Anda di halaman 1dari 6

TINJAUAN PUSTAKA

Manajemen Perioperatif
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Ina Ariani Kirana Masna*, Muhammad Fachri**
* Dokter Spesialis Paru di Jakarta
** Staf Pengajar Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian keempat tersering di dunia dan diperkirakan akan menjadi penyebab
kematian ketiga tersering tahun 2020. Dengan banyaknya pasien PPOK dan meningkatnya angka harapan hidup, tindakan bedah pada pasienpasien PPOK juga akan meningkat baik berupa tindakan invasif minimal maupun tindakan bedah besar. Manajemen perioperatif yang baik
dapat mengurangi insidens komplikasi paru pascabedah (postoperative pulmonary complications, PPC).
Kata kunci: Penyakit paru obstruktif kronik, manajemen perioperatif, komplikasi paru pascabedah

ABSTRACT
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is currently the fourth leading cause of death in the world, and will be the third in 2020. The
increase of COPD patients with improved life expectancy will likely increase the need of surgical procedures. Best perioperative management
will reduce the incidence of postoperative pulmonary complications (PPC). Ina Ariani Kirana Masna, Muhammad Fachri. Perioperative
Management in Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Key words: Chronic obstructive pulmonary disease, perioperative management, postoperative pulmonary complications

PENDAHULUAN
The Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD) mendefinisikan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) sebagai
penyakit yang dapat dicegah dan diobati,
disertai manifestasi ekstrapulmoner yang
mempengaruhi tingkat keparahan penyakit,
ditandai dengan keterbatasan aliran udara
paru yang tidak sepenuhnya reversibel,
bersifat progresif, dan merupakan respons
inflamasi abnormal akibat partikel toksik dan
gas beracun.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) merupakan penyebab kematian
keempat tersering di dunia dan diperkirakan
akan menjadi penyebab kematian ketiga
tersering tahun 2020. Pada tahun 1990 angka
kematian akibat PPOK di dunia adalah 2,2 juta
dan diperkirakan meningkat menjadi 4,7 juta
pada tahun 2020.2,3
Dengan banyaknya pasien PPOK dan
meningkatnya angka harapan hidup,
tindakan bedah pada pasien-pasien PPOK
juga meningkat baik dengan tindakan
invasif minimal maupun tindakan bedah
besar. Manajemen peripoperatif yang baik
Alamat korespondensi

dapat mengurangi insidens komplikasi


paru pascabedah (postoperative pulmonary
complications, PPC).4
PATOFISIOLOGI PPOK
Karakteristik utama PPOK adalah keterbatasan aliran udara sehingga membutuhkan
waktu lebih lama untuk pengosongan paru.
Peningkatan tahanan jalan napas pada saluran
napas kecil dan peningkatan compliance paru
akibat kerusakan emfisematus menyebabkan
perpanjangan waktu pengosongan paru.
Hal tersebut dapat dinilai dari pengukuran
Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1)
dan rasio VEP1 dengan Kapasitas Vital Paksa
(VEP1/KVP).5
Lesi patologi PPOK merupakan respons imun
innate dan adaptif dari inflamasi kronik akibat
pajanan gas dan partikel toksik yang dihirup.
Walaupun sering digunakan istilah bronkitis
kronik, namun sesungguhnya lokasi obstruksi
jalan napas terletak di saluran napas kecil
(diameter kurang dari 2 mm). Proses obstruksi
yang terjadi meliputi kerusakan barier
epitelial, gangguan bersihan mukosilier yang

menyebabkan penumpukan mukus eksudatif


di saluran napas kecil, infiltrasi dinding saluran
napas oleh sel-sel inflamasi, serta deposisi
jaringan ikat pada dinding saluran napas.
Mekanisme remodeling dan perbaikan
tersebut menyebabkan penambahan tebal
dinding saluran napas, mengurangi kaliber
lumen, serta membatasi peningkatan kaliber
normal oleh inflasi paru.5,6

Gambar 1 Emfisema sentrilobular dan panlobular

email: inafachri@gmail.com

CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014

595

TINJAUAN PUSTAKA
Kerusakan paru emfisematus dikaitkan
dengan infiltrasi sel inflamasi yang sama
dengan yang ditemukan di saluran napas
besar. Pola emfisema sentrilobular dikaitkan
terutama dengan kebiasaan merokok
sedangkan pola emfisema panasinar/
panlobular yang melibatkan kerusakan
asinus secara lebih merata dikaitkan terutama
dengan defisiensi enzim alfa-1-antitripsin.6
Terdapat 4 patofisiologi utama yang perlu
dipertimbangkan dalam pengelolaan PPOK
terutama saat eksaserbasi akut.5
1) Hiperinflasi dinamik,
2) Disfungsi otot pernapasan,
3) Pertukaran gas yang tidak efisien, dan
4) Gangguan kardiovaskular.
Hiperinflasi dinamik
Peningkatan tahanan saluran napas terjadi
terutama saat ekspirasi dan diperberat oleh
bronkokonstriksi, inflamasi saluran napas
dan sekresi mukus. Saat pernapasan spontan,
tahanan jalan napas yang tinggi, keterbatasan
aliran udara ekspirasi, rendahnya rekoil
elastik, kebutuhan ventilasi yang tinggi, dan
pendeknya waktu ekspirasi akibat peningkatan frekuensi pernapasan menyebabkan
tidak tercapainya volume ekuilibrium elastik
(kapasitas residual fungsional pasif ) pada
akhir ekspirasi. Fenomena ini dikenal sebagai
hiperinflasi dinamik.7,8
Elastic threshold load atau intrinsic positive endexpiratory pressure (PEEPi) terjadi pada otot
inspirasi saat awal inspirasi dan meningkatkan
usaha napas untuk dapat mengalirkan udara
ke dalam paru. Sistem respirasi bekerja di
sekitar kapasitas paru total (KPT) akibat
hiperinflasi dinamik yaitu keadaan compliance

yang rendah dan kerja pernapasan elastik


yang lebih besar dari KRF. Akibat hiperinflasi
dinamik tersebut, dengan volume tidal yang
sama, kerja pernapasan menjadi lebih berat.
Pada pasien dengan penurunan laju ekspirasi
akibat penyempitan saluran napas, kurva
ekspirasi pada kurva flow-volume membentuk
pola garis yang melengkung (curvilinear)
seperti (gambar 2). Jika laju ekspirasi tetap
lambat pada akhir ekspirasi, maka ujung
kurva seperti terpotong dan tidak kembali ke
sumbu.5
Disfungsi otot pernapasan
Pada pasien PPOK, otot pernapasan
menghasilkan tekanan negatif lebih besar,
yang dapat dilihat dari kurva flow-volume.
Hiperinflasi dinamik, gangguan pengembangan paru, dan tingginya kebutuhan
ventilasi dapat menimbulkan disfungsi otot
pernapasan.
Pertukaran gas tidak efisien
Pertukaran gas yang tidak efisien dibuktikan
dengan hiperkapnia dan hipoksemia. Hipoksemia dengan berbagai derajat hampir selalu
terjadi karena terdapat ketidakimbangan
ventilasi perfusi (V/Q mismatch). Hiperkapnia
terjadi akibat ketidakimbangan ventilasi
perfusi dan hipoventilasi alveolar akibat
gangguan otot pernapasan dan peningkatan
kebutuhan ventilasi.5
Gangguan kardiovaskular
Disfungsi sistem kardiovaskular biasanya terkait dengan gangguan gas darah, hiperinflasi
dinamik, dan peningkatan afterload ventrikel
kanan. Peningkatan tekanan arteri pulmoner
dikaitkan dengan inflamasi sistemik derajat
rendah yang dapat dibuktikan dengan

Gambar 2 Perbandingan kurva flow-volume pada subjek normal dengan pasien PPOK5

596

peningkatan kadar C-reactive protein (CRP)


dan tumor necrosis factor. Disfungsi ventrikel
kiri dikaitkan dengan usia lanjut dan dengan
beberapa faktor risiko penyakit arteri
koroner.9
KOMPLIKASI PULMONER
PERIOPERATIF/PERIOPERATIVE
PULMONARY COMPLICATIONS [PPC]
Pasien PPOK memiliki risiko lebih tinggi atas
atelektasis paru pascabedah atau pneumonia
dan kematian. Insidens komplikasi pulmoner
sangat bervariasi tergantung pada definisi
komplikasi pulmoner dan desain penelitian.
Pada populasi umum, PPC dilaporkan
terjadi sekitar 5-10%, 4-22% pada pasien
yang menjalani pembedahan abdomen.
Pasien PPOK (dengan VEP11,2 L dan VEP1/
KVP<75%) yang menjalani pembedahan
non-kardiotorasik, insidens PPC sebesar 37%
(tidak termasuk komplikasi atelektasis) dan
angka mortalitas dalam 2 tahun sebesar
47%.10
Stratifikasi derajat pasien PPOK
Faktor risiko independen terjadinya PPC
pada pasien dewasa dengan penyakit
respirasi adalah usia lanjut, riwayat penyakit
paru sebelumnya, merokok, gagal jantung
kongestif, dependensi fungsional (ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari),
dan lokasi pembedahan (pembedahan toraks
dan abdomen memiliki risiko lebih besar).11
Epstein dkk.5 menyusun cardiopulmonary
risk index (CPRI) yang merupakan kombinasi
indeks kardiak Goldman yang dimodifikasi
dengan faktor risiko pulmoner (kegemukan,
batuk produktif, mengi, kebiasaan merokok,
VEP1/KVP<70%, dan PaCO2>45 mmHg). Pasien
dengan CPRI4 memiliki risiko komplikasi
major pembedahan toraks 22 kali lebih besar
(p<0,0001). Wong, dkk. memperkirakan 5
macam komplikasi pascabedah pasien PPOK
derajat berat, yaitu kematian, pneumonia,
intubasi
lama
(prolonged intubation),
bronkospasme refrakter, dan perawatan
intensif lama.10 Faktor risiko preoperatif
yang bermakna antara lain ASAIV, skor
Shapiro5, dan nilai VEP1, sedangkan faktor
risiko intraoperatif antara lain pembedahan
emergensi, insisi abdominal, durasi anestesia
lebih dari 2 jam, dan anestesi umum. Jika
sistem klasifikasi (ASA dan skor Shapiro)
dikeluarkan dari model regresi maka nilai VEP1
menjadi satu-satunya faktor risiko preoperatif
yang signifikan.10

CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA
Sistem klasifikasi dapat bermanfaat untuk
menilai faktor risiko tunggal dalam memprediksi PPC karena variabel nonpulmoner
juga berperan dalam timbulnya PPC.
Pneumonia pascabedah, intubasi lama
pascabedah, dan mortalitas yang lebih
tinggi dikaitkan dengan ASA yang lebih
tinggi. Klasifikasi ASA (lampiran 1) sebaiknya
dimasukkan dalam model regresi yang
digunakan untuk memprediksi insiden PPC.
Etiologi PPC
Pada pasien dengan gangguan respirasi,
terdapat banyak kausa yang potensial
menimbulkan
PPC.12
Anestesi
dapat
menimbulkan gangguan koordinasi otot
dinding dada yang memfasilitasi pernapasan
(otot diafragma, otot-otot interkostal, dan
otot-otot abdomen).5 Induksi anestesi dapat
menurunkan KRF yang dapat memicu
terjadinya atelektasis serta gangguan
pertukaran gas walaupun pada pasien PPOK
sudah terdapat PEEPi sebagai usaha proteksi
terhadap atelektasis.13
Pada periode pascabedah, perubahan fungsi
dinding dada akibat anestesi tetap berlangsung. Gangguan mekanika otot abdomen
dan dada intraoperatif mengganggu fungsi
otot pascabedah, nyeri menyebabkan
restriksi dinding dada dan stimulasi serabut
aferen viseral menyebabkan inhibisi refleks
inspirasi pada diafragma.12 Gangguan refleks
saluran napas atas dapat menyebabkan
pemanjangan masa intubasi atau gangguan
reversal blokade neuromuskular sehingga
meningkatkan risiko aspirasi dan pneumonia
terutama pada pasien usia tua.5

paru yang reversibel dapat diterapi dengan


antibiotik, bronkodilator, kortikosteroid, dan
sebagainya. Prinsip umum adalah fungsi paru
sebaiknya dalam keadaan optimal sesuai
standar.
Foto toraks diperlukan untuk evaluasi gejala.
Analisis gas darah hanya bila diperlukan,
indikasinya adalah jika nilai VEP1 dan
KVP<50% nilai prediksi atau nilai VEP1<1 liter
atau nilai KVP<1,5 liter.15 Pasien PPOK biasanya mengalami penurunan nilai PaO2 dan
peningkatan PaCO2 yang mengindikasikan
keadaan hipoventilasi alveolar. Nilai
PaCO2>45 mmHg merupakan faktor risiko
kuat terjadinya PPC.5 Nilai PaCO2>50mmHg
diperkirakan akan membutuhkan ventilasi
buatan pascabedah setelah operasi besar,
sedangkan nilai PaCO245 mmHg dapat
diatasi dengan terapi oksigen terkontrol
dan pengawasan ketat terhadap analisis gas
darah.15 Pembedahan elektif dapat ditunda
untuk mencapai perbaikan fungsi paru.1
Edukasi preoperatif tentang teknik pernapasan
dalam/spirometri insentif/ dan penggunaan
continuous positive airway pressure (CPAP)
pascabedah dapat meningkatkan hasil
akhir.5

Pada pasien PPOK yang merokok, sudah


terdapat gangguan mekanisme pertahanan
paru terhadap infeksi seperti gangguan
transpor mukosilier dan fungsi makrofag
alveolar. Anestesia dan pembedahan
dapat memperberat gangguan tersebut.14
Manipulasi saluran napas dapat menimbulkan bronkospasme. Gabungan faktor-faktor
tersebut dengan atelektasis pascabedah dan
gangguan refleks batuk akibat disfungsi otot
pernapasan dapat memicu timbulnya PPC.14

Preoperative smoking abstinence


Merokok merupakan salah satu faktor risiko PPC
yang khusus karena dapat dihentikan sebelum
bedah. Mungkin diperlukan beberapa bulan
untuk dapat memperbaiki kerusakan akibat
asap rokok tetapi penghentian kebiasaan
merokok selama beberapa minggu sebelum
dapat menurunkan risiko PPC secara bermakna. Berhenti merokok segera sebelum
bedah diduga dapat meningkatkan risiko
PPC namun tidak didukung oleh bukti ilmiah.
Penurunan komplikasi pascabedah dikatakan
bermakna jika berhenti merokok selama
6 minggu prabedah. Efek toksik CO dan
nikotin mulai hilang dalam 12 sampai 48 jam
setelah berhenti merokok. Reaktivitas saluran
napas turun bermakna setelah 1 minggu
dan setelah 2 minggu terdapat penurunan
bertahap volume sputum sampai minggu
ke-6. Pada 6-8 minggu didapatkan penurunan
komplikasi dan maksimal setelah 12 minggu.

Persiapan preoperatif pasien PPOK


Manajemen preoperatif meliputi penilaian
keadaan fisis umum (riwayat penyakit paru,
jantung, dan neurologik) serta terapi terhadap
gejala dan tanda yang reversibel. Patologi

Pemilihan teknik anestesi


Gambaran klinis klasik pasien PPOK dapat
dibagi menjadi dua yaitu pink puffers dan
blue bloaters. Pada pink puffers rangsang
pernapasan dan nilai PaCO2 normal, sedang-

CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014

kan blue bloaters mengalami penurunan


rangsang napas dan retensi CO2.16 Pendekatan
anestesi disesuaikan dengan kondisi klinis
pasien, rencana operasi, dan setting klinik.
Masa pembedahan yang lebih singkat
membantu mengurangi risiko komplikasi.5,17
Pendekatan anestesi minimal
Pendekatan ini dapat digunakan untuk
prosedur minor seperti tindakan pada
tungkai, abdomen bawah dan perineum,
permukaan tubuh lainnya. Pendekatan ini
mempertahankan ventilasi spontan sehingga
menghindari risiko gangguan pemulihan
pernapasan saat akhir pembedahan. Tujuan
teknik ini adalah untuk menghindari
intervensi pada percabangan trakeobronkial
serta untuk meminimalkan risiko depresi
pernapasan. Kekurangan utama teknik ini
adalah bahaya hipoventilasi.5,17
Pendekatan suportif maksimal
Teknik ini meliputi relaksasi otot, intubasi
trakeal, dan ventilasi terkontrol sehingga
memungkinkan pengaturan PaCO2 dan PaO2
serta bersihan mukus. Bantuan pernapasan
pascabedah dibutuhkan sampai pengaruh
obat anestesia hilang dan analgesia
mencukupi. Pendekatan ini dianjurkan untuk
tindakan mayor pada abdomen dan toraks
serta pasien mengalami peningkatan PaCO2
prabedah. Sisa blokade neuromuskular pascabedah harus dicegah karena meningkatkan
risiko PPC.5,17
Peran anestesi lokal dan regional
Pada pasien yang dapat berbaring datar dan
menahan batuk, blok pleksus saraf mampu
menghindari efek samping pernapasan.
Pasien PPOK menggunakan otot abdomen
untuk membantu ekspirasi aktif sehingga
teknik neuroaksial yang menghilangkan
aktivitas tersebut dapat menimbulkan
dispnea. Sedasi dapat mengganggu fungsi
pernapasan.5,17
Teknik laparoskopik
Teknik laparoskopik perlu dipertimbangkan
jika mungkin. Teknik ini tidak banyak
mengganggu fungsi/kerja dinding dada
dibandingkan
pembedahan
terbuka,
namun nilai spirometri masih terganggu
pascatindakan abdomen, mungkin karena
terangsangnya aferen viseral sehingga
menghambat refleks diafragma. Insuflasi
abdomen yang merupakan syarat laparos-

597

TINJAUAN PUSTAKA
kopi juga dapat mengganggu pernapasan
pasien.17,18
Pencegahan dan terapi bronkospasme
Pada pasien dengan saluran napas yang
reaktif, bronkospasme harus dicegah.
Salah satu cara adalah dengan mengatasi
inflamasi saluran napas yang ada. Dapat
diberikan inhalasi agonis 2-adrenergik
atau antikolinergik preoperatif, terutama jika
merencanakan intubasi trakea.4,19 Intubasi
trakea dapat dihindari dengan menggunakan laryngeal mask atau semacamnya,
jika mungkin. Propofol, ketamin, atau
anestetik volatil merupakan agen induksi
pilihan, sedangkan barbiturat kadang
dapat merangsang bronkospasme. Agen
tambahan untuk meningkatkan kedalaman
anestesia dan menumpulkan refleks-refleks
saluran napas sebelum intubasi (lidokain
atau opioid) dapat membantu. Pemberian
lidokain laringotrakeal tidak dianjurkan karena
dapat meningkatkan tahanan jalan napas.
Agen anestesia volatil dapat membantu
saat rumatan anestesia karena memiliki efek
bronkodilatasi, kecuali desflurane.4,5
Bronkospasme dalam anestesia dapat
menyerupai obstruksi mekanik saluran
napas, tension pneumothorax, aspirasi, dan
edema paru. Penyebab utama bronkospasme
intraoperatif adalah reaksi anafilaktoid
terhadap obat dan instrumentasi alat saat
anestesia kurang dalam. Jika kemungkinan
reaksi anafilaktoid dapat disingkirkan,
anestesia diperdalam dengan bantuan zat
anestesia volatil.4,5,17
Bronkospasme intraoperatif menyebabkan
hiperinflasi dinamik pada keterbatasan aliran
udara ekspirasi. Penurunan tahanan jalan
napas dengan zat anestesia volatil dapat
mengurangi hiperinflasi dinamik yang terjadi.
Tahanan jalan napas dapat tetap (perifer) atau
labil (sentral). Tahanan jalan napas sentral
lebih cepat bereaksi terhadap zat anestesia
volatil dan sevoflurane dibandingkan dengan
isoflurane.20
Obat-obatan intravena seperti propofol dapat
digunakan untuk memperdalam anestesia
secara cepat. Agonis 2 inhalasi dapat
diberikan melalui tube endotrakeal. Pada
bronkospasme yang berat, pemberian agonis
adrenergik intravena seperti epinefrin dapat
dilakukan untuk memberikan rangsang yang

598

cukup ada reseptor beta-adrenergik saluran


napas. Kortikosteroid intravena berperan
dalam pencegahan rekurensi karena butuh
waktu beberapa jam sebelum berkerja
maksimal. Aminofilin intravena umumnya
telah ditinggalkan pada terapi bronkospasme
intravena.4,5
Anestesi umum dengan ventilasi mekanik
Pasien dengan hiperinflasi kronik memiliki
risiko atelektasis dependen yang lebih rendah.
Fungsi diafragma mampu dipertahankan
baik selama anestesia karena terdapat
fenomena length adaptation sehingga hanya
mengalami sedikit penurunan pertukaran
gas. Oleh karena itu, anestesi umum dengan
ventilasi terkontrol tetap dapat dilakukan pada
pasien PPOK dengan tetap memperhatikan
pola ventilasi pasien.4,5,17
Target ventilasi mekanik terkontrol pasien PPOK
Meminimalkan hiperinflasi dinamik sangat
penting pada manajemen pasien PPOK. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan
beberapa strategi berikut5:
(1) menurunkan ventilasi per menit dengan
menurunkan volume tidal, frekuensi
pernapasan, dan kebutuhan ventilasi dengan
menerima hiperkapnia dan asidemia ringan.
(2) penentu utama hiperinflasi dinamik
adalah waktu ekspirasi absolut. Pasien
dengan obstruksi di paru membutuhkan
waktu 3 detik atau lebih untuk ekspirasi
sempurna dan pengaturan ventilator yang
tidak memfasilitasi waktu ekspirasi ini
akan memperberat hiperinflasi dinamik.
Saat melakukan ventilasi satu paru untuk
pembedahan toraks, frekuensi pernapasan
yang rendah, memperpanjang masa ekspirasi
dan ventilasi per menit dapat menurunkan
PEEPi dan hiperkapnia. Memperpanjang masa
ekspirasi dapat dicapai dengan meningkatkan meningkatkan aliran inspirasi sehingga
meningkatkan puncak tekanan dinamik
dan mengurangi end-inspiratory pause time.
Puncak tekanan dinamik yang biasanya
digunakan untuk memantau komplikasi saat
ventilasi mekanik seperti barotrauma dan
gangguan hemodinamik tidak dianjurkan
untuk digunakan pada pasien PPOK karena
bisa terjadi kesalahan.4,5
(3) menurunkan tahanan ekspirasi dengan
penggunaan bronkodilator, kortikosteroid,
heliox, tube ventilator bertahanan rendah dan
berkatup, dapat membantuk mengurangi
hiperinflasi dinamik.

