Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

FARMAKOTERAPI DIABETES MELLITUS

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmakoterapi

Oleh:

Aan Novianti 24041117007


De Ismi Alfi Mahmudah 24041117015
Sagita Apionita 24041117005

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GARUT
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolisme yang

disebabkan oleh adanya gangguan skresi insulin, penurunan kerja insulin atau

diakibatkan oleh keduanya yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah

(Hiperglikemia). Hasil Riskesdas tahun 2018, prevalensi diabetes mellitus

pada usia ≥ 15 tahun paling banyak terjadi pada usia 55-74 tahun sebesar

19.6%. Walaupun Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak

menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal apabila

pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan DM memerlukan penanganan secara

multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan terapi obat. Maka dari itu,

makalah ini dibuat karena perlu adanya pengetahuan mengenai terapi diabetes

mellitus baik secara farmakologi maupun non farmakologi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan diabetes mellitus?

2. Bagaimana prevalensi diabetes mellitus di Indonesia?

3. Bagaimana etiologi dan patofisiologi diabetes mellitus?

4. Bagaimana factor risiko pada penderita diabetes mellitus?

5. Bagaimana diagnosis pada penderita diabetes mellitus?

6. Bagaimana terapi farmakologi dan non farmakologi untuk penderita

diabetes mellitus?

7. Bagaimana kondisi khusus pada penderita diabetes mellitus?


1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian dengan diabetes mellitus.

2. Mengetahui prevalensi diabetes mellitus di Indonesia.

3. Mengetahui etiologi dan patofisiologi diabetes mellitus.

4. Mengetahui faktor risiko pada penderita diabetes mellitus.

5. Mengetahui diagnosis pada penderita diabetes mellitus.

6. Mengetahui terapi farmakologi dan non farmakologi untuk penderita

diabetes mellitus.

7. Mengetahui kondisi khusus pada penderita diabetes mellitus.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan suatu penyakit metabolisme yang disebabkan

oleh adanya gangguan skresi insulin, penurunan kerja insulin atau diakibatkan

oleh keduanya yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah

(Hiperglikemia) (Geneva, World Health Organization. 1999).

2.2 Prevalensi

Menurut hasil Riskesdas tahun 2018, berdasarkan umur ≥ 15 tahun DM

paling banyak terjadi pada usia 55-74 tahun yaitu sebesar 19.6%, berdasarkan

jenis kelamin DM terjadi lebih banyak pada perempuan yaitu sebanyak 12,7%

sedangkan pada laki- laki sebanyak 9.0%. (Kementerian Kesehatan RI, 2018)

Prevalensi DM menurut WHO diperkirakan akan meningkat 3 kali lipat

pada tahun 2030 dari jumlah data penderita DM tahun 2000 sebesar 171 juta

jiwa yang ada di dunia. Menurut Riskesdas tahun 2018 sebanyak 1.017.290

orang dari semua umur terdiagnosis DM yang tersebar diseluruh provinsi

yang ada di Indonesia.


2.3 Etiologi Diabetes Mellitus
Klasifikasi diabetes mellitus: (Departemen Kesehatan RI, 2005)

1 Diabetes Mellitus Tipe 1:


Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
2 Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin
3 Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel β :
• kromosom 12, HNF-1 α
• kromosom 7, glukokinase
• kromosom 20, HNF-4 α
• DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:
• Pankreatitis
• Trauma/Pankreatektomi
• Neoplasma
• Cistic Fibrosis
• Hemokromatosis
• Pankreatopati fibro kalkulus
D. Endokrinopati:
1. Akromegali
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hipertiroidisme
E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam
nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
F. Diabetes karena infeksi
G. Diabetes Imunologi (jarang)
H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner,
Huntington, Chorea, Prader Willi

Diabetes Mellitus Gestasional


Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2

Pra-diabetes:
A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu)

2.4 Patofisiologi Diabetes Melitus

A. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 terjadi karena gangguan produksi insulin

akibat kerusakan sel β pancreas. Diabetes tipe ini merupakan diabetes

yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10%

dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi

insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β

pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada

pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus

Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada

beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara

lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface

antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase).


Patofisiologinya yakni adanya reaksi autoimun akibat peradangan

pada sel β. Hal ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel β yang

disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel β) dengan antibodi

ICA yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel β. Selain karena

autoimun, diabetes tipe 1 juga bisa disebabkan virus cocksakie, rubella,

citomegalo virus (CMV), herpes dan lain-lain. Pada penderita diabetes tipe

1 umumnya terdiagnosa pada usia muda. (Departemen Kesehatan RI,

2005)

B. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum,

lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita

DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita

diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini

penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya

meningkat.

Diabetes tipe 2 terjadi karena adanya kerusakan molekul insulin

atau gangguan reseptor insulin yang mengakibatkan kegagalan fungsi

insulin untuk mengubah glukosa menjadi energi. Pada dasarnya pada

diabetes tipe 2 jumlah insulin dalam tubuh adalah normal bahkan

jumlahnya bisa meningkat, namun karena jumlah reseptor insulin pada

permukaan sel berkurang menyebabkan glukosa yang masuk kedalam sel

lebih sedikit. Hal tersebut akan terjadi kekurangan jumlah glukosa dan
kadar glukosa menjadi tinggi didalam pembuluh darah.(Departemen

Kesehatan RI, 2005)

2.5 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus

A. Diabetes mellitus tipe 1

- Gejala awal yang paling umum adalah poliriuria, polidipsia,

polifagia, penurunan berat badan, dan lesu disertai hiperglikemia.

- Individu seringkali kurus dan cenderung mengembangkan

ketoasidosis diabetik jika insulin ditahan atau dalam kondisi stres

berat.

- Antara 20% dan 40% pasien hadir dengan diabetes toasidosis

setelah beberapa hari poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan

berat badan (Dipiro J et al., 2015).

B. Diabetes mellitus tipe 2

- Pasien sering kali tidak menunjukkan gejala dan mungkin

didiagnosis sekunder untuk tes darah yang tidak terkait.

- Kelesuan, poliuria, nokturia, dan polidipsiac dapat hadir.

Penurunan berat badan yang signifikan jarang terjadi; lebih sering,

pasien kelebihan berat badan atau obesitas (Dipiro J et al., 2015)


2.6 Faktor Risiko Diabetes Mellitus

Tabel faktor risiko diabetes mellitus (Departemen Kesehatan RI, 2005):

Riwayat - Diabetes dalam keluarga


- Diabetes Gestasional
- Penyakit jantung

Obesitas >120% berat badan ideal


Umur - 20-59 tahun : 8,7%
- > 65 tahun : 18%
Etnik/Ras
Hipertensi >140/90 mmHg
Hiperlipidemia - Kadar HDL rendah <35 mg/dl
- Kadar lipid darah tinggi >250 mg/dl
Faktor-faktor - Kurang olah raga
Lain - Pola makan rendah serat, tinggi gula, garam
dan lemak

2.7 Diagnosis Diabetes Mellitus

Pasien dapat disimpulkan mengidap diabetes mellitus apabila:

a. Adanya keluhan khas berupa poliuria, polidipsia, polifagia;

b. Penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya;

c. Keluhan lain: Badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata

kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita;

d. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl;

e. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl;

f. Untuk konfirmasi DM tipe 1: Dilakukan uji toleransi glukosa oral

(Departemen Kesehatan RI, 2005).


Gambar II.1 Kurva toleransi glukosa normal dan pada penderita DM Tipe 1

2.8 Terapi Diabetes Mellitus

A. Terapi Farmakologi

1. Diabetes Mellitus Tipe 1

Guideline untuk pasien DM tipe 1 diberikan insulin dengan cara

serta jenis yang berbeda setiap pasien disertai diet. Pasien DM tipe 1

dapat memulai penggunaan insulin dengan 0.6 unit kg/hari dengan

pemberian sebanyak dua per tiga pada pagi hari dan sepertiga

diberikan pada malam hari.

