Anda di halaman 1dari 34

Laporan Praktikum

FARMAKOGNOSI
“SKRINING FITOKIMIA”
Ditujukan untuk memenuhi laporan praktikum farmakognosi

OLEH

KELOMPOK : V (LIMA)
KELAS : B S-1 FARMASI 2020
ASISTEN : SITI RAHMAWATI NAUE

LABORATORIUM BAHAN ALAM


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021
Lembar pengesahan

FARMAKOGNOSI
“SKRINING FITOKIMIA”

OLEH

KELAS : B S-1 FARMASI 2020


KELOMPOK : V (LIMA)

1. AFRIZAL JUSUF (821418078)


2. MOHAMAD ADITYA MAKU (821420059)
3. AFIFAH JIHAN FEBRIANA (821420043)
4. CHINTA SURYANINGRUM (821420064)
5. DELVIYANTI R. MOKO (821420038)
6. FITRI NENTO (821420068)
7. WULAN APRILIYANI PUTRI (821420056)

Gorontalo, Oktober 2021


NILAI
Mengetahui
Asisten

SITI RAHMAWATI NAUE


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warhmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga laporan praktikum kali ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa
kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi baik secara materi maupun secara lisan.
Harapan kami pada laporan kali ini, semoga laporan Farmakognosi dengan
judul “Skrining Fitokimia” ini dapat menambah referensi, pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya maupun menambah isi laporan
agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, maka
diyakini masih banyak kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan laporan ini.
Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.
Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh

Gorontalo, Oktober 2021

Kelompok V
DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Maksud Percobaan.....................................................................................2
1.3 Tujuan Percobaan......................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................4
2.1 Dasar Teori................................................................................................4
2.2 Uraian Tanaman.......................................................................................15
2.3 Uraian Bahan...........................................................................................17
BAB III METODE KERJA................................................................................22
3.1 Waktu dan Tempat...................................................................................22
3.2 Alat dan Bahan.........................................................................................22
3.3 Cara Kerja................................................................................................22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................23
4.1 Hasil Pengamatan....................................................................................23
4.2 Pembahasan.............................................................................................26
BAB V PENUTUP...............................................................................................30
5.1 Kesimpulan..............................................................................................30
5.2 Saran........................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi adalah ilmu yang mempelajari tentang cara membuat,
mencampur, meracik formulasi obat, identifikasi, kombinasi, analisisn dan
standarisasi atau pembakuan obat serta pengobatan, termasuk pula sifat-sifat obat
dan distribusinya serta penggunaan yang aman. Sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, ilmu farmasi pun mengalami perkembangan hingga terpecah
menjadi ilmu yang lebih khusus, tetapi saling berkaitan antara lain farmakologi,
galenika, kimia farmasi, dan botani, morfologi tumbuhan ataupun fakmakognosi
(Syamsuni,2006).
Farmakognosi adalah sebagai bagian ilmu farmasi, biokimia dan kimia
sintesa, sehingga ruang lingkupnya menjadi luas seperti yang diuraikan dalam
definisi Fluckiger. Sedangkan di Indonesia saat ini untuk praktikum
Farmakognosi hanya meliputi segi pengamatan makroskopis, mikroskopis dan
organoleptis yang seharusnya juga mencakup identifikasi, isolasi dan pemurnian
setiap zat yang terkandung dalam simplisia (Ansel, 1989).
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia nabati adalah simolisia yang berupa
tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanamna ialah isi
sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel dengan cara tertentu
dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lannya yang dengan cara tertentu
dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni simplisia hewani
adalah simplisia berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat yang berguna
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni dengan cara ekstraksi
atau dinyatakan lain (Medika Indonesia,1979)
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah

1
ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan
baku obat secara perkolasi atau maserasi dan evaporasi (Depkes RI, 2014).
Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan
mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi
dankepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel, 1989).
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperature
ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi digunakan untuk penyarian
simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari,
tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak
mengandung benzoin, sitrak, dan lain-lain. Maserasi dilakukan dengan merendam
serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan dapat
berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. (Sidik dan Mudahar, 2000).
Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan cara
merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada
tempetature kamar terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk kedalam sel
tanaman melewati didinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan didalam dengan diluar sel. Larutan yang konsentrasinya
tinggi akan terdeak keluar dan diganti oleh pelarutdengan konsentrasi rendah
(proses difusi) . peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi keseimbangan
antara larutan didalam sel dan diluar sel. (Ansel, 1989)
Evaporasi adalah proses pengentalan larutan dengan cara mendidihkan
atau menguapkan pelarut. Di dalam pengolahan hasil pertanian proses evaporasi
bertujuan untuk, meningkatkan larutan sebelum proses lebih lanjut, memperkecil
volume larutan, menurunkan aktivitas air aw (Praptiningsih 1999).
Evaporasi bertujuan untuk memekatkan larutan yang terdiri dari zat
terlarut yang tidak mudah menguap dan pelarut yang mudah menguap. Evaporasi
secara umum dapat didefinisikan dalam dua kondisi, yaitu: (1) evaporasi yang
berarti proses penguapan yang terjadi secara alami, dan (2) evaporasi yang
dimaknai dengan proses penguapan yang timbul akibat diberikan uap panas

2
(steam) dalam suatu peralatan. Evaporasi dapat diartikan sebagai proses
penguapan dari pada liquid (cairan) dengan penambahan panas (Robert B. Long,
1995).
Bedasarkan uraian latar belakang diatas, maka dilaksanakan praktikum
skrining fitokimia untuk mengidentifikasi senyawa metabolit sekunder yang
diduga memiliki aktifitas biologis sebagai bahan obat pada simplisia.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan skrining fitokimia?
2. Bagaimana hasil dari skrining fitokimia dari batang pakis rawa?
1.3 Tujuan Percobaan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami cara penarikan senyawa pada
sampel dengan maserasi.
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami cara evaporasi.
1.4 Manfaat percobaan
1. Ketepatan dalam melakukan skrining fitokimia
2. Mampu mengetahui perubahan yang terjadi pada sampel setelah bereaksi
dengan reagen.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Pengertian Simplisia
Simplisia atau herbal yaitu bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 600C.
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan
yang telah dikeringkan.Istilah simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat
alam yang masih berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan
bentuk (Gunawan, 2010).
Jadi simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibagi menjadi tiga golongan yaitu
simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral (Melinda, 2014).
2.1.2 Jenis Simplisia
1. Simplisia nabati
Simplisa nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian
tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara
spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan
dari selnya atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari
tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Depkes RI, 2000). Yang
dimaksud dengan eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari
tanaman atau yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat
nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya (Melinda,
2014).
2. Simplisia hewani
Simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna
yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Contohnya adalah
minyak ikan dan madu (Gunawan, 2010).

4
3. Simplisia mineral
Simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau
yang telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni
(Meilisa, 2009). Contohnya serbuk seng dan serbuk tembaga (Gunawan, 2010).
2.1.3 Proses Pembuatan Simplisia
1. Sortasi basah
Sortasi basah adalah pemilihan hasil panen ketika tanaman masih segar.
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan
asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak serta
pengotoran lainnya harus dibuang. Tanah yang mengandung bermacam-macam
mikroba dalam jumlah yang tinggi. Oleh karena itu pembersihan simplisia dan
tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Melinda, 2014).
2. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya
yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih,
misalnya air dan mata air, air sumur dan PDAM, karena air untuk mencuci sangat
mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal simplisia. Misalnya jika air yang
digunakan untuk pencucian kotor, maka jumlah mikroba pada permukaan bahan
simplisia dapat bertambah dan air yang terdapat pada permukaan bahan tersebut
dapat mempercepat pertumbuhan mikroba (Gunawan, 2010).
Bahan simplisia yang mengandung zat mudah larut dalam air yang
mengalir, pencucian hendaknya dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin
(Melinda, 2014).
3. Perajangan
Beberapa jenis simplisia perlu mengalami perajangan untuk memperoleh
proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang
akan dikeringkan maka semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat
waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga menyebabkan
berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga
mempengaruhi komposisi, bau, rasa yang diinginkan (Melinda, 2014).

5
Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin perajangan
khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang
dikehendaki (Gunawan, 2010).
4. Pengeringan
Proses pengeringan simplisia, terutama bertujuan sebagai berikut:
a. Menurunkan kadar air sehingga bahan tersebut tidak mudah ditumbuhi
kapang dan bakteri.
b. Menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut
kandungan zat aktif.
c. Memudahkan dalam hal pengolahan proses selanjutnya (ringkas, mudah
disimpan, tahan lama, dan sebagainya) (Gunawan, 2010).
Proses pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik dalam sel
bila kadar airnya dapat mencapai kurang dan 10%. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dari proses pengeringan adalah suhu pengeringan, lembaban udara,
waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Suhu yang terbaik pada
pengeringan adalah tidak melebihi 60o tetapi bahan aktif yang tidak tahan
pemanasan atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin,
misalnya 30o sampai 45 Terdapat dua cara pengeringan yaitu pengeringan
alamiah (dengan sinar matahari langsung atau dengan diangin-anginkan) dan
pengeringan buatan dengan menggunakan instrumen (Melinda, 2014).
5. Sortasi kering
Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami proses
pengeringan. Pemilihan dilakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu gosong atau
bahan yang rusak. Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan
simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-
bagian tanaman yang tidak diinginkan atau pengotoran-pengotoran lainnya yang
masih ada dan tertinggal pada simplisia kering (Melinda, 2014).
6. Penyimpanan
Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia perlu
ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara
simplisia satu dengan lainnya (Gunawan, 2010).

6
Untuk persyaratan wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus
simplisia adalah harus inert, artinya tidak bereaksi dengan bahan lain, tidak
beracun, mampu melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran,
serangga, penguapan bahan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air
(Melinda, 2014).
2.1.4 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan cara untuk mengidentifikasi bioaktif yang
belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan yang dapat dengan cepat
memisahkan antara bahan alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu
dengan bahan alam yang tidak memiliki kandungan fitokimia tertentu. Skrining
fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang
bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang
terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia
dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu
pereaksi warna. Hal penting ang berperan penting dalam skrining fitokimia
adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi (Kristianti dkk., 2008).
Skrining fitokimia serbuk simplisia dan sampel dalam bentuk basah
meliputi pemeriksaan kandungan senyawa alkaloida, flavonoida, terpenoida/
steroida, tanin dan saponin menurut prosedur yang telah dilakukan oleh Harbone
(Harbone, 1987) dan Depkes (Depkes, 1995).
Fitokimia merupakan ilmu pengetahuan yang menguraikan aspek kimia
suatu tanaman. Kajian fitokimia meliputi uraian yang mencangkup aneka ragam
senyawa organik yang dibentuk dan disimpan oleh organisme, yaitu struktur
kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara
alamiah dan fungsi biologisnya, isolasi dan perbandingan komposisi senyawa
kimia dari bermacam-macam jenis tanaman (Harborne, 1987; Sirait, 2007).
Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri komponen bioaktif suatu
ekstrak kasar y ang mempuny ai efek racun atau efek farmakologis lain y ang
bermanfaat bila diujikan dengan sistem biologi atau bioassay (Harborne, 1987).
Menurut Robinson (1991) alasan lain melakukan fitokimia adalah untuk
menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat,

7
yang ditunjukan oleh ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologis.
Pemanfaatan prosedur fitokimia telah mempunyai peranan yang mapan dalam
semua cabang ilmu tumbuhan. Meskipun cara ini penting dalam semua telaah
kimia dan biokimia juga telah dimanfaatkan dalam kajian biologis.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut Moelyono (1996) analisis fitokimia
merupakan bagian dari ilmu farmakognosi yang mempelajari metode atau cara
analisis kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan atau hewan secara
keseluruhan atau bagian-bagiannya, termasuk cara isolasi atau pemisahannya.Pada
tahun terakhir ini fitokimia atau kimia tumbuhan telah berkembang menjadi satu
disiplin ilmu tersendiri, berada diantara kimia organik bahan alam dan biokimia
tumbuhan, serta berkaitan dengan keduanya. Bidang perhatiannya adalah aneka
ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu
mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya,
penyebarannya secara ilmiah dan fungsi biologisnya (Harborne, 1984).
Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen kimia pada
tumbuhan tersebut secara kualitatif. Misalnya: identifikasi tannin dilakukan
dengan menambahkan 1-2 ml besi (III) klorida pada sari alkohol. Terjadinya
warna biru kehitaman menunjukkan adanya tanin galat sedang warna hijau
kehitaman menunjukkan adanya tanin katekol. Alkaloid mencakup senyawa
bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam
gabungan sebagai bagian dari system siklik. Alkaloid sering kali beracun bagi
manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol, jadi
digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Uji sederhana, tapi sama sekali
tidak sempurna untuk alkaloid dalam daun atau buah segar adalah rasa pahitnya di
lidah (Harborne, 1996 ; Praptiwi et al, 2006).
Penapisan fitokimia dimulai dengan pengumpulan sampel sebanyak
mungkin. Oleh karena kegiatan ini memakan waktu cukup lama maka penapisan
fitokimia memegang peranan terbesar dari kegiatan kimia bahan alam. Sekalipun
kegiatan ini bertitik tolak pada daya tarik kimiawi, hal ini tidaklah mengurangi
manfaat hasil penelitian. Spesies-spesies yang telah dianalisis secara fitokimia

8
akan diinventarisasi untuk ditelaah lebih lanjut mengenai struktur kimia senyawa-
senyawa aktifnya (Farnswort, 1966 dan Lajis, 1985).
2.1.5 Metabolit Sekunder
Metabolisme pada makhluk hidup dapat dibagi menjadi metabolisme
primer dan metabolisme sekunder. Metabolisme primer pada tumbuhan, seperti
respirasi dan fotosintesis, merupakan proses yang esensial bagi kehidupan
tumbuhan. Tanpa adanya metabolisme primer, metabolisme sekunder merupakan
proses yang tidak esensial bagi kehidupan organisme. Tidak ada atau hilangnya
metabolit sekunder tidak menyebabkan kematian secara langsung bagi tumbuhan,
tapi dapat menyebabkan berkurangnya ketahanan hidup tumbuhan secara tidak
langsunng (misalnya dari serangan herbivordan hama), ketahanan terhadap
penyakit, estetika, atau bahkan tidak memberikan efek sama sekali bagi tumbuhan
tersebut (Anggarwulan dan Solichatun, 2001).
Pada fase pertumbuhan, tumbuhan utamanya memproduksi metabolit
primer, sedangkan metabolit sekunder belum atau hanya sedikit diproduksi.
Sedangkan metabolisme sekunder terjadi pada saat sel yang lebih terspesialisasi
(fase stasioner (Najib, 2006).
Metabolit sekunder yang terdapat pada bahan alam merupakan hasil
metabolit primer yang mengalami reaksi yang spesifik sehingga menghasilkan
senyawa-senyawa tertentu. Metabolit sekunder merupakan produk metabolisme
yang khas pada suatu tanaman yang dihasilkan oleh suatu organ tapi tidak
dimanfaatkan secara langsung sebagai sumber energi bagi tanaman tersebut (Taiz
dan Zeiger, 1998).
Metabolit sekunder tanaman dihasilkan melalui reaksi metabolisme
sekunder dari bahan organik primer (karbohidrat, protein dan lemak)
(Anggarwulan dan Solichman, 2001)
Metabolit sekunder merupakan senyawa yang disintesis tanaman dan
digolongkan menjadi lima yaitu glikosida, terpenoid, fenol, flavonoid dan
alkaloid (Vickery dan Vickery, 1981).
Metabolit sekunder disebut juga dengan fitoaleksin. Fitoaleksin
didefinisikan sebagai senyawa kimia yang mempunyai berat molekul rendah

9
dan memiliki sifat antimikroba atau antiparasit. Senyawa ini diproduksi oleh
tanaman pada waktu mengalami infeksi atau cekaman (stress) lingkungan.
Fitoaleksin merupakan senyawa kimia yang berasal dari derivat flavonoid dan
isoflavon, turunan sederhana dari fenilpropanoid, dan derivat dari sesquiterpens.
Fitoaleksin berasal dari biosintesis metabolit primer yaitu seperti 6-
methoxymellein dan sesquiterpens serta derivat dari asam melonat dan asam
mevalonat. Fitoaleksin dapat terjadi dari dua jalur yaitu jalur asam mevalonat dan
jalur biosintesa deoksiselulosa difosfat. Biosintesis fitoaleksin menggunakan
prekursor yang berasal dari jalur metabolit sekunder (Hammerschmidt, 1999
dalam Simanjuntak, 2002).
2.1.6 Senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan
1. Flavonoid
Falvonoid sering terdapat sebagai glikosida, golongan terbesar flavonoid
berciri mempunyai cincin piran yang menghubungkan rantai tiga karbon dengan
salah satu dari cincin benzene. Efek flavonoid terhadap macam-macam organism
sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang
mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional. Flavonoid tertentu
merupakan komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara tradisional untuk
mengobati gangguan hati (Robinson, 1995).
Pemeriksaan golongan flavonoid dapat dilakukan dengan uji warna yaitu
fitokimia untuk menentukan keberadaan senyawa golongan flavonoid dan uji
adanya senyawa polifenol. Uji keberadaan senyawa flavonoid dari dalam sampel
digunakan uji Wilstatter, uji Bate-Smith, dan uji dengan NaOH 10%. Sedangkan
uji adanya senyawa polifenol dilakukan dengan larutan penambahan FeCl3
adapun uji tersebut secara lengkap sebagai berikut (Achmad, 1986., Harbone,
1987)
Berikut penjelasan beberapa cara yang biasa ditempuh dalam skrining
fitokimia. Pemeriksaan golongan flavonoid dapat dilakukan dengan uji warna
yaitu fitokimia untuk menentukan keberadaan senyawa golongan flavonoid dan
uji adanya senyawa polifenol. Uji keberadaan senyawa flavonoid dari dalam
sampel digunakan uji Wilstatter, uji Bate-Smith, dan uji dengan NaOH 10%.

