Anda di halaman 1dari 142

NAGASASRA DAN SABUKINTEN

Karya SH Mintardja
Dikumpulkan dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
Serial Bersambung 26 Oktober 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintardja No. 601
MELIHAT pertempuran itu Kebo Kanigara menarik nafas. Ia menjadi bertambah tenang,
sebab dengan demikian ia hampir pasti, bahwa setidak-tidaknya Lawa Ijo tidak akan
berhasil membunuh anak muda itu.
Mahesa Jenar pun sempat melihat bagaimana muridnya itu bertempur. Dengan semangat
yang menyala-nyala serta kepercayaan pada Keadilan yang Maha Tinggi. Arya Salaka
bertempur mati-matian berlandaskan pada suatu keyakinan bahwa bagaimanapun juga
kebenaran akan memenangkan kemungkaran.
Ki Ageng Lembu Sora pun bertempur dengan gigihnya di bagian lain. Dibebani oleh rasa
tanggungjawab atas tanah serta kampung halamannya, serta perasaan-perasaan lain yang
memburunya selama ini, kekhilafan-kekhilafan yang pernah dilakukannya serta nafsu-nafsu
yang memalukan telah mengetuk-ngetuk dinding hatinya. Seakan-akan terdengar suara
yang berputar di udara, Lembu Sora, kau harus mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan
yang telah kau lakukan. Lihatlah betapa anak yang akan kau singkirkan itu kini berjuang
tanpa pamrih untukmu. Lalu apa yang akan kau lakukan?
Akan aku bunuh kawan-kawanku kini. Lembu Sora menggeram. Mereka adalah orangorang yang menyeretku ke dalam tindakan-tindakan yang hina.
Lawannya, Ular Laut dari Nusakambangan, terkejut mendengar Lembu Sora tiba-tiba
menggeram. Tetapi kemudia iapun tersenyum. Katanya, Hati-hatilah Ki Ageng Lembu Sora,
jangan melamun. Pedang tipisku ini dapat merobek dadamu.
Kembali Lembu Sora menggeram. Betapa bencinya ia kepada Jaka Soka. Apalagi sejak
nyawanya berada di ujung kerisnya sendiri, yang ditekankan ke lambungnya oleh Mahesa
Jenar, pada saat laskarnya mencegat laskar Demak yang sedang membawa Gajah Sora.
Pada saat itu, seolah-olah ia telah bersumpah, bahwa pada suatu saat ia harus dapat
membunuh Jaka Soka dengan tangannya. Tetapi Jaka Soka itupun bukanlah anak-anak
yang baru mampu berdiri. Ia adalah seorang bajak laut yang buas. Meskipun wajahnya
selalu membayangkan senyuman yang menarik, namun di balik senyumnya itu tersembunyi
kejahatan dan kebengisan yang bertimbun-timbun. Hanya karena seorang gadis yang cantik
dalam penilaiannya, dan bernama Rara Wilis di hutan Tambakbaya, ia berhasrat untuk
membunuh semua orang yang berada di tempat itu, tanpa sebab. Hanya karena mereka
mengetahui bahwa ia menginginkan gadis itu.
Dengan demikian, maka pertempuran di antara merekapun menjadi semakin sengit.
Dendam yang membara di dalam dada Lembu Sora telah mendorongnya untuk berjuang
sekuat tenaga, sedang Jaka Soka menjadi semakin berani, karena saat itu gurunya yang
dibangga-banggakan berada pula di dalam pertempuran itu, Nagapasa.
Akhirnya mataharipun perlahan-lahan melampau puncak langit. Semakin lama menjadi
semakin condong ke barat. Angin pegunungan berdesir lembut mengusap daun-daun
pepohonan di ujung-ujung senjata. Setiap orang dalam pertempuran itu berusaha untuk
memusnahkan lawan-lanan mereka secepat-cepatnya. Masing-masing berjuang dengan
gigih dan tanpa pengendalian diri. Namun tak seorangpun dari mereka yang dengan senang
hati menyerahkan nyawanya. Karena itulah maka pertempuran itu bertambah-tambah riuh
dan ribut. Keringat dan debu yang melekat pada tubuh mereka, bercampur darah yang
meleleh dari luka, sama sekali tak mereka hiraukan. Perasaan sakit dan pedih yang
ditimbulkan oleh goresan-goresan ujung senjata sama sekali tak terasa, selagi merka masih
dapat berdiri dan mengayunkan senjata-senjata mereka, maka tak ada kesempatan untuk
bermanja-manja.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 1 dari 142

Bagi mereka yang telah menjadi lemas karena darah yang terperas hilanglah harapan
mereka untuk dapat melihat matahari terbit esok hari. Mereka akan terjatuh dan diinjakinjak. Mungkin oleh lawan dan mungkin oleh kawan. Meskipun demikian, apabila maut
belum saatnya datang, ada saja di antara mereka yang berhasil merangkak-rangkak
membebaskan diri dari kancah pertempuran, atau seorang kawan yang sempat
memapahnya dan menyingkirkannya.
Sawung Sariti tak pula kalah garangnya. Wadas Gunung, murid Pasingsingan yang muda itu
agaknya bertempur pula penuh nafsu dan kemarahan. Tetapi Wadas Gunung tidak segarang
Lawa Ijo. Karena itu ia sendiri segera terdesak oleh cucu dan sekaligus murid Ki Ageng Sora
Dipayana yang masih sangat muda itu. Namun tiba-tiba seorang yang bertubuh pendek
gemuk dengan otot-otot yang menonjol seperti orang hutan, datang membantunya dengan
senjata-senjata yang mengerikan.
Bola-bola besi yang bertangkai. Orang yang bertubuh bulat itu adalah Bagolan. Bola besinya
bergerak dengan garangnya, menyambar-nyambar di antara kilauan dua pisau belati
panjang di tangan Wadas Gunung. (Bersambung)-c
NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 602
PEDANG Sawung Sariti seolah-olah mempunyai mata. Ke mana keempat senjata lawannya
itu mengarah, terdengarlah dentang senjata mereka beradu. Seperti ayahnya, Sawung
Sariti dapat berbangga diri karena kekuatan tubuhnya. Meskipun Wadas Gunung bertubuh
tegap kuat dan Bagolan memiliki lengan yang berbongkah-bongkah seperti orang hutan,
namun Sawung Sariti dapat membentur kekuatan mereka dengan keseimbangan yang
cukup. Pedang Sawung Sariti seperti juga pedang ayahnya, berukuran tidak wajar.
Pedangnya lebih besar dan lebih panjang daripada pedang biasa. Meskipun pedang itu tidak
setajam pedang Jaka Soka, namun dengan pedang itu Sawung Sariti mampu mematahkan
besi gligen.
Dengan hadirnya Bagolan, maka pertempuran itu menjadi seimbang. Meskipun semula
Wadas Gunung agak malu-malu juga bertempur melawan anak semuda itu berdua. Namun
dalam saat-saat hidup dan mati menjadi taruhannya, maka perasaan itupun lenyap tanpa
bekas. Dengan baiknya mereka berdua bertempur berpasangan. Maju bersama-sama dari
arah yang berbeda. Tetapi pedang Sawung Sariti berputar seperti lingkaran angin yang
melindungi tubuhnya, sedemikian rapatnya sehingga tak seujung jarumpun dapat ditembus
oleh senjata lawannya.
Wulungan ternyata seorang jantan. Ia bertempur seperti seekor elang. Dengan garangnya ia
menggerakkan pedangnya menyambar-nyambar. Sedang di bagian lain, Galunggung pun
tidak mengecewakan. Orang itu bersenjata pedang pula seperti Wulungan. Dengan
tangkasnya ia meloncat kesana kemari, menggerakkan pedangnya dengan lincahnya,
mematuk-matuk seperti lidah api yang dihembus angin. Beberapa orang dari golongan
hitam telah mengenalnya. Mereka telah pernah bekerja bersama-sama dalam usaha mereka
memusnahkan Arya Salaka. Namun sekarang mereka harus berhadapan sebagai lawan.
Seorang yang bertubuh pendek, kasar dan menjemukan, menempatkan diri sebagai lawan
Galunggung. Orang itu adalah Sakajon. Tokoh kepercayaan Sima Rodra dari Gunung Tidar.
Mereka berdua bertempur dengan penuh nafsu. Sakajon dengan pedang pendek namun
besar, bertempur seperti seekor babi hutan yang garang, sedang Galunggung melayanipun
seperti seekor serigala lapar. Laskar golongan hitam yang bertempur berhadapan dengan
sayap kiri laskar Banyubiru menjadi terkejut ketika mereka merasa terbentur pada kekuatan
yang tak mereka duga.
Sri Gunting dari Rawa Pening, yang semula dengan bangga dapat mendesak laskar Pamingit
dari Sumber Panas, kini benar-benar membentur dinding baja. Dengan marahnya Sri
Gunting mencoba untuk memusnahkan pimpinan kelompok lawannya. Tetapi orang yang
bersenjata tombak bermata dua itu benar-benar tangkas.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 2 dari 142

Jaladri, yang mempimpin kelompok di bagian tengah sapit kiri itu, dengan gigihnya
bertempur melawan tokoh pertama sesudah Uling Rawa Pening. Bahkan tiba-tiba Jaladri
menjadi bergirang hati. Setelah sekian lama ia menempa diri di bawah penilikan Ki Dalang
Mantingan dan Ki Wirasaba, yang kemudian ditambah dengan beberapa pengetahuan yang
berharga dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, kini ia mendapat kesempatan untuk
mengamalkannya. Menumpas golongan hitam.
Demikian juga Bantaran yang berada di ujung Sapit kiri. Ia berusaha dengan gigih untuk
memotong gerakan lawannya yang mencoba melingkari ujung sayap itu, dan menyerang
dari samping dan belakang. Karena keprigelannya maka ia berhasil dalam usahanya itu.
Meskipun ia sendiri harus bertempur mati-matian melawan Welang Jrabang, salah seorang
kepercayaan Jaka Soka. Namun Bantaran telah memiliki pengetahuan yang cukup untuk
dapat menyelamatkan dirinya.
Di bagian yang lebih padat, tampaklah Penjawi bertempur dengan penuh tekad. Tak ada
persoalan hidup atau mati di dalam kepalanya. Ia hanya menyerahkan diri dalam satu
pengabdian. Seterusnya ia pasrah diri setelah berjuang sekuat kemampuannya. Namun
karena itu, ia menjadi tenang. Dan ketenangannya itulah yang menyebabkan Penjawi
menjadi seperti burung alap-alap, yang menyambar-nyambar dengan kuku-kukunya yang
runcing tajam.
Laskar Banyubiru benar-benar menakjubkan. Tidak saja lawan-lawan mereka menjadi
cemas, tetapi agaknya orang-orang Pamingit yang sempat melihat betapa anak-anak
Banyubiru itu bertempur, menjadi bersyukur di dalam hati. Bagaimanakah kiranya
seandainya mereka, orang-orang dari Pamingit terpaksa bertempur melawan laskar
Banyubiru itu? Laskar yang semula mereka anggap tidak lebih dari sekelompok pemuda
yang hanya pandai mencegat pedagang-pedagang yang pergi ke pasar, atau merampok
warung-warung penjual makanan untuk menyambung hidup mereka. Kini ternyata bahwa
laskar Banyubiru yang berada di sekitar Candi Gedong Sanga itu adalah benar-benar
pejuang yang mengabdikan diri pada cita-citanya.
Matahari kian lama menjadi semakin rendah. Awan yang putih tampak berarak-arak di
wajah langit yang biru. Burung gagak berterbangan berputar-putar di atas daerah
pertempuran yang menghamburkan bau darah. Burung-burung itu berteriak-teriak di udara.
Mereka menjadi tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Betapa segarnya darah yang
mengalir dari luka. Mereka harus mendapatkannya lebih dahulu sebelum anjing-anjing liar
dan serigala-serigala lapar mendahuluinya. Tetapi pertempuran itu masih ribut. Dan burungburung itupun menjadi semakin tidak sabar dan berteriak-teriak tinggi.
Meskipun laskar Banyubiru dan Pamingit berhasil mendesak laskar golongan hitam, namun
pergeseran garis pertempuran itu tidak seberapa jauh. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa
kekuatan mereka seimbang. Korban satu-satu jatuh. Dan masih banyak yang akan
menyusul. Setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai kemungkinan yang sama.
Mati di ujung senjata. Melihat semuanya itu Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Betapa
perasaan ngeri mengorek-orek jantungnya. Setiap ia melihat tubuh yang terbanting di tanah
dan setiap telinganya mendengar jerit kesakitan, terasa hatinya seperti tertusuk sembilu.
(Bersambung)-m
Serial Bersambung 28 Oktober 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintanrja No. 603
TIBA-TIBA Kebo Kanigara berhasrat untuk menghentikan pertempuran itu segera. Meskipun
sebenarnya tidak saja Kebo Kanigara yang dijalari oleh perasaan yang demikian itu, namun
mereka sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu, atau mereka belum berhasil untuk
berbuat sesuatu. Ki Ageng Sora Dipayana melihat dengan sedih, korban-korban yang
berjatuhan. Setiap kali ia melihat darah yang memancar dari luka, setiap kali ia
memperkuat serangan-serangannya, namun lawannya berbuat demikian pula. Bugel Kaliki
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 3 dari 142

telah mengerahkan segenap kesaktiannya untuk melawan Ki Ageng Sora Dipayana. Tak jauh
berbeda pula perasaan Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten. Merekapun telah berjuang
sekuat-kuat tenaga mereka. Semakin cepat pertempuran itu selesai, menjadi semakin baik
bagi mereka dan laskar mereka. Jumlah korban mereka, namun lawan mereka tak pula
kalah saktinya. Apalagi kemudian, ketika Pasingsingan benar-benar telah dilumuri oleh
keringat yang mengalir dari setiap lubang kulitnya, hatinya menjadi bertambah gelap.
Tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam pusaka saktinya, Ki Ageng Suluh, sebuah
pisau belati panjang kuning gemerlapan. Ki Ageng Pandan Alas terkejut melihat senjata itu.
Ia menyangka bahwa Pasingsingan akan melepaskan ilmu andalannya, Gelap Ngampar
atau Alas Kobar, atau kedua-duanya.
Tetapi agaknya Pasingsingan sadar bahwa lawannya mempunyai cukup daya tahan untuk
melawannya. Karena itu, ia mengambil ketetapan hati, pusakanya itu akan dapat
menyelesaikan masalahnya dengan cepat. Setiap goresan yang dapat melukai kulit Pandan
Alas, adalah suatu alamat, bahwa Pandan Alas akan tinggal disebut namanya. Tetapi Pandan
Alas tidak mau melawan Kyai Suluh itu dengan tangannya.
Ketika pisau yang gemerlapan itu melingkar-lingkar di sekitar tubuhnya, dengan tangkasnya
ia menarik pusakanya pula, Kyai Sigar Penjalin. Sebilah keris yang tidak kalah saktinya.
Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya menjadi semakin sengit. Tanpa
mereka kehendaki, menyingkirlah laskar Banyubiru, Pamingit dan laskar golongan hitam
dari daerah sekitar mereka berdua. Sehingga dengan demikian, seolah-olah bagi mereka
sengaja disediakan tempat yang cukup luas untuk mengadu kesaktian.
Daerah pertempuran, yang berupa padang rumput dan sawah-sawah yang terletak di lereng
bukit itu, merupakan daerah yang sama sekali tidak rata. Ada bagian yang cekung, namun
ada bagian-bagian yang menjorok naik, sehingga dengan demikian memungkinkan bagi
mereka untuk dapat melihat arena pertempuran itu seluas-luasnya. Demikianlah agaknya
maka hampir setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai gambaran atas peristiwa
yang terjadi di arena itu. Kalau mereka berkesempatan, dapatlah mereka melihat betapa
debu mengepul tinggi ke udara dari daerah sayap kiri, atau kilatan ujung senjata di sayap
kanan. Mereka dapat juga melihat daerah-daerah yang lengang di tengah-tengah arena,
yang merupakan pertanda bahwa di daerah itulah tokoh-tokoh sakti sedang mengadu
tenaga sehingga tak seorangpun yang berani mendekati.
Ketika matahari telah surut ke ufuk barat, Ki Ageng Sora Dipayana menjadi semakin
gelisah. Apabila malam tiba, dan pertempuran ini harus dihentikan, maka akan terulang
kembali perisitiwa ini besok pagi. Bertempur, bunuh-membunuh dan korban akan
berjatuhan. Demikian seterusnya. Mungkin berhari-hari, seperti ia sendiri akan
mengalaminya melawan Bugel Kaliki. Mungkin seminggu, dua minggu. Ia sendiri atau Bugel
Kaliki akan betahan terus, tetapi laskarnya akan semakin surut. Namun demikian, apa yang
dilakukan adalah batas tertinggi dari kemampuannya. Sebab Bugel Kaliki pun berusaha
untuk membunuhnya seperti apa yang diusahakannya atas orang itu. Demikian juga Pandan
Alas dan Titis Anganten. Tetapi di sapit sebelah kiri terjadilah hal yang agak berbeda. Ketika
Kebo Kanigara melihat warna lembayung membayang dilangit, ia menarik keningnya. Ketika
ia sekilas melihat Mahesa Jenar yang bertempur tidak demikian jauh darinya, ia tersenyum
kecil.
Memang pada saat itupun Mahesa Jenar dihinggapi oleh perasaan yang sama seperti
perasaan yang menjalar di dalam dada Ki Ageng Sora Dipayana, di dalam dada Ki Ageng
Pandan Alas, Titis Anganten dan Kebo Kanigara. Karena itulah maka, seperti mereka pula,
mencemaskan betapa korban akan berjatuhan besok pagi, lusa atau seterusnya, apabila
keseimbangan pertempuran tidak segera berubah.
Karena itu, ketika senja mewarnai langit, terdengar ia menggeram perlahan-lahan. Sekali
lagi dengan tajamnya ia memandang wajah Sima Rodra yang bertempur dengan dahsyatnya
sambil mengaum mengerikan. Tiba-tiba di wajah itu terbayanglah betapa keji perbuatanNagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 4 dari 142

perbuatan yang pernah dilakukan. Kalau anak perempuannya telah melakukan perbuatan
yang terkutuk, apakah kira-kira yang pernah dilakukan oleh Harimau tua itu? Berapa puluh
gadis yang pernah dikorbankan untuk upacara-upacaranya yang aneh-aneh?
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Agaknya Sima Rodra pun sadar bahwa menjelang
malam, ia harus mengambil suatu kepastian, supaya besok pertempuran dapat dimulai
dengan permulaan yang berbeda. Karena itu Sima Rodra pun menjadi bertambah liar.
Akhirnya terjadilah suatu hal yang mengerikan.
Sima Rodra itu mengaum dengan dahsyatnya, serta menggerakkan seluruh tubuhnya
seperti orang yang menggigil kedinginan.
Mehesa Jenar pernah melihat gerakan-gerakan yang demikian. Pada saat itu ia mengambil
pusaka-pusaka keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dari Gunung Tidar. Untunglah bahwa
pada saat itu Titis Anganten datang menolongnya, sehingga kekuatan aji Sima Rodra yang
dinamainya Macan Liwung itu dapat dipunahkan. Dan keadannya kini pun sudah tidak
memerlukan pertolongan orang lain. Karena itu, selagi ia berkesempatan, segera ia
mengatur jalan pernafasannya baik-baik, memusatkan segenap pancaindra dan pikirannya.
Diangkatnya satu kakinya, satu tangannya bersilang dada dan tangannya yang lain
diangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menggapai langit.
Serial Bersambung 29 Oktober 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintanrja No. 604
DEMIKIANLAH, pada saat yang tegang itu terdengarlah bibir Mahesa Jenar bergumam,
Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, tiada kekuasaan dan tiada
kekuatan kecuali dari Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Besar.
Pada saat itulah ia melihat Sima Rodra itu meloncat dengan kecepatan dan kekuatan yang
tak dapat dikira-kirakan. Mahesa Jenar berusaha untuk tidak membenturkan diri dengan
kekuatan aji Macan Luwung itu. Dengan lincahnya ia meloncat selangkah ke kanan,
kemudian dengan satu putaran ia menghindari serangan Sima Rodra. Sima Rodra yang
telah melancarkan kekuatan yang tiada taranya, dengan kecepatan yang luar biasa pula,
menjadi kehilangan daya tahannya untuk menarik serangannya.
Ia terdorong selangkah ke depan, ketika pada saat yang bersamaan Mahesa Jenar berputar
lagi untuk kemudian dengan garangnya meloncat ke arah Harimau yang telah menjadi gila
itu. Semuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Nagapasa meluncur seperti seekor naga yang mematuk mangsanya secepat tatit, sedang
tak ada sekejap mata kemudian, Sima Rodra menerkam pula seperti seekor Harimau gila,
secepat petir menyambar. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten
dan Lembu Sora beserta Sawung Sariti, demikian juga Arya Salaka, hanya sempat melihat
betapa dua orang, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bersikap serupa. Kedua-duanya sedang
menyalurkan aji yang sama dengan cara yang sama, Sasra Birawa. Meskipun persamaan itu
telah menimbulkan suatu teka-teki pada mereka, dan bahkan tokoh-tokoh sakti dari
golongan hitam, namun mereka tidak sempat menebak-nebak lagi, ketika mereka melihat
apa yang terjadi kemudian.
Ternyata Kebo Kanigara sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Dengan tatag dan
penuh kepercayaan kepada diri, ia membenturkan aji Sasra Birawa melawan aji Nagapasa,
sedang di lain pihak Mahesa Jenar telah menghemat tenaganya dan melakukan suatu
tindakan yang pasti, menghindari benturan dengan aji Macan Liwung, namun dengan pasti
ia berputar satu kali dan mengayunkan ajiannya Sasra Birawa.
Dalam keadaan yang demikian Sima Rodra hanya mampu untuk bertahan. Tetapi apa yang
terjadi benar-benar telah menggoncangkan setiap dada mereka yang menyaksikan. Dua
benturan yang hampir bersamaan disusul dengan bunyi yang gemuruh dua kali berturutturut. Kemudian apa yang mereka saksikan hampir-hampir tak dapat dipercaya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 5 dari 142

Nagapasa, seorang yang sakti tanpa banding di sekitar pulau Nusakambangan, bahkan yang
tak terkalahkan oleh setiap tokoh sakti yang manapun dari golongan hitam maupun lawanlawan mereka, kini terbanting diam. Meskipun tak sempat semenitpun tampak luka pada
kulitnya, namun isi dadanya serasa hangus terbakar. Karena itu, Nagapasa tidak usah
mengaduh untuk kedua kalinya. Naga Laut yang mengerikan itu mati di tangan Kebo
Kanigara, orang yang sama sekali tak dikenal, baik oleh golongan hitam, maupun oleh para
pemimpin Banyubiru dan Pamingit.
Sedang tidak jauh darinya, Sima Rodra mengaum dahsyat, sekali ia menggeliat, kemudian
diam untuk selama-lamanya. Mati. Untuk beberapa saat, semua orang yang menyaksikan
peristiwa itu terpaku di tempatnya.
Lembu Sora dan Sawung Sariti tak begitu jelas melihat apa yang terjadi. Yang diketahuinya
kemudian adalah sorak-sorai yang membahana seperti benteng runtuh. Sayup-sayup
terdengar di antara gemersik angin senja, laskar Banyubiru berteriak-teriak, Nagapasa
mati, Nagapasa mati...! Kemudian disusul, Sima Rodra mati, Sima Rodra mati...
Teriakan-teriakan itu benar-benar hampir tak dipercaya. Bagaimana mungkin Nagapasa
dapat mati, dan Sima Rodra tua dari Lodaya itu pula. Apakah Mahesa Jenar dan sahabatnya
itu mampu membunuh mereka? Tetapi sorak itu masih mengumandang terus. Bahkan
kemudian menjalar hampir ke segenap daerah pertempuran. Namun bagaimanapun juga
berita itu sangat meragukan. Bahkan, Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan
Titis Anganten, yang beruntung dapat melihat peristiwa itupun, meragukan penglihatannya.
Mereka saling memandang satu sama lain. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan
kepala mereka dengan penuh kekaguman dan keheranan.
Suatu keajaiban, desis Sora Dipayana. Tokoh-tokoh sakti itu terpaksa menahan gelora
perasaan mereka yang melonjak-lonjak. Meskipun ia telah menempa diri, serta sejak ia
melihat untuk pertama kali atas orang yang bernama Kebo Kanigara itu, sudah terasa
padanya betapa besar pengaruhnya terhadap Mahesa Jenar, namun sama sekali tak
diduganya bahwa Kebo Kanigara itupun memiliki ilmu keturunan Pengging yang gemilang.
Bahkan sedemikian sempurnanya sehingga timbullah keraguan di dalam hatinya, bahwa
orang itu adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, sebaya dengan mereka. Sedang orang
yang bernama Kebo Kanigara itu ternyata, sebagaimana terbukti, telah berhasil membunuh
Nagapasa dalam suatu benturan ilmu.
Dengan demikian dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa orang itu pasti memiliki
kesempurnaan Sasra Birawa lebih dahsyat daripada Ki Ageng Pengging Sepuh yang
perkasa. Sebab seandainya Ki Ageng Pengging Sepuh masih ada di antara mereka dalam
tatarannya, dan membenturkan diri melawan Nagapasa, belum dapat diambil suatu
kepastian bahwa ilmu Sasra Birawa itu akan dapat mengatasi, apalagi sampai membunuh
Nagapasa. Tetapi disamping itu, Mahesa Jenar pun ternyata dapat membunuh Sima Rodra,
pada saat Sima Rodra telah siap melawan Sasra Birawa yang diayunkannya.
Seandainya Mahesa Jenar telah berhasil menyusul kesempurnaan gurunya sekalipun, Sima
Rodra itu pasti tidak akan mati. Namun adalah suatu kenyataan. Nagapasa dan Sima Rodra
mati hampir pada saat yang bersamaan karena aji yang sama, Sasra Birawa. Dari manakah
anak-anak muda itu mendapat kedahsyatan dan kesempurnaan ilmunya? gumam Titis
Anganten. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 30 Oktober 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintanrja No. 605
LEMBU SORA, setelah mendapat suatu kepastian tentang kematian Nagapasa dan Sima
Rodra, menjadi gemetar. Bulu-bulu tengkuknya serentak berdiri. Terasa betapa
punggungnya meremang.
Hampir saja ia terlibat dalam perkelahian melawan Mahesa Jenar, bahkan sampai terulang
beberapa kali. Dahulu ia tidak dapat mengalahkannya. Meskipun kemudian ilmunya
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 6 dari 142

berkembang dengan pesat, namun apakah ia dapat berhadapan melawan Sima Rodra...?
Sedang Mahesa Jenar itu telah berhasil membunuh Harimau Lodaya itu. Dan seandainya
Sasra Birawa itu dikenakan pada tengkuknya, apakah kira-kira yang akan terjadi? Mungkin
lehernya akan patah, bahkan mungkin kepalanya akan terlontar dan pecah berserakserakan.
Diam-diam Lembu Sora mengucap syukur, dan sekaligus ia benar-benar tenggelam dalam
perasaan kagum dan hormat. Meskipun Mahesa Jenar telah memiliki kedahsyatan ilmu
Sasra Birawa, namun ia selalu menghindari bentrokan dengan dirinya. Benar-benar suatu
sikap yang jarang ditemuinya. Sesaat kemudian, di antara derai sorak-sorai laskar
Banyubiru, kembali terdengar dentang senjata beradu. Laskar Banyubiru menjadi
bertambah berani dan berbesar hati, sedang sebaliknya di laskar golongan hitam menjadi
ngeri. Dua tokoh sakti dari antara mereka telah mati. Dan kematian dua orang itu benarbenar mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Pasingsingan, Bugel Kaliki dan Sura
Sarunggi harus berpikir untuk kesekian kalinya. Meskipun lawan-lawan mereka tak akan
dapat membunuhnya dengan mudah, tetapi bagaimanakah kalau tiba-tiba Kebo Kanigara
atau Mahesa Jenar datang mendekat? Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam menjadi
gelisah.
Apalagi Jaka Soka. Sama sekali tak dimengertinya apa yang sebenarnya terjadi. Gurunya
yang diagung-agungkan selama ini, mati di tangan orang yang tak bernama. Alangkah
anehnya dunia ini. Ia menyesal bahwa gurunya melibatkan diri dalam persoalan ini. Atas
permintaannya. Gurunya, yang jarang-jarang menampakkan diri, terpaksa menyeberangi
selat Nusakambangan. Tetapi itupun bukan salahnya, sebab ternyata Lawa Ijo, Sima Rodra
Gunung Tidar, Uling Rawa Pening pun telah membawa guru mereka masing-masing.
Sehingga apabila kemudian mereka memperoleh kemenangan akan terdesaklah dirinya,
apalagi gurunya tidak ada di sampingnya. Tetapi kini gurunya itu sudah tidak ada lagi.
Karena itu hatinya menjadi kecut. Apapun yang terjadi, maka ia akan mengalami kekalahan.
Kemenangan golongan hitampun sama sekali tak berarti baginya. Sebab kemenangan itu
pasti akan dimiliki oleh Lawa Ijo dan Pasingsingan atau Sura Sarunggi, bahkan mungkin
Bugel Kaliki. Ia hanya dapat mengharap embun yang menetes dari langit, apabila tokohtokoh sakti itu dalam pertentangan kemudian menjadi sampyuh.
Tetapi itu mustahil terjadi. Yang mungkin terjadi, mereka akan membagi kemenangan. Dan
Nusakambangan akan dipencilkan. Karena itu, Jaka Soka telah kehilangan nafsunya untuk
bertempur terus. Ia kini tinggal mempertahankan dirinya supaya tidak mati. Ketika ia
memandang langit yang telah hampir kehilangan cahayanya, ia menjadi gembira. Ia tidak
mau meninggalkan medan hanya karena keseganannya kepada kawan-kawannya. Atau
tuduhan-tuduhan lain yang semakin menyulitkan kedudukannya. Dalam pada itu, matahari
beredar terus. Ketika tokoh-tokoh sakti dari keduabelah pihak terlibat kembali dalam
pertempuran, warna-warna yang kelam mewarnai lembah-lembah yang cekung. Perlahanlahan warna itu merayapi tebing semakin tinggi. Angin pegunungan yang sejuk terasa
silirnya mengusap tubuh.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang telah kehilangan lawannya tidak segera berbuat
sesuatu. Mereka masih diam dan tegak di tempat masing-masing. Namun di daerah sekitar
mereka benar-benar telah menjadi sepi. Orang-orang dari Laskar golongan hitam, jauh-jauh
telah menyingkir dari kedua orang yang luar biasa itu. Akhirnya malampun datang merebut
waktu. Medan itu menjadi semakin gelap.
Dan mereka yang bertempur telah kehilangan pengamatan atas kawan dan lawan. Karena
itu, terdengarlah sebuah tengara atas perintah sasmita dari Ki Ageng Sora Dipayana. Ketika
sangkalala itu berbunyi, laskar Banyubiru dan Pamingit segera mempersiapkan diri mereka
untuk menghentikan peperangan. Mereka tidak lagi mengambil kesempatan-kesempatan
untuk menyerang, namun mereka tidak mau diserang dalam keadaan yang demikian. Tetapi
agaknya golongan hitam itupun benar-benar telah kehilangan semangat mereka. Demikian
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 7 dari 142

mereka mendengar bunyi sangkalala, yang meskipun mereka tahu, bahwa tanda itu
diberikan oleh pimpinan laskar lawannya, namun dengan serta merta mereka berloncatan
mundur dan dengan serta merta pula pertempuran itu berhenti. Laskar golongan hitam itu
segera menarik diri. Seperti juga mereka datang, mereka pergi demikian saja tanpa ikatan
satu sama lain. Seolah-olah mereka tidak terdiri dari satu pasukan yang baru saja
bertempur. Tetapi seolah-olah mereka adalah rombongan orang yang pulang nonton tayub
dan menjadi mabuk tuak. Berbondong-bondong dengan langkah gontai, mereka
meninggalkan medan. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 31 Oktober 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintardja No. 606
SATU-DUA orang mencoba menolong kawan-kawan mereka yang luka dan memapahnya. Tetapi kebanyakan dari
mereka sama sekali tidak ambil pusing kepada mereka yang terpaksa berjalan sambil merintih-rintih, bahkan hampir
merangkak-rangkak sekalipun. Apalagi mereka yang terluka dan parah terbaring di bekas daerah pertempuran itupun
sama sekali tidak mendapat perhatian. Telah menjadi kebiasaan mereka, laskar golongan hitam, untuk menjaga diri
masing-masing. Bahkan untuk kepentingan rahasia mereka, sama sekali mereka tidak segan membunuh kawan
sendiri. Berbeda dengan laskar Pamingit dan Banyubiru. Segera mereka berkumpul dalam kelompok masingmasing.
Pemimpin-pemimpin kelompok yang tetap hidup segera menghitung laskar mereka, sedang yang terpaksa gugur
atau terluka, segera ditunjuk gantinya. Mereka segera membentuk kelompok-kelompok yang mendapat tugas
khusus, merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan gugur dimedan perjuangan menegakkan hak atas tanah
mereka. Bahkan tugas mereka melimpah pula kepada kawan-kawan mereka yang parah. Merekapun berhak
mendapat pertolongan dan pengobatan atas luka-luka mereka.
Demikianlah medan pertempuran itu segera menjadi sepi. Beberapa orang dengan obor di tangan menjalankan tugas
mereka. Sedang orang-orang lain, dalam satu barisan yang tertib kembali ke perkemahan di Pangrantunan. Mereka
harus mempergunakan waktu istirahat mereka sebaik-baiknya.
Besok mereka masih harus bertempur lagi. Mungkin mereka akan mendesak maju. Mereka merasa bahwa
keseimbangan pertempuran telah berubah. Bahkan mungkin besok mereka telah dapat memasuki Pamingit. Ki
Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten, demikian pertempuran selesai, segera pergi
bergegas-gegas menemui Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Ketika mereka telah berdiri di hadapan kedua orang itu, tiba-tiba tanpa sengaja mereka mengangguk hormat.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi kaku karenanya. Merekapun segera menghormat tokoh-tokoh sakti yang
sebaya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh itu.
Namun segera terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata, Sungguh luar biasa. Angger Mahesa Jenar dan Angger
Putut Karang Jati. Kami orang-orang tua ini, agaknya telah kehilangan daya pengamatan atas cahaya teja yang
memancar dari tubuh Angger berdua. Sebagaimana terbukti, bahwa Angger telah melakukan sesuatu yang tak
dapat kami duga sebelumnya karena rasa sombong di hati kami. Seolah-olah tak ada orang lain yang dapat
menyamai kesaktian-kesaktian kami. Ternyata bahwa Angger berdua memiliki kesaktian jauh di atas kesaktian kami
orang-orang tua yang tak tahu diri.
Mahesa Jenar menjadi semakin kaku. Ia tidak pernah melihat sikap yang sedemikian merendahkan diri dari tokohtokoh tua itu. Karena itu ia menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab. Yang kemudian terdengar adalah jawab
Kebo Kanigara, Ada kekuasaan di atas, kekuasaan-Nya, dan berterima kasih kepada-Nya pula. Kami tidak lebih
hanyalah lantaran-lantaran yang ditunjuknya.
Tokoh-tokoh sakti yang mendengar kata-kata Kebo Kanigara itu langsung tersentuh hatinya. Sebagai orang-orang
yang taat beribadah, mereka langsung dapat merasakan betapa Tuhan mengulurkan Tangan-Nya untuk menolong
umatnya.
Sementara itu, mereka yang mendapat tugas di bekas medan pertempuran itu menjalankan pekerjaan mereka dengan
tertib. Mereka berusaha meringankan setiap penderitaan dari mereka yang terluka. Ki Ageng Sora Dipayana dan
kawan-kawannyapun mendahului kembali ke perkemahan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Tak banyak yang mereka percakapkan di sepanjang perjalanan itu. Namun di dalam dada tokoh-tokoh sakti itu
masih tetap tersimpan berbagai pertanyaan mengenai Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Pagi tadi mereka masih
menyangka bahwa kedua orang itu masih harus bertempur dalam perlindungan mereka dan laskar-laskar mereka.
Tetapi tiba-tiba suatu kenyataan, kedua orang itu memiliki kesaktian melampaui kesaktian mereka sendiri.
Sampai perkemahan, segera Ki Ageng Sora Dipayana mengatur penjagaan dan pengawasan atas daerah perkemahan
mereka dan pengawasan atas daerah lawan. Beberapa orang mendapat tugas untuk mengamat-amati perkemahan dan
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 8 dari 142

setiap gerak-gerik dari laskar golongan hitam. Apapun yang mereka lakukan, para pengawas itu harus memberikan
laporan setiap saat dengan tertib. Ketika Ki Ageng Sora Dipayana kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar
pergi membersihkan diri, sambil mengambil air wudlu, dari celah-celah pintu rumah tempat peristirahatannya
mereka melihat Lembu Sora sedang sembahyang.
Mahesa Jenar berhenti pula ketika tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana berhenti. Orang tua itu melihat anaknya
bersembahyang, seperti orang yang sedang mengagumi sesuatu. Mahesa Jenar menjadi heran. Bukankah
sembahyang itu harus dilakukan setiap hari, bahkan lima kali dalam keadaan wajar? Bahkan orang tua itu kemudian
bergumam, Tuhan telah menerangi hatinya.
Mahesa Jenar menjadi semakin heran, maka bertanyalah ia, Bukankah sudah seharusnya dilakukan, Ki Ageng?
Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, Aku hampir saja putus asa. Lembu Sora lebih
senang mengadu ayam dan berjudi daripada mendekatkan diri kepada Tuhan. Beberapa tahun terakhir, ia seolaholah sudah lupa sama sekali akan kewajiban itu. Syukurlah, kini ia telah menemukan jalannya. Tetapi... kata-kata
orang tua itu terputus oleh tarikan nafasnya. Tetapi...
Tidak dengan sengaja Mahesa Jenar mengulangi kata itu. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 01 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintanrja No. 607
KI AGENG Sora Dipayana memandangi wajah Mahesa Jenar dengan mata yang suram. Terasa ada sesuatu yang
menghimpit hatinya. Tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana melangkah kembali untuk
membersihkan dirinya. Mahesa Jenar pun tidak bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti saja langkah orang tua itu sambil
berdiam diri.
Ketika mereka bertemu dengan Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana bertanya, Dari mana kau Arya?
Arya berhenti, kemudian ia menjawab, Sesuci Eyang. Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, Bagus. Di mana adikmu Sawung Sariti? Arya Salaka menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya, Aku
tidak melihatnya, Eyang. Barangkali ia bersama-sama Paman Lembu Sora.
Kalau kau bertemu dengan anak itu nanti, berilah ia beberapa petunjuk. Ajaklah ia kembali kepada Yang Maha
Kuasa, pinta orang tua itu.
Baiklah Eyang, jawab Arya. Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana dan Mahesa Jenar pergi pula ke pancuran dari
sumber air di bawah pohon beringin tua.
Angger Mahesa Jenar agaknya beruntung dapat membawa Arya Salaka ke jalan yang gemilang, lahir dan batin.
Tanpa keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah kekecewaan, gumam Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itulah
segera Mahesa Jenar mengerti, bahwa Ki Ageng Sora Dipayana sedang mencemaskan nasib cucunya, Sawung Sariti.
Malam itu, ketika semuanya telah selesai, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka dengan nikmatnya
menyuapi mulut masing-masing dengan nasi hangat dan serundeng kelapa seperti pagi tadi.
Namun meskipun demikian, karena letih dan lapar, maka terasa seolah-olah hidangan yang dimakannya itu adalah
hidangan yang seenak-enaknya. Mereka duduk-duduk di antara laskar mereka, di sekeliling perapian untuk
menghangatkan diri. Beberapa kali terdengar suara Bantaran, Penjawi, Jaladri dan beberapa orang lain tertawa
ketika ia mendengar Sendang Papat berceritera.
Anak itu memang pandai berkelekar. Namun lambat laun suara tertawa merekapun semakin jarang dan lambat.
Kemudian mereka tidak dapat menahan kantuk mereka. Diatas anyaman daun kelapa mereka merebahkan diri. Tidur
sambil memeluk senjata masing-masing. Arya Salaka kemudian tertidur pula. Begitu nyenyaknya dibuai oleh mimpi
yang segar. Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara akan merebahkan dirinya pula, mereka dikejutkan oleh langkah
seseorang mendekati mereka.
Ketika mereka menoleh dilihatnya Lembu Sora datang kepada mereka. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bangkit,
sambil mempersilahkan, Marilah Ki Ageng.
Lembu Sora mengangguk hormat dengan tulusnya. Berbeda dengan saat-saat yang lampau. Kemudian merekapun
duduk pula didekat perapian yang masih menyala-nyala itu. Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati... Ki
Ageng Lembu Sora mulai, Aku memerlukan datang kepada kalian berdua untuk memohon maaf atas segala
kekhilafan yang pernah aku lakukan, lebih-lebih kepada Adi Mahesa Jenar dan apabila aku masih sempat untuk
bertemu karena kepalaku tidak terpenggal pedang Jaka Soka besok pagi, aku akan bersujud pula di bawah kaki
Kakang Gajah Sora. Betapa besar dosa yang telah aku lakukan. Atas ayah Sora Dipayana, Kakang Gajah Sora dan
lebih-lebih lagi atas Pamingit dan Banyubiru.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 9 dari 142

Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar pengakuan itu, dan terasa betapa ikhlasnya Lembu Sora
memandang kepada diri sendiri. Udara malam terasa dingin, namun kehangatan yang dilemparkan oleh perapian di
samping mereka terasa betapa nyamannya. Sebelum Mahesa Jenar menjawab, Lembu Sora meneruskan, Dalam
keadaan-keadaan yang sulit seperti apa yang aku alami sekarang, baru dapat aku lihat, betapa noda-noda telah
melekat pada masa lampau itu. Mudah-mudahan aku belum terlambat.
Lembu Sora diam sesaat menelan ludah yang seolah-olah menyumbat kerongkongan. Tetapi Kakang, apabila besok
aku terbunuh dalam mempertahankan tanah ini, biarlah Kakang menyampaikan rasa penyesalanku kepada Kakang
Gajah Sora kelak.
Tak ada kelambatan untuk menyatakan kesalahan diri, sahut Mahesa Jenar. Meskipun aku belum lama
berkenalan, namun aku tahu bahwa dada Kakang Gajah Sora adalah seluas samodra. Karena itu, kalau Ki Ageng
menyatakan penyesalan diri dengan ikhlas, maka Kakang Gajah Sora pun pasti akan memaafkannya.
Ya... Lembu Sora menjawab, Aku tahu itu. Aku sadar betapa Kakang Gajah Sora memanjakan aku sejak masa
kanak-kanak kami. Tetapi apa yang aku lakukan telah melampaui batas. Aku telah sampai pada usaha untuk
membunuhnya atau meniadakannya. Bahkan membunuh anaknya yang tak mengetahui sama sekali persoalan di
antara kami. Syukurlah bahwa Tuhan membebaskan aku dari pembunuhan-pembunuhan itu.
Hal itu tidak akan mengurangi kelapangan dada Kakang Gajah Sora, kata Mahesa Jenar seperti kepada anak-anak
yang betapa miskin jiwanya dalam menanggapi hidup dan kehidupan.
Tetapi kalau aku tidak sempat karena aku terbunuh...? Lembu Sora bertanya benar-benar seperti orang yang
sedemikian bodohnya.
Tidak, jawab Mahesa Jenar, Meskipun hidup dan mati berada di tangan Tuhan, namun berdoalah agar Tuhan
menyelamatkan Ki Ageng Lembu Sora. Saat ini Kakang berada di pihak yang benar. Karena itulah maka kami dan
Arya Salaka bersedia berdiri di pihak Ki Ageng. Dan karena itu pula Tuhan akan melimpahkan rahmat-Nya.
(Bersambung)-m
Serial Bersambung 02 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 608
LEMBU SORA terdiam. Matanya yang muram, merenungi api yang sedang menjilat- jilat ke udara dengan
lincahnya. Tetapi di dalam nyala yang seolah-olah menari- nari itu dilihatnya betapa kelam masa-masa lampau yang
pernah dijalaninya. Ketamakan, kebencian, pemanjaan nafsu lahiriah, dan segala macam sifat-sifat yang tercela.
Dilihatnya betapa dirinya duduk di atas singgasana Demak, dengan Kyai Nagasasra di tangan kanan dan Kyai Sabuk
Inten di tangan kiri. Sedang kakinya beralaskan bangkai Ki Ageng Gajah Sora dan Arya Salaka, dan sekitarnya
berserak-serakanlah bangkai-bangkai orang Banyubiru. Pandan Kuning, Sawungrana dan lain-lain.
Tiba-tiba ia menjadi ngeri pada gambaran cita-citanya waktu itu. Dengan tanpa disengaja maka kedua tangannya
diangkatnya menutupi wajahnya. Akhirnya wajah itu tertunduk lesu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengetahui betapa rasa penyesalan bergolak di dalam dada Ki Ageng Lembu
Sora. Betapa ia mengutuki dirinya sendiri yang telah tersesat terlalu jauh. Untunglah bahwa akhirnya ditemukannya
jalan kembali.
Untuk sesaat suasana dicekam oleh kesepian. Malam menjadi semakin dalam dan sepi. Namun terasa di sana sini
para pengawas dan para penjaga bekerja dengan tekunnya. Di tangan mereka terletak tanggungjawab atas
keselamatan perkemahan Pangrantunan. Sebab tidaklah mustahil laskar golongan hitam itu menyerang mereka pada
malam hari ketika mereka sedang nyenyak tertidur.
Tiba-tiba Arya Salaka menggeliat. Ketika ia membuka matanya, ia melihat pamannya Lembu Sora duduk bersamasama dengan gurunya dan Kebo Kanigara. Karena itu iapun segera bangkit dan duduk pula. Lembu Sora melihat
Arya bangun dekat di sampingnya. Tiba-tiba terasa betapa hatinya bergelora. Dan tiba-tiba pula dengan serta merta
diraihnya kepala anak muda itu seperti masa anak-anak dahulu.
Arya... desisnya, Maafkan pamanmu. Arya pun merasa betapa hatinya bergetar mendengar kata-kata pamannya.
Karena itulah maka mulutnya menjadi seolah-olah terkunci. Namun hatinya berkata, Aku akan berusaha
melupakannya, Paman. Kemudian ketika kepala itu dilepaskan, mata Arya menjadi panas. Seolah-olah ada yang
berdesakan hendak meloncat keluar. Karena itulah maka ditengadahkan kepalanya ke langit. Sedang Ki Ageng
Lembu Sora pun menarik nafas dalam-dalam.
Kembali suasana terlempar ke dalam heningnya malam. Dan kembali Lembu Sora berangan-angan. Kini yang
bergolak di dalam hatinya adalah anaknya, Sawung Sariti. Ia menyesal telah membawa anak itu lewat jalan yang
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 10 dari 142

penuh dengan noda dan dosa. Apalagi ketika ia sadar bahwa sampai saat ini anak itu masih tetap dalam
pendiriannya. Karena itu kemudian ia berkata, Arya, di manakah adikmu?
Arya memalingkan kepalanya. Ia mendengar pertanyaan yang serupa dari eyangnya tadi. Maka iapun menjawab,
Aku tidak tahu, Paman. Tadi eyangpun menanyakan Adi Sawung Sariti. Aku kira Adi bersama-sama dengan
Paman.
Kembali penyesalan melonjak-lonjak di dalam dadanya. Pasti anak itu pergi dengan Galunggung. Seorang yang
sama sekali tidak mempunyai harga diri dan kesopanan dalam tata pergaulan manusia. Tetapi kembali Lembu Sora
menimpakan kesalahan pada diri sendiri. Mudah-mudahan ia terbentur pada kenyataan ini seperti aku sendiri,
gumam Lembu Sora, lebih-lebih ditujukan kepada dirinya sendiri.
Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata, Arya, adikmu telah terlampau jauh tersesat seperti aku. Namun aku
masih dapat melihat kenyataan ini. Mudah-mudahan Sawung Sariti pun demikian. Dapatkah kau membantu aku
membawanya kembali ke jalan yang benar?
Mudah-mudahan, Paman, jawab Arya, meskipun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa adik
sepupunya itu sedemikian membencinya, jauh lebih dalam daripada pamannya itu sendiri. Namun demikian ia
berjanji untuk berusaha. Dalam pada itu, tiba-tiba datanglah Wulungan. Dengan heran ia melihat Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Arya Salaka masih enak-enak duduk di situ. Apakah ia belum mendengar laporan yang
disampaikan oleh beberapa orang pengawas? Tetapi karena persoalannya sedemikian penting, maka Wulunganpun
tidak segan- segan menanyakannya.
Maka iapun kemudian duduk pula di samping perapian itu sambil bertanya kepada Mahesa Jenar, Tuan, apakah
Tuan telah mendengar laporan para pengawas?
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Belum Wulungan, jawabnya. Laporan tentang apa? Ataukah laporan ini
disampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana? Namun meskipun demikian, Ki Ageng Sora Dipayana pasti segera
memberitahukan kepada Tuan dan Angger Arya Salaka, sambung Wulungan.
Penting sekalikah laporan itu? tanya Arya.
Ya, sangat penting bagi Angger, jawab Wulungan. Kalau demikian... ia melanjutkan, Biarlah aku panggil orang
itu.
Wulungan segera berdiri dan berjalan dengan tergesa-gesa. Yang ditinggalkan di tepi perapian itupun bertanya-tanya
di dalam hati. Sesaat kemudian Wulungan kembali bersama seorang pengawas dari Pamingit.
Diajaknya orang itu duduk pula, dan berkatalah ia, Inilah orang yang menyampaikan laporan itu, Tuan.
Lembu Sora memandangi orang itu dengan seksama. Kemudian berkatalah ia, Katakanlah apa yang kau lihat?
Orang itupun mengingsar duduknya. Kepada Ki Ageng Lembu Sora ia berkata, Aku adalah salah seorang yang
mendapat tugas untuk mengawasi perkemahan laskar golongan hitam. Aku telah melaporkan segala sesuatu kepada
Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.
Wulungan tiba-tiba mengangkat dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak pada
tempatnya.
Laporan itu tidak diteruskan kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar atau Ki Ageng Sora Dipayana.
(Bersambung)-m Serial Bersambung 03 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 609
LEMBU SORA mengerutkan keningnya. Seperti Wulungan, ia dapat menduga kelicikan anaknya. Namun sekali lagi
dadanya dihantam oleh kegelisahan, penyesalan yang tiada taranya. Seolah-olah terdengar suara berdesing
ditelinganya. Kau jangan salah, Lembu Sora. Anak itu memang kau didik demikian.
Di mana Sawung Sariti dan Galunggung itu? tanya Lembu Sora menggeram. Aku temui mereka di pojok teras.
Mereka baru saja keluar dari rumah Kakang Badra Klenteng Pangrantunan, sahut orang itu.
Apa kerjanya di sana? Tiba-tiba mata Lembu Sora terbelalak. Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
menjawab. Karena orang itu tidak menjawab, Lembu Sora mendesaknya, He, apa kerjanya di sana?
Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api yang memercik dengan riangnya. Kebenciannya kepada anak kepala
daerah perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala seperti nyala api yang dipandangnya itu. Badra Klenteng adalah
orang yang sekotor-kotornya di Pangrantunan.
Di rumahnya ada dua tiga orang gadis. Bukan gadis, tetapi yang disebutnya gadis penari. Penari tayub yang terkenal.
Bukan terkenal karena keindahannya menari, tetapi terkenal karena keberaniannya menari. Menari dalam tataran
yang melanggar tata kesopanan dan kepribadian.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 11 dari 142

Kepala pengawas itupun menjadi semakin tunduk. Ia tahu apa yang harus dikatakan. Tetapi mulutnya terkunci.
Sehingga dengan demikian ia tetap berdiam diri. Akhirnya terdengar Lembu Sora menggeram, Bagus, jangan kau
katakan kepadaku sekarang apa yang dikerjakan oleh anak itu. Terkutuklah mereka. Aku tidak tahu kemana mukaku
aku sembunyikan kalau Adi Mahesa Jenar, Kakang Putut Karang Jati dan Arya Salaka tahu apa yang dikerjakan di
sana. Tetapi apakah laporan itu?
Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya? tanya pengawas itu. Lembu Sora menggelengkan
kepalanya.
Belum. Agak terlambat, katanya. Aku telah melihat beberapa waktu yang lalu.
Ya, apakah itu? desak Arya Salaka tidak sabar. Aku lihat serombongan kecil orang-orang berkuda meninggalkan
perkemahan mereka. Mereka menuju ke utara, jawabnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka
mendesak maju sambil bertanya, Siapakah mereka?
Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke Banyubiru, jawabnya.
He...! Arya hampir berteriak. Kau tahu benar? Aku mengikuti beberapa langkah, jawabnya. Karena itu aku
yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga Banjar Gede, mereka membelok ke timur.
Pasti ke Banyubiru, desis Arya.
Akupun pasti, sahut pengawas itu, Tetapi aku tidak dapat mengikutinya terus. Ketika salah seekor kuda mereka
berhenti, akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang telah melihat aku. Sehingga ketika kudanya berputar, akupun
memacu kudaku pula meninggalkan mereka. Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga aku tak ditangkapnya.
Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu penjagaan. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pengejarku itu.
Namun aku kemudian langsung melaporkan peristiwa itu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.
Gila, desah Lembu Sora. Sawung Sariti dan Galunggung tidak menyampaikan itu kepadaku, kepada ayah Sora
Dipayana atau kepada Kakang Mahesa Jenar.
Wulungan... tiba-tiba Lembu Sora berteriak, panggil mereka!
Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati, segera bangkit. Baik Ki Ageng, jawabnya. Dan iapun
kemudian hilang di dalam gelap.
Siapakah mereka itu? tanya Arya Salaka.
Aku tidak tahu, jawab orang itu. Tetapi aku kira salah seorang di antaranya adalah orang yang berjubah abuabu.
Pasingsingan...? desis mereka bersamaan Tiba-tiba meloncatlah Arya Salaka dari tempat duduknya. Tanpa berkata
apapun juga ia berlari kencang-kencang.
Arya... panggil Mahesa Jenar, Apa yang akan kau lakukan?
Kuda! Hanya kata-kata itulah yang meloncat dari bibirnya. Mahesa Jenar yang tahu betapa watak muridnya itupun
kemudian berdiri pula sambil berkata kepada Ki Ageng Lembu Sora, Adi, tolong sampaikan kepada Ki Ageng Sora
Dipayana, kami mendahului perintah supaya tidak terlalu lambat.
Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia tidak sampai hati melepaskan Arya Salaka berdua dengan Mahesa Jenar
saja. Kalau di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel Kaliki dan Sura Sarunggi, maka celakalah Arya Salaka.
Mahesa Jenar sendiri mungkin dapat mempertahankan dirinya beberapa lama meskipun ia harus berhadapan dengan
dua tokoh hitam itu sekaligus, namun bagaimana dengan Arya? Karena itu ia berkata, Mahesa Jenar, aku pergi
bersamamu.
Baiklah Kakang, jawab Mahesa Jenar singkat. Iapun sadar akan bahaya yang setiap saat dapat mengancam
keselamatan muridnya. Justru pada taraf terakhir dari perjuangannya. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 04 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 610
BANTARAN, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat telah terbangun pula. Dengan gelisah ia bertanya, Ada apa
Tuan-tuan?
Aku akan pergi sebentar, Bantaran. Jagalah laskar baik-baik. Tempatkan dirimu langsung di bawah perintah Ki
Ageng Sora Dipayana apabila besok pagi-pagi aku belum kembali, kata Mahesa Jenar dengan tergesa-gesa. Ia tidak
sempat memberi banyak penjelasan. Aku titipkan laskar Banyubiru kepadamu Ki Ageng, katanya kepada Lembu
Sora.
Baik Adi, jawab Lembu Sora. Tetapi tidakkah Adi perlu membawa pasukan?
Tidak, sahut Mahesa Jenar, Di Banyubiru masih ada separo laskar Arya Salaka. Lembu Sora mengangguk
sambil berdiri. Ia tidak sempat berkata-kata lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan tergesa-gesa berjalan
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 12 dari 142

mengikuti jalan yang dilewati Arya tadi. Mereka tahu benar ke mana muridnya itu pergi. Arya pasti pergi ke tempat
kuda-kuda dipersiapkan. Mereka masih dapat melihat Arya melarikan kudanya seperti angin. Dengan demikian,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera meloncat ke punggung kuda-kuda yang mereka anggap cukup baik. Para
penjaga kuda itu memandang mereka dengan heran.
Yang mereka dengar hanyalah kata-kata Arya tadi, Aku ambil seekor. Lalu anak itu pergi dengan cepatnya.
Sekarang mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun mengambil masing-masing kuda dengan tergesagesa. Apa yang terjadi Tuan? tanya seorang penjaga. Tidak apa-apa, jawab Mahesa Jenar, Kami sedang berlatih
berpacu kuda.
Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak percaya. Meskipun demikian ia tidak bertanya-tanya lagi. Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap kakinya berdetak-detak memecah kesepian malam.
Beberapa orang yang mendengar suara derap kaki kuda itupun terkejut.
Namun mereka tidak sempat bertanya, apakah dan kemanakah mereka pergi. Meskipun demikian, mereka terpaksa
meraba-raba senjata-senjata mereka, kalau-kalau ada hal-hal yang penting akan terjadi di perkemahan itu.
Sementara itu dengan geram Lembu Sora berjalan ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia benar-benar marah kepada
Sawung Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan mereka itu, telah membuka kemungkinan terjadinya peristiwaperistiwa yang mengerikan. Sedangkan Bantaran, Jaladri, Penjawi dan Sendang Papat beserta beberapa orang
Banyubiru yang lain bertanya-tanya dalam hati pula.
Mereka mendengar dari Ki Ageng Lembu Sora apa yang terjadi. Tetapi mereka tidak diperkenankan meninggalkan
laskar mereka. Karena itu merekapun menjadi gelisah. Apakah yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka
menjadi agak tenang ketika mereka sadar bahwa di Banyubiru masih ada Wanamerta, Ki Dalang Mantingan,
Wirasaba dan separo dari laskar Banyubiru. Mudah-mudahan mereka dapat mengatasi kesulitan yang akan timbul.
Ketika Ki Ageng Lembu Sora sampai ke tempat Ki Ageng Sora Dipayana dilihatnya Sawung Sariti dan Galunggung
telah berada di sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk ke ruangan itu sambil menggeram, Apa kerjamu Sawung
Sariti?
Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia terkejut. Belum pernah ia melihat mata ayahnya memancarkan sinar
yang demikian kepadanya. Mungkin ayah sedang marah kepada seseorang, pikirnya.
Tetapi ternyata Lembu Sora itu memandangnya terus seperti hendak menelannya hidup-hidup.
Duduklah Lembu Sora, ayahnya mempersilahkan. Sawung Sariti sedang menyampaikan kabar yang aku kira
penting.
Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun pandangan matanya masih saja melekat kepada anaknya.
Terlambat, geram Lembu Sora. Apa yang terlambat Lembu Sora? tanya Ki Ageng Sora Dipayana. Kabar itu,
jawab Lembu Sora. Mungkin sesuatu telah terjadi sekarang di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam.
Sabarlah, potong ayahnya, Apakah yang sebenarnya terjadi?
Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti? Lembu Sora ganti bertanya. Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam
telah meninggalkan perkemahan mereka, jawab ayahnya.
Ke mana? desak Lembu Sora.
Ke mana...? ulang Ki Ageng Sora Dipayana. Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bingung.
Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang terjadi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi
mereka terkejut ketika Lembu Sora membentaknya sambil berdiri, Kemana? Tidakkah kau sampaikan laporan itu
selengkapnya setelah kau ulur waktu hampir seperempat malam supaya segala sesuatu menjadi semakin jelek?
Sawung Sariti menjadi bertambah bingung. Adakah ayahnya bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya ingin
menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap lain.
Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak kehilangan akal. Karena itu ia menjawab, Aku belum
selesai ayah. Aku baru menyampaikan sebagian. Berapa lama kau perlukan waktu untuk menyampaikan laporan
yang dapat kau ucapkan dengan beberapa kalimat saja? bentak ayahnya.
Sudahlah Lembu Sora. Ki Ageng Sora menengahi, Biarlah anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum
lama datang kepadaku.
Tetapi kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya. Kemarahan yang bercampur-baur dengan penyesalan dan
perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi, Jadi kau belum lama menghadap eyangmu?
Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia menjawab, Ya ayah.
Ke mana kau selama ini? desak Lembu Sora. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 05 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 611
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 13 dari 142

SAWUNG SARITI menjadi ragu. Ia tidak berani berkata kepada ayahnya, dari mana ia pergi, karena ada eyangnya.
Biasanya ia tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi terhadap eyangnya, Sawung Sariti tidak berani berterus
terang. Karena itu tanpa disengaja ia berpaling kepada Galunggung, seakan-akan minta supaya Galunggung
menjawab pertanyaan ayahnya itu. Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena itu ia menjawab, Kami dari
nganglang daerah medan, Ki Ageng.
Medan mana? Lembu Sora mendesak terus.
Galunggung pun menjadi ragu. Kenapa Ki Ageng Lembu Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat lampau ia tidak
pernah mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang dilakukan.
Tiba-tiba seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya berteriak, Kau pergi ke rumah Badra Klenteng
kan...?
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora tentang
cucunya itu. Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya benar-benar marah kepadanya. Tidak kepada
orang lain. Kemarahan yang belum pernah dialaminya.
Namun Galunggung tiba-tiba berkata membela diri, Tidak, Ki Ageng. Siapakah yang mengatakan? Mata Lembu
Sora bertambah menyala, Kau mau bohong Galunggung. Kau kira aku tidak tahu? Demi Allah, sahut
Galunggung, tetapi ia tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora meloncat
dengan garangnya, dan menampar mulut Galunggung sambil berteriak, Jangan sebut kata-kata itu. Mulutmu terlalu
kotor untuk mengucapkannya.
Galunggung terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh kalau tubuhnya tidak membentur dinding. Ketika ia
berusaha tegak kembali, terasa cairan yang hangat meleleh dari mulutnya. Darah merah menyala, seperti kemarahan
yang menyala di dalam dadanya. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu. Lembu Sora... Ki Ageng Sora Dipayana
memanggil anaknya, Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka.
Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia duduk pula di samping ayahnya. Sawung Sariti sama sekali
tidak berani menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya yang telah mendengar bahwa ia baru saja pergi ke rumah
Badra Klenteng. Tiba-tiba merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya waktu itu. Pengawas
yang melaporkan peristiwa orang-orang golongan hitam itu. Demikian juga Galunggung. Berkatalah di dalam
hatinya, Kalau aku temui orang itu, aku sobek mulutnya dan akan aku kubur ia hidup-hidup.
Ketika Galunggung pun telah duduk kembali dan mengusap darah yang meleleh dari mulutnya dengan lengan
bajunya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh, Sudahlah Lembu Sora, segala sesuatu bukanlah terjadi
dengan tiba-tiba. Apalagi watak dan kelakuan. Sekarang tenangkan hatimu. Hari masih panjang. Mudah-mudahan
aku mengalami masa-masa yang cerah. Masa-masa yang cerah bukan bagiku sendiri, tetapi bagimu, bagi cucuku
Sawung Sariti, dan bagi cucuku Arya Salaka. Kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka, apalagi bagi
anak semuda cucuku Sawung Sariti.
Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia terlempar pada kenyataan akan kesalahan diri. Penyesalan yang
memukul-mukul dinding hatinya menjadi semakin deras. Nah, Sawung Sariti... Ki Ageng Sora Dipayana
melanjutkan, Apakah yang kau katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?
Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun segera tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar ia berkata dengan
suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang telah melaporkan keadaan, Orang-orang dari golongan
hitam itu pergi ke Banyubiru, Eyang.
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. Ke Banyubiru? ulangnya.
Ya, jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan yang didengarnya dari pengawas itu. Kapan kau
dengar laporan itu? tanya Ki Ageng Sora Dipayana. Beberapa saat yang lalu, jawab Sawung Sariti.
Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada eyangmu? bentak Lembu Sora. Sawung Sariti tidak menjawab.
Galunggung pun tidak. Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di dalam hati, Mati kau pengawas gila.
Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada Sawung Sariti ia berkata, Panggillah kakakmu Arya
Salaka.
Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab, Baiklah Eyang. Sesaat kemudian iapun berdiri, dan bersamasama dengan Galunggung ia meninggalkan rumah itu. Ketika mereka keluar dari pintu, mereka melihat Wulungan
berdiri tegak dengan tangan bersilang dada. Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya, Kau lihat
Kakang Arya? Wulungan menggelengkan kepala. Tidak Angger. Kemudian Sawung Sariti melangkah pula
dengan tergesa-gesa. Galunggung sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Ketika mereka telah menjauh,
Wulungan pun pergi di belakang mereka. Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata, Tak akan dijumpai Arya
di sini.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 14 dari 142

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil menoleh kepada anaknya ia bertanya, Kenapa? Arya
telah pergi ke Banyubiru belum lama, jawab Lembu Sora.
He...? Ki Ageng Sora Dipayana terkejut.
Sendiri?
Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati, sahut Lembu Sora. Mengapa? tanya ayahnya
pula.
Ia sudah tahu apa yang terjadi, jawab Lembu Sora. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 06 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 612
KI AGENG Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya pula, Dari
mana anak itu mendengar?
Langsung dari pengawas itu, jawab Lembu Sora. Diceriterakannya apa yang diketahuinya mengenai pengawas itu,
serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula bagaimana Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda
dengan tombaknya dalam genggaman. Anak itu sadar akan tanggungjawabnya, desis kakeknya.
Namun sayang ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke Banyubiru itu Pasingsingan? Untunglah Anakmas
Mahesa Jenar dan anak Putut Karangjati mengetahuinya, sehingga mereka segera menyusul.
Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa Jenar, bahwa mereka terpaksa mendahului perintah.
Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan, gumam Ki Ageng Sora Dipayana. Mereka orang-orang yang
memiliki firasat dan daya pengamatan melampaui kami semuanya di sini. Bahkan mereka adalah orang-orang sakti
yang tak ada bandingnya di antara kita.
Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak terlambat, desah Lembu Sora.
Mudah-mudahan segala sesuatu tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku.
Arya dan Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan karena pamrih yang berlebih-lebihan, dan
apakah sekarang harus mengalami bencana yang lebih dahsyat lagi?
Tenanglah Lembu Sora, ayahnya menenangkan. Mahesa Jenar dan Putut Karangjati akan dapat melakukan
pekerjaannya dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Kita belum tahu apa yang harus kita lakukan besok pagi.
Suruhlah Sawung Sariti beristirahat pula. Demikian juga seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya lagi. Ki
Ageng Pandan Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak pula.
Baiklah ayah, jawab Lembu Sora sambil berdiri. Kemudian iapun melangkah pergi ke pondoknya untuk
beristirahat, meskipun kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan yang melonjak-lonjak. Setiap ia berusaha
melupakan, setiap kali dadanya bergetar, kenapa bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut. Namun
demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan merebahkan dirinya di atas bale-bale bambu yang direntangi tikar
mendong.
Pada saat yang bersamaan, Sawung Sariti sedang mondar-mandir mencari Arya Salaka. Namun sebenarnya yang
ingin dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang dianggapnya tumbak-cucukan itu, yang suka melaporkan
kesalahan orang lain. Sawung Sariti dan Galunggung sama sekali tidak menyesalkan perbuatan mereka, tetapi
mereka menyesalkan pengawas itu. Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk bersandar batang nyiur di
antara kawan-kawannya yang berbaring tidur, Sawung Sariti menggeram, Jahanam. Ia mengumpat. Kemudian
dengan satu loncatan ia telah berdiri di hadapan pengawas itu sambil membentak, He bangsat kau masih di sini?
Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri. Kenapa kau tidak kembali ke tugasmu? bentak Sawung Sariti.
Seseorang telah menggantikan tugasku, jawab orang itu kecemasan. Bohong! sanggah Sawung Sariti.
Orang itu menjadi bingung. Benar angger, jawabnya. Aku telah bebas dari tugasku itu.
Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara aku dengan Kakang Arya Salaka, bentak Sawung
Sariti. Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung Sariti itu. Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi.
Sawung Sariti agaknya menjadi marah kepadanya, karena ia telah berkata sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu
Sora. Mungkin Ki Ageng Lembu Sora itu telah memarahinya. Karena itu ia berkata, Angger, jangan menyalahkan
aku kalau aku terpaksa mengatakan apa yang aku lihat demi kewajibanku.
Pandainya tikus ini, potong Sawung Sariti. Kau bisa berkata hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata merah
atas warna hijau.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus dikatakan? Ia menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba
Galunggung melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala. Katanya, Lihatlah, karena mulutmu yang lancang
itu, aku ditampar oleh Ki Ageng Lembu Sora.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 15 dari 142

Pengawas itu masih tetap berdiam diri. Beberapa orang kawan-kawannya menjadi terbangun karenanya. Tetapi tak
seorangpun yang berani mencampurinya. Tiba-tiba Galunggung itu berkata, Ikuti aku.
Ke mana? orang itu menjadi ketakutan. Ikuti aku! bentak Galunggung.
Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja di belakang Galunggung dan di belakangnya berjalan
Sawung Sariti. Dengan gelisah ia mencoba menebak, apakah yang akan dilakukan atas dirinya. Ia menjadi raguragu, apakah kebenaran yang diucapkannya itu dapat diputar balik sedemikian rupa sehingga ia perlu mendapat
hukuman. Galunggung berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka menerobos pagar-pagar halaman dan
meloncati dinding desa. Akhirnya mereka sampai di gerumbul-gerumbul kecil di samping desa Pangrantunan itu.
Orang itu menjadi semakin cemas. Ketika ia melihat Gunung Merbabu dalam keremangan malam, tampaknya
seperti raksasa yang akan menerkamnya.
Orang itu menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung mencabut pedangnya sambil tertawa menakutkan, katanya,
Mulutmulah yang pertama-tama harus disobek, lalu kau akan aku kubur hidup-hidup.
Apa salahku? tanya orang itu gemetar.
Seandainya aku berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku dihukum mati dengan cara demikian. Apalagi
aku telah berusaha melakukan pekerjaanku sebaik-baiknya. (Bersambung)-c
Serial Bersambung 07 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 613
SAWUNG SARITI menjawab, Baik bagimu tidak selalu baik bagi orang lain. Dengan perbuatanmu itu, nanti kalau
terjadi sesuatu di Banyubiru, akulah yang dipersalahkan. Karena itu, kau harus dilenyapkan. Dengan demikian, di
hadapan Eyang Sora Dipayana, tak ada seorangpun yang dapat membuktikan kesalahanku.
Pengawas yang malang itu menjadi semakin ketakutan. Ia tidak mengerti kenapa kebenaran sama sekali tidak
menjadi pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal kebenaran dari seginya sendiri. Meskipun demikian, ia
masih berusaha untuk membela diri. Angger Sawung Sariti. Kalau angger mengambil keputusan untuk menghukum
aku dengan kesaksianku, maka kesaksianku itu telah diketahui pula oleh Ki Ageng Lembu Sora, Angger Arya Salaka
beserta gurunya serta sahabat gurunya yang telah berhasil membunuh mati orang sakti dari Nusakambangan.
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Ia mengumpat di dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat sahabat-sahabat
yang sedemikian saktinya, sehingga sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaannya?
Namun ia menjawab, Aku dapat menyangkal kesaksian-kesaksian itu. Kau sangka ayahku itu akan membenarkan
kesaksianmu? Setidak-tidaknya aku dapat memperpendek waktu yang hilang sejak kau memberikan laporan itu
kepadaku sampai waktu yang aku pergunakan untuk menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana.
Kau tak usah terlalu banyak bicara, potong Galunggung. Nikmatilah udara terakhir ini sebaik-baiknya. Sesudah
itu, kau tak akan mengenalnya lagi.
Pengawas itu menjadi semakin gemetar. Namun ia berkata, Kalau ada akibat yang kurang baik bagi kalian berdua,
bukankah itu bukan salahku. Kalau kalian tidak sengaja memperlambat berita itu, maka segala sesuatu akan menjadi
baik.
Tutup mulutmu! bentak Galunggung.
Kau tak perlu mengigau pada saat-saat terakhir. Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain didalam dada pengawas
itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali telah pernah dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat. Sekarang
kenapa ia takut menghadapi pedang. Ia merasa berpijak di atas kebenaran. Kalau ia terpaksa, apa boleh buat ia telah
dipepetkan ke suatu sudut dimana ia harus mempertahankan diri.
Dirasanya sesuatu terselip di ikat pinggangnya.
Keris.
Meskipun yang berdiri di hadapan dua orang yang sama sekali di atas kemampuannya untuk melawan, namun ia
tidak mau mati seperti tikus di tangan seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk membebaskan diri. Kalau perlu ia
akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya, sambil melawan sedapat-dapatnya.
Galunggung yang telah terbakar oleh kemarahannya, menjadi kehilangan kesabarannya.
Dengan garangnya ia melangkah maju sambil menggeram, Jangan melawan, sebab kalau kau melawan berarti akan
memperlambat saat-saat kematianmu. Derita yang terakhir adalah selalu tidak menyenangkan.
Tetapi pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia meloncat mundur sambil menarik kerisnya. Melihat orang
itu menarik senjatanya. Galunggung tertawa. Benar-benar kau sedang sekarat.
Kemudian sambil tertawa ia melangkah maju.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 16 dari 142

Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara yang sama sekali tak diduga oleh mereka. Tenang, namun
penuh pengaruh. Katanya, Aku adalah satu-satunya saksi yang melihat kebenaran diinjak-injak.
Seperti disambar petir, Galunggung dan Sawung Sariti mendengar kata-kata itu. Ketika mereka menoleh, dilihatnya
Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada. Pedangnya tergantung di lambung kirinya.
Sawung Sariti menjadi gemetar karena marahnya. Sambil melangkah maju ia berkata, Paman Wulungan, kau berani
mengganggu pekerjaanku?
Tidak Angger, jawab Wulungan tanpa bergerak.
Tidak...? sahut Sawung Sariti, Lalu apa yang Paman kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu
bermanfaat untuk melawan aku? Kau tahu, bukankah aku murid Sora Dipayana?
Ya. Aku tahu bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana, jawab Wulungan.
Kau tahu bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung berdua dengan anak buahnya? desak Sawung Sariti.
Ya.
Kau tahu bahwa aku adalah putra kepala daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru sekaligus?
Ya.
Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang? tanya Sawung Sariti sambil mengangkat dadanya. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 08 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 614
WULUNGAN menjawab, Tidak apa-apa. Aku tidak akan melawan Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak
melakukannya. Aku hanya ingin tahu, apa yang akan Angger lakukan di sini?
Apa kepentingamu? Dan apa pedulimu? bentak Sawung Sariti.
Setiap orang berkepentingan atas tegaknya kebenaran. Aku yang membawa pengawas itu kepada Ki Ageng Lembu
Sora dan Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta kepadanya untuk mengulangi laporannya.
Hem... geram Sawung Sariti. Kau adalah saksi yang kedua sesudah orang ini. Kalau begitu bagaimana kalau kau
aku bunuh sekalian?"
Itu adalah urusan Angger Sawung Sariti, jawab Wulungan masih setenang tadi. Kau akan melawan seperti tikus
ini? desak Sawung Sariti.
Tidak, jawab Wulungan.
Tak ada gunanya. Tetapi pernahkan Angger mendengar aku berlomba lari? Aku adalah pelari tercepat dari setiap
kawan-kawanku, baik pada masa kanak-kanakku, maupun kini.
Gila! umpat Sawung Sariti.
Kau bukan seorang jantan.
Aku memang bukan seorang jantan, jawab Wulungan.
Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Aku wajib menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku mati, maka
kebenaran ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi kalau aku lari selamat, bukankah aku dapat
memberitahukannya kepada Ki Ageng Sora Dipayana...?
Gila, Gila.... Sawung Sariti mengumpat tak habis-habisnya. Ketika itu Galunggung mencoba mengingsar dirinya,
untuk menutup kemungkinan Wulungan kepada pengawas itu.
Ki Sanak, baiklah kita berlomba lari. Jangan melawan. Kalau Adi Galunggung melangkah satu langkah lagi,
perlombaan akan dimulai tanpa pembicaraan lain.
Langkah Galunggung terhenti karenanya. Kalau Wulungan benar-benar melarikan dirinya saat itu, dan orang yang
pertama itu melarikan diri pula, akan sulitlah untuk menangkap kedua-duanya. Salah satu atau keduanya mungkin
akan dapat melenyapkan dirinya di dalam gerumbul-gerumbul yang berserak-serak itu, atau berteriak-teriak minta
tolong sehingga apabila terdengar oleh laskar Banyubiru, persoalannya akan menjadi sulit.
Setan, gumam Galunggung menahan marah yang memukul-mukul dadanya. Sawung Sariti menjadi semakin
marah. Dengan gigi gemeretak ia berkata, Lalu apa yang kau kehendaki Wulungan? Wulungan menarik nafas.
Tangannya masih terlipat di dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun demikian ia tidak boleh
kehilangan kewaspadaan. Dengan perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, Wulungan menjawab, Tidak
banyak Angger. Aku menghendaki orang itu Angger bebaskan dari segala tuntutan pribadi. Sebab Angger
memandang persoalannya dari kepentingan diri sendiri.
Gila, kau licik seperti demit. Sawung Sariti mengumpat. Kita semua adalah orang-orang yang licik. Penuh nafsu
tanpa pengendalian, jawab Wulungan. Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya, Kepalamu memang harus
dipenggal.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 17 dari 142

Tetapi Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan kata-katanya, Kau dengar Angger melepaskan orang itu,
maka aku berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun juga, apa yang terjadi sekarang di sini. Orang itupun
tidak akan membuka mulutnya pula. Kemudian kepada pengawas itu Wulungan berkata, Begitu kan...?
Pengawas itu mengangguk kosong, meskipun hatinya bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu. Sekali lagi
Galunggung menggeram. Apa jaminanmu?
Tidak ada, jawab Wulungan cepat.
Bagaimana aku bisa percaya? desak Galunggung.
Terserah padamu. Percaya atau tidak, sahut Wulungan. Tetapi aku bukan orang yang suka melihat benturanbenturan diantara keluarga sendiri.
Kemudian dengan penuh kejengkelan Sawung Sariti berkata, Baiklah aku percaya kepadamu Wulungan. Tetapi
kalau kau memungkiri kesanggupanmu, aku banyak mempunyai alasan dan cara untuk membunuhmu.
Terserah kepada Angger, jawab Wulungan.
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia melangkah pergi. Galunggungpun kemudian
mengikutinya dibelakang.
Ikuti aku, perintah Wulungan kepada pengawas itu. Pengawas itu tidak membantah, namun di dalam dadanya
bergelutlah ucapan terima kasih kepada Wulungan. Mereka berdua berjalan tidak begitu jauh di belakang
Galunggung. Dengan demikian Wulungan dapat mengetahui langsung apa yang akan dilakukan seandainya orang itu
akan mencoba menyergapnya.
Tetapi Sawung Sariti dan Galunggung berjalan terus ke perkemahan. Karena itu Wulungan dan pengawas itu telah
merasa dirinya tentram. Ia tahu betul bahwa Sawung Sariti atau Galunggung tidak akan mengganggunya, sebab
dengan demikian Wulungan akan segera mengetahui apa yang terjadi atasnya. Sampai di perkemahan, Sawung Sariti
masih tetap mengumpat-umpat. Ia sudah kehilangan nafsu untuk mencari Arya Salaka. Persetan dengan anak itu,
geramnya. Dan persetan dengan Banyubiru.
Bagaimana kalau Ki Ageng Sora Dipayana bertanya tentang Arya? tanya Galunggung.
Pergilah kepada Eyang Sora Dipayana, katakan kalau Arya tak dapat kami ketemukan, perintah Sawung Sariti.
Dan Galunggung pun segera pergi. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 10 November 2000 Diambil Dari harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 616
DUA orang penjaga berdiri menahan kantuknya di regol halaman. Sedang beberapa orang lain duduk di gardu
dengan mata yang redup. Sekali-kali Wanamerta yang masih duduk di pendapa bersama Ki Dalang Mantingan
tampak menguap.
Beristirahatlah Paman.
Terdengar suara Mantingan lemah. Malam terlalu dingin, gumam orang tua itu.
Ya, sahut Mantingan. Tetapi hatiku gelisah. Orang tua itu meneruskan.
Mantingan tidak menjawab. Tetapi pandangan matanya terlempar ke halaman, menembus kelam. Perlahan-lahan
Mantingan menarik nafas dalam. Apakah Angger Wilis dan cucuku Widuri telah tidur? tanya Wanamerta.
Mungkin, jawab Mantingan. Baru saja aku selesai berceritera. Anak itu minta aku berceritera tentang Gatotkaca,
Pergiwa dan Pergiwati. Wanamerta tersenyum. Tetapi ia berdiam diri. Yang terdengar kemudian adalah suara
seruling. Sayup-sayup dibawa angin. Namun suaranya demikian merdu. Seirama dengan heningnya malam.
Seruling Kakang Wirasaba, desis Mantingan. Pantaslah ia bergelar Seruling Gading, sahut Wanamerta.
Sebagai biasa Wirasaba berlagu melampaui batas gending-gending yang ada. Lagunya seperti lagu angin malam.
Hening sepi, namun penuh kemesraan hati manusia. Di manakah Angger Wirasaba? tanya Wanamerta. Di gardu
belakang. Bersama-sama Sendang Parapat, jawab Mantingan. Wanamerta mengangguk-angguk. Namun
kegelisahan di hatinya semakin terasa. Sebagai orang tua, firasatnya bertambah hari bertambah tajam. Ia terkejut
ketika tiba-tiba daun-daun sawo di halaman bergoyang ditiup angin yang bertambah kencang. Mantingan mengikuti
arah pandangan Wanamerta. Tetapi yang dilihatnya pun hanyalah daun sawo yang bergerak-gerak.
Aneh, gumam Wanamerta. Apakah yang aneh? tanya Mantingan. Aku tidak tahu. Tetapi aku menjadi gelisah
seperti daun-daun sawo di halaman itu, jawab Wanamerta. Mantingan mengerutkan keningnya. Terasa pula hatinya
berdesir halus.
Sepi yang menggelisahkan, sahutnya. Suara seruling Wirasaba pun tiba-tiba berubah. Nadanya menjadi bertambah
tinggi. Terasa betapa hatinya menjadi gelisah. Namun betapa merdunya suara seruling itu. Tetapi sesaat kemudian
suara seruling itu berhenti. Mantingan mengangkat wajahnya. Berhenti, desisnya.
Ya, sahut Wanamerta, Agaknya Angger Wirasaba kedinginan.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 18 dari 142

Mantingan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Hanya matanya yang kembali beredar mondar-mandir di
halaman. Karena hatinya yang gelisah, pandangannya pun menjadi gelisah. Mantingan mencoba mengamati setiap
benda yang ada di halaman. Pohon sawo, pohon jambu, dinding-dinding halaman, pohon-pohon kelapa. Semuanya
diam beku. Yang bergerak-gerak hanyalah para penjaga yang berjalan hilir mudik di luar regol.
Tiba-tiba keduanya terkejut ketika terdengar langkah naik ke pendapa. Ketika menoleh, dilihatnya Ki Wirasaba
berjalan dengan malasnya menjinjing kapaknya. Di belakangnya berjalan Sedang Parapat yang telah hampir
sembuh. Mantingan dan Wanamerta menarik nafas panjang.
Ah.... gumam Wanamerta. Kenapa aku berubah menjadi penakut? Kenapa...? tanya Wirasaba sambil duduk di
samping mereka. Aku terkejut mendengar langkah Angger seperti mendengar langkah hantu, jawab Wanamerta.
Wirasaba mengangguk-angguk lemah. Hatinya pun dirayapi perasaan-perasaan aneh. Serulingnya terselip di ikat
pinggangnya, sedang tangannya menggenggam kapaknya. Tiba-tiba mata Mantingan sekali lagi menatap daun-daun
sawo yang bergerak-gerak ditiup angin malam. Kemudian matanya menatap daun-daun jambu di sebelahnya. Aneh.
Daun jambu itu tidak bergoyang terlalu keras seperti daun- daun sawo itu. Karena itu ia menjadi curiga.
Ketika sekali lagi ia melihat daun itu bergerak-gerak, dengan serta merta ia berdiri dengan trisulanya di tangan,
kemudian dengan tangkasnya ia meloncat sambil berkata lantang, Siapakah yang mencoba membuat permainan
itu? Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat pun terkejut ketika mereka melihat Mantingan meloncat. Mereka
masih belum tahu apa yang dimaksudnya. Tetapi ketika pandangan mereka mengikuti arah pandangan mata
Mantingan, merekapun melihat bahwa daun-daun sawo itu bergoyang-goyang.
Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang menyeramkan dari pohon sawo itu. Suara yang sudah mereka kenal baikbaik. Para penjaga dan para pengawalpun terkejut pula. Bahkan Mantingan terpaksa menghentikan langkahnya.
Lawa Ijo, gumamnya.
Sesaat kemudian dilihatnya bayangan yang melontar turun dari pohon sawo di halaman itu. Seorang yang bertubuh
tinggi besar dan berdada tegak. Sekali lagi Mantingan terkejut melihat orang itu. Bukan Lawa Ijo, tetapi agaknya ia
pernah melihatnya. Tiba-tiba ia menjadi ngeri. Bukankah Watu Gunung telah dibinasakan oleh Mahesa Jenar?
Apakah ia dapat hidup kembali...? Namun sebelum ia sempat bertanya terdengar Wirasaba menggeram, Hem, kau
Wadas Gunung. (Bersambung)-m
INCLUDEPICTURE \d "_themes/arcs/arcsepa.gif"
Cerita Bersambung 11 November 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 617
MANTINGAN menoleh ke arah Wirasaba. Ia mengulang perlahan, "Wadas Gunung. Siapakah dia?" "Adik
seperguruan Lawa Ijo," jawab Wirasaba.
"Watu Gunung yang kau maksud...?" Ia bertanya pula. Wirasaba menggeleng. "Bukan. Saudara kembarnya. Orang
ini pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di Pliridan bersama-sama dengan 20 orang kawannya."
Sementara itu Wadas Gunung telah berjalan beberapa langkah maju. Sambil tertawa pendek ia berkata, "Nah, kau
orang berkapak yang membantu Mahesa Jenar di Pliridan dahulu? Kau masih mengenal aku dengan baik."
Wirasaba juga maju. "Kau datang pula ke Gedong Songo beberapa hari yang lalu," pikirnya.
Dan kapaknya tiba-tiba bergetar di tangannya. Ketika ia hampir meloncat menyerbu, terdengar Wanamerta yang tua
itu berbisik, "Hati-hatilah Angger. Ia pasti tidak datang sendiri."
Belum lagi Wanamerta selesai berkata, terdengarlah suara kentongan bertalu-talu tiga kali berturut-turut.
"Kebakaran," desis Wanamerta. Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya, "Kebakaran. Jangan terkejut.
Banyubiru telah dikepung."
Wajah Sendang Parapat menjadi merah. Ia harus segera menggerakkan segenap laskar cadangan yang ada. Tetapi
ketika ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun dari pendapa, muncullah seorang lagi di hadapannya.
Sendang tertegun. Ia belum pernah melihat orang itu. Seorang yang berwajah tampan, berkulit kuning dan
berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat warna hitam. "Siapakah kau...?" Tiba-tiba Sendang
Parapat bertanya.
Orang itu tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya, "Jangan risaukan siapa aku." Sendang Parapat menjadi
marah. Tetapi ia tidak mendapat banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja dari pendapa, "Bunyikan tanda,
gerakkan segenap laskar cadangan."
Sesaat kemudian, orang-orang di gardu penjagaan menjadi sadar akan bahaya yang datang. Seseorang kemudian
meloncat memukul kentongan titir. Tetapi suara titir itu terputus ketika tiba-tiba pemukul kentongan itu terpelanting
jatuh. Sendang Parapat terkejut. Karena itu ia menjadi semakin marah. Untunglah bahwa suara titir yang pendek itu
telah terdengar dari gardu di luar halaman yang terdekat, sehingga suara titir itupun segera bersambut. Apalagi
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 19 dari 142

ketika seorang yang lain segera merebut pemukul kentongan dari tangan orang pertama. Kemudian dengan tanpa
takut-takut iapun mengulang memukul kentongan itu dengan irama yang sama, titir. Namun orang kedua inipun
kemudian terjatuh pula dengan luka di kepalanya.
Sebuah batu telah membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar ke segenap penjuru Banyubiru. Banyubiru yang
sedang tidur lelap itu menjadi terbangun dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali berturut-turut telah mengejutkan
hati mereka. Apalagi kemudian terdengar bunyi titir yang merayap-rayap di seluruh lereng bukit itu. Laskar
Banyubiru pun menjadi terkejut. Untunglah bahwa mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu yang
singkat mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ketika terdengar suara titir bersahutan, sadarlah
mereka bahwa bahaya yang besar telah datang.
Para pemimpin kelompok itupun segera tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari laskar itu segera berangkat
dengan tergesa-gesa ke tempat kebakaran. Orang yang berwajah tampan itupun mengangkat wajahnya ketika suara
titir telah menjalar ke segenap arah.
Ia mengerutkan keningnya, kemudian katanya kepada Sendang Parapat, "Jangan berdiri saja di situ, pergilah supaya
umurmu panjang." Betapa marahnya Sendang Parapat. Segera ia menarik pedangnya.
Dengan penuh nafsu ia berhasrat menyerang orang itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara halus di
belakangnya, "Sendang, jangan tergesa-gesa. Ia bukan lawanmu."
Sendang Parapat menghentikan langkahnya. Iapun segera menoleh. Bahkan semua orang memandang ke arah suara
itu.
Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu. Mula-mula ia menjadi ngeri melihat kehadiran Jaka Soka. Bukan
karena ia takut seandainya ia harus bertempur. Tetapi sebagai seorang gadis, ia merasa bahwa Jaka Soka adalah
orang yang pernah menjadi gila karena dirinya. Ketika Jaka Soka melihat gadis itu, hatinya bergetar cepat. Ia masih
belum dapat melupakan, betapa wajah gadis itu selalu terbayang.
Karena itu tiba-tiba kembali ia tersenyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba saja Jaka Soka merasakan adanya suatu
kurnia bagi dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama beberapa orang dan laskar golongan hitam, adalah karena
dendamnya yang meluap-luap. Ia ingin membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya, sebagai ganti kematian
gurunya.
Tetapi tiba-tiba ia bertemu dengan gadis ini. Matanya yang redup itupun menjadi bersinar-sinar. Dan pandangan
mata yang demikian itulah yang menyebabkan seluruh bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis itu
merasa, bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta mengamankan rumah ini, sebagai lambang pemerintahan
Banyubiru.
Karena itu iapun melangkah maju sambil berkata, "Jaka Soka, apakah kerjamu di sini? Apakah pekerjaanmu di
Pamingit sudah selesai...?"
Wadas Gunung pun menjadi keheran-heranan. Apakah yang dilakukan oleh Jaka Soka itu? Dimanakah ia berkenalan
dengan gadis manis yang menyapanya - Hem, agaknya kau mendapat pekerjaan baru di sini Jaka Soka. INCLUDEPICTURE \d "_themes/arcs/arcsepa.gif"
Cerita Bersambung 12 November 2000 NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 618
JAKA SOKA tersenyum, jawabnya, "Bukan Wadas Gunung. Bukan pekerjaan baru. Aku sudah berjanji akan datang
kepadanya beberapa tahun yang lampau. Dan agaknya iapun tetap menanti."
Wajah Rara Wilis menjadi merah. Sekali dilayangkan pandangannya sekeliling pendapa itu. Di situ masih berdiri
Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat. Sedang di bawah tangga berdiri Wadas Gunung dan di
sebelah lain Jaka Soka. Ketika ia melihat para penjaga yang berdiri tidak lebih dari lima orang itupun telah bersiap
pula. Ia menarik nafas panjang. Kalau hanya kedua orang itu saja, mungkin masih akan dapat diatasi.
Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara yang seram dari dalam gelap. Lebih seram dari suara Wadas Gunung.
Kemudian disusul dengan bayangan yang remang-remang semakin lama semakin jelas. Lawa Ijo. Mantingan
menarik nafas. Agaknya bahaya yang mendatang benar-benar menggetarkan dadanya. Lawa IJo itu kemudian berdiri
saja disamping Jaka Soka. Sambil tertawa pendek ia berkata, "Jaka Soka. Apa kau masih mengharapkan gadis itu?"
"Ia tetap menanti aku dengan setia," jawab Jaka Soka. Lawa Ijo menjadi marah.
Namun gadis itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah suara gadis lain, Endang Widuri. Katanya, "Benar Paman
Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab sepeninggalmu, kuda-kuda kami menjadi kekurangan rumput."
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Ia memandang gadis yang berdiri di pintu itu dengan sinar mata yang seram.
Tetapi Lawa Ijo tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, "Ha, dengar. Apa yang dikatakan gadis nakal itu. Dan
barangkali memang sepantasnya kau menjadi pekatiknya, mencari rumput bagi kuda-kudanya."
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 20 dari 142

