Anda di halaman 1dari 35

Atas dasar itu, dosen kemudian melakukan tanya jawab dengan para mahasiswa.

Beberapa jawaban menarik yang mereka kemukakan adalah bahwa mereka mengalami
kesulitan dalam menentukan tema karangan, mereka pun bingung dalam mengawali sebuah
karangan, membedakan jenis karangan, dan mengaitkan paragraf satu dengan yang lainnya
dalam karangan itu. Dari hasil tanya jawab itu pun diperoleh informasi bahwa sebelumnya
dalam proses mengarang di sekolah-sekolah asal (baca: SMP dan SMA), mereka lebih
banyak diam mendengarkan penjelasan guru. Kegiatan belajar mengajar di kelas biasanya
dimulai dengan pembahasan materi, kemudian guru member kesempatan bertanya kepada
mereka mengenai materi yang dijelaskan. Namun, kesempatan tersebut jarang mereka
gunakan sehingga tidak teridentifikasi permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi itu.
Komunikasi yang terjadi ketika belajar di kelas kebanyakan masih bersifat satu arah yaitu
dari guru kepada siswa. Setelah menerangkan materi, kegiatan dilanjutkan dengan pengerjaan
latihan yaitu membuat sebuah karangan. Kemudian karangan tersebut dikumpulkan lalu
dinilai tanpa adanya umpan balik dari guru yang bersangkutan untuk perbaikan. Mereka
ketika itu hanya mempunyai nilai berupa angka sebagai tanda telah mengerjakan tugas.
Evaluasi seperti ini menurut mereka kurang relevan apalagi berkaitan dengan kegiatan tulis-
menulis yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan.
Berdasarkan rangkaian studi awal itu, dipandang perlu merancang suatu metode
pembelajaran menulis karangan, yakni masyarakat belajar atau learning community dengan
penekanan pada pengembangan tradisi membaca dengan menggunakan pendekakatan
kolaboratif. Konsep masyarakat belajar (learning community) dan pendekatan kolaboratif
menyarankan agar hasil pembelajaran itu diperoleh melalui kerja sama antarpara mahasiswa.
Mereka akan lebih mudah membangun pemahaman apabila dapat mengkomunikasikan
gagasannya kepada mahasiswa lain atau kepada dosen dan publik. Dengan kata lain,
membangun pemahaman akan lebih mudah melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya.
Interaksi memunkinkan terjadinya perbaikan terhadap pemahaman para mahasiswa melalui
diskusi, saling bertanya, dan saling menjelaskan. Interaksi dapat ditingkatkan dengan belajar
kelompok/berkolaborasi. Penyampaian gagasan oleh mahasiswa dapat mempertajam,
memperdalam, memantapkan atau menyempurnakan gagasan itu karena memperoleh
tanggapan dari mahasiswa lain atau dari dosen. Pembelajaran berkolaborasi mendorong
mahasiswa untuk mengkomunikasikan gagasan hasil kreasi dan temuannya kepada
mahasiswa lain, dosen, atau pihak-pihak lain (publik).
Penggunaan teknik atau strategi tersebut didasari oleh permasalahan- permasalahan
yang mereka hadapi itu sebagaimana yang ditemukan pada studi awal, yakni kurangnya
motivasi eksternal dalam mengembangkan kecakapan mengarang serta minimnya wawasan
mereka dalam mengembangkan isi karangan. Dengan adanya tutorial sebaya atau strategi
kolaboratif/masyarakat belajar itu, kegiatan perkuliahan bisa memberikan penghargaan dan
kritik atas karangan mereka serta masukan-masukan pengetahuan dan pengalaman dari
berbagai bacaan sehingga diharapkan keterampilan menulis mahasiswa akan lebih baik.
Tindak Lanjut
Berdasarkan ketiga siklus yang telah diakukan, dosen melakukan analisis dan tindak lanjut
terhadap karangan-karangan termasuk rangkaian aktivitaas yang dilakukan para mahasiswa
itu sendiri. Hasil analisis dan tindak lanjut yang teerankum sebagai berikut.
a. Sumber-sumber bacaan yang dimiliki para mahasiswa sangat terbatas. Mereka
cenderung memilih koran sebagai sumber bacaan di samping beberapa cetakan artikel
dari internet. Buku-buku bacaan yang mereka gunakan sangat terbatas dan pada
umumnya merupakan terbitan lama. Hal tersebut menyebabkan karangan mereka
menjadi tumpukan fakta dan analisis mereka terhadap topik-topik yang mereka
gunakan sangat dangkal.
b. Terbatasnya buku bacaan yang mereka gunakan juga menyebabkan analisis mereka
kutrang berimbang. Mereka hanya menggunakan satu atau beeberapa sumber saja.
Hal tersebut menyebabkan tulisan mereka menyerupai salinan atau pencitraan
kembali atas isi suatu buku/bacaan.
c. Para mahasiswa mengalami kesulitan dalam merelevansikan bahan-bahan bacaan
yang mereka miliki dengan disiplin ilmu yang tengah mereka geluti. Bahan-bahan
bacaan itu kurang mereka olah; mereka biarkan apa adannya. Padahal, bahan-bahan
bacaan itu bisa mereka tarik ke dalam bidang keilmuan mereka, yakni kebahasaan,
kesastraan, dan pendidkan bahasa dan sastra. Apabila langkah itu mereka lakukan
maka karangan-karangan itu akan lebih inovatif dan lebih hidup karena sesuai dengan
minat asli mereka sebagai mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia.
d. Dominasi mahasiswa tertentu dalam diskusi masih kuat. Kerja sama mereka masih
lemah. Oleh karena itu, karangan yang mereka hasilkan cenderung masih bersifat
karya individual.
e. Lemahnya pengalaman keilmuankarena topik-topik yang mereka garap di luar
kebahasaan dan kesastraanmenyebabkan komentar mereka dalam kegiatan silang
baca kurang argumentative. Komentar-komentar mereka pada akhirnya cenderung
menyangkut hal-hal yang bersifat teknis sepeerti masalah ejan dan tanda baca.
Di samping kelemahan-kelemahan yang ditemukan itu, dosen menemukan beberapa
indikator keberhasilan atas pendekatan kolaboratif dalam meningkatkan keterampilan
menulis dengan mengembangkan tradisi membaca yang terlah dilakukan itu, yakni
sebagai berikut.
a. Mahasiswa lebih antusias dan serius dalam mengikuti perkuliahan.
b. Minat mahasiswa terhadap kegiatan menulis lebih berkembang. Yang semula mereka
menganggap bahwa menulis itu sebagai kegiatan yang menyenangkan.
c. Timbulnya kesadaran pada diri mhasiswa bahwa membaca merupakan modal utama
untuk menjadi seorang penulis.
d. Semangat mahasiswa dalam berburu bahan bacaan juga tumbuh. Hal tersebut
berdasarkan observasi kami terhadap intensifikasi kunjungan mereka ke perpustakaan
serta ke internet UPI (Direktorat TIK UPI).
e. Indikator keberhasilan produk ditandai oleh meningkatnya keterampilan dan kualitas
tulisan mahasiswa berkaitan dengan keterampilan mereka dalam menentukan topik,
mengembangkan organisasi karangan, serta aspek-aspek kebahasaan, seperti
pemilihan diksi, penulisan kalimat, paragraf, dan masalah mekanik (ejaan dan tanda
baca).
f. Kesadaran akan pentingnya bacaan dalam keterampilan menulis perlu ditanamkan
oleh setiap dosen pada berbagai perkuliahan. Tugas-tugas yang diberikan kepada para
mahasiswa harus mendorong mereka untuk lebih aktif dalam membaca, terlepas apa
pun bahan bacaannya. Dengan cara demikian, tradisi membaca di kalangan
mahasiswa akan lebih terbentuk dan keterampilan mahasiswa dalam menulis pun akan
terbangun. Bersamaan dengan itu, lomba-lomba menulis di lingkungan kampus
khususnyaperlu lebih dibudidayakan. Hal tersebut sangat berguna untuk
menciptakan kultur akademik kampus yang lebih literat.

DAFTAR PUSTAKA
Burns, Paul C. And Albert L. Lowe. (1996). The Language Arts in Childhood Education.
Chicago: McNally and Company.
Danifil. (1985). Kemampuan Membaca Bahasa Inggris Tenaga Edukatif Non-Bahasa
Inggris di Universitas Riau, Disertasi (tidak dipublikasikan). Malang: PPs IKIP
Malang.
Kurniawan, K. (2004). Pembelajaran Menukisa dengan Menggunakan Pendekatan Proses/
Jurnal Mimbar Pendidikan No. 2 Tahun XXIII 2004.
Kurniawan, K. (2000). Pembaharuan Pendidikan Baca-Tulis Menuju Masyarakat Madani,
Jurnal Pendidikan Mimbar Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, No. 1 Tahun
XIX 2000.
Kurniawan, K. (2000). "Tradisi Membaca sebagai Upaya Peningkatan Kemampuan
Mahasiswa Belajar Mandiri dalam Menulis", Jurnal Ilmu Pendidikan, Agustus 2000,
Jilid 7, Nomor 3.
Kurniawan, K. (2002). "Kemampuan Menulis Esai Argumentatif Mahasiswa Bahasa dan
Sastra Indonesia", LITERA, Volume I Nomor 2 Juli 2002.
McTaggart, R., Stephen Kemmis. (1990). The Action Research Planner. Melbourne: Deakin
University.
Miles, M. and Huberman M. (1984). In Qualitative Data Analysis: A Source Book of New
Methods. Beverly Hills: Sage Publikation.
Rifai, M.A. (1997). Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan dan Penerbitan Karya Ilmiah
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rosidi, A. (1983). Pembinaan Minat Baca, Bahasa dan Sastra. Surabaya: Bina Ilmu.
Supriadi, D. (1997). Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek. Bandung: CV
Alfabeta.
Tampubolon, D.P (1987). Kemampuan Membaca, Teknik Membaca Efektif dan Efisien.
Bandung: Angkasa.
Tarigan, H.G. (1983). Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa Bandung: Angkasa.
Tarigan,HG. (1989). Dosenan Analisis Kontrastif Bahasa. Jakarta: P2LPTK Depdikbud.
Wiryotinoyo, M. (1990). "Membaca Bebas dan Kemampuan Menyusun Bentuk-bentuk
Retoris Mahasiswa", Tessis (tidak dipublikasikan). Malang: PPs IKIP Malang.