10
Sedangkan uji adanya senyawa polifenol dilakukan dengan larutan penambahan
FeCl3 adapun uji tersebut secara lengkap sebagai berikut (Achmad, 1986.,
Harbone, 1987):
1. Uji Wilstatter
Isolat ditambahakan 2-4 tetes HCl pekat dan 2-3 potong kecil logam Mg.
Perubahan warna terjadi diamati dari kuning tua menjadi orange (Achmad,
1986).
1. Uji Bate-Smith
Isolat ditambahkan HCl pekat lalu dipanaskan dengan waktu 15 menit di
atas penangas air. Reaksi positif jika memberikan warna merah (Achmad, 1986).
2. Uji dengan NaOH 10%
Isolat ditambahkan pereaksi NaOH 10% dan reaksi positif apabila terjadi
perubahan warna yang spesifik (Harbone, 1987).
3. Uji Golongan Polifenol
Isolat ditambahkan larutan FeCl3 10% dalam akuades. Reaksi positif jika
memberikan warna hijau, merah, ungu, biru, atau hitam yang kuat (Harbone,
1987)
2. Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa organik siklik yang mengadung nitrogen dengan
bilangan oksidasi negatif, yang penyebarannya terbatas pada makhluk hidup.
Alkaloid juga merupakan golongan zat metabolit sekunder yang terbesar, yang pada
saat ini telah diketahui sekitar 5500 buah. Alkaloid pada umumnya mempunyai
keaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloid sering
dimanfaatkan untuk pengobatan. Struktur dari alkaloid beranekaragam, dari mulai
alkaloid berstruktur sederhana sampai yang rumit.. Banyak sekali alkaloid yang
khas pada suatu tumbuhan atau beberapa tumbuhan sekerabat, sehingga nama
alkaloid sering diturunkan dari sumber tumbuhan penghasilnya. Misalnya alkaloid
Atropa atau alkaloid tropana, dan sebagainya ( Noval dkk, 2018).
Garam alkaloid dan alkaloid bebas biasanya berupa senyawa padat,
berbentuk kristal tidak berwarna (berberina dan serpentina berwarna kuning).
Alkaloid sering kali optik aktif, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang

11
dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa kasus dikenal campuran rasemat, dan
pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan lain
mengandung enantiomernya (Padmawinata, 1995).
Ada juga alkaloid yang berbentuk cair, seperti konina, nikotina, dan
higrina. Sebagian besar alkaloid mempunyai rasa yang pahit. Alkaloid juga
mempunyai sifat farmakologi. Sebagai contoh, morfina sebagai pereda rasa sakit,
reserfina sebagai obat penenang, atrofina berfungsi sebagai antispamodia, kokain
sebagai anestetiklokal, dan strisina sebagai stimulan syaraf (Ikan, 1969).
Alkaloid telah dikenal selama bertahun-tahun dan telah menarik perhatian
terutama karena pengaruh fisiologinya terhadap mamalia dan pemakaiannya di
bidang farmasi, tetapi fungsinya dalam tumbuhan hampir sama sekali kabur.
Beberapa pendapat mengenai kemungkinan perannya dalam tumbuhan sebagai
berikut (Padmawinata, 1995):
Alkaloid berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam
urat dalam hewan (salah satu pendapat yang dikemukan pertama kali, sekarang
tidak dianut lagi). Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tandon
penyimpanan nitrogen meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami
metabolisme lebih lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen.
Suatu cara mengklasifikasi alkaloid adalah didasarkan pada jenis cincin
heterosiklik nitrogen yang terikat. Menurut klasifikasi ini alkaloid dibedakan
menjadi ; pirolidin piperidin , isoquinolin , quinolin dan indol. Alkaloid pada
umumnya berbentuk kristal yang tidak berwarna, ada juga yang berbentuk cair
seperti koniina, nikotin . Alkaloid yang berwarna sangat jarang ditemukan
misalnya berberina berwarna kuning. Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa
ini mudah terdekomposisi terutama oleh panas, sinar dan oksigen membentuk N-
oksida. Jaringan yang masih mengandung lemak, maka dilakukan ekstraksi
pendahuluan petroleum eter.
Uji alkaloid dilakukan dengan cara melarutan ekstrak uji sebanyak 2 mL
diuapkan di atas cawan porselin hingga di dapat residu. Residu kemudian
dilarutkan dengan 5 mL HCl 2 N. Larutan yang didapat kemudian dibagi ke
dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan dengan HCl 2 N yang

12
berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan pereaksi Dragendorff
sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi Mayer sebanyak 3
tetes.
Terbentuknya endapan jingga pada tabung kedua dan endapan putih
hingga kekuningan pada tabung ketiga menunjukkan adanya alkaloid (Jones
and Kinghorn, 2006)
Sampel dikatakan mengandung alkaloid jika reaksi positif yang
membentuk endapan sekurang-kurangnya dua reaksi dari golongan reaksi
pengendapan yang dilakukan. Sebagian besar alkaloid tidak larut atau sedikit larut
dalam air, tetapi bereaksi dengan asam membentuk garam yang larut dalam air.
Alkaloid bebas biasanya larut dalam eter atau kloroform maupun pelarut nonpolar
lainnya kebanyakan berbentuk kristal, meskipun ada beberapa yang amorf dan
hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar. Garam alkaloid berbentuk
kristal. Alkaloid biasanya tidak berwarna dan memiliki rasa pahit (Setiawan,
2013).
3. Saponin
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat menimbulkan busa
jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan
hemolisis sel darah merah. Saponin digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis
hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan. Dua jenis saponin yang
sering dikenal yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid
tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal. Kedua jenis saponin ini larut
dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter (Robinson, 1995).
Menurut Simes et al. (Sangi et al., 2008) uji saponin dilakukan dengan
cara memasukkan ekstrak sampel daun sebanyak 1 gram ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan akuades hingga seluruh sampel terendam, dididihkan
selama 2-3 menit, dan selanjutnya didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat.
Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil.
4. Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik

13
yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan
berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tak
berwarna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optis aktif, yang
umurnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya. Uji yang banyak
digunakan adalah Lieberman Buchard yang dengan kebanyakan triterpen dan
sterol memberikan warna hijau biru. Triterpenoid dapat digolongkan menjadi
triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung (Harborne, 1996).
Uji triterpenoid dilakukan dengan cara melarutan uji sebanyak 2 mL
diuapkan. Residu yang diperoleh dilarutkan dalam 0,5 mL kloroform, lalu
ditambah dengan 0,5 mL asam asetat anhidrat. Selanjutnya, campuran ini
ditetesi dengan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding tabung tersebut. Bila
terbentuk warna hijau kebiruan menunjukkan adanya sterol. Jika hasil yang
diperoleh berupa cincin kecokelatan atau violet pada perbatasan dua pelarut,
menunjukkan adanya triterpenoid (Jones and Kinghorn, 2006; Evans, 2009).
5. Steroid
Steroid merupakan terpenoid lipid yang dikenal dengan empat cincin
kerangka dasar karbon yang menyatu. Struktur senyawanya pun cukup beragam.
Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya gugus fungsi teroksidasi yang
terikat pada cincin dan terjadinya oksidasi cincin karbonya. Steroid berperan
penting bagi tubuh dalam menjaga keseimbangan garam, mengendalikan
metabolisme dan meningkatkan fungsi organ seksual serta perbedaan fungsi
biologis lainnya antara jenis kelamin. Tubuh manusia memproduksi steroid secara
alami yang terlibat dalam berbagai proses metabolisme. Sebagai contoh steroid
dari garam empedu, seperti garam deoksikolik, asam kholik dan glisin serta
konjugat taurin yang berfungsi memperlancar proses pencernaan (Bhawani dkk.,
2011 ; Samejo dkk., 2013).
Berdasarkan sumbernya steroid dibedakan atas steroid sisntetis dan alami.
Steroid sintetis yang umum digunakan adalah glukokortikosteroid, estrogen,
metilprednisolon, kortikosteroid, androgen, squalamine dan hydrocortisone.
Senyawa ini juga digunakan untuk pengobatan penyakit akibat kelebihan atau

14
kekurangan hormon, penyakit berbahaya serta penyakit lainnya seperti radang
sendi dan alergi (Bhawani dkk., 2011)
2.2 Uraian Tanaman
2.2.1 Pakis Rawa (Ceratopteris thalictroides (L.))
a. Klasifikasi Tanaman menurut Lloyd (1973),
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Pteridophyta
Kelas : Pteridopsida
Sub Kelas : Polypoditae
Ordo : Polypodiales Gambar 2.2.1
Pakis Rawa
Famili : Pteridaceae (Ceratopteris
Genus : Ceratopteris thalictroides (L.))
Spesies : Ceratopteris thalictroides (L.)
a. Morfologi
Menurut Yeow – Chin (1984), Ceratopteris merupakan salah satu
tumbuhan paku yang hidup di air. namanya berasal dari bahasa Yunani Cerato –
pteris (paku bertanduk) yang mengacu pada daun fertilnya yang tampak seperti
tanduk.
Menurut Nooteboome (2000), Marga Ceratopteris merupakan anggota
suku Pteridaceae, anak suku Ceratopterioideae. Anggota dari marga Ceratopteris
ini merupakan paku homospor dan hidup di sekitar wilayah tropik. Di indonesia
sendiri, distribusi marga ini meliputi hampir seluruh kepulauan Indonesia. Lloyd
(1974), melaporkan terdapat empat jenis Ceratopteris yang berbeda
yaitu C.  thalictroides (L.) Brongn., C. cornuta (Pal. Beauv.) Le Prieur, C.
pterioides (Hook.) Hieron (dilaporkan oleh Benedict sebagai C. Lochartii) dan C.
richardii Brongn. (dilaporkan oleh Benedict sebagai C. deltoidea). Jenis yang
kompleks dan pembatasan definisi dalam marga ini cukup membingungkan
dikarenakan adanya keanekaragaman dalam bentuk, ukuran dan percabangan pada
daun steril yang mungkin bisa dikenali sebagai takson berbeda di bawah jenis.

15
Menurut Lloyd (1973), Ceratopteris adalah genus dari pakis homosporous
ditemukan di sebagian besar daerah tropis dan sub-tropis di dunia. Spesies tumbuh
sebagai pergerakan atau sub-air dan hal ini terbatas dalam habitat kolam, sungai
atau daerah basah intermiten seperti selokan, beras atau patch talas. Sebagian
besar spesies dapat berhasil tumbuh dalam budaya pot rumah kaca standar di
bawah hangat, kondisi lembab. Saat ini, aplikasi komersial terutama terbatas pada
penggunaannya sebagai tanaman akuarium, yang dijual dengan nama umum dari
'sprite air' dan bahkan telah diabadikan dalam replika plastic. Beberapa spesimen
pakis rawa dalam bentuk anakan juga ditemukan di tepi-tepi kolam milik
penduduk dengan kondisi tanah yang berlumpur, juga diselokan-selokan tanah
yang ada di sekitar areal persawahan (Hickok, 1998).
Ceratopteris juga memiliki kemampuan untuk hidup sukses menghasilkan
akar berserat dalam air dan lembab atau tanah basah. Hal ini disebut sebagai mode
amfibi hidup. Variasi dalam aspek kuantitatif fitur vegetatif adalah relevansi
begitu tinggi penting diagnostik dan penekanan yang dapat ditempatkan pada
mereka untuk evaluasi taksonomi pakis (Oloyede,2011).
c. Khasiat dan Kegunaan
Salah satu anggota marga ini yaitu Ceratopteris thalictroides (L.) Brongn.
Banyak dimanfaatkan sebagai tanam di akuarium, kolam atau pot tanah sebagai
hiasan. Pteridophyta memiliki banyak manfaat bagi manusia, yaitu sebagai
tanaman hias contoh Platycerium, Adiantum, Asplenium dan Sellaginella; sebagai
sayuran yaitu Marsilia crenata, Pteridium aquilinu; sebagai dekorasi dan karangan
bunga yaitu Gleichenia linearis; sebagai bahan pembersih yaitu Equisetum dan
sebagai obat-obatan tradisional (Sastrapradja, 1979; Nasution & Kardhinata,
2018).
d. Kandungan Kimia
Menurut Merlina & Ngadiani (2020), tumbuhan ini berkhasiat sebagai obat
kulit karena memiliki kandungan metabolit sekunder berupa flavonoid, saponin,
kardenolin, dan tanin. Kandungan senyawa tersebut berfungsi mendenaturasi
protein sel jamur dan bersifat lipofilik, sehingga efektif untuk menghambat
pertumbuhan jamur, khususnya Candida albicans yang menyebabkan penyakit

16
panu. Paku rawa (Ceratopteris thalictroides) dapat digunakan sebagai obat bisul,
kurap dan bengkak pada kulit. Tumbuhan Paku rawa (Ceratopteris thalictroides)
mengandung senyawa bersifat diuretik, antipruritik dan antibengkak
(Sastrapradja, 1979).
e. Nama tanaman lain
Di indonesia jenis ini dikenal sebagai pakis rawa. Masyarakat di Sumatera
bahkan menyebutnya dengan pakis roman. Terdapat dua macam ental, yang steril
dan yang fertil. Ental steril biasanya lebih pendek daripada yang fertil dengan
daun yang lebih lebar dan tidak menggulung pada bagian tepinya. Ental yang
fertil berdaun panjang dan lebih sempit dengan bagian tepi yang menggulung
melindungi sporangium yang berjajar di bagian tersebut. C. Thalictroides (L.)
Brongn. Bisa menjadi gulma bila tumbuh di sawah karena banyak mengambil
nutrisi dari dalam tanah sehingga pertumbuhannya menjadi sangat cepat
(Sastrapradja, 1979).
2.3 Uraian Bahan
2.3.1 Alkohol (Dirjen POM, 1995; Rowe et al.,2009)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol, Alkohol, Etil Alcohol, Etil hidrosida,
Methylcarbinol
Rumus Molekul : C2H5OH
Berat molekul : 46,07 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan


mudah bergerak, bau khas, rasa panas dan mudah
terbakar
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam klorofom P
dan dalam eter P

17
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
Cahaya, ditempat sejuk, dan jauh dari nyala api
Khasiat : Antiseptik dan disinfektan
2.3.2 Aquadest (Depkes RI, 1979; Rowe et al.,2009)
Nama Resmi : AQUA DESTILLATA
Nama Lain : Air Suling
Rumus Struktur :

Rumus Molekul : H2O


Berat Molekul : 18,02 gr/mol
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa
Kelarutan : Larut dengan semua jenis larutan
Khasiat : Dapat melarutkan berbagai zat
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup
Kegunaan : Sebagai pembersih alat-alat agar steril
2.3.3 Asam Klorida (Dirjen POM, 1979; Pubchem, 2019)
Nama resmi : ACIDUM HYDROCHLORIDUM
Nama lain : Asam klorida
Rumus molekul : HCl
Berat molekul : 36,46 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna, berasa asam, bau jika


diencerkan dengan 2 bagian volume air
Kelarutan : Larut dalam air dan etanol 95% P
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Khasiat : Digunakan untuk titrasi penentuan kadar basa

18
dalam sebuah larutan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.3.4 Dragendoff (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : BISMUTH SUBNITRAS
Nama lain : Bismuth subnitrat
Rumus molekul : BiNO33
Berat molekul : 394,99 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk hablur putih, tidak berbau, tidak berasa,


berat.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam pelarut
organik, larut sempurna dalam asam klorida
dan dalam asam nitrat
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Khasiat : Adstringen saluran pencernaan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2.3.5 Asam sulfat (Dirjen POM,1979 ; Rowe et al, 2009)
Nama resmi : ACIDUM SULFURICUM
Nama lain : Asam sulfat
Rumus kimia : H2SO4
Berat molekul : 98,07 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan kental seperti minyak, korosif, tidak


berwarna; jika ditambahkan ke dalam air
menimbulkan panas

19
Kelarutan : Mudah larut dalam air
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai pereaksi
2.3.6 Magnesium (Dirjen POM, 1995)
Nama resmi : MAGNESII HYDROXIDUM
Nama lain : Magnesium hidroksida
Rumus molekul : Mg(OH)2
Berat molekul : 8,32 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Serbuk putih


Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan etanol larut
dalam
asam encer
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Khasiat : Zat tambahan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.3.7 Asam asetat (Dirjen POM,1979 ; Rowe et al, 2009)
Nama resmi : ACIDUM ACETICUM
Nama lain : Asam asetat
Rumus kimia : CH3COOH
Berat molekul : 60,05 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, bau menusuk,rasa


asam tajam
Kelarutan : Dapat larut dalam air, enanol 95% P dan gliserolP

20
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Khasiat : Zat tambahan

21
BAB III
METODE KERJA
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Skrining Fitokimia dilaksanakan pada tanggal 2 oktober 2021
pukul 11.40 – 13.40 WITA. Pelaksanaan praktikum bertempat di Laboratorium
bahan alam, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas
Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum yaitu, Cawan porselin, Lap
kasar dan Lap halus, Pipet, Rak tabung reaksi, Spatula, Tabung reaksi
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum yaitu Alkohol 70%,
Aquadest, Etanol 96%, Pereaksi Dargendorff, Pereaksi Hcl, Pereaksi H2SO4,
Sampel ekstrak kental batang pakis rawa, Serbuk msgnesium, Tisu
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Skrining Fitokimia
1. Disiapkan alat bahan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Diberikan label pada tabung reaksi (Alkaloid, Flavonoid, Terpenoid,
Steroid, Saponin)
4. Dimasukan ekstrak kental pakis rawa kedalam cawam porselin
5. Ditambahkan etanol 96% decukupnya lalu di aduk hingga homogen
6. Dituang masing masing kedalam tabung reaksi sampel batang pakis rawa
a. Alkaloid ditambahkan reagen mayer dan pereaksi dragendorff
b. Tanin ditambahkan FeCL3
c. Saponin ditambahkan air panas
d. Steroid ditambahkan liberman buchard
e. Flavonoid ditambahkan magnesium dan Hcl
7. Diamati perubahan yang terjadi

22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Pengamatan
Hasil pengamatan
Sampel Pereaksi Keterangan
Sebelum Sesudah

