Anda di halaman 1dari 11

KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR-NEGERI

INDONESIA DALAM MENGHADAPI PEMBERLAKUAN KESEPAKATAN


ASEAN Free Trade Area (AFTA)
Oleh:
Henry Aspan
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi UNPAB
ABSTRAK
Pemberlakuan AFTA dan keikutsertaan Indonesia di dalamnya saat ini
merupakan suatu kenyataan yagn tidak dapat dihindari. Persoalannya
sekarang adalah bagaimana kebijakan Indonesia dalam menghadapi
pemberlakuan AFTA tersebut. Karena itu penelitian ini ingin menelah
bagaimana kebijakan Indonesia tersebut. Selain menggunakan pendekatan
yang bersifat analitis-deskriptif, penelitian ini juga menggunakan toeri yang
dikemukakan oleh Judith M. Dean, Seema Desai, dan James Riedel, tentang
tingkat outward orientation suatu negara dalam bidang perdagangan luar
negeri. Pengukuran terhadap tingkat outward orientation ini akan
menggunakan 2 parameter, yaitu parameter liberality dan parameter openess.
Kata kunci: Kebijakan, AFTA, outward orientation, liberality, openess

LATAR BELAKANG
Berbicara mengenai kawasan perdagangan bebas ASEAN (Association of
South-East Asia Nations) atau AFTA (ASEAN Free Trade Area) saat ini bukan
lagi sekedar isu ataupun wacana. AFTA, bagi negara-negara pesertanya, sekarang
adalah sebuah kenyataan yang mau tidak mau harus dihadapi. Ini karena sejak
tanggal 1 Januari 2002, kesepakatan AFTA tersebut telah resmi diberlakukan,
khususnya di negara ASEAN-6, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia,
Malaysia, Singapura, dan Thailand (di Vietnam mulai diberlakukan pada tahun
2006, Laos dan Myanmar pada tahun 2008, dan Kamboja pada tahun 2010).
Dengan diberlakukannya AFTA ini, maka negara-negara anggota harus
menurunkan pengenaan tarif impor intra-ASEANnya, menjadi hanya 0% - 5%,
bagi barang-barang yang telah dimasukkan ke dalam Daftar Inklusi (Inclusive
List) dan telah memenuhi ketentuan tentang kandungan produk ASEAN. Pada
akhirnya, diharapkan keseluruhan tarif ini akan dihapuskan sama sekali (menjadi
0%), pada tahun 2010 bagi negara ASEAN-6 dan 2015 bagi negara ASEAN-4,
sehingga akan menciptakan kawasan perdagangan regional Asia Tenggara yang
benar-benar bebas.
Pemimpin negara-negara ASEAN ketika ide AFTA ini diluncurkan,
menyadari bahwa masing-masing negara memiliki potensi ekonomi yang sangat
besar, yang jika difasilitasi melalui kerja-sama antar negara yang erat, tentunya
akan membawa kemanfaatan yang besar pula bagi masing-masing negara. Berangkat dari
hal tersebut, maka lahirlah ide untuk menciptakan suatu kawasan

Vol. 4 No.2 Desember 2011

ISSN : 1979 - 5408

perdagangan bebas di wilayah ASEAN, yang akan meminimalkan hambatan (baik


tarif maupun non-tarif) bagi masing-masing negara untuk melakukan kegiatan
perdagangan satu-sama lain.
Meski demikian, terdapat 2 kelompok yang masing-masing memiliki
pandangan yang berbeda terkait dengan pembentukan AFTA ini. Kelompok yang
mendukung terbentuknya AFTA ini mengatakan bahwa kelak akan tercapai efisiensi
ekonomi yang maksimal di masing-masing negara. Sebaliknya, kelompok-kelompok
yang menentang akan mengatakan bahwa kesepakatan liberalisasi perdagangan ini
pasti akan memakan korban (khususnya di negara-negara yang kemampuan
ekonominya rendah). Pandangan yang cukup netral mungkin datang dari kelompok
tengah, yang mengatakan bahwa AFTA ini sesungguhnya dapat dijadikan sebagai
ajang pembelajaran bagi masing-masing negara sebelum memasuki kesepakatan
liberalisasi perdagangan yang lebih luas lagi, yang kelak memang tidak dapat
dihindari. Dengan kondisi internal negara-negara ASEAN yang dapat dikatakan
relatif cukup seimbang, masing-masing negara memiliki kesempatan untuk
mempersiapkan diri agar tidak menjadi bulan-bulanan.
Di Indonesia sendiri perbedaan pandangan ini juga terjadi. Kenyataannya
memang tidak semua kelompok pengusaha menyambut gembira atas
diberlakukannya kesepakatan AFTA ini. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh
Adianto P. Simamora di harian The Jakarta Post, disebutkan bahwa dari sebuah
survey yang dilakukan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia
terhadap 80 pengusaha pada berbagai bidang, tercatat paling tidak ada 27
pengusaha yang menyatakan belum siap untuk menghadapi pemberlakuan AFTA
ini.
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka Indonesia mau tidak mau dituntut
untuk mampu mengambil kebijakan dan strategi perdagangan yang tepat, agar
dapat menghadapi pemberlakuan AFTA tersebut sebaik mungkin dan dapat
memperoleh kemanfaatan yang sebesar-besarnya dari kesepakatan tersebut.
Dalam hal ini, kebijakan dan strategi yang diambil tersebut harus dapat menjadi
jembatan, bahwa di satu sisi pemberlakuan AFTA ini dan keikutsertaan Indonesia
di dalamnya adalah sesuatu kenyataan yang harus dipatuhi, namun di sisi lain
Indonesia harus mampu mengambil kesempatan dari pemberlakuan AFTA ini
guna memperoleh kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional.
RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari penjelasan di atas, maka rumusan permasalahan pokok
yang terdapat dalam tulisan ini adalah, Bagaimana kebijakan dan strategi
perdagangan Indonesia dalam menghadapi pemberlakuan kesepakatan AFTA
(ASEAN Free Trade Area).
GAGASAN UTAMA
Gagasan utama yang dikemukan dalam tesis ini adalah bahwa tingkat
orientasi keluar (outward orientation) yang dimiliki Indonesia dalam bidang
perdagangan luar-negeri sampai saat ini masih rendah, baik diukur melalui
Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu

680

Vol. 4 No.2 Desember 2011

ISSN : 1979 - 5408

parameter kebebasan (liberality) maupun diukur melalui parameter keterbukaan


(openess). Maka dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Indonesia masih
berorientasi ke dalam (inward oriented).
Namun demikian, pemberlakuan kesepakatan AFTA ini bagaimanapun telah
mempengaruhi kebijakan perdagangan yang diambil oleh pemerintah Indonesia. Hal ini
misalnya dapat dilihat dari perubahan kebijakan ekspor, impor, dan kepabeanan yang
dilakukan pemerintah, guna menyesuaikan dengan apa yang telah disepakati dalam
kesepakatan AFTA. Selain itu pemerintah juga telah melakukan langkah-langkah yang
bersifat fasilitatif dan proaktif guna mengembangkan kegiatan perdagangan Indonesia
dengan kawasan ASEAN.

KERANGKA ANALISA
Pada dasarnya pembahasan terhadap kebijakan perdagangan luar-negeri Indonesia
dalam menghadapai pemberlakuan AFTA yang terdapat dalam tulisan ini menggunakan
pendekatan yang bersifat analitis-deskriptif. Meski demikian, tulisan ini juga
menggunakan teori yang dikemukakan oleh Judith M. Dean, Seema Desai, dan James
Riedel tentang tingkat orientasi keluar (outward orientation) yang dimliki suatu negara
dalam bidang perdagangan luar-negeri, sebagai salah satu alat analisa utamanya.
Pengukuran terhadap tingkat outward orientation ini sendiri akan menggunakan 2
parameter. Yang pertama adalah parameter kebebasan (liberality), yang diukur melalui
besar-kecilnya tingkat intervensi yang dilakukan pemerintah dalam kegiatan perdagangan
luar-negeri. Dan yang kedua adalah parameter keterbukaan (openess), yang diukur
melalui tinggi-rendahnya (seberapa signifikan) rasio nilai perdagangan luar-negeri
terhadap GDP yang dimiliki oleh suatu negara.

PEMBAHASAN
KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI
INDONESIA Parameter Keterbukaan (Openess)
Kondisi perdagangan luar-negeri Indonesia mulai mengalami perkembangan
pesat ketika rezim orde baru, yang memiliki perhatian besar terhadap masalah
pembangunan ekonomi, mulai berkuasa. Disahkannya UU tentang Penanaman Modal
Asing (tahun 1967) dan UU tentang Penanaman Modal Dalam-Negeri (tahun 1968)
pada awal rezim ini berkuasa, telah mendorong berkembangnya sektor industri
melalui kegiatan penanaman modal. Berkembangnya sektor industri ini sedikit banyak
juga telah mendorong berkembangnya sektor perdagangan luar-negeri Indonesia.
Perkembangan sektor perdagangan luar-negeri Indonesia ini kemudian mendapat
tambahan energi ketika pada dekade 1980an investasi asing di sektor industri masuk secara
besar-besaran ke Indonesia. Industri yang didirikan tersebut umumnya merupakan hasil
relokasi dari negara-negara industri maju (misalnya Jepang, Amerika Serikat, dan negaranegara Eropa Barat) dan negara-negara industri baru (misalnya Korea Selatan dan Taiwan),
dalam rangka mencari lokasi produksi baru yang lebih kompetitif. Mengalir derasnya investasi
asing di sektor

681

Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu

Vol. 4 No.2 Desember 2011

ISSN : 1979 - 5408

industri ini telah meningkatkan nilai perdagangan luar-negeri Indonesia dengan


sangat pesat.
Namun, meski sektor perdagangan luar-negeri tersebut mengalami
perkembangan pesat, nilainya terhadap aktifitas ekonomi deomestik masih belum
terlalu signifikan. Sampai tahun 2006, rasio nilai perdagangan luar-negeri
terhadap GDP (parameter openess) Indonesia tercatat hanya sebesar 44,4 %.
Bahkan dalam 7 tahun terakhir (periode 2000 2006), rasio tersebut mengalami
tren penurunan (lihat tabel 1). Dengan kondisi ini maka kita dapat menilai bahwa
parameter openess yang dimiliki Indonesia sampai saat ini masih tergolong
rendah.
Tabel 1:
Perkembangan Parameter Keterbukaan (Openess) Indonesia
Dalam Bidang Perdagangan Luar-Negeri (1993 2006)
Tahun

Ekspor

Impor

Total
Perdagangan

GDP

Rasio Total
Perdagangan
Terhadap
GDP
(%)

(US$
(US$
(US$ juta)
(US$
juta)
juta)
juta)
2000
62.124,0 33.514,8
95.638,8 165.494,0
57,8
2001
56.317,6 30.962,1
87.279,7 164.805,0
53,0
2002
57.158,8 31.288,9
88.447,7 204.499,4
43,3
2003
61.058,2 32.550,7
93.608,9 237,663.0
39.4
2004
71.584,6 46.524,5
118.109,1 251,647.2
46.9
2005
85.660,0 57.700,9
143.360,8 280.265,2
51,2
2006
100.798,6 61.065,5
161.864,1 364.258,8
44,4
Sumber: Diolah dari data yang terdapat dalam buku ASEAN Statistical Yearbook
2005, serta laporan Intra- and Extra- ASEAN Trade 2005, Extra- and IntraASEAN Trade 2006, Gross Domestic Product in ASEAN 2007, dan Selected Basic
ASEAN Indicators 2006.
Selain itu, khusus untuk perdagangan dengan ASEAN, pangsa perdagangan
Indonesia dengan ASEAN sampai saat ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan
pangsa perdagangan intra-ASEAN secara umum. Sampai tahun 2006 pangsa perdagangan
Indonesia dengan ASEAN tercatat sebesar 23,4%, sedangkan pangsa perdagangan intraASEAN secara umum tercatat sebesar 25,1%. Dengan kondisi ini kita dapat mengatakan
bahwa sampai saat ini orientasi perdagangan Indonesia dengan kawasan ASEAN masih lebih
rendah jika dibandingkan dengan rata-rata orientasi perdagangan intra-ASEAN secara umum.

Parameter Kebebasan (Liberality)


Masalah parameter kebebasan (liberality), khususnya yang terkait dengan masalah
banyaknya aturan/ kebijakan pemerintah yang dinilai dapat menghambat
Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu

682

Vol. 4 No.2 Desember 2011

ISSN : 1979 - 5408

berlangsungnya kegiatan perdagangan luar-negeri, telah menjadi persoalan di


seluruh negara ASEAN. Berbagai kesepakatan yang dibuat nyatanya belum
berhasil menghapus berbagai hambatan non-tarif yang telah menghambat
kelancaran kegiatan perdagangan intra-ASEAN.
Karena itu dalam AEM ke-38 di Kuala Lumpur, Malaysia, negara-negara
ASEAN sepakat untuk memulai kembali proses penghapusan hambatan non-tarif tersebut
dengan cara yang baru. Proses penghapusan hambatan non-tarif tersebut dimulai dengan
menugaskan Sekretariat ASEAN untuk mengevaluasi berbagai produk hukum yang
dimiliki oleh masing-masing negara anggota yang terkait dengan masalah perdagangan
luar-negeri. Aturan-aturan yang ada tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam 3
kategori. Yang pertama adalah kategori green box, yaitu produk-produk hukum yang
dinilai masih boleh berlaku atau masih boleh dipertahankan. Yang kedua adalah kategori
amber box, yaitu produk-produk hukum yang perubahannya masih bergantung pada
kelanjutan negosiasi yang dilakukan di antara negara-negara anggota. Dan yang ketiga
adalah kategori red box, yaitu produk-produk hukum yang dinilai harus dihapuskan atau
diubah agar tidak lagi menjadi hambatan dalam kegiatan perdagangan intra ASEAN.
Berdasarkan hasil evaluasi ini, masing-masing negara anggota kemudian diharuskan
untuk memperbaiki aturan-aturan perdagangannya yang masuk dalam kategori red box
dan amber box tersebut.
Indonesia sendiri, berdasarkan hasil supervisi yang dilakukan oleh Sekretariat
ASEAN tersebut, diketahui masih memiliki 217 produk hukum yang masuk dalam
kategori red box, 121 produk hukum yang masuk dalam ketegori amber box, dan
hanya 93 produk hukum yang masuk dalam kategori green box. Maka dengan jumlah
peraturan yang masuk dalam kategori red box sebanyak itu, dan hanya seperlima dari
peraturan yang ada yang masuk dalam kategori green box, kita dapat menilai bahwa
parameter liberality yang dimiliki Indonesia sampai saat ini masih sangat rendah.
Maka berdasarkan telaah terhadap kedua parameter di atas (liberality dan
openess), dimana kedua-dua parameter tersebut menunjukkan nilai yang rendah, kita
dapat menyimpulkan bahwa secara normatif tingkat outward orientation yang
dimiliki Indonesia dalam bidang perdagangan luar-negeri sampai saat ini masih
rendah, atau dengan kata lain Indonesia sampai saat ini masih berorientasi ke dalam
(inward oriented).

UPAYA PEMERINTAH
Meski tingkat outward orietation yang dimiliki Indonesia masih rendah,
namun kita tidak bisa begitu saja mengatakan bahwa langkah dan kebijakan yang
diambil Indonesia selama ini tidak siap untuk menghadapi pemberlakuan AFTA
tersebut. Bagaimanapun harus diakui bahwa pemerintah selama ini telah
mengambil berbagai kebijakan untuk melaksanakan isi kesepakatan AFTA
tersebut, dan juga telah melakukan langkah-langkah guna menghadapi
pemberlakuan AFTA tersebut.
683

Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu

Vol. 4 No.2 Desember 2011

ISSN : 1979 - 5408

Penghapusan Hambatan Tarif


Meski tingkat kepatuhan Indonesia untuk menghapus hambatan non-tarif
masih tergolong rendah (terbukti dari masih banyaknya terdapat aturan yang masuk
dalam kategori red box), namun untuk penurunan/ penghapusan hambatan tarif
Indonesia tergolong patuh melaksanakannya. Terkait dengan upaya penurunan/
penghapusan hambatan tarif dalam rangka pelaksanaan AFTA tersebut, posisi
Indonesia sampai saat ini adalah sebagai berikut:
1. Inclusion List (IL)
Sampai saat ini Indonesia telah memasukkan sebanyak 7.206 pos tarif ke dalam
IL untuk diturunkan tarifnya menjadi hanya 0 5 %.
2. Temporary Exclusion List (TEL)
Indonesia sudah tidak lagi memiliki pos tarif yang masuk ke dalam TEL.
3. Sensitive List (SL)/ Highly Sensitive List (HSL)
Indonesia memasukkan 11 pos tarif ke dalam HSL, yaitu pos tarif untuk produk
beras dan gula. Produk beras dan gula ini sendiri tidak hanya sensitif bagi
perekonomian namun juga bagi kestabilan nasional.
4. General Exclusion List (GEL)
Indonesia telah memasukkan sebanyak 100 pos tarif barang-barang yang dianggap
penting guna melindungi keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan
kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, serta barang-barang seni dan bernilai
sejarah/ arkeologis ke dalam GEL ini.
Desentralisasi Kewenangan Pengeluaran SKA
Surat Keterangan Asal (SKA) barang, didefinisikan sebagai sebuah dokumen
yang berisi penjelasan tentang dari mana suatu produk itu berasal, yang berdasarkan
kesepakatan yang ada dalam suatu perjanjian perdagangan ataupun secara sepihak
ditetapkan oleh negara pengekspor atau oleh negara tujuan ekspor wajib untuk disertakan
setiap kali barang tersebut memasuki wilayah pabean negara tujuan ekspor. SKA ini
sendiri merupakan instrumen yang penting bagi pemberlakuan skema CEPT-AFTA, yaitu
dalam kaitannya dengan ketentuan tentang kandungan ASEAN. Dalam hal ini SKA
tersebut berfungsi sebagai pernyataan jaminan dari pihak eksportir bahwa barang-barang
yang diekspornya tersebut benar-benar diproduksi di negara ASEAN dan telah memenuhi
syarat kandungan ASEAN minimal 40%. Maka keberadaan SKA ini merupakan salah
satu syarat yang harus dipenuhi agar suatu produk bisa memperoleh kemudahan yang
terdapat dalam skema CEPT-AFTA tersebut.
Di Indonesia, kewenangan untuk mengeluarkan SKA tersebut saat ini telah
didesentralisasikan ke banyak instansi. Dalam hal ini instansi-instansi yang diberi
kewenangan untuk mengeluarkan SKA tersebut adalah:

1.

Dinas Perdagangan Provinsi/ Kabupaten/ Kota yang telah ditetapkan oleh


Menteri Perdagangan setelah memenuhi persyaratan tertentu.

2.

P.T. (Persero) Kawasan Berikat Nusantara dan kantor cabangnya di Jakarta, yaitu untuk
barang-barang yang diproduksi di kawasan berikat tersebut.

Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu

684

Vol. 4 No.2 Desember 2011

3.

4.

ISSN : 1979 - 5408

Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas


Sabang (BPKS), yaitu untuk barang-barang yang diekspor melalui Pelabuhan
Bebas Sabang tersebut.
Otorita Pengembangan Daerah Industri (OPDI) Batam, yaitu untuk barangbarang yang diproduksi di Kawasan Pengembangan Daerah Industri Batam
tersebut.

5.

Lembaga Tembakau cabang Medan dan Surakarta, serta Balai Pengujian Sertifikasi
Mutu Barang (BPSMB) dan Lembaga Tembakau Surabaya dan Jember, yaitu untuk
ekspor produk tembakau dan produk-produk turunannya.
Terdesentralisasinya kewenangan untuk mengeluarkan SKA ini sangat
memudahkan produsen/ eksportir yang ingin memperoleh SKA tersebut, sebagai syarat
untuk bisa memperoleh kemudahan-kemudahan yang terdapat dalam kesepakatan AFTA.
Selain itu, terdesentralisasinya kewenangan mengeluarkan SKA ini juga mendorong
semakin berkembangnya kegiatan ekspor ke daerah-daerah sehingga tidak terpusat hanya
di satu kawasan tertentu saja.

Ketentuan Tentang Safeguard Policy


Safeguard policy didefinisikan sebagai suatu ketentuan yang terdapat dalam suatu
kesepakatan liberalisasi perdagangan yang memungkinkan negara-negara yang ikut serta
dalam kesepakatan tersebut untuk melakukan langkah-langkah guna memulihkan ataupun
melindungi industri dalam negerinya dari terjadinya kerugian serius ataupun ancaman
kerugian serius, sebagai akibat dari pemberlakuan kesepakatan liberalisasi perdagangan
tersebut. Negara-negara anggota AFTA sendiri sejak awal telah menyadari tentang
kemungkinan terjadinya kerugian serius ataupun ancaman kerugian serius yang
diakibatkan oleh pemberlakuan AFTA ini. Karena itu dalam kesepakatan AFTA ini
ketentuan tentang safeguard policy tersebut diatur secara eksplisit dalam CEPT-AFTA

Agreement pada artikel VI tentang Emergency Measures.


Dalam rangka melindungi industri dalam negeri dari kemungkinan terjadinya
kerugian serius ataupun ancaman kerugian serius sebagai akibat dari keikutsertaan Indonesia
dalam berbagai kesepakatan liberalisasi perdagangan, pemerintah telah mengeluarkan
peraturan yang menjadi dasar hukum bagi pemberlakuan langkah-langkah yang dianggap
perlu guna melindungi industri dalam negeri tersebut. Peraturan tersebut adalah Keppres No.
84 tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan
Impor. Meski banyak mengadopsi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Agreement on
Safeguard yang ada dalam kesepakatan GATT/ WTO, namun Keppres ini merupakan
payung hukum dan panduan bagi pemberlakuan safeguard policy di Indonesia secara umum,
termasuk juga bagi pemberlakuan ketentuan tentang Emergency Measures yang terdapat
dalam kesepakatan AFTA.

Fasilitasi Bagi Kegiatan Perdagangan


Selain melakukan upaya-upaya guna memenuhi ketentuan yang terdapat dalam
kesepakatan AFTA, pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah dan kebijakan
yang bersifat fasilitatif guna mempermudah pelaksanaan kegiatan perdagangan luarnegeri serta membantu pelaku usaha nasional dalam
685
Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu

Vol. 4 No.2 Desember 2011

ISSN : 1979 - 5408

memanfaatkan keberadaan AFTA. Dalam hal kebijakan yang bersifat fasilitatif


tersebut, pemerintah saat ini telah memberlakukan berbagai kemudahan dalam
kegiatan ekspor dan impor. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem
pengurusan perizinan secara online di berbagai instansi.
Lebih jauh lagi, pemerintah saat ini juga sedang mengembangkan suatu
sistem pelayanan yang lebih lengkap dan integratif bagi kegiatan eskpor dan impor,
yang dikenal dengan nama sistem INSW (Indonesian national Single Window).
Dengan menggunakan sistem INSW ini, kegiatan pengurusan perizinan, kepabeanan,
dan kepelabuhan/ kebandarudaraan dapat dilakukan secara terintegrasi melalui
internet dengan hanya menggunakan satu jendela (window). Pengembangan sistem
INSW ini sendiri merupakan bagian dari pengembangan sistem pelayanan bagi
kegiatan ekspor dan impor pada tingkat yang lebih luas lagi (yaitu tingkat ASEAN)
yang dikenal dengan nama sistem ASW (ASEAN Single Window).

Gambar 4.1:
Model Konseptual ASEAN Single Window

Sumber: ASW Technical Guide

Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu

686

Vol. 4 No.2 Desember 2011

ISSN : 1979 - 5408

Gambar 4.4:
Entitas Pendukung Yang Terlibat Dalam Pelaksanaan
Uji-coba Sistem INSW di Tanjung Priok

Sumber: Slide Pemaparan Tentang Rencana Kerja Pelaksanaan Uji-coba Sistem


NSW di Pelabuhan Tanjung Priok Priok yang dipresentasikan oleh Tim Kerja
Pelaksanaan Uji-coba Sistem NSW pada tanggal 28 Agustus 2007 di Hotel
Borobudur, Jakarta.
Sistem INSW tersebut saat ini sedang dalam masa uji-coba di pelabuhan
Tanjung Priok. Pelaksanaan uji-coba ini sendiri melibatkan 5 instansi pemerintah
(DJBC, DJ Daglu, BPOM, Baratan, dan Puskari), pengelola pelabuhan/ bandara,
dan perbankan sebagai pihak yang memberikan pelayanan. Diharapkan pada
bulan September 2008 sistem INSW ini sudah dapat digunakan secara nasional,
untuk selanjutnya diintegrasikan ke dalam sistem ASW pada bulan Desember
2008.
Pada akhirnya, pemberlakuan sistem INSW dan ASW ini diharapkan akan
dapat memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha untuk bisa melakukan kegiatan
pengurusan perizinan, kepabeanan, dan kepelabuhan/ kebandarudaraan dengan lebih
terintegrasi, efektif, dan efisien.
Upaya Pengembangan Ekspor Nasional
Guna mengembangkan kegiatan perdagangan luar-negeri Indonesia serta dalam
rangka mengoptimalkan pemanfaatan berbagai kesepakatan liberalisasi perdagangan yang
diikuti Indonesia (termasuk kesepakatan AFTA), pemerintah telah melakukan langkahlangkah proaktif yang diharapkan dapat semakin mendorong berkembangnya ekspor
nasional. Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah lembaga, yaitu Badan
Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), yang secara khusus bertugas untuk melakukan
usaha pengembangan
687
Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu

Vol. 4 No.2 Desember 2011

ISSN : 1979 - 5408

ekspor nasional. Dalam melaksanakan tugasnya untuk mengembangkan ekspor


nasional tersebut, BPEN menitikberatkan pada 5 hal pokok, yaitu:
1. Menyediakan pelayanan informasi mengenai peluang ekspor.
2. Menjembatani calon pembeli yang berasal dari luar-negeri dengan produsen
yang ada di dalam-negeri.
3. Melakukan kegiatan promosi produk ekspor Indonesia
4. Memberikan pembinaan, pendidikan, dan pelatihan kepada produsen dan
eksportir nasional
5. Melakukan usaha pengembangan kegiatan ekspor di daerah.
KESIMPULAN
Dari keseluruhan pembahasan yang telah dipaparkan pada bagian
sebelumnya, kita dapat melihat bahwa sampai saat ini tingkat orientasi keluar
(outward orientation) yang dimiliki Indonesia dalam bidang perdagangan luar-negeri
masih rendah, atau dengan kata lain Indonesia sampai saat ini masih berorientasi ke
dalam (inward oriented). Demikian pula dengan orientasi perdagangan Indonesia
dengan kawasan ASEAN, dimana pangsa perdagangan Indonesia dengan ASEAN
masih lebih rendah jika dibandingkan dengan pangsa perdagangan intra-ASEAN
secara umum.
Namun demikian, bagaimanapun telah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh
pemerintah agar ke depannya Indonesia bisa mengambil porsi yang lebih besar dalam
kegiatan perdagangan luar-negeri dan dalam kegiatan perdagangan intra-ASEAN
tersebut. Dan khusus terkait dengan pelaksanaan AFTA, Indonesia telah mengambil
langkah-langkah dan kebijakan guna melaksanakan isi kesepakatan AFTA tersebut serta
pada saat yang sama berupaya untuk memanfaatkan keberadaannya secara maksimal bagi
kepentingan nasional.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU DAN LAPORAN
ASEAN Secretariat, ASEAN Statistical Yearbook 2005, Jakarta: ASEAN
Secretariat, 2005.
Departemen Perdagangan RI, Laporan Perdagangan AFTA 1993, Jakarta:
Departemen Perdagangan RI, 1991.
Ditjen Kerjasama ASEAN - Departemen Luar Negeri RI, Peningkatan Kesiapan
Dan Prospek Sektor Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan Indonesia
Dalam Perdagangan Bebas ASEAN, Jakarta: Ditjen Kerjasama ASEAN,
2002.
Ditjen Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional - Departemen Perindustrian dan
Perdagangan RI, AFTA dan Implementasinya, Jakarta: Ditjen Kerjasama Industri
dan Perdagangan Internasional, 2002.
Ditjen Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional - Departemen Perindustrian dan
Perdagangan RI, Laporan Bulanan Direktorat Jenderal Kerjasama Industri dan
Perdagangan Internasional Periode Desember 2003, Jakarta: Ditjen Kerjasama
Industri dan Perdagangan, 2003.
Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu

688

Vol. 4 No.2 Desember 2011

ISSN : 1979 - 5408

Ditjen Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional - Departemen Perindustrian dan


Perdagangan RI, Laporan Bulanan Direktorat Jenderal Kerjasama Industri dan
Perdagangan Internasional Periode Januari 2004, Jakarta: Ditjen Kerjasama
Industri dan Perdagangan, 2004.
Ditjen Perdagangan Luar Negeri - Departemen Perdagangan RI, Kebijakan Umum di
Bidang Ekspor, Jakarta: Ditjen Perdagangan Luar Negeri, 2005.
Sugeng, B., How AFTA Are You?: A Question to Enterpreneurs Who Act Locally But
Think Globally, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

JURNAL, ARTIKEL, TULISAN, DAN PRESENTASI


Dean, J. M., Desai, S., & Riedel, J., Trade Policy Reform in Developing
Countries since 1985: A Review of The Evidence, dalam World Bank
Discussion Papers No. 267, 2003.
Simamora, A.P., Will Or Wont AFTA?, dimuat di harian The Jakarta Post. Tim
Kerja Pelaksanaan Uji-coba Sistem NSW - Tim Persiapan NSW RI,
Pemaparan Tentang Rencana Kerja Pelaksanaan Uji-coba Sistem NSW di
Pelabuhan Tanjung Priok Priok (slide untuk bahan presentasi pada tanggal 28
Agustus 2007 di Hotel Borobudur, Jakarta), Jakarta: Tim Kerja Pelaksanaan
Uji-coba sistem NSW, 2007
SURAT KABAR DAN MAJALAH
Harian Republika edisi Senin 4 September 2006.
WEBSITE
ASEAN Secretariat, Gross Domestic Product in ASEAN 2007,
http://www.aseansec.org.
ASEAN Secretariat, Intra- and extra- ASEAN Trade 2005,
http://www.aseansec.org.
ASEAN Secretariat, Intra- and extra- ASEAN Trade 2006,
http://www.aseansec.org.
ASEAN Secretariat, Selected Basic ASEAN Indicators 2006,
http://www.aseansec.org.
Wahyu Daniel, NSW Tahap I Diluncurkan di Pelabuhan Tanjung Priok,
http://www.detikfinance.com.

689

Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu

Anda mungkin juga menyukai