2. Diabetes Mellitus Tipe 2

Pasien dengan A1C ≤ 7% biasanya hanya disarankan untuk

memperbaiki gaya hidup sehat atau diet secara individu tanpa

pemberian obat. Apabila pasien dengan niali A1C < 7,5% awalnya

dapat diterapi dengan menggunakan satu obat atau dengan kombinasi

obat terapi secara oral. Pasien obesitas tanpa ada kontraindikasi

diberikan terapi oral dengan metformin dengan pemberian bertahap


sampai 2000 mg/hari, tetapi apabila pasien obesitas memiliki

kontraindikasi terhadap metformin dapat digantikan dengan glitazone.

Ketika pemberian metformin tidak terlalu berpengaruh dan

penyakit DM berkembang dapat ditambahkan agen sekret insulin

sebagai obat kombinasi seperti sulfonilurea, agonis giltazone atau

GLP-1. Apabila setelah terapi selama 3 bulan dan nilai dari A1C tetap

tinggi tidak <7% lakukan terapi dengan kombinasi 3 obat biasanya

diberikan kombinasi obat seperti metformin, sulfonilurea, dan

glitazone atau penghambat DPP-4, penghambat DPP-4 dijadikan

sebagai alternatif bagi pasien yang tidak menyukai produk suntik

agonis GLP-1. Jadi lebih baik menggunakan kombinasi metformin,

glitazone dan agonis GLP-1. Apabila nilai A1C masih tetap tidak

memenuhi target terapi selam 3 bulan maka langkah selanjutnya adalah

dengan tambahan terapi insulin atau intensifikasi insulin (Dipiro J et

al., 2015; Simatupang, 2019; Soelistijo et al., 2019).


Gambar II.2 Obat antihiperglikemia yang tersedia di Indonesia

Gambar II.3 Guideline terapi farmakologi DM tipe 2


B. Terapi Non Farmakologi

1. Pengaturan Diet

Jumlah kalori harus disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi,

umur, dan kegiatan fisik. Penurunan berat badan pada kondisi obesitas

telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki

respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Masukan kolesterol tetap

diperlukan, tetapi jangan melebihi 300 mg per hari karena akan

meningkatkan kadar kolesterol dalam darah.

Selain itu, serat juga sangat penting bagi penderita diabetes,

diusahakan ada asupan serat minimal 25 g per hari. Serat akan

menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat

dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang

kerap dirasakan penderita DM (Departemen Kesehatan RI, 2005).

2. Olah Raga

Olah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula

darah tetap normal. Olah raga yang dilakukan lebih baik olah raga

ringan tetapi dilakukan secara teratur akan sangat baik pengaruhnya

bagi Kesehatan disbanding olahraga berat tapi tidak teratur. Olah raga

akan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga

meningkatkan penggunaan glukosa. Olah raga sebaiknya dilakukan

sekitar 30-40 menit per hari. Contoh olah raga yang disarankan yaitu

jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya

(Departemen Kesehatan RI, 2005).


2.9 Kondisi Khusus Diabetes Mellitus

1. Penderita hamil/menyusui: DM Gestasional dan penderita DM yang

hamil membutuhkan terapi insulin, apabila diet saja tidak dapat

mengendalikan kadar glukosa darah.

2. Penderita gangguan ginjal: kondisi ini dikenal dengan nefropati diabetik

terjadi karena ginjal rusak.

3. Penderita gangguan hati: kondisi ini disebut diabetes tipe 2 karena

kerusakan hati paling umum menyerang penderita diabetes.

4. Penderita gangguan jantung: Kondisi pra-diabetes merupakan faktor

risiko untuk diabetes, serangan jantung tetapi tidak cukup tinggi untuk

dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2.

