Anda di halaman 1dari 5

Kajian Awal Proses Polimerisasi Gliseril Pada Produksi Poligliserol dari Hasil

Samping Industri Biodiesel


Abstrak
KAJIAN AWAL PROSES POLIMERASI GLISEROL PADA PRODUKSI
POLIGLISEROL DARI HASIL SAMPING INDUSTRI BIODESEL Oleh : Illah Sailah,
Farah Fahma RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses
polimerisasi poligliserol yang bahan bakunya dari gliserol yang merupakan basil samping
proses pembuatan biodiesel. Dalam rangka menjawab tujuan tersebut diatas, maka perlu
mengetahui pengaruh suhu, lama reaksi, dan katalis yang digunakan terhadap reaksi serta
karakter gliserol dan poligliserol dari berbagai perlakuan yang dilakukan. Dari proses ini
akan didapatkan nilai tambah dari gliserol hasil samping pembuatan biodiesel. Proses
yang terjadi pada penelitian ini adalah pemurnian gliserol dan proses polimerisasi.
Pemurnian gliserol dilakukan dengan menambahkan H3P04 sambil diaduk sampai pH
netral dan didiamkan beberapa saat sampai terbentuk asam lemak dan garam. Kemudian,
asam lemak dan garam dipisahkan dari gliserol. Lapisan asam lemak berada diatas
lapisan gliserol sehingga asam lemak dapat diambil kembali. Selanjutnya ditambahkan
karbon aktif dan dilakukan evaporasi yang diteruskan dengan pemisahan karbon aktif.
Proses polimerisasi dilakukan dengan cara pemanasan gliserol sambil terus dilakukan
pengadukan dan pengaliran gas nitrogen. Gas nitrogen ini untuk mengeluarkan oksigen
yang ada dalam labu reaksi sehingga tidak terjadi oksidasi. Pemanasan gliserol hasil dari
penelitian pendahuhuan dan gliserol komersial sebagai pembanding dengan pengadukan
pada 200, 225, 245 dan 265 0C selama 6, 8, dan 10 jam. Bersamaan dengan pemanasan
ditambahkan katalis NaOH dan KOH 1%. Setelah proses pemanasan, dilakukan
netralisasi dan kondensasi, yang selanjutnya dilanjutkan dengan proses destilasi. Produk
yang dihasilkan kemudian dianalisa sifat fisik meliputi bobot jenis, viskositas, titik didih,
warna dan gugus fimgsionalnya. Gliserol yang digunakan merupakan hasil samping dari
proses pembuatan biodiesel yang telah dimurnikan. Minyak yang digunakan dalam
pembuatan biodiesel adalah RBDO (refine, bleach, deodorize oil). Analisis bahan baku
berupa gliserol produk samping industri biodisel dilakukan untuk mengetahui kondisi
awal, yang meliputi bobot jenis, viskositas, titik didih, dengan gliserol murni yaitu warna,
dan pengujian dengan GC (gas cromatografy). Analisis mil perlu dilakukan untuk
mengetahui kondisi awal bahan sebelum proses polimerisasi. Kondisi gliserol hasil
pemurnian memliki warna gelap, bobot jenis ( 25C) 1,2077 g/ml, viskositas 1560 cP,
titik didih 182 C, rate time GC 14,225. Sedangkan gliserol komersial warna jernih,
bobot jenis ( 25C) 1,2189 g/ml, viskositas 1000 cP, titik didih 248 C, rate time GC
14,229. Dan perbandingan ini ketahui bahwa gliserol hasil pemurnian secara kualitas
sudah baik, terutama dari hasil GC yang hampir sama berarti struktur kimianya juga
demikian. Polimerisasi dilakukan dengan pemanasan sambil terus diduk dan diairi gas
nitrogen. Pada reaksi ini dilakukan perlakuan terhadap suhu, waktu, dan katalis.
Selanjutnya dilakukan pngamatan dan pengujian terhadap poligliserol yang meliputi
warna, gas kromatografi, berat jenis, titik didih, viskositas, dan FTIR. Polimerisasi
berpengaruh terhadap perubahan warna poliglserol yang terbentuk, faktor yang

mempengaruhi adalah suhu dan waktu. Perlakuan pada suhu 200C dan 225C warna
tidak banyak mengalami perubahan pada lama reaksi 6, 8, dan 10 jam baik dengan katalis
KOH atau NaOH. Untuk suhu 245C semakin lama waktu reaksi warna poligliseol
semakin gelap, sedangkan pada 10 jam sampai 14 jam sudah hitam. Pengamatan warna
dapat digunakan sebagai seleksi awal untuk dilakukan perlakuan selanjutnya. Semakin
hitam warna maka semakin tinggi viskositas hingga sulit untuk diukur, hal ini jugs terjadi
untuk uji lain yang akan dilakukan. Pengujian dengan gas kromatografi untuk mengetahui
proses polimerisasi yang telah terjadi. Karena langsung dapat membandingkan dengan
standar poligliserol atau poligliserol yang sudah ada. Ratention time dari grafik GC,
poligliserol basil polimerisasi sama dengan poligliserol yang dipakai sebagai pembanding
walaupun tinggi peaknya tidak sama. Hal ini membuktikan bahwa proses polimerisasi
sudah terjadi. Uji titik didih dilakukan untuk uji poligliserol karena titik didih dapat
dipengaruhi oleh berat molekul penyusun suatu zat. Semakin berat molekul zat maka
semakin tinggi titik didihnya. Sehingga bila diketahui titik didih poligliserol yang
terbentuk lebih tinggi daripada gliserol maka bobot molekulnya juga lebih tinggi. Proses
polimerisasi menyebabkan bobot molekul meningkat. Proses polimerisasi pada suhu
200C dan 225C mengalami kenaikan titik didih pada lama reaksi 6 jam dan 8 jam.
Bobot jenis dapat digunakan untuk mengetahui suatu polimer. Bobot jenis polimer
ditentukan oleh komponen-komponen yang ada dalam polimer tersebut. Semakin banyak
komponen yang ada dalam polimer maka fraksi berat semakin tinggi, sehingga bobot
jenis polimer tersebut semakin besar. Dengan semakin meningkatnya suhu dan lama
reaksi bobot jenis juga semakin meningkat. Polimerisasi pada umumnya terjadi
peningkatan viskositas, sehingga bila terbentuk polimer dari suatu monomer akan
menghasilkan viskositas lebih tinggi. Viskositas larutan polimer dapat digunakan untuk
memperkirakan massa molekul polimer. Polimer tersusun atas perulangan monomer
menggunakan ikatan kimia tertentu. Ukuran polimer, dinyatakan dalam massa (massa
rata-rata ukuran molekul dan jumlah rata-rata ukuran molekul) dan tingkat polimerisasi,
sangat mempengaruhi sifatnya, seperti suhu cair dan viskositasnya terhadap ukuran
molekul (misal Seri hidrokarbon). Viskositas berbanding lurus dengan berat molekul
polimer, sehingga semakin tinggi nilai viskositas maka makin besar berat molekul
polimer tersebut. Hasil pengujian secara kualitatif yaitu menggunakan FTIR untuk
mengetahui gugus yang ada pada polimer tersebut. Sinar inframerah yang dikenakan pada
suatu sampel akan diserap dengan tingkatan yang berbeda. Sehingga dengan perbedaan
penyerapan ini akan dapat diketahui jenis macam ikatan yang ada pada sampel. Dengan
ini dapat diketahui struktur kimia dan bentuk ikatan molekul serta gugus fungsional
tertentu sampel uji menjadi dasar bentuk spektrum yang akan didapat dari hasil analisa.
Dari grafik hasil FTIR diketahui bahwa gugus fungsional yang terdapat pada poligliserol
dengan pemanasan 200 dan 225 C yaitu O-H (kisaran panjang gelombang 2700-3200),
C-0 (kisaran panjang gelombang (1100-1200), pada pemanasan 245oC masih terdapat
gugus C-H. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa polimerisasi dari gliserol hasil
samping produksi biodiesel dapat dilakukan dengan dimulainya pemurnian gliserol
sampai kepada pemanasan. Suhu yang dianjurkan yaitu antara 200 - 225 C. Pada suhu
ini diyakini bahwa polimerisasi telah terbentuk yang dibuktikan dengan hasil analisis
FTIR. Namun karakteristiknya belum sesuai dengan yang diharapkan. Untuk ini
disarankan agar polimerisasi lebih optimal maka kondisi pemanasan harus dilakukan
secara vakum.

Keywords
gliserol, Biodesel, FTIR
Lokasi Penelitian
Lab. Teknik Kimia, DEPT. TIN IPB
Bidang Ilmu
Teknologi Pertanian
Tahun Penulisan
2007
Pelaksana Penelitian
Teknologi Industri Pertanian - FATETA
Sumberdana
DIKTI
Jenis Penelitian
PD
No. Panggil
PD/015.07/SAI/k
Peneliti Utama
Illah Sailah

This presentation is part of: AGFD/GREEN (AOCS): Biodiesel


Purification of Biodiesel with Magnesium Silicate Adsorbent Treatment
Brian S. Cooke, Specialty Products Group, The Dallas Group of America, Jeffersonville,
IN
Biodiesel is an alternative diesel fuel source to standard petrochemical diesel fuel. It is
derived from triacylglycerides (from both vegetable and animal fat sources). The fuel can
be made using crude oils as well as used oils. The process involves reacting the
triglycerides with an alcohol (usually methanol, but sometimes ethanol or other alcohols)

in the presence of a catalyst to produce biodiesel, or fatty acid esters (usually methyl
esters). The reaction also produces glycerine, which must be separated from the biodiesel.
After the separation process, the biodiesel contains several contaminant materials that are
detrimental to the quality of the fuel and thus must be eliminated from the product. The
elimination of the water-soluble portion of these materials is usually accomplished by
water washing the biodiesel. However, with this method, the water insoluble impurities
remain in the biodiesel. Additionally, there are environmental concerns regarding the
effluent water.
It has been shown, both in the laboratory and in Pilot Plant trials at Iowa State University,
that the water-washing step can be replaced by adsorbent treatment with synthetic
magnesium silicate. The resulting biodiesel fuel is of higher quality than the traditional
water washing because both the water-soluble and water insoluble contaminants are
removed. The magnesium silicate adsorbs contaminants, e.g., soaps, free glycerine, free
fatty acids, di-glycerides, monoglycerides, color, phosphorus and sulfur from the methyl
esters.
If a water-washing step is used, followed by an adsorbent treatment with magnesium
silicate, the resulting biodiesel is similar in quality to that produced with adsorbent
treatment alone.
To determine the correct amount of acid to add to the byproduct, you need to do an acid
titration of the byproduct, to determine the amount of acid to neutralise the residual
caustic and turn the soaps into FFAs.
Using a 0.1% H3PO4 solution and Bromophenol Blue indicator, titrate a 1mL sample of
byproduct in 50 ml water. When the indicator changes colour, you know the amount of
acid needed to neutralise the byproduct. eg, if you used 5mL of the acid titration solution,
then you need 5mL of the (full strength) acid per litre of byproduct, for the neutralisation.
If the FFA solidifies, then you may need to do this at a higher temperature.

Separating the glycerine


What sinks to the bottom of the biodiesel processor during the settling stage is a mixture
of glycerine, methanol, soaps and the lye catalyst. Most of the excess methanol and most
of the catalyst remains in this layer. Once separated from the biodiesel, adding
phosphoric acid to the glycerine layer precipitates the catalyst out and also converts the
soaps back to free fatty acids (FFAs), which float on top. You're left with a light-colored
precipitate on the bottom, glycerine/methanol/water in the middle, and FFA on top. The
glycerine will be approx. 95% pure, a much more attractive product to sell to refiners.
Here's how to do it: Separating glycerine/FFAs
A commonly asked question: How much glycerine do you get? A better question would
be: How much of the "glycerine layer" is actually glycerine? The rule of thumb is 79
milliliters of glycerine per liter of oil used -- 7.9%. In fact there's usually more soap -- the
"glycerine" layer is more of a "soap" layer than anything else. Unless you use Aleks Kac's

"Foolproof" acid-base two-stage process, that is -- see this photograph and the caption
for an idea of how much less soap you'll make.

Purifying glycerine
Biodiesel can be made with ethanol (which you can make yourself), instead of methanol
(which is toxic, fossil-fuel derived, and you can't make it
yourself). Here's a recipe: Optimization of a Batch Type
Ethyl Ester Process. But the ethanol has to be anhydrous -free of water -- which can't be achieved by distillation. One
way to dry it is to use the by-product of making biodiesel -glycerine. Here's how:
Absolute Alcohol Using Glycerine -- Mariller-Granger
Processes, from E. Boullanger: Distillerie Agricole et
Industrielle (Paris: Ballire, 1924). Mariller's absolute alcohol
production process by dehydration using glycerine, various
systems examined and explained. Translation from the French
by F. Marc de Piolenc.

Three 1-litre milk-carton


glycerine-sawdust "logs"
are enough to heat our
bath.

But -- the glycerine has to be 99%+ pure. Purifying it is no


simple matter -- it's difficult to distill it because glycerine has a
very high boiling point (290 deg C). Solvent purification
distillers will purify the glycerine, but they are expensive.

Burning glycerine
The glycerine by-product burns well, but unless it's properly
combusted at high temperatures it will release toxic acrolein
fumes, which mainly form at between 200 and 300 deg C (392572 deg F).

Filling a milk carton with


wood shavings...

We've used it to heat a wood-fired bath (see next, Sawdust


"logs") and to pre-heat the vegetable oil for biodiesel
processing (below, Burners).

... adding the by-product,


then tamp it down hard with
a piece of 2x2 -- the soiled
newspaper makes a good
fire-starter.

Anda mungkin juga menyukai