Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem reproduksi merupakan hal utama yang diperlukan untuk memiliki
keturunan dan memenuhi kebutuhan seksual manusia dewasa. Tetapi
pengetahuan tentang reproduksi seharusnya didapat sejak dini untuk
pengetahuan agar tidak menjadi topik yang tabu dikalangan masyarakat sebab
dari reproduksi itu sendiri banyak sekali masalah yang ditimbulkan jika
terjadi ketidaktahuan terutama tentang hal-hal berbahaya seperti penularan
penyakit. Kelainan Anatomi Serta Penyakit Infeksi Pada Sistem Reproduksi
terutama pada Pria yang belum banyak diketahui dimasyarakat ternyata telah
banyak terjadi di kalangan masyarakat kelas manapun. Penyakit infeksi pada
sistem reproduksi mempunyai penyebaran yang sangat cepat. Karena setiap
manusia pasti memiliki kebutuhan masing-masing mengenai reproduksi.
Salah satu penyakit pada sisitem reproduksi terutama pada pria adalah
penyakit infeksi epididimitis yaitu peradangan pada epididimis yang bisa
bersifat akut dan kronik. Hal ini bisa menimbulkan berbagai masalah seperti
timbulnya nyeri dan bengkak disertai dengan timbulnya indurasi pada
skrotum. Apabila tidak segera dilakukan intervensi maka akan menimbulkan
komplikasi yang membahayakan nyawa.
Untuk mencegah agar komplikasi ini tidak terjadi pada pasien yaitu
adanya penatalaksaan yang cepat dan tepat. Adapun yang berperan dalam
menangani pasien dengan epididimitis ini yaitu dokter bedah, perawat, serta
tenaga medis yang lain. Dengan keadaan yang demikian ini, maka wajib bagi
perawat untuk memahami konsep dasar dari penyakit epididimitis serta
asuhan keperawatan yang harus dilakukan pada pasien dengan penyakit
epididimitis.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah yang termasuk penyakit infeksi pada system reproduksi pria?
1.2.2 Apakah yang termasuk penyakit kelainan anatomi pada system
reproduksi pria?
1.2.3 Apakah definisi dari epididimitis?
1.2.4 Apakah etiologi dari epididimitis?
1.2.5 Apakah manifestasi klinis dari epididimitis?
1.2.6 Bagaimanakah patofiologi dari epididimitis?
1.2.7 Apakah pemeriksaan pemunjang yang harus dilakukan pada
epididimitis?
1.2.8 Apakah penatalaksanaan dari epididimitis?
1.2.9 Apakah komplikasi dari epididimitis?
1.2.10 Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan epididimitis?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui beberapa penyakit infeksi pada system reproduksi
pria
1.3.2 Untuk mengetahui beberapapenyakit kelainan anatomi pada system
reproduksi pria
1.3.3 Untuk mengetahui definisi dari epididimitis
1.3.4 Untuk mengetahui etiologi dari epididimitis

1.3.5
1.3.6
1.3.7

Untuk mengetahui manifestasi klinis dari epididimitis


Untuk mengetahui patofiologi dari epididimitis
Untuk mengetahui pemeriksaan pemunjang yang harus dilakukan pada
epididimitis
1.3.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari epididimitis
1.3.9 Untuk mengetahui komplikasi dari epididimitis
1.3.10 Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan
epididimitis

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Alat Reproduksi Pria

Gb.1. anatomi reproduksi pria


Sistem
reproduksi
pria
meliputi
organ-organ
reproduksi,
spermatogenesis dan hormon pada pria. Organ reproduksi pria terdiri atas
organ reproduksi dalam dan organ reproduksi luar :
2.1.1 Organ Reproduksi Dalam
Organ reproduksi dalam pria terdiri atas testis, saluran pengeluaran dan
kelenjar asesoris.
1. Testis
Testis (gonad jantan) berbentuk oval dan terletak didalam kantung
pelir (skrotum). Testis berjumlah sepasang (testes = jamak). Testis terdapat
di bagian tubuh sebelah kiri dan kanan. Testis kiri dan kanan dibatasi oleh
suatu sekat yang terdiri dari serat jaringan ikat dan otot polos.
Fungsi testis secara umum merupakan alat untuk memproduksi
sperma dan hormon kelamin jantan yang disebut testoteron.
2. Saluran Pengeluaran
Saluran pengeluaran pada organ reproduksi dalam pria terdiri dari
epididimis, vas deferens, saluran ejakulasi dan uretra.
1) Epididimis
Epididimis merupakan saluran berkelok-kelok di dalam skrotum
yang keluar dari testis. Epididimis berjumlah sepasang di sebelah kanan
dan kiri. Epididimis berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara
sperma sampai sperma menjadi matang dan bergerak menuju vas
deferens.
2) Vas deferens
Vas deferens atau saluran sperma (duktus deferens) merupakan
saluran lurus yang mengarah ke atas dan merupakan lanjutan dari
epididimis. Vas deferens tidak menempel pada testis dan ujung

salurannya terdapat di dalam kelenjar prostat. Vas deferens berfungsi


sebagai saluran tempat jalannya sperma dari epididimis menuju kantung
semen atau kantung mani (vesikula seminalis).
3) Saluran ejakulasi
Saluran ejakulasi merupakan saluran pendek yang menghubungkan
kantung semen dengan uretra. Saluran ini berfungsi untuk
mengeluarkan sperma agar masuk ke dalam uretra.
4) Uretra
Uretra merupakan saluran akhir reproduksi yang terdapat di dalam
penis. Uretra berfungsi sebagai saluran kelamin yang berasal dari
kantung semen dan saluran untuk membuang urin dari kantung kemih.
3. Kelenjar Asesoris
Selama sperma melalui saluran pengeluaran, terjadi penambahan
berbagai getah kelamin yang dihasilkan oleh kelenjar asesoris. Getah-getah
ini berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pergerakakan
sperma. Kelenjar asesoris merupakan kelenjar kelamin yang terdiri dari
vesikula seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar Cowper.
1) Vesikula seminalis
Vesikula seminalis atau kantung semen (kantung mani) merupakan
kelenjar berlekuk-lekuk yang terletak di belakang kantung kemih.
Dinding vesikula seminalis menghasilkan zat makanan yang merupakan
sumber makanan bagi sperma.
2) Kelenjar prostat
Kelenjar prostat melingkari bagian atas uretra dan terletak di bagian
bawah kantung kemih. Kelenjar prostat menghasilkan getah yang
mengandung kolesterol, garam dan fosfolipid yang berperan untuk
kelangsungan hidup sperma.
3) Kelenjar Cowper
Kelenjar Cowper (kelenjar bulbouretra) merupakan kelenjar yang
salurannya langsung menuju uretra. Kelenjar Cowper menghasilkan
getah yang bersifat alkali (basa).
2.1.2 Organ Reproduksi Luar
Organ reproduksi luar pria terdiri dari penis dan skrotum.
1. Penis
Penis terdiri dari tiga rongga yang berisi jaringan spons. Dua
rongga yang terletak di bagian atas berupa jaringan spons korpus
kavernosa. Satu rongga lagi berada di bagian bawah yang berupa jaringan
spons korpus spongiosum yang membungkus uretra. Uretra pada penis
dikelilingi oleh jaringan erektil yang rongga-rongganya banyak
mengandung pembuluh darah dan ujung-ujung saraf perasa. Bila ada
suatu rangsangan, rongga tersebut akan terisi penuh oleh darah sehingga
penis menjadi tegang dan mengembang (ereksi).
2. Skrotum
Skrotum (kantung pelir) merupakan kantung yang di dalamnya
berisi testis. Skrotum berjumlah sepasang, yaitu skrotum kanan dan
skrotum kiri. Di antara skrotum kanan dan skrotum kiri dibatasi oleh
sekat yang berupa jaringan ikat dan otot polos (otot dartos). Otot dartos
berfungsi untuk menggerakan skrotum sehingga dapat mengerut dan

mengendur. Di dalam skrotum juga tedapat serat-serat otot yang berasal


dari penerusan otot lurik dinding perut yang disebut otot kremaster. Otot
ini bertindak sebagai pengatur suhu lingkungan testis agar kondisinya
stabil. Proses pembentukan sperma (spermatogenesis) membutuhkan
suhu yang stabil, yaitu beberapa derajat lebih rendah daripada suhu
tubuh.

Gb.2. Anatomi sperma


3. Spermatogenesis
Spermatogenesis terjadi di dalam di dalam testis, tepatnya pada
tubulus seminiferus. Spermatogenesis mencakup pematangan sel epitel
germinal dengan melalui proses pembelahan dan diferensiasi sel, yang
mana bertujuan untuk membentu sperma fungsional. Pematangan sel
terjadi di tubulus seminiferus yang kemudian disimpan di epididimis.
Dinding tubulus seminiferus tersusun dari jaringan ikat dan
jaringan epitelium germinal (jaringan epitelium benih) yang berfungsi
pada saat spermatogenesis. Pintalan-pintalan tubulus seminiferus terdapat
di dalam ruang-ruang testis (lobulus testis). Satu testis umumnya
mengandung sekitar 250 lobulus testis. Tubulus seminiferus terdiri dari
sejumlah besar sel epitel germinal (sel epitel benih) yang disebut
spermatogonia (spermatogonium = tunggal). Spermatogonia terletak di
dua sampai tiga lapisan luar sel-sel epitel tubulus seminiferus.
Spermatogonia terus-menerus membelah untuk memperbanyak diri,
sebagian dari spermatogonia berdiferensiasi melalui tahap-tahap
perkembangan tertentu untuk membentuk sperma.1
Pada tahap pertama spermatogenesis, spermatogonia yang bersifat
diploid (2n atau mengandung 23 kromosom berpasangan), berkumpul di
tepi membran epitel germinal yang disebut spermatogonia tipe A.
Spermatogenia tipe A membelah secara mitosis menjadi spermatogonia
tipe B. Kemudian, setelah beberapa kali membelah, sel-sel ini akhirnya
menjadi spermatosit primer yang masih bersifat diploid. Setelah melewati
beberapa minggu, setiap spermatosit primer membelah secara meiosis
membentuk dua buah spermatosit sekunder yang bersifat haploid.
Spermatosit sekunder kemudian membelah lagi secara meiosis
membentuk empat buah spermatid. Spermatid merupakan calon sperma

yang belum memiliki ekor dan bersifat haploid (n atau mengandung 23


kromosom yang tidak berpasangan). Setiap spermatid akan
berdiferensiasi menjadi spermatozoa (sperma). Proses perubahan
spermatid menjadi sperma disebut spermiasi.
Ketika spermatid dibentuk pertama kali, spermatid memiliki bentuk
seperti sel-sel epitel. Namun, setelah spermatid mulai memanjang
menjadi sperma, akan terlihat bentuk yang terdiri dari kepala dan ekor.
Kepala sperma terdiri dari sel berinti tebal dengan hanya sedikit
sitoplasma. Pada bagian membran permukaan di ujung kepala sperma
terdapat selubung tebal yang disebut akrosom. Akrosom mengandung
enzim hialuronidase dan proteinase yang berfungsi untuk menembus
lapisan pelindung ovum.
Pada ekor sperma terdapat badan sperma yang terletak di bagian
tengah sperma. Badan sperma banyak mengandung mitokondria yang
berfungsi sebagai penghasil energi untuk pergerakan sperma.
Semua tahap spermatogenesis terjadi karena adanya pengaruh
sel-sel sertoli yang memiliki fungsi khusus untuk menyediakan makanan
dan mengatur proses spermatogenesis.
2.1.3 Hormon pada Pria
Proses spermatogenesis distimulasi oleh sejumlah hormon, yaitu
testoteron, LH (Luteinizing Hormone), FSH (Follicle Stimulating
Hormone), estrogen dan hormon pertumbuhan.
1. Testoteron
Testoteron disekresi oleh sel-sel Leydig yang terdapat di antara
tubulus seminiferus. Hormon ini penting bagi tahap pembelahan sel-sel
germinal untuk membentuk sperma, terutama pembelahan meiosis untuk
membentuk spermatosit sekunder.
2. LH (Luteinizing Hormone)
LH disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. LH berfungsi
menstimulasi sel-sel Leydig untuk mensekresi testoteron
3. FSH (Follicle Stimulating Hormone)
FSH juga disekresi oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior dan
berfungsi menstimulasi sel-sel sertoli. Tanpa stimulasi ini, pengubahan
spermatid menjadi sperma (spermiasi) tidak akan terjadi.
4. Estrogen
Estrogen dibentuk oleh sel-sel sertoli ketika distimulasi oleh FSH.
Sel-sel sertoli juga mensekresi suatu protein pengikat androgen yang
mengikat testoteron dan estrogen serta membawa keduanya ke dalam
cairan pada tubulus seminiferus. Kedua hormon ini tersedia untuk
pematangan sperma.
5. Hormon Pertumbuhan
Hormon pertumbuhan diperlukan untuk mengatur fungsi
metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara khusus meningkatkan
pembelahan awal pada spermatogenesis.
2.2 Kelainan Anatomi Pada Sistem Reproduksi Pria
Berikut beberapa gangguan pada sistem reproduksi pria :

2.2.1 Hipogonadisme
1. Definisi
Hipogonadisme adalah penurunan fungsi testis yang disebabkan
oleh gangguan interaksi hormon, seperti hormon androgen dan
testoteron. Gangguan ini menyebabkan infertilitas, impotensi dan tidak
adanya tanda-tanda kepriaan. Penanganan dapat dilakukan dengan
terapi hormon.
2. Etiologi
a. Hipogonadisme Primer
Hipogonadisme primer atau kegagalan testis terjadi akibat
penyakit sisitemik , gagal ginjal dan serosis.orkitis , radioterapi
gonad atau obat-obcat sistemik anti kanker(jarang terjadi ) , adanya
sindrom knilfelter(kariotipeXXY) , terjadi 1 pada 1000 kelahiran.
b. Hipogonadisme Sekunder
Hipogonadisme (kegagalan hypothalamus hipofisis) dapat
disebabkan oleh penyakit berat atau malnutrisi, penyakit hipofisis,
hiperprolaktinemia, Sindrom Kallmann (sindrom genetic terkait
kromosom X yang menyebabkan kegagalan hypothalamus
mensekresikan GnRH disertai dengan anosmia.
3. Manifestasi Klinis
Gangguan tidur, kelelahan kronis, mudah tersinggung, lesu, nafsu
seksual hilang, mudah tegang, muncul rasa panas di sekitar dada dan
leher, disfungsi seksual, atau terus menerus berkeringat.
4. Penatalaksanaan
1) Terapi penggantian Androgen: dapat menghilangkan gejala gejala
dan mencegah osteoporosis, tetapi tidak dapat memperbaiki
infertilitas, yang pada hipergonadisme primer bersifat irreversible.
2) Gonadotropin atau GnRH digunakan untuk merangsang fertilitas pada
hipergonadisme sekunder.
2.2.2 Kriptorkidisme
1. Definisi
Kriptorkidisme adalah kegagalan dari satu atau kedua testis untuk
turun dari rongga abdomen ke dalam skrotum pada waktu bayi.
2. Etiologi
a. Gangguan hormone gonadotropin
b. Genetik
3. Penatalaksanaan
Hal tersebut dapat ditangani dengan pemberian hormon human
chorionic gonadotropin untuk merangsang terstoteron. Jika belum turun
juga, dilakukan pembedahan.
2.2.3 Anorkidisme
Anorkidisme adalah penyakit dimana testis hanya bejumlah satu atau
tidak ada sama sekali.
2.2.4 Hyperthropic prostat
1. Definisi
Hyperthropic prostat adalah pembesaran kelenjar prostat yang
biasanya terjadi pada usia-usia lebih dari 50 tahun. Penyebabnya belum
jelas diketahui.

Gb.3. Hyperthropic prostat


2. Etiologi
1) Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut
2) Peranan dari growth factor sebagai pemacu pertumbuhan struma
kelenjar prostat
3) Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang
mati
4) Teori sel sterm menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
sterm sehingga menyebabkan produksi sel struma dan sel epitel
kelenjar prostat menjadi berlebihan.
3. Manifestasi Klinis
1) Sulit untuk mulai berkemih.
2) Aliran kemih lemah, dan kadang-kadang terhenti.
3) Kencing menetes sebelum dan setelah berkemih.
4) Sering merasa sangat ingin berkemih.
5) Sering bangun di malam hari untuk berkemih.
6) Rasa tidak puas setelah berkemih, terasa kandung kemih masih ada
isinya tetapi sudah tidak bisa dikeluarkan lagi.
2.2.5 Kanker prostat
Gejala kanker prostat mirip dengan hyperthropic prostat. Menimbulkan
banyak kematian pada pria usia lanjut.
2.2.6 Kanker testis
1. Definisi
Kanker testis adalah pertumbuhan sel-sel ganas di dalam testis
(buah zakar), yang bisa menyebabkan testis membesar atau menyebabkan
adanya benjolan di dalam skrotum (kantung zakar).
2. Etiologi
Kebanyakan kanker testis terjadi pada usia di bawah 40 tahun.
Penyebabnya yang pasti tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang
menunjang terjadinya kanker testis:
1) Testis undesensus (testis yang tidak turun ke dalam skrotum)
2) Perkembangan testis yang abnormal
3) Sindroma Klinefelter (suatu kelainan kromosom seksual yang ditandai
dengan rendahnya kadar hormon pria, kemandulan, pembesaran
payudara (ginekomastia) dan testis yang kecil).

Faktor lainnya yang kemungkinan menjadi penyebab dari kanker


testis tetapi masih dalam taraf penelitian adalah pemaparan bahan kimia
tertentu dan infeksi oleh HIV. Jika di dalam keluarga ada riwayat kanker
testis, maka resikonya akan meningkat. 1% dari semua kanker pada pria
merupakan kanker testis. Kanker testis merupakan kanker yang paling
sering ditemukan pada pria berusia 15-40 thun.
3. Manifestasi Klinis
a.
Testis membesar atau teraba aneh (tidak seperti
biasanya)
b.
Benjolan atau pembengkakan pada salah satu atau
kedua testis
c.
Nyeri tumpul di punggung atau perut bagian
bawah (Ginekomastia)
d.
Rasa tidak nyaman/rasa nyeri di testis atau
skrotum terasa berat. Tetapi mungkin juga tidak ditemukan gejala
sama sekali.
2.2.7 Hidrocele
1. Definisi
Akumulasi cairan pada kantung skortum
2. Etiologi
Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena:
a) belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis sehingga terjadi
aliran cairan peritoneum ke prosesus vaginalis (hidrokel
komunikans)
b) belum sempurnanya sistem limfatik di daerah skrotum dalam
melakukan reabsorbsi cairan hidrokel.
Pada orang dewasa, hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer)
dan sekunder. Penyebab sekunder terjadi karena didapatkan kelainan
pada testis atau epididimis yang menyebabkan terganggunya sistem
sekresi atau reabsorbsi cairan di kantong hidrokel. Kelainan pada testis
itu mungkin suatu tumor, infeksi, atau trauma pada testis/epididimis.
3. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis hidrokel kongenital tergantung pada jumlah cairan
yang tertimbun. Bila timbunan cairan hanya sedikit, maka testis terlihat
seakan-akan sedikit membesar dan teraba lunak. Bila timbunan cairan
banyak terlihat skrotum membesar dan agak tegang. Pasien mengeluh
adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan konsistensi
kistus dan pada pemeriksaan penerawangan menunjukkan adanya
transiluminasi.

Gb.4. Hidrokel
2.2.8 Varicocele
1. Definisi
Terjadinya varises pada vena skortum.
2. Etiologi
1) Kelainan congenital berupa tidak adanya katup pada vena testikularis
kiri., yang seharusnya berfungsi untuk mencegah aliran retrograde
darah.
2) Variasi abnormal dari vena-vena testis, berupa ketidaksimetrisan
bentuk dengan vena testikularis kanan yang langsung menuju vena
cava inferior dan vena testikularis kiri menuju vena renalis kiri. Hal
ini akan menyebabkan lambatnya aliran balik dari vena testikularis
kiri.
3) Fenomena nutcracker, yaitu vena renalis kiri tertekan antara arteri
mensentrika superior dan aorta. Hal ini akan menyebabkan tingginya
tekanan dari vena testikularis kiri yang menuju ginjal kiri.
4) Peningkatan panjang dari vena testikularis kiri, vena sebelah kiri 810 cm lebih panjang dibandingkan vena testikularis kanan.
5) Sudut yang lebih tajam pada vena testikularis kiri saat memasuki
vena renalis kiri, sehingga tekanan pada vena testikularis kiri
menjadi lebih tinggi.
3. Manifestasi Klinis
Pasien bisa mengeluhkan adanya nyeri pada skrotum atau perasaan
berat pada skrotum. Keluhan yang sering muncul pada varikokel adalah
adanya perasaan adanya kantong pada skrotum bag of worms.
4. Penatalaksanaan
Terapi untuk varikokel adalah teknik bedah minimal invasive
seperti Oklusi perkutaneus dengan cara injeksi intravena material tertentu
untuk menghentikan varikokel, laparoskopik varikokelektomi, dan juga
dengan teknik bedah tradisional, menggunakan teknik ligasi.
2.2.9 Hernia inguinalis
1. Definisi
Hernia adalah prostrusi dari organ melalui lubang defektif yang
didapat atau kongenital pada dinding rongga yang secara normal berisi

10

organ. Istilah hernia berasal dari bahasa Yunani ERNOS yang berarti
penonjolan(Pusva, 2009). Hernia inguinalis adalah prolaps sebagian usus
ke dalam anulus inginalis di atas kantong skrotum, disebabkan oleh
kelemahan atau kegagalan menutup yang bersifat kongenital. ( Cecily L.
Betz, 2004). Hernia Inguinalis adalah suatu penonjolan kandungan
ruangan tubuh melalui dinding yang dalam keadaan normal tertutup
(Ignatavicus,dkk 2004).
2. Klasifikasi
Ditinjau dari letaknya, hernia inguinalis, terdiri dari 2 macam yaitu :
1) Hernia inguinalis indirect atau disebut juga hernia inguinalis lateralis
yaitu hernia yang terjadi melalui cincin inguinal dan mengikuti
saluran spermatik melalui kanalis inguinalis (Lewis,SM, 2003).
2) Hernia inguinalis direct yang disebut juga hernia inguinalis medialis
yaitu hernia yang menonjol melalui dinding inguinal posterior di area
yang mengalami kelemahan otot melalui trigonum hesselbach bukan
melalui kanalis, biasanya terjadi pada lanjut usia (Ignatavicus,dkk
2004).
3. Etiologi
Penyebab terjadinya hernia ada dua yaitu :
1) Kongenital
Terjadi sejak lahir
2) Didapat
Terjadi setelah dewasa atau pada usia lanjut. Disebabkan adanya
tekanan intraabdominal yang meningkat dan dalam waktu yang lama
misalnya batuk kronis, konstipasi kronis, gangguan proses kencing
(hipertropi prostat, striktur uretra), ascites dan sebagainya.
Black,J dkk (2002) dalam Medical Surgical Nursing, menjelaskan
bahwa penyebab hernia inguinalis adalah :
1) Kelemahan otot dinding abdomen.
2) Kelemahan jaringan
3) Adanya daerah yang luas diligamen inguinal
4) Trauma
5) Peningkatan tekanan intra abdominal.
6) Obesitas
7) Mengangkat benda berat
8) Konstipasi
9) Kehamilan
10) Batuk kronik
11) Hipertropi prostate
4. Manifestasi Klinik
1) Penonjolan di daerah inguinal
2) Nyeri pada benjolan/bila terjadi strangulasi.
3) Obstruksi usus yang ditandai dengan muntah, nyeri abdomen seperti
kram dan distensi abdomen.
4) Terdengar bising usus pada benjolan
5) Kembung
6) Perubahan pola eliminasi BAB
7) Gelisah

11

8) Dehidrasi
9) Hernia biasanya terjadi/tampak di atas area yang terkena pada saat
pasien berdiri atau mendorong.
5. Penatalaksanaan
1) Konservatif
(a) Istirahat di tempat tidur dan menaikkan bagian kaki, hernia
ditekan secara perlahan menuju abdomen (reposisi),
selanjutnya gunakan alat penyokong.
(b) Jika suatu operasi daya putih isi hernia diragukan, diberikan
kompres hangat dan setelah 5 menit di evaluasi kembali.
(c) Celana penyangga
(d) Istirahat baring
(e) Pengobatan dengan pemberian obat penawar nyeri, misalnya
Asetaminofen, antibiotic untuk membasmi infeksi, dan obat
pelunak tinja untuk mencegah sembelit.
(f) Diet cairan sampai saluran gastrointestinal berfungsi lagi,
kemudian makan dengan gizi seimbang dan tinggi protein
untuk mempercepat sembelit dan mengedan selama BAB,
hindari kopi kopi, teh, coklat, cola, minuman beralkohol yang
dapat memperburuk gejala-gejala.
2) Pembedahan (Operatif) :
(a)
Herniaplasty
Memperkecil anulus inguinalis internus dan memperkuat
dinding belakang.
(b)
Herniatomy
Pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong
dibuka dan isi hernia dibebas kalau ada perlekatan, kemudian
direposisi, kantong hernia dijahit ikat setinggi lalu dipotong.
(c)
Herniorraphy
Mengembalikan isi kantong hernia ke dalam abdomen dan
menutup celah yang terbuka dengan menjahit pertemuan
transversus internus dan muskulus ablikus internus abdominus
ke ligamen inguinal.
2.3
Infeksi Pada Sistem Reproduksi Pria
2.3.1 Uretritis
1. Definisi
Uretritis adalah peradangan uretra dengan gejala rasa gatal pada
penis dan sering buang air kecil. Organisme yang paling sering
menyebabkan uretritis adalah Chlamydia trachomatis, Ureplasma
urealyticum atau virus herpes.
2. Etiologi
Penyebab : kuman gonore atau kuman lain, kadang kadang
uretritis terjadi tanpa adanya bakteri. (Anonym 1997)
Penyebab klasik dari uretritis adalah infeksi yang dikarenakan oleh
Neisseria Gonorhoed. Akan tetapi saat ini uretritis disebabkan oleh
infeksi dari spesies Chlamydia, E.Coli atau Mycoplasma. (Emanuel
Rubin, 1982)

12

3. Manifestasi Klinis
1) Mukosa merah udematus
2) Terdapat cairan eksudat yang purulent
3) Ada ulserasi pada uretra
4) Mikroskopis : terlihat infiltrasi leukosit sel sel plasma dan sel sel
limfosit
5) Ada rasa gatal yang menggelitik, gejala khas pada uretritis G.O yaitu
morning sickness
2.3.2 Prostatitis
1. Definisi
Prostatitis adalah peradangan prostat yang sering disertai dengan
peradangan pada uretra. Gejalanya berupa pembengkakan yang dapat
menghambat uretra sehingga timbul rasa nyeri bila buang air kecil.
Penyebabnya dapat berupa bakteri, seperti Escherichia coli maupun
bukan bakteri.
2. Etiologi
Kuman yang sering ditemukan adalah E. coli, Klebsiella spp,
Proteus mirabilis, Enterococcus faecalis dan Pseudomonas aeruginosa.
Jenis kuman yang juga dapat ditemukan adalah Staphylococci,
Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis
walaupun masih menimbulkan perdebatan.
3. Manifestasi Klinis
1) Paling sering dikeluhkan nyeri pada
(a) Prostat/perineum
: 46 %
(b) Skrotum dan atau Testis
: 39 %
(c) Penis
: 6%
(d) Kandung kemih
: 6%
(e) Punggung
: 2%
2) Sering BAK
3) Sulit BAK seperti pancaran lemah, mengedan
4) Nyeri saat BAK/nyeri bertambah saat BAK
4. Komplikasi
1) Prostatic abscess
2) Kidney infection, or infection of the blood (septicemia)
3) Kanker prostat
2.3.3 Orkitis
1. Definisi
Orkitis adalah peradangan pada testis yang disebabkan oleh virus
parotitis. Jika terjadi pada pria dewasa dapat menyebabkan infertilitas.
2. Etiologi
1) Kuman patogen
2) Bakteri
3) Non spesifik : C. trachomatis
4) Spesifik
: M. tuberculosa
5) Virus : mumps
6) Imunologis : auto imun
3. Penatalaksanaan

13

Pemberian antibiotika (Fluoroquinolon atau Doxycylin) selama 2


minggu. Anti inflamasi dan anti nyeri dapat diberikan untuk mengurangi
gejala.
2.3.4 Epididimitis
1. Definisi
Epididimitis merupakan suatu proses inflamasi yang terjadi pada
epididimis. Epididimis merupakan suatu struktur berbentuk kurva (koil)
yang menempel di belakang testis dan berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sperma yang matur.
Berdasarkan timbulnya nyeri, epididimitis dibedakan menjadi
epididimitis akut dan kronik. Epididimitis akut memiliki waktu
timbulnya nyeri dan bengkak hanya dalam beberapa hari sedangkan pada
epididimitis kronik, timbulnya nyeri dan peradangan pada epididimis
telah berlangsung sedikitnya selama enam minggu disertai dengan
timbulnya indurasi pada skrotum.

Gb 5. Epididimitis
2. Etiologi
Bermacam penyebab timbulnya epididimitis tergantung dari usia
pasien, sehingga penyebab dari timbulnya epididimitis dibedakan
menjadi:
1) Infeksi bakteri non spesifik
Bakteri coliforms (misalnya E coli, Pseudomonas, Proteus,
Klebsiella) menjadi penyebab umum terjadinya epididimitis pada
anak-anak, dewasa dengan usia lebih dari 35 tahun dan homoseksual.
Ureaplasma urealyticum, Corynebacterium, Mycoplasma, and Mima
polymorpha juga dapat ditemukan pada golongan penderita tersebut.
Infeksi yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae and N
meningitides sangat jarang terjadi.
2) Penyakit Menular Seksual

14

Chlamydia merupakan penyebab tersering pada laki-laki berusia


kurang dari 35 tahun dengan aktivitas seksual aktif. Infeksi yang
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum,
Trichomonas dan Gardnerella vaginalis juga sering terjadi pada
populasi ini.
3) Virus
Virus menjadi penyebab yang cukup dominan pada anak-anak.
Pada epididimitis yang disebabkan oleh virus tidak didapatkan
adanya pyuria. Mumps merupakan virus yang sering menyebabkan
epididimitis selain coxsackie virus A dan varicella
4) Tuberkulosis
Epididimitis yang disebabkan oleh basil tuberkulosis sering
terjadi di daerah endemis TB dan menjadi penyebab utama
terjadinya TB urogenitalis.
5) Penyebab infeksi lain
seperti
brucellosis,
coccidioidomycosis,
blastomycosis,
cytomegalovirus [CMV], candidiasis, CMV pada HIV) dapat
menjadi penyebab terjadinya epididimitis namun biasanya hanya
terjadi pada individu dengan sistem imun tubuh yang rendah atau
menurun.
6) Obstruksi (seperti BPH, malformasi urogenital) memicu terjadinya
refluks.
7) Vaskulitis (seperti Henoch-Schnlein purpura pada anak-anak) sering
menyebabkan epididimitis akibat adanya proses infeksi sistemik.
8) Penggunaan Amiodarone dosis tinggi
Amiodarone adalah obat yang digunakan pada kasus aritmia
jantung dengan dosis awal 600 mg/hari 800 mg/ hari selama 1 3
minggu secara bertahap dan dosis pemeliharaan 400 mg/hari.
Penggunaan Amiodarone dosis tinggi ini (lebih dari 200 mg/hari)
akan menimbulkan antibodi amiodarone HCL yang kemudian akan
menyerang epidididmis sehingga timbullah gejala epididimitis.
Bagian yang sering terkena adalah bagian cranial dari epididimis dan
kasus ini terjadi pada 3-11 % pasien yang menggunakan obat
amiodarone.
9) Prostatitis
Prostatitis merupakan reaksi inflamasi pada kelenjar prostat
yang dapat disebabkan oleh bakteri maupun non bakteri dapat
menyebar ke skrotum, menyebabkan timbulnya epididimitis dengan
rasa nyeri yang hebat, pembengkakan, kemerahan dan jika disentuh
terasa sangat nyeri. Gejala yang juga sering menyertai adalah nyeri
di selangkangan, daerah antara penis dan anus serta punggung
bagian bawah, demam dan menggigil. Pada pemeriksaan colok
dubur didapatkan prostat yang membengkak dan terasa nyeri jika
disentuh.
10) Tindakan pembedahan seperti prostatektomi.
Prostatektomi dapat menimbulkan epididimitis karena
terjadinya infeksi preoperasi pada traktus urinarius. Hal ini terjadi
pada 13% kasus yang dilakukan prostatektomi suprapubik.

15

11) Kateterisasi dan instrumentasi


Terjadinya epididimitis akibat tindakan kateterisasi maupun
pemasangan instrumentasi dipicu oleh adanya infeksi pada urethra
yang menyebar hingga ke epididimis.
3. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya epididimitis masih belum jelas, dimana
diperkirakan terjadinya epididimitis disebabkan oleh aliran balik dari urin
yang mengandung bakteri, dari uretra pars prostatika menuju epididimis
melalui duktus ejakulatorius vesika seminalis, ampula dan vas deferens.
Oleh karena itu, penyumbatan yang terjadi di prostat dan uretra serta
adanya anomali kongenital pada bagian genito-urinaria sering
menyebabkan timbulnya epididimitis karena tekanan tinggi sewaktu
miksi. Setiap kateterisasi maupun instrumentasi seperti sistoskopi
merupakan faktor resiko yang sering menimbulkan epididimitis bakterial.
Infeksi berawal di kauda epididimis dan biasanya meluas ke tubuh
dan hulu epididimis. Kemudian mungkin terjadi orkitis melalui radang
kolateral. Tidak jarang berkembang abses yang dapat menembus kulit
dorsal skrotum. Jarang sekali epididimitis disebabkan oleh refluks dari
jalan kemih akibat tekanan tinggi intra abdomen karena cedera perut.
4. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul tidak hanya berasal dari infeksi lokal namun
juga berasal dari sumber infeksi yang asli. Gejala yang sering berasal dari
sumber infeksi asli seperti duh uretra dan nyeri atau itching pada uretra
(akibat uretritis), nyeri panggul dan frekuensi miksi yang meningkat, dan
rasa terbakar saat miksi (akibat infeksi pada vesika urinaria yang disebut
Cystitis), demam, nyeri pada daerah perineum, frekuensi miksi yang
meningkat, urgensi, dan rasa perih dan terbakar saat miksi (akibat infeksi
pada prostat yang disebut prostatitis), demam dan nyeri pada regio flank
(akibat infeksi pada ginjal yang disebut pielonefritis).
Gejala lokal pada epididimitis berupa nyeri pada skrotum. Nyeri
mulai timbul dari bagian belakang salah satu testis namun dengan cepat
akan menyebar ke seluruh testis, skrotum dan kadangkala ke daerah
inguinal disertai peningkatan suhu badan yang tinggi. Biasanya hanya
mengenai salah satu skrotum saja dan tidak disertai dengan mual dan
muntah.
5. Tanda Klinis Pemeriksaan Fisik
Tanda klinis pada epididimitis yang didapat saat melakukan
pemeriksaan fisik adalah :
1) Pada pemeriksaan ditemukan testis pada posisi yang normal, ukuran
kedua testis sama besar, dan tidak terdapat peninggian pada salah
satu testis dan epididimis membengkak di permukaan dorsal testis
yang sangat nyeri. Setelah beberapa hari, epididimis dan testis tidak
dapat diraba terpisah karena bengkak yang juga meliputi testis. Kulit
skrotum teraba panas, merah dan bengkak karena adanya udem dan
infiltrat. Funikulus spermatikus juga turut meradang menjadi
bengkak dan nyeri.
2) Hasil pemeriksaan refleks kremaster normal

16

3) Phren sign bernilai positif dimana nyeri dapat berkurang bila


skrotum diangkat ke atas karena pengangkatan ini akan mengurangi
regangan pada testis. Namun pemeriksaan ini kurang spesifik.
4) Pembesaran kelanjar getah bening di regio inguinalis.
5) Pada colok dubur mungkin didapatkan tanda prostatitis kronik yaitu
adanya pengeluaran sekret atau nanah setelah dilakukan masase
prostat.
6) Biasanya didapatkan eritema dan selulitis pada skrotum yang ringan
7) Pada anak-anak, epididimitis dapat disertai dengan anomali
kongenital pada traktus urogenitalis seperti ureter ektopik, vas
deferens ektopik, dll.
6. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui
adanya suatu infeksi adalah:
1) Pemeriksaan darah dimana ditemukan leukosit meningkat dengan
shift to the left (10.000-30.000/l)
2) Kultur urin dan pengecatan gram untuk kuman penyebab infeksi
3) Analisa urin untuk melihat apakah disertai pyuria atau tidak
4) Tes penyaringan untuk klamidia dan gonorhoeae.
5) Kultur darah bila dicurigai telah terjadi infeksi sistemik pada
penderita
7. Pemeriksaan Radiologis
Sampai saat ini, pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan
adalah :
1)
Color Doppler Ultrasonography
(a) Pemeriksaan ini memiliki rentang kegunaan yang luas dimana
pemeriksaan ini lebih banyak digunakan untuk membedakan
epididimitis dengan penyebab akut skrotum lainnya.
(b) Keefektifan pemeriksaan ini dibatasi oleh nyeri dan ukuran
anatomi pasien (seperti ukuran bayi berbeda dengan dewasa)
(c) Pemeriksaan menggunakan ultrasonografi dilakukan untuk melihat
aliran darah pada arteri testikularis. Pada epididimitis, aliran
darah pada arteri testikularis cenderung meningkat.
(d) Ultrasonografi juga dapat dipakai untuk mengetahui adanya abses
skrotum sebagai komplikasi dari epididimitis.
(e) Kronik epididimitis dapat diketahui melalui pembesaran testis dan
epididimis yang disertai penebalan tunika vaginalis dimana hal ini
akan menimbulkan gambaran echo yang heterogen pada
ultrasonografi.
2)
Nuclear Scintigraphy
(a) Pemeriksaan ini menggunakan technetium-99 tracer dan
dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan aliran
darah yang meragukan dengan memakai ultrasonografi.
(b) Pada epididimitis akut, akan terlihat gambaran peningkatan
penangkapan kontras
(c) Memiliki sensitivitas dan spesifitas 90-100% dalam
menentukan daerah iskemia akibat infeksi.

17

(d) Pada keadaan skrotum yang hiperemis akan timbul diagnosis


negatif palsu
(e) Keterbatasan dari pemeriksaan ini adalah harga yang mahal dan
sulit dalam melakukan interpretasi
3)
Vesicouretrogram (VCUG), cystourethroscopy, dan USG abdomen
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui suatu anomali
kongenital pada pasien anak-anak dengan bakteriuria dan epididimitis.
8. Diagnosis
Diagnosis epididimitis dapat ditegakkan melalui :
1) Anamnesa
2) Pemeriksaan fisik
3) Pemeriksaan Laboratorium
4) Pemeriksaan penunjang lainnya
9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding epididimitis meliputi :
1) Orkitis
2) Hernia inguinalis inkarserata
3) Torsio testis
4) Seminoma testis
5) Trauma testis
10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
epididimitis
meliputi
dua
hal
yaitu
penatalaksanaan medis dan bedah, berupa :
1) Penatalaksanaan Medis
Antibiotik digunakan bila diduga adanya suatu proses infeksi.
Antibiotik yang sering digunakan adalah :
(a) Fluorokuinolon, namun penggunaannya telah dibatasi karena
terbukti resisten terhadap kuman gonorhoeae
(b) Sefalosforin (Ceftriaxon)
(c) Levofloxacin atau ofloxacin untuk mengatasi infeksi klamidia
dan digunakan pada pasien yang alergi penisilin
(d) Doksisiklin, azithromycin, dan tetrasiklin digunakan untuk
mengatasi infeksi bakteri non gonokokal lainnya
Penanganan epididimitis lainnya berupa penanganan suportif,
seperti:
(a) Pengurangan aktivitas
(b) Skrotum lebih ditinggikan dengan melakukan tirah baring total
selama dua sampai tiga hari untuk mencegah regangan berlebihan
pada skrotum.
(c) Kompres es
(d) Pemberian analgesik dan NSAID
(e) Mencegah penggunaan instrumentasi pada urethra
2) Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan di bidang bedah meliputi :
(a) Scrotal exploration
Tindakan ini digunakan bila telah terjadi komplikasi dari
epididimitis dan orchitis seperti abses, pyocele, maupun

18

terjadinya infark pada testis. Diagnosis tentang gangguan


intrascrotal baru dapat ditegakkan saat dilakukan orchiectomy.
(b) Epididymectomy
Tindakan ini dilaporkan telah berhasi mengurangi nyeri yang
disebabkan oleh kronik epididimitis pada 50% kasus.
(c) Epididymotomy
Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan epididimitis akut
supurativa.
11. Komplikasi
Komplikasi dari epididimitis adalah :
1) Abses dan pyocele pada skrotum
2) Infark pada testis
3) Epididimitis kronis dan orchalgia
4) Infertilitas sekunder sebagai akibat dari inflamasi maupun obstruksi
dari duktus epididimis
5) Atrofi testis yang diikuti hipogonadotropik hipogonadism
6) Fistula kutaneus
12. Prognosis
Epididimitis akan sembuh total bila menggunakan antibiotik yang
tepat dan adekuat serta melakukan hubungan seksual yang aman dan
mengobati partner seksualnya. Kekambuhan epididimitis pada seorang
pasien adalah hal yang biasa terjadi.

19

WOC
Infeksi bakteri non-

Virus (mumps, coaxsack,

spesifik (E.coli,

varicella)

pseudomonas, dll),

Bakteri PMS
(Chlamydia, N.Gonorrhea,
treponema pallidum)

Kateterisasi tidak steril

Vaskulitis, prostatitis,
prostatektomi

Infeksi menyerang ke

Reflux dari vas deferens

uretra

ke epididimis

Menyerang epididimis

EPIDIDIMITIS
Inflamasi
Pembengkakan pada
Merangsang thermostat di

Merangsang ujung saraf

hipotalamus

eferen

epididimis

Muncul infiltrat

Peningkatan suhu

MK Nyeri
Memenuhi rongga skrotum

MK Hipotermi
Pembengkakan pada
skrotum

Skrotum terasa berat dan


perih
Takut melakukan hubungan
seksual
MK Perubahan Pola
Seksual

20

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Kepala dan leher

Observasi

STUDY KASUS
Tn.A 35 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan sakit di buah pelirnya. Nyeri
ini sudah dirasakannya sejak 2 minggu yang lalu. Nyeri awalnya dirasakan di satu
buah pelirnya, sekarang sudah menjalar ke bagian yang satunya. Nyeri dan rasa
terbakar bertambah ketika BAK. Badannya panas dan pasien takut untuk
melakukan hubungan seksual
3.1 Pengkajian
1. Anamnesa
a. Keluhan utama : Nyeri pada skrotum
b. Riwayat kesehatan sekarang :
Nyeri awalnya dirasakan di satu buah pelirnya, sekarang sudah
menjalar ke bagian yang satunya. Nyeri dan rasa terbakar bertambah
saat BAK dan disertai peningkatan suhu dan frekuensi BAK.
2. Pemeriksaan fisik
Head to toe
Keadaan umum: Pasien merasa lemah
Kesadaran: Compos mentis
Berat badan: 75 kg
Tinggi badan: 175 cm
Tanda Vital:
TD: 110/70 mmHg Nadi: 120 x/mnt Suhu: 38 0C
RR: 20 x/mnt
CRT: < 3 detik
Akral: hangat
GCS: 4 5 6
Lain-lain:
Masalah Keperawatan: Hipertermi
Rambut: normal
Mata:
konjungtiva: normal Sklera : normal
Pupil : isokor
O Edema palpebra ; O Penglihatan kabur
lain-lain:
Hidung:
O Epistaksis
lain-lain:
________________________________________
Mulut:
Mukosa bibir: lembab lidah: pink ;
Gigi : bersih
Kebersihan mulut: bersih
lain-lain:
Telinga: gangguan pendengaran: tidak ada
O Otorhea
O otalgia
O tinitus
kebersihan: ________________
lain-lain: _________________
O Nyeri telan ; O pembesaran kelenjar tiroid ; O Vena jugularis
Lain-lain:
Masalah keperawatan: Tidak ada masalah

21

Dada (Thoraks)

Jantung:
Irama: normal
S1/S2: tunggal
Paru-paru:
Nafas: Suara nafas: vesikuler
Jenis:
Batuk: tidak ada
Sputum: tidak ada
Simetris/asimetris : Simetris
Masalah keperawatan: tidak ada masalah

Nyeri dada: tidak ada


Keterangan:
Keterangan:
Nyeri: tidak ada
Lain-lain:

Perut (Abdomen)

Ginekologi:
Pembesaran pada skrotum Kulit skrotum teraba panas, merah dan
bengkak
Nyeri dan rasa terbakar pada skrotum dan bertambah saat BAK
Pembesaran kelenjar getah bening di regio inguinalis
Ascites: tidak ada Peristaltik: normal
Nyeri tekan: ada
Luka: tidak ada
Lain-lain:
Masalah keperawatan: Gangguan rasa nyaman: Nyeri, perubahan pola
seksual,

Tangan dan kaki Genitalia

Miksi: Peningkatan frekuensi BAK


Lain-lain:
Masalah keperawatan: tidak ada masalah keperawatan
Kemampuan pergerakan: bebas
; Kekuatan otot: 4
Refleks: Patella ____ Triceps ____ Biceps ____ Babinsky: _____
Brudzinsky: ____ Kernig ____ Keterangan:
Edema: tidak ada
Luka: tidak ada
Lain-lain:
Masalah keperawatan: Tidak ada masalah

3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) leukosit 45.000 l
2) Kultur urin terdapat pyuria
b. Pemeriksaan Radiologis
1) Color Doppler Ultrasonography
Adanya abses skrotum, pembesaran testis dan epididimis yang
disertai penebalan tunika vaginalis
2) Nuclear Scintigraphy
Peningkatan penangkapan kontras
3.2 Analisa Data
NO DATA
ETIOLOGI
MASALAH
KEPERAWATAN
1

DS

epididimitis

Nyeri akut

22

P : skala 7
Q: seperti terbakar
R: satu testis kemudian
menjalar ke testis yang lain
S: Bertambah jika BAK
DO
Nadi: 120x/menit
Wajah pasien menyeringai
2

DS
Pasien mengatakan badannya
panas
DO
T: 380 C,
pemeriksaan Color
Doppler
Ultrasonography:
Adanya abses skrotum

merangsang ujung
saraf eferen
nyeri inflamasi
nyeri

epididimitis

Hipertermi

reaksi inflamasi
merangsang
thermostat di
hipotalamus
peningkatan suhu
hipertermi

DS:
Pasien mengatakan takut untuk
melakukan hubungan seksual

epididimitis

Perubahan pola
seksualitas

pembengkakan
pada epididimis
muncul infiltrat
memenuhi skrotum
skrotu terasa berat
takut berhubungan
seksual
Perubahan pola
seksual

3.3 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit
2. Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi akibat proses infeksi
3. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan proses penyakit
3.4 Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit
Tujuan : Menunjukkan penurunan skala nyeri
Kriteria hasil:
Dalam 3x24 jam, pasien menunjukkan:
a. Skala nyeri 5

23

b. Nadi : 100x/menit
Intervensi

Rasional

Kolaborasi pemberian analgesik

Untuk menurunkan nyeri

Gunakan pendekatan yang positif

Mengoptimiskan respons pasien


terhadap analgesic

Instruksikan
pada
pasien
untuk Untuk merencanakan intervensi
menginformasikan kepada perawat jika yang akan dilakukan selanjutnya
pengurang nyeri tidak dapat tercapai
Lakukan pemasangan kateter

Meningkatkan rasa nyaman karena


seringnya BAK

Pantau tanda-tanda vital

Mengevaluasi efek nyeri terhadap


perubahan tanda-tanda vital

2. Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi akibat proses infeksi


Tujuan : Menunjukkan penurunan suhu tubuh
Kriteria hasil:
Dalam 3x24 jam, pasien menunjukkan:
T: 370 C
Tidak ada abses skrotum
Intervensi
Rasional
Kolaborasi pemberian antipiretik dan Untuk menurunkan panas tubuh
antibiotik
Lakukan kompres pada aksila,kening, Menurunkan panas tubuh
leher, dan lipat paha
Anjurkan pasien menggunakan pakaian Untuk mempermudah pengeluaran
yang tipis
panas
Anjurkan pasien untuk meningkatkan Untuk mencegah dehidrasi akibat
asupan cairan
hipermetabolisme
Ukur tanda-tanda vital

Mengevaluasi efek intervensi yang


telah dilakukukan

Lakukan pemeriksaan Color Doppler Untuk mengecek


Ultrasonography
skrotum

abses

pada

3. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan proses penyakit


Tujuan : Menunjukkan pola seksualitas yang normal
Kriteria hasil:
Dalam 3x24 jam, pasien menunjukkan:
Dapat mengungkapkan ketakutan yang dirasakan terkait seksualitas
Mengungkapkan secara verbal pemahamannya tentang perubahan fungsi
seksual
Beradaptasi pada pengungkapan seksual yang berhubungan dengan
perubahan fisik karena penyakit

24

Intervensi

Rasional

Anjurkan
pasien
untuk Eksplorasi perasaan pasien
mengungkapkan ketakutan-ketakutan
dan mengungkapkan pertanyaan
Diskusikan efek penyakit terhadap Meningkatkan pemahaman pasien
seksualitas
tentang
penrunan
fungsi
seksualitasnya
diskusikan dengan pasien untuk Meningkatkan pengetahuan pasien
menunda hubungan seksual selama
kondisi sakit
Diskusikan pentingnya
dalam aktivitas seksual

modifikasi Meningkatkan pengetahuan pasien

Berikan rujukan pada anggota tim Pasien mendapatkan konseling


pelayanan kesehatan lainnya (ahli yang
tepat
terkait
pola
terapi seks)
seksualitasnya

25

BAB 4
PEMBAHASAN
1. Apakah Tn. A benar benar mengidap Epididimitis?
Ya, dilihat dari anamnesa, pemeriksaan fisik terdapat adanya nyeri pada
skrotum, pembesaran skrotum, skrotum teraba panas, merah, dan bengkak, dan
pada pemeriksaan radiologis, tampak adanya abses skrotum disertai
pembesasaran epididimis dan penebalan tunika vaginalis.
2. Apakah data-data pengkajian pada Tn.A sudah benar dan lengkap?
Data yang kurang lengkap pada pengkajian yaitu riwayat penyakit dahulu
apakah pasien pernah menderita penyakit infeksi sebelumnya, riwayat penyakit
keluarga yang pernah mengalami infeksi terutama istri pasien. Dari
pemeriksaan penunjang kurang adanya data darah lengkap terutama sel darah
putih yang sangat berperan dalam proses infeksi.
3. Apakah rencana asuhan keperawatan pada Tn.A sudah benar dan lengkap?
Sudah cukup lengkap, diagnose nyeri diangkat karena masalah utama yang
keluhkan pasien adalah nyeri dan wajah pasien terlihat menyeringai. Untuk
diagnose yang kedua yaitu hipertermi karena dalam pemeriksaan fisik
diketahui suhu tubuh pasien 38 C akibat adanya infeksi di tubuh pasien, dan
diagnose yang terakhir adalah perubahan pola seksual, masalah ini diangkat
karena pasien menyampaikan bahwa ia takut untuk melakukan hubungan
seksual.
4. Apakah analisa data pada kasus Tn.A sudah benar dan tepat?
Belum, karena data obyektif pada diagnosa ketiga belum ada
5. Apakah Diagnosa keperawatan utama yang diambil pada Tn.A sudah benar
dan tepat?
Sudah benar
6. Apakah intervensi keperawatan yang direncanakan pada Tn.A sudah benar dan
tepat?
Sudah benar, intervensi yang diberikan sudah sesuai dengan standar intervensi
di buku saku diagnosia keperawatan dengan intervensi NIC dan criteria Hasil
NOC.

26

BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Beragam masalah kelainan anatomi serta penyakit infeksi pada sistem
reproduksi pria yang telah dibahas dalam makalah ini. Beragam penyakit
kelainan anatomi pada system reproduksi pria diantaranya Hipogonadisme
Kriptorkidisme, Anorkidisme, Hyperthropic prostate, Kanker prostate,
Kanker testis, Hidrocole, Varicocole dan Hernia inguinalis yang
menimbulkan banyak sekali masalah dengan manifestasi klinis yang berbedabeda sesuai dengan factor penyebab timbulnya penyakit. Penatalaksanaan
yang harus dilakukan pun menyesuaikan dengan tingkat keparahan penyakit
bahkan dibutuhkan tindakan pembedahan.
Sedangkan penyakit infeksi pada system reproduksi pria diantaranya
adalah Uretritis, Prostatitis, Orkitis dan Epididimitis dimana penyakit infeksi
tersebut merupakan penyakit yang mudah penularannya tetapi mengakibatkan
efek masalah yang mempengaruhi nyawa karena komplikasi yang
ditimbulkan.
5.2 Saran
Pengetahuan mengenai kelainan anatomi dan infeksi pada organ
reproduksi pria penting dan wajib untuk diketahui bagi mahasiswa
keperawatan
Diharapkan makalah ini dapat menjadi sumber informasi mengenai
anatomi dan infeksi pada organ reproduksi pria utamanya bagi mahasiswa
keperawatan.

27

DAFTAR PUSTAKA
Black,J dkk (2002) dalam Medical Surgical Nursing edisi 4. Pensylvania: W.B
Saunders
Carpenito,J,L. 1999. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 2.
Jakarta: EGC
D.D.Ignatavicius dan M.V.Bayne. 1991. Medical Surgical Nursing, A Nursing
Process Approach. Philadelphia: W. B. Saunders Company
Doenges M.E. 1989. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2
nd ed). Philadelpia: F.A. Davis Company
Doenges, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Alih Bahasa: I Made
Kariasa, Ni made Sumarwati. Edisi: 3. Jakrta: EGC.
Price, Sylvia Andrson. (1995). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit:
pathophysiologi clinical concept of disease processes. Alih Bahasa: Peter
Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC
Pusva. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Hernia Inguinalis Lateralis
Inkaserata. Disitasi dari http://pusvahikari.blogspot.com/2009/06/asuhankeperawatan-klien-dengan-hernia.html. pada tanggal 9 Oktober 2011
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddart. Alih Bhasa: Agung Waluyo. Edisi: 8. Jakarta: EGC.
Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi
Saluran
Kemih.
Edisi:
3.
Jakarta:
FKUI.

28

Anda mungkin juga menyukai