Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN

PRAKTIKUM FITOKIMIA
“EKSTRAKSI DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa
bilimbi L.) DENGAN METODE PERKOLASI”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2
ANDI NURUL ANNISA HIDAYAH 201704003
DARNA DARU 201704007
DITA SYAMSUDDIN 201704009
EKA ADRIYANTI RONA 201704011
RAHMANIAH 201704023
SUCI SAFITRI ANNUR 201704030
YUDHI PRAREZEKI 201704037

PROGRAM STUDI DIII FARMASI


STIKES MUHAMMADIYAH SIDRAP
2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
DAFTAR TABEL............................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................
BAB II : TUJUAN DAN KEGUNAAN PRAKTIKUM..................................
BAB III : TINJAUAN PUSTAKA
III.1 URAIAN TUMBUHAN..........................................................
III.1.1 KLASIFIKASI TUMBUHAN.....................................
III.1.2 NAMA DAERAH.......................................................
III.1.3 MORFOLOGI TUMBUHAN.....................................
III.1.4 TEMPAT TUMBUH...................................................
III.1.5 PENGGUNAAN..........................................................
III.2 METODE EKSTRAKSI BAHAN ALAM..............................
III.2.1 TUJUAN EKSTRAKSI...............................................
III.2.2 JENIS-JENIS EKSTRAKSI........................................
III.2.3 CARA-CARA EKSTRAKSI.......................................
III.2.3.1 EKSTRAKSI SECARA MASERASI...........
III.2.3.2 EKSTRAKSI SECARA PERKOLASI.........
III.2.3.3 EKSTRAKSI SECARA REFLUKS.............
III.2.3.4 EKSTRAKSI SECARA SOKHLET.............
III.2.3.5 EKSTRAKSI SECARA DESTILASI...........
III.3 KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS...........................................
III.4 EKSTRAKSI CAIR-CAIR......................................................
BAB IV : POLA PRAKTIKUM.......................................................................
BAB V : METODE PRAKTIKUM..................................................................
V.1 ALAT YANG DIGUNAKAN..................................................
V.2 BAHAN YANG DIGUNAKAN...............................................
V.3 CARA KERJA..........................................................................
V.3.1 PENGAMBILAN BAHAN............................................
V.3.2 PENGOLAHAN BAHAN..............................................
V.3.3 EKSTRAKSI BAHAN....................................................
V.3.3.1 MASERASI DENGAN METANOL..................
V.3.3.2 EKSTRAKSI KLOROFORM............................
BAB VI : HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................
VI.1 HASIL PRAKTIKUM.............................................................
VI.2 PEMBAHASAN......................................................................
BAB VII : KESIMPULAN DAN SARAN......................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
LAMPIRAN.....................................................................................................
DAFTAR GAMBAR
EKSTRAKSI KLOROFORM I (N-HEKSAN – ETI ASETAT)...............................
EKSTARKSI KLOROFORM II (N-HEKSAN – ETIL ASETAT)...........................
DAFTAR TABEL
TABEL IV.1 EKSTRAK KLOROFORM I.....................................................
TABEL IV.2 EKSTRAK KLOROFORM II....................................................
BAB I
PENDAHULUAN

Istilah fitokimia (dari kata “phyto” = tanaman). Dari maknanya dapat


ditafsirkan bahwa fitokimia menguraikan aspek kimia suatu tanaman. Sementara
itu, penyelidikan tentang kehidupan tanaman secara kimia merupakan tugas dari
biokimia. Dengan demikian fitokimia berarti kimia suatu tanaman, jadi meliputi
dari biokimia sehingga dinyatakan juga sebagai biokimia tanaman. Kajian
fitokimia meliputi (Deinstrop, Elke. 2007) :
1. Uraian tentang isolasi dan konstitusi senyawa kimia dalam tanaman.
2. Perbandingan struktur senyawa kimia tanaman; berdasarkan definisi ini
dilakukan penggolongan senyawa kimia yang ditemukan di alam.
3. Perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis tanaman
atau penelitian untuk pengembangan senyawa kimia dalam tanaman.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar
yang memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat tinggi. Hingga saat ini
tercatat 7000 spesies tanaman telah diketahui khasiatnya namun kurang dari 300
tanaman yang digunakan sebagai bahan baku industri farmasi secara reguler.
WHO pada tahun 2008 mencatat bahwa 68% penduduk dunia masih
menggantungkan sistem pengobatan tradisional yang mayoritas melibatkan
tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit dan lebih dari 80% penduduk dunia
menggunakan obat herbal untuk mendukung kesehatan mereka (Deinstrop, Elke.
2007).
Untuk mendukung hal tersebut maka dilakukan pengembangan obat
tradisional melalui penelitian-penelitian ilmiah terbaru dan diproduksi secara
modern agar bisa dimanfaatkan sebagai obat untuk kepentingan kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat. Proses saintifikasi tersebut sangat penting agar
penggunaan obat tradisional tidak berdasarkan pengalaman saja tetapi memiliki
bukti ilmiah sehingga bisa digunakan dalam sistem pelayanan kesehatan formal
yang modern. Salah satu metode yang digunakan untuk penemuan obat tradisional
adalah metode ekstraksi. Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat bahan
dan senyawa yang akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target ekstraksi
perlu ditentukan terlebih dahulu. Ada beberapa target ekstraksi, diantaranya
(Sarker SD, dkk., 2006) :
1. Senyawa bioaktif yang tidak diketahui
2. Senyawa yang diketahui ada pada suatu organisme
3. Sekelompok senyawa dalam suatu organisme yang berhubungan secara
struktural.
Ekstrak merupakan sediaan kental yang diperoleh dengan cara
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan
pelarut yang sesuai. Kemudian, sebagian atau seluruh bagian pelarut diuapkan
hingga menyisakan serbuk/kerak (crude). Serbuk yang tersisa kemudian
diperlakukan dngan beberapa perlakuan yang berbeda untuk mendapatkan hasil
atau memenuhi baku yang telah ditentukan. (Ditjen POM, 1995)
Ekstraksi adalah proses penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dan
bagian tumbuhan obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat
aktif tersebut terdapat di dalam sel, namun sel tumbuhan dan hewan memiliki
perbedaan begitu pula ketebalannya sehingga diperlukan metode ekstraksi dan
pelarut tertentu untuk mengekstraksinya ( Tobo F, 2001).
Ekstraksi adalah pemurnian suatu senyawa. Ekstraksi cairan-cairan
merupakan suatu teknik dalam suatu larutan (biasanya dalam air) dibuat
bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya organik), yang pada dasarnya
tidak saling bercampur dan menimbulkan perpindahan satu atau lebih zat terlarut
(solut) ke dalam pelarut kedua itu. Pemisahan itu dapat dilakukan dengan
mengocok-ngocok larutan dalam sebuah corong pemisah selama beberapa
menit (Shevla, 1985).
Ada beberapa metode sederhana yang dapat dilakukan untuk mengambil
komponen berkhasiat ini; diantaranya dengan melakukan perendaman, mengaliri
simplisia dengan pelarut tertentu ataupun yang lebih umum dengan melakukan
perebusan dengan tidak melakukan proses pendidihan (Makhmud, 2001).
Umumnya zat aktif yang terkandung dalam tumbuhan maupun hewan
lebih mudah tarut dalam petarut organik. Proses terekstraksinya zat aktif dimulai
ketika pelarut organik menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga set yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan terlarut sehingga terjadi perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan pelarut organik di luar sel,
maka larutan terpekat akan berdifusi ke luar sel, dan proses ini akan berulang
terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar
sel (Tobo F, 2001).
BAB II
TUJUAN DAN KEGUNAAN PRAKTIKUM

TUJUAN
1. Setelah melakukan praktikum mahasiswa mampu melakukan pembuatan
simplisia.
2. Setelah mengikuti praktikum mahasiswa mampu melakukan pembuatan serbuk
dari simplisia.
3. Setelah mengikuti praktikum mahasiswa mampu merencanakan cara atau
urutan kerja penelitian di bidang fitokimia.
4. Setelah mengikuti praktikum mahasiswa mampu menentukan karakterisasi
simplisia dan pembuatan ekstrak tanaman.
5. Setelah melakukan praktikum para mahasiswa diharapkan melakukan
identifikasi kandungan kimia berupa identifikasi kandungan Alkaloid
6. Setelah melakukan praktikum para mahasiswa diharapkan mampu melakukan
pemisahan fraksinasi ekstrak tanaman untuk mendapat senyawa aktif
7. Praktikan mampu mengetahui cara-cara pengujian dalam pelajaran fitokimia
untuk mengidentifikasi zat yang terkandung di dalam suatu tumbuhan.

KEGUNAAN
1. Mahasiswa dapat mengetahui zat kimia yang terkandung dalam tanaman daun
bluntas.
2. Mahasiswa mampu memberikan informasi tentang zat kimia yang ada dalam
tanaman daun belimbing.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 URAIAN TUMBUHAN


III.1.1 KLASIFIKASI TUMBUHAN
III.1.1 Klasifikasi Tumbuhan
Klasifikasi tanaman belimbing wuluh:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Trachebionta (berpembuluh)
Superdivisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub kelas : Rosidae
Ordo : Geraniales
Famili : Oxalidaceae (suku belimbing-belimbingan)
Genus : Averrhoa
Spesies : Averrhoa bilimbi L (Sastrapradja, 1979).

III.1.2 Nama Daerah


Tanaman Averrhoa bilimbi L dikenal di Indonesia,
dengan berbagai sebutan, seperti Limeng (Aceh), Selmengo
(Gayo); asom belimbing, balimbingan (Batak), malimbi
(Nias), belimbing wuluh (Jawa), bhalingbing bulu (Madura),
blingbing bulu (Bali), celene (Bugis) dan Malini
(Malmahera) (Dalimartha, 2008).

III.1.3 Morfologi Tumbuhan


Morfologi atau ciri-ciri belimbing wuluh, dapat dilihat
dari akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Berikut
penejalasannya:
1. Akar
Akar belimbing wuluh memiliki system perakaran
tunggang, berwarna kecoklatan, dan juga memiliki panjang
sampai 5-6 m bahkan lebih (Dalimartha 2008).
2. Batang
Batang belimbing wuluh memiliki batang tegak,
bercabang, permukaan kasar, banyak tonjolan, berwarna
hijau. Tanaman ini berbentuk pohon dengan tinggi sampai 5-
10 m (Dalimartha 2008).
3. Daun
Daun belimbing wuluh memiliki daun majemuk
menyirip ganjil dengan 21-25 pasang anak daun, anak daun
bertangkai pendek, bentuknya bulat telur atau oval, ujung
runcing, pangkal membundar, tepi rata, panjang 2-10 cm,
lebar 1-3 cm, berwarna hijau pada bagian bawah permukaan
(Dalimartha 2008).
4. Bunga
Bunga belimbing wuluhberbentuk bintang berwarna
unggu tua muncul dari batang dengan tangkai bunga
berambut dan mahkota bunga berjumlah lima (Dalimartha
2008).
5. Buah
Buah belimbing wuluh berbentuk bulat panjang
(lonjong) bersegi tumpul, termasuk kedalam buah buni
panjangnya 4-6,5 cm, berwarna hijau muda ketika masih
muda, dan ketika sudah tua atau masak berwarna kuning atau
kuning pucat, permukaan kulit mengkilap dan tipis
(Dalimartha, 2008).
6. Biji
Biji berbentuk lanset atau segitiga, warna hijau  saat
muda dan berubah kekuningan setelah tua, dala, satu buah
terdapat 1-2 biji atau lebih (Dalimartha, 2008).

III.1.4 Tempat Tumbuh


Belimbing wuluh merupakan salah satu spesies dalam
genus Averrhoa yang tumbuh di daerah ketinggian hingga
500 m di atas permukaan laut dan dapat ditemui di tempat
yang banyak terkena sinar matahari langsung tetapi cukup
lembab. Pada umumnya belimbing wuluh ditanam dalam
bentuk tanaman pekarangan yaitu diusahakan sebagai usaha
sambilan atau tanaman peneduh di halaman rumah. Pohon
yang berasal dari Amerika tropis ini menghendaki tempat
tumbuh yang terkena cahaya matahari langsung dan
cukup lembab (Dalimartha, 2008).

III.1.5 Penggunaan
Daun belimbing wuluh dapat dimanfaatkan sebagai
obat rematik, stroke, obat batuk, anti radang, analgesik, anti
hipertensi, anti diabetes. Daun belimbing wuluh mengandung
flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan yang mampu
menjaga terjadinya oksidasi sel tubuh. Flavonoid secara
umum terdapat hampir pada semua tumbuhan yang terikat
pada gula,sebagai glikosida dan aglikon. Flavonoid dapat
berfungsi sebagai antimikrobia, antivirus, antioksidan,
antihipertensi, dan mengobati gangguan fungsi hati.
Flavonoid bersifat bakteriostatik dalam menghambat
pertumbuhan bakteri (Dalimartha, 2008).
III.2 METODE EKSTRAKSI BAHAN ALAM
III.2.1 TUJUAN EKSTRAKSI
Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat
aktif dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan
termasuk biota laut. Zat-zat aktif terdapat di dalam sel, namun sel
tanaman dan hewan berbeda demikian pula ketebalannya, sehingga
diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam
mengekstraksinya. (Dirjen POM, 1995)
Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik
komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini
didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam
pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka
kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Dirjen POM, 1995).

III.2.2 JENIS-JENIS EKSTRAKSI


Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), ekstraksi adalah
proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari suatu serbuk
simplisia, sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut.
Beberapa metode yang banyak digunakan untuk ekstraksi bahan
alam antara lain:
1. Maserasi
2. Perkolasi
3. Soxhlet
4. Refluks
5. Digesti
6. Infusa
7. Dekok
III.2.3 CARA-CARA EKSTRAKSI
III.2.3.1 EKSTRAKSI SECARA MASERASI
Maserasi merupakan metode sederhana yang
paling banyak digunakan. Cara ini sesuai, baik untuk skala
kecil maupun skala industri. (Agoes,2007).
Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk
tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert
yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi
dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi
dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut
dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian
utama dari metode maserasi ini adalah memakan banyak
waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan besar
kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu,
beberapa senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada
suhu kamar. Namun di sisi lain, metode maserasi dapat
menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat
termolabil (Agoes,2007).

III.2.3.2 EKSTRAKSI SECARA PERKOLASI


Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi
secara perlahan dalam sebuah perkolator (wadah silinder
yang dilengkapi dengan kran pada bagian bawahnya).
Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan
dibiarkan menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan
dari metode ini adalah sampel senantiasa dialiri oleh
pelarut baru. Sedangkan kerugiannya adalah jika sampel
dalam perkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit
menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga
membutuhkan banyak pelarut dan memakan banyak waktu
(Agoes,2007).

III.2.3.3 EKSTRAKSI SECARA REFLUKS


Pada metode reflux, sampel dimasukkan bersama
pelarut ke dalam labu yang dihubungkan dengan
kondensor. Pelarut dipanaskan hingga mencapai titik
didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu
(Dalimartha, 2005).

III.2.3.4 EKSTRAKSI SECARA SOKHLET


Metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk
sampel dalam sarung selulosa (dapat digunakan kertas
saring) dalam klonsong yang ditempatkan di atas labu dan
di bawah kondensor. Pelarut yang sesuai dimasukkan ke
dalam labu dan suhu penangas diatur di bawah suhu
reflux. Keuntungan dari metode ini adalah proses ektraksi
yang kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni
hasil kondensasi sehingga tidak membutuhkan banyak
pelarut dan tidak memakan banyak waktu. Kerugiannya
adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat
terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus
berada pada titik didih (Dalimartha, 2005).

III.2.3.5 EKSTRAKSI SECARA DESTILASI


Destilasi uap memiliki proses yang sama dan
biasanya digunakan untuk mengekstraksi minyak esensial
(campuran berbagai senyawa menguap). Selama
pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah
sebagai 2 bagian yang tidak saling bercampur) ditampung
dalam wadah yang terhubung dengan kondensor. Kerugian
dari kedua metode ini adalah senyawa yang bersifat
termolabil dapat terdegradasi (Seidel V 2006).

III.3 KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan kromatograsi kolom pada
prinsipnya sama. Apabila suatu cuplikan yang merupakan campuran
dari beberapa komponen yang diserap lemah oleh adsorben akan
keluar lebih cepat bersama eluen, sedangkan komponen yang diserap
kuat akan keluar lebih lama (Hostettman,1995).
KLT merupakan suatu teknik pemisahan dengan menggunakan
adsorben (fase stasioner) berupa lapisan tipis seragam yang disalutkan
pada permukaan bidang datar berupa lempeng kaca, pelat aluminium,
atau pelat plastik. Pengembangan kromatografi terjadi ketika fase
gerak tertapis melewati adsorben (Deinstrop, Elke H,2007 ).
KLT dapat digunakan jika :
1. Senyawa tidak menguap atau tingkat penguapannya rendah.
2. Senyawa bersifat polar, semi polar, non polar, atau ionik.
3. Sampel dalam jumlah banyak harus dianalisis secara simultan,
hemat biaya, dan dalam jangka waktu tertentu.
4. Sampel yang akan dianalisis akan merusak kolom pada
Kromatografi Cair (KC) ataupun Kromatografi Gas (KG).
5. Pelarut yang digunakan akan mengganggu penjerap dalam kolom
Kromatografi Cair.
6. Senyawa dalam sampel yang akan dianalisis tidak dapat dideteksi
dengan metode KC ataupun KG atau memiliki tingkat kesulitan
yang tinggi.
7. Setelah proses kromatografi, semua komponen dalam sampel perlu
dideteksi (berkaitan dengan nilai Rf).
8. Komponen dari suatu campuran dari suatu senyawa akan dideteksi
terpisah setelah pemisahan atau akan dideteksi dengan berbagai
metode secara bergantian (misalnya pada drug screening).
9. Tidak ada sumber listrik. KLT digunakan secara luas untuk analisis
solute-solute organic terutama dalam bidang biokimia, farmasi,
klinis, forensic, baik untuk analisis kualitatif dengan cara
membandingkan nilai Rf solut dengan nilai Rf senyawa baku atau
untuk analisis kualitatif (Gandjar IG., 2008).
Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya
komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau
berjalannya suatu reaksi, menentukan efektifitas pemurnian,
menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta
untuk memantau kromatografi kolom, melakukan screening sampel
untuk obat (Gandjar IG, 2008).

III.4 EKSTRAKSI CAIR-CAIR


Ekstraksi pelarut adalah proses pemisahan suatu komponen
dari suatu campuran berdasarkan proses distribusi terhadap dua
macam pelarut yang tidak saling bercampur. Ekstraksi pelarut atau
disebut juga ekstraksi cair-cairmerupakan metode pemisahan yang
paling baik dan populer. Alasan utamanya adalah pemisahan ini dapat
dilakukan baik dalam tingkat makro ataupun mikro. Prinsip metode ini
didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu
antara dua pelarut yang tidak saling bercampur,
seperti benzena, karbon tetraklorida atau kloroform (Gandjar IG,
2008).
Ekstraksi dapat dilakukan secara kontinu atau bertahap,
ekstraksi bertahap cukup dilakukan dengan corong pisah. Campuran
dua pelarut dimasukkan dengan corong pemisah, lapisan dengan berat
jenis yang lebih ringan berada pada lapisan atas (Gandjar IG, 2008).
Ekstraksi cair-cair dimungkinkan untuk dilakukan dalam
sistem tidak-berair : Dalam suatu sistem yang terdiri dari logam cair
dalam kontak dengan lelehan gram logam dapat diekstraksi dari satu
tahap ke tahap lainnya. Hal ini terkait dengan elektroda merkuri di
mana logam dapat direduksi, logam kemudian akan larut dalam
merkuri untuk membentuk amalgam yang memodifikasi elektrokimia
dengan sangat baik. Sebagai contoh, dimungkinkan untuk kation
natrium untuk direduksi pada katode merkuri membentuk amalgam
natrium, ketika pada elektrode inert (seperti platina) kation natrium
tidak tereduksi. Tetapi, air direduksi menjadi hidrogen.
detergen atau padatan halus dapat digunakan untuk
menstabilkan emulsi, atau fase ketiga (Gandjar IG, 2008).
BAB IV
POLA PRAKTIKUM

Pengambilan Sampel Di desa Bulu’e, Kec. Marioriawa,


Kab. Soppeng

Disotrasi basah, dicuci,


Sampel
dipotong-potong kecil,
dikeringkan dan disortasi kembali

Simplisia kering 250 g

Ekstraksi dengan metode maserasi


menggunak an metanol selama 3 x 5
hari.

Ampas Ekstrak Metanol

Diupkan dengan penangas air

Ekstrak Metanol Kering

Ditambah air 30ml Ditambah air 30ml


diektraksi dengan diektraksi dengan
kloroform dalam kloroform dalam
corong pisah corong pisah

Ekstrak Kloroform I Ekstrak Kloroform II

lapisan air lapisan air

KLT dengan eluen


KLT dengan eluen
N-Heksan – Etil Asetat
N-Heksan – Etil Asetat
9 : 1
9 : 1
8 : 2
8 : 2
7 : 3
7 : 3
BAB V
METODE PRAKTIKUM

V.1 ALAT YANG DIGUNAKAN


- Gelas Kimia 250 ml 4 buah
- Gelas Ukur 25 ml 2 buah
- Gelas Ukur 50 ml 1 buah
- Batang Pengaduk 3 buah
- Botol Infus 4 buah
- Botol Vial 9 buah
- Pipet Tetes 6 buah
- Cawan Porselin 4 buah
- Sendok Tanduk 2 buah
- Pengorek 2 buah
- Penangas Air 1 buah
- Botol Kaca 3 buah
- Toples 2 buah
- Corong Kaca 1 buah
- Gelas 9 buah
- Kaca Penutup 9 buah
- Timbangan Analitik 1 buah

V.2 BAHAN YANG DIGUNAKAN


- Simplisia 500 mg
- Metanol 2L
- Eter 50 ml
- Kloroform 60 ml
- Dietil Eter 60 ml
- Air 120 ml

V.3 CARA KERJA


V.3.1 PENGAMBILAN BAHAN
Dilakukan pengambilan bahan di desa Bulu’e, Kecamatan
Marioriawa, Kabupaten Soppeng pada hari Rabu, 3 April 2019 pukul
08.00 – 12.00 WITA.

V.3.2 PENGOLAHAN BAHAN


1. Dikumpulkan daun belimbing wuluh yang akan dijadikan sebagai
bahan baku simplisia.
2. Dilakukan sortasi basah untuk memisahkan kotoran dari daun.
3. Dicuci daun hingga bersih dengan air mengalir.
4. Dopotong-potong kecil daun belimbing.
5. Dikeringkan daun belimbing dengan cara diangin-anginkan.

V.3.3 EKSTRAKSI BAHAN


V.3.3.1 MASERASI DENGAN METANOL
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Ditimbang simplisia daun belimbing sebanyak 500 mg,
masukkan kedalam toples kaca.
3. Diukur 1 L metanol, masukkan kedalam kaca.
4. Didiamkan selama satu minggu dengan sesekali dilakukan
pengocokan.
5. Disaring pelarut menggunakan corong yang diberi kapas
kedalam botol kaca.
6. Dilakukan penggantian pelarut sebanyak 2 kali.
7. Dipanaskan pelarut tersebut di atas penangas air hingga di
dapatkan ekstrak.

V.3.3.2 MASERASI DENGAN KLOROFORM


1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Diambil ekstrak dan dimasukkan dalam vial untuk
digunakan dalam KLT.
3. Diukur 30ml kloroform dan 30ml air lalu dimasukkan
dalam cawan porselin yang berisi ekstrak.
4. Diaduk hinggan homogen.
5. Dimasukkan kedalam corong pisah, diamkan beberapa saat
hingga eter dan lapisan air berpisah.
6. Dipisahkan antara eter berisi ekstrak dan air.
7. Dilakukan perlakuan di atas sebanyak 2 kali.
8. Dilakukan percobaan di atas untuk ekstraksi kloroform II.
9. Diuapkan hasil ekstraksi di dalam penangas air.
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN

VI.1 HASIL PRAKTIKUM


1. Ekstraksi Kloroform I dengan eluen N-Heksan – Etil Asetat

A B C
7:3 8:2 9:1
A (7:3) B (8:2) C (9:1)
Rf Warna Rf Warna Rf Warna
No
1 0,7 cm Kuning 0,4 cm Kuning 0,3 cm Hijau
= = 0,05 = 0,04
6,7 cm 6,8 cm 6,6 cm
0,10
2 1,3 cm Kukuni 0,8 cm Kuning 0,6 cm Hijau
= = 0,11 = 0,09
6,7 cm 6,8 cm 6,6 cm
ngan
0,19
3 2,4 cm Kuning 1,1 cm Kuning 1,0 cm Hijau
= = 0,16 = 0,15
6,7 cm 6,8 cm 6,6 cm
0,35
4 4,3 cm Hijau 1,5 cm Hijau 1,5 cm Hijau
= = 0,22 = 0,22
6,7 cm 6,8 cm 6,6 cm
0,64
5 4,6 cm Hijau 1,9 cm Kekuni 1,7 cm Hijau
= = 0,27 = 0,25
6,7 cm 6,8 cm 6,6 cm
ngan
0,68
6 6,4 cm Hijau 2,6 cm Kuning 2,3 cm Kuning
= = 0,38 = 0,34
6,7 cm 6,8 cm 6,6 cm
0,95
7 - - 2,8 cm 2,9 cm
Hijau jingga
= 0,41 = 0,43
6,8 cm 6,6 cm
8 - - 3,1 cm 3,2 cm
Hijau Kuning
= 0,45 = 0,48
6,8 cm 6,6 cm
9 - - 3,5 cm 4,7 cm
Kekuni Merah
= 0,51 = 0,71
6,8 cm 6,6 cm
ngan muda
10 - - 3,7 cm 5,3 cm
Hijau Ungu
= 0,54 = 0,80
6,8 cm 6,6 cm
11 - - 3,9 cm 5,8 cm
Ungu Merah
= 0,57 = 0,87
6,8 cm 6,6 cm
muda
12 - - 6,1 cm kuning 6,3 cm Ungu
= 0,89 = 0,95
6,8 cm 6,6 cm
13 - - 6,5 cm Kuning 6,5 cm Jingga
= 0,95 = 0,98
6,8 cm 6,6 cm
Tabel VI.1 Ekstraksi Kloroform I dengan Eluen N-Heksan – Etil Asetat

2. Ekstraksi Kloroform II dengan eluen N-Heksan – Etil Asetat

A B C
9:1 8:2 7:3
A (9:1) B (8:2) C (7:3)
Rf Warna Rf Warna Rf Warna
No
1 0,3 cm Hijau 0,3 cm Hijau 0,4 cm Hijau
= 0,04 = 0,04 = 0,05
6,7 cm 6,6 cm 6,7 cm
2 0,5 cm Kekuni 0,5 cm Hijau 0,5 cm Hijau
= 0,07 = 0,07 = 0,07
6,7 cm 6,6 cm 6,7 cm
ngan
3 0,7 cm Hijau 0,7 cm Kuning 0,6 cm Hijau
= 0,10 = 0,10 = 0,08
6,7 cm 6,6 cm 6,7 cm
4 1,0 cm Hijau 1,2 cm kekuni 2,0 cm Hijau
= 0,14 = 0,18 = 0,29
6,7 cm 6,6 cm 6,7 cm
ngan
5 1,2 cm Ungu 1,5 cm Merah 4,0 cm Hijau
= 0,17 = 0,22 = 0,59
6,7 cm 6,6 cm 6,7 cm
muda
6 1,4 cm Merah 1,8 cm Hijau 4,2 cm Hijau
= 0,20 = 0,27 = 0,62
6,7 cm 6,6 cm 6,7 cm
muda
7 1,5 cm Merah 2,0 cm Merah 4,8 cm Hijau
= 0,22 = 0,30 =
6,7 cm 6,6 cm 6,7 cm
muda muda
0.71
8 1,9 cm Biru 2,3 cm Hijau 5,3 cm Ungu
= 0,28 = 0,34 = 0,79
6,7 cm 6,6 cm 6,7 cm
9 2,4 cm Jingga 2,5 cm Kuning 5,7 cm Kuning
= 0,35 = 0,37 = 0,85
6,7 cm 6,6 cm 6,7 cm
10 3,0 cm Merah 2,7 cm Kuning 6,2 cm Kuning
= 0,44 = 0,40 =
6,7 cm 6,6 cm 6,7 cm
muda
0,92
11 3,4 cm Merah 3,0 cm Hijau 6,5 cm ungu
= 0,50 = 0,45 = 0,97
6,7 cm 6,6 cm 6,7 cm
muda
12 - - 3,2 cm Merah - -
= 0,48
6,6 cm
muda
13 - - 3,5 cm Hijau - -
= 0,53
6,6 cm
14 - - 3,8 cm Ungu - -
= 0,57
6,6 cm
15 - - 4,3 cm Ungu - -
= 0,65
6,6 cm
16 - - 4,6 cm Kuning - -
= 0,69
6,6 cm
17 - - 5,0 cm Merah - -
= 0,75
6,6 cm
muda
18 - - 5,3 cm Jingga - -
= 0,80
6,6 cm
19 - - 5,4 cm Hijau - -
= 0,81
6,6 cm
20 - - 6,3 cm Jingga - -
= 0,95
6,6 cm
21 - - 6,4 cm kekuni - -
= 0,96
6,6 cm
ngan
Tabel VI.2 Ekstraksi Kloroform II dengan Eluen N-Heksan – Etil Asetat

VI.2 PEMBAHASAN
Praktikum Fitokimia ini dimulai dari pengambilan bahan, pengolahan
bahan, ekstraksi dan terakhir adalah penentuan senyawa dengan metode
Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Kegiatan pengambilan bahan dilakukan di
desa Bulu’e, Kec. Marioriawa, Kab. Soppeng pada tanggal 3 April 2019.
Pengambilan bahan dilakukan pada pukul 08.00 – 12.00 WITA. Setelah
pengumpulan bahan, langkah selanjutnya adalah pengolahan bahan. Bahan
yang telah diambil sebelumnya disortasi basah untuk memisahkan kotoran
dari bahan kemudian dicuci. Setelah dicuci, bahan dipotong-potong kecil
kemudian dikeringkan. Setelah kering bahan disortasi kembali.
Setelah pengolahan bahan, langkah selanjutnya adalah dilakukan
proses ekstraksi. Pada percobaan ini dilakukan metode ekstraksi yaitu
perkolasi. Hasil dari ekstraksi ini kemudian dipanaskan untuk mendapatkan
ekstrak kental yang selanjutkan akan digunakan untuk ekstraksi n-heksan
dan etil asetat.
Selanjutnya adalah dilakukan proses fraksinasi untuk menentukan
senyawa yang terkandung dalam daun belimbing wuluh dengan cara
Kromatografi Lapis Tipis (KLT). KLT dilakukan dengan cara menotol
ekstrak daun belimbing wuluh dari ekstraksi dengan metanol, dietil eter
ataupun n-butanol diatas plat KLT dengan adsorben silika gel GF 254. Plat
KLT yang telah ditotol kemudian dimasukkan di dalam bejana tertutup yang
berisi eluen polar maupun non polar dan diamati penampakan nodanya.
Elusi dihentikan apabila eluen sudah mencapai batas. Setelah itu diperiksa
spot senyawa dengan sinar UV dengan panjang gelombang 254 dan 366 mm
kemudian plat KLT ditentukan spot senyawa dengan pereaksi H 2SO4 dan
dipanaskan selama 5-10 menit pada suhu 110-120ºC.
Pada ekstraksi kloroform I dengan eluen N-Heksan – Etil asetat dengan
perbandingan 7:3, ada beberapa noda yang muncul. Yang pertama terdapat noda
berwarna kuning dengan Rf 0,10; 0,35 yang berarti ekstrak tersebut mengandung
Flavonoid. Yang kedua terdapat noda berwarna hijau dengan Rf 0,64; 0,68; 0,95
yang berarti ekstrak tersebut mengandung Steroid. Yang ketiga terdapat noda
berwarna kekuningan dengan Rf 0,19 yang berarti ekstrak tersebut mengandung
alkaloid. Pada eluen dengan perbandingan 8:2, terdapat beberapa noda yang
muncul. Yang pertama yaitu noda berwarna kuning dengan Rf 0,05; 0,11; 0,16;
0,38; 0,89; 0,95 yang berarti ekstrak tersebut mengandung flavonoid. Yang kedua
terdapat noda berwarna hijau dengan Rf 0,22; 0,41; 0,45; 0,54 yang berarti ekstrak
tersebut mengandung steroid. Yang ketiga terdapat noda berwarna kekuningan
dengan Rf 0,27; 0,51 yang berarti ekstrak tersebut mengandung alkaloid. Yang
keempat terdapat noda berwarna ungu dengan Rf 0,57 yang berarti ekstrak
tersebut mengandung saponin.
Pada eluen dengan perbandingan 9:1 terdapat beberapa noda yang
muncul dengan Rf yang berbeda-beda. Yang pertama yaitu terdapat noda
berwarna kuning dengan Rf 0,34; 0,48 yang berarti ekstrak tersebut mengandung
flavonoid. Yang kedua terdapat noda berwarna hijau dengan Rf 0,04; 0,09; 0,15;
0,22; 0,25 yang berarti ekstrak tersebut mengandung steroid. Yang ketiga terdapat
noda berwarna jingga dengan Rf 0,43; 0,98 yang berarti ekstrak tersebut
mengandung flavonoid. Yang keempat yaitu terdapat noda berwarna merah muda
dengan Rf 0,71; 0,87 yang berarti ekstrak tersebut mengandung flavonoid. Yang
kelima terdapat noda berwarna ungu dengan Rf 0,80; 0,95 yang berarti ekstrak
tersebut mengandung saponin.
Pada ekstraksi kloroform II dengan eluen N-Heksan – Etil asetat dengan
perbandingan 9:1 ada beberapa noda yang muncul. Yang pertama yaitu noda
berwarna hijau dengan Rf 0,04; 0,10; 0,14 yang berarti ekstrak tersebut
mengandung steroid. Yang kedua yaitu noda berwarna kekuningan dengan Rf
0,07 yang berarti ekstrak tersebut mengandung alkaloid. Yang ketiga terdapat
noda berwarna ungu dengan Rf 0,17 yang berarti ekstrak tersebut mengandung
saponin. Yang keempat terdapat noda berwarna merah muda dengan Rf 0,20;
0,22; 0,44, 0,50 yang berarti ekstrak tersebut mengandung flavonoid. Yang kelima
terdapat noda berwarna biru dengan Rf 0,28 yang berarti ekstrak tersebut
mengandung flavonoid. Yang keenam terdapat noda berwarna jingga dengan Rf
0,35 yang berarti ekstrak tersebut mengandung flavonoid.
Pada eluen dengan perbandingan 8:2 terdapat beberapa noda yang
muncul. Yang pertama terdapat noda berwarna hijau dengan Rf 0,04; 0,07; 0,27;
0,34; 0,45; 0,53; 0,81 yang berarti ekstrak tersebut mengandung steroid. Yang
kedua terdapat noda berwarna kuning dengan Rf 0,10; 0,37; 0,40; 0,69 yang
berarti ekstrak tersebut mengandung flavonoid. Yang ketiga terdapat noda
berwarna kekuningan dengan Rf 0,18; 0,96 yang berarti ekstrak tersebut
mengandung alkaloid. Yang keempat terdapat noda berwarna merah muda dengan
Rf 0,22; 0,30; 0,48; 0,75 yang berarti ekstrak tersebut mengandung flavonoid.
Yang kelima terdapat noda berwarna ungu dengan Rf 0,57; 0,95 yang berarti
ekstrak tersebut mengandung saponin. Yang keenam terdapat noda berwarna
jingga dengan Rf 0,80; 0,95 yang berarti ekstrak tersebut mengandung flavonoid.
Pada eluen dengan perbandingan 7:3 terdapat beberapa noda yang
muncul. Yang pertamaterdapat noda berwarna hijau dengan Rf 0,05; 0,07; 0,08;
0,29; 0,59; 0,62; 0,71 yang berarti ekstrak tersebut mengandung steroid. Yang
kedua terdapat noda berwarna kuning dengan Rf 0,85; 0,92 yang berarti ekstrak
tersebut mengandung flavonoid. Yang ketiga terdapat noda berwarna ungu dengan
Rf 0,79; 0,97 yang berarti ekstrak tersebut mengandung saponin.
Pada KLT dengan eluen non polar, semakin besar perbandingan maka
semakin kecil jarak noda hal ini dikarenakan penggunaan n-heksan yang bersifat
non polar memiliki atraksi yang rendah hal ini bisa dilihat pada perbandingan 9:1,
semakin banyak n-heksan yang digunakan maka semakin kecil nilai Rf yang
didapat. Sedangkan pada KLT dengan eluen polar memiliki jarak noda yang
tinggi hal ini dikarenakan pelarut polar memiliki atraksi yang besar sehingga
menyebabkan nilai Rf menjadi tinggi.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

VII.1 Kesimpulan
Pada Praktikum kali ini menggunakan sampel Daun Belimbing, dari
hasil Praktikum diketahui bahwa Daun Belimbing mengandung steroid,
flavonoid, alkaloid, flavonolol, dan saponin.

VII.2 Saran
Sebaiknya sebelum praktikum, praktikan menyiapkan bahan yang
cukup dan alat-alat yang digunakan agar selama praktikum prosesnya
berjalan lancar dan lebih teliti selama melakukan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Agoes. Goeswin, 2007, Teknologi Bahan Alam. Penerbit ITB: Bandung.


Dalimartha, S: "Tanaman Obat di Lingkungan Sekitar", halaman 5. Puspa Swara,
2005.
Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. 1nd Ed. Jakarta:
Pustaka Bunda, Grup Puspa Swara, Anggota IKAPI.
Ditjen POM, 1986. Sediaan Galenik. Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
Ditjen POM, 1990, Cara Pembuatan Simplisia. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia: Jakarta.
Ditjen POM, 1992, Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Gandjar IG & Abdul R. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Gembong T., 1998, Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta, UGM UI Press:
Yogyakarta.
Gritter J.R., James, M.B., (1991), “Pengantar Kromatografi”, Penerbit ITB,
Bandung.
Harborne. J.B. 1987. Metode Fitokimia. ITB Press. Bandung
Hostettman, 1995.Cara Kromatografi Preparatif”Penggunaan pada Isolasi
Senyawa Alam” ITB, Bandung
Khopkar. 2007. “Konsep Dasar Kimia Analitik”. Jakarta : UI-Press.
Makhmud, AI. 2001. Metode Pemisahan. Departemen Farmasi Fakultas Sains
Dan tekhnologi, Universitas Hasanuddin : Makassar.
Sastrapradja, S., Naiola, BP, Rasmadi, ER, Roemantyo, Soepardjono, EK,
Waluyo, EB: "Tanaman Pekarangan", halaman 67-68. Jakarta. Balai
Pustaka. 1979
Sastrohamidjojo, Dr.H., (1985),”Kromatografi”, Penerbit Liberty, Yogyakarta
Seidel V., 2006. Initial and bulk extraction. In: Sarker SD, Latif Z, & Gray AI,
editors. Natural Products Isolation. 2nd ed. Totowa (New Jersey).
Humana Press Inc. hal. 31-5.
Shevla. 1985. Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimakro. Cetakan
Pertama. Penerbit PT Kalman Media Pustaka : Jakarta
Sudjadi. 1986. “Metode Pemisahan”. UGM Press: Yogyakarta
Tobo, F. 2001. Buku Pengangan Laboratorium Fitokimia I. Universitas
Hasanuddin : Makassar.
LAPORAN LENGKAP
PRAKTIKUM FITOKIMIA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2
ANDI NURUL ANNISA HIDAYAH 201704003
DARNA DARU 201704007
DITA SYAMSUDDIN 201704009
EKA ADRIYANTI RONA 201704011
RAHMANIAH 201704023
SUCI SAFITRI ANNUR 201704030
YUDHI PRAREZEKI 201704037

PROGRAM STUDI DIII FARMASI


STIKES MUHAMMADIYAH SIDRAP
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Fitokimia dengan baik dan lancar.
Tak lupa juga ucapan terima kasih yang mendalam kepada bapak/ibu pembimbing
serta laboran yang tak jenuh membimbing kami selama proses pengerjan laporan
ini.
Laporan ini kami susun dengan segala kemampuan dan segala
keterbatasan yang ada pada kami namun mungkin masih banyak terdapat
kekurangan dalam penulisan laporan kami ini. Insya Allah dengan senang hati
kami dapat menerima kritikan yang berupa saran dan petunjuk untuk
kesempurnaannya. Adapun dalam laporan ini bila terdapat kekeliruan, maka
kritikan yang dapat membangun itu sangat kami harapkan. Terima kasih.

Penyusun

Pangkajene, Agustus 2019


DAFTAR ISI
SAMPUL..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................iv
LAPORAN I
Ekstraksi Dengan Maserasi...............................................................................
LAPORAN II
Ekstraksi Dengan Perkolasi..............................................................................
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai