Gabungan DM
Gabungan DM
I. PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan
multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat,lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan
oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh
kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Jika kekurangan produksi insulin atau terdapat resistensi insulin
maka kadar glukosa dalam darah akan meninggi (melebihi nilai normal).
Insulin adalah suatu zat yang dihasilkan oleh sel beta pankreas. Insulin diperlukan agar glukosa dapat
memasuki sel tubuh, di mana gula tersebut kemudian dipergunakan sebagai sumber energi. Jika tidak ada insulin,
atau jumlah insulin tidak memadai, atau jika insulin tersebut cacat , maka glukosa tidak dapat memasuki sel dan
tetap berada di darah dalam jumlah besar.
Penyakit diabetes melitus atau kencing manis disebabkan oleh multifaktor, keturunan merupakan salah satu
faktor penyebab. Selain keturunan masih diperlukan faktor-faktor lain yang disebut faktor pencetus, misalnya adanya
infeksi virus tertentu, pola makan yang tidak sehat, stres, makan obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar gula
darah dan sebagainya.
Gejala penyakit kencing manis sangat bervariasi, dapat timbul secara perlahan-lahan hingga penderita tidak
menyadari terdapatnya perubahan dan baru dapat ditemukan pada saat pemeriksaan penyaring atau pemeriksaan
untuk penyakit lain. Tetapi gejala-gejala diabetes dapat juga timbul mendadak secara dramatis sekali. Gejala-gejala
umum yang dapat ditemukan pada penderita kencing manis adalah sebagai berikut:rasa haus yang berlebihan,
sering kencing terutama pada malam hari, berat badan turun dengan cepat, cepat merasa lapar,timbul kelemahan
tubuh, kesemutan pada jari tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, luka atau bisul yang sukar sembuh
dan keputihan.
II. KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes
diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak
disebut juvenile diabetes, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut
sebagai adult diabetes. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasuskasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.
Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi
glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt
Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu
Potential Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes. WHO pun telah
beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus.
Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood
Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi
baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2
tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1
dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985
WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap
mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap
muncul.
Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga
menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose
Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi
tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau
Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM).
Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (NonInsulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan
untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya.
4
5
hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel .
Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru
merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab
terjadinya kerusakan sel-sel pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA
makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau
Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA
juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA.
Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru
didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga
makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan
prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi. Disamping ketiga otoantibodi yang sudah
dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin
Antibody).
IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi
dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin. Destruksi otoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar
pancreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan
metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita
DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh
sel-sel pulau
Langerhans.
Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini
tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi
hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami
ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan
sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu
masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon
sebagai respon terhadap hipoglikemia.
Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1
yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe
1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran
untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini,
salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah
sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa.
Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti
misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh.
Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk
merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang
membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.
B. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan
dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya
berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya
meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor
genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet
tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor
pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang
bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya
dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal
patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin
gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai Resistensi Insulin.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 3of 37
Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari
obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe
2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian,
tidak terjadi pengrusakan sel-sel Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1.
Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut.
Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel kelenjar
pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau
rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua
terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel menunjukkan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak
ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan
sel-sel pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga
akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe
2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:
a.Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
b.Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)
c.Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140 mg/dl)
d.Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dl).
C. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi
glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer.
Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester
kedua. Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah
melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara
lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas
perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi
diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut.
D. Pra-diabetes
Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes,
lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita
pradiabetes diperkirakan cukup banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong pradiabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun 2000). Di Indonesia, angkanya belum
pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari pada penderita diabetes. Kondisi pradiabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan
baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun
pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes.
Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu:
Impaired Fasting Glucose (IFG), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang sekitar 100-125
mg/dl (kadar glukosa darah puasa normal: <100 mg/dl), atau
Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar
glukosa darah seseorang pada uji toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk
dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes.
IV. PENGGOLONGAN ANTIDIABETIK ORAL/HIPOGLIKEMIK ORAL
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu:
1. Golongan Sulfonilurea
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 4of 37
Bekerja dengan cara merangsang sekresi insulin di pankreas sehingga hanya efektif bila sel beta pankreas
masih dapat berproduksi. Terdapat beberapa jenis sulfonilurea yang tidak terlalu berbeda dalam efektivitasnya.
Perbedaan terletak pada farmakokinetik dan lama kerja. Termasuk dalam golongan ini adalah: Klorpropamid, Glikazid,
Glibenklamid, Glipizid, Glikuidon, Glimepirid, Tolazalim dan Tolbutamid.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat golongan ini :
a. Golongan sulfonil urea cenderung meningkatkan berat badan.
b. Penggunaannya harus hati-hati pada pasien usia lanjut, gangguan fungsi hati dan ginjal. Klorpropamid dan
glibenklamid tidak dianjurkan untuk pasien usia lanjut dan pasien insufisiensi ginjal. Pada pasien insufisiensi ginjal
dapat digunakan glikuidon, gliklazid atau tolbutamid yang kerjanya singkat.
c.
Wanita menyusui, porfiria dan ketoasidosis merupakan kontraindikasi bagi pemberian sulfonilurea.
d. Insulin kadang-kadang diperlukan bila timbul keadaan patologis tertentu seperti infark miokard, infeksi, koma dan
trauma. Insulin juga diperlukan pada keadaan kehamilan.
e. Efek samping, umumnya ringan dan frekuensinya rendah diantaranya gejala saluran cerna dan sakit kepala.
Gejala hematologik termasuk trombositopenia, agrunolositosis dan anemia aplastik dapat terjadi tetapi jarang
sekali. Hipoglikemi dapat terjadi bila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi
hati/ginjal atau pada orang usia lanjut. Hipoglikemia sering ditimbulkan oleh ADO kerja lama.
f.
Interaksi, banyak obat yang berinteraksi dengan sulfonilurea sehingga risiko terjadinya hipoglikemia dapat
meningkat.
g. Dosis, sebaiknya dimulai dengan dosis lebih rendah dengan 1 kali pemberian, dosis dinaikkan sesuai dengan
respons terhadap obat.
2. Golongan Biguanid
Bekerja dengan cara menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan.
Termasuk dalam golongan ini adalah Metformin, Fenformin, Buformin. Efek samping yang sering terjadi (20% dari
pemakai obat) adalah gangguan saluran cerna seperti anoreksia, mual, muntah, rasa tidak enak di abdomen dan
diare.
3. Golongan analog Meglitinid
Bekerja dengan cara mengikat reseptor sulfonilurea dan menutup ATP-sensitive potassium chanel. Yang
termasuk dalam golongan ini adalah Repaglinid.
4. Golongan Thiazolidindion
Bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Berikatan dengan PPAR
(peroxisome proliferators activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi
insulin. Golongan ini merupakan golongan baru dari ADO. Termasuk kedalam golongan ini adalah Pioglitazone,
Rosiglitazone.
5. Golongan penghambat alphaglukosidase
Yang termasuk dalam golongan ini adalah Akarbosa dan Miglitol yang bekerja dengan cara menghambat
alphaglukosidase yang mengubah di/polisakarida menjadi monosakarida, sehingga memperlambat dan menghambat
penyerapan karbohidrat.
Tabel 2.Penggolongan obat hipoglikemik oral
Golongan
Sulfonilurea
Contoh Senyawa
Klorpropamid
Glibenklamida
Glipizida
Glikazida
Glimepirida
Glikuidon
Tolazalim
Tolbutamid
Mekanisme Kerja
Merangsang sekresi insulin di kelenjar
pankreas, sehingga hanya efektif pada
penderita diabetes yang sel-sel
pankreasnya masih berfungsi dengan
baik
Biguanida
Metformin
Fenformin
Buformin
Meglitinid
Repaglinid
Tiazolidindion
Rosiglitazone
Pioglitazone
Penghambat
enzim
alfaglukosidase
Akarbosa
Miglitol
Bekerja
langsung
pada
hati
(hepar),menghambat glukoneogenesis di
hati dan meningkatkan penggunaan
glukosa di jaringan.
Bekerja dengan cara mengikat reseptor
sulfonilurea dan menutup ATP-sensitive
potassium chanel.
Meningkatkan
kepekaan
tubuh/sensitivitas terhadap insulin di
jaringan perifer. Berikatan dengan PPAR
(peroxisome
proliferators
activated
receptor-gamma)
di
otot,
jaringan
lemak, dan hati untuk menurunkan
resistensi insulin
Menghambat
kerja
enzim
alfaglukosidase
yang
mengubah
di/polisakarida menjadi monosakarida,
sehingga
memperlambat
absorpsi
glukosa kedalam darah
MAXIMUM DAILY
DOSE
20 mg/2000 mg per
day
Glyburide/
Metformin
(Glucovance, generic)
20 mg/2000 mg per
day
Rosiglitazone/Metformin
(Avandamet)
8 mg/2000 mg per
day
30 mg/4 mg per
day
8 mg/4 mg per day
Glipizide/Metformin
generic)
Pioglitazone/Metformin (ActoPlus
Met)
Pioglitazone/Glimepiride
(Duetact)
Rosiglitazone/Glimepiride
(Avandaryl)
Sitagliptin/Metformin (Janumet)
45 mg/2550 mg per
day
Interaksi obat
Interaksi obat yang mungkin timbul dari pemakaian insulin dengan obat antidiabetik oral atau dengan obat yang lain
dapat dilihat pada referensi yang lebih detil, misalnya BNF terbaru, Stokley's Drug Interactions dan lain sebagainya.
Obat-obat tersebut di bawah ini merupakan contoh obat-obat yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah
sehingga memungkinkan adanya kebutuhan peningkatan dosis insulin maupun obat antidiabetik oral yang diberikan.
Tabel 4.Obat yang dapat menyebabkan hiperglikemia
Alkohol (kronis)
Amiodaron
Asparaginase ++
Antipsikotik atipikal
Beta-agonis ++
Kafein
Calcium channel blockers +
Kortikosteroid +++
Siklosporin ++
Diazoxida +++
Estrogen +++
Fentanil
Alfa-Interferon
Laktulosa
Litium +
Diuretika tiazida +++
Niasin and asam nikotinat ++
Kontrasepsi oral ++
Fenotiazin +
Fenitoin ++
Amina simpatomimetik ++
Teofilin
Preparat Tiroid +
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 6of 37
Antidepresan trisiklik
oksifenbutazon,
dikumarol,
kloramfenikol,
senyawa-senyawa
penghambat
MAO
(Mono
Amin
Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat. Hormon pertumbuhan, hormon adrenal,
tiroksin, estrogen, progestin dan glukagon bekerja berlawanan dengan efek hipoglikemik insulin. Disamping
itu,beberapa jenis obat seperti guanetidin, kloramfenikol, tetrasiklin, salisilat,fenilbutazon, dan lain-lain juga memiliki
interaksi dengan insulin, sehingga sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan pemberian insulin, paling tidak perlu
diperhatikan dan diatur saat dan dosis pemberiannya apabila terpaksa diberikan pada periode yang sama.
Tabel 5.Obat yang dapat menyebabkan hipoglikemia
Asetaminofen
Alkohol (akut)
Steroid Anabolik
Beta-blockers
Biguanida
Klorokuin
Klofibrat
Disopiramida
Guanetidin
Haloperidol
Insulin
Litium karbonat
Drug-Drug Interactions
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
MK: probenesid dapat mengurangi ekskresi renal dari sulfonilurea sehingga waktu paruhnya semakin panjang.
11.
MK: berdasarkan pemindahan sulfonilurea dari ikatan protein plasma, perubahan ekskresi ginjal dan penurunan
resistensi insulin.
12.
MK: menginhibisi sekresi insulin dan menghambat sekresi glukagon, terjadi perubahan ambilan glukosa dari hati
dan sel-sel lain, kadar glukosa dalam darah meningkat mengikuti pengeluaran katekolamin sesudah terjadinya
vasodilatasi, dan perubahan metabolisme pada glukosa.
14.
15.
16.
17.
Pioglitazon vs kontrasepsi oral mengurangi komponen hormon sampai 30%, berpotensi mengurangi
efektivitas kontrasepsi.
MK: pioglitazon menginduksi Sistem sitokrom P450 isoform CYP3A4 yang merupakan bagian yang bertanggung
jawab terhadap metabolisme kontrasepsi, oleh karena itu obat-obat yang lainnya yang dipengaruhi oleh sitokrom
P450 juga dapat berinteraksi.
18.
MK: Rosiglitazon & obat-obat NSAID sama-sama sebabkan retensi cairan, sehingga kombinasi keduanya dapat
meningkatkan resiko edema.
19.
MK: Fenilbutazon menghambat ekskresi renal dari glibenklamid, sehingga dapat bertahan lebih lama dalam tubuh
& memperpanjang t1/2 glibenklamid.
20.
Glibenklamid vs ocreotide ocreotide memiliki efek hipoglikemia, sehingga dosis glibenklamid yang digunakan
dapat dikurangi dosisnya.
InfoPOM BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA.Volume : IV Edisi 5: Mei 2003
Pharmaceutical care untuk penyakit Diabetes Mellitus Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik DIRJEN
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DEPKES RI 2005
Oral Antidiabetic Agents [Developed - April 1994; September 1995 revised; June 1996; June 1997; June 1998;
July 1999; June 2000; June 2001; September 2001; July 2002; June 2003; October 2007revised; November
2007, February 2008] MEDICAID DRUG USE REVIEW CRITERIA FOR OUTPATIENT USE
Anonim., InfoPOM Antidiabetik Oral, Volume : IV Edisi 5: Mei 2003, Badan Pengawasan Makanan dan Obat.
Stockley. I.H., Stockleys Drug Interactions, 2005, University of Nottingham Medical School, Nottingham, UK,
Pharmaceutical Press.
2.
3.
Formulasi obat.
4.
Stereokimia obat.
5.
Potensi obat.
6.
7.
8.
Dosis obat.
9.
2.
Baca semua aturan, peringatan dan pencegahan interaksi yang ditulis pada label obat dan kemasan.
Bahkan obat bebas pun dapat menyebabkan masalah.
3.
Gunakan obat dengan segelas air putih, kecuali dokter menyarankan cara pakai yang berbeda.
4.
Jangan mencampur obat ke dalam makanan/ minuman atau menmbuka cangkang kapsul karena dapat
mempengaruhi khasiat obat.
5.
Jangan mencampur obat dengan minuman panas karena panas dapat mempengaruhi kerja obat.
6.
Berikut akan dibahas beberapa golongan obat yang akan berinteraksi dengan adanya makanan atau minuman.
Golongan obat-obatan yang akan dibahas antara lain:
Monoamin oksidase inhibitor (MAOI)
Antihipertensi
Antiparkinson
Antikoagulan Oral
Immunosuppressant
Antiinflamasi Nonsteroid
Antibiotika
MONOAMIN OKSIDASE INHIBITOR (MAOI)
Monoammine oxydase inhibitors (MAOIs) adalah golongan obat antidepresan, yang digunakan untuk
pengobatan depresi.
Mekanisme kerja dari enzim MAO (Monoamine oksidase) adalah membantu melepaskan ephinephrine,
norephinephrine, dopamine, dan serotonin. Ketika monoamin oksidase dihambat, konsentrasi dari neurotrasnmitter
meningkat. Obat-obat golongan MAOI masih sering digunakan untuk pengobatan depresi pada manusia.
Inhibitor
monoamin
oksidase
bekerja
menghambat
penguraian
noradrenalin
endogen
sehingga
meningkatkan kadar noradrenalin di sistem saraf pusat dan di perifer. Selain itu, MAOI juga dapat menghambat
penguraian tiramin. Simpatomimetika tak langsung seperti tirarnin membebaskan juga noradrenalin. Dengan adanya
tiramin dan obat golongan MAOI dalam tubuh dapat mengakibatkan konsentrasi noradrenalin meningkat.
(3)
phenelzine (Nardil)
tranylcypromine (Parnate)
selegiline (Eldepryl)
isocarboxazid (Marplan)
moclebemice (Manerix)
Efek samping
(4)
Mengantuk, konstipasi, muntah, diare, sakit perut, lelah, mulut kering, pusing, tekanan darah turun, pusing
khususnya ketika posisi bangun dan duduk, menurunnya pengeluaran urin, menurunnya fungsi seksual, tidur
terganggu, kejang otot, pandangan kabur, sakit kepala, menigkatnya nafsu makan, gelisah, menggigil, meningkatnya
pengeluaran keringat.
Tabel 1. Interaksi yang terjadi antara obat MAOI dengan makanan(6)
Obat MAO inhibitor
Isocarboxazid (Marplan)
Tranylcypromine
sulfate
(Parnate)
Phenelzine
sulfate
(Nardil)
Hasil interaksi
Makanan yang mengandung
tiramin
jika
dikombinasi
dengan obat MAO inhibitor
dapat
menyebabkan
sakit
kepala yang hebat, palpitasi,
mual,
muntah,
dan
peningkatan tekanan darah.
Berpotensi
mengakibatkan
stroke
mematikan
dan
serangan jantung.
Gambar 2. Mekanisme interaksi obat golongan MAOI dengan adanya makanan yang mengandung
tiramin
ANTIPARKINSON
Mekanisme Kerja :
1.
Dopaminergik Sentral
Pengisian kembali kekurangan DA (Dopamin) korpus stratium
2.
Antikolinergik Sentral
Mengurangi aktivitas kolinergik yang berlebihan di ganglia basal
3.
Penghambat MAO-B
Menghambat deaminase dopamin sehingga kadardopamin di ujung saraf dopaminergik lebih tinggi.
Tabel 2. Interaksi yang terjadi antara obat Antiparkinson dengan makanan (6)
Nama Obat
Methionine
tryptophan
phenylalanine
Bendopa
Dopar
Larodopa
Sinemet
Makanan
Daging dan hati
Biji gandum
Ragi
Makanan tambahan atau
Suplemen vitamin seperti
vitamin B6
Makanan
yang
tinggi
protein
Hasil Interaksi
Vitamin B6 menghilangkan
aktivitas dari L-dopa dalam
mengobati gejala penyakit
parkinson. Diet protein yang
berlebihan
dapat
menghambat
L-dopa
mencapai otak.
ANTIHIPERTENSI
Mekanisme Kerja :
1.
Penghambat ACE
Penghambat ACE mengurangi pembentukan AII sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi
aldosteron.
2.
Diuretik
Meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstra sel.
3.
Vasodilator
Melepaskan nitrogen oksida yang mengaktifkan guanilat siklase dengan hasil akhir defosforilasi berbagai
protein, termasuk protein kontraktil, dalam sel otot polos.
Tabel 3. Interaksi yang terjadi antara obat Antihipertensi dengan makanan (6)
Nama Obat
Enalapril
Captopril
Calan-SR
Capoten
Inderal
Lopressor
Vasotec
Imidapril
Spironolacton
Makanan
Sejenis gula-gula yang
dibuat
dari
Succus
liquiritae
makanan yang banyak
mengandung garam
Hasil Interaksi
Komponen
yang
terdapat
dalam akar licorice alami
menyebabkan retensi garam
dan
air
yang
dapat
meningkatkan tekanan darah.
ANTIKOAGULAN ORAL
Mekanisme kerja:
(5)
Antikoagulan oral merupakan antagonis vitamin K. Vitamin K adalh kofaktor yang berperan dalam aktivasi
factor pembekuan darah II, VII, IX, X yaitu dalam mengubah residu asm glutamate menjadi residu asam gama
karboksiglutamat. Untuk berfungsi vitamin K mengalami siklus oksidasi dan reduksi di hati. Antikoagulan oral
mencegah reduksi vitamin K teroksidasi sehingga aktivasi factor-faktor pembekuan darah terganggu/tidak terjadi.
Tabel 4. Interaksi yang terjadi antara obat Antikoagulan Oral dengan makanan(6)
Obat
Warfarin
Makanan
Alkohol
Mekanisme Interaksi
Peminum alkohol berat dapat menstimulasi enzim hepatik yang
terkait dengan metabolisme dari warfarin, menyebabkan
warfarin cepat dieliminasi, sebagai hasil dari t yang pendek
Mencegah absorspsi antikoagulan
Jahe
Gingseng
Rokok
Vitamin E
Dikumarol
Vitamin E
Antikoagulan
Acenocoumarol
Dicoumarol
Warfarin
Antikoagulan
Makanan mngandung
vitaminK: Hati sapi; Kubis,
kol; Minyak; Kol cina ;
Sayuran hijau ; Bayam
IMMUNOSUPPRESSANT
Mekanisme kerja:
Kerja dari obat-obat golongan immunosuppressan adalah menghambat atau mencegah aktifitas sistem imun.
Mencegah penolakan transplantasi organ dan jaringan (sumsum tulang, jantung, ginjal,hati).
Mengobati penyakit autoimun ( rheumatoid arthritis, multiple sclerosis, myasthenia gravis, systemic lupus
erythematosus, Crohn's disease, pemphigus, and ulcerative colitis).
Pengobatan beberapa penyakit inflamatory non-autoimmune (long term allergic asthma control)
Tabel 5. Interaksi yang terjadi antara obat Immunosuppressan dengan makanan(6)
Obat
Ciclosporin
Mekanisme kerja
Penghambatan
selektif
sel
T,
menurunkan
produksi
dan
pelepasan limfokin
serta menghambat
ekspresi interleukin
2.
Makanan
Makanan
Susu
Grapefriut juice
Red wine
St Johns wort
(Hypericum
perforatum)
Vitamin E
Keterangan:
ciclosporin dimetabolisme oleh cytochrome P450 3A4. Penggunaan bersama ciclosporin dengan inhibitor
cytochrome P450 3A4 dapat menimbulkan peningkatan kadar ciclosporin dalam plasma. Besarnya interaksi
dan efek potensi bergantung pada efek variabilitas cytochrome P450 3A4.
Grapefruit juice (naringin flavanoid) diperkirakan
isoenzyme
CYP3A (metabolisme) pada dinding usus dan hati sehingga kadar ciclosporin menjadi lebih tinggi , terutama
dengan konsumsi grapefruit juice yang berlebihan (>1,2 liter/hari)
jus grapefruit mengandung bahan utama naringin, yang memberi rasa kecut serta aroma khas. Naringin
inilah yang diduga memblok "transporter" obat yang dinamakan OATP1A2 yang mengangkut bahan aktif
obat dari usus kecil ke pembuluh darah. Pemblokiran transporter ini mengurangi absorpsi obat dan
menetralisasi potensi manfaatnya.
Antioksidan (resveratol) pada red wine dapat menginaktivasi CYP3A4 sehingga bisa meningkatkan kadar
ciclosporin, namun red wine juga menurunkan solubilitas ciclosporin dengan cara membentuk ikatan
ciclosporin-red wine pada saluran
ciclosporin.
Tabel 6. Interaksi yang terjadi antara obat Immunosuppressan dengan makanan(6)
Obat
takrolimus
Mekanisme kerja
menghambat transkripsi gen
pembentuk sitokin pada limfosit
T,
menghambat
pelepasan
histamin melalui mekanisme
anti-IgE.
Makanan
St.johns wort
Grapefruit juice
kadar
Keterangan :
Makanan yang dapat menimbulkan interaksi dengan takrolimus adalah St.johns wort, efek yang
dihasilkannya
dapat
menurunkan
memetabolisme takrolimus.
kadar
takrolimus.
Cytochrome
P450
3A4
adalah
enzim
yang
Sedangkan Grapefruit juice dapat meningkatkan kadar takrolimus Grapefruit juice (naringin flavanoid)
diperkirakan menghambat aktivitas dari citokrom p450 isoenzyme CYP3A (metabolisme) pada dinding usus
dan hati sehingga kadar takrolimus menjadi lebih tinggi.
ANTIINFLAMASI NONSTEROID (AINS)
Mekanisme kerja utama kebanyakan NSAID adalah menghambat sintesis prostaglandin melalui pengharnbatan
enzim siklooksigenase.
Aspirin atau derivat salisilat dengan makanan Hindari makanan bersamaan dengan analgesik karena
menghambat absorpsi aspirin.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 14of 37
Asam asetilsalisilat (aspirin) sebagai prototip nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) merupakan
analgetika nonsteroid, non-narkotik (Reynolds, 1982). Kerja utama asam asetilsaIisilat dan kebanyakan obat
antiradang nonsteroid lainnya sebagai penghambat enzim siklooksigenase yang mengakibatkan penghambatan
sintesis senyawa endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa ini merupakan prazat semua senyawa
prostaglandin, dengan demikian sintesis rostaglandin akan terhenti (Mutschler, 1991; Campbell, 1991).
(7)
Dekstropropoksifen
(propoksifen)
dengan
makanan
Makanan
dapat
menghambat
absorpsi
cefalosforin
Dairy product
clindamycin
Dairy product
amoxicillin
Makanan berserat
Rifampisin
makanan
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Latar Belakang
Penyakit Parkinson merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai empat gejala pokok: bradikinesi (lambat
untuk memulai gerakan), rigiditas otot, resting tremor ( tremor saat istirahat) serta abnormalitas sikap tubuh
dan berjalan (Cedarbaum dan Schleifer, 1992). Sindrom ini pertama kali diutarakan oleh James Parkinson tahun
1817 yang dikenal sebagai paralysis agitans atau shaking palsy,yang merupakan penyakit neurodegenerative
sebagai penyebab umum sindrom ini. Diduga penyakit Parkinson (Parkinsonisme) merupakan 1-2 % dari
kelainan neurologi (Mc Dowel,1981).
Penyakit Parkinson mempunyai dua bentuk pokok, yaitu :
1.
2.
2.
3.
4.
5.
6.
bodies. Lesi patologiknya luas tapi hampir selalu melibatkan substansia nigra dan g nglia basal.
Gejala pokok penyakit Parkinson ialah: tremor, rigiditas dan hipokinesia. Gambaran klinis dari penyakit
Parkinson termasuk adanya kelainan ekspresi fasial, postur, cara melangkah (gait), attitude dan gerakan serta
rigiditas dan tremor (Walton,1982).
Tahapan Penyakit Parkinson (Herzberg)
Tahapan 1 : gejala begitu ringan sehingga pasientidak merasa terganggu.
Tahapan 2 : gejala ringan dan mulai sedikit mengganggu.
Tahapan 3 : gejala bertambah berat.
Tahapan 4 : tidak mampu lagi berdiri tegak, kepala, leher dan bahu jatuh kedepan.
Memburuknya gejala, menimbulkan keputusasaan.
B. Mekanisme Kerja Obat Parkinson
Agonis dopamine
Agonis dopamine secara langsung mengaktivasireseptor-reseptor dopamine pada saraf-saraf postsinaptik
sehingga terjadi stimulasi reseptor-reseptor tersebut sama sepertiapabila reseptor berikatan dengan
dopamine.
Antikolinergik
Memblok aktivitaseksitatorik yang meningkat dari sambungan antar neuron yang bersifat kolinergik pada
jalur keluaran dari ganglia basal, yang secara tidak langsung terjadi akibat hilangnya kerja inhibitorik
dopamine pada sambungan antarneuron tersebut
Levodopa
Levodopa akan di dekarboksilasi dopamine jumlah neurotransmitter dopamine bertambah stimulasi
reseptor dopamine sentral & perifer
Pada SSP dan ditempat lainnya, levodopa diubah oleh 1-asam amino dekarboksilase (1-AAD) menjadi
dopamine. Dijaringan perifer 1-AAD dapat diblok dengan cara memberikan karbidopa, yang tidak dapat
menembus sawar otak, oleh karena itu karbidopa meningkatkan penetrasi levodapa eksognus trsebut
serta menurunkan efek samping (misal : mual, muntah, aritmia jantung, mimpi buruk, hipotensi postural)
akibat metabolisme levodopa perifer menjadi dopamine.
Inhibitor MAO-B
MAO-B inhibitor akan menghambat secara irreversible enzim monoamine oksidase B yang mrupakan enzim
penting dalam metabolisme dopamine.
Blockade metabolisme MAO-B akan menyebabkan lebih banyak inhibitor yang tersedia untuk menstimulasi
reseptor-reseptor dopamin
Inhibitor COMT
Memblok jalur alternative pada mtabolisme dopamine. Memperpanjang waktu paruh dopamine sehingga
memperpanjang durasi dan aksi dopamine.
INTERAKSI OBAT ANTI PARKINSON
1.
Levodopa + Antasid
Antasid tidak berinteraksi secara signifikan dengan levodopa, walaupun ada beberapa kejadian ada beberapa
kejadian bahwa antacid mengurangi bioavailabilitas levodopa.
Mekanisme :
Usus halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk levodopa dan penundaan pengosongan lambung
dapat menyebabkan kadar levodopa dalam plasma rendah, hal ini disebabkan karena levodopa dapat
dimetabolisme di dalam pencernaan.
2.
Levodopa + Antikolinergik
Antikolinergik sangat luas penggunaannya dengan levodopa. Antikolinergik dapat mengurangi penyerapan
levodopa sehingga dapat mengurangi efek sampai tingkat tertentu.
Mekanisme :
Usus halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk levodopa, antikolinergik dapat menyebabkan
penundaan pengosongan lambung sehingga dapat menyebabkan rendahnya kadar levodopa dalam plasma
karena metabolism di mukosa lambung menjadi lebih lambat.
3.
4.
5.
Levodopa + Baclofen
Menyebabkan efek samping yang tidak menyenangkan (halusinasi, bingung, sakit kepala, mual) dan
memeperburuk gejala Parkinson.
6.
Levodopa + Benzodiazepin
Menyebabkan efek terapeutik levodopa berkurang karena penggunaan bersama dengan chlordiazepoxid,
diazepam atau nitrazepam
7.
8.
9.
10.
Amantadin + Cotrimoxazol
Dapat meningkatkan kekacauan mental akut pada pasien usia lanjut, namun bersifat reversible
11.
12.
Amantadin + Thiazid
Menyebabkan ataksia (kehilangan keseimbangan tubuh), gelisah dan halusinasi berkembang tidak lebih.
13.
14.
Levodopa + Entacapone
Entacapone meningkatkan kadar plasma dan bioavailabilitas levodopa, sehingga meningkatkan efek terapi pada
pasien penyakit Parkinson. Akan tetapi peningkatan ini disertai dengan meningkatnya efek samping levodopa
(contoh: diskinesia), sehingga disarankan bahwa saat mulai digunakan entacapone, dosis levodopa sebaiknya
dikurangi sekitar 10 sampai 30% (termasuk pada hari atau minggu pertama pemakaian) untuk menghindari
potensi terjadinya efek samping tersebut.
15.
Levodopa + Fluoxetine
Penggunaan fluoxetine untuk mengobati depresi yang terkait dengan penyakit parkinson umumnya bermanfaat
bagi pasien yang diterapi dengan levodopa untuk mengobati penyakit tersebut. Meskipun demikian, terkadang
gejala parkinsonian justru semakin memburuk. Gejala ekstrapiramidal jarang terjadi namun diduga gejala
tersebut merupakan efek samping fluoxetine.
Urgensitas dan menejemen
Walaupun memiliki bukti terbatas, namun tampaknya pada beberapa kasus, parkinsonisme dapat diperparah
oleh fluoxetine. Suatu penelitian menemukan bahwa kombinasi yang digunakan dapat ditoleransi oleh 12 dari
14 orang percobaan, sehingga disimpulkan bahwa interaksi hanya terjadi pada beberapa penderita, akan tetapi
belum diketahui tipe pasien yang seperti apakah yang dapat menimbulkan terjadinya interaksi tersebut.
Penggunaan bersama secara berkelanjutan dapat memberikan keuntungan dan tidak perlu dihindari, hanya saja
perlu dilakukan monitoring hasil, dan apabila diperlukan pemakaian fluoxetine dapat dihentikan.
16.
Levodopa + Isoniazid
Tidak terdapat bukti bahwa isoniazid dapat menurunkan efek levodopa pada penderita Parkinson. Dilaporkan
pula bahwa penggunaan isoniazid bersama dengan levodopa dapat menyebabkan terjadinya hipertensi,
takikardi, flushing dan tremor pada pasien.
Mekanisme
Studi metabolisme pada pasien mengindikasikan bahwa isoniazid menghambat dopa-dekarboksilase (walaupun
mungkin dapat disebabkan oleh mekanisme lainnya). Kasus mengenai hipertensi dan takikardi belum diketahui,
meskipun demikian diasumsikan bahwa hal tersebut disebabkan oleh efek inhibisi monoamine oksidase yang
lemah oleh metabolit isoniazid.
17.
Levodopa + Metildopa
Metildopa dapat meningkatkan efek levodopa sehingga perlu dilakukan penurunan dosis pada beberapa pasien,
akan tetapi di sisi lain hal ini dapat pula menyebabkan terjadinya diskinesia yang semakin buruk. Dapat pula
terjadi efek peningkatan hipotensi yang kecil.
Bukti klinis
a.
levodopa diturunkan menjadi 68% apabila digunakan metildopa dengan dosis tertinggi pada penelitian ini
(1920 mg per hari), dan menjadi 50% dengan metildopa 800 mg per hari.
Laporan lain menjelaskan penurunan dosis levodopa
pengobatan bersama metildopa. Laporan lain menyatakan bahwa terapi penyakit Parkinson pada beberapa
pasien meningkat selama penggunaan bersama metildopa, akan tetapi di sisi lain dapat memperburuk
diskinesia. Metildopa itu sendiri dapat menyebabkan sindrome mirip-parkinson reversibel.
b.
di luar otak
sehingga lebih banyak levodopa bebas yang dapat memberikan efek terapi.
