Anda di halaman 1dari 44

KULTUR JARINGAN TANAMAN

APLIKASI KJT UNTUK PERBANYAKAN TANAMAN


SOMATIC HYBRIDISATION AND GENE TRANSFORMATION OF MANGO
(Mangifera indica L.)

Oleh:
KELOMPOK 3
ANGGOTA KELOMPOK :

Ni Kadek Nia Sri Wirandani

1208505003

Ni Putu Widiastuti

1208505011

Desak Made Ary Diantini

1208505034

Pande Made Diah Antaryami H.P.R

1208505041

Ni Putu Wiwik Indriani

1208505043

Ni Putu Eka Rismawati

1208505066

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Mangga (Mangifera indica L.) adalah anggota dari keluarga Anacardiaceae
dan termasuk tanaman buah yang paling banyak ditanam di dunia. Mangga
merupakan buah tropis musiman yang penting. Buah mangga memiliki kandungan
vitamin A dan C yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 1.000 IU/100 g bobot
segar dan 20 mg/100 g bobot segar (Sistrunk dan Moore, 1983).
Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan tanaman ini adalah
bahwa kultivar mudah rusak selama pengangkutan, daya simpan rendah, gugur buah
muda tinggi sehingga produksi buah rendah (dari ribuan bunga yang tumbuh jadi buah
hanya 1%), peka terhadap serangan hama penyakit, sedikitnya jumlah benih yang
diperoleh, sifat panikula dan bunga yang kompleks, tingkat kesuksesan yang rendah
dalam penyerbukan, penurunan kualitas buah yang berlebihan, siklus hidup yang
panjang, heterozigositas tanaman dan problema problema lainnya (Nakasone dan
Paull, 1988).
Salah satu cara untuk mengatasi masalah dalam pengembangan tanaman
mangga adalah dengan merakit varietas baru yang berproduksi tinggi dan tahan
terhadap hama, penyakit serta cekaman abiotik. Perbaikan kualitas dan kuantitas
mangga dapat dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman sehingga perbaikan
dapat berlangsung stabil dan mewaris. Dalam pemuliaan tanaman perbaikan
secara

genetik

dapat

dilakukan

untuk

menambah keragaman

karakteristik

tanaman mangga dan untuk memenuhi persyaratan tentang kualitas mangga


tersebut, baik secara konvensional maupun inkonvensional. Secara konvensional
dilakukan melalui persilangan atau mengawinkan bunga dengan meletakkan pollen
pada stigma. Hasil dari persilangan adalah terjadinya proses pembentukan buah
dan biji. Secara inkonvensional dapat dilakukan melalui seleksi mutan, produksi
tanaman homozigot, hibridisasi somatik, atau transfer gen (Widiastoety, 2001).
Hibridisasi somatik melalui fusi protoplasma merupakan teknik persilangan
untuk menghasilkan hibrida melalui fusi sel tubuh. Hibridisasi somatic melalui fusi
protoplasma memberikan kemungkinan untuk terjadinya persilangan beda genus dan
spesies. Transformasi genetik adalah proses untuk memodifikasi satu atau dua
tanaman

yang

diinginkan

yang

memiliki

sifat

agronomi,

namun

tetap
2

mempertahankan karakteristik unik dari kultivar aslinya. Penerapan teknologi transfer


gen ini memungkinkan penyisipan gen-gen penting tertentu saja, sehingga sifat lain
diharapkan tidak berubah (Rahmawati, 2006).
Agrobacterium merupakan kelompok bakteri gram negatif yang berasosiasi
dengan tanaman. Beberapa anggota dari kelompok ini dapat menyebabkan
penyakit pada tanaman (Matthysse, 2005). Salah satu jenis Agrobacterium ini adalah
Agrobacterium rhizogenes yang menyebabkan penyakit akar berambut pada
tanaman tingkat tinggi. Bakteri Agrobacterium rhizogenes dapat menginduksi
perkembangan percabangan yang banyak di tempat akar yang terinfeksi sehingga
disebut dengan hairy root. Regenerasi

tanaman mangga setelah infeksi

Agrobacterium rhizogeneswill diharapkan dapat memiliki jumlah akar yang lebih


banyak, dan ada kemungkinan untuk menumbuhkan tanaman melalui organogenesis
atau embriogenesis somatik dari akar rambut (Cabrera et al, 1996)
Penelitian ini merupakan penelitian mengenai hibridisasi somatic mangga
melalui fusi protoplas pada
Agrobacterium

tingkat kultivar dan transformasi gen menggunakan

rhizogenes pada beberapa varietas mangga

Hasil penelitian ini

diharapkan mampu memberikan informasi baru mengenai teknik hibridisasi somatic


dan transformasi yang efektif menggunakan Agrobacterium rhizogenes pada varietas
mangga.

1.2

Rumusan Masalah
1.2.1

Bagaimana teknik hibridisasi somatik melalui fusi protoplasma pada varietas


mangga?

1.2.2

Bagaimana teknik transformasi gen menggunakan Agrobacterium rhizogenes


pada varietas mangga?

1.3

Tujuan
1. 3.1 Mengetahui teknik hibridisasi somatik melalui fusi protoplasma pada varietas
mangga.
1.3.2

Mengetahui teknik transformasi gen menggunakan Agrobacterium rhizogenes


pada varietas mangga.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tanaman Mangga (Mangifera indica L.)


Mangga yang berkembang di Indonesia diperkirakan berasal dari India, yang
dipercaya pemeliharaannya telah ada seiring peradaban India. Sejarah pun mencatat
bahwa mangga pertama kali ditemukan oleh Alexander Agung di lembah Indus, India.
Kata mangga sendiri berasal dari bahasa Tamil, yaitu Mangas atau man-kay.
Dalam bahasa botani, mangga disebut Mangifera indica L. yang berarti tanaman
mangga berasal dari India.
Dari India, sekitar abad ke-4 SM, tanaman mangga menyebar ke berbagai negara,
yakni melalui pedagang India yang berkelana ke timur sampai ke Semenanjung
Malaysia. Pada tahun 1400 dan 1450, mangga mulai ditanam di kepulauan Sulu dan
Mindanau, Filipina, di pulau Lizon sekitar tahun 1600, dan di kepulauan Maluku pada
tahun 1665 (Pracaya, 2011).

2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Tanaman Mangga


Dalam tatanama sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman mangga
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo

: Sapindales

Famili

: Anacardiaceae

Genus

: Mangifera

Spesies

: Mangifera spp.
(Pracaya, 2011)

Tanaman mangga tumbuh dalam bentuk pohon berbatang tegak, bercabang


banyak, serta rindang dan hijau sepanjang tahun. Tinggi tanaman dewasanya bisa
mencapai 10-40 m dengan umur bisa mencapai lebih dari 100 tahun. Morfologi
tanaman mangga terdiri atas akar, batang, daun, dan bunga. Bunga menghasilkan
buah dan biji yang secara generatif dapat tumbuh menjadi tanaman baru (Pracaya,
2011).
4

Mangga rata-rata berbunga satu kali sehingga panen buah dapat dilakukan
beberapa kali dalam satu periode karena buah tidak masak bersamaan. Mangga
cangkokan mulai berbuah pada umur 4 tahun sedangkan mangga okulasi pada
umur 5-6 tahun. Buah panen pertama hanya mencapai 10-15 buah, pada tahun ke10 jumlah buah dapat mencapai 300-500 buah/pohon, pada umur 15 tahun
mencapai 1000 buah/pohon, dan produksi maksimum tercapai pada umur 20
tahun dengan potensi produksi mencapai 2000 buah/pohon/tahun (Pracaya, 2011).
Buah mangga memiliki keanekaragaman bentuk antara lain bulat, bulat-pendek
dengan ujung pipih, dan bulat-panjang agak pipih. Susunan tubuh buah terdiri
dari beberapa lapisan, yaitu sebagai berikut:
a. Kulit buah
Buah mangga yang muda memiliki kulit berwarna hijau, namun menjelang
matang berubah warna menurut jenis dan varietasnya.
b. Daging buah
Buah mangga yang masih muda pada umumnya memiliki daging buah yang
berwarna kuning keputih-putihan. Menjelang tua daging buah berubah menjadi
kekuning-kuningan sampai kejingga-jinggan. Rasa daging buah mangga
bervariasi, yaitu asam sampai manis dengan aroma yang khas pada setiap
varietas mangga.
c. Biji
Biji mangga berkeping dua dan memiliki sifat poliembrional, karena dari satu
biji dapat tumbuh lebih dari satu bakal tanaman.

2.1.2 Jenis dan Varietas Tanaman Mangga


Pengembangan varietas mangga dapat dilakukan secara generatif maupun
vegetatif. Masing-masing varietas mangga dapat dibedakan berdasarkan ukuran,
warna daging,rasa, aroma, dan bentuk buah. Selain itu juga dapat dibedakan
berdasarkan sifat pohon, ukuran, dan bentuk daun. Di Indonesia ada beberapa
jenis dan varietas mangga komersial yang sudah terkenal bagus mutunya, antara
lain:
a. Mangga Golek
Dalam bahasa Jawa, golek berarti mencari. Berdasarkan kata itu pulalah
penamaan jenis mangga ini karena setelah menikmati rasanya orang akan
mencari lagi buah mangga yang baru saja dimakan. Daging buah tebal, lunak
5

dengan warna kuning tua. Daging buahnya boleh dikatakan tidak berserat,
tidak berair (kalau diiris tidak banyak mengeluarkan air). Aromanya cukup
harum dengan rasa yang manis (Pracaya, 2011).
b. Mangga Arumanis
Disebut mangga arumanis karena rasanya manis dan aromanya harum (arum).
Daging buah tebal, lunak berwarna kuning, dan tidak berserat (serat sedikit).
Aroma harum, tidak begitu berair, dengan rasa yang manis, tapi bagian ujung
kadang-kadang masih ada rasa asam (Pracaya, 2011).
c. Mangga Manalagi
Disebut manalagi karena sekali makan orang akan mencarinya lagi. Rasa
mangga manalagi seperti perpaduan rasa antara golek dan arumanis.
Kemungkinan pohon mangga manalagi merupakan hasil persilangan alami
antara golek dengan arumanis. Buah ini sering dimakan dalam keadaan
masihkeras, tetapi daging buah sudah kelihatan kuning (Pracaya, 2011).
d. Mangga Madu
Mangga ini disebut madu karena rasanya manis seperti madu lebah. Daging
buah yang sudah masak berwarna kuning. Bagian dalam kuningnya makin ke
dalam makin tua seperti warna madu. Serat daging buah sedikit. Kadar air
buah sedang dengan rasanya yang manis seperti madu dan aromanya harum
(Pracaya, 2011).
e. Mangga Udang
Mangga ini berasal dari Desa Hutanagonang, Kecamatan Muara, Kabupaten
Tapanuli Utara. Panjang rata-rata mangga ini hanya sekitar 6 cm. Dikenal dua
jenis mangga udang, yaitu yang berukuran kecil dan berukuran besar. Buahnya
berbentuk lonjong. Kulitnya tipis dan berwarna hijau muda pada waktu muda,
lalu berubah menjadi kuning keemasan setelah tua. Daging buahnya berwarna
kuning, lunak berair, rasanya manis, berserat, dan aromanya harum (Pracaya,
2011).
f. Kuini
Dalam taksonomi tumbuhan, kuini merupakan tanaman mangga dengan
spesies Mangifera odorata Griffith yang masih berkerabat dekat dengan
bacang. Warna kulit buah muda hijau dan setelah masak hijau kekuningan
pada pangkalnya, dengan permukaan kulit licin. Warna daging buah kuningorange. Tekstur daging buah agak berserat. Bagi orang yang tidak tahan akan
6

terasa gatal apabila makan buah kuini ini. Rasa daging buah manis, kadang ada
yang agak masam. Bentuk buah lonjong dengan nisbah P/L sebesar 1,21-1,52.
Ukuran buah sedang, bobot buah sekitar 162-470 g. Bagian buah yang dapat
dimakan sekitar 44,62-64,47% (Antarlina, 2003).

2.1.3 Syarat Tumbuh


a.

Iklim
Tanaman mangga cocok untuk hidup di daerah dengan musim kering selama
3 bulan. Masa kering diperlukan sebelum dan sewaktu berbunga. Jika
ditanam di daerah basah, tanaman mengalami banyak serangan hama dan
penyakit serta gugur bunga/buah jika bunga muncul pada saat hujan.

b.

Media Tanam
1) Tanah yang baik untuk budidaya mangga adalah gembur mengandung
pasir dan lempung dalam jumlah yang seimbang.
2) Derajat keasaman tanah (pH tanah) yang cocok adalah 5.5-7.5. Jika pH
di bawah5,5 sebaiknya dikapur dengan dolomit.

c.

