Unud 768 1159125426 Tesis Ngurah Mahendra Dinatha
Unud 768 1159125426 Tesis Ngurah Mahendra Dinatha
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Limbah tekstil yang dihasilkan industri pencelupan sangat berpotensi
mencemari lingkungan. Hal ini disebabkan karena air limbah tekstil tersebut
mengandung bahan-bahan pencemar yang sangat kompleks dan intensitas
warnanya tinggi. Nilai biological oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen
demand (COD) untuk limbah tekstil berkisar antara 80-6.000 mg/L dan 150-
12.000 mg/L (Azbar et al., 2004). Nilai tersebut melebihi ambang batas baku
mutu limbah cair industri tekstil jika ditinjau dari KepMen LH No.
51/MENLH/10/1995. Keberadaan limbah tekstil dalam perairan dapat
mengganggu penetrasi sinar matahari, akibatnya kehidupan organisme dalam
perairan akan terganggu dan sekaligus dapat mengancam kelastarian ekosistem
akuatik.
Teknologi pengolahan limbah tekstil biasanya dilakukan secara kimia dan
fisika. Pengolahan limbah tekstil secara kimia dan fisika cukup efektif untuk
menghilangkan warna, akan tetapi ada beberapa kekurangannya yaitu biaya
mahal, pemakaian bahan kimia yang tidak sedikit dan menimbulkan lumpur yang
banyak. Oleh karena itu perlu dicari teknologi pengolahan limbah yang lebih
ramah lingkungan. Saat ini teknologi pengolahan limbah tekstil yang berkembang
adalah pengolahan limbah secara biologi, yaitu dengan memanfaatkan
mikroorganisme untuk mendegradasi molekul zat warna tekstil yang memiliki
struktur kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana (Manurung dkk, 2004).
1
2
Keunggulan menggunakan mikroorganisme dibandingkan dengan cara kimia dan
fisika adalah murah dan juga ramah lingkungan. Mikroorganisme yang sering
digunakan untuk merombak zat warna tekstil adalah jamur, contohnya adalah
jamur pendegradasi kayu (Zhao, 2004).
Jamur pendegradasi kayu mempunyai kemampuan mendegradasi
komponen-komponen kayu, yaitu lignin dan selulosa. Kelompok jamur
pendegradasi kayu yang dilaporkan mampu mendegradasi lignin adalah jamur
lapuk putih (white-rot fungi) (Paul, 1992). Selain bermanfaat untuk mendegradasi
senyawa lignin, jamur lapuk putih juga bermanfaat untuk mendegradasi zat warna
tekstil (Zhao, 2004). Salah satu jenis jamur lapuk putih adalah jamur
Daedaleopsis eff. confragosa. Sampai saat ini belum ada informasi tentang
kemampuan jamur Daedaleopsis eff. confragosa untuk mendegradasi limbah zat
warna tekstil. Tetapi dari data kualitatif hasil uji pendahuluan, jamur ini terbukti
dapat digunakan dalam proses biodegradasi limbah zat warna tekstil. Berdasarkan
hasil kajian Dayaram dan Dasgupta (2007), diketahui bahwa jamur Polyporus
rubidus merupakan salah satu jenis jamur lapuk putih yang dilaporkan mampu
mengdegradasi limbah tekstil dengan efektif karena enzim laccase yang
dihasilkan oleh jamur tersebut.
Kemampuan jamur lapuk putih dalam mendegradasi limbah tekstil
berkaitan erat dengan enzim lignolitik ekstraseluler yang dihasilkan jamur
tersebut, yaitu enzim lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP) dan
laccase (Hakala, 2007). Enzim lignolitik dapat merombak senyawa aromatik,
polimer sintetik, dan zat warna melalui reaksi redoks, dimana enzim lignolitik
3
akan mengoksidasi secara sempurna senyawa-senyawa karbon menjadi CO
2
dan
H
2
O (Siswanto et al., 2007).
Degradasi limbah tekstil menggunakan jamur lapuk putih dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti pH, konsentrasi jamur, lama inkubasi dan suhu. Pada kondisi
pH optimum, jamur akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan enzim yang
optimal, sehingga proses degradasi limbah akan berlangsung dengan cepat (Ali
dan Muhammad, 2008). Begitu juga penambahan konsentrasi jamur yang sesuai
dapat mempengaruhi kerja jamur dalam proses degradasi limbah tekstil. Lama
inkubasi juga mempengaruhi proses degradasi limbah tekstil karena pengaruh
lama waktu kontak jamur dengan limbah tekstil, sehingga untuk memperoleh
efisiensi degradasi limbah tekstil yang besar oleh jamur Daedaleopsis eff.
confragosa maka perlu ditentukan terlebih dahulu kondisi optimumnya.
Dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan oleh limbah industri,
Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan KepMen LH No.
51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah industri. Perundang-undangan
tersebut mewajibkan setiap usaha atau kegiatan melakukan pengolahan limbah
sampai memenuhi persyaratan baku mutu air limbah sebelum dibuang ke
lingkungan. Untuk mengetahui apakah hasil degradasi limbah tekstil oleh jamur
Daedaleopsis eff. confragosa telah memenuhi persyaratan baku mutu tersebut,
maka dilakukan pengujian yang meliputi uji BOD
5
, COD, TSS, pH, dan warna.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam penelitian ini akan dikaji kondisi
optimum degradasi limbah tekstil oleh jamur Daedaleopsis eff. confragosa serta
4
kualitas hasil degradasi limbah tekstil yang meliputi COD, BOD
5
, TSS, pH, dan
warna.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Bagaimanakah kondisi optimum (pH, konsentrasi jamur, dan lama inkubasi)
degradasi limbah pencelupan tekstil menggunakan jamur Daedaleopsis eff.
confragosa?
(2) Bagaimanakah kualitas hasil degradasi limbah pencelupan tekstil dengan
menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa jika dilihat dari parameter
COD, BOD
5
, TSS, pH, dan warna?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan jamur Daedaleopsis eff. confragosa untuk mendegradasi limbah
pencelupan industri tekstil.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Untuk menentukan kondisi optimum (pH, konsentrasi jamur, dan lama
inkubasi) dari degradasi limbah pencelupan tekstil menggunakan jamur
Daedaleopsis eff. confragosa.
5
(2) Untuk menentukan kualitas hasil degradasi limbah pencelupan tekstil dengan
menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa dilihat dari parameter
COD, BOD
5
, TSS, pH, dan warna.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat secara teori atau akademik dalam penelitian ini adalah
memberikan informasi mengenai kondisi optimum degradasi limbah tekstil
menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa dan sekaligus mengetahui
kualitas hasil degradasi dilihat dari parameter COD, BOD
5
, TSS, pH, dan warna
serta sebagai kajian dalam penelitian lebih lanjut.
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah:
(1) Memberikan informasi tentang penggunaan jamur Daedaleopsis eff.
confragosa untuk mendegradasi limbah pencelupan tekstil.
(2) Memberikan informasi ilmiah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
aktivitas jamur dalam mendegradsi limbah zat warna tekstil.
(3) Memberikan sumbangan ilmiah terhadap bidang bioteknologi pengendalian
limbah cair industri tekstil.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Zat Warna Tekstil
Limbah tekstil mengandung bahan-bahan yang berbahaya bila di buang ke
lingkungan, terutama daerah perairan. Sebagian besar bahan yang terdapat dalam
limbah tekstil adalah zat warna, terutama zat warna sintetik. Zat warna sintetik
merupakan molekul dengan sistem elektron terdelokalisasi dan mengandung dua
gugus yaitu kromofor dan auksokrom. Kromofor berfungsi sebagai penerima
elektron, sedangkan auksokrom sebagai pemberi elektron yang mengatur
kelarutan dan warna. Gugus kromofor yang penting yaitu gugus azo (-N=N-),
gugus karbonil (-C=O), gugus etilen (-C=C-), dan gugus nitro (-NO
2
). Sedangkan
beberapa gugus auksokrom yang penting adalah NH
2
, -COOH, -SO
3
H dan -OH
(Ramachandran et al., 2009). Saat ini, terdapat bermacam-macam jenis zat warna
sintetik yang penggunaannya disesuaikan dengan jenis serat yang akan dicelup,
ketahanan warna yang dikehendaki, faktor-faktor teknis dan ekonomis lainnya.
Penggolongan zat warna tekstil berdasarkan cara pencelupannya disajikan pada
Tabel 2.1.
6
7
Tabel 2.1 Penggolongan Zat Warna Menurut Sifat dan Cara Pencelupannya
No Golongan Zat Warna Sifat
1. Zat warna direct Mempunyai daya ikat dengan serat selulosa,
pencelupan dilakukan secara langsung dalam
larutan dengan zat-zat tambahan yang sesuai.
2. Zat warna mordant Mempunyai daya ikat yang lemah dengan serat.
Pada proses pencelupan biasanya dilakukan
dengan penambahan krom pada zat warna
sehingga membentuk kompleks logam.
3. Zat warna reactive Mempunyai gugus reaktif yang dapat membentuk
ikatan kovalen kuat dengan serat selulosa,
protein, poliamida dan polyester, dilakukan pada
suhu rendah dan tinggi.
4. Zat warna penguat Mempunyai daya ikat yang kuat dengan serat
selulosa, warna terbentuk dalam serat setelah
ditambahkan garam penguatnya.
5. Zat warna asam Memiliki daya ikat yang kuat dengan serat
protein dan poliamida. Pencelupan dilakukan
pada kondisi asam dan secara langsung
ditambahkan pada serat
6. Zat warna basa Memiliki daya ikat yang kuat dengan serat
protein. Pencelupan dilakukan pada kondisi basa
dan secara langsung ditambahkan pada serat.
7. Zat warna belerang Memiliki daya ikat yang kuat dengan serat
selulosa. Pada gugus sampingnya mengandung
belerang yang mampu berikatan kuat dengan
serat.
(Sumber: Zille, 2005)
2.2 Proses Pencelupan Tekstil dan Karakteristik Limbah
Kandungan zat-zat pencemar dalam limbah tekstil tergantung pada proses
yang dilakukan yaitu proses pemintalan benang, penenunan dan pencelupan.
Pemintalan benang adalah proses pembuatan benang dari serat dari kapas, serat
poliester atau bahan lainnya. Penenunan adalah penyusunan benang menjadi kain.
8
Kain hasil penenunan selanjutnya mengalami proses pencelupan untuk
meningkatkan nilai komersial kain.
Gambar 2.1 Proses pencelupan kain dan karakteristik limbah tekstil
(Sumber: Ramachandran, 2009)
Proses pencelupan kain pada dasarnya meliputi penghilangan kanji
(desizing), pelepasan wax (scouring), pengelantangan (bleaching), mercerizing
dan pencelupan (dyeing). Desizing merupakan penghilangan sisa-sisa bahan
seperti pati dan polivinil alkohol. Proses desizing dapat menggunakan asam atau
enzim. Scouring merupakan penghilangan pengotor-pengotor alami yang terdapat
pada kain melalui proses saponifikasi pada pH tinggi. Sabun atau detergen
Kain
Desizing
Scouring
Bleaching
Bahan organik
pH rendah
pH tinggi, detergen
dan bahan organik
Bahan organik
Mercerizing
Dyeing
Proses akhir
Kain jadi
pH tinggi
Zat warna, bahan
organik dan panas
Bahan organik
Air,asam dan enzim
NaOH/Na
2
CO
3
NaOCl/CaOCl
2
NaOH
Zat warna
Silikon dan fungisida
9
ditambahkan selama proses scouring untuk mengendapkan kalsium, magnesium
maupun besi yang terdapat pada kain. Bleaching merupakan penghilangan zat
warna alami pada kain yang tidak diinginkan. Mercerising adalah pengolahan
kain menggunakan larutan alkali pekat yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan serat mengikat zat warna dan penampakan kain yang lembut
(Sunarto, 2008). Secara garis besar tahapan dalam produksi tekstil disajikan pada
Gambar 2.1.
Karakteristik limbah cair yang dihasilkan industri tekstil sangat erat
hubungannya dengan bahan-bahan yang digunakan dalam tahapan proses
pembuatan tekstil. Karakteristik dan baku mutu limbah cair industri tekstil
disajikan seperti pada Tabel 2.2. di bawah ini.
Tabel 2.2 Karakteristik dan Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil
Parameter Satuan
Kadar Maksimum menurut
KepMen LH No.
51/MENLH/10/1995
Biochemical oxygen demand (BOD) mg/L 60,0
Chemical oxygen demand (COD) mg/L 150,0
Total suspended solid (TSS) mg/L 50,0
pH - 6,0-9,0
Warna Pt-Co -
(Sumber : KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995)
2.3 Pengolahan Limbah Tekstil Secara Fisika dan Kimia
Pengolahan limbah tekstil dapat dilakukan secara fisika, kimia, dan
biologi. Proses fisika yang digunakan dalam pengolahan limbah adalah proses
penyaringan dan adsorpsi. Penyaringan merupakan proses pemisahan padat-cair
10
melalui suatu alat penyaring, sedangkan proses adsorpsi dilakukan dengan
penambahan adsorben seperti zeolit, karbon aktif, serbuk gergaji. Pengolahan
limbah cair dengan cara adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran
partikel, pH dan lama waktu kontak antara adsorben dengan bahan pencemar
(Mattioli et al., 2002)
Pengolahan limbah secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan
partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, dan
zat organik beracun dengan menambahkan bahan kimia tertentu (Manurung dkk.,
2004). Salah satu contoh pengolahan limbah secara kimia adalah koagulasi.
Prinsip koagulasi adalah penambahan koagulan seperti MgSO
4
atau Al
2
(SO
4
)
3
pada limbah sehingga terjadi interaksi antara bahan pencemar dengan koagulan
membentuk endapan.
2.4 Pengolahan Limbah Tekstil Secara Biologi
Pengkajian biodegradasi zat warna tekstil secara biologi lebih banyak
diarahkan dengan menggunakan bakteri dan jamur. Beberapa bakteri pada kondisi
anaerob dilaporkan mampu untuk mendegradasi zat warna azo di antaranya
Aeromonas sp., Pseudomonas sp., dan Flavobacterium sp. Sebaliknya, ada
beberapa bakteri yang dilaporkan mampu mendegradasi zat warna azo pada
kondisi aerob diantaranya adalah Plesiomonas sp. dan Vibrio sp. (Sastrawidana,
2009). Pada kondisi anaerob degradasi zat warna tekstil menggunakan bakteri
lebih cepat dibandingkan dengan kondisi aerob, namun kelemahannya yaitu
menghasilkan amina aromatik yang bersifat lebih toksik dibandingkan dengan zat
11
warna azo itu sendiri (Van der Zee, 2002). Hasil uji toksisitas menunjukkan
degradasi limbah tekstil pada kondisi anaerob lebih toksik dibandingkan dengan
limbah awal (Sastrawidana, 2009).
Jamur yang dilaporkan mampu untuk mendegradasi zat warna azo
merupakan jenis jamur pendegradasi kayu diantaranya adalah Phanerocheate
chrysosporuim (Sharma et al., 2009), Trametes versicolor (Benito et al., 1997),
Fusarium solani (Abedin, 2009), Irpex lacteus (Tavcar et al., 2006), dan
Polyporus rubidus (Dayaram dan Dasgupta, 2008). Jamur pendegradasi kayu
memiliki kelebihan dibandingkan bakteri dalam merombak zat warna yaitu
produk yang dihasilkan memiliki toksisitas yang lebih rendah daripada produk
yang dihasilkan dari proses biodegradasi menggunakan bakteri (Hakala, 2007).
2.5 Jamur Daedaleopsis eff. confragosa.
Jamur pendegradasi kayu diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu
jamur lapuk putih (white-rot fungi), brown-rot fungi dan soft-rot fungi. White-
rot fungi dan brown-rot fungi termasuk ke dalam Basidiomycetes, sedangkan soft-
rot fungi termasuk Ascomycetes. Jamur lapuk putih memecah komponen kayu
baik lignin maupun selulosa dengan penampakan kayu menjadi lebih putih dan
kadang-kadang bergaris hitam. Brown-rot fungi memecah komponen kayu
terutama selulosa untuk dijadikan sumber nutrisi. Soft-rot fungi pada umumnya
melapukkan kayu yang mempunyai permukaan lembut. Diantara ketiga jenis
jamur tersebut, jamur lapuk putih paling potensial digunakan dalam biodegradasi
senyawa organik (Hakala, 2007).
12
Jamur lapuk putih dapat digunakan untuk biodegradasi senyawa organik
karena jamur ini memproduksi enzim lignolitik ekstraseluler. Enzim lignolitik
berperan penting dalam mendegradasi lignin, selulosa, dan hemiselulosa.
Berdasarkan beberapa kajian yang telah dilakukan ditemukan bahwa enzim
lignolitik dapat mendegradasi senyawa aromatik polisiklik dan senyawa fenolik
(Christian dkk, 2005). Salah satu jenis jamur lapuk putih yang mampu
menghasilkan enzim lignolitik adalah jamur Daedaleopsis eff. Confragosa.
Jamur Daedaleopsis eff. confragosa termasuk salah satu kelompok jamur
kayu famili Polyporacaae, ordo Polyparales, kelas Basidiomycetes. Famili
Polyporaceae pada umumnya memiliki tubuh buah berupa kipas dan agak keras.
Jamur ini tidak bisa dimakan karena rasanya pahit dan struktur kulit luarnya
berkayu. Tubuh buahnya biasanya melebar berwarna coklat, putih, atau kuning,
batang tidak jelas, tudung melebar atau bulat. Jamur ini tumbuh liar, biasanya
menempel pada batang kayu yang mati atau lapuk dan jarang ditemukan pada
permukaan tanah. Jamur Daedaleopsis eff. confragosa ditunjukkan pada
Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Jamur
Berdasarkan laporan Dayaram dan Dasgupta (2008), salah satu jenis jamur
lapuk putih yaitu Polyporus rubidus
yaitu reactive blue, remazol black, reactive orange dan congo red
konsentrasi 100 mg/L, jamur
warna reactive blue dalam lama
dihasilkan oleh jamur Polyporus rubidus
industri tekstil.
2.6 Enzim Lignolitik dari
Jamur lapuk putih mampu menghasilkan enzim lignolitik ekstraseluler
yaitu laccase, mangan peroksidase
berperan penting dalam mendegradasi lignin, selulosa dan hemiselulosa. Ketiga
enzim ini bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan
menghasilkan produk dengan berat moleku
tidak semua jamur lapuk putih menghasilkan ketiga jenis enzim sekaligus. Spesies
Klasifikasi Ilmiah
Divisio : Basidiumycota
Kelas : Basidiomycetes
Ordo : Polyparales
Famili : Polyporaceae
Genus : Daedaleopsis
Spesies : Daedaleopsis eff.
confragosa
Gambar 2.2 Jamur Daedaleopsis eff. confragosa
Berdasarkan laporan Dayaram dan Dasgupta (2008), salah satu jenis jamur
Polyporus rubidus mampu mendegradasi zat warna sintetik,
reactive blue, remazol black, reactive orange dan congo red
konsentrasi 100 mg/L, jamur Polyporus rubidus dapat mendegradasi 90% zat
dalam lama inkubasi 5 hari. Dan enzim laccase
Polyporus rubidus juga mampu mengdegradasi limbah cair
dari Jamur Lapuk Putih
Jamur lapuk putih mampu menghasilkan enzim lignolitik ekstraseluler
laccase, mangan peroksidase (MnP) dan lignin peroksidase (LiP) yang
berperan penting dalam mendegradasi lignin, selulosa dan hemiselulosa. Ketiga
enzim ini bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan
menghasilkan produk dengan berat molekul rendah (Akhtar et al., 1997). Namun
tidak semua jamur lapuk putih menghasilkan ketiga jenis enzim sekaligus. Spesies
: Basidiumycota
Basidiomycetes
: Polyparales
: Polyporaceae
Daedaleopsis
Daedaleopsis eff.
confragosa
13
Berdasarkan laporan Dayaram dan Dasgupta (2008), salah satu jenis jamur
mampu mendegradasi zat warna sintetik,
reactive blue, remazol black, reactive orange dan congo red. Pada
dapat mendegradasi 90% zat
laccase yang
juga mampu mengdegradasi limbah cair
Jamur lapuk putih mampu menghasilkan enzim lignolitik ekstraseluler
(LiP) yang
berperan penting dalam mendegradasi lignin, selulosa dan hemiselulosa. Ketiga
enzim ini bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan
, 1997). Namun
tidak semua jamur lapuk putih menghasilkan ketiga jenis enzim sekaligus. Spesies
14
jamur T. versicolor dan P. chrysosporium hanya menghasilkan enzim LiP dan
MnP sedangkan C. subvermispora hanya menghasilkan enzim MnP dan laccase
serta jamur Phlebia ochraceofulva hanya menghasilkan enzim LiP dan laccase
(Srivivasan et al., 1995).
LiP merupakan enzim lignolitik yang mampu mengoksidasi inti aromatik
(fenolik dan nonfenolik) melalui pelepasan satu elektron menghasilkan radikal
kation dan fenoksi (Akhtar et al., 1997). LiP adalah enzim peroksidase
ekstraseluler yang mempunyai potensial redoks yang besar dan pH optimum yang
rendah. (MnP) merupakan heme peroksidase ekstraseluler yang membutuhkan
Mn
2+
sebagai substrat pereduksinya. MnP mengoksidasi Mn
2+
menjadi Mn
3+
,
yang kemudian mengoksidasi struktur fenolik menjadi radikal fenoksil. MnP
merupakan salah satu peroksida pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh
beberapa jamur lapuk putih (Hofrichter, 2002). Laccase mereduksi O
2
menjadi
H
2
O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron membentuk radikal bebas.
Dengan adanya mediator seperti 2,2-azinobis(3-ethylbenzthiazoline-6-sulphonate
(ABTS) atau hydroxybenzo triazole (HBT), laccase mampu mengoksidasi
senyawa non fenolik tertentu. Laccase dihasilkan oleh sebagian besar jamur lapuk
putih (Hatakka, 1994). Enzim lignolitik ekstraseluler yang dihasilkan jamur lapuk
putih memiliki spesifikasi substrat yang rendah sehingga mampu mendegradasi
berbagai jenis organopolutan yang memiliki struktur yang mirip dengan lignin
(Swamy dan Ramsay, 1999).
15
2.7 Mekanisme Degradasi Lignin oleh Enzim Mangan Peroksidase (MnP)
Lignin merupakan senyawa polimer aromatik yang sulit didegradasi dan
hanya sedikit organisme yang mampu mendegradasi lignin. Lignin sulit
didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen. Jamur P.
Chrysosporium mampu mendegradasi lignin dan berbagai polutan aromatik.
Jamur ini menghasilkan enzim lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase
(MnP) yang mempunyai peranan penting dalam proses degradasi lignin. Enzim
LiP mampu memecah unit nonfenolik yang menyusun struktur lignin, sedangkan
enzim MnP mengoksidasi Mn
2+
menjadi Mn
3+
yang berperan dalam pemutusan
unit fenolik lignin. Reaksi degradasi lignin oleh enzim MnP disajikan pada
Gambar 2.3.
Keterangan : R merupakan struktur lignin (Lapiran 7)
Gambar 2.3 Mekanisme degradasi lignin oleh enzim MnP
(Sumber: Hofrichter, 2002)
OH
Lignin
H
3
CO OCH
3
MnP/Mn
3+
O
Lignin
H
3
CO OCH
3
Mesomerisasi
O
Lignin
H
3
CO OCH
3
O
2
Radikal f enoksil
Radikal berpusat
karbon
Lignin
H
3
CO
HO O
O
OCH
3
spontan
Lignin
H
3
CO
HO O
O
OCH
3
MnP/Mn
3+
CO
2
O
OCH
3
H
3
CO
Lignin
[MnP/Mn
3+
; O
2
]
CO
2
+ Asam organik
R R
R
R R R
16
Reaksi enzim MnP dengan cincin fenolik diawali dengan pelepasan
sebuah elektron dan membentuk radikal fenoksil. Radikal fenoksil selanjutnya
mengalami mesomeri kemudian bereaksi dengan O
2
radikal membentuk eter
peroksida. Eter peroksida selanjutnya mengalami pemecahan cincin secara
spontan membentuk senyawa alifatik. Sistem enzim MnP membelah gugus ini
menjadi CO
2
dan radikal alifatik. Radikal alifatik kemudian bereaksi kembali
dengan enzim MnP menghasilkan lebih banyak CO
2
dan asam organik
(Hofrichter, 2002).
2.8 Faktor yang Mempengaruhi Degradasi Limbah Tekstil Secara Biologi
Aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi limbah zat warna
dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan yang meliputi pH, konsentrasi jamur,
dan lama inkubasi.
1. Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) mempengaruhi proses degradasi limbah tekstil
oleh jamur dan kerja enzim. Pada pH optimum, jamur akan tumbuh dengan baik
sehingga enzim yang dihasilkan optimal, sehingga proses degradasi limbah tekstil
berlangsung dengan baik (Ali dan Muhammad, 2008). Penelitian yang dilakukan
oleh Praveen dkk (2009), menemukan bahwa degradasi zat warna Azo orange II
memberikan efisiensi 86,34; 69,56; dan 51,42% berturut-turut pada pH 5, 6,
dan 7.
Enzim merupakan suatu protein yang memiliki aktivitas biokimiawi
sebagai katalis suatu reaksi. Perubahan pH berpengaruh terhadap efektivitas sisi
17
aktif enzim dalam bentuk kompleks enzim substrat. Kondisi pH yang optimum
akan mendukung enzim dalam melakukan katalisa suatu reaksi dengan baik. Jika
pH meningkat atau menurun melebihi kondisi pH optimum maka aktivitas
katalitik enzim akan menurun. HeFang dkk (2004), melaporkan bahwa pH sangat
mempengaruhi efisiensi degradasi zat warna azo Direct fast scarlet 4SB. Pada pH
3, 4, 7, 8, dan 10 memberikan efisiensi berturut-turut sebesar 73, 83, 95, 90 dan
76%.
2. Konsentrasi Jamur
Konsentrasi penambahan jamur mempengaruhi proses degradasi limbah
tekstil. Pada penambahan konsentrasi jamur yang sesuai, maka jamur dapat
bekerja secara efektif untuk mendegradasi limbah tekstil. Dengan jumlah
konsentrasi jamur yang sesuai dengan kandungan limbah yang ada, maka jamur
dapat tumbuh dengan baik, dimana jamur akan memanfaatkan limbah yang ada
sebagai sumber makanan berikutnya pengganti media yang telah ditambahkan.
Sebaliknya bila jumlah konsentrasi jamur yang ditambahkan tidak sesuai
dari kandungan limbah yang ada dalam suatu sistemnya, maka pertumbuhan
jamur akan terhambat akibat adanya kompetisi dari jamur tersebut dalam
mendapat makanan.
3. Lama Inkubasi
Waktu kontak adalah waktu yang diperlukan oleh jamur atau enzim untuk
merombak zat warna tekstil (John, 2001). Waktu kontak dikaitkan dengan tahapan
atau fase pertumbuhan jamur mempunyai masa pertumbuhan yang berbeda-beda.
18
Fase pertumbuhan tersebut berpengaruh terhadap enzim yang dihasilkan oleh
jamur untuk merombak zat warna tekstil (Puspitasari dan Mohammad, 2009).
Pada awalnya jamur mengalami fase adaptasi, dimana pada fase ini jamur
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Lamanya fase adaptasi ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah medium atau lingkungan
pertumbuhan serta jumlah inokulum yang ditambahkan. Setelah melewati fase
adaptasi, jamur memasuki fase pertumbuhan. Pada fase ini jamur tumbuh dengan
cepat sampai pertumbuhan optimumnya. Kecepatan pertumbuhan jamur sangat
dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya, seperti pH dan kandungan nutrien.
Pada fase ini jamur membutuhkan energi lebih banyak dari pada fase lainnya.
Fase terakhir jamur adalah fase kematian diamana pada fase ini populasi
jamur mulai mengalami kematian karena beberapa sebab, seperti nutrien dalam
medium sudah habis dan menumpuknya sisa metabolisme jamur (Hamdiyati,
2003). Vaithanomsat dkk (2009), melaporkan bahwa degradasi zat warna Reactive
black 5 pada konsentrasi 50 mg/L menggunakan jamur Detronia sp. yang
diinkubasi selama 3 hari memberikan efisiensi sebesar 90%. Setelah diinkubasi
selama 5 hari, efisiensi degradasi naik menjadi 97,5%.
19
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Limbah cair yang dihasilkan industri tekstil jika di buang ke daerah
perairan akan menyebabkan terganggunya ekosistem akuatik. Oleh sebab itu perlu
diterapkan teknologi pengolahan limbah yang baik. Teknologi pengolahan limbah
secara kimia dan fisika cukup efektif untuk menghilangkan warna, akan tetapi ada
beberapa kekurangan yaitu biaya mahal, pemakaian bahan kimia yang tidak
sedikit dan menimbulkan lumpur yang banyak. Saat ini teknologi pengolahan
limbah tekstil yang berkembang adalah pengolahan limbah secara biologi, yaitu
dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk mendegradasi molekul zat warna
tekstil yang memiliki struktur kompleks menjadi molekul-molekul yang lebih
sederhana (Manurung dkk, 2004). Mikroorganisme yang sering digunakan untuk
mendegradasi zat warna tekstil adalah jamur, contohnya adalah jamur
pendegradasi kayu (Zhao, 2004).
Jamur pendegradasi kayu mempunyai kemampuan mendegradasi
komponen-komponen kayu, yaitu lignin dan selulosa. Kelompok jamur
pendegradasi kayu yang dilaporkan mampu mendegradasi lignin adalah jamur
lapuk putih (white-rot fungi) (Paul, 1992). Selain bermanfaat untuk mendegradasi
senyawa lignin, jamur lapuk putih juga bermanfaat untuk mendegradasi zat warna
tekstil (Zhao, 2004). Salah satu jenis jamur lapuk putih adalah jamur
Daedaleopsis eff. confragosa. Jamur ini terbukti dapat mendegradasi limbah zat
warna tekstil, karena dari data kualitatif hasil uji pendahuluan, jamur ini dapat
19
20
digunakan dalam proses biodegradasi limbah zat warna tekstil. Berdasarkan hasil
kajian Dayaram dan Dasgupta (2007), yang menyatakan bahwa jamur Polyporus
rubidus yang merupakan salah satu jenis jamur lapuk putih mampu
mengdegradasi limbah tekstil dengan efektif karena enzim laccase yang
dihasilkan oleh jamur tersebut.
Degradasi limbah tekstil menggunakan jamur pendegradasi kayu
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, konsentrasi jamur, dan lama
inkubasi. Pada kondisi pH optimum, jamur akan tumbuh dengan baik dan
menghasilkan enzim yang optimal, sehingga proses degradasi limbah tekstil akan
berlangsung dengan cepat (Ali dan Muhammad, 2008). Begitu juga pada
penambahan konsentrasi jamur yang sesuai, maka dapat mempengaruhi kerja
jamur dalam proses degradasi limbah tekstil. Lama inkubasi juga mempengaruhi
proses degradasi limbah tekstil karena pengaruh waktu kontak jamur dengan
limbah tekstil yang akan dirombak. Jadi untuk memperoleh efisiensi degradasi
limbah tekstil yang besar oleh jamur Daedaleopsis eff. confragosa maka perlu
ditentukan terlebih dahulu kondisi optimumnya.
Di dalam penelitian ini dilakukan variasi pH yang digunakan yaitu 4, 6, 8,
dan 10. Variasi konsentrasi jamur yaitu 3%, 6%, dan 9% serta variasi waktu
inkubasi selama 0 hari, 3 hari, 6 hari, 9 hari, dan 12 hari. Setelah memperoleh
kondisi optimum degradasi limbah tekstil menggunakan jamur Daedaleopsis eff.
confragosa kemudian dilakukan pengujian yang meliputi uji BOD
5
, COD, TSS,
pH, dan warna untuk mengetahui hasil degradasi limbah tekstil oleh jamur
Daedaleopsis eff. confragosa apakah sesuai dengan KepMen LH No.
21
51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah industri. Perundang-undangan
tersebut mewajibkan setiap usaha atau kegiatan melakukan pengolahan limbah
sampai memenuhi persyaratan baku mutu air limbah sebelum dibuang ke
lingkungan.
22
3.2 Kerangka Konsep
Limbah Pencelupan Tekstil
Degradasi limbah tekstil menggunakan
jamur Daedaleopsis eff. confragosa
Kondisi degradasi limbah
tekstil
Variasi lama inkubasi
- 0 hari
- 3 hari
- 6 hari
- 9 hari
- 12 hari
Variasi penambahan
suspensi jamur
- 3%
- 6%
- 9%
Degradasi limbah tekstil menggunakan jamur
Daedaleopsis eff. confragosa
pada kondisi optimum
Analisis warna, pH, COD,
BOD
5
dan TSS
KepMen LH No.
51/MENLH/10/1995
Teknik pengolahan limbah
secara biologi
Biaya mahal,
pemakaian bahan
kimia yang tidak
sedikit dan
menimbulkan
lumpur yang
banyak
Teknik Pengolahan Limbah
Secara Kimia dan Fisika
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Variasi pH yang
digunakan
- 4
- 6
- 8
- 10
23
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini untuk kualitas hasil degradasi
limbah pencelupan tekstil dengan menggunakan jamur Daedaleopsis eff.
confragosa adalah sebagai berikut: Kualitas limbah pencelupan tekstil hasil
perlakuan dengan menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa apakah
memenuhi standar baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri tekstil menurut
KepMen LH No.51/MENLH/10/1995 dilihat dari parameter COD, BOD
5
, TSS,
pH, dan warna.
24
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam True Experiment. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 4 x 3 yang terdiri
atas 2 faktor. Faktor I adalah pH yang terdiri dari 4 level dan faktor II adalah
konsentrasi penambahan suspensi jamur yang terdiri dari 3 level, dimana setiap
perlakukan diulang sebanyak 3 kali.
Faktor I : pH (P) Faktor II : Penambahan Suspensi jamur (S)
P
1
: pH 4 S
1
: Konsentrasi jamur 3 mL/100 mL media Czaspek cair (3%)
P
2
: pH 6 S
2
: Konsentrasi jamur 6 mL/100 mL media Czaspek cair(6%)
P
3
: pH 8 S
3
: Konsentrasi jamur 9 mL/100 mL media Czaspek cair (9%)
P
4
: pH 10
Tabel 4.1 Kombinasi Perlakuan Faktor I dan Faktor II
S
P
S
1
S
2
S
3
P
1
P
1
S
1
P
1
S
2
P
1
S
3
P
2
P
2
S
1
P
2
S
2
P
2
S
3
P
3
P
3
S
1
P
3
S
2
P
3
S
3
P
4
P
4
S
1
P
4
S
2
P
4
S
3
Keterangan:
P
1
S
1
: pH 4 dengan konsentrasi jamur 3%
P
2
S
1
: pH 6 dengan konsentrasi jamur 3%
P
3
S
1
: pH 8 dengan konsentrasi jamur 3%
P
4
S
1
: pH 10 dengan konsentrasi jamur 3%
P
1
S
2
: pH 4 dengan konsentrasi jamur 6%
P
2
S
2
: pH 6 dengan konsentrasi jamur 6%
P
3
S
2
: pH 8 dengan konsentrasi jamur 6%
P
4
S
2
: pH 10 dengan konsentrasi jamur 6%
P
1
S
3
: pH 4 dengan konsentrasi jamur 9%
P
2
S
3
: pH 6 dengan konsentrasi jamur 9%
P
3
S
3
: pH 8 dengan konsentrasi jamur 9%
P
4
S
3
: pH 10 dengan konsentrasi jamur 9%
Setelah mendapatkan pH dan konsentrasi optimal, kemudian hasil tersebut
digunakan untuk menentukan lama inkubasi terbaik dalam proses degradasi
24
25
limbah tekstil. Variasi lama inkubasi yang digunakan adalah 0, 3, 6, 9, dan 12 hari
dengan pengulangan sebanyak 3 kali.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Lab Marine Pasca Sarjana Program Studi Kimia
Terapan, serta UPT Balai Laboratorium Kesehatan. Pelaksanaan penelitian ini
dilakukan dari bulan September 2012 sampai dengan bulan April 2013
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji kondisi optimum degradasi limbah tekstil, yaitu
pH, konsentrasi jamur, dan lama inkubasi optimum dimana hasil sebelum dan
sesudah proses degradasi limbah tekstil dikaji berdasarkan parameter pH, warna,
COD, BOD
5
, dan TSS menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa.
Sedangkan faktor lainnya yang mungkin berpengaruh terhadap degradasi limbah
tekstil menjadi keterbatasan dalam penelitian ini.
4.4 Penentuan Sumber Data
Subjek penelitian ini adalah jamur Daedaleopsis eff. confragosa yang
dikondisikan pada pH, penambahan konsentrasi jamur, dan lama inkubasi
optimum, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah limbah pencelupan tekstil.
4.5 Variabel Penelitian
Variabel yang diukur atau diamati dalam penelitian ini adalah kondisi
optimum degradasi limbah tekstil, kualitas hasil degradasi limbah tekstil dilihat
26
dari parameter pH, warna, COD, BOD
5
, dan TSS limbah pencelupan tekstil
sebelum dan sesudah menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa.
4.6 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: limbah
pencelupan tekstil yang diambil dari industri rumah tangga di kota Negara, jamur
Daedaleopsis eff. confragosa yang diperoleh di kota Negara, kentang, dektrosa,
agar, sukrosa, NaNO
3
, KCl, MgSO
4
.7 H
2
O, FeSO
4
. 7 H
2
O, KH
2
PO
4
, CaCl
2
, buffer
fosfat (pH 4, 6, 8, dan 10), HCl, NaOH, kloramfenikol, aluminium foil, aquades.
Sebelum digunakan, seluruh peralatan dan media tumbuh disterilisasi dengan cara
di autoklaf pada suhu 120C selama 15 menit.
4.7 Instrumen Penelitian
Alat dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu
Erlenmeyer, gelas kimia, labu ukur, gelas ukur, neraca analitik, spatula, batang
pengaduk, pipet tetes, corong, pipet ukur dan filler, kaca arloji, pembakar spiritus,
cawan petri, tabung reaksi, pH-meter, autoklaf.
4.8 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap persiapan dan
pelaksanaan. Pada tahap persiapan dilakukan dengan menyiapkan alat dan bahan,
serta peremajaan jamur pada media PDA dan Czaspek cair. Kemudian dilanjutkan ke
tahap pelaksanaan yaitu penentuan kondisi optimum degradasi limbah tekstil
27
menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa serta pengujian kualitas hasil
degradasi limbah tekstil menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa.
4.8.1 Peremajaan Jamur Daedaleopsis eff. confragosa
Jamur diremajakan pada media PDA dengan mengikuti metode yang
dilakukan Ali and Muhammad (2008). Jamur Daedaleopsis eff. confragosa
dihancurkan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi air steril sambil
dikocok. Selanjutnya, 1 mL cairan yang mengandung spora dimasukkan ke dalam
cawan petri yang berisi media PDA dan diinkubasi selama 7 hari hingga tumbuh
benang-benang berwarna putih pada permukaan PDA. 1 liter media PDA tersebut
terdiri dari 200 gram kentang, 20 gram dektrosa, dan 20 gram agar serta 1 tablet
kloramfenikol untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Miselium jamur selanjutnya
ditransfer ke dalam media Czapek cair. Miselium jamur Daedaleopsis eff.
confragosa dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer ukuran 500 mL yang telah
berisi 250 mL media Czapek cair. Campuran tersebut diinkubasi selama 7 hari.
Dalam 1 liter media Czapek cair mengandung 15,0 g Sukrosa; 3,0 g NaNO
3
; 0,5 g
KCl; 0,5 g MgSO
4
7H
2
O; 0,01 g FeSO
4
7 H
2
O; dan 1,0 g KH
2
PO
4
.
4.8.2 Penentuan Kondisi Optimum (pH dan konsentrasi jamur) Degradasi
Limbah Tekstil oleh Jamur Daedaleopsis eff. confragosa
Penentuan kondisi optimum degradasi limbah testil (pH dan konsentrasi
jamur) serta efisiensi degradasi limbah tekstil menggunakan jamur Daedaleopsis
eff. confragosa dilakukan dengan cara memvariasikan pH dan konsentrasi jamur
mengikuti metode Ali dan Muhammad (2008) yang termodifikasi. Media Czapex
28
cair yang telah ditambahkan suspensi jamur Daedaleopsis eff. confragosa dengan
konsentrasi per 50 mL media Czapex cair sebanyak 3 mL, 6 mL, dan 9 mL.
Selanjutnya Erlenmeyer ditutup dan diinkubasi selama 3 hari. Setelah 3 hari,
sebanyak 50 mL limbah tekstil dimasukkan ke dalam Erlenmeyer tersebut.
Campuran dikondisikan pada pH 4 dengan cara menambahkan larutan HCl
sedangkan untuk pH di atas 7 ditambahkan NaOH. Untuk mempertahankan pH
ditambahkan buffer pH 4 ke dalam labu Erlenmeyer tersebut. Selanjutnya
Erlenmeyer ditutup kembali dan diinkubasi selama 7 hari. Setelah diinkubasi,
cairan disaring kemudian diuji kualitas COD. Dengan cara yang sama dilakukan
degradasi limbah tekstil pada perlakuan pH 6, 8, dan 10. Untuk setiap perlakuan
dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Kontrol dibuat dengan cara yang sama
tetapi tanpa menggunakan suspensi jamur Daedaleopsis eff. confragosa. Efisiensi
degradasi limbah warna tekstil diperoleh dengan menggunakan rumus berikut:
% 100 x
COD Kadar
COD Kadar COD Kadar
Efisiensi
awal
akhir awal
b. Perhitungan
% 100 x
COD Kadar
COD Kadar COD Kadar
Efisiensi
awal
akhir awal
% 100
34 , 211
53 , 43 34 , 211
x Efisiensi
% 40 , 79 Efisiensi
(Untuk mencari efisiensi data selanjutnya menggunakan cara yang sama)
63
Lampiran 7. Struktur lignin
Lampiran 8. Dokumentasi Kegiatan
Jamur Daedaleopsis eff. confragosa
Pertumbuhan Jamur Daedaleopsis eff.
confragosa pada Media PDA (
Dextrosa Agar
Pertumbuhan Jamur
Daedaleopsis eff. confragosa
pada Media Czampek cair
. Dokumentasi Kegiatan
Daedaleopsis eff. confragosa Media PDA (Potato Dextrosa Agar
Daedaleopsis eff.
pada Media PDA (Potato
Dextrosa Agar)
Media Czampek cair
Pertumbuhan Jamur
Daedaleopsis eff. confragosa
Czampek cair
Limbah Awal Industri Tekstil
Hasil Perombakan Limbah
menggunakan jamur Daedaleopsis
eff. confragosa
64
Potato Dextrosa Agar)
Czampek cair
Limbah Awal Industri Tekstil
Hasil Perombakan Limbah
Daedaleopsis
eff. confragosa