Anda di halaman 1dari 10

REFLEKSI KASUS

Penyusun :
Nirmala Astri Prayogi, S.Ked
(0918011123)

Pembimbing :
dr. Handayani Dwi Utami, M.Kes, Sp.F

KEPANITERAAN KLINIK KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD dr. H. ABDUL MOELOEK PROPINSI LAMPUNG
2014

REFLEKSI KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Nama Dokter Muda / NPM : Nirmala Astri Prayogi / 0918011123
Stase

: Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Identitas Pasien
Nama / Inisial

: Nn. E

Umur

: 20 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Diagnosis/ kasus

: Abortus

Aspek pengkajian :
a. Etika
b. Agama
Form uraian
1. Resume kasus yang diambil (yang menceritakan kondisi lengkap pasien/kasus yang
diambil)
Pasien datang dengan keluhan perdarahan dari kemaluan sejak 1 hari SMRS. Pasien
mengeluhkan sebelumnya keluar gumpalan berwarna kemerahan dari kemaluan sejak
pagi SMRS, keluhan tidak disertai dengan nyeri perut ataupun kemaluan, tidak ada
rasa mulas-mulas, tidak disertai dengan mual dan muntah. Pasien hanya mengeluhkan
adanya rasa lemas. Pasien mengaku tidak mendapatkan haid sejak 2 bulan yang lalu.
Pasien mengaku telah berhubungan intim dengan pacarnya. 2 hari SMRS pasien
diberikan obat oleh pacarnya dan dikatakan agar obat tersebut dimasukan kedalam
kemaluan pasien sebanyak 3 buah. Setelah obat tersebut dimasukkan kedalam
kemaluan pasien, pasien mengeluhkan gejala seperti yang diuraikan diatas. Pasien
mengatakan bahwa pacarnya mendapatkan obat tersebut setelah bertanya pada dokter
kenalannya. Setelah diperiksa oleh dokter di RS, terlihat bahwa pasien mengalami
abortus inkomplit dan harus dilakukan kuretase untuk mencegah komplikasi yang
dapat ditimbulkan bila tidak dilakukan kuretase. Pasien menyetujui dilakukan
kuretase.
2. Latar belakang/alasan ketertarikan pemilihan kasus

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang
dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai
permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan
tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar dan
ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian
seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan
konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian
sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak
seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun termasuk mempercepat waktu
kematian.
Dari segi medis, abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum
janin mampu bertahan hidup pada usia kehamilan sebelum 20 minggu didasarkan
pada tanggal hari pertama haid normal terakhir atau berat janin kurang dari 500 gram.
Sedangkan definisi aborsi menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
adalah pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium perkembangannya sebelum
masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu) atau pengeluaran hasil
konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (berat kurang dari 500 gram
atau kurang dari 20 minggu).
Saya memilih kasus ini karena kasus ini cukup sering terjadi di lingkungan sekitar.
Pasien terkadang datang dan bertanya bagaimana cara menggugurkan bayi yang
dikandungnya dan tidak jarang ada dokter yang memberikan obat untuk pasien
sehingga pasien mengalami keguguran. Padahal setiap dokter pada waktu baru lulus
bersumpah untuk menghormati hidup mulai sejak saat pembuahan, karena itu
hendaknya para dokter agar selalu menjaga sumpah jabatan & kode etik profesi dalam
melakukan pekerjaannya. Namun pada kehidupan sehari-hari, banyak faktor-faktor
yang berperan, seperti rasa kasihan pada perempuan yang mengalami kehamilan yang
tidak diinginkan, faktor kemudahan mendapatkan uang dari praktik aborsi yang
memakan biaya tidak sedikit ataupun faktor-faktor lainnya. Hal itu membuat beberapa
dokter akhirnya memberikan pengobatan pada pasiennya untuk menggugurkan
kandungannya.
3. Refleksi dari aspek etika moral beserta penjelasan evidence / referensi yang sesuai

Di Indonesia adapun ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan soal aborsi dan


penyebabnya dapat dilihat pada:
KUHP Bab XIX Pasal 229,346 s/d 349:
Pasal 229: Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau
menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa
karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara
paling

lama

empat

tahun

atau

denda

paling

banyak

tiga

ribu

rupiah.

Pasal 346: Seorang perempuan yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
Pasal 347:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
duabelas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama limabelas tahun.
Pasal 348:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
perempuan dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan
pidana penjara tujuh tahun.
Pasal 349: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam
pasal 347 & 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga & dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan
dilakukan.
Dari

rumusan

pasal-pasal

tersebut

dapat

ditarik

kesimpulan

bahwa:

1. Seorang perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh
orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara.

2. Seseorang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa
persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, & jika ibu hamil
tersebut mati, diancam penjara 15 tahun penjara.
3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara &
bila ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
4. Jika yang melakukan & atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter,
bidan atau juru obat ancaman hukumannya ditambah sepertiganya & hak untuk
berpraktik dapat dicabut.
5. Setiap janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup
serta mempertahankan hidupnya.
UU HAM, pasal 53 ayat 1(1): Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup & meningkatkan taraf kehidupannya.
UU Kesehatan:
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan
berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan
tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pada

penjelasan

UU

Kesehatan

pasal

77

dinyatakan

sebagai

berikut:

Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak
bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa
persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang
berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi
medis.
Namun sayangnya didalam UU Kesehatan ini belum disinggung soal masalah
kehamilan akibat hubungan seks komersial yang menimpa pekerja seks komersial.
Dalam peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal ini dijabarkan antara lain
mengenai keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian & kewenangan bentuk persetujuan, sarana
kesehatan yang ditunjuk.
Aborsi ditinjau dari Etik Kedokteran Indonesia
Kewajiban umum pasal 7 di Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran berbunyi : Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban

melindungi hidup insani, artinya segala perbuatan dokter terhadap pasien bertujuan
untuk memelihara kesehatan dan kebahagian, dengan sendirinya dia harus
mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia, ini berarti bahwa baik dari segi
agama, UU negara, maupun etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan untuk
menggugurkan kandungan (Abortus Provokatus). Abortus hanya dapat dibenarkan
hanya sebagai pengobatan, apabila satu-satunya jalan untuk menolong jiwa ibu dari
bahaya maut atau abortus provokatus therapiuticus, seperti juga tercantum dalam
Undang-undang tentang Kesehatan No.23 tahun 1992. Keputusan untuk melakukan
abortus, sekurang-kurangnya 2 dokter, dan persetujuan tertulis dari isteri, suami dan
keluarga terdekat, dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit atau sarana kesehatan yang
memadai.
Di Indonesia, baik menurut pandangan agama, Undang-Undang Negara, maupun Etik
Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan
pengguguran kandungan (abortus provokatus). Bahkan sejak awal seseorang yang
akan menjalani profesi dokter secara resmi disumpah dengan Sumpah Dokter
Indonesia yang didasarkan atas Deklarasi Jenewa yang isinya menyempurnakan
Sumpah Hippokrates, di mana ia akan menyatakan diri untuk menghormati setiap
hidup insani mulai dari saat pembuahan. Dari aspek etika, Ikatan Dokter Indonesia
telah merumuskannya dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia mengenai kewajiban
umum, pasal 7d: Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani. Pada pelaksanaannya, apabila ada dokter yang
melakukan pelanggaran, maka penegakan implementasi etik akan dilakukan secara
berjenjang dimulai dari panitia etik di masing-masing RS hingga Majelis Kehormatan
Etika Kedokteran (MKEK). Sanksi tertinggi dari pelanggaran etik ini berupa
"pengucilan" anggota dari profesi tersebut dari kelompoknya. Sanksi administratif
tertinggi adalah pemecatan anggota profesi dari komunitasnya.
4. Refleksi Aspek Agama beserta penjelasan evidence/referensi yang sesuai
Hukum aborsi dalam pandangan Islam menegaskan keharaman aborsi jika umur
kehamilannya sudah 4 (empat) bulan, yakni sudah ditiupkan ruh pada janin. Untuk
janin yang berumur di bawah 4 bulan, para ulama telah berbeda pendapat. Jadi ini
memang masalah khilafiyah. Namun menurut pemahaman kami, pendapat yang rajih
(kuat) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat

puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin,
maka hukumnya haram. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum
mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak apa-apa. Wallahualam.
Banyak calon ibu yang masih muda beralasan bahwa karena penghasilannya masih
belum stabil atau tabungannya belum memadai, kemudian ia merencanakan untuk
menggugurkan kandungannya. Allah berfirman dalam QS. Al Israa : 31.
"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan.
kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
Ayat tersebut menerangkan bahwa rezeki adalah urusan Allah sedangkan manusia
diperintahkan untuk berusaha. Membunuh satu nyawa sama artinya dengan
membunuh semua orang. Menyelamatkan satu nyawa sama artinya dengan
menyelamatkan semua orang.
Aborsi merupakan problem sosial yang terkait dengan paham kebebasan
(freedom/liberalism) yang lahir dari paham sekularisme, yaitu pemisahan agama dari
kehidupan (Abdul Qadim Zallum, 1998). Islam memberikan ganjaran dosa yang
sangat besar terhadap pelaku aborsi. Sesuai dengan firman Allah dalam QS.
Almaidah : 32.
Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui
batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Oleh sebab itu aborsi adalah membunuh, membunuh berarti melakukan tindakan
kriminal dan melawan perintah Allah. Allah berfirman dalam QS. Almaidah : 33.

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan


rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar.

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F. G. (2006). Obstetri Williams. Jakarta: EGC.


Ikatan Dokter Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: 2002
PERUNDANG-UNDANGAN Soesilo, R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Departemen Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai