Anda di halaman 1dari 46

stilah resensi oleh Gorys Keraf (1980:274) didefinisikan sebagai sebuah tulisan atau ulasan

mengenai nila sebuah karya atau buku. Tulisan dimaksud untuk memberikan pertimbangan atau
penilaian.
Yus Rusyana (1996:1) memberikan definisi yang senada dengan Gorys Keraf dengan objek
rensensi yang sangat luas. Menurutnya, resensi adalah tulisan mengenai buku pengetahuan,
sastra, kamus, ensiklopedi, dan sebagainya yang mengikhtisarkan, menggambarkan,
menjelaskan, dan menilai buku. Ke dalam batasan atau definisi ini tercakup juga timbangan atas
filem dan drama atau bahkan bentuk-bentuk pementasan seni lainnya. Oleh karena itu, kita juga
sering mendengar istilah resensi filem atau resensi drama.
Tujuan pokok penulisan resensi mencakup tiga hal, yakni :
1. Memberikan sugesti kepada pembaca, apakah sebuah buku/filem patut dibaca/ditonton
atau tidak.
2. Melukiskan dan memaparkan pendapatnya melalui sebuah timbangan atau penilaian; dan
3. Menyodorkan kriteria-kriteria yang jelas dalam mengemukakan pendapatnya itu.
Sebuah resensi paling tidak memiliki tiga fungsi utama, yakni :
1. Fungsi Informatif, yakni menginformasikan keberadaan buku/film tertentu sehingga
pembaca merasa tertarik untuk mengetahuinya lebih lanjut;
2. Fungsi Komersial, yakni mempromosikan produk baru untuk kepentingan komersial; dan
3. Fungsi Akademik, yakni interaksi antara penulis/pengarang buku, penerjemah, editor, dan
presensi dalam membentuk wacana keilmuan mengenai topik tertentu.
secara umum, tulisan resensi buku terdiri atas dua bagian penting, yakni :
1. Gambaran umum isi buku yang di resensi dan
2. Kupasan, bahasan, dan penilaian atas isi buku itu.
Sistematika resensi buku meliputi :
1. Judul resensi (boleh sama dan boleh berbeda dengan judul buku yang di resensi).
2. Perwajahan, meliputi : (a). Judul Buku, (b). nama pengarang/penulis, (c). nama penerbit
dan tahun penerbit, (d). Jumlah halaman, (e). Jenis huruf, (f). Halaman sampul (cover),
dan (g). Harga buku.

3. Pembukaan, meliputi : (a). Uraian yang menjelaskan isi buku secara umum, (b).
Kaitannya dengan hal di luar isi buku (bila perlu).
4. Pembahasan, meliputi : (a). Analisis terhadap isi buku disertai alasan dan bukti yang ada
dalam isi buku, (b). Analisis kekuatan dan kelemahan (bila ada) isi buku yang di resensi,
(c). Pembanding dengan sumber-sumber yang berbeda, (d). Gagasan-gagasan penulis
mengenai buku itu.
5. Penutup, meliputi : Penilaian penulis resensi mengenai perlu-tidaknya pembaca resensi
membaca atau memiliki buku tersebut.
Ada tiga macam teknik meresensi buku, yakni :
1. Teknik Cutting And Glueing.
2. Teknik Focusing
3. Teknik Comparing.
Resensi dapat di kalsifikasikan kedalam ketiga katagori, yakni resensi berjenis : (a). Informatif,
menekankan aspek informasi mengenai isi buku. (b). Deskriptif, menekankan ulasan detail dan
rinci untuk setiap bagian atau bab dari buku yang di resensi dan, (c). Kritis, menekankan aspek
penilaian secara kritis dan objektif atas isi buku.
Secara garis besar terdapat dua aspek penting yang harus dicermati dalam menilai resensi, yakni
aspek luar (penampilan) dan aspek dalam (isi). Aspek luar meliputi perwajahan buku atau kulit
muka buku yang akan di resensi. Aspek dalam meliputi paparan isi buku, gagasan, konsep, fakta,
informasi, dan esensi keilmuan.

Tips Menulis Resensi Buku


October 25, 2012 at 14:11 (Kepenulisan)
Oleh: NUR MURSIDI
[1] Memilih Buku yang Tepat
Sebelum memulai menulis resensi buku jika tujuannya adalah untuk dikirim ke koran atau
majalah, ada satu hal penting yang tidak bisa dikesampingkan. Hal penting itu adalah memilih
buku yang tepat untuk diresensi. Memang semua buku bisa diresensi karena tidak ada satu orang
pun yang melarang Anda menulis resensi buku berdasarkan selera atau kecintaan Anda pada satu
jenis buku. Itu sepenuhnya adalah hak Anda atau tergantung pada Anda (suka-suka Anda).
Tapi, jika tujuan menulis resensi buku adalah untuk dikirim ke media massa baik koran atau
majalah maka mau tidak mau Anda harus menyesuaikan selera atau jenis [genre] buku yang
kerap kali dimuat di sebuah koran yang ingin Anda kirimi atau menjadi prioritas redaktur dari
sebuah media massa. Sebab, ketika Anda tidak jeli dalam memilih buku yang akan diresensi,
bukan satu hal yang aneh jika pada akhirnya tulisan resensi Anda itu tidak dimuat.
Tentu saja, Anda tidak mau hal itu terjadi atau menimpa diri Anda. Sebab, Anda sudah bersusah
payah menulis resensi kemudian mengirimkan naskah tersebut ke koran (atau majalah) dan
berharap besar akan dimuat tetapi harapan itu ternyata tak berpihak kepada Anda. Jadi, tatkala
Anda berharap tulisan resensi Anda bisa dimuat, tidak ada pilihan lain, kecuali Anda harus jeli
menangkap peluang dan kehendak redaktur.
Dulu, waktu saya masih awal-awal belajar menulis resensi buku dan masih buta dengan semua
itu, saya menulis resensi buku hampir [jenis buku] apa saja. Dengan kata lain, hampir semua
jenis buku yang ada -selama buku itu masih termasuk kategori buku baru sudah pasti saya
resensi. Tapi, setelah berlalunya waktu, saya jadi sadar dan tahu.

Pengalaman kata sebuah pepatah memang guru yang berharga. Dari pengalaman itu saya
kemudian belajar untuk menangkap peluang; membaca dengan jeli jenis-jenis buku apa yang
sekiranya laku dan memiliki nilai muat di media massa? Sewaktu resensi buku saya tak dimuat,
saya berusaha berpikir dengan jeli bahkan melakukan intropeksi. Setelah berkali-kali melakukan
intropeksi dan belajar dari pengalaman, saya akhirnya tahu jenis-jenis buku yang dimuat.
Kebetulan, saat itu ada seorang redaktur di sebuah majalah yang tergolong baik. Dari redaktur
itulah saya belajar tentang pilihan buku yang tepat untuk diresensi. Dia itu tak pelit untuk
membalas atau memberikan jawaban dari setiap kiriman naskah resensi yang telah saya kirim.
Jadi ceritanya, tak lama setelah saya mengirimkan resensi, kadang tidak sampai sehari atau
paling lambat tiga hari, ia sudah memberikan jawaban. Dan seleksi awal yang jadi kriteria bagi
sang redaktur itu; adalah soal pilihan buku.
Jika memang pilihan buku yang saya resensi itu tepat dan memiliki nilai muat, redaktur itu
akan membalas email saya dengan jawaban yang memberikan harapan. Ia menulis dengan
jawaban yang pendek tetapi menggembirakan; buku yang Anda resensi memiliki peluang untuk
dimuat. Tolong, kami beri waktu beberapa hari untuk membaca dan memutuskan apakah naskah
Anda layak muat atau tidak. Jika jawaban itu yang saya terima, di dalam hati, setidaknya saya
sudah menggenggam harapan. Sebab, tak jarang, beberapa hari kemudian, naskah resensi saya
dimuat. Jika kemudian tidak dimuat, itu sepenuhnya karena tulisan resensi saya kurang bagus,
kurang kritis atau bisa jadi kalah bersaing dengan peresensi lain jika memang ada peresensi lain
yang kebetulan juga mengirim naskah resensi buku yang ternyata sama dengan buku yang saya
resensi.
Tapi, kadang-kadang saya mendapatkan balasan dari redaktur itu yang membuat hati saya
langsung lemas. Sebab, jika pilihan buku yang saya resensi itu tidak tepat, tak butuh waktu lama,
redaktur itu langsung mengembalikan tulisan resensi saya dengan kalimat pendek dan jelas; buku
yang Anda resensi kebetulan tak masuk kriteria redaksi kami. Jadi naskah Anda dikembalikan.
Tapi, jangan berkecil hati. Kami tetap menunggu naskah resensi Anda yang lain.
Jadi, kriteria awal dimuat atau tidaknya naskah resensi buku itu tergantung pada pilihan buku.
Karena itu, jangan sampai Anda salah atau bahasa yang halus kurang tepat dalam memilih buku
untuk diresensi. Sebab, kalau salah pilih atau kurang tepat memilih buku, Anda akan rugi dan
gigit jari; mengalami penolakan bahkan sebelum naskah Anda dibaca oleh redaktur sebuah media
massa. Itu sungguh menyedihkan dan menyesakkan dada. Ibarat perang, Anda kalah sebelum
bertarung dengan lawan.
Lalu, jenis buku-buku apa yang memiliki nilai muat cukup tinggi di media massa dan benarbenar menarik minat sang redaktur untuk membaca kemudian memuatnya? Tentu, cukup banyak
pilihan buku yang bisa dipilih bahkan berlimpah ruah. Di antara pilihan-pilihan itu, antara lain
adalah;
A. Buku Aktual
Apa yang dimaksud dengan buku aktual? Buku yang bisa dikata isinya mengupas tema yang
sedang hangat atau sedang menjadi perbincangan. Tak sedikit, penerbit yang cukup jeli

menangkap peluang pasar atau momentum terkait tema atau isu yang sedang berkembang di
tengah masyarakat sehingga akhirnya menerbitkan buku-buku yang baru untuk menjawab
momentum tersebut.
Contoh paling mudah adalah buku tentang Obama dan McCain. Ketika Amerika Serikat (USA)
akan menggelar pemilu tahun 2008 yang menjadi pusat perhatian dunia, buku-buku yang
mengangkat kehidupan kedua calon presiden itu diterbitkan bahkan diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Penerbit Zahra Pustaka menangkap peluang itu dan memilih menerbitkan buku
The Real McCain sebuah buku yang mengisahkan tentang kehidupan McCain. Sementara itu
penerbit Ufuk menerjemahkan buah pemikiran Obama Menerjang Harapan, Dari Jakarta Menuju
Gedung Putih.
Adapun untuk contoh jenis buku aktual yang sekarang ini bisa dikategorikan ke dalam ranah
buku aktual ini adalah buku mengangkat tentang sosok Jokowi. Pemimpin sederhana yang kini
menjadi walikota Solo itu, tidak dimungkiri, telah menarik perhatian publik ketika di tengah
kebobrokan moral para pemimpin di negeri ini yang lagi berada di titik nadir, ia seperti hadir
menjawab tantangan zaman; menjadi oase dan harapan bagi rakyat Indonesia. Ia jadi sosok
pemimpin masa depan yang dirindukan rakyat. Apalagi, ketika ia dengan gagah berani
menjadikan mobil Esemka, mobil rakitan anak-anak negeri sendiri sebagai mobil dinas dan
kemudian berjuang menjadi mobil tersebut sebagai mobil nasional.
Di tengah kepopuleran Jokowi di blantika politik nasional itu, penerbit Ufuk Press menerbitkan
buku Jokowi: Dari Jualan Kursi Hingga Dua Kali Mendapatkan Kursi (Ufuk Press; 2012) dan
penerbit Noura Books (kelompok Mizan) menerbit buku Jokowi: Pemimpin Rakyat Berjiwa
Rocker (Noura Books; 2012). Buku-buku tentang Obama dan McCain pada masa itu, tahun
2008, adalah buku aktual yang memiliki nilai muat cukup tinggi di koran atau majalah. Demikian
juga untuk buku tentang sosok Jokowi untuk kategori sekarang ini.
Itulah jenis buku-buku yang masuk kategori buku aktual. Meskipun jenis buku-buku tersebut
memiliki satu kelemahan, biasanya hanya akan booming tidak lama, tetapi jika diresensi akan
memiliki nilai muat yang kuat. Kenapa? Sebab isi atau berita di koran itu memiliki
kecenderungan mengejar hal-hal yang aktual, baru dan menjadi pembicaraan publik, maka rubrik
resensi koran atau majalah pun lebih mempertimbangkan perihal unsur-unsur kebaruan tersebut.
Tak pelak, jika buku-buku aktual pun menjadi pilihan redaktur.
B. Buku Bestseller
Selain buku aktual, jenis buku-buku lain yang memiliki nilai muat tinggi di koran dan majalah
adalah buku bestseller. Kenapa buku yang masuk dalam kategori bestseller itu bisa memiliki
peluang muat cukup tinggi di media massa? Jawabnya simpel; karena buku-buku tersebut sedang
menjadi buku laris di pasar dan koran atau majalah biasanya ingin memberikan informasi terkait
buku tersebut kepada pembaca.
Adapun untuk kategori buku bestseller, dapat disebutkan salah satu contohnya adalah novel
Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna karya dari A. Fuadi yang keduanya diterbitkan oleh
penerbit Gramedia. Juga, buku Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta. Tak pelak, karena buku-buku

tersebut cukup laris manis di pasaran hingga dicetak berulang kali. Bahkan, buku bestseller yang
belakangan ini adalah Kisah Cinta Ainun Habibie.
Tentu saja masih banyak jenis buku bestseller yang bisa dijadikan sebagai pilihan buku ketika
memutuskan hendak meresensi buku di koran atau majalah. Apalagi, zaman terus bergerak dan
setiap tahun bisa dipastikan akan selalu lahir buku-buku bestseller. Jadi, seorang peresensi itu
harus jeli dan tahu jenis buku-buku yang sedang laris atau bestseller.
C. Buku Kontroversial
Pilihan buku lain yang bisa diresensi di koran ataupun majalah adalah jenis buku yang masuk
dalam kategori buku kontroversial. Seperti apakah buku yang kontroversial itu? Secara
gampangnya, bisa didefinisikan sebagai buku yang mengundang perdebatan, mengundang rasa
ingin tahu atau mematik rasa penasaran. Sebab buku kontroversial itu memang sengaja
diterbitkan untuk mendobrak mainstream, mengungkap satu masalah yang belum diketahui oleh
banyak orang bahkan bisa jadi menggugat pakem yang sudah baku dan bercokol lama di pikiran
orang secara umum.
Buku-buku yang masuk dalam kategori ini, antara lain adalah buku The Origin of the Species
karya Carles Darwin, novel The Da Vinci Code karya Dan Brown, dan Satanic Verses karya
Salman Rusdhie. Adapun untuk buku-buku lokal yang masuk kategori buku kontroversial antara
lain; IPDN Undercover karya dari Inu Kencana, Jakarta Uncercover karya Muammar Emka,
Detik-detik yang Menentukan karya B.J. Habibie hingga buku Membongkar Kegagalan CIA
karya Tim Weiner.
D. Buku Pemikiran Baru
Kategori buku lain yang bisa dijadikan buku pilihan untuk diresensi adalah buku yang
menghadirkan pemikiran baru. Buku jenis apa yang bisa dimasukkan sebagai buku pemikiran
baru? Buku kategori pemikiran baru biasanya ditulis berdasarkan riset yang mendalam,
menggugat pemikiran lama atau bisa jadi melahirkan teori baru terkait satu masalah atau bidang
tertentu.
Contoh untuk buku-buku dalam kategori ini antara lain, buku karya Nur Khalik Ridwan Agama
Bojuis: Kritik atas Nalar Islam Murni dan Islam Borjuis Islam Proletar dan Islam: Konstruksi
baru masyarakat Islam Indonesia, Agama Pelacur: Dramaturgi Transendental dan Islam
Pesisir karya Nur Syam dan masih banyak lagi kategori atau jenis buku pemikiran baru yang
bisa dijadikan pilihan. Sebab, buku-buku di atas adalah buku lama, sementara untuk rubrik
resensi buku harus buku terbitan baru. Jadi, seorang peresensi itu dituntut tahu perkembangan
buku agar bisa memiliki wawasan luas dalam hal memilih buku-buku yang layak dan memiliki
nilai muat di koran atau majalah.
E. Buku Para Pesohor
Bukan satu hal yang mengejutkan bahwa dalam dunia penerbitan buku pun kini sedang
diramiakan oleh penulis yang berlatar belakang dari orang-orang terkenal seperti artis, pejabat