Bagian III:
Realisasi Sosial
dalam Bahasa dan Sastra

SASTRA, PENERJEMAHAN, DAN
PENYEBARAN BUDAYA:
BERBAGAI FAKTA DAN RENUNGAN

Berthold Damshuser
Universitas Bonn, Jerman

Pendahuluan
Untuk pertama kalinya saya diundang menjadi peserta seminar yang diadakan oleh
sebuah universitas pendidikan di Indonesia. Bahkan untuk pertama kalinya saya, pada hari
ini, memasuki kampus sebuah Universitas Pendidikan di Indonesia. Ini jelas merupakan
peristiwa penting, paling sedikit bagi saya sendiri. Mengapa? Karena saya yakin, di antara
ddemikian banyak tempat yang berarti, juga indah di Indonesia ini, mustahil ada tempat
dengan lembaga yang lebih berarti daipada Universitas Pendidikan.
Kita semua tahu: Nasib dan masa depan sebuah bangsa tergantung dari generasi
mudanya. Dalam era yang diwarnai oleh globalisasi yang semakin pesat dan semakin
menyeluruh, nasib, dan masa depan sebuah bangsa tergantung dari pengetahuan manusianya,
yakni pengetahuan dalam bidang sebanyak mungkin, mulai dari teknologi dan sains sampai
ke kesenian dan budaya. Adalah guru-guru yang diharapkan sanggup menanam pengetahuan
demikian ke dalam akal dan jiwa generasi muda, yakni murid-murid di sekolah dasar dan
sekolah lanjutan. Berhasilnya penanaman itu tergantung dari apakah guru sendiri memiliki
pengetahuan itu, dan mengingat itu kita semua sadari: Masa depan sebuah bangsa sangatlah
tergantung dari kwalitas guru. Karena itu pun lembaga calon guru jelas termasuk tempat
paling berarti di sebuah negara.
Tadi saya kaitkan makna mutu pendidikan dengan perihal globalisasi. Pengaitan itu
sering dilakukan, mungkin karena gllobalisasi diwarnai persaingan antara bangsa-bangsa
seduania, khususnya dalam bidang ekonomi. Memang betul pengaitan itu. Namun perlu
dinyatakan dengan tegas: Andai pun tiada gejala globalisasi, masa depan sebuah bangsa tetap
tergantung dari generasi mudanya, berarti tergantung juga dari adanya guru yang
berpengetahuan serta berbakat mengajar.
Saya yakin para penanggungjawab di Universitas Pendidikan di Bandung ini
menyadari semua yang saya katakana tadi dan senantiasa bertindak atas dasar pemikiran
seperti tiu. Seminar yang kkita hadiri pada saat ini dapat kita anggap sebagai bukti. Dan,
berkaitan dengan seminar ini, perlu dicatat sesuatu yang cukup penting: Tema sastra lah yang
diangkat untuk menjadi focus perhatian kita. Sastra lah, termasuk sastra terjemahan, dianggap
merupakan tema penting bagi calon guru. Mungkin kita, yang pada hari ini bertemu disini,
menganggap itu sebagai sesuatu yang biasa dan sama sekali bukan hal yang istimewa.
Barangkali di Indonesia memang demikian. Barangkali di Indonesia sastra sudah dianggap
merupakan tema penting bagi calon guru. Mungkin kita, yang pada hari ini bertemu di sini,
menganggap itu sebagai sesuatu yang biasa dan sama sekali bukan hal yang istimewa.
Barangkali di Indonesia memang demikian. Barangkali di Indonesia ssastra sudah dianggap
sama penting dengan matematika, ilmu fisik dan ilmu ekonomi. Barangkali dalam hal ini
Indonesia sudah lebih maju daripada negara saya, di mana penghargaan terhadap karya
susastra sebagai bahan bermanfaat dalam pendidikan sedang menurun, suatu hal yang juga
cukup terasa dalam bidang kajian Indonesia, di mana banyak jurusan yang dulu
memfokuskan bahasa dan sastra Indonesia telah berubah menjadi jurusan yang menyibukkan
diri dengan apa yang dinamakan kajian kawasan yang mementingkan tema ekonomi,
politik dsb. Saya sendiri sangat menyesalkan perkembangan demikian yang dalam bidang
kajian Indonesia tidak terjadi di Jerman saja.
Tetapi, itu perkembangan di tingkat universitas. Mungkin lebih payah lagi kalau
susastra dianaktirikan dalam pendidikan dasar dan lanjutan. Saya yakin bahwa sastra,
termasuk puisi (bahkan khususnya puisi), sangat besar manfaatnya sebagai bahan untuk
mencerdaskan anak, bila diajar dengan pandai, misalnya dengan melakukan interpretasi yang
dalam tentang sebuah teks, sesuatu yang menurut saya juga dapat dilakukan bersama anak
yang umurnya baru 6 atau 7 tahun. Interpretasi berbenntuk pertanyaan semisal apa yang
terjadi dalam teks iu siapa kiranya orang/tokoh yang tampil. apa hubungan antara orang
dan sebuah tempat atau benda. Ya, pertanyaan sderhan aseperti itu, yang disusul oleh
hipotesa-hipotesa mengenai maksud sebuah puisi, di mana si murid diminta berfantasi dan
berkhayal tanpa ditegur guru andai ia berkhayal terlalu jauh, tapi dengan lembut dibimbing
guru ke arah yang agak arsional dan tidak kelewat subjektif.
Bukankah mempelajari atau mencoba memahami sebuah teks tak jauh berbeda
dengan upaya memahami realitas, memahami dunia. Kiranya bukan kebetulan, jika berbagai
ahli filsafat, seperti Michel Focault, menganggap dunia sebagai teks, karena dunia seperti
teks, seperti juga puisi - berisikan informasi atau kenyataan yang perlu kita teliti dan analisa
guna memahaminya, mengaitkannya secara logis, sebelum mampu bertindak secara optimal.
Dilihat dari segi itu dapat dikatakan, bahwa menekuni dan menginterpretasikan teks
merupakan latihan yang cukup baik untuk menginterpretasi dan memahami dunia.
Tetapi, saya pada hari ini tidak diminta untuk membicarakan pentingnya peranan
sastra dalam pendidikan, dan sebaiknya maju ke hal-hal yang wajib saya paparkan dalam
makalah ini. Panitia telah meminta saya untuk bicara dalam rangka tema "Sastra
dan Konteks Terjemahan". Khususnya saya diminta untuk mengarah kepada hal-hal
berikut:
1) pengenalan berbagai karya sastra terjemahan yang sudah ada, khususnya terjemahan
sastra Jerman;
2) upaya-upaya yang dilakukan pemerintah atau lembaga-lembaga Jerman dalam
menyosialisasikan kekayaan karya sastra yang dimilikinya lewat penerjemahan ke
dalam berbagai bahasa, khususnya bahasa Indonesia;
3) prinsip-prinsip dalam melakukan penerjemahan suatu karya sastra.
Ketiga hal itu akan saya bicarakan dalam tiga bab (yaitu bab 2, 3 dan 5). Ini berarti
akan ada tambahan dua bab, yakni bab 1 ("Makna Terjemahan Bagi Perkembangan Budaya
dan Sastra") dan bab 4 ("Upaya yang (tidak) dilakukan pemerintah atau lembaga-lembaga
negara Indonesia dalam bidang penyebaran sastra Indonesia di Jerman"). Saya akan berupaya
supaya kelima bab itu memfokuskan fakta dan segi yang paling penting, sehingga semuanya
dapat disampaikan dengan cara sesingkat-singkatnya. Dengan demikian, saya harap, masih
akan tersedia waktu cukup untuk acara tanya jawab dan tukar pikiran.

Makna Terjemahan bagi Perkembangan Budaya dan Sastra
Bila kita memperhatikan perkembangan budaya-budaya dunia secara menyeluruh,
termasuk di masa lalu, kita akan menyadari, bahwa perkembangan masing-masing budaya-
bangsa ke arah lebih maju terjadi atas dasar pertukaran budaya atau - lebih sering atas dasar
pengaruh satu budaya terhadap budaya lain. Bangsa dan budaya Romawi, misalnya, tak
mungkin berkembang ke arah kemajuan, andai tak dipengaruhi budaya Yunani. Pengararuh -
pengaruh demikian telah, masih dan sedang terjdi di ratusan tempat, di ratusan zaman. Orang
Jerman telah belajar dari orang Romawi, orang Eropa telah belajar dari orang Islam, orang
Mongol telah belajar dari orang Cina, orang Indonesia telah belajar dari orang India dll. Dan
kita tidak perlu terlalu kecewa, kalau pertukaran budaya, yakni sebuah proses saling
memperkaya, terjadi agak jarang, walau kita boleh berharap bahwa itulah yang semakin
sering akan terjadi di masa mendatang.
Bagaimana pun, dalam rangka proses perkembangan budaya itu, sangat kentara
bahwa teks yang merupakan alat menentukan. Penyebaran agama, misalnya agama Nasrani,
tak mungkin dilakukan tanpa teks, dalam hal ini Al Kitab. (Yang sama tentu berlaku bagi
agama-agama lain, juga bagi ide-ide filsafat). Teks adalah dasar utama dalam menyampaikan
gagasan-gagasan baru, dalam mentransfer "kebaruan" ke tubuh sebuah budaya. Gereja
Katolik dari dulu sadar akan makna teks, dan mengambil kesimpulan yang wajar: A l Kitab
wajibditerjemahkan ke semua bahasa. Maka, tindakan para misonaris yang pertama adalah
mempelajari bahasa setempat, lalu menerjemahkan Al-Kitab ke bahasa bangsa-bangsa yang
mau "dinasranikan".
Bila teks yang merupakan alat utama dalam transfer budaya, maka penerjemahan
adalah upaya yang mutlak diperlukan untuk menyebarkan teks itu. Dapat dikatakan bahwa
hampir segala upaya dalam rangka transfer budaya, agama, juga sains dan teknologi
memerlukan upaya penerjemahan. Sehingga jumlah terjemahan tentu saja melebihi jumlah
teks asli. Dapat dikatakan: Kita akan terbelenggu dalam kebisuan dan stagnasi, andai tidak
ada terjemahan. Budaya dunia nyaris akan berhenti berkembang.
Semua itu tentu juga berlaku bagi dunia susastra. Sastra sebuah bangsa pun akan
mandek jika tak ada interaksi dengan sastra bangsa- bangsa yang lain. Dan semakin giat ia
berinteraksi, semakin gemilang pula perkembangannya. Sastra di Eropa merupakan salah satu
dari sekian banyak bukti. Sastra nasional Jerman, misalnya, tumbuh subur karena kena
pengaruh dan diperkaya oleh khazanah sastra dari budaya-budaya tetangga, Perancis,
Inggeris, Itali dll. Yang sebaliknya tentu juga terjadi. Dan semua itu baru dimungkinkan
dengan adanya terjemahan. Betapa berjasa para penerjemah! Jose Saramago, sastrawan
Portugal dan pemenang Hadiah Nobel tahun 1998, dengan sangat beralasan mengatakan:
Sastrawan dengan bahasanya menciptakan sastra nasional. Sastra dunia diciptakan oleh
penerjemah
Dalam keterangan mengenai seminar ini, panitia menulis sebagai berikut: Arus
Globalisasi yang terjadi saat ini berpengaruh pada keberadaan dan perkembangan
kesusastraan di berbagai wilayah di dunia. Kesusastraan suatu bangsa tidak dapat
mengelakkan diri dari persentuhannya dengan karya-karya kesusastraan bangsa lain. Istilah
"tidak dapat mengelakkan diri" barangkali mengandung konotasi yang kurang tepat,
khususnya dalam kaitan dengan "persentuhan dengan karya sastra bangsa lain". Seolah-olah
karya-karya itu perlu dihindari. Kebalikanlah yang diharapkan! Sastra nasional patut
membuka lebar segala pintu-pintunya. Dengan sukacita ia mesti menerima kekayaan-
kekayaan baru. Dan kekayaan-kekayaan sendiri mesti ia sebarkan dengan bangga dan rasa
percaya diri. Saya yakin, justru dalam dunia sastra interaksi atas dasar hak yang sama, dan
pertukaran yang sejati antara masing-masing sastra nasional sangat dimungkinkan, dan hal
itu pun telah dan masih terjadi.