5. Penderita lanjut usia: Diabetes mellitus tipe 2 Umumnya terjadi masa

lanjut usia.

6. Penderita anak-anak: Diabetes mellitus tipe 1 umumnya terjadi masa

kanak-kanak dan remaja, walaupun ada juga pada masa dewasa <40

tahun.

7. Penderita sedang berpuasa: yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah

puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa darah puasa

normal: <100 mg/dl) (Departemen Kesehatan RI, 2005).


STUDI KASUS

Ny. RR usia 45 tahun BB 70 kg TB 150 cm sudah 4 minggu terakhir sering

merasa kelelahan, mudah haus, mudah lapar dan sering BAK. Ny. RR juga merasa

matanya agak buram padahal sebelumnya biasa saja. Setelah diperiksa diketahui

HbA1C Ny. RR 8%. Oleh dokter didagnosis DM tipe 2 dan diresepkan Glimepirid

2 mg 1-0-0 dan 500 mg 1-0-1.

a. Bagaimana keterkaitan gejala polifagia, polidipsia, poliuria dan rasa

kelelahan dengan DM tipe 2?

b. Berikan penilaian terhadap obat yang diberikan dokter untuk Ny,RR!

c. Menurut Anda, bagaimana rekomendasi obat yang tepat untuk Ny.RR?

d. Adakah keterkaitan mata buram dengan penyakit Ny.RR? jika ada jelaskan

e. Bagaimana monitoring yang harus dilakukan Ny. RR agar kondisi DM

terpantau dengan baik?

Hasil analisa kasus:

a. Gejala diabetes awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar

gula darah yang tinggi. Kadar gula darah tinggi sampai diatas 160-180

mg/dL menyebabkan glukosa akan dikeluarkan melalui air kemih, jika

kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk

mengencerkan sejumlah besar glukosa yang harus dibuang. Gejala atau ciri

awal penderita diabetes sering disebut dengan triaspoli (poliuri, polidipsi

dan polifagi). Poliuri terjadi jika ginjal menghasilkan air kemih dalam

jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah

yang banyak. Polidipsi terjadi akibat adanya poliuri, karena penderita


merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum. Polifagi terjadi

karena sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, sehingga

penderita mengalami penurunan berat badan, untuk itu penderita seringkali

merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan. Gejala lainnya

adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan tubuh

selama melakukan olahraga (Nugroho, 2012).

b. Terapi dengan menggunakan metformin yang di kombinasi glimepirid

atau golongan obat sulfonilurea sudah tepat diberikan kepada Ny.Rr

karena mekanisme kerja dari kombinasi obat tersebut saling melengkapi,

dimana metformin bekerja dengan cara memperbaiki atau meningkatkan

sensitifitas insulin, absorpsi serta produksi glukosa akan menurun,

sedangkan untuk glimepirid sendiri bekerja dengan cara menstimulasi sel

beta agar melepaskan insulin. Kombinasi obat ini aman, tidak

menyebabkan BB naik mengingat keadaan Ny.RR yang mengalami

obesitas II (PERKENI, 2019).

c. Terapi obat kombinasi metformin dengan glimepirid sudah tepat untuk

Ny.RR terutama mengingat kondisi Ny.RR yang obesitas hal ini bisa

membantu untuk menekan produksi serta absorpsi glukosa dalam tubuh,

selain itu kombinasi obat ini tidak menyebabkan kenaikan BB pada pasien

(PERKENI, 2019).

d. Ada, Retinopatik Diabetik (RD) merupakan salah satu komplikasi DM

yang disebabkan oleh nilai HbA1c > 6.5%, yang disebabkan oleh

penyempitan pembuluh darah dimata atau kurangnya nutrisi pada mata.


Selain itu adanya hiperglikemia yang terjadi dalam jangka waktu lama

akan mengakibatkan gangguan pada makrovaskular serta mikrovaskular

organ tubuh terutama pada mata, jantung dan ginjal. RD terjadi karena

rusaknya mikrovskular pada retina mata (Arisandi et al., 2018).

e. Mengubah gaya hidup sehat dan melakukan pengecekan gula darah secara

berkala secara individual (Widodo, n.d.).

DAFTAR PUSTAKA

Arisandi, R., Yusran, M., Mutiara, H., Kedokteran, F., Lampung, U., Ilmu, B.,

Mata, P., Kedokteran, F., Lampung, U., Parasitologi, B. I., Kedokteran, F., &

Lampung, U. (2018). Hubungan Kadar HbA1c dengan Angka Kejadian

Retinopati Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 yang Mengikuti

Prolanis di Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung The Relationship

HbA1c Levels and The Incidence of Diabetic Retinopathy in Patients with

Type 2 Diabetes Melitus Who Followed Prolanis in Puskesmas Kedaton

Bandar Lampung. 7, 17–23.

Departemen Kesehatan RI. (2005). Pharmaceutical care untuk penyakit diabetes

mellitus. Departemen Kesehatan.

Dipiro J, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, & Posey LM. (2015).

Pharmacoterapy A Phatophysiologic Approach. In AIAA Guidance,

Navigation, and Control Conference.


Kementerian Kesehatan RI. (2018). Laporan Riskesdas 2018. Laporan Nasional

RIskesdas 2018, 53(9), 181–222.

Nugroho, S. (2012). PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN DIABETES

MELITUS MELALUI OLAHRAGA. Medikora, IX(1).

Simatupang, A. (2019). Monografi farmakologi klinik obat-obat diabetes mellitus

tipe 2. In Fk Uki (Vol. 1, Issue).

Soelistijo, S. A., Lindarto, D., Decroli, E., Permana, H., Sucipto, K. W., Kusnadi,

Y., Budiman, & Ikhsan, R. (2019). Pedoman pengelolaan dan pencegahan

diabetes melitus tipe 2 dewasa di Indonesia 2019. Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia, 1–117.

Widodo, F. Y. (n.d.). Pemantauan penderita diabetes mellitus. 3, 55–69.


PERTANYAAN DAN JAWABAN PERTANYAAN

NO Penanya Pertanyaan Jawaban Penjawab

1. Seni Mengapa penderita diabetes Karena pada pasien DM mudah De Ismi Alfi

Oktaviani mellitus harus menjaga terjadi infeksi pada kulit. Hal Mahmudah

kebersihan tubuh dan tidak ini karena kuman dan jamur

boleh luka? tumbuh subur akibat dari

tingginya kadar gula dalam

darah darah. Pasien DM tidak

boleh luka karena akan sulit

sembuh yang diakibatkan oleh

peningkatan kadar insulin

dalam darah yang memberikan

dampak pada metabolism

dalam saluran peredaran darah

dalam sel yang mengakibatkan

proses pembekuan darah

terganggu, sehingga luka sulit

sembuh.

2. Reisha Mengapa kasus diabetes Sebenarnya tidak selalu wanita Sagita

Tresna Sagita mellitus lebih banyak terjadi yang paling banyak menderita Apionita

pada wanita? DM, tetapi kemungkinan

wanita menderita DM lebih


banyak dikarenakan pola hidup

yang tidak sehat, pola diet yang

salah, dan penimbunan lemak

yang lebih tinggi sehingga

menimbulkan kemungkinan

terjadi obesitas.

3. Monica Mengapa orang tua sering Ada, karena tubuh kita perlu Aan Novianti

Syafira melarang tidur sehabis makan, waktu sekitar 2 jam untuk

Sukmawan apakah ada hubungannya mencerna dan memetabolisme

dengan DM? makanan, jadi jika langsung

tidur proses metabolism akan

menjadi lambat, akhirnya

terjadi penimbunan kalori dan

menyebabkan DM jika

dilakukan secara terus

menerus.

Anda mungkin juga menyukai