Anda di halaman 1dari 9

Nama : Lea Juliana Yosnata

NIM : 1202267

FUNGSI DAN SEJARAH HORMON PADA TUMBUHAN

A. Auksin
A. Sejarah
Penemuan Auksin didasari pada penemuan Charles Darwin pada tahun 1880
mengenai fototropisme. Charles Darwin menemukan bahwa ujung koleoptil dari
Phalaris canariensis melengkung ke arah sumber cahaya. Respon tumbuhan tersebut
diberi istilah fototropisme. Sedangkan apabila ujung koleoptil ditiadakan atau ditutup
dengan alumunium foil seperti pada Gambar 1, maka tumbuhan tersebut tidak tumbuh
melengkung. Hal tersebut membangun suatu hipotesis bahwa terdapat suatu stimulus
yang didistribusikan dari di ujung koleoptil ke zona tumbuh, yang menyebabkan sisi
koleoptil yang tidak terkena sinar tumbuh lebih cepat.
Hipotesis tersebut diperkuat oleh penelitian dari Boysen-Jensen pada tahun
1913 dan penelitian oleh Paal tahun 1919. Pada tahun 1920, penelitian tersebut
berkembang pesat melalui penelitian yang dilakukan oleh Fritz Went.
Went melakukan eksperimen terhadap koleoptil gandum (Avena sativa)
dengan memotong ujung koleoptilnya dan meletakkannya di atas gelatin. Gelatin
tersebut kemudian di letakan di atas koleoptil gandum yang telah dipotong. Apabila
permukaan koleoptil yang diletakan gelatin hanya sebagian saja seperti pada Gambar
1, maka sepanjang sisi koleoptil yang atasnya terkena gelatin pertumbuhannya lebih
cepat sehingga koleoptil melengkung. Semakin banyak jumlah ujung koleoptil yang
diletakan di atas gelatin, maka sudut lengkung koleoptil akan semakin besar.
Hal tersebut menguatkan bahwa stimulus pertumbuhan tersebut adalah suatu
senyawa yang dapat berdifusi melalui gelatin dan konsentrasinya mempengaruhi
kecepatan pertumbuhan. Senyawa stimulus pertumbuhan tersebut diberi nama auxin
yan memiliki arti to increse atau to grow (Taiz et al, 2002).
Auksin yang didifusikan ke gelatin tersebut lebih lanjut diteliti oleh Went dan
pada pertengahan 1930-an akhirnya diketahui bahwa auksin adalah senyawa IAA
(Indole-3-acetic acid).

Gambar 1. Ilustrasi eksperimen terdahulu dalam meneliti auksin.


Sumber: (Taiz et al, 2002)

2. Fungsi
Peran utama auksin adalah dalam pemanjangan sel, pertumbuhan batang,
diferensiasi sel, dominansi apikal, penghambat pertumbuhan akar, fototropisme dan
geotropisme. Selain dari peran utama tersebut, auksin juga memiliki banyak fungsi

lain seperti thigmotropisme, memperlambat absisi daun, membentuk akar adventitif,


perkembangan kuncup bunga dan buah.
Auksin dapat menyebabkan pemanjangan atau pembesaran sel dengan cara
meningkatkan dinding sel. Apabila dinding sel menjadi lebih elastis, maka sel
tumbuhan di dalamnya dapat membesar. Auksin menginduksi sel untuk melakukan
transpor proton (H+) ke dinding sel dan memutus ikatan hidrogen pada polisakarida.
Dominansi apikal terjadi karena auksin yang didistribusikan dari bagian apeks
batang ke bagian bawah dan menghambat pertumbuhan tunas-tunas aksilar di bawah
apeks. Semakin mnjauhi apeks batang, konsentrasi auksin semakin rendah karena
auksin diproduksi di apeks batang. Oleh karena itu pertumbuhan cabang di batang
bagian bawah lebih cepat daripada tunas aksilar di dekat apeks.
B. Giberelin
A. Sejarah
Hormon giberelin dikenali pertama kali oleh orang Jepang. Para petani di
Jepang sudah lama mengenal penyakit tumbuhan yang membuat padi mereka tumbuh
tinggi tetapi tidak menghasilkan biji. Penyakit itu disebabkan oleh sekret dari fungi
Gibberellin fujikuroi dan sekretnya dinamakan gibberellin (Taiz et al, 2002). Kristal
asam giberelin ditemukan pertama kali pada tahun 1930.
Para peneleti fisiologi tumbuhan mencoba memberikan giberelin pada
tumbuhan yang kerdil. Tumbuhan tersebut meskipun secara genetik merupakan
tumbuhan yang kecil, tetapi setelah pemberian giberelin, tumbuhan tersebut tumbuh
sangat tinggi. Sedangkan pemberian giberelin tidak menunjukan respon yang
signifikan pada tumbuhan yang tinggi secara genetik. Hal tersebut menimbulkan
keingintahuan para ilmuan, apakah giberelin merupakan senyawa yang dapat
diproduksi secara alami oleh tumbuhan.
Oleh karena itu, dilakukan ekstraksi terhadap biji Phaseolus coccineus untuk
mendapatkan senyawa yang serupa dengan giberelin dari sekret fungi Gibberellin
fujikuroi. Ekstrak diambil dari biji karena konsentrasi giberelin pada biji lebih tinggi
daripada di jaringan vegetatif tumbuhan yang sudah dewasa.
B. Fungsi
Meskipun pada awalnya giberelin ditemukan sebagai salah satu penyakit,
tetapi kemudian diketahui banyak peran giberelin pada proses perkembangan
tumbuhan.

Selain berperan dalam pemanjangan batang, giberelin juga berperan

dalam proses perkecambahan, penghentian dormansi, dan mobilisasi endosperma.

Dalam perkembangan reproduktif tumbuhan, giberelin berperan dalam peralihan


menuju masa reproduktif, inisisasi perbungaan, penentuan jenis kelamin bunga, dan
pembentukan buah.
C. Sitokinin
1. Sejarah
Sejarah penemuan sitokinin bermula dari penelitian Haberlandt pada tahun
1913 yang menunjukan bahwa cairan dari floem dapat menginduksi pembelahan sel
parenkim kentang. Setelah itu pada tahun 1920, Haberlandt juga mengamati luka pada
tumbuhan yang menginduksi pembelahan sel untuk menutupi luka tersebut. Dua hal
tersebut menunjukan bahwa tumbuhan memproduksi senyawa yang dapat merangsang
sel untuk melakukan pembelahan.
Pada tahun 1940, Skoog melakukan penelitian mengenai medium kultur
jaringan tumbuhan. Berbagai macam substrat dicoba untuk menemukan medium yang
cocok. Pertumbuhan kultur ternyata sangat baik ketika menggunakan campuran air
kelapa dan auksin sebagai medium. Hal ini mengindikasikan terdapat senyawa di air
kelapa yang memungkinkan sel tumbuhan yang dewasa untuk memasuki proses
diferensiasi.
Kinetin baru berhasil diidentifikasi pada tahun 1955 dari DNA ikan hering
yang diautokalf. Kinetin kemudian diubah namanya menjadi sitokinin. Pada tahun
1963, Letham berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi sitokinin zeatin dari
endosperm Zea mays.
2. Fungsi
Sitokinin memberikan banyak pengaruh terhadap tumbuhan secara fisiologi
dan proses perkembangannya seperti pengguguran daun, mobilisasi nutrisi, dominansi
apikal, pembentukan tunas dari meristem apikal, perkembangan bunga, penghentian
dormansi tunas, dan perkecambahan biji (Taiz et al, 2002). Selain itu, sitokinin juga
sedikit berperan dalam diferensiasi klorofil, metabolisme autotropik, dan pembesaran
daun dan kotiledon. Meskipun Sitokinin memiliki banyak fungsi dalam proses seluler,
namun inti dari semua fungsi tersebut adalah peran sitokinin dalam proses diferensiasi
sel.
Sitokinin dan auksin bekerjasama dalam regulasi siklus sel tumbuhan dan
sangat dibutuhkan dalam diferensiasi sel. Perbandingan jumlah sitokinin dan auksin
menentukan diferensiasi pada kultur jaringan tumbuhan untuk membentuk akar atau
tunas. Sitokinin dan auksin bekerja secara antagonis.

D. Etilen
1. Sejarah
Pada tahun 1901, Dimitry Nejulbov melakukan penelitian yang menunjukan
bahwa tumbuhan menunjukan suatu respon ketika ditumbuhkan dengan lingkungan
yang mengandung banyak gas etilen. Gas etilen pertama kali diindikasikan diproduksi
oleh tanaman secara alami adalah pada tahun 1910 oleh Cousins. Buah jeruk
dipercepat pematangannya dengan menyumpannya dalam ruangan bersama-sama
dengan kompor yang membakar minyak. Panas dari pembakaran tersebut didiuga
sebagai faktor pematangan buah yang lebih cepat. Tetapi setelah dilakukan penelitian
ternyata gas etilen dari hasil samping pembakaran minyak tersebut yang
menyebabkan pematangan buah lebih cepat. Setelah kromatografi gas diperkenalkan
dalam riset etilen pada tahun 1959, peranan penting dari etilen dalam fisiologi dan
perkembangan tumbuhan, baru berkembang pesat.
2. Fungsi
Etilen berfungsi dalam proses pematangan buah pada beberapa tumbuhan.
Tidak semua buah dapat menghasilkan etilen untuk proses pematangan. Pada buah
yang mampu menghasilkan etilen, sebelum memasuki proses pematangan, buah
tersebut mengalami climacteric, yaitu peningkatan respirasi dan peningkatan produksi
etilen.
Hormon auksin secara tidak langsung menginduksi produksi etilen. Hal
tersebut dapat diketahui dari epinasti yaitu melengkungnya daun akibat pertumbuhan
adaksial yang lebih cepat dari pada abaksial. Epinasti terjadi ketika terdapat
kombinasi dari etilen dan auksin dengan konsentrasi auksin yang jauh lebih tinggi.
Etilen juga berperan dalam penguguran daun atau disebut juga absisi daun.
Pengguguran daun berkaitan dengan hilangnya klorofil dan pudarnya warna pada
daun. Kerja etilen berlawanan dengan kerja sitokinin. Etilen memacu pengguguran
daun sedangkan sitokinin memperlambatnya. Gugurnya daun ditentuka oleh
keseimbangan konsentrasi etilen, sitokinin dan asam absisat.
Etilen pada konsentrasi tertentu juga menginduksi perubahan orientasi
pertumbuhan. Etilen menurunkan tingkat elongasi dan meningkatkan tingkat
pertumbuhan ke arah lateral.
Fungsi lain dari etilen adalah untuk mengakhiri dormansi biji dan tunas pada
beberapa spesies, pertumbuhan memanjang pada tumbuhan air, pembentukan akar
dan rambut akar, dan menginduksi perbungaan pada famili Bombaceae.

E. Asam Absisat
1. Sejarah
Pada tahun 1963, asam absisat pertama kali diidentifikasi dan
dikarakterisasi oleh Frederick Addicott dan rekan-rekannya. Mereka mempelajari
senyawa bertanggung jawab atas gugurnya buah (kapas). Dua senyawa diisolasi
dan disebut abscisin I dan abscisin II. Abscisin II saat ini disebut asam absisat
(ABA) (Addicot, 1963). Dua kelompok lain pada waktu yang sama menemukan
senyawa yang sama. Satu kelompok yang dipimpin oleh Philip Wareing sedang
mempelajari dormansi tunas pada tumbuhan berkayu. Kelompok lain yang
dipimpin oleh Van Steveninck sedang belajar gugurnya bunga dan buah-buahan
dari lupin. Fisiologi tanaman sepakat untuk memanggil senyawa asam absisat
(Salisbury dan Ross, 1992).
2. Fungsi
Peran penting dari asam absisat adalah menjaga dormansi biji dan tunas
serta pertahanan dari kekurangan air. Ketika tumbuhan kekurangan air,
konsentrasi asam abisat dapat meningkat 50 kali lipat. Untuk menutup stomata,
asam absisat mengakibatkan depolarisasi membran plasma dari sel penjaga
sehingga Ca2+ di sitosol meningkat dan stomata tertutup. Saat kekurangan air,
asam absisat meningkatkan konduktifitas hidraulik akar, meningkatkan jumlah
akar, dan menghambat pertumbuhan tunas. Ketika memasuki musim dingin,
pohon-pohon yang berkayu akan dormansi karena asam absisat terkonsentrasi di
tunas.
Asam absisat juga memegang peranan penting dalam perkembangan
tumbuhan dalam jangka waktu panjang. Dalam jangka panjang, asam absisat
menstimulus sintesis protein-protein yang penting dalam perkembangan biji dan
saat tumbuhan mengalami kekurangan air.
Selain itu, asam absisat ikut berperan dalam proses pengguguran daun
pada beberapa spesies. Namun pengguguran daun lebih dominan disebabkan oleh
gas etilen.
F. Brassinosteroid
1. Sejarah
Penemuan brassinosteroid didukung dengan beberapa penelitian terdahulu.
Pada tahun 1933, Laibach dan Kornmann melakukan penelitian untuk mencari
tahu apakah ekstrak dari organ tumbuhan yang berbeda dapat menyebabkan

peningkatan pertumbuhan. Merkes menemukan bahwa okstrak polen anggrek


yang sebelumnya pernah diteliti oleh Darwin (1862), mampu meningkatkan
elongasi sel. Setelah itu, banyak penelitian yang dilakukan dengan dasar proyek
riset polen.
Tujuh dekade kemudian Mitchel dan Whitehead (1941) menemukan
bahwa campuran ekstrak polen jagung yang dicampur dengan lanolin
menyebabkan peningkatan pemanjangan internodus Phaseolus vulgaris (Gambar
2). Tiga dekade kemudian, T.W. Mitchel dan timnya pada tahun 1970 melaporkan
penemuan suatu hormon seperti minyak yang dinamakan brassin dari ekstrak
polen Brassica napus. Brassin tersebuk menginduksi pemanjangan internodus.
Sembilan tahun kemudian (1979), Grove dapat mengiidentifikasi struktur dari
brassin tersebut dan dinamakan brassinolide (Kutschera et al, 2012). Struktur
brassinolide dari ekstrak polen Brassica napus dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 2. Hasil penelitian Mitchel dan Whitehead. Pemberian ekstrak polen Zea
mays terhadap elongasi sel internodus Phaseolus vulgaris.
(Sumber: Kutschera et al, 2012).

Gambar 3.
(a) Brassica napus. (b) Ekstrak pollen Brassica napus. (c) Struktur Brassinolide
(Sumber: Kutschera et al, 2012).
2. Fungsi
Brassinosteroid memiliki fungsi yang serupa dengan giberelin. Beberapa fungsi
brassinosteroid adalah sebagai berikut:
a. meningkatkan laju perpanjangan sel tumbuhan
b. menghambat penuaan daun (senescence)
c. mengakibatkan lengkuk pada daun rumput-rumputan
d. menghambat proses gugurnya daun
e. menghambat pertumbuhan akar tumbuhan
f. meningkatkan resistensi pucuk tumbuhan kepada stress lingkungan
g. menstimulasi perpanjangan sel di pucuk tumbuhan
h. merangsang pertumbuhan pucuk tumbuhan
i. merangsang diferensiasi xylem tumbuhan
j. menghambat pertumbuhan pucuk pada saat kahat udara dan endogenus
karbohidrat (Sopian, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Bambang B. Santoso. 2010. Auxin. Fakultas Pertanian UNRAM.


Bambang B. Santoso. 2010. Cytokinin. Fakultas Pertanian UNRAM.
Kutschera, Urlich and Zhi-Yong Wang. 2012. Brassinosteroid Action in Flowering Plant: a
Darwinian Perspective. Journal of Experimental Botany, Vol.63, No. 63, pp. 35113522
Salisbury, F.B dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung : ITB.
Sopian, Tatang. 2005. Brassinolide, Hormon Perangsang Pertumbuhan. [Online] Tersedia :
http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/biokimia/brassinolide_steroid_perangsang
_tumbuhan/ [21 September 2014]
Taiz, Lincoln and Eduardo Zeiger. 2002. Plant Physiology 3rd Edition. Sinnauer Asscociates.

Anda mungkin juga menyukai