Buku-buku berisikan terjemahan Indonesia dari karya susastra Jerman
Karya sastra terjemahan semakin hadir di Indonesia. Hal itu dapat kita saksikan di
banyak toko buku. Melihat rak-rak yang penuh dengan karya terjemahan, misalnya di
Gramedia, timbul kesan pada saya, bahwa karya terjemahan mungkin lebih diminati daripada
karya dalam bahasa Indonesia. Juga timbul kesan, seolah buku terjemahan itu kebanyakan
novel, jarang ada puisi, dan sering merupakan bestseller yang tak jarang berasal dari pena
penulis novel hiburan. Gejala yang sama dapat disaksikan pada buku-buku sastra Indonesia.
Seolah-olah novel pop jauh lebih laku daripada sastra yang tidak cari popularitas. Tapi, ini
cuma kesan, saya tidak memiliki data andal.
Berikutnya saya akan menyampaikan berbagai informasi tentang kehadiran" sastra
Jerman di Indonesia, khususnya mengenai sastra Jerman yang telah terbit dalam bentuk buku.
Dalam hubungan ini saya tidak akan membicarakan dongeng, novel remaja atau novel
hiburan, termasuk karya-karya Karl May. Menurut saya, sastra Jerman dalam arti tadi belum
dapat dikatakan "hadir" di Indonesia. Sebab, baru adanya 30-40 buku berisikan sastra Jerman
yang bermutu sebenarnya merupakan petanda bahwa sastra Jerman tetap merupakan sesuatu
yang sangat jarang di Indonesia. Di negara Asia lain, di Cina, Jepang, juga Korea, sastra
Jerman baru boleh dikatakan hadir. Di sana ada ratusan buku, dan jumlahnya bertambah
terus-menerus. Sedangkan di Indonesia sama sekali belum ada buku dengan terjemahan
demikian banyak sastrawan Jerman yang bernama harum dan telah menghasilkan karya yang
dibaca di seluruh dunia. Seperti Thomas Mann, Friedrich Schiller, Heinrich Heine, Friedrich
Holderlin, Novalis dll. Nama-nama agung itu saja belum hadir" di Indonesia.
Khususnya puisi Jerman cukup lama dianaktirikan. Sampai tahun 2003 buku berisikan
terjemahan dari puisi Jerman ke bahasa Indonesia cuma ada dalam bentuk tiga buah antologi.
Keadaan itu mulai membaik sejak ada "Seri Puisi Jerman" yang saya editori bersama
sastrawan Agus R. Sarjono. Dalam rangka "Seri Puisi Jerman" telah disajikan kepada
pembaca Indonesia kumpulan puisi dari Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, dan
Johann Wolfgang von Goethe. Sedangkan kumpulan puisi dari Hans Magnus Enzensberger
(Seri Puisi Jerman V) baru saja terbit dan diluncurkan di beberapa kota di Indonesia,
termasuk Bandung. Untuk jilid Seri Puisi Jerman berikutnya direncanakan terjemahan dari
puisi Friedrich Nietzsche dan Novalis. Dengan demikian sastra Jerman, khususnya puisi,
mulai semakin hadir di Indonesia. Namun, upaya-upaya demikian, menurut
saya, masih sangat perlu ditingkatkan di masa depan.

Negara Jerman sebagai pendukung penyebaran sastra Jerman di luar negeri,
khususnya di Indonesia
Jerman dari dulu cukup giat menyebarkan budayanya, tentu juga sastranya. Sikap ini
kiranya dilatarbelakangi oleh rasa percaya diri serta rasa bangga bangsa Jerman atas budaya
dan tamadunnya sendiri, sebuah rasa yang sebenarnya positif, tapi - di masa lalu sempat
berkembang ke arah nasionalisme yang berlebihan dan tak lagi sehat. Republik Federal
Jerman yang didirikan pada tahun 1949 meneruskan tradisi lama itu, dengan cara yang halus
dan sama sekali tidak agresif.
Republik Federal Jerman telah mengembangkan sebuah konsep tentang "politik
budaya luar negeri", di mana politikbudaya (yakni penyebaran bahasa dan budaya Jerman di
luar negeri) merupakan salah satu dari tiga pilar politik luar negeri Jerman, di samping pilar
"politik keamanan" dan "politik ekonomi". Lembaga terpenting dalam rangka "politik-budaya
luar negeri" itu adalah Goethe-Institut, pusat kebudayaan Jerman, yang punya cabang di
hampir semua negara. Di Indonesia ada dua cabang Goethe-Institut, di Jakarta dan Bandung.
Goethe-Institut sebagai lembaga negara berkewajiban untuk menyebarkan bahasa dan
budaya Jerman di luar negeri. Khususnya untuk penyebaran sastra Jerman Goethe-Institut
melaksanakan sebuah "program pendukung penerjemahan". Dalam rangka program itu honor
untuk penerjemah sebuah karya sastra Jerman dapat ditanggung. Program demikian pada
dasarnya cukup bagus, cuma, menurut saya, kurang efektif di negara-negara seperti di
Indonesia, di mana perihal honor penerjemah bukan kendala utama dalam penerbitan buku
sastra Jerman, melainkan kenyataan bahwa penerbit Indonesia sering perlu dibantu dengan
dana untuk percetakan buku. Kiranya, kurang efektifnya program itu menjadi salah satu
sebab jumlah buku sastra Jerman masih cukup terbatas di Indonesia.
Pada tahun 1996 saya sempat membicarakan masalah itu dengan Kanselir Jerman,
ketika itu Helmut Kohl. Sempat saya keluhkan kepadanya, bahwa - misalnya - kumpulan
puisi Goethe saja belum terdapat di Indonesia. Kanselir Kohl ternyata seorang pemimpin
yang peduli, juga terhadap masalah kurang hadirnya sastra Jerman di Indonesia. Dan ia
bertindak lebih cepat daripada saya duga. Pada hari berikutnya ia sarankan kepada Presiden
Republik Indonesia, ketika itu Soeharto, untuk membentuk sebuah komisi bilateral yang
bertugas untuk mendukung penyebaran sastra Jerman di Indonesia, juga penyebaran sastra
Indonesia di Jerman, yakni melalui penerjemahan karya-karya kedua sastra nasional itu ke
bahasa Indonesia dan sebaliknya. Presiden Soeharto setuju dengan saran Kanselir Jerman,
dan atas petunjuk kedua pemimpin negara pada tahun 1997 didirikan "Komisi Indonesia-
Jerman untuk Bahasa dan Sastra".
1

Ternyata pembentukan Komisi itu membawa angin segaruntuk upaya-upaya penyebaran
sastra Jerman di Indonesia. Bukan karena Komisi sendiri menyediakan dana, melainkan
berkat kesadaran anggota-anggota Jerman dalam Komisi itu (misalnya Kedutaan Besar
Jerman, Departemen Luar Negeri Jerman, dan Goethe-Institut Jakarta) yang menyadari
bahwa mereka wajib bertindak demi pewujudan tujuan komisi, setelah Kanselir Jerman
sendiri telah memperhatikan nasib sastra Jerman di Indonesia. Dan, dengan adanya kesadaran
demikian, akhirnya dapat juga ditemukan dana (baik dana negara maupun dana swasta) yang
memungkinkan - di samping sebuah proyek perkamusan - terbitnya lima jilid "Seri Puisi
Jerman" yang telah saya sebutkan tadi. Ini membuktikan, bahwa lembaga-lembaga negara
Jerman tetap peduli terhadap penyebaran atau penyosialisasian sastra Jerman di luar negeri,
khususnya di Indonesia.

Upaya yang (tidak) dilakukan pemerintah atau lembaga-lembaga negara Indonesia
dalam bidang penyebaran sastra Indonesia di Jerman
Tak banyak yang dapat diceritakan di sini, kalau yang diharapkan adalah fakta atau
bukti mengenai upaya-upaya nyata lembaga kenegaraan di Indonesia. Memang, DKI Jakarta
pernah ikut mensponsori terbitnya sebuah antologi berisikan puisi tentang Jakarta dan
Berlin
2
, tapi selain itu tak ada upaya yang saya ketahui, dan andai memang ada, seharusnya
saya, sebagai anggota Komisi lndonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra, pernah mendengar
tentangnya.
Ini berarti, hampir sama sekali tid ak ada upaya negara Indonesia atau lembaga-
lembaga negara Indonesia untuk menyebarkan karya sastra Indonesia di Jerman.
Mengecewakan! Bahkan mengejutkan! Bukankah lebih dari 10 tahun yang lalu, yakni atas

1 Sebuah dokumentasi lengkap tentang latar belakang dan kegiatan Komisi Indonesia-
Jerman untuk Bahasa dan Sastra" terdapat di : Berthold Damshauser: Peran Negara
dalam Penyebaran Sastra: Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra", Horison
XLIII, No. 12/2008, hal. 18-30.
Pada bagian akhir makalah ini dilampirkan teks dua dokumen resmi berkaitan dengan
Komisi itu, yakni teks brosur Komisi serta kata sambutan Presiden Republik Indonesia.

2 Berthold Damshauser/Ramadhan K.H. (editor): Jakarta dan Berlin dalam Cermin Puisi,
Pustaka Firdaus/Jakarta 2002.
petunjuk Presiden Republik Indonesia, telah dibentuk sebuah komisi yang diwajibkan untuk
memperjuangkan penyebaran sastra Indonesia di Jerman? Bukankah dalam komisi itu
terdapat juga anggota dari pihak Indonesia, yakni lembaga kenegaraan seperti Deplu,
Depdiknas, Pusat Bahasa etc.? Bukankah political will" Presiden Indonesia, yaitu Presiden
Soeharto, yang bersama Kanselir Jerman membentuk komisi bilateral itu , telah diperkuat
oleh Presiden Habibie melalui kata sambutan" menjelang sidang komisi yang pada tahun
1998 dilaksankan di Kementeriaan Pendidikan dan Budaya.
3

Sebagai dosen untuk bahasa dan sastra Indonesia, lebih lagi sebagai pecinta budaya
dan sastra Indonesia, saya teramat kecewa dengan kenyataan pahit itu. Dan, sebagai anggota
Komisi Indonesia-Jerman, yang merasa terpanggil untuk juga bertindak demi penyebaran
sastra Indonesia, saya merasa gagal total. Tadinya, saya berharap wakil Indonesia dalam
komisi itu akan bercontoh kepada mitra Jermannya, akan pula berjuang demi terwujudnya
sebuah proyek nyata, sebuah Seri Puisi Indonesia" dalam bahasa Jerman misalnya.
Bukannya saya tidak berusaha, macam-macam proyek telah saya sarankan kepada
pihak/wakil Indonesia dalam komisi itu. Terakhir saya sarankan proyek antologi puisi
Indonesia mutakhir. Sejak beberapa tahun proyek itu telah juga saya bicarakan dengan pihak
Pusat Bahasa yang juga merupakan anggota komisi. Pembicaraan demikian selalu
menimbulkan harapan bahwa kelak akan ada hasil nyata. Tapi akhirnya dan entah kenapa
tidak juga ada rindakan. Padahal, naskah antologi puisi Indonesia mutakhir dalam terjemahan
Jerman sudah siap cetak. Dan tadinya sudah ada kesepakatan juga, bahwa bukunya perlu
diluncurkan di beberapa kota di Jerman, juga di Swis dan Austria negara-negara berbahasa
Jerman itu, dengan dihadiri oleh penyair-penyair Indonesia yang puisinya dimuatkan dalam
antologi ini. Telah pula ada ide bersama untuk menjadikan peluncuran itu suatu event, suatu
peristiwa yang istimewa. Penyairpenyair Indonesia akan diutuskan ke Jerman, Austria dan
Swis dalam rangka sebuah "delegasi aksara" yang sebelumnya tak pernah ada. Kali ini
Indonesia, yang sudah terbiasa mengutuskan wakil-wakil kesenian tradisional atau budaya
lisan, seperti penari atau pemusik gamelan, akan mengutuskan mereka yang sanggup
membuktikan kepada dunia, bahwa Indonesia juga memiliki budaya modern serta budaya
aksara. Yakni para seniman bahasa yang mencipta dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional
sebuah bangsa berbudaya tinggi yang telah sampai dalam kemodernan.
Tetapi, semua ini tetap impian belaka. Kapan diwujudkan? Wallahualam...