Tempat Ketinggian
Mangga yang ditanam didataran rendah dan menengah dengan ketinggian 0500 m dpl menghasilkan buah yang lebih bermutu dan jumlahnya lebih
banyak dari pada didataran tinggi.
(Bambang, 1994)

2.2

Somatic Hybridization dan Fusi Protoplasma


2.2.1 Somatic Hybridization
Secara alamiah persilangan terjadi hanya persilangan seksual antar kerabat
dekatdalam satu jenis (species). Persilangan sexual telah dipergunakan bertahun-tahun
untuk perbaikan tanaman budidaya. Sayangnya persilangan seksual hanya terbatas pada
kultivar-kultivar dalam satu spesies atau yang terbaik pada beberapa spesies liar yang
mempunyai hubungan kekerabatan terdekat dengan tanaman budidaya. Adanya
pembatas antar spesies tanaman maka persilangan seksual kurang berfungsi.
Peleburan sel (fusi sel) somatik dapat mengarah ke pembentukan sel hybrid
viable yang dapat digunakan sebagai cara untuk menghilangkan pembatas antar spesies
yang terjadi pada persilangan seksual. Protoplasma tanaman merupakan lading dari
genetic sel somatic untuk perbaikan tanaman. Teknik produksi hybrid melalui fusi
7

protoplasma yang telah diisolasi dari sel somatik (tubuh) secara in vitro dan
berkembang menjadi heterokarion yang menjadi satu persilangan tanaman, dikenal
sebagai hybridisasi somatik.
Prosedur ini termasuk mengabaikan unsur sel dalam hibridisasi. Dalam
persilangan somatik, inti dan sitoplasma dari kedua induk menyatu dalam sel silangan.
Kadang-kadang genom inti dari berasal hanyadari satu induk yang melebur,tetapi
kadang juga terjadi gen sitoplasmik (plastome) berasal dari kedua induk yang adadalam
proses peleburan, hal ini dikenal dengan cybrid (cytoplasmic hybrid).
Jadi teknik peleburan protoplasma dapat digunakan untuk menghilangkan
pembatas

dari

incompatibilitas

dan

sebagai

manipulasi

genetic

dari

sel

tanaman. Persilangan somatik bermanfaat untuk persilangan antar spesies yang berbeda
takson daritingkat marga sampai tingkat divisi, untuk menciptakan sel-sel dengan
genetik baru, inti yang sebaik pada sitoplasmik yang tidak mungkin didapatkan dengan
metode persilangan seksual. Kegiatan persilangan somatik meliputi:
1. Peleburan protoplasma (fusi protoplasma)
2. Seleksi sel silangan
3. Identifikasi tanaman silangan.
(Vasil, 1984)

2.2.2 Fusi Protoplasma


Perbaikan sifat genetik suatu tanaman dapat dilakukan secara konvensional
misalnya dengan persilangan seksual atau secara inkonvensional, salah satunya dengan
cara fusi protoplas. Pemuliaan tanaman secara konvensional melalui persilangan
seksual adakalanya tidak dapat diaplikasikan karena kendala genetik seperti adanya
inkompatibilitas seksual antara tetua yang akan dipersilangkan atau adanya sterilitas
pada salah satu tetua. Kasus tersebut sering terjadi pada persilangan tanaman berkerabat
jauh seperti persilangan antar species (interspesifik) atau antar genus (intergenerik).
Padahal sifat sifat genetik penting seperti ketahanan terhadap hama, penyakit,
nematoda,cekaman biotik maupun abiotik, dan karakter penting lainnya, banyak
terdapat pada spesies liarnya, sehingga untuk memindahkan sifat sifat genetik penting
tersebut kita harus melakukan persilangan interspesifik atau bahkan intergenerik.
Aplikasi metode fusi protoplas atau hibridisasi somatik merupakan alternatif
untuk mengatasi masalah tersebut. Selain dapat mentransfer gen gen yang belum
teridentifikasi, fusi protoplas juga dapat memodifikasi dan memperbaiki sifat sifat yang
8

diturunkan secara poligenik . Fusi protoplas dapat memecahkan kendala genetik dalam
sistem persilangan secara seksual.
Fusi protoplas merupakan teknik penggabungan inti dan atau sitoplasma antara
dua genotipe yang berbeda secara in vitro untuk mendapatkan hibrida dengan sifat sifat
yang diinginkan. Fusi protoplas, memberi peluang produksi hibrida interspesifik
maupun intergenerik yang secara konvensional melalui persilangan seksual tidak bisa
berlangsung. Juga memberi peluang produksi galur heterozigot species sama, yang
umumnya hanya bisa dikembangkan melalui perbanyakan vegetative.
Sebagai contoh: dalam budidaya tanaman jahe, salah satu kendalanya adalah
kepekaan tanaman terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh serangan
bakteri Ralstonia solanacearum, yang dapat menimbulkan kerugian hasil lebih dari 90
%. Upaya yang paling efisien dalam mengatasi penyakit ini adalah dengan penggunaan
varietas resisten. Sementara itu, perakitan varietas resisten secara konvensional melalui
cara persilangan seksual terkendala oleh rendahnya fertilitas polen (kesuburan
tepungsari) dan adanya inkompatibilitas sendiri (self incompatibility). Oleh karena itu
perlu diaplikasikan metode inkonvensional misalnya dengan cara mutasi induksi,
seleksi in vitro, produksi tanaman haploid, penerapan metode transformasi genetik atau
fusi protoplas sehingga diperoleh variasi genetik baru sebagai bahan seleksi (Rostiana,
2006)
Penggunaan metode transformasi genetik merupakan cara yang ideal untuk
mentransfer gen yang diinginkan secara efisien tanpa ada hambatan seksual dan
kedekatan taksonomi. Tetapi penggunaan metode transformasi hanya dapat dilakukan
pada sifat sifat genetik yang disandi oleh gen tunggal. Beberapa sifat yang disandi oleh
banyak gen (poligenik) yang terletak di satu atau beberapa kromosom tanaman sulit
untuk diidentifikasi dan diisolasi, sehingga penggunaan metode transformasi menjadi
sangat sulit untuk diterapkan (Ramulu et al., 1995 dalam Purwito, 1999; Millam et al.,
1995).
Aplikasi metode fusi protoplas atau hibridisasi somatik dapat dijadikan alternatif
untuk mengatasi masalah tersebut. Selain dapat mentransfer gen gen yang belum
teridentifikasi, fusi protoplas juga dapat memodifikasi dan memperbaiki sifat sifat yang
diturunkan secara poligenik (Millam et al., 1995; Waara and Glimelius, 1995). Fusi
protoplas dimasa yang akan datang,menjadi tujuan utama manipulasi genetik, karena
dapat memecahkan hambatan genetik dalam sistem persilangan secara konvensional
(Verma et al., 2004).
9

Fusi protoplas merupakan teknik penggabungan inti dan atau sitoplasma dari
genotipe yang berbeda untuk meningkatkan keragaman genetik atau memperbaiki sifat
unggul tanaman yang diinginkan (Rostiana, 2006). Pada teknik fusi protoplas , dua
protoplas dengan genetik yang berbeda diisolasi dan difusikan dengan berbagai cara
untuk memperoleh protoplas hibrida. Fusi protoplas ini berguna untuk memproduksi
hibrida interspesifik atau bahkan intergenerik (Verma et al., 2004).
Menurut Wattimena (1999), fusi protoplas dapat dilakukan dengan cara
menggabungkan seluruh genom dari dua jenis protoplas dari kultivar yang berlainan
(intraspecific), atau antar species dalam genus yang sama (interspecific) , atau fusi antar
genus dalam satu famili (intergeneric).
Fusi protoplas antar kultivar yang berlainan (intraspecific) bertujuan untuk
meresintesis genotipe tetraploid dari galur tanaman dihaploid yang telah terseleksi
sehingga tanaman tetraploid hasil fusi mempunyai tingkat heterozigositas yang tinggi.
Penggunaan fusi protoplas memungkinkan produksi hibrida dengan heterozigositas
yang tinggi hanya dalam sekali langkah sehinga sangat efisien, walaupun
keberhasilannya sangat ditentukan oleh genotipe (Waara and Glimelius, 1995; Purwito,
1999).
Fusi protoplas antar species dalam satu genus (interspecific) bertujuan
mendapatkan sifat sifat tertentu, misalnya ketahanan ( resistensi) terhadap hama dan
penyakit. Untuk mendapatkan sifat sifat ketahanan juga dapat dilakukan dengan cara
fusi protoplas antar genus (intergeneric) (Purwito,1999).
Fusi protoplas dari genotipe yang berbeda dapat menghasilkan hibrida somatik
dengan tiga kategori yaitu,1.hibrida simetris dimana kedua inti dari dua tetua tergabung
secara sempurna 2.hibrida asimetris, dimana hanya sebagian saja inti dari salah satu
tetua bergabung dengan inti tetua lainnya.3. Cybrid ,yi dimana inti dari salah satu tetua
terakumulasi di dalam gabungan protoplas kedua tetua. Oleh karena itu, variasi
rekombinan sifat genetik di dalam tanaman hasil fusi akan sangat beragam dalam
frekuensi yang berbeda (Bhojwani and Razdan,1996 dalam RostianaO, 2006).
Fusi simetris dapat menghasilkan keragaman genetik yang tinggi yang berguna
dalam program pemuliaan tanaman, melalui beberapa kali silang balik (backcross),
dilanjutkan dengan seleksi, dapat dihasilkan kultivar baru (Mariska et al., 2006).
Tanaman hasil fusi protoplas memiliki sifat sifat gabungan dari kedua tetuanya,,
termasuk sifat sifat yang tidak diinginkan yang berasal dari species liar. Untuk

10

menghilangkan sifat sifat yang tidak diinginkan pada tanaman hasil fusi biasanya
dilakukan dengan cara silang balik (backcross) dengan salah satu tetuanya.
Penggunaan teknik fusi protoplas atau hibridisasi somatik merupakan salah satu
aplikasi bioteknologi yang menjanjikan. Teknik hibridisasi somatik dapat mentransfer
sifat monogenik dan poligenik antar galur atau antar species dan dapat mengatasi
hambatan inkompatibilitas seksual (Millam et al., 1996 ; Purwito, 1999). Kendala
genetik seperti inkompatibilitas seksual atau fertilitas polen yang rendah atau sterilitas
sering terjadi pada persilangan antara genotipe genotipe tanaman yang berkerabat jauh,
yang tidak dapat diatasi dengan metode konvensional dengan persilangan seksual. Fusi
protoplas dapat digunakan untuk mengatasi hambatan dalam persilangan tersebut.
Penelitian fusi protoplas telah menghasilkan hibrida somatik yang menunjukkan
peningkatan pada potensi genetik tanaman. Beberapa penelitian fusi protoplas telah
menghasilkan keragaman genetik tanaman, produktivitas tinggi , perbaikan sifat
ketahanan terhadap hama, penyakit, dan nematoda, serta perbaikan sifat-sifat kualitatif
seperti kandungan minyak tinggi (Mariska et al., 2006).

2.3

Gene Transformation
Webb dan Morris (1992) mendefinisikan transformasi genetik sebagai suatu
perpindahan (transfer) gen asing yang diisolasi dari tanaman, virus, bakteri atau hewan
ke dalam suatu genom baru (new genetic background). Pada tanaman, keberhasilan
transformasi genetik ditunjukkan oleh keberhasilan pertumbuhan tanaman baru yang
normal, fertil dan dapat mengekspresikan gen baru hasil insersi.
Proses transformasi genetik terdiri dari beberapa tahap yaitu insersi, integrasi,
ekspresi dan pewarisan sifat DNA baru. Metode insersi gen dapat dilakukan dengan
menggunakan bakteri (species Agrobacterium) atau virus dan transfer gen langsung
(direct gene transfer). Teknik ini memanfaatkan konstruksi gen yang terdiri dari
promoter bakteri atau virus. Pemilihan metode transfer gen pada umumnya tergantung
pada species tanaman yang digunakan dan kemampuan regenerasi tanaman tersebut
secara in vitro (Webb dan Morris, 1992).
Dasar keberhasilan transformasi genetik adalah kemampuan sel target untuk
berkembang menjadi tanaman utuh. Teknik kultur jaringan membuka peluang untuk
menyediakan sel target yang terdapat dalam organ tanaman (daun, batang, hipokotil dan
kotiledon), yang terdapat dalam kalus atau kultur suspensi sel dan bahkan protoplas.

11

Sel-sel ini dapat diinduksi untuk berkembang menjadi tanaman baru melalui inisiasi
pembentukan tunas baru atau melalui embriogenesis (Webb dan Morris, 1992).
Daun-daun dari spesies dikotil dapat secara langsung ditransformasi dengan
Agrobacterium atau dengan metode transfer gen langsung (direct gene transfer) pada
protoplas. Pada monokotil, jaringan meristem merupakan sumber yang paling baik
karena berpotensi membentuk sel-sel embrionik. Sel-sel tersebut harus dimultiplikasi
terlebih dahulu dalam kultur sel sehingga membentuk kelompok sel embrionik yang
dapat digunakan sebagai sel target untuk transfer gen dengan cara microinjection atau
particle bombardment (Webb dan Morris, 1992).

Dalam

sistem

transformasi

genetik, tujuan akhir adalah meregenerasi tanaman baru yang identik dengan induknya,
kecuali dalam hal sifat baru dari gen yang disisipkan. Jaringan dari berbagai spesies,
termasuk sejumlah tanaman budidaya yang penting, saat ini dapat diregenerasi menjadi
tanaman baru dengan menghasilkan tunas atau embrio secara in vitro (Lal & Lal, 1990).
Hal ini merupakan faktor yang dapat menunjang keberhasilan proses transformasi.
Untuk keperluan ekspresi di dalam sel tanaman, gen-gen asing memerlukan promoter
yang sesuai, sekuen awal 5 dan terminator 3 untuk menjamin transkripsi yang efisien,
stabil dan translasi mRNA. Besarnya perbedaan antara elemen regulator dari prokariot
dan eukariot menyebabkan sekuen gen bakteri tidak dapat berfungsi dalam sel tanaman.
Sebagai perkecualian dalam hal ini adalah adanya elemen regulator dari gen-gen
tertentu pada Agrobacterium tumefaciens dan A. rhizogenes yang dapat berfungsi aktif
pada sel-sel tanaman transforman. Gen-gen promoter nos (nopaline synthase), ocs
(octopine synthase) dan mas (mannopine synthase) yang berasal dari kedua macam
bakteri tersebut telah berhasil digunakan sebagai sumber elemen regulasi. Selain itu,
virus tanaman yang mengendalikan transkripsi dan translasi telah digunakan sebagai
sumber elemen regulasi, dan yang paling sering digunakan adalah gen promoter 35S
RNA dari Cauliflower Mosaic Virus (CaMV). Promoter ini aktif dalam semua jaringan
tetapi aktivitasnya bervariasi di antara tipe-tipe sel yang berbeda (Webb dan Morris,
1992).
Ekspresi gen asing pada sel tanaman hasil transformasi dapat diketahui dengan
cara menentukan aktivitas produknya. Sekuen yang mengkode gen-gen penghasil
enzim pada bakteri dengan mudah dapat dianalisis, yang aktivitasnya tidak ditemukan
pada tanaman normal, merupakan bentuk dasar dari beberapa reporter gen. Enzimenzim bakteri yang umum digunakan adalah nopaline synthase (nos), chloramfenicol
acetyltransferase (cat), luciferase (luc), neomycin phosphotransferase (nptII), dan 12

glucuronidase (gus). Gen-gen reporter ini telah digunakan secara luas untuk
menganalisis fungsi promoter dan sekuen gen regulator lain. Adanya gen-gen reporter
ini, yang mempunyai sensitivitas, ketepatan dan keyakinan pada deteksi enzimatik,
dapat meningkatkan kegunaannya untuk mendeteksi transient. Bila dibandingkan antara
cat, gus dan nptII sebagai gen reporter dibawah kendali promoter CaMV 35S pada
tembakau menunjukkan bahwa ekspresi gen gus paling mudah dideteksi, kemudian
nptII dan terakhir cat (Webb dan Morris, 1992).
Seleksi terhadap sel-sel transforman merupakan faktor kunci dalam keberhasilan
metode yang dikembangkan untuk transformasi genetik. Gen-gen penyebab tumor yang
berasosiasi dengan A. tumefaciens (Marton et al., 1979; Hernalsteens et al., 1980) dan
A. rhizogenes (Tempe dan Casse-Delbart, 1989) dapat digunakan sebagai penanda
seleksi. Gen-gen ini mempengaruhi morfologi jaringan pada tanaman transforman.
Pada peristiwa infeksi A. tumefaciens, crown galltumbuh terus menerus pada kultur in
vitrodengan tidak adanya penambahan zat pengatur tumbuh. Beberapa strain A.
tumefaciens menyebabkan sel transforman membentuk pucuk abnormal yang pada
umumnya infertil. Karakteristik lain adalah, biasanya ditentukan oleh gen-gen tunggal
yang dominan mengkode resistensi tertentu pada bahan selektif. Gen-gen ini tidak
rusak pada proses regenerasi tanaman, oleh karena itu dapat digunakan untuk seleksi
transforman. Gen-gen penanda seleksi yang sama juga dapat digunakan untuk
identifikasi sel transforman pada metode transfer gen secara langsung (Webb dan
Morris, 1992).
Beberapa faktor mempengaruhi kemampuan atau efektifitas bahan kimia yang
digunakan untuk seleksi. Bahan-bahan penyeleksi tersebut bersifat toksik untuk sel
tanaman. Jadi toksin yang paling efektif adalah toksin yang menghambat pertumbuhan
atau membunuh sel-sel non-transforman secara perlahan-lahan. Tekanan seleksi akan
optimal apabila menggunakan konsentrasi toksin yang paling rendah yang mampu
membunuh jaringan untransforman (Webb dan Morris, 1992). Pemilihan toksin sebagai
bahan penyeleksi harus berhati-hati supaya dapat membatasi jumlah sel nontransforman yang hidup. Gen-gen yang resisten terhadap berbagai senyawa toksik,
seperti methotrexate, antibiotik, dan herbisida telah disisipkan pada promoter yang
sesuai dan digunakan untuk menyeleksi dan mengidentifikasi sel-sel transforman.
Antibiotik kanamisin, G418 dan higromisin adalah antibiotik yang saat ini secara luas
digunakan sebagai bahan penyeleksi. Ketiganya adalah antibiotika aminoglikan yang
mempengaruhi aktivitas translasi sel. Gen nptII diisolasi dari transposon Tn5-coli K12.
13

Enzim yang dihasilkan akan menonaktifkan antibiotik pada dikotil termasuk tembakau,
kentang, dan tomat, kacang-kacangan, dan kacang kapri, serta tanaman berkayu seperti
Pseudostuga menziesii (Ellis et al., 1989). Gen hpt (hygromycin phosphotransferase)
dikembangkan untuk resistensi terhadap antibiotika higromisin. Gen ini diisolasi dari E.
coli dan telah berhasil digunakan dalam strawberi dan padi. Selain itu variasi tingkat
resistensi terhadap higromisin telah ditemukan pada spesies yang tergolong Gramineae
yang lain (Hauptmann et al., 1988).

2.4

Agrobacterium rhizogenes
Agrobacterium merupakan kelompok bakteri gram negatif yang berasosiasi
dengan tanaman. Beberapa anggota dari kelompok ini dapat menyebabkan penyakit
pada tanaman. Salah satu jenis Agrobacterium ini adalah Agrobacterium rhizogenes
yang menyebabkan penyakit akar berambut pada tanaman tingkat tinggi. Bakteri
Agrobacterium rhizogenes dapat menginduksi perkembangan percabangan yang
banyak ditempat akar yang terinfeksi sehingga disebut dengan hairy root. Melalui
infeksi ini dapatditransfer T-DNA dari plasmid Ri (root inducing plasmid), dan
kemudian dapat terintegrasi ke dalam kromosom sel tanaman. Ekspresi onkogen pada
plasmid Ri di dalam tanaman mencirikan pembentukan akar adventif secara besarbesaran pada tempat yang diinfeksi dan dikenal dengan akar berambut (Nilsson dan
Olsson, 1997).
Prosesnya

adalah

sebagai

berikut,

T-DNA

akan

terintegrasi

pada

kromosomtanaman dan akanmengekspresikan gen-gen untuk mensintesis senyawa


opine, disamping itu T-DNA juga mengandung onkogen yaitu gen-gen yang berperan
untuk menyandi hormon pertumbuhan auksindan sitokinin. Ekspresi onkogen pada
plasmidRi mencirikan pembentukan akar adventif secara besar-besaran pada tempat
yangdiinfeksi dan dikenal dengan hairy root (Nilson & Olsson, 1997).
Penyerangan
yangmenyebabkan

terhadap

akar

tumbuhnyaakar

oleh

bakteri

berambut

Agrobacterium

secara

cepat

pada

rhizogenes
eksplan.

akandapatmenghasilkan metabolit sekunder.Kultur akar rambut tersebut telah


digunakan untuk mempelajari keberadaansenyawa bioaktif seperti ribosome
inactivating protein (RIP) atau senyawa bioaktif lainnya (alkaloida, flavonoida,
poliaetilena dan fitoaleksin. Akar rambut dari L.cylindrical dilaporkan memproduksi
RIP yangdiberi nama luffin dengan kuantitas dan aktivitasyang lebih tinggi

14

dibandingkandengan yang diproduksi oleh bagian tanaman lainnya (Toppi et al.,


1996).
Agrobacterium rhizogenes dapat menginfeksi 463 spesies, 109 famili, 49 ordo, 5
kelas, dan 2 divisi tanaman. A. rhizogenes dapat menginfeksi dengan persentase tinggi
(57%) pada tanaman uji. Empat Famili yang telah diidentifikasi bersifat resisten
terhadap percobaan inokulasi A. rhizogenes antara lain Cactaceae, Gesneriaceae,
Lamiaceae, dan Liliaceae. Akan tetapi, 2 famili yang disebut terakhir masih melalui
tahapan pengujian dalam penelitian lanjutan, famili lain seperti Solanaceae, Rosaceae,
Fabaceae,

Crassulaceae,

Caesalpinaceae,

Brassicaceae,

Polygonaceae,

dan

Asteraceae memiliki sifat mudah terinfeksi (Porter dan Flores, 1991). Untuk Famili
Leguminoseae, beberapa spesiesnya lebih sulit terinfeksi dibandingkan tanaman
sefamilinya yang lain. Hal ini dikarenakan banyak spesies tanaman legum yang
kesulitan menginduksi somatic embryogenesis atau organogenesis (Somers dkk.,
2003).
Mikroorganisme populer yang digunakan adalah Agrobacterium tumefaciens dan
Agrobacterium rhizogenes. Plasmid membawa beberapa gen yang direplikasi sama
seperti kromosom bakteri dimana mereka akan mereplikasi diri secara mandiri dalam
inangnya. Sebuah sel tunggal dapat berisi 50 atau lebih plasmid. Penggunaan
Agrobacterium rhizogenes sebagai mediatransformasi memungkinkan pengembangan
tanaman transgenik melalui seleksi penanda berupa munculnya morfologi akar rambut
sebagai indikator tanaman tersebut telah tertransformasi gen yang dibawa oleh
plasmid. Jaringan tanaman terinfeksi oleh integrasi satu atau lebih dua DNA yang
tertransfer (TL dan TR) dari Ri-plasmid ke dalam genom tanaman target .
Berdasarkan uraian diatas maka perlu adanya pengetahuan serta keterampilan tentang
cara melakukan transformasi genetik pada tanaman menggunakan vektor Ri-plasmid
dari Agrobacterium rhizogenes.

15

BAB III
METODE, HASIL, DAN PEMBAHASAN

3.1 SOMATIC HYBRIDISATION


3.1.1 Plant Material
Daun
Ketidakadanya cara yang efisien untuk kultur tunas in vitro pada mangga,
maka dilakukan isolasi protoplas daun mangga yang berasal dari green house
grown seedlings. Bibit dari cvs. 'Haden', 'Tommy Atkins' dan 'Keitt' yang tumbuh di
bawah kondisi teduh dan lembab selama dua flushes berturut-turut. Sebagian daun
diperluas (2 minggu - old flushes) permukaannya disterilkan seperti epidermis daun
yang luka dan pertengahan tulang rusuk daun, pembuluh darah yang terlihat, tepi
daun dan daerah nekrotik yang telah dihilangkan. Daun dipotong menjadi strip tipis
(0,2-0,5 mm) dengan pisau cukur dengan goresan yang minimal.

PEMs
Kultur embriogenik diperoleh dari nucellus buah yang belum matang dari cv.
Kensington Pride seperti yang dijelaskan tentang mangga oleh Dewald et al.
(1989). PEMs yang tumbuh lambat disebabkan karena jaringan nucellar tumbuh
dengan cepat dalam suspensi ketika berpoliferasi di dalam kultur cair dan mampu
menghasilkan sekitar 3 g PEMs segar per masing-masing subkultur. Untuk
mendapatkan PEMs berkualitas tinggi yang bebas dari gumpalan hitam, kultur
secara berurutan dipindahkan ke media segar dan ditumbuhkan dalam 2,4-D pada
media bebas untuk melakukan subkultur yang terakhir. Kultur suspensi diayak pada
mesh 250 m dan disentrifugasi pada 50 g untuk mendapatkan pelet agregat sel
yang kecil dari PEMs.

3.1.2 Isolasi Protoplast


Isolasi protoplas pertama kali dilakukan oleh Klercher pada tahun 1892.
Protoplas dapat diisolasi dari hampir semua bagian tanaman, seperti akar, daun,
nodul akar, koleoptil, kultur kalus dan daun in vitro (Husni et al. 2003). Isolasi
protoplas pada umumnya dilakukan secara enzimatis. Jenis dan konsentrasi enzim
sangat bervariasi seperti selulase R-10, pektiolase Y-23, pektinase, maserosim, dan
hemiselulosa (Purwito 1999). Teknik isolasi protoplas diperlukan dalam pemuliaan
16

tanaman untuk menyeleksi dan merakit varietas hibrida secara lebih cepat. Menurut
Suryowinoto (1996), isolasi protoplas adalah teknik untuk menghasilkan protoplas
yang utuh dan viabel dari jaringan tanaman hidup dengan cara menghilangkan
dinding selnya.

Larutan hasil digesti yang terdiri sel dan protoplas yang dicuci dengan garam
yang megandung manitol, 1,5% selulosa, 1,0% hemiselulosa , 0,75% PEMs dan
1,5% daun. Fungsi selulosa adalah menghancurkan dan melisiskan penebalan
primer dari dinding sel yang tersusun atas zat selulosa ( Evans dan Bravo,1983).

Hasil digesti larutan disesuaikan dengan pH 5,8 dan disaring dengan 0,22 pM
Millipore

Setelah di preplasmolisis selama 1 jam

Satu gram strip daun (0,2-0,5 mm) atau pelet PEMs yang kering ditransfer
dalam campuran enzim 250 mL dalam erlenmeyer

Campuran di inkubasi terlindung dalam cahaya pada suhu 27oC selama 14 jam
untuk PEMs dan 6 jam untuk daun pada gyratory shaker dengan kecepatan 45
rpm untuk daun dan 30 rpm untuk PEMs

Setelah selesai di inkubasi, sel digesti dan jaringan dilakukan penyaringan


berurutan melewati 75 m sterile stainless steel sieve dan 40 m nylon sieve

Filtrat dipindahkan pada tabung sentrifugasi Falcon 15 mL dan dilakukan


sentrifugasi 100 x g selama 5 menit. Tujuan dari sentrifugasi adalah untuk
mengendapkan pelet protoplas dan memisahkan enzim dengan endapan peletr
protoplas.

