Anda di halaman 1dari 163

GANTI HATI

Dahlan Iskan

Pengalaman Pribadi
Menjalani Transplantasi Liver
Harus Turun Mesin, karena Organ-
Organ Saya Rusak Parah
27 Agustus 2007

Pagi ini, hari ke-20 saya hidup dengan liver baru. Kelihatannya akan baik-
baik saja. Tidak ada tanda- tanda kegagalan seperti yang dialami Cak Nur
(Nurcholish Madjid, tokoh yang digadang-gadang menjadi salah satu calon
presiden), yang menjalani transplantasi liver di Tiongkok pada 19 Juli 2004.
Kadar protein dalam darah saya yang tidak pernah bisa normal, kini menjadi
sangat baik. Salah satu unsur penting di protein itu, albumin, sejak liver saya diganti
sudah mencapai angka 3,6. Selama lebih dari 10 tahun saya hidup dengan kadar
albumin yang hanya 2,7. Padahal, normalnya paling tidak 3,2.
Rendahnya kadar albumin membuat tubuh saya tak mampu membuang
kelebihan air, baik dalam bentuk keringat maupun kencing. Sehingga air yang
berlebih ikut darah beredar ke seluruh tubuh. Akibatnya, tubuh saya jadi “gemuk”.
Karena itu, kalau ada orang memuji badan saya terlihat lebih gemuk dan
segar, dalam hati sebenarnya saya menderita. Sebab, saya tahu, tubuh saya tidak
sedang gemuk, tapi bengkak!
Begitu liver diganti dan albumin normal, badan saya langsung susut. Tapi
tidak kuyu, melainkan sebaliknya: lebih segar.
Dua hari pertama pascatransplantasi, kencing saya bisa mencapai 10 liter
sehari. Sebagian karena memang banyak cairan yang masuk ke badan, sebagian lagi
karena air yang tadinya beredar bersama darah, sudah bisa dipisahkan oleh
albumin dan dikirim ke kandung kemih.
Platelet atau trombosit saya, yang seharusnya minimal 200, pernah tinggal
55. Dengan platelet serendah itu, saya terancam mengalami perdarahan dari mana
pun: mulut, hidung, lubang kemaluan, telinga, dan mata.
Untuk menyelamatkan saya dari ancaman itu, dokter lantas memotong limpa
saya hingga sepertiga. Setelah limpa dipotong, platelet saya naik sampai 120.

  2  
Sayangnya, itu tidak lama. Perlahan-lahan angka itu menurun secara konstan.
Terakhir tinggal 70. Hampir sama dengan sebelum limpa saya dipotong.
Tapi, setelah liver saya diganti, platelet saya langsung naik. Tiga hari lalu
angkanya sudah mencapai 260. Normalnya, antara 200 sampai 300.
Mengapa saya memutuskan ganti liver? Tidakkah takut gagal? Mengapa liver
saya sakit? Separah apa? Bagaimana jalannya penggantian liver? Bagaimana
mempersiapkan diri? Bahkan sampai ke doa apa yang saya ucapkan? Semua akan
saya tulis untuk berbagi pengalaman dengan pembaca.

26 Agusutus 2007

Cerita ini mungkin akan agak panjang (bisa 50 hari). Bukan karena saya mau
berpanjang-panjang, tapi karena redaksi membatasi saya untuk menulis hanya
sekitar 1.000 kata di setiap seri.
Berikut saya mulai dengan seri pertama ini. (Nama-nama dokter, rumah
sakit, sengaja baru akan disebutkan di bagian-bagian akhir tulisan):
***
Di umur 55 tahun ternyata saya harus “turun mesin”. Begitu parahnya
kerusakan organ-organ di dalam badan saya sampai harus pada keputusan
menambal seluruh saluran pencernaan saya, memotong sepertiga limpa saya, dan
mengganti sama sekali organ terbesar yang dimiliki manusia: liver.
Turun mesin total itu harus diatur sedemikian rupa karena mesin yang sama
harus tetap menjalankan tugas sehari-hari, yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Maka, saya pun mulai membuat jadwal turun mesin. Dimulai yang paling
membahayakan agar yang penting nyawa bisa selamat dulu.
Ternyata saya memang terancam meninggal dunia dari tiga jenis penyakit.
Yang pertama adalah yang bisa membuat saya meninggal mendadak kapan saja
tanpa penyebab apa pun. Tiba-tiba bisa saja saya muntah darah dan tak tertolong
lagi. Ini karena seluruh saluran pencernaan saya, mulai tenggorok sampai perut
sudah penuh dengan varises yang menor-menor karena sudah matang dan siap

  3  
pecah. Ibarat kumpulan balon-balon kecil berwarna merah, yang kulitnya sudah
tipis seperti balon yang ditiup terlalu keras. Kapan meletusnya bisa setiap saat.
Saat meletus itulah orang akan muntah darah dan tak tertolong lagi.
Penyakit kedua, yang bisa membuat saya meninggal dalam hitungan bulan
adalah jumlah darah putih saya yang terus merosot. Mengapa? Karena limpa saya
sudah membesar tiga kali lipat dari ukuran normal. Limpa yang tugasnya antara lain
mengubur sel-sel darah merah yang mati (dengan darah putih yang diproduksinya),
tidak mampu lagi berfungsi baik. Platelet saya yang seharusnya antara 200-300,
hari itu tinggal 60. Itu pun dalam posisi terus menurun. Pada penurunan beberapa
poin lagi, saya akan menderita perdarahan dari mana saja: bisa dari hidung, dari
telinga, dari mulut, atau dari mata. Limpa sendiri bisa juga pecah karena sudah tidak
kuat lagi akibat terus membesar.
Yang ketiga, ya liver saya sendiri, yang ternyata sudah amat rusak. Setelah
liver saya dibuang setahun kemudian, tampaklah nyata bahwa liver saya sudah
seperti daging yang dipanggang terlalu masak. Padahal, seharusnya mulus seperti
pipi bayi. Ini yang bisa membuat saya meninggal dunia dalam hitungan dua-tiga
tahun. Bahkan, sebenarnya liver itu yang membuat limpa saya membesar dan
membuat seluruh saluran darah di sepanjang pencernakan saya penuh dengan
balon-balon darah yang siap pecah.
Maka, satu per satu harus saya selesaikan. Saya mulai dari mengatasi agar
tidak terjadi muntah darah. Lalu, setengah tahun kemudian memotong limpa saya.
Dan, terakhir 6 Agustus lalu, beberapa hari sebelum ulang tahun ke-56 saya, saya
lakukan transplantasi liver: membuang liver lama, diganti dengan liver baru.
Semua proses itu memakan waktu hampir dua tahun. Ini karena saya tetap
harus menjalankan aktivitas, baik sebagai pimpinan Grup Jawa Pos maupun
sebagai CEO perusahaan daerah Jatim yang lagi giat-giatnya membangun tiga
proyek besar: pabrik conveyor belt, gedung ekspo, dan shorebase.
Semua tahap itu saya jalani dengan keputusan yang mantap, tanpa keraguan
sedikit pun mengenai kegagalan hasilnya. Banyak teman yang bertanya mengapa
saya bisa tegas membuat keputusan yang begitu membahayakan hidup saya. Saya

  4  
jawab bahwa percaya sepenuhnya dengan takdir -sesuai dengan tafsir yang saya
yakini, yakni mirip dengan uraian buku Saudara Agus Mustofa Takdir Itu Bisa
Berubah.
Faktor lain adalah bahwa rupanya, kebiasaan saya membuat keputusan
berani, keputusan besar dan keputusan yang cepat di perusahaan ikut
memengaruhi keberanian membuat keputusan dengan kualitas yang sama untuk
diri sendiri. Lalu, keyakinan bahwa saya mampu me-manage hal-hal yang rumit
selama ini, tentu juga akan mampu me-manage kerumitan persoalan yang ternyata
ada di dalam tubuh saya.
Apakah tidak ada kekhawatiran sama sekali akan gagal dan kemudian
meninggal? Tentu ada. Tapi, amat kecil. Saya tahu kapan harus ngotot dan kapan
harus sumeleh. Keluarga saya yang miskin dan menganut tasawuf Syathariyah
sudah mengajarkan sejak awal tentang sangkan paraning dumadi (dari mana dan
akan ke mana hidup dan semua kejadian). Ini membuat saya akan ngotot
melakukan apa pun untuk berhasil, tapi juga tahu batas kapan harus berakhir.
Tentu ada penyebab lain: Banyak keluarga saya mati muda, sehingga saya
pun seperti sudah siap sejak kecil bahwa saya juga akan mati muda. Ibu saya
meninggal dalam usia 36 tahun (muntah darah). Kakak saya, yang digelari agennya
Nurcholish Madjid di Jatim untuk urusan pembaharuan pemikiran Islam, meninggal
dalam usia 32 tahun (muntah darah). Dia sering memarahi saya, mengapa masih
kecil sudah belajar filsafat/tasawuf dan mengapa sering pergi ke pondok salaf. Tapi,
tahun depannya saya masih tetap ke pondok salaf Kaliwungu, 25 km sebelah barat
Semarang.
Paman saya dan pakde saya juga meninggal muda. Penyebabnya juga sama:
muntah darah. Muntah darah sebenarnya bukan penyebab, tapi begitulah orang di
desa mengatakannya, karena tidak tahu bahwa semua itu berawal dari persoalan
liver.
Tapi, ada juga sedikit harapan bahwa saya bisa berumur panjang: Bapak saya
meninggal dalam usia 93 tahun. Kakak tertua saya yang amat baik, Khosiyatun,

  5  
yang juga ketua umum Aisyiah Kaltim, kini berumur hampir 70 tahun dan masih
aktif mengajar di SD swasta di Samarinda. Entahlah, saya ikut yang mana.

Tiga Jam Jelang Operasi Masih


Ditawari ’Take Over’ Koran

27 Agustus 2007

Mudah-mudahan rencana operasi kali ini tidak gagal lagi. Yu Shi Gan Xian
Sheng (nama saya di Tiongkok), besok mendapat giliran operasi. Itu kata seorang
dokter di rumah sakit ini pada Minggu 5 Agustus 2007 kepada saya. Dia memakai
istilah “mudah-mudahan tidak gagal lagi” karena memang sudah beberapa kali saya
diberi tahu dapat giliran operasi, tapi selalu tertunda karena liver yang datang tidak
cocok untuk mengganti liver saya.
Kali ini kelihatannya cocok. Golongan darahnya sama. Juga sudah dinilai
akan memenuhi syarat untuk ditransplantasikan ke saya. Harapan bahwa kali ini
tidak gagal lagi kian besar setelah sore harinya, petugas cukur datang ke kamar
saya. Dia harus mencukur rambut yang ada di badan saya, sebagai salah satu syarat
dilakukannya operasi besar. Tugasnya sore itu ringan sekali karena hanya perlu
mencukur rambut di sekitar kemaluan. Saya tidak punya rambut di dada atau di
paha.
Saya lalu membayangkan bagaimana dengan pasien yang punya bulu dada
lebat dan cepat tumbuh kembali. Misalnya, seperti yang banyak dimiliki pasien dari
negara-negara Arab.
Saya juga membayangkan bagaimana kalau bulu dada itu cepat tumbuh,
sementara luka akibat sayatan yang panjang di situ belum menyatu kembali. Tapi,
bayangan-bayangan saya itu lenyap karena tiba-tiba tukang cukur menyatakan

  6  
tugasnya sudah selesai. Sebentar dan sederhana sekali tugasnya untuk saya malam
itu.
Meski itulah malam menghadapi operasi besar, saya tidak punya
kekhawatiran apa-apa. Malam itu saya tidur nyenyak sebagaimana biasa. Tidak
punya perasaan galau sedikit pun, meski saya akan menjalani penggantian organ
terbesar dalam tubuh seorang manusia. Sore sebelum tidur, saya potong rambut.
Pendek sekali, nyaris gundul. Saya ingin agar setelah operasi kelak, kalau mau cuci
rambut lebih gampang.
Bangun pagi 6 Agustus 2007, saya bertanya kepada perawat kira-kira
operasinya jam berapa. Setidaknya jam berapa harus berangkat ke ruang operasi.
Perawat belum bisa menjawab. Memang jadwal transplantasi besar seperti ini tidak
gampang dibuat.
Karena itu, saya lantas mandi lebih bersih daripada biasanya. Saya tidak
ingin ada kuman yang menempel di badan saya yang akan menjadi penyebab infeksi
setelah operasi. Tentu ini kurang masuk akal, karena dalam proses operasi ada
prosedur sterilisasi di badan saya. Yakni, seluruh badan saya akan diolesi cairan
antiinfeksi yang biasanya berwarna merah kecokelatan itu.
Pagi itu saya sudah tidak boleh makan apa pun. Perut harus kosong sejak
malamnya. Namun, sekitar pukul 09.00 perut saya masih harus dibesihkan dari
kotoran dengan cara dimasuki cairan bening sekitar seperempat liter melalui
pantat. Kurang dari lima menit kemudian saya lari ke toilet karena semua isi perut
seperti mau keluar.
Setengah jam kemudian dilakukan lagi hal yang sama. Di toilet saya lihat tak
ada lagi benda apa pun yang keluar kecuali air bening yang dimasukkan tadi. Maka
saat itu dianggap perut saya sudah bersih. Beberapa sahabat penting saya di
Tiongkok datang. Terutama Mr Guo yang sejak 10 tahun lalu mengangkat saya
sebagai adik kelima, dan saya mengangkatnya sebagai kakak ketiga. Kakak pertama
adalah seorang pensiunan jenderal polisi yang juga tinggal di kota ini.
Pukul 09.30 saya diberi tahu tentang kepastian operasi. “Bapak harus masuk
ruang operasi pukul 14.00,” kata seorang perawat. Alhamdulillah, kata saya dalam

  7  
hati. Kalau tidak, bagaimana dengan rambut yang telanjur dicukur? Apa saya akan
minta ditempelkan lagi?
Prioritas saya kemudian adalah menghubungi kantor, kakak saya yang di
Samarinda, adik saya yang di Madiun, dan beberapa pemegang saham. “Saya akan
operasi jam 14.00 nanti,” tulis saya di sms.
Kepada kakak saya yang di Samarinda, saya bicara langsung melalui telepon.
Saya harus hati-hati menjelaskannya. Itu kakak saya yang amat baik hatinya. Dia
pernah menyerahkan seluruh gajinya sebagai guru SD untuk biaya sekolah dan
hidup saya selama lebih dari lima tahun. Itu sebagai tanggung jawabnya karena dia
harus pergi meninggalkan kami tanpa ibu di Magetan untuk pergi ke Kaltim, ikut
paman saya. Dia merasa kasihan saya hidup dengan Bapak yang tidak punya
penghasilan tetap. Apalagi, masih ada satu adik lagi yang masih kecil. Di Kaltim dia
harus mengajar di dua sekolah agar masih punya penghasilan untuk hidupnya
sendiri.
“Mbakyu, nanti sore saya harus operasi,” kata saya. “Operasi apa?” tanyanya.
Saya tidak berani menjelaskan apa adanya, khawatir mengganggu pikirannya.
“Saya akan operasi, agar tidak sampai terjadi seperti yang mengakibatkan
ibu dan Mbak Sofwati meninggal muda,” kata saya.
Mbak Sofwati adalah kakak saya yang meninggal umur 32 tahun setelah
muntah darah. Padahal, dia kami jagokan sebagai tokoh keluarga. Orangnya pintar
dan karirnya bagus. Saat mahasiswa, dia jadi ketua Korps Himpunan Mahasiswa
Islam Wanita Jatim.
“Ya, saya doakan semoga berhasil,” katanya datar. Dia tidak saya beri tahu
betapa berisikonya penggantian liver ini.
Dalam waktu sekejap sms pemberitahuan operasi itu rupanya menyebar,
sampai ke anak perusahaan. Mulai Aceh sampai Jayapura. Juga beredar di antara
teman-teman. Ini saya ketahui dari sms yang segera mengalir ke telepon saya.
Semua mengirimkan doa untuk keberhasilan operasi saya. Bahkan, SMS dari
Bambang Sujiyono, seniman Surabaya itu, sangat dramatik. Dia kaget saya kok tiba-
tiba memberitahunya akan operasi besar. Dia menangis dalam SMS-nya.

  8  
“Allah,” tulisnya, “Selamatkan nyawa rekan saya ini. Kalau perlu, tukar
dengan kematian saya.” Bambang memang orang yang sangat humanis. Dia sendiri
dalam keadaan sakit jantung.
Saya balas tangisannya itu dengan tegar dan setengah guyon. “Mas
Bambang, di rumah sakit ini hampir tiap hari juga dilakukan operasi penggantian
jantung,” tulis saya.
“Juga operasi penggantian ginjal dan organ yang lain,” tambah saya. Lalu dia
tidak emosional lagi. Dia justru bertanya berat mana transplantasi ginjal dibanding
liver. “Transplantasi ginjal itu sekarang sudah dianggap biasa. Liver paling sulit,”
jawab saya.
Sekitar pukul 10.30 saya terima sms dari Jakarta. Seorang teman lama
menawarkan agar saya membeli tabloidnya yang mengalami kesulitan. Dia bilang,
tabloid itu akan sukses kalau di tangan saya. Saya balas sms itu, agar dia menunggu
keputusan saya beberapa minggu lagi.
Setengah jam kemudian, teman lama yang lain, juga kirim sms. Isinya: apakah
saya berminat mengambil alih koran berbahasa Inggris yang terbit di Jakarta? Saya
jawab: saya perlu informasi lebih lengkap, dan dia saya minta kirim email.
Tanpa tahu bahwa saya segera memasuki meja operasi yang bisa memakan
waktu 12 jam dan entah apa hasilnya, seorang direksi saya di Jakarta menanyakan
lewat sms apakah dokumen tender listrik yang disiapkan sudah saya tanda tangani.
Sesaat sebelum saya berganti baju dengan baju operasi, saya masih sempat
membalas sms itu: tidak perlu saya yang tanda tangan. Saya lantas memberi tahu
siapa yang bisa menggantikan tanda tangan saya. Lalu petugas pembawa baju
operasi saya datang membuka bungkusan sterilnya.

  9  
Banyak Yang Doakan Panjang-
Panjang, Saya Berdoa Pendek

28 Agustus 2007

PUKUL 12.00 Senin (6/8) siang itu saya sudah diminta melepas baju saya,
pertanda waktu operasi sudah akan tiba. Diganti baju kertas biru muda. Kepala
saya juga dipasangi topi kertas dengan warna yang sama. Saya pun sudah siap
mental segera menuju ruang operasi di lantai 13.
Tapi, SMS masih terus mengalir masuk. Teman-teman Jawa Pos, entah siapa
yang punya inisiatif, lagi berkumpul di rumah saya di belakang Graha Pena
Surabaya. Mereka akan melakukan sembahyang dan doa bersama. Saya segera
menelepon Misbahul Huda, Dirut Percetakan Temprina, yang akan menjadi imam
pada acara itu. Saya minta suara teleponnya dibesarkan. Agar, semua yang hadir di
rumah saya bisa ikut mendengar kata-kata saya. Setelah telepon siap, saya
bertanya kepada yang hadir: apakah ada pertanyaan? “Saya siap menjawab
pertanyaan apa pun,” kata saya.
Salah seorang di antaranya bertanya apakah saya dalam kondisi siap. Saya
jawab, saya siap sekali. Ada yang bertanya, kira-kira operasinya berlangsung
berapa jam? Saya jawab sekitar 12 jam. Memang begitulah yang dikatakan dokter
kepada saya, berdasarkan pengalaman mereka.
Ada lagi beberapa pertanyaan dan harapan yang disampaikan dengan penuh
suasana prihatin. Untuk membuat agar suasana mereka tidak sedih, saya tutup
pembicaraan saya dengan kata-kata, “Sampai jumpa minggu depan.” Maksud saya,
kira-kira saya perlu waktu satu minggu untuk bisa bicara lagi dengan teman-teman
itu: satu hari operasi (pasti saya tidak bisa bicara), tiga hari di ICU (juga pasti belum
bisa bicara), dan dua hari memulihkan badan. Genap satu minggu, saya pikir, saya
sudah akan bisa bicara lagi. Setelah tidak ada pertanyaan, telepon saya tutup.

  10  
SMS terus mengalir masuk. Dari Madiun menceritakan bahwa keluarga
tasawuf sathariyah lagi berkumpul untuk ber-zikir-pidak, yakni mendengungkan
kata “hu” bersama-sama sebanyak 99.000 kali. Tentu dengan sistem borongan.
Artinya, kalau yang mengucapkan lebih banyak orang, waktu yang diperlukan tidak
perlu teralu lama. Dengungan “hu” adalah hasil compression (untuk meminjam
istilah software komputer) dari kalimat syahadat. Kalau di-decompression, kata
“hu” itu akan menjadi kalimat panjang: aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah,
dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusam Allah. Mungkin, kalau harus
mengucapkan kalimat yang begitu panjang sebanyak 99.000 kali dirasa akan
memakan waktu yang lama sekali, sehingga perlu di-compress menjadi satu
dengungan “hu” saja. Siapa menyangka bahwa zikir pun sejak dulu sudah di-
compress seperti itu.
Tapi, sistem compression zikir seperti inilah yang banyak dikecam aliran
tasawuf lain dan terutama oleh kalangan syariah formal. “Kalimat syahadat kok
dipadatkan,” kata mereka. Ini seperti juga Bung Karno yang dikecam telah
menyelewengkan kemurnian Pancasila yang dia temukan sendiri. Yakni, ketika
Bung Karno meng-compress Pancasila yang panjang itu menjadi satu kata yang
simpel dan pas: gotong royong.
SMS juga masuk dari teman-teman Kristen dan Katolik. Mereka
mengirimkan doa-doa yang saya ketahui diambilkan dari Alkitab. Ibu Eric Samola,
istri mendiang Pak Eric Samola, yang dulu punya inisiatif mengambil alih Jawa Pos
dari keluarga The Chung Shen, mengirimkan doa paling panjang.
Tokoh Buddha Surabaya juga mengirim SMS dan memberitahukan bahwa
hari itu berkumpul lebih 1.000 penganut Buddha di shi mian fo (Buddha empat
wajah) di Kenjeran. Mereka akan berdoa terus selama saya dioperasi. Karena itu,
dia minta dikabari kalau operasi sudah selesai. Kalau tidak, doanya
tentu tidak akan dihentikan. Saya berpesan kepada istri agar jangan lupa
memberi tahu mereka nanti. Tempat ibadah itu memang saya yang meresmikan
beberapa tahun lalu.

  11  
Teman-teman dari penganut aliran kebatinan Sapta Dharma juga mengirim
SMS, bahwa siang itu 200-an tokohnya berkumpul di Pujon, Malang. Mereka
melakukan doa berdasar kepercayaan mereka untuk keberhasilan operasi saya.
Demikian juga penganut aliran Sai Baba, mengirimkan doa panjang yang biasa
diucapkan Sai Baba di India sana.
Pukul 14.00 kurang 15 menit, kereta brankar sudah datang dengan
beberapa orang yang berbaju biru muda. Itulah petugas ruang operasi. Saya harus
segera berbaring di kereta itu. Sebenarnya saya bisa berjalan sendiri ke ruang
operasi. Badan saya sangat sehat. Tapi, peraturan tidak membolehkannya.
Saat saya sudah berbaring di kereta, Pak Mustofa, akuntan terkemuka
Surabaya, telepon minta bicara. Ternyata, dia lagi makan siang dengan para
pengusaha teman saya di Hotel Shangri-La Surabaya. Lalu, saya beri tahu bahwa
saya sudah tidak punya waktu bicara. Saya sudah di atas kereta yang siap
berangkat ke ruang operasi. Pak Alim Markus, yang rupanya ikut makan siang,
memaksa bicara untuk memberi dorongan semangat agar saya kuat memasuki
ruang operasi. Alim Markus juga pernah tiba-tiba sakit yang amat membahayakan
hidupnya. Tapi, semangatnya untuk sembuh luar biasa. Saya sering mengatakan
padanya, semangatnya itulah yang ikut mendorong saya punya semangat yang
sama.
Istri saya terus komat-kamit. Rupanya berdoa dengan serius. Anak laki-laki
saya sibuk memotret. Saudara angkat saya, Mr Guo dan sahabat karib saya Robert
Lai dari Singapura, memegangi tangan saya. Kereta pun didorong keluar dari ruang
saya di lantai 11 untuk dibawa ke lift naik ke lantai 13. Ketika melewati kamar
pasien dari Jepang, dia terlihat mengepalkan tangan ke arah saya, tanda ikut
memberi semangat.
Tak sampai 5 menit saya sudah tiba di lobi lantai 11, di depan lift yang akan
membawa saya ke lantai 13. Ada lima lift di situ. Dua lift ukuran normal, tiga lift
ukuran besar untuk mengangkut kereta pasien. Lift terbuka, tombol 13 dipencet,
panah naik menyala. Zoom! Tibalah saya di lantai 13.

  12  
Istri, anak, saudara angkat saya, dan Robert Lai mengantar ke lantai 13, tapi
hanya bisa sampai di pintu tertentu. Setelah itu semua harus melepaskan tangan
dari tubuh saya. Mata istri saya kelihatan sembap. Juga mata Robert Lai.
Robert Lai adalah orang yang rajin berpesan kepada siapa pun, agar saat
mengantar saya ke lantai 13 nanti, jangan ada yang menangis. Juga jangan ada yang
mengeluarkan air mata. Tapi, saya lihat dia sendiri ternyata terisak-isak ketika
melepas saya untuk dibawa petugas ke tempat yang dia tidak bisa lagi menyertai
saya.
Sambil menahan tangis, dia akhirnya berteriak: “jia you!” tiga kali. “Jia”
artinya tambah. “You” artinya bensin. Tapi, “jia you” dalam bahasa Mandarin berarti
“semangatlah!” .
Lalu pintu ditutup. Saya tidak bisa lagi melihat istri, anak, Saudara Guo, dan
Robert Lai. Tinggal saya dan beberapa petugas yang terus mendorong kereta itu ke
ruang operasi.
***
Kereta didorong amat cepat. Rupanya saya harus segera tiba di ruang
operasi, karena sedikit agak terlambat dari jadwal. Saya amati lorong-lorong apa
saja yang dilewati kereta ini. Oh, harus menyeberang ke gedung sebelah, rupanya.
Gedung rumah sakit ini memang terdiri atas dua tower, masing-masing berlantai
15. Di lantai 12 sampai 14, ada lorong untuk menyeberang dari gedung kiri ke
gedung kanan. Saya akan dioperasi di gedung kanan.
Seluruh lantai 13 adalah ruang operasi. Rumah sakit ini, dalam waktu
bersamaan, bisa melakukan 30 operasi penggantian organ. Mulai ganti ginjal, mata,
jantung sampai ganti liver seperti saya.
Dalam perjalanan sepanjang lorong-lorong itu saya menyadari bahwa saya
tadi belum sempat berdoa. Saya harus berdoa. Saya tidak mau ada kesan bahwa
saya sombong kepada Tuhan. Tapi, segera saja saya terlibat perdebatan dengan diri
saya sendiri: harus mengajukan permintaan apa kepada Tuhan? Bukankah manusia
cenderung minta apa saja kepada Tuhan sehingga terkesan dia sendiri malas
berusaha? Saya tidak mau Tuhan mengejek saya sebagai orang yang bisanya hanya

  13  
berdoa. Saya tidak mau Tuhan mengatakan kepada saya: untuk apa kamu saya beri
otak kalau sedikit-sedikit masih juga minta kepada-Ku?
Karena itu, saya memutuskan tidak akan banyak-banyak mengajukan doa.
Saya tidak mau serakah. Kalau saya minta-minta terus kepada Tuhan, kapan saya
menggunakan pemberian Tuhan yang paling berharga itu: otak? Maka saya
putuskan akan berdoa se-simple mungkin.
Tapi, masih ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul. Apakah saya harus
berdoa dengan biasa saja atau harus sampai menangis? Kalau doa itu saya
sampaikan biasa-biasa saja, apakah Tuhan melihat saya sedang serius memintanya?
Tapi, kalau harus saya ucapkan sampai menangis dan mengiba-iba, apakah Tuhan
tidak akan menilai begini: lihat tuh Dahlan. Kalau sudah dalam posisi sulit saja dia
merengek-rengek setengah mati. Tapi, nanti akan lupa kalau sudah dalam keadaan
gembira! Saya tidak ingin Tuhan memberikan penilaian seperti itu.
Apalagi, saya juga tahu bahwa sistem file di kerajaan Tuhan tidak
membedakan doa yang dikirim secara biasa, secara khusus maupun secara tangis-
menangis. Tuhan punya sistem file-Nya sendiri, entah seperti apa.
Waktu terus berjalan. Perdebatan di hati saya belum selesai. Padahal, kereta
sudah hampir sampai di ruang operasi. Akhirnya saya putuskan berdoa menurut
keyakinan saya. Satu doa yang pendek dan mencerminkan kepribadian saya
sendiri: Tuhan, terserah engkau sajalah! Terjadilah yang harus terjadi. Kalau saya
harus mati, matikanlah. Kalau saya harus hidup, hidupkanlah! Selesai. Perasaan
saya tiba-tiba lega sekali. Plong. Kereta pun tiba di depan ruang operasi.

  14  
Sudah Tiga Jam Dimatikan, Belum
Juga Di-”Garap”
29 Agustus 2007

Ketika memasuki ruang operasi, saya tertegun. Ruangnya sangat bersih,


kinclong (karena didominasi stainless steel), dan modern. Begitu masuk, yang
terdengar adalah musik soft-rock berbahasa Mandarin yang lagi digemari anak
muda sekarang.
Belakangan saya tahu judul lagu tersebut adalah Mei Fei Se Wu yang artinya
“bulu mata menari- nari”, yang dibawakan oleh penyanyi top Hongkong Zheng Xiu
Wen. Suara musik itu cukup keras sehingga suasananya ingar-bingar. Rupanya,
sambil menunggu kedatangan saya, beberapa petugas muda menyenangi lagu itu.
Suasananya pun menjadi seperti di sebuah disko, bukan seperti di sebuah tempat
yang menyeramkan.
Mata saya terus beredar dari dinding ke dinding. Dari alat ke alat. Saya ingin
tahu apa saja yang ada di ruang itu agar, kalau operasi berhasil, saya bisa
menuliskan deskripsinya secara baik.
Dokter belum pada datang, karena memang pada tahap ini semua pekerjaan
masih urusan perawat. Beberapa perawat membicarakan saya. “Ini orang asing, kita
harus pakai bahasa apa?” ujar salah seorang di antara mereka. “Dia orang
Indonesia, tapi bisa berbahasa Mandarin,” jawab yang lain.
Maka saya sela pembicaraan mereka: Ya, saya bisa bahasa Mandarin sedikit-
sedikit. Mereka merasa lega, lalu memberikan beberapa perintah mengenai posisi
badan saya. Harus bergeser sini dikit dan harus naik sedikit. Lalu, lengan saya
diperiksa seperti akan memasang selang. Melihat tangan saya sudah dipasangi
selang selama 3 bulan lebih, perawat memutuskan tidak mau pakai itu. Maka, dia
minta lengan kanan saya dimasuki jarum untuk memasukkan beberapa zat kimia ke
badan saya.

  15  
Musik soft-rock masih terus ingar-bingar. Beberapa perawat mengikuti
suara musik itu dengan suara mulutnya tanpa kata-kata. Rupanya dia sangat
menikmati lagu itu. Perawat yang lain mulai memasukkan cairan tertentu ke lengan
saya. Hanya dalam beberapa saat, saya tidak lagi mendengar suara musik itu. Juga
tidak mendengar apa-apa lagi. Saya sudah dimatikan untuk persiapan operasi. Saya
baru akan dihidupkan lagi, nanti, 18 jam kemudian.
***
Sejak saya masuk ruang operasi pukul 14.00, istri, anak, dan sahabat saya
Robert Lai kembali ke kamar saya di lantai 11. Tepatnya kamar 1102. Di kamar ini
mereka menantikan perkembangan operasi saya. Perawat akan selalu
mengabarkan apa pun yang terjadi di ruang operasi.
Sementara menunggu kabar, Robert yang sudah 11 bulan menemani saya ke
mana pun pergi memutuskan untuk membersihkan kamar saya. Rumah sakit ini,
terutama gedung baru ini, memang sudah sangat bersih. Tapi, Robert ingin kamar
saya lebih bersih lagi. Tidak boleh ada virus atau sumber virus yang akan
membahayakan pascaoperasi saya. Sudah diketahui bahwa virus pascaoperasi
adalah pembunuh paling utama bagi pasien yang baru melakukan transplantasi
organ.
Rumah sakit juga sudah memberi kami buku panduan mengenai bagaimana
menjaga agar tidak terkena virus. Buku itu berbahasa Mandarin, lalu kami
terjemahkan ke dalam bahasa Inggris agar seluruh keluarga saya memahami isinya.
Penerjemahan ini sangat bermanfaat karena banyak sekali pasien dari negara-
negara Arab dan Pakistan yang kemudian minta kopinya kepada kami.
Kamar saya di lantai 11 terdiri atas dua ruang. Ada ruang tidur pasien
dengan kamar mandi khusus dan ruang pakaian. Lalu, ada satu ruang tamu yang
besar di sebelahnya. Di ruang tamu ini ada satu set TV besar, dispenser air mineral,
satu set sofa, lemari es besar, dan satu set dapur kering. Di dapur kering ini ada
microwave, rice cooker, water boiler, dan keran panas dingin.
Di ruang tamu ini ada kamar mandi dan toiletnya. Istri saya tidur di ruang ini.
Yakni, di sebuah kursi yang kalau siang bisa untuk menambah kapasitas sofa, tapi

  16  
kalau malam bisa dipanjangkan menjadi tempat tidur biasa. Di belakang sofa, ada
satu meja makan dari kaca besar untuk makan bersama. Tapi, kami tidak makan di
situ. Meja ini saya pakai untuk “kantor dalam pengasingan”. Kami pasang komputer,
laptop, printer, dan internet. Saya memang dapat menggunakan internet kecepatan
tinggi di ruang saya ini.
Dari kamar inilah saya bisa membaca semua laporan perusahaan, mengirim
dan menjawab e-mail, dan tak jarang juga mengadakan rapat. Terutama rapat
dengan partner-partner usaha yang dari Tiongkok. Misalnya, saya harus panggil
partner yang membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Kalimantan
untuk mencari jalan agar proyek selesai sesuai dengan jadwal. Sebab, krisis listrik di
daerah itu sudah tidak ketulungan.
Di dinding-dinding kamar tamu yang kosong, lantas saya pasangi asesori.
Dinding sebelah kanan saya tempeli peta Tiongkok yang besar sehingga mudah
bagi saya untuk melihat negara ini secara keseluruhan. Di dinding satunya saya
pasang peta Indoensia. Lalu, di belakang meja besar saya pasangi white board.
Bukan saja untuk rapat, juga untuk saya pakai belajar bahasa Mandarin.
Sambil menunggu giliran operasi yang tidak menentu waktunya, saya
memang memutuskan untuk meneruskan belajar bahasa Mandarin. Sehari empat
jam: pagi dua jam, sore dua jam. Saya mendatangkan guru dari IKIP di kota ini. Tiga
orang guru secara bergantian mengajari saya bahasa Mandarin.
Saya juga beli proyektor yang saya hubungkan dengan laptop yang software-
nya Mandarin. Ini saya pakai untuk latihan menulis cerita dalam bahasa dan tulisan
Mandarin. Lalu, dari kursi di sebelah saya, guru saya tinggal melihat sorotan
proyektor. Lalu, memberikan koreksi mana yang saya salah dalam menggunakan
kata-kata, atau salah memilih huruf.
Sampai sehari sebelum operasi saya masih “masuk kelas”, seperti besok tidak
akan terjadi apa-apa. Ada juga sedikit tebersit perasaan, untuk apa ya saya susah-
susah belajar begini. Toh, kalau operasi gagal, besok saya sudah tidak akan bisa lagi
memanfaatkan hasil belajar saya ini. Malaikat toh akan bertanya kepada saya di
akhirat sana dengan (eh, pakai bahasa apa, ya?) bahasa malaikat sendiri.

  17  
Tapi, ketika saya berada di ruang operasi, semua peralatan yang ada di
kamar ini dibersihkan. Buku- buku, koran-koran, dan kertas-kertas yang selama ini
di mana-mana diangkut ke apartemen. Semua kursi dan meja dicuci. Tempat tidur
saya lebih-lebih lagi, disterilkan. Lantainya menjadi mengilap. Bersih dan kinclong.
Dua jam setelah operasi bersih-bersih itu, perawat masuk memberikan
kabar bahwa sampai menjelang pukul 17.00 itu saya belum dioperasi. “Hah?”
gumam Robert seperti tidak percaya. Berarti sudah hampir tiga jam saya di ruang
operasi dan sudah dalam keadaan dimatikan, tapi belum juga di- ”garap”.
“Livernya baru akan datang sekitar pukul 17.00,” ujar perawat itu.

  18  
Tunggu Operasi, Suasana seperti
Siaran Langsung Sepak Bola
30 Agustus 2007

Setelah diberi tahu bahwa liver yang akan dipasangkan di dalam tubuh saya
ternyata baru akan tiba sekitar pukul 17.00, Robert Lai terperangah. “Tiwas kita
sudah tegang selama tiga jam. Ternyata belum diapa-apakan,” katanya. Robert
lantas menerjemahkan informasi dalam bahasa Mandarin itu kepada istri dan anak
saya.
“Berarti, baru 10 menit lagi livernya tiba?” tanya istri saya sambil melihat ke
jam dinding.
Dia lantas memperhatikan pintu masuk rumah sakit dari lantai 11, dari
dalam kamar saya. Istri saya ingin melihat masuknya ambulans yang mungkin
membawa liver yang akan dipasangkan ke dalam tubuh saya. Dia punya khayalan,
bahwa kalau ada suara “nguing...nguing...” masuk ke rumah sakit, pastilah itu suara
ambulans yang membawa liver.
Dari ruang tamu di kamar saya itu, siapa pun memang bisa melihat apa yang
terjadi di luar sana. Dinding kamar tersebut terbuat dari kaca. Di seberang kamar
itu terlihat gedung pertama rumah sakit yang tingginya 17 lantai. Bangunannya
dari luar mirip hotel.
Di atas gedung itu, di bagian tengahnya, terdapat tambahan tiga lantai bulat.
Lantai paling atas rata. Di situlah helikopter yang membawa pasien darurat atau
helikopter yang membawa liver yang urgen mendarat. Istri saya juga
memperhatikan puncak gedung tersebut, siapa tahu livernya dibawa dengan
helikopter.
Dari kamar itu juga terlihat simpang susun jalan layang yang melingkar-
lingkar di depan rumah sakit. Lalu, terlihat juga pemandangan sungai yang bersih
yang dipakai untuk arena mainan anak-anak serta keluarga. Dari kamar tersebut,

  19  
kalau Sabtu dan Minggu malam, sering bisa melihat pemandangan indah. Yakni,
mengudaranya kembang api berjam-jam di berbagai tempat.
Itu pertanda malam tersebut banyak pesta perkawinan. Kalau sudah ada
pesta kembang api seperti itu, kami biasanya mematikan lampu kamar, agar warna-
warni kembang apinya lebih jelas.
Istri saya kali ini tidak memperhatikan semua itu. Dia lebih memfokuskan
perhatian ke bawah, melihat keluar masuknya ambulans di pintu gerbang depan
sana. Dia mengira salah satu ambulans yang masuk pada jam-jam itu pastilah yang
membawa liver yang akan menggantikan liver saya yang sudah rusak.
Anak lelaki saya, katanya, jam-jam itu sibuk membalas SMS yang masuk.
Semua seperti tidak sabar menanyakan perkembangan operasi saya. Tentu mereka
tidak diberi tahu bahwa operasinya belum jadi dilaksanakan pada pukul 14.00.
Mereka hanya diberi jawaban “Belum ada kabar baru dari kamar operasi”.
Lamanya tidak ada “kabar baru” itu rupanya semakin membuat teman-
teman di Indonesia kian tegang. Ketegangan selama menunggu berlangsungnya
operasi digambarkan oleh Yoto, Dirut grup anak perusahaan Jawa Pos di Papua,
seperti ini: Kami tiap 10 menit SMS ke Mas Azrul (Posko di Tiongkok) atau ke Mbak
Nany Wijaya (Posko di Surabaya). Kami seperti sedang mendengarkan siaran
langsung sepak bola lewat radio, tapi dalam keadaan musuh selalu mengancam ke
gawang kita!
Semua itu saya nilai wajar karena operasi penggantian liver tidaklah
gampang. Apalagi, kegagalan transplantasi liver di Tiongkok yang dialami tokoh
seperti Nurcholish Madjid mendapat pemberitaan yang sangat besar. Kegagalan
tersebut, dan kengeriannya, seperti baru terjadi beberapa minggu lalu.
Kabar pertama dari ruang operasi masuk pukul 22.00. “Kita diminta naik ke
lantai 13. Kepada kita akan ditunjukkan sesuatu,” kata Robert kepada istri dan anak
saya dalam bahasa Melayu yang agak sulit dimengerti. “Go!” tambahnya.
Maka, Robert, istri, anak, dan saudara angkat Guo naik lift ke lantai 13.
Mereka menunggu di depan lift untuk menerima instruksi berikutnya. Tak lama
kemudian, pintu lorong tempat saya dimasukkan menuju ruang operasi sore tadi

  20  
terbuka. Sejumlah dokter membawa barang berdarah dan meletakkannya di lantai.
“Ini liver bapak yang sudah kami keluarkan,” kata seorang dokter.
Melihat “barang” tersebut, istri saya langsung lemas dan terduduk. Sesaat
kemudian, dia bersujud di dekat seonggok daging berdarah itu. Anak saya
memotretnya dari berbagai sudut. “Waktu bersujud itu, Anda mengucapkan doa
apa?” tanya saya beberapa hari kemudian. “Doa apa saja yang bisa saya ucapkan,”
ungkapnya.
Lalu, dokter menjelaskan bagaimana keadaan liver saya yang sudah
dikeluarkan itu. Digulang- gulingkannya. Lalu, menyayat-nyayatkan pisau di
beberapa tempat untuk melihat dalamnya. “Masya Allah,” kata anak saya. “Seperti
daging yang dipanggang kematangan,” ujarnya. Liver itu sudah begitu rusaknya.
Dokter lantas mengiris lagi bagian lain. Dibenggangkannya irisan itu dengan
jarinya yang masih terbungkus sarung karet. “Itu lihat. Ada kanker di dalamnya,”
kata dokter sambil jarinya menuding ke arah benda yang dimaksud. “Jepret,” anak
saya memotret lagi bagian itu.
Liver lama tersebut memang tidak boleh dibawa. Hanya boleh difoto.
Mengapa? Liver itu masih akan dimasukkan ke laboratorium untuk dianalisis lagi
lebih teliti. Bukan hanya mengenai apa saja yang ada di dalamnya, melainkan juga
untuk melihat sudah ada berapa kanker yang muncul. Dan, yang lebih penting,
apakah kankernya telanjur menyebar atau tidak. Sebab, menurut hasil MRI
sebelumnya, di dalam liver saya sudah ada tiga kanker yang besar (ukuran 6 cm, 4
cm, dan 2 cm). Lalu, masih ada dua lagi calon kanker baru. Dan, tentu mungkin
masih akan terlihat anak-anak dan cucu-cucunya.
Tapi, bagaimana persisnya keadaan liver lama saya itu, masih harus
menunggu hasil penelitian. Kami baru akan diberi tahu sekitar seminggu kemudian.
“Liver ini kami bawa kembali,” ujar dokter sambil kembali membungkusnya.
Pintu ditutup lagi, para dokter meneruskan lagi pekerjaannya,
menyelesaikan operasi terhadap saya.

  21  
Pukul 24.00, berita berikutnya disampaikan. Operasi sudah selesai. “Pak Yu
Shi Gan (baca: i-se-kan) akan segera dibawa ke ICU untuk menunggu siuman di
sana,” jelas seorang dokter kepada Robert.
“Pukul berapa akan siuman?” kata Robert. “Kira-kira 6 jam lagi,” ujar dokter.
Itu berarti saya baru akan siuman sekitar pukul 07.00 keesokan harinya.
Keluaga saya sudah lebih tenang. Demikian pula dengan seluruh rekan yang
memonitor perkembangan operasi dari Aceh sampai Papua. Dari foto mereka
ketika mendengarkan penjelasan itu, terlihat jelas bahwa wajah-wajah mereka
sudah tidak tegang. Bahkan sudah tersenyum-senyum.
Semua disampaikan anak saya kepada teman-teman yang menanyakan
perkembangan operasi saya. Suatu berita yang menggembirakan. “Suasananya
lantas seperti mendengar siaran radio pertandingan sepak bola, di mana lawan
sudah tidak memborbardir gawang kita lagi. Bahkan, sepertinya pemain kita anti
menyerang terus. Kita lantas seperti sedang menantikan terjadinya gol- gol ke
gawang lawan,” tulis Yoto di SMS-nya dari Papua.
Keluarga di Samarinda, Madiun, dan Surabaya diberi tahu perkembangan itu.
Kabar selesainya operasi juga dikirim ke umat Buddha yang terus bersemedi di
Kenjeran, Surabaya. Diteruskan juga ke warga Sapto Dharmo di Pujon. Mereka
sudah bisa menghentikan peribadatannya.
Malam itu, istri dan anak saya langsung bisa tidur. Robert kembali ke
apartemen. Saudara ketiga Guo pulang ke rumahnya. Saya tergolek menunggu
siuman di ruang ICU di lantai 12. Di situlah berbagai jenis kabel dan selang
menempel dan menancap di tubuh saya, seperti untuk sementara menggantikan
nyawa saya.

  22  
Begitu Sadar, Teriak “Saya Hidup”,
tapi Tak Terucap
31 Agustus 2007

Begitu Sadar, Teriak “Saya Hidup”, tapi Tak Terucap Suasana orang yang lagi
mau siuman selalu saja begini: Mula-mula terdengar dulu pembicaraan orang-orang
yang berada di sekitar kita. Tapi, mata tidak mau membuka. Seperti orang yang
ngantuknya luar biasa. Apalagi seperti saya, yang baru saja dibius selama 18 jam.
Suara-suara itu tambah lama tambah jelas. Ingin sekali mata melihat siapa saja yang
bersuara itu, tapi tetap saja tidak punya kemampuan membuka kelopak mata
sendiri.
Sesaat kemudian, napas terasa sesak. Seperti orang yang lagi kekurangan
oksigen. Perasaan lantas seperti setengah berharap, setengah putus asa. Berharap
karena ternyata masih bisa bernapas, putus asa karena jumlah oksigen kok seperti
tidak segera cukup dan seperti mengancam kehidupan. Rasanya kok seperti mau
mati karena kekurangan udara.
Saya yang sudah pengalaman beberapa kali dibius (meski dulu tidak sampai
18 jam seperti saat penggantian liver kali ini), sadar bahwa saya ini sedang dalam
proses dari tidak sadar ke sadar. Saya yakin bahwa saya segera mengatasi
persoalan sesak napas itu. Tapi, kok sulit sekali ya? Maka, saya tetap berusaha
sekuat tenaga. Saya lantas memberikan isyarat kepada perawat dengan tangan
saya. Antara sadar dan tidak, saya coba menggerakkan jari-jari tangan saya seperti
sedang memutar keran. Maksud saya, ini permintaan agar keran oksigen
diperbesar.
Tapi, mungkin perawat tidak melihat isyarat di tangan saya. Saya gerak-
gerakkan terus jari-jari saya dengan gerakan seperti memutar keran. Mungkin juga
yang terjadi sebenarnya tidak seperti itu. Perasaan saya saja bahwa saya sedang
menggerak-gerakkan jari, tapi sebenarnya tidak ada jari yang bergerak sama sekali.

  23  
Bahkan, sebenarnya, barangkali juga tidak ada oksigen yang dialirkan ke hidung
saya. Begitulah kalau sadar dan tidak sadar bercampur jadi satu.
Lama-lama, rasa sesak itu berkurang. Lalu, menjadi lega. Napas bisa ditarik
dengan normal seperti biasa. Mata pun lama-lama bisa membuka. Agak berat
memang, tapi ingin sekali membuka mata sebentar agar bisa melihat sekeliling.
Kelihatanlah samar-samar bahwa saya sedang di ICU. Di ruang perawatan khusus
setelah menjalani penggantian liver. Kesadaran ini datang tujuh jam setelah
operasi.
“Saya hidup,” komentar spontan yang muncul, tapi tak terucapkan. Saya
hidup. Operasi tidak gagal. Saya hidup.
Tentu saya amat bersyukur. Tapi, syukur saya tidak sampai mengabaikan
rasa hormat saya kepada mereka yang telah belajar keras di universitas dan
menggunakan akalnya secara sungguh-sungguh hingga melahirkan ilmu
pengetahuan yang sangat maju. Saya bersyukur kepada Tuhan sekaligus hormat
kepada ilmuwan.
Setelah senang karena masih hidup, barulah saya sadar bahwa begitu banyak
instrumen yang ada di sekitar tempat saya berbaring. Kabel-kabel, selang-selang,
dan saluran infus seperti bertaut-tautan. Suara tat-tit-tat-tit dari mesin-mesin
elektronik di sekitar saya mendominasi pendengaran saya.
Rasa-rasa tidak enak mulai muncul satu per satu. Mula-mula rasa dada
penuh dengan cairan lendir. Cairan itu harus segera bisa keluar sebagai dahak.
Kalau tidak, akan membahayakan paru-paru. Begitulah bunyi petunjuk yang saya
baca sebelum operasi. Untuk mengeluarkan lendir itu, saya harus berbuat seperti
membatukkan diri keras-keras. Cara demikian juga saya ketahui dari buku
petunjuk. Bahkan, sejak beberapa hari sebelum operasi, perawat sudah melatih
cara berbatuk yang bisa mengeluarkan dahak. Waktu latihan, saya meraskan tidak
ada kesulitan. “Apa sih sulitnya batuk?” kata saya dalam hati. “Uhuk! Uhuk!” Selesai.
Perawat menyatakan saya berhasil menjalani latihan dengan tingkat kelulusan
summa cum laude.

  24  
Tapi, latihan dan kenyataan ternyata sangat berbeda. Dalam praktik,
ternyata saya sulit sekali lulus. Sudah saya usahakan batuk semirip-miripnya batuk
waktu summa cum laude, tapi tidak juga berhasil. Sebagian mungkin karena saat itu
saya sudah tidak lagi punya tenaga sebaik saat latihan. Setelah hampir dua hari
tidak ada makanan apa pun yang masuk ke perut, tenaga pun rupanya ikut hilang.
Namun, saya juga takut akan bahaya dahak itu terhadap paru-paru. Saya berusaha
terus membatukkan diri. Sebatuk-batuknya.
Akhirnya broll! Dahak yang amat banyak bisa keluar. Napas terasa amat
lega. Ketika saya tanya mengapa begitu sulit saya mengeluarkan dahak itu, perawat
mengatakan bahwa itu normal saja. “Apakah saya terlalu meremehkan saat
latihan?” tanya saya. “Tidak,” kata perawat. Saya tahu, itu hanya untuk
menyenangkan hati saya. “Bagi perokok lebih sulit lagi mengeluarkan dahak itu,”
ujar perawat lebih lanjut.
Meski sudah berhasil mendapatkan dua jenis kelegaan (bisa bernapas
normal dan bisa mengeluarkan dahak dalam jumlah besar), tapi masih banyak yang
membuat badan saya sangat tidak nyaman. Karena di lubang hidung masih ada dua
selang yang dimasukkan sampai ke perut saya. Dalam dunia kedokteran, kedua
selang itu dikenal dengan sebutan sonde.
Dua selang kecil itu punya tugas sendiri-sendiri. Yang satu untuk membuang
sisa makanan dari lambung saya. Yang lain untuk mengirimkan makanan langsung
ke usus saya. Mengapa langsung ke usus? Sebab, pertama, saya belum bisa makan
sendiri. Kedua, karena pembuluh darah di esofagus (jalan makan yang
menghubungkan mulut dengan lambung), peritonium (selaput dinding perut), dan
usus saya masih rawan pecah sehingga perlu dilindungi. Ketiga, karena liver baru
saya belum bisa “cari makan” sendiri. Sehingga perlu ada yang “mencarikan.”
Selain itu, masih ada empat selang lain yang menancap di leher saya. Satu
selang masuk lewat lubang yang sengaja dibuat di bagian depan leher. Tiga lainnya
masuk lewat pembuluh darah besar di leher kanan.

  25  
Satu selang yang dimasukkan lewat leher depan -di antara tulang belikat-
gunanya untuk mengalirkan napas bantuan dan membersihkan kelebihan lendir di
paru-paru (broncho toilet).
Saya diberi napas bantuan karena sampai beberapa jam pascaoperasi, saya
kan belum bisa bernapas sendiri. Sehingga perlu dibantu. Agar “bantuan” itu bisa
cepat sampai ke paru-paru, maka diambillah jalan pintas, yakni lewat tenggorokan.
Dan karena belum bisa bernapas sendiri, maka sisa lendir di paru-paru pun
tidak bisa saya keluarkan sendiri dengan cara batuk atau berdahak, seperti yang
sudah diajarkan perawat.
Sedangkan tiga selang lainnya masuk lewat pembuluh darah besar, yang
dalam istilah kedokteran disebut dengan tri lumen atau central IV (baca : ai vi) line.
Gunanya untuk mengalirkan semacam infus yang mengandung protein dan kalori
tinggi. Infus jenis ini memang harus lewat pembuluh darah besar, tidak boleh lewat
pembuluh darah di tangan seperti biasanya orang diinfus. Sebab, konsentrasinya
sangat tinggi sehingga bisa merusak dinding pembuluh yang dilewati. Dinding
pembuluh darah utama yang leher lebih kuat sehingga cukup kuat untuk dilewati
infus jenis ini meski sampai tiga bulan secara terus-menerus.
Fungsi lain tri lumen adalah untuk memasukkan obat-obat injeksi yang harus
lewat pembuluh darah dan mengambil sampel darah. Dengan begitu, bila perawat
ingin mengambil sampel darah atau menyuntikkan obat, tak perlu lagi dengan
menusuk-nusuk tangan saya.
Yang lebih istimewa dari tri lumen adalah bisa untuk memonitor kadar air
dalam tubuh (central venus pressure=CVP). Sebab, salah satu ujung tri lumen bisa
dihubungkan dengan alat monitor yang bisa menunjukkan perubahan kadar air di
tubuh saya setiap menit, secara otomatis.
Bahwa di tangan saya masih ada semacam pentil yang biasa dihubungkan
dengan selang infus, itu bukan disiapkan untuk cairan infus atau injeksi. Melainkan
untuk transfusi (tambah darah) bila diperlukan.
Ketidaknyamanan lain yang saya rasakan saat itu adalah adanya alat
pengukur tekanan darah yang dipasang di lengan kiri. Alat itu secara otomatis akan

  26  
mencengkeram lengan saya sangat kuat setiap setengah jam sekali. Angka-angka
tekanan darah otomatis keluar di layar monitor.
Itu belum semuanya. Karena masih ada sejumlah alat dan kabel yang
ditempelkan di dada kiri dan kanan untuk mengecek denyut jantung. Kabel itu juga
terhubung dengan layar monitor. Ujung jari tangan dan kaki juga dijepit dengan alat
yang dihubungkan dengan kabel ke layar yang lain lagi.
Lengan kanan saya juga sedang dipasang jarum untuk mengalirkan berbagai
jenis infus. Ujung selang infus itu bercabang-cabang karena lima macam cairan dari
botol yang berbeda harus mengalir ke tubuh saya lewat satu jarum tersebut.
Melihat keruwetan di sekitar tubuh saya, saya mencoba untuk tidak merasa
terganggu. Saya berusaha tidak memikirkan itu. Saya justru teringat humornya
rekan Zainal Muttaqien, Dirut anak perusahan di Grup Kalimantan yang kini jadi
direktur Jawa Pos. Yakni mengenai susah payahnya seseorang untuk
menyelamatkan hidup (mungkin seperti saya ini), tapi meninggal oleh penyebab
yang amat sepele.
“Jangan sampai nanti meninggalnya justru hanya gara-gara kejatuhan
singkong di jalan raya.”
Apa kejatuhan singkong di jalan raya bisa membuat orang sampai
meninggal?
“Lha singkongnya satu truk. Lalu, truknya nabrak kita!”
Humor khas orang Surabaya. Humor ludrukan. Tapi, itu bisa mengalihkan
perhatian saya dari rasa ruwet dibeliti selang dan kabel. Setidaknya untuk
sementara.
***
Pagi tanggal 7 Agustus 2007 itu, sebenarnya, saya ingin menghitung berapa
banyak selang, botol, dan kabel yang saling berhubungan di tubuh saya. Ini agar
saya bisa menggambarkannya dengan baik kalau kelak harus menuliskannya untuk
pembaca. Namun, kesadaran saya dan tenaga saya tidak terlalu komplet pagi itu.
Orang yang baru siuman setelah dibius selama 18 jam tidak memiliki tingkat
konsentrasi yang sempurna.

  27  
Bahkan, saya tidak sepenuhnya mengerti apakah ketika saya mulai sadar itu,
waktunya sudah siang atau masih malam. Lama sekali saya menebak-nebak:
siangkah ini? Malamkah ini? Memang suasana ruang ICU sangat terang. Tapi, saya
ragu apakah itu terangnya matahari atau terangnya lampu? Saya berusaha melihat
jauh ke dinding, ke arah jam besar dipasang. Tapi, pandangan saya lamur. Pertama,
sedang tidak menggunakan kacamata. Kedua, ya memang saya belum sepenuhnya
punya kemampuan normal.
Ingin sekali saya berusaha mengalihkan pandangan ke kiri atau ke kanan,
namun tidak bisa. Saya tidak mungkin bisa menoleh karena begitu banyak selang di
leher. Apalagi kalau harus mendongakkan kepala untuk melihat sumber terang di
belakang kepala saya. Tidak mungkin. Maka, saya tidak tahu apakah terang di balik
kepala itu karena dinding kaca atau karena ada lampu yang dipasang di situ.
Satu-satunya cara untuk bisa mengetahui situasi waktu, ya hanya dengan
melihat jam di dinding sana itu. Tapi, sulit sekali untuk bisa melihat dengan jelas.
Kelopak mata berat sekali. Hanya secara timbul tenggelam saya melihat secara
kabur bahwa itu seperti jam 11.00-an. Tapi 11 malam atau 11 siang, saya sungguh
ragu dengan kemampuan saya memperkirakan.
Ketika saya lihat ada perawat mendekat, saya bertanya, “Ji dian?” Jawabnya,
“Jam sembilan”. Lalu, saya tanya lagi, “Wan shang, hai shi shang wu?” Dia jawab, jam
sembilan siang! Tahulah saya bahwa saat itu sudah pagi hari. Berarti sudah satu
malam saya tidak sadar sama sekali. Dan tahulah saya bahwa pandangan saya
benar-benar gak sempurna. Jarum yang menunjuk jam 9 saya kira menunjuk angka
11.

  28  
Tahan Tak Bergerak 24 Jam di ICU
karena Terbiasa 12 Jam di Jawa Pos
1 September 2007

SATU jam setelah sadar, saya melihat anak lelaki dan istri saya mendekat.
Oh, ini jam besuk ke ICU. Memang hanya dua orang dari pihak keluarga yang boleh
masuk ICU. Kecuali orang asing yang memerlukan penerjemah, maka ditambah
satu penerjemah.
Saya segera melambaikan tangan ke arah istri dan anak saya. Saya berusaha
untuk tersenyum sebagai ganti kata-kata bahwa saya baik-baik saja. Saya memang
tidak bisa omong jelas karena banyaknya selang di tenggorokan. Kalau saya
paksakan omong, bisa jadi tenggorokan saya akan terluka dan itu akan menyulitkan
diri saya sendiri akhirnya.
Anak saya menceritakan apa yang sedang terjadi dan apa yang mereka
lakukan malam sebelumnya. Juga menyampaikan daftar nama yang mengirim
salam dan memberikan dukungan batin lewat SMS. Misalnya, informasi bahwa
malam itu santri Pondok Langitan berdoa bersama dipimpin langsung oleh Gus
Dulloh dan Gus Maksum, putra Kiai Faqih. Juga dari Panti Asuhan Yatim Piatu
Zainudin, Baluran, Sepanjang.
Istri saya diam saja seperti tertegun melihat ruwetnya jaringan kabel dan
selang di sekitar badan saya. Setelah memotret-motret secukupnya, mereka pamit.
Tinggal saya sendiri lagi menghadapi ketidaknyamanan keadaan.
Tapi, saya sadar sepenuhnya memang begitulah pascaoperasi. Saya tidak
mengeluh. Bagian ini juga harus saya jalani dan saya lewati sebagaimana saya harus
menjalani dan melewati proses pembiusan, pembukaan rongga dada, pembuangan
liver lama, dan pemasangan liver baru. Ini bukan operasi kecil. Ini operasi besaaar!
Kalau setelah operasi ada rasa sakit, pastilah demikian. Maka, saya nikmati saja
proses ini. Mengeluh hanya akan menambah penderitaan.

  29  
Yang berat adalah menahan diri untuk tidak menggerakkan badan sama
sekali. Apalagi harus selama 24 jam. Ini agar luka-luka akibat operasi dan
penyambungan pembuluh darah di liver tidak terganggu. Saya sudah bertekad
bagian ini pun harus bisa saya lewati dengan baik. Bahwa akan amat penat, ya itu
sudah risikonya. Saya anggap saja sebagai yoga yang panjang. Atau sebagai bagian
dari zikir-pidak di tarekat Sathariyah. Kalau saya bergerak untuk tujuan
mengenakkan badan sesaat, akibatnya bisa berupa penderitaan yang panjang.
Saya pernah menjalani dua operasi sebelumnya. Dua-duanya mengharuskan
saya, kalau bisa, tidak bergerak selama delapan jam. Saya berhasil menjalani itu
dulu. Maka, kalau kali ini saya harus tidak bergerak selama 24 jam pun, saya merasa
akan mampu melakukannya. Dan, ternyata memang bisa. Penatnya bukan main,
tapi itulah bagian yang harus dijalani untuk sukses. Saat mulai membangun Jawa
Pos dulu, tiap malam saya harus berdiri di ruang layout lebih dari 12 jam. Tiap
malam. Tujuh hari seminggu. 30 hari sebulan. 360 hari setahun. Kali ini saya juga
harus mampu memenuhi persyaratan untuk tidak bergerak selama 24 jam!
Sejak kecil pun, saya sudah belajar tahan menderita. Bukan saja oleh
kemiskinan, tapi juga oleh kerasnya sikap bapak saya. Misalnya, bapak melarang
saya untuk belajar naik sepeda. Mengapa?
“Kalau sepeda itu rusak, bagaimana kita bisa menggantinya?” katanya.
Karena itu, sampai kelas tiga SMA (aliyah), saya belum bisa naik sepeda. Saya
harus sekolah sejauh 6 km dengan jalan kaki. Satu jam berangkat dan satu jam
pulang. Kadang, kalau lagi ada pelajaran bahasa Inggris hari itu, saya tetap
berangkat dari rumah, namun belok ke sungai di tengah jalan. Saya cari ikan karena
takut dengan guru bahasa Inggris. Lama-lama, tiap pelajaran bahasa Inggris, saya
berada di sungai.
Akibatnya, saya tidak naik dari kelas 1 ke kelas 2. Rapor saya merah semua,
kecuali ilmu bumi yang mendapat angka enam. Bapak marah besar. Saya juga
merasa bersalah kepada kakak saya yang telah meninggalkan gajinya untuk saya
dan adik saya. Sejak itu, saya kelihatan agak pinter di kelas. Bahkan, kemudian

  30  
sering jadi ketua berbagai kegiatan. Juga sering ditunjuk sebagai inspektur upacara
pada tiap Senin.
Tapi, cita-cita saya bukan itu. Cita-cita saya adalah “bagaimana agar punya
sepatu”. Sampai kelas 2 SMA, saya belum punya sepatu. Tiap hari ke sekolah
dengan telanjang kaki. Maka, ketika kelas 3 SMA, saya bisa beli sepatu (sepatu kets
bekas yang ujung jempolnya sudah bolong dan bagian tumitnya sudah berserabut),
saya hemat benar pemakaiannya. Hanya tiap Senin sepatu itu saya pakai. Maka,
jadilah saya inspektur upacara dengan sepatu di kaki. Banggakah saya? Ternyata
tidak. Karena dalam hati saya tersiksa. Sepatu itu menimbulkan rasa tidak nyaman
yang hebat, bahkan menimbulkan luka.
Karena itu, saya hanya tersenyum ketika melihat anak saya mempunyai
sepatu sampai lebih dari 300 dan semuanya branded alias bermerek. Dia memang
hobi mengoleksi sepatu. Kalau beli sepatu, dia tidak ingin kotak dan labelnya
dibuang. Dia juga tidak pakai sepatu itu. Hanya dia jejer di lantai rumah, untuk
dipandang setiap hari. Begitu penuhnya sehingga istrinya suatu saat bilang kepada
saya, “Sampai jalan masuk ke kamar tinggal satu galengan (pematang).”
Saya juga pernah dipukuli bapak dengan sapu. Mula-mula, saya menangis.
Tapi, saya pikir tidak ada gunanya. Saya diam dan menikmati pukulan itu. Sambil
merasa memang saya bersalah. Ternyata, bapak malah menghentikan pukulannya.
Ini gara-gara saya sering menggunakan alat-alat pertukangannya untuk ndalang.
Bapak sangat sayang pada alat pertukangannya. Kalau tidak lagi ada orang yang
minta memperbaiki rumahnya, ayah menggosok-gosok alat-alat itu sampai tajam.
Namun, suatu hari, anak-anak pasah itu (alat untuk menghaluskan kayu) saya
gandeng-gandeng, dalam posisi menumpuk. Kalau disentuh, akan timbul bunyi
“crek-crek”. Satu bunyi yang penting dalam memainkan wayang. Kecrek itulah,
yang saya pasang di kotak kayu. Saya duduk mendalang di sebelahnya. Kaki saya
dalam posisi akan sering menyentuh kecrek tersebut sehingga bisa menimbulkan
bunyi “crek-crek”. Begitulah, kelirnya terbuat dari sarung saya. Gamelannya adalah
mulut beberapa teman sepermainan. Wayangnya terbuat dari rumput. Dan,
kecreknya dari alat pertukangan ayah.

  31  
Ayah bukan hanya marah karena alat-alat cari uangnya dipakai secara salah,
tapi juga karena di kotak itu ternyata ayah menyimpan uang. Dan, uang itu ikut
saya ambil untuk saya belikan dawet. Padahal, meski hanya cukup untuk beli dawet
(minuman khas di desa), tapi itulah satu-satunya tabungan ayah.
Puluhan tahun saya menderita, kata saya dalam hati, kalau hanya akan
ditambah 24 jam di ICU ini, apalah beratnya.
Perawat ICU memuji ketahanan saya. Karena itu, tangan saya tidak perlu
diikat. Banyak pasien yang tangan dan badannya harus diikat karena selalu
berusaha untuk bergerak. Bahkan, ada yang mungkin tidak sadar, tangannya
berusaha mencabut selang-selang yang memenuhi tenggorokannya. Saya pilih
menjalani proses tidak bergerak dengan kesadaran sendiri daripada harus diikat
seperti itu.
***
Sebenarnya, masih ada tiga selang lagi yang juga amat mengganggu. Selain
karena ukurannya yang cukup besar, juga lantaran ujung dua dari tiga selang-
selang itu dimasukkan ke dalam rongga perut saya melalui pinggang kanan dan kiri.
Ujung selang yang satunya dimasukkan ke kandung kemih melalui lubang
kemaluan. Ujung lain dari masing-masing selang itu masuk ke kantong plastik
penampung cairan yang digantungkan di pinggir ranjang pasien.
Dengan adanya selang yang di lubang kemaluan itu, selama di ICU, saya tak
perlu lagi merasa akan kencing. Sebab, begitu kandung kemih saya penuh, air
kencing saya keluar dengan sendirinya melalui selang, masuk ke kantong
penampungnya. Secara teratur, air kencing di kantong itu diukur dan dianalisis.
Jumlah dan warnanya menunjukkan normal tidaknya ginjal dan berfungsi atau
tidaknya organ penting itu.
Sama dengan yang di ujung kemaluan, selang yang di pinggang juga untuk
mengeluarkan cairan- cairan yang tidak dibutuhkan tubuh saya. Semua cairan itu
juga ditampung di kantong plastik, lalu secara teratur diukur dan dianalisis.
Bedanya, selang yang di pinggang kanan berfungsi untuk mengeluarkan sisa
darah yang mungkin masih menetes dari luka bekas sayatan operasi di liver dan

  32  
kantong empedu baru saya. Karena itu, posisi ujung selangnya ada di dekat kedua
organ yang baru ditransplantasikan itu.
Selama saya di ICU, selang di pinggang kanan mengeluarkan cairan pekat
berwarna merah. Makin hari, cairan itu makin sedikit keluarnya. Dan akhirnya
berhenti karena luka-luka bekas sayatan operasi itu sudah “kering”. Tak lagi
berdarah.
Bersamaan dengan keluarnya sisa darah dari pinggang kanan, selang di
pinggang kiri juga mengeluarkan cairan kuning kemerahan. Cairan itu merupakan
kelebihan cairan di rongga perut yang bercampur dengan sisa darah operasi yang
tercecer dan berkeliaran.
Rongga perut memang harus bersih dari “barang asing”. Jika ada sesuatu
yang tidak terdaftar sebagai “penghuni rongga perut”, seperti ceceran darah, sel
tumor atau kanker, maka selaput dinding rongga perut -yang dalam istilah
kedokteran disebut dengan peritonium- akan bereaksi, protes, dengan cara
mengeluarkan lebih banyak cairan. Makin banyak cairan yang keluar, makin
berbahaya karena peritonium bisa pecah dan orangnya meninggal.
Liver dan empedu baru saya tidak termasuk dalam kategori “barang asing”
yang ditolak karena kedua organ itu kan sebenarnya penghuni rongga perut juga.
Sama dengan yang di pinggang kanan, cairan yang keluar dari pinggang kiri
saya pun makin hari makin berkurang warna merahnya. Ini berarti semua ceceran
darah sisa operasi sudah didorong keluar dari rongga perut.
Jumlahnya pun makin hari juga semakin sedikit. Ini pertanda tak ada lagi
kelebihan cairan di rongga perut saya. Sehingga selangnya pun bisa dicabut.
Hari-hari pertama di ICU itu memang harus saya lalui dengan amat
menderita, tapi saya berusaha tabah menjalaninya. Saya tidak mengeluh kepada
siapa pun. Saat dokter bertanya apakah ada masalah, saya bilang tidak ada. Bahwa
sebenarnya badan tidak enak, ya mesti saja. Tapi, bukankah memang harus
demikian? Bukankah ini operasi yang sangat besar? Yang tidak mungkin tidak sakit?
Tapi, sepanjang sakitnya masih masuk akal, saya bertekad untuk tidak
mengeluh. Kalau saya merasa kesakitan, saya tahu paling-paling hanya akan diberi

  33  
obat penghilang rasa sakit, painkiller. Itu berarti satu racun lagi akan dimasukkan
dalam tubuh saya. Saya gak mau itu. Apalagi seminggu sebelumnya saya baru saja
baca bahwa Australia melarang penggunaan painkiller tertentu karena terbukti
membuat pasien yang baru menjalani transplantasi liver meninggal dunia.
Sakit ini, meski sakit sekali, masih bisa saya rasakan. Yakni sakit akibat luka.
Yakni luka yang sengaja dibuat dengan pisau bedah di sepanjang dada dan perut
saya untuk mengeluarkan liver yang lama dan memasukkan liver yang baru. Tidak
mungkin setelah perut ditutup tidak menimbulkan rasa sakit.
Tapi, sakitnya, sekali lagi, bisa dirasakan. Dan, ketika kecil, saya sudah sering
mengalami rasa sakit seperti itu. Yakni ketika telapak kaki terkena cangkul. Waktu
kecil saya memang sering ikut jadi buruh tani, mencangkul di sawah, yang disiapkan
untuk menanam padi. Kadang, cangkul meleset dan mengenai telapak kaki.
Lukanya lebar, memutih, dan berdarah-darah. Tentu tidak ada obat. Biasanya
hanya kami siram dengan minyak tanah, lalu kami bebat dengan kain sobekan dari
kaus atau sarung. Kain yang tidak pernah dipertimbangkan bersih atau tidak
karena ya baru disobek saat itu juga. Kadang masih bercampur lumpur juga.
Sakitnya saat habis operasi ya kurang lebih seperti itu.

  34  
Sempat Berpikir Lebih Baik Mati
daripada Melanjutkan Kemo
2 September 2007

KALAU saya sangat tahan menerima penderitaan selama di ICU, bukan saya
jagoan dalam menerima rasa sakit. Bukan. Saya pernah mengalami rasa sakit
sampai tidak tahan lagi menanggungkannya. Saya pernah mengalami rasa sakit
yang “sampai nggak bisa dirasakan”. Yakni, ketika setahun lalu harus menjalani
kemoterapi. Waktu itu diketahui (lewat scanner) bahwa di liver saya sudah ada
kankernya. Lalu kanker itu dicoba dibunuh dengan cara di-TACE. Lalu dikemo.
(Kelak akan saya jelaskan apa itu di-TACE).
Setelah dikemo itu, rasanya luar biasa tidak karuan. Yakni sakit, mual, mulas,
kembung, melintir-lintir, dan entah berapa jenis rasa sakit menjadi satu. Sampai-
sampai saya tak bisa memisah-misahkan bentuk sakitnya itu terdiri atas berapa
macam rasa sakit.
Dalam hal ini saya merasa kalah dengan Sara, salah satu manajer keuangan
saya. Dia muda, cantik, tinggi, dan diserang kanker. Dia harus menjalani kemo
berpuluh kali hingga kepalanya gundul. Kini dia kembali cantik dan sudah
melupakan penderitaan kemonya.
Sedang saya tidak tahan. Saya bilang kepada Robert Lai yang menunggui
saya di Singapura, kalau dalam satu hari itu tidak juga reda, saya pilih mati. Tidak
ada gunanya hidup dalam keadaan seperti itu. Saya minta mati saja, kata saya
kepadanya. Lalu dia lapor ke dokter. Saya diberi obat tertentu. Pasti painkiller.
Pelan-pelan rasa tidak karu-karuannya berkurang.
Tapi, saya kemudian memutuskan tidak mau lagi dikemo. Tidak tahan. Saya
akan cari jalan lain saja. Atau lebih baik mati saja. Toh saya sudah berumur 55
tahun. Sudah berbuat sesuatu yang lumayan. Juga sudah melebihi umur ibu saya,
atau umur kakak saya, atau umur paman-paman saya.

  35  
Ini bukan untuk menunjukkan bahwa saya pernah hampir putus asa,
melainkan untuk menunjukkan kekaguman saya kepada orang-orang yang mampu
menjalani kemo berkali-kali. Mereka jelas lebih hebat dari saya.
***
Hari pertama di ICU itu saya tidak merasa mengantuk. Hanya, mata terus
terpejam. Rasanya saya tidak punya kekuatan untuk membuka kelopak mata saya
sendiri. Sambil mata tetap terpejam pikiran saya jalan ke mana-mana. Ke Surabaya,
ke Medan, Bengkulu, Batam sampai ke Palu. Saya juga suka memperhatikan
kesibukan di ruang ICU itu. Memperhatikan dengan mata terpejam. Semua saya
catat dalam ingatan saya. Dasar bekas wartawan! Kata hati saya.
Memperhatikan apa saja yang terjadi di ICU itu membuat perhatian saya
terbagi. Ini baik. Karena tidak melulu tercurah ke rasa sakit. Perhatian saya menjadi
tidak hanya kepada banyaknya selang yang menancap di sekujur tubuh. Saya juga
bisa melupakan rasa penat akibat tekad saya sendiri untuk tidak akan
menggerakkan tubuh sedikit pun selama 24 jam. Yakni, agar tidak berakibat buruk
pada luka-luka operasi saya. Baik luka di kulit akibat sayatan pisau atau luka di
dalam akibat terjadinya penyambungan-penyambungan pembuluh darah.
Tak terasa sore pun tiba. Sore itu, satu selang yang dimasukkan lewat leher
kanan saya dicabut, dilepas. Agak lega sedikit. Tapi, masih ada dua selang yang
menancap di leher yang dilubangi itu. Agak lebih sore lagi, selang yang dimasukkan
ke rongga perut lewat lubang hidung juga dicabut. Lebih lega lagi. Saya terus
berharap, selang-selang itu satu per satu akan dilepas. Saya tidak mau bertanya
jadwal melepaskan selang-selang sisanya. Khawatir berharap terlalu banyak. Saya
sudah biasa dengan sikap untuk tidak berharap banyak pada apa pun dan pada
siapa pun. Ini, menurut pendapat saya, baik. Karena akan membuat saya merasa
lebih bahagia. Setidaknya tidak akan membuat saya terlalu kecewa.
Bukankah bahagia dan kecewa sebenarnya bisa kita ciptakan sendiri? Orang
akan merasa bahagia kalau keinginannya tercapai. Orang akan merasa kecewa
kalau keinginannya tidak tercapai. Maka, ini saya, untuk mencapai kebahagiaan

  36  
sangatlah mudah: Jangan pasang keinginan terlalu tinggi. Jangan menaruh harapan
terlalu banyak.
Dulu pun saya hanya ingin Jawa Pos menjadi koran yang oplahnya separonya
dari Surabaya Post. Tidak perlu lebih besar dari itu. Waktu itu, rasanya tidak
mungkin mengejar Surabaya Post yang sudah merajalela kehebatannya.
Baru setelah ternyata mudah sekali membuat koran yang bisa sebesar 50
persennya Surabaya Post, meningkatlah keinginan untuk bisa sebesar Surabaya
Post. Keinginan itu meningkat terus secara bertahap, sehingga menjadi seperti
Grup Jawa Pos sekarang.
Sebuah koran nasional dari daerah dengan oplah lebih dari 300 ribu
eksemplar per hari. Ini belum termasuk koran-koran Grup Jawa Pos yang terbit di
Jakarta dan di kota-kota lain di luar pulau. Bahkan, koran ini berkembang
sedemikian rupa hingga menjadi sebuah grup media yang membawahkan lebih dari
100 koran harian dan mingguan, delapan televisi lokal, pabrik kertas, dan power
plant.
Jadi, kalau ada yang menganalisis bahwa saya punya grand design untuk
membuat Jawa Pos seperti sekarang, tidaknya begitu kenyataannya.
Hanya desain-desain kecil yang saya buat. Tapi, saya wujudkan dengan
konstan. Dengan istikamah, dalam istilah Pesantren Miftahul Ulum Al Islami,
Kedungdung, pimpinan KH Ilyas Khotib, di Bangkalan, Madura. Saya punya prinsip
semuanya sebaiknya mengalir saja seperti air. Hanya, kalau bisa, alirannya yang
deras. Batu pun kadang bisa menggelundung, kalah dengan air yang deras.
Itu menangnya orang yang tidak punya cita-cita tinggi sejak awal. Hidupnya
lebih fleksibel. Karena tidak punya cita-cita, kalau dalam perjalanannya
menghadapi batu besar, ia akan membelok. Tapi, kalau orang berpegang teguh
pada cita-cita, bertemu batu pun akan ditabrak. Iya kalau batunya yang
menggelundung, lha kalau kepalanya yang pecah gimana? Cita-cita saya semula
hanya ingin punya sepatu, biar pun rombengan. Lalu ingin punya sepeda. Rasanya,
waktu pertama punya sepeda (juga bekas) bahagianya melebihi saat punya Jaguar.
Padahal, sepeda itu pernah putus as rodanya sehingga tidak bisa dinaiki. Bahkan,

  37  
dituntun pun tidak bisa. Terpaksalah saya menggendongnya. Menggendong dengan
bahagia.
Malamnya saya juga tidak mengantuk. Mungkin sudah kelamaan ditidurkan!
Yakni, 18 jam dibius. Malam itu saya menyaksikan kerja perawat di ruang ICU yang
luar biasa sibuknya. Perawat shift malam itu mulai bekerja pukul 19.00 dan baru
akan pulang pukul 07.00 keesokan harinya. Sepanjang malam mereka bekerja
tanpa istirahat sedikit pun. Ini karena tiap tiga perawat mengurus lima pasien ICU.
Semuanya baru saja menjalani penggantian organ tubuh. Ada yang ganti liver
seperti saya, ada yang ganti ginjal, ada yang ganti jantung. Tiap-tiap pasien
memerlukan begitu banyak obat, begitu banyak macam cairan infus, begitu banyak
alat deteksi yang terus-menerus harus dipantau, diganti, dan dicatat.
Dan, yang juga tak kalah penting adalah dibuatkan invoice-nya untuk
menagihkan kepada pasien. Maka setiap habis menggunakan bahan, harus dicatat
berapa harganya dan lalu di-invoice-kan. Ini penting sekali, bagi RS tentunya.
Sebab, kalau salah dalam meng-invoice-kan, berarti rumah sakit akan menderita.
Yakni, menderita kerugian.
Setiap ada kesempatan saya selalu memuji mereka. “Anda luar biasa sekali.
Satu malam suntuk bekerja tanpa istirahat,” kata saya. “Untung Anda masih sangat
muda. Kalau sudah tua, nggak mungkin bisa bekerja tanpa henti dengan
konsentrasi tinggi sepanjang malam,” kata saya. “Terima kasih,” jawabnya.
Saya tahu dia akan libur besoknya. Jadi masih lumayan. Berbeda dengan
muda saya dulu. Saya ingat waktu itu, waktu mulai membangun Jawa Pos dari
sebuah koran yang hampir bangkrut, saya harus bekerja sepanjang malam.
Besoknya tidak pakai libur. Bahkan, sudah harus bekerja sejak pagi lagi. Sampai
malam lagi. Begitu seterusnya. Tidak libur. Besoknya sepanjang malam lagi,
sepanjang siang lagi dan sepanjang malam lagi. Tujuh hari seminggu, 30 hari
sebulan, 360 hari setahun. Selama kira- kira 15 tahun berturut-turut.
Inilah yang membuat organ di dalam tubuh saya menderita. Liver saya kalah.
Dia sebenarnya sudah lama menangis-nangis minta diperhatikan. Sudah lama minta
untuk tidak diperlakukan seperti itu. Sudah lama komplain ke sana kemari. Namun,

  38  
karena tidak dipedulikan, lantas ngambek seperti ini. Lalu minta diistirahatkan
seterusnya.

Kesadaran Pulih, tapi Saya Tak


Mampu Sujud Syukur
3 September 2007

SAYA memperoleh kesadaran penuh pada malam kedua di ICU. Di tengah


malam yang sepi itu, tiba- tiba pikiran saya jernih sekali. Suara tat-tit-tat-tit mesin
yang memonitor organ-organ tubuh saya terdengar kian jelas. “Saya benar-benar
masih hidup,” kata hati saya. “Alhamdulillah. Puji Tuhan,” batin saya lagi.
Tiba-tiba saya terlibat diskusi lagi dengan pikiran sendiri mengenai apa
bentuk syukur yang harus saya lakukan. Sudah pasti saya belum punya kemampuan
bersujud. Tapi, sujud kan tidak harus dengan kepala? Kan bisa juga yang sujud hati?
Maka saya sujud dengan hati saya. Rasanya malah lebih ikhlas. Tidak ada yang lihat.
Sepi sekali ing pamrih. Sebentar tapi menenangkan batin.
Saya memang bertekad untuk tidak akan mendemonstrasikan rasa syukur
itu dalam bentuk yang ekstrem. Misalnya, dengan sepanjang-panjangnya
mengucapkan kalimat-kalimat tertentu atau bahkan sampai menitikkan air mata.
Atau memotong sapi untuk acara besar-besaran. Saya khawatir, semakin panjang
kalimat yang saya ucapkan, semakin saya “sudah merasa bersyukur”. Semakin
banyak orang yang saya undang untuk syukuran, semakin saya “sudah merasa
bersyukur banyak”. Saya akhirnya berkesimpulan akan bersyukur dengan cara
“memanfaatkan umur tambahan ini dengan seproduktif-produktifnya”.
Paginya, apa pun yang di ICU terlihat jelas dan terekam baik dalam ingatan.
Hari kedua di ICU itu, pagi-pagi, pimpinan rumah sakit yang juga kepala tim dokter

  39  
yang menangani penggantian liver saya datang menjenguk. Karena dia pimpinan,
yang menyertainya banyak sekali. “Ze me yang?” tanyanya sambil memegangi
tubuh saya menanyakan apa kabar dalam bahasa Mandarin. “Hen hao,” jawab saya.
Saya bilang bahwa saya baik-baik saja dan tidak punya keluhan apa pun.
Tentu itu basa-basi. Sebenarnya banyak sekali yang ingin saya katakan.
Bukan mengenai keluhan saya, melainkan soal-soal lain yang membuat saya
penasaran. Yang membuat saya ingin segera tahu. Misalnya, apakah ada kesulitan
yang berarti untuk melakukan operasi tadi malam? Apakah liver saya yang lama
benar-benar telah rusak seperti yang diperkirakan? Atau sebenarnya masih baik,
yang akan membuat saya menyesal melakukan operasi?
Soalnya, ada juga sedikit kekhawatiran bahwa jangan-jangan setelah perut
dibuka, ternyata liver saya baik-baik saja. Jangan-jangan hasil scanner yang
menyatakan liver saya sudah rusak dulu itu hanya karena alat scanner-nya “salah
lihat”. Bukankah memang ada kasus-kasus “salah diagnosis” semacam itu?
Ada juga pertanyaan yang lebih penting yang ingin segera saya ketahui.
Benarkah sudah ada kanker di liver lama saya? Benarkah tanpa operasi ini
sebenarnya saya masih bisa hidup lima tahun lagi? Benarkah, seperti kata sebagian
dokter, bahwa sebenarnya saya tinggal punya kesempatan hidup enam bulan lagi?
Karena kanker sudah menjalar ke beberapa bagian di dalam liver saya?
Tapi, pertanyaan itu terlalu banyak untuk diajukan pagi itu. Juga terlalu dini.
Rasanya kurang pas kalau saya sudah bertanya sejauh itu. Bukankah pagi itu dokter
hanya mengunjungi saya untuk menunjukkan perhatian kepada saya? Untuk
menunjukkan rasa persahabatan yang tulus? Sebab, tanpa mengunjungi saya pun
dia sudah bisa baca dari laporan komputer mengenai perkembangan keadaan saya.
Maka, saya urung mengajukan pertanyaan-pertanyaan tadi. Masih ada waku
di lain hari. Toh, saya masih akan berhari-hari di rumah sakit ini. Bahkan, mungkin
masih berminggu atau (kalau operasi ini gagal) masih akan berbulan lagi.
Saya malah berubah pikiran dengan cepat. Saya justru bergegas menunjuk
ke perawat yang berdiri di arah kaki saya. “Dokter, perawat-perawat rumah sakit

  40  
ini luar biasa. Tadi malam mereka bekerja keras sepanjang malam, tanpa istirahat
sedikit pun,” kata saya kepada pimpinan rumah sakit itu.
Sang pimpinan tersenyum senang. Lalu dia mendekat ke arah perawat dan
memegang-megang pundaknya. Tidak ada kata-kata yang diucapkannya. Dan, saya
kira memang tidak perlu ada kata-kata apa pun. Tepukan tangan ke pundak anak
buah seperti itu sudah melebihi pujian yang diucapkan dengan ribuan kata.
“Terima kasih, Mr Yu memuji saya di depan pimpinan,” kata perawat itu
kepada saya setelah rombongan pimpinan berlalu. Di Tiongkok nama saya memang
Yu Shi Gan (baca: i-se-kan), sehingga cukup dipanggil nama depannya saja (Yu) yang
dikira nama marga saya.
Saya tidak basa-basi memuji para perawat itu. Saya memang benar-benar
ingin memujinya. Kerja yang luar biasa keras itu harus ada yang mencatatnya. Para
perawat itu tidak hanya harus membuat laporan yang baik, tapi mereka sendiri juga
harus dilaporkan. Terutama kebaikannya itu.
Para perawat itu bekerja dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab
kepada keselamatan pasien. Yakni, melakukan pekerjaan cepat, cermat dengan
ketelitian yang tinggi di waktu malam yang sepi. Kalau saja tidak teliti pun siapa
yang tahu?
Mereka juga bekerja dengan penuh tanggung jawab kepada rumah sakit.
Yakni, dengan cara tidak ceroboh mencatat harga-harga barang yang saya gunakan
malam itu: obat, infus, selang, jarum, tisu, sarung tangan, plester, dan seterusnya.
Setiap ada pemakaian bahan harus dicatat harganya dan dibuatkan invoice
penagihannya. Kalau tidak, rumah sakit akan rugi. Pemakaian barang seharga 1
yuan (sekitar Rp 1.100) pun harus dicatat rapi dan dibuatkan perhitungannya.
Jarum pun ada harganya, kapas secuil ada harganya. Apalagi selang, cairan infus,
dan obat-obatan.
Saya perlu memuji perawat tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih
saya yang tulus kepada mereka. Saya tidak mungkin memberinya uang. Saya kan
dalam keadaan telanjang! Mana bisa membawa dompet? Apalagi sudah menjadi
kebiasaan saya, membawa dompet pun belum tentu ada duitnya.

  41  
Saya perlu memujinya karena setelah hari itu saya tidak mungkin lagi bisa
bertemu mereka. Hari ini mereka dapat giliran libur. Besok sudah akan menjalani
kehidupan baru dengan pasien berikutnya lagi. Saya mungkin juga tidak berada lagi
di ICU karena pagi itu sudah bisa kembali ke kamar saya di lantai 11. “Terima kasih
Bapak telah memuji saya di depan pimpinan saya,” kata perawat itu. Wajahnya
kelihatan bersorak gembira. Seperti mendapatkan uang berjuta. Saya tidak akan
lupa wajahnya. Tidak akan lupa ekspresi kegembiraannya. Tidak akan lupa
keterampilannya. Dan kerja kerasnya.
***
Tiba-tiba anak saya laki-laki, Azrul Ananda, masuk ICU. Kali ini bersama
adiknya, Isna Fitriana, yang baru malam harinya tiba dari Surabaya. Hari itu
rupanya saya akan diserahterimakan.
“Bapak kan sudah aman. Dan Isna sudah di sini. Pagi ini saya kembali ke
Surabaya,” ujar Azrul. “DBL harus segera dimulai,” tambahnya. DBL (DetEksi
Basketball League) adalah liga basket SMP/SMA terbesar di Indonesia yang dia
prakarsai. Saya mengangguk karena rasanya memang tidak ada lagi yang perlu
dikhawatirkan. Perasaan saya baik-baik saja.
Rupanya, baru selama sakit ini saya punya komunikasi yang intensif dengan
anak-anak saya. Sebelumnya, saya ternyata jarang sekali berbicara dengan mereka.
Meski anak lelaki saya juga di Jawa Pos, saya membiarkan proses manajemen
berjalan apa adanya. Saya hampir tidak pernah bicara soal perusahaan kepadanya.
Keberadaan dia di Jawa Pos malah membuat hubungan saya sebagai bapak dan
anak menjadi seperti hubungan atasan dan bawahan. Karena dia bukan bawahan
langsung, berarti tidak perlu ada hubungan yang khusus.
Anak-anak saya memang sudah terpisah sejak mereka masih amat remaja.
Begitu tamat SMP, keduanya langsung ke USA, masuk SMA di sana. Bahkan, Azrul
sampai tujuh tahun di sana. Ikut orang tua angkatnya yang didapat melalui proses
undian. Karena itu, kami tidak pernah tahu di rumah siapa dia akan tinggal di AS.
Ternyata, Azrul dapat orang tua angkat yang sama sekali tidak diperkirakan. Yakni,

  42  
seorang bapak yang ternyata juga pemilik surat kabar daerah di Kansas. Namanya
John Mohn. Dia seorang master jurnalistik. Juga juragan koran.
John tidak punya anak laki-laki. Maka, Azrul dia anggap sebagai anak laki-
lakinya. Tiap hari dia ajak anak saya ke kantor korannya. Dia ajari fotografi. Dia
ajari jurnalistik. Bukan hanya penulisannya, tapi juga kemerdekaan dan filsafatnya.
Jadilah Azrul anak yang mencintai koran. Bukan karena saya, tapi karena bapak
angkatnya itu.
Saya sendiri sejak awal tidak ingin dia kerja di koran. Terlalu berat. Terlalu
menyiksa. Juga belum tentu menghasilkan kekayaan. Maka sejak tamat SMP saya
kirim dia ke AS agar bisa punya pilihan
lebih baik. Setidaknya agar bisa berbahasa Inggris. Tidak seperti bapaknya
yang hanya tamatan SMA (aliyah), yang nama-nama hari dalam bahasa Inggris pun
tidak hafal.
Jadi, kalau ada yang menganggap saya sejak awal menyiapkan anak saya
untuk di Jawa Pos, sungguh tidak demikian maunya. Saya justru mau anak saya
bekerja di luar negeri dulu. Lalu jadi pengusaha yang mandiri. Ketika hal ini saya
kemukakan kepada Azrul, dia balik bertanya: saya harus cari uang? Saya mau
jurnalistik, katanya.
Apakah saya menyesal? Ya dan tidak. Tapi, ada juga yang menilai bahwa saya
harus bersyukur karena ada anak yang masih punya idealisme di bidang jurnalistik.
Menyikapi kedua penilaian itu saya pasrah saja. Yang terjadi, terjadilah.
Sepulang dari USA anak-anak saya praktis jadi dirinya sendiri-sendiri.
Termasuk tidak mau lagi tinggal bersama kami di rumah. Mereka pilih tinggal di
rumah sendiri. Mereka sudah terbiasa mandiri.
Baru ketika saya sakit ini, mereka sering menemani saya. Kami pun sering
dalam keadaan lengkap berada dalam satu ruangan: saya, istri saya, dan anak-anak
saya. Sekarang ditambah dengan menantu-menantu dan seorang cucu. Eh, seorang
cucu dan calon seorang cucu lagi.
Justru ketika sakit ini saya seperti menemukan keluarga saya. “Ternyata
saya punya anak,” gurau saya kepada keduanya. “Ternyata kita punya bapak, ya,”

  43  
kata Isna kepada kakaknya. Sambil tertawa cekikikan. Suasana yang sangat
mengurangi rasa sakit saya selama di ICU.
Lebih menggembirakan lagi, siang itu dua selang yang masuk ke rongga dada
lewat leher kanan saya juga dicabut. Lubang bekas selang-selang itu lantas ditutup
dengan plester. Dua hari kemudian lubang itu sudah menutup.
Kelak, ketika sudah berada di kamar biasa, saya masih sering meraba-raba
bekas lubang di leher itu. Saya masih punya pikiran jangan-jangan lubangnya masih
menganga.

Meski Keluar ICU, Jangan Anggap


Sudah Merdeka
4 September 2007

SEPANJANG sore sampai malam (hari kedua di ICU), perut saya mulai
merasa kembung. Sangat tidak enak. Oh, rupanya saya belum bisa buang air besar.
Juga belum bisa buang angin. Ini saya sadari setelah beberapa kali perawat
menanyakan soal yang kelihatannya sepele itu. Makanya perut seperti penuh
sekali. Penuhnya bukan hanya di perut, tapi seperti sampai dada. Sepanjang malam
saya tidak bisa tidur.
Itu membuat pikiran saya lari ke mana-mana. Termasuk ke liver baru saya.
Saya berkhayal sedang apakah dia? Lagi saling berkenalan dengan organ saya yang
lain, atau lagi pasang kuda-kuda untuk saling bermusuhan? Apakah liver baru itu
sedang tawar-menawar pekerjaan dengan organ lain? Apakah liver baru itu sedang
mengajukan syarat-syarat kerja sama? Misalnya, hanya akan mau bekerja sama
kalau tetap dibolehkan makan babi? Atau dia begitu baiknya sehingga akan ikut
saja peran apa yang harus dia jalankan?
Yang tak kalah penting adalah perbedaan umur yang mencolok antara liver
baru dan organ saya yang lain. Apakah tidak akan menimbulkan persoalan?

  44  
Misalnya, terjadi generation gap yang tajam? Bukankah liver baru itu belum sampai
berumur 25 tahun, apakah tidak akan mengajak balapan organ lain seperti jantung,
paru, dan ginjal? Kalau organ-organ lain saya sudah berumur 56 tahun, apakah
tidak akan terjadi konflik anak-bapak yang diakibatkan perbedaan zaman? Juga
perbedaan gaya hidup? Apakah tidak akan terjadi adu balap? Apakah jantung tua
saya kuat melayani balapan itu? Panjang sekali khayalan saya. Bukan khayalan yang
ilmiah. Khayalan orang yang tidak bisa tidur saja.
Paginya, hari ketiga di ICU, barulah saya “rasa” itu muncul. Saya panggil
perawat. Ternyata untuk urusan buang air besar ini ada perawat khusus. Dia
perawat yang berbaju biru, yang sudah lebih tua umurnya. Dialah yang memasang
tadah kotoran dan membersihkannya. Urusan buang hajat pun selesai. Setelah itu
tiba-tiba saya merasa seperti ingin buang angin banyak-banyak. Maka suara bom
pun bergelegaran. Semua dicatat oleh perawat. Pagi itu juga diputuskan saya boleh
keluar dari ICU. Rupanya keluar atau tidak dari ICU, salah satu ukuran yang
menentukan adalah ada atau tidaknya “rasa” tadi.
Kalau saja pagi itu saya belum punya “rasa”, akan dilakukan rekayasa. Perut
saya akan dimasuki cairan lewat pantat. Untunglah saya tidak perlu melalui
tahapan darurat itu. Mekanisme tubuh saya, dengan organ baru di dalamnya,
berjalan dengan normal. Semua berjalan natural.
Satu jam kemudian persiapan mengeluarkan saya dari ICU dilakukan. Selang
yang sudah 56 jam berada di lubang kemaluan saya dicabut. Agak sakit rasanya.
Tapi, kan tetap harus dicabut? Sakit tapi lega. Lega tapi memang sakit. “Kencing
pertama sampai ketiga nanti mungkin agak sakit,” kata perawat setelah berhasil
mencabut selang itu.
Kata-kata itu terus melekat di ingatan saya. Sampai-sampai timbul rasa takut
setiap merasa akan kencing. Tapi, sakitnya seperti apa kan belum dirasakan. Ya,
saya harus merasakannya, karena saya toh harus kencing. Ternyata rasa sakitnya
tidak seberat yang saya bayangkan. Atau barangkali karena saya sudah merasakan
yang paling sakit, sehingga sakit-sakit kelas seperti itu sudah saya anggap bukan
sakit lagi.

  45  
Lalu, selang yang masuk ke rongga perut melalui pinggang kanan juga
dicabut. Rasanya juga sakit, tapi sakit yang menimbulkan kelegaan. Alat untuk
mengukur tekanan darah juga dilepas. Kabel-kabel yang menempel di dada kanan
dan dada kiri dicabut. Juga kabel-kabel yang dihubungkan ke ujung- ujung jari.
Semuanya hilang sudah. Rasa plongnya bukan main. Apalagi, kalau saya ingat
banyak pasien yang keluar ICU masih dengan selang yang menancap di leher. Saya
pun sebenarnya sudah membayangkan akan keluar ICU dalam keadaan seperti itu.
Tapi, ternyata tidak. Saya bersyukur.
Sekitar pukul 10.00 saya sudah dipindahkan dari ranjang ICU ke kereta
angkut. Kereta ini dilengkapi sistem hidrolis. Ini untuk memudahkan memindah
badan saya dari ranjang ICU. Tidak perlu ada orang yang mengangkat, yang bisa
saja membuat badan saya berubah posisi dan menimbulkan bahaya bagi bekas-
bekas operasi. Dari kereta itu secara otomatis menjulur sebuah papan besi
menyekop ke bawah badan saya. Badan saya terbawa di atasnya. Kereta ini yang
membawa saya turun ke lantai 11, ke kamar lama saya yang sudah dibuat bersih
sebersih-bersihnya.
Dalam proses keluar dari ICU itulah saya baru tahu bahwa ruang ICU ini
amat-amat panjangnya. Memang seluruh lantai 12 adalah ICU. Tiap pasien dapat
satu kapling yang dibatasi dengan kaca terhadap pasien lain. Rumah sakit ini
memang bisa melakukan transplantasi organ sebanyak 30 orang dalam waktu
bersamaan. Berarti ruang ICU-nya memang harus banyak sekali.
Tiba di lantai 11, para perawat menyambut. Perawat yang sudah tiga bulan
lebih saya kenali dengan baik. Kini saya diserahterimakan dari perawat ICU ke
perawat ruang rawat inap. Mereka segera membuat lubang baru di lengan saya
untuk keperluan infus-infus berikutnya. Tiap hari saya masih harus diinfus
beberapa obat dan vitamin. Mula-mula tiga jam sehari. Lalu tinggal dua jam. Lalu
satu jam. Lalu tidak perlu infus sama sekali.
Pasien lain yang belum operasi menyambut kepulangan saya dari ICU.
Sebelah kamar saya, orang Jepang, melambaikan tangan. Dari kamar yang lain,
orang Arab Saudi, mengucapkan salam. Pasien dari Taiwan mengucapkan selamat

  46  
atas kesuksesan operasi saya. Saya sendiri sudah sering memberikan ucapan
selamat seperti itu kepada pasien yang baru menjalani operasi sebelum saya.
***
“Meski sudah keluar ICU, jangan Anda anggap sudah merdeka,” ujar Robert
Lai, teman saya itu. Dia lantas menakut-nakuti saya dengan kisah banyaknya pasien
yang sukses dalam menjalani operasi, tapi gagal menjauhkan diri dari virus dan
infeksi. Terutama di seminggu pertama keluar dari ICU.
Seorang kenalan dari Pakistan terkena infeksi setelah tiga hari keluar ICU.
Terpaksa perutnya dibuka lagi. Diadakan perbaikan lagi di dalamnya. Contoh
lainnya, ada pasien yang merasa kuat dan jalan sendiri ke kamar mandi. Dia terjatuh
dan harus masuk ICU lagi.
Masih sederet contoh tragedi seperti itu. Termasuk yang nekat pulang meski
baru satu bulan setelah operasi. Memang sudah diizinkan pulang. Tapi, harus balik
lagi ke Tiongkok tiga bulan kemudian. Yakni, untuk mengambil “barang” yang masih
dititipkan di dalam. Orang tersebut merasa sudah sangat normal. Lalu ke rumah
sakit di negaranya sendiri untuk mengeluarkan “barang titipan sementara” itu.
Sayangnya, proses tersebut tidak mulus. Dia terkena infeksi.
Setelah tidak bisa diatasi di negaranya, terpaksa balik lagi ke rumah sakit ini.
Tapi, keadaannya sudah sangat payah. Berbagai usaha sudah disiapkan, termasuk
akan dilakukan transplantasi liver lagi. Namun, dia harus menunggu kondisi
badannya membaik dulu. Kondisi yang ditunggu itulah yang tidak datang. Akhirnya
dia meninggal dunia di rumah sakit ini bulan lalu.
Saya mendengarkan baik-baik nasihat itu. Robert tahu saya sering maunya
sendiri. Tapi, kali ini dia kecele. Saya sudah bertekad akan taat peraturan setaat-
taatnya. Saya hanya minta kelonggaran dua saja. Pertama, boleh membuka,
membaca, serta membalas dan mengirim email. Kedua, boleh mulai menulis cerita
ini. Sebab, apa yang mau saya tulis ini semuanya sudah lengkap dan memenuhi
kepala saya.
Apa saja yang akan saya tulis, berapa seri tulisan itu nanti, tiap seri harus
dibuka dengan kalimat apa dan ditutup dengan cara bagaimana, semua sudah ada

  47  
di kepala. Kalau tidak segera saya tuangkan di komputer, tekanan darah bisa naik.
Itu membahayakan hasil operasi. Sebab, obat sinkronisasi liver baru saya punya
efek samping menaikkan tekanan darah. Kalau ditambah dengan penuhnya bahan
tulisan di otak saya, apakah tekanan darah tidak akan semakin tinggi?
“Itu logika Anda saja. Anda bukan dokter. Itu alasan Anda saja untuk
diperbolehkan menulis,” ujar Robert Lai. “Mana ada baru tujuh hari setelah
transplantasi liver sudah memeras otak untuk menulis begitu panjang?” sergahnya.
Saya mengakui Robert benar. Tapi, saya tetap bermohon untuk dapat dispensasi
melakukan dua pekerjaan itu.

  48  
Mulai Berdiri, Bergurau soal Liver,
Dimarahi Saudara di Desa
5 September 2007

JANGAN begini. Jangan begitu. Banyak sekali peringatan yang disampaikan


kepada kami sebelum pertama saya turun dari tempat tidur. Itu hari kelima setelah
operasi atau hari kedua setelah keluar dari ICU. Misalnya, jangan sampai langsung
berdiri. Bisa tiba-tiba pusing dan jatuh.
Harus duduk lebih dulu. Tenang beberapa saat untuk lihat-lihat keadaan.
Kalau tidak pusing, bisa diteruskan dengan turun dari tempat tidur dan mencoba
berdiri. Maklum, sudah lima hari saya terus dalam posisi berbaring. Juga lima hari
tidak makan. Meski ada cairan infus yang menggantikannya. Tidak sedikit kasus
pasien jatuh saat pertama mencoba berdiri. Harus ada orang yang memegangi.
Saya masih dapat peringatan tambahan. Tepatnya bukan peringatan, tapi
pertanyaan. Datangnya dari dalam diri saya sendiri. Kalau saya nanti berdiri,
apakah liver baru saya tidak jatuh? Apakah sambungannya sudah kuat? Tali apakah
yang dipakai untung menggantung liver baru itu? Setengah serius, setengah
bergurau. Saya memang suka bergurau. Kalau sedang tidak ada yang ditertawakan,
saya sering mencoba menertawakan diri sendiri.
Kekhawatiran-ngawur saya itu saya SMS-kan ke beberapa teman. Untuk
memberikan gambaran bahwa saya sudah bisa bergurau lagi. Sekaligus memberi
kabar baik mengenai kemajuan demi kemajuan yang saya peroleh. “Hari ini saya
sudah diharuskan mulai turun dari tempat tidur. Bahkan sudah harus latihan
berdiri. Tapi, saya lupa bertanya kepada dokter apakah tali yang dipakai
menggantung liver baru saya cukup kuat. Saya takut liver baru saya jatuh,” tulis
saya.
Jawaban dari beberapa teman berdatangan. Margiono, Dirut Rakyat
Merdeka yang lucunya bukan main, kontan membalas. “Ha ha... Kalaupun jatuh,
masih di perut. Masih mudah mencarinya,” kata Margiono yang pandai mendalang

  49  
itu. Saya tertawa. Bahkan ingin tertawa lebar. Tapi, jahitan di perut yang
panjaaaang ini masih basah. Kalau dibuat tertawa masih sakit. Dan lagi, jangan-
jangan kalau teralu banyak tertawa, jahitannya bisa mrotoli.
Leak Kustiya, redaktur pelaksana Jawa Pos yang pendiam, tapi humornya
sering cerdas, menimpali Margiono. “Yang bahaya kalau jatuhnya di dekat pasar
loak,” tulisnya. Sekali lagi, saya harus menahan tawa. Mas Goenawan Mohamad,
pendiri majalah TEMPO yang juga amat humoris, menambahkan: “Ha ha. Saya
justru takut hati baru itu jatuh di rumah Gong Li.” Gong Li adalah artis yang paling
terkenal dan konon juga paling cantik di antara artis Hongkong. “Lebih berbahaya
daripada jatuh di dekat pasar loak,” tambahnya.
Humor khas Surabaya datang dari Jamhadi, kontraktor yang membangun
gedung Jatim Expo dan asrama mahasiswa Institut Teknologi 10 Nopember
Surabaya. “Kalau sampai jatuh di rumah Gong Li, sih itu bukan jatuh. Tapi njatuh,”
tulisnya. Kata njatuh, bagi orang Surabaya lucu sekali. Tapi, mungkin tidak bisa
dipahami di luar Surabaya.
Masih banyak SMS yang masuk di sekitar jatuh-menjatuh itu. Tapi, empat
itulah yang saya pilih sebagai yang paling lucu. Diam-diam saya sudah bisa menjadi
juri lomba humor di hari kelima setelah operasi saya. Saya juga lega bahwa hati saya
yang baru tenyata tidak mengubah selera humor saya.
Dan memang, begitu saya berdiri, tidak ada suara benda jatuh. Padahal,
kalau toh jatuh, apa juga bersuara?
Keceriaan saya hari itu padam manakala masuk SMS dari keluarga saya di
desa, 16 km dari Kota Magetan. Dia marah. “Nyawa kok dibuat guyonan,” tulisnya.
Dia marah karena seharusnya saya tidak berhenti berdoa minta keselamatan
dan kesembuhan dari Tuhan. Tidak guyon seperti itu. “Kita di sini tidak henti-
hentinya berdoa, Mas Dahlan sendiri guyon. Tidak pantas,” tambahnya.
Lalu, saya SMS ke Ir Agus Mustofa, penulis buku Takdir Bisa Diubah yang
laris itu. “Apakah ada perintah untuk memperbanyak doa?” tanya saya. Soalnya,
saya tidak pernah membaca ada ajaran seperti itu. Bahkan, seperti yang sudah saya

  50  
utarakan di bab terdahulu, sedikit-sedikit berdoa seperti kita ini malas berusaha,
malas menggunakan pemberian Tuhan yang amat penting itu: otak.
“Tidak ada perintah memperbanyak doa,” balas Agus segera. “Yang ada
hanyalah ’Mintalah kepada- Ku, pasti Aku kabulkan’,” tambahnya. “Yang
diperintahkan beberapa kali adalah perbanyaklah mengingat Tuhan (zikir) dan
perbanyaklah berbuat baik,” ujar Agus.
Ada alasan lain mengapa saya memilih sumeleh kepada Tuhan daripada
sedikit-sedikit minta sesuatu kepada-Nya. Saya pernah belajar ilmu mantiq (logika)
sewaktu di Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan.
Pesantren keluarga kami sendiri. “Berdoa itu,” menurut ilmu mantiq, “pada
dasarnya adalah memerintah Tuhan”. Misalnya, doa ini: Ya Tuhan, masukkanlah
saya ke surga. Bukankah, menurut ilmu itu, sama dengan kita memerintah Tuhan
agar memasukkan kita ke surga? Bukankah kata “masukkanlah” itu “kata
perintah?”. Hanya, dikemas secara halus dalam wujud yang bernama doa? Mengapa
kita selalu memerintah Tuhan untuk memasukkan kita ke surga? Mengapa tidak
kita sendiri berusaha sekuat tenaga, misalnya, dengan jalan banyak beribadah
(termasuk kerja keras)?
Ilmu inilah yang juga saya bawa ke praktik manajemen. Kalau ada karyawan
yang sedikit-sedikit mengeluhkan atasannya, biasanya saya menasihatinya
berdasar ilmu mantiq itu. Tentu sebelum mengucapkan kata-kata tersebut saya
berpesan agar jangan membicarakan istilah saya ini dengan orang lain. Orang yang
tidak pernah belajar ilmu mantiq bisa salah paham.
Kata saya kepada karyawan yang suka mengeluhkan atasannya itu: “Kita ini
bisa dan sering memerintah...., mengapa memerintah atasan yang masih bernama
manusia saja tidak bisa?” Takut juga saya mengisi “titik-titik” itu. Takut orang salah
paham. Padahal, guru ilmu mantiq saya dulu, KH Hamim Tafsir, tidak pernah takut
mengatakan apa adanya.
Saya harus mengenang guru saya itu. Dia sudah terpaksa jadi kiai ketika
masih amat remaja. Ini karena enam kiai utama di pesantren kami (yang tidak lain
paman-paman ibu saya) dibunuh orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Demikian

  51  
juga guru-guru terkemuka lainnya, termasuk guru yang didatangkan pesantren
kami dari Mesir. Mereka dimasukkan sumur hidup-hidup, lalu ditimbuni batu. Itu
tahun 1948, ketika meletus peristiwa Madiun yang terkenal dalam sejarah itu.
Sejak itu, pesantren kami yang sangat maju dan terkemuka mengalami
kemunduran.
Saya lantas memanfaatkan ilmu mantiq itu dalam praktik manajemen.
Intinya: seorang bawahan, kalau memang cukup cerdas, harus bisa membuat
atasannya memenuhi keinginannya. Tidak harus selalu keinginan atasan yang
berlaku. Semua itu tinggal soal cara. Soal kemampuan kita memanajemeni atasan.
Kalau seorang bawahan tidak mampu melakukan itu, berarti bukan bawahan yang
cerdas. Saya tidak akan menaikkan karir bawahan yang seperti itu. Jadi, bawahan
itu sebenarnya juga boleh me-manage atasan. Bukan hanya atasan yang bisa me-
manage bawahan. Sekali lagi, ini soal cara. Kepada Tuhan, kita menggunakan cara
yang disebut berdoa. Kepada atasan, mungkin dengan gaya “bermohon atau minta
petunjuk atau mengiba atau apa sajalah”. Yang penting, keinginan kita yang kita
yakini benar bisa dipenuhi oleh atasan.
Banyak manajer saya yang kemudian tidak mudah mengeluhkan
“ketidakmampuan atasannya”. Dia mencari jalan beraneka cara untuk mencoba
bisa me-manage atasannya dengan bijak. Demikian juga tidak lagi banyak staf yang
mengeluhkan rekan kerjanya. Mengeluh berarti tidak cerdas.
Bukankah kepada sesama rekan staf, kita bisa menggunakan gaya “minta
tolong”. Bahkan, kepada bawahan pun kata “minta tolong” akan lebih efektif
daripada kata “saya perintahkan” -meski atasan berhak memerintah bawahan. Jadi,
kepada Tuhan kita berdoa, kepada atasan kita bermohon, kepada sesama kita
minta tolong, dan kepada bawahan... teserahlah mau pakai yang mana. Tentu tidak
pas kalau kepada bawahan Anda mengatakan, “Saya berdoa kepadamu mudah-
mudahan engkau mau membersihkan kamar kecil itu lebih bersih lagi.” Tapi, saya
sering juga menggunakan gaya ini kalau hati sudah amat jengkel melihat kamar
kecil yang kotor.

  52  
Di kantor-kantor Grup Jawa Pos, saya memang melarang pembuatan kamar
kecil khusus di ruang pimpinan. Ini agar pimpinan juga menggunakan kamar kecil
umum. Bukan saja agar sesekali bertemu bawahan di forum itu, tapi juga agar bisa
ikut mengontrol kebersihan kamar kecil umum.
Ilmu mantiq ternyata banyak membantu saya dalam menjalankan praktik
manajemen. Dan saya dengar di kurikulum madrasah aliyah sekarang ini, tidak ada
lagi mata pelajaran ilmu mantiq itu.
Saya sendiri kini masih terus berpikir bagaimana saya bisa me-manage liver
baru saya. Saya sudah bermohon kepadanya untuk jangan sekali-kali kangen akan
daging babi. Tapi, kalau dia lebih pintar dan mampu me-manage saya agar saya mau
memenuhi keinginannya, itu baru persoalan. Saya membayangkan dia memang
pernah belajar kungfu, tapi saya berharap liver baru saya itu belum pernah belajar
ilmu mantiq untuk mengalahkan saya.

  53  
Perawat Sekaligus Menjadi Polisi
Penjaga Virus
6 September 2007

KELUAR dari ICU tidak berarti merdeka. Justru harus lebih hati-hati. Ini
karena ruang biasa tidak dilengkapi peralatan monitor yang serbaotomatis.
Padahal, terlalu banyak kasus kegagalan transplantasi liver terjadi justru pada
minggu pertama setelah keluar dari ICU. Yakni, ketika pasien terkena infeksi.
Kini ancaman kegagalan transplantasi liver bukan lagi seperti dulu. Bukan
lagi akibat badan menolak kedatangan liver baru. Untuk mengatasi penolakan itu,
kini sudah ada obat yang sangat modern. Obat yang menyinkronkan liver baru dan
organ-organ lain yang lama.
Infeksilah yang banyak mengakibatkan kegagalan. Bahkan, kemungkinan
infeksi pun kini sudah bisa diturunkan maksimal karena adanya cara baru.
Termasuk yang diterapkan kepada saya. (Akan ada uraian tersendiri untuk ini di
bab-bab berikutnya. Termasuk bab mengapa liver saya sakit. Apa sebabnya.
Mengapa tidak bisa ditanggulangi.)
Untuk menjaga jangan sampai terjadi infeksi itulah, monitoring dilakukan
ketat. Kalau toh terjadi, bisa diketahui secara dini, sejak masih dalam bentuk gejala.
Karena itu, suhu badan diukur tiap dua jam. Demikian juga tekanan darah dan
denyut jantung. Kebetulan, suhu badan saya sangat menggembirakan. Selalu
antara 35,5 sampai 36,7 derajat Celsius. Sangat prima. Tidak sekali pun dalam
minggu pertama itu suhu badan saya naik di atas angka itu. Ini pertanda bahwa
infeksi tidak terjadi di dalam tubuh saya.
Memang, semua orang yang masuk ruang saya harus taat akan peraturan ini.
Lalu, ada “polisi” keras yang menjaganya: Robert Lai. Semua harus menggunakan
masker penutup mulut dan hidung. Jangan sampai orang yang menjenguk
menularkan virus yang sangat membahayakan.

  54  
Tiap pagi, saya juga di USG. Bukan takut hamil, tapi khawatir jangan-jangan
ada yang tidak beres pada sambungan-sambungan pembuluh darah lama dan baru.
Juga untuk melihat apakah ada genangan air atau darah di dalam rongga perut
saya. Termasuk untuk melihat apakah ada masalah pada ginjal saya.
Hasil USG tiap hari itu menunjukkan tidak ada tanda-tanda kegagalan
penyambungan liver baru saya. Maka, pada hari kelima, USG tidak lagi dilakukan.
Lega rasanya meski baru lega tahap satu. Pada hari pertama di luar ICU, paru saya
juga dironsen. Ini untuk melihat apakah ada genangan air atau dahak di paru-paru.
Hasil ronsen itu juga menggembirakan. Paru-paru bersih.
Tapi, saya harus minum obat penyinkron liver baru. Biasa juga disebut obat
antirejection. Anti penolakan terhadap liver baru. Obat ini berupa kapsul kecil-kecil
tiga butir, diminum dua kali sehari. Namanya afk. Obat ini memang punya efek
samping yang kuat. Yakni bisa membuat gula darah dan tekanan darah naik. Karena
itu, sebelum makan, harus diukur dulu tekanan darah dan gula darah. Setelah
makan, diukur lagi. Ujung jari saya di-”ceklik” beberapa kali sehari untuk
mengeluarkan sedikit darah. Untuk dites kadar gulanya. Pada hari pertama, gula
darah saya 17 (sebelum makan). Ini sangat-sangat tinggi. Bukan karena pankreas
saya tidak berfungsi, melainkan karena afk tadi. Karena itu, sebelum makan, saya
disuntik dulu untuk menurunkannya.
Pada hari ketiga, gula darah saya sudah normal. Sekitar 4 sampai 6,5
(sebelum makan). Karena itu, pada hari berikutnya, tidak diperlukan lagi
pemeriksaaan gula darah. Sewaktu saya kemukakan kekhawatiran saya akan
tingginya gula darah itu, dokter meminta saya tidak waswas. “Itu hanya karena efek
obat. Bukan karena fungsi pankreas yang jelek. Pankreas Anda sempurna,” kata
dokter.
Tekanan darah saya juga tinggi jika dibandingkan dengan sebelum operasi.
Bangun tidur bisa mencapai 90/140. Tapi, ini juga karena pengaruh obat saja. Siang
sedikit, sampai malam, selalu antara 80/120 sampai 85/130. “Kita akan terus
memonitornya,” ujar dokter. Sedangkan denyut jantung sangat normal, antara 76

  55  
sampai 85. “Banyak juga yang sukses operasinya, tapi tidak kuat jantungnya,” ujar
seorang suster. Untuk itu pun, tidak perlu takut karena ada obatnya.
Selain obat anti penolakan itu, saya juga harus minum beberapa obat lainnya.
Tapi, kali ini saya tidak bertanya obat apa saja itu, apa kegunaannya, dan apa efek
sampingnya. Kali ini saya serahkan saja sepenuhnya pada keahlian dokter. Padahal,
dulunya saya amat cerewet kalau diberi obat. Saya harus tahu persis apa-siapanya.
Bahkan, sering saya cek lagi kebenarannya lewat internet. Tapi, kali ini saya
putuskan “tidak akan jadi dokter untuk diri saya sendiri”. Pertama, karena saya
memang bukan dokter. Kedua, banyak juga yang logika saya ternyata salah.
Misalnya, bayangan saya akan transplantasi liver sama sekali berbeda dengan
kenyataan dalam praktiknya.
Apalagi keadaan badan saya terus membaik sehingga saya semakin percaya
saja pada keputusan dokter.
Mengingat indikator-indikator badan saya sudah begitu baik, pada hari
keenam, obat sinkronisasi itu dikurangi 30 persen. Kini tinggal dua kapsul kecil
sekali minum, dua kali sehari. Obat ini merupakan obat terpenting dalam menjaga
keberhasilan transplantasi liver. Untuk meminumnya, ada petunjuk khusus
mengenai waktunya. Kalau sudah ditetapkan jam enam pagi dan malam, harus
tetap seperti itu. Tidak boleh terlambat. Juga tidak boleh dipercepat. Apalagi lupa,
sama sekali tidak boleh. Bagaimana kalau lupa juga? Tetap, tidak boleh lupa. Dalil
“manusia itu tempatnya salah dan lupa” tidak berlaku di sini.
Agar tidak lupa itulah, diciptakan sistem kontrol. “Trust is good, but control
is better,” ujar Robert Lai, ahli hukum dari Singapura lulusan Inggris itu. Dia orang
yang amat disiplin. Sudah sebelas bulan ini selalu menemani saya pergi ke mana
pun. Untuk mewujudkan prinsip yang dipegangnya itu, dia memutuskan
menempatkan perawat khusus di kamar saya. Selama 24 jam sehari. Yakni, perawat
yang khusus melayani kepentingan saya selama 24 jam. Terutama menjaga
ketepatan waktu minum obat, menjaga kebersihan pakaian, handuk, air, dan kamar.
Juga memandikan saya.

  56  
Rumah sakit ini punya semacam unit usaha yang menyediakan jasa perawat
khusus seperti itu. Orangnya umumnya sudah agak tua, sabar, dan punya
keterampilan sebagai perawat. Mereka memang para pensiunan perawat yang
masih ingin terus bekerja. Karena itu, untuk mengukur tekanan darah, suhu badan,
dan pekerjaan sejenis itu, perawat khusus tersebut yang melakukan.
Perawat itu disiplinnya bukan main. Kalau sudah waktunya minum obat, apa
pun harus kalah. Tepat jam enam, dia memaksa saya minum obat. Tidak kurang satu
menit pun atau lebih satu menit pun. Petunjuk itu memang sudah diberikan jauh-
jauh hari sebelumnya sehingga saya juga tahu pentingnya kedisiplinan
meminumnya.
Kehadiran perawat khusus seperti itu amat penting karena belum tentu
keluarga kita mengetahui detail mengenai pengobatan. Dia sudah hafal jenis-jenis
obat yang disediakan dan jam-jam penggunaannya. Dia akan melakukan cek ulang,
apakah obat yang diberikan lengkap atau tidak. Salah atau tidak.
Jasa mereka itu juga penting karena ternyata banyak juga pasien yang tidak
ditunggui keluarganya. Saya lihat beberapa orang Jepang, masuk ke ruang operasi
tanpa satu pun ada anggota keluarga yang mengantarkannya.
Mengingat begitu banyak pasien ganti liver yang pernah mereka rawat,
pengalaman para perawat khusus ini sangat banyak. Dia menjadi seperti perawat
spesialis pasien ganti liver. Dia tahu persis gejala-gejala yang baik dan gejala-gejala
yang kurang baik dalam perkembangan pasien. Dan bagi saya, dia juga guru bahasa
Mandarin. Sebab, dia memang hanya bisa berbahasa Mandarin, bahkan dengan
logat yang sangat daerah. Berarti 24 jam saya bisa belajar Mandarin secara tidak
langsung.
Perawat itu juga menjadi polisi penjaga virus. Dia yang juga ikut mengawasi
orang keluar masuk kamar. Yang tidak pakai masker, dia tegur. Robert memang
menugaskan itu khusus kepadanya. “Kalau ada dokter masuk yang tidak pakai
masker, tentu Anda tidak berani menegur. Jangan ditegur. Tapi, Pak Dahlannya
yang kamu pasangi masker,” pesan Robert kepadanya. Robert, meski bahasa

  57  
pertamanya adalah Inggris, bisa bicara Mandarin dan beberapa bahasa daerah di
Tiongkok. Untungnya, tidak pernah ada dokter yang tidak disiplin.
Bahkan, Melinda dan suaminya sampai membuka sepatu ketika masuk ruang
saya. Semula Melinda dan suaminya hanya ingin menengok saya karena kebetulan
lagi di Tiongkok. Tahu kalau saya segera operasi, dia memtuskan menunggu saya
sampai beberapa hari setelah operasi. Bahkan, dia ikut melakukan “operasi
nonteknik” pada malam menjelang operasi.
Ketika saya beri tahu tidak perlulah masuk kamar sampai copot sepatu, bos
Pakuwon Jati itu mengatakan, “Kamar ini harus lebih bersih daripada sepatu saya.”
Saya tahu sepatunya amat mahal dan tentu juga amat bersih. Tapi, dia tetap copot
sepatu. “Saya tidak mau dituduh sebagai pembunuh Pak Dahlan,” katanya. “Dia lao
da saya. Masak saya harus jadi pembunuh saudara tua saya,” tambahnya.

  58  
Boleh Tak Mengaku, 25 Juta Orang
Menghadapi seperti Saya
7 September 2007

MENGAPA saya harus menjalani transplantasi liver?


“Karena sudah ada kanker di liver saya dan sudah mulai menyebar ke
beberapa tempat meski semuanya masih di dalam liver.”
Mengapa ada kanker di liver saya?
“Karena liver saya sudah tidak normal, sudah mengecil, mengeras, dan rusak.
Istilahnya, sudah mencapai tahap terjadi sirosis.”
Mengapa liver saya bisa sirosis?
“Karena saya mengidap virus hepatitis B, yang gagal saya usir atau saya
matikan. Virus itu menjadi aktif dan merusak liver karena kondisi badan saya sering
sangat lelah. Saat badan lemah, virus yang semula tidur saja di dalam liver punya
kesempatan melakukan aksinya tanpa perlawanan yang berarti dari badan saya
yang sedang lemah.”
Mengapa sering lelah?
“Masak itu ditanyakan. Bikin saya malu. He... he....”
Kenapa ada virus hepatitis B di liver saya?
“Karena liver saya tidak kebal ketika virus untuk pertama kalinya datang dan
masuk ke dalam liver saya.”
Kenapa badan saya tidak kebal?
“Karena saya tidak pernah menjalani vaksinasi antihepatitis B saat saya
masih bayi/kecil.”
Kenapa waktu itu tidak menjalani vaksinasi?
“Karena tidak tahu.”
Kenapa tidak tahu?

  59  
“Karena tidak berpendidikan dan tidak cukup pengetahuan. Juga karena
negara waktu itu masih sangat miskin dan pemerintah sibuk mengurus politik atau
rebutan posisi.”
Soal pemerintah tidak perlu ditanyakan lebih lanjut. Tapi, kenapa Anda tidak
berpendidikan dan tidak cukup pengetahuan?
“Karena miskin sekali. Keluarga saya, hampir semuanya, petani atau buruh
tani.” Kenapa miskin? “Karena tidak berpendidikan.” Kenapa tidak berpendidikan?
“Karena miskin!”
***
Itu bukan kata-kata juru penerang PKK yang setelah zaman reformasi tidak
lagi berperan aktif, tapi akan sangat baik kalau dipakai menyadarkan ibu-ibu untuk
memvaksinkan bayinya agar kebal terhadap virus hepatitis B.
Sebab, sekitar 10 persen penduduk kita terkena hepatitis B. Soal jarang yang
mengakui, itu soal lain. Artinya, sekitar 25 juta orang sedang menghadapi masa
depan seperti saya. Padahal, belum tentu semuanya mendapatkan kesempatan
sebaik saya: bisa menjalani transplantasi liver. Kalau toh banyak yang mampu,
belum tentu operasinya bisa berhasil.
Kesempatan menjalani transplantasi juga kian kecil. Tiap negara kini
cenderung melindungi rakyatnya sendiri sehingga, seperti yang dilakukan Tiongkok
saat ini, liver yang ada harus diprioritaskan untuk penduduk Tiongkok sendiri. Ini
sangat wajar karena persoalan seperti ini akan bisa jadi isu nasional di negara
tersebut. “Di Tiongkok sendiri kini terdapat 120 juta orang yang mengidap
hepatitis B,” ujar Deputi Menteri Kesehatan Tiongkok Hao Yang saat melakukan
kampanye vaksinasi hepatitis B pekan lalu seperti yang disiarkan China Daily 1
September barusan. Hao Yang lantas mengutip angka dari Samuel So, direktur
Asian Liver Centre di Stanford University AS, bahwa 40 persen di antara segala
macam penularan virus terjadi dari ibu ke anaknya.
Maka, pencegahan sangat penting. Di Tiongkok, seluruh bayi sejak 1982
harus tiga kali divaksin antihepatitis. Tiap suntik harga obatnya sekitar Rp 75.000.
Seluruhnya ditanggung negara.

  60  
***
Meski ilmu pengetahuan semakin maju dan keterampilan dokter juga kian
sempurna, tapi kalau sumber donor untuk liver makin terbatas, bagaimana?
Bukankah kesempatan untuk menjalani transplantasi di masa depan kian langka?
Termasuk bagi yang mampu transplantasi sekalipun? Bukankah lantas antrean
untuk dapat giliran transplan kian panjang? Dan kian lama?
Saya sendiri perlu empat bulan menunggu. Dalam keadaan harus terus siap.
Penantian yang tidak jelas harus berapa lama. Yang juga berarti terus berjalannya
argometer biaya. Empat bulan harus tinggal di luar negeri dan dengan keluarga
yang harus mondar-mandir tentu bukan hal yang sederhana. Padahal, sekali lagi,
kita tidak akan pernah tahu harus menunggu sampai berapa lama. Artinya, juga
tidak akan tahu masih harus berapa banyak lagi uang yang disiapkan.
Dengan logikanya yang sederhana, istri saya sering nyeletuk. Suatu
celetukan yang mungkin juga mencerminkan rasa jenuh karena begitu lamanya
menunggu. “Begini sulit ya mempertahankan satu nyawa. Kok di Timur Tengah itu
tiap hari orang dengan gampang menghilangkan nyawa,” katanya.
Istri saya lantas menyebut banyaknya orang Timur Tengah yang antre di
rumah sakit ini. “Bukankah di sana banyak sumber liver? Dari mereka yang begitu
banyak meninggal muda itu? Dan pasti lebih pas karena dari ras yang sama?”
celetuk istri saya.
Tentu tidak sesederhana itu. Ada soal yang bagi orang Islam lebih prinsip.
Yakni apakah boleh, secara Islam, mendonorkan organ tubuh? Apakah boleh organ
dari orang yang baru meninggal diambil untuk menyelamatkan orang lain?
Soal itu di masa depan tidak hanya akan jadi isu agama. Tapi juga isu
keadilan. Isu yang akan lebih mendominasi masa depan dunia. Bisa jadi, kelak, akan
ada aturan bahwa suatu negara tidak boleh mendonorkan organ kepada penduduk
suatu negara yang negara itu atau penduduknya melarang melakukan donor organ.
Misalnya, Indonesia tidak mendukung digalakkannya donor organ atau penduduk
Indonesia mengharamkan donor organ, maka di masa depan orang Indonesia tidak
boleh menerima sumbangan organ dari warga negara lain.

  61  
Kini sudah terasa gejalanya. Dimulai dari munculnya kebijakan
memprioritaskan penduduk negaranya sendiri. Alasan keadilan lantas
memperkuatnya.
Kesadaran seperti itu akan membuat banyak negara ikut mengubah
peraturannya. Tiongkok sudah mengubahnya empat bulan lalu. Orang asing tidak
akan gampang lagi mendapatkan donor dari penduduk setempat.
Begitu banyak orang Tiongkok sendiri yang memerlukan transplantasi. Yang
terkena hepatitis B saja mencapai 120 juta orang, sudah sama dengan separo
penduduk Indonesia. Kalau mereka tidak terlayani karena miskin, tidak kuat bayar,
maka akan menjadi isu kesenjangan sosial. Akan menjadi isu politik yang sensitif
bagi Tiongkok yang lagi gencar-gencarnya memerangi kesenjangan sosial.
Belum lagi, kini, orang kaya di Tiongkok bertambah-tambah dengan
drastisnya. Mereka tentu akan semakin mampu dalam ikut “memperebutkan”
donor yang kian terbatas.
Singapura sudah lebih dulu membuat aturan seperti itu. Bahkan, melarang
sama sekali liver orang Singapura untuk orang non-Singapura. Sebab, di Singapura
sendiri antara kesediaan liver dan yang memerlukannya jauh lebih banyak yang
terakhir.
Awal bulan ini, diberitakan antrean transplantasi di Singapura sudah sampai
10 tahun. Artinya, mendaftar sekarang baru akan dapat liver 10 tahun lagi. Karena
itu, setiap saat selalu ada pasien antre yang dicoret dari daftar antre. Mengapa?
“Sudah tidak layak antre. Selama penantian, kondisi badannya sudah semakin
buruk,” ujar dr Tong Ming Chuan, saah seorang direktur program jantung- paru
Singapura. “Tiga di antara empat orang yang dicoret dari daftar antre itu tak lama
kemudian memang meninggal,” ujar dr Tong sebagaimana disiarkan The Strait
Times 2 September lalu.
Kini, panjang antrean itu ratusan orang di Singapura. Sebanyak 555 orang
antre untuk transplan ginjal dan 16 orang antre liver. Di antara lima orang yang
antre transplan jantung, tinggal satu yang masih memenuhi syarat dalam daftar.
Tapi, itu tidak berarti bisa cepat dapat giliran. Sebab, donor jantung lebih sulit.

  62  
“Donor liver atau ginjal bisa berupa separo organ tersebut. Tapi, donor jantung
harus satu jantung utuh. Ini berarti pendonornya harus meninggal,” katanya.
Di antara 555 orang itu terakhir, yang 139 orang juga sudah tidak memenuhi
syarat lagi untuk transplan. Di antara 139 itu pun, diperkirakan yang 22 orang
sudah akan meninggal tidak lama lagi. Sudah terlalu terlambat untuk transplan.
Kalau toh dipaksakan, peluang berhasilnya tipis. Sayang donornya. Mendingan
diberikan kepada pasien yang kans berhasilnya lebih besar. Khusus untuk yang
antre liver saja, tahun lalu enam orang meninggal karena perkembangan sakit
livernya lebih cepat daripada waktu antrenya.
Kini, siapa yang harus hidup dan siapa yang harus mati ternyata bisa
ditentukan oleh dokter.
Karena itu, Singapura akan melangkah lebih jauh. Peraturan baru sedang
disiapkan. Kalau selama ini organ hanya diambilkan hanya dari orang yang sudah
menyatakan organnya boleh didonorkan, nanti akan dibalik. Menjadi: hanya orang
yang menyatakan keberatan saja, yang organnya tidak bisa jadi donor. “Peraturan
ini juga akan berlaku bagi penduduknya yang beragama Islam,” katanya. Selama ini,
aturan transplan selalu dikecualikan bagi yang muslim. Ini terkait dengan
keyakinan agama. Kini kekhususan itu tidak ada lagi.
Artinya, organ semua orang Singapura secara otomatis boleh diambil setelah
dia mati, kecuali yang keberatan saja. Ini seperti prinsip ushul-fikh (kaidah aturan):
semua yang tidak dilarang berarti dibolehkan. Singapura akan menggunakan
prinsip ushul-fikh itu.
Begitu seriusnya problem defisit donor itu, sehingga Tiongkok juga akan
mengubah peraturan di bidang kedokteran tentang “kapan seseorang dinyatakan
meninggal”. Ini setelah awal Agustus kemarin diperdebatkan di forum para ahli
transplantasi di Beijing. Satu perdebatan yang amat teknis- medis di sekitar saat
kematian datang. Yakni saat-saat kematian batang otak. Saya sendiri tidak paham
istilah-istilahnya. Yang jelas, kalau peraturan lama yang dipakai menentukan
tibanya saat kematian, akan banyak sekali organ yang sudah terlanjur “ikut mati”.
Ini akan tidak bisa dimanfaatkan untuk amal jariyah berikutnya. Maka, aturan

  63  
menentukan saat kematian itu akan dibuat lebih awal, sebagaimana yang sudah
disepakati di banyak negara maju.
Saya jadi berpikir dan diskusi lagi dengan diri sendiri. Saat kematian ternyata
bisa diajukan atau dimundurkan walau hanya sesaat. Bagi yang paham ayat Al Kitab
mengenai kematian (idza jaa-a ajal luhum...) tentu satu pekerjaan tersendiri untuk
mendiskusikannya. Terutama apakah yang dimaksud dengan ajal di situ.

  64  
Tersenyum ketika Dioperasi seperti
Menikmati Kemiskinan
8 September 2007

JELASLAH bahwa karena kemiskinan dan kejumudan yang


melatarbelakangi, saya menderita sakit liver. Apakah saya menyesali dilahirkan di
keluarga miskin? Sama sekali tidak. Kemiskinan kami adalah kemiskinan struktural.
Kemiskinan yang juga dialami banyak orang di lingkungan saya. Bahkan hampir di
semua kampung saya. Di kapupaten saya. Juga di negara saya. Kemiskinan rame-
rame. Kami bisa menikmatinya bersama-sama.
Jadi, jangan sampai ada yang menyangka bahwa kami sangat menderita.
Tidak. Kami miskin bukan karena harta habis untuk main judi atau untuk mabuk-
mabukan atau untuk narkoba. Kami memang tidak punya harta.
Kalau toh kami boros, kurang hemat, itu pun jangan disalahkan. Keborosan
kami adalah “keborosan- religius”. Juga “keborosan-yang-beradab”, yakni boros
untuk melestarikan adat-istiadat.
Kami harus banyak keluar biaya untuk selamatan Lebaran, kupatan,
mauludan, rejeban, megengan, rebowekasan, dan seterusnya, tapi semua itu kami
niati untuk ibadah -entah apakah seharusnya pakai selamatan segala. Kami sangat
menyenangi selamatan. Terutama saat kami masih kecil. Itulah saatnya kami bisa
makan nasi. Bukan gaplek. Itulah saatnya kami bisa makan telur. Bukan hanya
sambal atau garam. Itulah saatnya kami, kalau nasibnya baik -yakni dapat ambeng
yang baik-, bisa memperebutkan daging ayam secuil. Satu bentuk selamatan di
serambi masjid yang amat kami tunggu-tunggu. Karena itu, kami hafal benar kapan
akan ada mauludan atau megengan. Bahkan sudah kami nantikan sejak berhari-hari
sebelumnya.
Kami juga harus slametan nyepasari, mitoni, sunatan, wetonan, dan
seterusnya. Tapi, itu juga kami perlukan sebagai wujud donga-katon (doa yang
dipersonifikasikan). Karena itu, harus ada sayur kluwih untuk menandakan bahwa
kita ingin rezeki yang linuwih (berlebih). Juga harus ada cakar ayam untuk lambang

  65  
doa kuat melangkah. Pokoknya, semua kami wujudkan dalam makanan seperti
seolah-olah kami bisu.
Setiap kupatan, kami juga harus munjung ke kiai kami. Sesepuh kami.
Punjungan itu berbentuk makanan yang paling istimewa. Ibu membuat lontong
yang untuk merebusnya saja diperlukan waktu 24 jam. Agar lontong masak
sempurna dan tidak basi sampai seminggu pun. Daun pembungkusnya harus daun
pisang raja agar harumnya khas. Sayurnya harus lima macam, salah satunya harus
opor ayam. Ibu pandai sekali bikin opor ayam. Tapi, kami hanya boleh makan sedikit
kuahnya. Dagingnya untuk punjungan. Ibu sudah menyiapkan ayam itu sejak enam
bulan sebelum kupatan. Tentu, kami tidak mungkin mampu membeli ayam. Sering
ibu harus membeli dulu satu telur. Lalu dititipkan ke tetangga untuk bersama-sama
ditetaskan di situ. Lalu dipeliharanlah ayam tunggal itu. Sampai tiba saatnya harus
dipotong untuk dihaturkan kepada kiai kami yang sebenarnya sudah kaya.
Bapak sangat menjunjung tinggi adat itu. Kiai kami bukan sembarang kiai.
Kiai kami adalah guru- tarikat kami. Guru yang oleh bapak dipercaya sebagai
wasilah dalam term filsafat ahl-dzikr. Tidak ada ahl-dzikr lain di dunia ini kecuali
kiai kami itu. “Ahl-dzikr hanya satu di dunia,” kata bapak saya. Ini karena menurut
tata bahasa Arab (nahwu), kata ahl di situ menunjukkan bentuk tunggal (ism
mufrad). Ternyata, semua aliran tasawuf punyai klaim yang sama untuk kiai mereka
sendiri. Tapi, bapak saya tidak tahu itu. Tahunya ya hanya tasawuf Sathariyah. Dan
meyakini bahwa kiainya, KH Imam Mursyid Muttaqien, adalah sang “ahl dzikr” nan
tunggal.
Misalnya saja, bapak kedatangan tamu yang dulu sesama abdi dalem di
rumah kiai tersebut. Tentu, bapak bicara seenaknya dan penuh guyon dengan
tamunya. Tapi, begitu si tamu mengatakan kedatangannya hari itu diutus sang kiai,
sikap bapak otomatis berubah. Bapak akan langsung bersila, menunduk, dan
ngapurancang di depan teman sesama abdi dalem itu. Bapak langsung
menggunakan kata-kata kromo inggil (bahasa Jawa level tertinggi) dalam
percakapan dengan temannya itu. Bapak langsung merasa sedang berhadapan

  66  
dengan kiainya sendiri. Bapak adalah idola kami dalam bersikap tawadluk -hormat
kepada sesepuh.
Saya pernah bertugas mengantarkan punjungan yang aromanya sangat
harum itu. Kami berjalan kaki sejauh 6 kilometer untuk sampai ke rumah sesepuh
kami itu. Di jalan, kami bisa mengira-ngira nikmatnya makanan yang akan kami
antar itu karena kami sudah merasakan rasa kuahnya. Meski kiai tersebut masih
paman ibu saya sendiri, kami dilarang untuk masuk sampai ke dalam rumahnya.
Kami hanya boleh mengantar sampai teras samping rumah pendapa itu.
Kami sungguh menikmati kemiskinan kami seperti menikmati khayalan
mengenai lezatnya opor ayam yang disiapkan sejak enam bulan sebelumnya itu.
Saya, waktu kecil, memang hanya punya satu celana pendek dan satu baju,
tapi saya masih punya satu sarung! Jangan remehkan kemampuan sarung ini. Dia
bisa jadi apa saja. Mulai jadi alat ibadah, mencari rezeki, alat hiburan, fashion,
kesehatan, sampai jadi alat memeras atau menakut-nakuti.
Sarung inilah pakaian yang, meski hanya satu potong kain, fleksibelnya
bukan main. Kalau saya lagi mencuci baju, sarung itu bisa saya kemulkan di bagian
atas badan saya. Kalau saya lagi harus mencuci celana, sarung itu bisa jadi bawahan.
Kalau kami lagi cari sisa-sisa panen kedelai di sawah orang kaya, sarung itu
bisa jadi karung.
Kalau saya lagi ingin mendalang (waktu kecil saya suka sekali mendalang,
dengan wayang terbuat dari rumput dan gamelan dari mulut teman-teman), sarung
itu saya bentangkan dengan tiang pendek di kiri kanannya: jadilah dia kelir.
Kalau lagi musim angin dan kami ingin bermain-main dengan angin itu,
sarung kami bentangkan di atas kepala: jadilah dia layar.
Kalau saya lagi lomba terjun ke sungai dari atas jembatan, saya ikat ujung
sarung itu: jadilah dia semacam payung parasit.
Kalau perut lagi lapar sekali dan di rumah tidak ada makanan sama sekali,
saya ikatkan kuat-kuat sarung itu di pinggang: jadilah dia pengganjal perut yang
andal.

  67  
Saya belum menemukan bentuk pakaian lain yang fleksibelnya melebihi
sarung. Kalau sembahyang, jadilah dia benda penting menghadap Tuhan. Kalau lagi
kedinginan, jadilah dia selimut. Kalau lagi mau nakut-nakuti anak kecil, jadilah dia
pocongan.
Kalau sarung itu robek (biasa waktu dipancal kaki saat tidur kedinginan atau
saat kena duri bambu saat mencuri tebu), sarung itu masih bisa dijahit. Kalau di
tempat jahitan itu robek lagi, masih bisa ditambal. Kalau tambalannya pun sudah
robek, sarung itu belum akan pensiun. Masih bisa dirobek- robek: bagian yang
besar bisa untuk sarung bantal, bagian yang kecil untuk popok bayi.
Sakit bisa dinikmati. Miskin pun bisa dinikmati. Apalagi suasananya sering
diciptakan demikian. Misalnya saja, kisah tentang bagaimana Khalifah Umar
menemukan orang miskin yang anaknya menagis terus karena lapar. Untuk
meredam tangis si anak, ibunya pura-pura merebus sesuatu. Padahal, yang direbus
itu adalah batu. Cerita yang demikian jadi kebanggaan. Juga cerita sufi tentang
bagaimana orang sakti yang kalau lapar cukup mengganjal perutnya dengan batu.
Atau bagaimana nabi hanya memakan kurma dua biji setelah seharian berpuasa.
Lapar itu sering luar biasa nikmatnya.
Orang miskin punya jalan sendiri untuk menikmati kemiskinannya, seperti
juga orang kaya punya cara sendiri menikmati kekayaannya. Kadang, orang kaya
merasa iba kepada orang miskin. Padahal, sering juga orang miskin merasa kasihan
kepada orang kaya. Banyak orang desa yang merasa kasihan kepada Tommy
Soeharto yang akhirnya harus menderita. Mereka tidak tahu bahwa Tommy masih
kaya raya.
Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya. Jangankan terkena
kanker atau sirosis atau hepatitis. Mati pun dianggap, kalau memang sudah
garisnya, harus diterima apa adanya. Karena itu,ayat yang menyatakan “kalau
sudah tiba waktunya, tidak bisa diundur sekejap pun atau dimajukan sedikit pun”
menjadi amat populer. Melebihi popularitas ayat yang mengajarkan “carilah rezeki
di bumi Tuhan ini”.

  68  
Kisah sedekah yang populer juga terkait dengan kemiskinan. Sangat sering
diajarkan bahwa sedekah tidak harus dengan harta. Menyingkirkan duri dari
tengah jalan pun sudah merupakan sedekah. Bahkan, tersenyum pun sudah
sedekah. Maka, marilah kita sering tersenyum. Mau dioperasi besar pun saya
tersenyum. Itulah sedekah yang sudah sejak kecil diajarkan -dan yang dulu satu-
satunya yang mampu kami lakukan.

Setelah Rutin Disuntik, Menyangka


Hepatitis Sudah Beres
9 September 2007

SAYA menerima kehadiran virus hepatitis B di liver saya sebagai takdir.


Kalau kemudian berkembang menjadi sirosis dan kanker, itu sebagai sunnatullah-
Nya -sudah seharusnya begitu. Jangan harap satu virus hepatitis B tidak akan
menjadi sirosis. Dan, jangan ada harapan sirosis tidak akan jadi kanker. Tidak ada
keajaiban di proses itu. Tidak ada mukjizat. Tinggal waktu saja yang berbeda.
Proses perkembangan itu lama atau cepat.
Karena namanya virus, pasti datangnya dari luar. Jadi, bukan keturunan atau
gen, seperti yang semula saya kira. Bahwa keluarga saya banyak yang demikian,
tentu itu karena gaya hidup di desa yang memang seperti itu. Makan bersama,
berebut lauk dari piring yang sama, cuci tangan dari kobokan yang sama. Semua
bisa saja jadi sarana penularan. Karena hidup seperti itu dilakukan sejak kecil,
kemungkinan penularannya juga tidak kecil.
Di Tiongkok, data terbaru menyebutkan hampir 10 persen penduduknya
terkena virus hepatitis. Ini berarti lebih dari 120 juta orang. Di Indonesia,
persentasenya saya kira hampir sama. Karena itu, penelitian terhadap hepatitis
intensif sekali di Tiongkok, karena menyangkut begitu banyak orang.

  69  
Ke depan mestinya virus ini amat berkurang karena kesadaran melakukan
vaksinasi hepatitis kepada bayi sangat tinggi. Di Tiongkok sejak 1982. Di Indonesia
terutama sejak zaman Orde Baru.
***
Saya sendiri tahu kalau mengidap hepatitis B sejak sekitar 25 tahun lalu.
Yakni, ketika untuk kali pertama dalam hidup saya memeriksakan darah. Waktu itu
tiba-tiba badan saya panas sekali. Maka saya harus periksa darah. Diketahuilah
bahwa ada virus hepatitis B di liver saya. Sebelumnya, sejak kecil, kalau badan
panas yang dibiarkan saja: toh akan dingin sendiri.
Saat itu juga saya langsung mengambil langkah. Konsultasi dengan salah satu
dokter ahli penyakit dalam terbaik di Surabaya: Prof Mohamad Hassan (kini
almarhum). Dia mendengar ada obat yang masih baru sama sekali. Namanya
interveron. Kalau mau, saya boleh mencoba obat baru itu, karena memang
sebelumnya tidak pernah ditemukan obat untuk melawan virus itu.
Tapi, Prof Hassan mengingatkan bahwa harganya mahal sekali. Juga harus
disiplin tinggi karena obat itu harus disuntikkan 76 kali, setiap dua hari sekali. Kini
interveron sudah amat murah dibanding harga 25 tahun lalu. Tapi, Prof Hassan
juga memberitahukan bahwa kemungkinan berhasilnya juga tidak 100 persen, baru
25 persen. Ya, siapa tahu saya masuk yang 25 persen itu, katanya.
Saya pun menyetujuinya. Maka setiap dua hari saya suntik interveron.
Ketika pertama suntik saya harus ngamar di rumah sakit. Saya pilih RS Budi Mulia
di Jalan Raya Gubeng. Mengapa harus ngamar? “Akibat suntikan itu, suhu badan
bisa tinggi sekali. Kalau terjadi sesuatu yang membahayakan, Anda sudah berada di
rumah sakit,” katanya.
Obat itu berfungsi bukan membunuh virusnya, melainkan hanya
mengurungnya. Maksudnya, dengan dikurung seperti itu, virus tidak akan
merajalela. Sebab, memang belum ada obat ang bisa membunuhnya.
Pada hari dilakukan penyuntikan pertama, saya langsung siap-siap selimut
tebal. Kalau panas datang dan badan menggigil, saya sudah tidak bingung lagi. Saya
tunggu kedatangan “suhu tinggi” dan “rasa menggigil” itu sampai sore. Tangan

  70  
sudah selalu siap memegang selimut kalau tiba-tiba harus segera menutupkan ke
tubuh saya. Saya tunggu sampai malam, ternyata si demam tidak datang juga.
Bahkan sampai besoknya pun.
Lalu saya boleh pulang. Saya bisa menyuntikkan interveron berikutnya di
mana pun saya mau. Bisa di kantor, di poliklinik, atau di praktik dokter. Saya
menyimpan interveron itu di termos khusus yang bisa saya bawa bepergian. Ke
mana-mana saya membawa termos itu berikut alat suntiknya.
Pernah suatu saat saya harus ke Ambon. Tentu saya bawa juga interveron
itu. Di Ambon ternyata sulit sekali mencari dokter yang mau menyuntikkannya. Di
sana umumnya dokter tidak tahu obat apa yang saya bawa itu. Sudah saya jelaskan
panjang lebar, tetap saja dia tidak mau. Memang seharusnya demikian. Kalau tidak
tahu, tidak boleh melakukannya. Yang jadi persoalan adalah bukan tidak mau, tapi
memang betul-betul belum tahu obat tersebut. Maklum, memang obat yang masih
sangat baru.
Pernah juga saya mengalami kesulitan yang sama saat berada di Batam.
Padahal, saya juga harus mengejar pesawat. Akhirnya saya minta disuntik di pos
kesehatan bandara Batam.
Setelah proses itu selesai, saya menjadi lengah. Saya menyangka, hepatitis
saya sudah beres. Saya tidak pernah lagi memperhatikannya. Saya tenggelam oleh
kesibukan dan kecerobohan saya sendiri.
Kini, saya dengar kualitas interveron sudah semakin baik. Sudah puluhan kali
lebih kuat daripada 25 tahun lalu -saat saya pertama menggunakannya. Barangnya
juga sudah lebih mudah didapat. Tiongkok juga sudah memproduksinya besar-
besaran. Harganya pun sudah jauh lebih murah dibanding ketika saya harus
membeli dulu. Murah untuk ukuran orang sakit liver, tapi tetap mahal untuk
kebanyakan orang.
Sejak minum interveron itu saya tidak pernah mencari tahu lagi apakah
sudah ada obat yang lebih jitu. Bahkan, saya sudah melupakan hepatitis saya.
Badan saya yang selalu fit, membuat saya terlalu percaya diri. Pujian bahwa saya
adalah orang yang “tidak punya udel” (tidak punya pusar, untuk menggambarkan

  71  
punya kemampuan kerja kuda) membuat saya terlena. Saya terus kerja dan kerja.
Terbang dan terbang. Di dalam negeri dan ke luar negeri.
Sampailah pada Mei 2005. Hari itu saya terbang ke 19 kota hanya dalam
waktu 8 hari. Mulai Surabaya-Jakarta-Pontianak-Kuching-Singapura-Guangzhou-
Wenzhou-Jinhua-Hangzhou-Nanchang- Guangzhou-Jakarta-Makassar-Ambon-
Makassar-Kendari-Makssar-Jakarta-Surabaya.
Istri saya, bersama Ibu Eric Samola, bergabung dengan saya di Makkasar
untuk sama-sama ke Ambon. Tiba di Ambon tidak mau sarapan, langsung ke kantor
harian Ambon Ekspress untuk rapat. Mengapa tidak mau sarapan? Setiap ke
Ambon saya punya cita-cita khusus: akan makan durian sebanyak-banyaknya.
Durian Ambon luar biasa enaknya. Apalagi kalau dimakan di pantai yang sangat
natural itu: pantai Ambon yang indah. Di mana itu? Kalau Anda turun dari pesawat,
keluar dari bandara, jangan belok kanan ke arah kota, tapi belok kiri ke arah
kampung. Aduh naturalnya!
Tapi, rapat masih diteruskan dengan mengajar. Dulu, setiap kedatangan saya
ke anak perusahaan selalu dimanfaatkan untuk pertemuan dengan wartawan. Saya
memang punya forum yang disebut “bengkel wartawan”. Di forum “bengkel” itulah
saya selalu diminta menularkan pengetahuan dan keterampilan jurnalistik. Berarti
makan siang juga kelewatan.
Selesai forum bengkel, sudah tidak tahan lagi untuk segera makan durian.
Makannya tidak di pantai Ambon tidak apa-apa. Kebetulan di depan kantor, di
pinggir jalan depan Masjid Al Fatah, banyak penjual durian. Kenyanglah. Lupa
sudah makan siang. Malamnya, setelah makan malam dengan menu makanan lokal
yang disebut papeda, saya ke kantor lagi sambil seperti menangis. Papeda malam
itu merupakan makanan terpedas yang pernah saya alami setelah makanan yang
disebut suai yang ru di Chongqing, Tiongkok.
Mestinya, saya jangan makan papeda malam itu. Mestinya tetap saja makan
ikan laut. Ikan laut Ambon segarnya, manisnya, enaknya, bukan kepalang. Saya
selalu merindukannya. Tapi, sejak kerusuhan Ambon, saya tidak tahu lagi di mana
restoran yang terkenal itu membuka usaha.

  72  
Perut saya mulai bergolak malam itu. Mungkin ikan-ikan Ambon cemburu
dan marah mengapa malam itu saya melupakannya. Lalu menyantet perut saya.
Meski perut mulas, tengah malam itu saya masih harus ke percetakan. Paginya,
pukul empat sudah harus berangkat ke Makassar. Rapat dengan harian Fajar yang
kini baru menyelesaikan membangun gedung Graha Pena Makassar. Rapat pun
buru-buru karena harus segera ke Kendari, rapat dengan harian Kendari Post yang
waktu itu juga lagi membangun Graha Pena Kendari. Di Kendari saya juga punya
cita-cita khusus: makan ikan bakar. Hari itu bumbunya juga pedas bukan kepalang.
Tiba di Surabaya, barulah saya bisa tidur dengan baik. Bangun tidur, tiba-tiba
saya mau muntah. Saya muntahkan saja, tapi kedua tangan saya menjadi penadah.
Sambil tangan menampung muntahan, saya lari ke toilet untuk membuang
muntahan yang ada di tangan. Tentu ada yang tercecer di lantai kamar. Dari yang
tercecer itulah saya lihat banyak onggokan berwarna hitam. Setelah onggokan itu
saya injak, ternyata warnanya merah: darah. Oh, ternyata saya muntah darah.
Tapi, badan saya rasanya baik-baik saja. Saya memang merencanakan ke
dokter, tapi besoklah. Setelah saya menghadiri coblosan pemilihan wali kota
Surabaya. Anak buah saya, Pimred Jawa Pos Arif Afandi, menjadi calon wakil wali
kota mendampingi calon Wali Kota Bambang D.H. Saya harus memilihnya sebagai
dukungan ke anak buah.
Barulah selesai coblosan saya ke Rumah Sakit Darmo Surabaya.
Perkembangan hasil pilkada itu, di mana Bambang-Arief terpilih, saya ketahui saat
saya berbaring di ranjang pasien.
Saya ternyata memang harus ngamar di rumah sakit. Dokter menyesalkan
saya, mengapa begitu muntah darah tidak langsung ke rumah sakit. Dokter bilang
saya beruntung. Bisa jadi muntah darah itu akan sangat fatal dan mematikan. Lalu
saya ingat kakak saya yang meninggal tidak lama setelah muntah darah. Juga ibu
saya. Paman-paman saya.
Pemeriksaan di Rumah Sakit Darmo menunjukkan betapa berbahayanya
sakit saya. Bahaya yang sama sekali tidak saya rasakan sebelumnya. Bahaya yang

  73  
selalu kalah dengan semangat. Dalam istilah teman saya, penyakit tidak mau
mampir ke badan saya karena tidak akan dilayani akibat kesibukannya.
Ternyata semua itu menipu. Penyakit tetap datang dan diam-diam
menggerogoti onderdil saya. Sebuah kerusakan di dalam, yang tidak segera
diketahui di luarnya. Tahu-tahu saja sudah terlambat sekali.

Esofagus Ditambal atau Bilang Saja


Pencernaan Dilaminating
10 September 2007

KETIKA kartu suara pemilihan wali kota Surabaya dihitung, dokter RS


Darmo Surabaya juga mulai melihat dari mana asal darah yang saya muntahkan.
Saya dibius. Tenggorokan saya dimasuki alat yang ujungnya berkamera superkecil.
Tindakan ini dalam istilah kedokteran disebut dengan endoskopi. Yang
mengendoskopi saya ketika di RS Darmo Surabaya saat itu adalah dr Pangestu Adi
SpPD-KGEH, yang sudah sangat ahli dan senior di bidang itu.
Dari tenggorokan, alat itu masuk sampai ke lambung saya, melalui pipa
esofagus (yang menghubungkan mulut dengan lambung).
Dari gambar yang dipantulkan alat itu terlihat, betapa banyak gelembung
darah yang siap pecah di sepanjang esofagus saya. Ada yang kecil, banyak juga yang
besar. Gelembung-gelembung itu sebenarnya adalah pembuluh darah esofagus
yang karena tekanannya terlalu besar lantas menggelembung. Dalam istilah medis,
pembuluh darah esofagus yang menggelembung dinamakan varises esofagus.
Disebut varises karena memang mirip varises di betis.

  74  
Hanya, karena dinding pembuluh darah esofagus lebih tipis, varises di bagian
itu lebih gampang meletus, pecah. Jika itu terjadi, pasien akan mengalami
pendarahan hebat yang sulit dikendalikan. Akibatnya bisa sangat fatal. Yakni,
pasien meninggal karena kehabisan darah.
Varises esofagus terjadi karena pembuluh darah utama yang masuk ke liver
menyempit akibat adanya sirosis. Karena pintu masuknya menyempit, tekanan di
pembuluh darah utama itu pun jadi meningkat. Karena tak segera diturunkan,
tekanan itu pun merembet sampai ke pembuluh darah esofagus dan limpa. Itu
sebabnya mengapa limpa saya juga ikut membesar sampai hampir tiga kali lipat.
Kata banyak dokter di Surabaya ketika itu, saya termasuk orang yang
beruntung. Karena tidak kolaps ketika beberapa gelembung varises di esofagus
saya pecah dan menyebabkan saya muntah darah dua hari sebelum endoskopi
dilakukan.
“Sebaiknya Pak Dahlan segera ke Singapura. Dalam kesempatan pertama,”
ujar Prof Dr dr Boediwarsono SpPD-KHOM yang merawat saya ketika itu. “Lebih
baik dilakukan di sana,” tambahnya.
Sampai saat itu, saya masih belum memahami sepenuhnya bahaya yang saya
hadapi. Maklum, rasa badan saya baik-baik saja. Baru dua minggu kemudian, ketika
ada acara di Singapura, saya mampir ke seorang ahli penyakit dalam yang terkenal
di RS Mount Elizabeth. Saya diperiksa di situ untuk mengetahui apa yang terjadi
sebenarnya dan tindakan apa yang harus dilakukan. Seminggu kemudian saya
diminta datang lagi untuk operasinya. Hari itu dia sudah telanjur banyak janji
dengan pasien lain. Padahal, operasinya perlu waktu dua jam sendiri.
Agar kedatangan saya ke Singapura minggu depannya lebih efektif, saya
bikin janji dengan investor Singapura yang bersama perusahaan daerah Jatim akan
membangun shore base di Lamongan. Sebelum operasi, saya punya waktu
membicarakan kelanjutan rencana proyek Rp 250 miliar itu. Dengan cara ini
perusahaan daerah tidak perlu keluar uang perjalanan dinas dan biaya-biaya lain.
Saya memang biasa begitu. Urusan perusahaan daerah selalu saya gabung dengan

  75  
urusan saya pribadi. Sehingga selama lima tahun sebagai Dirut perusahaan daerah,
saya tidak pernah menggunakan uang perusahaan.
Minggu depannya, selesai rapat, saya ke rumah sakit. Langsung dibius dan
dioperasi. Sekali lagi, tenggorokan saya dimasuki alat yang bisa masuk sampai
pencernaan. Seperti pada endoskopi, ujung alat itu pun dilengkapi kamera.
Dengan bantuan kamera itu, tim dokter di Mount Elizabeth lantas
mereparasi esofagus saya. Antara lain dengan menuangkan semacam lem
berwarna putih ke gelembung-gelembung varises di esofagus saya. Tujuannya
untuk menambal bagian yang sudah meletus, sekaligus melapisi yang sudah siap
meletus. Dengan begitu, ketika meletus, darahnya tidak semburat ke luar lagi.
Teknis penambalan esofagus sebenarnya tidak sesederhana penjelasan saya
itu. Saya hanya menyederhanakannya. Bahkan, kepada keluarga saya, saya
menggunakan istilah yang lebih sederhana lagi: Saluran pencernaan saya
“dilaminating”.
Karena jumlah gelembung yang harus ditambal begitu banyak, proses
“laminating”-nya tak bisa hanya sekali. Dan, hari itu dokter hanya punya waktu
untuk mengatasi gelembung yang besar-besar, yang sudah meletus dan benar-
benar siap meletus. Selain itu, kalau yang “dilaminating” kebanyakan, beban bagi
tubuh saya akan terlalu berat.
Dengan hanya “melaminating” yang besar-besar, dokter berharap
gelembung yang kecil-kecil akan mengecil dengan sendirinya. Untuk memastikan
itu, saya diminta kembali dua bulan kemudian.
Sesuai jadwal, dua bulan kemudian saya balik ke Singapura. Rapat lagi sambil
meneruskan proses “laminating” berikutnya. Meski yang kecil-kecil tidak
membesar, dokter memilih yang aman. Gelembung-gelembung kecil yang tersisa
“dilaminating” semua. Hari itu, persoalan mendesak yang mengancam hidup saya
teratasi. Tepatnya, teratasi sementara.
Kenapa sementara? Ini karena penyebab terjadinya gelembung-gelembung
itu sendiri masih njegog di badan saya: sirosis. Kelak saluran pencernaan saya akan
tertekan lagi, bengkak lagi, dan menjadi gelembung-gelembung darah lagi. Berarti

  76  
setahun kemudian saya masih terancam muntah darah lagi. Tapi, dengan
“laminating” ini, setidaknya saya bisa mengulur waktu.
Bulan berikutnya, ketika direksi perusahaan daerah sudah selesai
merundingkan draf perjanjian dengan pihak Singapura, saya putuskan untuk
menandatangi perjanjian setebal bantal itu. Saya juga sudah minta tolong agar
teman saya, Robert Lai, lawyer lulusan Inggris yang sudah biasa bikin perjanjian
dalam bahasa Inggris, untuk melihat, mencermati, dan memberikan koreksi mana-
mana yang akan membuat posisi perusahaan daerah lemah. Dia memberikan
banyak sekali koreksi. Lalu menyerahkan koreksi itu ke direksi perusahaan daerah
untuk dipikirkan lebih lanjut. Dia melakukannya secara gratis. Sudah beberapa kali
Robert membantu perusahaan daerah secara sukarela seperti itu.
Menjelang tanda tangan perjanjian itulah saya berkonsultasi dengan dokter
mengenai problem kesehatan saya yang berikutnya.
Misalnya, bagaimana mengatasi sirosis saya. Bagaimana agar tidak terancam
muntah darah lagi. Bagaimana agar kaki saya tidak bengkak lagi.
Lalu saya tunjukkan kaki saya yang mengembung dan membesar itu kepada
dokter yang merawat saya. “Bagaimana mengatasinya?” tanya saya.
Jawaban dokter itu sungguh di luar dugaan saya. “Beli saja sepatu yang lebih
besar,” katanya ketus. “Kalau sesak lagi?” tanya saya lagi. “Ya, beli lagi yang lebih
besar lagi!” jawabnya, enteng.
Jawaban itu memang seperti keluar dari mulut Asmuni-Srimulat. Tapi, saya
merenungkannya. Getir jawaban itu, tapi saya kunyah lama-lama. Semakin
dikunyah, memang semakin pahit rasanya. Seperti pahitnya butrawali, buah yang
dijadikan ukuran terpahit di Jawa. Lalu saya telan sedikit-sedikit lewat
tenggorokan saya yang sakit: beli sepatu yang lebih besar. Dan beli lagi yang lebih
besar lagi.
Begitu pahitnya kalimat dokter itu, membuat pencernaan seperti mulas dan
mau muntah. Lalu saya muntahkan sekalian kalimat dokter itu: Dalam wujud
muntah seperti darah. Merah rupanya, merah rasanya. Di atas muntahan itu seperti
terbaca peringatan keras: tidak ada obatnya, Dahlan, tidak ada obatnya!

  77  
***
Saya masih minta butrawali satu lagi: Bagaimana dengan sirosis saya?
Maksud saya apakah sudah ada obat untuk memperbaiki sirosis? Atau, dalam
bahasa orang awam, apakah ada jalan keluar untuk membuat liver yang sudah
mengeras di sana-sini itu kembali lunak? Dan jalan darah yang sudah banyak yang
buntu itu membuka lagi?
Dokter rupanya tidak punya banyak waktu. Juga tidak mau bertele-tele. Dia
seperti menganggap manusia ini benda yang tidak punya perasaan. Dokter
melemparkan jawaban pendek, langsung, tajam. Terasa seperti lemparan pisau
yang langsung mengarah ke liver saya. Menghunjam dalam sekali. Lalu menyayat-
nyayatnya. Berdarah-darah. Pedih. “Anda lakukan transplantasi saja. Mungkin
hidup Anda bisa lebih panjang lima tahun lagi,” katanya. “Sekarang Anda berumur
55 tahun. Tambah lima tahun menjadi 60. Cukuplah,” katanya.
OK. Lima tahun lagi, Dahlan, kau bisa dapat tambahan umur lima tahun lagi.
Tidak boleh lebih. Bisa sampai umur 60 cukuplah. OK.
Tapi, “Kenapa setelah transplantasi hanya bisa hidup lima tahun?” tanya
dokter itu pada saya. Sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu. Saya sudah oke.
Tambah lima tahun sudah oke. Saya tidak mau dia memberi saya sekarung
butrawali. Tapi, dia jawab sendiri pertanyaan itu: karena liver barunya nanti
kemungkinan juga terkena hepatitis lagi, dan akan jadi sirosis lagi. Apalagi kalau
saat itu sudah ada kankernya, bisa jadi bibit kanker itu juga masuk lagi ke liver baru.
Berarti juga tidak ada jalan keluar untuk sirosis. Padahal, sirosis itu yang
menyebabkan saluran pencernaan bengkak dan membuat gelembung-gelembung
darah. Berarti juga, dua-duanya tidak ada jalan keluar. Tidak ada obatnya. Tidak
ada alternatifnya. Tidak ada pula keajaiban yang bisa diharapkan.
***
Dokter itu tidak kenal saya. Dia hanya tahu saya orang Surabaya. Dia tahu
itu karena hampir semua pasiennya mengatakan kenal saya. Dia lantas mengira
saya kerja di perusahaan periklanan. Satu perkiraan yang tidak terlalu salah. Ruang
praktiknya memang penuh dengan pasien dan sebagian besar orang Indonesia.

  78  
Mungkin karena itu, di dinding pendek dekat meja resepsionis terdapat banyak
guntingan koran Indonesia yang memuat tentang ceramah dan wawancara dengan
dokter itu. Salah satunya adalah koran dari Grup Jawa Pos.
Saya sama sekali tidak menyangka akan berhubungan dengan kata
transplantasi. Saya masih menganggap kata-kata transplan dari dokter tersebut
tidak terlalu meyakinkan. Saya tidak terlalu memikirkannya. Apalagi, ancaman
kematian tiba-tiba sementara sudah teratasi.
Karena badan normal-normal saja, saya juga hidup normal lagi. Artinya sibuk
lagi, terbang-terbang lagi. Hanya saya lebih care dibanding dulu. Saya terus
memonitor darah saya di laboratorium. Dua minggu sekali, setiap akan membuka
hasil lab, perasaan saya seperti anak sekolah yang sedang menerima rapor. Kadang
saya membuka hasil lab itu seperti membuka kartu remi yang tertutup di atas meja.
Pelan-pelan, sedikit-sedikit, takut angka-angka merahnya terlihat sekaligus.

  79  
Dokter Mengetuk Dada, Timbul Bunyi
seperti Tong Kosong
11 September 2007

SAYA pernah membenci kaus kaki. Setiap pulang dari bepergian, selalu saja
kaki saya seperti balon panjang yang ditiup tidak sempurna. Besar atas bawahnya,
dekok di tengahnya. Ini terjadi karena karet di kaus kaki tersebut menekan kaki
saya. Karena yang dijepit adalah daging kaki yang bengkak, maka tidak gampang
baliknya.
Pernah saya merasa penat. Yakni, saat habis makan malam dengan Wakil
Presiden H M. Jusuf Kalla dan lima menteri yang menyertainya. Waktu itu kami
makan di satu restoran kecil, namun istimewa. Saya tahu alamat restoran itu dari
Rajimin, bos Hotel J.W. Marriott Surabaya yang juga konsul kehormatan Hongaria.
Restoran itu ada di pojok Jalan Tianjin, Shanghai. Semua masakannya terbuat dari
kepiting. Mulai supnya, makanan kecilnya, sampai makanan penutupnya. Enaknya
luar biasa.
Pulang makan, saya mampir ke kios pijat kaki. Setelah melepas kaus kaki
saya, si ahli refleksi kaget. “Karet kaus kakimu terlalu kuat. Lihat. Sampai membuat
kakimu seperti ini,” katanya sambil melihat bagian kaki yang ’ambles’. Dia pun,
seperti saya, ternyata juga menyalahkan kaus kaki.
Padahal, yang salah adalah kakinya. Tepatnya, yang salah sebenarnya liver
saya yang tidak lagi mampu mengolah protein secara normal. Bahkan, kalau mau
yang paling tepat lagi disalahkan adalah saya sendiri: Mengapa tidak menjaga baik-
baik liver saya? Dua tahun lamanya saya membenci kaus kaki. Tapi juga tetap
memerlukannya. Sebab, kalau tidak pakai kaus kaki, perut saya langsung kembung.
Begitulah. Hubungan saya dengan kaus kaki menjadi sangat unik: Jenis
hubungan yang disebut love and hate -cinta dan benci. Dalam situasi terus
membenci kaus kaki seperti itulah, saya terus beraktivitas. Terbang berjam-jam.
Berkendaraan beratus-ratus kilometer. Di dalam negeri. Di luar negeri.

  80  
Sampai suatu saat saya punya urusan di kota Tianjin, 100 km dari Beijing. Di
sini kebetulan ada kenalan dokter ahli liver yang hebat. Namanya Prof dr Shao.
Seorang wanita tepat seumur saya, yang mengepalai bagian liver di suatu rumah
sakit di sana. Dia dobel dokter. Dokter ilmu kedokteran Barat dan dokter ilmu
kedokteran Tiongkok. Dia juga doktor di spesialisasi liver, limpa, dan empedu. Saya
kepingin mencari pendapat pembanding. Benarkah tidak ada jalan keluar untuk
problem bengkak saya itu. Benarkah sirosis itu tidak bisa disembuhkan, minimal
dihentikan proses memburuknya.
Tentu, saya diminta Prof Shao untuk menjalani pemeriksaan ulang. Mulai
kencing, kotoran, darah, liver, limpa, paru, sampai prostat. Juga menjalani
pemeriksaan fisik yang dia lakukan sendiri. Yakni pemeriksaan secara kedokteran
Tiongkok. Dia ketuk-ketuk rongga dada saya dengan jarinya. Timbullah suara
seperti tong kosong. “Ini pertanda liver Anda memang sudah mengerut, mengecil,”
katanya. “Di rongga dada Anda sudah mulai ada ruang kosongnya,” tambahnya.
Setiap Prof Shao memeriksa fisik saya, selalu banyak dokter muda yang
diajaknya. Dokter-dokter muda itu menyimak dengan tekun apa saja dijelaskan
Prof Shao sehubungan dengan kondisi badan saya. Dia memang juga pengajar di
fakultas kedokteran yang terkait dengan rumah sakit itu.
“Lihat ini,” kata Prof Shao kepada para dokter muda itu. Sambil berkata
demikian, Prof Shao menyingkap baju saya sampai dada saya terbuka. Lalu, dia
memegang-megang payudara saya (eh, kalau milik laki-laki apa juga disebut
payudara?). “Lihat payudara dia ini. Juga membesar. Seperti payudaranya gadis
yang menginjak remaja. Orang yang terkena sirosis akan selalu seperti ini,” ujarnya.
Kenapa Prof Shao mengumpamakan payudara saya seperti payudara gadis
belia, karena proses pembesaran kelenjar susu lelaki yang menderita sirosis
memang mirip pertumbuhan payudara gadis yang beranjak remaja. Yakni dimulai
dengan rasa nyeri pada bagian putingnya saat tersentuh sesuatu. Perlahan-lahan
rasa nyeri itu berkurang, bersamaan dengan makin besarnya payudara. Seperti
umumnya gadis remaja, pembesaran payudara saya juga dimulai dari yang kiri, baru
kemudian yang kanan.

  81  
Jika liver saya tidak keburu ditransplan, payudara saya akan terus membesar
menyerupai payudara wanita. Dalam istilah medis, pembesaran payudara yang
saya alami itu disebut dengan gynecomasty atau ginekomastia.
Lama sekali dia memegang-megang payudara saya. Tapi, bayangan saya
lebih kepada sirosis yang mengancam nyawa saya. Tidak hanya hari itu. Berkali-kali
Shao menjadikan payudara saya sebagai alat peraga untuk mahasiswanya. Saya
menerima saja. Bukan karena merasakan remasannya, melainkan itu memang
penting agar orang lain jangan sampai seperti saya.
Setelah selesai bagian dada, tangannya turun ke perut. Dia periksa perut
saya dengan dua tangannya. Dia pejamkan matanya seolah ingin merasakan benar
apa yang berubah dari perut saya senti ke senti. Dia goyang-goyang perut saya.
“Masih beruntung. Air belum masuk ke rongga perut,” katanya.
Prof Shao memang sangat khawatir air yang sudah memenuhi seluruh badan
saya juga sudah mulai mengalir ke rongga perut. Sebab, memang begitulah proses
yang akan terjadi berikutnya. Air akan “bocor” dan menggenangi rongga perut.
Karena itu, penderita sakit liver seperti saya akan berakhir juga dengan keadaan
perut membesar penuh air. Mula-mula perut akan seperti balon berisi air: Ginjur-
ginjur. Dalam istilah medis, keadaan itu disebut dengan ascites.
Semakin lama, jumlah air di perut akan semakin banyak dan memaksa perut
untuk membesar. Bersamaan dengan membesarnya perut, biasanya pembuluh-
pembuluh darah di permukaan perut juga ikut melebar sehingga tampak seperti
sarang laba-laba, tapi warnanya merah. Sesuai dengan tampilannya, para dokter
menyebut pelebaran pembuluh darah itu dengan istilah spider veins.
Pada tahap berikutnya, perut yang besar itu mengeras. Saya sudah berkali-
kali melihat perut orang sakit liver seperti ini dan biasanya sudah akan meninggal
kurang dari enam bulan. Begitu juga ibu saya dulu. Satu pemandangan yang saya
lihat ketika saya masih berumur 12 tahun dan terus hidup sampai saya sendiri
dalam posisi akan mengalaminya.
Saya sendiri beruntung karena sampai saat transplantasi, saya tidak
mengalami yang disebut ascites maupun spider veins itu.

  82  
“Ini harus dicegah sedini mungkin, sebisa-bisanya,” kata Shao kepada para
dokter muda tersebut. Tapi, itu pun sifatnya hanya usaha untuk buying time.
Dokter di Singapura berpendapat sama. Dia memberikan dua jalan:
Meminum obat agar kencing lancar dan meminta saya untuk tidak banyak minum.
Dua-duanya saya jalani. Sampai-sampai saya pernah merasa takut pada air minum.
Setiap mau minum, selalu terbayang bahwa sebagian air itu akan terus membuat
badan saya bengkak. Sebagian lain akan membuat perut saya membesar, ginjur-
ginjur, dan akhirnya mengeras.
Pada awalnya, saya agak terhibur dengan “pil pelancar kencing”. Tapi, lama-
lama satu pil tidak cukup membuat kencing saya mengalir lancar. Harus dua pil. Ini
pun lama-lama juga sudah kurang manjur. Terpaksa, saya terus mengurangi minum.
Beberapa bulan terakhir saya hanya berani minum satu liter saja sehari. Ini karena
kencing saya hanya sekitar 700 sampai 900 mililiter sehari semalam.
Di Tianjin, Prof Shao memberi saya obat Tiongkok yang sudah berwujud
cairan infus. Tiap hari saya diinfus dengan itu dan bengkak berkurang. Kencing
lancar sekali. Tapi, kalau infus dihentikan, tetap saja badan kembali bengkak. Shao
menjelaskan mengapa demikian kepada para dokter muda - beberapa di antara
mereka dokter muda dalam ilmu kedokteran Tiongkok.
Ketika saya banyak tanya mengenai khasiat dan bahaya setiap obat yang
diberikan kepada saya, Shao bergegas menatap wajah-wajah dokter muda. “Lihat
sahabat saya ini. Banyak bertanya. Kelak, semua pasien akan seperti ini. Kalian
harus bisa menjelaskannya dengan sebaik-baiknya. Pasien memang punya hak
untuk tahu,” ujar Shao sambil tangannya tetap di perut saya. Kadang tangannya
mampir lagi ke payudara saya. Ini karena di antara dokter muda hari itu, ada wajah
baru yang belum diberi tahu bagaimana payudara saya juga membesar seperti
gadis menginjak remaja.
Lain hari, saya ingin Prof Shao ganti mengajar saya. Sebelum hari yang
ditentukan itu tiba, saya beli kertas putih lebar. Lalu, saya tempelkan di dinding
kamar rumah sakit. Saya ingin dia menjelaskan secara gamblang rangkaian
penyakit saya. Saya juga beli spidol warna-warni untuk membedakan gambar aliran

  83  
darah masuk dan keluar. Dia tersenyum melihat persiapan saya hari itu. “Wah, saya
harus mengajar berapa jam?” tanyanya bergurau. Pipinya yang padat, hidungnya
yang agak mancung, badannya yang tinggi, dan rambutnya yang ikal membuat
penampilannya sangat aristokrat. Apalagi kalau berat badannya bisa turun satu kilo
lagi. “Satu jam 10.000 yuan ya?” guraunya ketika menyebut uang setara Rp 11
jutaan tersebut.
Di dinding itu dia menggambar isi tubuh saya. Menjelaskannya sangat detail
dan terang-benderang. Dia pandai sekali mengajar. Pasti banyak mahasiswanya
yang senang. Saya juga belajar yang lain lagi: bahasa. Sebab, bahasa Mandarin yang
dia gunakan sangat teknis dengan logat yang sangat Tianjin. Kini tahulah saya
secara gamblang penyakit saya, terutama ancaman mati yang nyata di depan mata
saya. “Ini tidak ada obatnya,” katanya tegas. Muncul karakternya sebagai
pemimpin. “Kecuali istirahat total,” tambahnya. “Obat hanya memegang peranan
kurang dari 15 persen. Yang 85 persen lebih adalah perilaku pasien sendiri,”
ujarnya.
Prof Shao melarang saya banyak jalan, gerak, dan terlalu lelah. Tidak boleh
marah, kemrungsung, dan berada dalam situasi tergesa-gesa. Padahal, salah satu
hobi saya “mengejar” pesawat. Saya sering tidak sabar menunggu jadwal pesawat.
Kalau pesawat yang akan terbang ke suatu tujuan masih tiga- empat jam lagi,
biasanya saya cari pesawat ke jurusan yang lain dulu.
Saya juga tidak boleh merasa kesal. Tidak memikirkan banyak persoalan
sekaligus. Tidak boleh mikir yang berat-berat. Saya harus pensiun. Saya hanya
boleh memikirkan badan saya sendiri. Tidak boleh lagi mikir orang lain.
“Ibaratnya,” kata Prof Shao, “Rumah tetangga terbakar pun, Anda jangan
peduli.” Tegas sekali peringatannya. Terang sekali contohnya. Hanya mahasiswa
yang bodoh yang tidak bisa memahaminya. Dan saya ternyata termasuk
“mahasiswa”-nya yang amat bodoh.

  84  
Dokter Menegur Iba, Ingat Nasib
Ayahnya yang Redaktur
12 September 2007

BUKAN. Bukan bodoh. Semua penjelasan Prof Shao mengenai bahayanya


penyakit saya, saya mengerti sepenuhnya. Terang-benderang penjelasannya. Saya
pasti tidak bodoh. Hanya saya sadari, saya agak ndablek. Dan dia tahu perilaku saya
itu. Dia tahu keras kepala saya, sembrono saya.
Suatu saat, ketika saya kembali menemuinya setelah setengah bulan
menghilang, dia lama memandang saya. “Ke mana saja Anda? Kami di sini prihatin
sekali. Takut terjadi sesuatu pada Anda,” katanya dengan nada khawatir. Mungkin
juga jengkel.
“Saya baru datang dari Indonesia,” jawab saya. Dia setengah tidak percaya,
setengah gondok. “Lho, setelah dari sini dulu itu, Anda pulang ke Indonesia?
Kenapa? Apa kata saya tentang kebakaran rumah tetangga?” ujarnya. Dia lantas
menarik napas panjang sekali.
“Dahlan, Anda ini sudah gawat. Saya tidak mau kehilangan Anda,” katanya.
Berkata begitu, dia seperti setengah menegur setengah mengiba. Dia kembali
menarik napas panjang sekali. Matanya kelihatan berlinang. Dia keluarkan tisu di
sakunya. Dia usap air matanya.
Beberapa hari kemudian, dia bercerita kepada saya mengapa sampai hampir
menangis ketika menasihati saya. Ternyata, dia ingat bapaknya. Bapaknya seorang
redaktur surat kabar. Ibunya seorang hakim terkemuka. Bapaknya terus menulis
buku sepanjang malam. Lalu meninggal. Ternyata karena sakit liver. Dia tidak tahu
itu dan tidak memperhatikan itu. Padahal, dia dokter ahli liver. Waktu itu, katanya,
dia juga sedang belajar ekstrakeras selain kerja keras. Sebab, dia akan segera dapat
beasiswa untuk sekolah lagi di luar negeri. Tapi, semuanya gagal. Beasiswa tidak
jadi. Ayahnya pun pergi. Dia menangis lagi saat menceritakan itu.

  85  
Dia lantas ingin merawat saya semaksimal mungkin agar tidak seperti
bapaknya. Saya sendiri juga kepingin agar tidak seperti ibu saya. Dia akan sangat
kecewa kalau saya sendiri tidak peduli dengan badan saya. Apalagi dari hasil
pemeriksaan total, dia lihat masih ada sedikit peluang. Hasil “laminating” yang
dilakukan di Singapura terhadap saluran pencernakan saya yang sudah penuh
varises sangat baik. Cukup untuk mengulur waktu beberapa bulan. “Laminating” itu
kurang lebih bisa bertahan setahun. Kalau toh ada tanda-tanda bengkak lagi, masih
bisa “dilaminating” sekali lagi.
Prof Shao lebih prihatin pada kadar platelet atau trombosit saya yang tinggal
60. Angka minimal untuk kadar trombosit seharusnya 150 (ini angka dalam standar
laboratorium di Tiongkok). Di negara lain, termasuk Indonesia, digunakan standar
minimal 150.000. Normalnya 150.000 sampai 400.000 per milimeter kubik darah.
Melihat rendahnya kadar platelet saya, Prof Shao lantas berpikir keras
mencari jalan untuk menaikkan kadar platelet saya. Tapi, caranya tidak lewat
injeksi karena hal itu hanya bisa bertahan dua-tiga hari. Setelah itu, platelet akan
turun lagi.
“Mungkin saya akan mengecilkan limpa Anda,” katanya. Limpa saya harus
dipotong? “Boleh dibilang begitu. Namanya diembolisasi,” ujarnya.
Dipotong seberapa banyak? “Sekarang, limpa Anda sudah membesar tiga kali
ukuran normal. Mungkin dikurangi sepertiganya dulu,” katanya.
“Limpa dipotong?” kata saya dalam hati. Saya minta waktu berpikir untuk
memutuskannya. Mengapa limpa harus dikecilkan?
Limpa adalah organ kecil -yang dalam keadaan normal hanya seukuran
genggaman kita- di bawah iga kiri. Tugasnya melawan infeksi, memproduksi sel
darah merah dan darah putih tipe tertentu, serta menyingkirkan sampah-sampah di
pembuluh darah. Yang disebut sampah di pembuluh darah, antara lain, adalah sel-
sel darah yang rusak.
Seperti yang pernah saya sebutkan di tulisan terdahulu, aliran darah ke liver
saya (baca: penderita sirosis) tidak bisa lancar. Akibatnya, darah mengalir balik ke

  86  
limpa. Untuk menampung limpahan itu, limpa lantas “membesarkan diri”. Makin
banyak darah yang harus ditampung, semakin besar pula ukuran limpa.
Karena jumlahnya di luar batas normal, limpa pun memperlakukan sel-sel
darah yang numpuk itu sebagai sampah yang harus disingkirkan. Itu berarti sel-sel
darah yang “sehat” pun ikut disingkirkan.
Bagi limpa, luberan sel darah yang berlimpah itu memang menyulitkan.
Sebab, jika tidak dihancurkan, sel-sel sehat dan rusak itu akan mengerak dan
mengganggu fungsinya. Tapi, jika dihancurkan semua, darah akan kekurangan sel
darah merah, darah putih, dan platelet yang “sehat”. Padahal, orang yang
kekurangan sel darah merah akan mengalami anemia (kekurangan darah). Kalau
kekurangan darah putih, orang akan gampang terkena infeksi dan yang kekurangan
platelet akan mudah mengalami pendarahan. Tiga-tiganya bisa mengakibatkan
kematian.
Oh, ya saya lupa menjelaskan bahwa sebenarnya, bukan hanya kadar
platelet saya yang turun. Tapi juga sel darah putih dan sel darah merah saya. Untuk
menormalkan kadar sel-sel darah saya itulah, Prof Shao memutuskan perlunya
mengecilkan limpa saya.
Ini memang bukan langkah permanen. Sebab, selama liver saya sirosis, darah
yang tidak bisa masuk liver akan meluber dan menekan ke mana-mana, termasuk
ke limpa. Artinya, setelah dipotong pun, kelak limpa membesar lagi? Ya. Dan itu
akan membuat pletelet juga turun lagi. Kalau tahap itu sudah terjadi, limpa saya
masih bisa dipotong lagi, sekali lagi.
Limpa memiliki tiga saluran darah masuk utama. Kalau salah satu saluran itu
dimatikan, limpa akan mati sepertiga. Mematikan salah satu di antara tiga saluran
itulah, yang akan dilakukan Prof Shao. Kelak, kalau limpa sudah membesar lagi,
masih ada satu di antara dua saluran utama yang bisa dimatikan lagi. Tentu
pemotongan limpa itu tidak bisa dilakukan tiga kali karena sama artinya dengan
membuang limpa sama sekali. Tapi, dua tahap pemotongan limpa tersebut
dianggap cukup untuk mengulur waktu sampai lima tahun.

  87  
Saya tetap minta waktu memikirkannya. Saya kembali ke Indonesia lagi agar,
antara lain, bisa mampir ke Singapura. Saya ingin mendapatkan opini pembanding.
Saya harus kembali ke tanah air karena sudah terlanjur komit untuk
mengatasi kelangkaan listrik di Kaltim. Dari Kaltim-lah, saya memulai karir
sehingga saya anggap Kaltim seperti daerah kelahiran sendiri. Setamat SMA, saya
memang ke Kaltim, ikut kakak sulung saya. Tujuan satu: agar bisa kuliah. Di Jawa
saya tidak mungkin bisa masuk universitas karena tidak punya biaya. Di Kaltim,
masuk univeristas masih gampang dan murah. Saya masuk Fakultas Tarbiyah IAIN
Sunan Ampel cabang Samarinda. Kampusnya di sebuah rumah panggung di Jalan
Panglima Batur IV. Sewaktu kuliah, saya sering melihat ke bawah. Karena lantai
papannya tidak cukup rapat, saya bisa menyaksikan apa yang terjadi di kolong yang
sering digenangi air. Sering ada suara “krosak” di kolong itu yang lebih menarik
perhatian saya daripada mata kuliah. Itulah suara biawak berkelahi. Biawak adalah
binatang seperti buaya, tapi hidup di darat. Sebagai tamatan aliyah, saya memang
tidak mendapat ilmu baru dari mata kuliah yang sudah saya pelajari semua di kelas
satu SMA itu.
Tahun-tahun belakangan Kaltim mengalami krisis listrik. Pemadaman terjadi
bergilir. Banyak kampung miskin terbakar karena saat lampu mati, mereka harus
menyalakan lilin. Nah, lilin itulah yang sering mengakibatkan kebakaran. PLN tidak
bisa banyak berbuat karena selalu rugi. Setahun PLN Kaltim bisa rugi hampir
setengah triliun rupiah (2005). Kaltim tidak bisa berharap banyak pada PLN.
Pembangkit-pembangkit listrik PLN sangat tidak efisien. Untuk menghasilkan satu
watt, diperlukan biaya Rp 2.000-an. Padahal, rakyat hanya dikenai tarif Rp 750.
Kalau tarif listrik dinaikkan, yang terjadi adalah demo. Jadi, sejak sebelum matahari
terbit pun, PLN sudah tahu bahwa hari itu perusahaannya akan rugi Rp 1.250 per
watt.
Maka, saya meyakinkan pimpinan-pimpinan daerah di sana, mulai gubernur
sampai DPRD, agar mau menyisihkan sebagian anggaran untuk investasi di listrik.
Membangun PLTU yang efisien, yang biaya produksi listriknya hanya Rp 500 per
watt. Kalau dijual Rp 750 per watt kepada masyarakat, PLN langsung untung.

  88  
Anggaran Kaltim yang besar karena sumber alamnya yang melimpah jangan habis
untuk kebutuhan konsumtif. Pemda setuju asal saya mau jadi direktur utama
perusahaan daerah di sana. Seperti yang saya lakukan di Jatim.
Proyek energi yang kelihatannya mulia itu ternyata juga memakan bukan
hanya dana saya, tapi juga energi saya. Dan, yang utama lagi memakan batin saya.
Meski tujuannya begitu hebat, logikanya begitu baik, dan hasilnya bagi PLN juga
begitu nyata (dari perusahan rugi akan langsung jadi laba), proses perizinannya
ternyata sangat panjang, melelahkan, dan menjengkelkan. Dua tahun baru beres.
Padahal, saya kenal direksi PLN-nya, kenal menteri-menteri di bidangnya, kenal
wakil presiden, dan bahkan presidennya. Memang, saya tidak pernah
memanfaatkan kedekatan saya itu untuk urusan tersebut. Sudah jadi prinsip saya
untuk tidak memanfaatkan keberadaan saya di pers untuk menekan seseorang.
Pernah suatu saat saya diajak ke Tiongkok oleh Wapres Jusuf Kalla. Di atas
pesawat, Wapres mengumpulkan menteri dan direksi PLN untuk membahas kasus
Kaltim itu. Ini bukan karena saya mengadu, tapi karena Chairul Tanjung yang
berinisiatif. Bos Bank Mega yang juga bos Trans TV itu yang prihatin dengan
keluhan saya. “Ini harus selesai. Kalau Dahlan saja mengalami hal seperti ini,
bagaimana yang lain?” katanya. Saya malu proyek sekecil itu saja sampai dibahas di
forum yang begitu tinggi. Tinggi level dan tinggi pula tempatnya. Di dalam pesawat
yang berada 36.000 kaki di atas permukaan laut.
“Urusan kecil begini kok panjang sekali, ya,” kata saya kepada Chairul
Tanjung. Sebagian karena malu, sebagian lagi sebagai ungkapan terima kasih atas
inisiatifnya.
“Ini memang rusan kecil bagi Anda. Tapi kalau tembok ini tidak dijebol, siapa
yang mau masuk jadi investor listrik,” kata bos Bank Mega yang namanya meroket
tahun-tahun terakhir ini. “Saya saja tidak mau. Saya baru mau masuk ke listrik kalau
urusan ini sudah selesai,” tambahnya.
Tentu sebenarnya juga bukan kecil bagi saya. Kecil yang saya maksud adalah
dari sudut pandang negara. Ini besar bagi saya, terutama risikonya. Risiko pada
keuangan saya dan pada kesehatan saya. Memang, saya akan dicatat sebagai

  89  
penjebol tembok kebuntuan listrik itu. Namun, bisa jadi, kepala saya juga pecah
ketika membenturnya. Tembok tersebut terlalu tebal.
Memang ada juga salah saya. Saya terlalu terpengaruh suasana di Tiongkok.
Ini gara-gara saya terlalu sering ke negeri itu dan melihat bagaimana antusiasnya
pemerintah kalau ada investor datang. Bayangan saya juga begitu sewaktu saya
memiliki semangat untuk ikut mengatasi krisis listrik di Kaltim. Pasti pemerintah di
segala lapisan akan senang. Kalau proyek tersebut berhasil, kan sama artinya
dengan menyumbang Rp 500 miliar tiap tahun kepada negara? Bayangan saya
pemerintah akan membuat segalanya lancar.
Kesalahan kedua saya, ketika setahun mengurus izin ini tidak berhasil
(karena sejumlah peraturan yang tidak mengizinkan PLN menandatangani kontrak
jangka panjang), saya setuju untuk kompromi. Yakni cukup mendapatkan kontrak
tahunan saja dari PLN. Kalau kontrak tahunan, PLN tidak melanggar peraturan.
Apalagi ada bank yang bersedia memberikan pinjaman meski kontraknya hanya
tahunan. Ternyata, ujung-ujungnya, bank tetap mensyaratkan kontrak jangka
panjang. Saya memahami aturan bank seperti itu. Saya juga memahami PLN tidak
boleh melanggar aturan. Yang tidak saya pahami adalah mengapa ada peraturan
yang menghambat kemajuan seperti itu. Kalau toh sudah telanjur ada karena masa
lalu yang kelam, mengapa tidak segera dicabut.
Maka, lagi-lagi kami harus mengurus izin kontrak panjang dengan PLN.
Tepatnya izin dari tiga lembaga, masing-masing dengan birokrasinya sendiri:
kementerian energi, kementerian BUMN, dan PLN. Di kementerian energi saya
tidak punya masalah. Di PLN hanya sedikit masalah. Tapi, saya buntu di kantor
menteri BUMN. Padahal, saya kenal Menteri Soegiharto. Bahkan, dia juga ikut
dalam rapat tingkat tinggi yang benar-benar tinggi itu.
Persoalan tersebut membuat saya harus mengabaikan peringatan keras Prof
Shao bahwa saya tidak boleh terbang, tidak boleh lelah, tidak boleh mikir, tidak
boleh marah, tidak boleh kesal. Saya ingat kata-kata Prof Shao bahwa walau terjadi
kebakaran di rumah tetangga pun, saya tidak boleh peduli. Tapi, yang kebakaran ini

  90  
bukan rumah tetangga. Rumah saya sendiri: Kaltim. Juga rumah besar saya:
Indonesia. Indonesia yang begitu rumit peraturannya.
Saya harus pulang ke Indonesia untuk terus mengurus semua itu. Saya
menyesal telah berinisiatif mengatasi kelangkaan listrik di Kaltim tersebut.
Menyesal luar biasa. Tapi sudah tidak bisa mundur lagi. Meski kondisi badan saya
sudah sedemikian parah, saya tidak bisa lari dari tanggung jawab itu.
Tidak pantas saya sebutkan di sini apa usaha yang saya lakukan untuk
mengatasi kebuntuan di kantor (Soegiharto, sebelum dicopot) menteri BUMN.
Yang penting, akhirnya sang menteri mengeluarkan surat persetujuan. Sebuah
persetujuan yang sudah sangat mahal; bukan saja karena prosesnya, tapi juga
akibatnya. Lambatnya proses ini telah membuat biaya investasi membengkak luar
biasa.
Tapi, ini sudah bukan lagi soal untung rugi. Ini soal krisis listrik yang harus
diatasi. Tiga-empat bulan lagi (akhir tahun ini), insya Allah Kaltim mulai bisa
mengatasi kelangkaan listrik. Liver baru saya mungkin juga akan ikut berbinar-
binar. Saya dengar setelah soal Kaltim itu selesai, berturut-turut banyak izin yang
ditandatangani PLN untuk investor-investor lain.
Dalam perjalanan pulang untuk mengurus listrik itu, saya bisa mampir ke
Singapura. Saya ingin bertanya ke dokter di Singapura, benarkah limpa saya harus
dipotong? Mengapa dokter di Singapura sama sekali tidak pernah menyinggung
soal limpa?

  91  
Waktunya Tiba, ketika Menggigit
Pisang Berlumur Darah
13 September 2007

SETUJUKAH dokter Singapura dengan pendapat Prof Shao dari Tianjin,


Tiongkok, tentang rencana pemotongan limpa saya?
“Kalau tujuannya untuk menaikkan platelet, memang OK,” katanya. Dia juga
setuju kalau sampai platelet turun terus, ketahanan tubuh saya kian habis dan saya
akan mengalami perdarahan dari setiap lubang yang saya miliki. Ini juga sama
dengan penjelasan Prof Shao. Waktu itu saya juga tanya ke Prof Shao: Pada angka
berapa perdarahan itu akan terjadi? Katakanlah platelet saya (yang seharusnya
minimal 150) sekarang tinggal 60. Dan masih akan turun terus.
“Setiap orang tidak sama,” jawab dr Shao. “Ada yang pada angka 60 seperti
Anda sekarang sudah perdarahan,” tambahnya. “Tapi, ada juga yang baru
perdarahan ketika platelet-nya sudah 50,” katanya lagi. Kapan platelet saya akan
turun sampai angka 50? Berapa minggu lagi? “Tidak bisa diperkirakan begitu. Bisa
saja tiba-tiba drop jadi 50 atau bahkan di bawahnya,” katanya. “Perhatikan saja
lubang hidung Anda. Atau telinga. Atau kalau sedang sikat gigi,” tambahnya.
Meski setuju platelet saya harus dinaikkan, dokter Singapura ternyata tidak
setuju kalau itu dilakukan dengan cara memotong limpa. “Dibuang saja sekalian,”
ujarnya. Uh! Dalam istilah medis, pembuangan limpa itu disebut dengan
splenectomy.
Mendengar kata “limpa dipotong” saja, saya sudah tidak senang. Ini malah
disuruh membuang. “Tidak apa-apa. Orang bisa hidup tanpa limpa,” tambah dokter
di Singapura itu. Memang, orang bisa hidup tanpa limpa. Tetapi, kan lantas tidak
terlalu tahan terhadap infeksi. Makanya saya tanya ke dokter di Singapura itu.
Fungsi limpanya bagaimana? “Diganti obat,” jawabnya.
Pemotongan limpa, menurut dokter Singapura itu, sangat berbahaya. Bisa
timbul infeksi di tiga tempat yang akan mengakibatkan kematian. Yakni, infeksi di

  92  
selaput dada, infeksi di tempat limpa dipotong. “Singapura sudah lama tidak mau
lagi memotong limpa. Sudah lebih 15 tahun,” katanya. “Membuang limpa sama
sekali malah lebih safe,” tambahnya.
Penjelasannya, meski singkat, sangat masuk akal. Saya bisa menerima
sepenuhnya. Tapi, saya juga berpikir: Masak Prof Shao tidak tahu itu. Tidak
mungkin, rasanya. Maka saya tidak begitu saja mengambil keputusan membuang
limpa. Nanti, dalam kesempatan saya ke Tiongkok lagi, saya akan menemui Prof
Shao untuk ’menguji’-nya. Itu, tentu, kalau masih sempat.
***
Saya memang harus ke Tiongkok lagi. Ada beberapa urusan. Urusan Jawa
Pos sendiri, urusan pabrik steel conveyor belt-nya perusahaan daerah Jatim,
urusan perusahaan daerah Kaltim, dan urusan menepati janji. Saya sudah berjanji
kepada Dirjen minyak dan gas yang baru untuk mengajaknya ke Tiongkok. Untuk
melihat bagaimana negara itu bekerja keras mencukupi kebutuhan minyak.
Sudah lama saya gemas, mengapa Indonesia sebagai negara penghasil
minyak justru menderita ketika harga minyak dunia membubung? Sampai harus
menaikkan harga BBM yang menghebohkan itu? Mengapa tidak justru
menikmatinya? Ini semua karena produksi minyak Indonesia terus menurun dari
tahun ke tahun. Terakhir, pada 2005, sudah berada di bawah satu juta barel per
hari. Sudah sangat tidak layak menjadi anggota OPEC.
Kebetulan Dirjen Migas yang baru juga berambisi mengatasi hal itu. Saya
ingin membantunya meski saya hanyalah rakyat biasa. Saya sering ke ladang
minyak di Tiongkok. Saya melihat betapa semangatnya orang di Daqing (Provinsi
Heilongjiang) dan di Panjin (Provinsi Liaoning) menggali minyak. Padahal, sumur-
sumur minyak di sana lebih dalam dan iklimnya juga lebih beku. Minyak yang
didapat pun lebih jelek dibanding minyak mentah Indonesia. Tapi, semangat untuk
menggalinya luar biasa. Dengan alat-alat yang lebih sederhana mereka bisa
menghasilkan minyak lebih banyak.
Hari itu kebetulan Dirjen Migas punya acara di Shanghai. Maka, saya ingin
mengajaknya mampir ke Liaoning dan Heilongjiang. Saya janjian bertemu di Kota

  93  
Dalian. Di bandara kota itu pukul 24.00, yakni saat pesawatnya mendarat dari
Shanghai.
Paginya saya masih di kota Tianjin, untuk bertemu Prof Shao. Kepada ahli
penyakit liver ini langsung saja saya semprotkan pertanyaan berdasar pendapat
dokter di Singapura. “Di Singapura dokter tidak mau lagi memotong limpa. Di sana
cara itu sudah dianggap kuno,” kata saya. “Siapa bilang itu kuno?” sergahnya.
Suaranya meninggi. “Justru membuang limpa itu yang kuno sekali. Itu cara 60 tahun
yang lalu,” katanya.
Ketika saya tanya soal risiko infeksi di tiga tempat yang sangat
membahayakan, dia tidak mengelak. “Tentu saya tahu. Tapi, juga tahu cara
menghindarinya,”’ katanya. Jawabannya tegas, mantap, dan percaya diri. Tinggal
saya yang harus memilih lebih percaya kepada yang mana. Dua-duanya masuk akal.
Dua-duanya bisa diterima secara medis. Ini soal pilihan. Giliran saya sendiri yang
harus memutuskan.
Segera saya gunakan ilmu mantiq saya: sudah berapa kali Prof Shao
melakukan pemotongan limpa? “Sudah banyak kali,” katanya. “Banyak itu berapa?
Berapa puluh?” tanya saya lagi. “Sudah lebih dari 500,” jawabnya mantap. Ya, sudah.
Saya pilih dipotong saja. Biar berkurang, tapi masih ada sisanya. Saya ingat usul-fikh
ahli sunnah wal jamaah: Sesuatu yang tidak bisa dipakai semua, jangan dibuang
semua.
Maka saya pun memutuskan akan titip nasib ke Prof Shao. Tapi, sore itu saya
harus ke Dalian, karena tengah malam nanti harus menjemput Dirjen Migas di
bandara kota itu. Penerbangan dari Tianjin ke Dalian memakan waktu satu jam.
“Saya minta izin ke Dalian dulu. Rumah besar saya, Indonesia, akan terbakar,”
gurau saya kepada Prof Shao. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Menarik
panjang napasnya.
Tiba di Dalian sudah agak malam. Sudah waktunya makan malam. Saat
makan malam itulah saya kaget. Ketika saya menggigit pisang, sisa pisang itu
berlumur darah! “This is the time! Wo de shi jian dao le. Tibalah sudah waktu saya,”

  94  
kata saya dalam hati. Saya menundukkan kepala sesaat. Memikirkan apa yang
harus saya perbuat.
Saya lari ke toilet. Berkumur. Merah airnya. Berkumur lagi dan berkumur
lagi. Ah, hilang merahnya. Satu jam kemudian saya berkumur lagi, tidak ada
darahnya.
Saya pun bertekad tetap memenuhi komitmen saya. Saat menyalami
kedatangan Dirjen Migas, saya tidak menceritakan apa yang terjadi atas diri saya.
Saya terus tersenyum dan memberinya semangat untuk terus membangun dunia
minyak. Saya tahu tekadnya kuat sekali untuk memperbaiki perminyakan
Indonesia, dan karena itu saya antusias membantunya.
Pagi-pagi kami bermobil sejauh 400 km ke Panjin. Sorenya bermobil lagi ke
kota Shenyang. Malamnya terbang ke kota Harbin. Pagi-pagi bermobil 500
kilometer ke kota Daqing. Dirjen serius sekali melihat semua itu. “Mereka ini
benar-benar seperti koret-koret (mengais sisa-sisa) minyak,” katanya. Malam hari
balik lagi ke Harbin. Pagi-pagi Dirjen kembali ke Beijing untuk balik ke Indonesia.
Saya terbang ke Tianjin untuk pemotongan limpa saya.
“Lakukan sekarang!” kata saya begitu bertemu Prof Shao. “Apa?”
tanyanya. “Potong saja limpa saya,” kata saya. “Mengapa?” tanyanya lagi, kali ini
seperti tidak percaya. Juga gondoknya kepada saya meningkat. Dia sudah sering
mengancam untuk tidak mau lagi mengurus saya. “Wo bu guan ni,” katanya.
Tapi, saya tahu dia baik. Ujung-ujungnya luluh juga hatinya. “Tidak bisa
sekarang. Harus ada persetujuan istri Anda,” katanya. “Saya bisa usahakan
sekarang,” tegas saya.
Saya lantas menelepon istri saya. “Kalau nanti ada teman Jawa Pos
membawa formulir ke rumah, tanda tangani saja. Formulirnya dalam bahasa
Mandarin, kita nggak tahu maksudnya,” kata saya. Istri saya tidak bertanya banyak.
“Saya akan operasi kecil,” kata saya tidak ingin menggundahkan hatinya.
Saya memang sudah beberapa kali operasi kecil. Yakni, untuk mengeluarkan
benjolan yang ada di bawah kulit di beberapa bagian di tubuh saya. Saya langsung

  95  
minta formulir persetujuan operasi dan memfaksimilikan ke Surabaya. Setelah
ditandatangani istri saya, dikirim balik ke Tianjin.
“Ini persetujuan istri saya,” kata saya. “Ini apa?” tanyanya melihat tanda
tangan istri saya yang tidak lazim untuk mata orang Tiongkok. “Itu tanda tangan
istri saya. Bentuknya tidak penting. Tapi, doa di balik tekenan itu yang penting,”
kata saya ingin setengah memuji istri saya, setengah melucu.
Ternyata Prof Shao tidak tersenyum. Saya lupa kalau dia komunis, yang tidak
tahu apa itu doa.
Dengan datangnya persetujuan istri saya, saya mengira operasi pemotongan
limpa bisa dilakukan hari itu, atau besoknya. Ternyata harus tiga hari kemudian.
Mengapa? Karena ruang operasinya baru saja dirombak. Hari itu baru selesai. Dan,
saya tidak boleh menjadi pasien pertama yang menggunakannya. Jadi, tidak bisa
tanggal 6 Oktober 2006. Harus 8 Oktober.
Padahal, saya ingin operasi itu dilakukan pada 6 Oktober. Lalu, sebagaimana
dijelaskan Prof Shao, sebulan kemudian saya sudah akan bisa keluar dari rumah
sakit. Setelah operasi, 8 jam saya tidak boleh bergerak. Lalu seminggu tidak boleh
turun dari tempat tidur. Tiga minggu berikutnya harus tetap di rumah sakit.
Saya ingin operasi itu dilakukan tanggal 6 karena pada tanggal 7 bulan
berikutnya ada acara penting di Indonesia: menandatangani persetujuan proyek
PLTU Kaltim dan peresmian gedung Expo Jatim. Maksud saya, tanggal 5 sebulan
kemudian saya sudah bisa keluar dari rumah sakit. Langsung ke bandara untuk
pulang ke Surabaya. Tanggal 7 sudah menandatangani perjanjian PLTU Kaltim
dengan konsorsium bank dan meresmikan gedung Expo Jatim. Saya tidak pernah
membayangkan operasi pemotongan limpa ini akan gagal.
Namun, dengan mundurnya tanggal operasi, waktu recovery saya tidak
cukup. Itulah sebabnya, saat upacara tersebut saya terlihat pucat. Keringat dingin
memang memenuhi badan saya. Hari itu, ketika saya di panggung, seharusnya
masih di atas tempat tidur di rumah sakit di Tianjin.

  96  
Baru Tahu Mengapa Dokter
Singapura Pilih Potong Limpa Saya
14 September 2007

ANCAMAN infeksi yang serius setelah pemotongan (embolisasi) limpa,


memang tidak dianggap enteng oleh Prof Shao. Apalagi, suhu badan saya, pada
hari-hari pertama, naik sangat tinggi: lebih dari 38 derajat Celsius. Tapi, semua bisa
diatasi. Seminggu kemudian, suhu badan saya kembali normal dan stabil. Rasa sakit
setelah pemotongan itu lebih hebat daripada transplantasi liver. Juga lebih lama:
seminggu penuh.
Selama seminggu itu pula Prof Shao dalam ketegangan. “Sudah lima hari saya
belum pulang. Saya tidur di rumah sakit, di kantor saya. Menunggui Anda,” ujar dr
Shao. “Sekarang Anda sudah stabil. Saya mau istirahat,” pamitnya. Penampilannya
memang agak lecek. Tidak secantik ketika dalam keadaan segar.
Kalau sebelum operasi saya lihat dia sering berlinang air mata, kini ganti saya
yang amat terharu. Saya minta maaf berkali-kali karena telah membuatnya tidak
bisa pulang. Saya juga tabik tak henti- hentinya. Tabik dengan cara Tiongkok. Ini
untuk mewakili ucapan terima kasih saya kepadanya yang tidak terhingga. Begitu
besar perhatiannya. Begitu tinggi tanggung jawabnya.
Saat itulah saya mengerti mengapa banyak dokter di Singapura memilih
membuang saja limpa saya daripada memotongnya. Perawatan setelah
pemotongan ternyata begitu sulit. Kebalikannya, perawatan setelah pembuangan
limpa akan lebih mudah. Bahwa setelah limpa dibuang akan merepotkan pasien
seumur hidup, itu kan sudah di luar tangung jawab dokter yang membuangnya.
“Mana ada dokter di negara lain yang mau menunggui pasien sampai lima hari tidak
pulang,” kata saya dalam hati.
Tiga hari setelah libur, barulah Prof Shao menemui saya lagi di kamar rumah
sakit. Wajahnya masih tidak terlalu cerah, seperti orang sakit. Matanya yang
biasanya tajam, kali ini agak memerah. Bulu matanya yang hitam seperti bendera

  97  
setengah tiang. Tahu sedang saya perhatikan, dia merasa risi. “Dua hari saya flu,”
katanya segera. “Semua gara-gara Anda,” tambahnya.
Sekali lagi saya minta maaf berulang-ulang. Ternyata saya telah
menyiksanya. Rupanya, begitu kondisi saya stabil, ketegangan lima hari yang
mencekam dirinya hilang. Bersamaan dengan itu flu datang menyerang.
“Jadi, tiga hari di rumah tidak bisa menikmati,” katanya seperti ingin
bergurau. Guraunya selalu ringan-ringan saja. Tidak pernah dikemukakan dengan
lepas. Tertutupi oleh jabatan tingginya dan mungkin juga kekomunisannya.
Tiga minggu kemudian, badan saya sudah terasa enak. Lalu ingat lagi acara
PLTU Kaltim dan gedung Expo Jatim yang sudah menanti. Saya tahu tidak akan
diizinkan pulang. Tapi, saya harus pulang. Ini soal kebakaran rumah memang, tapi
yang terbakar rumah sendiri, bukan rumah tetangga.
Pagi-pagi Guo Qiang, anak saudara angkat saya Mr Guo, saya minta
menerjemahkan surat yang saya buat. Guo Qiang saya minta menuliskannya dalam
bahasa Mandarin yang indah. Maksud saya yang akan bisa meluluhkan hati Prof
Shao. Kemampuan bahasa Mandarin saya belum sampai pada tingkat untuk bisa
dipakai merayu.
Surat itu saya mulai dengan pujian. “Mungkin, Andalah dokter terbaik di
muka bumi ini,” tulis saya di pembukaan surat. Setengah memuji, setengah
memompa dadanya. “Mana ada dokter yang mau lima hari tidak pulang untuk
menunggui pasiennya?” saya menunjukkan fakta. Saya tidak mengada- ada, meski
fakta itu memang saya pakai merayu.
Bait kedua saya manfaatkan untuk ucapan terima kasih. Lalu minta maaf.
Baru pada bait ketiga saya ’memperkosa’-nya. Yakni, memasukkan kalimat-kalimat
merendah, tapi juga berisi memaksanya agar mengizinkan saya pulang. Saya juga
mencoba lagi kemampuan ilmu mantiq yang saya pelajari di aliyah dulu.
Tiba-tiba dia masuk kamar saya dengan menggenggam surat itu. Wajahnya
merah serius. Langkahnya cepat. Beberapa dokter muda yang mengikutinya sampai
agak tertinggal di belakang. Pagi itu, yang mestinya melakukan kegiatan rutin,
langsung diubah untuk menemui saya. Dari ekspresi wajah dan body language-nya,

  98  
Prof Shao seperti tidak membaca alinea pertama. Rayuan saya ternyata telah
diabaikannya. Guru besar ternama di bidang liver itu seperti langsung membaca
alinea yang ’memperkosa’-nya.
Bertatapan dengan saya, dia tidak langsung berkata-kata. Dia menatap
wajah saya dengan tatapan multi-arti: marah, kesal, dan gondok bercampur jadi
satu. Mudah-mudahan masih terselip raya sayang di dalam campuran itu. Lama dia
tidak berkata-kata. Sampai-sampai banyak dokter muda yang menunduk. Setelah
menarik napas panjang, barulah dia mengucapkan kalimat yang bernada putus asa.
“Sudah saya duga,” katanya.
“Bukankah indikasi-indikasi dalam darah saya sudah menunjukkan bahwa
saya kuat terbang jauh?” kata saya memecah kebekuan. Lalu saya menunjukkan
hasil lab. “HB saya 13, SGPT-OT saya mendekati normal, Plt saya sudah 120,
tekanan darah juga normal,” kata saya.
Prof Shao seperti kian gondok. Mungkin merasa kok saya seperti sok tahu
kedokteran. “Semua itu benar,” jawabnya. “Tapi, ada satu data yang saya
sembunyikan. HBV-DNA Anda masih 15 juta. Padahal, seharusnya di bawah 100
saja,” katanya.
Saya terpojok. Tidak menduga sama sekali dia merahasiakan itu dari saya.
Bahkan, saya tidak tahu apa hubungannya antara sakit saya dan HBV-DNA. Kami
terdiam lama. Saya lihat Prof Shao mulai menitikkan air mata. Melihat itu, dokter-
dokter muda yang menyertainya menyerahkan tisu kepadanya. Mata saya juga
mulai berlinang. Saya dalam posisi sulit. Saya terjepit antara keharuan dan
romantisme di satu pihak dengan rasa tanggung jawab di pihak lain. Tanggung
jawab yang juga tidak kecil. Tanggung jawab dan risiko sebagai pimpinan. Tanggung
jawab kepada rakyat Kaltim dan Perusda Jatim. Lalu muncullah keteguhan dalam
hati saya untuk lebih mementingkan tanggung jawab itu.
Maka, saya putuskan untuk berbuat ini di depan Prof Shao. Turun dari
tempat tidur dan ingin bergegas mencium kakinya. Ini sebagai tanda bahwa saya
minta maaf yang dalam, tapi sekaligus minta dengan sangat agar diperbolehkan
pulang. Dia tahu saya tidak pura-pura. Saya sudah hampir menubruk kakinya. Prof

  99  
Shao bergegas mengangkat kepala saya. Dia menahan tangis. Robert Lai juga
mengusap-usap matanya. Demikian juga istri saya.
Lalu Prof Shao menarik napas panjang. “Ya, sudah. Tidak bisa dicegah. Saya
akan izinkan. Tapi, obat yang saya siapkan nanti harus diminum,” katanya melemah.
Kini ganti saya yang lebih banyak menitikkan air mata.
Besok paginya, dari rumah sakit saya langsung ke bandara. Saya pakai kursi
roda selama dalam perjalanan pulang. Dengan diungkapkannya data soal kadar
HBV-DNA saya, ternyata saya belum prima. Saya harus lebih hati-hati.
***
Kian hari kondisi saya kian baik. HBV-DNA saya juga menurun drastis.
Seminggu kemudian sudah menjadi 1,5 juta. Sebulan kemudian sudah normal.
Kini saya sudah terbebas dari ancaman tiba-tiba meninggal. Juga sudah
terhindar dari ancaman tiba- tiba perdarahan dari lubang-lubang tubuh saya.
Apalagi, sebelum potong-limpa itu saya juga sudah dua kali melakukan TACE di
Singapura. Yakni, mengusahakan pembunuhan atas dua kanker liver saya dengan
cara dimasuki alat pembunuh lewat selangkangan saya.
Saya tahu semua itu tidak menyelesaikan persoalan. Sakit saya sudah
terlewat parah. Semua itu hanya usaha untuk ulur-waktu, buying-time. Tapi,
setidaknya saya kini punya kesempatan beberapa bulan untuk memikirkan cara
terbaik mengatasi sirosis-kanker saya secara permanen. Termasuk
mempertimbangkan untuk transplantasi.

  100  
Yang Pro dan Yang Anti-Transplan
Bertinju Sengit dalam Pikiran
15 September 2007

KALAU saja saya dulu peduli sedikit dengan badan saya, sebenarnya masih
ada jalan agar terhindar dari transplantasi. Juga terhindar dari potong-limpa.
Katakanlah suntikan interveron yang saya jalani sampai 70 kali (setiap dua hari
sekali) itu tidak berhasil “memingsankan” virus hepatitis B saya, tapi belakangan
sebenarnya keluar obat baru yang harus diminum tiap hari. Agar virus yang tidak
mungkin lagi dikeluarkan dari liver itu “tidur nyenyak” saja di dalam liver. “Bangun”-
nya virus hepatitis B akan langsung menyerang liver hingga kelak jadi sirosis.
Kalau toh obat itu juga tidak berhasil, masih ada obat lain yang lebih mahal.
Nama generik obat itu Octreotide (karena saya tak boleh menyebut nama
obatnya). Obat tersebut harus disuntikkan tiap dua hari sekali selama sembilan
bulan. Harga obatnya saja, untuk sekali suntik, sekitar Rp 1,1 juta. Selain
Octreotide, masih ada satu obat baru lagi yang juga harus disuntikkan ke saya
selama sembilan bulan berturut-turut. Nama generiknya Thymalfasin atau
Thymosin Alpha-1. Yang ini nyuntiknya sebulan sekali.
Antara satu dokter dengan lainnya memang masih berbeda pendapat
mengenai keampuhan obat- obat itu. Tapi, bagi pasien yang ingin sembuh dan
punya uang, pasti tergoda untuk mencobanya.
Sayang, saya tahunya sudah sangat terlambat. Baru dua tahun lalu saya
mendapatkan informasi tentang obat-obat itu. Yang Anticavier saya ketahui dari
dokter di Singapura. Sedang dua obat yang lain saya ketahui dari Prof Shao. Semua
saya ketahui setelah liver saya menjadi sirosis. Dan bahkan ketika sirosis saya
sudah berkembang ke kanker. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Karena itu, meski telat, saya tetap memakai obat-obat tersebut. Setidaknya, bisa
membantu saya buying time. Mengolor waktu. Untuk memberikan kesempatan

  101  
bagi saya memikirkan harus melakukan apa yang lebih mendasar. Termasuk mulai
mempertimbangkan kata yang mengerikan itu: transplantasi liver.
Waktu itu, kata “transplantasi” sebenarnya masih jauh dari pikiran. Masak
saya sampai harus melakukan itu? Masak saya separah itu? Masak tidak ada jalan
lain? Masak tidak akan ada keajaiban? Masak tidak ada obat alternatif? Masak tidak
ada dukun atau kiai yang linuwih (punya ilmu lebih)?
Tapi, saya harus tetap rasional. Tetap menggunakan pemberian Tuhan yang
sangat berharga itu: otak. Banyak teman menganjurkan juga untuk pindah ke jalur
alternatif. Ke obat tradisional atau ke kekuatan supranatural. Baik yang kejawen
maupun yang dibungkus religius. “Siapa tahu ada rekayasa Tuhan di situ,” kata
teman saya.
Rekayasa Tuhan? Apakah Tuhan punya hobi merekayasa? Saya lebih percaya
bahwa Tuhan akan konsisten dengan sunatullah-Nya. Termasuk sunatullah bahwa
kalau tidak melakukan imunisasi hepatitis, dia akan punya kemungkinan terjangkit
hepatitis. Kalau sudah kena hepatitis, pasti akan mengarah ke sirosis. Dan kalau
sudah sirosis, pasti akan menjadi kanker.
Karena itu, kosa kata “transplan” sudah mulai masuk di bawah sadar. Meski
bentuknya masih pertanyaan “masak harus sampai transplan?”, tapi itu juga berarti
secara tidak sadar kata “transplan” sudah mulai masuk dalam proses internalisasi
ke pikiran saya. Satu proses awal dalam sebuah perjalanan spiritual untuk sampai
pada kata akhir: siap transplan.
Kalau persoalannya hanya sirosis (sirosis kok dibilang “hanya”), transplantasi
masih bisa ditunda. Meski sirosis tidak bisa disembuhkan, tapi mungkin masih bisa
diperlambat.
Begitu pula kalau masalahnya hanya kanker (kanker kok juga dibilang
“hanya”). Sebab, masih ada tiga cara lain untuk mengatasinya, selain kemoterapi.
Yakni, dengan memotong bagian yang terkena kanker, di-RFA (radio frequency
ablation) atau di-TACE (trans arterial chemoembolization).
Masalahnya, liver saya sudah “dikeroyok” sirosis dan kanker, sehingga tidak
mudah untuk mengatasi kankernya. Misalnya, mau dipotong bagian yang ada

  102  
kankernya. Itu tidak mungkin karena sirosis membuat permukaan liver saya
mengeras. Permukaan liver yang mengeras itu, kalau dipotong, akan menyebabkan
pendarahan hebat yang bisa membunuh saya. Pendarahan di liver sangat tidak
mudah untuk dihentikan, sekalipun oleh dokter yang paling pintar.
Begitu pula kalau mau di-RFA atau dibakar dengan energi panas. Sebab,
untuk membakar (mengablasi) sel kanker saya, dokter harus memasukkan sejenis
metal berbentuk kail yang punya beberapa mata kail. Kail itu ditembuskan ke
dalam liver melalui perut. Cara itu tentu sangat membahayakan saya karena mata
kail tersebut harus lebih dulu menjebol permukaan liver saya, sebelum masuk ke
sel kanker. Tindakan itu jelas bisa menyebabkan liver mengalami pendarahan.
Karena itu, diputuskanlah untuk membunuh kanker saya dengan metode
TACE. Cara itu pada prinsipnya sama dengan kemoterapi. Bedanya, obat kemonya
tidak diinfuskan seperti umumnya kemoterapi, melainkan diinjeksikan langsung ke
sel kankernya melalui selang kecil panjang (kateter) yang dimasukkan melalui
pembuluh darah besar di pangkal paha (arteri femoral).
Dengan bantuan fluoroscopy, sejenis sinar rontgen, kateter itu lantas
didorong masuk sampai ke arteri (pembuluh darah yang membawa darah bersih
dan sari makanan dari jantung) yang di hati.
Setelah obat kemonya menembus sasaran, dokter lantas memasukkan lagi
obat lain, melalui kateter yang sama, untuk memblokir cabang-cabang arteri di liver
yang melewati sel kanker saya. Ini perlunya untuk menutup akses makanan ke sel-
sel kanker itu. Dengan begitu, diharapkan sel-sel kanker saya akan kelaparan dan
tak lama kemudian mati.
Tindakan medis tersebut memakan waktu kurang lebih dua jam. Itu sudah
termasuk mencabut kateter di pangkal paha saya dan membalut kuat-kuat bekas
sayatan yang di paha. Selama hampir semalam saya tidak boleh turun ranjang
karena khawatir luka sayatan itu terbuka, sehingga terjadi pendarahan. Kalau itu
terjadi, akibatnya bisa fatal karena sayatan tersebut menembus sampai ke
pembuluh darah besar di paha.

