Metabolit Sekunder Sintesis Antibiotik
Metabolit Sekunder Sintesis Antibiotik
2.2
2.3
2.4
3.2
3.3
3.3.1
-laktam ......................................................................................................... 18
3.3.2
Aminoglikosida ............................................................................................. 21
3.3.3
Makrolida ...................................................................................................... 23
3.3.4
Tetrasiklin ...................................................................................................... 25
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Struktur molekul beberapa jenis antibiotik -laktam ...................................... 7
Gambar 2.2. Struktur molekul a.kanamisin (kiri); b.eritromisin (kanan) ............................ 7
Gambar 2.3. Struktur molekul tetrasiklin ............................................................................ 8
Gambar 2.4. Struktur molekul Pristinamisin IIA dan Pristinamisin IA................................. 9
Gambar 2.5. Struktur molekul daptomisin ........................................................................... 9
Gambar 2.6. Berbagai target dari mekanisme aksi antibiotik ............................................ 10
Gambar 2.7. Perbedaan mekanisme aksi antibiotik pada bakteri gram positif dan negatif 11
Gambar 3.1. Pergeseran NIH ............................................................................................. 13
Gambar 3.2. Kiri: Struktur 6-APA (atas) dan 7-ACA (bawah); Kanan: Struktur (A)
penisilin dan (B) sefalosporin ...................................................................... 18
Gambar 3.3. Pembentukan isopenisilin N dari tripeptida .................................................. 19
Gambar 3.4. Lintasan biosintesis Penisilin G dan Sefalosporin C dari isopenisilin N ...... 20
Gambar 3.5. Lintasan biosintesis sefamisin C dari deasetilsefalosporin C ....................... 21
Gambar 3.6. Lintasan biosintesis streptomisin .................................................................. 22
Gambar 3.7. Lintasan biosintesis ribostamisin .................................................................. 23
Gambar 3.8. Lintasan biosintesis erithromisin dari 6-deoksierithronolida ........................ 24
Gambar 3.9. Pembentukan cincin makrolida rapamisin .................................................... 25
Gambar 3.10. Biosintesis tetrasiklin dari 4-hidroksi-6-metilpretetramida ........................ 26
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
Metabolisme merupakan peristiwa yang sangat penting dalam suatu bentuk kehidupan.
Pembentukan molekul-molekul dan energi yang dihasilkan selama metabolisme akan
menunjang pertumbuhan sehingga organisme tersebut tetap hidup. Selain itu, metabolisme
juga menjaga agar organisme dapat mempertahankan strukturnya, dapat bereproduksi, dan
beradaptasi dengan perubahan kondisi sekitar. Metabolisme juga menjadi penentu
terjadinya siklus unsur-unsur penting di alam dengan adanya peristiwa degradasi maupun
sintesis sehingga dapat dikatakan bahwa organisme yang satu dapat menunjang
keberlangsungan hidup organisme lainnya.
Pengetahuan tentang metabolisme telah mengantarkan kita kepada tingkat
pemahaman mendalam hingga proses-proses yang berkaitan. Suatu jaring-jaring yang
kompleks dari reaksi-reaksi oleh enzim-enzim dapat dibentuk dan dipelajari di masa
sekarang. Mulai dari pengikatan CO2 untuk fotosintesis, penguraian glukosa untuk
menghasilkan energi, hingga pembentukan makromolekul seperti protein, asam nukleat,
dan karbohidrat. Jaring-jaring yang rumit dan vital tersebut merupakan rangkaian dari
proses yang disebut metabolisme primer. Sedangkan metabolisme sekunder dapat
dinyatakan sebagai percabangan proses metabolisme primer untuk menghasilkan senyawa
yang disebut sebagai metabolit sekunder.
Metabolit sekunder dibentuk dari lintasan yang khusus dari metabolit primer,
mempunyai sebaran yang terbatas, tetapi memiliki keragaman struktur kimia yang tinggi.
Pembentukannya oleh enzim tertentu yang dikodekan oleh material genetik spesifik
menunjukkan bahwa metabolit sekunder merupakan karakteristik untuk spesies atau genus
tertentu. Metabolit sekunder tidak bersifat esensial bagi sel yang menghasilkannya, akan
tetapi penting bagi organisme secara keseluruhan.
Antibiotik merupakan salah satu produk metabolit sekunder yang bernilai tinggi.
Penggunaannya yang cukup penting dalam bidang medikal mendorong sintesisnya dalam
skala industri menjadi prospek yang cukup menjanjikan. Untuk mensintesisnya dalam
industri diperlukan pengetahuan terlebih dahulu tentang metabolisme di dalam organisme
penghasilnya. Barulah setelah memahami proses biosintesisnya, dapat dilakukan
modifikasi untuk menghasilkannya secara skala besar.
BAB II
ANTIBIOTIK
tertentu
untuk
menginhibisi
pertumbuhan
bahkan
membunuh
mikroorganisme lain di dalam larutan. Dengan kata lain, antibiotik adalah agen
antimikroba yang dihasilkan secara mikrobial. Oleh karena itu, antibiotik sering disebut
juga produk antimikrobial alami. Mikroorganisme yang menghasilkan antibiotik untuk
membunuh mikroorganisme lain di sekitarnya memperoleh keuntungan dalam hal
mendapatkan sumber makanan di lingkungan alami.
Antibiotik merupakan produk metabolit sekunder, yang dihasilkan umumnya pada
saat laju pertumbuhan rendah atau setelah pertumbuhan berhenti, tidak esensial untuk
pertumbuhan mikroorganisme penghasilnya di dalam kultur murni, dan memiliki struktur
yang tidak umum dijumpai dalam produk metabolit primer. Salah satu hal menarik untuk
diperhatikan adalah bahwa metabolit sekunder dibiosintesis terutama dari banyak
metabolit-metabolit primer: asam amino, asetil koenzim A, asam mevalonat, dan zat antara
lainnya.
Dewasa ini istilah antibiotik tidak hanya ditujukan kepada zat yang dihasilkan
oleh mikroorganisme, tetapi juga zat sintetik yang dihasilkan di laboratorium atau industri
yang memiliki sifat antimikroba. Antibiotik semisintetik merujuk pada antibiotik alami
yang telah dimodifikasi dalam laboratorium untuk meningkatkan kekuatan antimikrobanya.
Pada tahun 1929, Fleming mengamati bahwa pertumbuhan sejenis fungi, yang
kemudian diidentifikasi sebagai
staphylococci mencegah pertumbuhan bakteri tersebut. Pada media cair, fungi ini
menghasilkan senyawa, yang kemudian dinamakan penisilin, yang dapat menghambat
bakteri kokus dan bakteri kelompok difteri, tetapi tidak untuk bakteri batang gram negatif.
Fleming sendiri tidak mengemukakan lebih jauh tentang penggunaan substansi yang
diperolehnya sebagai zat antibakterial. Penemuan ini tidak mendapat perhatian yang lebih
jauh hingga pada tahun 1939, Florey dan Chain kembali mengisolasi penisilin.
Demonstrasi yang mereka lakukan membuktikan kemampuan penisilin untuk melawan
berbagai jenis bakteri gram positif dan bakteri tertentu lainnya yang terdapat dalam tubuh
animalia. Penemuan ini mendapat perhatian dunia pada saat itu, dan secara besar-besaran
diproduksi untuk mengatasi kebutuhan obat infeksi akibat luka dari Perang Dunia II.
Pada tahun 1944, Waksman mengisolasi streptomisin dan sesudah itu menemukan
agen seperti kloramfenikol, tetrasiklin, dan eritromisin dalam sampel tanah. Sejak tahun
1960-an, pengembangan proses fermentasi dan kemajuan kimia farmasi memungkinkan
sintesis berbagai agen kemoterapi baru dengan modifikasi molekular senyawa yang sudah
ada. Progres pengembangan agen antibakterial cukup cepat, akan tetapi pengembangan
agen antifungal dan antivirus yang efektif dan nontoksik berlangsung lambat. Amfoterisin
B, yang diisolasi tahun 1950-an, masih menjadi agen antifungal yang efektif, meskipun
agen yang lebih baru seperti fluconazole telah digunakan secara luas. Analog nukleosida
seperti acyclovir terbukti efektif sebagai agen antivirus.
Tabel 2.1. Sejarah pengenalan kelas-kelas baru antibiotik
Tahun Pengenalan
1935
1941
1944
1945
1949
1950
1952
1956
1957
1959
1962
1968
2000
2003
Kelas Antibiotik
Sulfonamida
Penisilin
Aminoglikosida
Sefalosporin
Kloramfenikol
Tetrasiklin
Makrolida/lincosamides
Glikopeptida
Rifamisin
Nitroimidazola
Quinolona
Trimethoprim
Oksazolidinon
Lipopeptida
Mikroorganisme
Aktinomisin
S. antibioticus
Apergillin
Basitrasin
Klorelin
A. niger
B. subtilis
Chlorella sp.
Eumisin
B. subtilis
Fumigasin
A. fumigatus
Trichoderma,
Gliotoksin
Gliocladium, A.
fumigatus
Gramisidin
B. brevis
P. puberculum, P.
Asam penisilat
cyclopium
P. notatum, P.
Penisilin
chrysogenum
Proaktinomisin N. gardneri
Piosianin
Ps. aeruginosa
Streptomisin
S. griseus
Sefalosporin
Tirosidin
Viridin
A. chrysogenum
B. brevis
T. viridis
Aktivitas Biologis
Bakteri gram positif, konsentrasi tinggi
untuk gram negatif, racun bagi animalia
Gram positif dan negatif, nontoksik
Bakteri gram positif
Bakteri gram positif dan negative
Aktif melawan fungi dan bakteri lebih
tinggi
Bakteri gram positif, toksisitas terbatas
Berbagai jenis bakteri fan fungi, toksik
bagi animalia
Litik bagi bakteri gram positif
Bakteri gram positif dan gram negative
Bakteri gram positif, aktif in vivo,
toksisitas rendah
Bakteri gram positif, toksik
Bakteri gram positif, toksisitas terbatas
Aktif melawan B. mycoides dan lebih aktif
lagi melawan Ps. aeruginosa, beberapa
bakteri gram negatif, toksisitas rendah.
Bakteri gram positif dan gram negative
Litik untuk gram positif dan gram negative
Sangat fungistatik
1. Grup A. Larut dalam air dengan reaksi beebeda-beda, dan tidak larut dalam eter.
Senyawa ini biasanya berbasis protein, basa organik, atau senyawa pengadsorpsi pada
molekul protein. Contohnya: aktinomisetin, streptomisin, penatin, dan piosianin.
2. Grup B. Larut dalam eter dan dalam air dengan reaksi tertentu. Contoh: penisislin,
flavisin, sitrinin, asam penisilat, proaktinomisin.
3. Grup C. Tidak larut dalam air dan eter, meliputi gramisidin, tirosidin, subtilin, dan
simplesin.
4. Grup D. Larut dalam eter dan tidak larut dalam air. Contoh: fumigasin, fumigatin,
gliotoksin, actinomisin, piosianase, dan lain-lain.
Berdasarkan basis bahan kimia alami penyusunnya, senyawa antibiotik dapat
dibagi atas:
1. Lipoid dan berbagai ekstrak mikrobial yang diperoleh dengan pelarut organik, seperti
pyocyanase, asam piolipik, dan lain-lain.
2. Pigmen, yaitu piosianin, hemipiosianin, prodigiosin, fumigatin, klororafin, toksoflavin,
aktinomisin, litmosidin, dan lain-lain.
3. Polipeptida, terdiri dari tirotrisin, gramisidin, tirosidin, kolisin, subtilin, basilin, dan
aktinomisetin.
4. Senyawa mengandung sulfur, yakni berbagai jenis penisilin, gliotoksin, dan chaetomin.
5. Kuinon dan keton, yaitu sitrinin, spinulosin, klavasin, dan asam penisilat.
6. Basa organik, meliputi streptomisin, streptotrisin, dan proaktinomisin.
Antibiotik yang diklasifikasikan berdasarkan struktur kimianya yaitu sebagai
berikut:
1. Senyawa mengandung C, H, dan O saja
Contoh: klavasin (C7H6O4), fumigatin (C8H8O4), asam penisilat (C8H10O4), sitrinin
(C13H14O5), fumigasin (C32H44O8), dan lain-lain.
2. Senyawa mengandung C, H, O, dan N
Contoh:
iodinin
(C12H20O4N2),
streptomisin
(C21H37-39O12N2),
aktinomisin
toksisitasnya
terhadap
animalia,
senyawa
antibiotik
dapat
Senyawa
Antibiotik
makrolida yang digunakan memiliki ukuran cincin 14 atau 16. Eritromisin, jenis
antibiotik makrolida yang paling banyak digunakan, memiliki ukuran cincin 14
(Gambar 2.2b). Secara keseluruhan, antibiotik makrolida mencakup 11% dari total
produksi dan penggunaan antibiotik dunia.
4. Tetrasiklin
Antibiotik tetrasiklin memiliki struktur yang terdiri dari cincin naftacena. Substitusi
gugus dasar cincin naftacena dapat terjadi secara alami dan menghasilkan analog
tetrasiklim yang baru. Antibiotik tetrasiklin merupakan antibiotik dengan penggunaan
yang cukup luas setelah antibiotik -laktam. Struktur molekul tetrasiklin dapat dilihat
pada Gambar 2.3.
depolarisasi, bakteri tidak dapat menghasilkan makromolekul seperti asam nukleat dan
protein, dan akhirnya mati. Struktur molekul daptomisin dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.7. Perbedaan mekanisme aksi antibiotik pada bakteri gram positif dan negatif
(sumber: http://www.ncbi.nlm.nih.gov)
Mekanisme aksi antibiotik terhadap membran sitoplasma yaitu mendisorganisasi
membran sitoplasma (contoh: tirosidin dan polimisin), menghasilkan pori pada membran
(contoh: gramisidin), dan mengubah struktur fungi (contoh: amfoterisin, imidazole).
Inhibitor antibiotik dalam sintesis asam nukleat terbagi atas inhibitor metabolisme
nukleotida (contoh: adenosin arabinosida, flusitosin), agen yang mengganggu fungsi
template DNA (contoh: chloroquine), inhibitor replikasi DNA (contoh: quinolone dan
nitromidazole), dan inhibiso RNA polimerase (contoh: rilampin). Sedangkan sebagai
inhibitor fungsi ribosom dapat dikelompokkan ke dalam inhibitor unit 30S (contoh:
streptomisin, kanamisin, gentamisin, amikasin, spektinomisin, dan tetrasiklin) dan unit 50S
(contoh: kloramfenicol, klindamisin, eritromisin, asam fusidat).
BAB III
BIOSINTESIS ANTIBIOTIK
Hidroksilasi
Hidroksilasi merupakan reaksi yang menambahkan gugus hidroksi kepada suatu
senyawa organik. Pada reaksi ini, bagian substrat yang berupa atom karbon jenuh (C-
H) akan digantikan oleh gugus -OH menjadi C-OH. Proses ini bersifat oksidatif,
dengan enzim hidroksilase. Persamaan reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
C-H + O2 + XH2 C-OH + H2O + X
Selain atom karbon jenuh, hidroksilasi juga dapat terjadi pada substrat
aromatik yang melibatkan pemanfaatan oksigen dan suatu oksida aren. Hidroksilasi
pada substrat aromatik melibatkan pergeseran-1,2 suatu substituen yang sering disebut
sebagai pergeseran NIH (berasal dari National Institute of Health, tempat pertama kali
reaksi ini teramati), yang dapat dilihat pada Gambar 3.1.
2.
Metilasi
Metilasi merupakan reaksi penambahan gugus metil (-CH3) pada substrat ataupun
substitusi suatu atom atau gugus pada substrat dengan gugus metil. Metilasi
merupakan reaksi yang sering dijumpai dalam biosintesis metabolit sekunder.
Metilasi-C, -O, dan N dalam biosintesis metabolit sekunder umumnya melibatkan
substitusi nukleofilik pada kelompok S-metil dari S-adenosilmetionin.
Contoh dalam biosintesis antibiotik adalah metilasi triptofan dalam
pembentukan asam kuinaldat dengan transfer gugus metil metionin. Senyawa ini
kemudian akan bereaksi lebih lanjut membentuk antibiotik thiostrepton.
3.
Asilasi
Asilasi atau disebut juga alkanolasi, merupakan reaksi penambahan gugus asil (-RO)
kepada suatu senyawa. Senyawa penyumbang gugus asil yang umumnya digunakan
adalah asil halida, campuran anhidrida, dan disikloheksilcarbodiimida.
Sintesis asam 7-[1-(1H)-tetrazolilasetamido]sefalosporanat dilakukan melalui
rangkaian N-asilasi diikuti pelepasan nukleofilik oleh gugus asetoksi merupakan salah
satu contoh reaksi asilasi dalam biosintesis antibiotik. Reaksi ini dimulai dari asilasi 7ACA (asam aminosefalosporanat) dengan tetrazolilasetil klorida, dan substituen aseton
digantikan oleh 2-mercapto-5-metil-1,3,4-thiadiazole. Sefalosporin yang dihasilkan
bernama sefazolin.
4.
bahkan mekanisme pembentukannya. Hal ini berdasarkan pada kenyataan bahwa banyak
metabolit sekunder yang terbentuk dari satu atau dua unit sederhana yang berulang.
Adanya spekulasi yang cukup akurat tentang biosintesis antibiotik sebagai bagian
dari metabolit sekunder, menghasilkan landasan yang baik untuk percobaan-percobaan
guna menyelidiki asal-usul dan mekanisme pembentukannya. Percobaan tersebut
dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik. Teknik yang dominan mencakup
pemanfaatan suatu prekursor pada suatu organisme tertentu, dan pengamatan atas
antibiotik yang dihasilkan untuk dilihat apakah senyawa yang diberikan itu dimanfaatkan
dalam pembentukan metabolit yang bersangkutan. Salah satu cara mengamati prekursor
apakah yang terkonsumsi atau tidak adalah dengan memberi label pada prekursornya.
Terdapat berbagai macam label yang digunakan, di antaranya label isotop radioaktif,
misalnya
14
13
C,
15
N,
18
O, 2H
(deuterium).
Eksperimen dengan enzim-enzim yang dimurnikan yang terlibat dalam biosintesis,
atau bahkan eksperimen dengan preparat enzim yang tidak murni sekalipun dapat
memberikan pengertian yang penting mengenai suatu jalur.
1.
Pelabelan isotop
Studi biosintesis antibiotik (metabolit sekunder) dengan metode pelabelan isotop dilakukan
melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pembuatan prekursor yang mengandung isotop.
b. Pemberian prekursor yang telah dilabeli dengan isotop pada posisi yang spesifik untuk
organisme penghasil antibiotik.
c. Isolasi antibiotik yang dihasilkan setelah jangka waktu tertentu.
d. Penentuan apakah senyawa antibiotik yang dihasilkan mengandung isotop yang
sebelumnya terdapat pada prekursor.
Untuk mendeteksi isotop yang terkandung pada senyawa antibiotik tersebut dapat
menggunakan scintillilation counter untuk isotop radioaktif dan spektrometri massa
ataupun spektroskopi NMR untuk isotop stabil.
Setelah memasukkan senyawa yang dilabeli secara isotop, dapat ditentukan
senyawa mana yang bergabung dengan prekursor berlabel, ataupun porsi dari prekursor
berlabel dan sejauh mana penggabungan (inkorporasi), yang dinyatakan dengan laju
inkorporasi. Laju inkorporasi dapat ditentukan dari aktivitas radioaktif yang satuannya
berupa becquerel (1 Bq = 1 disintegrasi/s) atau curie (1 Ci = 3,7*1010 disintegrasi/s) atau
dari pertambahan konsentrasi isotop alami, dinyatakan dalam atom % excess, pada
prekursor dan produk. Laju inkorporasi spesifik dan absolut dapat dihitung dan biasanya
dinyatakan sebagai persentase:
a. Laju inkorporasi spesifik, dinyatakan dalam persamaan:
(
)
)
Prekursor dimanfaatkan dalam biosintesis metabolit pada tingkat yang sangat rendah
atau bahkan tidak sama sekali. Hal ini dapat disebabkan karena:
a. Adanya kesulitan dalam menempatkan prekursor pada posisi atau lokasi biosintesisi.
b. Memang dalam keadaan aslinya tidak terlibat dalam biosintesis dari suatu metabolit
yang dipilih.
c. Dapat digunakan jauh lebih efisien untuk pembentukan metabolit primer atau
sekunder lainnya.
d. Dalam penyelidikan pada tanaman, suatu metabolit tertentu mungkin tidak sedang
mengalami proses biosintesis pada saat eksperimen dilakukan.
ii. Meski suatu senyawa yang berlabel merupakan suatu prekursor yang efisien untuk
suatu metabolit D, tidak berarti merupakan zat antara mutlak untuk biosintesis D.
primer dengan duplikasi gen yang diikuti dengan evolusi secara divergen. Hal ini dapat
dilihat dari produk metabolit sekunder yang dibiosintesis dari metabolit primer seperti
asam amino, asetil KoA, asam mevalonat, dan zat-zat antara lain.
3.3.1 -laktam
Antibiotik -laktam disintesis hanya oleh beberapa mirkoorganisme. Semua
organisme
yang
dapat
menghasilkan
antibiotik
-laktam
dikenali
sebagai
clavuligerus.
Kedua
jenis
streptomycetes
tersebut
sama-sama
Gambar 3.2. Kiri: Struktur 6-APA (atas) dan 7-ACA (bawah); Kanan: Struktur (A)
penisilin dan (B) sefalosporin
(sumber: www.springerimages.com dan ajprenal.physiology.org)
adanya
enzim
ACV
sintetase
membentuk
tripeptida
-(-
masih
terjadi
konversi
lebih
dari
tahap,
yaitu
menjadi
O-
dapat dilihat pada Gambar 3.7. Keterangan gambar: 1. D-glukosa; 2. Glukosa-6fosfat; 3. 2-deoksi-scyllo-inosose; 4. 2-deoksi-scyllo-inosamin; 5. 2-deoksi-3amino-scyllo-inosose; 6. 2-deoksistreptamin; 7. 2-amino-2-deoksi-D-glukosa; 8.
Neamin; 9. Ribostamisin. Dalam biosintesis ribostamisin, DOS terglikosilasi
untuk menghasilkan paromamin yang diubah menjadi neamin melalui
dehidrogenasi yang diikuti aminasi, dan kemudian ribosilasi akhir dari neamin
membentuk ribostamisin.
3.3.3 Makrolida
1. Erithromisin
Ertihromisin A merupakan antibiotik makrolida yang bercirikan cincin
mengandung 12, 14, atau 16 atom. Erithromisin A pertama kali diisolasi dari
Saccharopolyspora erythraea. Biosintesis erithromisin dapat dibagi atas dua fasa.
Fasa pertama yaitu poliketida sintase (PKS) mengkatalisis kondensasi sekuen
dari satu unit propionil KoA dan enam unit metilmalonil KoA untuk
menghasilkan 6-deoksierithronolida B, sebuah intermediat bebas enzim. Fasa
kedua (Gambar 3.8), 6-deoksierithronolida B mengalami hidroksilasi pada C-6
menghasilkan erithronolida B dengan enzim C-6 erithronolida hidroksilase (i).
Gugus mikarosa kemudian terikat pada gugus hidroksil C-3 erithronolida B
dengan enzim TDP-mikarosa glikosiltransferase (ii), menghasilkan 3-O-
2. Rapamisin
Rapamisin merupakan makrolida di mana sebuah rantai poliketida dihubungkan
dengan sebuah asam amino dalam cincin makrosiklik. Rapamisin diisolasi pada
tahun 1975 dari spesies Streptomyces hygroscopicus. Cincin makrolakton inti
dari rapamisin dibiosintesis dengan poliketida sintase (PKS) melengkapi asam
4,5-dihidrosikloheksena
karboksilat.
Rantai
poliketida
lurus
kemudian
kemudian
dikonversi
lebih
lanjut
menjadi
4-hidroksi-6-
DAFTAR PUSTAKA
Conly J, Johnston B. Where are All the New Antibiotics? The New Antibiotic Paradox.
Med. Microbiol. 2005 May.16 (3): 159-160.
Flickinger, M.C. dan Stephen W. Drew (1999). Encyclopedia of Bioprocess Technology:
Fermentation, Biocatalysis, and Bioseparation. John Wiley & Sons, Inc. New York,
United States of America. (hal: 2348-2364)
Flynn, Edwin H. 1972. Cephalosporins and Penicillins. New York: Academic Press. (hal:
370-430)
Herbert, Richard B. 1988. Biosintesis Metabolit Sekunder (Terjemahan). London:
Chapman and Hall. (hal: 192-228)
Luckner, Martin. 1984. Secondary Metabolism in Microorganisms, Plants, and Animals.
Berlin: Springer-Verlag. (hal: 115-478)
Madigan et al. 2009. Brock Biology of Microorganisms. 12th Edition. San Francisco:
Pearson Benjamin Cummings. (hal: 791-808)
Muniz, Carolina Campos, et al (2007). Penicllin and Cephalosporin Production: A
Historical Perspective. Journal of Microbiology. Vol 49 No: 3-4, December 2007,
88-98.
Neu, Harold C. dan Gootz, Thomas C. (1996). Medical Microbiology. 4th Edition.
Galveston (TX): University of Texas Medical Branch at Galveston. (Chapter 11
Antimicrobial Chemotherapy)
Staunton, James dan Wilkinson, Barrie. (1997). Biosynthesis of Erythromycin and
Rapamycin. Journal of Chem. Rev. 1997, 97, 2611-2629.
Subba, Bimala. (2006). Biosynthesis of Ribostamycin and Neomycin: Expression,
Inactivation, and Characterization. Disertasi Doktoral. Korea: Sun Moon
University.
Waksman, Selman A. (1947). Microbial Antagonisms and Antibiotic Substances. 2nd
Edition. New York: The Commonwealth Fund. (hal: 170-300)