Anda di halaman 1dari 42

ADAB DALAM IBADAH

Dosen Dr. Khalimi, M.Ag.

(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Akhlak)

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Safti Nur Safitri 11180183000013
Ridha Vidiah Rachmatika 11180183000032
Bhara Elang Kirana 11180183000067

SEMESTER IV
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKHLAK
JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT bahwa makalah: “Adab Dalam
Ibadah”. Telah berhasil disusun dalam memenuhi syarat mata kuliah Pendidikan Akhlak.

Didalam penyusunan makalah ini, penulis telah berusaha dengan cara yang sebaik
mungkin, walaupun demikian tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan, untuk itu
kritik, saran untuk perbaikan akan saya terima dengan senang hati. Atas terwujudnya makalah
ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen
program studi Pendidikan Akhlak oleh Bapak Dr. Khalimi, M.Ag.

Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Tuhan yang
Maha Esa. Walaupun disadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan, namun
diharapkan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu Pengetahuan dan juga dunia
Pendidikan.

Sawangan, 20 Maret 2020

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN............................................................1

A. Latar Belakang.................................................................1
B. Rumusan masalah............................................................1
C. Manfaat Masalah.............................................................1

BAB II. PEMBAHASAN.............................................................2

A. Adab Dalam Ibadah Thaharah......................................2


B. Adab Sholat......................................................................
C. Adab Zakat.......................................................................3
D. Adab Puasa.......................................................................9
E. Adab Haji..........................................................................9

BAB III. PENUTUP.....................................................................12

A. Kesimpulan.......................................................................12
B. Saran.................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di antara masyarakat kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling
hormat menghormati, saling menghargai satu sama lain, dalam keluarga sangatlah
penting di tanamkan adab dan tatakrama yang sopan terhadap sesama. Di zaman yang
modern seperti sekarang ini telah banyak pergeseran tentang adab atau prilaku
sehingga menjurus kepada dekedansi moral, anak dengan orang tua tiada jarak yang
memisahkan seperti layaknya teman sebaya, murid dengan guru sudah tidak bisa lagi
dibedakan baik dalam perkataan, perbuatan ataupun prilaku dalam kehidupan sehari –
hari yang seakan tidak mencerminkan prilaku seorang guru atau peserta didik.
Dalam kehidupan sehari – hari seorang muslim memiliki rukun islam yakni,
ada 5 yaitu Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa, dan Haji. Dalam rukun islam tersebut
tentu memiliki ciri khusus untuk mempunyai adab setiap dalam ibadahnya. Dengan
adanya makalah inj penyusun mencoba menjelaskan bagaimana pandang islam
tentang adab dalam ibadah yang membentuk setiap orang muslim memiliki karakter
insan yang mulia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana adab dalam ibadah thaharah?
2. Bagaimana adab dalam sholat?
3. Bagaimana adab dalam zakat?
4. Bagaimana adab dalam puasa?
5. Bagaimana adab dalam haji?
C. Manfaat Masalah
1. Mengetahui adab dalam ibadah thaharah.
2. Mengetahui adab dalam sholat.
3. Mengetahui adab dalam zakat.
4. Mengetahui adab dalam puasa.
5. Mengetahui adab dalam haji.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Adab Dalam Ibadah Thaharah


Secara etimologis adab adalah bahasa arab yang artinya adat istiadat,
menunjukan suatu kebiasaan, etika, pola perilaku yang ditiru dari irang-orang yang
dianggap sebagai model. Secara terminologi adab adalah kebiasaan dan aturan
tingkah laku praktis yang mempunyai muatan nilai baik yang diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.1
Menurut Ibnu Taimiyah, ibadah adalah ketaatan dan ketundukan yang
sempurna. Menambahkan unsur yang amat penting, yakni kecintaan terhadap yang
disembah sehingga ketundukkan dan ketaatan yang merupakan ibadah haruslah
berdasarkan terhadap yang disembah.
Telah bersabda Nabi Muhammad SAW “Agama itu dibangun berasaskan
kebersihan”. Selain itu nabi SAW juga bersabda: “Kebersihan itu setengah
bersabda”. Allah SWT.Berfirman: “Didalamnya (masjid) ada orang-orang yang
ingin membersihkan diri Allah menyukai orang-orang yang bersuci”. (QS. At-Taubah
[9]: 108). Berdasarkan arti lahiriah, ayat-ayat dan hadist tersebut, para ahli bashirah
(orang-orang yang jenih hati dan akalnya, menyadari hal penting (dalam agama ini)
adalah meyucika hati. Sebab, haidst nabi SAW. Yang berbunyi,’ “Kesuician itu
setengah dari iman”. Maksudnya ialah tidak mungkin berupa keharusan membangun
kebersihan tubuh dengan menyiramkan air, tetapi pada saat bersamaan merobohkan
kesucian batin dengan membiarkannya dipenuhi oleh hal-hal keji dan kotor.2
Bersuci itu memiliki empat tingkatan.
1. Pertama, membersihkan apa yang tampak secara zahir dari semua bentuk
hadats.
2. Kedua, membersihkan anggota-anggota tubuh dari semua hal yang
diharamkan dan dari segala bentuk perbuatan dosa.
3. Ketiga, membersihkan hati dari akhlak yang tercela.
4. Keempat, membersih kan yang kasat mata dari selain Allah Ta’ala. Inilah
tingkatan bersuci para Nabi dan shiddiqin.3
1
Ali Noer, Syahraini Tambak, dan Azin Sarumpaet, “Konsep Adab Peserta Didik dalam Pembelajaran menurut
Az-Zarnuji dan Implikasinya terhadap Pendidikan Karakter di Indonesia”, Jurnal Al-Hikmah, Vol 4,
No. 2, 2017, hlm.184
2
Al Ghazali, Percikan Ihya Ulum Al-Din: Rahasia Bersuci. (Jakarta: Mizan, 2015) hlm. 4
3
Imam Al-Ghazali, Ringkasa Ihya’ ‘Ulumuddin, (Jakarta: Akbar Media, 2008), hlm. 34 –35
Mensucikan diri pada setiap tingkatannya merupakan bagian dari amalan
(ibadah) yang akan dilakukan. Dan pada setiap tingkatan dimaksud terdapat unsur
penghapusan dan pengisian.Adapun penghapusan dimaksud berkaitan erat dengan
amalan yang hendak dikerjakan, disebabkan yang sebagiannya lagi (penetapan
keyakinan), sangat bergantung kepadanya.

Jangan sekali-kali mengira, bahwa yang dimaksud dengan pembersihan itu


hanya pada sisi lahiriah saja. Akibatnya, tidak akan mencapai tujuan (hakikat) yang
sesungguhnya. Dan, jangan sekali-kali menganggap bahwa tingkatan-tingkatan dalam
persoalan lahiriah dapat dicapai hanya dengan angan-angan dan dengan sikap
bersantai-santai saja. Sebab, sekalipun sudah berusaha keras disepanjang hidup,
mungkin hanya akan berhasil mencapai sebagiannya saja dari tujuan yang
sesungguhnya.

Hukum Thaharah Berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ hukum


thaharah itu adalah wajib, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat
6 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat,


maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.”

Macam - Macam Thaharah

Dalam pembahasan fiqh mengenai thaharah, Ibnu Rusdy mengatakan bahwa


thaharah terbagi menjadi dua yaitu thaharah dari hadats dan thaharah dari najis

1. Thaharah dari Hadats


Menurut bahasa, hadats berarti tidak suci atau keadaan badan tidak suci.
Sedangkan menurut istilah, hadats berarti keadaan badan yang kotor atau
tidak suci yang dapat dihilangkan dengan cara berwudhu, mandi, dan
tayamum. Dalam hukum Islam hadats dibagi menjadi dua macam yaitu
hadats kecil dan hadats besar. Orang yang berhadats ketika hendak
melakukan ibadah maka hendaknya menyucikan diri terlebih dahulu, dan
jika tidak maka ibadahnya akan terhalang. Karena bersuci merupakan
sarana diterimanya amal ibadah seseorang yang berhubungan langsung
dengan Allah SWT.
Thaharah dari hadats dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Wudhu
 Pengertian Berwudhu
Wudhu adalah membasuh sebagian anggota badan dengan syarat dan
rukun tertentu setiap akan melaksanakan ibadah, terutama shalat dan
ibadah lainnya yang mewajibkan wudhu.4Dalam Islam, wudhu
mempunyai kedudukan yang tinggi karena merupakan syarat sahnya
seseorang melaksanakan ibadah. Berwudhu disyariatkan dalam
AlQur’an dan Hadits yaitu Firman Allah dalam QS. Al Maidah ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki.”
Rasululullah Saw. juga bersabda:
“Allah SWT tidak akan menerima shalat seseorang diantara kalian bila
berhadats hingga ia berwudhu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari ayat dan hadits di atas sudah sangat jelas bahwa bagus tidaknya
wudhu seseorang akan mempengaruhi sah atau tidaknya shalat yang
ditegakkannya. Ibadah shalat tidak akan sah tanpa berwudhu
sebelumnya bagi seseorang yang berhadast.
 Syarat dan Rukun Berwudhu
a) Syarat Wudhu
Ada beberapa hal yang menjadi syarat sahnya wudhu,
diantaranya adalah sebagai berikut: Islam, Tamyiz, Dilakukan
dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan, Tidak ada
penghalang air sampai ke kulit, Tidak dalam keadaan berhadast.
b) Rukun wudhu
4
Slamet Abidin & Moh. Suyono, Fiqih Ibadah, h. 35.
Ada enam macam yang menjadi rukunnya wudhu, yaitu sebagai
berikut: Niat, membasuh muka, membasuh kedua tangan
sampai siku, mengusap sebagian kepala, membasuh kaki
sampai dengan mata kaki, dan tertib.
c) Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu
Ada beberapa hal yang dapat membatalkan wudhu, di antaranya
adalah:
1. Keluarnya sesuatu dari qubul atau dubur.
2. Tidur dalam kondisi yang tidak menetap atau berubahubah,
adapun jika tidur dalam keadaan menetap atau tidak
berubah-ubah maka tidur yang demikian itu tidak
membatalkan wudhu.
3. Hilangnya akal baik itu karena sakit, mabuk, gila, dan lain
sebagainya.
4. Bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan yang
bukan muhrim
5. Menyentuh qubul atau dubur dengan telapak tangan, baik
miliknya sendiri maupun orang lain.5
d) Hal-hal yang diwajibkan Berwudhu
Menurut sayyid sabiq, ada tiga perkara yang diwajibkan untuk
berwudhu, yaitu:
1. Shalat, baik itu shalat fardhu, shalat sunnah maupun shalat
jenazah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-
Maidah ayat 6.
2. Thawaf di Baitullah, berdasarkan apa yag dirawikan oleh
Ibnu Abbas r.a yang artinya: “Bahwa Nabi telah bersabda:
“Thawaf itu merupakan salat, kecali bahwa di dalamnya di
halalkan oleh Allah berbicara. Maka siapa yang berbicara
hendaklah yang dibicarakannya itu yang baik-baik”
3. Menyentuh mushaf atau Al-Qur’an. Sebagaimana firman
Allah dalam QS. Al-Waqi’ah ayat 79.
b. Mandi

