. Kini
dia kembali cantik dan sudah melupakan penderitaan kemonya.
Sedang saya tidak tahan. Saya bilang kepada Robert Lai yang menunggui saya di Singapura, kalau
dalam satu hari itu tidak juga reda, saya pilih mati. Tidak ada gunanya hidup dalam keadaan seperti
itu. Saya minta mati saja, kata saya kepadanya. Lalu dia lapor ke dokter. Saya diberi obat tertentu.
Pasti painkiller. Pelan-pelan rasa tidak karu-karuannya berkurang.
Tapi, saya kemudian memutuskan tidak mau lagi dikemo. Tidak tahan. Saya akan cari jalan lain saja.
Atau lebih baik mati saja. Toh saya sudah berumur 55 tahun. Sudah berbuat sesuatu yang lumayan.
Juga sudah melebihi umur ibu saya, atau umur kakak saya, atau umur paman-paman saya.
Ini bukan untuk menunjukkan bahwa saya pernah hampir putus asa, melainkan untuk menunjukkan
kekaguman saya kepada orang-orang yang mampu menjalani kemo berkali-kali. Mereka jelas lebih
hebat dari saya.
***
Hari pertama di ICU itu saya tidak merasa mengantuk. Hanya, mata terus terpejam. Rasanya saya
tidak punya kekuatan untuk membuka kelopak mata saya sendiri. Sambil mata tetap terpejam pikiran
saya jalan ke mana-mana. Ke Surabaya, ke Medan, Bengkulu, Batam sampai ke Palu. Saya juga suka
memperhatikan kesibukan di ruang ICU itu. Memperhatikan dengan mata terpejam. Semua saya
catat dalam ingatan saya. Dasar bekas wartawan! Kata hati saya.
Memperhatikan apa saja yang terjadi di ICU itu membuat perhatian saya terbagi. Ini baik. Karena
tidak melulu tercurah ke rasa sakit. Perhatian saya menjadi tidak hanya kepada banyaknya selang
yang menancap di sekujur tubuh. Saya juga bisa melupakan rasa penat akibat tekad saya sendiri
untuk tidak akan menggerakkan tubuh sedikit pun selama 24 jam. Yakni, agar tidak berakibat buruk
pada luka-luka operasi saya. Baik luka di kulit akibat sayatan pisau atau luka di dalam akibat
terjadinya penyambungan-penyambungan pembuluh darah.
Tak terasa sore pun tiba. Sore itu, satu selang yang dimasukkan lewat leher kanan saya dicabut,
dilepas. Agak lega sedikit. Tapi, masih ada dua selang yang menancap di leher yang dilubangi itu.
Agak lebih sore lagi, selang yang dimasukkan ke rongga perut lewat lubang hidung juga dicabut. Lebih
21 by Moezhanks
lega lagi. Saya terus berharap, selang-selang itu satu per satu akan dilepas. Saya tidak mau bertanya
jadwal melepaskan selang-selang sisanya. Khawatir berharap terlalu banyak. Saya sudah biasa
dengan sikap untuk tidak berharap banyak pada apa pun dan pada siapa pun. Ini, menurut pendapat
saya, baik. Karena akan membuat saya merasa lebih bahagia. Setidaknya tidak akan membuat saya
terlalu kecewa.
Bukankah bahagia dan kecewa sebenarnya bisa kita ciptakan sendiri? Orang akan merasa bahagia
kalau keinginannya tercapai. Orang akan merasa kecewa kalau keinginannya tidak tercapai. Maka, ini
saya, untuk mencapai kebahagiaan sangatlah mudah: Jangan pasang keinginan terlalu tinggi. Jangan
menaruh harapan terlalu banyak.
Dulu pun saya hanya ingin Jawa Pos menjadi koran yang oplahnya separonya dari Surabaya Post.
Tidak perlu lebih besar dari itu. Waktu itu, rasanya tidak mungkin mengejar Surabaya Post yang
sudah merajalela kehebatannya.
Baru setelah ternyata mudah sekali membuat koran yang bisa sebesar 50 persennya Surabaya Post,
meningkatlah keinginan untuk bisa sebesar Surabaya Post. Keinginan itu meningkat terus secara
bertahap, sehingga menjadi seperti Grup Jawa Pos sekarang.
Sebuah koran nasional dari daerah dengan oplah lebih dari 300 ribu eksemplar per hari. Ini belum
termasuk koran-koran Grup Jawa Pos yang terbit di Jakarta dan di kota-kota lain di luar pulau.
Bahkan, koran ini berkembang sedemikian rupa hingga menjadi sebuah grup media yang
membawahkan lebih dari 100 koran harian dan mingguan, delapan televisi lokal, pabrik kertas, dan
power plant.
Jadi, kalau ada yang menganalisis bahwa saya punya grand design untuk membuat Jawa Pos seperti
sekarang, tidaknya begitu kenyataannya.
Hanya desain-desain kecil yang saya buat. Tapi, saya wujudkan dengan konstan. Dengan istikamah,
dalam istilah Pesantren Miftahul Ulum Al Islami, Kedungdung, pimpinan KH Ilyas Khotib, di
Bangkalan, Madura. Saya punya prinsip semuanya sebaiknya mengalir saja seperti air. Hanya, kalau
bisa, alirannya yang deras. Batu pun kadang bisa menggelundung, kalah dengan air yang deras.
Itu menangnya orang yang tidak punya cita-cita tinggi sejak awal. Hidupnya lebih fleksibel. Karena
tidak punya cita-cita, kalau dalam perjalanannya menghadapi batu besar, ia akan membelok. Tapi,
kalau orang berpegang teguh pada cita-cita, bertemu batu pun akan ditabrak. Iya kalau batunya yang
menggelundung, lha kalau kepalanya yang pecah gimana? Cita-cita saya semula hanya ingin punya
sepatu, biar pun rombengan. Lalu ingin punya sepeda. Rasanya, waktu pertama punya sepeda (juga
bekas) bahagianya melebihi saat punya Jaguar. Padahal, sepeda itu pernah putus as rodanya
sehingga tidak bisa dinaiki. Bahkan, dituntun pun tidak bisa. Terpaksalah saya menggendongnya.
Menggendong dengan bahagia.
Malamnya saya juga tidak mengantuk. Mungkin sudah kelamaan ditidurkan! Yakni, 18 jam dibius.
Malam itu saya menyaksikan kerja perawat di ruang ICU yang luar biasa sibuknya. Perawat shift
malam itu mulai bekerja pukul 19.00 dan baru akan pulang pukul 07.00 keesokan harinya. Sepanjang
malam mereka bekerja tanpa istirahat sedikit pun. Ini karena tiap tiga perawat mengurus lima pasien
ICU. Semuanya baru saja menjalani penggantian organ tubuh. Ada yang ganti liver seperti saya, ada
yang ganti ginjal, ada yang ganti jantung. Tiap-tiap pasien memerlukan begitu banyak obat, begitu
banyak macam cairan infus, begitu banyak alat deteksi yang terus-menerus harus dipantau, diganti,
dan dicatat.
22 by Moezhanks
Dan, yang juga tak kalah penting adalah dibuatkan invoice-nya untuk menagihkan kepada pasien.
Maka setiap habis menggunakan bahan, harus dicatat berapa harganya dan lalu di-invoice-kan. Ini
penting sekali, bagi RS tentunya. Sebab, kalau salah dalam meng-invoice-kan, berarti rumah sakit
akan menderita. Yakni, menderita kerugian.
Setiap ada kesempatan saya selalu memuji mereka. Anda luar biasa sekali. Satu malam suntuk
bekerja tanpa istirahat, kata saya. Untung Anda masih sangat muda. Kalau sudah tua, nggak
mungkin bisa bekerja tanpa henti dengan konsentrasi tinggi sepanjang malam, kata saya. Terima
kasih, jawabnya.
Saya tahu dia akan libur besoknya. Jadi masih lumayan. Berbeda dengan muda saya dulu. Saya ingat
waktu itu, waktu mulai membangun Jawa Pos dari sebuah koran yang hampir bangkrut, saya harus
bekerja sepanjang malam. Besoknya tidak pakai libur. Bahkan, sudah harus bekerja sejak pagi lagi.
Sampai malam lagi. Begitu seterusnya. Tidak libur. Besoknya sepanjang malam lagi, sepanjang siang
lagi dan sepanjang malam lagi. Tujuh hari seminggu, 30 hari sebulan, 360 hari setahun. Selama kira-
kira 15 tahun berturut-turut.
Inilah yang membuat organ di dalam tubuh saya menderita. Liver saya kalah. Dia sebenarnya sudah
lama menangis-nangis minta diperhatikan. Sudah lama minta untuk tidak diperlakukan seperti itu.
Sudah lama komplain ke sana kemari. Namun, karena tidak dipedulikan, lantas ngambek seperti ini.
Lalu minta diistirahatkan seterusnya. (bersambung)
Ganti Hati 09 Kesadaran Pulih, tapi Saya Tak Mampu Sujud Syukur
3 September 2007
SAYA memperoleh kesadaran penuh pada malam kedua di ICU. Di tengah malam yang sepi itu, tiba-
tiba pikiran saya jernih sekali. Suara tat-tit-tat-tit mesin yang memonitor organ-organ tubuh saya
terdengar kian jelas. Saya benar-benar masih hidup, kata hati saya. Alhamdulillah. Puji Tuhan,
batin saya lagi.
Tiba-tiba saya terlibat diskusi lagi dengan pikiran sendiri mengenai apa bentuk syukur yang harus
saya lakukan. Sudah pasti saya belum punya kemampuan bersujud. Tapi, sujud kan tidak harus
dengan kepala? Kan bisa juga yang sujud hati? Maka saya sujud dengan hati saya. Rasanya malah
lebih ikhlas. Tidak ada yang lihat. Sepi sekali ing pamrih. Sebentar tapi menenangkan batin.
Saya memang bertekad untuk tidak akan mendemonstrasikan rasa syukur itu dalam bentuk yang
ekstrem. Misalnya, dengan sepanjang-panjangnya mengucapkan kalimat-kalimat tertentu atau
bahkan sampai menitikkan air mata. Atau memotong sapi untuk acara besar-besaran. Saya khawatir,
semakin panjang kalimat yang saya ucapkan, semakin saya sudah merasa bersyukur. Semakin
banyak orang yang saya undang untuk syukuran, semakin saya sudah merasa bersyukur banyak.
Saya akhirnya berkesimpulan akan bersyukur dengan cara memanfaatkan umur tambahan ini
dengan seproduktif-produktifnya.
Paginya, apa pun yang di ICU terlihat jelas dan terekam baik dalam ingatan. Hari kedua di ICU itu,
pagi-pagi, pimpinan rumah sakit yang juga kepala tim dokter yang menangani penggantian liver saya
datang menjenguk. Karena dia pimpinan, yang menyertainya banyak sekali. Ze me yang? tanyanya
23 by Moezhanks
sambil memegangi tubuh saya menanyakan apa kabar dalam bahasa Mandarin. Hen hao, jawab
saya. Saya bilang bahwa saya baik-baik saja dan tidak punya keluhan apa pun.
Tentu itu basa-basi. Sebenarnya banyak sekali yang ingin saya katakan. Bukan mengenai keluhan
saya, melainkan soal-soal lain yang membuat saya penasaran. Yang membuat saya ingin segera tahu.
Misalnya, apakah ada kesulitan yang berarti untuk melakukan operasi tadi malam? Apakah liver saya
yang lama benar-benar telah rusak seperti yang diperkirakan? Atau sebenarnya masih baik, yang
akan membuat saya menyesal melakukan operasi?
Soalnya, ada juga sedikit kekhawatiran bahwa jangan-jangan setelah perut dibuka, ternyata liver saya
baik-baik saja. Jangan-jangan hasil scanner yang menyatakan liver saya sudah rusak dulu itu hanya
karena alat scanner-nya salah lihat. Bukankah memang ada kasus-kasus salah diagnosis semacam
itu?
Ada juga pertanyaan yang lebih penting yang ingin segera saya ketahui. Benarkah sudah ada kanker
di liver lama saya? Benarkah tanpa operasi ini sebenarnya saya masih bisa hidup lima tahun lagi?
Benarkah, seperti kata sebagian dokter, bahwa sebenarnya saya tinggal punya kesempatan hidup
enam bulan lagi? Karena kanker sudah menjalar ke beberapa bagian di dalam liver saya?
Tapi, pertanyaan itu terlalu banyak untuk diajukan pagi itu. Juga terlalu dini. Rasanya kurang pas
kalau saya sudah bertanya sejauh itu. Bukankah pagi itu dokter hanya mengunjungi saya untuk
menunjukkan perhatian kepada saya? Untuk menunjukkan rasa persahabatan yang tulus? Sebab,
tanpa mengunjungi saya pun dia sudah bisa baca dari laporan komputer mengenai perkembangan
keadaan saya.
Maka, saya urung mengajukan pertanyaan-pertanyaan tadi. Masih ada waku di lain hari. Toh, saya
masih akan berhari-hari di rumah sakit ini. Bahkan, mungkin masih berminggu atau (kalau operasi ini
gagal) masih akan berbulan lagi.
Saya malah berubah pikiran dengan cepat. Saya justru bergegas menunjuk ke perawat yang berdiri di
arah kaki saya. Dokter, perawat-perawat rumah sakit ini luar biasa. Tadi malam mereka bekerja
keras sepanjang malam, tanpa istirahat sedikit pun, kata saya kepada pimpinan rumah sakit itu.
Sang pimpinan tersenyum senang. Lalu dia mendekat ke arah perawat dan memegang-megang
pundaknya. Tidak ada kata-kata yang diucapkannya. Dan, saya kira memang tidak perlu ada kata-kata
apa pun. Tepukan tangan ke pundak anak buah seperti itu sudah melebihi pujian yang diucapkan
dengan ribuan kata.
Terima kasih, Mr Yu memuji saya di depan pimpinan, kata perawat itu kepada saya setelah
rombongan pimpinan berlalu. Di Tiongkok nama saya memang Yu Shi Gan (baca: i-se-kan), sehingga
cukup dipanggil nama depannya saja (Yu) yang dikira nama marga saya.
Saya tidak basa-basi memuji para perawat itu. Saya memang benar-benar ingin memujinya. Kerja
yang luar biasa keras itu harus ada yang mencatatnya. Para perawat itu tidak hanya harus membuat
laporan yang baik, tapi mereka sendiri juga harus dilaporkan. Terutama kebaikannya itu.
Para perawat itu bekerja dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab kepada keselamatan
pasien. Yakni, melakukan pekerjaan cepat, cermat dengan ketelitian yang tinggi di waktu malam yang
sepi. Kalau saja tidak teliti pun siapa yang tahu?
24 by Moezhanks
Mereka juga bekerja dengan penuh tanggung jawab kepada rumah sakit. Yakni, dengan cara tidak
ceroboh mencatat harga-harga barang yang saya gunakan malam itu: obat, infus, selang, jarum, tisu,
sarung tangan, plester, dan seterusnya. Setiap ada pemakaian bahan harus dicatat harganya dan
dibuatkan invoice penagihannya. Kalau tidak, rumah sakit akan rugi. Pemakaian barang seharga 1
yuan (sekitar Rp 1.100) pun harus dicatat rapi dan dibuatkan perhitungannya. Jarum pun ada
harganya, kapas secuil ada harganya. Apalagi selang, cairan infus, dan obat-obatan.
Saya perlu memuji perawat tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih saya yang tulus kepada
mereka. Saya tidak mungkin memberinya uang. Saya kan dalam keadaan telanjang! Mana bisa
membawa dompet? Apalagi sudah menjadi kebiasaan saya, membawa dompet pun belum tentu ada
duitnya.
Saya perlu memujinya karena setelah hari itu saya tidak mungkin lagi bisa bertemu mereka. Hari ini
mereka dapat giliran libur. Besok sudah akan menjalani kehidupan baru dengan pasien berikutnya
lagi. Saya mungkin juga tidak berada lagi di ICU karena pagi itu sudah bisa kembali ke kamar saya di
lantai 11. Terima kasih Bapak telah memuji saya di depan pimpinan saya, kata perawat itu.
Wajahnya kelihatan bersorak gembira. Seperti mendapatkan uang berjuta. Saya tidak akan lupa
wajahnya. Tidak akan lupa ekspresi kegembiraannya. Tidak akan lupa keterampilannya. Dan kerja
kerasnya.
***
Tiba-tiba anak saya laki-laki, Azrul Ananda, masuk ICU. Kali ini bersama adiknya, Isna Fitriana, yang
baru malam harinya tiba dari Surabaya. Hari itu rupanya saya akan diserahterimakan.
Bapak kan sudah aman. Dan Isna sudah di sini. Pagi ini saya kembali ke Surabaya, ujar Azrul. DBL
harus segera dimulai, tambahnya. DBL (DetEksi Basketball League) adalah liga basket SMP/SMA
terbesar di Indonesia yang dia prakarsai. Saya mengangguk karena rasanya memang tidak ada lagi
yang perlu dikhawatirkan. Perasaan saya baik-baik saja.
Rupanya, baru selama sakit ini saya punya komunikasi yang intensif dengan anak-anak saya.
Sebelumnya, saya ternyata jarang sekali berbicara dengan mereka. Meski anak lelaki saya juga di
Jawa Pos, saya membiarkan proses manajemen berjalan apa adanya. Saya hampir tidak pernah
bicara soal perusahaan kepadanya. Keberadaan dia di Jawa Pos malah membuat hubungan saya
sebagai bapak dan anak menjadi seperti hubungan atasan dan bawahan. Karena dia bukan bawahan
langsung, berarti tidak perlu ada hubungan yang khusus.
Anak-anak saya memang sudah terpisah sejak mereka masih amat remaja. Begitu tamat SMP,
keduanya langsung ke USA, masuk SMA di sana. Bahkan, Azrul sampai tujuh tahun di sana. Ikut orang
tua angkatnya yang didapat melalui proses undian. Karena itu, kami tidak pernah tahu di rumah siapa
dia akan tinggal di AS. Ternyata, Azrul dapat orang tua angkat yang sama sekali tidak diperkirakan.
Yakni, seorang bapak yang ternyata juga pemilik surat kabar daerah di Kansas. Namanya John Mohn.
Dia seorang master jurnalistik. Juga juragan koran.
John tidak punya anak laki-laki. Maka, Azrul dia anggap sebagai anak laki-lakinya. Tiap hari dia ajak
anak saya ke kantor korannya. Dia ajari fotografi. Dia ajari jurnalistik. Bukan hanya penulisannya, tapi
juga kemerdekaan dan filsafatnya. Jadilah Azrul anak yang mencintai koran. Bukan karena saya, tapi
karena bapak angkatnya itu.
Saya sendiri sejak awal tidak ingin dia kerja di koran. Terlalu berat. Terlalu menyiksa. Juga belum
tentu menghasilkan kekayaan. Maka sejak tamat SMP saya kirim dia ke AS agar bisa punya pilihan
25 by Moezhanks
lebih baik. Setidaknya agar bisa berbahasa Inggris. Tidak seperti bapaknya yang hanya tamatan SMA
(aliyah), yang nama-nama hari dalam bahasa Inggris pun tidak hafal.
Jadi, kalau ada yang menganggap saya sejak awal menyiapkan anak saya untuk di Jawa Pos, sungguh
tidak demikian maunya. Saya justru mau anak saya bekerja di luar negeri dulu. Lalu jadi pengusaha
yang mandiri. Ketika hal ini saya kemukakan kepada Azrul, dia balik bertanya: saya harus cari uang?
Saya mau jurnalistik, katanya.
Apakah saya menyesal? Ya dan tidak. Tapi, ada juga yang menilai bahwa saya harus bersyukur karena
ada anak yang masih punya idealisme di bidang jurnalistik. Menyikapi kedua penilaian itu saya pasrah
saja. Yang terjadi, terjadilah.
Sepulang dari USA anak-anak saya praktis jadi dirinya sendiri-sendiri. Termasuk tidak mau lagi tinggal
bersama kami di rumah. Mereka pilih tinggal di rumah sendiri. Mereka sudah terbiasa mandiri.
Baru ketika saya sakit ini, mereka sering menemani saya. Kami pun sering dalam keadaan lengkap
berada dalam satu ruangan: saya, istri saya, dan anak-anak saya. Sekarang ditambah dengan
menantu-menantu dan seorang cucu. Eh, seorang cucu dan calon seorang cucu lagi.
Justru ketika sakit ini saya seperti menemukan keluarga saya. Ternyata saya punya anak, gurau
saya kepada keduanya. Ternyata kita punya bapak, ya, kata Isna kepada kakaknya. Sambil tertawa
cekikikan. Suasana yang sangat mengurangi rasa sakit saya selama di ICU.
Lebih menggembirakan lagi, siang itu dua selang yang masuk ke rongga dada lewat leher kanan saya
juga dicabut. Lubang bekas selang-selang itu lantas ditutup dengan plester. Dua hari kemudian
lubang itu sudah menutup.
Kelak, ketika sudah berada di kamar biasa, saya masih sering meraba-raba bekas lubang di leher itu.
Saya masih punya pikiran jangan-jangan lubangnya masih menganga. (bersambung)
Ganti Hati 10 Meski Keluar ICU, Jangan Anggap Sudah Merdeka
4 September 2007
SEPANJANG sore sampai malam (hari kedua di ICU), perut saya mulai merasa kembung. Sangat tidak
enak. Oh, rupanya saya belum bisa buang air besar. Juga belum bisa buang angin. Ini saya sadari
setelah beberapa kali perawat menanyakan soal yang kelihatannya sepele itu. Makanya perut seperti
penuh sekali. Penuhnya bukan hanya di perut, tapi seperti sampai dada. Sepanjang malam saya tidak
bisa tidur.
Itu membuat pikiran saya lari ke mana-mana. Termasuk ke liver baru saya. Saya berkhayal sedang
apakah dia? Lagi saling berkenalan dengan organ saya yang lain, atau lagi pasang kuda-kuda untuk
saling bermusuhan? Apakah liver baru itu sedang tawar-menawar pekerjaan dengan organ lain?
Apakah liver baru itu sedang mengajukan syarat-syarat kerja sama? Misalnya, hanya akan mau
bekerja sama kalau tetap dibolehkan makan babi? Atau dia begitu baiknya sehingga akan ikut saja
peran apa yang harus dia jalankan?
26 by Moezhanks
Yang tak kalah penting adalah perbedaan umur yang mencolok antara liver baru dan organ saya yang
lain. Apakah tidak akan menimbulkan persoalan? Misalnya, terjadi generation gap yang tajam?
Bukankah liver baru itu belum sampai berumur 25 tahun, apakah tidak akan mengajak balapan organ
lain seperti jantung, paru, dan ginjal? Kalau organ-organ lain saya sudah berumur 56 tahun, apakah
tidak akan terjadi konflik anak-bapak yang diakibatkan perbedaan zaman? Juga perbedaan gaya
hidup? Apakah tidak akan terjadi adu balap? Apakah jantung tua saya kuat melayani balapan itu?
Panjang sekali khayalan saya. Bukan khayalan yang ilmiah. Khayalan orang yang tidak bisa tidur saja.
Paginya, hari ketiga di ICU, barulah saya rasa itu muncul. Saya panggil perawat. Ternyata untuk
urusan buang air besar ini ada perawat khusus. Dia perawat yang berbaju biru, yang sudah lebih tua
umurnya. Dialah yang memasang tadah kotoran dan membersihkannya. Urusan buang hajat pun
selesai. Setelah itu tiba-tiba saya merasa seperti ingin buang angin banyak-banyak. Maka suara bom
pun bergelegaran. Semua dicatat oleh perawat. Pagi itu juga diputuskan saya boleh keluar dari ICU.
Rupanya keluar atau tidak dari ICU, salah satu ukuran yang menentukan adalah ada atau tidaknya
rasa tadi.
Kalau saja pagi itu saya belum punya rasa, akan dilakukan rekayasa. Perut saya akan dimasuki
cairan lewat pantat. Untunglah saya tidak perlu melalui tahapan darurat itu. Mekanisme tubuh saya,
dengan organ baru di dalamnya, berjalan dengan normal. Semua berjalan natural.
Satu jam kemudian persiapan mengeluarkan saya dari ICU dilakukan. Selang yang sudah 56 jam
berada di lubang kemaluan saya dicabut. Agak sakit rasanya. Tapi, kan tetap harus dicabut? Sakit tapi
lega. Lega tapi memang sakit. Kencing pertama sampai ketiga nanti mungkin agak sakit, kata
perawat setelah berhasil mencabut selang itu.
Kata-kata itu terus melekat di ingatan saya. Sampai-sampai timbul rasa takut setiap merasa akan
kencing. Tapi, sakitnya seperti apa kan belum dirasakan. Ya, saya harus merasakannya, karena saya
toh harus kencing. Ternyata rasa sakitnya tidak seberat yang saya bayangkan. Atau barangkali karena
saya sudah merasakan yang paling sakit, sehingga sakit-sakit kelas seperti itu sudah saya anggap
bukan sakit lagi.
Lalu, selang yang masuk ke rongga perut melalui pinggang kanan juga dicabut. Rasanya juga sakit,
tapi sakit yang menimbulkan kelegaan. Alat untuk mengukur tekanan darah juga dilepas. Kabel-kabel
yang menempel di dada kanan dan dada kiri dicabut. Juga kabel-kabel yang dihubungkan ke ujung-
ujung jari. Semuanya hilang sudah. Rasa plongnya bukan main. Apalagi, kalau saya ingat banyak
pasien yang keluar ICU masih dengan selang yang menancap di leher. Saya pun sebenarnya sudah
membayangkan akan keluar ICU dalam keadaan seperti itu. Tapi, ternyata tidak. Saya bersyukur.
Sekitar pukul 10.00 saya sudah dipindahkan dari ranjang ICU ke kereta angkut. Kereta ini dilengkapi
sistem hidrolis. Ini untuk memudahkan memindah badan saya dari ranjang ICU. Tidak perlu ada orang
yang mengangkat, yang bisa saja membuat badan saya berubah posisi dan menimbulkan bahaya bagi
bekas-bekas operasi. Dari kereta itu secara otomatis menjulur sebuah papan besi menyekop ke
bawah badan saya. Badan saya terbawa di atasnya. Kereta ini yang membawa saya turun ke lantai
11, ke kamar lama saya yang sudah dibuat bersih sebersih-bersihnya.
Dalam proses keluar dari ICU itulah saya baru tahu bahwa ruang ICU ini amat-amat panjangnya.
Memang seluruh lantai 12 adalah ICU. Tiap pasien dapat satu kapling yang dibatasi dengan kaca
terhadap pasien lain. Rumah sakit ini memang bisa melakukan transplantasi organ sebanyak 30 orang
dalam waktu bersamaan. Berarti ruang ICU-nya memang harus banyak sekali.
27 by Moezhanks
Tiba di lantai 11, para perawat menyambut. Perawat yang sudah tiga bulan lebih saya kenali dengan
baik. Kini saya diserahterimakan dari perawat ICU ke perawat ruang rawat inap. Mereka segera
membuat lubang baru di lengan saya untuk keperluan infus-infus berikutnya. Tiap hari saya masih
harus diinfus beberapa obat dan vitamin. Mula-mula tiga jam sehari. Lalu tinggal dua jam. Lalu satu
jam. Lalu tidak perlu infus sama sekali.
Pasien lain yang belum operasi menyambut kepulangan saya dari ICU. Sebelah kamar saya, orang
Jepang, melambaikan tangan. Dari kamar yang lain, orang Arab Saudi, mengucapkan salam. Pasien
dari Taiwan mengucapkan selamat atas kesuksesan operasi saya. Saya sendiri sudah sering
memberikan ucapan selamat seperti itu kepada pasien yang baru menjalani operasi sebelum saya.
***
Meski sudah keluar ICU, jangan Anda anggap sudah merdeka, ujar Robert Lai, teman saya itu. Dia
lantas menakut-nakuti saya dengan kisah banyaknya pasien yang sukses dalam menjalani operasi,
tapi gagal menjauhkan diri dari virus dan infeksi. Terutama di seminggu pertama keluar dari ICU.
Seorang kenalan dari Pakistan terkena infeksi setelah tiga hari keluar ICU. Terpaksa perutnya dibuka
lagi. Diadakan perbaikan lagi di dalamnya. Contoh lainnya, ada pasien yang merasa kuat dan jalan
sendiri ke kamar mandi. Dia terjatuh dan harus masuk ICU lagi.
Masih sederet contoh tragedi seperti itu. Termasuk yang nekat pulang meski baru satu bulan setelah
operasi. Memang sudah diizinkan pulang. Tapi, harus balik lagi ke Tiongkok tiga bulan kemudian.
Yakni, untuk mengambil barang yang masih dititipkan di dalam. Orang tersebut merasa sudah
sangat normal. Lalu ke rumah sakit di negaranya sendiri untuk mengeluarkan barang titipan
sementara itu. Sayangnya, proses tersebut tidak mulus. Dia terkena infeksi.
Setelah tidak bisa diatasi di negaranya, terpaksa balik lagi ke rumah sakit ini. Tapi, keadaannya sudah
sangat payah. Berbagai usaha sudah disiapkan, termasuk akan dilakukan transplantasi liver lagi.
Namun, dia harus menunggu kondisi badannya membaik dulu. Kondisi yang ditunggu itulah yang
tidak datang. Akhirnya dia meninggal dunia di rumah sakit ini bulan lalu.
Saya mendengarkan baik-baik nasihat itu. Robert tahu saya sering maunya sendiri. Tapi, kali ini dia
kecele. Saya sudah bertekad akan taat peraturan setaat-taatnya. Saya hanya minta kelonggaran dua
saja. Pertama, boleh membuka, membaca, serta membalas dan mengirim email. Kedua, boleh mulai
menulis cerita ini. Sebab, apa yang mau saya tulis ini semuanya sudah lengkap dan memenuhi kepala
saya.
Apa saja yang akan saya tulis, berapa seri tulisan itu nanti, tiap seri harus dibuka dengan kalimat apa
dan ditutup dengan cara bagaimana, semua sudah ada di kepala. Kalau tidak segera saya tuangkan di
komputer, tekanan darah bisa naik. Itu membahayakan hasil operasi. Sebab, obat sinkronisasi liver
baru saya punya efek samping menaikkan tekanan darah. Kalau ditambah dengan penuhnya bahan
tulisan di otak saya, apakah tekanan darah tidak akan semakin tinggi?
Itu logika Anda saja. Anda bukan dokter. Itu alasan Anda saja untuk diperbolehkan menulis, ujar
Robert Lai. Mana ada baru tujuh hari setelah transplantasi liver sudah memeras otak untuk menulis
begitu panjang? sergahnya. Saya mengakui Robert benar. Tapi, saya tetap bermohon untuk dapat
dispensasi melakukan dua pekerjaan itu. (bersambung)
28 by Moezhanks
Ganti Hati 11 Mulai Berdiri, Bergurau soal Liver, Dimarahi Saudara di Desa
5 September 2007
JANGAN begini. Jangan begitu. Banyak sekali peringatan yang disampaikan kepada kami sebelum
pertama saya turun dari tempat tidur. Itu hari kelima setelah operasi atau hari kedua setelah keluar
dari ICU. Misalnya, jangan sampai langsung berdiri. Bisa tiba-tiba pusing dan jatuh.
Harus duduk lebih dulu. Tenang beberapa saat untuk lihat-lihat keadaan. Kalau tidak pusing, bisa
diteruskan dengan turun dari tempat tidur dan mencoba berdiri. Maklum, sudah lima hari saya terus
dalam posisi berbaring. Juga lima hari tidak makan. Meski ada cairan infus yang menggantikannya.
Tidak sedikit kasus pasien jatuh saat pertama mencoba berdiri. Harus ada orang yang memegangi.
Saya masih dapat peringatan tambahan. Tepatnya bukan peringatan, tapi pertanyaan. Datangnya
dari dalam diri saya sendiri. Kalau saya nanti berdiri, apakah liver baru saya tidak jatuh? Apakah
sambungannya sudah kuat? Tali apakah yang dipakai untung menggantung liver baru itu? Setengah
serius, setengah bergurau. Saya memang suka bergurau. Kalau sedang tidak ada yang ditertawakan,
saya sering mencoba menertawakan diri sendiri.
Kekhawatiran-ngawur saya itu saya SMS-kan ke beberapa teman. Untuk memberikan gambaran
bahwa saya sudah bisa bergurau lagi. Sekaligus memberi kabar baik mengenai kemajuan demi
kemajuan yang saya peroleh. Hari ini saya sudah diharuskan mulai turun dari tempat tidur. Bahkan
sudah harus latihan berdiri. Tapi, saya lupa bertanya kepada dokter apakah tali yang dipakai
menggantung liver baru saya cukup kuat. Saya takut liver baru saya jatuh, tulis saya.
Jawaban dari beberapa teman berdatangan. Margiono, Dirut Rakyat Merdeka yang lucunya bukan
main, kontan membalas. Ha ha Kalaupun jatuh, masih di perut. Masih mudah mencarinya, kata
Margiono yang pandai mendalang itu. Saya tertawa. Bahkan ingin tertawa lebar. Tapi, jahitan di
perut yang panjaaaang ini masih basah. Kalau dibuat tertawa masih sakit. Dan lagi, jangan-jangan
kalau teralu banyak tertawa, jahitannya bisa mrotoli.
Leak Kustiya, redaktur pelaksana Jawa Pos yang pendiam, tapi humornya sering cerdas, menimpali
Margiono. Yang bahaya kalau jatuhnya di dekat pasar loak, tulisnya. Sekali lagi, saya harus
menahan tawa. Mas Goenawan Mohamad, pendiri majalah TEMPO yang juga amat humoris,
menambahkan: Ha ha. Saya justru takut hati baru itu jatuh di rumah Gong Li. Gong Li adalah artis
yang paling terkenal dan konon juga paling cantik di antara artis Hongkong. Lebih berbahaya
daripada jatuh di dekat pasar loak, tambahnya.
Humor khas Surabaya datang dari Jamhadi, kontraktor yang membangun gedung Jatim Expo dan
asrama mahasiswa Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya. Kalau sampai jatuh di rumah Gong Li,
sih itu bukan jatuh. Tapi njatuh, tulisnya. Kata njatuh, bagi orang Surabaya lucu sekali. Tapi, mungkin
tidak bisa dipahami di luar Surabaya.
Masih banyak SMS yang masuk di sekitar jatuh-menjatuh itu. Tapi, empat itulah yang saya pilih
sebagai yang paling lucu. Diam-diam saya sudah bisa menjadi juri lomba humor di hari kelima setelah
operasi saya. Saya juga lega bahwa hati saya yang baru tenyata tidak mengubah selera humor saya.
Dan memang, begitu saya berdiri, tidak ada suara benda jatuh. Padahal, kalau toh jatuh, apa juga
bersuara?
29 by Moezhanks
Keceriaan saya hari itu padam manakala masuk SMS dari keluarga saya di desa, 16 km dari Kota
Magetan. Dia marah. Nyawa kok dibuat guyonan, tulisnya.
Dia marah karena seharusnya saya tidak berhenti berdoa minta keselamatan dan kesembuhan dari
Tuhan. Tidak guyon seperti itu. Kita di sini tidak henti-hentinya berdoa, Mas Dahlan sendiri guyon.
Tidak pantas, tambahnya.
Lalu, saya SMS ke Ir Agus Mustofa, penulis buku Takdir Bisa Diubah yang laris itu. Apakah ada
perintah untuk memperbanyak doa? tanya saya. Soalnya, saya tidak pernah membaca ada ajaran
seperti itu. Bahkan, seperti yang sudah saya utarakan di bab terdahulu, sedikit-sedikit berdoa seperti
kita ini malas berusaha, malas menggunakan pemberian Tuhan yang amat penting itu: otak.
Tidak ada perintah memperbanyak doa, balas Agus segera. Yang ada hanyalah Mintalah kepada-
Ku, pasti Aku kabulkan, tambahnya. Yang diperintahkan beberapa kali adalah perbanyaklah
mengingat Tuhan (zikir) dan perbanyaklah berbuat baik, ujar Agus.
Ada alasan lain mengapa saya memilih sumeleh kepada Tuhan daripada sedikit-sedikit minta sesuatu
kepada-Nya. Saya pernah belajar ilmu mantiq (logika) sewaktu di Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil
Muttaqien, Takeran, Magetan. Pesantren keluarga kami sendiri. Berdoa itu, menurut ilmu mantiq,
pada dasarnya adalah memerintah Tuhan. Misalnya, doa ini: Ya Tuhan, masukkanlah saya ke surga.
Bukankah, menurut ilmu itu, sama dengan kita memerintah Tuhan agar memasukkan kita ke surga?
Bukankah kata masukkanlah itu kata perintah?. Hanya, dikemas secara halus dalam wujud yang
bernama doa? Mengapa kita selalu memerintah Tuhan untuk memasukkan kita ke surga? Mengapa
tidak kita sendiri berusaha sekuat tenaga, misalnya, dengan jalan banyak beribadah (termasuk kerja
keras)?
Ilmu inilah yang juga saya bawa ke praktik manajemen. Kalau ada karyawan yang sedikit-sedikit
mengeluhkan atasannya, biasanya saya menasihatinya berdasar ilmu mantiq itu. Tentu sebelum
mengucapkan kata-kata tersebut saya berpesan agar jangan membicarakan istilah saya ini dengan
orang lain. Orang yang tidak pernah belajar ilmu mantiq bisa salah paham.
Kata saya kepada karyawan yang suka mengeluhkan atasannya itu: Kita ini bisa dan sering
memerintah., mengapa memerintah atasan yang masih bernama manusia saja tidak bisa? Takut
juga saya mengisi titik-titik itu. Takut orang salah paham. Padahal, guru ilmu mantiq saya dulu, KH
Hamim Tafsir, tidak pernah takut mengatakan apa adanya.
Saya harus mengenang guru saya itu. Dia sudah terpaksa jadi kiai ketika masih amat remaja. Ini
karena enam kiai utama di pesantren kami (yang tidak lain paman-paman ibu saya) dibunuh orang
Partai Komunis Indonesia (PKI). Demikian juga guru-guru terkemuka lainnya, termasuk guru yang
didatangkan pesantren kami dari Mesir. Mereka dimasukkan sumur hidup-hidup, lalu ditimbuni batu.
Itu tahun 1948, ketika meletus peristiwa Madiun yang terkenal dalam sejarah itu. Sejak itu,
pesantren kami yang sangat maju dan terkemuka mengalami kemunduran.
Saya lantas memanfaatkan ilmu mantiq itu dalam praktik manajemen. Intinya: seorang bawahan,
kalau memang cukup cerdas, harus bisa membuat atasannya memenuhi keinginannya. Tidak harus
selalu keinginan atasan yang berlaku. Semua itu tinggal soal cara. Soal kemampuan kita
memanajemeni atasan. Kalau seorang bawahan tidak mampu melakukan itu, berarti bukan bawahan
yang cerdas. Saya tidak akan menaikkan karir bawahan yang seperti itu. Jadi, bawahan itu
sebenarnya juga boleh me-manage atasan. Bukan hanya atasan yang bisa me-manage bawahan.
Sekali lagi, ini soal cara. Kepada Tuhan, kita menggunakan cara yang disebut berdoa. Kepada atasan,
30 by Moezhanks
mungkin dengan gaya bermohon atau minta petunjuk atau mengiba atau apa sajalah. Yang
penting, keinginan kita yang kita yakini benar bisa dipenuhi oleh atasan.
Banyak manajer saya yang kemudian tidak mudah mengeluhkan ketidakmampuan atasannya. Dia
mencari jalan beraneka cara untuk mencoba bisa me-manage atasannya dengan bijak. Demikian juga
tidak lagi banyak staf yang mengeluhkan rekan kerjanya. Mengeluh berarti tidak cerdas.
Bukankah kepada sesama rekan staf, kita bisa menggunakan gaya minta tolong. Bahkan, kepada
bawahan pun kata minta tolong akan lebih efektif daripada kata saya perintahkan -meski atasan
berhak memerintah bawahan. Jadi, kepada Tuhan kita berdoa, kepada atasan kita bermohon, kepada
sesama kita minta tolong, dan kepada bawahan teserahlah mau pakai yang mana. Tentu tidak pas
kalau kepada bawahan Anda mengatakan, Saya berdoa kepadamu mudah-mudahan engkau mau
membersihkan kamar kecil itu lebih bersih lagi. Tapi, saya sering juga menggunakan gaya ini kalau
hati sudah amat jengkel melihat kamar kecil yang kotor.
Di kantor-kantor Grup Jawa Pos, saya memang melarang pembuatan kamar kecil khusus di ruang
pimpinan. Ini agar pimpinan juga menggunakan kamar kecil umum. Bukan saja agar sesekali bertemu
bawahan di forum itu, tapi juga agar bisa ikut mengontrol kebersihan kamar kecil umum.
Ilmu mantiq ternyata banyak membantu saya dalam menjalankan praktik manajemen. Dan saya
dengar di kurikulum madrasah aliyah sekarang ini, tidak ada lagi mata pelajaran ilmu mantiq itu.
Saya sendiri kini masih terus berpikir bagaimana saya bisa me-manage liver baru saya. Saya sudah
bermohon kepadanya untuk jangan sekali-kali kangen akan daging babi. Tapi, kalau dia lebih pintar
dan mampu me-manage saya agar saya mau memenuhi keinginannya, itu baru persoalan. Saya
membayangkan dia memang pernah belajar kungfu, tapi saya berharap liver baru saya itu belum
pernah belajar ilmu mantiq untuk mengalahkan saya. (bersambung)
Ganti Hati 12 Perawat Sekaligus Menjadi Polisi Penjaga Virus
6 September 2007
KELUAR dari ICU tidak berarti merdeka. Justru harus lebih hati-hati. Ini karena ruang biasa tidak
dilengkapi peralatan monitor yang serbaotomatis. Padahal, terlalu banyak kasus kegagalan
transplantasi liver terjadi justru pada minggu pertama setelah keluar dari ICU. Yakni, ketika pasien
terkena infeksi.
Kini ancaman kegagalan transplantasi liver bukan lagi seperti dulu. Bukan lagi akibat badan menolak
kedatangan liver baru. Untuk mengatasi penolakan itu, kini sudah ada obat yang sangat modern.
Obat yang menyinkronkan liver baru dan organ-organ lain yang lama.
Infeksilah yang banyak mengakibatkan kegagalan. Bahkan, kemungkinan infeksi pun kini sudah bisa
diturunkan maksimal karena adanya cara baru. Termasuk yang diterapkan kepada saya. (Akan ada
uraian tersendiri untuk ini di bab-bab berikutnya. Termasuk bab mengapa liver saya sakit. Apa
sebabnya. Mengapa tidak bisa ditanggulangi.)
Untuk menjaga jangan sampai terjadi infeksi itulah, monitoring dilakukan ketat. Kalau toh terjadi,
bisa diketahui secara dini, sejak masih dalam bentuk gejala. Karena itu, suhu badan diukur tiap dua
31 by Moezhanks
jam. Demikian juga tekanan darah dan denyut jantung. Kebetulan, suhu badan saya sangat
menggembirakan. Selalu antara 35,5 sampai 36,7 derajat Celsius. Sangat prima. Tidak sekali pun
dalam minggu pertama itu suhu badan saya naik di atas angka itu. Ini pertanda bahwa infeksi tidak
terjadi di dalam tubuh saya.
Memang, semua orang yang masuk ruang saya harus taat akan peraturan ini. Lalu, ada polisi keras
yang menjaganya: Robert Lai. Semua harus menggunakan masker penutup mulut dan hidung. Jangan
sampai orang yang menjenguk menularkan virus yang sangat membahayakan.
Tiap pagi, saya juga di USG. Bukan takut hamil, tapi khawatir jangan-jangan ada yang tidak beres
pada sambungan-sambungan pembuluh darah lama dan baru. Juga untuk melihat apakah ada
genangan air atau darah di dalam rongga perut saya. Termasuk untuk melihat apakah ada masalah
pada ginjal saya.
Hasil USG tiap hari itu menunjukkan tidak ada tanda-tanda kegagalan penyambungan liver baru saya.
Maka, pada hari kelima, USG tidak lagi dilakukan. Lega rasanya meski baru lega tahap satu. Pada hari
pertama di luar ICU, paru saya juga dironsen. Ini untuk melihat apakah ada genangan air atau dahak
di paru-paru. Hasil ronsen itu juga menggembirakan. Paru-paru bersih.
Tapi, saya harus minum obat penyinkron liver baru. Biasa juga disebut obat antirejection. Anti
penolakan terhadap liver baru. Obat ini berupa kapsul kecil-kecil tiga butir, diminum dua kali sehari.
Namanya afk. Obat ini memang punya efek samping yang kuat. Yakni bisa membuat gula darah dan
tekanan darah naik. Karena itu, sebelum makan, harus diukur dulu tekanan darah dan gula darah.
Setelah makan, diukur lagi. Ujung jari saya di-ceklik beberapa kali sehari untuk mengeluarkan
sedikit darah. Untuk dites kadar gulanya. Pada hari pertama, gula darah saya 17 (sebelum makan). Ini
sangat-sangat tinggi. Bukan karena pankreas saya tidak berfungsi, melainkan karena afk tadi. Karena
itu, sebelum makan, saya disuntik dulu untuk menurunkannya.
Pada hari ketiga, gula darah saya sudah normal. Sekitar 4 sampai 6,5 (sebelum makan). Karena itu,
pada hari berikutnya, tidak diperlukan lagi pemeriksaaan gula darah. Sewaktu saya kemukakan
kekhawatiran saya akan tingginya gula darah itu, dokter meminta saya tidak waswas. Itu hanya
karena efek obat. Bukan karena fungsi pankreas yang jelek. Pankreas Anda sempurna, kata dokter.
Tekanan darah saya juga tinggi jika dibandingkan dengan sebelum operasi. Bangun tidur bisa
mencapai 90/140. Tapi, ini juga karena pengaruh obat saja. Siang sedikit, sampai malam, selalu
antara 80/120 sampai 85/130. Kita akan terus memonitornya, ujar dokter. Sedangkan denyut
jantung sangat normal, antara 76 sampai 85. Banyak juga yang sukses operasinya, tapi tidak kuat
jantungnya, ujar seorang suster. Untuk itu pun, tidak perlu takut karena ada obatnya.
Selain obat anti penolakan itu, saya juga harus minum beberapa obat lainnya. Tapi, kali ini saya tidak
bertanya obat apa saja itu, apa kegunaannya, dan apa efek sampingnya. Kali ini saya serahkan saja
sepenuhnya pada keahlian dokter. Padahal, dulunya saya amat cerewet kalau diberi obat. Saya harus
tahu persis apa-siapanya. Bahkan, sering saya cek lagi kebenarannya lewat internet. Tapi, kali ini saya
putuskan tidak akan jadi dokter untuk diri saya sendiri. Pertama, karena saya memang bukan
dokter. Kedua, banyak juga yang logika saya ternyata salah. Misalnya, bayangan saya akan
transplantasi liver sama sekali berbeda dengan kenyataan dalam praktiknya.
Apalagi keadaan badan saya terus membaik sehingga saya semakin percaya saja pada keputusan
dokter.
32 by Moezhanks
Mengingat indikator-indikator badan saya sudah begitu baik, pada hari keenam, obat sinkronisasi itu
dikurangi 30 persen. Kini tinggal dua kapsul kecil sekali minum, dua kali sehari. Obat ini merupakan
obat terpenting dalam menjaga keberhasilan transplantasi liver. Untuk meminumnya, ada petunjuk
khusus mengenai waktunya. Kalau sudah ditetapkan jam enam pagi dan malam, harus tetap seperti
itu. Tidak boleh terlambat. Juga tidak boleh dipercepat. Apalagi lupa, sama sekali tidak boleh.
Bagaimana kalau lupa juga? Tetap, tidak boleh lupa. Dalil manusia itu tempatnya salah dan lupa
tidak berlaku di sini.
Agar tidak lupa itulah, diciptakan sistem kontrol. Trust is good, but control is better, ujar Robert Lai,
ahli hukum dari Singapura lulusan Inggris itu. Dia orang yang amat disiplin. Sudah sebelas bulan ini
selalu menemani saya pergi ke mana pun. Untuk mewujudkan prinsip yang dipegangnya itu, dia
memutuskan menempatkan perawat khusus di kamar saya. Selama 24 jam sehari. Yakni, perawat
yang khusus melayani kepentingan saya selama 24 jam. Terutama menjaga ketepatan waktu minum
obat, menjaga kebersihan pakaian, handuk, air, dan kamar. Juga memandikan saya.
Rumah sakit ini punya semacam unit usaha yang menyediakan jasa perawat khusus seperti itu.
Orangnya umumnya sudah agak tua, sabar, dan punya keterampilan sebagai perawat. Mereka
memang para pensiunan perawat yang masih ingin terus bekerja. Karena itu, untuk mengukur
tekanan darah, suhu badan, dan pekerjaan sejenis itu, perawat khusus tersebut yang melakukan.
Perawat itu disiplinnya bukan main. Kalau sudah waktunya minum obat, apa pun harus kalah. Tepat
jam enam, dia memaksa saya minum obat. Tidak kurang satu menit pun atau lebih satu menit pun.
Petunjuk itu memang sudah diberikan jauh-jauh hari sebelumnya sehingga saya juga tahu pentingnya
kedisiplinan meminumnya.
Kehadiran perawat khusus seperti itu amat penting karena belum tentu keluarga kita mengetahui
detail mengenai pengobatan. Dia sudah hafal jenis-jenis obat yang disediakan dan jam-jam
penggunaannya. Dia akan melakukan cek ulang, apakah obat yang diberikan lengkap atau tidak.
Salah atau tidak.
Jasa mereka itu juga penting karena ternyata banyak juga pasien yang tidak ditunggui keluarganya.
Saya lihat beberapa orang Jepang, masuk ke ruang operasi tanpa satu pun ada anggota keluarga yang
mengantarkannya.
Mengingat begitu banyak pasien ganti liver yang pernah mereka rawat, pengalaman para perawat
khusus ini sangat banyak. Dia menjadi seperti perawat spesialis pasien ganti liver. Dia tahu persis
gejala-gejala yang baik dan gejala-gejala yang kurang baik dalam perkembangan pasien. Dan bagi
saya, dia juga guru bahasa Mandarin. Sebab, dia memang hanya bisa berbahasa Mandarin, bahkan
dengan logat yang sangat daerah. Berarti 24 jam saya bisa belajar Mandarin secara tidak langsung.
Perawat itu juga menjadi polisi penjaga virus. Dia yang juga ikut mengawasi orang keluar masuk
kamar. Yang tidak pakai masker, dia tegur. Robert memang menugaskan itu khusus kepadanya.
Kalau ada dokter masuk yang tidak pakai masker, tentu Anda tidak berani menegur. Jangan ditegur.
Tapi, Pak Dahlannya yang kamu pasangi masker, pesan Robert kepadanya. Robert, meski bahasa
pertamanya adalah Inggris, bisa bicara Mandarin dan beberapa bahasa daerah di Tiongkok.
Untungnya, tidak pernah ada dokter yang tidak disiplin.
Bahkan, Melinda dan suaminya sampai membuka sepatu ketika masuk ruang saya. Semula Melinda
dan suaminya hanya ingin menengok saya karena kebetulan lagi di Tiongkok. Tahu kalau saya segera
operasi, dia memtuskan menunggu saya sampai beberapa hari setelah operasi. Bahkan, dia ikut
melakukan operasi nonteknik pada malam menjelang operasi.
33 by Moezhanks
Ketika saya beri tahu tidak perlulah masuk kamar sampai copot sepatu, bos Pakuwon Jati itu
mengatakan, Kamar ini harus lebih bersih daripada sepatu saya. Saya tahu sepatunya amat mahal
dan tentu juga amat bersih. Tapi, dia tetap copot sepatu. Saya tidak mau dituduh sebagai
pembunuh Pak Dahlan, katanya. Dia lao da saya. Masak saya harus jadi pembunuh saudara tua
saya, tambahnya. (Bersambung)
Ganti Hati 13 Boleh Tak Mengaku, 25 Juta Orang Menghadapi seperti Saya
7 September 2007
MENGAPA saya harus menjalani transplantasi liver?
Karena sudah ada kanker di liver saya dan sudah mulai menyebar ke beberapa tempat meski
semuanya masih di dalam liver.
Mengapa ada kanker di liver saya?
Karena liver saya sudah tidak normal, sudah mengecil, mengeras, dan rusak. Istilahnya, sudah
mencapai tahap terjadi sirosis.
Mengapa liver saya bisa sirosis?
Karena saya mengidap virus hepatitis B, yang gagal saya usir atau saya matikan. Virus itu menjadi
aktif dan merusak liver karena kondisi badan saya sering sangat lelah. Saat badan lemah, virus yang
semula tidur saja di dalam liver punya kesempatan melakukan aksinya tanpa perlawanan yang berarti
dari badan saya yang sedang lemah.
Mengapa sering lelah?
Masak itu ditanyakan. Bikin saya malu. He he.
Kenapa ada virus hepatitis B di liver saya?
Karena liver saya tidak kebal ketika virus untuk pertama kalinya datang dan masuk ke dalam liver
saya.
Kenapa badan saya tidak kebal?
Karena saya tidak pernah menjalani vaksinasi antihepatitis B saat saya masih bayi/kecil.
Kenapa waktu itu tidak menjalani vaksinasi?
Karena tidak tahu.
Kenapa tidak tahu?
Karena tidak berpendidikan dan tidak cukup pengetahuan. Juga karena negara waktu itu masih
sangat miskin dan pemerintah sibuk mengurus politik atau rebutan posisi.
34 by Moezhanks
Soal pemerintah tidak perlu ditanyakan lebih lanjut. Tapi, kenapa Anda tidak berpendidikan dan tidak
cukup pengetahuan?
Karena miskin sekali. Keluarga saya, hampir semuanya, petani atau buruh tani.
Kenapa miskin?
Karena tidak berpendidikan.
Kenapa tidak berpendidikan?
Karena miskin!
***
Itu bukan kata-kata juru penerang PKK yang setelah zaman reformasi tidak lagi berperan aktif, tapi
akan sangat baik kalau dipakai menyadarkan ibu-ibu untuk memvaksinkan bayinya agar kebal
terhadap virus hepatitis B.
Sebab, sekitar 10 persen penduduk kita terkena hepatitis B. Soal jarang yang mengakui, itu soal lain.
Artinya, sekitar 25 juta orang sedang menghadapi masa depan seperti saya. Padahal, belum tentu
semuanya mendapatkan kesempatan sebaik saya: bisa menjalani transplantasi liver. Kalau toh
banyak yang mampu, belum tentu operasinya bisa berhasil.
Kesempatan menjalani transplantasi juga kian kecil. Tiap negara kini cenderung melindungi rakyatnya
sendiri sehingga, seperti yang dilakukan Tiongkok saat ini, liver yang ada harus diprioritaskan untuk
penduduk Tiongkok sendiri. Ini sangat wajar karena persoalan seperti ini akan bisa jadi isu nasional di
negara tersebut. Di Tiongkok sendiri kini terdapat 120 juta orang yang mengidap hepatitis B, ujar
Deputi Menteri Kesehatan Tiongkok Hao Yang saat melakukan kampanye vaksinasi hepatitis B pekan
lalu seperti yang disiarkan China Daily 1 September barusan. Hao Yang lantas mengutip angka dari
Samuel So, direktur Asian Liver Centre di Stanford University AS, bahwa 40 persen di antara segala
macam penularan virus terjadi dari ibu ke anaknya.
Maka, pencegahan sangat penting. Di Tiongkok, seluruh bayi sejak 1982 harus tiga kali divaksin
antihepatitis. Tiap suntik harga obatnya sekitar Rp 75.000. Seluruhnya ditanggung negara.
***
Meski ilmu pengetahuan semakin maju dan keterampilan dokter juga kian sempurna, tapi kalau
sumber donor untuk liver makin terbatas, bagaimana? Bukankah kesempatan untuk menjalani
transplantasi di masa depan kian langka? Termasuk bagi yang mampu transplantasi sekalipun?
Bukankah lantas antrean untuk dapat giliran transplan kian panjang? Dan kian lama?
Saya sendiri perlu empat bulan menunggu. Dalam keadaan harus terus siap. Penantian yang tidak
jelas harus berapa lama. Yang juga berarti terus berjalannya argometer biaya. Empat bulan harus
tinggal di luar negeri dan dengan keluarga yang harus mondar-mandir tentu bukan hal yang
sederhana. Padahal, sekali lagi, kita tidak akan pernah tahu harus menunggu sampai berapa lama.
Artinya, juga tidak akan tahu masih harus berapa banyak lagi uang yang disiapkan.
35 by Moezhanks
Dengan logikanya yang sederhana, istri saya sering nyeletuk. Suatu celetukan yang mungkin juga
mencerminkan rasa jenuh karena begitu lamanya menunggu. Begini sulit ya mempertahankan satu
nyawa. Kok di Timur Tengah itu tiap hari orang dengan gampang menghilangkan nyawa, katanya.
Istri saya lantas menyebut banyaknya orang Timur Tengah yang antre di rumah sakit ini. Bukankah
di sana banyak sumber liver? Dari mereka yang begitu banyak meninggal muda itu? Dan pasti lebih
pas karena dari ras yang sama? celetuk istri saya.
Tentu tidak sesederhana itu. Ada soal yang bagi orang Islam lebih prinsip. Yakni apakah boleh, secara
Islam, mendonorkan organ tubuh? Apakah boleh organ dari orang yang baru meninggal diambil
untuk menyelamatkan orang lain?
Soal itu di masa depan tidak hanya akan jadi isu agama. Tapi juga isu keadilan. Isu yang akan lebih
mendominasi masa depan dunia. Bisa jadi, kelak, akan ada aturan bahwa suatu negara tidak boleh
mendonorkan organ kepada penduduk suatu negara yang negara itu atau penduduknya melarang
melakukan donor organ. Misalnya, Indonesia tidak mendukung digalakkannya donor organ atau
penduduk Indonesia mengharamkan donor organ, maka di masa depan orang Indonesia tidak boleh
menerima sumbangan organ dari warga negara lain.
Kini sudah terasa gejalanya. Dimulai dari munculnya kebijakan memprioritaskan penduduk
negaranya sendiri. Alasan keadilan lantas memperkuatnya.
Kesadaran seperti itu akan membuat banyak negara ikut mengubah peraturannya. Tiongkok sudah
mengubahnya empat bulan lalu. Orang asing tidak akan gampang lagi mendapatkan donor dari
penduduk setempat.
Begitu banyak orang Tiongkok sendiri yang memerlukan transplantasi. Yang terkena hepatitis B saja
mencapai 120 juta orang, sudah sama dengan separo penduduk Indonesia. Kalau mereka tidak
terlayani karena miskin, tidak kuat bayar, maka akan menjadi isu kesenjangan sosial. Akan menjadi
isu politik yang sensitif bagi Tiongkok yang lagi gencar-gencarnya memerangi kesenjangan sosial.
Belum lagi, kini, orang kaya di Tiongkok bertambah-tambah dengan drastisnya. Mereka tentu akan
semakin mampu dalam ikut memperebutkan donor yang kian terbatas.
Singapura sudah lebih dulu membuat aturan seperti itu. Bahkan, melarang sama sekali liver orang
Singapura untuk orang non-Singapura. Sebab, di Singapura sendiri antara kesediaan liver dan yang
memerlukannya jauh lebih banyak yang terakhir.
Awal bulan ini, diberitakan antrean transplantasi di Singapura sudah sampai 10 tahun. Artinya,
mendaftar sekarang baru akan dapat liver 10 tahun lagi. Karena itu, setiap saat selalu ada pasien
antre yang dicoret dari daftar antre. Mengapa? Sudah tidak layak antre. Selama penantian, kondisi
badannya sudah semakin buruk, ujar dr Tong Ming Chuan, saah seorang direktur program jantung-
paru Singapura. Tiga di antara empat orang yang dicoret dari daftar antre itu tak lama kemudian
memang meninggal, ujar dr Tong sebagaimana disiarkan The Strait Times 2 September lalu.
Kini, panjang antrean itu ratusan orang di Singapura. Sebanyak 555 orang antre untuk transplan
ginjal dan 16 orang antre liver. Di antara lima orang yang antre transplan jantung, tinggal satu yang
masih memenuhi syarat dalam daftar. Tapi, itu tidak berarti bisa cepat dapat giliran. Sebab, donor
jantung lebih sulit. Donor liver atau ginjal bisa berupa separo organ tersebut. Tapi, donor jantung
harus satu jantung utuh. Ini berarti pendonornya harus meninggal, katanya.
36 by Moezhanks
Di antara 555 orang itu terakhir, yang 139 orang juga sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk
transplan. Di antara 139 itu pun, diperkirakan yang 22 orang sudah akan meninggal tidak lama lagi.
Sudah terlalu terlambat untuk transplan. Kalau toh dipaksakan, peluang berhasilnya tipis. Sayang
donornya. Mendingan diberikan kepada pasien yang kans berhasilnya lebih besar. Khusus untuk yang
antre liver saja, tahun lalu enam orang meninggal karena perkembangan sakit livernya lebih cepat
daripada waktu antrenya.
Kini, siapa yang harus hidup dan siapa yang harus mati ternyata bisa ditentukan oleh dokter.
Karena itu, Singapura akan melangkah lebih jauh. Peraturan baru sedang disiapkan. Kalau selama ini
organ hanya diambilkan hanya dari orang yang sudah menyatakan organnya boleh didonorkan, nanti
akan dibalik. Menjadi: hanya orang yang menyatakan keberatan saja, yang organnya tidak bisa jadi
donor. Peraturan ini juga akan berlaku bagi penduduknya yang beragama Islam, katanya. Selama
ini, aturan transplan selalu dikecualikan bagi yang muslim. Ini terkait dengan keyakinan agama. Kini
kekhususan itu tidak ada lagi.
Artinya, organ semua orang Singapura secara otomatis boleh diambil setelah dia mati, kecuali yang
keberatan saja. Ini seperti prinsip ushul-fikh (kaidah aturan): semua yang tidak dilarang berarti
dibolehkan. Singapura akan menggunakan prinsip ushul-fikh itu.
Begitu seriusnya problem defisit donor itu, sehingga Tiongkok juga akan mengubah peraturan di
bidang kedokteran tentang kapan seseorang dinyatakan meninggal. Ini setelah awal Agustus
kemarin diperdebatkan di forum para ahli transplantasi di Beijing. Satu perdebatan yang amat teknis-
medis di sekitar saat kematian datang. Yakni saat-saat kematian batang otak. Saya sendiri tidak
paham istilah-istilahnya. Yang jelas, kalau peraturan lama yang dipakai menentukan tibanya saat
kematian, akan banyak sekali organ yang sudah terlanjur ikut mati. Ini akan tidak bisa
dimanfaatkan untuk amal jariyah berikutnya. Maka, aturan menentukan saat kematian itu akan
dibuat lebih awal, sebagaimana yang sudah disepakati di banyak negara maju.
Saya jadi berpikir dan diskusi lagi dengan diri sendiri. Saat kematian ternyata bisa diajukan atau
dimundurkan walau hanya sesaat. Bagi yang paham ayat Al Kitab mengenai kematian (idza jaa-a ajal
luhum) tentu satu pekerjaan tersendiri untuk mendiskusikannya. Terutama apakah yang dimaksud
dengan ajal di situ. (Bersambung)
Ganti Hati 14 Tersenyum ketika Dioperasi seperti Menikmati Kemiskinan
8 September 2007
JELASLAH bahwa karena kemiskinan dan kejumudan yang melatarbelakangi, saya menderita sakit
liver. Apakah saya menyesali dilahirkan di keluarga miskin? Sama sekali tidak. Kemiskinan kami
adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan yang juga dialami banyak orang di lingkungan saya. Bahkan
hampir di semua kampung saya. Di kapupaten saya. Juga di negara saya. Kemiskinan rame-rame.
Kami bisa menikmatinya bersama-sama.
Jadi, jangan sampai ada yang menyangka bahwa kami sangat menderita. Tidak. Kami miskin bukan
karena harta habis untuk main judi atau untuk mabuk-mabukan atau untuk narkoba. Kami memang
tidak punya harta.
37 by Moezhanks
Kalau toh kami boros, kurang hemat, itu pun jangan disalahkan. Keborosan kami adalah keborosan-
religius. Juga keborosan-yang-beradab, yakni boros untuk melestarikan adat-istiadat.
Kami harus banyak keluar biaya untuk selamatan Lebaran, kupatan, mauludan, rejeban, megengan,
rebowekasan, dan seterusnya, tapi semua itu kami niati untuk ibadah -entah apakah seharusnya
pakai selamatan segala. Kami sangat menyenangi selamatan. Terutama saat kami masih kecil. Itulah
saatnya kami bisa makan nasi. Bukan gaplek. Itulah saatnya kami bisa makan telur. Bukan hanya
sambal atau garam. Itulah saatnya kami, kalau nasibnya baik -yakni dapat ambeng yang baik-, bisa
memperebutkan daging ayam secuil. Satu bentuk selamatan di serambi masjid yang amat kami
tunggu-tunggu. Karena itu, kami hafal benar kapan akan ada mauludan atau megengan. Bahkan
sudah kami nantikan sejak berhari-hari sebelumnya.
Kami juga harus slametan nyepasari, mitoni, sunatan, wetonan, dan seterusnya. Tapi, itu juga kami
perlukan sebagai wujud donga-katon (doa yang dipersonifikasikan). Karena itu, harus ada sayur
kluwih untuk menandakan bahwa kita ingin rezeki yang linuwih (berlebih). Juga harus ada cakar ayam
untuk lambang doa kuat melangkah. Pokoknya, semua kami wujudkan dalam makanan seperti
seolah-olah kami bisu.
Setiap kupatan, kami juga harus munjung ke kiai kami. Sesepuh kami. Punjungan itu berbentuk
makanan yang paling istimewa. Ibu membuat lontong yang untuk merebusnya saja diperlukan waktu
24 jam. Agar lontong masak sempurna dan tidak basi sampai seminggu pun. Daun pembungkusnya
harus daun pisang raja agar harumnya khas. Sayurnya harus lima macam, salah satunya harus opor
ayam. Ibu pandai sekali bikin opor ayam. Tapi, kami hanya boleh makan sedikit kuahnya. Dagingnya
untuk punjungan. Ibu sudah menyiapkan ayam itu sejak enam bulan sebelum kupatan. Tentu, kami
tidak mungkin mampu membeli ayam. Sering ibu harus membeli dulu satu telur. Lalu dititipkan ke
tetangga untuk bersama-sama ditetaskan di situ. Lalu dipeliharanlah ayam tunggal itu. Sampai tiba
saatnya harus dipotong untuk dihaturkan kepada kiai kami yang sebenarnya sudah kaya.
Bapak sangat menjunjung tinggi adat itu. Kiai kami bukan sembarang kiai. Kiai kami adalah guru-
tarikat kami. Guru yang oleh bapak dipercaya sebagai wasilah dalam term filsafat ahl-dzikr. Tidak ada
ahl-dzikr lain di dunia ini kecuali kiai kami itu. Ahl-dzikr hanya satu di dunia, kata bapak saya. Ini
karena menurut tata bahasa Arab (nahwu), kata ahl di situ menunjukkan bentuk tunggal (ism
mufrad). Ternyata, semua aliran tasawuf punyai klaim yang sama untuk kiai mereka sendiri. Tapi,
bapak saya tidak tahu itu. Tahunya ya hanya tasawuf Sathariyah. Dan meyakini bahwa kiainya, KH
Imam Mursyid Muttaqien, adalah sang ahl dzikr nan tunggal.
Misalnya saja, bapak kedatangan tamu yang dulu sesama abdi dalem di rumah kiai tersebut. Tentu,
bapak bicara seenaknya dan penuh guyon dengan tamunya. Tapi, begitu si tamu mengatakan
kedatangannya hari itu diutus sang kiai, sikap bapak otomatis berubah. Bapak akan langsung bersila,
menunduk, dan ngapurancang di depan teman sesama abdi dalem itu. Bapak langsung menggunakan
kata-kata kromo inggil (bahasa Jawa level tertinggi) dalam percakapan dengan temannya itu. Bapak
langsung merasa sedang berhadapan dengan kiainya sendiri. Bapak adalah idola kami dalam bersikap
tawadluk -hormat kepada sesepuh.
Saya pernah bertugas mengantarkan punjungan yang aromanya sangat harum itu. Kami berjalan kaki
sejauh 6 kilometer untuk sampai ke rumah sesepuh kami itu. Di jalan, kami bisa mengira-ngira
nikmatnya makanan yang akan kami antar itu karena kami sudah merasakan rasa kuahnya. Meski kiai
tersebut masih paman ibu saya sendiri, kami dilarang untuk masuk sampai ke dalam rumahnya. Kami
hanya boleh mengantar sampai teras samping rumah pendapa itu.
38 by Moezhanks
Kami sungguh menikmati kemiskinan kami seperti menikmati khayalan mengenai lezatnya opor ayam
yang disiapkan sejak enam bulan sebelumnya itu.
Saya, waktu kecil, memang hanya punya satu celana pendek dan satu baju, tapi saya masih punya
satu sarung! Jangan remehkan kemampuan sarung ini. Dia bisa jadi apa saja. Mulai jadi alat ibadah,
mencari rezeki, alat hiburan, fashion, kesehatan, sampai jadi alat memeras atau menakut-nakuti.
Sarung inilah pakaian yang, meski hanya satu potong kain, fleksibelnya bukan main. Kalau saya lagi
mencuci baju, sarung itu bisa saya kemulkan di bagian atas badan saya. Kalau saya lagi harus mencuci
celana, sarung itu bisa jadi bawahan.
Kalau kami lagi cari sisa-sisa panen kedelai di sawah orang kaya, sarung itu bisa jadi karung.
Kalau saya lagi ingin mendalang (waktu kecil saya suka sekali mendalang, dengan wayang terbuat
dari rumput dan gamelan dari mulut teman-teman), sarung itu saya bentangkan dengan tiang
pendek di kiri kanannya: jadilah dia kelir.
Kalau lagi musim angin dan kami ingin bermain-main dengan angin itu, sarung kami bentangkan di
atas kepala: jadilah dia layar.
Kalau saya lagi lomba terjun ke sungai dari atas jembatan, saya ikat ujung sarung itu: jadilah dia
semacam payung parasit.
Kalau perut lagi lapar sekali dan di rumah tidak ada makanan sama sekali, saya ikatkan kuat-kuat
sarung itu di pinggang: jadilah dia pengganjal perut yang andal.
Saya belum menemukan bentuk pakaian lain yang fleksibelnya melebihi sarung. Kalau sembahyang,
jadilah dia benda penting menghadap Tuhan. Kalau lagi kedinginan, jadilah dia selimut. Kalau lagi
mau nakut-nakuti anak kecil, jadilah dia pocongan.
Kalau sarung itu robek (biasa waktu dipancal kaki saat tidur kedinginan atau saat kena duri bambu
saat mencuri tebu), sarung itu masih bisa dijahit. Kalau di tempat jahitan itu robek lagi, masih bisa
ditambal. Kalau tambalannya pun sudah robek, sarung itu belum akan pensiun. Masih bisa dirobek-
robek: bagian yang besar bisa untuk sarung bantal, bagian yang kecil untuk popok bayi.
Sakit bisa dinikmati. Miskin pun bisa dinikmati. Apalagi suasananya sering diciptakan demikian.
Misalnya saja, kisah tentang bagaimana Khalifah Umar menemukan orang miskin yang anaknya
menagis terus karena lapar. Untuk meredam tangis si anak, ibunya pura-pura merebus sesuatu.
Padahal, yang direbus itu adalah batu. Cerita yang demikian jadi kebanggaan. Juga cerita sufi tentang
bagaimana orang sakti yang kalau lapar cukup mengganjal perutnya dengan batu. Atau bagaimana
nabi hanya memakan kurma dua biji setelah seharian berpuasa. Lapar itu sering luar biasa
nikmatnya.
Orang miskin punya jalan sendiri untuk menikmati kemiskinannya, seperti juga orang kaya punya
cara sendiri menikmati kekayaannya. Kadang, orang kaya merasa iba kepada orang miskin. Padahal,
sering juga orang miskin merasa kasihan kepada orang kaya. Banyak orang desa yang merasa kasihan
kepada Tommy Soeharto yang akhirnya harus menderita. Mereka tidak tahu bahwa Tommy masih
kaya raya.
Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya. Jangankan terkena kanker atau sirosis atau
hepatitis. Mati pun dianggap, kalau memang sudah garisnya, harus diterima apa adanya. Karena itu,
39 by Moezhanks
ayat yang menyatakan kalau sudah tiba waktunya, tidak bisa diundur sekejap pun atau dimajukan
sedikit pun menjadi amat populer. Melebihi popularitas ayat yang mengajarkan carilah rezeki di
bumi Tuhan ini.
Kisah sedekah yang populer juga terkait dengan kemiskinan. Sangat sering diajarkan bahwa sedekah
tidak harus dengan harta. Menyingkirkan duri dari tengah jalan pun sudah merupakan sedekah.
Bahkan, tersenyum pun sudah sedekah. Maka, marilah kita sering tersenyum. Mau dioperasi besar
pun saya tersenyum. Itulah sedekah yang sudah sejak kecil diajarkan -dan yang dulu satu-satunya
yang mampu kami lakukan. (Bersambung)
Ganti Hati 15 Setelah Rutin Disuntik, Menyangka Hepatitis Sudah Beres
9 September 2007
SAYA menerima kehadiran virus hepatitis B di liver saya sebagai takdir. Kalau kemudian berkembang
menjadi sirosis dan kanker, itu sebagai sunnatullah-Nya -sudah seharusnya begitu. Jangan harap satu
virus hepatitis B tidak akan menjadi sirosis. Dan, jangan ada harapan sirosis tidak akan jadi kanker.
Tidak ada keajaiban di proses itu. Tidak ada mukjizat. Tinggal waktu saja yang berbeda. Proses
perkembangan itu lama atau cepat.
Karena namanya virus, pasti datangnya dari luar. Jadi, bukan keturunan atau gen, seperti yang
semula saya kira. Bahwa keluarga saya banyak yang demikian, tentu itu karena gaya hidup di desa
yang memang seperti itu. Makan bersama, berebut lauk dari piring yang sama, cuci tangan dari
kobokan yang sama. Semua bisa saja jadi sarana penularan. Karena hidup seperti itu dilakukan sejak
kecil, kemungkinan penularannya juga tidak kecil.
Di Tiongkok, data terbaru menyebutkan hampir 10 persen penduduknya terkena virus hepatitis. Ini
berarti lebih dari 120 juta orang. Di Indonesia, persentasenya saya kira hampir sama. Karena itu,
penelitian terhadap hepatitis intensif sekali di Tiongkok, karena menyangkut begitu banyak orang.
Ke depan mestinya virus ini amat berkurang karena kesadaran melakukan vaksinasi hepatitis kepada
bayi sangat tinggi. Di Tiongkok sejak 1982. Di Indonesia terutama sejak zaman Orde Baru.
***
Saya sendiri tahu kalau mengidap hepatitis B sejak sekitar 25 tahun lalu. Yakni, ketika untuk kali
pertama dalam hidup saya memeriksakan darah. Waktu itu tiba-tiba badan saya panas sekali. Maka
saya harus periksa darah. Diketahuilah bahwa ada virus hepatitis B di liver saya. Sebelumnya, sejak
kecil, kalau badan panas yang dibiarkan saja: toh akan dingin sendiri.
Saat itu juga saya langsung mengambil langkah. Konsultasi dengan salah satu dokter ahli penyakit
dalam terbaik di Surabaya: Prof Mohamad Hassan (kini almarhum). Dia mendengar ada obat yang
masih baru sama sekali. Namanya interveron. Kalau mau, saya boleh mencoba obat baru itu, karena
memang sebelumnya tidak pernah ditemukan obat untuk melawan virus itu.
Tapi, Prof Hassan mengingatkan bahwa harganya mahal sekali. Juga harus disiplin tinggi karena obat
itu harus disuntikkan 76 kali, setiap dua hari sekali. Kini interveron sudah amat murah dibanding
40 by Moezhanks
harga 25 tahun lalu. Tapi, Prof Hassan juga memberitahukan bahwa kemungkinan berhasilnya juga
tidak 100 persen, baru 25 persen. Ya, siapa tahu saya masuk yang 25 persen itu, katanya.
Saya pun menyetujuinya. Maka setiap dua hari saya suntik interveron. Ketika pertama suntik saya
harus ngamar di rumah sakit. Saya pilih RS Budi Mulia di Jalan Raya Gubeng. Mengapa harus ngamar?
Akibat suntikan itu, suhu badan bisa tinggi sekali. Kalau terjadi sesuatu yang membahayakan, Anda
sudah berada di rumah sakit, katanya.
Obat itu berfungsi bukan membunuh virusnya, melainkan hanya mengurungnya. Maksudnya, dengan
dikurung seperti itu, virus tidak akan merajalela. Sebab, memang belum ada obat ang bisa
membunuhnya.
Pada hari dilakukan penyuntikan pertama, saya langsung siap-siap selimut tebal. Kalau panas datang
dan badan menggigil, saya sudah tidak bingung lagi. Saya tunggu kedatangan suhu tinggi dan rasa
menggigil itu sampai sore. Tangan sudah selalu siap memegang selimut kalau tiba-tiba harus segera
menutupkan ke tubuh saya. Saya tunggu sampai malam, ternyata si demam tidak datang juga.
Bahkan sampai besoknya pun.
Lalu saya boleh pulang. Saya bisa menyuntikkan interveron berikutnya di mana pun saya mau. Bisa di
kantor, di poliklinik, atau di praktik dokter. Saya menyimpan interveron itu di termos khusus yang
bisa saya bawa bepergian. Ke mana-mana saya membawa termos itu berikut alat suntiknya.
Pernah suatu saat saya harus ke Ambon. Tentu saya bawa juga interveron itu. Di Ambon ternyata
sulit sekali mencari dokter yang mau menyuntikkannya. Di sana umumnya dokter tidak tahu obat apa
yang saya bawa itu. Sudah saya jelaskan panjang lebar, tetap saja dia tidak mau. Memang seharusnya
demikian. Kalau tidak tahu, tidak boleh melakukannya. Yang jadi persoalan adalah bukan tidak mau,
tapi memang betul-betul belum tahu obat tersebut. Maklum, memang obat yang masih sangat baru.
Pernah juga saya mengalami kesulitan yang sama saat berada di Batam. Padahal, saya juga harus
mengejar pesawat. Akhirnya saya minta disuntik di pos kesehatan bandara Batam.
Setelah proses itu selesai, saya menjadi lengah. Saya menyangka, hepatitis saya sudah beres. Saya
tidak pernah lagi memperhatikannya. Saya tenggelam oleh kesibukan dan kecerobohan saya sendiri.
Kini, saya dengar kualitas interveron sudah semakin baik. Sudah puluhan kali lebih kuat daripada 25
tahun lalu -saat saya pertama menggunakannya. Barangnya juga sudah lebih mudah didapat.
Tiongkok juga sudah memproduksinya besar-besaran. Harganya pun sudah jauh lebih murah
dibanding ketika saya harus membeli dulu. Murah untuk ukuran orang sakit liver, tapi tetap mahal
untuk kebanyakan orang.
Sejak minum interveron itu saya tidak pernah mencari tahu lagi apakah sudah ada obat yang lebih
jitu. Bahkan, saya sudah melupakan hepatitis saya. Badan saya yang selalu fit, membuat saya terlalu
percaya diri. Pujian bahwa saya adalah orang yang tidak punya udel (tidak punya pusar, untuk
menggambarkan punya kemampuan kerja kuda) membuat saya terlena. Saya terus kerja dan kerja.
Terbang dan terbang. Di dalam negeri dan ke luar negeri.
Sampailah pada Mei 2005. Hari itu saya terbang ke 19 kota hanya dalam waktu 8 hari. Mulai
Surabaya-Jakarta-Pontianak-Kuching-Singapura-Guangzhou-Wenzhou-Jinhua-Hangzhou-Nanchang-
Guangzhou-Jakarta-Makassar-Ambon-Makassar-Kendari-Makssar-Jakarta-Surabaya.
41 by Moezhanks
Istri saya, bersama Ibu Eric Samola, bergabung dengan saya di Makkasar untuk sama-sama ke
Ambon. Tiba di Ambon tidak mau sarapan, langsung ke kantor harian Ambon Ekspress untuk rapat.
Mengapa tidak mau sarapan? Setiap ke Ambon saya punya cita-cita khusus: akan makan durian
sebanyak-banyaknya. Durian Ambon luar biasa enaknya. Apalagi kalau dimakan di pantai yang sangat
natural itu: pantai Ambon yang indah. Di mana itu? Kalau Anda turun dari pesawat, keluar dari
bandara, jangan belok kanan ke arah kota, tapi belok kiri ke arah kampung. Aduh naturalnya!
Tapi, rapat masih diteruskan dengan mengajar. Dulu, setiap kedatangan saya ke anak perusahaan
selalu dimanfaatkan untuk pertemuan dengan wartawan. Saya memang punya forum yang disebut
bengkel wartawan. Di forum bengkel itulah saya selalu diminta menularkan pengetahuan dan
keterampilan jurnalistik. Berarti makan siang juga kelewatan.
Selesai forum bengkel, sudah tidak tahan lagi untuk segera makan durian. Makannya tidak di pantai
Ambon tidak apa-apa. Kebetulan di depan kantor, di pinggir jalan depan Masjid Al Fatah, banyak
penjual durian. Kenyanglah. Lupa sudah makan siang. Malamnya, setelah makan malam dengan
menu makanan lokal yang disebut papeda, saya ke kantor lagi sambil seperti menangis. Papeda
malam itu merupakan makanan terpedas yang pernah saya alami setelah makanan yang disebut suai
yang ru di Chongqing, Tiongkok.
Mestinya, saya jangan makan papeda malam itu. Mestinya tetap saja makan ikan laut. Ikan laut
Ambon segarnya, manisnya, enaknya, bukan kepalang. Saya selalu merindukannya. Tapi, sejak
kerusuhan Ambon, saya tidak tahu lagi di mana restoran yang terkenal itu membuka usaha.
Perut saya mulai bergolak malam itu. Mungkin ikan-ikan Ambon cemburu dan marah mengapa
malam itu saya melupakannya. Lalu menyantet perut saya. Meski perut mulas, tengah malam itu
saya masih harus ke percetakan. Paginya, pukul empat sudah harus berangkat ke Makassar. Rapat
dengan harian Fajar yang kini baru menyelesaikan membangun gedung Graha Pena Makassar. Rapat
pun buru-buru karena harus segera ke Kendari, rapat dengan harian Kendari Post yang waktu itu juga
lagi membangun Graha Pena Kendari. Di Kendari saya juga punya cita-cita khusus: makan ikan bakar.
Hari itu bumbunya juga pedas bukan kepalang.
Tiba di Surabaya, barulah saya bisa tidur dengan baik. Bangun tidur, tiba-tiba saya mau muntah. Saya
muntahkan saja, tapi kedua tangan saya menjadi penadah. Sambil tangan menampung muntahan,
saya lari ke toilet untuk membuang muntahan yang ada di tangan. Tentu ada yang tercecer di lantai
kamar. Dari yang tercecer itulah saya lihat banyak onggokan berwarna hitam. Setelah onggokan itu
saya injak, ternyata warnanya merah: darah. Oh, ternyata saya muntah darah.
Tapi, badan saya rasanya baik-baik saja. Saya memang merencanakan ke dokter, tapi besoklah.
Setelah saya menghadiri coblosan pemilihan wali kota Surabaya. Anak buah saya, Pimred Jawa Pos
Arif Afandi, menjadi calon wakil wali kota mendampingi calon Wali Kota Bambang D.H. Saya harus
memilihnya sebagai dukungan ke anak buah.
Barulah selesai coblosan saya ke Rumah Sakit Darmo Surabaya. Perkembangan hasil pilkada itu, di
mana Bambang-Arief terpilih, saya ketahui saat saya berbaring di ranjang pasien.
Saya ternyata memang harus ngamar di rumah sakit. Dokter menyesalkan saya, mengapa begitu
muntah darah tidak langsung ke rumah sakit. Dokter bilang saya beruntung. Bisa jadi muntah darah
itu akan sangat fatal dan mematikan. Lalu saya ingat kakak saya yang meninggal tidak lama setelah
muntah darah. Juga ibu saya. Paman-paman saya.
42 by Moezhanks
Pemeriksaan di Rumah Sakit Darmo menunjukkan betapa berbahayanya sakit saya. Bahaya yang
sama sekali tidak saya rasakan sebelumnya. Bahaya yang selalu kalah dengan semangat. Dalam istilah
teman saya, penyakit tidak mau mampir ke badan saya karena tidak akan dilayani akibat
kesibukannya.
Ternyata semua itu menipu. Penyakit tetap datang dan diam-diam menggerogoti onderdil saya.
Sebuah kerusakan di dalam, yang tidak segera diketahui di luarnya. Tahu-tahu saja sudah terlambat
sekali. (bersambung)
Ganti Hati 16 Esofagus Ditambal atau Bilang Saja Pencernaan Dilaminating
10 September 2007
KETIKA kartu suara pemilihan wali kota Surabaya dihitung, dokter RS Darmo Surabaya juga mulai
melihat dari mana asal darah yang saya muntahkan. Saya dibius. Tenggorokan saya dimasuki alat
yang ujungnya berkamera superkecil. Tindakan ini dalam istilah kedokteran disebut dengan
endoskopi. Yang mengendoskopi saya ketika di RS Darmo Surabaya saat itu adalah dr Pangestu Adi
SpPD-KGEH, yang sudah sangat ahli dan senior di bidang itu.
Dari tenggorokan, alat itu masuk sampai ke lambung saya, melalui pipa esofagus (yang
menghubungkan mulut dengan lambung).
Dari gambar yang dipantulkan alat itu terlihat, betapa banyak gelembung darah yang siap pecah di
sepanjang esofagus saya. Ada yang kecil, banyak juga yang besar. Gelembung-gelembung itu
sebenarnya adalah pembuluh darah esofagus yang karena tekanannya terlalu besar lantas
menggelembung. Dalam istilah medis, pembuluh darah esofagus yang menggelembung dinamakan
varises esofagus. Disebut varises karena memang mirip varises di betis.
Hanya, karena dinding pembuluh darah esofagus lebih tipis, varises di bagian itu lebih gampang
meletus, pecah. Jika itu terjadi, pasien akan mengalami pendarahan hebat yang sulit dikendalikan.
Akibatnya bisa sangat fatal. Yakni, pasien meninggal karena kehabisan darah.
Varises esofagus terjadi karena pembuluh darah utama yang masuk ke liver menyempit akibat
adanya sirosis. Karena pintu masuknya menyempit, tekanan di pembuluh darah utama itu pun jadi
meningkat. Karena tak segera diturunkan, tekanan itu pun merembet sampai ke pembuluh darah
esofagus dan limpa. Itu sebabnya mengapa limpa saya juga ikut membesar sampai hampir tiga kali
lipat.
Kata banyak dokter di Surabaya ketika itu, saya termasuk orang yang beruntung. Karena tidak kolaps
ketika beberapa gelembung varises di esofagus saya pecah dan menyebabkan saya muntah darah
dua hari sebelum endoskopi dilakukan.
Sebaiknya Pak Dahlan segera ke Singapura. Dalam kesempatan pertama, ujar Prof Dr dr
Boediwarsono SpPD-KHOM yang merawat saya ketika itu. Lebih baik dilakukan di sana, tambahnya.
Sampai saat itu, saya masih belum memahami sepenuhnya bahaya yang saya hadapi. Maklum, rasa
badan saya baik-baik saja. Baru dua minggu kemudian, ketika ada acara di Singapura, saya mampir ke
seorang ahli penyakit dalam yang terkenal di RS Mount Elizabeth. Saya diperiksa di situ untuk
43 by Moezhanks
mengetahui apa yang terjadi sebenarnya dan tindakan apa yang harus dilakukan. Seminggu
kemudian saya diminta datang lagi untuk operasinya. Hari itu dia sudah telanjur banyak janji dengan
pasien lain. Padahal, operasinya perlu waktu dua jam sendiri.
Agar kedatangan saya ke Singapura minggu depannya lebih efektif, saya bikin janji dengan investor
Singapura yang bersama perusahaan daerah Jatim akan membangun shore base di Lamongan.
Sebelum operasi, saya punya waktu membicarakan kelanjutan rencana proyek Rp 250 miliar itu.
Dengan cara ini perusahaan daerah tidak perlu keluar uang perjalanan dinas dan biaya-biaya lain.
Saya memang biasa begitu. Urusan perusahaan daerah selalu saya gabung dengan urusan saya
pribadi. Sehingga selama lima tahun sebagai Dirut perusahaan daerah, saya tidak pernah
menggunakan uang perusahaan.
Minggu depannya, selesai rapat, saya ke rumah sakit. Langsung dibius dan dioperasi. Sekali lagi,
tenggorokan saya dimasuki alat yang bisa masuk sampai pencernaan. Seperti pada endoskopi, ujung
alat itu pun dilengkapi kamera.
Dengan bantuan kamera itu, tim dokter di Mount Elizabeth lantas mereparasi esofagus saya. Antara
lain dengan menuangkan semacam lem berwarna putih ke gelembung-gelembung varises di esofagus
saya. Tujuannya untuk menambal bagian yang sudah meletus, sekaligus melapisi yang sudah siap
meletus. Dengan begitu, ketika meletus, darahnya tidak semburat ke luar lagi.
Teknis penambalan esofagus sebenarnya tidak sesederhana penjelasan saya itu. Saya hanya
menyederhanakannya. Bahkan, kepada keluarga saya, saya menggunakan istilah yang lebih
sederhana lagi: Saluran pencernaan saya dilaminating.
Karena jumlah gelembung yang harus ditambal begitu banyak, proses laminating-nya tak bisa
hanya sekali. Dan, hari itu dokter hanya punya waktu untuk mengatasi gelembung yang besar-besar,
yang sudah meletus dan benar-benar siap meletus. Selain itu, kalau yang dilaminating kebanyakan,
beban bagi tubuh saya akan terlalu berat.
Dengan hanya melaminating yang besar-besar, dokter berharap gelembung yang kecil-kecil akan
mengecil dengan sendirinya. Untuk memastikan itu, saya diminta kembali dua bulan kemudian.
Sesuai jadwal, dua bulan kemudian saya balik ke Singapura. Rapat lagi sambil meneruskan proses
laminating berikutnya. Meski yang kecil-kecil tidak membesar, dokter memilih yang aman.
Gelembung-gelembung kecil yang tersisa dilaminating semua. Hari itu, persoalan mendesak yang
mengancam hidup saya teratasi. Tepatnya, teratasi sementara.
Kenapa sementara? Ini karena penyebab terjadinya gelembung-gelembung itu sendiri masih njegog
di badan saya: sirosis. Kelak saluran pencernaan saya akan tertekan lagi, bengkak lagi, dan menjadi
gelembung-gelembung darah lagi. Berarti setahun kemudian saya masih terancam muntah darah
lagi. Tapi, dengan laminating ini, setidaknya saya bisa mengulur waktu.
Bulan berikutnya, ketika direksi perusahaan daerah sudah selesai merundingkan draf perjanjian
dengan pihak Singapura, saya putuskan untuk menandatangi perjanjian setebal bantal itu. Saya juga
sudah minta tolong agar teman saya, Robert Lai, lawyer lulusan Inggris yang sudah biasa bikin
perjanjian dalam bahasa Inggris, untuk melihat, mencermati, dan memberikan koreksi mana-mana
yang akan membuat posisi perusahaan daerah lemah. Dia memberikan banyak sekali koreksi. Lalu
menyerahkan koreksi itu ke direksi perusahaan daerah untuk dipikirkan lebih lanjut. Dia
melakukannya secara gratis. Sudah beberapa kali Robert membantu perusahaan daerah secara
sukarela seperti itu.
44 by Moezhanks
Menjelang tanda tangan perjanjian itulah saya berkonsultasi dengan dokter mengenai problem
kesehatan saya yang berikutnya.
Misalnya, bagaimana mengatasi sirosis saya. Bagaimana agar tidak terancam muntah darah lagi.
Bagaimana agar kaki saya tidak bengkak lagi.
Lalu saya tunjukkan kaki saya yang mengembung dan membesar itu kepada dokter yang merawat
saya. Bagaimana mengatasinya? tanya saya.
Jawaban dokter itu sungguh di luar dugaan saya. Beli saja sepatu yang lebih besar, katanya ketus.
Kalau sesak lagi? tanya saya lagi.
Ya, beli lagi yang lebih besar lagi! jawabnya, enteng.
Jawaban itu memang seperti keluar dari mulut Asmuni-Srimulat. Tapi, saya merenungkannya. Getir
jawaban itu, tapi saya kunyah lama-lama. Semakin dikunyah, memang semakin pahit rasanya. Seperti
pahitnya butrawali, buah yang dijadikan ukuran terpahit di Jawa. Lalu saya telan sedikit-sedikit lewat
tenggorokan saya yang sakit: beli sepatu yang lebih besar. Dan beli lagi yang lebih besar lagi.
Begitu pahitnya kalimat dokter itu, membuat pencernaan seperti mulas dan mau muntah. Lalu saya
muntahkan sekalian kalimat dokter itu: Dalam wujud muntah seperti darah. Merah rupanya, merah
rasanya. Di atas muntahan itu seperti terbaca peringatan keras: tidak ada obatnya, Dahlan, tidak ada
obatnya!
***
Saya masih minta butrawali satu lagi: Bagaimana dengan sirosis saya? Maksud saya apakah sudah
ada obat untuk memperbaiki sirosis? Atau, dalam bahasa orang awam, apakah ada jalan keluar untuk
membuat liver yang sudah mengeras di sana-sini itu kembali lunak? Dan jalan darah yang sudah
banyak yang buntu itu membuka lagi?
Dokter rupanya tidak punya banyak waktu. Juga tidak mau bertele-tele. Dia seperti menganggap
manusia ini benda yang tidak punya perasaan. Dokter melemparkan jawaban pendek, langsung,
tajam. Terasa seperti lemparan pisau yang langsung mengarah ke liver saya. Menghunjam dalam
sekali. Lalu menyayat-nyayatnya. Berdarah-darah. Pedih. Anda lakukan transplantasi saja. Mungkin
hidup Anda bisa lebih panjang lima tahun lagi, katanya. Sekarang Anda berumur 55 tahun. Tambah
lima tahun menjadi 60. Cukuplah, katanya.
OK. Lima tahun lagi, Dahlan, kau bisa dapat tambahan umur lima tahun lagi. Tidak boleh lebih. Bisa
sampai umur 60 cukuplah. OK.
Tapi, Kenapa setelah transplantasi hanya bisa hidup lima tahun? tanya dokter itu pada saya.
Sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu. Saya sudah oke. Tambah lima tahun sudah oke. Saya tidak
mau dia memberi saya sekarung butrawali. Tapi, dia jawab sendiri pertanyaan itu: karena liver
barunya nanti kemungkinan juga terkena hepatitis lagi, dan akan jadi sirosis lagi. Apalagi kalau saat
itu sudah ada kankernya, bisa jadi bibit kanker itu juga masuk lagi ke liver baru.
Berarti juga tidak ada jalan keluar untuk sirosis. Padahal, sirosis itu yang menyebabkan saluran
pencernaan bengkak dan membuat gelembung-gelembung darah. Berarti juga, dua-duanya tidak ada
45 by Moezhanks
jalan keluar. Tidak ada obatnya. Tidak ada alternatifnya. Tidak ada pula keajaiban yang bisa
diharapkan.
***
Dokter itu tidak kenal saya. Dia hanya tahu saya orang Surabaya. Dia tahu itu karena hampir semua
pasiennya mengatakan kenal saya. Dia lantas mengira saya kerja di perusahaan periklanan. Satu
perkiraan yang tidak terlalu salah. Ruang praktiknya memang penuh dengan pasien dan sebagian
besar orang Indonesia. Mungkin karena itu, di dinding pendek dekat meja resepsionis terdapat
banyak guntingan koran Indonesia yang memuat tentang ceramah dan wawancara dengan dokter
itu. Salah satunya adalah koran dari Grup Jawa Pos.
Saya sama sekali tidak menyangka akan berhubungan dengan kata transplantasi. Saya masih
menganggap kata-kata transplan dari dokter tersebut tidak terlalu meyakinkan. Saya tidak terlalu
memikirkannya. Apalagi, ancaman kematian tiba-tiba sementara sudah teratasi.
Karena badan normal-normal saja, saya juga hidup normal lagi. Artinya sibuk lagi, terbang-terbang
lagi. Hanya saya lebih care dibanding dulu. Saya terus memonitor darah saya di laboratorium. Dua
minggu sekali, setiap akan membuka hasil lab, perasaan saya seperti anak sekolah yang sedang
menerima rapor. Kadang saya membuka hasil lab itu seperti membuka kartu remi yang tertutup di
atas meja. Pelan-pelan, sedikit-sedikit, takut angka-angka merahnya terlihat sekaligus. (Bersambung)
Ganti Hati 17 Dokter Mengetuk Dada, Timbul Bunyi seperti Tong Kosong
11 September 2007
SAYA pernah membenci kaus kaki. Setiap pulang dari bepergian, selalu saja kaki saya seperti balon
panjang yang ditiup tidak sempurna. Besar atas bawahnya, dekok di tengahnya. Ini terjadi karena
karet di kaus kaki tersebut menekan kaki saya. Karena yang dijepit adalah daging kaki yang bengkak,
maka tidak gampang baliknya.
Pernah saya merasa penat. Yakni, saat habis makan malam dengan Wakil Presiden H M. Jusuf Kalla
dan lima menteri yang menyertainya. Waktu itu kami makan di satu restoran kecil, namun istimewa.
Saya tahu alamat restoran itu dari Rajimin, bos Hotel J.W. Marriott Surabaya yang juga konsul
kehormatan Hongaria. Restoran itu ada di pojok Jalan Tianjin, Shanghai. Semua masakannya terbuat
dari kepiting. Mulai supnya, makanan kecilnya, sampai makanan penutupnya. Enaknya luar biasa.
Pulang makan, saya mampir ke kios pijat kaki. Setelah melepas kaus kaki saya, si ahli refleksi kaget.
Karet kaus kakimu terlalu kuat. Lihat. Sampai membuat kakimu seperti ini, katanya sambil melihat
bagian kaki yang ambles. Dia pun, seperti saya, ternyata juga menyalahkan kaus kaki.
Padahal, yang salah adalah kakinya. Tepatnya, yang salah sebenarnya liver saya yang tidak lagi
mampu mengolah protein secara normal. Bahkan, kalau mau yang paling tepat lagi disalahkan adalah
saya sendiri: Mengapa tidak menjaga baik-baik liver saya? Dua tahun lamanya saya membenci kaus
kaki. Tapi juga tetap memerlukannya. Sebab, kalau tidak pakai kaus kaki, perut saya langsung
kembung.
46 by Moezhanks
Begitulah. Hubungan saya dengan kaus kaki menjadi sangat unik: Jenis hubungan yang disebut love
and hate -cinta dan benci. Dalam situasi terus membenci kaus kaki seperti itulah, saya terus
beraktivitas. Terbang berjam-jam. Berkendaraan beratus-ratus kilometer. Di dalam negeri. Di luar
negeri.
Sampai suatu saat saya punya urusan di kota Tianjin, 100 km dari Beijing. Di sini kebetulan ada
kenalan dokter ahli liver yang hebat. Namanya Prof dr Shao. Seorang wanita tepat seumur saya, yang
mengepalai bagian liver di suatu rumah sakit di sana. Dia dobel dokter. Dokter ilmu kedokteran Barat
dan dokter ilmu kedokteran Tiongkok. Dia juga doktor di spesialisasi liver, limpa, dan empedu. Saya
kepingin mencari pendapat pembanding. Benarkah tidak ada jalan keluar untuk problem bengkak
saya itu. Benarkah sirosis itu tidak bisa disembuhkan, minimal dihentikan proses memburuknya.
Tentu, saya diminta Prof Shao untuk menjalani pemeriksaan ulang. Mulai kencing, kotoran, darah,
liver, limpa, paru, sampai prostat. Juga menjalani pemeriksaan fisik yang dia lakukan sendiri. Yakni
pemeriksaan secara kedokteran Tiongkok. Dia ketuk-ketuk rongga dada saya dengan jarinya.
Timbullah suara seperti tong kosong. Ini pertanda liver Anda memang sudah mengerut, mengecil,
katanya. Di rongga dada Anda sudah mulai ada ruang kosongnya, tambahnya.
Setiap Prof Shao memeriksa fisik saya, selalu banyak dokter muda yang diajaknya. Dokter-dokter
muda itu menyimak dengan tekun apa saja dijelaskan Prof Shao sehubungan dengan kondisi badan
saya. Dia memang juga pengajar di fakultas kedokteran yang terkait dengan rumah sakit itu.
Lihat ini, kata Prof Shao kepada para dokter muda itu. Sambil berkata demikian, Prof Shao
menyingkap baju saya sampai dada saya terbuka. Lalu, dia memegang-megang payudara saya (eh,
kalau milik laki-laki apa juga disebut payudara?). Lihat payudara dia ini. Juga membesar. Seperti
payudaranya gadis yang menginjak remaja. Orang yang terkena sirosis akan selalu seperti ini,
ujarnya.
Kenapa Prof Shao mengumpamakan payudara saya seperti payudara gadis belia, karena proses
pembesaran kelenjar susu lelaki yang menderita sirosis memang mirip pertumbuhan payudara gadis
yang beranjak remaja. Yakni dimulai dengan rasa nyeri pada bagian putingnya saat tersentuh
sesuatu. Perlahan-lahan rasa nyeri itu berkurang, bersamaan dengan makin besarnya payudara.
Seperti umumnya gadis remaja, pembesaran payudara saya juga dimulai dari yang kiri, baru
kemudian yang kanan.
Jika liver saya tidak keburu ditransplan, payudara saya akan terus membesar menyerupai payudara
wanita. Dalam istilah medis, pembesaran payudara yang saya alami itu disebut dengan gynecomasty
atau ginekomastia.
Lama sekali dia memegang-megang payudara saya. Tapi, bayangan saya lebih kepada sirosis yang
mengancam nyawa saya. Tidak hanya hari itu. Berkali-kali Shao menjadikan payudara saya sebagai
alat peraga untuk mahasiswanya. Saya menerima saja. Bukan karena merasakan remasannya,
melainkan itu memang penting agar orang lain jangan sampai seperti saya.
Setelah selesai bagian dada, tangannya turun ke perut. Dia periksa perut saya dengan dua tangannya.
Dia pejamkan matanya seolah ingin merasakan benar apa yang berubah dari perut saya senti ke
senti. Dia goyang-goyang perut saya. Masih beruntung. Air belum masuk ke rongga perut, katanya.
Prof Shao memang sangat khawatir air yang sudah memenuhi seluruh badan saya juga sudah mulai
mengalir ke rongga perut. Sebab, memang begitulah proses yang akan terjadi berikutnya. Air akan
bocor dan menggenangi rongga perut. Karena itu, penderita sakit liver seperti saya akan berakhir
47 by Moezhanks
juga dengan keadaan perut membesar penuh air. Mula-mula perut akan seperti balon berisi air:
Ginjur-ginjur. Dalam istilah medis, keadaan itu disebut dengan ascites.
Semakin lama, jumlah air di perut akan semakin banyak dan memaksa perut untuk membesar.
Bersamaan dengan membesarnya perut, biasanya pembuluh-pembuluh darah di permukaan perut
juga ikut melebar sehingga tampak seperti sarang laba-laba, tapi warnanya merah. Sesuai dengan
tampilannya, para dokter menyebut pelebaran pembuluh darah itu dengan istilah spider veins.
Pada tahap berikutnya, perut yang besar itu mengeras. Saya sudah berkali-kali melihat perut orang
sakit liver seperti ini dan biasanya sudah akan meninggal kurang dari enam bulan. Begitu juga ibu
saya dulu. Satu pemandangan yang saya lihat ketika saya masih berumur 12 tahun dan terus hidup
sampai saya sendiri dalam posisi akan mengalaminya.
Saya sendiri beruntung karena sampai saat transplantasi, saya tidak mengalami yang disebut ascites
maupun spider veins itu.
Ini harus dicegah sedini mungkin, sebisa-bisanya, kata Shao kepada para dokter muda tersebut.
Tapi, itu pun sifatnya hanya usaha untuk buying time.
Dokter di Singapura berpendapat sama. Dia memberikan dua jalan: Meminum obat agar kencing
lancar dan meminta saya untuk tidak banyak minum. Dua-duanya saya jalani. Sampai-sampai saya
pernah merasa takut pada air minum. Setiap mau minum, selalu terbayang bahwa sebagian air itu
akan terus membuat badan saya bengkak. Sebagian lain akan membuat perut saya membesar, ginjur-
ginjur, dan akhirnya mengeras.
Pada awalnya, saya agak terhibur dengan pil pelancar kencing. Tapi, lama-lama satu pil tidak cukup
membuat kencing saya mengalir lancar. Harus dua pil. Ini pun lama-lama juga sudah kurang manjur.
Terpaksa, saya terus mengurangi minum. Beberapa bulan terakhir saya hanya berani minum satu
liter saja sehari. Ini karena kencing saya hanya sekitar 700 sampai 900 mililiter sehari semalam.
Di Tianjin, Prof Shao memberi saya obat Tiongkok yang sudah berwujud cairan infus. Tiap hari saya
diinfus dengan itu dan bengkak berkurang. Kencing lancar sekali. Tapi, kalau infus dihentikan, tetap
saja badan kembali bengkak. Shao menjelaskan mengapa demikian kepada para dokter muda -
beberapa di antara mereka dokter muda dalam ilmu kedokteran Tiongkok.
Ketika saya banyak tanya mengenai khasiat dan bahaya setiap obat yang diberikan kepada saya, Shao
bergegas menatap wajah-wajah dokter muda. Lihat sahabat saya ini. Banyak bertanya. Kelak, semua
pasien akan seperti ini. Kalian harus bisa menjelaskannya dengan sebaik-baiknya. Pasien memang
punya hak untuk tahu, ujar Shao sambil tangannya tetap di perut saya. Kadang tangannya mampir
lagi ke payudara saya. Ini karena di antara dokter muda hari itu, ada wajah baru yang belum diberi
tahu bagaimana payudara saya juga membesar seperti gadis menginjak remaja.
Lain hari, saya ingin Prof Shao ganti mengajar saya. Sebelum hari yang ditentukan itu tiba, saya beli
kertas putih lebar. Lalu, saya tempelkan di dinding kamar rumah sakit. Saya ingin dia menjelaskan
secara gamblang rangkaian penyakit saya. Saya juga beli spidol warna-warni untuk membedakan
gambar aliran darah masuk dan keluar. Dia tersenyum melihat persiapan saya hari itu. Wah, saya
harus mengajar berapa jam? tanyanya bergurau. Pipinya yang padat, hidungnya yang agak
mancung, badannya yang tinggi, dan rambutnya yang ikal membuat penampilannya sangat
aristokrat. Apalagi kalau berat badannya bisa turun satu kilo lagi. Satu jam 10.000 yuan ya?
guraunya ketika menyebut uang setara Rp 11 jutaan tersebut.
48 by Moezhanks
Di dinding itu dia menggambar isi tubuh saya. Menjelaskannya sangat detail dan terang-benderang.
Dia pandai sekali mengajar. Pasti banyak mahasiswanya yang senang. Saya juga belajar yang lain lagi:
bahasa. Sebab, bahasa Mandarin yang dia gunakan sangat teknis dengan logat yang sangat Tianjin.
Kini tahulah saya secara gamblang penyakit saya, terutama ancaman mati yang nyata di depan mata
saya. Ini tidak ada obatnya, katanya tegas. Muncul karakternya sebagai pemimpin. Kecuali
istirahat total, tambahnya. Obat hanya memegang peranan kurang dari 15 persen. Yang 85 persen
lebih adalah perilaku pasien sendiri, ujarnya.
Prof Shao melarang saya banyak jalan, gerak, dan terlalu lelah. Tidak boleh marah, kemrungsung, dan
berada dalam situasi tergesa-gesa. Padahal, salah satu hobi saya mengejar pesawat. Saya sering
tidak sabar menunggu jadwal pesawat. Kalau pesawat yang akan terbang ke suatu tujuan masih tiga-
empat jam lagi, biasanya saya cari pesawat ke jurusan yang lain dulu.
Saya juga tidak boleh merasa kesal. Tidak memikirkan banyak persoalan sekaligus. Tidak boleh mikir
yang berat-berat. Saya harus pensiun. Saya hanya boleh memikirkan badan saya sendiri. Tidak boleh
lagi mikir orang lain.
Ibaratnya, kata Prof Shao, Rumah tetangga terbakar pun, Anda jangan peduli. Tegas sekali
peringatannya. Terang sekali contohnya. Hanya mahasiswa yang bodoh yang tidak bisa
memahaminya. Dan saya ternyata termasuk mahasiswa-nya yang amat bodoh. (Bersambung)
Ganti Hati 18 Dokter Menegur Iba, Ingat Nasib Ayahnya yang Redaktur
12 September 2007
BUKAN. Bukan bodoh. Semua penjelasan Prof Shao mengenai bahayanya penyakit saya, saya
mengerti sepenuhnya. Terang-benderang penjelasannya. Saya pasti tidak bodoh. Hanya saya sadari,
saya agak ndablek. Dan dia tahu perilaku saya itu. Dia tahu keras kepala saya, sembrono saya.
Suatu saat, ketika saya kembali menemuinya setelah setengah bulan menghilang, dia lama
memandang saya. Ke mana saja Anda? Kami di sini prihatin sekali. Takut terjadi sesuatu pada Anda,
katanya dengan nada khawatir. Mungkin juga jengkel.
Saya baru datang dari Indonesia, jawab saya. Dia setengah tidak percaya, setengah gondok. Lho,
setelah dari sini dulu itu, Anda pulang ke Indonesia? Kenapa? Apa kata saya tentang kebakaran
rumah tetangga? ujarnya. Dia lantas menarik napas panjang sekali.
Dahlan, Anda ini sudah gawat. Saya tidak mau kehilangan Anda, katanya. Berkata begitu, dia
seperti setengah menegur setengah mengiba. Dia kembali menarik napas panjang sekali. Matanya
kelihatan berlinang. Dia keluarkan tisu di sakunya. Dia usap air matanya.
Beberapa hari kemudian, dia bercerita kepada saya mengapa sampai hampir menangis ketika
menasihati saya. Ternyata, dia ingat bapaknya. Bapaknya seorang redaktur surat kabar. Ibunya
seorang hakim terkemuka. Bapaknya terus menulis buku sepanjang malam. Lalu meninggal. Ternyata
karena sakit liver. Dia tidak tahu itu dan tidak memperhatikan itu. Padahal, dia dokter ahli liver.
Waktu itu, katanya, dia juga sedang belajar ekstrakeras selain kerja keras. Sebab, dia akan segera
dapat beasiswa untuk sekolah lagi di luar negeri. Tapi, semuanya gagal. Beasiswa tidak jadi. Ayahnya
pun pergi. Dia menangis lagi saat menceritakan itu.
49 by Moezhanks
Dia lantas ingin merawat saya semaksimal mungkin agar tidak seperti bapaknya. Saya sendiri juga
kepingin agar tidak seperti ibu saya. Dia akan sangat kecewa kalau saya sendiri tidak peduli dengan
badan saya. Apalagi dari hasil pemeriksaan total, dia lihat masih ada sedikit peluang. Hasil
laminating yang dilakukan di Singapura terhadap saluran pencernakan saya yang sudah penuh
varises sangat baik. Cukup untuk mengulur waktu beberapa bulan. Laminating itu kurang lebih bisa
bertahan setahun. Kalau toh ada tanda-tanda bengkak lagi, masih bisa dilaminating sekali lagi.
Prof Shao lebih prihatin pada kadar platelet atau trombosit saya yang tinggal 60. Angka minimal
untuk kadar trombosit seharusnya 150 (ini angka dalam standar laboratorium di Tiongkok). Di negara
lain, termasuk Indonesia, digunakan standar minimal 150.000. Normalnya 150.000 sampai 400.000
per milimeter kubik darah.
Melihat rendahnya kadar platelet saya, Prof Shao lantas berpikir keras mencari jalan untuk
menaikkan kadar platelet saya. Tapi, caranya tidak lewat injeksi karena hal itu hanya bisa bertahan
dua-tiga hari. Setelah itu, platelet akan turun lagi.
Mungkin saya akan mengecilkan limpa Anda, katanya. Limpa saya harus dipotong? Boleh dibilang
begitu. Namanya diembolisasi, ujarnya.
Dipotong seberapa banyak? Sekarang, limpa Anda sudah membesar tiga kali ukuran normal.
Mungkin dikurangi sepertiganya dulu, katanya.
Limpa dipotong? kata saya dalam hati. Saya minta waktu berpikir untuk memutuskannya.
Mengapa limpa harus dikecilkan?
Limpa adalah organ kecil -yang dalam keadaan normal hanya seukuran genggaman kita- di bawah iga
kiri. Tugasnya melawan infeksi, memproduksi sel darah merah dan darah putih tipe tertentu, serta
menyingkirkan sampah-sampah di pembuluh darah. Yang disebut sampah di pembuluh darah, antara
lain, adalah sel-sel darah yang rusak.
Seperti yang pernah saya sebutkan di tulisan terdahulu, aliran darah ke liver saya (baca: penderita
sirosis) tidak bisa lancar. Akibatnya, darah mengalir balik ke limpa. Untuk menampung limpahan itu,
limpa lantas membesarkan diri. Makin banyak darah yang harus ditampung, semakin besar pula
ukuran limpa.
Karena jumlahnya di luar batas normal, limpa pun memperlakukan sel-sel darah yang numpuk itu
sebagai sampah yang harus disingkirkan. Itu berarti sel-sel darah yang sehat pun ikut disingkirkan.
Bagi limpa, luberan sel darah yang berlimpah itu memang menyulitkan. Sebab, jika tidak
dihancurkan, sel-sel sehat dan rusak itu akan mengerak dan mengganggu fungsinya. Tapi, jika
dihancurkan semua, darah akan kekurangan sel darah merah, darah putih, dan platelet yang sehat.
Padahal, orang yang kekurangan sel darah merah akan mengalami anemia (kekurangan darah). Kalau
kekurangan darah putih, orang akan gampang terkena infeksi dan yang kekurangan platelet akan
mudah mengalami pendarahan. Tiga-tiganya bisa mengakibatkan kematian.
Oh, ya saya lupa menjelaskan bahwa sebenarnya, bukan hanya kadar platelet saya yang turun. Tapi
juga sel darah putih dan sel darah merah saya. Untuk menormalkan kadar sel-sel darah saya itulah,
Prof Shao memutuskan perlunya mengecilkan limpa saya.
50 by Moezhanks
Ini memang bukan langkah permanen. Sebab, selama liver saya sirosis, darah yang tidak bisa masuk
liver akan meluber dan menekan ke mana-mana, termasuk ke limpa. Artinya, setelah dipotong pun,
kelak limpa membesar lagi? Ya. Dan itu akan membuat pletelet juga turun lagi. Kalau tahap itu sudah
terjadi, limpa saya masih bisa dipotong lagi, sekali lagi.
Limpa memiliki tiga saluran darah masuk utama. Kalau salah satu saluran itu dimatikan, limpa akan
mati sepertiga. Mematikan salah satu di antara tiga saluran itulah, yang akan dilakukan Prof Shao.
Kelak, kalau limpa sudah membesar lagi, masih ada satu di antara dua saluran utama yang bisa
dimatikan lagi. Tentu pemotongan limpa itu tidak bisa dilakukan tiga kali karena sama artinya dengan
membuang limpa sama sekali. Tapi, dua tahap pemotongan limpa tersebut dianggap cukup untuk
mengulur waktu sampai lima tahun.
Saya tetap minta waktu memikirkannya. Saya kembali ke Indonesia lagi agar, antara lain, bisa mampir
ke Singapura. Saya ingin mendapatkan opini pembanding.
Saya harus kembali ke tanah air karena sudah terlanjur komit untuk mengatasi kelangkaan listrik di
Kaltim. Dari Kaltim-lah, saya memulai karir sehingga saya anggap Kaltim seperti daerah kelahiran
sendiri. Setamat SMA, saya memang ke Kaltim, ikut kakak sulung saya. Tujuan satu: agar bisa kuliah.
Di Jawa saya tidak mungkin bisa masuk universitas karena tidak punya biaya. Di Kaltim, masuk
univeristas masih gampang dan murah. Saya masuk Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel cabang
Samarinda. Kampusnya di sebuah rumah panggung di Jalan Panglima Batur IV. Sewaktu kuliah, saya
sering melihat ke bawah. Karena lantai papannya tidak cukup rapat, saya bisa menyaksikan apa yang
terjadi di kolong yang sering digenangi air. Sering ada suara krosak di kolong itu yang lebih menarik
perhatian saya daripada mata kuliah. Itulah suara biawak berkelahi. Biawak adalah binatang seperti
buaya, tapi hidup di darat. Sebagai tamatan aliyah, saya memang tidak mendapat ilmu baru dari
mata kuliah yang sudah saya pelajari semua di kelas satu SMA itu.
Tahun-tahun belakangan Kaltim mengalami krisis listrik. Pemadaman terjadi bergilir. Banyak
kampung miskin terbakar karena saat lampu mati, mereka harus menyalakan lilin. Nah, lilin itulah
yang sering mengakibatkan kebakaran. PLN tidak bisa banyak berbuat karena selalu rugi. Setahun
PLN Kaltim bisa rugi hampir setengah triliun rupiah (2005). Kaltim tidak bisa berharap banyak pada
PLN. Pembangkit-pembangkit listrik PLN sangat tidak efisien. Untuk menghasilkan satu watt,
diperlukan biaya Rp 2.000-an. Padahal, rakyat hanya dikenai tarif Rp 750. Kalau tarif listrik dinaikkan,
yang terjadi adalah demo. Jadi, sejak sebelum matahari terbit pun, PLN sudah tahu bahwa hari itu
perusahaannya akan rugi Rp 1.250 per watt.
Maka, saya meyakinkan pimpinan-pimpinan daerah di sana, mulai gubernur sampai DPRD, agar mau
menyisihkan sebagian anggaran untuk investasi di listrik. Membangun PLTU yang efisien, yang biaya
produksi listriknya hanya Rp 500 per watt. Kalau dijual Rp 750 per watt kepada masyarakat, PLN
langsung untung. Anggaran Kaltim yang besar karena sumber alamnya yang melimpah jangan habis
untuk kebutuhan konsumtif. Pemda setuju asal saya mau jadi direktur utama perusahaan daerah di
sana. Seperti yang saya lakukan di Jatim.
Proyek energi yang kelihatannya mulia itu ternyata juga memakan bukan hanya dana saya, tapi juga
energi saya. Dan, yang utama lagi memakan batin saya. Meski tujuannya begitu hebat, logikanya
begitu baik, dan hasilnya bagi PLN juga begitu nyata (dari perusahan rugi akan langsung jadi laba),
proses perizinannya ternyata sangat panjang, melelahkan, dan menjengkelkan. Dua tahun baru
beres. Padahal, saya kenal direksi PLN-nya, kenal menteri-menteri di bidangnya, kenal wakil presiden,
dan bahkan presidennya. Memang, saya tidak pernah memanfaatkan kedekatan saya itu untuk
urusan tersebut. Sudah jadi prinsip saya untuk tidak memanfaatkan keberadaan saya di pers untuk
menekan seseorang.
51 by Moezhanks
Pernah suatu saat saya diajak ke Tiongkok oleh Wapres Jusuf Kalla. Di atas pesawat, Wapres
mengumpulkan menteri dan direksi PLN untuk membahas kasus Kaltim itu. Ini bukan karena saya
mengadu, tapi karena Chairul Tanjung yang berinisiatif. Bos Bank Mega yang juga bos Trans TV itu
yang prihatin dengan keluhan saya. Ini harus selesai. Kalau Dahlan saja mengalami hal seperti ini,
bagaimana yang lain? katanya. Saya malu proyek sekecil itu saja sampai dibahas di forum yang
begitu tinggi. Tinggi level dan tinggi pula tempatnya. Di dalam pesawat yang berada 36.000 kaki di
atas permukaan laut.
Urusan kecil begini kok panjang sekali, ya, kata saya kepada Chairul Tanjung. Sebagian karena
malu, sebagian lagi sebagai ungkapan terima kasih atas inisiatifnya.
Ini memang rusan kecil bagi Anda. Tapi kalau tembok ini tidak dijebol, siapa yang mau masuk jadi
investor listrik, kata bos Bank Mega yang namanya meroket tahun-tahun terakhir ini. Saya saja
tidak mau. Saya baru mau masuk ke listrik kalau urusan ini sudah selesai, tambahnya.
Tentu sebenarnya juga bukan kecil bagi saya. Kecil yang saya maksud adalah dari sudut pandang
negara. Ini besar bagi saya, terutama risikonya. Risiko pada keuangan saya dan pada kesehatan saya.
Memang, saya akan dicatat sebagai penjebol tembok kebuntuan listrik itu. Namun, bisa jadi, kepala
saya juga pecah ketika membenturnya. Tembok tersebut terlalu tebal.
Memang ada juga salah saya. Saya terlalu terpengaruh suasana di Tiongkok. Ini gara-gara saya terlalu
sering ke negeri itu dan melihat bagaimana antusiasnya pemerintah kalau ada investor datang.
Bayangan saya juga begitu sewaktu saya memiliki semangat untuk ikut mengatasi krisis listrik di
Kaltim. Pasti pemerintah di segala lapisan akan senang. Kalau proyek tersebut berhasil, kan sama
artinya dengan menyumbang Rp 500 miliar tiap tahun kepada negara? Bayangan saya pemerintah
akan membuat segalanya lancar.
Kesalahan kedua saya, ketika setahun mengurus izin ini tidak berhasil (karena sejumlah peraturan
yang tidak mengizinkan PLN menandatangani kontrak jangka panjang), saya setuju untuk kompromi.
Yakni cukup mendapatkan kontrak tahunan saja dari PLN. Kalau kontrak tahunan, PLN tidak
melanggar peraturan. Apalagi ada bank yang bersedia memberikan pinjaman meski kontraknya
hanya tahunan. Ternyata, ujung-ujungnya, bank tetap mensyaratkan kontrak jangka panjang. Saya
memahami aturan bank seperti itu. Saya juga memahami PLN tidak boleh melanggar aturan. Yang
tidak saya pahami adalah mengapa ada peraturan yang menghambat kemajuan seperti itu. Kalau toh
sudah telanjur ada karena masa lalu yang kelam, mengapa tidak segera dicabut.
Maka, lagi-lagi kami harus mengurus izin kontrak panjang dengan PLN. Tepatnya izin dari tiga
lembaga, masing-masing dengan birokrasinya sendiri: kementerian energi, kementerian BUMN, dan
PLN. Di kementerian energi saya tidak punya masalah. Di PLN hanya sedikit masalah. Tapi, saya buntu
di kantor menteri BUMN. Padahal, saya kenal Menteri Soegiharto. Bahkan, dia juga ikut dalam rapat
tingkat tinggi yang benar-benar tinggi itu.
Persoalan tersebut membuat saya harus mengabaikan peringatan keras Prof Shao bahwa saya tidak
boleh terbang, tidak boleh lelah, tidak boleh mikir, tidak boleh marah, tidak boleh kesal. Saya ingat
kata-kata Prof Shao bahwa walau terjadi kebakaran di rumah tetangga pun, saya tidak boleh peduli.
Tapi, yang kebakaran ini bukan rumah tetangga. Rumah saya sendiri: Kaltim. Juga rumah besar saya:
Indonesia. Indonesia yang begitu rumit peraturannya.
Saya harus pulang ke Indonesia untuk terus mengurus semua itu. Saya menyesal telah berinisiatif
mengatasi kelangkaan listrik di Kaltim tersebut. Menyesal luar biasa. Tapi sudah tidak bisa mundur
lagi. Meski kondisi badan saya sudah sedemikian parah, saya tidak bisa lari dari tanggung jawab itu.
52 by Moezhanks
Tidak pantas saya sebutkan di sini apa usaha yang saya lakukan untuk mengatasi kebuntuan di kantor
(Soegiharto, sebelum dicopot) menteri BUMN. Yang penting, akhirnya sang menteri mengeluarkan
surat persetujuan. Sebuah persetujuan yang sudah sangat mahal; bukan saja karena prosesnya, tapi
juga akibatnya. Lambatnya proses ini telah membuat biaya investasi membengkak luar biasa.
Tapi, ini sudah bukan lagi soal untung rugi. Ini soal krisis listrik yang harus diatasi. Tiga-empat bulan
lagi (akhir tahun ini), insya Allah Kaltim mulai bisa mengatasi kelangkaan listrik. Liver baru saya
mungkin juga akan ikut berbinar-binar. Saya dengar setelah soal Kaltim itu selesai, berturut-turut
banyak izin yang ditandatangani PLN untuk investor-investor lain.
Dalam perjalanan pulang untuk mengurus listrik itu, saya bisa mampir ke Singapura. Saya ingin
bertanya ke dokter di Singapura, benarkah limpa saya harus dipotong? Mengapa dokter di Singapura
sama sekali tidak pernah menyinggung soal limpa? (Bersambung)
Ganti Hati 19 Waktunya Tiba, ketika Menggigit Pisang Berlumur Darah
13 September 2007
SETUJUKAH dokter Singapura dengan pendapat Prof Shao dari Tianjin, Tiongkok, tentang rencana
pemotongan limpa saya?
Kalau tujuannya untuk menaikkan platelet, memang OK, katanya. Dia juga setuju kalau sampai
platelet turun terus, ketahanan tubuh saya kian habis dan saya akan mengalami perdarahan dari
setiap lubang yang saya miliki. Ini juga sama dengan penjelasan Prof Shao. Waktu itu saya juga tanya
ke Prof Shao: Pada angka berapa perdarahan itu akan terjadi? Katakanlah platelet saya (yang
seharusnya minimal 150) sekarang tinggal 60. Dan masih akan turun terus.
Setiap orang tidak sama, jawab dr Shao. Ada yang pada angka 60 seperti Anda sekarang sudah
perdarahan, tambahnya. Tapi, ada juga yang baru perdarahan ketika platelet-nya sudah 50,
katanya lagi. Kapan platelet saya akan turun sampai angka 50? Berapa minggu lagi? Tidak bisa
diperkirakan begitu. Bisa saja tiba-tiba drop jadi 50 atau bahkan di bawahnya, katanya. Perhatikan
saja lubang hidung Anda. Atau telinga. Atau kalau sedang sikat gigi, tambahnya.
Meski setuju platelet saya harus dinaikkan, dokter Singapura ternyata tidak setuju kalau itu dilakukan
dengan cara memotong limpa. Dibuang saja sekalian, ujarnya. Uh! Dalam istilah medis,
pembuangan limpa itu disebut dengan splenectomy.
Mendengar kata limpa dipotong saja, saya sudah tidak senang. Ini malah disuruh membuang.
Tidak apa-apa. Orang bisa hidup tanpa limpa, tambah dokter di Singapura itu. Memang, orang bisa
hidup tanpa limpa. Tetapi, kan lantas tidak terlalu tahan terhadap infeksi. Makanya saya tanya ke
dokter di Singapura itu. Fungsi limpanya bagaimana? Diganti obat, jawabnya.
Pemotongan limpa, menurut dokter Singapura itu, sangat berbahaya. Bisa timbul infeksi di tiga
tempat yang akan mengakibatkan kematian. Yakni, infeksi di selaput dada, infeksi di tempat limpa
dipotong. Singapura sudah lama tidak mau lagi memotong limpa. Sudah lebih 15 tahun, katanya.
Membuang limpa sama sekali malah lebih safe, tambahnya.
53 by Moezhanks
Penjelasannya, meski singkat, sangat masuk akal. Saya bisa menerima sepenuhnya. Tapi, saya juga
berpikir: Masak Prof Shao tidak tahu itu. Tidak mungkin, rasanya. Maka saya tidak begitu saja
mengambil keputusan membuang limpa. Nanti, dalam kesempatan saya ke Tiongkok lagi, saya akan
menemui Prof Shao untuk menguji-nya. Itu, tentu, kalau masih sempat.
***
Saya memang harus ke Tiongkok lagi. Ada beberapa urusan. Urusan Jawa Pos sendiri, urusan pabrik
steel conveyor belt-nya perusahaan daerah Jatim, urusan perusahaan daerah Kaltim, dan urusan
menepati janji. Saya sudah berjanji kepada Dirjen minyak dan gas yang baru untuk mengajaknya ke
Tiongkok. Untuk melihat bagaimana negara itu bekerja keras mencukupi kebutuhan minyak.
Sudah lama saya gemas, mengapa Indonesia sebagai negara penghasil minyak justru menderita
ketika harga minyak dunia membubung? Sampai harus menaikkan harga BBM yang menghebohkan
itu? Mengapa tidak justru menikmatinya? Ini semua karena produksi minyak Indonesia terus
menurun dari tahun ke tahun. Terakhir, pada 2005, sudah berada di bawah satu juta barel per hari.
Sudah sangat tidak layak menjadi anggota OPEC.
Kebetulan Dirjen Migas yang baru juga berambisi mengatasi hal itu. Saya ingin membantunya meski
saya hanyalah rakyat biasa. Saya sering ke ladang minyak di Tiongkok. Saya melihat betapa
semangatnya orang di Daqing (Provinsi Heilongjiang) dan di Panjin (Provinsi Liaoning) menggali
minyak. Padahal, sumur-sumur minyak di sana lebih dalam dan iklimnya juga lebih beku. Minyak
yang didapat pun lebih jelek dibanding minyak mentah Indonesia. Tapi, semangat untuk menggalinya
luar biasa. Dengan alat-alat yang lebih sederhana mereka bisa menghasilkan minyak lebih banyak.
Hari itu kebetulan Dirjen Migas punya acara di Shanghai. Maka, saya ingin mengajaknya mampir ke
Liaoning dan Heilongjiang. Saya janjian bertemu di Kota Dalian. Di bandara kota itu pukul 24.00, yakni
saat pesawatnya mendarat dari Shanghai.
Paginya saya masih di kota Tianjin, untuk bertemu Prof Shao. Kepada ahli penyakit liver ini langsung
saja saya semprotkan pertanyaan berdasar pendapat dokter di Singapura. Di Singapura dokter tidak
mau lagi memotong limpa. Di sana cara itu sudah dianggap kuno, kata saya. Siapa bilang itu kuno?
sergahnya. Suaranya meninggi. Justru membuang limpa itu yang kuno sekali. Itu cara 60 tahun yang
lalu, katanya.
Ketika saya tanya soal risiko infeksi di tiga tempat yang sangat membahayakan, dia tidak mengelak.
Tentu saya tahu. Tapi, juga tahu cara menghindarinya, katanya. Jawabannya tegas, mantap, dan
percaya diri. Tinggal saya yang harus memilih lebih percaya kepada yang mana. Dua-duanya masuk
akal. Dua-duanya bisa diterima secara medis. Ini soal pilihan. Giliran saya sendiri yang harus
memutuskan.
Segera saya gunakan ilmu mantiq saya: sudah berapa kali Prof Shao melakukan pemotongan limpa?
Sudah banyak kali, katanya. Banyak itu berapa? Berapa puluh? tanya saya lagi. Sudah lebih dari
500, jawabnya mantap. Ya, sudah. Saya pilih dipotong saja. Biar berkurang, tapi masih ada sisanya.
Saya ingat usul-fikh ahli sunnah wal jamaah: Sesuatu yang tidak bisa dipakai semua, jangan dibuang
semua.
Maka saya pun memutuskan akan titip nasib ke Prof Shao. Tapi, sore itu saya harus ke Dalian, karena
tengah malam nanti harus menjemput Dirjen Migas di bandara kota itu. Penerbangan dari Tianjin ke
Dalian memakan waktu satu jam. Saya minta izin ke Dalian dulu. Rumah besar saya, Indonesia, akan
54 by Moezhanks
terbakar, gurau saya kepada Prof Shao. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Menarik panjang
napasnya.
Tiba di Dalian sudah agak malam. Sudah waktunya makan malam. Saat makan malam itulah saya
kaget. Ketika saya menggigit pisang, sisa pisang itu berlumur darah! This is the time! Wo de shi jian
dao le. Tibalah sudah waktu saya, kata saya dalam hati. Saya menundukkan kepala sesaat.
Memikirkan apa yang harus saya perbuat.
Saya lari ke toilet. Berkumur. Merah airnya. Berkumur lagi dan berkumur lagi. Ah, hilang merahnya.
Satu jam kemudian saya berkumur lagi, tidak ada darahnya.
Saya pun bertekad tetap memenuhi komitmen saya. Saat menyalami kedatangan Dirjen Migas, saya
tidak menceritakan apa yang terjadi atas diri saya. Saya terus tersenyum dan memberinya semangat
untuk terus membangun dunia minyak. Saya tahu tekadnya kuat sekali untuk memperbaiki
perminyakan Indonesia, dan karena itu saya antusias membantunya.
Pagi-pagi kami bermobil sejauh 400 km ke Panjin. Sorenya bermobil lagi ke kota Shenyang.
Malamnya terbang ke kota Harbin. Pagi-pagi bermobil 500 kilometer ke kota Daqing. Dirjen serius
sekali melihat semua itu. Mereka ini benar-benar seperti koret-koret (mengais sisa-sisa) minyak,
katanya. Malam hari balik lagi ke Harbin. Pagi-pagi Dirjen kembali ke Beijing untuk balik ke Indonesia.
Saya terbang ke Tianjin untuk pemotongan limpa saya.
Lakukan sekarang! kata saya begitu bertemu Prof Shao.
Apa? tanyanya.
Potong saja limpa saya, kata saya.
Mengapa? tanyanya lagi, kali ini seperti tidak percaya. Juga gondoknya kepada saya meningkat. Dia
sudah sering mengancam untuk tidak mau lagi mengurus saya. Wo bu guan ni, katanya.
Tapi, saya tahu dia baik. Ujung-ujungnya luluh juga hatinya.
Tidak bisa sekarang. Harus ada persetujuan istri Anda, katanya.
Saya bisa usahakan sekarang, tegas saya.
Saya lantas menelepon istri saya. Kalau nanti ada teman Jawa Pos membawa formulir ke rumah,
tanda tangani saja. Formulirnya dalam bahasa Mandarin, kita nggak tahu maksudnya, kata saya. Istri
saya tidak bertanya banyak. Saya akan operasi kecil, kata saya tidak ingin menggundahkan hatinya.
Saya memang sudah beberapa kali operasi kecil. Yakni, untuk mengeluarkan benjolan yang ada di
bawah kulit di beberapa bagian di tubuh saya. Saya langsung minta formulir persetujuan operasi dan
memfaksimilikan ke Surabaya. Setelah ditandatangani istri saya, dikirim balik ke Tianjin.
Ini persetujuan istri saya, kata saya.
Ini apa? tanyanya melihat tanda tangan istri saya yang tidak lazim untuk mata orang Tiongkok.
Itu tanda tangan istri saya. Bentuknya tidak penting. Tapi, doa di balik tekenan itu yang penting,
kata saya ingin setengah memuji istri saya, setengah melucu.
Ternyata Prof Shao tidak tersenyum. Saya lupa kalau dia komunis, yang tidak tahu apa itu doa.
Dengan datangnya persetujuan istri saya, saya mengira operasi pemotongan limpa bisa dilakukan
hari itu, atau besoknya. Ternyata harus tiga hari kemudian. Mengapa? Karena ruang operasinya baru
saja dirombak. Hari itu baru selesai. Dan, saya tidak boleh menjadi pasien pertama yang
menggunakannya. Jadi, tidak bisa tanggal 6 Oktober 2006. Harus 8 Oktober.
55 by Moezhanks
Padahal, saya ingin operasi itu dilakukan pada 6 Oktober. Lalu, sebagaimana dijelaskan Prof Shao,
sebulan kemudian saya sudah akan bisa keluar dari rumah sakit. Setelah operasi, 8 jam saya tidak
boleh bergerak. Lalu seminggu tidak boleh turun dari tempat tidur. Tiga minggu berikutnya harus
tetap di rumah sakit.
Saya ingin operasi itu dilakukan tanggal 6 karena pada tanggal 7 bulan berikutnya ada acara penting
di Indonesia: menandatangani persetujuan proyek PLTU Kaltim dan peresmian gedung Expo Jatim.
Maksud saya, tanggal 5 sebulan kemudian saya sudah bisa keluar dari rumah sakit. Langsung ke
bandara untuk pulang ke Surabaya. Tanggal 7 sudah menandatangani perjanjian PLTU Kaltim dengan
konsorsium bank dan meresmikan gedung Expo Jatim. Saya tidak pernah membayangkan operasi
pemotongan limpa ini akan gagal.
Namun, dengan mundurnya tanggal operasi, waktu recovery saya tidak cukup. Itulah sebabnya, saat
upacara tersebut saya terlihat pucat. Keringat dingin memang memenuhi badan saya. Hari itu, ketika
saya di panggung, seharusnya masih di atas tempat tidur di rumah sakit di Tianjin. (Bersambung)
Ganti Hati 20 Baru Tahu Mengapa Dokter Singapura Pilih Potong Limpa Saya
14 September 2007
ANCAMAN infeksi yang serius setelah pemotongan (embolisasi) limpa, memang tidak dianggap
enteng oleh Prof Shao. Apalagi, suhu badan saya, pada hari-hari pertama, naik sangat tinggi: lebih
dari 38 derajat Celsius. Tapi, semua bisa diatasi. Seminggu kemudian, suhu badan saya kembali
normal dan stabil. Rasa sakit setelah pemotongan itu lebih hebat daripada transplantasi liver. Juga
lebih lama: seminggu penuh.
Selama seminggu itu pula Prof Shao dalam ketegangan. Sudah lima hari saya belum pulang. Saya
tidur di rumah sakit, di kantor saya. Menunggui Anda, ujar dr Shao. Sekarang Anda sudah stabil.
Saya mau istirahat, pamitnya. Penampilannya memang agak lecek. Tidak secantik ketika dalam
keadaan segar.
Kalau sebelum operasi saya lihat dia sering berlinang air mata, kini ganti saya yang amat terharu.
Saya minta maaf berkali-kali karena telah membuatnya tidak bisa pulang. Saya juga tabik tak henti-
hentinya. Tabik dengan cara Tiongkok. Ini untuk mewakili ucapan terima kasih saya kepadanya yang
tidak terhingga. Begitu besar perhatiannya. Begitu tinggi tanggung jawabnya.
Saat itulah saya mengerti mengapa banyak dokter di Singapura memilih membuang saja limpa saya
daripada memotongnya. Perawatan setelah pemotongan ternyata begitu sulit. Kebalikannya,
perawatan setelah pembuangan limpa akan lebih mudah. Bahwa setelah limpa dibuang akan
merepotkan pasien seumur hidup, itu kan sudah di luar tangung jawab dokter yang membuangnya.
Mana ada dokter di negara lain yang mau menunggui pasien sampai lima hari tidak pulang, kata
saya dalam hati.
Tiga hari setelah libur, barulah Prof Shao menemui saya lagi di kamar rumah sakit. Wajahnya masih
tidak terlalu cerah, seperti orang sakit. Matanya yang biasanya tajam, kali ini agak memerah. Bulu
matanya yang hitam seperti bendera setengah tiang. Tahu sedang saya perhatikan, dia merasa risi.
Dua hari saya flu, katanya segera. Semua gara-gara Anda, tambahnya.
56 by Moezhanks
Sekali lagi saya minta maaf berulang-ulang. Ternyata saya telah menyiksanya. Rupanya, begitu
kondisi saya stabil, ketegangan lima hari yang mencekam dirinya hilang. Bersamaan dengan itu flu
datang menyerang.
Jadi, tiga hari di rumah tidak bisa menikmati, katanya seperti ingin bergurau. Guraunya selalu
ringan-ringan saja. Tidak pernah dikemukakan dengan lepas. Tertutupi oleh jabatan tingginya dan
mungkin juga kekomunisannya.
Tiga minggu kemudian, badan saya sudah terasa enak. Lalu ingat lagi acara PLTU Kaltim dan gedung
Expo Jatim yang sudah menanti. Saya tahu tidak akan diizinkan pulang. Tapi, saya harus pulang. Ini
soal kebakaran rumah memang, tapi yang terbakar rumah sendiri, bukan rumah tetangga.
Pagi-pagi Guo Qiang, anak saudara angkat saya Mr Guo, saya minta menerjemahkan surat yang saya
buat. Guo Qiang saya minta menuliskannya dalam bahasa Mandarin yang indah. Maksud saya yang
akan bisa meluluhkan hati Prof Shao. Kemampuan bahasa Mandarin saya belum sampai pada tingkat
untuk bisa dipakai merayu.
Surat itu saya mulai dengan pujian. Mungkin, Andalah dokter terbaik di muka bumi ini, tulis saya di
pembukaan surat. Setengah memuji, setengah memompa dadanya. Mana ada dokter yang mau
lima hari tidak pulang untuk menunggui pasiennya? saya menunjukkan fakta. Saya tidak mengada-
ada, meski fakta itu memang saya pakai merayu.
Bait kedua saya manfaatkan untuk ucapan terima kasih. Lalu minta maaf. Baru pada bait ketiga saya
memperkosa-nya. Yakni, memasukkan kalimat-kalimat merendah, tapi juga berisi memaksanya agar
mengizinkan saya pulang. Saya juga mencoba lagi kemampuan ilmu mantiq yang saya pelajari di
aliyah dulu.
Tiba-tiba dia masuk kamar saya dengan menggenggam surat itu. Wajahnya merah serius. Langkahnya
cepat. Beberapa dokter muda yang mengikutinya sampai agak tertinggal di belakang. Pagi itu, yang
mestinya melakukan kegiatan rutin, langsung diubah untuk menemui saya. Dari ekspresi wajah dan
body language-nya, Prof Shao seperti tidak membaca alinea pertama. Rayuan saya ternyata telah
diabaikannya. Guru besar ternama di bidang liver itu seperti langsung membaca alinea yang
memperkosa-nya.
Bertatapan dengan saya, dia tidak langsung berkata-kata. Dia menatap wajah saya dengan tatapan
multi-arti: marah, kesal, dan gondok bercampur jadi satu. Mudah-mudahan masih terselip raya
sayang di dalam campuran itu. Lama dia tidak berkata-kata. Sampai-sampai banyak dokter muda
yang menunduk. Setelah menarik napas panjang, barulah dia mengucapkan kalimat yang bernada
putus asa. Sudah saya duga, katanya.
