Anda di halaman 1dari 14

BIOGRAFI PAHLAWAN KALIMANTAN TENGAH

1. TJILIK RIWUT

Lahir di Kasongan, Katingan, Kalimantan Tengah, 2 Februari 1918 wafat
17 Agustus 1987 pada umur 69 tahun.Lahir dari Suku Dayak Ngaju Katingan dan
campuran dayak lainnya.
Beliau adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia meninggal setelah
dirawat di Rumah Sakit Suaka Insan, Kota Banjarmasin karena menderita
penyakit lever/hepatitis dalam usia 69 Tahun, dimakamkan di makam Pahlawan
Sanaman Lampang, Palangka Raya Kalimantan Tengah.
Tjilik Riwut yang dengan bangga selalu menyatakan diri sebagai orang
hutan karena lahir dan dibesarkan di belantara Kalimantan, adalah pencinta alam
sejati juga sangat menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Ketika masih belia ia
telah tiga kali mengelilingi pulau Kalimantan hanya dengan berjalan kaki, naik
perahu dan rakit.
Tjilik Riwut adalah salah satu putera Dayak yang menjadi KNIP. Perjalanan
dan perjuangannya kemudian melampau batas-batas kesukuan untuk menjadi
salah satu pejuang bangsa. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun
1998 merupakan wujud penghargaan atas perjuangan di masa kemerdekaan dan
pengabdian membangun Kalimantan (Tengah).
Sebagai tentara, pengalaman perangnya meliputi sebagian besar pulau
Kalimantan dan Jawa. Setelah perang usai, Tjilik Riwut aktif di pemerintahan. Dia
pernah menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, menjadi koordinator masyarakat
suku-suku terasing untuk seluruh pedalaman Kalimantan, dan terakhir sebagi
anggota DPR RI.
























2. Agustin Teras Narang, SH

Banjarmasin, 12 Oktober 1955
Gubernur Kalimantan Tengah 2005-2010
Istri: Moenartining T. Narang, SH
Anak:
- Agnesya Munita Narang (Lahir 22 Juni 1984)
- Bernika Yustiasiana Narang (Lahir 22 Januari 1986)
- Alfina Kathlinia Narang (Lahir 5 Mei 1990)
Ayah:Waldemar August Narang
Ibu:Adile Mangkin
Pendidikan:
- SD Kristen Banjarmasin (1967)
- SMP Bruder Banjarmasin (1967-1970)
- SMAN I Banjarmasin (1970-1973)
- S1 Fakultas Hukum UKI Jakarta (1973-1979)
Agustin Teras Narang ingin membuktikan bahwa membangun bangsa tidak
harus dari Jakarta, tetapi bisa dari daerah, dalam hal ini Palangkaraya. Pria enerjik
dari Dayak Ngaju ini, berangkat dengan sebuah obsesi besar membangun Provinsi
Kalimantan Tengah sebagai panutan bagi good governance (pemerintahan yang
baik). Sang tokoh di dalam dadanya membara semangat nasionalisme sejati.
Teras Narang punya kepribadian yang sangat mandiri dan karakternya seteguh
karang di laut.Kata-kata yang acapkali dipompakan kepada para staf dan
masyarakatnya: Kita bangun bangsa ini dari Kalteng. Di dalam kata-kata ada
semangat untuk berbuat dan terus berbuat yang terbaik.
Bagi Teras Narang, berbuat untuk kesejahteraan rakyat dan kemajuan
bangsa adalah segalanya. Obsesi ini mengenyampingkan hal-hal yang berorientasi
pada kepentingan diri sendiri, keluarga, kelompok dan partai. Tekad itulah yang
menjadi modal baginya untuk membangun Provinsi Kalimantan Tengah yang luas
wilayahnya satu setengah kali P. Jawa, tetapi berpenduduk hanya 1,9 juta jiwa.
Teras tidak bergeming ketika teman-temannya di parlemen mengolok: sudah
enak jadi ketua komisi di DPR, sekarang jadi gubernur di tempat yang susah.
Tetapi olok-olok itu malah mengukuhkan tekadnya untuk mengubah wajah
Kalteng yang kental dengan julukan, the spot of nowhere (tempat yang tak
terjangkau dari mana pun).
Dia juga tertantang ikut kontes pemilihan gubernur (2005), karena Kalteng
satu dari lima provinsi yang pertama kali melaksanakan Pilkada langsung oleh
rakyat. Teras Narang, melepas sepuluh burung di tangan, untuk menangkap
seekor burung di langit. Dia berhasil meraih kursi gubernur setelah melepas kursi
ketua komisi III, DPR.
Kepemimpinan Agustin Teras Narang merupakan titisan dari kakeknya dan
ayahnya, kemudian turun kepada dirinya. Pria berdarah Dayak kelahiran
Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Oktober 1955 ini, membentuk
kepemimpinan dalam dirinya, terbawa pengaruh sang ayah, bahwa untuk menjadi
politisi harus memiliki bekal sekolah hukum. Dalam diri Teras Narang, bakat
memimpin sudah tampak sejak masa anak-anak, sejak duduk di bangku kelas
enam sekolah dasar. Saat itu, dia memimpin tim sepakbola di kampungnya. Teras
Narang menjadi pembalap di saat melanjutkan pendidikan di SMP, kemudian
SMA.
Ayahnya, Waldemar August Narang, seorang pedagang eceran besar,
eksportir dan importir. Dia secara konsisten menempa putera bungsunya untuk
menjadi seorang pengacara atau kerennya, lawyer. Setamat dari Fakultas Hukum
UKI, Jakarta, Waldemar merekrut puteranya menjadi liason officer (pegawai
perantara) untuk perusahaannya dengan Kantor Pengacara, Gani Jemat. Waldemar
selalu memompa Teras Narang dengan merujuk fakta di AS bahwa hampir semua
politisi, baik presiden, anggota Kongres maupun Senat adalah lulusan School of
Law (Sekolah Hukum).
Dorongan ayahnya memberi inspirasi dan ketabahan kepada Teras Narang
untuk bekerja magang di sejumlah kantor pengacara, termasuk kantor pengacara
Koesnandar, RO Tambunan, dan Albert Hasibuan. Setelah bekerja magang lebih
dari 10 tahun, Teras Narang mendirikan kantor pengacara sendiri tahun 1989.
Hanya setahun kemudian, Teras Narang direkrut oleh PDIP. Di dalam Pemilu
yang dipercepat tahun 1999 itu, PDIP tampil sebagai pemenang. Teras Narang
mewakili daerah pemilihan Kalteng untuk dua periode: 1999-2004 dan 2004-
2009. Sebelum memegang pimpinan Komisi II, kemudian Komisi III, Teras
Narang pernah duduk di Komisi Anggaran. Tetapi di situ dia tidak lama, karena
tidak tahan dengan segala permainan untuk menggolkan, mempercepat dan
memperbesar anggaran. Dia meninggalkan komisi yang jadi rebutan anggota
Dewan itu, tanpa merasa kehilangan.
Namun Teras Narang tidak ingin berlama-lama di DPR. Dia melihat Pilkada
langsung untuk pemilihan gubernur Kalteng sebagai momentum untuk berbuat
yang terbaik bagi bangsa dari daerah. Momentum itu muncul tahun 2005, dia
menang untuk memimpin Kalteng sampai tahun 2010. Teras Narang
memenangkan dukungan yang sangat meyakinkan dari masyarakat pemilih
Kalteng. Legitimasi inilah yang dia pegang untuk memacu pembangunan:
prasarana, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di Kalteng.
Menurut Teras, rakyat tidak melihat pemimpinnya dari suku, agama atau
kelompok. Bagi mereka yang terpenting kebutuhannya terpenuhi, yaitu untuk
kemakmuran dan kesejahteraan. Mereka melihat pemimpin yang punya
komitmen, tak peduli dari suku apa pun atau agama apa pun. Semangat,
nasionalisme inilah yang diteladani Teras Narang dari Bung Karno (Presiden
Soekarno).
Teras Narang masih ingat beberapa potong kalimat yang dipidatokan Bung
Karno ketika mencetuskan Pancasila, sebagai dasar negara yang akan merdeka.
Di sini ada si Ucup, ada Pak Maramis. Kita punya tekad satu untuk membangun
bangsa, untuk membangun negara. Sebagai pengagum Bung Karno, Teras
menginginkan Indonesia menjadi tamansari. Artinya, ada warna macam-macam,
sebuah tamansari untuk mencapai keindahan.
Teras Narang melihat bangsa ini sedang menuju sebuah tamansari yang
dicita-citakan Bung Karno. Persoalannya tergantung pada kemampuan para
pemimpin untuk melihat dan membawa negara ini, jauh lebih baik ke depan. Kita
tidak bisa membohongi itu, kata Teras dalam wawancara dengan wartawan
Tokoh Indonesia, Christian Robin Simanullang dan Haposan Tampubolon,
berlangsung di Palangkaraya. Kata Teras lebih lanjut: Itu bukan kehendak Teras,
tetapi kehendak rakyat, karena ke depan mereka menghendaki perbaikan.
















3. KH Hasan Basri












Mantan Ketua Umum MUI.
Dia mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ulama kelahiran
Muara Teweh, Kalimantan Tengah, pada 20 Agustus 1920.Berasal dari Suku
Dayak Ngaju Bakumpai / Uluh Bakumpai. Beliau adalah penggagas bank syariah
di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Sejak kecil, Hasan Basri sudah gemar belajar membaca Alquran, serta
mempraktekkan ajaran dan ibadah Islam. Kendati ayahnya, Muhammad Darun,
sudah meninggal dunia saat Hasan Basri berusia tiga tahun. Sang ibu, Siti Fatmah
membesarkannya bersama dua saudaranya. Dia putra kedua dari tiga bersaudara.
Sang Ibu mendorongnya untuk rajin belajar. Pagi hingga siang, Hasan kecil
belajar di Sekolah Rakyat. Sore belajar di sekolah Diniyah Awaliyah Islamiyah
(DAI). Di sekolah DAI, dia belajar membaca Alquran, menulis dan membaca
tulisan Arab, serta mempraktekkan ajaran dan ibadah Islam.
Dia murid cerdas, selalu menjadi yang terbaik. Sehingga dia sangat
disayang oleh gurunya yang memiliki nama sama dengan kakeknya, Haji
Abdullah. Maka, tatkala dia duduk di kelas tiga, gurunya mempercayainya
mengajar di kelas satu dan dua.
Ia pun aktif dalam partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia)
yang diikrarkan sebagai satu-satunya partai politik Islam, kala itu. Hasan Basri
dan keluarga hijrah ke Jakarta, saat Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
terbentuk, dan dia terpilih menjadi anggota DPR mewakili provinsi Kalimantan
Selatan.
Aktif dalam forum kerukunan / paguyuban keluarga Bakumpai dan
Kalimantan Tengah di Jakarata. Diakui sebagai tokoh asal daerah Kalimantan
Tengah dan Selatan Prof. Kenna Mohammad Aini Matseman Usop / KMA USOP,
MA Belawang-Kapuas, 5 Juli 1936 Rektor UNPAR 1981-1988 Tokoh Dayak
Ngaju berasal dari Belawang, Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. Anggota
DPD RI mewakili Propinsi Kalimantan Tengah. Pernah Tujuh tahun memimpin
Universitas terbesar di kalimantan Tengah Universitas Palangkaraya.
Sang Profesor ini mempunyai pandangan sekaligus merupakan visi :
Tentang lembaga Dewan Perwakilan daerah yang ia duduki sekarang ini, adalah
dalam rangka mengembangkan lembaga DPD RI sehingga berkemampuan
menjalankan fungsi kenegaraan sebagai dewan kepenasehatan/pertimbangan yang
sebenar-benarnya sesuai dengan tradisi masyarakat kita dan sejalan dengan
perkembangan organisasi modern Anggota-anggota DPD haruslah menguasai
filosofi/ideology Pancasila ditambah dengan keutuhan/integritas pribadi yang
diperkaya oleh iman, moral dan ilmu/pengalamannya, sehingga bersama-sama
memberikan kebijaksanaan kepada kehidupan bangsa dan negara. Keseimbangan
antara tiga lembaga perwakilan (tidak ada yang lebih kuat daripada yang lain):
DPD, DPR dan MPR (sebagai lembaga gabungan) merupakan sesuatu yang ideal
sejalan dengan Pancasila.







4. Panglima Batur

Panglima Batur kelahiran tahun 1852 silam di desa Buntok Baru Kecamatan
Teweh Tengah,Barito Utara meninggal di usia 53 atau pada tanggal 5 Oktober
1905 dan dimakamkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dalam buku itu
diceritakan sejarah tentang terbunuhnya Panglima Batur dengan cara diduga
digantung oleh Belanda tahun 1905 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Seorang
tentara Belanda yang menghukum gantung pejuang rakyat pedalaman Barito ini
juga merupakan pelaku yang mengeksekusi pejuang rakyat Aceh yang juga
pahlawan Nasional bernama Teuku Umar. Pejuang di Daerah Aliran Sungai
Barito itu merupakan tangan kanan Sultan Muhammad Seman (anak Pangeran
Antasari) ini bersama pasukannya hanya dilengkapi alat sederhana melawan
Belanda yang menggunakan persenjataan lengkap.
Kawasan yang menjadi tempat pertempuran itu berada di sekitar Desa
Buntok Baru, Butong, Lete, Mantehep (dekat Muara Teweh) bahkan sampai ke
wilayah Manawing dan Beras Kuning wilayah hulu Barito.
Pejuangan Barito dari rakyat biasa ini ditangkap Belanda di Muara Teweh pada 24
Agustus 1905 dan dibawa ke Banjarmasin kemudian dihukum gantung dengan
tuduhan makar, namun saat mau dieksekusi ditiang gantung salah satu alatnya
tidak berfungsi dan saat itu rencana hukum gantung ditunda.
Setelah tertunda sepekan, pejuang yang dicari-cari Belanda dengan hadiah 1.000
gulden apabila tertangkap itu kembali akan dihukum gantung, namun saat itu
Belanda terkejut karena Panglima Batur sudah meninggal dunia.
Jasad pejuang itu tetap dibawa ke tiang gantungan untuk diperlihatkan kepada
masyarakat bahwa Panglima Batur benar-benar dihukum gantung dan jenazahnya
dikubur di Kuin Banjarmasin, selanjutnya pada tanggal 21 April 1958 makamnya
dipindahkan ke Komplek Makam Pahlawan Perang Banjar, Banjarmasin.





















5. Tumenggung Surapati

Tumenggung Surapati (Belanda:Tomongong Suro-patty) atau Kiai Dipati Jaya
Raja, kemudian bergelar Pangeran Dipati (lahir : Kalimantan Tengah, wafat :
1875, Kalimantan Tengah) adalah hoofd (kepala daerah) Dusun Atas, Murung dan
Siang (dalam susunan pemerintahan Hindia Belanda tahun 1845). Ia merupakan
kepala suku Dayak yang memihak kepada Pangeran Antasari. Ia menjadi
panglima perang dalam Perang Barito yang merupakan bagian dari Perang Banjar.
Perang Banjar berlangsung dalam tiga wilayah yaitu Martapura dan sekitarnya,
wilayah Banua Lima (Hulu Sungai) dan wilayah sepanjang sungai Barito (Tanah
Dusun). Tumenggung Surapati setia kepada kepemimpinan Pangeran Antasari
selaku pemimpin tertinggi di Kesultanan Banjar pasca ditangkapnya Pangeran
Hidayatullah yang kemudian diasingkan ke Cianjur. Tumenggung Surapati anak
dari Ngabe Lada bin Ngabe Tuha. Ngabe Tuha merupakan wakil Sultan Banjar di
kalangan suku Bakumpai. Ngabe (ngabehi) adalah salah satu gelar pejabat kepala
wilayah di kesultanan Banjar. Ngabe Tuha mungkin salah seorang anak dari Patih
Darta Suta. Menurut suatu riwayat Patih Darta Suta memiliki lima orang anak
yaitu Ngabe Tuha, Ngabe Tumpang, Ngabe Basirun, Ngabe Basunga, dan seorang
anak perempuan bernama Jimah. Setelah wafatnya Tumenggung Surapati karena
sakit, perjuangannya diteruskan oleh anaknya yaitu Tumenggung Jidan. Seorang
cucu perempuan dari Pangeran Antasari menikah dengan Tumenggung Jidan,
karena pernikahan tersebut Tumenggung Jidan dianugerahkan gelar bangsawan
Raden Dipati Mangku Negara. Setelah Pangeran Antasari meninggal, perjuangan
dilanjutkan dengan pimpinan Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari
dibantu Anak-anak Tumenggung Surapati dan pimpinan lainnya. Mereka
membangun sebuah Pagustian atau pemerintahan terdiri dari gusti-gusti
(bangsawan Banjar) yang terletak di Gunung Bondang, sebelah udik sungai
Lawung, Puruk Cahu. Pagustian ini dibantu oleh Gusti Mat Said, Raden Mas
Natawijaya, Muhammad Nasir dan lainnya. Dua tahun berturut-turut yaitu tahun
1864 dan 1865 Tumenggung Surapati menyerang benteng Belanda di Muara
Teweh sehingga seluruh isi benteng itu musnah. Begitu pula Benteng Belanda di
Muara Montalat dihancurkan oleh suatu serangan Tumenggung Surapati. Untuk
menghadapi serangan Tumenggung Surapati ini Belanda bersama orang Dayak
Sihong (suku Maanyan) yang selama ini membantu Belanda di bawah pimpinan
kepala sukunya Suta Ono dan di sisi ([suku dayak ngaju]) kepala sukunya adalah
Temanggung Nikodemus Ambo Jaya Negara (kepala distrik Kwala Kapoeas)
membantu Belanda memadamkan perlawanan temanggung surapati. Karena jasa-
jasanya terhadap Belanda Suta Ono diberi pangkat Overste (Letnan Kolonel) dan
diberi penghormatan bintang Singa Belanda adalah pengahargaan tertinggi atas
keberanian. Dayak Sihong ini terkenal pemberani, dan tetap memiliki ketetapan
hati kepada agama leluhur yang dianutnya yaitu Kaharingan. Tumenggung
Surapati dalam perlawanannya selalu berpindah-pindah dan selama bertahun-
tahun dia bertempur melawan Belanda di sepanjang Sungai Barito. Kadang-
kadang dia muncul di hilir Barito di sekitar Distrik Bakumpai, tetapi sebentar lagi
ada di hulu Barito di sekitar Manawing, sehingga sangat membingungkan pihak
Belanda. Berbagai muslihat dilakukan pihak Belanda untuk menangkap
Tumenggung Surapati hidup atau mati, tetapi selalu gagal. Pertempuran dan
perjuangan yang bertahun-tahun melawan Belanda melemahkan fisiknya yang
memang sudah tua dan akhirnya jatuh sakit, meskipun semangat juangnya tidak
pernah mundur. Setelah menderita sakit yang agak lama pada tahun 1875
Tumenggung Surapati meninggal dunia sebagai pahlawan, meninggal karena
sakit. Tumenggung Ajidan putera Tumenggung Surapati meneruskan perjuangan
ayahnya bersama-sama Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari. Kalau
keluarga Sultan Muhammad Seman yang tertangkap dibuang ke Bogor (Jawa
Barat) maka keluarga Tumenggung Surapati yang tertangkap dibuang ke
Bengkulu, Sumatera.

Anda mungkin juga menyukai