(b) Peningkatan hipotensi dapat disebabkan oleh efek aditif kedua obat.
Urgensitas dan menejemen
Penggunaan bersama kedua obat tidak perlu dihentikan akan tetapi perlu dimonitoring dengan baik.
Penggunaan metildopa
diikuti dengan penurunan dosis levodopa (antara 30 dan 70%) dan dapat
meningkatkan kontrol pada penyakit Parkinson, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa pada beberapa pasien
diskinesia dapat semakin memburuk.
18.
Levodopa + Mirtazapine
Suatu laporan menjelaskan mengenai psikosis serius yang disebabkan oleh interanksi antara levodopa dan
mirtazapine. Hal tersebut terjadi dikarenakan psikosis yang diinduksi dopamine dicetuskan oleh efek aditif
mirtazapine pada levodopa.
19.
yang
mengandung carbidopa atau benserazide (Sinemet, Madopar). Tidak terjadi reaksi hipertensi serius yang
dilaporkan telah terjadi pada penggunaan MAO-A inhibitor selektif seperti moclobemide, dan interaksi akut yang
serius pada penggunaan selegiline, MAO-B inhibitor selektif.
(a) Levodopa + MAOI non-selektif, ireversibel
Pasien yang setiap hari mengkonsumsi phenelzine selama 10 hari diberikan 50 mg levodopa secara peroral.
Hanya dalam waktu beberapa jam menunjukkan terjadinya peningkatan tekanan darah dari 135/90 menjadi
sekitar 190/130 mmHg, dan walaupun dengan penyuntikan 5 mg phentolamine secara iv, tekanan darah
meningkat sampai 200/135 mmHg sebelum akhirnya turun kembali setelah penyuntikan 4 mg phentolamine
berikutnya. Hari berikutnya percobaan dilanjutkan dengan pemberian 25 mg levodopa, akan tetap tampak
terjadinya peningkatan tekanan darah. Tiga minggu setelah penghentian phenelzine, pemberian levodopa
sampai 500 mg tidak memberikan efek hipertensi.
Kasus hipertensi akut yang serupa biasa disertai dengan flushing, throbbing, dan pounding pada kepala,
leher, dada dan sakit kepala ringan dilaporkan terjadi pada penggunaan levodopa bersama dengan
pargyline, nialamide, tranylcypromine, phenelzine dan isocarboxazid.
(b) Whole broad beans + MAOI non-selektif, ireversibel
Reaksi seperti hipertensi dilaporkan terjadi pada pasien yang menggunakan MAOI non-selektif, ireversibel
yang juga mengkonsumsi whole broad beans (Vicia alba) atau polong utuh yang masih berkulit, karena pada
kulitnya mengandung dopa akan tetapi tidak pada polongnya. Termasuk di dalam interaksi ini adalah
pargyline dan phenelzine.
(c) Levodopa + MAO-A inhibitor selektif (Moclobamide)
Sebuah penelitian pada 12 orang sehat yang diberikan dosis tunggal Madopar (levodopa + benserazide)
dengan 200 mg moclobemide dua kali sehari melaporkan bahwa objek percobaan menderita mual, muntah
dan peningkatan dizziness, akan tetapi reaksi peningkatan tekanan darah yang signifikan tidak terlihat.
(d) Levodopa + MAO-B inhibitor selektif (Selegiline)
Kombinasi levoopa dan seleginine telah digunakan secara luas. Tidak terjadi reaksi hipertensi yang serius
pada penggunaan MAOI non-selektif. Tidak ada interaksi farmakokinetik yang dilaporkan, dan interaksi
serius jarang terjadi. Beberapa penelitian melaporkan efek kombinasi yang menguntungkan pada kombinasi
tersebut, akan tetapi dikatakan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan mortalitas. Retensi urinasi juga
diasosiasikan pada penggunaan kombinasi obat ini.
Mekanisme
Keseluruhan levodopa dikonversi secara enzimatis di dalam tubuh, pertama menjadi dopamine, dan
kemudian menjadi noradrenalin (norepinefrin), keduanya akan dirusak oleh monoamine oksidase. Akan
tetapi dengan adanya MAOI efek penghancuran tersebut dapat terhambat, sehingga kadar plasma
dopamine dan noradreanalin akan meningkat. Bagaimana tepatnya hal tersebut dapat meningkatkan
tekanan darah secara tajam belum jelas, akan tetapi baik dopamine maupun noradrenalin akan secara
langsung menstimulus reseptor alfa pada sistem kardiovaskular
Urgensitas dan menejemen
Interaksi antara MAOI non-selektif ireversibel dengan levodopa atau whole broad beans termasuk sarius dan
membahayakan jiwa. Pasien sebaiknya tidak diberikan levodopa selama pengobatan dengan MAOI tersebut,
maupun setelah 2 sampai 3 minggu pasca penghentian obat tersebut.
Tidak terjadi interaksi akut yang tidak diinginkan pada penggunaan bersama antara levodopa dan
moclobemide, akan tetapi beberapa efek samping akan tetap terjadi.
Tidak terjadi interaksi akut yang tidak diinginkan pada penggunaan bersama antara levodopa dan
seleginine, akan tetapi dikatakan bahwa dengan penambahan seleginine dapat dilakuka penurunan dosis
levodopa (disarankan sekitar 30%).
20.
Levodopa + Papaverin
Bukti Klinis :
(a) Penurunan efek levodopa
Seorang wanita dengan parkinsonisme diterapi menggunakan levodopa (yang selanjutnya dilakukan
penambahan carbidopa), mulai menunjukkan parkinsonisme yang semakin memburuk dalam satu minggu
saat diberikan 100 mg papaverin setiap hari untuk mengobati insufisiensi pembuluh serebral.
Kondisi
tersebut tetap tampak bahkan setelah penghentian papaverin. Respons normal terhadap levodopa kembali
pulih setelah satu minggu. Empat pasien lainnya juga menunjukkan respons serupa.
(b) Efek levodopa tetap
Sebuah studi acak ganda
menggunakan levodopa (antara 100 sampai 750 mg per hari) dan inhibitor dopa-dekarboksilase. Dua di
antaranya juga manggunkan bromocriptine 40 mg per hari dan triheksilphenidyl (benzhexol) 15 mg per hari.
Mekanisme
Papaverin memblok reseptor dopamine pada otak, sehingga menghambat efek levodopa. Selain itu
papaverim memiliki aktivitas mirip-reserpin pada vesikel di neuron adrenergik (yang dapat menurunkan
simpanan katekolamin).
21.
Levodopa + Penicillamine
Penicillamine dapat meningkatkan kadar plasma levodopa pada beberapa pasien. Hal ini dapat meningkatkan
terapi pada parkinsonisme, akan tetapi ROTD levodopa juga dapat meningkat.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan menejemen.
Pasien parkison mengalami peningkatan kadar plasma levodopa sebesar 60% setelah pemberian 600 mg
penicillamin per hari. Hal ini menyebabkan meningkatnya terapi akan tetapi diikuti pula oleh diskinesia.
Diperhatikan bahwa pasien perlahan-lahan mengalami penurunan kadar tembaga (copper) dan ceruloplasmin
plasma. Hal ini disebabkan karena terjadinya efek kelasi tembaga oleh penicillamine. Penicillamine dapat
,mempengaruhi farmakokinetik levodopa.
Levodopa + Phenytoin
Efek terapi levodopa dikurangi atau dihilangkan dengan adanya fenitoin.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan menejemen
Suatu studi pada pasien yang menggunakan levodopa 630 hingga 4600 mg, ditemukan bahwa jika dilakukan
pemberian bersama dengan fenitoin (dosis 500 mg per hari selama 5 sampai 19 hari) maka dapat
menghilangkan efek dyskinesia, tetapi efek menguntungakan dari levodopa untuk penyakit parkinson juga
berkurang atau hilang
24.
otak meningkat sehingga hanya sedikit yang dapat masuk ke dalam susunan saraf pusat. Pyridoksin juga
dapat menyebabkan metabolisme levodopa dengan Schiff-base formation. Adanya inhibitor dopadecarboxylase seperti carbidopa atau benserazide, metabolisme perifer levodopa diturunkan dan levodopa
dapat masuk ke susunan saraf pusat dalam jumlah yang lebih besar.
25.
26.
Levodopa + Spiramycin
Level plasma carbidopa diturunkan dengan penggunaan spiramycin, oleh karena itu dapat menurunkan efek
terapeutiknya.
Bukti Klinis
Observasi pada pasien Parkinson yang menggunakan levodopa/carbidopa (Sinemet) menjadi sedikit tidak
terkontrol jika diberikan bersama dengan spiramisin. Studi dilanjutkan pada 7 orang sehat yang diberikan
250 mg levodopa dengan 25 mg carbidopa. Setelah menggunakan spiramisin 1 g dua kali sehari selama 3 hari,
AUC dari levodopa turun 57%, sementara level maksimum plasma turun dari 2162 menjadi 1680 nanograms/ml
(tidak signifikan). Kerelativan ioavailabilitas levodopa hanya 43%.
Mekanisme
Spiramycin menurunkan absorpsi carbidopa, dengan membentuk kompleks yang tidak dapat diabsorpsi di dalam
usus atau dengan meningkatkan transit di dalam usus. Sehingga carbidopa yang diabsorpsi tidak mencukupi,
sehingga efek levodopa turun.
Urgensitas dan menejemen
Informasi sangatlah terbatas, tetapi terdapat interaksi obat dan penting secara klinis. Jjka spiramycin diberikan,
maka antisipasi diperlukan untuk meningkatkan dosis levodopa/carbidopa (hingga dua kali dosis biasa). Hal ini
tidak diketahui apakah antibakteri makrolida lain memiliki efek yang sama, atau apakah spiramycin berefek pada
sediaan levodopa/benserazide.
27.
Levodopa + Tacrine
Semakin memburuknya parkinson pada pasien yang diberikan tacrin. Efek levodopa diantagonis ketika dosis
takrin meningkat
Bukti Klinis
Parkinson ringan pada wanita tua yang juga menderita Alzheimer semakin memburuk, terjadi tremor yang parah,
stiffness dan disfungsi gait (cara berjalan) dalam waktu 2 minggu saat meningkatkan dosis takrin dari 10 mg
menjadi 20 mg empat kali sehari.
Mekanisme
Parkinsson disebabkan karena ketidakseimbangan antara dua neurotransmiter (dopamine and acetylcholine) di
dalam basal ganglia otak. Tacrine (antikolinesterase sentral) meningkatkan jumlah asetilkolin di dalam otak, yang
dapat menyebabkan eksaserbasi gejala parkinson.
28.
29.
30.
Piribedil + Clonidine
Clonidine dapat dilaporkan, bahwa efeknya melawan efek yang dihasilkan dari piribedil.
Berdasarkan pengamatan pada 5 pasien yang mengkonsumsi piribedil bersamaan dengan clonidine (1,5 mg
perhari untuk 10-24 hari) dapat memperburuk proses Parkinson. Maka, penggunaan obat antikolinergik dapat
mengurangi dengan efek dari interaksi tersebut.
31.
Meskipun tidak ada interaksi farmakokinetik diantara pramipexole dan levodopa, pramipexole merubah aksi
levodopa , maka penurunan dosis levodopa seiring dengan penaikan dosis pramipexole. Penggunaan secara
bersamaan dengan obat-obat antipsikoti, harus dapat dihindari, sebab sebagian besar aksi antagonis dopamine
akan mengantagonis efek pramipexole, agonis dopamine.
Meskipun tidak terdapat interraksi farmakokinetik pramipexol dengan levodopa, tetapi jika pada penggunaan
Pramipexole dengan dosis tinggi, maka levodopa dosisnya harus ditambah.
Aksi Antagonis dopamine dapat akan mengantagonis atau menghambat efek dari pramipexole, antagonis
dopamine.
32.
Selegine + Antidepressant
Beberapa kasus sindrom serotonin dan kerusakan serius pada SSP telah terlihat pada penggunaan selegiline dan
trisiklik antidepresan atau SSRI S .
SSRIS
a.
Citalopram
Pengamatan dilakukan secara acak terhadap 18 orang , dimana tidak menunjukkan adanya interaksi
farmakodinamik dan farmakokinetik pada penggunaan bersama citalopram dan selegiline. Pemberian 20
mg citalopram sekali dalam sehari untuk pemakaian 10 hari dimana 4 hari citalopram digunakan bersama
selegiline dengan pemberian dosis 10 mg sekali sehari. Tidak ada bukti yang menunjukkan adanya
perubahan, teteapi bioavaibilitas selegiline sedikit berkurang sekitar 30% dengan adanya citalopram.
Tetapi dapat disimpulkan bahwa tidak ada interaksi klinik yang terjadi diantara selegiline dan citalopram.
Antidepresan Tetrasiklik
Pada seseorang yang sedang menggunakan selegiline, levodopa/carbidopa, lisuride, maprotiline, teofilin,
efedrin menyebabkan hipertensi (tekanan darah 300/150 mg), vasokonstriksi, bingung, nyeri perut,
berkeringat dan takikardi (110 bpm) meningkatkan dosis teofilin dan efedrin. Semua obat tersebut
diberhentikan penggunaannya, dan pasien diberikan nicardipin secara iv. Orang tersebut sembuh dalam waktu
yang singkat. Dapat diperkirakan hal tersebut adalah pseudophaeochromocytoma yang disebabkan oleh
selegiline/maprotilen/interaksi efedrin.
Antidepresan Trisiklik
Pada tahun 1989 dan 1994 FDA menerima 16 laporan mengenai interaksi selegiline dan antidepresan trisiklik,
yang berhubungan dengan adanya sindrom serotonin. Oleh karena ini pihak Amerika menetapkan bahwa
penggunaan bersama selegiline dengan antidepresan trisiklik harus dihindari.
Salah satu penelitian menyatakan pada 4568 pasien yang menggunakan selegiline dan antidpresan (termasuk
trisiklik) hanya ditemukan 11 orang (0,24%) yang mengalami sindrom serotonin dan 2 orang (0,04%) yang
mengalami gejala yang serius.
Penelitian lainnya yang dirancang untuk mengevaluasi toleransi dan efikasi dari kombinasi selegiline dan
antidepresan trisiklik yang diidentifikasi dari 28 pasien yang menggunakan kedua obat tersebut. Berdasarkan
pengamatan, 17 pasien sudah pasti menerima kebaikan/manfaat dan 6 pasien lainnya kemungkian menerima
kebaikan/manfaat dari kombinasi kedua obat tersebut.
Sedangkan pada penelitian lainnya yaitu pada 25 angka kejadian pada penggunaan kombinasi selegilinetrisiklik tidak ditemukan adanya kasus serotonin sindrom.
Antidepresan lainnya
a.
Trazodone
Berdasarkan pengamatan pada pasien dengan penyakit Parkinson dengan selegiline 5-10 mg perhari (dan
obat antiparkinson lainnya seperti levodopa/carbidopa, bromocriptin, amantadin, pergolide antikolinergik)
menyebutkan bahwa penambahan tazadone 25 sampai 150 mg perhari menyebabkan tidak adanya efek
samping dan pasien menunjukkan bahwa adanya manfaat dari kombinasi tersebut, termasuk peningkatan
gejala-gejala parkinson
b.
Venlafaxine
Seseorang dengan peningkatan sindrom serotonin 15 hari setelah memberhentikn penggunaan selegiline
50 mg (perhari)dan selama 30 menit pada awal penggunaan venlafaxine 37,5 mg.
34.
Selegiline + Cocain
Cocain dan selegiline tidak berinteraksi secara langsung
Berdasarkan pengamatan terhadap 5 orang yang diberikan cocaine dengan dosis 0,20 dan 40 mg, lalu satu jam
kemudian diberikan selegiline dengan dosis 10 mg secara oral. Maka, Coccaine akan meningkatkan denyut
jantung,tekanan darah, diameter pupil dan euphoria. Bagaimanapun, pemberian selegiline mengurangi diameter
pupil, tetapi tidak merubah dilatasi pupil atu efek lainnya yang ditimbulkan setelah pemberian cocaine. Dapat
disimpulkan bahwa penggunaan kedua obat tersebut aman jika digunakan secara bersamaan dan tidak
menguatkan efek cocaine.
Latar Belakang
Agar dapat memantau keadaan kesehatan kita, perlu dilakukan tes laboratorium secara berkala.
Pemeriksan laboratorium adalah suatu tindakan dan prosedur pemeriksaan khusus dengan mengambil
bahan/sample dari penderita, dapat berupa urine (air kencing), darah, sputum (dahak), atau sample dari hasil
biopsy
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu :
1.
Mendeteksi penyakit
2.
Menentukan resiko
3.
4.
5.
Mengetahui ada tidaknya kelainan/penyakit yang banyak dijumpai dan potensi membahayakan.
Dalam makalah ini akan dibahas hal yang dapat mempengaruhi pemeriksaan laboratorium adalah
penggunaan obat oleh pasien sebelum dilakukan pemeriksaan. Penggunaan obat dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan hematologi misalnya : asam folat, Fe, vitamin B12 dll. Pada pemberian kortikosteroid akan
menurunkan jumlah eosinofil, sedang adrenalin akan meningkatkan jumlah leukosit dan trombosit. Pemberian
transfusi darah akan mempengaruhi komposisi darah sehingga menyulitkan pembacaan morfologi sediaan apus
darah tepi maupun penilaian hemostasis. Antikoagulan oral atau heparin dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan hemostasis.
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hal yang penting dalam kehidupan, bila kita sakit kita tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari seperti biasa apalagi bagi orang-orang yang memang memiliki aktivitas yang banyak atau jadual yang
padat, mereka akan merasa merugi karena terganggu dan terhambat aktivitasnya. Belum lagi bagi mereka yang
teryata terkena penyakit yang parah maka akan membutuhkan biaya yang mahal untuk memulihkan kesehatannya.
Adapun pepatah mengatakan kesehatan itu mahal harganya oleh krena itu kita harus selalu menjaga dan
memelihara kesehatan tubuh kita dengan salah satunya pola hidup sehat mengkonsumsi makan-makanan yang
bergizi (sayur, buah, susu), mengkonsumsi multivitamin bila perlu, olahraga yang teratur, istirahat yang cukup,
menghindari atau memiimalkan stress dengan refreshing di akhir pekan dan kegiatan positif lainnya.
Agar dapat memantau keadaan kesehatan, perlu dilakukan tes laboratorium secara berkala, dengan panel
pemeriksaan laboratorium, sehingga kita tahu bagaimana keadaan tubuh kita sebenarnya. Tes laboratorium bisa
dilakukan setahun sekali sebagai bagian dari pemeriksaan rutin, untuk megetahui parameter kesehatan kita. Tapi
karena tes check up gini biasanya tidak murah, maka jarang sekali orang melakukan tes rutin tahunan. Biasanya tes
cuma dilakukan bila dokter menemukan indikasi suatu penyakit, dan harus dipastikan diagnosanya dengan tes lab.
Berikut adalah contoh brosur dari Laboratorium Prodia seputar tes-tes rutin (dan non rutin) yang biasa
dilakukan:
Panel Check Up Kesehatan, bertujuan untuk mengetahui kualitas kesehatan secara umum, baik yang
menyangkut fungsi organ maupun keadaan metabolisme tubuh.
Panel Premarital, untuk mendeteksi adanya penyakit menular, menahun atau diturunkan, yang dapat
mempengaruhi kesuburan pasangan maupun kesehatan rutin.
Panel Awal Kehamilan, untuk mengetahui adanya penyakit yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu hamil
maupun janinnya.
Panel Torch, untuk mengetahui adanya infeksi dan status kekebalan terhadap parasit tosoplasma, virus
rubella, cytomegalovirus dan virus herpes tipe 2 yang dapat mempengaruhi janin.
Panel Pengelolaan Diabetes Mellitus, untuk memantau hasil pengobatan dan mendeteksi factor resiko
komplikasi Diabetes Mellitus.
Panel Lemak, untuk mengetahui kadar berbagai jenis lemak yang penting dalam proses terjadinya
penyumbatan pembuluh darah (Aterosklerosis).
Setiap laboratorium menentukan nilai 'normal', yang ditunjukkan pada kolum 'Nilai Rujukan' atau 'Nilai Normal'
pada laporan laboratorium. Nilai ini tergantung pada alat yang dipakai dan cara pemakaiannya. Tubuh manusia tidak
seperti mesin, dengan unsur yang dapat diukur secara persis dengan hasil yang selalu sama. Hasil laboratorium
dapat berubah-ubah tergantung pada berbagai faktor, diantaranya : jam berapa contoh darah atau cairan lain
diambil; infeksi aktif; tahap infeksi HIV; dan makanan (untuk tes tertentu, contoh cairan harus diambil dengan perut
kosong tidak ada yang dimakan selama beberapa jam). Kehamilan juga dapat mempengaruhi beberapa nilai. Oleh
karena faktor ini, hasil lab yang di luar normal mungkin tidak menjadi masalah.
Tidak ada standar nilai rujukan; angka ini diambil terutama dari laboratorium RSCM, Jakarta; nilai laboratorium
lain dapat berbeda. Jadi angka pada laporan kita harus dibandingkan dengan nilai rujukan pada laporan, bukan
dengan nilai rujukan pada lembaran ini. Bahaslah hasil yang tidak normal dengan dokter.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai jenis tes dan range angka normal, dapat di lihat pada Lembaran
Informasi beberapa pemeriksaan yang umum dilakukan di laboratorium hitung darah lengkap, tes kimia darah, gula,
lemak darah, fungsi organ ginjal, fungsi hati. Pada tabel ini, bila ada beda tergantung pada jenis kelamin, angka
ditunjukkan sebagai P untuk perempuan dan L untuk laki-laki.
Darah
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 27of 37
Ukuran
Satuan
Nilai Rujukan
juta/l
Hematokrit
Basofil
Eosinofil
Batang1
Segmen1
Limfosit
Monosit
Laju endap darah (LED)
Hitung Jenis
%
%
%
%
%
%
mm/jam
g/dL
103/l
0,0 1,0
1,0 3,0
2,0 6,0
50,0 70,0
20,0 40,0
2,0 8,0
< 15 (P)
< 10 (L)
5,0 10,0
Pg
27 31
g/dL
32 36
Fl
80 96
103/l
150 400
Catatan:
1. Batang dan segmen adalah jenis neutrofil. Kadang kala dilaporkan
persentase neutrofil saja, dengan nilai rujukan 50,075,0 persen
Fungsi Ginjal
Ukuran
Satuan
Nilai Rujukan
Kreatinin
U/L
Urea
mg/dL
60 150 (P)
70 160 (L)
8 25
Natrium
mmol/L
135 145
Klorid
mmol/L
94 111
Kalium
mmol/L
3,5 5,0
Fungsi Hati
Ukuran
Satuan
Nilai Rujukan
ALT (SGPT)
U/L
AST (SGOT)
U/L
Alkalin fosfatase
U/L
< 23 (P)
< 30 (L)
< 21 (P)
< 25 (L)
15 69
U/L
5 38
Bilirubin total
mg/dL
0,25 1,0
Bilirubin langsung
mg/dL
0,0 0,25
Protein total
g/L
61 82
Albumin
g/L
37 52
Profil Lipid
Ukuran
Kolesterol total
HDL
Satuan
mg/dL
mg/dL
Trigliserid
mg/dL
Nilai Rujukan
150 200
45 65 (P)
35 55 (L)
120 190
Lain-lain
Ukuran
Glukosa (darah, puasa)
Amilase
Asam Urat
Satuan
Mg/dL
U/L
Mg/dL
Nilai Rujukan
70 100
30 130
2,4 5,7 (P)
3,4 7,0 (W)
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 29of 37
Alkalin Fosfatase
Merupakan suatu enzym yang dibuat di liver, tulang dan plasenta dan biasanya ada dalam konsentrasi
tinggi pada saat pertumbuhan tulang dan didalam empedu. Enzim ini menghidrolisis ester fosfat dalam medium
alkali.
Alkalin fosfatase dilepaskan kedalam darah
pertumbuhan tulang dan pada saat kehamilan. Tingginya tingkat alkalin fosfat dalam darah mengindikasikan
adanya penyakit dalam tulang atau lever dan konsentrasi akan meningkat jika terjadi obstruksi aliran empedu.
Tes untuk alkalin fosfat dikerjakan untuk mendiagnosa penyakit-penyakit liver atau tulang, atau untuk
melihat apakah pengobatan untuk penyakit tersebut bekerja.
Uji alkalin fosfat ada dalam tes darah rutin, termasuk dalam bagian tes fungsi liver. Kisaran normal
alkalin fosfat dalam darah adalah 44 sampai 147 IU/L.
Obat-obat yang dapat mempengaruhi konsentrasi alkalin fosfat diantaranya ialah :
1.
Obat AINS
Dapat menurunkan angka alkalin fosfatase
2.
Parasetamol
Meningkatkan angka alkalin fosfat
Mekanisme : Parasetamol dapat mengganggu metabolisme sel hati yang dapat menyebabkan nekrosis.
Terjadinya nekrosis ini akan meningkatkan angka alkalin fosfatase.
Bilirubin
Bilirubin (pigmen empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak penting, namun
merupakan petunjuk adanya penyakit hati dan saluran empedu.
Pembuangan sel darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu. Selama
proses tersebut berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen) akan
dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian
dari empedu.
Obat-obat yang mempengaruhi Bilirubin:
1.
Fenobarbital
Dapat menurunkan kadar bilirubin
Fenobarbital meningkatkan aktivitas glukoronil transferase (enzim yang digunakan pada konyugasi dengan
asam glukuronat sehingga dengan cepat diekskresi melalui empedu dan urin)
2.
Glukosa
Obat-obat yang mempengaruhinya:
1. Atenolol
Interaksi dengan test laboratorium : Dapat menurunkan konsentrasi glukosa
Mekanisme : menghambat glikogenolisis di sel hati dan otot rangka sehingga mengurangi efek hiperglikemia
dari epinefrin yang dilepaskan oleh adanya hipoglikemia sehingga kembalinya kadar gula pada hipoglikemia
diperlambat.
2.
Furosemid
Furosemid dapat meningkatkan BUN
Mekanisme: furosemid adalah obat golongan diuretik kuat yang dapat menyebabkan ekskresi glomerular
sodium dan air yang tinggi (20-30%), sehingga menyebabkan dehidrasi. Jika terjadi dehidrasi maka aliran
darah ke ginjal menjadi berkurang.
2.
Vankomisin
Vankomisin dapat meningkatkan Blood Urea Nitrogen
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 31of 37
Piroksikam
Piroksikam sedikit dapat meningkatan kadar BUN pada permulaan terapi yang kemudian menetap
kadarnya (plateau) seperti halnya pada pengobatan dengan fenilbutazon, indometasin dan aspirin.
Prostaglandin pada ginjal merupakan hormon dalam pengaturan sirkulasi darah di dalam medula dan
korteks adrenal.
Mekanisme kerja:
Penghambatan sintesis prostaglandin oleh obat ains menyebabkan kenaikan kadar Blood Urin Nitrogen
Transaminase
untuk mendeteksi adanya kerusakan hati, pemeriksaannya dengan pengukuran SGOT dan SGPT. Keduanya
terdapat dalam sel hati dalam jumlah yang besar dan ditemukan dalam serum dalam jumlah yang kecil. Kadarnya
dalam serum akan meningkat ketika sel rusak atau membran sel terganggu
Isoniazid
Isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular.
Sehingga hal ini menyebabkan peningkatan aktivitas enzim transaminase
Rifampisin
Mekanisme Kerja: Rifampisin dapat meningkatkan hepatotoksik sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas
enzim transaminase.
Kolesterol
Obat-obat yang dapat menurunkan nilai kolesterol : Tiroksin, estrogen, aspirin, antibiotik (tetrasiklin dan
neomisin), asam nikotinik, heparin, kolkisin.
Obat-obat yang dapat meningkatkan nilai kolesterol : Pil KB, epinefrin, fenotiazin, vitamin A dan D, sulfonamid,
fenitoin (Dilantin).
1.
aktifitas
fibrinolisis,
yang
bertanggungjawab
untuk
memindahkan
penumpukan
Trigliserida
Penurunan kadar : -lipoproteinemia kongenital, hipertiroidisme, malnutrisi protein, latihan
Obat-obat yang dapat menurunkan nilai trigliserida : Asam askorbat, kofibrat (Atromid-S), fenformin, metformin.
Peningkatan Kadar : Hiperlipoproteinemia, IMA, hipertensi, hipotiroidisme, sindrom nefrotik, trombosis serebral,
sirosis alkoholik, DM yang tidak terkontrol, sindrom Downs, stress, diet tinggi karbohidrat, kehamilan.
Metformin
Mekanisme : Metformin dapat menurunkan absorbsi glukosa dari saluran lambung-usus . Metformin hanya
mengurangi kadar glukosa darah dalam keadaan hiperglikemia serta tidak menyebabkan hipoglikemia bila
diberikan sebagai obat tunggal.
Kreatinin Serum
Kreatinin adalah produk sampingan dari hasil pemecahan fosfokreatin (kreatin) di otot yang dibuang melalui
ginjal. Normalnya kadar kreatinin dalam darah 0,6 1,2 mg/dl. Bila fungsi ginjal menurun, kadar kreatinin darah
bisa meningkat.
1.
2.
Amfoterisin B
Amfoterisin B dapat menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus yang juga berakibat pada penurunan fungsi
ginjal, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya kadar kreatinin dalam darah.
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara, G.S., 1995. Farmakologi dan Terapi, Ed. IV. Bagian farmakologi Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: Gaya Baru
www.dokter.indo.net.id. Di download tanggal 9 Mei 2009 Pukul 12:00.
Yulinah Elin, dkk. 2008.ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT ISFI Penerbitan.
yang hanya bertindak bila interaksi obat telah terjadi. Salah satu tujuan
utama farmasi klinis dan layanan kefarmasian adalah untuk meminimumkan risiko pada pasien. Oleh karena itu,
memeriksa adanya interaksi obat merupakan tugas farmasis yang utama. Sebagai tambahan, pendekatan ini dapat
ditempatkan dalam konteks strategi manajemen risiko klinis secara umum dalam mendorong peningkatan kualitas.
Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan pada saat ini, dan
berkembangnya polifarmasi, kemungkinan terjadinya interaksi obat sangat besar. Bagaimanapun, meskipun beriburibu laporan interaksi obat yang tidak diinginkan muncul di literatur biomedis, hanya sejumlah kecil yang bermakna
secara klinis saat ini terutama terlibat dalam pengetahuan atau memperkirakan terjadinya kejadian dimana interaksi
obat yang potensial terjadi mempunyai akibat yang bermakna secara klinis dan, jika demikian, langkah-langkah apa
yang diambil untuk mencegah hal tersebut, atau terapi alternatif apa yang mungkin terjadi dari kombinasi dua atau
lebih obat.
Untuk memperkirakan akibat yang mungkin terjadi kombinasi dua atau lebih obat, seorang farmasis perlu memiliki:
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 33of 37
Pengetahuan praktis tentang mekanisme farmakologi yang terlibat dalam interaksi obat.
Waspada terhadap obat-obat yang berisiko tinggi menyebabkan interakis obat.
Persepsi terhadap kelompok pasien yang rentan mengalami interaksi obat.
DEFINISI
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat lain yang diberikan pada
awalnya atau diberikan bersamaan; atau bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan
atau toksisitas satu obat atau lebih berubah. Bagaimanapun, harus diperhatikan bahwa makanan, asap rokok, etanol
dan bahan-bahan kimia lingkungan dapat mempengaruhi efek obat. Bila mana kombinasi terapeutik mengakibatkan
perubahan yang tidak diinginkan atau komplikasi terhadap kondisi pasien, maka interaksi tersebut digambarkan
sebagai interaksi yang bermakna klinis.
Interaksi obat dapat membahayakan, baik dengan meningkatkan toksisitas obat atau dengan mengurangi
khasiatnya. Namun, interaksi beberapa obat dapat menguntungkan. Sebagai contoh, efek hipotensi diuretik bila
dikombinasikan dengan beta-bloker dapat berguna dalam pengobatan hipertensi. Interaksi obat juga meliputi reaksi
fisikokimia diantara obat-obat parenteral bila dicampur bersama-sama, mengakibatkan pengendapan atau inaktivasi.
Bagaimanapun, bab ini akan dititik beratkan interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh, yang berpotensi merugikan
perawatan pasien.
EPIDEMIOLOGI
Banyak penelitian gagal membedakan antara interaksi obat yang mungkin terjadi dan kejadian interaksi
obat yang betul-betul merugikan atau membahayakan pasien. Jadi angka-angka yang dilaporkan terlalu tinggi.
Kejadian interaksi obat yang mungkin terjadi diperkirakan berkisar antara 2,2 % - 30 % dalam penelitian pasien rawat
inap di rumah sakit, dan berkisar antara 9,2 % - 70,3 % pada pasien di masyarakat (Jankel CA & Speedie SM, 1990).
Dari kemungkinan tersebut hingga 11,1 % pasien yang benar-benar mengalami gejala yang diakibatkan oleh
interaksi obat (Jankel CA & Speedie SM, 1990). Pada suatu penelitian selama 10 minggu, dari 691 pasien yang masuk
rumah sakit, ditemukan 68 (9,8 %) pasien masuk rumah sakit karena penggunaan obat dan 3 (0,4 %) pasien
disebabkan oleh interaksi obat (Stanton LA et al, 1994). Bagaimanapun, berdasarkan data yang ada, tidak mungkin
kita memperoleh data yang menetapkan kejadian interaksi obat yang bermakna klinis, tetapi kemungkinan kejadian
interaksi obat tersebut jumlahnya cukup kecil (kurang dari 1 %).
Interaksi obat dapat menyebabkan seseorang masuk rumah sakit, meskipun hal ini relatif jarang terjadi.
Meskipun kejadian interaksi obat yang bermakna klinis kecil, tetapi sejumlah besar pasien mempunyai resiko
morbiditas (angka kesakitan) atau bahkan mortalitas (angka kematian) dalam pengobatan mereka.
MEKANISME INTERAKSI OBAT
Ada beberapa keadaan dimana obat berinteraksi dengan mekanisme yang unik; namun mekanisme tersebut
sering dijumpai. Mekanisme tersebut dapat dibagi menjadi interaksi yang melibatkan aspek farmakokinetika obat dan
interaksi obat yang mempengaruhi respon farmakodinamik obat. Beberapa interaksi obat yang dikenal merupakan
kombinasi lebih dari satu mekanisme.
1.
Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik dapat terjadi beberapa tahap, meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, ekskresi
(tabel.1)
a.
Absorp
si
Kebanyakan obat diberikan secara oral mengabsorbsi melalui membran mukosa dari saluran
gastrointestinal. Dan kebanyakan interaksi yang terjadi menurunkan absorbsi daripada meningkatkan
absorbsi. Perbedaan yang jelas terdapat pada penurunan laju absorbsi dan mengubah absorbsi secara
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 34of 37
keseluruhan. Obat yang diberikan untuk penyakit kronis dalam dosis regimen multiple (contohnya:
antikoagulan oral), laju absorbsi biasanya tidak digunakan tetapi absorbsi secara keseluruhannya tidak
diubah. Selain obat yang diberikan dalam dosis tunggal dirancang agar absorbsinya obat (contoh: obat
hipnotik atau analgesik), sehingga dibutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk pencapaian tersebut.
Penurunan laju absorbsi biasanya menunjukan hasil yang tidak baik pada pencapaian efek terapi.
Tabel 2. Beberapa obat yang menyebabkan interaksi absorpsi
Obat
Digoksin
Digoksin
Levotiroksin
Warfarin
Ketokonazol
Penicilamin
Metoreksat
Antibiotic kuinolon
tetrasiklin
Interaksi obat
Metoklopramide
Propantelin
Kolestiramin
Antasida
H2 bloker
Penghambat pompa proton
Antasida (Al3+ atau Mg2+),
preparat besi dan makanan
Neomisin
Antasida (Al3+ atau Mg2+),
susu, Fe2+
Antasida (Al3+, Mg2+, Ca2+
atauBi2+), susu, Zn2+, Fe2+
Efek interaksi
Menurunkan absorpsi digoksin
Peningkatan absorpsi digoksin
Menurunkan absorpsi karena adanya
pengkatan/kompleks
dengan
kolestiramin
Menurunkan absorpsi ketokonazol karena
penurunan disolusi
Pembentukan khelat penisilamin terlarut
sedikit
sehingga
menyebabkan
penurunan absorpsi penisilamin
Menginduksi malabsorpsi
Pembentukan kompleks absorpsi yang
buruk
Pembentukan khelat terlarut yang buruk
sehingga
menyebabkan
penurunan
absorpsi antibiotic
risiko hamil bila pada saat yang sama, dia juga menggunakan antibiotik berspektrum luas (misalnya
amoksisilin, tetrasiklin). Mekanismenya adalahgangguan siklus enterohepatik komponen estrogen akibat
hilangnya bakteri usus yang berperan dalam dekonjugasi estrogen.
Obat-obat
lain
dapat
mempengaruhi
waktu
pengosongan
lambung,
sebagai
contoh
Distribusi
Interaksi pendesakan obat terjadi bila dua obat berkompetisi pada tempat ikatan dengan protein
plasma yang sama dan satu atau lebih obat didesak dari ikatannya dengan protein tersebut. Hal ini akan
mengakibatkan peningkatan sementara konsentrasi obat bebas (aktif), biasanya peningkatan tersebut
diikuti dengan peningkatan metabolisme atau ekskresi. Konsentrasi total obat turun menyesuaikan dengan
peningkatan dengan peningkatan fraksi obat bebas. Interaksi ini melibatkan obat-obat yang ikatannya
dengan protein tinggi, misalnya fenitoin, warfarin dan tolbutamid. Bagaimanapun, efek farmakologi
keseluruhan minimal kecuali bila pendesakan tersebut diikuti dengan inhibisi metabolik.
c.
Metabolisme hepatik
Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom P 450 monooksigenase.
Induksi enzimoleh suatu obat dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan
pengurangan efek. Induksi enzim melibatkan sintesa protein, jadi efek maksimum terjadi setelah dua atau
tiga minggu. Sebaliknya, inhibisi enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan peningkatan toksisitas obat
lain. Waktu terjadinya reaksi akibat inhibisi enzim merupakan efek langsung, biasanya lebih cepat daripada
induksi enzim.
Banyak enzim yang terlibat dalam metabolisme hepatik diantaranya adalah sitokrom P 450. Sebagai
contoh, warfarin dibersihkan dari tubuh memalui metabolisme hepatik (dimetabolisme oleh sistem oksidase
P450 hepatik-the hepatic mixed function oxidase P 450 system) sehingga penghambat enzim seperti simetidin
dan antibiotik golongan makrolida (eritromisin, klaritomisin) memperkuat efek warfarin.
Sebaliknya, penginduksi enzim seperti karbamazepin, barbiturat, fenitoin (dilaporkan dapat
meningkatkan atau menurunkan efek) dan rifampisin, dapat menyebabkan kegagalan terapeutik warfarin.
Eritromisin dapat menyebabkan peningkatan kadar lofastatin dalam darah karena eritromisin menghambat
aktifitas enzim CYP 3A4 hati.
Yang menarik, makanan kaya protein dianggap menstimulasi enzim hati, sedangkan makanan yang
kaya karbohidrat mempunyai efek yang berlawanan. Zat kimia lain, seperti asap rokok dan etanol dapat
meningkatkan aktifitas enzim hati. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi eliminasi dan akhirnya juga
mempengaruhi keefektifan obat-obat tertentu.
d.
Eliminasi
Obat dieliminasi melalui ginjal denga filtrasi glomerulus dan sekresi tubuler aktif. Jadi, obat yang
mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal dapat mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma. Hanya
sejumlah kecil obat yang cukup larut dalam air yang mendasarkan ekskresinya melalui ginjal sebagai
eliminasi utamanya, yaitu obat yang tanpa lebih dulu dimetabolisme di hati. Gangguan pada proses ini
terutama digambarkan dalam interaksi yang mempengaruhi digoksin dan Litium.
Kuinidin, verapamil, dan amiodaron dapat meningkatkan konsentrasi digoksin dalam serum hingga
dua kali lipat dengan menghambat klirens ginjal (dan non-ginjal) digoksin. Diuretik thiazida, serta furosemid
dan bumetanid dengan efek yang lebih lemah, menguangi ekskresi Litium dengan meningkatkan reabsorbsi
Litium dari tubulus proksimal. Interaksi ini dapat menyebabkan keracunan Litium yang serius.
Metotreksat dan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) berkompetisis dalam ekskresi melalui ginjal;
penggunaan
secara
bersamaan
obatobat
tersebut
dapat
meningkatkan
kadar
metotreksat
dan
meningkatkan risiko toksisitas, namun kombinasi ini tetapa dapat diberikan dengan berhasil di bawah
supervisi khusus. Yang perlu diperhatikan tentang interaksi tipe ini adalah tergantung pada jumlah obat
dan/atau metabolitnya yang diekskresi melalui ginjal.
Asam lemah dan basa lemah berkompetisi pada bagian sistem transpor tubuler ginjal yang
berbeda. Hal ini merupakan dasar penggunaan probenesid untuk meningkatkan konsentrasi penisilin atau
sefalosporin dalam darah. Probenesid juga meningkatkan potensi toksisitas metotreksat; simetidina
mengurangi ekskresi prokainamid dengan cara yang sama.
2.
Interaksi Farmakodinamik
a. Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang palng umum adalah sinergisme antara dua obat yang bekerja pada
sistem, organ, sel atau inti yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Semua obat yang
mempunyai fungsi depresi pada susunan saraf pusat contohnya Etanol, antihistamin, benzodiazepine
(diazepam, lorazepam, prazepam, estazolan, bromazepam, alprazolam), fenotiazin (klorpromazin,
tioridazin, lufenazin, perfenazin, proklorperazin, trifluoperazin), metildopa. Klonidin dapat meningkatkan
efek sedasi.
Semua obat inflamasi nonsteroid dapat mengurangi daya lekat platelet, dan meningkatkan efek
antikoagulan warfarin. Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalema yang sangat berbahaya bagi
pasien yang memperoleh pengobatan dengan diuretic hemat kalium (contoh amilorida, triamteren) dan
penghambat enzim pengkonversi angiotensin (contoh captopril, enalapril) dan antagonis reseptor
angiotensin-II (contoh losartan, valsartan). Dengan cara yang sama verapamil dan propranolol (dan
pengeblok beta yang lain), keduanya memiliki efek inotropik negative, dapat menimbulkan gagal
jantung pada pasien yang retan.
b.
Antagonisme
Sebaliknya, antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memilki efek farmakologi yang
berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat.
Sebagai contoh, penggunaan secara bersamaan obat yang bersifat beta-agonis dengan obat yang
bersifat pengeblok beta (salbutamol untuk pengobatan asma dengn propanolol untuk pengobatan
hipertensi, dapat menyebabkan bronkospasme); vitamin K dan warfarin; diuretik tiazida dan obat anti
diabet.
Beberapa antibiotika tertentu berinteraksi dengan mekanisme yang antagonis. Sebagai contoh,
bakterisida, seperti penisilin, yang menghambat sintesa dinding sel bakteri, memerlukan sel yang terus
bertumbuh dan membelah diri agar berkhasiat maksimal. Situasi ini tidak akan terjadi dengan adanya
antibiotika yang bersifat bakteriostatik, seperti tetrasiklin, yang menghambat sintesa protein dan juga
pertumbuhan bakteri.
c.
d.
Interaksi obat dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pengurangan
kadar kalium dalam plasma sesudah pengobatan dengan diuretik, kortikosteroid atau amfoterisina akan
meningkatkan risiko kardiotoksisitas digoksin. Hal yang sama, hipokalemia
3.
Interaksi Farmasetik
Disebut sebagai Drug incompatibility yaitu tidak dapat bercampurnya obat interaksi yang terjadi karena
adanya perubahan/reaksi fisika dan kimia antara 2 obat atau lebih yang dapat dikenal/dilihat,yang
berlangsung diluar tubuh dan mengakibatkan aktivitas farmakologi obat tersebut hilang/berubah
Contoh :
1.