Bukankah indikasi-indikasi dalam darah saya sudah menunjukkan bahwa saya kuat terbang jauh?
kata saya memecah kebekuan. Lalu saya menunjukkan hasil lab. HB saya 13, SGPT-OT saya
mendekati normal, Plt saya sudah 120, tekanan darah juga normal, kata saya.
Prof Shao seperti kian gondok. Mungkin merasa kok saya seperti sok tahu kedokteran. Semua itu
benar, jawabnya. Tapi, ada satu data yang saya sembunyikan. HBV-DNA Anda masih 15 juta.
Padahal, seharusnya di bawah 100 saja, katanya.
Saya terpojok. Tidak menduga sama sekali dia merahasiakan itu dari saya. Bahkan, saya tidak tahu
apa hubungannya antara sakit saya dan HBV-DNA. Kami terdiam lama. Saya lihat Prof Shao mulai
menitikkan air mata. Melihat itu, dokter-dokter muda yang menyertainya menyerahkan tisu
57 by Moezhanks
kepadanya. Mata saya juga mulai berlinang. Saya dalam posisi sulit. Saya terjepit antara keharuan
dan romantisme di satu pihak dengan rasa tanggung jawab di pihak lain. Tanggung jawab yang juga
tidak kecil. Tanggung jawab dan risiko sebagai pimpinan. Tanggung jawab kepada rakyat Kaltim dan
Perusda Jatim. Lalu muncullah keteguhan dalam hati saya untuk lebih mementingkan tanggung
jawab itu.
Maka, saya putuskan untuk berbuat ini di depan Prof Shao. Turun dari tempat tidur dan ingin
bergegas mencium kakinya. Ini sebagai tanda bahwa saya minta maaf yang dalam, tapi sekaligus
minta dengan sangat agar diperbolehkan pulang. Dia tahu saya tidak pura-pura. Saya sudah hampir
menubruk kakinya. Prof Shao bergegas mengangkat kepala saya. Dia menahan tangis. Robert Lai juga
mengusap-usap matanya. Demikian juga istri saya.
Lalu Prof Shao menarik napas panjang. Ya, sudah. Tidak bisa dicegah. Saya akan izinkan. Tapi, obat
yang saya siapkan nanti harus diminum, katanya melemah. Kini ganti saya yang lebih banyak
menitikkan air mata.
Besok paginya, dari rumah sakit saya langsung ke bandara. Saya pakai kursi roda selama dalam
perjalanan pulang. Dengan diungkapkannya data soal kadar HBV-DNA saya, ternyata saya belum
prima. Saya harus lebih hati-hati.
***
Kian hari kondisi saya kian baik. HBV-DNA saya juga menurun drastis. Seminggu kemudian sudah
menjadi 1,5 juta. Sebulan kemudian sudah normal.
Kini saya sudah terbebas dari ancaman tiba-tiba meninggal. Juga sudah terhindar dari ancaman tiba-
tiba perdarahan dari lubang-lubang tubuh saya. Apalagi, sebelum potong-limpa itu saya juga sudah
dua kali melakukan TACE di Singapura. Yakni, mengusahakan pembunuhan atas dua kanker liver saya
dengan cara dimasuki alat pembunuh lewat selangkangan saya.
Saya tahu semua itu tidak menyelesaikan persoalan. Sakit saya sudah terlewat parah. Semua itu
hanya usaha untuk ulur-waktu, buying-time. Tapi, setidaknya saya kini punya kesempatan beberapa
bulan untuk memikirkan cara terbaik mengatasi sirosis-kanker saya secara permanen. Termasuk
mempertimbangkan untuk transplantasi. (Bersambung)
Ganti Hati 21 Yang Pro dan Yang Anti-Transplan Bertinju Sengit dalam Pikiran
15 September 2007
KALAU saja saya dulu peduli sedikit dengan badan saya, sebenarnya masih ada jalan agar terhindar
dari transplantasi. Juga terhindar dari potong-limpa. Katakanlah suntikan interveron yang saya jalani
sampai 70 kali (setiap dua hari sekali) itu tidak berhasil memingsankan virus hepatitis B saya, tapi
belakangan sebenarnya keluar obat baru yang harus diminum tiap hari. Agar virus yang tidak
mungkin lagi dikeluarkan dari liver itu tidur nyenyak saja di dalam liver. Bangun-nya virus
hepatitis B akan langsung menyerang liver hingga kelak jadi sirosis.
Kalau toh obat itu juga tidak berhasil, masih ada obat lain yang lebih mahal. Nama generik obat itu
Octreotide (karena saya tak boleh menyebut nama obatnya). Obat tersebut harus disuntikkan tiap
58 by Moezhanks
dua hari sekali selama sembilan bulan. Harga obatnya saja, untuk sekali suntik, sekitar Rp 1,1 juta.
Selain Octreotide, masih ada satu obat baru lagi yang juga harus disuntikkan ke saya selama sembilan
bulan berturut-turut. Nama generiknya Thymalfasin atau Thymosin Alpha-1. Yang ini nyuntiknya
sebulan sekali.
Antara satu dokter dengan lainnya memang masih berbeda pendapat mengenai keampuhan obat-
obat itu. Tapi, bagi pasien yang ingin sembuh dan punya uang, pasti tergoda untuk mencobanya.
Sayang, saya tahunya sudah sangat terlambat. Baru dua tahun lalu saya mendapatkan informasi
tentang obat-obat itu. Yang Anticavier saya ketahui dari dokter di Singapura. Sedang dua obat yang
lain saya ketahui dari Prof Shao. Semua saya ketahui setelah liver saya menjadi sirosis. Dan bahkan
ketika sirosis saya sudah berkembang ke kanker. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Karena itu, meski telat, saya tetap memakai obat-obat tersebut. Setidaknya, bisa membantu saya
buying time. Mengolor waktu. Untuk memberikan kesempatan bagi saya memikirkan harus
melakukan apa yang lebih mendasar. Termasuk mulai mempertimbangkan kata yang mengerikan itu:
transplantasi liver.
Waktu itu, kata transplantasi sebenarnya masih jauh dari pikiran. Masak saya sampai harus
melakukan itu? Masak saya separah itu? Masak tidak ada jalan lain? Masak tidak akan ada keajaiban?
Masak tidak ada obat alternatif? Masak tidak ada dukun atau kiai yang linuwih (punya ilmu lebih)?
Tapi, saya harus tetap rasional. Tetap menggunakan pemberian Tuhan yang sangat berharga itu:
otak. Banyak teman menganjurkan juga untuk pindah ke jalur alternatif. Ke obat tradisional atau ke
kekuatan supranatural. Baik yang kejawen maupun yang dibungkus religius. Siapa tahu ada rekayasa
Tuhan di situ, kata teman saya.
Rekayasa Tuhan? Apakah Tuhan punya hobi merekayasa? Saya lebih percaya bahwa Tuhan akan
konsisten dengan sunatullah-Nya. Termasuk sunatullah bahwa kalau tidak melakukan imunisasi
hepatitis, dia akan punya kemungkinan terjangkit hepatitis. Kalau sudah kena hepatitis, pasti akan
mengarah ke sirosis. Dan kalau sudah sirosis, pasti akan menjadi kanker.
Karena itu, kosa kata transplan sudah mulai masuk di bawah sadar. Meski bentuknya masih
pertanyaan masak harus sampai transplan?, tapi itu juga berarti secara tidak sadar kata transplan
sudah mulai masuk dalam proses internalisasi ke pikiran saya. Satu proses awal dalam sebuah
perjalanan spiritual untuk sampai pada kata akhir: siap transplan.
Kalau persoalannya hanya sirosis (sirosis kok dibilang hanya), transplantasi masih bisa ditunda.
Meski sirosis tidak bisa disembuhkan, tapi mungkin masih bisa diperlambat.
Begitu pula kalau masalahnya hanya kanker (kanker kok juga dibilang hanya). Sebab, masih ada tiga
cara lain untuk mengatasinya, selain kemoterapi. Yakni, dengan memotong bagian yang terkena
kanker, di-RFA (radio frequency ablation) atau di-TACE (trans arterial chemoembolization).
Masalahnya, liver saya sudah dikeroyok sirosis dan kanker, sehingga tidak mudah untuk mengatasi
kankernya. Misalnya, mau dipotong bagian yang ada kankernya. Itu tidak mungkin karena sirosis
membuat permukaan liver saya mengeras. Permukaan liver yang mengeras itu, kalau dipotong, akan
menyebabkan pendarahan hebat yang bisa membunuh saya. Pendarahan di liver sangat tidak mudah
untuk dihentikan, sekalipun oleh dokter yang paling pintar.
Begitu pula kalau mau di-RFA atau dibakar dengan energi panas. Sebab, untuk membakar
(mengablasi) sel kanker saya, dokter harus memasukkan sejenis metal berbentuk kail yang punya
59 by Moezhanks
beberapa mata kail. Kail itu ditembuskan ke dalam liver melalui perut. Cara itu tentu sangat
membahayakan saya karena mata kail tersebut harus lebih dulu menjebol permukaan liver saya,
sebelum masuk ke sel kanker. Tindakan itu jelas bisa menyebabkan liver mengalami pendarahan.
Karena itu, diputuskanlah untuk membunuh kanker saya dengan metode TACE. Cara itu pada
prinsipnya sama dengan kemoterapi. Bedanya, obat kemonya tidak diinfuskan seperti umumnya
kemoterapi, melainkan diinjeksikan langsung ke sel kankernya melalui selang kecil panjang (kateter)
yang dimasukkan melalui pembuluh darah besar di pangkal paha (arteri femoral).
Dengan bantuan fluoroscopy, sejenis sinar rontgen, kateter itu lantas didorong masuk sampai ke
arteri (pembuluh darah yang membawa darah bersih dan sari makanan dari jantung) yang di hati.
Setelah obat kemonya menembus sasaran, dokter lantas memasukkan lagi obat lain, melalui kateter
yang sama, untuk memblokir cabang-cabang arteri di liver yang melewati sel kanker saya. Ini
perlunya untuk menutup akses makanan ke sel-sel kanker itu. Dengan begitu, diharapkan sel-sel
kanker saya akan kelaparan dan tak lama kemudian mati.
Tindakan medis tersebut memakan waktu kurang lebih dua jam. Itu sudah termasuk mencabut
kateter di pangkal paha saya dan membalut kuat-kuat bekas sayatan yang di paha. Selama hampir
semalam saya tidak boleh turun ranjang karena khawatir luka sayatan itu terbuka, sehingga terjadi
pendarahan. Kalau itu terjadi, akibatnya bisa fatal karena sayatan tersebut menembus sampai ke
pembuluh darah besar di paha.
Jadi, kalau problemnya hanya sirosis dan kanker (Huh! Sirosis dan kanker kok masih dibilang
hanya), transplantasi juga masih bisa ditunda dengan cara di atas.
Namun, persoalannya, akibat sirosis itu, bagian-bagian tubuh saya yang lain ikut rusak dan bisa saja
jadi penyebab kematian yang lebih besar. Bahkan, kerusakan pada bagian tubuh yang masih baik
akan terus terjadi. Kalau sampai tahun lalu, yang sudah ikutan rusak adalah saluran pencernaan,
empedu, dan limpa saya. Kalau saya biarkan, barangkali ginjal, selaput perut, jantung, dan paru saya
juga segera rusak.
Limpa saya saja sudah membesar. Sudah tiga kali lipat lebih besar daripada limpa orang normal
karena darah yang tidak bisa lancar masuk ke liver mbendal (terpental) masuk ke limpa.
Limpa saya itu kian hari masih akan terus membesar. Lama-lama, kalau pinggang saya kena bola atau
kena sodok, limpa bisa pecah: mati. Tidak pecah pun, limpa yang membesar membuat darah putih
saya menurun. Padahal, darah putih berfungsi, antara lain, menguburkan sel-sel darah merah yang
mati. Sel darah merah memang harus mati dalam kurun waktu tertentu dan harus dikuburkan.
Darah putihlah yang menguburkannya dengan cara memakan-nya. Pekerjaan mengubur dan
menghancurkan bangkai sel-sel darah merah itu dikerjakan di limpa.
Tapi, karena limpa saya terus membesar, sel-sel darah putih yang baik pun ikut dikubur oleh organ
itu. Makanya, saat itu jumlah darah putih saya terus menurun. Sementara bangkai sel-sel darah
merah makin bertambah. Jadi, ke mana bangkai-bangkai darah merah tersebut? Itu juga membuat
problem sendiri pada tubuh saya.
Karena darah putih yang sangat kurang itu, saya akan sangat gampang terkena virus. Daya tahan
tubuh saya sangat menurun. Seharusnya kadar darah putih saya minimal 200. Saat itu tinggal 60-an.
Kalau turun 10 poin lagi, saya sudah tak bisa bertahan dari infeksi. Padahal, saat itu, platelet saya
60 by Moezhanks
juga terus menurun. Sehingga, sewaktu-waktu saya terancam mengalami pendarahan dari mana
saja: dari mulut, hidung, telinga, bahkan dari lubang kemaluan. Semua itu gara-gara liver yang sirosis.
Ada yang lebih berbahaya lagi. Seperti yang sudah saya singgung sebelum ini, darah-darah yang
mbendal itu juga memenuhi saluran percernaaan saya (varises esofagus). Akhirnya, dinding-
dindingnya berubah jadi balon-balon berisi darah. Setiap saat bisa pecah. Misalnya, hanya karena
terkena benda tajam seperti keripik atau tulang ikan atau roti kering. Karena itu, saya pernah takut
makan ikan. Takut tulang-tulang kecilnya masuk ke tenggorokan, lalu melukai dan menusuk balon-
balon itu. Saya bisa mati hanya oleh satu tulang ikan yang amat kecil.
Jadi, meski mungkin saya bisa membunuh sel-sel kanker dengan TACE dan berhasil memperlambat
proses kerusakan total liver oleh sisrosis, proses kerusakan di organ lain ternyata tak bisa saya
hentikan. Kecuali liver saya segera baik. Dan, untuk itu, cuma ada satu jalan: transplantasi liver.
Maka, status kata transplan pun meningkat dalam pikiran saya. Dari sekadar tamu yang sedang
mampir menjadi penghuni utama. Lalu, bulatlah tekad saya: ganti liver.
Tapi, kalau gagal gimana? tanya kubu yang anti-transplan di tim saya. Bukankah terlalu banyak
contoh transplan yang gagal? tambahnya.
Kegagalan transplantasi yang dilakukan tokoh Nurcholish Madjid (Cak Nur) sungguh menjadi alasan
pembenar yang kuat sekali bagi kubu yang tidak setuju transplantasi. Kuat secara psikologis. Bukan
secara rasional-teknis-medis.
Saya sudah biasa menghitung komposisi psikologis dan rasionalitas dalam setiap mengambil
keputusan. Bahkan, saya sering merenungkan (yang sampai sekarang belum sampai pada
kesimpulan) soal yang rumit dan peka ini: khusyuk itu gejala religi atau gejala psikologi? Mengapa
ada orang yang mudah khusyuk? Tapi, mengapa banyak juga yang sulit khusyuk? Sampai-sampai,
ketika memulai sembahyang harus mengulangi takbir berkali-kali? Mengapa ada orang yang mudah
menangis ketika berdoa? Mengapa ada yang tidak bisa menangis? Gejala agamakah? Gejala
psikologiskah?
Saya bukan ahli psikologi. Juga bukan ahli agama. Tapi, sudah pasti pertimbangan yang lebih
didominasi perasaan, saya kalahkan. Secara tidak formal, saya memang membentuk dua tim. Satu
yang punya pendapat jangan transplan. Satunya lagi yang pro-transplan. Saya ingin mendapat
pertimbangan yang arahnya berlawanan.
Tim yang pro-transplan mengemukakan, memang transplantasi Cak Nur gagal. Tapi, penyebabnya
kan jelas: virus Citomegali. Virus yang munculnya hanya dalam kasus transplantasi.
Tapi, bisa saja karena kondisi Cak Nur sendiri yang memang sudah lebih parah daripada kondisi saya
saat ditransplan. Artinya, mungkin telanjur sangat parah. Kita tidak tahu pastinya. Dan kubu anti-
transplan di tim saya juga tidak tahu mengapa Cak Nur gagal.
Pak Dahlan pun, kalau misalnya kankernya sudah sampai di vena porta (pembuluh darah balik yang
utama di liver), mungkin juga akan lebih sulit, kata pro-transplan. Atau, kalau ginjal dan paru sudah
ikut rusak. Atau, ketika air sudah memenuhi rongga perut (ascites). Atau, ketika membran selaput
dada sudah kena infeksi.
61 by Moezhanks
Tapi, kubu anti-transplan di tim saya masih punya alasan lain. Katakanlah transplantasinya
berhasil. Akan bisa bertahan hidup berapa tahun lagi? katanya seperti sedang mulai memberikan
pukulan tinju kepada tim saya yang pro-transplan.
Apakah tidak ada bibit kanker yang akan mbalik ke liver baru? Apakah bibit virus hepatitis B yang
sudah ikut beredar di darah tidak menjangkiti liver baru? Lalu jadi sirosis lagi? Jadi kanker lagi?
Katakanlah setelah transplan masih bisa hidup lima tahun lagi. Seperti kata dokter di Singapura itu.
Apakah kalau tidak ransplan tidak bisa bertahan lima tahun lagi? Dengan obat-obat yang kian maju?
tanya tim yang anti-transplan.
Bertubi-tubi ayunan tinju dihokkan ke wajah tim yang pro-transplan. Lalu, ditutup dengan pukulan
upper-cut yang telak: sama-sama bisa bertahan lima tahun, mengapa harus berjudi dengan
transplan?
Sebagai dewan juri yang harus adil, saya melihat tim pro-transplan sempoyongan. Sampai mau
terlempar dari kanvas. Tapi, tali ring menyelamatkannya: Tapi, apakah kita harus membiarkan Pak
Dahlan selama lima tahun menjalani kehidupan dengan kualitas yang buruk? Harus selalu dikemo, di-
TACE, keluar-masuk rumah sakit, tidak bisa makan enak, tidak bisa bekerja dengan baik? Itukah
hidup? Untuk apa hidup kalau kondisinya harus tersiksa seperti itu? serang tim pro-transplan tiba-
tiba.
Kedua tim masih akan terus bertinju. Tapi, bel sudah menunjukkan bahwa waktu sudah habis.
Pemenang sudah harus ditentukan sebelum salah satunya KO.
Saya mantap dengan transplan, kata saya.
Semua diam. Keheningan terpecah oleh suara salah satu tim pro-transplan. Memang peran pasien
sendiri amat menentukan. Kalau kita paksakan transplan tapi pasien tidak mantap, juga tidak boleh.
Kemantapan tekad pasien akan menjadi kunci suksesnya. Begitu pasien ragu-ragu, kita sudah tiba
pada kesimpulan transplantasi akan gagal, katanya.
Ya. Saya mantap transplan. Dengan segala risikonya, kata saya. (Bersambung)
Ganti Hati 22 Ingin Naikkan Albumin, Berburu Banyak Ikan Kutuk
16 September 2007
SETELAH hati mantap melakukan transplantasi, barulah saya menentukan langkah. Ada tiga yang
harus dipertimbangkan. Kehebatan dokter, kesediaan donor, dan ketepatan rumah sakitnya. Dari situ
baru kami tentukan tempatnya. Tiga faktor itu saya sebut sebagai persyaratan mutlak. Lalu masih
ada sejumlah persyaratan keinginan. Misalnya, kedekatan dengan Indonesia, kedekatan budaya,
dan kedekatan bahasa.
Saya sudah terbiasa, dalam setiap akan mengambil keputusan, menjalankan satu proses yang disebut
problem solving. Satu proses untuk melakukan pembobotan dan penilaian atas semua pilihan. Lalu
mengalikan bobot dan nilai. Hasil perkalian tertinggi, itulah pilihan terbaik. Saya pernah disekolahkan
62 by Moezhanks
untuk itu di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM) ketika saya masih jadi
wartawan majalah berita mingguan TEMPO.
Proses manajemen itu kemudian saya bawa juga ke dalam jurnalistik. Saya ajarkan sebagai doktrin di
Jawa Pos. Itulah yang membedakan wartawan Jawa Pos dengan wartawan lain. Wartawan Jawa Pos
harus menjalankan 10 rukun iman atau Ten Commandments yang saya tentukan. Itulah salah satu
sumbangan ilmu manajemen ke dalam praktik jurnalistik di Jawa Pos. Tentu hal ini tidak diajarkan di
fakultas publisistik atau di akademi wartawan. Mungkin tidak akan diakui sebagai salah satu teori
jurnalistik, tapi saya tidak peduli.
Proses yang sama saya terapkan dalam melakukan analisis problem-solving atas tekad saya yang
sudah mantap melakukan transplantasi liver. Maka, tim menyeleksi dokter-dokter ahli transplantasi
di dunia: Australia, Amerika, Jepang, Singapura, Belanda, dan Tiongkok. Dari masing-masing negara
kita pilih satu nama. Kita pelajari track record-nya. Juga, terutama, umurnya. Saya ingin dokter yang
berpengalaman, tapi masih muda. Tangan anak muda, menurut logika saya, akan lebih firm ketika
memegang pisau bedah. Saya memang sangat pro anak muda. Saya percaya hanya yang muda yang
bisa diajak balapan di segala bidang.
Dari proses itulah lantas kami pilih dokter ini. Umurnya masih 52 tahun dan badannya tinggi tegap.
Penampilannya meyakinkan. Urat-uratnya kukuh, mengindikasikan akan kuat dalam menghadapi
tekanan mental maupun fisik. Pengalamannya juga luar biasa. Sudah melakukan tranplantasi liver
lebih dari 500 kali. Bahkan, sudah membukukan beberapa rekor: Rekor terbanyak, rekor
transplantasi tanpa transfusi darah, rekor transplantasi untuk pasien usia dini (3 tahun), transplantasi
untuk pasien tertua (76 tahun). Dia memperoleh pendidikan khusus untuk ini di Jepang. Boleh dikata,
dialah dokter Tiongkok yang paling jago di bidang transplantasi liver.
Tapi, masih ada satu yang meragukan. Padahal, yang saya ragukan ini masuk dalam persyaratan
mutlak. Artinya, mau tidak mau harus dipenuhi. Kalau hanya masuk persyaratan keinginan,
barangkali bisa diabaikan. Apa itu? Tempat! Apakah di Tiongkok ada rumah sakit yang bagus sekali?
Bukankah rumah sakit di sana terkenal joroknya?
Untuk ini Robert Lai memeriksa rumah sakit tempat dokter itu berada. Yakni, di satu kota di belahan
utara Tiongkok. Untuk Indonesia kota ini tidak populer, tapi saya sudah mengenalnya dengan sangat
baik. Berkali-kali saya ke kota itu. Kunjungan pertama saya ke sana sekitar 10 tahun lalu.
Hasil kunjungan Robert Lai sangat memberi harapan. Khususnya tower yang baru. Sangat bersih dan
terawat. Alat-alatnya juga amat modern. Dan, reputasinya yang tinggi sebagai pusat transplantasi
liver sudah sangat terkenal. Saya sendiri pun lantas mengunjunginya. Saya langsung jatuh cinta pada
kunjungan pertama. Hati saya mantap sekali.
Masih juga ada satu pertanyaan: maukah dia menangani saya? Ada waktukah dia? Inilah tugas
Robert berikutnya. Dan, dia selalu berhasil menjalankan misinya. Maka sudah tidak tengok sana-sini
lagi: Di sinilah saya akan melakukan transplantasi liver. Saya mengenal baik kotanya, mengenal baik
budayanya, dan sedikit banyak sudah bisa berkomunikasi dengan bahasanya.
Sungguh tak terbayangkan bahwa tekad saya untuk belajar bahasa Mandarin lima tahun lalu ternyata
saya sendiri yang akan memetik manfaat terbesarnya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana
kalau saya tidak bisa sedikit-sedikit berbahasa Mandarin.
Memang, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Jepang dan orang dari negara-negara Arab, bisa
saja mempekerjakan juru bahasa. Namun, tidak akan semulus kalau diri sendiri yang tahu bahasa itu.
63 by Moezhanks
Bahkan, karena hampir selalu berbahasa Mandarin, saya sering tidak dianggap orang asing. Apalagi
sosok saya yang sosok Asia. Bahwa kulit saya agak hitam, banyak juga orang dari wilayah selatan atau
dari Hainan yang juga berkulit seperti saya.
Robert juga langsung memesan kamar terbaik, yang ada ruang tamunya, dapurnya, saluran internet-
nya. Dia tahu saya tidak akan bisa hidup tanpa jaringan internet. Robert juga langsung menyewa
apartemen untuk setahun, membeli mobil, mencari sopir, pembantu rumah tangga, dan juru masak.
Dia tahu belum tentu transplantasi bisa dilakukan segera. Problem transplantasi adalah di kesediaan
donor. Masa menunggu tidak bisa ditentukan.
Keluarga saya, dan juga Robert, tinggal di apartemen. Saya tinggal di rumah sakit. Istri saya tidur di
ruang tamu. Untuk membunuh waktu saya memutuskan meneruskan belajar bahasa Mandarin. Dua
kali sehari. Pagi 2 jam, sore 2 jam. Guo Qiang mencarikan gurunya: tiga gadis yang masih kuliah di
tahun terakhir IKIP setempat.
Istri saya sering melihat bagaimana saya belajar. Lalu dia sumpek sendiri membayangkan sulitnya. Dia
memilih mendengarkan lagu-lagu kasidah dari CD yang dia bawa. Atau mendengarkan ayat-ayat
Alquran yang kasetnya dia beli di Makkah. Yakni, ayat-ayat mulai Al Fatihah sampai terakhir surat An
Nas dari imam salat tarawih di Masjidilharam. Sudah beberapa tahun saya dan istri selalu di Makkah
saat akhir Ramadan.
Kalau akhir pekan, saya pamit ke kota lain. Saya tahu tidak ada operasi pada Sabtu dan Minggu. Pada
hari-hari seperti itu saya terbang ke provinsi lain. Saya boleh terbang-terbang asal masih dalam
radius empat jam penerbangan. Maksudnya, kalau ada sesuatu yang mendadak (misalnya, tiba-tiba
ada donor), saya bisa kembali segera.
Badan saya memang sangat sehat secara fisik lahiriah. Karena itu, saya sering lupa kalau di lengan
saya sudah dipasangi selang kecil yang ujungnya ada di dekat jantung. Selang infus itu diperlukan
kalau tiba-tiba harus transplan, sudah lebih siap.
Suatu saat saya ke Kota Dalian, satu jam penerbangan dari kota ini. Di salah satu plaza di sana, ada
penjual raket squash dengan bola yang diikat tali karet. Kita bisa mencoba main squash tanpa harus
lari-lari mengejar bola. Saya lupa akan selang infus di lengan saya. Saya main squash cukup lama.
Keesokan harinya lengan saya sakit sekali. Sepanjang selang itu (mulai dari lengan sampai dada)
kemeng sekali.
Suatu malam saya tidak bisa tidur. Pasien dari negara Arab di sebelah kamar saya berteriak-teriak
sepanjang malam. Apakah dia sudah terkena kanker? Apakah kankernya sudah sampai ke kepala
sehingga mengganggu otaknya?
Paginya dia berteriak-teriak lagi. Saya mencoba menengoknya. Tahulah saya bahwa dia masih diikat
di ranjang. Ini penting untuk kesehatannya sendiri. Ternyata dia berontak karena ada janji, pagi-pagi
ikatan sudah akan dilepas. Tapi, ternyata tidak. Rupanya rumah sakit masih khawatir dia akan
berontak sehingga terus diikat. Siangnya, saya tahu lebih jelas mengapa dia berontak. Ini saya
ketahui setelah saya bicara kepadanya dalam bahasa Arab. Dia memang tidak bisa berbahasa Inggris.
Bahasa Arab saya sudah banyak yang hilang sehingga perlu waktu lama untuk mengingat banyak kata
yang jarang dipakai.
Ternyata pasien itu ingin menelepon keluarganya, tapi tidak diizinkan. Yang tidak mengizinkan adalah
kerabat yang menunggunya. Mungkin untuk menghemat pulsa, mungkin juga karena sering telepon
memang tidak baik bagi pasien seberat dia.
64 by Moezhanks
Ketika penunggunya lagi pergi, dan melihat saya bisa bicara Arab, dia minta tolong saya untuk
memberi tahu perawat agar membantunya menelepon keluarga. Dia lantas menyodorkan hand
phone yang rupanya tidak dibawa pergi oleh penunggunya. Ternyata dia juga sudah mengantongi
secuil kertas lusuh berisi nomor telepon.
Tapi, angka-angka itu angka Arab. Dia mendiktekannya ke suster dengan bahasa Inggris yang amat
tidak jelas. Tapi, setiap kali nomor itu dihubungi selalu gagal nyambung. Dia mulai kesal dan uring-
uringan. Akhirnya saya rayu dia untuk memberikan cuilan kertas itu. Tahulah saya bahwa angka yang
dipijit kurang satu digit. Mengapa? Ini karena ada satu titik di belakang angka-angka itu. Suster tidak
tahu dan pasien juga tidak jelas melihatnya. Saya menyarankan agar menambah nol di pijitan
terakhir. Titik, dalam huruf Arab, berarti nol. Ternyata nyambung. Luar biasa senangnya.
Sambil menunggu dan menunggu, saya terus menjaga kondisi. Badan saya harus sehat. Saya
melakukan senam dan tidak mengenakan baju pasien. Para suster bilang bahwa saya ini bukan
seperti orang sakit. Saya memang tidak sakit. Saya hanya perlu transplantasi liver, gurau saya
kepada mereka.
Dalam masa penantian itu saya tidak boleh terkena flu. Karena flu saja bisa mengurangi potensi
kesuksesan transplantasi. Saya juga harus menjaga agar protein di darah saya, terutama albumin,
tidak terus merosot. Untuk menambah protein banyak sumbernya. Mulai daging, putih telur sampai
ikan. Tapi, meningkatkan albumin luar biasa sulitnya.
Berminggu-minggu kami mendalami internet untuk mengetahui makanan apa saja yang bisa
menaikkan albumin. Tidak ketemu. Di Tiongkok, yang biasa menyediakan menu ribuan macam di
internet mereka dalam bahasa Mandarin, juga tidak ditemukan satu pun jenis makanan yang
dimaksud. Satu-satunya sumber albumin adalah sahabat kecil saya dulu di desa: ikan kutuk. Di
Kalimantan disebut ikan gabus. Dalam bahasa Inggris dikatakan ikan kepala ular, karena bentuknya
seperti ular yang amat pendek.
Saya menghubungi guru besar Unibraw, Malang, Prof Eddy Suprayitno. Satu-satunya orang yang
melakukan penelitian terhadap ikan kutuk. Setelah penjelasannya meyakinkan, mulailah saya minta
istri saya berburu kutuk setiap hari. Penjual ikan di Pasar Rungkut hafal betul dengan istri saya. Entah
sudah berapa ton saya mengonsumsi sop kutuk.
Saya lupa bertanya apakah Prof Suprayitno sudah mematenkan penelitiannya dan memikirkannya
untuk sebuah industri. Yang saya tahu kehidupan Prof Suprayitno amat sederhana, sebagaimana
umumnya guru besar di Indonesia.
Di Tiongkok, peneliti seperti itu jadi kaya raya. Satu orang yang meneliti satu jenis tanaman liar yang
disebut tear drop (di desa saya dulu disebut manikan, sering untuk tasbih) kini menjadi orang
terkaya nomor 200 di Tiongkok. Sebab, buah manikan ternyata mengandung khasiat antikanker.
Seorang peneliti padi yang dulu hidup di desa selama 20 tahun, kini menjadi pemegang saham
perusahaan pembibitan dengan aset triliunan rupiah.
Ikan kutuk ternyata tidak ada di tempat lain. Jadi amat berharga. Tapi, karena saya akan tinggal lama
di Tiongkok, tentu saya akan kesulitan membawa kutuk ke sana. Lalu muncul di pikiran, masak tidak
ada kutuk di Tiongkok. Maka saya mencari kutuk di sana. Di setiap kota yang saya singgahi saya
perlukan untuk mengunjungi pasar ikannya: di Nanchang, di Nanjing, di Wuhan, di Harbin, di Dalian,
di Qingdao, dan seterusnya. Tapi, saya tidak menemukannya.
65 by Moezhanks
Di Nanchang, teman saya di pelosok desa mengabarkan di desanya banyak ikan kutuk. Saya pernah
ke desa itu sebelum tahu bahwa saya punya sirosis. Ketika saya ke Nanchang, dia datang dengan
bapaknya sambil membawa satu ember ikan. Dia naik kendaraan umum selama satu jam untuk bisa
sampai ke kota. Bapak teman saya, dengan bahasa daerah yang tidak saya mengerti, menjelaskan
panjang lebar bagaimana satu hari tadi dia berusaha mencari ikan satu ember itu.
Saya berterima kasih padanya. Saya mengatakan benar, itulah ikan yang saya cari. Tapi, sebenarnya
bukan. Bentuknya memang persis kutuk, tapi bukan kutuk. Kutuk Tiongkok ini lebih hitam. Karena
itu, di sana disebut hei yu -hei artinya hitam, yu artinya, Anda bisa menduga sendiri.
Kandungan daging hei yu tidak sama dengan kutuk di Jawa.
Di Kalimantan lebih lengkap. Kutuk, yang di sana disebut ikan gabus, sangat banyak. Hei yu juga
banyak. Hei yu, yang kalau di Kalimantan disebut ikan tomang, juga bisa tumbuh besar sampai kuat
merusak perahu kayu kecil-kecil. Tapi, dagingnya hambar. Hei yu di Kalimantan lebih banyak
dimanfaatkan untuk ikan asin. Sedangkan ikan gabus yang manis, enak sekali dimasak bumbu bali,
dimakan dengan nasi kuning.
Selama di Tiongkok saya kesulitan sumber albumin ini. Padahal, mempertahankan albumin menjadi
amat penting. Dalam keadaan normal, liver bisa memproduksi albumin. Tapi, karena liver saya rusak,
sungguh sulit mengatasinya. Akhirnya, agar badan tetap sehat, saya memutuskan untuk selalu makan
banyak. Enak tidak enak sudah tidak penting lagi. Badan saya harus sehat menghadapi operasi besar.
Ibaratnya saya harus seperti kerbau yang akan dijual untuk disembelih: Harus sehat dan gemuk.
(bersambung)
Ganti Hati 23 Datang Tawaran Liver Hidup dari Orang Muda asal Bandung
17 September 2007
SAYA hampir kehilangan momentum. Kedatangan saya untuk antre transplantasi liver ini agak
terlambat, meski belum fatal. Sebulan setelah saya menunggu, keluar peraturan baru: tidak gampang
lagi pasien asing mendapatkan donor. Tapi, mestinya, saya belum terkena peraturan itu karena saya
sudah mendaftar sebelum itu.
Pasien asing banyak yang gelisah. Dulu-dulunya, waktu menunggu sering tidak sampai sebulan. Saya
pun datang dengan harapan seperti itu. Apalagi di lengan saya sudah dipasangi saluran infus sampai
ke dada, sebagai persiapan transplantasi yang sudah dekat. Tapi, ternyata terhalang aturan baru itu.
Saya memutuskan sabar menunggu. Tapi, setelah dua bulan tidak juga ada tanda-tanda akan
mendapat donor, saya ingin pulang dulu dua hari. Kali ini untuk menyelesaikan urusan di Kalimantan
Barat. Saya merasa punya tanggung jawab yang belum saya penuhi.
Sebagaimana juga di Kaltim, saya ingin ikut mengatasi krisis listrik di Kalbar. Gubernurnya sudah
sangat mendambakan turun tangan saya, mengingat krisis listrik di sana sudah berlangsung lebih dari
lima tahun. Krisis listrik di Kalbar lebih parah daripada di Kaltim. Maka saya bersama gubernur dan
Dirut PLN menandatangani MoU pembangunan PLTU di Pontianak.
Untuk menunjukkan keseriusan, saya langsung membeli tanah 20 hektare di lokasi yang paling cocok
untuk itu. Juga melakukan perundingan dan penandatangan kontrak mesin-mesin di Tiongkok.
66 by Moezhanks
Namun, beberapa waktu kemudian ternyata PLN melakukan tender untuk pembangunan PLTU itu,
tanpa sedikit pun memberi informasi kepada saya bagaimana nasib MoU yang sudah dibuat.
Kami tidak mau ikut tender itu karena merasa PLN tidak beretika sama sekali. Dan lagi, saya memang
tidak dalam posisi mencari proyek. Saya hanya ingin ikut mengatasi krisis listrik di Kalbar, sebagai
awal dari membangun Kalbar lebih lanjut. Provinsi itu sangat kasihan. Tidak kaya sumber alam dan
tidak punya proyek besar. Investor yang mau datang pasti mengeluhkan listrik.
Tender itu berjalan lancar dan itu memang proses yang benar. Tapi, pemenang tendernya, sampai
tulisan ini dibuat, tidak ada tanda-tanda fisik mulai membangun PLTU. Berarti Kalbar kehilangan lagi
waktu tiga tahun. Jelek sekali nasib Kalbar. Juga nasib (tanah) saya. Memang, suatu ketika, kira-kira
dua tahun lalu, peserta tender ingin mengajak saya bergabung membangun PLTU tersebut. Tentu
saya tidak mau kalau modal dia hanya selembar kertas izin. Dia juga menanyakan apakah tanah kami
akan dijual. Tentu saja tidak. Kami bukan spekulan atau jual beli tanah. Kami serius membeli tanah
tersebut untuk PLTU.
Memang bukan salah saya kalau sampai hari ini belum ada tanda-tanda konkret krisis listrik Kalbar
akan teratasi. Tapi, setidaknya saya bertanggung jawab untuk mewujudkan sesuatu di sana.
Terutama sebagai ungkapan terima kasih kepada masyarakat setempat bahwa koran kami di sana
menjadi yang terbesar.
Karena itu, saya bertekad menggunakan dana yang sudah saya siapkan untuk PLTU ke proyek lain:
perkebunan rakyat. Yakni, mengolah hasil pertanian rakyat yang selama ini harganya selalu hancur-
hancuran di musim panen. Proyek itu harus berjalan. Banyak pengungsi Madura akibat kerusuhan
etnis pada 1999 itu yang mulai bekerja di proyek ini. Saya harus datang ke sana untuk membuat
keputusan yang terpenting.
Saat saya menyelesaikan urukan Kalbar itulah, sebenarnya ada donor yang potensial. Dokter
mencari-cari saya apakah bisa membatalkan kepergian saya ke Indonesia. Tapi, saya sudah di atas
pesawat. Tapi, beruntung bahwa ternyata donor potensial itu ternyata juga tidak cocok untuk saya.
Saya harus menunggu lagi entah berapa lama. Orang-orang Pakistan mulai mencari jalan sendiri.
Yakni, mendatangkan donor dari negaranya. Yakni, donor orang hidup. Mereka mencari salah satu
keluarganya, atau sukarelawan, yang mau menyumbangkan separo livernya untuk dicangkokkan ke
pasien. Ini mungkin karena liver adalah satu-satunya organ tubuh yang kalau dipotong bisa tumbuh
utuh lagi.
Hanya operasinya lebih sulit: Orang yang sehat dibedah, lalu livernya dipotong separo. Pada saat
yang sama, si calon penerima (resipien) liver juga dibedah untuk membuang (seluruh) livernya yang
sudah rusak. Setelah itu, potongan liver yang sudah dilepas dari tubuh pemiliknya ditanamkan ke
tubuh si penerima.
Seseorang bisa hidup normal dengan liver yang hanya separo karena liver atau hepar atau hati adalah
satu-satunya organ yang bisa tumbuh kembali dengan cepat. Berbeda dengan ginjal dan organ lain.
Karena itu, sekali orang kehilangan ginjal, ya sampai meninggal, ginjalnya tetap satu. Beda dengan
donor liver. Hari ini separo livernya didonorkan, besok pagi sudah tumbuh lagi. Dan dalam tempo tiga
minggu sampai maksimal sebulan, liver yang dipotong itu sudah akan utuh kembali.
Dengan begitu, seorang donor juga tak perlu tinggal berlama-lama di rumah sakit. Hanya dalam
tempo dua tiga hari pascaoperasi, dia sudah boleh latihan berdiri dan berjalan. Seminggu berikutnya
67 by Moezhanks
dia sudah bisa beraktivitas lagi. Tapi, memang masih harus ekstrahati-hati karena tiga sayatan
panjang bekas operasi di perutnya masih basah.
Lantas bagaimana nasib potongan liver yang sudah berpindah tubuh tadi? Ini pun tak perlu
dikhawatirkan karena dalam tempo maksimal tiga bulan, potongan itu sudah akan tumbuh menjadi
liver yang utuh sebagaimana orang normal. Karena itu, di negara-negara yang jumlah donor mayat
(cadaver)-nya terbatas, livernya dibagi dua. Jadi, satu liver untuk dua pasien. Di Tiongkok, umumnya
masih satu liver untuk satu pasien. Termasuk saya.
Menjelang transplantasi, Robert menemui keluarga-keluarga Pakistan itu untuk mempelajari
bagaimana praktik cangkok liver dengan donor hidup. Dia menjadi amat yakin itu juga akan berhasil.
Lalu mengajak salah satu pendonor ke kamar saya.
Dia mendonorkan livernya dua minggu yang lalu, kata Robert sambil menepuk bahu anak muda
Pakistan itu. Sekarang sudah jalan-jalan dan mau saya ajak ke sini, tambahnya.
Anak itu sendiri, yang bahasa Inggrisnya bagus sekali, lantas menceritakan mengapa mau melakukan
itu, mengapa berani, dan bagaimana kondisinya sampai saat itu. Liver saya yang setelah dipotong
tinggal 9 cm, sekarang sudah menjadi 16 cm lagi. Dua minggu lagi sudah kembali utuh seperti
semula, katanya. Lalu dia menunjukkan perutnya yang masih dibebat untuk mengeringkan luka
akibat pembedahan.
Bagaimana dengan penerima livernya? Bapak itu juga mulai baik. Liver saya yang di sana, yang
semula hanya 11 cm, hari ini sudah 17 cm, katanya sambil menggambar di papan tulis tentang
bagaimana livernya tumbuh kembali, baik yang masih di dalam tubuhnya maupun yang sudah pindah
ke tubuh orang lain.
Saya amat yakin dengan jalan itu. Saya juga memutuskan akan melakukannya. Saya tidak yakin bisa
dapat donor utuh dalam waktu dekat. Saya harus berhitung dengan sirosis dan kanker saya yang
sedang berlomba dengan waktu. Kalau saya menunggu terlalu lama, bisa jadi fungsi liver saya akan
keburu memburuk. Dan, karena penurunan fungsi itu bisa merusak pertahanan tubuh saya, sel-sel
kanker yang mungkin masih tersisa di liver saya bisa menyebar (metastase) ke mana-mana. Saya
butuh melangkah cepat.
Mulailah saya melihat ke istri, anak-anak, dan keponakan-keponakan. Ternyata, tidak satu pun yang
darah dan rhesus-nya sama dengan saya. Beberapa teman dekat yang siap mendonorkan separo
livernya juga tidak ada yang cocok darahnya. Tapi, jalan tidak buntu. Tanpa kami cari, seseorang dari
Jakarta menghubungi kami. Memberitahukan perihal seorang anak muda dari Bandung yang mau
secara sukarela mendonorkan livernya. Darah maupun rhesus-nya cocok sekali dengan saya.
Umurnya masih 32 tahun. Badannya yang tinggi tegap sangat sehat.
Anak muda itu mengatakan tidak menginginkan apa pun kecuali menyelamatkan nyawa saya. Apakah
harus dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri? Dia bilang, dia sudah menghitung risikonya.
Mengapa dia begitu berani? Karena, dia bilang, dia ingin menebus penyesalannya yang tak sempat
menyelamatkan bapaknya yang keburu meninggal sebelum tranplantasi dilakukan.
Tim kami segera ke Bandung melihat keadaan rumah tangganya. Semula kami memperkirakan harus
membantu kehidupannya. Ternyata, dia cukup berada. Rumahnya baru, tidak kecil, di kompleks
perumahan yang cukup mewah. Mobilnya juga masih gres dari merek yang tidak murah. Handphone-
nya pun Communicator seri terbaru. Anak keduanya baru bisa berjalan. Sikap istrinya, di luar dugaan:
Sangat mendukung keputusan suaminya.
68 by Moezhanks
Kami pun makin percaya bahwa tidak ada motif komersial di balik niatnya yang mulia itu. Tapi, saya
sendiri juga masih berpikir, haruskah sampai mengorbankan nyawa orang lain? Tidakkah lebih baik
saya menunggu dengan risiko tidak keburu sekali pun? Bukankah membuat keputusan melakukan
transplantasi saja sudah tersirat tekad untuk mungkin mati?
Saya benar-benar sudah siap kalau harus mati. Saya punya filsafat tersendiri dalam menyikapi umur.
Yakni, filsafat intensifikasi umur. Umur pendek tidak apa-apa asal penggunaannya sangat intensif.
Sikap ini muncul, barangkali karena saya melihat kok ibu saya, kakak saya, paman-paman saya
berumur pendek. Saya kurang melihat bahwa bapak saya dan kakak sulung saya berumur panjang
sekali.
Tim kami terus mendesak agar saya jangan berpikir bahwa saya akan mengorbankan orang lain.
Terutama Robert Lai. Dia tidak akan jadi korban. Dia juga akan memiliki kembali livernya secara
utuh, kata Robert. Saya masih keberatan, tapi diam-diam tim kami terus menyiapkan saudara dari
Bandung itu untuk siap berangkat ke Tiongkok. Dia juga menyatakan sudah siap kapan pun harus
berangkat.
Bersamaan dengan persiapan pemberangkatan saudara dari Bandung itulah, ada kabar bahwa saya
mendapatkan donor. Transplantasi pun dilakukan dengan cara membuang sama sekali hati saya yang
lama dan menggantinya dengan hati baru made in 1985-an secara utuh. (Bersambung)
Ganti Hati 24 Istri Khawatir Saya Meninggal dengan Wajah Menghitam
18 September 2007
SAYA tidak berhasil menyembunyikan perubahan di wajah saya. Padahal, dua tahun lamanya saya
berhasil menyembunyikan bengkaknya kaki. Juga bengkak di badan. Menyembunyikan membesarnya
payudara. Yang tak kalah penting, saya berhasil menyembunyikan keloyoan fisik saya.
Empat tahun saya bekerja dengan Anda. Sedikit pun saya tidak merasakan bahwa Anda mengidap
penyakit begitu gawatnya, ujar Hadi Ismoyo, manajer di perusahaan minyak milik Pemda Jatim.
Perusahaan minyak itu masih baru sehingga saya harus banyak belajar, diskusi, rapat, dan negosiasi.
Selama ini tidak tampak kegelisahan sedikit pun tatkala tampil di banyak kegiatan masyarakat, tulis
Lusye, pecinta Jawa Pos dari Manyar Jaya. Kalau tahu seperti ini, saya tidak akan sampai hati
mengejar-ngejarnya selama ini, ujar Gunawan, direktur di perusahaan minyak kami.
Ya, saya memang berhasil menyembunyikan semuanya. Tapi, saya sebenarnya tidak sengaja
menyembunyikannya. Kalau ada yang bertanya tentang penyakit saya, selalu saya jawab apa adanya.
Cuma, memang tidak banyak yang bertanya. Kalau ada yang bertanya pun, seperti para manajer di
Perusda PT PWU Jatim, jawaban saya jujur, tapi saya sampaikan dengan nada yang menyenangkan.
Menceritakan penyakit dengan cara yang menyenangkan, itulah kuncinya. Pernah dalam satu rapat
evaluasi bulanan yang amat disiplin di PT PWU, saya jelaskan semua penyakit saya. Juga bahaya-
bahayanya. Mereka memang ngeri mendengarnya, tapi juga tertawa-tawa. Setelah itu rapat evaluasi
berjalan seperti biasa. Yang harus dimarahi, ya dimarahi. Yang harus dipuji, ya dipuji. Tetap saja
persoalan rumit-rumit, harus dipecahkan. Padahal, persoalan Perusda tidak hanya soal bisnis, tapi
juga politis.
69 by Moezhanks
Tapi, sebenarnya, saya tidak berhasil menyembunyikan berubahnya wajah. Kulit saya yang aslinya
memang agak hitam menjadi kian hitam. Terutama di dahi dan sekitar mata. Hitam yang tidak
merata itulah yang kian mencurigakan. Saya akan menyembunyikannya dengan cara meratakannya.
Tapi, bagaimana caranya? Atau pakai make up saja. Tapi saya kan laki-laki? Bahkan laki-laki yang
bukan metroseksual?
Tak pelak lagi, banyak orang yang mulai rasan-rasan, menggosipkan wajah saya. Gosip yang tidak
menyenangkan. Untunglah, saya sudah sering digosipkan sehingga sudah agak kebal. Tapi, ini gosip
yang benar. Dan, memprihatinkan. Gosip itu bukan lagi masih menyangkut fisik, tapi sudah masuk ke
tataran psikis. Terutama psikis istri saya. Psikis seorang wanita yang sangat kuat memegang prinsip
agama.
Suatu saat istri saya memandangi wajah saya lama sekali. Lalu memberikan komentar yang sudah
sering saya dengar itu. Ada nada sedih ketika mengucapkan itu. Sedih bercampur perasaan malu.
Karena itu, kadang dia hanya memperhatikan wajah saya tanpa mengucapkan komentar apa-apa.
Pandangannya penuh keprihatinan. Saya tahu dia menyimpan dua kekhawatiran. Pertama, khawatir
akan kesehatan saya. Kedua, merasa malu kalau saja saya meninggal dalam keadaan wajah yang
menghitam.
Sudah menjadi opini awam bahwa seseorang yang meninggal dalam keadaan wajah yang
menghitam, tandanya tidak diterima oleh Tuhan. Tuhan murka padanya. Kalau sampai itu terjadi
pada saya, alangkah malunya istri saya. Apalagi dia aktif di kegiatan keagamaan. Suaminya meninggal
dalam keadaan dimurkai Tuhan. Karena banyak sekali dosa yang diperbuatnya. Dosa sebagai lelaki,
dosa sebagai atasan yang kejam, dosa sebagai pribadi yang sombong, dosa sebagai suami yang amat
sibuk, dosa orang kaya yang pelit, dan tentu masih banyak sekali sisi negatif yang bisa dihubung-
hubungkan.
Pembicaraan seperti itu kian kuat ketika Cak Nur meninggal dalam keadaan wajah menghitam. Ada
yang menilai, itu sebagai bukti bahwa Cak Nur dimurkai Tuhan. Ini karena dosa-dosanya yang tidak
terampunkan. Yakni, dosa karena dia telah menyekulerkan Islam. Yakni, ketika memelopori
pembaharuan pemikiran dalam Islam yang menghebohkan pada 1970-an. Sampai-sampai disebutkan
Cak Nur lagi mendirikan neo-Islam. Begitu hebatnya tentangan akan langkah Cak Nur tersebut
sehingga sampai ada yang memvonis Cak Nur sudah murtad.
Tentu saya bukan apa-apa dibanding Cak Nur. Saya bukan intelektual. Bukan budayawan. Bukan
sarjana. Bukan ahli agama. Saya memang pernah mau didapuk jadi kiai di pesantren saya, tapi saya
menolak. Ini karena saya sadar bahwa saya turunan dari jalur wanita (ibu) di struktur pesantren itu.
Kebetulan yang dari jalur laki-laki masih kanak-kanak. Mengapa masih kanak-kanak? Karena
pesantren kami kehilangan dua generasi sekaligus. Para kiai sepuh (enam orang bersaudara, paman-
paman ibu saya), dan anak-anak mereka yang sudah dewasa, dibunuh PKI dalam peristiwa Madiun,
pada 1948. Tapi, saya harus tahu diri bahwa kalau dia sudah dewasa, dialah yang punya hak mewarisi
pesantren itu.
Saya lantas memilih uzlah -menyingkir, menjauh, dan merenungkan masa depan. Bukan karena
ngambek, tapi sebagai perwujudan sikap tawaduk seperti yang dicontohkan bapak saya. Toh saya
akan tetap bisa berperan di pesantren itu kelak, yang mungkin tidak kalah besarnya. Apalagi saya
juga baru gagal dalam pemilihan ketua umum pengurus besar Pelajar Islam Indonesia (PII) di
Bandung, kalah dengan Yusuf Rahimi, tokoh dari Ambon.
Saya mengambil kesimpulan, tidak akan bisa jadi kiai dan tidak bakat jadi politisi. Karena itu, saya
bergegas mengambil keputusan pindah ke jalur hidup sama sekali.
70 by Moezhanks
Sikap tawaduk yang sama saya lakukan juga di Jawa Pos pada 1980-an. Ketika Pak Eric Samola,
direktur utama Jawa Pos saat itu, jatuh sakit, saya tidak mau menggantikannya sebagai Dirut.
Padahal, sakitnya beliau amat berat sehingga tidak punya kemampuan menandatangani dokumen
perusahaan. Beliau terkena stroke yang sampai mengakibatkan tidak bisa bicara dan harus diopname
bertahun-tahun.
Saya memilih mengerjakan saja semua pekerjaan direktur utama, tanpa menyandang jabatannya.
Saya tetap direktur saja. Karena hal itu sudah berlangsung tiga tahun, lantas muncul kesulitan teknis.
Banyak dokumen bank yang harus direktur utama yang boleh tanda tangan. Tidak bisa hanya direktur
seperti saya waktu itu. Tapi, saya tetap tidak mau jadi Dirut. Jangan sampai saya minta jadi Dirut.
Apalagi, sampai harus dengan cara sikut sana-sini.
Bahwa ada kesulitan di bank, tiba-tiba saya punya ide baru yang barangkali tidak lazim. Inilah
gunanya ilmu mantiq (logika), pikir saya. Saya ciptakan sendiri jabatan baru, meski hanya untuk
sebutan: CEO (chief executive officer). Agar saya bisa meyakinkan bank bahwa meski saya hanya
direktur, tapi saya ini CEO. CEO yang tidak ada SK dan legal formalnya. He he kata saya dalam
hati. Tapi, bank percaya. Apalagi mereka juga tahu sayalah yang selama ini yang selalu mengambil
keputusan. Maka lahirlah jabatan CEO.
Baru setelah lima tahun lebih, setelah beliau sendiri yang minta, saya mau jadi Dirut. Sebutan CEO
telanjur melekat. Lalu keterusan sampai sekarang. Bahkan, saya membuat sebutan (untuk
membedakan dengan jabatan) CEO lebih fleksibel lagi di grup yang saya pimpin. Bisa saja Dirut
sebagai CEO, direktur sebagai CEO (Dirutnya bukan CEO), bahkan general manager sebagai CEO
(semua direktur bukan CEO). Lebh dari itu sekarang ini berkembang seperti di AS. Meski saya bukan
direktur utama lagi (karena jabatan itu sekarang dipegang Ratna Dewi Wonoatmodjo), saya yang
tetap jadi CEO. Chairman yang CEO.
Tentu tidak lagi seperti ketika Dirut merangkap CEO. Banyak hal sudah harus dialihkan menjadi
tanggung jawab Dirut. Apalagi Ratna Dewi juga amat mampu. Sama dengan saya. Setidaknya sama-
sama hanya tamatan SMA. Dia SMA di kota Surabaya (Petra), saya SMA di Desa Takeran, Magetan
(aliyah).
Hanya namanya yang sering bikin salah paham orang asing. Pernah ada tamu dari India yang ingin
bertemu dengannya. Waktu itu Ratna Dewi masih menjabat direktur keuangan. Si tamu ternyata
berharap akan ketemu seorang direktur keuangan keturunan India. Maklum namanya Ratna Dewi.
Kami tidak menyangka kalau dia seorang Tionghoa, kata tamu itu sambil tertawa ngakak. Kami
sendiri tidak terlalu mengenal nama Ratna Dewi, sehingga kalau ada tamu yang menanyakan,
Apakah bisa bertemu ibu Ratna Dewi, staf-staf kami sering bengong. Dia kami kenal sebagai Wenny
saja. Bukan Bu Wenny, tapi Cik Wenny.
Gosip bahwa saya segera meninggal dengan wajah hitam juga beredar di kalangan pesantren saya
sendiri. Sebagian mengira saya dimurka Tuhan karena kurang taat beragama. Sebagian lagi karena
saya berdosa kepada leluhur. Terutama karena saya uzlah, lari dari tanggung jawab menjadi kiai.
Mereka tidak tahu kalau uzlah itu saya lakukan sebagai wujud sikap tawaduk saya.
Tentu ada juga yang menyamakannya dengan Cak Nur. Padahal, saya dan Cak Nur jauh sekali
derajatnya. Cak Nur seorang intelektual, doktor lulusan Chicago, ahli agama, bisa banyak bahasa,
termasuk Prancis dan Parsi, Inggris, dan Arab. Saya hanya seperti itu tadi. Saya dan Cak Nur seperti
langit dan sumur -untuk menunjukkan jarak langit-bumi kurang jauh.
71 by Moezhanks
Satu-satunya yang menyamakan saya dan Nur adalah sakitnya. Sama-sama sakit liver, sama-sama
sirosis. Karena itu, juga sama-sama menghitam di wajah. (Bersambung)
Ganti Hati 25 Prihatin atas Keprihatinan terhadap Wajah Hitam Saya
19 September 2007
SAYA nanti juga akan meninggal dengan wajah hitam, kata saya kepada istri saya. Saya ingin
menyiapkan mental istri saya bagaimana harus menahan rasa malu. Terutama di mata keluarga dan
teman-teman pengajiannya. Istri saya memang aktif di perkumpulan Pengajian Wanita Surabaya
(Pengawas), satu perkumpulan yang amat besar dan aktif. Saya nanti akan seperti Cak Nur, tambah
saya.
Itu saya lakukan karena istri saya juga mendengar omongan orang tentang Cak Nur. Dia juga
mendengar ada khatib di sembahyang Jumat yang mengatakan Tuhan murka pada Cak Nur
(Nurcholish Madjid, tokoh pembaruan pemikiran Islam). Buktinya, ketika meninggal, wajahnya
menghitam.
Istri saya memang sudah beberapa lama kelihatan prihatin melihat perubahan di wajah saya. Saya
prihatin atas keprihatinannya itu. Maka, saya perlukan bicara soal mengapa wajah saya menghitam
dan mengapa ada orang menilai Cak Nur seperti itu.
Saya jelaskan sebisa-bisa saya bahwa wajah hitam Cak Nur sebenarnya tidak ada hubungannya
dengan kemurkaan Tuhan. Tuhan itu tidak punya hobi murka seperti khatib yang mengecam Cak Nur
itu. Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang. Sampai di sini saya sadar bahwa istri saya sudah sangat
sering mendengar khotbah sehingga saya tidak perlu menambahinya. Apalagi khotbah saya kurang
meyakinkan. Saya memilih menjelaskannya secara ilmiah saja.
Mengapa wajah Cak Nur, juga wajah saya, menghitam? Ya, begitulah memang salah satu perubahan
fisik yang dihasilkan oleh liver yang terkena sirosis. Ini berlaku pada siapa saja. Yang Islam, yang
Kristen, yang Buddha, yang Hindu, yang Kejawen, yang komunis, dan yang tidak punya aliran apa pun
-free thinker.
Wajah hitam adalah tanda-tanda perubahan fisik dari sirosis yang parah. Karena itu, kalau Anda sakit
liver, minta saja meninggal sebelum sirosis parah. Terutama kalau Anda ingin meninggal dengan
wajah yang tidak hitam. Terjadinya wajah hitam itu sama dengan akibat sirosis yang lain: Kaki yang
bengkak, payudara yang membesar, dan kemudian muntah darah. Untung, tidak ada penilaian
bahwa siapa yang meninggal dengan payudara besar berarti dimurkai Tuhan.
Sebenarnya, masih banyak lagi tanda fisik lain. Yakni kulit menguning, mata juga menjadi kekuning-
kuningan, bibir pucat, dan telapak tangan seperti tidak berdarah. Terutama kalau telapak tangan
baru saja digenggamkan. Begitu genggaman dibuka, darah seperti tidak segera kembali memerahkan
telapak tangan.
Bahwa ada khatib yang menilai wajah Cak Nur yang menghitam sebagai tanda bahwa Tuhan tidak
mau menerima rohnya, sebabnya mungkin si pengkhotbah tidak sempat belajar ilmu yang lain -
misalnya, karena terlalu larisnya. Bahkan, sang khatib begitu sibuk berkhotbah, kadang isi
72 by Moezhanks
khotbahnya ya hanya yang diketahuinya itu saja. Diulang-ulang. Seperti kaset lama yang diputar
terus-menerus.
Pasti si pengkhotbah juga tidak pernah melihat wajah mayat Mao Zedong. Setidaknya tidak pernah
membaca tentang itu. Setidaknya lagi, kalau toh pernah membaca, tidak sampai menjadikannya
pertimbangan. Mao adalah pendiri partai komunis Tiongkok yang tentu saja tidak mengakui adanya
Tuhan. Namun, bagaimana wujud wajah mayatnya? Saya pernah melihatnya dua kali. Wajahnya
putih, bersih, dan amat cerah. Bibirnya menunjukkan senyum kecil seperti amat bahagia di akhir
hayatnya. Mayat itu sampai sekarang masih bisa dilihat di Beijing. Orang antre untuk
menyaksikannya.
Demikian juga di Kremlin, Moskow. Mayat Lenin, salah satu pendiri komunisme sedunia, terlihat
putih, bersih, dan manis sekali. Saya juga pernah mengunjunginya. Apakah itu pertanda roh Lenin
diterima dengan senang oleh Tuhan? Lebih diterima daripada Nurcholish Madjid? Meski Cak Nur
tokoh Islam dan Lenin tidak mau mengakui adanya Tuhan? Bahkan menjadi pelopornya? Wallahu
alam.
Yang jelas, Lenin, dan juga Mao, tidak meninggal karena sirosis.
Saya sangat prihatin atas keprihatinan istri saya. Tapi, saya juga prihatin memikirkan bagaimana umat
di masa depan. Dengan pola berpikir seperti itu, apakah umat akan bisa maju? Apakah tidak semakin
ketinggalan dan kemudian terpojok? Lalu, introvert dan mencari kompensasi dalam bentuk
ekstremitas?
Saya prihatin karena dengan pola pikir yang seperti itu, keseimbangan antara dunia dan akhirat tidak
memadai. Banyak memang orang yang terlalu berat ke duniawi, tapi juga bukan berarti harus dibalas
dengan bersikap lebih berat ke ukhrowi. Semua harus seimbang: beribadah sungguh-sungguh seperti
besok akan mati saja, bekerja sungguh-sungguh seperti akan hidup seribu tahun.
Kalau ukuran diterima Tuhan atau tidaknya seseorang dilihat dari wajah mayatnya, betapa suramnya
kemajuan ilmu pengetahuan di masa depan. Bagaimana kita bisa mengharapkan kemajuan dan
kemodernan sebuah negeri kalau penduduknya -terutama para pemimpin penduduk itu- berpikiran
demikian.
Dan lagi, ada satu kenyataan yang lebih pahit. Bukankah kini sudah ditemukan cara membuat wajah
orang yang meninggal kelihatan tersenyum? Cerah dan bahagia? Lantas, apakah itu berarti ukuran
diterima atau tidaknya sebuah roh oleh Tuhan ditentukan oleh para ahli perias mayat?
Saya punya teman yang bisnisnya event organizer (EO). Tapi, EO khusus untuk orang meninggal.
Mulai penyediaan pakaiannya, membentuk tubuh dan wajahnya, menyediakan peti matinya,
angkutan ke kuburannya, sampai mencarikan siapa yang akan jadi pengkhotbahnya. Dia begitu
menghayati bisnisnya itu sehingga akan terus mendalami ilmu di bidang itu. Satu-satunya anaknya
(perempuan) dia sekolahkan khusus bagaimana memelihara mayat. Bagaimana membuat wajah
orang meninggal menjadi lebih ganteng dan cantik daripada ketika masih dalam hidupnya. Bahkan,
ilmu itu juga berkembang ke arah sebelum kliennya meninggal. Yakni bagaimana menyiapkan agar
bisa meninggal dengan wajah tersenyum.
Tapi, saya juga sadar bahwa istri saya mungkin tidak gampang menerima penjelasan saya itu. Sebab,
penjelasan seperti itu amat jarang dilakukan orang. Tapi, setidaknya, dia bisa menutup sedikit rasa
malu karena suaminya meninggal dengan wajah menghitam. Bisa punya alasan -yang meskipun
mungkin juga dia ragukan kebenarannya. Ragu karena bukan penjelasan seperti yang saya ucapkan
73 by Moezhanks
tersebut tidak pernah didengarnya. Yang sering diperdengarkan kepadanya adalah kaset lama yang
diputar tidak henti-hentinya itu. Dalam teori komunikasi, kebohongan pun kalau terus-menerus
dijejalkan akan jadi seperti kebenaran.
Padahal, kaset lama itu bukan juga kebohongan. Tapi, penafsiran. Sebuah penafsiran yang sangat
bisa memuaskan orang dari sisi emosinya. Kebohongan saja bisa menang, apalagi bukan kebohongan.
Berdasar teori itu, satu penjelasan yang benar tidak akan bisa menang atas kebohongan yang terus-
menerus dikampanyekan.
Agama memang akan menghadapi tantangan yang hebat. Kini bukan hanya Islam, tapi juga Kristen.
Setelah abad informasi sekarang ini, akan ada abad baru lagi. Dulu kita masih meraba-raba abad apa
gerangan yang akan menggantikan abad informasi?. Kita pernah mengalami berturut-turut, zaman
batu, zaman besi, zaman cocok tanam, zaman industri, zaman teknologi, dan zaman
informasi. Kini semakin jelas dunia akan mengalir ke zaman apa. Saya kira, zaman baru yang akan
kita masuki adalah zaman biologi.
Di zaman itu kehidupan akan bisa direkayasa, diperbaiki, bahkan diciptakan. Kehidupan tanaman,
binatang, dan juga manusia. Tidak perlu lagi transplantasi seperti saya, tapi liver (dan organ apa pun)
bisa direparasi dengan penemuan lebih lanjut dari pendalaman terhadap DNA manusia. Dan, itu
bukan lagi akan ditemukan, tapi sudah ditemukan. Penemunya kini lagi merahasiakannya sampai
pada akhirnya dia akan bisa memproduksi sesuatu yang bisa dijual secara masal dan terjangkau. Agar
bisnis di bidang ini menjadi amat besar.
Operasi tidak perlu lagi. Transplantasi tidak dibutuhkan. Bahkan, orang tidak perlu sakit. Sehat terus-
menerus. Cukup membeli produk baru itu nanti. Kini pun barang itu sudah bisa diproduksi
sebenarnya. Tapi, karena belum ditemukan kombinasi-kombinasinya, harganya bisa jadi masih Rp 10
miliaran.
Dengan harga setinggi itu, meski saya pun akan membelinya, tapi hanya berapa juta yang mampu
beli? Bandingkan, kalau kelak, harganya tinggal Rp 1 jutaan. Betapa besar bisnis itu. Ia akan
mengalahkan bisnis obat yang sudah amat raksasa itu. Bahkan akan mengalahkan bisnis minyak dan
gas. Mengapa? Penemuan lebih lanjut dari itu adalah lahirnya sumber energi baru yang sama sekali
tidak kita bayangkan.
Kalau kehidupan sudah bisa dibikin, bagaimana kita akan menafsirkan ajaran agama? Orang boleh
tidak percaya seperti juga zaman dulu tidak percaya akan bentuk dunia yang bulat. Tapi, ini akan
menjadi kenyataan. Akan di situ tidak lama lagi. Kata akan mungkin kurang tepat. Yang tepat
segera.
Maka, apa yang ditulis Agus Mustofa di buku-bukunya, terutama mengenai Kitab Kejadian, sungguh
menarik dan akan cocok dengan zaman baru itu nanti. Yakni jangan lagi kita membayangkan bahwa
manusia pertama dulu dibuat dari lempung, lalu lempung itu di-emek-emek, dibentuk seperti
boneka, kemudian Tuhan meniupkan roh ke ubun-ubunnya.
Penggambaran seperti itu, meski ternyata memang tidak ada di kitab suci, amat melekat di setiap
manusia. Juga melekat di pikiran saya. Saya tidak pernah mempersoalkannya secara kritis. Bahkan
tidak pernah mengecek ulang apa bunyi ayat yang sebenarnya dari penggambaran seperti itu.
Cerita itu sama melekatnya dengan istilah memanjatkan doa yang sering kita lakukan sampai
sekarang. Kita, terutama saya, tidak pernah mempersoalkan apakah teknik menyampaikan doa
seperti itu masih cocok dengan abad informasi seperti sekarang. Mengapa di zaman komputer, e-
74 by Moezhanks
mail, dan SMS ini kita masih mengirim doa dengan menggunakan teknik memanjat. Alangkah
lambatnya doa itu akan sampai.
Tentu kata memanjat hanya simboliasi atau penyastraan. Dan lagi, Tuhan toh tidak akan
membedakan doa yang dikirim dengan cara dipanjatkan, yang di-e-mail-kan, atau yang di-compress-
kan seperti yang dilakukan golongan tasawuf Shatariyah. Tapi, penggunaan term panjat juga
mencerminkan ketertinggalan kita dalam menggunakan teknologi yang tersedia. Pak Nuh, mantan
rektor ITS yang kini menteri informasi, bisa malu. (Bersambung)
Ganti Hati 26 Transplantasi Berhasil, Istri Gembira karena Wajah Berubah
20 September 2007
KALAU saja foto liver lama saya dimuat di koran tanpa penjelasan (foto-foto itu akan dimuat di edisi
buku), setidaknya akan muncul tiga versi tanggapan. Orang di desa saya akan langsung mengatakan,
Pasti ini karena disantet. Begitu jugalah dulu penilaian terhadap ibu saya. Juga terhadap kakak
saya.
Liver saya memang seperti daging yang dibakar setengah matang! Pasti ketika menyantet saya, si
penyantet membeli hati sapi dulu. Lalu memanggangnya. Asapnya lantas di-email-kan ke dalam
tubuh saya. Karena maraknya pandangan santet di masyarakat kita, maka yang maju lantas dunia
mistik dan bukan rasionalitasnya.
Pandangan kedua akan datang dari kalangan agama yang berpandangan sempit. Yang suka marah-
marah, termasuk di mimbar Jumat. Kalangan ini, kalau melihat hati seperti itu, akan langsung
mengambil kesimpulan: Tuhan telah murka padanya. Bahkan, bisa-bisa mengerasnya liver saya
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sadat qulbuha (sudah keras hatinya), agar mirip dengan ayat
Quran yang sangat terkenal, fasadat qulubuhum.
Kalangan ini sudah kritis lagi, karena emosi lebih besar daripada rasio. Bahkan, lupa bahwa kata
dalam bahasa Arab qalb (kalbu) artinya bukan hati -dalam pengertian liver. Liver bahasa Arabnya
kabid. Lupa bahwa qalb itu artinya jantung. Ini memang agak kacau. Direktur Radar Banyuwangi,
Samsudin Adlawi (Udi), orang yang paling jago bahasa Arabnya di lingkungan Group Jawa Pos, pernah
saya Tanya arti qalb. Ini karena saya juga ragu akan ingatan bahasa Arab saya. Begitu saya tanya,
Udi spontan menjawab: qalb artinya hati!
Lantas saya tanya lagi. Mengapa kok lambang cinta itu gambar jantung? Mengapa dalam bahasa
Inggris disebut heart? Dan, dalam bahasa Mandarin disebut xin? Rupanya dia baru berpikir ulang.
Lalu bergegas meralat jawaban pertamanya. Saya tadi salah. Memang qalb itu artinya jantung.
Sedang liver adalah kata Udi yang juga sastrawan itu. Bayangkan, Udi yang demikian mahir
bahasa Arab terbius oleh sesuatu yang salah, tapi sudah memasyarakat.
Memang, kita lupa mempersoalkan mengapa para ahli bahasa dulu menerjemahkan kata liver
(bahasa Inggris) menjadi hati dalam bahasa Indonesia? Kini sudah sulit mengubah agar liver jangan
lagi diterjemahkan menjadi hati. Sudah telanjur begitu mendarah-mendaging. Kalau diubah, nanti
bisa banyak sekali konsekuensinya. Misalnya kata patah hati harus diubah menjadi patah liver.
Atau patah jantung (broken heart).
75 by Moezhanks
Jadi, sebaiknya, urusan ilmiah memang jangan terlalu dikait-kaitkan dengan keyakinan keagamaan,
apalagi ketakhayulan. Kalau toh dikaitkan, harus dalam rangka dzikir, bahwa Tuhan telah
memberikan manusia otak yang luar biasa cerdasnya. Begitu hebat pemberian itu sehingga harus
digunakan sebanyak-banyaknya. Padahal, orang yang paling pinter pun baru menggunakan sebagian
saja otaknya. Kita-kita barangkali baru menggunakan lima persennya. Kita tidak boleh memubazirkan
rezeki dari-Nya itu. Kalau sedikit-sedikit sudah harus lari ke doktrin, kita akan semakin terbiasa tidak
menggunakan ciptaan-Nya itu.
Maka, kalau istri saya merasa sangat gembira akan keberhasilan transplantasi liver ini, antara lain
karena wajah saya kini sudah sedikit berubah. Dia tidak perlu lagi menghadapi rasa malu karena
suaminya meninggal dalam keadaan wajah menghitam.
Memang setelah 1,5 bulan transplantasi, wajah saya yang sudah dua tahun menghitam, kini kembali
hitam. Maksud saya kembali ke hitam yang aslinya. Bukan hitam karena sirosis. Kini wajah saya
sudah boleh dibilang kembali seperti hitamnya kereta api (duile!), meski hitam banyak yang antre.
Imbuhan kata terakhir itu bukan asli ciptaan saya. Anak kalimat itu adalah keputusan yang diambil
dalam kongres para pemilik kulit keruh, untuk sedikit mengangkat derajat mereka.
Kini kaki saya juga tidak bengkak lagi. Meski begitu, saya masih sering memijit-mijitnya. Setengahnya
karena sudah menjadi kebiasaan selama dua tahun terakhir, setengahnya lagi untuk mengetes
apakah dekok akibat pijatan itu bisa cepat kembali. Ternyata biarpun saya pijit kuat-kuat, bukan lagi
dekoknya cepat kembali, bahkan tidak bisa dekok sama sekali. Dulu, setiap memijat kaki, selalu
berharap ada mukjizat atau keajaiban. Tapi, setiap kali saya memijit kaki, setiap itu pula saya
disadarkan bahwa keajaiban tidak berlaku di bidang yang amat scientific ini.
Kini saya kembali sering memijit kaki saya dengan sangkaan sebaliknya: jangan-jangan bengkak lagi.
Saya juga tidak lagi membenci kaus kaki. Tapi, pada keadaan tidak membenci kaus kaki itu, justru
saya tidak terlalu memerlukannya. Tanpa kaus kaki pun kini perut tidak merasa kembung.
Bagaimana dengan payudara saya? Tiap hari saya masih meraba-rabanya. Masih tetap besar, tapi
sudah mulai mengencang. Dokter bilang, lama-lama juga akan kembali normal. Saya belum bisa
memperkirakan apakah saya akan lebih senang dengan payudara saya yang asli. Atau justru sudah
terbiasa nyaman dengan payudara seperti gadis yang menginjak remaja.
Limpa saya, yang meski sudah dipotong sepertiga, tapi masih dua kali lipat lebih besar dari limpa asli,
lama-lama juga akan kembali normal. Demikian juga saluran pencernakan yang telanjur
dilaminating. Tidak perlu lagi dilaminating kedua atau ketiga.
Membaca SMS mengenai mulai pulihnya organ-orang di tubuh saya, seorang teman masih sempat
menggoda saya dari Musi Banyuasin, Sumsel, sana: Apakah bulunya yang dicukur juga sudah
kembali normal? tulisnya di SMS. Untung, dulu tidak jadi minta dikembalikan. Bisa-bisa susternya
marah dan mengembalikannya ke dekat payudara, tambahnya.
Saya makin sembuh, suasana pengajian di rumah juga lebih ceria. Berbeda dengan saat para
karyawan berkumpul untuk berdoa di rumah menjelang saya operasi. Saat itu suasananya murung.
Minggu lalu diadakan acara pengajian dan hafalan Alquran sehari penuh hingga tarawih. Para hafidz
(penghafal) Alquran di Surabaya memang aktif berkumpul sebulan sekali di tempat berpindah-
pindah. Tiap tiga bulan sekali di rumah saya
76 by Moezhanks
Kini saya sudah bisa membuat perencanaan. Dulu, begitu tidak pastinya penyembuhan sakit saya,
saya tidak berani bikin perencanaan yang agak panjang. Bahkan, tidak berani bikin janji kapan
menerima tamu dan kapan harus rapat. Kecuali yang amat penting.
Perencanaan pertama yang muncul di pikiran saya adalah apa yang diucapkan Cak Nur. Yakni, ketika
pemikir itu ditanya mengenai apa bagaimana berislam yang baik dan enak. Bekerjalah yang
sungguh-sungguh, kata Cak Nur. Lalu mengisahkan keberhasilan Daud mengalahkan Jalut (Goliat). Di
akhir ayat yang mengisahkan soal ini, tertulis Bekerjalah, wahai keluarga Daud, sebagai tanda syukur
kepada-Ku. Bersyukur dengan cara bekerja keras. Itulah juga yang akan saya tiru. Saya akan
mensyukuri keberhasilan transplantasi liver saya dengan meneruskan kerja keras. Apalagi, seperti
dikatakan Cak Nur, bekerja adalah tingkatan syukur yang tertinggi setelah mengucapkan
alhamdulillah dan istighfar (minta ampun).
Saya sudah beberapa kali mengucapkan alhamdulillah. Juga sudah sering mengucapkan istighfar.
Tinggal, begitu sembuh, kerja keras lagi. (Bersambung)
Ganti Hati 27 Liver Ganti, Khawatir Berubah Tak Bisa Menulis Baik
21 September 2007
KARENA yang diganti ini adalah hati, apakah perasaan saya tidak berubah? Pertanyaan itu bahkan
datang dari diri saya sendiri. Sejak sebelum dilakukan transplan sampai sesudahnya. Gara-garanya,
literatur yang mengatakan bahwa banyak kasus si penerima organ akan mengalami perubahan.
Tim saya juga mengatakan begitu. Ada yang menerima informasi bahwa kenalannya langsung
berubah menjadi amat jeleknya. Liong Pangkiey, pemilik pabrik sepatu di Surabaya yang asli
Gorontalo itu, kirim SMS bahwa temannya ganti ginjal. Setahun kemudian, badannya menjadi
berbulu. Ini karena donornya dari India.
Bahkan, keluarga salah satu direksi Grup Jawa Pos sendiri mengalaminya. Anaknya harus
transplantasi ginjal di Guangzhou. Karena masih keturunan Arab, tentu anaknya juga masih
membawa ciri-ciri fisik bapaknya. Operasi itu sukses sekali. Anaknya tumbuh dewasa, kemudian
berumah tangga. Anehnya, setelah istrinya melahirkan, anaknya seperti Tionghoa. Kulitnya putih
bersih.
Suatu saat, si bapak kembali ke Guangzhou bersama anaknya yang masih kecil yang seperti anak
Tionghoa itu. Maksudnya akan memeriksakan ginjalnya setelah lebih dari 10 tahun transplantasi.
Ketika di rumah sakit, si kecil pergi ke taman bermain dengan pamannya yang juga membawa ciri
fisik keturunan Arab. Waktu senja sudah tiba, si paman mengajak si kecil kembali ke hotel. Tapi, si
kecil tidak mau. Bahkan sampai menangis. Saat menangis itulah, si paman memaksa
menggendongnya pergi. Si kecil kian berontak dan berteriak-teriak.
Melihat orang Arab membawa pergi anak Tionghoa sampai menjerit-jerit itu, polisi turun tangan. Si
paman diamankan dengan sangkaan melarikan anak penduduk setempat. Terpaksa si paman
menelepon bapak si kecil. Akhirnya, urusan selesai.
Saya sendiri, ketika baru sebulan antre untuk mendapatkan donor, membawa koran lokal yang juga
memberitakan kejadian serupa. Kali ini menyangkut wanita Shanghai yang baru transplantasi jantung
77 by Moezhanks
di Kota Shenyang. Waktu itu jantungnya mogok di atas pesawat dalam penerbangan Shanghai-
Shenyang. Turun pesawat, langsung dilarikan ke RS dan harus menjalani transplantasi.
Wanita itu biasanya pemurung, tidak mau keluar rumah, penakut, dan introvert. Tapi, beberapa
bulan setelah operasi, dia mulai menyenangi internet, mengendarai mobil, dan banyak omong.
Bahkan kalau naik mobil suka ngebut, ujar suaminya seperti diberitakan China Daily. Yang lebih
mengherankan lagi, wanita itu kemudian suka main saham di pasar modal. Koran tersebut juga
menampilkan foto keluarga itu yang lagi bergurau di rumahnya. Saya menjadi agak khawatir pada
istri saya, kata suaminya.
Saya juga sering membayangkan jangan-jangan mengalami hal yang sama. Kalau itu sampai terjadi,
apakah yang paling saya takutkan?
Kekhawatiran utama saya ternyata ini: tidak bisa lagi menulis baik. Karena itu, seminggu setelah
operasi, saya sudah minta laptop. Saya memaksakan diri untuk memulai menuliskan pengalaman
saya ini. Sebagian agar tidak ada catatan di otak saya yang hilang, sebagian lagi untuk mengetes
apakah saya masih bisa menulis dengan baik.
Kini giliran saya bertanya kepada pembaca: Apakah ada perubahan dalam gaya penulisan saya?
Memang, ada seorang teman yang setengah bertanya dan setengah menyesalkan: Penyakit kok
diberitahukan ke orang-orang. Secara terbuka, di koran lagi. Kepadanya saya jelaskan bahwa saya
dulu, ketika masih jadi pemimpin redaksi Jawa Pos, sering menugasi wartawan agar mewawancarai
tokoh-tokoh yang berhasil mengatasi penyakitnya. Tidak semua orang bisa menulis baik. Karena itu,
harus wartawan yang menuliskan ceritanya. Karena itu, saya harus fair. Ketika saya sendiri
mengalami itu, saya harus mau menuliskannya.
Tapi, mengapa tidak disertai foto-foto? Bukankah Anda dulu mengajarkan setiap features harus
disertai foto? Kalau perlu pinjam ke sumber berita? tanya Edy Aruman, mantan redaktur Jawa Pos
yang kini menjadi redaktur majalah Swa.
Saya jawab: Kali ini saya memang minta jangan ada satu foto pun yang disertakan dalam tulisan ini.
Mengapa? Ada dua tujuan. Pertama, saya akan mengetes diri sendiri agar dalam tulisan ini
memberikan sebanyak mungkin deskripsi. Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar
jangan mengabaikan diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang dianggap sepele, tapi
sebenarnya penting. Sebuah tulisan yang deskripsinya kuat, begitu saya mengajarkan, bisa membawa
pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri suatu kejadian. Deskripsi yang kuat bisa membuat
pembaca seolah-olah merasakan sendiri kejadian itu. Deskripsi yang kuat bahkan bisa menghidupkan
imajinasi pembaca. Imajinasi pembaca kadang lebih hidup daripada sebuah foto. Inilah salah satu
kunci kalau jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus jurnalistik audio visual.
Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya harus pendek. Kalimat pendek,
begitu saya mengajar, akan membuat tulisan menjadi lincah. Kalimat-kalimat yang panjang membuat
dada pembaca sesak. Semakin pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing
yang banal. Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang. Kutipan itu -direct
quotation-juga harus pendek-pendek. Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat
panjang sama saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan selingan
kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca seolah-olah bercakap-cakap sendiri
dengan sumber berita.
78 by Moezhanks
Alasan kedua mengapa foto tidak disertakan di tulisan ini adalah: Semua foto akan dimuat ketika
tulisan ini diterbitkan dalam bentuk buku. Foto-foto seputar operasi, termasuk foto-foto liver saya
yang lama.
Sebenarnya, masih ada satu lagi ide saya yang akan saya sumbangkan ke dunia jurnalistik. Ide ini
sudah saya kemukakan lima tahun yang lalu, namun penerapannya masih memerlukan pembuatan
software komputer. Saya tidak puas dengan lambatnya pelaksanaan ide ini karena saya tidak lagi
dalam posisi pemimpin redaksi. Padahal, ide ini penting justru untuk menyesuaikan praktik jurnalistik
di alam kebebasan mutlak seperti sekarang. Dalam alam demokrasi seperti ini, tanggung jawab justru
lebih besar. Prinsip-prinsip jurnalistik yang baik harus lebih dipentingkan.
Misalnya mengenai cover both side, pemberitaan yang berimbang. Maka, saya ingin di setiap
komputer yang digunakan reporter dilengkapi software check-list. Setiap kali reporter selesai menulis
berita kan harus mengirimkannya ke redaktur untuk diedit. Dalam proses pengiriman berita dari
komputer ke komputer itu, reporter harus menekan tombol kirim. Nah, saat menekan tombol
kirim itulah, saya ingin agar di layar komputer muncul dulu sejumlah pertanyaan yang harus diisi si
reporter. Misalnya: Apakah Anda sudah membaca ulang tulisan Anda? Di belakangnya dimunculkan
kolom isian: sudah dan belum. Kalau belum, dia tidak akan bisa menekan tombol kirim. Lalu,
pertanyaan sudah berimbangkah berita yang Anda tulis? Apakah pihak-pihak yang Anda tulis sudah
diwawancara? Dan seterusnya. Setiap pertanyaan disertai kolom isian. Kalau tidak mengisinya, si
reporter tidak bisa menekan tombol kirim. Kalau kelak ada reporter yang menipu dengan cara
mengisi kolom yang salah, tanggung jawabnya jelas.
Saya berharap software yang saya inginkan itu segera dibuat. Lalu, Jawa Pos-lah yang pertama
menerapkannya. Itu bukan saja menjadi sumbangan saya ke dunia jurnalistik berikutnya, tapi juga
sumbangan IT ke dalam jurnalistik. Maka, saya bisa menyumbangkan ilmu manajemen ke dalam
jurnalistik melalui penerapan rukun iman Jawa Pos. Lalu, menyumbangkan software untuk prinsip
cover both side yang penting itu. Di tulisan mendatang saya juga akan menceritakan sumbangan
ilmu tauhid ke dalam bisnis dan manajemen. Sumbang-menyumbang dari satu disiplin ilmu ke ilmu
yang lain, apa salahnya dilakukan. Untuk kemajuan.
Saya sendiri tidak tahu apakah tulisan saya mengenai pengalaman ganti liver ini masih
mencerminkan doktrin jurnalistik saya itu. Kalau tidak, berarti juga ada kemunduran dalam
kemampuan saya menulis. Dan jangan-jangan, itu karena saya ganti liver.
Setiap membicarakan persiapan transplantasi, tim saya ternyata juga sering menyinggung
kemungkinan perubahan perilaku saya pascatransplantasi. Tentu dengan nada penuh humor.
Melinda Teja, bos Pakuwon Jati itu, misalnya.
Saya sangat khawatir kalau liver yang didonorkan itu punya sifat asli seorang gay, gurau Melinda.
Kalian yang laki-laki harus waspada, tambahnya.
Saya justru khawatir kalau itu liver Laura, ujar yang lain. Kita harus segera carikan pekerjaan yang
cocok, tambahnya. Laura yang dimaksud adalah lanang ora, wedok ora (tidak laki-laki dan juga
tidak perempuan).
Sampai hari ini, saya belum merasakan perubahan apa-apa. Tapi, diri sendiri kadang memang tidak
bisa merasakan. Orang lainlah yang tahu. Kalau saja seperti itu, tentu saya berharap segera diberi
tahu. Jangan hanya dijadikan bahan gosip semata.
79 by Moezhanks
Yang jelas sudah berubah adalah perut saya. Akibat sayatan pisau bedah yang panjang, kulit perut
saya tidak mulus lagi. Ada sederet bekas jahitan yang kasar. Rupanya, tim dokter tidak membawa
ahli obras malam itu, ujar tim kami. Karena itu, saya lagi mengusahakan untuk memperhalusnya.
Ada cara yang katanya cukup mujarab. Terutama yang biasa digunakan ibu-ibu yang melahirkan
secara caesar. Lebih terutama lagi ibu-ibu di Amerika. Yakni silicon scar treatment. Saya masih
memesannya lewat internet karena hanya di AS barang itu dijual. Kalau saja usaha itu tidak berhasil,
anggaplah saya baru saja melakukan caesar tiga kali berturut-turut. (Bersambung)
Ganti Hati 28 Tunggu Pulang Diimunisasi Hepatitis B, Saingi Cucu
22 September 2007
TEPAT sebulan setelah transplantasi, dokter sudah mengizinkan saya pulang. Jadi, 6 September yang
lalu sebenarnya saya sudah bisa kembali ke Indonesia. Tapi, tim saya, terutama Robert Lai, minta
saya lebih bersabar. Tim Surabaya juga demikian. Bahkan, ada yang minta biar enam bulan baru
pulang juga lebih baik. Dia tahu, kalau pulang, saya pasti langsung lupa diri. Kalau selama ini sudah
sabar enam bulan, mengapa tambah dua bulan lagi tidak kuat? tambah Ir Budiyanto, perancang
Gedung Jatim Expo dan Rumah Cepat Tsunami Aceh, ketika menjenguk saya.
Dulu Budi itu, saya kira, seorang Kristen. Dia Tionghoa dan lulusan Fakultas Teknik Universitas Kristen
Petra Surabaya. Sebuah konotasi yang ternyata salah. Ini baru saya ketahui setelah bertahun-tahun
kenal. Apakah tidak ke gereja? tanya saya saat dia mengajak rapat soal Aceh di hari Minggu. Saya
bukan Kristen, Pak, jawabnya. Oh, berarti dia Konghucu atau Buddha. Saya berpikir salah sekali lagi.
Saya penganut Sapto Dharmo, jawabnya. Bahkan, kemudian, saya tahu dia salah satu tokohnya.
Makanya, ketika saya ajak omong Mandarin, dia tidak nyambung. Aneh. Dia Tionghoa, bicaranya
kromo inggil. Saya yang Jawa bicara Mandarin. Sejak itu, saya selalu kromo inggil kepadanya. Agar
tidak lupa bahasa Jawa tinggi itu. Sebab, di rumah saya menggunakan bahasa Banjar. Kromo inggil
pas sekali kalau dipakai bicara soal ajaran sangkan paraning dumadi, filsafat ojo dumeh dan hukum
timba sing kudu nggoleki sumur. Saling SMS dan email pun pakai kromo inggil hingga suatu saat
kebentur kata forward. Nah, apa kromo inggil untuk forward?
Keinginan pasien untuk cepat-cepat pulang memang agak ajaib. Begitu seminggu setelah operasi
berhasil (umumnya mereka tandai dengan bisa jalan-jalan), pasien langsung membuat rencana
tanggal berapa akan pulang. Fokus pikiran sudah berubah: Pulang! Pulang! Pulang! Ini bagian dari
misteri rumah, misteri kampung halaman. Itu sebabnya bahasa Inggris membedakan mana kata
rumah (house) dan mana kata rumah (home).
Suasana kebatinan setelah operasi mirip dengan setelah berhaji di Makkah. Sebelum tiba hari
pelaksanaan haji, biar dua bulan menunggu pun asyik-asyik saja. Semangat menjalani ibadah luar
biasa. Tawaf (berjalan memutari Kabah) dilakukan berkali-kali -meski tawaf di mal dan
supermarket juga tidak bosan-bosannya. Sudah tawaf siang hari, mencoba sore hari. Sudah pagi hari
mencoba malam hari. Rasanya ingin terus dekat dengan Kabah dan mencium berkali-kali hajar
aswad, sebuah batu hitam (blackstone) di pojok Kabah. (Waktu saya menulis bahwa Tiongkok
dengan kekayaan barunya sudah mampu membeli saham perusahaan raksasa Amerika yang
bernama Blackstone, seorang pembaca mengirim SMS ke saya: Tiongkok sudah pula membeli hajar
aswad?)
80 by Moezhanks
Karena itu, suasana di sekitar Kabah tidak pernah sepi. Kemacetan manusia selalu terjadi di sekitar
hajar aswad. Mereka berebut menciumnya. Kadang dengan cara menyikut dan menyingkirkan orang
lain. Saya tidak sampai hati melihat pemandangan itu. Karena itu, meski entah sudah berapa kali saya
ke Makkah, saya belum bisa mencium hajar aswad -secara fisik. Saya tidak tega kalau harus berebut
seperti itu caranya. Maka, saya selalu berusaha menciumnya dengan hati saya yang dalam. Hati
dalam pengertian pedalaman saya -bukan hati dalam pengertian liver saya. Tuhan pasti tahu isi
pedalaman saya. Uda, Tuhan kita adalah Tuhan yang cerdas, kata Pinto Janir dari Padang kirim SMS
ke saya. Toh mencium hajar aswad itu bukan rukun tawaf. Bahkan, Syayidina Umar pernah
mengatakan, Kalau bukan karena Rasulullah pernah menciumnya, saya tidak akan sudi
menciumnya. Tentu, suatu saat saya akan menciumnya. Mungkin akan ada manajemen yang lebih
baik untuk mengatur antrean itu.
Ada terus kegiatan orang di Makkah sebelum hari haji. Tapi, begitu pulang dari Padang Arafah,
apalagi begitu selesai salat Idul Adha, rasanya sudah amat berbeda. Antiklimaks yang tajam. Bagi
yang masih lama dapat giliran pulang, luar biasa tidak sabarnya.
Begitu juga pasien transplan liver. Begitu bisa jalan, pikirannya sudah langsung fokus ke pulang.
Maklum, sudah terlalu lama menunggu di rumah sakit ini. Sudah antiklimaks.
Pasien dari Taiwan umumnya sudah pulang sebulan setelah transplantasi. Pasien Jepang bahkan tiga
minggu sudah check-out. Mereka memang tidak perlu khawatir. Di dua negara itu ada rumah sakit
yang punya pengalaman merawat pasien pascatransplan. Bahkan sudah menjadi seperti satu
network dengan pusat transplan di Tiongkok ini. Sedang kalau saya pulang, kalau terjadi apa-apa,
rumah sakit mana yang punya pengalaman cukup untuk pasien seperti saya?
Walhasil, saya memutuskan baru akan kembali ke Surabaya sekitar seminggu setelah Lebaran.
Kebiasaan saya Lebaran di Makkah tidak bisa saya lakukan lagi tahun ini.
Ternyata benar juga bahwa saya tidak buru-buru pulang. Saya masih harus menjalani satu proses
yang amat lucu: Imunisasi hepatitis B. Saya tersenyum mendengar bahwa saya harus menjalani
beberapa kali suntikan imunisasi. Sudah umur 56 tahun baru imunisasi. Bersaing dengan Icha, cucu
saya, kata saya pada suster yang akan menyuntik. Suster tertawa. Saya kembali tersenyum. Kecut.
Hasil tes terakhir memang menunjukkan bahwa liver baru saya bersih. Tidak kejangkitan hepatitis
atau sel bibit kanker. Karena itu harus segera dilindungi dari dua makhluk halus (karena hanya bisa
dilihat oleh mikroskop) yang pernah mengancam jiwa saya itu.
Saya dapat informasi bahwa dokter-dokter anak di Surabaya juga kebanjiran bayi yang minta
diimunisasi hepatitis B. Yakni pada hari saya mengungkapkan mengapa saya sampai menderita
penyakit seperti itu. Jam lima pagi sudah lima ibu yang mendaftar, kata dr Wawan yang dulu
pernah jadi anggota yang aktif di Dewan Pembaca Jawa Pos. Saya kaget. Kok tumben. Oh, agak siang
sedikit, saya baru tahu sebabnya. Pasti pagi-pagi mereka sudah baca Jawa Pos, tambahnya.
Departemen Kesehatan harus membayar Anda. Kampanye yang berhasil, tulisnya di SMS-nya.
Tentu, saya tidak mengharapkan bayaran itu. Saya sudah amat senang kalau tulisan saya ini
memberikan manfaat. Bahkan, saya berencana mendirikan lembaga yang tugasnya gerilya ke
kawasan-kawasan miskin untuk mencari anak yang belum diimunisasi. Saya akan membiayai kegiatan
itu. Saya perlu sejumlah tenaga yang punya antusiasme menangani pekerjaan tersebut. Diam-diam,
tekun, dan njlimet.
Karena teman-teman se-angkatan saya sudah pada pulang, tinggal saya sendiri yang dari Angkatan
April 2007. Tidak ada lagi teman-teman lama yang saya kunjungi setiap hari. Saya harus mencari
kawan baru. Berarti juga harus mau menjadi narasumber untuk bagi-bagi pengalaman kepada
81 by Moezhanks
mereka. Saya melakukannya dengan senang hati. Hati baru, tentunya. Saya ingin ikut memberikan
semangat agar mereka optimistis menghadapi operasi besar. Saya pun merasa dapat semangat yang
sama dari pasien yang menjalani transplan sebelum saya. Saya merasa mereka beri semangat. Giliran
saya memberikan semangat. Toh, saya tidak harus membeli semangat.
Sebelum operasi, saya memang suka bertanya kepada pasien yang baru saja menjalani operasi. Atau
ke keluarga mereka. Jawaban-jawaban itu tidak terlalu memengaruhi psikologi saya. Tapi, begitu
pertama melihat pasien yang jalan-jalan di koridor rumah sakit dengan kantong plastik berisi cairan
merah menggantung di pinggangnya, saya tertegun. Oh, begini ya orang habis transplantasi, pikir
saya. Badannya lebih kurus daripada yang saya lihat sebelum operasi. Jalannya thimik-thimik pelan.
Lengannya dipegangi oleh suster. Mulutnya, juga mulut susternya, dipasangi masker.
Lalu, saya tanya kepada susternya: Sudah berapa hari dia operasi? Tepat seminggu yang lalu,
jawabnya. Oh! Baru seminggu yang lalu! Sudah bisa jalan, meski thimik-thimik. Meski badannya
kelihatan lemah, wajahnya segar. Juga lebih merah. Lebih segar dan merah daripada yang saya lihat
sebelum operasi. Seminggu sudah bisa jalan! Saya pun akan begitu nanti! Seminggu, Dahlan, hanya
seminggu! Sudah bisa jalan! Kau nanti juga harus begitu! Kalau perlu lima hari!
Dengan melihat contoh nyata itu, optimisme saya kian menyala-nyala. Saya kian rajin senam untuk
membuat badan saya lebih segar. Saya lebih semangat makan, tanpa harus merasakan enak-
tidaknya. Kalau badan saya lebih kuat, tentu lima hari setelah operasi sudah bisa jalan. Dia saja, yang
badannya memang sudah kurus dan umurnya sudah 62 tahun, seminggu sudah bisa jalan.
Rasa optimistis kian hari kian besar setelah melihat pasien tadi di hari-hari berikutnya. Kian hari kian
cepat jalannya. Juga kian segar badannya. Pasien kedua yang saya lihat pun begitu. Pasien ketiga juga
sama. Pasien keempat, kelima, dan seterusnya. Semua kurang lebih sama. Jadi, ajaib memang
transplantasi ini. Bahkan, pasien yang sebelum operasi kelihatan matanya sudah amat keruh, sudah
tergeletak tidak bisa berjalan, napasnya sudah tersengal-sengal, seminggu setelah operasi juga sudah
bisa jalan.
Suatu saat ada contoh-hidup yang lain. Serombongan besar orang Korea memenuhi lantai 11. Ada
pemandu wisatanya. Wisatawankah mereka? Mereka adalah orang-orang yang dua-tiga tahun lalu
transplantasi di sini, kata seorang perawat. Mereka ingin datang lagi bersama keluarga dan kerabat.
Untuk menunjukkan di sinilah dulu mereka dapat sambungan nyawa.
Tiba-tiba saya penasaran, ingin bertanya masak kini mereka bisa begitu sehatnya. Ternyata dengan
suka rela mereka menceritakan segala pengalamannya. Bahkan, tiga orang di antara mereka (antara
umur 60 dan 70 tahun) mau saya ajak masuk kamar saya. Agar bisa bicara lebih santai. Di kamar saya
semangatnya menjadi-jadi. Lihat ini, katanya sambil menyingkap bajunya. Terlihatlah di kulit
perutnya bekas sayatan dan jahitan yang panjang. Begitu jugalah saya nanti, pikir saya.
Selama empat bulan menunggu operasi, saya hanya sekali mendengar orang meninggal. Yakni yang
transplantasi enam bulan sebelumnya. Dia seorang wanita 60-an tahun dari Pakistan. Konon, seorang
anggota parlemen. Transplantasinya sukses dan amat sehat. Sebulan setelah transplantasi langsung
pulang. Mungkin memang politisi yang sibuk. Di negaranya langsung aktif karena memang terasa
sudah amat sehat.
Perawatan terhadap slang yang masih ada di pinggangnya pun dilakukan di negerinya. Slang itu,
berikut kantong plastik kecil, memang masih terus akan di situ selama tiga bulan. Tiap dua minggu
harus dibersihkan dan dirawat. Agar tidak jadi sumber infeksi. Bahkan, tiga bulan kemudian, waktu
seharusnya dia kembali ke Tiongkok untuk mengeluarkan benda yang dipasang untuk menyambung
livernya dulu, dia tidak ke Tiongkok. Dilakukan sendiri oleh dokter setempat karena dia juga ahli.
82 by Moezhanks
Beberapa saat setelah itu, dia bahkan pergi naik haji. Entah proses pengambilan benda asing itu yang
salah atau karena kegiatannya yang berlebihan, dia terkena infeksi. Kian lama kian parah. Lalu datang
lagi ke Tiongkok untuk menyelamatkannya.
Di Tiongkok dia akan ditransplantasi sekali lagi, namun menunggu kondisi badannya stabil. Yang
ditunggu tidak segera tiba. Bahkan memburuk. Dan akhirnya meninggal.
Saya harus belajar dari pengalaman itu. Saya tidak harus buru-buru pulang. (Bersambung)
Ganti Hati 29 Sering Kaget Disapa Wanita Modis dan Ceria dalam Lift
23 September 2007
DI masa menanti waktu pulang ini, saya kehilangan dua teman wanita yang paling saya akrabi.
Keduanya tinggal di lantai yang sama. Satu dari Jepang, satunya lagi dari Harbin, Tiongkok. Saya
sering sekali mengunjungi kamar masing-masing dan ngobrol berlama-lama. Terutama kalau istri
saya pergi belanja. Apalagi mereka senasib: juga hepatitis, sirosis, dan kanker hati. Kami biasa saling
curhat.
Yang wanita Jepang amat modis. Bajunya bagus-bagus dan mahal-mahal. Rambutnya disasak tinggi.
Sepatunya seperti Cinderella. Dia sendirian. Tidak satu pun keluarganya mendampingi. Dia juga tidak
bisa berbahasa Mandarin sehingga hanya saya pasien yang bisa dia ajak ngobrol dalam bahasa
Inggris.
Dua wanita itu juga amat mengesankan. Bicaranya, guraunya, dan intelektualnya bisa nyambung
dengan saya. Dua-duanya juga amat cantik -terutama kalau penilaian ini saya berikan 35 tahun yang
lalu, saat keduanya masih kira-kira berumur 30 tahun.
Saya nanti tidak sesukses kamu, kata wanita yang dari Jepang itu suatu saat kepada saya. Dia ngiri
melihat badan saya yang sehat dan agak gemuk. Saya memang tidak menceritakan bahwa gemuk
saya waktu itu karena bengkak. Umur saya sudah 72 tahun, tambahnya.
Wanita yang dari Harbin lebih mengeluh lagi. Bukan saja mengenai umurnya, tapi juga kondisi
badannya. Perut saya sudah berisi air, katanya. Kalau saja dia masih muda, tentu orang akan
mengira dia hamil. Umur saya juga sudah 69 tahun, tambahnya. Lebih dari itu dia juga mengidap
sakit gula.
Saya memahami keadaannya. Saya tahu bahwa sakit gula akan menjadi salah satu faktor yang
memengaruhi sukses tidaknya transplantasi. Tapi, saya tidak menceritakan bagian ini padanya. Saya
ceritakan kenyataan bahwa ada pasien lain yang juga punya sakit gula toh berhasil dengan baik juga.
Di lain waktu wanita Harbin tadi curhat yang lain lagi. Saya nanti pulangnya mungkin paling
belakangan, katanya. Kalian sudah pulang semua, saya akan masih di sini. Sendirian, katanya. Saya
menjawab: Saya juga tidak akan buru-buru pulang. Saya juga berjanji kepadanya untuk terus
memberinya semangat. Saya cepat akrab dengan wanita Harbin ini, antara lain, karena saya pernah
lama di sana: Belajar bahasa Mandarin dengan cara home stay. Juga sudah tak terhitung lagi berapa
kali saya ke Harbin sesudah itu.
83 by Moezhanks
Benar saja, si Cinderella sangat berhasil operasinya. Pasti semakin modis dia nanti. Juga benar bahwa
seminggu setelah operasi dia sudah menentukan tanggal pulang. Dokter saya di Jepang yang minta
saya segera pulang. Menjalani perawatan di sana, katanya seperti minta pengertian. Tentu kami
tetap menampakkan kegembiraan kami bahwa dia begitu sukses dengan transplantasinya.
Yang wanita Harbin juga sudah menjalani transplantasi. Juga sukses. Perut saya yang mulai buncit
dulu itu, sudah hilang, katanya dengan meraba-raba perutnya. Benar, saya lihat perutnya sudah
hilang. Meski memang lebih lambat mulai bisa turun dari tempat tidur, bicaranya sudah keras dan
tegas. Juga sudah bisa tertawa, meski kalau tertawa lantas kian terlihat umurnya yang sebenarnya.
Saya sendiri akhirnya mendapat gelar yuan lao di rumah sakit ini. Penghuni lama. Pasien yang
kerasan di rumah sakit. Tidak buru-buru pulang. Karena yuan lao, saya sangat hafal pada perawat,
pegawai, dan dokter di rumah sakit ini. Mereka juga hafal pada saya.
Meski begitu hafal, saya masih sering kecele kalau suatu saat disapa wanita yang sangat modis dan
ceria di dalam lift atau di lobi. Terutama pada jam-jam pulang atau berangkat kerja. Siapa ya wanita
cantik ini, sering saya bertanya dalam hati. Eh, baru sadar bahwa mereka adalah perawat atau
pesuruh yang tadi melayani saya.
Rupanya mereka biasa ganti-ganti baju. Begitu selesai bertugas, para perawat itu ganti pakaian
seperti model. Bajunya, tatanan rambutnya, cara membawa tasnya, sama sekali tidak menyangka
kalau dia tadi yang pakai baju perawat dengan topi putih. Dia sering menyapa, tapi saya seperti tidak
kenal lagi siapa dia.