  103  
Jadi, kalau problemnya hanya sirosis dan kanker (Huh! Sirosis dan kanker
kok masih dibilang “hanya”), transplantasi juga masih bisa ditunda dengan cara di
atas.
Namun, persoalannya, akibat sirosis itu, bagian-bagian tubuh saya yang lain
ikut rusak dan bisa saja jadi penyebab kematian yang lebih besar. Bahkan,
kerusakan pada bagian tubuh yang masih baik akan terus terjadi. Kalau sampai
tahun lalu, yang sudah ikutan rusak adalah saluran pencernaan, empedu, dan limpa
saya. Kalau saya biarkan, barangkali ginjal, selaput perut, jantung, dan paru saya
juga segera rusak.
Limpa saya saja sudah membesar. Sudah tiga kali lipat lebih besar daripada
limpa orang normal karena darah yang tidak bisa lancar masuk ke liver mbendal
(terpental) masuk ke limpa.
Limpa saya itu kian hari masih akan terus membesar. Lama-lama, kalau
pinggang saya kena bola atau kena sodok, limpa bisa pecah: mati. Tidak pecah pun,
limpa yang membesar membuat darah putih saya menurun. Padahal, darah putih
berfungsi, antara lain, menguburkan sel-sel darah merah yang mati. Sel darah
merah memang harus mati dalam kurun waktu tertentu dan harus “dikuburkan”.
Darah putihlah yang menguburkannya dengan cara “memakan”-nya. Pekerjaan
mengubur dan menghancurkan bangkai sel-sel darah merah itu dikerjakan di limpa.
Tapi, karena limpa saya terus membesar, sel-sel darah putih yang baik pun
ikut dikubur oleh organ itu. Makanya, saat itu jumlah darah putih saya terus
menurun. Sementara bangkai sel-sel darah merah makin bertambah. Jadi, ke mana
bangkai-bangkai darah merah tersebut? Itu juga membuat problem sendiri pada
tubuh saya.
Karena darah putih yang sangat kurang itu, saya akan sangat gampang
terkena virus. Daya tahan tubuh saya sangat menurun. Seharusnya kadar darah
putih saya minimal 200. Saat itu tinggal 60-an. Kalau turun 10 poin lagi, saya sudah
tak bisa bertahan dari infeksi. Padahal, saat itu, platelet saya juga terus menurun.
Sehingga, sewaktu-waktu saya terancam mengalami pendarahan dari mana saja:

  104  
dari mulut, hidung, telinga, bahkan dari lubang kemaluan. Semua itu gara-gara liver
yang sirosis.
Ada yang lebih berbahaya lagi. Seperti yang sudah saya singgung sebelum ini,
darah-darah yang mbendal itu juga memenuhi saluran percernaaan saya (varises
esofagus). Akhirnya, dinding- dindingnya berubah jadi balon-balon berisi darah.
Setiap saat bisa pecah. Misalnya, hanya karena terkena benda tajam seperti keripik
atau tulang ikan atau roti kering. Karena itu, saya pernah takut makan ikan. Takut
tulang-tulang kecilnya masuk ke tenggorokan, lalu melukai dan menusuk balon-
balon itu. Saya bisa mati hanya oleh satu tulang ikan yang amat kecil.
Jadi, meski mungkin saya bisa membunuh sel-sel kanker dengan TACE dan
berhasil memperlambat proses kerusakan total liver oleh sisrosis, proses
kerusakan di organ lain ternyata tak bisa saya hentikan. Kecuali liver saya segera
baik. Dan, untuk itu, cuma ada satu jalan: transplantasi liver.
Maka, status kata “transplan” pun meningkat dalam pikiran saya. Dari
sekadar tamu yang sedang mampir menjadi penghuni utama. Lalu, bulatlah tekad
saya: ganti liver.
“Tapi, kalau gagal gimana?” tanya kubu yang anti-transplan di tim saya.
“Bukankah terlalu banyak contoh transplan yang gagal?” tambahnya.
Kegagalan transplantasi yang dilakukan tokoh Nurcholish Madjid (Cak Nur)
sungguh menjadi alasan pembenar yang kuat sekali bagi kubu yang tidak setuju
transplantasi. Kuat secara psikologis. Bukan secara rasional-teknis-medis.
Saya sudah biasa menghitung komposisi psikologis dan rasionalitas dalam
setiap mengambil keputusan. Bahkan, saya sering merenungkan (yang sampai
sekarang belum sampai pada kesimpulan) soal yang rumit dan peka ini: khusyuk itu
gejala religi atau gejala psikologi? Mengapa ada orang yang mudah khusyuk? Tapi,
mengapa banyak juga yang sulit khusyuk? Sampai-sampai, ketika memulai
sembahyang harus mengulangi takbir berkali-kali? Mengapa ada orang yang mudah
menangis ketika berdoa? Mengapa ada yang tidak bisa menangis? Gejala
agamakah? Gejala psikologiskah?

  105  
Saya bukan ahli psikologi. Juga bukan ahli agama. Tapi, sudah pasti
pertimbangan yang lebih didominasi perasaan, saya kalahkan. Secara tidak formal,
saya memang membentuk dua tim. Satu yang punya pendapat jangan transplan.
Satunya lagi yang pro-transplan. Saya ingin mendapat pertimbangan yang arahnya
berlawanan.
Tim yang pro-transplan mengemukakan, memang transplantasi Cak Nur
gagal. Tapi, penyebabnya kan jelas: virus Citomegali. Virus yang munculnya hanya
dalam kasus transplantasi.
Tapi, bisa saja karena kondisi Cak Nur sendiri yang memang sudah lebih
parah daripada kondisi saya saat ditransplan. Artinya, mungkin telanjur sangat
parah. Kita tidak tahu pastinya. Dan “kubu anti- transplan” di tim saya juga tidak
tahu mengapa Cak Nur gagal.
“Pak Dahlan pun, kalau misalnya kankernya sudah sampai di vena porta
(pembuluh darah balik yang utama di liver), mungkin juga akan lebih sulit,” kata
pro-transplan. Atau, kalau ginjal dan paru sudah ikut rusak. Atau, ketika air sudah
memenuhi rongga perut (ascites). Atau, ketika membran selaput dada sudah kena
infeksi.
Tapi, kubu “anti-transplan” di tim saya masih punya alasan lain. “Katakanlah
transplantasinya berhasil. Akan bisa bertahan hidup berapa tahun lagi?” katanya
seperti sedang mulai memberikan pukulan tinju kepada tim saya yang pro-
transplan.
Apakah tidak ada bibit kanker yang akan mbalik ke liver baru? Apakah bibit
virus hepatitis B yang sudah ikut beredar di darah tidak menjangkiti liver baru? Lalu
jadi sirosis lagi? Jadi kanker lagi?
“Katakanlah setelah transplan masih bisa hidup lima tahun lagi. Seperti kata
dokter di Singapura itu. Apakah kalau tidak ransplan tidak bisa bertahan lima tahun
lagi? Dengan obat-obat yang kian maju?” tanya tim yang anti-transplan.
Bertubi-tubi ayunan tinju dihokkan ke wajah tim yang pro-transplan. Lalu,
ditutup dengan pukulan upper-cut yang telak: sama-sama bisa bertahan lima tahun,
mengapa harus berjudi dengan transplan?

  106  
Sebagai dewan juri yang harus adil, saya melihat tim pro-transplan
sempoyongan. Sampai mau terlempar dari kanvas. Tapi, tali ring
menyelamatkannya: Tapi, apakah kita harus membiarkan Pak Dahlan selama lima
tahun menjalani kehidupan dengan kualitas yang buruk? Harus selalu dikemo, di-
TACE, keluar-masuk rumah sakit, tidak bisa makan enak, tidak bisa bekerja dengan
baik? “Itukah hidup? Untuk apa hidup kalau kondisinya harus tersiksa seperti itu?”
serang tim pro-transplan tiba- tiba.
Kedua tim masih akan terus bertinju. Tapi, bel sudah menunjukkan bahwa
waktu sudah habis. Pemenang sudah harus ditentukan sebelum salah satunya KO.
“Saya mantap dengan transplan,” kata saya.
Semua diam. Keheningan terpecah oleh suara salah satu tim pro-transplan.
“Memang peran pasien sendiri amat menentukan. Kalau kita paksakan transplan
tapi pasien tidak mantap, juga tidak boleh. Kemantapan tekad pasien akan menjadi
kunci suksesnya. Begitu pasien ragu-ragu, kita sudah tiba pada kesimpulan
transplantasi akan gagal,” katanya.
“Ya. Saya mantap transplan. Dengan segala risikonya,” kata saya.

  107  
Ingin Naikkan Albumin, Berburu
Banyak Ikan Kutuk
16 September 2007

SETELAH hati mantap melakukan transplantasi, barulah saya menentukan


langkah. Ada tiga yang harus dipertimbangkan. Kehebatan dokter, kesediaan
donor, dan ketepatan rumah sakitnya. Dari situ baru kami tentukan tempatnya.
Tiga faktor itu saya sebut sebagai “persyaratan mutlak”. Lalu masih ada sejumlah
“persyaratan keinginan”. Misalnya, kedekatan dengan Indonesia, kedekatan
budaya, dan kedekatan bahasa.
Saya sudah terbiasa, dalam setiap akan mengambil keputusan, menjalankan
satu proses yang disebut problem solving. Satu proses untuk melakukan
pembobotan dan penilaian atas semua pilihan. Lalu mengalikan bobot dan nilai.
Hasil perkalian tertinggi, itulah pilihan terbaik. Saya pernah disekolahkan untuk itu
di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM) ketika saya masih
jadi wartawan majalah berita mingguan TEMPO.
Proses manajemen itu kemudian saya bawa juga ke dalam jurnalistik. Saya
ajarkan sebagai doktrin di Jawa Pos. Itulah yang membedakan wartawan Jawa Pos
dengan wartawan lain. Wartawan Jawa Pos harus menjalankan ’10 rukun iman’
atau ’Ten Commandments” yang saya tentukan. Itulah salah satu sumbangan ilmu
manajemen ke dalam praktik jurnalistik di Jawa Pos. Tentu hal ini tidak diajarkan di
fakultas publisistik atau di akademi wartawan. Mungkin tidak akan diakui sebagai
salah satu teori jurnalistik, tapi saya tidak peduli.
Proses yang sama saya terapkan dalam melakukan analisis problem-solving
atas tekad saya yang sudah mantap melakukan transplantasi liver. Maka, tim
menyeleksi dokter-dokter ahli transplantasi di dunia: Australia, Amerika, Jepang,
Singapura, Belanda, dan Tiongkok. Dari masing-masing negara kita pilih satu nama.
Kita pelajari track record-nya. Juga, terutama, umurnya. Saya ingin dokter yang

  108  
berpengalaman, tapi masih muda. Tangan anak muda, menurut logika saya, akan
lebih firm ketika memegang pisau bedah. Saya memang sangat pro anak muda. Saya
percaya hanya yang muda yang bisa diajak balapan di segala bidang.
Dari proses itulah lantas kami pilih dokter ini. Umurnya masih 52 tahun dan
badannya tinggi tegap. Penampilannya meyakinkan. Urat-uratnya kukuh,
mengindikasikan akan kuat dalam menghadapi tekanan mental maupun fisik.
Pengalamannya juga luar biasa. Sudah melakukan tranplantasi liver lebih dari 500
kali. Bahkan, sudah membukukan beberapa rekor: Rekor terbanyak, rekor
transplantasi tanpa transfusi darah, rekor transplantasi untuk pasien usia dini (3
tahun), transplantasi untuk pasien tertua (76 tahun). Dia memperoleh pendidikan
khusus untuk ini di Jepang. Boleh dikata, dialah dokter Tiongkok yang paling jago di
bidang transplantasi liver.
Tapi, masih ada satu yang meragukan. Padahal, yang saya ragukan ini masuk
dalam ’persyaratan mutlak’. Artinya, mau tidak mau harus dipenuhi. Kalau hanya
masuk ’persyaratan keinginan’, barangkali bisa diabaikan. Apa itu? Tempat! Apakah
di Tiongkok ada rumah sakit yang bagus sekali? Bukankah rumah sakit di sana
terkenal joroknya?
Untuk ini Robert Lai memeriksa rumah sakit tempat dokter itu berada.
Yakni, di satu kota di belahan utara Tiongkok. Untuk Indonesia kota ini tidak
populer, tapi saya sudah mengenalnya dengan sangat baik. Berkali-kali saya ke kota
itu. Kunjungan pertama saya ke sana sekitar 10 tahun lalu.
Hasil kunjungan Robert Lai sangat memberi harapan. Khususnya tower yang
baru. Sangat bersih dan terawat. Alat-alatnya juga amat modern. Dan, reputasinya
yang tinggi sebagai pusat transplantasi liver sudah sangat terkenal. Saya sendiri
pun lantas mengunjunginya. Saya langsung jatuh cinta pada kunjungan pertama.
Hati saya mantap sekali.
Masih juga ada satu pertanyaan: maukah dia menangani saya? Ada waktukah
dia? Inilah tugas Robert berikutnya. Dan, dia selalu berhasil menjalankan misinya.
Maka sudah tidak tengok sana-sini lagi: Di sinilah saya akan melakukan

  109  
transplantasi liver. Saya mengenal baik kotanya, mengenal baik budayanya, dan
sedikit banyak sudah bisa berkomunikasi dengan bahasanya.
Sungguh tak terbayangkan bahwa tekad saya untuk belajar bahasa
Mandarin lima tahun lalu ternyata saya sendiri yang akan memetik manfaat
terbesarnya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau saya tidak bisa
sedikit-sedikit berbahasa Mandarin.
Memang, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Jepang dan orang dari
negara-negara Arab, bisa saja mempekerjakan juru bahasa. Namun, tidak akan
semulus kalau diri sendiri yang tahu bahasa itu. Bahkan, karena hampir selalu
berbahasa Mandarin, saya sering tidak dianggap orang asing. Apalagi sosok saya
yang sosok Asia. Bahwa kulit saya agak hitam, banyak juga orang dari wilayah
selatan atau dari Hainan yang juga berkulit seperti saya.
Robert juga langsung memesan kamar terbaik, yang ada ruang tamunya,
dapurnya, saluran internet- nya. Dia tahu saya tidak akan bisa hidup tanpa jaringan
internet. Robert juga langsung menyewa apartemen untuk setahun, membeli mobil,
mencari sopir, pembantu rumah tangga, dan juru masak. Dia tahu belum tentu
transplantasi bisa dilakukan segera. Problem transplantasi adalah di kesediaan
donor. Masa menunggu tidak bisa ditentukan.
Keluarga saya, dan juga Robert, tinggal di apartemen. Saya tinggal di rumah
sakit. Istri saya tidur di ruang tamu. Untuk membunuh waktu saya memutuskan
meneruskan belajar bahasa Mandarin. Dua kali sehari. Pagi 2 jam, sore 2 jam. Guo
Qiang mencarikan gurunya: tiga gadis yang masih kuliah di tahun terakhir IKIP
setempat.
Istri saya sering melihat bagaimana saya belajar. Lalu dia sumpek sendiri
membayangkan sulitnya. Dia memilih mendengarkan lagu-lagu kasidah dari CD
yang dia bawa. Atau mendengarkan ayat-ayat Alquran yang kasetnya dia beli di
Makkah. Yakni, ayat-ayat mulai Al Fatihah sampai terakhir surat An Nas dari imam
salat tarawih di Masjidilharam. Sudah beberapa tahun saya dan istri selalu di
Makkah saat akhir Ramadan.

  110  
Kalau akhir pekan, saya pamit ke kota lain. Saya tahu tidak ada operasi pada
Sabtu dan Minggu. Pada hari-hari seperti itu saya terbang ke provinsi lain. Saya
boleh terbang-terbang asal masih dalam radius empat jam penerbangan.
Maksudnya, kalau ada sesuatu yang mendadak (misalnya, tiba-tiba ada donor), saya
bisa kembali segera.
Badan saya memang sangat sehat secara fisik lahiriah. Karena itu, saya
sering lupa kalau di lengan saya sudah dipasangi selang kecil yang ujungnya ada di
dekat jantung. Selang infus itu diperlukan kalau tiba-tiba harus transplan, sudah
lebih siap.
Suatu saat saya ke Kota Dalian, satu jam penerbangan dari kota ini. Di salah
satu plaza di sana, ada penjual raket squash dengan bola yang diikat tali karet. Kita
bisa mencoba main squash tanpa harus lari-lari mengejar bola. Saya lupa akan
selang infus di lengan saya. Saya main squash cukup lama. Keesokan harinya lengan
saya sakit sekali. Sepanjang selang itu (mulai dari lengan sampai dada) kemeng
sekali.
Suatu malam saya tidak bisa tidur. Pasien dari negara Arab di sebelah kamar
saya berteriak-teriak sepanjang malam. Apakah dia sudah terkena kanker? Apakah
kankernya sudah sampai ke kepala sehingga mengganggu otaknya?
Paginya dia berteriak-teriak lagi. Saya mencoba menengoknya. Tahulah saya
bahwa dia masih diikat di ranjang. Ini penting untuk kesehatannya sendiri. Ternyata
dia berontak karena ada janji, pagi-pagi ikatan sudah akan dilepas. Tapi, ternyata
tidak. Rupanya rumah sakit masih khawatir dia akan berontak sehingga terus
diikat. Siangnya, saya tahu lebih jelas mengapa dia berontak. Ini saya ketahui
setelah saya bicara kepadanya dalam bahasa Arab. Dia memang tidak bisa
berbahasa Inggris. Bahasa Arab saya sudah banyak yang hilang sehingga perlu
waktu lama untuk mengingat banyak kata yang jarang dipakai.
Ternyata pasien itu ingin menelepon keluarganya, tapi tidak diizinkan. Yang
tidak mengizinkan adalah kerabat yang menunggunya. Mungkin untuk menghemat
pulsa, mungkin juga karena sering telepon memang tidak baik bagi pasien seberat
dia.

  111  
Ketika penunggunya lagi pergi, dan melihat saya bisa bicara Arab, dia minta
tolong saya untuk memberi tahu perawat agar membantunya menelepon keluarga.
Dia lantas menyodorkan hand phone yang rupanya tidak dibawa pergi oleh
penunggunya. Ternyata dia juga sudah mengantongi secuil kertas lusuh berisi
nomor telepon.
Tapi, angka-angka itu angka Arab. Dia mendiktekannya ke suster dengan
bahasa Inggris yang amat tidak jelas. Tapi, setiap kali nomor itu dihubungi selalu
gagal nyambung. Dia mulai kesal dan uring- uringan. Akhirnya saya rayu dia untuk
memberikan cuilan kertas itu. Tahulah saya bahwa angka yang dipijit kurang satu
digit. Mengapa? Ini karena ada satu titik di belakang angka-angka itu. Suster tidak
tahu dan pasien juga tidak jelas melihatnya. Saya menyarankan agar menambah
“nol” di pijitan terakhir. Titik, dalam huruf Arab, berarti nol. Ternyata nyambung.
Luar biasa senangnya.
Sambil menunggu dan menunggu, saya terus menjaga kondisi. Badan saya
harus sehat. Saya melakukan senam dan tidak mengenakan baju pasien. Para suster
bilang bahwa saya ini bukan seperti orang sakit. “Saya memang tidak sakit. Saya
hanya perlu transplantasi liver,” gurau saya kepada mereka.
Dalam masa penantian itu saya tidak boleh terkena flu. Karena flu saja bisa
mengurangi potensi kesuksesan transplantasi. Saya juga harus menjaga agar
protein di darah saya, terutama albumin, tidak terus merosot. Untuk menambah
protein banyak sumbernya. Mulai daging, putih telur sampai ikan. Tapi,
meningkatkan albumin luar biasa sulitnya.
Berminggu-minggu kami mendalami internet untuk mengetahui makanan
apa saja yang bisa menaikkan albumin. Tidak ketemu. Di Tiongkok, yang biasa
menyediakan menu ribuan macam di internet mereka dalam bahasa Mandarin, juga
tidak ditemukan satu pun jenis makanan yang dimaksud. Satu-satunya sumber
albumin adalah sahabat kecil saya dulu di desa: ikan kutuk. Di Kalimantan disebut
ikan gabus. Dalam bahasa Inggris dikatakan “ikan kepala ular”, karena bentuknya
seperti ular yang amat pendek.

  112  
Saya menghubungi guru besar Unibraw, Malang, Prof Eddy Suprayitno. Satu-
satunya orang yang melakukan penelitian terhadap ikan kutuk. Setelah
penjelasannya meyakinkan, mulailah saya minta istri saya berburu kutuk setiap
hari. Penjual ikan di Pasar Rungkut hafal betul dengan istri saya. Entah sudah
berapa ton saya mengonsumsi sop kutuk.
Saya lupa bertanya apakah Prof Suprayitno sudah mematenkan
penelitiannya dan memikirkannya untuk sebuah industri. Yang saya tahu
kehidupan Prof Suprayitno amat sederhana, sebagaimana umumnya guru besar di
Indonesia.
Di Tiongkok, peneliti seperti itu jadi kaya raya. Satu orang yang meneliti satu
jenis tanaman liar yang disebut ’tear drop’ (di desa saya dulu disebut manikan,
sering untuk tasbih) kini menjadi orang terkaya nomor 200 di Tiongkok. Sebab,
buah manikan ternyata mengandung khasiat antikanker. Seorang peneliti padi yang
dulu hidup di desa selama 20 tahun, kini menjadi pemegang saham perusahaan
pembibitan dengan aset triliunan rupiah.
Ikan kutuk ternyata tidak ada di tempat lain. Jadi amat berharga. Tapi,
karena saya akan tinggal lama di Tiongkok, tentu saya akan kesulitan membawa
kutuk ke sana. Lalu muncul di pikiran, masak tidak ada kutuk di Tiongkok. Maka
saya mencari kutuk di sana. Di setiap kota yang saya singgahi saya perlukan untuk
mengunjungi pasar ikannya: di Nanchang, di Nanjing, di Wuhan, di Harbin, di
Dalian, di Qingdao, dan seterusnya. Tapi, saya tidak menemukannya.
Di Nanchang, teman saya di pelosok desa mengabarkan di desanya banyak
ikan kutuk. Saya pernah ke desa itu sebelum tahu bahwa saya punya sirosis. Ketika
saya ke Nanchang, dia datang dengan bapaknya sambil membawa satu ember ikan.
Dia naik kendaraan umum selama satu jam untuk bisa sampai ke kota. Bapak teman
saya, dengan bahasa daerah yang tidak saya mengerti, menjelaskan panjang lebar
bagaimana satu hari tadi dia berusaha mencari ikan satu ember itu.
Saya berterima kasih padanya. Saya mengatakan “benar”, itulah ikan yang
saya cari. Tapi, sebenarnya bukan. Bentuknya memang persis kutuk, tapi bukan
kutuk. “Kutuk Tiongkok” ini lebih hitam. Karena itu, di sana disebut “hei yu” -”hei”

  113  
artinya hitam, “yu” artinya, Anda bisa menduga sendiri. Kandungan daging “hei yu”
tidak sama dengan kutuk di Jawa.
Di Kalimantan lebih lengkap. Kutuk, yang di sana disebut ikan gabus, sangat
banyak. “Hei yu” juga banyak. “Hei yu”, yang kalau di Kalimantan disebut ikan
tomang, juga bisa tumbuh besar sampai kuat merusak perahu kayu kecil-kecil. Tapi,
dagingnya hambar. “Hei yu” di Kalimantan lebih banyak dimanfaatkan untuk ikan
asin. Sedangkan ikan gabus yang manis, enak sekali dimasak bumbu bali, dimakan
dengan nasi kuning.
Selama di Tiongkok saya kesulitan sumber albumin ini. Padahal,
mempertahankan albumin menjadi amat penting. Dalam keadaan normal, liver bisa
memproduksi albumin. Tapi, karena liver saya rusak, sungguh sulit mengatasinya.
Akhirnya, agar badan tetap sehat, saya memutuskan untuk selalu makan banyak.
Enak tidak enak sudah tidak penting lagi. Badan saya harus sehat menghadapi
operasi besar. Ibaratnya saya harus seperti kerbau yang akan dijual untuk
disembelih: Harus sehat dan gemuk.

  114  
Datang Tawaran Liver Hidup dari
Orang Muda asal Bandung
17 September 2007

SAYA hampir kehilangan momentum. Kedatangan saya untuk antre


transplantasi liver ini agak terlambat, meski belum fatal. Sebulan setelah saya
menunggu, keluar peraturan baru: tidak gampang lagi pasien asing mendapatkan
donor. Tapi, mestinya, saya belum terkena peraturan itu karena saya sudah
mendaftar sebelum itu.
Pasien asing banyak yang gelisah. Dulu-dulunya, waktu menunggu sering
tidak sampai sebulan. Saya pun datang dengan harapan seperti itu. Apalagi di
lengan saya sudah dipasangi saluran infus sampai ke dada, sebagai persiapan
transplantasi yang sudah dekat. Tapi, ternyata terhalang aturan baru itu.
Saya memutuskan sabar menunggu. Tapi, setelah dua bulan tidak juga ada
tanda-tanda akan mendapat donor, saya ingin pulang dulu dua hari. Kali ini untuk
menyelesaikan urusan di Kalimantan Barat. Saya merasa punya tanggung jawab
yang belum saya penuhi.
Sebagaimana juga di Kaltim, saya ingin ikut mengatasi krisis listrik di Kalbar.
Gubernurnya sudah sangat mendambakan turun tangan saya, mengingat krisis
listrik di sana sudah berlangsung lebih dari lima tahun. Krisis listrik di Kalbar lebih
parah daripada di Kaltim. Maka saya bersama gubernur dan Dirut PLN
menandatangani MoU pembangunan PLTU di Pontianak.
Untuk menunjukkan keseriusan, saya langsung membeli tanah 20 hektare di
lokasi yang paling cocok untuk itu. Juga melakukan perundingan dan
penandatangan kontrak mesin-mesin di Tiongkok.
Namun, beberapa waktu kemudian ternyata PLN melakukan tender untuk
pembangunan PLTU itu, tanpa sedikit pun memberi informasi kepada saya
bagaimana nasib MoU yang sudah dibuat.

  115  
Kami tidak mau ikut tender itu karena merasa PLN tidak beretika sama
sekali. Dan lagi, saya memang tidak dalam posisi mencari proyek. Saya hanya ingin
ikut mengatasi krisis listrik di Kalbar, sebagai awal dari membangun Kalbar lebih
lanjut. Provinsi itu sangat kasihan. Tidak kaya sumber alam dan tidak punya proyek
besar. Investor yang mau datang pasti mengeluhkan listrik.
Tender itu berjalan lancar dan itu memang proses yang benar. Tapi,
pemenang tendernya, sampai tulisan ini dibuat, tidak ada tanda-tanda fisik mulai
membangun PLTU. Berarti Kalbar kehilangan lagi waktu tiga tahun. Jelek sekali
nasib Kalbar. Juga nasib (tanah) saya. Memang, suatu ketika, kira-kira dua tahun
lalu, peserta tender ingin mengajak saya bergabung membangun PLTU tersebut.
Tentu saya tidak mau kalau modal dia hanya selembar kertas izin. Dia juga
menanyakan apakah tanah kami akan dijual. Tentu saja tidak. Kami bukan spekulan
atau jual beli tanah. Kami serius membeli tanah tersebut untuk PLTU.
Memang bukan salah saya kalau sampai hari ini belum ada tanda-tanda
konkret krisis listrik Kalbar akan teratasi. Tapi, setidaknya saya bertanggung jawab
untuk mewujudkan sesuatu di sana. Terutama sebagai ungkapan terima kasih
kepada masyarakat setempat bahwa koran kami di sana menjadi yang terbesar.
Karena itu, saya bertekad menggunakan dana yang sudah saya siapkan
untuk PLTU ke proyek lain: perkebunan rakyat. Yakni, mengolah hasil pertanian
rakyat yang selama ini harganya selalu hancur- hancuran di musim panen. Proyek
itu harus berjalan. Banyak pengungsi Madura akibat kerusuhan etnis pada 1999 itu
yang mulai bekerja di proyek ini. Saya harus datang ke sana untuk membuat
keputusan yang terpenting.
Saat saya menyelesaikan urukan Kalbar itulah, sebenarnya ada donor yang
potensial. Dokter mencari-cari saya apakah bisa membatalkan kepergian saya ke
Indonesia. Tapi, saya sudah di atas pesawat. Tapi, beruntung bahwa ternyata donor
potensial itu ternyata juga tidak cocok untuk saya.
Saya harus menunggu lagi entah berapa lama. Orang-orang Pakistan mulai
mencari jalan sendiri. Yakni, mendatangkan donor dari negaranya. Yakni, donor
orang hidup. Mereka mencari salah satu keluarganya, atau sukarelawan, yang mau

  116  
menyumbangkan separo livernya untuk dicangkokkan ke pasien. Ini mungkin
karena liver adalah satu-satunya organ tubuh yang kalau dipotong bisa tumbuh
utuh lagi.
Hanya operasinya lebih sulit: Orang yang sehat dibedah, lalu livernya
dipotong separo. Pada saat yang sama, si calon penerima (resipien) liver juga
dibedah untuk membuang (seluruh) livernya yang sudah rusak. Setelah itu,
potongan liver yang sudah dilepas dari tubuh pemiliknya ditanamkan ke tubuh si
penerima.
Seseorang bisa hidup normal dengan liver yang hanya separo karena liver
atau hepar atau hati adalah satu-satunya organ yang bisa tumbuh kembali dengan
cepat. Berbeda dengan ginjal dan organ lain. Karena itu, sekali orang kehilangan
ginjal, ya sampai meninggal, ginjalnya tetap satu. Beda dengan donor liver. Hari ini
separo livernya didonorkan, besok pagi sudah tumbuh lagi. Dan dalam tempo tiga
minggu sampai maksimal sebulan, liver yang dipotong itu sudah akan utuh kembali.
Dengan begitu, seorang donor juga tak perlu tinggal berlama-lama di rumah
sakit. Hanya dalam tempo dua tiga hari pascaoperasi, dia sudah boleh latihan
berdiri dan berjalan. Seminggu berikutnya dia sudah bisa beraktivitas lagi. Tapi,
memang masih harus ekstrahati-hati karena tiga sayatan panjang bekas operasi di
perutnya masih basah.
Lantas bagaimana nasib potongan liver yang sudah berpindah tubuh tadi? Ini
pun tak perlu dikhawatirkan karena dalam tempo maksimal tiga bulan, potongan
itu sudah akan tumbuh menjadi liver yang utuh sebagaimana orang normal. Karena
itu, di negara-negara yang jumlah donor mayat (cadaver)-nya terbatas, livernya
dibagi dua. Jadi, satu liver untuk dua pasien. Di Tiongkok, umumnya masih satu
liver untuk satu pasien. Termasuk saya.
Menjelang transplantasi, Robert menemui keluarga-keluarga Pakistan itu
untuk mempelajari bagaimana praktik cangkok liver dengan donor hidup. Dia
menjadi amat yakin itu juga akan berhasil. Lalu mengajak salah satu pendonor ke
kamar saya.

  117  
“Dia mendonorkan livernya dua minggu yang lalu,” kata Robert sambil
menepuk bahu anak muda Pakistan itu. “Sekarang sudah jalan-jalan dan mau saya
ajak ke sini,” tambahnya.
Anak itu sendiri, yang bahasa Inggrisnya bagus sekali, lantas menceritakan
mengapa mau melakukan itu, mengapa berani, dan bagaimana kondisinya sampai
saat itu. “Liver saya yang setelah dipotong tinggal 9 cm, sekarang sudah menjadi 16
cm lagi. Dua minggu lagi sudah kembali utuh seperti semula,” katanya. Lalu dia
menunjukkan perutnya yang masih dibebat untuk mengeringkan luka akibat
pembedahan.
Bagaimana dengan penerima livernya? “Bapak itu juga mulai baik. Liver saya
yang di sana, yang semula hanya 11 cm, hari ini sudah 17 cm,” katanya sambil
menggambar di papan tulis tentang bagaimana livernya tumbuh kembali, baik yang
masih di dalam tubuhnya maupun yang sudah pindah ke tubuh orang lain.
Saya amat yakin dengan jalan itu. Saya juga memutuskan akan
melakukannya. Saya tidak yakin bisa dapat donor utuh dalam waktu dekat. Saya
harus berhitung dengan sirosis dan kanker saya yang sedang berlomba dengan
waktu. Kalau saya menunggu terlalu lama, bisa jadi fungsi liver saya akan keburu
memburuk. Dan, karena penurunan fungsi itu bisa merusak pertahanan tubuh saya,
sel-sel kanker yang mungkin masih tersisa di liver saya bisa menyebar (metastase)
ke mana-mana. Saya butuh melangkah cepat.
Mulailah saya melihat ke istri, anak-anak, dan keponakan-keponakan.
Ternyata, tidak satu pun yang darah dan rhesus-nya sama dengan saya. Beberapa
teman dekat yang siap mendonorkan separo livernya juga tidak ada yang cocok
darahnya. Tapi, jalan tidak buntu. Tanpa kami cari, seseorang dari Jakarta
menghubungi kami. Memberitahukan perihal seorang anak muda dari Bandung
yang mau secara sukarela mendonorkan livernya. Darah maupun rhesus-nya cocok
sekali dengan saya. Umurnya masih 32 tahun. Badannya yang tinggi tegap sangat
sehat.
Anak muda itu mengatakan tidak menginginkan apa pun kecuali
menyelamatkan nyawa saya. Apakah harus dengan mempertaruhkan nyawanya

  118  
sendiri? Dia bilang, dia sudah menghitung risikonya. Mengapa dia begitu berani?
Karena, dia bilang, dia ingin menebus penyesalannya yang tak sempat
menyelamatkan bapaknya yang keburu meninggal sebelum tranplantasi dilakukan.
Tim kami segera ke Bandung melihat keadaan rumah tangganya. Semula
kami memperkirakan harus membantu kehidupannya. Ternyata, dia cukup berada.
Rumahnya baru, tidak kecil, di kompleks perumahan yang cukup mewah. Mobilnya
juga masih gres dari merek yang tidak murah. Handphone- nya pun Communicator
seri terbaru. Anak keduanya baru bisa berjalan. Sikap istrinya, di luar dugaan:
Sangat mendukung keputusan suaminya.
Kami pun makin percaya bahwa tidak ada motif komersial di balik niatnya
yang mulia itu. Tapi, saya sendiri juga masih berpikir, haruskah sampai
mengorbankan nyawa orang lain? Tidakkah lebih baik saya menunggu dengan
risiko tidak keburu sekali pun? Bukankah membuat keputusan melakukan
transplantasi saja sudah tersirat tekad untuk mungkin mati?
Saya benar-benar sudah siap kalau harus mati. Saya punya filsafat tersendiri
dalam menyikapi umur. Yakni, filsafat “intensifikasi umur”. Umur pendek tidak apa-
apa asal penggunaannya sangat intensif. Sikap ini muncul, barangkali karena saya
melihat kok ibu saya, kakak saya, paman-paman saya berumur pendek. Saya kurang
melihat bahwa bapak saya dan kakak sulung saya berumur panjang sekali.
Tim kami terus mendesak agar saya jangan berpikir bahwa saya akan
mengorbankan orang lain. Terutama Robert Lai. “Dia tidak akan jadi korban. Dia
juga akan memiliki kembali livernya secara utuh,” kata Robert. Saya masih
keberatan, tapi diam-diam tim kami terus menyiapkan saudara dari Bandung itu
untuk siap berangkat ke Tiongkok. Dia juga menyatakan sudah siap kapan pun
harus berangkat.
Bersamaan dengan persiapan pemberangkatan saudara dari Bandung itulah,
ada kabar bahwa saya mendapatkan donor. Transplantasi pun dilakukan dengan
cara membuang sama sekali hati saya yang lama dan menggantinya dengan hati
baru made in 1985-an secara utuh.

  119  
Istri Khawatir Saya Meninggal
dengan Wajah Menghitam
18 September 2007

SAYA tidak berhasil menyembunyikan perubahan di wajah saya. Padahal,


dua tahun lamanya saya berhasil menyembunyikan bengkaknya kaki. Juga bengkak
di badan. Menyembunyikan membesarnya payudara. Yang tak kalah penting, saya
berhasil menyembunyikan keloyoan fisik saya.
“Empat tahun saya bekerja dengan Anda. Sedikit pun saya tidak merasakan
bahwa Anda mengidap penyakit begitu gawatnya,” ujar Hadi Ismoyo, manajer di
perusahaan minyak milik Pemda Jatim. Perusahaan minyak itu masih baru sehingga
saya harus banyak belajar, diskusi, rapat, dan negosiasi.
“Selama ini tidak tampak kegelisahan sedikit pun tatkala tampil di banyak
kegiatan masyarakat,” tulis Lusye, pecinta Jawa Pos dari Manyar Jaya. “Kalau tahu
seperti ini, saya tidak akan sampai hati mengejar-ngejarnya selama ini,” ujar
Gunawan, direktur di perusahaan minyak kami.
Ya, saya memang berhasil menyembunyikan semuanya. Tapi, saya
sebenarnya tidak sengaja menyembunyikannya. Kalau ada yang bertanya tentang
penyakit saya, selalu saya jawab apa adanya. Cuma, memang tidak banyak yang
bertanya. Kalau ada yang bertanya pun, seperti para manajer di Perusda PT PWU
Jatim, jawaban saya jujur, tapi saya sampaikan dengan nada yang menyenangkan.
Menceritakan penyakit dengan cara yang menyenangkan, itulah kuncinya.
Pernah dalam satu rapat evaluasi bulanan yang amat disiplin di PT PWU, saya
jelaskan semua penyakit saya. Juga bahaya- bahayanya. Mereka memang ngeri
mendengarnya, tapi juga tertawa-tawa. Setelah itu rapat evaluasi berjalan seperti
biasa. Yang harus dimarahi, ya dimarahi. Yang harus dipuji, ya dipuji. Tetap saja
persoalan rumit-rumit, harus dipecahkan. Padahal, persoalan Perusda tidak hanya
soal bisnis, tapi juga politis.

  120  
Tapi, sebenarnya, saya tidak berhasil menyembunyikan berubahnya wajah.
Kulit saya yang aslinya memang agak hitam menjadi kian hitam. Terutama di dahi
dan sekitar mata. Hitam yang tidak merata itulah yang kian mencurigakan. Saya
akan menyembunyikannya dengan cara meratakannya. Tapi, bagaimana caranya?
Atau pakai make up saja. Tapi saya kan laki-laki? Bahkan laki-laki yang bukan
metroseksual?
Tak pelak lagi, banyak orang yang mulai rasan-rasan, menggosipkan wajah
saya. Gosip yang tidak menyenangkan. Untunglah, saya sudah sering digosipkan
sehingga sudah agak kebal. Tapi, ini gosip yang benar. Dan, memprihatinkan. Gosip
itu bukan lagi masih menyangkut fisik, tapi sudah masuk ke tataran psikis.
Terutama psikis istri saya. Psikis seorang wanita yang sangat kuat memegang
prinsip agama.
Suatu saat istri saya memandangi wajah saya lama sekali. Lalu memberikan
komentar yang sudah sering saya dengar itu. Ada nada sedih ketika mengucapkan
itu. Sedih bercampur perasaan malu. Karena itu, kadang dia hanya memperhatikan
wajah saya tanpa mengucapkan komentar apa-apa. Pandangannya penuh
keprihatinan. Saya tahu dia menyimpan dua kekhawatiran. Pertama, khawatir akan
kesehatan saya. Kedua, merasa malu kalau saja saya meninggal dalam keadaan
wajah yang menghitam.
Sudah menjadi opini awam bahwa seseorang yang meninggal dalam keadaan
wajah yang menghitam, tandanya tidak diterima oleh Tuhan. Tuhan murka
padanya. Kalau sampai itu terjadi pada saya, alangkah malunya istri saya. Apalagi
dia aktif di kegiatan keagamaan. Suaminya meninggal dalam keadaan dimurkai
Tuhan. Karena banyak sekali dosa yang diperbuatnya. Dosa sebagai lelaki, dosa
sebagai atasan yang kejam, dosa sebagai pribadi yang sombong, dosa sebagai suami
yang amat sibuk, dosa orang kaya yang pelit, dan tentu masih banyak sekali sisi
negatif yang bisa dihubung- hubungkan.
Pembicaraan seperti itu kian kuat ketika Cak Nur meninggal dalam keadaan
wajah menghitam. Ada yang menilai, itu sebagai bukti bahwa Cak Nur dimurkai
Tuhan. Ini karena dosa-dosanya yang tidak terampunkan. Yakni, dosa karena dia

  121  
telah menyekulerkan Islam. Yakni, ketika memelopori pembaharuan pemikiran
dalam Islam yang menghebohkan pada 1970-an. Sampai-sampai disebutkan Cak
Nur lagi mendirikan neo-Islam. Begitu hebatnya tentangan akan langkah Cak Nur
tersebut sehingga sampai ada yang memvonis Cak Nur sudah murtad.
Tentu saya bukan apa-apa dibanding Cak Nur. Saya bukan intelektual. Bukan
budayawan. Bukan sarjana. Bukan ahli agama. Saya memang pernah mau didapuk
jadi kiai di pesantren saya, tapi saya menolak. Ini karena saya sadar bahwa saya
turunan dari jalur wanita (ibu) di struktur pesantren itu. Kebetulan yang dari jalur
laki-laki masih kanak-kanak. Mengapa masih kanak-kanak? Karena pesantren kami
kehilangan dua generasi sekaligus. Para kiai sepuh (enam orang bersaudara,
paman- paman ibu saya), dan anak-anak mereka yang sudah dewasa, dibunuh PKI
dalam peristiwa Madiun, pada 1948. Tapi, saya harus tahu diri bahwa kalau dia
sudah dewasa, dialah yang punya hak mewarisi pesantren itu.
Saya lantas memilih ’uzlah’ -menyingkir, menjauh, dan merenungkan masa
depan. Bukan karena ngambek, tapi sebagai perwujudan sikap tawaduk seperti
yang dicontohkan bapak saya. Toh saya akan tetap bisa berperan di pesantren itu
kelak, yang mungkin tidak kalah besarnya. Apalagi saya juga baru gagal dalam
pemilihan ketua umum pengurus besar Pelajar Islam Indonesia (PII) di Bandung,
kalah dengan Yusuf Rahimi, tokoh dari Ambon.
Saya mengambil kesimpulan, tidak akan bisa jadi kiai dan tidak bakat jadi
politisi. Karena itu, saya bergegas mengambil keputusan pindah ke jalur hidup sama
sekali.
Sikap tawaduk yang sama saya lakukan juga di Jawa Pos pada 1980-an.
Ketika Pak Eric Samola, direktur utama Jawa Pos saat itu, jatuh sakit, saya tidak
mau menggantikannya sebagai Dirut. Padahal, sakitnya beliau amat berat sehingga
tidak punya kemampuan menandatangani dokumen perusahaan. Beliau terkena
stroke yang sampai mengakibatkan tidak bisa bicara dan harus diopname
bertahun-tahun.
Saya memilih mengerjakan saja semua pekerjaan direktur utama, tanpa
menyandang jabatannya. Saya tetap direktur saja. Karena hal itu sudah

  122  
berlangsung tiga tahun, lantas muncul kesulitan teknis. Banyak dokumen bank
yang harus direktur utama yang boleh tanda tangan. Tidak bisa hanya direktur
seperti saya waktu itu. Tapi, saya tetap tidak mau jadi Dirut. Jangan sampai saya
minta jadi Dirut. Apalagi, sampai harus dengan cara sikut sana-sini.
Bahwa ada kesulitan di bank, tiba-tiba saya punya ide baru yang barangkali
tidak lazim. Inilah gunanya ilmu mantiq (logika), pikir saya. Saya ciptakan sendiri
jabatan baru, meski hanya untuk sebutan: CEO (chief executive officer). Agar saya
bisa meyakinkan bank bahwa meski saya hanya direktur, tapi saya ini CEO. “CEO
yang tidak ada SK dan legal formalnya. He he...” kata saya dalam hati. Tapi, bank
percaya. Apalagi mereka juga tahu sayalah yang selama ini yang selalu mengambil
keputusan. Maka lahirlah “jabatan CEO”.
Baru setelah lima tahun lebih, setelah beliau sendiri yang minta, saya mau
jadi Dirut. Sebutan CEO telanjur melekat. Lalu keterusan sampai sekarang. Bahkan,
saya membuat sebutan (untuk membedakan dengan ’jabatan’) CEO lebih fleksibel
lagi di grup yang saya pimpin. Bisa saja Dirut sebagai CEO, direktur sebagai CEO
(Dirutnya bukan CEO), bahkan general manager sebagai CEO (semua direktur
bukan CEO). Lebh dari itu sekarang ini berkembang seperti di AS. Meski saya bukan
direktur utama lagi (karena jabatan itu sekarang dipegang Ratna Dewi
Wonoatmodjo), saya yang tetap jadi CEO. ’Chairman yang CEO’.
Tentu tidak lagi seperti ketika Dirut merangkap CEO. Banyak hal sudah
harus dialihkan menjadi tanggung jawab Dirut. Apalagi Ratna Dewi juga amat
mampu. Sama dengan saya. Setidaknya sama- sama hanya tamatan SMA. Dia SMA
di kota Surabaya (Petra), saya SMA di Desa Takeran, Magetan (aliyah).
Hanya namanya yang sering bikin salah paham orang asing. Pernah ada tamu
dari India yang ingin bertemu dengannya. Waktu itu Ratna Dewi masih menjabat
direktur keuangan. Si tamu ternyata berharap akan ketemu seorang direktur
keuangan keturunan India. Maklum namanya Ratna Dewi. “Kami tidak menyangka
kalau dia seorang Tionghoa,” kata tamu itu sambil tertawa ngakak. Kami sendiri
tidak terlalu mengenal nama Ratna Dewi, sehingga kalau ada tamu yang
menanyakan, “Apakah bisa bertemu ibu Ratna Dewi”, staf-staf kami sering

  123  
bengong. Dia kami kenal sebagai Wenny saja. Bukan “Bu Wenny”, tapi “Cik
Wenny”.
Gosip bahwa “saya segera meninggal dengan wajah hitam” juga beredar di
kalangan pesantren saya sendiri. Sebagian mengira saya dimurka Tuhan karena
kurang taat beragama. Sebagian lagi karena saya berdosa kepada leluhur.
Terutama karena saya ’uzlah’, lari dari tanggung jawab menjadi kiai. Mereka tidak
tahu kalau ’uzlah’ itu saya lakukan sebagai wujud sikap tawaduk saya.
Tentu ada juga yang menyamakannya dengan Cak Nur. Padahal, saya dan
Cak Nur jauh sekali derajatnya. Cak Nur seorang intelektual, doktor lulusan
Chicago, ahli agama, bisa banyak bahasa, termasuk Prancis dan Parsi, Inggris, dan
Arab. Saya hanya seperti itu tadi. Saya dan Cak Nur seperti langit dan sumur -untuk
menunjukkan jarak langit-bumi kurang jauh.
Satu-satunya yang menyamakan saya dan Nur adalah sakitnya. Sama-sama
sakit liver, sama-sama sirosis. Karena itu, juga sama-sama menghitam di wajah.

