Oleh:
KELOMPOK 3
ANGGOTA KELOMPOK :
1208505003
Ni Putu Widiastuti
1208505011
1208505034
1208505041
1208505043
1208505066
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Mangga (Mangifera indica L.) adalah anggota dari keluarga Anacardiaceae
dan termasuk tanaman buah yang paling banyak ditanam di dunia. Mangga
merupakan buah tropis musiman yang penting. Buah mangga memiliki kandungan
vitamin A dan C yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 1.000 IU/100 g bobot
segar dan 20 mg/100 g bobot segar (Sistrunk dan Moore, 1983).
Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan tanaman ini adalah
bahwa kultivar mudah rusak selama pengangkutan, daya simpan rendah, gugur buah
muda tinggi sehingga produksi buah rendah (dari ribuan bunga yang tumbuh jadi buah
hanya 1%), peka terhadap serangan hama penyakit, sedikitnya jumlah benih yang
diperoleh, sifat panikula dan bunga yang kompleks, tingkat kesuksesan yang rendah
dalam penyerbukan, penurunan kualitas buah yang berlebihan, siklus hidup yang
panjang, heterozigositas tanaman dan problema problema lainnya (Nakasone dan
Paull, 1988).
Salah satu cara untuk mengatasi masalah dalam pengembangan tanaman
mangga adalah dengan merakit varietas baru yang berproduksi tinggi dan tahan
terhadap hama, penyakit serta cekaman abiotik. Perbaikan kualitas dan kuantitas
mangga dapat dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman sehingga perbaikan
dapat berlangsung stabil dan mewaris. Dalam pemuliaan tanaman perbaikan
secara
genetik
dapat
dilakukan
untuk
menambah keragaman
karakteristik
yang
diinginkan
yang
memiliki
sifat
agronomi,
namun
tetap
2
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
1.2.2
1.3
Tujuan
1. 3.1 Mengetahui teknik hibridisasi somatik melalui fusi protoplasma pada varietas
mangga.
1.3.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Sapindales
Famili
: Anacardiaceae
Genus
: Mangifera
Spesies
: Mangifera spp.
(Pracaya, 2011)
Mangga rata-rata berbunga satu kali sehingga panen buah dapat dilakukan
beberapa kali dalam satu periode karena buah tidak masak bersamaan. Mangga
cangkokan mulai berbuah pada umur 4 tahun sedangkan mangga okulasi pada
umur 5-6 tahun. Buah panen pertama hanya mencapai 10-15 buah, pada tahun ke10 jumlah buah dapat mencapai 300-500 buah/pohon, pada umur 15 tahun
mencapai 1000 buah/pohon, dan produksi maksimum tercapai pada umur 20
tahun dengan potensi produksi mencapai 2000 buah/pohon/tahun (Pracaya, 2011).
Buah mangga memiliki keanekaragaman bentuk antara lain bulat, bulat-pendek
dengan ujung pipih, dan bulat-panjang agak pipih. Susunan tubuh buah terdiri
dari beberapa lapisan, yaitu sebagai berikut:
a. Kulit buah
Buah mangga yang muda memiliki kulit berwarna hijau, namun menjelang
matang berubah warna menurut jenis dan varietasnya.
b. Daging buah
Buah mangga yang masih muda pada umumnya memiliki daging buah yang
berwarna kuning keputih-putihan. Menjelang tua daging buah berubah menjadi
kekuning-kuningan sampai kejingga-jinggan. Rasa daging buah mangga
bervariasi, yaitu asam sampai manis dengan aroma yang khas pada setiap
varietas mangga.
c. Biji
Biji mangga berkeping dua dan memiliki sifat poliembrional, karena dari satu
biji dapat tumbuh lebih dari satu bakal tanaman.
dengan warna kuning tua. Daging buahnya boleh dikatakan tidak berserat,
tidak berair (kalau diiris tidak banyak mengeluarkan air). Aromanya cukup
harum dengan rasa yang manis (Pracaya, 2011).
b. Mangga Arumanis
Disebut mangga arumanis karena rasanya manis dan aromanya harum (arum).
Daging buah tebal, lunak berwarna kuning, dan tidak berserat (serat sedikit).
Aroma harum, tidak begitu berair, dengan rasa yang manis, tapi bagian ujung
kadang-kadang masih ada rasa asam (Pracaya, 2011).
c. Mangga Manalagi
Disebut manalagi karena sekali makan orang akan mencarinya lagi. Rasa
mangga manalagi seperti perpaduan rasa antara golek dan arumanis.
Kemungkinan pohon mangga manalagi merupakan hasil persilangan alami
antara golek dengan arumanis. Buah ini sering dimakan dalam keadaan
masihkeras, tetapi daging buah sudah kelihatan kuning (Pracaya, 2011).
d. Mangga Madu
Mangga ini disebut madu karena rasanya manis seperti madu lebah. Daging
buah yang sudah masak berwarna kuning. Bagian dalam kuningnya makin ke
dalam makin tua seperti warna madu. Serat daging buah sedikit. Kadar air
buah sedang dengan rasanya yang manis seperti madu dan aromanya harum
(Pracaya, 2011).
e. Mangga Udang
Mangga ini berasal dari Desa Hutanagonang, Kecamatan Muara, Kabupaten
Tapanuli Utara. Panjang rata-rata mangga ini hanya sekitar 6 cm. Dikenal dua
jenis mangga udang, yaitu yang berukuran kecil dan berukuran besar. Buahnya
berbentuk lonjong. Kulitnya tipis dan berwarna hijau muda pada waktu muda,
lalu berubah menjadi kuning keemasan setelah tua. Daging buahnya berwarna
kuning, lunak berair, rasanya manis, berserat, dan aromanya harum (Pracaya,
2011).
f. Kuini
Dalam taksonomi tumbuhan, kuini merupakan tanaman mangga dengan
spesies Mangifera odorata Griffith yang masih berkerabat dekat dengan
bacang. Warna kulit buah muda hijau dan setelah masak hijau kekuningan
pada pangkalnya, dengan permukaan kulit licin. Warna daging buah kuningorange. Tekstur daging buah agak berserat. Bagi orang yang tidak tahan akan
6
terasa gatal apabila makan buah kuini ini. Rasa daging buah manis, kadang ada
yang agak masam. Bentuk buah lonjong dengan nisbah P/L sebesar 1,21-1,52.
Ukuran buah sedang, bobot buah sekitar 162-470 g. Bagian buah yang dapat
dimakan sekitar 44,62-64,47% (Antarlina, 2003).
Iklim
Tanaman mangga cocok untuk hidup di daerah dengan musim kering selama
3 bulan. Masa kering diperlukan sebelum dan sewaktu berbunga. Jika
ditanam di daerah basah, tanaman mengalami banyak serangan hama dan
penyakit serta gugur bunga/buah jika bunga muncul pada saat hujan.
b.
Media Tanam
1) Tanah yang baik untuk budidaya mangga adalah gembur mengandung
pasir dan lempung dalam jumlah yang seimbang.
2) Derajat keasaman tanah (pH tanah) yang cocok adalah 5.5-7.5. Jika pH
di bawah5,5 sebaiknya dikapur dengan dolomit.
c.
Tempat Ketinggian
Mangga yang ditanam didataran rendah dan menengah dengan ketinggian 0500 m dpl menghasilkan buah yang lebih bermutu dan jumlahnya lebih
banyak dari pada didataran tinggi.
(Bambang, 1994)
2.2
protoplasma yang telah diisolasi dari sel somatik (tubuh) secara in vitro dan
berkembang menjadi heterokarion yang menjadi satu persilangan tanaman, dikenal
sebagai hybridisasi somatik.
Prosedur ini termasuk mengabaikan unsur sel dalam hibridisasi. Dalam
persilangan somatik, inti dan sitoplasma dari kedua induk menyatu dalam sel silangan.
Kadang-kadang genom inti dari berasal hanyadari satu induk yang melebur,tetapi
kadang juga terjadi gen sitoplasmik (plastome) berasal dari kedua induk yang adadalam
proses peleburan, hal ini dikenal dengan cybrid (cytoplasmic hybrid).
Jadi teknik peleburan protoplasma dapat digunakan untuk menghilangkan
pembatas
dari
incompatibilitas
dan
sebagai
manipulasi
genetic
dari
sel
tanaman. Persilangan somatik bermanfaat untuk persilangan antar spesies yang berbeda
takson daritingkat marga sampai tingkat divisi, untuk menciptakan sel-sel dengan
genetik baru, inti yang sebaik pada sitoplasmik yang tidak mungkin didapatkan dengan
metode persilangan seksual. Kegiatan persilangan somatik meliputi:
1. Peleburan protoplasma (fusi protoplasma)
2. Seleksi sel silangan
3. Identifikasi tanaman silangan.
(Vasil, 1984)
diturunkan secara poligenik . Fusi protoplas dapat memecahkan kendala genetik dalam
sistem persilangan secara seksual.
Fusi protoplas merupakan teknik penggabungan inti dan atau sitoplasma antara
dua genotipe yang berbeda secara in vitro untuk mendapatkan hibrida dengan sifat sifat
yang diinginkan. Fusi protoplas, memberi peluang produksi hibrida interspesifik
maupun intergenerik yang secara konvensional melalui persilangan seksual tidak bisa
berlangsung. Juga memberi peluang produksi galur heterozigot species sama, yang
umumnya hanya bisa dikembangkan melalui perbanyakan vegetative.
Sebagai contoh: dalam budidaya tanaman jahe, salah satu kendalanya adalah
kepekaan tanaman terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh serangan
bakteri Ralstonia solanacearum, yang dapat menimbulkan kerugian hasil lebih dari 90
%. Upaya yang paling efisien dalam mengatasi penyakit ini adalah dengan penggunaan
varietas resisten. Sementara itu, perakitan varietas resisten secara konvensional melalui
cara persilangan seksual terkendala oleh rendahnya fertilitas polen (kesuburan
tepungsari) dan adanya inkompatibilitas sendiri (self incompatibility). Oleh karena itu
perlu diaplikasikan metode inkonvensional misalnya dengan cara mutasi induksi,
seleksi in vitro, produksi tanaman haploid, penerapan metode transformasi genetik atau
fusi protoplas sehingga diperoleh variasi genetik baru sebagai bahan seleksi (Rostiana,
2006)
Penggunaan metode transformasi genetik merupakan cara yang ideal untuk
mentransfer gen yang diinginkan secara efisien tanpa ada hambatan seksual dan
kedekatan taksonomi. Tetapi penggunaan metode transformasi hanya dapat dilakukan
pada sifat sifat genetik yang disandi oleh gen tunggal. Beberapa sifat yang disandi oleh
banyak gen (poligenik) yang terletak di satu atau beberapa kromosom tanaman sulit
untuk diidentifikasi dan diisolasi, sehingga penggunaan metode transformasi menjadi
sangat sulit untuk diterapkan (Ramulu et al., 1995 dalam Purwito, 1999; Millam et al.,
1995).
Aplikasi metode fusi protoplas atau hibridisasi somatik dapat dijadikan alternatif
untuk mengatasi masalah tersebut. Selain dapat mentransfer gen gen yang belum
teridentifikasi, fusi protoplas juga dapat memodifikasi dan memperbaiki sifat sifat yang
diturunkan secara poligenik (Millam et al., 1995; Waara and Glimelius, 1995). Fusi
protoplas dimasa yang akan datang,menjadi tujuan utama manipulasi genetik, karena
dapat memecahkan hambatan genetik dalam sistem persilangan secara konvensional
(Verma et al., 2004).
9
Fusi protoplas merupakan teknik penggabungan inti dan atau sitoplasma dari
genotipe yang berbeda untuk meningkatkan keragaman genetik atau memperbaiki sifat
unggul tanaman yang diinginkan (Rostiana, 2006). Pada teknik fusi protoplas , dua
protoplas dengan genetik yang berbeda diisolasi dan difusikan dengan berbagai cara
untuk memperoleh protoplas hibrida. Fusi protoplas ini berguna untuk memproduksi
hibrida interspesifik atau bahkan intergenerik (Verma et al., 2004).
Menurut Wattimena (1999), fusi protoplas dapat dilakukan dengan cara
menggabungkan seluruh genom dari dua jenis protoplas dari kultivar yang berlainan
(intraspecific), atau antar species dalam genus yang sama (interspecific) , atau fusi antar
genus dalam satu famili (intergeneric).
Fusi protoplas antar kultivar yang berlainan (intraspecific) bertujuan untuk
meresintesis genotipe tetraploid dari galur tanaman dihaploid yang telah terseleksi
sehingga tanaman tetraploid hasil fusi mempunyai tingkat heterozigositas yang tinggi.
Penggunaan fusi protoplas memungkinkan produksi hibrida dengan heterozigositas
yang tinggi hanya dalam sekali langkah sehinga sangat efisien, walaupun
keberhasilannya sangat ditentukan oleh genotipe (Waara and Glimelius, 1995; Purwito,
1999).
Fusi protoplas antar species dalam satu genus (interspecific) bertujuan
mendapatkan sifat sifat tertentu, misalnya ketahanan ( resistensi) terhadap hama dan
penyakit. Untuk mendapatkan sifat sifat ketahanan juga dapat dilakukan dengan cara
fusi protoplas antar genus (intergeneric) (Purwito,1999).
Fusi protoplas dari genotipe yang berbeda dapat menghasilkan hibrida somatik
dengan tiga kategori yaitu,1.hibrida simetris dimana kedua inti dari dua tetua tergabung
secara sempurna 2.hibrida asimetris, dimana hanya sebagian saja inti dari salah satu
tetua bergabung dengan inti tetua lainnya.3. Cybrid ,yi dimana inti dari salah satu tetua
terakumulasi di dalam gabungan protoplas kedua tetua. Oleh karena itu, variasi
rekombinan sifat genetik di dalam tanaman hasil fusi akan sangat beragam dalam
frekuensi yang berbeda (Bhojwani and Razdan,1996 dalam RostianaO, 2006).
Fusi simetris dapat menghasilkan keragaman genetik yang tinggi yang berguna
dalam program pemuliaan tanaman, melalui beberapa kali silang balik (backcross),
dilanjutkan dengan seleksi, dapat dihasilkan kultivar baru (Mariska et al., 2006).
Tanaman hasil fusi protoplas memiliki sifat sifat gabungan dari kedua tetuanya,,
termasuk sifat sifat yang tidak diinginkan yang berasal dari species liar. Untuk
10
menghilangkan sifat sifat yang tidak diinginkan pada tanaman hasil fusi biasanya
dilakukan dengan cara silang balik (backcross) dengan salah satu tetuanya.
Penggunaan teknik fusi protoplas atau hibridisasi somatik merupakan salah satu
aplikasi bioteknologi yang menjanjikan. Teknik hibridisasi somatik dapat mentransfer
sifat monogenik dan poligenik antar galur atau antar species dan dapat mengatasi
hambatan inkompatibilitas seksual (Millam et al., 1996 ; Purwito, 1999). Kendala
genetik seperti inkompatibilitas seksual atau fertilitas polen yang rendah atau sterilitas
sering terjadi pada persilangan antara genotipe genotipe tanaman yang berkerabat jauh,
yang tidak dapat diatasi dengan metode konvensional dengan persilangan seksual. Fusi
protoplas dapat digunakan untuk mengatasi hambatan dalam persilangan tersebut.
Penelitian fusi protoplas telah menghasilkan hibrida somatik yang menunjukkan
peningkatan pada potensi genetik tanaman. Beberapa penelitian fusi protoplas telah
menghasilkan keragaman genetik tanaman, produktivitas tinggi , perbaikan sifat
ketahanan terhadap hama, penyakit, dan nematoda, serta perbaikan sifat-sifat kualitatif
seperti kandungan minyak tinggi (Mariska et al., 2006).
2.3
Gene Transformation
Webb dan Morris (1992) mendefinisikan transformasi genetik sebagai suatu
perpindahan (transfer) gen asing yang diisolasi dari tanaman, virus, bakteri atau hewan
ke dalam suatu genom baru (new genetic background). Pada tanaman, keberhasilan
transformasi genetik ditunjukkan oleh keberhasilan pertumbuhan tanaman baru yang
normal, fertil dan dapat mengekspresikan gen baru hasil insersi.
Proses transformasi genetik terdiri dari beberapa tahap yaitu insersi, integrasi,
ekspresi dan pewarisan sifat DNA baru. Metode insersi gen dapat dilakukan dengan
menggunakan bakteri (species Agrobacterium) atau virus dan transfer gen langsung
(direct gene transfer). Teknik ini memanfaatkan konstruksi gen yang terdiri dari
promoter bakteri atau virus. Pemilihan metode transfer gen pada umumnya tergantung
pada species tanaman yang digunakan dan kemampuan regenerasi tanaman tersebut
secara in vitro (Webb dan Morris, 1992).
Dasar keberhasilan transformasi genetik adalah kemampuan sel target untuk
berkembang menjadi tanaman utuh. Teknik kultur jaringan membuka peluang untuk
menyediakan sel target yang terdapat dalam organ tanaman (daun, batang, hipokotil dan
kotiledon), yang terdapat dalam kalus atau kultur suspensi sel dan bahkan protoplas.
11
Sel-sel ini dapat diinduksi untuk berkembang menjadi tanaman baru melalui inisiasi
pembentukan tunas baru atau melalui embriogenesis (Webb dan Morris, 1992).
Daun-daun dari spesies dikotil dapat secara langsung ditransformasi dengan
Agrobacterium atau dengan metode transfer gen langsung (direct gene transfer) pada
protoplas. Pada monokotil, jaringan meristem merupakan sumber yang paling baik
karena berpotensi membentuk sel-sel embrionik. Sel-sel tersebut harus dimultiplikasi
terlebih dahulu dalam kultur sel sehingga membentuk kelompok sel embrionik yang
dapat digunakan sebagai sel target untuk transfer gen dengan cara microinjection atau
particle bombardment (Webb dan Morris, 1992).
Dalam
sistem
transformasi
genetik, tujuan akhir adalah meregenerasi tanaman baru yang identik dengan induknya,
kecuali dalam hal sifat baru dari gen yang disisipkan. Jaringan dari berbagai spesies,
termasuk sejumlah tanaman budidaya yang penting, saat ini dapat diregenerasi menjadi
tanaman baru dengan menghasilkan tunas atau embrio secara in vitro (Lal & Lal, 1990).
Hal ini merupakan faktor yang dapat menunjang keberhasilan proses transformasi.
Untuk keperluan ekspresi di dalam sel tanaman, gen-gen asing memerlukan promoter
yang sesuai, sekuen awal 5 dan terminator 3 untuk menjamin transkripsi yang efisien,
stabil dan translasi mRNA. Besarnya perbedaan antara elemen regulator dari prokariot
dan eukariot menyebabkan sekuen gen bakteri tidak dapat berfungsi dalam sel tanaman.
Sebagai perkecualian dalam hal ini adalah adanya elemen regulator dari gen-gen
tertentu pada Agrobacterium tumefaciens dan A. rhizogenes yang dapat berfungsi aktif
pada sel-sel tanaman transforman. Gen-gen promoter nos (nopaline synthase), ocs
(octopine synthase) dan mas (mannopine synthase) yang berasal dari kedua macam
bakteri tersebut telah berhasil digunakan sebagai sumber elemen regulasi. Selain itu,
virus tanaman yang mengendalikan transkripsi dan translasi telah digunakan sebagai
sumber elemen regulasi, dan yang paling sering digunakan adalah gen promoter 35S
RNA dari Cauliflower Mosaic Virus (CaMV). Promoter ini aktif dalam semua jaringan
tetapi aktivitasnya bervariasi di antara tipe-tipe sel yang berbeda (Webb dan Morris,
1992).
Ekspresi gen asing pada sel tanaman hasil transformasi dapat diketahui dengan
cara menentukan aktivitas produknya. Sekuen yang mengkode gen-gen penghasil
enzim pada bakteri dengan mudah dapat dianalisis, yang aktivitasnya tidak ditemukan
pada tanaman normal, merupakan bentuk dasar dari beberapa reporter gen. Enzimenzim bakteri yang umum digunakan adalah nopaline synthase (nos), chloramfenicol
acetyltransferase (cat), luciferase (luc), neomycin phosphotransferase (nptII), dan 12
glucuronidase (gus). Gen-gen reporter ini telah digunakan secara luas untuk
menganalisis fungsi promoter dan sekuen gen regulator lain. Adanya gen-gen reporter
ini, yang mempunyai sensitivitas, ketepatan dan keyakinan pada deteksi enzimatik,
dapat meningkatkan kegunaannya untuk mendeteksi transient. Bila dibandingkan antara
cat, gus dan nptII sebagai gen reporter dibawah kendali promoter CaMV 35S pada
tembakau menunjukkan bahwa ekspresi gen gus paling mudah dideteksi, kemudian
nptII dan terakhir cat (Webb dan Morris, 1992).
Seleksi terhadap sel-sel transforman merupakan faktor kunci dalam keberhasilan
metode yang dikembangkan untuk transformasi genetik. Gen-gen penyebab tumor yang
berasosiasi dengan A. tumefaciens (Marton et al., 1979; Hernalsteens et al., 1980) dan
A. rhizogenes (Tempe dan Casse-Delbart, 1989) dapat digunakan sebagai penanda
seleksi. Gen-gen ini mempengaruhi morfologi jaringan pada tanaman transforman.
Pada peristiwa infeksi A. tumefaciens, crown galltumbuh terus menerus pada kultur in
vitrodengan tidak adanya penambahan zat pengatur tumbuh. Beberapa strain A.
tumefaciens menyebabkan sel transforman membentuk pucuk abnormal yang pada
umumnya infertil. Karakteristik lain adalah, biasanya ditentukan oleh gen-gen tunggal
yang dominan mengkode resistensi tertentu pada bahan selektif. Gen-gen ini tidak
rusak pada proses regenerasi tanaman, oleh karena itu dapat digunakan untuk seleksi
transforman. Gen-gen penanda seleksi yang sama juga dapat digunakan untuk
identifikasi sel transforman pada metode transfer gen secara langsung (Webb dan
Morris, 1992).
Beberapa faktor mempengaruhi kemampuan atau efektifitas bahan kimia yang
digunakan untuk seleksi. Bahan-bahan penyeleksi tersebut bersifat toksik untuk sel
tanaman. Jadi toksin yang paling efektif adalah toksin yang menghambat pertumbuhan
atau membunuh sel-sel non-transforman secara perlahan-lahan. Tekanan seleksi akan
optimal apabila menggunakan konsentrasi toksin yang paling rendah yang mampu
membunuh jaringan untransforman (Webb dan Morris, 1992). Pemilihan toksin sebagai
bahan penyeleksi harus berhati-hati supaya dapat membatasi jumlah sel nontransforman yang hidup. Gen-gen yang resisten terhadap berbagai senyawa toksik,
seperti methotrexate, antibiotik, dan herbisida telah disisipkan pada promoter yang
sesuai dan digunakan untuk menyeleksi dan mengidentifikasi sel-sel transforman.
Antibiotik kanamisin, G418 dan higromisin adalah antibiotik yang saat ini secara luas
digunakan sebagai bahan penyeleksi. Ketiganya adalah antibiotika aminoglikan yang
mempengaruhi aktivitas translasi sel. Gen nptII diisolasi dari transposon Tn5-coli K12.
13
Enzim yang dihasilkan akan menonaktifkan antibiotik pada dikotil termasuk tembakau,
kentang, dan tomat, kacang-kacangan, dan kacang kapri, serta tanaman berkayu seperti
Pseudostuga menziesii (Ellis et al., 1989). Gen hpt (hygromycin phosphotransferase)
dikembangkan untuk resistensi terhadap antibiotika higromisin. Gen ini diisolasi dari E.
coli dan telah berhasil digunakan dalam strawberi dan padi. Selain itu variasi tingkat
resistensi terhadap higromisin telah ditemukan pada spesies yang tergolong Gramineae
yang lain (Hauptmann et al., 1988).
2.4
Agrobacterium rhizogenes
Agrobacterium merupakan kelompok bakteri gram negatif yang berasosiasi
dengan tanaman. Beberapa anggota dari kelompok ini dapat menyebabkan penyakit
pada tanaman. Salah satu jenis Agrobacterium ini adalah Agrobacterium rhizogenes
yang menyebabkan penyakit akar berambut pada tanaman tingkat tinggi. Bakteri
Agrobacterium rhizogenes dapat menginduksi perkembangan percabangan yang
banyak ditempat akar yang terinfeksi sehingga disebut dengan hairy root. Melalui
infeksi ini dapatditransfer T-DNA dari plasmid Ri (root inducing plasmid), dan
kemudian dapat terintegrasi ke dalam kromosom sel tanaman. Ekspresi onkogen pada
plasmid Ri di dalam tanaman mencirikan pembentukan akar adventif secara besarbesaran pada tempat yang diinfeksi dan dikenal dengan akar berambut (Nilsson dan
Olsson, 1997).
Prosesnya
adalah
sebagai
berikut,
T-DNA
akan
terintegrasi
pada
terhadap
akar
tumbuhnyaakar
oleh
bakteri
berambut
Agrobacterium
secara
cepat
pada
rhizogenes
eksplan.
14
Crassulaceae,
Caesalpinaceae,
Brassicaceae,
Polygonaceae,
dan
Asteraceae memiliki sifat mudah terinfeksi (Porter dan Flores, 1991). Untuk Famili
Leguminoseae, beberapa spesiesnya lebih sulit terinfeksi dibandingkan tanaman
sefamilinya yang lain. Hal ini dikarenakan banyak spesies tanaman legum yang
kesulitan menginduksi somatic embryogenesis atau organogenesis (Somers dkk.,
2003).
Mikroorganisme populer yang digunakan adalah Agrobacterium tumefaciens dan
Agrobacterium rhizogenes. Plasmid membawa beberapa gen yang direplikasi sama
seperti kromosom bakteri dimana mereka akan mereplikasi diri secara mandiri dalam
inangnya. Sebuah sel tunggal dapat berisi 50 atau lebih plasmid. Penggunaan
Agrobacterium rhizogenes sebagai mediatransformasi memungkinkan pengembangan
tanaman transgenik melalui seleksi penanda berupa munculnya morfologi akar rambut
sebagai indikator tanaman tersebut telah tertransformasi gen yang dibawa oleh
plasmid. Jaringan tanaman terinfeksi oleh integrasi satu atau lebih dua DNA yang
tertransfer (TL dan TR) dari Ri-plasmid ke dalam genom tanaman target .
Berdasarkan uraian diatas maka perlu adanya pengetahuan serta keterampilan tentang
cara melakukan transformasi genetik pada tanaman menggunakan vektor Ri-plasmid
dari Agrobacterium rhizogenes.
15
BAB III
METODE, HASIL, DAN PEMBAHASAN
PEMs
Kultur embriogenik diperoleh dari nucellus buah yang belum matang dari cv.
Kensington Pride seperti yang dijelaskan tentang mangga oleh Dewald et al.
(1989). PEMs yang tumbuh lambat disebabkan karena jaringan nucellar tumbuh
dengan cepat dalam suspensi ketika berpoliferasi di dalam kultur cair dan mampu
menghasilkan sekitar 3 g PEMs segar per masing-masing subkultur. Untuk
mendapatkan PEMs berkualitas tinggi yang bebas dari gumpalan hitam, kultur
secara berurutan dipindahkan ke media segar dan ditumbuhkan dalam 2,4-D pada
media bebas untuk melakukan subkultur yang terakhir. Kultur suspensi diayak pada
mesh 250 m dan disentrifugasi pada 50 g untuk mendapatkan pelet agregat sel
yang kecil dari PEMs.
tanaman untuk menyeleksi dan merakit varietas hibrida secara lebih cepat. Menurut
Suryowinoto (1996), isolasi protoplas adalah teknik untuk menghasilkan protoplas
yang utuh dan viabel dari jaringan tanaman hidup dengan cara menghilangkan
dinding selnya.
Larutan hasil digesti yang terdiri sel dan protoplas yang dicuci dengan garam
yang megandung manitol, 1,5% selulosa, 1,0% hemiselulosa , 0,75% PEMs dan
1,5% daun. Fungsi selulosa adalah menghancurkan dan melisiskan penebalan
primer dari dinding sel yang tersusun atas zat selulosa ( Evans dan Bravo,1983).
Hasil digesti larutan disesuaikan dengan pH 5,8 dan disaring dengan 0,22 pM
Millipore
Satu gram strip daun (0,2-0,5 mm) atau pelet PEMs yang kering ditransfer
dalam campuran enzim 250 mL dalam erlenmeyer
Campuran di inkubasi terlindung dalam cahaya pada suhu 27oC selama 14 jam
untuk PEMs dan 6 jam untuk daun pada gyratory shaker dengan kecepatan 45
rpm untuk daun dan 30 rpm untuk PEMs
Hasil protoplas PEMs 15,22 106 per gram berat segar (g fw-1) (~ 86%
viabilitas) dan dari protoplas daun 8,68 106 g fw-1 (~ 84% viabilitas).
Menurut Kim et al. (2005) dalam mengisolasi protoplas Alstroemeria,
penggunaan kalus embrionik yang friable sebagai sumber protoplas hasilnya lebih
efektif dibandingkan dengan yang berasal dari jaringan daun atau kalus yang
kompak. Sel-sel dalam jaringan daun mempunyai kandungan pektin yang lebih
tinggi dibandingkan dari sel-sel dari kalus (Babaoglu 2000). Keberhasilan isolasi
protoplas terutama tergantung pada kondisi jaringan dan kombinasi enzim yang
digunakan. Tidak ada metode baku dalam isolasi dan kultur protoplas karena setiap
individu sel atau jaringan yang akan digunakan sebagai sumber protoplas
kemungkinan akan memerlukan kondisi yang khusus. Sebagai contoh kultur
suspensi sel merupakan sumber yang paling mudah untuk diisolasi protoplasnya,
demikian juga sel-sel dari jaringan mesofil lebih banyak digunakan dibandingkan
sel-sel dari jaringan lain dalam tanaman (Gleddie 1995).
18
Secara singkat, dimurnikan suspensi protoplas daun dengan cara dicampur hatihati dengan suspensi protoplas PEMs (masing-masing pada kepadatan 6 105
protoplas per mL (Pp mL-1)) pada rasio 2: 1 (v / v), kemudian dibentuk pelet
dengan sentrifugasi (75 g) dan diresuspensi dalam larutan W5 (154 mM
NaCl, 5 mM glukosa, 125 mM CaCl2.2 H2O dan 5 mM KCl, pH 5,6 (Medgyesy
et al, 1980.) dengan perbandingan 1:2.
hati-hati
menggunakan pipet dengan ujung 20 L dan larutan sisa dielusi 3 kali dengan
100 L larutan W10.
W10 (Menczel et al., 1981) disiapkan masih segar dengan mencampur 9 bagian
stok A (0,4 M glukosa, 66 mM CaCl2, 10% DMSO) dengan satu bagian dari
stok B (0,3 M glisin-NaOH penyangga, pH 10,5) dan saring untuk sterilisasi.
Setelah 20 menit, media kultur protoplas dicuci tiga kali dengan larutan W10.
Beberapa tetes air steril ditempatkan di sudut masing-masing cawan Petri untuk
mencegah dehidrasi dan kristalisasi campuran selama proses inkubasi yang
berbeda.
(Murashige dan Skoog, 1962) ditambah senyawa organik berikut berdasarkan survei
dari media yang digunakan sebelumnya yaitu, 20 mg L-1 tiamin-HCl, 10 mg L-1
piridoksin, 2 mg L-1 asam nikotinat, 5 mg L-1 pantotenat acid, 2% air kelapa (CW),
30 mg L-1 asam askorbat , 1,5 g L-1 L-glutamine, 100 mg L-1 myo-inositol, 500
mg L-1 prolin, 30 g L-1 sukrosa dan manitol di 0.7 M sebagai osmotikum. PH
media diatur sampai 5,8 dan semua media disterilkan. Natrium alginat (Sigma)
dilarutkan dalam osmotikum (0,7 M manitol) pada konsentrasi 4% (w / v) (dua kali
konsentrasi akhir) dengan pengadukan selama 4 jam kemudian disterilkan.
Protoplas disuspensikan kembali pada 5 104 mL Pp-1 (dua kali IPD diinginkan)
dalam media kultur yang bebas kalsium kemudian dicampur dengan larutan alginat
dengan hati-hati memutari tabung. Campuran akhir itu kemudian diteteskan (40 L
droplet) pada media kultur tanpa Na-alginat dan ditambah 50 mM CaCl2. Setelah 1
jam, padatan yang dihasilkan Ca-alginat dicuci dua kali dengan media kultur setiap
waktu selama 10 menit dan padatan yang disuspensikan dalam 3 mL pada lapisan
tipis kultur cair dan diinkubasi dalam gelap pada 25 C dengan perputaran 30 rpm.
Setelah 12 jam, fase seluruh cairan dalam media kultur digantikan dengan media
kultur segar untuk mencuci PEG yang tersisa dan fenolat. Pengenceran dilakukan
20
dengan mengganti 15% dari fase larutan dengan media tanpa manitol. Setelah 4
minggu dalam media kultur, koloni sel yang dihasilkan setelah depolimerisasi
dengan Ca-alginat dalam 20 mM larutan natrium sitrat Scheurich et al. (1980).
Koloni yang dihasilkan diletakka pada media dengan komposisi yang sama
tetapi bebas dari manitol dan diperkaya dengan 80 g L-1 sukrosa dan 20% CW
padat yang steril dengan 0,22% Gelrite (Sigma). Setelah dihasilkan dua subkultur
berturut-turut,per tumbuhan yang cepat dan dipilih gumpalan yang besar dari PEMs
dan dipindahkan ke medium proliferasi PEMs yaitu media B5 yang terdiri dari
garam mayor tanpa (NH4)2 SO4, ditambah MS dengan garam minor dan Fe-EDTA,
12 mg L-1 tiamin, 4 mg L-1 asam nikotinat, 10 mg L-1 piridoksin, 4,5 mg L-1 Lglutamine, 6% sukrosa, 1 mg L-1 2,4-D dan 3,5 mg L-1 Kinetin padatan dengan
0,22% Gelrite. Kultur dipindahkan ke media segar setiap dua minggu. Sebuah
gangguan dalam proliferasi PEMs dengan pengecualian dari 2,4-D dari media kultur
memungkinkan sel proembrio untuk berkembang menjadi embrio globular tunggal
atau agregat dalam waktu 10 hari. Konversi embrio globular ke tahap lebih lanjut
dari awal kotiledon berbentuk hati dan berlangsung dalam waktu 3 minggu. Untuk
mendapatkan embrio kotiledon, embrio awal yang buram dan berbentuk hati
(dengan panjang 2-5 mm) dengan mudah dipisahkan dari kultur PEMs tanpa
melukai radikula dan ditempatkan ke media segar.
Pemanjangan radikula dan perakaran embrio kotiledon diperoleh dari media
perkecambahan B5 yang mengandung setengah garam mayor tanpa (NH4)2SO4,
kekuatan penuh MS garam minor, vitamin dan bahan organik seperti untuk tahap
proliferasi, 2% CW yang steril, 4,5% sukrosa, 500 mg L-1 arang aktif, dipadatkan
dengan 2,5 g L-1 Gelrite. Untuk pertumbuhan tunas, embrio berakar dari garis
PEMs yang sama dipindahkan ke 30 mL media pertumbuhan tunas dalam 250 mL
labu Erlenmeyer dan dijaga pada shaker gyratory pada 60 rpm. Media
Perkecambahan tanpa arang aktif dan Gelrite digunakan sebagai media tumbuh
tunas. Embrio di kedua perkecambahan dan media pertumbuhan tunas dijaga pada
intensitas cahaya 80-100 umol m-2 s-1 dengan 16 jam cahaya / 8 jam gelap. Untuk
aklimatisasi, lima puluh in vitro platlet dengan daun utuh dan akar
ditransplantasikan ke campuran yang terdiri dari 80% coco peat dan 20% perlit dan
disimpan pada 25 C tereduksi cahaya (20%) dan 80% RH selama 6 minggu
kemudian ditransfer ke shaded greenhouse dengan 60 sampai 70% RH.
21
22
suhu 37C selama 90 menit. Dilakukan squashing hingga terbentuk lapisan sel yang
sangat tipis dan menyebar secara merata. Penjumlahan kromosom dilakukan pada
10 sel untuk setiap ujung akar pada pembesaran 1000x di bawah mikroskop jenis
Olympus (BH2).
polifenol dalam sel tanaman dengan cara membentuk ikatan hidrogen dengan
senyawa polifenol yang kemudian akan terpisah dengan DNA (Lodhi et al., 1994).
Senyawa polifenol perlu dihilangkan agar diperoleh kualitas DNA yang baik.
Polifenol juga dapat menghambat reaksi dari enzim Taq polimerase pada saat
dilakukan amplifikasi. Disamping itu polifenol akan mengurangi hasil ektraksi
DNA serta mengurangi tingkat kemurnian DNA (Porebskiet al., 1997). Penggunaan
2-mercaptoethanol dengan pemanasan juga dapat mendenaturasi protein yang
mengkontaminasi DNA (Corkill dan Rapley, 2008). Pada tahapan ekstraksi DNA,
seringkali digunakan chelating agent seperti ethylenediamine tetraacetic acid
(EDTA) yang berperan menginaktivasi enzim DNase yang dapat mendenaturasi
DNA yang diisolasi, EDTA menginaktivasi enzim nuklease dengan cara mengikat
ion magnesium dan kalsium yang dibutuhkan sebagai kofaktor enzim DNAse
(Corkill dan Rapley, 2008).
DNA yang telah diekstraksi dari dalam sel selanjutnya perlu dipisahkan dari
kontaminan komponen penyusun sel lainnya seperti polisakarida dan protein agar
DNA yang didapatkan memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini dilakukan dengan
cara ekstraksi menggunakan 900L campuran fenol:kloroform:isoamil alkohol (25:
24: 1) (Sigma- Aldrich). Homogenat disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 15
menit dan supernatan dipindahkan ke tabung microcentrifuge baru. Ekstraksi
dengan menggunakan campuran fenol, kloroform, dan isoamil alkohol bertujuan
untuk mendenaturasi protein. Ekstrak DNA yang didapat seringkali juga
terkontaminasi oleh RNA sehingga RNA dapat dipisahkan dari DNA ekstrak
dengan cara pemberian RNAse (Birren, et al., 1997; Clark, 2010).
Kemudian dilakukan ekstraksi kembali dengan 900 L kloroform: isoamil
alkohol (24: 1) dan dicampur dengan 50 kali inversi. Sampel disentrifugasi selama
15 menit pada 13.000 rpm, maka supernatan dipindahkan ke tabung microcentrifuge
baru dan DNA diendapkan dengan menambahkan 620 L (85% v/v) Isopropanol
pada suhu 4C selama 1 jam pada suhu kamar, kemudian disentrifugasi selama 5
menit dengan kecepatan 2000 rpm. Endapan dicuci 3 kali dengan etanol 70%,
dikeringkan pada suhu kamar selama 20-30 menit dan dilarutkan dalam 100 L
penyangga tris-EDTA (TE) (10 mM Tris pH 8,0, 0,1 M EDTA pH 8,0), pH 8,0.
Hasil DNA adalah sekitar 5 ug per 100 mg embrio, 5-10 mg per 100 mg daun dan
10-15 mg per PEMs.
25
a. Denaturasi awal selama 5 menit pada 94C yang merupakan proses denaturasi
dua untai DNA template menjadi untai tunggal
b. Annealing yang dilakukan sebanyak 30 siklus amplifikasi dari suhu 94C selama
30 detik, 60 detik masing-masing pada suhu 57, 56, 55, 54, 53C. Pada tahapan
ini terjadi pengenalan/penempelan primer DNA template. Optimalisasi
temperatur annealing dimulai dengan menghitung Melting Temperature (Tm)
dari ikatan primer dan DNA template. Cara termudah menghitung untuk
mendapatkan melting-temperatur yang tepat menggunakan rumus Tm =
{(G+C)x4} +{ (A+T)x2}. Sedang temperatur annealing biasanya 5C dibawah
Tm primer yang sebenarnya.
c. Extension yang langkah akhir yang dilakukan pada suhu 72C selama 5 menit.
Waktu ini tergantung panjang pendeknya ukuran DNA yang diinginkan sebagai
produk amplifikasi.
Genl 'GT sequencing Sel , 50 35 cm) yang mengandung 7,5 M urea dalam 1
TBE penyangga (0,1 M Tris, 0,1 asam borat, 20 mM EDTA pH 8,0). Gel menjadi
sasaran elektroforesis pada 1 TBE buffer pada 100 W untuk 135 menit kemudian
ditransfer ke kertas saring (Whatman 3 MM), dikeringkan dan dikenakan lapisan Xray (Kodak Biomax-MR) selama 24 jam pada suhu kamar.
BAP, 30gl-1
(32mol.m-2 s-1) dan 8 jam kondisi gelap, dan kelembaban relatif 70-80% (Salazar,
1997).
Penyiapan bakteri
Bakteri A. rhizogenes jenis liar diinokulasi di media Luria Bertani (LB)
(Draper et al., 1988) dan ditumbuhkan pada suhu 27 1C selama 15 jam, sampai
densitas optik 1,0-1,5 diperoleh pada 560nm (Lin et al. , 1994). Bakteri
disuspensikan pada media LB (50 mL) ditambah atau tidak dengan 200 M AS.
Efisiensi transformasi dapat meningkatkan virulensi bakteri dengan menambahkan
senyawa fenolik seperti asetosiringon (AS). Dalam sejumlah spesies tanaman dan
mediasinya Agrobacterium, suplemen eksogen seperti AS telah ditemukan dapat
meningkatkan efisiensi transformasi, yang diterapkan melalui pretreating eksplan
tanaman atau kultur Agrobacterium, dengan cara inklusi AS dalam medium kokultur, dan dengan menggabungkan pretreatment eksplan dan kultur Agrobacterium
(Godwin et al, 1991;. Shih-Cheng et al, 2007).
b.
Proses transformasi
Embrio somatik di pre-kultur di media semipadat B5 tanpa hormon selama 48
jam, setelah itu dimaserasi dan dicelupkan ke dalam suspensi bakteri selama 1 jam,
15 menit dan 5 menit. Perlakuan pertama (inokulasi selama 1 jam) diterapkan untuk
ketiga varietas dan perlakuan kedua dan ketiga (inokulasi 15 menit dan 5 menit)
hanya untuk varietas Kent. Kemudian, jaringan diinkubasi pada media prakultur
selama 48 jam, dalam gelap pada suhu 27 1C, setelah itu dicuci 3 kali dalam
akuades steril dan dikeringkan pada handuk kertas steril. Terakhir, embrio somatik
yang dimaserasi dipindahkan ke medium yang sama yang mengandung sefotaksim
(250mg.l-1) dan karbenisilin (500mg.l-1), dan diinkubasi dalam kondisi gelap pada
suhu 27 1C.
Kontrol embrio somatik digunakan tanpa inokulasi dengan A. rhizogenes dan
kultur dalam kondisi dan perlakuan yang sama seperti di atas. Sedangkan untuk
mengevaluasi infeksi dan pertumbuhan bakteri, 1 cm2
(tiga varietas, satu bakteri strain, dilengkapi atau tidak dengan AS, satu waktu
inkubasi; satu varietas, satu bakteri strain, dengan atau tanpa AS, dua waktui
inkubasi) sehingga dapat dijabarkan masing - masing perlakuan sebagai berikut.
-
sehingga dibutuhkan total 10-30 cawan petri per variasi, masing-masing dengan 0,5
g embrio somatik. Pada inokulasi embrio somatik dari varietas Haden, Kent dan
Madame Francis dengan A. rhizogenes yang dilakukan secara maserasi dan
dicelupkan ke dalam suspensi selama 1 jam selanjutnya diamati pertumbuhan
bakteri. Setelah 48 jam pertumbuhan bakteri terbukti pada jaringan embrio somatik
dari tiga varietas yang digunakan. Pencucian dan subkultur di media B5 dengan
antibiotik cefatoxime dan karbenisilin dilakukan setiap 24 jam selama minggu
pertama, dan setiap 48 jam setelah selama satu bulan. Bakteri dapat dihilangkan dari
varietas Kent setelah 20 kali pencucian dan subkultur. Embrio diinokulasi
30
membentuk kalus kemudian embrio dan akhirnya menjadi tanaman dalam media
kultur B5 tanpa antibiotik. Hasil yang sama diperoleh dengan atau tanpa AS.
Kemudian pada inokulasi embrio somatik khusus varietas Kent dengan A.
rhizogenes dengan mencelupkan ke dalam suspensi bakteri selama 15 menit juga
diamati pertumbuhan bakterinya. Pertumbuhan bakteri diamati pada embrio somatik
pada saat 48 jam setelah inokulasi. Bakteri tersingkir setelah 5 kali pencucian
jaringan dan menempatkannya di media B5 segar dengan antibiotik sefotaksim dan
carbencilin. Setelah itu, beberapa embrio berkembang menghasilkan kalus dan
embrio sekunder. Hasil yang sama diperoleh dengan atau tanpa AS. Terakhir
pertumbuhan bakteri diamati pada inokulasi embrio somatik varietas Kent dengan A.
rhizogenes dengan mencelupkan ke dalam suspensi bakteri selama 5 menit.
Pertumbuhan bakteri diamati dalam embrio somatik pada saat 72 jam setelah
inokulasi. Bakteri tersingkir setelah pencucian pertama. Setelah itu, sebagian besar
embrio berkembang menjadi kalus dan embrio sekunder. Hasil yang sama diperoleh
dengan atau tanpa AS.
Setelah diinokulasi, embriyo yang ditransformasikan dengan bakteri A.
rhizogenes dan embriyo kontrol dilakukan ekstraksi DNA kemudian dilakukan
analisis PCR. PCR (Polymerase Chain Reaction) atau Reaksi berantai polymerase
adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro. Pada
jurnal ini, metode PCR bertujuan untuk menyisipkan gen dari bakteri A. rhizogenes
pada gen tumbuhan. Metode PCR dipilih karena metode ini memiliki beberapa
kelebihan. Kelebihan PCR dikatakan sangat tinggi. Hal ini didasarkan atas
spesifitas, efisiensi dan keakuratannya. Spesifitas PCR terletak pada kemampuannya
mengamplifikasi sehingga
sejumlah siklus.
31
digunakan untuk melipatgandakan suatu sekuen DNA dalam genom bakteri hanya
dengan mencampukan kultur bakteri di dalam tabung PCR (Yusuf, 2010).
Dna yang telah diisolasi dari embriyo ditambahkan 50 l larutan yang terdiri
atas 10 mm Tris HCl (Ph 9.0), 50 mm KCl, 0,1% Triton X-100, 1,5 mm MgCl2, 200
Um dNTPs, 100 ng DNA genomic dan 1 U Taq DNA polymerase. Selain itu juga
digunakan DNA primer yaitu 5-ATG GAT CCC AAA TTG CTA TTC CTT CCA
CGA-3 dan 5-TTA GGC TTC TTT CTT CAG GTT TAC TGC AGC-3. DNA
primer merupakan suatu sekuen olinukleotida pendek yang digunakan untuk
mengawali proses sintesis rantai DNA. Deoksiribonukloetida trifosfat (dNTP)
terdiri dari dATP, dCTP, dGTP dan dTTP yang diperlukan dalam reaksi polimerasi.
Sedangkan MgCl2 merupakan sumber ion Mg yang nantinya ion ini akan bereaksi
dengan dNTP untuk mengefektifkan reaksi polimerasi. Selain itu, ditambahkan pula
Tris HCl, KCl dan Triton X-100 sebagai senyawa buffer yang berperan dalam
menjaga Ph selama reaksi polimerasi (Yusuf, 2010).
Tahap amplifikasi yang dilakukan adalah denaturation selama 1 menit pada
suhu 920C, annealing selama 1 menit pada suhu 550 C dan extension pada suhu 720C
selama 1,5 menit. Hal ini terulang selama 35 siklus. Denaturasi DNA merupakan
proses pembukaan DNA untai ganda menjadi DNA untai tunggal. Setelah rantai
DNA terbuka, dilanjutkan dengan tahap annealing yaitu penempelan primer.
Selanjutnya tahap extension yaitu pemanjangan primer. Pemajangan primer
memerlukan enzim Taq Polymerase dari ujung 3 menuju 5. Siklus ini diulangi
sebanyak 35 kali sehingga pada akhir siklus akan diperoleh molekul-molekul DNA
rantai ganda yang baru dan merupakan hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh
lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan (Yusuf,
2010).
3.2.3 Pengamatan Hasil Transformasi Dilihat dari Bentuk Kalus dan Histologi.
Dari hasil keseluruhan kultur, tidak ada pengaruh yang jelas dari penggunaan dan
tidak digunakan AS. Hal ini dikarenakan hasil dari seluruh kultur menunjukkan hasil yang
hampir sama dan dapat dikatakan bahwa ada dan tidaknya AS tidak dapat meningkatkan
proses transformasi gen dari Agrobacterium sp. ini.
Embriyo hasil kultur dari seluruh perlakuan pada mangga varietas Kent yang
terinfeksi gen Agrobacterium rhizogenes ini terlihat pada gambar berikut:
32
33
Pada gambar tersebut terlihat bahwa plantlet hasil pertumbuhan embiyo yang
terinfeksi A. rhizogenes menunjukkan terbentuknya akar dan tidak terlihat pembentukan
bulu akar. Hal ini dikarenakan gen rolB dari bakteri A. rhizogenes yang ditransformasikan
pada gen tanaman mangga ini dapat menginduksi hormon auksin sehingga dapat
merangsang pemebntukan akar lebih cepat. Hal inilah yang diinginkan dari tujuan
dilakukannya transformasi gen bakteri A. rhizogenes kedalam embriyo mangga varietas
kent ini sehingga nantinya embriyo yang dihasilkan dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman dengan adanya akar. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa salah satu
kekurangakn dari perbanyakan tanaman mangga varietas kent ini adalah minimalnya
pertumbuhan embriyo menjadi tanaman baru dikarenakan pertumbuhan bulu akar yang
tinggi tanpa disertai pertumbuhan akar. Akar yang merupakan sumber penyerapan
makanan/nutrisi untuk pertumbuhan kalus apabila tidak terbentuk akan meminmalkan
pertumbuhan kalus itu sendiri menjadi tanaman baru. Oleh karena itu dikembangkanlah
metode transformasi untuk meningkatkan terbentuknya akar sehingga nantinya
pertumbuhan kalus menjadi individu/tanaman baru dapat lebih optimal. Dan dari hasil
pengamatan secara visual melalui plantlet yang terbentuk ini pula telah menunjukkan
bahwa transformasi dengan gen dari bakteri A. rhizogenes pada embriyo mangga ini
mampu menginduksi pertumbuhan akar.
Pengamatan juga dilakukan dengan pengamatan histologi dibawah mikroskop.
Embriyo hasil kultur yang telah terinfeksi bakteri A. Rhizogenes dipotong dengan tangan
dan diteteskan 0,5% toluidine blue sebagai pewarna sel sehingga memperjelas pengamatan
dibawah mikroskop dan dilihat penampang sel dibawah mikroskop. Pengamatan dilakukan
pada embriyo hasil kultur yang telah terinfeksi A. rhizogenes dan embiyo hasil kultur
kontrol yang tidak diinfeksi bakteri A. rhizogenes, kemudian hasil yang diperoleh
dibandingkan. Hasil yang diperoleh terlihat pada gambar berikut:
Gambar 3. Histologi sel embriyo kontrol dan sel embiyo yang terinfeksi A. rhizogenes.
Gambar a menunjukkan gambar sel embriyo kontrol yang tidak terinfeksi bakteri
A. rhizogenes. Bentuk sel menunjukkan bentuk yang simetrik sedangkan gambar b dan c
34
merupakan penampang sel embriyo yang terinfeksi bakteri A. rhizogenes. Pada gambar a
merupakan embriyo normal yang ditunjukkan oleh anak panah aadalah pembentukan tunas
apikal. Sedangkan dalam gambar b dan c tersebut terlihat bahwa sel yang terbentuk tidak
simetrik. Gambar b menunjukkan ketidak asimetrisan penampang sel dikarenakan sel
terinduksi untuk cepat membelah membentuk akar dan penampang sel diperjelas kembali
pada gambar C dengan pembesaran 40 x yang menunjukkan pembentukan struktur foliar.
36
BAB IV
KESIMPULAN
Agrobacterium rhizogenes dengan dengan sepuluh perlakuan (tiga varietas, satu bakteri
strain, dilengkapi atau tidak dengan AS, satu waktu inkubasi; satu varietas, satu bakteri strain,
dengan atau tanpa AS, dua waktui inkubasi). Dalam perlakuan pertama, A. rhizogenes
tereliminasi setelah 20 kali pencucian dan subkultur hanya di variasi Kent; sementara 1-5 kali
pencucian
yang dibutuhkan untuk perlakuan yang lain. Tidak ada perbedaan antara
perlakuan prakultur A. rhizogenes dengan atau tanpa asetosiringon (AS). Dari hasil analisis
PCR terlihat pertumbuhan embriyo yang terinfeksi A. rhizogenes menunjukkan terbentuknya
akar dan tidak terlihat pembentukan bulu akar,
rhizogenes yang ditransformasikan pada gen tanamanmangga ini dapat menginduksi hormon
auksin sehingga dapat merangsang pembentukan akar lebih cepat. Dan berdasarkan hasil
elektroforesis didapatkan bahwa transformasi tanaman mangga dengan sisipan gen dari
bakteri A. rhizogenes mampu merubah gen tanaman yang dibandingkan dengan gen tanaman
37
tanpa disisipkan gen bakteri A. rhizogenes yang ditunjukkan dengan adanya molekul yang
terpisah pada ukuran 720 bp yang merupakan gen rolB.
38
DAFTAR PUSTAKA
Adji, D., Zuliyanti, dan H. Larashanty. 2007. Perbandingan Efektivitas Sterilisasi Alkohol
70%, Inframerah, Otoklaf dan Ozon Terhadap Pertumbuhan Bakteri Bacillus subtilis.
J. Sain Vet. Vol. 25 No.1. Hal. 17-24
Bambang Marhijanto dan Setiyo Wibowo. 1994. Bertanam Mangga. Surabaya: Sistim
Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, BAPPENAS.
Babaoglu, M. 2000. Protoplast isolation in Lupin (Lupinus mutabilis Sweet): Determination
of optimum explants sources and isolation conditions. Turk J. Bot. 24:177- 185.
Bettelheim, F.A., dan Landesberg, J. 1984. Laboratory Experiments for General, Organic,
and Biochemistry. 4th Edition. New Jersey: John Wiley and Sons Inc.
Birren,B., E.D. Green; S. Klapholz; R.M. Myers; J. Roskams. 1997. Genome Analysis: A
Laboratory Manual. Volume 1. New York: Cold Spring Harbour Laboratory Press.
Cabrera J, A. Vegas, L. Her rera L. 1996. Regeneration of transgenic papaya plants via
somatic embryogenesis induced by Agrobacterium rhizogenes. In Vitro Cell. Dev.
Biol. Plant 32: 86-90.
Carroll, B.J., V. Klimyuk, C.M. Thomas, G.J. Bishop, K. Harrison, S.R. Scofi eld and J.C.D.
Jones, 1995. Germinal transposition of the maize element dissociation from T-DNA
loci in tomato. Genetics.139: 407-420.
Corkill, G., Rapley, R. 2008. The Manipulation of Nucleic Acids: Basic Tools and
Techniques. In: Molecular Biomethods Handbook Second Edition. Ed: Walker,
J.M., Rapley, R. USA: Humana Press, NJ.
Cytopathol, D. 2009. Evaluation of flow cytometric immunophenotyping and DNA analysis
for detection of malignant cells in serosal cavity fluids. Juli. 37 (7): 498- 504.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
DeWald S, Litz RE, Moore G. 1989. Optimizing somatic embryo production in mango. J.
Amer. Soc. Hort. Sci. 114: 712-716.
Draper J, Roderick S, Philop A, Walden R. 1988. Plant Gene Expression. A Laborator y
Manual. Blackwell. Boston, MA, USA. pp. 355
Ellis, D., D. Roberts, B. Sutton, W. Lazaroff, D. Webb, and B. Flinn. 1989. Transformation
of white spruce and other conifer species. Agrobacterium tumefaciens: Plant Cell
Evans, D. and A. Bravo. 1983. Protoplast isolation and culture, technique for propagation and
breeding. Macmillan Publishing CD, New York. I:124-145.
Gamborg OL, Miller RA, Ojima K. 1968. Plant cell cultures. I. Nutrient requirements of
suspension cultures of soybean root cells. Exp. Cell Res. 50: 150-158.
Gleddie, S.C. 1995. Protoplast isolation and culture. In Gamborg, O.L. and G.C. Phillips
(Eds.). Plant Cell, Tissue and Organ Culture Fundamental Methods. Springer. p.
167-180.
Godwin I, Todd G, Ford-Lloyd B, Newbury HJ. 1991. The effects of acetosyringone and pH
on Agrobacterium-mediated transformation vary according to plant species. Plant
Cell Rep. 9: 671-675.
Hauptmann, R.M., Vasil, V., Ozias-Akins, P., Tabeiza deh, Z., Rogers, S.G., Fraley, R.T.,
Horsch, R.B. and Vasil, I.K. 1988. Evaluation of selectable markers for obtaining
stable transformant in Gramineae. Plant Physiol. 86:602-606.
Hernalsteens, J.P., van Vliet, F., De Beuckeleer, M., Depicker, A., Engler, G., Lemmers, M.,
Holsters, M., Van Montagu, M. and Schell, J. 1980. The Agrobacterium tumefaciens
Ti plasmid as a host vector system for introducing foreign DNA in plant cell.
Husni A., I. Mariska, G.A. Wattimena, dan A. Purwito. 2003. Keragaan genetik tanaman
terung hasil kultur protoplas. Jurnal Bioteknologi Pertanian 8(2):52-59.
Kao, K.N. and M.E. Michayluck. 1974. A method for high frequency intergeneric fusion of
plant protoplast. Planta (Berl.) Springer-Verlag. 115:355-367.
Kim, J.C. and E.A. Lee. 1996. Plant regeneration from mesophyll protoplasts of Dianthus
superbus. Plant Cell Rep. 16:18-21.
Klug, W. S. and M. R. Cummings. 1994. Concepts of genetics. 4th ed. New Jersey: Prentice
Hall Englewood.
Lal, R. and Lal, S. 1990. Crop Improvement Utilizing Biotechnology. Boca Raton Florida:
CRC Press
Lin J, Garcia N, Kuo J. 1994. Effects of Agrobacterium cell concentration on the
transformation efficiency of tobacco and Arabidopsis thaliana. Focus. 16: 72-77.
Lodhi MA, Ye GN, Weeden NF and Reisch BI. 1994. A simple and efficient method for
DNA extraction from grapevine cultrivars and Vitis species. Plant Mol. Biol. Rep. 12:
6-13.
Mariska,I., dan A.Husni. 2006. Perbaikan Sifat Genotipe Melalui Fusi Protoplas Pada
Tanaman Lada,Nilam, dan Terung. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian
25(2): 55 60.
Marton, L., Wullems, G.J., Molendijk, L. and Scilperoort, R.A. 1979. Agroinfection of wheat:
a comparison of Agrobacterium strains. Plant Science 63:247-256.
Martono, B. 2009. Keragaman Genetik, Heritabilitas dan Korelasi antara Karakter Kuantitatif
Nilam (Pogostemon sp.) Hasil Fusi Protoplas. Jurnal Penelitian Tanaman Industri
15(1): 9 15
Matthysse, A. G. 2005. Prokaryotes: The Genus Agrobacterium. Springer Science+Business
Media. New York.
Millam,S.,L.A.Payne, and G.R.Mackay. 1995. The Integration of Protoplast Fusion- derived
Material into a Potato Breeding Programme: a review of progress and problem.
Euphytica 85: 451 455.
Nakasone, H. Y. and R. E. Paull. 1988. Tropical Fruits. CAB International. UK. 445p.
Nilsson O, Olsson O. 1997. Getting to the root: the role of the Agrobacterium rhizogenes rol
genes in the formation of hairy roots, Physiol Plant 100:463-473
Porebski, S., Bailey, G.L & Baum, B.R. 1997. Modification of a CTAB DNA extraction
protocol for plants containing high polysaccharide and polyphenol components. Plant
Mol Biol Reptr 15(1): 8-15.
Porter, J.R., dan H. Flores. 1991 Host range and implications of plant infection by
Agrobacterium rhizogenes. Critic. Rev. in Plant Sci. 10:387-421.
Pracaya. 2011. Bertanam Mangga. Jakarta: PT. Penebar Swadaya
Purwito,A. 1999. Fusi Protoplas Intra dan Interspesies pada Tanaman Kentang. Disertasi
Pascasarjana: Institut Pertanian Bogor.
Rahmawati S. 2006. Status perkembangan perbaikan sifat genetik padi menggunakan
transformasi Agrobacterium. J. Agrobiogen. 2(1): 36-44.
Rostiana,O.,2006.
Peluang
Pengembangan
Bahan
Tanaman
Jahe
Unggul
Untuk
D.A.,
D.A.
Samac,
dan
P.M.
Olhoft.
2003.
Recent
advances
in
Watson, D. G. 2007. Analisis Farmasi: Buku Ajar Untuk Mahasiswa Farmasi dan Praktisi
Kimia Farmasi Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Webb, K.J. and Morris, P. 1992. Methodologies of Plant Transformation, In: Gatehouse,
A.M.R., Hilder, V.A. and Boulter, D. (ed). Plant Genetic Manipulationfor Crop
Protection. C A B International: United Kingdom.
Westermeier. 2004. Electrophoresis in Practice: A guide to Theory and Practice. NewJersey:
John Wiley & Sons inc.
Widiastoety, D. 2001. Perbaikan Genetik dan Perbanyakan Secara In vitro dalam Mendukung
Pengembangan Anggrek di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 20(4): 142.
Yusuf, Z.K. Polymerase Chain Reaction (PCR). Saintek. Vol. 5 No. 6.
Zimmerman, U. and P. Scheurich. 1981. High Frequency fusion of plant protoplast by
electric field. Planta. 151:26-32.
LAMPIRAN