Perawat di sini memang disediakan kamar mandi dan ganti baju. Setiap masuk kerja mereka mandi
dulu dan baru ganti baju perawat. Demikian juga ketika pulang kerja. Ini agar kuman yang terbawa
perawat saat berangkat kerja tidak terbawa ke pasien.
Yang seperti itu tidak hanya perawat. Pesuruh dan tukang pel lantai pun idem ditto. Sewaktu
bertugas mengepel kamar saya, pakaiannya baju-kerja penyapu lantai. Sepatunya sepatu kungfu
yang murahan. Tapi, begitu pulang, sungguh membelalakkan mata. Bajunya you can see, celananya
hot pants (maklum, musim panas) dan rambutnya dimain-mainkan seperti artis Korea. Mereka sama
sekali tidak punya rasa rendah diri meski pekerjaannya tukang pel lantai. Sebaliknya, meski berangkat
kerja dengan amat modis, ketika kerja tidak ogah-ogahan.
Saya ingat direktur saya Zainal Muttaqien. Kami sering diskusi soal kemiskinan di Indonesia dan
Tiongkok. Mengapa orang di Tiongkok yang juga banyak sekali yang lebih miskin dari orang miskin
Indonesia, harga dirinya lebih baik. Bukan saja jarang lihat pengemis, juga kalau bertemu orang
seperti tidak punya rasa rendah diri. Dan ini menjadi salah satu sumber kemajuan Tiongkok. Ini yang
disebut social-capital -modal sosial. Bank Dunia menyebutkan social-capital ini menjadi faktor
penting kemajuan Tiongkok di samping modal finansial.
Muncullah istilah dari Zainal yang akan selalu saya ingat dan yang akan kami perjuangkan sebagai inti
dimulainya pembangunan harga diri ini. Yakni, satu moto: Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat.
Saya dan Zainal, dan banyak lagi yang lain, akan bisa jadi model perjuangan itu. Bagaimana ketika
miskin dulu tidak jatuh sampai menjual harga diri dan jabatan. Dan, ketika sudah kaya (duille!) tidak
sewenang-wenang.
Saya ingat, meski waktu itu sudah menyandang gelar wartawan majalah TEMPO yang begitu
ternama, saya belum punya sepeda, apalagi sepeda motor. Rumah pun masih menyewa di satu gang
sempit di belakang pasar Kertajaya, Surabaya. Rumah separo tembok separo kayu. Yang kamar
84 by Moezhanks
mandinya dipakai bersama beberapa rumah tangga. Yang airnya dari sumur yang harus ditimba
sendiri. Yang kasur tipisnya harus dihampar di lantai.
Waktu harus wawancara ke daerah industri di Tandes Margomulyo, saya hanya punya uang Rp 75 di
saku. Hanya cukup untuk naik bemo berangkatnya. Dari Kertajaya ke Jembatan Merah Rp 25, lalu dari
Jembatan Merah ke Tandes Rp 50. Selesai wawancara, saya diberi amplop. Saya tahu isinya pasti
uang. Saya menolaknya meski di saku tidak ada lagi uang sepeser pun. Meski Tandes-Kertajaya begitu
jauhnya. Saya pulang dengan jalan kaki. Hampir dua jam. Karena beberapa kali harus berhenti untuk
menghindar dari panasnya Surabaya.
Waktu harus pulang ke Kaltim, tentu banyak orang yang akan memberi saya tiket. Tapi, saya pilih
naik kapal kayu ke Banjarmasin dulu, agar murah. Lalu naik kendaraan umum berupa jip terbuka yang
penuh sesak dengan penumpang. Belum ada bus waktu itu. Saya khawatir dengan istri saya. Maka,
saya bilang kepada sopir agar boleh naik di kursi dekat sopir. Istri saya hamil muda, kata saya.
Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat akan membuat bangsa ini tidak gampang jatuh ke derajat
bangsa-pengemis. Atau, bangsa yang kalau melihat orang kaya yang muncul kecemburuannya.
Bangsa yang mudah disogok dan dipermainkan. Yang juga mudah dibayar untuk, misalnya, sekadar
berdemo.
Dari penampilan para perawat dan tukang pel di rumah sakit ini, saya belajar bagaimana menjalani
pekerjaan rendahan dengan jiwa yang kuat. Saya kepingin sekali meniru ini di Graha Pena. Petugas
cleaning service tidak harus merasa rendah diri. Saya sudah minta manajemen Graha Pena untuk
menghitung konsekuensi biayanya. Kalau upaya meniru ini berhasil, penampilan Graha Pena juga
akan lebih keren. Dan harga diri pegawai yang di situ sama tingginya.
Lalu muncul ide gila yang tidak masuk akal. Untuk membuat kota-kota di Indonesia cantik, para
wanita yang lalu lalang di kota itu harus juga terlihat cantik. Betapapun bersihnya sebuah kota, kalau
yang lalu-lalang di dalamnya kumuh-kumuh, nggak menarik jadinya. Maka, pemda yang
menginginkan kotanya cantik dan menarik harus memberikan penduduknya yang wanita barang-
barang ini secara gratis: Baju, lipstik, eye shadow, sepatu, dan biaya ke salon.
Ide itu tentu tidak mungkin dilakukan. Kalaupun dilakukan, belum tentu lipstiknya digunakan. Bisa-
bisa dijual. Sebab, filsafat Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat belum menjadi budaya.
Tentu semua biaya seperti itu, kalau di rumah sakit ini, ditanggung sendiri. Tapi, di Graha Pena kami
akan mencoba memberikannya secara cuma-cuma kepada pegawai bagian cleaning service-nya.
Tentu tidak harus sampai pada hot pants, tapi berjilbab pun akan dicarikan jilbab yang modis.
Salah satu kesimpulan saya, membangun kepercayaan diri begitu pentingnya. Jarang saya lihat orang
Tiongkok yang merasa rendah diri. Mereka bisa membedakan rendah diri dan rendah hati.
Sedangkan kita, kalau tidak mau dibilang kurang ajar, sering terbelit filsafat unggah-ungguh, sopan-
santun, tawaduk, yang sebenarnya tetap bisa kita lakukan tanpa harus jatuh ke derajat rendah
diri.
Kembali ke dua wanita tadi (eh, kok ingat dia lagi sih?), ternyata ada baiknya juga dia pulang lebih
dulu. Kalau tidak, tulisan ini tidak akan bisa selesai tepat waktunya. (Bersambung)
85 by Moezhanks
Ganti Hati 30 Banyak Faktor Keberhasilan, tapi Jangan Buru-Buru Merasa Sehat
24 September 2007
MENGAPA operasi transplantasi liver saya berhasil? Setidaknya sampai hari ini? Faktor apa saja yang
memengaruhinya?
Jawabnya dua macam: mau yang pendek atau yang panjang. Mau yang religius atau yang ilmiah.
Kalau mau pendek dan tampak religius, jawabnya ini: semua itu berkat tangan Tuhan. Selesai. Tidak
perlu lagi tambahan apa-apa. Siapa yang bisa membantahnya? Siapa yang berani
mempersoalkannya? SMS yang masuk ke saya pun hampir semuanya bernada begitu. Mereka
mengatakan semua ini karena Allah. Hanya satu-dua yang mengatakan, Semua ini karena Allah dan
kepintaran para dokternya.
Tapi, kalau jawabnya itu, saya tidak perlu lagi menulis. Tapi, saya ingin menulis. Terutama ingin
menulis sesuatu agar para dokter tidak kehilangan semangat karena tidak dipuji sama sekali. Saya
ingin memujinya.
Saya tidak ingin para dokter menjadi ngambek seperti humor ngambek-nya seorang istri yang sudah
terkenal itu: Suatu saat sebuah keluarga ingin mengundang makan malam seorang suci. Sang istri
sehari penuh sibuk menyiapkan makanan yang lezat-lezat. Waktu mau makan, sang suami meminta
sang suci membacakan doa. Terima kasih, Tuhan, Engkau telah menyediakan makanan yang lezat-
lezat ini. Ucap sang suci mengakhiri doanya. Selama makan sang istri merengut saja. Setelah sang
suci pulang, si istri menggugat suaminya: Tidakkah tadi kau laporkan kepada sang suci bahwa sayalah
yang sehari penuh menyiapkan makanan ini?
Saya tidak ingin para dokter njegol seperti si istri itu.
Sudah tentu tidak hanya faktor keahlian dokter yang menjadi satu-satunya kunci sukses. Saya
mencoba merincinya sebagai berikut:
1. Keahlian dan pengalaman dokternya.
2. Kecanggihan peralatannya.
3. Kemajuan obat-obatannya.
4. Kemampuan manajemen rumah sakit dan tim operasinya.
5. Keberadaan donor yang sangat prima.
6. Kondisi badan saya yang masih baik.
Faktor mana yang terpenting, rasanya sulit menentukan. Tapi, kalau ada waktu membahasnya lebih
dalam, pasti juga akan diketahui ranking-nya.
Soal keahlian dokter, di Indonesia pun tidak akan kalah. Saya pernah menerima keluhan dokter ahli
bedah jantung seperti Prof Dr dr Paul Tahalele. Keahliannya pasti tidak kalah dengan dokter
Singapura. Tapi, kesempatan untuk memperoleh pengalaman yang banyak sangatlah minim. Baik
karena langkanya donor maupun minimnya peralatan. Bagaimana bisa punya pengalaman
transplantasi liver 150 kali setahun kalau di negeri itu orang tidak bisa mendonorkan organnya?
Mengenai kecanggihan peralatan, rumah sakit ini tergolong yang terbaik di dunia. Bahkan, ada satu
alat yang hanya empat di dunia: di AS, Korea, Jepang, dan di rumah sakit ini. Saya tidak diberi tahu
alat yang mana. Tersedianya peralatan yang canggih ini sangat terkait dengan kemampuan dana dan
86 by Moezhanks
keinginan pemimpinnya. Untuk Indonesia, dua-duanya belum bisa banyak dinanti. Begitulah nasib
dokter kita meski itu juga dialami bidang yang lain.
Di bidang kemajuan obat-obatan harus diakui bahwa kemajuan penemuan obat baru bukan main
cepatnya. Kalau saja kemajuan obat-obatan tidak seperti sekarang, mungkin juga banyak
halangannya. Untuk kegagalan transplantasi liver karena rejection, sekarang jumlahnya hampir nol.
Obat sinkronisasi liver baru dengan organ lain sudah amat sempurna.
Bahkan, obat antiinfeksi juga sudah membuat kegagalan karena infeksi amat minim. Kegagalan yang
terbanyak kini karena tekanan darah tinggi dan gula darah. Sebab, obat-obatan yang harus dimakan
setelah transplan menimbulkan efek samping di dua sektor itu. Kebetulan, saya tidak memiliki bakat
darah tinggi maupun gula darah.
Kondisi pasien yang prima memegang peran penting karena banyaknya komplikasi juga akan
menyulitkan. Salah satu pasien yang saya kenal kelihatan gembira sekali di hari pertama dan kedua
setelah keluar dari ICU. Tapi mulai lemas di hari-hari berikutnya. Ini karena jantungnya memburuk.
Itulah sebabnya, saya membuat keputusan justru harus melakukan transplantasi ketika saya masih
sehat. Maksud saya ketika organ-organ lain saya masih baik. Kalau saja terlambat mengambil
keputusan, akan lain hasilnya.
Mendapatkan donor yang prima pun, antara lain, juga ditentukan oleh kondisi pasien. Misalnya,
kalau saja saya tidak sabar menunggu. Mungkin akan mendapat juga donor, tapi kualitasnya belum
tentu sebaik yang ada di dalam badan saya sekarang. Atau, kalau saya sabar, tapi kondisi badan saya
sudah tidak bisa lagi menunggu lebih lama, tentunya donor seperti apa pun akan diterima. Toh
semua donor sudah diperiksa kualitasnya. Bahwa ada kualitas I atau II, itu tentu ada kelas-kelasnya.
Kalau sejak sebelum operasi saya optimistis bahwa transplantasi ini akan berhasil, antara lain, saya
sudah menghitung semua faktor di atas. Tentu, semua itu tidak saya informasikan kepada keluarga
atau teman-teman. Hanya saya dan tim saya yang tahu.
Teman-teman, juga para pemegang saham, mungkin banyak yang pesimistis. Terutama kalau mereka
melihat tanda-tanda fisik saya: mulai dari sudah muntah darah, sudah bengkak, dan wajah sudah
menghitam. Mereka juga melihat tanda-tanda nonfisik yang saya lakukan. Misalnya, saya tiba-tiba
mengundang teman-teman yang ketika bekerja di Jawa Pos dulu pernah saya marahi. Kadang saya
sadari bahwa ternyata tidak seharusnya saya marah karena ternyata dia tidak salah. Tapi kalau sudah
telanjur marah, masak bisa diralat? Yah, saya sering juga kemudian minta maaf, tapi saya yakin sudah
telanjur melukai hati mereka.
Kepada mereka (baik yang sudah pensiun maupun yang belum), saya berikan uang. Ada yang cuma
Rp 5 juta, ada yang sampai Rp 100 juta. Tergantung perasaan saya seberapa saya merasa bersalah.
Rupanya, bagi-bagi uang ini terdengar juga oleh pensiunan karyawan yang lain. Lantas, dia
menghubungi saya lewat SMS: saya menyesal mengapa dulu tidak pernah dimarahi. Boleh nggak
sekarang saja dimarahi. Asal kemudian ikut diundang, katanya.
Saya juga sering mengadakan khataman Alquran yang diikuti para hafiz (orang yang hafal Quran).
Mereka aktif berpindah-pindah di Surabaya dan tiga bulan sekali di rumah saya.
Apakah Pak Dahlan sudah mau mati? Mau khusnul khotimah? komentar seorang teman secara
diam-diam tapi sampai juga ke telinga saya. Apalagi saya juga menyelenggarakan zikir-pidak dan ikut
mendengungkan kalimat syahadat yang sudah di-compress menjadi kata pendek hu itu ribuan kali.
87 by Moezhanks
Para pemegang saham juga sangat khawatir ketika saya minta bertemu dan menyampaikan sesuatu
yang amat sangat pentingnya. Apakah yang Anda lakukan ini ada hubungannya dengan sakit Anda?
tanya seorang pemegang saham.
Sambil menunggu saatnya transplantasi pun, buku yang saya baca adalah buku kisah artis terkemuka
Tiongkok yang meninggal muda setelah transplantasi liver. Sampai-sampai tim saya bilang, Mbok
jangan baca buku yang begituan. Maksudnya jangan membaca yang seperti memberikan isyarat-
isyarat bahwa saya akan gagal dan meninggal.
Mereka tidak tahu bahwa saya ingin belajar dari buku itu. Terutama: mengapa gagal? Apa yang tidak
boleh saya tiru agar saya tidak gagal? Juga ada maksud saya yang lain lagi: belajar membaca huruf
Mandarin.
Pelajaran penting yang saya peroleh dari buku itu adalah ini: jangan terlambat ambil keputusan
transplantasi. Ini menambah kuat tekad saya untuk melakukan transplan ketika kondisi badan saya
masih kuat.
Artis itu sudah amat terlambat melakukannya. Transplantasi pertama dilakukan di Beijing. Berhasil.
Belum dua bulan sudah sibuk menghadiri berbagai acara, termasuk talk show dan jumpa fans di kota-
kota yang jauh. Padahal, dia melakukan transplantasi dalam keadaan sudah amat terlambat.
Kankernya sudah telanjur menyebar ke bagian tubuhnya yang lain.
Akhirnya, dia harus transplantasi lagi di kota ini. Juga berhasil. Tapi, kanker sudah lebih menyebar
lagi. Akhirnya meninggal dunia.
Pelajaran lain yang saya dapat adalah: Jangan buru-buru merasa sehat dulu. Karena itu, sepulang dari
Tiongkok nanti, saya akan mampir dulu di Singapura beberapa hari. Kebetulan, istri perdana menteri
Singapura yang juga CEO Temasek Group, Madame Ho Ching, juga minta agar saya menjalani review
di negaranya. Itu bisa dilakukan dalam rangkaian perjalanan saya pulang kelak. Singapura memang
punya reputasi yang baik untuk perawatan pascaoperasi. Bahkan, untuk transplantasi separo hati,
Singapura sudah amat berpengalaman. Saya yang akan atur, tulis Madame Ho Ching dalam email-
nya kepada saya. (Bersambung)
Ganti Hati 31 Setelah Transplantasi, Kian Tidak Jelas Hitungan Umur Saya
25 September 2007
UMUR berapakah saya sekarang?
Tepatnya saya tidak tahu. Apalagi setelah melakukan transplantasi liver ini.
Kakak sulung saya memang pernah mencatat tanggal kelahiran saya. Yakni di balik pintu lemari kayu
yang kasar. Ditulis dengan kapur lunak, diambilkan dari kapur yang biasa dipakai nenek untuk makan
sirih. Itu bukan lemari pakaian karena kami tidak perlu lemari untuk pakaian. Baju kami, sekeluarga,
tidak lebih dari sepuluh. Cukup disangkut-sangkutkan di paku yang menancap di dinding. Juga karena
kami tidak bisa beli lemari. Lemari yang ada itu bikinan bapak sendiri untuk menyimpan apa saja:
kaleng bekas, piring seng untuk makan, cobek (mangkuk terbuat dari tanah), dan leper (tempat
mengulek sambal, terbuat dari tanah), dan sebangsanya. Makanan juga disimpan di situ -kalau
kebetulan ada.
88 by Moezhanks
Itulah satu-satunya perabot rumah tangga bapak saya. Tidak ada kursi atau meja makan. Kami makan
sambil duduk di lantai. Lantai itu terbuat dari tanah karena tidak mampu menyemennya. Kalau mau
makan, barulah dihamparkan tikar. Posisi duduk anak kecil seperti saya sangat minggir -kadang hanya
dapat separo pantat saja yang di atas tikar. Di atas tikar itu juga kami tidur. Paginya, ketika tikar
dilipat, sering ada gambar pulau di lantai tanahnya: ngompol. Jangan gusar. Bau kencing itu akan
hilang dengan sendirinya kalau tanahnya sudah kering lagi. Inilah keunggulan yang tak tertandingi
dari lantai tanah: Bisa menyerap ompol sebanyak-banyaknya! Dia seperti popok abadi! Tidak perlu
dibuang yang sampahnya bisa merusak lingkungan. Dari segi ini, lantai tanah sangat ramah
lingkungan -setidaknya hidung kami sudah biasa tidak menghiraukannya. Kalau musim hujan, gambar
pulaunya lebih banyak dan lebih lama hilangnya.
Sejak masih ngompol, saya sudah harus bisa menyapu lantai. Tiap pagi, itulah tugas pertama masa
kecil saya: menyapu lantai. Karena lantai itu akan menimbulkan debu, sebelum disapu harus
dikepyur-kepyur dulu dengan air. Saya sangat ahli me-ngepyur-kan air ke lantai ini. Juga
menyenanginya -terutama saya punya kesempatan untuk me-ngepyur-kan air lebih banyak di dekat
pulau ompol untuk mengamuflasekannya. Meski akan menghabiskan air lebih banyak, tapi bisa
mengurangi rasa malu.
Setelah ibu sakit (seperti sakit saya ini), apa pun dijual. Sawah warisan yang hanya secuil, alat-alat
tukang bapak yang bisa dirombengkan, dan juga lemari satu-satunya itu. Maka, pergilah lemari dari
rumah kami -dan hilanglah catatan tanggal lahir saya.
Di desa, orang memang tidak peduli dengan tanggal lahir. Yang selalu diingat hanya hari dan
pasarannya. Karena itu, bapak ingat saya lahir Selasa Legi. Tapi, Selasa Legi yang tanggal berapa,
bulan berapa, tidak ingat. Untuk apa diingat? Untuk ulang tahun? Emangnya perlu ulang tahun?
Bahwa orang itu ternyata bisa diulangtahuni belum pernah saya dengar sampai saya masuk SMA.
Yang biasa diulangtahuni adalah orang mati. Pakai selamatan dan tahlilan. Kami hafal semua kapan
meninggalnya siapa. Tanggal itu penting bagi anak-anak miskin karena berarti akan ada selamatan.
Kalau toh ada orang yang selamatan kecil dikaitkan dengan hari kelahirannya, itu dilakukan setiap 35
hari sekali. Misalnya, setiap Selasa Legi. Tapi, keluarga kami tidak mengenal itu karena kurang
kejawen. Kami keluarga santri. Ibadahnya pakai aliran NU ahli sunnah wal jamaah: tarwihnya 21
rakaat (sampai sekarang), salatnya pakai doa kunut, wiridannya pakai tahlil, nyekar ke kuburan, salat
id tidak mau di lapangan. Namun, kami juga ikut Kejawen: Bersih desa, wayangan Murwad Kolo.
Anehnya, aliran tarikat kami Syatariyah, bukan Naqsyabandiyah. Kalau bulan Syura, kami selamatan
Rebo Wekasan, yang aslinya milik aliran Syiah. Pada selamatan ini, kiai kami menaruh gentong
(tempat air yang besar terbuat dari tanah) dengan air yang penuh. Ke dalamnya dimasukkan rajah -
kertas yang ditulisi huruf Arab yang ruwet, entah apa bunyinya. Setelah kenduri, kami antre minum
airnya. Dengan ciduk yang sama: tidak terpikirkan itu sebagai sarana yang efektif untuk menularkan
virus hepatitis. Itulah peringatan meninggalnya Sayidina Hasan dan Husein, putra Sayidina Ali dan
Sayidah Fatimah, yang berarti cucu Rasulullah.
Lebih aneh lagi, aliran politik keluarga kami adalah ini: Masyumi. Bahkan, saya ingat, gambar pertama
yang bisa saya buat ketika kecil adalah lambang partai itu: Bulan bintang. Dan ketika terjadi
Gestapu/PKI di tahun 1965, sepupu-sepupu saya yang sudah dewasa semua jadi anggota Banser.
Suatu saat saya dicap sebagai Muhammadiyah. Lihat dia dari keluarga Masyumi, kata seorang
tokoh. Di lain kali saya tidak diterima di kalangan Muhammadiyah. Dia tahlil, kata yang lain. Saya
sendiri tidak peduli, saya ini orang apa. Semoga di langit sana tidak ada pengelompokan seperti itu.
Lagi pula, kini, suasana juga sudah tidak seperti itu lagi. Perbedaan dua golongan itu sudah kian cair.
89 by Moezhanks
Asal-usul keluarga kami adalah pelarian dari Jogja. Yakni setelah Pangeran Diponegoro kalah karena
ditipu oleh Belanda. Para panglima perangnya melarikan diri, antara lain ke timur, ke Banjarsari di
selatan Ponorogo. Lalu beranak-pinak dan ada yang membuka hutan di timur Gunung Lawu untuk
dijadikan kampung: Takeran. Sekaligus jadi pusat Pesantren Sabilil Muttaqin.
Karena saya dari jalur wanita, ibu saya tidak tinggal di pusat keluarga itu. Ibu harus ikut bapak saya.
Bapak saya adalah abdi di pusat keluarga itu, tapi kemudian kawin dengan ibu saya. Jadilah bapak-ibu
saya tinggal di desa, 6 km dari pusat keluarga itu. Jadi keluarga tani, kemudian jatuh ke buruh tani.
Sampai tamat SMA, saya belum peduli dengan tanggal lahir dan karena itu juga tidak pernah
bertanya ke bapak. Hidup di desa, waktu itu, tidak ada administrasi yang memerlukan tanggal lahir.
Ketika sudah amat dewasa dan saya bertanya kepada bapak mengenai kapan saya dilahirkan,
jawabnya tegas: Selasa Legi. Tapi, bukankah setiap 35 hari ada Selasa Legi? Waktu itu, kata bapak
saya sambil berpikir keras, ada hujan abu yang sangat hebat. Maksudnya ketika Gunung Kelud
meletus. Begitu hebatnya sampai desa saya yang jaraknya lebih 100 km dari gunung di Blitar itu
dalam keadaan gelap selama sepekan.
Tentu, saya malas melakukan riset kapan saja Gunung Kelud meletus. Bagi saya, tidak tahu tanggal
lahir tidak penting-penting amat. Saya putuskan sendiri saja: Saya lahir tanggal 17 Agustus 1951.
Itulah tanggal lahir yang secara resmi saya pakai di dokumen apa pun sampai sekarang. Tanpa
dukungan surat kenal lahir. Tapi sudah diakui di banyak negara. Buktinya, saya tidak dianggap
memalsukannya.
Bukankah bisa ditelusuri kapan Gunung Kelud meletus? Soalnya bukan hanya itu. Bapak saya
kemudian menyebut, ketika Gunung Kelud meletus, saya sudah mulai bisa merangkak!
Kini, setelah ganti liver, kian tidak jelas lagi saya ini berumur berapa. Badan saya berumur 56 tahun,
tapi hati saya belum lagi berumur 25 tahun. Apakah harus dijumlah lalu dibagi dua? Atau masing-
masing diberi bobot dan nilai? Lalu, bobot dan nilai dikalikan seperti ajaran ilmu manajemen
problem-solving yang sangat memengaruhi saya kalau ambil keputusan?
Untuk apa juga saya pikirkan. Tiwas nanti merasa ge-er karena hitungannya jatuh bahwa saya baru
berumur 38 tahun atau 45 tahun. Untunglah, saya belum pernah merayakan ulang tahun sehingga
tidak kian ruwet memikirkannya. Ulang tahun saya adalah Selasa Legi. Titik.
Yang lebih saya pikirkan adalah bagaimana hati baru itu bisa kerasan menjadi keluarga besar Dahlan
Iskan. Dan, rasanya bisa. Sampai 1,5 bulan setelah ganti hati ini, kondisi saya terus saja membaik.
Semua parameter darah normal. Yang juga menggembirakan saya adalah: sekarang saya bisa
berkeringat.
Sudah tiga tahun saya tidak pernah berkeringat. Habis jalan jauh pun tidak berkeringat. Kini, begitu
habis makan, langsung berkeringat. Juga setelah sedikit senam atau joging. Saya memang harus
banyak senam, terutama yang bisa membuat dada saya mekar lagi. Mengapa? Selama ini rongga
dada saya ternyata dalam proses mengecil. Ini karena liver lama saya juga mengecil. Jadi tulang-
tulang iga ikut bergerak ke dalam, berusaha menyesuaikan dengan ruang yang dilindunginya. Antara
hati dan tulang iga, secara alamiah, memang tidak boleh ada ruang kosong. Ketika hati mengecil,
tulang iga menyesuaikannya.
Saya sendiri tidak menyadari dan tidak mengetahui itu. Tahunya ketika anak wanita saya bertanya
kepada dokter: apa saja kesulitan dokter dalam melakukan transplantasi liver malam itu? Dokter
mengatakan, Hampir tidak ada kesulitan apa pun. Kecuali satu: Rongga dada saya sudah mengecil.
90 by Moezhanks
Akibatnya, ketika dokter mau memasang liver baru di ruang yang ditinggalkan liver lama, ruangnya
agak terasa kesempitan. Sehingga menaruhnya jadi agak sulit. Sesak. Liver baru masih dalam ukuran
normal, bukan? Itulah sebabnya saya memperbanyak senam agar liver baru saya bisa bernafas
dengan lebih lega dan itu berarti membuatnya semakin kerasan tinggal di dalam badan saya.
(bersambung)
Ganti Hati 32 Kini Ada Simbol Mercy di Perut Saya (Sebuah Penutup)
26 September 2007
ADA kesan yang mendalam bahwa sakit saya yang parah kemarin-kemarin itu karena saya kerja
terlalu keras. Seorang ibu sampai menasihati anaknya begini: Jangan kerja terus seperti itu. Nanti
seperti Pak Dahlan Iskan!
Setelah menerima SMS dari Saudara Socrates, teman di Batam yang lahir di Padang itu, saya jadi
merasa bersalah. Ternyata, saya kurang pandai menjelaskan bahwa sakit saya ini bukan karena kerja
keras, tapi karena saya terkena virus hepatitis B. Memang, setelah virus itu berkembang menjadi
sirosis dan kemudian kanker, sebaiknya tidak kerja keras lagi. Tapi, itu bukan berarti akan
menyembuhkan sakitnya, melainkan memperlambat saja perkembangannya.
Tentu memperlambat juga amat baik. Hanya, saya tidak memilih itu karena saya punya filsafat sendiri
dalam menyikapi umur manusia. Saya memilih berumur pendek tapi bermanfaat, daripada umur
panjang tapi tidak bisa berbuat banyak. Jalan pikiran saya itu biasanya saya ungkapkan ke teman-
teman dengan istilah: intensifikasi umur.
Tentu kalau masih ada pilihan lain, saya akan memilih yang terbaik. Misalnya, ya berumur panjang, ya
bermanfaat.
Tentu, saya akan merasa sangat berdosa kalau gara-gara tulisan saya ini banyak orang takut bekerja
keras. Bangsa ini memerlukan puluhan juta orang yang gigih.
Kalau saya akan dijadikan contoh jelek, jangan dikaitkan dengan kerja keras, melainkan kaitkan saja
dengan kecerobohan. Misalnya, jangan sampai terkena virus hepatitis seperti Pak Dahlan Iskan!
***
Kesan yang lain dari serial tulisan saya ini adalah bahwa rumah sakit-rumah sakit di Tiongkok hebat.
Sampai-sampai beberapa dokter menghubungi saya bagaimana kalau mereka studi banding ke
Tiongkok untuk belajar manajemennya.
Kepada para dokter itu, saya bilang bahwa ide tersebut kurang tepat. Belajar manajemen dan
pelayanan rumah sakit jangan ke Tiongkok. Manajemen dan pelayanan rumah sakit-rumah sakit kita,
secara umum, lebih baik. Terutama yang swasta. Memang, belakangan ini semakin banyak rumah
sakit di Tiongkok yang lebih modern, tapi masih belum mencapai tingkat kecanggihan seperti di
Singapura, bahkan di Malaysia sekalipun. Masih perlu satu kurun lagi untuk mencapai tahap itu. Ini
karena, meski secara fisik dan peralatan sudah amat modern, carry over problems masih terbawa.
Kebiasaan lama orang-orangnya tidak bisa begitu saja berubah.
91 by Moezhanks
Saya sendiri sering berdebat dengan petugas kebersihan toilet di Graha Pena Jawa Pos Surabaya
mengenai pertanyaan ini: sudah bersihkah toilet ini? Saya menilai belum. Tapi, petugas menilai
sudah amat bersih. Saya bisa memahami itu karena toilet ini mungkin sudah lebih bersih daripada
kamar tidur di rumahnya sekalipun.
Saya tidak bisa marah karena tahu berapa gajinya dan bagaimana latar belakang ekonominya.
Biasanya, saya hanya memberikan contoh dengan cara mengelap sendiri bagian-bagian yang kurang
bersih itu di depan dia. Lama-lama standar kebersihannya berubah. Tapi, memang perlu waktu dan
kesabaran.
Kalau toh mau belajar ke Tiongkok adalah mengenai keseriusan riset dan semangat untuk majunya.
Karena mereka sangat unggul di situ, saya yakin tidak lama lagi rumah sakit di Tiongkok akan
mencapai tahap seperti Singapura, lebih cepat daripada waktu yang kita perlukan.
Kecepatan itu akan fantastis kalau saja Tiongkok mengizinkan berdirinya rumah sakit swasta. Sampai
sekarang, semua rumah sakit masih milik pemerintah. Rumah sakit juga menjadi sentral semua
urusan kesehatan karena tidak boleh ada dokter praktik di sana. Semua dokter fokus bekerja di
rumah sakit.
***
Berapakah biaya yang saya keluarkan untuk mereparasi organ-organ saya itu? Kalau di penutup
tulisan ini saya memberikan isyarat jumlahnya, itu sudah meliputi semua pengeluaran. Biaya
operasinya sendiri tidak besar untuk ukuran saya. Mungkin seharga rumah tipe 100 di lokasi yang
sedang.
Seandainya saya hanya punya rumah seperti itu pun, saya akan jual kalau harus melakukan
transplantasi ini. Itu juga yang dilakukan bapak saya ketika ibu sakit: Menjual apa pun, termasuk alat-
alat tukang kayunya, dan satu-satunya. Kalau waktu itu tidak menjual rumah, itu karena tidak akan
ada orang yang mau membeli rumah lantai tanah di pelosok desa.
Dari seluruh pengeluaran, yang terbanyak adalah untuk pendukungnya. Misalnya, transportasi lokal,
akomodasi, dan konsumsi saya sekeluarga, wira-wiri saya sekeluarga dari Indonesia ke Tiongkok, dan
sebagainya. Biaya itu juga sudah termasuk pengobatan sejak terjadinya muntah darah pada 2005.
Jadi, biaya terbesar sebenarnya bisa ditekan sesuai dengan kemampuan. Misalnya, membatasi
keluarga yang harus wira-wiri. Di Tiongkok juga jangan tinggal di hotel, tapi cari apartemen murah
saja. Itu pun sewa saja. Misalnya, sewa enam bulan (tidak bisa sewa kurang dari enam bulan).
Transportasi yang bagaimana juga memengaruhi besarnya biaya. Naik kendaraan umum? Taksi? Beli
mobil sendiri? (Kebetulan saya beli mobil kelas Toyota Corolla dan itu berarti juga harus punya sopir).
Makan dengan masak sendiri atau setiap makan ke restoran? Dan banyak lagi. Satu orang dan yang
lain tidak akan sama. Kalau semua biaya itu ditotal, untuk kasus saya ini, biaya operasinya sendiri
tidak sampai 20 persennya.
***
Semua itu tidak ada artinya dibanding nilai kesehatan yang saya peroleh. Tapi, juga sekaligus
menyadarkan betapa mahalnya sehat itu. Imunisasi yang sekali suntik Rp 70.000 memang mahal.
Tapi, apa artinya dibanding yang harus saya keluarkan ini?
92 by Moezhanks
Saya ingat kata-kata bijak di laboratorium Prodia: Waktu muda mati-matian bekerja sampai
mengorbankan kesehatan untuk memperoleh kekayaan. Waktu tua menghabiskan kekayaan itu
untuk membeli kembali kesehatannya -dan banyak yang gagal.
Kebetulan, saya tidak gagal. Dan lagi, saya kerja keras tidak semata-mata untuk mencari kekayaan. Di
dunia ini banyak orang yang kerja keras tanpa bermaksud kerja keras. Atau sekadar hobi. Mainannya
ya kerja keras itu. Seperti Pak Moh. Barmen, tokoh olahraga di Surabaya. Mainannya ya mengurus
sepak bola itu.
Juga banyak sekali orang kerja keras yang karena didorong niat mulia -dan kekayaan hanya datang
membuntutinya.
***
Kini saya tidak hanya hidup baru dengan liver baru, tapi juga dengan tanda baru di kulit perut saya.
Yakni, tanda mirip simbol mobil Mercy (Mercedes Benz), bekas sayatan dari tiga arah yang menyatu
di tengah. Boleh juga dibilang sayatan dari satu titik di tengah ke tiga arah. Tapi, simbol Mercy di kulit
perut saya itu tidak sempurna. Seperti simbol Mercy yang digambar oleh anak berumur tiga tahun.
Jelek tapi tetap terlihat Mercy-nya. Jelek wujudnya, tetap mahal citranya.
Kini saya punya dua Mercy. Yang satu, yang di rumah, adalah Mercy seri 500 keluaran 2005 yang
dibeli dengan harga sekitar Rp 3 miliar. Satunya lagi Mercy di kulit perut saya. Jelek, tidak tahu seri
berapa, tapi kira-kira sama harganya. (TAMAT)
_________________________________________
Tulisan bersambung Pengalaman Pribadi Dahlan Iskan Ganti Liver berakhir hari ini pada seri ke-32.
Mulai besok disambung dengan Hati Baru Menjawab. Dahlan Iskan akan menjawab e-mail dan SMS
dari pembaca.

Anda mungkin juga menyukai