Supernatan dipisahkan, pelet protoplas yang didapatkan dari masing-masing


perlakuan dicuci dua kali dengan media osmolaritas yang sesuai

Protoplas dimurnikan secara gradien densitas sentrifugasi dengan menempatkan


2 mL suspensi protoplas mentah pada CPW-osmoticum dengan 4 mL sukrosa
(25% untuk PEMs dan 21% untuk protoplas daun). Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan protoplas yang murni sehingga dilakukan pengapungan protoplas
menggunakan sukrosa sehingga protoplas yang utuh dan viable akan terapung
dipermukaan sedangkan protoplas yang rusak dan debris akan mengendap dalam
larutan sukrosa (Sukmadjaja dkk., 2007).

Setelah disentrifugasi pada 80 g selama 3 menit, protoplas yang murni


dikumpulkan dengan Pasteur pipette

(dari kepadatan menengah) dan

diresuspensi dalam medium kultur segar.


17

Hasil protoplas PEMs 15,22 106 per gram berat segar (g fw-1) (~ 86%
viabilitas) dan dari protoplas daun 8,68 106 g fw-1 (~ 84% viabilitas).
Menurut Kim et al. (2005) dalam mengisolasi protoplas Alstroemeria,

penggunaan kalus embrionik yang friable sebagai sumber protoplas hasilnya lebih
efektif dibandingkan dengan yang berasal dari jaringan daun atau kalus yang
kompak. Sel-sel dalam jaringan daun mempunyai kandungan pektin yang lebih
tinggi dibandingkan dari sel-sel dari kalus (Babaoglu 2000). Keberhasilan isolasi
protoplas terutama tergantung pada kondisi jaringan dan kombinasi enzim yang
digunakan. Tidak ada metode baku dalam isolasi dan kultur protoplas karena setiap
individu sel atau jaringan yang akan digunakan sebagai sumber protoplas
kemungkinan akan memerlukan kondisi yang khusus. Sebagai contoh kultur
suspensi sel merupakan sumber yang paling mudah untuk diisolasi protoplasnya,
demikian juga sel-sel dari jaringan mesofil lebih banyak digunakan dibandingkan
sel-sel dari jaringan lain dalam tanaman (Gleddie 1995).

3.1.3 Fusi Protoplasma


Fusi protoplas dapat dilakukan secara kimiawi dan fisik. Secara kimiawi,
umumnya digunakan polietilen glikol (PEG) yang pertama kali dilaporkan oleh Kao
dan Michayluk (1975). PEG berfungsi sebagai bulking agent, yaitu sebagai
jembatan antar protoplas yang mirip fungsinya dengan plasmodesmata. Terjadinya
fusi semakin besar pada saat proses penghilangan PEG, yaitu pada saat pencucian.
Dalam hal ini, keberhasilan fusi sangat dipengaruhi oleh konsentrasi PEG yang
digunakan, masa inkubasi dalam larutan PEG, dan jumlah kerapatan protoplas yang
akan difusikan. Keuntungan fusi protoplas dengan PEG antara lain dapat dilakukan
dengan peralatan sederhana. Secara fisik, fusi dilakukan dengan menggunakan
aliran listrik pada alat yang dilengkapi dengan generator AC dan DC. Generator AC
berfungsi untuk membuat protoplas berjajar membentuk rantai lurus, selanjutnya
pulsa DC pada tegangan tertentu dapat menginduksi terjadinya fusi karena pulsa DC
dapat membuat celah yang dapat balik sehingga protoplas dapat berfusi
(Zimmerman dan Scheurich 1981).

Fusi protoplas dilakukan dengan tiga kombinasi parenteral yaitu, ., Tommy


Atkins (leaves) + Kensington Pride (PEMs), Keitt (leaves) + Kensington
Pride (PEMs) and Haden (leaves) + Kensington Pride (PEMs).

18

Secara singkat, dimurnikan suspensi protoplas daun dengan cara dicampur hatihati dengan suspensi protoplas PEMs (masing-masing pada kepadatan 6 105
protoplas per mL (Pp mL-1)) pada rasio 2: 1 (v / v), kemudian dibentuk pelet
dengan sentrifugasi (75 g) dan diresuspensi dalam larutan W5 (154 mM
NaCl, 5 mM glukosa, 125 mM CaCl2.2 H2O dan 5 mM KCl, pH 5,6 (Medgyesy
et al, 1980.) dengan perbandingan 1:2.

Setetes (100 L) suspensi ditempatkan di bagian bawah petridish (60 15 mm)


selama 20 menit (settlement protoplas), dengan volume yang sama 40%
Polyethylene glycol (PEG) (40 C, pH 7) ditambahkan hati-hati ke pinggiran
drop dan diinkubasi pada suhu kamar selama 20 menit.

Larutan PEG dibuat dengan menambahkan 7 mL larutan komplementer yang


steril [(0,6 M glukosa, 10 mM CaCl2.2H2O, 0,7 mM KH2PO4 (Kao et al.,
1975) pH 8,0) ke botol yang berisi 5 g PEG HYBRI-Max yang panas, MW
3,000-3,700 (Sigma)]. PEG berfungsi sebagai bulking agent, yaitu jembatan
antara protoplas. Fungsi tersebut mirip dengan plasmodesmata. Penggunaan
polyethylene glycol (PEG) juga dapat menginduksi fusi seperti yang dilapor
Husni dkk. (2004) bahwa semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama waktu
yang diperlukan untuk inkubasi maka semakin banyak sel yang berfusi. PEG
dapat digunakan sebagai menginduksi fusi antar dua atau lebih protoplas karena
HO-CH2(CH-O-CH2) mempunyai polaritas yang cenderung negatif yang
mampu membentuk ikatan hidrogen dengan kelompok polaritas positif dari
substansi membaran sehingga PEG akan mengikat dua permukaan protoplas dan
terjadi fusi. Protoplas yang telah difusikan dikultur dalam media perlakuan
untuk memacu pertumbuhannya.

Setelah 15 menit diinkubasi, fluida yang menetes dihilangkan

hati-hati

menggunakan pipet dengan ujung 20 L dan larutan sisa dielusi 3 kali dengan
100 L larutan W10.

W10 (Menczel et al., 1981) disiapkan masih segar dengan mencampur 9 bagian
stok A (0,4 M glukosa, 66 mM CaCl2, 10% DMSO) dengan satu bagian dari
stok B (0,3 M glisin-NaOH penyangga, pH 10,5) dan saring untuk sterilisasi.

Buffer Glycine-NaOH (pH 10,5) dibuat dengan mencampurkan 25 mL Stock 1


(0,2 M glisin) dengan 19,5 mL stok 2 (0.2 M NaOH) dalam volume akhir 100
mL air destlilasi yang diionisasi.
19

Setelah 20 menit, media kultur protoplas dicuci tiga kali dengan larutan W10.
Beberapa tetes air steril ditempatkan di sudut masing-masing cawan Petri untuk
mencegah dehidrasi dan kristalisasi campuran selama proses inkubasi yang
berbeda.

3.1.4 Kultur Protoplas


Setelah fusi, protoplas dengan hati-hati ditanam dalam Ca-alginat pada initial
plating density (IPD) dari 2,5 104 Pp mL-1 dan disuspensikan dalam media kultur
cair yang mengandung 1 mg L-1 2,4-D dan 3,5 mg L -1 Kinetin. 2,4-D merupakan
auksin sintetik yang mampu bekerja sebagai herbisida pada kondisi tertentu.
Semakin tinggi konsentrasi 2.4-D yang digunakan semakin rendah pertumbuhan
suatu tanaman karena akan menyebabkan produksi etilen meningkat dan
perkembangan dinding sel tumbuhan menjadi abnormal (Martono, 2009). Kinetin
merupakan turunan dari hormon sitokinin. Adapun fungsi utama sitokinin adalah
merangsang pembelahan sel dan pembentukan organ (Salisbury, 1995). Media
kultur dasar terdiri dari media B5 dengan garam mayor (Gamborg et al., 1968)
dengan 4 mM CaCl2 dan tanpa (NH4)

SO4, media MS dengan garam minor

(Murashige dan Skoog, 1962) ditambah senyawa organik berikut berdasarkan survei
dari media yang digunakan sebelumnya yaitu, 20 mg L-1 tiamin-HCl, 10 mg L-1
piridoksin, 2 mg L-1 asam nikotinat, 5 mg L-1 pantotenat acid, 2% air kelapa (CW),
30 mg L-1 asam askorbat , 1,5 g L-1 L-glutamine, 100 mg L-1 myo-inositol, 500
mg L-1 prolin, 30 g L-1 sukrosa dan manitol di 0.7 M sebagai osmotikum. PH
media diatur sampai 5,8 dan semua media disterilkan. Natrium alginat (Sigma)
dilarutkan dalam osmotikum (0,7 M manitol) pada konsentrasi 4% (w / v) (dua kali
konsentrasi akhir) dengan pengadukan selama 4 jam kemudian disterilkan.
Protoplas disuspensikan kembali pada 5 104 mL Pp-1 (dua kali IPD diinginkan)
dalam media kultur yang bebas kalsium kemudian dicampur dengan larutan alginat
dengan hati-hati memutari tabung. Campuran akhir itu kemudian diteteskan (40 L
droplet) pada media kultur tanpa Na-alginat dan ditambah 50 mM CaCl2. Setelah 1
jam, padatan yang dihasilkan Ca-alginat dicuci dua kali dengan media kultur setiap
waktu selama 10 menit dan padatan yang disuspensikan dalam 3 mL pada lapisan
tipis kultur cair dan diinkubasi dalam gelap pada 25 C dengan perputaran 30 rpm.
Setelah 12 jam, fase seluruh cairan dalam media kultur digantikan dengan media
kultur segar untuk mencuci PEG yang tersisa dan fenolat. Pengenceran dilakukan
20

dengan mengganti 15% dari fase larutan dengan media tanpa manitol. Setelah 4
minggu dalam media kultur, koloni sel yang dihasilkan setelah depolimerisasi
dengan Ca-alginat dalam 20 mM larutan natrium sitrat Scheurich et al. (1980).
Koloni yang dihasilkan diletakka pada media dengan komposisi yang sama
tetapi bebas dari manitol dan diperkaya dengan 80 g L-1 sukrosa dan 20% CW
padat yang steril dengan 0,22% Gelrite (Sigma). Setelah dihasilkan dua subkultur
berturut-turut,per tumbuhan yang cepat dan dipilih gumpalan yang besar dari PEMs
dan dipindahkan ke medium proliferasi PEMs yaitu media B5 yang terdiri dari
garam mayor tanpa (NH4)2 SO4, ditambah MS dengan garam minor dan Fe-EDTA,
12 mg L-1 tiamin, 4 mg L-1 asam nikotinat, 10 mg L-1 piridoksin, 4,5 mg L-1 Lglutamine, 6% sukrosa, 1 mg L-1 2,4-D dan 3,5 mg L-1 Kinetin padatan dengan
0,22% Gelrite. Kultur dipindahkan ke media segar setiap dua minggu. Sebuah
gangguan dalam proliferasi PEMs dengan pengecualian dari 2,4-D dari media kultur
memungkinkan sel proembrio untuk berkembang menjadi embrio globular tunggal
atau agregat dalam waktu 10 hari. Konversi embrio globular ke tahap lebih lanjut
dari awal kotiledon berbentuk hati dan berlangsung dalam waktu 3 minggu. Untuk
mendapatkan embrio kotiledon, embrio awal yang buram dan berbentuk hati
(dengan panjang 2-5 mm) dengan mudah dipisahkan dari kultur PEMs tanpa
melukai radikula dan ditempatkan ke media segar.
Pemanjangan radikula dan perakaran embrio kotiledon diperoleh dari media
perkecambahan B5 yang mengandung setengah garam mayor tanpa (NH4)2SO4,
kekuatan penuh MS garam minor, vitamin dan bahan organik seperti untuk tahap
proliferasi, 2% CW yang steril, 4,5% sukrosa, 500 mg L-1 arang aktif, dipadatkan
dengan 2,5 g L-1 Gelrite. Untuk pertumbuhan tunas, embrio berakar dari garis
PEMs yang sama dipindahkan ke 30 mL media pertumbuhan tunas dalam 250 mL
labu Erlenmeyer dan dijaga pada shaker gyratory pada 60 rpm. Media
Perkecambahan tanpa arang aktif dan Gelrite digunakan sebagai media tumbuh
tunas. Embrio di kedua perkecambahan dan media pertumbuhan tunas dijaga pada
intensitas cahaya 80-100 umol m-2 s-1 dengan 16 jam cahaya / 8 jam gelap. Untuk
aklimatisasi, lima puluh in vitro platlet dengan daun utuh dan akar
ditransplantasikan ke campuran yang terdiri dari 80% coco peat dan 20% perlit dan
disimpan pada 25 C tereduksi cahaya (20%) dan 80% RH selama 6 minggu
kemudian ditransfer ke shaded greenhouse dengan 60 sampai 70% RH.

21

3.1.5 Flow Cytometry


Flow cytometry adalah teknik yang digunakan untuk menghitung dan
menganalisa partikel mikroskopis yang tersuspensi dalam aliran fluida (Cytopathol,
2009). Pada dasarnya, aliran cytometer adalah mikroskop fluoresensi yang
menganalisis partikel suspensi yang bergerak. Ini didukung oleh sumber cahaya
(UV atau laser) dan pada gilirannya memancarkan epi- Flow cytometry adalah
teknik yang digunakan untuk menghitung dan menganalisa partikel mikroskopis
yang tersuspensi dalam aliran fluida (Cytopathol, 2009). Pada dasarnya, aliran
cytometer adalah mikroskop fluoresensi yang menganalisis partikel suspensi yang
bergerak. Ini didukung oleh sumber cahaya (UV atau laser)fluoresensi yang disaring
melalui serangkaian dichroic cermin. Kemudian sinyal tersebut dikonversi menjadi
grafik dengan intensitas epi-fluoresensi yang dipancarkan terhadap jumlah sel pada
waktu tertentu. Dengan demikian, aliran cytometer terdiri dari fluidics, optik dan
elektronik, seperti mengukur sel dalam suspensi yang mengalir dalam satu file pada
suatu volume yang menghamburkan cahaya dan memancarkan fluoresensi yang
dikumpulkan, disaring dan diubah menjadi nilai digital untuk penyimpanan pada
komputer (Robinson, 2006).
Pertama-tama dibuat suspensi nukleus dari 50mg PEMs yang berasal dari
cv. 'Kensington Pride', dan 1 cm2 dari jaringan daun muda masing-masing dari cvs.
'Keitt', 'Tommy Atkins' dan 'Haden' sebagai kontrol diploid, dan dua embrio matang
tunggal dari setiap baris hibrida somatik yang mengikuti protokol yang dijelaskan
oleh Galbraith et al. (1983) dengan beberapa modifikasi sebagai berikut.
Sejumlah kecil jaringan tanaman dicacah pada 1 mL larutan buffer pelisis
yang mengandung 45 mM MgCl2, 30 mM natrium sitrat, 20 mM MOPS, 0,1%
Triton X-100, 20 mM - mercaptoethanol, dan 0,1% PVP, pada pH 7.0 dengan
pisau cukur yang tajam dalam 1 mL es berpendingin untuk mengisolasi inti. Namun
tidak hanya inti tetapi juga berbagai debris seperti kloroplas, mitokondria, dan zat
terlarut (fenolat, DNAse, RNAse, dll) dari sitoplasma dan vakuola diperoleh dalam
suspensi yang dihasilkan. Dengan menghilangkan debris tersebut serta pencucian
inti diharapkan mampu menghalangi sinyal yang tidak diinginkan atau memblokir
zat yang tidak diinginkan. Sehingga langkah selanjutnya dilakukan penyaringan
suspensi yang diperoleh setelah memotong melalui nilon mesh halus dengan ukuran
0,22 m Millipore untuk memisahkan debris.

22

Setelah inkubasi selama 2 menit, suspensi disaring pada 21 m dengan


penyaring nilon (Millipore) dan diperlakukan dengan 50 g/mL RNase A selama 1
menit, kemudian diwarnai dengan propidium iodida (PI) (40 g/mL) untuk
menganalisa kandungan DNA sel. PI merupakan penanda DNA yang bersifat
membrane impermeable. Dengan cara ini, sel apoptosis dan sel mati dapat
dibedakan. Selanjutnya dianalisis dengan flow cytometer atau mikroskop
fluoresensi. Uji ini cukup mudah untuk dilakukan dan dapat membedakan sel
normal (annexin VPI), sel apoptosis awal dan sel apoptosis akhir dan sel mati
(Vermes et al., 1995). PI tidak dapat menembus membrane sel yang hidup. Namun
ketika sel mengalami apoptosis akhir dan nekrosis , terjadi perubahan permeabilitas
membrane plasma dan nuclear sehingga PI dapat memasuki sel dan berikatan
dengan DNA sehingga menyebabkan fluoresensi merah pada sel tersebut.
Fluoresensi relatif seluruh DNA diukur setidaknya pada 2.000 inti sel
dengan aliran cytometry BD Laser II Analyser (Becton Dickenson), dilengkapi
dengan laser argon pada panjang gelombang 488 nm. Tingkat ploidi setiap baris
regenerasi ditentukan oleh posisi puncak relatif terhadap kontrol diploid.

3.1.6 Menghitung Kromosom


Penyebaran kromosom somatik dibuat dari sel-sel meristematik dari ujung
akar yang tumbuh dengan cepat (ujung radikula memanjang) dari perkecambahan
embrio. Untuk setiap baris kalus, dua ujung akar, sekitar 5 mm yang telah dipelajari.
Kromosom menyebar dan pewarnaan dilakukan dengan menggunakan teknik
Feulgen sesuai dengan prosedur yang dijelaskan oleh Tamura et al. (1996) dengan
beberapa modifikasi sebagai berikut.
Ujung akar direndam dalam air suling pada suhu 4 C selama setidaknya 24
jam, kemudian direndam dalam campuran asam asetat: metanol (1: 1) selama 1,5
jam dan dihidrolisis dengan HCl 5 N selama 60 menit pada suhu 20 C setelah
menghilangkan fiksatif dengan cara difiksasi di atas api selama beberapa menit.
Ujung akar dicuci dengan air suling setiap dilakukan perubahan perlakuan. Ujung
akar diwarnai dengan larutan Feulgen pada suhu 4C selama 45 menit kemudian
dipangkas dan ujung akar yang berukuran 0,5-1,0 mm ditempatkan pada kaca
mikroskop, ditambahkan dengan setetes larutan enzim (4% Selulase R-10, 1,5%
Macerozyme R- 10, 1% Hemicellulase (Sigma), 0,07 M KCl, 7,5 mM Na 2 EDTA
(pH 4), 5 mM MES penyangga dan 0,5 M manitol) dan diinkubasi dalam air pada
23

suhu 37C selama 90 menit. Dilakukan squashing hingga terbentuk lapisan sel yang
sangat tipis dan menyebar secara merata. Penjumlahan kromosom dilakukan pada
10 sel untuk setiap ujung akar pada pembesaran 1000x di bawah mikroskop jenis
Olympus (BH2).

3.1.7 Analisis DNA


Total DNA ganda diekstraksi dari PEMs dari 'Kensington Pride', daun
'Tommy Atkins', 'Keitt' dan 'Haden dan embrio tunggal hibrida somatik yang diduga
mengikuti metode CTAB (cetyl trimetilamonium bromida) (Carroll et al., 1995)
dengan sedikit modifikasi. Pada umumnya prinsip utama dalam isolasi DNA ada
tiga yakni penghancuran (lisis), ektraksi atau pemisahan DNA dari bahan padat
seperti selulosa dan protein, serta pemurnian DNA (Corkill dan Rapley, 2008;
Dolphin, 2008). Dimana pada penelitian ini dilakukan isolasi DNA dengan teknik
penghancuran (lisis). Digunakan CTAB yang berperan dalam melisiskan membran
sel juga dapat berperan dalam mengurangi aktivitas enzim nuklease yang
merupakan enzim pendegradasi DNA pada isolasi DNA tumbuhan (Bettelheim dan
Landesberg, 2007).
Sekitar 100 mg jaringan tanaman ditumbuhkan dalam nitrogen cair dan
dicampur dengan Buffer untuk melisiskan inti sebanyak 750 uL yang dipanaskan
pada suhu 65C. Buffer ini terdiri dari 2% (b / v) CTAB, 1% (b / v) PVP (MW
10.000), 0.5 % (v / v) -mercaptoethanol, 2 M NaCl, 0,05 M EDTA pH 8,0, 100
mM Tris-HCl pH 8,0 yang mengandung 0,6% Na2SO3 dan 150 uL sarkosyl 5%
yang telah dipanaskan). -mercaptoethanol dan Na2SO3 ditambahkan ke buffer
segera sebelum digunakan. Homogenat diinkubasi pada 65C selama 1 jam dengan
inversi lembut selama 15 menit. Tujuan inkubasi ini adalah untuk mencegah
pengendapan CTAB karena CTAB akan mengendap pada suhu 15C. Karena
efektivitasnya dalam menghilangkan polisakarida, CTAB banyak digunakan untuk
purifikasi DNA pada sel yang mengandung banyak polisakarida seperti terdapat
pada sel tanaman dan bakteri gram negatif seperti Pseudomonas, Agrobacterium,
dan Rhizobium (Surzycki, 2000). Dalam penggunaan buffer CTAB seringkali
ditambahkan reagen-reagen lain seperti NaCl, EDTA, Tris-HCl, dan 2mercaptoethanol. NaCl berfungsi untuk menghilangkan polisakarida sementara 2mercaptoethanol befungsi untuk menghilangkan kandungan senyawa polifenol
dalam sel tumbuhan (Ranjan et al., 2010). 2-mercaptoethanol dapat menghilangkan
24

polifenol dalam sel tanaman dengan cara membentuk ikatan hidrogen dengan
senyawa polifenol yang kemudian akan terpisah dengan DNA (Lodhi et al., 1994).
Senyawa polifenol perlu dihilangkan agar diperoleh kualitas DNA yang baik.
Polifenol juga dapat menghambat reaksi dari enzim Taq polimerase pada saat
dilakukan amplifikasi. Disamping itu polifenol akan mengurangi hasil ektraksi
DNA serta mengurangi tingkat kemurnian DNA (Porebskiet al., 1997). Penggunaan
2-mercaptoethanol dengan pemanasan juga dapat mendenaturasi protein yang
mengkontaminasi DNA (Corkill dan Rapley, 2008). Pada tahapan ekstraksi DNA,
seringkali digunakan chelating agent seperti ethylenediamine tetraacetic acid
(EDTA) yang berperan menginaktivasi enzim DNase yang dapat mendenaturasi
DNA yang diisolasi, EDTA menginaktivasi enzim nuklease dengan cara mengikat
ion magnesium dan kalsium yang dibutuhkan sebagai kofaktor enzim DNAse
(Corkill dan Rapley, 2008).
DNA yang telah diekstraksi dari dalam sel selanjutnya perlu dipisahkan dari
kontaminan komponen penyusun sel lainnya seperti polisakarida dan protein agar
DNA yang didapatkan memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini dilakukan dengan
cara ekstraksi menggunakan 900L campuran fenol:kloroform:isoamil alkohol (25:
24: 1) (Sigma- Aldrich). Homogenat disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 15
menit dan supernatan dipindahkan ke tabung microcentrifuge baru. Ekstraksi
dengan menggunakan campuran fenol, kloroform, dan isoamil alkohol bertujuan
untuk mendenaturasi protein. Ekstrak DNA yang didapat seringkali juga
terkontaminasi oleh RNA sehingga RNA dapat dipisahkan dari DNA ekstrak
dengan cara pemberian RNAse (Birren, et al., 1997; Clark, 2010).
Kemudian dilakukan ekstraksi kembali dengan 900 L kloroform: isoamil
alkohol (24: 1) dan dicampur dengan 50 kali inversi. Sampel disentrifugasi selama
15 menit pada 13.000 rpm, maka supernatan dipindahkan ke tabung microcentrifuge
baru dan DNA diendapkan dengan menambahkan 620 L (85% v/v) Isopropanol
pada suhu 4C selama 1 jam pada suhu kamar, kemudian disentrifugasi selama 5
menit dengan kecepatan 2000 rpm. Endapan dicuci 3 kali dengan etanol 70%,
dikeringkan pada suhu kamar selama 20-30 menit dan dilarutkan dalam 100 L
penyangga tris-EDTA (TE) (10 mM Tris pH 8,0, 0,1 M EDTA pH 8,0), pH 8,0.
Hasil DNA adalah sekitar 5 ug per 100 mg embrio, 5-10 mg per 100 mg daun dan
10-15 mg per PEMs.

25

PCR untuk Random Amplified DNA Fingerprinting (RAF) dilakukan sesuai


dengan prosedur yang dijelaskan oleh Waldron et al. (2002) dengan sedikit
modifikasi. Setiap reaksi (10 uL) mengandung 1 PCR penyangga (10 mM Tris
(pH 8,0), 10 mM KCl, 5.0 mM MgCl2), 0,5 uL dimetil sulfoksida (DMSO), 20 pM
setiap dNTP (dATP, dTTP, dGTP, dCTP ), 1,5 U AmpliTaq Stoffel Fragmen DNA
polimerase (Roche Diagnostics Australia, Castle Hill, NSW), 2,5 Ci dari berlabel 33P-dATP (Amersham), 5.0 pM primer oligonukleotida, 1x albumin serum
sapi (BSA) (New England Biolabs Inc ) dan 10-15 ng Template DNA genom.
Dimana fungsi dari template DNA genom di dalam proses PCR adalah sebagai
cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru yang sama. Reaksi PCR hanya akan
berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu untuk melakukan proses PCR
diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer di sini adalah untuk menjamin pH medium.
Selain buffer PCR diperlukan juga adanya ion Mg2+, ion tersebut berasal dari
berasal MgCl2. MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi
aktivitas DNA polimerase. Dengan adanya MgCl2 ini akan meningkatkan interaksi
primer dengan templat yang membentuk komplek larut dengan dNTP (senyawa
antara). Dalam proses PCR konsentrasi MgCl2 berpengaruh pada spesifisitas dan
perolehan proses. Umumnya buffer PCR sudah mengandung senyawa MgCl 2 yang
diperlukan. Tetapi disarankan sebaiknya antara MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan
supaya dapat dengan mudah dilakukan variasi konsentrasi MgCl2 sesuai yang
diperlukan.
Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang digunakan.
Di dalam proses PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang
akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3
yang diperlukan untuk proses eksistensi DNA. Perancangan primer dapat dilakukan
berdasarkan urutan DNA yang telah diketahui ataupun dari urutan protein yang
dituju. Primer acak berikut digunakan: W-15 (5'-ACACCGGAAC- 3 '), K-14 (5'CCCGCTACAC-3'), K-09 (5'-CCCTACCGAC-3 '), K-13 (5'-GGTTGTACCC-3 '),
B-16 (5'-TTTGCCCGGA-3') (Operon teknologi Inc.).
Program thermocycling dimulai dari panas pada suhu 85C. Pemilihan suhu
pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu berkaitan dengan proses
denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Dalam penelitian ini
dilakukan siklus berulang 30-35 siklus yang meliputi:
26

a. Denaturasi awal selama 5 menit pada 94C yang merupakan proses denaturasi
dua untai DNA template menjadi untai tunggal
b. Annealing yang dilakukan sebanyak 30 siklus amplifikasi dari suhu 94C selama
30 detik, 60 detik masing-masing pada suhu 57, 56, 55, 54, 53C. Pada tahapan
ini terjadi pengenalan/penempelan primer DNA template. Optimalisasi
temperatur annealing dimulai dengan menghitung Melting Temperature (Tm)
dari ikatan primer dan DNA template. Cara termudah menghitung untuk
mendapatkan melting-temperatur yang tepat menggunakan rumus Tm =
{(G+C)x4} +{ (A+T)x2}. Sedang temperatur annealing biasanya 5C dibawah
Tm primer yang sebenarnya.
c. Extension yang langkah akhir yang dilakukan pada suhu 72C selama 5 menit.
Waktu ini tergantung panjang pendeknya ukuran DNA yang diinginkan sebagai
produk amplifikasi.

Sedangkan pemilihan waktu yang digunakan berkaitan dengan proses


denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Untuk denaturasi DNA
templat umumnya dilakukan selama 30 90 detik, ini semua tergantung pada DNA
templat yang digunakan. Waktu denaturasi yang terlalu lama akan merusak templat
DNA dan sekaligus dapat menurunkan aktivitas polimerase DNA. Sedangkan waktu
denaturasi yang terlalu pendek akan menyebabkan proses denaturasi tidak
sempurna. Penentuan waktu untuk proses annealing berkaitan dengan panjang
primer. Untuk panjang primer 18 22 basa cukup dengan 30 detik, sedangkan untuk
panjang primer lebih besar dari 22 basa diperlukan waktu annealing 60 detik.
Pemilihan waktu ekstensi primer tergantung pada panjang fragmen DNA yang akan
diamplifikasi. Secara umum untuk mengamplifikasi setiap satu kilo basa DNA
diperlukan waktu 30 60 detik. Pada setiap melakukan PCR harus dilakukan juga
kontrol positif, ini diperlukan untuk memudahkan pemecahan masalah apabila
terjadi hal yang tidak diinginkan. Selain itu juga harus dilakukan terhadap kontrol
negatif untuk menghindari kesalahan positif semu.
Setiap sampel produk PCR radio-labelled dicampur dengan gel buffer loading
(98% (v / v) formamida, 10 mM EDTA pH 8,0, 0,05% (w / v bromophenol biru,
0,05% (b / v) xylene cyanol) dengan volume yang sama dan terdenaturasi pada 94C
selama 3 menit, didinginkan di atas es. Produk Amplified (2 uL) kemudian
dipisahkan, denaturasi 4% (v/v) polyacrylamide gel sequencing (Bio-Rad Sequi27

Genl 'GT sequencing Sel , 50 35 cm) yang mengandung 7,5 M urea dalam 1
TBE penyangga (0,1 M Tris, 0,1 asam borat, 20 mM EDTA pH 8,0). Gel menjadi
sasaran elektroforesis pada 1 TBE buffer pada 100 W untuk 135 menit kemudian
ditransfer ke kertas saring (Whatman 3 MM), dikeringkan dan dikenakan lapisan Xray (Kodak Biomax-MR) selama 24 jam pada suhu kamar.

3.2 GENE TRANSFORMATION


3.2.1 Penyiapan Explant (Pembentukan Embriogenesis Somatik)
Pada percobaan ini digunakan buah mangga yang belum matang (30 - 45 hari
setelah berbunga) dari tiga varietas yang berbeda yaitu Haden, Kent dan Madame
Francis dan diambil dari koleksi plasma nutfah Instituto Nacional de
Investigaciones Agr colas (INIA), Venezuela. Buah dibersihkan dan dicuci dengan
air sabun, didesinfeksi dengan merendam dalam alkohol 70% selama 10 menit dan
dalam 3% sodium hipoklorit selama 30 menit, kemudian dicuci tiga kali dalam air
suling steril, dan dibedah dalam kondisi steril (dimodifikasi dari Dewald et al.,
1989). Penggunaan alkohol dan sodium hipoklorit sebagai desinfektan karena
alkohol merupakan denaturan protein, suatu sifat yang terutama memberikan
aktivitas antimikrobial pada alkohol. Disamping itu, alkohol juga merupakan pelarut
lipid sehingga dapat merusak membran sel. Alkohol yang umum dipakai untuk
sterilisasi adalah alkohol konsentrasi 70% karena efektif memecah protein yang ada
dalam mikroorganisme (Adji dkk., 2007). Embrio zigotik diambil dan ditempatkan
di media induksi. Setelah berkembang biak, massa embrio somatik dipisahkan dari
embrio zigotik dan dikultur untuk perkembangan embrio sekunder.
Kalogenesis dan embriogenesis somatik dari embrio zigotik dari varietas
Haden dan Kent (monoembrionik) dan Madame Francis (polyembrionik) diinduksi
secara in vitro, dalam media kultur semipadat (medium induksi) dengan setengah
MS (Murashige dan Skoog, 1962) garam supplement ditambah dengan 10% air
kelapa, 0.4mgl-1 tiamin, 100mgl-1 myoinositol, 0.5mgl-1 asam nikotinat, 400mgl-1
glutamin, 1mgl-1 2,4-D, 1mgl-1

BAP, 30gl-1

sukrosa, dan 7gl-1 agar, pH

menyesuaikan 5,8, inkubasi dalam kondisi gelap pada 25 1C dan kelembaban


relatif 70-80%. 0,5cm dari kalus embrio zigotik dipindahkan ke media B5
(Gamborg et al., 1968) dilengkapi dengan 0,4mgl-1 tiamin, 0,5mgl-1 asam
nikotinat, 100mgl-1 myoinositol, 400mgl-1 glutamin, 30gl-1 sukrosa, 7gl-1 agar,
pH menyesuaikan 5,8, pada 25 1C dengan periode cahaya selama 16 jam
28

(32mol.m-2 s-1) dan 8 jam kondisi gelap, dan kelembaban relatif 70-80% (Salazar,
1997).

3.2.2 Penyiapan Bakteri dan Proses Transformasi


a.

Penyiapan bakteri
Bakteri A. rhizogenes jenis liar diinokulasi di media Luria Bertani (LB)

(Draper et al., 1988) dan ditumbuhkan pada suhu 27 1C selama 15 jam, sampai
densitas optik 1,0-1,5 diperoleh pada 560nm (Lin et al. , 1994). Bakteri
disuspensikan pada media LB (50 mL) ditambah atau tidak dengan 200 M AS.
Efisiensi transformasi dapat meningkatkan virulensi bakteri dengan menambahkan
senyawa fenolik seperti asetosiringon (AS). Dalam sejumlah spesies tanaman dan
mediasinya Agrobacterium, suplemen eksogen seperti AS telah ditemukan dapat
meningkatkan efisiensi transformasi, yang diterapkan melalui pretreating eksplan
tanaman atau kultur Agrobacterium, dengan cara inklusi AS dalam medium kokultur, dan dengan menggabungkan pretreatment eksplan dan kultur Agrobacterium
(Godwin et al, 1991;. Shih-Cheng et al, 2007).
b.

Proses transformasi
Embrio somatik di pre-kultur di media semipadat B5 tanpa hormon selama 48

jam, setelah itu dimaserasi dan dicelupkan ke dalam suspensi bakteri selama 1 jam,
15 menit dan 5 menit. Perlakuan pertama (inokulasi selama 1 jam) diterapkan untuk
ketiga varietas dan perlakuan kedua dan ketiga (inokulasi 15 menit dan 5 menit)
hanya untuk varietas Kent. Kemudian, jaringan diinkubasi pada media prakultur
selama 48 jam, dalam gelap pada suhu 27 1C, setelah itu dicuci 3 kali dalam
akuades steril dan dikeringkan pada handuk kertas steril. Terakhir, embrio somatik
yang dimaserasi dipindahkan ke medium yang sama yang mengandung sefotaksim
(250mg.l-1) dan karbenisilin (500mg.l-1), dan diinkubasi dalam kondisi gelap pada
suhu 27 1C.
Kontrol embrio somatik digunakan tanpa inokulasi dengan A. rhizogenes dan
kultur dalam kondisi dan perlakuan yang sama seperti di atas. Sedangkan untuk
mengevaluasi infeksi dan pertumbuhan bakteri, 1 cm2

bagian daun tembakau

(Nicotiana tabacum L.) di ko-kultur secara bersamaan, dengan mencelupkan kedua


sisi dalam suspensi bakteri, yang sebelumnya dicederai dengan jarum steril, dan
ditempatkan dalam media kultur yang sama yang digunakan untuk eksplan mangga.
Sebuah desain eksperimental acak lengkap digunakan, dengan sepuluh perlakuan
29

(tiga varietas, satu bakteri strain, dilengkapi atau tidak dengan AS, satu waktu
inkubasi; satu varietas, satu bakteri strain, dengan atau tanpa AS, dua waktui
inkubasi) sehingga dapat dijabarkan masing - masing perlakuan sebagai berikut.
-

Perlakuan 1 : varietas Haden diinokulasi pada suspensi bakteri A. rhizogenes


dengan supplement AS dan inkubasi selama 1 jam.

Perlakuan 2 : varietas Haden diinokulasi pada suspensi bakteri A. rhizogenes


tanpa supplement AS dan inkubasi selama 1 jam.

Perlakuan 3 : varietas Kent diinokulasi pada suspensi bakteri A. rhizogenes


dengan supplement AS dan inkubasi selama 1 jam.

Perlakuan 4 : varietas Kent diinokulasi pada suspensi bakteri A. rhizogenes


tanpa supplement AS dan inkubasi selama 1 jam.

Perlakuan 5 : varietas Madame Francis diinokulasi pada suspensi bakteri A.


rhizogenes dengan supplement AS dan inkubasi selama 1 jam.

Perlakuan 6 : varietas Madame Francis diinokulasi pada suspensi bakteri A.


rhizogenes tanpa supplement AS dan inkubasi selama 1 jam.

Perlakuan 7 : varietas Kent diinokulasi pada suspensi bakteri A. rhizogenes


dengan supplement AS dan inkubasi selama 15 menit.

Perlakuan 8 : varietas Kent diinokulasi pada suspensi bakteri A. rhizogenes


tanpa supplement AS dan inkubasi selama 15 menit.

Perlakuan 9 : varietas Kent diinokulasi pada suspensi bakteri A. rhizogenes


dengan supplement AS dan inkubasi selama 5 menit.

Perlakuan 7 : varietas Kent diinokulasi pada suspensi bakteri A. rhizogenes


tanpa supplement AS dan inkubasi selama 5 menit.
Kemudian masing masing perlakuan diulang sebanyak lima kali ulangan,

sehingga dibutuhkan total 10-30 cawan petri per variasi, masing-masing dengan 0,5
g embrio somatik. Pada inokulasi embrio somatik dari varietas Haden, Kent dan
Madame Francis dengan A. rhizogenes yang dilakukan secara maserasi dan
dicelupkan ke dalam suspensi selama 1 jam selanjutnya diamati pertumbuhan
bakteri. Setelah 48 jam pertumbuhan bakteri terbukti pada jaringan embrio somatik
dari tiga varietas yang digunakan. Pencucian dan subkultur di media B5 dengan
antibiotik cefatoxime dan karbenisilin dilakukan setiap 24 jam selama minggu
pertama, dan setiap 48 jam setelah selama satu bulan. Bakteri dapat dihilangkan dari
varietas Kent setelah 20 kali pencucian dan subkultur. Embrio diinokulasi

30

membentuk kalus kemudian embrio dan akhirnya menjadi tanaman dalam media
kultur B5 tanpa antibiotik. Hasil yang sama diperoleh dengan atau tanpa AS.
Kemudian pada inokulasi embrio somatik khusus varietas Kent dengan A.
rhizogenes dengan mencelupkan ke dalam suspensi bakteri selama 15 menit juga
diamati pertumbuhan bakterinya. Pertumbuhan bakteri diamati pada embrio somatik
pada saat 48 jam setelah inokulasi. Bakteri tersingkir setelah 5 kali pencucian
jaringan dan menempatkannya di media B5 segar dengan antibiotik sefotaksim dan
carbencilin. Setelah itu, beberapa embrio berkembang menghasilkan kalus dan
embrio sekunder. Hasil yang sama diperoleh dengan atau tanpa AS. Terakhir
pertumbuhan bakteri diamati pada inokulasi embrio somatik varietas Kent dengan A.
rhizogenes dengan mencelupkan ke dalam suspensi bakteri selama 5 menit.
Pertumbuhan bakteri diamati dalam embrio somatik pada saat 72 jam setelah
inokulasi. Bakteri tersingkir setelah pencucian pertama. Setelah itu, sebagian besar
embrio berkembang menjadi kalus dan embrio sekunder. Hasil yang sama diperoleh
dengan atau tanpa AS.
Setelah diinokulasi, embriyo yang ditransformasikan dengan bakteri A.
rhizogenes dan embriyo kontrol dilakukan ekstraksi DNA kemudian dilakukan
analisis PCR. PCR (Polymerase Chain Reaction) atau Reaksi berantai polymerase
adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro. Pada
jurnal ini, metode PCR bertujuan untuk menyisipkan gen dari bakteri A. rhizogenes
pada gen tumbuhan. Metode PCR dipilih karena metode ini memiliki beberapa
kelebihan. Kelebihan PCR dikatakan sangat tinggi. Hal ini didasarkan atas
spesifitas, efisiensi dan keakuratannya. Spesifitas PCR terletak pada kemampuannya
mengamplifikasi sehingga

menghasilkan produk melalui

sejumlah siklus.

Keakuratan yang tinggi karena DNA polymerase mampu menghindari kesalahan


pada amplifikasi produk. Masalah yang berkenaan dengan PCR yaitu biaya PCR
yang masih tergolong tinggi. Selain itu kelebihan lain metode PCR dapat diperoleh
pelipatgandaan suatu fragmen DNA (110 bp, 5x10-9 mol) sebasar 200.00 kali
setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit. Reaksi ini dilakukan dengan
menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit, DNA cetakan yang
diperlukan hanya sekitar 5 ug oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM
dari reaski ini biasa dilakukan dalam volume 50-100 ul. DNA cetakan yang
digunakan juga tidak perlu dimurnikan terlebih dahulu sehingga metode PCR dapat

31

digunakan untuk melipatgandakan suatu sekuen DNA dalam genom bakteri hanya
dengan mencampukan kultur bakteri di dalam tabung PCR (Yusuf, 2010).
Dna yang telah diisolasi dari embriyo ditambahkan 50 l larutan yang terdiri
atas 10 mm Tris HCl (Ph 9.0), 50 mm KCl, 0,1% Triton X-100, 1,5 mm MgCl2, 200
Um dNTPs, 100 ng DNA genomic dan 1 U Taq DNA polymerase. Selain itu juga
digunakan DNA primer yaitu 5-ATG GAT CCC AAA TTG CTA TTC CTT CCA
CGA-3 dan 5-TTA GGC TTC TTT CTT CAG GTT TAC TGC AGC-3. DNA
primer merupakan suatu sekuen olinukleotida pendek yang digunakan untuk
mengawali proses sintesis rantai DNA. Deoksiribonukloetida trifosfat (dNTP)
terdiri dari dATP, dCTP, dGTP dan dTTP yang diperlukan dalam reaksi polimerasi.
Sedangkan MgCl2 merupakan sumber ion Mg yang nantinya ion ini akan bereaksi
dengan dNTP untuk mengefektifkan reaksi polimerasi. Selain itu, ditambahkan pula
Tris HCl, KCl dan Triton X-100 sebagai senyawa buffer yang berperan dalam
menjaga Ph selama reaksi polimerasi (Yusuf, 2010).
Tahap amplifikasi yang dilakukan adalah denaturation selama 1 menit pada
suhu 920C, annealing selama 1 menit pada suhu 550 C dan extension pada suhu 720C
selama 1,5 menit. Hal ini terulang selama 35 siklus. Denaturasi DNA merupakan
proses pembukaan DNA untai ganda menjadi DNA untai tunggal. Setelah rantai
DNA terbuka, dilanjutkan dengan tahap annealing yaitu penempelan primer.
Selanjutnya tahap extension yaitu pemanjangan primer. Pemajangan primer
memerlukan enzim Taq Polymerase dari ujung 3 menuju 5. Siklus ini diulangi
sebanyak 35 kali sehingga pada akhir siklus akan diperoleh molekul-molekul DNA
rantai ganda yang baru dan merupakan hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh
lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan (Yusuf,
2010).

3.2.3 Pengamatan Hasil Transformasi Dilihat dari Bentuk Kalus dan Histologi.
Dari hasil keseluruhan kultur, tidak ada pengaruh yang jelas dari penggunaan dan
tidak digunakan AS. Hal ini dikarenakan hasil dari seluruh kultur menunjukkan hasil yang
hampir sama dan dapat dikatakan bahwa ada dan tidaknya AS tidak dapat meningkatkan
proses transformasi gen dari Agrobacterium sp. ini.
Embriyo hasil kultur dari seluruh perlakuan pada mangga varietas Kent yang
terinfeksi gen Agrobacterium rhizogenes ini terlihat pada gambar berikut:

32

Gambar 1. Embriyo hasil kultur explant yang terinfeksi A. rhizogenes.


Pada gambar tersebut terlihat bahwa, embriyo yang telah terinfeksi bakteri
Agronacterium rhizogenes ini berbentuk kecil dan roset. Apabila dibandingkan dengan
embriyo kontrol yang tidak terinfeksi bateri A. rhizogenes ini, embriyo kontrol yang
terbentuk mempunyai bentuk yang normal dan berukuran lebih besar. Pernyataan ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tepfer (1990) yang menyebutkan bahwa
embriyo yang terinfeksi A. rhizogenes akan mengalami hambatan dalam pembentukan
tunas apikal sehingga pertumbuhan dari embriyo tersebut akan terbatas. Tentu hal inilah
yang menyebabkan bentuk embriyo yang terinfeksi A. rhizogenes ini menjadi lebih kecil
dari embriyo kontrolnya.
Pengamatan pula dilakukan pada pertumbuhan embriyo menjadi tanaman kecil
(plantlets). Pengamatan yang diperoleh dari hasil pertumbuhan embiyo yang terinfeksi
bakteri A. rhizogenes adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Plantlet hasil kultur explant yang terinfeksi A. rhizogenes

33

Pada gambar tersebut terlihat bahwa plantlet hasil pertumbuhan embiyo yang
terinfeksi A. rhizogenes menunjukkan terbentuknya akar dan tidak terlihat pembentukan
bulu akar. Hal ini dikarenakan gen rolB dari bakteri A. rhizogenes yang ditransformasikan
pada gen tanaman mangga ini dapat menginduksi hormon auksin sehingga dapat
merangsang pemebntukan akar lebih cepat. Hal inilah yang diinginkan dari tujuan
dilakukannya transformasi gen bakteri A. rhizogenes kedalam embriyo mangga varietas
kent ini sehingga nantinya embriyo yang dihasilkan dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman dengan adanya akar. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa salah satu
kekurangakn dari perbanyakan tanaman mangga varietas kent ini adalah minimalnya
pertumbuhan embriyo menjadi tanaman baru dikarenakan pertumbuhan bulu akar yang
tinggi tanpa disertai pertumbuhan akar. Akar yang merupakan sumber penyerapan
makanan/nutrisi untuk pertumbuhan kalus apabila tidak terbentuk akan meminmalkan
pertumbuhan kalus itu sendiri menjadi tanaman baru. Oleh karena itu dikembangkanlah
metode transformasi untuk meningkatkan terbentuknya akar sehingga nantinya
pertumbuhan kalus menjadi individu/tanaman baru dapat lebih optimal. Dan dari hasil
pengamatan secara visual melalui plantlet yang terbentuk ini pula telah menunjukkan
bahwa transformasi dengan gen dari bakteri A. rhizogenes pada embriyo mangga ini
mampu menginduksi pertumbuhan akar.
Pengamatan juga dilakukan dengan pengamatan histologi dibawah mikroskop.
Embriyo hasil kultur yang telah terinfeksi bakteri A. Rhizogenes dipotong dengan tangan
dan diteteskan 0,5% toluidine blue sebagai pewarna sel sehingga memperjelas pengamatan
dibawah mikroskop dan dilihat penampang sel dibawah mikroskop. Pengamatan dilakukan
pada embriyo hasil kultur yang telah terinfeksi A. rhizogenes dan embiyo hasil kultur
kontrol yang tidak diinfeksi bakteri A. rhizogenes, kemudian hasil yang diperoleh
dibandingkan. Hasil yang diperoleh terlihat pada gambar berikut:

Gambar 3. Histologi sel embriyo kontrol dan sel embiyo yang terinfeksi A. rhizogenes.
Gambar a menunjukkan gambar sel embriyo kontrol yang tidak terinfeksi bakteri
A. rhizogenes. Bentuk sel menunjukkan bentuk yang simetrik sedangkan gambar b dan c
34

merupakan penampang sel embriyo yang terinfeksi bakteri A. rhizogenes. Pada gambar a
merupakan embriyo normal yang ditunjukkan oleh anak panah aadalah pembentukan tunas
apikal. Sedangkan dalam gambar b dan c tersebut terlihat bahwa sel yang terbentuk tidak
simetrik. Gambar b menunjukkan ketidak asimetrisan penampang sel dikarenakan sel
terinduksi untuk cepat membelah membentuk akar dan penampang sel diperjelas kembali
pada gambar C dengan pembesaran 40 x yang menunjukkan pembentukan struktur foliar.

3.2.4 Pengamatan Hasil Transformasi dengan Elektroforesis


Teknik elektroforesis merupakan suatu metode analisis fisika berdasarkan migrasi
partikel bermuatan yang terlarut atau terdispersi dalam larutan elektrolit di bawah medan
listrik (Depkes RI, 1995). Prinsip kerja dari elektroforesis berdasarkan pergerakan partikelpartikel bermuatan negatif (anion), dalam hal ini adalah DNA, yang bergerak menuju
kutub positif (anode), sedangkan partikel-partikel bermuatan positif (kation) akan bergerak
menuju kutub negatif (anode) (Klug and Cummings, 1994).
Pada saat elektroforesis berlangsung, protein akan bergerak dari elektroda negatif
menuju elektroda positif sampai pada jarak tertentu pada gel poliakrilamid tergantung pada
berat molekulnya. Semakin rendah berat molekulnya maka semakin jauh pula protein
bergerak atau mobilitasnya tinggi. Sebaliknya protein dengan berat molekul lebih besar
akan bergerak pada jarak yang lebih pendek atau mobilitasnya rendah (Sumitro dkk.,
1996).
Dalam jurnal ini, medium yang diguanakn dalam elektroforesis ini adalah 1,5 % gel
agarosa etidium bromide. Gel agarosa merupakan gel yang disari dari ganggang laut
merupakan polimer dengan dasar struktur D-galaktosa dan 3,6-anhidro L-galaktosa yang
dapat memisahkan DNA dari 200 basa sampai 50 kilo basa (Watson, 2007). Medium juga
ditambahkan etidium bromida atau EtBr yang merupakan suatu zat pewarna yang dapat
menyisip/interkalasi di antara basa DNA pada dua utas DNA yang berlainan. Ethidium
Bromida (EtBr) akan berpendar di bawah paparan sinar UV sehingga pengamatan hasil
elektroforesis akan lebih mudah dilakukan (Westermeier, 2004).
Elektroforesis pada jurnal ini bertujuan untuk mengkonfirmasi kembali hasil
transformasi gen dari bakteri A. rhizogenes yang disispkan pada gen tanaman dengan
menggunakan metode PCR sebelumnya. Pengujian dilakukan pada hasil PCR gen tanaman
yang didak ditransformasikan dengan gen bakteri A. rhizogenes dan gen tanaman yang
ditransformasikan gen bakteri A rhizogenes. Hasil yang diperoleh digambarkan dalam
gambar berikut:
35

Gambar 4. Hasil Elektroforesis dari PCR gen Non-transform dan Transformed.


Pada gambar tersebut jelas terlihat bahwa gen dari tanaman yang tidak
ditransformasikan dengan gen dari bakteri A. rhizogenes tidak menunjukkan adanya pita
pada molekul berukuran 720 bp. Mengingat kembali bahwa gen yang disisipkan pada gen
tanaman merupakan gen rolB yang mempunyai molekul berukuran 720 bp tentunya
sebagai pebanding hasil seharusnya gen tanaman yang berhasil ditransformasikan oleh gen
rolB dari bakteri A. rhizogenes positif atau mampu memisahkan gen rolB berukuran 720
bp tersebut pada pemisahan elektroforesis. Hasil ini telah sesuai pada pemisahan gen
tanaman yang ditransformasikan oleh gen bakteri A. rhizogenes yang pada gambar tersebut
menunjukkan adanya molekul yang terpisah pada ukuran 720 bp. Berdasarkan hal tersebut
dapat menguatkan kembali bahwa transformasi tanaman mangga dengan sisipan gen dari
bakteri A. rhizogenes mampu merubah gen tanaman yang dibandingkan dengan gen
tanaman tanpa disisipkan gen bakteri A. rhizogenes.

36

BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Somatic Hybridisation


Hibridisasi somatik dari daun mangga melalui fusi protoplas dicoba di tingkat kultivar.
Protoplas difusikan dengan polyethylene glycol (PEG), yang ditanam di dalam Ca-alginat dan
dikultur dalam kultur cair dangkal pada shaker (30 rpm). Setelah 4 minggu, Ca-alginat yang
depolymerized dan dirilis mikrokoloni dari PEMs dipindahkan ke media kultur padat. Setelah
dua subkultur berturut-turut, tumbuh cepat gumpalan besar PEMs diambil dan dikultur
sebagai PEMs line untuk analisis. Flow cytometry analisis dari 242 PEMs garis
mengungkapkan 41 baris tetraploid. Regenerasi embrio DNA dari garis tetraploid
menunjukkan bahwa hanya empat baris yang hibrida somatik, semua dihasilkan dari fusi
protoplas 'Haden' + 'Kensington Kebanggaan'. Sebaliknya, garis tetraploid dari 'Keitt' +
'Kensington Kebanggaan' dan 'Tommy Atkins' + 'Kensington Kebanggaan' adalah
autotetraploids. Jumlah kromosom pada embrio yang dihasilkan dari kotiledon berkecambah
memiliki jumlah kromosom 2n = 4x = 80 dibandingkan dengan induk diploid (2n = 2x = 40).
Dari 50 somatik-hibrida, planlet in vitro dengan daun sejati hanya 3 planlet membentuk tunas
apikal sehat (meristem) dalam tanah dan tumbuh normal.

4.2 Gene transformation


Pada percobaan ini digunakan embrio somatik buah mangga dari tiga varietas yang
berbeda yaitu Haden, Kent dan Madame Francis

yang akan diinokulasi dengan strain

Agrobacterium rhizogenes dengan dengan sepuluh perlakuan (tiga varietas, satu bakteri
strain, dilengkapi atau tidak dengan AS, satu waktu inkubasi; satu varietas, satu bakteri strain,
dengan atau tanpa AS, dua waktui inkubasi). Dalam perlakuan pertama, A. rhizogenes
tereliminasi setelah 20 kali pencucian dan subkultur hanya di variasi Kent; sementara 1-5 kali
pencucian

yang dibutuhkan untuk perlakuan yang lain. Tidak ada perbedaan antara

perlakuan prakultur A. rhizogenes dengan atau tanpa asetosiringon (AS). Dari hasil analisis
PCR terlihat pertumbuhan embriyo yang terinfeksi A. rhizogenes menunjukkan terbentuknya
akar dan tidak terlihat pembentukan bulu akar,

dikarenakan gen rolB dari bakteri A.

rhizogenes yang ditransformasikan pada gen tanamanmangga ini dapat menginduksi hormon
auksin sehingga dapat merangsang pembentukan akar lebih cepat. Dan berdasarkan hasil
elektroforesis didapatkan bahwa transformasi tanaman mangga dengan sisipan gen dari
bakteri A. rhizogenes mampu merubah gen tanaman yang dibandingkan dengan gen tanaman
37

tanpa disisipkan gen bakteri A. rhizogenes yang ditunjukkan dengan adanya molekul yang
terpisah pada ukuran 720 bp yang merupakan gen rolB.

38

DAFTAR PUSTAKA

Adji, D., Zuliyanti, dan H. Larashanty. 2007. Perbandingan Efektivitas Sterilisasi Alkohol
70%, Inframerah, Otoklaf dan Ozon Terhadap Pertumbuhan Bakteri Bacillus subtilis.
J. Sain Vet. Vol. 25 No.1. Hal. 17-24
Bambang Marhijanto dan Setiyo Wibowo. 1994. Bertanam Mangga. Surabaya: Sistim
Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, BAPPENAS.
Babaoglu, M. 2000. Protoplast isolation in Lupin (Lupinus mutabilis Sweet): Determination
of optimum explants sources and isolation conditions. Turk J. Bot. 24:177- 185.
Bettelheim, F.A., dan Landesberg, J. 1984. Laboratory Experiments for General, Organic,
and Biochemistry. 4th Edition. New Jersey: John Wiley and Sons Inc.
Birren,B., E.D. Green; S. Klapholz; R.M. Myers; J. Roskams. 1997. Genome Analysis: A
Laboratory Manual. Volume 1. New York: Cold Spring Harbour Laboratory Press.
Cabrera J, A. Vegas, L. Her rera L. 1996. Regeneration of transgenic papaya plants via
somatic embryogenesis induced by Agrobacterium rhizogenes. In Vitro Cell. Dev.
Biol. Plant 32: 86-90.
Carroll, B.J., V. Klimyuk, C.M. Thomas, G.J. Bishop, K. Harrison, S.R. Scofi eld and J.C.D.
Jones, 1995. Germinal transposition of the maize element dissociation from T-DNA
loci in tomato. Genetics.139: 407-420.
Corkill, G., Rapley, R. 2008. The Manipulation of Nucleic Acids: Basic Tools and
Techniques. In: Molecular Biomethods Handbook Second Edition. Ed: Walker,
J.M., Rapley, R. USA: Humana Press, NJ.
Cytopathol, D. 2009. Evaluation of flow cytometric immunophenotyping and DNA analysis
for detection of malignant cells in serosal cavity fluids. Juli. 37 (7): 498- 504.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
DeWald S, Litz RE, Moore G. 1989. Optimizing somatic embryo production in mango. J.
Amer. Soc. Hort. Sci. 114: 712-716.
Draper J, Roderick S, Philop A, Walden R. 1988. Plant Gene Expression. A Laborator y
Manual. Blackwell. Boston, MA, USA. pp. 355
Ellis, D., D. Roberts, B. Sutton, W. Lazaroff, D. Webb, and B. Flinn. 1989. Transformation
of white spruce and other conifer species. Agrobacterium tumefaciens: Plant Cell

Evans, D. and A. Bravo. 1983. Protoplast isolation and culture, technique for propagation and
breeding. Macmillan Publishing CD, New York. I:124-145.
Gamborg OL, Miller RA, Ojima K. 1968. Plant cell cultures. I. Nutrient requirements of
suspension cultures of soybean root cells. Exp. Cell Res. 50: 150-158.
Gleddie, S.C. 1995. Protoplast isolation and culture. In Gamborg, O.L. and G.C. Phillips
(Eds.). Plant Cell, Tissue and Organ Culture Fundamental Methods. Springer. p.
167-180.
Godwin I, Todd G, Ford-Lloyd B, Newbury HJ. 1991. The effects of acetosyringone and pH
on Agrobacterium-mediated transformation vary according to plant species. Plant
Cell Rep. 9: 671-675.
Hauptmann, R.M., Vasil, V., Ozias-Akins, P., Tabeiza deh, Z., Rogers, S.G., Fraley, R.T.,
Horsch, R.B. and Vasil, I.K. 1988. Evaluation of selectable markers for obtaining
stable transformant in Gramineae. Plant Physiol. 86:602-606.
Hernalsteens, J.P., van Vliet, F., De Beuckeleer, M., Depicker, A., Engler, G., Lemmers, M.,
Holsters, M., Van Montagu, M. and Schell, J. 1980. The Agrobacterium tumefaciens
Ti plasmid as a host vector system for introducing foreign DNA in plant cell.
Husni A., I. Mariska, G.A. Wattimena, dan A. Purwito. 2003. Keragaan genetik tanaman
terung hasil kultur protoplas. Jurnal Bioteknologi Pertanian 8(2):52-59.
Kao, K.N. and M.E. Michayluck. 1974. A method for high frequency intergeneric fusion of
plant protoplast. Planta (Berl.) Springer-Verlag. 115:355-367.
Kim, J.C. and E.A. Lee. 1996. Plant regeneration from mesophyll protoplasts of Dianthus
superbus. Plant Cell Rep. 16:18-21.
Klug, W. S. and M. R. Cummings. 1994. Concepts of genetics. 4th ed. New Jersey: Prentice
Hall Englewood.
Lal, R. and Lal, S. 1990. Crop Improvement Utilizing Biotechnology. Boca Raton Florida:
CRC Press
Lin J, Garcia N, Kuo J. 1994. Effects of Agrobacterium cell concentration on the
transformation efficiency of tobacco and Arabidopsis thaliana. Focus. 16: 72-77.
Lodhi MA, Ye GN, Weeden NF and Reisch BI. 1994. A simple and efficient method for
DNA extraction from grapevine cultrivars and Vitis species. Plant Mol. Biol. Rep. 12:
6-13.
Mariska,I., dan A.Husni. 2006. Perbaikan Sifat Genotipe Melalui Fusi Protoplas Pada
Tanaman Lada,Nilam, dan Terung. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian
25(2): 55 60.

Marton, L., Wullems, G.J., Molendijk, L. and Scilperoort, R.A. 1979. Agroinfection of wheat:
a comparison of Agrobacterium strains. Plant Science 63:247-256.
Martono, B. 2009. Keragaman Genetik, Heritabilitas dan Korelasi antara Karakter Kuantitatif
Nilam (Pogostemon sp.) Hasil Fusi Protoplas. Jurnal Penelitian Tanaman Industri
15(1): 9 15
Matthysse, A. G. 2005. Prokaryotes: The Genus Agrobacterium. Springer Science+Business
Media. New York.
Millam,S.,L.A.Payne, and G.R.Mackay. 1995. The Integration of Protoplast Fusion- derived
Material into a Potato Breeding Programme: a review of progress and problem.
Euphytica 85: 451 455.
Nakasone, H. Y. and R. E. Paull. 1988. Tropical Fruits. CAB International. UK. 445p.
Nilsson O, Olsson O. 1997. Getting to the root: the role of the Agrobacterium rhizogenes rol
genes in the formation of hairy roots, Physiol Plant 100:463-473
Porebski, S., Bailey, G.L & Baum, B.R. 1997. Modification of a CTAB DNA extraction
protocol for plants containing high polysaccharide and polyphenol components. Plant
Mol Biol Reptr 15(1): 8-15.
Porter, J.R., dan H. Flores. 1991 Host range and implications of plant infection by
Agrobacterium rhizogenes. Critic. Rev. in Plant Sci. 10:387-421.
Pracaya. 2011. Bertanam Mangga. Jakarta: PT. Penebar Swadaya
Purwito,A. 1999. Fusi Protoplas Intra dan Interspesies pada Tanaman Kentang. Disertasi
Pascasarjana: Institut Pertanian Bogor.
Rahmawati S. 2006. Status perkembangan perbaikan sifat genetik padi menggunakan
transformasi Agrobacterium. J. Agrobiogen. 2(1): 36-44.
Rostiana,O.,2006.

Peluang

Pengembangan

Bahan

Tanaman

Jahe

Unggul

Untuk

Penanggulangan Penyakit Layu Bakteri. Balai Penelitian Tanaman Obat dan


Aromatik.Hal 77-98.
Robinson JP (2006) Introduction to flow cytometry. Flow cytometry talks. Purdue University
Cytometry Laboratories. Accessible at
http://www.cyto.purdue.edu/flowcyt/educate/pptslide.htm
Salazar, E. 1997. La propagacion in vitro de plantas. En 1er Encuentro de Productores con la
Biotecnologa. Maracaibo.Venezuela. pp. 53-65.
Salisbury, FB., Ross, CW. 1995 . Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Penerbit ITB. Bandung.

Shih-Cheng C, Hui-Wen L, Kung- Ta L, Takashi Y. 2007. Highefficiency Agrobacterium


rhizogenes- mediated transformation of heat inducible sHSP18.2- GUS in Nicotiana
tabacum. Plant Cell Rep. 26: 29-37.
Sistrunk, W. A. and J.N. Moore. 1983. Quality. In: James, N.M. and J. Janick (eds). Methods
in Fruit Breeding. West Lafayette Indiana: Purdue University Press.
Somers,

D.A.,

D.A.

Samac,

dan

P.M.

Olhoft.

2003.

Recent

advances

in

legumetransformation. Plant science Research Unit and Department of Plant


Pathology. University of Minnesotta
Sumitro, S. B, Fatchiyah, Rahayu, Widyarti, dan Arumningtyas. 1996. Kursus Teknik-Teknik
Dasar Analisis Protein dan DNA. Malang: Jurusan Biologi FMIPA Universitas
Brawijaya.
Tepfer, D. 1990. Genetic Transformation using Agrobacterium rhizogenes. Physiol Plant 79,
Pp. 79-146.
Suryowinoto, M. 1996. Prospek kultur jaringan dalam pekembangan pertanian modern.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. hlm. 2-18.
Surzycki, S. 2000. Basic Techniques in Molecular Biology. Berlin, Heidelberg, New York:
Springer-Verlag,.
Tempe, J. and Casse-Delbart, F. 1989. Plant gene vectors and genetic transformation:
Agrobacterium Ri plasmid. In Cell Culture and Somatic Cell Genetic of Plants Vol. 6.
London: Academic Press
Vasil, K., 1984. Cell culture and somatic cell genetics of plant. Vol I. Laboratory procedures
and their aplication. Academic Press. Inc. London.
Verma,N.,M.C.Bansal, Vivek Kumar .2004. Protoplast Fusion Technology and its Bio
technological Applications. Departement of Paper Technology, Indian Institute of
Technology, Roorkee, Saharanpur.
Vermes I, Haanen C, Steffens-Nakken H, dan Reutelingsperger CP. 1995. A noval assay for
apoptosis. Flowcytometric detection of phosphatidylserine expression on early
apoptotic cells using fluorescein labelled Annexin V, J Immunol Methods. 184: 39-51.
Waara,S. and K.Glimelius. 1995. The Potential of Somatic Hybridization in Crop Breeding.
Euphytica 85:217-233.
Wattimena,G.A. 1999. Application of Biotechnology in Horticultural Crops Production. In
Proceeding of Seminar on Biotechnology: Application of Biotechnology in
Horticultural Production. Bogor Agricultural University-DFID British Council,Bogor

Watson, D. G. 2007. Analisis Farmasi: Buku Ajar Untuk Mahasiswa Farmasi dan Praktisi
Kimia Farmasi Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Webb, K.J. and Morris, P. 1992. Methodologies of Plant Transformation, In: Gatehouse,
A.M.R., Hilder, V.A. and Boulter, D. (ed). Plant Genetic Manipulationfor Crop
Protection. C A B International: United Kingdom.
Westermeier. 2004. Electrophoresis in Practice: A guide to Theory and Practice. NewJersey:
John Wiley & Sons inc.
Widiastoety, D. 2001. Perbaikan Genetik dan Perbanyakan Secara In vitro dalam Mendukung
Pengembangan Anggrek di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 20(4): 142.
Yusuf, Z.K. Polymerase Chain Reaction (PCR). Saintek. Vol. 5 No. 6.
Zimmerman, U. and P. Scheurich. 1981. High Frequency fusion of plant protoplast by
electric field. Planta. 151:26-32.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai