mempengaruhi adalah suhu dan waktu. Perlakuan pada suhu 200C dan 225C warna
tidak banyak mengalami perubahan pada lama reaksi 6, 8, dan 10 jam baik dengan katalis
KOH atau NaOH. Untuk suhu 245C semakin lama waktu reaksi warna poligliseol
semakin gelap, sedangkan pada 10 jam sampai 14 jam sudah hitam. Pengamatan warna
dapat digunakan sebagai seleksi awal untuk dilakukan perlakuan selanjutnya. Semakin
hitam warna maka semakin tinggi viskositas hingga sulit untuk diukur, hal ini jugs terjadi
untuk uji lain yang akan dilakukan. Pengujian dengan gas kromatografi untuk mengetahui
proses polimerisasi yang telah terjadi. Karena langsung dapat membandingkan dengan
standar poligliserol atau poligliserol yang sudah ada. Ratention time dari grafik GC,
poligliserol basil polimerisasi sama dengan poligliserol yang dipakai sebagai pembanding
walaupun tinggi peaknya tidak sama. Hal ini membuktikan bahwa proses polimerisasi
sudah terjadi. Uji titik didih dilakukan untuk uji poligliserol karena titik didih dapat
dipengaruhi oleh berat molekul penyusun suatu zat. Semakin berat molekul zat maka
semakin tinggi titik didihnya. Sehingga bila diketahui titik didih poligliserol yang
terbentuk lebih tinggi daripada gliserol maka bobot molekulnya juga lebih tinggi. Proses
polimerisasi menyebabkan bobot molekul meningkat. Proses polimerisasi pada suhu
200C dan 225C mengalami kenaikan titik didih pada lama reaksi 6 jam dan 8 jam.
Bobot jenis dapat digunakan untuk mengetahui suatu polimer. Bobot jenis polimer
ditentukan oleh komponen-komponen yang ada dalam polimer tersebut. Semakin banyak
komponen yang ada dalam polimer maka fraksi berat semakin tinggi, sehingga bobot
jenis polimer tersebut semakin besar. Dengan semakin meningkatnya suhu dan lama
reaksi bobot jenis juga semakin meningkat. Polimerisasi pada umumnya terjadi
peningkatan viskositas, sehingga bila terbentuk polimer dari suatu monomer akan
menghasilkan viskositas lebih tinggi. Viskositas larutan polimer dapat digunakan untuk
memperkirakan massa molekul polimer. Polimer tersusun atas perulangan monomer
menggunakan ikatan kimia tertentu. Ukuran polimer, dinyatakan dalam massa (massa
rata-rata ukuran molekul dan jumlah rata-rata ukuran molekul) dan tingkat polimerisasi,
sangat mempengaruhi sifatnya, seperti suhu cair dan viskositasnya terhadap ukuran
molekul (misal Seri hidrokarbon). Viskositas berbanding lurus dengan berat molekul
polimer, sehingga semakin tinggi nilai viskositas maka makin besar berat molekul
polimer tersebut. Hasil pengujian secara kualitatif yaitu menggunakan FTIR untuk
mengetahui gugus yang ada pada polimer tersebut. Sinar inframerah yang dikenakan pada
suatu sampel akan diserap dengan tingkatan yang berbeda. Sehingga dengan perbedaan
penyerapan ini akan dapat diketahui jenis macam ikatan yang ada pada sampel. Dengan
ini dapat diketahui struktur kimia dan bentuk ikatan molekul serta gugus fungsional
tertentu sampel uji menjadi dasar bentuk spektrum yang akan didapat dari hasil analisa.
Dari grafik hasil FTIR diketahui bahwa gugus fungsional yang terdapat pada poligliserol
dengan pemanasan 200 dan 225 C yaitu O-H (kisaran panjang gelombang 2700-3200),
C-0 (kisaran panjang gelombang (1100-1200), pada pemanasan 245oC masih terdapat
gugus C-H. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa polimerisasi dari gliserol hasil
samping produksi biodiesel dapat dilakukan dengan dimulainya pemurnian gliserol
sampai kepada pemanasan. Suhu yang dianjurkan yaitu antara 200 - 225 C. Pada suhu
ini diyakini bahwa polimerisasi telah terbentuk yang dibuktikan dengan hasil analisis
FTIR. Namun karakteristiknya belum sesuai dengan yang diharapkan. Untuk ini
disarankan agar polimerisasi lebih optimal maka kondisi pemanasan harus dilakukan
secara vakum.
Keywords
gliserol, Biodesel, FTIR
Lokasi Penelitian
Lab. Teknik Kimia, DEPT. TIN IPB
Bidang Ilmu
Teknologi Pertanian
Tahun Penulisan
2007
Pelaksana Penelitian
Teknologi Industri Pertanian - FATETA
Sumberdana
DIKTI
Jenis Penelitian
PD
No. Panggil
PD/015.07/SAI/k
Peneliti Utama
Illah Sailah
in the presence of a catalyst to produce biodiesel, or fatty acid esters (usually methyl
esters). The reaction also produces glycerine, which must be separated from the biodiesel.
After the separation process, the biodiesel contains several contaminant materials that are
detrimental to the quality of the fuel and thus must be eliminated from the product. The
elimination of the water-soluble portion of these materials is usually accomplished by
water washing the biodiesel. However, with this method, the water insoluble impurities
remain in the biodiesel. Additionally, there are environmental concerns regarding the
effluent water.
It has been shown, both in the laboratory and in Pilot Plant trials at Iowa State University,
that the water-washing step can be replaced by adsorbent treatment with synthetic
magnesium silicate. The resulting biodiesel fuel is of higher quality than the traditional
water washing because both the water-soluble and water insoluble contaminants are
removed. The magnesium silicate adsorbs contaminants, e.g., soaps, free glycerine, free
fatty acids, di-glycerides, monoglycerides, color, phosphorus and sulfur from the methyl
esters.
If a water-washing step is used, followed by an adsorbent treatment with magnesium
silicate, the resulting biodiesel is similar in quality to that produced with adsorbent
treatment alone.
To determine the correct amount of acid to add to the byproduct, you need to do an acid
titration of the byproduct, to determine the amount of acid to neutralise the residual
caustic and turn the soaps into FFAs.
Using a 0.1% H3PO4 solution and Bromophenol Blue indicator, titrate a 1mL sample of
byproduct in 50 ml water. When the indicator changes colour, you know the amount of
acid needed to neutralise the byproduct. eg, if you used 5mL of the acid titration solution,
then you need 5mL of the (full strength) acid per litre of byproduct, for the neutralisation.
If the FFA solidifies, then you may need to do this at a higher temperature.
"Foolproof" acid-base two-stage process, that is -- see this photograph and the caption
for an idea of how much less soap you'll make.
Purifying glycerine
Biodiesel can be made with ethanol (which you can make yourself), instead of methanol
(which is toxic, fossil-fuel derived, and you can't make it
yourself). Here's a recipe: Optimization of a Batch Type
Ethyl Ester Process. But the ethanol has to be anhydrous -free of water -- which can't be achieved by distillation. One
way to dry it is to use the by-product of making biodiesel -glycerine. Here's how:
Absolute Alcohol Using Glycerine -- Mariller-Granger
Processes, from E. Boullanger: Distillerie Agricole et
Industrielle (Paris: Ballire, 1924). Mariller's absolute alcohol
production process by dehydration using glycerine, various
systems examined and explained. Translation from the French
by F. Marc de Piolenc.
Burning glycerine
The glycerine by-product burns well, but unless it's properly
combusted at high temperatures it will release toxic acrolein
fumes, which mainly form at between 200 and 300 deg C (392572 deg F).