3 Teks kata sambutan Presiden Habibie dilampirkan pada bagian akhir makalah ini.
Penerjemah adalah Penyairnya Penyair:
catatan singkat tentang penerjemahan karya susastra
Adalah Novalis (1772-1801), pujangga Jerman dari zaman romantik, yang betul-betul
menyadari peranan dan kewajiban penerjemah, ketika mengatakan: Penerjemah adalah
Penyairnya Penyair. Kalimat itu berarti, bahwa seorang penerjemah perlu bertindak sebagai
sastrawan atau seniman bahasa saat ia menerjemahkan karya susastra. Karena penerjemahan
karya susastra seharusnya merupakan penciptaan ulang dalam bahasa tujuan, tentu dengan
memperhatikan semantika ("makna") serta estetika (keindahan) teks asli. Hanya terjemahan
demikianlah yang akan berhasil dalam upaya memperkenalkan karya susastra ke publik yang
berbahasa berbeda.
Ini berarti, bahwa seorang penerjemah sastra, apalagi seoarang penerjemah puisi,
wajib berbakat sastra, wajib berkemampuan menulis teks sastrawi. Ini syarat pertama. Syarat
kedua yang tak penting: Ia wajib menguasai, benar-benar menguasai, bahasa dari teks yang
mau diterjemahkannya. Andai kurang menguasai bahasa itu--kesempurnaan dalam menguasai
bahasa asing memang jarang terjadi--ia wajib melibatkan penutur asli sebagai nara sumber.
Seorang teman saya yang penerjemah juga sastrawan, Wolfgang Kubin, pernah
mengatakan bahwa di antara para penerjemah susastra terdapat terlalu banyak "pembunuh
ganda". Yang ia maksudkan adalah mereka yang berani .menerjemahkan karya sastra, walau
kurang menguasai bahasa asal (dan tak juga melibatkan penutur asi) dan tidak menguasai
bahasanya sendiri. Mereka adalah pembunuh: Pembunuh bahasa asal dan bahasa tujuan.
Bahkan boleh ditambahkan: Mereka juga pembunuh sastrawan yang karyanya
diterjemahkan oleh mereka. Karena terjemahan tak bermutu bukan saja tidak akan bertahan
dan mungkin ditertawakan, tapi akan juga menghancurkan nama baik seorang sastrawan. Apa
bunuh diri juga terjadi? Ya, terjadi juga. Dan, sayang sekali, sering terjadi di Indonesia ini.
Paling sedikit secara tidak langsung. Yakni, ketika seorang sastrawan Indonesia rela karyanya
diterjemahkan, misalnya ke bahasa Inggeris, oleh orang-orang yang: 1) bukan penutur asli
bahasa Inggeris, dan 2) karena itu mustahil menghasilkan teks puitis seperti dapat diharapkan
dari seorang penyair atau seniman bahasa yang penutur asli bahasa Inggeris. (Mungkin ada
kekecualian, mungkin ada segelintir orang yang sanggup menghasilkan teks puitis dalam
bahasa yang bukan bahasa ibu, tapi itu terjadi sangat jarang.)
Mengingat semua itu, saya tidak akan berani menerjemahkan sendiri puisi Jerman ke
bahasa Indonesia, karena tahu keterbatasan saya dalam menyusun teks puitis dalam bahasa
Indonesia. Karena itu saya bekerja sama dengan penyair Indonesia. Dulu dengan Ramadhan
K.H., dan sejak beberapa tahun dengan sahabat saya Agus R. Sarjono. Sebagai tim, Agus dan
saya kiranya memenuhi syarat-syarat bagi penerjemah yang bertanggung jawab: Benar-benar
memahami teks asal, lalu sanggup mencipta ulang dalam bahasa tujuan. Bersama-sama kami
merasa boleh berupaya menjadi "penyairnya penyair".
Semoga terjemahan karya susastra yang disampaikan kepada pembaca Indonesia,
termasuk para siswa yang akan dididik oleh calon guru yang ramai menghadiri seminar ini,
senantiasa bermutu dan sanggup memperkaya mereka yang membuka diri terhadapnya!

Lamp ir an 1:
Penyebarluasan Karya Sastra
I ndonesia dan J erman Melalui Terjemahan
Serta Usaha Memajukan Bidang Perkamusan
Komisi I ndonesia-J erman untuk Bahasa dan Sastra

Dalam rangka kunjungan kenegaraan Kanselir Helmut Kohl di Indonesia pada tahun 1996
Presiden Soeharto dan Kanselir Jerman telah mencapai kesepakatan untuk membentuk
sebuah "Komisi Bersama untuk Bidang Bahasa dan Sastra". Mengenai kesepakatan ini
Kanselir Kohl, dalam pidatonya pada jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh
Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1996, menyatakan sebagai berikut:
"Kami [Presiden Soeharto dan Kanselir Kohl] akan membentuk sebuah Komisi Bersama,
yang bertugas untuk menyebarkan dan memperluas pengetahuan kita mengenai kesusastraan
dan bahasa masing-masing. Secara kongkret hal itu berarti, bahwa kita bersama-sama akan
berusaha untuk lebih memperkenalkan karya susastra Indonesia dan Jerman, yaitu dengan
cara saling menerjemahkan karya-karya sastra kedua negara. Dan dalam rangka itu kita
juga perlu berusaha agar disusun kamus-kamus Indonesia-Jerman dan Jerman-Indonesia
yang modern dan lengkap. Sayakira benar-benar sudah waktunya untuk mengerjakannya."
Pada tanggal 25 September 1997 di Jakarta telah dibentuk "Komisi Indonesia- Jerman untuk
meningkatkan pengetahuan masing-masing dalam bidangsastra dan bahasa kedua negara"
(secara singkat : Komisi Bersama untuk Bidang Bahasa dan Sastra). Anggota pendirinya
adalah Departemen Kebudayaan dan Pendidikan RI, Departemen Luar Negeri RI,
Kementerian Luar Negeri RFJ, Kedutaan BesarRIdi Bonn, Kedutaan Besar RFJ di Jakarta,
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa di Jakarta, Goethe-Institut Jakarta serta ahli
ahli Indonesia dan Jerman dari kalangan akademis dan sastra.
Kesepakatan itu juga dilatarbelakangi pengertian bahwa leksikografi yang maju serta
pengetahuan timbal balik tentang sastra-sastra nasional akan menyumbangkan kontribusi
yang sangat berarti
- bagi peningkatan hubungan bilateral dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
yang dalam kerangkanya pengetahuan tentang masing-masing bahasa dan sastra merupakan
faktor yang sangat penting
- bagi pengembangan prasarana komunikasi bahasa yang optimal dalam semua bidang (ilmu
pengetahuan, ekonomi, hukum, teknologi All.), yaitu melalui penyusunan kamus-kamus
kosakata umum yang lengkap serta kamus-kamus istilah sebagai prasyarat untuk proses
penerjemahan teks-teks ilmiah.
- untuk mendukung saling pengertian kedua belah pihak dalam bidang kebudayaan dan
pandangan hidup, yaitu melalui penerjemahan karya-karya susastra dan filsafat yang agung.
Dalam mewujudkan tujuannya, Komisi mengharapkan keikutsertaan para leksikograf dan
penerjemah karya sastra. Komisi akan mendukung proyekproyek yang bermanfaat di bidang
leksikografi dan penerjemahan sastra dengan merekomendasikannya kepada lembaga
lembaga donatur yang ada. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan tujuan Komisi,
Pemerintah Republik Federal Jerman mensponsori pencetakan Kamus Indonesia-]erman
susunan Adolf Heuken, yang akan segera terbit.
Karena keterbatasan dana lembaga-lembaga donatur tersebut -dipihak Jerman terdapat
Inter Nationes dan "Gesellschaft zur Forderung der Literatur Asiens, Afrikas und
Lateinamerikas" (Lembaga untuk Memajukan Sastra Asia, Afrika dan Amerika Latin) -,
Komisi merencanakan juga pembentukan fonds sendiri untuk mendukung pelaksanaan
proyek-proyek (seperti misalnya penyusunan "bank data leksikografis" bahasa Indonesia
Jerman yang akan dapat diakses melalui internet). Fonds demikian memang baru akan
berhasil dibentuk, bila ada bantuan yang cukup besar dari para sponsor Indonesia dan
Jerman. Selain menyumbang pada fonds demikian, para sponsor berkesempatan juga untuk
mendukung proyek-proyek kongkret, misalnya publikasi hasil terjemahan sebuah karya
susastra Indonesia atau Jerman.
Sponsor yang berminat diharapkan menghubungi:
1) Bagian Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta
2) Bagian Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bonn.
Permohonan untuk memperoleh bantuan dalam rangka mengerjakan proyek leksikografi
atau penerjemahan dapat juga disampaikan kepada kedua lembaga tersebut.
(Sumber: Brosur dwibasa yang dicetak oleh Kementeriaan Luar Negeri Republik Federal
Jerman)

Lampiran 2:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
KATA SAMBUTAN
Peningkatan hubungan kerjasama dalam bidang kebudayaan antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Federal Jerman mencapai tonggak sejarah baru
dengan dihasilkannya kesepakalan bersama untuk pendirian "Komisi Indonesia-Jerman
dalam bidang Bahasa dan Sastra" pada saat kunjungan Kanselir Helmut Kohl ke Indonesia
pada bulan Oktober 1996.
Saya gembira mendengar bahwa tujuan perabentukan komisi bersama adalah untuk
menyebarkan dan memperluas pengotahuan kedua bangsa mengenai kesusastraandan bahasa
masing-masing. Bangsa Indonesia dan Jerman akan saling memperkenalkan karya-karya
sastranya dengan menerjernahkan dan menyebarluaskan kepada masyarakat kedua negara.
Dalam kerangka itu pula, kornisi bersama dapat mengusahakan penyusnnan kamus
Indonesia- Jerman dan kamus Jerman-Indonesia yangmutakhir dan lengkap.
Saya percaya pembentukan komisi bersama ini dapat memajukan leksikografi
Indonesia dan Jerman serta penerjemahan timbal balik dalam bidang sastra. Kemajuan
leksikografl dan pengetanuan timbal balik tentang sastra, merupakan sumbangan yang sangat
berarti bagi peningkatan hubungan antara Jerman dan Indonesia, seperti: peningkatan
hubungan dalarn bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, pengembangan persyaratan
komunikasi bahasa dalam segala disiplin ilmu, memajukan pengajaran Bahasa Jerman di
Indonesia dan pengajaran Bahasa Indonesia di Jerman, serta mendukung terjalinnya saling
pengertian di antara kedua bangsa di bidang kebudayaan dalam arti luas. Dengan demikian,
pendirian "Komisi Indonesia-Jerman dalam bidang Bahasa dan Sastra" ini diharapkan akan
lebih meningkatkan jumlah pelajar dan mahasiswa yang akan menempuh studi di kedua
negara.
Saya berharap Sidang ke-2 Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra ini
dapat menghasilkan sualu bentuk nyata bagi upaya peningkatan hubungan kedua bangsa dan
negara kita dalam bidang kebudayaan.
Kepada semua peserta sidang, saya ucapkan selamat bertugas. Semoga
berhasil dan sukses.
Jakarta, 24 Agustus 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
B. J. H A B I B I E
Tentang Pemakalah:
Berthold Damshauser lahir 1957 di Wanne-Eickel. Sejak 1986 mengajar bahasa dan sastra
Indonesia di Institut fur Orient- und Asienwissenschaften (Lembaga Kajian Asia) di
Universitas Bonn. Pemimpin redaksi Orientierungen", sebuah jurnal tentang kebudayaan-
kebudayaan Asia. Penerjemah puisi Jerman ke bahasa Indonesia dan puisi Indonesia ke
bahasa Jerman. Penyunting antologi puisi Indonesia dan Jerman. Bersama Agus R. Sarjono
menjadi editor "Seri Puisi Jerman". Salah seorang pendiri Komisi Jerman-Indonesia untuk
Bahasa dan Sastra. Daftar publikasinya terakses di: www.uni-bonn.de/~uso008/
Publikationen/publik_

JEJAK BUDAYA KORUPSI
DALAM TOGOG MENGGUGAT
KARYADJOKO B.