Jika mungkin, ketiga strategi tersebut dilakukan secara simultan. Manuver rekrutmen,
yang terdiri dari pemberian tekanan tinggi
pada jalan napas (30-40 cmH2O) selama
8-15 detik, diikuti oleh positive end-expiratory
pressure [PEEP] dan membatasi fraksi oksigen
inspirasi dapat meminimalkan atelektasis
dependen dan meningkatkan oksigenasi
intraoperatif.
Pada pasien PPOK, penggunaan PEEP mendekati nilai PEEPi dapat mengurangi kerja
pernapasan tanpa meningkatkan hiperinflasi
dinamik.21
Evaluasi kecukupan penerapan strategi
tersebut dalam usaha mengurangi hiperinflasi dinamik dapat dilakukan dengan
mengukur volume gas yang terjebak dalam
paru pada akhir ekspirasi, dan menilai static
end-inspiratory plateau pressure. Menilai
penutupan saluran napas pada akhir ekspirasi
dan membandingkannya dengan pengaturan
PEEP ekstrinsik dapat memastikan adanya
serta nilai PEEPi. Parameter hemodinamik
(tekanan arterial, frekuensi nadi, produksi
urin) biasanya membaik dengan penurunan
hiperinflasi dinamik.5,21
Pemantauan bentuk kurva pernapasan
ventilator pada pasien PPOK
Tampilan bentuk kurva pernapasan ventilator
yang kontinyu dapat membantu mendeteksi
dan memantau perubahan patofisilogik,
optimalisasi setting ventilator dan terapi,
menentukan efektivitas setting ventilator dan
meminimalkan risiko terjadinya komplikasi
akibat ventilator. Kurva laju aliran udara,
volume, dan tekanan jalan napas dapat
mengidentifikasi berbagai aspek interaksi
ventilator sehingga dapat membantu
mendeteksi adanya hiperinflasi dinamik.
Adanya aliran udara saat akhir ekspirasi biasa
menandakan bahwa aliran tersebut didorong
oleh rekoil elastik positif pada akhir ekspirasi
sistem pernapasan (PEEPi).5 (gambar 3)
Kurva laju aliran udara dan volume dapat
digunakan untuk memperkirakan volume
udara paru pada akhir ekspirasi (air trapping).
Volume udara ekspirasi saat apnea lama
(mencapai 40 detik) dapat digunakan untuk
mengukur volume gas yang terjebak diluar
dari KRF (air trapping). Total volume ekhalasi
diukur mulai dari akhir inspirasi sampai tidak
terdeteksi adanya perubahan volume lagi.

CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014

TINJAUAN PUSTAKA
(gambar 4) Perbedaan volume pada akhir
inspirasi (VE1) dan volume tidal mewakili nilai
volume air trapping (Vtrap). Perkiraan volume
air trapping saat akhir ekspirasi membantu
menilai kecukupan setting ventilator.
Perawatan pascabedah
Hipoksemia pascabedah dapat terjadi akibat

depresi pernapasan dan penurunan KVP


akibat pirau dan atelektasis. Hal ini dapat
memicu terjadinya PPC sehingga perlu
dihindari. Depresi pernapasan pada pasien
PPOK dapat diperberat dengan menurunnya
rangsang napas akibat penurunkan kadar
CO2 dan penutupan saluran napas. Pasien
seperti ini memerlukan pemantauan ketat

Air trapping
Normal
Patient

Flow (L/min)

Inspiration

Time (sec)

Ekspiration

Gambar 3 Kurva flow-volume yang menunjukkan air trapping5

Lung
Volume

Tidal Ventilation

APNEA

VT
VTrap
FRC

Time

Gambar 4 Estimasi air trapping pada pasien dalam anestesia5


Insp. Ti=inspiratory time, Exp. Ti=expiratory time, VT=tidal volume

dengan pulse oxymetry, analisis gas darah, dan


pemeriksaan fisis serta radiologis berulang.5,17
Analgesia Regional
Secara teoritis, analgesia regional dapat
mengatasi faktor nyeri sehingga dapat
menimbulkan
gangguan
kerja
otot
pernapasan yang persisten pascabedah.
Namun demikian, sebagian besar teknik
analgesia regional juga memblokade aferen
viseral sebagian sehingga menghambat
refleks diafragma. Teknik regional analgesia
tidak dapat mengembalikan fungsi otot
pernapasan secara sempurna dan menormalkan gerakan dinding dada. Penelitian juga
sudah menunjukkan bahwa analgesia
epidural yang baik pun tidak dapat
menormalkan fungsi otot diafragma pascabedah. Sampai saat ini belum terdapat bukti
ilmiah yang cukup untuk menyimpulkan
apakah analgesia regional dapat menurunkan
insidens PPC.5,12,17,18
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan
adalah
pengaruh
analgesia
regional
mengurangi fungsi otot pernapasan pada
pasien yang sudah memiliki gangguan
pernapasan seperti pasien PPOK. Berkurangnya fungsi otot-otot ekspirasi akibat teknik
neuroaksial menggunakan anestesi lokal,
atau paralisis diafragma unilateral oleh blok
nervus interskalenus sulit ditoleransi pasienpasien tersebut.5,17 Dilain pihak, analgesia
yang baik dapat menguntungkan karena
mampu mempercepat mobilisasi sehingga
tidak perlu dikontraindikasikan pada pasienpasien dengan gangguan respirasi.17
Dalam mempertimbangkan risiko/manfaat
penerapan analgesia regional sebaiknya tidak
untuk mengharapkan perbaikan fungsi paru.5
Dekompresi nasogastrik
Dekompresi nasogastrik setelah pembedahan
abdomen dilakukan untuk mengatasi mual
dan muntah pascabedah, ketidakmampuan
makan, atau distensi abdomen simptomatik,
mengurangi risiko pneumonia dan atelektasis
tanpa mempengaruhi parameter fungsi
gaster.18 Drainase nasogastrik meningkatkan
risiko silent bronchoaspirasi sehingga sebaiknya dilakukan secara selektif.17

Gambar 5 Perbandingan tekanan udara dalam saluran napas antara: a) subjek normal, b) pasien PPOK dan c) penggunaan
CPAP pasien PPOK5

CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014

Metode ekspansi paru - Lung Expansion


Methods
Menurunnya volume paru merupakan
faktor penting dalam patofisiologi PPC

599

TINJAUAN PUSTAKA
sehingga manuver ekspansi paru dapat
mengurangi insidens PPC. Penggunaan
PEEP ekstrinsik mengurangi pengaruh PEEPi
dan kerja pernapasan saat ventilasi mekanik
terkontrol pasien PPOK.21 Penggunaan PEEP
ekstrinsik pascabedah dengan CPAP juga
akan mengurangi perbedaan antara tekanan
alveolar, tekanan saluran napas atas dan level
PEEPi.
Pada akhir ekspirasi paru normal, tekanan
alveolar, tekanan saluran napas, dan tekanan
atmosfer sebanding, sedangkan pada pasien
PPOK dengan hiperinflasi dinamik, tekanan
alveolar tetap lebih tinggi dari tekanan saluran

napas atas saat akhir ekspirasi. Penggunaan


tekanan positif eksternal pada sarluan napas
mengurangi perbedaan tekanan tersebut.
(gambar 5) 5
Penggunaan CPAP 7,5 cmH2O dapat
menurunkan PPC secara bermakna yang
berupa gagal napas dan pneumonia terutama
pada pasien yang mengalami hipoksemia
akut setelah menjalani pembedahan
abdomen elektif.22
SIMPULAN
1. Mediator inflamasi memiliki peran besar
pada manifestasi PPOK baik pulmoner

maupun ekstrapulmoner.
2. Sistem skor seperti ASA lebih bermanfaat
untuk menilai risiko preoperatif dari faktor
risiko tunggal lainnya.
3. Grafik ventilator intraoperatif dapat membantu manajemen mekanika pernapasan dan
menurunkan hiperinflasi dinamik.
4. Optimalisasi status respirasi preoperatif
dan penggunaan manuver ekspansi paru
pascabedah efektif dalam mencegah
terjadinya PPC.
5. Perencanaan strategi anestesia yang baik
berdasarkan patofisiologi penyakit dapat
mengoptimalkan manajemen perioperatif
pada pasien PPOK.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Decramer M, Vestbo J, Bourbeau J, Hui DSC, Varela MVL, Nishimura M, et al. Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease
(updated 2013). [cited 2013 Aug 22]. Available from: URL: http://www.goldcopd.org/uploads/users/files/GOLD_Report_2013_Feb20.pdf

2.

Donaldson GC, Wedzicha JA. COPD exacerbations: Epidemiology. Thorax. 2006;61:1648.

3.

Burge S, Wedzicha JA. COPD exacerbations: definitions and classifications. Eur Respir J.2003;21:Suppl.41,46s53s.

4.

Yamakage M, Iwasaki S, Namiki A. Guideline-oriented perioperative management of patients with bronchial asthma and chronic obstructive pulmonary disease. J Anesth. 2008;22:412

5.

Maddali MM. Chronic obstructive lung disease: perioperative management. Middle East J Anesthesiol. 2008;19(6):121939.

6.

Hogg JC. Pathophysiology of airflow limitation in chronic obstructive pulmonary disease. Lancet. 2004;364:70921.

7.

Rossi A, Ganassini A, Polese G. Grassi V. Pulmonary hyperinflation and ventilator-dependent patients. Eur Respir J. 1997;10:166374.

28.

8.

Tobin M. Jubran A, Laghi F. Patient-ventilator interaction. Am J Respir Crit Care Med; 2001, 163:105963.

9.

Joppa P, Petrasova D, Stancak B, Tkacova R. Systemic inflammation in patients with COPD and pulmonary hypertension. Chest. 2006;130:32633.

10. Wong DH, Weber EC, Schell MJ, Wong AB, Anderson CT, Barker SJ. Factors associated with postoperative pulmonary complications in patients with severe chronic obstructive pulmonary
disease. Anesth Analg. 1995;80:27684.
11. Qaseem A, Snow V, Fitterman N, Hornbake ER, Lawrence VA, Smetana GW, et al. Risk assessment for and strategies to reduce perioperative pulmonary complications for patients
undergoing noncardiothoracic surgery: a guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2006;144:57580.
12. Warner DO. Preventing postoperative pulmonary complications: the role of the anesthesiologist. Anesthesiology. 2000;92:146772.
13. Tokics L, Hedenstrierna G, Strandberd A, Brismar B, Lundquist H. Lung collapse and gas exchange during general anesthesia: effects of spontaneous breathing, muscle paralysis, and
positive end-expiratory pressure. Anesthesiology. 1987:66:15767.
14. Warner DO. Perioperative abstinence from cigarettes: physiological and clinical consequences. Anesthesiology. 2006;104:35667.
15. Milledge JS, Nunn JF. Criteria of fitness for anaesthesia in patients with obstructive lung disease. Br Med J; 1975:3:6703.
16. Caruana-Montaldo B, Gleeson K, Zwillich CW. The Control of Breathing in Clinical Practice. Chest. 2000;117;20525.
17. Licker M, Scheizer A. Ellenberger C, Tschopp JM, Diaper J, Clerguw F. Perioperative medical management of patients with COPD. Int J of COPD. 2007;2(4):493515.
18. Lawrence VA, Cornell JE,Smetana GW. Strategies to reduce postoperative pulmonary complications after noncardiothoracic surgery: systematic review for the American College of
Physicians. Ann Intern Med. 2006;144:596608.
19. Kobayashi S, Suzuki Sm Niikawa H, Sugarawa T, Yanai M. Preoperative use of inhaled tiotropium in lung cancer patients with COPD. Respirology. 2009;14:6759.
20. Volta CA, Alvisi V, Petrini S, Zardi S, Marangoni E, Ragazzi R, et al.The effect of volatile anesthetics on respiratory system resistance in patients with chronic obstructive pulmonary disease.
Anesth Analg. 2005;100:34853.
21. Guerin C, Millic-Emili J, Fournier G. Effect of PEEP on work of breathing in mechanically ventilated COPD patients. Intensive Care Med; 2000;26:120714.
22. Squadrone V, Coha M, Cerutti E, Schellino MM, Biolino P, Occella P, et al. Continuous positive airway pressure for treatment of postoperative hypoxemia: a randomized controlled trial.
JAMA. 2005;293:58995.

Lampiran 1 American Society of Anesthesiologists Classification of Physical5


ASA Class

600

Class Definition

Rates of PPC's By Class, %

A normally healthy patient

II

A patient with mild systemic disease

1.2
5.4

III

A patient with systemic disease that is not incapacitating

11.4

IV

A patient with incapacitating systemic disease that is a constant threat to life

10.9

A monbund patient who is not expected to survive for 24 hrs with or without operation

NA

CDK-219/ vol. 41 no. 8, th. 2014

Anda mungkin juga menyukai