maupun publik figur. Jadi, buku yang ditulis oleh para pesohor inilah yang saya sebut sebagai
buku para pesohor. Karena, buku itu ditulis oleh orang tekenal atau para pesohor.
Tak dimungkiri, jika buku-buku yang ditulis oleh orang terkenal seperti artis atau publik figur
akan memiliki nilai muat cukup kuat di koran, karena ditulis oleh artis atau orang-orang terkenal.
Meskipun tidak semua buku yang ditulis oleh para pesohor itu jadi jaminan dimuat di koran
ketika diresensi, tetapi buku-buku kategori buku para pesohor ini memiliki nilai lebih.
Sebagai contoh buku para pesohor yang belakangan ini menarik perhatian publik adalah bukubuku yang ditulis oleh Dee Lestari, seperti yang terbit belakangan; Perahu Kertas dan Madre
(Bentang Pustaka). Selain memang ditulis oleh seorang artis, hampir semua buku yang ditulis
oleh Dee memang berkualitas dan bermutu. Tak salah jika mutu itu semakin membuat karya Dee
selain diminati di pasar juga memiliki nilai muat tinggi ketika diresensi.
Tetapi, sebagai catatan penting dari saya bahwa tak semua kategori buku pilihan yang saya
sebutkan di atas mulai dari buku aktual, buku bestseller, buku kontroversial, buku pemikiran
baru dan buku para pesohor- jika diresensi pasti memiliki jaminan akan dimuat oleh redaktur di
media massa. Sebab, seorang peresensi hanya memprediksi tapi semua keputusan dimuat atau
tidaknya sebuah naskah resensi buku tak bisa dinafikan- tergantung keputusan redaktur. Apalagi
dalam adagium di dunia tulis menulis (di koran atau majalah) dikenal pameo yang sudah cukup
terkenal dan tak asing lagi; bagus atau tidaknya sebuah tulisan itu ketika hendak dimuat tidak
tergantung selera pembaca tetapi selera redaktur.
Jadi, redaktur itulah yang akan mengetok palu apakah tulisan Anda dimuat atau tidak. Peresensi
mencoba meraba tentang buku-buku pilihan yang bisa diresensi, tetapi redaktur-lah yang kelak
memutuskan. Karena itulah, dalam kesempatan lain, akan saya kupas lebih jauh lagi tentang
kecenderungan atau selera dari seorang redaktur karena dengan mengetahui akan
kecenderungan dan selera redaktur itu, bisa menjadi penentu bisa dimuat atau tidaknya naskah
resensi Anda.
[2] Membaca Buku untuk Meresensi
Setelah memilih buku yang tepat, lantas apakah buku yang akan diresensi itu harus dibaca
seluruhnya dari awal hingga akhir? Tidak jarang bahkan sering kali saya mendapatkan
pertanyaan seperti itu dari beberapa peresensi pemula atau beberapa teman yang baru belajar
menulis resensi.
Jawaban saya pendek; lebih baik bahkan lebih mumpuni jika buku yang akan diresensi itu dibaca
seluruhnya dari awal hingga akhir. Apalagi jika buku yang akan diresensi itu adalah novel.
Sebab, untuk meresensi sebuah novel, seorang peresensi dituntut harus tahu setiap tikungan
cerita, titik balik (dari jalan cerita), tokoh-tokoh penting dalam novel, bahkan dituntut untuk
mengetahui ending cerita. Kalau tidak sampai tahu semua hal itu dengan detail, pasti tulisan
resensi (untuk kategori novel) yang dihasilkan akan kurang mendalam atau bahkan bisa
menyesatkan.
Kenapa harus membaca buku seluruhnya? Jawabnya saya pun cukup simpel. Pertama, dengan
membaca seluruh buku, maka seorang peresensi akan lebih banyak tahu isi buku daripada hanya

membaca sekilas atau beberapa bagian penting saja dari buku tersebut. Kedua, dengan membaca
seluruh isi buku, maka peresensi akan tahu kalau ada kekurangan atau kelemahan yang ada
dalam buku yang sedang dibaca itu.
Sebab, seorang penulis buku itu sejatinya bukan malaikat. Jadi, bukan satu jaminan bahwa
buku yang terbit atau beredar di pasaran itu pasti sempurna. Maka dengan membaca seluruh
(dari isi) buku, seorang peresensi bisa menemukan, misal jika ada satu bagian atau bab yang
kurang sempurna bahkan bisa pula menemukan jika ada kesalahan tulis, kutip atau bahkan
kekurangan data.
Tak salah lagi, jika di sini saya harus berani mengatakan dengan tegas bahwa membaca untuk
tujuan meresensi itu beda dengan membaca buku pada umumnya. Dalam membaca buku untuk
tujuan meresensi, seorang peresensi dituntut jeli, kritis dan cermat. Sebab, tujuan membaca
buku untuk meresensi itu adalah menangkap ruh, point penting, bahkan inti sari dari buku
tersebut. Jika gagal menemukan poin penting, ruh atau inti sari dari isi buku tersebut, bisa
bahaya. Resensi yang dihasilkan tidak menutup kemungkinanakan melenceng dari buku yang
justru diresensi.
Jika hal itu yang terjadi, apakah itu bukan tindakan yang fatal? Karena itu, saya selalu
menyarankan bagi peresensi pemula untuk membaca seluruh isi buku yang hendak diresensi.
Bahkan, syarat itu membaca seluruh buku dari awal hingga akhir pun bagi saya masih kurang.
Sebab, hal penting lain selain membaca untuk menangkap ruh buku yang tidak bisa dilupakan
lagi adalah membaca dengan kritis.
Tuntutan membaca dengan kritis itu dimaksudkan sebagai modal agar resensi yang dihasilkan
nanti akan lebih berbobot, karena peresensi memiliki ruang untuk memberi kritikan, jeli
memangkap secuil kelemahan atau kekurangan buku.
Apakah tuntutan untuk membaca buku (yang hendak diresensi) secara utuh dari halaman
pertama sampai halaman akhir itu wajib? Jawaban saya pun simpel; tergantung kapasitas,
pengetahuan dan wawasan dari seorang peresensi itu. Semisal, jika kebetulan seorang peresensi
itu memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang tema yang dibahas dalam buku yang
hendak diresensi maka tak ada tuntutan harus membaca seluruh isi buku. Sebab, tugas seorang
peresensi membaca itu tidak kurang dan tak lebih adalah menemukan pokok pikiran yang
dituangkan oleh penulis dalam sebuah buku. Tetapi, dengan catatan harus tetap membaca dengan
jeli bahkan kritis.
Jadi, jika seorang peresensi sudah mampu menangkap pokok pikiran (point penting) dalam buku
yang hendak diresensi, maka itu sudah cukup. Lalu, bagaimana cara membaca buku yang bisa
langsung menemukan pokok pikiran penulis yang ada dalam sebuah buku? Di sinilah, seorang
penulis resensi dituntut menguasai teknik membaca. Sebab, untuk menemukan pokok pikiran
itu tidak harus membaca seluruh isi buku. Apalagi, jika secara kebetulan tema yang diangkat
dalam buku yang hendak diresensi itu sudah tidak asing lagi. Jika itu yang dilakukan (membaca
seluruh buku), tentu akan memakan cukup waktu lama. Padahal, seorang peresensi buku itu
jika tujuan sedari awal hendak meresensi buku tersebut di koran dituntut cepat.

Setidaknya, ada beberapa teknik dalam membaca buku yang bisa diterapkan.
a). Membaca Cepat (speed reading) Meski dalam teknik ini, seorang peresensi dituntut untuk
tetap konsentrasi menangkap substansi (isi/pokok pikiran) dari buku yang dibaca, tetap saja tidak
mengabaikan konsentrasi pada substansi ejaan. Apalagi teknik membaca cepat ini, sekarang ini
sedang trend. Sebab, dengan teknik ini, orang tidak lagi butuh waktu lama dalam membaca
sebuah buku, tetapi tidak mengurangi kualitas seseorang dalam menangkap pesan, isi dan
bahkan pokok pikiran penulis di dalam buku tersebut.
Jadi, intinya seorang peresensi bisa membaca dengan cepat tetapi tetap saja berkonsentrasi
membaca naskah secara seksama agar tetap menemukan pemahaman serta pemaknaan yang
benar dari pembacaan tersebut. Jika seorang peresensi sudah menguasai teknik ini, maka itu
adalah satu point plus yang dimiliki. Sebab, dia tidak perlu membaca buku dalam waktu yang
lama, tetapi bisa memangkap isi buku yang hendak diresensi.
b) Membaca Secara Sekilas
Dalam teknik ini, seorang peresensi buku tak harus membaca huruf per huruf, kata per kata, atau
kalimat per kalimat. Jika hal itu yang dilakukan, lagi-lagi akan membutuhkan waktu yang lama.
Apalagi, bagi seorang peresensi yang tidak memiliki minat baca tinggi. Maka bisa butuh waktu
satu minggu untuk bisa menyelesaikan bacaan satu buku. Padahal, meresensi di koran itu butuh
waktu cepat mengingat dead line buku baru itu singkat dan persaingan ketat antar peresensi pun
cukup tinggi.
Padahal, jika kalah bersaing atau bahkan resensi buku yang hendak diresensi itu kalah cepat atau
dikerjakan lebih dulu oleh peresensi lain, maka itu bisa dikata kehilangan peluang yang cukup
berharga (untuk kriteria buku baru dan bagaimana dapat memenangkan persaingan dengan
peresensi lain sewaktu mengirim di koran, akan saya bahas di lain waktu. Jadi mohon sabar.
Tips-tips berikutnya seputar kedua tema tersebut, saya jamin tidak akan kalah berharga dan patut
dicermati) Tunggu ya!
Lalu, bagaimana cara membaca sekilas tetapi tidak kehilangan poin penting dari sebuah buku
yang dibaca? Tentu harus jeli menangkap ide utama (main idea) di dalam setiap paragraf dari
lembaran-lembaran buku. Dengan tangkas (jeli) membaca ide utama, maka tidak perlu butuh
waktu lama. Sebab, seorang peresensi bisa lompat dari paragraf satu ke paragraf yang lain
setelah mengkap maksud dari setiap paragraf dari lembaran-lembaran buku tersebut.
Dari ide utama yang berhasil ditangkap itulah, peresensi bisa memberi garis bawah atau
menorehkan stabilo. Metode ini selain untuk menemukan ide utama dari sebuah paragraf, juga
untuk menandai kalimat-kalimat penting yang kelak akan bisa dijadikan bahan dalam membuat
resensi buku. Dengan patokan kalimat yang diberi garis bawah atau stabilo itu, peresensi kelak
ketika menulis resensi tinggal membalik dan mencari mana bagian penting yang harus
dimasukkan ke dalam resensi. Mudah dan simpel kan?
Jadi, tidak perlu repot-repot membaca kata per kata. Kalau sudah ditemukan jalan yang bisa
ditempuh dengan cepat, kenapa harus menempuh cara yang lambat? Tetapi, metode ini menurut

saya, tidak bisa diterapkan dalam membaca buku untuk genre novel. Sebab, untuk kategori
novel, membaca seluruh isi buku adalah wajib. Itu tidak lain, karena novel memiliki kisi-kisi dan
tikungan-tikungan yang tidak sedikit, sehingga perlu dibaca dengan seksama dan cermat dari
awal hingga akhir.
c) Membaca to the Point
Apa yang dimaksud dengan membaca to the poin? Saya sebenarnya tak punya sebutan yang pas
untuk metode satu ini (mungkin ada sebutannya, tetapi kebetulan saya saja yang belum mengenal
ataupun belum tahu nama untuk metode ini). Jadi, membaca to the point itu pada intinya
adalah menangkap pokok pikiran, ruh, inti sari yang dituangkan oleh penulis dalam sebuah buku.
Sekali lagi, metode ini tak bisa diterapkan untuk membaca jenis buku kategori novel. Metode ini
sekali lagi hanya dapat diterapkan untuk genre buku sistematis seperti buku yang semula
diangkat dari skripsi, tesis atau desertasi. Juga, buku-buku yang ditulis secara runtut, urut dan
sistematis seperti buku yang ditulis dari hasil sebuah penelitian.
Lalu, bagaimana teknik membaca to the point itu? Pertama-tama, bukalah daftar isi buku, lalu
temukan pokok pikiran dari buku tersebut dalam daftar isi buku tersebut. Bagaimana cara
menemukan pokok pikiran hanya dari membaca daftar isi? Tentu gampang! Ini hanya sekadar
untuk mengenali sistematika sebuah buku saja. Karena itu, setelah membaca daftar isi, bukalah
pendahuluan buku tersebut. Dari pendahuluan itu, sudah pasti akan ditemukan pokok masalah
yang jadi bahasan dari buku tersebut.
Sebagaimana susunan buku yang ditulis secara sistematis, pada bagian awal (atau
pendahuluan) buku itu, sudah pasti penulis buku akan mengajukan poin-poin penting berupa
pertanyaan yang akan dijawab di dalam (pembahasan) buku tersebut. Dengan kata lain, poinpoin penting yang akan jadi pertanyaan itu tidak lain adalah rumusan masalah. Jadi, temukan
dengan cermat rumusan masalah buku tersebut.
Jika sudah ketemu, langkah berikutnya adalah membuka bab pembahasan biasanya di bab
akhirdan setelah itu, bacalah dengan seksama, cermat dan kritis. Dengan menerapkan metode
ini, maka peresensi tak perlu lagi harus membaca dari halaman awal sampai akhir. Cukup hanya
membaca poin penting sebuah buku sebab untuk menemukan pokok pikiran sebuah buku,
apalagi kalau kebetulan peresensi itu sudah menguasai tema yang dikupas dalam buku tersebut,
maka tinggal membaca to the point dari sebuah buku.
Jadi, pada intinya, membaca buku untuk meresensi itu hukumnya wajib. Tak bisa ditawar lagi.
Tanpa membaca, pastilah seorang peresensi tidak memiliki modal apa pun untuk dijadikan
sebagai bahan tulisan dalam menulis resensi buku. Di sini saya bercerita sedikit tentang sebuah
kisah curang dan tragis yang pernah dilakukan oleh satu satu teman saya dalam meresensi buku.
Tapi, sekali lagi, ini hanya sekadar contoh. Dan contoh ini adalah contoh buruk, yang tidak saya
anjurkan untuk ditiru! Jadi, untuk apa saya perlu menceritakan kisah ini? Tujuannya, tidak lain,
agar Anda dan juga saya bisa belajar tak saja dari kisah-kisah yang baik tapi juga bisa memetik
pelajaran dari kisah-kisah yang kurang baik.

Saya sebenarnya tak tahu apa motif teman saya di balik ulah curang dan culas yang dia lakukan
dalam menulis resensi buku itu. Jadi kisahnya, satu hari teman saya itu menulis resensi buku.
Tetapi, dia itu tidak memiliki buku tersebut. Jadi, intinya, dia tidak membaca buku itu, tetapi
memaksakan diri menulis resensi buku tersebut. Pertanyaan yang mungkin hendak Anda ajukan,
bagaimana dia (teman saya itu) bisa menulis resensi padahal dia itu tidak memiliki buku itu,
apalagi membuka dari setiap halaman dan membaca buku tersebut.
Lalu bagaimana ia bisa membuat resensi untuk buku yang tidak dia baca itu? Inilah yang saya
cebut ulah curang dan culas. Mungkin, dia itu butuh uang, atau lagi butuh buku sehingga kebelet
menulis resensi dengan mengambil jalan pintas. Jadi, singkat cerita, teman saya itu tak mau
susah-susah membaca buku tersebut. Apalagi, mau membeli. Intinya dia tidak mau susah-susah
membaca buku tersebut, tapi mau jalan pintas dengan cara mencari-cari bahan seputar tema yang
diulas buku tersebut.
Setelah dia mendapatkan bahan, dia menulis resensi buku berdasarkan dari bahan yang dia
kumpulkan dari internet itu. Ironisnya, nasibnya sedang mujur. Tak lama setelah ia mengirimkan
hasil resensi (palsu) dan menunggu, ternyata resensi yang dia tulis itu dimuat di koran.
Redaktur memang bisa kecolongan. Dan kasus ini salah satu satu contoh! Sebab tak sedikit
redaktur yang juga belum pernah tahu wujud buku. Jadi, dia tentu belum tahu apa isi buku yang
kebetulan diresensi oleh hampir peresensi yang mengirim. Sementara tugas dia hanya
menyeleksi. Tapi itulah yang kemudian terjadi. Redaktur itu ketipu bahkan bisa disebut
kecolongan. Karena dia memuat sebuah resensi palsu.
Tetapi, tidak demikian dengan orang penerbit dalam hal ini editor di sebuah penerbit. Dia sudah
pasti tahu isi buku itu. Maka, ketika teman saya itu menelpon ke penerbit untuk meminta buku
baru dan bonus (berupa uang), dia teman saya itu bukan mendapatkan pujian, penghargaan
yang baik, atau rasa simpati, tetapi justru diumpat. Sebab, editor di penerbit yang kebetulan
bukunya di resensi oleh teman saya itutahu bahwa teman saya meresensi buku dengan ngawur,
bahkan melenceng dari isi buku.
Setelah mendapatkan complain pedas dari editor, teman saya itu pun hanya duduk lemas dan
termangu. Lebih dari itu, dia merasa malu lantaran telah merusak kepercayaan dan reputasi
yang dia bangun. Dia tidak saja tidak jujur pada penerbit, dan banyak pembaca yang telah resensi
buku yang dia tulis karena jauh dari isi bukutapi dia juga tidak jujur pada dirinya sendiri.
Dari kisah ini, saya ingin menegaskan bahwa penulis itu dituntut untuk jujur dan mau tidak mau
juga harus berjuang sekuat tenaga untuk menjaga reputasi dan kepercayaan. Sebab, jika
reputasi dan kepercayaan yang sudah diberikan orang lain baik itu penerbit maupun redaktur
dilukai, penulis itu sendiri yang akan rugi. Dia tak lagi dipercaya dan nama baiknya hancur.
Jadi, apakah untuk meresensi buku itu seorang peresensi harus membaca buku tersebut dari
awal sampai akhir? Hanya Anda yang bisa menjawab. Sebab tugas peresensi itu selain
memberikan informasi seputar buku yang diresensi, pada intinya juga memberikan penilaian dan
pendapat Anda tentang buku yang diresensi. Maka, hasil bacaan Anda itu menentukan seberapa
kuat resensi yang akan Anda tulis. Kian kuat Anda membaca, akan semakin berbobot hasil
resensi yang Anda hasilkan.

[3] Menunjang Resensi dengan Riset


Lalu, apa langkah selanjutnya yang harus dilakukan setelah seorang peresensi membaca buku
hingga tamat bahkan sudah menemukan pokok pikiran sebuah buku yang hendak diresensi?
Apakah setelah itu langsung menulis resensi buku? Tentu, tidak ada yang melarang Anda jika
memang sudah merasa siap melakukan eksekusi atau tepatnya memulai menulis resensi.
Tetapi, saran saya sebaiknya hasrat untuk segera menulis resensi itu ditunda dulu. Meskipun
sebenarnya bisa langsung memulai menulis (resensi), tapi akan jauh lebih baik jika Anda
melakukan riset. Apalagi kalau tema buku yang hendak diresensi itu tergolong berat. Maka,
melakukan riset bisa dikata setengah wajib atau bahkan bisa digolongkan wajib.
Kenapa harus melakukan pekerjaan tambahan riset segala? Bukankah hal itu hanya akan
membuang-buang waktu saja? Apalagi, dalam meresensi buku di koran atau majalah itu
dibutuhkan waktu yang cepat dan harus buru-buru lantaran dibatasi deadline. Pada sisi lain, juga
agar tidak keduluan dengan peresensi lain. Tentu benar. Bahkan, tuntutan bekerja dengan cepat
dan buru-buru itu harus diingat.
Tetapi kalau sesuatu pekerjaan termasuk menulis resensi harus dikerjakan dengan buru-buru,
dan tanpa didukung dengan riset mendalam sebagai tambahan bahan, tidak menutup
kemungkinan hasil dari resensi itu bisa kurang mendalam dan kurang menggigit. Tulisan bisa
jadi kering, datar dan biasa-biasa saja. Padahal, kalau tulisan resensi seperti itu yang dihasilkan,
peresensi bisa rugi. Sebab, tulisan resensi yang sudah dibuat dengan susah payah bahkan sudah
menulis sampai larut malam ujungnya tidak dimuat.
Dapat dipastikan, setiap peresensi tidak mau mengalami nasib buruk seperti itu. Sebab hal itu
menandakan bahwa peresensi itu tidak bekerja dengan baik apalagi mendekati sempurna.
Karena itu, tuntutan melakukan riset benar-benar dibutuhkan bahkan bagi peresensi yang masih
baru (pemula), hal itu sangat wajib.
Lalu, jenis riset seperti apa yang dibutuhkan itu? Setidaknya, ada dua (2) riset yang bisa
dilakukan, yakni riset lewat internet dan riset dengan mencari buku-buku dengan tema yang
sama (dengan buku yang hendak diresensi).
a) Riset Internet
Riset internet bisa dikata merupakan riset kecil-kecilan dengan tujuan untuk mencari bahanbahan tentang tema yang diulas dalam buku yang hendak diresensi. Riset ini perlu ditempuh
(tidak lain) untuk menambah data atau menambah referensi dari sudut pandang lain sebagai
bahan pijakan. Data atau referensi tambahan ini bisa dari makalah, opini atau bahkan tulisan
ringan dari orang lain yang ada di internet.
Sebab, tidak menutup kemungkinan buku yang hendak diresensi itu kurang data dan bahkan bisa
jadi sajian yang dipaparkan penulis di dalam buku itu kurang mendalam. Wajar, jika peresensi
harus mencari tambahan data atau referensi supaya peresensi itu memiliki tambahan wawasan
dan pengatahuan. Dengan keluasan atau tambahan pengetahuan itu, peresensi nanti dalam
menulis resensi bisa dipastikan akan memiliki dua kelebihan.

Pertama, tulisan resensi yang dihasilkan akan tampak kaya dengan data dan referensi lain karena
ditunjang dengan pengetahuan dari peresensi yang luas. Ini bisa menjadi bukti bahwa peresensi
itu tidak sekadar berpijak dari buku yang diresensi, tapi masih menambah dengan pengetahuan
dan rujukan lain. Alhasil, tulisan resensi yang dihasilkan itupun bisa jaduh lebih berwarna karena
ditulis oleh presensi dengan kekayaan pengetahuan.
Kedua, dengan adanya tambahan data dan referensi yang dihasilkan dari riset kecil-kecilan lewat
internet itu, peresensi bisa memiliki modal yang bisa digunakan untuk melihat kekurangan dan
kelemahan buku yang diresensi. Jika menang dalam buku yang diresensi itu ada kekurangan
data, misal, maka peresensi bisa menyajikan adanya kekurangan dan kelemahan buku itu.
Inilah nilai plus dari seorang peresensi yang mau melakukan riset tambahan lewat internet
apalagi jika peresensi pemula itu masih belum menguasai betul tema atau bidang yang dikupas
dalam buku yang diresensi. Jadi, tambahan riset itu akan banyak membantuk dan menunjang
dalam menulis resensi. Karena itulah, semakin banyak peresensi itu menemukan data-data
tambahan dari hasil riset tersebut, justru hal itu akan lebih baik.
b) Riset Buku
Meski buku yang akan diresensi itu sudah tamat dibaca, dan peresensi sudah menemukan pokok
pikiran di dalam buku tersebut, dan siap menulis menulis resensi buku dengan segera, bukan
berarti kegiatan mencari dan bahkan membaca buku-buku lain yang memiliki tema yang
sama dengan buku yang akan diresensi tidak lagi dibutuhkan. Dengan kata lain, justru membaca
buku-buku lain yang bertema sama dengan buku yang akan diresensi itu sangat dibutuhkan. Pada
point inilah, peresensi itu diharuskan melakukan riset untuk mencari tahu lebih jauh tentang
buku-buku yang bertema sama.
Jika penulis buku itu kebetulan sebelumnya pernah menulis buku-buku yang bertema sama
dengan buku yang hendak diresensi, hal ini jelas harus diketahui oleh peresensi. Sebab, buku
sebelumnya yang ditulis oleh penulis yang sama itu akan bisa membantu peresensi, setidaknya
untuk menyelami isi buku yang dihasilkan oleh penulis itu pada buku-buku yang lain. Apalagi,
jika buku yang diresensi itu adalah buku lanjutan atau setidaknya masih memiliki hubungan
dengan buku sebelumnya. Jadi, membaca buku-buku lain dari penulis buku yang hendak
diresensi itu sangat diperlukan. Jadi, perlu membaca buku-buku lain yang dihasilkan penulis
tersebut.
Selain membaca buku-buku lain yang dihasilkan oleh penulis buku yang akan diresensi,
membaca buku-buku dari penulis lain yang kebetulan membahas bidang atau tema yang sama
dengan buku yang hendak diresensi pun juga tak kalah penting. Bahkan, kemauan peresensi
untuk membaca buku dari penulis lain yang kebetulan bertema sama akan sangat membantu.
Setidaknya, ada dua hal penting yang bisa menjadi nilai lebih ketika peresensi mau melakukan
riset dengan mencari dan membaca buku-buku yang bertema sama baik dari penulis buku yang
hendak diresensi (jika kebetulan ada) maupun dari penulis lain.

Pertama, peresensi jadi tahu lebih banyak tentang buku-buku yang bertema sama dengan buku
yang hendak diresensi. Kedua, dengan pengetahuan itu peresensi nanti bisa melakukan
komparasi atau membandingkan antara buku-buku tersebut.
Setelah riset dan bahan-bahan yang dikumpulkan dirasa cukup, kini saatnya untuk melakukan
eksekusi; memulai menulis resensi buku. Lalu bagaimana langkah-langkah dalam meresensi
buku itu? Bahasan ini akan saya kupas dalam kesempatan yang lain.
[4] Membuat Konsep Tulisan Resensi
Setelah seorang peresensi membaca buku hingga tamat, dan sudah menemukan pokok pikiran
penulis yang dituangkan dalam buku yang hendak diresensi dan bahkan sudah melakukan riset
kecil-kecilan untuk menambah pengetahuan terkait tema buku tersebut, kini tak ada lagi yang
menghalangi seorang peresensi untuk segera melakukan eksekusi atau memulai menulis resensi.
Tapi bagi seorang peresensi pemula, seringkali dia dihadapkan pada setumpuk kebingungan
ketika hendak menulis resensi. Dari setumpuk kebingungan itu, antara lain adalah seputar
sistematika tulisan resensi dan unsur-unsur apa yang harus ada dalam resensi buku. Bahkan, bisa
jadi peresensi pemula akan dihinggapi kebingungan tentang bagaimana goresan awal dalam
menulis resensi.
Ironisnya, ketika setumpuk kebingungan itu masih mengganjal di otak, seorang peresensi pemula
tetap memilih memaksakan diri untuk menulis. Tak jarang, ide yang sudah menggumpal dan
sedang dituliskan itu pun pada akhirnya membuat peresensi itu harus dihadapakan pada tembok
besar kebuntuan lantaran menabrak batu karang. Dia mengalami kebuntuan ide atau berhenti di
tengah jalan.
Kalau hal itu tetap diteruskan, bisa jadi tulisan resensi yang dihasilkan akhirnya akan tidak
sistematis. Ide yang ditorehkan dalam tulisan resensi itu tidak mengerucut, antara satu paragraf
dengan paragraf berikutnya tak saling terkait dan bahkan bisa jadi tulisan terasa hambar saat
dibaca karena tidak memiliki ruh lantaran ditulis dengan ide yang kurang dikonsep secara jelas
dan detail.
Untuk mengantipasi agar tidak terjadi kecelakaan seperti itu, saya menyarankan bagi peresensi
pemula untuk membuat konsep tulisan resensi lebih dulu. Memang, bagi seorang peresensi yang
sudah memiliki jam terbang tinggi atau sudah berpengalaman, cara bekerja dengan membuat
konsep tulisan resensi lebih dulu itu tidak lebih ibarat buang-buang waktu atau kerja dua kali.
Maka, bukan sesuatu yang aneh kalau peresensi yang sudah makan asam garam dan
berpengalaman, akan langsung menuliskan ide yang ada di pikiran langsung di komputer. Sebab,
di dalam pikiran sudah terkonsep.
Tetapi bagi peresensi pemula, pekerjaan membuat konsep tulisan resensi itu bisa dikata pilihan
yang tepat. Kenapa? Sebab, saya mengibaratkan bahwa praktek menulis termasuk menulis
resensi itu tidak ubahnya seseorang yang sedang menempuh sebuah perjalanan atau pelayaran.
Wajar, jika dia tidak ingin tersesat, tidak ingin terperojok ke dalam jurang dan bahkan ingin
segera cepat sampai di tempat tujuan dengan selamat. Maka, bukan hal yang aneh jika dia harus

memiliki semacam petunjuk jalan agar dalam perjalanan yang ditempuh itu berjalan mulus dan
lancar.
Lalu, apa yang dijadikan petunjuk bagi seorang pejalan? Tidak lain adalah PETA. Demikian juga
dengan aktivitas menulis. Sedari awal, seorang penulis pun ingin menulis dengan harapan bisa
sampai di tempat tujuan dengan cepat dan bahkan selamat (artinya tidak melenceng dari harapan
awal). Maka, agar tidak ampai melenceng atau merangsek ke mana-mana, seorang penulis jika
boleh diibaratkan seperti seorang pejalan harus memiliki PETA supaya perjalanan (atau
kegiatan menulisnya) itu tidak melenceng dari tujuan awal.
Lantas, PETA seperti apa yang harus dijadikan sandaran oleh peresensi pemula? Tidak lain
adalah KONSEP tulisan. Jadi, sebelum menulis, seorang peresensi pemula itu sangat dan sangat
dianjurkan untuk membuat konsep tulisan resensi lebih dulu. Konsep tulisan resensi ini bisa
berupa outline atau lebih gamblang coret-coretan ringan ataupun ide utama dalam setiap
paragraf.
Keuntungan Membuat Konsep Tulisan
Kalau seorang peresensi pemula membuat konsep tulisan lebih dulu, setidaknya ada dua hal
penting yang akan didapatkan. Pertama, konsep tulisan itu akan membantu dia dalam menulis,
ibarat seorang pejalan yang berjalan dengan membawa peta sehingga dia tidak tersesat di tengah
jalan. Sebab, KONSEP tulisan itu akan selalu menjaga setiap gerakan tangan yang sedang
menulis tetap berada dalam rel. Ketika gerakan tangan itu tak selaras dengan ide semula, maka
KONSEP tulisan itu akan membantunya kembali di jalur atau rel yang harus ditempuh. Jadi,
dengan KONSEP tulisan itu, peresensi pemula tidak akan terperosok.
Kedua, dengan bantuan KONSEP tulisan itu peresensi pemula dijamin tidak akan mengalama
kebuntuan ide di tengah jalan. Sebab, jika hal itu sampai terjadi, dia tinggal merujuk pada
merujuk atau bersandar kembali pada konsep tulisan (atau ide utama dari setiap paragraf). Dari
KONSEP itu, dia tinggal mengembangkan dan menjabarkan lebih luas dan lebih detail. Dengan
demikian, dia akan selamat dari kebuntuan atau berhenti di tengah jalan. Alhasil, tulisan resensi
pun bisa dengan cepat diselesaikan karena tidak mengalami hambatan.
Ketiga, dengan membuat KONSEP tulisan lebih dulu, bisa dijamin tulisan resensi yang
dihasilkan pun akan sistematis, runtut dan urut karena memang sudah dikonsep sejak awal.
Kalau kemudian tulisan yang jadi itu ternyata tidak runtut, dapat dipastikan hal itu terjadi bukan
karena proses penulisan tetapi justru terletak pada KONSEP tulisan yang sedari awal memang
sudah ditulis dengan tidak runtut dan sistematis.
Tiga poin penting itu, tidak dapat disangsikan lagi, adalah tiga keuntungan yang didapatkan saat
seorang peresensi pemula menulis dengan cara membuat konsep tulisan lebih dulu. Tetapi, jika
memang seorang peresensi pemula merasa hal itu terlalu bertele-tele bahkan dirasa tak perlu,
maka bisa saja tidak membuat konsep tulisan dan langsung menulis di depan komputer tetapi
dengan catatan ide resensi yang ada dalam pikiran harus dikerucutkan dalam konsep yang kuat
dalam pikiran.

Jika tidak dikonsep di dalam pikiran, bisa dipastikan, di tengah jalan peresensi pemula akan
mengalami kebuntuan. Jika pada akhirnya bisa jadi tulisan, kadang tidak sistematis, mengalir
lancar dan runtut. Maka, tidak ada salahnya jika peresensi pemula itu mencoba bersusah-susah
payah lebih dulu dengan membuat KONSEP tulisan resensi dan kelak jika memang sudah lihai,
mahir dan berpengalaman, bisa langsung menulis di depan komputer tanpa harus membuat
konsep lebih dulu.
[5] Membuat Judul Resensi Yang Memikat
Tulisan resensi buku itu pada hakekatnya tidak beda jauh dengan bentuk tulisan yang ada di
koran pada umumnya. Memang, ada beberapa hal yang beda dan menjadi ciri khas atau unsur
penting dari tulisan resensi buku. Tetapi, pada sisi lain, ada pula beberapa hal yang sama. Salah
satu dari kesamaan itu adalah keberadaan judul. Sebab, sebuah tulisan resensi buku tetap
mensyaratkan keberadaan judul.
Lalu, yang jadi pertanyaan adalah; bagaimana cara membuat judul yang bagus? Apakah ada
syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membuat judul tulisan resensi buku? Apakah sebuah
judul tulisan resensi buku itu memiliki pengaruh yang kuat sehingga dapat memengaruhi
redaktur tergerak untuk memuat tulisan resensi dengan alasan bahwa judul yang dibuat itu bagus
dan memikat?
Memang, membuat judul resensi buku itu bisa dikatakan gampang-gampang susah. Bagi
peresensi yang sudah berpengalaman, membuat judul bisa jadi gampang. Tapi tidak demikian
dengan peresensi pemula. Bagi seorang peresensi pemula, bisa jadi membuat judul (resensi)
bisa-bisa membutuhkan perenungan, bahkan sampai menyita waktu cukup lama karena tak
terlintas inspirasi untuk sebuah judul yang pas dan cocok.
Celakanya lagi, tak jarang peresensi pemula sudah menemukan judul tetapi sayangnya judul
itu dirasa masih kurang kuat atau memikat sehingga memunculkan perasaan ragu-ragu.
Akhirnya, ia hanya berkutat mencari dan berusaha menemukan judul sampai-sampai tidak segera
memulai menulis resensi. Jika hal ini yang terjadi, sungguh celaka. Sebab, waktu habis hanya
untuk menemukan judul semata.
Saya tidak ingin peresensi pemula mengalami nasib seperti itu. Karena itulah, dalam kesempatan
ini saya ingin berbagi pengalaman bagaimana membuat judul yang kuat dan memikat. Bahkan,
jika peresensi pemula sudah merasa menemukan judul tetapi kurang kuat, jangan hiraukan.
Sebab, pada tahap editing judul itu nanti bisa diganti. Jadi buat saja judul apa adanya dulu yang
sekiranya itu mewakili pikiran utama atau sudut pandang Anda dalam menimbang sebuah buku
yang Anda resensi. Sebab, meresensi buku itu pada intinya adalah penilaian atau pendapat
peresensi tentang sebuah buku.
Tapi, ada beberapa hal yang tidak bisa dikesampingkan dalam membuat judul resensi buku.
Sebab, dalam membuat judul ada syarat yang harus dipatuhi apalagi jika tulisan resensi itu
untuk dikirim ke koran atau majalah. Selain itu, judul sebuah pun tak dapat dinafikan
memiliki kekuatan yang bisa menjadi penentu seorang redaktur bisa terpikat dan kemudian mau
membaca lebih jauh.

Lalu apa syarat yang harus dipenuhi dalam membuat judul sehingga redaktur bisa tergerak untuk
membaca lebih lanjut. Pertama, dalam membuat judul usahakan yang simpel dan pendek.
Artinya, jangan terlalu panjang. Bahkan dalam sebuah buku tentang teori menulis (maaf saya
lupa di buku apa dulu saya pernah membaca), saya pernah menemukan teori bahwa membuat
judul itu jangan sampai lebih dari lima kata.
Kenapa? Sebab resensi yang dibuat itu diperuntukkan untuk dikirim ke koran atau majalah dan
space (ruang) yang tersedia di halaman koran itu terbatas. Jadi, mau tidak mau, judul tulisan
resensi pun harus disesuaikan dengan space yang ada di koran. Alasan lain, judul tulisan
-termasuk judul tulisan resensi buku- itu tidak lebih sebagai wajah dari sebuah tulisan. Karena
itu, judul harus dibuat dengan porsi yang pas dan tidak terlalu berlebihan atau terlalu panjang.
Tak salah, jika sepanjang karier saya sebagai peresensi buku, saya tak pernah membuat judul
yang panjang. Saya selalu membuat judul tidak lebih dari lima kata. Saya memang pernah
menjumpai seorang cerpenis yang cukup diakui mencoba-coba membuat terobosan dengan
membuat judul yang justru panjang. Di balik itu, tak ada maksud lain kecuali dia ingin membuat
redaktur melihatnya lain dan kemudian mau membaca cerpen yang dia kirim. Hanya itu,
tujuanya tak lebih hanya menjerat sang redaktur mau membaca tulisan cerpen yang ia kirim.
Tapi, soal dimuat atau tidak itu urusan lain asal redaktur telah terjerat dan mau membaca cerpen
yang dia kirim.
Tapi bagaimana dengan judul untuk tulisan resensi buku? Apakah bisa dibuat yang panjang
(lebih dari lima kata) dengan tujuan agar redaktur tertarik membaca tulisan resensi yang Anda
kirim? Bertahun-tahun saya jadi peresensi, belum pernah saya menjumpai judul tulisan resensi
yang panjang. Saya memang pernah beberapa kali menjumpai judul cerpen yang panjang
(bahkan sampai sepuluh kata). Tapi, soal judul cerpen memang lain dan tak bisa disamakan
dengan judul resensi. Sebab untuk tulisan cerpen memiliki ruang kebebasan yang lebih longgar
dan kadang menabrak pakem bahasa, apalagi untuk kategori puisi.
Sementara itu, untuk resensi buku, tidak ada ruang kebebasan yang lebih, dan biasanya
mengikuti pakem atau aturan yang ada. Jadi, jangan sekali-kali mencoba untuk berbuat
nyeleneh dengan membuat judul yang panjang (sampai sepuluh kata) sekadar untuk menarik
perhatian redaktur. Justru, ulah Anda itu bisa-bisa dianggap iseng dan kurang serius.
Kedua, buatlah judul resensi dengan bahasa yang tidak kaku, tidak populer bahasa gaul, tetapi
ilmiah populer. Sebab, resensi buku yang dibuat diperuntukkan untuk koran atau majalah, maka
mau tidak mau harus mengikuti bahasa koran atau majalah karena bahasa koran dan majalah itu
tidak kaku, tetapi ilmiah populer. Tapi, jika resensi yang dibuat itu untuk majalah remaja, bisa
saja membuat judul yang gaul dan pop. Juga, jika resensi itu diperuntukkan untuk jurnal, bisa
dibuat judul dengan bahasa yang ilmiah.
Ketiga, dalam membuat judul pilihlah diksi pilihan bahasa yang memiliki sentuhan sastra.
Sebab, dengan membuat judul yang memiliki sentuhan sastra, Anda akan memiliki nilai lebih
dan judul dengan diksi sentuhan sastra bisa mengesankan kuat dan memikat. Dan judul dengan
sentuhan sastra inilah yang memiliki kekuatan lebih untuk memikat redaktur mau tergerak
membaca lebih jauh tulisan resensi yang Anda kirim.

Kenapa? Sebab judul yang dibuat dengan sentuhan sastra atau pilihan diksi yang tepat
memiliki kekuatan dan sengatan yang kuat di benak. Judul dengan diksi yang tepat dan kuat
inilah yang kerap kali saya pilih dan saya gunakan dalam hampir resensi-resensi yang saya tulis.
Sebagai contoh, di sini saya sebutkan beberapa judul dari resensi buku yang pernah saya buat,
antara lain Hasrat Membunuh untuk Sebuah Aroma (judul untuk resensi buku Perfume; The
Story of a Murderer, dimuat di Kompas, Minggu 18 Juni 2006), Sosok Galileo dalam Lipatan
Surat (judul untuk resensi buku Sang Putri Galileo: Kisah Sejati tentang Pergulatan Agama,
Sains, dan Cinta dimuat di Kompas Minggu 1 Agustus 2004), Sisi Gelap Sang Maverick
McCain (judul untuk resensi buku The Real McCain, dimuat di Media Indonesia, Sabtu 6
September 2008).
Untuk bisa menghasilkan judul-judul yang kuat dan memikat, memang tidak jarang dibutuhkan
perenungan dan latihan. Jadi, tidak usah risau dan khawatir kalau memang untuk sementara ini
belum mampu membuat judul yang kuat dan memikat. Tapi, lama kelamaan akan terbangun satu
kebiasaan setelah menempuh latihan dan menjadi peresensi yang handal. Judul kadang terlintas
secara tiba-tiba, tak ubahnya mendapatkan sebuah ilham.
[6] Mencantumkan Data Buku
Bentuk tulisan resensi buku dengan genre tulisan lain yang biasa dimuat di koran memang
memiliki perbedaan. Karena itu, adanya perbedaan tersebut harus diketahui dan perlu
diperhatikan. Sebab, salah dalam menuliskan apa yang harus ada dalam naskah resensi buku,
tentu bisa berakibat fatal; bisa-bisa resensi yang sudah ditulis dengan susah payah pun bisa
tidak dimuat. Padahal, persoalan ini bisa dikata sepele!
Salah satu perbedaan yang harus diperhatikan adalah tentang penulisan data buku. Dalam tulisan
resensi buku, data buku wajib dicantumkan (atau disertakan) dalam naskah resensi buku.
Sebab, dengan pencantuman data buku tersebut, orang yang membaca resensi jadi tahu tentang
buku yang diresensi. Maka, pencantuman data buku itu tidak boleh terlewatkan. Wajib dan harus
dicantumkan.
Lantas, bagaimana cara penulisan data buku yang baku dalam sebuah naskah resensi buku?
Tidak ada pakem atau aturan yang baku dalam hal ini. Sebab, setiap koran memiliki sajian yang
berbeda-beda tentang pencantuman data buku (tentang buku yang diresensi). Ada satu koran
yang mensyaratkan bagi peresensi buku harus mencantumkan tentang soal harga buku dan salah
satu koran yang mensyaratkan bagi peresensi untuk mencantumkan harga buku adalah Koran
Jakarta. Tetapi, koran lain tidak mensyaratkan hal ini.
Karena itu, untuk tahu seputar data buku yang perlu dicantumkan, seorang peresensi harus
mau meluangkan waktu untuk mengamati resensi buku yang dimuat di koran yang akan dikirimi
naskah resensi buku. Dengan cara melihat bentuk dan struktur data buku yang ditulis di koran
tersebut, maka seorang peresensi tidak ragu lagi tentang bentuk pencantuman data buku yang
disyaratkan koran (atau majalah) tertentu.

Tetapi, perihal pencantuman data buku itu tidak usah dibuat risau. Meskipun setiap koran (atau
majalah) memiliki penyajian data buku yang berbeda-beda, akan lebih aman kalau peresensi
mencantumkan data buku secara lengkap. Adapun yang dimaksud dengan mencantumkan data
buku secara lengkap itu meliputi; judul buku (untuk buku terjemahan dapat disebutkan judul
asli), penulis (atau bisa juga ditulis pengarang untuk kategori novel atau kumpulan cerpen),
penerjemah (jika memang buku itu merupakan buku terjemahan), editor, penerbit, cetakan buku,
tebal buku, ISBN, dan yang terakhir harga buku. Jadi dengan pencantuman data buku selengkap
mungkin, peresensi akan terhindar dari kesalahan.
Untuk lebih jelesnya, di bawah ini sengaja saya kutipkan penulisan data buku yang dimuat di
beberapa koran atau majalah:
a) Majalah Gatra
Dalam pencantuman data buku, majalah Gatra tidak menulis secara lengkap, kecuali hanya
beberapa data sebagaimana di bawah ini:
The Swordless Samurai; Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI
Penulis : Kitami Masao
Penerbit : Redline Publishing, Jakarta, 2009, 256 halaman
(sumber: N. Mursidi, Jenderal Legendaris dari Nakamura, Gatra nomor 23 tahun XV/ 16-22
April 2009)
b) Koran Jakarta
Berbeda dengan koran lain, Koran Jakarta dalam penulisan (pencantuman) data buku
mensyaratkan tentang harga buku;
Judul buku : Karmaka Surjaudaja; Tidak Ada yang Tidak Bisa
Penulis
: Dahlan Iskan
Penerbit
: Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan
: Pertama, 2012
Tebal buku : 280 halaman
Harga buku : 49.800,00
(sumber: N Mursidi, Perjuangan Hebat untuk Tetap Hidup, Koran Jakarta, Selasa 20 Maret
2012)
c) Kompas
Koran Kompas dalam pencantuman data buku dapat dikata menganut pakem atau aturan umum
(yang juga biasa diterapkan oleh sebagian besar koran):
Judul buku : Shin Suikoden: Petualangan Baru Kisah Klasik Batas Air
Penulis
: Eiji Yoshikawa
Penerbit
: Kansha Books, Jakarta
Cetakan
: Pertama, 2011
Tebal buku : 486 halaman
(sumber N Mursidi, Arogansi Penguasa dan Spirit Pemberontak, Kompas Minggu 31 Juli 2011)

Dari contoh-contoh penulisan data buku di atas, bisa ditarik satu kesimpulan bahwa dalam
pencantuman data buku ternyata ada banyak versi. Dengan kata lain, antara satu koran dengan
koran yang lain itu berbeda. Tetapi, saran saya, usahakan dalam memilih bentuk penulisan data
buku, dengan menulis yang lengkap. Kenapa?
Pertama, dengan mencantumkan data buku secara lengkap, akan memberi gambaran utuh sebuah
buku. Persoalan apakah nanti redaktur yang bersangkutan akan mencantumkan atau membuang
sebagian data buku, itu adalah urusan lain. Itu sepenuhnya hak redaktur atau editor. Saya selalu
mencantumkan data buku secara lengkap, tapi tak jarang redaktur yang bersangkutan kemudian
membuang sebagian data buku yang saya tulis di naskah resensi. Sebab, dengan membuang
sebagian data buku, redaktur merasa hal itu akan menjadi ciri khas rubrik resensi yang diasuh
atau digawangi. Jadi, tulislah secara lengkap!
Kedua, dengan mencantumkan data buku secara lengkap, bagi saya, ada satu keuntungan yang
bisa dipetik. Kenapa? Jika akhirnya resensi yang saya kirim itu tak dimuat, tapi saya ingin
mengirimkan naskah resensi yang ditolak itu ke media (koran atau majalah) lain, saya tidak perlu
lagi mengedit data buku. Dengan demikian, tidak lagi butuh waktu untuk sekadar mengedit
urusan yang sepele seperti itu!
[7] Membuat Prolog [Resensi] yang Mengesankan
Prolog (kalimat pembuka) sebuah tulisan resensi buku itu tidak dapat disangkal memiliki
kekuatan yang sangat dahsyat. Karena itulah, saya menyarakan kepada setiap peresensi buku
(terlebih peresensi pemula) untuk tidak gegabah dalam membuat prolog. Dengan kata lain,
tuntutan untuk membuat prolog yang bagus bahkan yang mengesankan dan kuat itu, tidak
bisa diabaikan begitu saja.
Meski keberadaan prolog (sebuah tulisan resensi buku) itu bukan faktor satu-satunya atau faktor
penentu bagi seorang redaktur resensi buku di salah satu media massa untuk memberikan
penilaian dan kemudian memuatnya tapi kekuatan prolog resensi buku yang dibuat oleh seorang
peresensi itu memiliki andil yang cukup besar. Maka, tidak ada pilihan lain bagi seorang
peresensi kecuali ia harus membuat prolog tulisan resensi buku itu dengan sepenuh kemampuan,
tidak asal membuat, apalagi ditulis dengan ceroboh. Jadi, soal membuat prolog yang kuat ini
harus diperhatikan!
Kenapa saya berani mengatakan bahwa prolog itu memiliki andil besar dalam menentukan nasib
sebuah resensi buku? Dalam hal ini tidak saja ketika diseleksi di atas meja redaksi, melainkan
juga saat proses penulisan resensi buku itu secara utuh. Setidaknya, ada beberapa hal yang bisa
jadi alasan.
Pertama, prolog tulisan itu merupakan langkah pertama yang digoreskan oleh seorang
peresensi dalam membuat tulisan. Jadi, dalam proses penulisan resensi itu, langkah pertama ini
akan menentukan peresensi dalam menggoreskan huruf, kata maupun kalimat lebih jauh. Meski
tidak ada jaminan ketika prolog itu dibuat dengan bagus akan menjadikan tulisan itu bagus
secara keseluruhan, tetapi prolog yang ditulis dengan tidak bagus, rasanya sulit diikuti rentetan

tulisan yang bagus. Jadi, tak ada pilihan lagi bagi peresensi untuk tidak megoreskan kalimat yang
bagus karena itu akan jadi langkah yang menentukan hingga akhir proses penulisan.
Kedua, prolog (tulisan) itu ibarat jejak pertama yang ditorehkan seorang peresensi dalam
sebuah tulisan. Tidak salah jika prolog itu akan memberikan kesan bagi redaktur. Sebab, dari
prolog itu seorang redaktur resensi buku (di media massa) akan memberikan penilaian awal. Jika
dalam tulisan prolog itu, redaktur terkesima, mendapatkan kesan yang menggetarkan, dan
terpikat, maka dapat dipastikan ia akan membaca lebih jauh.
Jika akhirnya redaktur itu membaca sampai tuntas, dan menemukan bahwa resensi buku yang
dibaca itu memang mengagumkan, maka tak ada alasan lagi untuk tidak memuatnya. Jadi prolog
itu memiliki andil besar dalam memberikan kesan pertama bagi redaktur; apakah dia akan
membaca lebih jauh atau tidak. Di sinilah, prolog sebuah tulisan resensi itu memiliki kekuatan.
Tapi, kekuatan prolog itu hanya sebatas memikat redaktur di awal. Selanjutnya, naskah resensi
itu akan ditentukan oleh kekuatan secara menyeluruh dari tulisan resensi tersebut.
Sebaliknya, ketika redaktur membaca prolog resensi itu tidak menemukan hal yang
mengesankan, dan kuat, sudah pasti resensi yang dikirim seorang peresensi itu akan ditinggalkan
atau tak dibaca lagi. Ini sungguh menyakitkan. Karena peresensi tak berhasil memikat (mengetuk
hati) redaktur dari awal. Ibarat petinju, peresensi itu sudah KO di babak awal. Maka, resensi
yang dikirim pun jelas tak dimuat karena sang redaktur tidak sampai membaca hingga tuntas
tidak terkesima bahkan sejak dari goresan yang ditorehkan seorang peresensi pada kalimat
pertama.
Tentu, setiap peresensi tak mau mengalami nasib buruk seperti resensi yang sudah ditulis
dengan susah payah tidak dibaca oleh redaktur hingga tuntas. Lantas, bagaimanakan teknik
membuat kalimat pembuka (prolog) yang kuat, mengesankan, dan mampu memikat redaktur.
Tentu, dibutuhkan latihan, latihan dan latihan secara terus-menerus.
Tetapi, di bawah ini sekadar sebagai gambaran akan saya kupas beberapa bentuk atau cara
dalam membuat prolog yang bisa dijadikan sebagai panduan.
a) Mengupas Rekam Jejak Penulis
Prolog dengan mengupas rekam jejak penulis, tak dapat diragukan lagi, tentu dapat dijadikan
pilihan sebagai kalimat pembuka yang bagus serta mengesankan. Apalagi, kalau kebetulan
sang penulis itu sudah dikenal luas semisal artis ternama, pejabat publik atau intelektual yang
sudah mumpuni. Dengan mengisahkan sekilas tentang sosok penulis, tidak saja hal itu akan
memberikan spektrum yang luas akan nuansa tulisan resensi, melainkan juga memberikan
penegasan bahwa penulis buku itu memang sudah punya reputasi yang tak diragukan lagi.
Tentu, prolog itu akan sangat berbobot jika ditambah dengan deretan prestasi yang telah diukir
oleh penulis. Tujuan dari semua itu, tidak lain untuk mengokohkan reputasi penulis yang
memang bisa dijadikan sebagai jaminan akan kualitas sebuah buku yang telah ditulis.

Contoh bagaimana menulis prolog dengan mengupas rekam jejak penulis itu bisa disimak di
bawah ini:
BISA dihitung dengan jari, selebritis di negeri ini yang memiliki keahlian dalam menulis
cerita. Jika ada, salah satu dari selebritis itu adalah Dee -nama pena dari Dewi Lestari. Bahkan
dalam dunia kepenulisan, nama Dee tak dapat dipandang sebelah mata. Maklum, sedari awal
menelurkan karya Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh kemudian disusul Supernova:
Akar, Supernova: Petir, Filosofi Kopi, dan Rectoverso, kepiawaian Dee di jagat sastra tidak
diragukan lagi. Karya-karya yang lahir dari ide dan imajinasi Dee dapat menjelma serupa magnet
yang cukup ampuh menghipnotis perhatian pembaca.
Tak mustahil, jika kekuatan magnet karya-karya Dee itu bisa mengantarkan Dee meraih prestasi
dan penghargaan yang semakin menjulangkan namanya. Dalam polling nasional Penulis
Perempuan Paling Dikenal Indonesia tahun 2009 ini, Dee menduduki peringkat pertama. Selain
itu, Dee pun dinobatkan sebagai Top 88 Most Influential Women in Indonesia (Globe Asia) dan
juga meraih The Most Outstanding Woman 2009 (Kementerian Pembedayaan Perempuan &
Kantor Berita Antara).
(sumber: N. Mursidi, Sebuah Novel yang Menghanyutkan, Jurnal Nasional, Minggu 9 Mei
2010)
b) Prolog dengan Mengajukan Pertanyaan
Selain mengupas rekam jejak penulis, pilihan lain yang bisa dijadikan sebagai prolog dalam
membuat resensi adalah dengan cara mengajukan pertanyaan. Pilihan membuat kalimat pembuka
resensi dengan teknik ini, tentu tak semata-mata sekadar pilihan. Tetapi, lebih dari itu, prolog
model ini memiliki kekuatan yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Kenapa? Prolog dengan teknik ini tak dapat disangsikan lagi mengundang rasa penasaran.
Sebab sedari awal peresensi sudah mencoba mengajukan pertanyaan sehingga hal itu seperti
mematik keingintahuan siapa pun yang membaca tulisan resensi itu baik redaktur atau
pembaca secara umum dibuat ingin tahu mengenai apa jawaban yang nanti ditawarkan dalam
naskah resensi itu.
Jadi, prolog ini ibarat pematik api yang memercikkan rasa panas kalau tidak membaca lebih
lanjut (tulisan resensi tersebut), rasanya tetap dihantui penasaran. Tak berlebihan, kalau prolog
ini membuka peluang besar resensi tersebut dibaca oleh sang redaktur karena dengan memiliki
kekuatan sengatan yang kuat. Kalau akhirnya redaktur itu membaca hingga tuntas naskah resensi
itu dan memberikan nilai bagus, besar kemungkinan akan dimuat.
Contoh bentuk prolog resensi dengan mengajukan pernyataan itu, setidaknya bisa disimak di
bawah ini:
Mana ada samurai tanpa pedang? Bagaimana mungkin, dia bisa menang perang? Setumpuk
pertanyaan lain menggayut ketika membaca judul buku ini. Tapi setelah ditelaah lebih ke dalam,

ternyata ada kisah nyata seorang samurai yang tampil tanpa mengandalkan pedang sebagai
simbol kependekaran Jepang.
Itulah yang terungkap dari riwayat Toyotomi Hideyoshi. Tidak hanya samurai biasa, ia bahkan
menjadi pemimpin legendaris di Jepang. Dengan sosok yang jauh dari citra pendekar, ia
menyatukan negeri itu yang tercabik-cabik di abad XV-XVI. Bahkan di puncak kariernya,
Hideyoshi menjadi wakil kaisar. Kuncinya adalah kecerdasan, kelicinan dan kemampuan
negosiasinya yang luar biasa.
(sumber: N. Mursidi, Jenderal Legendaris dari Nakamura, Majalah Gatra, No. 23 tahun XV/
16-22 April 2009)
Contoh lain:
Benarkah ada orang Kristen yang pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji? Rasanya,
pertanyaan itu mengada-ngada. Pasalnya, ibadah haji adalah ritual dalam syariat Islam (sebagai
rukun Islam kelima yang digolongkan wajib bagi seorang muslim yang mampu -sekali dalam
seumur hidupnya). Jadi, jika ada orang Kristen yang menunaikan ibadah haji, kisah itu sepertinya
tak mungkin dan tidak masuk akal.
Tetapi, setelah membaca buku Orang Kristen Naik Haji karya dari Augustus Ralli ini, ternyata
cerita itu benar adanya dan bukan sekadar bualan. Karena dalam catatan sejarah, sebagaimana
diceritakan dalam buku ini, ternyata ada beberapa petualang Kristen yang tergerak hati pergi ke
tanah suci dan menjalankan ritual haji. Ketertarikan mereka itu memang beragam. Tapi, pesona
dan magnet kota suci tersebut seakan menjadi daya tarik tersendiri. Meskipun ada undangundang yang menegaskan; bahwa tak seorang pun selain orang mukmin (muslim) yang boleh
menginjakkan kaki di tanah Mekah, larangan itu tidak membuat petualang Kristen itu dihimpit
takut. Para petualangan Kristen itu berani menantang maut; tetap nekat pergi ke Mekah dan
Madinah
(sumber: N. Mursidi, Petualangan Berbahaya ke Tanah Suci, Jawa Pos, Minggu 30 Oktober
2011)
c) Mengungkap Sekilas Pemikiran Penulis
Pilihan lain tentang teknik membuat prolog, dapat pula dengan menjelaskan sekilas tentang
pemikiran penulis buku. Di sini, peresensi dituntut untuk menyelami isi buku dengan baik
sehingga dia bisa menemukan ide utama buku tersebut. Tujuan dari teknik atau cara membuat
prolog jenis ini, tidak lain untuk memikat redaktur dan pembaca (resensi buku itu) secara umum
sejak dari awal tulisan. Sebab, sedari paragraf awal sudah disodorkan secara sekilas pemikiran
atau ide utama yang ditulis oleh penulis buku.
Tetapi, teknik ini bukan berarti tanpa cela atau kelemahan. Sebab, ketika ide utama atau
pemikiran penulis yang disodorkan sedari awal tidak menarik minat atau hasrat untuk ditahui
lebih jauh, bisa-bisa redaktur tak melanjutkan membaca resensi tersebut dan hal itu bisa

dipastikan sebagai pertanda buruk bahwa resensi yang telah dikirim dan kemudian diseleksi oleh
redaktur itu akan tidak lolos tidak dimuat.
Jadi ketika seorang peresensi memilih membuat prolog dengan teknik ini, tak ada pilihan lain
kecuali harus bisa menyajikan sekilas pemikiran penulis itu dengan mengagumkan, kuat dan
memiliki cengkraman yang meninggalkan jejak mendalam sehingga redaktur terpikat dan
digelayuti ingin tahu lebih jauh tentang pemikiran penulis itu sebagaimana diulas dalam naskah
resensi. Contoh cara membuat prolog dengan mengungkap sekilas pemikiran penulis, bisa
disimak di bawah ini:
Tuhan menganugerahi hadiah istimewa buat manusia berupa akal (rasio). Tidak disangsikan,
kalau manusia merupakan satu-satunya makhluk mulia di muka bumi ini. Dengan akal itu,
manusia kemudian bisa berpikir tentang masa depan, bercita-cita untuk menjadi apa yang
diinginkan, merajut mimpi bahkan mengubah takdir atas jalan hidup yang ingin dipilihnya di
kelak kemudian hari.
Tetapi kekuatan pikiran (sebagai watak akal) yang dihadiahkan Tuhan itu ternyata tak
sepenuhnya dimanfaatkan dengan baik sebagian besar umat manusia. Tak pelak, banyak orang
tidak memahami kekuatan pikiran, dan efeknya terhadap kehidupan. Padahal, kalau kekuatan
pikiran itu dikelola dengan baik, dan kemudian diselaraskan dengan jiwa yang dibimbing oleh
Daya Ilahi maka tak mustahil setiap apa yang diinginkan manusia, bisa diwujudkan. Dengan
kata lain, manusia dapat mengukir takdirnya dengan memanfaatkan kekuatan pikiran.
Tesis itulah yang digemakan Mary T Browne dalam buku 5 Aturan Pikiran ini. Ditulis
berdasarkan pengalaman Browne -yang sudah bertahun-tahun menjadi seorang cenayang hebat-,
tentu buku ini bukan sekadar susunan aturan mengenai pikiran melainkan juga telah teruji dan
terbukti untuk bisa dimanfaatkan. Tak mustahil, dalam buku ini Mary T. Browne berpesan,
Berhati-hatilah dengan apa yang Anda pikirkan.
(sumber: N. Mursidi, Merajut Takdir dengan Kekuatan Pikiran, Surya, Minggu 6 April 2008)
d) Mengungkapkan Tema Buku
Tema sebuah buku, sebenarnya, memiliki kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh untuk
dijadikan sebagai prolog. Apalagi, kalau tema buku itu secara kebetulan memiliki keterkaitan
dengan kondisi yang sedang terjadi dan sedang aktual di tengah masyarakat. Maka, mengangkat
tema buku untuk dijadikan sebagai kalimat pembuka resensi bisa jadi merupakan sebuah pilihan
yang tepat.
Contoh teknik ini bisa disimak di bawah ini:
Satu lagi, sebuah novel yang mengangkat tema tentang terorisme terbit diterjemahkan dalam
edisi Indonesia. Setelah menerbitkan novel Terrorist (karya John Updike), penerbit Pustaka
Alvabet, Jakarta kini menerbitkan lagi novel bertema sama karya dari Yasmina Khadra yang
berjudul The Attack. Tapi, berbeda dengan novel Terrorist yang bercerita tentang terorisme di
Amerika yang dilatarbelakangi ulah kaum militan setelah melihat hidup yang memuakkan di

negara Paman Sam itu, novel The Attack mengangkat persoalan warga Israel (di Pelestina) yang
melahirkan pejuang-pejuang militan, seperti Intifada.
Ditulis oleh pengarang ternama yang bernama asli Mohamed Maulessehoul, The Attack ini
merupakan satu karya fiksi yang ingin memotret perbedaan pendapat antara seorang dokter
bedah keturunan Arab yang memilih bernaturalisasi menjadi warga Israel dan pandangan
penduduk Palestina yang hidup penuh derita dalam memaknai serangan bom bunuh diri untuk
mencapai suatu kemerdekaan. Tak pelak, kalau perseteruan (konflik) itu lantas menyeret
dilema yang menukik bahkan menohok; antara kematian -bom bunuh diri- yang dipilih kaum
fundamentalis dalam mencapai kemerdekaan dan tugas suci agama menuju surga (baca:
kemuliaan) dengan kelapangan dalam memaknai hidup sebagai hal yang cukup penting.
(sumber: N. Mursidi, Menggugat Terorisme Lewat Novel Koran Jakarta, Jum`at 9 Mei 2008)
e) Membandingkan dengan Buku Lain (Komparasi)
Setiap peresensi itu dituntut untuk tahu lebih jauh tentang keberadaan buku-buku dari penulis
lain yang kebetulan mengupas tema yang sama dengan buku yang sedang diresensi. Meskipun
tuntutan itu tak bisa dikatakan wajib dan menjadi syarat mutlak, tapi dengan tahu keberadaan
buku-buku lain yang bertema sama, akan jadi nilai plus bagi seorang peresensi. Hal ini sangat
dibutuhkan tatkala seorang peresensi itu dituntut untuk melakukan komparasi atau
membandingkan dengan buku-buku lain yang bertema sama.
Teknik komparasi ini tidak saja bisa diterapkan di bagian akhir resensi, tetapi juga bisa
digunakan dalam membuat prolog resensi. Dengan menulis prolog model komparasi ini,
seorang peresensi tidak saja akan kelihatan memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas
tetapi justru membuat tulisan resensi itu bisa tampak kaya, mendalam dan mengesankan.
Pada sisi lain, dengan teknik memilih prolog komparasi, tentu resensi itu bisa mengungkap lebih
jauh tentang kelebihan buku yang diresensi dibandingkan dengan buku-buku yang lain. Itu
kelebihan dari model prolog komparasi. Contoh bagaimana teknik membuat prolog model ini,
bisa disimak di bawah ini:
Buku Sang Putri Galileo: Kisah Sejati tentang Pergulatan Agama, Sains, dan Cinta ini jelas
bukan satu-satunya buku yang berbicara tentang Galileo. Sudah cukup banyak buku tentang
Galileo yang ditulis, entah itu dalam bentuk biografi (misal, Galileo at Work: His Scientific
Biography, Memorials of Galileo Galilei 1564-1642, dan A Life Galileo), lakon, (Lebens das
Galileo karya Bertolt Brecht) maupun kajian lain. Semua itu lahir dari dorongan, kepentingan,
dan sudut pandang yang berlainan.
Kendati demikian, kalau mau dibandingkan dengan buku-buku lain dalam bentuk biografi, buku
karya Dava Sobel ini setidaknya patut diperhatikan karena tiga alasan. Pertama, buku ini
merupakan suatu upaya realistis dalam menampilkan sosok Galileo. Lewat 124 surat Maria
Celeste (putri Galileo yang memilih takdir sebagai biarawati) yang pernah dikirim kepada
Galileo, Sobel coba menghadirkan sisi lain kehidupan Galileo di balik mitos dan kontroversi
yang kerap melingkupinya, dengan sudut pandang kesaksian putri Galileo.

Kedua, di tengah hujatan dan cercaan gereja saat itu atas kiprah spektakuler dan menakjubkan
yang diperankan Galileo di dunia sains, buku ini tidak lebih dari suatu pembelaan atas
pengadilan Galileo. Ketiga, gaya tutur Sobel yang enak, bahkan mengalir dengan bertolak dari
124 surat sang putri, kemudian dirangkai dalam bentuk narative science history membuat buku
ini memikat untuk dibaca.
(Sumber: N. Mursidi, Sosok Galileo dalam Lipatan Surat, KOMPAS, Minggu 1 Agustus 2004)
f) Menguatkan dengan Pendapat Penulis Lain
Tak jarang, sebuah resensi meskipun itu resensi novel butuh pengukuhan dari pendapat
seorang tokoh yang telah melahirkan teori atau pemikiran yang sudah dikenal luas di tengah
masyarakat. Bahkan, hal itu bisa dikutip dari pendapat tokoh yang telah ditorehkan dalam
buku. Lalu, untuk apa hal itu dilakukan? Tak lain adalah untuk menguatkan bahwa isi buku
(ataupun cerita yang dikisahkan dalam novel) itu ternyata bukan hal aneh, tapi justru terjadi di
tengah masyarakat dan bahkan cukup mengakar dalam perjalanan sejarah.
Cara ini tidak bisa dimungkiri- dapat dijadikan pilihan untuk prolog resensi. Dengan pilihan
model ini, resensi yang dibuat tidak saja terlihat kuat, mengesankan dan kaya, melainkan juga
menunjukkan bahwa sang peresensi memiliki pengetahuan luas dalam menghubungkan buku
yang diresensi itu dengan pendapat penulis lain. Cara membuat prolog model ini, bisa disimak
dalam contoh di bawah ini:
Bagi Machiavelli, seseorang bisa jadi pengeran dalam sebuah negera kerajaan karena ia memang
diberkahi keberuntungan. Sebab dalam (negara) kerajaan, orang diangkat jadi pengeran
berdasarkan keturunan. Tapi tanpa didukung kemampuan, jelas keberuntungan itu akan sirna.
Dengan kata lain, keberuntungan itu haruslah ditopang dengan kemampuan besar, otak genius,
tahu cara memimpin, bertahan, dan bahkan bertindak demi mempertahankan kekuasaan itu. Dan
tindakan kejam (meskipun tak bermoral, dan tidak beragama), tetap dibutuhkan untuk
memberikan sebuah kekuatan. Sekali pun langkah itu tidak mengantarkan sang pangeran itu pada
kemuliaan.
Tetapi, sejarah menorehkan segudang kisah. Ketika sang pangeran (negara kerajaan)
mengandalkan keberuntungan semata, pastilah akan berujung tragis tersungkur dari tahta.
Pasalnya, tatkala rakyat ditikam duka lara kelaparan, dan elite politik hanya mengurus perut
sendiri, bahkan ketidakadilan teronggok di sudut-sudut kota, benih pemberontakan pun
meneguhkan tindakan brutal di luar konstitusi untuk menumbangkan kursi kekuasaan sang
pangeran.
Apa yang dikatakan Machiavelli di atas tidak dapat ditepis mengukuhkan ruh cerita novel Shin
Suikoden karya Eiji Yoshikawa yang mengisahkan kepahlawanan 108 pendekar yang di mata
rakyat disebut-sebut pahlawan tetapi di mata penguasa disebut bandit untuk melakukan
pemberontakan melawan kebengisan pemerintah Dinasti Song. Cerita ini sebenarnya adalah
penuturan ulang Eiji Yoshikawa terhadap kisah klasik China Suikoden (Batas Air). Tetapi,
Yoshikawa mampu menorehkan tinta dengan gemulai. Tak pelak, kisah ini pun menjadi kisah
yang populer.

(sumber: N. Mursidi, Arogansi Penguasa dan Spirit Pemberontak, Kompas, Minggu 31 Juli
2011)
g) Mengaitkan dengan Peristiwa Aktual
Tak jarang, sebuah buku ditulis oleh penulis dipicu dari latar belakang yang krusial sehingga dia
bermaksud menerbitkan buku itu akan bisa menjawab persoalan yang terjadi di tengah
masyarakat. Tak berlebihan, jika buku itu kemudian memiliki korelasi dengan peristiwa yang
terjadi, aktual dan jadi pembicaraan. Maka, dengan mengaitkan dengan konteks yang terjadi atau
peristiwa yang aktual itu pun memiliki nilai penting. Apalagi, koran tidak menepis dituntut untuk
menyajikan berita yang aktual.
Pada aras itulah, pilihan peresensi untuk membuat kalimat pembuka dengan mengangkat satu
peristiwa yang sedang terjadi di tengah masyarakat akan memiliki kekuatan sebanding lurus
dengan tuntutan koran yang menyajikan berita aktual. Di sinilah, nilai plus yang bisa diambil
ketika seorang peresensi memutuskan membuat prolog dengan cara mengaitkan peristiwa yang
terjadi sehingga buku itu pun patut mendapat apresiasi.
Contoh model prolog ini, bisa disimak di bawah ini:
Dunia pendidikan kita kembali dirundung duka. Hasil dari pengumuman ujian nasional
kemarin (Senin,26/4) benar-benar mengejutkan banyak pihak terutama orangtua siswa, guru,
kepala sekolah, dan siswa bersangkutan. Pasalnya, jumlah siswa yang tidak lulus meningkat
drastis. Ujian nasional tingkat SMA (dan sederajat) 2010 terjun bebas mencapai 89,88% kalau
dibandingkan angka kelulusan ujian nasional 2009: 94,85%. Tak mustahil, jika dari 1.522.162
peserta, ada 154.079 peserta yang harus mengikuti UN ulang pada 10-14 Mei. Siapa yang patut
disalahkan dalam kasus ini?
Tentu ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi keterpurukan angka kelulusan tersebut. Salah
satunya adalah kopetensi guru. Memang, setiap orang bisa menjadi guru. Tetapi, tak bisa
disangkal jika tidak semua orang mampu menjadi guru yang baik, mengobarkan semangat,
memberi inspirasi, memancarkan energi, mencerahkan, sekaligus menanamkan pengaruh yang
luar biasa sehingga bisa membekas sepanjang hidup di benak anak didik. Padahal guru yang
mampu menginspirasi dan mencerahkan itulah yang saat ini dibutuhkan di negeri ini, karena
guru semacam itu akan mengantarkan kesuksesan siswa di kelak kemudian hari dan membawa
kemajuan bangsa.
(sumber: N. Mursidi, Jadi Guru Yang Menginspirasi Siswa, Jawa Pos, Minggu 2 Mei 2010)
h) Mengutip Hadits, Ayat, atau Kutipan Tokoh Terkenal
Setiap tulisan resensi itu memang terbuka peluang untuk dibuka atau diawali dengan berbagai
bentuk prolog (kalimat pembuka). Tak terkecuali dengan mengutip hadits nabi, ayat al-Qur`an,
peribahasa atau bahkan bisa (juga) diambil dari kutipan orang terkenal. Tetapi, dengan catatan,
selama kutipan yang dipilih itu masih punya korelasi atau keterkaitan dengan tema yang dikupas
dalam buku yang diresensi.

Ketepatan dalam memilih kutipan untuk dijadikan sebagai prolog itu, tentu akan memiliki nilai
plus. Selain akan menguatkan tulisan resensi, poin penting lain adalah kesan yang kuat bahwa
peresensi itu ingin menghubungkan atau mengaitkan buku tersebut dengan kutipan yang dipilih.
Bagaimana membuat prolog yang dibuka dengan kutipan itu, setidaknya bisa disimak dari
contoh di bawah ini:
Suatu hari Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat Ya Rasulullah kami telah banyak berdoa,
tetapi kenapa doa kami tak dikabulkan? Rasulullah pun menjawab, Sebab kalian berdoa
kepada Tuhan yang tidak kalian kenal.
Hadits nabi itu menegaskan bahwa mengenal Allah (ma`rifatullah) adalah kunci utama dari
sebuah doa. Bahkan ibadah (baik itu shalat, haji maupun puasa) yang tidak disertai cinta dan
ma`rifat kepada Allah, akan sia-sia. Secara syar`i memang bisa dikata sah, tapi ibadah itu akan
jadi sebuah ritual yang semata-mata menggugurkan kewajiban, tak memiliki ruh. Tak
meninggalkan bekas dan menimbulkan keberkahan. Hal itu tak lain, karena ma`rifatullah adalah
pengetahuan yang paling penting bagi seorang hamba.
(sumber: N. Mursidi, Meraih Ketenangan Berfondasikan Ma`rifatullah, Majalah Hidayah edisi
103/Maret 2010)
i) Mengukuhkan dengan Kutipan dalam Buku
Saat peresensi membaca buku yang akan diresensi, tak jarang ia menemukan satu kutipan (atau
bahkan dialog dalam sebuah novel) yang cukup mengesankan dan meninggalkan jejak yang
mendalam. Tak salah, kalau peresensi itu kemudian merasa perlu kutipan itu dijadikan sebagai
prolog sebuah tulisan resensi. Dengan kesan yang dia dapatkan saat membaca buku itu, ia pun
berhasan dialog itu cukup berkesan kuat jika dijadikan prolog.
Teknik menorehkan prolog dengan model ini, memang jarang dilakukan oleh peresensi, tetapi
tidak ada salahnya kalau sesekali waktu dicoba atau dipraktekkan. Adapun contoh bagaimana
membuat prolog dengan mengutip dialog dalam buku itu, setidaknya bisa disimak di bawah ini:
SAAT itu, usiaku sudah lebih tua dari usia kakakku Noura tatkala dia menikah. Usiaku delapan
belas tahun atau mungkin saja lebih, aku tidak tahu dan aku berharap sekaligus berputus asa.
Kenangan menguap bersama asap di hari api melahap tubuhku, tetapi aku mencoba membangun
kembali apa yang terjadi, demikianlah kesaksian Souad (nama samaran) dalam novel Burnaed
alive, terkait pembunuhan dirinya atas nama kehormatan keluarga.
Kenapa Souad harus dibunuh? Semata-mata, karena keluarga Souad merasa malu dengan
kondisinya yang hamil tanpa suami. Di tempat Souad dilahirkan dan dibesarkan (Tepi Barat,
Palestina) ternyata perempuan dianggap tak lebih berharga dari seekor keledai. Tak salah, jika
terlahir sebagai perempuan dianggap sebuah kutukan. Toh, kalau kemudian ia tak dibunuh saat
lahir maka diperlakukan tak adil, tak mendapat kesempatan seperti anak lelaki, dan yang lebih
tragis, hukum telah menetapkan bahwa membunuh perempuan itu bukan satu dosa. Apalagi jika

perempuan itu dicap sebagai charmuta, maka atas nama kehormatan, tradisi dan adat justru
menghalalkan perempuan seperti Suoad itu harus dibunuh!
(sumber: N. Mursidi, Kesaksian Kejahatan atas Nama Kehormatan, Sinar Harapan, Sabtu 30
September 2006)
j) Menjadikan Pembuka Buku Sebagai Prolog
Setiap penulis dituntut untuk membuat prolog buku (bahkan novel) yang dia tulis akan
meninggalkan kesan kuat ketika dibaca. Maka, tidak ada salahnya, kalau seorang peresensi
kemudian ikut-ikutan mengutip prolog yang ada dalam buku itu untuk dijadikan sebagai
prolog tulisan resensi. Dengan memilih model prolog seperti ini, selain seorang peresensi itu
ingin menunjukkan bahwa prolog buku itu dari awal mengesankan, juga mengundang
keingintahuan lantaran tiba-tiba terjadi peristiwa yang tidak diketahui latar belakang.
Model prolog ini tak ubahnya dengan prolog mengajukan sebuah pertanyaan, tetapi tidak dibuat
dalam kalimat tanya. Tetapi, mengisahkan peristiwa yang terjadi dan mengecutkan. Tak salah,
jika model ini akan mematik hasrat yang kuat untuk membaca resensi itu lebih lanjut.
Contoh tentang teknik membuat prolog seperti ini, bisa disimak di bawah:
PAGI itu, Cecilia putri terakhir dari keluarga Lisbon memilih mengakhiri hidup dengan cara
bunuh diri. Gadis berusia 13 tahun itu berulah menyanyatkan silet di pergelangan tangannya
seraya berendam di bak mandi. Ia ditemukan terkapar, dan bugil dalam genangan air yang penuh
darah. Mata Cecilia terbelalak. Kedua tangannya mendekap erat gambar perawan suci. Mr dan
Mrs Lisbon tercekat saat melihat putrinya itu memilih ritual bunuh diri seperti penganut aliran
sesat.
Kisah cukup menegangkan itu menjadi pembuka novel The Virgin Suicides ini. Sebuah pilihan
pembuka yang dapat dikatakan cukup memikat. Jeffrey Eugenides mengangkat tema tentang
bunuh diri yang sebenarnya kisah amat biasa, tetapi pengarang yang lulus meraih predikat magna
cumlaude dari Brown University, serta penghargaan gelar MA sastra Inggris juga penulisaan
kreatif dari Stanford University 1986 ini ternyata mampu mengolahnya jadi cerita yang
mendebarkan. Tak mustahil, kalau novel perdana karya pengarang yang kini tinggal di Berlin,
Jerman ini sudah diterjemahkan ke dalam enam belas bahasa dan best seller.
(sumber: N Mursidi, Ritual Bunuh Diri Lima Perawan, Koran Jakarta Sabtu 9 Agustus 2008)
k) Prolog Bernada Pujian atau Kekaguman
Dalam buku biografi atau memoar, tak jarang tokoh yang dituliskan kisahnya dalam buku itu
mengundang decak kagum bagi pembaca bahkan tak terkecuali bagi peresensi. Apalagi jika
buku memoar atau biografi itu tergolong buku inspiratif yang bisa memberikan asupan semangat
untuk meraih sukses. Maka, sang tokoh seolah tampil bak seorang pahlawan dan pejuang hebat
yang memang layak mendapatkan pujian dan sanjungan.

Pujian dan sanjungan itu setidaknya bisa dijadikan sebagai prolog resensi. Selain untuk
tujuan rasa kekaguman, dengan memilih prolog itu, sebenarnya seorang peresensi ingin
menggarisbawahi bahwa buku itu memang layak untuk dibaca sebab sang tokoh itu bisa
dijadikan pelajaran dalam meraih sukses.
Contoh model prolog ini, bisa disimak di bawah ini:
SUNGGUH luar biasa dan mengagumkan! Itulah ungkapan yang pas untuk disematkan di
pundak Merry Riana, wanita muda Indonesia yang kini jadi miliuner, diakui sebagai pengusaha
sukses, motivator dan penulis buku terlaris di Singapura. Padahal, dulu waktu kuliah di
Singapura, ia harus menelan ludah pahit. Ia menanggung utang 40 ribu dollar yang ia pinjam
dari Development Bank of Singapore untuk kuliah di Nanyang Technological University,
Singapura.
Tapi di tengah kondisi hidup pas-pasan itu, Merry ternyata memiliki strategi bertahan hidup yang
luar biasa. Bahkan, selain itu ia mampu bangkit dari keheningan kemiskinan. Ia rela meredam
segala keinginan bersenang-senang, hidup sederhana bahkan hemat dengan mengkonsumsi mie
instan hampir tiap hari dan menahan lapar lantaran tidak mampu membeli lauk yang mewah.
Dengan kegigihan, tekat yang kuat, disiplin yang tinggi, bahkan melibatkan Tuhan dalam
bekerja, akhirnya mimpi yang ia cita-citakan itu berhasil direngkuh setelah kerja dengan keras. Ia
mampu mengumpulkan uang sejuta dolar ketika masih terbilang muda, 26 tahun.
Perjalanan hidup Merry penuh lika-liku itulah yang dituturkan Alberthiene Endah dengan bahasa
yang mengalir lancar, indah, dan sungguh menggugah hati pembaca. Alberthiene Endah bisa
mengungkap hampir setiap langkah yang dijejakkan Merry ketika mulai tantangan baru kuliah di
Singapura dan harus menahan lapar hingga bisa mengukir prestasi gemilang sebagai seorang
lulusan sarjana atau anak muda yang sukses lantaran mampu mewujudkan mimpinya meski
dihadang keterbatasan dan kemiskinan. Apa rahasia di balik kecemerlangan prestasi Merry
sehingga ia mampu meraih mimpi spektakuler dan terbebas dari belitan beban finasial di usia
yang tergolong masih muda?
(sumber: N. Mursidi, Sukses Mewujudkan Mimpi, Seputar Indonesia, Minggu, 4 Desember
2011)
Tentu, teknik atau cara membuat prolog di atas bukanlah harga mati. Dengan kata lain, selain
beberapa prolog yang saya sebutkan di atas, sebenarnya masih ada banyak teknik dan cara lain
dalam membuat kalimat pembuka. Jadi, dalam konteks inilah, seorang peresensi itu dituntut
untuk terus kreatif dan memiliki kemampuan plus dalam mengolah kata agar dia dapat membuat
prolog yang kuat, mengesankan bahkan mengundang daya gugah redaktur untuk tidak menoleh
ke naskah peresensi lain.
Sebab, semakin piawai seorang peresensi itu membuat prolog, reputasi dia sebagai peresensi
buku akan diakui. Apalagi, kalau dia tidak saja mampu membuat prolog yang kuat dan memikat
semata, melainkan juga mampu menulis tulisan utuh yang bagus. Pasalnya, bagi saya, menulis
itu sebenarnya gampang. Tetapi bagaimana mampu menghasilkan tulisan yang bagus dan

kemudian bisa dimuat di koran itulah yang sungguh sulit dan butuh kerja keras bahkan kerja
cerdas.
Untuk itu, saya berharap penjelasan saya tentang teknik bagaimana membuat prolog yang bagus,
kuat dan mengesankan ini dapat menjadi pemicu semangat bagi peresensi lain (terlebih
peresensi pemula) untuk tak menyerah dan dalam membuat prolog yang kuat. Sebab, prolog itu
meskipun bukan faktor utama seorang redaktur menilai sebuah naskah tapi memberikan andil
besar dimuat atau tidaknya sebuah tulisan resensi. ***
RESENSI BUKU
TEKNIK MENYUSUN RESENSI BUKU
B.P. Sitepu
E-mail: risona_stp@yahoo.com
Universitas Negeri Jakarta
Abstrak
Meresensi buku merupakan kegiatan ilmiah yang dilakukan untuk memberikan tanggapan dan
penilian terhadap isi sebuah buku. Banyak surat kabar, majalah, dan jurnal yang menyediakan
rubrik resensi buku. Di lembaga pendidikan, sering juga peserta didik diminta menulis resensi
sebuah buku sebagai salah satu tugas akademik. Penulis resensi pemula sering mengalami
kesulitan dalam membuat resensi buku. Tulisan ini membahas teknik menulis resensi buku yang
diharapkan dapat membantu calon penulis resensi dalam menyusun resensi buku. Disadari
bahwa tidak ada cara yang baku dalam meresensi buku, oleh karena itu gagasan yang
disampaikan dalam tulisan ini diharapkan tidak dipergunakan secara kaku.
Kata-kata kunci: resensi, sinopsis, isi buku, penyajian, penilaian
Writing a Book Review
Abstract

Book review is a kind of scientific inquiry which is done to give objective comment on a book
based on an objective evaluation. Many newspapers, magazines, and journals have book review
rubric and in education instution book review becomes one of the assignments to be completed
by the students. However, many beginners in book reviewing find difficulties in writing the
review. This article discusses the techniques of book reviewing to solve the difficulties.
Acknowledging that the is no absolute rules in doing a book review, this article the introduced
techniques are not used rigidly.
Keywords: book review, summary, book content, presentation, evaluation
PENDAHULUAN
Buku merupakan media komunikasi konvensional yang termasuk paling tua. Tidak diketahui
secara persis kapan buku dalam bentuk cetakan pertama sekali dibuat. Sungguhpun pembuatan
buku cetakan sangat berkaitan erat denga penemuan mesin cetak oleh Johanes Gutenberg tahun
1450, tetapi tidak diketahui secara tepat waktu pembuatan buku yang pertama. Oleh karena itu
diperkirakan, buku pertama dibuat sesudah penemuan mesin cetak tahun 1450, ketika kertaskertas hasil cetakan yang berisi informasi dalam bidang tertentu itu disusun, dijilid, diberi kertas
kulit pelindung, serta dipotong rapi sehingga berwujud buku seperti yang sekarang ini.
Secara definisi, buku diartikan sebagai kumpulan kertas yang berisi informasi tercetak dalam
bidang tertentu dan disusun secara sistematis, dijilid, dan diberikan kulit (cover) pelindung
dengan jumlah minimal 48 halaman. Dilihat dari kebenaran isi atau pesan di dalamnya, buku
dapat dibedakan sebagai buku fiksi, buku nonfiksi, dan buku fiksi ilmiah; di lihat dari fungsinya,
buku dapat dibedakan pula sebagai buku bacaan dan buku pelajaran. Berdasarkan isi dan
penggunaannya di sekolah, buku dapat dibedakan seba gai buku teks pelajaran, buku pengayaan,
buku panduan guru, dan buku riferensi. Buku dapat juga dibedakan dalam jenis atau bentuk lain
berdasarkan sudut pandang tertentu.

Sebagai media, buku dapat dipergunakan memuat berbaga jenisi informasi dan keperluan yang
berarti bahwa penulis dapat menulis informasi di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, atau seni.
Dilihat dari keperluan atau manfaatnya, buku dapat dipergunakan sebagai media untuk sumber
belajar, dokumentasi,atau hiburan. Sedangkan berdasarakan pembaca sasaran (target reader),
buku dapat pula diarahkan misalnya untuk peserta didik, pendidik, ilmuan,peneliti, kalangan
tertentu atau masyarakat umum.
Agar buku dapat berfungsi efektif, efisien, dan menarik, penulis menulis menyajikan pesan
sesuai dengan karakteristik pesan, pembaca sasaran/penerima pesan, dan gaya khas penulisnya.
Dengan demikian, menyajikan fiksi berbeda dengan non fiksi, sejarah berbeda dengan
matematika, bahasa berbeda dengan seni musik, karena imasing-masing memeiliki karakteristik
sendiri. Isi atau tema yang sama dikemas dan disajikan secara berbeda karena pembaca
sasarannya berbeda. Sebagai contoh, pendidikan karakter agar toleransi terhadap perbedaan,
berbeda untuk anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Di lain pihak masing-masing penulis
memiliki bahasa dan gaya penyajian yang berbeda satu sama lain. Gaya ini merupakan ciri khas
penulis. Misalnya, Pramudya Anatatur memiliki gaya menulis yang berbeda dengan N. H. Dini,
walaupun kedua-duanya dikenal sebagai penulis novel. Rhenald Kasali berbeda dengan Sondang
Siagian yang kedua-duanya dikenal sebagai penulis buku-buku manajemen.
Penulis menyebarluaskan pesan atau gagasannya kepada orang lain melalui media cetak buku
sebagai informasi atau ditanggapi. Keberhasilan penyampaian pesan terlihat dari penerima
pesan, yang dalam hal ini adalah pembaca buku. Apabila pesan diterima dan ditanggapi oleh
penerima pesan/pembaca sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim pesan/penulis buku, maka
penyampaian pesan itu berhasil dengan baik. Sebaliknya apabila pesan yang diterima dan
dipahami oleh penerima pesan berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan,
maka penyampaian informasi itu tidak efektif dan dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Ketepatan penyampaian pesan dipengaruhi oleh isi, bahasa, cara mengemas, gaya
menyampaikan, media yang dipergunakan, atau cara penerima menerima pesan itu. Unsur-unsur

yang berpengaruh itulah yang perlu diperhatikan oleh penulis dalam menyampaikan
informasi/pesan melalui buku.
Keberhasilan penulis buku mencapai tujuannya dipengaruhi oleh penguasaan penulis atas
substansi informasi yang disampaikan, kemampuan penulis mengemas informasi sehingga dapat
meyakinkan dan mempengaruhi pembaca, dan keterampilan penulis menggunakan bahasa yang
baik, benar, dan tepat. Penguasaan substansi informasi termasuk kebenaran, keakuratan, keluasan
dan kedalamaannya. Sedangkan kemampuan mengemas informasi mencakup menyusun gagasan
secara sistematis dan logis dengan data serta informasi yang lengkap dan meyakinkan.
Sedangkan penggunaan bahasa termasuk menggunakan kaidah-kaidah bahasa yang baku, pilihan
kata/diksi yang tepat, dan gaya bahasa yang komunikatif sesuai dengan kemampuan berbahasa
pembaca sasaran.
Dilihat dari kepentingan penulis, buku merupakan media untuk menyampaikan atau
menyebarleaskan informasi, sedangkan dilihat dari sisi pembaca, buku merupakan media untuk
memperoleh informasi. Sesudah membaca dan memahami informasi dari buku, pembaca
mungkin tidak memberikan reaksi sama sekali dan menyimpannya semata-mata sebagai
pengetahuan. Tetapi mungkin juga pembaca segera menindaklanjuti dengan menerapkan
pengetahuan dalam buku itu untuk memecahkan masalah, Atau bahkan isi buku itu memberikan
inspirasi baru untuk mengembangkannya lebih lanjut. Kemungkinan lain ialah setelah
merenungkan, melakukan internalisasi atau refleksi atas informasi yang baru diperolehnya,
pembaca memberikan tanggapan atas informasi yang diperolehnya dalam buku itu. Ia mungkin
setuju atas informasi itu, mendukung serta ingin menyebarluaskannya kepada orang lain. Atau
mungkin juga ia menyanggah sebagian atau sepenuhnya dengan memberikan argumentasi
beradasarkan pengalamannya. Tanggapan pembaca tersebut dipublikasikan untuk diketahui
orang lain, khsusunya untuk yang ingin membeli atau membaca buku itu.
Dilihat dari isi dan bentuknya, tanggapan pembaca atas isi sebuah buku dapat dikategorikan
sebagai sinopsis, bedah buku, atau resensi. Sinopsis buku merupakan tulisan yang

menggambarkan secara ringkas isi pokok dan hal-hal yang baru dan menarik dalam buku itu
untuk diketahui orang lain. Sinopsis disebut juga dengan istilah ikhtisar, ringkasan, atau abstrak,
walaupun untuk keperluan tertentu dibedakan satu sama lain. Apabila buku diterbitkan, penulis
atau penerbit biasanya memuat sinopsis pada kulit luar belakang buku yang tujuannya
memberikan informasi singkat tentang isi buku serta memotivasi orang membacanya. Sinopsis
dapat juga dibuat oleh orang lain (bukan penulis atau penerbit), dengan mendeskripsikan secara
singkat isi buku tanpa memberikan pendapat atas isi buku dengan menggunakan bahasa sendiri.
Walaupun

pada awalnya

dibuat

untuk buku-buku fiksi atau karya

sastra,

dalam

perkembangannya sinopsis juga dipergunakan untuk buku-buku nonfiksi.


Bedah buku ialah menelaah secara mendalam dan ilmiah tentang isi buku, termasuk latar
belakang penulis menulis, tema/masalah yang diangkat atau latar belakang penerbit menerbitkan
buku itu. Membedah buku dapat dilakukan melaui diskusi yang diikuti oleh pengamat buku dan
masyarakat buku. Melalui bedah buku dapat diketahui keunggulan, kelemahan, serta ciri khas isi
sebuah buku yang biasanya terbitan baru. Apabila bedah buku dilakukan tanpa forum diskusi
tetapi secara tertulis, bedah buku itu lazim disebut resensi, tinjauan, kajian, atau timbangan buku
yang pada umumnya apabila dipublikasikan juga bertujuan untuk menyebarluaskan dan
menanggapi gagasan penulis buku. Untuk keperluan kajian ilmiah di lembaga pendidikan,
resensi buku sering juga disebut telaahan kritis (critical review). Tulisan ini menggunakan istilah
resensi dalam pembahasan lebih lanjut.
Dalam berbagai terbitan media masa (surat kabar, majalah, atau jurnal), sering dimuat resensi
buku. Jurnal Pendidikan Penabur sejak terbitan pertama (2002) menyediakan rubrik Resensi
Buku. Akan tetapi teknik dan gaya penulisan resensi buku berbeda di surat kabar, majalah, atau
jurnal sesuai dengan ciri dan tujuan masing-masing jenis media massa itu, walaupun ada
kesamaan prinsip yakni memberikan tanggapan atas isi buku. Penulis resensi tentu perlu
mencermati prinsip-prinsip penulisan resensi serta ciri masing-masing media massa agar
resensinya itu dapat dimuat tanpa harus banyak perbaikan.

Pengalaman dalam menelaah dan memuat naskah resensi buku dalam Jurnal Pendidikan
Penabur memberikan kesan, calon penulis belum memperhatikan secara cermat prinsip (1)
penulisan resensi dan (2) ciri penerbitan. Tidak jarang tulisan berisi hanya ringkasan isi buku
atau hal-hal yang menarik menurut penulis resensi serta diakhiri dengan saran agar buku itu
dibaca. Menulis resensi tentu tidak hanya sekedar demikian, sehingga untuk dapat dimuat,
penulis diminta menyempurnakan tulisannya.
Pengalaman yang sama juga terjadi dalam memberikan tugas kepada siswa dan mahasiswa untuk
membuat resensi artikel/tulisan/makalah atau buku. Mereka belum memahami benar teknik
menulis resensi secara benar sehingga hasil tulisan mereka lebih bersifat deskriptif daripada
analitis. Oleh karena itu, tulisan ini membahas tentang teknik menulis resensi buku untuk
keperluan penerbitan ilmiah atau jurnal. Diharapkan gagasan yang disampaikan dalam tulisan ini
dapat dijadikan wacana untuk memperkaya pengetahuan serta membantu calon penulis resensi
dalam menyusun resensi buku.
PEMBAHASAN
Hakikat Resensi
Dalam pendahuluan tulisan ini secara umum telah dikemukakan pengertian resensi. Apabila
dikaji secara etimologi dari bahasa Latin (recensere ataurevidere) dan bahasa Inggris (review),
resensi mengandung makna dasar memeriksa, mencermati, meninjau atau melihat kembali
sesuatu. Dengan pengertian dasar yang demikian, objek resensi tidak hanya terbatas pada buku
tetapi dapat berupa film, drama, pameran, dan berbagai bentuk/tampilan tulisan. Setelah
membaca, mencermati, dan menelaah/menganalisis, penulis resensi memberikan tanggapan
dengan mengungkapkan keunggulan dan kelemahan isi buku. Aspek yang dicermati dan
ditanggapi bisa tentang latar belakang, tujuan, isi, bahasa, gaya penyajian dan manfaat buku itu.
Mengacu pada kegiatan yang dilakukan dalam meresensi buku maka dapat diartikan, merisensi
buku adalah kegiatan membaca, memahami, menganalisis, mengevaluasi, dan mengungkapkan

keunggulan dan kelemahan sebuah buku sebagai informasi untuk orang lain. Hasil proses
meresensi buku itu disebut resensi buku. Dengan demikian, resensi buku merupakan sebuah
deskripsi, analisis kritis, dan evaluasi atas mutu, makna, dan signifikansi sebuah buku dan bukan
sekedar sinopsis atau menceritrakan kembali isi buku. Kajian dalam resensi buku berfokus pada
tujuan, isi, dan penyajian isi buku. Sedangkan kedalaman dan keluasan atau panjang pendeknya
sebuah resensi bergantung kepada penulis resensi dan persyaratan media yang akan
menerbitkannya. Dengan perkataan lain panjangnya naskah tulisan tidak merupakan persyaratan
utama resensi. Resensi dapat ditulis hanya dalam satu paragraf atau lebih dengan jumlah 100
kata atau lebih. Jurnal Pendidikan Penabur misalnya mensyaratkan panjang risensi berkisar
antara 1.000 3.000 kata. Jumlah kata ini didasarkan pada pertimbangan kelayakan atau
kepatutan untuk penerbitannya saja.
Meresensi buku dilakukan oleh peminat, pengamat, atau pakar dalam bidang yang sesuai dengan
isi buku. Kegiatan ini juga dilakukan oleh siswa atau mahasiswa dalam hubungannya dengan
tugas akademik. Untuk dapat menyusun resensi buku yang bermutu tentang sebuah buku,
penulis resensi perlu memilki setidak-tidaknya pengetahuan/wawasan yang berkaitan dengan isi
buku, bahasa yang digunakan dalam buku, dan , cara menyajikan gagasan. Sungguhpun bebas
memberikan analisis dan penilaian tentang asapek-aspek yang kritisi, setiap penulis resensi
seharusnya memiliki kemampuan berpikir secara objektif dan realistis dengan penalaran yang
kuat. Dengan kemampuan yang demikian, resensi yang dihasilkan dapat memberikan pengaruh
kepada pembacanya.
Tujuan utama resensi buku ialah memberikan tanggapan atas isi buku sebagai informasi kepada
calon pembaca buku itu. Tanggapan itu dapat memotivasi pembaca resensi atau menjadi tidak
berminat membaca buku yang diresensi itu. Di samping itu resensi buku merrupakan umpan
balik bagi penulis buku untuk menyempurnakan isi buku itu pada edisi terbitan berikutnya.
Tujuan meresensi buku hendaknya menjadi acuan bagi penulis resensi dalam mengembangkan
resensi yang disusunnya dan juga sebagai salah satu kriteria bagi media yang akan
mempublikasikannya.

Langkah-langkah Meresensi
Secara garis besarnya terdapat 6 (enam) langkah pokok dalam meresensi buku: (1) persiapan, (2)
membaca, (3) menganalisis, (4) mengevaluasi, (5) menulis, dan (6) menyunting. Sebagai
langkah pertama, penulis resensi perlu melakukan persiapan dengan memilih buku yang akan
diresensi. Dalam langkah ini, perlu dipilih isi buku yang sesuai dengan keahlian dan minat
penulis resensi serta terbitan termutakhir, sebaiknya dalam tahun terakhir. Penulis juga perlu
yakin bahwa buku itu belum pernah diresensi orang lain. Setelah mendapat buku yang
diinginkan, penulis mencatan identitas buku itu secara lengkap seperti, judul, pengarang,
penerbit, tempat dan tahun terbit, cetakan, ukuran, jumlah halaman, ISBN dan harga buku.
Sebagai contoh:
Judul: Penulisan Buku Teks Pelajaran
Pengarang: Prof. Dr. B.P. Sitepu, MA
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya
Tempat Terbit: Bandung
Tahun Terbit: 2012
Cetakan: Pertama, Agustus 2012
Ukuran: 16,5 x 24 cm
Jumlah Halaman: vii, 188
ISBN 978-979-692-095-2
Harga: Rp. 35.000,00

Sebagai persiapan penulis resensi perlu mengumpulkan beberapa buku sejenis untuk
dipergunakan sebagai bahan perbandingan melihat persamaan dan perbedaan gagasan yang
disampaikan.
Kedua ialah membaca buku secara cermat sehingga benar-benar memahami tidak hanya
informasi yang tersurat tetapi juga yang tersirat. Dalam langkah kedua ini, penulis resensi perlu
mengenal dengan baik penulis buku, mengetahui latar belakang pendidikan dan pekerjaannya,
buku-buku yang pernah ditulisnya, serta tujuannya menulis buku itu. Tujuan penulis buku
biasanya tertera pada kata pengantar buku atau kalau tidak tertulis secara jelas, penulis resensi
dapat menyimpulkan setelah memahami isi buku secara keseluruhan. Dengan mengacu pada
tujuan penulis buku, penulis resensi menelusuri bagaimana cara penulis buku itu mencapai
tujuan itu, apakah informasi dalam buku serta pengemasan dan penyajiannya mendukung.
Tujuan penulisan buku juga dijadikan rujukan dalam memahami dan mendalami isi buku.
Gambaran isi buku dapat dilihat pada daftar isi dan kata pengantar.
Dalam membaca dan memahami isi buku, penulis resensi dapat menggunakan pertanyaanpertanyaan berikut.
a.

Apa alasan penulis buku memilih tema dan judul buku itu?

b.

Dari sudut pandang apa penulis buku menulis buku?

c.

Apa acuan yang dipakai dalam menulis buku?

d.

Siapa pembaca sasaran?

e.

Dalam bidang apa isi buku itu?

f.

Apa isi pokok buku?

Hendaknya diperhatikan bahwa perlu dibedakan antara judul, bidang, tema, dan isi pokok buku.
Contoh berikut meunjukkan perbedaan itu.

Judul: Penulisan Puku Teks Pelajaran


Bidang: Teknik penulisan naskah buku
Tema: Tata cara menulis buku teks pelajaran untuk pendidikan dasar dan menengah
Isi Pokok: Dalam menulis buku teks pelajaran pendidikan dasar dan menengah perlu diikuti
ketentuan-ketentuan yang berbeda dengan penulisan buku secara umum.
Di samping memahami isi buku, penulis resensi perlu pula mencermati bagaimana cara penulis
menyampaikan gagasan dalam menjabarkan tema buku, apakah dengan menggunakan deskripsi,
narasi, eksposisi, dan argumentasi atau campuran. Masih dalam kaitannya dengan isi buku, perlu
pula diperhatikan kelengkapan anatomi buku seperti, informasi yang ada pada kulit depan dan
belakang, halaman prancis, halaman judul, halaman katalog, daftar isi, kata pengantar, bab, sub
bab, glosarium, daftar pustaka, dan indeks.
Sewaktu membaca buku, penulis resensi hendaknya menandai hal-hal pokok dalam buku serta
membuat catatan yang berkaitan dengan jawaban pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan di atas.
Catatan itu alan bermanfaat ketika memberikan deskripsi tentang isi buku.
Ketiga, melakukan analisis dengan mencermati keunggulan dan kelemahan (1) isi, (2)
penyajian, dan (3) bahasa yang dipergunakan.
1. Isi buku
Isi buku dapat dikritisi dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai ramburambu.
a. Apakah tujuan penulisan buku itu jelas?
b. Siapa pembaca sasaran buku itu?

c. Apakah tema buku menarik untuk pembaca sasaran


d. Sejauh mana isi buku itu diperlukan oleh pembaca sasaran yang dimaksudkan?
e. Apakah informasi yang disampaikan benar dan mutakhir?
f. Apakah informasi dalam buku itu cukup lengkap untuk mencapai tujuan penulis buku?
g. Hal-hal apa yang baru terdapat dalam isi buku itu?
h. Apa kelebihan isi buku itu dibandingkan dengan buku sejenis lainnya?
i.

Apa kekurangan isi buku itu dilihat dari tema dan tujuannya?

2. Penyajian
Berkaitan dengan penyajian isi buku, pertanyaan berikut dapat dijadikan rujukan.
a. Apakah isi buku disajikan secara sistematis dan logis?
b. Apakah terdapat keterkaitan antarbab
c. Apakah terdapat keterkaitan antarsub-bab dalam bab yang sama?
d. Sejauh mana kesesuaian teknik (deskripsi, narasi, eksposisi, argumen, atau campuran) yang
digunakan dalam menjabarkan tema?
e. Apakah deskripsi yang dipergunakan cukup jelas dan masuk akal?
f. Apakah narasi yang dipergunakan memberikan informasi tentang

setiap peristiwa secara

kronologis dan lengkap?


g. Apakah penggunaan eksposisi dapat memberikan informasi atau fakta yang rinci, jelas,
lengkap, dan objektif?

h. Apakah argumentasi yang dipergunakan didukung oleh data, fakta, dan alasan yang
meyakinkan?
i. Sejauh mana ilustrasi dalam buku memperjelas konsep/gagasan penulis buku?
j. Sejauh mana terlihat latar belakang penulis buku mempengaruhi gaya penyajian isi buku?
k. Apakah penyajian isi buku memotivasi pembaca untuk terus membaca atau mempelajari isi
buku?
l. Apakah rujukan/kepustakaan yang dipergunakan mutakhir dan relevan?
m. Apakah dilengkapi dengan glosarium dan indeks? Kalau ada, sejauh mana glosarium atau
indeks itu membantu pembaca untuk menggunakan buku itu?
3. Bahasa
Penggunaan bahasa dapat dikaitkan dengan penyajian isi buku dengan mencermati hal-hal
berikut.
a. Apakah menggunakan kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar, seperti kelengkapan unsurunsur kalimat, penggunaan tanda-tanda baca dan ejaan?
b. Apakah masing-masing paragraf memiliki gagasan pokok yang dijelaskan dengan kalimatkalimat pendukung?
c. Apakah pemilihan kata, panjang dan susunan kalimat sesuai dengan kemampuan membaca
pembaca sasaran?
Keempat, mengevaluasi isi buku dilakukan dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari
mencermati isi, penyajian, dan bahasa yang dipergunakan dan membandingkannya dengan yang

seharusnya (patokan). Misalnya, dapat dimulai dari pertanyaan-pertanyaan berikut. Hasil


evaluasi ini dapat dijadikan sebagai kesimpulan resensi.
a. Sejauh mana tema buku itu menarik bagi pembaca sasaran?
b. Sejauh mana penulis buku berhasil mencapai tujuannya dengan informasi dalam buku itu?
c. Apa keunggulan dan kelemahan isi, penyajian, dan bahasa dalam buku itu?
d. Apa rekomendasi penulis resensi terhadap buku itu?
Untuk memperkuat analisis, penulis resensi dapat mengutip bagian-bagian dalam buku sebagai
contoh atau bukti. Akan tetapi kutipan yang demikian biasanya singkat dan sangat diperlukan
dengan tetap mencantumkan halaman bagian yang dikutip dalam buku.
Kelima, menulis naskah resensi dengan sistematika judul resensi, data buku, pendahuluan, isi
resensi, dan penutup. Pendahuluan dapat dimulai dengan tema, penulis, atau penerbit buku.
Penulis resensi dapat memilih yang mana sesuai. Contoh pendahuluan resensi dari tema adalah
sebagai berikut.
PENULISAN BUKU TEKS PELAJARAN
Buku pelajaran memegang peranan penting dan strategis dalam proses pembelajaran. Sulit
dapat dibayangkan bagaimana proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik tanpa
menggunakan buku pelajaran. Di tempat-tempat yang masih sulit dijangkau teknologi
komunikasi, buku pelajaran masih merupakan sumber belajar utama di samping guru.
Dewasa ini tersebar banyak buku pelajaran untuk pendidikan dasar dan menengah, akan tetapi
tidak semua buku itu dapat dijadikan sebagai buku teks pelajaran untuk mata pelajaran yang
sesuai. Berdasarkan hasil penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan, belum pernah
terdapat buku pelajaran yang dapat disyahkan sebagai buku teks pelajaran tanpa perbaikan

yang cukup berarti. Bahkan dalam 5 (lima) tahun belakangan ini banyak buku pelajaran tidak
lolos penilaian, karena tidak memenuhi syarat minimal.
Untuk dapat ditetapkan menjadi buku teks pelajaran, diperlukan persyaratan tertentu yang
harus dipenuhi sejak penulis buku merencanakan, menulis, dan mengembangkan naskah
bukunya. Dalam kondisi perbukuan sekolah di Indonesia seperti ini, buku Penulisan Buku Teks
Pelajaran, karya Prof. Dr. B.P Sitepu, MA ini memperkaya buku-buku tentang penulisan buku
pada umumnya, buku teks pelajaran pada khususnya.
(Kemudian dapat dilanjutkan dengan mendeskripsikan, menganalisis, dan mengevaluasi buku)
Pendahuluan resensi dapat juga diawali dengan mendiskripsikan penulis buku dengan contoh
sebagai berikut.
PENULISAN BUKU TEKS PELAJARAN
Setelah bekerja lebih dari 20 tahun di bidang perbukuan pendidikan dasar dan
menengah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. B.P Sitepu, MA
mengabdikan dirinya sebagai dosen di Universitas Negeri Jakarta sampai sekarang ini. Setelah
menulis buku Industri Buku Di Indonesia (1997) dan Buku Sebagai Sumber Belajar (1997) yang
diterbitkan oleh Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dia menulis pula
buku Penyusunan Buku Pelajaran (2006) yang diterbitkan oleh Verbum Publishing di Jakarta.
Pengalaman selama bekerja di bidang perbukuan sekolah serta dosen mata kuliah
Pengembangan Bahan Ajar Cetak sejak tahun 1995 sampai sekarang, mendorong ia menulis
buku Penulisan Buku Teks Pelajaran (2012) yang diterbitkan oleh PT Remaja Rosdakarya di
Bandung.
(Kemudian dapat dilanjutkan dengan mendeskripsikan, menganalisis, dan mengevaluasi isi
buku)

Resensi dapat pula diawali dengan pendahuluan yang mendeskripsikan penerbit buku dengan
contoh sebagai berikut.
PENULISAN BUKU TEKS PELAJARAN
PT Remaja Rosdakarya yang berlokasi di Bandung dikenal sebagai sebuah penerbit lama dan
berpengalaman dalam menerbitkan berbagai jenis buku pendidikan mulai dari pendidikan dasar
sampai perguruan tinggi. Sejak berdirinya, Penerbit ini sudah menerbitkan ratusan judul buku
yang dapat dilihat di perpustakaan dan toko buku di seluruh Indonesia. Banyak di antara buku
terbitannya itu mejadi buku rujukan di sekolah atau perguruan tinggi. Buku dengan judul
Penulisan Buku Teks Pelajaran karya Prof. Dr. B.P. Sitepu merupakan salah satu terbitan PT
Remaja Rosdakarya dalam tahun 2012.
(Kemudian dapat dilanjutkan dengan mendeskripsikan, menganalisis, dan mengevaluasi isi
buku).
Keenam, menyunting naskah resensi. Penulis hendaknya membaca kembali naskah resensi yang
sudah selesai ditulis. Secara umum decermati apakah diskripsi tentang isi buku yang diresensi
cukup jelas, analisis yang dilakukan cukup lengkap dan tajam, dan penilaian yang dilakukan
objektif dan meyakinkan. Bahasa yang digunakan dalam resensi biasanya padat, singkat, tidak
berbelit-belit, menarik dan enak dibaca.
Di samping itu perlu pula diperhatikan kembali apakah isi tulisan disajikan secara sistematis,
tajam, dan mudah dipahami. Resensi untuk dipublikasikan biasanya tidak menggunakan daftar
pustaka, oleh karena itu data rujukan yang dipergunakan dalam tulisan hendaknya dicantumkan
secara lengkap.
KESIMPULAN
Menulis resensi buku tidak semata-mata menceritrakan kembali atau mendiskripsikan isi buku
secara singkat akan tetapi merupakan proses membaca, memahami, menganalisis, dan menilai isi

buku. Hasil meresensi buku menunjukkan keunggulan dan kelemahan isi buku yang berguna
untuk orang yang berniat membaca atau membeli buku itu serta sekali gus merupakan masukan
bagi penulis buku yang diresensi. Buku yang diresensi biasanya adalah buku terbitan baru.
Agar menghasilkan resensi yang bermutu dan bermanfaat, penulis resensi buku hendaknya
memilih isi buku yang sesuai dengan keahlian atau pengalamannya. Penulis resensi buku perlu
pula membandingkan isi buku yang diresensi dengan buku-buku lain yang sejenis. Dalam
memberikan penilian terhadap isi, penyajian, dan bahasa buku, penulis resensi diharapkan cermat
dan objektif serta menghindarkan hal-hal yang bersifat subjektif.
DAFTAR PUSTAKA
Butler, Linda. 2007. Fundamentals of academic writing. New York: Pearson Education
Harmer, Jeremy. 2007. The practice of English language teaching. New York: Pearson Education
Samad, Daniel. 1997. Dasar-dasar meresensi buku. Jakarta: Grasindo
Sitepu, B.P. 2012. Penulisan buku teks. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Trimmer, Joseph F. 2004. The new writing with a purpose. Boston: Houghton Mifflin

Anda mungkin juga menyukai