  124  
Prihatin atas Keprihatinan terhadap
Wajah Hitam Saya
19 September 2007

“SAYA nanti juga akan meninggal dengan wajah hitam,” kata saya kepada
istri saya. Saya ingin menyiapkan mental istri saya bagaimana harus menahan rasa
malu. Terutama di mata keluarga dan teman-teman pengajiannya. Istri saya
memang aktif di perkumpulan Pengajian Wanita Surabaya (Pengawas), satu
perkumpulan yang amat besar dan aktif. “Saya nanti akan seperti Cak Nur,” tambah
saya.
Itu saya lakukan karena istri saya juga mendengar omongan orang tentang
Cak Nur. Dia juga mendengar ada khatib di sembahyang Jumat yang mengatakan
Tuhan murka pada Cak Nur (Nurcholish Madjid, tokoh pembaruan pemikiran
Islam). Buktinya, ketika meninggal, wajahnya menghitam.
Istri saya memang sudah beberapa lama kelihatan prihatin melihat
perubahan di wajah saya. Saya prihatin atas keprihatinannya itu. Maka, saya
perlukan bicara soal mengapa wajah saya menghitam dan mengapa ada orang
menilai Cak Nur seperti itu.
Saya jelaskan sebisa-bisa saya bahwa “wajah hitam” Cak Nur sebenarnya
tidak ada hubungannya dengan kemurkaan Tuhan. Tuhan itu tidak punya hobi
murka seperti khatib yang mengecam Cak Nur itu. Tuhan itu Maha Pengasih dan
Penyayang. Sampai di sini saya sadar bahwa istri saya sudah sangat sering
mendengar khotbah sehingga saya tidak perlu menambahinya. Apalagi khotbah
saya kurang meyakinkan. Saya memilih menjelaskannya secara ilmiah saja.
Mengapa wajah Cak Nur, juga wajah saya, menghitam? Ya, begitulah
memang salah satu perubahan fisik yang dihasilkan oleh liver yang terkena sirosis.
Ini berlaku pada siapa saja. Yang Islam, yang Kristen, yang Buddha, yang Hindu,
yang Kejawen, yang komunis, dan yang tidak punya aliran apa pun -free thinker.

  125  
Wajah hitam adalah tanda-tanda perubahan fisik dari sirosis yang parah.
Karena itu, kalau Anda sakit liver, minta saja meninggal sebelum sirosis parah.
Terutama kalau Anda ingin meninggal dengan wajah yang tidak hitam. Terjadinya
wajah hitam itu sama dengan akibat sirosis yang lain: Kaki yang bengkak, payudara
yang membesar, dan kemudian muntah darah. Untung, tidak ada penilaian bahwa
siapa yang meninggal dengan payudara besar berarti dimurkai Tuhan.
Sebenarnya, masih banyak lagi tanda fisik lain. Yakni kulit menguning, mata
juga menjadi kekuning- kuningan, bibir pucat, dan telapak tangan seperti tidak
berdarah. Terutama kalau telapak tangan baru saja digenggamkan. Begitu
genggaman dibuka, darah seperti tidak segera kembali memerahkan telapak
tangan.
Bahwa ada khatib yang menilai wajah Cak Nur yang menghitam sebagai
tanda bahwa Tuhan tidak mau menerima rohnya, sebabnya mungkin si
pengkhotbah tidak sempat belajar ilmu yang lain - misalnya, karena terlalu larisnya.
Bahkan, sang khatib begitu sibuk berkhotbah, kadang isi khotbahnya ya hanya yang
diketahuinya itu saja. Diulang-ulang. Seperti kaset lama yang diputar terus-
menerus.
Pasti si pengkhotbah juga tidak pernah melihat wajah mayat Mao Zedong.
Setidaknya tidak pernah membaca tentang itu. Setidaknya lagi, kalau toh pernah
membaca, tidak sampai menjadikannya pertimbangan. Mao adalah pendiri partai
komunis Tiongkok yang tentu saja tidak mengakui adanya Tuhan. Namun,
bagaimana wujud wajah mayatnya? Saya pernah melihatnya dua kali. Wajahnya
putih, bersih, dan amat cerah. Bibirnya menunjukkan senyum kecil seperti amat
bahagia di akhir hayatnya. Mayat itu sampai sekarang masih bisa dilihat di Beijing.
Orang antre untuk menyaksikannya.
Demikian juga di Kremlin, Moskow. Mayat Lenin, salah satu pendiri
komunisme sedunia, terlihat putih, bersih, dan manis sekali. Saya juga pernah
mengunjunginya. Apakah itu pertanda roh Lenin diterima dengan senang oleh
Tuhan? Lebih diterima daripada Nurcholish Madjid? Meski Cak Nur tokoh Islam

  126  
dan Lenin tidak mau mengakui adanya Tuhan? Bahkan menjadi pelopornya?
Wallahu a’lam.
Yang jelas, Lenin, dan juga Mao, tidak meninggal karena sirosis.
Saya sangat prihatin atas keprihatinan istri saya. Tapi, saya juga prihatin
memikirkan bagaimana umat di masa depan. Dengan pola berpikir seperti itu,
apakah umat akan bisa maju? Apakah tidak semakin ketinggalan dan kemudian
terpojok? Lalu, introvert dan mencari kompensasi dalam bentuk ekstremitas?
Saya prihatin karena dengan pola pikir yang seperti itu, keseimbangan
antara dunia dan akhirat tidak memadai. Banyak memang orang yang terlalu berat
ke duniawi, tapi juga bukan berarti harus dibalas dengan bersikap lebih berat ke
ukhrowi. Semua harus seimbang: beribadah sungguh-sungguh seperti besok akan
mati saja, bekerja sungguh-sungguh seperti akan hidup seribu tahun.
Kalau ukuran diterima Tuhan atau tidaknya seseorang dilihat dari wajah
mayatnya, betapa suramnya kemajuan ilmu pengetahuan di masa depan.
Bagaimana kita bisa mengharapkan kemajuan dan kemodernan sebuah negeri
kalau penduduknya -terutama para pemimpin penduduk itu- berpikiran demikian.
Dan lagi, ada satu kenyataan yang lebih pahit. Bukankah kini sudah
ditemukan cara membuat wajah orang yang meninggal kelihatan tersenyum? Cerah
dan bahagia? Lantas, apakah itu berarti ukuran diterima atau tidaknya sebuah roh
oleh Tuhan ditentukan oleh para ahli perias mayat?
Saya punya teman yang bisnisnya event organizer (EO). Tapi, EO khusus
untuk orang meninggal. Mulai penyediaan pakaiannya, membentuk tubuh dan
wajahnya, menyediakan peti matinya, angkutan ke kuburannya, sampai mencarikan
siapa yang akan jadi pengkhotbahnya. Dia begitu menghayati bisnisnya itu
sehingga akan terus mendalami ilmu di bidang itu. Satu-satunya anaknya
(perempuan) dia sekolahkan khusus bagaimana memelihara mayat. Bagaimana
membuat wajah orang meninggal menjadi lebih ganteng dan cantik daripada ketika
masih dalam hidupnya. Bahkan, ilmu itu juga berkembang ke arah sebelum kliennya
meninggal. Yakni bagaimana menyiapkan agar bisa meninggal dengan wajah
tersenyum.

  127  
Tapi, saya juga sadar bahwa istri saya mungkin tidak gampang menerima
penjelasan saya itu. Sebab, penjelasan seperti itu amat jarang dilakukan orang.
Tapi, setidaknya, dia bisa menutup sedikit rasa malu karena suaminya meninggal
dengan wajah menghitam. Bisa punya alasan -yang meskipun mungkin juga dia
ragukan kebenarannya. Ragu karena bukan penjelasan seperti yang saya ucapkan

tersebut tidak pernah didengarnya. Yang sering diperdengarkan kepadanya


adalah kaset lama yang diputar tidak henti-hentinya itu. Dalam teori komunikasi,
kebohongan pun kalau terus-menerus dijejalkan akan jadi seperti kebenaran.
Padahal, kaset lama itu bukan juga kebohongan. Tapi, penafsiran. Sebuah
penafsiran yang sangat bisa memuaskan orang dari sisi emosinya. Kebohongan saja
bisa menang, apalagi bukan kebohongan. Berdasar teori itu, satu penjelasan yang
benar tidak akan bisa menang atas kebohongan yang terus- menerus
dikampanyekan.
Agama memang akan menghadapi tantangan yang hebat. Kini bukan hanya
Islam, tapi juga Kristen. Setelah abad informasi sekarang ini, akan ada abad baru
lagi. Dulu kita masih meraba-raba “abad apa gerangan yang akan menggantikan
abad informasi?”. Kita pernah mengalami berturut-turut, “zaman batu”, “zaman
besi”, “zaman cocok tanam”, “zaman industri”, “zaman teknologi”, dan “zaman
informasi”. Kini semakin jelas dunia akan mengalir ke zaman apa. Saya kira, zaman
baru yang akan kita masuki adalah “zaman biologi”.
Di zaman itu kehidupan akan bisa direkayasa, diperbaiki, bahkan diciptakan.
Kehidupan tanaman, binatang, dan juga manusia. Tidak perlu lagi transplantasi
seperti saya, tapi liver (dan organ apa pun) bisa direparasi dengan penemuan lebih
lanjut dari pendalaman terhadap DNA manusia. Dan, itu bukan lagi akan
ditemukan, tapi sudah ditemukan. Penemunya kini lagi merahasiakannya sampai
pada akhirnya dia akan bisa memproduksi sesuatu yang bisa dijual secara masal
dan terjangkau. Agar bisnis di bidang ini menjadi amat besar.
Operasi tidak perlu lagi. Transplantasi tidak dibutuhkan. Bahkan, orang tidak
perlu sakit. Sehat terus- menerus. Cukup membeli produk baru itu nanti. Kini pun

  128  
barang itu sudah bisa diproduksi sebenarnya. Tapi, karena belum ditemukan
kombinasi-kombinasinya, harganya bisa jadi masih Rp 10 miliaran.
Dengan harga setinggi itu, meski saya pun akan membelinya, tapi hanya
berapa juta yang mampu beli? Bandingkan, kalau kelak, harganya tinggal Rp 1
jutaan. Betapa besar bisnis itu. Ia akan mengalahkan bisnis obat yang sudah amat
raksasa itu. Bahkan akan mengalahkan bisnis minyak dan gas. Mengapa? Penemuan
lebih lanjut dari itu adalah lahirnya sumber energi baru yang sama sekali tidak kita
bayangkan.
Kalau kehidupan sudah bisa dibikin, bagaimana kita akan menafsirkan ajaran
agama? Orang boleh tidak percaya seperti juga zaman dulu tidak percaya akan
bentuk dunia yang bulat. Tapi, ini akan menjadi kenyataan. “Akan” di situ tidak lama
lagi. Kata “akan” mungkin kurang tepat. Yang tepat “segera”.
Maka, apa yang ditulis Agus Mustofa di buku-bukunya, terutama mengenai
Kitab Kejadian, sungguh menarik dan akan cocok dengan zaman baru itu nanti.
Yakni jangan lagi kita membayangkan bahwa manusia pertama dulu dibuat dari
lempung, lalu lempung itu di-emek-emek, dibentuk seperti boneka, kemudian
Tuhan meniupkan roh ke ubun-ubunnya.
Penggambaran seperti itu, meski ternyata memang tidak ada di kitab suci,
amat melekat di setiap manusia. Juga melekat di pikiran saya. Saya tidak pernah
mempersoalkannya secara kritis. Bahkan tidak pernah mengecek ulang apa bunyi
ayat yang sebenarnya dari penggambaran seperti itu.
Cerita itu sama melekatnya dengan istilah “memanjatkan doa” yang sering
kita lakukan sampai sekarang. Kita, terutama saya, tidak pernah mempersoalkan
apakah teknik menyampaikan doa seperti itu masih cocok dengan abad informasi
seperti sekarang. Mengapa di zaman komputer, e-mail, dan SMS ini kita masih
mengirim doa dengan menggunakan teknik “memanjat”. Alangkah lambatnya doa
itu akan sampai.
Tentu kata “memanjat” hanya simboliasi atau penyastraan. Dan lagi, Tuhan
toh tidak akan membedakan doa yang dikirim dengan cara dipanjatkan, yang di-e-
mail-kan, atau yang di-compress- kan seperti yang dilakukan golongan tasawuf

  129  
Shatariyah. Tapi, penggunaan term “panjat” juga mencerminkan ketertinggalan kita
dalam menggunakan teknologi yang tersedia. Pak Nuh, mantan rektor ITS yang kini
menteri informasi, bisa malu.

Transplantasi Berhasil, Istri Gembira


karena Wajah Berubah
20 September 2007

KALAU saja foto liver lama saya dimuat di koran tanpa penjelasan (foto-foto
itu akan dimuat di edisi buku), setidaknya akan muncul tiga versi tanggapan. Orang
di desa saya akan langsung mengatakan, “Pasti ini karena disantet”. Begitu jugalah
dulu penilaian terhadap ibu saya. Juga terhadap kakak saya.
Liver saya memang seperti daging yang dibakar setengah matang! Pasti
ketika menyantet saya, si penyantet membeli hati sapi dulu. Lalu memanggangnya.
Asapnya lantas di-email-kan ke dalam tubuh saya. Karena maraknya pandangan
santet di masyarakat kita, maka yang maju lantas dunia mistik dan bukan
rasionalitasnya.
Pandangan kedua akan datang dari kalangan agama yang berpandangan
sempit. Yang suka marah- marah, termasuk di mimbar Jumat. Kalangan ini, kalau
melihat hati seperti itu, akan langsung mengambil kesimpulan: Tuhan telah murka
padanya. Bahkan, bisa-bisa mengerasnya liver saya diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab ’sadat qulbuha’ (sudah keras hatinya), agar mirip dengan ayat Quran yang
sangat terkenal, “... fasadat qulubuhum”.
Kalangan ini sudah kritis lagi, karena emosi lebih besar daripada rasio.
Bahkan, lupa bahwa kata dalam bahasa Arab ’qalb’ (kalbu) artinya bukan hati -
dalam pengertian liver. Liver bahasa Arabnya ’kabid’. Lupa bahwa ’qalb’ itu artinya
jantung. Ini memang agak kacau. Direktur Radar Banyuwangi, Samsudin Adlawi

  130  
(Udi), orang yang paling jago bahasa Arabnya di lingkungan Group Jawa Pos,
pernah saya Tanya arti ’qalb’. Ini karena saya juga ragu akan ingatan bahasa Arab
saya. Begitu saya tanya, Udi spontan menjawab: qalb artinya hati!
Lantas saya tanya lagi. Mengapa kok lambang cinta itu gambar jantung?
Mengapa dalam bahasa Inggris disebut heart? Dan, dalam bahasa Mandarin disebut
xin? Rupanya dia baru berpikir ulang. Lalu bergegas meralat jawaban pertamanya.
“Saya tadi salah. Memang qalb itu artinya jantung. Sedang liver adalah......” kata Udi
yang juga sastrawan itu. Bayangkan, Udi yang demikian mahir bahasa Arab terbius
oleh sesuatu yang salah, tapi sudah memasyarakat.
Memang, kita lupa mempersoalkan mengapa para ahli bahasa dulu
menerjemahkan kata ’liver’ (bahasa Inggris) menjadi ’hati’ dalam bahasa Indonesia?
Kini sudah sulit mengubah agar liver jangan lagi diterjemahkan menjadi ’hati’.
Sudah telanjur begitu mendarah-mendaging. Kalau diubah, nanti bisa banyak sekali
konsekuensinya. Misalnya kata ’patah hati’ harus diubah menjadi ’patah liver’. Atau
’patah jantung’ (broken heart).
Jadi, sebaiknya, urusan ilmiah memang jangan terlalu dikait-kaitkan dengan
keyakinan keagamaan, apalagi ketakhayulan. Kalau toh dikaitkan, harus dalam
rangka dzikir, bahwa Tuhan telah memberikan manusia otak yang luar biasa
cerdasnya. Begitu hebat pemberian itu sehingga harus digunakan sebanyak-
banyaknya. Padahal, orang yang paling pinter pun baru menggunakan sebagian saja
otaknya. Kita-kita barangkali baru menggunakan lima persennya. Kita tidak boleh
memubazirkan rezeki dari-Nya itu. Kalau sedikit-sedikit sudah harus lari ke
doktrin, kita akan semakin terbiasa tidak menggunakan ciptaan-Nya itu.
Maka, kalau istri saya merasa sangat gembira akan keberhasilan
transplantasi liver ini, antara lain karena wajah saya kini sudah sedikit berubah. Dia
tidak perlu lagi menghadapi rasa malu karena suaminya meninggal dalam keadaan
wajah menghitam.
Memang setelah 1,5 bulan transplantasi, wajah saya yang sudah dua tahun
menghitam, kini kembali ... hitam. Maksud saya kembali ke hitam yang aslinya.
Bukan hitam karena sirosis. Kini wajah saya sudah boleh dibilang kembali seperti

  131  
hitamnya kereta api (duile!), meski hitam banyak yang antre. Imbuhan kata terakhir
itu bukan asli ciptaan saya. Anak kalimat itu adalah keputusan yang diambil dalam
kongres para pemilik kulit keruh, untuk sedikit mengangkat derajat mereka.
Kini kaki saya juga tidak bengkak lagi. Meski begitu, saya masih sering
memijit-mijitnya. Setengahnya karena sudah menjadi kebiasaan selama dua tahun
terakhir, setengahnya lagi untuk mengetes apakah dekok akibat pijatan itu bisa
cepat kembali. Ternyata biarpun saya pijit kuat-kuat, bukan lagi dekoknya cepat
kembali, bahkan tidak bisa dekok sama sekali. Dulu, setiap memijat kaki, selalu
berharap ada mukjizat atau keajaiban. Tapi, setiap kali saya memijit kaki, setiap itu
pula saya disadarkan bahwa keajaiban tidak berlaku di bidang yang amat scientific
ini.
Kini saya kembali sering memijit kaki saya dengan sangkaan sebaliknya:
jangan-jangan bengkak lagi. Saya juga tidak lagi membenci kaus kaki. Tapi, pada
keadaan ’tidak membenci kaus kaki’ itu, justru saya tidak terlalu memerlukannya.
Tanpa kaus kaki pun kini perut tidak merasa kembung.
Bagaimana dengan payudara saya? Tiap hari saya masih meraba-rabanya.
Masih tetap besar, tapi sudah mulai mengencang. Dokter bilang, lama-lama juga
akan kembali normal. Saya belum bisa memperkirakan apakah saya akan lebih
senang dengan payudara saya yang asli. Atau justru sudah terbiasa nyaman dengan
payudara seperti gadis yang menginjak remaja.
Limpa saya, yang meski sudah dipotong sepertiga, tapi masih dua kali lipat
lebih besar dari limpa asli, lama-lama juga akan kembali normal. Demikian juga
saluran pencernakan yang telanjur ’dilaminating’. Tidak perlu lagi dilaminating
kedua atau ketiga.
Membaca SMS mengenai mulai pulihnya organ-orang di tubuh saya, seorang
teman masih sempat menggoda saya dari Musi Banyuasin, Sumsel, sana: “Apakah
bulunya yang dicukur juga sudah kembali normal?” tulisnya di SMS. “Untung, dulu
tidak jadi minta dikembalikan. Bisa-bisa susternya marah dan mengembalikannya
ke dekat payudara,” tambahnya.

  132  
Saya makin sembuh, suasana pengajian di rumah juga lebih ceria. Berbeda
dengan saat para karyawan berkumpul untuk berdoa di rumah menjelang saya
operasi. Saat itu suasananya murung. Minggu lalu diadakan acara pengajian dan
hafalan Alquran sehari penuh hingga tarawih. Para hafidz (penghafal) Alquran di
Surabaya memang aktif berkumpul sebulan sekali di tempat berpindah- pindah.
Tiap tiga bulan sekali di rumah saya
Kini saya sudah bisa membuat perencanaan. Dulu, begitu tidak pastinya
penyembuhan sakit saya, saya tidak berani bikin perencanaan yang agak panjang.
Bahkan, tidak berani bikin janji kapan menerima tamu dan kapan harus rapat.
Kecuali yang amat penting.
Perencanaan pertama yang muncul di pikiran saya adalah apa yang
diucapkan Cak Nur. Yakni, ketika pemikir itu ditanya mengenai apa bagaimana
berislam yang baik dan enak. “Bekerjalah yang sungguh-sungguh,” kata Cak Nur.
Lalu mengisahkan keberhasilan Daud mengalahkan Jalut (Goliat). Di akhir ayat
yang mengisahkan soal ini, tertulis “Bekerjalah, wahai keluarga Daud, sebagai
tanda syukur kepada-Ku”. Bersyukur dengan cara bekerja keras. Itulah juga yang
akan saya tiru. Saya akan mensyukuri keberhasilan transplantasi liver saya dengan
meneruskan kerja keras. Apalagi, seperti dikatakan Cak Nur, bekerja adalah
tingkatan syukur yang tertinggi setelah mengucapkan alhamdulillah dan istighfar
(minta ampun).
Saya sudah beberapa kali mengucapkan alhamdulillah. Juga sudah sering
mengucapkan istighfar. Tinggal, begitu sembuh, kerja keras lagi.

  133  
Liver Ganti, Khawatir Berubah Tak
Bisa Menulis Baik
21 September 2007

KARENA yang diganti ini adalah hati, apakah perasaan saya tidak berubah?
Pertanyaan itu bahkan datang dari diri saya sendiri. Sejak sebelum dilakukan
transplan sampai sesudahnya. Gara-garanya, literatur yang mengatakan bahwa
banyak kasus si penerima organ akan mengalami perubahan.
Tim saya juga mengatakan begitu. Ada yang menerima informasi bahwa
kenalannya langsung berubah menjadi amat jeleknya. Liong Pangkiey, pemilik
pabrik sepatu di Surabaya yang asli Gorontalo itu, kirim SMS bahwa temannya
ganti ginjal. Setahun kemudian, badannya menjadi berbulu. Ini karena donornya
dari India.
Bahkan, keluarga salah satu direksi Grup Jawa Pos sendiri mengalaminya.
Anaknya harus transplantasi ginjal di Guangzhou. Karena masih keturunan Arab,
tentu anaknya juga masih membawa ciri-ciri fisik bapaknya. Operasi itu sukses
sekali. Anaknya tumbuh dewasa, kemudian berumah tangga. Anehnya, setelah
istrinya melahirkan, anaknya seperti Tionghoa. Kulitnya putih bersih.
Suatu saat, si bapak kembali ke Guangzhou bersama anaknya yang masih
kecil yang seperti anak Tionghoa itu. Maksudnya akan memeriksakan ginjalnya
setelah lebih dari 10 tahun transplantasi. Ketika di rumah sakit, si kecil pergi ke
taman bermain dengan pamannya yang juga membawa ciri fisik keturunan Arab.
Waktu senja sudah tiba, si paman mengajak si kecil kembali ke hotel. Tapi, si kecil
tidak mau. Bahkan sampai menangis. Saat menangis itulah, si paman memaksa
menggendongnya pergi. Si kecil kian berontak dan berteriak-teriak.
Melihat orang Arab membawa pergi anak Tionghoa sampai menjerit-jerit itu,
polisi turun tangan. Si paman diamankan dengan sangkaan melarikan anak

  134  
penduduk setempat. Terpaksa si paman menelepon bapak si kecil. Akhirnya, urusan
selesai.
Saya sendiri, ketika baru sebulan antre untuk mendapatkan donor,
membawa koran lokal yang juga memberitakan kejadian serupa. Kali ini
menyangkut wanita Shanghai yang baru transplantasi jantung di Kota Shenyang.
Waktu itu jantungnya mogok di atas pesawat dalam penerbangan Shanghai-
Shenyang. Turun pesawat, langsung dilarikan ke RS dan harus menjalani
transplantasi.
Wanita itu biasanya pemurung, tidak mau keluar rumah, penakut, dan
introvert. Tapi, beberapa bulan setelah operasi, dia mulai menyenangi internet,
mengendarai mobil, dan banyak omong. “Bahkan kalau naik mobil suka ngebut,”
ujar suaminya seperti diberitakan China Daily. Yang lebih mengherankan lagi,
wanita itu kemudian suka main saham di pasar modal. Koran tersebut juga
menampilkan foto keluarga itu yang lagi bergurau di rumahnya. “Saya menjadi agak
khawatir pada istri saya,” kata suaminya.
Saya juga sering membayangkan jangan-jangan mengalami hal yang sama.
Kalau itu sampai terjadi, apakah yang paling saya takutkan?
Kekhawatiran utama saya ternyata ini: tidak bisa lagi menulis baik. Karena
itu, seminggu setelah operasi, saya sudah minta laptop. Saya memaksakan diri
untuk memulai menuliskan pengalaman saya ini. Sebagian agar tidak ada catatan di
otak saya yang hilang, sebagian lagi untuk mengetes apakah saya masih bisa
menulis dengan baik.
Kini giliran saya bertanya kepada pembaca: Apakah ada perubahan dalam
gaya penulisan saya? Memang, ada seorang teman yang setengah bertanya dan
setengah menyesalkan: Penyakit kok diberitahukan ke orang-orang. Secara
terbuka, di koran lagi. Kepadanya saya jelaskan bahwa saya dulu, ketika masih jadi
pemimpin redaksi Jawa Pos, sering menugasi wartawan agar mewawancarai tokoh-
tokoh yang berhasil mengatasi penyakitnya. Tidak semua orang bisa menulis baik.
Karena itu, harus wartawan yang menuliskan ceritanya. Karena itu, saya harus fair.
Ketika saya sendiri mengalami itu, saya harus mau menuliskannya.

  135  
Tapi, mengapa tidak disertai foto-foto? “Bukankah Anda dulu mengajarkan
setiap features harus disertai foto? Kalau perlu pinjam ke sumber berita?” tanya
Edy Aruman, mantan redaktur Jawa Pos yang kini menjadi redaktur majalah Swa.
Saya jawab: Kali ini saya memang minta jangan ada satu foto pun yang
disertakan dalam tulisan ini. Mengapa? Ada dua tujuan. Pertama, saya akan
mengetes diri sendiri agar dalam tulisan ini memberikan sebanyak mungkin
deskripsi. Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar jangan
mengabaikan diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang dianggap sepele, tapi
sebenarnya penting. Sebuah tulisan yang deskripsinya kuat, begitu saya
mengajarkan, bisa membawa pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri suatu
kejadian. Deskripsi yang kuat bisa membuat pembaca seolah-olah merasakan
sendiri kejadian itu. Deskripsi yang kuat bahkan bisa menghidupkan imajinasi
pembaca. Imajinasi pembaca kadang lebih hidup daripada sebuah foto. Inilah salah
satu kunci kalau jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus
jurnalistik audio visual.
Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya harus
pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan menjadi
lincah. Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca sesak. Semakin
pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing yang banal.
Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang. Kutipan itu -direct
quotation-juga harus pendek-pendek. Mengutip kata seorang sumber berita dalam
sebuah kalimat panjang sama saja dengan mengajak pembaca mendengarkan
khotbah. Tapi, dengan selingan kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat
pembaca seolah-olah bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita.
Alasan kedua mengapa foto tidak disertakan di tulisan ini adalah: Semua foto
akan dimuat ketika tulisan ini diterbitkan dalam bentuk buku. Foto-foto seputar
operasi, termasuk foto-foto liver saya yang lama.
Sebenarnya, masih ada satu lagi ide saya yang akan saya sumbangkan ke
dunia jurnalistik. Ide ini sudah saya kemukakan lima tahun yang lalu, namun
penerapannya masih memerlukan pembuatan software komputer. Saya tidak puas

  136  
dengan lambatnya pelaksanaan ide ini karena saya tidak lagi dalam posisi pemimpin
redaksi. Padahal, ide ini penting justru untuk menyesuaikan praktik jurnalistik di
alam kebebasan mutlak seperti sekarang. Dalam alam demokrasi seperti ini,
tanggung jawab justru lebih besar. Prinsip-prinsip jurnalistik yang baik harus lebih
dipentingkan.
Misalnya mengenai cover both side, pemberitaan yang berimbang. Maka,
saya ingin di setiap komputer yang digunakan reporter dilengkapi software check-
list. Setiap kali reporter selesai menulis berita kan harus mengirimkannya ke
redaktur untuk diedit. Dalam proses pengiriman berita dari komputer ke komputer
itu, reporter harus menekan tombol “kirim”. Nah, saat menekan tombol “kirim”
itulah, saya ingin agar di layar komputer muncul dulu sejumlah pertanyaan yang
harus diisi si reporter. Misalnya: Apakah Anda sudah membaca ulang tulisan Anda?
Di belakangnya dimunculkan kolom isian: sudah dan belum. Kalau “belum”, dia
tidak akan bisa menekan tombol “kirim”. Lalu, pertanyaan sudah berimbangkah
berita yang Anda tulis? Apakah pihak-pihak yang Anda tulis sudah diwawancara?
Dan seterusnya. Setiap pertanyaan disertai kolom isian. Kalau tidak mengisinya, si
reporter tidak bisa menekan tombol “kirim”. Kalau kelak ada reporter yang menipu
dengan cara mengisi kolom yang salah, tanggung jawabnya jelas.
Saya berharap software yang saya inginkan itu segera dibuat. Lalu, Jawa
Pos-lah yang pertama menerapkannya. Itu bukan saja menjadi sumbangan saya ke
dunia jurnalistik berikutnya, tapi juga sumbangan IT ke dalam jurnalistik. Maka,
saya bisa menyumbangkan ilmu manajemen ke dalam jurnalistik melalui penerapan
“rukun iman” Jawa Pos. Lalu, menyumbangkan software untuk prinsip cover both
side yang penting itu. Di tulisan mendatang saya juga akan menceritakan
sumbangan “ilmu tauhid” ke dalam bisnis dan manajemen. Sumbang-menyumbang
dari satu disiplin ilmu ke ilmu yang lain, apa salahnya dilakukan. Untuk kemajuan.
Saya sendiri tidak tahu apakah tulisan saya mengenai pengalaman ganti liver
ini masih mencerminkan doktrin jurnalistik saya itu. Kalau tidak, berarti juga ada
kemunduran dalam kemampuan saya menulis. Dan jangan-jangan, itu karena saya
ganti liver.

  137  
Setiap membicarakan persiapan transplantasi, tim saya ternyata juga sering
menyinggung kemungkinan perubahan perilaku saya pascatransplantasi. Tentu
dengan nada penuh humor. Melinda Teja, bos Pakuwon Jati itu, misalnya.
“Saya sangat khawatir kalau liver yang didonorkan itu punya sifat asli
seorang gay,” gurau Melinda. “Kalian yang laki-laki harus waspada,” tambahnya.
“Saya justru khawatir kalau itu liver Laura,” ujar yang lain. “Kita harus segera
carikan pekerjaan yang cocok,” tambahnya. Laura yang dimaksud adalah “lanang
ora, wedok ora” (tidak laki-laki dan juga tidak perempuan).
Sampai hari ini, saya belum merasakan perubahan apa-apa. Tapi, diri sendiri
kadang memang tidak bisa merasakan. Orang lainlah yang tahu. Kalau saja seperti
itu, tentu saya berharap segera diberi tahu. Jangan hanya dijadikan bahan gosip
semata.
Yang jelas sudah berubah adalah perut saya. Akibat sayatan pisau bedah
yang panjang, kulit perut saya tidak mulus lagi. Ada sederet bekas jahitan yang
kasar. “Rupanya, tim dokter tidak membawa ahli obras malam itu,” ujar tim kami.
Karena itu, saya lagi mengusahakan untuk memperhalusnya. Ada cara yang
katanya cukup mujarab. Terutama yang biasa digunakan ibu-ibu yang melahirkan
secara caesar. Lebih terutama lagi ibu-ibu di Amerika. Yakni silicon scar treatment.
Saya masih memesannya lewat internet karena hanya di AS barang itu dijual. Kalau
saja usaha itu tidak berhasil, anggaplah saya baru saja melakukan caesar tiga kali
berturut-turut.

  138  
Tunggu Pulang Diimunisasi Hepatitis
B, Saingi Cucu
22 September 2007

TEPAT sebulan setelah transplantasi, dokter sudah mengizinkan saya


pulang. Jadi, 6 September yang lalu sebenarnya saya sudah bisa kembali ke
Indonesia. Tapi, tim saya, terutama Robert Lai, minta saya lebih bersabar. Tim
Surabaya juga demikian. Bahkan, ada yang minta biar enam bulan baru pulang juga
lebih baik. Dia tahu, kalau pulang, saya pasti langsung lupa diri. “Kalau selama ini
sudah sabar enam bulan, mengapa tambah dua bulan lagi tidak kuat?” tambah Ir
Budiyanto, perancang Gedung Jatim Expo dan Rumah Cepat Tsunami Aceh, ketika
menjenguk saya.
Dulu Budi itu, saya kira, seorang Kristen. Dia Tionghoa dan lulusan Fakultas
Teknik Universitas Kristen Petra Surabaya. Sebuah konotasi yang ternyata salah.
Ini baru saya ketahui setelah bertahun-tahun kenal. “Apakah tidak ke gereja?”
tanya saya saat dia mengajak rapat soal Aceh di hari Minggu. “Saya bukan Kristen,
Pak,” jawabnya. Oh, berarti dia Konghucu atau Buddha. Saya berpikir salah sekali
lagi. “Saya penganut Sapto Dharmo,” jawabnya. Bahkan, kemudian, saya tahu dia
salah satu tokohnya.
Makanya, ketika saya ajak omong Mandarin, dia tidak nyambung. Aneh. Dia
Tionghoa, bicaranya kromo inggil. Saya yang Jawa bicara Mandarin. Sejak itu, saya
selalu kromo inggil kepadanya. Agar tidak lupa bahasa Jawa tinggi itu. Sebab, di
rumah saya menggunakan bahasa Banjar. Kromo inggil pas sekali kalau dipakai
bicara soal ajaran sangkan paraning dumadi, filsafat ojo dumeh dan hukum “timba
sing kudu nggoleki sumur”. Saling SMS dan email pun pakai kromo inggil hingga
suatu saat kebentur kata forward. Nah, apa kromo inggil untuk forward?
Keinginan pasien untuk cepat-cepat pulang memang agak ajaib. Begitu
seminggu setelah operasi berhasil (umumnya mereka tandai dengan bisa jalan-

  139  
jalan), pasien langsung membuat rencana tanggal berapa akan pulang. Fokus
pikiran sudah berubah: Pulang! Pulang! Pulang! Ini bagian dari misteri rumah,
misteri kampung halaman. Itu sebabnya bahasa Inggris membedakan mana kata
“rumah” (house) dan mana kata “rumah” (home).
Suasana kebatinan setelah operasi mirip dengan setelah berhaji di Makkah.
Sebelum tiba hari pelaksanaan haji, biar dua bulan menunggu pun asyik-asyik saja.
Semangat menjalani ibadah luar biasa. Tawaf (berjalan memutari Ka’bah) dilakukan
berkali-kali -meski “tawaf” di mal dan supermarket juga tidak bosan-bosannya.
Sudah tawaf siang hari, mencoba sore hari. Sudah pagi hari mencoba malam hari.
Rasanya ingin terus dekat dengan Ka’bah dan mencium berkali-kali hajar aswad,
sebuah batu hitam (blackstone) di pojok Ka’bah. (Waktu saya menulis bahwa
Tiongkok dengan kekayaan barunya sudah mampu membeli saham perusahaan
raksasa Amerika yang bernama Blackstone, seorang pembaca mengirim SMS ke
saya: Tiongkok sudah pula membeli hajar aswad?)
Karena itu, suasana di sekitar Ka’bah tidak pernah sepi. Kemacetan manusia
selalu terjadi di sekitar hajar aswad. Mereka berebut menciumnya. Kadang dengan
cara menyikut dan menyingkirkan orang lain. Saya tidak sampai hati melihat
pemandangan itu. Karena itu, meski entah sudah berapa kali saya ke Makkah, saya
belum bisa mencium hajar aswad -secara fisik. Saya tidak tega kalau harus berebut
seperti itu caranya. Maka, saya selalu berusaha menciumnya dengan hati saya yang
dalam. “Hati” dalam pengertian pedalaman saya -bukan hati dalam pengertian liver
saya. Tuhan pasti tahu isi pedalaman saya. “Uda, Tuhan kita adalah Tuhan yang
cerdas,” kata Pinto Janir dari Padang kirim SMS ke saya. Toh mencium hajar aswad
itu bukan rukun tawaf. Bahkan, Syayidina Umar pernah mengatakan, “Kalau bukan
karena Rasulullah pernah menciumnya, saya tidak akan sudi menciumnya”. Tentu,
suatu saat saya akan menciumnya. Mungkin akan ada manajemen yang lebih baik
untuk mengatur antrean itu.
Ada terus kegiatan orang di Makkah sebelum hari haji. Tapi, begitu pulang
dari Padang Arafah, apalagi begitu selesai salat Idul Adha, rasanya sudah amat

  140  
berbeda. Antiklimaks yang tajam. Bagi yang masih lama dapat giliran pulang, luar
biasa tidak sabarnya.
Begitu juga pasien transplan liver. Begitu bisa jalan, pikirannya sudah
langsung fokus ke pulang. Maklum, sudah terlalu lama menunggu di rumah sakit ini.
Sudah antiklimaks.
Pasien dari Taiwan umumnya sudah pulang sebulan setelah transplantasi.
Pasien Jepang bahkan tiga minggu sudah check-out. Mereka memang tidak perlu
khawatir. Di dua negara itu ada rumah sakit yang punya pengalaman merawat
pasien pascatransplan. Bahkan sudah menjadi seperti satu network dengan pusat
transplan di Tiongkok ini. Sedang kalau saya pulang, kalau terjadi apa-apa, rumah
sakit mana yang punya pengalaman cukup untuk pasien seperti saya?
Walhasil, saya memutuskan baru akan kembali ke Surabaya sekitar
seminggu setelah Lebaran. Kebiasaan saya Lebaran di Makkah tidak bisa saya
lakukan lagi tahun ini.
Ternyata benar juga bahwa saya tidak buru-buru pulang. Saya masih harus
menjalani satu proses yang amat lucu: Imunisasi hepatitis B. Saya tersenyum
mendengar bahwa saya harus menjalani beberapa kali suntikan imunisasi. “Sudah
umur 56 tahun baru imunisasi. Bersaing dengan Icha, cucu saya,” kata saya pada
suster yang akan menyuntik. Suster tertawa. Saya kembali tersenyum. Kecut. Hasil
tes terakhir memang menunjukkan bahwa liver baru saya bersih. Tidak kejangkitan
hepatitis atau sel bibit kanker. Karena itu harus segera dilindungi dari dua makhluk
halus (karena hanya bisa dilihat oleh mikroskop) yang pernah mengancam jiwa saya
itu.
Saya dapat informasi bahwa dokter-dokter anak di Surabaya juga kebanjiran
bayi yang minta diimunisasi hepatitis B. Yakni pada hari saya mengungkapkan
mengapa saya sampai menderita penyakit seperti itu. “Jam lima pagi sudah lima ibu
yang mendaftar,” kata dr Wawan yang dulu pernah jadi anggota yang aktif di
Dewan Pembaca Jawa Pos. “Saya kaget. Kok tumben. Oh, agak siang sedikit, saya
baru tahu sebabnya. Pasti pagi-pagi mereka sudah baca Jawa Pos,” tambahnya.

  141  
“Departemen Kesehatan harus membayar Anda. Kampanye yang berhasil,” tulisnya
di SMS-nya.
Tentu, saya tidak mengharapkan bayaran itu. Saya sudah amat senang kalau
tulisan saya ini memberikan manfaat. Bahkan, saya berencana mendirikan lembaga
yang tugasnya gerilya ke kawasan-kawasan miskin untuk mencari anak yang belum
diimunisasi. Saya akan membiayai kegiatan itu. Saya perlu sejumlah tenaga yang
punya antusiasme menangani pekerjaan tersebut. Diam-diam, tekun, dan njlimet.
Karena teman-teman se-”angkatan” saya sudah pada pulang, tinggal saya
sendiri yang dari Angkatan April 2007. Tidak ada lagi teman-teman lama yang saya
kunjungi setiap hari. Saya harus mencari kawan baru. Berarti juga harus mau
menjadi narasumber untuk bagi-bagi pengalaman kepada mereka. Saya
melakukannya dengan senang hati. Hati baru, tentunya. Saya ingin ikut
memberikan semangat agar mereka optimistis menghadapi operasi besar. Saya pun
merasa dapat semangat yang sama dari pasien yang menjalani transplan sebelum
saya. Saya merasa mereka beri semangat. Giliran saya memberikan semangat. Toh,
saya tidak harus membeli semangat.
Sebelum operasi, saya memang suka bertanya kepada pasien yang baru saja
menjalani operasi. Atau ke keluarga mereka. Jawaban-jawaban itu tidak terlalu
memengaruhi psikologi saya. Tapi, begitu pertama melihat pasien yang jalan-jalan
di koridor rumah sakit dengan kantong plastik berisi cairan merah menggantung di
pinggangnya, saya tertegun. “Oh, begini ya orang habis transplantasi,” pikir saya.
Badannya lebih kurus daripada yang saya lihat sebelum operasi. Jalannya thimik-
thimik pelan. Lengannya dipegangi oleh suster. Mulutnya, juga mulut susternya,
dipasangi masker.
Lalu, saya tanya kepada susternya: Sudah berapa hari dia operasi? “Tepat
seminggu yang lalu,” jawabnya. Oh! Baru seminggu yang lalu! Sudah bisa jalan,
meski thimik-thimik. Meski badannya kelihatan lemah, wajahnya segar. Juga lebih
merah. Lebih segar dan merah daripada yang saya lihat sebelum operasi. Seminggu
sudah bisa jalan! Saya pun akan begitu nanti! Seminggu, Dahlan, hanya seminggu!
Sudah bisa jalan! Kau nanti juga harus begitu! Kalau perlu lima hari!

  142  
Dengan melihat contoh nyata itu, optimisme saya kian menyala-nyala. Saya
kian rajin senam untuk membuat badan saya lebih segar. Saya lebih semangat
makan, tanpa harus merasakan enak- tidaknya. Kalau badan saya lebih kuat, tentu
lima hari setelah operasi sudah bisa jalan. Dia saja, yang badannya memang sudah
kurus dan umurnya sudah 62 tahun, seminggu sudah bisa jalan.
Rasa optimistis kian hari kian besar setelah melihat pasien tadi di hari-hari
berikutnya. Kian hari kian cepat jalannya. Juga kian segar badannya. Pasien kedua
yang saya lihat pun begitu. Pasien ketiga juga sama. Pasien keempat, kelima, dan
seterusnya. Semua kurang lebih sama. Jadi, ajaib memang transplantasi ini. Bahkan,
pasien yang sebelum operasi kelihatan matanya sudah amat keruh, sudah
tergeletak tidak bisa berjalan, napasnya sudah tersengal-sengal, seminggu setelah
operasi juga sudah bisa jalan.
Suatu saat ada contoh-hidup yang lain. Serombongan besar orang Korea
memenuhi lantai 11. Ada pemandu wisatanya. Wisatawankah mereka? “Mereka
adalah orang-orang yang dua-tiga tahun lalu transplantasi di sini,” kata seorang
perawat. Mereka ingin datang lagi bersama keluarga dan kerabat. Untuk
menunjukkan di sinilah dulu mereka dapat sambungan nyawa.
Tiba-tiba saya penasaran, ingin bertanya masak kini mereka bisa begitu
sehatnya. Ternyata dengan suka rela mereka menceritakan segala pengalamannya.
Bahkan, tiga orang di antara mereka (antara umur 60 dan 70 tahun) mau saya ajak
masuk kamar saya. Agar bisa bicara lebih santai. Di kamar saya semangatnya
menjadi-jadi. “Lihat ini,” katanya sambil menyingkap bajunya. Terlihatlah di kulit
perutnya bekas sayatan dan jahitan yang panjang. Begitu jugalah saya nanti, pikir
saya.
Selama empat bulan menunggu operasi, saya hanya sekali mendengar orang
meninggal. Yakni yang transplantasi enam bulan sebelumnya. Dia seorang wanita
60-an tahun dari Pakistan. Konon, seorang anggota parlemen. Transplantasinya
sukses dan amat sehat. Sebulan setelah transplantasi langsung pulang. Mungkin
memang politisi yang sibuk. Di negaranya langsung aktif karena memang terasa
sudah amat sehat.

  143  
Perawatan terhadap slang yang masih ada di pinggangnya pun dilakukan di
negerinya. Slang itu, berikut kantong plastik kecil, memang masih terus akan di situ
selama tiga bulan. Tiap dua minggu harus dibersihkan dan dirawat. Agar tidak jadi
sumber infeksi. Bahkan, tiga bulan kemudian, waktu seharusnya dia kembali ke
Tiongkok untuk mengeluarkan benda yang dipasang untuk menyambung livernya
dulu, dia tidak ke Tiongkok. Dilakukan sendiri oleh dokter setempat karena dia juga
ahli.
Beberapa saat setelah itu, dia bahkan pergi naik haji. Entah proses
pengambilan benda asing itu yang salah atau karena kegiatannya yang berlebihan,
dia terkena infeksi. Kian lama kian parah. Lalu datang lagi ke Tiongkok untuk
menyelamatkannya.
Di Tiongkok dia akan ditransplantasi sekali lagi, namun menunggu kondisi
badannya stabil. Yang ditunggu tidak segera tiba. Bahkan memburuk. Dan akhirnya
meninggal.
Saya harus belajar dari pengalaman itu. Saya tidak harus buru-buru pulang.

  144  
Sering Kaget Disapa Wanita Modis
dan Ceria dalam Lift
23 September 2007

DI masa menanti waktu pulang ini, saya kehilangan dua teman wanita yang
paling saya akrabi. Keduanya tinggal di lantai yang sama. Satu dari Jepang, satunya
lagi dari Harbin, Tiongkok. Saya sering sekali mengunjungi kamar masing-masing
dan ngobrol berlama-lama. Terutama kalau istri saya pergi belanja. Apalagi mereka
senasib: juga hepatitis, sirosis, dan kanker hati. Kami biasa saling curhat.
Yang wanita Jepang amat modis. Bajunya bagus-bagus dan mahal-mahal.
Rambutnya disasak tinggi. Sepatunya seperti Cinderella. Dia sendirian. Tidak satu
pun keluarganya mendampingi. Dia juga tidak bisa berbahasa Mandarin sehingga
hanya saya pasien yang bisa dia ajak ngobrol dalam bahasa Inggris.
Dua wanita itu juga amat mengesankan. Bicaranya, guraunya, dan
intelektualnya bisa nyambung dengan saya. Dua-duanya juga amat cantik -
terutama kalau penilaian ini saya berikan 35 tahun yang lalu, saat keduanya masih
kira-kira berumur 30 tahun.
“Saya nanti tidak sesukses kamu,” kata wanita yang dari Jepang itu suatu
saat kepada saya. Dia ngiri melihat badan saya yang sehat dan agak gemuk. Saya
memang tidak menceritakan bahwa gemuk saya waktu itu karena bengkak. “Umur
saya sudah 72 tahun,” tambahnya.
Wanita yang dari Harbin lebih mengeluh lagi. Bukan saja mengenai umurnya,
tapi juga kondisi badannya. “Perut saya sudah berisi air,” katanya. Kalau saja dia
masih muda, tentu orang akan mengira dia hamil. “Umur saya juga sudah 69 tahun,”
tambahnya. Lebih dari itu dia juga mengidap sakit gula.
Saya memahami keadaannya. Saya tahu bahwa sakit gula akan menjadi salah
satu faktor yang memengaruhi sukses tidaknya transplantasi. Tapi, saya tidak
menceritakan bagian ini padanya. Saya ceritakan kenyataan bahwa ada pasien lain
yang juga punya sakit gula toh berhasil dengan baik juga.

  145  
Di lain waktu wanita Harbin tadi curhat yang lain lagi. “Saya nanti pulangnya
mungkin paling belakangan,” katanya. “Kalian sudah pulang semua, saya akan masih
di sini. Sendirian,” katanya. Saya menjawab: Saya juga tidak akan buru-buru pulang.
Saya juga berjanji kepadanya untuk terus memberinya semangat. Saya cepat akrab
dengan wanita Harbin ini, antara lain, karena saya pernah lama di sana: Belajar
bahasa Mandarin dengan cara home stay. Juga sudah tak terhitung lagi berapa kali
saya ke Harbin sesudah itu.
Benar saja, si Cinderella sangat berhasil operasinya. Pasti semakin modis dia
nanti. Juga benar bahwa seminggu setelah operasi dia sudah menentukan tanggal
pulang. “Dokter saya di Jepang yang minta saya segera pulang. Menjalani
perawatan di sana,” katanya seperti minta pengertian. Tentu kami tetap
menampakkan kegembiraan kami bahwa dia begitu sukses dengan
transplantasinya.
Yang wanita Harbin juga sudah menjalani transplantasi. Juga sukses. “Perut
saya yang mulai buncit dulu itu, sudah hilang,” katanya dengan meraba-raba
perutnya. Benar, saya lihat perutnya “sudah hilang”. Meski memang lebih lambat
mulai bisa turun dari tempat tidur, bicaranya sudah keras dan tegas. Juga sudah
bisa tertawa, meski kalau tertawa lantas kian terlihat umurnya yang sebenarnya.
Saya sendiri akhirnya mendapat gelar ’yuan lao’ di rumah sakit ini. Penghuni
lama. Pasien yang kerasan di rumah sakit. Tidak buru-buru pulang. Karena ’yuan
lao’, saya sangat hafal pada perawat, pegawai, dan dokter di rumah sakit ini.
Mereka juga hafal pada saya.
Meski begitu hafal, saya masih sering kecele kalau suatu saat disapa wanita
yang sangat modis dan ceria di dalam lift atau di lobi. Terutama pada jam-jam
pulang atau berangkat kerja. “Siapa ya wanita cantik ini,” sering saya bertanya
dalam hati. Eh, baru sadar bahwa mereka adalah perawat atau pesuruh yang tadi
melayani saya.
Rupanya mereka biasa ganti-ganti baju. Begitu selesai bertugas, para
perawat itu ganti pakaian seperti model. Bajunya, tatanan rambutnya, cara
membawa tasnya, sama sekali tidak menyangka kalau dia tadi yang pakai baju

  146  
perawat dengan topi putih. Dia sering menyapa, tapi saya seperti tidak kenal lagi
siapa dia.
Perawat di sini memang disediakan kamar mandi dan ganti baju. Setiap
masuk kerja mereka mandi dulu dan baru ganti baju perawat. Demikian juga ketika
pulang kerja. Ini agar kuman yang terbawa perawat saat berangkat kerja tidak
terbawa ke pasien.
Yang seperti itu tidak hanya perawat. Pesuruh dan tukang pel lantai pun
idem ditto. Sewaktu bertugas mengepel kamar saya, pakaiannya baju-kerja
penyapu lantai. Sepatunya sepatu kungfu yang murahan. Tapi, begitu pulang,
sungguh membelalakkan mata. Bajunya you can see, celananya hot pants (maklum,
musim panas) dan rambutnya dimain-mainkan seperti artis Korea. Mereka sama
sekali tidak punya rasa rendah diri meski pekerjaannya tukang pel lantai.
Sebaliknya, meski berangkat kerja dengan amat modis, ketika kerja tidak ogah-
ogahan.
Saya ingat direktur saya Zainal Muttaqien. Kami sering diskusi soal
kemiskinan di Indonesia dan Tiongkok. Mengapa orang di Tiongkok yang juga
banyak sekali yang lebih miskin dari orang miskin Indonesia, harga dirinya lebih
baik. Bukan saja jarang lihat pengemis, juga kalau bertemu orang seperti tidak
punya rasa rendah diri. Dan ini menjadi salah satu sumber kemajuan Tiongkok. Ini
yang disebut social-capital -modal sosial. Bank Dunia menyebutkan social-capital
ini menjadi faktor penting kemajuan Tiongkok di samping modal finansial.
Muncullah istilah dari Zainal yang akan selalu saya ingat dan yang akan kami
perjuangkan sebagai inti dimulainya pembangunan harga diri ini. Yakni, satu moto:
“Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat”. Saya dan Zainal, dan banyak lagi yang
lain, akan bisa jadi model perjuangan itu. Bagaimana ketika miskin dulu tidak jatuh
sampai menjual harga diri dan jabatan. Dan, ketika sudah kaya (duille!) tidak
sewenang-wenang.
Saya ingat, meski waktu itu sudah menyandang gelar wartawan majalah
TEMPO yang begitu ternama, saya belum punya sepeda, apalagi sepeda motor.
Rumah pun masih menyewa di satu gang sempit di belakang pasar Kertajaya,

  147  
Surabaya. Rumah separo tembok separo kayu. Yang kamar mandinya dipakai
bersama beberapa rumah tangga. Yang airnya dari sumur yang harus ditimba
sendiri. Yang kasur tipisnya harus dihampar di lantai.
Waktu harus wawancara ke daerah industri di Tandes Margomulyo, saya
hanya punya uang Rp 75 di saku. Hanya cukup untuk naik bemo berangkatnya. Dari
Kertajaya ke Jembatan Merah Rp 25, lalu dari Jembatan Merah ke Tandes Rp 50.
Selesai wawancara, saya diberi amplop. Saya tahu isinya pasti uang. Saya
menolaknya meski di saku tidak ada lagi uang sepeser pun. Meski Tandes-
Kertajaya begitu jauhnya. Saya pulang dengan jalan kaki. Hampir dua jam. Karena
beberapa kali harus berhenti untuk menghindar dari panasnya Surabaya.
Waktu harus pulang ke Kaltim, tentu banyak orang yang akan memberi saya
tiket. Tapi, saya pilih naik kapal kayu ke Banjarmasin dulu, agar murah. Lalu naik
kendaraan umum berupa jip terbuka yang penuh sesak dengan penumpang. Belum
ada bus waktu itu. Saya khawatir dengan istri saya. Maka, saya bilang kepada sopir
agar boleh naik di kursi dekat sopir. “Istri saya hamil muda,” kata saya.
“Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat” akan membuat bangsa ini tidak
gampang jatuh ke derajat bangsa-pengemis. Atau, bangsa yang kalau melihat orang
kaya yang muncul kecemburuannya. Bangsa yang mudah disogok dan
dipermainkan. Yang juga mudah dibayar untuk, misalnya, sekadar berdemo.
Dari penampilan para perawat dan tukang pel di rumah sakit ini, saya belajar
bagaimana menjalani pekerjaan rendahan dengan jiwa yang kuat. Saya kepingin
sekali meniru ini di Graha Pena. Petugas cleaning service tidak harus merasa
rendah diri. Saya sudah minta manajemen Graha Pena untuk menghitung
konsekuensi biayanya. Kalau upaya meniru ini berhasil, penampilan Graha Pena
juga akan lebih “keren”. Dan harga diri pegawai yang di situ sama tingginya.
Lalu muncul ide gila yang tidak masuk akal. Untuk membuat kota-kota di
Indonesia cantik, para wanita yang lalu lalang di kota itu harus juga terlihat cantik.
Betapapun bersihnya sebuah kota, kalau yang lalu-lalang di dalamnya kumuh-
kumuh, nggak menarik jadinya. Maka, pemda yang menginginkan kotanya cantik

  148  
dan menarik harus memberikan penduduknya yang wanita barang- barang ini
secara gratis: Baju, lipstik, eye shadow, sepatu, dan biaya ke salon.
Ide itu tentu tidak mungkin dilakukan. Kalaupun dilakukan, belum tentu
lipstiknya digunakan. Bisa- bisa dijual. Sebab, filsafat “Kaya Bermanfaat, Miskin
Bermartabat” belum menjadi budaya.
Tentu semua biaya seperti itu, kalau di rumah sakit ini, ditanggung sendiri.
Tapi, di Graha Pena kami akan mencoba memberikannya secara cuma-cuma
kepada pegawai bagian cleaning service-nya. Tentu tidak harus sampai pada hot
pants, tapi berjilbab pun akan dicarikan jilbab yang modis.
Salah satu kesimpulan saya, membangun kepercayaan diri begitu
pentingnya. Jarang saya lihat orang Tiongkok yang merasa rendah diri. Mereka bisa
membedakan ’rendah diri’ dan ’rendah hati’. Sedangkan kita, kalau tidak mau
dibilang kurang ajar, sering terbelit filsafat ’unggah-ungguh’, ’sopan- santun’,
’tawaduk’, yang sebenarnya tetap bisa kita lakukan tanpa harus jatuh ke derajat
’rendah diri’.
Kembali ke dua wanita tadi (eh, kok ingat dia lagi sih?), ternyata ada baiknya
juga dia pulang lebih dulu. Kalau tidak, tulisan ini tidak akan bisa selesai tepat
waktunya.

  149  
Banyak Faktor Keberhasilan, tapi
Jangan Buru-Buru Merasa Sehat
24 September 2007

MENGAPA operasi transplantasi liver saya berhasil? Setidaknya sampai hari


ini? Faktor apa saja yang memengaruhinya?
Jawabnya dua macam: mau yang pendek atau yang panjang. Mau yang
religius atau yang ilmiah. Kalau mau pendek dan tampak religius, jawabnya ini:
semua itu berkat tangan Tuhan. Selesai. Tidak perlu lagi tambahan apa-apa. Siapa
yang bisa membantahnya? Siapa yang berani mempersoalkannya? SMS yang masuk
ke saya pun hampir semuanya bernada begitu. Mereka mengatakan semua ini
karena Allah. Hanya satu-dua yang mengatakan, “Semua ini karena Allah dan
kepintaran para dokternya.”
Tapi, kalau jawabnya itu, saya tidak perlu lagi menulis. Tapi, saya ingin
menulis. Terutama ingin menulis sesuatu agar para dokter tidak kehilangan
semangat karena tidak dipuji sama sekali. Saya ingin memujinya.
Saya tidak ingin para dokter menjadi ngambek seperti humor ngambek-nya
seorang istri yang sudah terkenal itu: Suatu saat sebuah keluarga ingin
mengundang makan malam seorang suci. Sang istri sehari penuh sibuk menyiapkan
makanan yang lezat-lezat. Waktu mau makan, sang suami meminta sang suci
membacakan doa. “Terima kasih, Tuhan, Engkau telah menyediakan makanan yang
lezat- lezat ini.” Ucap sang suci mengakhiri doanya. Selama makan sang istri
merengut saja. Setelah sang suci pulang, si istri menggugat suaminya: Tidakkah tadi
kau laporkan kepada sang suci bahwa sayalah yang sehari penuh menyiapkan
makanan ini?
Saya tidak ingin para dokter njegol seperti si istri itu.
Sudah tentu tidak hanya faktor keahlian dokter yang menjadi satu-satunya
kunci sukses. Saya mencoba merincinya sebagai berikut:
Keahlian dan pengalaman dokternya.

  150  
Kecanggihan peralatannya.
Kemajuan obat-obatannya.
Kemampuan manajemen rumah sakit dan tim operasinya.
Keberadaan donor yang sangat prima.
Kondisi badan saya yang masih baik.
Faktor mana yang terpenting, rasanya sulit menentukan. Tapi, kalau ada
waktu membahasnya lebih dalam, pasti juga akan diketahui ranking-nya.
Soal keahlian dokter, di Indonesia pun tidak akan kalah. Saya pernah
menerima keluhan dokter ahli bedah jantung seperti Prof Dr dr Paul Tahalele.
Keahliannya pasti tidak kalah dengan dokter Singapura. Tapi, kesempatan untuk
memperoleh pengalaman yang banyak sangatlah minim. Baik karena langkanya
donor maupun minimnya peralatan. Bagaimana bisa punya pengalaman
transplantasi liver 150 kali setahun kalau di negeri itu orang tidak bisa
mendonorkan organnya?
Mengenai kecanggihan peralatan, rumah sakit ini tergolong yang terbaik di
dunia. Bahkan, ada satu alat yang hanya empat di dunia: di AS, Korea, Jepang, dan
di rumah sakit ini. Saya tidak diberi tahu alat yang mana. Tersedianya peralatan
yang canggih ini sangat terkait dengan kemampuan dana dan keinginan
pemimpinnya. Untuk Indonesia, dua-duanya belum bisa banyak dinanti. Begitulah
nasib dokter kita meski itu juga dialami bidang yang lain.
Di bidang kemajuan obat-obatan harus diakui bahwa kemajuan penemuan
obat baru bukan main cepatnya. Kalau saja kemajuan obat-obatan tidak seperti
sekarang, mungkin juga banyak halangannya. Untuk kegagalan transplantasi liver
karena rejection, sekarang jumlahnya hampir nol. Obat sinkronisasi liver baru
dengan organ lain sudah amat sempurna.
Bahkan, obat antiinfeksi juga sudah membuat kegagalan karena infeksi amat
minim. Kegagalan yang terbanyak kini karena tekanan darah tinggi dan gula darah.
Sebab, obat-obatan yang harus dimakan setelah transplan menimbulkan efek
samping di dua sektor itu. Kebetulan, saya tidak memiliki bakat darah tinggi
maupun gula darah.

  151  
Kondisi pasien yang prima memegang peran penting karena banyaknya
komplikasi juga akan menyulitkan. Salah satu pasien yang saya kenal kelihatan
gembira sekali di hari pertama dan kedua setelah keluar dari ICU. Tapi mulai lemas
di hari-hari berikutnya. Ini karena jantungnya memburuk.
Itulah sebabnya, saya membuat keputusan justru harus melakukan
transplantasi ketika saya masih sehat. Maksud saya ketika organ-organ lain saya
masih baik. Kalau saja terlambat mengambil keputusan, akan lain hasilnya.
Mendapatkan donor yang prima pun, antara lain, juga ditentukan oleh
kondisi pasien. Misalnya, kalau saja saya tidak sabar menunggu. Mungkin akan
mendapat juga donor, tapi kualitasnya belum tentu sebaik yang ada di dalam badan
saya sekarang. Atau, kalau saya sabar, tapi kondisi badan saya sudah tidak bisa lagi
menunggu lebih lama, tentunya donor seperti apa pun akan diterima. Toh semua
donor sudah diperiksa kualitasnya. Bahwa ada kualitas I atau II, itu tentu ada kelas-
kelasnya.
Kalau sejak sebelum operasi saya optimistis bahwa transplantasi ini akan
berhasil, antara lain, saya sudah menghitung semua faktor di atas. Tentu, semua itu
tidak saya informasikan kepada keluarga atau teman-teman. Hanya saya dan tim
saya yang tahu.
Teman-teman, juga para pemegang saham, mungkin banyak yang pesimistis.
Terutama kalau mereka melihat tanda-tanda fisik saya: mulai dari sudah muntah
darah, sudah bengkak, dan wajah sudah menghitam. Mereka juga melihat tanda-
tanda nonfisik yang saya lakukan. Misalnya, saya tiba-tiba mengundang teman-
teman yang ketika bekerja di Jawa Pos dulu pernah saya marahi. Kadang saya
sadari bahwa ternyata tidak seharusnya saya marah karena ternyata dia tidak
salah. Tapi kalau sudah telanjur marah, masak bisa diralat? Yah, saya sering juga
kemudian minta maaf, tapi saya yakin sudah telanjur melukai hati mereka.
Kepada mereka (baik yang sudah pensiun maupun yang belum), saya berikan
uang. Ada yang cuma Rp 5 juta, ada yang sampai Rp 100 juta. Tergantung perasaan
saya seberapa saya merasa bersalah. Rupanya, bagi-bagi uang ini terdengar juga
oleh pensiunan karyawan yang lain. Lantas, dia menghubungi saya lewat SMS: saya

  152  
menyesal mengapa dulu tidak pernah dimarahi. “Boleh nggak sekarang saja
dimarahi. Asal kemudian ikut diundang,” katanya.
Saya juga sering mengadakan khataman Alquran yang diikuti para hafiz
(orang yang hafal Quran). Mereka aktif berpindah-pindah di Surabaya dan tiga
bulan sekali di rumah saya.
“Apakah Pak Dahlan sudah mau mati? Mau khusnul khotimah?” komentar
seorang teman secara diam-diam tapi sampai juga ke telinga saya. Apalagi saya juga
menyelenggarakan zikir-pidak dan ikut mendengungkan kalimat syahadat yang
sudah di-compress menjadi kata pendek hu itu ribuan kali.
Para pemegang saham juga sangat khawatir ketika saya minta bertemu dan
menyampaikan sesuatu yang amat sangat pentingnya. “Apakah yang Anda lakukan
ini ada hubungannya dengan sakit Anda?” tanya seorang pemegang saham.
Sambil menunggu saatnya transplantasi pun, buku yang saya baca adalah
buku kisah artis terkemuka Tiongkok yang meninggal muda setelah transplantasi
liver. Sampai-sampai tim saya bilang, “Mbok jangan baca buku yang begituan.”
Maksudnya jangan membaca yang seperti memberikan isyarat- isyarat bahwa saya
akan gagal dan meninggal.
Mereka tidak tahu bahwa saya ingin belajar dari buku itu. Terutama:
mengapa gagal? Apa yang tidak boleh saya tiru agar saya tidak gagal? Juga ada
maksud saya yang lain lagi: belajar membaca huruf Mandarin.
Pelajaran penting yang saya peroleh dari buku itu adalah ini: jangan
terlambat ambil keputusan transplantasi. Ini menambah kuat tekad saya untuk
melakukan transplan ketika kondisi badan saya masih kuat.
Artis itu sudah amat terlambat melakukannya. Transplantasi pertama
dilakukan di Beijing. Berhasil. Belum dua bulan sudah sibuk menghadiri berbagai
acara, termasuk talk show dan jumpa fans di kota- kota yang jauh. Padahal, dia
melakukan transplantasi dalam keadaan sudah amat terlambat. Kankernya sudah
telanjur menyebar ke bagian tubuhnya yang lain.
Akhirnya, dia harus transplantasi lagi di kota ini. Juga berhasil. Tapi, kanker
sudah lebih menyebar lagi. Akhirnya meninggal dunia.

  153  
Pelajaran lain yang saya dapat adalah: Jangan buru-buru merasa sehat dulu.
Karena itu, sepulang dari Tiongkok nanti, saya akan mampir dulu di Singapura
beberapa hari. Kebetulan, istri perdana menteri Singapura yang juga CEO Temasek
Group, Madame Ho Ching, juga minta agar saya menjalani review di negaranya. Itu
bisa dilakukan dalam rangkaian perjalanan saya pulang kelak. Singapura memang
punya reputasi yang baik untuk perawatan pascaoperasi. Bahkan, untuk
transplantasi “separo hati”, Singapura sudah amat berpengalaman. “Saya yang akan
atur,” tulis Madame Ho Ching dalam email- nya kepada saya.

  154  
Setelah Transplantasi, Kian Tidak
Jelas Hitungan Umur Saya
25 September 2007

UMUR berapakah saya sekarang?


Tepatnya saya tidak tahu. Apalagi setelah melakukan transplantasi liver ini.
Kakak sulung saya memang pernah mencatat tanggal kelahiran saya. Yakni
di balik pintu lemari kayu yang kasar. Ditulis dengan kapur lunak, diambilkan dari
kapur yang biasa dipakai nenek untuk makan sirih. Itu bukan lemari pakaian karena
kami tidak perlu lemari untuk pakaian. Baju kami, sekeluarga, tidak lebih dari
sepuluh. Cukup disangkut-sangkutkan di paku yang menancap di dinding. Juga
karena kami tidak bisa beli lemari. Lemari yang ada itu bikinan bapak sendiri untuk
menyimpan apa saja: kaleng bekas, piring seng untuk makan, cobek (mangkuk
terbuat dari tanah), dan leper (tempat mengulek sambal, terbuat dari tanah), dan
sebangsanya. Makanan juga disimpan di situ -kalau kebetulan ada.
Itulah satu-satunya perabot rumah tangga bapak saya. Tidak ada kursi atau
meja makan. Kami makan sambil duduk di lantai. Lantai itu terbuat dari tanah
karena tidak mampu menyemennya. Kalau mau makan, barulah dihamparkan tikar.
Posisi duduk anak kecil seperti saya sangat minggir -kadang hanya dapat separo
pantat saja yang di atas tikar. Di atas tikar itu juga kami tidur. Paginya, ketika tikar
dilipat, sering ada gambar pulau di lantai tanahnya: ngompol. Jangan gusar. Bau
kencing itu akan hilang dengan sendirinya kalau tanahnya sudah kering lagi. Inilah
keunggulan yang tak tertandingi dari lantai tanah: Bisa menyerap ompol sebanyak-
banyaknya! Dia seperti popok abadi! Tidak perlu dibuang yang sampahnya bisa
merusak lingkungan. Dari segi ini, lantai tanah sangat ramah lingkungan -
setidaknya hidung kami sudah biasa tidak menghiraukannya. Kalau musim hujan,
gambar pulaunya lebih banyak dan lebih lama hilangnya.

  155  
Sejak masih ngompol, saya sudah harus bisa menyapu lantai. Tiap pagi, itulah
tugas pertama masa kecil saya: menyapu lantai. Karena lantai itu akan
menimbulkan debu, sebelum disapu harus dikepyur-kepyur dulu dengan air. Saya
sangat ahli me-ngepyur-kan air ke lantai ini. Juga menyenanginya -terutama saya
punya kesempatan untuk me-ngepyur-kan air lebih banyak di dekat pulau ompol
untuk mengamuflasekannya. Meski akan menghabiskan air lebih banyak, tapi bisa
mengurangi rasa malu.
Setelah ibu sakit (seperti sakit saya ini), apa pun dijual. Sawah warisan yang
hanya secuil, alat-alat tukang bapak yang bisa dirombengkan, dan juga lemari satu-
satunya itu. Maka, pergilah lemari dari rumah kami -dan hilanglah catatan tanggal
lahir saya.
Di desa, orang memang tidak peduli dengan tanggal lahir. Yang selalu diingat
hanya hari dan pasarannya. Karena itu, bapak ingat saya lahir Selasa Legi. Tapi,
Selasa Legi yang tanggal berapa, bulan berapa, tidak ingat. Untuk apa diingat?
Untuk ulang tahun? Emangnya perlu ulang tahun? Bahwa orang itu ternyata bisa
diulangtahuni belum pernah saya dengar sampai saya masuk SMA. Yang biasa
diulangtahuni adalah orang mati. Pakai selamatan dan tahlilan. Kami hafal semua
kapan meninggalnya siapa. Tanggal itu penting bagi anak-anak miskin karena
berarti akan ada selamatan.
Kalau toh ada orang yang selamatan kecil dikaitkan dengan hari
kelahirannya, itu dilakukan setiap 35 hari sekali. Misalnya, setiap Selasa Legi. Tapi,
keluarga kami tidak mengenal itu karena kurang kejawen. Kami keluarga santri.
Ibadahnya pakai aliran NU ahli sunnah wal jamaah: tarwihnya 21 rakaat (sampai
sekarang), salatnya pakai doa kunut, wiridannya pakai tahlil, nyekar ke kuburan,
salat id tidak mau di lapangan. Namun, kami juga ikut Kejawen: Bersih desa,
wayangan Murwad Kolo. Anehnya, aliran tarikat kami Syatariyah, bukan
Naqsyabandiyah. Kalau bulan Syura, kami selamatan Rebo Wekasan, yang aslinya
milik aliran Syiah. Pada selamatan ini, kiai kami menaruh gentong (tempat air yang
besar terbuat dari tanah) dengan air yang penuh. Ke dalamnya dimasukkan rajah -
kertas yang ditulisi huruf Arab yang ruwet, entah apa bunyinya. Setelah kenduri,

  156  
kami antre minum airnya. Dengan ciduk yang sama: tidak terpikirkan itu sebagai
sarana yang efektif untuk menularkan virus hepatitis. Itulah peringatan
meninggalnya Sayidina Hasan dan Husein, putra Sayidina Ali dan Sayidah Fatimah,
yang berarti cucu Rasulullah.
Lebih aneh lagi, aliran politik keluarga kami adalah ini: Masyumi. Bahkan,
saya ingat, gambar pertama yang bisa saya buat ketika kecil adalah lambang partai
itu: Bulan bintang. Dan ketika terjadi Gestapu/PKI di tahun 1965, sepupu-sepupu
saya yang sudah dewasa semua jadi anggota Banser.
Suatu saat saya dicap sebagai Muhammadiyah. “Lihat dia dari keluarga
Masyumi,” kata seorang tokoh. Di lain kali saya tidak diterima di kalangan
Muhammadiyah. “Dia tahlil,” kata yang lain. Saya sendiri tidak peduli, saya ini orang
apa. Semoga di langit sana tidak ada pengelompokan seperti itu. Lagi pula, kini,
suasana juga sudah tidak seperti itu lagi. Perbedaan dua golongan itu sudah kian
cair.
Asal-usul keluarga kami adalah pelarian dari Jogja. Yakni setelah Pangeran
Diponegoro kalah karena ditipu oleh Belanda. Para panglima perangnya melarikan
diri, antara lain ke timur, ke Banjarsari di selatan Ponorogo. Lalu beranak-pinak dan
ada yang membuka hutan di timur Gunung Lawu untuk dijadikan kampung:
Takeran. Sekaligus jadi pusat Pesantren Sabilil Muttaqin.
Karena saya dari jalur wanita, ibu saya tidak tinggal di pusat keluarga itu. Ibu
harus ikut bapak saya. Bapak saya adalah abdi di pusat keluarga itu, tapi kemudian
kawin dengan ibu saya. Jadilah bapak-ibu saya tinggal di desa, 6 km dari pusat
keluarga itu. Jadi keluarga tani, kemudian jatuh ke buruh tani.
Sampai tamat SMA, saya belum peduli dengan tanggal lahir dan karena itu
juga tidak pernah bertanya ke bapak. Hidup di desa, waktu itu, tidak ada
administrasi yang memerlukan tanggal lahir. Ketika sudah amat dewasa dan saya
bertanya kepada bapak mengenai kapan saya dilahirkan, jawabnya tegas: Selasa
Legi. Tapi, bukankah setiap 35 hari ada Selasa Legi? “Waktu itu,” kata bapak saya
sambil berpikir keras, “ada hujan abu yang sangat hebat.” Maksudnya ketika

  157  
Gunung Kelud meletus. Begitu hebatnya sampai desa saya yang jaraknya lebih 100
km dari gunung di Blitar itu dalam keadaan gelap selama sepekan.
Tentu, saya malas melakukan riset kapan saja Gunung Kelud meletus. Bagi
saya, tidak tahu tanggal lahir tidak penting-penting amat. Saya putuskan sendiri
saja: Saya lahir tanggal 17 Agustus 1951. Itulah tanggal lahir yang secara resmi
saya pakai di dokumen apa pun sampai sekarang. Tanpa dukungan surat kenal lahir.
Tapi sudah diakui di banyak negara. Buktinya, saya tidak dianggap memalsukannya.
Bukankah bisa ditelusuri kapan Gunung Kelud meletus? Soalnya bukan
hanya itu. Bapak saya kemudian menyebut, ketika Gunung Kelud meletus, saya
sudah mulai bisa merangkak!
Kini, setelah ganti liver, kian tidak jelas lagi saya ini berumur berapa. Badan
saya berumur 56 tahun, tapi hati saya belum lagi berumur 25 tahun. Apakah harus
dijumlah lalu dibagi dua? Atau masing- masing diberi bobot dan nilai? Lalu, bobot
dan nilai dikalikan seperti ajaran ilmu manajemen problem-solving yang sangat
memengaruhi saya kalau ambil keputusan?
Untuk apa juga saya pikirkan. Tiwas nanti merasa ge-er karena hitungannya
jatuh bahwa saya baru berumur 38 tahun atau 45 tahun. Untunglah, saya belum
pernah merayakan ulang tahun sehingga tidak kian ruwet memikirkannya. Ulang
tahun saya adalah Selasa Legi. Titik.
Yang lebih saya pikirkan adalah bagaimana hati baru itu bisa kerasan
menjadi “keluarga besar Dahlan Iskan”. Dan, rasanya bisa. Sampai 1,5 bulan setelah
ganti hati ini, kondisi saya terus saja membaik. Semua parameter darah normal.
Yang juga menggembirakan saya adalah: sekarang saya bisa berkeringat.
Sudah tiga tahun saya tidak pernah berkeringat. Habis jalan jauh pun tidak
berkeringat. Kini, begitu habis makan, langsung berkeringat. Juga setelah sedikit
senam atau joging. Saya memang harus banyak senam, terutama yang bisa
membuat dada saya mekar lagi. Mengapa? Selama ini rongga dada saya ternyata
dalam proses mengecil. Ini karena liver lama saya juga mengecil. Jadi tulang- tulang
iga ikut bergerak ke dalam, berusaha menyesuaikan dengan ruang yang

  158  
dilindunginya. Antara hati dan tulang iga, secara alamiah, memang tidak boleh ada
ruang kosong. Ketika hati mengecil, tulang iga menyesuaikannya.
Saya sendiri tidak menyadari dan tidak mengetahui itu. Tahunya ketika anak
wanita saya bertanya kepada dokter: apa saja kesulitan dokter dalam melakukan
transplantasi liver malam itu? Dokter mengatakan, “Hampir tidak ada kesulitan apa
pun”. Kecuali satu: Rongga dada saya sudah mengecil.
Akibatnya, ketika dokter mau “memasang” liver baru di ruang yang
ditinggalkan liver lama, ruangnya agak terasa kesempitan. Sehingga menaruhnya
jadi agak sulit. Sesak. Liver baru masih dalam ukuran normal, bukan? Itulah
sebabnya saya memperbanyak senam agar liver baru saya bisa “bernafas” dengan
lebih lega dan itu berarti membuatnya semakin kerasan tinggal di dalam badan
saya.

  159  
Kini Ada Simbol Mercy di Perut Saya
(Sebuah Penutup)
26 September 2007

ADA kesan yang mendalam bahwa sakit saya yang parah kemarin-kemarin
itu karena saya kerja terlalu keras. Seorang ibu sampai menasihati anaknya begini:
Jangan kerja terus seperti itu. Nanti seperti Pak Dahlan Iskan!
Setelah menerima SMS dari Saudara Socrates, teman di Batam yang lahir di
Padang itu, saya jadi merasa bersalah. Ternyata, saya kurang pandai menjelaskan
bahwa sakit saya ini bukan karena kerja keras, tapi karena saya terkena virus
hepatitis B. Memang, setelah virus itu berkembang menjadi sirosis dan kemudian
kanker, sebaiknya tidak kerja keras lagi. Tapi, itu bukan berarti akan
menyembuhkan sakitnya, melainkan memperlambat saja perkembangannya.
Tentu memperlambat juga amat baik. Hanya, saya tidak memilih itu karena
saya punya filsafat sendiri dalam menyikapi umur manusia. Saya memilih berumur
pendek tapi bermanfaat, daripada umur panjang tapi tidak bisa berbuat banyak.
Jalan pikiran saya itu biasanya saya ungkapkan ke teman- teman dengan istilah:
intensifikasi umur.
Tentu kalau masih ada pilihan lain, saya akan memilih yang terbaik. Misalnya,
ya berumur panjang, ya bermanfaat.
Tentu, saya akan merasa sangat berdosa kalau gara-gara tulisan saya ini
banyak orang takut bekerja keras. Bangsa ini memerlukan puluhan juta orang yang
gigih.
Kalau saya akan dijadikan contoh jelek, jangan dikaitkan dengan kerja keras,
melainkan kaitkan saja dengan kecerobohan. Misalnya, jangan sampai terkena
virus hepatitis seperti Pak Dahlan Iskan!

***

  160  
Kesan yang lain dari serial tulisan saya ini adalah bahwa rumah sakit-rumah
sakit di Tiongkok hebat. Sampai-sampai beberapa dokter menghubungi saya
bagaimana kalau mereka studi banding ke Tiongkok untuk belajar manajemennya.
Kepada para dokter itu, saya bilang bahwa ide tersebut kurang tepat. Belajar
manajemen dan pelayanan rumah sakit jangan ke Tiongkok. Manajemen dan
pelayanan rumah sakit-rumah sakit kita, secara umum, lebih baik. Terutama yang
swasta. Memang, belakangan ini semakin banyak rumah sakit di Tiongkok yang
lebih modern, tapi masih belum mencapai tingkat kecanggihan seperti di Singapura,
bahkan di Malaysia sekalipun. Masih perlu satu kurun lagi untuk mencapai tahap
itu. Ini karena, meski secara fisik dan peralatan sudah amat modern, carry over
problems masih terbawa. Kebiasaan lama orang-orangnya tidak bisa begitu saja
berubah.
Saya sendiri sering berdebat dengan petugas kebersihan toilet di Graha
Pena Jawa Pos Surabaya mengenai pertanyaan ini: sudah bersihkah toilet ini? Saya
menilai belum. Tapi, petugas menilai “sudah amat bersih”. Saya bisa memahami itu
karena toilet ini mungkin sudah lebih bersih daripada kamar tidur di rumahnya
sekalipun.
Saya tidak bisa marah karena tahu berapa gajinya dan bagaimana latar
belakang ekonominya. Biasanya, saya hanya memberikan contoh dengan cara
mengelap sendiri bagian-bagian yang kurang bersih itu di depan dia. Lama-lama
standar kebersihannya berubah. Tapi, memang perlu waktu dan kesabaran.
Kalau toh mau belajar ke Tiongkok adalah mengenai keseriusan riset dan
semangat untuk majunya. Karena mereka sangat unggul di situ, saya yakin tidak
lama lagi rumah sakit di Tiongkok akan mencapai tahap seperti Singapura, lebih
cepat daripada waktu yang kita perlukan.
Kecepatan itu akan fantastis kalau saja Tiongkok mengizinkan berdirinya
rumah sakit swasta. Sampai sekarang, semua rumah sakit masih milik pemerintah.
Rumah sakit juga menjadi sentral semua urusan kesehatan karena tidak boleh ada
dokter praktik di sana. Semua dokter fokus bekerja di rumah sakit.
***

  161  
Berapakah biaya yang saya keluarkan untuk mereparasi organ-organ saya
itu? Kalau di penutup tulisan ini saya memberikan isyarat jumlahnya, itu sudah
meliputi semua pengeluaran. Biaya operasinya sendiri tidak besar untuk ukuran
saya. Mungkin seharga rumah tipe 100 di lokasi yang sedang.
Seandainya saya hanya punya rumah seperti itu pun, saya akan jual kalau
harus melakukan transplantasi ini. Itu juga yang dilakukan bapak saya ketika ibu
sakit: Menjual apa pun, termasuk alat- alat tukang kayunya, dan satu-satunya.
Kalau waktu itu tidak menjual rumah, itu karena tidak akan ada orang yang mau
membeli rumah lantai tanah di pelosok desa.
Dari seluruh pengeluaran, yang terbanyak adalah untuk pendukungnya.
Misalnya, transportasi lokal, akomodasi, dan konsumsi saya sekeluarga, wira-wiri
saya sekeluarga dari Indonesia ke Tiongkok, dan sebagainya. Biaya itu juga sudah
termasuk pengobatan sejak terjadinya muntah darah pada 2005.
Jadi, biaya terbesar sebenarnya bisa ditekan sesuai dengan kemampuan.
Misalnya, membatasi keluarga yang harus wira-wiri. Di Tiongkok juga jangan
tinggal di hotel, tapi cari apartemen murah saja. Itu pun sewa saja. Misalnya, sewa
enam bulan (tidak bisa sewa kurang dari enam bulan).
Transportasi yang bagaimana juga memengaruhi besarnya biaya. Naik
kendaraan umum? Taksi? Beli mobil sendiri? (Kebetulan saya beli mobil kelas
Toyota Corolla dan itu berarti juga harus punya sopir). Makan dengan masak
sendiri atau setiap makan ke restoran? Dan banyak lagi. Satu orang dan yang lain
tidak akan sama. Kalau semua biaya itu ditotal, untuk kasus saya ini, biaya
operasinya sendiri tidak sampai 20 persennya.
***
Semua itu tidak ada artinya dibanding nilai kesehatan yang saya peroleh.
Tapi, juga sekaligus menyadarkan betapa mahalnya sehat itu. Imunisasi yang sekali
suntik Rp 70.000 memang mahal. Tapi, apa artinya dibanding yang harus saya
keluarkan ini?
Saya ingat kata-kata bijak di laboratorium Prodia: Waktu muda mati-matian
bekerja sampai mengorbankan kesehatan untuk memperoleh kekayaan. Waktu tua

  162  
menghabiskan kekayaan itu untuk membeli kembali kesehatannya -dan banyak
yang gagal.
Kebetulan, saya tidak gagal. Dan lagi, saya kerja keras tidak semata-mata
untuk mencari kekayaan. Di dunia ini banyak orang yang kerja keras tanpa
bermaksud kerja keras. Atau sekadar hobi. Mainannya ya kerja keras itu. Seperti
Pak Moh. Barmen, tokoh olahraga di Surabaya. Mainannya ya mengurus sepak bola
itu.
Juga banyak sekali orang kerja keras yang karena didorong niat mulia dan
kekayaan hanya datang membuntutinya.
***
Kini saya tidak hanya hidup baru dengan liver baru, tapi juga dengan tanda
baru di kulit perut saya. Yakni, tanda mirip simbol mobil Mercy (Mercedes Benz),
bekas sayatan dari tiga arah yang menyatu di tengah. Boleh juga dibilang sayatan
dari satu titik di tengah ke tiga arah. Tapi, simbol Mercy di kulit perut saya itu tidak
sempurna. Seperti simbol Mercy yang digambar oleh anak berumur tiga tahun.
Jelek tapi tetap terlihat Mercy-nya. Jelek wujudnya, tetap mahal citranya.
Kini saya punya dua Mercy. Yang satu, yang di rumah, adalah Mercy seri 500
keluaran 2005 yang dibeli dengan harga sekitar Rp 3 miliar. Satunya lagi “Mercy” di
kulit perut saya. Jelek, tidak tahu seri berapa, tapi kira-kira sama harganya.

(TAMAT)

  163  

Anda mungkin juga menyukai