Resti Nurfaidah
Balai Bahasa Bandung


Pendahuluan
Togog Menggugat merupakan sebuah mahakarya yang berasal dari kebiasaan penulis
untuk selalu membuat joke di sela-sela kegiatan kesehariannya (TM, 2008:5). Namun penulis
bukan merupakan pelawak kacangan yang mengumbar humor murahan. Dalam buku ini,
humor penulis dibentuk sedemikian rupa menjadi humor kelas atas dengan kutipan beberapa
cerita atau kata-kata bijak para filsuf dan tokoh ternama.
Tema humor dalam buku ini adalah budaya korupsi yang telah marak ditemukan
dalam kehidupan masyarakat bumi pertiwi ini. Slogan- slogan antikorupsi kerap
dikumandangkan dan dibombardirkan ke tengah masyarakat. Namun, para penggemar
korupsi jumlahnya semakin meningkat tajam. Meskipun demikian, mereka tampak seperti
kelompok rayap yang kerapkali tidak tertangkap dalam lensa mata, tetapi tiba-tiba mampu
menghancurkan sebuah bangunan. Cara-cara korupsi itu pun kini semakin canggih dengan
melibatkan kaum hawa, teknologi, atau asset-aset fiktif. Korupsi telah menjadi buah
simalakama karena jika tidak dilakukan seseorang akan disingkirkan, tetapi jika dilakukan
akan menuai badai dalam kehidupannya.
Gambaran tentang korupsi dan berbagai hal yang bergulat dalam dunia korupsi dan
para koruptor tergambar jelas dalam bentuk rangkaian dialog antara dalang dan para
punakawan, serta antar tokoh pewayangan lainnya. Buku ini juga mengusung beberapa
nasihat yang tidak menggurui karena disajikan dengan rangkaian dialog yang cukup ringan
sehingga dapat dipahami oleh berbagai kalangan yang memiliki minat baca tinggi, terutama
para koruptor sendiri.
Tokoh Togog disampaikan dalam cerita ini sebagai pengusung utama dialog selain Ki
Dalang sendiri. Dalam sebuah sumber (wikipedia) Togog yang aslinya merupakan putra dewa
dengan nama Bathara Antaga mengikuti sayembara pemilihan penguasa kahyangan. Salah
satu syarat untuk menjadi penguasa adalah kemampuan untuk menelan sebuah gunung.
Namun, gunung itu tidak mampu ditelannya dan hanya tersangkut di mulutnya. Akibatnya
mulutnya tampak melebar. Bentuk mulut demikian menggambarkan ketamakan Togog.
Namun, Togog bertobat dan bersama Batara Ismaya (Semar), Togog akhirnya diutus turun ke
marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati
kehidupan dan kebajikan pada manusia. Semar pada akhirnya dipilih sebagai pamong untuk
para ksatria berwatak baik (pandawa)dan togog diutus sebagai pamong untuk para ksatria
dengan watak buruk (kurawa).
Nurwahid (dalam Djoko B., 2008:20) menyatakan bahwa buku ini dibaca dan
disebarluaskan sebagai usaha pencerahan kepada masyarakat, agar semua kalangan dari
tingkat apapun serta golongan manapun dapat peduli serta ikut serta mendukung usaha
pemberantasan korupsi di negeri ini, agar semua mengerti dan memahami, dan yang lebih
penting lagi tidak ikut-ikutan korupsi.
Sementara itu, Indrayana (dalam Djoko B., 2008:25) menyatakan bahwa kemudahan
dalam memahami isi buku ini adalah dengan ditampilkannya tokoh pewayangan. Wayang
adalah sastra tradisi dalam kehidupan masyarakat di Pulau Jawa. Melalui media wayang ini,
para leluhur menyampaikan ajaran-ajaran, pesan-pesan moral, nilai-nilai leluhur yang patut
diteladani dan diamalkannya.
Korupsi bukan merupakan perkara yang mudah. Pemerintah dengan berbagai upaya
melakukan pemberantasan korupsi ke tengah masyarakat. Terlebih, berupaya membersihkan
kasus serupa dalam tubuhnya sendiri. Namun, upaya itu terasa hambar karena kasus
korupsi terus bermunculan. Indrayana dalam sumber yang sama (dalam Djoko B., 2008:26)
menyatakan bahwa sebenarnya banyak jalan menuju Roma untuk pemberantasan korupsi itu,
salah satu di antaranya seperti yang dilakukan penulis dalam buku Togog Menggugat itu.

Jejak Budaya Korupsi dalam Togog Menggugat Karya Djoko B: Sebuah Resensi
Budaya
Togog Menggugat menyampaikan korupsi secara paripurna diawali dengan
penyampaian definisi korupsi dan koruptor, jenis korupsi, kata-kata bijak, kisah teladan,
peran ibu, dan si kancil.
Definisi Korupsi, J enis Korupsi, dan Definisi Koruptor
Dalam episode pertama, disampaikan definisi dan jenis-jenis korupsi oleh, ironisnya,
para kurawa. Dursasana (dalam Djoko B., 2008:33) menyatakan bahwa makna harfiah
korupsi adalah keinginan untuk menguasai barang yang bukan miliknya secara paksa, baik
secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Sementara itu, korupsi terdiri
atas beberapa jenis sebagai berikut.
1. Korup transaksional, yaitu korup yang timbul karena ada pemberi dan penerima di
mana kedua-duanya ingin mendapatkan keuntungan dan sama-sama aktif
mengupayakan hal itu.
2. Korup mirip preman, yaitu korup yang sifatnya memeras. Pihak yang diperas harus
memberikan penyuapan guna menghindari hambatan atau halangan atas usaha atau
karirnya.
3. Korup bersifat otogenik, yaitu korup yang melibatkan yang bersangkutan sendiri,
misalnya manajer yang mendukung peraturan karena hal itu akan memberikan
keuntungan baginya.
4. Korup bersifat defensif, yaitu korup yang timbul ketika ada yang menawarkan uang
suap untuk membela kepentingannya.
5. Korup bersifat investasi, yaitu korup berupa imbalan barang atau jasa pelayanan yang
diberikan sebaik-baiknya kepada pihak tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan
imbalan proyek atau imbalan karir atas pelayanan itu.
6. Korup bersifat nepotisme, yaitu korup yang diawali dengan penunjukkan kerabatnya
untuk menduduki suatu jabatan atau kerabatnya mendapatkan perlakuan khusus
sehingga menjadi ATM (Anjungan Tunai Mandiri) pihak tertentu.
7. Korup bersifat suportif, yaitu korup yang muncul akibat sikap masa bodoh dari
masyarakat sehingga memungkinkan untuk memperluas peluang terjadinya korup itu.
Orang yang melakukan tindakan korupsi disebut orang korup atau koruptor.
Koruptor adalah orang yang tamak, orang yang serakah, orang yang cintanya akan harta dan
kekayaannya sangat berlebihan, orang yang mengumpulkan dan menimbun harta kekayaan
menjaditujuan utama hidupnya, orang yang dengan mudah menjadi keras hati, dan buta
terhadap kebutuhan orang-orang yang kurang beruntung (TM,2008:94). Koruptor berasal dari
benih-benih ketidakseimbangan antara kepentingan pribadi, kehendak, keinginan. Akibatnya,
ia akan melakukan kebohongan demi kebohongan untuk menggapai kehendak, keinginan,
dan ambisi pribadinya itu. Terkadang koruptor menunjukkan sikap yang benar kepada
khalayak. Padahal, apa yang ia lakukan semata hanya kebohongan publik. Kebohongan demi
kebohongan selalu diperbuat koruptor silih berganti untuk mengganti kebohongan yang lalu
(TM,2008:40).

Kata-kata Bijak
Buku ini juga menyajikan beberapa kata bijak yang berkaitan dengan memaknai hidup dan
korupsi itu sendiri, di antaranya sebagai berikut.
1. Viktor Emil Frankel: 'Manusia harus mempunyai makna hidup, tanpa makna hidup,
manusia akan kehilangan hidup itu sendiri' (TM,2008:45),
2. Imam Al-Ghazali: 'Cahaya atau nur dari hati itu akan tampak, jika hati itu selalu
dibersihkan dan disucikan dari sifat-sifat tercela (TM,2008:53).
3. Jacques Lacan: 'Kita tidakbisa bercermin diri, maka bahasalah yang akan senantiasa
menggantikan atau mengikutinya' (TM,2008:54).
4. Martin Heidegger: 'Berkata dan berbicara itu tidaklah sama, seseorang bisa saja
bicara banyak, tetapi sebetulnya tidak mengatakan sesuatu apa pun, seseorang yang
diam saja, tanpa bicara, akan mengatakan banyak hal' (TM,2008:61).
5. Dante Alighieri: 'Tempat yang paling jahanam dalam proses pembusukan di segala
bidang adalah mereka yang pada masa krisis moral yang hebat tetap berskap netral'
(TM,2008:79).
6. Kartini: 'Seorang perempuan yang mengorbankan diri untuk orang lain, dengan
segala rasa cinta yang ada dalam hatinya, dengan segala asyik yang ada padanya,
itulah ibu. Lebih tinggi ibu yang jadi ibu karena hati sanubarinya, daripada ibu yang
menjadi ibu hanya karena badannya' (TM,2008:85).
7. Pablo Picasso: 'Lukisan sekali-sekali tidaklah sekadar untuk menghiasi apartemen-
apartemen, tetapi itu adalah alat untuk menyerang dan sekaligus pertahanan melawan
musuh' (TM,2008:126).
8. Muhammad Baqir: 'Tidak ada suatu masa kapan pun yang sama sekali bersih dari
dosa dan noda yang mencemari hidup manusia. Karena itu tidak dibenarkan adanya
sikap yang menganggap seolah-olah sekarang ini Zaman Edan dan bahwa tidak ada
jalan lain kecuali mengikuti arus agar lebih aman dan berhasil (TM,2008:197).
9. Samuel (pemimpin bangsa Ibrani); 'Di sinilah aku di hadapan kesaksian Tuhan, di saat
aku jadi pemimpinmu, lembu dan keledai siapa telah aku ambil? Siapa yang telah aku
peras? Dari tangan siapa telah kuterima sogok sehingga aku harus tutup mata? Aku
akan mengembalikan kepadamu!' (TM,2008:199).
10. Mahatma Gandhi: 'Bumi itu cukup persediaannya untuk memenuhi kebutuhan kita,
tetapi tidak akan cukup memenuhi keserakahan kita!' (TM,2008:204).
11. John F. Kennedy: 'Ketika kekuasaan telah menyeret manusia ke arah arogansi, puisi
telah mengingatkan bahwa manusia punya keterbatasan. Ketika kekuasaan
mendangkalkan area kepedulian, puisi mengingatkan bahwa eksistensi manusia itu
kaya dan punya banyak ragam. Ketika kekuasaan itu menyimpang, puisi
membersihkannya!'.
Kisah teladan
Gambaran tentang korupsi disampaikan penulis melalui beberapa kisah teladan
berikut, baik yang berasal dari khazanah sastra Indonesia maupun sastra dunia. Kisah-kisah
teladan yang terdapat dalam Togog Menggugat adalah sebagai berikut.

1) Karang Taruna dan 17 Agustusan
Bukan hal yang aneh jika Karang Taruna di berbagai tempat di kawasan bumi pertiwi
ini mau bersusah payah memeriahkan peringatan hari kemerdekaan yang jatuh pada tanggal
17 Agustus. Berbagai upaya dilakukan mereka untuk memeriahkan hari bersejarah itu.
Penggalangan dana, penyusunan rencana kegiatan, pelaksanaan kegiatan, dan
pembahasannya. Semua dilakukan tanpa pamrih dan tidak sedikit pun mengambil keuntungan
dari dana tersebut demi memeriahkan hari kemerdekaan, menggalang persatuan dan kesatuan,
dan mempererat hubungan sosial antarwarga. Upaya mereka pada umumnya didukung oleh
warga setempat, bahkan tidak jarang warga atau karang taruna itu bersedia mengeluarkan isi
kocek mereka untuk menutupi kekurangan dana agustusan itu (TM, 2008:4546).
Dari kisah karang taruna tadi, dapat kita simpulkan bahwa hidup itu harus dijalankan
dengan terlebih dahulu menentukan makna dalam kehidupan. Makna kehidupan akan muncul
dengan sendirinya ketika kita sadar akan tanggung jawab, ketika kita tidak memiliki
keserakahan, ketika kita memandang serius manusia adalah saudara dan hamba Allah, dan
ketika kita sadar bahwa kita hidup itu untuk ibadah (TM, 2008: 46).

2) Kisah Dua Pemahat
Pada zaman dahulu kala, dua orang pemahat ternama dipanggil ke kerajaan untuk
meredam persaingan tidak sehat di antara keduanya. Mereka diperintahkan untuk mengikuti
lomba pahat di kerajaan itu. Di dalam kerajaan itu terdapat sebuah bangunan yang dua
dindingnya terbuat dari batu mulia. Untuk menghindari perseteruan di aritara mereka di
antara dua dinding itu dibentangkan sebuah tirai besar. Pada hari H, kain itu dibuka. Hasil
pahatan kedua pemahat itu sama bagusnya. Namun, pemahat I menilai bahwa karya pemahat
II lebih bagus. Ia minta perpanjangan waktu. Tirai pun dipasang kembali. Pada hari H , tirai
itu dibuka. Seperti hari pertama, pemahat I merasa tidak puas dengan hasil karyanya. Ia
menaruh rasa iri kepada pemahat II . Hal itu terus berulang sampai berbulan-bulan lamanya.
Batas waktu pun tiba. Tirai dibuka. Pemahat I merasa bahwa hasil karya pemahat II masih
jauh lebih bagus -daripadanya. Pemahat I selalu mencurahkan tenaganya sepenuh jiwa untuk
mengubah hasil pahatannya, sementara pemahat II hanya menghaluskan hasil pahatan
pertamanya sehingga karyanya tampak lebih kemilau.
Dari kisah dua pemahat itu dapat kita ambil kesimpulan bahwa pemahat I
mencerminkan manusia yang terlalu mencintai dunia. Ia tidak pernah merasa puas dengan
apa yang telah diraihnya serta senantiasa menaruh iri kepada orang lain. Pemahat II
merupakan gambaran orang bijak, yaitu orang yang selalu berhasil menghaluskan hatinya
bagai cermin. Orang seperti inilah yang bisa merasakan kebahagiaan melebihi orang-orang
terkaya manapun (TM, 2008:4952).
3) Kisah Harun Al-Rasyid
Kisah tentang Harun Al-Rasyid, seorang khalifah dan Raja Dinasti Abbasiyah (Irak)
dalam buku ini terdiri dari dua kisah, yaitu kisah tentang dialog sang raja dengan Syaqiq
Al_Bakhli (seorang sufi terkemuka) dan kisah raja dengan Fudhail bin Iyad.
a) Kisah Harun Al-Rasyid dan Syaqiq Al Bakhli
Pada suatu hari sang raja mendatangi Syaqiq Al-Bakhli, seorang sufi ternama di Irak
untuk meminta nasihat beliau tentang tanggung jawab seorang pemimpin. Sufi itu bertanya
kepada sang raja bahwa jika ia sedang berada di sebuah padang tandus yang maha luas. Di
tengah perjalanan ia merasa kehausan. Pada saat itu, datang seorang pengembara yang
membawa botol air minum. Namun, pengembara itu memberikan syarat jatah setengah
kerajaan sang raja sebagai penebus botol air minum itu. Sufi itu bertanya apa yang akan
dilakukan sang raja jika berada dalam kondisi demikian? Raja berkata bahwa ia dengan
sukarela akan memberikan setengah kerajaannya. Kemudian, sufi itu bertanya kembali, jika
sang raja telah segar kembali dan meneruskan perjalanan, tentu pada suatu saat ia akan buang
air kecil. Namun, ia tidak dapat melakukan hal itu di padang tandus tadi. Tentu saja, hal itu
berbuah derita sehingga ia harus menemui seorang tabib. Namun, tabib itu mengajukan syarat
yang sama seperti yang diajukan sang pengembara. Raja menjawab jika ia berada dalam
kondisi seperti itu, ia akan memberikan setengah kerajaan itu kepada tabib demi menebus
kesembuhan dirinya. Sufi pun tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban sang raja. Ia
berkata bahwa nilai kerajaan itu sangat rendah, yaitu setara sebotol air minum dan segelas air
kencing. Mendengar hal itu sang raja menangis tersedu-sedu.
Dari kisah sang raja Irak itu dapat kita ambil kesimpulan bahwa menjadi seorang
pemimpin itu sangat berat. Risikonya sangat tinggi. Harun AI-Rasyid mengetahui bahwa
siksaan bagi seorang pemimpin yang hanya mengejar tahta dan fasilitas jabatan, lupa
terhadap tugas dan tanggung jawab kepada rakyatnya, tidak adil, dan tidak jujur sangat berat.
Banyak pemimpin yang alpa bahwa kepemimpinan itu merupakan sebuah amanah dan kerja
yang penuh tanggung jawab lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat (TM, 2008:57
62).
b) Kisah Harun Al-Rasyid dan Fudhail bin Iyad
Kisah ini bercerita tentang Harun Al-Rasyid yang berkunjung kepada Fudhail bin
Iyad, salah seorang sufi terkenal. Sang raja meminta nasihat karena ia mulai merasa jenuh
dengan segala kemewahan dan tahta yang ada dalam genggamannya. Fudhail memberikan
nasehat kepada raja yang tersiksa itu. Ia menyarankan bahwa sang raja dapat melepaskan
siksaan batin itu dengan cara-cara sebagai berikut, yaitu memandang orang lanjut usia
sebagai orang tua sendiri, menganggap kaum muda sebagai saudara dan anak sendiri,
mengunjungi kedua orang tua, menghormati saudara, dan menjadi ayah yang baik,
menunjukkan rasa takut kepada Allah, mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,
menjaga diri untuk selalu bersikap hatihati dan bijaksana, serta bersikap peduli terhadap
orang yang membutuhkan. Kemudian, sang raja berkata apakah sufi itu memiliki utang. Sang
sufi pun menjawab ya. Raja menawarkan berpundi-pundi uang kepadanya. Namun, sufi itu
berkata bahwa ia berutang banyak kepada Allah, bukan utang kepada sesama manusia, yang
ia khawatir tidak akan dapat memenuhi jika Allah suatu saat menagih kepadanya. Sang raja
merasa malu kepada sufi sederhana itu (TM, 2008:164166).
Kisah raja itu dapat kita simpulkan sebagai berikut. Fudhail merupakan gambaran
penasihat kerajaan yang bertindak jujur dan senantiasa menyampaikan kebenaran kepada
rajanya. Berbeda dengan para penasihat pemimpin sekarang ini. Sebelum ditarik ke kerajaan
atau istana kepresidenan, calon penasihat ini dikenal sebagai orang yang vokal dan senantiasa
menyuarakan kebenaran. Namun, ketika ditarik sebagai kepercayaan orang nomor satu di
satu negara, ia seolah bungkam dan lebih mendukung tindakan dan kehendak pemimpinnya
daripada mengarahkan sang pemimpin ke jalan yang benar. Jika sang pemimpin tersangkut
sebuah perkara, para penasihat akan membela mati-matian atasannya itu dengan mengumbar
dalil-dalil yang cenderung menguntungkan sang pemimpin dan kedudukan mereka sendiri.
Dengan kata lain, mereka cenderung menjadi seorang penjilat yang haus harta dan haus
kedudukan. Zaman sekarang, gambaran sikap penjilat bukan hanya terjadi pada para
penasihat pejabat saja, melainkan pula telah merambah ke berbagai bidang kelimuan
lainnya.
3) Kisah Istri Bos Perusahaan Lilin Negara
Seorang istri bos mulai bercerita dalam sebuah arisan pertemuan ibu-ibu Perusahaan
Lilin Negara yang suasananya kaku. Namun, lama-kelamaan para istri pegawai PLN itu
mulai tertarik dengan cerita istri bos itu. Terlebih cerita yang disampaikan itu berbau humor
seksual. Sejak saat itu, istri si bos selalu ditunggu kehadirannya pada setiap pertemuan.
Dengan demikian, istri bos tersebut dapat dengan mudah menyampaikan ide-ide, gagasan,
atau kehendaknya (TM, 2008:63-67).
Dari cerita istri bos tadi dapat kita simpulkan bahwa humor cukup memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia karena humor itu dapat memecahkan kebekuan,
menghilangkan ketegangan, dapat dijadikan sebagai sarana menjual dan menghasilkan, serta
menyembuhkan segala penyakit fisik dan penyakit hati (TM, 2008:68). Para koruptor itu juga
mengetahui bahwa humor itu sangat penting dalam kehidupannya. Mereka rela membeli
humor dengan uang hasil korupnya. Mereka menginginkan berumur panjang, tetapi sayang
jiwanya sangat kering. Humor yang mereka beli tidak dapat dijadikan sebagai sarana untuk
sadar diri dan mengembangbiakkan toleransinya untuk ingat sesama agar tak korupsi lagi.
5) Kisah Si Ujang dan Juragan Asep
Pada suatu hari Si Ujang mendengar bahwa Juragan Asep akan mengobral tanahnya
dengan harga murah. Ketika ia mendatanginya, juragan itu hanya meminta upah sewa tanah
seribu per hari. Namun, Si Ujang harus menerima syaratnya, yaitu bersedia berkeliling ke
seluruh tanah untuk menentukan luas yang akan disewanya selama sehari penuh. Sebuah
tongkat ditancapkan sebagai tanda batas awal dan akhir. Si Ujang tanpa perhitungan berlari
dengan cepat mengelilingi tanah juragan. Rupanya tanah itu sangat luas sehingga ia
kelelahan. Namun, dengan sekuat tenaga ia berusaha melawan kelelahan yang sudah-
menderanya hingga akhirnya tepat ketika matahari terbenam, Si Ujang berhasil meraih
tongkat itu meskipun harus kehilangan nyawanya.
Dari kisah tersebut dapat kita buat satu simpulan bahwa Si Ujang merupakan
gambaran anak muda yang merasa angkuh dengan segala kkelebihannya serta terlalu
mencintai dunia. Si Ujang tidak mampu memperhitungkan diri dengan cermat sebelum
mencapai start. Ia memforsir seluruh tenaganya sejak awal pertandingan sehingga staminanya
mengalami kelelahan di tengah perjalanan. Ia tidak dapat memutuskan untuk melakukan
sesuatu yang berguna dalam kondisi lemah. Ia terlalu memaksakan diri hingga akhirnya
menemui ajalnya tepat di garis akhir (TM, 2008:98-105).
6) Kisah Orang Dermawan
Pada suatu hari seorang tuan tanah, yang terkenal kedermawanannya sangat tinggi itu,
yang memiliki banyak kebun mengajak tamunya untuk melihat kebun mangga miliknya. Ia
memerintahkan seorang pegawai penjaga kebun kepercayaannya untuk memilihkan mangga
yang akan dihidangkan kepada tamunya. Namun, sang tuan merasa kecewa karena mangga
hasil kebunnya itu semua masam. Ia bertanya kepada pegawainya mengapa ia tidak dapat
membedakan mana mangga yang manis dan yang masam. Namun, tuan tanah itu akhirnya
merasa malu ketika mendengar jawabannya. Rupanya selama 15 tahun masa baktinya kepada
tuan tanah itu tidak pernah sedikit pun tangan dan lidahnya menjamah buah mangga di kebun
itu. Pegawai tersebut menyadari bahwa buah itu bukanlah miliknya sehingga tidak patut
dijamahnya (TM, 2008:106-108).
Dari kisah tuan tanah yang dermawan tadi dapat kita simpulkan bahwa seseorang
harus dapat melihat mana yang hitam dan yang putih, mana yang baik dan mana yang buruk,
mana yang halal dan mana yang haram, termasuk yang abu-abu atau belum jelas kepastian
hukumnya. Para koruptor justru merupakan orang-orang yang tidak mampu melihat kedua hal
yang kontradiksi itu hingga akhirnya tergelincir ke jurang kesesatan.
7) Kisah Profesor dan Penolongnya
Pada suatu hari seorang profesor berjalan pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan
ia terperosok ke dalam sebuah sumur. Teriakan sang profesor di dengar oleh seseorang yang
bersedia menolongnya. Namun, ketika mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan sang
penolong, profesor itu menegurnya dan mengatakan bahwa tata bahasanya sangat buruk dan
harus diperbaiki. Dengan perasaan tidak enak, sang penolong pun akhirnya membatalkan
pertolongannya dan mengatakan bahwa jika ingin diselamatkan oleh dirinya, sang profesor
harus menunggu selama rentang waktu satu dasawarsa karena ia membutuhkan waktu
sebanyak itu untuk belajar memperbaiki tata bahasanya (TM, 2008:121-122).
Dari kisah tersebut dapat kita simpulkan bahwa profesor tadi memanfaatkan
kelemahan si penolong agar dirinya tampak hebat. Sementara itu sang penolong yang egonya
memuncak karena teguran tadi merasa jengkel karena terusik kelemahannya. Profesor tadi
ingin menunjukkan kepiawaiannya sementara si penolong ingin dihargai sebagai seorang
pahlawan. Makna lebih dalam yang dapat kita petik dari kisah tersebut adalah kesadaran akan
keberagaman. Dunia ini terdiri atas berbagai keragaman. Tentu saja, semua itu merupakan
karunia Illahi yang patut disyukuri dan dihargai makhluknya. Setiap hal yang ada di dunia ini
memiliki kelemahan dan kelebihannya. Kewajiban yang patut kita lakukan adalah memahami
keragaman berikut segala kelemahan dan kelebihannya itu.
Toleransi tinggi digambarkan penulis pada kehidupan rayap. Serangga kecil itu
bentuknya sangat kecil, tetapi memiliki kebersamaan yang sangat solid. Kerja sama rayap
sangat bagus, tetapi hanya dapat dilakukan di tempat gelap. Rayap tidak tahan dengan terpaan
sinar matahari. Cara kerja rayap itu merupakan cerminan cara kerja para koruptor yang hanya
mau berkubang di tempat yang gelap saja karena ia tidak mungkin memamerkan
kepiawaiannya itu di tempat yang sangat terbuka. Koruptor itu seperti rayap, senang
memakan tiang-tiang penting dalam sebuah bangunan. Koruptor juga demikian, memakan
tiang-tiang bangunan sebuah negara hingga negara itu hancur Iuluh.
8) Kisah Raja Telanjang
Pada zaman dahulu, ada seorang raja yang terkenal sangat gemar berbelanja baju
mewah dan memamerkan di depan rakyatnya. Tidak ada jalan lain bagi rakyat kerajaan itu
selain memuji busana sang raja. Pada suatu hari dua orang penipu yang mengaku sebagai
perancang busana datang menghadapnya. Mereka menyatakan bahwa rancangan busana
untuk sang raja terbuat dari bahan-bahan yang tidak biasa jenisnya dan sangat mahal
harganya. Namun, baju itu hanya dapat dilihat oleh orang-orang pintar atau para petinggi
negeri itu. Sementara itu, orang-orang yang bodoh tidak akan dapat melihat
busana itu. Raja percaya dengan ucapan kedua penipu itu. Dikenakannya busana tak terlihat
mata telanjang itu dan ia berjalan di depan rakyatnya memamerkan keindahan karya sang
penipu itu. Namun, di tengah perjalanan, seorang anak kecil melontarkan komentar yang
sangat menyinggung perasaan sang raja. Anak itu menertawakan sang raja karena pemimpin
itu tidak malu memamerkan tubuhnya yang telanjang di hadapan rakyatnya. Raja akhirnya
merasa malu.
Dari kisah tadi dapat kita simpulkan bahwa kebenaran atau kejujuran dapat
memporakporandakan kebohongan dan kepalsuan. Raja menggambarkan seseorang yang
memiliki talenta megalomania, yaitu orang yang menganggap bahwa dirinya sendiri yang
lebih mulia daripada orang lain serta menganggap rendah orang lain. Selain itu, raja
menganggap bahwa rakyat jelata dapat dipermainkan dengan sesuka hati. Koruptor juga
demikian. Perilakunya dalam menggeruk harta haramnya itu tentu merupakan penipuan dan
dusta yang mengorbankan kepentingan orang lain. Dengan kata lain, korupsi bisa memecah
belah persatuan, menimbulkan keadaan yang tidak stabil, membuat orang menjadi tidak peka,
menyeret seseorang ke arah yang salah, mendukung pemimpin yang salah, melunturkan
legitimasi pemimpin, dan memberikan teladan yang salah kepada generasi yang akan datang
(TM, 2008:131-134).
9) Kisah Petani Lencho dan Pegawai Pos
Seorang petani yang merasa kecewa karena lahan ladangnya musnah diterpa badai.
Petani itu bernama Lencho. Lencho lalu menulis surat kepada Tuhan dan mengirimkan surat
yang berisi permohonan permintaan uang itu ke kantor pos. Surat itu sangat menyita
perhatian para pegawai pos. Mereka membuka surat itu. Hati mereka tersentuh setelah
membaca surat itu. Pemimpin kantor pos lalu memutuskan untuk menggalang dana bagi
Lencho. Dana yang terkumpul berjumlah 70 peso dari 100 peso yang diinginkan oleh
Lencho. Lencho merasa kecewa ketika balasan darituhan yang berisi uang sisihan para
pegawai pos itu dibukanya. Ia mengirimkan surat kedua yang berisi permohonan kepada
Tuhan untuk memberikan sisa kekurangan dana yang ia butuhkan.
Kisah Lencho tadi menggambarkan krisis kepercayaan para petani, rakyat kecil,
terhadap orang-orang disekitarnya. Namun, kita masih dapat melihat sisi baik dari cerita itu,
yaitu ketika para pegawai pos, yang juga dilanda krisis yang sama, juga terketuk hatinya dan
masih sempat menyisihkan sedikit bagian dari gaji mereka yang tidak seberapa untuk
menolong orang lain. Para koruptor tidak dapat menaruh kepercayaan kepada lingkungan
sekitar, bahkan Tuhan, demi meraup tumpukan harta haramnya itu.
10) Kisah Sebuah Keluarga
Sepasang orang tua mendapat pertanyaan dari sang anak tentang segala kelebihan
yang dimiliki oleh dirinya. Ia belum merasa yakin apakah dirinya lebih kuat daripada ibu atau
ayahnya. Namun, pada akhir dialog, sang ayah mengatakan bahwa ia Iebih kuat daripada
kedua orangtuanya karena ia merupakan buah cinta ayah-ibunya. Sang anak bertanya lagi
tentang makna cinta. Lagi-lagi anak itu mendapat jawaban bijak dari sang ayah bahwa ia
merupakan buah cinta kedua orangtuanya (TM, 2008:151-153).
Dari kisah singkat itu dapat kita ambil satu kesimpulan bahwa peran kedua orang tua
sangat penting dalam kehidupan seorang anak. Dengan pendidikan kasih sayang yang tepat,
sang anak akan mampu berdiri tegak saat ia dewasa kelak.
11) Kisah Murid dan Guru
Pada suatu hari seorang murid bersama gurunya bertafakur di atas sebuah puncak
bukit. Sang murid bertanya bagaimana caranya agar ia dapat dipertemukan dengan seseorang
yang akidahnya lebih baik dan agar mereka dapat belajar banyak dari orang itu. Sang guru
memerintahkan muridnya untuk menemui si Fulan. Muriditu sangat heran ketika menyadari
bahwa orang yang ditemuinya hanyalah seorang buruh miskin. Ia kembali kepada gurunya
dan menyampaikan keheranannya. Sang guru memerintahkan muridnya untuk mengambil
semangkuk air dan diletakkan di kepalanya. Diperintahkannya pula sang murid untuk terus
berzikir kepada Allah, sambil berkeliling'desa serta menjaga agar air di dalam mangkuk itu
tidak tumpah. Karena terlalu berkonsentrasi pada mangkuk itu, sang murid tidak sempat
berzikir. Guru yang bijak pun mengatakan bahwa baru saja sang murid mendapatkan tugas
yang kecil sudah alpa kepada Illahi sementara si Fulan yang lebih berat beban hidup dan
pekerjaannya masih dapat beribadah kepada Allah (TM, 2008:158-159).
Dari kisah murid dan guru tadi dapat kita simpulkan bahwa si Fulan merupakan
gambaran seseorang yang tingkat spiritualnya sangat tinggi. Meskipun didera beban
kehidupan yang berat, ia tidak pernah melupakan aktivitas spiritualnya kepada Sang Pencipta
karena ia menyadari bahwa hal itu akan menghindarkannya dari perbuatan keji dan mungkar.
Sementara, sang murid merupakan gambaran betapa manusia itu sangat rapuh dan mudah
berbelok dari jalan yang lurus.
12) Kisah Sekelompok Anjing
Pada suatu hari, Rumi sedang berjalan. Ia melihat sekelompok anjing yang tampak
rukun sedang bermalas-malasan di bawah terik matahari. Ketika seseorang datang kepadanya
dan mengatakan bahwa kawanan anjing itu akrab satu sama lain. Rumi menjawab bahwa
kelompok anjing itu tampak damai jika tidak ada pemancing kerusuhannya. Namun, jika kita
lemparkan sepotong tulang ke tengah-tengah mereka, kelompok yang damai dan tenteram itu
akan berubah menjadi kisruh saling berebut tulang tanpa memedulikan orang lain.
Dari kisah tadi dapat kita simpulkan bahwa kehidupan seperti kawanan anjing dapat
menimpa diri kita. Kehidupan sekelompok manusia yang damai dan tenteram akan berubah
drastis menjadi kisruh jika timbul sifat rakus, tidak mau berbagi, tidak menerima apa adanya,
tidak sanggup membatasi keinginan, dan tidak rela. Kehidupan para koruptor pun demikian,
dunia mereka seakan dipenuhi kedamaian. Namun, ketika tulang-tulang pengundang korupsi
dilemparkan ke hadapan mereka, mereka akan bertindak ganas seperti kelompok anjing tadi.
Akibatnya, negara juga yang merugi karena tulang-belulangnya habis digerogoti pihak yang
salah dan keji.