5
Slamet Abidin & Moh Suyono, Fiqih Ibadah, hal. 34.
Menurut bahasa mandi adalah meratakan air ke seluruh tubuh.
Sedangkan menurut istilah adalah mengalirkan air keseluruh tubuh
disertai dengan niat. Mandi itu disyariatkan berdasarkan firman Allah
SWT dalam QS Al-Maidah ayat 6:“Dan jika kamu junub, maka
mandilah”
Ayat ini memerintahkan agar kita menyucikan seluruh tubuh, kecuali
bagian yang air tidak dapat sampai kepadanya seperti bagian dalam
mata mata.
 Syarat dan Rukun Mandi
a. Membasuh kedua tangan
b. Membersihkan najis pada kedua tangan
c. Menyiram rambut sambil menyilanginya dengan jari
d. Air yang dipakai adalah air yang suci dan menyucikan

Adapun tiga hal yang menjadi rukun/fardhu mandi, yaitu sebagai


berikut:

a. Niat junub dengan menyengaja mandi untuk menghilangkan


hadats besar, yang dilakukan bersamaan dengan membasuh
anggota pertama. Jika niat itu dilakukan setelah membasuh
anggota pertama, maka wajib diulangi.
b. Menghilangkan najis yang ada dibadan
c. Meratakan air keseluruh rambut dan kulit (semua anggota badan)
yang kira-kira nampak oleh mata.
 Hal-Hal yang diharamkan bagi orang yang junub
a. Shalat
b. Thawaf
c. Menyentuh dan membawa mushaf(Al-Qur’an)
d. Membaca Al-Qur’an
e. Berdiam diri di masjid, orang junub juga diharamkan berdiam
diri di masjid, namun diperbolehkan jika sekedar lewat atau
melaluinya saja, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa’
ayat 43.
 Hal-hal yang mewajibkan Mandi
Ada beberapa hal yang diwajibkan untuk melakukan wudhu menurut
Lahmuddin Nasution, hal-hal tersebut adalah:
a. Bersetubuh, yaitu bertemunya dua kemaluan meskipun tidak
sampai keluar air mani atau keluarnya air mani dalam keadaan
terasa enak, baik saat tidur maupun saat terjaga.
b. Mengeluarkan mani, keluar mani disertai syahwat, baik diwaktu
tidur maupun bangun, dari laki-laki dan perempuan.
c. Mati, kecuali mati syahid, sesuai dengan hadits mengenai orang
yang dijatuhkan untanya sehingga ia meninggal dunia dan
patahnya lehernya ketika ia ihram.
d. Berhentinya haid
e. Nifas, darah yang keluar dari kemaluan perempuan setelah ia
melahirkan, karena darah nifas itu merupakan darah haid yang
terkumpul dan tertahan di rahim selama kehamilan.
f. Waladah (melahirkan), perempuan diwajibkan mandi setelah
melahirkan, walaupun anak yang dilahirkan belum sempurna,
misalnya masih merupakan darah beku (‘alaqoh) atau segumpal
daging (mudghah). Dalam hal ini diwajibkan mandi karena yang
lahir itu adalah air mani yang telah membeku.6
 Mandi yang Disunnahkan
Mandi yang dikerjakan oleh mukallaf maka ia terpuji dan berpahala,
namun bila ditinggalkan tidaklah berdosa. Ada beberapa macam
mandi yang disunnahkan, di antaranya adalah:
a. Mandi Jum’at Karena hari jum’at merupakan pertemuan untuk
beribadah dan melakukan shalat, maka syara’ memerintahkan
mandi dan menuntutnya dengan keras, agar dalam pertemuan
tersebut kaum Muslimin berada dalam keadaan bersih dan suci
yang sebaik-baiknya.
b. Mandi pada dua hari raya, para ulama sepakat menyatakan sunnah
mandi pada dua hari raya (idul fitri dan idul adha)
c. Bagi yang memandikan mayat, menurut sebagian besar ahli,
disunnahkan mandi bagi orang yang telah memandikan mayat.

6
Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, (Jakarta: Jaya Baru, 1998), hal,.31
d. Mandi ihram, menurut jumhur ulama disunnahkan pula mandi bagi
orang yang hendak mngerjakan haji atau umrah.
e. Mandi ketika hendak memasuki kota mekah.
f. Mandi ketika hendak wukuf di Arafah.
 Tata cara mandi
a. Membaca basmallah dengan meniatkan mandinya untuk
menghilangkan hadats besar.
b. Membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali
c. Beristinja’ (membersihkan kotoran) dan membasuh kemaluannya,
duburnya dan bagian anggota tubuh disekitar keduanya dari
kotoran,
d. Berwudhu dengan berniat menghilangkan hadats kecil tanpa
membasuh kedua kakinya, karena ia dibolehkan membasuh
keduanya bersama wudhunya atau menangguhkan membasuh
keduanya hingga akhir mandinya,
e. Membenamkan kedua telapak tangannya ke dalam air, lalu
mengurai-ngurai pangkal rambut kepalanya dengan kedua telapak
tangannya,
f. Membasuh kepalanya dan kedua telinganya sebanyak tiga kali
dengan tiga kali cidukan,
g. Menyiramkan air kebagian tubuhnya yang sebelah kanan dari atas
kebawah, lalu menyiramkan air ke bagian tubuhnya yang sebelah
kiri. Pada saat menyiramkan air ke tubuh maka perlu diperhatikan
bagian tubuh yang tersembunyi, yang sulit tersiram air, seperti
pusar, bagian tubuh yang ada dibawah kedua ketiak, bagian tubuh
yang ada dibawah kedua lutut, dll.7

c. Tayamum
Tayamum menurut bahasa adalah menuju ke debu. Sedangkan menurut
istilah adalah mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan dengan niat
untuk mendirikan shalat atau ibadah lainnya. Tayamum ini telah

7
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, hal. 357.
ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’. Dalam
AlQur’an Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 43:
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun.”
 Hal-Hal yang Membolehkan Tayamum
Dibolehkan tayamum bagi orang yang berhadats kecil maupun hadats
besar, baik diwktu mukim maupun perjalanan, jika dijumpai salah satu
sebab-sebab berikut:
a. Jika seseorang tidak memperoleh air atau ada air tetapi tidak cukup
digunakan untuk bersuci.
b. Jika seseorang mempunyai luka atau ditimpa sakit, dan
dikhawatirkan dengan memakai air penyakitnya jadi bertambah
dan lama sembunya.
c. Jika air sangat dingin dan keras yang mengkhawatirkan akan
timbul bahaya jika menggunakannya, dengan syarat ia tak sanggup
memanaskan air tersebut.
d. Jika air berada dekat dengan seseorang tetap ia khawatir terhadap
keselamatan diri, kehormatan dan harta, atau ia khawatir akan
kehilangan teman, atau di antaranya dengan air terhalang musuh
yang ditakutinya, baik musuh itu berupa manusia maupun lainnya.
e. Jika seseorang membutuhkan air, baik di waktu sekarang maupun
belakangan, untuk keperluan minumnya atau minum lainnya walau
seekor anjing yang tidak galak sekalipun.
 Hal-hal yang Membatalkan Tayamum Ada beberapa hal yang dapat
membatalkan tayamum karena tayamum menjadi batal oleh segala hal
yang membatalkan wudhu, karena merupakan pengganti dari wudhu. Hal-
hal tersebut adalah:
a. Segala hal yang membatalkan wudhu juga membatalkan tayamum.
b. Melihat ada air sebelum shalat.
Jika seseorang shalat dengan menggunakan tayamum, kemudian ia
menemukan air atau mampu menggunakannya. Dan hal itu terjadi
setelah shalat maka ia tidak wajib menulang shalatnya meskipun
waktu shalat masih ada.
Sedangkan jika menemukan air dan mampu menggunakannya
setelah masuk pelaksanaan shalat namun belum sampai
menyelesaikannya maka tayamumnya menjadi batal dan wajib
bersuci dengan menggunakan air.
Sementara itu, jika orang yang junub atau wanita yang haid
bertayamum karena satu alasan yang memperbolehkannya
tayamum, kemudian shalat maka ia tidak wajib mengulang
shalatnya, akan tetapi ia wajib mandi manakala mampu
menggunakan air.8
 Tata Cara Bertayamum
a. Membaca Basmalllah sambil meniatkan tayamum
b. Meletakkan kedua telapak tangannya diatas permukaan tanah,
pasir atau kerikil, dan sejenisnya. Dan tidak menjadi persoalan
meniup debu yang menempel di telapak tangannya dengan tiupan
ringan. Lalu mengusap mukanya satu kali.
c. Meletakkan kembali kedua telapak tangan tangannya di atas. Lalu
mengusap kedua telapan tangannya beserta dua lengannya hingga
dua sikunya. Jika membatasi usapannya hanya pada kedua telapk
tangannya, maka hal itu diperbolehkan.
2. Thaharah dari Najis
Selain bersuci dari hadats, juga ada bersuci dari najis. Islam mensyariatkan
bersuci dari keduanya. Karena najis dipandang sebagai sesuatu yang kotor
sehingga harus dibersihkan ketika hendak melakukan ibadah.
 Pengertian Najis
Najis adalah kotoran yang wajib atas seorang muslim untuk
mensucikannya dan membersihkan hal-hal yang terkena najis
tersebut.
 Pembagian Najis Dilihat dari wujudnya, najis digolongkan menjadi dua
macam, yaitu:

8
Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Hamzah, 2010) ha,
106.
1. Najis ‘Ainiyah, yaitu najis yang berwujud atau dapat dilihat
melalui mata dan memiliki sifat yang nyata, seperti warna atau
baunya. Contohnya adalah kotoran, kencing, dan darah. Cara
menyucikannya yaitu dengan membasuhnya dengan air sampai
hilang ketiga sifat tersebut. Adapun jika sukar
menghilangkannya, sekalipun sudah dilakukan berulang kali,
maka najis tersebut dianggap suci dan dimaafkan.
2. Najis Hukmiyah, yaitu semua najis yang telah kering dan
bekasnya sudah tidak ada lagi, serta sudah hilang warna dan
baunya. Misalnya, kencing yang mengenai baju yang kemudian
kering, sedangkan bekasnya tidak nampak. Cara
menyucikannya adalah cukup dengan mengalirkan air kepada
benda yang terkena najis.
Sedangkan jika dilihat dari berat dan ringannya, najis digolongkan
menjadi tiga macam, yaitu:
a. Najis Mughalladzah, yaitu najis yang tergolong berat karena
cara menyucikannya tidak semudah najis-najis yang lain.
Misalnya, anjing dan babi. Cara menyucikannya yaitu dengan
membasuh najis tersebut dengan air sebanyak tujuh kali dan
salah satu air itu dicampur dengan lumpus atau tanah, baik najis
itu bersifat ‘ainiyah maupun hukmiyah, yang berada pada
tubuh, pakaian, maupun tempat.
b. Najis Mukhaffafah, yaitu najis yang ringan. Misalnya, kencing
bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI, dan
umurnya belum sampai dua tahun. Adapun cara menyucikannya
adalah dengan diperciki air sampai merata, baik bersifat
‘ainiyah maupun hukmiyah, yang berada pada tubuh, pakaian,
maupun tempat.
c. Najis Mutawassithah, yaitu najis sedang atau pertengahan
diantara kedua najis sebelumnya. Misalnya kencing orang
dewasa, kotoran binatang, dan lain sebagainya. Cara
menyucikannya adalah dengan dialiri air sehingga dapat
menghilangkan bekas dan sifat-sifatnya, seperti warna, rasa
maupun dan baunya, baik nais itu bersifat ‘ainiyah maupun
hukmiyah, yang berada pada tubuh, pakaian, maupun tempat.
 Benda-Benda Najis
Yang termasuk benda-benda najis adalah:
1. Bangkai Merupakan hewan yang mati dengan tanpa disembelih
menurut syariat Islam, termasuk di dalamnya yaitu hewan yang
dipotong ketika dalam keadaan hidup. Semua jenis bangkai
diharamkan kecuali bangkai-bangkai berikut:
a. Ikan dan belalang
Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti
semut, lebah dan sejenisnya
b. Tulang bangkai, tanduk, kuku, rambut, bulu, dan kulitnya
2. Darah
3. Daging Babi
4. Muntahan
5. Air Kencing Manusia
6. Wady
Wady adalah air yang berwarna putih yang keluar sesudah
buang air kecil dan hukumnya najis, cara mensucikannya cukup
dibersihkan kemaluannya dengan air sehingga bersih tidak perlu
mandi. Jika akan mengerjakan shalat cukup dengan berwudhu
saja.
7. Madzi
Madzi adalah air yang berwarna putih encer yang keluar ketika
memikirkan hal-hal yang erotis atau ketika nafsu syahwat mulai
terangsang. Terkadang seseorang tidak merasakan keluarnya
mazi dan hukumnya najis. Cara mensucikannya cukup dengan
membersihkan kemaluannya dengan air sampai bersih. Jika
akan melaksanakan shalat cukup berwudhu tanpa mandi.
8. Khamer
9. Anjing
10. Air Kencing dan Kotoran Hewan yang Tidak Boleh Dimakan
Dagingnya.
 Alat Thaharah
Menurut Baihaqi dalam bukunya yang berjudul Fiqih Ibadah,
menyebutkan bahwa terdapat dua alat thahrah, yaitu:
A. Air
Air merupakan salah satu alat yang bisa digunakan untuk
menyucikan diri dari najis dan untuk berwudhu maupun mandi
janabah. Hal ini dinyatakan oleh Rasululah Saw. Dalam
sabdanya sebagai berikut:
“Air itu tidaklah menyebabkan najisnya sesuatu, kecuali jika
berubah rasa, warna, atau baunya.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
Juga berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Anfal ayat 11 yang
artinya:
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk
menyucikan kamu dengan hujan itu.”
 Ada beberapa macam air yang digunakan dalam thaharah, antara lain:
a. Air Mutlak
Air mutlak adalah air ang suci dan dapat digunakan untuk
bersuci serta untuk mencuci. Adapun yang termasuk dalam
kategori air mutlak adalah air hujan, air salju atau es, air laut,
dan lain sebagainya.
b. Air Musta’mal
Air Musta’mal adalah air siswa yang mengenai badan manusia
karena telah digunakan untuk wudhu atau mandi. Air
musta’mal ini bukanlah air yang sengaja ditampung dari bekas
mandi atau wudhu, tetapi percikan wudhu atau air bekas
dipakai mandi yang bercampur dengan air dalam bejana atau
bak.
c. Air Musyammas
Air Musyammas adalah air suci yang menyucikan, namun
makruh digunaka Pada hakikatnya, air ini suci zanya, serta
menyucikan dan sah bila digunakan untuk bersuci tetapi
makruh digunakan untuk bersuci. Adapun yang dimaksud
dengan air musyammas ini adalah air yang dipanaskan pada
sinar matahari. Air ini makruh digunakan karena berdasarkan
ilmu kedokteran bisa menyebabkan penyakit sopak.
d. Air Mutanajis
Air Mutanajis adalah air yang bernajis meskipun sedikit. Air
ini terbagi menjadi dua kategori, antara lain:
1. Air yang sedikit
Dalam hukum fiqih yang dikategorikan dengan air yang
sedikit adalah ukurannya yang kurang dari dua kola.
Apabila kemasukan najis, maka hukum air ini menjadi
najis walaupun tidak ada perubahan apapun, baik warna,
rasa, maupun baunya. Air ini mutlak tidak boleh
digunakan untuk bersuci.
2. Air yang banyak
Air yang banyak adalah air yang mencukupi, bahkan lebih
dari dua kola. Jka air ini kemasukan najis, maka hukumnya
tetap suci dan tidak terjadi perubahan pada warna, rasa,
dan baunya. Akan tetapi, bila ada perubahan pada salah
satu sifatnya, meskipun sedikit, maka hukumnya menjadi
najis.
B. Tanah
Thaharah dengan menggunakan tanah didasarkan pada firman
Allah QS. An-Nisa’ ayat 43 yang artinya:
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
 Hikmah Thaharah
Dalam Islam, thaharah juga memiliki beberapa hikmah, antara lain:
1. Dapat diketahui bahwa benda-benda najis baik dari dalam maupun
luar tubuh manusia adalah benda-benda kotor yang banyak
mengandung bibit penyakit dan membawa madharat bagi
kesehatan tubuh manusia. Oleh karena itu, dengan bersuci berarti
telah melakukan usaha untuk menjaga kesehatan.
2. Kebersihan dan kesehatan jasmani yang dicapai melalui bersuci
akan menambah kepercayaan diri sendiri. Oleh karena itu, dalam
kehidupan sehari-hari manusia selalu mengutamakan kebersihan
dan kesucian.
3. Syariat bersuci berisi ketentuan-ketentuan dan adab, jika
dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kedisiplinan akan
menumbuhkan kebiasaan yang baik. Ketentuan dan adab bersuci
dalam Islam berbentuk ajaran yang dapat mempertinggi harkat dan
martabat manusia.
4. Sebagai hamba Allah SWT yang harus mengabdi kepada-Nya
dalam bentuk ibadah maka bersuci merupakan salah satu syarat
sahnya sehingga menunjukkan pembuktian awal ketundukannya
kepada Allah SWT.
B. Adab Sholat
Sesungguhnya makna kata shalat itu adalah dzikir, bacaan, munajat, dan
dialog. Semua itu hanya bisa dilakukan dengan menghadirkan hati dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu, untuk lebih sempurna dalam pelaksanaan shalat,
seorang hamba harus benar-benar memahami, mengagungkan Allah disertai
menghadirkan rasa takut, serta berharap dan memupuk rasa malu terhadap-Nya.
Dengan kata lain, semakin bertambah pengetahuan kita mengenai Allah, maka akan
bertambah pula rasa takut kepada-Nya, sehingga memunculkan sikap khusyu. Jika
engkau mendengar seruan untuk menegakkan shalat (azan), seharusnya hatimu segera
membayangkan huru-hara yang akan terjadi pada hari Kiamat nanti, lalu secara lahir
batinmu bergegas memenuhinya. Karena orang-orang yang bergegas menjawab
seruan tersebut adalah mereka yang akan dipanggil (oleh Allah Ta’ala) dengan lemah-
lembut pada hari perhitungan amal kelak. Jika engkau mendapati hatimu diselimuti
dengan kegembiraan ketika bergegas menjawab seruan tersebut, maka semacam itulah
yang akan terjadi di akhirat nanti. Dan itu pula yang menyebabkan Nabi Muhammad
saw. Pernah bersabda: “Gembiralah hati kami dengan suara azanmu, wahai BilalI.
Karena, shalat merupakan waktu-waktu dimana beliau, Nabi Muhammad saw,
beristirahat dari seluruh aktivitas keduniaan, untuk menghadap Alla Ta’ala.
Hakikat bersuci adalah membersihkan segala sesuatu selain Allah Ta’ala dari
relung hati kita.Sikap semacam inilah yang menyempurnakan shalat para hamba.Hal
penting lainnya selain menutupi aurat zahirmu dengan pakaian yang ada ketika salat
ialah menutupi aurat batinmu dari pandangan Allah Ta’ala.Bersikap sopan dihadapan-
Nya dan juga berlakulah tawadhu’ secara lahir maupun batin.Bersikap seolah-olah
engkau sedang berdiri di hadapan Raja.Dan semua Raja yang pernah ada di muka
bumi ini adalah ciptaan Allah Ta’ala.Dengan melakukan ini semua, maka dapat
diartikan engkau telah berlaku jujur dalam ucapanmu.
Upayakan untuk fokus mengingat atas kebesaran dan keagungan Allah ketika
engkau tengah berada dalam kondisi ruku maupun sujud, serta munculkan dalam
benakmu bahwa sesungguhnya engkau itu makhluk yang hina di hadapan-Nya yang
Mahaagung. Berkah dan rahmat Allah juga yang akan membuat engkau pantas untuk
bermunajat dengan-Nya. Oleh karena itu, jangan kurangi bersikap sopan-santun dan
kekhusyuan hatimu dihadapan-Nya serta jagalah lahir dan batinmu, jangan sampai
berpaling kepada selain-Nya.9
 Adab-adab dalam shalat:
1. Hati yang ikhlas
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepadanya dalam menjalankan agama yang lurus dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah
agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
tidak akan menerima kecuali amal yang dikerjakan dengan penuh
keikhlasan. Riya’ dan sum’ah termasuk penghalang diterimanya amal
seorang hamba.
2. Menyempurnakan wudhu
Yaitu berwudhu dengan sebaik dan sesempurna mungkin.
3. Bersegera melaksanakan shalat
Maksudnya adalah bersegera keluar rumah menuju ke masjid agar
dapat digolongkan sebagai orang yang menunggu shalat. Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu Anhu ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wasallam bersabda, “Seseorang akan dianggap
sedang shalat selama ia menunggu waktu shalat.” [HR. Al-Bukhari].
4. Berdzikir kepada Allah
5. Berjalan menuju masjid dengan tenang
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, “Jika kalian
mendengarkan iqamah maka berjalanlah kalian dengan tenang
[Assakinah artinya Berjalan dengan tenang] dan penuh wibawa [Al-
waqaar artinya Menatap ke bawah dan tidak menoleh ke kanan dan ke
9
Imam Al-Ghazali, Ringkasa Ihya’ ‘Ulumuddin, (Jakarta: Akbar Media, 2008), hlm. 58-60
kiri], dan janganlah kalian tergesa-gesa. Dan apa yang kalian dapatkan
dari gerakan shalat maka ikutilah dan apa yang terlewatkan maka
sempurnakanlah.” [HR. Muttafaqun Alaihi].
6. Berdoa saat masuk dan keluar masjid
7. Mengerjakan shalat tahiyyatul masjid sebelum duduk
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, “Jika seseorang dari
kalian masuk masjid hendaklah ia shalat dua rakaat sebelum ia duduk.”
[HR. Muttafaqun Alaihi]
8. Tidak menyilangkan jari jemari
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, “Jika seseorang
diantara kamu berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian
ia keluar menuju masjid maka janganlah ia menyilangkan jemarinya
karena ia seakan-akan sedang shalat.” [HR. Abu Dawud].
9. Senantiasa berdzikir
10. Shalat dengan khusyu’
Khusyu’ merupakan inti dan ruh shalat. Shalat yang tidak disertai
dengan kekhusyu’an ibarat badan tanpa ruh. Ibnu Rajab Rahimahullah
mengatakan, “Makna dasar khusyu’ adalah kelembutan hati,
kerendahan, ketenangan dan ketundukannya. Jika hati telah merasakan
kekhusyuan maka anggota tubuh yang lain akan khusyu’ pula karena ia
seperti prajurit yang tunduk pada komandannya.” [Al-Khusyu’, karya
Ibnu Rajab]. Khusyu’ tempatnya di hati yang tergambar dari aktivitas
anggota tubuh.
11. Mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam.
C. Adab Zakat
Pengertian Zakat
Zakat berasal dari kata zaka yang bermakna al-Numuw (menumbuhkan), al-Ziyadah
(menambah), al-Barakah (memberkahkan), dan al-Tathhir (menyucikan), maka ia
merupakan ibadah dan kewajiban harta benda dalam mencapai kesejahteraan ekonomi
dan mewujudkan keadilan sosial. Secara etimologi zakat memiliki dua makna yaitu
bertambah dan pensucian. Zakat berarti bertambah maksudnya yaitu harta yang
dikeluarkan zakatnya akan bertambah baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana
dijelaskan oleh Nabi dalam sabdanya:
Artinya :
“Tidaklah seseorang membuka pintu sedekah atau pintu menyambung silaturahmi
kecuali Allah akan menambahkan karunia-Nya kepada-Nya karena sedekah”.
(Shahihul Jami) Sedangkan zakat berarti pensucian, karena zakat membersikan dan
mensucikan orang yang menunaikan zakat dan harta yang dizakati.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kami membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui”.(QS. At-Taubah : 103)
Dari pengertian diatas dapat dipahami, bahwa zakat adalah sarana atau tali pengikat
yang kuat dalam mengikat hubungan vertikal antara manusia dengan Allah dan
hubungan horizontal antar sesama manusia, khususnya antara yang kaya dengan yang
miskin, dengan saling member keuntungan moril maupun materil, baik dari pihak
pemerima (mustahiq) maupun dari pihak pemberi (muzakki).
Hukum, Tujuan dan Hikmah Zakat

A. Hukum Zakat
Zakat hukumnya fardhu „ain atau wajib atas setiab muslim, bagi yang memenuhi
syarat yang telah disyariatkan oleh agama dalam Al-Quran, As-Sunnah maupun
pendapat para ulama. Kewajiban yang ditetapkanya berlaku untuk diri sendiri dan
tidak mungkin dibebankan kepada orang lain.

 Tujuan Zakat
 Yusuf al-Qardhawi (Abdurrachman 2001: 74) membagi tiga tujuan dari zakat
itu sendiri yaitu tujuan dari pihak yang memberi zakat (muzakki) antara lain:
untuk menyucikan dari sifat bakhil, rakus egoistis dan sebagainya; melatih
jiwa untuk bersikap terpuji seperti bersyukur atas nikmat Allah; mengobati
batin dari sikap berlebihan mencintai harta sehingga dapat diperbudak oleh
harta itu sendiri; menumbuhkan sikap kasih saying kepada sesama;
membersihkan nilai harta itu sendiri dari unsur noda dan cacat; dan melatih
diri agar menjadi pemurah dan berakhlak baik serta menumbuhkembangkan
harta itu sehingga sehingga member keberkahan bagi pemiliknya Sedangkan
bagi penerima (mustahiq) antara lain: memenuhi kebutuhan hidup, terutama
kebutuhan primer sehari – hari; menyucikan hati mereka dari rasa dengki dan
kebencian yang sering menyelimuti hati mereka melihat orang kaya yang
bakhil; akan muncul dalam jiwa mereka rasa simpatik, hormat, serta rasa
tanggung jawab untuk ikut mengamankan dan mendoakan keselamatan harta
orang – orang kaya yang pemurah.
 Lebih luas lagi Wahbah (Abdurrachman 2001: 76) menguraikan tujuan zakat
bagi kepentingan masyarakat, sebagai berikut:
o Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial
dikalangan masyarakat islam.
o Merapatkan dan mendekatkan jarak dan kesenjangan sosial ekonomi
dalam masyarakat.
o Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai
bencana seperti bencana alam dan sebagainya
o Menutupi biaya – biaya yang timbul akibat terjadinya konflik,
persengketaan dan berbagai bentuk kekacauan dalam masyarakat.
o Menyediakan suatu dana taktis dan khusus untuk penanggulangan
biaya hidup bagi para gelandangan, pengangguran dan para tuna sosial
lainnya.

 Hikmah Zakat
 Kewajiban berzakat bagi umat islam memiliki beberapa hikmah seperti yang
tertulis dalam buku Panduan Zakat Pintar:
o Sebagai perwujudan iman kepada Allah …, mensyukuri nikmat-Nya,
menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kemanusiaan yang
tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan
hidup sekaligus mengembangkan harta yang dimiliki
o Menolong, membantu dan membina kaum dhu‟afa (orang yang lemah
secara ekonomi) maupun mustahiq lainnya kearah kehidupan yang
lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan layak dan dapat beribadah kepada Allah.
o Sebagai sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana
yang dibutuhkan oleh umat islam.
o Untuk mewujudkan keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi
harta, sehingga diharapkan akan lahir masyarakat makmur dan saling
mencintai.
o Menyebarkan dan memasyarakatkan etika bisnis yang baik dan benar.
o Menghilangkan kebencian, iri dan dengki dari orang – orang sekitarnya
kepada hidup berkecukupan sementara mereka tidak memiliki apa –
apa dan tidak ada bantuan dari orang kaya kepadanya.
o Dapat menyucikan diri dari dosa, memurnikan jiwa, menumbuhkan
akhlak mulia, murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan dan
mengikis sifat bakhil atau kikir serta serakah.
o Menjadi unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan dalam
distribusi harta dan keseimbangan tanggung jawab individu dalam
masyarakat.
o Sebagai perwujudan solidaritas sosial, rasa kemanusiaan, pembuktian
persaudaraan islam, pengikat persatuan uamt dan bangsa, sebagai
pengikat batin antara golongan kaya dan miskin dan sebagai penimbun
jurang pemisah antara gologan yang kuat dan lemah.
o Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera, dimana hubungan
seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun dan harmonisyang pada
ahkirnya dapat menciptakan situasi yang aman dan tentram lahir batin.
o Menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan islam yang berdiri
atas prinsip – prinsip : umatan wahidan (umat yang bersatu), musâwah
 (umat yang memiliki persamaan derajat dan kewajiban), ukhuwah islamiyah
(persaudaraan islam) dan takâful ijtima’i (sama–sama bertanggung jawab).

 II Jenis – Jenis Zakat


o Zakat Fitrah
 Zakat ini merupakan zakat yang diwajibkan untuk setiap pribadi Muslim.
Menurut Qardhawi (Muhammad 2006: 32), disebut zakat fitrah karena
bertujuan untuk menyucikan diri orang yang berpuasa dari ucapan dan
perbuatan yang tidak berguna. Zakat ini diwajibkan setelah terbenamnya
matahari pada akhir bulan Ramadhan hingga khatib naik mimbar pada shalat
sunnah hari raya Idul Fitri. Pelaksanaan zakat fitrah tidak mensyaratkan
kecuali beragama Islam dan adanya kelebihan dari makanan pada hari dan
malam hari raya. Dengan demikian zakat fitrah tidak mensyaratkan nishab
bagi yang mengeluarkannya. Disamping itu, zakat fitrah didasarkan pada
jumlahnya, yaitu satu sha’ (4 mud/2,5 kg/3,5 liter), baik keju, anggur, gandum,
beras, kismis atau makanan pokok lainnya.

 Zakat Mal
 Emas dan Perak
o Zakat emas dan perak disini termasuk naqdani (dua mata uang) yaitu dinar dan
dirham dan perhiasan. Ada perbedaan pendapat yang masyhur dikalangan
ulama menganai perhiasan yang dipakai, tapi mayoritas ulama berpendapat
wajib mengeluarkan zakat dari perhiasan yang dipakai, atau disiapkan untuk
dipakai, atau dipinjamkan apabila sudah mencapai nishab dan haulnya.
Adapun nishab dari emas adalah 20 misqal atau 20 dinar yang setara dengan
85 gram emas. Sedangkan nishab dari perak adalah 200 dirham yang setara
dengan 595 gr perak. Adapun kadar zakat emas apabila telah mencapai 85 gr
yaitu sebesar seperempat dari sepersepuluh (2,5%) yaitu sebesar 2,125 gr
emas. Sedangkan kadar zakat untuk perak yaitu apabila telah mencapai 595 gr,
maka kadar zakat yang dikeluarkan adalah seperempat dari sepersepuluh
(2,5%) yaitu setara dengan 14,875 gr perak.
 Komoditas Dagang
o Komoditas dagang yaitu barang-barang yang disiapkan untuk jual beli dalam
transaksi perdagangan seperti makanan, perabotan, real estate dan semisalnya.
Adapun nishabnya sebagian ulama berpendapat bahwa nishab dari zakat
komoditas dagang sama dengan nishab zakat emas dan perak yaitu senilai 85
gr emas. Kemudian dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % dari harta
perdagangan.
 Binatang Ternak
o Binatang ternak disini yang dimaksud adalah unta, sapi atau kerbau dan
kambing atau domba. Adapun nishab dan kadar wajib zakat dari binatang
ternak sesuai yang ada di dalam tabel. Binatang ternak yang bisa dikeluarkan
zakatnya adalah binatang yang digembalakan di padang rumput yang mubah.
Adapun binatang ternak yang yang diambilkan makanannya dan yang
dipekerjakan untuk pertanian, pengangkutan barang dan transportasi tidak
wajib dizakati.
D. Adab Puasa
1. Pengertian Puasa
Shaum (puasa) berasal dari kata bahasa arab yaitu shaama-yashuumu, yang
bermakna menahan atau sering juga disebut al-imsak. Yaitu menahan diri dari
segala apa yang membatalkan puasa.
Puasa, bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum sejak terbit
matahari sampai terbenamnya, tetapi mempunyai tujuan yang jauh dari pada itu,
yaitu mendidik jiwa, membiasakan manusia mengalahkan hawa nafsu dan
mengendalikan kecenderungan-kecenderungannya, supaya menjadi manusia yang
kuat yang sanggup mengatasi perasaan-perasaan hati yang sering mendorong
berbuat salah, menghadapi segala sesuatu dengan sabar.10
Adapun puasa dalam pengertian terminology (istilah) agama adalah menahan
diri dari makan, minum dan semua perkara yang membatalkan puasa sejak
terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dengan syarat-syarat tertentu.
2. Dasar Hukum Puasa
Dasar hukum di syariatkannya ibadah puasa adalah, berdasarkan Al-Qur'an,
hadits dan ijma' ulama'. Dasar hukum dari Al-Qur'an sebagaimana yang arti:
  "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
(Al-Baqarah: 183)
Sedangkan dalam hadis sebagaimana yang artinya:
Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: “Islam di tegakan diatas lima perkara, bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, Mendirikan Shalat,
mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitullah dan berpuasa di bulan
Ramadhan.” (HR Bukhari-Muslim).
3. Tujuan Puasa
Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 183 menyebutkan tujuan puasa yaitu
taqwa. Taqwa yang dalam Bahasa Indonesia berarti menjaga atau memelihara diri.
Sedangkan menurut termonologi taqwa berarti menjaga atau memelihara diri agar
terbebas dari azab, dari siksa, laknat dan murka dari kutukan Allah SWT.
10
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm 294.
Sedangkan menurut para ahli Tafsir terkemuka, Muhammad al-Sabuni
mengatakan, ibadah puasa memiliki tujuan yang sangat besar. Pertama, puasa
menjadi sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah
SWT.  Kedua, puasa merupakan media pendidikan bagi jiwa untuk tetap bersabar
dan tahan dari segala penderitaan dalam menempuh dan melaksanakan perintah
Allah SWT. Ketiga, puasa menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa kasih saying
dan persaudaraan terhadap orang lain, sehingga tumbuh rasa empati untuk
menolong sesame yang membutuhkan. Keempat menanamkan rasa takwa kepada
Allah SWT.
4. Macam – macam puasa dari segi Hukum
Macam-macam Puasa Dari Segi Hukum
a. Puasa wajib atau fardhu yaitu puasa pada bulan ramadhan.
Telah kita ketahui bahwasanya puasa fardhu ialah puasa ramadhan yang
dilakukan secara tepat waktu artinya pada bulan Ramadhan secara ada’ dan
demikian pula yang dikerjakan secara qadha’. Termasuk puasa fardhu lagi
ialah puasa kifarat dan puasa yang dinazarkan. Ketentuan ini telah disepakati
menurut para imam-imam madzhab, meskipun sebagian ulama hanafiyah
berbeda pendapat dalam hal puasa yang dinazarkan. Mereka ini mengatakan
bahwa puasa nazar itu puasa wajib bukan puasa fardhu.
b. Puasa Sunnah
Puasa sunnah ialah puasa yang apabila kita kerjakan mendapat pahala, dan
apabila kita tinggalkan atau tidak kita kita kerjakan tidak berdosa. Berikut
contoh-contoh puasa sunnat: Puasa hari Tasu’a – ‘asyura – hari-hari putih dan
sebagainya.
Puasa sunnah diantaranya ialah berpuasa pada bulan Muharram. Yang lebih
utama adalah tanggal ke 9 dan ke 10 bulan tersebut: Puasa hari Arafah.
Disunnahkan berpuasa pada tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah, dan hari itu
disebut hari ‘arafah. Disunnahkannya, pada hari itu bagi selain orang yang
sedang melaksanakan ibadah haji: Puasa hari senin dan kamis.
Disunnahkan berpuasa pada hari senin dan kamis setiap minggu dan di dalam
melakukan puasa dua hari itu mengandung kebaikan pada tubuh. Hal demikian
tak ada keraguan lagi: Puasa 6 hari di bulan Syawal.
Disunnhakan berpuasa selama 6 hari dari bulan syawal secara mutlak dengan
tanpa syarat-syarat: Puasa sehari dan berbuka sehari.
Disunnahkan bagi oramg yang mampu agar berpuasa sehari dan tidak
berpuasa sehari. Diterangkan bahwa puasa semacam ini merupakan salah satu
macam puasa sunnah yang lebih utama : Puasa bulan rajab, sya’ban dan bulan-
bulan mulia yang lain.
Disunnahkan berpuasa pada bulan rajab dan sya’ban menurut kesepakatan tiga
kalangan imam-imam madzhab.Adapun bulan-bulan mulia yaitu ada 4, dan
yang tiga berturut-turut yakni: Dzulqa’dah, dzulhijjah dan Muharram, dan
yang satu sendiri yakni bulan Rajab, maka berpuasa pada bulan-bulan tersebut
memang disunnahkan .Bila seseorang memulai berpuasa sunnah lalu
membatalkannya.
Menyempurnakan puasa sunnah setelah dimulai dan meng-qadha nya jika
dibatalkan adalah disunnahkan menurut ulama syafi’iyyah dan hanafiyyah.
c. Puasa makruh
Puasa hari jum’at secara tersendiri, puasa awal tahun Qibthi, puasa hari
perayaan besar yang keduanya disendirikan tanpa ada puasa sebelumnya atau
sesudahnya selama hal itu tidak bertepatan dengan kebiasaan, maka puasa itu
dimakruhkan menurut tiga kelompok imam madzhab. Namun ulama madzhab
syafi’I mengatakan: tidak dimakruhkan berpuasa pada kedua hari itu secara
mutlaq.
d. Puasa haram
Maksudnya ialah seluruh ummat islam memang diharamkan puasa pada saat
itu, jika kita berpuasa maka kita akan mendapatkan dosa, dan jika kita tidak
berpuasa maka sebaliknya yaitu mendapatkan pahala. Allah telah menentukan
hukum agama telah mengharamkan puasa dalam beberapa keadaan,
diantaranya ialah: Puasa pada dua hari raya, yakni Hari Raya Fitrah (Idul Fitri)
dan hari raya kurban (idul adha). Tiga hari setelah hari raya kurban. Puasa
seorang wanita tanpa izin suaminya dengan melakukan puasa sunnat, atau
dengan tanpa kerelaan sang suami bila ia tidak memberikan izin secara terang-
terangan. Kecuali jika sang suami memang tidak memerlukan istrinya,
misalnya suami sedang pergi, atau sedang ihram, atau sedang beri’tikaf.
5. Hikmah Puasa
Di antara hikmah dan faedah puasa selain untuk menjadi orang yang bertakwa
adalah sebagai berikut:
a. Untuk pendidikan/latihan rohani
 Mendidik jiwa agar dapat menguasai diri
 Mendidik nafsu agar tidak senantiasa dimanjakan dan dituruti
 Mendidik jiwa untuk dapat memegang amanat dengan sebik-baiknya
  Mendidik kesabaran dan ketabahan
b. Untuk perbaikan pergaulan
Orang yang berpuasa akan merasakan segala kesusahan fakir miskin yang
banyak menderita kelaparan dan kekurangan. Dengan demikian akan timbul
rasa suka menolong kepada orang-orang yang menderita.
 Untuk kesehatan.
 Sebagai rasa syukur atas segala nikmat Allah.
 Menguatkan kesabaran
 Untuk mendapat keampunan dosa
 Menumbuhkan rasa cinta sesama dan sosial yang tinggi
 Menjadi perisai dari api neraka
 Memperoleh kebahagian berganda
 Mensucikan jiwa dengan menaati perintah Allah dan meninggalkan
laranganNya
6. Hal-hal Yang Membatalkan Puasa
a. Memasukkan sesuatu kedalam lobang rongga badan dengan sengaja, seperti
makan, minum, merokok, memasukkan benda ke dalam telinga atau ke dalam
hidung hingga melewati pangkal hidungnya. Tetapi jika karena lupa, tiadalah
yang demikian itu membatalkan puasa. Suntik di lengan, di paha, di punggung
atau lainnya yang serupa, tidak membatalkannya, karena di paha atau
punggung bukan berarti melalui lobang rongga badan.
b. Muntah dengan sengaja; muntah tidak dengan sengaja tidak membatalkannya.
c. Haid dan nifas; wanita yang haid dan nifas haram mengerjakan puasa, tetapi
wajib mengqodha sebanyak hari yang ditinggalkan waktu haid dan nifas.
d. Jima’ pada siang hari
e. Gila walaupun sebentar
f. Mabuk atau pingsan sepanjang hari
g. Murtad, yakni keluar dari agama islam
7. Adab Dalam Puasa
Puasa, bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum sejak terbit
matahari sampai terbenamnya, tetapi mempunyai tujuan yang jauh dari itu, yaitu
mendidik jiwa membiasakan manusia mengalahkan hawa nafsu dan
mengendalikan kecenderungan-kecenderungannya, agar menjadi manusia yang
kuat yang sanggup mengatasi perasaan- perasaan hati yang sering mendorong
berbuat salah, menghadapi segala sesuatu dengan sabar.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam menjalankan ibadah puasa, yaitu :
1) Puasanya Perut dari makanan dan minuman
2) Puasanya Kelamin dari bercampur dengan suami istri
3) Puasanya Mata dari melihat segala yang diharamkan
4) Puasanya Telinga dari mendengar segala yang diharamkan
5) Puasanya Lidah dari membicarakan segala yang diharamkan
6) Puasanya Semua anggota badan dari melakukan segala yang diharamkan
7) Puasanya Fikiran dari segala rencana yang diharamkan

Sesungguhnya puasa itu memiliki 3 tingkatan, yaitu :

1) Puasa bagi orang awam, ialah puasa yang hanya menahan perut dan kemaluan
dari tuntutan memenuhi syahwat.
2) Puasa bagi orang khusus, ialah puasa yang selain menahan perut dan
kemaluan dari tuntutan memenuhi syahwat, puasa tingkat ini juga menahan
pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan anggota-anggota tubuh lainnya dari
berbuat kemaksiatan.
3) Puasa bagi orang lebih khusus, ialah puasa yang melibatkan hati demi
menjaga keinginan-keinginan yang rendah dan fikiran-fikiran yang
berorientasi keduniaan, serta mencegah dari tujuan selain Allah Ta’ala secara
keseluruhan.

Sunnah-sunnah Puasa :

1) Makan Sahur
Diriwayatkan dari Anas Radhiyatullahu anhu, Rasulullah bersabda “Makan
sahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat keberkahan.”
Disunnahkan untuk mengakhiri makan sahur. Jika adzan telah terdengar dan
makanan atau minuman masih di tangannya, maka boleh ia memakan dan
meminumnya.
2) Menahan diri dari pembicaraan yang tidak bermanfaat dn kata-kata kotor,
atau yang semisal dengannya dari hal-hal yang bertentangan dengan tujuan
puasa.
3) Sifat dermawan dan memperbanyak bacaan Al-Qur’an
4) Menyegerakan berbuka (Ta’jil)

E. Adab Haji
Pengertian haji
 Secara bahasa Haji adalah menuju ke suatu tempat secara berulang-ulang, atau
menuju ke suatu tempat yang dimuliakan atau diagungkan oleh suatu kaum
peradaban. Ibadah umat Islam ke mekkah (Baitullah) inilah yang disebut Haji.
Sebab Baitullah adalah tempat yang diagungkan dan tempat yang suci bagi
umat Islam. Adapun menurut istilah, kalangan ahli fiqh mengartikan bahwa
Haji adalah niatan datang ke Baitullah untuk menunaikan ritual ibadah
tertentu. Ibnu Al-Humam mengartikan bahwa Haji adalah pergi menuju Baitul
Haram untuk menunaikan aktivitas tertentu pada waktu tertentu. Para ahli fiqh
lainnyajuga berpendapat bahwa Haji adalah mengunjungi tempat-tempat
tertentu dengan perilaku tertentu pada waktu tertentu.
 Penetapan waktu Haji sendiri ada kalangan yang berpendapat bahwa Haji
diwajibkan pada tahun 5H, namun ada yang mengungkapkan lain yaitu tahun
8H, 9H bahkan ada yang berpendapat jauh sebelum tahun Hijriah. Namun
Nabi Muhammad SAW baru menunaikan ibadah Haji pada tahun 10H sebab
pada tahun 7H beliau keluar ke Mekkah untuk menunaikan dan tidak berhaji.
 Haji adalah rukun islam yang kelima. Melaksanakan haji hukumnya wajib ‘ain
bagi orang yang telah memenuhi syarat–syarat Haji. Kewajiban Haji
ditetapkan dengan Al-quran, Sunnah, dan Ijma’ seluruh umat.
 Dalil Al-quran tentang wajibnya Haji bagi umat islam, Firman Allah SWT:
 ِ ‫سبِياًۭل ۚ َو َمن َكفَ َر فَإ ِ نَّ ٱهَّلل َ َغنِ ٌّى ع‬
‫َن‬ َ ‫ستَطَا َع إِلَ ْي ِه‬ ِ ‫س ِح ُّج ٱ ْلبَ ْي‬
ْ ‫ت َم ِن ٱ‬ ِ ‫َو َمن د ََخلَهۥُ َكانَ َءا ِم ۭنًا ۗ َوهَّلِل ِ َعلَى ٱلنَّا‬
َ‫ٱ ْل ٰ َعلَ ِمين‬
 Artinya : “...Mengerjakan Haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah; yaitu (bagi) orang yang sanggupmengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali
Imran: 97).
 Ayat inilah yang menjadi dalil penetapan kewajiban menunaikan Haji dari dua
segi berikut.
 Pertama, Firman Allah: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah.”Huruf jar”li”pada Allah dan “ala” pada an-nas menunjukan
makna wajib.
 Kedua, baris selanjutanya Allah berfirman: “Barangsiapa
mengingkari”.Takwilnya adalah menginkari kewajiban Haji. Ibnu Abbas
mengartikan ini : Barangsiapa mengingkari dengan penuh keyakinan bahwa
Haji tidak wajib. Jadi barangsiapa yang tidak menunaikan Haji dengan
keyakinan bahwa Haji adalah tidak wajib, maka ia adalah kafir terhadap Allah.
 Dalil berikutnya adalah fiman Allah dalam Al-quran:
 ِ ‫ش ِدي ُد ۡٱل ِعقَا‬
‫ب‬ َ َ ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا أَنَّ ٱهَّلل‬
ۡ ‫َوٱتَّقُو ْا ٱهَّلل َ َو‬
 Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.”
(QS. Al-Baqarah (2) : 196)
 Yang dimaksud menyempurnakan Haji dan Umrah adalah menjalankan
keduanya, hal ini mengacu pada pendapat para kalangan ahli fiqh yang juga
mewajibkan melaksanakan ibadah Umrah.
 Dalil dari As-Sunnah perihal kewajiban Haji, sabda Nabi:
 “Islam dibangun diatas lima pilar: Kesaksian bahwa tiada Tuhan melainkan
Allah dan Muhammad utusan-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji,
dan puasa Ramadhan.”
 Imam An-Nawawi menjelaskan, hadits ini adalah dasar yang jelas dalam
mengetauhi agama, sebuah pilar landasan, dan menghimpun rukun-rukunnya.
 Haji wajib dikerjakan hanya sekali dalam sumur hidup.
o Diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam suatu pidato Rasulullah SAW
menegaskan bahwa haji itu hukumnya wajib. Kemudian seseorang
bertanya: “Apakah tiap tahun, ya Rasulullah?” beliau diam. Orang
tersebut mendesak sampai tiga kali. Maka Rasulullah SAW menjawab:
“Andaikan saya jawab ya tentu menjadi wajib, padahal kamu tidak
mampu melaksanakannya. Oleh karena itu, biarkanlah apa yang saya
tinggalkan (tidak ditegaskan Nabi) untukmu.”(HR. Ahmad, Muslim,
dan Nasa’i)
o Meski hanya sekali dalam seumur hidup, namun diutamakan untuk
disegerakan melaksanakan ibadah Haji bagi mereka yang sudah cukup
(harta dan syarat).

C. Syarat–syarat Haji
 Para ulama berpendapat bahwa haji adalah wajib bagi mereka yang beragama
islam, berakal, merdeka, baligh, sehat, dan mampu, sekali dalam seumur
hidup. Dalam hal ini baik laki-laki ataupun perempuan syarat-syaratnya sama,
jika salah satu syarat ini ada yang hilang, jelas kewajiban Haji seseorang
tersebut menjadi hilang.
· Islam dan Berakal
o Islam dan berakal adalah syarat sah dan wajib untuk ibadah Haji, sebab
itu orang yang kafir dan murtad tidak wajib Haji, seluruh ulama
sependapat atas hal ini. Sedangkan seseorang yang tidak berakal(gila)
tidak diwajibkan atas Haji, sebab orang gila tidak memiliki orientasi,
karena orientasi adalah salah satu syarat sah dalam beribadah
(termasuk Haji), kecuali orang gila tersebut sadar kembali.
· Baligh dan Merdeka
o Sebenarnya Baligh adalah salah satu syarat yang harus dicukupi bagi
seseorang yang akan pergi Haji, bukan syarat sah. Karena itu bagi
anak-anak dibawah umur baligh tidaklah di wajibkan untuk berhaji.
Hal ini disepakati oleh para ulama berdasarkan sabda Nabi:
 “Diangkatlah pena dari tiga orang: Anak kecil hingga ia baligh, orang gila
hingga ia sadar, dan orang tidur hingga ia terbangun.”
 Haji sangat membutuhkan pengorbanan harta dan badan. Selain itu juga anak
kecil terkadang memiliki niatan yang kurang untuk pergi Haji, meskipun
demikian Hajinya seorang anak kecil tetaplah sah berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ada seorang ibu mengangkat seorang
bocah ke hadapan Nabi dari dalam tandu kendaraanya, seraya berseru,“Wahai
Rasulullah, apakah ini boleh haji?” beliau menjawab,”Ya, dan bagimu
pahala(nya).”
o Jika seorang anak kecil sudah bisa membedakan sesuatu, kemudian ia
berihram dengan izin orangtuanya, maka ihramnya dianggap sah,
namun jika tanpa izin orangtuanya, dari sinilah terdapat dua arus
pendapat:
o Pertama, dianggap sah sesuai keabsahan takbiratul ihramnya dalam
sholat.
o Kedua, Hajinya bisa dianggap tidak sah, karena berbeda dengan shalat
yang tanpa biaya, Haji memerlukan biaya dan harta benda yang tidak
sedikit jumlahnya, sebab itu hajinya anak kecil walaupun ia sudah bisa
membedakan sesuatu sekalipun, tidaklah sah tanpa seizin orangtuanya.
Demikian ini pendapat kebanyakan kalangan mazhab Hanbali.
 Berdasarkan kesepakatan beberapa ulama Haji tidak wajib bagi budak sahaya,
haji memerlukan waktu yang lama, karenanya jika seorang budak
melaksanakan haji maka ia pasti meninggalkan kewajiban atas majikannya.
Budak diperbolehkan atau diwajibkan haji ketika mereka sudah di merdekakan
oleh majikannya
 Dalam hadits lain berdasarkan penelusuran Ibnu Abbas dikatakan bahwa Nabi
bersabda: “Jika anak kecil yang berhaji telah berusia baligh, maka ia tetap
wajib menunaikan haji lagi, dan jika seorang budak melakukan haji, kemudian
ia dimerdekakan (penuh) maka ia wajib menunaikan haji lagi.”. penjelelasan
atas hadits ini adalah mereka melaksanakan Haji ketika mereka belum
diwajibkan, sehingga disaat mereka sudah diwajibkan untuk Haji, maka apa
yang dilakukan dahulu tidak mencukupinya.
o Jika Haji dilaksanakan sebelum sempurnanya atas batas wajibnya
(masih kecil dan budak), lalu mereka mencapai kesempurnaan (baligh
dan merdeka sepenuhnya) sebelum wukuf di arafah atau ditengah-
tengahnya, maka Haji nya sudah mencukupi dari Haji Islam (Mereka
tidak mengulangi Haji nya), namun wajib mengulang Sa’i setelah
thawaf ifadhah jika mereka melakukan sa’i setelah thawaf qudum.
· Sehat dan Mampu
o Syarat wajib haji adalah mampu, jika seseorang melaksanakan haji
dalam keadaan sakit, sudah tua, bahkan miskin maka hajinya adalah
sah dan mencukupi. Hal ini dikarenakan pada saat zaman Rasulullah
menunaikan Hajinya, Rasulullah bersama dengan mereka (kamu fakir),
dan Rasulullah tidak memintanya untuk berhaji lagi.
o Dari hal ini timbul pertanyaan, kriteria-kriteria apa yang dianggap
mampu? Kemampuan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
· Tersedianya sarana transportasi
· Bekal
· Keamanan diperjalanan
· Kemampuan tempuh perjalanan
 Dalam Al-Quran Allah berfirman yang artinya:
 ِ ‫سبِياًۭل ۚ َو َمن َكفَ َر فَإ ِ نَّ ٱهَّلل َ َغنِ ٌّى ع‬
‫َن‬ َ ‫ستَطَا َع إِلَ ْي ِه‬ ِ ‫س ِح ُّج ٱ ْلبَ ْي‬
ْ ‫ت َم ِن ٱ‬ ِ ‫َو َمن د ََخلَهۥُ َكانَ َءا ِم ۭنًا ۗ َوهَّلِل ِ َعلَى ٱلنَّا‬
َ‫ٱ ْل ٰ َعلَ ِمين‬
 Artinya : “...Mengerjakan Haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah; yaitu (bagi) orang yang sanggupmengadakan perjalanan ke Baitullah.
Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97)
 Maka orang yang sudah mampu diwajibkan untuk berhaji, yaitu mampu secara
harta dan kesehatan.

D. Rukun Haji
 Rukun haji adalah kegiatan-kegiatan yang apabila tidak dikerjakan, maka
Hajinya dianggap batal. Berbeda dengan wajib Haji, wajib Haji adalah suatu
perbuatan yang perlu dikerjakan, namun wajib Haji ini tidak menentukan sah
nya suatu ibadah haji, apabila wajib haji tidak dikerjakan maka wajib
digantinya dengan dam (denda).
 Kegiatan yang termasuk dalam rukun haji adalah sebagai berikut:
o Ihram (berniat)
 Adalah berniat mengerjakan Haji atau Umrah bahkan keduanya sekaligus,
Ihram wajib dimulai miqatnya, baik miqat zamani maupun miqat makani.
Sunnah sebelum memulai ihram diantarnya adalah mandi, menggunakan
wewangian pada tubuh dan rambut, mencukur kumis dan memotong kuku.
Untuk pakaian ihram bagi laki-laki dan perempuan berbeda, untuk laki-laki
berupa pakaian yang tidak dijahit dan tidak bertutup kepala, sedangkan
perempuan seperti halnya shalat (tertutup semua kecuali muka dan telapak
tangan).
 b) Wukuf (hadir) diArafah
 Waktu wukuf adalah tanggal 9 dzulhijjah pada waktu dzuhur, setiap seorang
yang Haji wajib baginya untuk berada di padang Arafah pada waktu tersebut.
Wukuf adalah rukun penting dalam Haji, jika wukuf tidak dilaksanakan
dengan alasan apapun, maka Hajinya dinyatakan tidak sah dan harus diulang
pada waktu berikutnya. Pada waktu wukuf disunnahkan untuk memperbanyak
istighfar, zikir, dan doa untuk kepentingan diri sendiri maupun orang banyak,
dengan mengangkat kedua tangan dan menghadap kiblat.
 c) Thawaf (mengelilingi Ka’bah)
 Thawaf dianggap sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
o Suci, dari hadas besar, hadas kecil, dan najis.
o Menutup aurat.
o Sempurna tujuh kali putaran, jika lupa atau ragu, maka mulailah pada
hitungan yang sedikit.
o Dimulai dan diakhiri di Hajar Aswad.
o Ka’bah berada pada sebelah kiri orang yang thawaf.
o Jika thawaf dilakukan diluar Ka’bah maka hendaknya masih berada di
Masjidil Haram.
 d)Sa’i
 Adalah Berlari-lari kecil antar bukit Shafa dan Marwah. Adapun syarat untuk
Sa’i yaitu: 1.)Dimulai dari bukit Shafa dan dikahiri di bukit Marwah.
2.)Hendaknya tujuh kali (dari Shafa ke Marwah dihitung satu kali, dan sampai
ke Shafa kembali dihitung dua kali). 3.)Waktu yang tepat untuk Sa’i adalah
sesudah Thawaf.
 Mencukur rambut
 Mencukur atau mengunting adalah rukun haji sebagai penghalal terhadap hal
yang diharamkan dalam Haji. Dalam mencukur rambut sedikitnya adalah tiga
helai rambut, dan bagi perempuan tidak perlu dicukur melainkan hanya
dipotong saja.
 Tertib
 Tertib berurutan, mendahulukan yang semestinya paling utama. Yaitu
mendahulukan Ihram dari rukun yang lain, mendahulukan Wukuf dari
Thawaf, mendahulukan sa’i daripada bercukur.

E. Wajib Haji
Amalan dalam ibadah Haji yang wajib dikerjakan disebut wajib Haji. Wajib
Haji tidak menentukan sahnya ibadah haji. Jika tidak dikerjakan Haji tetap sah, namun
dikenakan dam (denda).
Berikut adalah beberapa wajib haji, yaitu :
a) Ihram dari Miqat
Miqat adalah tempat dan waktu yang disediakan untuk melaksanakan ibadah Haji.
Ihram dari Miqat bermaksud niat Haji ataupun niat Umrah dari miqat, baik miqat
zamani maupun miqat makani.
Miqat makani adalah tempat awal melaksanakan ihram bagi yang akan Haji dan
Umrah.
b) Bermalam di Muzdalifah
Dilakukan sesudah wukuf di arafah (sesudah terbenamnya matahari) pada tanggal 9
dzulhijjah. Di Muzdalifah melaksanakan sholat Maghrib dan Isya’ melakukan jamak
dan qasar karena suatu perjalanan jauh. Di Muzdalifah inilah kita dapat mengambil
kerikil-kerikil untuk melaksanakan Wajib Haji selanjutnya (Melempar Jumrah) kita
bisa mengambil sebanyak 49 atau 70 butir kerikil.
c) Melempar Jumrah ‘aqabah
Pada tanggal 10dzulhijjah di Mina dilaksanakannya melempar jumrah sebanyak tujuh
butir kerikil sebanyak tujuh kali lemparan. Waktu paling utama untuk melempar
jumrah ini yaitu waktu Dhuha, setelah melakukan ini kemudian melaksanakan tahalul
pertama (mencukur atau memotong rambut).
d)Melempar Jumrah ula, wustha, dan ‘aqabah
Melempar ketiga jumrah ini dilaksanakan pada tanggal 11, 12, dan 13 dzulhijjah,
diuatamakan sesudah tergelincirnya matahari. Dalam hal ini ada yang melaksanakan
hanya pada tanggal 11 dan 12 saja kemudian ia kembali ke mekkah, inilah yang
disebut dengan nafar awal. Selain nafar awal ada juga yang dissebut nafar sani, yaitu
orang yang baru datang pada tangal 13 dzulhijjah nya, orang-orang ini diharuskan
melempar jumrah tiga sekaligus, yang masing-masing tujuh kali lemparan.
e) Bermalam di Mina
Pada tanggal 11-1 dzulhijjah ini lah yang diwajibkan bermalam di Mina. bagi yang
nafar awal diperbolehkan hanya bermalam pada tanggal 11-12 saja.
f) Thawaf wada’
Sama dengan Thawaf sebelumnya, Thawaf wada’ dilakukan disaat akan
meninggalkan Baitullah Makkah.
g) Menjauhkan diri dari hal yang di haramkan pada saat ihram.
Menghindari dari berbagai larangan yang sudah ditentukan karena orang-orang yang
melanggar aturan ini akan dikenakan dam (denda).

F. Sunnah-sunnah Haji
Cukup banyak sunnah-sunnah haji. Diantara berikut ini adalah sunnah-sunnah yang
berhubungan dengan ihram, thawaf, sa’i, dan wukuf. Yaitu :
a. Mandi sebelum ihram
b. Menggunakan kain ihram yang baru
c. Memperbanyak talbiyah
d. Melakukan thawaf qudum (kedatangan)
e. Shalat dua rakaat thawaf
f. Bermalam di Mina
g. Mengambil pola ifrad, Yaitu pola mendahulukan Haji daripada Umrah
h. Thawaf wada’ (perpisahan)

G. Larangan selama berihram Haji


Hal-hal yang dimaksud larangan ini adalah yang diharamkan dilakukan bagi yang
berihram, haram bukan artian sebagai perbuatan yang menjadikan dosa, karena belum
pernah ada pendapat ulama tentang pelanggar larangang-larangan ini mendapatkan
dosa. Sebagai contoh pelanggaran suatu hajat, tidak mencukur rambut dikarenakan
memiliki penyakit yang jika rambutnya dicukur bisa mengurangi kesehatan seorang
haji, maka ini hukumnya tidak dosa. Adapun jika larangan ini sengaja dilanggar maka
ia akan berdosa.
Beberapa larangan tersebur diantaranya, yaitu:
· Bagi laki-laki dilarang menggunakan pakaian berjahit.
· Bagi laki-laki dilarang menggunakan penutup kepala
· Larangan bagi perempuan untuk menutup muka dan telapak tangganya
· Di saat ihram bagi laki-laki maupun perempuan wangi-wangian untuk badan
maupun pakaian, boleh memakainya sebelum ihram.
· Dilarang menikah, menikahkan, ataupun menjadi wali nikah. Tidak boleh ada
proses pernikahan.
· Dilarang bersetubuh (senggama).
Dalam surah Al-Baqarah Allah SWT berfirman tentang larangan dalam Haji, yang
artinya:
ُ‫ق َوال ِجدَا َل فِي ا ْل َح ِّج َو َما تَ ْف َعلُوا م ِمنْ َخ ْي ٍر يَ ْعلَ ْمه‬َ ‫سو‬ ُ ُ‫ض فِي ِهنَّ ا ْل َح َّج فَال َرفَ َث َوال ف‬ ْ َ‫ا ْل َح ُّج أ‬
َ ‫ش ُه ٌر َم ْعلُو َماتٌ فَ َمنْ فَ َر‬
ِ ‫ون يَا أُولِي األ ْلبَـا‬
‫ب‬ ِ ُ‫هَّللا ُ َوتَ َز َّودُوا فَإِنَّ َخ ْي َر ال َّزا ِد التَّـ ْق َوى َواتَّق‬
Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh
rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan
apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah,
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai
orang-orang yang berakal.” (QS. Al Baqarah:197).
· Dilarang membunuh binatang darat yang liar dan halal dimakan. Firman Allah
SWT: “...Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu
dalam ihram...” (Al-Maidah: 96).

H. Dam (Denda) dalam Haji


Dam (denda) inilah hukuman bagi para pelanggar larangan- larangan pada
pembahasan diatas. Dam hukumnya wajib dilakukan, bagi yang melanggar larangan-
larangan Haji. Berikut ini adalah larangan beserta Hukuman Dam (dendanya) :
1. Bersetubuh dalam keadaan ihram sebelum melaksanakan tahalul yang pertama,
dendanya adalah memilih salah satu diantara tiga berikut ini:
a. Menyembelih satu ekor unta, atau lembu, atau tujuh ekor kambing, dan Hajinya
wajib diulang.
b. Bila yang pertama tidak mampu, maka ia wajib memberikan sedekah makanan
seharga satu ekor unta pada fakir miskin
c. Bila tidak mampu keduanya, maka diwajibkan berpuasa dengan perhitungan
0,8kg daging unta setara dengan satu hari berpuasa.
2. Memburu dan membunuh hewan darat. Dendanya adalah memilih salah satu
diantara tiga berikut ini:
a. Menyembelih hewan yang setara dengan yang diburu atau dibunuhnya
b. Bersedekah sebanyak (seharga) hewan tersebut pada golongan fakir miskin
c. Bila tidak mampu keduanya, maka diwajibkan berpuasa dengan perhitungan
0,8kg daging unta setara dengan satu hari berpuasa.
3. Melakukan larangan sebagai berikut: Mencukur rambut, Memotong kuku,
memakai pakaian berjahit (laki-laki), berminyak rambut, memakai wangi-wangian,
bersetubuh setelah tahalul pertama, maka dikenakan denda dengan pilihan sebagi
berikut:
a. Menyembelih satu ekor kambing
b. Berpuasa selama tiga hari
c. Bersedekah sebanyak (9,3liter) makanan pada enam orang gologan fakir miskin
4. Melaksanakan Haji tamattu’ atau qiran. Dikenakan denda sebagai berikut:
a. Menyembelih satu ekor kambing
b. Jika tidak mampu maka diwajibkan berpuasa selama 10 hari, dengan aturan 3
hari puasa (di Haram) dan 7 hari puasa (di asal negaranya)
5. Disaat melanggar salah satu Wajib Haji, maka dikenakan denda yang sama
dengan melakukan haji tamattu’ atau qiran.

F. Adab dalam ibadah agama Konghucu

1. Mengangkat konfisuius sebagai salah satu nabi.


2. Litang (gerbang kebijakan) sebagai tempat ibadah resmi, namun dikarenakan tidak
banyak akses ke lintang, masyarakat umumnya menganggap klenteng sebagai tempat
ibadah umat konghucu.
3. Sishu Wujing sebagai kitab suci resmi.
4. Hari – hari raya kegamaan agama Konghucu yakni Imlek (Hari Lahir Konghucu).
Kegiatannya adalah berkumpul bersama keluarga, makan – makan, berbagi angpao.
5. Tokoh – tokoh Pahlawan :
a. Jiao Sheng (Penyebar agama)
b. Weshi (Guru Agama)
c. Xueshi (Pendeta)
d. Zhang Lao (Tokoh atau sesepuh)
6. Kalender imlek terbukti dibuat oleh Nabi Komghucu (Konfusius).
7. Konfusiusme mementingkan akhlak yang mulia dengan manusia di bumi dengan baik.
Penganutnya diajar supaya tetap mengingat nenek moyang seolah – olah mereka hadir
dalam dunia ini.
8. Menyembah keramat dan penunggu tetapi hanya yang patut disembah. Dipentingkan
dalam ajarannya adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha memperbaiki moral.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan dalam makalah ini, baik dari
ejaan tulisan, tata kalimat, tata bahasa maupun yang lainnya. Tetapi setidaknya
penulis telah berusaha menguraikan maksud dari tugas yang telah dibuat. Oleh karena
itu, mengharapkan adanya wujud apresiasi pembaca untuk memberikan koreksi dan
masukan, agar lebih baik dalam penulisan makalah penelitian relevan tersebut. Terima
Kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet & Moh. Suyono. Fiqih Ibadah. hlm. 35.


Al Ghazali, Imam. Percikan Ihya Ulum Al-Din: Rahasia Bersuci. (Jakarta: Mizan, 2015) hlm.
4
Al-Ghazali, Imam. Ringkasa Ihya’ ‘Ulumuddin. (Jakarta: Akbar Media, 2008). hlm. 58-60
Al-Jaza’iri, Syaikh Abu Bakar Jabir. Minhajul Muslim. hlm. 357.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Filsafat Hukum Islam. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2001). hlm 294.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad & Abdul Wahab Sayyed Hawwas. Fiqh Ibadah. (Jakarta:
Hamzah, 2010) hlm.106.
Nasution, Lahmuddin. Fiqh 1. (Jakarta: Jaya Baru, 1998). hlm,.31
Noer, Ali, Syahraini Tambak, dan Azin Sarumpaet. “Konsep Adab Peserta Didik dalam
Pembelajaran menurut Az-Zarnuji dan Implikasinya terhadap Pendidikan Karakter di
Indonesia”. Jurnal Al-Hikmah. Vol 4, No. 2. 2017. hlm.184
Brantas. (2009). Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: CV Alfabeta
Departemen Agama RI. (2002). Al Quran dan Terjemahannya. Jakarta:
Darussunnah.
________. 2003. Pedoman Pengelolaan Zakat. Jakarta: Departemen Agama
Hadari, Nawawi. (2007). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Hasibuan, Malayu S.P. (2008). Manajemen “Dasar, Pengertian, dan Masalah”
Jakarta: Bumi Aksara
Kurnia, Hikmat dan Hidayat. (2008). Panduan Pintar Zakat. Jakarta: Qultum
Media.
Mufraini, M. Arif. (2006). Akuntansi dan Manajemen Zakat “Mengomunikasi
Kesadaran dan Membangun Jaringan Jakarta: Prenada Media Group.
Muhammad, Sahri. (2006). Mekanisme Zakat dan Permodalan Masyarakat:
Pengantar untuk Rekonstruksi Kebijakan Pertumbuhan Ekonomi, Cetakan I,
Malang: Bahtera Press.
Muhsin. Fakhruddin, (2011), Al Mukhtashar Al Jami Li Ahkamis Zakat Min
Shahihil Khabari Wal Atsari Wan Nadzari diterjemahkan oleh Agus Abu Aufa,

Anda mungkin juga menyukai