Jaka Soka pernah bertempur dengan Widuri di Gedangan. Pada saat itu ia benar-benar keheranan, bahwa gadis
sebesar itu telah mampu bertempur sedemikian hebatnya. Dan kini tiba-tiba gadis itu muncul kembali. Karena itu
Jaka Soka menjadi tak senang sama sekali, katanya, "He monyet kecil. Jangan ganggu aku lagi. Aku benar-benar
akan membunuhmu."
Ketika mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa, sedang Lawa Ijopun tertawa pula.
Terdengar Lawa Ijo menyahut, "Jangan marah kepada gadis kecil itu Soka. Ia berkata sebenarnya."
Mata Jaka Soka menjadi semakin seram. Dengan tajamnya ia memandang gadis kecil yang nakal itu.
Namun ia tidak bisa meloncat saja kepadanya. Di hadapannya berdiri Rara Wilis. Kalau saja Rara Wilis lima enam
tahun yang lampau, mungkin ia tidak perlu memperhitungkan dalam tindakan-tindakannya.
Tetapi Rara Wilis yang berdiri di hadapannya dengan pedang yang tergantung di lambungnya, adalah Rara Wilis
yang telah berhasil membunuh istri Sima Rodra. Karena itu Jaka Soka masih berdiri saja di tempatnya.
Sedangkan Endang Widuri, betapapun nakalnya, namun ia tahu juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu benarbenar dalam bahaya. Karena itu rantainya sudah tidak tergantung lagi di lehernya, tetapi dengan jari-jarinya yang
kecil, ia bermain-main dengan senjata itu. Bahkan cakranya pun telah melekat di ujungnya. Benda yang berkiliatkilat, berbentuk bulat bergerigi itu tidak lepas dari perhatian Jaka Soka.
Senjata yang demikian benar-benar berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat hitamnya serta pedang yang terselip
di dalamnya. Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu digetarkan oleh dua bayangan yang datang memasuki
regol halaman. Ketika penjaga-penjaga di regol halaman itu berusaha mencegahnya, mereka terpelanting jatuh, dan
tidak bangun kembali. Para penjaga yang lain pun terkejut.
Tetapi mereka terpaku di tempatnya ketika mereka melihat orang yang datang itu.
Yang seorang berjubah abu-abu bertopeng jelek, dan seorang bertubuh tinggi besar dan berkepala besar pula.
Mereka adalah Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Kedua orang itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi kemudian
terdengar suaranya menggeram. "Lawa Ijo. Permainan apa yang sedang kau lakukan? Kau masih berdiri saja
mengagumi kecantikan gadis-gadis itu? Waktu kita tidak banyak. Aku telah memberikan petunjuk-petunjuk
bagaimana laskarmu menghindari orang-orang Banyubiru yang sudah menjadi gila di tempat kebakaran. Waktu kita
tidak banyak."
Lawa Ijo sadar, bahwa seseorang telah melihat mereka di Pamingit. Sehingga dengan demikian ada kemungkinan
mereka menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata, "Baiklah Guru. Dan apakah yang akan Guru lakukan
sekarang?"
"Bunuhlah orang-orang ini semuanya. Kecuali kalau Jaka Soka masih menghendaki gadis itu. Tetapi buatlah ia tidak
berdaya. Aku akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra dan Sabuk Inten benar-benar masih ada di sini."
Terdengar Mantingan dan Wirasaba menggeram. Namun ia sadar betapa dahsyatnya kekuatan yang datang itu. Ia
sadar pula, bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu cara untuk memancing laskar Banyubiru. Pasingsingan dan
Sura Sarunggi itu tidak memperhatikan apa-apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa dengan seenaknya.
(Bersambung)-m
INCLUDEPICTURE \d "_themes/arcs/arcsepa.gif"
Cerita Bersambung 13 November 2000 NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 619
KETIKA Pasingsingan dan Sura Sarunggi berjalan melintasi pendapa, tak seorangpun berusaha mencegahnya.
Mereka memandang saja seperti memandang hantu. Mantingan dengan trisula di tangannya, hanya gemetar saja di
tempatnya, sedang Wirasaba tegak seperti patung dengan kapak di tangan. Meskipun tangan Rara Wilis sudah
melekat di hulu pedangnya, ia pun tidak berbuat apa-apa. Kali ini Widuri pun tidak berani bermain-main. Ia telah
pernah melihat hantu berjubah dan bertopeng kasar itu bertempur melawan Mahesa Jenar di Gedong Songo. Karena
itu ketika kedua orang itu berjalan ke pintu, Widuri menggeser diri.
Sesaat Pasingsingan berhenti pula dan memandangi wajah gadis yang jernih itu. Tanpa disengaja ia kemudian
menoleh kepada Lawa Ijo. Tetapi kembali ia tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Dengan Sura Sarunggi,
Pasingsingan segera memasuki rumah untuk mencari pusaka-pusaka yang menggemparkan itu. Ketika kedua orang
sakti itu telah lenyap ditelan pintu, mulailah Lawa Ijo menggeram. Kemudian terdengar ia berkata, "Jaka Soka,
jangan terlalu lama bermain-main. Waktu kita tidak terlalu banyak."
Jaka Soka tersenyum. Dengan mata redup ia melangkah maju, dan dengan satu loncatan ia naik ke pendapa. Pada
saat yang bersamaan Rara Wilis telah menyambut pedangnya. Ia sadar bahwa Ular Laut itu pasti akan
menyerangnya. Sekali lagi hatinya meremang, ketika teringat peristiwa-peristiwa di hutan Tambakbaya. Tetapi
sekarang ia harus menghadapi bajak laut itu dengan senjata di tangan, tidak untuk bunuh diri, tetapi untuk
membunuh lawannya itu. Yang terjadi di sebelah lain, Wirasaba dengan garangnya meloncat ke arah Wadas Gunung.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 21 dari 142

Kapaknya yang besar itu berputar dengan dahsyatnya. Sedang Wadas Gunung pun menerima serangan Wirasaba
dengan penuh gairah.
Di kedua belah tangannya telah tergenggam dua buah pisau belati panjang. Sesaat kemudian terjadilah perkelahian
yang sengit. Kedua-duanya bertubuh tinggi, besar dan berkekuatan luar biasa. Keduanya memiliki kelincahan dan
kecepatan bergerak. Wirasaba kini telah memiliki seluruh ketangkasannya. Kakinya sudah benar-benar pulih
kembali, tidak seperti pada saat ia menyusul Mahesa Jenar ke Pliridan beberapa tahun yang lampau. Dengan
demikian pertempuran itu menjadi dahsyat sekali. Banturan-benturan senjata mereka berdentang-dentang menyobek
sepi malam. Demikian kerasnya sehingga berloncatlah bunga api keudara, memercik berhamburan.
Mantingan melihat Wirasaba telah mulai, dan Rara Wilis telah berhadapan dengan orang yang berwajah tampan itu.
Yang masih berdiri tanpa lawan adalah Lawa Ijo. Lawa Ijo itu tidak dapat dikalahkan, namun apapun yang terjadi
adalah menjadi kewajiban Mantingan. Karena itu segera Mantingan meloncat menyerang Lawa Ijo.
Terdengarlah Lawa Ijo tertawa. Sesaat kemudian di tangannya telah berkilat-kilat pisau belati panjang. Dengan
tangkasnya ia menyongsong serangan trisula Mantingan. Maka sesaat kemudian mereka telah terlibat dalam suatu
perkelahian yang sengit. Keduanya bertempur mati-matian. Untuk segera dapat mengakhiri pertempuran, Lawa Ijo
yang garang itu meloncat dengan dahsyatnya, sedangkan Mantingan pun tidak kalah lincahnya. Karena ia sudah
mengenal Lawa Ijo, maka dalam pertempuran itu, segera ia mempergunakan ilmu gerak yang dinamainya Pacar
Wutah. Dalam saat-saat berikutnya, trisulanya bergerak-gerak dengan cepatnya menyerang tubuh lawannya dari
segala arah.
Tetapi Lawa Ijo pun telah mengenal ilmu itu. Di Gedong Sanga, ia gagal membunuh dalang Mantingan itu.
Sekarang ia akan menebus kegagalannya. Dahulu Dalang Mantingan berhasil diselamatkan oleh Arya Salaka. Dan
sekarang tak ada orang yang akan menyelamatkannya. Karena itu, maka Lawa Ijo yakin bahwa kali ini ia akan
berhasil.
Wirasaba yang bertempur dengan Wadas Gunung pun telah mengerahkan segenap kekuatannya. Ia ingat apa yang
pernah terjadi di Gedong Sanga, waktu itu pun Wadas Gunung ikut serta. Sehingga dengan demikian, sejak
perkelahiannya di Pliridan, ia pernah melihat tandang Wadas Gunung di Gedong Sanga, meskipun tidak sedemikian
jelas, karena kesempatan yang sempit. Sebab pada saat itu ia harus bertempur melawan dua orang dari kawanan Alas
Mentaok. Tetapi kini ia harus bertempur melawan orang kedua sesudah Lawa Ijo. Karena itu ia harus berjuang matimatian.
Namun Wirasaba, yang terkenal dengan nama Seruling Gading itupun mempunyai sifat-sifat yang khusus. Sebagai
seorang pengembala yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain dengan bekal seruling dan kapaknya itu,
maka ia telah memiliki pengalaman yang tak kalah luasnya dari lawannya, penjahat ulung yang bernama Wadas
Gunung itu. Dengan demikian maka kekuatan keduanya tak dapat diselisihkan. Masing-masing memiliki
kekhususannya yang cukup berbahaya. Wadas Gunung dengan kedua pisau belati panjangnya menyerang dengan
ganasnya. Bertubi-tubi seperti beribu-ribu pisau belati yang melontar-lontar ke tubuh Wirasaba. Namun kapak
Wirasaba itu seakan-akan dapat berubah menjadi dinding baja yang membatasinya. Sehingga dengan demikian
ujung pisau lawannya sama sekali tak berhasil menyentuh pakaiannya.
Endang Widuri sementara itu masih berdiri tegak di samping pintu. Ia melihat bagaimana Wirasaba bertempur
dengan dahsyatnya. Dilihatnya pula Ki Dalang Mantingan bertempur mati-matian. Ia melihat betapa lincahnya
Dalang Mantingan itu, dan bagaimana dahsyatnya trisulanya menyambar-nyambar.
Namun dilihatnya pula betapa dahsyatnya Lawa Ijo itu bertempur. Karena itu hatinyapun menjadi tegang. Yang
belum mulai, di antara mereka adalah Jaka Soka. Ia masih saja berdiri dengan senyumnya yang aneh. Sekali-kali ia
memandang berkeliling, melihat bagaimana Wadas Gunung menghadapi lawannya, dan di saat lain dipandangnya
dengan seksama pertempuran antara Lawa Ijo dan Dalang Mantingan. (Bersambung)-c
INCLUDEPICTURE \d "_themes/arcs/arcsepa.gif"
NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 620
SEBAGAI seorang yang cukup berilmu, segera Jaka Soka melihat bahwa Mantingan telah sampai pada puncak
perjuangannya, sedang Lawa Ijo masih mungkin untuk melepaskan ilmu-ilmu pamungkasnya. Karena itu ia
tersenyum. Sebentar lagi ia akan melihat lawan Lawa Ijo itu terbelah dadanya. Karena itu untuk menakut-nakuti
lawannya ia berkata, "Wilis, lihatlah. Sebentar lagi kawanmu yang bernama Mantingan itu akan terpenggal lehernya,
atau terbelah dadanya."
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Ia melihat pula apa yang terjadi. Di Gedong Sanga, Rara Wilis telah mengetahui
pula, bahwa ilmu Mantingan masih belum dapat menyamai Lawa Ijo. Meskipun demikian ia mencoba untuk tidak
terpengaruh karenanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 22 dari 142

Sebab apabila demikian, Ular Laut itu akan dengan mudahnya menangkapnya. Seandainya ia terbunuh dalam
pertempuran itu, ia tidak akan menyesal. Sebab dengan demikian ia telah mengorbankan dirinya untuk ikut serta
mempertahankan hak atas Banyubiru dan atas Keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten yang tak begitu dimengertinya,
sebab Mahesa Jenar tidak begitu banyak menceritakan pusaka-pusaka itu kepadanya. Namun hal yang sedemikian
telah diduganya sejak semula.
Sejak ia menjatuhkan pilihannya atas Mahesa Jenar daripada Sarayuda. Pada saat itu ia sadar, bahwa Mahesa Jenar
mempunyai masalah yang jauh lebih banyak daripada Demang Gunungkidul yang kaya raya itu.
Kalau Sarayuda seolah-olah telah menyelesaikan perjuangannya untuk merebut keadaannya kini, sehingga dengan
demikian Sarayuda tinggal menikmati hasil jerih payahnya, maka Mahesa Jenar masih harus berjuang terus. Tetapi
Rara Wilis melihat hakekat dari perjuangan kedua orang itu. Sarayuda berjuang untuk menempatkan dirinya pada
tempat yang sebaik-baiknya, meskipun ia sama sekali tidak merugikan orang lain, tetapi Mahesa Jenar berjuang
untuk kepentingan yang lebih luas, yang justru mengorbankan dirinya sendiri, kepentingannya sendiri. Seperti
halnya usahanya menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, sama sekali tidak ada hubungannya dengan
kamukten yang akan diharapkan.
Mahesa Jenar benar-benar berjuang tanpa pamrih, selain pengabdian diri pada tanah kelahiran, pada kemanusiaan.
Sebab apabila keris-keris itu benar-benar jatuh di tangan golongan hitam, akan musnahlah tata kehidupan manusia,
akan musnahlah sendi-sendi pergaulan manusia. Dan akan lenyap pulalah kesempatan untuk menjalankan ibadah
mereka, memanjatkan bakti kepada Tuhan. Dan jadilah Demak suatu negara yang bertata pergaulan rimba. Siapakah
yang kuat, merekalah yang berkuasa, tanpa menghiraukan hukum-hukum yang ada.
Juga usaha Mahesa Jenar untuk meletakkan kembali Arya Salaka pada tempatnya, sama sekali adalah perjuangan
tanpa pamrih. Ia sekadar melakukan kewajibannya sebagai manusia yang melihat kebenaran terinjak-injak. Dengan
demikian, sebagai seorang yang telah menyatakan dirinya bersedia berjuang di samping Mahesa Jenar, Rara Wilis
sama sekali tidak gentar melihat ujung senjata. Jiwanya, raganya, bulat-bulat diserahkan dalam pengabdian seperti
apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar, orang yang dikaguminya sejak pertemuannya yang pertama. Tetapi ia
menjadi ngeri, kalau Ular Laut akan berhasil menangkapnya, dan membawanya ke Nusakambangan, seperti yang
diidam-idamkannya sejak lama. Ia menjadi ngeri atas kehadiran tokoh-tokoh Pasingsingan di tempat itu, janganjangan ia akan membantu Ular Laut itu, membuatnya tidak berdaya. Namun karena itu, ia berkeputusan untuk
melawan mati-matian. Kalau ia gagal, lebih baik ia mati di pendapa Banyubiru itu.
Dengan demikian, Rara Wilis segera mengangkat pedangnya mengarah ke dada Jaka Soka sambil berkata, "Jaka
Soka, jangan menakut-nakuti aku. Aku sekarang bukan lagi gadis yang ketakutan melihat senyum yang aneh serta
matamu yang redup. Nah, marilah kita bermain-main dengan pedang. Kau atau aku yang mati karenanya."
Jaka Soka menggigit bibirnya. Tetapi Rara Wilis itu berkata sungguh-sungguh. "Cabutlah pedangmu," desis Rara
Wilis, "Supaya aku tidak membunuh orang yang tidak bersenjata." Pedang Rara Wilis terjulur beberapa jengkal ke
arah leher Jaka Soka, sehingga Jaka Soka terpaksa bergeser mundur. "Wilis..." katanya, "Aku tidak akan melukai
kulitmu. Apakah yang kau tunggu di sini? Mahesa Jenar tidak akan kembali kepadamu, karena ia telah terbunuh di
Pamingit."
Dada Rara Wilis berdesir, tetapi kemudian ia menjadi tenang kembali. Katanya, "Siapakah yang telah
membunuhnya?"
"Paman Pasingsingan," jawab Jaka Soka. Rara Wilis tertawa. Tetapi Endang Widuri tertawa lebih keras.
Katanya, "Pasingsingan tak akan mampu melawan Paman Mahesa Jenar. Kau salah hitung, Jaka Soka. Lain kali kau
perlu mempelajari keadaan sebelum kau mencoba berbohong."
Mata Jaka Soka menjadi semakin redup. Tetapi ia sudah tidak tersenyum lagi. Sekali lagi ia melihat Wadas Gunung
yang menggeram keras sekali untuk melepaskan marahnya, karena Wirasaba dapat melawannya dengan baik. Saat
yang lain, Jaka Soka memandang ke arah Lawa Ijo yang nampak makin baik keadaannya. Meskipun demikian Ki
Dalang Mantingan berjuang dengan gigihnya.
Kemudian Jaka Soka sendiri meloncat selangkah ke belakang dan dalam sekejap tongkatnya telah terurai. Di tangan
kanan, digenggamnya sebuah pedang yang lentur, sedang di tangan kirinya adalah warangkanya, berupa sebuah
tongkat yang berwarna hitam. Rara Wilis tidak menunggu lebih lama lagi. Ia meloncat ke depan dengan tangan
terjulur lurus. Pedangnya mengarah kedada lawannya
Serial Bersambung 09 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 615
MALAM berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin dalam. Bintang-bintang telah jauh berkisar dari tempatnya.
Sementara itu, di jalan yang berbatu-batu menuju ke Banyubiru berderak-deraklah suara kaki tiga ekor kuda yang
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 23 dari 142

dipacu seperti angin. Yang terdepan adalah Arya Salaka. Beberapa langkah di belakangnya adalah Mahesa Jenar,
sedang rapat di belakangnya adalah Kebo Kanigara. Betapa hati Arya Salaka menjadi gelisah dan marah mendengar
laporan pengawas dari Pamingit itu. Ia tidak tahu kepada siapa ia harus marah. Mungkin kesalahannya terletak pada
Sawung Sariti. Atau pada waktu.
Mungkin Sawung Sariti sudah mencarinya untuk menyampaikan khabar itu, tetapi tidak segera ditemuinya. Semakin
dalam ia berpikir tentang gerombolan berkuda yang di antaranya terdapat Pasingsingan, semakin gelisahlah hatinya.
Karena itu kudanya dipacu semakin cepat. Ia ingin segara sampai. Ketika ia menoleh, dilihatnya dua orang berkuda
menyusulnya. Ia berbesar hati. Keduanya pasti gurunya beserta Kebo Kanigara. Ia yakin bahwa kedua orang itu
akan mengikutinya, apalagi keduanya mendengar sendiri, bahwa yang pergi ke Banyubiru di antara orang-orang
golongan hitam itu terdapat Pasingsingan. Sedangkan di Banyubiru ada Rara Wilis dan Endang Widuri. Arya Salaka
tahu benar, bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berkepentingan atas keduanya. Mahesa Jenar pasti tidak mau
kehilangan Rara Wilis, sedang Kebo Kanigara akan mencemaskan nasib putrinya. Tetapi kenapa ia sendiri menjadi
sangat cemas? Siapakah yang ditinggalkan di Banyubiru? Paman Mantingan atau Paman Wirasaba, atau Eyang
Wanamerta? Bukan itulah yang pertama-tama kali diingatnya. Tetapi Banyubiru. Mungkin orang-orang dari
golongan hitam itu akan membakar rumahnya dan rumah-rumah rakyat yang tak bersalah. Melepaskan dendamnya
kepada orang- orang yang dijumpainya. Kepada Eyang Wanamerta, Paman Mantingan, Wirasaba atau Endang
Widuri.
Dada Arya tiba-tiba berdesir keras. Dalam keadaan yang demikian ia tidak sempat menyadari bahwa sebenarnya
yang mendorongnya untuk memacu kudanya lebih cepat adalah kecemasan atas nasib gadis nakal yang aneh itu.
Demikianlah di malam yang gelap itu Arya Salaka memacu kudanya habis-habisan.
Tidak diingatnya bahaya yang menghadang di hadapannya. Lereng-lereng pegunungan dan tebing-tebing yang
curam. Dan sebenarnyalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, disamping kesadarannya akan kewajibannya,
melindungi Arya Salaka dalam perjuangannya melawan kejahatan dan ketamakan, mereka mempunyai kepentingan
masing-masing. Rara Wilis dan Endang Widuri telah memaksa mereka untuk cemas dan gelisah.
Suara raung anjing-anjing liar mengumandang dari tebing-tebing pegunungan. Dan malam menjadi semakin garang
karenanya. Desah angin pegunungan yang mengalir lewat jurang-jurang yang dalam, terdengar seperti bunyi siul
raksasa yang sedang bermalas-malas. Suara-suara malam itu telah membuat Arya menjadi semakin gelisah. Ia
menjadi jengkel kepada kudanya, yang seolah-olah berlari dengan segannya, meskipun tumbuh-tumbuhan dan batubatu besar yang menjorok di tepi- tepi jalan tampak seperti hanyut ke belakang secepat banjir.
Namun hatinya ternyata jauh lebih cepat dari kaki-kaki kudanya itu. Dan Banyubiru terbayang di serambi matanya
seperti menggapai-gapaikan tangan-tangannya, memanggilnya, Arya, tolonglah aku.... Tetapi suara itu seperti
seorang gadis. Gadis yang dikenalnya baik-baik, bersenjata rantai perak dengan bandul Cakra yang bercahayacahaya. Tetapi senjata yang sakti itu tak berarti di mata orang yang berjubah abu-abu, bertopeng kasar dan
menamakan dirinya Pasingsingan.
Tiba-tiba iapun tak akan berarti pula. Ia pernah mendengar Mahesa Jenar berceritera, bahwa ayahnya Ki Ageng
Gajah Sora yang sedang marahpun tak dapat berbuat sesuatu melawan hantu berjubah abu-abu itu.
Ayahnya itu hanya mampu menyobek ujung jubahnya dengan tombak Kyai Bancak itu di Alun-alun Banyubiru.
Tanpa disengaja, sekali lagi ia menoleh. Dan dengan serta merta ia bergumam, Guruku telah mampu membunuh
Sima Rodra dari Lodaya, sedang Paman Kebo Kanigara berhasil membinasakan Nagapasa. Apa artinya
Pasingsingan bagi mereka?
Tetapi.... Hatinya membantah sendiri, Kalau segala sesuatu telah terjadi? Kembali mengiang di telinganya
sebuah jerit nyaring. Arya Salaka terkejut. Namun segera ia sadar, bahwa suara itu hanyalah pekik burung hantu
yang sedang berkelahi. Terdengar gigi Arya gemeretak. Dan kembali malam menjadi bertambah sepi. Dan malam
yang sepi itu benar-benar sedang merajai permukaan bumi. Pangrantunan, Banjar Gede, Pamingit, Gemawang dan
seluruh wajah bumi menjadi kelam. Juga Banyubiru. Lereng bukit Telamaya itupun, ditelan oleh hitamnya malam.
Sebagian besar dari penduduknya sedang lelap dipeluk mimpi. Mereka telah merasa, betapa mereka terhindar dari
bencana. Meskipun ada di antara mereka yang sedang mengenangkan nasib suaminya, anak-anaknya atau
kekasihnya yang sedang berjuang di Pamingit. Sedang para penjagapun merasa betapa tenangnya malam.
Pendapa Banyubiru pun tampak sepi. Sepasang obor masih tampak menyala. Api yang menjalar berlenggang dengan
malasnya dibelai angin malam. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 10 November 2000 Diambil Dari harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 616
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 24 dari 142

DUA orang penjaga berdiri menahan kantuknya di regol halaman. Sedang beberapa orang lain duduk di gardu
dengan mata yang redup. Sekali-kali Wanamerta yang masih duduk di pendapa bersama Ki Dalang Mantingan
tampak menguap.
Beristirahatlah Paman.
Terdengar suara Mantingan lemah. Malam terlalu dingin, gumam orang tua itu.
Ya, sahut Mantingan. Tetapi hatiku gelisah. Orang tua itu meneruskan.
Mantingan tidak menjawab. Tetapi pandangan matanya terlempar ke halaman, menembus kelam. Perlahan-lahan
Mantingan menarik nafas dalam. Apakah Angger Wilis dan cucuku Widuri telah tidur? tanya Wanamerta.
Mungkin, jawab Mantingan. Baru saja aku selesai berceritera. Anak itu minta aku berceritera tentang Gatotkaca,
Pergiwa dan Pergiwati. Wanamerta tersenyum. Tetapi ia berdiam diri. Yang terdengar kemudian adalah suara
seruling. Sayup-sayup dibawa angin. Namun suaranya demikian merdu. Seirama dengan heningnya malam.
Seruling Kakang Wirasaba, desis Mantingan. Pantaslah ia bergelar Seruling Gading, sahut Wanamerta.
Sebagai biasa Wirasaba berlagu melampaui batas gending-gending yang ada. Lagunya seperti lagu angin malam.
Hening sepi, namun penuh kemesraan hati manusia. Di manakah Angger Wirasaba? tanya Wanamerta. Di gardu
belakang. Bersama-sama Sendang Parapat, jawab Mantingan. Wanamerta mengangguk-angguk. Namun
kegelisahan di hatinya semakin terasa. Sebagai orang tua, firasatnya bertambah hari bertambah tajam. Ia terkejut
ketika tiba-tiba daun-daun sawo di halaman bergoyang ditiup angin yang bertambah kencang. Mantingan mengikuti
arah pandangan Wanamerta. Tetapi yang dilihatnya pun hanyalah daun sawo yang bergerak-gerak.
Aneh, gumam Wanamerta. Apakah yang aneh? tanya Mantingan. Aku tidak tahu. Tetapi aku menjadi gelisah
seperti daun-daun sawo di halaman itu, jawab Wanamerta. Mantingan mengerutkan keningnya. Terasa pula hatinya
berdesir halus.
Sepi yang menggelisahkan, sahutnya. Suara seruling Wirasaba pun tiba-tiba berubah. Nadanya menjadi bertambah
tinggi. Terasa betapa hatinya menjadi gelisah. Namun betapa merdunya suara seruling itu. Tetapi sesaat kemudian
suara seruling itu berhenti. Mantingan mengangkat wajahnya. Berhenti, desisnya.
Ya, sahut Wanamerta, Agaknya Angger Wirasaba kedinginan.
Mantingan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Hanya matanya yang kembali beredar mondar-mandir di
halaman. Karena hatinya yang gelisah, pandangannya pun menjadi gelisah. Mantingan mencoba mengamati setiap
benda yang ada di halaman. Pohon sawo, pohon jambu, dinding-dinding halaman, pohon-pohon kelapa. Semuanya
diam beku. Yang bergerak-gerak hanyalah para penjaga yang berjalan hilir mudik di luar regol.
Tiba-tiba keduanya terkejut ketika terdengar langkah naik ke pendapa. Ketika menoleh, dilihatnya Ki Wirasaba
berjalan dengan malasnya menjinjing kapaknya. Di belakangnya berjalan Sedang Parapat yang telah hampir
sembuh. Mantingan dan Wanamerta menarik nafas panjang.
Ah.... gumam Wanamerta. Kenapa aku berubah menjadi penakut? Kenapa...? tanya Wirasaba sambil duduk di
samping mereka. Aku terkejut mendengar langkah Angger seperti mendengar langkah hantu, jawab Wanamerta.
Wirasaba mengangguk-angguk lemah. Hatinya pun dirayapi perasaan-perasaan aneh. Serulingnya terselip di ikat
pinggangnya, sedang tangannya menggenggam kapaknya. Tiba-tiba mata Mantingan sekali lagi menatap daun-daun
sawo yang bergerak-gerak ditiup angin malam. Kemudian matanya menatap daun-daun jambu di sebelahnya. Aneh.
Daun jambu itu tidak bergoyang terlalu keras seperti daun- daun sawo itu. Karena itu ia menjadi curiga.
Ketika sekali lagi ia melihat daun itu bergerak-gerak, dengan serta merta ia berdiri dengan trisulanya di tangan,
kemudian dengan tangkasnya ia meloncat sambil berkata lantang, Siapakah yang mencoba membuat permainan
itu? Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat pun terkejut ketika mereka melihat Mantingan meloncat. Mereka
masih belum tahu apa yang dimaksudnya. Tetapi ketika pandangan mereka mengikuti arah pandangan mata
Mantingan, merekapun melihat bahwa daun-daun sawo itu bergoyang-goyang.
Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang menyeramkan dari pohon sawo itu. Suara yang sudah mereka kenal baikbaik. Para penjaga dan para pengawalpun terkejut pula. Bahkan Mantingan terpaksa menghentikan langkahnya.
Lawa Ijo, gumamnya.
Sesaat kemudian dilihatnya bayangan yang melontar turun dari pohon sawo di halaman itu. Seorang yang bertubuh
tinggi besar dan berdada tegak. Sekali lagi Mantingan terkejut melihat orang itu. Bukan Lawa Ijo, tetapi agaknya ia
pernah melihatnya. Tiba-tiba ia menjadi ngeri. Bukankah Watu Gunung telah dibinasakan oleh Mahesa Jenar?
Apakah ia dapat hidup kembali...? Namun sebelum ia sempat bertanya terdengar Wirasaba menggeram, Hem, kau
Wadas Gunung. (Bersambung)-m
Cerita Bersambung 11 November 2000
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 25 dari 142

NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 617


MANTINGAN menoleh ke arah Wirasaba. Ia mengulang perlahan, "Wadas Gunung. Siapakah dia?" "Adik
seperguruan Lawa Ijo," jawab Wirasaba.
"Watu Gunung yang kau maksud...?" Ia bertanya pula. Wirasaba menggeleng. "Bukan. Saudara kembarnya. Orang
ini pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di Pliridan bersama-sama dengan 20 orang kawannya."
Sementara itu Wadas Gunung telah berjalan beberapa langkah maju. Sambil tertawa pendek ia berkata, "Nah, kau
orang berkapak yang membantu Mahesa Jenar di Pliridan dahulu? Kau masih mengenal aku dengan baik."
Wirasaba juga maju. "Kau datang pula ke Gedong Songo beberapa hari yang lalu," pikirnya.
Dan kapaknya tiba-tiba bergetar di tangannya. Ketika ia hampir meloncat menyerbu, terdengar Wanamerta yang tua
itu berbisik, "Hati-hatilah Angger. Ia pasti tidak datang sendiri."
Belum lagi Wanamerta selesai berkata, terdengarlah suara kentongan bertalu-talu tiga kali berturut-turut.
"Kebakaran," desis Wanamerta. Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya, "Kebakaran. Jangan terkejut.
Banyubiru telah dikepung."
Wajah Sendang Parapat menjadi merah. Ia harus segera menggerakkan segenap laskar cadangan yang ada. Tetapi
ketika ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun dari pendapa, muncullah seorang lagi di hadapannya.
Sendang tertegun. Ia belum pernah melihat orang itu. Seorang yang berwajah tampan, berkulit kuning dan
berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat warna hitam. "Siapakah kau...?" Tiba-tiba Sendang
Parapat bertanya.
Orang itu tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya, "Jangan risaukan siapa aku." Sendang Parapat menjadi
marah. Tetapi ia tidak mendapat banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja dari pendapa, "Bunyikan tanda,
gerakkan segenap laskar cadangan."
Sesaat kemudian, orang-orang di gardu penjagaan menjadi sadar akan bahaya yang datang. Seseorang kemudian
meloncat memukul kentongan titir. Tetapi suara titir itu terputus ketika tiba-tiba pemukul kentongan itu terpelanting
jatuh. Sendang Parapat terkejut. Karena itu ia menjadi semakin marah. Untunglah bahwa suara titir yang pendek itu
telah terdengar dari gardu di luar halaman yang terdekat, sehingga suara titir itupun segera bersambut. Apalagi
ketika seorang yang lain segera merebut pemukul kentongan dari tangan orang pertama. Kemudian dengan tanpa
takut-takut iapun mengulang memukul kentongan itu dengan irama yang sama, titir. Namun orang kedua inipun
kemudian terjatuh pula dengan luka di kepalanya.
Sebuah batu telah membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar ke segenap penjuru Banyubiru. Banyubiru yang
sedang tidur lelap itu menjadi terbangun dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali berturut-turut telah mengejutkan
hati mereka. Apalagi kemudian terdengar bunyi titir yang merayap-rayap di seluruh lereng bukit itu. Laskar
Banyubiru pun menjadi terkejut. Untunglah bahwa mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu yang
singkat mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ketika terdengar suara titir bersahutan, sadarlah
mereka bahwa bahaya yang besar telah datang.
Para pemimpin kelompok itupun segera tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari laskar itu segera berangkat
dengan tergesa-gesa ke tempat kebakaran. Orang yang berwajah tampan itupun mengangkat wajahnya ketika suara
titir telah menjalar ke segenap arah.
Ia mengerutkan keningnya, kemudian katanya kepada Sendang Parapat, "Jangan berdiri saja di situ, pergilah supaya
umurmu panjang." Betapa marahnya Sendang Parapat. Segera ia menarik pedangnya.
Dengan penuh nafsu ia berhasrat menyerang orang itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara halus di
belakangnya, "Sendang, jangan tergesa-gesa. Ia bukan lawanmu."
Sendang Parapat menghentikan langkahnya. Iapun segera menoleh. Bahkan semua orang memandang ke arah suara
itu.
Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu. Mula-mula ia menjadi ngeri melihat kehadiran Jaka Soka. Bukan
karena ia takut seandainya ia harus bertempur. Tetapi sebagai seorang gadis, ia merasa bahwa Jaka Soka adalah
orang yang pernah menjadi gila karena dirinya. Ketika Jaka Soka melihat gadis itu, hatinya bergetar cepat. Ia masih
belum dapat melupakan, betapa wajah gadis itu selalu terbayang.
Karena itu tiba-tiba kembali ia tersenyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba saja Jaka Soka merasakan adanya suatu
kurnia bagi dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama beberapa orang dan laskar golongan hitam, adalah karena
dendamnya yang meluap-luap. Ia ingin membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya, sebagai ganti kematian
gurunya.
Tetapi tiba-tiba ia bertemu dengan gadis ini. Matanya yang redup itupun menjadi bersinar-sinar. Dan pandangan
mata yang demikian itulah yang menyebabkan seluruh bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis itu
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 26 dari 142

merasa, bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta mengamankan rumah ini, sebagai lambang pemerintahan
Banyubiru.
Karena itu iapun melangkah maju sambil berkata, "Jaka Soka, apakah kerjamu di sini? Apakah pekerjaanmu di
Pamingit sudah selesai...?"
Wadas Gunung pun menjadi keheran-heranan. Apakah yang dilakukan oleh Jaka Soka itu? Dimanakah ia berkenalan
dengan gadis manis yang menyapanya - Hem, agaknya kau mendapat pekerjaan baru di sini Jaka Soka. Cerita Bersambung 12 November 2000 NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 618
JAKA SOKA tersenyum, jawabnya, "Bukan Wadas Gunung. Bukan pekerjaan baru. Aku sudah berjanji akan datang
kepadanya beberapa tahun yang lampau. Dan agaknya iapun tetap menanti."
Wajah Rara Wilis menjadi merah. Sekali dilayangkan pandangannya sekeliling pendapa itu. Di situ masih berdiri
Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat. Sedang di bawah tangga berdiri Wadas Gunung dan di
sebelah lain Jaka Soka. Ketika ia melihat para penjaga yang berdiri tidak lebih dari lima orang itupun telah bersiap
pula. Ia menarik nafas panjang. Kalau hanya kedua orang itu saja, mungkin masih akan dapat diatasi.
Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara yang seram dari dalam gelap. Lebih seram dari suara Wadas Gunung.
Kemudian disusul dengan bayangan yang remang-remang semakin lama semakin jelas. Lawa Ijo. Mantingan
menarik nafas. Agaknya bahaya yang mendatang benar-benar menggetarkan dadanya. Lawa IJo itu kemudian berdiri
saja disamping Jaka Soka. Sambil tertawa pendek ia berkata, "Jaka Soka. Apa kau masih mengharapkan gadis itu?"
"Ia tetap menanti aku dengan setia," jawab Jaka Soka. Lawa Ijo menjadi marah.
Namun gadis itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah suara gadis lain, Endang Widuri. Katanya, "Benar Paman
Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab sepeninggalmu, kuda-kuda kami menjadi kekurangan rumput."
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Ia memandang gadis yang berdiri di pintu itu dengan sinar mata yang seram.
Tetapi Lawa Ijo tertawa mendengar jawaban itu. Katanya, "Ha, dengar. Apa yang dikatakan gadis nakal itu. Dan
barangkali memang sepantasnya kau menjadi pekatiknya, mencari rumput bagi kuda-kudanya."
Jaka Soka pernah bertempur dengan Widuri di Gedangan. Pada saat itu ia benar-benar keheranan, bahwa gadis
sebesar itu telah mampu bertempur sedemikian hebatnya. Dan kini tiba-tiba gadis itu muncul kembali. Karena itu
Jaka Soka menjadi tak senang sama sekali, katanya, "He monyet kecil. Jangan ganggu aku lagi. Aku benar-benar
akan membunuhmu."
Ketika mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa, sedang Lawa Ijopun tertawa pula.
Terdengar Lawa Ijo menyahut, "Jangan marah kepada gadis kecil itu Soka. Ia berkata sebenarnya."
Mata Jaka Soka menjadi semakin seram. Dengan tajamnya ia memandang gadis kecil yang nakal itu.
Namun ia tidak bisa meloncat saja kepadanya. Di hadapannya berdiri Rara Wilis. Kalau saja Rara Wilis lima enam
tahun yang lampau, mungkin ia tidak perlu memperhitungkan dalam tindakan-tindakannya.
Tetapi Rara Wilis yang berdiri di hadapannya dengan pedang yang tergantung di lambungnya, adalah Rara Wilis
yang telah berhasil membunuh istri Sima Rodra. Karena itu Jaka Soka masih berdiri saja di tempatnya.
Sedangkan Endang Widuri, betapapun nakalnya, namun ia tahu juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu benarbenar dalam bahaya. Karena itu rantainya sudah tidak tergantung lagi di lehernya, tetapi dengan jari-jarinya yang
kecil, ia bermain-main dengan senjata itu. Bahkan cakranya pun telah melekat di ujungnya. Benda yang berkiliatkilat, berbentuk bulat bergerigi itu tidak lepas dari perhatian Jaka Soka.
Senjata yang demikian benar-benar berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat hitamnya serta pedang yang terselip
di dalamnya. Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu digetarkan oleh dua bayangan yang datang memasuki
regol halaman. Ketika penjaga-penjaga di regol halaman itu berusaha mencegahnya, mereka terpelanting jatuh, dan
tidak bangun kembali. Para penjaga yang lain pun terkejut.
Tetapi mereka terpaku di tempatnya ketika mereka melihat orang yang datang itu.
Yang seorang berjubah abu-abu bertopeng jelek, dan seorang bertubuh tinggi besar dan berkepala besar pula.
Mereka adalah Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Kedua orang itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi kemudian
terdengar suaranya menggeram. "Lawa Ijo. Permainan apa yang sedang kau lakukan? Kau masih berdiri saja
mengagumi kecantikan gadis-gadis itu? Waktu kita tidak banyak. Aku telah memberikan petunjuk-petunjuk
bagaimana laskarmu menghindari orang-orang Banyubiru yang sudah menjadi gila di tempat kebakaran. Waktu kita
tidak banyak."
Lawa Ijo sadar, bahwa seseorang telah melihat mereka di Pamingit. Sehingga dengan demikian ada kemungkinan
mereka menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata, "Baiklah Guru. Dan apakah yang akan Guru lakukan
sekarang?"
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 27 dari 142

"Bunuhlah orang-orang ini semuanya. Kecuali kalau Jaka Soka masih menghendaki gadis itu. Tetapi buatlah ia tidak
berdaya. Aku akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra dan Sabuk Inten benar-benar masih ada di sini."
Terdengar Mantingan dan Wirasaba menggeram. Namun ia sadar betapa dahsyatnya kekuatan yang datang itu. Ia
sadar pula, bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu cara untuk memancing laskar Banyubiru. Pasingsingan dan
Sura Sarunggi itu tidak memperhatikan apa-apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa dengan seenaknya.
(Bersambung)-m
Cerita Bersambung 13 November 2000 NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 619
KETIKA Pasingsingan dan Sura Sarunggi berjalan melintasi pendapa, tak seorangpun berusaha mencegahnya.
Mereka memandang saja seperti memandang hantu. Mantingan dengan trisula di tangannya, hanya gemetar saja di
tempatnya, sedang Wirasaba tegak seperti patung dengan kapak di tangan. Meskipun tangan Rara Wilis sudah
melekat di hulu pedangnya, ia pun tidak berbuat apa-apa. Kali ini Widuri pun tidak berani bermain-main. Ia telah
pernah melihat hantu berjubah dan bertopeng kasar itu bertempur melawan Mahesa Jenar di Gedong Songo. Karena
itu ketika kedua orang itu berjalan ke pintu, Widuri menggeser diri.
Sesaat Pasingsingan berhenti pula dan memandangi wajah gadis yang jernih itu. Tanpa disengaja ia kemudian
menoleh kepada Lawa Ijo. Tetapi kembali ia tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Dengan Sura Sarunggi,
Pasingsingan segera memasuki rumah untuk mencari pusaka-pusaka yang menggemparkan itu. Ketika kedua orang
sakti itu telah lenyap ditelan pintu, mulailah Lawa Ijo menggeram. Kemudian terdengar ia berkata, "Jaka Soka,
jangan terlalu lama bermain-main. Waktu kita tidak terlalu banyak."
Jaka Soka tersenyum. Dengan mata redup ia melangkah maju, dan dengan satu loncatan ia naik ke pendapa. Pada
saat yang bersamaan Rara Wilis telah menyambut pedangnya. Ia sadar bahwa Ular Laut itu pasti akan
menyerangnya. Sekali lagi hatinya meremang, ketika teringat peristiwa-peristiwa di hutan Tambakbaya. Tetapi
sekarang ia harus menghadapi bajak laut itu dengan senjata di tangan, tidak untuk bunuh diri, tetapi untuk
membunuh lawannya itu. Yang terjadi di sebelah lain, Wirasaba dengan garangnya meloncat ke arah Wadas Gunung.
Kapaknya yang besar itu berputar dengan dahsyatnya. Sedang Wadas Gunung pun menerima serangan Wirasaba
dengan penuh gairah.
Di kedua belah tangannya telah tergenggam dua buah pisau belati panjang. Sesaat kemudian terjadilah perkelahian
yang sengit. Kedua-duanya bertubuh tinggi, besar dan berkekuatan luar biasa. Keduanya memiliki kelincahan dan
kecepatan bergerak. Wirasaba kini telah memiliki seluruh ketangkasannya. Kakinya sudah benar-benar pulih
kembali, tidak seperti pada saat ia menyusul Mahesa Jenar ke Pliridan beberapa tahun yang lampau. Dengan
demikian pertempuran itu menjadi dahsyat sekali. Banturan-benturan senjata mereka berdentang-dentang menyobek
sepi malam. Demikian kerasnya sehingga berloncatlah bunga api keudara, memercik berhamburan.
Mantingan melihat Wirasaba telah mulai, dan Rara Wilis telah berhadapan dengan orang yang berwajah tampan itu.
Yang masih berdiri tanpa lawan adalah Lawa Ijo. Lawa Ijo itu tidak dapat dikalahkan, namun apapun yang terjadi
adalah menjadi kewajiban Mantingan. Karena itu segera Mantingan meloncat menyerang Lawa Ijo.
Terdengarlah Lawa Ijo tertawa. Sesaat kemudian di tangannya telah berkilat-kilat pisau belati panjang. Dengan
tangkasnya ia menyongsong serangan trisula Mantingan. Maka sesaat kemudian mereka telah terlibat dalam suatu
perkelahian yang sengit. Keduanya bertempur mati-matian. Untuk segera dapat mengakhiri pertempuran, Lawa Ijo
yang garang itu meloncat dengan dahsyatnya, sedangkan Mantingan pun tidak kalah lincahnya. Karena ia sudah
mengenal Lawa Ijo, maka dalam pertempuran itu, segera ia mempergunakan ilmu gerak yang dinamainya Pacar
Wutah. Dalam saat-saat berikutnya, trisulanya bergerak-gerak dengan cepatnya menyerang tubuh lawannya dari
segala arah.
Tetapi Lawa Ijo pun telah mengenal ilmu itu. Di Gedong Sanga, ia gagal membunuh dalang Mantingan itu.
Sekarang ia akan menebus kegagalannya. Dahulu Dalang Mantingan berhasil diselamatkan oleh Arya Salaka. Dan
sekarang tak ada orang yang akan menyelamatkannya. Karena itu, maka Lawa Ijo yakin bahwa kali ini ia akan
berhasil.
Wirasaba yang bertempur dengan Wadas Gunung pun telah mengerahkan segenap kekuatannya. Ia ingat apa yang
pernah terjadi di Gedong Sanga, waktu itu pun Wadas Gunung ikut serta. Sehingga dengan demikian, sejak
perkelahiannya di Pliridan, ia pernah melihat tandang Wadas Gunung di Gedong Sanga, meskipun tidak sedemikian
jelas, karena kesempatan yang sempit. Sebab pada saat itu ia harus bertempur melawan dua orang dari kawanan Alas
Mentaok. Tetapi kini ia harus bertempur melawan orang kedua sesudah Lawa Ijo. Karena itu ia harus berjuang matimatian.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 28 dari 142

Namun Wirasaba, yang terkenal dengan nama Seruling Gading itupun mempunyai sifat-sifat yang khusus. Sebagai
seorang pengembala yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain dengan bekal seruling dan kapaknya itu,
maka ia telah memiliki pengalaman yang tak kalah luasnya dari lawannya, penjahat ulung yang bernama Wadas
Gunung itu. Dengan demikian maka kekuatan keduanya tak dapat diselisihkan. Masing-masing memiliki
kekhususannya yang cukup berbahaya. Wadas Gunung dengan kedua pisau belati panjangnya menyerang dengan
ganasnya. Bertubi-tubi seperti beribu-ribu pisau belati yang melontar-lontar ke tubuh Wirasaba. Namun kapak
Wirasaba itu seakan-akan dapat berubah menjadi dinding baja yang membatasinya. Sehingga dengan demikian
ujung pisau lawannya sama sekali tak berhasil menyentuh pakaiannya.
Endang Widuri sementara itu masih berdiri tegak di samping pintu. Ia melihat bagaimana Wirasaba bertempur
dengan dahsyatnya. Dilihatnya pula Ki Dalang Mantingan bertempur mati-matian. Ia melihat betapa lincahnya
Dalang Mantingan itu, dan bagaimana dahsyatnya trisulanya menyambar-nyambar.
Namun dilihatnya pula betapa dahsyatnya Lawa Ijo itu bertempur. Karena itu hatinyapun menjadi tegang. Yang
belum mulai, di antara mereka adalah Jaka Soka. Ia masih saja berdiri dengan senyumnya yang aneh. Sekali-kali ia
memandang berkeliling, melihat bagaimana Wadas Gunung menghadapi lawannya, dan di saat lain dipandangnya
dengan seksama pertempuran antara Lawa Ijo dan Dalang Mantingan. (Bersambung)-c
NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 620
SEBAGAI seorang yang cukup berilmu, segera Jaka Soka melihat bahwa Mantingan telah sampai pada puncak
perjuangannya, sedang Lawa Ijo masih mungkin untuk melepaskan ilmu-ilmu pamungkasnya. Karena itu ia
tersenyum. Sebentar lagi ia akan melihat lawan Lawa Ijo itu terbelah dadanya. Karena itu untuk menakut-nakuti
lawannya ia berkata, "Wilis, lihatlah. Sebentar lagi kawanmu yang bernama Mantingan itu akan terpenggal lehernya,
atau terbelah dadanya."
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Ia melihat pula apa yang terjadi. Di Gedong Sanga, Rara Wilis telah mengetahui
pula, bahwa ilmu Mantingan masih belum dapat menyamai Lawa Ijo. Meskipun demikian ia mencoba untuk tidak
terpengaruh karenanya.
Sebab apabila demikian, Ular Laut itu akan dengan mudahnya menangkapnya. Seandainya ia terbunuh dalam
pertempuran itu, ia tidak akan menyesal. Sebab dengan demikian ia telah mengorbankan dirinya untuk ikut serta
mempertahankan hak atas Banyubiru dan atas Keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten yang tak begitu dimengertinya,
sebab Mahesa Jenar tidak begitu banyak menceritakan pusaka-pusaka itu kepadanya. Namun hal yang sedemikian
telah diduganya sejak semula.
Sejak ia menjatuhkan pilihannya atas Mahesa Jenar daripada Sarayuda. Pada saat itu ia sadar, bahwa Mahesa Jenar
mempunyai masalah yang jauh lebih banyak daripada Demang Gunungkidul yang kaya raya itu.
Kalau Sarayuda seolah-olah telah menyelesaikan perjuangannya untuk merebut keadaannya kini, sehingga dengan
demikian Sarayuda tinggal menikmati hasil jerih payahnya, maka Mahesa Jenar masih harus berjuang terus. Tetapi
Rara Wilis melihat hakekat dari perjuangan kedua orang itu. Sarayuda berjuang untuk menempatkan dirinya pada
tempat yang sebaik-baiknya, meskipun ia sama sekali tidak merugikan orang lain, tetapi Mahesa Jenar berjuang
untuk kepentingan yang lebih luas, yang justru mengorbankan dirinya sendiri, kepentingannya sendiri. Seperti
halnya usahanya menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, sama sekali tidak ada hubungannya dengan
kamukten yang akan diharapkan.
Mahesa Jenar benar-benar berjuang tanpa pamrih, selain pengabdian diri pada tanah kelahiran, pada kemanusiaan.
Sebab apabila keris-keris itu benar-benar jatuh di tangan golongan hitam, akan musnahlah tata kehidupan manusia,
akan musnahlah sendi-sendi pergaulan manusia. Dan akan lenyap pulalah kesempatan untuk menjalankan ibadah
mereka, memanjatkan bakti kepada Tuhan. Dan jadilah Demak suatu negara yang bertata pergaulan rimba. Siapakah
yang kuat, merekalah yang berkuasa, tanpa menghiraukan hukum-hukum yang ada.
Juga usaha Mahesa Jenar untuk meletakkan kembali Arya Salaka pada tempatnya, sama sekali adalah perjuangan
tanpa pamrih. Ia sekadar melakukan kewajibannya sebagai manusia yang melihat kebenaran terinjak-injak. Dengan
demikian, sebagai seorang yang telah menyatakan dirinya bersedia berjuang di samping Mahesa Jenar, Rara Wilis
sama sekali tidak gentar melihat ujung senjata. Jiwanya, raganya, bulat-bulat diserahkan dalam pengabdian seperti
apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar, orang yang dikaguminya sejak pertemuannya yang pertama. Tetapi ia
menjadi ngeri, kalau Ular Laut akan berhasil menangkapnya, dan membawanya ke Nusakambangan, seperti yang
diidam-idamkannya sejak lama. Ia menjadi ngeri atas kehadiran tokoh-tokoh Pasingsingan di tempat itu, janganjangan ia akan membantu Ular Laut itu, membuatnya tidak berdaya. Namun karena itu, ia berkeputusan untuk
melawan mati-matian. Kalau ia gagal, lebih baik ia mati di pendapa Banyubiru itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 29 dari 142

Dengan demikian, Rara Wilis segera mengangkat pedangnya mengarah ke dada Jaka Soka sambil berkata, "Jaka
Soka, jangan menakut-nakuti aku. Aku sekarang bukan lagi gadis yang ketakutan melihat senyum yang aneh serta
matamu yang redup. Nah, marilah kita bermain-main dengan pedang. Kau atau aku yang mati karenanya."
Jaka Soka menggigit bibirnya. Tetapi Rara Wilis itu berkata sungguh-sungguh. "Cabutlah pedangmu," desis Rara
Wilis, "Supaya aku tidak membunuh orang yang tidak bersenjata." Pedang Rara Wilis terjulur beberapa jengkal ke
arah leher Jaka Soka, sehingga Jaka Soka terpaksa bergeser mundur. "Wilis..." katanya, "Aku tidak akan melukai
kulitmu. Apakah yang kau tunggu di sini? Mahesa Jenar tidak akan kembali kepadamu, karena ia telah terbunuh di
Pamingit."
Dada Rara Wilis berdesir, tetapi kemudian ia menjadi tenang kembali. Katanya, "Siapakah yang telah
membunuhnya?"
"Paman Pasingsingan," jawab Jaka Soka. Rara Wilis tertawa. Tetapi Endang Widuri tertawa lebih keras.
Katanya, "Pasingsingan tak akan mampu melawan Paman Mahesa Jenar. Kau salah hitung, Jaka Soka. Lain kali kau
perlu mempelajari keadaan sebelum kau mencoba berbohong."
Mata Jaka Soka menjadi semakin redup. Tetapi ia sudah tidak tersenyum lagi. Sekali lagi ia melihat Wadas Gunung
yang menggeram keras sekali untuk melepaskan marahnya, karena Wirasaba dapat melawannya dengan baik. Saat
yang lain, Jaka Soka memandang ke arah Lawa Ijo yang nampak makin baik keadaannya. Meskipun demikian Ki
Dalang Mantingan berjuang dengan gigihnya.
Kemudian Jaka Soka sendiri meloncat selangkah ke belakang dan dalam sekejap tongkatnya telah terurai. Di tangan
kanan, digenggamnya sebuah pedang yang lentur, sedang di tangan kirinya adalah warangkanya, berupa sebuah
tongkat yang berwarna hitam. Rara Wilis tidak menunggu lebih lama lagi. Ia meloncat ke depan dengan tangan
terjulur lurus. Pedangnya mengarah kedada lawannya

Cerita Bersambung 15 November 2000


NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
621
JAKA SOKA terkejut melihat gerak yang sedemikian cepatnya. Untunglah bahwa Ular Laut itu memiliki
pengalaman yang luas. Setapak ia menggeser diri sambil berputar, dengan kerasnya ia memukul pedang Rara Wilis
yang menjulur beberapa jari dari dadanya. Namun Rara Wilis lincah pula. Ia berhasil membebaskan senjatanya,
untuk kemudian diputarnya cepat dan serangannya telah datang pula.
Demikianlah maka segera mereka terlibat dalam pertempuran yang cepat. Rara Wilis ternyata cukup mampu
mengimbangi kedahsyatan Ular Laut yang bertempur membingungkan itu. Jaka Soka mencoba untuk mengaburkan
perlawanan Rara Wilis, dengan menyerangnya berputar-putar dari segala arah.
Namun Rara Wilis menyadarinya, sehingga sekali-kali ia melontarkan diri memotong langkah lawannya dengan
pedang yang terayun cepat sekali. Dalam keadaan yang demikian terpaksa Jaka Soka mengumpat di dalam hati. Ia
telah jauh lebih dahulu mendalami ilmu-ilmu perkelahian daripada gadis itu, namun ternyata gadis itu dapat
menyusulnya. Ia menyesal bahwa selama ini ia lebih senang merantau mencari mangsanya, daripada menekuni
ilmunya.
Sendang Parapat berdiri seperti patung melihat lingkaran-lingkaran perkelahian. Ia melihat betapa Dalang
Mantingan berjuang mati-matian untuk melawan Lawa Ijo. Wirasaba dengan garangnya mengayunkan kapak
raksasanya, sedang Rara Wilis dengan lincahnya bergulat di antara hidup dan mati. Dengan demikian, ia merasa
bahwa tenaganya tak akan berguna sama sekali seandainya ia mencoba untuk membantu salah seorang di antaranya.
Malahan mungkin ia akan mengganggu kelincahan mereka. Para penjaga halaman itu juga menjadi pening. Mereka
tidak bersiap untuk bertempur menghadapi tokoh-tokoh itu. Apalagi lingkaran-lingkaran pertempuran itu seolaholah telah menjadi sedemikian sulitnya untuk dipisah-pisahkan lagi di antara lawan dan kawan. Yang tampak di mata
mereka adalah bayangan yang melontar berputar-putar dengan cepatnya. Karena itu, perhatian mereka segera tertuju
kepada kawan-kawan mereka yang luka. Empat orang.
Hanya Endang Widuri-lah yang dapat mengerti betapa suasana maut telah melingkar-lingkar di halaman itu. Kali ini
gadis yang nakal itu benar-benar menjadi tegang. Ia tidak dapat lagi bergurau dalam keadaan yang demikian,
sehingga senyumnya sama sekali telah lenyap dari bibirnya. Matanya yang bening itupun menjadi tajam, setajam
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 30 dari 142

gerigi yang melingkari cakranya. Ia melihat betapa Wirasaba dapat menyesuaikan diri melawan kekasaran Wadas
Gunung. Bahkan pengembala itupun dapat bertempur dengan kasar pula. Kapaknya mendesing-desing mengerikan.
Sekali terayun ke dada Wadas Gunung, namun kemudian tangkainya mengarah ke tengkuk lawannya. Namun dua
pisau belati panjang di tangan Wadas Gunung itupun bergerak dengan cepatnya pula. Mematuk-matuk ke segenap
tubuh Wirasaba, sehingga kemudian yang tampak hanyalah seleret-leret sinar-sinar yang silau.
Rara Wilis pun dengan lincahnya menggerakkan pedangnya dengan ilmu yang khusus. Ujung pedang yang tipis itu
selalu bergerak-gerak dengan cepatnya. Kalau Jaka Soka dapat bertempur seperti Ular yang membelit, melingkar
untuk kemudian meloncat, mematuk dengan ujung pedangnya, maka Rara Wilis berhasil melawannya seperti seekor
sikatan yang dengan lincahnya menari-nari dengan sayap-sayapnya yang cepat cekatan. Demikian ia meloncatloncat seperti anak-anak yang menari-nari riang namun ketika tiba-tiba seekor ular mematuknya, cepat-cepat ia
meloncat melenting, untuk kemudian dengan lincahnya, ujung pedangnya menyambar lambung lawannya. Dengan
demikian, maka keringat yang dingin segera mengalir membasahi pakaian Jaka Soka yang gemebyar karena tretes
intan pada timang dan anak kancing bajunya. Tiba-tiba ia merasa malu. Seandainya gadis itu benar-benar dapat
dibawanya ke Nusakambangan, bahkan seandainya gadis itu bersedia untuk menjadi isterinya, maka apabila pada
suatu saat timbul perselisihan antara mereka, meskipun tidak terlalu tajam, maka apakah ia mampu untuk
mengatasinya. Karena itu kemudian yang menjalar dalam hati Jaka Soka bukan lagi perasaan seorang laki-laki
terhadap seorang gadis seperti beberapa saat yang lampau. Ketika jiwa Jaka Soka telah benar-benar terancam, maka
yang ada di dada Jaka Soka kemudian adalah kemarahan yang menyala-nyala. Dengan setinggi gunung atas
kematian gurunya, Nagapasa. Karena itu, ia harus membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya. Juga gadis yang
garang ini harus dibinasakan.
Demikianlah, kemudian Jaka Soka telah kehilangan kegairahannya. Ia sudah tidak lagi melihat seorang gadis cantik
yang mempesona, tetapi yang tampak adalah seorang yang berbahaya bagi jiwanya. Namun ternyata seimbang
dengan itu, Rara Wilis bertambah marah pula. Baginya pertempuran kali ini adalah pertempuran yang menentukan.
Kalau ia terbunuh, biarlah ia mengorbankan dirinya, namun kalau ia berhasil membinasakan laki-laki itu, maka ia
akan terbebas dari kecemasan dan kengerian yang mengejar-ngejarnya sepanjang umurnya. Tetapi berbeda dengan
mereka berdua. Mantingan benar-benar dalam keadaan yang sulit. Meskipun ia telah melawan Lawa Ijo dalam
puncak ilmu Pacar Wutah, namun Lawa Ijo benar-benar memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Lawa Ijo itu
dapat ilmu yang paling licik disamping ilmunya yang memang dahsyat dan bertempur dengan segala macam cara.
Yang paling kasar, sampai yang menakutkan. Setapak demi setapak Mantingan terdesak terus. Hanya karena
ketabahan dan kepercayaannya pada Kekuasaan Yang Tertinggi, ia masih mampu bertahan dalam ketenangan.
Melihat keadaan itu, Widuri menjadi cemas. Ia telah kehilangan sifat kenak-kanakannya dalam keadaan bahaya yang
benar-benar mengerikan seperti saat itu. Karena itu, dengan penuh tekad dan keberanian, mendidihlah darah
Pengging Sepuh di dalam tubuhnya. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 16 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 622
KETIKA Widuri melihat Mantingan terdesak, maka ia tidak mau membiarkannya. Dengan lincahnya ia meloncat
sambil berkata nyaring di antara desing rantainya yang berputar seperti baling-baling, Paman Mantingan, biarlah
aku ikut serta.
Mantingan memadang dalam sekejap, gadis itu melontarkan diri seperti terbang ke arah Lawa Ijo. Dan dilihatnya
Lawa Ijo menjadi terkejut karenanya. Sehingga iblis dari Mentaok itu meloncat beberapa langkah surut. Dengan
liarnya matanya memandang kepada Dalang Mantingan yang sudah hampir sampai pada saat terakhir itu, namun
kemudian mata Lawa Ijo itu menjadi suram ketika memandang Widuri yang sudah berdiri dihadapannya dengan
senjatanya yang berbahaya itu.
Tiba-tiba terdengar suara Lawa Ijo itu perlahan-lahan, Ngger, jangan ikut campur dengan persoalan kami. Biarlah
kami orang tua-tua menyelesaikan masalah kami dengan cara yang kami senangi.
Widuri melihat mata yang suram itu. Namun ia tidak mau terpengaruh oleh keadaan yang tak diketahui sebabnya itu.
Maka jawabnya, Biarlah Lawa Ijo. Kau datang dengan membawa senjata dan hasrat yang hitam di dalam hatimu.
Bukankah kau telah dibekali oleh nafsu untuk membunuh...? Marilah, kami telah bersedia untuk melawannya. Kami
bukan sebangsa cacing yang membiarkan diri kami terbunuh tanpa perlawanan. Karena kami sadar bahwa saat ini
adalah saat-saat kami terakhir. Sebab seandainya kami berdua dengan Paman Mantingan berhasil membebaskan diri
dari tanganmu, hantu-hantu hitam yang berada didalam rumah inipun segera akan menangkap kami dan membunuh
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 31 dari 142

kami bersama. Terhadap mereka, kami tak akan dapat berbuat sesuatu. Karena itu, biarlah kami melawan selagi
kami masih sempat. Nah, lihatlah dada kami yang tengadah di hadapan ujung-ujung belatimu itu.
Lawa Ijo menarik nafas panjang. Tetapi matanya yang suram itu menjadi menyala.
Katanya, Aku sudah berusaha untuk mencegahmu, gadis yang nakal. Agaknya kau benar-benar keras kepala.
Widuri tidak peduli lagi, ia melangkah semakin dekat sambil menjawab, Kenapa kau mencegah aku? Bukankah
kau datang untuk melepaskan nafsumu? Membunuh dan kemudian kau sangka akan kau temukan keris-keris itu di
sini...?
Lawa Ijo bukanlah seorang yang berdada longgar. Karena itu ia menjadi semakin marah. Namun sekali lagi ia
mencoba memperingatkan, Kalau kau mau menyingkir, aku akan membebaskan kau. Guruku pun tak akan
mengusikmu. Biarlah aku membunuh Ki Dalang yang masyhur ini.
Tetapi Widuri tidak takut. Dengan nyaring ia menjawab, Kami mempunyai pendirian yang berbeda dengan
golonganmu. Kami memiliki kesetiakawanan yang dalam untuk menegakkan kemanusiaan. Bunuhlah Paman
Mantingan bersama kami semua.
Lawa Ijo menggeram, Sekehendakmulah, desisnya. Lalu ia mulai bergerak. Dengan tangkasnya ia meloncat
menyerang Mantingan. Untunglah Mantingan selalu berhati-hati, sehingga ia masih sempat untuk menghindarkan
dirinya. Ketika Lawa Ijo telah mulai kembali dengan serangannya yang dahsyat, Widuri pun mulai. Senjatanya
berputar cepat seperti baling-baling dengan putaran-putaran yang berbahaya. Sekali cakranya mengarah ke leher.
Mendapat lawan baru yang lincah disamping lawan lamanya, Lawa Ijo merasakan, bahwa keadaan pertempuran itu
menjadi jauh berubah. Kembali ia mengagumi gadis itu. Betapa berbahayanya permainan rantai yang berputar-putar,
disamping ujung trisula Mantingan yang mematuk-matuk dalam ilmu gerak Pacar Wutah. (Bersambung..)
Dengan kerasnya Lawa Ijo menggeram. Sambil memusatkan segenap tenaganya ia mencoba untuk mengatasi
desakan lawan. Betapa ganasnya kelelawar yang buas itu bertempur. Kedua pisau belatinya seakan-akan merupakan
kuku yang panjang diujung sayap-sayapnya yang mengembang dan bergerak gerak dengan cepatnya. Namun untuk
menghadapi dua orang sekaligus terasa betapa beratnya.
Mantingan dan Widuri, meskipun keduanya memiliki bekal yang berbeda, namun meeka berusaha untuk
menyesuaikan dirinya. Ternyata gadis itu tidak kalah tangkasnya dengan Mantingan. Dengan gerak-gerak yang
tangguh Endang Widuri berjuang dengan berani. Darah Ki Ageng Pengging Sepuh yang mengalir didalam tubuhnya
telah membekalinya dengan api yang menyala nyala didalam dada gadis itu. Api yang mengobarkan semangat
berjuang dan keteguhan hati.
Diam-diam Lawa Ijo berteka teki didalam hatinya. Ia pernah bertempur melawan Mahesa Jenar, kemudian melawan
muridnya yang bernama Arya Salaka. Sekarang berhadapan dengan gadis yang bernama Endnag Widuri. Namun
gadis ini memiliki tatanan berkelahi sama hebatnya dengan Arya dan Mahesa. Apakah Widuri ini juga muridnya
Mahesa?. Namun Lawa Ijo tidak sempat menemukan jawabannya, sebab lawannya semakin lama semakin
mendesaknya kedalam bahaya. Mantingan melihat keadaan itu. Juga Widura dapat merasakan bahwa akhirnya
mereka akan dapat menguasai keadaan. karena itu Endang Widuri dan Mantingan berjuang semakin hebat untuk
menghancurkan orang lain yang mencoba mengacau Banyubiru.
Tetapi Lawa Ijo adalah seorang yang luar biasa. Ketika lawan-lawannya semakin mendesaknya, akhirnya ia
melompat mundur beberapa langkah. Kemudian terdengarlah ia menggeram dengan keras.
Dengan gerak yang dahsyat ia memutar tubuhnya, kemudian sekali lagi ia menggeram keras.
Serial Bersambung 17 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 623
YANG kemudian terasa, betapa udara yang hangat mengalir perlahan-lahan, bergelombang menyentuh tubuh-tubuh
Mantingan dan Endang Widuri. Semakin lama semakin hangat, dan akhirnya jadi panas.
Sejalan dengan itu, Lawa Ijo telah meloncat menerkam Mantingan dengan garangnya. Mantingan sadar, bahwa
bahaya yang mengerikan telah mengancam dirinya. Lawa Ijo telah mempergunakan ilmunya Alas Kobar. Demikian
pula Endang Widuri, merasa betapa ia terlalu tergesa-gesa merasakan kemenangan-kemenangan kecil atas lawannya
itu. Kini ternyata betapa maut telah mengancam jiwanya.
Mantingan masih berusaha sekuat-kuatnya untuk mempertahankan diri. Widuri pun tidak membiarkan Lawa Ijo
dapat berbuat sekehendak hatinya. Meskipun Lawa Ijo itu telah berhasil memancarkan ilmunya, namun Widuri
masih sempat menyerangnya, sehingga dengan demikian Lawa Ijo terpaksa berusaha menghindarkan diri dari
sambaran gigi-gigi cakra yang sangat berbahaya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 32 dari 142

Tetapi sesaat kemudian Mantingan dan Widuri telah tidak dapat bertahan lagi dari serangan Aji Alas Kobar. Udara
disekeliling Lawa Ijo itu tiba-tiba telah menjadi panas.
Udara yang panas itu bahkan seolah-olah menyusup ke dalam tulang sungsum mereka. Demikianlah akhirnya
Mantingan dan Endang Widuri terpaksa menghindarkan diri dengan meloncat menjauhi lawannya.
Namun Lawa Ijo tidak mau melepaskan mereka lagi. Apalagi Ki Dalang Mantingan. Karena itu ketika Mantingan
meloncat mundur, Lawa Ijo segera memburunya. Karena pancaran aji Alas Kobar yang melibatnya, akhirnya
Mantingan merasa bahwa seakan-akan kakinya menjadi kejang. Ia sudah tidak sempat meloncat lagi.
Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah menanti Lawa Ijo menerkamnya, sementara itu betapa udara yang panas
telah menyengat-nyengat kulitnya. Dalam keadaan yang terakhir itu, Mantingan masih mencoba untuk mengangkat
trisulanya menanti saat-saat terakhir yang mengerikan.
Widuri yang meloncat ke arah yang berlawanan, melihat, betapa maut menerkam Ki Dalang Mantingan. Karena itu
wajahnya menjadi tegang dan dadanya bergolak hebat. Apakah ia akan berdiam diri melihat kawan sepenanggungan
itu binasa? Tetapi ia tidak dapat bergerak maju. Ia tidak mampu untuk menerobos kekuatan Aji Alas Kobar yang
dahsyat itu. Sebab demikian ia melangkah mendekat, tubuhnya menjadi seolah-olah terbakar hangus.
Namun meskipun demikian, Widuri bukanlah seorang yang mudah berputus asa. Dari ayahnya ia mendapat
beberapa petunjuk bagaimana seharusnya apabila seseorang berada dalam kesulitan. Ayahnya itu pernah berkata
kepadanya, bahwa manusia tidak boleh berputus asa.
Meskipun keputusan terakhir berada dalam kekuasaan Yang Maha Tinggi, namun manusia diwajibkan berusaha.
Berusaha sampai kemungkinan terakhir. Demikianlah akhirnya Widuri mengambil suatu keputusan yang dapat
dilakukan dalam keadaan yang demikian itu.
Ketika ia melihat Lawa Ijo dengan wajahnya yang menyeringai seperti serigala meloncat memburu Dalang
Mantingan, berputarlah cakranya beberapa kali di udara. Kemudian dengan sekuat tenaga, sebagai usahanya terakhir
untuk melawan Kelelawar Serigala dari Mentaok itu, cakra itu dilepaskannya beserta rantainya sekaligus. Suatu hal
yang tak terduga. Apalagi pada saat itu Lawa Ijo sedang memusatkan perhatiannya kepada Dalang Mantingan.
Kepada Mantingan itulah dendam Lawa Ijo tersimpan. Tetapi, demikian ia meloncat, demikian senjata Widuri
melayang ke arahnya, sedemikian cepatnya seperti kilat menyambar kepalanya.
Lawa Ijo terkejut bukan alang kepalang. Tetapi ia terlambat. Ketika ia berusaha menghindar, cakra itu dengan
derasnya mengenai kepalanya dengan tepat. Terasa betapa kulit kepalanya terkelupas oleh gerigi-gerigi yang tajam.
Lawa Ijo terhuyung ke samping. Perasaan nyeri telah menelan dirinya sedemikian kerasnya. Cakra pemberian Kebo
Kanigara itu benar-benar senjata yang luar biasa.
Yang terdengar kemudian adalah suatu pekik yang tertahan. Dengan kedua belah tangannya, Lawa Ijo memegang
kepalanya yang terluka itu erat-erat, seperti takut bahwa kepalanya itu akan terlepas. Namun demikian, luka itu
menjadi semakin nyeri, dan darah yang mengalir dari luka itu menjadi semakin keras.
Dalang Mantingan untuk sesaat tertegun. Ia melihat hantu itu kesakitan. Namun karena tekanan yang tajam pada
saat yang mengerikan, yang hampir saja merampas nyawanya, Mantingan menjadi seperti orang yang kebingungan.
Tetapi cepat ia menguasai kesadarannya kembali. Ia merasa bahwa Kekuasaan Tertinggi dengan Tangan-tangannya
yang Adil telah membebaskannya.
Karena itu, ketika ia melihat kesempatan terbuka di hadapannya, dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir, ia
mengangkat trisulanya. Trisula Mantingan itupun bukan senjata yang dibelinya dari pandai besi.
Trisulanya itu adalah pemberian gurunya, Ki Ageng Supit. Karena itu trisulanya pun memiliki kekuatan yang luar
biasa. Dengan berdoa di dalam hati, yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Adil, Mantingan melontarkan
trisulanya. Lawa Ijo yang telah kehilangan keseimbangan diri, tidak melihat trisula itu meluncur menyambar
dadanya. Karena itu, tiba-tiba terasa dadanya terbelah. Kini benar-benar serigala dari Mentaok itu berteriak tinggi.
Dan kemudian iapun terhuyung sekali lagi, dan akhirnya jatuh terkulai di tanah yang telah dibasahi oleh darahnya.
Halaman Banyubiru itu benar-benar dicengkam oleh kengerian. Teriakan Lawa Ijo itu benar-nenar telah
menggetarkan udara Banyubiru. Daun-daun kuning pun berguguran di tanah, sedang ranting-ranting yang kering
berpatahan. Mendengar teriakan Lawa Ijo itu, Widuri menjadi gemetar. Ia tahu perasaan apa yang menjalar di dalam
dirinya. Namun tiba-tiba ia merasa segenap bulu-bulunya tegak berdiri. Karena itu ketika Lawa Ijo itu sudah tidak
mampu lagi untuk berdiri, tanpa disengaja Endang Widuri menghindar pandang. Wajah Widuri pun jatuh tertunduk
di tanah yang hitam-hitam gelap di dalam cahaya obor yang remang-remang. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 18 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 624
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 33 dari 142

WADAS GUNUNG juga tak kalah terkejutnya mendengar pekik yang memekakkan telinga itu. Ketika ia pertamatama mendengar Lawa Ijo menggeram keras-keras, ia merasa bahwa pekerjaan kakak seperguruannya itu hampir
selesai. Sebab pada saat itu Lawa Ijo telah mempergunakan Aji Alas Kobar. Namun kemudian yang terdengar adalah
jerit kesakitan. Karena itu hatinya pun berdesir dengan kerasnya. Bahkan seolah-olah dirinya sendirilah yang
kehilangan kekuatannya. Demikianlah Wadas Gunung yang gagah dan mempunyai kekuatan raksasa itu, kehilangan
pemusatan pikiran. Ketika ia mencoba melihat apa yang terjadi pada kakak seperguruannya itu, ternyata ia
dihadapkan pada saat yang menentukan.
Wirasaba tidak mau terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Ia menghadapi lawannya dengan segenap perhatian
dan kemampuan. Karena itu, ketika sebagian dari perhatian Wadas Gunung direnggut oleh jerit ngeri kakak
seperguruannya, Wirasaba melihat kelemahan itu. Setelah ia bertempur beberapa lama, dalam keadaan yang
seimbang, maka saat yang pendek itu banyak mempunyai arti baginya.
Wadas Gunung melihat seleret sinar yang menyambar tubuhnya pada saat ia melihat Lawa Ijo terdorong beberapa
langkah untuk kemudian jatuh tak berdaya. Cepat ia berusaha untuk melawan sambaran senjata lawannya, namun ia
tak berhasil mempergunakan segenap kekuatannya. Ketika ia memutar tubuhnya menghadap arah sambaran kapak
lawannya, dan menyilangkan kedua pisaunya untuk menahan serangan itu, Wirasaba sempat menarik senjatanya,
dan dengan tangkai kapaknya itu ia menyerang tengkuk Wadas Gunung. Serangan ini tidak begitu keras, namun
benar-benar telah menghilangkah keseimbangan perlawanan Wadas Gunung. Ketika Wadas Gunung berusaha
menghindar, kapak Wirasaba telah berubah arah. Dengan kerasnya senjata raksasa itu menyampar punggung Wadas
Gunung.
Kini sekali lagi halaman itu digetarkan oleh sebuah teriakan ngeri. Wadas Gunung terbanting di tanah untuk tidak
akan bangun kembali. Sesaat kemudian, halaman itu menjadi sepi.
Jaka Soka telah melontar mundur beberapa langkah. Ternyata, karena pengalamannya, ia lebih hati-hati dari Wadas
Gunung. Dihindarinya lawannya jauh-jauh, supaya ia dapat melihat apa yang terjadi. Sesaat darahnya berdesir cepat,
jantungnya seperti berdetang-detang akan pecah. Dua kakak-beradik seperguruan telah jatuh dalam pertempuran itu.
Sebenarnya Jaka Soka tidak akan terpengaruh kedudukannya sebagai kepala gerombolan di Nusakambangan.
Kematian Lawa Ijo dan Wadas Gunung adalah akibat yang wajar dari usahanya. Mukti atau mati. Jaka Soka
sendiripun sadar, bahwa akibat yang demikian dapat juga terjadi atas dirinya. Namun kekalahan yang berturut-turut,
baik di Pamingit maupun di Banyubiru ini sangat memanaskan hatinya. Bahkan di Pamingit, gurunya yang
dibangga-banggakan telah jatuh. Sekarang kawan-kawan segolongannya terbunuh pula. Karena itu darah di dalam
tubuhnya serasa menggelegak seperti banjir yang melanda dinding jantungnya.
Diawasinya orang-orang yang berdiri di sekitar pendapa itu. Wirasaba, yang masih gemetar berdiri bersandar
tangkai kapaknya yang diwarnai oleh darah Wadas Gunung. Mantingan dan Widuri pun masih saja berdiri seperti
patung. Sedang Rara Wilis, sebagai seorang gadis, hatinyapun berdebar-debar pula.
Untunglah bahwa ia tidak kehilangan kewaspadaannya. Dihadapannya masih berdiri Ular Laut yang
menggelisahkan. Sesaat kemudian dari pintu rumah itu muncullah orang berjubah abu-abu, bersama-sama dengan
orang yang berkepala besar. Dengan kesan yang mengerikan, ia memandang berkeliling. Ia menggeram ketika
dilihatnya kedua muridnya terkulai di tanah. Kemudian seperti bayang-bayang, ia melayang ke arah Lawa Ijo, yang
masih bergerak-gerak dalam pergulatannya melawan maut.
Lawa Ijo... desis Pasingsingan itu. Lawa Ijo hanya mampu berdesis perlahan-lahan. Dan kembali Pasingsingan
memanggilnya, Lawa Ijo....
Hem... Lawa Ijo berusaha untuk menjawab. Ternyata orang itu memiliki daya tahan yang luar biasa. Meskipun
darahnya telah mengalir dari luka-luka di kepala dan dadanya, namun ia masih dapat membuka matanya.
Pasingsingan kemudian tegak berdiri di samping tubuh murid kesayangan itu. Pandangannya dengan tajam bergerak
dari Mantingan, Endang Widuri, Wirasaba kemudian Rara Wilis. Sendang Parapat dan para penjaga yang kaku di
tempat masing-masing itu sama sekali tak diperhitungkan.
Aku tidak menyangka... Hantu bertopeng itu menggeram. Bahwa kalian mampu membunuh muridku. Ketika aku
mendengar ia memekik, aku menyangka lain. Tetapi aku menjadi ragu-ragu. Akhirnya aku sadar bahwa kedua
muridku pasti terluka. Ternyata mereka tidak saja terluka, tetapi jiwanya telah terancam.
Serial Bersambung 19 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 625
KEMUDIAN tangan hantu itu perlahan-lahan terangkat dan menunjuk kepada setiap orang yang berada di halaman
itu. Mula-mula Mantingan, kemudian berturut-turut Endang Widuri, Wirasaba dan Rara Wilis.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 34 dari 142

Kau, kau, kau dan kau. Hem. Alangkah sombongnya kalian. Kalian berani membunuh murid Pasingsingan di
hadapan gurunya. Benar-benar suatu perbuatan yang gila. Karena itu kalian harus mati dengan cara yang paling
menyedihkan. Tidak oleh tangan Pasingsingan. Aku tidak mau dikotori dengan darah kalian. Tetapi kalian akan kami
ikat di belakang kuda kami. Akan kami arahkan kuda-kuda kami ke Pamingit. Besok sahabat-sahabat di sana akan
menemukan mayat kalian yang sudah terkelupas seperti pisang.
Semua yang mendengar kata-kata itu menjadi gemetar. Meskipun mereka tidak takut mati, namun mati dengan cara
yang demikian benar-benar tidak menyenangkan. Meskipun ada senjata di tangan mereka, namun kalau
Pasingsingan itu benar-benar bermaksud demikian maka pastilah mereka tidak akan mampu mengelakkan diri.
Dengan satu pukulan di tengkuk mereka, atau satu tekanan di dada mereka, maka hantu itu benar-benar akan dapat
membuat mereka lumpuh. Rara Wilis menjadi semakin ngeri, kalau-kalau tiba-tiba Jaka Soka berbuat lain. Sebab
Jaka Soka akan dapat mengajukan permintaan kepada Pasingsingan mengenai dirinya.
Tetapi dalam ketegangan itu tiba-tiba suara Lawa Ijo gemetar, Guru, dapatkah guru mendengar permintaanku
terakhir?
Pasingsingan menoleh kepada muridnya. Dengan isyarat-isyarat ia minta Sura Sarunggi mengawasi orang-orang
yang berdiri dihalaman itu. Kemudian iapun berjongkok di samping muridnya. Ketika ia melihat luka Lawa Ijo,
Pasingsingan itupun mengerti, bahwa nyawa Lawa Ijo tak akan dapat diselamatkan.
Apakah permintaamu? jawab Pasingsingan.
Pertama... Suara Lawa Ijo menjadi semakin gemetar. Terasa betapa dendamnya masih menguasai dirinya.
Nyawa Dalang Mantingan.
Hem... Pasingsingan menggeram sambil memandang Dalang Mantingan yang berdiri seperti tonggak. Lamatlamat ia mendengar juga apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo itu. Namun ia sudah tidak terkejut. Kedua... Lawa Ijo
meneruskan, Jangan bunuh gadis nakal itu.
Pasingsingan menarik nafas. Kenapa...? Ia bertanya. Tiba-tiba Lawa Ijo berusaha mengangkat kepalanya dan
dipandanginya Endang Widuri yang tegak kaku seperti tiang pendapa.
Guru... desis Lawa Ijo, Dapatkah aku melihat senjata itu? Pasingsingan menjulurkan tangannya. Rantai dan
cakra yang mengenai kepala Lawa Ijo masih menggeletak di sampingnya. Kemudian senjata itupun diserahkan
kepada muridnya.
Lawa IJo dengan tangan yang lemah mengamat-amati senjata itu. Luar biasa, desisnya. Lumrah kalau Lawa Ijo
terbunuh karena senjata yang ampuh ini, katanya pula.
Pasingsingan tidak tahu apa yang dimaksud muridnya itu, namun ia masih berdiam diri. Langit di sebelah barat
masih ditandai oleh warna merah, karena api yang masih berkobar-kobar menelan beberapa rumah yang sama sekali
tak bersalah.
Widuri, kemarilah.... Terdengar Lawa Ijo memanggil. Panggilan itu terasa aneh. Widuri mula-mula tidak percaya
pada pendengarannya. Apakah benar-benar Lawa Ijo itu memanggilnya dengan nada yang lunak tanpa rasa dendam?
Ketika Endang Widuri sedang menebak-nebak di dalam hati, terdengar kembali Lawa Ijo memanggil, lebih keras,
Widuri, kemarilah.
Widuri menjadi semakin bingung. Bahkan Pasingsingan tidak tahu apa maksud muridnya itu. Namun dalam nada
suaranya, Lawa Ijo sama sekali tak bermaksud jahat. Widuri masih belum beranjak dari tempatnya. Sehingga sekali
lagi Lawa Ijo berkata kepada gurunya, Guru, panggilkan gadis itu. Aku tak akan berbuat jahat. Dan sekali lagi aku
minta jangan ganggu dia.
Pasingsinganpun menjadi bingung. Namun ia berusaha untuk memenuhi permintaan muridnya itu. Perlahan-lahan ia
berkata, Gadis kecil, Lawa Ijo memanggilmu. Widuri masih belum bergerak. Sedang Rara Wilis menjadi cemas.
Katanya, Jangan, Widuri.
Hem... Lawa Ijo menarik nafas. Berat sekali, seakan-akan nafasnya sudah terputus di dadanya, Sebelum aku
mati.., mintanya.
Widuri masih tegak sepergi tonggak. Mantingan sudah kehilangan ingatannya untuk mencegah atau menyetujuinya.
Demikian juga Wirasaba. Nafasnya masih memburu berebut dahulu setelah ia berjuang mati-matian, serta dengan
sekuat tenaga mengayunkan kapaknya pada saat terakhir.
Kini ia tidak tahu apa yang akan dikatakan dan apa yang akan diperbuat tentang Widuri.
Guru... tiba-tiba Lawa Ijo berkata, Silahkan guru meninggalkan aku. Agaknya gadis itu takut kepada Guru.
Apakah sebenarnya yang sedang kau lakukan, Lawa Ijo...? tanya Pasingsingan.
Gadis itu. Aku sedang mengenangkan almarhum anakku. Pada wajah gadis itu, sejak aku melihat untuk pertama
kalinya, seakan-akan terbayang wajah anakku. Kini aku melihat wajah itu pula, tersenyum kepadaku dan
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 35 dari 142

melambaikan tangannya, mengajak aku pergi mengantarkannya. Anakku itu seandainya ia masih hidup, ia pasti
sebesar gadis itu dan tangkas pula. Setangkas anak itu, jawab Lawa Ijo.
Pasingsingan menggeram. Ia mengutuk di dalam hati. Kenapa Lawa Ijo berbuat hal yang aneh-aneh seperti
perempuan cengeng. Namun pada saat-saat muridnya yang disayangnya itu hampir berpelukan dengan maut, ia
terpaksa memenuhinya. Perlahan-lahan ia berdiri untuk kemudian mundur beberapa langkah sambil berkata kasar,
Mendekatlah. Aku tidak akan mengganggumu. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 20 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 626
LAWA IJO yang lemah itu kemudian berusaha untuk melemparkan senjata-senjatanya. Pisau belati yang selama ini
menjadi ciri-ciri kekejamannya, yang kadang-kadang diikatnya dengan kain bergambar kelelawar hijau berkepala
serigala.
Endang Widuri melihat semuanya dengan jantung yang berdentangan. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ada sesuatu yang
mendesak-desaknya untuk memenuhi panggilan Lawa Ijo itu. Tiba-tiba ia bergerak-gerak maju. Bersamaan dengan
itu, Rara Wilis pun meloncat ke arahnya, sambil berkata, Widuri.
Kembali langkah Widuri terhenti. Ia menoleh kepada Rara Wilis. Nafas Rara Wilis pun kemudian menjadi sesak
oleh ketegangan yang memuncak. Lawa Ijo yang sudah hampir sampai pada akhir hayatnya melihat Rara Wilis
berusaha mencegah gadis kecil itu. Maka perlahan-lahan ia berkata, Aku adalah manusia seperti kalian, meskipun
apa yang aku lakukan selama ini tidak ubahnya seperti binatang. Aku tidak tahu apa yang akan aku alami, sesudah
aku menginjak alam lain, namun di perbatasan ini aku tidak akan menambah dosa.
Tiba-tiba hati Rara Wilis tersentuh pula. Sebagai seorang gadis, perasaannya tidaklah sekeras baja. Ketika Widuri
memandangnya, tanpa sesadarnya ia mengangguk. Sehingga Widuri kemudian perlahan-lahan melangkah maju
mendekati hantu dari Alas Mentaok yang hampir sampai ajalnya itu. Senjatamu benar-benar ampuh, melampaui
senjata yang pernah aku kenal, desis Lawa Ijo.
Namun ia akan bertambah ampuh kalau kau lekatkan akik ini di lingkaran bergerigi itu. Widuri tidak menjawab. Ia
berdiri tegak di samping Lawa Ijo yang masih memegang rantai beserta cakranya. Ia tidak tahu apa yang dimaksud
dengan Lawa Ijo itu. Lawa Ijo kemudian menarik sesuatu di jari-jarinya. Cincin dengan mata akik yang berwarna
merah menyala.
Lawa Ijo...! Pasingsingan berkata lantang. Apakah yang kau berikan itu?
Kelabang Sayuta, jawab Lawa Ijo lemah.
Gila, jangan kau lakukan, sahut Pasingsingan. Akik Kelabang Sayuta adalah ciri Pasingsingan yang hanya aku
pinjamkan kepadamu.
Biarlah Guru. Aku berikan akik itu kepada anakku, bantah Lawa Ijo dengan suara gemetar. Pasingsingan menahan
dirinya untuk tidak melukai hati muridnya yang hampir mati itu. Namun dengan demikian, tanpa dikehendaki, Lawa
Ijo justru menanamkan bahaya dalam tubuh Endang Widuri. Sebab tiba-tiba Pasingsingan mendapat pemecahan
yang mengerikan.
Biarlah akik itu diberikan, namun gadis itu tidak akan mampu melepaskan diri dari tangannya. Kemudian
Pasingsingan tidak mencegahnya ketika Lawa Ijo menyerahkan cincin beserta rantai Widuri sendiri kepada gadis itu.
Widuri pun seperti orang yang kehilangan dirinya. Ia bergerak saja tanpa sesadarnya menerima pemberian Lawa Ijo
itu. Hanya Rara Wilis yang bagaimanapun juga, tidak dapat melepaskan Widuri seorang diri berhadapan dengan
hantu itu. Karena itu iapun mendekatinya dengan pedang terhunus di tangannya.
Kutuk anakku itu telah sampai pada suatu kenyataan. Terdengar suara Lawa Ijo gemetar. Mudah-mudahan aku
dapat mengurangi beban pada saat kematianku. Setelah kau menerima cincin itu, terasa betapa lapang jalan yang
akan aku tempuh. Hati-hatilah dengan cincin itu. Setiap goresannya, pasti berakibat maut, kecuali Mahesa Jenar.
Aku tidak tahu kenapa ia berhasil membebaskan dirinya. Pergunakan akik itu menurut jalan hidupmu. Kalau kau
benci kepada kejahatan, mudah-mudahan ia dapat menolongmu. Lawa Ijo berhenti.
Nafasnya menjadi semakin sesak. Tiba-tiba ia menggeliat dan terdengar ia mengeluh. Widuri yang masih berdiri di
samping Lawa Ijo itupun tiba-tiba berjongkok. Kalau mula-mula ia ngeri melihat wajah yang keras dan kejam itu,
maka kini perasaan itu telah hilang.
Widuri... bisiknya. Bukankah namamu Widuri? Widuri mengangguk. Aku telah membunuh anakku tanpa aku
sengaja. Ketika aku menyangka ibunya berbuat sedheng dengan laki-laki lain, aku bunuh laki-laki itu. Kemudian
aku bunuh pula istriku. Namun tanpa aku ketahui anak gadisku satu-satunya yang masih kecil, memeluk kaki
ibunya, sehingga ketika aku dengan membabi buta menusuk tubuh perempuan itu, sebuah goresan melukai anakku
itu. Goresan yang dalam di lehernya, sehingga gadis itu kemudian mati pula dua hari setelah mayat ibunya aku
lempar ke sungai.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 36 dari 142

Lawa Ijo berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin tak teratur. Sekali-kali ia menggeliat lemah. Kemudian
berbisik kembali perlahan-lahan. Tetapi ternyata aku salah sangka. Kembali Lawa Ijo berhenti. Ia masih berusaha
untuk membuka matanya, lalu meneruskan, Istriku tidak berbuat sedheng. Tetapi lelaki itu yang berbuat bengis.
Berbuat di luar batas perikemanusiaan, sedang istriku adalah korban nafsu kebinatangannya. Namun istriku itu telah
mati tersia-sia. Aku jadi menyesal. Apalagi ketika satu-satunya anakku itu mati pula. Akhirnya aku kehilangan
keseimbangan. Dan jadilah aku seekor binatang pula. Tetapi aku tidak mau mendekatkan diri kepada perempuan.
Perempuan yang bagaimanapun juga. Aku hanya ingin membunuh, berkelahi dan membuat orang lain menjadi putus
asa dan menderita. Kadang-kadang aku rampas harta bendanya, pusaka-pusakanya dan kadang-kadang aku bunuh
keluarganya, anak-anaknya yang tak berdosa. Akhirnya aku namakan diriku Lawa Ijo setelah aku berguru kepada
Bapa Pasingsingan.
Pasingsingan menggeram. Ia tidak senang mendengar penyesalan itu, sebagai suatu perbuatan cengeng. Seharusnya
Lawa Ijo mati dengan janji seorang pemimpin dari golongan hitam. Tetapi ia berdiam diri. Namun di dalam hatinya
bergolak nafsunya yang mendidih. Matilah segera Lawa Ijo, kata hatinya. (Bersambung)-b
Serial Bersambung 21 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 627
PASINGSINGAN sudah tidak mempunyai harapan untuk menyembuhkan luka-luka muridnya. Sesudah itu aku
akan membunuh setiap orang di sini. Mantingan,Wirasaba, Rara Wilis dan gadis yang telah meruntuhkan kejantanan
Lawa Ijo di matanya untuk mendapatkan akiknya kembali. Mengikat mereka di belakang kuda dan dipacunya ke
Pamingit untuk meruntuhkan keberanian dan ketahanan perlawanan orang-orang Banyubiru, kata hatinya
kemudian.
Sesaat kemudian Lawa Ijo memejamkan matanya. Nafasnya satu-satu masih mengalir lewat hidungnya. Tetapi
sesaat kemudian ia berusaha untuk tersenyum. Bersamaan dengan itu, dadanya terangkat dan melontarlah nafasnya
yang terakhir.
Rara Wilis menjadi terkulai karenanya. Hatinya terketuk oleh kata-kata terakhir Lawa Ijo. Agaknya orang ini telah
kehilangan masa depannya, karena ia salah duga terhadap istrinya. Sifat-sifat kekerasan dan kekerasan yang
memang telah dimiliki, menjadi berkembang dengan pesatnya, sehingga menemukan bentuk puncaknya.
Endang Widuri masih berjongkok di samping Lawa Ijo. Terasa matanya menjadi panas. Kematian lawannya itu
ternyata mempengaruhi jiwanya pula. Tanpa sesadarnya ia mengamat-amati benda pemberian Lawa Ijo itu. Cincin
bermata batu akik yang merah menyala. Kelabang Sayuta.
Tetapi ia menjadi terkejut ketika terdengar Pasingsingan berkata dengan suara yang seperti bergulung-gulung di
dalam perutnya. Widuri, agaknya kau telah berhasil merebut hati muridku pada saat-saat terakhirnya. Karena
kenangannya yang melambung pada masa lampaunya, pada almarhum istri dan anaknya itulah, maka sejak di
Gedong Sanga ia selalu berpesan untuk membebaskan kau dari tanganku. Sebelum mati ia pun berpesan demikian
pula untuk tidak mengganggumu. Tetapi Lawa Ijo sekarang sudah tidak ada lagi. Pesannya akan hilang bersama
hilangnya nyawamu. Sekarang aku akan melakukan rencanaku. Mengikat kalian di belakang kuda, dan
mengantarkan kuda-kuda itu ke Pamingit.
Setiap hati yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu menjadi bergetar cepat. Mereka menjadi seperti tersadar dari
mimpinya. Ketika mereka mendengar kata-kata terakhir Lawa Ijo, mereka seolah-olah terlempar ke dalam satu
dunia yang asing. Namun sekarang kembali mereka berdiri di atas tanah. Mereka berhadapan dengan iblis bertopeng
dari Alas Mentaok. Mantingan tiba-tiba meloncat dengan cepatnya, meraih trisulanya yang masih menggeletak di
samping Lawa Ijo setelah berhasil menyobek dada pemimpin gerombolan yang kehilangan masa depannya itu.
Pedang Rara Wilis juga diangkatnya kembali. Widuri yang masih berjongkok disamping Lawa Ijo pun berdiri.
Dengan hati-hati ia mengenakan cincin pemberian Lawa Ijo di jarinya, meskipun agak terlalu longgar, namun karena
tangannya kemudian menggenggam ujung rantainya, maka cincin itu tidak akan lari karenanya.
Wirasaba yang berdiri tegak agak jauh dari mereka, juga segera membelai kapaknya, seolah-olah ia ingin
menanyakan kepada senjata itu, apakah yang dapat dilakukan untuk melawan orang yang bernama Pasingsingan itu.
Yang terdengar kemudian adalah suara Sura Sarunggi, disamping gelaknya yang riuh. Aku menjadi geli melihat
kelinci-kelinci ini mempersiapkan senjata-senjata mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka
sedang menduga-duga kekuatanmu, Pasingsingan?
Pasingsingan tidak menjawab. Malahan ia berkata kepada Jaka Soka, Soka, masihkah kau perlukan perempuan
itu?
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 37 dari 142

Jaka Soka terkejut. Selama itu ia pun seperti orang yang kehilangan kesadaran. Namun akhirnya ia menjawab,
Perempuan itu sangat berbahaya, Paman.
Pasingsingan tertawa. Lalu...? ia bertanya pula. Jaka Soka menggeleng, jawabnya, Selama ia masih seperti
sekarang, aku tidak memerlukan lagi.
Bagus, sahut Pasingsingan, Perempuan itulah yang pertama-tama akan aku ikat di belakang kuda bersama-sama
dengan gadis yang bernama Widuri itu. Seorang laskar akan memacu kuda itu dan melepaskannya di Pamingit.
Tiba-tiba terdengar Jaka Soka bergumam, Sayang. Tetapi Pasingsingan sudah tidak mendengarnya lagi.
Topengnya tiba-tiba tampak menjadi liar. Dipandangnya satu demi satu, Mantingan, Wilis, Widuri kemudian
Wirasaba. Yang terakhir adalah mayat muridnya. Ia mati di luar lingkungan kami, desisnya.
Ya, sahut Sura Sarunggi. Ia mati setelah menanggalkan kejantanan golongan kami. Aku tidak tahu bagaimana
kedua muridku mati. Mudah-mudahan mereka mati sebagai Uling Rawa Pening.
Persetan semuanya! Tiba-tiba Pasingsingan berteriak. Aku tidak punya banyak waktu.
Kata-kata Pasingsingan itu merupakan aba-aba bagi Mantingan dan kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka segera
berloncatan merapatkan diri dengan senjata masing-masing yang siap di tangan. Trisula, pedang tipis ditangan Rara
Wilis, kapak raksasa dan rantai bercakra pemberian Kebo Kanigara. Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain,
betapa dapat dikalahkan. Keempat senjata itu dalam satu gabungan, merupakan kekuatan yang dahsyat.
Namun bagi Pasingsingan, senjata-senjata itu tak akan banyak berarti. Meskipun demikian, ia pun berhati-hati.
Mulailah Pasingsingan, kata Sura Sarunggi, Mungkin orang-orang Pamingit akan segera menyusul kita.
Bukankah pekerjaan utama kita belum selesai?
Ya, jawab Pasingsingan. Aku menduga kalau keris-keris itu disembunyikan oleh Gajah Sora. Tetapi jangan takut
mengenai orang-orang Pamingit atau Banyubiru yang akan menyusul kita. Aku telah meletakan beberapa penjaga
untuk memberikan tanda-tanda dengan kentongan apabila mereka terpancing oleh api di sana. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 22 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 628
SURA SARUNGGI menyahut, Tetapi jangan membuang-buang waktu.
Aku senang melihat mereka ketakutan, jawab Pasingsingan.
Sura Sarunggi pun kemudian tertawa sambil berkata, Kau benar-benar iblis. Tetapi memang benar-benar
menyenangkan. Meskipun demikian jangan terlalu lama. Apakah aku harus membantu? Kau akan kecewa kalau
mereka mati ketakutan sebelum terseret oleh kuda-kuda kita.
Bagus, kata Pasingsingan pula.
Aku akan dengan mudah membunuh mereka bersama-sama. Tetapi aku akan menemui kesulitan untuk menangkap
mereka hidup-hidup. Bantulah supaya pekerjaanku segera selesai.
Sura Sarunggi tertawa. Ia melangkah maju mendekati empat orang yang berdiri dalam satu lingkaran beradu
punggung.
Pasingsingan pun melangkah dari arah lain. Udara di halaman Pendapa Banyubiru itu kemudian diliputi oleh
ketegangan. Masing-masing seakan-akan tidak berani menarik nafas dengan leluasa. Mantingan, Rara Wilis, Endang
Widuri dan Wirasaba telah bertekad untuk bertempur mati-matian.
Mereka lebih baik mati dalam perkelahian itu, daripada harus terserat di belakang kaki kuda di sepanjang jalan ke
Pamingit. Mahesa Jenar dan sahabatnya di Pamingit akan berterima kasih atas hadiah-hadiah kita ini, Sarunggi,
desis Pasingsingan.
Hadiah yang tak ternilai, jawab Sura Sarunggi.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Sura Sarunggi yang tinggal beberapa langkah dari korbannya, tiba-tiba
mengangkat wajahnya. Demikian pula Pasingsingan.
Hem.... geram Pasingsingan, Apakah ini? Mata Sura Sarunggi menjadi liar. Mantingan dan kawan-kawannya
yang telah hampir kehilangan harapan untuk dapat menyaksikan matahari terbit di balik bukit-bukit besok pagi,
menjadi heran. Apakah yang mengganggu mereka. Ketika mereka melihat berkeliling, mereka tidak melihat apapun
juga. Yang mereka lihat di langit yang kelam, mendung mulai mengalir dari arah utara. Satu-satu bintang-bintang
yang gemerlapan itu tertelan dan hilang di belakang tabir yang kelabu.
Angin yang basah bertiup semakin lama semakin keras. Dan udara di atas Banyubiru menjadi semakin dingin.
Tetapi Pasingsingan dan Sura Sarunggi masih belum beranjak dari tempatnya. Bahkan kemudian Jaka Soka pun
menjadi heran. Apakah yang ditunggu lagi? Tak seorangpun yang akan dapat menghalang-halangi mereka. Apa yang
akan mereka perlakukan...?
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 38 dari 142

Sendang Parapat, Wanamerta yang kaku seperti tonggak, para penjaga di gardu, tak ada yang mampu berbuat
apapun. Meskipun Sendang Parapat dan Wanamerta tak akan tinggal diam. Ternyata dengan senjata-senjata di
tangan mereka. Namun mereka sadar, bahwa terhadap Jaka Soka itupun mereka tak akan mampu melawan.
Tiba-tiba Sura Sarunggi dan Pasingsingan menjadi tegang. Sesaat kemudian terdengar Sura Sarunggi berkata,
Jangan bersembunyi. Siapakah kau? Mahesa Jenar, Pandan Alas, Titis Anganten atau Sura Dipayana?
Mendengar nama-nama itu, tergetarlah dada orang Banyubiru. Mantingan dan kawan-kawannya. Bahkan Widuri
terpekik kecil, Ayah barangkali?
Tetapi tak ada jawaban. Karena itu kembali Mantingan dan kawan-kawannya menjadi tegang. Seperti Sura Sarunggi
dan Pasingsingan pun bertambah tegang. Mahesa Jenar, sahabatnya yang berhasil membunuh Nagapasa, Pandan
Alas atau orang-orang lain pasti tidak akan membiarkan anak-anak mereka, atau sahabat-sahabat mereka itu menjadi
ketakutan. Mereka pasti akan segera menampakkan diri. Bahkan mereka pasti datang dengan tergesa-gesa di atas
kuda yang derap kakinya akan memberitahukan kehadiran mereka.
Tetapi siapakah selain mereka? bisik Sura Sarunggi di dalam hatinya. Namun Pasingsingan menjadi gelisah. Ia
pernah bertemu dengan orang-orang aneh itu beberapa saat lampau di Rawa Pening. Ketika ia hampir saja
membunuh Mahesa Jenar beserta empat kawannya. Yang seorang adalah Dalang Mantingan itu. Dua orang aneh itu
berhasil membebaskan mereka. Sekarang, ketika Mantingan berada di ujung maut, terasa sesuatu yang aneh di
halaman itu.
Tiba-tiba halaman itu seolah-olah bergetar dengan dahsyatnya.
Dari dalam gelap terdengar suara perlahan-lahan.
Akulah yang datang.
Siapa? teriak Pasingsingan.
Pasingsingan, jawab suara itu. Berdesirlah setiap dada yang mendengar jawaban itu. Pasingsingan...?
Ah, orang itu pasti berolok-olok saja, pikir mereka. Namun suara itu bergulung-gulung di dalam perut, seperti
suara Pasingsingan. Ketika kemudian kilat memancar di langit, maka kembali di halaman itu seakan-akan menjadi
runtuh karena setiap orang terkejut karenanya. Dari arah suara itu, di dalam cahaya kilat yang hanya sesaat
tampaklah seorang yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan bertopeng yang kasar di wajahnya.
Melihat orang itu, Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. Terdengar ia berteriak nyaring, Siapakah kau? Apakah
kau sudah bernyawa rangkap, berani mengenakan pakaian khusus Pasingsingan?
Aku Pasingsingan, jawab suara itu.
Tak ada dua Pasingsingan di dunia ini, teriak Pasingsingan. Aku satu-satunya.
Kau salah! Tiba-tiba terdengar suara itu di arah lain. Aku juga Pasingsingan. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 23 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 629
KETIKA semua orang menoleh ke arah suara itu, dalam keremangan cahaya obor, tampaklah seseorang lagi yang
berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan topeng kasar di wajahnya, sehingga serasa akan meledaklah dada mereka.
Dua orang yang sama-sama mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar di wajah mereka. Pasingsingan menjadi
marah sekali karenanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Dengan pandangan liar ia mengawasi kedua
orang yang mirip dengan dirinya itu berganti-ganti. Kemudian sambil menggeram ia berkata, Apakah kalian tidak
sadar, bahwa permainan kalian itu akan berakibat maut?
Kedua orang yang menamakan diri mereka Pasingsingan itu tidak menjawab, tetapi perlahan-lahan mereka
melangkah mendekat. Seorang di antaranya berdiri di samping Mantingan dan kawan-kawannya, sedang seorang
yang lain berdiri bertentang pandang dengan Sura Sarunggi.
Namun kemudian terdengar suara Sura Sarunggi tertawa. Katanya, Suatu permainan yang bagus, Pasingsingan.
Tetapi dengan mengenakan jubah abu-abu dan topeng yang jelek itu, bukankah permainan terakhir bagi kalian?
Sebab kalian pasti akan mengambil keputusan untuk membuktikan bahwa Pasingsingan memang hanya satu. Kalau
sekarang tiba-tiba ada tiga, atau barangkali nanti muncul yang lain, empat, lima, enam, sepuluh, maka nanti akhirnya
Pasingsingan benar-benar akan tinggal satu.
Kau benar, sahut Pasingsingan.
Aku muak melihat mereka dengan ciri-ciri khusus Pasingsingan itu. Karena itu mereka harus mati.
Kematian seseorang tidak terletak di tangan orang lain.
Terdengar salah seorang dari kedua orang itu menjawab.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 39 dari 142

Tetapi terletak di tangan Yang Maha Agung. Tak seorangpun dapat meramalkan, apakah satu dari sekian banyak
Pasingsingan itu adalah kau. Tak seorangpun yang tahu, apakah kau dibenarkan untuk tetap hidup. Apakah aku atau
orang itu yang juga menamakan dirinya Pasingsingan.
Pasingsingan tertawa. Suaranya nyaring mengerikan seperti rintihan hantu. Yang mendengar suara itu menjadi
bergetar, seolah-olah dadanya terhimpit batu sebesar anak gajah. Sehingga mereka terpaksa memusatkan kekuatan
batin mereka untuk menahan kesadaran mereka tidak runtuh. Namun beberapa orang penjaga telah terduduk
karenanya. Sendang Parapat yang belum sembuh benar itupun tidak kuat menahan getaran yang memukul dadanya,
sehingga dengan demikian, iapun terpaksa menyandarkan diri pada tiang pendapa. Meskipun demikian akhirnya
iapun terduduk pula. Sedang Wanamerta terpaksa berpegangan tiang erat-erat. Namun kesadarannya telah melayaplayap seperti orang yang sedang hanyut menjelang tidur.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri masih dapat bertahan diri, berdiri tegak dalam lingkaran
beradu punggung. Meskipun demikian mereka harus berjuang mati-matian agar mereka tetap dalam kesadaran.
Sebab mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dengan tiga orang yang masing-masing menamakan diri mereka
Pasingsingan. Apakah Pasingsingan yang lain itu tidak kalah jahatnya dengan Pasingsingan yang pertama. Apakah
justru kedua orang yang lain itu lebih berbahaya bagi mereka. Pasingsingan masih terus tertawa dengan nyaringnya.
Beberapa orang penjaga, bahkan Sendang Parapat, telah kehilangan kesadaran mereka. Mereka menjadi seperti
orang yang terlepas dari keadaan sekitarnya. Dan karena itu mereka menjadi terbaring lemah tanpa daya. Hatinya
menjadi nyeri dan pedih. Mantingan dan kawan-kawannya pun semakin lama menjadi semakin lemah.
Sadarlah mereka bahwa Pasingsingan telah melepaskan ajiannya Gelap Ngampar. Bahkan Jaka Soka sendiripun
menjadi gelisah. Semakin lama ia semakin pucat dan gemetar. Sura Sarunggi berdiri tegak sambil mengangkat
dadanya. Sebagai orang sakti ia tidak banyak terpengaruh oleh aji sahabatnya itu.
Bahkan akhirnya ia tersenyum dan berkata, Gelap Ngampar adalah ilmu ajaib. Pasingsingan yang lain pun mampu
berbuat demikian?
Namun kedua Pasingsingan yang lain itu tidak menjawab. Mereka tegak seperti patung saja di tempatnya. Tetapi
tiba-tiba terasa udara yang aneh bertiup di halaman itu. Perlahan-lahan hanyut di sela-sela arus angin basah dari
lembah. Pasingsingan yang berdiri dekat Mantingan itu tampak melipat tangan di dadanya. Sejalan dengan arus
udara yang aneh itu, terasa sesuatu merayap-rayap di dada Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri.
Seakan-akan mereka menemukan kesegaran baru di dalam dirinya.
Perasaan nyeri dan pedih yang ditusukkan oleh aji Gelap Ngampar di dalam tubuh mereka perlahan-lahan menjadi
berkurang. Dan angin masih mengalir mengusap tubuh mereka membawakan ketenangan dalam diri. Bagaimanapun
juga Mantingan adalah seorang yang memiliki pengalaman yang cukup. Ia adalah seorang dalang yang banyak
mempelajari keajaiban dan kekuatan- kekuatan yang tersembunyi di balik alam yang kasatmata. Karena itu
tergetarlah hatinya.
Sehingga tak sesadarnya ia berbisik, Alangkah dahsyatnya. Pertempuran ilmu dari orang-orang sakti.
Serial Bersambung 24 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 630
WIDURI, Wilis dan Wirasaba mendengar bisikan itu. Karena itu mereka menjadi gelisah. Dua raksasa dapat
bertempur tanpa luka pada kulit mereka, namun kelinci-kelinci dapat terinjak mati di tengahnya.
Dahsyat...! Tiba-tiba terdengar Sura Suranggi berteriak. Aku merasa Pasingsingan yang lain mampu melawan Aji
Gelap Ngampar. Setidak-tidaknya ia mampu membebaskan dirinya. Bahkan perlawanannya telah berhasil
mempengaruhi orang lain seperti aji Gelap Ngampar itu sendiri, merata ke segenap arah. Tetapi kekuatan
perlawanan ini bukan ciri Pasingsingan. Pasingsingan-lah yang memiliki aji Gelap Ngampar.
Pasingsingan menggeram. Tertawanya kini sudah berhenti ketika ia merasa perlawanan yang kuat. Bahkan telah
membebaskan orang-orang di sekitarnya. Karena itu ia menjadi semakin marah. Sambil menunjuk ke arah topeng
kasar dari orang yang berdiri di samping Mantingan yang melipat tangan di dada itu, ia berkata, Setan. Agaknya
kau mampu mengimbangi aji Gelap Ngampar. Tetapi itu bukan suatu bukti bahwa kau berhak menamakan dirimu
Pasingsingan. Sebab Pasingsingan tidak saja mampu melawan, namun mampu melepaskan. Kalau kau menamakan
dirimu Pasingsingan, dapatkah kau melepaskan aji Gelap Ngampar?
Hem... geram orang berjubah yang menyilangkan tangannya. Kau masih tidak percaya bahwa aku bernama
Pasingsingan.
Setiap orang dapat menyebut dirinya Pasingsingan. Mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar. Namun aji Gelap
Ngampar tak dimiliki oleh setiap orang, sahut Pasingsingan hampir berteriak. Orang yang menamakan dirinya
Pasingsingan, yang berdiri di samping Mantingan sambil melipat tangannya itu, mengangkat wajahnya. Terdengar ia
menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia menoleh kepada Pasingsingan yang seorang lagi.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 40 dari 142

Kau juga bernama Pasingsingan? Orang itu bertanya dengan suara yang dalam. Akulah Pasingsingan itu, jawab
orang itu.
Pasingsingan menjadi semakin marah. Katanya lantang, Aku tidak peduli apakah kau menyebut dirimu
Pasingsingan atau Setan Belang. Tetapi selama kau tak mampu menunjukkan ciri-ciri Pasingsingan, maka kau hanya
akan ditertawakan orang sebelum kau terbunuh olehku.
Namun Sura Sarunggi terpaksa berpikir. Orang-orang itu berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh Gelap
Ngampar, sehingga dengan demikian orang-orang itu bukanlah kelinci-kelinci seperti Mantingan, Rara Wilis,
Wirasaba dan Widuri. Apalagi Wanamerta dan Sendang Parapat yang kini benar-benar seperti orang yang tak tahu
keadaan diri.
Aji Gelap Ngampar adalah aji yang dahsyat, kata orang yang berjubah abu-abu yang berdiri di sebelah Sura
Sarunggi itu. Tetapi aji Gelap Ngampar adalah aji yang kurang sempurna. Aji yang tak akan dapat dipergunakan
dalam pertempuran besar, dimana dalam pertempuran itu terdapat kawan dan lawan. Sebab demikian aji itu
dilontarkan, maka tidak saja lawan-lawan kita yang terbunuh, namun kawan sendiripun akan menderita karenanya.
Jangan mencoba mengajari aku, bentak Pasingsingan.
Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, apa yang dapat kau lakukan dengan Gelap Ngampar sekarang ini?
Kalau kau akan membunuh aku, misalnya, dapatkah kau pergunakan Gelap Ngampar? Dengan aji itu, kau hanya
mampu membunuh orang-orang ini, yang berkerumun ketakutan melihat topeng-topeng kita yang kasar.
Kembali Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. Jangan banyak bicara. Aku berkata tentang kebenaran dan
kenyataan tentang Pasingsingan. Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi itu bertawa terkekeh-kekeh
dibalik topengnya yang jelek, jawabnya, Kau mengigau tentang kebenaran dan kenyataan Pasingsingan? Aku tidak
tahu kebenaran dan kenyataan yang kau maksudkan. Bahkan cara berpikir yang demikian itulah yang menyebabkan
dunia ini selalu bergoncang. Kebenaran yang terpancar dari kedengkian diri serta kenyataan yang ditabiri oleh
pamrih dan nafsu. Kalau setiap orang berpikir demikian, tak ada ukuran tata pergaulan manusia. Kebenaran akan
bertentangan dengan kebenaran yang lain, menurut kepentingan diri sendiri.
Huh... potong Pasingsingan, Tak ada orang yang berbuat sesuatu tanpa pamrih. Dunia ini terbentang di hadapan
kita untuk kita nikmati. Kalau kita tidak berbuat sesuatu adalah salah kita sendiri. Karena itu sudah sewajarnya kalau
kita teguk airnya sepuas-puasnya, dan kita makan pala gumantung dan pala kependhem sekenyang-kenyangnya.
Nah, aku sekarang sedang menikmati pala keduanya kini. Jangan melintang di jalan yang akan aku lewati. Aku
sedang mendaki puncak kebesaran. Apakah kau kira kenikmatan dan kebesaran hanya dapat dimiliki oleh
seseorang? Huh. Akupun berhak. Dan agaknya kaupun sedang berusaha.
Apa yang sedang kau usahakan? tanya Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan. Jangan berpura-pura,
jawab Pasingsingan.
Hem... desah orang yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi. Apakah kau sedang mencari Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten?
Bukankah kau juga sedang mencarinya? potong Pasingsingan. Apakah yang kalian perdebatkan? sahut
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan. Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten? Kalau itu yang kaucari, tak
akan kau ketemukan di sini. Kalau itu yang dimaksud dengan kebesaran yang setiap orang berhak menikmatinya,
bukankah dengan demikian kau bermaksud merajai Demak? (Bersambung)-m
Cerita Bersambung 25 November 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
631
APA PEDULIMU? bentak Pasingsingan yang berjubah abu-abu, guru Lawa Ijo.
Orang bertopeng di samping Sura Sarunggi itu berkata pula, Kalau keris-keris yang kau kehendaki, mengapa kau
berbuat hal yang aneh-aneh? Mengapa kau akan membunuh orang-orang ini?
Mereka menghalangi maksudku, seperti kau, jawab Pasingsingan.
Kalau seseorang berusaha menemukan keris Nagasasra dan Sabuk Inten untuk diserahkan kepada yang berhak, kau
berusaha untuk dirimu sendiri. Adakah kita akan berpihak padamu? tanya Pasingsingan di samping Mantingan.
Jangan merintangi aku! Guru Lawa Ijo hampir berteriak, Atau kau akan tergilas roda perjuanganku. Mati tanpa
arti?
Kebesaran yang akan kau dapatkan itu tak akan berarti bagiku, bagi orang-orang ini dan bagi kawula Demak.
Kebesaran itu hanya akan berarti bagimu sendiri, bagi kawan-kawanmu. Nah, urungkan niatmu, jawab
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 41 dari 142

Pasingsingan di samping Mantingan itu.


Persetan dengan kalian, sahut Pasingsingan. Kita berhadapan sebagai lawan. Tetapi tunjukkan dahulu bahwa kau
berhak bernama Pasingsingan.
Tiba-tiba terdengar Sura Sarunggi tertawa. Kalian berbicara tanpa ujung dan pangkal. Tetapi aku sudah dapat
mengambil kesimpulan bahwa kalian sedang bersaing. Meskipun demikian aku harus mempunyai pilihan. Nah, aku
berpihak pada Pasingsingan yang datang bersama aku di sini. Sebab bagiku kedua Pasingsingan yang lain tak akan
berarti. Meskipun seandainya mereka mampu melepaskan aji Gelap Ngampar, aji Alas Kobar dan segala macam
ciri-ciri Pasingsingan yang lain.
Tetapi aku akan memberimu kepuasan, kata Pasingsingan di samping Mantingan. Kau ingin melihat aku
melepaskan aji Gelap Ngampar?
Kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi ia berkata, Kau juga ingin melihat kebenaran itu?
Tak ada jawaban. Pasingsingan guru Lawa Ijo itu berdebar-debar. Apakah orang-orang itu benar-benar memiliki
Gelap Ngampar seperti dirinya?
Dalam kegelisahannya, ia menebak-nebak, siapakah sebenarnya kedua orang itu. Kalau mereka itu salah seorang
dari Mahesa Jenar, Pandan Alas dan lain-lainnya, pasti mereka tak akan mampu melepaskan aji Gelap Ngampar.
Tetapi yang lebih gelisah lagi adalah Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri.
Kecuali mereka, Jaka Soka pun menjadi berdebar-debar. Agaknya benar-benar akan terjadi pertempuran ilmu yang
dapat merontokkan isi dada mereka.
Jaka Soka akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu sebelum ia mati terhimpit dua kekuatan
yang tak dapat dihindarinya. Meskipun demikian, ia harus menunggu sampai saat yang tepat baginya.
Pasingsingan di samping Mantingan itu kemudian mengangkat wajahnya. Kemudian ia memandang berkeliling.
Kepada setiap orang yang berada di halaman itu. Mulai dari Mantingan dan kawan-kawannya, Wanamerta, Sendang
Parapat dan para penjaga yang sudah kehilangan kesadaran mereka. Hem... desahnya, Kalau aku melepaskan aji
Gelap Ngampar, mereka akan menjadi semakin parah.
Tiba-tiba terdengar Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa. Nah, kau mencari alasan untuk mengelak?
Tidak... tidak, sahut Pasingsingan itu. Tetapi kalau aku ingin memetik buahnya, jangan digugurkan daun-daunnya
tanpa maksud.
Omong kosong. Apa padulimu dengan daun-daun yang tak berarti? jawab guru Lawa Ijo.
Sekali lagi Pasingsingan di samping Mantingan itu memandang berkeliling. Agaknya ia benar-benar menjadi ragu.
Tiba-tiba ia menggeram, dan kepada Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi, ia berkata, Kalau kau
ingin mencoba menjajarkan diri dengan kami, cobalah melawan aji Alas Kobar seperti yang aku lakukan.
Tidakkah kau bertanya kepadaku, apakah aku mampu melepaskan aji itu? kata Pasingsingan di samping Sura
Sarunggi itu.
Akan datang saatnya nanti, sahut guru Lawa Ijo. Meskipun hatinya menjadi gelisah. Apakah benar kedua-duanya
mampu berbuat demikian?
Menjemukan, sela Sura Sarunggi.
Marilah kita bertempur, Pasingsingan, katanya kepada Pasingsingan guru Lawa Ijo. Yang mana kau pilih?
Menilik ketahanan mereka, kita harus melawan satu demi satu. Kecuali kalau mereka mau menyingkir.
Pasingsingan belum sempat menjawab, ketika tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu tertawa. Perlahanlahan, namun terasa betapa dahsyatnya. Gelombang demi gelombang menggeletar menggetarkan udara halaman
Banyubiru itu, seolah-olah geteran yang memancar dari pusar bumi, menyebar ke seluruh penjuru. Terasa disetiap
dada goncangan yang tak terkira dahsyatnya. Sehingga runtuhlah daun-daun yang tak mampu berpegangan lebih
erat lagi pada dahan-dahannya.
Sura Sarunggi itu tidaklah seperti suara guru Lawa Ijo yang mengerikan. Suara itu adalah suara yang sederhana saja,
seperti lazimnya orang tertawa. Lunak dan tidak mengandung kebengisan. Namun yang terasa di dada orang yang
mendengarnya adalah goncangan-goncangan yang dahsyat.
Pada saat goncangan-goncangan itu menyerang dada Mantingan, berdesislah ia, Aji Gelap Ngampar.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 42 dari 142

Dan berusahalah ia menjaga dirinya. Demikian juga Rara Wilis, Wirasaba, Widuri dan Jaka Soka. Sedang orangorang lain menjadi tak berdaya untuk berbuat sesuatu, mengatasi goncangan-goncangan di dada mereka, sehingga
tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka pun mulai jatuh terkulai tak sadarkan diri. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 26 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 632
MANTINGAN dan kawan-kawannya, bahkan Jaka Soka pun tak mampu bertahan lebih lama lagi. Tubuh mereka
mulai bergetar, dan tulang-tulang mereka seakan-akan terasa lolos dari persendian. Mereka mengeluh dalam hati.
Mereka berada di medan pertempuran yang dahsyat, namun mereka tak mampu mengayunkan senjata-senjata
mereka untuk turut serta di dalamnya. Mereka hanya dapat bertahan atas serangan yang dahsyat, yang jauh berada di
atas kemampuan mereka. Sehingga dengan demikian mereka tidak lebih dari daun-daun kering yang berguguran di
halaman itu. Meskipun demikian, terasa perbedaan pada kedua aji Gelap Ngampar yang sama-sama
menggoncangkan dada mereka.
Meskipun keduanya dapat membunuhnya, namun tenaga ini tidak sekasar tenaga yang pertama. Namun, ketika dada
mereka akan runtuh, dari sela-sela angin basah yang mengalir semakin kencang, menyusuplah di dalam tubuh
mereka, getaran-getaran udara yang segar. Perlahan-lahan namun pasti, membebaskan mereka dari kengerian aji
Gelap Ngampar itu. Dan sejalan dengan itu, suara tertawa Pasingsingan itupun terhenti pula. Hem... geramnya,
Kau mampu melawan aji Gelap Ngampar, katanya kepada Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi.
Orang itu masih tegak di tempatnya sambil menyilangkan kedua tangannya terlipat di dada. Sebelum orang itu
menjawab, terdengar Sura Sarunggi tertawa, Permainan yang mengasyikkan, katanya.
Jangan bermain-main terlalu lama. Aku tahu bahwa kalian memiliki ilmu yang bersamaan. Pasingsingan yang
datang kemudian berdua adalah seperti seperguruan. Entahlah hubungan kalian dengan Guru Lawa Ijo itu, sehingga
kalian memiliki ilmu Gelap Ngampar. Meskipun terasa beberapa perbedaan, namun kalian bersumber dari mata air
yang sama.
Pasingsingan guru Lawa Ijo itupun berdiri tegak sambil menahan marahnya. Karena itu tubuhnya tiba-tiba bergetar.
Dengan suara yang berat ia berkata pula, Gila. Kalian memiliki aji gelap Ngampar. Jangan berpura-pura, dan yang
satu itu jangan mencoba melepaskan pula. Tetapi itu belum berarti bahwa kau bisa menamakan diri Pasingsingan.
Adakah aku harus melepaskan aji Alas Kobar? tanya Pasingsingan di samping Mantingan. Mungkin kau mampu
pula, menirukan setelah kau atau gurumu berhasil mencuri ilmu itu. Tetapi yang tak dapat kau curi adalah pusaka
Pasingsingan. Apakah kau memiliki pisau yang bernama Kyai Suluh? tanya Pasingsingan dengan pasti.
Tiba-tiba kembali halaman itu bergetar ketika Pasingsingan Guru Lawa Ijo itu berteriak nyaring. Seperti hantu
kelaparan yang kehilangan mangsanya. Gila, darimana kau dapatkan benda itu?
Semua mata tertuju kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. Di tangannya tergenggam sebuah pisau belati
panjang yang bercahaya kuning menyilaukan. Inikah yang kau maksud? katanya.
Hem... desis Pasingsingan di samping Mantingan. Kalian mau bermain-main dengan senjata. Ia tidak berkata
lebih lanjut, namun iapun kemudian mencabut sebuah pisau belati yang mirip benar dengan pisau belati
Pasingsingan yang lain itu.
Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi semakin marah. Darahnya serasa mendidih di dalam rongga dadanya. Karena
itu tanpa disengaja, tiba-tiba tangannyapun telah menarik pusakanya. Sebuah belati panjang yang berkilau. Kni
ketiga orang yang menamakan diri Pasingsingan itu masing-masing telah menggenggam senjata yang serupa.
Senjata yang selama ini menjadi ciri Pasingsingan. Pusaka yang ampuh luar biasa.
Namun tiba-tiba Pasingsingan yang selama ini merasa tiada duanya, menjadi heran, marah dan bingung, ketika ada
dua orang yang menamakan diri Pasingsingan, serta memiliki beberapa ciri kekhususannya Aji Gelap Ngampar serta
pisau belati panjang yang kuning berkilauan. Dengan suara yang bergetar guru Lawa Ijo itu berkata, Setan. Kalian
dapat membuat senjata yang serupa dengan senjata ini. Tetapi ada lagi satu senjata Pasingsingan yang tak dapat
dibuat oleh empu yang bagaimanapun saktinya. Senjata yang diberikan oleh alam kepadaku. Adakah kalian
mempunyai akik yang berwarna merah menyala dan bernama Kelabang Sajuta?
Untuk sesaat halaman itu menjadi hening sepi. Angin lembah semakin lama semakin kencang. Dan awan yang
kelabu menjadi bertambah tebal tergantung di langit. Sekali-kali guntur bergelegar di kejauhan, memukul-mukul
tebing dan pecah menggema diseluruh relung-relung pegunungan. Sinar-sinar api memancar di udara seperti Ular
Gundala raksasa yang meloncat-loncat dilangit.

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 43 dari 142

Menurut ceritera yang menjalar dari mulut ke mulut, di langit pada saat itu sedang terjadi pertempuran antara Ular
Gundala Seta, senjata Wisnu yang sedang menyelamatkan bumi dari keangkaramurkaan, melawan Ular Gundala
Wereng, senjata Kala yang sedang berusaha menghancurkan bumi karena ketamakannya.
Tetapi pada saat itu, di halaman Banyubiru itu pun sedang berhadapan dua kekuatan raksasa. Pasingsingan guru
Lawa Ijo dan Sura Sarunggi di satu pihak, dan dua orang Pasingsingan di pihak lain. Mereka sedang tegak dengan
tegangnya dalam pendirian masing-masing. Ketika kedua orang Pasingsingan itu belum juga berkata sepatah
katapun, guru Lawa Ijo itu tertawa pendek, katanya, Ha apa katamu tentang akik Kelabang Sayuta hadiah alam
kepada Pasingsingan?
Tiba-tiba Pasingsingan di samping Mantingan itu menjawab, Kalau kau dapat menunjukkan bahwa kau memiliki
akik Kelabang Sayuta, akupun akan membuktikan pula bahwa sebagai Pasingsingan, aku memiliki ciri-ciri yang
lengkap seperti katamu. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 27 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 633
MENDENGAR jawaban itu, hati Pasingsingan berdesir. Ketika ia meraba jari-jarinya, ia menjadi berdebar-debar.
Namun katanya kemudian, Akik itu sudah aku berikan kepada muridku Lawa Ijo. Sesaat sebelum ia mati,
diberikannya akik itu kepada Endang Widuri.
Hem... desis Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. Kau sedang mengarang sebuah ceritera.
Bertanyalah kepada Endang Widuri. Pasingsingan itu menegaskan. Pasingsingan di samping Mantingan itu
menoleh kepada Endang Widuri. Kemudian ia berkata, Ciri Pasingsingan hanya melekat pada tubuh Pasingsingan.
Tak ada ciri-ciri yang lain, apalagi yang dimiliki oleh orang lain. Aku dapat menyebut lebih dari seribu macam
pusaka-pusaka ciri yang lain yang tak ada padaku.
Darah Pasingsingan bertambah bergelora di jantungnya. Sambil berteriak ia memaki-maki, Setan, iblis, thethekan.
Tetapi akik Kelabang Sayuta itu milikku.
Aku tidak bertanya siapakah yang mula-mula memiliki, bantah Pasingsingan di samping Mantingan. Tetapi akik
itu sekarang tidak ada padamu, tidak ada padaku, dan tidak ada pada Pasingsingan yang seorang itu lagi.
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi tertawa pendek, katanya, Sudahlah Ki Sanak yang menamakan diri
Pasingsingan, yang madeg guru di Mentaok. Jangan terlalu banyak persoalkan di antara kita kini.
Diam! bentak Pasingsingan guru Lawa Ijo. Aku beri kau waktu sepemakan sirih. Tinggalkan halaman ini. Jangan
campuri urusanku.
Bukan demikian adat yang pernah kau lakukan, sahut Pasingsingan di samping Mantingan, Kalau kau yakin
dapat membunuh kami, kau tak akan melepaskan lagi. Dengan demikian, maka sekarang kau tak yakin akan
kemenanganmu. Karena itu, bukankah lebih baik kita berbicara sebagai manusia terhadap manusia. Bukan sebagai
hantu-hantu yang berkeliaran dari satu kuburan kelain kuburan, mencari mayat.
Hem. Benar-benar suatu penghinaan, geram Sura Sarunggi. Kepalanya yang besar itu terangkat dan dengan
lantang ia melanjutkan, Jangan merasa dirimu kadang dewa. Tak ada waktu untuk berbicara sekarang. Pergilah atau
kau akan terkubur di sini.
Jangan begitu Ki Sanak, jawab Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. Penyelesaian dengan pengertian, jauh
lebih baik daripada penyelesaian dengan tetesan darah dari tubuh kita. Sebab dengan demikian, kita akan dikejar
oleh rasa dendam yang tiada akan habis-habisnya. Dendam yang akan dibalas dengan dendam. Dengan demikian
maka sepanjang umur kita, kita tidak akan dapat menikmati ketenangan.
Pengecut! potong Pasingsingan dari Mentaok. Aku adalah laki-laki. Di tanganku telah tergenggam pusakaku
Kyai Suluh. Karena itu kau tak ada kesempatan lagi untuk kedua kalinya, setelah kau menolak kesempatan yang
pertama.
Jangan, jawab Pasingsingan di samping Mantingan, Kita masing-masing mempunyai kesempatan yang sama.
Jangan mengancam dan menakut-nakuti. Aku ulangi, marilah kita berbicara sebagai manusia dengan manusia. Kita
berbicara tanpa takbir di wajah kita. Kita bicara antara hati kita yang dilambari dengan kejujuran pada diri kita
masing-masing, betapa hitamnya noda-noda yang melekat pada tubuh kita masing-masing.
Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Pasingsingan dari Mentaok itu menggigil. Ia menjadi curiga. Sejak orang yang
menamakan diri Pasingsingan itu mampu melepaskan Gelap Ngampar, hatinya telah bergetar. Kini kata-kata itu
menambah keyakinannya bahwa ia telah mengenal kedua orang itu. Meskipun demikian, ia masih mencoba untuk
menyakinkan, apakah dugaannya itu benar. Maka katanya, Apakah alasanmu? Apakah untungnya kita berbicara
dari hati ke hati?
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas, katanya, Bagaimanapun kotornya hati kita, namun kita adalah
manusia. Kita memiliki hari-hari lampau dan hari-hari mendatang. Kita memiliki hari-hari yang cemerlang, namun
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 44 dari 142

kita memiliki juga hari-hari yang suram. Karena itu, janganlah kita tenggelam dalam kegelapan. Putus asa dan
bunuh diri dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk terus-menerus.
Sura Sarunggi kini benar-benar sudah kehilangan kesabarannya. Dengan suara yang geram ia berkata, Persetan
dengan mimpi yang jahat itu. Jangan mencoba meracuni jiwa kami dengan hiasan kata-kata. Kemudian kepada
Guru Lawa Ijo ia berkata, Sudahkah senjatamu itu siap?
Tetapi dada Pasingsingan menjadi bergetar semakin cepat. Ada perasaan yang lain di dalam dirinya. Sekarang ia
hampir pasti dengan siapa ia berhadapan. Namun di hadapan Sura Sarunggi, ia masih mencoba untuk bersembunyi.
Ia tidak mau orang lain mengetahui tentang dirinya, apalagi Jaka Soka, Mantingan beserta kawan-kawannya.
Meskipun ia berdiam diri, namun hati di dalam dadanya berteriak nyaring, Hai Umbaran, yang berdiri di
hadapanmu dengan ciri-ciri Pasingsingan adalah Radite dan Anggara.
Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah letusan yang dahsyat. Ketika ia memandang kepada Sura
Sarunggi, dilihatnya sahabatnya itu telah mengurai ikat pinggangnya, yang kemudian dengan marahnya, ikat
pinggang yang mirip dengan sebuah cemeti itu dilecutkannya. Itulah senjata Sura Sarunggi, sebagaimana senjatasenjata yang dipergunakan oleh murid-muridnya, Uling Putih dan Uling Kuning dari Rawa Pening. (Bersambung)-o
Serial Bersambung 28 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 634
PASINGSINGAN, Guru Lawa Ijo kini tidak mempunyai pilihan lain. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya
dengan mereka, apakah yang telah terjadi selama ini. Ia merasa bahwa pada saat-saat terakhir telah diketemukannya
berbagai bentuk yang keras dari ajinya, Gelap Ngampar, maupun Alas Kobar. Kemajuan-kemajuan yang dicapainya
dalam petualangannya. Lalu apakah yang telah didapatkan oleh kedua saudara seperguruan itu. Meskipun pada
masa-masa lampau, Radite dan Anggara tak dapat diatasinya, namun kini Pasingsingan yang bernama Umbaran itu
bukanlah Umbaran beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian akhirnya ia memutuskan, bahwa ia harus
berjuang dengan senjatanya itu.
Kemudian terdengarlah suara meledak untuk mengatasi getaran-getaran di jantungnya, Hai orang-orang yang tak
tahu diri, yang telah menyia-nyiakan kesempatan terakhir karena kebaikan hatimu. Angkatlah wajahmu. Pandanglah
angkasa yang suram sebagai aba-aba dari isi bumi ini, dan tundukanlah kemudian wajahmu itu sebagai
penghormatan terakhir pada ibu pertiwi. Kemudian hadapilah aku sebagai lawanmu, yang akan mengantarkan
nyawamu menyeberang ke dunia yang tak dikenal.
Pasingsingan di samping Mantingan menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, Senjata bukanlah alat terakhir untuk
menemukan kesempatan.
Tak ada yang akan disepakatkan, sahut Sura Sarunggi, Kita berdiri berseberangan. Kita tidak dapat hidup
bersama-sama dalam satu naungan langit yang luas ini.
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu agaknya lebih mudah tersinggung daripada Pasingsingan yang berdiri di
samping Mantingan. Ternyata ia menjawab lantang, Tidak adakah jalan lain? Kalau demikian, kalau kau berpihak
pada orang yang menamakan diri Pasingsingan pemarah itu, maka aku akan berdiri di pihak Pasingsingan yang
seorang lagi. Sesudah itu, biarlah kami menentukan keadaan kami tanpa campur tanganmu.
Tunggu... Pasingsingan di samping Mantingan mencoba untuk mencegahnya. Tetapi suaranya tenggelam dalam
pekik lantang Sura Sarunggi. Bagus. Itulah kata-kata jantan. Sudah siapkah kau?
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu menjawab tidak kalah lantangnya, Aku lebih senang menempuh jalan
lain. Tetapi kalau kau hadapkan aku pada satu pilihan yang tak dapat aku elakkan, silahkanlah.
Sura Sarunggi tertawa seperti orang mabuk. Katanya, Meskipun kau kekasih dewa-dewa, meskipun kau berperisai
guntur dan petir, tetapi kau belum mampu menjaring angin, maka kau akan kehilangan hidupmu karena tanganku.
Aku bukan kekasih dewa-dewa, namun aku menyerahkan diriku pada Yang Maha Kuasa, jawab Pasingsingan itu.
Kepada-Nya aku mohon kekuatan untuk melenyapkan keingkaran atas hukum-hukum-Nya.
Kembali terdengar iblis dari Rawa Pening itu tertawa. Sesaat kemudian bergema kembali suara cemetinya menyusur
lereng-lereng bukit. Hai, langit yang muram, angin yang kencang. Saksikanlah kutuk yang akan menimpa orang
ini.
Sura Sarunggi menutup kata-katanya dengan derai tertawa yang mengerikan. Kemudian ia pun bersiap untuk segera
mulai dengan pertempuran melawan orang berjubah abu-abu dan menyebut dirinya Pasingsingan itu. Sesaat
kemudian ia pun meloncat dengan garangnya.

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 45 dari 142

Cemetinya berputar cepat sekali, melampaui kecepatan baling-baling yang ditiup angin ribut. Namun Pasingsingan
itu pun telah bersiap pula. Tangan di balik jubah abu-abunya berkembang seperti hendak terbang. Pisau belati
panjangnya berkilauan memantulkan cahaya api yang remang-remang.
Demikianlah, mereka tenggelam dalam satu perkelahian yang dahsyat.
Sura Sarunggi, iblis dari Rawa Pening itu bertempur seperti angin topan. Ia meloncat-loncat dengan dahsyatnya
mengelilingi lawannya, dan menyerangnya dari segenap penjuru. Namun Pasingsingan itupun tidak membiarkan
dirinya tersekat dalam lingkaran cemeti lawannya. Dengan tangkasnya ia melontarkan dirinya, sekali-kali memotong
serangan lawannya. Dan bahkan kadang-kadang ia tegak menghadapi topan seperti bukit Telamaya yang tak
tergoyahkan oleh angin dan badai.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga. Kedahsyatan
ilmu mereka telah menggemparkan dada masing-masing. Demikian sengitnya perkelahian itu, sehingga akhirnya
yang tampak di mata mereka hanyalah bayang-bayang hitam yang berputar-putar seperti angin pusaran.
Jaka Soka tak luput pula dari perasaan itu. Heran dan berdebar-debar. Meskipun demikian ia masih ingat akan
keselamatan diri. Sehingga dengan diam-diam ia mencari kemungkinan, ke mana ia harus melarikan diri. Sebab
apabila Pasingsingan yang sepasang itu terlibat pula dalam pertempuran, serta apabila kemudian Mantingan dan
kawan-kawannya telah berhasil menguasai diri mereka, bersama-sama menyerangnya, maka sulitlah baginya untuk
bertahan. Padahal ia masih ingin menikmati kebesaran sebagai pimpinan bajak laut yang disegani. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 29 November 2000 Diambil dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 635
JAKA SOKA tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan golongan hitam yang lain. Dengan laskar Mentaok,
Rawa Pening, Gunung Tidar dan lain-lainnya di Pamingit. Karena itu selama ia masih mendapat kemungkinan, ia
harus menyingkir dari halaman itu.
Sementara itu Pasingsingan Guru Lawa Ijo telah mempersiapkan dirinya pula. Ia melihat betapa sahabatnya telah
terlibat dalam suatu pertempuran yang menentukan. Karena itu ia menggeram dengan marahnya, Lihatlah betapa
orang yang berani menyebut dirinya Pasingsingan itu akan hancur lumat oleh cemeti Sura Sarunggi.
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih berdiam diri, meskipun ia mengikuti pertempuran itu
dengan seksama. Namun tak ada tanda-tanda padanya, bahwa ia pun akan segera mulai bertempur.
Tetapi justru karena itulah maka guru Lawa Ijo itu menjadi semakin gelisah. Untuk merapati kegelisahannya, ia
berkata, Hai orang yang sombong, yang berani mengaku bernama Pasingsingan, bersiaplah menghadapi saat-saat
terakhirmu.
Jangan berkata demikian, jawabnya perlahan-lahan, Apakah kau juga sekasar Sura Sarunggi itu?
Jangan mencoba melunakkan hatiku, sahut guru Lawa Ijo. Aku tahu bahwa hatimu tak selunak yang aku
harapkan, kata Pasingsingan di samping Mantingan. Tetapi jangan terlalu lama mengelabuhi dirimu. Aku yakin
bahwa kau telah mengenal aku.
Dada guru Lawa Ijo berdesir keras. Tetapi ia takut melihat kepada dirinya sendiri. Ia menjadi takut, bahwa akhirnya
ia benar-benar menyadari keadaannya. Karena itu ia berteriak, Jangan mencoba meringankan kesalahanmu.
Bersiaplah aku akan mulai.
Umbaran... tiba-tiba terdengar suara yang lunak, selunak suara seorang kakak terhadap adiknya. Mendengar nama
itu, darah guru Lawa Ijo serasa berhenti mengalir. Telah bertahun-tahun ia tidak mendengarnya orang memanggil
nama yang diberikan oleh ayah bundanya. Ia lebih senang dan bangga apabila orang menyebutnya dengan
ketakutan, Pasingsingan. Karena itu tiba-tiba ia menjadi bingung.
Dalam kebingungan itulah ia berteriak, Jangan mengigau. Umbaran telah mati. Aku, Pasingsingan, yang telah
membunuhnya.
Ya, Umbaran telah tak ada lagi, jawab orang berjubah itu, Yang ada kemudian adalah Pasingsingan. Tetapi,
baginya masih ada jalan kembali.
Diam! bentak guru Lawa Ijo. Darahnya yang beku itu tiba-tiba mendidih kembali. Radite dan Anggara yang
lenyap dari percaturan orang-orang sakti itu tak akan mampu menambah ilmunya. Karena itu, ia pasti akan dapat
mengatasinya. Tetapi ia menjadi gelisah kembali ketika orang yang dibentak-bentaknya itu masih tetap tenang dan
berkata, Jangan marah Umbaran. Aku datang kepadamu dengan maksud baik. Kau masih mempunyai kesempatan
kembali ke perguruan kita. Guru kita yang bergelar Pasingsingan dengan cita-cita yang putih.
Diam! Pasingsingan berteriak semakin keras. Sayang, bahwa kau tak dapat mengikuti jejaknya. Kau tak mampu
menangkap ajaran- ajarannya, sehingga kau salah duga terhadapnya. Kau menganggap bahwa guru kita telah
kehilangan kegairahannya terhadap hidup dan kehidupan. Karena itu kau memilih jalanmu sendiri.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 46 dari 142

Omong kosong, bantah guru Lawa Ijo, Apakah kau selama ini juga mentaati ajaran-ajarannya? Apakah kau
selama ini bersih dari noda-noda yang dilemparkan oleh kehidupan disekitar kita kepadamu?
Tidak, Umbaran, jawab orang itu. Aku merasa, betapa kotornya hati dan ragaku. Namun aku telah berusaha
untuk mengurangi kesalahanku, setidak-tidaknya mengurangi kesalahan-kesalahan baru yang akan menambah beban
kehidupan sukmaku.
Aku bukan orang yang puas dengan keadaanku sekarang. Tetapi aku berhak menuntut masa depanku sebaikbaiknya, kata guru Lawa Ijo. Aku bangga terhadap mereka yang berjuang buat masa depannya. Namun mereka
jangan mengorbankan masa depan orang lain sebagai pupuk bagi masa depannya itu. Meskipun kata-kata itu
diucapkan perlahan-lahan, namun cukup jelas bagi guru Lawa Ijo. Kata demi kata, yang seolah-olah menyusup ke
tulang sungsumnya. Tetapi hatinya yang selama ini telah dibalut oleh nafsu yang bergelora berlebih- lebihan, kini
benar-benar telah menjadi sekeras batu, meskipun dengan sekuat tenaga ia berusaha membendungnya. Bahkan
akhirnya ia berkata lantang,
Jangan menggurui aku. Guruilah dirimu sendiri. Bukankah kau menjelang kebahagiaan masa depanmu dengan
mengorbankan orang lain pula? Manakah perempuan yang aku hadiahkan kepadamu itu? Bukankah ia mati karena
ketamakanmu?
Umbaran! potong orang berjubah yang berdiri disamping Mantingan. Aku minta jangan kau sebut-sebut itu lagi.
Ha, kau menjadi ketakutan? Kau lihat noda-noda yang melekat di tubuhku, namun tak kau lihat kotoran-kotoran
yang bergumpal-gumpal di wajahmu? Di pelupuk matamu? Mana perempuan itu? Mana...?
Jangan kau sebut itu, Umbaran, kata orang itu. Biar, biar aku ulang seribu kali, sahut guru Lawa Ijo.
Perempuan itu kau tukar dengan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan kita. Dan kau berjanji tidak akan mengganggu
gugat lagi. Sekarang perempuan itu mati. Mati. Mati....
Cukup! potong orang itu keras-keras. Namun kemudian ia menundukkan wajahnya. Tangan kirinya perlahanlahan diangkatnya mengusap dadanya yang bergelora. (Bersambung)-m
Cerita Bersambung 30 November 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja 636
PASINGSINGAN guru Lawa Ijo itu tertawa panjang sampai tubuhnya terguncang-guncang. Ia tertawa dan tertawa
untuk memuaskan hatinya. Sambil menunjuk kepada Sura Sarunggi dan lawannya ia berkata, Lihat, apa yang bisa
dilakukan oleh Anggara, penjagamu itu. Lihatlah, sebentar lagi ia akan binasa.
Orang yang berdiri di samping Mantingan itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangkat wajahnya, dan memandang
kepada adik seperguruannya yang sedang bertempur.
Mereka berputar-putar dengan lincahnya, lontar-melontar seperti sepasang garuda yang sedang berlaga. Tangan
mereka berkembang seperti sayap dengan senjata masing-masing.
Cemeti Sura Sarunggi meledak-ledak mengerikan, sedangkan sinar kuning pisau belati lawannya menyambarnyambar seperti petir di langit yang kelam. Ujung cemeti Sura Sarunggi itu seolah-olah memiliki penglihatan, ke
mana ia harus mematuk. Namun ujung belati lawannya seperti mempunyai mata, yang dapat melihat setiap serangan
dari arah manapun juga.
Maka pertempuran itu menjadi semakin dahsyat dan dahsyat. Sura Sarunggi bertempur dengan kasar dan bengis,
sedang Anggara melayaninya dengan tangkas dan tangguh.
Ketika mereka sudah berkelahi beberapa saat, Sura Sarunggi menjadi semakin heran. Lawannya dapat bertempur
dengan gigihnya. Bahkan beberapa macam geraknya telah dikenalnya. Mirip dengan Pasingsingan sahabatnya itu.
Karena itu timbullah beberapa pertanyaan di dalam dirinya, apakah orang ini benar-benar Pasingsingan...?
Tidak mungkin! Pertanyaan itu dibantahnya sendiri.
Anggara pada saat itu memang sengaja bertempur dengan ciri-ciri perguruan Pasingsingan. Ia sengaja menunjukkan,
bahwa dirinyapun memiliki ilmu seperti ilmu-ilmu ajaib dari orang yang bernama Pasingsingan itu. Bahkan
beberapa gerak diulangnya supaya menjadi jelas bagi lawannya.
Guru Lawa Ijo masih tertawa keras-keras. Dan Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih memandangi
Sura Sarunggi dan Anggara.
Jangan membeku seperti batu, tegur Umbaran, Sekarang apa katamu?
Orang yang bernama Radite itu perlahan-lahan menoleh ke arah Umbaran, jawabnya,
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 47 dari 142

Marilah kita lupakan masa lampau. Marilah kita bina bersama masa depan perguruan kita.
Masa depanku jauh berbeda dengan masa depanmu. Jangan mengigau lagi. Pergi dan
bawa adikmu itu, atau kau berdua binasa. Umbaran meneruskan, Jangan mimpi aku berlutut di bawah kakimu dan
menyerahkan perempuan untuk kedua kalinya.
Jangan bicara tentang perempuan! Radite membentak. Kesabarannya telah menjadi semakin tipis. Hatinya yang
luka karena perempuan, kini terungkap kembali.
Aku bicara tentang perempuan, supaya kau teringat kembali akan perjanjian kita. Kita tidak akan saling
mengganggu, sahut Umbaran.
Aku tidak akan mengganggu gugat pusaka-pusaka yang telah kau miliki, ciri-ciri khusus Pasingsingan yang kau
pakai, sedang kau tak akan mengganggu gugat perempuan itu, jawab Radite. Tetapi aku berhak mengganggu
gugat segala perbuatanmu yang terkutuk.
Kau iri hati, kata Umbaran.
Tidak, jawab Radite, Aku mempunyai kepentingan sendiri. Aku tidak mau menanggung beban dosamu lebih
banyak lagi karena kesalahanku, menyerahkan kesaktian Pasingsingan kepadamu. Sebab dengan demikian kau telah
menarik diri dari persahabatanku dengan Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Angganten dan lain-lain. Bahkan kau
telah menempatkan dirimu sebagai lawan. Nah, aku akan menghentikan semuanya itu.
Ha, itulah akibat nafsu gilamu kepada perempuan? jawab Umbaran. Sengaja ia ingin memanaskan hati Radite.
Mempengaruhinya dengan kelemahan-kelemahannya.
Tetapi dengan demikian Radite menjadi marah. Peristiwa itu adalah peristiwa yang paling pedih dalam hidupnya,
karena itu setiap kali ia dihadapkan pada kenangan itu, setiap kali ia kehilangan kesabaran.
Umbaran... kata Radite dengan lantang, Kesabaran seseorang ada batasnya. Jangan menunggu demikian.
Umbaran menjadi berdebar-debar. Apakah Radite benar-benar akan marah dan menyerangnya? Tetapi tak ada
pilihan lain. Sura Sarunggi telah bertempur dengan gigihnya.
Keduanya berdiri tegak dengan tenangnya. Radite masih berusaha menguasai perasaannya, sedang Umbaran
menjadi berdebar-debar menghadapi kemungkinan yang berat.
Ia tidak segarang biasanya, yang langsung menikam lambung lawannya. Kali ini ia benar-benar memperhitungkan
keadaan. Karena keragu-raguannya itulah ia masih berdiri tegak.
Ketika keduanya sedang berusaha menekan perasaan masing-masing, tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi
kentongan, yang dipukul bergelombang-gelombang. Rog-rog asem.
Setan, desis Pasingsingan, Mereka datang.
Radite mengangkat wajahnya. Lamat-lamat terdengar kentongan itu menjalar. Ia tidak tahu tanda apakah itu. Karena
itu, ia harus memperhitungkan setiap kemungkinan.
Namun karena itulah maka Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi bertambah bingung. Akhirnya ia kehilangan
kejernihan dan kelicinan otaknya. Ia tahu benar, bahwa tanda itu mengabarkan kedatangan orang Banyubiru atau
Pamingit. Mahesa Jenar atau Sora Dipayana dan kawan-kawannya. Akhirnya ia menjadi mata gelap. Sebab
menyingkirpun tak ada kesempatan.
Karena itu, tanpa diduga-duga, ia meloncat dengan garangnya sambil berteriak nyaring. Pedangnya berkilauan
menyambar leher Radite.
Cerita Bersambung 1 Desember 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
637
RADITE terkejut mengalami serangan yang tiba-tiba itu. Sebenarnya ia masih mengharap agar mereka tidak perlu
mempergunakan kekerasan, apalagi dengan tetesan darah. Tetapi Umbaran telah menyerangnya. Dengan demikian ia
tak dapat berbuat lain daripada melawannya. Maka sesaat kemudian kedua Pasingsingan itupun telah bertempur
pula. Masing-masing memegang pisau belati panjang di tangannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 48 dari 142

Umbaran dan Radie adalah dua orang yang memiliki ilmu yang bersumber dari guru yang sama. Karena itu
merekapun bertempur dengan ilmu yang sama pula. Tetapi ilmu mereka masing-masing telah mengalami beberapa
perubahan sesuai dengan pengaruh keadaan dan waktu.
Ilmu Pasingsingan Umbaran telah berubah menjadi semakin kasar, keras dan kejam. Sedang ilmu Radite masih tetap
dalam tataran yang bersih. Meksipun demikian tidak berarti bahwa Umbaran telah melampaui Radite dalam
ketahanan tempurnya.
Dalam beberapa saat mereka telah lenyap dari bentuk mereka. Yang tampak hanyalah pusaran yang kelam dari jubah
mereka yang abu-abu, di sela oleh cahaya kuning yang menyambar-nyambar mengerikan.
Umbaran yang mata gelap, bertempur dengan darah yang bergelora. Hatinya benar-benar telah dikuasai oleh nafsu
yang ganas. Dan dari hidungnya seolah-olah terhirup udara maut. Dengan berteriak-teriak nyaring ia meloncatloncat, menyerang dengan sengitnya. Pisaunya berputar-putar mengarah ke segenap bagian-bagian tubuh Radite.
Dalam kesibukan pertempuran antara hidup dan mati itu, terdengar Umbaran berteriak, Kalau kau masih belum
mampu melenyapkan diri dari tangkapan mataku, jangan mengharap keluar dari halaman ini dengan ragamu.
Radite diam saja. Namun ia bertempur terus. Sebenarnya dalam lekuk-lekuk hatinya yang terdalam, masih juga
bermunculan perasaan sesal dan ngeri atas apa yang pernah terjadi pada dirinya. Tukar-menukar kehormatan. Tetapi
ia sadar pula, bahwa apabila ia tidak cawe-cawe, maka Pasingsingan yang bernama Umbaran itu akan banyak
menimbulkan bencana.
Kalau benar-benar ia berhasil memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, maka keadaan akan sangat
berbahaya. Ia dapat menghadap Sultan Demak dengan laskar segelar sepapan, dan memaksanya untuk menyerahkan
kekuasaan, setelah ia menyatakan diri sebagai pemilik pusaka-pusaka sipat kandel itu.
Dengan landasan kekuatan golongan hitam dan daerah-daerah yang didudukinya, beserta kesesatan pandangan
beberapa orang kawula Demak atas kepercayaan mereka, bahwa siapa yang memiliki Nagasasra Sabuk Inten akan
mampu merajai Nusantara, maka Umbaran akan mendapatkan pengikut-pengikutnya.
Atau orang yang berotak licin itu dapat menempuh jalan lain. Ia dapat menggerakkan laskar hitam untuk
menimbulkan bencana. Sebagai Pasingsingan, ia dapat menggulung daerah demi daerah. Namun kemudian sebagai
Umbaran yang berwajah manis, ia menghadap Sultan dengan menyerahkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Dengan demikian ia akan mendapatkan banyak kepercayaan dari Sultan. Akhirnya ia dapat melawan kekuasaan
Demak dari luar dan dari dalam. Sementara itu ia harus mencuri keris-keris itu kembali.
Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin sengit. Masing-masing bertekad untuk memenangkan
pertempuran. Meskipun Umbaran bertempur dengan kasar dan bengis, namun Radite bukan anak-anak yang baru
dapat berdiri. Radite memiliki kematangan ilmu melampaui Umbaran, meskipun pada dasarnya Umbaran berguru
lebih dahulu kepada Pasingsingan Sepuh.
Tetapi karena Umbaran kurang dapat menepati ajaran-ajaran gurunya, maka akhirnya ia terpaksa menghentikan
usahanya mengisap ilmu yang luar biasa itu. Dan kini, dua orang murid dari perguruan yang sama itu berhadapan
dan bertempur mati-matian.
Selain mereka yang bertempur, tak seorangpun yang menggerakkan tubuhnya oleh ketegangan yang semakin
memuncak. Perhatian mereka seolah-olah terikat erat-erat pada pertempuran itu.
Kesempatan yang demikian itulah yang ditunggu Jaka Soka. Kalau ia terlambat mempergunakan waktu, sehingga
Mantingan dan kawan-kawannya berhasil menguasai diri mereka, maka akan celakalah nasibnya. Dengan diamdiam dan sangat hati-hati ia berkisar, setapak demi setapak. Ia telah menemukan arah yang baik untuk
menyembunyikan diri dan kemudian meninggalkan tanah perdikan yang seolah-olah menjadi panas, sepanas bara
api baginya. Maka, dengan tidak menarik perhatian, akhirnya Jaka Soka berhasil menyelinap ke dalam gelap dan
kemudian menghilang dari halaman itu.
Bagi Jaka Soka, lebih baik hidup di antara anak buahnya dan perempuan-perempuan yang dikumpulkan selama ini,
daripada mati di Banyubiru. Ia tidak peduli apa yang dikatakan orang atasnya. Apakah orang akan mengatakannya
pengecut, apakah penakut, ia tidak keberatan. Sebab pada dasarnya, meskipun golongan hitam itu nampaknya
bekerja bersama-sama, namun mereka sama sekali tak memiliki kesetiakawanan yang jujur. Apabila mereka
terbentur pada kepentingan diri, maka kepentingan bersama dapat dianggapnya tidak berlaku.
Sementara itu, Arya Salaka memacu kudanya seperti angin topan. Meskipun demikian, tarasa betapa lambatnya
perjalanan itu. Kuda yang dinaikinya betapa malasnya, sehingga berkali-kali ia terpaksa mencambuknya.
Ketika dari kejauhan tampak api yang menyala, terdengar giginya gemertak. Tangannya yang memegang tombak
pusaka Banyubiru terasa gemetar. Ia menjadi marah sekali. Ia menyesal, bahwa ia terlambat. (Bersambung)-m

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 49 dari 142

Serial Bersambung 02 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 638
MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara berpacu di belakangnya. Kedua orang itu pun tak kalah gelisahnya. Juga
kedua orang itu menyesal kenapa Sawung Sariti tidak segera mengabarkan kepada mereka, bahwa ada serombongan
orang-orang dari golongan hitam yang pergi ke Banyubiru. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memacu kuda mereka
dengan darah yang bergolak. Suara kaki-kaki kuda mereka berderap memecah sepi malam di atas tanah-tanah
berbatu padas. Orang-orang yang menutup pintu serapat-rapatnya di tepi-tepi jalan, menjadi semakin gelisah
mendengar derap kuda itu. Mereka memeluk anak-anak mereka semakin erat di dada mereka sambil berdoa, semoga
Yang Maha Kuasa melindungi mereka dari bencana. Arya Salaka melihat dua tiga orang menyelinap ke halaman
ketika kudanya menghambur terbang, tetapi ia tidak memperdulikannya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak
begitu tertarik kepada orang-orang itu. Tetapi ketika kemudian terdengar bunyi kentongan, mereka menyesal.
Agaknya orang-orang itu adalah para pengawas, yang harus mengamat-amati kedatangan orang-orang Banyubiru.
Namun mereka tak dapat memutar kuda mereka kembali. Dengan demikian waktu mereka akan semakin habis.
Ketika Arya Salaka akan membelok ke arah api yang menyala-nyala, terdengar Mahesa Jenar berteriak, Terus ke
rumahmu, Arya.
Arya menarik kekang kudanya sekuat-kuatnya, sehingga kuda itu meringkik dan berdiri tegak di atas kedua kaki
belakangnya. Api, jawab Arya. Pada saat itu kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berlari disampingnya,
tidak ke arah api itu. Dan terdengarlah suara Mahesa Jenar tanpa menghentikan kudanya, "Itu adalah suatu cara
untuk memancing kita. Aku telah mengenal akal itu".
Kembali Arya Salaka menggeretakkan giginya. Dengan cepatnya ia mencambuk kudanya dan berlari mengikuti
gurunya. Mereka langsung pergi ke rumah kepala daerah perdikan yang sedang diguncang oleh peristiwa-peristiwa
yang menyedihkan. Ketika mereka semakin lama menjadi semakin dekat, maka dada merekapun semakin berdebardebar pula. Meskipun demikian, Arya masih belum sadar benar akan keadaannya, sehingga dengan berteriak ia
bertanya, "Bagaimana dengan api itu paman?".
Mahesa Jenar menoleh. Dilihatnya Arya telah menyusul dekat dibelakangnya, "Jangan perdulikan", jawabnya
"mereka hanya ingin menarik perhatian kita. Tempat yang menyala itu adalah tempat-tempat yang tak berarti.
Mudah-mudahan laskarmu telah berusaha untuk menyelesaikannya. Bukankah api itu telah surut?". "Ya", sahut
Arya. Ia mengerti sekarang, bahwa bahaya yang sebenarnya tidak terletak di daerah api itu. Demikianlah mereka
bertiga memacu kuda-kuda mereka semakin cepat dan cepat. Mereka berpacu bersama angin basah yang bertiup
menghanyutkan awan yang kelabu. Kilat memancar-mancar di udara seperti sedang bersabung, diantar oleh bunyi
guruh yang menggelegar memukul tebing-tebing perbukitan. Arya Salaka menjadi tidak sabar lagi. Ketika ia melihat
sepasang beringin di alun-alun, hatinya seperti meronta-ronta. Tetapi dimuka regol rumahnya tak dilihatnya apapun
yang mencurigakan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, adalah orang-orang yang telah memiliki pengalaman yang jauh lebih luas dari
Arya Salaka. Karena itu mereka menghentikan kuda-kuda mereka dimuka halaman. Mereka harus memasuki
halaman itu dalam kesiagaan penuh. Namun Arya Salaka tidak sempat berpikir demikian. Ia langsung melampaui
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara di atas kudanya yang masih berlari seperti di kejar hantu.
"Arya!", teriak Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar tak mampu menghentikannya. Seperti anak panah Arya langsung menyerbu masuk ke halaman.
Di halaman itu masih bertempur dengan sengitnya, Sura Sarunggi melawan Anggara, dan Umbaran melawan Radite.
Mereka bertempur dalam tingkat tertinggi dari ilmu-ilmu mereka. Yang paling gelisah dari mereka adalah Umbaran.
Ia sadar sesadar-sadarnya, apabila datang orang-orang Banyubiru, maka akan berakhirlah kisah petualangannya.
Karena itu, dalam kegelisahannya ia sempat memperhitungkan keadaan. Ia harus bertindak cepat dan
menguntungkan. Karena itu ia memutuskan untuk membunuh salah seorang lawannya atau orang-orang Banyubiru
yang datang untuk mengurangi lawannya. Sesudah itu, kalau perlu ia akan melarikan diri saja, meskipun
kemungkinannyapun tipis pula. Tetapi kalau ia berhasil membunuh salah seorang dari mereka, ia akan dapat
mempengaruhi keadaan, meskipun hanya sekejap. Dan kelebihan waktu yang sekejap itu harus dipergunakan sebaikbaiknya.
Demikianlah ketika ia mendengar derap kuda langsung memasuki halaman, ia melontar mundur beberapa langkah,
kemudian dengan tak terduga Umbaran berteriak keras-keras, dan pisau belati panjangnya meluncur seperti tatit ke
dada Arya Salaka. Arya terkejut melihat sinar kuning menyilaukan terbang kearahnya. Tetapi ia tidak mendapat
kesempatan untuk mengelak. Kudanya sendiri berlari cepat menyongsong sinar yang berkilat-kilat itu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut bukan kepalang. Maut yang menyambar itu demikian cepatnya sehingga
mereka tak mampu berbuat apa-apa, selain berteriak keras, "Arya, bungkukkan badanmu". (Bersambung)-m
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 50 dari 142

Serial Bersambung 03 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 639
ARYA SALAKA telah kehilangan keseimbangan perhitungannya. Karena itu tak ada yang dapat dikerjakan. Ia
mencoba membungkuk merapat ke punggung kuda, namun pisau itu telah dekat sekali. Tetapi tak sempat dilihatnya
adalah sambaran pisau yang kedua. Pisau belati panjang yang seakan-akan mengejar pisau yang pertama.
Pisau inipun tak kalah cepatnya, meluncur dari arah yang lebih rendah dari pisau yang pertama, sehingga kedua
pisau itupun seperti kilat di langit yang sambar menyambar. Tuhan adalah penentu dari semua kejadian.
Demikianlah pisau itupun tak terlepas dari pengaruh tanganNya. Pisau belati yang kedua, yang dilemparkan oleh
Pasingsingan yang seorang lagi, meluncur dari arah yang berbeda serta lebih rendah dari arah pisau yang pertama,
berhasil mengenai pisau yang pertama.
Sentuhan itu dapat mempengaruhi arah pisau-pisau itu. Sehingga dengan demikian, selisih arah yang hanya setebal
jari mengukit arah yang pertama, telah menyelamatkan Arya Salaka. Meskipun ia belum berhasil merapatkan
tubuhnya sepenuhnya, namun pisau-pisau itu tak menyentuh kulitnya. Hanya ikat kepalanya sajalah yang tersambar
dan terbawa oleh pisau-pisau itu. Namun meskipun demikian, dada Arya Salaka berdesir keras. Ia menggeram
sambil menggigit bibirnya. Maut serasa telah hinggap diujung rambutnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpekik kecil. Mereka meloncat bersama-sama maju, namun kemudian mereka
melihat Arya Salaka masih duduk di atas punggung kudanya yang meluncur cepat di halaman itu, yang kemudian
melingkar memutar di samping gandok.
"Bagaimana kau Arya ?", teriak Mahesa Jenar. Nafas Arya masih meloncat-loncat tak teratur. Dadanya berdebar
cepat dan jantungnya seperti berdentang-dentang. Namun ia sempat menjawab terbata-bata, "Baik paman".
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas panjang. Tetapi kelegaannya itu tidak terlalu lama. Mereka
ditegangkan kembali oleh kenyataan yang dilihatnya dihalaman. Dalam remang-remang cahaya obor di pendapa,
mereka melihat Mantingan, Wilis, Widuri dan Wirasaba berdiri dalam satu kelompok hampir berhimpitan dengan
kaku, di pendapa mereka melihat Wanamerta duduk lemas seperti orang yang kehilangan akal, sedang Sendang
Parapatpun duduk bersandar tiang. Tangannya memegang senjatanya, namun senjata itu terkulai di lantai. Sedang
beberapa penjaga diregol jatuh tersungkur di tanah, dan mereka yang berada di gardu telah kehilangan kemampuan
bergerak.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menjadi semakin terkejut ketika mereka melihat dua lingkaran
pertempuran.
Dan hampir-hampir dada mereka meledak ketika mereka melihat tiga orang yang memakai jubah abu-abu dan
bertopeng kasar.
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi", gumam Mahesa Jenar. Kebo Kanigara berdiam diri. Keningnya berkerutkerut. Umbaran ternyata telah menyerang Radite dengan membabi buta, ketika ia tidak berhasil membunuh Arya
Salaka. Pada saat itu, ia telah mencoba untuk melarikan diri, namun Radite bukan anak-anak yang dapat
dikelabuhinya, sehingga dengan beberapa loncatan ia telah berhasil menahan Pasingsingan yang menghantui Demak
pada saat itu. Tiba-tiba halaman itu digetarkan oleh pekik kecil. Widuri tiba-tiba berhasil menguasai kesadarannya,
ketika dilihatnya ayahnya memasuki halaman. Kemudian ia meloncat maju. Mula-mula ia seperti melihat malaikat
hadir di halaman itu. Maka ketika ayahnya berdiri tegak mengamati keadaan, ia menghambur lari kepadanya,
"Ayah", panggilnya. Seperti anak ayam yang terancam elang, Widuri bersembunyi di balik sayap-sayap induknya.
Kebo Kanigarapun menjadi terharu karenanya. Meskipun ia tidak melepaskan perhatiannya kepada keadaan
sekelilingnya, namun dipeluknya anak itu erat-erat. Pada saat itu Rara Wilis pun menjadi bertambah tenang, sebab
mereka masih dapat mengharap perlindungan dari orang-orang yang dibanggakannya. Demikianlah ketegangan
yang mencekik leher orang-orang di halaman itu menjadi semakin terurai. Kedatangan Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Arya Salaka benar-benar telah membebaskan mereka dari kecemasan. Bukan karena mereka cemas
dan takut bahwa mereka akan terbunuh, namun mereka cemas dan takut bahwa mereka tidak dapat mempertahankan
pusat pemerintahan Banyubiru, dan karena itulah kini mereka yakin bahwa Banyubiru akan dapat diselamatkan.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih berdiri tegak tak bergerak. Hanya pandangan mata mereka sajalah yang
beredar dari satu titik ke titik yang lain. Ketika kemudian mata Mahesa Jenar bertemu pandang dengan Rara Wilis
berdesirlah hatinya.
Rara Wilis kemudian menundukkan wajahnya, namun hatinya melonjak. Pada wajah gadis itu, Mahesa Jenar dapat
melihat ketegangan yang selama itu mencekam hatinya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 51 dari 142

Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara bergumam perlahan-lahan, "Widuri, apakah yang terjadi? Bukankah kalian
selamat?".(Bersambung)-b
Serial Bersambung 04 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 640
WIDURI tidak senakal dan semanja biasanya. Kini benar-benar ia berusaha menempatkan diri. Karena itu ia
menjawab perlahan-lahan, Tiga hantu bertemu di sini, Ayah. Ditambah seorang lagi, yang datang bersama salah
seorang dari hantu-hantu itu.
Kebo Kanigara menarik nafas. Ia menjadi ragu, apakah yang harus dilakukan. Tetapi disamping itu, ia pun bersyukur
kepada Yang Maha Agung bahwa anak serta sahabat-sahabatnya telah diselamatkan. Berbeda dengan Mahesa Jenar.
Ia telah memiliki beberapa pengetahuan yang lebih banyak daripada Kebo Kanigara. Ia telah mengenal lebih dalam
mengenai Pasingsingan.
Karena itu cepat otaknya bekerja dan menemukan pemecahan dari teka-teki yang dihadapinya. Teringatlah ia kepada
ketiga murid Pasingsingan yang bernama Radite, Anggara dan Umbaran.
Teringatlah ia kepada dua orang petani yang bernama Paniling dan Darba di Pudak Pungkuran. Karena itu Mahesa
Jenar segera mengetahui bahwa kedua orang berjubah abu-abu di antara mereka adalah Radite dan Anggara, sedang
yang lain adalah Umbaran.
Mahesa Jenar juga memastikan bahwa yang bertempur melawan Sura Sarunggi itu adalah salah seorang dari kedua
petani dari Pundak Pungkur itu, sedang yang bertempur di antara dua orang yang berpakaian mirip itu adalah
Umbaran melawan salah seorang saudara seperguruannya. Tetapi yang manakah di antara keduanya yang bernama
Radite dan yang manakah yang Umbaran? Karena itulah kemudian Maheswa Jenar berbisik kepada Kebo Kanigara,
Kakang, ingatkah Kakang kepada dua orang petani di Pudak Pungkuran?
Ya, sahut Kebo Kanigara. Sebenarnya ingatannya pun mulai merayap kepada kedua orang petani itu. Karena itu,
pertanyaan Mahesa Jenar telah mendorongnya kepada suatu kepastian tentang tiga orang hantu berjubah abu-abu itu.
Tuhan Maha Besar, Mahesa Jenar meneruskan, Mereka datang kemari pada saat yang tepat. Karena salah
seorang dari mereka itu pulalah maka Arya Salaka dapat diselamatkan.
Ya, jawab Kebo Kanigara. Pada saat itu dua buah pisau belati panjang yang berwarna kuning terbang ke arah Arya
Salaka. Baik Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara melihat salah seorang dari mereka berjongkok. Orang itulah
yang telah menolong Arya dari usaha pembunuhan yang dilakukan oleh yang lain. Dan orang itulah pasti salah
seorang dari Radite atau Anggara. Tetapi ketika kemudian keduanya telah terlibat dalam suatu pertempuran yang
riuh, maka mereka tidak dapat mengenal lagi yang manakah di antara keduanya yang telah menolong Arya. Karena
itu mereka tidak dapat segera berbuat sesuatu, sebelum memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan sebaikbaiknya.
Namun Mahesa Jenar tidak mencemaskan keadaan. Ia yakin bahwa Radite dan Anggara akan dapat menyelesaikan
pekerjaan mereka. Di Rawa Pening dahulu, Sima Rodra dan Pasingsingan tak mampu melawan kedua orang itu
pula, sedangkan pada saat itu Radite dan Anggara harus menyembunyikan gerak-gerak khusus dari perguruan
Pasingsingan.
Apalagi kini mereka dapat bergerak dengan leluasa tanpa pengendalian diri. Mereka tidak perlu takut-takut bahwa
mereka akan dikenal, sebab agaknya kehadiran mereka pada saat itu dengan ciri-ciri kekhususan mereka, adalah
karena Radite dan Anggara telah menemukan suatu cara pemecahan.
Karena itulah akhirnya Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara malahan berkisar menepi. Arya pun telah turun dari
kudanya. Kini jantungnya telah tidak berdentang-dentang lagi. Ia berdiri tidak jauh dari gurunya, sambil
memperhatikan setiap keadaan. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba ada tiga orang yang berjubah dan bertopeng.
Sedang sepasang di antaranya saling bertempur.
Pertempuran di halaman itu semakin sengit, Sura Sarunggi mengumpat di dalam hati. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara benar-benar mempengaruhi perasaannya. Ia telah melihat sendiri apa yang telah dialami oleh Sima Rodra
dan Nagapasa. Kedua orang itu pulalah yang telah membinasakan mereka. Sedang kini tiba-tiba ada setan,
gendruwo, thethekan yang mengganggu. Orang berjubah itu benar-benar mengacaukan rencana. Kalau tak ada
mereka, ia pasti akan berhasil menghindari pertempuran ketika didengarnya kentongan rog-rog asem. Tetapi
sekarang tak ada kesempatan untuk meninggalkan halaman itu.
Tetapi justru karena itulah maka Sura Sarunggi, seorang yang mempunyai nama yang besar di antara mereka, yang
tahu akibat-akibat dari perbuatannya, menjadi semakin marah. Senjatanya meledak-ledak seperti guruh di langit.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 52 dari 142

Menyambar, melingkar, mematuk mengerikan. Senjata itu dapat menyerang lawannya tidak saja dari muka atau dari
samping, tetapi ujungnya tiba-tiba dapat mematuk pula dari arah punggung lawannya.
Untunglah yang melawannya adalah Anggara yang memiliki kelincahan melampaui ujung cemeti itu. Setiap kali ia
meloncat-loncat menghindari dari ujung senjata lawannya itu, selincah sikatan menyambar belalang di rerumputan.
Bahkan ujung pisaunya pun mematuk-matuk mengerikan, seolah-olah telah berubah menjadi puluhan, bahkan
ratusan pisau yang bergerak bersama-sama.
Kemudian Sura Sarunggi itu tidak lagi memperhitungkan apa yang akan terjadi atas dirinya. Tetapi yang ada
dibenaknya adalah bertempur mati-matian untuk membinasakan orang yang telah berani merusak rencananya itu.
Sesudah itu, apakah ia harus mengalami nasib seperti Sima Rodra, apakah ia masih akan bernasib baik, tidaklah
menjadi soal baginya. Demikianlah pertempuran antara Sura Sarunggi dengan Anggara segera mencapai saat-saat
yang menentukan. (Bersambung)-c
Serial Bersambung 05 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 641
KETIKA Anggara melihat lawannya berjuang pada tataran terakhir, ia pun segera memusatkan segela
kemampuannya. Sehingga lambat laun, tampaklah bahwa petani miskin dari Pudak Pungkuran itu dapat mendesak
lawannya. Sambil menggeram marah, Sura Sarunggi berusaha untuk melepaskan segala kesaktiannya. Namun
ternyata Anggara memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Sehingga akhirnya Sura Sarunggi tak dapat berbuat lain
daripada melepaskan ilmu terakhir, yang dinamainya Uler Kilan.
Ilmu yang luar biasa dahsyatnya. Meskipun pada dasarnya ilmu ini adalah ilmu gerak, namun Uler Kilan memiliki
daya keampuhan yang nggegirisi. Sentuhan-sentuhan ilmu ini dapat menyebabkan lawannya menjadi nyeri dan
panas, seperti tersentuh oleh ulat yang paling berbahaya berlipat seperti tersentuh oleh bisa ulat yang paling
berbahaya berlipat seribu.
Dengan berteriak nyaring, Sura Sarunggi melenting tinggi. Kemudian menyambar lawannya dengan tangannya yang
mengembang. Sedang tangannya yang lain masih juga mempermainkan cambuknya yang meledak-ledak
mengerikan. Anggara yang melihat perubahan gerak lawannya, segara mengetahui, bahwa orang yang berkepala
besar itu telah melepaskan ilmu terakhirnya.
Karena itu, iapun melontar mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak. Sebab, sudah pasti, untuk melawan
ilmu sakti itu, ia pun harus mempergunakan rangkapan pula. Sura Sarunggi kemudian bertempur benar-benar seperti
Ular Kilan. Jauh berbeda dengan gerak-gerak sebelumnya. Ia melenting-lenting dari satu tempat ke tempat lain
dengan loncatan-loncatan panjang. Kemudian kembali ia menyerang dengan telapak tangannya.
Disusul dengan ledakan cambuknya memecah desir angin malam. Akhirnya Anggara pun tak mempunyai pilihan
lain. Dalam sesaat ia telah berhasil membangun diri dalam kekuatan rangkapannya. Ilmu yang disusunnya bersamasama dengan kakak seperguruannya, Radite, berdasarkan ilmu yang diterimanya dari gurunya. Ilmu yang tak kalah
ampuhnya, yang dinamai Naga Angkasa.
Tiba-tiba Anggara dalam pakaian Pasingsingan itu mengembangkan tangannya, seperti seekor burung garuda.
Jubahnya seolah-olah menjadi sayap-sayap yang selalu bergerak-gerak ditiup angin. Dalam kesiagapan tertinggi ia
menanti lawannya menyerangnya kembali. Demikianlah kedua orang itu bertempur dalam tingkatan terakhir. Sura
Sarunggi menjadi heran, kenapa Pasingsingan ini tak melepaskan aji Gelap Ngampar atau Alas Kobar, tetapi ia lebih
senang melawan ilmunya dengan ilmu gerak pula.
Namun Naga Angkasa pun membawa udara yang aneh, yang seolah-olah mempengaruhi kesadaran lawannya. Naga
Angkasa tidak sepanas Alas Kobar, namun pengaruhnya jauh melampauinya, sehingga dengan demikian, terasa
bahwa ilmunya sendiri, Uler Kilan menjadi susut daya kemampuannya.
Meskipun demikian, Sura Sarunggi bukan tokoh yang baru lahir kemarin sore. Berpuluh-puluh tahun ia menekuni
ilmunya. Karena itu, didesaklah ilmu itu sampai tapis. Dengan demikian, maka perlawannyapun menjadi bertambah
sengit. Namun kembali kepada sumber kekuatan, yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Bagaimanapun
setan dan iblis berusaha membangun kerajaan dengan dalih apapun juga, namun akhirnya kekuasaan Tuhanlah yang
akan menang. Dan akan mulailah kerajaan Sorga yang abadi.
Semakin lama, semakin jelas, bahwa Naga Angkasa yang dahsyat itu, benar-benar dapat mendesak ilmu yang
dinamainya Uler Kilan. Meskipun demikian, Uler Kilan yang kasar dan bengis itu benar-benar merupakan ilmu
terkutuk dan luar biasa. Apalagi kemungkinan Sura Sarunggi itupun mempergunakan ilmunya yang lain, yang
disebutnya Welut Putih, yang dapat meluluri kulitnya dengan keringatnya, sehingga ia menjadi selicin belut.
Kemudian Anggara terpaksa untuk kedua kalinya melepaskan ilmunya yang lain, ilmu yang benar-benar diterima
dari gurunya secara murni, Alas Kobar, setelah ia berusaha menjauhkan lawannya dari pendapa. Sebab ia sadar,
bahwa Alas Kobar akan memancar ke segala arah, sehingga dengan demikian ia memerlukan jarak untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 53 dari 142

membebaskan orang-orang lain dari pengaruhnya. Terasa kini oleh Sura Sarunggi, bahwa lawannya itupun benarbenar bernama Pasingsingan. Tetapi ia tetap tidak mengerti kenapa hal itu bisa terjadi. Meskipun demikian ia tidak
mau berpikir lebih banyak lagi. Ketika terasa udara panas menyerangnya, iapun segera membentengi diri, untuk
membebaskan panas yang melibatnya.
Namun dengan demikian, terasa bahwa ilmunya menjadi semakin susut. Kemampuannya tidak sedahsyat mulamula. Naga Angkasa yang dirangkapi Alas Kobar benar-benar menjadikannya cemas. Tetapi kini benar-benar ia tak
mempunyai kesempatan untuk melarikan diri. Karena itu, bagaimanapun juga, ia harus mengurai segenap
kemampuannya. Bahkan akhirnya ia menjadi seolah-olah putus asa, dan bertempurlah ia membabi buta. Dalam
keadaan yang demikian itulah, akhirnya Sura Sarunggi benar-benar kehilangan perhitungan.
Ketika Anggara menyerangnya dengan dahsyat, ia mencoba untuk mengelakkan diri dengan melenting tinggi. Uler
Kilan itu benar-benar telah membebaskannya, namun ketika ia berusaha untuk menyerang lawannya dengan
cambuknya di tangan kiri dan kekuatan-kekuatan ilmu gerak Naga Angkasa, ia berhasil menangkap ujung cambuk
Sura Sarunggi. Direnggutkannya cambuk itu kuat-kuat, namun Sura Sarunggi tak akan melepaskan senjatanya.
Memang hal itu telah diperhitungkan oleh Anggara. Dengan demikian, karena Anggara merasa bahwa Naga
Angkasa dapat melampaui, setidak-tidaknya menyamai kekuatan lawannya, ia mempunyai kemenangan waktu. Sura
Sarunggi tersentak selangkah maju, namun selangkah itu telah menentukan saat terakhirnya. Ketika ia meluncur
maju, pada saat yang bersamaan, Anggara meloncat maju. Pisau belati panjangnya bergerak dengan cepatnya
menyambar leher lawannya. (Bersambung)-c
Serial Bersambung 06 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 642
TETAPI Sura Sarunggi tak mau mati. Dengan gerak naluriah, ia terpaksa melepaskan cambuknya dan
membungkukkan diri. Kali ini ia terbebas dari sambaran pisau itu, tetapi untuk kedua kalinya Anggara menyerang
dengan tangannya mengenai tengkuk lawannya. Kekuatan Anggara benar-benar mengagumkan. Meskipun saat itu
Sura Sarunggi dalam lambaran ilmunya, namun dengan kekuatan Naga Angkasa, pukulan tangan Anggara benarbenar seperti sambaran petir yang menghantam dari langit.
Demikianlah maka pertempuran itu sampai pada akhirnya. Sura Sarunggi, seorang yang selama ini menjadi tempat
berlindung beberapa orang dari golongan hitam di Rawa Pening, dan yang telah melahirkan dua orang kakakberadik Uling Putih dan Uling Kuning ke dalam lingkungan golongan hitam, kini tak dapat menghindarkan diri dari
terkaman maut. Karena pukulan tengan Anggara yang berlambaran ilmu dahsyat itulah, maka terdengar gemeretak
tulang lehernya. Sekali ia menggeliat dan melenting tinggi, kemudian ia terjatuh beberapa langkah dari lawannya.
Meskipun demikian ia masih berusaha berdiri dan dengan mata yang merah menyala-nyala ia mengumpat dalam
bahasa kasar, Setan belang, iblis laknat. Terkutuklah kau oleh jin dan peri....
Kemudian Sura Sarunggi kehilangan segenap kekuatannya. Ia tak dapat mengumpat-umpat lagi, bahkan akhirnya ia
terhuyung-huyung dan kemudian jatuh diam. Maut telah merenggutnya dari kehidupannya yang penuh dengan nodanoda hitam. Suaranya yang kasar dan keras itu telah mempengaruhi suasana di halaman itu. Semua orang menoleh
kepadanya. Agak jauh di depan gelap mereka melihat orang berjubah itu berdiri tegak. Beberapa langkah di
hadapannya terkapar lawannya.
Mantingan dan Wirasaba melihat peristiwa itu seperti peristiwa-peristiwa rentetan-rentetan kejadian-kejadian yang
mengambang dalam hatinya. Ia menyaksikannya dengan perasaan yang kosong, setelah hatinya terampas oleh
ketegangan yang terus-menerus. Meskipun demikian, sesuatu memancar di dalam dada mereka. Ketika melihat Sura
Sarunggi jatuh tersungkur, menyalalah kelegaan di dada mereka. Sedang Rara Wilis dan Endang Widuri kini telah
benar-benar menjadi tenang. Mereka telah dapat menilai, keadaan dengan baik. Mereka telah dapat meyakinkan diri
mereka, bahwa Sura Sarunggi dan Pasingsingan yang datang bersama hantu Rawa Pening itu pasti akan dapat
dikalahkan.
Kehadiran Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menjadi kunci penyelesaian apabila kedua orang berjubah yang
lain tak mampu memenangkan pertempuran. Juga apabila kedua orang bertopeng yang tak mereka kenal itu,
akhirnya akan mengambil alih perbuatan-perbuatan kedua orang yang lain itu.
Apalagi kemudian mereka melihat bahwa salah seorang dari dua orang yang menggoncangkan hati mereka telah
dapat dikalahkan. Pasingsingan, guru Lawa Ijo itupun tak kalah terkejutnya mendengar sahabatnya mengumpatumpat. Dengan satu loncatan panjang, guru Lawa Ijo melontar ke samping untuk mendapat waktu melihat apa yang
terjadi atas Sura Sarunggi. Lawannya pun tidak melihat, bagaimana sahabatnya itu jatuh tersungkur di tanah, untuk
kemudian tidak bangun kembali.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 54 dari 142

Terdengarlah Umbaran menggeram. Suaranya bergulung-gulung di belakang topengnya yang kasar. Kemudian
terdengarlah ia berteriak putus asa, Ayo, majulah bersama-sama. Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan kawanmu itu.
Bersama-sama mati pulalah Mantingan, dan perempuan-perempuan yang tak tahu diri. Inilah Umbaran, tak akan
mundur setapak.
Suaranya menggelegar seperti suara guruh yang mengumandang di lembah yang berawa itu. Namun di balik suara
yang garang itu, terasa betapa kecemasan dan keputusasaan menguasainya. Anggara masih berdiri di tempatnya,
namun ia telah memutar tubuhnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih tegak seperti patung, dan Radite yang
langsung berhadapan dengan Umbaran itupun belum juga bergerak.
Bahkan kemudian terdengar Radite itu berkata, Umbaran, Anggara terpaksa membunuhnya.
Persetan dengan Sura Sarunggi, jawab Umbaran. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam.
Mereka kini tahu dengan tepat, bahwa yang bertempur dengan Umbaran adalah Radite.
Dan kini mereka telah dapat membedakan, yang manakah Radite dan yang manakah Umbaran. Meskipun demikian,
mereka tak akan mengganggu dua orang yang kakak-beradik seperguruan itu menyelesaikan masalah mereka.
Umbaran... kata Radite, Pergunakanlah saat-saat terakhir ini sebaik-baiknya. Pandanglah langit yang luas dan
menjadi lapang pulalah hatimu. Menyebutlah nama Tuhan, dan kemudian bertobatlah.
Kenapa aku harus bertobat? teriak Pasingsingan, Aku telah menempuh suatu perjuangan yang mengasyikkan,
yang telah membentuk diriku menjadi seorang yang bercita-cita."
"Kau, aku, Anggara, Anakmas Mahesa Jenar dan Anakmas Kebo Kanigara itupun memiliki dosa masing-masing.
Karena itu terhadap orang yang telah bertobat, tak seharusnya dilakukan sesuatu. Sebab kami sendiri pun bernoda.
Kami akan memaafkan kau. Demikian juga guru kita. Hanya orang-orang yang terlepas dari dosalah yang berhak
menghukum setiap orang yang telah bulat-bulat pasrah diri ke dalam lingkungan kebenaran. Dan orang yang
demikian itu tidak ada di dunia ini. Karena itu apabila kau benar-benar bertobat, pasrah diri dengan tulus dan jujur,
tak akan ada orang yang mendendammu.
Bah! jawab Umbaran, Akan kau pikat aku dengan mulutmu. Bertempurlah dengan sikap jantan. Jangan
membujuk dan menikam aku dari belakang.
Kejantanan seseorang tidaklah ditentukan dengan atau oleh senjata, sahut Radite, Tetapi ditentukan oleh caranya
menyelesaikan persoalan. Bagaimana ia menghargai cinta atas sesama, cinta yang dilimpahkan Tuhan kepadanya.
(Bersambung)-m
Serial Bersambung 07 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 643
MARILAH kita selesaikan persoalan ini dengan cara yang sudah kita mulai, kata Umbaran dengan lantang. Aku
telah bertekad untuk membunuh dan mengikat kalian di belakang kaki-kaki kuda. Kalau kau akan berbuat demikian
atasku, ayolah, majulah bersama-sama.
Kalau kami berbuat demikian atasmu, Umbaran... kata Radite, Maka dosa kami akan berlipat ganda. Sebab kami
tahu bahwa perbuatan itu adalah perbuatan dosa dan bertentangan dengan perikemanusiaan. Dan dengan demikian,
tak akan ada bedanya, siapakah yang dapat menikmati cinta abadi, dan manakah yang masih hidup dalam
kegelapan.
Tiba-tiba Pasingsingan yang juga bernama Umbaran itu tertawa dan tertawa. Suaranya menggelegar
mengumandang. Namun ia tidak melepaskan aji Gelap Ngampar, sebab ia tahu, bahwa tidak akan ada gunanya.
Tetapi ia tertawa karena berbagai perasaan bergulat di dalam dadanya. Marah, kecewa, cemas dan putus asa.
Pada saat yang demikian, seakan-akan berdatangan kenangan masa lampaunya. Sejak masa kanak-kanaknya yang
kelam. Ayahnya bukanlah seorang yang dapat dibanggakan. Ia adalah seorang penjudi besar, yang hampir setiap
malam tak pernah menjenguk rumahnya. Seorang yang sanggup membunuh kawan bermainnya hanya karena uang
seduwit, apalagi dalam persoalan-persoalan yang lebih besar. Sebagai lazimnya penjudi, ayahnya adalah seorang
yang mabuk pada nafsu-nafsu keduniawian yang lain, makan, minum tuak dan perempuan. Meskipun ayahnya tidak
termasuk dalam lingkungan penjahat, namun apa yang dilakukan tidaklah kalah kejam dan bengis daripada para
penjahat.
Ibunya mula-mula hanya menahan hati. Dengan sedih ia berusaha hidup dan menghidupi anaknya, Umbaran. Tetapi
lambat laun, perempuan itupun hanyut dalam arus kemiskinan jiwa. Ketika seorang laki-laki datang dan menyatakan
belas kasihannya ketidakpuasannya selama ini kepada suaminya dan kesulitan yang disandangnya. Laki-laki datang
dengan berbagai kesenangan. Uang, perhiasan dan nafsu. Maka berulang kalilah hal yang demikian itu terjadi. Lakilaki itu datang untuk kedua, ketiga, keempat dan ketigapuluh kalinya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 55 dari 142

Sejak itu Umbaran menjadi liar. Tak ada perhatian atasnya sebagai anak-anak yang memerlukan cinta kasih orang
tuanya. Ayahnya sibuk dengan dadu dan warna-warna di meja judi, sedang ibunya sibuk melayani laki-laki yang
datang mengisi kekosongan hatinya.
Umbaran yang kecil, melihat kehidupan dari segi yang kelam. Mula-mula ia merasa sedih. Kemudian ia membenci
laki-laki yang datang hampir setiap hari apabila ayahnya pergi. Ia benci kepada ayahnya yang hampir menguras
habis segala kekayaan dan harta benda yang pernah dimiliki. Ia benci kepada segala-galanya. Akhirnya ia menerima
keadaan itu sebagai hal yang sewajarnya. Sebagai hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang. Ia menganggap
bahwa saat yang pendek dalam dunia ini harus diteguknya senikmat-nikmatnya. Tanpa menghiraukan masa-masa
mendatang, tanpa menghiraukan jaman yang abadi yang akan ditandai oleh pengadilan bagi segenap umat manusia.
Pada saat manusia harus menjawab tanpa dapat menyembunyikan peristiwa yang bagaimanapun kecil dan gelapnya.
Sebab pengadilan Tuhan mengenal setiap manusia. Tuhan akan melihat, meskipun hanya setetes darah yang pernah
ditumpahkan, selembar rambut yang pernah digugurkan, tanpa dapat dipungkiri.
Tetapi Umbaran tidak mengenal itu. Tak seorangpun yang pernah memperkenalkannya dengan kerajaan sorga. Tak
seorangpun yang pernah berceritera kepadanya tentang kehadiran nabi-nabi di dunia.
Umbaran tak pernah mendengar semuanya itu. Ketika akhirnya ia mendengar juga, hatinya telah menjadi sekeras
batu. Meskipun kadang-kadang hatinya terketuk juga, namun nafsunya yang melonjak-lonjak, yang dipupuknya
sejak kanak-kanaknya, telah mendesak cahaya-cahaya yang menyorot ke dalam hatinya. Sehingga kemudian ia telah
bertekad untuk menutup pintu serapat-rapatnya dari segenap pekabaran tentang kerajaan Allah yang Abadi.
Kalau terasa padanya, adanya kekuatan-kekuatan di luar kekuatan dirinya, di luar kekuatan manusia, maka ia
mencoba untuk mencarinya pada alam, pada batu-batu besar, pada pohon-pohon beringin tua, pada relung-relung
goa. Kepada kerajaan setan, ia mengabadikan dirinya untuk mendapat kekuatan-kekuatan ajaib. Namun kekuatankekuatan yang dilambari oleh kekuatan hitam, yang arahnyapun untuk membuat malapetaka dan bencana bagi umat
manusia. Karena itulah ketika hatinya menjadi gelap, maka gelaplah seluruh isi bumi. Tak ada sedikitpun cahaya
yang dapat memberinya arah.
Ketika ia harus berhadapan dengan Radite itupun, baginya seakan-akan dihadapkan ke tepi suatu jurang yang dalam
dan kelam. Tetapi ia sudah bertekad untuk melompat ke dalamnya. Ia tidak tahu apakah di dalamnya akan
dijumpainya istana gading yang indah, atau di sana akan dijumpainya kandang serigala lapar yang siap untuk
menyobek-nyobek kulit dagingnya. Namun ia tidak peduli itu. Ia sudah basah kuyup di tengah-tengah arus sungai
yang deras. Tak ada jalan kembali. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 08 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 644
TANPA berkata sepatah katapun, akhirnya Umbaran membangunkan segenap kekuatan yang ada padanya. Ketika
kemudian semua kenangan masa lampaunya telah menghindar dari benaknya, suara tertawanyapun menjadi surut,
dan akhirnya terdiam. Demikian mulutnya terkatup, dengan serta merta direnggutnya topeng yang selama ini
menutupi wajah aslinya. Dan tampaklah wajah tampan seorang yang telah melampaui setengah abad. Matanya yang
bulat besinar-sinar penuh nafsu, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis. Dengan geram topeng itu
dibantingnya, dan terdengarlah ia berkata, Radite, tak ada artinya lagi bagiku topeng dan jubah ini. Sekarang
Umbaran berhadapan dengan Radite dalam penentuan saat terakhir.
Terdengarlah Radite menarik nafas. Ia mengeluh dalam hati melihat kekerasan hati Umbaran.
Namun perlahan-lahan tangannya bergerak membuka topengnya pula. Jawabnya, Marilah kita tidak berpura-pura
lagi, tidak menjadikan diri kita orang-orang aneh yang hanya mengalutkan orang lain yang melihat kita. Marilah kita
kembali kepada diri kita, manusia yang kercil, dan tak berarti. Marilah kita yang kecil ini mempersiapkan diri kita
untuk mengharap Yang Maha Agung. Umbaran, berjanjilah. Persoalanmu akan selesai, dan akibatnya persoalanpersoalan lainpun akan selesai pula. Pengikut-pengikutmu pun akan sadar dari kekeliruannya, bahwa apa yang akan
dicapainya selama ini tak akan bermanfaat bagi bebrayan manusia.
Umbaran menggeram. Sekali lagi suara tertawanya terlontar mengerikan, katanya, Jangan mengigau lagi, Radite.
Bersiaplah.
Sebelum Radite menjawab, Umbaran telah menyerangnya kembali. Dengan gerak yang dahsyat penuh nafsu
kemarahan ia mengamuk sejadi-jadinya. Bahkan mirip dengan orang yang kehilangan akal. Meskipun demikian,
gerak-gerak yang dilontarkan menjadi semakin berbahaya. Dalam keputusasaan, ia hanya mampu berpikir, Marilah
kita mati bersama-sama.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 56 dari 142

Radite kemudian telah kehilangan kesempatan untuk mengajak saudara seperguruannya itu menemukan jalan
kembali. Kesalahan yang telah dilakukannya beberapa puluh tahun lampau seharusnya tak terulang lagi. Pada saat
seakan-akan ia membuka pintu seluas-luasnya kepada Umbaran untuk melakukan kejahatan. Pada saat ia
menyerahkan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan karena nafsunya yang tak terkendalikan. Meskipun pada saat itu, ia
sama sekali tidak menduga, bahwa saudara seperguruannya itu tidak meneruskan naluri gurunya yang bijaksana dan
penuh pengabdian kepada manusia, yang di dasarnya dengan sinar cinta yang abadi.
Demikianlah pertempuran itu kembali berlangsung dengan sengitnya. Umbaran yang putus asa bertempur seperti
gelombang laut yang ganas, bergulung-gulung menghantam apapun yang ada di hadapannya, sedang Radite
melayaninya seperti seekor burung rajawali, yang setiap saat mampu melontarkan diri ke udara, menghindari
ancaman gelombang yang bagaimanapun dahsyatnya, untuk kemudian menukik dengan kuku-kukunya yang tajam
dan paruhnya yang runcing, menghantam lawannya. Tak seorangpun yang berani mencampuri pertempuran itu.
Apalagi Mantingan, Wirasaba, atau Wilis.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak beranjak dari tempatnya. Sedang Widuri masih berpegangan ujung baju
ayahnya, seperti anak-anak yang takut hilang di tengah-tengah pasar yang ribut. Arya Salaka masih juga berdiri
seperti patung. Namun hatinya berdebar menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara menyaksikan pertempuran itu dengan tegang pula. Mereka sadar bahwa yang dihadapinya adalah
persoalan yang sama sekali berbeda dengan persoalan yang sedang berlangsung di Pamingit. Radite dan Umbaran
tidak bertempur karena tanah perdikan Banyubiru, tidak karena mereka berebut Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten, tidak karena mereka berdua ingin memiliki kesempatan untuk menuju ke singgasana Demak. Kalau Umbaran
bertempur dengan nafsu yang meluap-luap untuk mempertahankan cita-citanya tanpa mengenal surut, maka Radite
bertempur dengan harapan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, menghentikan kejahatan
yang akan selalu dilakukan oleh Umbaran.
Radite sendiri sama sekali tidak ada nafsu untuk memiliki pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten, tak ada
nafsu untuk menjadi tetua para sakti dan tak ada nafsu untuk menempuh jalan ke singgasana Demak. Sebab ia tahu
bahwa itu bukanlah haknya. Setiap orang yang mencoba untuk merebut hak itu tanpa wahyu keraton padanya, tanpa
wahyu yang dilimpahkan oleh Yang Maha Esa, maka mereka pasti akan mengalami kegagalan, bahkan kehancuran,
apabila mereka tidak segera menyadari kesalahannya.
Demikianlah pertempuran yang sengit itu berlangsung tanpa gangguan. Seakan-akan mereka mendapat kesempatan
seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalah mereka. Dalam gelap malam yang semakin pekat itu, bayangan
mereka melontar-lontar melingkar-lingkar dengan cepatnya. Kini mereka telah tak bersenjata lagi. Mereka hanya
percaya kepada kekuatan mereka, kepada kesaktian mereka. Meskipun demikian mereka sama sekali tak
mempergunakan aji mereka, baik Gelap Ngampar maupun Alas Kobar, sebab mereka sadar bahwa ilmu-ilmu itu
hanya akan berbenturan tanpa arti.
Mereka kini lebih mementingkan kepada kesempatan-kesempatan yang akan ditemuinya apabila lawannya berbuat
kesalahan yang meskipun sekejap.
Mendung di langit menjadi semakin tebal dan tebal. Angin dari lembah kini sudah tidak bertiup lagi. Sambaransambaran tatit di langit yang kadang-kadang menyobek gelap malam menjadi semakin sering, dan guruhpun
menggelegar tak henti-hentinya. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 09 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 645
SESAAT kemudian, meledaklah petir di udara, yang kemudian disusul dengan hujan yang seperti dicurahkan dari
langit. Butiran-butiran air yang besar berjatuhan di tanah, di genteng-genteng, di cabang-cabang pepohonan, dan di
tubuh mereka yang dengan kaku berdiri di halaman Banyubiru. Hujan yang seperti tertuang dari langit yang yang
pecah itu sama sekali tak mereka hiraukan. Bunyinya yang kemersak seperti banjir bandang tak mereka dengar,
sebab perhatian mereka sedang terpaku pada pertempuran antara hidup dan mati dari dua orang yang bersaudara
seperguruan.
Hanya Anggara lah yang kemudian bergerak dari tempatnya, tetapi tidak mencari tempat untuk berteduh. Perlahanlahan ia melangkah mendekati titik pertempuran, dimana kedua saudara seperguruannya sedang mengadu kesaktian,
yang bersumber dari mata air yang sama. Namun dalam arus yang berikutnya, sungai yang satu tetap mengalirkan
air yang bening, meskipun ada juga kotoran-kotoran yang hanyut di dalamnya. Sedang sungai yang lain benar-benar
telah mengalirkan air yang keruh.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 57 dari 142

Anggara pun kemudian telah melepaskan topengnya. Ketika kedua saudaranya tak mengenakan topeng lagi. Ia sama
sekali tak merasa perlu mempergunakannya. Di sela-sela bunyi gemersik dedaunan yang digerakkan oleh air hujan,
kadang-kadang terdengarlah jerit yang memekakkan telinga, yang melontar dari mulut Umbaran dengan penuh
kemarahan. Dan bersamaan dengan itu gerakannya pun menjadi semakin liar dan ganas.
Namun Radite telah bertekad untuk melayaninya habis-habisan. Meskipun sekali-kali timbul juga penyesalan di
hatinya. Seandainya, ya seandainya dirinya pada saat itu tak terlibat dalam nafsu yang telah menjadikannya seolaholah lupa pada keadaan diri, maka apa yang diprihatinkannya atas Umbaran itu tidak akan terjadi. Tetapi semua
sudah terjadi. Yang harus dilakukan adalah menghentikan persoalan yang telah berlarut-larut dan yang menurut
Anggara telah hampir terlambat. Terngiang kembali kata adik seperguruannya, Kakang, agaknya Kakang telah
menunggu anak macan itu menjadi seekor macan yang ganas dan trengginas. Nah akhirnya pekerjaan Kakang akan
menjadi sangat berat.
Ternyata kata-kata itu benar. Pekerjaan Radite benar-benar berat. Umbaran telah menambah ilmunya dengan segala
macam ilmu yang didapatnya dari daerah-daerah kelam, dari pohon-pohon beringin tua, dan relung-relung goa dan
dari batu-batu besar dari bukit-bukit yang suram. Namun Radite pun telah matang pula dengan ilmunya. Selama ia
bersembunyi di antara para petani miskin di Pudak Pungkuran bersama Anggara, sempat juga mereka menempa diri
mendalami ajaran-ajaran gurunya lahir dan batin.
Meskipun mereka menganggap diri mereka telah hilang dari pergaulan para sakti, namun firasat mereka tetap
menuntut untuk menjagai kemungkinan-kemungkinan, bahwa pada suatu saat mereka masih harus menampakkan
diri. Karena itulah maka kali inipun Radite tidak dapat didesak oleh Umbaran. Bagaimanapun ganasnya Umbaran,
namun dengan tangguhnya Radite melawan hantu yang terkenal dari alas Mentaok itu. Bahkan akhirnya ternyata
bahwa Umbaran lambat laun harus merasakan betapa dahsyat ilmu yang dimiliki oleh Radite.
Tetapi Umbaran tidak lagi mendapat kesempatan untuk lari. Kalau tatit memancar di udara, jelas dilihatnya.
Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berdiri tegak di halaman itu. Mereka adalah orang-orang yang
mengerikan bagi Umbaran. Mereka adalah orang-orang yang telah terbukti dalam melampaui kesaktian
golongannya. Mahesa Jenar yang telah berhasil membunuh Sima Rodra itu terang tak dapat dikalahkan sejak di
Gedong Sanga, Kebo Kanigara telah berhasil membunuh Naga Laut yang menamakan diri Nagapasa, sedang
Anggara baru saja membinasakan sahabatnya Sura Sarunggi.
Kini ia sendiri harus bertempur melawan Radite. Dan ia merasakan betapa tangan lawannya menjadi sekeras baja
dan seberat timah. Setiap sentuhan serasa meremukkan tulang sungsumnya. Namun demikian, hati Umbaran telah
benar-benar dikuasai oleh iblis. Ia tidak mau melihat kenyataan. Ia tidak mau mendengarkan panggilan terakhir dari
saudara seperguruannya itu. Pada saat-saat terakhir, ternyata bahwa ia semakin terdesak.
Di dalam hujan yang semakin lebat, tampaklah ia setapak demi setapak terdesak mundur. Meskipun Umbaran
berusaha untuk menguasai keadaan, menyerang dengan dahsyatnya, sedahsyat hujan yang tercurah dari langit,
namun Radite tak ubahnya seperti batu karang yang tegak perkasa, tak goyah oleh arus air dan angin yang
bagaimanapun kencangnya. Meskipun hujan masih belum surut, namun berangsur-angsur gelap malam menjadi
berkurang.
Api di ujung kota telah lama padam. Dari kejauhan, di sela-sela desir hujan di dedaunan dan di atap-atap rumah
terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Lamat-lamat namun meyakinkan bahwa hari menjelang pagi. Sesaat
kemudian terdengarlah suara riuh di luar halaman. Agaknya laskar Banyubiru yang telah berhasil mengusir orangorang dari golongan hitam yang telah membakar rumah dan banjar-banjar desa, kini berdatangan di rumah kepala
daerahnya. Mendengar suara riuh itu, dan mendengar ayam jantan yang berkokok di kejauhan, Umbaran menjadi
bertambah gelisah. Seperti ia datang dari kerajaan setan, maka kedatangan fajar sangat menggelisahkan. Apalagi
suara riuh yang semakin lama semakin dekat. Karena itulah maka akhirnya ia menuntut saat terakhir dari
pertempuran itu. Seperti orang gila ia menyerang sejadi-jadinya. Kini ia tidak memperhitungkan kemungkinankemungkinan yang lain, kecuali nafsu kemarahan dan keputusasaan. Karena itulah maka Umbaran mencoba untuk
mempergunakan ajiannya Alas Kobar. Ia mengharap apabila ajinya tak dapat mempengaruhi lawannya atau Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara setidak-tidaknya ia akan dapat membunuh Mantingan, Wilis dan Widuri.
(Bersambung)-m
Serial Bersambung 10 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 646
UDARA panas kembali menyala di halaman itu. Umbaran sengaja mengisar diri mendekati tempat-tempat mereka
berdiri. Mantingan, Wirasaba, Wilis dan Arya Salaka. Mahesa Jenar terkejut merasakan udara yang panas itu.
Demikian juga Kebo Kanigara. Apalagi Mantingan, Wirasaba dan yang lain-lain. Udara yang panas itu serasa
membakar tubuh mereka di antara air hujan yang dingin.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 58 dari 142

Namun Anggara tidak membiarkan hal itu terjadi. Segera ia melipat tangan di dadanya, memusatkan kekuatan
batinnya untuk melawan aji Alas Kobar itu dengan kekuatan batin pula, seperti apa yang telah dilakukan. Bagi
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Alas Kobar itu segera mendapat perlawanan dari dalam tubuh mereka, kekuatankekuatan di luar kekuatan jasmaniah yang telah disalurkan oleh kekuatan aji Sasra Birawa yang mengendap di
dalam dada mereka, yang getaran demi getaran merayap sepanjang urat-urat mereka ke seluruh permukaan tubuh.
Namun mereka belum pernah mempelajari ilmu yang sedemikian, sehingga daya perlawanannya tidak saja mengalir
ke segenap tubuh mereka, namun dapat memancar mempengaruhi keadaan sekitarnya.
Dalam hal ini agaknya Anggara dan Radite memiliki kelebihan daripada mereka itu. Mereka dapat memancarkan
kekuatan ilmunya, mempengaruhi keadaan di sekitarnya seperti pancaran aji Alas Kobar itu sendiri. Radite yang
pada saat itu sedang bertempur, menjadi cemas. Ia tidak akan dapat memusatkan kekuatan batin dalam perlawanan
aji Alas Kobar dengan melipat tangan di dadanya. Ia menjadi cemas kalau aji Alas Kobar ini akan membakar orangorang yang berdiri di halaman itu.
Karena itu, dalam saat yang pendek ia harus dapat melawan aji Alas Kobar itu dengan cara lain. Ia harus
mempengaruhi sumber dari udara panas yang membakar halaman itu. Karena itu ia bertekad untuk melumpuhkan
Umbaran pada saat yang pendek.
Pada saat itu pulalah maka terpencarlah ajinya Naga Angkasa. Ilmu gerak yang sukar dicari bandingnya. Dengan
kecepatan seperti petir yang meloncat di langit, Radite menyerang Umbaran sesaat setelah Umbaran berhasil
memancarkan ajinya Alas Kobar. Serangan yang demikian dahsyatnya, demikian cepat dalam taraf tertinggi dari
ilmunya Naga Angkasa. Yang terjadi kemudian adalah mengejutkan sekali. Umbaran kehilangan waktu hanya
sekejap. Namun yang sekejap itu telah menentukan segala-galanya. Sebuah sambaran yang dahsyat telah
menghantam dadanya. Sambaran aji Naga Angkasa.
Umbaran yang memiliki kesaktian di atas manusia biasa itu terdorong beberapa langkah surut. Kemudian ia
terguling jatuh sambil berteriak ngeri. Namun sesaat kemudian ia berhasil tegak kembali. Tetapi tiba-tiba ia menjadi
terhuyung-huyung. Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya kekuatan jasmaniahnya tak mengijinkannya lagi. Sehingga
kemudian Umbaran itu roboh kembali di atas tanah yang basah oleh air hujan yang melimpah dari langit.
Namun Umbaran tidak mau mengerti akan keadaannya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk berdiri. Tetapi
karena kemampuannya terbatas, maka ia hanya dapat berguling-guling dan meronta-ronta di atas tanah yang becek
penuh lumpur.
Tergetarlah setiap hati yang melihat peristiwa itu. Melihat Umbaran yang sama sekali tidak ikhlas menerima
kenyataan pada dirinya. Radite yang berdiri beberapa langkah darinya, berdiri tegak dengan nafas yang tegang.
Tiba-tiba ia meloncat maju, namun segala permusuhannya telah lenyap seperti dihanyutkan oleh air hujan yang
seperti dituang dari langit. Dengan hati-hati Radite berusaha untuk menangkap Umbaran, dan kemudian dengan
hati-hati pula ditenangkannya orang yang telah dibakar oleh nafsunya itu.
Katanya, Umbaran, tenanglah.
Umbaran menggeram. Ia masih berusaha melepaskan diri. Tetapi ia tidak mampu lagi. Nafasnya telah memburu dan
dadanya menggelombang tak menentu. Ia tidak lagi dapat berbuat sesuatu ketika Radite meletakkan kepala Umbaran
di atas tangannya. Hanya kakinya sajalah yang menyepak-nyepak dan kepalanya menyentak-nyentak.
Sekali lagi terdengar Radite berkata, Umbaran, tenanglah. Tak ada yang perlu kau gelisahkan.
Setan! terdengar Umbaran menggeram marah. Matanya memancar merah seperti mata harimau. Kau kira bahwa
kau dapat mengalahkan aku?
Tidak, Umbaran, jawab Radite, Aku tidak dapat mengalahkan kau.
Kalau begitu... kata Umbaran tersengkal-sengkal, Kalau begitu, kau harus berlutut di bawah kakiku dan minta
maaf kepadaku sebelum kau kubunuh mati, kuikat di belakang kaki kuda.
Baiklah, Umbaran, aku minta maaf kepadamu, sahut Radite. Tiba-tiba Umbaran menjadi agak tenang. Tetapi
kemarahannya masih memancar di matanya. Ketika ia menggerakkan tangannya, ternyata ia sudah terlalu lemah,
namun orang yang telah hanyut dalam nafsu kebiadaban itu tiba-tiba meludahi muka Radite.
Radite terkejut. Itu adalah suatu penghinaan bagi laki-laki. Namun ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Sambil
kemudian mengusap mukanya dengan lengan bajunya.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Anggara pun kemudian melangkah mendekati Radite yang berjongkok di
samping Umbaran yang gelisah menghadapi saat-saat yang mengerikan. Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
pun berjongkok pula. Beberapa langkah darinya tampak Rara Wilis menunduk, sedang Endang Widuri memalingkan
wajahnya. Mereka tidak sampai hati untuk menyaksikan peristiwa yang mengerikan itu. (Bersambung)-m

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 59 dari 142

Serial Bersambung 11 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 647
KEMUDIAN terdengarlah suara parau Umbaran yang terputus-putus, Kalian mau mengeroyok aku?
Tidak, tidak... Umbaran, jawab Anggara. Ayo majulah bersama-sama Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan
kawanmu itu. Mantingan dan perempuan-perempuan itu semua bersama-sama. Meskipun kulit kalian berlapis baja
dan nyawa kalian berangkap lima, namun Umbaran tak akan mundur selangkah.
Tidak, Umbaran... sahut Radite, Aku dan Anggara adalah saudaramu seperguruan.
Hem... Umbaran mengeram. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidung serta
mulutnya.
Arya Salaka berdiri tegak seperti tugu. Apa yang disaksikan benar-benar mengaggumkannya. Suatu pameran
keluruhan budi yang tak ada taranya. Radite dan Anggara tampaknya sama sekali tak mendendam Umbaran,
meskipun selama ini Umbaran telah menyulitkannya. Karena Umbaran lah maka Radite menjadi seorang yang
merasa rendah diri dan tak berarti, yang lebih baik bersembunyi di antara para petani, daripada bergaul dengan
orang-orang sebayanya, para sakti yang sedang mengemban tugas-tugas kemanusiaan.
Hujan yang lebat masih saja seperti tercurah dari langit. Dedaunan bergoyang-goyang karenanya, dengan disertai
oleh suara yang gemersik semakin keras. Di regol halaman berdirilah laskar Banyubiru berjejal-jejal. Mereka
berdesakan memasuki halaman. Namun kemudian mereka tertegun diam ketika mereka melihat halaman Banyubiru
itu dicengkam oleh suasana ngeri yang mendirikan bulu roma.
Mereka masih sempat melihat dua orang berjubah abu-abu bertempur, kemudian salah seorang darinya terbanting
jatuh dan meronta-ronta di tanah. Ketika beberapa orang laskar yang berdiri di bagian belakang mendesak maju,
pemimpin laskar itu berteriak, Berdiri di tempatmu! Arya Salaka dan orang-orang yang berada di halaman itu
hanya menoleh sebentar kepada laskar yang berjejalan itu. Sesaat kemudian kembali perhatiannya beralih kepada
Umbaran.
Paman... bisik Kebo Kanigara kepada Radite, Bukankah lebih baik Umbaran ini dibawa naik ke pendapa?
Radite mengangguk-angguk, namun tiba-tiba terdengar Umbaran berteriak, Apa? Apa yang akan kalian lakuan.
Menipu aku lalu menusuk dari belakang?
Tidak, tidak Umbaran, sahut Radite cepat-cepat.
Marilah kita naik ke pendapa.
Jangan coba mengelabuhi mataku. Aku adalah calon pemimpin dari seluruh golongan hitam, dan akulah orang yang
pertama-tama harus memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kemudian akulah orangnya yang mampu
menguasai seluruh tanah perdikan Banyubiru dan Pamingit. Sebab aku memiliki sipat kandel dari kraton.
Umbaran itu tiba-tiba berteriak-teriak. Kini ia benar-benar telah mengigau. Tubuhnya semakin lama menjadi
semakin lemah namun nafasnya masih belum dapat diendapkan, meskipun agaknya ia telah berada di ambang pintu
maut.
Umbaran... bisik Radite, Berdoalah, supaya maksudmu tercapai.
Ha...? jawab Umbaran, Kelinci yang bodoh. Hanya orang yang tak percaya kepada diri sendiri sajalah yang
berdoa.
Tuhan menentukan segala-galanya, bisik Radite pula, Kalau kau menyebut nama-Nya Yang Agung, kau akan
mendapatkan apa yang kau kehendaki.
Umbaran tidak menjawab. Tubuhnya menjadi semakin lemah, dan nafasnya menjadi semakin berdesakan dan
terengah-engah. Beberapa kali ia berusaha untuk menelan ludah dan air hujan yang jatuh di mulutnya.
Umbaran masih terbujur di tangan Radite. Kadang-kadang ia masih meronta untuk mencoba merenggutkan diri dari
kekuasaan maut yang sudah merabanya.
Di mana Lawa Ijo...? Tiba-tiba Umbaran berteriak.
Lawa Ijo telah meninggalkan kau, jawab Radite.
Mati...? teriak Umbaran.
Sura Sarunggi...?
Orang itu mati pula, jawab Radite seterusnya.
Mati. Mati. Semua orang telah mati. Gila. Tetapi aku tidak akan mati. Aku akan merajai Nusantara. Umbaran
masih mengigau.
Berdoalah, bisik Radite.
Apakah kalau aku berdoa aku akan menjadi raja? tanya Umbaran yang semakin payah.

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 60 dari 142

Lebih dari itu. Kau akan mengenal kerajaan Surga, kerajaan Allah yang jauh lebih indah dan bahagia daripada
kerajaan yang kau impikan itu. Di kerajaan Sorga, kau tak mengenal dendam dan benci, tak mengenal keserakahan
dan ketamakan, jawab Radite.
Aku akan menjadi raja di sana? tanya Umbaran dalam desahan nafas yang semakin lambat.
Semua orang menjadi raja. Merajai diri sendiri, menguasai nafsu dan dosa. Pekerjaan yang paling sulit dilakukan di
dunia ini. Merajai diri sendiri, menguasai nafsu dan dosa. Jauh lebih sulit daripada merajai orang lain, meskipun
beribu-ribu bahkan berjuta-juta. Di kerajaan Sorga, kau akan dapat melakukannya, bisik Radite.
Sebutlah nama Tuhan, mohonlah ampunan supaya kau ikut di dalam daerah kerajaan-Nya, desak Radite.
Umbaran mencoba menarik nafas. Lambat-lambat ia berkata, Aku akan berdoa.
Sebutlah nama Tuhan, mohonlah ampun supaya kau ikut di dalam daerah kerajaan-Nya, desak Radite lagi.
(Bersambung)-c
Serial Bersambung 12 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 648
Umbaran menjadi semakin payah. Mulutnya tampak bergerak-gerak, namun tak terdengar suaranya. Kini ia menjadi
tenang. Ia tidak lagi berusaha melawan maut. Perlawanan yang tak akan berarti. Sebab maut adalah di luar
kemampuan manusia untuk mencegahnya apabila ia datang. Radite menjadi berdebar-debar, demikian juga orangorang lain yang menyaksikan. Mereka tidak tahu apa yang diucapkan oleh Umbaran itu, namun mereka mengharap
agar Umbaran dapat mengurangi dosa-dosanya.
Terdengarlah Radite berbisik, Mudah-mudahan ia berdoa.
Pada saat itulah nafas terakhir meluncur dari hidung Umbaran. Namun ia tidak meronta-ronta lagi. Kepalanya di
tangan Radite itu kemudian terkulai lemah. Kepala dan wajah tampannya yang selama ini selalu dilapisi dengan
topengnya yang kasar dan jelek. Umbaran telah tidak ada lagi, setelah lebih dari setengah abad ia tenggelam dalam
arus nafsunya yang melonjak-lonjak. Kebencian yang berakar di dalam relung-relung hatinya, telah memancar
dengan ungkapan yang mengerikan.
Radite menundukkan wajahnya. Ia merasa bahwa ia ikut serta membebani Umbaran dengan dosa-dosa. Ia merasa
bahwa ia telah ikut serta menodai nama Pasingsingan yang telah disemarakkan oleh gurunya dan sebagian dari jerih
payahnya. Tetapi ia tidak tahu, bahwa di dalam dada Umbaran tersimpan hati yang hitam, sehitam malam yang
paling gelap. Ia tidak tahu. Tak seorangpun yang tahu, bahkan gurunyapun tidak. Seandainya gurunya
mengetahuinya, pasti ia tidak akan menerimanya sebagai muridnya.
Sesaat suasana menjadi hening. Hanya titik-titik air hujan sajalah yang terdengar mengusik sepi. Cahaya fajar di
timur telah merayap semakin tinggi, dan gelap malam pun mulai disingkirkan.
Tak hanya Arya Salaka yang menjadi kagum, namun juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan
kepalanya. Mereka menyatakan hormat setinggi-tingginya di dalam hati. Radite tidak membiarkan musuhnya mati
dalam kegelapan. Tetapi ia telah berusaha untuk menunjukkan jalan kembali, ke daerah pelukan tangan Yang Maha
Pengasih.
Sesaat kemudian, diangkatlah mayat yang beku dingin itu ke pendapa. Kemudian diletakkan membujur ke utara di
atas tikar pandan di tengah-tengah pendapa itu. Pada saat itulah Mantingan, Wirasaba, Wanamerta dan yang lain-lain
seakan-akan terlepas dari suatu ikatan yang erat membelit tubuhnya.
Mereka kemudian bergegas-gegas melangkah naik ke pendapa dan duduk di belakang mereka yang telah
mengangkat mayat itu, yaitu Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Hanya Arya Salaka yang
melangkah ke regol halaman, menerima pemimpin laskarnya yang akan memberikan laporan kepadanya.
Terima kasih, jawab Arya Salaka setelah laporan itu selesai.
Beristirahatlah kalian. Tetapi jangan hilang kewaspadaan. Tempatkan penjagaan-penjagaan di setiap jalan masuk.
Rawat kawanmu baik-bak. Nanti aku akan datang ke perkemahanmu.
Laskar itupun kemudian meninggalkan halaman itu, kembali ke perkemahan mereka untuk beristirahat. Meskipun
demikian senjata-senjata mereka tidak terlepas dari genggaman, sebab setiap saat keadaan akan dapat berubah-ubah.
Ketika laskar Banyubiru itu telah hilang di balik dinding halaman, Arya Salaka pun kemudian menyusul naik ke
pendapa, dan duduk di belakang gurunya. Hujan pun semakin lama semakin tipis, sejalan dengan cahaya terang
yang memancar di ufuk timur. Banyubiru yang terletak di lereng Bukit Telamaya itu seakan-akan mulai
memancarkan cahaya yang cerah, secerah cahaya matahari pagi. Awan di langit perlahan-lahan hanyut dibawa angin
yang bertiup dari pegunungan. Dalam keheningan itu terdengar Arya berbisik kepada gurunya, Paman, apakah kita
tidak perlu melihat garis pertempuran di Pangrantunan?
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 61 dari 142

Mahesa Jenar berpikir sejenak, kemudian ia menjawab, Menurut pertimbanganku, keadaan kini tidak lagi terlalu
berbahaya, Arya. Kita tidak tergesa-gesa lagi, meskipun lebih baik kalau hari ini kita pergi. Tetapi menurut
perhitunganku, tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam itu telah sebagian besar lenyap, Sima Rodra, Nagapasa, Sura
Sarunggi dan Umbaran telah tak ada lagi.
Yang tinggal adalah Bugel Kaliki dan Jaka Soka. Arya Salaka mengangguk-angguk. Demikin juga Kebo Kanigara.
Namun dengan demikian mereka teringat akan kehadiran Jaka Soka di halaman ini malam tadi.
Sehingga terloncat dari mulut Endang Widuri, Paman, Jaka Soka tadi malam telah datang menjemput Bibi.
Agaknya gadis itu telah mulai dengan kenakalannya kembali setelah segala sesuatu menjadi lebih tenang dan tidak
menegangkan hati. Ah... desah Rara Wilis. Tetapi ia tidak melanjutkan lagi, sedang Mahesa Jenar pun hanya
tersenyum saja. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 13 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 649
RADITE dan Anggara masih dalam keadaan seperti semula. Mereka menekuni mayat Umbaran seperti menekuni
mayat saudara sendiri. Terkenanglah di dalam hati mereka, masa-masa lampau di perguruan Pasingsingan. Meskipun
mereka tidak pernah mengalami suatu masa bergurau bersama-sama, namun terasa bahwa mereka bersama-sama
telah meneguk air dari sumber yang sama. Namun demikian, terasa pula oleh mereka, bahwa tak seorang
manusiapun yang sempurna.
Pasingsingan sepuh adalah orang yang mumpuni putus segala macam ilmu lahir dan batin. Namun ia adalah manusia
biasa. Manusia yang kerdil daan kecil. Manusia yang kesinungan sifat khilaf dan alpa. Manusia yang
pengetahuannya sangat terbatas. Karena itu maka Pasingsingan berbuat salah. Ia telah menerima Umbaran itu
berkhianat. Menodai nama baik perguruannya. Mau tidak mau, noda itu akan terpercik kepada saudara-saudara
seperguruannya, Radite dan Anggara. Bahkan noda itu akan terpercik ke gurunya pula.
Tetapi tangan Radite telah bergerak dalam usahanya menghentikan pengkhianatan itu. Umbaran telah dibunuhnya
dengan ilmu yang pada dasarnya diterima dari gurunya, seperti ilmu Umbaran itu sendiri.
Sebab belumlah pasti bahwa orang lain akan mampu membunuhnya. Melihat mereka, Radite dan Anggara masih
tenggelam dalam kemuraman. Widuri menyela. Iapun kemudian berdiam diri sambil menundukkan wajahnya.
Sehingga untuk beberapa saat pendapa itu kembali menjadi sepi. Baru beberapa saat kemudian terdengar Mahesa
Jenar berkata, Arya, suruhlah beberapa orang merawat mayat Sura Sarunggi dan orang-orang yang lain. Kuburlah
di tempat yang seharusnya, supaya bersihlah tangan kita dari noda-nodanya.
Arya Salaka pun segera berdiri, menemui beberapa orang di gardu penjagaan yang nampaknya masih sangat payah
meskipun mereka tidak berbuat sesuatu. Beberapa kawan-kawan mereka yang terlukapun telah mereka rawat sebaikbaiknya. Kepada mereka, Arya memerintahkan untuk memanggil beberapa orang lain, untuk bersama-sama
menyelenggarakan penguburan mayat Sura Sarunggi dan kawan-kawannya. Kemudian ketika Arya kembali ke
pendapa, didengarnya Radite berkata, Anakmas Mahesa Jenar. Kalau Anakmas tidak keberatan, biarlah mayat
Umbaran ini aku bawa ke Pudak Pungkuran.
Mahesa Jenar mengangkat dahinya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia bertanya, Kenapa mesti di bawa ke Pudak
Pungkuran? Kami di sini pun akan bersedia melaksanakan penguburannya seperti yang Paman kehendaki.
Anakmas... sahut Radite, Umbaran adalah saudara seperguruanku. Akulah yang mempunyai kewajiban atas
segala-galanya. Meskipun ia terbunuh oleh tanganku, namun biarlah aku dapat menunjukkan kuburnya seandainya
pada suatu saat guru datang bertanya kepadaku, di mana Umbaran.
Sebab sesaat nanti, guru pasti sudah mendengar berita tentang kematian Pasingsingan. Dan guru pasti akan mencari
aku untuk menanyakannya. Sebab Pasingsingan itu terbunuh oleh Pasingsingan pula. Kalau demikian... jawab
Mahesa Jenar, Terserahlah kepada Paman.
Terimakasih Anakmas, jawab Radite, Mudah-mudahan dengan lenyapnya Umbaran, noda-noda yang melekat
pada perguruan Pasingsingan akan tidak bertambah lagi.
Paman... jawab Mahesa Jenar, Setiap orang akan mengetahui, bahwa bukan Pasingsingan Sepuh lah yang
bersalah, juga bukan Pasingsingan yang lain yang bersalah, tetapi Umbaran, manusia yang bernama Umbaran itulah
yang berdosa. Dan ia telah menerima hukumannya.
Kembali mereka berdiam diri. Sesaat kemudian kembali Mahesa Jenar minta agar Arya Salaka menyediakan
beberapa orang dan engkrak yang akan mengatar Radite dan Anggara kembali ke Pudak Pungkuran dengan
membawa mayat Umbaran.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 62 dari 142

Ketika matahari memanjat kaki langit sepenggalah, maka Radite dan Anggara itu segera minta diri, katanya,
Anakmas, barangkali masih ada pekerjaan lain yang harus Anakmas kerjakan. Pekerjaan yang lebih penting
daripada menemui aku di sini. Karena itu, aku minta diri, kembali ke Pudak Pungkuran dengan mayat Umbaran.
Radite dan Anggara tak dapat dicegah lagi. Karena itu segera merekapun berangkat beserta beberapa orang yang
menyertainya mengusung Umbaran.
Lain kali aku datang lagi, kata Radite, Dalam kesempatan yang lebih baik. Syukurlah kalau aku nanti
berkesempatan bertemu dengan eyangnya Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi orang tua itu pasti tak akan
mengenal aku, sebab yang dikenalnya adalah topeng kasar yang jelek itu.
Baiklah Eyang, sahut Arya Salaka, Aku akan sampaikan kepada Eyang Sora Dipayana bahwa seseorang yang tak
dikenal akan menemuinya.
Kemudian berjalanlah iring-iringan itu meninggalkan Banyubiru, berjalan menyusur jalan-jalan kota, ke arah timur.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Arya Salaka dan orang-orang lain mengantar mereka sampai beberapa langkah ke
luar alun-alun Banyubiru. Ketika iring-iringan itu telah hilang di kelokkan jalan, maka mereka kembali ke pendapa
duduk melingkar di atas tikar pandan. Mantingan menceriterakan apa yang dilihatnya, sejak awal sampai akhir.
Sejak ia melihat daun yang bergoyang-goyang, muncullah Wadas Gunung, Lawa Ijo dan Jaka Soka. Kemudian
Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Disusul dengan hadirnya dua orang yang menyerupai Pasingsingan pula. Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka mendengarkan ceritera itu dengan hati yang berdebar-debar. Akhirnya
mereka mengucap syukur bahwa Tuhan telah berkenan menyelamatkan orang-orang yang berada di pendapa itu.
(Bersambung)-c
Serial Bersambung 14 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 650
SEHARI itu mereka beristirahat di Banyubiru. Mereka tidak perlu mencemaskan nasib Pangrantunan. Di sana masih
ada Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan laskar yang masih cukup kuat. Nanti
apabila matahari telah condong dan panas sudah tidak terasa membakar tubuh mereka di perjalanan, mereka baru
akan berangkat ke Pangrantunan. Sehari itu, baik Arya Salaka, Rara Wilis maupun Endang Widuri seakan-akan
masih dibayangi oleh bahaya-bahaya yang selalu mengancam mereka. Sebaliknya Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar
pun merasa bahwa mereka tidak sampai hati untuk melepaskan mereka yang masih dibayangi oleh kecemasan itu
duduk sendiri dengan gelisah.
Widuri, seperti anak-anak yang takut ditinggal pergi oleh ayahnya, selalu mengikutinya ke mana ayahnya pergi.
Kebo Kanigara menjadi geli karenanya, meskipun ia dapat merasakan betapa pengaruh keadaan semalam telah
sedemikian dalam membekas di dalam dada anaknya itu. Karena itu sambil tertawa ia berkata, Widuri, kenapa kau
membayangi aku terus-menerus? Apakah aku menjanjikan sesuatu kepadamu?
Ah.... Widuri mengeluh. Ia sadar bahwa ia masih terpengaruh oleh kecemasan yang mencengkam seluruh jiwanya
semalam.
Apakah kau kira aku menyembunyikan kain sutera berwarna hijau seperti yang kau impi-impikan? tanya ayahnya
pula.
Ah.... Kembali Widuri berdesis. Tetapi sebagai anak yang manja justru ia berkata, Tentu. Tentu ayah
menyembunyikan kain sutera berwarna hijau. Bukankah ayah sanggup membelikan buat aku? Janji ayah telah lebih
setahun yang lalu.
Kebo Kanigara tertawa. Mereka hanya bergurau, sebab Widuri pun sadar bahwa ayahnya tidak akan mampu
membeli kain sutera berwarna hijau yang mahal. Namun di ruang itu, Arya Salaka mendengar kelakar itu. Tiba-tiba
saja merayap di dalam hatinya suatu janji, apabila nanti ia dapat menggarap sawah dan tegalannya di Banyubiru
seperti masa-masa lampau, maka hasilnya pasti cukup untuk membeli kain sutera berwarna hijau. Meskipun ia tidak
tahu, apakah Widuri akan menerimanya, seandainya ia nanti memberikannya.
Gila! hatinya membantah sendiri, Kenapa aku ribut-ribut tentang kain sutera berwarna hijau? Bukankah sekarang
kita sedang menghadapi saat-saat terakhir yang menentukan?
Apa salahnya...? Jauh di dalam hatinya terdengar suara lain. Arya menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir
perasaan yang berdebat di dalam hatinya. Kemudian untuk melenyapkan perasaan itu ia berkata kepada gurunya
yang duduk di hadapannya, Paman, siapakah sebenarnya dua orang yang berpakaian mirip dengan Pasingsingan
itu? Agaknya Paman telah mengenal mereka dengan baik.
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Ya, aku telah mengenal mereka, jawab Mahesa Jenar.
Mereka adalah saudara-saudara seperguruan Pasingsingan, guru Lawa Ijo, yang sebenarnya bernama Umbaran.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 63 dari 142

Seterusnya Mahesa Jenar menceriterakan beberapa hal mengenai Radite dan Anggara. Widuri yang mendengar
segera berlari-lari ikut serta mendengarkan ceritera itu. Disamping Mantingan, Wirasaba, Wanamerta dan Sendang
Parapat. Kanigara pun kemudian duduk bersama mereka.
Mereka adalah orang-orang yang luar biasa, yang selama ini tekun mendalami ilmunya. Namun mereka
menyembunyikan diri mereka di antara para petani miskin di Pudak Pungkuran, ketika mereka mereka merasa
bahwa mereka telah berbuat suatu kesalahan.
Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dalam hatinya ia sedang sibuk menjajagi kedua orang yang
bernama Radite dan Anggara itu dengan gurunya. Gurunya pun dahulu tak dapat dikalahkan oleh Pasingsingan di
Gedong Sanga, dan kemudian ternyata gurunya berhasil membunuh Sima Rodra.
Juga Kebo Kanigara berhasil membunuh Nagapasa. Dengan demikian Arya Salaka mendapat kesimpulan bahwa
setidak-tidaknya gurunya memiliki ilmu setingkat dengan Radite dan Anggara.
Memang sebenarnyalah demikian. Namun Arya belum mendengar bahwa Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar benarbenar pernah mencoba menjajagi ilmu kedua orang itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pernah bertempur
melawan Radite dan Anggara pada saat mereka mencoba untuk menemukan jawaban tentang Pasingsingan sepuh di
Pudak Pungkuran.
Pada saat itu ternyata bahwa mereka terpaksa memuji ketangguhan masing-masing.
Demikianlah mereka sehari-hari itu beristirahat di Banyubiru. Ketika matahari sudah semakin rendah, maka Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka pun mempersiapkan diri untuk kembali ke Pangrantunan. Namun mereka
kini sudah tidak gelisah lagi, sebab mereka sudah yakin bahwa golongan hitam akan dapat mereka hancurkan. Tetapi
kali ini Widuri tidak mau ditinggalkan oleh ayahnya. Bukan karena ia takut, tetapi anak itu benar-benar ingin
melihat apa yang terjadi di Pangrantunan.
Kali ini Kebo Kanigara tak dapat menolaknya. Widuri terpaksa ikut serta dalam rombongan itu. Karena kemudian
Rara Wilis tak mempunyai kawan lagi apabila ia tinggal di Banyubiru, iapun memutuskan untuk ikut serta di dalam
rombongan, apalagi ketika ia tahu bahwa Ki Ageng Pandan Alas berada di Pangrantunan. Dengan demikian ia akan
dapat melepaskan rindunya kepada satu-satunya keluarga yang masih ada. Hanya Mantingan, Wirasaba dan
Wanamerta beserta Sendang Parapat yang terpaksa tinggal di Banyubiru. Mereka mendapat pesan, apabila ada
kekalutan supaya langsung memberitahukan ke Pangrantunan atau Pamingit.
Mahesa Jenar menduga bahwa Jaka Soka tak akan datang kembali ke Banyubiru sebab ia sudah tak memiliki
kekuatan lagi. Gurunya sudah meninggal dan laskarnya pun tak akan mencukupi. Sedang Bugel Kaliki adalah
seorang yang berdiri sendiri. Seorang diri, tanpa laskar dan tanpa pengikut. Menurut perhitungan Mahesa Jenar,
orang itupun tak akan datang.. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 15 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 651
AGAKNYA orang bongkok dari lembah gunung Cerme itu telah kehilangan nafsunya untuk mencari Nagasasra dan
Sabuk Inten. Atau barangkali justru mempunyai perhitungan lain. Dibiarkannya kawan-kawannya atau lawanlawannya binasa. Kemudian ia akan dengan leluasa berbuat sendiri, menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten.
Sementara itu golongan hitam telah kehilangan pemimpin-pemimpin mereka. Kalau Bugel Kaliki itu datang
kemari... kata Mahesa Jenar kemudian, Jangan layani. Biarlah ia berbuat sesuatu. Ia hanya memerlukan Nagasasra
dan Sabuk Inten. Dahulu ia pun pernah mengaduk rumah ini, namun ia tidak menemukan apa-apa.
Mantingan mendengarkan pesan Mahesa Jenar dengan baik. Demikian juga Wirasaba, Wanamerta dan Sendang
Parapat. Namun dengan demikian terbayang juga di dalam hati mereka bahwa cahaya yang cerah telah mulai
memancar di atas tanah perdikan Banyubiru.
Awan yang kelam perlahan-lahan hanyut dibawa oleh angin yang berhembus tak henti-hentinya. Mantingan jadi
teringat pada ceritera-ceritera pewayangan yang sering dibawakannya apabila ia sedang duduk bersila di belakang
layar putih. Bahwa betapapun kejahatan itu berkuasa, namun akhirnya kebenaranlah yang akan menang. Sebab
kebenaran adalah pancaran dari kehendak Yang Maha Kuasa.
Ketika semua sudah siap, maka segera mereka naik ke punggung kuda. Wilis pun kini telah biasa naik kuda, sedang
Widuri karena kenakalannya, ia tidak kalah tangkasnya dengan setiap laki-laki. Ia berani berbuat hal-hal yang anehaneh di atas punggung kuda. Bahkan kadang-kadang sampai gerak-gerak yang berbahaya. Tetapi ia tertawa saja
apabila ayahnya memperingatkannya.
Demikianlah maka setelah sekali lagi mereka mohon diri kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Ki Wanamerta
beserta Mantingan, Wirasaba dan Sendang Parapat, bergeraklah kuda-kuda itu meninggalkan halaman.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 64 dari 142

Tetapi ketika Arya Salaka hampir sampai di muka regol, tiba-tiba ia menarik kekang kudannya, sehingga kuda
itupun berhenti.
Ada apa Arya? tanya gurunya, dan semua matapun memandang ke arahnya.
Pisau, jawab Arya sambil menunjuk ke pohon sawo yang tumbuh di samping regol. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara menarik nafas. Dua bilah pisau menancap di pohon itu. Kedua-duanya berwarna kuning kemilau.
Kyai Suluh, desis Mahesa Jenar, Ambillah Arya.
Arya segera meloncat turun dari kudanya. Dengan cekatan, ia memanjat pohon sawo itu beberapa depa. Kemudian
diambilnya kedua-duanya. Kedua pisau itu benar-benar mirip satu sama lain, sehingga Arya tak mampu
membedakannya.
Adakah Kyai Suluh itu lebih dari satu? tanya Arya.
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya.
Entahlah, jawabnya.
Cobalah Arya, pinta Kebo Kanigara.
Arya segera menyerahkan kedua pisau belati itu. Mantingan pun kemudian berdiri pula di samping Kebo Kanigara.
Sebagai seorang dalang banyaklah diketahuinya mengenai batu-batuan dan biji-biji besi. Ia senang mempelajarinya.
Juga perasaannya yang lembut, dengan mudahnya dapat menangkap setiap getaran yang memancar dari besi-besi
aji.
Kanigara pun agaknya memiliki pengetahuan yang serupa, sehingga akhirnya ia berkata, Inilah yang asli.
Mantingan mengangguk. Kakang benar. Aku juga menyangka demikian. Sedang yang lain adalah keturunannya,
meskipun keturunannya itupun memiliki kekuatan-kekuatan yang mirip dengan aslinya.
Kyai Suluh adalah pusaka yang mempunyai daya kekuatan yang luar biasa.
Kanigara meneruskan, Pengaruhnya atas ketabahan hati serta keberanian dapat diandalkan. Sayang, pengaruh itu
pada Umbaran mendapat arah yang salah. Aku kagum akan ketabahan hati serta keberanian Umbaran, namun aku
menyesalkan atas tujuan yang akan dicapainya.
Tak seorangpun yang menyahut. Semua membenarkan kata-kata itu, Umbaran telah menyalahgunakan kekuatan
yang tersimpan di dalam pusaka Pasingsingan itu.
Mahesa Jenar... kata Kebo Kanigara, Siapakah yang berhak menerima pisau-pisau ini?
Paman Radite dan Anggara, jawab Mahesa Jenar.
Mereka tak memerlukan lagi, sahut Kebo Kanigara, Ternyata mereka membiarkan kedua pusaka ini berada di
halaman Banyubiru. Bukankan maksudnya untuk menyerahkan pusaka-pusaka ini kepada penguasa Banyubiru?
Mudah-mudahan, jawab Mahesa Jenar. Setidak-tidaknya pusaka-pusaka itu dapat dipinjam. Apabila nanti
diperlukan, biarlah keduanya dikembalikan.
Baiklah, kata Kebo Kanigara, Agaknya Arya Salaka yang wajib menyimpannya.
Mahesa Jenar menatap wajah Arya Salaka yang berdiri dua langkah di muka Kebo Kanigara. Wajah yang merah
kehitam-hitaman dibakar oleh terik matahari di tengah-tengah perjalanan, di tengah-tengah sawah dan tegalan, di
hutan dan di lautan. Namun dari wajah yang kasar itu memancar ketulusan serta kejujuran dan penderitaan murni.
Anak yang hidup di tengah-tengah badai kesulitan dan penderitaan itu benar-benar memiliki kesederhanaan berpikir,
meskipun otaknya cukup cerdas. Mendengar perkataan Kebo Kanigara itu Mahesa Jenar ikut bergembira, segembira
Arya Salaka sendiri. Pusaka semacam itu adalah pusaka yang sulit dicari. Kini Arya akan menerimanya, meskipun
belum pasti bahwa pusaka itu akan dimiliki untuk seterusnya.
Arya... terdengar Kebo Kanigara meneruskan, Simpanlah pusaka ini. Mudah-mudahan akan bermanfaat bagimu.
Ketabahan serta keberanian akan memancar ke dalam hatimu. Namun apa yang telah terjadi dapatlah menjadi
peringatan bagimu. Umbaran telah berusaha untuk mempergunakan pusaka itu dalam perjalanannya yang sesat.
(Bersambung)-m
Serial Bersambung 16 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 652
DADA Arya menjadi berdebar-debar. Ia maju selangkah, dan dengan tangan yang gemetar diterimanya Kiai Suluh
dari tangan Kebo Kanigara, yang berkata pula, Kau telah memiliki salah satu dari kebesaran-kebesaran yang pernah
dimiliki oleh Pasingsingan.
Aku akan selalu mengingatnya, Paman, jawab Arya Salaka.
Apa yang telah terjadi dengan Umbaran. Tiba-tiba terdengar Widuri menyela, Ayah, aku juga punya cincin yang
bermata merah menyala.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 65 dari 142

Kelabang Sayuta... desis Mahesa Jenar.


Ya, jawab Widuri, Lawa Ijo menamakannya demikian. Dari manakah kau mendapat cincin itu? tanya
ayahnya.
Lawa Ijo, sahut Widuri. Kemudian ia pun menceriterakan tentang Lawa Ijo. Tentang anak perempuannya yang
mati dan tentang prangsangkanya yang salah terhadap istrinya.
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Agaknya Lawa Ijo
telah menjadi korban keadaan seperti Umbaran. Menjadi korban keadaan di sekitarnya. Keluarganya, ruang
pergaulan dan sahabat-sahabatnya. Bahkan mungkin, selain mereka masih ada lagi berpuluh-puluh, malahan
beratus-ratus orang yang menjadi korban seperti itu. Mungkin dalam pergaulan dengan sahabat-sahabatnya,
mungkin dalam keadaan yang tak serasi di dalam rumah tangga dan orang tuanya atau mungkin keadaan yang
sumbang di perguruannya. Sehingga untuk menjadi manusia yang baik diperlukan panilikan atas tiga daerah hidup
manusia sejak masa kanak-kanaknya, yaitu keluarga, lingkungan pergaulan dan tempat mereka menempa diri, yaitu
perguruan-perguruan.
Namun tiba-tiba di antara mereka terdengar suara Mantingan bergumam, Takdir telah menentukan atas kedua
pusaka itu.
Semua orang menoleh kepadanya. Di antara mereka ada yang bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi Mantingan tidak
meneruskan kata-katanya. Hanya Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Wanamerta lah yang menangkap maksud katakata itu. Kata-kata yang terlanjur melontar demikian saja dari mulut Mantingan, sehingga dengan demikian
Mantingan sendiri agak menyesal karenanya. Namun ketika dilihatnya Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum,
Mantingan ikut tersenyum pula. Malahan Kiai Wanamerta berkata perlahan-lahan, Kami orang-orang tua hanya
berdoa, semoga anak-anak muda mendapat jalan terang.
Yang lain tak dapat mengerti apa yang mereka maksudkan. Arya Salaka Widuri, bahkan Rara Wilis menyangka
bahwa Wanamerta sedang berdoa untuk kemenangan mereka melawan orang-orang dari golongan hitam. Namun
sebagai seorang ayah, Kebo Kanigara berpikir, Apakah kedua pusaka, yang masing-masing berada di tangan Arya
dan Endang Widuri itu akan menjadi perlambang dan menentukan jalan hidup mereka?
Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Mahesa Jenar tidak berkata apa-apa. Malahan kemudian kembali mereka teringat
kepada perjalanan yang akan mereka tempuh, sehingga dengan demikian kembali Mahesa Jenar mohon diri untuk
meneruskan perjalanan itu. Maka merekapun segera berkemas. Kyai Suluh kini berada di pinggang Arya Salaka,
sedang tangannya masih menggenggam tombak Banyubiru.
Sedang pusaka keturunan Kyai Suluh masih di bawa oleh Kebo Kanigara. Meskipun ia sendiri tidak
memerlukannya, namun belum ada orang yang akan diserahinya untuk menyimpan pusaka itu. Di sepanjang
perjalanan, Kebo Kanigara berusaha untuk dapat menasehati putrinya mengenai Kelabang Sayuta itu.
Seperti juga Kyai Suluh, Kelabang Sayuta adalah batu akik yang mempunyai pengaruh yang jelas kepada
pemiliknya. Akik itu akan dapat mempengaruhi keuletan dan keterampilan berpikir. Demikianlah rombongan itu
berjalan dengan kecepatan sedang. Paling depan tampak Arya Salaka di atas kuda hitam, kemudian Rara Wilis dan
Endang Widuri yang menjajarinya. Di belakang mereka, berkuda berdua Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Mereka
kini merasa bahwa sebagian dari pekerjaan mereka yang terberat sudah selesai.
Golongan hitam telah 8 dari 10 bagian hancur. Lebih dari itu, bagi Mahesa Jenar yang paling membesarkan hatinya,
adalah sikap Lembu Sora. Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukannya. Agaknya orang itu telah menemukan jalan untuk kembali. Kembali kepada Tuhan, dan kembali
kepada kesadaran diri atas segala ketamakan dan keserakahannya.
Matahari semakin lama menjadi semakin rendah, seakan-akan kini bola langit itu bertengger di atas pegunungan di
sebelah barat. Sinarnya yang kemerah-merahan memancar ke segenap arah, ke wajah langit dan ke wajah bumi.
Daun-daun yang hijau menjadi semburat merah. Namun cahaya merah itupun semakin lama semakin pudar.
Akhirnya tinggal menyangkut di ujung-ujung daun hijau di lereng-lereng bukit, untuk seterusnya tenggelam di balik
pegunungan. Di langit kini bermunculan bintang-bintang. Satu demi satu. Namun akhirnya jumlahnya tak terhitung
lagi. Bintang-bintang berpencaran dari ujung langit ke ujung yang lain. Awan yang kelabu sehelai-helai mengalir ke
utara.
Yang kemudian seakan-akan berkumpul menjadi satu. Awan-awan yang basah itu kemudian menjadi semakin tebal
dan menjadilah lapisan mendung di langit yang luas.
Rombongan kecil itu mempercepat perjalanan mereka. Mereka takut kehujanan. Semalam, hampir seperempat
malam mereka membiarkan diri mereka terbenam dalam hujan yang lebat. Kini mereka tidak ingin kedinginan lagi.
Lebih baik berbaring di samping perapian sambil merebus ketela pohon daripada harus menempuh perjalanan di
hujan yang dingin. (Bersambung)-m
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 66 dari 142

Serial Bersambung 17 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 653
BEBERAPA saat kemudian tampaklah di kejauhan api yang menyala. Agaknya itu adalah perapian dari anak-anak
Pamingit atau Banyubiru di Pangrantunan. Karena itu kuda mereka berlari semakin cepat. Perapian itu tampaknya
hanya satu dua saja. Tidak seperti kemarin. Berpuluh-puluh di sekitar desa Pangrantunan. Ketika kuda Arya
memasuki daerah itu, ia benar-benar terkejut. Yang dilihatnya hanyalah beberapa kelompok orang-orang yang
sedang menghangatkan diri. Ke manakah laskar Pamingit dan Banyubiru yang banyak itu? Arya menarik kekang
kudanya. Ia berhenti agak jauh dari desa. Wilis dan Widuri pun berhenti pula. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara mendahuluinya sampai ke tempat Arya Salaka berhenti.
Kenapa sesepi ini, Paman...? bisik Arya. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengamati keadaan dengan seksama.
Kata Mahesa Jenar, Apakah orang-orang itu orang-orang Pamingit atau Banyubiru...?
Entahlah, jawab Arya. Kembali mereka berdiam diri. Dengan tajamnya Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
mencoba untuk mengetahui apa yang sedang dihadapinya. Juga orang-orang yang kemudian berdiri di samping
perapian itu. Apakah mereka kawan apakah lawan. Sedang orang-orang yang berada di perapian itu pun bersiaga
ketika mereka mengetahui ada rombongan orang-orang berkuda datang ke dekat mereka.
Mahesa Jenar mendorong kudanya beberapa langkah maju. Dan orang-orang di tepi perapian itupun
menyongsongnya dengan tombak yang tunduk.
Siapakah kalian? tanya salah seorang dari mereka. Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia membiarkan orangorang itu menjadi semakin dekat. Siapakah kalian...? terdengar kembali pertanyaan salah seorang dari mereka.
Kini Mahesa Jenar tidak ragu-ragu lagi. Menilik bayangan pakaian yang melekat di tubuh mereka, pastilah mereka
bukan dari golongan hitam. Karena itu ia menyahut, Mahesa Jenar bersama Arya Salaka dan rombongan.
O.... sahut orang itu, dan tombak mereka menjadi semakin tunduk.
Laskar manakah kau? tanya Mahesa Jenar kemudian.
Pamingit, jawab orang itu, Kami mendapat tugas untuk menanti kedatangan Tuan.
Mahesa Jenar menjadi berlega hati. Dengan isyarat tangan ia memanggil Arya, Wilis dan Widuri. Segera mereka pun
mendekat.
Kenapa sepi? tanya Arya Salaka.
Silahkanlah Tuan singgah sebentar. Kami mendapat tugas untuk menanti Tuan-tuan dan membawa Tuan-tuan ke
induk pasukan, jawab orang itu.
Namun nampaknya orang itu sedemikian tenang sehingga Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendapat
kesan yang baik. Mahesa Jenar beserta rombongannya kemudian mengikuti orang yang mempersilahkan itu. Mereka
dibawa ke pondok yang semula dipergunakan untuk Ki Ageng Sora Dipayana selagi memegang pimpinan
pertempuran.
Ketika mereka memasuki halaman, muncullah seseorang di muka pintu pondok itu. Dengan bergegas dan hormat ia
berkata, Silahkan Tuan-tuan. Arya Salaka dan rombongan, telah mengenal orang itu, Wulungan.
Karena itu Arya Salaka menjadi semakin tenang dan tidak berprasangka. Maka segera mereka meloncat turun dari
kuda-kuda mereka dan langsung masuk ke dalam pondok itu, duduk di atas bale-bale yang besar, hampir memenuhi
ruangan.
Sehari penuh kami menunggu Tuan-tuan, kata Wulungan. Kami mengira bahwa Tuan akan datang pagi tadi.
Karena itu, ketika Tuan-tuan tidak segera datang, kami menjadi cemas. Ki Ageng Sora Dipayana berpesan, apabila
malam nanti Tuan-tuan tidak datang, kami harus menyusul bersama-sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana sendiri.
Atas pangestumu, kami selamat, Wulungan, sahut Mahesa Jenar, kemudian ia bertanya, Kami terkejut ketika
kami melihat daerah ini sedemikian sepi.
Semuanya sudah selesai, jawab Wulungan.
Selesai...? ulang Arya Salaka.
Ya. Pekerjaan kami sudah selesai. Orang-orang dari golongan hitam telah meninggalkan seluruh daerah Pamingit.
Mereka menghindarkan diri dari pertempuran kemarin. Ketika kami maju ke garis perang, pertahanan mereka telah
kosong. Seorang pengawas melihat, sekelompok demi sekelompok, mereka meninggalkan daerah ini, namun
pengawas itu belum yakin bahwa mereka seluruhnya telah pergi, jawab Wulungan.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka menarik nafas. Namun Widuri nampak mengernyitkan alisnya,
katanya, Jadi aku sudah terlambat?
Apa yang terlambat? tanya ayahnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 67 dari 142

Aku tidak dapat melihat pertempuran itu, sahut Widuri. Beruntunglah kau, kata ayahnya pula. Salah ayah.
Kenapa aku tidak boleh berangkat dahulu bersama-sama dengan laskar Banyubiru beberapa hari yang lalu, jawab
Widuri.
Beruntunglah kau, ulang ayahnya, Kau akan ngeri melihat pertempuran itu. Kau akan melihat darah mengalir,
melihat orang mengerang kesakitan karena terluka.
Beruntunglah aku, karena aku hampir mati ditelan Pasingsingan, Widuri meneruskan. Kebo Kanigara tersenyum,
Mahesa Jenar pun tersenyum.
Tetapi bukankah kau masih utuh? sambung ayahnya. Widuri tidak berkata-kata lagi. Yang lain pun untuk sesaat
berdiam diri sehingga ruangan itu menjadi sepi.
Nah, Tuan-tuan... Wulungan memecah kesepian, Beristirahatlah. Besok pagi-pagi Tuan-tuan kami antar ke
Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora dan tamu-tamu mereka menunggu Tuan-tuan.
(Bersambung)-m
Serial Bersambung 18 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 654
SIAPAKAH tamu-tamu itu? tanya Arya.
Bukan tamu baru. Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten - jawab Wulungan. Kemudian Wulungan meninggalkan
mereka untuk beristirahat. Awan yang basah di langit telah bersih disapu oleh angin. Tetapi udara terasa betapa
panasnya.
Arya Salaka, yang tidak begitu tahan akan udara yang panas itu, bangkit berdiri. Maksudnya hanya untuk
menyejukkan diri di luar pintu. Namun kemudian ia tertarik untuk berjalan-jalan di halaman. Di kejauhan, api masih
tampak menyala-nyala. Agaknya laskar Pamingit itu masih merasa perlu untuk menghangatkan tubuh. Memang di
udara yang terbuka, udara terasa lebih sejuk dan dingin daripada di dalam rumah. Selain itu, agaknya mereka sedang
merebus jagung.
Arya berjalan saja tanpa tujuan. Ketika ia sampai di jalur-jalur jalan desa, ia pun mengikutinya. Kedua senjatanya
ditinggalkan di pondoknya. Sebab ia mengira bahwa keadaan di Pangrantunan itu telah benar-benar aman. Dengan
demikian ia berjalan saja seenaknya tanpa kecurigaan apa-apa. Namun yang tak diketahuinya, beberapa pasang mata
sedang mengikutinya. Kemana ia berjalan, berpasang-pasang mata itupun lalu menyertainya. Mereka berlindung di
balik pepohonan dan bayang-bayang gerumbul-gerumbul kecil di kiri-kanan jalan desa itu. Menilik gerak-gerik
mereka, mereka bukanlah orang-orang yang dapat diabaikan. Ternyata telah sekian lama mereka mengikuti langkah
Arya Salaka. Arya masih belum menyadarinya.
Sehingga dengan demikian, orang-orang itupun semakin lama menjadi semakin berani. Mereka kini lebih merapat
lagi di belakang Arya Salaka yang sedang kehilangan kewaspadaan. Tetapi pancaindera Arya Salaka ternyata telah
benar-benar terlatih. Meskipun ia tidak berprasangka apa-apa, namun didengarnya gemersik daun-daun kering di
kiri-kanan jalan sempit itu. Dan gemersik itu selalu mengikutinya kemana ia pergi. Arya Salaka tidak segera
menoleh atau mengamat-amati suara itu. Ia masih akan meyakinkan tanpa diketahui orang lain, bahkan seandainya
ada orang yang mengikuti, orang itu pun tidak akan mengetahuinya bahwa Arya Salaka telah menyadari kehadiran
mereka.
Kalau Arya Salaka mempercepat langkahnya, gemersik itupun menjadi semakin cepat, dan apabila Arya
memperlambatnya dengan pura-pura memperhatikan sesuatu pada tubuhnya, gemersik itupun lambat pula. Akhirnya
Arya berhenti, perlahan-lahan ia memutuar tubuhnya yang berjalan kembali lewat jalan itu pula.
Suara gemersik itupun berhenti dan berputar pula mengikutinya. Namun Arya telah berbuat sesuatu dengan
perhitungan. Ia mengharap teka-teki itu segera dapat ditebaknya. Kalau orang itu akan menyerang atau
berkepentingan dengan dirinya, maka orang itu pasti akan segera melakukannya, sebelum ia menjadi semakin dekat
dengan pondoknya. Tetapi seandainya orang-orang itu hanya akan mengintainya, suara itu pasti akan lenyap dan
berhenti. Dengan demikian menjadi kewajibannya untuk mengejar dan menangkap mereka atau salah satu dari
mereka. Apa yang diharapkan Arya itupun terjadi. Agaknya orang yang mengikuti Arya Salaka itu tak membuang
waktu, dan tak mau menunggu sampai Arya menjadi semakin dekat dengan pondoknya, di mana telah menunggu
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi. Tiba-tiba Arya mendengar langkah yang menjadi semakin
jelas, dan tiba-tiba seseorang telah meloncat tepat di belakangnya. Arya adalah seorang yang cukup memiliki bekal
pengetahuan beladiri. Apalagi ia telah sengaja memancing orang itu keluar dari persembunyiannya. Karena itu,
segera ia memutar diri menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang. Tetapi ketika ia melihat orang yang
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 68 dari 142

berdiri di hadapannya, ia menjadi terkejut bukan buatan. Bagaimanapun beraninya, namun dada Arya Salaka
berdesir pula.
Di hadapannya kini berdiri seseorang berkerudung kain yang kehitam-hitaman dan bertopeng kulit kayu kasar.
Pasingsingan, desis Arya. Orang itu tertawa. Suaranya berat dan kasar. Katanya, Apakah hanya Pasingsingan
yang memiliki topeng di dunia ini?"
Arya menyadari kesalahannya. Pasingsingan memiliki tanda-tanda khusus. Jubah abu-abu dan topeng kayu yang
jelek dan kasar. Sedangkan orang yang berdiri di hadapannya itu berciri lain. Ia tidak mengenakan jubah, dan
topengnya dibuat dari klika kayu yang sangat sederhana.
Siapa kau? tanya Arya Salaka. Aku kleyang kabur kanginan. Berkandang langit, berselimut mega, jawabnya.
Jangan banyak berputar-putar. Kalau kau sengaja menyembunyikan dirimu, apa maksudmu? tanya Arya pula.
Bukankah kau Arya Salaka...? tanya orang bertopeng itu.
Ia pun menjawab dengan jujur, Ya, aku Arya Salaka. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 19 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 655
ORANG itu tertawa. Jadi kaulah yang mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru?
Karena kau sangka aku mengaku-aku..? sahut Arya Salaka. Aku tidak akan mengaku demikian seandainya
ayahku bukan kepala daerah perdikan Banyubiru.
Kembali orang itu tertawa. Suaranya sangat menyakitkan hati. Katanya Di mana ayahmu sekarang? Pertanyaan itu
benar-benar menyakitkan hati Arya Salaka. Karena itu ia menjawab, Jangan banyak bicara. Apa maksudmu?
Ikut aku, kata orang itu.
Lalu...? sela Arya.
Jangan bertanya, jawab orang itu.
Adalah hakku untuk mengerti apa yang akan aku kerjakan, kata Arya.
Hanya ada dua pilihan bagimu. Mau atau tidak? desak orang itu pula.
Tidak, jawab Arya tegas.
Kalau begitu aku harus memaksamu. Dengan kekerasan. Kalau perlu akan aku bawa meskipun kau telah menjadi
mayat, kata orang itu. Arya masih sibuk berpikir. Siapakah orang ini. Apakah ia dari golongan hitam atau dari
golongan lain yang tak menyukainya. Apakah hal ini ada hubungannya dengan kedudukannya sebagai satu-satunya
orang yang berhak atas tanah perdikan Banyubiru? Tetapi Arya tak berkesempatan untuk berpikir lebih lama. Sebab
orang itu membentaknya, Bersiaplah!
Arya tak sempat menjawab. Ia melihat orang itu meluncur dengan cepat menyerangnya. Namun Arya Salaka pun
telah bersiap pula. Karena itu dengan tangkasnya ia mengelak, dan bahkan dengan lincahnya ia pun membalas
menyerang lawannya.
Demikianlah maka segera terjadi perkelahian di antara mereka. Arya Salaka mula-mula masih meragukan lawannya.
Namun ketika lawannya itu bertempur dengan kerasnya, maka ia pun tak mempunyai pilihan lain daripada
melayaninya dengan sekuat tenaganya.
Orang bertopeng itu bertempur dengan gigih. Ia tidak banyak bergerak, namun serangan-serangannya yang datang
tak ubahnya seperti gunung yang runtuh. Segumpal-segumpal beruntun berguguran. Namun Arya telah bertempur
selincah kijang. Dengan cepat dan tangkas ia selalu berhasil menghindarkan diri dari setiap serangan yang datang.
Bahkan serangan-serangannya pun datang seperti badai yang dahsyat. Mengalir tanpa berhenti. Gelombang demi
gelombang. Karena itupun maka pertempuran itu menjadi semakin seru. Masing-masing telah bekerja sekuat tenaga
untuk mengalahkan lawannya. Arya bertempur seperti banteng ketaton. Tetap, tangguh dan tanggon. Namun
lawannya pun bertempur seperti seekor gajah yang demikian percaya pada kekuatan tubuhnya.
Demikianlah pertempuran itu berjalan semakin sengit. Arya Salaka ternyata memiliki ketangkasan yang cukup dapat
mengimbangi lawannya. Namun meskipun demikian, ia selalu waspada. Tadi ia mendengar gemersik itu di kiri dan
kanan jalan. Sehingga kesimpulannya, orang yang mengintainya tidak hanya seorang. Ia pasti mempunyai kawan.
Dengan demikian ia harus selalu waspada, sebab setiap saat kawannya itu akan dapat muncul dan menyerangnya
bersama-sama.
Tetapi meskipun sudah sekian lama Arya bertempur, orang yang lain belum muncul juga. Sehingga Arya menjadi
curiga. Apakah mereka akan menyerangnya apabila ia telah benar-benar kelelahan. Karena itu, Arya menjadi marah,
dengan lantang berkata, Hai, orang yang licik. Ayo keluarlah dari persembunyianmu. Kalau kalian akan bertempur
bersama-sama, majulah bersama-sama. Jangan main sembunyi-sembunyian.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 69 dari 142

Namun tak ada jawaban. Hanya seorang itu sajalah yang bertempur melawannya. Ketika ia mendengar Arya berkata
dengan marah, ia pun menyahut, Jangan sombong, kau kira bahwa di dunia ini hanya ada seorang laki-laki yang
bernama Arya Salaka...?
Aku tak berkata demikian, jawab Arya sambil bertempur. Aku ingin kalian bertempur dengan jujur. Jangan
mengambil kesempatan yang licik.
Aku bukan betina, kata orang bertopeng sederhana itu. Namun dengan itu gerakannya menjadi semakin keras.
Seperti angin pusakanya bergerak berputar-putar. Kini ia menjadi bertambah lincah dan bertambah garang. Tetapi
Arya Salaka pun telah kehilangan kesabarannya, karena kemarahannya telah memuncak.
Arya tidak tahu dengan siapa ia berhadapan, namun agaknya lawannya benar-benar bertempur antara hidup dan
mati. Karena itu ia pun bertempur mati-matian. Ia tidak mau menjadi korban dalam persoalan yang gelap.
Pertempuran itu sudah berlangsung beberapa lama. Namun tak seorangpun yang tampak akan dapat memenangkan
perkelahian itu. Kedua-duanya telah mengerahkan segenap tenaga yang mereka miliki, namun perlawanan
merekapun menjadi semakin bertambah sengit. Tetapi lambat laun, Arya merasakan sesuatu yang aneh pada
lawannya.
Seolah-olah ia pernah mengenal gerak-gerak yang demikian itu. Mula-mula lawannya mempergunakan tata
berkelahi yang asing baginya. Aneh dan bercampur baur. Tetapi ketika Arya mendesak terus, lawannya itu tak
mampu lagi mempergunakan tata gerak yang aneh-aneh dan bercampur baur. Sehingga akhirnya lawan Arya yang
bertopeng itu terpaksa mempertahankan dirinya dengan ilmu yang sesungguhnya dimilikinya. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 20 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 656
ARYA SALAKA mencoba mengamati setiap gerak dan perlawanan lawannya itu. Bagaimana ia menyilangkan
tangannya di bawah dadanya, bagaimana ia meloncat miring dan bagaima ia memutar sikunya apabila ia mencoba
melindungi lambungnya. Serangan-serangannya pun seakan-akan pernah dikenalnya. Dengan tangan yang mengepal
berkali-kali menyambar dagu, dengan ujung-ujung jari dari keempat jarinya yang lurus mengarah ke bagian bawah
leher dan perut. Dengan sisi-sisi telapak tangan, dan dengan siku dalam jarak-jarak yang pendek.
Kaki Arya pun dengan lincahnya bergerak dan meloncat. Kadang-kadang seakan-akan tertancap di tanah seperti
tonggak besi yang tak tergoyahkan. Namun kadang-kadang tumitnya tiba-tiba menyambar lambung. Arya sempat
mengingat-ingat sambil berkelahi. Meskipun kadang-kadang serangan lawannya itu datang dengan dahsyat. Sekalikali ia terdesak mudur, sebuah demi sebuah serangan lawannya itu mengejarnya. Ketika kaki lawannya itu
menyambar dadanya, ia menarik tubuhnya dan berputar, namun lawannya meloncat maju. Dengan kaki yang lain,
orang bertopeng itu menyapu kakinya yang baru saja menginjak tanah. Demikian cepat sehingga Arya tak sempat
mengelak. Karena sapuan itu, Aya kehilangan keseimbangan, namun ia adalah seorang yang cukup terlatih. Dengan
demikian, ia dapat menjatuhkan dirinya dengan baik dan berguling satu kali, untuk kemudian melenting berdiri.
Tetapi ia terkejut ketika demikian ia tegak, sebuah pukulan menyambar dagunya. Terdengar giginya gemertak. Ia
hanya sempat menarik wajahnya untuk mengurangi tekanan pukulan lawannya, namun wajahnya itupun terangkat
pula. Perasaan sakit seperti menyengat dagunya itu. Ia terdorong selangkah surut.
Lawannya tidak mau kehilangan kesempatan, dengan tangkasnya ia meloncat maju. Namun kali ini Arya tidak mau
menjadi sasaran terus-menerus. Dengan tak diduga oleh lawannya, sekali lagi Arya meloncat ke samping, kemudian
dengan lincahnya ia memutar tubuhnya, dan kakinya menyambar perut lawannya.
Terdengar lawannya mengaduh perlahan. Disusul dengan serangan kedua ke arah dada. Sekali lagi orang itu
terdorong ke belakang. Dan Arya mengejarnya terus. Dengan demikian pertempuran itu kian seru dan berbahaya.
Apalagi bagi Arya, sebab ia terpaksa menyimpan sebagian perhatiannya untuk menghadapi setiap serangan yang
tiba-tiba dari orang-orang yang masih bersembunyi di balik-balik pagar. Meskipun demikian Arya tak dapat
dikalahkan dengan segera. Bahkan tampaklah bahwa Arya dapat melawan dengan baiknya dalam keseimbangan
yang setingkat. Tiba-tiba dada Arya berdesir. Tiba-tiba pula ia mengingatnya. Serangan-serangan yang demikian
dahsyat itu pernah dirasakan di Gedangan. Sawung Sariti.
Gerakan-gerakan ini demikian mirip dengan ilmu saudara sepepuhnya itu. Tetapi apakah lawannya itu Sawung
Sariti?
Ia mencoba mengamat-amati tubuh lawannya itu, dari kaki hingga ujung kepalanya. Ia bertubuh tinggi tegap dan
berdada bidang. Orang itu agaknya terlalu besar bagi Sawung Sariti. Namun karena orang itu berkerudung kain yang
kehitam-hitaman, sehingga dengan demikian ia tak dapat menilainya dengan jelas. Meskipun dapat masuk di akal,
apabila tiba-tiba Sawung Sariti menyeranganya, namun ia tidak berani berprasangka demikian. Apalagi ia
meragukan bentuk tubuh lawannya itu. Ketika ia teringat pengalamannya di pantai Tegal Arang, apakah kali ini
eyangnya yang mencoba menjajagi kekuatannya. Bahkan ilmu Sawung Sariti itu diterima dari eyangnya. Tetapi
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 70 dari 142

tubuh eyangnya pun tak sebesar itu. Eyangnya bertubuh kecil dan tidak terlalu tinggi. Jadi siapa? Apakah
pamannya? Paman Lembu Sora? Tak mungkin.
Tidak, hatinya melonjak, Mudah-mudahan bukan Paman.
Sambil berteka-teki Arya melayani lawannya. Meskipun pamannya bertubuh tinggi besar dan berdada bidang,
namun ia tidak menyangka bahwa orang itu pamannya. Pundak pamannya tidak setinggi itu dan leher pamannya
agak lebih panjang. Tetapi sepengetahuannya, orang yang memiliki ilmu keturunan eyangnya hanyalah pamannya
dan Sawung Sariti. Ia tidak memperhitungkan pengawal Sawung Sariti yang berwajah bengis dan bernama
Galunggung. Sebab ia tidak yakin bahwa Galunggung memiliki ilmu sedemikian tinggi. Arya juga tidak dapat
menyangka bahwa orang itu Wulungan. Sebab Wulungan pun tak akan mampu mempergunakan ilmu Pangrantunan
sampai tingkat itu. Apakah Wulungan dalam penilaiannya adalah orang yang baik dan jujur. Jujur dalam menilai diri
sendiri, jujur dalam menilai kesalahan-kesalahan sendiri.
Siapa...? Siapa....? Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Arya Salaka. Siapakah orang ini dan siapakah yang
bersembunyi di balik pagar. Tiba-tiba ia melihat bayangan obor di kejauhan. Obor orang-orang Pamingit yang
bertugas menunggunya di Pangarantunan sekaligus mengawal daerah kecil itu. Orang-orang Pamingit itu mungkin
akan nganglang atau mempunyai keperluan lain di pondok penginapannya, atau barangkali mereka kebetulan adalah
orang Pangrantunan yang akan mempunyai kepentingan dimalam yang gelap itu.
Dalam kesibukan pertempuran itu, Arya Salaka sempat melihat daun-daun yang bergoyang di pagar dekat tempat
mereka bertempur. Matanya yang tajam melihat sebuah bayangan yang merapat di pagar bambu yang telah rusak.
Pikirannya yang cepat segera mengetahui, bahwa orang itu pasti akan menghadang orang yang membawa obor dan
yang semakin lama semakin dekat. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 21 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 657
ARYA SALAKA menjadi cemas. Orang yang membawa obor itu tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan orang yang
membawa obor itu mungkin seorang atau dua orang laskar biasa, sehingga apabila ia mendapat serangan yang tibatiba, maka akan terancamlah jiwanya. Karena itu Arya tidak mau membiarkan hal itu terjadi, sehingga ia harus
berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Tetapi sampai saat ini ia masih sibuk melayani lawannya yang
menyerangnya seperti air sungai yang mengalir tak henti-hentinya.
Karena itu tiba-tiba dalam kecemasannya mengenai nasib orang yang membawa obor itu, Arya Salaka berteriak,
Hai, siapa yang membawa obor itu?
Kenapa kau berteriak-teriak? tanya orang yang bertopeng.
Hai, orang yang membawa obor itu. Jangan mendekat. Bahaya sedang menanti di sini, sambung Arya tanpa
memperdulikan kata-kata orang bertopeng.
Kau mencari kawan? sindir orang bertopeng itu.
Arya tidak menjawab. Yang terdengar di kejauhan suara orang yang membawa obor, Ada apa di situ?
Jangan mendekat, teriak Arya sambil bertempur terus. Obor itu berhenti. Arya menjadi agak berlega hati. Namun
terdengar orang di balik pagar berdesis, Curang. Kau tidak memberi kesempatan aku bertempur.
Siapa kau? tanya Arya.
Jangan ribut! bentak orang di balik pagar itu. Arya melihat obor di kejauhan itu menjadi semakin jauh. Malahan
kemudian tampak obor itu terbang cepat sekali. Agaknya orang yang membawa obor itu telah berlari sekencangkencangnya.
Ketika obor itu telah hilang di balik bayangan pohon-pohonan, Arya berkata, Nah, jangan menunggu laskar-laskar
yang tak tahu-menahu itu terjebak. Sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian?
Orang bertopeng itu tertawa. Ia tidak menjawab, tetapi serangannya menjadi semakin sengit. Namun perlawanan
Arya menjadi semakin rapat dan serangan-serangan balasan Arya pun datang seperti ombak di lautan, beruntun
menghantam tebing. Semakin lama tampaklah tenaga Arya Salaka semakin mantap. Serangan-serangannya menjadi
semakin berbahaya, setelah ia mengetahui kekuatan dan kekurangan tata gerak lawannya. Hal inipun dirasakan pula
oleh lawannya, berkali-kali ia terpaksa melontarkan diri surut, berputar dan menghindar. Meskipun ia berusaha
sekuat tenaganya, namun ia tak dapat menekan Arya Salaka yang muda itu. Meskipun demikian, orang di balik
pagar itu tidak muncul untuk membantu kawannya. Sehingga Arya menjadi bertambah pusing. Kalau orang itu ingin
membinasakan, kenapa orang di balik pagar yang barangkali lebih dari seorang itu tidak menyerangnya bersamasama.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 71 dari 142

Namun ia tidak boleh lengah. Ia harus tetap waspada, apabila orang-orang di balik pagar itu menunggu saat yang
setepat-tepatnya bagi mereka. Ataukah ia berhadapan dengan laki-laki yang tinggi hati?
Demikianlah pertempuran itu berlangsung terus. Bertempur sambil berteka-teki. Orang yang membawa obor itu
adalah orang Pangrantunan. Ia bukanlah laskar Pamingit. Karena itu ketika ia mendengar teriakan Arya, ia menjadi
ketakutan. Sebenarnya ia hanya ingin ke sungai, ketika perutnya tak dapat diajak menunggu sampai besok. Ketika ia
berlari-lari, dijumpainya dua orang laskar yang sedang nganglang. Sambil terengah-engah ia berkata, Ki Sanak, ada
bahaya di jalan ini.
Laskar itu pun bertanya, Dari mana kau tahu?
Aku akan lewat di jalan ini. Tetapi dikejauhan aku mendengar seseorang berteriak, Jangan mendekat...! jawab
orang itu.
Kedua orang itu mengangguk-angguk.
Marilah kita bawa Kakang Wulungan.
Ayolah, jawab yang pertama. Kedua orang itupun cepat-cepat berputar lewat jalan lain menuju ke pondok
Wulungan. Di sana ditemuinya Wulungan berdiri dihalaman bersama Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Ketika Wulungan melihat orang itu bergegas, bertanyalah ia, Apa yang terjadi?
Laskar itu melaporkan apa yang didengarnya.
Nah, itulah... sahut Mahesa Jenar, Kami juga mendengar seseorang berteriak. Tetapi tidak jelas apa yang
diteriakkan.
Marilah kita lihat, desis Kebo Kanigara. Mahesa Jenar mengangguk, katanya kepada Wulungan, Kau tetap di
sini. Jaga setiap kemungkinan. Bunyikan tanda kalau kau perlukan kami.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera melangkah pergi. Sedang Wulungan tetap berdiri di halaman untuk
mengamati keadaan di sekitarnya. Diperintahkannya memanggil beberapa orang yang masih enak-enak duduk di
samping perapian sambil merebus jagung muda. Kepada mereka Wulungan minta, agar mereka meningkatkan
kewaspadaan. Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tak mereka kehendaki. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 22 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 658
MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara tidak mau mendekati tempat yang ditunjukkan oleh kedua orang laskar
Pamingit itu lewat jalan desa. Sebagai seorang yang banyak makan garam, mereka sadar bahwa jalan itu berbahaya.
Karena itu mereka justru memilih kebun dan gerumbul-gerumbul kecil sebagai jalan yang sebaik-baiknya.
Arya Salaka masih saja sibuk melayani lawannya. Namun lambat laun, terasa bahwa nafasnya agak mulai lebih baik
daripada nafas lawannya. Perlahan-lahan namun pasti, ia mulai mendesak orang bertopeng itu, meskipun untuk
berbuat demikian Arya harus berjuang ngetog kekuatan dan ilmunya.
Disamping kemenangannya yang datang lambat sekali itu, Arya masih harus memperhitungkan apa yang kira-kira
dapat dilakukan apabila orang-orang di balik pagar itu datang membantu. Tetapi apa yang ditunggunya itu akhirnya
datang. Orang-orang di balik pagar itu benar-benar meloncat dari dalam kelam.
Seorang, lalu disusul seorang lagi. Melihat mereka, Arya segera menyiapkan diri. Arya belum pernah melihat
mereka berdua. Yang seorang agak pendek bulat, yang seorang bertubuh gagah, tinggi. Menilik gerak mereka, Arya
mencoba untuk menjajagi keprigelan mereka.
Setidak-tidaknya mereka bertiga ini setingkat, pikir Arya, Kalau demikian aku akan mengalami kesulitan untuk
melawannya.
Di dalam gelap malam, Arya tidak memperhatikan wajah-wajah mereka dengan seksama. Apalagi Arya masih harus
bertempur pula. Karena itu ia sama sekali tidak mendapat kesan apa-apa mengenai wajah kedua orang itu. Karena
itu maka sekali lagi Arya ingin mendapat kepastian dari lawan-lawan mereka, sebelum ia mengambil sikap terakhir.
Ki Sanak, apapun yang akan kalian lakukan, berkatalah siapakah kalian dan apakah maksud kalian?
Orang bertopeng itu berdesis, jawabnya, Tutup mulutmu.
Adakah kalian benar-benar bermaksud jahat? Arya meneruskan seperti tak mendengar jawaban orang bertopeng
itu. Apa salahku, dan apakah hubungan antara kita? sahut Arya.
Kau mengaku anak kepala daerah perdikan Banyubiru. Tanah itu akan aku miliki, jawab orang bertopeng itu.
Jangan mengigau. Marilah kita berbicara, tidak bertempur. Kalau kau benar-benar ingin tanah ini, mengakulah
siapa kau.
Arya bertambah curiga. Ia ingat kemauan yang tak terkendalikan dari adik sepupunya. Apakah orang ini benar-benar
adiknya yang membawa orang-orang asing untuk membunuhnya?
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 72 dari 142

Tutup mulutmu. Kami bertiga sudah siap membunuhmu, bentak orang bertopeng itu.
Sedang dalam pada itu kedua kawan-kawannya pun telah bergerak pula mendekati titik perkelahian itu. Arya kini
benar-benar harus menentukan sikap terakhir. Siapapun yang berdiri di hadapannya, kalau orang-orang itu benarbenar akan membinasakannya apapun alasannya ia harus membela dirinya mati-matian.
Sebagai seorang laki-laki yang diasuh oleh Mahesa Jenar, sebenarnya Arya cukup berlapang dada. Namun iapun tak
mau mati. Meskipun dalam keraguan, ia berusaha untuk tidak berprasangka terhadap Sawung Sariti. Tubuhnya,
suaranya dan kata-katanya bukan tubuh suara dan kata-kata adiknya. Adiknya tidak berkata sekasar itu, namun lebih
licin, licik dan menyakitkan hati. Tatageraknya pun agak berbeda.
Adiknya licin dan cekatan, orang itu tangguh meskipun cepat bergerak pula. Tetapi akhirnya ia tidak peduli lagi,
siapapun yang dihadapi. Ketika dua orang kawannya mulai bergerak, Arya tidak mempunyai pilihan lain daripada
mempertaruhkan segenap ilmunya. Kedua orang yang membantu orang bertopeng itu ternyata bertatagerak lain.
Lain sekali dengan orang bertopeng itu. Mereka agaknya sama sekali tak ada hubungan perguruan.
Dalam saat-saat terakhir terasa bahwa Arya tak dapat mampu mempertahankan dirinya. Maka daripada mati sebelum
segenap tugasnya selesai, Arya telah memilih keputusan yang terakhir. Ia melontar mundur agak jauh dari lawannya,
dipusatkannya segala daya kekuatannya, pikirannya dan diaturnya nafasnya menurut saluran ilmu terakhirnya, Sasra
Birawa.
Tetapi kembali ia dikejutkan oleh peristiwa yang tak dapat dimengertinya. Ketiga orang itu sama sekali tak
mengejarnya. Bahkan orang bertopeng itu tiba-tiba berteriak, Arya, jangan. Jangan.
Pemusatan pikiran Arya agak terganggu. Namun kembali ia mengatur tata pernafasannya. Ia tidak mau gagal karena
pengaruh perasaannya. Namun kali ini ia benar-benar terpaksa mengurungkan niatnya, sebelum getaran di dadanya
menjalar ke sisi telapak tangan kanannya.
Tiba-tiba dari dalam kelam di balik pepohonan terdengar suara, Jangan Arya. Salurkan ilmumu kembali, redakan
getaran di dalam dirimu sebelum kau terbenam di dalamnya.
Dalam hal yang demikian, Arya tak dapat berbuat lain daripada menurut perintah itu. Kakinya yang hampir
diangkatnya, diletakkannya kembali di atas tanah. Kemudian tangan kanannya yaag sudah mulai bergerak,
disilangkannya di muka dadanya untuk meredakan getaran-getaran yang telah mulai bergerak di dalam dirinya.
Perlahan-lahan ilmu yang dahsyat itu mengendor kembali sebelum menguasai tubuh Arya sepenuhnya.
(Bersambung)-m
Serial Bersambung 22 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 658
ARYA SALAKA melihat dua orang perlahan-lahan menyusup di bawah pagar bambu di tepi jalan, dekat di
sampingnya. Mereka adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Keduanya sama sekali tidak mengesankan
ketegangan yang dialaminya selama ia bertempur melawan orang bertopeng itu. Bahkan dengan perlahan-lahan
Mahesa Jenar menepuk pundaknya sambil berkata, Bersyukurlah. Kau mendapat lawan yang luar biasa.
Dua orang kawan orang bertopeng itu melangkah surut. Mereka mencoba bersembunyi di dalam kelam di bawah
pepohonan yang rimbun, sedang orang bertopeng itu berdiri tegak seperti patung. Arya menjadi keheran-heranan
melihat sikap gurunya, yang seakan-akan tak terjadi suatu apapun di sini.
Dirasanya dalam malam yang gelap dingin itu tubuhnya dibasahi oleh keringatnya yang mengalir dari segenap
wajah kulitnya. Namun Mahesa Jenar menganggap apa yang terjadi agaknya seperti suatu permainan yang
menyenangkan. Arya kemudian mencoba untuk menilai sikap gurunya. Barangkali gurunya yakin bahwa orang yang
bertempur melawannya itu tidak lebih daripada dirinya. Mungkin gurunya tahu pula bahwa kedua kawan orang
bertopeng itu adalah orang-orang yang tak berarti apa-apa bagi gurunya dan Kebo Kanigara.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, Arya, siapakah lawanmu itu?
Aku tidak tahu, Paman, jawab Arya. Mahesa Jenar menoleh kepada orang bertopeng kulit kayu yang sederhana
itu, yang seakan-akan dibuat dengan tergesa-gesa. Sebuah klika kayu yang dilubangi di kedua lubang mata,
kemudian diikat pada kepalanya dengan tali dan ikat kepalanya.
Tidakkah kau mengenal tata gerak yang dipergunakan untuk melawanmu? tanya Mahesa Jenar pula. Ya, aku
mengenal Paman, jawab Arya.
Nah, ilmu siapakah itu? desak gurunya.
Ilmu keturunan dari perguruan Pangrantunan, jawab Arya.
Sekarang cobalah kau ingat-ingat, siapakah yang memiliki ilmu itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 73 dari 142

Arya diam sejenak. Tak ada tiga empat. Lembu Sora dan Sawung Sariti. Mula-mula ia ragu-ragu untuk menjawab,
namum kemudian meloncatlah kata-kata dari bibirnya, Ada dua, Paman. Paman Lembu Sora dan Adi Sawung
Sariti.
Siapakah di antara mereka? tanya Mahesa Jenar lebih lanjut. Arya menjadi semakin beragu. Sekali lagi ia melihat
orang bertopeng itu dengan seksama. Dari ujung jari-jari kaki sampai kepalanya. Tetapi dalam gelap malam itu tak
dapat ditebaknya dengan pasti siapakah orang yang bertopeng itu. Orang bertopeng itu berdiri seperti patung. Dua
orang kawannya tampak merapatkan diri masing-masing dengan pagar di tepi jalan.
Akhirnya Arya menebak saja sekenanya. Paman, orang itu bukan adi Sawung Sariti.
Jadi...? desak Mahesa Jenar. Arya Salaka menjadi tergagap menjawab, Jadi, jadi agaknya Paman Lembu Sora.
Apakah kau pasti? tanya Mahesa Jenar.
Arya kini benar-benar bingung. Bingung sekali. Ia tahu bahwa bentuk pamannya tak seperti orang itu, meskipun
juga bertubuh tinggi dan besar. Namun lehernya dan pundaknya agak berbeda. Dalam keragu-raguan itu terdengar
Mahesa Jenar berkata, Agaknya kau tidak pasti Arya.
Arya mengangguk. Nah, kalau demikian, siapakah orang lain yang memiliki ilmu keturunan dari Pangrantunan?
Terdengar orang bertopeng itu menggeram.
Tak ada, jawab Arya. Mahesa Jenar tertawa. Sekali-kali pandangannya menyambar dua orang yang merapat di tepi
jalan. Katanya kepada kedua orang itu, Jangan terlalu merapat pagar Ki Sanak. Barangkali seekor ulat akan melekat
di leher kalian.
Hem.... kedua orang itupun menggeram.
Arya... kata Mahesa Jenar, Adakah kau pernah menerima dasar-dasar dari perguruan Pangrantunan?
Dada Arya tiba-tiba berdesir. Teringatlah pada masa kanak-kanaknya, ia pernah mempelajari ilmu-ilmu dasar tata
gerak dari perguruan Pangrantunan. Karena itu tiba-tiba ia menjawab, Pernah, Paman.
Siapakah yang memberimu pelajaran? Arya kini teringat, bahwa memang ada orang lain yang memiliki ilmu itu,
jawabnya, Ada orang yang memiliki ilmu itu, Paman, tetapi... kata-kata Arya terputus.
Orang itu adalah ayahnya. Dan ayahnya kini sedang berada di Demak. Diingatnya kata-kata ayahnya pada saat ia
meninggalkannya di hadapan laskar Banyubiru yang siap dalam gelar Dirada. Katanya pada saat itu, Arya, aku
akan pergi. Jauh sekali, dan belum tentu kapan akan kembali. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 24 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 660
TIBA-TIBA tubuh orang bertopeng itu bergetar. Terdengarlah sekali ia menggeram. Kemudian tiba-tiba saja
tangannya bergerak merenggut topeng yang dikenakannya. Agaknya ia tidak dapat lagi menahan hatinya. Demikian
topengnya terlepas dari wajahnya, berkatalah orang itu, Arya, aku adalah orang ketiga yang memiliki ilmu
perguruan Pangrantunan.
Suara itu di telinga Arya Salaka terdengar seperti suara runtuhnya gunung Merbabu. Dadanya bergetar keras sekali,
dan jantungnya bergelora seperti akan meledak. Dan tiba-tiba pula meloncatlah kata-katanya, hampir berteriak,
Ayah!
Ya, jawab orang bertopeng itu, Aku adalah ayahmu.
Sesaat Arya mengamat-amati wajah itu. Meskipun di dalam gelapnya malam, namun wajah ayahnya telah tercetak
di dalam hatinya. Sehingga, dengan segera ia dapat mengenal kembali, meskipun hanya garis lekuk-lekuk wajah itu.
Hampir tak ada perubahan sejak kira-kira lima enam-tahun yang lampau. Karena itu tiba-tiba darahnya seperti
melonjak-lonjak.
Dan tanpa sesadarnya Arya melompat maju, menjatuhkan diri di kaki ayahnya sambil berkata gemetar. Ayah,
betulkah ayahku, ayah Gajah Sora.
Terdengarlah suara orang itu perlahan-lahan, tidak kasar dan tidak mengandung nada permusuhan, Kau masih
mengenal aku dengan baik bukan, Arya?
Arya ingin menjawab. Di dadanya tiba-tiba penuh dengan kata-kata yang akan melontar keluar, namun mulutnya
segera tersumbat oleh sesuatu yang menyekat. Karena itu yang terlontar keluar hanyalah sepatah kata, Ya.
Gajah Sora menepuk bahu anaknya dengan bangga. Kemudian anak itupun ditariknya berdiri. Sambil berkata ia
memandang kepada Mahesa Jenar, Hampir aku tak percaya, bahwa anak inilah yang pernah aku tinggalkan lima
tahun yang lampau.

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 74 dari 142

Mahesa Jenar tidak menyahut, tetapi ia melangkah maju. Diulurkannya kedua tangannya, yang segera disambut oleh
Gajah Sora dengan penuh gairah. Disambutnya salam Mahesa Jenar itu dengan sepenuh hati. Dan terasalah oleh
Mahesa Jenar bahwa tangan itu gemetar.
Mahesa Jenar pun haru. Ketika ia melihat Arya hampir bertiarap di kaki ayahnya, matanya terasa panas. Perpisahan
yang sekian lama dan tanpa harapan untuk dapat bertemu pada saat-saat yang demikian ini. Tiba-tiba orang itu
berdiri di hadapannya.
Kemudian Mahesa Jenar menoleh kepada dua orang yang berdiri merapat pagar.
Apakah kalian akan tetap berdiri di situ?
Terdengar kedua orang itu tertawa. Salah seorang daripadanya menjawab, Permainanmu ternyata lebih baik
daripada permainan Kakang Gajah Sora, Kakang.
Mahesa Jenar pun tertawa, jawabnya, Hampir aku tidak tahan bersembunyi di balik gerumbul itu. Nyamuknya
bukan main. Sedang kalian berdua masih saja ingin melihat, bagaimana Arya menjadi semakin bingung.
Kedua orang itupun kemudian melangkah maju. Seorang bertubuh gemuk bulat, sedang yang lain agak lencir.
Keduanya ternyata berpakaian lengkap, sebagaimana dua orang prajurit yang datang dari Demak.
Kedua orang itu mengulurkan tangannya pula, yang disambut oleh Mahesa Jenar bergantian. Kemudian mereka itu
diperkenalkan pula kepada Kebo Kanigara. Ternyata mereka itupun pernah mendengar nama itu, namun baru kali
inilah mereka berhadapan dengan putra Ki Ageng Pengging Sepuh.
Marilah kita mencari tempat yang lebih baik Kakang Gajah Sora, ajak Mahesa Jenar, Barangkali Kakang Gajah
Sora dapat menceriterakan sesuatu kepada kami, suatu ceritera yang menarik. Meskipun demikian hati Mahesa
Jenar masih belum terang, apakah kedua prajurit Demak itu mempunyai tugas khusus mengawal Gajah Sora.
Namun ia berkata, Mari Adi Gajah Alit dan Adi Paningron. Aku mempersilahkan kalian.
Gajah Sora menoleh kepada dua orang prajurit yang ternyata Gajah Alit dan Paningron. Kedua orang prajurit itupun
mengangguk, sedang Gajah Alit berkata, Marilah, akupun tidak tahan lagi. Nyamuk Pangrantunan benar-benar buas
dan besar-besar.
Tidak Adi, sahut Mahesa Jenar, Tetapi barangkali Adi tidak biasa digigit nyamuk.
Ah... desis Gajah Alit, Bukankah Kakang Mahesa Jenar tadi juga hampir tidak tahan oleh nyamuk? Mahesa
Jenar tertawa. Gajah Alit memang senang berkelakar sejak masa persahabatan mereka dahulu di Demak. Kemudian
berjalanlah mereka beriringan ke pondok. Ketika mereka memasuki halaman, mereka melihat Wulungan masih
berdiri di muka pintu. Dua orang yang lain tampak berjaga-jaga di dalam gelap. Ketika Wulungan melihat Mahesa
Jenar, segera iapun melangkah menyambutnya, Apakah yang terjadi?
Seseorang telah mencoba menyerang Arya Salaka, Mahesa Jenar menjawab, namun sambil tersenyum. Katanya
meneruskan, Inilah orangnya. Pernahkah kau mengenalnya? (Bersambung)-m
Serial Bersambung 29 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 661
WULUNGAN mengerutkan keningnya.
Nyala obor di muka rumah itu lamat-lamat mencapainya. Sehingga wajah Gajah Sora itupun dapat dilihatnya. Orang
itu bertubuh gagah tegap, berdada bidang, meskipun agak kurus namun jelas betapa baik bentuk tubuhnya.
Kumisnya lebat meskipun tidak sepanjang kumis Ki Ageng Lembu Sora.
Tiba-tiba Wulungan itupun menundukkan kepalanya. Demikian hormat sambil berkata, Selamat datang Ki Ageng
Gajah Sora. Kedatangan Ki Ageng adalah sedemikian tiba-tiba. Salam baktiku untuk Ki Ageng.
Masih kau ingat bentuk tubuh yang kurus kering ini, Wulungan? tanya Gajah Sora.
Tidak. Ki Ageng tidak kurus kering. Ki Ageng cukup segar meskipun agak susut sedikit. Tetapi hampir tak ada
perubahan sejak aku melihat untuk yang terakhir kali, jawab Wulungan.
Ki Ageng Gajah Sora tersenyum. Kemudian merekapun melangkah masuk ke dalam pondok itu, dan duduk di balebale besar diruang depan. Sesaat kemudian beberapa orang telah siap merebus air dan jagung muda. Sambil
menikmati hindangan itu maka berkatalah Mahesa Jenar, Kedatangan Kakang Gajah Sora sangat mengejutkan
kami. Apalagi bersama-sama dengan Kakang, ikut serta adi Gajah Alit dan Adi Paningron. Apakah artinya ini?
Gajah Sora menarik nafas panjang. Sekali wajahnya beredar di sekitar ruangan itu. Kemudian berhenti di wajah
Arya Salaka. Sekali lagi ia menarik nafas. Katanya, Adi Mahesa Jenar. Anakku ini benar-benar mengejutkan
hatiku. Sebelum aku berceritera, seharusnya aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada Adi. Agaknya Adi
Mahesa Jenar telah memenuhi permintaanku, mengasuh anak nakal ini, bahkan melampaui harapan yang aku
khayalkan tentang dirinya.

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 75 dari 142

Mahesa Jenar tersenyum, jawabnya, Bukanlah aku yang telah menjadikannya anak yang cukup bekal untuk
menjaga dirinya, tetapi darah yang mengalir di dalam tubuhnya, agaknya merupakan modal yang tak ternilai
harganya.
Arya menundukkan wajahnya. Ia malu ketika ia mendengarkan ayah serta gurunya sedang menilai dirinya. Modal
yang tak ditangani oleh tangan yang baik, ia tidak akan berkembang, bahkan akan kehilangan nilai-nilainya, jawab
Gajah Sora pula.
Kemudian ia meneruskan, Aku pernah bertempur dengan Adi Mahesa Jenar di Gunung Tidar. Aku mengagumi
betapa dahsyatnya ilmu dari perguruan Pengging. Ketika aku kemudian terpisah dari Adi lima-enam tahun yang lalu,
dan kemudian aku mencoba untuk bertempur melawan anak asuhan Adi yang berilmu keturunan dari Pengging, aku
merasa bahwa seakan-akan aku mengulangi pertempuran di Gunung Tidar itu. Arya Salaka benar-benar telah
memiliki ilmu seperti yang Adi miliki pada saat itu. Dan ternyata bahwa Arya telah benar-benar mencerminkan Adi
Mahesa Jenar sewaktu adi bertempur di Gunung Tidar itu.
Mahesa Jenar tersenyum. Ia pun berbesar hati ketika ia mendengar sendiri bahwa Gajah Sora tidak kecewa melihat
anaknya. Terbayang pula di dalam rongga mata Mahesa Jenar, bagaimana ia bertempur di mulut gua Sima Rodra di
Gunung Tidar melawan Gajah Sora, sehingga akhirnya ia terpaksa melepaskan aji pemungkasnya, Sasra Birawa.
Pada saat itu Gajah Sora tidak dapat berbuat lain daripada menyelamatkan dirinya dengan aji andalan perguruan
Pangrantunan, Lebur Saketi.
Mahesa Jenar menjadi geli sendiri mengenangkan peristiwa itu, sehingga ia tersenyum sambil menundukkan
wajahnya. Tetapi sesaat kemudian senyum itu lenyap seperti awan disapu angin. Sasra Birawa dan Lebu Saketi tidak
saja pernah berbenturan di atas Gunung Tidar dalam suatu peristiwa kesalahpahaman, namun kedua aji itupun
pernah berbenturan di Gedangan, masing-masing dilontarkan oleh Arya Salaka yang mewarisi ilmu dari Pengging,
melawan saudara sepupunya, Sawung Sariti, yang memiliki ilmu keturunan dari Pangrantunan. Tetapi benturan itu
sama sekali bukan karena salahpaham, namun benar-benar karena kemarahan yang tak tertahankan. Kesengajaan
karena nafsu kedengkian, ketamakan dan keserakahan.
Tetapi Mahesa Jenar kemudian tersadar dari lamunannya oleh suara Gajah Sora. Adi, mungkin Arya Salaka tidak
akan menjadi anak seperti sekarang ini, seandainya aku sendiri yang mengasuhnya.
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ia tersenyum tetapi ia tidak menjawab. Kemudian Gajah Sora meneruskan,
Selain kekagumanku atas kemajuan yang pesat dari anakku, aku kira kalianpun menjadi heran, kenapa tiba-tiba aku
berada di Pangrantunan.
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab, Ya. Tentu saja kami menjadi gembira atas pertemuan ini.
Tetapi kenapa aku dan Kakang Paningron hadir pula di sini? sela Gajah Alit sambil tersenyum. Mahesa Jenarpun
tertawa.
Ya, jawabnya, Kenapa kalian datang pula?
Kakang Mahesa Jenar mempunyai prasangka kepada kami, Kakang, kata Gajah Alit kepada Panigron. Paningron
tersenyum. Memang ia tidak begitu banyak berbicara. (Bersambung)-c
Serial Bersambung 30 Desember 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 662
PANINGRON lebih senang mendengarkan Gajah Alit berkelakar daripada berbicara sendiri. Mahesa Jenar sudah
mengenal watak sahabatnya yang gemuk ini. Karena itu ia pun menjawab, Agaknya kau bertugas mengawal
Kakang Gajah Sora, Adi. Kau sangka Kakang Gajah Sora akan melarikan diri seandainya Kakang mendapat
kesempatan sehari dua hari menengok tanah perdikannya?
Gajah Alit tertawa. Jawabnya, Tidak, aku tidak bertugas mengawal Kakang Gajah Sora, tetapi aku bertugas
menangkap Kakang Mahesa Jenar.
Kalau begitu, sahut Mahesa Jenar, Aku akan membantumu.
Semuanya tertawa mendengar kelakar yang segar. Arya Salaka pun tertawa pula. Nah, bagaimanakah yang
sebenarnya? tanya Mahesa Jenar kemudian. Gajah Alit tidak segera menjawab pertanyaan Mahesa Jenar.
Ditebarkannya pandangan matanya melingkari ruangan itu. Baru kemudian ia berkata, Biarlah Kakang Gajah Sora
berceritera. Kakang pasti tidak akan percaya seandainya aku yang mengatakannya.
Kau terlalu sering berdusta, sahut Mahesa Jenar. Sekali lagi semuanya tertawa. Tetapi tidak berkepanjangan, sebab
kemudian Gajah Sora berkata, Apa yang dapat aku ceriterakan? Yang aku ketahui, Baginda memerintahkan lewat
Adi Gajah Alit, bahwa aku diperkenankan kembali ke Banyubiru.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 76 dari 142

Tidak hanya itu, sela Gajah Alit. Agaknya Adi Paningron lah yang paling tahu, jawab Gajah Sora. Semua mata
berkisar ke wajah Paningron. Wajah yang tenang dan padam. Namun sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
Baiklah, katanya, Kalau aku yang harus berceritera. Tetapi aku tidak dapat berceritera seperti Adi Gajah Alit.
Ah... desis Gajah Alit.
Demikianlah yang sebenarnya, Paningron meneruskan, Kebetulan aku mengetahui beberapa persoalan. Setelah
Baginda menganggap bahwa Kakang Gajah Sora benar-benar tidak bersalah, maka sebenarnya pada saat itu Kakang
Gajah Sora sudah dapat dibebaskan. Sejak pertemuan kami di Rawa Pening, Baginda menjadi pasti bahwa Gajah
Sora benar-benar tidak bersalah.
Aku dan Adi Gajah Alit telah meyakinkan Baginda. Namun Baginda menghendaki, agar usaha mencari kedua
pusaka itu menjadi semakin gigih. Terutama Baginda mengharap ayah Kakang Gajah Sora dan sahabat-sahabatnya
berjuang mati-matian, dengan harapan untuk dapat segera membebaskan Kakang Gajah Sora.
Tetapi keadaan berkembang ke arah yang tak dikehendaki. Beberapa saat, kami, di Demak kehilangan jejak atas
perkembangan daerah perdikan Banyubiru. Baru beberapa saat kemudian kami ketahui bahwa Banyubiru berada
dalam kesulitan. Mula-mula kami tidak pasti, apa yang menyebabkan. Tetapi terasa adanya ketegangan dalam
pemerintahan rakyat Banyubiru seakan-akan kehilangan pegangan. Kehilangan kiblat.
Pada saat yang demikian itulah Baginda menganggap Gajah Sora harus kembali ketanahnya. Harus kembali kepada
ayahnya yang sedang berjuang mati-matian untuk menegakkan kembali apa yang dimilikinya. Sora Dipayana telah
berjuang hampir sepanjang umurnya untuk persatuan dan kemerdekaan tanah perdikan ini. Pada saat-saat yang
demikian, kami ketahui pula, bahwa orang-orang dari golongan hitam telah memancing di air keruh. Dan inilah
bahaya yang sebenarnya, yang akan mengancam Banyubiru, Pamingit dan bahkan Demak. Karena itu, akhirnya
Gajah Sora akan diserahkan kembali, kembali kepada Ki Ageng Sora Dipayana.
Yang mempercepat tindakan Baginda adalah berita terakhir yang sampai di Demak, bahwa Banyubiru terancam
perang saudara. Antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perang yang telah lama dinanti-nantikan oleh golongan
hitam. Perang yang akan menumpas seluruh kehidupan rakyat Banyubiru dan Pamingit. Perang yang akan
memadamkan sama sekali nyala api yang pernah dikobarkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana di atas tanah perdikan
Pangrantunan."
Paningron diam sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian tangannya meraih mangkuk, dan meneguk
seteguk air jahe yang hangat.
Agaknya kalangan istana sudah mengetahui semua yang terjadi di Banyubiru, sela Mahesa Jenar. Tidak
seluruhnya, sahut Paningron, Utusan dan bahkan pejabat-pejabat rahasia dari Demak berkeliaran di Banyubiru dan
Pamingit.
Mahesa Jenar tersenyum. Seharusnya ia sudah memaklumi sebelumnya. Seharusnya ia kenal, bagaimana orangorang seperti Paningron dan kawan-kawannya bekerja. Kadang-kadang mereka dijumpainya seperti penjual daun,
penjual kayu dan sayur-sayuran. Kadang-kadang mereka ditemuinya sebagai seorang saudagar yang kaya raya, yang
menjelajah kampung untuk mencari dagangan. Sejenak kemudian Paningron meneruskan, Tetapi hubungan antara
Demak dan Banyubiru tidaklah semudah yang kita kehendaki. Itulah sebabnya, kadang-kadang kita terlambat
berbuat sesuatu. Itu pulalah sebabnya kali ini kami terlambat juga. Untunglah bahwa pertempuran antara laskar Arya
Salaka dan laskar Pamingit itu di Banyubiru dapat dihindarkan. (Bersambung)-o
Cerita Bersambung 31 Desember 2000 NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 663
"AKU yakin akan hal itu," potong Ki Ageng Gajah Sora, "Selama Arya masih berada di dekat adi Mahesa Jenar."
"Aku hampir tak berdaya," jawab Mahesa Jenar, "Pertempuran itu sudah berada di ujung hidung Arya Salaka.
Untunglah Ki Ageng Sora Dipayana berusaha sekuat tenaga. Lebih dari itu agaknya Tuhan telah mengambil
keputusan, bahwa Banyubiru dan Pamingit akan diselamatkan dari bencana kemusnahan."
"Kakang benar," sahut Gajah Alit, "Kalau pertempuran itu tak dapat dicegah, di atas bangkai rakyat Banyubiru dan
Pamingit akan menari-nari rianglah tokoh-tokoh golongan hitam dari daerah yang berserak-serak itu. Dari Gunung
Tidar, Nusakambangan, Rawa Pening, Mentaok dan Lembah Gunung Cermai."
Demikianlah kemudian pembicaraan mereka berkisar dari satu soal ke soal lain. Bahkan kemudian Paningron dan
Gajah Alit tidak dapat menyembunyikan kekaguman mereka atas Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, katanya, "Tak
seorang pun yang mampu membunuh Nagapasa dan Sima Rodra seorang diri. Namun Kakang Kebo Kanigara dan
Kakang Mahesa Jenar telah melakukan hal itu."
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya.
"Adakah Adi melihat peristiwa itu?"
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 77 dari 142

"Kami tidak," jawab Gajah Alit, "Tetapi orang-orang kami menyaksikan, setidak-tidaknya mendengar kabar tentang
perisitwa itu. Juga kami telah mendengar, bahwa Arya Salaka telah mampu bertempur seorang melawan seorang
dengan Lawa Ijo. Sungguh suatu kemajuan di luar dugaan ayahnya. Itulah agaknya yang mendorong Kakang Gajah
Sora untuk menilai sendiri kemampuan Arya Salaka itu."
Mahesa Jenar tersenyum. Gajah Sora pun kemudian berceritera, bagaimana mereka bertiga bergegas untuk sampai
ke Banyubiru, ketika mereka mendengar bahwa keadaan Banyubiru sudah sedemikian gawat. Namun mereka
terlambat. Meskipun demikian mereka berlega hati. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran justru antara laskar
Banyubiru bersama-sama dengan laskar Pamingit melawan laskar golongan hitam di Pamingit.
Mereka jumpai Banyubiru telah kosong. Karena itu merekapun segera pergi ke Pamingit. Namun pertempuran di
Pamingit itupun telah selesai. Seorang petugas yang ditanam oleh Paningron melaporkan, bahwa Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Arya Salaka justru pergi ke Banyubiru, karena Pasingsingan mendahului mereka.
"Nah, Adi Mahesa Jenar..." tanya Gajah Sora kemudian, "Bagaimana dengan Pasingsingan?"
Kemudian Mahesa Jenar lah yang berceritera. Pasingsingan terbunuh oleh Pasingsingan.
"Ceritera tentang Pasingsingan itu panjang, Kakang," kata Mahesa Jenar kemudian, "Lain kali akan aku ceriterakan
selengkapnya. Kepada Kakang, kepada Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten, dan yang
lain-lain."
"Mereka juga belum mengetahui?" tanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya.
"Belum. Belum seorangpun yang tahu."
Sejenak merekapun berdiam diri. Dalam saat-saat yang demikian, Mahesa Jenar mengamat-amati pakaian yang
dikenakan oleh Gajah Alit dan Paningron. Ia menarik nafas panjang. Pakaiannya seperti yang dipakai Gajah Alit
itupun pernah dipakainya. Pakaian perwira pengawal raja. Beskap hitam, sabuk kuning keemasan dan ikat kepala
biru. Kain panjang, sapit urang, celana hitam berpelisir kuning. Sebilah keris berwarangka emas terselip di
pinggangnya. Sedang Paningron pun memakai pakaian kebesarannya. Mirip dengan pakaian Gajah Alit, tetapi ia
tidak berikat pinggang kuning, stagennya agak berwarna emas dengan permata yang berkilat-kilat. Juga di pinggang
Paningron terselip sebilah keris dengan warangka gayaman.
Tetapi ketika Mahesa Jenar sedang berangan-angan, berkatalah Gajah Sora, "Adi Mahesa Jenar, banyak yang ingin
aku ketahui, dan banyak yang ingin aku dengarkan, tetapi baiklah lain kali kami lanjutkan. Aku sudah rindu
menyampaikan sujud kepada Ayah, Sora Dipayana."
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Jawabnya, "Aku kira demikian sebaiknya. Wulungan akan bersama-sama
dengan kita."
"Meskipun demikian..." Gajah Sora meneruskan, "Adi Paningron mempunyai satu kepentingan lain, yang barangkali
Adi Mahesa Jenar mengetahuinya."
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, ia bertanya, "Apakah itu?"
"Tidak begitu penting," sahut Paningron. Mahesa Jenar mengangguk-angguk kecil. Ia menunggu persoalan apa pula
yang dibawa oleh Paningron ini. Apakah tentang dirinya, atau yang lain? Paningron memandang kepada Gajah Alit.
Belum lagi mendengar sepatah kata pun, ia telah mengangguk-angguk. Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata,
"Tidak penting, Kakang." (Bersambung)-m
Serial Bersambung 02 Januari 2001 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 664
MAHESA JENAR menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hati. Kemudian berkatalah Paningron, Ada dua
masalah yang akan aku katakan. Sengaja aku simpan sampai aku berhadapan dengan Kakang Mahesa Jenar. Hal ini
Kakang Gajah Sora sendiri pun belum mengetahuinya.
Apakah soalnya? sela Mahesa Jenar.
Yang pertama, sahut Paningron, Adalah Kakang Mahesa Jenar dapat mengatakan kepada kami, bagaimanakah
bentuknya orang yang mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Mahesa Jenar menjadi ragu. Ia sekarang tahu pasti siapakah orang yang mengambil pusaka-pusaka itu. Tetapi
sebelum menjawab, terdengar Gajah Sora berkata, Telah aku katakan. Orang itu berjubah abu-abu.
Adakah orang itu berhubungan dengan ceritera Pasingsingan yang terbunuh oleh Pasingsingan? tanya Paningron
pula. Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Akhirnya ia menjawab, Tidak. Pasingsingan yang membunuh
Pasingsingan bukanlah orang itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 78 dari 142

Paningron mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia memandang kawannya yang gemuk bulat. Katanya,
Soal itu perlu juga aku sampaikan.
Silahkan Kakang, jawab Gajah Alit sambil tersenyum.
Adakah orang lain di rumah ini? tanya Paningron. Mahesa Jenar memandang berkeliling. Rara Wilis dan Endang
Widuri tidak nampak sejak tadi. Wulungan yang mengerti maksud Mahesa Jenar, berkata, Mereka sudah tidur sejak
tadi.
Siapa? sahut Paningron. Anakku, jawab Kebo Kanigara.
O, tak apalah. Paningron meneruskan, Aku akan berkata tentang Nagasasra dan Sabuk Inten.
Tetapi ia berhenti. Dengan sudut matanya ia memandang ke arah Wulungan.
Berkatalah, desak Mahesa Jenar, Orang itu bisa kita percaya.
Sebelum ceriteraku sampai pada masalah yang kedua, kata Paningron, Kami mengetahui sesuatu tentang pusakapusaka itu.
Gajah Sora dan Mahesa Jenar mengerutkan alisnya, sedang Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Ini juga
salah satu sebab yang menentukan, bahwa Baginda benar-benar yakin, bahwa Kakang Gajah Sora tidak menyimpan
pusaka-pusaka itu."
Paningron meneruskan, Pada suatu saat, Kakang Arya Palindih melihat seseorang membawa kedua pusaka itu.
Gajah Sora terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar.
Siapakah orang itu? tanya Gajah Sora.
Seperti yang kau katakan, jawab Paningron, Berjubah abu-abu. Orang itu datang kepada Arya Palindih, berkata
kepadanya, apakah Kakang Palindih pernah melihat benda-benda yang dibawanya. Ternyata benda-benda itu adalah
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Hem... Gajah Sora berdesis. Tentu saja Kakang Arya Palindih bertanya kepadanya, darimana pusaka-pusaka itu
didapatnya. Dan orang itu berkata terus terang bahwa keduanya diambil dari Banyubiru, Paningron meneruskan.
Tetapi ketika kedua pusaka itu diminta oleh Kakang Palindih, orang itu berkeberatan. Sehingga akhirnya terpaksa
Kakang Palindih mencoba memaksanya. Tetapi orang itu luar biasa. Kakang Palindih tak mampu melawannya. Dan
kedua pusaka itu lenyap kembali.
Gajah Sora menggeram. Namun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berpikir, Pasti, tak seorangpun mampu
menangkapnya.
Tetapi... kata Paningron, Bahwa Kakang Gajah Sora terbukti tidak bersalah, Kakang Palindih menjadi yakin
karenanya. Dan ini adalah salah satu sebab pula yang meyakinkan Baginda. (Bersambung)-m
Cerita Bersambung 03 Januari 2001 NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 665
PANINGRON berhenti sejenak. Diteguknya wedang jahe di mangkuknya.
Kemudian ia meneruskan, "Tetapi kemudian orang itu muncul kembali."
"Kapan?"
"Dan inilah ceritera yang kedua," sahut Paningron, "Ketika seorang prajurit diusir dari istana, maka beberapa orang
mendapat tugas untuk mengamat-amatinya sampai beberapa saat. Kalau-kalau orang baru itu berbuat sesuatu."
"Kenapa diusir?" tanya Mahesa Jenar.
"Seorang anak muda yang perkasa," jawab Paningron. "Tak seorangpun seangkatannya yang dapat menyamai
keperwiraannya. Ia diketemukan oleh Baginda di halaman masjid, ketika Baginda hendak bersembahyang. Anak
muda itu sedemikian tergesa-gesa, sehingga ia dapat meloncat mundur sambil berjongkok melampaui sendang di
halaman masjid itu."
Berdebarlah dada Kebo Kanigara mendengar ceritera itu. Ia tahu bahwa kecakapan yang demikian itu jarang-jarang
dimiliki oleh seseorang. Namun ia tidak bertanya.
"Karena kecakapannya..." Paningron melanjutkan, "Dalam waktu yang singkat, ia telah diangkat menjadi pimpinan
kelompok Wira Tamtama dengan anugrah pangkat Lurah. Tetapi sayang, bahwa ia kemudian berbuat suatu
kesalahan."
"Apakah kesalahannya?" tanya Mahesa Jenar.
"Ia telah membunuh seseorang yang bernama Dadung Ngawuk," jawab Paningron.
"Membunuh orang?" tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, "Apa soalnya?"
"Orang baru, yang mencoba memasuki Wira Tamtama. Namun orang itu terlalu sombong. Maka anak muda itupun
marah dan dibunuhnya Dadung Ngawuk dengan sadak kinang," jawab Paningron.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 79 dari 142

Mendengar jawaban itu Gajah Alit tertawa. Bahkan ia hampir tak dapat menahan suara tertawanya itu. Mula-mula
yang melihat Gajah Alit itu tertawa, menjadi heran, namun akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Gajah Sora
mengetahuinya, "Membunuh dengan sadak kinang."
Paningron tersenyum, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum pula.
Namun Arya Salaka menjadi tegang. Ia tak tahu kenapa mereka tertawa karenanya. Tetapi tiba-tiba Gajah Alit
berhenti tertawa. Alisnya berkerut dan wajahnya menjadi bersungguh-sungguh. Tanpa disengajanya ia memandang
Kebo Kanigara tanpa berkedip. Paningron dan Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi tegang.
Tetapi sesaat kemudian, juga Paningron seperti orang yang tersentak dari mimpinya. Bahkan terlontar dari mulutnya,
"Oh!"
Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tak apa-apa Adi. Aku sudah menduga, bahwa anak itu akan
kambuh kembali."
Mahesa Jenar masih belum tahu apa yang terjadi, apalagi Arya Salaka dan Wulungan. Sehingga akhirnya Kebo
Kanigara bertanya, "Bukankah anak muda itu bernama Mas Karebet?"
Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut. Namun tanggapan mereka berbeda-beda.
Arya Salaka terkejut, karena sahabatnya itu terpaksa membunuh seseorang tanpa dipikirkan akibatnya. Sehingga ia
terpaksa diusir dari istana. Sedang Mahesa Jenar terkejut karena Mas Karebet telah membunuh Dadung Ngawuk
dengan sadak kinang.
Ia mengurai lebih jauh keterangan itu. Sehingga Baginda mengusirnya dari istana. Akhirnya Paningron berkata,
"Maafkan kakang Kebo Kanigara, aku tadi lupa bahwa Mas Karebet, yang disebut juga Jaka Tingkir adalah putra Ki
Kebo Kenanga, dan bukankah kakang Kebo Kanigara itu kakak Kebo Kenanga?"
"Tak apalah. Justru aku berterima kasih kepada adi berdua. Dengan demikian aku tahu apa yang dilakukan oleh anak
itu," kata Kebo Kanigara.
"Siapakah Dadung Ngawuk itu?" ia bertanya.
Paningron memandang Arya sesaat, kemudian ia menjawab perlahan-lahan, "Simpanan Baginda."
"Hem..." Kebo Kanigara menggeram. Namun Arya Salaka menjadi semakin bingung. "Bukankah Dadung Ngawuk
itu seorang yang sombong, yang melamar menjadi seorang Wira Tamtama?"
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Ia tidak berkata sepatah katapun. Dengan sudut matanya, ia melihat Kebo
Kanigara menjadi pucat dan pada dahinya mengalirlah keringat dingin.
"Tetapi," Paningron meneruskan, "Bukan seluruhnya kesalahan Jaka Tingkir. Dadung Ngawuk lah yang memancingmancing keonaran. Memang Jaka Tingkir terlalu tampan. Dan Baginda terlalu kasih dan percaya kepada Lurah Wira
Tamtama yang baru itu. Bahkan lebih daripada Nara Manggala seperti Adi Gajah Alit itu."
Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya, "Kemudian apakah yang ingin adi berdua ketahui dari
kami?"
"Kami mendengar berita terakhir, Mas Karebet berada di Banyubiru," jawab Paningron. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 04 Januari 2001 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 666
MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara menjadi ragu. Demikian pula Arya Salaka. Memang Karebet pernah muncul
di Banyubiru. Namun mereka berdiam diri.
Mungkin kakang berdua tak mengetahuinya, kata Gajah Alit. Sesaat suasana menjadi sepi.
Masing-masing tenggelam dalam angan-angan sendiri.
Kemudian terdengar Paningron meneruskan, Keluarga terdekat Dadung Ngawuk marah kepada Mas Karebet.
Mereka berusaha untuk membunuhnya. Sebab dengan demikian mereka telah kehilangan harapan. Keluarga mereka
yang ingin menompang mukti. Tetapi Mas Karebet bukan anak-anak yang dapat dibunuh seperti membunuh cacing.
Ketika pada suatu saat, beberapa orang keluarga Dadung Ngawuk berhasil menemukan anak muda itu, maka mereka
beramai-ramai mengeroyoknya. Pada saat itulah orang berjubah abu-abu itu muncul. Tak seorangpun mampu
melawannya. Bahkan orang berjubah itu berkata, Jangan bunuh anak muda ini. Seorang Wali yang Waskita berkata,
bahwa ia akan merajai pula Jawa.
Kembali mereka berdia diri. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya. Sedang Arya
Salaka sibuk menebak. Namun ia gembira, kalau benar apa yang diucapkan Wali yang Waskita itu, maka sahabatnya
akan menjadi raja.
Sedang Wulungan sama sekali tak mengetahui ujung dan pangkal pembicaraan itu. Angin malam bertiup semakin
kencang. Kini udara sudah tidak terlalu panas. Awan di langit perlahan-lahan telah hanyut disapa angin pegunungan.

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 80 dari 142

Akhirnya, merekapun merasakan kelelahan yang merayapi tubuh-tubuh mereka. Maka mereka berkeputusan untuk
menunda ceritera mereka sampai besok. Kini mereka perlu beristirahat. Namun meskipun mereka berbaring, tetapi
angan-angan mereka masing-masing masih membumbung tinggi.
Kebo Kanigara membayangkan betapa kemenakannya itu melakukan pelanggaran di halaman istana. Ah, benarbenar anak nakal. Penyakitnya itu setiap saat dapat muncul dengan tiba-tiba. Seharusnya ia menghindari kesalahan
ini, meskipun ia tidak bersalah seluruhnya, pikirnya.
Sedang Arya Salaka sibuk membayangkan masa depannya disamping masa depan sahabatnya yang gemilang.
Namun ia tidak iri hati. Kalau ia dapat kembali ke tanah pusakanya, maka ia telah mengucap syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Apalagi kini ayahnya telah kembali kepadanya. Namun terdengar ia berdesah. Ia belum berhasil
menemukan ibunya. Ia masih belum berani menyinggung-nyinggung keselamatan ibunya kepada ayahnya. Sebab ia
masih belum menemuinya. Meskipun ia melihat pertanyaan tentang ibunya itu memancar dari rongga mata ayahnya,
namun agaknya ayahnyapun berusaha menahan diri, di hadapan orang-orang lain ini. Memang demikianlah
pertanyaan tentang isterinya itu melingkar-lingkar di hati Gajah Sora. Namun ia agak malu untuk melahirkannya.
Yang melayang-layang di dalam angan-angan Mahesa Jenar adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kalau
orang berjubah abu-abu itu berkata bahwa Jaka Tingkir kelak akan merajai pulau Jawa, bagaimanakah dengan kedua
pusaka itu? Apakah oleh Panembahan Ismaya, kedua pusaka itu akan diserahkan kepada Mas Karebet sebagai sipat
kandel, dan apakah kedua pusaka itu akan luluh dalam dirinya. Aku akan menanyakannya ke Karang Tumaritis
kelak, pikirnya. Sekarang biarlah aku mengantar Arya sampai ke tempatnya. Tanah perdikan Banyubiru.
Meskipun angan-angan mereka bertentangan kian kemari, namun mereka tetap berbaring diam.
Wulungan tidak ikut berbaring dengan mereka, tetapi ia berdiri dan melangkah keluar. Ia berjalan ke arah api di
pojok desa, dan ia berbaring di antara anak buahnya. Kepada anak buahnya diceriterakannya apa yang dilihatnya,
bahwa Ki Ageng Gajah Sora telah kembali diantar oleh dua orang prajurit istana. Sisa malam berjalan dengan
tenangnya, dibungai oleh bintang pagi di tenggara, bertengger di atas punggung bukit. Mereka yang berbaring di
bale-bale besar itupun telah lelap dibuai mimpi. Tetapi mereka tidak tidur terlalu lama.
Pagi-pagi benar, sebelum cahaya matahari memancar dari balik cakrawala, mereka telah bangun. Setelah
bersembahyang Subuh, segera mereka bersiap-siap untuk pergi ke Pamingit. Wulunganpun segera mempersiapkan
diri beserta beberapa orang laskarnya, untuk mengantar Mahesa Jenar dan kawan-kawannya ke Pamingit dan kini
bahkan bertambah dengan Ki Ageng Gajah Sora, Paningron dan Gajah Alit. Rara Wilis dan Widuri pun terkejut
bercampur gembira ketika mereka mengetahui bahwa ayah Arya Salaka telah kembali dengan selamat. Perjalanan di
pagi yang segar itu terasa sangat menggembirakan bagi Widuri. Kudanya kadang-kadang berpacu mendahului,
kadang-kadang berlari berputar di lapangan rumput terbuka mengejar kelinci yang berkeliaran. Arya Salaka pun
sebenarnya tidak kalah gembiranya. Sebenarnya ia ingin berpacu pula, mengejar kuda Endang Widuri, tetapi ia tidak
tahu, perasaan apa yang telah mencegahnya. (Bersambung)-b
Serial Bersambung 05 Januari 2001 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 667
GAJAH SORA yang melihat gadis itu dengan lincahnya seolah-olah menari-nari di atas punggung kuda menjadi
heran. Alangkah lincah dan tangkasnya. Ah, tidaklah aneh, bisik hatinya, Ayahnya, Kakang Kebo Kanigara telah
mampu membunuh Nagapasa.
Dan tiba-tiba saja hatinya menjadi sangat tertarik pada gadis itu. Sayang, hatinya berbisik terus, Aku tak punya
anak gadis seperti itu.
Tetapi ia tidak kalah bangga melihat Arya Salaka yang duduk tenang di atas kuda di sampingnya. Anak itu tampak
kokoh, kuat seperti Mahesa Jenar. Kalau dahulu, di gunung Tidar, kematangannya dalam menerapkan ilmu Lebur
Saketi, satu lapis lebih tinggi dari Mahesa Jenar, maka kini ia yakin, bahwa anaknya sudah tak dapat dikalahkannya.
Ilmunya sendiri, hampir tak berubah selama ia berada di Demak. Tetapi ia tidak menyesal. Bagi tanah perdikannya,
Arya Salaka sudah akan mampu dibujurlintangkan apabila ada marabahaya datang.
Terhadap Mahesa Jenar pun, ia tak habis heran, dari mana ia dapat mematangkan ilmunya sehingga ia mampu
membunuh Sima Rodra? Tak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan itu. Sebenarnya mereka masingmasing ingin segera sampai, tapi tak seorangpun yang berkesan tergesa-gesa. Mereka berusaha menahan perasaan
masing-masing.
Ketika mereka sampai di Jatisari, mereka melihat desa ini masih sepi. Beberapa rumah tampak rusak. Ketika mereka
sampai disebuah rumah yang lebih besar daripada rumah-rumah yang lain, Wulungan berkata kepada Mahesa Jenar,
Baiklah aku melihat rumah Bahu Jatisari ini.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 81 dari 142

Lihatlah, jawab Mahesa Jenar, Rumah itu masih tampak sepi.


Ketika Wulungan membelokkan kudanya masuk ke halaman rumah Bahu Jatisari, rombongan itupun berhenti
menunggu. Beberapa orang laskar anak buah Wulungan ikut masuk ke halaman rumah itu. Mereka berloncatan turun
dari kuda mereka, dan bersama-sama dengan Wulungan memasuki rumah itu.
Tidak lama kemudian mereka telah keluar kembali. Tampak wajah mereka membayangkan kekecewaan dan
kemarahan.
Apa yang terjadi? tanya Mahesa Jenar, ketika Wulungan telah berada di dalam rombongan itu kembali.
Perampokan yang biadab, jawab Wulungan, Rumah itu telah hampir kosong. Orang-orang golongan hitam telah
merampoknya.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Yang berkata kemudian Ki Ageng Gajah
Sora, Kasihan rakyat Pamingit.
Sesaat kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan mereka melihat bekas-bekas keganasan
gerombolan hitam yang telah menunggu daerah perdikan Pamingit. Juga di sepanjang jalan mereka ketemukan
bekas-bekas rakyat Pamingit yang mengungsi.
Widuri yang berkuda paling depan, meloncat turun dari kudanya, ketika dilihatnya sebuah golek terkapar di tanah.
Apa yang kau ambil itu? tanya ayahnya, Kebo Kanigara.
Golek, jawab Widuri.
Anak yang mempunyai golek ini mesti mencarinya. Mungkin pada waktu itu ia didukung oleh ibunya berlari-lari,
menghindarkan diri dari api peperangan. Semalam suntuk anak itu pasti menangis mencari goleknya ini.
Kepada siapa golek itu akan kau kembalikan? tanya ayahnya.
Di pengungsian akan aku ketemukan, jawab Widuri, Gadis kecil yang manis. Ayahnya tersenyum. Sebagai
seorang gadis Widuripun perasa, ia bersedih hati kalau ia melihat orang lain meneteskan air mata. Dan ia akan
tertawa kalau ia melihat orang lain bergembira. Golek kecil itupun diselipkan di ikat pinggangnya. Kemudian
dengan lincahnya ia meloncat ke atas punggung kuda. Dan Widuri pun berpacu kembali.
Setiap orang di dalam rombongan itu menyaksikan dengan sedih akibat keganasan gerombolan orang-orang dari
golongan hitam, yang datang dari berbagai daerah untuk merusak sendi-sendi kehidupan di Pamingit. Tetapi Tuhan
Maha Adil. Hampir seluruh tokoh-tokoh mereka itu dapat dihancurkan. Dengan demikian mereka tak akan mampu
lagi untuk kembali mengadakan keributan, apalagi mimpi mereka tentang Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Sebenarnya jarak dari Pangrantunan ke Pamingit tidaklah begitu jauh. Dalam kecepatan sedang, jarak itu dapat
ditempuh dalam setengah hari. Tapi rombongan ini tidak berjalan ajeg. Berkali-kali mereka harus berhenti, kalau
mereka melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Bahkan sekali dua kali ditemuinya mayat yang masih belum
terurus.
Dengan demikian mereka harus berhenti dan melaksanakan pemakaman sebagaimana seharusnya.
Karena itu maka perjalanan rombongan itu menjadi lambat. Ketika matahari telah jauh condong di sisi barat dan
cahaya merah berpancaran di wajah langit yang kelabu, berdebar-debarlah setiap jantung semua orang dari
rombongan itu. Di hadapan mereka, terbujur sebuah desa Banjar Panjang. Itulah Pamingit. Tanpa sengaja perjalanan
rombongan itu menjadi kian cepat.
Dan dari mulut ke mulut, Ki Ageng Gajah Sora terdengar bergumam, Pamingit! (Bersambung)-k
Serial Bersambung 06 Januari 2001 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 668
KEBO KANIGARA yang mendengar gumam itu menoleh kepada Ki Ageng Gajah Sora, tetapi sesaat kemudian
pandangan matanya berkisar pada anaknya. Widuri.... Ia memanggil.
Widuri menarik tali kekang kudanya. Dan ketika ia sudah sampai berada di samping ayahnya, terdengarlah ayahnya
berkata, Widuri, itulah Pamingit. Tetapi kata-kata itu agaknya tak berkesan di hati Widuri. Berbeda dengan pada
saat ia pertama kali melihat pedukuhan di lereng bukit Telamaya. Terhadap Pamingit itu, ia merasa tidak
berkepentingan sama sekali. Ia datang kemari karena ayahnya datang kemari pula. Berbeda dengan perasaanperasaan orang lain, apalagi Mahesa Jenar. Di Pamingit nanti akan ditemuinya semua orang yang diperlukan untuk
menempatkan kembali batas antara Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora, dan
Ki Ageng Gajah Sora.
Adalah suatu kebetulan bagi Arya Salaka, bahwa Demak merasa perlu untuk mengirimkan orang-orangnya yang
akan dapat menjadi saksi pertemuan itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 82 dari 142

Selain Mahesa Jenar, Rara Wilis pun diganggu oleh angan-angannya sendiri. Ia tidak tahu benar persoalan-persoalan
apa yang akan dapat dipecahkan di Pamingit, tapi firasatnya mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh Mahesa Jenar hampir selesai. Ia tidak tahu bagaimana dengan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten. Namun ia berdoa di dalam hati, mudah-mudahan segera ia dapat menikmati cerahnya matahari.
Tiba-tiba tanpa disadarinya, Rara Wilis menghitung-hitung umurnya sendiri. Gadis-gadis desanya yang sebaya
dengan dirinya pada umumnya telah mempunyai dua tiga orang anak. Mengingat hal itu hatinya menjadi berdebardebar. Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba mengusir angan-angannya yang mengganggunya itu.
Mereka kini telah hampir memasuki pusat pemerintahan. Tanah Perdikan Pamingit.
Ternyata daerah inilah yang paling banyak mengalami bencana. Mereka menyaksikan rumah-rumah penduduk dan
banjar-banjar desa menjadi reruntuhan dan abu. Namun meskipun demikian daerah ini telah banyak penghuninya.
Rumah-rumah yang masih tegak telah dipenuhi oleh para pengungsi. Sekarang Wulungan yang berkuda paling
depan. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Terasa jantungnya hendak meledak ketika melihat daerahnya
menjadi hancur. Tapi tak satu pun yang dapat dilakukan. Apalagi ketika di hadapannya terbentang halaman bekas
rumah kepala daerah perdikan Pamingit, di samping alun-alun. Halaman itu kini telah rata. Tak sebatang tiangpun
yang masih tegak, yang dapat mengangkat kemewahan rumah ini pada masa lampau.
Rombongan itu berhenti di regol halaman. Mereka diam membisu. Hanya pandangan mata merekalah yang
menyapu pemandangan yang mengerikan itu. Ketika tiba-tiba Wulungan melihat dua orang laskar Pamingit muncul
menyongsong rombongan itu, Wulungan bergegas-gegas menemui mereka.
Di manakah Ki Ageng? tanya Wulungan.
Di banjar desa sebelah, jawab salah seorang dari kedua orang itu.
Marilah ikut kami. Kemudian, kedua orang itupun berjalan bergegas-gegas ke arah yang ditunjukkan, sedang
Wulungan dan seluruh rombongan mengikutinya. Mereka menyusup lewat jalan sempit dan langsung memotong
arah. Matahari telah tenggelam di balik bukit. Dari kejauhan tampak nyala api pelita, memancar dari lubang pintu.
Itulah banjar desa yang masih separo tegak, kata orang yang menjemput rombongan itu. Sekali lagi terdengar
Wulungan menggeram. Ia sendirilah yang memimpin pembangunan banjar desa itu, dahulu.
Demikianlah akhirnya rombongan itu memasuki halaman banjar desa. Ketika mereka yang ada di dalam banjar desa
itu mengetahui kedatangan rombongan itu, segera merekapun menyambutnya. Yang pertama-tama melampaui
telundak pintu, adalah seorang tua yang bertubuh kecil. Ki Ageng Sora Dipayana. Ia terkejut, ketika di dalam gelap
dilihatnya sebuah rombongan yang agak besar.
Kepada Wulungan, yang berada di paling depan, orang tua itu berkata, Rombonganmu menjadi besar, Wulungan?
Oleh-oleh yang tak terduga-duga, Ki Ageng, jawab Wulungan.
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak perlu bertanya untuk kedua kalinya, sebab segera
Ki Ageng Gajah Sora meloncat turun dari kudanya, dan langsung meloncat sujud di kaki ayahnya.
Kau... desis orang tua itu. Betapa ia terkejut, dan betapa darahnya serasa mengalir semakin cepat.
Gajah Sora, Ayah, jawab Gajah Sora.
Hem... orang tua itu menggeram. Diangkatnya wajahnya menengadah ke langit. Terasa sesuatu di pelupuk
matanya.
Kau telah diperkenankan pulang kembali? tanya ayah yang bahagia itu.
Ya, Ayah, jawab Gajah Sora. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 07 Januari 2001 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 669
ORANG TUA itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keremangan ujung malam. Dilihatnya dua orang gadis dan
dua orang asing dalam rombongan itu. Menilik pakaiannya, kedua orang asing itu agaknya dua orang yang datang
dari Demak.
Karena itu Ki Ageng Sora Dipayana menyapanya dengan hormat, Adakah Anakmas berdua datang bersama-sama
dengan anakku, Gajah Sora?
Paningron dan Gajah Alit yang juga sudah turun dari kudanya seperti yang lain juga, membalas hormat bersamasama. Kemudian terdengar Gajah Alit menjawab, Benar Ki Ageng. Kami datang bersama-sama dengan Kakang
Gajah Sora.
Ki Ageng Sora Dipayana mengerenyitkan alisnya. Timbullah seleret kebimbangan di dalam hatinya. Apakah
anaknya Gajah Sora masih perlu diawasi? Namun tak sepatah kata pun pertanyaan yang melontar dari mulutnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 83 dari 142

Yang kemudian dilakukan oleh orang tua itu adalah mempersilahkan tamu-tamunya masuk ke dalam banjar desa
yang telah tidak utuh lagi itu.
Maka duduklah mereka berdesak-desakan di dalam ruangan yang sempit. Ki Ageng Sora Dipayana dengan beberapa
orang Pamingit bersama-sama dengan tamu-tamu mereka. Rara Wilis sejak kedatangannya, sebenarnya ingin
melihat, apakah kakeknya benar-benar berada di Pamingit, namun orang tua itu belum dilihatnya berada di antara
mereka.
Setelah mengucapkan selamat datang, maka berkata Ki Ageng Sora Dipayana, Ruangan ini kami pergunakan untuk
sementara. Rumah-rumah yang lain telah musnah dimakan api. Karena itulah maka kami terpaksa berpencaran.
Kami menempati pondok-pondok yang tersebar. Kami baru memberitahukan kepada sahabat-sahabat kami, bahwa
Anakmas Mahesa Jenar, Anakmas Kebo Kanigara, bahkan Gajah Sora dan tamu-tamu kami yang lain telah datang.
Kalau mereka bersama-sama kemari akan sesaklah ruangan sesempit ini. Juga Lembu Sora dan pimpinan-pimpinan
laskar Banyubiru telah kami panggil.
Dan apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu ternyata terbukti kemudian. Terdengarlah dari beberapa
jurusan suara langkah tergesa-gesa. Beberapa orang datang berturut-turut dan berdesak-desakkan di muka pintu.
Mereka adalah orang-orang Banyubiru. Di antaranya tampak Bantaran, Panjawi, Jaladri, Sendang Papat dan yang
lain-lain. Mereka hampir tidak percaya ketika seseorang mengatakan kepada mereka, bahwa bersama-sama dengan
Mahesa Jenar dan Arya Salaka telah datang pula Ki Ageng Gajah Sora.
Agaknya Ki Ageng Gajah Sora tanggap pada keadaan. Ia tidak bisa mempersilahkan mereka masuk karena ruangan
yang sempit. Karena itu segera ia berdiri dan melangkah ke pintu. Orang-orang Banyubiru itu rasa-rasanya seperti
sedang bermimpi, ketika mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora benar-benar berdiri di hadapannya. Ketika kemudian
mereka tersadar, berebutlah mereka mengulurkan kedua tangan mereka, untuk menyambut salam kepala daerah
perdikan mereka yang mereka kasihi.
Mereka menyambut tangan Ki Ageng Gajah Sora dengan penuh gairah, seolah-olah tidak mau melepaskannya lagi.
Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu melihat kesetiaan anak buahnya. Sesaat kemudian terdengarlah suara para
pemimpin laskar Banyubiru itu seperti seribu burung bersama-sama berkicau, berebut dahulu bertanya tentang
seribu satu macam persoalan dan pengalaman Ki Ageng Gajah Sora. Sambil tersenyum Ki Ageng Gajah Sora
menjawab, Ceriteraku akan panjang sekali. Besok sajalah aku ceriterakan kepada kalian. Yang pasti bagi kalian
sekarang, bahwa aku telah tiba kembali dengan selamat di hadapan kalian, tanpa cacat dan tanpa cidera. Aku datang
seperti saat aku pergi.
Beberapa orang Banyubiru itu belum puas mendengar jawaban yang hanya terlalu pendek. Mereka masih ingin
mendengar uraian Ki Ageng Gajah Sora tentang dirinya lebih panjang lagi. Tetapi sekali lagi sambil tersenyum Ki
Ageng Gajah Sora berkata, Kalau kalian sedang haus sekali, janganlah minum terlalu banyak, kalau kalian lagi
lapar sekali, janganlah makan terlalu banyak. (Bersambung)-m
Serial Bersambung 08 Januari 2001 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 670
AH, terdengar mereka bergumam. Tetapi akhirnya mereka pun sadar, bahwa Ki Ageng Gajah Sora tak akan dapat
berceritera dalam keadaan yang sedemikian.
Duduklah dahulu, Ki Ageng Gajah Sora meneruskan. Di halaman atau di emper banjar ini, nanti malam kita bisa
menghabiskan waktu kita sambil berbicara tentang apa saja.
Kemudian orang-orang Banyubiru itupun meninggalkan pintu itu. Mereka bertebaran di halaman, duduk di bawah
pepohonan, di akar-akar kayu dan di batu-batu. Sibuklah mereka dengan ceritera mereka masing-masing tentang Ki
Ageng Gajah Sora. Mereka mencoba menebak-nebak dan mereka-reka, apakah yang sekiranya telah terjadi dengan
kepala daerah Perdikan mereka. Masih sesaat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di muka pintu. Ia melihat anak buahnya
duduk bertebaran di halaman.
Di dalam ruangan banjar terdengar percakapan yang riuh. Sekali Ki Ageng Gajah Sora melemparkan pandangannya
ke langit, awan yang tipis mengalir dihembus angin yang lembut. Bintang-bintang menjadi suram disaput oleh
selapis mendung.
Mudah-mudahan tidak turun hujan, gumam Gajah Sora. Kalau terjadi demikian, alangkah susahnya. Apalagi di
pondok-pondok yang kecil yang ditempati bersama lima enam keluarga beserta anaknya.
Tiba-tiba gumam Ki Ageng Gajah Sora terhenti, ketika dilihatnya sesosok tubuh perlahan-lahan mendatangi banjar
itu. Sesosok tubuh yang tinggi besar, berdada bidang, hampir seperti dirinya. Ia melihat bahwa orang yang
mendatanginya itu agak ragu. Sekali-kali langkahnya terhenti, tetapi kemudian dilanjutkannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 84 dari 142

Gajah Sora mengangkat dahinya. Terbayanglah apa yang selama ini dialami. Meskipun ia mendapat perlakuan yang
baik, namun sangat terbatas. Ia sudah tahu seluruhnya, peran apakah yang dilakukan oleh adiknya, Ki Ageng Lembu
Sora. Dan yang datang dengan ragu-ragu itu adalah adiknya. Adiknya, yang dengan sengaja pernah
menjerumuskannya ke dalam suatu keadaan yang sulit.
Ia tahu betul bahwa adiknya itu bernafsu untuk memiliki kekuasaan yang lengkap, seperti apa yang pernah dimiliki
oleh ayahnya, Ki Ageng Sora Dipayana. Wajah Ki Ageng Gajah Sora menjadi tegang sekali ketika langkah Ki
Ageng Lembu Sora terhenti. Hanya beberapa langkah di hadapannya.
Keduanya tegak seperti dua patung yang hampir serupa, gagah, tegap dan kokoh. Orang-orang Pamingit dan
Banyubiru yang melihat peristiwa itu menjadi tegang pula. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dan apa yang
seharusnya mereka lakukan. Suara di dalam banjar desa yang tinggal separo itu masih riuh. Terdengar suara Gajah
Alit seperti air yang mengalir, diselingi oleh gelak tertawanya yang menonjol daripada suara orang-orang lain.
Nadanya tinggi agak sumbang. Adalah pembawaannya sejak anak-anak, apabila ia menjadi seorang periang dan
senang berkelakar dalam keadaan apapun.
Paningron, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya kadang-kadang saja terdengar tertawanya menyentak, sedang
Arya Salaka dan Rara Wilis tampak hanya tersenyum-senyujum tertawa terkekeh-kekeh. Apalagi ketika sekali lagi
Gajah Alit menyinggung tentang Gajah Sora selama di Demak. Widuri yang duduk bertentangan dengan lubang
pintu, tidak begitu tertarik pada ceritera Gajah Alit. Hanya kadang-kadang saja tertawa nyaring. Tetapi bukan karena
ia mendengar ceritera Gajah Alit yang lucu, tetapi justru ia menertawakan bagaimana Senapati Demak yang bulat
pendek itu tertawa.
Tetapi, tiba-tiba Widuri pun menjadi bersungguh-sungguh ketika ia melihat Ki Ageng Gajah Sora merenggangkan
kakinya. Sebagai seorang gadis yang terlatih dalam tata gerak bela diri, ia melihat bahwa ada sesuatu di antara
renggang kaki Gajah Sora, juga sepasang kaki yang renggang.
Cepat-cepat Widuri mengamit tangan ayahnya sambil berbisik, Ayah, kenapa dengan Paman Gajah Sora?
Kebo Kanigara segera memaklumi. Ia dapat melihat lewat samping kaki Gajah Sora. Di dalam gelap, dilihatnya
seseorang yang sudah dikenalnya, Ki Ageng Lembu Sora. Pertemuan itu menjadi terganggu. Semua melihat
perubahan wajah Widuri dan Kebo Kanigara.
Dengan cemas Ki Ageng Sora Dipayana bertanya, Ada apa Anakmas? Putra Ki Ageng yang muda telah datang,
jawab Kebo Kanigara. Segera orang tua itu menangkap sasmita tamunya. Cepat ia meloncat berdiri dan langsung
melangkah ke luar pintu. Hampir saja ia melanggar Ki Ageng Gajah Sora yang masih berdiri membelakangi pintu.
Lembu Sora... kata orang tua itu, Inilah kakakmu yang sudah lama kau tunggu.
Kata-kata orang tua itu benar-benar berpengaruh di dada Lembu Sora. Sebenarnya iapun sama sekali tak bermaksud
apa-apa. Ketika ia sedang berbaring di bale-bale dalam pondoknya, berlepas baju karena udara yang panas,
datanglah utusan ayahnya, memberitahukan kedatangan kakaknya. Mendadak terasa tubuhnya gemetar, dan dengan
serta merta timbullah keinginannya untuk memeluk kaki saudara tua yang pernah disengsarakannya itu untuk minta
maaf. (Bersambung)-b
NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 671
LEMBU SORA segera meloncat, menyambar bajunya dan sambil berjalan tergesa-gesa, ia mengenakan baju itu di
sepanjang jalan, sambil berteriak, "Cari Sawung Sariti. Beritahukan kepadanya, bahwa aku menghadap Kakang
Gajah Sora untuk menyerahkan segala kesalahan."
Tetapi ketika ia sampai di halaman banjar desa itu, dan melihat bayangan kakaknya berdiri di muka pintu seperti
sikap seekor gajah yang sedang marah, ia menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya nanti tidak tiba-tiba saja memukul
kepalanya selagi ia sedang memeluk kakinya? Apakah ia masih berhak memanggil orang yang berada di muka pintu
itu dengan sebutan Kakang? Karena keragu-raguannya itu, dan karena kesadaran diri akan kesalahannya yang
bertimbun-timbun, ia beberapa kali terhenti. Bahkan yang terakhir, kurang beberapa langkah lagi, ia sudah tidak
dapat lagi memaksa dirinya untuk maju. Bahkan tiba-tiba ia melihat ketegangan sikap kakaknya, dan tanpa sadar, ia
pun menarik kakinya merenggang.
Tiba-tiba muncullah ayahnya. Dan bersamaan dengan itu, kembali pulalah pikirannya yang jernih. Ia datang untuk
minta maaf kepada kakaknya itu. Apakah kakaknya akan memaafkannya atau tidak, bukanlah soalnya. Apakah
kakaknya akan memukul hancur kepalanya dengan Lebur Seketi, juga bukan soalnya. Karena itu sekali lagi ia
memaksa diri, mengusir ketakutannya untuk melihat kesalahan dirinya sendiri.
Dengan langkah yang gemetar, Lembu Sora mendekat Gajah Sora. Tetapi ia tidak berjongkok dan memeluk kaki
kakaknya. Yang dilakukan hanyalah mengulurkan kedua tangannya sambil membungkukkan punggungnya dalamdalam. Dari mulutnya keluarlah suaranya berdesir lambat, "Kakang Gajah Sora...."
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 85 dari 142

Gajah Sora masih berdiri tegang. Di belakangnya, di mulut pintu telah berdiri beberapa orang berdesak-desakan.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Paningron dan Gajah Alit.
Terasa sesuatu bergolak di dadanya. Sebagai manusia biasa, sulitlah baginya untuk melenyapkan segala kenangan
pahit yang harus ditelannya. Semuanya itu adalah akibat dari perbuatan adiknya itu.
Ki Ageng Sora Dipayana melihat pergolakan di hati anaknya yang tua. Ia pun bisa mengerti, betapa pedih hatinya
selama ini. Namun bagaimanapun juga keduanya adalah anaknya. Apalagi pada saat terakhir, Lembu Sora telah
menemukan kembali jalan kebenaran. Karena itu ia berkata, "Adikmu telah lama menunggumu. Dalam limpahan
kasih keluarga Pangrantunan, ia telah menemukan titik-titik terang dalam hidupnya."
Gajah Sora menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangan kanannya bergerak. Akhirnya dengan hati kosong,
disambutnya tangan adiknya. Tetapi ia terkejut ketika Lembu Sora tidak saja menggenggam tangannya itu erat-erat,
tetapi diciumnya, dan dibasahinya tangan itu dengan air mata. Dada Gajah Sora pun bergetar. Darahnya yang serasa
menggelegak sampai ke lehernya oleh perasaan marah, dendam dan muak yang meluap-luap ketika melihat adiknya
itu, kini perlahan-lahan mengendap kembali ke dalam hatinya.
Ki Ageng Lembu Sora seorang laki-laki yang tak mengenal takut, seorang laki-laki yang bergegayuhan setinggi
awan, yang berkelana di langit biru, yang karenanya telah melupakan tata subasita, bahkan telah melupakan kulit
daging sendiri, kini seperti kanak-kanak yang kehilangan barang mainannya, menitikkan air mata sambil
menggenggam tangan kakaknya.
Ki Ageng Gajah Sora pun runtuhlah hatinya. Dikenangkannya pada masa kanak-kanak mereka. Pada masa-masa
mereka sering bertengkar dan berkelahi berebut barang mainan. Kalau Gajah Sora sedang asyik membuat mainan
dari kayu atau dari bambu, kemudian datang Lembu Sora yang kecil merebutnya. Kadang-kadang Gajah Sora yang
belum puas menikmati permainannya pun menjadi marah dan berusaha merebut permainan itu kembali. Tetapi
Lembu Sora mempertahankan dengan tangisnya.
Kalau demikian, akhirnya runtuhlah pertahanan hati Gajah Sora. Ia tidak akan meminta permainan itu kembali.
Seandainya, seandainya saat inipun tiba-tiba Lembu Sora berkata, "Kakang, aku iri hati melihat kamukten
Banyubiru. Aku ingin untuk ikut menikmatinya. Betapa rinduku kepada suatu masa yang gemilang dari perjalanan
hidupku, dengan memiliki daerah bekas tanah perdikan Pangrantunan seutuhnya," Berserahlah Lembu Sora.
Tetapi, tetapi seandainya Lembu Sora datang kepadanya dengan tangan bertolak pinggang. Menuding di depan
hidungnya sambil berteriak, "Minggat kau Gajah Sora. Banyubiru adalah milikku."
Seandainya demikian, maka pasti akan ditengadahkan wajahnya, dan akan dijawabnya dengan lantang, "Marilah
Lembu Sora, lampaui mayatku dahulu." Tetapi, tetapi yang terjadi bukanlah demikian. Lembu Sora tidak menangis
untuk meminta kemukten Banyubiru, dan Lembu Sora tidak bertolak pinggang untuk menantang kakak kandungnya
sendiri. Baru saja, dalam saat yang pendek dialami, betapa pahitnya daerah Pamingit yang dilanda oleh arus
peperangan. (Bersambung)-c
Serial Bersambung 10 Januari 2001 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN No. 672 Karya SH. Mintarja
BETAPA pedih hati Lembu Sora melihat api yang menelan rumah-rumah dan banjar-banjar desa, mendengar pekik
tangis perempuan dan anak-anak yang berusaha untuk memperpanjang hidupnya.
Betapa ngeri perasaan anak-anak melihat darah yang bercucuran dan betapa tertekan jiwanya melihat ayahnya
diseret ke jalan-jalan. Tetapi peperangan itu sendiri serasa menjadi sahabat yang paling karib dari manusia. Setiap
kali akan datang kembali, mengunjungi sahabatnya. Kalau tidak, maka sahabatnya itulah yang bertingkah
mengundangnya.
Ternyata dalam sejarah hidup manusia yang ditulis di lontar-lontar, kitab-kitab kidung dan di lontar-lontar yang lain,
selalu akan berulang kembali kata-kata: perang, perang, perang! Meskipun setiap mulut akan mengutuknya sebagai
hantu yang paling menakutkan, tetapi seperti juga kekasih yang selalu dirindukan. Tidak saja negara-negara besar di
Nusantara sendiri yang timbul dan tenggelam setelah pacah perang-perang besar, seperti Mataram Lama, Jenggala,
Kediri, Pajajaran, Majapahit, dan bahkan ceritera-ceritera yang dibawa oleh para perantau, para pelaut dan pedagang
asing di pantai Nusantara.
Negara-negara Parangakik, Ngerum, negara-negara Cina dan Jepang yang berebut pengaruh, selalu diakhiri oleh
tangis para janda dan anak-anak karena suami dan ayah mereka lenyap dengan mengerikan sekali dalam kebiadaban
api peperangan. Peperangan yang paling terkutuk, yang selalu terjadi di bumi Nusantara sejak masa-masa
pemerintahan Senduk di Mataram Lama, Jayabaya dan Jayasaba, sampai pada masa-masa pemerintahan Tumapel
Kediri dan seterusnya, pecahnya Majapahit, adalah karena perang saudara. Pemberontakan Peregreg, dan
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 86 dari 142

sebagainya, adalah permulaan dari kemunduran Majapahit. Karena itulah, didasari pada kesadaran yang demikian,
setelah kepalanya sendiri hampir terbentur hancur, Lembu Sora sempat melihat dalam dirinya. Ia tidak mau
mengalami nasib yang demikian. Kehancuran mutlak atas Pamingit dan Banyubiru. Yang membelit dirinya kini
adalah penyesalan. Penyesalan yang menghujam ke dalam jantung kalbunya.
Dan ia belum terlambat.
Gajah Sora pun kemudian telah bersiap sebagai seorang kakak yang baik. Sambil menepuk bahu adiknya, ia berkata
perlahan-lahan. Masuklah Lembu Sora. Lembu Sora tidak bisa menjawab. Mulutnya tersumbat. Tetapi ia
mengangguk dan melangkah ke pintu. Yang berada di pintu pun telah duduk kembali ke tempatnya. Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara, Gajah Alit dan Paningron, kemudian Arya Salaka, Wilis dan Widuri. Disusul kemudian Gajah Sora
dan Lembu Sora, sedang yang terakhir kali menempati tempatnya adalah Ki Ageng Sora Dipayana.
Mula-mula terasa betapa hatinya bergelora ketika Ki Ageng Lembu Sora melihat siapa saja yang hadir di dalam
ruangan itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang yang berpakaian lengkap sebagai prajurit-prajurit Demak. Jelas
terbayang di kepalanya, bagaimana ia dengan orang-orang golongan hitam, mencegat laskar Demak, lima enam
tahun yang lampau. Bagaimana pada saat itu Mahesa Jenar telah menyergapnya.
Tetapi kemudian hati Lembu Sora menjadi sumeleh. Ia pasrah pada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Ia akan menerima
kebenaran tertinggi. Sebab kemudian ia yakin, bahwa kebenaran tidak dapat dipaksakan oleh manusia, meskipun
manusia seluruh dunia mengakuinya. Namun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kebenaran yang berjalan di atas
firman-Nya.
Tetapi sesuatu telah terjadi di luar halaman banjar desa itu. Dua pasang mata telah menyaksikan betapa Ki Ageng
Lembu Sora menangis. Dan wajah kedua orang itupun menjadi merah karena marah. Seorang berperawakan kokoh
dengan jalur-jalur ototnya yang menjorok di seluruh permukaan kulitnya. Orang itu adalah Galunggung, sedang
yang lain, seorang anak muda sebaya dengan Arya Salaka, putra Ki Ageng Lembu Sora sendiri.
Perempuan, bisik Sawung Sariti.
Ayah Angger Arya Salaka terlalu perasa, sahut Galunggung.
"Apa yang kira-kira dilakukan Ayah? Menyerah kepada nasib? Atau malahan menyerahkan Pamingit sebagai
tebusan dirinya? Sawung Sariti meneruskan sambil mencibirkan bibirnya.
Apa kira-kira yang akan dilakukan oleh dua orang prajurit dari Demak itu di sini? tanya Galunggung tiba-tiba.
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Entahlah, jawabnya, Mungkin ia akan menangkap Ayah, karena Ayah
pernah mencegat laskar Demak, dahulu.
Mata Galunggung yang seperti burung hantu itu tiba-tiba menjadi suram. Ia menarik nafas sambil mengeram,
katanya, Kalau benar, aku kira lebih baik hancur daripada menyerah.
Apakah kau sangka yang dua orang itu mampu menghancurkan kita? kata Sawung Sariti dengan nada yang tinggi.
(Bersambung)-b
Serial Bersambung 11 Januari 2001 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN No. 673 Karya SH. Mintarja
GALUNGGUNG menyahut, Laskarnya, apakah kira-kira hanya dua orang itu saja?
Jangan pikirkan itu, potong Sawung Sariti, Barangkali ia mengawal Paman Gajah Sora yang hanya sekadar boleh
menengok keluarga. Tetapi yang penting bagiku adalah Arya Salaka. Apakah Paman Gajah Sora kembali
memerintah di Banyubiru atau tidak, kalau Arya Salaka dapat aku lenyapkan, maka akhirnya Pamingit dan
Banyubiru akan jatuh di tanganku dengan sendirinya.
Angger benar. Tak ada orang lain yang dapat mewarisi kedua daerah ini secara sah selain Angger Sawung Sariti,
jawab Galunggung.
Sawung Sariti tersenyum. Seolah-olah ia telah memastikan dirinya untuk menerima warisan dari ayahnya atas
Pamingit dan dari pamannya Gajah Sora atas Banyubiru. Meskipun dengan demikian ia harus duduk di atas bangkai
kakak sepupunya.
Marilah kita pergi, ajak Sawung Sariti.
Tidaklah Angger akan menghadap Pamanda Gajah Sora? tanya Galunggung.
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya, jawabnya, Buat apa?
Keduanya pun melangkah pergi. Tak seorangpun yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sawung Sariti.
Dan keduanya pergi tanpa menarik perhatian seorang pun. Sebagaimana mereka datang dari dalam gelap, berhenti
dan berdiri menyaksikan apa yang terjadi di halaman banjar desa dari dalam gelap, mereka pun lenyap ditelan oleh
kegelapan.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 87 dari 142

Di Banjar Desa, pembicaraan-pembicaraan telah mulai berlangsung lancar sekali. Paningron, meskipun tidak dengan
tegas, namun disindirnya, bahwa ia tidak akan mengambil suatu tindakan apapun terhadap Banyubiru dan Pamingit,
karena peristiwa pencegatan lima tahun lampau, sebab menurut laporan yang masuk ke Demak, pencegatan itu
dilakukan oleh golongan hitam.
Sesaat kemudian di halaman itupun dikejutkan oleh suara tawa yang tinggi nyaring. Kemudian masuklah ke
halaman itu seorang tua yang bertubuh tinggi, kekurus-kurusan. Dengan suara yang berderai, ia bertanya kepada
anak-anak yang duduk di halaman, Siapakah yang berada di dalam?
Penuh, Ki Ageng, jawab salah seorang.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Katanya, Seseorang memberitahu kepadaku, katanya Anakmas Mahesa Jenar telah
datang, bersama-sama dengan beberapa orang lain, di antaranya dua orang gadis. Adakah Rara Wilis bersamanya?
Yang ditanya oleh Ki Ageng Pandan Alas, kebetulan adalah anak-anak Banyubiru, yang memang mengenal Rara
Wilis.
Dari lubang pintu mereka memang melihat gadis itu berada di dalam. Maka salah seorang menjawab, Ya, Ki
Ageng, salah seorang di antaranya adalah Rara Wilis.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Aku sudah rindu kepadanya, katanya. Dan suaranya itu terdengar dari dalam
ruangan Banjar Desa. Maka berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, Angger Rara Wilis agaknya eyangmu telah
datang.
Ya, Eyang, jawabnya, Aku sudah mendengar suaranya.
Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas muncul. Bagitu saja ia langsung masuk ke dalam Banjar. Tetapi ia tertegun,
ketika dilihatnya banyak orang lain. Di antaranya, bahkan dua orang prajurit dalam pakaiannya.
Silahkan Ki Ageng, Ki Ageng Sora Dipayana mempersilahkan.
Uh! sahut Ki Ageng Pandan Alas, Aku kira hanya orang-orang kita sendiri, tetapi agaknya .... suaranya terputus,
lalu sambil berjalan berjongkok ia maju ke depan Gajah Sora sambil berkata, Bukankah ini Angger Gajah Sora
seperti yang kau katakan, Ki Ageng?"
Ia berkata Ki Ageng Sora Dipayana, namun tangannya terancung kepada Gajah Sora. Dengan serta merta Gajah
Sora menyambut salam itu, sambil membungkuk hormat ia menjawab, Terimakasih, Paman.
Baru kemudian Ki Ageng Pandan Alas sempat menyapa cucunya Rara Wilis.
Kau bertambah kurus Wilis, katanya. Rara Wilis menundukkan wajahnya. Tetapi jangan terlalu kau biarkan
dirimu menjadi semakin kurus. Itu tidak baik. Apalagi bagi gadis-gadis, kata eyangnya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Endang Widuri, Tidak Eyang, Bibi Wilis hampir setiap pagi dan sore minum
jamu singset. Karena itu Bibi Wilis kian hari kian bertambah cantik.
Ah, potong Wilis sambil mencubit lengan anak itu.
Aduh! Widuri mengaduh, namun ia tertawa-tawa saja.
Dengan hadirnya Ki Ageng Pandan Alas, ruangan itu bertambah ramai dan ribut. Namun juga bertambah panas.
Apalagi sesaat kemudian Titis Anganten telah datang pula meramaikan pertemuan itu. Pertemuan dari sekelompok
sahabat yang lama terpisah-pisah, namun kemudian berkumpul kembali dalam suasana yang menyenangkan.
Pembicaraan mereka berkisar kesana kemari tak menentu. Terasa seakan-akan waktu begitu sempit dan cepat.
Karena itu mereka terpaksa menunda pembicaraan mereka sampai esok. Belum ada hal yang puas mereka dengar,
baik dari Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara tentang Pasingsingan yang rangkap tiga. Juga dari Gajah Sora
tentang pengalamannya di Demak, serta dari Ki Ageng Sora Dipayana, Pandan Alas dan Titis Anganten tentang
lenyapnya laskar hitam dari Pamingit. (Bersambung)-c
Serial Bersambung 12 Januari 2001 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN No. 674 Karya SH. Mintarja
AGAKNYA malam telah jauh. Dan pertemuan itu pun bubarlah. Masing-masing dibawa ke pondok yang sudah
disediakan, meskipun berpencar-pencar. Malam menjadi sepi.
Namun Ki Ageng Gajah Sora tidak segera dapat beristirahat. Di halaman, anak-anak Banyubiru benar-benar
menantinya, sehingga ia masih memerlukan waktu untuk menemui mereka. Berbicara dengan mereka, menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka, yang kadang-kadang aneh-aneh. Tetapi dari mereka Gajah Sora juga mendengar
bahwa anaknya, Arya Salaka, benar-benar luar biasa.
Jaladri pernah melihat Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo. Tidak saja dalam pertempuran besar beberapa hari
yang lalu, tetapi di Gedong Sanga pun pernah dilihatnya. Ia sama sekali tidak menyangkal ceritera itu. Bukan
sekadar ceritera yang berlebih-lebihan, namun ceritera itu benar-benar terjadi.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 88 dari 142

Dirinya sendiri pernah membuktikan betapa anak muda yang bernama Arya Salaka itu mampu melawannya.
Selagi Ki Ageng Gajah Sora duduk bersama dengan anak-anak Banyubiru, sebelum ia diantar ke pondoknya, Arya
Salaka telah mendahuluinya bersama gurunya dan Kebo Kanigara. Tetapi ia pun tidak segera dapat tidur. Ketika
gurunya dan Kebo Kanigara telah berbaring di ruang dalam, Arya Salaka masih duduk di muka pintu menunggu
kedatangan ayahnya, yang juga harus beristirahat di tempat itu bersama-sama mereka. Sedang di pondok sebelah
adalah tempat untuk beristirahat kedua prajurit dari Demak, Paningron dan Gajah Alit.
Ketika Arya Salaka sedang merenungi titik-titik yang jauh di dalam gelap malam, tiba-tiba dilihatnya seseorang
lewat di muka pondoknya. Seorang tua yang berjalan seperti perempuan. Orang itu berhenti sejenak, lalu
melambaikan tangannya kepada Arya Salaka. Arya Salaka yang sudah mengenalnya segera berdiri mendekatinya.
Sambil membungkuk hormat, ia bertanya, Adakah sesuatu, Eyang Titis Anganten?
Aku ingin mengatakan kepadamu dalam pertemuan tadi, namun aku tidak sampai hati merusak suasana yang
gembira itu. Sebenarnya masih ada sesuatu yang ketinggalan dari keluarga Banyubiru dan Pamingit, jawab Titis
Anganten.
Cepat hati Arya bergeser ke ibunya. Dahulu orang tua itulah yang memberitahukan kepadanya, bahwa ibunya
selamat. Dan sekarang ia berkata tentang keluarga Banyubiru dan Pamingit yang tercecer.
Ya, sahut Arya, Agaknya Eyang Sora Dipayana tidak ingat lagi kepada ibu.
Ah. Jangan berkata begitu Arya, potong Titis Anganten, Eyangmu sudah tahu, kalau ibumu aku selamatkan.
Agaknya ia segan untuk dengan tergesa-gesa menyuruhku mengambilnya. Karena itu dibiarkannya saja sampai aku
datang membawanya kembali.
Arya menundukkkan wajahnya. Terasa bahwa ia agak terlanjur menyangka eyangnya melupakan ibunya.
Sekarang... Titis Anganten meneruskan, Aku ingin mengembalikan ibumu. Justru ayahmu sudah lebih dahulu
datang tanpa disangka-sangka.
Terimakasih, Eyang, jawab Arya, Di manakah Ibu sekarang?
Masih di pengungsiannya, sahut Titis Anganten, Aku kira keadaan telah benar-benar baik. Kalau kau tak
keberatan, jemputlah. Tak usah orang-orang tua seperti aku.
Baik Eyang, sahut Arya, Tunjukkan aku tempatnya.
Tidak terlalu jauh. Ibu serta bibimu aku sembunyikan di Sarapandan, jawab Titis Anganten.
Sarapandan, ulang Arya.
Ya, desa kecil yang tak berarti. Aku memang menyangka desa itu tak akan menarik perhatian. Dan ternyata
memang demikian. Orang-orang dari golongan hitam itu sama sekali tak tertarik untuk singgah. Dan hanya itulah
satu-satunya kemungkinan yang dapat aku lakukan waktu itu. Untunglah, segera laskar Pamingit datang dari
Banyubiru bersama-sama dengan eyangmu. Apalagi akhirnya laskarmu datang pula bersama gurumu dan Kebo
Kanigara yang mengaggumkan itu, kata Titis Anganten.
Di mana letak dusun itu? tanya Arya. (Bersambung)-c
Serial Bersambung 13 Januari 2001 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta NAGASASRA DAN
SABUK INTEN No. 675 Karya SH. Mintarja
TITIS ANGANTEN memberinya sekadar petunjuk, namun kemudian katanya tanpa berprasangka, Ah, aku kira
lebih baik pergi bersama-sama dengan Sawung Sariti.
Arya mengerutkan keningnya. Sesuatu berdesir di dalam hatinya. Ia tidak tahu, perasaan apa yang menganggunya
apabila ia mendengar nama saudara sepupunya. Namun ia tidak dapat berkata sesuatu kepada Titis Anganten.
Arya... Orang tua itu meneruskan, Aku kira Sawung Sariti telah mengenal semua sudut daerah Pamingit ini. Aku
kira ia pun mengenal Sarapadan.Apalagi ibunya pun di sana.
Arya masih berdiam diri, dan agaknya Titis Anganten tidak memperhatikan anak muda itu. Sebab ia segera berkata
pula, Berkatalah kepada gurumu. Kalau kau temui Sawung Sariti ajaklah dia, kalau kau perlukan aku, aku pun
bersedia.
Baiklah Eyang, jawab Arya. Namun tidaklah baik baginya untuk mengajak orang tua itu. Dengan demikian ia
akan menjadi anak manja yang tak dapat melakukan sesuatu tanpa pertolongan orang lain, namun pergi bersama
Sawung Sariti pun ia agak segan-segan.
Tetapi anak itu sudah baik, pikirnya. Sementara itu kakinya melangkah tlundak pintu langsung ke pembaringan
gurunya.
Paman, katanya perlahan-lahan ketika ia melihat gurunya masih belum tidur.
Mahesa Jenar mengangkat kepalanya, Ada apa Arya? Maka dikatakannya apa yang didengar dari Titis Anganten.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 89 dari 142

Kau akan pergi? tanya Mahesa Jenar.


Arya Salaka menganguk sambil menjawab, Ya, Paman.
Kau tidak menunggu Ayah? tanya Kebo Kanigara yang berbaring di bale-bale, di samping Mahesa Jenar. Tiba-tiba
Arya ingin mengejutkan ayahnya. Kalau ayah datang nanti mudah-mudahan ia telah kembali bersama ibunya.
Bukankah Sarapadan tidak begitu jauh? Meskipun seandainya ayahnya dahulu datang, kemudia baru ibunya pun,
akan dapat menggembirakan hati ayahnya itu.
Karena itu ia menjawab, Tidak Paman. Aku ingin mengejutkan Ayah.
Dengan siapa kau akan pergi? tanya Mahesa Jenar.
Eyang Titis Anganten bersedia mengantarkan aku kalau aku memerlukannya. Kalau tidak, maka Eyang
menyuruhku mengajak Sawung Sariti, jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenar bangkit dan duduk di bale-bale itu. Tampak ia sedang berpikir. Di dalam dadanya berdesir pula
perasaan seperti perasaan di dada Arya Salaka. Namun ia pun berdiam diri.
Aku segan untuk meminta Eyang Titis Angenten mengantarku, kata Arya Salaka.
Apakah Sarapadan tidak jauh? tanya Kebo Kanigara.
Tidak, sahut Arya, Menurut eyang Titis Anganten, Sarapadan hanya berantara empat bulak besar kecil.
Pergilah, kata Mahesa Jenar kemudian, Tetapi berhati-hatilah. Jarak itu tidak terlalu jauh. Kau dapat membawa
siapapun. Tidak perlu eyangmu Titis Anganten. Biarlah ia beristirahat. Juga tidak perlu Sawung Sariti. Setiap orang
Pamingit akan dapat menunjukkan letak desa itu.
Baiklah Paman, sahut Arya. Kemudian ia pun minta diri kepada gurunya dan kepada Kebo Kanigara. Ia
bermaksud untuk pergi saja seorang diri. Sarapadan tidak terlalu jauh. Jalur jalannya pun telah ditunjukkan oleh Titis
Anganten. Sehingga ia akan dengan mudah menemukannya, atau tidak akan dapat bertanya kepada siapa saja yang
akan ditemuinya di perjalanannya. Peronda atau penjaga gardu.
Maka segera Arya pun berangkat. Malam menjadi semakin dalam. Namun bintang di langit bertebaran di segala
penjuru. Angin malam yang dingin bertiup menghancurkan suara-suara anjing liar yang berebut makanan. Sekalikali di kejauhan terdengar suara buruang hantu menggetarkan udara.
Tiba-tiba di sudut desa, Arya terhenti. Dilihatnya dua orang berdiri sebelah-menyebelah di kedua sisi jalan. Namun
segera Arya mengenal mereka berdua, Sawung Sariti dan pengawalnya yang setia, Galunggung.
Bukankah kau ini Kakang Arya Salaka? sapa Sawung Sariti.
Ya, Adi, jawab Arya.
Ke manakah Kakang akan pergi di malam begini? tanya Sawung Sariti pula.
Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Kalau ia berkata sebenarnya maka ada kemungkinan Sawung Sariti akan ikut serta.
Padahal, meskipun ia telah berusaha untuk melupakan, namun berjalan bersama-sama dengan adiknya, ia masih
terasa segan. Tetapi ia tidak menemukan jawaban lain, karena itu ia terpaksa menjawab dengan berterus terang.
Aku akan menjemput Ibu ke Sarapadan.
Adakah Bibi Gajah Sora di Sarapadan? bertanya Sawung Sariti.
Ya, jawab Arya singkat.
Kalau demikian, ibuku juga di sana? tanya Sawung Sariti pula.
Ya, jawab Arya pula.
Dari mana Kakang tahu? desak Sawung Sariti.
Eyang Titis Anganten, sahut Arya Salaka. (Bersambung)-c
NAGASASRA dan SABUK INTEN Karya SH Mintarja 676
SAWUNG SARITI mencibirkan alisnya. Ia berpikir sejenak. Kemudia ia berkata, "Aku pergi bersama-sama dengan
Kakang."
Arya menarik nafas. Ia pasti tidak akan dapat menolak. Karena itu ia menjawab, "Suatu kebetulan bagiku, Adi. Aku
belum pernah melihat tempat itu. Sekarang kalau kau akan menemani aku, aku akan berterima kasih."
Sawung Sariti mengangkat wajahnya. Dengan sudut matanya ia memandang wajah kasar orang kepercayaannya.
Kemudian terdengar ia berkata, "Kita ikut."
"Marilah Angger." Terdengar suara Galunggung berat.
Maka kemudian pergilah mereka bertiga berjalan beriring-iringan. Galunggung sambil menyeret pedangnya yang
tersangkut di lambungnya. Sekali-kali Arya mengerling kepada adiknya itu. Pedangnya berjuntai-juntai hampir
menggores tanah. Pedang itu hampir setiap keadaan tak pernah terlepas dari pinggangnya.
Sebenarnya kalau Arya bercuriga, itupun cukup beralasan. Ia menyesal bahwa ia tidak membawa tombak pusaka
Banyubiru. Namun hatinya kemudian menjadi besar, ketika terasa didalam bajunya terselip sebuah pisau belati
panjang terbalut dengan klika kayu. Pisau belati pusaka Pasingsingan yang bernama Kiai Suluh.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 90 dari 142

- Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu - pikirnya.


Dan kadang-kadang ia terpaksa tersenyum sendiri atas kecurigaannya itu.
Sedang Sawung Sariti berjalan saja dengan enaknya, melenggang dalam dingin malam.
Tetapi tiba-tiba Arya mengangkat alisnya.
Dan berkatalah ia dengan serta merta - Adi apakah benar jalan ini jalan ke Sarapadan? Sawung Sariti menoleh. Ia berhenti melangkah, kemudian menjawab pertanyaan Arya dengan heran - Ya inilah jalan
itu. Kenapa? Arya mengamat-amati keadaan sekelilingnya. Dikejauhan di wajah taburan bintang dilangit ia melihat sepasang
pohon siwalan.
Katanya - bukankah kita harus melewati jalan kecil diantara pohon siwalan itu? - Siapa bilang ? - bertanya Sawung Sariti.
- Eyang Titis Anganten - jawab Arya Salaka.
- Eyang Titis Anganten keliru - sahut Sawung Sariti.
Tetapi Arya adalah seorang muda yang hampir seluruh hidupnya berada dalam perjalanan. Iapun tahu benar, bahwa
Titis Anganten adalah seorang perantau, sehingga ia yakin bahwa tak mungkin orang tua itu salah.
Karena keyakinannya itu maka Arya menjawab - Adi, eyang Titis Anganten adalah seorang perantau, yang kerjanya
berjalan dari satu ujung, kelain ujung dari pula ini. Karena itu apakah eyang Titis Anganten akan salah jalan dalam
jarak empat lima bulak saja? - Aku adalah anak Pamingit - jawab Sawung Sariti - sejak bayi aku bermain-main ditempat ini. Adakah aku tidak
mengenal Sarapadan?
Memang, sebenarnyalah demikian.
Seharusnya Arya percaya bahwa Sawung Sariti mengenal daerah ini dengan baik. Tetapi ada sesuatu dipojok hatinya
yang berbisik - Pilihlah jalan sendiri. Karena itu Arya berkata - Adi, barangkali ada jalan lain ke Sarapadan. Jalan yang barangkali ditempuh oleh Eyang
Titis Anganten pada saat itu.- Agaknya kakang Arya Salaka lebih percaya kepada orang tua itu daripada kepadaku? - bertanya Sawung Sariti.
Arya menjadi beragu. Untuk beberapa saat ia berdiam diri. Agak sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu.
Meskipun demikian akhirnya ditemukannya juga jawabannya - Adi, baiklah aku mencoba membuktikan, apakah
Eyang Titis Anganten benar-benar seorang perantau yang baik. Sedangkan apabila nanti jalan itu tak aku ketemukan,
aku akan kembali ke Pamingit. Mengajak orang tua itu pergi bersama-sama dan mengatakan kepadanya, bahwa
perantau itu kini telah menjadi pelupa dan tak dapat mengenal jalan antara Pamingit dan Sarapadan meskipun ia
dapat menemukan jalan kembali ke Banyuwangi yang menurut eyang Titis Anganten jaraknya beribu-ribu kali lipat.
Wajah Sawung Sariti menjadi panas. Terasa sindiran halus pada kata-kata Arya. memang sebenarnya bahwa jalan
terdekat ke Sarapadan adalah jalan kecil diantara sepasang pohon Siwalan itu. Karena agaknya Arya Salaka telah
berkeras hati untuk menempuh jalan itu, maka akhirnya ia berkata - Baiklah kakang Arya, kau lewat jalanmu, aku
lewat jalan yang sudah aku kenal baik-baik. Meskipun barangkali kakang akan sampai ke Sarapadan, namun jalan
yang akan kau tempuh itu agak terlalu jauh. - Tidak apalah adi - jawab Arya - lalu bagaimana dengan adi Sawung Sariti? - Aku akan mengambil jalan ini - sahut Sawung Sariti.
- Baik. Kalau demikian biarlah kita berjanji untuk saling menunggu di tempat pengungsian ibu kami, supaya kita
bisa pulang bersama-sama - berkata Arya Salaka.
- Tidak perlu - jawab Sawung Sariti - kita sudah berselisih jalan disini. Biarlah kita jemput ibu kita masing-masing.
Aku jemput ibuku, kau jemput ibumu. ARYA menarik nafas panjang. Adiknya memang terlalu kaku. Namun Arya masih mencoba berkata, Apakah kata
ibu-ibu kita itu nanti. Mereka mengungsi bersama-sama, biarlah mereka pulang bersama-sama.
Ibuku bukan perempuan cengeng, jawab Sawung Sariti, Kalau ibuku tak mau, biarlah ia pulang sendiri tanpa
Sawung Sariti.
Hem! terdengar Arya mengeluh. Tetapi ia tidak sempat berbicara lagi. Sawung Sariti telah pergi
meninggalkannya. Galunggung berjalan di belakangnya hampir meloncat-loncat. Sekali dua kali dilihatnya kedua
orang itu menoleh, tetapi lalu berjalan semakin cepat.
Perlahan-lahan Arya memutar tubuhnya. Ia melangkah kembali ke jalan kecil di antara pohon Siwalan itu. Ia harus
berjalan terus ke selatan, kemudian di simpang tiga ia harus membelok ke kiri. Setelah beberapa langka akan
ditemuinya parit. Ia dapat menempuh dua jalan. Terus lewat jalan kecil itu, atau menyusur tepi parit. Namun kedua
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 91 dari 142

jalan itu akan bertemu kembali di bawah pohon nyamplung yang besar di tepi sebuah sungai kecil. Setelah itu, ia
hanya akan menyusur satu jalan terus sampai dimasukinya desa Sarapadan.
Mungkin Adi Sawung Sariti benar, pikirnya, Jalan itupun akan sampai ke Sarapadan. Dengan demikian Arya
agak menyesal. Mungkin ia terlalu berprasangka.
Namun sebenarnya Arya telah berbuat hati-hati. Firasatnya telah dapat memberinya beberapa pertimbangan dalam
mengambil keputusan. Kalau ia berjalan bersama-sama dengan Sawung Sariti, akibatnya akan berbahaya sekali.
Sawung Sariti telah membawanya lewat jalan yang sepi, menyusur lewat pereng yang terjal. Di sana segala sesuatu
akan dapat terjadi. Satu sentuhan di kakinya, akan dapat mengantarkannya ke dasar jurang yang dalam dan
berdinding runcing seperti gerigi. Dan hal yang demikian itu, akan dapat terjadi. Untunglah, Tuhan telah
membawanya lewat jalan lain.
Di jalan itu, Sawung Sariti berjalan sambil mengumpat-umpat. Sedang Galunggung pun menggeram tak habishabisnya. Ketika Sawung Sariti membelok, dan memilih jalan itu, hatinya yang kelam segera dapat menebak
maksud momongannya. Bahkan ia telah bersiap di belakang Arya, menyentuhnya sedikit dan kemudian bergegasgegas berlari-lari ke Pamingit, memberitahukan kecelakaan yang terjadi, bahwa Arya Salaka terpeleset ke dalam
jurang, atau dibiarkannya, tak seorangpun mengetahuinya.
Namun rencananya ternyata urung. Arya memilih jalan lain. Karena itupun mereka harus mempunyai rencana lain.
Namun telah terpateri di dalam kepala anak muda dari Pamingit itu, bahwa Arya Salaka harus dilenyapkan. Sudah
tentu dengan diam-diam. Dengan demikian kedatangan Gajah Sora tak akan berpengaruh. Kelak, sudah pasti bahwa
Pamingit dan Banyubiru akan dikuasainya. Apalagi kini golongan hitam yang menghantui mereka telah lenyap pula.
Kakang Arya akan membelok di simpang tiga, bisik Sawung Sariti.
Ya, jawab Galunggung singkat.
Lalu, mungkin akan dipilihnya jalan di tepi parit, Sawung Sariti meneruskan.
Sawung Sariti berpikir sejenak. Hatinya benar-benar sudah dikuasai oleh nafsu yang menyala-nyala. Yang berada di
dalam kepalanya hanyalah usaha terakhir untuk menyingkirkan kakak sepupunya.
Galunggung dapat mengetahui apa yang bergolak di dalam hati anak muda itu. Karena itu iapun turut berpikir. Ia
mengharap bahwa Sawung Sariti kelak benar-benar dapat menguasai Pamingit dan Banyubiru. Dengan demikian, ia
pun akan mendapat tempat yang baik. Jauh lebih baik daripada yang sekarang dimiliki. Mungkin akan didapatnya
tanah dua kali lipat dari tanah yang diterimanya sekarang. Juga kekuasaan yang diperoleh akan berlipat-lipat pula.
Setelah mereka berdiam diri sejenak, maka berkatalah Galunggung, Angger Sawung Sariti. Kita masih mempunyai
kesempatan. Kita dapat menempuh jalan memisah, lewat pematang dan menyusup di bawah uwot parit sebelah.
Aku juga berpikir demikian, sahut Sawung Sariti, Kita cegat Kakang Arya di simpang tiga, sebelum kita harus
memilih jalan mana yang dilewati.
Terlalu tergesa-gesa, jawab Galunggung, Kita cegat Angger Arya di sebelah pohon nyamplung.
Kembali Sawung Sariti berpikir. Kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, Mungkin baik juga.
Kalau demikian, Sawung Sariti meneruskan, Kita harus segera menyusul Kakang Arya Salaka. Kita ambil jalan
pematang.
Sawung Sariti tidak menunggu jawaban Galunggung. Cepat ia meloncati parit kecil di tepi jalan. Kemudian
menyusur pematang, menyusup di antara batang-batang jagung muda. Namun meskipun demikian, Sawung Sariti
harus berhati-hati, supaya Arya tak dapat melihatnya.
DEMIKIANLAH, dengan bergegas-gegas kedua orang itu berjalan memotong arah. Mereka berjalan di atas
pematang-pematang, tanggul-tanggul parit untuk dapat mendahului Arya Salaka. Karena Sawung Sariti telah terlalu
biasa dengan daerah ini, maka ia dapat memperhitungkan jarak yang dilewatinya itu cukup jauh dari jalan yang
dilalui Arya, sehingga ia tidak usah khawatir dapat diketahuinya. Ketika mereka harus memotong jalan, barulah
mereka berjalan dengan sangat hati- hati, menyusur batang-batang jagung sambil membungkuk-bungkuk. Akhirnya
mereka terjun ke anak sungai, dan lewat di bawah uwot dari kayu yang bersilang di atas anak sungai itu, mereka
memotong jalan. Mereka mengharap, bahwa dengan demikian mereka akan dapat mendahului Arya Salaka sampai
di bawah pohon nyamplung.
Arya Salaka yang tidak tahu, apa yang sedang direncanakan oleh adik sepupunya, berjalan seenaknya sambil
menikmati angin malam. Langit tidak terlalu bersih, namun di beberapa sudut bintang masih tampak berkeredipan
menghias malam. Dengan cermatnya ia memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh Titis Anganten. Jalan
manakah yang seharusnya dilewatinya. Namun jalan itu tidak terlalu sulit baginya. Sehingga ia pun tidak usah
cemas, bahwa ia akan tersesat.
Kemudian Arya sampai di simpang tiga. Di simpang tiga, ia membelok ke kiri. Beberapa langkah kemudian
ditemuinya parit. Dan ia harus memilih, apakah akan berjalan di sepanjang jalan kecil itu, ataukah akan memilih
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 92 dari 142

jalan tanggul di sepanjang parit. Arya kemudian berhenti sejenak. Dilihatnya air yang memercik di dalam parit itu.
Mengalir dengan tenangnya. Maka timbullah keinginannya untuk berjalan menyusur parit itu sambil memperhatikan
airnya.
Dalam pada itu, Sawung Sariti telah sampai di bawah pohon Nyamplung. Dengan hati-hati ia menempatkan dirinya
di tepi jalan. Telah diperhitungkannya, bahwa dengan satu loncatan, ia harus sudah dapat mencapai Arya Salaka
dengan pedangnya. Demikian juga Galunggung, harus sudah siap.
Meskipun kemampuan bertempur Galunggung jauh berada di bawah kemampuan Arya Salaka, namun dengan
menyerangnya secara tiba-tiba bersama-sama dengan Sawung Sariti maka mereka mengharap, bahwa mereka tidak
usah mengulangi dengan serangan kedua. Dengan demikian, Sawung Sariti dan Galunggung dengan tenangnya
mengendap di tepi jalan, di bawah pohon Nyamplung yang rimbun.
Gemersik angin malam yang mengusik daun-daun di atasnya, terdengar seperti keluh kesah yang sedih. Bahkan
kemudian terdengar seperti orang yang berbisik-bisik, menyampaikan kabar yang mengerikan.
Beberapa saat Sawung Sariti dan Galunggung mengendap di sisi jalan itu, terasa betapa waktu berjalan lambat
sekali. Menunggu memang merupakan pekerjaan yang menjemukan. Apalagi mereka berdua dicekam oleh
ketegangan yang setiap saat menjadi semakin memuncak. Mata mereka seperti tersangkut di tikungan jalan di
samping parit yang menyilang jalan kecil. Dari sanalah Arya Salaka akan muncul. Kalau tidak dari jalan kecil itu,
pasti akan muncul dari tanggul di tepi parit.
Tetapi Arya Salaka agaknya berjalan terlalu lambat. Seharusnya ia kini telah muncul dan berjalan lurus di hadapan
mereka yang menunggunya dengan gelisah. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa tiba-tiba saja Arya ingin
mencuci kakinya di dalam parit yang bersih itu dan untuk beberapa saat ia bermain-main dengan percikan airnya.
Tetapi, kemudian dari balik tikungan itupun muncul sebuah bayangan. Seorang yang berjalan melenggang dalam
keremangan malam. Bayangan itu berjalan dengan tergesa-gesa, lewat jalan kecil di muka pohon nyamplung itu.
Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bertambah gelisah. Segera mereka menarik pedang masing-masing, dengan
sangat berhati-hati. Sesaat yang akan datang, pedang mereka harus melakukan tugas-tugas mereka yang berat. Tetapi
mata Sawung Sariti yang tajam itu menjadi liar. Ia melihat perbedaan yang kecil pada bayangan itu. Ia menjadi raguragu. Apakah orang itu Arya Salaka. Beberapa kali Sawung Sariti mengedipkan matanya, namun ia menjadi
bertambah bimbang. Semakin dekat bayangan itu, semakin gelisah hati Sawung Sariti, sebab ia menjadi semakin
yakin, bahwa bayangan itu sama sekali bukan Arya Salaka. Meskipun orang yang datang itu juga bertubuh tegap,
namun Sawung Sariti dapat membedakan, bahwa Arya Salaka berjalan dengan gaya yang berbeda.
Ketika beberapa langkah orang itu menjadi semakin dekat, makin jelas, bahwa orang itu memakai pakaian yang lain.
Galunggung pun akhirnya mengetahui juga, bahwa yang datang itu bukanlah yang mereka tunggu.
Dengan nafas yang memburu ia berbisik perlahan, Bukan itu orangnya, Angger.
SETAN! Sawung Sariti mengumpat, Ada juga malam-malam orang berkeliaran di daerah yang masih belum
tenang sama sekali ini.
Agaknya ia akan mengairi sawah, bisik Galunggung.
Tidak. Tidak ada orang yang mempertaruhkan nyawanya untuk keperluan yang dapat dilakukan siang hari, sahut
Galunggung.
Lalu siapakah dia? tanya Galunggung pula.
Apa pedulimu terhadap orang itu. Yang penting kita tunggu Arya Salaka, jawab Sawung Sariti.
Galunggung pun kemudian berdiam diri.
Orang itu sudah semakin dekat. Sawung Sariti menahan nafasnya. Biarlah orang itu berlalu. Kemudian orang yang
lewat di belakangnya, pastilah Arya Salaka.
Tetapi Sawung Sariti menjadi marah, ketika tiba-tiba orang itu berhenti. Ia menoleh ke belakang, seakan-akan ada
yang ditunggu-tunggunya. Bahkan kemudian dengan enaknya orang itu duduk di bawah pohon nyamplung itu, di
sisi jalan yang lain, sambil memeluk lututnya.
Sawung Sariti menggeram perlahan-lahan. Gila! pikirnya, Apa kerjaannya orang itu?
Namun disabarkannya hatinya untuk sesaat. Barangkali orang itu akan segera pergi. Sebab, pada saat orang itu
muncul di tikungan, nampaknya ia akan tergesa-gesa. Namun kenapa tiba-tiba orang itu duduk saja dengan enaknya
di hadapannya? Sesaat sudah berlalu. Sawung Sariti masih mencoba menunggu. Tetapi akhirnya ia menjadi gelisah
dan semakin marah. Arya Salaka pasti hampir tiba. Kalau orang itu masih duduk di situ, maka ia dapat mengganggu
pekerjaannya, atau kalau terpaksa orang itu pun harus ditiadakan, untuk menghilangkan jejak. Maka akhirnya
Sawung Sariti tidak sabar lagi. Ia takut kalau Arya Salaka segera akan datang. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat
dengan garangnya, sambil mengacungkan pedangnya kedada orang itu.
Apa pekerjaanmu di sini? bentaknya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 93 dari 142

Orang itu terkejut bukan main. Tiba-tiba ia menjadi gemetar, jawabnya, Aku, aku tidak apa-apa. Kalau begitu.
Tinggalkan tempat ini segera, perintah Sawung Sariti.
Kenapa? tanya orang itu.
Tidak ada-apa, jawab Sawung Sariti Tetapi pergi sekarang.
Orang itu pun berdiri dan akan melangkah pergi ke arah darimana ia datang.
Jangan ke sana, bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau orang itu akan berpapasan dengan Arya Salaka dan akan
memberitahukan apa yang terjadi dengan dirinya.
Ke mana? tanya orang itu.
Ke sana, kata Sawung Sariti menunjuk ke arah yang berlawanan.
Aku tidak punya keperluan di sana, jawab orang itu.
Aku tidak peduli. Pergi ke sana, cepat, Sawung Sariti menjadi semakin marah
Kau datang dari arah sana, kemudian apa perlumu kalau kau tidak mempunyai keperluan ke arah yang lain.
Aku hanya akan datang ke bawah pohon nyamplung ini, jawab orang itu, Aku telah bermimpi, bahwa aku pada
saat ini harus berada di sini.
Jangan banyak cakap. Pergi sekarang, bentak Sawung Sariti.
Orang itu menjadi bingung. Karena itu malahan ia berdiri saja seperti patung. Galunggung akhirnya tidak sabar
sama sekali melihat orang itu masih berdiri di sana dengan mulut ternganga.
Ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, Binasakan saja orang itu, sebelum anak itu datang.
Jangan, jangan! teriak orang itu.
Jangan berteriak, bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau Arya mendengarnya. Namun dengan demikian waktu
mereka menjadi semakin sempit. Dan sejalan dengan itu, pikiran Sawung Sariti pun menjadi semakin kisruh. Ia
tidak mau gagal kali ini. Karena itu, akhirnya ia sependapat dengan Galunggung. Orang itu harus disingkirkan.
Meskipun demikian ia masih mencoba sekali lagi membentaknya, Pergi, cepat!
Tetapi orang itu tidak segera pergi. Ia masih berdiri saja seperti orang yang kehilangan kesadaran.
Karena itu maka Sawung Sariti tidak bisa berbuat lain daripada menyingkirkannya dengan paksa.
Karena itu katanya, Singkirkan dia, Galunggung.
Galunggung yang sejak tadi sudah kehilangan kesabaran segera menggeram sambil meloncat. Pedangnya tepat
mengarah ke hulu hati orang yang masih berdiri kebingungan itu. Tetapi terjadilah suatu peristiwa yang tak pernah
dibayangkan. Dalam mimpi pun tidak. Orang itu, dengan tangkasnya memiringkan tubuhnya. Dengan demikian,
maka pedang Galunggung menyentuhpun tidak. Sehingga Galunggung terseret oleh kekuatan sendiri dan terhuyunghuyung beberapa langkah ke depan.
Pada saat ia berusaha memperbaiki keseimbangannya, tiba-tiba terasa sebuah genggaman mencengkam rambutnya.
Dan oleh sebuah tarikan yang kuat, ia terseret kedepan. Ia kemudian tidak mampu menolong dirinya, ketika tiba-tiba
terbanting tertelungkup, masuk persawahan yang basah.
SAWUNG SARITI melihat peristiwa itu dengan mata yang terbelalak, yang dilihatnya adalah Galunggung itu
terjerembab. Karena itulah, hatinya menjadi menyala-nyala. Pedangnya pun cepat bergerak ke dada orang yang
menyakitkan hati itu.
Tetapi sekali lagi Sawung Sariti terkejut, pedangnya pun sama sekali tak menyentuh orang itu. Dengan demikian
Sawung Sariti akhirnya mengetahui, bahwa orang itu bukanlah sekadar seorang yang berkeliaran di malam hari
dalam keadaan yang belum tenang benar.
Dengan gerakan-gerakannya dan caranya membebaskan diri, baik dari tikaman pedang Galunggung maupun dari
tusukan pedangnya sendiri, tahulah Sawung Sariti, bahwa orang itu sebenarnya orang yang berilmu. Dengan
demikian, Sawung Sariti menjadi bertambah gelisah dan marah. Usahanya untuk membinasakan Arya Salaka belum
berhasil, dan kini dijumpainya lawan yang tak dapat diperingan.
Ternyatalah kemudian, ketika Sawung Sariti mengulangi serangannya, maka dengan tangkasnya orang itu berkisar
dan meloncat, namun terdengar mulutnya berkata, Ki Sanak, aku tidak mempunyai persoalan dengan kalian.
Kenapa kalian berusaha untuk membunuh aku.
Sawung Sariti sudah benar-benar dibakar oleh nyala kemarahannya, maka terdengar ia menjawab, Kau telah
mengganggu pekerjaanku. Karena itu kau harus binasa.
Aku tidak mengganggu Ki Sanak. Aku hanya sekadar memenuhi mimpiku sore tadi, bahwa aku harus datang di
bawah pohon nyamplung ini, sahut orang itu.
Omong kosong! bentak Sawung Sariti, sementara itu pedangnya berputar semakin cepat dalam ilmu keturunan
Pangrantunan. Suatu ilmu yang sukar dicari bandingnya. Apalagi Sawung Sariti memiliki kelincahan yang cukup,
sehingga pedangnya seakan-akan berubah seperti asap yang bergulung-gulung melanda lawannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 94 dari 142

Lawannya itu pun berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan dirinya. Seperti bayangan saja, ia meloncat-loncat
dengan cepatnya, seakan-akan tubuhnya sama sekali tak memiliki berat. Ia meloncat dari sana kemari, berputar dan
melingkar, kemudian mirip dengan seorang yang sedang bermain-main berputar di udara. Ia selalu menghindari saja
setiap serangan yang datang.
Dalam pada itu Galunggung pun telah bangun kembali. Wajahnya dikotori oleh lumpur liat yang basah. Beberapa
kali ia mengibas-kibaskan rambutnya. Ikat kepalanya telah hilang terlempar jauh. Setan! geramnya. Tetapi ia pun
terbelalak ketika ia melihat orang yang akan dibunuhnya itu bertempur melawan Sawung Sariti.
Ia tidak dapat mengerti, bagaimana mungkin orang itu dapat menyelamatkan diri sampai beberapa lama. Sedangkan
agaknya Sawung Sariti telah benar-benar berusaha membunuhnya. Karena itu, timbullah maksud Galunggung untuk
membantu momongannya. Dengan hati-hati mendekati pertempuran itu. Ia melihat pedang Sawung Sariti
bergulung-gulung seperti asap putih yang melibat lawannya, namun ia melihat lawannya itu seperti anak kijang yang
menari-nari keriangan di padang rumput yang hijau. Berloncatan kian-kemari, bahkan sekali-kali orang itu berkata
nyaring, Katakanlah Ki Sanak. Apa salahku?
Persetan! teriak Sawung Sariti.
Ia sudah lupa bahwa Arya Salaka akan dapat mendengar teriakannya itu. Bahkan pedangnya menjadi semakin cepat
berputar. Galunggung kemudian tak mau membiarkan pertempuran itu berlangsung lama lagi. Ia masih ingat bahwa
kedatangan mereka di tempat itu adalah menunggu Arya Salaka. Karena itu, sekuat-kuatnya, ia ingin membantu
Sawung Sariti. Sebab sebenarnya Galunggung pun memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan. Dengan
garangnya Galunggung meloncat sambil menggeram. Pedangnya lurus memotong gerakan bayangan yang sedang
menghindari serangan Sawung Sariti.
Namun malanglah nasibnya. Tiba-tiba terasa sebuah pukulan yang dahsyat mengenai pelipisnya.
Demikian dahsyatnya, sehingga terasa seakan-akan bintang-bintang yang melekat di langit rontok bersama-sama
menimpa dirinya. Sekali lagi Galunggung terlempar ke sawah. Kini ia jatuh terlentang. Namun, tiba-tiba dadanya
berdesir ketika terasa bahwa pedangnya sudah tak berada di tangannya lagi.
Dengan susah payah ia mencoba menguasai dirinya. Perlahan-lahan Galunggung mengangkat wajahnya.
Dan sekali lagi jantungnya berdentang keras ketika dilihatnya, pedangnya sudah berada di tangan lawan Sawung
Sariti itu. Dengan demikian, kini ia menyaksikan sebuah pertarungan pedang yang nggegirisi.
Masing-masing bergerak dengan tangkas dan tangguhnya. Namun akhirnya terasa bahwa lawan Sarung Sariti itu
memiliki kekuatan dan kecepatan melampaui Sawung Sariti sendiri. Dengan demikian, beberapa saat kemudian,
Sawung Sariti sudah harus mengumpat-umpat di dalam hatinya. Ternyata ia telah salah langkah. Sebelum melawan
Arya Salaka, sudah harus ditemuinya lawan yang tangguh dan bahkan memiliki tata gerak yang melampauinya.
(Bersambung)-m
TANYA: SADAK KINANG itu apa? Kok bisa Datuk Arya Palindih dibunuh dengan sadak kinang oleh raden
Karebet.
Sadak kinang itu terbuat dari bambu pipih sekitar 10-15 cm panjangnya.. digunakan untuk 'nguleg' or nusuk2
kinang didalam tempat kinang kecil terbuat dari kuningan .. Tempat kinang kuningan itu kecil saja berbentuk
seperti kelas mini .. lubangnya sekitar 3 cm diameter.. Bisa aja membunuh pakai sadak tsb. asal dengan tenaga
dalam ... Saya lihat sendiri SN bisa matahin besi dengan pukulan kertas koran ... Kakak saya yang perempuan
malem2 nelpon dari Semarang dan bilang bahwa sewaktu latihan tangannya mengeluarkan asap putih dan saking
kagetnya terus dipukulkan kepot bunga ... potnya nggak apa2..cuma bunganya nggak lama terus layu dan rontok ...
Dia juga udah bisa ngangkat orang dewasa dengan selembar koran... Udah tingkatan Ciangbujin kali ya Pak...?
(Bapak H. Sritomo - Premier Oil Jakarta)
DALAM KESIBUKAN angan-angannya, tiba-tiba bagai seleret pedang Sawung Sariti melihat bayangan yang
muncul dari tanggul parit yang menyilang jalan kecil itu. Dalam sekejap, segera Sawung Sariti dapat
mengetahuinya, bahwa orang itu adalah Arya Salaka. Karena itu dadanya menjadi berdebar-debar karena
kegelisahan dan kecemasan bercampur baur dengan kemarahan yang meluap-luap.
Namun Sawung Sariti adalah anak muda yang licik. Tiba-tiba ia tersenyum di dalam hatinya, ketika terpikir olehnya,
Baiklah Kakang Arya kujadikan kawan kali ini. Urusan kita dapat kita selesaikan besok atau lusa.
Sebenarnyalah yang datang itu adalah Arya Salaka. Mula-mula ia berjalan saja seenaknya sambil menikmati
sejuknya angin malam. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika dilihatnya di bawah pohon nyamplung, dua orang yang
sedang bertempur mati-matian.
Apalagi keduanya telah memegang pedang ditangan. Karena itu Arya menjadi tertegun sejenak. Siapakah mereka
yang bertempur itu? Dengan hati-hati ia melangkah mendekati. Tanpa disengaja tangannya meraba-raba
lambungnya. Dan terasa sebuah benda tersentuh tangannya, Arya menjadi tenang. Sebab ia tidak tahu, siapakah
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 95 dari 142

yang bertempur dengan senjata itu. Kalau perlu ia harus melibatkan diri, di lambungnya terselip Kyai Suluh. Pusaka
Pasingsingan yang ngedab-edabi.
Dengan demikian Arya melangkah semakin dekat. Dan alangkah terkejutnya ketika ia mengenal kedua orang yang
bertempur itu. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, Adi Sawung Sariti, apakah yang terjadi? Kakang Karang Tunggal,
berhentilah.
Sawung Sariti tidak mendengar teriakan Arya Salaka. Ia bertempur terus, bahkan ia mengharap Arya membantunya.
Tetapi ketika sekali lagi ia mendengar Arya memanggil namanya dan nama Karang Tunggal, Sawung Sariti menjadi
bimbang. Apakah Arya Salaka telah mengenal lawannya itu.
Karang Tunggal pun segera meloncat mundur beberapa langkah untuk membebaskan dirinya dari libatan serangan
Sawung Sariti yang mengalir seperti banjir, sambil berkata nyaring, Selamat datang Adi Arya Salaka.
Akhirnya Sawung Sariti pun terpaksa berhenti bertempur. Dadanya berdegup ketika ternyata Arya benar-benar telah
mengenal lawannya itu. Maka ia pun bertanya, Apakah Kakang Arya telah mengenal orang ini?
Ya, jawab Arya Salaka, Ia adalah Kakang Karang Tunggal.
Hem! geram Sawung Sariti. Pikirannya menjadi berputar-putar dilibat oleh berbagai pertanyaan. Kalau orang ini
telah mengenal Arya Salaka, maka adakah hubungannya dengan kehadirannya di bawah pohon nyamplung ini?
Kakang Karang Tunggal, apakah yang terjadi sehingga Kakang bertempur melawan adi Sawung Sariti?
Bertanyalah kepada adikmu, jawab Karang Tunggal.
Arya mengalihkan pandangannya kepada Sawung Sariti. Matanya menyorotkan pertanyaan yang bergolak di
hatinya. Untuk beberapa saat Sawung Sariti berdiam diri. Ia agak bingung, bagaimana ia harus menjawab
pertanyaan itu. Sehingga terpaksa terluncurlah pertanyaan dari mulut Arya, Kenapa Adi Sawung Sariti bertempur
dengan kakang Karang Tunggal?
Aku belum mengenalnya, desis Sawung Sariti.
Apalagi Adi belum mengenalnya, desak Arya Salaka.
Aku tidak tahu apa sebabnya, jawab Sawung Sariti, Tiba-tiba saja aku telah bertempur dengan orang itu.
Arya mengerutkan keningnya. Sedang Karang Tunggal tertawa perlahan-lahan.
Aneh, desisnya.
Aku juga tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja aku sudah bertempur melawan Adi yang kau sebut Sawung Sariti itu.
Wajah Sawung Sariti menjadi merah mendengar sindiran itu. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, terdengar Karang
Tunggal meneruskan, Aku merasa bahwa aku telah diserangnya.
Kau mengganggu aku, bantah Sawung Sariti.
Menyentuhpun aku tidak, sangkal Karang Tunggal.
Arya menjadi bingung. Tetapi ia merasa, bahwa keduanya belum berkata sebenarnya. Suatu kesalahpahaman,
desis Arya.
Memang hal itu mungkin sekali terjadi. Namun sekarang aku perkenalkan kalian masing-masing. Bukan
kesalahpahaman, jawab Karang Tunggal, Tetapi adi Sawung Sariti sengaja menyerang aku tanpa sebab.
Bukan tanpa sebab, sahut Sawung Sariti yang mulai merah kembali, Kau mengganggu aku. Apamu yang aku
ganggu? tanya Karang Tunggal.
Sawung Sariti terdiam. Sudah tentu ia tidak dapat mengatakan apa yang sebenarnya sedang dilakukan. Namun
keringat dinginnya mengalir semakin deras ketika Karang Tunggal berkata, Aku hanya datang kemari dan duduk di
bawah pohon nyamplung ini. Apa salahku?
SAWUNG SARITI masih belum dapat menjawab. Namun terdengar giginya gemeretak. Yang terdengar adalah katakata Karang Tunggal, Dan kenapa aku kau usir dari sini tanpa sebab? Dan aku harus berjalan ke jurusan yang kau
tentukan?
Sawung Sariti menggeram. Namun ia belum menemukan jawaban yang tepat. Sedang Karang Tunggal berkata terus,
Apakah dengan demikian aku mengganggumu? Apakah kau sedang menunggu seseorang di sini dengan pedang
terhunus?
Dada Sawung Sariti semakin berdebar-debar. Sedang Arya mengangkat alisnya. Apakah benar yang dikatakan oleh
Karang Tunggal itu? Sawung Sariti menunggu seseorang dengan pedang terhunus? Kalau demikian siapakah yang
ditunggunya? Pertanyaan itu tiba-tiba datang mengganggunya.
Tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti membentak keras-keras, Jangan mengigau!
Aku berkata sebenarnya, sahut Karang Tunggal. Tiba-tiba kembali Arya diganggu oleh angan-angan yang tak
menyenangkan hatinya. Apakah maksud Sawung Sariti sebenarnya? Dan kenapa tiba-tiba saja anak itu telah
mendahuluinya? Karena itu tiba-tiba terloncat dari mulut Arya, Apakah yang sebenarnya terjadi?
Sudah aku katakan, sahut Karang Tunggal, Anak muda itu menunggu seseorang dengan pedang terhunus.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 96 dari 142

Apa pedulimu? tukas Sawung Sariti, Daerah ini adalah daerah yang belum tenang. Orang-orang dari gerombolan
hitam setiap saat berkeliaran di daerah ini. Apa salahnya aku duduk di bawah pohon ini dengan pedang terhunus?
Tiba-tiba Karang Tunggal tertawa. Tertawa seorang pemuda yang berdarah jantan, namun darah itu masih belum
mengendap di dasar jantungnya. Ia sebenarnya telah mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh Sawung Sariti.
Mula-mula ketika ia melihat Arya Salaka, ia ingin menyusul sahabatnya itu, yang berjalan bersama-sama dengan
adik sepupunya, namun maksudnya diurungkan, ketika dilihatnya Arya berpisah dengan Sawung Sariti. Bahkan
timbullah kecurigaannya kepada adik sepupu Arya. Dengan demikian ia mengikutinya dan mendengarkan semua
percakapannya dengan Galunggung. Karena itulah sengaja ia mendahului Arya dan duduk di bawah pohon
nyamplung itu. Ia tahu benar bahwa dengan demikian Sawung Sariti akan marah kepadanya. Tetapi tidak mengapa.
Sebab dengan demikian ia sudah berusaha mencegah kemungkinan itu terjadi. Meskipun ia sendiri tidak yakin,
apakah dengan serangan diam-diam itu Arya akan dapat dikalahkan, namun hal yang demikian itu benar-benar
berbahaya. Terbawa oleh sifat-sifatnya yang aneh, yang dipenuhi oleh api yang menyala-nyala di dalam dadanya,
Karang Tunggal yang juga bernama Mas Karebet dan mempunyai sebutan Jaka Tingkir itu memandang kehidupan
sebagai suatu kancah perjuangan.
Namun kejantanannya menuntut setiap perjuangan harus dilakukan dengan adil dan jujur. Karena itulah maka ia
menjadi muak melihat cara Sawung Sariti untuk mencapai maksudnya. Ia pernah mendengar dari Ki Lemah Telasih,
apa yang sebenarnya terjadi di Banyubiru. Pergolakan antarkeluarga. Pergeseran kamukten dan perjuangan untuk
mempertahankan pusaka. Tafsirannya yang tepat mengatakan, bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah rentetan
dari peristiwa-peristiwa itu.
Dengan demikian, akhirnya ia berkata di antara suara tertawanya yang berderai, Hai anak-anak muda. Kenapa
kalian menyembunyikan tangan kalian di balik punggung. Kenapa kalian tidak berani mengangkat dada, berkata
dengan lantang? Ayo kita pertaruhkan tanah ini. Banyubiru dan Pamingit. Sadumuk bathuk, sanyari bumi. Mukti
atau mati.
Darah Sawung Sariti menjadi mendidih di dalam dadanya. Ia kini hampir tak dapat mengelak lagi. Agaknya Karang
Tunggal telah mengetahui seluruhnya. Karena itu ia menggigit bibirnya, sedang tangannya memegang pedangnya
semakin erat. Di dalam hati ia berkata, Apa boleh buat. Kalau aku harus berhadapan dengan Arya Salaka. Aku lakilaki juga seperti dia.
Arya Salaka masih berdiri tegak di tempatnya. Ia dapat menangkap apa yang dikatakan oleh Karang Tunggal. Dan
kini ia tahu benar apa yang sedang dilakukan oleh Sawung Sariti. Karena itu dadanya pun berdesir cepat. Di tempat
itu, di bawah pohon nyamplung yang rimbun, berdirilah tiga orang anak muda yang masih berdarah panas. Anakanak muda yang mudah terbakar oleh perasaan sendiri.
Mereka masih mengukur harga diri dengan sifat-sifat kepahlawanan yang sempit. Dalam kesempitan perasaan,
mereka menilai diri masing-masing dengan keberanian mereka melihat darah. Demikianlah maka terjadilah
ketegangan yang memuncak. Masing-masing menyiapkan diri untuk mempertaruhkan diri demi kehormatan nama
mereka dengan gegayuhan mereka. Mereka tidak sadar, bahwa di dunia ini ada cara lain yang jauh lebih baik
daripada cara yang mereka tempuh.
DALAM KEADAAN yang demikian, mereka melupakan bahwa ayah-ayah mereka akan dapat menyelesaikan
persoalan dengan cara yang baik, dengan laki-laki sejati, tanpa setetes darah pun yang tertumpah. Seandainya, pada
saat itu hadir seorang dari ayah-ayah mereka, atau Mahesa Jenar, atau Kebo Kanigara, maka keadaannya pasti akan
berbeda.
Namun yang terjadi adalah, tak seorang pun dari mereka yang hadir. Tak seorang pun yang dapat memberi
peringatan kepada anak-anak itu. Yang tertua diantara mereka adalah Karang Tunggal. Namun Karang Tunggal
adalah seorang anak muda yang sifat-sifatnya yang aneh.
Akhirnya Sawung Sariti tidak tahan lagi membiarkan hatinya bergolak tanpa ujung pangkal. Karena itu dengan
lantangnya ia berkata kepada Karang Tunggal, Hai anak perkasa, apa maksudmu sekarang?
Tidak apa-apa, jawab Karang Tunggal, Aku hanya ingin melihat seseorang berlaku jantan. Tidak dengan
sembunyi-sembunyi dan curang.
Persetan dengan ocehanmu! bentak Sawung Sariti, Kau kira aku tidak berani berhadapan seperti laki-laki?
Nah, itulah kata-kata jantan, sahut Karang Tunggal, Apa katamu Adi Arya Salaka?
Mulut Arya Salaka tiba-tiba seperti terkunci. Ia sama sekali tidak mengharapkan hal yang demikian itu terjadi.
Tetapi ia pun tidak mau, apabila kelak ia benar-benar menjadi korban tusukan dari belakang. Dalam saat yang
pendek itu pun segera ia dapat menangkap maksud yang tersirat dari perbuatan adik sepupunya itu. Menyingkirkan
dirinya, untuk kelak memiliki Pamingit dan Banyubiru sekaligus.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 97 dari 142

Karena Arya masih berdiam diri, maka berkatalah Sawung Sariti, Kakang Arya Salaka, apa boleh buat. Biarlah aku
tidak tedheng aling-aling. Aku ingin kemukten atas tanah Banyubiru sekaligus selain tanah Pamingit.
Hem! Hanya itulah yang terdengar dari mulut Arya Salaka. Apabila selama ini, ia sudah berusaha melupakan
segenap peristiwa yang terjadi atas dirinya karena pokal adik sepupunya itu, maka kini tiba-tiba terungkit kembali.
Peristiwa demi peristiwa. Pada saat dirinya hampir saja dicincang di halaman rumah sendiri, kemudian setelah ia
menyingkir, ia pun selalu dikejar-kejar. Apabila seorang yang bernama Sarayuda tidak menolongnya, maka ia pun
kini tidak akan dapat melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit. Juga dikenangnya apa yang terjadi di
Gedangan. Kenangannya itulah yang perlahan-lahan membakar dirinya. Dan kini, adiknya itu berdiri di hadapannya
dengan pedang terhunus.
Jawab permintaanku, sambung Sawung Sariti, Banyubiru, Pamingit dan nyawamu.
Adi Sawung Sariti, jawab Arya dengan gemetar, Jangan memaksa aku membela diri.
Aku sebagai saksi! Tiba-tiba Karebet berteriak, Siapa pun yang kalah dan menang, harus menghindarkan diri dari
dendam yang menimpa dari kalian terbunuh, adalah nasib malang yang menimpa diri. Aku tidak akan membuka
mulutku kepada siapa pun. Tetapi kematian adalah bukan tujuan kalian terbunuh. Karena itu hindarkanlah. Namun
kalian harus berjanji, bahwa kalian akan menerima keputusan yang kalian buat bersama.
Suasana di bawah pohon nyamplung itu menjadi bertambah tegang. Dada ketiga anak muda itu bergetar cepat
karena darah mereka yang bergolak. Pada saat itu Galunggung masih terkapar di tanah liat yang becek, di antara
tanaman-tanaman jagung muda. Kepalanya masih terasa pening. Dengan susah payah ia berusaha untuk dapat duduk
dengan tegak. Dalam keadaan itu, hatinyapun bertambah tegang. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada itu terdengar Karang Tunggal berkata, Pertemuan yang demikian adalah jauh lebih baik daripada
dendam yang membara di hati kalian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan bahwa aku adalah saksi. Dan kalian tidak
akan mendendam di hati. Dengan demikian, setelah pertemuan ini selesai, selesailah urusan kalian. Laki-laki sejati
tidak akan menelan ludahnya kembali.
Darah Sawung Sariti kini benar-benar telah mendidih. Sedang Arya Salaka dapat memaklumi maksud Karang
Tunggal. Anak muda itu tidak mau melihat pertentangan dan dendam yang berlarut-larut. Namun cara penyelesaian
ini pun sangat tidak menyenangkan hatinya.
Yang sudah bulat hatinya adalah Sawung Sariti. Hidup atau matinya telah dipertaruhkan untuk mencapai
maksudnya. Demikianlah maka ketika darahnya telah bergelora membakar kepalanya, terdengarlah ia berteriak,
Kakang Arya Salaka. Melawan atau tidak melawan, aku akan menyerangmu dan berusaha membunuhmu. Itu
adalah ketetapan hatiku. Dan aku telah menantimu di sini.
ARYA tidak sempat menjawab ketika ia melihat Sawung Sariti meloncat maju ke hadapannya. Beberapa langkah
saja dimukanya dengan pedang yang terjulur lurus ke depan. Dengan gerak naluriah Arya mundur selangkah.
Tangannya sudah siap mencabut pusaka Kyai Suluh.
Namun sebelum itu dilakukan terdengarlah Karang Tunggal berkata, Biarlah perkelahian ini menjadi adil. Kalian
berdua tidak bersenjata, atau kalian berdua memegang pedang.
Sawung Sariti dan Arya Salaka tidak segera menjawab. Mereka masih berdiri di atas kaki masing-masing yang
renggang. Namun sepintas lalu, berkisarlah di otak Karang Tunggal. Ia telah mendengar ilmu Sasra Birawa yang
dimiliki oleh Arya Salaka dan ilmu Lebur Saketi di dalam diri Sawung Sariti. Agaknya kedua ilmu itu lebih
berbahaya daripada pedang. Dengan demikian mereka tidak akan mempergunakan ilmu-ilmu yang dahsyat itu.
Apabila mereka akan mempergunakan, mereka harus melepaskan senjatanya, sehingga dengan demikian ada
kesempatan padanya untuk mencegah terbenturnya kedua ilmu itu.
Sedang pertempuran dengan pedang antara dua orang yang selincah Sawung Sariti dan Arya Salaka, biasanya tidak
akan sampai pada bahaya yang sebenarnya terhadap jiwa mereka. Ia akan dapat mencegahnya apabila perlu, juga
apabila salah seorang darinya telah terluka dan meneteskan darah.
Karena itu, segera ia berkata, Adi Arya, pakailah pedang ini.
Karang Tunggal tidak menunggu jawaban. Segera ia meloncat dan menyerahkan pedang Galunggung kepada Arya
Salaka. Seperti orang yang terbius oleh keadaan yang dihadapinya, Arya menerima pedang itu dengan hati yang
kosong.
Nah, di tangan kalian telah tergenggam pedang, kata Karang Tunggal, Terserah kapan kalian akan mulai. Tetapi
setetes darah yang mengalir dari tubuh kalian, akan merupakan keputusan jantan. Dan kalian harus menerima
keputusan itu tanpa syarat.
Arya Salaka dapat mengerti arti kata-kata Karang Tunggal. Namun Sawung Sariti sudah tidak mau mendengarnya.
Ketika ditangan Arya telah tergenggam pedang, maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan kecepatan kilat ia
meloncat dan menusuk dada kakak sepupunya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 98 dari 142

Namun Arya Salaka telah membayangkan bahwa hal yang demikian itu akan terjadi. Karena itu segera ia
menghindar. Pedang Galunggung di tangannya itupun segara bergerak menyambar seperti elang di udara. Sawung
Sariti segara meloncat ke samping. Matanya telah menjadi merah oleh api kemarahan dan nafsu. Karena itu
kemudian kembali ia melontarkan dirinya menyerang Arya Salaka seperti datangnya angin ribut.
Demikianlah maka keduanya tenggelam dalam perkelahian yang dahsyat. Arya Salaka dan Sawung Sariti adalah
anak-anak muda yang sedang tumbuh. Tenaga jasmaniah mereka sedang berkembang dengan suburnya.
Perkembangan tubuh yang selalu dipupuk dan dipelihara dalam cara masing-masing.
Arya Salaka telah berkembang dalam lingkaran ilmu keturunan Pengging, sedang Sawung Sariti menjadi perkasa
karena ilmu keturunan Pangrantunan. Dua ilmu yang dahsyat, yang pada masa-masa lampau menjadi pasangan yang
mengerikan untuk menghadapi kekuatan golongan hitam.
Karang Tunggal menyaksikan pertempuran itu dengan seksama. Ia melihat betapa keduanya sambar-menyambar
dengan tangkasnya seperti sepasang burung rajawali yang bertempur di udara. Namun sesaat kemudian keduanya
telah berubah menjadi seekor harimau yang garang dengan kuku-kukunya yang tajam melawan seekor banteng yang
kokoh kuat dengan tanduk-tanduknya yang runcing mengerikan.
Tetapi Karang Tunggal sama sekali tidak mencemaskan mereka. Ia melihat kekuatan dan ketangkasan pada kedua
belah pihak. Karena itu ia bersyukur bahwa keduanya telah bertempur dengan senjata. Kalau saja mereka bertempur
dengan tangan mereka, maka ia pasti akan melihat bahwa tiba-tiba saja akan berbenturanlah ilmu Sasra Birawa dan
Lebur Saketi. Kalau ilmu itu tidak seimbang maka salah seorang di antaranya pasti akan hancur lumat bagian dalam
tubuhnya.
PEDANG di tangan Sawung Sariti berputar dengan cepatnya. Semakin lama menjadi semakin cepat dan
membingungkan. Bahkan kemudian seakan-akan berubah menjadi ribuan mata pedang yang menusuk dari ribuan
arah.
Namun Arya Salaka adalah murid dari perguruan Pengging lewat seorang yang bernama Mahesa Jenar. Karena itu
pedangnya pun mampu membentengi dirinya seperti sebuah bola baja yang melingkari tubuhnya. Tak seujung jarum
pun dapat ditembus oleh tajam pedang lawannya. Bahkan Arya Salaka tidak saja mampu mengurung dirinya dengan
bola baja yang kokoh dan kuat, namun sekali-kali serangannya pun menyambar dengan dahsyatnya. Tidak terlalu
sering, namun setiap sambaran pedangnya cukup mendebarkan hati lawannya. Demikianlah mereka tenggelam
semakin dalam, dalam pertempuran yang menyeramkan itu. Masing-masing telah mengerahkan segala tenaga dan
kemampuannya. Mereka melingkar-lingkar dan berputar-putar dalam satu daerah yang dilindungi oleh rimbunnya
pohon nyamplung. Sekali-kali mereka berloncatan sambar-menyambar, mengelilingi pokok pohon nyamplung yang
besar itu.
Pedang mereka berkilat-kilat seperti tatit yang beterbangan di langit. Benturan-benturan kedua senjata itu
sedemikian dahsyatnya sehingga bunga api memercik di udara.
Karang Tunggal akhirnya mengagumi juga ketangkasan mereka. Kelincahan dan keprigelan Sawung Sariti dan
ketangguhan serta ketangkasan Arya Salaka merupakan tanding yang dapat menghentikan denyut jatung. Namun
kekuatan jasmaniah Arya Salaka ternyata melampaui kemampuan Sawung Sariti. Tempaan yang bertahun-tahun
disepanjang perantauan, menuruni lembah dan tebing-tebing, perburuan di hutan-hutan dan pergulatan melawan
ombak lautan, telah menjadikan tubuh Arya Salaka sekokoh belit karang. Otot-ototnya seakan-akan telah mengeras,
sekeras besi. Kulitnya yang merah kehitam-hitaman terbakar matahari setiap hari itu seolah-olah menjadi lapisan
tembaga yang melindungi tubuhnya dari setiap bahaya yang menyentuhnya. Karena itulah maka akhirnya kesegaran
tubuh Arya Salaka telah ikut serta menentukan pertempuran itu. Benturan-benturan yang terjadi di antara kedua
pedang itu tampak, bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada Sawung Sariti.
Demikianlah pada suatu ketika, Sawung Sariti kehilangan keseimbangan sesaat setelah pedangnya beradu dengan
pedang Arya Salaka. Karena dorongan yang keras, Sawung Sariti terdesak selangkah surut, serta tubuhnya terputar
setengah lingkaran. Pada saat yang demikian, dengan kecepatan yang luar biasa pedang Arya Salaka terjulur ke
dadanya. Sawung Sariti cepat berusaha menghindarkan diri. Ia memutar tubuhnya setengah lingkaran pula dalam
arah yang sama, sedang ia mengangkat pedangnya, berusaha untuk menangkis serangan lawannya. Sebagian
Sawung Sariti berhasil.
Pedangnya memukul pedang Arya Salaka ke samping.
Namun kekuatan Sawung Sariti pada saat ia melingkar tidaklah sepenuh kekuatan Arya Salaka. Sehingga dengan
demikian, pedang Arya masih menyentuh pundak kanannya. Sebuah goresan telah menyobek kulit Sawung Sariti.
Dan dari luka itu melelehlah cairan yang berwarna merah segar. Darah. Sawung Sariti terkejut, ketika terasa sebuah
goresan menyengat pundaknya. Ia segera meloncat mundur. Tanpa disengaja tangan kirinya meraba pundaknya. Dan
cairan yang hangat terasa di telapak tangannya. Terdengarlah ia menggeram dan giginya gemeretak.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 99 dari 142

Pada saat itu Karang Tunggal meloncat ke depan dan berdiri di antara mereka. Dengan lantang ia berkata,
Keputusan telah jatuh. Darah telah menetes dari luka.
Sawung Sariti memandang Karang Tunggal dengan mata yang berapi-api. Darahnya serasa mendidih di dalam
dadanya. Katanya tidak kalah lantangnya, Apa maksudmu?
Perjanjian kita mengatakan, keputusan diambil secara jantan. Kalau darah telah menetes, pertempuran berakhir, dan
selesailah persoalan kalian, sahut Karang Tunggal.
Apa keputusan itu? tanya Sawung Sariti.
Seperti yang kita janjikan. Bukankah kalian sedang bertaruh di atas tanah Pamingit dan Banyubiru? jawab Karang
Tunggal.
Mata Sawung Sariti menjadi semakin menyala. Kemarahannya kini telah benar-benar memuncak. Tidak ada
pertaruhan apa-apa!
Tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka yang sudah berhasil menenangkan diri.
Marilah kita lupakan persoalan kita.
Karang Tunggal mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Betapa besar jiwa sahabatnya itu.
Bagus, katanya, Kalian tetap pada kedudukan kalian masing-masing sebagai putra kepala daerah perdikan yang
terpisah. (Bersambung)-c

NAGASASRA DAN SABUKINTEN


Karya SH Mintardja
Dikumpulkan dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
Bagi Sawung Sariti semuanya itu seakan-akan merupakan ejekan atas kekalahannya.
Didorong oleh harga diri dan dilambari oleh nafsu yang melonjak lonjak, maka Sawung
Sariti telah lupa pada segalanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada darahnya yang
bersumber dari saluran yang sama dengan Arya Salaka. Lupa akan sifat kepribadian yang
sejak lama mencekam tata kehidupan daerah ini. Ia sudah tidak memperdulikan lagi segala
galanya.
Dengan suara nyaring ia berkata "Laki laki tidak mengenal darah yang menetes dari luka.
Ayo kakang Arya Salaka, bersiaplah. Kita bertempur antara hidup dan mati."
Dada Arya bergetar mendengar tantangan ini, ia tidak menghendaki hal demikian terjadi.
Namun terasa pula bahwa dendam yang membara didada adiknya itu tak akan padam.
Karena itu ia menjadi bingung. Apa yang harus dilakukan? Ia menyesal mengapa tidak
mengajak gurunya atau ayahnya menjemput ibunya. Kalau demikian keadaannya mungkin
berbeda. Tetapi didalam hatinya melontarlah kata-kata "kalau Sawung Sariti tidak
melakukannya sekarang, maka akan akan datanglah saatnya pertentangan yang
memuncak. bara api yang tersimpan didalam dada anak itu bagai bara api yang
tersembunyi didalam sekam. Setiap saat akan berkobar membakar dirinya."
Dalam pada itu Karang Tunggalpun menjadi kecewa. Sawung Sariti ternyata tidak berjiwa
besar. Karena itu akhirnya ia berkata "kenapa kau mengingkari janji ?".
"Aku tidak pernah berjanji. Dan aku sudah berkata, melawan atau tidak, aku akan bunuh
kakang Arya Salaka," jawab anak muda yang mata gelap itu.
Suasana dibawah pohon nyamplung kini benar benar dicekam oleh ketegangan yang
memuncak. Gemersik daun daunnya yang rimbun terdengar seperti lagu maut yang
membelai hati ketiga anak-anak muda yang sedang berdiri mematung dibawahnya. Arya
Salaka masih berdiri dalam kebimbangan hati. Apa yang harus dilakukan?
Tiba-tiba terdengar Sawung Sariti berkata seperti guruh dimulai hujan." Jangan tegak
seperti patung. Aku ulangi, melawan atau tidak, aku akan membunuhmu. Bersiaplah. Aku
akan mulai."
"Tunggu dulu," sahut Arya Salaka.
Tetapi Sawung Sariti sudah tidak mau mendengarkan lagi. Ia telah meloncat seperti seekor
serigala lapar menerkam mangsanya. Demikian cepat dan tiba-tiba sehingga Arya dan
Karang Tunggal menjadi terkejut karenanya. Arya sama sekali tidak menduga Sawung
benar-benar akan mengancam jiwanya pada saat ia sedang mencoba mencegah
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 100 dari 142

perkelahian. Karena itu ia agak gugup. Ia melihat pedang adik sepupunya yang besar dan
panjang tiba-tiba saja terjulur kedadanya.
Dengan segala kemampuan yang ada padanya ia mencoba memukul pedang tersebut.
Namun terlambat. pedang Sawung berhasil mematuk dadanya.
Kemudian sebuah goresan yang panjang membekas menyilang. Perasaan pedih menjalar
menyusur segenap sarafnya. Arya berdesis perlahan. Untunglah ia tangkas, sehingga
goresannya tidak dalam. Namun demikian darah yang mengalir dari luka itu, seakan akan
minyak yang akan menyiram api kemarahan anak muda dari Banyubiru.
Arya Salaka bukan anak dewa ataupun malaikat dari langit. Demikian akhirnya Arya telah
kehilangan semua kesabaran serta kelunakan hati. Yang didalam dadanya kini adalah
kemarahan yang menyala nyala seperti api membakar hutan kering di lereng bukit dalam
arus angin yang kencang.
Karena itulah maka sambil menggeram keras Arya meloncat dengan tangkasnya, kemudian
seperti badai ia menyerang Sawung Sariti.
Namun Sawung telah bertekad bulat untuk bertempur mati-matian. Kakak sepupunya atau
ia yang harus mati. Maka terulang kembali pertempuran sengit dibawah pohon nyamplung.
Pertempuran antara dua anak muda yang darahnya sedang mendidih sampai kekepala.
Karang Tunggal kini berdiri seperti tonggak. Ia benar-benar menjadi kecewa. Ia kini tidak
bisa berharap bahwa dendam diantara keduanya akan terhapus karena ucapan jantan.
Karena itulah ia melangkah perlahan-lahan menepi dan duduk ditepi jalan bersandar pokok
pohon nyamplung.
UNTUK menghilangkan kejengkelan hatinya, tiba-tiba Karang Tunggal berteriak keras-keras,
Aku tidak peduli lagi dengan kalian. Apa yang terjadi kemudian, aku tidak turut campur.
Juga seandainya kalian mati bersama-sama, aku akan berdendang lagu Kinanti, sama sekali
bukan Megatruh!
Meskipun kata-kata Karang Tunggal itu bergetar memenuhi udara, namun Sawung Sariti
dan Arya Salaka tak mendengarnya. Perhatian mereka sepenuhnya telah tertumpah pada
perjuangan mereka untuk mempertahankan hidup masing-masing.
Pertempuran kali inipun semakin lama menjadi semakin memuncak. Masing-masing telah
melepaskan segenap ilmu pedang mereka. Ilmu pedang dari perguruan Pengging melawan
ilmu pedang dari perguruan Pangrantunan. Dua ilmu yang seimbang dan dimiliki oleh dua
orang anak muda dalam tataran yang seimbang pula. Sekali lagi nampak, betapa kekuatan
jasmaniah Arya Salaka berada selapis lebih dari Sawung Sariti. Itulah sebabnya maka
Sawung Sariti berusaha mempergunakan kelincahannya untuk memukul lawannya. Namun
agaknya Sawung Sariti tidak akan berhasil. Sebab Arya Salaka pun mampu bertempur
dalam kelincahan yang mengagumkan. Bahkan kemudian keduanya seakan-akan berubah
menjadi bayangan yang melayang-layang secepat sikatan menyambar belalang.
Pedang Sawung Sariti bergerak dalam bidang-bidang yang mendatar, mematuk dan
kemudian berputar seperti baling-baling. Sedangkan pedang Arya Salaka mengambil garisgaris silang untuk mematahkan serangan Sawung Sariti dan kemudian bergerak melingkari
dirinya, untuk kemudian dengan dahsyatnya, sedahsyat angin pusaran, pedang itu melibat
lawannya. Dalam benturan-benturan yang terjadi, semakin jelas, betapa kekuatan tubuh
Arya Salaka melampaui kekuatan lawannya. Maka ketika Arya Salaka tidak lagi dapat
mengendalikan diri, pedangnya menyambar dengan cepat dan kerasnya ke arah lehar
lawannya. Namun kelincahan Sawung Sariti pun tidak kalah daripada lawannya. Cepat ia
merendahkan diri dan pedangnya menyilang, melindungi tubuhnya. Terjadilah suatu
benturan yang dahsyat. Seperti bunga api menghambur di udara. Dalam benturan itu, Arya
telah mengerahkan segenap kekuatannya, bahkan ia telah mempergunakan ayunan
pedangnya serta berat badannya untuk memperkuat serangannya. Dengan demikian,
kekuatan yang menghantam pedang Sawung Sariti jauh melampaui kekuatan Sawung
Sariti. Dengan demikian, ia terlontar mundur, sedang pedangnya bergetar cepat.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 101 dari 142

Terasa jari-jarinya menjadi panas dan nyeri. Cepat ia berusaha untuk memperbaiki
keadaannya, namun secepat itu pula sekali lagi pedang Arya Salaka memukul pedang
Sawung Sariti. Kali ini Sawung Sariti tak dapat lagi menyelamatkan pedangnya. Dengan
kerasnya pedangnya terpukul jatuh ditanah. Sawung Sariti menggeram keras karena
terkejut dan nyeri-nyeri ditangannya. Dengan cepatnya ia melontar mundur sejauhjauhnya. Namun Arya pun mampu bergerak secepat itu, sehingga ketika Sawung Sariti
berjejak di atas tanah, ujung pedang Arya seakan-akan telah melekat di dadanya. Sekali
lagi ia mencoba menjauhkan diri dari ujung pedang itu, namun Arya Salaka pun melontar
maju dengan kecepatan yang sama.
Akhirnya Sawung Sariti berhenti. Tangannya bergetar, namun tak sesuatu dapat dilakukan.
Sedang ujung pedang Arya masih saja menekan dadanya. Melihat keadaan kedua anak
muda yang bertempur itu, Karang Tunggal menjadi tegang. Tanpa sesadarnya, ia meloncat
berdiri dengan wajah tegang menanti apa yang akan terjadi. Pada saat itu, Arya benarbenar telah menguasai lawannya. Dengan satu gerakan yang sederhana, ujung pedangnya
akan menembus dada adik sepupunya itu.
Namun tiba-tiba tatit dari ujung langit memancar di udara. Seleret sinar jatuh di wajah
adiknya yang tegang kaku. Bergetarlah dada anak muda dari Banyubiru itu. Ia pernah
melihat wajah yang sedemikian itu di Gedangan, beberapa tahun lampau. Kalau ia mau,
pada saat itu Sawung Sariti telah terbunuh dengan ujung tombak pusakanya. Tetapi pada
saat itu ia tidak dapat membunuhnya. Perasaannya dirisaukan oleh kenangan masa-masa
silam. Masa kanak-kanak dan masa-masa mereka bergaul sebagai saudara. Seperti juga
pada saat yang serupa, kini tangan Arya Salaka yang memegang pedang itu bergetar,
bergetar karena getaran di dalam jiwanya. Getaran perasaan seorang kakak. Betapa pun
kemarahan telah membakar dadanya, namun Arya masih sadar, bahwa Sawung Sariti
adalah adik sepupunya.
Dalam kerisauan itu tiba-tiba terdengar suara Sawung Sariti lantang, seperti apa yang
dikatakan beberapa tahun yang lampau, Kakang Arya Salaka. Bunuhlah aku.
Arya Salaka memandang wajah adiknya. Tangannya masih bergetar. Namun mulutnya tibatiba seperti terkunci. Bahkan kemudian kembali terdengar Sawung Sariti berkata, Kali ini
bunuhlah aku, supaya aku tidak membunuhmu kelak.
NAFAS Arya Salaka berjalan semakin cepat. Bukan karena kelelahan, tetapi karena
perasaannya yang bergolak demikian dahsyatnya. Bergolakan perasaan yang telah
menggoncangkan nalarnya. Dengan mata yang suram ia mengamat-amati wajah adiknya
dengan seksama. Wajah yang masih memancarkan perasaan dendam dan benci.
Namun karena itulah maka Arya Salaka menjadi kasihan melihatnya. Ia menangkap getaran
perasaan adiknya. Betapa ia tidak rela menerima keadaan itu.
Karena itu tiba-tiba terdengarlah suaranya gemetar, Adi Sawung Sariti. Berjanjilah demi
Tuhan Yang Maha Tahu, bahwa kau akan melupakan gegayuhan yang sesat itu. Kemudian
biarlah kita menikmati hidup tenang. Lepas dari rasa dendam dan prasangka.
Kakang, jawab Sawung Sariti, Aku sudah berkata, kau atau aku yang harus lenyap. Kita
tak akan dapat hidup bersama di bawah cahaya matahari yang sama.
Arya Salaka mengangkat alisnya. Dadanya berdentang keras mendengar jawaban Sawung
Sariti.
Karebet pun menjadi heran melihat peristiwa itu. Alangkah bersih jiwa Arya Salaka.
Sebaliknya, betapa keras kepala adik sepupunya itu. Dengan demikian, Karang Tunggal pun
terpaksa menahan nafasnya, menanti apa yang kira-kira akan terjadi. Di dalam lumpur
yang becek, Galunggung masih duduk dengan mulut ternganga. Pertempuran yang terjadi
benar-benar telah merampas segenap kesadarannya. Dan kini ia melihat Sawung Sariti
dalam bahaya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 102 dari 142

Arya Salaka masih tegak di tempatnya. Pedangnya masih melekat di dada adiknya dengan
gemetar. Secepat getaran di dadanya sendiri. Bahkan tiba-tiba tangannya menjadi lemas,
dan karena itu pedangnyapun semakin tunduk ke tanah.
Sawung Sariti melihat keadaan kakaknya. Ia melihat pedang itu semakin renggang dan
tunduk. Mula-mula ia merasa aneh, kenapa kakaknya itu tidak membunuhnya, seperti
beberapa tahun yang lalu, meskipun ia telah mengancamnya. Kemudian ia merasakan
sesuatu yang tak dapat dimengerti sendiri menjalar di hatinya. Perasaan segan dan lebih
dari itu.
Meskipun demikian Sawung Sariti tidak mau dipengaruhi oleh perasaannya. Ia tidak mau
disebut sebagai seorang pengecut, yang takut menentang maut. Karena itu ia masih
mencoba berkata, Jangan menjadi laki-laki cengeng. Aku telah mengangkat dadaku.
Bunuhlah aku.
Namun suara Sawung Sariti sudah tidak selantang tadi. Bahkan suara itu terasa bergetar
dan ragu.
Hem! Arya Salaka menggeram. Kini pedangnya sudah benar-benar terkulai. Dengan mata
yang sayu ia berkata, Adi Sawung Sariti, masihkah hatimu segelap itu?
Kembali terasa sesuatu berdesir di dada Sawung Sariti. Kakaknya itu benar-benar tak mau
membunuhnya. Tetapi ia berkata tidak seperti getaran-getaran di hatinya, Apa pedulimu
tentang hatiku? Kalau kau sobek dadaku, akan kau lihat warna hati itu.
Arya menjadi kecewa. Seperti Karang Tunggal juga menjadi sangat kecewa. Karena itu Arya
berkata putus asa, Baiklah Adi. Ambillah pedangmu. Kita tentukan sekali lagi. Siapakah
yang akan mati di antara kita.
Sekali lagi dada Sawung Sariti bergoncang. Kesempatan itu masih didapatnya. Aneh.
Apakah Arya Salaka tidak melihat kemungkinan dadanya sendiri, akan tembus oleh
pedangnya, atau barangkali kakaknya itu yakin bahwa ia tak akan dapat mengalahkannya?
Namun bagaimanapun juga, kesempatan itu benar-benar mengacaukan perasaannya. Dan
karena itulah ia tidak segera bergerak memungut pedangnya. Malahan matanya dengan
penuh pertanyaan memandang Arya dan Karebet berganti-ganti.
Getaran di dalam dadanya semakin lama menjadi semakin keras. Akhirnya terdengarlah
suara lamat-lamat jauh dari dalam relung hatinya berbisik, Sawung Sariti, alangkah
luasnya hati Arya Salaka, seluas lautan yang sanggup menampung air dari mana pun
datangnya.
Dan karena itulah maka ia masih berdiri mematung.
Dalam kesepian yang mencekam itu, tiba-tiba terdengarlah dari balik gerumbul-gerumbul di
tepi parit, seseorang berkata, Persetan kalian, perempuan-perempuan cengeng.
Semua yang mendengar suara itu terkejut. Serentak mereka menoleh ke arahnya. Dan
tampaklah sebuah bayangan yang bergerak-gerak di balik gerumbul-gerumbul di tepi parit.
Dan suara itu berkata lagi, Aku telah mencoba menyabarkan diri, menunggu kalian saling
membunuh. Tetapi aku tidak telaten. Kalian berperasaan seperti perempuan cengeng.
Kenapa kalian tidak bertempur dan membunuh secara jantan?
Dada ketiga anak muda yang berdiri di bawah pohon nyamplung itu menjadi semakin
berdebar-debar, dan bayangan itu masih saja berada di sana sambil meneruskan katakatanya, Aku telah menunggu untuk mengurangi darah yang melumuri tanganku. Setidaktidaknya aku hanya tinggal membunuh dua di antara kalian bertiga atau satu, apabila kalian
laki-laki dan bertempur seperti laki-laki. Tetapi tidaklah demikian. Karena itu maka kalian
telah memberatkan pekerjaanku. Membunuh kalian bertiga dengan tanganku.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 103 dari 142

TIDAK seorang pun dari ketiga orang dibawah pohon nyamplung itu yang bergerak.
Semua berdiri mematung dengan hati yang tegang. Mereka menunggu untuk mengetahui
siapakah yang berbicara itu. Berdesirlah dada mereka, dan darah mereka seakan-akan
membeku ketika mereka melihat bayangan di belakang gerumbul itu meloncat dengan
tangkasnya, melangkahi pohon-pohon perdu seperti seekor burung gagak yang berwarna
kelam di malam yang gelap. Mereka menjadi semakin terkejut lagi ketika bayangan itu telah
berdiri di antara mereka, di bawah pohon nyamplung itu.
Ternyata bayangan itu adalah seorang yang bertubuh bongkok dan berwajah mengerikan,
seperti wajah hantu.
Bugel Kaliki, desis Sawung Sariti.
Orang bongkok dari lembah Gunung Cerme itu tertawa berderai.
Katanya, Kau pasti mengenal aku dengan baik.
Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Kemudian hantu bongkok itu berkata
pula, Nah, aku juga ingin melihat bahwa kau dan anak murid Mahesa Jenar ini laki-laki.
Tetapi aku kecewa. Karena itu biarlah aku yang membunuhmu. Dan yang seorang ini aku
tidak tahu, apakah hubunganmu dengan kedua anak ini. Namun karena kau hadir juga di
sini, maka kau pun akan aku binasakan.
Karang Tunggal pun pernah mendengar tentang Bugel Kaliki. Ia tahu benar bahwa Bugel
Kaliki adalah tokoh sakti dari golongan hitam seperti Pasingsingan, Sima Rodra tua, Sura
Sarunggi dan sebagainya. Namun terdorong oleh jiwa kejantanannya yang meluap-luap
dalam dadanya, seperti sifat-sifatnya yang melonjak-lonjak dipenuhi oleh daya hidupnya,
maka ia pun marah bukan buatan. Dengan berdiri tegak dan bertolak pinggang, ia berkata
lantang, Hai Bugel Kaliki, kalau kau belum mengenal aku, akulah yang bernama Karang
Tunggal, yang disebut juga Mas Karebet dalam panggilan Jaka Tingkir.
Bugel Kaliki mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran melihat sikap anak muda yang
seakan-akan tak mengenal takut kepadanya itu. Maka katanya, Sudahkah kau kenal nama
Bugel Kaliki dengan baik?
Aku sudah cukup mengenal, jawab Karebet, Bugel Kaliki adalah tokoh sakti dari lembah
Gunung Cerme.
Bugel Kaliki tertawa. Katanya di antara derai tertawanya, Bagus, kau telah mengenal
namaku. Tetapi kenapa kau berani bertolak pinggang di hadapanku?
Kemarahan Karebet menjadi semakin memuncak. Jawabnya, Aku tidak mau kau hinakan
dengan kata-katamu. Apakah kau kira membunuh kami bertiga ini semudah membunuh
cacing?
Sekali lagi Bugel Kaliki tertawa, lebih keras dari semula, sehingga tubuhnya berguncangguncang.
Diam! bentak Karebet, Aku muak melihat tampangmu. Apalagi kalau kau sedang
tertawa.
Bugel Kaliki terkejut, sehingga tertawanya berhenti. Bukan main. Anak itu berani
membentak-bentaknya. Karena itu matanya mejadi buram dan redup. Dipandangnya Karang
Tunggal dengan seksama. Perlahan-lahan ia berjalan ke arah anak muda itu.
Arya Salaka dan Sawung Sariti tiba-tiba menjadi tegang. Apakah ia harus berdiri
membiarkan Karang Tunggal mengalami bencana. Tiba-tiba terasa pula perasaan dendam di
antara mereka. Mereka merasa bahwa kini nasib mereka serupa. Mereka bersama-sama
akan mengalami bencana, apabila Bugel Kaliki benar-benar bertindak atas mereka. Apalagi
di dalam relung hati Sawung Sariti telah memancar sepercik api yang menerangi kegelapan
hatinya itu.
Maka ketika mereka melihat Bugel Kaliki melangkah perlahan-lahan mendekati Karang
Tunggal, tanpa mereka sengaja, Arya dan Sawung Sariti pun melangkah maju.
MELIHAT kedua anak muda yang lain bergerak, Bugel Kaliki berhenti.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 104 dari 142

Pandangan matanya yang buas berganti-ganti hinggap diwajah Arya dan Sawung Sariti.
Kedua anak muda inipun ternyata tidak gentar menghadapinya. Sehingga dengan demikian
Bugel Kaliki menjadi semakin marah.
Dan terdengarlah ia berteriak, Apakah kalian bertiga tidak takut menghadapi aku, Bugel
Kaliki dari Gunung Cerme?
Selama kami berpijak pada kebenaran, tak ada yang kami takuti, jawab Arya Salaka.
Gila! geram Bugel Kaliki, Kau berdua telah terluka. Membunuh kalian akan sama
mudahnya dengan membunuh semut.
Aku sudah siap untuk mati sejak tadi, sahut Sawung Sariti, Namun jangan mimpi, kami
akan menyerahkan leher kami tanpa perlawanan. Dan kalau aku mati karena tanganmu,
maka aku akan mendapat penghormatan sebagai seorang laki-laki dari Pamingit. Bukan
karena pertentangan antara keluarga sendiri. Aku sekarang menyesal bahwa aku telah
melawan kakang Arya Salaka.
Arya Salaka dan Karang Tunggal bergetar hatinya mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu.
Ketika mereka memandangi wajah Sawung Sariti, tampaklah betapa ia berkata dari dasar
hatinya. Karena itu didalam dada Arya Salaka terdengar suara berbisik, Terimakasih
adikku. Mudah-mudahan kau mendapat sinar terang dari Tuhan Yang Maha Pengasih.
Dalam pada itu Bugel Kaliki menjadi bertambah-tambah marah juga. Ia mengharap bahwa
seharusnya ketiga anak muda itu menjadi ketakutan, menggigil dan berjongkok minta
ampun. Tetapi ternyata mereka telah menengadahkan dada mereka. Bahkan anak yang
bernama Karang Tunggal itu masih saja berdiri bertolak pinggang.
Karena kemarahannya itu tiba-tiba Bugel Kaliki berkata nyaring - Hai tikus-tikus yang tak
tahu diri. Kalian telah berbuat kesalahan pada akhir hayat kalian.Hem. Alangkah
menyenangkan apabila aku melihat kalian meronta-ronta dan menderita sakit pada saat ajal
tiba.
Kata-kata itu diucapkan oleh seorang iblis yang mengerikan. Karena itu, maka dada ketiga
anak muda itu pun berdesir pula. Namun mereka bukanlah tikus-tikus seperti yang
dikatakan oleh orang bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, meskipun desiran didada
mereka terasa seperti menggores jantung, namun mereka tidak menjadi gentar.
Terdengarlah Karang Tunggal menjawab, Omong kosong. Kau ingin menakut-nakuti kami,
supaya kami menjadi menggigil dan kehilangan nafsu perlawanan kami.
Jawaban itu benar-benar membakar hati Bugel Kaliki. Seperti tatit ia meloncat dan
menampar mulut Karang Tunggal.
Gerakan Bugel Kaliki benar-benar demikian cepatnya dan tidak terduga-duga sehingga tak
seorang pun mampu mencegahnya, bahkan Karang Tunggal pun tak mampu mengelakkan.
Namun gerakan Bugel Kaliki bukanlah serangan yang sebenarnya. Ia menampar saja karena
marah, meskipun demikian tangan Bugel Kaliki adalah tangan hantu yang seakan-akan
gumpalan timah yang keras. Karena itulah maka tamparan itu pun seolah-olah seperti
ayunan bandul timah yang berat, menghantam pipi Karang Tunggal.
Meskipun Karang Tunggal mencoba mengelak, namun kecepatannya bergerak tidak dapat
memadai kecepatan Bugel Kaliki, sehingga karena itu maka tangan Bugel Kaliki itu pun tak
dapat dihindari.
Namun demikian, Jaka Tingkir itu tak terpelanting dan terbanting jatuh. Kepalanya hanya
tergeser sedikit dan ia terdorong mundur beberapa langkah. Bugel Kaliki melihat kenyataan
itu. Ia sudah mengatur kekuatan geraknya. Menurut dugaannya anak yang sombong itu
akan terpelanting dan jatuh berguling ditanah. Tetapi Karebet ternyata tidak demikian.
Bahkan terasa seolah-olah ada lambaran yang membatasi tangannya dan tubuh anak itu.
Karena itu, maka Bugel Kaliki menjadi berdebar-debar.
Dengan pandangan mata yang buas ia memandang Karebet seperti hendak ditelannya
hidup-hidup. Dari mulutnya tiba-tiba terlontar kata-katanya, Setan, dari mana kau miliki aji
Lembu Sekilan itu?
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 105 dari 142

Karebet kini telah tegak kembali. Ia telah mengetrapkan ilmunya sejak ia melihat
kedatangan hantu yang dapat bergerak secepat tatit itu. Memang ia sudah menyangka,
bahwa Bugel Kaliki pada suatu saat akan bergerak secepat itu. Karena itu, ia pun selalu
bersiaga.
Namun ia tidak menjawab pertanyaan hantu bongkok itu.
Arya Salaka pun tergetar melihat peristiwa itu. Sejak pertemuannya yang pertama dengan
Karang Tunggal, ia telah mengagumi ketangguhan dan ketangkasannya. Kini ia
menyaksikan betapa Karebet berhasil mempertahankan keseimbangannya dari dorongan
tangan Bugel Kaliki.
Apalagi Sawung Sariti. Dadanya bergoncang ketika ia mendengar Bugel Kaliki berkata,
bahwa anak muda yang bernama Karang Tunggal itu memiliki aji Lembu Sekilan.
Kalau demikian ia tidak bersungguh-sungguh ketika melawan aku. Alangkah bodohnya aku
ini. Kalau ia terapkan Lembu Sekilan, maka aku pasti sudah binasa karena pedangnya.
Sebab aku tak dapat mengenalinya, dan ia dapat sekehendak hatinya menusuk dadaku dari
arah yang disukainya, pikirnya. (Bersambung)-m

NAGASASRA DAN SABUKINTEN


Karya SH Mintardja
Dikumpulkan dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
DALAM pada itu terdengar Bugel Kaliki berkata, Kalau demikian, kaulah yang harus
dibinasakan lebih dahulu. Sebab ajimu itu, apabila kelak benar-benar dapat kau matangkan,
maka kau akan menggulung jagad. Tetapi sekarang, belum. Ternyata kau masih bergetar
karena dorongan tanganku. Kalau aku hantam sekuat tenagaku, meskipun kau melambari
dirimu dengan Lembu Sekilan, namun iga-igamu rontok seluruhnya.
Karang Tunggal masih tetap berdiam diri, namun ia benar-benar telah bersiaga. Kalau
datang serangan yang tiba-tiba dan dengan sepenuh tenaga, ia pun telah bersiap mengelak.
Nah, bersiaplah untuk mati. Kalian bertiga akan aku binasakan secepat-cepatnya sebagai
pembalasan dendam atas kematian sahabat-sahabatku, kata Bugel Kaliki seterusnya.
Karang Tunggal, Arya Salaka dan Sawung Sariti sadar bahwa Bugel Kaliki pasti berusaha
untuk melaksanakan kata-katanya. Karena itu segera mereka pun bersiap. Tanpa berjanji
Arya Salaka dan Sawung Sariti bergerak mengambil tempat masing-masing. Mereka berdiri
sebelah menyebelah dari hantu Bongkok itu, sehingga mereka dapat mengambil garis
perkelahian yang berbeda-beda.
Sekali lagi terdengar Bugel Kaliki mendengus dan kemudian tertawa pendek. Setelah itu, ia
pun mulai bergerak menyerang Karang Tunggal. Namun Karang Tunggal telah benar-benar
siap. Ia kali ini berusaha membebaskan dirinya dari tangan Bugel Kaliki. Dan ketika Bugel
Kaliki mencoba mengulangi serangannya, datanglah serangan Arya Salaka dan Sawung
Sariti bersama-sama. Bugel Kaliki menggeram marah. Terpaksa ia menghindari kedua ujung
pedang itu. Namun gerakannya sedemikian tangkasnya, sehingga sesaat kemudian ia pun
telah berhasil meloncat menyerang Arya Salaka. Ia menyilangkan pedangnya di muka
dadanya.
Tetapi Bugel Kaliki menggeliat di udara, dan serangannya telah berubah mengarah lambung.
Arya terkejut melihat perubahan itu. Untunglah Sawung Sariti dengan pedangnya yang
panjang menyerang langsung dengan garis mendatar, memotong gerakan Bugel Kaliki.
Sekali lagi Bugel Kaliki menggeram.
Ternyata anak-anak itu benar-benar bukan anak-anak kecil. Ketika ia melihat perkelahian
antara Arya Salaka dan Sawung Sariti, memang ia telah mendapat gambaran tentang ilmu
kesaktian anak itu, namun kini ia telah membuktikannya. Namun Bugel Kaliki adalah
seorang iblis yang mengerti. Ketika pedang Sawung Sariti itu terjulur, Bugel Kaliki
melantingkan kesamping. Dengan demikian Sawung Sariti terseret kekuatannya yang
dikerahkan seluruhnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 106 dari 142

Bugel Kaliki terkejut. Ia melihat Sawung Sariti sedang mencoba mempertahankan


keseimbangan. Dalam keadaan yang demikian ia menyerang , melihat serangan itu, tetapi
ia terhalang oleh adiknya.
Yang kemudian dilakukan adalah menjulurkan pedangnya, diatas punggung Sawung Sariti
menanti kedatangan Bugel Kaliki. Tetapi perlawanan itu tak banyak berarti bagi Bugel Kaliki.
Dengan cepatnya ia melontar diri ke arah anak muda dari Pamingit itu. Tetapi sekali lagi
Bugel Kaliki menggeram, bahkan mengumpat-umpat tak habis-habisnya ketika tiba-tiba
tubuhnya tertumbuk dengan Karang Tunggal yang sengaja menghalang-halangi geraknya.
Dengan demikian Bugel Kaliki terhenti ditempatnya, namun Karang Tunggal terpelanting
beberapa langkah dan jatuh berguling-guling.
Untunglah bahwa ia berhasil menempatkan dirinya sehingga tidak menimpa Sawung Sariti
dan Arya Salaka.
Gila! teriak Bugel Kaliki, Kau tidak mati karena benturan ini?
Sebagaimana kau lihat, sahut Karang Tunggal yang sudah berhasil berdiri.
Ternyata aji Lembu Sekilan telah menyelamatkannya, meskipun ia terpaksa terpelanting
jatuh. Namun ia tidak mengalami luka pada tubuhnya. Kesempatan itu dapat dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Sawung Sariti dan Arya Salaka. Secepat-cepatnya mereka
mempersiapkan diri mereka untuk menanti serangan-serangan yang baru.
Tetapi pertempuran yang baru sebentar itu telah memberi mereka gambaran bahwa umur
mereka tidak akan terlalu panjang lagi. Bugel Kaliki segera bersiap maju. Matanya menjadi
bertambah merah karena kemarahan yang menyala di dadanya semakin menjadi-jadi pula.
Ketika anak muda itu ternyata mampu bertahan beberapa saat menghadapinya. Karena itu
ia menggeram tak henti-hantinya dan mengumpat tak habis-habisnya.
Ketika Bugel Kaliki telah siap dengan serangannya, tiba-tiba ia terkejut sehingga ia tegak
mematung. Ia melihat anak yang bernama Karang Tunggal itu meraih sesuatu dari dalam
bajunya dan ketika tangannya itu ditariknya, ia telah menggengam sebilah keris yang
memancarkan cahaya yang buram, seperti bara.
Dan tiba-tiba pula dari mulutnya terdengarlah ia berdesis, Sangkelat.
Ya, sahut Karang Tunggal, Inilah Kyai Sangkelat.
"SETAN!" Hantu itu bergumam.
Namun hatinya berdebar-debar cepat sekali. Apalagi ketika ia melihat keris itu tidak
bercahaya berkilat-kilat seperti pernah didengarnya. Dan pernah juga ia mendengar
ceritera, bahwa Sangkelat yang demikian itu menyatakan bahwa jiwa keris itu telah luluh
dalam jiwa pemegangnya. Apalagi ketika ia mendengar bahwa Karang Tunggal
membenarkan dugaannya bahwa yang dipegang itu adalah Kyai Sangkelat.
Arya dan Sawung Sariti pun berdebar-debar pula melihat keris itu. Meskipun mereka belum
pernah mengenalnya, namun terasa bahwa wesi aji yang bercahaya buram itu mempunyai
pembawaan yang luar biasa.
Apalagi ketika mereka mendengar Bugel Kaliki menyebut nama keris itu, "Sangkelat."
Dan nama keris itu pernah didengarnya. Bagi Arya Salaka, keris yang bernama Kyai
Sangkelat itu telah memperingatkan kepadanya bahwa ia pun membawa pusaka yang dapat
diandalkan pula, meskipun belum setingkat Kyai Sangkelat. Karena itu, dengan gerak diluar
sadarnya, pedang di tangannya berpindah ke tangan kirinya, dan tiba-tiba tangan kanannya
telah memegang sebuah pisau belati panjang yang bercahaya kekuning-kuningan.
Melihat pisau itu, Bugel Kaliki terkejut untuk kedua kalinya. Sekali lagi mulutnya berdesis,
"Kyai Suluh."
"Ya," sahut Arya pendek.
"Hem!" geram Bugel Kaliki, "Dari mana kalian mendapat benda-benda aneh itu? Sangkelat
dan Suluh. Bukankah Kyai Suluh itu pusaka Pasingsingan?"
"Ya," sahut Arya.
"Persetan dengan pusaka-pusaka itu!"
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 107 dari 142

Tiba-tiba ia berteriak. Suara menggema berulang-ulang. Namun terasa dalam nada


suaranya bahwa kedua pusaka itu benar-benar mempengaruhi perasaannya. Melihat kedua
kawan senasibnya memegang pusaka-pusaka yang dapat mempengaruhi lawannya, Sawung
Sariti berbesar hati pula. Dengan demikian perlawanan mereka pasti akan bertambah
panjang. Mudah-mudahan ada sesuatu yang dapat merubah keseimbangan pertempuran
itu.
Maka karena itulah ia berkata dengan suara nyaring, "Kakang, berikan pedang itu kepadaku
apabila tak kau pergunakan lagi."
Arya memandangi adiknya. Ia telah memegang pusaka yang cukup menggetarkan. Karena
itu, dengan tidak berkeberatan diserahkannya pedang di tangan kirinya kepada adiknya.
Sambil menerima pedang itu Sawung Sariti bergumam, "Akan aku coba ilmu pedang
rangkap yang pernah diturunkan Eyang Sora Dipayana kepadaku."
"Pusaka-pusaka itu tak ada artinya bagi kalian. Bahkan aku akan berterima kasih kepada
kalian, karena setelah kalian mati, maka pusaka-pusaka itu akan menjadi milikku," kata
Bugel Kaliki pula.
Karang Tunggal yang mempunyai sifat-sifat aneh itu tertawa.
Jawabnya,"Jangan berpura-pura. Suaramu gemetar."
Bukan main marahnya hantu dari Gunung Cerme itu mendengar hinaan yang keluar dari
mulut anak-anak. Karena itu ia pun segera meloncat, membuka serangan yang dahsyat.
Namun anak-anak muda pun telah bersiaga. Segera anak-anak itu bergerak pula
memberikan perlawanan yang gigih. Kyai Sangkelat, Kyai Suluh, dan permainan pedang
rangkap Sawung Sariti, yang mengagumkan. Kedua pedang itu tampaknya seperti saling
membelit dan mematuk-matuk berganti-ganti.
Tetapi di antara mereka bertiga Bugel Kaliki seakan-akan dapat bergerak-gerak seperti asap
yang tak dapat mereka sentuh dengan senjata-senjata mereka. Namun meskipun demikian,
Bugel Kaliki pun tak dapat berbuat sekehendak hatinya atas ketiga lawan-lawannya yang
masih sangat muda itu. Meskipun ketiga-tiganya bukan berasal dari satu perguruan, namun
mereka dapat bekerja bersama dalam susunan yang rapi. Mereka mencoba sekuat-kuat
mungkin saling mengisi dan saling memperkuat serangan diantara mereka. Apalagi dengan
kedua pusaka yang menggetarkan hati di tangan Karebet dan Arya Salaka, maka Bugel
Kaliki benar-benar harus berhati-hati.
Meskipun demikian ia adalah tokoh tua yang sudah kenyang makan pahit getir perkelahian,
pertempuran dan segala macam kekerasan. Bugel Kaliki dapat membunuh lawannya dan
kemudian duduk di atas bangkai itu sambil makan seenaknya.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Dalam keadaan demikian, seakanakan kedua belah pihak berada dalam keseimbangan. Karang Tunggal ternyata berada dua
tiga lapis diatas kemampuan Arya Salaka. Aji Lembu Sekilannya, meskipun tidak dapat
melawan kekuatan tenaga Bugel Kaliki sepenuhnya, namun ia dapat menghindarkan dirinya
dari sentuhan-sentuhan kecil hantu dari Gunung Cerme itu. Dengan demikian, maka
seakan-akan Karebetlah yang memimpin kedua kawannya yang lain. Ialah yang mengambil
sikap dan menentukan permainan yang mengagumkan, namun telah membuat Bugel Kaliki
bertambah marah.
SETELAH mereka bertempur beberapa saat, tampaklah tenaga Sawung Sariti mulai susut.
Selain kelelahan yang telah menjalari seluruh tubuhnya, darah juga mengalir dari lukanya.
Meskipun tidak terlalu deras, namun apabila ia menggerakkan tangannya sepenuh tenaga,
darah itu meleleh semakin banyak.
Demikian juga darah dari dada Arya yang telah tergores oleh pedang Sawung Sariti. Namun
ketahanan jasmaniahnya ternyata lebih besar daripada adik sepupunya itu. Melihat keadaan
itu, Karebet menjadi berdebar-debar. Dengan demikian ia harus bekerja sekuat tenaganya.
Tenaga yang seakan-akan mempunyai persediaan yang tak kering-keringnya didalam
tubuhnya. Memang selain sifat-sifatnya yang aneh, tubuh Karebet pun aneh pula. Meskipun
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 108 dari 142

ia memeras segenap kekuatan dan tenaganya sejak pertempuran itu dimulai, namun
semakin lama, seakan-akan ia menjadi semakin segar dan kuat.
Bugel Kaliki yang bermata tajam, setajam burung hantu, melihat kelemahan itu.
Karebet adalah anak yang sangat berbahaya dengan Kiai Sangkelat di tangannya. Karena
itu maka yang pertama-tama harus disingkirkan supaya tidak mengganggu adalah Arya
Salaka atau Sawung Sariti. Dalam pada itu, terasalah tekanan-tekanan yang erat pada Arya
Salaka dan Sawung Sariti.
Bugel Kaliki telah mangerahkan serangan-serangannya kepada kedua anak itu bergantiganti sambil menghindarkan diri dari serangan-serangan Kiai Sangkelat yang menyambarnyambarnya dengan dahsyatnya. Ketika mereka sedang sibuk dengan pertempuran itu,
dimana perhatian mereka seluruhnya terampas oleh usaha mereka mempertahankan diri,
terjadilah suatu peristiwa yang tak mereka duga-duga.
Galunggung, yang duduk lemas ditanah yang becek, ketika melihat kehadiran hantu dari
Gunung Cerme itu, menjadi seakan-akan membeku.
Ia tahu benar siapakah Bugel Kaliki. Dengan demikian ia menjadi putus asa. Semua
impiannya kini telah benar-benar menjadi lenyap seperti awan disapu angin. Impiannya
tentang tanah yang berpuluh-puluh bahu. Kekuasaan atas Pamingit dan Banyubiru.
Kekayaan dan kemewahan. Sebab dengan kehadiran hantu bongkok itu harapan untuk
hidup bagi Sawung Sariti menjadi semakin tipis.
Tetapi ketika ia melihat pertempuran di antara mereka, di antara Bugel Kaliki melawan
ketiga anak-anak muda itu hatinya menjadi hidup kembali. Darahnya serasa mulai mengalir.
Ia melihat bagaimana ketiga anak muda itu dengan gigih mempertahankan diri mereka.
Bahkan anak muda yang bernama Karebet itu dapat bergerak menyambar-nyambar seperti
burung alap-alap di langit. Dengan demikian pikirannya perlahan-lahan dapat berjalan
kembali. Mula-mula ia ingin mencoba membantu melawan Bugel Kaliki namun hal itu tidak
akan berarti. Apalagi senjatanya kini tidak ada di tangannya lagi.
Tiba-tiba timbullah pikirannya yang bersih. Dengan sagat hati-hati ia merangkak masuk ke
dalam tanaman jagung muda itu semakin dalam. Kemudian tiba-tiba kekuatannya seperti
kembali menjalari tubuh. Dengan serta merta, ketika ia sudah cukup dalam di balik pohonpohon jatung itu Galunggung meloncat dan berlari sekencang-kencangnya seperti dikejar
hantu, kembali ke Pamingit. Siapa pun yang akan dijumpainya pertama-tama, akan
diberitahukan kepadanya bahwa Arya Salaka dan Sawung Sariti sedang bertempur melawan
Bugel Kaliki.
Pada saat itu keadaan Sawung Sariti telah bertambah payah. Perlawanannya telah menjadi
semakin kendor. Kedua pedangnya yang semula bergerak seperti gumpalan asap yang
bergulung-gulung melindungi dirinya, kian lama menjadi kian kendor. Sedangkan serangan
Bugel Kaliki menjadi semakin garang. Demikianlah, pada suatu saat Bugel Kaliki berhasil
menerobos lawan-lawannya langsung menyerang Sawung Sariti. Dengan kecepatan yang
masih dapat dilakukan, Sawung Sariti menyilangkan kedua pedangnya dengan kekuatan
raksasanya, sehingga tiba-tiba kedua pedangnya itu pun bergetar dan jatuh di tanah.
Sawung Sariti menjadi gugup. Pada saat itu Bugel Kaliki mengulangi serangannya langsung
ke dada Sawung Sariti. Serangan itu datang sedemikian cepatnya, sehingga Sawung Sariti
telah benar-benar kehilangan kesempatan untuk menghindar.
Karang Tunggal dan Arya menjadi terkejut pula melihat Bugel Kaliki dapat bergerak secepat
itu, menerobos serangan-serangan mereka. Dengan secepat yang dapat dilakukan, Karang
Tunggal meloncat menyerang sejadi-jadinya. Kyai Sangkelat langsung terjulur lurus ke
lambung Bugel Kaliki. Sedang Arya, yang berada dalam jarak yang lebih jauh, tak mampu
meloncat mencapai lawannya. Maka ia hanya berusaha untuk menyelamatkan Sawung Sariti
yang sedang kehilangan keseimbangannya. Dengan cepat ia mendorong adiknya ke
samping.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 109 dari 142

Kedua gerakan Karebet dan Arya ada juga pengaruhnya, Bugel Kaliki terpaksa menggeliat
menghindari Kyai Sangkelat. Namun sentuhan itu mengenai dada kiri Sawung Sariti. Tetapi
sentuhan itu adalah sentuhan tangan iblis ganas dari Gunung Cerme. Karena itu akibatnya
pun mengerikan.
Dada Sawung Sariti sebelah kiri yang tersentuh tangan Bugel Kaliki itu serasa seperti
terhantam reruntuhan bukit Merbabu. Karena itu Sawung Sariti terlempar dan terbanting di
tanah. Sebuah keluhan yang pendek terdengar. Sekali ia menggeliat kemudian terdengar ia
mengerang kesakitan.
Bugel Kaliki yang telah berhasil menjatuhkan satu lawannya tertawa berderai, membelah
sepi malam.
Ia yakin, bahwa anak kepala daerah perdikan Pamingit itu tak akan mampu bertahan diri
meskipun hanya ujung jarinya saja yang menyentuhnya.
Pertempuran itu untuk sesaat terhenti dengan sendirinya. Sawung Sariti masih bergerakgerak menahan sakit. Namun dari mulutnya telah mengalir darah yang merah. Sesaat
kemudian, ketika Arya Salaka menyadari apa yang terjadi, menggelegaklah dadanya seperti
akan meledak. Betapa prasangka yang tersimpan di dalam hatinya terhadap adik sepupunya
itu, namun gumpalan darah dagingnya itu telah menuntut pembelaan padanya.
Anak itu adalah sisiran kulit dagingnya. Sehingga bencana yang menimpanya berarti
bencana pula baginya. Apalagi tangan yang telah melukai adiknya itu adalah tangan orang
dari gerombolan hitam.
Karena itu, maka tiba-tiba terdengar giginya gemeretak. Ia telah melupakan hidup matinya
sendiri. Yang terukir di hatinya adalah, menuntut balas.
Demikianlah Arya Salaka berteriak nyaring sambil meloncat dengan garangnya. Pisau
belatinya yang berwarna kuning berkilau itu menyambar dengan cepatnya, seperti tatit di
udara. Tetapi yang diserangnya adalah Bugel Kaliki. Dengan cekatan seperti burung sikatan
yang menghindar. Suara tertawanya masih menggetar memenuhi udara.
Namun suara itu kemudian berhenti ketika datang serangan
Karang Tunggal yang tidak pula dapat menahan kemarahannya. Kyai Sangkelat yang
terkenal itu berputar-putar cepatnya mematuk tubuh Bugel Kaliki. Melawan kelincahan
Karang Tunggal, Bugel Kaliki terpaksa memusatkan perhatiannya.
Seandainya anak itu tidak memegang Kiai Sangkelat, Karang Tunggal pun bukan lawan yang
perlu mendapat banyak perlawanan darinya. Tetapi kini ia terpaksa berhati-hati
menghadapinya. Sentuhan keris itu di ujung rambutnya, akan berarti maut baginya.
Maka terulang kembalilah pertempuran yang sengit di bawah pohon nyamplung itu.
Meskipun lawan Bugel Kaliki telah berkurang seorang, namun kini Karang Tunggal dan Arya
Salaka mengamuk sejadi-jadinya. Mereka telah tenggelam dalam kemarahan yang tak
terkendali. Cedera yang menimpa Sawung Sariti adalah kesalahan mereka bersama,
sehingga dengan demikian, mereka yang masih sempat mengadakan perlawanan, harus
memperbaiki kesalahan mereka. Membalas kekalahan itu, atau hancur lumat bersamasama. Dengan demikian, pekerjaan Bugel Kaliki itu pun tidak berkurang, namun ia telah
melihat titik kemenangan di pihaknya.
Yang segera harus dilakukan adalah membinasakan Arya Salaka. Setelah itu maka ia akan
berhadapan dengan anak yang keras hati yang bernama Karebet itu. Ia ingin
menangkapnya hidup-hidup, memeras keterangan darinya, di mana ia mendapatkan Kyai
Sangkelat dan di manakah ia mendapat ilmu Lembu Sekilan.
Baru apabila keterangan-keterangan itu telah didapatnya, akan dibunuhnya anak itu dengan
caranya. Tetapi membinasakan Arya Salaka pun tidak semudah yang diduga. Anak itu
benar-benar menyimpan angin di dalam dadanya. Meskipun Arya telah bertempur matimatian, namun nafasnya masih mengalir wajar. Apalagi Mas Karebet.

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 110 dari 142

SAWUNG SARITI agaknya benar-benar terluka parah. Ia sudah tidak mampu lagi menggeser
dirinya dari tempatnya, meskipun ia berusaha. Beberapa kali ia mencoba bangun namun
sekian kali pula dengan lemahnya ia terkulai ditanah.
Pada saat yang demikian itulah Galunggung melihat Pamingit terbentang jauh di kaki langit.
Ia sudah tidak mampu lagi berlari sekencang-kencangnya. Nafasnya telah memburu secepat
kakinya bergerak. Bahkan sekali-kali langkahnya telah gontai, dan malahan beberapa kali ia
jatuh terjerembab. Dengan susah payah ia bangkit, dan mencoba untuk berlari kembali.
Ketika matanya menjadi semakin kabur, hatinya menjadi cemas. Namun tiba-tiba saja tidak
jauh lagi di hadapannya dilihatnya orang berjalan. Hatinya melonjak kegirangan. Setidaktidaknya orang itu dapat dimintanya untuk menyambung kabar yang dibawanya,
menyampaikan secepat-cepatnya ke Pamingit. Tetapi tiba-tiba hatinya berdebar cepat,
pikirnya, Bagaimanakah kalau orang itu kawan Bugel Kaliki yang mencegat perjalananku?
Galunggung memperlambat langkahnya. Nafasnya saling berkejaran dari lubang hidungnya.
Meskipun demikian, ia mencoba untuk menentramkan diri, mengatur aliran nafasnya itu.
Kalau orang hitam, maka sudah pasti ia tidak akan menyerahkan nyawanya begitu saja,
meskipun tenaganya benar-benar sudah hampir habis dan nafasnya sudah hampir putus.
Tiga orang, desisnya di antara deru nafasnya. Tetapi tiba-tiba ia berteriak sekeraskerasnya karena kegembiraan yang meledak. Orang itu, ketika menjadi semakin dekat
padanya, menjadi semakin jelas pula, Tuan... suaranya terputus oleh nafasnya yang
berdesak-desak.
Orang yang ditemuinya itu tertegun sejenak. Semula mereka pun bersiaga, siapakah orang
yang berlari-lari ke arah mereka itu. Tetapi kemudian mereka pun mengenalnya.
Galunggung.
Kenapa kau Galunggung? tanya salah seorang.
Galunggung menghentikan langkahnya. Namun tenaganya benar-benar telah habis. Karena
itu dengan lemahnya ia terjatuh di tanah. Tuan... desisnya. Nafasnya masih saja
berkejaran. Bugel Kaliki.
Bugel Kaliki? sahut mereka bertiga hampir bersamaan.
Di mana dan mengapa? Pada saat itu Galunggung sudah menjadi semakin lemah.
Jawabannya pun sangat lemah pula, hampir tidak terdengar.
Di bawah pohon nyamplung.
Pohon nyamplung? ulang salah seorang dari mereka bertiga.
Galunggung sudah tidak dapat menjawab lagi. Dengan lemahnya ia jatuh terbaring.
Pingsan.
Ketiga orang itu tertegun sejenak. Namun kemudian terdengarlah salah seorang berkata,
Di manakah pohon nyamplung itu?
Di tepi jalan ke Sarapadan Kulon, jawab yang lain.
Bawalah Galunggung ke Pamingit, kami akan menyusul Arya, kata yang lain lagi. Berilah
aku ancar-ancar.
Diberinya orang itu ancar-ancar. Kemana ia harus pergi untuk sampai dibawah pohon
nyamplung. Begitu ia selesai berbicara, meloncatlah yang dua orang berlari sekencangkencangnya seperti angin. Bahkan di dalam kegelapan malam, keduanya tampak seperti
sebuah bayangan yang melayang dan hilang di balik tabir kegelapan sebelum orang yang
melihatnya sempat berkedip.
Kedua orang itu adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Ketika Mahesa Jenar kepanasan
oleh udara malam, dan matanya masih belum mau dipejamkan, bangkitlah ia dan berjalan
keluar. Sesaat kemudian Kebo Kanigara menyusulnya pula. Dalam kejemuan mereka,
mereka berjalan saja menyusur jalan-jalan desa. Akhirnya Mahesa Jenar ingat kepada
muridnya. Dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang. Kalau Arya pergi bersama Sawung
Sariti, tersimpan prasangka yang kurang menyenangkan. Karena itu tiba-tiba saja timbullah
keinginannya untuk berjalan-jalan ke Sarapadan. Kebo Kanigara pun sependapat. Ketika
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 111 dari 142

ditemuinya seorang Pamingit yang sedang duduk-duduk di regol pagar halaman, diajaknya
serta sebagai penunjuk jalan. Tetapi orang itu terpaksa kembali, membawa Galunggung di
pundaknya.
Di bawah pohon nyamplung itu, perkelahian antara Bugel Kaliki melawan Mas Karebet dan
Arya Salaka masih berjalan dengan serunya. Masing-masing telah mengerahkan segenap
kemampuan mereka untuk mengalahkan lawannya. Namun bagaimanapun juga, akhirnya
kedua anak muda yang perkasa itu harus mengakui di dalam hatinya, bahwa hantu bongkok
itu benar-benar berbahaya. Meskipun umurnya sudah berlipat-lipat dari umur mereka,
namun tenaganya masih juga luar biasa. Bahkan semakin lama terasa, bahwa tenaga Bugel
Kaliki seperti bertambah-tambah. Karena beberapa lama kemudian Bugel Kaliki yang sudah
matang itu melihat dengan jelas, di manakah kelemahan-kelemahan dan kekuatan kedua
lawannya yang pantas menjadi cucunya itu. (Bersambung)-m
Ket.
Pohon Nyamplung, biasanya ditemui ditepi sungai, dahannya menjorok kesungai seperti
mau nyemplung. Buahnya mirip seperti kemiri. Di Yogya masih banyak di temui.

NAGASASRA DAN SABUKINTEN


Karya SH Mintardja
Dikumpulkan dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
Dan tiba-tiba saja terdengar hantu itu tertawa berderai mengerikan, seolah-olah daun
pohon nyamplung yang lebat itu ikut bergetar karenanya. Meskipun suara tertawa itu jauh
berbeda dari suara tertawa Pasingsingan maupun Lawaijo, yang didalamnya dilontarkan
pula aji GelapNgampar, namun suara tertawa Bugel Kaliki itu benar-benar menyakitkan hati.
Karena itulah maka Jaka Tingkir menjadi bertambah marah. "Tutup mulutmu hantu
bongkok. Jangan terlalu sombong. Kalau kau tertawa sekali lagi, aku sobek mulutmu
dengan Kiyai Sangkelat ini."
Suara tertawa itu terhenti. Tetapi hanya sesaat, kemudian kembali suara itu menggetarkan
udara malam. Bahkan kemudian Bugel Kaliki berkata, " kalau kau mampu berbuat begitu
anak yang perkasa, pastilah sudah kau lakukan."
Karang Tunggal menjadi bertambah marah. Namun Bugel Kaliki benar-benar tak dapat
disentuhnya. Orang yang bongkok itu masih mampu meloncat-loncat dengan lincahnya
menghindari setiap serangan yang datang ke tubuhnya. Bahkan sekali-kali iapun mampu
menyerang dengan garangnya. Untunglah bahwa hantu itu benar-benar tak mampu
melawan. Karena ia masih menunggu setiap kesempatan yang terbuka. Dan kesempatan itu
semakin lama semakin terbuka lebar baginya. Kedua anak muda itu berada diambang
bahaya.
Tetapi dengan tak mereka sangka, dari tanggul parit yang menyilang jalan kecil itu
muncullah dua sosok bayangan yang terbang ke arah mereka, sehingga mereka yang
bertempur itu menjadi terkejut. Bugel Kaliki segera melontarkan diri ke samping, mencari
kesempatan untuk melihat siapakah yang datang itu. Karang Tunggal dan Arya Salakapun
tidak mengejarnya. Mereka juga ingin mengetahui siapakah yang datang langsung kepada
mereka.
Melihat gerakan mereka berdua, Bugel Kaliki terkejut bukan main. Mereka pasti orangorang sakti apalagi ketika keduanya telah semakin dekat. Maka Bugel Kaliki menjadi pasti
siapakah yang datang itu. Namun kesempatan untuk menghindarkan diri sudah terlalu
sempit sebab orang yang datang itu pasti akan mengejarnya, sampai diujung langitpun.
Karena itu maka tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menghadapi mereka, bertakar jiwa.
Tetapi untuk melawan orang-orang itu Bugel Kaliki tidak akan dapat sambil tertawa. Apalagi
kalau kedua orang itu bergabung dengan kedua anak muda yang sedang dihadapinya.
Meskipun demikian ia pasti akan berusaha menyelamatkan diri, apapun caranya. Sesaat
kemudian kedua orang itu telah berada tidak lebih lima depa didepan mereka.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 112 dari 142

Mahesa Jenar berdiri tegak dengan wajah tegang, sedang Kebo Kanigara tiba-tiba melihat
seseorang berbaring ditanah.
"Siapakah dia," gumamnya
"Adi Sawung Sariti," sahut Arya Salaka. namun matanya masih tertanam dimata Bugel
Kaliki.
"Sawung Sariti," ulang Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar bersamaan. Kebo Kanigarapun
segera melangkah mendekati tubuh yang lemah itu. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau
melepaskan diri dari pandangan mata hantu bongkok itu.
Kebo Kanigara kemudian berjongkok disamping Sawung Sariti sambil berbisik, "Sawung
Sariti"
Sawung Sariti membuka matanya. Ketika dilihatnya Kebo Kanigara, bertanyalah ia dengan
suara lemah, "siapakah kau?."
"Kebo Kanigara," jawabnya.
"Oh, bukankah paman sahabat paman Mahesa Jenar?," desis Sawung Sariti lirih.
"Ya," jawab Kebo Kanigara pendek. Tiba-tiba wajah Sawung Sariti menjadi cerah. Meskipun
demikian perasaan sakit didalam dadanya terasa menyengat-nyengat. Ia mencoba untuk
bergerak, tetapi betapa sakitnya sehingga ia mengerang perlahan-lahan.
"Jangan bergerak, tubuhmu masih lemah sekali," kata Kebo Kanigara.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar Bugel Kaliki tertawa. Katanya, "Nah kalian sudah datang.
Marilah kita selesaikan persoalan kita. terserah kepada kalian, apakah mau bertempur
secara jantan atau mengeroyokku sebagai betina pengecut, berempat sekaligus."
Mendengar suara Bugel Kaliki itu Sawung Sariti menggeliat, "setan," desisnya marah, "ia
telah melukai dadaku." Sedemikain marahnya Sawung Sariti sehingga karena dorongan
perasaanya itu ia telah mengangkat kepalanya. Tetapi sekali lagi ia mengeluh. dadanya
benar-benar terasa pecah. Karena itu iapun kembali terkulai di tanah.
"Jangan bergerak," kembali Kebo Kanigara menasihati. Perlahan-lahan tubuh yang lemah itu
dibawanya menepi.
"Iblis itu," desis Sawung Sariti
"Biarkan dia, pamanmu Mahesa Jenar akan mengurusinya."
"Apakah paman Mahesa Jenar disini ?," bertanya Sawung Sariti.
"Ya," jawab Kebo Kanigara "Sokurlah," gumam Sawung Sariti, "mudah-mudahan nasibnya
akan sama dengan nasib Sima Rodra Tua." (Dikutip oleh Mahesa Mimbar)
TERDENGAR Bugel Kaliki berkata pula, Ayolah. Aku sudah siap. Bukankah kalian marah
karena anak tikus itu aku lukai?
Diamlah! potong Mahesa Jenar, Jangan mencoba mengungkit harga diri kami untuk
menyelamatkan diri. Kau ingin bertempur seorang dengan seorang. Berkatalah
demikian.Kau tak usah mempergunakan kata-kata sindiran yang menjemukan itu.
Bugel Kaliki mengerutkan keningnya. Gila! geramnya.
Kau terlalu sombong. Jangan mengukur dirimu dengan terbunuhnya Sima Rodra yang
garang itu.
Tak pernah aku berbuat demikian. Tetapi kau pun jangan berbangga karena kau berhasil
melukai anak-anak, bantah Mahesa Jenar.
"Mereka yang mulai. Bukan aku, jawab Bugel Kaliki. Hampir saja mulut Karang Tunggal
terbuka membantah kata-kata Bugel Kaliki itu. Tetapi niatnya cepat-cepat diurungkan.
Pamannya, Kebo Kanigara, yang juga bernama Putut Karang Jati, ada di tempat itu. Karena
itu segera ia memperbaiki sikapnya. Ia kini tidak pula bertolak pinggang dengan muka
menengadah. Meskipun demikian, ia tetap bersiaga, kalau-kalau Bugel Kaliki tiba-tiba
melompatinya. Kyai Sangkelat masih ditangannya, dan aji Lembu Sekilan pun masih
diterapkannya.
Meskipun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut pula melihat keris di tangan Karang
Tunggal, juga kehadirannya yang tiba-tiba di tempat itu, namun mereka belum sempat
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 113 dari 142

menanyakannya, sebab Bugel Kaliki pun telah bersiap pula. Bahkan terdengar hantu itu
berkata, Mahesa Jenar, kau benar-benar lantip. Kau tidak mau aku berkata melingkarlingkar. Baiklah, ayo siapa dahulu yang akan aku binasakan. Kau atau sahabatmu itu. Atau
anak-anak tikus yang tak tahu diri itu.
Mahesa Jenar melangkah setapak maju. Jawabnya, Akulah yang sudah berdiri paling
dekat.
Bagus! teriak Bugel Kaliki.
Berbareng dengan itu ia pun segera meloncat dengan kecepatan yang mengagumkan.
Namun Mahesa Jenar pun telah bersiaga. Karena itu, dengan kecepatan yang sama, ia
berhasil menghindarkan dirinya.
Sesaat kemudian, berkobarlah perkelahian yang sengit dibawah pohon nyamplung itu. Kini
yang bertempur adalah Mahesa Jenar melawan Bugel Kaliki. Dua tokoh sakti dari golongan
yang berlawanan. Masing-masing bertekad untuk saling membinasakan.
Singa lena, silih ungkih.
Kebo Kanigara masih berjongkok di samping Sawung Sariti. Tetapi matanya tidak terlepas
dari setiap gerak dari mereka yang sedang bertempur mati-matian itu.
Arya Salaka dan Karang Tunggal pun bergeser menjauh pula. Dengan penuh kekaguman
mereka mengikuti setiap pergeseran yang terjadi. Desak-mendesak. Sesekali mereka
melihat Mahesa Jenar terdorong surut, namun sesaat kemudian mereka melihat Bugel Kaliki
meluncur beberapa langkah mundur.
Demikianlah pertempuran di bawah pohon nyamplung itu berlangsung dengan dahsyatnya.
Si Bongkok itu bergerak meloncat-loncat seperti tupai, sedang Mahesa Jenar mampu
menyerangnya seperti burung Rajawali di udara. Menyambar-nyambar dengan garangnya.
Kemudian mematuk dengan paruhnya yang tajam runcing.
Dan apabila Bugel Kaliki itu seakan-akan merubah dirinya segarang harimau belang, Mahesa
Jenar pun melawannya setangguh seekor banteng ketaton. Sehingga dengan demikian,
akhirnya terasa oleh Bugel Kaliki bahwa Mahesa Jenar benar-benar mempunyai kesaktian
yang luar biasa. Tahulah sekarang hantu bongkok itu, karena Sima Rodra tak mampu
melawannya.
Karena itu, maka untuk keselamatan diri, akhirnya diurainya senjata andalannya, yang
seakan-akan tak pernah disentuhnya. Sehelai kain empat persegi yang berwarna merah,
dan disalah satu sudutnya diikatkan sepotong timah baja kuning.
Pusaka peninggalan nenek moyangnya.
Dengan memegang sudut silangnya, timah baja kuning itu diputarnya seperti baling-baling.
Mahesa Jenar melihat senjata itu dengan hati yang tegang. Ia tahu benar apa yang sedang
dihadapi. Karena itu, maka ia tidak sempat untuk memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Sawung Sariti, Karebet, Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Meskipun lamat-lamat ia masih
mendengar suara Sawung Sariti yang kadang-kadang mengeluh pendek menahan sakitnya.
Namun bagi Mahesa Jenar keluhan itu justru merupakan minyak yang menyiram nyala
kemarahannya terhadap sisa-sisa golongan hitam.
Malam berjalan dengan lancarnya. Bintang-bintang semakin lama semakin condong kegaris
cakrawala di ujung barat. Namun pertempuran di bawah pohon nyamplung itu masih
berlangsung terus. Bahkan kini perkelahian itu bertambah-tambah dahsyatnya.
Bugel Kaliki dengan senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar seperti burung alapalap. Namun Mahesa Jenar bukanlah sekedar burung merpati yang ketakutan. Bugel Kaliki
ternyata bukan saja wajahnya yang mengerikan, namun tandangnya sesuai benar dengan
namanya dan wajahnya yang menakutkan itu. Timah baja kuning diujung kain perseginya
menyambar-nyambar seperti lebah. Suaranya berdesing-desing dan melibat lawannya dari
segenap arah.
MAHESA JENAR merasakan kedahsyatan dan kecakapan Bugel Kaliki mempermainkan
senjata aneh itu. Beberapa kali ia terpaksa meloncat surut dan beberapa kali timah
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 114 dari 142

lawannya itu mengiang dekat benar dengan kepalanya. Bahkan karena perhatian Mahesa
Jenar terpaku pada senjata itu, maka sekali-kali terasa kaki hantu bongkok itu menyambar
lambungnya, sehingga Mahesa Jenar yang kokoh itu terpaksa terdorong surut. Bahkan
sekali-kali tangan Bugel Kaliki itu sempat menyentuh tubuh Mahesa Jenar dan sekali-kali
mendorongnya mundur. Dengan demikian Mahesa Jenar terpaksa melawannya dengan
sepenuh tenaga.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar bertubuh kuat sekuat banteng jantan. Betapa pun lawannya
berusaha untuk melumpuhkannya, namun dengan gigihnya ia bertahan. Meskipun demikian,
senjata Bugel Kaliki itu benar-benar mengganggunya. Sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk
menembus lingkaran timah baja kuning yang berterbangan mengitari tubuhnya. Namun
Mahesa Jenar tidak pernah kehilangan akal. Ia memperhitungkan setiap kemungkinan.
Betapapun sulitnya, sekali-kali ia berhasil juga mengenai tubuh lawannya. Dengan kaki atau
dengan tangannya. Tetapi sentuhan-sentuhan itu agaknya tidak banyak berarti, karena
setiap senjata Bugel Kaliki itu selalu menghalang-halanginya.
Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Mas Karebet memandangi perkelahian itu dengan penuh
perhatian sehingga nampaknya seperti patung dalam ketegangan. Mereka mengikuti setiap
gerak, baik Mahesa Jenar maupun Bugel Kaliki. Namun setiap saat mereka menjadi
bertambah tegang. Apalagi ketika mereka melihat setiap kali Bugel Kaliki berhasil melibas
Mahesa Jenar dan sekali-kali kemudian berhasil melontarkannya surut. Namun meskipun
demikian, mereka tetap terpaku di tempat masing-masing dengan ketegangan yang
semakin meningkat.
Maka setelah mereka bertempur semakin lama, serta usaha Mahesa Jenar untuk
menjatuhkan lawannya masih belum berhasil, karena senjatanya yang aneh itu, bahkan
terasa betapa tekanan Bugel Kaliki semakin lama menjadi semakin ketat, karena timah baja
kuningnya yang seolah-olah dapat mengurung Mahesa Jenar, sehingga ia tidak sempat
untuk menyerang.
Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada mempertahankan hidupnya
dengan ilmu tertinggi yang dimilikinya. Dengan demikian, Mahesa Jenar dengan lincahnya
meloncat ke samping beberapa langkah untuk membebaskan diri dari libatan timah baja
kuning yang menyambar-nyambar itu. Kemudian dengan garangnya ia mengangkat satu
kakinya, ditekuknya ke depan, satu tangannya diluruskan ke atas seperti akan menyentuh
bintang-bintang di langit, tangannya yang lain menyilang dada.
Dan dalam pada itu, tersalurlah kekuatan Aji Sasra Birawa.
Bugel Kaliki melihat tata gerak Mahesa Jenar itu. Ia pun telah mengetahui pula, bahwa
dengan demikian Mahesa Jenar sedang mateg aji yang terkenal. Dengan dahsyatnya ia
meloncat sambil memutar senjatanya demikian kerasnya sehingga terdengar angin
berdesing.
Namun apa yang dilakukan Mahesa Jenar adalah terlalu cepat. Sehingga ketika serangan itu
tiba, Mahesa Jenar sempat meloncat mundur sambil merendahkan dirinya. Timah baja
kuning itu nyaris menyambar pelipisnya. Tetapi sesaat kemudian ia telah tegak kembali dan
dengan kecepatan kilat ia meloncat maju.
Tangan kanannya menyambar, dengan dahsyat menghantam tengkuk Bugel Kaliki. Bugel
Kaliki masih mencoba untuk menghindar, namun ia terlambat. Sebuah hantaman yang
dahsyat telah mengenainya.
Terdengarlah ia berteriak nyaring kemudian melenting dan jatuh terguling di tanah. Tetapi
hantu itu tidak mau menyerah pada keadaannya. Dengan tertatih-tatih ia bangkit kembali.
Sekali terdengar umpatan kotor dari mulutnya serta matanya menyorot sinar kemarahan
yang liar.
Kemudian dengan sekuat tenaga ia melempar Mahesa Jenar dengan senjatanya. Untunglah
Mahesa Jenar tetap waspada, sehingga secepat itu pula ia berhasil menghindari senjata
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 115 dari 142

Bugel Kaliki. Sekali lagi terdengar Bugel Kaliki mengumpat, kemudian jatuh kembali,
terjerembab.
Arya Salaka memalingkan wajahnya melihat saat-saat terakhir yang mengerikan dari hantu
yang hampir membunuhnya itu. Mahesa Jenar masih berdiri tegak seperti patung.
Dipandangnya tubuh Bugel Kaliki terbaring di tanah.
Mati.
Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam, sedang di hatinya terpanjatlah ucapan syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menyelamatkannya dari senjata Bugel Kaliki yang
mengerikan, serta telah memberinya kekuatan, bahkan membinasakan hantu yang
menakutkan itu. Bersyukurlah bahwa ia telah berhasil melakukan pengabdian sekali lagi
atas kemanusiaan dalam pancaran cinta kasih yang abadi. Tidak saja Mahesa Jenar, namun
Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Karang Tunggal pun menarik nafas pula. Seakan-akan
sesuatu yang menekan dadanya telah dapat dipunahkan. Bahkan tiba-tiba terdengar
Sawung Sariti berkata perlahan-lahan ketika ia mendengar teriakan ngeri, Paman, apakah
yang terjadi?
KEBO KANIGARA memandang wajah anak itu. Tampaklah kadang-kadang mulutnya
menyeringai menahan sakit. Maka jawabnya, "Sawung Sariti, bersyukurlah kau, karena
pamanmu Mahesa Jenar telah mengakhiri pertempuran."
"Bagaimana dengan hantu bongkok itu?" tanya Sawung Sariti lemah.
"Ia sudah binasa," sahut Kebo Kanigara.
"Tuhan Maha Besar," desisnya. Tetapi hatinya sendiri tergetar mendengar suaranya. Selama
ini tak pernah ia menyebut nama Tuhan. Apalagi kebesarannya. Tiba-tiba saja kata-kata itu
terluncur begitu saja dari mulutnya. Namun setelah itu terasa betapa dekatnya ia dengan
Tuhan. Maka timbullah keinginannya untuk sekali lagi menyebut nama itu, nama yang
selama ini terlupakan olehnya. Maka katanya, "Tuhan Maha Besar. Ya, Tuhan Maha Besar."
Mahesa Jenar menoleh mendengar suara Sawung Sariti itu. Perlahan-lahan ia mendekatinya
dan berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia berkata, "Tenangkan hatimu, Sawung
Sariti."
"Terimakasih, Paman," jawabnya lirih.
"Hatiku telah puas. Hantu itu telah binasa."
Tampaklah senyum mengambang di bibir Sawung Sariti. Meskipun demikian nafasnya
terdengar semakin cepat mengalir dari lubang hidung dan mulutnya, sedang dari mulut itu
masih menetes darah yang merah.
"Mahesa Jenar..." kata Kebo Kanigara kemudian, "Apakah tidak sebaiknya Sawung Sariti
segera mendapat pengobatan?"
Sawung Sariti menggeleng lemah, katanya, "Obat yang paling baik, telah aku dapatkan,
Paman."
"Apakah itu?" tanya Kebo Kanigara.
Sawung Sariti tersenyum. Senyum yang sayu. Jawabnya, "Di manakah Kakang Arya
Salaka?"
Arya Salaka ternyata sudah berjongkok di belakang Mahesa Jenar, berdua dengan Karang
Tunggal.
"Mendekatlah Arya," kata Mahesa Jenar.
"Kakang..." Sawung Sariti tidak meneruskan kata-kata, namun matanya telah
memancarkan segenap perasaan yang tersimpan di dadanya.
"Tenangkan hatimu Adi," pinta Arya Salaka mengulangi kata-kata Kebo Kanigara. Dan sekali
lagi Sawung Sariti tersenyum.
"Biarlah anak ini aku bawa kembali ke Pamingit," kata Kebo Kanigara. "Mungkin Paman Sora
Dipayana dapat mengobatinya."
"Sebaiknyalah demikian, Kakang," jawab Mahesa Jenar, "Dan biarlah Arya Salaka
menjemput ibunya dan ibu Sawung Sariti."
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 116 dari 142

Mendengar Mahesa Jenar menyebut-nyebut ibunya, berdesislah Sawung Sariti. Katanya


lemah, "Tolonglah Kakang Arya, jemputlah ibuku sekali."
"Baiklah Adi," jawab Arya, "Akan aku bawa Bibi Lembu Sora bersama ibuku ke Pamingit."
Sawung Sariti masih mencoba tersenyum walau wajahnya semakin sayu. Katanya,
"Terimakasih Kakang."
Kebo Kanigara pun kemudian bangkit sambil mengangkat tubuh Sawung Sariti perlahanlahan.
Dalam pada itu terdengar Sawung Sariti berkata perlahan-lahan, "Paman, aku telah
menyulitkan Paman."
"Jangan berpikir demikian Sawung Sariti," jawab Kebo Kanigara. "Adalah kewajiban manusia
untuk saling membantu. Mungkin pada suatu saat aku akan memerlukan bantuanmu pula."
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi terharu. Apakah Kebo Kanigara akan
berbuat demikian manisnya pula seandainya dirinya berhasil membunuh Arya Salaka?
"Hem..." Ia menggeram. Perasaan sesal meronta-ronta di dalam dadanya. Sesal atas segala
macam pekertinya yang jauh tersesat ke daerah nafsu.
Mereka pun kemudian berjalan ke arah yang berbeda-beda. Arya Salaka dan Mahesa Jenar
ke Sarapadan, sedang Kebo Kanigara mendukung Sawung Sariti ke Pamingit.
Yang berdiri kebingungan adalah Karebet. Ia memandang Arya Salaka dengan permintaan,
apakah boleh pergi bersamanya.
"Tidakkah Kakang Karang Tunggal pergi bersama Paman Kebo Kanigara?" tanya Arya
Salaka, "Barangkali Paman Kebo Kanigara perlu bantuan Kakang, mendukung Adi Sawung
Sariti. Di Pamingit nanti kita bertemu. Barangkali Kakang Karang Tunggal banyak
mampunyai ceritera yang menarik."
"Oh!" Karebet seperti tersadar dari mimpi. Bukankah ia dapat membantu pamannya itu.
Karena itu maka katanya, "Baiklah Adi, aku membantu Paman Karang Jati."
Dan berlari-larilah Karebet menyusul pamannya. Ketika ia telah berjalan di belakang
pamannya, berkatalah ia perlahan-lahan, "Paman, biarlah Adi Sawung Sariti aku dukung."
Kebo Kanigara menoleh. Tapi ia tidak segera menjawab. Karena itu hati Karang Tunggal
menjadi berdebar-debar. Akhirnya ia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Hatinya
berdesir ketika pamannya itu bertanya, "Kenapa kau berada di sini, Karebet?"
Kepala Karebet menjadi semakin tunduk. Ia benar-benar takut kepada pamannya itu.
"Kenapa?" ulang Kebo Kanigara.
Karebet masih belum dapat menjawab. Karena itu hatinya menjadi semakin kecut.
Tiba-tiba berkatalah Karang Jati, He, Karebet. Kau akan ikut aku ke Pamingit?
Ya, Paman, jawab Karebet singkat.
Bagus, kau akan dapat menemui kawan-kawanmu dari pasukan Nara Manggala, sambung
Kebo Kanigara. Karebet terkejut.
Nara Manggala? ulangnya.
Ya, jawab Kebo Kanigara acuh tak acuh.
Ki Gajah Alit, dan para pejabat rahasia Demak, Ki Paningron.
Benarkah keduanya di sini? desak Karebet semakin terkejut.
Kenapa? tanya Kebo Kanigara. Karebet terdiam. Sekali lagi pandangan matanya terbanting
di tanah. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Karebet... kata Kebo Kanigara kemudian, Seharusnya kau menjadi gembira. Bukankah
kau akan bertemu dengan perwira-perwira dari pasukan Demak? Aku dengar, kau pun telah
menjadi lurah Wira Tamtama.
Ya, Paman, tetapi... Karebet tak dapat meneruskan kata-katanya.
Tetapi kenapa? desak Kebo Kanigara. Sekali lagi Karebet terbungkam. Akhirnya terdengar
Kebo Kanigara berkata dengan suara yang berat, Karebet, apakah yang sebenarnya
terjadi?
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 117 dari 142

Karebet masih berjalan dengan muka tunduk di belakang pamannya. Ia tidak berani
mengatakan apa yang telah terjadi sehingga ia diusir dari Kraton Demak. Bahwa ia masih
hidup dan lepas dari kemarahan Sultan yang lebih besar lagi, adalah karena Sultan sejak
semula telah tertarik kepada keperwiraan dan kecekatannya, sehingga kasih yang
dilimpahkan kepadanya agak berlebihan dibanding dengan para prajurit lainnya.
Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, Aku sudah tahu apa yang kau lakukan di
Demak, Adol bagus. Kau sangka di seluruh kolong langit ini hanya kau sendiri seorang lakilaki?
Hati Karebet menjadi semakin berdebar-debar. Dan karena itu wajahnya menjadi semakin
tumungkul memandang pundaknya. Ia menyangka bahwa pamannya akan memarahinya.
Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun sayang benar kepada kemenakannya yang nakal itu.
Maka katanya, Karebet, bagaimanakah pertimbanganmu? Apakah kau akan menemui para
perwira dari prajurit Demak itu?
Beberapa saat Karebet diam. Ia menjadi berlega hati ketika pamannya tidak memakimakinya. Setelah debar jantungnya mereda, ia berkata, Aku kira lebih baik tidak, Paman.
Nah, kalau demikian, jangan ikuti aku. Pergilah ke Banyubiru. Setelah semuanya selesai,
aku akan ke sana mengantarkan Arya Salaka. Aku akan menemuimu. Dan kau harus
berkata sebenarnya apa yang telah terjadi dan apa yang pernah kau lakukan.
Baik Paman, jawab Karebet. Aku sekarang berada di rumah Ki Buyut atau yang dikenal Ki
Lemah Telasih.
Nah, pergilah. Apakah kau sudah tahu jalan yang harus kau tempuh? tanya Kebo
Kanigara. Sebenarnya ia tahu bahwa hampir seluruh jalan di sekitar pegunungan Merapi,
Merbabu, Slamet, Ungaran, Murya, Sindara, Sumbing, Lawu, Kelut, Kawi sampai di daerah
barat dan timur telah dilintasinya. (Bersambung)-m
SADAK KINANG (selembar atau dua lembar sirih dengan kinang siap dinikmati) masih bergulir.
Seorang pembaca menulis. Ternyata ada yang menerjemahkan kematian Arya Palindih akibat sadak
kinang oleh Karebet adalah perlambang bahwa Arya Palindih diperdaya melalui bujuk raya wanita.
Siapa lagi yang makan sirih, apalagi kalau sirihnya sudah siap dilahap oleh siapa saja.

KAREBET pun kemudian mengambil jalan lain untuk langsung pergi ke Banyubiru. Daerah
yang tidak terlalu dekat. Namun berjalan kaki bagi Karebet adalah pekerjaannya seharihari.
Kebo Kanigara berhenti sejenak melihat langkah kemenakannya itu. Karebet benar-benar
memiliki tubuh idaman bagi setiap laki-laki. Apalagi bagi mereka yang mesu raga, olah
keprawiraan. Badannya tegap, berdada bidang. Tangan-tangan serta kaki-kakinya kokoh
kuat seperti baja.
Sedang geraknya lincah cekatan seperti burung sikatan. Dan Karebet mempunyai modal
yang cukup lengkap. Selain tubuhnya yang serasi, ia pun memiliki wajah yang tampan.
Tetapi wajahnya yang tampan itulah yang menyebabkan ia diusir dari Demak.
Kebo Kanigara tidak yakin bahwa kemenakannya itu benar-benar membunuh orang Demak.
Cara Paningron menceriterakannya telah menimbulkan kecurigaan. Senyum-senyum yang
aneh. Dan ia telah memaklumi maksudnya.
Pada saat itu bintang-bintang di langit telah bergeser jauh dari tempat semula. Lamat-lamat
terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Dalam keheningan malam itu terdengar
Sawung Sariti berbisik, Kenapa Kakang Karebet paman perintahkan ke Banyubiru? Aku
ingin berkenalan dengan pemuda yang perkasa itu.
Kebo Kanigara kini telah berjalan lagi. Langkahnya tegap dan agak cepat. Perlahan-lahan
terdengar ia menjawab Barangkali lebih baik demikian, Sawung Sariti. Sedang kau, pada
masa-masa yang akan datang akan dapat mengenalnya lebih dekat.
Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam. Terasa seolah-olah beribu-ribu jarum menusuknusuk dadanya dari dalam. Dengan lirih ia berdesis, Mudah-mudahan aku mempunyai
waktu.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 118 dari 142

Jangan berangan-angan demikian. Kebo Kanigara menasihati, Berdoalah supaya lukamu


sembuh kembali.
Namun sebenarnya Kebo Kanigara pun dihinggapi perasaan cemas melihat anak muda
dalam dukungan tangannya itu. Karena itu ia berjalan semakin cepat, supaya segera sampai
ke Pamingit.
Dalam pada itu Arya Salaka dan Mahesa Jenar berjalan ke arah yang berlawanan. Sekalikali Arya memandang ke langit yang bersih. Perlahan-lahan ia berkata, Hujan sudah jauh
berkurang, Paman.
Sudah kita lampaui mangsa kesanga, sahut pamannya. Mudah-mudahan hari-hari yang
akan datang tidak selalu diliputi oleh awan yang kelam.
Hari-hari yang cerah, desis Arya Salaka kemudian untuk sesaat mereka berdiam diri.
Namun tiba-tiba terdengar Arya berkata, Paman, ternyata Bugel Kaliki tidak sekuat yang
aku sangka. Bukankah ia termasuk tokoh yang sejajar dengan Sima Rodra dan
sebagainya?
Tentu, jawab Mahesa Jenar. Tetapi pengaruh keadaan telah menyebabkan ia kehilangan
pengamatan. Ia benar-benar telah putus asa. Hilangnya beberapa orang sahabatnya
menjadikan Bugel Kaliki berhati kecil. Apalagi kali ini ia melihat kehadiranku dan Kakang
Kebo Kanigara bersama-sama.
Sedang sebelum itu pun ia sudah harus bekerja berat. Bukankah kau dan Karebet telah
melawannya dengan gigih? Karebet benar-benar anak luar biasa. Apalagi dengan Sangkelat
di tangannya. Yang lebih mempercepat kekalahannya adalah bongkah di punggungnya.
Sejak semula aku melihat, betapa ia melindungi punggungnya itu, sehingga aku berpikir
bahwa orang itu pasti memiliki kelemahan di punggungnya itu. Demikianlah ketika tanganku
mengenai tengkuknya, ternyata Bugel Kaliki tak mampu melawannya. Arya menganggukanggukkan kepalanya. Sekali lagi ia yakin, bahwa apabila ia bertempur, tidak saja ia harus
mempergunakan tenaganya, tetapi juga otaknya, sehingga dapat diketahuinya, kekuatan
dan kelemahan lawan.
Kembali mereka berdiam diri. Ujung malam itu ditandai oleh suara kokok ayam jantan dari
desa di hadapan mereka, Surapadan.
Tiba-tiba Arya Salaka menjadi berdebar-debar. Kakinya serasa gemetar, dan ingin meloncat
berlari mencari pondok yang dikatakan oleh Titis Anganten. Tiga halaman dari gardu di
mulut jalan desa. Tetapi ia menahan dirinya, sebab gurunya berjalan di sampingnya.
Dalam keriuhan suara ayam jantan itu, terdengar Mahesa Jenar berkata, Ibumu dan bibimu
berada di desa itu Arya?
Ya paman, jawab Arya.
Adakah kau tadi pergi bersama Sawung Sariti? bertanya Mahesa Jenar kemudian.
Arya menjadi ragu-ragu. Namun ia menjawab pula, Ya paman.
Apakah yang terjadi? berkata Mahesa Jenar pula.
Kami bertemu dengan Bugel Kaliki. Untunglah kakang Karebet tiba-tiba saja berada di
tempat itu pula, jawab Arya bimbang.
Sebelum itu apakah yang terjadi? desak Mahesa Jenar.
Kembali Arya menjadi ragu-ragu. Ia tidak segera menjawab. Apakah pamannya tahu bahwa
ia lebih dahulu bertempur melawan Sawung Sariti? Dalam kebimbangan itu terdengar
Mahesa Jenar berkata, Arya aku tidak yakin luka di dadamu itu karena tangan Bugel Kaliki
sebab ia tidak bersenjata tajam, bahkan kalau kau tersentuh tangannya maka akibatnya
akan sama seperti yang diderita oleh Sawung Sariti. Karena itu aku ingin tahu, siapakah
yang melukaimu?."
Mulut Arya menjadi berat seberat perasaannya untuk menyebut nama adiknya. Ia mencoba
untuk berusaha melindunginya, namun pertanyaan gurunya itu benar-benar mendesaknya.
Karena itu, betapapun beratnya ia terpaksa berkata, "Sawung Sariti, paman."
"Aku sudah menduga," desis Mahesa Jenar. "Dan kaupun telah melukai pundaknya."
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 119 dari 142

"Ya, paman," Arya tidak dapat mengelak lagi.


"Lukamu tidak berbahaya, tetapi apakah kau melukai Sawung Sariti dengan Kiyai Suluh?."
"Tidak paman, aku melukainya dengan pedang yang diberikan oleh Karang Tunggal."
"Karang Tunggal sudah ada pada waktu itu?," tanya Mahesa Jenar.
"Sudah paman," Sahut Arya, kemudian diceritakannya apa yang diketahuinya. Sejak ia
pergi bersama Sawung Sariti sehingga melihat Karebet bertempur melawan Sawung Sariti
dibawah pohon nyamplung Dari Karebet ia mendengar, bahwa agaknya Sawung Sariti telah
menunggunya disitu.
Mahesa Jenar mengangguk-angguk namun yang meloncat dari mulutnya adalah, "itulah
gandu dimulut lorong."
Kembali dada Arya berdebar cepat sekali. Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke tempat
ibunya menyembunyikan diri. Namun ia masih mendengar gurunya bergumam, "untunglah
kau tidak menyentuh adikmu dengan Kiyai Suluh. Sebab dengan demikian setiap orang,
juga pamanmu Lembu Sora, eyangmu Sora Dipayana akan melihat kesaktian pusaka itu.
Dan kaulah pembunuh yang sebenarnya dari adik sepupunya."
Arya menundukkan wajahnya.
"Ya untunglah yang demikian tidak terjadi."
Sesaat kemudian Arya berhenti disamping gardu dimulut lorong desa Sarapadan itu. Dan
terdengarlah ia bergumam. "Kita membelok kekiri paman, tiga halaman dari gardu ini."
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia mengikuti saja Arya yang melangkah perlahan menyusuri
lorong itu sambil menghitung halaman di kanan jalan. Namun halaman di desa kecil itu
ternyata cukup luas.
Ketika Arya Salaka dan Mahesa Jenar telah melampaui halaman yang ketiga, didadanya
serasa telah menggetarkan seluruh tubuhnya. Sesaat ia menjadi ragu-ragu.
Halaman ketiga ini dipagari oleh dinding batu yang sebagian telah rusak. Regolnya runtuh
dan rumah yang berdiri dihalaman itupun sudah tidak tegak lagi. Sebuah gubuk bambu
beratap ilalang.
"Disinikah ibu beserta bibi itu?," desis Arya Salaka ragu ragu.
"Ya," sahut Mahesa Jenar pasti.
"Tetapi....," kata-kata Arya tertutup.
"Eyangmu Titis Anganten telah mencoba mempergunakan perhitungan sebaik-baiknya. Kau
pasti menduga bahwa Ibu dan Bibimu berada dirumah yang paling baik di desa ini?."
Arya mengangguk.
"Orang lainpun akan menduga demikian. Karena itulah maka ibu dan bibimu berhasil
bersembunyi." sahut Mahesa Jenar.
"Oh", Arya menarik napas. ia menyadari kebodohannya.
Kemudian dengan dada berdebar-debar ia melangkahi bongkah kayu yang berserak serak
disamping regol halaman itu.
Ia terhenti ketika ia sudah dimuka pintu. "Ketuklah," desis Mahesa Jenar. Perlahan lahan
Arya mengetuk pintu rumah itu. Dan dari dalam rumah itu terdengar sapa perlahan, suara
laki-laki tua.
"Siapa?."
"Aku kakek," sahut Arya Salaka.
"Aku siapa?," orang itu menegaskan.
Arya telah menerima pesan dari Titis Anganten bagaimana ia harus menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan kepadanya, supaya orang dirumah itu percaya bahwa
kedatangannya sudah persetujuan Titis Anganten.
Orang yang menitipkan dua orang pengungsi kepadanya.
"Aku kek, burung elang dari lereng bukit," sahut Arya.
Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar menggamit tangannya tetapi ketika Arya Salaka
menganggukkan kepalanya, tahulah Mahesa Jenar maksud jawaban itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 120 dari 142

Kemudian terdengarlah langkah perlahan menuju ke pintu. Dan sesaat kemudian


terdengarlah derak pintu lereg itu terbuka. Seorang lelaki tua berdiri terbongkok bongkok
dimuka pintu sambil berusaha mengamati tamunya.
"Masuklah," orang tua itu mempersilahkan.
"Terimakasih kek, tetapi adakah sepasang pohon Wregu itu masih disini?," bertanya Arya
Salaka seperti pesan Titis Anganten.
Orang tua itu yakin sudah bahwa kedua orang itu adalah orang suruhan yang menitipkan
kedua pengungsi kepadanya. Karena itu ia menjawab, "Ya, ya, aku telah menjaganya
dengan baik."
Arya Salaka dan Mahesa Jenar melangkah masuk . Dipersilahkannya mereka duduk di balebale bambu. Berderak-deraklah suaranya ketika dua sosok tubuh yang gagah itu memberati
bale-bale.
Orang tua itupun kemudian berjalan ke senthong kanan, dan terdengarlah ia berkata, "Nyai
telah datang utusan dari orang yang membawa nyai berdua kemari."
"Sudahkah kau yakin kakek?" terdengar suara seorang wanita.
"Aku yakin, nyai," jawab orang itu.
Dan sesaat kemudian dari sentong kanan keluarlah dua orang wanita. Jauh lebih tua dari
lima enam tahun yang lampau . Wajahnya pucat dan kekurus kurusan. Karena itu tanpa
sadar Arya menoleh dan cepat berdiri. Mahesa Jenarpun berdiri pula. Ia melihat betapa
muridnya menjadi gemetar.
"Siapakah kau?," bertanya salah seorang daripadanya.
Mulut Arya terbungkam. Ibunya itu ternyata sudah tidak mengenalinya. Yang menjawab
kemudian adalah Mahesa Jenar.
"Adakah Nyai lupa kepadaku?,"
Orang itu mengerutkan keningnya. Akhirnya wajahnya cerah dan dengan ragu-ragu ia
berkata, "Adi Mahesa Jenar."
"Ya, aku Mahesa Jenar," jawab Mahesa Jenar.
"Oh," terdengar ia berdesis dan wajahnya menjadi semakin cerah.
"Lalu siapa anak muda ini?."
Mahesa Jenar dapat memaklumi, bahwa dirinya sendiri tidak mengalami banyak perubahan.
Tetapi Arya Salaka yang sedang tumbuh itu akan mengejutkannya. Pada saat meninggalkan
Banyu Biru, ia tidak lebih dari seorang anak-anak berumur antara tigabelas tahunan. Dan
sekarang ia adalah seorang pemuda perkasa. Bertubuh kekar dan berdada bidang.
Karena itulah maka Mahesa Jenar berkata, "Nyai, bertanyalah kepadanya siapakah
namanya?."
Nyai GajahSora menjadi ragu-ragu. Tetapi hatinya berdesir ketika melihat anak itu gemetar.
Dan kemudian tiba-tiba saja anak muda itu meloncat maju berjongkok sambil memeluk kaki
ibunya.
"Ibu...."
Nyai GajahSora terkejut. Dan terloncatlah dari mulutnya, "Kau kah itu."
Arya Salaka tak kuasa menjawab pertanyaan itu. Kerongkongannya serasa tersumbat batu.
Sedangkan matanya menjadi panas.
Wanita itu kini yakin. Anak itu adalah anak yang pernah dibelainya enam tahun lalu, anak
yang tidur dipangkuannya, dicium keningnya. Namun sering pula dimarahinya karena
kenakalannya.
Tiba-tiba tangannya yang lemah memeluk kepala Arya Salaka dan menekankan ke dadanya.
Dan terasa tiba-tiba dada yang tipis itu menggelombang.
Meledaklah sebuah tangis kegembiraan.
"Arya, bukankah kau Arya Salaka ?"

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 121 dari 142

Juga Arya tidak mampu berkata sepatahpun. Seabagai laki laki yang tabah menghadapi
setiap bahaya maut yang mengancamnya, Arya adalah seorang berhati baja. Namun kali ini
ia tidak kuasa menahan diri.
Meneteslah sebutir air mata .
Nyai Gajahsora benar-benar menangis. Ia tidak tahu apakah yang bergejolak didalam
dadanya.. Anak ini pada saat terakhir sebelum berpisah dengannya juga pernah dipeluknya
seperti ini. Menekankan kepala anak ini ke dadanya.Kini anak itu tidak berdiri pada telapak
kakinya tetapi pada kedua lututnya. Namun Nyai Gajahsora tak sempat memperhatikannya.
Dipeluknya anak itu seperti enam tahun lampau, diciumnya keningnya dan dibasahi dahi
anak itu dengan air mata.
Nyai Lembusorapun terharu melihat pertemuan itu. Tanpa sesadarnya dari matanya juga
mengalir air mata. Ia tidak tahu apa yang terjadi antara anaknya dengan anak itu, antara
suaminya dengan kakaknya Gajahsora. Karena kasihnya kepada Arya Salaka sebagai
kemenakan satu-satunya tidak berkurang. Dengan demikian iapun terharu melihat
pertemuan itu, setelah anak itu hilang selama enam tahun didsisi ibunya.
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia gembira, segembira Arya Salaka
sendiri. Ia akan dapat menyerahkan anak itu nanti kepada ayah bundanya tanpa
mengecewakan mereka. Mahesa Jenar telah tidak menyianyiakan kepercayaan Gajahsora
kepadanya meskipun ia harus mengucapkan beribu-ribu terimakasih pula kepada Kebo
Kanigara.
Tiba-tiba terdengarlah suara Nyai Gajahsora terputus-putus karena isaknya, "Kemana kau
selama ini Arya?, ayahmu tak kunjung kembali.dan kau meninggalkan aku seorang diri
dalam sepi dan duka"
Arya ingin menjawab. Ingin bercerita bahwa ia sama sekali tidak bermaksud meninggalkan
ibunya. Ia ingin mengatakan bahwa selama ini wajah ibunya tak sekejappun terhapus dari
angan-angannya. Tetapi yang menyumbat kerongkongannya serasa menjadi semakin besar
pula. Karena itu ia hanya dapat menelan ludahnya beberapa kali.
Dan kemudian ibunya menarik anak itu berdiri. Ketika Arya berdiri, terkejutlah Nyai
Gajahsora. Katanya, "Oh, kau sudah besar, kau benar-benar menjadi bayangan ayahmu,
seperti belahannya dalam cermin."
Mahesa Jenar berdesir mendengar kata-kata itu. Meskipun suaminya telah pergi selama
enam tahun, namun setiap ungkapan kantanya menyatakan bahwa kesetiaannya tidak
berkurang. Dan dalam suasasna yang demikian itulah Mahesa Jenar teringat akan dirinya.
Apabila kelak ada sesuatu dengan dirinya, adakah seseorang yang akan menantinya? atau
mencemaskannya ?.
Dan tiba-tiba pula teringatlah ia kepada Rara Wilis, seorang gadis yang setia menanti,
meskipun umurnya selalu menghantuinya.
Hari demi hari.....
Tiba-tiba Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Dengan sudut
matanya disambarnya setiap wajah yang ada diruangan itu. Kalau kalau ada diantara
mereka yang melihat perubahan wajahnya.
"Hem," ia menarik napas dalam-dalam. Sedang hantinya berkata, "jangan berangan-angan
seperti pemuda meningkat dewasa."
Nyai Gajahsora dan Nyai Lembusorapun segera berkemas-kemas pula. Mereka ingin segera
kembali ke Pamingit. Meskipun Arya belum mengatakan tentang kehadiran ayahnya dan
tentang keadaan adik sepupunya.
Ketika mereka sudah selesai berkemas, maka kedua perempuan itu segera minta diri
kepada penghuni rumah yang sudah lanjut usia sambil mengucapkan diperbanyak
terimakasih atas perlindungan yang diberikan.
"Eh," sahut kakek tua itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 122 dari 142

"Sudah menjadi kewajiban setiap warga untuk melindungi Nyai Ageng berdua. Sedang yang
aku lakukan sekedar menerima Nyai berdua dan memberikan sekedar tempat untuk
beristirahat."
"Aku tidak akan melupakan kau, kek," sahut Arya Salaka.
"Suatu saat aku pasti akan menengok rumah ini."
"Terimakasih ngger, terimakasih." Jawab orang itu.
Maka sesaat kemudian, berjalanlah mereka berempat menuju Pamingit. Didalam dada
mereka masing-masing bergetarlah angan angan menyongsong hari yang akan datang.
Nyai Ageng Gajahsora menjadi gembira karena kini ia berjalan dengan anaknya yang hilang
dan kembali kepadanya sebagai pemuda yang perkasa. Arya Salaka memandang langit
yang cerah secerah hatinya. Sedang Mahesa Jenar menundukkan kepalanya menghitung
masa lampaunya. Tetapi kini sebagian besar pekerjaannya telah selesai. Ia tinggal
menghadapkan Arya Salaka kepada ayah bundanya., kemudian ia sendiri akan ke Karang
Tumaritis menanyakan panembahan Ismaya, apa yang harus dilakukan atas Kiai Nagasasra
dan Sabuk Inten
Sesudah itu datanglah saatnya mengurus dirinya sendiri.
Perlahan lahan langit yang ditaburi bintang itu menjadi semakin terang. Cahaya fajar yang
meloncat dari balik bukit telah menjalari seluruh langit. Dan bintang bintangpun semakin
redup karenanya. Angin pagi yang lembut mengalir perlahan lahan seakan ikut berdendang
bersama mereka yang sedang berjalan berempat itu menyanyikan lagu riang gembira
menyongsong hari yang cerah.
Demikianlah mereka berjalan dalam limpahan cahaya pagi. Perjalanan itu bukanlah
perjalanan yang berbahaya.
Langir biru, batang batang jagung yang hijau. Air yang jernih sejuk mengalir di parit-parit
ditepi jalan. Desa-desa yang menjorok seperti pulau-pulau di lautan hijau. Daun-daun
bergoyang ditiup angin pagi yang lembut, gemersik diantara kicau burung-burung liar yang
riang berloncatan dari dahan ke dahan.
Tetapi ketika mereka hampir sampai di bawah pohon nyamplung hati Mahesa Jenar dan
Arya Salaka menjadi berdebar-debar. Semalam mereka tidak sempat mengurus mayat
Bugel Kaliki. Kalau mayat itu masih disana, pasti akan mengejutkan Nyai Ageng berdua.
Tetapi mereka tidak dapat menempuh jalan lain. Mereka harus melampaui jalan di bawah
pohon nyamplung itu.
"Paman," tiba-tiba Arya berkata pelan sekali kepada Mahesa Jenar. "Bagaimana dengan
mayat Bugel Kaliki?."
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "lihatlah dan kalau masih ada
singkirkan sementara. Nanti kita selesaikan mayat itu sebaik-baiknya."
Arya mengangguk, kemudian kepada ibunya ia berkata, "Ibu dan Bibi, perkenankanlah aku
mendahului. Ada sesuatu yang akan aku lihat lebih dahulu."
Nyai Ageng berdua itu menjadi berdebar-debar. Maka bertanyalah Nyai Ageng Gajahsora,
"Apakah keadaan di Pamingit masih belum baik Arya?."
"Tidak ibu," jawab Arya, "kedadaan sudah terlalu baik. Tetapi parit yang menyilangi jalan
disebelah pohon nyamplung yang tampak kemarin itu kemarin terlalu cepat mengalir dan
terlalu dalam airnya. Barangkali aku dapat memilih jalan yang lain."
"Oh," Nyai Ageng Gajahsora dan nyai Lembu Sora menarik nafas lega, maka berkatalah ibu
Arya, "pergilah."
Aryapun pergi bergegas mendahului. Ia tidak mau ibu serta bibinya menjadi terkejut dan
ngeri.
Tetapi ketika ia sampai di bawah pohon itu, ia terkejut. Mayat itu sudah tak ditemuinya di
sana.
Hilang, pikirnya. Yang dilihatnya hanyalah beberapa bekas darah yang mengalir dari
lukanya, luka Sawung Sariti. Dengan dada yang berdebar-debar, ia melihat pakaiannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 123 dari 142

Beberapa noda darah masih melekat dan mewarnai bajunya dengan noda-noda merah
kehitam-hitaman. Tetapi luka didadanya tak mengalirkan darah lagi. Ia yakin bahwa ibu dan
bibinya telah melihat luka itu. Tetapi mereka berdua tak mengucapkan sepatah pertanyaan
pun.
Ah! desisnya. Adalah hal yang lumrah bahwa dalam daerah pertempuran seseorang
mengalami luka di tubuhnya.
Ketika ia menengok ke belakang, dilihatnya ibunya, bibinya serta Mahesa Jenar sudah
berjalan semakin dekat. Cepat-cepat ia berusaha menghapus bekas-bekas darah yang
mewarnai tanah di bawah pohon nyamplung itu. Namun sebuah pertanyaan melingkarlingkar di kepalanya, di manakah mayat Bugel Kaliki? Apakah ia masih belum benar-benar
mati dan kemudian bangkit kembali?
Tetapi Arya Salaka tidak sempat berpikir terlalu panjang. Ia terpaksa berpura-pura berjalan
ke parit yang menyilang jalan di sebelah pohon nyamplung. Ia tersenyum sendiri ketika ia
melihat aliran airnya yang bening kemercik di antara batu-batu kecil yang berserak-serakan
di atas pasir. Aliran air di parit itu masih seperti kemarin. Tidak lebih dari setinggi betis.
Hem, gumam Arya, Tidak mungkin parit sebesar ini menjadi berarus deras dan dalam.
Ibu serta bibinya itu pun menjadi semakin dekat. Dari jauh mereka melihat Arya Salaka
membungkuk-bungkuk kemudian duduk di tanggul parit di bawah pohon nyamplung. Tetapi
mereka tidak tahu apakah yang sudah dikerjakan oleh anak itu.
Ketika itu Arya sedang memungut sebatang pedang yang dipergunakan melawan Sawung
Sariti, serta sebatang pedang Sawung Sariti sendiri, yang kemudian keduanya dipergunakan
oleh Sawung Sariti untuk melawan Bugel Kaliki.
Nyai Ageng Gajah Sora beberapa kali memandang langit yang biru bersih. Di Sarapadan,
kemarin setetes pun tak turun hujan. Kalau demikian maka di bagian timur pasti hujan
lebat kalau parit itu benar-benar banjir.
Ketika mereka sampai di tepi parit itu, maka Nyai Ageng Gajah Sora pun menjadi heran.
Parit itu tidak lebih dari sebetis dalamnya.
Sudah tidak banjir lagi, Arya? ia bertanya.
Tidak Ibu, jawab Arya.
Tampaklah beberapa pertanyaan masih tersimpan di dalam wajah ibunya, namun tak
satupun yang terkatakan.
Ketika mereka sudah melampaui parit itu dan berjalan menyusur jalan kecil, maka
berbisiklah Mahesa Jenar, Bagaimana dengan mayat itu?
Hilang, bisik Arya singkat.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Hilang? ia mengulang.
Ya, hilang! jawab Arya. (Bersambung)-o

NAGASASRA DAN SABUKINTEN


Karya SH Mintardja
Dikumpulkan dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
"ANEH," desis Mahesa Jenar sambil menarik nafas. Pada saat ia melihat Bugel Kaliki
terbaring di tanah, ia sudah yakin bahwa orang itu telah terbunuh. Tetapi Mahesa Jenar pun
tidak berkata-kata lagi, meskipun tampak juga ia sedang berpikir.
Di perjalanan itu, tidak banyak yang sempat mereka pertanyakan. Mereka sibuk dengan
angan-angan di kepala masing-masing. Sedang matahari merayapi bola langit dengan
tekunnya, semakin lama semakin tinggi. Cahaya yang cerah memancar dan terbanting di
atas batu-batu padas yang kemerah-merahan.
Arya mengangkat wajahnya ketika tiba-tiba ia mendengar bunyi garengpung. Teringatlah ia
pada masa kanak-kanaknya. Sehari-harian ia mengejar binatang-binatang semacam itu.
Apabila didapatnya, disimpannya didalam ketupat janur yang masih kosong.
"Kita sudah memasuki ujung musim kemarau," desisnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 124 dari 142

"Suara garengpung itu?" tanya gurunya.


"Ya," jawab Arya. Kembali mereka berdiam diri. Dan mereka menjadi berdebar-debar ketika
mereka melihat dikejauhan, disela-sela batang-batang jagung yang telah rusak, desa yang
mereka tuju, jantung Daerah Perdikan Pamingit. Tiba-tiba langkah mereka menjadi semakin
cepat tanpa mereka sengaja. Mereka ingin segera sampai untuk melihat apa yang telah
terjadi dan ingin segera bertemu dengan orang-orang yang mereka kasihi. Sanak keluarga
dan tetangga-tetangga yang baik hati.
Ketika mereka menginjakkan kaki mereka di pusat pemerintahan Pamingit itu, Nyai Ageng
Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menjadi terkejut. Beberapa buah rumah hancur
terbakar dan beberapa lagi menjadi porak poranda.
"Beginikah Pamingit sekarang?" keluh Nyai Ageng Lembu Sora.
"Tetapi itu hanya bekas-bekas keganasan mereka, orang-orang dari segerombolan hitam,
Bibi," sahut Arya, "Sedang orang-orang itu sendiri kini sudah dibinasakan."
"Tidakkah mereka akan datang mengganggu lagi?" tanya Nyai Ageng Lembu Sora.
"Tidak Bibi. Mudah-mudahan tidak. Tuhan akan melindungi kita selama kita berada di atas
kebenaran," jawab Arya, namun di dalam hatinya ia meneruskan, "Kebenaran dalam firmanfirman Tuhan, bukan kebenaran dalam tafsiran kita masing-masing, sebab akan berlipatlipatlah dosa kita kalau kita mengaburkan batas antara kebenaran sejati dengan kebenaran
yang sekadar menguntungkan kita sendiri."
Beberapa orang Pamingit yang melihat kedatangan mereka menjadi saling berbisik, "Itulah,
Nyai Ageng Lembu Sora telah kembali."
Dan jawab yang lain, "Syukurlah kalau Nyai Ageng selamat. Tak ada kabar beritanya selama
ini, kemana Nyai Ageng pergi."
Dan beberapa orang kemudian menemuinya di perjalanan itu sambil membungkuk-bungkuk
mengucapkan selamat. Nyai Ageng Lembu Sora menyambut salam itu dengan senyum yang
tulus. Senyum yang memancarkan kegembiraan hatinya serta pertanyaan syukur bahwa ia
masih sempat bertemu dengan mereka.
Ketika mereka menginjak halaman rumah Nyai Ageng Lembu Sora, di hadapan alun-alun
yang tak begitu luas sekali lagi hati mereka melonjak. Nyai Ageng Lembu Sora bahkan
menjadi terpaku di regol halaman.
Rumah itu telah hancur menjadi abu. Tinggal beberapa bagiannya yang masih tersisa dan
roboh berserak-serakan. Dengan menekankan tangan di dadanya, terdengarlah ia
bergumam, "Ya ampun. Malapetaka telah menimpa Pamingit."
Dan di dalam hatinya Nyai Ageng Lembu Sora itu berkata, "Aku telah mencoba mencegah Ki
Ageng supaya tidak terlalu memanjakan nafsu, namun agaknya tak dihiraukannya.
Sekarang hukuman Tuhan telah menimpa keluarga Pamingit."
Ia menjadi terkejut ketika Arya berkata, "Bibi, Eyang dan beberapa orang lain berada di
banjar desa sebelah. Marilah kita pergi ke sana."
Bibinya tidak menyahut. Namun tampak dari matanya sebutir airmata yang menetes. Maka
pergilah mereka bersama-sama ke Banjar Desa, yang ditempati untuk sementara waktu
oleh para pemimpin Pamingit. Ketika mereka sampai di Banjar itu, ternyata beberapa orang
telah berada pula di sana. Di antara mereka, Arya melihat pula ayahnya, Gajah Sora.
Kedatangan mereka itu ternyata telah menarik perhatian. Semua orang mengangkat
wajahnya dan bergumam di dalam hati mereka. "Itulah mereka datang."
Yang paling terkejut di antara mereka justru Nyai Ageng Gajah Sora. Seperti orang
bermimpi ia melihat suaminya, Ki Ageng Gajah Sora duduk di antara beberapa orang itu.
Beberapa kali ia mengedipkan matanya, namun yang ditatapnya itu masih tetap berada di
tempatnya. Bahkan tiba-tiba Gajah Sora pun berdiri. Telah sekian lama ia menahan
keinginannya untuk mengetahui keselamatan isterinya. Dan sekarang isterinya itu datang.
Karena itu maka ia pun segera melangkah ke pintu menyongsong kedatangan isterinya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 125 dari 142

DADA Nyai Ageng Gajah Sora benar-benar bergoncang. Yang berdiri di muka pintu itu
adalah suaminya. Bukan dalam mimpi. Baru saja hatinya melonjak-lonjak karena anaknya
yang hilang telah kembali kepadanya. Sekarang tiba-tiba suaminya yang pergi lebih dahulu
dari anaknya, berdiri pula di hadapannya. Meskipun demikian antara percaya dan tidak, Nyai
Ageng berdesis, "Arya, apakah itu benar ayahmu?"
"Ya, Ibu. Itulah Ayah Gajah Sora," jawab Arya perlahan-lahan.
Nyai Ageng Gajah Sora tak kuasa lagi menahan perasaannya. Ia pun segera berlari dan
bersimpuh di kaki suaminya sambil menangis sejadi-jadinya. Sekali lagi dada Mahesa Jenar
seperti diguncang.
Seorang isteri yang setia telah menemukan suaminya kembali. Di Banyubiru, ketika Gajah
Sora itu datang bersamanya dari Gunung Tidar, Mahesa Jenar melihat Nyai Ageng Gajah
Sora menerima kedatangan suaminya dengan membersihkan kakinya dengan air dingin
yang jernih. Pada saat itu ia telah berangan-angan, alangkah sejuknya penerimaan yang
demikian itu di hati suaminya.
Sekarang Nyai Ageng Gajah Sora tidak saja membasuh kaki suaminya dengan air yang
bening, tetapi ia telah membasuhnya dengan air mata. Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi
terharu atas pertemuan itu. Untuk beberapa kali ia berdiam diri seperti patung dan
membiarkan isterinya bersimpuh sambil menangis.'Namun kemudian setelah ia tersadar
dari pesona itu, diangkatnya isterinya supaya berdiri dan diajaknya ia masuk ke dalam
banjar desa itu. Maka kemudian suasana Banjar Desa itu menjadi gembira dan
mengharukan. Meskipun kadang-kadang Nyai Ageng Gajah Sora masih meneteskan air
mata, namun air mata yang memancarkan rasa terima kasih kepada Tuhan yang telah
mempertemukannya dengan anak dan sekaligus suaminya.
Nyai Ageng Lembu Sora pun menjadi bergembira pula. Ia ikut bersyukur bersama kakak
iparnya itu. Keluarga yang seakan-akan telah terpecah belah, kini mereka telah berkumpul
kembali dalam suatu lingkungan yang bahagia. Namun meskipun demikian, hatinya menjadi
kurang tentram. Suaminya tidak ada diantara mereka. Bahkan setelah mereka duduk
beberapa saat pun, Ki Ageng Lembu Sora tidak juga menampakkan diri. Meskipun demikian,
ia tidak sampai hati untuk menanyakannya.
Tetapi Nyai Ageng Lembu Sora tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan gelisah. Di
dalam peperangan, dapat saja segalanya terjadi. Karena itu maka ia menjadi bercemas hati.
Beberapa saat kemudian, datanglah seorang Pamingit ke banjar desa itu. Kepada Wulungan
yang duduk di dekat pintu, ia berkata, "Kakang Wulungan, adakah angger Arya Salaka telah
datang?"
"Ya," jawab Wulungan, "Belum terlalu lama."
"Beserta Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora?" Orang itu berjalan pula.
"Ya, beserta keduanya," jawab Wulungan pula. Orang itu berhenti sejenak, kemudian ia
berkata pula perlahan-lahan, "Ki Ageng Lembu Sora minta mereka datang ke pondoknya. Ki
Ageng tak dapat hadir di banjar, pagi ini."
Wulungan mengerutkan keningnya. Ia sudah tahu kalau Sawung Sariti terluka. Karena itu ia
tidak bertanya lebih lanjut. Sebab ia sudah menduga bahwa Nyai Ageng Lembu Sora belum
diberitahukan akan hal ini. Karena itu ia berkata, "Baiklah, aku diberitahu akan hal ini."
Karena itu ia berkata, "Baiklah, aku persilahkan Nyai Ageng Lembu Sora nanti segera
datang."
Setelah orang itu pergi, kecemasan benar-benar mencekam dada Nyai Ageng Lembu Sora.
Dengan tergagap ia bertanya, "Kenapa dengan Ki Ageng Lembu Sora?"
"Tidak apa-apa, Nyai," jawab Wulungan. "Ki Ageng Lembu Sora dalam keadaan sehat
walafiat. Mungkin ada yang harus diselesaikan di pondok Ki Ageng. Maka sebaiknya Nyai
Ageng pergi ke sana. Marilah aku antarkan."

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 126 dari 142

Kemudian pandangan mata Wulungan pun beredar berkeliling, kepada Arya Salaka, Mahesa
Jenar, Gajah Sora dan yang lain-lain, dengan melontarkan pertanyaan, "Bagaimanakah
dengan Angger Arya Salaka dan yang lain?"
Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang telah mengetahui keadaan Sawung Sariti pun segera
menjawab hampir bersamaan, "Aku ikut serta."
"Marilah,? sahut Wulungan. Dan sesaat kemudian hampir semua orang di banjar desa
itupun pergi ke pondok Ki Ageng Lembu Sora yang tidak begitu jauh dari banjar desa itu.
Nyai Ageng Lembu Sora, Nyai Ageng Gajah Sora, Gajah Sora sendiri, Mahesa Jenar dan
Arya Salaka, diantar oleh Wulungan. Jarak yang hanya beberapa ratus tombak itu, bagi Nyai
Ageng Lembu Sora terasa begitu panjangnya. Berbelit-belit lewat jalan-jalan sempit, di
antara dinding-dindingbatu halaman-halaman rumah yang sudah sangat dikenalnya. Rumah
Si Santa, rumah Si Gersik, Dandang, pekatik suaminya, dan rumah-rumah lain yang sering
dilewatinya. Dan halaman-halaman rumah-rumah itu seakan-akan menjadi bertambah
panjang. Jauh berlipat-lipat dari yang pernah dilihatnya sebelum terjadi peperangan.
DEMIKIAN Nyai Ageng Lembu Sora sampai di muka pintu, segera ia berlari masuk.
Beberapa orang telah berada di ruangan itu. Dan ketika tiba-tiba matanya bertemu pandang
dengan suaminya, terlontarlah dari bibirnya ungkapan kelegaan hatinya.
Oh! Tetapi sesaat kemudian kembali dadanya berguncang ketika pandangan matanya
terbanting di atas bale-bale bambu, dimana sesosok tubuh sedang berbaring, dikerumuni
oleh beberapa orang. Mertuanya, Ki Ageng Sora Dipayana, seorang yang belum dikenalnya
dan dua orang gadis yang belum pernah dilihatnya pula.
Ketika orang-orang itu melihat kehadirannya, segera mereka menduga bahwa itulah Nyai
Ageng Lembu Sora, dan karena itu segera mereka menyibak. Barulah kemudian Nyai Ageng
Lembu Sora melihat dengan jelas siapakah yang terbaring di atas bale-bale bambu itu. Anak
laki-lakinya, Sawung Sariti. Sesaat ia menjadi terbungkam melihat tubuh yang pucat dan
memejamkan mata itu. Tubuhnya menjadi gemetar, dan tiba-tiba ia memekik sambil berlari
memeluk tubuh Sawung Sariti, Sariti!
Terdengar suaranya meninggi dan kemudian kata-katanya hilang tenggelam dalam
tangisnya yang meledak.
Sawung Sariti mendengar jerit itu. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia masih merasa
betapa mesra ibunya memeluk tubuhnya sambil membasahinya dengan air mata.
Ibu, desisnya perlahan-lahan.
Ngger, kenapa kau? tanya ibunya sambil menangis. Diciumnya kening anaknya beberapa
kali. Tak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari cengkereman keadaan itu. Semua
orang menundukkan kepalanya. Sawung Sariti adalah satu-satunya anak Nyai Ageng Lembu
Sora. Dan sekarang jiwa anak itu berada di ujung bahaya. Tetapi Sawung Sariti sendiri
tersenyum dengan penuh keikhlasan. Sekali lagi ia mencoba memandang semua orang yang
hadir di ruangan itu. Ibunya, uwanya, suami istri Ki Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora,
ayahnya, eyangnya yang telah mendidiknya dengan tekun dan mengharapnya dapat
menyelamatkan daerah ini dari terkaman orang-orang dari golongan hitam, Kebo Kanigara
yang perkasa, yang telah mendukungnya sampai ke tempat ini, Mahesa Jenar yang
mengagumkan, baik kekuatan jasmaniahnya maupun rohaniahnya, serta sifat-sifatnya yang
sebagian menurun kepada muridnya Arya Salaka, Rara Wilis dan gadis lincah yang bernama
Endang Widuri. Akhirnya ia melihat wajah kakek sepupunya itu, betapa sejuk dan lunak,
selunak hati gurunya.
Tiba-tiba terdengar bibirnya berdesis, Kakang Arya, kemarilah.
Suara itu perlahan sekali, tetapi karena bilik itu dicengkam oleh kesepian, Arya Salaka pun
mendengar suara itu dengan jelas, bahkan ia menjadi terkejut karenanya. Seperti
kehilangan kesadaran, ia melangkah maju dan berjongkok di samping bibinya. Ketika Arya
Salaka sudah berjongkok di samping bale-bale pembaringannya, maka sekali lagi Sawung
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 127 dari 142

Sariti tersenyum. Hampir tidak kedengaran ia berkata, Bagaimana dengan luka di dadamu,
Kakang?
Arya Salaka menjadi tergagap. Kenapa yang ditanyakan justru luka di dadanya itu.
Maka jawabnya, Baik Adi. Sudah baik.
Suatu kenangan yang tak dapat terhapuskan, bisik Sawung Sariti kemudian, Di dadamu,
Kakang, akan tergores sebuah garis bekas luka itu. Dan garis itu tak akan hilang. Apabila
Kakang nanti bercermin di air Rawa Pening, maka Kakang akan melihat goresan luka itu.
Dan teringatlah Kakang kepadaku.
Hati Arya Salaka berdesir. Dengan sepenuh perasaan ia berkata, Aku akan selalu
mengenangnya. Dan peristiwa itu tak akan berulang.
Ya, tak akan berulang kembali, desis Sawung Sariti. Suaranya menjadi bertambah lemah.
Meskipun Ki Ageng Sora Dipayana telah mencoba mengobatinya dengan ramuan daundaunan yang diketahuinya, namun keadaan Sawung Sariti menjadi bertambah berbahaya.
Kakang, kembali Sawung Sariti berdesis, Kau maafkan aku?
Tak ada yang dapat dimaafkan Adi, sebab kau tak bersalah, jawab Arya.
Sawung Sariti tersenyum, katanya, Jangan berkata begitu. Aku tahu aku bersalah. Kau
maafkan kesalahan itu, Kakang?
Ya, ya tentu, tentu, jawab Arya cepat-cepat.
Uwa Gajah Sora akan memaafkan aku juga? bisik Sariti kemudian.
Tentu, tentu, jawab Arya pula. Kakang telah memaafkan aku, Uwa Gajah Sora berdua
juga akan memaafkan aku, Eyang Wanamerta, Paman Pandan Kuning, dan Sawungrana....
Jangan sebut-sebut itu, Adi, potong Arya Salaka. Lupakanlah. Mereka semua sudah
memaafkanmu.
Tetapi adakah Tuhan memaafkan aku pula? kata Sariti tiba-tiba.(Bersambung)-m
Dada Arya Salaka berguncang. Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora Dipayanapun segera
berjongkok di sampingnya. Mereka sudah tidak dapat mempertahankan nyawa itu. Tuhan
telah memanggilnya. Karena itu Ki Ageng Sora Dipayana berbisik ditelinga anak muda itu.
"Sebutlah nama Tuhan. Tuhan Maha Pengampun."
"....Tuhan Maha Pengampun....."
Kata kata itu hampir tak terdengar, namun Sawung Sariti telah mengucapkannya. Dengan
tenangnya ia menutup matanya.
Sebuah jerit yang tinggi membelah keheningan suasana. Nyai Ageng Lembu Sora memekik
dan memanggil nama anaknya. Namun Sawung Sariti telah pergi.
Dengan air mata yang berlinang Nyai Ageng Gajah Sora mencoba menenangkan hati adik
iparnya. Namun usahanya sia sia. Sawung Sariti adalah satu satunya anak yang akan
menyambung hidupnya. Yang akan dapat menjadi tempat menumpahkan harapan serta
cita-citanya. Namun anak itu kini telah pergi dan tak akan kembali. Karena itu seakan-akan
nyawanya sendirilah yang telah lepas dari tubuhnya. Kalau demikian maka akan lebih baik
baginya seandainya nyawa anaknya dapat ditukar dengan nyawanya. Seandainya ia sendiri
boleh menggantikan anaknya menghadap Tuhannya.
Lembu Sora masih berdiri seperti patung. Bibirnya bergetar dan tubuhnya menggigil.
Matanya yang tajam menjadi suram dan berlapis air. Beberapa kali ia menggigit bibirnya,
tetapi kemudian bibir itu bergetar kembali. Dipandanginya wajah anaknya yang pucat pasi.
Namun bibir yang pucat itu membayangkan senyum keihlasan.
Dan tiba tiba diwajah yang pucat itu seakan akan memancar gambaran peristiwa yang
pernah terjadi.
Anak itu terlampau jauh tersesat. Tetapi bukan salah anak itu. Dialah yang telah
mendorongnya tampil kedepan. Dengan penuh harapan dan khayalan masa mendatang.
Dimana dikayalkan kepada anak itu, kekuasaan dan kamukten yang sempurna. Tanah
Perdikan Pangratunan.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 128 dari 142

Ki Ageng Lembu Sora menggeram. Penyesalan yang tak terkira telah menghentak dadanya
seperti akan pecah.
Demikian dahsyatnya perasaan itu mencekam jiwanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya mejadi
lemah. Perlahan lahan ia melangkah ke sudut ruangan itu. Kedua tangannya menutupi
wajahnya, seolah hendak menyembunyikan segenap kenangan yang datang silih berganti.
Hanya sesaat saat ia mendengar jerit tangis isterinya yang memenuhi ruangan itu.
Arya Salakapun tak dapat menahan rasa harunya. Meskipun nyawanya sendiri hampir
direnggut tangan adiknya namun ia tak sampai hati melihat mayatnya terbujur diam
dihadapannya.
Karena itu, maka tanpa disadarinya ia berdiri dan perlahan lahan melangkah keluar
meninggalkan ruangan itu. Di bawah pohon sawo ia terhenti. Suara tangis bibinya masih
terdengar jelas.
Akhirnya ia berdiri saja disitu, bersandar pada pokok sawo yang jauh lebih besar daripada
tubuhnya sendiri.
Seluruh Pamingit menjadi berkabung. Putera satu-satunya kepala daerah perdikan mereka
gugur pada saat anak muda yang berani itu bertempur melawan Bugel Kaliki. Tidak saja
orang Pamingit, namun orang Banyubirupun ikut berkabung. Mereka ikut merasakan betapa
daerah perdikan belahan tanah BanyuBiru itu kehilangan pemimpinnya.
Hari itu suasana Pamingit menjadi suram. Mereka disibukkan oleh persiapan pemakaman
jenasah pahlawan yang masih muda itu, yang gugur dalam pengabdian dalam melawan
Hantu Bongkok yang sakti.
Ketika fajar pagi berikutnya pecah di Timur, semua persiapan telah selesai. Hari itu akan
diselenggarakan pemakaman Sawung Sariti dengan upacara kebesaran.
Seluruh penduduk Pamingit tumplak blak berjejal disepanjang jalan yang akan dilewati
iringan jenazah.
Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir terhadap pahlawannya, yang telah
menjadi tawur bagi kesejahteraan dan kebesaran rakyat Pamingit. Upacara itu menjadi
bertambah hidmad dengan hadirnya dua perwira pasukan Demak, Paningron dan Gajah Alit.
Keranda jenazah Sawung Sariti diletakkan ditengah tengah reruntuhan pendapa rumahnya.
Dengan sengaja reruntuhan itu tidak dibersihkan lebih dahulu. Para pemimpin Pamingit dan
Banyu Biru, bahkan kedua tamu dari Demak itu duduk saja diatas balok kayu yang
berserak-serakan disekitar keranda itu.
Di keempat penjuru tampaklah beberapa orang laskar Pamingit berjaga-jaga dengan
tombak di tangan. Sedang di alun-alun telah siap laskar kehormatan yang akan
mengantarkan jenasah sampai ke peristirahatannya terakhir.
Keranda pahlawan dengan latar belakang reruntuhan dan abu merupakan perpaduan
pandangan yang menggetarkan. Laskar yang berdiri tegak dengan senjata di tangan serta
para pemimpin yang duduk bertebaran, panji-panji dan tunggul, rontek dan rangkaian
bunga telah mencekam hati seluruh rakyat Pamingit dan Banyu Biru yang sedang berada di
Pamingit.
Ketika matahari telah memanjat sampai ke ujung cemara disisi alun-alun, maka sampailah
waktunya jenasah itu diberangkatkan. Sesaat kemudian menggemalah bunyi kentongan di
banjar desa disahut oleh setiap kentongan yang berada di Pamingit, yang berada di gardugardu, di langgar, dan disetiap rumah yang memilikinya. Dan dari sisi keranda itu
menggemalah bunyi sangkakala.
Maka bersiaplah laskar Pamingit dan Banyu Biru untuk mengawal jenasah pahlawan yang
berani itu. Ketika jenasah diangkat oleh beberapa orang, diantaranya Wulungan, Bantaran,
Penjawi dan kehormatan yang diberikan untuk pahlawan itu oleh Titis Anganten, Ki Ageng
Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, maka berbicaralah Gajah Alit atas nama
pemerintahan Demak.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 129 dari 142

Gajah Alit yang memakai pakaian kebesaran pasukan Nara Manggala itu menyatakan
betapa besar terimakasih dan penghargaan Demak terhadap kesediaan pengabdian yang
diberikan oleh Sawung Sariti. Dengan darahnya ia telah mempertahankan tanahnya,
rakyatnya dan kebesarannya.
Lembu Sora mendengarkan sesorah Gajah Alit dengan dada yang bergejolak. Ia mendengar
sesorah itu dirangkapi suara hatinya sendiri. Ia melihat luka yang tergores di lengan
anaknya. Ia melihat pula luka yang tergores didada Arya Salaka. Karena itu ia menjadi
bimbang karenanya. Apakah yang telah terjadi.
Namun adakah karunia Tuhan telah berkenan membersihkan nama anaknya pada saat-saat
terakhir. Kini anaknya gugur sebagai pahlawan. Karena tangan Bugel Kalikilah yang telah
membunuhnya. Dan sudah pastilah bahwa anaknya telah bertempur melawan demit itu.
Maka ketika datang saatnya jenazah itu diberangkatkan, sekali lagi Nyai Ageng Lembu Sora
memekik tinggi. Ia kemudian meronta-ronta di tangan Nyai Ageng Gajah Sora dan Rara
Wilis. Lembu Sora yang melihat keadaan isterinya menjadi sangat beriba hati. Didekatinya
isterinya itu, dipegangnya pundaknya dan dibisikkan di telinganya kata-kata pemupus,
"Sudahlah Nyai anakmu pergi menghadap Tuhannya dengan bekal yang cukup. Ia gugur
sebagai pahlawan. Ikhlaskan dia supaya ia menghadap Tuhan dengan tenang".
Nyai Ageng Lembu Sora mendengarkan kata-kata suaminya. Namun amatlah sulit baginya
untuk memadukan perasaannya dengan nalar. Karena itu, justru oleh sentuhan tangan
suaminya, hatinya makin bergelora. Cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya menjatuhkan
dirinya di tangan suaminya. Setelah itu Nyai Ageng Lembu Sora tak tahu lagi apa yang
terjadi. Pingsan.
Beberapa orang menjadi sibuk mengurusnya. Diangkatnya tubuh itu masuk ke Banjar Desa.
Dalam pada itu keranda jenazah mulai bergerak. Di ujung barisan berjalanlah seorang anak
muda yang tegap perkasa, dengan tombak tak berwrangka di tangannya. Itulah Arya Salaka
yang mandi tombak pusaka Banyu Biru Kiyai Bancak. Sekali-sekali ia menengadahkan
wajahnya. Dan sekali sekali ia menunduk. Beribu-ribu masalah berputar-putar di otaknya.
Sesekali ia bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkannya, dan sesekali ia berdoa
semoga Tuhan menerima adiknya disisinya. Kalau kemudian matanya terasa panas, Arya
segera mengangkat mukanya seolah-olah ada yang dicarinya diantara belaian mega yang
putih dihembus angin lembut dari pegunungan.
Hampir setiap wanita yang berdiri berhimpitan ditepi jalan meneteskan air matanya. Mereka
melepas pahlawan dengan hati yang sedih. Mereka tahu bahwa Sawung Sariti adalah satusatunya putera kepala daerah perdikan mereka, bahkan putera yang agak terlalu
dimanjakan. "Betapa sedih ibunya. Betapa sedih ayahnya," desis mereka.
Namun Sawung Sariti itu berjalan terus. Tubuhnya berjalan ketempat pemakaman, sedang
arwahnya berjalan menghadap Tuhannya. Di belakang keranda itu berjalanlah kedua
perwira dari Pasukan Demak, disisinya Ki Ageng Sora Dipayana dengan kepala tertunduk,
sedang Ki Ageng Gajah Sora berjalan pula dibelakangnya dan disampingnya adalah Ki
Ageng Lembu Sora.
Barisan pengiring semakin lama semakin panjang. Setiap orang yang dilaluinya dengan
serta merta mengikuti dibelakangnya mengantar sampai ke makam. Pamingit benar-benar
berkabung. Demikianlah Sawung Sariti telah mendapatkan penghormatan terakhir sebagai
seorang pahlawan. Apapun yang pernah dilakukan, namun ia adalah anak yang berani.
Sehingga setelah ia gugur, adalah menegakkan pemerintahan ditanah kelahirannya.
Di belakang mereka yang sedang mengantarkan jenazah itu, didalam pondok yang kecil,
terbaringlah Galunggung dengan lemahnya. Beberapa orang duduk disampingnya dan
mencoba membangunkan ia dari pingsannya. Beberapa kali ia membukakan matanya,
namun kemudian ia pingsan kembali.
Tetapi ketika nafasnya telah berangsur baik, maka Galunggungpun menjadi sadar. Sadar
akan dirinya. Perlahan ia bangkit dan duduk ditepi pembaringannya. Ketika ia mencoba
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 130 dari 142

untuk minum, didengarnya bunyi kentongan. "Tanda apakah itu?," terdengar ia bertanya
lemah.
"Jenazah Sawung Sariti akan diberangkatkan," jawab salah seorang bawahannya yang
sedang merawatnya.
"Apa katamu?," kata Galunggung membelalakkan matanya. Bawahan Galunggung itu
terkejut melihat sikapnya. Namun ia menjawab juga, "Ya jenazah angger Sawung Sariti
dimakamkan."
"Jadi kau maksud Sawung Sariti telah meninggal?"
"Ya"
"Omong Kosong!," bentaknya.
Bawahannya menjadi semakin tidak mengerti. Dan ia mencoba menjelaskan, "Angger
Sawung Sariti terbunuh ketika ia sedang bertempur melawan Bugel Kaliki."
"Gila, gila!," Galunggung tiba-tiba mencoba untuk berdiri sambil memaki habis habisan.
Tetapi tenaganya lemah sekali sehingga ia terbanting ditempat pembaringan.
Pingsan.
Tetapi tidak lama kemudian Galunggung membuka matanya kembali. Ia segera bangkit dan
merenggut kain penyejuk dikepalanya. Matanya memandang berkeliling ruangan yang
sempit itu. Tetapi mata itu kini menjadi merah. Seperti orang kehilangan ingatan ia berdiri
tegak dan berteriak. "He, kau tahu kenapa Sawung Sariti mati?"
Bawahannya menjadi cemas. Sambil menggeleng ia menjawab sekenanya, "tidak."
"Sawung Sariti mati karena penghianatan. Ternyata Bugel Kaliki bekerja sama dengan Arya
Salaka. Mereka bersama-sama membunuh Sawung Sariti!," teriak Galunggung dengan mata
bertambah liar.
"Tetapi mereka bersama-sama bertempur melawan Bugel Kaliki," sahut bawahannya.
"Bodoh, Bodoh kalian," teriak Galunggung. "Kalian tahu apa. Akulah yang paling tahu
keadaannya, karena itu aku harus membalas dendam."
Bawahannya semakin tidak mengerti. Mereka menjadi bingung. Dan mereka menjadi
terkejut ketika tiba-tiba Galunggung menyambar pedang salah satu dari mereka dan tibatiba ia meloncati pintu dan berlari sekencang-kencangnya menyeberangi halaman. Sesaat
kemudian ia sudah hilang dibalik regol halaman itu.
Beberapa orang bawahannya menjadi bingung. Untuk sesaat mereka tidak tahu apa yang
harus dilakukan. Tetapi sesaat kemudian mereka sadar Galunggung menjadi orang
berbahaya. Karena itu mereka harus berusaha mencegahnya. Setidak-tidaknya melaporkan
kepada Ki Ageng Lembu Sora. Karena itu maka merekapun bergegas meninggalkan
halaman itu.
"Kemana?," tanya salah seorang dari mereka.
"Menyusul ke makam," jawab yang lain.
Dengan berlari-lari kecil merekapun segera pergi ke makam, dimana jenazah pahlawan
yang masih sangat muda itu di makamkan.
Pada saat itu, keranda jenazah berhenti disamping liang kubur yang sudah dipersiapkan.
Ketika jenazah sudah dibaringkan, doapun dipanjatkan. Pemakaman itu berlangsung
dengan selamat. Segala sesuatu seperti yang direncanakan. Ketika mereka akan
meninggalkan onggokan tanah yang masih merah serta sepasang maejan yang masih baru
pula, mereka melihat Arya Salaka berjongkok disamping gundukan tanah itu. Bibirnya
bergerak mengucapkan beberapa patah kata, namun tak seorangpun yang mendengarnya.
Lembu Sora sendiri agaknya telah berhasil menguasai perasaannya. Ia tidak dapat berbuat
lain daripada menerima segala peristiwa ini sebagai suatu peringatan baginya. Meskipun
peringatan itu terasa terlalu berat. Satu-satunya anak telah dilepaskan, sedangkan daerah
perdikan menjadi hancur berantakan.

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 131 dari 142

NAGASASRA DAN SABUKINTEN


Karya SH Mintardja
Dikumpulkan dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
Sesaat kemudian makam itu telah sunyi kembali. Seonggok tanah dan sepasang maejan
baru berada di tengah-tengahnya. Di atasnya bergerak-gerak dalam belaian angin
pegunungan, daun-daun dan bunga-bunga kamboja yang putih bersih. Sepi, sesepi hati
Lembu Sora. Hanya kadang-kadang terdengar ciap burung pipit yang beterbangan mencari
makanan buat anak-anaknya yang ditinggalkan di atas sarang. Di perjalanan pulang itulah
mereka melihat tiga orang berjalan bergegas-gegas ke arah mereka. Ki Ageng Sora
Dipayana yang berjalan di paling depan bersama-sama dengan Paningron dan Gajah Alit
segera bertanya kepada mereka.
"Apa yang terjadi?".
Orang itu pun berceramah tentang Galunggung. Mereka menyangka bahwa Galunggung
telah pergi ke makam dan mengamuk di sana. Tetapi ternyata Galunggung tidak ada
diantara mereka, karena itu mereka menjadi sangat cemas karenanya. Galunggung adalah
gambaran diri seorang yang mabuk pada kekuasaan, pangkat dan penghargaan. Ia dapat
berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan sekarang orang itu agaknya kehilangan
keseimbangan pikirannya. Sebab dengan hilangnya Sawung Sariti, segala cita-citanya ikut
lenyap pula.
"Wulungan....", Ki Ageng Lembu Sora memanggil. Wulungan pun segera berjalan di
sampingnya. "Lihatlah, apa yang dilakukan oleh anak gila itu," desisnya.
"Baik Ki Ageng," jawab Wulungan. Dan Wulungan pun segera berjalan mendahului orangorang yang pulang dari makam itu.
Ketika Galunggung meninggalkan regol halaman, ia memang tidak bermaksud pergi ke
makam. Otaknya yang dipengaruhi oleh bermacam-macam persoalan itu ternyata tidak
dapat lagi bekerja dengan baik. Dengan pedang telanjang ia berlari-lari ke banjar desa.
Di dalam banjar desa itu, beberapa orang perempuan sedang mencoba menenangkan hati
Nyai Ageng Lembu Sora yang beberapa kali jatuh pingsang kembali. Sekali-kali ia menangis
melolong-lolong, seperti anak-anak yang kehilangan golek kesayangannya. Namun semakin
lama ia menjadi semakin tenang.
Tetapi sesaat kemudian, mereka digaduhkan oleh kedatangan Galunggung. Pedangnya yang
telanjang itu diayun-ayunkan sambil berteriak memaki-maki. Dan karena itu bubarlah
perempuan-perempuan desa itu bercerai berai. Perempuan-perempuan itu berteriak-teriak
dan berlari-larian. Mereka pada umumnya telah mengenal siapakah Galunggung itu.
Seorang yang menakutkan bagi perempuan-perempuan, apalagi perempuan-perempuan
muda. Sekarang orang yang menakutkan itu membawa pedang sambil berteriak memakimaki.
Nyai Ageng Lembu Sora terkejut juga melihat kedatangan Galunggung. Sesaat ia lupa pada
keadaan dirinya sendiri. Ketika sebagian dari perempuan-perempuan itu telah berlarian
keluar, maka Galunggung pun masuklah ke banjar desa sambil berkata, "He, di mana Arya
Salaka?".
"Galunggung!", panggil Nyai Ageng Lembu Sora.
"Aku mencari Arya Salaka", jawab Galunggung.
"Kenapa dengan Arya Salaka?", tanya Nyai Ageng.
"Pengkhianat. Dibunuhnya Sawung Sariti bersama-sama dengan Bugel Kaliki," jawab
Galunggung.
Nyai Ageng Lembu Sora mengerutkan keningnya. Katanya, "Kau keliru Galunggung. Mereka
berdua telah berjuang bersama-sama melawan Bugel Kaliki itu."
"Omong kosong!", bentak Galunggung.
"Galunggung!", potong Nyai Ageng Lembu Sora, "Kau kenal aku bukan?"
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 132 dari 142

"Ya, ya. Nyai Ageng Lembu Sora," jawab Galunggung.


"Nah, kalau demikian dengar kata-kataku," sahut Nyai Ageng Lembu Sora, "Kau terlalu letih
barangkali. Beristirahatlah."
"Tidak!" jawab Galunggung, matanya semakin bertambah liar.
"Aku harus membunuh Arya Salaka."
"Jangan sembunyikan monyet itu," bentaknya.
"Jangan membentak-bentak aku Galunggung," jawab Nyai Ageng Lembu Sora, "Aku adalah
ibu Sawung Sariti itu, dan aku adalah Nyai Ageng Lembu Sora, istri kepala daerah
perdikanmu."
SEJENAK Galunggung terdiam. Ia berhadapan dengan istri kepala daerah perdikannya.
Tetapi sesaat kemudian otaknya yang sudah tidak wajar lagi itu menyentak-nyentak
kembali. Dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelegar seperti suara
hantu yang kegirangan.
"Diam!" bentak Nyai Ageng Lembu Sora. Tetapi Galunggung tidak mau diam. Tertawanya
bertambah keras.
"Nah, katanya kau juga sudah berkhianat seperti Arya Salaka. Kalau demikian, akulah
tinggal satu-satunya orang yang setia. Setia kepada Sawung Sariti dan setia kepada citacitanya. Mempersatukan tanah perdikan Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng Lembu Sora
sendiri pun sudah tidak setia lagi. Kalau begitu semua harus aku lenyapkan. Arya Salaka,
Lembu Sora dan monyet bangkok yang sudah dibebaskan dari Demak itu."
"Galunggung!" teriak Nyai Ageng Lembu Sora, "Kau sudah gila!"
Tetapi Galunggung tertawa terus. Di antara derai tertawanya ia berkata, "Kalian,
perempuan-perempuan ini pun akan aku bunuh pula, sebab kalian tidak mau menunjukkan
di mana Arya Salaka berada." "Jangan mengigau," potong Nyai Ageng Lembu Sora, tetapi
hatinya pun menjadi bergetar. Juga Nyai Ageng Gajah Sora, menjadi gemetar. Galunggung
agaknya telah benar-benar kehilangan pikiran wajarnya. Dan ketika pedangnya itu diayunayunkan, bergetarlah setiap dada orang yang melihatnya. Beberapa orang menjadi
menggigil dan yang lain menjadi lemas tak berdaya.
"Kalian tak akan dapat lari. Kalau kalian mencoba meloncat keluar, aku akan dapat
mengejar kalian. Dan kalian akan aku bunuh satu persatu. Satu demi satu!"
Kembali suara tertawanya membelah ruangan banjar desa yang tidak terlalu lebar itu.
"Galunggung..." kata Nyai Ageng Lembu Sora. Namun suaranya sudah agak gemetar, "Kau
telah mengkhianati Ki Ageng Lembu Sora. Kepala daerah perdikanmu."
"Akan aku bunuh dia. Sebab orang itu tidak setia kepada cita-citanya. Kenapa tidak
dibunuhnya Arya Salaka. Dan kenapa dibiarkannya Gajah Sora itu kembali? Pengkhianat!"
teriaknya.
Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat berbuat apa-apa lagi. Galunggung telah menjadi gila dan
tidak dapat mendengarkan kata-katanya. Karena itu, ia pun menjadi semakin ngeri. Apalagi
ketika kemudian setapak demi setapak sambil tertawa berkepanjangan, Galunggung
melangkah maju. "Tak ada gunanya kalian lari."
Tetapi perempuan-perempuan itu memekik-mekik dan mereka menghambur keluar dari
ruangan itu. Beberapa orang yang masih sadar mencoba menarik tangan Nyai Ageng Lembu
Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora sambil berbisik, "Selamatkan diri Nyai Ageng berdua."
"O!" teriak Galunggung. "Kemana kalian akan menyelamatkan diri?"
Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora benar-benar tak melihat jalan untuk
menyelamatkan diri. Agaknya mereka berdualah yang pertama-tama harus dibinasakan.
Karena itu mereka pun menjadi ketakutan dan gemetar sehingga keduanya menjadi saling
berpegangan dengan eratnya.
Namun di antara perempuan-perempuan itu, tidaklah semua menjadi ketakutan dan
kehilangan akal. Tidak semua berlari-lari sambil berteriak-teriak. Ketika Galunggung benarbenar tak dapat mendengarkan kata-kata Nyai Ageng Lembu Sora, dan ketika ia melangkah
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 133 dari 142

maju setapak demi setapak, maka tanpa berjanji tampillah dua orang gadis, berdiri tegak
dengan tenangnya di hadapan dan membelakangi Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Gajah
Sora itu.
Keduanya adalah Rara Wilis dan Endang Widuri. Maka terdengarlah bisik Rara Wilis
perlahan, "Tenangkan hati Nyai. Akan aku coba mencegah perbuatan orang itu."
Nyai Ageng Lembu Sora dan Nyai Ageng Gajah Sora terkejut, bahkan Galunggung yang gila
itu pun terkejut melihat ketenangan dua orang gadis itu. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai
Ageng Lembu Sora masih belum mengenal terlalu banyak, siapakah mereka itu. Yang
mereka ketahui hanyalah nama kedua gadis itu, dan bahwa kedua gadis itu bukanlah gadis
Pamingit dan bukan pula gadis Banyubiru.
"Nini..." panggil Nyai Gajah Sora, "Kemarilah."
Tetapi Rara Wilis dan Endang Widuri tidak bergerak lagi dari tempatnya. Bahkan menoleh
pun tidak. Pandangan mereka tertuju ke mata pedang Galunggung yang berkilat-kilat
tajam. Meskipun demikian Rara Wilis menjawab, "Biarlah aku coba, Nyai."
"Jangan Nini," Nyai Ageng Lembu Sora pun mencoba mencegahnya. Ia tahu benar betapa
berbahayanya Galunggung bagi perempuan. Apalagi gadis-gadis cantik itu.
SEJENAK Galungung memandangi keduanya. Mula-mula matanya menjadi bersinar-sinar.
Sambil tertawa dalam gilanya, Hai gadis-gadis cantik, jangan berdiri di situ. Biarlah aku
selesaikan urusanku. Nanti kau boleh ngunggah-unggahi. Kau akan menjadi istri kepala
daerah perdikan Pamingit dan Banyubiru. Kau dan aku.
Ujung pedangnya bergerak-gerak menunjuk ke wajah Rara Wilis dan Endang Widuri. Namun
kedua gadis itu tidak beranjak dari tempatnya.
Nini, panggil Nyai Ageng Lembu Sora cemas, Menyingkirlah.
Wilis menarik nafas. Ia sudah beberapa kali menghadapi lawan. Bahkan ia pernah
behadapan dengan orang yang sedang terganggu syarafnya. Gila. Meskipun demikian ia
masih mencoba untuk menenangkan hati Galunggung,katanya, Galunggung, kalau ada
persoalan biarlah persoalan itu diselesaikan. Persoalan antara kau dan Arya Salaka atau
antara kau dan Paman Lembu Sora. Tetapi kami perempuan-perempuan di sini, tidaklah
tahu persoalan itu. Dan kalau kau bunuh kami pun persoalanmu tidak akan selesai.
Sekali lagi Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menjadi keheran-heranan.
Kata-kata Rara Wilis diucapkan las-lasan, kata demi kata. Sama sekali tak menunjukkan
tanda-tanda kecemasan apalagi ketakutan.
Galunggung mengerutkan keningnya. Matanya tiba-tiba menjadi suram. Meskipun otaknya
tak wajar lagi, namun lamat-lamat ia menjadi teringat bahwa ia pernah melihat gadis-gadis
itu. Satu atau dua kali tetapi dimana dan kapan. Akhirnya wajahnya menjadi tegang ketika
kemudian teringat olehnya, dimana ia bertemu dengan kedua gadis itu. Sehingga
terlontarlah dari mulutnya, He bukankah kau gadis-gadis gila dari Gedangan?
Kau masih mengenal kami? jawab Widuri.
Bukankah kau pernah mengunjungi kami di Gedangan? Bersama Harimau betina dari
Gunung Tidar dan kemudian Sepasang Uling dari Rawa Pening?
Gila! teriak Galunggung. Matanya menjadi liar kembali. Kedua gadis itu ternyata pernah
menghadapi laskarnya sebagai lawan yang tangguh. Bahkan bukankah mereka pernah
bertempur melawan Jaka Soka dan istri Sima Rodra? Tetapi otak Galunggung itu benarbenar telah tidak dapat berputar. Pikirannya hanyalah sesaat terpencar di kepalanya.
Kemudian kembali gilanya mempengaruhinya. Karena itu maka sekali lagi ia tertawa,
Bagus, bagus. Kalian akan menjadi istri yang baik. Menepilah, jangan biarkah perempuan
itu melarikan diri.
Jangan maju lagi, potong Rara Wilis. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora
sekali lagi terkejut. Mereka tidak percaya apa yang dikatakan oleh Rara Wilis. Tetapi sekali
lagi mereka mendengar gadis itu memerintah, Galunggung, tetap di tempatmu.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 134 dari 142

Galunggung yang hampir saja melangkah maju, terhenti juga. Dipandangnya Rara Wilis
dengan tajamnya. Matanya telah memerah, semerah darah. Kemudian ia berteriak nyaring,
Pergilah atau kau akan lebih dahulu mati?
Nyai Ageng berdua di belakang kedua gadis itu benar-benar menjadi cemas, mereka tidak
mau mengorbankan orang lain untuk keselamatan mereka. Karena itu Nyai Ageng Gajah
Sora berkata, Biarlah kami selesaikan urusan kami nini. Menyingkirlah.
Tenangkan hati Nyai Ageng berdua, sahut Wilis, dan kedua perempuan yang ketakutan itu
menjadi semakin tidak mengerti. Dalam pada itu Rara Wilis dan Widuri sudah tidak melihat
kesempatan lain, kecuali mengusir orang gila itu dengan kekerasan. Karena itu tiba-tiba
Widuri berbisik, Serahkanlah kepadaku,Bibi.
Rara Wilis meredupkan matanya. Ia menjadi ragu-ragu. Gadis kecil ini masih terlalu sukar
untuk mengendalikan dirinya. Kalau kemudian Galunggung itu terbunuh oleh Widuri, masih
belum diketahui apakah Ki Ageng Lembu Sora membenarkannya. Karena itu maka ia
menjawab, Aku sajalah yang menyelesaikannya, Widuri.
"Ia bersenjata," jawab Widuri, "sedangkan bibi tidak. Apalagi bibi tidak siap dengan pakaian
wajar untuk bertempur."
"Kau juga tidak Widuri," sahut Wilis.
Ketika Galunggung kemudian tertawa kembali sambil melangkah maju. Wilis berkata,
"Berikan kalungmu itu kepadaku. Aku pernah menggunakan segala macam senjata, selain
kekhususan dalam bermain pedang. Rantaimu itu akan lebih baik daripada sulur-sulur kayu
yang pernah aku pakai berlatih dengan eyang Pandan Alas."
Widuri ragu-ragu sejenak. namun Wilis berkata tegas, "serahkanlah. Orang gila itu sudah
hampir mulai." Widuri tidak dapat berbuat lain daripada melepaskan kalung peraknya.
Kemudian ia melangkah surut berdiri disamping Nyai Ageng Gajah Sora yang menjadi
bertambah cemas. "Pergilah, pergilah," teriaknya.
"Biarlah nyai," sahut Widuri, "bibi Wilis akan dapat menjaga diri."
Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Galunggung sudah berdiri selangkah dimuka Wilis. Pada saat itu, Rara Wilisterpaksa
menyangkut ujung kain panjangnya pada sabuknya. Pada saat itulah pedang Galunggung
teracung didadanya. Sambil tertawa ia berkata, "sayang dada ini akan tembus oleh
senjataku."
Rara Wilis mengerutkan keningnya, mata orang itu benar-benar mengerikan. Namun Rara
Wilis adalah gadis yang tabah. Karena itu ia bergeser dari tempatnya. Bahkan ia telah
bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Ia tidak memegang rantai Widuri di pangkalnya
dan menggunakan Cakra yang tersangkut dirantai itu untuk melawan Galunggung. Tetapi
Rara Wilis memegang pada ujungnya dimana cakra itu tersangkut. Bahkan Cakra itu
dilepaskannya, dan diserahkan kepada Widuri. Widuri melihat bagaimana Rara Wilis
mempergunakan senjatanya. Karena itu ia segera memakluminya, bahwa Rara Wilis
agaknya hanya ingin mengusir Galunggung dari banjar desa.
Ketika sekali lagi suara Galunggung menggelegar, Rara Wilis membentaknya dengan nada
yang tinggi, "Diam, dan tinggalkan tempat ini!."
Tiba-tiba tawa Galunggung berhenti. Ia memandang Rara Wilis dengan mata merah,
katanya, "Apa maumu?."
"Tinggalkan tempat ini," ulang Rara Wilis.
Galunggung memandang semakin tajam. Gadis ini memang cantik. tapi baginya lebih baik
menjadi Kepala Perdikan yang kaya raya daripada menuruti perintah itu. Jarak jangkau pada
kedudukan kepala daerah perdikan disangkanya terlampau pendek. Bukankah tinggal
membunuh Arya Salaka, Gajah Sora dan Lembu Sora saja. Mudah sekali, mudah sekali.
Karena itu ia menggeram, "jangan gila. Jangan menghalangi aku!"

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 135 dari 142

"Kau yang gila," bantah Rara Wilis. Galunggung menjadi benar-benar marah. Dan tiba-tiba
ia menakut-nakuti Wilis dengan pedangnya. Pedang yang telanjang itu diacungacungkannya dengan gerakan menghentak-hentak.
Berdesirlah dada Nyai Ageng GajahSora dan Nyai Ageng Lembu Sora. Namun Rara Wilis
bergeserpun tidak.
"Jangan berlaku seperti Buta Terong," teriak Widuri yang tidak dapat menahan gelinya
melihat solah Galunggung. Mendengar kata-kata itu Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng
Lembu Sora menjadi heran. Galunggung yang marah dalam kegilaannya itu dianggap
sebagai suatu pertunjukan yang mengasyikkan oleh gadis ini.
Meskipun Galunggung telah hampir gila, namun kata-kata Widuri itu telah memanaskan
kupingnya. Karena itu ia berteriak,"tutup mulutmu atau aku akan menyobeknya."
Widuri benar-benar nakal. Ia malahan tertawa kecil. Dan karena Galunggung tak dapat
menahan diri lagi. Langsung ia meloncat dengan pedang terulur, tidak menyerang Rara Wilis
tetapi menyerang Endang Widuri.
NAGASASRA DAN SABUKINTEN
Karya SH Mintardja
Dikumpulkan dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Oleh : Ki SH Mintardja
716
Bagaimanapun Galunggung mencoba mempergunakan setiap kemampuan yang ada dalam
dirinya, namun dengan lincahnya Widuri berhasil menghindarkan dirinya. Seperti seekor
kijang ia melompat kesamping. Tetapi ia tidak berani menentang maksud Rara Wilis, karena
itu ia tidak membalasnya. Malahan ia lari seperti seekor kelinci dan bersembunyi dibelakang
Rara Wilis. Namun tawanya masih saja terdengar, meskipun gadis nakal itu berusaha untuk
menahannya.
Wilis melihat sikap Widuri itu dengan menahan nafas. Ketika Widuri sudah berdiri
dibelakangnya ia berbisik, " Jangan terlampau nakal Widuri."
"Aku tidak dapat menahan geli bibi," jawabnya.
Galunggung telah benar-benar menjadi marah. Pedangnya kemudian diputar-putarnya
diatas kepala. Sambil berteriak-teriak ia meloncat menyerang Rara Wilis. Namun Rara Wilis
sudah bersedia. Dengan cepatnya ia meloncat kesamping, kemudian rantai ditangannyapun
diurainya.
NYAI AGENG Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora meskipun tidak memiliki kemampuan
bertempur dan tata bela diri namun mereka adalah istri-istri kepala daerah perdikan, yang
dalam kedudukannya sekali dua kali pernah dilihatnya perkelahian, meskipun hanya dalam
latihan-latihan laskar-laskar mereka. Karena itu, ketika mereka melihat bagaimana Endang
Widuri menghindar dan bagaimana Rara Wilis dengan gerak sederhana membebaskan
dirinya dari serangan Galunggung, mereka pun menyadari, bahwa wajarlah kalau kedua
gadis itu sama sekali tidak takut menghadapi Galunggung.
Ternyata dalam perkelahian berikutnya, Galunggung tidak lebih daripada seorang raksasa
rucah (tak berguna, Mimbar) yang bertempur melawan kesatria-kesatria Pandawa.
Meskipun ia berjuang mati-matian, namun yang dapat dilakukan hanyalah meloncat-loncat
tak karuan. Bahkan sekali dua kali rantai Rara Wilis telah menyentuh tubuhnya, dan
membuat bekas luka yang nyeri. Kulitnya seperti terkelupas dan darah menetes dari lukaluka itu. Namun Wilis tidak benar-benar hendak melukainya, karena itu, sengatan rantai itu
pun tidak terlampau berbahaya.
Tetapi ketika Galunggung menjadi semakin menggila, Rara Wilis pun menjadi muak. Karena
itu serangannya dipertajam, dan Galunggung menjadi semakin terdesak. Meskipun
demikian masih saja ia berteriak dan memaki-maki.
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 136 dari 142

Akhirnya serangan Rara Wilis semakin terasa berat. Pangkal rantai perak itu mematukmatuk seluruh permukaan kulitnya. Bahkan pipinya, hidungnya dan dahinya. Kulit
Galunggung itu telah dipenuhi oleh jalur-jalur merah dan lecet-lecet berdarah.
Dalam kesibukannya mempertahankan diri itulah Galunggung mendengar suara Rara Wilis,
Tinggalkan tempat ini. Menghadaplah Ki Ageng Lembu Sora, dan mintalah maaf
kepadanya.
Persetan dengan orang itu, jawab Galunggung, tetapi belum lagi mulutnya terkatub,
pangkal rantai itu benar-benar mengenai bibirnya. Gila! teriaknya, dan darah mengalir dari
bibir yang tebal itu.
Jagalah mulutmu, bentak Rara Wilis, Pergi dan turuti perintahku.
Galunggung tidak menjawab. Tetapi terasa bahwa ia tak akan dapat melawan gadis itu.
Karena itu tiba-tiba matanya yang liar melingkar-lingkar mencari pintu keluar dari ruangan
yang celaka itu.
Sesaat kemudian ketika beberapa kali lagi tubuhnya disakiti oleh rantai Rara Wilis,
Galunggung meloncati pintu dan berlari ke halaman. Rara Wilis tidak segera mengejarnya
ketika ia melihat Galunggung berhenti. Orang gila itu berdiri dengan mengacung-acungkan
pedangnya kepada Rara Wilis yang berdiri di pintu sambil memaki habis-habisan. Akhirnya
Galunggung berkata, Aku tidak dapat membunuhmu. Sayang, kau terlalu cantik. Tetapi
kalau lain kali kau berani melawan aku lagi, aku tidak mau memaafkan.
Sekali lagi Widuri tidak dapat menahan geli hatinya. Ia tertawa tertahan-tahan, sedang
kedua tangannya menutup mulutnya.
Jangan banyak tingkah, teriak Galunggung dari halaman. Gadis kecil itu akan aku
lumatkan kalau ia berani menghina aku lagi, kepala daerah perdikan Pangrantunan lama.
Rara Wilis tidak menjawab. Ia melangkah setapak maju sambil memutar rantainya. Melihat
sikap Rara Wilis, Galunggung mundur beberapa langkah. Kemudian tiba-tiba ia memutar
tubuhnya dan menghambur lari menyusup regol. Namun di kejauhan suaranya masih
terdengar, Awas kalau kau sekali lagi berani melawan aku. Aku cerai kau.
Wilis tertegun di tempatnya. Apakah ia harus menangkap orang gila itu. Ia akan menjadi
sangat berbahaya bagi penduduk dan orang-orang yang akan dijumpainya. Beruntunglah
kalau ia bertemu Arya Salaka atau Lembu Sora. Tetapi kalau para prajurit mengeroyoknya
beramai-ramai, maka nasibnya akan sangat menyedihkan.
Pada saat ia termangu-mangu itulah terasa dua pasang tangan memeluknya sambil terisakisak. Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora mengucapkan terima kasihnya
dengan uraian air mata.
Duduklah Nyai Ageng, kata Wilis, lalu kepada Widuri ia berkata, Widuri, lihatlah di luar
regol, kalau-kalau Galunggung berbuat sesuatu terhadap orang-orang yang ditemuinya,
tetapi jangan berbuat terlampau jauh.
Baik, Bibi, jawab Widuri. Dan ia pun segera melangkah keluar setelah ia menerima
rantainya kembali.
Dengan langkah yang cepat, Widuri berjalan di jalan kecil di muka halaman banjar desa itu.
Kemudian ia membelok ke kanan, menyusur jalan satu-satunya itu. Tiba-tiba ia berhenti. Di
kejauhan ia melihat Galunggung berdiri berhadap-hadapan dengan seorang yang bertubuh
tinggi dan besar. Dengan tangkasnya Widuri menyelinap, dan kemudian menyusup halaman,
ia pergi mendekati orang gila itu.
SEKALI-KALI Widuri harus meloncati pagar-pagar batu, dan sekali-kali ia harus menyusup
gerumbul-gerumbul liar yang masih berserakan di sana-sini, di halaman-halaman yang
kosong dan terbentang di antara rumah-rumah kecil.
Ketika ia sudah mendekati tempat Galunggung berdiri, maka ia pun mendengar apa yang
dipercakapkan mereka.

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 137 dari 142

Galunggung... terdengar orang yang tinggi besar itu berkata, Marilah kita pergi ke banjar
desa. Sebentar lagi Ki Ageng Lembu Sora akan datang. Darinya kau akan mendengar
beberapa keterangan yang perlu.
Yang terdengar adalah derai tertawa Galunggung. Kemudian jawabnya, Aku temui di sini
seorang pengkhianat lagi.
Jangan berkata begitu, sahut lawan bicaranya, orang tinggi itu.
Ketika Widuri sempat mengintip mereka, maka tahulah Widuri, bahwa orang yang tinggi itu
adalah salah seorang pemimpin laskar Pamingit, yang pernah didengarnya dipanggil dengan
nama Wulungan, meskipun ia belum mengenal langsung.
Kau tinggal memilih Kakang Wulungan, Lembu Sora, Gajah Sora, Arya Salaka atau
Galunggung, kata Galunggung kemudian.
Apanya yang harus aku pilih? tanya Wulungan.
Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat. Sepeninggal Sawung Sariti, akulah yang paling
berhak atas kedudukan yang sudah dicapainya. Sebab akulah kawan yang paling setia. Dan
akulah yang telah memberinya berbagai jalan untuk mencapai cita-citanya itu, jawab
Wulungan.
Wulungan pun kemudian melihat mata Galunggung yang liar itu. Maka katanya, Katakanlah
itu kepada Ki Ageng.
Akulah kepala daerah perdikan sekarang, kata Galunggung.
Atas nama kepala daerah perdikan Pamingit, ikutlah aku. Wulungan menjadi tidak sabar
lagi.
Apa kau bilang? bantah Galunggung, Atas nama kepala daerah perdikan Pamingit?
Omong kosong. Akulah kepala daerah perdikan itu. Mata Galunggung menjadi semakin
merah dan liar, bahkan ujung pedangnya sudah mulai bergerak-gerak. Kemudian orang gila
itu berteriak, Pengkhianat ini harus aku selesaikan.
Sebelum Wulungan sempat berkata sesuatu, Galunggung sudah menyerangnya. Untunglah
Wulungan cekatan. Ia berhasil menghindar dan sekali lagi ia mencoba mencegah
Galunggung. Jangan berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu sendiri. Ki Ageng
Lembu Sora akan menghukummu.
Sekali lagi Galunggung menyerang sambil berteriak, Akulah yang akan menghukumnya.
Sekali lagi Wulungan telah melawannya dengan pedang pula, maka Widuri tidak
menampakkan diri. Ia masih saja berada di balik pagar sambil mengintip apa yang terjadi.
Tetapi akhirnya ia tidak puas dengan lubang retak pagar batu itu, sehingga kemudian ia
meloncat dan duduk dengan enaknya di atas pagar.
Wulungan dan Galunggung melihat kehadirannya. Mata Galunggung yang liar itu
menyambarnya beberapa kali. Kemudian ia berteriak, He gadis gila. Kubunuh kau.
Widuri tertawa sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berjuntai. Tetapi ketika ia akan
menjawab, terdengar Wulungan berkata, He Ngger, kembalilah ke banjar desa. Orang ini
dapat berbahaya bagimu.
Tetapi Widuri tidak beranjak dari tempatnya. Kakinya masih berjuntai. Sambil tersenyum ia
menjawab, Tidak, Paman Wulungan. Aku tidak takut kepadanya, karena di sini ada Paman
Wulungan.
Ah, desis Wulungan. Sekali lagi matanya menyambar gadis itu. Tampaknya Widuri
memang tidak takut sama sakali. Namun Wulungan tidak begitu senang melihat sikapnya,
semata-mata karena Wulungan mencemaskan keselamatan gadis itu. Sebab Wulungan
masih belum tahu, siapa sebenarnya Endang Widuri.
Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk memikirkan nasib Widuri. Serangan
Galunggung semakin lama menjadi semakin garang, bahkan kemudian membabi buta.
Mula-mula Wulungan selalu mencoba untuk mempertahankan diri saja, sambil menunggu
kedatangan rombongan dari makam, dengan demikian ia mengharap dapat menangkap
Galunggung hidup-hidup. Tetapi agaknya tidak dapat berlaku demikian. Serangan
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 138 dari 142

Galunggung benar-benar berbahaya baginya. Karena itu, Wulungan kemudian terpaksa


membalas setiap serangan Galunggung. Sehingga akhirnya pertempuran itu pun menjadi
bertambah sengit.
Meskipun demikian, Wulungan yang otaknya tidak terganggu, masih selalu berusaha untuk
berhati-hati. Serangan-serangannya tidak mengarah ke tempat-tempat yang berbahaya. Ia
ingin melumpuhkan lawannya tanpa membahayakan jiwanya.
Tetapi Wulungan bukanlah Rara Wilis atau Endang Widuri. Wulungan dalam ilmu tata bela
diri berada dalam tataran yang sama dengan Galunggung. Karena Wulungan tidak
bertempur dalam puncak ilmu yang dimilikinya, maka dengan tidak disangka-sangka,
sebuah goresan menyobek pundaknya.
Wulungan terkejut dan dengan satu lontaran panjang ia melangkah surut. Terasa betapa
pedihnya pundak kiri yang terluka itu. Ketika ia sempat melihat luka itu, betapa ia menjadi
marah. Darahnya mengalir melumuri baju dan menetes membasahi tanah kelahirannya oleh
tangan kawan sendiri. Karena itu tiba-tiba ia menggeram pendek, dengan suara gemetar.
"Galunggung, apakah kau sudah benar-benar gila?."
Galunggung tertawa keras, sambil menunjuk luka di pundak itu ia berkata: "Kakang
Wulungan, luka itu hanyalah sebuah luka yang kecil. Meski demikian kau telah menjadi
pucat dan ketakutan. Karena itu berjongkoklah. Inilah kepala daerah perdikan yang baru."
Wulungan tidak dapat menahan hatinya yang bergelora meskipun ia telah lama bergaul dan
paham sifat Galunggung, "atas nama Ki Ageng Lembu SOra, aku memperingatkan kau
sekali lagi untuk yang terakhir."
"Persetan dengan Lembu Sora. Sebentar lagi aku bunuh dia sesudah aku membunuhmu,"
jawab Galunggung dengan sombongnya.
Mendengar jawaban itu, hati Wulungan benar-benar terbakar. Ternyata Wulungan benarbenar gila. Gila dengan pedang di tangan adalah sangat berbahaya. Karena itu, maka
Wulungan tidak menunggu Galunggung menyerangnya. Wulungan menyerang. Pedangnya
terjulur. Meskipun demikian pedang itu tidak mengarah lambung, dada atau leher lawan.
Betapapun marahnya Wulungan, namun ia tidak bermaksud membunuh lawannya itu.
Tetapi karena keragu-raguan itulah maka Galunggung sempat menghindarkan diri. Pedang
Wulungan yang mengarah kepala itu dapat dihindarinya. Dengan tertawa nyaring
Galunggung memutar pedangnya, dan dengan dahsyatnya ia membalas serangan
Wulungan. Tetapi Galunggung tidak berpikir wajar. Ia tidak ragu-ragu dalam setiap ayunan
pedangnya. Karena itu serangannya sangat berbahaya. Wulungan terkejut melihat
sambaran pedang Galunggung. Untunglah ia sempat membungkukkan kepalanya. Dan
berdesing pedang itu tidak lebih senyari diatas kepalanya. Dengan demikian akhirnya
Wulungan mengambil keputusan untuk melawan Galunggung dengan segenap kemampuan
yang ada padanya.
Ia harus menyelamatkan dirinya, meskipun seandainya ia terpaksa membunuh lawannya.
Maka, kemudian adalah perkelahian yang seru. Galunggung menyerang seperti angin ribut,
sedang Wulungan bertahan dan menyerang kembali seperti Srigala yang marah.
Widuri yang melihat pertempuran itu kini tidak tertawa-tawa lagi. Ia melihat bahaya yang
mengancam keduanya. Justru karena ilmu yang mereka miliki berada pada tingkatan yang
sama, maka mereka berdua mempunyai kesempatan yang sama. Membunuh atau di bunuh.
Dalam kebimbangan itu Widuri menyaksikan perkelahian itu berlangsung. Apakah ia harus
mencegah perkelahian itu, membantu Wulungan atau membiarkannya. Dalam kebimbangan
itu Widuri menyaksikan perkelahian itu berlangsung terus. Desak-mendesak silih berganti.
Keduanya mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-masing, sebab
mereka masing-masing tidak mau dadanya ditembus oleh pedang lawan. Dalam keadaan
itu, Wulungan sudah tidak teringat lagi, apakah Galunggung itu akan ditangkapnya hidup
atau mati. Yang ada dikepalanya adalah pilihan hidup atau mati. Gemercing pedang beradu
telah mengejutkan daun-daun dan bunga-bunga luar disekitarnya. Burung-burung dan
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 139 dari 142

belalang beterbangan menjauhi bunyi yang mengerikan itu yang sesekali diselingi oleh
teriakan Galunggung memaki.
Dalam keadaan yang demikian, Widuri menjadi semakin berbimbang hati. Tetapi lambat
laun dilihatnya bahwa keseimbangan itu meskipun perlahan-lahan sekali. Wulungan ternyata
memiliki suatu keuntungan, bahwa Galunggung tidak menggunakan otaknya dengan baik.
Dalam nafsu gilanya, Galunggung telah kehilangan sebagian pengamatan diri, sehingga ia
bertempur tanpa mempergunakan otaknya dengan baik. Sedang Wulungan, meskipun
kemarahan telah memuncak dan membakar dadanya, namun dalam olah pedang ia masih
dapat melihat segala kemungkinan dengan baik. Widuri yang melihat perkelahian itu
menarik nafas lega. Ia benar-benar gadis aneh, namun kadang berbuat seperti orang
dewasa. Memang umurnya sedang menginjak masa peralihan. Sebelah kakinya memasuki
masa kedewasaan, sebelah kakinya masih berada didunia anak-anak. Dalam masa
pancaroba itu Widuri sering berbuat yang aneh-aneh. Sekali nafsunya untuk berkelahi
melonjak lonjak didalam dadanya, tetapi ia kadang menunjukkan sifat keibuan yang sejuk.
Pada saat itu Widuri dapat melihat keadaan dengan baik.
Ketika ia melihat kelebihan Wulungan, maka dibiarkannya pertempuran berlangsung. Biarlah
mereka menyelesaikan urusan mereka tanpa campur tangan orang lain. Dengan demikian
Ki Ageng Lembu Sora pasti akan menerima keadaan yang terjadi dengan tanpa campur
tangan orang lain. Tanpa perasaan sesal dan kecewa. Tanpa menyalahkan siapapun di luar
lingkungan kekuasaannya. Tetapi tiba-tiba terjadilah hal diluar dugaannya. selagi Widuri
menonton dengan enaknya, dilihatnya Galunggung dengan tiba-tiba mencakup segenggam
pasir. Sebelum Wulungan sempat berbuat, ditebarkannya pasir ke matanya.
Wulungan terkejut, dengan gerak naluriah ia memejamkan matanya, namun beberapa butir
pasir telah menyakitkan matanya, sehingga karenanya gerakannyapun terpengaruh pula.
Pada saat yang demikian itu terdengar Galunggung tertawa nyaring. Berbareng dengan
suara itu terdengar Wulungan mengumpat, "Gila kau Galunggung."
Dan Wulungan mencoba membuka matanya, namun mata itu telah menjadi kabur. Ia tidak
dapat melihat lawannya dengan jelas selain bayangannya yang hitam seperti bayangan
hantu. Yang dilakukan oleh Wulungan hanyalah meloncat mundur sejauh-jauhnya untuk
mendapatkan waktu membersihkan matanya itu, namun Galunggung pun meloncat
menyusulnya.
Widuri melihat kecurangan itu. Perasaan muaknya tiba-tiba bangkit kembali. Dengan serta
merta ia melompat turun, dan berkatalah gadis itu dengan nada nyaring, "He Galunggung,
kau telah berbuat curang."
Galunggung tidak mau mendengarkan kata-kata itu. Lawannya telah hampir lumpuh.
Alangkah mudahnya untuk membunuhnya pada saat yang demikian itu. Pada saat
berbahaya itu Wulungan mendengar suara Widuri. Ia masih sempat memikirkan nasib gadis
yang kehadirannya adalah sebagai seorang tamu Pamingit. Karena itulah ia berteriak,
"pergilah ngger, pergilah."
Pedang Galunggung sudah terjulur kearah perut......
Betapapun sakit mata Wulungan, namun ia mencoba untuk melihat gerak Galunggung.
Namun sekali lagi ia hanya melihat bayangan hantu hitam menerkamnya. Dalam keadaan
putus asa, Wulungan menggerakkan pedangnya seperti baling-baling. Ia mencoba untuk
melindungi dirinya. Namun ia sadar bahwa usahanya itu adalah usaha yang sia-sia. Tetapi
ternyata bayangan yang hitam tidak segera menyentuh tubuhnya dengan ujung pedangnya.
Bahkan kemudian ia mendengar Galunggung memaki-maki habis-habisan.
Wulungan segera mengusap matanya, dan membersihkannya dengan ujung kainnya. Ketika
ia membuka matanya, meskipun masih agak kabur, ia melihat Galunggung bertempur.
Hampir ia tidak percaya pada matanya yang kabur itu. Galunggung bertempur dengan gadis
yang duduk berjuntai di atas pagar batu tadi. Dengan mulut ternganga ia melihat
perkelahian itu. Benar-benar mengagumkan. Gadis kecil itu bertempur dengan rantai putih
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 140 dari 142

berkilat-kilat di tangannya. Dan yang tak dapat dimengerti, pertempuran itu seperti
perkelahian antara kucing dan tikus.
Galunggung benar-benar mirip seekor tikus raksasa yang sama sekali tak berdaya
menghadapi kucing kecil itu.
KETIKA mata Wulungan itu telah sembuh kembali, dan kembali ia dapat melihat setiap garis
di wajah Galunggung, maka timbullah rasa malunya. Malu kepada gadis itu. Karena itu,
kemudian ia pun berkata, "Angger yang perkasa. Lepaskanlah tikus itu. Biarlah aku yang
menangkapnya."
"Kau sudah baik, Paman?", tanya Widuri.
"Mudah-mudahan aku dapat melawannya," sahut Wulungan. Suaranya datar dan rata,
namun di dalamnya mengandung tekanan kemarahan yang meluap-luap. Marah kepada
Galunggung atas segala perbuatan gilanya dan kelicikannya.
Widuri kemudian melepaskan lawannya. Kembali ia menonton sebuah perkelahian yang
sengit. Galunggung masih saja berteriak-teriak memaki-maki, namun akhirnya semakin
terasa, bahwa Wulungan akan menguasai keadaan. Dalam kesulitan, orang gila itu mencoba
untuk berbuat sekali lagi. Menutup mata lawannya dengan pasir. Tetapi Wulungan bukan
orang gila, yang dapat berbuat kesalahan serupa untuk kedua kalinya. Karena itu, ketika ia
melihat Galunggung membukuk, dan dengan tangan kirinya mencakup segenggam pasir,
Wulungan meloncat dengan cepatnya. Secepat kilat. Gerakan yang belum pernah dilakukan
selama hidupnya. Tetapi didorong oleh kemarahan yang meluap-luap, maka ia telah
melakukan suatu perbuatan yang seakan-akan berada di luar kemampuannya.
Terdengarlah kemudian suatu pekik ngeri. Darah yang merah memancar dari lambung
Galunggung. Kemudian tubuh itu terdorong surut beberapa langkah. Ketika Wulungan
mencabut pedangnya, ia melihat Galunggung itu masih tegak berdiri dengan pedang
ditangannya. Matanya yang merah menjadi bertambah liar. Kemudian dari mulutnya yang
berbusa terdengarlah ia menggeram, "Wulungan, kau tinggal memilih, Lembu Sora atau
Galunggung."
Galunggung yang luka parah itu mencoba maju setapak. Tetapi keseimbangan sudah hilang,
dan jatuhlah ia terguling di tanah. Meskipun demikian, matanya yang liar masih saja
memandangi Wulungan dengan kemarahan yang meluap-luap. Tetapi tiba-tiba ia
menyeringai kesakitan. Kemudian terdengarlah ia berteriak, "He Wulungan, kau berani
menyakiti aku?"
Wulungan tegak seperti patung. Ia melihat mulut Galunggung yang berbusa-busa itu masih
memaki-maki, dan kemudian Galunggung itu menggeliat menahan sakit. Widuri bukan
seorang gadis berhati kecil. Tetapi ia belum pernah menyaksikan peristiwa semacam itu. Ia
belum pernah melihat seorang berjuang melawan maut dengan cara demikian. Karena itu,
ia menutup kedua matanya dengan tangan-tangannya yang kecil sambil berkata nyaring,
"Kasihan orang itu, Paman." Galunggung masih mencoba berdiri, tetapi ia tidak mampu lagi
berbuat demikian. Kemudian nafasnya menjadi semakin cepat mengalir.
Meskipun demikian masih terdengar ia berkata, "Hai, Wulungan. Berjongkoklah. Aku adalah
kepala daerah perdikanmu." Wulungan akhirnya menjadi beriba hati. Bagaimana pun juga ia
pernah mengalami suka duka bersama-sama bertahun-tahun. Menyerahkan diri masingmasing dalam lingkungan yang sama. Berbuat bersama-sama untuk perbuatan yang
terkutuk. Untunglah Wulungan sempat menyadari kesalahan-kesalahannya, sedang
Galunggung telah benar-benar terbenam dalam cita-cita gilanya.
Karena itu, kemudian Wulungan melangkah maju dan berjongkok di samping kawannya
yang gila itu. Dengan suara yang berat ia berkata, "Maafkan aku, Adi Galunggung." Mata
Galunggung yang marah itu terbelalak, sambil memaki, "Setan, panggil aku Ki Ageng."
"Maafkan aku Ki Ageng," sahut Wulungan. Wajah Galunggung yang tegang itu menjadi
mengendor. Kemudian tampak ia tersenyum. Tersenyum gila. Wulungan adalah orang
pertama sesudah Ki Ageng Lembu Sora. Sekarang ia telah memihaknya. Karena itu
Nagasasra dan Sabuk Inten 7
Hal. 141 dari 142

pekerjaannya untuk merebut tanah perdikan Pamingit menjadi semakin mudah. Katanya,
"Bagus, kau memihak aku?"
Dengan wajah kosong, Wulungan mengangguk, "Ya, Ki Ageng." Sekali lagi Galunggung
tersenyum. Namun kemudian wajahnya menjadi tegang kembali. Dari sela-sela bibirnya
terdengar ia berkata lemah dan gemetar, "Akhirnya tercapai juga cita-citaku." Oleh katakatanya sendiri Galunggung menjadi tenang. Matanya tidak seliar semula. Tetapi nafasnya
telah satu-satu meluncur dari hidung, sedang darahnya telah membasahi tanah
kelahirannya. Akhirnya Galunggung menutup matanya sambil tersenyum bangga. Kata-kata
yang terakhir keluar dari mulutnya, "Panggil aku Ki Ageng. Ki Ageng Galunggung."
Dan kata-kata itu hampir tak sampai pada akhirnya. Dan Galunggung mati dengan penuh
kebanggan dalam kegilaan.

http://wong.gemblung.org/shmintardja/nagasasra/naga119.h
tm

Nagasasra dan Sabuk Inten 7


Hal. 142 dari 142

Anda mungkin juga menyukai