Hidrolisis
Penginduksi enzim
Asap rokok, barbiturat (contoh fenobarbital), fenitoin, griseofulvin, karbamazepin, rifampisin
Penghambat enzim
Amiodaron, diltiazem, eritromisin, fluoksetin, ketokonazol, metrodinazol, natrium valproat, simetidin,
ciprofloksasin., verapamil.
Hindari kombinasi obat yang berinteraksi dan jika dibutuhkan pertimbangan obat pengganti
Jika terjadi resiko interaksi pemakaian obat daripada manfaatnya, maka harus dipertimbangkan
untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung pada interaksi obat tersebut
apakah merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat
yang sepsifik.
Contoh :
Kortikosteroid dengan obat diuretic dapat menyebabkan kehilangan banyak kalium sehingga tubuh
menjadi lemas, aritmia jantung, tekanan darah rendah
Pencegahannya adalah dapat menggunakan diuretic hemat kalium untuk menghindari interaksi obat
yang terjadi.
Simetidin memperlambat metabolisme hepatic oksidatif obat dengan mengikat mikrosomal sitokrom
P450 (menghambat enzim) sedangkan antagonis H2 yang lain, Ranitidin tidak bermakna dalam
menghambat metabolisme hepatic mikrosomal obat.
2.
Sesuaikan dosis obat saat memulai atatu menghentikan penggunaan obat yang menyebabkan interaksi
yaitu dengan cara pengurangan dosis ( jika terjadi toksik), peningkatan dosis (jika terjadi pengurangan
khasiat)
Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka perlu dilakukan modifikasi
dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut.
Penyesuain obat dilakukan apada saat mulai atau menghentikan penggunaan bat yang menyebabkan
interaks.
Penurunan dosis
Penggunaan atropine dengan CTM menyebabkan efek yang sinergis, dapat menimbulkan
efek mulut kering lebih hebat. Dikarenakan CTM juga memiliki efek antikolinergik yang kuat,
penggunaan obat ini secara bersamaan dapat menyebabkan respons reseptor obat dan target
organ berubah sehingga menimbulkan sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain, untuk
menghindarinya dosis harus dikurangi.
Dosis pemiliharaan glikosida jantung digoksin harus dikurangi menjadi setengahnya pada
saat kita mulai memberikan Amiodaron (Antiaritmia).
Peningkatan dosis
Kombinasi fenitoin dengan asam folat dapat menyebabkan efek asam folat berkurang
akibatnya kemungkinan dapat terjadi defisiensi asam folat. Untuk menghindarinya dapat digunakan
tambahan vitamin yang mengandung 1 mg asam folat. Tetapi jika asam folat terlalu banyak akan
dapat menurunkan efek dari fenitoin.
3.
Lakukan pemantauan kondisi klinis pasien dan jika perlu ukur kadar obat dalam darah
Pemantauan diperlukan untuk pasien yang menggunakan obat pada penykit-penyakit tertentu,
obat yang indeks terapi sempit, yang respon segaranya sulit diperkirakan, dan bila kadar obat dalam
darah dan efek terapi diperkirakan saling berhubungan.
Contoh : hipoglikemia agent dengan fenilbutazon
Mekanisme ;
Fenilbutazon dapat menghambat ekskresi renal dari Glibenklamid, Tolbutamid dan metabolit aktif dari
acetoheksamid sehingga obat itu tertahan dalam tubuh lebih lama dan efek dari hipoglikemik
meningkat dan diperpanjang. Fenilbutazon ini dapat menhambat metabolism dari sulfonamide. Cara
pencegahannya penggunaan obat (fenilbutazon dengan hipoglikemia agent) secara bersama-sama
harus dipantau.
4.
5.
Lanjutkan pengobatan seperti sebelumnya bila kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan
pengobatan yang optimal atau bila interaksi yang terjadi tidak bermakna secara klinis.
mencampur cairan infuse dengan seksama dan amati adanya perubahan. Tdk ada perubahan belum tentu
tdk ada interaksi
Bila lebih dari 1 obat yang diberikan secara bersamaan, gunakan jalur infuse yang berbeda kecuali yakin
tidak ada interaksi
Jam pencampuran obat dan cairan infu harus dicatat dalam label. Dan tuliskan infuse harus habis
3.
4.
Mual,sakit
kepala,tak
ada
nafsu
makan,
gangguan
penglihatan,
bingung,tak
bertenaga,bradikardia,takhikardia,aritmia jantung. Efek ini dapat diperkecil bila bila obat jantung yang
digunakan adalah obat yang mudah larut seperti lanoxin.
b. Warfarin dan Simetidin
Interaksi yang terjadi yaitu farmakokinetik (penghambatan enzim) Simetidin dapat menghambat enzim
hepatic yang terlibat dalam metabolisme dan klirens warfarin ; jadi efek warfarin diperpanjang dan
meningkat.
Makna klinis yang terjadi adalah warfarin memiliki entang terapi yang sempit dan penggunaan anti
koagulan yang berlebihan dapat menyebabakan perdarahan yang serius.
Saran untuk interaksi ini yaitu dapat dilakukan dengan pemeriksaan nilai INR (International Normalized
Ratio) secara rutin dan bila mungkin mengurangi dosis Warfarin. Pilihan lain dapat menggunakan antagonis
H2 lain seperti Ranitidin yang tidak berinteraksi dengan Warfarin.
c. Penghambat enzim pengubah angiotensin dan diuretika hemat kalium
Interaksi yang terjadi yaitu farkodinamik (gangguan kesetimbangan cairan dan elektrolit). Penghambat
enzim pengubah angiotensin dan diuretika hemat kalium keduanya dapat meningkatkan kadar kalium dalam
darah.
Makna klinis yang terjadi yaitu kombinasi obat ini, bersama dengan gagal ginjal (renal failure) dan dehidrasi
dapat menyebabkan hiperkaliemia. Hal ini dapat mengancam jiwa, mnyebabkan aritmia jantung (cardiac
arrhythmias) dan akhirnya asystolic cardiac arrest.
Saran untuk interaksi ini dengan diuretika hemat kalium harusnya diberikan bersama dengan
penghambat enzim pengubah angiotensin, kecuali jika kadar kalium dalam darah dipantau dengan baik. Bila
perlu dosis dikurangi, atau salah satu obat dihentikan pemakaiaannya, misalnya dengan menggunakan loop
diuretic
(yang
dapat
menyebabkan
hipokalemia)
dan
pertimbangkan
pula
untuk
menggunakan
kaptopril( penghambat enzim pengubah angiotensin yang hasil kerjanya pendek)pada pasien yang fungsi
ginjalnya jelek
d. Digoksin dan amiodaron
Interaksi yang terjadi farmakodinamik yaitu(meskipun belum diketahui secara pasti). Amiodaron
mengurangi ekskresi digoksin baik yang melalui ginjal maupun yang bukan ginjal, amiodaron menyebabkan
pendesakan digoksin dari jaringan dan tempat ikatan protein plasma.
Makna klinis yang terjadi yaitu meningkatkan kadar digoksin dalam darah. Interaksi ini
terdokumentasi sebagai interaksi klinis yang penting. Hal ini terjadi setelah beberapa hari dan berkembang
dalam waktu 1 sampai 4 minggu. Kadar digoksin dalam darah normal berkisar antara 0,8 2,0 g/L. Jika
kadar digoksin dalam darah lebih besar dari nilai normal maka akan terjadi toksisitas digoksin ( anoreksia,
mual, muntah, diare, aritmia, gangguan penglihatan, kebingungan dan penyumbatan jantung.
Saran: dosis digoksin perlu diturunkan hingga 1/3 atau nya bila amiodaron diberikan pada pasien
dengan pengobatan digoksin. Kemudian dilakukan penyesuain dosis kembali sesudah 1 atau 2 minggu atau
satu bulan, oleh karena itu efek interaksi ini akan menetap untuk beberapa minggu setelah penghentian
amiodaron. Pengurangan dosis amiodaron mungkin diperlukan tetapi harus dilakukan secara perlahan
lahan dan bertahap turun setiap minggunya dan disesuaikan dengan kondisi dan pasiennya.
e. Eritromisin dan teofilina
Tipe interaksi obat : Farmakokinetik (penghambatan enzim). Eritromisina menghambat metabolisme teofilina
oleh hati; oleh sebab itu eritromisina mengurangi klirens teofilina dan meningkatkan konsentrasi teofilina
dalam darah.
Makna klinis : Efek ini telah terdokumentasi dengan baik dan sudah dikenal. Pasien tertentu mempunyai
resiko tinggi menghasilkan kadar teofilina tinggi dalam darah. Pasien yang kadar teofilin dalam darahnya
sudah tinggi atau pasien yang memperoleh pengobatan dengan teofilina dosis tinggi, merupakan pasien
berisiko tinggi. Teofilina mempunyai rentang
antara 10 20 mg/liter diperlukan untuk memperoleh efek bronkodilatasi yang memuaskan. Kadar teofilina
dalam plasma yang lebih besar dari nilai tersebut dapat menyebabkab toksisitas, misalnya takikardia,
palpitasi, mual, gangguan pencernaan, insomnia, aritmia dan konvulsi.
Saran : pemantauan kadar teofilina dalam darah diperlukan untuk menentukan apakahpasien tersebut
berisiko mengalami keracunan akibat interaksi obat. Dokter seharusnya diberitahu untuk memantau kondisi
pasien dan memperhatikan bilamana pasien tersebut mualdan muntah. Disarankan untuk mengurangi dosis
teofilina bila pasien tersebut memperoleh pengobatan dengan eritromisina, namun semuanya bergantung
pada kadar teofilina dalam darah.
f.
Lebih berkemungkinan memperoleh terapi berbagai macam obat sehingga berpotensi gangguan fungsi
Contohnya, obat golongan diuretic dapat mengurangi ekskresi litium, pasien dapat distabilisasi dengan baik
pada pengobatan kombinasi. Tetapi penyakit ikutan yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit
dapat mengubah kadar litium dalam plasma, sehingga menyebabkan hilangnya efek atau toksisitas litium.
Penanggulangan interaksi obat
1.
Fenitoin dengan vitamin D dapat menyebabkan efek vitamin D berkurang, akibatnya terjadi defisiensi yang
menimbulkan riketsia pada anak-anak. Cara penanggulangannya adalah memakan makanan yang kaya
2.
3.
adsorben (contoh : norit, bersifat menyerapa racun dan zat-zat lain dilambung).
Dialisis
Adalah suatu proses untuk membersihkan darah berguna untuk menghilangkan atau mengurangi zat-zat
sisa metabolisme yang berbahaya
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
Stockley, I.H., 1999, Drug Interaction, fifth edition, Pharmaceutical Press, London
www.fkuii.org, diakses tanggal 10 mei 2009
http://www.i-base.info/itpc/Indonesian/spirita/docs/Lembaran-Informasi/LI419.pdf diakses tanggal 10 mei
2009
http://www.iwandarmansjah.web.id/attachment/at_Interaksi.ppt diakses tanggal 10 mei 2009
http://mediapenunjangmedis.dikirismanto.com/interaksi-obat-pada-penanganan-diare.html