13) Kisah Pak Waras
Pak Waras adalah salah seorang korban semburan lumpur Lapindo. Ia mendapatkan
uang ganti rugi yang sangat besar. Beruntung, Pak Waras dikaruniai sifat jujur. Ia
mengembalikan tiga per empat uang ganti rugi, yang ia sebut sebagai 'kelebihan', kepada
perusahaan yang bertanggung jawab atas terjadinya bencana itu. Pihak perusahaan sangat
menghargai keputusan dan kejujuran Pak Waras. Mereka memberikan penghargaan setinggi-
tingginya kepada Pak Waras dengan memberikan sebuah rumah siap huni, uang tunai dalam
jumlah yang cukup besar, dan perhiasan yang cukup mahal. Upacara pemberian penghargaan
itu juga dihari para petinggi di tempat itu dan diliput oleh beberapa media. Namun, Pak
Waras bukanlah Firaun yang sangat pongah dengan kekayaannya. Ia tetap seorang lelaki
sederhana yang menganggap bahwa sebenarnya ia tidak pantas untuk mendapatkan
penghargaan yang nilainya sangat besar itu (TM, 2008:241-242).

Humor
Sekali lagi, korupsi dan berbagai hal yang bergelimpangan di dalamnya digambarkan
penulis melaui jalur komedi dalam buku ini. Sekali lagi, humor merupakan sarana penting
dalam kehidupan di semua kalangan. Humor juga mutlak diperlukan berbagai kalangan.
Kalangan kaum papa merupakan kelompok masyarakat yang memerlukan humor yang dapat
menertawakan diri sendiri. Di kalangan para petinggi, termasuk para koruptor, humor sedapat
mungkin dapat dijadikan sebagai sarana untuk membaca diri sendiri dan sadar diri. Humor
sebenarnya merupakan obat mujarab untuk segala penyakit fisik dan penyakit hati.

Peran I bu
Togog Menggugat juga menampilkan beberapa sosok wanita mulia, terutama yang
telah menjadi ibu, di antaranya, Kartini, Marsinah, dan Maryam binti Imran. Kartini
merupakan pahlawan yang berjuang melalui kata-katanya. Kata-kata yang terangkai dalam
surat korespondensi bersama sahabat-sahabatnya di negeri Kincir Angin. Kartini banyak
mengumbarkan persamaan derajat di antara kaum hawa dan keinginannya untuk memajukan
mereka. Sementara itu, Marsinah yang hanya seorang buruh pabrik jam tangan, berjuang
melalui sikap tubuhnya untuk mendapatkan kenaikan upah kerja yang tidak seberapa besar
jumlahnya. Marsinah laksana berhadapan dengan senjata makan tuan karena perjuangan yang
ia lakukan akhirnya telah berbalik mencabut nyawanya. Sementara itu, Maryam adalah
gambaran seorang ibu yang taat kepada Tuhannya. Ia menjadi pendamping setia Isa as sejak
masih dalam buaian hingga ajal menjemputnya.
Mengapa ibu ditampilkan dalam buku ini? Ibu merupakan sekolah pertama bagi anak-
anaknya. Korupsi adalah buah dari akibat pendidikan moral dan etika yang gagal. Pendidikan
moral dan etika tentu saja sudah harus ditanamkan sejak janin manusia masih berada dalam
kandungan ibunya. Pemberantasan korupsi dapat dilakukan ibu sejak dini kepada anak-
anaknya, dengan demikian sang anak sudah memiliki pegangan yang kuat ketika menghadapi
kerasnya kehidupan kaum dewasa sekarang ini.

Si Kancil
Cerita Si Kancil merupakan cerita legenda yang melekat hampir dalam setiap generasi di
bumi pertiwi ini. Si Kancil dikenal dalam berbagai sekuel ceritanya sebagai binatang yang
lincah, cerdik, dan selalu. dapat mengelabui musuh-musuhnya. Namun, banyak pakar
pendidikan yang berpendapat bahwa negeri kita sudah disusupi budaya koruptor sejak kecil,
aitu melalui cerita Si Kancil itu. Untuk mengelabui musuh-musuhnya, Si Kancil selalu
memiliki siasat atau tipuan yang dapat menjebak mereka. Si kancil lebih merupakan
gambaran koruptor saat ini. Si Kancil selalu menemukan jalan pintas untuk keluar dari
persoalan dengan mudah, aman, dan cepat baginya. Ia tidak peduli dengan nasib musuh-
musuhnya yang terjungkal begitu saja demi kemenangan yang diraihnya. Dikaitkan dengan
para koruptor, mereka selalu mencari jalan pintas yang bisa memberikan imbalan pundi-
pundi harta yang melimpah tanpa harus bersusah payah memeras keringat. Cerita Si Kancil
menuai kontroversi dan jika disampaikan kepada siswa harus mengalami perubahan alur
cerita.

Kiat Memberantas Korupsi
Pada bagian akhir buku ini, penulis memberikan gambaran tentang kiat untuk
menghindarkan diri dari budaya korupsi. Kiat-kiat untuk menghindari hal itu, antara lain,
sebagai berikut yang diambil dari kisah Ramayana. Dalam kisah tersebut terdapat delapan
kewajiban yang patut dipenuhi oleh seorang pemimpin berikut yang disebut Hashta Brata
(TM, 2008:235-237).
1. Keharusan meneladani watak Endra, yaitu meneladani sifat bumi atau tanah, seperti rela,
legawa, menerima apa adanya, dan rendah hati.
2. Keharusan meneladani watak Surya, yaitu meneladani sifat matahari yang pada setiap
edarnya senantiasa memancarkan pencerahan ilmu terus-menerus dengan teratur
3. Keharusan meneladani watak Bayu, yaitu meneladani sifat angin yang senantiasa
menghembuskan napas kehidupan dan selalu waspada dengan cikal bakal pemecahan
kerukunan.
4. Keharusan meneladani watak Kuwera, yaitu selalu bersikap seperti mendung atau awan
yang senantiasaa memayungi atau mengayomi serta memberikan ketentraman.
5. Keharusan meneladani watak Baruna, yaitu harus bersikap seperti samudera sebagai
tempat yang mampu menampung dan memberikan solusi segala keluh kesah tanpa
mengeluh, bermanfaat setiap waktu dan setiap tempat, serta sebagai penyejuk dari segala
kehausan.
6. Keharusan meneladani watak Yama, yaitu bersikap seperti bintang yang mampu
menerangi manusia di dalam gelap agar ia tidak tersesat.
7. Keharusan meneladani watak Chandra, seperti rembulan yang tampak putih, bersih, dan
tampak dekat dengan Tuhan.
8. Keharusan meneladani watak Brama, yaitu bersikap seperti api dengan cara
menyingkirkan nafsu-nafsu api angkara murka, rriampu memuliakan, serta mengajak
orang lain ke dalam kebaikan.
Selain kedelapan kewajiban tadi, penulis juga menegaskan bahwa seorang calon
pemimpin sejak awal sudah menyadari dan memahami bagaimana seharusnya mereka
bersikap. Dengan demikian, mereka tidak akan berbuat aniaya, tidak memanipulasi, dan
korupsi ketika mereka mencapai dan menduduki jabatan yang strategis itu (TM, 2008:238).

Simpulan
Togog Menggugat merupakan sebuah bacaan dalam sebuah cermin yang sanggup
mengaduk-aduk perasaan kita pada saat membacanya. Gaya komedi dan penampilan karakter
beberapa tokoh pewayangan mampu menekan ketajaman satir yang diungkapkan penulis
kepada para pembacanya, terutama mereka yang pernah atau hampir tergelincir ke dalam
jurang korupsi. Buku ini layak dijadikan sebagai sumber pemecahan dalam pemberantasan
korupsi di tengah masyarakat dengan cara yang tidak menggurui.
Togog Menggugat menyampaikan bunga rampai korupsi, mulai dari definisi, baik
korupsi dan koruptor, termasuk faktor pencetus serta kiat untuk memberantas korupsi itu
sendiri. Budaya korupsi yang tumbuh pesat di dalam masyarakat rupanya sudah dipicu sejak
awal dalam budaya kita, yaitu bersumber pada cerita Si Kancil. Cerita Si Kancil menuai
kontroversi. Ia adalah binatang yang cerdik dan memikiki segudang tipuan untuk mengelabui
musuh-musuhnya. Gambaran seperti itu juga terdapat pada koruptor. Ia berupaya membuka
jalan pintas dalam mencapaitujuannya, menjadi kaya dalam tempo singkat, tanpa harus
bersusah payah. Cerita ini telah berakar dan melekat erat dalam setiap generasi manusia di
bumi pertiwi. Oleh karena itu, sejumlah pakar mengutarakan bahwa isi cerita Si Kancil harus
diubah sebelum disampaikan kepada anak-anak kita.
Selain cerita Si Kancil, buku ini juga menyajikan keteladan wanita, terutama ibu, yang
bertindak sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya. Pendidikan moral dan etika mutlak
ditanamkan sedini mungkin dalam kehidupan seorang anak, agar ia mampu menancapkan
akar kebenaran saat dewasa kelak. Buku ini juga menyajikan beberapa kisah teladan, baik
yang berasal dari khazanah sastra di negeri ini juga dari sastra dunia. Makna yang diperoleh
dari kisah-kisah teladan tersebut dapat kita tanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa
kata bijak yang sarat makna kehidupan juga dikutip penulis sebagai dasar pemahaman
terhadap sikap hidup pembaca dalam mencermati budaya korupsi yang dijabarkan dalam
buku itu.

Daftar Pustaka

http://id.wikipedia.org/wiki/Togog diunduh tanggal 1 Juni 2009 pukul 10.00 WIB
Djoko B. 2008. Togog Menggugat. Yogyakarta: Rumah Tumbuh Publishing.

Anda mungkin juga menyukai