1. Uji alkaloid 1. Uji alkaloid Dragen droof Positif


alkaloid

Ekstrak
kental
(Berwarna (Berwarna
Batang
kuning cokelat)
Pakis Rawa
kehijauan)
(Cheratopteri
s 2. Uji flavonoid 2. Uji Flavonoid HCl dan Positif
thallictroides serbuk flavonoid
L.) magnesium

(Berwarna (Berwarna
kuning merah
kehijauan) kecokelatan)

3. Uji saponin 4. Uji saponin Air panas Negatif


Saponin
(
B e
r
(Berwarna
warna kuning
kuning
kehijauan dan
kehijauan)
tidak terdapat

23
busa)

4. Uji steroid 4. Uji steroid Asam asetat Negatif


(CH3COOH) Steroid

(Berwarna (Berwarna
kuning kuning
kehijauan) kehijauan)

5. 5. Uji terpenoid Asam Sulfat Positif


Uji (H2SO4) terpenoid

terpenoid
(Berwarna ungu
(Berwarna kecokelatan)
kuning
kehijauan)

4.1.2 Reaksi
Senyawa Reaksi

Dragendroff
Alkaloid CBi (NO3)3 + 3KI BiI3 + 3KNO3
BiI3 + KI K [BiI4]

Saponin Air panas

24
Flavonoid Serbuk magnesium dan HCl (Septyaningsih, 2010)

Terpenoid H2SO4

Steroid CH3COOH

4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan uji kandungan senyawa-
senyawa metabolit sekunder dan ekstrak kental daun siri hutan atau percobaan
skrining fitokimia. Menurut Marline (2019), skrining fitokimia atau disebut juga
penapisan fitokimia merupakan uji pendahuluan dalam menentukan golongan
senyawa metabolit sekunder yang mempunyai aktivitas biologi dari suatu
tumbuhan. Skrining fitokimia tumbuhan dijadikan informasi awal dalam
mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat didalam suatu tumbuhan.
Skrining fitokimia dilakukan dengan menggunakan pereaksi-pereaksi tertentu
sehingga dapat diketahui golongan senyawa kimia yang terdapat pada tumbuhan
tersebut.

25
Pada skrining fitokimia, dilakukan uji alkaloid, saponin, flavonoid, tanin
dan steroid pada sampel daun siri. Menurut Dayanti (2012), alkaloid merupakan
senyawa metabolit sekunder terbanyak yang memiliki atom nitrogen, yang
ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan, sebagian besar alkaloid
bersumber dari tumbuhan.
Adapun sampel yang digunakan pada praktikum kali ini adalah pakis rawa
(Ceratopteris thalictroides) dimana menurut Lubis (2009) sejak dulu tumbuhan
paku telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan (sayuran) oleh manusia terutama
oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Saat ini pemanfaatannya sudah
berkembang sebagai material baku untuk pembuatan kerajinan tangan, tumbuhan
obat karena banyaknya atau beragamnya jenis tumbuhan paku. Dengan
beragamnya tumbuhan paku ini, banyak diantaranya mempunyai bentuk yang
menarik sehingga bagus untuk dijadikan sebagai tanaman hias.
Sebelum masuk pada tahap kerja disiapkan alat dan bahan terlebih dahulu
dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%. Menurut Pratiwi (2008). karena
alkohol berfungsi sebagai desintifektan dengan cara melarutkan lipid pada
membran sel mikorganisme dan juga mendenaturasi protein yang dimiliki oleh
mikro organisme tersebut, sehingga alat praktikum yang diolesi alkohol akan
berkurang angka hitung kumannya. Kemudian diambil ekstrak pakis rawa
(Ceratopteris thalictroides) dimasukan kedalam cawan porselin. Menurut Sunarti
(2000), digunakan cawan porselin sebagai wadah untuk dilarutkannya atau
mereaksikan suatu sampel dengan pelarut. Setelah itu, diukur etanol sebanyak 20
ml. Menurut Atmojo (2011), pengukuran sangat penting dilakukan karena untuk
menghindari kesalahan saat pengukuran bobot suatu bahan yang akan ditimbang.
Selanjutnya dimasukkan etanol 96% ke dalam cawan porselin yang berisi ekstrak
kental. Menurut Atmojo (2013), digunakan untuk melarutkan ekstrak kental.
Setelah itu, sampel diaduk hingga larut. Menurut Sangi (2013), pengadukan
bertujuan untuk menghomogenkan larutan dari suatu sampel. Kemudian larutan
dimasukan kedalam tabung-tabung reaksi yang telah diberi label untuk menguji
kandungan metabolit sekunder yang ada dalam sampel pakis rawa.
4.2.1 Uji Alkaloid

26
Menurut Simbala (2009), Alkaloid merupakan salah satu metabolisme
sekunder yang terdapat pada tumbuhan, yang bisa dijumpai pada bagian daun,
ranting, biji, dan kulit batang. Alkaloid mempunyai efek dalam bidang kesehatan
berupa pemicu sistem saraf, menaikkan tekanan darah, mengurangi rasa sakit,
antimikroba, obat penenang, obat penyakit jantung dan lain-lain lain.
Pada uji alkaloid digunakan reagen dragendroof dimana menurut Harbone
(1978), reagen dragendroof adalah reagen warnah dan endapan untuk mendeteksi
senyawa alkaloid dalam sampel uji.
Tahap pertama yang dilakukan yaitu dengan menetesi larutan sampel pakis
rawa (Ceratopteris thalictroides) dengan pereaksi dragondoof sebanyak 5 tetes
kemudian dikocok hingga homogen. Menurut Hariyanti (2004), untuk
mendapatkan pengaruh proses distribusi suatu larutan sehingga dapat
mempengaruhi proses reaksi antara reagen dengan larutan sampel.
Dari uji alkaloid menggunakan pereaksi dragendroof, didapatkan hasil
bahwa terdapat endapan pada sampel dan dan terjadi perubahan warnah dari
kuning kehijauan menjadi endapan coklat sehingga dapat disimpulkan bahwa
sampel pakis rawa (Ceratopteris thalictroides) mengandung senyawa alkaloid
karena menurut Kristanti dkk (2008), timbulnya endapan berwarna coklat
kemerahan diidentifikasi menunjukan adanya senyawa alkaloid pada sampel.

4.2.2 Uji Flavonoid


Menurut Rajalakshmi dan S.Narasimhan (1985), Flavonoid merupakan
salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan
di dalam jaringan tanaman
Pada uji kandungan senyawa flavonoid dengan pereaksi serbuk magnesium
sebanyak 1 gram dan menambahkan reagen hcl pada larutan sampel sebanyak 5
tetes sambil dikocok hingga homogen. Proses pengocokan menurut Hariyatimi
(2004), untuk dapat mempengaruhi proses distribusi dilakukan pengocokan pada
suatu larutan sehingga dapat mempercepat proses reaksi antara pereagen dan
larutan sampel. Kemudia terjadi berubah warnah kuning atau merah bata sehingga
menunjukkan bahwa sampel pakis rawa (Ceratopteris thalictroides) mengandung

27
senyawa flavonoid karena menurut Depkes RI (1979), Perubahan warna larutan
menjadi warna kuning, jingga, merah dan hijau menandakan adanya flavonoid.
4.2.3 Uji Saponin
Menurut Hostettmann dan Marston (1995), Saponin adalah glikosida dengan
berat molekul tinggi, tersusun dari gula yang terhubung dengan triterpen atau
steroid aglikon.
Pada uji kandungan senyawa saponin digunakan air panas sebagai pereaksi
dengan cara menuangkan air panas pada sampel sebanyak 5 tetes sambil dikocok
hingga terjadi adanya perubahan warnah hijau mudah dan berbuih, namun pada
sampel pakis rawa tidak terjadi perubahan warna hijau dan berbuih, sehingga
sampel pakis rawa (Ceratopteris thalictroides) tidak mengandung senyawa
saponin Menurut Harborne (1987), adanya kandungan saponin ditandai adanya
berbentuknya buih penurunan tegangan permukaan pada cairan/air yang
disebabkan karena adanya senyawa sapo.
4.2.4 Uji Steroid
Menurut Samejo (2013), steroid merupakan terpenoid lipid yang dikenal
dengan empat cincin kerangka dasar karbon yang menyatu. Steroid berperan
penting bagi tubuh dalam menjaga keseimbangan garam mengendalikan
metabolism dan meningkatkan fungsi organ seksual perbedaan fungsi biologis.
Pada uji kandungan senyawa steroid menggunakan pereaksi asam asetat
(CH3COOH) dengan cara menuangkan reagen kedalam sampel sebanyak 5 tetes
kemudian dikocok hingga terjadi perubahan warna dari kuning kehijauan menjadi
kuning kehijauan sehingga sampel pakis rawa (Ceratopteris thalictroides) tidak
mengandung senyawa steroid. Karena menurut Depkes RI (1979), jika terbentuk
cincin biru atau hijau, maka menandakan adanya kelompok senyawa steroid.
4.2.5 Uji Terpenoid
Menurut Setiawati dan Zunilda (2001), Senyawa golongan terpenoid
merupakan komponen penting dari banyak ekstrak kayu dan juga merupakan
konstituen utama dari ekstrak yang diperoleh dengan pelarut non polar. Peran
terpenoid yang sudah banyak diketahui adalah terpenoid sebagai zat pengatur

28
tumbuh dan anti rayap sedangkan terpenoid sebagai bahan aktif insektisida
biologis dan antioksidan belum banyak diketahui.
Pada uji kandungan senyawa terpenoid menggunakan pereaksi asam sulfat
(H2SO4) dengan cara menuangkan reagen kedalam sampel sebanyak 5 tetes,
kemudian dikocok hingga homogen. Proses pengocokan menurut Hariyatimi
(2004), untuk dapat mempengaruhi proses distribusi dilakukan pengocokan pada
suatu larutan sehingga dapat mempercepat proses reaksi antara pereagen dan
larutan sampel. Kemudian diamati perubahan yang terjadi pada sampel yaitu
sampel berubah menjadi warnah ungu kecoklatan sehingga sampel pakis rawa
mengandung senyawa terpenoid. Menurut Bhernama (2020), Jika positif
teridentifikasi terpenoid ditandai dengan terbentuknya cincin kecoklatan atau
violet pada perbatasan larutan.
Kemungkinan kesalahan yang dilakukan pada percobaan kali ini yaitu
kesalahan dalam pengumpulan data dan jumlah pereaksi yang digunakan dalam
pengujian yang tidak tepat yang sangat berpengaruh pada hasil akhir dari
identifikasi senyawa yang dilakukan.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Jadi dari percobaan praktikum farmakognosi ini kami dapat menyimpulkan
5.1.1 Skrining fitokimia merupakan cara untuk mengidentifikasi bioaktif yang
belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan yang dapat dengan cepat
memisahkan antara bahan alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu
dengan bahan alam yang tidak memiliki kandungan fitokimia tertentu.
5.1.2 Dapat disimpulkan pada percobaaan skrining fitokimia ekstrak batang pakis
rawa mengandung flavonoid dikarenakan sampel bereaksi setelah
penambahan serbuk mg+HCL2N dan positif mengandung alkaloid karena
terdapat endapan coklat setelah penambahan reagen dragendorff, serta
positif saat uji terpenoid karena berubah menjadi keunguan setelah

29
penambahan asam sulfat. Tetapi negativ pada uji steroid dan saponin karena
tidak menujukan perubahan.
5.2 Saran
5.2.1 Saran untuk jurusan
Sarana dan prasarana penyimpanan yang tersedia di laboratorium farmasi
bahan alam universitas negeri gorontalo masih kurang lengkap jadi kami
sebagai praktikan menyarankan untuk kelengkapan alat praktikum itu
sendiri
5.2.2 Saran untuk asisten
Untuk para asisten laboratorium farmasi bahan alam disarankan untuk lebih
memperhatikan dan membimbing praktikan saat berlangsungnya praktikum
5.2.3 Saran untuk Laboratorium
Semoga kelengkapan daran dan prasaran yang ada di laboratorium Bahan
alam Universitas Negeri Gorontalo dapat semakin lengkap dan terfasilitasi

30

Anda mungkin juga menyukai